Insentif transfer anggaran dan fiskal untuk pencegahan kebakaran hutan berbasis risiko

dokumen-dokumen yang mirip
SISTEM RISIKO KEBAKARAN (FRS): Peringatan Dini Kebakaran Lahan & Hutan Musiman

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

SETELAH HUJAN TURUN: MENUJU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT JANGKA PANJANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN GAMBUT DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

PENATAAN HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DALAM KERANGKA MENGURANGI KEBAKARAN DAN KABUT ASAP

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

Oleh: Bito Wikantosa Kasubdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

PEMANFAATAN DATA SIDIK DALAM PENETAPAN LOKASI DAN AKSI PRIORITAS ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN TRIWULAN BADAN RESTORASI GAMBUT RI KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA JULI SEPTEMBER 2016

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2017 TENTANG INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.344, 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN. Strategi Adaptasi. Perubahan Iklim. Kesehatan.

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

BAB VIII INDIKASI RENCANA PROGRAM PRIORITAS YANG DISERTAI KEBUTUHAN PENDANAAN

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1018/MENKES/PER/V/2011 TENTANG

Dana Alokasi Khusus Lingkungan Hidup: Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah POLICY BRIEF

Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01 Pemanfaatan Kapabilitas Sistem Risiko Kebakaan Untuk Meningkatkan Efektivitas POSNAS Juli 2016 Dr.

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA MADIUN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

BAB I PENDAHULUAN. di negara ini berada hampir di seluruh daerah. Penduduk di Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Workshop Ahli Perubahan Iklim Regional Maluku dan Maluku Utara. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku

24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. Rante/Greenpeace

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

Versi 27 Februari 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN TANAMAN, RESTORASI EKOSISTEM DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM YOGYAKARTA, NOPEMBER 2014

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Policy Brief. Anggaran Karhutla FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. FITRA Provinsi Riau

PERAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan,

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

Penataan Kota dan Permukiman

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

Transkripsi:

Insentif transfer anggaran dan fiskal untuk pencegahan kebakaran hutan berbasis risiko Sonny Mumbunan 1, Shiv Someshwar 2, Rizaldi Boer 3, dan Johan Kieft 4 1 Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia, Indonesia; 2 Earth Institute, Columbia University, Amerika Serikat; 3 Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik, Institut Pertanian Bogor, Indonesia; 4 United Nations Environment. Daftar Isi Akronim... 2 1. Pendahuluan... 3 2. Anggaran pencegahan kebakaran hutan... 4 2.1. Anggaran nasional indikatif dalam rencana besar pencegahan kebakaran... 4 2.2. Anggaran pencegahan kebakaran subnasional: kasus Provinsi Riau... 12 Di tingkat provinsi... 12 Di tingkat kabupaten/kota... 12 3. Sistem Risiko Kebakaran (Fire Risk System/FRS)... 18 3.1. Fitur FRS yang relevan untuk perancangan insentif... 18 3.2. Skala waktu... 20 3.3. Penerapan praktis FRS... 21 4. Instrumen dan skema transfer anggaran dan fiskal... 26 4.1. Instrumen dan skema transfer anggaran... 26 4.2. Instrumen dan skema transfer fiskal... 28 4.3. Instrumen dan skema campuran... 29 5. Pembahasan... 32 Referensi... 35

Akronim APBN APBN-P APBD DAK DAU DBH DID FRS Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, State Budget Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan, Revised State Budget Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Local Budget Dana Alokasi Khusus, Specific Purpose Fund Dana Alokasi Umum, General Purpose Fund Dana Bagi Hasil, Revenue Sharing Fund Dana Insentif Daerah, Regional Incentive Fund Fire Risk System, Sistem Risiko Kebakaran

1. Pendahuluan Dampak degradasi lahan gambut kian melampaui dampak emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 2015 mengakibatkan kerugian ekonomi yang mencapai US$ 16,1 miliar dan menimbulkan dampak yang serius pada kesehatan masyarakat 1 di Asia Tenggara di Indonesia sendiri, kebakaran tersebut berdampak pada 43 juta orang, mengirim 550.000 orang ke rumah sakit, dan menewaskan 24 orang 2. Selain itu, lahan gambut tropis menyokong beragam ekosistem dan merupakan rumah bagi spesies terancam seperti orangutan, badak dan anggrek Kalimantan, serta beragam tanaman unik 3 dan kemampuan adaptif unik masyarakat yang bergantung kepadanya. Lahan gambut juga menyokong pengetahuan, inovasi, dan praktik tradisional penting. Penanganan kebakaran memerlukan pendekatan berbasis risiko yang terpadu. Sistem Risiko Kebakaran (FRS) telah dikembangkan guna memasok badan pemerintah terkait dengan informasi tentang kemungkinan terjadinya peristiwa kebakaran di tingkat provinsi dan kabupaten. Informasi tersebut diperlukan untuk menginisiasi tindakan persiapan yang penting bagi pencegahan kebakaran jangka pendek dan secara berkelanjutan memitigasi risiko kebakaran jangka panjang. FRS menjadi pelengkap bagi sistem prediksi kebakaran jangka pendek dan deteksi kebakaran dini yang sudah ada, seperti SPKB, KMS, SiPongi, dan Global Forest Watch 4. Sistem-sistem ini memfasilitasi tindakan mitigasi risiko untuk kebakaran yang tengah terjadi atau memberikan peringatan kebakaran hingga satu minggu sebelum kejadian. Sementara itu, FRS menggunakan data iklim untuk memprakirakan risiko kebakaran 1 3 bulan sebelum kejadian dan mengembangkan Peta Kerentanan terhadap Kebakaran yang dapat membantu perencanaan pembangunan jangka panjang. Rentang waktu yang panjang untuk tindakan juga memungkinkan pengintegrasian FRS ke dalam prakarsa kebijakan tingkat nasional. Secara umum, tujuan dari studi ini adalah untuk menjelajahi dan menyelidiki instrumen dan skema insentif yang potensial bagi pencegahan kebakaran hutan di tingkat subnasional dan daerah dengan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh sistem pencegahan kebakaran tertentu, misalnya Sistem Risiko Kebakaran (FRS). Pada khususnya, studi ini bertujuan untuk: (i) mengkaji mekanisme transfer anggaran dan fiskal yang sedang berjalan dan yang direncanakan dari beragam tingkat pemerintahan yang berkaitan dengan kebakaran lahan dan hutan dengan menentukan sifat kegiatan pengendalian dan pencegahan kebakaran; (ii) mengidentifikasi insentif ekonomi dan institusional yang dapat diterapkan guna mewujudkan pencegahan kebakaran yang lebih efektif di tingkat subnasional dan daerah; dan (iii) menelisik opsi-opsi insentif, yaitu transfer anggaran dan fiskal, serta skema transfer anggaran campuran di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa demi pencegahan kebakaran yang efektif di sektor publik. Dalam studi ini, transfer anggaran dan fiskal digunakan untuk menilik kemungkinan pembuatan instrumen dan skema insentif/disinsentif dalam konteks kebijakan, institusi, dan teknologi di Indonesia. Dalam literatur, analisis anggaran digunakan untuk mengkaji pengeluaran publik pemerintah di sektor lingkungan (Vincent et al., 2002). Transfer fiskal telah diajukan dalam rangka menata dan mengkaji insentif konservasi hutan dan perlindungan lingkungan. Sebagai contoh, Busch et al (2011) dan 1 Marlier, M.E. et al., 2013. El Niño and health risks from landscape fire emissions in Southeast Asia. Nature Climate Change, 3(2), hlm.131 136.. Tersedia di: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=4219417&tool=pmcentrez&rendertype=abstract [Diperoleh pada 15 Januari 2015 2 World Bank, Indonesian Economic Quarterly Reforming Amidst Uncertainty. Lihat: http://pubdocs.worldbank.org/pubdocs/publicdoc/2015/12/844171450085661051/ieq-dec-2015-eng.pdf 3 Biodiversity and Conservation of Tropical Peat Swamp Forests. Mary Rose C. Posa, Lahiru S. Wijedasa, and Richard T. Corlett BioScience 2011 61 (1), 49 57. 4 Lihat: http://fires.globalforestwatch.org/ (for GFW) & http://sipongi.menlhk.go.id/home/main (for KMS/SiPongi)

Mumbunan et al. (2012) mengajukan pembagian hasil dan transfer alokasi umum untuk memberi insentif pada yurisdiksi yang ada berdasarkan pengurangan emisi berbasis lahan dan peningkatan konservasi kawasan hutan. Untuk studi ini, wawancara dengan perwakilan badan pemerintahan di Riau dilaksanakan untuk menghadirkan konteks subnasional dan daerah. Laporan akan disajikan dalam bagian-bagian berikut ini. Bagian 2 menyajikan anggaran untuk kebakaran hutan. Bagian ini menyajikan anggaran yang direncanakan di tingkat nasional sesuai rencana besar pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Anggaran tingkat subnasional digambarkan lewat kasus yang terjadi di Riau, salah satu provinsi yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, dengan menilik anggaran pencegahan dan pengendalian kebakaran di tingkat provinsi dan kabupaten. Bagian 3 menjabarkan Sistem Risiko Kebakaran (FRS) yang akan berfungsi sebagai dasar pengajuan insentif pencegahan kebakaran berbasis risiko. Bagian 4 mengajukan instrumen dan skema transfer anggaran dan fiskal untuk insentif dalam pendekatan tunggal dan campuran. Bagian 5 membahas skema-skema insentif tersebut. 2. Anggaran pencegahan kebakaran hutan 2.1. Anggaran nasional indikatif dalam rencana besar pencegahan kebakaran Di tingkat nasional, anggaran pencegahan kebakaran tercermin dalam rencana besar Indonesia terkait penanganan pencegahan kebakaran hutan, perkebunan, dan lahan untuk periode 2017 2019. Pemerintah Indonesia (Pemerintah RI, 2017) berencana mengalokasikan 39 triliun rupiah untuk lima strategi utama pencegahan kebakaran, yaitu, memberikan insentif dan disinsentif ekonomi; memperkuat peran masyarakat pedesaan dan lembaga sosial; menegakkan hukum dan menyelaraskan legislasi dengan perizinan; mengembangkan infrastruktur; dan memperkuat kegiatan tanggap kebakaran dini (Tabel 1). Sekitar setengah dari anggaran tersebut akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur (19,2 triliun rupiah). Dari jumlah tersebut, sebagian besar akan digunakan untuk memperbaiki manajemen air dan restorasi ekosistem lahan gambut. Program-program yang termasuk dalam dua dari lima strategi pencegahan kebakaran patut mendapat perhatian khusus. Program pemberian insentif dan disinsentif ekonomi untuk pencegahan kebakaran menerima 8 triliun rupiah (20,5 persen dari total anggaran), sementara program yang ditujukan untuk memperkuat kegiatan tanggap kebakaran dini disokong 9,1 triliun rupiah (23 persen dari total anggaran). Tabel 1. Anggaran indikatif rencana besar Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan, perkebunan, dan lahan, 2017 2019 (Pemerintah RI, 2017) Strategi dan program Anggaran (juta rupiah) 1. Insentif dan disinsentif ekonomi 8.017.844 Pemberian insentif kepada publik dalam bentuk penyediaan peralatan pembukaan lahan tanpa bakar [SL] Penyediaan bantuan pertanian dan panduan teknis untuk meningkatkan produktivitas tanaman [SL] Penghentian kredit bank ke bisnis yang tersangkut kasus kebakaran dalam wilayah/konsesinya Pencabutan izin konsesi bisnis untuk kawasan hutan dan perkebunan jika kebakaran terjadi di dalam kawasannya. 373.335 284.564 68.747 28.544

