V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Kinerja Pembangunan Daerah Analisis kinerja pembangunan daerah Halmahera Timur dalam penelitian ini meliputi 4 (empat) aspek yaitu, (1) kinerja aparatur daerah, (2) kinerja keuangan daerah, (3) kinerja ekonomi, dan (4) kinerja pelayanan publik. Selain itu, dilakukan pula analisis perkembangan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan IPM. Keempat aspek kinerja pembangunan yang dianalisis dipandang cukup representatif untuk mengetahui secara umum perkembangan pembangunan daerah setelah pemekaran wilayah (daerah), dan perkembangan pencapaian tujuan pemekaran wilayah (daerah) yang diisyaratkan dalam bab II pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Sedangkan perkembangan kesejahteraan dengan IPM dimaksudkan untuk mengetahui secara umum kondisi perkembangan kabupaten Halmahera Timur dalam melaksanakan otonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kinerja pembangunan daerah Halmahera Timur yang dianalisis, selanjutnya dibandingkan dengan sesama daerah pemekaran (Kota Tidore Kepulauan), maupun daerah induk (Kabupaten Halmahera Tengah). Perbandingan antar daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan) maupun dengan daerah induk (Halmahera Tengah), dimaksudkan untuk mengetahui kondisi umum dari dampak yang terjadi setelah pemekaran wilayah pada daerah pemekaran maupun daerah induk, maupun perkembangan pencapaian tujuan pemekaran wilayah pada daerah induk dan daerah pemekaran Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Pemerintah daerah sesuai UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Karena itu, aparatur pemerintah daerah memiliki peranan yang sangat penting dalam melaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah, sehingga ketersediaan jumlah aparatur yang memadai dan kualitas aparatur yang baik sesuai dengan kompetensi kerja, sangat menentukan arah kebijakan pembangunan

2 daerah, khususnya dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, dan mengendalikan pembangunan daerah. Analisis terhadap kinerja pemerintah daerah di Kabupaten Halmahera Timur sebagai salah satu daerah pemekaran, diarahkan pada kuantitas dan kualitas aparatur, serta aparatur yang melaksanakan fungsi pelayanan dalam pengembangan dan peningkatan mutu sumberdaya manusia (SDM). a. Kuantitas dan Kualitas Aparatur Kuantitas aparatur merupakan jumlah keseluruhan (total) pegawai negeri sipil (PNS) di Halmahera Timur, sedangkan kualitas aparatur dilihat berdasarkan tingkat pendidikan aparatur yang berpendidikan sarjana (S1). Tingkat pendidikan aparatur dapat merefleksikan tingkat pemahaman dan pengetahuan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan aparatur, semakin besar pula potensi untuk meningkatkan kualitas kerja yang menjadi tugas dan tanggungjawab. Indikator untuk menilai kualitas aparatur dinyatakan dalam persentase jumlah aparatur yang berpendidikan minimal sarjana, dalam total jumlah aparatur pegawai negeri sipil (PNS) di Halmahera Timur tahun Apabila komposisi jumlah aparatur berpendidikan minimal sarjana meningkat, maka diasumsikan semakin baik pula kualitas aparatur yang ada di pemerintahan daerah kabupaten Halmahera Timur. Perkembangan jumlah total aparatur dan jumlah aparatur yang berpendidikan sarjana di pemerintah daerah Halmahera Timur selama tahun cenderung mengalami peningkatan (Gambar 17). Pada tahun 2005 dari jumlah aparatur PNS sebanyak orang terdapat 49,04% yang berpendidikan sarjana, kemudian pada tahun 2009 jumlah aparatur pemerintah daerah di Halmahera Timur telah mencapai orang, dari jumlah tersebut terdapat kurang lebih 53,40% berpendidikan sarjana. Hal ini menunjukkan, bahwa komposisi aparatur pemerintah daerah Halmahera Timur yang berpendidikan sarjana berada diatas 50%, sehingga kualitas aparatur pemerintah daerah Halmahera Timur dalam tahun secara umum semakin membaik (meningkat). Hal ini beranjak dari asumsi bahwa jumlah aparatur PNS yang berpendidikan sarjana setiap tahun meningkat, maka semakin baik pula kualitas aparatur. Namun, disadari bahwa tingkat pendidikan sarjana bukanlah satusatunya indikator untuk menilai kualitas aparatur, terdapat banyak variabel yang

3 perlu dipertimbangkan, tetapi secara umum tingkat pendidikan sarjana paling umum dan paling sering digunakan untuk mempersentasikan kualitas aparatur. Berkaitan dengan itu, diperlukan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi kerja aparatur sesuai dengan bidang tugas yang menjadi tanggungjawab masing-masing aparatur, melalui pendidikan dan pelatihan baik struktural maupun fungsional. % Aparatur Berpendidikan Sarjana Halteng Tidore Haltim Gambar 17. Persentase Aparatur Berpendidikan Sarjana (S1) Peningkatan kualitas aparatur PNS Halmahera Timur dalam tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore pada tahun yang sama, maka Kota Tidore memiliki persentase kualitas aparatur PNS yang lebih tinggi (baik), dan Halmahera Timur berada pada urutan kedua, kemudian Halmahera Tengah urutan ketiga (Gambar 17). Hingga tahun 2009 dari jumlah total aparatur PNS di Kota Tidore sebanyak orang terdapat 65,78% berpendidikan sarjana, Halmahera Tengah dari total jumlah PNS orang terdapat 51,21% berpendidikan sarjana, Halmahera Timur dari jumlah total PNS sebanyak orang terdapat 53,40% berpendidikan sarajana. Namun secara umum setelah pemekaran wilayah selain jumlah aparatur PNS semakin bertambah, kualitas aparatur berdasarkan tingkat pendidikan sarjana juga semakin bertamba. Dengan pertambahan aparatur PNS baik secara kuantitas maupun kualitas dalam tahun , secara langsung diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik, sehingga pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap semakin tersedianya aparatur yang secara kualitas dan kuantitas dapat meningkatkan pelayanan publik sesuai tugas dan fungsi.

