Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Lingkungan 2017 Pembangunan Kota Berwawasan Kesehatan Lingkungan Untuk Mewujudkan Green City Di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Lingkungan 2017 Pembangunan Kota Berwawasan Kesehatan Lingkungan Untuk Mewujudkan Green City Di Indonesia"

Transkripsi

1

2 Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Lingkungan 2017 Pembangunan Kota Berwawasan Kesehatan Lingkungan Untuk Mewujudkan Green City Di Indonesia ISBN : Penyunting Dr. Nurjazuli, SKM, M.Kes Dr. Ir. Mursid Raharjo, M.Si Dr. dr. Suhartono, M.kes Dr. Yusniar Hanani D., STP, M.Kes Pengulas dr. Onny Setiani, Ph.D dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anwar Mallongi, SKM, MSc, Ph.D Dr. Elanda Fikri, SKM, M.Kes Diterbitkan Oleh FKM UNDIP PRESS Jl. Prof. Soedarto, SH., Tembalang Semarang Telp fkmundip.press@gmail.com Berkolaborasi dengan : Magister Kesehatan Lingkungan - Fakultas Kesehatan Masyarakat HAKLI Provinsi Jawa Tengah HAKLI Kota Semarang EHSA Indonesia Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotocopy tanpa seijin tertulis dari penerbit ii

3 SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Assalamualaikum wr.wb Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenannya, kami dapat bertemu kembali dalam suasana yang penuh keakraban dan penuh kekeluargaan. Saya merasa sangat bangga karena bisa berdiri di tengah-tengah kalian. Pertimbangan kesehatan lingkungan dalam pembangunan kawasan dapat mensinergikan ketiga sasarn. Pembangunan wilayah yang berkelanjutan, harus memperhatikan masyarakat sebagai subyek dengan pembangunan air bersih dan sanitasi lingkungan untuk mewujudkan kesehatan yang prima. Kesehatan lingkungan memiliki sasaran untuk pengendalian penyakit menular dan tidak menular menjadi kunci dalam pembangunan. Kesehatan masyarakat yang prima bisa diwujudkan dengan mempertimbangkan kesehatan lingkungan dalam setiap perencanaan wilayah. Pada kenyataannya yang terjadi pada kegiatan pembangunan wilayah saat ini masih bersifat parsial, belum terintegrasi. Pembangunan wilayah hanya cenderung berorientasi pada pemenuhan infrastuktur ekonomi dengan melemahkan kesehatan lingkungan. Disparitas terjadi antara ketercapaian sasaran sektor ekonomi dengan sasaran kesejahteraan dan kesehatan masyarakat yang jauh dari ketercapaiannya. Dibutuhkan pemikiran yang holistik antara pembangunan wilayah dengan memperhatikan masyarakat dan kesehatan lingkungan. Saya mengucapkan ucapan selamat mengikuti seminar. Semoga suasana Semarang yang penuh kedamaian dan keramahtamahan dapat memberikan inspirasi bagi kita semua untuk berbuat lebih baik. Terimakasih kepada panitia dan seluruh jajarannya yang telah bekerja keras menyelenggarakan kegiatan ini. terimakasih pula kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dan dukung maksimal demi suksesnya seminar nasional ini. Dekan,FKM UNDIP Hanifa Maher Denny, SKM, MPH, Ph.D iii

4 SAMBUTAN KETUA PELAKSANA Assalamualaikum wr.wb Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Pertama-tama kami mengucapkan selamat datang dan selamat berjumpa dalam Seminar Nasional Kesehatan Lingkungan Seminar nasional ini merupakan seminar pertama kami yang diadakan oleh Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro. Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 10 Oktober 2017 di Hotel Noormans, Semarang ini mengambil tema Pembangunan Kota Berwawasan Kesehatan Lingkungan Untuk Mewujudkan Green City Di Indonesia. Seminar nasional ini akan menjadi wadah dari pakar, peneliti dan praktisi dalam merumuskan konsep pembangunan wilayah dengan kesehatan lingkungan untuk mewujudkan kesehatan prima. Terdapat dua kegiatan yang dapat diikuti pada seminar nasional ini yaitu seminar nasional itu sendiri dan call of paper. Seminar nasional kesehatan lingkungan 2017 diikuti oleh berbagai bidang selain di bidang kesehatan lingkungan seperti bidang kebijakan dan administrasi, pemberdayaan masyarakat, tata kota dan bidang lainnya. Untuk itu kami panitia mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak pembicara kunci yang telah meluangkan waktunya diantara kesibukannya untuk hadir pada acara ini. Dan tak lupa turut mengucapkan terimakasih kepada para reviewer, pembicara dan berbagai pihak khusunya teman-teman dalam kepanitiaan Sarjana dan Magister Kesehatan Lingkungan dan pihak-pihak lain yang telah mendukung terlaksananya seminar nasional kesehatan lingkungan 2017 Ketua Panitia Dr. Ir. Mursid Raharjo, M.Si iv

5 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karenaberkat rahmat- Nya kami dapat menyusun proposal berjudul Seminar Nasional Kesehatan Pembangunan Kota Berwawaskan Kesehatan Lingkungan untuk Mewujudkan Green City di Indonesia ini dapat terencana dengan baik. Kegiatan seminar ini akan menyajikan berbagai cabang keilmuan antara lain : Perkembangan Pelaksanaan Green City di Kota (Kota Semarang), Gagasan Pengembangan Green City dan Suasana yang diidamkan, Green City untuk mendukung Manajemen Penyakit; Kesiapan dan Perilaku Masyarakat dalam Green City dan Integrated Waste and Water Mangement untuk mendukung Green City. Sumber Pendanaan kegiatan ini berasal dari PNBP Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro dan partisipasi peserta. Kegiatan Seminar Nasional ini dapat terencana dengan baik berkat dorongan maupun masukan dari semua pihak yang turut membantu terwujudnya acara ini. Pada kesempatan ini, diucaapkan terima kasih kepada : 1. Hanifa Maher Denny, SKM, MPH, Ph.D selaku Dekan FKM UNDIP. 2. Dr. Nurjazuli S.KM, M.Kes selaku Ka Prodi MKL UNDIP. 3. Dosen-dosen Kesehatan Lingkungan atas dukungan terhadap keberlangsungan acara ini. 4. Pihak-pihak lain atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan Semoga semua dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Panitia v

6 DAFTAR ISI SAMBUTAN DEKAN SAMBUTAN KETUA PANITIA KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ORAL PRESENTASI Determinant of Family Latrine Ownership in Waste Martapura Subdistrict Sungai Batang Village in 2015 (Norsita Agustina) Kajian Penutup Reaktor terhadap Parameter Fisik Proses Biodrying Sampah Organik Perkotaan (Sari Kurniawati) Konsep Manajemen Limbah dari Unit Usaha Berbasis Home Industry (Stya Adi Purnomo) Manajemen Pengelolaan Limbah Padat di RSUD Petala Bumi Pekanbaru Riau (Hetyy Ismainar) Impact of Jakarta Bay Reclamation Project on the Marine Water and Coastal Zone (Eko Susanto) Kemampuan Ruang Terbuka Hijau dalam Penyerap Emisi CO2 Kendaraan Bermotor di Kecamatan Magetan (Cahyafikry Raihan) Faktor Perilaku Ibu Dan Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Balita di Wilayah Puskesmas Bulu Kabupaten Temanggung (Priyadi Nugraha) Penerapan Usaha Kesehatan Sekolah Dengan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Pada Sekolah Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (Pomarida Simbolon) Health and Green Junction Concept (Sebagai UpayaPengendalian Pencemaran Udara Emisi Gas Buang Kendaraan) ( I Dewa Gede Tantara Tesa Putra) The Stuctural Model Of Sosio-Economic Factors Of The Underfive Children s Diarrhea In The Coastal Area Of Manado City (Dr. Oksfriani Tufri Sumampow) Menuju Permukiman Bebas Septic Tank: Studi Pengolahan Air Limbah Domestik Di Perumahan Graha Natura (Widya Aprilia Kurnia, S.T. M.T) Pengelolaan Sampah Di Pasar Wonomulyo Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar (Patmawati) iii iv v vi vi

7 Inventarisasi Dan Identifikasi Keanekaragaman Ikan Air Tawar Di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen (Titik Tri Wahyuni) Inisiasi Program Sekolah Lapang Iklim di Desa Wonosari Sebagai Media Pendidikan Lingkungan Bagi Petani (Sigma Saputra Surya Negara) Identifikasi Perubahan Iklim di Kabupaten Tarakan, Kalimantan Utara (Christine Elia Benedicta) Rencana Aksi Masyarakat Desa Babalan Kabupaten Pati dalam Menghadapi Kekeringan (Ragil Nurwahyudi) Kajian Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kota Semarang (Kartika Dian Pertiwi) Keyakinan Budaya Masyarakat Menggunakan Bangle Pada Bayi Baru Lahir Sebagai Penangkal Energi Jahat Di desa Sigara-Gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang (Kamilah Ainun) Pengaruh Waktu Kontak Klorin Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli Pada Air Baku Sungai Garang (Supriyadi) Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Akibat Pencemaran Tembaga Dari Zona Industri Genuk Ke Sungai Babon Kota Semarang (Putrie Prasetyotami) Analisis Risiko Kesehatan dan Kadar Timbal Dalam Darah : (Studi Pada Masyarakat yang Mengkonsumsi Tiram Bakau (Crassostrea gigas) (Puspito Raharjo) Optimalisasi Penggunaan Khlorin Dalam Menurunkan Kadar Fe Pada Air Sungai Garang Dan Sungai Kreo (Lukman Eka Prasaja) Target Hazard Risks of Lead due to Aquatic Habitats and Food Consumption among Community in Makassar Coastal Area of South Sulawesi, Indonesia (Anwar Mallongi) Korelasi Faktor Iklim Terhadap Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kota Malang Tahun (Misbahul Subhi) Efektivitas Unit Pengolahan Sampah Kota Depok Mengelola Sampah Organik Perkotaan (Oscar Oleta Palit) Membangun Kesadaran Hukum Masyarakat Menuju Terwujudnya Green City (Pudjo Utomo) vii

8 Analisis Tingkat Pengetahuan Petani Terhadap Dampak Kesehatan Akibat Penggunaan Insektisida Di Desa Purwaraja, Kecamatan Kikim Timur, Kabupaten Lahat (Yuanita Windusari) Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Pencemaran Kromium Heksavalen (Cr VI) pada Ikan Nila di Sungai Garang Kota Semarang (Suci Kurniawati) Kontribusi Aspek Penyakit Berbasis Lingkungan Kepada Perhitungan Index Ketersediaan Air (Rudatin Windraswara) Analisis Postur Kerja Terhadap Keluhan Musculoskeletal Disorders (Msds) Pada Pekerja Mekanik Bengkel Sepeda Motor X Semarang (Suroto) Evaluasi Ketidakberlanjutan Sanitasi Guna Mendukung Sanitasi Layak 2019 (Suning) Kadar Timbal Dalam Darah Dan Kejadian Gangguan Fungsi Hati Pada Ibu Hamil Di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes (Redha Rahmi) 248 viii

9 DETERMINAN KEPEMILIKAN JAMBAN KELUARGA DI DESA SUNGAI BATANG KECAMATAN MARTAPURA BARAT TAHUN 2015 Norsita Agustina Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Islam Kalimantan MAB Banjarmasin norsita.agustina@gmail.com Abstrak Hasil Riskesdas 2013 menunjukan bahwa rumah tangga di Indonesia menggunakan fasilitas jamban milik sendiri 76,2%, milik bersama 6,7% dan fasilitas umum 4,2%. Semakin rendah kepemilikan jamban, persentase rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemilikan jamban keluargadi desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat Tahn Jenis Penelitian ini bersifat kuantitatif menggunakan pendekatan Cross Sectional. Jumlah responden yang diteliti 256 kepala keluarga. Hasil pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan statistik univariat, bivarit menggunakan chi square dan multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi kepala keluarga memiliki jamban keluarga masih rendah yakni hanya sebesar 45,5%. Hasil analisa statistik menunjukan bahwa variabel yang dominan berhubungan dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat yaitu ketersediaan lahan dengan Odds Ratio (OR) sebesar 6,0 yang berarti kepala keluarga yang mempunyai lahan berpeluang memiliki jamban keluarga sebesar 6,0 kali lebih tinggi dibandingkan kepala keluarga yang tidak mempunyai lahan setelah dikontrol variabel pengetahuan tentang jamban dan pendapatan. Saran melakukan kerjasama dengan pemerintah yang terkait Dinas Kesehatan, Puskesmas dan Dinas Pekerjaan Umum dalam membangun sistem sanitasi komunal, membuat program proiritas dalam promosi kesehatan, melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam upaya penyebarluasan informasi dan menggalakkan pentingnya promosi kesehatan, memotivasi dalam hal pemicuan kepada masyarakat, dinas kesehatan bekerjasama dengan pihak puskesmas, kecamatan, kelurahan dan RT untuk mengadakan arisan jamban dan meningkatkan kualitas kader. Kata Kunci : Kepemilikan jamban, Jamban Keluarga, Desa Sungai Batang Abstract The Riskesdas results in 2013 show that households in Indonesia use their own privately owned latrine facility 76.2%, a joint 6.7% and a 4.2% public facility. The lower the ownership of latrines, the percentage of households who perform pass stools (defecation) carelessly higher. This study aims to determine the factors associated with the ownership of latrine family in West Martapura Subdistrict Sungai Batang Village in This type of research is quantitative using Cross Sectional approach. Number of respondents studied 256 heads of households. The results of data collection were analyzed using univariate statistics, bivarite using chi square and multivariate using logistic regression. The results showed that the proportion of family heads had family s latrines were still low, which was only 45.5%. The result of statistical analysis shows that the dominant variable relates to family s latrine ownership in West Martapura Subdistrict Sungai Batang Village, namely the availability of land with Odds Ratio (OR) of 6.0 which means that the head of household having land has a chance to have family s toilet 6.0 times Higher 1

10 compared to household heads who do not have land after controlled variable knowledge of latrines and income. Suggestions of cooperating with related government Health Office, Public Health Center and Public Works Department in establishing communal sanitation system, establishing a priority program in health promotion, involving religious leaders and community leaders in the effort of disseminating information and promoting the importance of health promotion, motivating in triggering the community, The health office in cooperation with the public health center, sub-district, village head office, and neigboorhood association to organize lotre of latrine and improve the quality of cadres. Keywords: Ownership of latrines, Family toilet, Sungai Batang village PENDAHULUAN Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan area permukiman, masalah kotoran manusia semakin meningkat dan jika dilihat dari aspek kesehatan masyarakat kotoran manusia merupakan masalah pokok yang harus segera diatasi. Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut maka kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Pembuangan kotoran manusia hendaknya pada suatu tempat tertentu yang memenuhi persyaratan kesehatan (Notoatmodjo, 2014). Masalah Sanitasi dasar terutama tentang limbah (kotoran) manusia sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. WHO (2010) menyatakan bahwa hampir 2,6 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 1,1 miliar orang kekurangan air bersih akibat dari kondisi ini minimal 2,5 juta orang meninggal per tahun. Menurut Bank dunia, 2 miliar orang tidak punya akses air bersih dan 3,1 miliar orang tidak punya fasilitas sanitasi termasuk di dalamnya adalah jamban keluarga. Hasil Riskesdas 2013 menunjukan bahwa rumah tangga di Indonesia menggunakan fasilitas jamban milik sendiri 76,2%, milik bersama 6,7% dan fasilitas umum 4,2%. Meskipun sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9%. Lima provinsi tertinggi untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB sendiri adalah Riau (88,4%), Kepulauan Riau (88,1%), Lampung (88,1%), Kalimantan Timur (87,8%) dan DKI Jakarta (86,2%). Meskipun sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga BAB sembarangan, yaitu sebesar 12,9%. Lima provinsi rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%), Papua (27,9%) dan Gorontalo (24,1%) (Riskesdas, 2013). Sanitasi lingkungan di Indonesia pada umumnya dan Provinsi Kalimantan Selatan pada khususnya masih belum mencapai kondisi sanitsasi yang memadai. Kebutuhan sanitasi dasar belum tercapai seperti pembangunan tempat pembuangan kotoran manusia. Fasilitas pembuangan tinja/pembuangan kotoran manusia yang memenuhi syarat kesehatan berpengaruh besar terhadap kesehatan lingkungan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan bahwa tahun 2014 mencapai 73% padahal cakupan jamban harus mencapai 100% atau semua masyarakat harus memiliki jamban sendiri yang memenuhi syarat kesehatan dirumah (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar tahun 2014 di Kecamatan Martapura Barat terdapat 51,7% yang menggunakan Jamban sendiri, 9,9% yang menggunakan Jamban bersama, 1,2% yang menggunakan jamban umum dan 36,9% yang Buang Air Besar Sembarang (BABS). Sungai Batang merupakan salah satu perdesaan di Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar, dengan jumlah penduduk sebanyak 563 KK. Kepala Keluarga (KK) Desa Sungai Batang yang tinggal dipinggir sungai memiliki kebiasaan Buang Air Besar sembarangan (BABS) disungai. Desa Sungai Batang pada tahun 2013 tidak ada yang memiliki jamban sendiri, 4,44% yang menggunakan jamban bersama dan 95,56% yang Buang Air Besar Sembarang (BABS). Pada tahun 2014 mengalami peningkatan yang tidak signifikan terhadap kepemilikan jamban sendiri sebanyak 9,06% (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, 2014). Dalam hal ini tujuan penelitian ini Untuk mempelajari dan menjelaskan determinan kepemilikan jamban keluarga di 2

11 Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat Tahun Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diteliti guna memberikan langkah-langkah perbaikan sanitasi kesehatan lingkungan khususnya terhadap sanitasi jamban keluarga, karena itulah peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai determinan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar tahun 2015 BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi seluruh Kepala Keluarga (KK) dengan tidak memperhitungkan kualitas sarana di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas kesehatan Kabupaten Banjar Tahun 2014 jumlah KK di desa tersebut adalah sebanyak 563 KK. Jumlah sampe yang diambil dilakukan dengan cara proporsional random sampling yaitu sebanyak 233 KK. Untuk menghindari adanya bias maka jumlah kepala keluarga ditambah 10%, yaitu 233 KK + 2,33 yaitu sebanyak 256 KK dengan jenis sampel yang dipilih dengan acak sederhana. Uji statististik yang digunakan yaitu uji chi square dengan analisis univariat bivariat dan multivariat. PEMBAHASAN Analisis Univariat Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kepemilkan Jamban Keluarga, Pendidikan, Pengetahuan, pendapatan, ketersediaan lahan kepala keluarga, Pembinaan dari Petugas Kesehatan dan Dukungan Tokoh Masyarakat Variabel Frekuensi Presentase (%) Kepemilikan Jamban Keluarga Tidak Memiliki Memiliki Pendidikan Tinggi Rendah Pengetahuan Rendah Tinggi Pendapatan Rendah Tinggi Ketersediaan Lahan Kepala Keluarga Tidak Tersedia Tersedia Pembinaan dari Petugas Kesehatan Tidak Ada Pembinaan Ada Pembinaan Dukungan Tokoh Masyarakat Tidak Ada Dukungan Ada Dukungan Jumlah ,5 44,5 59,4 40,6 49,2 50,8 54,7 45,3 40,2 59,8 46,5 53,5 41,4 58, Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa distribusi berdasarkan kepemilikan jamban keluarga yang ditemukan lebih banyak yang tidak memiliki jamban keluarga dibandingkan 3