Pemberian insentif dan disinsentif menggunakan mekanisme yang SESUAI 4.807 Pemberian bantuan untuk upaya diversifikasi ekonomi masyarakat 7.257.845 2. Memperkuat peran masyarakat pedesaan/lembaga sosial 2.286.080 Advokasi pencegahan kebakaran lahan, perkebunan, dan hutan 466.058 Pelatihan untuk pemadam kebakaran setempat dan kelompok 1.149.699 masyarakat pencegah kebakaran Bantuan terkait kebakaran lahan, perkebunan, dan hutan 669,323 * 3. Penegakan hukum, legislasi, dan penyelerasan perizinan 359.587 Penyelarasan legislasi 27.643 Penguatan institusional untuk pemantauan teritorial berbasis 89.539 keamanan Penentuan hak kepemilikan yang jelas atas lahan 123.417 Penyiapan basis data untuk izin lahan terpadu dan Kebijakan Satu 50.478 Peta (One Map Policy) Harmonisasi penataan ruang 57.690 Penyelarasan dokumen perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah 10.816 4. Pengembangan infrastruktur 19.248.788 Memperbaiki tata kelola air di kawasan gambut [SL] 18.398.418 Pembangunan sumur artesis di kawasan gambut yang rawan 86.172 kebakaran [SL] Teknologi modifikasi cuaca 111.774 Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar 654.422 5. Memperkuat tanggap kebakaran dini 9.150.924 Mengembangkan teknologi pemantauan kebakaran 398.603 Pengembangan pusat krisis dan sistem tanggap dini 6.933.277 Penyediaan peralatan pemadam kebakaran skala kecil 1.819.043 Total anggaran indikatif 39.062.226 Keterangan: SL =Program dan kegiatan tingkat lokasi (Site Level) Selain itu merupakan program dan kegiatan non-tingkat lokasi, * = Jumlah terkoreksi. Dalam draf rencana besar, jumlahnya adalah 69.323 rupiah. Terkait program insentif (Tabel 2), aktivitas mencakup penyediaan publik mengenai peralatan pembukaan lahan yang tidak menggunakan pembakaran untuk didistribusikan kepada masyarakat, bantuan dan panduan teknis untuk meningkatkan produktivitas tanaman, dan bantuan terkait diversifikasi ekonomi masyarakat. Perlu ditekankan bahwa bantuan petani untuk keperluan diversifikasi ekonomi pedesaan, seperti alat pertanian, bibit, dan pupuk harus diberikan dengan syarat kegiatan pertanian tidak melibatkan pembakaran. Selain itu, skema disinsentif untuk strategi pencegahan kebakaran mencakup penutupan akses kredit bank dan pencabutan lisensi jika terjadi kebakaran. Sedangkan untuk penguatan tanggap kebakaran dini, kegiatan yang telah direncanakan bertujuan untuk mengembangkan teknologi pemantauan kebakaran, mengembangkan pusat krisis dan sistem tanggap dini, serta menyediakan peralatan pemadam kebakaran (Tabel 3). Kegiatan yang berhubungan

dengan pengembangan sistem pemantauan kebakaran memiliki kaitan khusus dengan Sistem Risiko Kebakaran (FRS) yang dibahas di sini. Kegiatan pengembangan teknologi pemantauan kebakaran yang sudah direncanakan ternyata lebih menitikberatkan pada pelaksanaan di tingkat yurisdiksional, seperti dukungan sistem komunikasi terpadu untuk pencegahan kebakaran hingga ke tingkat desa, peta kerentanan di tingkat kecamatan, dan peningkatan sistem pemantauan kebakaran dan titik panas di tingkat nasional.

Tabel 2. Anggaran indikatif untuk strategi insentif dan disinsentif ekonomi dalam rencana besar Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan, perkebunan, dan lahan, 2017 2019 (Pemerintah RI, 2017) Program dan kegiatan Kementerian atau badan utama Institusi Kementerian, badan, dan pelaksana yang terlibat Anggaran (juta rupiah) Kegiatan 1: Pemberian insentif kepada publik dalam bentuk penyediaan peralatan pembukaan lahan tanpa bakar Pemerintah menyediakan alat pertanian untuk pembukaan lahan nonhutan tanpa bakar untuk kelompok tani melalui peraturan yang disepakati di tingkat desa Pemerintah memberikan bantuan modal dalam bentuk subsidi bunga untuk kredit kecil (KUR) bagi petani yang tidak melakukan pembakaran (dengan periode pelunasan yang lebih panjang) Pemegang konsesi memberikan bantuan (sebagai penghargaan) kepada setiap desa yang rawan kebakaran jika dalam tahun tersebut kebakaran tidak terjadi Meningkatkan peran Penyuluh dalam pemantauan dan manajemen aset peralatan pembukaan lahan tanpa bakar yang disediakan bagi masyarakat Pemegang konsesi dan Badan Usaha Milik Negara menyisihkan sebagian dana CSR mereka untuk menyediakan peralatan pembukaan lahan tanpa bakar dan bibit berkualitas tinggi bagi masyarakat di sekitar daerah konsesi Kementerian Pertanian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Pemerintah daerah 248,89 Kementerian Pertanian Kementerian Keuangan 24,89 Pemegang Konsesi 49,78 Kementerian Pertanian Pemerintah daerah 8,30 Pemegang Konsesi 41,48 Kegiatan 2: Penyediaan bantuan pertanian dan panduan teknis untuk meningkatkan produktivitas tanaman Pemerintah memberikan bantuan terkait input pertanian (bibit, pupuk, pestisida) untuk desa yang tidak melakukan pembakaran lahan Kementerian Pertanian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Pemerintah daerah 82,96

Bantuan untuk masyarakat terkait perawatan tanaman dan efektivitas panen Kementerian Pertanian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Pemerintah daerah 39,82 Pengembangan pabrik skala kecil di tingkat desa untuk meningkatkan nilai tambah produk perkebunan Memangkas rantai pasok untuk meningkatkan nilai jual produk masyarakat di pasaran Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian Kegiatan 3: Penghentian kredit bank ke bisnis yang tersangkut kasus kebakaran di dalam wilayah/konsesinya Identifikasi daerah dan pemegang konsesi yang tersangkut kasus kebakaran di dalam wilayah/konsesinya Identifikasi kredit bank yang diambil oleh bisnis/usaha mikro yang tersangkut kasus kebakaran di wilayah/konsesinya Menerbitkan peraturan OJK tentang peringatan kredit bank dan penghentian kredit untuk bisnis yang tersangkut kasus kebakaran di wilayah/konsesinya Pemantauan terhadap bisnis yang tersangkut kasus kebakaran di wilayah/konsesinya oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pejabat penegak hukum, dan LSM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Pemerintah daerah Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan, Pemerintah daerah Kementerian Pertanian, Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, Pemerintah daerah Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah 124,45 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 0,58 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kementerian Lingkungan Hidup dan 37,33 60,09 2,31 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2,88 Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah, kuasa hukum Kegiatan 4: Pencabutan izin manajemen konsesi bisnis untuk kawasan hutan dan perkebunan jika kebakaran terjadi di lahan mereka Identifikasi daerah dan pemegang konsesi yang tersangkut kasus kebakaran di dalam wilayah/konsesinya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, Pemerintah daerah 2,88 * Investigasi dan pengumpulan bukti (ground fact) terkait kasus kebakaran di area/konsesi perusahaan dan pemegang konsesi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, Pemerintah daerah 15,02

Menerbitkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan dan Menteri Pertanahan dan Tata Ruang tentang pencabutan/penangguhan izin jika titik panas atau kasus kebakaran terjadi di wilayah konsesi Pemantauan terhadap bisnis yang tersangkut kasus kebakaran di wilayah, lahan, dan perkebunannya oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pejabat penegak hukum, dan LSM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kegiatan 5: Pemberian insentif dan disinsentif menggunakan mekanisme yang SESUAI Identifikasi bisnis yang tersangkut kasus kebakaran di dalam wilayah/konsesinya Menetapkan bobot yang lebih tinggi untuk parameter terkait kebakaran hutan dalam kajian yang SESUAI Mengumumkan hasil kajian yang SESUAI, khususnya yang berhubungan dengan kinerja pengendalian kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, Pemerintah daerah Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah, kuasa hukum Kementerian Pertanian, Kementerian Pertanahan dan Tata Ruang, Pemerintah daerah 4,51 9,01 * 1,80 1,20 Merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif yang didasarkan pada hasil kajian yang SESUAI Kementerian Lingkungan Hidup dan 1,80 Kegiatan 6: Pemberian bantuan untuk upaya diversifikasi ekonomi masyarakat Studi tentang diversifikasi ekonomi masyarakat yang didasarkan pada kondisi setempat Pemerintah memberikan bantuan (ternak, alat pertanian, HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu), bibit, pupuk) untuk setiap kelompok tani yang tidak melakukan praktik pembakaran Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam upaya diversifikasi distribusi bantuan ke kelompok tani berdasarkan studi Pemantauan dan evaluasi kegiatan distribusi bantuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah, Universitas Kementerian Pertanian Pemerintah daerah 3.953,58 Kementerian Pertanian Pemerintah daerah 1.976,79 Kementerian Pertanian Kementerian Lingkungan Hidup dan, Pemerintah daerah 4,81 1.317,86

