PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah)"

Transkripsi

1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Oleh: AGUS SAPTO AJI C PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018 i

2

3

4

5 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap justice collaborator dan implementasi hak-hak justice collaborator di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Metode penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis empiris bersifat deskriptif. Sumber data terdiri dari data primer yakni wawancara dan data sekunder yakni data sumber hukum primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan (wawancara), kemudian data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana terhadap justice collaborator diatur melalui Undang- Undang No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selanjutnya dikeluarkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 ini telah merubah ketentuan Pasal 10 serta menambahkan Pasal 10 A yang berupa penanganan secara khusus yang dapat diperoleh oleh justice collaborator yang bertujuan untuk memberikan jaminan hukum yang lebih baik kepada justice collaborator. Implementasi hak-hak justice collaborator dapat diberikan sejak awal yakni pemberian perlindungan berupa penyembunyian identitas, dan apabila justice collaborator merasa keselamatan dirinya maupun keluarganya terancam, maka penyidik dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada LPSK. Saat menjalani proses pelaksanaan putusan, justice collaborator masih memperoleh perlindungan berupa penempatan di blok khusus serta pengawasan khusus dalam pemenuhan hak-haknya serta memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, remisi tambahan maupun pembebasan bersyarat. Kata kunci: perlindungan hukum, perlindungan saksi dan korban, justice collaborator Abstract This study aims to determine the criminal law policy towards justice collaborator and the implementation of the right of justice collaborator in the High Court of Central Java. The research method using empirical juridical approach is descriptive. Sources of data consists of primary data ie interviews and secondary data namely primary, secondary and tertiary source data law. Methods of data collection through literature study and field study (interview), then the data were analyzed qualitatively. The results show that the criminal justice collaboration policy is regulated through Law No.13 of 2006 on Protection of Witnesses and Victims, then the issuance of Law No. 31 of 2014 on Amendment to Law No.13 of 2006 on Protection of Witnesses and Victims, Law No. 31 of 2014 has changed the provisions of Article 10 and added Article 10 A in the form of special handling that can be obtained by justice collaborator which aims to provide better legal guarantees to justice collaborator. Implementation of the rights of justice collaborator can be given from the beginning, namely the provision of protection in the form of identity hiding, and if the justice collaborator feels that his or her family's safety is threatened, the investigator can apply for protection to LPSK. While undergoing the process of execution of the verdict, the justice collaborator still obtains protection in the form of placement in a special block as well as special supervision in the fulfillment of his rights as well as awarded in the form of criminal relief, additional remissions and parole. Keywords: legal protection, witness and victim protection, justice collaborator 1

6 1. PENDAHULUAN Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman terhadap setiap warga masyarakat. 1 Dalam hal pemberian perlindungan ini, masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan. 2 Oleh karena itu di dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti keterangan saksi yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana di atur dalam Pasal 184 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 3 Saksi yang dimaksudkan di atas antara lain, saksi yang memang terlibat dalam perkaranya tersebut (justice collaborator witness), saksi korban dalam kasus perkara yang terjadi (victim witness), saksi yang mendengar dan mengetahui suatu perkara yang melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib atau biasa disebut sebagai saksi pelapor atau biasa dikenal sebagai peniup peluit atau pemukul kentongan (whistleblower), dan orang-orang yang karena peran, kerja, dan kewajiban profesinya mempunyai sejumlah keterangan yang menyangkut suatu keadaan atau perkara tertentu (the other witness) seperti auditor, jurnalis, penegak hukum dalam kasus-kasus kejahatan yang terorganisir. 4 Di dalam sebuah persidangan, justice collaborator dapat dijadikan alat bantu pembuktian di dalam pengungkapan kejahatan dimensi baru (new dimention), seperti perbuatan korupsi dengan cara sindikat dan mafia kejahatan internasional melalui crime as business, organise crime, white collar crime, bank 1 Sharistha Nathalia Tuage, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), Lex Crimen, Volume. II/No. 02, (April-Juni 2013), hal Ibid, hal Muchamad Iksan, 2012, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta: Muhammadiyah University Press. Hal Darmoko, Ekotjipto, Nanang Hape, et.al., 2010, Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hal. 4 2

