JURNAL HUKUM KAIDAH Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 168

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Kompas 18 Maret 2004, Perlindungan terhadap konsumen di Indonesia ternyata masih

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN KEMASAN TANPA TANGGAL KADALUARSA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELABELAN. informasi verbal tentang produk atau penjualnya. 17

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai

PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENJUALAN OBAT-OBATAN MELALUI INTERNET

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum. Karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XV/2017 Produk Halal

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum syara yang saling berseberangan. Setiap muslim diperintahkan hanya untuk

POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) HAERANI. Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan daya tawar. Oleh karena itu sangatlah dibutuhkan adanya undang-undang yang

LABEL HALAL PADA PRODUK PANGAN KEMASAN DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM

Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 Nevember 2001 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENETAPAN PANGAN HALAL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

PELAKSANAAN GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN ATAS KERUGIAN AKIBAT MENGGUNAKAN PRODUK DARI NATASHA SKIN CARE

BAB IV PENUTUP. 1. Bahwa setiap produk makanan dalam kemasan yang beredar di Kota. Bengkulu wajib mencatumkan label Halal, karena setiap orang yang

BAB IV. A. Analisis Terhadap Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Mas}lahah

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah. Mayoritas konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen makanan, jadi

Oleh L.P Hadena Hoshita Adiwati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. produk-produk yang kemudian dapat dikonsumsi oleh masyarakat setelah

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas beragama Islam terbesar di dunia. Sebanyak 87,18 % dari

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Populasi umat Muslim di seluruh dunia saat ini semakin meningkat.


KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta dan sekitar 87%

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

BENTUK PENGAWASAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. yang menghabiskan uangnya untuk pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP IKLAN YANG TIDAK MENGINFORMASIKAN BAHWA HARGA YANG DISAMPAIKAN DALAM IKLAN BELUM DITAMBAH DENGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SERTIFIKASI HALAL DALAM PRODUK KULINER UMKM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I. Semakin maraknya persaingan bisnis global, pasar menjadi semakin ramai. dengan barang-barang produksi yang dihasilkan. Bangsa Indonesia dengan

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA KLINIK KECANTIKAN TERHADAP KONSUMEN YANG TIDAK COCOK DENGAN PRODUK KECANTIKAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT PRODUK MAKANAN KADALUARSA

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) MEA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, teknologi dan informasi, maka semakin luas alur keluar dan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DARI PELAKU USAHA YANG TUTUP TERKAIT DENGAN PEMBERIAN LAYANAN PURNA JUAL/GARANSI

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APABILA TIDAK HANYA SATU KONSUMEN YANG MERASA TELAH DIRUGIKAN OLEH PRODUK YANG SAMA

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran Agama Islam sebagai raḥmatallil ālamīn sesungguhnya telah

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar dalam membantu perekonomian rakyat. UKM Menurut UU No. 20 tahun 2008 Usaha Kecil dan Menengah adalah usaha

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TERKAIT PRODUK KOSMETIK YANG MENYEBABKAN KETERGANTUNGAN DI BPOM PROVINSI BALI

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. informasi tentang produk yang akan digunakan, informasi dapat didefenisikan

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BARANG ELEKTRONIK REKONDISI

HAK-HAK KONSUMEN DALAM PEREDARAN PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG TIDAK DIBERIKAN BUKU PANDUAN DAN BUKU SERVIS OLEH DEALER

BAB I PENDAHULUAN. 326 jiwa. Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar adalah: pulau

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

PELABELAN DAN IKLAN PANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI KLAUSULA EKSEMSI DALAM KONTRAK STANDAR PERJANJIAN SEWA BELI

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diiringi juga dengan penyediaan produk-produk inovatif serta. pertumbuhan ekonomi nasional bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP DAFTAR MENU MAKANAN YANG TIDAK MENCANTUMKAN HARGA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

Oleh Anak Agung Sagung Istri Agung I Ketut Westra Dewa Gde Rudy. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG TIDAK MENGETAHUI TELAH MEMBELI BAJU BEKAS

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

BAB IV ANALISIS STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL DAN URGENSINYA. A. Analisis Terhadap Standar dan Prosedur Sertifikasi Penyembelihan Halal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Undang Undang Perlindungan Konsumen : Kebaharuan dalam Hukum Indonesia dan Pokok- Pokok Perubahannya

