Manual Kebijakan KONSERVASI (MAN-CSV-001) Edisi/Revisi: 01/00

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

19 Oktober Ema Umilia

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

Pengenalan High Conservation Value (HCV)

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G

Pengelolaan Kawasan Perlindungan Setempat (KPS)

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN AREAL STOK KARBON TINGGI UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

3. KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI (KBKT)

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

Transkripsi:

Manual Kebijakan KONSERVASI (MAN-CSV-001) Edisi/Revisi: 01/00 Berlaku Sejak 01 Oktober 2018

DAFTAR ISI Bagian Topik Halaman Lembar Pengesahan 1. Prinsip Dasar 1 2. Prinsip Etika 1 3. 4. Komitmen Perusahaan Untuk Perlindungan Terhadap Area Konservasi Kriteria Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dan Kawasan Sempadan Sungai 2-3 3-4 5. Penetapan KBKT 5 6. Penetapan Kawasan Sempadan Sungai 5-6 7. Bentuk Pengelolaan KBKT 6-7 8. Bentuk Pengelolaan Kawasan Sempadan Sungai 7-8 9. Penanaman Kembali Kelapa Sawit (Replanting) 8-9 RIWAYAT REVISI No Tanggal Uraian Singkat Revisi i

LEMBAR PENGESAHAN Manual Kebijakan Perusahaan Tentang Konservasi telah disetujui oleh Dewan Direksi PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. untuk mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober 2018. Istini T. Siddharta Direktur Utama Geetha Govindan Direktur Lucas Kurniawan Direktur Naga Waskita Direktur ii

iii

1. PRINSIP DASAR 1.1. Mendukung Pengembangan yang Bertanggung Jawab PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. dan anak perusahaannya (ANJ) berkomitmen terhadap pengembangan yang bertanggung jawab dengan tujuan menghasilkan produk pangan berkualitas tinggi dengan tetap memperhatikan keberlangsungan kehidupan keanekaragaman hayati di area perusahaan. 1.2. Dukungan segenap Insan ANJ Semua pihak perlu mendukung implementasi kebijakan ini sebagai bentuk komitmen terhadap kelestarian lingkungan. 1.3. Peningkatan Kemampuan secara Berkesinambungan ANJ berkomitmen untuk menerapkan pendekatan adaptif dalam pelaksanaan kebijakan ini, termasuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan melalui pembaruan secara periodik untuk penyempurnaan Kebijakan Konservasi. 2. PRINSIP ETIKA 2.1. Profesionalisme Dalam situasi darurat, seluruh pelaksana proses diharapkan bekerja secara profesional dengan menjunjung tinggi kejujuran dan kemandirian sehingga memungkinkan pencapaian prestasi terbaik. 2.2. Menaati Peraturan Perundangan-undangan sebagai Tanggung Jawab Warga Negara Perencanaan BCP perlu mentaati semua peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan turunannya di lokasi kerja masing-masing. 1

3. KOMITMEN PERUSAHAAN UNTUK PERLINDUNGAN TERHADAP AREA KONSERVASI 3.1. ANJ menetapkan area yang sudah teridentifikasi sebagai Area Bernilai Konservasi Tinggi sebagai area konservasi perusahaan dengan tujuan sebagai berikut: 3.1.1. Menjaga ketersediaan sumber air untuk usaha perusahaan. 3.1.2. Menjaga keseimbangan ekosistem, sehingga tidak timbul hama yang dapat merusak kebun maupun ekosistem. 3.2. Untuk area yang dikembangkan perusahaan dari izin lokasi, perusahaan akan menyisihkan setidaknya 20% untuk area konservasi. Perusahaan memastikan bahwa area konservasi yang sudah diidentifikasi di setiap unit operasi dijaga kelestariannya dan tidak akan ditanami atau dikembangkan untuk kepentingan bisnis tanpa melewati proses sebagai berikut: 3.2.1. kajian mendalam oleh pihak independen mengenai dampak dari pengembangan area tersebut, 3.2.2. persetujuan dari RSPO (jika terkait perkebunan kelapa sawit), dan 3.2.3. keputusan bersama Direksi dan Dewan Komisaris. Lahan gambut dan sempadan sungai tidak akan ditanami kelapa sawit dengan alasan apapun. Luasan area konservasi tetap diusahakan agar mencapai minimum 20% dari area lahan milik perusahaan yang ditanami. 3.3. Perusahaan berkomitmen untuk melakukan pengelolaan area konservasi guna menjaga keseimbangan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya dengan melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah dan lembaga lain yang berkompeten. 3.4. Perusahaan berkomitmen melakukan perlindungan terhadap jenis-jenis satwa yang termasuk dalam kriteria dilindungi dan terancam punah dari kegiatan perburuan dan menjaga keseimbangan populasi satwa lain, yang menjadi rantai pasok pangan bagi jenis satwa dilindungi. 2

