6 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Komunikasi Menurut Hirschfeld (2008), komunikasi adalah suatu bagian yang terpenting dari matematika dan pendidikan matematika. Sedangkan, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (2000:268), komunikasi merupakan suatu tantangan bagi siswa di kelas untuk mampu berpikir dan bernalar tentang matematika yang merupakan sarana pokok dalam mengekspresikan hasil pemikiran siswa baik secara lisan maupun tertulis. Lestari dan Yudhanegara (2015) mengemukakan kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan menyampaikan, memahami dan menerima gagasan atau ide matematis baik secara lisan maupun tulisan untuk mempertajam pemahaman. Sedangkan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (2000:60), kemampuan komunikasi matematis adalah: (1) menyusun dan mengaitkan berpikir matematis siswa melalui komunikasi; (2) mengkomunikasikan pemikiran matematisnya secara benar dan jelas dengan guru atau siswa lainnya; (3) menganalisis dan menilai pemikiran matematis dan strategi-strategi lainnya; (4) menggunakan bahasa matematis untuk menyatakan ide-ide matematisnya dengan benar. Sullivan dan Mousley (Ansari:2016) juga mengatakan kemampuan komunikasi matematis bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan,
7 menggambarkan, mendengar, menanyakan, klarifikasi, bekerjasama, menulis dan melaporkan hasilnya. Ansari (2016) komunikasi matematis terdiri dari komunikasi lisan (talking) dan komunikasi tulisan (writing). Komunikasi lisan (talking) adalah suatu interaksi yang dilakukan oleh guru dengan siswa maupun siswa itu sendiri pada saat pembelajaran. Sedangkan komunikasi tulisan (writing) adalah suatu kemampuan atau keterampilan siswa dalam menggunakan kosa kata-nya, notasi dan struktur matematika. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah suatu interaksi antara guru dan siswa maupun siswa itu sendiri yang terjadi di dalam suatu lingkungan kelas dimana terjadi pengalihan pesan balik secara tertulis maupun lisan yang berupa gambar, simbol, notasi, istilah, grafik, benda nyata, aljabar ataupun dengan bahasa sehari-hari dan disertai dengan penjelasan untuk mempertajam suatu pemahaman materi yang sedang dipelajari di dalam kelas. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Menjelaskan ide secara lisan maupun tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik atau aljabar. Siswa mampu memberikan penjelasan dari suatu permasalahan matematika dengan langkah-langkah penyelesaian suatu permasalahan sehingga memperoleh solusi dari permasalahan tersebut. Siswa dikatakan mampu memberi penjelasan jika siswa memahami apa yang diketahui, ditanya dan proses penyelesaian menggunakan konsep, ide atau simbol dengan penulisan secara matematika.
8 b. Menghubungkan benda nyata, gambar atau diagram ke dalam ide matematika. Siswa mampu menuangkan ide matematika yang terdapat pada suatu benda nyata, gambar atau diagram ke dalam ide matematika. Siswa dikatakan dapat menghubungkan benda nyata, gambar atau diagram, jika siswa mengetahui apa saja yang diketahui, ditanyakan dan langkah proses penyelesaian menggunakan konsep, benda nyata, gambar atau diagram dari apa yang ditanyakan. c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Siswa mampu menyatakan suatu permasalahan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan matematika ke dalam bentuk bahasa atau kalimat matematika. Siswa dikatakan mampu menyatakan suatu permasalahan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan matematika ke dalam bentuk bahasa atau kalimat matematika jika siswa dapat memahami apa saja yang diketahui, ditanyakan dan langkah penyelesaian menggunakan bahasa atau simbol matematika. 2. Pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) CORE merupakan singkatan dari empat kata yang memiliki kesatuan fungsi dalam proses pembelajaran yaitu Connecting, Organizing, Reflecting dan Extending. Menurut Suyatno (2009) dan Shoimin (2014), elemen-elemen tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi lama dengan informasi baru, mengorganisasikan sebuah ide untuk memahami suatu materi, memikirkan segala sesuatu yang siswa pelajari dan mengembangkan segala
9 sesuatu yang siswa pelajari. Sedangkan Lestari dan Yudhanegara (2015) mengungkapkan CORE adalah suatu pembelajaran yang memiliki tahapan untuk membangun kemampuan siswa dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan siswa, kemudian memikirkan kembali konsep yang sedang dipelajari oleh siswa tersebut. Shell, dkk (2010) bahwa prinsip pembelajaran CORE adalah guru memfokuskan siswa untuk berfikir dengan cara menghubungkan pengetahuan mereka baik dari pengetahuan sebelumnya atau pengetahuan umum yang diperoleh siswa dari gurunya, guru juga akan membimbing siswa dalam mengorganisir ide mereka untuk membangun informasi yang baru. Miller dan Calfee (2004:21) mengungkapkan CORE adalah pembelajaran yang menggunakan metode diskusi yang dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan dan berpikir reflektif dengan melibatkan siswa pada saat pembelajaran berlangsung yang memiliki empat tahapan pengajaran yaitu Connecting, Organizing, Reflecting dan Extending. Tahapan dalam pembelajaran CORE tersebut bersifat siklus sebagaimana yang diilustrasikan pada gambar berikut ini: Gambar 2.1 Tahapan dalam Pembelajaran CORE yang diterapkan oleh Miller dan Calfee (2010:133).