7 bukti. 7 Dengan maksud sama tapi terminologi berbeda, Eggi Sudjana crime, monopoli crime, dan manipulation crime yang merugikan perekonomian negara serta modus-modus korupsi dengan menggunakan hi-tech, bantuan dana dari hasil kejahatan corporate crime, customer fraud, illegal fishing, illegal labour, dan cyber cryme. 5 Justice collaborator merupakan alat penting dalam melawan kejahatan terorganisir dikarenakan metode kerja dalam sistem hukum pidana yang ada menunjukkan kelemahan karena seringkali belum mampu mengungkap, melawan, dan memberantas berbagai kejahatan terorganisir. Di dalam praktek peradilan aparat hukum seringkali menemukan berbagai kendala yuridis dan nonyuridis untuk mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan sampai proses pengadilan. 6 Berkaitan dengan peranan saksi ini, seorang praktisi hukum (hakim), Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan, bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi durk number mengingat dalam sistem yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. Berbeda dengan sistem hukum yang ada di Amerika yang lebih mengedepankan barang menggambarkan betapa pentingnya peranan saksi sebagai berikut: saksi merupakan kunci untuk memperoleh kebenaran materiil. Maka dapat disimpulkan bahwa saksi merupakan orang yang keterangannya bisa menentukan keputusan hakim dalam mengambil keputusan. 8 Mengingat dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkait erat dengan kekuatan alat bukti. Sehubungan dengan kuat lemahnya suatu pembuktian dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana, maka saksi maupun korban memiliki 5 Firman Wijaya, 2012, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku, hal Ibid, hal Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., hal Ibid, hal

8 kedudukan yang sangat signifikan dalam upaya pengungkapan kebenaran materiil. Pada posisi itulah, terhadap saksi atau korban melekat potensi ancaman. Sementara hukum acara pidana yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi saksi atau korban yang terkait dengan suatu perkara pidana. 9 Oleh karena itu dapat dipahami jika orang memilih diam dan tidak mau mengungkap atau melaporkan suatu tindak pidana. 10 Berkaitan dengan problematika keengganan orang yang mengalami atau mengetahui suatu tindak pidana menjadi saksi, para pakar atau peneliti ada kesamaan pandangan, bahwa hal ini terjadi karena tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi, karena para saksi ini seringkali menerima intimidasi, kriminalisasi atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya dan akhirnya menjadi tersangka, terdakwa, atau bahkan terpidana. 11 Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan tujuan kebijakan hukum pidana terhadap Justice Collaborator dan untuk mengetahui implementasi hak-hak Justice Collaborator di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: (1) Manfaat teoritis, dapat menambah wawasan berpikir serta ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pidana khususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap justice collaborator, (2) Manfaat praktis, yaitu (a) Sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa serta para pembaca terkait perlindungan hukum terhadap justice collaborator, (b) Dapat memberikan informasi serta pemahaman kepada masyarakat terkait dengan perlindungan hukum serta memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam rangka pemberian perlindungan hukum terhadap justice collaborator. 9 Syahrial Martanto Wirawan dan Melly Setyowati, 2007, Pemberian Bantuan Dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Sebuah Observasi Awal, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, hal Firman Wijaya, 2012, Op.Cit., hal Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., hal

