BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai berikut: Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah. semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2004 menyatakan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007 : 23), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Menurut Halim (2004 : 20), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah. Kekayaan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD. Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh sebab itu, keuangan daerah identik dengan APBD. (Saragih, 2003 : 12). 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) a. Pengertian dan Unsur-unsur APBD Menurut Yani (2008 : 369), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada hakekatnya

merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Tugas utama dari anggaran adalah mengendalikan aktivitas fiskal Pemerintah, mengkaji tindakan sebelumnya dan mengetahui program Pemerintah di masa yang akan datang. Anggaran Daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Menurut Bastian (2006 : 189), APBD merupakan pengejawantahan rencana kerja Pemerintah Daerah dalam bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik. Menurut Halim (2004 : 15), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat didefinisikan sebagai berikut : suatu anggaran daerah, yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun. Sedangkan Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Saragih (2003 : 127) : APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak pajak daerah. Berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD. Dapat disimpulkan bahwa APBD merupakan rencana kerja Pemerintah Daerah untuk satu periode tertentu, biasanya satu tahun, yang disusun berdasarkan peraturan

tentang APBD. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Unsur-Unsur Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai berikut: a. rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci, b. adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaranpengeluaran yang akan dilaksanakan, c. jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka, d. periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. b. Struktur APBD Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada pasal 22, yaitu : pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lainlain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah (Permendagri 13/ 2006). Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan APBD yang memakai format Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, maka APBD yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu :

pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang (Halim, 2004 : 18). Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Setiap daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD. Dikhawatirkan jika Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang. 3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Definisi Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumbersumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh Pemerintah Daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD. Semakin besar

kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap bantuan Pemerintah Pusat. Menurut Halim (2004 : 67), Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatn Asli Daerah yang dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. (Mardiasmo, 2002 : 132) Menurut Yani (2008 : 51) : Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 pasal 1, Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar Pemerintah Daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari Pemerintah Pusat.

Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka diharapkan tiap-tiap Pemerintah Daerah dapat membangun infrastruktur ekonomi yang baik di daerahnya masing-masing, guna meningkatkan pendapatannya. Keleluasaan yang dimiliki oleh Daerah harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan baru tanpa membebani masyarakat dan tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Upaya peningkatan PAD tersebut harus dipandang sebagai perwujudan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. b. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut : Klasifikasi PAD berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas

umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran / cicilan penjualan. Menurut Halim (2007 : 96), Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah. a) Pajak Daerah Menurut UU No. 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Saragih (2003 : 61), Pajak daerah ialah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah, sebagai salah satu pendapatan asli daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. b) Retribusi Daerah Menurut Yani (2008 : 63), Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah. Jadi, retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Retribusi daerah,

sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Daerah kabupaten/ kota diberi peluang dalam menggali potensi sumbersumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap masyarakatnya, maka kecendrungan perolehan dana retribusi semakin besar. c) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan atau bagian laba BUMD Menurut Yani (2008:73), Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan hasil yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan yang terpisah dari pengelolaan APBD. Jika atas pengelolaan tersebut memperoleh laba, laba tersebut dapat dimasukkan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) merupakan badan usaha yang didirikan seluruhnya atau sebagian, dengan modal daerah. Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah. Selain itu, BUMD juga merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Bagian laba BUMD tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan daerah dan anggaran belanja daerah, setelah dikurangi dengan penyusutan, dan pengurangan lain yang wajar dalam BUMD.

BUMD sebenarnya juga merupakan salah satu potensi sumber keuangan bagi daerah yang perlu terus ditingkatkan guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Besarnya kontribusi laba BUMD dalam Pendapatan Asli Daerah dapat menjadi indikator kuat dan lemahnya BUMD dalam suatu daerah. d) Lain-lain PAD yang sah Menurut Yani (2008 : 74), Lain-lain PAD yang sah merupakan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya. Dalam rangka melaksanakan wewenang sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka daerah harus melakukan maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah. Maksimalisasi Pendapatan Asli Daerah dalam pengertian bahwa keleluasaan yang dimiliki oleh daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang baru. 4. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah Menurut Halim (2007:232), Kemandirian Keuangan Daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan

daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota ditekankan pada kemampuannya dalam membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Dimana pembiayaan itu diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah masing-masing. Maka menjadi suatu tugas yang sangat penting bagi masingmasing Pemkab/Pemko untuk menggali sumber keuangan daerahnya agar dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang maksimum guna menanggulangi semua aktivitas ataupun kegiatan pada setiap daerah, sehingga tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaan daerahnya semakin kecil. Dengan semakin kecilnya tingkat ketergantungan tersebut, maka suatu daerah dapat dikatakan mandiri. Menurut Halim (2007:234), Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah, dengan rumus: Realisasi Penerimaan PAD Efektivitas = X 100% Target Penerimaan PAD Menurut Mahsun (2006 : 191), Efektivitas (hasil guna) adalah suatu keberhasilan suatu organisasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan, Efektivitas juga menggambarkan tingkat kinerja pemerintah daerah dalam merealisasikan anggaran yang tersusun dalam APBD agar mencapai target yang diharapkan atau bahkan melebihi target yang ada. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006, Kinerja adalah hasil

keluaran/hasil kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. 5. Dana Perimbangan a. Pengertian Dana Perimbangan Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Saragih (2003 : 85) adalah: Suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Menurut Halim (2004 : 69), Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Sedangkan menurut Widjaja (2004 : 229) : Dana perimbangan merupakan pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, peningkatan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurut Saragih (2003 : 84), komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Dalam kebijakan fiskal, dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan merupakan inti dari hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem

hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara Pemerintah Pusat dan Daerah (intergovernmental fiscal relation system), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyediaan sebahagian wewenang pemerintahan. Dengan kata lain, hubungan keuangan merupakan suatu sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. b. Klasifikasi Dana Perimbangan Menurut Saragih (2003 : 86) : Dana perimbangan terdiri dari : 1) Dana Bagi Hasil dari : pajak bumi bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penetapan besarnya dana bagi hasil pajak dan nonpajak didasarkan atas persentase dengan tarif dan basis pajaknya, 2) Dana Alokasi Umum (DAU) atau sering disebut juga dengan block grant yang besarnya didasarkan atas formula, 3) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK identik dengan special grant yang ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi yang sangat khusus, namun prosesnya tetap dari bawah (bottom-up). Adapun klasifikasi dana perimbangan yang terbaru adalah berdasarkan Permendagri 13/ 2006, dimana dana perimbangan tersebut terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah. 1) Dana Bagi Hasil Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil adalah dana yang diperoleh dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Melalui bagi hasil penerimaan negara tersebut, diharapkan potensi penerimaan

daerah menjadi semakin meningkat dan daerah merasakan bahwa haknya atas pemanfaatan SDA yang dimiliki masing-masing daerah diperhatikan oleh Pemerintah Pusat. Dengan sistem pembagian yang didasarkan atas daerah asal (by origin), sebagian penerimaan yang diperoleh dari daerah penghasil harus diberikan dan dinikmati oleh daerah penghasil yang bersangkutan. 2) Dana Alokasi Umum Menurut Widjaja (2004 : 47), Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer dari Pusat kepada Daerah yang bersifat block grant yang kewenangan pengaturan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaran pemerintahan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sedangkan menurut Widjaja (2004 : 47) : Dana Alokasi Umum merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan peranannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah. Proporsinya yang cukup besar dan kewenangan pemanfaatan yang luas sekaligus akan memberikan makna otonomi yang lebih nyata bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah. Dari penjelasan diatas, terlihat Dana Alokasi Umum memiliki jumlah yang sangat signifikan sehingga semua Pemerintah Daerah menjadikannya sebagai sumber penerimaan terpenting dalam anggaran penerimaannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, Dana Alokasi Umum dapat dilihat sebagai respons Pemerintah terhadap aspirasi daerah untuk mendapatkan sebahagian kontrol yang lebih besar terhadap keuangan negara.

Menurut Saragih (2003 : 104), bagi daerah yang relatif minim Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung operasional Pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Menurut Saragih (2003 : 132), tujuan DAU di samping untuk mendukung sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan keuangan Pemerintah Daerah. Adapun tujuan DAU berdasarkan PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dalam Mardiasmo (2002 : 157) dijelaskan berikut ini. tujuan Dana Alokasi Umum terutama adalah untuk : horizontal equity dan sufficiency. Tujuan horizontal equity merupakan kepentingan Pemerintah Pusat dalam rangka melakukan distribusi pendapatan secara adil dan merata agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antar daerah. Sementara itu, yang menjadi kepentingan daerah adalah kecukupan (sufficiency), terutama adalah untuk menutup fiscal gap. Sufficiency dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : kewenangan, beban, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bantuan umum (block grant) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistibusikan dengan formula berdasarkan prinsipprinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi Dana Alokasi Umum adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antara Pemerintah Daerah/Pemerintah Kota di seluruh Indonesia. 3) Dana Alokasi Khusus Menurut Halim (2004 : 141), Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Menurut Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menggariskan bahwa kebutuhan khusus yang dapat dibiayai dengan Dana Alokasi Khusus antara lain kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus Dana Alokasi Umum dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Adapun persyaratan untuk memperoleh Dana Alokasi Khusus adalah sebagai berikut: 1) Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan yang Sah; 2) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK Reboisasi);

3) Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri Teknis/ Instansi terkait. 6. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232), Kemandirian Keuangan Daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota ditekankan pada kemampuannya dalam membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Dimana pembiayaan itu diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah masing-masing. Maka menjadi suatu tugas yang sangat penting bagi masingmasing Pemkab/Pemko untuk menggali sumber keuangan daerahnya agar dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang maksimum guna menanggulangi semua aktivitas ataupun kegiatan pada setiap daerah, sehingga tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaan daerahnya semakin kecil. Dengan semakin kecilnya tingkat ketergantungan tersebut, maka suatu daerah dapat dikatakan mandiri. Menurut Halim (2007:232), rumus Rasio Kemandirian adalah: Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian = X 100% Bantuan Pemerintah Pusat (Provisi Pinjaman) Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini, berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi)

semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD). B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tinjauan penelitian terdahulu merupakan acuan dalam penelitian ini. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama dan Tahun Rifana Ayu (2007) Tiodora Delima Nababan (2007) Judul Penelitian Analisis Pengaruh DAU terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Dalam Otonomi Daerah (studi kasus pada Pemerintah Daerah/Kota Provinsi Sumatera Utara) Analisis Pengaruh Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu Variabel Penelitian Variabel dependen: Kemandirian Keuangan Daerah Variabel independen: Dana Alokasi Umum (DAU) Variabel dependen: Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Variabel independen: Pajak daerah, Retribusi daerah, Bagian laba BUMD, dan Lain-Lain PAD yang sah Hasil Penelitian Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah pada Pemerintah Daerah/Kota di Provinsi Sumatera Utara. 1. Secara simultan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-Lain PAD yang sah berpengaruh signifikan positif terhadap DAU dan DAK 2. Secara parsial, hanya Pajak Daerah yang tidak berpengaruh signifikan terhadap DAU dan hanya Lain-Lain PAD yang sah yang tidak berpengaruh signifikan terhadap DAK

Dewi Anggra Yunita (2008) Muliana (2009) Pengaruh Rasio Efektivitas PAD dan DAU terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara Pengaruh Rasio Efektivitas PAD, DAU, dan DAK terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemkab/Pemko di Provinsi Sumatera Utara Variabel dependen: Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Variabel independen: Rasio Efektivitas PAD dan DAU Variabel dependen: Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Variabel independen: Rasio Efektivitas PAD, DAU, dan DAK 1. Secara parsial, hanya DAU yang berpengaruh secara signifikan 2. Secara simultan, Rasio Efektivitas PAD dan DAU berpengaruh secara signifikan 1. Secara parsial, Rasio efektivitas PAD berpengaruh secara signifikan positif 2. Secara parsial, DAU dan DAK berpengaruh secara signifikan negatif 3. Secara simultan, Rasio Efektivitas PAD, DAU dan DAK berpengaruh secara signifikan positif C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual Berdasarkan Latar Belakang Masalah, kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen Variabel Dependen Rasio Efektivitas PAD (X1) Dana Bagi Hasil (X2) Dana Alokasi Umum (X3) Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah (Y) Dana Alokasi Khusus (X4) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Penelitian ini merupakan suatu kajian yang berangkat dari berbagai konsep teori dan kajian penelitian yang mendahuluinya. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang daerah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah di dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahannya, baik dalam bidang politik, sosial maupun ekonomi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan dalam menggali sumber keuangannya sendiri dan membiayai sendiri segala kegiatan daerahnya. Pembiayaan tersebut diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah yang didukung pula oleh dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah setara antara Propinsi dan Kabupaten/ Kota. Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan ini berpengaruh terhadap Tingkat Kemandirian Daerah. Semakin efektif Pemerintah Daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah, maka akan memperbesar atau meningkatkan jumlah Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh. Jika jumlah Pendapatan Asli Daerah cukup besar maka diharapkan akan dapat menurunkan atau bahkan menutupi jumlah Dana Perimbangan yang diperoleh dari Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Pusat tidak perlu lagi mengalokasikan dana kepada Pemerintah Daerah. Dan hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada kemandirian daerah. 2. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara parsial dan simultan

terhadap tingkat kemandirian keuangan pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.