4 b. Aparatur untuk Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Pembangunan sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu sasaran penting yang ingin dicapai dari adanya pemekaran wilayah (daerah). Untuk mencapai sasaran kualitas sumberdaya manusia yang diinginkan, diperlukan aparatur pemerintah daerah yang cukup tersedia secara kuantitas dan kualitas, khususnya aparatur daerah yang secara fungsional memiliki fungsi dan tugas yang berkaitan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, diantaranya guru pada jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan tenaga medis seperti dokter, bidan dan perawat pada rumah sakit, puskesmas dan puskesmas pembantu dalam total jumlah aparatur PNS. Perkembangan jumlah aparatur guru PNS dalam total jumlah aparatur daerah di Kabupaten Halmahera Timur tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun Tahun 2005 terdapat 37,58% aparatur guru (tenaga pengajar) dalam total aparatur PNS, kemudian meningkat menjadi 43,82% pada tahun 2009 (Gambar 18). Peningkatan ini disebabkan adanya kebijakan yang secara nasional melalui Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara untuk memprioritaskan aparatur bidang pendidikan dan kesehatan, sehingga setiap tahunnya di Kabupaten Halmahera Timur terjadi peningkatan penerimaan tenaga guru. Halteng Tidore Haltim % Aparatur Guru Negeri Gambar 18. Persentase Aparatur Pendidik (Guru Negeri) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore.

5 Peningkatan jumlah tenaga guru dalam total jumlah aparatur PNS di Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore pada tahun yang sama (lihat Gambar 18), maka Kota Tidore memiliki persentase aparatur tenaga guru yang lebih tinggi, dan Halmahera Timur berada pada urutan kedua, sedangkan Halmahera Tengah berada pada urutan ketiga. Namun secara umum setelah adanya pemekaran wilayah khususnya tahun jumlah tenaga guru mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada daerah induk maupun daerah pemekaran, sehingga pemekaran wilayah secara langsung memberikan dampak terhadap pertambahan jumlah aparatur guru PNS. Dengan semakin bertambahnya jumlah guru, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dibidang pendidikan, agar sasaran pencapaian kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik dapat terrealisasi. Perkembangan aparatur bidang kesehatan dalam total jumlah aparatur PNS di Halmahera Timur selama tahun , cenderung mengalami peningkatan walaupun dalam persentase yang relative kecil. Pada tahun 2005 persentase jumlah aparatur bidang kesehatan dalam total aparatur PNS sebesar 7,9% meningkat menjadi 11,03% (lihat Gambar 19). Peningkatan aparatur tenaga medis di Halmahera Timur lebih besar terjadi pada tenaga medis yang berprofesi sebagai bidan dan perawat, karena adanya kebijakan nasional yang memprioritas penerimaan tenaga medis (bidan dan perawat). Halteng Tidore Haltim % Aparatur Paramedis PNS Gambar 19. Persentase Aparatur Paramadis per total PNS di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore.

6 Peningkatan aparatur bidang kesehatan di Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore pada tahun yang sama, maka Kota Tidore memiliki persentase aparatur bidang kesehatan yang lebih besar, yang pada tahun 2005 sebesar 10,22% meningkat menjadi 12,88% pada tahun Sedangkan Halmahera Timur berada pada urutan kedua, dan Halmahera Tengah berada pada urutan ketiga dengan nilai persentase pada tahun 2005 sebesar 5,01% meningkat menjadi 8,33% pada tahun Namun secara umum setelah pemekaran wilayah terjadi peningkatan aparatur PNS bidang kesehatan pada daerah induk (Halmahera Tengah) dan daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore), sehingga pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap pertambahan jumlah aparatur PNS bidang kesehatan dalam total jumlah aparatur PNS. c. Indeks kinerja Aparur Pemerintah Daerah Indeks kinerja aparatur digunakan untuk mengetahui kinerja aparatur daerah pada daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore) dan daerah induk (Halmahera Tengah) setelah pemekaran wilayah khususnya tahun Hasil perhitungan indeks kinerja aparatur daerah Halmahera Timur, Kota Tidore dan Halmahera Tengah secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 20. Halteng Tidore Haltim Indeks Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Gambar 20. Indeks Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah Halmahera Timur, Kota Tidore dan Halmahera Tengah.

7 Pada Gambar 20 diatas menunjukkan, indeks kinerja keuangan Kota Tidore memiliki indeks kinerja aparatur pemerintah yang lebih tinggi, dan Halmahera Timur berada pada urutan kedua, sedangkan Halmahera Tengah berada pada urutan ketiga. Namun, secara umum indeks kinerja aparatur pemerintah daerah pada daerah pemekaran (Kabupaten Halmahera Timur, Kota Tidore), dan daerah induk (Halmahera Tengah) dalam tahun cenderung mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya kinerja aparatur pemerintah daerah, berarti kinerja aparatur pada daerah induk maupun daerah pemekaran semakin tersedia secara kuantitas, dan semakin baik secara kualitas, sehingga peran aparatur dalam melaksanakan pembangunan daerah, dan pelayanan semakin membaik Kinerja Keuangan Daerah a. Dependensi Fiskal dan PAD Dependensi fiskal digunakan untuk mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan fiskalnya, baik melalui alokasi dana perimbangan (DP) dari pusat maupun pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu komponen dana perimbangan dalam struktur APBD adalah dana alokasi umum (DAU). Fungsi DAU sesuai UU No.33/2004 adalah sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal dan distribusi keuangan pemerintah ke daerah. Dalam komponen DAU terdapat alokasi dasar yang merupakan gaji PNS yang merupakan tanggungjawab pemerintah pusat. Untuk itu, dalam mengkaji dependensi fiskal daerah, komponen belanja pegawai harus dikurangi dari total belanja DAU. Selanjutnya DAU yang telah dikurangi belanja pegawai, dibandingkan dengan total pendapatan daerah (TPD). Dalam tahun Kabupaten Halmahera Timur masih memiliki ketergantungan fiskal dari pemerintah pusat, walaupun kecenderungannya menurun. Pada tahun 2005 peran DAU terhadap total pendapatan daerah sebesar 53,37% menurun menjadi 28,01% pada tahun Sedangkan peran PAD dalam total pendapatan daerah selama tahun menunjukkan trend yang meningkat. Pada tahun 2005 peran PAD hanya sebesar 0,070, kemudian meningkat menjadi 6,92% pada tahun 2009 secara lengkap lihat Gambar 21.

8 DAU/TPD PAD/TPD Persentase DAU/TPD dan PAD/TPD Gambar 21. Perkembangan Dependensi Fiskal Kab.Halmahera Timur Keterangan: DAU/TPD (Dana Alokasi Umum per Total Pendapatan Daerah), PAD/TPD (Pendapatan Asli Daerah per Total Pendapatan Daerah). Pada Gambar 21 di atas menunjukkan bahwa dependensi fiskal kabupaten Halmahera Timur memiliki kecenderungan menurun. Penurunan ketergantungan fiskal ini, diimbangi oleh peningkatan PAD sehingga kondisi total pendapatan daerah cukup stabil selama tahun Hal ini tidak terlepas dari kerja keras pemerintah daerah kabupaten Halmahera Timur untuk meningkatkan PAD, dengan mengelola potensi sumber-sumber PAD secara profesional. Namun, dalam jangka panjang pemerintah daerah harus lebih mendayagunakan potensi sumberdaya ekonomi secara lebih profesional dan berkesinambungan, agar pendapatan daerah dapat lebih ditingkatkan, dan tidak tergantung pada bantuan fiskal pemerintah pusat. Karena kemampuan daerah melaksanakan otonomi daerah sangat ditentukan oleh seberapa besar daerah mampu membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah, dengan mengandalkan pendapatan daerah sendiri. Tingkat ketergantungan fiskal Halmahera Timur , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore Kepulauan (daerah pemekaran) pada tahun yang sama, terlihat daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Tidore) memiliki tingkat ketergantungan yang semakin berkurang (menurun) secara lengkap ditampilkan pada Gambar 22.

