BAB 3 BAHAN DAN METODE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 3 BAHAN DAN METODE"

Transkripsi

1 47 BAB 3 BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016 di aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun. Sampel yang diperoleh dibawa untuk diidentifikasi ke Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Metode Penelitian Penentuan titik lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling, yaitu dengan menentukan 4 stasiun pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas yang terdapat di daerah tersebut Deskripsi Area Lokasi Penelitian Stasiun 1 Stasiun 1 berada di Desa Karanganom, Pane Tongah yang secara geografis terletak pada ,80 LU dan ,49 BT. Stasiun 1 ini merupakan daerah pengerukan pasir dan batu serta terdapat bendungan. Substrat dasar pada lokasi ini adalah pasir dan batu (Gambar 2.). Gambar 2. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 1 yang Terletak di Desa Karanganom, Pane Tongah.

2 Lokasi Penelitian Stasiun 2 Stasiun 2 merupakan daerah pariwisata yang dikelola oleh penduduk yang berada di kota Pematang Siantar.Secara geografis stasiun 2 ini terletak pada ,58 LU dan ,44 BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa bebatuan dan berpasir (Gambar 3.) Gambar 3. Sungai Bah Bolon pada Stasiun 2 yang Merupakan Daerah Pariwisata Terletak di Kawasan Kota Pematang Siantar Stasiun 3 Stasiun 3merupakan daerah pembuangan limbah rumah sakit dan pabrik es yang berada tidak jauh dari aliran sungai, lokasi sungai terletak di Kota Pematang Siantar. Secara geografis stasiun 3 terletak pada ,27 LU dan ,70 BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir, bebatuan dan sedikit berlumpur (Gambar 4.). Gambar 4. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 3 yang Merupakan Badan Air, Penerima Air Limbah Rumah Sakit dan Pabrik Es Yang Terdapat di Kota Pematang Siantar

3 Stasiun 4 Stasiun 4merupakan daerah yang terdapat aktivitas dari pemukiman penduduk seperti mencuci, pemandian dan penangkapan ikan. Lokasi stasiun 4 terletak di Kota Pematang Siantar, yang secara geografis terletak pada ,61 LU dan ,27 BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan batu (Gambar 5). Gambar 5. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 4 yang Terdapat Dekat Pemukiman Penduduk Di Kota Pematang Siantar Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala dengan luas 12,56 m 2 dan diameter mata jala 1,5 cm, cool box, tool box, camera digital, ph meter, DO meter, turbidity meter, termometer, lux meter, keping secchi, pipet tetes, erlemeyer 150 ml, spit 5 ml, spit 3 ml, ember 5 liter dan botol alkohol. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, kertas grafik, aluminium foil, plastik 10 kg, MnSO 4, KOH-KI, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, dan amilum Pengambilan Sampel Ikan Pengambilan sampel ikan dilakukan bersamaan dengan pengukuran faktor-fisik kimia perairan. Cara pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menebar jala dengan luas 12,56 m 2 sebanyak 30 ulangan pada masing-masing stasiun. Penebaran jala dilakukan berdasarkan penentuan 3 titik sampling secara acak di setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan ke dalam toples plastik berukuran 5 kg dan diawetkan dengan alkohol 70% untuk

4 50 selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku identifkasi Kottelat Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan Suhu Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan skala o C. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala termometer Intensitas Cahaya Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu dinyalakan dan diatur Lux meter pada perbesaran , kemudian dicatat nilai yang tertera pada layar Penetrasi Cahaya Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Sechii, caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai, sampai keping Sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya Kecepatan Arus Sungai Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan menghidupkan stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan stopwatch dan dicatat waktunya. Pengukuran kecepatan arus dilakukan sebanyak 5 x ulangan Derajat Keasaman (ph) Pengukuran ph air dilakukan dengan menggunakan ph meter. Sebelumnya dikalibrasi dulu ph dengan ph 7. Pengukuran ph air dilakukan dengan cara ujung dari ph meter dimasukkan ke permukaan badan air lalu dibaca nilai yang tertera pada ph meter dan dicatat hasil yang didapatkan.

5 Dissolved Oxygen (DO) Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masingmasing 1 ml MnSO 4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H 2 SO 4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na 2 S 2 O 3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na 2 S 2 O 3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na 2 S 2 O 3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. (Lampiran 3) Biochemical Oxygen Demand (BOD 5 ) Pengukuran BOD 5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi selama 5 hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen kimia yaitu MnSO 4 dan KOH-KI, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, amilum. Sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO 4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H 2 SO 4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na 2 S 2 O 3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na 2 S 2 O 3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na 2 S 2 O 3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Nilai BOD 5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir. Prosedur kerja BOD 5 dapat dilihat pada lampiran 4.

6 Kejenuhan Oksigen Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kejenuhan O 2 = DO u DO t x 100% Keterangan: O 2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l) O 2 [t] : Nilai konsentrasi pada tabel (lampiran 5) sesuai besar suhunya Kadar Nitrat (NO 3 ) Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan pipet volum dan ditambahkan 5 ml H 2 SO 4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit. Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer Total Suspended Solid (TSS) Pengukuran kandungan TSS dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro Total Disolved Suspended (TDS) Pengukuran kandungan TDS dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro Kadar Posfat (PO 4 ) Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1 ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer. Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia perairan beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

7 53 Tabel 1. Alat dan satuan yang digunakan dalam pengukuran faktor fisik-kimia perairan No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat Pengukuran 1 Suhu C Termometer In situ 2 Penetrasi cahaya Meter Keping secchi In situ 3 Intensitas cahaya Candela Lux meter In situ 4 ph air - ph meter In situ 5 Kecepatan Arus m/det Stopwatch, Bola ping-pong, In situ Meteran 6 DO mg/l Metoda Winkler In situ 7 BOD 5 mg/l Metode Winkler dan Inkubasi Laboratorium 8 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium 9 Kadar Nitrat (NO 3 ) mg/l Spektrofotometri Laboratorium Kadar Posfat (PO 4 ) Kekeruhan Konduktivitas TSS(Total Suspended Solid) TDS (Total Dissolved Solid) mg/l - p mhos/cm mg/l mg/l Spektrofotometri Turbidity meter DO meter Spektrofotometri Spektrofotometri Laboratorium In situ In situ Laboratorium In situ 3.7. Analisis Data Ikan Data ikan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon Wiener, Indeks keseragaman dan indeks kesamaan. a. Kepadatan Populasi KP (ind/m 2 ) = Jumlah individu suatu spesies Luas Jala (Michael, 1994) b. Kepadatan Relatif Ikan KR (%) = jumlah K dalam setiap spesies total K x 100 % Apabila KR > 10 % dan FK > 25%, maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi kehidupan dan perkembangan suatu organisme (Krebs, 1985).