10 Dengan kata lain, pembelajaran CORE merupakan pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan, mengorganisasikan, mendalami, mengelola dan mengembangkan informasi yang didapat. Tahapan pembelajaran CORE, yaitu sebagai berikut: a. Connecting Connect secara bahasa berarti menyambungkan dan menghubungkan. Seperti yang dikemukakan oleh Dymock (2005:178) bahwa suatu pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat menghubungkan siswa dengan topik pembelajarannya. Hubungan yang dimaksud disini adalah hubungan antara apa yang diketahui siswa dan apa yang sedang dipelajarinya. Hal ini perlu diterapkan kepada siswa, karena adanya koneksi yang baik, maka siswa akan mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan metakognitifnya untuk menghubungkan dan menyusun ideidenya. Sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Novak (2008) bahwa dalam belajar orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi baru dengan informasi sebelumnya. Menurut Suyatno (2009) dan Shoimin (2014), connecting merupakan kegiatan menghubungkan informasi lama dengan informasi baru atau antar konsep. Pada tahap ini siswa diajak untuk mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghubungkan ideidenya dengan cara guru memberikan siswa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan lamanya yang sudah dimilikinya. Sedangkan, Lestari dan Yudhanegara (2015) connecting merupakan
11 kegiatan menghubungkan suatu informasi lama dengan informasi baru dengan kehidupan sehari-hari dan secara luas. Dengan demikian, untuk mempelajari suatu konsep matematika yang baru, selain dipengaruhi oleh konsep lama yang telah diketahui oleh siswa, pengalaman belajar yang sudah siswa lakukan juga mempengaruhi terjadinya proses belajar konsep matematika tersebut. Karena, jika siswa belajar didasari oleh apa yang telah diketahuinya, maka siswa tersebut akan dengan mudah memahaminya dan mempelajarinya. b. Organizing Organize secara bahasa berarti mengorganisasikan. Menurut Suyatno (2009) dan Shoimin (2014), Organizing merupakan suatu kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami suatu materi. Hal ini sejalan dengan Lestari dan Yudhanegara (2015) bahwa Organizing adalah kegiatan mengorganisasikan informasi-informasi yang diperolehnya untuk dapat membangun pengetahuannya sendiri. Tahap ini merupakan tahap dimana siswa mengorganisasikan informasi-informasi yang telah diperolehnya seperti konsep apa yang diketahui, konsep apa yang dicari dan keterkaitan antar konsep apa saja yang telah dikemukakan pada tahap connecting untuk dapat membangun pengetahuannya sendiri (konsep baru). Berdasarkan pendapat Miller dan Calfee (2004:21), pada tahap mengorganisasi informasi tidak hanya bertujuan agar siswa dapat mengorganisasikan konsep sebelum dan selama proses pengumpulan
12 informasi itu terjadi, tetapi juga bertujuan agar siswa dapat menggunakannya kembali pada tahap selanjutnya. Penggunaan metode diskusi dapat membantu siswa untuk melakukan pengumpulan dan pengorganisasian informasi-informasi yang diperolehnya dari hasil berinteraksi bersama guru dan siswa lainnya. Dengan demikian, organizing digunakan oleh siswa untuk mengorganisasikan informasi yang telah diperolehnya. Untuk membantu proses pengorganisasian informasi yang didapat oleh siswa maka dilakukan dengan cara diskusi kelompok. c. Reflecting Reflect secara bahasa berarti mengambarkan, membayangkan dan memikirkan. Sagala (2007) mengungkapkan bahwa refleksi adalah cara berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan dalam belajar dimasa lalu. Menurut Suyatno (2009) dan Shoimin (2014), reflecting merupakan memikirkan kembali informasi yang sudah didapat. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dymok (2005:178) bahwa tahap dimana siswa menjelaskan atau mengkritik isi, struktur dan strategi-strategi. Siswa akan mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan dari pengetahuan sebelumnya. Siswa menyimpulkan dengan bahasa sendiri tentang apa yang mereka peroleh dari pembelajaran ini. Miller dan Calfee (2004:23) menyatakan pada tahap ini, siswa diberi kesempatan oleh guru untuk memikirkan apa yang telah dipelajari dalam kelompok kecil maupun besar