KEBERADAAN RAHASIA DAGANG BERKAITAN DENGAN PERLIDUNGAN KONSUMEN

Transkripsi:

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 168 Voume :17, Nomor : 3 ISSN Online : 2613-9340 ISSN Offline : 1412-1255 Analisis Hukum Terhadap Badan Usaha Kecil Menengah Makanan Yang Tidak Mendaftarkan Produknya Ke Bpom Dan Lebel Halal Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Majelis Ulama Kota Medan) Oleh : Ervina Sari Sipahutar 1 Abstract This study aims to determine the rules of inclusion of Halal (legal based on Islamic law) and BPOM (Agency for drugs and food control) labels on food products of small and medium enterprises. The importance of the study is to ensure legal protection of consumer s rights violated by business actors in consuming food without Halal label based on Law No.8 of 1999 on Consumer Protection. The result of this analysis shows the factors why the small and medium food companies do not include Halal and BPOM labels on the packaging of their food products. It can be seen from the presence of un-standardized food products without Halal label. This shows the lack of supervision of food products by the apparatus. Consequently, consumer protection is needed based on Law no. 8 of 1999 which states that the right of consumers is the right to get comfort and safety in consuming goods or services. This Act shows that every consumer, including Muslim consumers, is entitled to obtain goods and services that are comfortable and not contrary to their religious principles, that is Halal. Keywords: State-owned enterprises, food products, BPOM, Halal Label Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan pencantuman lebel halal dan BPOM pada produk makanan usaha kecil menengah. Pentingnya hal ini diketahui untuk menjamin perlindungan hukum terhadap hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha dalam mengkonsumsi makanan yang tidak memiliki 1 Ervina Sari Sipahutar, Dosen tetap Universitas Al Azhar, e-mail : Vina.Sofyan@gmail.co.id lebel halal berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dari hasil analisis ini nantinya dapatlah diketahui faktor penyebab badan usaha kecil menengah makanan tidak mencantumkan Lebel Halal dan juga BPOM pada kemasan produk makanannya. Hal ini terlihat dari masih adanya produk makanan yang tidak sesuai dengan standar makanan yang tidak tercantum lebel halal yang menunjukkan kerangnya pengawasan para aparat terhadap produk makanan sehingga perlulah adanya perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Undang- Undang ini menunjukan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dan tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, yaitu halal. Keywords : Badan Usaha Kecil Menengah, Produk Makanan, BPOM, Lebel Halal 1. Pendahuluan Konsumen memiliki resiko lebih besar dari pada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen selalu terabaikan. Oleh sebab itu posisi tawar konsumen menjadi lemah dan hakhak konsumen sangat mudah untuk dilanggar. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat maka pembahasan mengenai hak-hak konsumen penting untuk dikaji dan dibahas. Dalam hukum perlindungan konsumen yang menjadi permasalahan pokok adalah bagaimana ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan usaha bisnis tersebut tidak merugikan konsumen dan melindungi hak-hak konsumen. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 169 Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK bertujuan memberikan kepastian hukum kepada konsumen. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini diatur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu diatur karena untuk menghindari sikap negatif pelaku usaha terhadap konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, 2 yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang di beli dari produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen atau pelaku usaha tersebut. Undangundang tentang perlindungan konsumen memang telah diterbitkan, namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari Undang-undang tersebut belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam Undang-undang tidak sesuai dengan kenyataan. Berkenaan dengan hal ini Indonesia telah mempunyai Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996, Tentang Pangan, dimana setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan lebel halal pada produk pangan didalam dana atau di kemasan pangan, 3 namun Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 dan UUPK Nomor 8 Tahun 1999 sepertinya tidak berjalan dengan 2 Pasal 1 Unadang-Undang Nomer 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen. 3 Pasal 30 ayat (1) Unadang-Undang Nomer 7 Tahun 1996, Tentang Pangan. baik, sehinga belum memberikan kepastian hukum untuk mengenal pangan dan produk lainya yang halal. 2. Perumusan Masalah Mengingat luasnya cakupan masalah pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini di batasi, yakni yang dilihat hanya perlindungan terhadap konsumen mengenai produk makanan tanpa lebel halal yang diproduksi oleh usaha kecil. Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah: a. Bagaimana prosedur memperoleh lebel halal pada produk pangan? b. Apakah faktor penyebab produsen kecil menengah makanan tidak memiliki Lebel Halal? c. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen? 3. Kerangka Konsepsional Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum, baik berbentuk