9 2. METODE Metode penelitian menggunakan metode yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang berusaha mengidentifikasi hukum yang terdapat dalam masyarakat dengan maksud untuk mengetahui gejala-gejala lainya. 12 Jenis penelitian bersifat deskriptif adalah penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan pada fakta yang tampak. 13 Sumber data terdiri dari data primer yaitu hasil dari wawancara dan data sekunder yaitu sumber data hukum primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan studi lapangan (wawancara) kemudian data dianalisis secara kualitatif HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Justice Collaborator Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang masih berlaku saat ini pada kenyataannya sama sekali belum memberikan ruang bagi seorang pelaku tindak pidana yang kemudian dijadikan sebagai seorang saksi, karena tidak adanya pengaturan mengenai mekanisme maupun bentuk-bentuk perlindungan serta pemberian reward kepada seorang saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator). Sehingga peraturan yang ada saat ini dirasa masih belum cukup untuk mengakomodir para aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator). 15 Apabila dilihat keadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang masih berlaku saat ini maka sangat perlu untuk segera dilakukan perubahan maupun penambahan-penambahan peraturan terkait dengan pembahasan, mekanisme perlindungan, serta reward yang akan diberikan kepada seorang saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), agar dapat memberikan 12 Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Mataram: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo, hal Soerjono dan Abdul Rahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal Soerjono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal La Ode Muhammad Nusrin, Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Wawancara Pribadi, Semarang, 26 Oktober 2017, pukul WIB. 5

10 kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak serta dapat menjadi pegangan maupun panduan bagi aparat penegak hukum. 16 Untuk menutup kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut pemerintah telah berupaya dengan mengeluarkan beberapa peraturan-peraturan untuk mengisi kekosongan hukum terkait saksi justice collaborator tersebut, peraturan-peraturan untuk menutup kekurangan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukuum Acara Pidana tersebut antara lain Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 04 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborators) didalam perkara tindak pidana tertentu. Mahkamah agung telah menunjukkan bentuk komitmennya dalam mendukung perlindungan saksi dan korban dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) dalam tindak pidana tertentu yang menjadi landasan hukum dan acuan bagi pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada justice collaborator dan whistleblower. 18 Bentuk perlindungan dan reward yang diberikan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung ini kepada whistleblower berupa jika yang dilaporkan melaporkan balik si whistle blower, maka penanganan kasus yangg dilaporkan whistleblower harus didahulukan daripada kasus yang dilaporkan oleh terlapor. 19 Sementara itu, bentuk perlindungan dan reward yang diberikan kepada justice collaborator dalam SEMA ini ditentukan apabila. 20 a. Seorang yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tersebut mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. 16 La Ode Muhammad Nusrin, Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Wawancara Pribadi, Semarang, 26 Oktober 2017, pukul WIB. 17 Ibid. 18 Nixson, Syafruddin Kalo, et.al., Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, USU Law Journal, Vol.II-No.2 (November 2013), hal Nixson, Syafruddin Kalo, et.al., Op. Cit., 20 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator di dalam perkara tindak pidana tertentu. 6

11 b. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana. c. Atas bantuannya tersebut, hakim dalam memutus perkara terhadap justice collaborator tersebut dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara paling ringan dari terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud Peraturan Bersama Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Peraturan Bersama tahun 2011 menyebut justice collaborator dengan istilah saksi pelaku yang bekerjasama. Peraturan bersama menteri merupakan bentuk tertulis yang sifatnya berupa pengaturan dan berlaku umum akan tetapi secara kewenangan, menteri tidak dapat mengeluarkan peraturan bersama karena tidak ada atribusi ataupun delegasi dari peraturan perundang-undangan. Walaupun demikian Peraturan bersama tetap dapat digunakan dalam praktek tata Negara mengingat adanya kekosongan hukum khususnya yang mengatur perlindungan hukum dan perlakuan bagi justice collaborator. 21 Peraturan bersama ini telah memberikan pengertian mengenai justice collaborator yang terdapat pada Pasal 1 ayat 3. Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil 21 Rika Ekayanti, Perlindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Terkait Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 4, No.1: , (Mei 2015), hal