Dukungan pemerintah untuk pemasaran produk hasil diversifikasi Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Pemerintah daerah Keterangan: * Butir anggaran ini berkaitan dengan kegiatan yang ditetapkan untuk proses identifikasi wilayah dan pemegang konsesi yang wilayah/konsesinya mengalami kebakaran (cf. Kegiatan 3). Tabel 3. Anggaran indikatif untuk strategi penguatan tanggap kebakaran dini dalam rencana besar Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan, perkebunan, dan lahan, 2017 2019 (Pemerintah RI, 2017) 4,81 Program dan kegiatan Kementerian atau badan utama Kegiatan 1: Mengembangkan teknologi pemantauan kebakaran Memanfaatkan Drone/pesawat nirawak (UAV) dalam Lembaga Penerbangan dan Antariksa aktivitas deteksi kebakaran lahan, perkebunan, dan Nasional hutan untuk mendukung pemantauan kebakaran waktu nyata Mengembangkan sistem komunikasi terpadu guna Kementerian Komunikasi dan Informatika mendukung kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran, hingga ke tingkat desa Meningkatkan sistem pemantauan meteorologis serta prediksi risiko kekeringan dan kebakaran yang berkaitan dengan iklim Meningkatkan sistem pemantauan titik panas dan kebakaran di tingkat nasional Membangun dan mengembangkan sistem peringatan dini untuk kebakaran hutan dan lahan Membuat dan mendistribusikan peta wilayah rawan kebakaran hingga ke skala kelurahan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Badan Informasi Geospasial Kegiatan 2: Pengembangan Pusat Krisis dan Sistem Tanggap Dini Penyediaan fasilitas dan infrastruktur untuk pusat Badan Nasional Penanggulangan Bencana krisis Institusi Kementerian, badan, dan pelaksana yang terlibat Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan, Pemerintah daerah Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan, Pemerintah daerah, BUMN terkait Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan, Pemerintah daerah, Kementerian Komunikasi dan Informatika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Kementerian Perhubungan; Kementerian Lingkungan Hidup dan ; Pemerintah daerah Kementerian Lingkungan Hidup dan, Kementerian Pertanian, Badan Informasi Geospasial, Pemerintah daerah Kementerian Lingkungan Hidup dan ; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Kementerian Pertanian; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Pemerintah daerah Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan, Pemerintah daerah Anggaran (juta rupiah) 222,35 131,79 1,20 14,42 10,10 4,33 14,42 72,11

Pendirian pos terpadu penanggulangan kebakaran di Badan Nasional Penanggulangan Bencana Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan 118,99 tingkat provinsi Hidup dan, Pemerintah daerah Penyediaan peralatan pengamatan cuaca untuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan 356,96 menjangkau wilayah yang dikategorikan rawan kebakaran lahan dan hutan Geofisika Menjalankan patroli rutin dan terpadu, baik di darat Badan Nasional Penanggulangan Bencana Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah 3.162,86 maupun di udara, khususnya di wilayah yang rawan Kementerian Lingkungan Hidup dan 3.162,86 kebakaran Menambah jumlah peralatan pemantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Pemerintah daerah 29,75 kebakaran lahan dan hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan 29,75 Kegiatan 3: Penyediaan peralatan pemadam kebakaran skala kecil Membeli fasilitas penanggulangan kebakaran dini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah, Sektor 892,39 untuk kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL) Badan Nasional Penanggulangan Bencana swasta 892,39 Membuat petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) dan petunjuk teknis (JUKNIS) untuk standardisasi mobil pemadam kebakaran di kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah 7,21 Melaksanakan Uji Kepatuhan yang mengkaji kesiapsiagaan dan kelengkapan fasilitas dan infrastruktur proteksi kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pertanian, Pemerintah daerah 27,04

2.2. Anggaran pencegahan kebakaran subnasional: kasus Provinsi Riau Anggaran subnasional untuk kegiatan yang berkaitan dengan bencana kebakaran diilustrasikan dalam Tabel 4 dan 5. Tabel 4 menggambarkan tingkat provinsi, sementara Tabel 5 menggambarkan tingkat kabupaten. Pembedaan dua tipe anggaran ini penting dilakukan karena keduanya menyiratkan yurisdiksi vertikal yang berbeda sehingga memiliki pertanggungjawaban anggaran yang berbeda pula. Ilustrasi berkisar pada (i) fungsi anggaran dalam pencegahan, kuasi pencegahan, dan pengendalian kebakaran, dan (ii) fungsi institusional yang bertanggung jawab atas hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan kebakaran di sektor publik. Di tingkat provinsi, kasus yang disajikan adalah anggaran terencana Riau 2016, sementara di tingkat kabupaten/kota, kasus yang disajikan adalah anggaran terencana dari 11 (dari 12) kabupaten dan kota di provinsi Riau untuk tahun anggaran yang sama. Di tingkat provinsi Analisis anggaran untuk kegiatan terkait kebakaran tingkat provinsi di Riau menunjukkan hasil berikut. Pertama, di luar dugaan, anggaran provinsi untuk kegiatan terkait upaya pencegahan kebakaran (gabungan antara pencegahan murni dan kuasi pencegahan) lebih besar ketimbang anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kebakaran (10,6 miliar banding 9,4 miliar rupiah) Kedua, di antara kegiatan lainnya, kegiatan pencegahan, pengawasan, dan penyediaan mendapatkan proporsi anggaran yang besar dalam anggaran provinsi. Anggaran terbesar dialokasikan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan dan pengawasan kebakaran lahan dan hutan (6,3 miliar rupiah). Di bawah jumlah tersebut, terdapat alokasi untuk penyediaan fasilitas dan infrastruktur bagi jagawana dan penyidik hutan, serta untuk penyediaan peralatan pemadaman dan pemantauan kebakaran, yang berkisar antara 2 2,8 miliar rupiah. Kegiatan-kegiatan ini berada di bawah tanggung jawab badan kehutanan dan penanggulangan bencana. Ketiga, dari distribusi anggaran ke sejumlah institusi, terlihat mandat institusional yang jelas dalam mengatasi kebakaran hutan. Tidak ada anggaran pengendalian kebakaran yang dialokasikan untuk badan lingkungan hidup. Hal ini juga berlaku pada anggaran utama pencegahan kebakaran untuk badan penanggulangan bencana. Terlebih lagi, badan pertanian mendapatkan anggaran yang hanya dialokasikan untuk kuasi pencegahan kebakaran. Sementara itu, badan kehutanan mendapatkan anggaran untuk upaya pencegahan kebakaran (baik murni maupun kuasi) yang jumlahnya dua kali lebih besar jika dibandingkan anggaran pengendalian kebakaran. Namun demikian, peningkatan jumlah anggaran mungkin terjadi pada masa mendatang mengingat sejumlah tanggung jawab terkait upaya penanggulangan kebakaran hutan yang saat ini dijalankan di tingkat kabupaten/kota akan dialihkan ke badan kehutanan provinsi dalam rangka reformasi pemerintahan daerah yang sedang berjalan. Di tingkat kabupaten/kota Penyelidikan terhadap anggaran kebakaran hutan yang dikelola di tingkat kabupaten di provinsi Riau menunjukkan hasil berikut. Pertama, dengan jumlah 12,7 miliar rupiah, anggaran pengendalian kebakaran mencakup 45% dari seluruh alokasi anggaran. Anggaran pencegahan kebakaran berjumlah 6,6 miliar rupiah (24 persen). Jika digabungkan dengan anggaran kuasi pencegahan kebakaran sebesar 8,5 miliar, jumlahnya mencapai 12,2 miliar rupiah (54 persen). Di tingkat kabupaten/kota, berbanding terbalik dengan hasil pengamatan anggaran tingkat provinsi, alokasi anggaran untuk pengendalian kebakaran seakan menguatkan pandangan umum bahwa, dalam praktiknya, upaya pengendalian kebakaran sering kali mendapatkan anggaran yang lebih besar ketimbang pencegahan kebakaran.

Sebagaimana disampaikan oleh Someshwar dan Melloy (2016a), aspek pencegahan umumnya mendapatkan perhatian dan anggaran yang lebih sedikit dan dibayang-bayangi oleh urgensi pengendalian kebakaran. Persepsi ini juga banyak ditemukan di institusi publik lokal. 5 Namun demikian, pengamatan lebih mendalam atas anggaran gabungan yang mencakup unsur parsial pencegahan kebakaran mengindikasikan bahwa distribusi anggaran untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran sudah kurang lebih seimbang. Di satu sisi, ada kemungkinan bahwa keseimbangan proporsi perencanaan anggaran tahun 2016 tersebut merupakan bentuk tanggapan atas kritik yang menuntut penambahan anggaran untuk pencegahan kebakaran. Kedua, di tingkat kegiatan, peningkatan layanan pengendalian kebakaran dan penyediaan fasilitas dan infrastruktur pencegahan kebakaran mendapatkan porsi anggaran terbesar (6,7 dan 4 miliar rupiah), diikuti oleh kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan fasilitas dan infrastruktur pencegahan kebakaran, penyediaan, dan kegiatan pemadaman kebakaran (sekitar 1,2 hingga 2 miliar rupiah per kegiatan). Semua kegiatan di atas merupakan kegiatan penanggulangan bencana yang dikelola oleh badan penanggulangan bencana. Ketiga, distribusi anggaran untuk kegiatan terkait kebakaran merupakan cerminan mandat institusional, meskipun tidak semencolok distribusi anggaran yang teramati di tingkat provinsi. Untuk badan lingkungan hidup, kehutanan, dan pertanian, anggaran kegiatan pencegahan kebakaran (baik murni maupun kuasi) lebih besar dari anggaran pengendalian kebakaran. Dalam hal ini, porsi anggaran yang lebih besar dialokasikan untuk kuasi pencegahan kebakaran. Badan penanggulangan bencana memiliki alokasi anggaran yang jauh lebih besar untuk pengendalian kebakaran ketimbang semua anggaran untuk kegiatan pencegahan kebakaran. 5 Sebagaimana terungkap dalam wawancara dengan staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kampar, Divisi Tanggap Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, dan Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kampar, pada bulan Maret 2017.

Tabel 4. Anggaran tingkat provinsi berdasarkan fungsi institusional untuk pencegahan, kuasi pencegahan, dan pengendalian kebakaran di Riau tahun 2016 Pencegahan kebakaran Kuasi pencegahan kebakaran Pengendalian kebakaran Kegiatan Anggaran (rupiah) Kegiatan Anggaran (rupiah) Lingkungan Hidup Koordinasi pencegahan kebakaran lahan dan hutan di provinsi Riau 139.033.600 Membentuk komunitas pemadam kebakaran desa (MPA, Masyarakat Peduli Api) 314.503.500 Kegiatan Anggaran (rupiah) Menggalang desa bebas asap 313.763.150 Subtotal 139.033.600 Subtotal 628.266.650 Subtotal 0 Membentuk, mendampingi, dan memberikan bantuan teknis terkait pemberdayaan masyarakat dalam konteks pencegahan kebakaran hutan 505.720.925 Pencegahan dan pengawasan kebakaran lahan dan hutan 6.277.423.927 Upaya penanggulangan, pengawasan, dan penanganan kebakaran hutan 875.061.641 Pelatihan pemadam kebakaran hutan 175.770.779 Penyediaan fasilitas dan infrastruktur untuk satuan polisi kehutanan (jagawana) dan 2.789.875.290 penyidik hutan Subtotal 505.720.925 Subtotal 6.277.423.927 Subtotal 3.840.707.710 Pertanian (kawasan) Pemantauan dan pengawasan 428.520.000 kebakaran lahan dan hutan Demonstrasi pertanian (demonstration 825.000.000 farming/demfarm) hingga pengawasan kebakaran lahan dan hutan Subtotal 0 Subtotal 1.253.520.000 Subtotal 0 Penanggulangan bencana