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 170 badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan didalam wilayah hukum. Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makan dan atau minuman. Label Pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk ganbar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan kedalam, ditempelkan pada ataun merupakan bagian kemasan pangan., Usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,.( tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha ) dengan hasil penjualan baling banyak Rp. 1.000.000.000., Tulisan halal adalah tulisan yang dicantumkan pada label atau penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama islam. 4. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Normatif. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif dengan pendekatan Yuridis Normatif, dikatakan demikian karena dalam penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan cara meninjau peraturan perundang-undangan yang berlaku atau meneliti bahan pustaka yang ada. 4 Mengingat tipe yang digunakan adalah penelitian normatif dan juga deskriptif analisis yakni suatu penelitain yang mengkaji suatu masalah dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan studi kasus. Dalam studi hukum, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan bagi konsumen, yakni Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumsen. Sedangkan pendekatan konseptual digunaka karena isu hukumnya menggunakan isu hukum pada level teori hukum (konsep). Dalam hal ini, konsep yang digunakan adalah tentang konsep dasar perlindungan konsumen, hak-hak serta kewajiban atas konsumen dan pelaku usaha, sanksi-sanksi yang diberikan kepada para pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen dan lain-lain. 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan 5.1 Peraturan Yang Mengatur Tentang Pencantuman LabeL Halal Pada Pangan Produk Hasil dari penelitian ini yaitu menguraikan 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singakat, Cetakan ke-11. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13-14.

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 171 beberapa peraturan yang mengatur tentang pencantuman label halal pada produk pangan, tata cara pendaftaran dan faktor penyebab produsen tidak memiliki label halal pada produk pangannya. Dalam hal ini, perlindungan konsumen terhadap produk-produk di pasaran menjadi tugas pemerintah dan masyarakat agar terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang mengatur tentang pencantuman label halal pada produk pangan harus benar-benar diterapkan agar tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugikan. Adapun peraturan-peraturan yang terkait tentang pencantuman label halal pada produk pangan yaitu : 1. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat pasal yang berkaitan dengan Label halal mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha pada Pasal 8 ayat (1) huruf h yang berbunyi : (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa : a. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana penyataan halal yang di cantumkan dalam label. 2. UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Di dalam UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan, yaitu mengenai Label dan Iklan Pangan Pasal 30 dan 34. Bunyi dan penjelasa pasal 30 dan 34 adalah sebagai berikut : Pasal 30, (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk di perdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam dan/atau di kemasan pangan. (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai : a. Nama produk; b. Daftar bahan yang di gunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia; e. Keterangan tentang halal; f. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Penjelasan pasal 30 ayat (2) huruf e yaitu, keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam. Namun, pencantuman pada label pangan dan/atau memasukan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan mengatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat islam. Pasal 34, (1) Setiap orang yang menyatakan dalam Label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) yaitu, dalam ketentuan ini benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 172 dapat dibuktikan dari segi bahan baku, tetapi mencakup pula proses pembuatannya. 3. PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan Di dalam PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan yaitu pasal 3 ayat (2), pasal 10 dan pasal 11. Bunyi pasal 3 ayat (2) ini ialah : Pasal 3 ayat (2) Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke wilayah Indonesia; d. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa Bunyi dan penjelasan pasal 10 yaitu : Pasal 10 (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label. (2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tak terpisahkan dari label. Pencantuman keterangan halal atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban bagi pelaku usaha. Apabila pihak yang memproduksi dan/atau memasukan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa produknya halal bagi uamat islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin harus digunakan bersamaan dengan bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan di maksudkan untuk melindungi konsumen muslim dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya. Sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 11 yaitu : (1) Untuk mendukung kebenaran penyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia unuk diperdagangkan, wajib memeriksa terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksd pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memeliki kompetensi dibidang tersebut. Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan/atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan produknya halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya untuk menghindari timbulnya keraguan pada konsumen muslim terhadap kebenaran pernyataan halal tersebut. Dengan demikian untuk kelangsungan usahanya, pangan yang dinyatakan halal tersebut diperiksa terlebih dahulu oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditas

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 173 Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksud untuk memberikan ketentraman dan keyakinan konsumen muslim bahwa pangan yang akan di konsumsi memang aman dari segi agama. Lembaga keagamaan yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), pedoman ini bersifat umum dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mendirikan sebuah lembaga yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat LPPOM MUI yaitu lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetik apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat. Lembaga ini didirikan atas keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal 1409 H atau 6 Januari 1989. Sebagai lembaga otonom bentuk MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan. Sertifikat halal merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Didalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari at islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan dan kosmetik. A. Faktor-faktor Penyebab Produsen Kecil Tidak Memiliki Label Halal Hasil Wawancara yang saya lakukan dengan salah satu produsen atau pelaku usaha kecil makanan yang memproduksi roti, menceritakan kendala yang dihadapi pelaku usaha atau produsen makanan dalam mencantumkan label halal, yaitu : 1. Kurangnya kesadaran pelaku usaha atau produsen makanan tentang pentingnya label halal pada produk makanan yang di produksinya; 2. Pelaku usaha atau produsen makanan tersebut adalah seorang muslim jadi pelaku usaha menganggap tidak lagi harus memiliki label halal pada produknya karena pelaku usaha makanan yakin produknya tersebut halal. 3. Rumitnya proses untuk mendapatkan sertifikasi halal; 4. Faktor biaya dan syarat-syarat serta proses untuk mendapatkan sertifikasi halal membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga membuat pelaku usaha atau produsen makanan enggan untuk mengurusnya. 5.2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Konsumen Dalam Memperoleh Perlindungan Terhadap Haknya Faktor utama kelemahan konsumen adalah tidak terpenuhinya hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh konsumen. Oleh karena itu, seharusnya UUPK menjadi landasan hukum yang kuat bagi konsumen. Perlindungan hukum konsumen dapat dikatakan sebagai upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi konsumen agar terpenuhi

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 174 seluruh hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Bahwa sebagaimana tercantum pada pasal 2 UUPK setiap pelaku usaha dan konsumen dalam menyelengarakan perlindungan konsumen wajib memperhatikan lima prinsip yaitu : 1. Prinsip manfaat, prinsip ini bertujuan agar dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perlindungan konsumen dan pelaku usaha secara total. 2. Prinsip keadilan, prinsip ini bertujuan agar masyarakat dapat berpartisipasi secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada pelaku usaha dan konsumen untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara adil dan bijaksana. 3. Prinsip keseimbangan, prinsip ini dimaksudkan memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual. 4. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen, prinsip ini bermaksud untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan. 5. Prinsip Kepastian Hukum, prinsip ini dimaksud agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, dimana dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa penting mengingat lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam mengejar dan menacapai kedua hal tersebut konsumenlah yang merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal mendesak dan harus dicari solusinya. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa penting mengingat lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam mengejar dan menacapai kedua hal tersebut konsumenlah yang merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal mendesak dan harus dicari solusinya. Penyelesaian Melalui Peradilan Umum Walaupun putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat, pihak-pihak tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputuskan dalam waktu 21 hari dengan waktu 14 hari untuk mengajukan keberaratan ke pengadilan negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI yang akan diputuskan dalam waktu 30 hari dengan waktu 14 hari untuk

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 175 mengajukan kasasi. 5 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dijelaskan dalam pasal 48 UUPK, dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperlihatkan ketentuan dalam pasal 45 UUPK. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dalam dunia bisnis merupakan suatu masalah tersendiri, dikarenakan dalam penyelesaian sengketa di dalam pengadilan sangat membutuhkan biaya banyak, sedangkan kita tahu bahwa dunia bisnis sangat mengehendaki penyelesaian sengketa dengan harga murah dan cepat. Disamping itu penyelsesaian sengketa di dalam pengadilan dapat merusak hubungan pelaku bisnis dengan siapa saja dia pernah terlibat sengketa, dikarenakan penyelesaian sengketa dalam pengadilan akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak. Secara umum, ada beberapa kritikan yang dapat dikemukakan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu : 1. Penyelesaian sengketa yang sangat lambat Penyelesaian sengketa melalui pengadilan umumnya sangat lambat dikarenakan proses pemeriksaan yang sangat formalitas dan sangat teknis. 2. Biaya perkara yang mahal Biaya perkara yang mahal dalam proses penyelesaian sengketa dalam pengadilan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan waktu yang sangat lama, karena semakin lama proses 5. Heys Hanata, Perlindungan Konsumen, artikel ini diakses pada tanggal 20 November 2017, dari http://heyshanata.blogspot.com/2012/11/perlindungan -konsumen.html penyelesaian sengketa semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi biaya pengacara yang sangat tidak sedikit. 3. Pengadilan pada umunya tidak responsif Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Belum lagi kritikan yang menganggap pengadilan hanya memberi pelayanan orang kaya saja atau lembaga besar, yang mengakibatkan munculnya statement hukum menindas orang miskin, tetapi orang berduit yang mengatur hukum. 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan dan tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.\ Upaya hukum yang telah disebutkan diatas dapat tempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan akibat mengkonsumsi produk pangan yang tidak berlabel halal yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Walaupun terdapat upaya hukum yang dijamin oleh UUPK, ternyata dalam prakteknya konsumen sering mengalami kesulitan dalam mengajukan gugatan, antara lain karena pelaku usaha yang akan digugat oleh konsumen tidak jelas, baik nama atau alamatnya maka gugatan pun tidak dapat ditentukan karena tidak ada pihak yang dimintai pertanggung jawaban. Berdasarkan hal diatas, dapat dilihat bahwa peran label halal dalam kemasan sangat penting yaitu dalam hal pemberian informasi produk

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 176 tersebut dan dalam hal penuntutan bila terjadi kerugian pada pihak konsumen (terdapat nama dan alamat yang jelas pelaku usaha pada label kemasan produk pangan). 6. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dan pembahasan diatas maka kesimpulan yang dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut : 1. Adapun Prosedur untuk memperoleh Label hal pada poduk pangan yaitu: a. Sebelum produsen mengajukan sertifikasi halal terlebih dahulu harus mempersiapkan sistem jaminan halal. Penjelasan rinci tentang sistem jaminan halal dapat merujuk kepada buku panduan penyusunan sistem jaminan halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI; b. Berkewajiban mengangkat secara resmi seorang atau tim Auditor Halal Internal (AHI) yang bertanggung jawab dalam menjamin pelaksanaan produksi halal; c. Berkewajiban menandatangani kesediaan untuk di inspeksi secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LPPOM MUI; d. Membuat laporan berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan sistem jaminan halal. pentingnya label halal pada produk makanan yang di produksinya; b. Pelaku usaha atau produsen makanan tersebut adalah seorang muslim jadi pelaku usaha menganggap tidak lagi harus memiliki label halal pada produknya karena pelaku usaha makanan yakin produknya tersebut halal. c. Rumitnya proses untuk mendapatkan sertifikasi halal; d. Faktor biaya dan syarat-syarat serta proses untuk mendapatkan sertifikasi halal membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga membuat pelaku usaha atau produsen makanan enggan untuk mengurusnya. 3. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam kemasan pada usaha kecil telah mendapatkan pengaturan dalam UUPK. UUPK memberikan kesempatan bagi konsumen dan pelaku usaha untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut melalui 2 cara, yaitu dengan cara damai atau melalui gugatan ke pengadilan atau BPSK. 2. Sebab Produsen kecil tidak memiliki label halal pada kemasan pangannya yaitu: a. Kurangnya kesadaran pelaku usaha atau produsen makanan tentang Daftar Bacaan Agung, Marya dan Eka, Solusi Bila Terjadi kasus Bisnis. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010.

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 177 Amin, Ma ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Elsas, 2011 Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Atho, Mudzhar H.M., Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998. Al-bugha Musthafa dan muhyiddin Misto, Pokok-pokok Ajaran Islam. Jakarta: Robbani Press, 2005 Barkatullah, Abdul, Hak-hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010. Djamali, Abdoel, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006. Dea Ariska, Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Makanan dan Minuman Yang Tidak Bersertifikat Halal, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2107 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Pantja Cemerlang, 2010. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2011