13 dengan cara mengoreksi isi pengetahuannya. Kegiatan diskusi memberikan siswa kesempatan untuk memikirkan kembali apakah hasil diskusi sudah benar atau masih terdapat kesalahan yang harus diperbaiki. d. Extending Extend secara bahasa berarti memperpanjang, mengembangkan dan memperluas. Menurut Suyatno (2009) dan Shoimin (2014), extending merupakan tahap dimana siswa dapat memperluas pengetahuan yang diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung. Perluasan pengetahuan dapat dilakukan dengan cara menggunakan konsep yang telah didapatkan ke dalam situasi baru yang berbeda, baik dari suatu konsep ke konsep lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dymock (2005) menyatakan pada tahap ini guru dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk memperluas pengetahuan siswa dengan cara memberikan topik-topik baru lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran CORE merupakan pembelajaran yang lebih menekankan kepada pengalaman siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya kemudian merefleksikan proses belajar yang telah dialaminya serta memperluas pengalaman belajar siswa.
14 Tabel 2. 1 Sintaks Pembelajaran CORE Tahap-Tahap Pembelajaran Connecting. Organizing. Reflecting. Extending. Aktivitas Pembelajaran Siswa menghubungkan informasi yang diperoleh dengan informasi sebelumnya pada saat pembelajaran. - Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok secara heterogen. - Siswa dapat mengorganisasikan ide-idenya yang diperoleh untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru dengan caranya sendiri secara individu maupun kelompok. - Siswa diminta untuk menuangkan semua ide-ide yang ada pada diri siswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. - Siswa diminta untuk memikirkan kembali dan mengevaluasi apakah ada hubungan antara informasi yang baru dengan yang lama serta siswa bekerja sama untuk bersama-sama mendalami dan menggali hal-hal yang baru terkait dengan materi yang sedang dipelajari. Siswa diminta untuk melakukan pengembangan atau memperluas ide tersebut dan menggunakannya atau mengaplikasinya dalam kehidupan nyata serta guru mengarahkan siswa untuk menemukan hal-hal baru yang terkait dengan materi yang dibahas. B. Penelitian Relevan Hasil penelitian relevan sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini adalah: Menurut penelitian yang dilakukan Bergqvist dan Osterholm (2012) aspek matematika sebagian besar termasuk isi dari komunikasi matematika. Sedangkan Wichelt dan Kearney (2009) menyatakan bahwa ada dua komunikasi yaitu secara lisan dan tertulis. Komunikasi lisan dapat berupa pengungkapan dan penjelasan verbal suatu gagasan matematika. Komunikasi lisan dapat terjadi melalui interaksi antar siswa misalnya dalam pembelajaran diskusi kelompok. Sedangkan, komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar, tabel dan
15 sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Komunikasi tertulis juga dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasikan berbagai konsep untuk menyelesaikan masalah (Mahmudi, 2009). Sutamo, dkk (2013) dan Nartani, dkk (2015) bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran berbasis kontekstual mengalami peningkatan. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningrum dan Suryadi (2014) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kemampuan komunikasi matematis siswa melalui strategi MEAs. Sedangkan Yang, dkk (2016) kreasi matematika siswa menjadi lebih jelas dan lebih efisien dengan menggunakan PC tablet untuk menumbuhkan kemampuan komunikasi. Penelitian tentang pembelajaran CORE telah dilakukan oleh beberapa orang. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Relawati dan Nurasni (2016) bahwa pembelajaran CORE lebih baik daripada pembelajaran langsung untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa kelas VIII SMPN 9 Muaro Jambi. Selain itu, Muizaddin dan Santoso (2012) bahwa penggunaan pembelajaran CORE berpengaruh positif dan signifikan terhadap belajar kognitif siswa daripada pembelajaran Think Pair Share. Restiani (2014) dalam skripsinya yaitu: pengaruh pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) dengan Teknik Scaffolding terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMK Bina Teknologi Purwokerto. Hasil posstest diperoleh nilai rata-rata untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut adalah 61,45 dan 51,85. Hasil uji t menyatakan
16 ditolak yang berarti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran CORE dengan teknik scaffolding lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Berdasarkan kajian penelitian terdahulu, belum pernah dilakukan penelitian mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE). Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul Pengaruh Pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VII SMP Muhammadiyah Sokaraja. C. Kerangka Pikir Kemampuan komunikasi matematis adalah suatu interaksi antara guru dan siswa maupun siswa itu sendiri yang terjadi di dalam suatu lingkungan kelas dimana terjadi pengalihan pesan balik secara tertulis maupun lisan yang berupa gambar, simbol, notasi, istilah, grafik, benda nyata, aljabar ataupun dengan bahasa sehari-hari dan disertai dengan penjelasan untuk mempertajam suatu pemahaman materi yang sedang dipelajari di dalam kelas. Pentingnya siswa memiliki kemampuan komunikasi secara matematis, karena dapat membantu siswa untuk menyatakan ide-ide yang dimiliki oleh siswa melalui tulisan dan membantu siswa untuk mempermudah menjelaskan, menggambarkan suatu ide-idenya dalam bentuk lisan. Selain itu dengan siswa memiliki kemampuan komunikasi, memungkinkan siswa itu menjadi lebih aktif dan tanggap dalam menuangkan ideidenya.
17 Pembelajaran CORE merupakan pembelajaran yang lebih menekankan kepada pengalaman siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya kemudian merefleksikan proses belajar yang telah dialaminya serta memperluas pengalaman belajar siswa. Pada pembelajaran ini aktivitas berpikir sangat ditekankan kepada siswa. Siswa dituntut untuk dapat berpikir kritis terhadap informasi yang didapat. Kegiatan mengkoneksikan konsep lama dan baru siswa dilatih untuk mengingat informasi lama dan menggunakan informasi atau konsep lama tersebut untuk digunakan dalam informasi baru atau konsep. Kegiatan mengorganisasikan suatu ide-ide dapat melatih kemampuan siswa untuk mengorganisasikan, mengelola informasi yang telah dimilikinya. Siswa juga dapat bertukar ide mereka dalam satu kelompok belajar, agar memudahkan siswa untuk mengorganisasikan ide-ide yang dimiliki oleh siswa sebelumnya. Siswa juga dilatih untuk memikirkan kembali dan mengevaluasi apakah dalam memahami, menyelesaikan tugasnya sudah sesuai dengan pemikiran siswa itu sendiri, hal ini dilakukan ketika siswa berpikir ke belakang tentang apa saja yang telah dipelajarinya sehingga siswa tahu sejauh mana pemahaman mereka yang telah diperoleh. Siswa juga dilatih untuk mempresentasikan hasil diskusi dan dilatih agar mampu menanggapi hasil diskusi kelompok lain. Siswa juga dilatih untuk memperluas pengetahuannya, dengan mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan oleh guru yang diharapkan siswa mampu mengubah penyelesaiannya
18 dengan caranya sendiri atau cara baru, baik secara individu maupun kelompok, sehingga siswa mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. D. Hipotesis Penelitian Sesuai dengan masalah yang dirumuskan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.