Pengadaan peralatan untuk sistem pemantauan kebakaran lahan dan hutan 1.935.248.000 Pelatihan dan pendidikan pasukan pemadam kebakaran 237.812.000 Penyediaan peralatan pemadam kebakaran 2.590.206.229 Penerapan sekretariat bersama untuk pusat pengendalian kebakaran lahan dan hutan 2.827.000.000 Subtotal 0 Subtotal 1.935.248.000 Subtotal 5.655.018.229 Total anggaran pencegahan 644.754.525 Total anggaran kuasi pencegahan 10.094.458.577 Total anggaran pengendalian 9.495.725.939 Tabel 5. Anggaran tingkat daerah berdasarkan fungsi institusional untuk pencegahan, kuasi pencegahan, dan pengendalian kebakaran untuk 11 kabupaten dan kota di Riau pada tahun 2016 Pencegahan kebakaran Kuasi pencegahan kebakaran Pengendalian kebakaran Kegiatan Anggaran (rupiah) Kegiatan Anggaran (rupiah) Kegiatan Anggaran (rupiah) Lingkungan Hidup Diseminasi kebijakan pencegahan kebakaran hutan Pemantauan dan pencegahan kebakaran lahan dan hutan 302.680.000 Konsolidasi komunitas pemadam kebakaran desa (MPA, masyarakat peduli api) 147.690.000 Koordinasi kebakaran lahan dan hutan 150.000.000 serta pemantauan titik panas harian 113.590.000 Pelatihan komunitas pemadam kebakaran desa 720.305.860 Subtotal 450.370.000 Subtotal 983.895.860 Koordinasi pengawasan kebakaran lahan dan hutan 374.692.000 Pengawasan kebakaran lahan dan hutan 355.750.000 Subtotal 730.442.000 Pembuatan sekat kanal (canal blocking) untuk mencegah kebakaran di lahan gambut 1.260.000.000 Pencegahan dan pengawasan kebakaran lahan dan hutan 1.770.503.200 Upaya penanggulangan, pengawasan, dan penanganan kebakaran hutan 811.224.570

Rapat koordinasi pengawasan kebakaran 150.000.000 lahan dan hutan Manajemen pengendalian kebakaran lahan 79.000.000 dan hutan Subtotal 1.260.000.000 Subtotal 1.770.503.200 Subtotal 1.040.224.570 Pertanian (kawasan) Menggalakkan pembukaan 50.231.980 Pencegahan dan pengawasan 774.855.200 Upaya penanggulangan kebakaran lahan dan 707.983.010 lahan tanpa bakar kebakaran lahan dan hutan hutan [6] Upaya penanggulangan 338.970.000 Pembangunan tempat penampungan Pengendalian kebakaran di lapangan 381.900.000 dan pemantauan titik panas lahan dan hutan air untuk digunakan dalam pencegahan kebakaran di perkebunan masyarakat [7] 600.000.000 Pembangunan tempat penampungan Bantuan teknis dalam pengawasan 100.660.000 air di tingkat desa [8] 1.000.000.000 kebakaran lahan dan hutan Subtotal 389.201.980 Subtotal 2.374.855.200 Subtotal 1.190.543.010 Penanggulangan bencana Bimbingan pencegahan kebakaran Diseminasi kebijakan pencegahan kebakaran hutan Penyediaan fasilitas dan infrastruktur pencegahan kebakaran 32.660.000 Pencegahan dan pengawasan bahaya kebakaran hutan 503.460.200 506.695.500 Pemeliharaan fasilitas dan infrastruktur pencegahan kebakaran 1.989.697.817 4.010.836.400 Pelatihan dan pendidikan terkait pencegahan kebakaran dan upaya penyelamatan dalam bencana kebakaran Pusat kendali operasional dalam konteks kesiapsiagaan kebakaran lahan dan hutan 848.791.500 87.706.988 Peningkatan layanan pengendalian kebakaran Perekrutan tenaga kerja kontrak untuk penanggulangan bencana kebakaran Dukungan untuk kegiatan pemadaman kebakaran Penyediaan alat pemadam api hutan di tingkat desa [3] 6.711.808.610 100.490.000 1.479.901.520 1.234.000.000 Penyediaan mobil pemadam kebakaran yang 100.000.000 memadai Penyediaan mobil pemadam kebakaran 100.000.000 lahan dan hutan yang memadai Koordinasi pengawasan kebakaran hutan 55.520.000

Subtotal 4.550.191.900 Subtotal 3.429.656.505 Subtotal 9.781.720.130 Total anggaran pencegahan 6.649.763.880 Total anggaran kuasi pencegahan 8.558.910.765 Total anggaran pengendalian 12.742.929.710 Keterangan: Anggaran terencana (APBD) untuk 11 (dari 12) kabupaten dan kota di Riau. Sejak tahun 2017, sesuai Hukum Pemerintahan Daerah, sebagian besar upaya yang dilakukan oleh badan kehutanan daerah akan dilimpahkan ke badan kehutanan provinsi.

3. Sistem Risiko Kebakaran (FRS) 3.1. Fitur FRS yang relevan untuk perancangan insentif Instrumen dan skema insentif pencegahan kebakaran yang dibahas di sini bergantung pada sistem tertentu, yaitu Sistem Risiko Kebakaran (FRS). Dengan informasi iklim untuk memprakirakan risiko kebakaran lahan dan hutan, Gambar 1: Lini masa implementasi Pencegahan Kebakaran di Indonesia FRS memberikan informasi terkait peluang terjadinya aktivitas api. Gambar 1 menunjukkan linimasa terkait jenis informasi yang diberikan FRS pada waktu tertentu. Sementara itu, Gambar 2 menunjukkan contoh hasil pengolahan informasi yang dijalankan FRS. Gambar 2. Ilustrasi peta risiko kebakaran yang dibuat pada Mei 2017(periode waktu 3 bulan) dan diterbitkan pada bulan Maret 2017 untuk kabupaten Siak di Riau.

Untuk keperluan pemilihan dan perancangan instrumen, fitur FRS yang relevan didefinisikan sebagai berikut (Someshwar and Mellow, 2016a, 2016b). Sifat informasi. Prediksi risiko kebakaran diperoleh dari dinamika iklim dan api dalam skala musim. Oleh karena itu, prediksi ini lebih cocok untuk upaya risiko kebakaran dan pencegahan kebakaran, bukan untuk pengendalian peristiwa kebakaran jangka pendek. FRS memberikan prakiraan, bukan peringatan. Data dan informasi. Hasil pengolahan informasi yang diberikan FRS hadir dalam tiga produk: (1) tingkat kerentanan terhadap kebakaran tahunan, (2) prediksi titik panas, dan (3) prediksi risiko kebakaran. Baca Tabel 6 untuk melihat jenis informasi yang diberikan FRS. Skala waktu. (i) Periode waktu. 1 3 bulan: Periode waktu optimal untuk kegiatan prakiraan aktivitas api dan identifikasi dini risiko kebakaran. 6 bulan: Periode waktu yang dapat diperpanjang untuk prakiraan dan identifikasi, meskipun skala waktu ini masih harus diverifikasi secara independen. 12 bulan: tidak tersedia. (ii) Skala waktu prediksi risiko. 1 tahun: Peta kerentanan terhadap kebakaran yang digunakan untuk mengidentifikasi area prioritas kegiatan pencegahan kebakaran dan mitigasi risiko kebakaran. Tingkat yurisdiksional. Skala produk FRS diatur untuk mengakomodasi tingkat provinsi dan kabupaten, sementara tingkat granularnya dapat disesuaikan dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan dan tingkat desa. Perancangan kebijakan berbasis insentif memerlukan, antara lain, kepastian hubungan antara proksi dan manfaat (Jack et al., 2008). Dalam hal ini, insentif pencegahan kebakaran harus dikaitkan dengan proksi atas manfaat yang mudah diukur dan dapat dipahami oleh yurisdiksi yang bersangkutan sebagai manfaat yang akan diperoleh sebagai imbalan atas pelaksanaan upaya pencegahan kebakaran dan memberikan hasil yang diharapkan. Tabel 6 menjabarkan informasi yang diberikan FRS serta lingkup waktu dan relevansinya sebagai indikator alokasi sumber daya anggaran dan transfer fiskal. Tabel 6. Informasi FRS Produk FRS dan data/informasi yang dihasilkan Peta kerentanan terhadap kebakaran (terintegrasi dengan data SIDIK) Deskripsi Hasil kalkulasi kemungkinan terjadinya kebakaran menggunakan variabel biofisika, sosial dan ekonomi, dan infrastruktur (kepadatan penduduk; jarak ke jalan raya, sungai, dan pusat desa; pendapatan kotor desa; kedalaman gambut; sistem lahan dan penutup lahan; proporsi lahan hutan; konsesi penebangan hutan dan kelapa sawit). Metrik: Lima kelas tingkatan sangat rendah, rendah, normal, tinggi, dan sangat tinggi. Skala waktu (periode waktu dan waktu prediksi risiko) Satu tahun Relevansi dengan indikator potensial untuk alokasi transfer anggaran dan fiskal Alokasi anggaran tahunan (APBN) berdasarkan tingkat kerentanan terhadap kebakaran Alokasi transfer tahunan untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis output dan Dana Desa Dana Kontingensi untuk upaya tanggap prabencana Indikator akuntabilitas efektivitas program pencegahan kebakaran departemental.

