1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara menyeluruh (holistik), bermakna, autentik, dan aktif (Allson dalam PMP IPA, 2014). Pada kurikulum IPA, pembelajaran harus berorientasi pada kemampuan aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, rasa ingin tahu, pengembangan sikap peduli dan bertanggungjawab terhadap lingkungan sosial dan alam. Siswa diarahkan untuk berinkuiri sehingga memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Inkuiri telah dianggap sebagai strategi penting dan efisien untuk memajukan pembelajaran sains. Inkuiri memfasilitasi siswa belajar, bekerja dan mengajukan pertanyaan dengan lebih baik dari pada pendekatan laboratorium tradisional (Hofstein, Navon, Kipnis & Mamlok-Naaman, 2005 ). Namun kenyataannya siswa masih memiliki masalah substansial mengenai penalaran ilmiah dalam inkuiri, seperti kesulitan dalam menyatakan suatu hipotesis yang dapat diuji, memilih variabel yang tepat, menentukan hubungan antar variabel, merancang percobaan untuk menguji dan meyakinkan hipotesis, menarik kesimpulan yang benar dari percobaan, menghubungkan data eksperimen dengan hipotesis, dan menafsirkan hasil dengan teori yang tepat (De Jong & Van Jollingen, 1998 ). Dengan demikian, inkuiri yang seharusnya mendorong penalaran ilmiah siswa sebagai salah satu tujuan utama dari 1
2 pendidikan sains tidak terpenuhi. (American Association for the Advancement of Science, 1993, National Research Council (NRC), 1996 ). Penalaran ilmiah penting bagi ilmu pengetahuan, namun penelitian Koslowski (1996) menunjukkan bahwa banyak langkah dalam inkuiri yang ditujukkan untuk penalaran ilmiah tidak mencerminkan atribut inti dari penalaran ilmiah itu sendiri. Dengan demikian, penalaran ilmiah harus dikembangkan pada siswa melalui latihan penalaran ilmiah dalam jangka waktu yang lebih panjang dan pendekatan inkuiri yang lebih tepat. (Chinn & Malhotra, 2002 ). National Science Teacher Association & Association for the Education of Teacher in Science/ NSTA &AETS (1998) menyatakan inkuiri sebagai pengembangan dan penggunaan higher order thinking. Keterampilan berpikir kritis termasuk ke dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi yang berkaitan dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisis dan memecahkan masalah secara kreatif dan berpikir logis untuk menghasilkan pertimbangan dan keputusan yang tepat, sehingga keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan dengan inkuiri. Keterampilan berpikir kritis bukan merupakan suatu keterampilan yang dapat berkembang dengan sendirinya seiring dengan perkembangan fisik manusia. Keterampilan ini harus dilatih melalui pemberian stimulus yang menuntut seseorang untuk berpikir kritis. Sekolah sebagai suatu institusi penyelenggara pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membantu siswanya mengembangkan keterampilan berpikir kritis (Rustaman,dkk, 2007) Pengembangan penalaran ilmiah dan berpikir kritis sesuai dengan tujuan mata pelajaran dalam kurikulum IPA yaitu: Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip IPA untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. (PMP IPA, 2014). Mengingat pentingnya kedua keterampilan tersebut, maka sudah seyogyanya pembelajaran IPA di sekolah dikelola sedemikian rupa sehingga mampu memfasilitasi
3 peserta didik untuk mengembangkan penalaran ilmiah dan berpikir kritis pada konsep yang dipelajarinya. Berdasarkan hasil pengamatan langsung di salah satu SMP di Kota Bandung, dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran IPA untuk mengembangkan penalaran ilmiah dan berpikir kritis kurang tercapai. Hal ini didasarkan pada beberapa temuan berikut ini: 1. Hasil wawancara, yang dilakukan dengan salah satu guru IPA menyatakan bahwa pembelajaran di kelas belum berbasis inkuiri secara menyeluruh karena masih jarang dilakukan eksperimen, selain itu terdapat kesulitan dalam mengembangkan penalaran ilmiah dan berpikir kritis karena tipe soal yang digunakanpun masih berbentuk hafalan dan hitungan, tanpa pernah mencoba menggunakan tes terstandar, sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir tingkat tinggi dan cenderung hanya menghafalkan rumus-rumus. Sesekali dilakukan inkuiri dalam pembelajaran namun tidak melibatkan siswa secara penuh dalam penyelidikan ilmiah dan merencanakan suatu percobaan. Padahal penyelidikan ilmiah dan konten pengetahuan saling berhubungan untuk mendasari pengembangan berpikir ilmiah (Lampiran 3.13). 2. Hasil observasi, yang dilakukan di sekolah yang sama menunjukan bahwa pembelajaran belum memfasilitasi pengembangan berpikir tingkat tinggi, baik itu penalaran ilmiah maupun berpikir kritis. Hasil observasi mengenai pembelajaran di sekolah tersebut menunjukkan beberapa hal berikut ini: a. Tidak memfasilitasi pengembangan penalaran ilmiah terlihat karena selama pembelajaran belum menekankan pada keterampilan siswa berargumen sehingga siswa kurang mampu mengungkapkan gagasan atau ide yang dimilikinya. Selain itu pembelajaran berfokus pada penyampaian materi secara verbal kemudian menuliskan hal-hal yang dianggap penting di papan tulis. Meskipun terkadang terdapat tanya jawab dalam kegiatan pembelajaran, namun hanya beberapa siswa saja yang terlibat secara aktif. Selain itu, pada kegiatan pembelajaran jarang mengaitkan materi yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-