9 Halteng Tidore Haltim 60 % Dependensi Fiskal Gambar 22.Perkembangan Dependensi Fiskal Daerah Induk (Halmahera Tengah), dan Daerah Pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore) Pada Gambar 22 terlihat pada tahun 2005 tingkat ketergantungan fiskal kabupaten Halmahera Timur sebesar 53,37%, Kota Tidore 30,80%, dan Halmahera Tengah 17,10%, kemudian pada tahun 2009 tingkat ketergantungan fiskal Halmahera Timur menurun menjadi 28,01%, Kota Tidore menurun menjadi 20,65%, sedangkan Halmahera Tengah 30,07%. Ini berarti selama lima tahun terakhir tingkat ketergantungan fiskal daerah pemekaran semakin menurun, bila dibandingkan dengan daerah/kabupaten induk, sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan keuangan pada daerah-daerah pemekaran selama lima tahun terakhir sudah semakin membaik. Penurunan ketergantungan fiskal daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore), dan daerah induk (Halmahera Tengah), karena penurunan porsi dana alokasi umum (DAU) setelah dikurangi belanja pegawai dalam total pendapatan daaerah, serta semakin meningkatknya PAD. Oleh karena itu, dalam jangka panjang kapasitas penciptaan pendapatan daerah pada daerah induk dan daerah pemekaran harus lebih ditingkatkan. Kapasitas penciptaan pendapatan daerah Halmahera Timur tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 kapasitas penciptaan pendapatan daerah Halmahera Timur hanya sebesar 0,34%, kemudian meningkat menjadi 12,54% pada tahun 2009 (Gambar 23).

10 % PAD per PDRB Halteng Tidore Haltim Gambar 23. Perkembangan Kapasitas Penciptaan Pendapatan Daerah Kabupaten Halmahera Timur, Kota Tidore, dan Halmahera Tengah. Perkembangan kapasitas penciptaan pendapatan daerah Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore Kepulauan (daerah pemekaran), terlihat kapasitas penciptaan pendapatan daerah Halmahera Timur masih lebih tinggi, dari Halmahera Tengah dan Kota Tidore (lihat Gambar 23). Ini menunjukkan bahwa setelah pemekaran wilayah peran pemerintah daerah Halmahera Timur untuk meningkatkan pendapatan daerah cukup signifikan. Namun secara umum, kapasitas penciptaan pendapatan daerah pada daerah pemekaran dan daerah induk menunjukkan peningkatan. b. Belanja Investasi dan Kontribusi APBD Belanja investasi merupakan belanja yang dianggarkan untuk membiayai kegiatan yang berorientasi pada manfaat jangka panjang seperti sarana dan prasarana jalan, jembatan, bangunan sekolah, rumah sakit, irigasi, dan kegiatan fisik lainnya. Khusus untuk kabupaten Halmahera Timur sebagai daerah otonom baru, belanja investasi juga lebih diarahkan pada penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan seperti kantor DPRD, kantor Bupati, kantor Badan, dan Dinas serta unit-unit kerja lainnya. Untuk mengukur seberapa jauh kebijakan pemerintah Halmahera Timur dalam penganggaran yang berorientasi pada manfaat jangka panjang, dibuat

11 perbandingan (rasio) antara belanja modal terhadap total belanja daerah, serta belanja barang dan jasa, maupun belanja pegawai dengan total belanja daerah Kabupaten Halmahera Timur selama tahun secara lengkap ditampilkan dalam Gambar BM/TBD BBJ/TBD BP/TBD BL/TBD % Belanja Gambar 24. Perkembangan Belanja Daerah Halmahera Timur. Keterangan: BM/TBD (Belanja Modal per Total Belanja Daerah), BBJ/TBD (Belanja Barang dan Jasa per Total Belanja Daerah), BP/TBD (Belanja Pegawai per Total Belanja Daerah), BL/TBD (Belanja Lain-lain per Total Belanja Daerah) Pada Gambar 24 terlihat selama tahun belanja modal cenderung mengalami peningkatan diatas 50%, belanja barang dan jasa cenderung menurun dari 23,30% pada tahun 2005 menjadi 21,260% pada tahun 2009, dan belanja pegawai pada tahun 2005 sebesar 34,88% menurun menjadi 12,57%, serta belanja lain-lain pada tahun meningkat sebesar 14,95%, kemudian menurun menjadi 10,64% pada tahun Hal ini menunjukkan bahwa selama tahun , total belanja daerah Halmahera Timur lebih banyak terserap pada belanja modal, kemudian diikuti oleh belanja barang dan jasa. Belanja modal lebih banyak menyerap total pendapatan daerah dalam tahun , disebabkan Halmahera Timur sebagai daerah pemekaran baru menghadapi kekurangan infrastruktur pelayanan publik maupun infrastruktur wilayah, seperti fasilitas perkantoran di pusat pemerintahan, sarana dan prasaran jalan dan jembatan, serta sarana dan prasarana pelayanan publik lainnya.