8 54 c. Frekuensi Kehadiran (FK) Jumlah plot yang ditempati suatu jenis FK = x 100% Jumlah total plot Dimana nilai FK : 0-25 % = kehadiran sangat jarang % = kehadiran jarang % = kehadiran sering % = kehadiran absolut (sangat sering) (Michael, 1994) d. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H ) Dimana : H = pi ln pi H = indeks diversitas Shannon Wiener ln = logaritma Nature pi = ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis) 0 < H < 2,302 = keanekaragaman rendah 2,302 < H < 6,907 = keanekaragaman sedang H > 6,907 = keanekaragaman tinggi (Krebs, 1985) e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E) E = H ' H max Dimana : H = indeks diversitas Shannon Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum = ln S (dimana S banyaknya genus) (Krebs, 1985)

9 55 f. Indeks Similaritas (IS) 2c IS = X100% a + b Dimana: IS = Indeks Similaritas a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b (Michael, 1994) Analisis Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver Keterangan: 0,00-0,199 : Sangat rendah 0,20-0,399 : Rendah 0,40-0,599 : Sedang 0,60-0,799 : Kuat 0,80-1,00 : Sangat kuat

10 56 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Jenis-Jenis Ikan yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Hasil penelitian diperoleh jenis ikan yang terdapat pada keempat stasiun penelitian di sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun terdiri dari 3 ordo, 6 famili dan 11 spesies, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian No Ordo Famili Spesies Stasiun Cypriniformes 1. Cyprinidae 1. Cyprinus carpio Neolissochilus sumatranus Puntius binotatus Tor douronensis Tor soro Perciformes 2. Channidae 6. Channa gachua Channa striata Cichlidae 8. Oreochromis niloticus Siluriformes 4. Bagridae 9. Mystus nemurus Clariidae 10. Clarias tjesmani Loricariidae 11. Hypostomus Plecostomus Keterangan: Tanda (+) : didapatkan, tanda (-) : tidak didapatkan. Tabel 2. memperlihatkan bahwa jumlah spesies ikan yang didapatkan berbeda pada setiap stasiun, pada stasiun 1 didapatkan sebanyak 8 spesies ikan, sedangkan pada stasiun 2, 3 dan 4 yang masing-masing terdapat 6 spesies ikan. Stasiun 1 memiliki jumlah spesies ikan lebih banyak dari stasiun lainnya disebabkan oleh kondisi faktor fisik dan kimia perairan di stasiun 1 lebih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fisik dan kimia perairan seperti suhu, intensitas cahaya, penetasi cahaya, kekeruhan, dan kadar nitrat dari stasiun 1 lebih mendukung pertumbuhan ikan dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kordi (2010), menyatakan suhu yang cocok untuk biota air antara C. Tinggi rendahnya suhu suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor antara lain ketinggian, curah hujan dan intensitas cahaya matahari. Maniagasi, et al (2013), menyatakan kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan suatu perairan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi intensitas dan penetrasi cahaya pada stasiun 1

11 57 yang dipengaruhi oleh kekeruhan, dimana pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa stasiun 1 memiliki nilai kekeruhan terendah. Kekeruhan mepengaruhi jarak pandang ikan saat beraktifitas di dalam air, sehingga ikan lebih menyukai perairan yang tidak terlalu keruh. Stasiun 1 memiliki 2 spesies ikan yang tidak terdapat pada stasiun lainnya yaitu ikan Neolissochilus sumatranus dan Oreochromis niloticus. Tabel 2. menunjukkan terdapat dua jenis ikan Tor yakni Tor soro dan Tor douronensis serta satu jenis ikan Neolissochilus yakni Neolissochilus sumatranus. Ketiga spesies ini dikategorikan sebagai ikan batak oleh masyarakat setempat. Ketiga spesies ini merupakan ikan ekonomis tinggi dan bernilai sosio-kultural khususnya bagi masyarakat dari suku batak. Neolissochilus sumatranus merupakan spesies endemik yang sudah sangat jarang ditemukan di daerah Sumatera Utara (Simanjuntak, C. 2012). Neolissochilus sumatranusmerupakan jenis ikan yang menyukai perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah, perairan jernih, berbatu dengan oksigen terlarut yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat bahwa ikan ini hanya didapatkan pada stasiun 1 yaitu daerah bendungan dengan kekeruhan 7,61 dan oksigen terlarut 8,19. Stasiun 1 dapat dikatakan daerah aliran sungai yang lebih dekat dengan hulu sungai Bah Bolon, terletak di Kecamatan Pane Tongah. Secara spasial dan temporal, ikan Neolissochilus sumatranus memiliki distribusi yang luas di daerah hulu sungai dengan perairan yang jernih dan kekeruhan rendah (Simanjuntak, C. 2012). Puntius binotatus dan Clarias tjesmani merupakan ikan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian. Ikan Lele ataupun Clarias tjesmani merupakan ikan yang dapat ditemukan dalam berbagai kondisi air tawar baik keruh maupun jernih. Hal ini disesuai dengan kondisi fisik kimia perairan sungai Bah Bolon seperti suhu, kecepatan arus, ph, dan dengan substrat dasar berpasir maupun berbatu disukai oleh ikan tersebut. Menurut Roberts (1989), ikan Puntius binotatus tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran ph 6,0-6,5 dan suhu perairan C. Umumnya ikan ini banyak ditemukan di sungai dengan arus deras maupun tidak terlalu deras. Tabel 2. menunjukkan famili Cyprinidae merupakan yang paling banyak didapatkan jumlah spesiesnya dari 11 spesies yang ada pada keempat stasiun