12 suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan 22 Peraturan Bersama ini menjamin justice collaborator akan memperoleh perlindungan fisik, psikis, dan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang yang berlaku, penanganan secara khusus dalam hal pemisahan tempat penahanan, pemberkasan perkara yang terpisah, penundaan penuntutan, penundaan proses hukum dan memberikan kesaksian didepan persidangan tanpa menunjukkan wajah/identitasnya, serta pemberian penghargaan dalam hal keringanan tuntutan hukum termasuk hukuman percobaan, pemberian remisi tambahan dan hak narapidana lain. Peraturan Bersama ini juga sudah mengatur mekanisme/tatacara pengajuan perlindungan justice collaborator melalui rekomendasi penegak hukum dalam setiap tahapan penanganan perkara kepada Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban. Pemberian perlindngan dapat dibatalkan karena hal-hal tertentu. 23 Meskipun cukup komprehensif namun Peraturan bersama ini didalamnya tidak memuat sanksi pidana apabila lembaga atau kementerian dan komisi didalamnya tidak menaati prosedur pemberian perlindungan hukum bagi justice collaborator sehingga daya ikat dari pemberlakuan Peraturan Bersama ini masih lemah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atsa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlidungan Saksi dan Korban. Pengaturan menjadi justice collaborator di Indonesia praktis dapat dikatakan belum ada sebelum lahirnya Undang-undang No. 13 tahun 2006, di dalam undang-undang itu sendiri pasal-pasal yang mengatur serta menjabarkan tentang saksi pelaku yang bekerjasama dinilai masih sangat minim. Undangundang tersebut juga tidak memberikan panduan yang jelas apa saja yang menjadi prasyarat untuk dapat menetapkan seseorang menjadi justice collaborator. Peran seorang pelaku yang dijadikan sebagai saksi dalam peraturan perundang- 22 Peraturan Bersama Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi pemberantasan Korupsi republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. 23 Rika Ekayanti, Op.Cit., hal Ibid, hal

13 undangan yang ada saat itu hanya dikenal dalam satu pasal saja yaitu Pasal 10 ayat (2). 25 Dari rumusan Pasal 10 ayat (2) tersebut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 telah memberikan payung hukum pertama mengenai pelaku yang bekerjasama yang dalam undang-undang tersebut disebut dengan istilah saksi yang juga tersangka. Kendatipun justice collaborator telah diatur di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, namun setelah berjalannya waktu dan dalam pelaksanaannya, undang-undang ini ditemukan adanya kekurangan-kekurangan dalam mengatur perlindungan terhadap saksi. Khusus pengaturan tentang peran justice collaborator dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kelemahankelemahan yang disebabkan berbeda-bedanya penafsiran pasal tersebut oleh masyarakat dan juga oleh penegak hukum itu sendiri. Dalam perkembangannya untuk menutup kelemahan dan kekurangan dalam Pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut Mahkamah Agung memberikan panduan melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor tindak Pidana (whistle blower) dan saksi Pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) didalam perkara tindak pidana tertentu, kemudian diikuti dengan Peraturan bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tentang Perlindungan bagi pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. 26 Akan tetapi peraturan-peraturan yang berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), maupun Peraturan Bersama sebagaimana tersebut diatas masih juga terdapat kelemahan, yaitu sifat dari peraturan itu sendiri yang berupa surat edaran yang dapat diartikan dapat diikuti atau tidak diikuti tergantung dari subjektifitas dari penegak hukum itu sendiri. 27 Adanya kelemahan-kelemahan dan kekurangan tersebut khususnya yang terdapat dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, maka layak jika kemudian 25 Rusli muhammad, Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No.2 Vol.22 (April 2015: ) hal Ibid., hal La Ode Muhammad Nusrin, Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Wawancara Pribadi, Semarang, 26 Oktober 2017, pukul WIB. 9