4 hari, sehingga siswa tidak dapat mengembangkan keterampilan yang dapat digunakan di luar kelas, seperti pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. (Lampiran 3.15) b. Tidak memfasilitasi pengembangan penalaran ilmiah terlihat karena pada umumnya pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah. Pembelajaran seperti ini kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran (teacher center) sehingga siswa hanya menerima pengetahuan yang sudah jadi yang disampaikan terlebih dahulu tanpa membangun pengetahuan itu sendiri (Lampiran 3.15). Hal ini menyebabkan siswa hanya mempelajari IPA pada domain kognitif yang rendah sehingga tidak dibiasakan untuk mengembangkan potensi berpikirnya, termasuk potensi berpikir kritis. Eggen dan June Main (2001) mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran IPA, dengan asumsi proses pembelajaran berdasar pada prinsip pembelajaran aktif. Berdasarkan hasil studi pendahuluan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran belum dapat memfasilitasi pengembangan penalaran ilmiah dan berpikir kritis terutama dalam melatihkan dan mengukurnya dengan tepat. Hal ini menyebabkan siswa belum mampu mengkonstruksi pengetahuannya secara mandiri, sehingga pengetahuan siswa kurang bermakna. Padahal seharusnya, ketika siswa mengontruksi pengetahuannya sendiri, maka pembelajaran akan lebih bermakna dan dapat diingat dalam jangka panjang. Selain itu siswa hanya mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan mengenai materi yang diajarkan tanpa mampu menghubungkannya dengan penerapan materi tersebut. Hal ini yang menyebabkan rendahnya kemampuan siswa bernalar ilmiah dan berpikir kritis. Esensi dari reformasi pendidikan IPA saat ini adalah pergeseran dari pengajaran tradisional, keterampilan berpikir tingkat rendah algoritmik ke pembelajaran yang memacu keterampilan berpikir tingkat tinggi diantaranya penalaran dan berpikir kritis (Rustaman,dkk. 2007). Alternatif solusi yang dipandang dapat mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan model inkuiri. Sudah banyak guru yang menerapkan berbagai jenis
5 pendekatan inkuiri seperti discovery learning, guided inquiry, ataupun free inquiry di dalam pembelajaran IPA. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa guru tersebut sekedar menerapkannya tanpa disertai adanya pemahaman yang komprehensif dalam menggunakannya (Wenning, 2010, hal 11). Akibatnya banyak pendekatan inkuiri di sekolah yang diterapkan secara terputus-putus (disconnected process), prosesnya tidak sistematis (random inquiry processes) dan seringkali gagal melatihkan intellectual processes skills yang berguna untuk mengembangkan pemahaman siswa (Wenning 2010, hlm 10). Wenning (2014) menyatakan bahwa penalaran ilmiah dan berpikir kritis termasuk ke dalam intellectual processes skill, sehingga keduanya harus dilatihkan dengan inkuiri yang sistematis dan komprehensif yaitu dengan model pembelajaran levels of inquiry. Levels of inquiry models merupakan unipolar rangkaian inkuiri yang terdiri atas enam tingkatan diawali dengan tingkat dasar hingga tingkat paling tinggi. Tingkatan tersebut adalah discovery learning, interactive demonstrative, inquiry lesson,inquiry lab, real-world application dan hypothetical inquiry. (Wenning 2005). Keenam tingkatan tersebut diurutkan berdasarkan kemampuan intelektual siswa dan pihak pengontrol. Semakin tinggi tingkat inkuiri semakin tinggi pula kemampuan intelektualnya. Wenning (2005) menjelaskan bahwa inkuiri yang dilakukan secara sistematis berdampak pada proses transfer pengetahuan yang berjalan dengan lebih efektif. Materi yang dikaji dalam penelitian ini adalah materi ajar gerak, materi ini dipilih karena materi gerak merupakan materi sederhana dan tidak sulit untuk dipelajari. Tetapi pada kenyataannya siswa teradang mengalami kesulitan memahami materi gerak dengan baik. Hal ini dengan banyaknya konsep dan contoh-contoh pada materi gerak yang dipelajari siswa hanya berupa hafalan bukan dipelajari secara bermakna. Selain itu, materi ini dipilih karena masih memungkinkan untuk dilakukannya eksperimen secara langsung oleh siswa dengan menggunakan alat-alat sederhana dan tidak membahayakan, sehingga pembelajaran levels of inquiry yang