3.5. Perusahaan melakukan kegiatan kerja sama penelitian mengenai habitat dan perilaku satwa yang dilindungi dengan peneliti yang memiliki kompetensi di seluruh konsesi perusahaan, mempublikasikan dan melakukan sosialisasi hasil penelitian tersebut, serta memberikan pelatihan berkesinambungan terkait dengan pengelolaan area konservasi perusahaan dan perlindungan terhadap jenis-jenis satwa yang dilindungi dan terancam punah kepada masyarakat, karyawan perusahaan, kontraktor dan mitra lainnya. 3.6. Perusahaan akan melakukan investigasi dan memberikan sanksi tegas kepada karyawan perusahaan yang melakukan perburuan, memelihara, melukai, dan menghilangkan nyawa satwa liar yang dilindungi atau terancam punah. 3.7. Perusahaan berkomitmen untuk mengevaluasi dan melaporkan seluruh kegiatan pengelolaaan area konservasi kepada instasi pemerintah terkait dan melaporkannya secara terbuka melalui Laporan Keberlanjutan. 3.8. Setiap karyawan, kontraktor dan mitra lainnya dilarang menangkap, memburu atau membawa satwa, flora maupun plasma nutfah ke luar daerah konservasi dan operasi perusahaan tanpa izin dari Departemen Konservasi perusahaan. 4. KRITERIA KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DAN KAWASAN SEMPADAN SUNGAI 4.1. Kriteria Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) adalah: 4.1.1. kawasan hutan / area yang mengandung nilai-nilai penting secara nasional, regional dan global, dalam keadaan kritis karena tingginya nilai lingkungan, sosial ekonomi, sosial budaya, keanekaragaman hayati dan bentang alam yang melekat padanya. 4.1.2. berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan iklim di tingkat lokal, sebagai daerah tangkapan air, sebagai habitat berbagai jenis spesies dilindungi dan tempat sakral atau keramat bagi masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan tersebut. 3

4.2. Berdasarkan panduan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) terdapat 6 (enam) tipe kawasan konservasi tinggi yang terdiri dari 13 (tiga belas) sub nilai, Keenam tipe NKT tersebut adalah; 4.2.1. Kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting (NKT 1) 4.2.2. Kawasan bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami (NKT 2) 4.2.3. Kawasan yang mempunyai ekosistem langka atau terancam punah (NKT 3) 4.2.4. Kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami (NKT 4) 4.2.5. Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal (NKT 5) 4.2.6. Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (NKT 6). 4.3. Keenam nilai yang dimaksud pada poin 4.2 secara garis besar dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut: 4.3.1. Keanekaragaman Hayati NKT 1, 2 dan 3 4.3.2. Jasa Lingkungan NKT 4 4.3.3. Sosial dan Budaya NKT 5 dan 6. 4.4. Sempadan sungai didefinisikan sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai termasuk buatan / kanal saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi sungai. 4.5. Daerah sempadan sungai mencakup daerah bantaran sungai yaitu bagian yang hanya tergenang air pada musim hujan dan daerah di luar bantaran yang akan menampung luapan air sungai di musim hujan dan memiliki kelembapan tanah yang lebih tinggi. 4.6. Kawasan sempadan sungai termasuk ke dalam kawasan lindung setempat yang keberadaannya harus dipertahankan. 4