14 undang-undang ini diubah dengan dikeluarkannya undang-undang No. 31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 28 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 menentukan definisi saksi pelaku yang bekerjasama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 yakni: Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. 29 Untuk penanganan secara khusus, seperti tersebut dalam Pasal 10A, terdapat beberapa hak yang bisa diperoleh justice collaborator tersebut, yaitu dipisahnya tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan, kemudian, dapat memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya, memperoleh penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan atau kesaksian yang diberikannya, serta bisa memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. Selain penanganan secara khusus, saksi sekaligus pelaku tindak pidana tersebut bisa memperoleh penghargaan berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk tuntutan hukuman percobaan, serta memperoleh pembebasan bersyarat, pemberian remisi dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku apabila saksi pelaku yang bekerja sama adalah seorang terpidana. Semua hak ini bisa diperoleh oleh justice collaborator dengan persetujuan atau mendapat rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Implementasi Hak-hak Justice Collaborator Implementasi perlindungan dan pengamanan saksi ini merupakan tindakan yang memiliki banyak aktivitas dan variasi yang tujuannya adalah memberikan keamanan kepada saksi itu sendiri maupun kepada keluarganya ataupun kepada 28 Rusli Muhammad, Op.Cit., hal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 30 Rusli muhammad, Op.Cit., hal

15 pihak yang terkait. Tindakan keamanan ini terdapat dalam berbagai program perlindungan yang mencakup tindakan-tindakan khusus yang memiliki variasi sesuai dengan konteks waktu dimana saksi tersebut mengikuti dalam program perlindungan. Konteks waktu ini biasanya lebih terkait dengan waktu tahapan sistem peradilan pidana misal, pelaporan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan seterusnya. 31 Keterangan yang diberikan saksi memainkan peran kunci bagi keberhasilan dalam proses penyelidikan, penyidikan, sampai dengan proses pemeriksaan di persidangan. Begitu sentralnya keterangan saksi ini, sehingga para pelaku kejahatan atau suruhannya sering mencoba melakukan upaya-upaya khusus untuk memberikan janji-janji berupa imbalan ataupun intimidasi langsung guna mencegah saksi agar tidak memberikan kesaksiannya. 32 Tuntutan dari keberadaan saksi adalah pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, mana mungkin tuntutan itu terpenuhi jika dalam memberikan keterangannya dalam keadaan terintimidasi, takut, atau khawatir akan efek dari keterangannya. Oleh karena itu, wajar saja kalau saksi juga menuntut bahwa mereka juga perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka persidangan. 33 Penegak hukum seharusnya memberikan rasa aman dan bebas kepada saksi pada saat diperiksa sehingga saksi dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun mungkin keterangannya itu memberatkan terdakwa. 34 Terkait dengan posisi atau kedudukan dari saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang seringkali terancam, maka dari itu untuk mencegah terjadinya ancaman itu maka aparat penegak hukum untuk pertama kali mengambil tindakan perlindungan hukum berupa merahasiakan identitas dari justice collaborator tersebut serta tidak memisahkan terlebih dahulu berkas perkara. Antara berkas perkara si justice collaborator dengan berkas perkara 31 Supriyadi Widodo Eddyono, Syahrial Martanto wiryawan, et.al., 2008, Pokok-pokok Pikiran penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, hal Siswanto Sunarso, 2015, Victimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta Timur: Sinar Grafika, hal Ibid,. Hal Ibid,. Hal

16 tersangka maupun terdakwa yang akan diungkapnya, langkah pencegahan awal ini bertujuan agar tidak timbul kecurigaan maupun terjadi ancaman dari tersangka maupun terdakwa yang akan diungkapkan kasusnya tersebut, serta memberikan hak-hak saksi yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Maupun hak-hak saksi yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pertama, kebijakan hukum pidana terhadap justice collaborator. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang masih berlaku sampai saat ini belum mengatur mengenai mekanisme perlindungan maupun reward yang akan diberikan kepada justice collaborator, setelah diundangkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah pertamakali diaturnya justice collaborator di indonesia, undang-undang tersebut menyebut justice collaborator dengan istilah saksi yang juga tersangka. Kendatipun justice collaborator telah diatur telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, namun setelah berjalannya waktu dan dalam pelaksanaannya ditemukan adanya kekurangan-kekurangan dalam mengatur perlindungan terhadap saksi, khususnya pengaturan tentang peran justice collaborator yang dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut dapat terlihat dari, ruang lingkup justice collaborator yang masih terbatas, persyaratan yang kurang jelas, pemberian reward yang terbatas, dan tidak adanya kepastian dalam pemberian reward. Dalam perkembangannya untuk menutup kelemahan dan kekurangan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tersebut Mahkamah Agung memberikan panduan melalui SEMA NO. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu, kemudisn diikuti dengan Peraturan Bersama antara menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepolisian, serta LPSK No. 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama, dalam SEMA dan Peraturan 12