6 menekankan kegiatan eksperimen masih dapat dilakukan. Materi ini juga memiliki aplikasi yang cukup banyak dalam kehidupan sehari-hari, seperti kereta api bergerak di rel yang lurus, gerak suatu benda menggunakan ticker timer, gerak jatuh bebas, gerak seorang penerjun payung, gerak mobil dalam balapan dan lain sebagainya sehingga diharapkan siswa mendapat manfaat belajar yang lebih bermakna. Penelitian levels of inquiry yang berhubungan dengan penalaran ilmiah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dalam pembelajaran fisika, yaitu Lestari (2014) yang menyatakan bahwa levels of inquiry memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan penalaran ilmiah, baik pada tinjauan setiap aspek maupun keseluruhan. Selain itu, Maryanti (2014) manyatakan bahwa levels of inquiry dapat meningkatkan penalaran ilmiah siswa pada materi kalor. Jing Han (2013) menyebutkan bahwa penalaran ilmiah dapat dikembangkan dengan inkuiri ilmiah. Selain itu, Hidayat (2012) mengungkapkan levels of inquiry-interactive demonstration dapat dijadikan salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Beberapa penelitian di atas hanya berhasil dalam pembelajaran fisika dan belum melakukan penelitian mengenai levels of inquiry pada pembelajaran IPA terpadu. Selain itu, variabel yang diteliti pun belum ada yang menggunakan penalaran ilmiah dan berpikir kritis yang termasuk ke dalam intellectual processes skills. Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui pengembangan penalaran ilmiah dan berpikir kritis pada pembelajaran IPA terpadu dengan menggunakan model levels of inquiry. Penelitian ini merupakan penelitian weak experiment yang memberikan perlakuan hanya pada satu kelas tanpa adanya kelas pembanding.
7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah dalam penelitan ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana pengembangan penalaran ilmiah dan keterampilan berfikir kritis siswa SMP pada pembelajaran IPA terpadu dengan menggunakan model levels of inquiry?. Untuk mempermudah pengkajian terhadap masalah yang diteliti, maka rumusan masalah di atas dirinci menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kemampuan penalaran ilmiah siswa SMP kelas VII pada pembelajaran IPA dengan menggunakan model levels of inquiry pada pokok bahasan gerak? 2. Bagaimanakah keterampilan berpikir kritis siswa SMP kelas VII pada pembelajaran IPA dengan menggunakan model levels of inquiry pada pokok bahasan gerak? 3. Bagaimanakan tanggapan siswa terhadap model pembelajaran levels of inquiry yang diterapkan di kelasnya? 4. Bagaimanakan tanggapan guru terhadap model pembelajaran levels of inquiry yang diterapkan di kelasnya? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini secara umum ditunjukkan untuk mengetahui pengembangan penalaran ilmiah dan keterampilan berfikir kritis siswa SMP pada pembelajaran IPA terpadu dengan menggunakan model levels of inquiry. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
8 1. Mengetahui kemampuan penalaran ilmiah siswa SMP kelas VII pada pembelajaran IPA dengan menggunakan model levels of inquiry pada pokok bahasan gerak. 2. Mengetahui keterampilan berpikir kritis siswa SMP kelas VII pada pembelajaran IPA dengan menggunakan model levels of inquiry pada pokok bahasan gerak pada pembelajaran IPA dengan menggunakan model levels of inquiry pada pokok bahasan gerak. 3. Mendapatkan gambaran tanggapan siswa terhadap model pembelajaran levels of inquiry yang diterapkan di kelasnya. 4. Mendapatkan gambaran tanggapan guru terhadap model pembelajaran levels of inquiry yang diterapkan di kelasnya. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi siswa, guru, sekolah maupun institusi lainnya. 1. Bagi siswa, melalui penelitian ini,diharapkan penalaran ilmiah dan berpikir kritis siswa dapat berkembang secara optimal. 2. Bagi guru, memberikan informasi untuk menambah pengetahuan mengenai model pembelajaran untuk mengembangkan penalaran ilmiah dan keterampilan berpikir kritis, baik untuk materi yang sama maupun yang materi lainnya. 3. Bagi sekolah, penelitian ini dapat menjadi sumber rujukan dalam penentuan kebijakan, perbaikan mutu di masa mendatang dan kajian untuk mengembangkan pembelajaran IPA di sekolah. 4. Bagi peneliti lain, dapat menjadi rujukan untuk mengembangkan dan melanjutkan penelitian ini sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan.
9 E. Penjelasan Istilah Supaya tidak terjadi perbedaan persepsi mengenai permasalahan yang diteliti, berikut dipaparkan penjelasan istilah: 1. Penalaran ilmiah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir dan memberikan suatu alasan melalui kegiatan inkuiri, eksperimen, menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta dan argumentasi untuk menyusun dan merubah (memodifikasi) suatu teori tentang alam, maupun sosial (Baoet al, 2009). Acuan penalaran ilmiah yang digunakan terdapat pada framework Lawson yang meliputi 6 aspek, yaitu penalaran yang diukur conservatorial reasoning, proportional reasoning, controlling variable, combinatorial reasoning, probabilistic reasoning, correlational reasoning. Namun, kerangka penalaran yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil pengembangannya yang dirumuskan oleh Jing Han. Kemampuan penalaran ilmiah ini dijaring dengan menggunakan instrumen berupa soal pilihan ganda beralasan yang diadaptasi dari Lawson Classroom Test of Scientific Reasoning (LCTSR) tahun 2000 yang kemudian dimodifikasi menjadi tes penalaran ilmiah modifikasi (MLCTSR) dimana konsep pada instrumen yang digunakan dikembangkan agar dapat mencakup konsep-konsep sains. 2. Keterampilan berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan berpikir kritis dalam framework Ennis (1985), yang menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir masuk akal/beralasan (reasonable) dan reflektif (reflective) yang difokuskan untuk mengambil keputusan tentang apa yang harus dilakukan atau apa yang harus diyakini. Dalam penelitian ini, berpikir kritis tersebut memiliki 4 kemampuan dasar, yaitu menginduksi, mengobservasi dan kredibilitas suatu sumber, mendeduksi dan mengidentifikasi asumsi. Keterampilan berpikir kritis ini dijaring dengan menggunakan instrumen berupa soal pilihan ganda yang diadaptasi dari Cornell Critical Thinking Skills Test.
10 3. Levels of inquiry yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model inkuiri yang dijelaskan oleh Wenning. Secara umum, levels of inquiry merupakan model pembelajaran yang diterapkan secara komprehensif dan sistematis, bertujuan untuk meningkatkan pemahaman konseptual siswa serta mengembangkan pemahaman siswa tentang penyelidikan ilmiah dan sifat ilmu pengetahuan. Tahapan pada levels of inquiry ini adalah discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-world application, dan hypothetical inquiry. Namun, dalam penelitian ini tahapan levels of inquiry dibatasi hanya pada tahap empat tahapan, yaitu discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson dan guided inquiry laboratory dengan alasan disesuaikan dengan tingkat berpikir subjek penelitian yang digunakan yaitu siswa SMP. Keempat tahapan tersebut diterapkan dalam proses pembelajaran selama tiga kali pertemuan. Untuk melihat keterlaksanaan levels of inquiry digunakan lembar observasi keterlaksanaan levels of inquiry dan transkrip rekaman video penerapan levels of inquiry. F. Struktur Organisasi Tesis Struktur organisasi tesis ini terdiri atas: Bab I memuat pendahuluan dari tesis yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, serta struktur organisasi tesis. Bab II memuat kajian pustaka mengenai penalaran ilmiah, keterampilan berpikir kritis, levels of inquiry, gambaran umum topik gerak, dan keterkaitan aspek levels of inquiry dengan penalaran ilmiah dan berpikir kritis. Bab III memuat penjabaran lebih rinci mengenai pendekatan penelitian termasuk beberapa komponen lainnya, yaitu metode dan desain penelitian, lokasi,
11 populasi dan sampel, instrument penelitian, prosedur penelitian, dan teknik pengumpulan data hingga analisis data. Bab IV memuat penjabaran hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari dua hal pokok yaitu pengolahan atau analisis data dan pembahasan atau analisis temuan. Bab V memuat simpulan, implikasi dan rekomendasi yang menyajikan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian sekaligus mengajukan hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan dari hasil penelitian tersebut.