12 Peningkatan belanja modal pada setiap tahunnya juga menunjukkan bahwa peran pemerintah daerah untuk meningkatkan perekonomian daerah sangat besar. Karena belanja modal sebagai investasi pemerintah dalam menyiapkan berbagai sarana dan prasarana pemerintahan dan wilayah, dalam jangka panjang akan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Disamping itu, dalam jangka pendek peran belanja pemerintah terhadap perkembangan ekonomi Halmahera Timur terlihat pula pada belanja barang dan jasa maupun belanja pegawai, karena belanja pegawai, barang dan jasa merupakan jenis belanja yang bersifat konsumtif, sehingga peran belanja pemerintah sangat berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi Halmahera Timur selama tahun Dengan demikian peran belanja pemerintah setelah pemekaran wilayah, memberikan manfaat yang cukup signifikan terhadap kondisi ekonomi masyarakat, dan percepatan pembangunan infrastruktur di kabupaten Halmahera Timur, sehingga pemekaran wilayah secara langsung memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, dan percepatan pembangunan daerah. Peningkatan belanja modal Kabupaten Halmahera Timur dalam tahun , bila dibandingkan dengan Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan pada tahun yang sama, masih lebih besar (lebih tinggi) dari Kota Tidore dan Halmahera Tengah (lihat Gambar 25). Pada Gambar 25 terlihat bahwa, pada tahun belanja modal Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah setiap tahunnya cenderung meningkat, sedangkan Kota Tidore justru cenderung menurun. Hal ini disebabkan, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah pada 5 (lima) tahun pertama setelah pemekaran wilayah, lebih memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur wilayah seperti pembangunan jalan dan jembatan, serta pembangunan infrastruktur pemerintahan seperti fasilitas perkantoran pemerintah. Kabupaten Halmahera Tengah walaupun sebagai daerah (kabupaten) induk, namun lokasi (tempat) ibukotanya dipindahkan dari Kota Tidore ke Kota Weda, sehingga untuk menyiapkan sarana dan prasana pemerintahan maupun kewilayahan selama tahun , pemerintah daerah lebih memprioritaskan belanja modal. Sedangkan Kota Tidore Kepulauan sarana dan prasarana jalan, maupun fasilitas perkantoran

13 sudah lebih siap, sehingga alokasi belanja modal Kota Tidore lebih kecil dibandingkan dengan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Halteng Tidore Haltim % Belanja Modal Gambar 25. Perkembangan Belanja Modal Per Total Belanja Daerah Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Dari besarnya persentase belanja modal dalam total belanja daerah di Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan infrastruktur kewilayahan dan pemerintahan baik pada daerah pemekaran (Halmahera Timur), maupun daerah induk (Halmahera Tengah), yang dalam jangka panjang akan tercipta pemerataan pembangunan antar wilayah dalam lingkup daerah pemekaran maupun propinsi Maluku Utara. c. Indeks Kinerja Keuangan Daerah Indeks kinerja keuangan daerah dihitung berdasarkan indikator ketergantungan fiskal (KFD), kapasitas penciptaan pendapatan (KPP), proporsi belanja modal (PBM), dan kontribusi sektor pemerintah (KSP). Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut, maka hasil analisis indeks kinerja ekonomi Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 26. Indeks kinerja keuangan pemerintah daerah Halmahera Timur selama tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 indeks kinerja

14 keuangan pemerintah daerah Halmahera Timur sebesar 22.49% meningkat menjadi 36.96% di tahun Peningkatan kinerja keuangan yang semakin membaik lebih didorong oleh pengelolaan dan penatausahaan sumber-sumber pendapatan daerah khususnya pendapatan asli daerah (PAD), serta semakin membaiknya pengelolaan belanja daerah baik belanja modal, belanja pegawai, maupun belanja barang dan jasa. Halteng Tidore Haltim Indeks Kinerja (persen) Gambar 26. Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan. Indeks kinerja keuangan daerah Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan kabupaten Halmahera Tengah (daerah induk), dan Kota Tidore (daerah pemekaran) pada tahun yang sama, terlihat indeks kinerja keuangan Halmahera Timur masih lebih tinggi terutama dalam waktu dua tahun terakhir ( ), lau indeks kinerja keuangan Halmahera Tengah (daerah induk) pada urutan kedua, sedangkan Kota Tidore (daerah pemekaran) berada pada urutan ketiga. Secara umum indeks kinerja keuangan pemerintah daerah Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Kepulauan pada tahun cenderung mengalami peningkatan (Gambar 26). Hal ini menunjukkan, bahwa pemekaran wilayah Halmahera Tengah menjadi Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan, memberikan dampak terhadap semakin tersedia dan bertambahnya anggaran pembangunan daerah, sehingga secara langsung dapat

15 mendorong percepatan pembangunan daerah pada daerah induk dan daerah pemekaran Kinerja Ekonomi Daerah. a. Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi. Laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur dalam tahun cenderung meningkat dikisaran 5%-10%, kemudian menurun 6% - 7% pada tahun (lihat Gambar 27). Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi tahun lebih didorong, (1) meningkatnya aktifitas di sektor pertanian, karena membaiknya harga-harga komoditas pertanian, dan semakin berkembangnya infrastruktur wilayah, serta sarana dan prasarana ekonomi, (2) meningkatnya investasi dan aktivitas sektor pertambangan, karena membaiknya harga bahan tambang khususnya nikel. Sedangkan menurunnya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh penurunan harga-harga komoditas pertanian, dan bahan tambang (nikel), akibat krisis global, serta pergantian musim maupun iklim. Perubahan yang terjadi pada sektor pertanian dan pertambangan, secara langsung menimbulkan fluktuasi ekonomi Halmahera Timur tahun Karena dominannya sektor pertanian dan pertambangan dalam struktur perekonomian, sehingga perubahan pada kedua sektor tersebut sangat berpengaruh pada pembentukan PDRB. Pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur tahun walaupun berfluktuasi, namun masih lebih baik dari laju pertumbuhan ekonomi propinsi Maluku Utara pada tahun yang sama. Pada tahun laju pertumbuhan ekonomi propinsi Maluku Utara hanya berada pada kisaran 4%-6% dengan ratarata pertumbuhan per tahun sebesar 5,67%, yang lebih tinggi dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur sebesar 7,03% atau terpaut 1,36% pada tahun yang sama (lihat Gambar 27).

16 Haltim Malut % Pertumbuhan Ekonomi Gambar 27. Pertumbuhan Ekonomi Halmahera Timur dan Maluku Utara Sumber: PDRB Halmahera Timur dan PDRB Propinsi Maluku Utara Laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah induk (Halmahera Tengah), maupun sesama daerah pemekaran dari Halmahera Tengah yaitu Kota Tidore Kepulauan, terlihat laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur masih lebih tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur pada tahun sebesar 7,03%, sementara pada tahun yang sama rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Tengah hanya sebesar 4,50% atau terpaut (selisih) 2,53% dari Halmahera Timur, sedangkan Kota Tidore Kepulauan hanya 5,55% atau terpaut (selisih) 1,48% dari Halmahera Timur. Laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Kepulauan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 28. Laju pertumbuhan ekonomi Halmahera Timur masih lebih tinggi dan lebih baik dari Kota Tidore Kepualaun dan Kabupaten Halmahera Tengah, memberikan makna bahwa pemekaran memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi selama tahun Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setelah pemekaran wilayah, ekonomi daerah Halmahera Timur mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, sehingga pemekaran wilayah memberikan manfaat secara ekonomi.