17 Bersama tersebut sebenarnya sudah mengatur mengenai syarat untuk menjadi justice collaborator, syarat untuk mendapatkan perlindungan bahkan sudah mengatur mengenai penghargaan yang dapat diperoleh oleh justice collaborator. Akan tetapi perturan-peraturan tersebut masih memiliki kelemahan, yaitu sifat dari peraturan itu sendiri yang berupa surat edaran yang dapat diartikan dapat diikuti atau tidak tergantug dari subjektifitas penegak hukum itu sendiri. Adanya kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 maka kemudian undang-undang tersebut diubah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang No. 31 Tahun 2014 ini telah merubah ketentuan Pasal 10 serta menambahkan Pasal 10 A yang berupa penanganan secara khusus yang dapat diperoleh oleh justice collaborator yang bertujuan untuk memberikan jaminan hukum yang lebih baik kepada justice collaborator. Kedua, implementasi hak-hak justice collaborator dapat diberikan sejak tahap penyelidikan, sampai tahap pelaksanaan putusan dari pengadilan. Tahap awal pemberian perlindungan kepada justice collaborator hanyalah berupa penyembunyian identitas dari justice collaborator tersebut, serta tidak memisahkan berkas perkara si justice collaborator tersebut dengan para tersangka maupun terdakwa yang akan diungkap kasusnya oleh justice collaborator, perlindungan yang berupa penyembunyian identitas dan tidak memisahkan berkas perkara ini sebenarnya bertujuan agar identitas dari justice collaborator tersebut tidak diketahui, serta agar tidak terjadi rasa curiga dari orang yang akan diungkap kasusnya. Apabila langkah awal tersebut tidak berhasil, dan justice collaborator merasa keselamat dirinya maupun keluarganya terancam maka penyidik dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada LPSK. Untuk memperoleh perlindungan dari LPSK sendiri terdapat beberapa tahapan yakni: (1) Tahap permohonan perlindungan, (2) Tahap pemeriksaan permohonan (investigasi). (3) Putusan atas permohonan (perjanjian perlindungan/ nota kesepahaman). (4) Pelaksanaan perlindungan. Pada saat menjalani proses pelaksanaan putusan, justice collaborator masih memperoleh perlindungan berupa penempatan di blok khusus serta pengawasan khusus dalam pemenuhan hak-hak nya serta memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, remisi tambahan maupun pembebasan bersyarat. 13

18 4.2 Saran Pertama, KUHAP yang berlaku dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini belum mengatur mengenai justice collaborator, peraturanperaturan yang ada saat ini dirasa masih kurang untuk mengakomodir aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan serta reward bagi justice collaborator, oleh karena itu dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP yang baru agar ditambahkan pembahasan tersendiri terkait mekanis perlindungan, maupun reward yang bisa didapatkan oleh justice collaborator, agar bisa menjadi pegangan aparat penegak hukum dalam memberikan jaminan perlindungan bagi justice collaborator. Kedua, adanya tahapan pengajuan permohonan perlindungan terlebih dahulu kepada LPSK yang kemudian baru dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan permohonan dan proses penilaian atas permohonan, akan memakan waktu yang cukup lama, sehingga akan menyebabkan pelayanan perlindungan bagi justice collaborator kurang efektif dan kurang efisien, sehingga akan menghambat proses penyelesaian perkara itu sendiri. Akan lebih baik apabila kewenangan perlindungan justice collaborator tersebut diberikan kepada unit internal dari penegak hukum itu sendiri, misalnya unit perlindungan khusus di kejaksaan. Persantunan Naskah publikasi ini, penulis persembahkan kepada kedua orangtuaku tercinta atas doa dan dukungan moril maupun materiil yang tidak henti-hentinya mendoakan penulis agar sukses baik di dunia maupun di akhirat. Saudarasaudarku tersayang atas dukungan, doa dan semangatnya serta sahabat-sahabatku semuanya tanpa kecuali, terima kasih atas motivasi, dukungan dan doanya selama ini. DAFTAR PUSTAKA Buku Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Mataram: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Darmoko, Ekotjipto, Nanang Hape, et.al., 2010, Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Iksan, Muchamad Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Surakarta: Muhammadiyah University Press 14

