BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan tanaman paling penting keempat di dunia setelah padi, jagung dan gandum (FAO, 2014). Permintaan ekspor pisang dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011-2012, impor komoditi pisang oleh negara-negara pengimpor utama seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Jepang dan China menunjukkan angka 17.000.000 ton dan diperkirakan akan mencapai 20.000.000 ton pada tahun 2019 (FAO, 2014). Di Indonesia, pisang termasuk komoditas ekspor unggulan utama yang jumlah produksinya masih mendominasi jumlah produksi buah nasional. Produksi pisang pada tahun 2009 mencapai 6.373.533 ton (BPS, 2012). Jumlah ini dapat terus ditingkatkan mengingat masih luasnya lahan potensial untuk pengembangan tanaman pisang di luar pulau Jawa seperti Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua dan Maluku (Departemen Pertanian, 2014). Tetapi dalam pelaksanaannya, upaya peningkatan produksi pisang ini mengalami berbagai kendala, salah satunya adalah gangguan penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc). Gangguan yang disebabkan oleh penyakit ini menyebabkan terjadinya penurunan volume ekspor pisang Indonesia secara signifikan dari 1.969 ton pada tahun 2008 menjadi 700 ton pada tahun 2009 (Departemen Pertanian, 2014). 1
Penyakit layu fusarium merupakan penyakit tanaman pisang yang paling berbahaya dan mengancam industri pisang dunia (Visser, 2010). Di Indonesia, Nasir et al. (2005), Departemen Pertanian (2014) melaporkan bahwa penyakit layu fusarium telah merusak ribuan hektar areal pertanaman pisang baik perkebunan pisang komersial maupun perkebunan pisang rakyat. Tanaman pisang yang terinfeksi Foc akan menunjukkan gejala khas berupa nekrosis kecoklatan pada jaringan pembuluh serta gejala eksternal berupa menguningnya pinggiran daun dimulai dari daun yang lebih tua dan diikuti oleh daun yang muda secara bertahap hingga semua daun layu, mengering dan mati. Selain itu, batang semu kadang-kadang mengalami pecah memanjang sebagai akibat rusaknya jaringan oleh infeksi Foc (Ploetz and pegg, 2000; Melodi, 2012). Teknik pengendalian penyakit layu fusarium yang telah dilakukan seperti penggunaan kultivar tahan, rotasi tanaman, fumigasi tanah dan penggunaan fungisida masih belum efektif dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sehingga diperlukan teknik pengendalian lain yang lebih efektif, ramah lingkungan dan tidak mahal. Pengendalian hayati dengan menambahkan mikroorganisme yang menguntungkan dan bahan organik ke dalam tanah dilakukan sebagai salah satu cara untuk menekan perkembangan penyakit layu fusarium (Rustati et al., 2004; Harish et al., 2009). Bahan organik yang ditambahkan menyediakan sumber nutrisi untuk mikroba tanah sehingga dapat bertahan lebih lama di dalam tanah dan mampu membentuk koloni (Borero et al., 2006; El Hasan and Gowen, 2006; 2
Trillas et al., 2006; Wu et a.l, 2008; Zhang et al., 2008; Luo et al,. 2010; Zhang et al., 2011; Ling et al., 2012). Kitosan sebagai salah satu bahan organik yang melimpah di alam mempunyai kemampuan mengatur sistem imun dan menginduksi ekskresi enzim-enzim ketahanan pada tanaman. Selain itu kitosan juga dapat menjadi sumber karbon bagi mikroba tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan mikroba penghasil enzim kitinolitik (Barber et al., 1989; Berger et al., 2013). Bakteri kitinolitik adalah bakteri yang mampu memproduksi enzim kitinolitik untuk mengurai kitin. Enzim kitinolitik yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pengendalian patogen tular tanah khususnya jamur karena kemampuannya mendegradasi dinding sel jamur yang komponen utamanya tersususun oleh kitin (Gracia, 1968; Chet 1987). Bacillus dan Pseudomonas merupakan genus bakteri kitinolitik yang paling banyak dijumpai di rhizosfer tanaman dan berperan sebagai agens pengendali hayati untuk patogen tanaman (Kildea et al., 2008; Yang et al., 2008; Saidi et al., 2009). Bakteri ini dilaporkan dapat menekan perkembangan penyakit layu pada tanaman tomat (Guo et al., 2004), cabe (Chae et al., 2006), melon (Zhao et al., 2011), strawberry (Fang et al., 2012). Mengingat besarnya potensi pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai agens pengendali hayati untuk penyakit yang disebabkan oleh jamur patogen tular tanah, maka perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi potensi bakteri kitinolitik yang 3
hidup di rhizosfer tanaman pisang untuk mendapatkan isolat-isolat yang mampu menekan perkembangan penyakit layu fusarium pada tanaman pisang. B. Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat bakteri kitinolitik pada perlakuan yang mampu menekan perkembangan penyakit layu fusarium? 2. Apakah bakteri kitinolitik dapat menghambat pertumbuhan Foc secara in vitro? C. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan bakteri kitinolitik dari perlakuan yang mampu menekan perkembangan penyakit layu fusarium. 2. Mengetahui mekanisme penghambatan bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan Foc secara in vitro. 3. Melakukan identifikasi secara molekuler terhadap bakteri kitinolitik yang mampu menghambat pertumbuhan Foc. 4
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang dengan memanfaatkan limbah cangkang udang dan kepiting (bahan baku pembuatan kitosan) untuk penanggulangan limbah tersebut, serta mendapatkan isolat bakteri kitinolitik yang bersifat antagonistik terhadap Foc dan mampu menekan perkembangan penyakit layu fusarium. 5