(PSLK) 2016, REGENERASI ALAMI PADA AREAL RESTORASI LAHAN GAMBUT DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU, KALIMANTAN TENGAH

Transkripsi

1 REGENERASI ALAMI PADA AREAL RESTORASI LAHAN GAMBUT DI TAMAN NASIONAL SEBANGAU, KALIMANTAN TENGAH Natural Regeneration In Peat Land Restoration Area In Sebangau National Park, Central Kalimantan Bina Swasta Sitepu Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno Hatta Km.38 Sungai Merdeka PO BOX 578 Balikapan 7611 Hp ; Abstrak Restorasi lahan gambut terdegradasi melalui kegiatan penabatan atau pembendungan kanal telah dilakukan di Taman Nasional Sebangau. Untuk mengetahui regenerasi alami tumbuhan yang ada di lahan gambut setelah penabatan dilakukan pengamatan pada bulan Mei dan September 013 dengan menggunakan metode jalur berpetak. Jalur diletakkan pada bagian atas dan bawah tabat untuk melihat perbedaan vegetasi yang terjadi akibat pengaruh penabatan. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan kondisi vegetasi dari areal di sebelah atas dan bawah tabat. Dibagian atas tabat, ditemukan 3 jenis tumbuhan, sedangkan pada areal dibawah tabat hanya ditemukan 10 jenis. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penabatan kanal gambut dapat membantu proses regenarasi alami pada lahan gambut terdegradasi akibat kanalisasi. Kata kunci: Gambut, Restorasi, Regenarasi Alami, Taman Nasional Sebangau Abstract In Sebangau National Park, restoration of degraded peat land by canal blocking was established by building dam. Purpose of this research is to know natural plant regeneration that established in there. In this study, vegetations data were collected by establishing line transects, which are 50 meter by 0 meter long in two different places that represent the research area; Restored Area (RA) and Unrestored Area (UA). 40 species of plant were recorded in areas, 30 species in the RA and 10 species in UA. Species abundant and diversity show that canal blocking is proved to affect the natural plant regeneration positively. Key words: Peat land, Canal blocking, Natural regeneration, Sebangau National Park PENDAHULUAN Pengelolaan lahan gambut meliputi pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut. Setelah berlangsung sekian lama pemanfaatan lahan gambut ternyata menimbulkan kerusakan pada ekosistem lahan gambut. Akibat pembukaan areal gambut dan pembuatan saluran-saluran pada areal gambut, terjadi penurunan muka air tanah gambut dan kedalaman gambut secara drastis dan menimbulkan dampak yang serius bagi daur ekosistem yang selama ini sudah terjaga dan menjaga dengan baik (Suryadiputra et al., 005). Kerusakan ekosistem lahan gambut tanpa disadari menimbulkan bahaya yang tidak sedikit. Pelepasan gas rumah kaca, hilangnya sumberdaya hayati dan terganggunya sistem hidrologi yang menyebabkan banjir merupakan beberapa akibat dari kerusakan lahan gambut (Las et al., 009). Salah satu upaya perbaikan ekosistem gambut yang dilakukan adalah penabatan (pembendungan) kanal atau saluran air pada lahan gambut (Suryadiputra, et al, 005). 588