17 % Pertumbuhan Ekonomi Halteng Tidore Haltim Gambar 28. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Induk (Halmahera Tengah), dan Daerah Pemekaran (Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan) Atas Dasar Harga Konstan. Sumber: PDRB Kabupaten Haltim, Halteng dan Kota Tidore Kepulauan Keterangan: Halteng (Halmahera Tengah), Tidore (Kota Tidore Kepulauan). Perkembangan ekonomi Kabupaten Halmahera Timur yang semakin membaik, memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perekonomian propinsi Maluku Utara dalam tahun Bila dibandingkan dengan Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan, terlihat kontribusi ekonomi Halmahera Timur terhadap perekonomian propinsi Maluku Utara berada pada urutan kedua, setelah Kota Tidore Kepulauan pada urutan pertama, dan diikuti oleh Kabupaten Halmahera Tengah pada urutan ketiga. Pada tahun rata-rata kontribusi ekonomi Halmahera Timur hanya mencapai 8,14%, Halmahera Tengah 8,02% dan Kota Tidore Kepulauan 9,07% (lihat Gambar 29). Kontribusi dan laju pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore) lebih tinggi dari kabupaten induk (Halmahera Tengah) selama tahun , disebabkan oleh antara lain, (1) pembagian sumbersumber ekonomi antara kabupaten/kota pemekaran dan induk tidak merata. Kabupaten pemekaran lebih mendominasi pembagian sumberdaya ekonomi yang lebih potensial dan produktif, (2) investasi swasta di kabupaten pemekaran lebih berkembang secara signifikan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah, (3) kebijakan pemerintah kabupaten pemekaran lebih memprioritaskan

18 pengembangan dan pengelolaan potensi sumberdaya alam khususnya di sektor pertambangan, kehutanan dan perikanan. 9.5 Halteng Tidore Haltim % Kontribusi PDRD Thp PDRB Propinsi Gambar 29. Kontribusi Ekonomi Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Terhadap Perekonomian Propinsi Maluku Utara (Atasa Dasar Harga Konstan) Sumber: PDRB Kabupaten/Kota dan Propinsi Maluku Utara b. Perkembangan PDRB per Kapita dan Tingkat Kemiskinan PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah bruto yang diciptakan oleh setiap penduduk pada suatu daerah melalui aktifitas produksi. Karena itu, PDRB per kapita sering digunakan sebagai indikator makro yang secara aggregate menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan. PDRB per kapita Kabupaten Halmahera Timur pada tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan atau dua kali lipat, dan lebih tinggi dari PDRB per kapita propinsi Maluku Utara pada tahun yang sama. Pada tahun rata-rata PDRB per kapita Kabupaten Halmahera Timur mencapai sebesar Rp.4.579, sedangkan rata-rata PDRB per kapita propinsi Maluku Utara hanya sebesar Rp.3,511 (lihat Gambar 30).

19 Haltim Malut 7,000 6,000 5,151 5,890 PDRB Per Kapita (RP) 5,000 4,000 3,000 2,000 3,709 3,793 2,922 3,066 4,351 3,347 4,019 4,201 1, Gambar 30. PDRB per Kapita Halmahera Timur dan Propinsi Maluku Utara Sumber: PDRB Kab/Kota dan Propinsi Se Indonesia (BPS Nasional). PDRB per kapita Kabupaten Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah), dan sesama daerah pemekaran yaitu Kota Tidore Kepulauan, terlihat daerah induk (Halmahera Tengah) masih lebih tinggi, dan Halmahera Timur berada pada urutan ke-2, sedangkan Kota Tidore Kepulauan urutan ke-3. Hal tersebut terlihat dari rata-rata peningkatan PDRB per kapita Halmahera Tengah selama tahun sebesar Rp.7.649, Halmahera Timur sebesar Rp.4.579, dan Kota Tidore Kepulauan sebesar Rp Perkembangan PDRB per kapita Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan secara lengkap ditampilkan pada Gambar 31. Perkembangan PDRB per kapita Halmahera Timur yang cenderung meningkat, menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberikan dampak positif terhadap peningkatan PDRB per kapita Halmahera Timur. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa setelah pemekaran wilayah PDRB per kapita Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan, serta Halmahera Tengah semakin meningkat.

20 PDRB Per Kapita (Rp) 10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 Halteng Tidore Haltim 9,211 8,289 5,890 7,351 6,635 6,760 5,151 4,351 3,709 3,793 5,010 4,068 3,091 3,240 3, Gambar 31. Perkembangan PDRB per Kapita Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan Sumber: PDRB Kabupaten/Kota dan Propinsi se Indonesia (BPS Nasional) Perkembangan PDRB per kapita Halmahera Timur dalam tahun , bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di Halmahera Timur pada tahun yang sama, terlihat bahwa pertumbuhan PDRB per kapita disertai dengan penurunan tingkat kemiskinan (lihat Gambar 31). Ini menunjukkan bahwa pemekaran wilayah Halmahera Tengah menjadi Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan tidak saja memberikan dampak terhadap peningkatan PDRB per kapita, tetapi secara umum mengurangi tingkat kemiskinan pada daerah induk dan daerah pemekaran. 35 Halteng Tidore Haltim % Tingkat Kemiskinan Gambar 32. Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Kota Tidore Kepulauan. Sumber : Data Kemiskinan BPS Nasional

21 Pada Gambar 32 terlihat bahwa setelah 5 (lima) tahun pemekaran wilayah, tingkat kemiskinan di daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan), dan daerah induk (Halmahera Tengah), cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah pemekaran wilayah tingkat kemiskinan pada daerah pemekaran, maupun daerah induk mengalami penurunan, sehingga pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap penurunan tingkat kemiskinan. c. Indeks Kinerja Ekonomi Indeks kinerja ekonomi dihitung berdasarkan indikator pertumbuhan PDRB, PDRB per Kapita, rasio PDRB daerah induk dan daerah pemekaran terhadap PDRB propinsi Maluku Utara, dan tingkat kemiskinan. Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut, maka hasil analisis terhadap kinerja ekonomi Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 33. Halteng Tidore Haltim Indeks Kinerja Ekonomi Daerah Gambar 33. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah Pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan) dan Daerah Induk (Halmahera Tengah) Pada Gambar 33 terlihat, bahwa selama tahun Kota Tidore Kepulauan memiliki indeks kinerja ekonomi yang paling tinggi (urutan pertama), dan Halmahera Timur berada pada urutan ke dua, sedangkan Halmahera Tengah berada pada urutan ke tiga. Hal ini menunjukkan setelah pemekaran wilayah, kinerja ekonomi Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur sebagai daerah pemekaran, masih lebih baik dari kinerja ekonomi daerah induk