Peluang prediksi titik panas Prediksi peluang curah hujan (untuk analisis tingkat kabupaten) dan suhu permukaan laut (untuk analisis tingkat provinsi). Diperkirakan ada hubungan yang kuat antara curah hujan dan titik panas di wilayah dengan aktivitas api yang tinggi. Aktivitas api dicerminkan oleh kerapatan titik panas. Periode waktu 1 hingga 3 bulan Perubahan alokasi anggaran tahunan (APBN-P) berdasarkan prediksi titik panas Dana Siap Pakai Prediksi risiko kebakaran, matriks dan peta risiko kebakaran Metrik: Di atas normal, normal, dan di bawah normal. Matriks kerentanan terhadap kebakaran dan peluang prediksi titik panas Batasannya adalah fungsi yang didapatkan dari korelasi antara prediksi titik panas dan indeks kerentanan. Metrik: Tujuh kelas tingkatan sangat rendah, rendah, rendah ke menengah, menengah, menengah ke tinggi, tinggi, dan sangat tinggi. Periode waktu 1 hingga 3 bulan Perubahan alokasi anggaran tahunan (APBN-P) berdasarkan risiko kebakaran Dana Kontingensi untuk upaya tanggap prabencana Dana Siap Pakai Program insentif KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Program insentif pengurangan emisi 3.2. Skala waktu Skala waktu merupakan salah satu aspek FRS yang penting bagi kerangka waktu perencanaan anggaran. Seperti yang sudah disebutkan, skala waktu memengaruhi kemampuan untuk memprakirakan kebakaran dan mengidentifikasi risiko kebakaran. Dengan kemampuan semacam itu, skala waktu juga berpengaruh terhadap kapasitas sistem informasi untuk mencegah kebakaran dan memitigasi risiko kebakaran. Pada praktiknya, relevansi skala waktu tersebut berkaitan dengan metode perencanaan anggaran. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2, semakin pendek skala waktu, semakin tinggi kemungkinan skala tersebut digunakan untuk proses penganggaran ad hoc. Sementara itu, semakin panjang skalanya, semakin mungkin skala tersebut digunakan untuk menetapkan program insentif di dalam departemen yang aktif dalam pencegahan kebakaran (seperti KPH). Gambar 2. Skala waktu 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan Pengendalian kebakaran Pencegahan kebakaran Periode waktu optimal FRS AD HOC BUDGET RESPONSE Periode waktu FRS yang dapat diperpanjang (belum diverifikasi) Peta kerentanan PERENCANAAN ANGGARAN TAHUNAN

Peta kerentanan yang memproses informasi kerentanan terhadap kebakaran dan peluang prediksi titik panas merupakan informasi FRS yang paling relevan untuk keperluan perencanaan anggaran tahunan. 3.3. Penerapan praktis FRS Penggunaan Peta Kerentanan FRS untuk alokasi dana tahunan untuk pengurangan kerentanan jangka panjang. Perubahan besar dalam penggunaan lahan dan penutup lahan selama dua dekade terakhir, khususnya di kawasan lahan gambut di Indonesia, telah meningkatkan risiko kebakaran yang tidak terkendali. Di banyak daerah di Kalimantan Tengah dan Riau, lahan gambut sudah mengering secara ekstensif sebagai akibat dari pembangunan kanal. Degradasi yang terjadi telah meningkatkan kerentanan kubah gambut terhadap kebakaran. FRS memiliki kapabilitas data untuk memproduksi peta kerentanan terhadap kebakaran guna memfasilitasi perencanaan tindakan pencegahan kebakaran yang lebih efektif (Gambar 1 dan 2). Peta kerentanan terhadap kebakaran dibuat menggunakan algoritme yang memanfaatkan data titik panas MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dan dengan nilai tertimbang yang seuai untuk indikator lokasi tertentu (seperti penggunaan lahan dan penutupan lahan; jarak ke jalan raya, sungai, dan pusat desa; kedalaman gambut; dll.). Peta kerentanan terhadap kebakaran di tingkat kabupaten dan desa didasarkan pada sejumlah besar faktor pendorong biofisik, dengan sejumlah terbatas faktor sosial dan ekonomi yang dipertimbangkan. Sementara itu, Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan ), berisi data bulir yang lebih halus terkait faktor pendorong sosial dan ekonomi dari kerentanan desa dan masyarakat terhadap variabilitas iklim. Informasi SIDIK yang diintegrasikan ke dalam sistem FRS akan menghasilkan peta kerentanan yang memuat faktor pendorong biofisik dan sosial ekonomi dari kerentanan terhadap kebakaran. Peta Kerentanan terhadap Kebakaran FRS yang sudah dikembangkan untuk kabupaten (atau desa?) harus digunakan dalam pencegahan kebakaran dengan dua cara. (1) Peta yang sudah dikembangkan harus menjadi dasar rencana dan program tata ruang tingkat desa (dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)?): Program spesifik departemen akan mencakup kegiatan yang ditujukan sebagai penanggulangan bagi faktor pendorong kerentanan tertentu guna mengurangi kerentanan terhadap kebakaran. Kegiatan mitigasi risiko kebakaran jangka panjang (5 tahun dan lebih) dapat difokuskan pada mekanisme pemberian insentif terhadap petani kecil demi menggalakkan sistem pertanian dan wanatani berbasis karet, menggabungkan dua sasaran dinamis pembangunan ekonomi (khususnya untuk petani kecil) dengan manajemen hutan dan lahan gambut yang lebih berkelanjutan. Berbagai upaya dalam kerangka waktu beberapa tahun dapat berkontribusi pada diversifikasi sumber pendapatan, bukan hanya dengan mempromosikan tanaman alternatif seperti karet, sagu, dan jelutung, tetapi juga dengan memprioritaskan pengembangan pasar, memperkuat rantai pasok untuk kerajinan dan produk lokal, dan menghubungkan usaha lokal dengan pasar baru. Mekanisme untuk kegiatan-kegiatan ini dapat meliputi penggunaan Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) dan subsidi input untuk keringanan pajak bagi usaha lokal, kredit berbunga rendah, dan akses ke kredit melalui keuangan mikro. Penting bagi KLHK untuk mengembangkan serangkaian kegiatan percontohan untuk membantu memopulerkan konsep tindakan mitigasi risiko kebakaran. (2) Perubahan tahun ke tahun pada kerentanan terhadap kebakaran suatu kabupaten atau desa merupakan rekaman objektif dari efektivitas tindakan pencegahan kebakaran yang dilaksanakan di sana untuk El Niño dengan tingkat kekuatan tertentu. Dikombinasikan dengan data dampak kebakaran lainnya (seperti jumlah anak-anak yang dirawat di rumah sakit karena gangguan pernapasan), data perubahan ini menjadi dasar mekanisme akuntabilitas pemanfaatan kegiatan pencegahan kebakaran

yang dijalankan di kabupaten dan desa. Semakin tinggi efektivitas kegiatan pencegahan kebakaran, semakin rendah pula kerentanan suatu wilayah untuk EL Niño dengan kekuatan tertentu. Gambar 1: Contoh peta Kerentanan terhadap Kebakaran FRS yang diterbitkan untuk kabupaten Bengkalis di provinsi Riau dan provinsi Kalimantan Barat yang diperoleh pada 30 Juni 2016. Sumber: Situs web FRS: http://kebakaranhutan.or.id

Gambar 2: Informasi tutupan lahan untuk kabupaten Bengkalis di provinsi Riau yang diperoleh pada 30 Juni 2016. Sumber: Situs web FRS: http://kebakaranhutan.or.id Peta FRS mencerminkan tingkat dampak degradasi gambut pada risiko kebakaran. Dengan ketersediaan data degradasi gambut dengan skala ruang yang lebih halus, peta FRS dapat diatur sedemikian rupa untuk mencerminkan dampak degradasi terhadap kerentanan terhadap kebakaran. Meskipun meningkatkan kadar air secara umum membantu mengurangi kerentanan terhadap kebakaran, efektivitas bergantung pada tingkat degradasi gambut. Tabel kontingensi pada Gambar 3 menyajikan skema degradasi gambut dan risiko kebakaran yang bersumber dari El Niño yang dibuat untuk Kalimantan Tengah. Degradasi gambut dikonseptualisasikan dalam tiga tahap penting (sebagai minor, menengah, dan maksimum, sesuai Schumman dan Joosten, 2008). Setiap tahap digambarkan dengan perubahan kompleks pada komponen lahan gambut (seperti vegetasi, hidrologi dan hidrolika tanah, dan deposisi gambut). Dengan bertambahnya komponen yang terdampak, kesulitan dan kompleksitas restorasi pun meningkat.

Tahun Tanpa El Niño Tahun El Niño Lemah Tahun El Niño Kuat Tahap Degradasi Karakteristik Tingkat Kemungkinan Risiko Kebakaran Minor Menengah Maksimum Kegiatan kehutanan berintensitas rendah. Sedikit pengeringan. Pengeringan dangkal jangka panjang, dengan sedikit pedogenesis. Perubahan pada vegetasi alami Dikeringkan dengan intensif, dengan permukaan gambut padat. Bentuk lahan gambut berubah akibat penurunan. Badan gambut (peat body) sangat terpengaruh oleh erosi dan oksidasi. Risiko Kebakaran Rendah Risiko Kebakaran Menengah Risiko Kebakaran Tinggi Gambar 3: Tahap degradasi lahan gambut dan kemungkinan risiko kebakaran dalam hubungannya dengan El Niño. Kenaikan tingkat degradasi gambut menambah risiko kebakaran. Kawasan gambut dengan tingkat degradasi tinggi di Kalimantan Tengah dan Riau lebih rawan kebakaran dibandingkan kawasan gambut dengan degradasi yang lebih rendah. Mengingat kecenderungan kemarau yang parah dan panjang di Kalimantan Tengah yang ko-terminus dengan kekuatan El Niño, tahapan degradasi gambut memiliki risiko kebakaran dengan tingkat yang berbeda. Presentasi skematik tingkat risiko kebakaran, menimbang degradasi gambut dalam hubungannya dengan kekuatan El Niño di Kalimantan Tengah, didasarkan pada dua hal mendasar: kecenderungan gambut kering untuk terbakar dan dampak fenomena iklim skala besar pada tingkat kelembapan gambut lokal. FRS dapat membantu membuat tabel kontingensi yang serupa untuk provinsi kaya gambut yang memiliki risiko kebakaran hutan yang tinggi sebagai akibat dari penggundulan hutan yang berkepanjangan dan perubahan penggunaan

lahan. 6 Kerentanan lahan gambut terhadap risiko kebakaran dan suseptibilitasnya terhadap fenomena iklim regional skala besar (contoh: El Niño dan Indian Ocean Dipole) menawarkan data ilmiah yang dapat membantu badan pemerintah untuk memprioritaskan pengurangan risiko kebakaran dan restorasi lahan gambut. Ragam alat yang dimiliki FRS dapat sangat membantu dalam hal ini. Pengutamaan upaya restorasi yang didasarkan pada ilmu terbaik tidak hanya akan membantu memanfaatkan sumber daya yang terbatas dengan sebaik mungkin, tetapi juga membantu menangkal tekanan politik dari berbagai golongan terkait pemilihan lokasi oleh partisan. Kegunaan pemetaan spasial risiko kebakaran. (1) Tindakan pencegahan jangka pendek: FRS mengombinasikan peta kerentanan dengan komponen lain di dalamnya, khususnya prediksi curah hujan, untuk menghasilkan prakiraan risiko kebakaran (lihat Gambar 4). Peta Risiko Kebakaran memberikan informasi penting yang diperlukan untuk memulai tindakan pencegahan guna menghindari kebakaran atau menekan dampak berdasarkan riwayat kerentanan kebakaran dan prediksi musiman yang dihasilkan. Peta ini mengindikasikan tingkat prakiraan risiko kebakaran dalam periode waktu satu hingga tiga bulan. Dengan menggabungkan kerentanan terhadap kebakaran dan peningkatan aktivitas api, peta risiko dapat menjadi sangat berguna bagi staf KPH dan badan kabupaten untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko kebakaran hutan dalam jangka pendek. Prediksi jumlah titik Tingkat Kerentanan terhadap Kebakaran Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi Sangat Tinggi Tingkat Risiko Sangat Rendah Rendah Rendah Menengah Menengah Menengah Tinggi Tinggi Gambar 6: Prediksi titik panas (kiri), peta Kerentanan terhadap Kebakaran (tengah), dan peta Risiko Kebakaran (kanan) untuk kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Peta Risiko Kebakaran untuk bulan April yang diterbitkan pada bulan Februari. (2) Program insentif KPH: Di daerah dengan risiko kebakaran yang tinggi seperti Riau dan Kalimantan Tengah, peta risiko kebakaran harus pula dijadikan sebagai panduan rencana manajemen kehutanan KPH untuk membantu menentukan aset produktif yang akan dipertimbangkan, dan praktik silvikultur yang akan dijalankan. Di daerah dengan tingkat degradasi gambut dan risiko kebakaran yang tinggi, 6 Meskipun skema menunjukkan Kalimantan Barat, skema yang serupa dapat dibuat untuk provinsi kaya gambut lainnya, seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Papua. Hubungan yang tergambarkan dalam setiap provinsi akan bergantung pada dampak El Niño pada presipitasi setempat, dan kemudian tingkat kelembapan gambut.