12 yang memiliki jamban keluarga yaitu yang tidak memiliki jamban keluarga sebanyak 55,5%, sedangkan yang memiliki jamban keluarga sebanyak 44,5%. Analisis Bivariat Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pendidikan Kepala Keluarga dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Kepemilikan Jamban Keluarga Total Tidak Pendidikan Memiliki Memiliki n % N % n % Rendah 96 63, , Tinggi 46 44, , Total , , p Value OR 95% CI 0,003 2,161 1,300-3,593 Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,003 dengan p value < 0,05), yang artinya ada hubungan yang bermakna antara pendidikan kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Nilai Odds Ratio (OR) sebesar 2,161 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang berpendidikan tinggi mempunyai peluang 2 kali untuk memiliki jamban keluarga dibandingkan kepala keluarga yang berpendidikan rendah. Hasil penelitian mengenai hubungan pendidikan dengan kepemilikan jamban keluarga sejalan dengan penelitian Ernawati (2008) yang menyatakan bahwa pendidikan berhubungan dengan kepemilikan jamban dengan nilai odds ratio sebesar 2,161 artinya bahwa kepala keluarga yang pendidikan tinggi berpeluang 2,161 kali untuk memiliki jamban dibandingkan dengan kepala keluarga yang pendidikannya rendah. Tabel 3 Pengetahuan Kepala Keluarga Tentang Jamban Dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Kepemilikan Jamban Keluarga Total Tidak Pengetahuan Memiliki Memiliki n % N % n % Rendah 87 69, , Tinggi 55 42, , Total , , p Value OR 95% CI 0,000 3,042 1,820-5,084 Hasil uji statistik diperoleh dengan p value = 0,000 < 0,05), yang artinya ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan kepala keluarga tentang jamban dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Odds Ratio (OR) sebesar 3,04 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang berpengetahuan tinggi mempunyai peluang 3 kali untuk memiliki jamban keluarga dibandingkan kepala keluarga yang berpengetahuan rendah. Berdasarkan penelitian Ria (2006), menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan tinggi dengan pemanfaatan jamban. Hal ini karena adanya kemauan dari kepala keluarga itu sendiri untuk belajar mencari tahu sesuatu yang belum diketahui. Sebaiknya kepala keluarga yang berpengetahuan tinggi namun tidak memiliki jamban keluarga tersebut 4

13 disebabkan karena belum mempunyai lahan untuk membangun jamban keluarga disamping faktor lain seperti kebiasaan yang kurang baik, pendidikan yang rendah dan sebagainya. Tabel 4 Pendapatan Kepala Keluarga Dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Kepemilikan Jamban Keluarga Total Tidak Pendidikan Memiliki Memiliki n % N % n % Rendah (<Rp , -) 90 64, , Tinggi ( Rp , -) 52 44, , Total , , p Value OR 95% CI 0,002 2,215 1,339-3,665 Hasil uji statistik diperoleh dengan p value = 0,002 < 0,05), yang artinya ada hubungan yang bermakna antara pendapatan kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga. di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Odds Ratio (OR) sebesar 2,215 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang pendapatan tinggi mempunyai peluang 2 kali untuk memiliki jamban keluarga dibandingkan kepala keluarga yang pendapatan rendah. Hasil penelitian menunjukan pendapatan merupakan faktor yang terkait dengan program kesehatan terhadap kepemilikan jamban keluarga. Artinya penduduk dengan pendapatan yang tinggi akan memiliki jamban keluarga. Tabel 5 Ketersediaan Lahan Jamban Kepala Keluarga Dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Kepemilikan Jamban Keluarga Total Ketersediaan Tidak Memiliki Lahan Memiliki n % N % n % Tidak tersedia 84 81, , Tersedia 38 37, , Total , , p Value OR 95% CI 0,000 7,240 3,993-13,135 Hasil uji statistik diperoleh dengan p value = 0,000 < 0,05), yang artinya ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan lahan jamban kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Odds Ratio (OR) sebesar 7,241 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang mempunyai lahan mempunyai peluang 7 kali untuk memiliki jamban keluarga dibandingkan kepala keluarga yang tidak mempunyai lahan. Persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa jika salah satu persyaratan tidak ada maka jamban tersebut dikategorikan tidak memenuhi syarat kesehatan. Dan masih ada ditemukan dari hasil penelitian pada umumnya tidak mempunyai lahan untuk membangun jamban keluarga sehingga berdampak pada kondisi BAB sembarangan disungai sehingga mengakibatkan kondisi sungai tercemar dari penyakit menular seperti diare. Disamping itu pula penyebab tidak memiliki lahan untuk membangun jamban keluarga karena masyarakat di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat pada umumnya berada pada tingkat ekonomi yang rendah sehingga sulit 5

14 untuk membangun fasilitas jamban keluarga. Tabel 6 Pembinaan Dari Petugas Kesehatan Dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Pembinaan dari Petugas Kesehatan Kepemilikan Jamban Keluarga Total Tidak Memiliki Memiliki n % N % N % Tidak ada pembinaan 78 65, , Ada pembinaan 64 46, , Total , , p Value OR 95% CI 0,003 2,170 1,309-3,598 Hasil uji statistik diperoleh dengan p value = 0,003 < 0,05), yang artinya ada hubungan yang bermakna antara pembinaan dari petugas kesehatan dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Odds Ratio (OR) sebesar 2,170 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang mendapatkan pembinaan dari petugas kesehatan mempunyai peluang 2 kali untuk memiliki jamban keluarga dibandingkan kepala keluarga yang tidak mendapatkan pembinaan dari petugas kesehatan. Melihat data diatas dapat dikatakan bahwa peran petugas kesehatan baik dari instansi kesehatan maupun kader kesehatan masih rendah. Rendahnya kemampuan petugas kesehatan disebabkan karena mereka kurang dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup mengenai petunjuk teknis inspeksi sanitasi terhadap sarana jamban keluarga Rendahnya kinerja mereka disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat kesadaran petugas kesehatan, keterbatasan waktu, jumlah petugas kesehatan, dana dan desa yang terpencil dan sebagainya sehingga hasil yang diperoleh belum optimal. Tabel 7 Dukungan dari Tokoh Masyarakat Dengan Kepemilikan Jamban Keluarga Dukungan Tokoh Masyarakat Kepemilikan Jamban Keluarga Total Tidak Memiliki Memiliki n % N % N % Tidak ada dukungan 69 65, , Ada dukungan 73 48, , Total , , p Value OR 95% CI 0,011 2,170 1,309-3,598 Hasil uji statistik diperoleh dengan p value = 0,011 < 0,05), yang artinya ada hubungan yang bermakna antara dukungan tokoh masyarakat dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Odds Ratio (OR) sebesar 2,170 menunjukkan bahwa kepala keluarga yang mendapatkan dukungan tokoh masyarakat mempunyai peluang 2 kali untuk memiliki jamban keluarga dibandingkan kepala keluarga yang mendapatkan dukungan tokoh masyarakat. 6

15 Hasil penelitian ini menemukan bahwa dari 67,6% kepala keluarga yang menyatakan ada dukungan tokoh masyarakat, 78,2% dari mereka mendapatkan dukungan berupa himbauan/anjuran untuk memiliki jamban keluarga, 14,3% diberikan contoh, 7,5% diberikan bantuan dana untuk membangun dan menggunakan jamban keluarga. Responden juga menyatakan bahwa tokoh masyarakat yang memberikan dukungan untuk memiliki jamban keluarga 12,4% adalah tokoh agama, 70,3% adalah kepala desa dan perangkatnya, 15,8% adalah kader kesehatan, 1,5% adalah bidan desa. Analisis Multivariat Tabel 8 Hasil Analisis Multivariat Regressi Logistik Ganda Determinan Kepemilikan Jamban Keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat Tahun 2015 No Variabel β p value OR 95% CI 1 Pengetahuan Tentang Jamban 0,948 0,001 2,579 1,447-4,598 2 Pendapatan 0,855 0,004 2,352 1,322-4,184 3 Ketersediaan Lahan 0,315 0,000 6,062 3,270-11,236 Constant -2,269 Berdasarkan tabel 8 ternyata tidak ada variabel dengan p value > 0,05 dengan demikian permodelan selesai. Hasil analisis multivariat dihasilkan ada tiga variabel yaitu pengetahuan, pendapatan dan ketersediaan lahan yang berhubungan signifikan dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat. Variabel yang dominan berhubungan dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat yaitu ketersediaan lahan dengan Odds Ratio (OR) sebesar 6,062 yang berarti kepala keluarga yang tersedia lahan berpeluang memiliki jamban keluarga sebesar 6 kali lebih tinggi dibandingkan kepala keluarga yang tidak mempunyai lahan jamban setelah dikontrol variabel pengetahuan tentang jamban dan pendapatan KESIMPULAN 1. Kepemilikan jamban keluarga di Desa Sungai Batang Kecamatan Martapura Barat dapat diketahui bahwa yang menyatakan memiliki jamban keluarga hanya 44,5%. 2. Variabel yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepemilikan jamban keluarga antara pendidikan, pengetahuan tentang jamban diantaranya jarak jamban dengan rumah dan jenis jamban yang baik bagi kesehatan, pendapatan, ketersediaan lahan, pembinaan dari petugas kesehatan dan dukungan tokoh masyarakat. 3. Variabel yang dominan berhubungan dengan kepemilikan jamban keluarga adalah ketersediaan lahan dengan Odds Ratio (OR) sebesar 6,062 yang berarti kepala keluarga yang tersedia lahan berpeluang memiliki jamban keluarga sebesar 6,0 kali lebih tinggi dibandingkan kepala keluarga yang tidak tersedia lahan jamban setelah dikontrol variabel pengetahuan tentang jamban dan pendapatan. 7

16 Saran agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang kepemilikan jamban keluarga baik secara kualitatif ataupun kuantitatif. Terutama penelitian untuk mengetahui seberapa besar faktor yang mempengaruhi tidak tersedianya lahan diantaranya pengetahuan tentang jamban dan pendapatan dalam hal kepemilikan jamban keluarga. DAFTAR PUSTAKA Depkes RI Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas Tahun Jakarta : Litbangkes Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar Kabupaten Banjar Notoatmodjo, S Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta Pane, Ernawati Determinan Perilaku Keluarga Terhadap Penggunaaan Jamban Di Desa Sukamurni Kecamatan Sukakarya Kabupaten Bekasi Tahun Depok : Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia Ria, S Sanitasi Lingkungan, Karakteristik Balita dan Perilaku Keluarga dengan Diare Pada Balita di Puskesmas Kota Sukabumi Tahun Depok Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Indonesia 8

17 KAJIAN PENUTUP REAKTOR TERHADAP PARAMETER FISIK DALAM PROSES BIODRYING SAMPAH ORGANIK PERKOTAAN Sari Kurnia Wati, Wiharyanto Oktiawan dan Ganjar Samudro Departemen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedarto, S.H Tembalang Semarang, Kode Pos: Telp. (024) , Fax. (024) sarikurnia021@gmail.com Abstrak Biodrying merupakan metode yang cocok untuk mengolah limbah sangat lembab jika limbah secara langsung dibakar tanpa pra-perlakuan. Biodrying adalah proses penguapan konvektif dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan dari reaksi aerobik komponen biologis dan dibantu dengan aerasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan penutup reaktor yang optimal terhadap parameter fisik proses biodrying diantaranya suhu, penurunan kadar air, penurunan volume, dan penurunan massa. Variasi penutup reaktor yang digunakan adalah geotekstil dan terpal dengan penambahan aerasi sebesar 6 l/menit. Reaktor terbuat dari bahan tripleks dengan dimensi (40x40x100) cm. Penelitian dilakukan selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin permeabel penutup reaktor dapat meningkatkan suhu dan menurunkan kadar air, volume, serta massa dengan optimal. Penutup reaktor yang ditemukan optimum adalah geotekstil dengan suhu tertinggi sebesar 57 o C, total penurunan kadar air, penurunan volume, dan penurunan massa sampah setelah 30 hari proses biodrying masing-masing sebesar 30,55%; 59,75%; dan 55,12%. Kata Kunci : Sampah Organik Perkotaan, Penutup Reaktor, Biodrying STUDY OF REACTOR S COVER TO PHYSICAL PARAMETERS ON BIODRYING PROCESS OF ORGANIC WASTE Abstract Biodrying is a suitable method for treating waste with high moisture content if waste is directly burned without pre-treatment. Biodrying is a convective evaporation process by utilizing heat generated from aerobic reactions and aided by aeration. The aim of this study is to determine the optimal reactor cover to physical parameters such as temperature, moisture content reduction, volume reduction, and mass reduction. Variations of the reactor cover were geotextile and tarpaulin with the addition of aeration of 6 l/min. The reactor made from plywood material with dimensions (40x40x100) cm. The research was running for 30 days. The results showed that the more permeable of reactor cover can increase the temperature and decrease the moisture content, volume, and mass optimally. The optimum reactor cover was geotextile with the highest temperature was 57 C, total moisture content reduction, volume reduction, and mass reduction after 30 days biodrying process were 30.55%; 59.75%; and 55.12%, respectively. Keywords: Organic Waste, Reactor Cover, Biodrying 9

18 PENDAHULUAN Sebagian besar sampah di Indonesia didominasi oleh sampah organik. Persentase sampah organik ini mencapai 70% dari volume total. Kadar air sampah perkotaan sangat tinggi hingga 74,5% karena tingginya kandungan sampah organik. Sampah perkotaan yang belum diolah memiliki kadar air yang tinggi, nilai kalor yang rendah, dan ukuran partikel yang sangat heterogen sehingga dapat mengganggu proses penyortiran sampah karena sampah yang tercampur dan menghasilkan lindi (Lokahita dan Damanhuri, 2013). Biodrying adalah metode yang cocok untuk mengolah limbah sangat lembab, yang akan melepaskan lindi dalam jumlah yang besar jika limbah secara langsung dibakar tanpa pra-perlakuan (Zhang et al., 2008). Biodrying adalah proses penguapan konvektif aerobik yang dapat meningkatkan kandungan energi sampah dengan memaksimalkan penurunan kelembaban sampah dan menjaga nilai kalor senyawa kimia organik melalui biodegradasi minimal. Perbedaan utama dari biodrying dengan pengomposan adalah bahwa tujuan utama yaitu tidak memaksimalkan proses degradasi bahan organik, tetapi hanya untuk mendegradasi limbah yang cukup untuk menghasilkan panas biologis untuk mengeringkan sampah (Velis et al., 2009). Proses biodrying berbeda dari kompos dalam hal output, dari proses pengomposan diperoleh bahan organik yang stabil, sedangkan biodrying hanya sebagian stabil. Proses biodrying berdasarkan reaksi aerobik biologis, tidak ada bahan bakar tambahan yang dibutuhkan berkat reaksi eksotermik yang terjadi dalam kondisi aerobik. (Ragazzi et al., 2007). Proses biodrying memanfaatkan panas autotermal oleh aktivitas mikroba pada sampah, bukan panas yang dihasilkan dari proses pengeringan konvensional. Oleh karena itu, proses ini dapat menyimpan energi jika dibandingkan dengan pengeringan (Rada et al., 2005). Tingkat pengeringan, biostabilitas, dan higienitas selama proses biologis aerobik dapat divariasikan dengan beberapa parameter proses, yang paling utama diantaranya suhu, oksigen, laju aliran udara, dan kadar air. Penutup reaktor berfungsi untuk menghindari kehilangan panas dan kondensasi uap air (Sen and Annachhatre, 2015). Pemberian penutup geotekstil sebelumnya sudah diteliti tetapi pengaruhnya terhadap parameter terukur belum diketahui sedangkan penutup terpal telah digunakan dalam komposting. Penelitian oleh Jalil et al. (2015) menggunakan geotekstil non woven untuk menjaga kondisi termal. Marešová and Kollárová (2010) menggunakan lembar polietilena sebagai penutup kompos dan suhu maksimum yang dicapai adalah 67 ºC. Sen and Annachhatre (2015) menambahkan aliran udara ke dalam tumpukan sampah biodrying melalui aerasi. Penelitian ini akan menerapkan proses biodrying pada sampah perkotaan khususnya organik, dengan variasi penutup reaktor yang bertujuan untuk menentukan penutup yang optimum terhadap parameter suhu, penurunan kadar air, penurunan volume, dan penurunan massa sampah. PEMBAHASAN Penelitian biodrying menggunakan tiga reaktor yang masing-masing diisi dengan sampah sayuran. Reaktor divariasikan dengan penutup terpal, geotekstil, dan tanpa penutup. Sumber sampah berasal dari Pasar Rasamalaya, Banyumanik. Sampah yang dimasukkan ke reaktor sebelumnya dicacah, kemudian dicampur dengan bulking agent (BA) berupa serutan kayu (15%) dengan perbandingan 35,7 kg sampah dan 6,3 kg BA. Rynk (1992) menyebutkan bahwa bulking agent bertujuan membentuk struktur, porositas, dan tekstur yang mempengaruhi proses pengomposan karena keterkaitannya dengan aerasi. Reaktor biodrying terbuat dari bahan tripleks dengan penambahan debit aerasi 6 l/menit. Berikut ini adalah skema reaktor biodrying. 10

19 Gambar 1. Skema Reaktor Biodrying Keterangan : 1. Penutup reaktor 2. Lubang pengukuran suhu 3. Kawat jaring 4. Saluran udara 5. Susunan kerikil 6. Saluran lindi 7. Penampung lindi 8. Aerator Penentuan variasi penutup berdasarkan kemampuan bahan dalam meloloskan uap air yang dihasilkan dari proses biodegradasi yang berpengaruh terhadap suhu, penurunan kadar air, penurunan volume, dan penurunan massa sampah sehingga dipilih variasi penutup geotekstil dan terpal. Pengaruh Penutup Reaktor terhadap Suhu Sampah Suhu adalah parameter proses eksotermik dan metabolisme mikroorganisme. Metabolisme mikroorganisme erat kaitannya dengan fraksi organik, sehingga apabila suhu semakin tinggi maka proses metabolisme mikroorganisme juga tinggi (Fadlilah dan Yudihanto, 2013). Menurut Sen and Annachhatre (2015) penambahan penutup reaktor dapat berfungsi sebagai insulator dan menghindari kehilangan panas. Penutup terpal dan geotekstil memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perubahan suhu sampah selama proses biodrying. Berikut ini akan dipaparkan perubahan suhu yang terjadi berdasarkan variasi penutup reaktor: Gambar 2. Perubahan Suhu Sampah Gambar 2. menunjukkan perubahan suhu sampah berdasarkan variasi penutup. Pada penutup terpal, suhu tertinggi yaitu 55 ºC dicapai pada hari ke-4 proses biodrying. Suhu puncak berlangsung singkat, hanya bertahan satu hari. Suhu terus mengalami penurunan di minggu pertama proses biodrying kemudian memasuki awal minggu ke-2 mengalami kenaikan yang berlangsung selama satu hari. Setelah terjadi kenaikan yang singkat, suhu kemudian kembali turun secara signifikan hingga hari ke- 12. Tren suhu naik pada hari berikutnya dan mengalami fluktuasi yang relatif seragam hingga proses biodrying berakhir. Pada penutup geotekstil, suhu tertinggi yang dicapai yaitu 57 ºC pada hari ke-1. Pada hari ke-3 dan 4, suhu konstan kemudian terus mengalami penurunan. Pada hari ke-6 dan 7, suhu konstan kemudian pada hari ke-8 turun. Suhu terus mengalami penurunan hingga hari ke-12 kemudian naik pada hari berikutnya. Suhu mengalami fluktuasi mulai dari awal minggu ketiga hingga proses biodrying berakhir. Reaktor dengan penutup geotekstil menunjukkan pencapaian suhu yang lebih baik dibandingkan penutup terpal dan tanpa penutup. Pada reaktor tanpa penutup suhu tertinggi yang dicapai yaitu 55 ºC. Mulai dari hari ke-18, suhu mengalami penurunan di bawah 30 ºC. Suhu substrat atau sampah adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena dapat memberikan kondisi ideal untuk proliferasi mikroorganisme jenis tertentu misalnya, mesofilik atau termofilik (Sugni, Calcaterra and Adani, 2005). Suhu termofilik (45 75 ºC) tercapai di masing-masing reaktor, yang menunjukkan bahwa terjadi proses dekomposisi bahan organik 11

20 yang sangat aktif. Fase termofilik pada setiap reaktor bertahan selama 2-6 hari. Setelah mencapai suhu termofilik, akan terjadi penurunan suhu, memasuki masa mesofilik kembali. Menurut Cahaya dan Nugroho (2008), mikroorganisme mesofilik bekerja optimal pada suhu ºC. Organisme mesofilik akan merombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya. Jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan makanan berkurang. Bahan yang didekomposisi menurun jumlahnya dan panas yang dihasilkan relatif kecil. Pengaruh Penutup Reaktor terhadap Kadar Air Sampah Menurut Sen and Annachhatre (2015) penambahan penutup reaktor dapat menghindari kondensasi uap air. Penurunan kadar air sebagian besar disebabkan oleh penguapan. Permeabilitas bahan berpengaruh terhadap proses penguapan air. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode berat basah. Metode berat basah merupakan metode yang paling umum digunakan di bidang pengelolaan sampah (Naryono, 2009). Sampel kadar air diambil dari setiap titik pengukuran suhu sehingga diperoleh tiga sampel untuk setiap reaktor. Pada saat penimbangan, ketiga sampel ini kemudian dicampur menjadi satu yang mewakili setiap reaktor. Menurut Jalil et al. (2015) kadar air awal pada biodrying harus berkisar antara 55% dan 70%. Kandungan kadar air yang rendah, di bawah 40% menyebabkan aktivitas mikroorganisme yang lambat dan berpengaruh terhadap proses metabolisme. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang rendah dalam sampah membatasi sebagian aktivitas biologis. Di sisi lain, ketika kadar air terlalu tinggi, panas yang dihasilkan dari biodegradasi tidak cukup untuk membuat air menguap. Pemberian variasi penutup mempengaruhi kadar air yang terkandung dalam tumpukan sampah. Berikut ini dijelaskan pengaruh variasi penutup terpal dan geotekstil terhadap penurunan kadar air: Gambar 3. Penurunan Kadar Air Sampah Total Pada gambar 3. dapat dilihat perubahan kadar air sampah total. Penurunan kadar air total pada penutup terpal yaitu 14,02 %. Reaktor dengan penutup geotekstil cenderung mengalami penurunan kadar air yang lebih tinggi dibanding dengan penutup terpal. Penurunan kadar air total yang tertinggi yaitu 30,55 % pada reaktor penutup geotekstil. Pada reaktor tanpa penutup, penurunan kadar air tidak berbeda jauh dengan penutup terpal yaitu 14,85 %. Penurunan kadar air tertinggi menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Tom, Pawels and Haridas (2016) dimana penurunan kadar air yang dicapai yaitu 20,81 %. Penurunan kadar air sebagian besar disebabkan oleh penguapan. Kerapatan bahan berpengaruh terhadap proses penguapan air. Geotekstil memiliki kerapatan yang lebih rendah dibanding terpal sehingga dapat lebih mudah meloloskan air. Menurut Jalil et al. (2015) kelembaban di dalam reaktor dapat menguap dengan mudah melalui pori-pori penutup geotekstil. Terpal tersusun dari bahan yang sangat rapat sehingga air yang telah menguap sulit untuk keluar dari reaktor. Hal ini menyebabkan distribusi kelembaban tidak merata karena air yang telah menguap mengalami kondensasi dan menyebabkan air kembali ke bagian atas tumpukan sampah. Air yang terperangkap di dalam reaktor ini tak bisa lagi diuapkan karena udara akan mengalami titik jenuh (Tom, Pawels and Haridas, 2016). Dalam pengeringan, keseimbangan kadar air menentukan batas akhir dari proses pengeringan. Laju pengeringan amat bergantung pada perbedaan antara kadar air bahan dengan kadar air keseimbangan. Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan semakin cepat pindah panas ke bahan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan (Brooker et al., 1974 dalam 12

21 Aisyah, 2015). Pengaruh Penutup Reaktor terhadap Volume Sampah Penurunan volume pada reaktor biodrying diukur setiap hari dengan mengukur penurunan ketinggian dari tumpukan sampah. Ketinggian sampah (cm) dikonversi menjadi volume (liter). Pada proses pengomposan, ketika material organik terdegradasi, baik massa maupun volume sampah menurun dikarenakan pemecahan komponen organik membentuk partikel yang lebih kecil dengan bulk density yang lebih besar dan mineralisasi bahan organik membentuk CO 2 dan H 2O (Breitenbeck and Schellinger, 2004). Berikut ini dijelaskan pengaruh variasi penutup terpal dan geotekstil terhadap penurunan volume: Gambar 4. Penurunan Volume Sampah Total Gambar 4. menunjukkan penurunan volume sampah total. Penurunan volume total pada penutup terpal yaitu 48,66 %. Penurunan yang signifikan terjadi pada penutup geotekstil di hari ke-7. Volume di setiap reaktor terus mengalami penurunan hingga mencapai hari ke-30. Penurunan volume total tertinggi yakni sebesar 59,75% pada penutup geotekstil. Reaktor tanpa penutup menghasilkan penurunan volume sebesar 54,99 %. Penurunan volume tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tom, Pawels and Haridas (2016). Penurunan volume sampah dilihat dari ketinggian tumpukan sampah, dimana tinggi awal 1,38 meter menjadi 0,6 meter. Penurunan volume sebesar 56,5% (volume awal 0,39 m 3 menjadi 0,169 m 3 ). Penurunan volume sampah selain disebabkan karena keluarnya kadar air, juga dipengaruhi oleh densitas sampah. Semakin besar kandungan air dalam sampah, sampah akan semakin padat sedangkan volume sampah kering akan lebih besar karena terdapat pori-pori antara sampah. Kadar yang terlalu tinggi, menyebabkan bahan kompos menjadi lebih padat dan mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang tersirkulasi, sehingga tercipta kondisi anaerobik (Haug, 1980). Pengaruh Penutup Reaktor terhadap Massa Sampah Perubahan biologis pada sampah organik dapat ditujukan untuk mengurangi volume dan massa material; memproduksi kompos; dan memproduksi gas metan. Proses perubahan biologis disebabkan oleh organisme utama yaitu bakteri, jamur, dan, actynomycetes yang bergantung pada ketersediaan oksigen (Tchobanoglous et al., 1993). Penurunan massa pada biodrying terjadi melalui beberapa proses yaitu penguapan air, volatilisasi, dan terbentuknya lindi. Selama proses tersebut, proses yang paling berpengaruh terhadap kehilangan air adalah penguapan, selanjutnya melalui lindi dan volatilisasi. 13

22 Penurunan massa pada biodrying terjadi secara bertahap, pada umumnya disebabkan oleh penurunan kadar air dari proses penguapan dan oksidasi senyawa karbon organik (Sen and Annachhatre, 2015). Pengukuran massa dilakukan setiap tujuh hari menggunakan neraca digital. Massa sampah adalah massa reaktor ditambah massa sampah dan dikurangi massa reaktor. Massa awal sampah adalah 42 kg yang terdiri dari 35,7 kg sampah sayuran dan 6,3 kg serutan kayu. Sampah organik yang sudah dicacah dicampurkan dengan serutan kayu sebagai bulking agent. Penurunan massa sampah pada variasi penutup reaktor dapat dilihat pada grafik berikut ini: Gambar 5. Penurunan Massa Sampah Total Gambar 5. menunjukkan penurunan massa sampah total. Setiap reaktor mengalami penurunan massa yang berbeda-beda. Penutup terpal mengalami penurunan total sebesar 52,25 % sedangkan penutup geotekstil mengalami penurunan massa total yang tertinggi yaitu 55,12%. Pada reaktor tanpa penutup, penurunan massa sebesar 49,14 %. Penurunan massa secara signifikan pada setiap reaktor terjadi di minggu pertama. Selanjutnya, setiap reaktor terus mengalami penurunan hingga proses biodrying berakhir. Penelitian oleh Colomer-Mendoza et al. (2013) mengungkapkan bahwa penurunan massa sampah pada proses biodrying yang menggunakan BA adalah sebesar 40%-57%, sedangkan Sen and Annachhatre (2015) menghasilkan penurunan massa sebesar 55,6% pada biodrying limbah kulit ketela. Penurunan massa berkaitan dengan kadar air karena merupakan faktor utama yang menyebabkan penurunan massa. Sehingga apabila penurunan kadar air tinggi maka penurunan massa juga tinggi. Brito, Coutinho and Smith (2008) menyatakan bahwa pengomposan optimum dicapai pada kompos yang diberi penutup permeabel. Berikut merupakan rekapitulasi hasil setelah 30 hari proses biodrying : Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Proses Biodrying Penutup Suhu (ºC) Kadar Air (%) Penurunan Volume (%) Massa (%) Terpal 55 14,02 48,66 52,25 Geotekstil 57 30,55 59,75 55,12 Tanpa penutup 55 14,85 54,99 49,14 Dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa penutup reaktor yang optimum atau yang menghasilkan suhu, penurunan kadar air, volume, dan massa sampah yang paling tinggi terjadi pada penutup geotekstil. Hasil pada penutup geotekstil lebih tinggi daripada penutup terpal dan tanpa penutup, hal tersebut menunjukkan bahwa penutup diperlukan untuk 14

23 mendapatkan hasil yang optimum serta semakin permeabel penutup reaktor dapat menghasilkan suhu, penurunan kadar air, volume, dan massa yang tinggi. PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan bahwa penutup reaktor mempunyai pengaruh terhadap suhu, penurunan kadar air, penurunan volume, dan penurunan massa. Semakin permeabel penutup reaktor, suhu tinggi dapat dicapai dan penurunan kadar air, volume, dan massa dapat memenuhi batas optimum. Geotekstil merupakan bahan penutup yang paling baik dalam pencapaian suhu tertinggi, penurunan kadar air, penurunan volume, dan penurunan massa. Suhu tertinggi yaitu 57 ºC, penurunan kadar air 30,55 %, penurunan volume 59,75 %, dan penurunan massa 55,12 %. Belum diketahui nilai kalor yang dihasilkan dari pengolahan, oleh karena itu berpotensi untuk dikembangkan selanjutnya dengan melakukan uji nilai kalor sehingga diketahui potensinya sebagai bahan bakar. DAFTAR PUSTAKA Adani, F. et al. (2002). The Influence of Biomass Temperature on Biostabilizationbiodrying of Municipal Solid Waste. Bioresource Technology, 83(3), pp Aisyah, Nyayu. (2015). Rancang Bangun Alat Pengering Surya Teknologi Dual (Uji Kinerja Alat Pengering Surya Teknologi Fotovoltaik Termal Ditinjau dari Konsumsi Energi Spesifik pada Pengeringan Kerupuk). Thesis. Politeknik Negeri Sriwijaya. Bilgin, M. and Tulun, S. (2015). Environmental Technology Biodrying for Municipal Solid Waste: Volume and Weight Reduction. Environmental Technology, 36(13), pp Breitenbeck, G. A. and Schellinger, D. (2004). Calculating The Reduction in Material Mass And Volume during Composting. Compost Science & Utilization, 12(4), pp Brito, L. M., Coutinho, J. and Smith, S. R. (2008). Methods to Improve The Composting Process of The Solid Fraction of Dairy Cattle Slurry. Bioresource Technology, 99(18), pp Cahaya, A. dan D.A. Nugroho. (2008). Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu). Skripsi. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang. Colomer-Mendoza, F. J. et al. (2013). Effect of Airflow on Biodrying of Gardening Wastes in Reactors. Journal of Environmental Sciences (China), 25(5), pp Fadlilah, Nurul dan Gogh Yudihanto. (2013). Pemanfaatan Sampah Makanan Menjadi Bahan Bakar Alternatif dengan Metode Biodrying. Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 2. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Haug, R. (1980). Composting Engineering. Michigan: Ann Arbor Science. Jalil, N. A. A. et al. (2015). The Potential of Biodrying as Pre-treatment for Municipal Solid Waste in Malaysia. Journal of Advanced Review on Scientific Research, 7(1), pp Lokahita, Baskoro dan Damanhuri, Enri. (2013). Potensi Sampah Combustible pada Titik Transfer di Kota Bandung untuk Bahan Baku Refused Derived Fuel (RDF). Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB. Bandung. Marešová, K. and Kollárová, M. (2010). Influence of Compost Covers on The Efficiency of Biowaste Composting Process. Waste Management, 30(12), pp Naryono, E. dan Soemarno. (2009). Pengeringan Sampah Organik Rumah Tangga. pp Rada, E. C. et al. (2005). MSW Bio-Drying and Bio-Stabilization : An Experimental Comparison. Italy: University of Trient. 15

24 Ragazzi, M., Rada, E., Panaitescu, V., Apostol, T Municipal Solid Waste Pretreatment: A Comparison Between Two Dewatering Options. WIT Transactions on Ecology and the Environment, 102, pp Rynk, Robert. (1992). On-Farm Composting Handbook. Monographs of the Society for Research in Child Development, 77, p Sen, R. and Annachhatre, A. P. (2015). Effect of Air Flow Rate and Residence Time on Biodrying of Cassava Peel Waste. International Journal of Environmental Technology and Management. Sugni, M., Calcaterra, E. and Adani, F. (2005). Biostabilization-biodrying of Municipal Solid Waste by Inverting Air-flow. Bioresource Technology, 96(12), pp Tchobanoglous, George, Theisen, Hilary, Vigil. (1993). Integrated Solid Waste Management. Singapore : Mc Graw Hill. Tom, A. P., Pawels, R. and Haridas, A. (2016). Biodrying Process: A Sustainable Technology for Treatment of Municipal Solid Waste with High Moisture Content. Waste Management, 49, pp Velis, C. A. et al. (2009). Biodrying for Mechanical-biological Treatment of Wastes: A Review of Process Science and Engineering. Bioresource Technology, pp Zhang, D. et al. (2008). Biodrying of Municipal Solid Waste with High Water Content by Combined Hydrolytic-Aerobic Technology. Journal of Environmental Sciences, 20(12), pp

25 KONSEP MANAJEMEN LIMBAH DARI UNIT USAHA BERBASIS HOME INDUSTRY (Study kasus dari unit usaha sale dan kripik pisang) StyaAdi Purnomo 1, Ibnu Abdullah, AdhitiyaSaputra Program Studi D3 Analis Kimia Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung Abstrak Home Industry sale dan kripik pisang menghasilkan limbah utama yakni kulit pisang. Dalam sekali produksi limbah kulit pisang yang dihasilkan dari home industry mencapai kilogram. Apabila hal ini dibiarkan, maka sampah kulit pisang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk membantu pihak home industry dalam mengelola limbah kulit pisang yang dihasilkan agar dimanfaatkan menjadi barang yang lebih bermanfaat dan menambah nilai ekonomis. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi serta wawancara dengan pelaku home industry TRIYANTO. Home Industry TRIYANTO didirikan oleh bapak Sumiarjo Laimin didesa Ciklapa, Kedungreja, Cilacap, Jateng. Dari hasil observasi serta wawancara dapat diidentifikasi permasalahan limbah kulit pisang dari home industry yakni menumpuknya limbah kulit pisang tiap kali produksi serta tidak adanya pengolahan lebih lanjut terhadap limbah kulit pisang tersebut. Salah satu gagasan alternatif yang dapat diterapkan dalam mengelola limbah kulit pisang yakni dengan memanfaatkannya menjadi bahan baku biogas yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar produksi serta untuk pemenuhan energy listrik saat pengeringan produk. Di harapkan efisiensi produksi meningkat serta biaya produksi sale dan kripik pisang bisa dihemat dan akhirnya adalah kesejahteraan pelaku home industry dapat meningkat. Kata kunci: Home Industry, Limbah, Kulit Pisang CONCEPT OF WASTE MANAGEMENT FROM BUSINESS UNIT BASED HOME INDUSTRY Abstract Banana chips and sweetened banana home industry produce the main waste of banana peel. In one production cylcle banana peel waste produced from the home industry reaches kilograms. If this is allowed, then banana peel garbage can cause environmental pollution. This study aims to help the home industry in managing the banana peel waste produced to be utilized as a more useful goods with high economic value.this research method done through observation and interviews with the perpetrators of home industry TRIYANTO. Home Industry TRIYANTO was founded by Mr. Sumiarjo Laimin in Ciklapa village, Kedungreja, Cilacap, Central Java. From the results of observations and interviews there have been several identified problems of banana skin waste from the home industry including accumulation of waste produced and absence of the further waste processing. An alternative banana skin waste management that had been applied is by converting it into biogas that can be used for fuel and for the fulfilling electrical needs in product drying process. It is expected that production efficiency can increase, production cost of sale can be scaled down and banana chips had been sparingly and ultimately the prosperity of home industry players can increase Keyword: Home Industry, Waste, Banana skin 17

26 PENDAHULUAN Home Industry merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam perekonomian Indonesia. Dalam perkembangannya usaha home industry banyak mengalami permasalahan yang cukupsignifikan baik postif maupun negatif. Perkembangan unit usaha mikro kecil dan menengah selain mempunyai dampak positif disisi lain juga menimbulkan banyak masalah. Permasalahan pada UMKM khususnya home industry ini adalah masih kurangnya iklim yang kondusif dalam usaha, produktivitas kerja yang tergolong masih rendah sehingga tingkat produksi yang dihasilkan juga rendah, modal serta jangakauan kredit lunak yang masih terbatas serta persyaratan yang terkadang terlalu sulit diakses kalangan bawah, Selain itu juga unit usaha mikro terutama jarang atau hanya satu dua yang bisa menguasai IPTEKS sehingga perkembangan usaha tergolong lambat. Salah satu permasalahan yang menimpa usaha berbasis home industry adalah permasalahan lingkungan berkaitan dengan limbah sisa hasil produksi. Upaya pengendalian pencemaran limbah di Indonesia sering mengalami banyak kendala. Sebagian dari penghasil bahan pencemar (limbah) belum melakukan pengolahan terhadap limbahnya karena masih terkendala berbagai hal diantaranya kesadaran masyarakat pelaku home industry yang rendah mengenai pentingnya pengelolaan limbah merupakan investasi jangka panjang yang harus dilakukan, disisi lain, akses mengenai informasi teknologi IPAL yang efektif dan efisien bagi pelaku home industry juga masing kurang. Karena akses informasi teknologi yang masing kurang inilah mengakibatkan kurangnya SDM yang kompeten yang menguasai teknologi pengolahan limbah (Setyono,2008). Tulisan ini memaparkan berbagai permasalahan limbah yang dapat di identifikasi dari home industry dengan limbah utama yang dihasilkan berupa kulit pisang serta kajian perencanaan yang dilakukan dalam mengelola limbah kulit pisang dari menjadi bahan bakar biogas yang kedepannya dapat dimanfaatkan oleh home industry untuk menunjang efiensi dan efektivitas proses produksi pada home industry sale dan kripik pisang. DASAR TEORI I. Limbah Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari proses kegiatan manusia(ign Suharto, 2011 :226). Setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Limbah dapat berupa tumpukan barang bekas, sisa kotoran hewan, tanaman, atau sayuran. Keseimbangan lingkungan menjadi terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi ambang batas toleransi lingkungan. Apabila konsentrasi dan kuantitas melibihi ambang batas, keberadaan limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah bergantung pada jenis dan karakteristik limbah. Sumber limbah dapat berasal dari aktifitas industri, pertanian, peternakan, rumah tangga, dan lain sebagainya. Air limbah yang berasal dari sumber yang berbeda akan mempunyai karakteristik yang berbeda pula. II. Limbah Organik Limbah organik adalah limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme. Oleh karena bahan buangan organik dapat membusuk atau terdegradasi maka akan sangat bijaksana apabila bahan buangan yang termasuk 18

27 kelompok ini tidak dibuang ke air lingkungan karena akan dapat meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam air. Dengan bertambahnya populasi mikroorganisme di dalam air maka tidak tertutuip pula kemungkinannya untuk ikut berkembangnya bakteri pathogen yang berbahaya bagi manusia. 2.1 Limbah Organik Basah Sampah yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Contohnya seperti : kulit buah dan kulit sayuran atau dedaunan. Limbah Organik Basah yang dapat dijadikan karya kerajinan adalah seperti kulit jagung, kulit bawang, kulit buah atau biji-bijian, jerami dan sebagainnya. 2.2 Limbah Organik Kering Sampah yang memiliki kandungan air cukup rendah. Seperti contohnya ialah kertas, kardus, kerang, tempurung kelapa, kayu, kulit telur dan sebagainya. Hampir semua jenis limbah organik kering ini dapat diolah kembali sebagai salah satu karya kerajinan karena memiliki sifat yang kuat serta tahan lama. Dalam pengolahan limbah organik kering ini tidak memerlukan berbagai macam persiapan, karena ini bersifat kering menjadi limbah ini dapat langsung untuk digunakan. Akan tetapi yang perlu untuk diantisipasi ialah jika bahan limbah organik kering ini terkena oleh air, maka yang nantinya dapat dilakukan adalah dengan mengeringkan menggunakan sinar matahari secara langsung atau menggunakan alat pengering sehingga kadar air di dalam limbah organik tersebut dapat kembali sesuai kondisi semula. Bahan limbah organik yang kering ini merupakan salah satu bahan baku yang nantinya bisa dibuat untuk berbagai macam produk kerajinan. III. Limbah Kulit Pisang Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Pada umumnya kulit pisang dimanfaatkan secara nyata, hanya dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan memeiliki nilai jual yang menguntungkan (Susanti, 2000). Menurut Basse (2000) jumlah kulit pisang adalah 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas. Kandungan gizi dalam kulit pisang adalah karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B, vitamin C dan air. 3.1 Pemanfaatan Kulit Pisang Umumnya buah pisang dapat dinikmati dalam keadaan segar atau olahan. Hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Begitu banyak makanan tradisional khas daerah yag memerlukan pengemasan daun pisang, sehingga ketergantungan akan pisang sangatlah tinggi. Kulit pisang juga dapat digunakan untuk melenyapkan jerawat dengan cara dihaluskan dan dibuat masker untuk malam hari (Anonim,2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Leyka Novi Agustin (2008), ternyata kulit pisang juga dapat dijadikan tepung. Hal ini membuktikan bahwa limbah kulit pisang sebagai sebstituen tepung terigu dalam pembuatan mie. Hasil analisisnya terbukti bahwa pati kulit pisang yang dapat digunakan sebagai bahan substituent tepung terigu dalam pembuatan mie adalah sebesar 20%. Beberapa penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Abbas dkk,( 2012) bahwa limbah kulit pisang dengan fermentasi metagonik sangat potensial untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar biogas untuk keperluan rumah tangga. 19

28 METODE Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara di home industry Triyanto milik bapak Sumiarjo Laimin di Desa Ciklapa Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap. Dari proses wawancara serta observasi dapat diperoleh gambaran mengenai potensi limbah yang dihasilkan oleh home industry tersebut. Dengan adanya besaran potensi limbah kulit pisang dalam sekali produksi tersebut, kemudian dibuatlah suatu kajian perencanaan pengolahan kulit pisang dengan menggunakan teknologi fermentasi limbah kulit pisang tersebut menjadi bahan bakar biogas. Potensi Bahan Bakar Biogas dari proses ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk menggantikan bahan bakar dari gas maupun yang berasal dari kayu. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari observasi dan wawancara dengan pelaku home industry Bapak Sumiarjo Laimin diperoleh gambaran awal sebagai berikut. Usaha home industry milik bapak Sumiarjo Laimin menggunakan rumah sebagai tempat usahanya. Temapt usahanya berada di Desa Ciklapa, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap. Usaha home industry nya diberi nama Triyanto. Nama ini dipakai karena sesuai dengan nama dari putra kedua bapak Sumiarjo. Home industry ini didirikan pada tanggal 20 Agustus 1999 dengan produk utama berupa sale dan kripik pisang. Salah satu permasalahan yang di alami oleh home industry Triyanto adalah banyak jumlah limbah kulit pisang yang tidak diolah dengan baik sebagai hasil samping dari usaha kripik dan sale pisang. Selain itu, home industry terkadang juga mengalami kesulitan dalam mengelola produknya. Kesulitan yang pertama biasanya karena kesulitan untuk mendapatkan bahan bakar elpiji yang digunakan untuk proses penggorang produk. Kesulitan yang kedua adalah diakibatkan oleh cuaca. Apabila cuaca sering mendung atau tidak tersedia panas dari sinar matahari maka banyak produk yang tidak bisa dikeringkan, sehingga banyak produk yang dibuang karena muncul jamur akibat tidak adanya panas sinar matahari untuk mengeringkan produk tersebut. Dari dua permasalahan tersebut dapat berikan solusi untuk mengatasinya yakni dengan memanfaatkan potensi limbah kulit pisang tersebut menjadi bahan bakar biogas. Untuk melaksanakan konsep ini dilakukan dalam tiga tahap yakni tahap sosialisasi, pelaksanaan, evaluasi serta rekomendasi. 1. Tahap Sosialisasi Tahap sosialiasi yakni mulai memperkenalkan konsep bahan bakar biogas terhadap pelaku home industry. Sosialisasi ini meliputi pentingnya kesadaran lingkungan dan kepedulian lingkungan, Bahaya membuang limbah tanpa pengolahan terlebih dahulu, Sosialisasi tahap selanjutnya adalah memperkenalkan bahan bakar biogas,jenis dan macam dari biogas, upaya memberi pemahaman kepada pihak home industry untuk memulai konversi dari yang sebelumnya menggunakan kompor berbahan bakar elpiji untuk untuk beralih menggunakan bahan bakar berbasis biogas. Sosialisasi juga mencakup keuntungna keuntungan apabila home industry tersebut beralih dari bahan bakar elpiji ke bahan bakar biogas. Tahap sosialisasi ini melibatkan pihak pihak seperti tim ahli dari Kementrian Koperasi dan UMKM, Pihak Dinas Perindustrian (Disperindagkop), serta pihak akademisi (Dosen atau Mahasiswa) yang kompeten dalam hal ini. 2. Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan, dilakukan kajian perencanaan dan pembuatan instalasi rekator sederhana untuk memproduksi bahan bakar biogas dari limbah kulit pisang.bahanbaku utama yakni limbah kulit pisang t diproses menjadi biogas. Selain 20

29 biogas untuk produk utamnaya, munculnya produk samping dari sisa pengolahan biogas juga memiliki potensi sebagai pupuk organic untuk tanaman pisang. Secara umum proses produksi biogas dapat dilihat pada diagram 1. Secara umum limbah kulit pisang mengandung beberapa senyawa seperti protein lemak,lignin, protein, lemak dan senyawa-senyawa lainnya (Khaidir, 2016). Selain itu juga proses penguraian kulit pisang menjadi agak lama disebabakan karena danyaa kandungan lignosellulosa yakni polimer-polimer yang terdapat dalam limbah seperti kulit pisang, jermai, pelepah, pisang dsb. Adanya lignosellulosa menyebabkan limbah resisten terhadap proses degradasi biologik dari bahan-bahan tersebut (Made,2014) Gambar 1 Diagram proses degradasi limbah kulit pisang menjadi senyawa gas metan (Khaidir,2016) Secara umum proses degradasi limbah kulit pisang dalam reactor sederhana yakni dengan fermentasi bertahap dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme diperoleh dengan memanfaatkan adanya limbah kotoran hewan baik kotoran sapi, kotoran kuda ataupun kotoran yang sejenisya. Proses fermentasi pertama mengubah menjadi asam lemak. Dari asam lemak kemudian difermentasi lebih lanjut menghasilkan CO 2. Dari senyawa CO 2 dan oksigen kemudian difermantasi dengan bakteri metan hingga diperoleh gas metan yang langsung dapat digunakan sebagai bahan bakar. Reaktor atau tempat fermentasi limbah kulit pisang untuk keperluan rumah tangga harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya. pertama, tersedianya jenis dan bahan konstruksi yang dapat dipakai untuk membuat unit penghasil bahan bakar biogas. kedua, adanya jenis bahan organik buangan sebagai bahan isian dalam hal ini limbah kulit pisang, ketiga, jumlah kebutuhan dasar akan energi dari suatu keluarga atau kelompok masyarakat dan keempat, jenis keperluannya, pemanfaatan bahan keluaran yang berupa lumpur untuk dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman (Taufiqurahman, 2011). 21

30 Tabel 2. Persen komposisi gas pada biogas Sumber: ( Meylinda,t.t) Tabel 3. Persen rata-rata kebutuhan gas yang dari biogas yang diperlukan oleh setiap rumah tangga Sumber: (Meylinda,t.t) Besarnya biogas dengan pengumpamaan 1 m 3 biogas dapat menghasilkan listrik setara dengan 6000 KwH. Besaran ini setara dengan setengah liter minyak diesel ( Meylinda,t.t). Potensinya besarnya biogas untuk mnegganti bahan bakar fosil atau non terbarukan dapat dilihat dalam tabel 3. Sama seperti dengan gas gas yang lain, Biogas dapat digunakan dengan oksigen (O 2) untuk keperluan rumah tangga. Hanya perlu diperhatikan, agar dapat menghasilkan pembakaran yang optimum, adanya gas gas lain yang terbentuk pada saat fermentasi seperti hydrogen sulfide (H 2S) berpotensi menyebabkan terganggu proses pembakaran biogas. Tabel 3. Perbandingan Biogas dengan Bahan Bakar lain Peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan reaktor biogas sebagai berikut: Drum ukuran 220 liter sebanyak 2 buah, Drum ukuran 35 liter sebanyak 2 buah, Pipa Galvanis ukuran 5 inchi sepanjang 30 cm, Pipa ukuran ½inchi sepanjang 30 cm sebanyak 3 buah, Stop kran ½inchi sebanyak 2 buah, Selang plastik/karet gas panjang 3 meter sebanyak 1 buah, Plat besi 3 mm 50x30 sebanyak 1 buah, Kompor gas 1 buah. Rancangan peralalatan untuk plant biogas bisa dilihat pada gambar 2. 22

31 Gambar 3. Penggunaan Reaktor biogas untuk keperluan memasak Pengoperasian Plant Biogas untuk mendapatkan adalah sebagai berikut: 1. Buat Campuran limbah kulit pisang dengan limbah kotoran sapi atau kotoran ayam (A). 2. Buatlah campuran limbah kotoran (A) dengan air dengan perbandingan 1:1 (B) 3. Masukkan limbah campuran dengan perbandingan (B) kedalam reactor biogas (drum) sebanyak 2000 liter. Selanjutnya yang terjadi adalah proses fermentasi yang menghasilkan biogas. 4. Setelah 8-10 hari reaktor penampungan maka reaktor biogas dan reaktor penampungan gas mulai mengembang dan mengeras karena biogas mulai dihasilkan. 5. Sesekali agar plant biogas agar digoyangkan supaya fermentasi dapat berlangsung secara sempurna. selanjutnya untuk input bahan baku bisa dilakukan setiap dengan dengan volume liter per hari. Gambar 2. Rancangan Plant sederhana untuk biogas (Meylinda,t.t) 23

32 3. Tahap Monitoring, Evaluasi dan Rekomendasi Tahap ini merupakan tahap final saat proses pemnfaataan limbah kulit pisang sudah dimulai. Kegiatan monitoring dilakukan untuk memantau progress serta perkembangan dari pelaksanaan dari penggunaan limbah kulit pisang sebagai bahan bakar biogas. Kegiatan Evaluasi dilakukan denga mengidentifikasi kekurangan serta berbagai permsalahan yang timbul setelah pelaksanaan penggunaan limbah kulit pisang. Rekomendasi diberikan kepada pihak pelaksana dalam hal ini pelaku home industry berupa masukan, solusi terhadap masalah yang timbul serta alternatif-alternatif lain yang sekiranya dapat meningkatkan efektivitas penggunaan bahan bakar biogas tersebut. KESIMPULAN Dari paparan dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu upaya untuk meminimalisir pencemaran limbah kulit pisang dari home industry sale dan kripik pisang adalah dengan konsep mengelola dan mengkonversi limbah tersebut menjadi bahan bakar biogas yang dapat digunakan oleh pihak atau pelaku home industry Triyanto tersebut. Berdasarkan paparan mengenai jumlah keuntungan dan potensi yang dihasilkan, rekomendasi diberikan kepada pihak home industry Triyanto untuk mulai menggunakan atau beralih ke bahan bakar biogas. DAFTAR PUSTAKA Abbas dkk.pengaruh penambahan limbah kulit pisang terhadap terhadap produksi gas metan dalam fermentasi metanogenik kotoran ternak. Buletin Peternakan vol 36 (2) Juni 2012 Anonim Limbah Pisang pun Dapat Diolah Menjadi Makanan. one/574/. Diakses Tanggal 15 Juni 2017 Gunamantha, Made dan Ni Wayan Yuningrat Studi Potensi Biogas Dari Sampah Daun Pisang Melalui Penguraian Secara Anaerobik. Jurnal Vol. 3, No. 1, April 2014 Khaidir Pengolahan Limbah Pertanian Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Jurnal Agrium 13(2), September Hlm Mulyati, Meylinda. Desain Alat Biogas Dari Kotoran Sapi Skala Rumah Tangga. staf pengajar di Jurusan Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknik Musi Palembang.t.t Noviagustin, Leyla dkk Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Sebagai Subtituen Tepung Terigu dalam Pembuatan Mie. doc / /Kulit-Pisang-tgl Diakses Tanggal 5 September Setyono dan Satmoko Yudo.Dampak Pencemaran lingkungan akibat pencemaran limbah Industri Pengolahan Air Ikan ( Studi Kasus dipengolahan ikan 24

33 Muncar).Peneliti Pusat Teknologi Lingkungan BPPT. JAI Vol 4 No Suharto.Ign. (2011). Limbah Kimia dalam Pencemaran Air dan Udara. Yogyakarta : CV. Andi Offset.,modul PLI Susanti, Lina Perbedaan penggunaan jenis kulit pisang terhadap kualitas nata Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang. Taufikurrahman. Rancangan Desain Pemilihan Reaktor Biogas. Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Sriwijaya Jln. Srijaya Negara Bukit Besar Palembang Teknika, Vol. XXX, No.1, April

34 MANAJEMEN PENGELOLAAN LIMBAH PADAT DI RSUD PETALA BUMI PEKANBARU RIAU SOLID WASTE MANAGEMENT AT PETALA BUMI PUBLIC HOSPITAL IN PEKANBARU RIAU Nila Puspita Sari 1), Erwin Elfiansyah 2), Angki Irawan 3), Hetty Ismainar 4) STIKes Hang Tuah Pekanbaru 1),2),3),4) Doctoral Student of Public Health Faculty, Diponegoro University 4) Korespondensi 4) Abstrak Tujuan: Mengetahui manajemen pengelolaan limbah padat dilihat dari aspek Sumber Daya Manusia, Standar Operasional Prosedur dan Sarana Prasarana. Metode: Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik.teknik pengumpulan data dengan triangulasi (wawancara, observasi dan arsip). Informan diambil secara purposive (purposive sampling). Penelitian dilaksanakan di RSUD Petala Bumi Kota Pekanbaru Riau selama bulan April-Juli Analisis data mengikuti alur proses induktif-verifikatif. Hasil: Sumber daya manusia di unit ini terdiri dari 17 orang dan 2 orang pengawas. Proses pelatihan tentang pengelolaan limbah padat sudah dilakukan meski hanya berbentuk sosialisasi. Prosedur pengelolaan limbah padat di lakukan beberapa tahapan: proses pemilahan dan pengumpulan, proses pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Proses pemilahan limbah padat medis dan non medis belum sesuai dengan ketentuan. Untuk pemusnahan sampah medis dan non medis dilakukan kerjasama dengan pihak ke-3 (outshorching). Ketersediaan sarana dan prasarana masih terdapat kekurangan trolly pengangkut, jalur evakuasi limbah dan kurangnya tempat pembuangan limbah sementara. Kata kunci: limbah padat, rumah sakit Abstract Objective: to know the management of solid waste from the human resources, standard operating procedures and insfrastructure. Method: Qualitative study with descriptive analytic. Data collection is used triangulation (interview, observation, and archieve). Informans taken as purposive sampling at RSUD PetalaBumi, Riau from April until July Data analysis subscribe to inductive-verifikative process. Result: Human resources unit consists of 17 employees and 2 supervisors. The training process has been done even if it was only in socialization. Solid waste management procedures had some process such as sorting and collecting, relocation, transportation and final disposal. Sorting process of solid waste medical and non medical still not based on criteria. The destruction of the solid waste are conducted by an outshorching. The availability of facilities and infrastructure are still in a shortage such as trolly carrier, evacuation routes of waste and the less numbers of any waste disposal. Keywords : Solid Waste, Hospital 26

35 PENDAHULUAN Limbah rumah sakit dapat didefinisikan sebagai total aliran limbah padat maupun cair yang dihasilkan dari perawatan kesehatan. Limbah kesehatan biasanya terdiri dari benda tajam, jaringan manusia atau hewan atau bagian tubuh, cairan tubuh dan bahan infeksi lainnya yang dihasilkan selama pengobatan (Banstola et al, 2017). Jumlah limbah rumah sakit yang dihasilkan (dalam kg/tempat tidur /hari) di rumah sakit umum adalah sekitar 4,5 di Amerika Serikat, 2,7 in Belanda, 2,5 di Inggris, dan 2,5 di Perancis. Namun, berada di kisaran 2,63-3,8 kg/tempat tidur/hari di Negara-negara Amerika Latin, seperti: Chile, Brazil, Argentina, Venezuela (Anand and Satpathy, 2000). Menurut WHO, negara berpenghasilan tinggi menghasilkan sampai 6 kg limbah berbahaya per orang per tahun, dan di sebagian besar negara berpenghasilan rendah,total limbah perawatan kesehatan per orang per tahun adalah dari 0,5-3 kg (WHO, 2000). Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah Sakit sebesar ton per hari dan produksi air limbah sebesar ,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi rumah sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit. Rumah sakit juga memiliki kemungkinan membawa dampak negatif. Dampak negatifnya dapat berupa pencemaran dari suatu proses kegiatan, yaitu bila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik. Dokumen kebijakan WHO (2004) menyatakan bahwa, pada tahun 2000, suntikan dengan jarum suntik yang terkontaminasi menyebabkan 21 juta hepatitis B virus (HBV) (32% dari semua infeksi baru), 2 juta infeksi virus hepatitis C (HCV) (40% dari semua infeksi baru), dan infeksi HIV (5% dari semua infeksi baru) di seluruh dunia (WHO, 2004). Pengolahan sampah padat sangat dibutuhkan bagi kenyamanan dan kebersihan lingkungan rumah sakit karena dapat mencegah timbulnya masalah kesehatan (Line, 2013). Untuk pengelolaan limbah padat di rumah sakit perlu manajemen yang baik. Survei untuk penelitian ini dilakukan di rumah sakit terbesar di kota besar Pakistan. Rumah sakit dianalisis secara menyeluruh mulai untuk menghitung limbahnya menurut kategori (Ali et al, 2016) Penilaian limbah padat rumah sakit secara teratur ditandai oleh sejumlah besar kriteria yang diketahui baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kriteria kualitatif hanya dapat dinilai berdasarkan penilaian manusia, yang diduga melibatkan berbagai ketidakpastian seperti ketidakjelasan dan ketidaktahuan. Oleh karena itu, penilaian limbah padat rumah sakit perlu dianalisis dan dimodelkan dengan menggunakan pendekatan yang dapat mengatasi ketidakpastian. Pendekatan Evidence Reasoning (ER) dapat digunakan untuk analisis semacam itu (Abed et al, 2012). RSUD Petala Bumi merupakan rumah sakit pemerintah dengan jumlah tempat tidur 120 bed. Rata-rata BOR (Bed Occupancy Rate) adalah 59,75%. Berdasarkan survei pendahuluan terdapat permasalahan diantaranya masih rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Terjadi perubahan kualitas terhadap SDM pada tahun 2017 sehingga kinerja petugas pengelola limbah belum cukup baik dengan tingkat pendidikan petugas yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan SMA/ sederajat. Selain itu masih ada petugas yang bekerja tidak sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, misalnya banyaknya petugas yang bekerja tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) dan bekerja sesuai Standar Operasional Prosedur yang ada. Pada penelitian ini, peneliti lebih memprioritaskan pengelolaan limbah padat rumah sakit pada system pengelolaan manajemennya yaitu: Sumber Daya Manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, infrastuktur serta standar prosedur operasionalnya. METODE Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik. Teknik pengumpulan data dengan triangulasi (wawancara, observasi dan arsip). Instrumen penelitian menggunakan panduan wawancara mendalam dengan informan, lembar obseravasi dan pengumpulan 27

36 dokumen terkait serta alat rekaman. Informan diambil secara purposive (purposive sampling) antara lain: Penanggung Jawab Kesehatan Lingkungan. Operator IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan anggota Petugas Pengolahan Limbah Rumah Sakit. Penelitian dilaksanakan di RSUD Petala Bumi Kota Pekanbaru Riau selama bulan April- Juli Analisis data mengikuti alur proses induktif-verifikatif. Pemaparan hasil berupa transkrip kutipan wawancara dan hasil observasi bersifat narasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Daya Manusia (SDM) Untuk pengelolaan limbah padat yaitu sampah dikelola oleh dua orang yaitu limbah cair dikelola oleh satu orang dan limbah padat diserahkan pihak outsourcing yang telah bekerja sama dengan RS. Jumlah tenaga pengelolah limbah/outsourcing adalah 17 orang cleaning service dan 2 pengawas. Untuk tenaga cleaning service sudah cukup tetapi jika pasien penuh kerja ekstra. Setelah mereka lulus kontrak, mereka kita beri sosialisasi dulu apa saja SOP yang ada. Pihak rumah sakit tidak memberi pelatihan karena bukan pegawai tetap, hanya diberikan sosialisasi saja. Pelatihan khusus pengelolaan limbah padat hanya berupa pemantauan pekerjaan saja. Sumber Daya Manusia pengelola limbah rumah sakit harus memiliki tenaga sanitarian dengan kualifikasi pendidikan D3 Sanitarian. Karena sangat diperlukan untuk pengetahuannya dalam bekerja mengelola limbah di rumah sakit (Permenkes RI,2015). Jika dilihat, masalah utama pengelolaan sampah di RS ini terdapat pada input yaitu dalam perencanaan SDM serta keuangan dan pada proses yaitu dalam prosedur pelaksanaan pengelolaan sampah. Dalam perencanaan SDM, belum dilakukan perencanaan tentang jumlah kebutuhan SDM pengelola sampah dan kualifikasi SDM dalam mengelola sampah rumah sakit. Jumlah pengelola sampah masih terbatas jika pasien atau pengunjung banyak juga pengelolahan limbah padat harus dilakukan pelatihan yang secara terus menerus dan dipantau karena petugas yang cukup dan keahlian petugas sangat penting untuk dapat mengelola sampah secara tepat (Jonidi et all, 2010). Dengan adanya pelatihan dapat merubah pengetahuan, sikap petugas sehingga berdampak baik bagi system pengelolaan limbah ini (Kumar et al, 2015). Hal ini dapat ditingkatkan dengan dukungan manajemen rumah sakit dengan mengalokasikan anggaran yang tepat untuk pelatihan ini secara berkala (Chethana et al, 2014). Model pelatihan untuk bahaya infeksi pengelolaan limbah dapat di adopsi pada pedoman manual WHO (Pruss, 1999, Chartier, 2014, Chethana, 2014) Standar Operasional Prosedur (SOP) Bentuk SOP sendiri sudah terlampir pada prosedur kerja unit pengelolaan. Pihak rumah sakit berfungsi untuk proses controlling dan monitoring. Aplikasi SOP yang ada sudah di sosialisaikan kepada petugas pengelolaan berupa pertemuan terkait aplikasi standar tersebut. Hanya saja dalam pelaksanaan dan observasi yang dilakukan, beberapa petugas belum menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai standar yang ditetapkan. Seperti penggunaan masker, sarung tangan dan sepatu boot. Adapun bentuk SOP dalam pengelolaan limbah padat dilakukan pemilahan sampah menjadi 2 kategori, yaitu sampah medis dan sampah non medis. Pemindahan dilakukan oleh petugas cleaning service, pada sampah medis, sampah diambil beserta kantong plastik kuning tanpa diikat terlebih dahulu langsung dimasukkan ke dalam troli terbuka, Pengangkutan sampah medis dan non medis dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi dan siang hari dibawa ke Tempat Penampungan Sementara (TPS). Kemudian proses pengangkutan dilakukan oleh mobil truk pengangkut khusus sampai pada pembuangan 28

37 akhir yang ditetapkan. Untuk pemusnahan dilakukan kerjasama dengan pihak ke-3 (outshorching). Banyak rumah sakit yang mempunyai alat canggih sebagai sarana pengolah limbahnya. Hal ini diakui membawa konsekuensi besarnya biaya pengadaan dan operasional yang harus dikeluarkan. Mengirimkan limbah yang dihasilkan untuk diolah di rumah sakit lain merupakan salah satu cara meminimalisasi biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan limbah. Setiap perusahaan konstruksi harus memiliki SOP yang mengatur dan juga mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerja, mesin, alat, maupun APD (Depkes RI, 2014). Pemilahan limbah rumah sakit dilakukan pada setiap sumber dan ruangan instalasi yang berpotensi menghasilkan limbah. Pemilahan dilakukan berdasarkan parameter yang sudah ditentukan yang digolongkan dalam limbah berbahaya dan limbah tidak berbahaya. Pemilahan dapat dilakukan oleh petugas medis (dokter dan perawat) dan petugas nonmedis (tekhnisi/ praktisi) yang memiliki pengetahuan tentang limbah berbahaya. Hasil pemilahan harus di dokumentasikan dan dibuat petunjuk pelaksanaan penanganannya yang harus ditempel pada ruangan instalasi yang berpotensi menghasilkan limbah (Kepmenkes, 2004). Menurut Adisasmito (2008) rumah sakit mempunyai berbagai cara dalam mengolah limbah, namun hal ini membawa konsekuensi besarnya biaya pengadaan dan operasional yang harus dikeluarkan. Adapun saran pengolahan limbah padat tersebut adalah melalui pewadahan dan pemilahan pada sumber, pengumpulan, pemindahan pada trolli bak pengangkut sampah, pengangkutan, pemilahan, pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Selaras dengan penelitian Dewata (2016) yaitu semua kegiatan pengelolaan sampah medis RSUD Lubuk Sikaping diantaranya: pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pemisahan/ pembuangan akhir. Untuk proses prosedur pengolahan limbah di rumah sakit ini masih belum sesuai dengan standar yg ditetapkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian di RS sub metropolitan Nepal (Banstola et al, 2017), Tidak ada mekanisme terpisah untuk penanganan limbah medis yang tepat. Harus ada sistem pengelolaan limbah terpadu dan sistem pengelolaan limbah terpusat, limbah medis yang berbahaya (Hinshaw et al, 2001 and Philips et al, 2001). Sebagian besar limbah, terutama limbah padat rumah sakit yang telah berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan, tidak dikelola dengan baik sesuai standar prosedur dan peraturan lingkungan yang ada (Karamouz, et al and Felicia and Sally, 2007) Sarana dan Prasarana Untuk peralatan pemilahan limbah padat non medis seperti tong sampah, plastic sesuai warna sudah tersedia. Untuk peralatan limbah pada medis seperti safety box, needle pit sudah tersedia. Hanya untuk incinerator crusher dan incinerator tidak tersedia. Untuk sarana pengangkutan limbah masih kurang seperti trolly medis hanya satu yang seharusnya di setiap lantai harus ada trolly tersebut sehingga memudahkan petugas untuk pengambilan sampah. Sampah padat yang dihasilkan sekitar 30 kg perhari. Terdapat tempat pembuangan sampah sementara dan memiliki kapasitas untuk 200 kg. Sampah diolah dan di angkut oleh pihak ketiga dari tempat pembuangan sampah sementara. Pengangkutan sampah ini pun diangkut pihak ketiga setelah pihak ketiga memberi kabar ke operator IPAL kalau pihak ketiga ini akan mengambil sampah tersebut. Limbah padat rumah sakit terdiri atas botol obat, jarum suntik, kaleng infus, jeriken sisa bahan kimia dan sejumlah sisa peralatan medis serta organ-organ tertentu limbah operasi. Limbah ini dapat mencemari lingkungan apabila tidak dilakukan pengolahan. Pengolahan limbah padat ini dapat dilakukan oleh Rumah Sakit atau Pelayanan Medis sendiri maupun dapat dilakukan pengolahan oleh pihak ketiga. Pengolahan limbah padat 29

38 rumah sakit pada umumnya dilakukan dengan pembakaran dengan peralatan Incinerator (Sumada, 2012). Penanganan yang baik, usaha ini dilakukan rumah sakit dalam menjaga kebersihan lingkungan. Pengelolaan bahan (material inventory) adalah suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol PENUTUP Sumber daya manusia di unit ini terdiri dari 17 orang dan 2 orang pengawas. Proses pelatihan tentang pengelolaan limbah padat sudah dilakukan meski hanya berbentuk sosialisasi. Prosedur pengelolaan limbah padat di lakukan beberapa tahapan: proses pemilahan dan pengumpulan, proses pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Proses pemilahan limbah padat medis dan non medis belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk pemusnahan dilakukan kerjasama dengan pihak ke-3 (outshorching). Ketersediaan sarana dan prasana masih terdapat kekurangan trolly pengangkut, jalur evakuasi limbah dan kurangnya tempat pembuangan limbah sementara. Diharapkan harus terintegrasinya sistem pengelolaan limbah padat terpusat yang dikelola oleh pemerintah ataupun pihak swasta. Untuk penanganan dan pembuangan bahan limbah padat sesuai dengan standar dan kebijakan yang berlaku. Tindakan pengelolaan sampah yang baik perlu diimplementasikan sehingga masalah pengelolaan limbah padat ini dapat teratasi dan tidak mencemari lingkungan DAFTAR PUSTAKA Abed-Elmdoust, A., & Kerachian, R. (2012). Regional Hospital Solid Waste Assessment Using the Evidential Reasoning Approach. Science Of The Total Environment, DOI: /j.scitotenv Adisasmito, W. (2008). Audit Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ali, M., Wang, W., & Chaudhry, N. (2016). Application of life cycle assessment for hospital solid waste management: A case study. Journal Of The Air & Waste Management Association (Taylor & Francis Ltd), 66(10), DOI: / Anand R.C. and Satpathy Sidhartha. (2000) Hospital Waste 1. Management A Holistic Approach. Jaypee Brother Medical Publishers (P) Ltd., New Delhi, 2000, Second Edition 200: Banstola D, Banstola R, Nepal D, Baral P (2017) Management of Hospital Solid Wastes: A study in Pokhara Sub- Metropolitan City. Journal Of Institute Of Medicine [serial online]. April 2017;39 (1): Available from: Academic Search Complete, Ipswich, MA. (Accessed September 20, 2017) Chartier Y, Emmanuel J, Pieper U, Pruss A, Rushbrook P, Stringer R.(2014) Safe management of wastes from health-care activities. Geneva: World Health Organization;. Chethana T, Thapsey H, Gautham MS, Sreekantaiah P, Suryanarayana SP. (2014), Situation analysis and issues in management of biomedical waste in select small health care facilities in a ward under Bruhat Bengaluru Mahanagara Palike, Bangalore. India J Community Health. 2014;39(2): Depkes RI, (2014). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dewata, I (2016), Analisis Sistem Pengelolaan Sampah Medis Padat RSUD Lubuk Sikaping Kabupaten Pasaman). Pusat Penelitian Kependudukan, Lingkungan Hidup dan Kebencanaan Universitas Negeri Padang. Felicia, N. And Sally, M., (2007). Hospital solid waste management practices in Limpopo 30

39 Tehran Africa. Journal of waste Management, 27, pp Hinshaw GD., Trenholm AR. (2001) Hazardous waste, Incineration Emission in Perspective. Waste Management p; 21: Jonidi, A., Jafaripour, A.R., & Farzadkia, M. (2010). Hospital Solid Waste Management in Qom hospitals. Journal Of School Of Public Health & Institute Of Public Health Research, 8(2), Karamouz, M., Zahraie, B., Kerachian, R., Jaafarzadeh, N., & Mahjouri, N. (2007). Developing a master plan for hospital solid waste management: A case study. Waste Management, 27(5), DOI: /j.wasman Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit Kumar, R., Somrongthong, R., & Shaikh, B. T. (2015). Effectiveness of intensive healthcare waste management training model among health professionals at teaching hospitals of Pakistan: a quasi-experimental study. BMC Health Services Research, 15(1), 1-7. doi: /s Line, D dan Sulistyorini, L. (2013). Evaluasi Sistem Pengolahan Sampah di Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan Banyuwangi. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.7 No.1 Hal (diakses tanggal 2 April 2017) Philips PS., Pratt RM., Pike K (2001) An analysis of UK waste. minimization clubs: key requirements for future cost effective developments. Waste Management. 2001; 21: Pruss A, Giroult E, Rushbrook P. 1999, Safe manangement of wastes from healthcare activities. Geneva: World Health Organization; Sumada, K (2012). Pengolahan Limbah Rumah Sakit, Jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur WHO;(2000),. Wastes from Health Care Activities, Fact sheet 2. No. 253 WHO;(2004) Health Care Waste Management, Policy Paper, 6. August 2004 Yunizar, A. (2014). Sistem Pengelolaan Limbah Padat Pada RS. Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. An-Nadaa Vol 1 No. 1 Hal (diakses tanggal 12 Mei 2017). 31

40 IMPACT OF JAKARTA BAY RECLAMATION PROJECT ON THE MARINE WATER AND COASTAL ZONE Eko Susanto National Nuclear Energy Agency-BATAN, Center for Applied Nuclear Science and Technology, Tamansari 71, Bandung Indonesia Abstract The coastal zone is a unique and valuable area that interests mankind. This can be proven from the population growth along the coastal zone. However, human are threatening the coast in the name of urban development. Coastal reclamation as one of the human activities on coast has been studied in this research. Reclamation can provide both positive and negative effects for society and the coastal and marine ecosystems. The positive impact of reclamation activities include the improvement of quality and economic value of coastal areas, reducing the land that is considered less productive, the addition of territory and protection of coastal erosion. The environmental impacts on the study area are mainly a decline in water quality, disturbance of coastal zone, permanent loss of natural resources as well as changing of local socio-economy of the locals. Relevant control and protection measures had been taken to minimize impact on the environment. A soft approach is preferable in this case. Planning contribution for this solution can be found in setback control, greenbelt other than engineering solution. Keywords: Reclamation, Coastal Zone, Impact, Jakarta bay Introduction Most of big cities in Indonesia are located in coastal areas, having large populations and rapid growth economic activities. Often, available land is not able to support growth and development of the city, i.e. level of need and growth of such settlements, industrial sites, offices and shopping centers and tourisms. In order to accommodate the increasing and diverse need of space for development, the coastal areas under rapid exploitation and construction are often associated with intensive reclamation activities, which have various effects on marine and coastal ecosystems with degrees varying with respect to the reclamation phase and function (Shen et al., 2016; Feng et al., 2014; Wang et al., 2010). The large-scale reclamation required is expected to have very large impact on the marine environment. With rapid urbanization and soaring land prices, many coastal cities have turned their eyes to the ocean and built airports or factories on reclaimed land. However, sea land reclamation activities have brought about serious environmental impacts. The major impacts: ecosystem damage and geological disasters, and the deterioration of marine environmental quality resulting from polluted air, water, soil, and sediment (Duan and Zhang et al., 2016). The main purpose of Jakarta bay reclamation project is creating new land for urban development plans: These may range from residential and cultivation purposes to major development projects such as tourism, individual/commercial business ventures, wharf age and other infrastructural improvement. The large-scale reclamation required is expected to have very large impact on the marine environment. Therefore, it is particularly important to carry out studies to minimise the effect of reclamation on the marine environment. Recent studies have focused on the impact of reclamation on the marine environment. Human activities have made severe complicated impact on marine ecosystem recently. The large-scale reclamation can be expected to have negative effects on the marine environment, and these effects vary depending on the reclamation techniques used. The creation of the artificial island with the underwater explosion sediment removal technique would greatly impact the marine 32

41 environment (Hua-Kun Yan and Nuo Wang et al., 2013). The data collection is mostly done through literature study. After a review of literature, general information on coastal reclamation phenomena and its impact on the environment are identified. The focus of this study will be the adverse effects of coastal reclamation work on nature and the environment. Specific Aims & Short Term Objectives Short Term Goals: The research of impact Jakarta bay reclamation project on the marine water and coastal zone can used by government to increased development policy. While reclamation on coast may be economically advantageous for coastal cities, it definitely can threaten coastal resources. However, it does not imply that reclamation activities should be totally stopped. Present the phenomena of coastal reclamation and its effects on the environment as well as planning consideration of such impacts from the reclaim development on coast. Related to the aim of study, the overall research has the following objectives: Identify the general issues and problems associated with coastal. Reclamation in Jakarta bay reclamation project. It is essential to understand the phenomena and issues arising from coastal reclamation in general. Identify the effects of coastal reclamation on nature and environment. The environmental effect as a premier issue is drawn from the many impacts resulted from coastal reclamation activities by content analysis. Identify and study the impact of reclamation development on environment at the chosen site of case study. Analyze and highlight the importance of environmental consideration in planning coastal reclamation project. Analyze and summarize the data in the case study. Incorporate the planning considerations in coastal reclamation development for the purpose of overcoming the adverse impact on the environment without compromising the development process in order to achieve sustainable development. Analysis Characterization of land reclamation activities in Jakarta Bay Jakarta bay is geographically defined by the capes of Tanjung Krawang to the east and T. Jawa to the west. Several fluvial systems (notably Sungai Angke, S. Sunter, S. Ciliwung, S. Bekasi and S. Cikarang with a combined catchment area of c km 2 discharge into the central sector of the bay. Two larger systems, S. Cisadane and S. Citarum, with catchments totaling 6000 km 2, discharge peripherally from T. Jawa and T. Krawang. The lower reaches of S. Angke, S. Sunter,. S. Cakang and S. Ciliwung are canalized, and form an integral part of the stormwater and sewage transport system within Jakarta s urban centre (Williams and J Rees et al., 1997). The bay is exposed to high pollution load transported in from up-land region by 13 rivers i.e., Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang Krukut and Sunter (Arifin, 2004). Jakarta is the capital and largest city of Indonesia and the country's economic, cultural and political center. Urban development and infrastructure is not ready for such rapid growth in population; putting huge pressure on the urban environment and leading to problems such as: (1) land subsidence, due to rapid urbanization along with severe over extraction of groundwater, (2) flood, due to the conversion of half the city s small lakes into residential or commercial areas, (3) traffic congestion and air pollution, due to smoke and carcinogenic gasses emitted by the innumerable vehicles in the city, (4) waste problems, due to waste open dumping and burning and (5) poor sanitation creating serious health threats. The Special Capital City District of Jakarta has planned to transform Jakarta into a big city in the future by changing its coastal line to about 8 km toward the sea from 33

42 its existing position. It is planned that Jakarta will become a Water Front City, covering the area of 5 km to the land side and 8 km to the sea side along its coastal line. An overview of the plan area of North-Jakarta is shown in Fig. 1 Fig 1 : An overview of the plan area of North-Jakarta Land reclamation is the gain of land from the sea, or wetlands, or other water bodies. It is also the restoration of productivity or use to lands that have been degraded by human activities or impaired by natural phenomena. The process of reclamation includes maintaining water and air quality, minimizing flooding, erosion and damage to land properties, wildlife and aquatic habitats caused by surface mining. The final step in this process is often topsoil replacement and re-vegetation with suitable plant species. The traditional land reclamation under tidal water involves filling land (mostly sand) under tidal water to a level above the high water mark to make the land suitable for a particular purpose. Environmental impacts of Jakarta Bay Reclamation Project While the negative impact of the reclamation activities on the environment include physical effects such as changes in hydro-oceanographic, coastal erosion, sedimentation, increased turbidity, marine pollution, changes in groundwater regime, increasing the potential for flooding and inundation in coastal areas. Induced biological effects such as disruption of mangrove ecosystems, coral reefs and sea-grass beds and the decline in biodiversity, as well as some social impacts such as community activities in the region is largely coastal fish farmers, fishermen and laborers, so that the reclamation will affect the catch and impact on decline in their income. Human activities have made severe complicated impact on marine ecosystem recently. On one hand, rural life, urban life, and traditional activities in watershed areas, for example, agricultural production, affect the runoff of pollutants and nutrients into near shore waters; on the other hand, ocean-based activities, such as marine reclamations, have a direct effect on coastal zone and marine resources (Shen et al., 2016). Cumulative impact of reclamations on coastal ecosystem health Eco-system damage (1) Loss of biodiversity For benthic community, the coastal reclamations decreased benthos diversity and caused the succession of benthic community. Impact of coastal reclamations on different environmental interfaces Reclamations may weaken sediment dynamics and hydrodynamics, decrease the biodiversity, and then cause the community succession. The rapid increase of reclamation intensity has a significant impact on 34

43 marine primary productivity, which also implies the impact characteristics of coastal reclamations on phytoplankton community (Shen et al., 2015) (2) Loss of mangroves. Mangroves are characteristic intertidal plants distributed along tropical and subtropical coastlines (Tomlinson, 1986). On the process of rapid sprawling of Jakarta Metropolis around , the mangrove forests of the Cisadane River mouth have been developed resulting in severe. (3) Loss of ecosystem services value. Coastal wetlands have long provided a wealth of services to humans. The loss of ecosystem services including freshwater supply, flood control, water purification, wildlife habitat, and aquatic life preservation caused by seawall construction and land reclamation. A high concentration of suspended matter generated in the surrounding waters throughout the reclamation process imposes severe deleterious effects on fish eggs and larvae. (4) Landscape fragmentation. Landscape fragmentation in wetlands usually implies degradation of their ecological functions. It divides wetlands into isolated islands, disrupting the energy flow and nutrient cycling within the wetland (Jiang et al., 2014; Liu et al., 2014). High-density human activity is a primary cause of wetland landscape fragmentation: after reclamation, the natural meandering coastlines are often replaced by straight artificial ones, while vast patches of the natural coastal wetlands are turned into croplands or urban and industrial zones (Mulder et al., 1994; Wang et al., 2014; Jiang et al., 2014). Take for example the wetlands in the Heihe River basin; landscape fragmentation has been exacerbated by wetland reclamation and the expansion of farmland (Jiang et al., 2014) Deterioration of marine environmental quality (1) Air and water emissions. Jakarta s growing economy is increasingly concentrated in the coastal regions. However, emissionsdincluding Chemical Oxygen Demand (COD) (into water), ammonia-nitrogen (into water), SO2 (into air), and NOX (into air). (2) Water pollution Water quality of Jakarta Bay is degrading due to the water discharged by the rivers into the bay. It was reported that the polluted sea water can still be detected as far as 10 km from the coast. Water discharged by the rivers is the sources of pollutant and water quality problems around the Jakarta bay, with heavily polluted. In Muara Angke, the pollution source is fisherman s residential (slum area) near Muara Angke. In Muara Karang the source of pollutant includes industrial waste, electric power station, and industrial area in Pluit. Tanjung Priok Harbor has a source of pollutant inside its industrial port, waste dumping by ship. Sources of pollutant in Marunda are domestic waste from residential area and industrial waste in Marunda. Jakarta also has so far experienced quite frequent massive river floods in 1976, 1996, 1998, 2002 in addition to the flood in 2007 which was caused by excessive river flow and enhanced ocean tides by lunar nutation of which period is 18.6 years. The next highest tidal constituent of lunar nutation mode is expected in December Especially in February 2002, about 13% of All 13 rivers flowing into the Jakarta Bay have been narrowed more and more with the sprawling of illegal housing on the river surface or reclaimed area with garbage dumped into the river. The width of major floodway has been gradually encroached and narrowed; as a consequence, the river water level becomes higher and higher. This encroachment cause is conspicuous in the downstream 35

44 area of the river system. To make the matter worse, the large amount of floating garbage from the upper stream, Bogor, accelerates this cause together with deterioration of river water quality. (3) Land subsidence, Soil, sediment and groundwater. Land subsidence is continuing as long as groundwater is extracted. This has worsened the flood risks particularly in many venerable areas. Verstappen s study on the geological condition and the formation of Jakarta Bay pointed out that the alluvial plain bordering Jakarta Bay began to develop about 5,000 years ago. Fluvial deposition was helped by sediment carried by rivers discharging into the bay. Main causes of land subsidence are groundwater extraction and natural consolidation of alluvial soil. The other form of land subsidence near the coast, former mangrove forest, becomes very serious after the development in the west regions of Jakarta. (4) Land reclamation has also led to a deteriorating quality of costal area soil and sediment. Li et al. (2014). Offshore eutrophication, soil contaminated with heavy metals and organic pollutant concentrations, and salt marsh ecosystem degradation are the most serious environmental risks posed by coastal reclamation. Contribution of the technology to protection of the environment Reclamation provides many advantages to developing some regions. This practice gives alternative land selection for expansion of areas, the arrangement of the coast, creating alternative activities and the development of marine tourism. The reclamation of an island can withstand tidal waves that erode beaches. Instead, they can also become a sort of dam to hold the intrusion and land floods. But keep in mind also that reclamation is also as human intervention on nature and all of these activities may also bring adverse effects. Coastal areas reclamation and revitalization projects developed by the local government of Jakarta is intended to build and provide those areas to be a business and economic activity as well as elite settlements. With this initiative, the government of Jakarta and their several corporate partners intend to change the title of Jakarta to be a Water Front City. The positive impact of reclamation activities include the improvement of quality and economic value of coastal areas, reducing the land that is considered less productive, the addition of territory, protection of coastal erosion, improvement of aquatic habitat, improved hydraulic regime of coastal areas, absorbing employment. etc. While the negative impact of the reclamation activities on the environment include physical effects such as changes in hydro-oceanographic, coastal erosion, sedimentation, increased turbidity, marine pollution, changes in groundwater regime, increasing the potential for flooding and inundation in coastal areas. Induced biological effects such as disruption of mangrove ecosystems, coral reefs and sea-grass beds and the decline in biodiversity, as well as some social impacts such as community activities in the region is largely coastal fish farmers, fishermen and laborers, so that the reclamation will affect the catch and impact on decline in their income. The human-caused coastal disturbance is one of the most important factors to be considered in Jakarta bay. Human activities have led to a decline in the health of estuaries, making them one of the most threatened ecosystems on the Earth. Because coastal zone are transitional areas between the land and the sea, and between freshwater and saltwater environments, coastal zone can be seriously impacted by any number of human, or anthropogenic, activities. Improvement and revitalization of the coastal zone region might be the key point for water environment improvement in Jakarta bay. Sedimentation greatly affects the condition of 13 rivers in Jakarta and its surroundings. The 13 rivers accommodate all the waste from industries that are around the river and taken to the Bay of Jakarta. The condition of Jakarta Bay is currently much different than the conditions in the 1980s to the 1990s. The condition was noticeably different after reclamation began in the 2000s. In the 90's the sea water had not been polluted, even in the 80's the sea water 36

45 was still blue and clear. But unlike now, the sea is polluted because there are companies that stand near the shore and dump the waste directly into the sea. Healthy ecological and ecosystem conditions will ensure the sustainability of economic activities. For that reason, reclamation activities must be planned with as much as avoiding possible problems. Disturbance to the presence endemic and protected aquatic biota (endangered species). Significant reduction of the diversity, abundance and biomass of benthic organisms due to an increase in suspended solids. Damaged and the loss of plants that became a place to live for aquatic biota. Changes in animal migration patterns, the death of biota, the extinction of biota, disruption in the form of expulsion and noise to wildlife. Damage to the function of the protected habitat/ecosystem (mangroves, coral reefs, sea-grass beds, wetlands) located in the coastal waters and estuaries. Disturbance to the protected areas, so it should be considered whether the region should be preserved, revitalized or diverted its designation. Coastal waters support fish populations that constitute a significant source of protein, sustain ecosystem stability through conservation of biodiversity, mitigate climate change through carbon sequestration, act as sinks for byproducts of industrial or agricultural production, and provide recreational and aesthetic benefits (Chen and Wang et al., 2010). Considering these conditions, reclamation activities is one of the activities which are unavoidable at this point. Reclamation can provide both positive and negative effects for society and the coastal and marine ecosystems. The positive impact of reclamation activities include the improvement of quality and economic value of coastal areas, reducing the land that is considered less productive, the addition of territory, protection of coastal erosion, improvement of aquatic habitat, improved hydraulic regime of coastal areas, absorbing employment. etc. Accordingly, reclamations have made severe complicated impact on the health of marine ecosystem, further increasing the complexity and uncertainty of ecosystem based management. It is very important to understand the cumulative impact of reclamation activities on the coastal and marine ecosystem. The study development tools investigation of the cumulative impact on reclamation activities on coastal ecosystem health, so that the strategies of ecosystem-based and adaptive management can be applied in the coastal zone. (Shen and Shi et al., 2016). Countermeasures and suggestions Land reclamation has been a valuable method of increasing usable land for a variety of purposes. From a commercial perspective, reclamations have been used for residential and recreational developments. In order to minimize the adverse impact, it needs a deep assessment of the reclamation project by involving many parties with interdisciplinary science and technology support. A careful and comprehensive study of the reclamation will certainly result in an reclamation area which is secure and environmentally preserved. The impact of land reclamation on coastal environments and marine ecology is well recognized and widely studied. These impacts, however, must be fully assessed by comprehensive environmental studies and then minimized by the implementation of mitigation measures. One of the major reasons this information has not been acted on is that local governments have excessively developed their coastal areas through sea land reclamation activities. Secondarily, while a general Environmental Impact Analysis/Assessment is required to evaluate the environmental impacts of each land reclamation activity, strategic, cumulative environmental impacts (SEA) from a regional perspective are not assessed. Specifically, guidelines should be created to provide practical environmental advice to developers who plan to undertake reclamation work in coastal regions. These include information about environmental, geological, geotechnical, geohydrological, and construction aspects. The guidelines should apply to all land reclamation activities including foreshore filling in coastal areas and along rivers, canal estates, marina and port developments, coastal aquaculture developments and development occurring on coastal 37

46 floodplains. Reclamation activities should protect water and air quality, minimize flooding, erosion and other damage to land, and preserve wildlife and aquatic habitats. Meanwhile, the cost of potential damage to coastal ecosystems should be evaluated using integrated environmental and economic metrics. Damage caused by reclamation projects must be compensated to promote restoration of the ecosystems, and a compensation plan must be completed before a proposed reclamation project is approved. References cited Shen C, Shi H et al., Study on the Impact of Reclamation Activities on Ecosystem Healt in Coastal Waters. Marine Pollution Bulletin. 103: Hua-kun, Nuo Wang et al., Comparing Effect of Land Reclamation Techniques on Water Pollution and Fishery Loss for a Large-scale Offshore Airport Island in Jinzhou Bay, Bohai Sea, China. Marine Pollution Bulletin. 71: Williams, J Rees et al., Land-derived Contaminant Influx to Jakarta Bay, Indonesia. Geochemistry of Marine Water and Sediment. Vol. 1. Natural Environmental Research Council. Arifin., Local Millenium Ecosystem Assessment: Condition and Trend of The Greater Jakarta Bay Ecosystem. Research Centre for Oceanography-LIPI. Jakarta. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia Chen, Wang et al., Estimating the ecosystem Service Losses from Proposed Land Reclamation Project: A Case Study in Xianmen. Ecological Economics. 69: Torresan, Andrea et al., Desyco: A Decision Support System for The Regional Risk Assessment of Climate Change Impact in Coastal Zones. Ocean and Coastal Management. 120: Final Report, JICA Data Collection Survey on Water Environment Improvement Through Low-Cost Wastewater Treatment System in Jakarta. Hiroshima University, October Han, Q. W. Schaefer et all., Land Reclamation Using Waste as Fill Material: A Case Study in Jakarta World Academy of Science, Engineering and Technology. International Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical Engineering. Vol:7, No:6. TNA Report - Adaption for Indonesia. Duan H., Zhang et all. Characterization and environmental impact analysis of sea land reclamation activities in China. Ocean & Coastal Management. 130: Mulder, E., Bruchem et all., Environmental impact assessment on land reclamation projects in The Netherlands: a case history. Engineering Geology. 37, Tomlinson, P.B., The Botany of Mangroves. Cambridge University Press, London. Liu, S., Dong et all., Forest fragmentation and landscape connectivity change associated with road network extension and city expansion: a case study in the Lancang River Valley. Ecological Indicator. 36, Wang, W., Liu et all., Development and management of land reclamation in China. Ocean & Coastal Management. 102,

47 KEMAMPUAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM PENYERAPAN EMISI CO2 KENDARAAN BERMOTOR DI KECAMATAN MAGETAN Cahyafikry Raihan a, Prabang Setyono b, Sri Budiastuti c a Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia Telp ( ) cahyafikryraihan@yahoo.com b Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, 57126, Jawa Tengah, Indonesia c Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia Abstrak Peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah berdampak pada pertumbuhan sektor transportasi yang cepat, terutama jumlah kendaraan bermotor, dan hal itu meningkatkan emisi gas CO 2. Salah satu upaya untuk menekan gas CO 2 yaitu dengan memperbanyak jumlah ruang terbuka hijau (RTH), karena RTH merupakan rosot karbon efektif untuk mengurangi emisi CO 2. Pengukuran emisi CO 2 dilakukan untuk memperoleh beban CO 2 pada ruas jalur utama Kecamatan Magetan, disamping itu diukur pula serapan emisi CO 2 oleh RTH (Publik dan Jalur Hijau). Survei tentang emisi CO 2 diperoleh dari kendaraan bermotor di jalan utama, dan daya serap RTH diperoleh dari vegetasi eksisting. Nilai emisi CO 2 di Kecamatan Magetan sebesar kg/jam, sedangkan daya serap CO 2 berdasarkan luas dan jenis RTH (Publik dan Jalur Hijau) di Kecamatan Magetan sebesar 148,75 kg/jam. Dengan demikian kemampuan serapan RTH terhadap emisi CO 2 yang ada di Kecamatan Magetan relatif rendah. Kata kunci : ruang terbuka hijau, emisi CO 2, serapan karbon THE ABSORPTION OF CO 2 EMISSION BY GREEN OPEN SPACE Abstrack Increasing number of people in a region has an impact on the rapid growth of the transportation sector, especially the number of motor vehicles, and it increases CO 2 gas emission. One effort to suppress CO 2 gas is by increasing the amount of green open space (RTH), because RTH is an effective carbon sink to reduce CO 2 emissions. CO 2 emission measurements were performed to obtain CO 2 load on the main road of Kecamatan Magetan, besides that measuring absorbtion of CO 2 emission by RTH (Public and Green Line). The survey of CO 2 emissions were obtained from motor vehicles on the main road, and the absorption of green open space was obtained from existing vegetation. The CO 2 emission value in Kecamatan Magetan was kg/hour while the CO 2 absorption rate is based on the width and type of green open space (public and green line) in Kecamatan Magetan at kg/hour. Thus the ability of carbon sink by green space on CO 2 emissions in Kecamatan Magetan was relatively low. Keywords: Green open space, CO 2 emissions, carbon sink 39

48 PENDAHULUAN Permasalahan lingkungan hidup semakin lama semakin bertambah. Peningkatan aktivitas kota dan perkotaan seiring dengan meningkatnya populasi penduduk manusia yang terus bertambah pada dekade terakhir ini telah mengakibatkan kualitas lingkungan kota dan perkotaan terus menurun (Dahlan, 2011,p.165). Kemajuan teknologi juga membuat permasalahan lingkungan menjadi semakin kompleks. Salah satu dampaknya adalah pencemaran udara di wilayah perkotaan. Semakin bertambahnya jumlah penduduk berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah tersebut. Udara yang tercemar dapat membahayakan kesehatan manusia, kelestarian tanaman dan hewan. Penurunan kualitas lingkungan ini diakibatkan karena polusi gas karbondioksida (CO 2) yang sebagian besar dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Gas CO 2 jika terakumulasi dalam jumlah yang besar dapat berkumpul di atmosfer sehingga menyebabkan suhu udara bumi meningkat (efek gas rumah kaca). Pencemaran udara yang disertai dengan meningkatnya kadar CO 2 di udara akan menjadikan lingkungan kota yang tidak sehat dan dapat menurunkan kesehatan manusia, oleh karena itu konsentrasi gas CO 2 di udara harus diupayakan tidak terus bertambah naik dan menyebabkan efek gas rumah kaca. Efek gas rumah kaca ini jika dalam jumlah yang tidak berlebih sangat diperlukan sebagai salah satu faktor penjaga suhu bumi (Budiastuti, 2010, p.103). Salah satu cara untuk mereduksi CO 2 di daerah perkotaan adalah mengurangi emisi karbon dan membangun Hutan Kota (Dahlan, 1992 dalam Gratimah, 2014,p.1). Gas CO 2 merupakan gas rumah kaca yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap terjadinya pemanasan global karena kandungan CO 2 di atmosfer sudah berlebih (Setyono, 2015,p.153). Salah satu upaya untuk menekan konsentrasi gas CO 2 di udara yaitu dengan penambahan ruang tebuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau mempunyai tujuan dan manfaat yang besar bagi keseimbangan, kelangsungan, kesehatan, kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas lingkungan itu sendiri. RTH disebutkan juga memiliki fungsi dalam memperbaiki, mengatur dan menjaga iklim mikro atau berfungsi dalam ameliorasi iklim mikro (Irwan, 2008 dalam Pribadi, 2015,p.1) Selain itu Ruang terbuka hijau juga mampu menyerap emisi karbondioksida yang dihasilkan dari segala aktivitas yang terjadi di wilayah perkotaan Kecamatan Magetan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis luas ruang terbuka hijau publik dan mengetahui besarnya emisi karbondioksida dari aktivitas transportasi yang dapat diserap oleh ruang terbuka hijau publik yang terdapat di Kecamatan Magetan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pihak terkait dalam rangka penataan RTH dan jumlah kebutuhan RTH di Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. HASIL DAN PEMBAHASAN Beban Emisi CO2 dari Kendaraan Bermotor di Kecamatan Magetan Perhitungan jumlah kendaraan dilakukan di jalan utama yang berada di Kecamatan Magetan, ada tujuh jalan utama yang dilakukan perhitungan jumlah kendaraan. Hasil survei rata-rata jumlah kendaraan pada masing-masing ruas jalan utama dapat dilihat pada Tabel Tabel 1. Jumlah Kendaraan Rata-rata/jam Jumlah kendaraan rata-rata per jam Nama Jalan Sepeda Mobil Mobil Truk Bus Motor bensin diesel 40

49 Yos Sudarso Mayjend Sungkono A Yani Bangka Pahlawan MT Haryono Sukowati Pada Tabel 1 diketahui bahwa jenis kendaraan yang sering melintas ialah sepeda motor, jenis mobil penumpang, dan sebagian kecil truk dan bus. Komposisi jumlah kendaraan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini. 2 % 0 % 1 % Motor Mobil Bensin 19 % Mobil Diesel Bus Truck 78 % Gambar 1. Komposisi Jumlah Kendaraan Gambar 1. diatas menunjukkan bahwa kendaraan yang paling dominan di ruas jalan utama di Kecamatan Magetan ialah jenis sepeda motor sebanyak kendaraan atau sekitar 78 %, mobil penumpang berbahan bakar bensin sebanyak kendaraan atau sekitar 18,82 %, mobil penumpang berbahan bakar diesel sebanyak 110 kendaraan atau sekitar 1,71 %, Bus sebanyak 5 kendaraan atau sekitar 0,08 % dan Truk sebanyak 90 kendaraan atau sekitar 1,40 %. Perhitungan emisi CO 2 akan dihitung dengan persamaan berikut: Q =Ni x FEi x Ki x L (1) Keterangan : Q = Jumlah emisi (gr/jam) Ni = Jumlah kendaraan bermotor Tipe-i (kendaraan/jam) Fei = Faktor emisi kendaraan bermotor tipe-i (gr/liter) Ki = Konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor tipe-i (Liter/100 km) L = Panjang jalan (km) Nilai faktor emisi (FEi) CO 2 untuk kendaraan berbahan bakar bensin menurut IPCC dalam Jinca dkk (2009) adalah 2.597,86 gr/liter dan untuk kendaraan berbahan bakar diesel 2.924,90 gr/liter. Sedangkan untuk konsumsi bahan bakar kendaraan sesuai dengan tipe kendaraan dapat dilihat pada Tabel 2. 41

50 10 Sepeda motor 2,66 Tabel 2. Konsumsi Energi Spesifik Kendaraan Konsumsi energi No Jenis Kendaraan spesifik (Liter/100 km) 1 Mobil Penumpang - Bensin 11,79 - Diesel/Solar 11,36 2 Bus Besar - Bensin 23,15 - Diesel/Solar 16,89 3 Bus Sedang 13,04 4 Bus Kecil - Bensin 11,35 - Diesel 11,83 5 Bemo Bajaj 10,99 6 Taksi - Bensin 10,88 - Diesel 6,25 7 Truk Besar 15,82 8 Truk Sedang 15,15 9 Truk Kecil - Bensin 8,11 - Diesel 10,64 (Sumber : BPPT dalam Banurea, 2015) Perhitungan beban emisi CO 2 pada tiap jenis jalan dihitung dengan persamaan (1). Data yang dibutuhkan adalah data jumlah kendaraan rata-rata (kendaraan/jam), faktor emisi (g/liter), konsumsi bahan bakar (Liter/100 km) dan panjang jalan. Setelah dilakukan perhitungan dengan persamaan (1), didapatkan hasil total emisi dari masingmasing jalan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Total Emisi tiap Ruas Jalan Total Panjang Nama Jalan Emisi CO2 Jalan (kg/jam) (km) Yos Sudarso ,72 Bangka ,55 A Yani ,75 Mayjend Sungkono ,90 MT Haryono ,46 Mayjend Sukowati ,21 Pahlawan ,40 42

51 Beban emisi tiap jenis kendaran di tiap ruas jalan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Beban emisi Rata-rata CO 2 per jenis kendaraan (kg/jam) Nama Jalan Sepeda Motor Mobil Bensin Mobil Truk Diesel Diesel Bus Yos Sudarso Bangka A Yani Mayjend Sungkono MT Haryono Mayjend Sukowati Pahlawan Berdasarkan Tabel 4 di atas terlihat bahwa nilai emisi CO 2 tertinggi berada pada ruas Jalan Pahlawan, yaitu sebesar kg/jam dan emisi terendah pada Jalan Bangka sebesar kg/jam. Sedangkan jenis kendaraan penyumbang emisi CO 2 yang melintas di jalan utama Kecamatan Magetan dari Tabel 4 dan Gambar 2 terlihat bahwa paling banyak bersumber dari kendaraan mobil berbahan bakar bensin yakni kg/jam atau sekitar 50,44 % dari total emisi yang dihasilkan, kemudian sepeda motor sebesar kg/jam atau sekitar 41,89 %, mobil berbahan bakar diesel sebesar kg/jam atau sekitar 3,91 %, truk sebesar kg/jam atau sekitar 3,54 % dan bus sebesar 163 kg/jam atau sekitar 0,22 %. Total emisi CO 2 di Kecamatan Magetan sebesar kg/jam. Komposisi Beban Emisi CO 2 Sepeda Motor Mobil Bensin Mobil Diesel Truk Diesel Bus 3, 91 % 3, 54 % 0,22% 41, 89 % 50,44% Gambar 2. Komposisi Beban Emisi per Jenis Kendaraan Identifiasi RTH Publik dan Jalur Hijau di Kecamatan Magetan Keberadaan Ruang Terbuka Hijau publik berupa taman hijau dan vegetasi yang ada pada sepanjang jalur hijau jalan diharapkan mampu menyerap emisi gas CO 2. Jumlah jenis dan jumlah total individu vegetasi didapatkan dengan melakukan survei langsung pada ruas jalan utama di Kecamatan Magetan. Jumlah dan jenis pohon serta RTH taman hijau yang ada pada ruas jalan utama tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pohon yang ada di ruas jalan utama Kecamatan Magetan memiliki sembilan jenis spesies dengan jumlah total sebanyak pohon. Pohon Tanjung (Mimusops elengi) merupakan spesies yang memiliki populasi tertinggi yaitu 403 pohon atau sekitar 34,33 % dari seluruh jumlah pohon, pohon Filicium 43

52 (Fellicium decipiens) sebanyak 355 pohon (30,24 %), pohon Angsana (Pterocarpus indicus) 215 pohon (18,31 %), Glodokan Pecut (Polyathea longifolia) sebanyak 163 pohon (13,88 %) dan sisanya pohon Mangga (Mangivera indica) 21 pohon (1,79 %), pohon Beringin (Ficus benjamina) sebanyak 13 pohon (1,11 %), pohon Mahoni (Swietenia mahagoni) 2 pohon (0,17 %) dan pohon Nangka (Arthocarpus heterophyllus) serta Trembesi (Samanea saman) masingmasing satu pohon atau sebesar 0,09 %. Glodokan Pecut 1 3, 88 % Mahoni 0,17 % Filicium 30,24% 1 % Mangga 1, 79 % Nangka 0, 09 % Trembesi 0,09 % Tanjung 34, 33 % Angsana 18,31 % Tanjung Angsana Beringin Filicium Mahoni Glodokan Pecut Mangga Nangka Trembesi Gambar 3. Persentase Jenis Pohon Dominan di Jalan Utama Kecamatan Magetan Sebaran Ruang Terbuka Hijau Publik berupa Taman Hijau paling banyak berada di Jalan Pahlawan dengan luas total 3.340,74 m 2, kemudian Jalan Mayjend Sukowati 2.126,34 m 2 dan Jalan Mayjend Sungkono seluas 946,50 m 2, sedangkan Jalan MT Haryono tidak terdapat taman hijau. 44

53 5. Jumlah Individu dan Jenis Pohon Nama Jumlah Pohon per Jenis di tiap Jalan Nama Ilmiah Yos Mayjend Mayjend MT A Bang Pahl Pohon Sudarso Sungkono Sukowati Haryono Yani ka awan Tanjung Mimusops elengi Angsana Pterocarpus indicus Beringin Ficus benjamina Filicium Mahoni Glodokan Pecut Fellicium decipiens Swietenia mahagoni Polyathea longifolia Mangga Mangivera indica Arthocarpus Nangka heterophyllus Trembesi Samanea saman Tabel 6. Sebaran dan Lu as RTH Taman Hijau Nama Jalan Nama Taman Hijau Tipe Tutupan 2 Pahlawan Taman Air Man cur Semak 450,00 Pahlawan Taman Stadion Pohon 2.867,24 Pahlawan Taman Simpang 3 Stadion Semak 23,50 Lahan Luas (m ) Mayjend Sukowati Taman Tripandita Semak 1.179,84 Mayjend Sukowati Taman Median Sukowati Pohon 946,50 Mayjend Sungkono Taman Median Sungkono Pohon 946,50 Bangka Taman Simpang 3 Bangka Semak 78,00 Potensi Daya Serap RTH terhadap emisi CO2 RTH merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota karena memiliki peran dan manfaat penting baik secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Penghitungan serapan CO 2 oleh ruang terbuka hijau berguna untuk mendapatkan informasi mengenai kemampuan ruang terbuka hijau dalam menyerap CO 2. Pendekatan yang dilakukan untuk penghitungan kemampuan ruang terbuka hijau dalam menyerap karbondioksida dilakukan dengan menggunakan pendekatan jumlah pohon untuk kemudian dihitung kemampuan serapan tiap jenis pohon terhadap CO 2. Sedangkan pendekatan perhitungan serapan CO 2 berdasarkan jenis dan luasan tutupan vegetasi dilakukan dengan menghitung luas Taman Hijau dan menentukan jenis tutupan vegetasinya untuk kemudian dihitung kemampuan serapan tiap jenis tutupan vegetasi terhadap CO 2. Daya serap (kg/th) = Luas RTH X daya serap jenis tutupan vegetas (3). Berikut ini daftar nilai daya serap tanaman dan tutupan vegetasi yang terdapat di jalan utama Kecamatan Magetan yang disajikan pada Tabel 7. Daya serap (kg/th) = Σpohon X daya serap (2). 45

54 7. Jenis Vegetasi RTH di Jalan Utama Kecamatan Magetan Nama Pohon Nama Ilmiah Daya Serap (kg/th) Tanjung Mimusops elengi 34,29 (1 Angsana Pterocarpus indicus 11,12 (1 Beringin Ficus benjamina 535,90 (1 Filicium Fellicium decipiens 404,83 (1 Mahoni Swietenia mahagoni 295,73 (1 Glodokan Pecut Polyathea longifolia 1.016,42 (1 Mangga Mangivera indica 445,11 (1 Nangka Arthocarpus heterophyllus 126,51 (1 Trembesi Samanea saman ,39 (1 Pohon ,00 (2 Semak Belukar ,00 (2 Padang Rumput ,00 (2 Sumber : 1) Dahlan, 2007 ; 2) Prasetyo et al, 2002 dalam Tinambunan (kg/ha/th) Perhitungan daya serap CO 2 oleh tiap jenis pohon di ruas jalan utama dihitung dengan persamaan (2). Setelah dilakukan perhitungan dengan persamaan (2), didapatkan hasil serapan CO 2 dari masingmasing ruas jalan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Kemampuan Serapan CO 2 berdasarkan jenis dan jumlah Pohon Nama Daya Serap COjenis dan jumlah 2 berdasarkan pohon (kg/tahun) (kg/jam) Yos Sudarso 5.143,78 1,17 Mayjend Sungkono ,36 23,76 Mayjend Sukowati ,48 30,71 MT Haryono 3.598,75 0,82 A Yani ,20 7,63 Bangka 6.520,31 1,49 Pahlawan ,27 19,14 Total ,15 84,73 Kemampuan serapan total jalur hijau di ruas jalan utama sebesar 84,73 kg/jam dimana ruas jalan Mayjend Sukowati memiliki kemampuan penyerapan emisi CO 2 tertinggi sebesar 46