19 Siswanto Sunarso, 2015, Victimologi dalam Sistem Peradilan pidana, Jakarta Timur: Sinar Grafika Soerjono dan Abdul Rahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta Soerjono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta Supriyadi Widodo Eddyono, Syahrial Martanto wiryawan, et.al., 2008, Pokokpokok Pikiran penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Indonesia Corruption Watch Wijaya, Firman Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku Wirawan, Syahrial Martanto dan Melly Setyowati, 2007, Pemberian Bantuan Dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Sebuah Observasi Awal, Jakarta: Indonesia Corruption Watch Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Peraturan Bersama Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi pemberantasan Korupsi republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator di dalam perkara tindak pidana tertentu. Jurnal/Karya Ilmiah Nixson, Syafruddin Kalo, et.al., Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, USU Law Journal, Vol.II-No.2 (November 2013) Rika Ekayanti, Perlindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Terkait Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 4, No.1: , (Mei 2015) Rusli muhammad, Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No.2 Vol.22 (April 2015: ) Tuage, Sharistha Nathalia. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), Lex Crimen, Volume. II/No. 02, (April-Juni 2013) 15

SKRIPSI. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah)

SKRIPSI. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah) SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh Desak Made Risa Sutiadewi Yohanes Usfunan Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011 46 BAB III JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011 A. Pengertian Justice Collaborators dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 Pengaturan tentang keberadaan justice collaborators atau saksi pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana

Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Rusli Muhammad. Pengaturan dan Urgensi Whistle... 203 Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Rusli Muhammad Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Lebih terperinci

Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/

Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/ Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/ Justice Collaborator (Telaah Yuridis Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta) Rahardian F.N, Pujiyono,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA Oleh: Ni Made Dwita Setyana Warapsari I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum sejatinya dibentuk dan diberlakukan sebagai sarana untuk memberikan perlindungan kepada setiap orang secara berkeadilan. Hukum Indonesia, sebagaimana tersirat

Lebih terperinci

PENERAPAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI REGINA MACARYA PALAPIA

PENERAPAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI REGINA MACARYA PALAPIA PENERAPAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2011 DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI REGINA MACARYA PALAPIA FAKULTAS HUKUM ATMAJAYA YOGYAKARTA Palapiamaya@gmail.com ABSTRACT In this paper,

Lebih terperinci

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL. Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.M Ketua LPSK RI Latar Belakang LPSK dirancang untuk memberikan perlindungan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015 PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR (WHISTLEBLOWER) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA 1 Oleh: Fiskia Joan Matondong 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana keterangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. Kata kunci: Perlindungan hukum, pengungkap fakta (whistleblower), saksi, korban

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. Kata kunci: Perlindungan hukum, pengungkap fakta (whistleblower), saksi, korban PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 1 Oleh : Riung Friko Karek 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil, maka kita juga harus membicarakan hukum formilnya atau yang biasa disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, peradilan mutlak diperlukan sebab dengan peradilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya mengenai kompensasi, namun