22 (Halmahera Tengah). Namun secara umum setelah pemekaran wilayah tahun kinerja ekonomi pada daerah induk dan daerah pemekaran yang ditunjukkan dengan indeks kinerja ekonomi mengalami peningkatan, sehingga pemekaran wilayah Halmahera Tengah menjadi Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan memberikan dampak terhadap semakin meningkatnya kinerja ekonomi daerah. Dengan semakin meningkatnya indeks kinerja ekonomi daerah pada daerah induk dan daerah pemekaran, berarti tujuan pemekaran wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi daerah yang diisyaratkan dalam PP No.129/2000 dapat dirrealisasikan, sehingga pemekaran Kabupaten Halmahera Tengah menjadi Halmahera Timur dan Kota Tidore dalam kurun waktu 5 tahun dapat dipandang telah sesuai dengan PP No.129/ Kinerja Pelayanan Publik Tujuan pemekaran wilayah yang diisyaratkan dalam PP No.129/2000 untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik. Karena pelayanan publik sebagai pelayanan dasar yang meliputi pelayanan dibidang pendidikan dan kesehatan, wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah pada daerah induk maupun pemekaran wilayah. Oleh karena itu, kinerja pelayanan publik yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pelayanan dibidang pendidikan, kesehatan, dan kualitas infrastruktur. a. Pendidikan Pelayanan pendidikan sebagai pelayanan dasar merupakan bagian dari pelayanan publik yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangan daerah yang didesentralisasikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah daerah pada daerah pemekaran khususnya kabupaten Halmahera Timur harus mampu mengupayakan perbaikan kualitas pelayanan pendidikan tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, melalui perbaikan pemerataan fasilitas pendidikan, dan penyediaan tenaga pengajar (guru) yang memadai. Untuk mengetahui perkembangan pelayanan pendidikan di Kabupaten Halmahera Timur setelah pemekaran wilayah khususnya tahun , digunakan indikator, (1)

23 jumlah siswa per sekolah, dan (2) jumlah siswa per guru. Perkembangan jumlah siswa per sekolah menggambarkan kapasitas (daya tampung) sekolah terhadap murid (siswa), sedangkan jumlah siswa per guru menggambarkan ketersediaan tenaga guru dalam memberikan pelayanan kepada siswa. Perkembangan siswa per sekolah di Kabupaten Halmahera Timur tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA, setelah pemekaran wilayah tahun menunjukkan trend yang menurun, ini menunjukkan bahwa selama tahun daya tampung sekolah terhadap murid masih rendah. Artinya bahwa, ketersediaan fasilitas sekolah di Halmahera Timur dalam tahun baik SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MTs sudah cukup memadai (lihat Gambar 34, 35 dan 36). Halteng Tidore Haltim Perkembangan Siswa per Sekolah Gambar 34. Perkembangan Siswa per Sekolah Tingkat SD/MI Perkembangan Siswa per Sekolah Halteng Tidore Haltim Gambar 35. Perkembangan Siswa per Sekolah Tingkat SMP/MTs

24 Perkembangan Siswa per sekolah Halteng Tidore Haltim Gambar 36. Perkembangan Siswa per sekolah Tingkat SMA/SMK/MA Ketersediaan fasilitas pendidikan yang sudah memadai di Halmahera Timur tahun , menunjukkan pula bahwa pemekaran wilayah dengan membentuk Kabupaten Halmahera Timur memberikan dampak posetif terhadap ketersediaan fasilitas sekolah, sehingga setelah pemekaran wilayah kondisi pelayanan umum dilihat dari aspek ketersediaan fasilitas pendidikan semakin membaik. Perkembangan daya tampung sekolah di Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore Kepulauan pada tahun yang sama, untuk tingkat pendidikan SD/MI di Kabupaten Halmahera Timur memiliki daya tampung sekolah yang lebih tinggi dari Kota Tidore dan Kabupaten Halmahera Tengah, dan tingkat pendidikan SMP/MTs di Kota Tidore memiliki daya tampung sekolah yang lebih tinggi dari Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, sedangkan untuk tingkat SMA/SMK/MA di Halmahera Timur memiliki daya tampung sekolah yang lebih tinggi dari Halmahera Tengah dan Kota Tidore. Perkembangan daya tampung sekolah di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore pada Gambar 37, 38, 39, jika dilihat nilai persentase daya tampung sekolah, secara umum menunjukkan daya tampung sekolah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA masih rendah. Karena selama tahun rata-rata setiap sekolah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA hanya menampung siswa dibawah 200 orang siswa (murid). Ini berarti ketersediaan

25 fasilitas sekolah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA setelah adanya pemekaran wilayah semakin memadai atau sudah cukup tersedia. Perkembangan pelayanan pendidikan harus pula dilihat dari perkembangan ketersediaan tenaga pendidik (guru), yang diukur dengan menggunakan indikator rasio siswa per guru. Perkembangan ketersediaan tenaga pendidik (guru) SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK di Kabupaten Halmahera Timur selama tahun (lihat Gambar 37, 38, 39) suda cuku memadai, karena rata-rata setiap guru dapat mengajar dan mengawasi siswa (murid) dibawah 25 orang siswa. Tetapi distribusi guru yang belum merata. Disisi lain, ketersediaan tenaga pendidik yang sesuai dengan kompetensi bidang studi yang diajarkan juga masih kurang. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan peningkatan kapasitas guru sesuai kompetensi bidang studi yang sesuai dengan kurikulum yang diajarkan. Perkembangan siswa per Guru Halteng Tidore Haltim Gambar 37. Perkembangan Jumlah Siswa per Guru Tingkat SD Halteng Tidore Haltim Perkembangan siswa per Guru Gambar 38 Perkembangan Jumlah Siswa per Guru Tingkat SMP/MTs

26 Perkembangan Siswa per Guru Halteng Tidore Haltim Gambar 39. Perkembangan siswa per Guru Tingkat SMA/SMK/MA Perkembangan ketersediaan tenaga guru di kabupaten Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan perkembangan tenaga guru di daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore pada tahun yang sama (lihat Gambar 37, 38, 39), terlihat Kota Tidore memiliki ketersediaan tenaga guru yang lebih banyak dari Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Karena rata-rata setiap guru di Kota Tidore setiap tahunnya dapat mengajar dan mengawasi murid (siswa) SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA dibawah 12 orang siswa, dan di Halmahera Tengah rata-rata setiap guru SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA mengawasi dan mengajar murid siswa dibawah 15 orang siswa, sedangkan di Halmahera Timur rata-rata setiap guru SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA mengawasi dan mengajar murid siswa dibawah 25 orang siswa. Hal ini menunjukkan, bahwa secara umum pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap semakin tersedianya tenaga guru dalam tahun , sehingga kualitas pelayanan pendidikan setelah pemekaran daerah pada daerah induk (Halmahera Tengah) dan daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore) semakin membaik. b. Kesehatan Pelayanan publik bidang kesehatan merupakan pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan pemerintah daerah. Untuk mengetahui perkembangan pelayanan kesehatan digunakan indikator ketersediaan fasilitas kesehatan, dan ketersediaan tenaga medis. Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, puskesmas, dan puskesmas pembantu (Pustu), sedangkan tenaga medis meliputi dokter, bidan dan

27 perawat. Ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan diukur dengan jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan untuk tiap 10,000 orang penduduk. Ukuran jumlah penduduk ini digunakan untuk lebih mengarahkan ketersediaan fasilitas kesehatan pada tingkat kecamatan. Perkembangan fasilitas kesehatan per 10,000 penduduk di Kabupaten Halmahera Timur tahun terjadi peningkatan, kemudian pada tahun cenderung menurun (lihat Gambar 40). Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap perkembangan pemerataan pelayanan kesehatan, khususnya dalam pengadaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan puskesmas pembantu. Karena sampai tahun 2009 setiap 10,000 penduduk dapat dilayani oleh 11.2 (12) fasilitas kesehatan yang tersedia. Namun, penyediaan fasilitas kesehatan yang diupayakan pemerintah daerah haruslah dibarengi dengan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan yang dibangun, agar sasaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan dengan baik. Halteng Tidore Haltim Fasilitas Kesehatan Gambar 40. Perkembangan Fasilitas Kesehatan Per penduduk Perkembangan fasilitas kesehatan di Kabupaten Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah), dan Kota Tidore pada tahun yang sama (lihat Gambar 40), maka fasilitas kesehatan lebih tersedia di Kota Tidore, kemudian di Halmahera Tengah (daerah induk), dan Halmahera Timur. Karena setiap 10,000 penduduk di Kota Tidore dapat dilayani oleh 4 fasilitas kesehatan, sedangkan di Halmahera Tengah 10 fasilitas kesehatan.

28 Hal ini menunjukkan, bahwa pemekaran wilayah Halmahera Tengah menjadi Halmahera Timur dan Kota Tidore memberikan dampak terhadap pemerataan fasilitas kesehatan, sehingga secara langsung diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada daerah induk dan daerah pemekaran. Perkembangan fasilitas kesehatan setelah pemekaran wilayah, haruslah bersinergi dengan ketersediaan tenaga kesehatan. Untuk mengetahui perkembangan ketersediaan tenaga kesehatan yang dinyatakan dalam rasio terhadap 10,000 penduduk di Kabupaten Halmahera Timur tahun secara lengkap ditampilkan dalam Gambar 41. Halteng Tidore Haltim Tenaga Kesehatan Gambar 41. Perkembangan Tenaga Kesehatan per penduduk Pada Gambar 41 menunjukkan, bahwa ketersediaan tenaga kesehatan masih sangat kurang. Hal tersebut terlihat hingga tahun 2009 di Halmahera Timur hanya dapat menyediakan 25,83 (26) orang tenaga medis untuk setiap 10,000 penduduk. Hal ini disebabkan penambahan jumlah tenaga kesehatan setiap tahun dalam penerimaan PNS masih terbatas. Ketersediaan tenaga medis di Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan daerah induk (Halmahera Tengah) dan Kota Tidore pada tahun yang sama (lihat Gambar 41), maka ketersediaan tenaga kesehatan di Kota Tidore lebih banyak (memadai) dari Halmahera Tengah (daerah induk) dan Halmahera Timur. Karena hingga tahun 2009 Kota Tidore menyediakan 45 tenaga medis untuk setiap 10,000 penduduk, dan Halmahera Tengah menyediakan 40 orang tenaga medis untuk 10,000 penduduk. Namun, secara umum setelah

29 pemekaran wilayah ketersediaan tenaga kesehatan di daerah induk (Halmahera Tenga), maupun daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore) semakin meningkat, sehingga pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap peningkatan tenaga medis, dan secara langsung dapat meningkatkan pelayanan umum dibidang kesehatan. c. Kualitas Infrastruktur Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pembangunan daerah. Karena infrastruktur memiliki peranan dalam mendukung aktifitas ekonomi, maupun pelayanan pemerintahan baik pemerintahan umum, pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Indikator yang digunakan untuk menganalisis kualitas infrastuktur adalah persentase panjang ruas jalan dalam kondisi baik, terhadap total ruas panjang jalan. Karena jalan merupakan salah satu komponen mendasar dalam pembangunan infrastruktur kewilayahan. Halteng Tidore Haltim % Jalan Katogri baik per Total panjang Jalan Gambar 42. Kualitas Infrastruktur Jalan Perkembangan kualitas infrastruktur jalan di kabupaten Halmahera Timur (Gambar 42) menunjukkan peningkatan. Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase panjang ruas jalan dalam kondisi baik sampai tahun 2009 telah mencapai 26,37%. Namun, pada tahun-tahun mendatang peningkatan kualitas jalan harus lebih ditingkatkan. Perkembangan kualitas infrastruktur di Halmahera Timur tahun , bila dibandingkan dengan kualitas infrastruktur di daerah induk (Halmahera

30 Tengah) dan Kota Tidore (Gambar 42), terlihat Kota Tidore memiliki kualitas infrastruktur yang lebih baik, dari Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Hal tersebut terlihat hingga tahun 2009, kualitas infrastruktur yang dipersentasikan total panjang jalan dalam kondisi baik mencapai 77,87% dari total panjang ruas jalan. Sementara pada tahun yang sama kualitas panjang jalan dalam kondisi baik di Halmahera Tengah hanya mencapai 30,51% dari perkiraan total panjang ruas jalan. Namun, secara umum setelah pemekaran wilayah tahun setiap tahunnya terjadi pertambahan panjang ruas jalan di daerah induk maupun daerah pemekaran, sehingga pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap perkembangan pembangunan infrastruktur khususnya jalan. d. Indeks Kinerja Pelayanan Publik Pemekaran wilayah (daerah) dengan membentuk daerah otonom baru diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan pelayanan publik. Oleh karena itu, kinerja pelayanan publik menjadi ukuran bagi keberhasilan kebijakan pemekran wilayah (daerah) menjadi beberapa daerah otonom baru. Untuk menilai kinerja pelayanan publik sebagai dampak dari kebijakan pemekaran wilayah (daerah), perlu dibuat perbandingan kinerja pelayanan publik antara daerah induk (Halmahera Tengah) dan daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore). Berdasarkan hasil analisis indeks kinerja pelayanan publik (IKPP) pada Gambar 43, secara umum kinerja pelayanan publik pada daerah induk (Halmahera Tenga) dan daerah pemekaran (Halmahera Timur dan Kota Tidore) setelah pemekaran wilayah khususnya tahun cenderung membaik (meningkat). Namun jika dilihat dari nilai persentase, Kota Tidore memiliki nilai indeks kinerja yang paling tinggi, urutan kedua Halmahera Timur dan ketiga Halmahera Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Tidore memiliki kinerja pelayanan publik yang lebih baik dan optimal, dari pelayanan publik di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.