12 58 penelitian, yaitu Cyprinus carpio, Neolissochilus sumateranus, Puntius binotatus, Tor douronensis dan Tor soro. Hal ini disebabkan kondisi faktor fisik kimia perairan, seperti suhu, ph air, substrat dasar berbatu maupun berpasir, serta faktor fisik kimia perairan lainnya di Sungai Bah Bolon mendukung sebagai habitat untuk kelangsungan hidup ikan dari famili Cyprinidae. Menurut Kottelat et al (1993), famili Cyprinidae merupakan penghuni terbesar ikan air tawar yang memiliki adaptasi yang cepat terhadap perubahan kondisi perairan. Ikan dari kelompok Channidae menempati urutan kedua jumlah spesies paling banyak ditemukan di Sungai Bah Bolon yaitu Channa striata dan Channa gachua. Hal ini dikarenakan habitat kelompok ikan Channidae dalam hal ini dari genus Channa, umumnya di perairan sungai yang dicirikan dengan suhu kisaran C, oksigen terlarut tinggi dan bersubstrat batu maupun pasir. Tabel 2. menunjukkan setelah kelompok Channidae, terdapat kelompok ikan Cichlidae, Bagridae, Clariidae dan Locaridae masing-masing 1 spesies. Beberapa hasil penelitian di beberapa sungai di kawasan Sumatera Utara menunjukkan hal serupa, seperti di sungai Batang Toru, ditemukan bahwa famili Cyprinidae (11 spesies) merupakan penghuni utama, disusul oleh Channidae (2), Balitoridae (2), Gobiidae (2), Cichlidae, Bagridae, Mastacembelidae, dan Sisoridae masingmasing 1 spesies (Roesma, et al., 2016); di Sungai Asahan ditemukan kelompok Cyprinidae yang paling banyak didapatkan, disusul oleh Balitoridae, Clariidae, Bagridae, dan 7 famili lainnya (Simanjuntak, C. 2012). Karakteristik morfologi dari masing-masing ikan yang diperoleh di keempat stasiun penelitian, sebagai berikut: 1. Cyprinus carpio/ Ikan Mas (Linnaeus, 1758) Panjang total: 6,2-14,7 cm; panjang standar: 4,4-13,9 cm; panjang kepala: 1,8-1,9 cm; tinggi badan: 2,2-3,8 cm; panjang ekor: 1,2-1,7 cm; lebar bukaan mulut: 0,2-0,8 cm. Bentuk badan memanjang dan sedikit pipih kesamping, mulut terletak di ujung tengah (terminal) serta terdapat dua pasang sungut. Sirip ekor berbentuk heterocercal (cagak) dan tipe sisik berbentuk lingkaran (cycloid), empat buah sungut; sirip punggung mempunyai jari-jari bercabang (Gambar. 6).

13 59 Gambar 6. Cyprinus carpio Linn. 2. Neolissochilus sumatranus/ikan Batak(Weber & de Beaufort, 1916) Panjang total: 15,6-25,2 cm; panjang standar: 12,5-20,9 cm; panjang kepala: 3,1-4,3 cm; tinggi badan: 4,7-6,1 cm; panjang ekor: 3,3-4,1 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1, cm.tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked, alur dari bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah. Terdapat bintik putih disekitar mulut (Gambar.7). Gambar 7. Neolissochilus sumatranus 3. Puntius binotatus/ Ikan Kaperas(Valenciennes, 1842) Panjang total: 9-32,4 cm; panjang standar: 6,9-26,1 cm; panjang kepala: 2,1-6,3 cm; tinggi badan: 4,3-7,5 cm; panjang ekor: 2,2-4,3 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,3 cm. Mempunyai sebuah bintik bulat pada bagian depan sirip punggung dan sebuah lagi ditengah batang ekor (Gambar. 8). Menurut Roberts, (1989), ikan ini juga dikenal dengan nama spotted barb karena memiliki ciri khusus berupa bintik hitam pada pangkal ekor dan di bagian depan pangkal sirip pungung.

14 60 Gambar 8. Puntius binotatus 4. Tor douronensis/ Ikan Batak(Valenciennes, 1842) Panjang total: 18,9-20,2 cm; panjang standar: 15,9-17,1cm; panjang kepala: 3-3,1 cm; tinggi badan: 4,6-5 cm; panjang ekor: 3,9-4,4 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,2 cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked. Cuping berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut; bagian jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala tanpa moncong (Gambar. 9). Gambar 9. Tor douronensis 5. Tor soro/ Ikan Jurung(Valenciennes, 1842) Panjang total: 10,6-38,2 cm; panjang standar: 8,5-32,9 cm; panjang kepala: 3,1-5,3 cm; tinggi badan: 4,7-9,1 cm; panjang ekor: 3,3-7,1 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,2 cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked(gambar.10). Ikan batak memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di atas warna hitam, dan putih pada bagian bawah tubuh ikan.

15 61 Gambar 10. Tor soro 6. Oreochromis niloticus/ Ikan Nila(Linnaeus, 1758) Panjang total: 5-13,7 cm; panjang standar: 3,1-10,4 cm; panjang kepala: 1,1-1,8 cm; tinggi badan: 1,8-3,9 cm; panjang ekor: 0,8-1,5 cm; lebar bukaan mulut: 1,5-2,5 cm. Tipe ekor membundar, tipe sisik sikoid dan bentuk tubuh fusiform. Ikan ini memiliki sirip punggung yang tajam dan memanjang (Gambar. 11). Gambar 11. Oreochromis niloticus 7. Clarias teijsmanni/ Ikan Lele(Bleeker, 1857) Panjang total: 11,9-16,2 cm; panjang standar: 9,9-14,1 cm; panjang kepala: 2-2,1 cm; tinggi badan: 3-3,1 cm; panjang ekor: 1,4-1,6 cm; lebar bukaan mulut: 0,4-0,8 cm. Sirip dubur, sirip ekor dan sirip pungung tidak bersatu; jarak antara sirip punggung dan tonjolan di belakang kepala kira-kira 2,5 kali lebih pendek dari panjang antara jatak moncong dan tonjolan di belakang kepala (Gambar. 12).

16 62 Gambar 12. Clarias tjeismanni 8. Mystus nemurus/ Ikan Baung(Valenciennes, 1842) Panjang total: 6,9-13,3 cm; panjang standar: 5-10 cm; panjang kepala: 1,5-2,4 cm; tinggi badan: 1,8-2,5 cm; panjang ekor: 1,6-2,7 cm; lebar bukaan mulut: 1,2-2,2 cm. Tipe ekor homocercal, bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, kepala pipih datar. Tubuh agak pipih dan memanjang berwarna hitam serta licin (Gambar. 13). Gambar 13. Mystus nemurus 9. Hypostomus Plecostomus/ Ikan Sapu Kaca(Linnaeus, 1758) Panjang total: 7-26,2 cm; panjang standar: 5-19,1 cm; panjang kepala: 1,2-3,3 cm; tinggi badan: 2,4-5 cm; panjang ekor: 1,7-6 cm; lebar bukaan mulut: 1,2-2,3

17 63 cm.mempunyai badan yang tertutup oleh kulit yang mengeras dan mulutnya berbentuk seperti cakram. 7 jari-jari bercabang pada sirip punggung (Gambar. 14). Menurut Geerinckx, (2007), karakteristik utama dari golongan Locariidae adalah mulut penghisap untuk makan, bernafas, dan menempel pada objek. Gambar 14. Hypostomus plecostomus 10. Channa gachua/ Ikan Bogo(Hamilton, 1822) Panjang total: 12,5-17,5 cm; panjang standar: 10,5-14 cm; panjang kepala: 3-4,5 cm; tinggi badan: 3-3,3 cm; panjang ekor: 2-3,5 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,1 cm. Tubuh silindris di depan dan sedikit memipih tegak di belakang. Kepala agak gepeng mendatar, rata di sisi atasnya, miring rata ke depan atau agak cembung. Celah mulut miring ke atas, dengan rahang bawah menonjol ke depan (Gambar. 15). Gambar 15. Channa gachua 11. Channa striata/ Ikan Gabus(Bloch, 1793) Panjang total: 11,4-20,5 cm; panjang standar: 9,2-16 cm; panjang kepala: 2,9-4,5 cm; tinggi badan: 3-3,3 cm; panjang ekor: 2-3,5 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,1