akan sangat bermanfaat bagi pihak manajemen kehutanan jika mereka menyasar diversifikasi yang mencakup wanatani berbasis karet. Di daerah-daerah tersebut, stabilisasi ekosistem dan upaya pembalikan hilangnya gambut mungkin lebih penting ketimbang pendapatan yang diperoleh dari pemanenan. Tren jangka panjang keberlanjutan lahan gambut dapat lebih dipahami melalui jukstaposisi peta risiko dan kerentanan terhadap kebakaran FRS dan aliran pendapatan tahunan. Profitabilitas yang tinggi tidak menjamin bahwa suatu KPH memiliki keberlanjutan jika data kerentanan terhadap kebakarannya menunjukkan faktor pendorong ekologis risiko kebakaran yang memburuk. Pembandingan risiko dan kerentanan terhadap kebakaran KPH dalam lingkup dan lintas provinsi dapat memberikan informasi berharga tentang hal yang efektif dan tidak efektif dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran, dan juga efikasi usaha KPH. Informasi ini dapat bermanfaat untuk membantu KPH menyeimbangkan kepentingan perolehan pendapatan dengan peran mereka dalam pemeliharaan ekosistem. KPH yang berhasil menjaga keseimbangan positif (hijau) dapat menjadi teladan bagi KPH lainnya, sementara stafnya mendapatkan insentif melalui suatu program nasional. (3) Program insentif pengurangan emisi: Tingkat emisi GRK dasar (baseline) untuk suatu tingkat risiko kebakaran tertentu dapat digunakan dalam skema pembayaran berbasis hasil di tingkat kabupaten. Tingkat emisi dalam satu tahun yang lebih rendah dari emisi baseline historis untuk suatu tingkat risiko kebakaran akan berujung pada pemberian imbalan. Sebaliknya, tingkat emisi dalam satu tahun yang lebih tinggi dari emisi baseline historis untuk suatu tingkat risiko kebakaran akan difungsikan sebagai dasar pemberian penalti. Dua faktor biofisik yang memengaruhi risiko kebakaran dan harus dipertimbangkan dalam merumuskan pengukuran baseline adalah tingkat degradasi gambut dan terjadinya El Niño. Mengingat perbedaan tingkat kekuatan El Niño akan memberikan dampak yang berbeda pula, akan sangat penting untuk memiliki baseline yang dikalibrasikan ke beberapa kategori tingkat kekuatan El Niño (alih-alih kategori biner sederhana seperti El Niño dan non-el Niño). 4. Instrumen dan skema transfer fiskal dan anggaran Tiga bentuk insentif akan dibahas dalam instrumen dan skema terkait berikut. Pertama, insentif berbasis anggaran; kedua, insentif berbasis transfer fiskal; dan, ketiga, insentif yang menggabungkan dimensi transfer fiskal dan anggaran. 4.1. Instrumen dan skema anggaran Produk FRS dan informasi yang diberikannya dapat dimanfaatkan untuk anggaran berbasis formula atau alokasi fiskal. Keduanya dapat diajukan, sebagai contoh, untuk membantu memutuskan status kegawatdaruratan penggunaan dana siap pakai. Mengingat sifat informasi yang disajikan FRS dalam kaitannya dengan perencanaan anggaran, produk dan informasi FRS juga dapat diajukan untuk alokasi dana kontingensi. Untuk tujuan perencanaan anggaran tahunan, kerentanan terhadap kebakaran sepertinya adalah informasi yang paling cocok. Berikut ini adalah satu skema yang dimungkinkan untuk pemanfaatan tersebut (baca pembahasan dalam Bagian X).

Tabel 7. Dana terkait bencana sektor publik Jenis dana penanggulangan bencana Dana Kontingensi (Contingency Fund) Dana Siap Pakai Dana Penanggulangan Bencana (Disaster Fund) Pemanfaatan Dana prabencana yang diperuntukkan bagi situasi saat suatu bencana dimungkinkan terjadi. Contoh pemanfaatan mencakup langkah antisipasi barupa evakuasi, pemukiman sementara, serta bantuan pangan dan kesehatan. Dana darurat bencana hanya digunakan untuk barang-barang yang berhubungan dengan penanggulangan bencana dan penyediaan layanan yang mencakup pencarian dan penyelamatan, bantuan darurat, evakuasi, air bersih dan sanitasi, makanan, pakaian, bantuan kesehatan, dan pemukiman sederhana. Dana Pascabencana untuk langkah rehabilitasi dan rekonstruksi fisik dan nonfisik. Pemanfaatan dana mencakup rekonstruksi pemukiman permanen, bantuan kesehatan, air, pasokan listrik, dan fasilitas sanitasi; atau penyediaan layanan publik terkait pendidikan, kesehatan, kejiwaan, dan bantuan sosial. Sumber and proksi anggaran Sumber: APBN. Proksi anggaran: Badan bencana nasional dan subnasional (BNPB dan BPBD) Sumber: APBN dan APBD. Proksi anggaran: BNPB. Sumber: APBN dan APBD. Ini mencakup dana hibah sosial yang diajukan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dana nontransfer yang dicatat pada kategori belanja lain-lain (nomor akun 999,08), yang dilaporkan sebagai lampiran APBD sebagai Catatan Laporan Keuangan. Proksi anggaran: BNPB, BPBD, dan kementerian/badan pemerintahan lainnya. Provinsi dan kabupaten dengan hasil prediksi berupa risiko kebakaran yang tinggi akan menerima dana kontingensi pencegahan kebakaran (Lihat Gambar 3). Secara teknis, provinsi dan kabupaten tersebut merupakan provinsi dan kabupaten dengan tingkat kemungkinan insiden kebakaran tinggi dan sangat tinggi, atau peluang titik panas sebesar 70% atau lebih tinggi di FRS. Dana ini akan dimanfaatkan untuk mencegah insiden kebakaran aktual di wilayah mereka. Sisa dana yang tidak digunakan untuk pencegahan kebakaran akan dikembalikan. Kemungkinan adanya sisa dana memberi ruang bagi ketidakpastian dan ketidakakuratan informasi kerentanan terhadap kebakaran, serta memungkinkan alokasi anggaran tahunan dibuat terlebih dahulu. Gambar 3. Skema insentif anggaran berbasis FRS yang diajukan

Sementara itu, untuk sisa dana yang harus dikembalikan, ada 2 cara yang dapat dicoba, masing-masing dengan implikasi tersendiri terhadap insentif. Pertama, sisa dana dapat dikembalikan kepada pemerintah melalui cara yang sejalan dengan Undang-Undang, seperti melalui Setoran Pengembalian Belanja, untuk kasus-kasus dengan pengeluaran yang melebihi pagu anggaran sebagaimana diindikasikan oleh informasi yang didapat dari analisis kerentanan terhadap kebakaran. Contoh pengembalian belanja semacam itu adalah pengembalian dana siap pakai dan hibah sosial untuk peristiwa bencana yang tidak digunakan. Dengan cara ini, setidaknya secara teoritis, yurisdiksi (provinsi, kabupaten, atau desa) akan mendapatkan insentif untuk melaksanakan lebih banyak tindakan pencegahan sebagai ganti dari lebih banyak pendanaan dan lebih sedikit sisa dana. Cara ini juga sejalan dengan insentif, baik untuk peningkatan kinerja realisasi anggaran dan peningkatan Dana Insentif Daerah (DID). Sekarang ini, setengah dari dana DID diberikan kepada yurisdiksi berdasarkan kinerja fiskalnya dan satu kriteria, yaitu tingkat realisasi pengeluaran yang dikaji berdasarkan pagu anggaran. Kedua, sisa dana direalokasikan ke yurisdiksi yang pada awalnya menjadi sasaran alokasi dana dan dapat digunakan untuk tujuan lain pada tahun fiskal berikutnya. Cara ini dapat menetralkan insentif untuk yurisdiksi terkait mengingat sisa dana yang tersisa untuk meningkatkan atau mengurangi upaya pencegahan kebakaran. 4.2. Instrumen dan skema transfer fiskal Terdapat sejumlah transfer fiskal antarpemerintahan yang dapat digunakan untuk keperluan pemberian insentif pencegahan kebakaran. Dilihat dari bagaimana instrumen ini didefinisikan dan bagaimana instrumen ini dipandang sebagai transfer fiskal yang diatur sistem keuangan publik Indonesia, instrumen yang sesuai mencakup Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), beberapa pengaturan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA), dan dana Desa yang baru-baru ini ditetapkan. Tabel 8 menyajikan instrumen-instrumen fiskal dan perbedaan-perbedaan yang ada terkait alokasi anggaran, tingkat yurisdiksional penetapan tanggung jawab, dan relevansi indikator FRS. Setiap instrumen transfer dapat menyiratkan beragam jenis dan derajat insentif (lihat Shah dan Broadway, 2007). Insentif yang paling mudah dipahami adalah insentif moneter. Jumlah uang yang akan diterima yurisdiksi dari instrumen akan menentukan insentifnya. Jumlah pastinya bervariasi dan sangat bergantung pada formula alokasi dan himpunan dana yang tersedia untuk alokasi tersebut. Formula alokasi yang sudah ada terdiri dari serangkaian kriteria yang didasarkan pada kinerja yurisdiksi dan pertimbangan lintas yurisdiksi. Formula alokasi mendatang untuk instrumen transfer fiskal yang sesuai dapat mencakup, misalnya, pencegahan bencana kebakaran. Informasi FRS tentang peluang risiko kebakaran dapat digunakan sebagai kriteria dan membantu menata struktur beragam insentif untuk yurisdiksi serta alokasi dan proses belanja, dan mekanisme dari transfer yang mereka terima. Terkait himpunan dana, sebagai satu contoh khusus pokok bahasan, dana alokasi umum dan dana desa merupakan skema transfer dan insentif terbesar yang dibangun berdasarkan instrumen ini dan dapat menjadi sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku yurisdiksi karena jumlahnya yang sangat besar. Ada sebuah pelajaran penting yang dapat dipetik dari kasus yang terjadi belakangan ini. Dalam kasus ini, sebuah skema hibah, yang memanfaatkan bantuan internasional dan disokong pula dengan alokasi anggaran nasional, dirintis guna meningkatkan kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Melalui skema ini, kabupaten penerima akan dimintai pertanggungjawaban berdasarkan serangkaian standar kinerja minimum untuk perusahaan air minumnya. Jika standar tidak dipenuhi, dana harus dikembalikan