5. PENETAPAN KBKT 5.1. Penetapan KBKT di areal operasional perusahaan (di dalam Izin Lokasi atau HGU) ditetapkan melalui HCVA (High Conservation Value Assessment) atau identifikasi HCV (High Conservation Value) yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang atau instansi yang berkompeten yang telah teregistrasi oleh High Conservation Value Regional Network (HCV-RN). 5.2. Kegiatan indentifikasi HCV ini akan menghasilkan hal-hal sebagai berikut: 5.2.1. Jenis-jenis NKT yang terdapat dalam areal operasional perusahaan. 5.2.2. Keragaman jenis tumbuhan dan satwa yang terdapat di lingkungan operasional perusahaan dan dilengkapi dengan informasi statusnya (terancam punah, dilindungi dsb) 5.2.3. Rencana Pengelolaan dan pemantauan NKT yang telah teridentifikasi 5.3. Untuk pembangunan kebun baru maka ANJ akan melakukan identifikasi KBKT sebelum operasional perusahaan dimulai, sehingga NKT yang terdapat di areal perusahaan bisa terjaga dan dikelola dengan baik. 6. PENETAPAN KAWASAN SEMPADAN SUNGAI 6.1. Aliran air permanen merupakan aliran air yang mengalirkan air setidaknya selama sepuluh bulan sepanjang dan hampir setiap tahunnya. Badan aliran air dapat berupa lumpur, batu krikil ataupun bebatuan yang muncul kepermukaan. Aliran ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu : 6.1.1. Sungai Besar lebar badan aliran air > 30 m, ditetapkan lebar sempadan sungai 100 m di setiap sisi badan aliran air. 6.1.2. Sungai kecil lebar badan aliran air < 30m, ditetapkan lebar sempadan sungai 50 m di setiap sisi badan aliran air. 6.2. Aliran air tidak permanen atau drainase merupakan parit yang mengalirkan air limpahan hujan sepanjang hujan lebat. Badan aliran air ini adalah tanah dan biasanya tertutup rontokan daun dan tanaman. Aliran air tidak permanen ini ditetapkan lebar 5 m di antara bibit badan aliran air dan pokok sawit terdekat sebagai bufferzone. 5

6.3. Drainase buatan merupakan parit buatan yang hanya mengalirkan air saat hujan lebat. Badan aliran air dan kedua sisinya adalah tanah dan tanaman. Daerah tersebut tidak diperlukan bufferzone namun tidak diperkenankan terkontaminasi dengan pelepah, pupuk atau bahan kimia lainnya. 6.4. Rawa atau areal bekas kegiatan penebangan kayu atau akitivitas lainnya, yang dimaksud jika areal tersebut terdapat air di permukaan yang bertahan selama 6 bulan sepanjang tahunnya, maka di sekeliling rawa ditetapkan 50 m sebagai bufferzone. 6.5. Mata air dengan air yang mengalir setidaknya selama sepuluh bulan disepanjang dan hampir setiap tahunnya, ditetapkan 200 m di sekeliling mata air sebagai bufferzone. 6.6. Daerah berpantai dan berbakau atau pasang surut, ditetapkan 100 m dari tinggi maksimal air pasang saat normal sebagai bufferzone. 6.7. Kawasan dominan bergambut sempadan sungai (Buffer Zone) ditetapkan berdasarkan proses identifikasi NKT (HCVA) oleh personil yang kompeten. 7. BENTUK PENGELOLAAN KBKT 7.1. Penandaan areal dengan pembuatan tanda batas areal. 7.2. Perlindungan areal dengan cara: 7.2.1. Pemasangan papan pama areal KBKT dan papan larangan atas aktivitas yang mengancam KBKT pada tempat yang strategis yaitu akses masuk areal NKT dan areal yang rawan gangguan. 7.2.2. Pengawasan dan patroli rutin atau berkala pada KBKT yang rawan terhadap gangguan. 7.3. Perencanaan pembangunan jalan kebun, kanal dan infrastruktur lainnya perlu menghindari kawasan NKT. Jika pembangunan akses tersebut harus melewati KBKT maka harus diupayakan dampak negatif terhadap KBKT yang seminimal mungkin. 7.4. Menyusun dan memantau rencana kelola bagi populasi spesies tumbuhan dan satwa yang dilindungi yang terdapat di dalam KBKT. 6

7.5. Inventarisasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) misalnya madu, rotan, dll yang berada di dalam KBKT. 7.6. Pengawasan dan pengontrolan pemanfaatan HHBK sesuai konsep-konsep pemanfaatan yang berkelanjutan. 7.7. Melakukan program percepatan rehabilitasi atau pengayaan tumbuhan pada kawasan lindung yang telah mengalami penurunan kualitas tegakan atau telah terjadi degradasi. 7.8. Mempertahankan sumber air (daerah genangan, tanaman penutup tanah soil pits/rorak dll) di dalam atau berbatasan dengan KBKT di dalam areal kebun. 7.9. Mencegah pencemaran air dengan menggunakan bahan kimia pertanian yang ramah lingkungan di areal kebun. 7.10. Melakukan pengendalian risiko kebakaran di KBKT dengan membuat daerah penyangga sekat bakar, membentuk tim pemadam kebakaran, membangun menara pengawas api dan penyediaan unit pengendalian kebakaran. 7.11. Pemusnahan tanaman eksotik yang berada di sekitar KBKT secara perlahan agar tidak menyebar. 7.12. Membuat program dan memberikan pelatihan bagi karyawan. 7.13. Melakukan Penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat. 7.14. Menjalin komunikasi yang baik dan membangun pola kemitraan dengan masyarakat dalam mengendalikan perambahan hutan, perburuan atau penangkapan satwa dan pengambilan kayu dari KBKT. 8. BENTUK PENGELOLAAN KAWASAN SEMPADAN SUNGAI 8.1. Pengelolaan sempadan sungai merupakan salah satu persyaratan dalam analisa dampak lingkungan dan implementasi dari kajian identifikasi Nilai Konservasi Tinggi (NKT). 8.2. Tujuan pengelolaan sempadan sungai oleh perusahaan dilihat dari berbagai aspek antara lain: 8.2.1. Lingkungan penyedia koridor satwa dan sebagai pengontrol erosi. 8.2.2. Perlindungan vegetasi sempadan sungai memberikan batas operasional yang jelas sehubungan dengan pengelolaan. 7

8.2.3. Ekonomis menyediakan sumber protein (ikan) bagi masyarakat. 8.2.4. Memperjelas status kepemilikan lahan untuk menghindari okupasi dan klaim lahan. 8.3. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengembalikan peruntukan lahan sempadan sungai atau bufferzone menjadi kawasan lindung dengan cara sebagai berikut: 8.3.1. Inventarisasi lokasi dan penandaan kawasan. 8.3.2. Penyuluhan kepada karyawan dan masyarakat sekitar kawasan tentang manfaat dan fungsi sempadan sungai. 8.3.3. Pemulihan fungsi hidrologis, dengan meningkatkan kemampuan sungai menampung luapan air sungai saat musim hujan serta pemulihan fungsi ekologisnya dengan melakukan penanaman jenisjenis lokal dan pengkayaan vegetasi. 8.3.4. Penanaman vetiver, tanaman kacangan (terkendali) dan melakukan penyisipan tanaman sela pada sempadan sungai yang vegetasinya telah dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit. 8.3.5. Untuk mengetahui dan memastikan kualitas air sungai, maka perlu dilakukan analisa air setiap 6 (enam) bulan sekali. 8.3.6. Perawatan tanaman sawit yang sudah berada di areal sempadan sungai boleh dilakukan dengan menggunakan chemical, namun perlu dibuat parit pembatas tertutup antara sungai dengan kebun sawit, untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai. 8.3.7. Perusahaan melakukan pengambilan sampel air di hulu sungai, tengah dan hilir untuk selanjutnya dilakukkan analisa laobatorium guna mengetahui kualitas air sungai dan biota air. 9. PENANAMAN KEMBALI KELAPA SAWIT (REPLANTING) Proyek replanting yang dilakukan di unit manajemen ANJ harap memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 8

9.1. Melakukan pemetaan terhadap batas-batas Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi termasuk kawasan sempadan sungai dan sekitar sumber mata air, luasannya mengikuti ketentuan yang ada (poin 6 kebijakan ini) 9.2. Untuk meminimalisir perkembangbiakan kumbang hama tanaman sawit maka tanaman sawit yang berada di kawasan sempadan sungai dan sekitar sumber mata air dilakukan penumbangan. 9.3. Untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai sebagai daerah penyangga terjadinya sedimentasi dan pencemaran air sungai maka akan dilakukan penanaman jenis tanaman asli/lokal yang memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat dalam bentuk hasil hutan bukan kayu. 9