18 64 cm. Tipe ekor homocercal, bentuk ekor pointed, sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di ujungnya, tubuh berwarna hitam kecoklatan (Gambar. 16). Gambar 16. Channa striata 4.2. Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Ikan Nilai kepadatan, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran ikan yang diperoleh di setiap stasiun di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai K, KR dan FK setiap stasiun penelitian didapatkan pada kisaran yaitu K 0,002-0,055 ind/m 3, KR 1,54-55,17%, dan FK 3,3-46,6%. Pada stasiun 1 dan 4 nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi adalah ikan Puntius binotatus dengan nilai K 0,055 ind/m 3, nilai KR 32,31 % dan nilai FK 46,6 % pada stasiun 1 sedangkan pada stasiun 4 nilai kepadatan 0,042 ind/m 3, nilai KR 55,17%, dan nilai FK 40 %. Hal ini disebabkan stasiun 1 dan stasiun 4 dapat mendukung kelangsungan hidup ikan Puntius binotatus yang menyukai perairan dengan kecepatan arus deras 0,8-1,2 m/detik, substrat berbatu, dan kualitas air yang baik. Stasiun 2 dan 3 nilai K, KR dan FK tertinggi terdapat pada ikan Hypostomus plecostomus, dimana nilai K 0,029 ind/m 3, KR 24,44 % dan FK 30% untuk stasiun 2 dan nilai K 0,055 ind/m 3, KR 38,10% dan FK 6,6 % pada stasiun 3. Pada stasiun 2 ikan Channa gachua memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi, dikarenakan kondisi lingkungan pada stasiun 2 sesuai untuk pertumbuhan ikan tersebut. Pada stasiun 3 dapat dilihat bahwa ikan Hypostomus

19 65 plecostomusmemiliki nilai K, KR dan FK tertinggi, dimana stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah domestik dan limbah industri Kota Pematang Siantar. Hal ini disebabkan ikan Hypostomus plecostomusmerupakan salah satu ikan yang dapat beradaptasi dengan berbagai kondisi perairan, bahkan pada saat kondisi perairan tersebut ekstrem bagi biota air yang lainnya. Walaupun ikan sapu kaca biasa hidup pada perairan dalam, namun mereka memiliki kemampuan untuk menghirup udara dari permukaan air atau pada saat kandungan oksigen dalam air rendah (Armbruster, 1998). Nilai K, KR dan FK terendah pada stasiun 1 dan 2 adalah ikan Clarias tjesmani, ikan Cyprinus carpio, dan ikan Channa striata. Sedangkan pada stasiun 3 terdapat ikan Puntius binotatus dan ikan Channa striata, dan pada stasiun 4 terdapat ikan Tor soro yang memiliki nilai K, KR dan FK terendah. Hal tersebut dikarenakan kondisi lingkungan perairan kurang cocok untuk kelangsungan hidup ikan tersebut. Perubahan faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila suatu daerah misalnya, kepadatan suatu organisme berlimpah, dank arena suatu sebab faktor lingkungannya berubah maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara drastis, umpamanya karena adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun. Tabel 3. memperlihatkan jumlah individu, jumlah spesies dan pola distribusi dari ikan mempengaruhi nilai keanekaragaman yang didapatkan pada setiap stasiun. Meskipun pada stasiun 1 terdapat 8 spesies ikan, tetapi yang memiliki nilai keanekaragaman tertinggi adalah stasiun 3 (1,63 ind/m 2 ). Hal ini disebabkan terdapat beberapa spesies di stasiun satu yang mendominasi, seperti Puntius binotatus, Neolissochillus sumatranus dan Tor douronensis. Berbeda halnya dengan stasiun 3 yang memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi dipengaruhi oleh nilai K, KR dan FK setiap jenis hampir sama. Tabel 3. Menunjukkan bahwa sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat menjadi habitat yang sesuai bagi pertumbuhan ikan Tor douronensis, Puntius binotatus, Channa gachua, dan Hypostomus plecostomus.

20 66 Tabel 3. Data kepadatan (ind/m 2 ), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan di Sungai Bah Bolon. No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK 1. Tor soro 0,010 6,15 6, ,002 3,45 3,3 2. Tor douronensis 0,039 23,08 36, ,010 17,24 13,3 3. Clarias tjesmani ,54 3,3 0,007 6, ,010 19,05 6,6 0,005 6,9 6,6 4. Puntius binotatus 0,055 32,31 46,6 0,018 15, ,005 9,52 13,3 0,042 55, Cyprinus carpio 0,002 1,54 3, ,005 9,52 6, Mystus nemurus ,010 8,89 6, ,008 10,34 6,6 7. Oreochromis niloticus 0,005 3,08 6, Channa gachua ,045 37, ,007 14, Channa striata 0,007 4,62 6,6 0,007 6, ,021 9,52 6, Hyspostomus Plecostomus ,029 24, ,055 38,10 6,6 0,005 6,9 6,6 11. Neolissochilus sumatranus 0,047 27,69 6, Total 0, , , , H Keterangan : Stasiun 1 : Daerah Bendungan (Kecamatan pane Tongah, Kabupaten Simalungun) Stasiun 2 : Daerah Pariwisata (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun) Stasiun 3 : Daerah Pembuangan Limbah (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun) Stasiun 4 : Daerah Aktifitas Masyarakat (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun)

21 Hal ini dapat dilihat dari nilai kepadatan relatif (> 10%) dan nilai frekuensi kehadiran (> 25%) dari keempat ikan tersebut di stasiun 1 dan 2. Suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme apabila nilai KR > 10% dan FK > 25% (Barus, 2004) Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman Keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan diperairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan interaksi antara organisme yang hidup disana (Defira & Muchlisin, 2004). Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman spesies ikan yang telah diperoleh pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel 4.berikut ini : Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indeks Keseragaman (E) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 H' E Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat dilihat dari tabel 4, bahwa nilai keanekaragaman (H ) dari keempat stasiun penelitian hampir sama yaitu antara 1,35-1,63 ind/m 2 dalam hal ini tergolong kedalam keanekaragaman rendah. Nilai keanekaragaman tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 3 yaitu 1,63 ind/m 2. Dimana dari tabel 2. sebelumnya dapat dilihat bahwa stasiun 1 yang memiliki lebih banyak jumlah spesies dibandingkan dengan stasiun 2 yaitu 8 spesies, sedangkan stasiun 3 hanya terdapat 6 spesies ikan yang ditemukan. Stasiun 1 memiliki nilai keanekaragaman lebih rendah dibandingkan dengan stasiun 3 yaitu 1,60 ind/m 2. Hal ini disebabkan jumlah individu yang tidak merata pada stasiun 1 ataupun terdapat beberapa spesies ikan yang mendominasi seperti Puntius binotatus dan Neolissochilus sumateranus. Berbeda halnya dengan stasiun 3 yang memiliki nilai kepadatan individu setiap jenisnya hampir merata, seperti yang terlihat pada Tabel. 3. Indeks keanekaragaman menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu/spesies (Krebs, 1978). Tinggi rendahnya nilai keanekaragaman ikan dipengaruhi oleh pola penyebaran jumlah individu yang merata pada setiap spesies. Faktor lain yang

22 mendukung yaitu adanya perbedaan aktifitas manusia pada badan perairan seperti adanya pembuangan limbah yang mempengaruhi kualitas perairan sebagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup ikan. Stasiun 2 merupakan daerah pariwisata, memiliki nilai keanekaragaman 1,57ind/m 2. Stasiun 4 memiliki nilai keanekaragaman paling rendah yaitu 1,35ind/m 2. Dimana stasiun 4 merupakan stasiun dengan nilai keanekaragaman yang paling rendah dari keempat stasiun penelitian. Hal tersebut dikarenakan stasiun 4 merupakan daerah pemukiman masyarakat, dimana terdapat aktifitas seperti mencuci, mandi dan daerah ini juga merupakan daerah pemancingan ikan bagi masyarakat setempat. Indeks keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah spesies dan jumlah individu saja tetapi juga dipengaruhi oleh pola penyebaran jumlah individu pada masingmasing spesies. Dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan penyebaran individu pada masing-masing spesies (Barus, 2004). Dari tabel 4. dapat disimpulkan bahwa sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, memiliki nilai keanekaragaman jenis ikan yang rendah yaitu 1,35-1,63 ind/m 2. Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa nilai keseragaman (E) pada lokasi penelitian berada diantara 0,753-0,911 tergolong merata/seragam pada setiap stasiun. Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,911. Sedangkan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,753. Hal ini disebabkan jumlah dan jenis spesies ikan pada keempat stasiun tidak terlalu berbeda, seperti terlihat pada Tabel 3. stasiun 1 memiliki 8 spesies, dimana dua diantaranya hanya terdapat pada stasiun 1, dan 6 spesies lainnya tersebar di stasun 2, 3 dan 4. Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui kemerataan proporsi masing-masing jenis ikan di suatu ekosistem, hal ini sesuai dengan pendapat Krebs, (1978), bahwa semakin kecil nilai E maka semakin kecil pula keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi yang ada. Sedangkan semakin besar nilainya maka akan semakin besar pula keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya merata/seragam. Dari tabel 4. menunjukkan nilai keseragaman atau jumlah individu tiap jenis yang paling merata yaitu stasiun 3 dengan nilai 0,911.

23 4.4. Indeks Similaritas (IS) Nilai indeks similaritas (IS) pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Data Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun % % % Stasiun % % Stasiun % Stasiun Tabel 5. Menunjukkan bahwa nilai IS pada keempat stasiun penelitian antara 16,66%-57,14%. Nilai tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 1 dengan stasiun 2 yaitu 57,14%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa stasiun 1 dan stasiun 2 memiliki tingkat kesaamaan yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Hal ini disebabkan antara stasiun 1 dan 2 memiliki nilai keanekaragaman dan keseragaman yang hampir sama pada jumlah spesies ikan yang didapatkan (dapat dilihat pada tabel 3). Nilai IS terendah dari keempat stasiun adalah pada stasiun 2 dengan 3 yaitu 16,66%. Dimana pada stasiun 2 terdapat 6 spesies ikan, sedangkan pada stasiun 3 terdapat 2 spesies ikan yang berbeda pada hasil penelitian (dapat lihat pada tabel 2). Hal ini disebabkan perbedaan aktifitas pada kedua stasiun yang menyebabkan perubahan kondisi lingkungan perairan seperti intensitas cahaya, ph, kecepatan arus dan substrat berbeda (seperti terlihat pada tabel 6.) yang menjadi faktor pendukung dari keanekaragaman spesies ikan pada kedua stasiun tersebut. Pada stasiun 2 terdapat aktifitas pariwisata, sedangkan pada stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah. Menurut Odum (1971), nilai indeks similaritas (IS) berkisar antara 0-100% atau 0-1. Jika nilai indeks similaritas mendekati 0 maka berarti tingkat kesamaan rendah dan sebaliknya, jika nilai IS mendekati angka 1 atau 100% maka tingkat kesamaan tinggi. 4.5 Faktor Abiotik Lingkungan Pengukuran faktor fisik kimia di Sungai Bah Bolon dari hasil penelitian dilapangan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini:

24 Tabel 6. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Bah Bolon pada setiap stasiun penelitian. Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Parameter Fisika Suhu C Kecepatan Arus m/detik 0, Intensitas Cahaya Cd Penetrasi Cahaya Cm Kekeruhan Konduktivitas p mhos/cm Parameter Kimia Oksigen Terlarut(DO) mg/l Kejenuhan Oksigen % Derajat Keasaman (ph) BOD mg/l TDS(Total Dissolved Solid) TSS(Total Suspended Solid) Kadar Nitrat (NO 2 ) Kadar Fosfat (PO 4 ) mg/l mg/l mg/l mg/l ,56 1,82 0, ,21 0,97 0, ,22 0,5 0, ,19 0,5 0,090 Substrat - Batu dan Pasir Batu dan Pasir Pasir Batu Setiap mahluk hidup memiliki ciri-ciri tertentu, salah satunya menerima dan menanggapi rangsang. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan, maka mahluk hidup akan melakukan penyesuaian diri atau adaptasi untuk merasa lebih nyaman dan bisa beraktivitas dengan normal. Ketika mahluk hidup tersebut tak mampu untuk menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami kematian atau terkana seleksi alam (Amdah, 2011). a. Suhu Dari tabel 6 di atas diperoleh bahwa nilai suhu di setiap stasiun penelitian berada pada kisaran 22,7-26,8 0 C. Suhu tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 26,8 0 C dan suhu terendah pada stasiun 1 yaitu 22,7 0 C. Menurut Boyd (1990), suhu yang baik untuk kehidupan ikan di Indonesia khususnya daerah tropis berkisar antara 25 0 C-32 0 C, namun kadang-kadang suhu permukaan dapat mencapai 35 0 C atau lebih sehingga berada diluar batas optimal yang bisa digunakan untuk kehidupan ikan. Kisaran suhu di kawasan perairan Sungai Bah Bolon tergolong baik untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan, meskipun pada stasiun 1 nilai suhu

25 terbilang lebih rendah dari kisaran suhu yang baik untuk ikan di sungai. Hal ini disebabkan oleh faktor lain seperti kecepatan arus, oksigen terlarut dan suhu dari udara. Menurut Yuliani dan Rahardjo (2012), Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara. Tinggi rendah suhu juga berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air akan mengurangi kadar oksigen terlarut. Keadaan suhu air dan DO akan mempengaruhi aktivitas ikan. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air. b. Kecepatan Arus Nilai kecepatan arus perairan pada stasiun penelitian berkisar antara 0,93-0,81 m/detik. Stasiun 1 memiliki nilai kecepatan arus tertinggi yaitu 0,93 m/detik disebabkan karena stasiun 1 merupakan stasiun yang paling dekat ke hulu sungai dan substrat batu besar dan pasir, sehingga kecepatan arus stasiun 1 lebih besar dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain. Stasiun 3 dan 4 memiliki nilai kecepatan arus yang sama dan lebih rendah dari kedua stasiun yang lainnya yaitu 0,81 m/detik. Arus sangat penting sebagai faktor pembatas, terutama pada aliran air. Pengaruh arus terhadap organisme aquatik adalah ancaman bagi organisme tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras. Oleh karena itu organisme mempunyai adaptasi morfologis yang spesifik untuk dapat bertahan hidup. Berbagai jenis ikan juga mempunyai adaptasi morfologis yang khas untuk bertahan pada habitat yang berarus deras. Selain itu adaptasi yang dilakukan oleh organisme akuatik terhadap arus deras adalah melakukan kompensasi terhadap hanyut dengan melakukan gerakan melawan arus. Pada prinsipnya organisme akuatik akan berusaha mencari perlindungan untuk menghindarkan diri dari ancaman hanyut, terutama pada substrat batu-batuan besar yang terlindung dari arus air yang deras (Odum, 1994) Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan timbunan sisa metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan ikan. Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus yang ideal sekitar 0,5-1,5 meter/detik (Kordi, 2004).

26 Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus yaitu dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yaitu garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus (Reddy, 1993). Hasil penelitian menunjukkan kecepatan arus di sungai Bah Bolon berkisar antara 0,81-0,93 m/detik tergolong ideal bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. c. Intensitas Cahaya Berdasarkan tabel 6, nilai intensitas cahaya di sungai Bah Bolon berada pada kisaran Candela. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada waktu pagi hingga menjelang siang. Hasil pengukuran intensitas tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 1344 candela, disebabkan pada saat pengukuran cuaca sangat cerah. Sedangkan nilai intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 504 candela disebabkan pada saat pengukuran cuaca mendung. Namun kisaran intenstas cahaya di Sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk kelangsungan hidup ikan. Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan. Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Apabila intensitas berkurang maka proses fotosintesis akan terlambat sehingga oksigen dalam air makin berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk metabolismenya (Barus, 1996). Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam pengelihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Rifai et al, 1983).

27 d. Penetrasi Cahaya Hasil pengukuran pada stasiun penelitian nilai penetrasi cahaya berkisar antara cm. Nilai penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 100,5 cm hal ini disebabkan stasiun 1 memiliki air yang lebih jernih dibandingkan dengan ketiga stasiun penelitian yang memiliki nilai kekeruhan yang paling rendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 30 cm, disebabkan oleh kondisi perairan yang paling keruh dibandingkan dengan semua stasiun penelitian yang lain. Penetrasi cahaya di sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Tinggi rendahnya penetrasi cahaya pada keempat stasiun disebabkan adanya bahan-bahan terlarut seperti buangan limbah dan juga akibat curah hujan yang menyebabkan warna air menjadi keruh sehingga menghambat cahaya yang dating. Kemampuan penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan organic maupun anorganik tersuspensi di perairan dan kepadatan plankton (Wardoyo, 1981) Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau lebih, karena bila kecerahan kurang dari 45cm, maka batas pandangan ikan akan berkurang (Kordi, 2004). e. Kekeruhan Hasil pengukuran kekeruhan di lokasi penelitian berkisar antara 7, Stasiun 1 memiliki nilai kekeruhan terendah yaitu 7,61 disebabkan oleh rendahnya partikel terlarut dalam air sehingga nilai penetrasi cahaya pada stasiun 1 tinggi yang dipengaruhi oleh rendahnya nilai kekeruhan. Sedangkan nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 77 yang dikarenakan stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah domestik maupun industri yang mengakibatkan tingginya partikel terlarut sehingga air berwarna kecoklatan. Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi (Abdunnur, 2002). Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton seperti padatan terlarut dalam air

28 umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, lumpur, sisa tanaman, hewan, dan limbah industri (Sastrawijaya, 1991). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari. Kekeruhan di suatu sungai tidak sama sepanjang tahun. Air akan sangat keruh pada musim penghujan karena aliran air maksimum dan adanya erosi dari daratan (Effendi, 2003). f. Konduktivitas Berdasarkan tabel 6, nilai konduktivitas di sungai Bah Bolon berada pada kisaran yang tidak jauh beda yaitu 81-94,7 p µhos/cm. Stasiun 3 memiliki nilai konduktivitas tertinggi yaitu 94,7 p µhos/cm, sedangkan stasiun 1 memiliki nilai konduktivitas terendah yaitu 81 p µhos/cm. Jumlah konduktivitas terlarut terkait dengan konsentrasi total padatan terlarut dan ion utama. Konduktivitas untuk air tawar berkisar antara 10 sampai 1000 µmhos/cm, tetapi dapat melebihi 1000 µmhos/cm, terutama di perairan tercemar, atau perairan yang menerima jumlah run offyang besar dari tanah (Tessema et al (2014) dalam Rizki et al, 2015). Jadi nilai konduktivitas sungai Bah Bolon tergolong masih baik untuk mendukung kelangsungan dan pertumbuhan ikan. Nilai Konduktivitas erat kaitannya dengan TDS dan ion utama perairan, karena semakin tinggi TDS dan ion utama maka daya hantar listrik/konduktivitas dari air tersebut juga semakin tinggi (Rizki et al, 2015). Semakin banyak garamgaram yang terlarut maka semakin baik daya hantar listrik air tersebut (Barus, 2004).

29 g. DO (Dissolved oxygen) Dari Tabel 6. Dapat dilihat bahwa nilai oksigen terlarut pada kempat stasiun penelitian berkisar antara 8,19-7,2 mg/l. Nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 8,19 mg/l yang dipengaruhi oleh suhu pada stasiun 1 lebih rendah, dan kecepatan arus yang tinggi. Sedangkan nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 7,2 mg/l yang disebabkan suhu pada stasiun 2 memiliki nilai yang lebih tinggi diantara stasiun penelitian yang lain. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael, 1994). Ikan merupakan mahluk air yang paling membutuhkan oksigen tertinggi. Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi Oksigen terlalu rendah akan menyebabkan ikan-ikan dan biota lainnya akan mati (Fardiaz, 1992) h. Kejenuhan Oksigen (O 2 ) Hasil pengukuran nilai kejenuhan oksigen dari keempat stasiun berada pada kisaran 98,79-91,25 %. Stasiun 1 memiliki nilai kejenuhan oksigen tertinggi yaitu 98,79% yang disebabkan stasiun 1 memiliki nilai DO yang tinggi dan nilai suhu terendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai kejenuhan oksigen terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 91,25% yang disebabkan stasiun 2 memiliki nilai DO terendah dan nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lainnya. Tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi oleh faktor temperatur, tekanan dan berbagai konsentrasi ion yang terlarut dalam air pada perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut pada keempat stasiun masih tergolong sangat layak dalam mendukung kehidupan organisme sebab menurut Sastrawijaya (1991), kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik apabila kandungan oksigen terlarut minimal 5 mg/l.

30 i. Derajat Keasaman (ph) Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman dilokasi penelitian berkisar antara 7,2-7,9. Stasiun 2 merupakan stasiun dengan nilai ph tertinggi yaitu 7,9 sedangkan stasiun 1 merupakan stasiun dengan nilai ph terendah yaitu 7,2. Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai ph. Pada umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai ph netral menyatakan ph yang ideal bagi organisme aquatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5 (Odum, 1994). Jadi kisaran ph di sungai Bah Bolon tergolong baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Nilai ph menunjukkan derajat keasaman atau kebebasan suatu perairan. Pescod (1973), menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap ph bervariasi. Hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. j. BOD (Biochemical Oxygen Demand) Hasil pengukuran nilai BOD pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran 0,9-1,5 mg/l. Nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,5 mg/l yang disebabkan tingginya partikel terlarut didalam air (dapat dilihat pada tabel 6) karena stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah domestik dan industri yang mengandung kandungan organic yang tinggi. Sedangkan pada stasiun 1 memiliki nilai BOD terendah yaitu 0,9 mg/l disebabkan oleh kondisi air pada stasiun 1 lebih jernih dapat dilihat dari nilai kekeruhan yang rendah. Kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Jumlah mikroorganisme tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang jernih biasanya mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah tercemar oleh bahan buangan (Wardhana, 2004).

31 k. TDS (Total Dissolved Solid) Hasil pengukuran nilai TDS pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran 52,65-60,45 mg/l. Nilai TDS tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 60,45 mg/l sedangkan nilai TDS terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu 52,65 mg/l. Tingginya padatan terlarut pada suatu perairan dikarenakan area tersebut dekat dengan aktivitas manusia sehingga banyak menghasilkan limbah yang masuk ke dalam badan perairan dan akhirnya menambah jumlah partikel terlarut. Sedangkan rendahnya nilai TDS pada suatu perairan dikarenakan perairan tersebut jauh dari segala aktivitas manusia dan tidak adanya limbah yang masuk ke perairan (Yazwar, 2008). l. TSS (Total Suspended Solid) Hasil pengukuran TSS di laboratorium lingkungan Shafera Enviro, Provinsi Sumatera Utara berkisar antara 40,19-54,22 mg/l. Nilai TSS tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 54,22 mg/l yang disebabkan tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 3, sedangkan nilai TSS terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 40,19 mg/l. TSS merupakan faktor utama yang menyebabkan tinggi atau rendahnya kecerahan dari suatu perairan. Peningkatan nilai TSS ini dapat disebabkan oleh naiknya kadar bahan organik yang bersifat koloid. Peningkatan TSS akan menyebabkan meningkatnya penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan (Rizki, et al. 2015). Peningkatan padatan tersuspensi dapat membunuh ikan secara langsung, meningkatkan penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan serta perubahan tingkah laku dan penurunan reproduksi ikan (Aisyah & Luki, 2012). m. Kadar Nitrat (NO 2 ) Berdasarkan hasil pengukuran nilai kadar nitrat pada lokasi penilitian berkisar antara 0,5-1,82 mg/l. Stasiun 1 memiliki nilai kadar nitrat tertinggi yaitu 1,82 mg/l. Sedangkan nilai kadar nitrat terendah terdapat pada stasiun 3 dan 4 yaitu 0,5 mg/l. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/l, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1-5 mg/l, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat

32 berkisar antara 5-50 mg/l (Effendi, 2003). Jadi kadar nitrat pada sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk mendukung pertumbuhan ikan. n. Kadar Fosfat (PO 4 ) Hasil pengukuran kadar Fosfat di laboratorium Lingkungan Shafera Enviro, Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa kadar fosfat berada pada kisaran 0,023-0,092 mg/l. Berdasarkan kadar fosfor total, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, perairan dengan tingkat kesuburan rendah memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0-0,02 mg/l. Perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0,02-0,05 mg/l. Perairan yang dengan tingkat kesuburan tinggi memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0,051-0,1 mg/l Analisis Korelasi Pearson Nilai korelasi yang diperoleh antara keanekaragaman dengan parameter fisikkimiadi Sungai Bah Bolon dengan menggunakan metode Pearson dapat dilihat pada tabel 7. Berikut : Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson antara Keanekaragaman Ikan dengan Sifat Fisik- Kimia Perairan Sungai Bah Bolon. No Parameter Nilai Korelasi (r) A Parameter Fisika 1 Suhu 0,804 2 Kecepatan Arus 0,609 3 Intensitas Cahaya 0,917 4 Penetrasi Cahaya 0,805 5 Kekeruhan 0,881 6 Konduktivitas 0,507 B Parameter Kimia 7 Oksigen Terlarut(DO) 0,647 8 Kejenuhan Oksigen 0,533 9 Derajat Keasaman (ph) 0, BOD 0, TDS(Total Dissolved Solid) TSS(Total Suspended Solid) Kadar Nitrat (NO 2 ) Kadar Fosfat (PO 4 ) 0,486 0,353 0,588 0,584

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 pada 4 lokasi di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Kawasan Perairan Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2010 di Danau Lut Tawar Kecamatan Lut Tawar Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah, dan Laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan dilakukan dengan Metode Purpossive Random Sampling pada tiga stasiun penelitian. Di masing-masing stasiun

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009- Juli 2010 di Danau Lut Tawar. Metode yang digunakan dalam penentuan stasiun adalah dengan metode Purposive

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Suin, 2002) Sampel Air. Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Suin, 2002) Sampel Air. Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2 Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Suin, 2002) Sampel Air 1 ml MnSO 4 1 ml KOH-KI Dikocok Didiamkan Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2 SO 4 Dikocok Didiamkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi secara purposive sampling (penempatan titik sampel dengan tujuan

Lebih terperinci

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) 1 ml MnSO 4 1 ml KOH KI dikocok didiamkan

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) 1 ml MnSO 4 1 ml KOH KI dikocok didiamkan Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) Sampel Air Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat Larutan Sampel Berwarna Coklat 1 ml MnSO 4 1 ml KOH KI dikocok didiamkan 1 ml

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan.

Lampiran 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan. Lampiran 1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan. No Parameter Fisik, Kimia, Biologi Satuan Alat 1 Temperatur air 0 C Termometer Air Raksa 2 DO (Oksigen Terlarut)

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. Gambar Stasiun 1 : Cyba Island

DAFTAR LAMPIRAN. Gambar Stasiun 1 : Cyba Island DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A. Gambar Stasiun Penelitian Gambar Stasiun 1 : Cyba Island Gambar Stasiun 2 : Simpang III Gambar Stasiun 3 : Titi II Gambar Stasiun 4 : Lingkungan XX Lampiran B. Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan lokasi dilakukan dengan purposive sampling (penempatan titik sampel dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sungai yang berhulu di Danau Kerinci dan bermuara di Sungai Batanghari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 07 o 20 0,6576 LS 19 o 13 48,4356 BT Kober, Kec. Purwokerto Barat Bantarsoka, Kec. Purwokerto Barat

METODE PENELITIAN. 07 o 20 0,6576 LS 19 o 13 48,4356 BT Kober, Kec. Purwokerto Barat Bantarsoka, Kec. Purwokerto Barat III. METODE PENELITIAN A. Materi Penelitian 1. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan selama penelitian adalah botol Winkler, plankton net no.25, ember plastik, buret, statif, Erlenmayer, pipet tetes,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung,

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sistematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.

BAB III METODE PENELITIAN. Sistematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sumber mata air Kuluhan dan alirannya di Desa Jabung Kecamatan Panekkan Kabupaten Magetan. Sumber mata air Kuluhan terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel mikrofitobenthos, sampel air Sungai Banjaran, kertas Whatman No.1, larutan pengencer, MnSO4, KOH-KI,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel plankton, formalin 40%, MnSO4, KOH-KI,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara 54 LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Kuisioner penelitian untuk wisatawan daerah tujuan wisata Ajibata Kabupaten Toba Samosir Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian No. : Waktu : Hari/Tanggal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sokaraja dengan kondisi lingkungan dominan pemukiman penduduk

METODE PENELITIAN. Sokaraja dengan kondisi lingkungan dominan pemukiman penduduk II. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Pelus merupakan salah satu sungai yang terletak di Kabupaten Banyumas. Sungai ini secara geografis terletak antara 7 o 12'30" LS sampai 7 o 21'31"

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. stasiun pengambilan terlampir pada Lampiran 1. Proses identifikasi pada sampel

BAB III METODE PENELITIAN. stasiun pengambilan terlampir pada Lampiran 1. Proses identifikasi pada sampel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan dan pengawetan sampel plankton dilakukan di Telaga Sarangan dan Telaga Wahyu Magetan Jawa Timur pada bulan Agustus 2011 dengan denah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan secara langsung dengan menggunakan metode eksploratif pada setiap

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan secara langsung dengan menggunakan metode eksploratif pada setiap BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deksriptif analitik. Pengambilan sampel dilakukan secara langsung dengan menggunakan metode eksploratif pada setiap

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung. Serta

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan III. METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring tancap (gillnet), jala tebar, perahu, termometer, secchi disk, spuit, botol plastik, gelas ukur

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Pelus merupakan salah satu sungai yang terletak di Kabupaten Banyumas dan mengalir dari bagian selatan kaki Gunung Slamet di Desa Pajerukan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan betutu yang tertangkap, sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perairan yang menutupi seperempat bagian dari permukaan bumi dibagi dalam dua kategori utama, yaitu ekosistem air tawar dan ekosistem air laut (Barus, 1996).

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan lentik. Jadi daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan lentik. Jadi daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai Sungai sebagai perairan umum yang berlokasi di darat dan merupakan suatu ekosistem terbuka yang berhubungan erat dengan sistem - sistem terestorial dan lentik. Jadi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Danau Limboto merupakan danau yang berada di Kabupaten Gorontalo,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Danau Limboto merupakan danau yang berada di Kabupaten Gorontalo, A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Danau Limboto merupakan danau yang berada di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo dengan luas wilayah perairannya mencapai 3000 ha, pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara 63 LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Alat dan Bahan a. Refraktometer b. Sechi disk c. Termometer d. Ph meter e. Botol Sampel Air f. Es Batu 49 Lampiran 1. Lanjutan g. Bola Duga h. Kantong Plastik i. Botol Sampel

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di Sungai Bone. Alasan peneliti melakukan penelitian di Sungai Bone, karena dilatar belakangi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba Di dalam ekosistem terdapat komunitas, populasi dan individu serta karakteristiknya. Interaksi antar populasi dalam suatu ekosistem, relung dan habitat

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN IKAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BINGEI, BINJAI

KEANEKARAGAMAN IKAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BINGEI, BINJAI i KEANEKARAGAMAN IKAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BINGEI, BINJAI SKRIPSI OLEH: DONI TUA HUTAHAEAN 100805067 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.1 Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 2.1.1 Materi Penelitian 2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ph universal, plastik ukuran 1 Kg, larutan MnSO 4, formalin,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Ekosistem sungai/lotik dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. B. Materi Penelitian Alat dan bahan yang digunakan terlampir (Lampiran 1 dan 2). bio.unsoed.ac.id

III. METODE PENELITIAN. B. Materi Penelitian Alat dan bahan yang digunakan terlampir (Lampiran 1 dan 2). bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di Waduk Penjalin, Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dengan koordinat 6 o 44 56 LS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Agustus sampai September 2011,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Agustus sampai September 2011, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Agustus sampai September 2011, berlokasi di mata air Kuluhan dan Jabung serta sungai alirannya di Desa Jabung,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal penambangan pasir tepatnya di Kampung Awilarangan, Desa Cikahuripan, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur. Sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan lokasi budidaya kerang hijau (Perna viridis) Perairan Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Sampel plankton diambil

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 17 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode observasi. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi : Seluruh

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes Menurut Kottelat (1993), klasifikasi ikan tawes adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis Ordo Familia Genus Species : Pisces : Ostariophysi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2016 di Muara Sungai Nipah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara 34 LAMPIRAN 35 Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) Sampel Air 1 ml MnSO 4 1 ml KOH-KI Dikocok Didiamkan Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2 SO 4 Dikocok

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis Penelitian. menentukan kualitas air berdasarkan faktor fisika kimia.

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis Penelitian. menentukan kualitas air berdasarkan faktor fisika kimia. BAB III METODE PENELITIAN. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang kelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton. erta menentukan kualitas air

Lebih terperinci

Lampiran A. Peta Lokasi Penelitian. Gambar 23. Peta Lokasi

Lampiran A. Peta Lokasi Penelitian. Gambar 23. Peta Lokasi Lampiran A. Peta Lokasi Penelitian Gambar 23. Peta Lokasi Keterangan: Stasiun I mangrove (kontrol) Stasiun II pertambakan Stasiun III pemukiman penduduk Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur

Lebih terperinci