ke Ditjen Perbendaharaan 7. Dampaknya adalah, dalam sebagian besar kasus, kabupaten memenuhi target berupa 100% sambungan jaringan air minum ke rumah tangga, 0% kebocoran, dan 100% pemulihan biaya. Pendekatan serupa dapat diterapkan untuk kontrol kebakaran dengan menghadirkan pengendalian kebakaran, meningkatkan kolaborasi dengan asosiasi pencegahan kebakaran dalam negeri lainnya melalui BLUD, yaitu badan layanan umum daerah, yang dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan indikator-indikator kinerja yang jelas, sembari menghimpun biaya berbasis hektar dan melapor ke kabupaten serta kesatuan pengelolaan hutan dan masyarakat. Ini akan menjamin adanya tanggung jawab. Insentif dapat pula bersifat institusional, seperti penetapan tanggung jawab yang dikaitkan dengan transfer yang bersangkutan. Insentif dapat dibuat dengan wewenang yang memungkinkan sebuah yurisdiksi menentukan cara transfer dialokasikan atau dibelanjakan, dan derajat wewenang tersebut dapat memengaruhi sifat insentif. Sebagai contoh, dana alokasi khusus untuk kehutanan hanya dapat digunakan untuk program prioritas pemerintah pusat. Sementara itu, penggunaan bagi hasil dari dana reboisasi dibatasi pada langkah publik terbatas yang sebelumnya sudah ditentukan oleh pemerintah pusat melalui pelimpahan sejumlah wewenang kepada kabupaten. Selain itu, variasi insentif dapat dikaitkan dengan derajat keselarasan antara tanggung jawab untuk memutuskan pengeluaran dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan langkah publik yang didanai dengan belanja yang ditetapkan untuk langkah tersebut. Dana desa, yang membebani desa dengan tanggung jawab yang sama untuk kedua keputusan, akan memiliki implikasi insentif yang berbeda dibandingkan dengan, sebagai contoh, dana alokasi khusus. 4.3. Instrumen dan skema campuran Dilihat dari sumber daya fiskal yang dikelola yurisdiksi, instrumen dan skema campuran yang melekat pada dimensi transfer anggaran (pendapatan dan belanja) dan fiskal juga merupakan pilihan yang masuk akal. Ini memungkinkan penggunaan instrumen dan skema campuran yang dimaksudkan untuk yurisdiksi yang melaksanakan pencegahan kebakaran hutan. Manajemen fiskal desa merupakan satu contoh khusus pokok bahasan. Pendapatan desa bisa didapatkan dari beragam aliran pendapatan. Pendapatan asli daerah (PAD), Dana Desa melalui anggaran negara (APBN), dana bagi hasil pajak kabupaten dan pendapatan dari pungutan, Alokasi Dana Desa melalui dana perimbangan, bantuan keuangan melalui anggaran daerah (APBD), hibah dan donasi tidak mengikat dari pihak ketiga, dan pendapatan desa lainnya yang memenuhi syarat merupakan contoh aliran pendapatan desa (Undang- Undang 6/2014, Pasal 72; Peraturan Pemerintah 60/2014). Dalam kasus ini, instrumen dan skema yang masuk akal masih dapat terbayangkan. Sebagai respons terhadap berbagai insentif pencegahan kebakaran, desa dapat menyesuaikan rencana anggaran tahunannya untuk mencakup sejumlah kemungkinan yang dimunculkan oleh transfer anggaran dan fiskal, baik terpisah maupun gabungan. Desa dapat mengharapkan bantuan keuangan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten yang disalurkan dengan sejumlah syarat berdasarkan informasi FRS terkait kerentanan terhadap kebakaran di desa tersebut. Desa dapat, sebagai contoh, menggunakan bantuan yang sudah direncanakan pemerintah pusat sebesar kurang lebih 4 triliun rupiah untuk periode 2017 2019 guna melaksanakan diversifikasi ekonomi desa dengan ketentuan yang secara jelas mengatur bahwa bantuan tidak akan digunakan untuk menjalankan praktik pembakaran (lihat Tabel 2). Selain itu, desa dapat mengalokasikan Dana Desa yang diterimanya untuk langkah pencegahan kebakaran hutan skala desa berbasis informasi FRS tingkat desa dan, apabila berhasil mengurangi risiko 7 PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), 2017 110-0-100, satu pelajaran dari program PDAM, URDI learning forum pada 17 April 2017

kebakaran yang terekam di indeks risiko FRS, akan diberi imbalan berupa dana tambahan dari kabupaten dan rencana tahun fiskal sesudahnya kabupaten akan mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) yang akan digunakan untuk pencegahan kebakaran dan karenanya tidak akan menggunakan dana siap pakai tanggap bencananya.

Tabel 8. Ilustrasi instrumen fiskal dan peran indikator FRS Rata-rata alokasi transfer tahunan Penetapan tanggung jawab Instrumen umum tahun 2016 (juta rupiah) Keputusan Pendanaan Kategori transfer Instrumen spesifik Provinsi Kabupaten/Kota Alokasi Pengeluaran Contoh instrumen Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum dan sejumlah Pengaturan Bagi Hasil Contoh instrumen spesifik Dana Alokasi Khusus (DAK ) Dana Alokasi Khusus Lingkungan Hidup (DAK LH) Jumlah ratarata yang dialokasikan di tingkat provinsi Jumlah rata-rata yang dialokasikan di tingkat kabupaten/kota Tingkat pemerintahan yang memutuskan bagaimana dana akan dialokasikan Tingkat pemerintahan yang memutuskan bagaimana dana akan dibelanjakan Tingkat pemerintahan yang mendanai instrumen Implementasi Tingkat pemerintahan yang menjalankan langkah yang didanai dengan instrumen FRS sebagai indikator Proses dan mekanisme yang berpotensi menggunakan indikator peluang risiko kebakaran 1.746 1.682 Pusat Pusat Pusat Subnasional Alokasi dan pengeluaran 6.211 1.432 Dana Alokasi Umum (DAU) 1.133.414 682.726 Pusat Subnasional Iuran Hasil Hutan (Dana Bagi Hasil Provisi Sumber Daya Hutan (DBH PSDH)) Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) * Dana Bagi Hasil Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (DBH IIUPH) Iuran Tetap (DBH Iuran Tetap) 4.252 1.084 1.459 830 213 8.745 2.206 (bagi hasil Dana Reboisasi yang diputuskan secara parsial oleh pemerintah pusat) Pusat Subnasional Pengeluaran Dana Insentif Daerah Dana Insentif Daerah (DID) 17.176 18.597 Pusat Subnasional Pusat Subnasional Alokasi Dana desa Dana desa * 1.281.329 Pusat Desa Pusat Desa Alokasi, pengeluaran Keterangan: * Pendapatan dari dana reboisasi untuk saat ini tidak dialokasikan untuk provinsi. Akan tetapi, ini bisa jadi akan segera berubah karena adanya revisi pada undangundang dana perimbangan daerah; dana desa yang dialokasikan untuk tingkat kabupaten/kota untuk desa yang masuk dalam yurisdiksinya.data alokasi anggaran diadaptasi dari Mumbunan (2016).

Selain kemungkinan-kemungkinan di atas, desa dapat menerima bantuan keuangan berbasis kinerja dari perusahaan-perusahaan untuk keperluan pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Sebagai contoh, APRIL memberikan hadiah bagi desa-desa di Riau yang berhasil memadamkan api. Alokasi yang sama besar disediakan untuk desa-desa yang bersaing (sejumlah total 900 juta rupiah atau 68.500 dolar Amerika Serikat), desa akan menerima 100 juta rupiah (sekitar 7.600 dolar Amerika Serikat) untuk nol kebakaran atau mendapatkan setengahnya jika kebakaran berhasil diredam menjadi hanya 1 ha. Musim Mas memberi setiap desa 25 juta rupiah (sekitar 2.000 dolar Amerika Serikat) serta hadiah insfratsruktur masyarakat jika berhasil membebaskan desa dari kebakaran selama satu tahun. Akan tetapi, meskipun bantuan dari perusahaan-perusahaan semacam ini disambut dengan hangat, jumlahnya masih jauh dari cukup. Terkait bantuan dari perusahaan dan pemerintah dalam bentuk instrumen spesifik, ad hoc, dan instrumen alokasi khusus yang sudah ditentukan untuk langkah-langkah terkait kebakaran, jumlahnya memang selalu sangat terbatas. 8 Oleh karena itu, upaya pencegahan kebakaran yang lebih luas, berkelanjutan, memadai, dan tunduk pada keputusan desa, seperti Dana Desa, harus lebih digalakkan. 5. Pembahasan. Studi ini mempelajari dan menyajikan potensi insentif transfer anggaran dan fiskal untuk yurisdiksi di tingkat subnasional dan daerah dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dengan memanfaatkan informasi Sistem Risiko Kebakaran (FRS). Menyertakan informasi risiko kebakaran ke dalam skema insentif dapat meningkatkan efektivitas langkah pencegahan kebakaran dan efektivitas biayanya tentunya dengan sejumlah konsekuensi. Pengenalan pencegahan kebakaran berbasis risiko semacam itu dapat, sebagai contoh, berimplikasi pada alokasi untuk pencegahan kebakaran, khususnya anggaran pengendalian kebakaran. Efektivitas langkah dan biaya secara keseluruhan menyiratkan restrukturisasi anggaran yang sudah ditentukan untuk langkah pencegahan dan pengendalian kebakaran. Dana kontingensi bencana untuk pencegahan kebakaran dapat lebih tertarget dan efektif biaya jika didukung informasi FRS. Pada saat yang sama, anggaran pengendalian api yang secara khusus dialokasikan di bawah dana darurat siap pakai dan dana pasca bencana akan berkurang, seiring kebutuhan penggunaannya,, diharapkan akan menghilang atau banyak berkurang akibat adanya langkah-langkah pencegahan kebakaran yang efektif di tingkat atas. Dengan kata lain, meskipun anggaran penyediaan fasilitas dan infrastruktur pencegahan kebakaran mungkin meningkat, anggaran untuk penyediaan peralatan pemadam kebakaran akan menurun. Jika memang itu yang akan terjadi, maka akan ada lebih banyak insentif yang mendorong yurisdiksi untuk mencegah kebakaran ketimbang mengendalikan api. Namun demikian, ini dapat menimbulkan disinsentif di antara institusi yang bersaing. Badan yang berurusan dengan penanggulangan bencana dan manajemen pascabencana (BNPB, BPBD, militer dan kepolisian, serta sejumlah divisi dalam badan dan Lingkungan Hidup) tidak berpeluang besar menjadi penganjur gagasan ini karena badanbadan ini berpotensi mengalami pengurangan dana. Meskipun dilihat dari tingkat masyarakat, dampak pencegahan kebakaran yang sukses berpotensi lebih menguntungkan dalam hal peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran, terpeliharanya kesehatan masyarakat, dan berkurangnya risiko kebakaran terhadap ekonomi dan lingkungan hidup. Meskipun koherensi perencanaan anggaran lintas institusi 8 Masalah terkait tidak memadainya dana dan terbatasnya jumlah desa yang didukung telah diajukan dalam wawancara dengan kepala Divisi Tanggap Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau pada bulan Maret 2017.