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR TINDAK PIDANA KORUPSI. diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR TINDAK PIDANA KORUPSI. diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap 27 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oly Viana Agustine, Eko Soponyono, Pujiyono*) lifeinlaaw@gmail.com Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PENGOSONGAN RUMAH YANG DITEMPATI OLEH ORANG LAIN SECARA MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PENGOSONGAN RUMAH YANG DITEMPATI OLEH ORANG LAIN SECARA MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PENGOSONGAN RUMAH YANG DITEMPATI OLEH ORANG LAIN SECARA MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan selalu berubah sesuai dengan waktu dan tempat tindak pidana itu didefinisikan oleh masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 6/Ags/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 6/Ags/2016 KAJIAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG SAKSI PELAKU TINDAK PIDANA YANG BEKERJASAMA (JUSTICE COLLABORATOR) 1 Oleh : Coby Elisabeth Mamahit 2 ABSTRAK Tindak pidana korupsi merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI JURNAL SKRIPSI D I S U S U N OLEH : JAMES ANTRO YOSUA PANJAITAN NIM : 080200178

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PELINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 1

EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PELINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 1 EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PELINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 1 Oleh: H. DUDUNG MULYADI, S.H., M.H *) ABSTRACT Legal protection is a form of service that must be provided by the government,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT YANG BERPERAN SERTA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT YANG BERPERAN SERTA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI RINGKASAN SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT YANG BERPERAN SERTA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh: Ni Wayan Indah Purwita Sari I Ketut Rai Setiabudhi Anak Agung Ngurah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan 1. Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan 1. Pemerintahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia merupakan negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 Syapri Chan, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan E-mail : syapri.lawyer@gmail.com Abstrak Korporasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya Implementasi Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem

Lebih terperinci

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta 2005 I. Latar Belakang Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

PROSES PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN PELAKU DAN KORBAN ANAK DI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

PROSES PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN PELAKU DAN KORBAN ANAK DI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI PROSES PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN PELAKU DAN KORBAN ANAK DI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

1. Susunan Tim (Terlampir)

1. Susunan Tim (Terlampir) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI III DPR RI KE PROVINSI JAWA TIMUR TERKAIT PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ANAK YANG MENJADI PELAKU TINDAK PIDANA

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ANAK YANG MENJADI PELAKU TINDAK PIDANA UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ANAK YANG MENJADI PELAKU TINDAK PIDANA Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Oleh : Ida Bagus Bayu Ardana Made Gede Subha Karma Resen Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran auditor investigatif dalam mengungkap tindak pidana khususnya kasus korupsi di Indonesia cukup signifikan. Beberapa kasus korupsi besar seperti kasus korupsi simulator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU SEKSUAL ANAK

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU SEKSUAL ANAK DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU SEKSUAL ANAK Oleh Cokorda Istri Agung Diah Astiti Mataram Hukum Pidana A.A Istri Ari Atu Dewi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI Supriyadi Widodo Eddyono 1 1 Tulisan ini digunakan untuk bahan pengantar diskusi FGD III perlindungan saksi dan Korban yang diinisiasi oleh ICW-KOMMNAS PEREMPUAN-ELSAM

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL. (Studi Kasus di Polres Ngawi)

SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL. (Studi Kasus di Polres Ngawi) SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL (Studi Kasus di Polres Ngawi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajad

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism.

ABSTRACT. Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism. KETERBATASAN PERLINDUNGAN HAK SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Oleh : Kristina Melati Pasaribu Suhirman Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diketahui dari banyaknya perkara besar yang terpaksa mangkrak tidak

BAB I PENDAHULUAN. dapat diketahui dari banyaknya perkara besar yang terpaksa mangkrak tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat bukti yang sah dan hampir selalu ada dan diperlukan dalam setiap perkara pidana adalah keterangan saksi. Betapa urgensinya saksi dalam perkara

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR Oleh : I Gst. Agung Rio Diputra A. A. Gede Duwira Hadi Santosa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract : The entire community participation

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang oleh karena itu segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2591K/PID.SUS./2011)

PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2591K/PID.SUS./2011) PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2591K/PID.SUS./2011) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK

KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK KAJIAN NORMATIF TERHADAP DUALISME KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KPK NASKAH PUBLIKASI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci