Damianus Journal of Medicine; Vol.14 No.3 2015: hlm. 223-230 ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT KAKI GAJAH COMMUNITY PARTICIPATION FOR ELEPHANTIASIS PREVENTION Risqa Novita Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat 10560 Korespondensi: Risqa Novita. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan RI.Email: risqa@ litbang.depkes.go.id ABSTRACT Elephantiasis is a zoonotic disease transmitted from animals and humans. The main source is round worms, such as Filaria wucherina bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. Symptoms of elephantiasis are acute, chronic, and nonspecific that the reporting of cases are very rare. The purposes of this review is to improve public knowledge about elephantiasis because very necessary in order to carry out a series of preventive, it aims to achieve optimal public health. The study was a review from literature in Google and Pubmed, with keywords are elephantiasis, medicine for elephantiasis, and neglected diseases. Elephantiasis is a disease that occurs in tropical and subtropical countries and is still a public health problem in developing countries, especially in Southeast Asia and Africa region, including Indonesia. Elephantiasis is a serious challenge for public health, because Indonesia has second highest elephantiasis cases in the entire world after India. Elephantiasis is a disease caused by poor sanitation, often attack in people who have high levels of economy and low education. Community participation in the program Elephantiasis elimination is very important that the eradication of the target and the target is reached; the community must be involved actively to participate in the activities of eradication. Key Words: elephantiasis, neglected disease, zoonotic ABSTRAK Kaki gajah adalah penyakit menular yang ditularkan dari hewan ke manusia. Sumber utama penularan kaki gajah adalah cacing berbentuk bulat yang memiliki nama Filaria wucherina bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Gejala kaki gajah adalah akut, kronis, dan tidak spesifik adalah gejala yang sangat jarang. Tujuan penulisan ini untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kaki gajah yang sangat penting sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit ini, agar dapat mencapai kesehatan masyarakat yang optimal. Tulisan ini merupakan review literature dari Google dan Pubmed, dengan memakai kata kunci penyakit kaki gajah, pengobatan untuk kaki gajah, dan penyakit terabaikan. Kaki gajah adalah penyakit yang terjadi di negara tropis dan subtropis, serta masih menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang, terutama di daerah Asia Tenggara dan Afrika, termasuk Indonesia. Kaki gajah merupakan tantangan serius bagi kesehatan masyarakat karena Indonesia menduduki peringkat kedua kasus 223 Vol. 14, No. 3, 2015
DAMIANUS Journal of Medicine Kaki gajah terbanyak, setelah India. Kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan karena sanitasi rendah, seringkali menyerang masyarakat yang memiliki taraf ekonomi dan pendidikan yang rendah. Partisipasi masyarakat dalam program eliminasi Kaki gajah sangat penting untuk mendapatkan penderita kaki gajah dan menyembuhkannya. Kata Kunci: kaki gajah, penyakit yang terbaikan, penyakit menular dari binatang PENDAHULUAN Penyakit kaki gajah merupakan penyakit yang ditularkan dari cacing ke manusia, yaitu cacing gelang genus Filaria wucherina bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Di Indonesia, penyebab terbanyak kaki gajah adalah Brugia malayi. Di Indonesia, hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah. Culex adalah nyamuk di rumah, sehingga penyakit ini harus kita waspadai mengingat vektor penyakit berada dekat di lingkungan kita. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva akan ditularkan ke orang pada saat nyamuk yang terinfeksi menghisap darah orang tersebut. 2,3 Penderita kaki gajah seringkali tidak mengetahui jika sudah terinfeksi oleh cacing filaria karena pada stadium awal penyakit, gejala klinis belum terlihat nyata hanya berupa demam, kulit kaki kemerahan, dan gatal pada kaki. Gejala klinis yang bersifat umum ini seringkali tidak diartikan serius oleh penderita, apalagi definisi sakit menurut persepsi masyarakat jika sudah tidakmampu melakukan pekerjaan sehari-hari, baru mendatangi fasilitas kesehatan terdekat. Kaki gajah bersifat kronis, bila tidak mendapatkan pengobatan segera dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin, baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya, penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat, dan negara. 4,5 METODE Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui internet dengan perambah Google dan PubMed. Penelusuran menggunakan kata kunci kaki gajah. Kepustakaan diambil dari unduhan jurnal gratis dan laman situs kesehatan internasional, seperti World Health Organization (WHO). Kriteria inklusi rujukan adalah semua artikel dan teks mengenai kaki gajah secara umum dengan total referensi kira-kira sebanyak 20 buah. Pemilahan kepustakaan lalu difokuskan pada kasus kaki gajah di Indonesia. Setelah melalui penelusuran melalui sistematika di atas, terpilih referensi yang diambil sebagai acuan penulisan ini yang mencakup artikel ulasan penelitian, artikel tinjauan pustaka, dan 3 laman berisi artikel ilmiah PEMBAHASAN Berdasarkan penelusuran kepustakaan, data dari WHO 60% kasus kaki gajah berada di Asia 224 Vol. 14, No. 3, 2015
Peran serta masyarakat terhadap penanggulangan penyakit kaki gajah Tenggara, termasuk Indonesia. Di seluruh dunia, tercatat kaki gajah menginfeksi lebih dari 120 juta orang dengan sepertiganya mengalami kecacatan, berdampak psikososial, serta finansial yang besar bagi penderita dan keluarganya. 1 Kaki gajah merupakan tantangan yang cukup serius bagi kesehatan masyarakat, karena Indonesia menduduki urutan kedua kasus kaki gajah terbanyak se-dunia setelah India. Kaki gajah merupakan penyakit akibat sanitasi lingkungan yang kurang baik, sosio-ekonomi rendah, dan pendidikan yang rendah. 1,2 Di Indonesia, diperkirakan 132 juta penduduk Indonesia berisiko terhadap penularan kaki gajah karena merupakan penyakit endemis di Indonesia. Kasus ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia di 337 kabupaten/kota dan diperkirakan prevalensi kaki gajah sebanyak 19%, yang berarti penyakit ini menyerang 40 juta penduduk. Prevalensi cukup tinggi terdapat di wilayah Maluku, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluru Utara. 1 Siklus hidup kaki gajah melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk sebagai vektor dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia sebagai hospes dan reservoir. Gambar 1. Siklus Hidup Cacing Filaria 7 Vol. 14, No. 3, 2015 225
DAMIANUS Journal of Medicine Gambar 2. Penderita Kaki Gajah Mengalami Kebengkakan di kaki 9 Seseorang dapat terinfeksi kaki gajah apabila digigit nyamuk yang mengandung larva stadium 3. 2 Kaki gajah disebarkan oleh nyamuk yang membawa mikrofilaria dari cacing betina ke peredaran darah manusia. Mikrofilaria tersebut akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang hidup di kelenjar getah bening dan merusak saluran kelenjar, sehingga terjadi gangguan peredaran cairan getah bening. Sistem getah bening ini juga merupakan sistem pertahanan tubuh karena berfungsi sebagai transportasi kuman-kuman yang berhasil dilemahkan di organ-organ tubuh, sehingga pada penderita kaki gajah juga terjadi gangguan pertahanan tubuh. (Gambar 1) 3,4 Gejala klinis kaki gajah terdapat dalam 3 bentuk, yaitu: asimtomatik, akut, dan kronis. Pada umumnya kaki gajah bersifat asimtomatik, terutama di daerah endemis, sehingga deteksi dan pengobatan kaki gajah sulit. Kerusakan pada saluran kelenjar getah bening yang mengganggu sistem kelenjar getah bening akan menyebabkan rasa nyeri, demam, nyeri kepala, muntah, kurang nafsu makan, dan pembengkakan kelenjar, terutama di lipatan paha. Sumbatan pada saluran ini akan menyebabkan pembengkakan tungkai penderita yang disebut sebagai elephantiasis atau kaki gajah. Selain itu, pada tungkai yang bengkak akan mengalami penebalan jaringan kulit, serta terganggunya sistem kekebalan tubuh sehingga kulit juga terinfeksi oleh kuman, dan menyebabkan kecacatan. Kecacatan ini menyebabkan penderita kaki gajah mendapatkan stigma sosial dan kesulitan ekonomi untuk mencari pekerjaan. 5-8 Gejala kaki gajah akut adalah demam berulangulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat; pembengkakan kelenjar getah bening di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit, radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan 226 Vol. 14, No. 3, 2015
Peran serta masyarakat terhadap penanggulangan penyakit kaki gajah kearah ujung (retrograde lymphangitis); filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejala klinis kaki gajah kronis berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). (Gambar 2) 7-9 Pengobatan penderita kaki gajah ditujukan untuk membasmi larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi. Dietilkarbamasin (DEC) adalah obat kaki gajah yang ampuh untuk kaki gajah, tergolong murah, aman, dan tidak memiliki resistensi obat. Namun, pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan harus memerlukan langkah lanjutan, seperti tindakan operasi. 7 Terdapat dua macam obat yang wajib diminum di daerah endemis, yaitu Diethylcarbamazine citrate (DEC) dan Albendazole. Albendazole mempunyai khasiat membunuh cacing serta menghancurkan telur dan larva cacing. Efek antelmintik Albendazole dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing, sehingga produksi Adenosine Trifosfat (ATP) sebagai sumber energi untuk mempertahankan hidup cacing berkurang. Hal ini mengakibatkan kematian cacing karena kurangnya energi untuk mempertahankan hidup. Kedua obat ini paling ampuh bila diminum di malam hari, karena cacing kaki gajah aktif keluar mencari makan di tengah malam. 5 Dosis tunggal DEC per oral adalah 6 mg/kg BB efektif untuk infeksi W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori. Cara ini praktis untuk terapi massal karena cukup menelan obat satu kali di depan petugas sehingga tidak ada masalah kepatuhan. DEC dan albendazol dosis tunggal bermanfaat untuk terapi kaki gajah massal daerah endemis. 8 Pengobatan kaki gajah pada daerah endemis diberikan pada semua orang kecuali anak-anak di bawah umur 2 tahun, wanita hamil, dan seseorang memiliki kasus penyakit lain yang cukup berat. Pengobatan kaki gajah di daerah endemis dengan angka lebih besar dari 1%, dapat dicegah penularannya dengan program Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) Kaki gajah setahun sekali, selama minimal lima tahun berturut-turut. Penyebaran kasus dengan manifestasi kronis kaki gajah di 401 kabupaten/kota dapat dicegah dan dibatasi dampak kecacatannnya dengan penatalaksanaan kasus klinis. Minimal 85% dari penduduk berisiko tertular kaki gajah di daerah yang teridentifikasi endemis kaki gajah harus mendapat POMP Kaki gajah. 5,9,10 Keberhasilan pengobatan sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam darah serta frekuensi gejala hipersensitivitas yang ditimbulkan akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Albendazole juga mampu menunjukan reaksi efikasi yang baik, Albendazol menunjukkan sifat teratogenik embriotoksis pada percobaan dengan hewan, sehingga obat ini tidak boleh diberikan pada wanita yang sedang men- Vol. 14, No. 3, 2015 227
DAMIANUS Journal of Medicine gandung. 5 Kaki gajah lebih mudah dikendalikan dibanding malaria karena jumlah larva infektif stadium 3 yang dibawa oleh nyamuk ke tubuh calon penderita dalam jumlah sedikit. Selain itu, penyakit membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 4-5 tahun untuk berkembang menjadi cacing dewasa, sehingga dalam kurun waktu itu dapat dilakukan pengobatan segera agar efektif memutus daur hidup cacing. 10,11 Pencegahan terhadap kaki gajah dapat dilakukan sedini mungkin dengan cara: 1) berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk penular melalui menjaga kebersihan badan yang dapat dilakukan dengan mandi minimal dua kali dalam sehari, menjaga kebersihan pakaian yang dipakai, dan rajin mencuci tangan dengan sabun; 2) membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan, atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk; 3) membersihkan semak-semak disekitar rumah. 12,13 Penentuan endemisitas kaki gajah di kabupaten/ kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1) Kabupaten/kota yang memiliki kasus klinis kaki gajah melaksanakan survei mikrofilaria (survei darah jari) di desa dengan jumlah kasus klinis kaki gajah terbanyak. Microfilaria rate (Mf rate) 1% atau lebih merupakan indikator sebagai kabupaten/kota endemis kaki gajah; 2) Kabupaten/kota yang terdapat kasus klinis kaki gajah, berdekatan atau berada di antara dua daerah endemis kaki gajah, dan memiliki geografi serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama dengan daerah; 3) Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan keputusan gubernur. Daerah yang memiliki angka Mf rate tinggi berarti di daerah tersebut banyak ditemukan penduduk yang mengandung mikrofilaria di dalam darah. Semakin tinggi Mf rate, maka semakin tinggi risiko penularan kaki gajah. 5,12,14 Melihat masih tingginya kasus dan dampaknya yang menyebabkan kecacatan penderita kaki gajah, pemberantasan penyakit ini menjadi prioritas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2020, diharapkan kaki gajah dapat dieliminasi sebagai salah satu masalah kesehatan. Hal ini dilakukan dengan pelaksanaan pengobatan massal kaki gajah menggunakan obat setahun sekali untuk memutus penularan kaki gajah.14 Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kaki gajah dan manfaat pengobatan massal guna menaikkan cakupan makan obat pada penduduk penting dilakukan. Peningkatan tersebut akan menyebabkan keberhasilan program eliminasi kaki gajah. 15 Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah penyakit kaki gajah, yaitu: 1) berusaha menghindarkan diri dari nyamuk vektor dengan cara menggunakan kelambu sewaktu tidur; 2) menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk; 3) menggunakan obat nyamuk semprot atau bakar; 4) mengoleskan kulit dengan lotion antinyamuk; 5) memberantas jentik-jentik nyamuk dengan cara menguras bak air di rumah; 6) menimbun, mengeringkan, atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk; 7) bagi penderita penyakit kaki gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan ke dokter dan mendapatkan penanganan obatobatan, sehingga tidak menyebarkan penularan kepada masyarakat lainnya. 16-19 228 Vol. 14, No. 3, 2015
Peran serta masyarakat terhadap penanggulangan penyakit kaki gajah Contoh dari pengelolaan lingkungan yang benar adalah perubahan rawa menjadi lahan pertanian sehingga mengurangi tempat perindukan nyamuk; atau membersihkan batang-batang air dari tumbuh-tumbuhan air, seperti Echorrtia crassipes dan Pistia, kangkung, serta rumputrumput yang juga mengurangi tempat perindukan nyamuk. Pembuatan kolam ikan di dekat rumah yang diberi tumbuh-tumbuhan air juga mendekatkan tempat perindukan nyamuk pada pemukiman. 20-21 KESIMPULAN Lingkungan merupakan faktor terbesar yang memengaruhi status kesehatan seseorang karena manusia hidup dalam lingkungan tersebut. Selain itu, peran serta masyarakat dalam program eliminasi kaki gajah sangat penting agar target dan sasaran pemberantasan tercapai, masyarakat harus dilibatkan secara aktif untuk ikut berperan dalam kegiatan pemberantasan. Kemungkinan besar upaya penanggulangan yang disertai peran serta masyarakat akan mencapai hasil yang diharapkan, yaitu menurunnya prevalensi penyakit sampai titik yang tidak membahayakan. DAFTAR PUSTAKA 1. Subdit Filariasis, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Laporan Kasus Klinis Kaki gajah di Indonesia tahun 2000-2009. Jakarta: Kemenkes RI; 2009 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana nasional program akselerasi eliminasi filariasis di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010. 3. World Health Organization (WHO). Regional Strategic Plan for Elimination of Lymphatic Kaki gajah (2004-2007). New Delhi: World Health Organization (WHO); 2004. Available from: http://apps.searo.who.int/pds_docs/ B0207.pdf. 4. World Health Organization (WHO). FAQs on lympathic filariasis (elephantiasis).. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. 4th ed. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. p.1789-92. 5. Subdit Filariasis, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Laporan Pemberian Obat Masal Pencegahan (POMP) Filariasis di Indonesia tahun 2000-2009. Jakarta: Kemenkes RI; 2009. 6. Krentel A, Fischer P, Manoempil P, Supali T, Servais G, Rückert P. Using knowledge, attitudes and practice (KAP) surveys on lymphatic filariasis to prepare a health promotion campaign for mass drug administration in Alor District, Indonesia. Trop Med Int Health. 2006;11(11):1731-40. 7. Wahyono TYM. Epidemiologi deskriptif Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2010; 1: 1-9. 8. Tuti S, Hasugian AR, Ekowatiningsih R. Masalah filariasis di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bul Penelit Kesehat. 2007;37(4):169-79. Available from: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index. Vol. 14, No. 3, 2015 229
DAMIANUS Journal of Medicine php/bpk/article/viewfile/2184/1096. 9. World Health Organization. The Global Goal of Elimination of Lymphatic Fiiariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Geneva: WHO; 2000. 10. Shenoy RK, Dalia S, John A, Suma TK, Kumaraswami V. 1999. Treatment of the microfilaraemia and asymptomatic brugia filariasis with single doses of ivermectin, diethylcarbamazine or albendazole, in various combinations. Ann Trop Med Parasitol. 1999;93(6):643 51. 11. Bockarie MJ, Tisch DJ, Kastens W, Alexander ND, Dimber Z, Bockarie F, et al. Mass treatment to eliminate filariasis in Papua New Guinea. N Engl J Med. 2002;347(23):1841-8. 12. Dinas Kesehatan Kabupaten Alor. Laporan evaluasi program eliminasi filariasis tahun 2006. Alor, NTT: Dinkes Kabupaten Alor; 2006. 13. Slamet JS. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press; 2009. 14. Chin J. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. 17th ed. Terjemahan: Kandun IN, editor. 2000. Available from: http://nyomankandun.tripod.com/sitebuildercontent/ sitebuilderfiles/manual_p2m.pdf. 15. McMichael AJ, Campbell-Lendrum DH, Corvalan CF, Ebi KL, Githeko AK, Scheraga JD, et al. Climate Change and Human Health, Risk and Responses. Geneva: WHO; 2003. 16. Wisner B, Adams J. Environmental Health in Emergencies and Disaster. Geneva: WHO; 2002. 17. Maryani L, Maulani R. Epidemiologi Kesehatan: Pendekatan Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2010. 18. Kovats RS, Menne B, McMichael AJ, Corvalan C, Bertollini R. Climate Change and Human Health: Impact and Adaption. Geneva: WHO; 2000. Available from: http://whqlibdoc. who.int/hq/2000/who_sde_oeh_00.4.pdf. 19. Wardana WA. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi; 2004. 20. Abelsohn A, Stieb DM. Health effects of outdoor air pollution: approach to counseling patients using the Air Quality Health Index. Can Fam Physician. 2011;57(8):881-7, e280-7. 21. Chen H, Goldberg MS. The effects of outdoor air pollution on chronic illnesses. Mcgill J Med. 2009;12(1):58-64. 230 Vol. 14, No. 3, 2015