dan tingkat (nasional, subnasional) merupakan sesuatu yang penting, hal ini mungkin tidak dapat sepenuhnya menghilangkan tarik-menarik upaya politik ekonomi untuk mempertahankan dan mengamankan kepentingan lembaga terhadap anggaran, termasuk upaya menghalangi penggunaan skema (dis)insentif. Dalam merancang skema insentif pencegahan kebakaran yang memanfaatkan instrumen campuran berupa transfer anggaran dan transfer fiskal antarpemerintah, kebutuhan untuk membuat tautan fungsional antara mekanisme penganggaran berbasis FRS dan indikator kinerja yurisdiksi akan muncul. Tautan ini berguna untuk mendemonstrasikan bahwa tindakan yang diambil oleh suatu yurisdiksi untuk mencegah kebakaran hutan, dan dinyatakan dalam bentuk anggaran, akan disambut dengan pengakuan kinerja dan tambahan dana untuk yurisdiksi tersebut, dan tentunya perubahan perilaku yang mendukung pencegahan kebakaran. Provinsi, kabupaten, atau kota yang menjalankan program dan kegiatan yang secara eksplisit merujuk pada informasi yang diberikan sistem risiko kebakaran dalam proses penganggarannya tentunya akan dapat melihat bahwa pelaksanaan program dan kegiatannya memiliki hubungan langsung dengan insentif yang mereka terima. Sebagai contoh, kabupaten yang melaksanakan program pencegahan kebakaran, misalnya program yang diukur berdasarkan perbandingan penurunan kasus kebakaran dengan baseline yang menggambarkan jumlah kasus yang diperkirakan terjadi sesuai anggaran yang sudah dialokasikan, dapat melihat bahwa kinerjanya yang berhasil memenuhi target pengurangan kasus kebakaran dan penurunan realisasi anggaran mendapatkan pengakuan, dan ini nantinya akan berujung pada pengalokasian anggaran yang lebih besar pada masa mendatang, seperti melalui mekanisme Dana Insentif Daerah (DID). Selain itu, struktur institusional baru harus diuji coba guna, secara khusus, memastikan efisiensi yang lebih baik dalam pemanfaatan sumber daya. Ada sebuah pelajaran penting yang dapat dipetik dari kasus yang terjadi belakangan ini. Dalam kasus ini, sebuah skema hibah, yang memanfaatkan bantuan internasional dan disokong pula dengan alokasi anggaran nasional, dirintis guna meningkatkan kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Melalui skema ini, kabupaten penerima akan dimintai pertanggungjawaban berdasarkan serangkaian standar kinerja minimum untuk perusahaan air minumnya. Jika standar tidak dipenuhi, dana harus dikembalikan ke Ditjen Perbendaharaan 9. Dampaknya adalah, dalam sebagian besar kasus, kabupaten memenuhi target berupa 100% sambungan jaringan air minum ke rumah tangga, 0% kebocoran, dan 100% pemulihan biaya. Pendekatan serupa dapat diterapkan untuk kontrol kebakaran dengan menghadirkan pengendalian kebakaran, meningkatkan kolaborasi dengan asosiasi pencegahan kebakaran 10 dalam negeri lainnya melalui BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), yaitu badan layanan umum daerah, yang dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan indikator-indikator kinerja yang jelas, sembari menghimpun biaya berbasis hektar dan melapor ke kabupaten serta kesatuan pengelolaan hutan dan masyarakat. Ini dapat mengurangi beban wajib pajak. Informasi yang diberikan oleh FRS (prediksi kerentanan kebakaran, titik panas, dan risiko kebakaran) memungkinkan kita membuat rancangan skema insentif pencegahan kebakaran yang lugas. Begitu prediksi kebakaran dapat didemarkasi di bawah suatu ruang yurisdiksional dan batas temporal, keuntungan marginal (keuntungan lebih yang didapat dari upaya lebih) dari pencegahan bencana kebakaran akan konstan di semua lokasi atau sumber kebakaran. Sebagaimana diindikasikan oleh kasus pencemaran lingkungan hidup, manfaat marginal yang konstan merupakan syarat penting skema 9 PUPR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), 2017 110-0-100, satu pelajaran dari program PDAM, URDI learning forum pada 17 April 2017 10 Lihat: https://workingonfire.org/fire-protection-associations/

insentif yang efektif; skema insentif yang lebih kompleks dapat diajukan jika manfaat marginal bervariasi (Jack et al, 2008). Meskipun FRS mungkin lebih cocok untuk tujuan insentif yurisdiksional, pada tingkat individu, skema insentif berbasis FRS saja mungkin tidak cukup dan karenanya membutuhkan pendekatan campuran. Insentif yang dapat memicu perubahan besar pada perilaku yurisdiksi tidak selalu relevan untuk individu di dalam yurisdiksi tersebut dalam kaitannya dengan skala atau tujuan dari insentif yang dimaksud. Selain itu, biaya yang mesti dikeluarkan individu (di desa, misalnya) untuk membakar hutan jauh lebih sedikit ketimbang tidak membakar. Manfaat ekonomi langsung untuk individu lebih nyata, terlepas dari biaya ekologis dan kesehatan kolektif yang muncul akibat aksi individu dan kehadiran insentif di tingkat yurisdiksional. Dalam kasus ini, insentif yurisdiksional mungkin tidak akan langsung dikonversi menjadi insentif individu. Masalah tindakan kolektif mungkin muncul akibat kemudahan yang didapat individu dari praktik pembakaran dan dari insentif yang diterima desa atau kabupatennya. Ini merupakan hambatan bagi efektivitas skema insentif yang dirancang dengan sudut pandang yurisdiksional. Pendekatan campuran, yang menggabungkan instrumen komando-dan-kendali di tingkat individu dan skema insentif untuk yurisdiksi, akan mungkin saja dibutuhkan dalam pencegahan kebakaran. Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang pilihan instrumen, derajat kekhususan indikator alokasi, yang sangat berhubungan dengan sifat informasi risiko kebakaran, dapat menghasilkan beragam dampak terhadap insentif. Secara teoretis, transfer fiskal yang bertujuan membebankan lebih banyak tanggung jawab kepada pemerintahan subnasional atau daerah membutuhkan indikator yang berada di luar kategori indikator yang bertujuan meningkatkan efektivitas langkah publik. Untuk menggambarkannya, alokasi dana alokasi umum dari yurisdiksi pusat ke subnasional lebih tidak mungkin memiliki indikator pencegahan kebakaran, meskipun terdapat kemungkinan bahwa indikator tersebut dapat dipertimbangkan dalam proses perencanaan anggaran subnasional terkait penggunaan dana tersebut, setelah diterima, untuk menyokong kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Sementara itu, dana alokasi khusus yang dirancang eksklusif untuk mencegah kebakaran hutan, dengan syarat bahwa dana ini diakui sebagai prioritas nasional, dapat menggunakan indikator berbasis risiko kebakaran yang terperinci. Untuk implementasi kebijakan mendatang tentang pencegahan kebakaran berbasis risiko berdasarkan informasi FRS, akan muncul sebuah kebutuhan langsung untuk membuktikan kelayakan fiskal dan perundangan dari proposal dan elemen insentif terkait. Selain itu, direkomendasikan pula bahwa prinsip ekonomi dibuat secara khusus untuk proposal guna menggeser konsentrasi, dari pengendalian kebakaran ke pencegahan kebakaran. Rekomendasi pertama adalah pembandingan potensi penghematan dan penambahan peluang antara pengaturan yang sedang berjalan dan pengaturan terencana yang dibuat berdasarkan informasi FRS. Rekomendasi kedua adalah pengkajian skenario ekonomi yang dimungkinkan terkait pencegahan kebakaran berbasis risiko yang diajukan di beragam institusi di tingkat nasional, subnasional, dan daerah, di antara institusi bertingkat yurisdiksional yang sama, serta bagaimana mereka merespons proposal yang diajukan.

Referensi Busch, Jonah, Ruben N. Lubowski, Fabiano Godoy, Marc Steininger, Arief A. Yusuf, Kemen Austin, Jenny Hewson, Daniel Juhn, Muhammad Farid, dan Frederick Boltz. 2011. Structuring economic incentives to reduce emissions from deforestation within Indonesia. Proceeding of the National Academy of Sciences 109 (4), hlm. 1062 1067. doi: 10.1073/pnas.1109034109 Boadway, Robin, dan Anwar Shah (eds.). 2007. Intergovernmental fiscal transfers: principles and practice. Washington, DC: The World Bank. Jack, B. Kelsey, Carolyn Kousky, dan Katharine R. E. Sims. 2008. Designing payments for ecosystem services: lessons from previous experience with incentive-based mechanisms. Proceeding of the National Academy of Sciences 105 (8), hlm. 9465-9470. DOI: 10.1073/pnas.0705503104 Mumbunan, Sonny. 2016. Transfer instruments to jurisdictions reducing land-based emissions. Report of Research Center for Climate Change, University of Indonesia, to the European Forest Institute. Tidak diterbitkan. Mumbunan, Sonny, Irene Ring, dan Thomas Lenk. 2012. Ecological fiscal transfers at the provincial level in Indonesia. UFZ Discussion Paper No. 6/2012. Leipzig, Jerman. Helmholtz Centre for Environmental Research. Pemerintah Republik Indonesia. 2017. Grand design pencegahan kebakaran hutan, kebun, dan lahan 2017 2019. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan. Someshwar, Shiv and Brittney Melloy. 2016a. Use of fire risk system capabilities to enhance effectiveness of POSNAS. Columbia University Reports for UNOPS Gambut Project. Tidak diterbitkan. Juli 2016. Someshwar, Shiv and Brittney Melloy. 2016b. End-user guidelines to increase FMU capacity to utilize FRS. Columbia University Reports for UNOPS Gambut Project. Tidak diterbitkan. Juli 2016. Vincent, Jeffrey R., Jean Aden, Giovanna Dore, Magda Adriani, Vivianti Rambe, dan Thomas Walton. 2002. Public environmental expenditures in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies 38 (1), hlm. 61-74. http://dx.doi.org/10.1080/000749102753620284