2 Tujuan dari penabatan ini adalah mencegah limpasan air secara langsung dari lahan gambut ke sungai atau badan air alami lain yang menjadi tempat pengeluaran air. Diharapkan setelah kanal ditabat, tinggi muka air permukaan di lahan gambut naik sehingga gambut tetap basah dan mengurangi subsidensi (Maya, T., 009) Penabatan kanal di lahan gambut telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan (Suryadiputra, et al, 005). Salah satu areal yang di tabat adalah saluran eks HPH PT. Sanitra Sebangau Indah (SSI), di Taman Nasional Sebangau. Namun masih minim sekali didapatkan informasi regenerasi alami tumbuhan di lokasi tersebut setelah kegiatan penabatan. Di lokasi lain, kegiatan penabatan diketahui memberikan dampak positif terhadap tinggi muka air permukaan (Ritzema, 014). Perbaikan ini diharapkan dapat mendukung eksosistem gambut kembali pulih. Penelitian regenarasi alami tumbuhan di lahan gambut yang telah direstorasi melalui pembendungan kanal, khususnya di TN Sebangau, penting untuk dilakukan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan restorasi dan perlindungan lahan gambut oleh pemerintah dan sebagai informasi awal penelitian selanjutnya. METODE PENELITIAN Pengambilan data vegetasi dilakukan melalui teknik sampling menggunakan jalur berpetak pada dua lokasi, diatas tabat dan dibawah tabat. Pembedaan ini dibuat dengan asumsi areal diatas tabat terpengaruh oleh kegiatan pembendungan kanal, sedangkan dibawah tabat tidak terpengaruh. Jalur diletakkan secara random dengan panjang 50 meter dan lebar 0 meter, petak pengamatan dibuat berukuran 50 meter x 0 meter sehingga tiap jalur memiliki 5 petak pengamatan dengan luas 0.5 ha. Parameter yang diambil adalah kondisi vegetasi yang meliputi jenis dan struktur vegetasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kondisi vegetasi di lahan gambut disajikan dengan menggunakan nilai Indeks Nilai Penting dan Indeks Keragaman Jenis. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis Dari hasil analisa vegetasi yang dilakukan diseluruh petak pengamatan, ditemukan 40 jenis tumbuhan dari 6 suku (Lampiran 1). Sebanyak 37 Jenis merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan 3 jenis terdiri dari Rumput (Cyperus sp.), Kantong semar (Nephentes gracilis) dan Paku (Stenochlaena palustris). Famili Dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae memiliki jumlah jenis terbanyak (5 jenis) dan diikuti oleh Lauraceae (4 jenis). Beberapa jenis merupakan jenis-jenis khas perintis pada lahan gambut seperti Combretocarpus rorundatus, Ploiarium alternifolium, Stenochlaena palustri, Ilex cymosa dan Camnosperma coriaceum (Wibisono et.al., (005); Muslihat et.al., (006); Subro (015). Jenis yang mendominasi pada tingkat pohon di areal atas tabat adalah Hopea sp. (INP: 184,7%), sedangkan di areal bawah tabat adalah Shorea balangeran (INP: 3,%). Selanjutnya, untuk tingkat pohon hanya ditemukan jenis Diospyros sp. (INP : 116%) di areal atas tabat dan Combretocarpus rotundus (INP: 67,8%) untuk dibawah tabat. Tingkat tiang diatas tabat didominasi oleh Combretocarpus rotundatus (INP: 77,6 %) dan 589

3 dibawah tabat oleh Shorea balangeran (INP: 17,3%). Tingkat Pancang diatas tabat didominasi oleh Syzygium sp. (INP: 39, %) dan dibawah tabat masih dodominasi oleh Shorea balangeran (INP: 59 %). Tingkat semai diatas tabat didominasi oleh Syzygium sp. (INP: 63%) dan dibawah tabat didominasi oleh Shorea balangeran (INP: 60,3 %). Shorea balangeran mendominasi seluruh tingkatan dibagian bawah tabat, sedangkan diatas tabat pada seluruh tingkatan, tidak ada jenis yang mendominasi mutlak. Nilai INP seluruh jenis pada lokasi penelitan dapat dilihat pada Tabel 1 dan. Tabel 1. Urutan tingkat dominasi berdasarkan Indeks Nilai Penting setiap jenis pada areal diatas tabat. Jenis N K KR F FR D DR INP Pohon Hopea sp % % % 184.3% Diospyros sp % % % 115.7% Tiang C. rotundatus % 1 3.8% % 77.6% Cratoxylon glaucum % % % 69.4% Shorea balangeran % % % 33.1% Pancang Syzygium sp % 1 7.9% % 39.% Antidesma coriaceum % % % 3.7% Hopea sp % % % 3.6% Semai Syzygium sp % 0.8.% 63.0% Stenochlaena palustris % % 61.5% Blechnum sp % % 15.9% Tabel. Urutan tingkat dominasi berdasarkan Indeks Nilai Penting setiap jenis pada areal dibawah tabat. Jenis N K KR F FR D DR INP Pohon Shorea balangeran % % % 3% C. rotundatus % % % 68% Tiang Shorea balangeran % % % 17% Ilex cymosa % % % 83% Pancang Shorea balangeran % 1 6.7% % 18% Sp % 1 6.7% % 59% Ilex cymosa % % % 44% Semai Shorea Balangeran % % 59% Nepehentes gracilis % % 49% Sp % % 39% 590

4 Tipe vegetasi di bagian atas tabat telah mencapai tingkatan hutan sekunder yang ditunjukkan dengan sebaran diameter terbesar antara 10 hingga 30 cm (Lestari, 013). Diameter tersebar normal dengan terbentuknya kurva J terbalik yang menunjukkan permudaan dari tingkat semai lebih banyak hingga ketingkat pohon pada tingkat diameter 0-30 cm (Gambar 1). Sebaliknya, pada areal dibawah tabat kurva tersebut tidak tebentuk. Hal ini menunjukkan adanya gap antar tingkatan yang memperlambat proses regenerasi. Dengan adanya penabatan yang dapat menaikkan tinggi muka air tanah dan mencegah terjadinya kebakaran, maka proses suksesi diperkirakan akan terus berlanjut hingga mencapai ekosistem hutan rawa gambut primer. Gambar 1. Sebaran kelas diameter tumbuhan pada tiap lokasi pengamatan. Pada bagian bawah tabat, vegetasi relatif terbuka dan diisi oleh tingkatan semai dan pancang, sedangkan tegakan pohon hanya ditemukan pada areal dekat tepian sungai Sebangau. Pada areal ini, rumput dari genus Cyperus menyebar keseluruh petak dan jenisjenis lain membentuk rumpun-rumpun kecil diantaranya. Pada areal bawah tabat juga ditemukan satu jenis kantong semar, Nephentes gracilis. Keberadaan Nephenthes biasanya menjadi indikator rendahnya kandungan hara pada tanah (Clarke, 1997). Shorea balangeran dan Combretocarpus rotundus merupakan dua jenis yang ditemukan pada tingkat pohon dan tiang dengan sebaran terbatas pada tepi sungai Sebangau. Keberadaan tegakan tingkat pohon yang berbeda ini dikaitkan dengan kondisi areal setelah kebakaran pada tahun 004. Shorea balangeran dan Combretocarpus rotundatus diketahui mampu bertahan hidup dan beregenerasi di hutan setelah kebakaran (Atmoko, 013). Keragaman Jenis Pada petak pengamatan diatas tabat ditemukan 37 jenis tumbuhan dan pada petak pengamatan dibawah tabat hanya ditemukan 10 jenis tumbuhan. Nilai indeks keragaman jenis lokasi pengamatan pada berbagai tingkat hidup menunjukkan bahwa pada lokasi diatas tabat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan dibawah tabat, kecuali 591

5 ditingkat semai (1.7 vs Nilai Indek Keragaman Jenis secara lengkap dapat dilihat pada tabel. Tabel 1. Jumlah individu, kerapatan, jumlah jenis, indeks keragaman jenis Shannon Wiener (H ) dilokasi penelitian. Areal Pengamatan Jumlah Individu Kerapatan Jumlah Jenis H (Individu/Ha) Tingkat Pohon Tingkat Tiang Tingkat Pancang Tingkat Semai Keterangan: = Areal diatas tabat, = Areal dibawah tabat Rendahnya nilai keragaman jenis di bawah tabat diduga dipengaruhi oleh kondisi lahan gambut yang tidak terpengaruh oleh kegiatan pembendungan kanal. Pada beberapa lokasi lahan gambut terdegradasi yang telah dibendung, penelitian terhadap sifat fisik dan kimia lahan gambutnya menunjukkan adanya perubahan yang menunjukkan pemulihan tanah gambut yang dapat mendukung proses regenerasi alami (Istomo, et al, 007; Suryadi,013). Jika tanah gambut dapat pulih, maka proses regenerasi melalui benih di dalam tanah (Bakker et al., 1996; Nieuwstadt, 00), dan pemencaran benih dari agen pemencar benih (Bakker et al., 1996; van Eijk & Leenman, 004) dapat terjadi dengan baik dan menambah keanekaragaman di lahan gambut. Hingga saat ini belum dilakukan penelitian tentang perubahan sifat fisik dan kimia gambut di Stasiun Penelitian SSI, Taman Nasional Sebangau untuk mengetahui kondisi lahan gambut terkini yang mendukung proses regenerasi alaminya. PENUTUP Kesimpulan Pada lahan gambut yang telah direstorasi dengan cara pembendungan kanal, regenerasi alami berlangsung dengan lebih baik menuju ke ekosistem normal yang ditunjukkan dengan komposisi dan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan areal yang tidak direstorasi. Saran Pada areal lahan gambut terdegradasi akibat kebakaran dan kanalisasi, perlu dilakukan pembendungan kanal untuk mempercepat proses regenerasi vegetasi secara

6 alami. Perlu juga dilakukan penelitian tentang pengaruh pembendungan kanal terhadap sifat fisik dan kimia gambut dan pengaruhnya terhadap proses regenerasi alami. DAFTAR PUSTAKA Atmoko, T.(011). Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (Korth.) Burk di sumber benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. 5(), Bakker, J. P., Poschlod, P.,Strykstra, R.J., Bekker, R.M., & Thompson, K. (1996). Seed Banks and Seed Dispersal: Important Topics in Restoration Ecology. Acta Bot Neerl. 45 (4), Clarke, C Nephentes of Borneo. Natural History Publication. Kota Kinabalu Istomo, Hardjanto, Rahayu, S., Permana, E., Suryawan, S.I., Hidayat, A. dan Waluyo Kajian Perolehan Karbon Sebagai Dampak Intervensi pada Lokasi Kegiatan Proyek CCFPI di eks-plg Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah dan Sekitar TN Berbak, Jambi. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB - Wetland International-Indonesia Program. Bogor. Las, I. K. Nugroho, dan A. Hidayat, 009. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor. Muslihat, L. dan Sri Najiyati Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut; Mengenal Tipe Lahan Rawa Gambut. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Subro, I. L Populasi dan potensi Ploiarium alternifolium (Theaceae) di Hutan Gambut Pasca Terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah Populasi dan Potensi Ploiarium alternifolium (Theaceae) di Hutan Gambut Pasca Terbakar Kalampangan, Kalimantan Tengah. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Suryadi, U. Edi Dampak Pembendungan Kanal Terhadap Watak Fisika Dan Kimia Gambut Ombrogen Dalam Usaha Pemulihan Lahan Terdegradasi. Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Suryadiputra, I N.N., A. Dohong, Roh, S.B. Waspodo, L. Muslihat,.I. R. Lubis, F Hasudungan, dan I. T.C. Wibisono Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Tata, M. H. L., & Pradhadinata, S Regenerasi Alami Hutan Rawa Gambut Terbakar dan Lahan Gambut Terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan Implikasinya Terhadap Konservasi. J. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 10 (3) Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. 593

7 Van Eijk, P. & Leenman, P. (004). Re-generation of fire degraded peat swamp forest in Berbak National Park and implementation in re-planting program. Water for Food and Ecosystems Program Project on: Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peat swamp forest. Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. Wageningen: Alterra Green World Research. 594