BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan karena kebocoran asam lambung dalam rongga perut

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang menderita penyakit ini adalah Amerika Serikat dengan penderita

BAB I PENDAHULUAN. Pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tentunya

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya komplikasi yang lebih berbahaya. diakibatkan oleh sepsis > jiwa pertahun. Hal ini tentu menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial

BAB I PENDAHULUAN. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun

BAB I PENDAHULUAN. merupakan prioritas tertinggi dalam Hirarki Maslow, dan untuk manusia

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat, memberikan terapi serta menunjang fungsi-fungsi vital pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari

I. PENDAHULUAN. Air merupakan komponen terbesar dari tubuh sekitar 60% dari berat badan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dari sekian banyak kasus penyakit jantung, Congestive Heart Failure

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. akut di Indonesia (Sjamsuhidayat, 2010 dan Greenberg et al, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. di rumah sakit. Anak biasanya merasakan pengalaman yang tidak menyenangkan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Keperawatan pasca operasi merupakan periode akhir dari keperawatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah

BAB I PENDAHULUAN. dimungkinkan dengan adanya peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskuler

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan tindakan pembedahan. Beberapa penelitian di negara-negara industri

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah mempertahankan integritas kulit. Hal ini dapat tercapai dengan

BAB I PENDAHULUAN. fungsi ginjal dengan cepat sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Kista ovarium merupakan salah satu bentuk penyakit repoduksi yang banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah pengendara kendaraan bermotor dan pengguna jalan

BAB I PENDAHULUAN. Intususepsi merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi usus dan

BAB I PENDAHULUAN. Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara. invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang mengunakan cara

Profesi _Keperawatan Medikal Bedah_cempaka

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB I KONSEP DASAR. sepanjang saluran usus (Price, 1997 : 502). Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran cerna tinggi artinya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA KLIEN DENGAN PERDARAHAN SALURAN CERNA

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. ventilasi bagi pasien dengan gangguan fungsi respiratorik (Sundana,

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI SAAT PERAWATAN LUKA DI RSUD MAJALENGKA TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. perut kuadran kanan bawah (Smeltzer, 2002). Di Indonesia apendisitis merupakan

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan

BAB I PENDAHULUAN. mengisi rongga dada, terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah

BAB I PENDAHULUAN. Intensif Care Unit berkembang cepat sejak intensif care unit (Intensive Terapy

BAB I PENDAHULUAN. pembunuh diam diam karena penderita hipertensi sering tidak. menampakan gejala ( Brunner dan Suddarth, 2002 ).

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan kesehatan bagi masyarakat. Menanggapi hal ini,

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kompleks, tidak hanya menyangkut penderita tetapi juga keluarga,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah nyata terjadi maupun berpotensi untuk terjadi yang mengancam

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa penyakit yang dapat menggangu sistem oksigenasi yaitu seperti TBC,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada sepsis terjadi proses inflamasi sistemik atau systemic inflammatory

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap

tahun 2004 diperkirakan jumlah tindakan pembedahan sekitar 234 juta per tahun (Weiser, et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatnya angka harapan hidup pada negara negara berkembang, begitu pula

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker payudara adalah pertumbuhan sel yang abnormal pada jaringan payudara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut WHO upaya untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan operasi merupakan pengalaman yang sulit bagi sebagian pasien

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Sayatan atau luka yang dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. macam aspek, diantaranya pertolongan persalinan yang salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan ekonomi yang semakin cepat, kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit penyakit

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Insidens

BAB I PENDAHULUAN. banyak terjadi pada orang dewasa, salah satu manifestasi klinis penyakit jantung

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perforasi gaster adalah suatu penetrasi yang kompleks dari dinding lambung, usus besar, usus halus akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung dalam rongga perut (Warsinggih, 2016). Gambaran klinis pada pasien dengan perforasi ulkus peptik kadang-kadang tidak jelas, sehingga terkadang kebanyakan pasien datang dengan tanda dan gejala peritonitis bahkan sampai ke sepsis. Variasi gejala klinis, keterlambatan dari diagnosis dan penanganan dapat menyebabkan perburukan gejala dan penurunan kondisi klinis yang dapat mengakibatkan hasil akhir yang buruk(thorsen, et.al, 2013). Perforasi adalah ancaman abdominal dan indikasi bahwa pembedahan diperlukan (Brunner & Suddarth, 2001). Perforasi dalam bentuk apapun yang terjadi dan mengenai saluran pencernaan merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan terutama dalam kegawatan bedah. Penatalaksanaan bedah yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah laparatomi eksplorasi. (Warsinggih, 2018). Kasus tindakan laparatomi mengalami peningkatan di beberapa negara di dunia. Salah satunya di daerah Afrika, pada tahun 2015 terdapat 1276 kasus laparatomi dengan 449 kasus (35%) di bagian obsetri dan 876 kasus (65%) pada 1

2 bagian bedah umum (Ngowe, N.M., et.al, 2014; Baison, G.N, 2017). Di Indonesia, jumlah tidakan operasi terhitung pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta jiwa dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi (Kemenkes RI, 2013). Penelitian Thorsen et.al (2013) menyebutkan bahwa masih terdapat resiko tinggi terhadap motilitas dan morbilitas pada pasien yang mendapatkan terapi pembedahan, mortalitas akibat perforasi gaster diatas 27% dan komplikasi dilaporkan terjadi pada 20-50% pasien. Dari 19 kasus yang dilakukan operasi, 12 (63%) kasus sembuh dengan lama perawatan post op diruangan antara 7-10 hari rawatan dan sebanyak 7 kasus (37%) kasus meninggal paska operasi karena sepsis (Wahyudi, 2008). Perforasi yang menembus rongga peritonial akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma dapat menyebabkan peritonitis. Pada kasus peritonitis terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat dapat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. Seringkali, inflamasi tidak lokal dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis umum. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok juga dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia (Brunner & Suddarth, 2001).

3 Meskipun pemahaman patofisiologi penyakit dan terapi intensif, didukung oleh terapi antibiotik yang spesifik, sepsis dilaporkan tetap menjadi penyebab kematian non-cardiac di Intensive Care Unit (ICU). Syok septik merupakan kondisi kesehatan dunia yang dikatikan dengan kejadian kematian yang tinggi (American Journal of Critical Care, 2013). Sepsis merupakan suatu sindrom multifaktorial dan kompleks yang terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, respon yang ditimbulkan cenderung berbahaya atau merusak (Oliveira, A et.al, 2013). Penelitian yang dilakukan Mc Pherson (2013) di Inggris pada tahun 2001-2010 menunjukkan 1 dari 20 kematian yang terjadi di Inggris disebabkan oleh sepsis, dengan prevalensi kejadian sebesar 5,5% untuk wanita dan 4,8% untuk pria. Angka kejadian sepsis di Amerika tercatat sebanyak 750.000 kasus sepsis setiap tahunnya dan sekitar 2% kasus kematian yang terkait dengan kejadian severe sepsis (Angus & Poll, 2013). Di Indonesia, tingkat kejadian dari sepsis diperoleh di RS Sutomo adalah sebanyak 27,08% penderita dengan keadaan sepsis berat dan 14,58% dalam keadaan syok septik (Tambajong, 2015). Syok septik memiliki karakteristik hipotensi yang sulit diatasi dan penurunan perfusi jaringan. Biasanya hal ini terjadi ketika intervensi awal yang dilakukan untuk menanggulangi masalah hemodinamik gagal dilakukan. Manifestasi lain dari syok septik ditandai dengan kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ(harsono, 2005).

4 Pada periode postoperatif, terutama setelah bedah toraks besar atau bedah abdomen atas, gagal nafas akibat ventilasi yang tidak adekuat dapat terjadi. Alasan dari gagal nafas selama periode ini sangat beragam. Efek dari agen anestetik, analgesik, dan sedatif yang berlangsung lama. Agens tersebut menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkannya atau meningkatkan efek dari anagesik opioid. Nyeri pada area toraks dan abdomen mengganggu nafas dalam dan batuk. Relaksan otot sering digunakan selama anestesi. Beberapa pasien mungkin mempunyai kesulitan memetabolisme atau mengekresi obat-obat ini, sehingga efek obat-obatan tersebut berlangsung lebih lama dari biasanya, menyebebkan kelemahan otot pada periode pascaoperatif. Ketidaksesuaian dari ventilasi terhadap perfusi juga menyebabkan gagal nafas setelah bedah mayor abdomen dan toraks (Brunner & Suddarth, 2001). Pasien dengan ventilasi mekanik memerlukan pemantauan yang berulang, sehingga dapat meminimalkan resiko kejadian komplikasi dari ventilasi mekanik seperti: barotarauma, gangguan jalan nafas, infeksi paru, hipoventilasi, hiperventilasi, hipoksia, penurunan perfusi jaringan akibat penurunan fungsi jantung, nyeri, hipoksia, imobilisasi, peningkatan morbiditi dan mortaliti, serta dapat menyebabkan beberapa efek psikologis seperti gangguan tidur, ketidaknyamanan, kegelisahan dan stres. Penggunaan ventilasi mekanik pada pasien di ICU diikuti penggunaan obat sedasi dan relaksan otot yang berguba untuk mengurangi efek psikologis dan nyeri yang dirasakan (Mackenzie, 2008). Pemberian obat sedasi relaksan juga akan menyebabkan imobilisasi pasien (Morton dan Dorrie, 2009).

5 Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama pada pasien yang dirawat di ICU dapat mengakibatkan perubahan psikologis, fisiologis dan psikososial. Imobilisasi juga dihubungkan dengan perubahan kardiovaskuler, rangka dan lainnya (Anwar, 2012). Pada klien yang terimobilisasi, menurunnya volume cairan yang bersikulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah, menurunnya respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan menurunkan aliran balik vena, disertai meningkatnya curah jantung, yang direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama dapat terjadi pada klien lansia. Karena beban jantung meningkat, konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang efisiensinya jantung selanjutnya akan menurun (Savi et.al, 2010). Pada pasien yang dirawat di ICU diperlukan mobilisasi. Mobilisasi progresif diperkenalkan oleh American Association of Critical Care Nurses (AACN) pada tahun 2010. Mobilisasi progresif adalah serangkaian rencana yang dibuat untuk mempersiapkan pasien agar mampu bergerak atau berpindah tempat secara berjenjang dan berkelanjutan (AACN,2010). Mobilisasi pasien kritis dapat meningkatkan kekuatan otot, menurunkan stres oksidasi dan inflamasi. Selama beraktivitas atau latihan akan memaksimalkan 60-75% intake oksigen dan meningkatkan produksi antioksidan (Truong et.al, 2009). Penelitian Cohen (2008) di Australia mengevaluasi efek hemodinamik dan metabolisme pernafasan untuk 32 orang pasien yang terpasang ventilasi mekanis dengan mode SIMV, menyatakan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada denyut jantung, sistolik, curah jantung, konsumsi oksigen,

6 produk carbondioksida dan PaCO2. Penelitian lain oleh Stiller (2007) pada 39 pasien di ICU yang menerima 69 tindakan mobilisasi ditemukan bahwa mobilisasi mengakibatkan peningkatan yang signifikan dalam denyut jantung, tekanan darah dan penurunan yang tidak signifikan pada saturasi oksigen. Passive leg movement (PLM) merupakan salah satu bagian terapi mobilisasi yang berguna untuk meningkatkan sirkulasi darah dan perfusi jaringan pada pasien dengan imobilisasi (Savi et.al, 2010). Kasus post laparatomi merupakan salah satu kasus terbanyak di ICU RSUP Dr. M. Djamil Padang. Berdasarkan survey yang dilakukan, didapatkan data awal Juni hingga Agustus sebanyak 14 kasus post laparatomi ekplorasi. Pada bulan Agustus 2018 terdapat 1 orang pasien dengan kasus post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut. Pasien tersebut terpasang ETT dan pernafasan dibantu dengan ventilasi mekanik. Pasien tidak sadar dan diberi sedasi untuk mencegah ketidaknyamanan dan nyeri karena ventilasi mekanik. Pasien mengalami gangguan hemodinamik, elektrolit, asam-basa dan hipoalbuminemia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan 15-23 Agustus 2018, didapatkan sebanyak 7 pasien yang terpasang ventilasi mekanik dilakukan mobilisasi progresif. Mobilisasi yang diberikan yang terbanyak yaitu head of bed 30⁰ dan rotasi lateral. Akan tetapi masih belum terlihat pasien diberikan tindakan mobilisasi progresif passive leg movement. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi

7 gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut dengan penerapan passive leg movement di Intensive Care Unit (ICU) RSUP dr. M. Djamil Padang. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu memaparkan hasil asuhan keperawatan pada klien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut dengan penerapan passive leg movement pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik di Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. M. Djamil Padang. 2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan hasil pengkajian pada pasien post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akutdi ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. b. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada pasien post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. c. Menjelaskan rencana pencapaian asuhan pada pasien post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. d. Menjelaskan implementasi pada pasien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang.

8 e. Menjelaskan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan pada pasien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. f. Menjelaskan evaluasi penerapan passive leg movement pada pasien post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. C. Manfaat 1. Bagi Profesi Keperawatan Dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam upaya memberikan asuhan keperawawatan pada pasien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. 2. Bagi Pasien Dapat meningkatkan tingkat kepuasan pasien terhadap mutu asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang.

9 3. Bagi Institusi Rumah Sakit Dapat memberikan masukan bagi bidang keperawatan umumnya dan para tenaga perawat di ruang ICU RSUP Dr. M. Djamil Padang, khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akutdan penerapan passive leg movement pada pasien dengan ventilasi mekanik di ICU RSUP dr. M. Djamil Padang. 4. Bagi Pengetahuan Dapat memberikan referensi dan masukan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan post laparatomi eksplorasi atas indikasi perforasi gaster, syok septik, gagal nafas dan gagal ginjal akut dan penerapan passive leg movement di RSUP Dr. M. Djamil Padang.