31 Halteng Tidore Haltim indeks Kinerja Gambar 43. Indeks Kinerja Pelayanan Publik Kota Tidore dan Kabupaten Halmahera Timur merupakan daerah pemekaran yang memiliki nilai indeks kinerja pelayanan publik yang lebih tinggi (baik), dari daerah induk (Halmahera Tengah) selama tahun Karena ketersediaan dan kualitas infrastruktur pelayanan publik dibidang pendidikan, kesehatan, maupun kualitas jalan di Kota Tidore lebih maju (siap) dibanding dengan Halmahera Tengah. Hal ini sangat wajar, karena Kota Tidore dulunya (sebelum pemekaran wilayah) merupakan ibukota kabupaten induk (Halmahera Tengah) yang saat ini telah dipindahkan ke Kecamatan Weda. Namun, secara umum setelah pemekaran wilayah kinerja pelayanan publik pada daerah induk dan daerah pemekaran semakin meningkat. Hal ini menunjukkan pemekaran wilayah memberikan dampak terhadap semakin meningkatnya pelayanan publik, berarti pemekaran wilayah Halmahera Tengah menjadi Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan telah sesuai dengan tujuan pemekaran wilayah yang diisyaratkan dalam PP no.129/ Analisis Kesejahteraan Masyarakat dengan IPM Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indicator yang paling umum digunakan untuk menilai perkembangan kesejahteraan masyarakat sebagai kinerja dari pembangunan, sehingga pemerintah menggunakan IPM sebagai indicator dalam menilai kemampuan daerah melaksanakan tujuan otnomi daerah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengelola sendiri pengelolaan pemerintahannya.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Batas Admistrasi Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka, 2016 Gambar 4.1 Peta wilayah Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan yang diharapkan oleh setiap daerah tidak terkecuali bagi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN (RPJMD) Tahun 20162021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan Kabupaten Pandeglang dikelola berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku diantaranya UndangUndang

Lebih terperinci

BAB VII DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP KAPASITAS FISKAL DAERAH

BAB VII DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP KAPASITAS FISKAL DAERAH 150 BAB VII DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP KAPASITAS FISKAL DAERAH Kapasitas Fiskal Daerah didekati dari data penerimaan daerah (APBD) yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada kenyataannya selama ini pembangunan hanya ditunjukan untuk pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

Jumlah Penduduk Yang Mengurus KTP, KK, dan Akta Kelahiran Kabupaten Sintang Tahun

Jumlah Penduduk Yang Mengurus KTP, KK, dan Akta Kelahiran Kabupaten Sintang Tahun DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Per-Kecamatan di Kabupaten Sintang Tahun... Jumlah Penduduk Yang Mengurus KTP, KK, dan Akta Kelahiran Kabupaten Sintang Tahun 2010... Jumlah Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Perhitungan Dana Alokasi Umum TA 2017 DAMPAK PENGALIHAN KEWENANGAN DARI PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI IMPLEMENTASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas layanan terhadap masyarakat luas. Sebagai organisasi nirlaba, lembaga pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas layanan terhadap masyarakat luas. Sebagai organisasi nirlaba, lembaga pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga pemerintahan merupakan organisasi yang diberi kekuasaan untuk mengatur kepentingan bangsa dan negara. Lembaga pemerintahan dibentuk umumnya untuk menjalankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA PALU DT - TAHUN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA PALU DT - TAHUN DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Palu Menurut Kecamatan Tahun 2015.. II-2 Tabel 2.2 Banyaknya Kelurahan Menurut Kecamatan, Ibu Kota Kecamatan Dan Jarak Ibu Kota Kecamatan Dengan Ibu Kota Palu Tahun

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu negara memiliki beberapa tujuan termasuk Indonesia, yang mana salah satu tujuannya ialah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Salah satu ukuran dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI A. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerapan otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kota Mungkid, 25 Maret a.n. BUPATI MAGELANG WAKIL BUPATI MAGELANG H.M. ZAENAL ARIFIN, SH.

KATA PENGANTAR. Kota Mungkid, 25 Maret a.n. BUPATI MAGELANG WAKIL BUPATI MAGELANG H.M. ZAENAL ARIFIN, SH. KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahnya, sehingga Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten Magelang Tahun 2014 dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 yang sekarang telah direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004, setiap daerah diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberikan dampak besar bagi semua aspek kehidupan, yakni era reformasi. Reformasi yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PEMBANGUNANN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN KOTABARU TAHUN

RANCANGAN RENCANA PEMBANGUNANN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN KOTABARU TAHUN RANCANGAN RENCANA PEMBANGUNANN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN KOTABARU TAHUN 2016-2021 PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU 2016 Bab I Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... ix PENDAHULUAN I-1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

Pemekaran Daerah : Kebutuhan Atau Euforia Demokrasi? UNTUNGNYA PEMEKARAN. Disusun Oleh : Agunan P. Samosir 1 ABSTRAKSI

Pemekaran Daerah : Kebutuhan Atau Euforia Demokrasi? UNTUNGNYA PEMEKARAN. Disusun Oleh : Agunan P. Samosir 1 ABSTRAKSI Pemekaran Daerah : Kebutuhan Atau Euforia Demokrasi? UNTUNGNYA PEMEKARAN Disusun Oleh : Agunan P. Samosir 1 ABSTRAKSI Tidak dapat dipungkiri bahwa manfaat pemekaran daerah untuk peningkatan kemandirian

Lebih terperinci

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU BAB V ANALISIS APBD 5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 5.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kebijakan otonomi daerah mulai dilaksanakan secara penuh pada Januari 2001. Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer) RUMUS PERHITUNGAN DANA ALOKASI ASI UMUM I. PRINSIP DASAR Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer) pusat kepada daerah otonom dalam bentuk blok. Artinya, penggunaan dari DAU ditetapkan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program di segala bidang secara menyeluruh, terarah dan berkesinambungan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH A. Pendahuluan Kebijakan anggaran mendasarkan pada pendekatan kinerja dan berkomitmen untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Anggaran kinerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam meningkatkan kesajahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan status ekonomi antara penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat

Lebih terperinci