55 30,71 kg/jam dan terendah berada di ruas jalan MT Haryono sebesar 0,82 kg/jam. Sedangkan berdasarkan jenis dan jumlah pohon yang ada di ruas jalan utama Kecamatan Magetan, Glodokan Pecut (Polyathea longifolia) memiliki kemampuan serapan tertinggi sebesar 37,83 kg/jam, Filicium (Fellicium decipiens) sebesar 32,81 kg/jam, Trembesi (Samanea saman) sebesar 6,5 kg/jam, Tanjung (Mimusops elengi) sebesar 3,16 kg/jam, Mangga (Mangivera indica) sebesar 2,13 kg/jam, Beringin (Ficus benjamina) 1,59 kg/jam, Angsana (Pterocarpus indicus) 0,55 kg/jam, Mahoni (Swietenia mahagoni) 0,14 kg/jam, dan Nangka (Arthocarpus heterophyllus) 0,03 kg/jam. Kemampuan serapan CO 2 perjenis pohon di Kecamatan Magetan disajikan pada Gambar 4. Nama Jalan Trembesi; Tanjung; Angsana; Beringin; 9. Kemampuan Serapan CO 2 berdasarkan Jenis dan Luas Tutupan Vegetasi Nama Taman Hijau Luas (ha) Jenis Vegetasi Daya Serap CO2 (kg/ha/jam) Daya Serap CO2 (kg/jam) Pahlawan Nangka; Taman Air Mancur 0,0450 Semak 12,56 0,57 Pahlawan Taman Stadion 0,2867 Pohon 129,92 37,25 Taman Simpang 3 Pahlawan Stadion 0,0024 Semak 12,56 0,03 Mayjend Sukowati Taman Tripandita 0,1180 Semak 12,56 1,48 Mayjend Taman Median Sukowati Sukowati 0,0947 Pohon 129,92 12,30 Mayjend Taman Median Sungkono Sungkono 0,0947 Pohon 129,92 12,30 Taman Simpang 3 Bangka Bangka 0,0078 Semak 12,56 0,10 MT Haryono TOTAL 64,02 0,03 Mangga; 2,13 6,50 3,16 0,55 1,59 Glodokan Pecut; 37,83 Filicium; 32,81 Mahoni; 0,14 Gambar 4. Kemampuan serapan CO 2 per Jenis Pohon di Kecamatan Magetan Penghitungan serapan emisi CO 2 berdasarkan jenis dan luasan tutupan vegetasi di Kecamatan Magetan dilakukan sesuai persamaan (3), diperoleh bahwa serapan emisi CO 2 terbesar berada di Jalan Pahlawan sebesar 37,85 kg/jam dan terendah berada di jalan MT Haryono karena tidak terdapat taman hijau, seperti yang terlihat pada Tabel 9. 47

56 Ruang Terbuka Hijau Publik (Taman Hijau) di Kecamatan Magetan memiliki potensi kemampuan serapan emisi CO 2 sebesar 64,02 kg/jam, sedangkan potensi kemampuan serapan emisi CO 2 berdasarkan jenis dan jumlah pohon di Jalur Hijau sebesar 84,73 kg/jam. Total daya serap CO 2 berdasarkan luas dan jenis RTH (Publik dan Jalur Hijau) di Kecamatan Magetan sebesar 148,75 kg/jam. Beban emisi CO2 yang dapat direduksi oleh Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau di ruas jalur utama Kecamatan Magetan berupa taman kota, taman jalan, dan jalur hijau. Ruang terbuka hijau di Kecamatan Magetan selain sebagai penyejuk dan estetika lingkungan juga beberapa dimanfaatkan untuk sarana rekreasi. RTH yang penuh dengan pohon sebagai paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya (Zulkifli, 2014,p.96). Nilai beban emisi CO 2 di Kecamatan Magetan yang sebesar kg/jam belum dapat terserap sepenuhnya oleh RTH (Publik dan Jalur Hijau) yang ada saat ini, dengan kemampuan serapan sebesar 148,75 kg/jam. Nilai selisih emisi CO 2 di Kecamatan Magetan dapat dihitung sebagai berikut : Sisa emisi = Emisi total Daya serap total = ,75 = ,25 kg/jam Perhitungan tersebut jelas terlihat bahwa kemampuan serapan CO 2 oleh RTH relatif rendah. Untuk mengurangi sisa emisi CO 2 yang belum dapat direduksi maka perlu dilakukan penanaman pohon dan penambahan jumlah RTH Publik di Kecamatan Magetan. Penambahan pohon Glodokan pecut (Polyathea longifolia) sebanyak pohon atau pohon trembesi (Samanea saman) sebanyak pohon dapat menyerap sisa emisi yang ada, perhitungan tersebut diperoleh dari sisa emisi yang ada di bagi dengan kemampuan serapan pohon terhadap emisi CO2. Kebutuhan RTH Publik (Taman Hijau) untuk mereduksi semua sisa emisi CO2 yang ada dapat juga dilakukan dengan memperbanyak RTH Taman Hijau dengan tipe vegetasi pohon seluas 567,736 ha atau RTH taman Hijau dengan tipe vegetasi semak seluas ha, nilai luasan tersebut diperoleh dari membagikan sisa emisi CO2 yaitu ,25 kg/jam terhadap potensi daya serap CO2 dari nilai tipe luas tutupan vegetasi (pohon, semaka, atau rumput) PENUTUP Kesimpulan 1. Persebaran RTH di Kecamatan Magetan belum merata, pola persebaran berkelompok berupa taman hijau dan memanjang berupa jalur hijau dengan jumlah pohon pohon dengan sembilan jenis spesies yang didominasi pohon Tanjung (Mimusops elengi), pohon Filicium (Fellicium decipiens), pohon Angsana (Pterocarpus indicus) dan Glodokan Pecut (Polyathea longifolia). 2. Potensi kemampuan daya serap emisi CO 2 oleh RTH (Publik dan Jalur Hijau) sebesar 148,75 kg/jam yang lebih relatif rendah terhadap beban emisi CO 2 kendaraan bermotor sebesar kg/jam. 3. Ruang terbuka hijau (Publik dan Jalur Hijau) belum mencukupi untuk menyerap semua beban emisi CO 2 kendaraan bermotor yang ada, diperlukan setidaknya pohon Glodokan pecut (Polyathea longifolia) sebanyak pohon atau pohon trembesi (Samanea saman)dengan kemampuan serapan CO 2 yang sangat besar sebanyak pohon. Bisa juga dilakukan dengan memperbanyak RTH Taman Hijau dengan tipe 48

57 vegetasi pohon seluas 567,736 ha atau RTH taman Hijau dengan tipe vegetasi semak seluas ha. Saran Untuk lebih meningkatkan kemampuan serapan RTH maka perlu dilakukan penambahan jumlah RTH di wilayah Kecamatan Magetan dengan memilih jenis spesies pohon yang memiliki kemampuan serapan tinggi terhadap CO 2 tetapi juga dapat mempercantik wajah kota, tetapi tidak lupa juga melakukan perawatan dan pemeliharaan RTH yang telah ada saat ini, sehingga kemampuan serapan emisi CO 2 dapat lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Banurea, Irwansyah, Rahmawaty dan Yunus Afifuddin. (2013). Analisis Kemampuan Ruang Terbuka Hijau dalam Mereduksi Konsentrasi CO 2 dari Kontribusi Kendaraan Bermotor di Kampus USU Medan. Jurnal USU, 2(2), Budiastuti, Sri. (2010). Teori Dasar Pengelolaan Lingkungan. Surakarta: UNS Press. Dahlan, E. N. (2011). Kebutuhan Luasan Areal Hutan Kota Sebagai Rosot (Sink) Gas CO 2 Untuk Mengantisipasi Penurunan Luasan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bogor. Jurnal Forum Geografi, 25(2), Gratimah, Gusti RD. (2009). Analisis Kebutuhan Hutan Kota Sebagai Penyerap Gas CO 2 Antropogenik di Pusat Kota Medan.Tesis. Universitas Sumatera Utara. Pribadi, Mirna Aulia. (2015). Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island di Kabupaten Karawang. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Setyono, Prabang. (2015). Cakrawala Memahami Lingkungan Edisi II (Revisi). Surakarta: UNS Press. Tinambunan R. S. (2006). Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Pekanbaru. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Zulkifli, Arif. (2014). Pengelolaan Kota Berkelanjutan. Yogyakarta : Graha Ilmu. 49

58 FAKTOR PERILAKU IBU DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS BULU KABUPATEN TEMANGGUNG Adi Susanto*), Priyadi Nugraha Prabamurti**) *) Pengelola Program Diare, HIV, Kusta dan Malaria Bidang P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung **) Pengelola Magister Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Korespondensi : priyadinugraha@gmail.com ABSTRAK Penyakit diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak. Diare menyebabkan kematian sebesar 15-34% dari semua kematian.survei Kesehatan Nasional menunjukkan diare merupakan penyebab kematian kedua (23%) pada balita dan ketiga (11,4%) pada bayi. Di Kabupaten Temanggung, jumlah penderita diare meningkat dari tahun pada semua golongan umur. Demikian pula jumlah penderita diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bulu tahun meningkat. Tujuan Penelitian menganalisis faktor perilaku ibu dan lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian diare balita. Desain penelitian menggunakan studi kasus kontrol. Sampel 66 kasus dan 66 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat, analisis bivariat (chi square test) dan analisis multivariat (regresi logistik berganda). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku ibu dengan kejadian diare pada balita (p =0,003), Kepemilikan jamban sehat (p=0,000), Jenis lantai rumah (p=0,00). Variabel yang paling dominan pada kejadian diare adalah kepemilikan jamban (p=0.001), OR=3,748 (95% CI = 1,659-8,471). Kata kunci : perilaku ibu, lingkungan fisik, diare balita. ABSTRACT Diarrheal disease is a major cause of morbidity and mortality in children. Diarrhea causes deaths of 15-34% of all deaths. The National Health Survey shows diarrhea is the second leading cause of death by 23.0% for underfives and the third is 11.4% in infants. In Kabupaten Temanggung, the number of diarrhea sufferers increases from in all age groups. While the number of patients with diarrhea in under-five children in the work area of Bulu Puskesmas increased. The aim of this study was analyzed the mother's behavioral factors and the physical environment of the house associated with the incidence of diarrhea of children under five. The design of the study used a case-control study. Sample 66 cases and 66 controls. The data were analyzed by univariate, bivariate analysis (chi square test) and multivariate analysis (multiple logistic regression). The results showed that there was a correlation between mother's behavior with diarrhea incidence in toddler (p = 0,003), latrine ownership (p = 0,000),, Type of floor of house (p = 0,001). The most dominant variables in the incidence of diarrhea were latrine ownership (p = 0.001), OR = (95% CI = 1,659-8,471). Keywords: maternal behavior, physical environment, infant diarrhea. 50

59 PENDAHULUAN Penyakit diare sampai saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian. (Kemenkes RI, 2011). Menurut Suryaatmaja Diare adalah penyakit yg ditandai dg bertambahnya frekwensi defekasi lebih dari biasanya ( 3 X/hr) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah atau lendir (Markum, 2009) Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan setiap tahunnya lebih dari satu milyar kasus gastroenteritis. Angka kesakitan diare pada tahun 2011 terdapat 411 penderita per 1000 penduduk. Di negara Amerika Utara anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali pertahun. Diare menyebabkan kematian sebesar 15-34% dari semua kematian, kurang lebih 300 kematian per tahun. Gejala dan tanda dehidrasi akibat diare tidak akan terlihat sampai kehilangan cairan setara dengan 4-5% berat badan. Bila dehidrasi tidak diatasi dengan baik, maka dapat menyebabkan kematian. (Ciela, dkk : 2003; IDAI, 2009) Data Kemenkes RI menunjukkan, dari tahun terlihat insidens diare mengalami kenaikan. Tingkat kematian akibat diare masih cukup tinggi. Survei Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa diare merupakan penyebab kematian nomor dua yaitu sebesar 23,0% pada balita dan nomor tiga yaitu sebesar 11,4% pada bayi. (Kemenkes RI, 2011) Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi 31,4% dan pada balita 25,2% sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian nomor empat 13,2% (Kemenkes RI, 2013). Cakupan penemuan penderita diare di Jawa Tengah menunjukkan bahwa angka kesakitan diare tahun 2012 mencapai jumlah penderita orang, 33,8% diantaranya adalah balita. Dinkes Jateng telah menargetkan untuk menurunkan angka kejadian diare pada tahun 2012 sebesar 75% dan 100% pada tahun 2013 dan menurunkan angka kematian untuk tahun 2014 menjadi 0,003% (DKK Temanggung, 2015) Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan yang sering berhubungan dengan air, sehingga disebut water borne disease. Gambaran penyakit ini adalah siklus faecal oral yang lebih dikenal dengan five fs yaitu fingers, fields, fluids,foods and files yang berhubungan dengan lingkungan (Kemenkes RI, 2011). Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan, kebersihan perorangan dan lingkungan yang tidak mendukung, penyiapan makanan kurang matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya (Friedman, dkk ; 2003). Pada tahun 2014 jumlah kasus penderita diare di Kabupaten Temanggung secara keseluruhan sebanyak kasus, dengan kasus diare pada balita sebesar kasus.tahun 2013 sebesar kasus atau 2,59% dengan satu kasus kematian, menurun bila dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu kasus dengan 6 kematian atau 2,67% (DKK Temanggung, 2014) Puskesmas Bulu merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Temanggung yang wilayahnya sebagian besar terletak di lereng gunung Sumbing. Perilaku masyarakat di wilayah Puskesmas Bulu dalam hal Buang Air Besar (BAB), sebagian masih ada yang BAB di sungai, sedangkan perilaku cuci tangan pakai sabun sehabis BAB juga jarang dilakukan. Puskesmas Bulu memiliki 19 desa binaan dengan 2 Puskesmas Pembantu, dengan jumlah penduduk jiwa, jumlah rumah tangga (DKK Temanggung, 2015). Jumlah penderita diare mengalami peningkatan dari tahun yaitu dari 760 orang menjadi orang pada semua golongan umur, sedangkan jumlah penderita diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bulu tahun 2014 sebanyak 326 balita, tahun 2015 s/d bulan Nopember sebanyak 328 balita. Tahun 2012 terjadi kasus KLB diare di Desa Gandurejo dengan jumlah kasus secara keseluruhan sebanyak 71 kasus, (22 balita, 6 remaja dan 43 dewasa)(p2pl DKK Temanggung, 2014). 51

60 METODE PENELITIAN Desain penelitian ini observasional dengan rancangan case control study (Sastroasmoro, 2002) Populasi penelitian ini semua balita yang didiagnosa diare oleh dokter/petugas kesehatan yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Temanggung tahun 2016 sebanyak 167 balita (Mei s/d Oktober 2016). Responden penelitian adalah ibu balita sebanyak 132 orang. Sampel penelitian adalah balita yang datang dan berobat ke Puskesmas yang didiagnosa sebagai kasus baru diare oleh dokter/petugas kesehatan puskesmas (Bidan/perawat) di wilayah kerja Puskesmas Bulu sebanyak 132 balita yang terdiri dari 66 balita dari kelompok kasus dan 66 balita dari kelompok kontrol.. Uji validitas dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment dan Uji reliabilitas menggunakan uji statistik Alpha Cronbach (α), Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat (uji chi square), dan analisis multivariat (uji regresi logistik berganda). (Sugiyono, 2012) HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Kejadian Diare Tabel 1. Data Kasus Diare Balita Per Tahun Di Puskesmas Bulu Tahun Diare balita Jumlah Kasus No Tahun % Laki-laki Perempuan Diare Balita ,94 17,55 21,33 20,52 20,64 Jumlah Tabel 1. menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir penemuan kasus diare pada balita di wilayah Puskesmas Bulu mengalami fluktuasi (naik turun). Penemuan kasus terbanyak yaitu pada tahun 2013 sebanyak 339 kasus dengan proporsi 21,33 %. Jumlah kasus diare pada balita laki laki setiap tahunnya lebih banyak bila dibandingkan dengan balita perempuan yaitu 865 kasus berbanding 724 kasus. Proporsi jumlah kasus diare balita dalam lima tahun terakhir lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki - laki yaitu 54,4 %, sedangkan untuk perempuan sebesar 45,6%. Faktor Perilaku Ibu dan Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Puskesmas Bulu Kabupaten Temanggung. Perilaku Ibu. Proporsi perilaku ibu yang tidak baik pada kelompok kasus lebih tinggi yaitu 61% dibandingkan dengan kelompok kontrol 39%,sedangkan ibu balita yang berperilaku baik pada kelompok kontrol 65,5% lebih tinggi bila dibandingkan dengan perilaku ibu yang baik pada kelompok kasus 34,5%. Uji statistik menunjukkan p = 0,003, sehingga dinyatakan ada hubungan antara perilaku ibu dengan kejadian diare pada balita. 52

61 Kepemilikan Jamban Rata-rata responden sudah memiliki jamban sehat, terlihat pada kelompok kontrol yang memiliki jamban sehat sebanyak 64,3% dan pada kelompok kasus sebesar 35,7%. Sedangkan responden yang tidak memiliki jamban sehat pada kelompok kasus sebesar 66,1%, dan pada kelompok kontrol lebih rendah yaitu 33,9%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada balita dengan p = 0,000. Jenis Lantai Rumah Proporsi jenis lantai rumah yang tidak kedap air pada kelompok kasus sebesar 66,1% lebih tinggi daripada kelompok kontrol 33,9%, sebaliknya rumah yang lantainya kedap air pada kelompok kontrol sebesar 63% lebih tinggi daripada kelompok kasus yaitu 37%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita dengan p = 0,00 1 Analisis Multivariat Hasil analisa regresi logistik menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian diare pada balita adalah sebagai berikut : Tabel 2. Faktor Perilaku Ibu Dan Lingkungan Fisik Rumah Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Diare Balita Di wilayah Kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Temanggung. No OR Faktor Risiko P adjusted 1 Kepemilikan jamban 0, sehat 2 Perilaku ibu balita 0, Jenis lantai rumah 0, % CI Hasil analisa statistik multivariat menunjukkan bahwa dari 3 faktor risiko yang dianalisis, semua faktor risiko yaitu kepemilikan jamban sehat, Jenis lantai rumah dan perilaku ibu balita menunjukkan adanya pengaruh. Faktor risiko kepemilikan jamban sehat mempunyai kekuatan pengaruh lebih besar dengan p = 0,001 (OR = 3,748 CI 95% = 1,659 8,471) dibanding dengan perilaku ibu balita p = 0,005 (OR = 3,410 CI 95% = 1,445 8,046) dan jenis lantai rumah yang memiliki p= (OR= 2,386; CI 95% = 1,047 5,437). Berdasarkan perhitungan probabilitas (risiko) nilai-nilai variabel yang berpengaruh diperoleh hasil bahwa balita yang tinggal di rumah yang tidak memiliki jamban sehat mempunyai kemungkinan untuk terserang diare sebesar 45,22% (OR=3.748). Balita yang tinggal dengan perilaku ibu yang tidak baik mempunyai kemungkinan mengalami penyakit diare sebesar 42,9% (OR=3.410), sedangkan probalititas balita yang tinggal dirumah dengan jenis lantai yang tidak kedap air mempunyai kemungkinan untuk menderita penyakit diare sebesar 35,5% (OR=2.386). Variabel dengan Odds Ratio terbesar yaitu variabel kepemilikan jamban sehat dengan OR = 3,748 (95% CI ; 1,659 8,471). Artinya ibu yang tidak memiliki jamban sehat memiliki risiko balita terserang penyakit diare sebesar 3,748 kali lebih besar dibandingkan ibu yang memiliki jamban sehat. 53

62 PEMBAHASAN Penyakit diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian di banyak negara berkembang, karena tingginya angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkannya. Angka kesakitan akibat diare adalah 1310 per 1000 penduduk. Tingkat kematian akibat diare masih cukup tinggi. Proses penularan diare dapat melalui tahapan seperti berikut ini : 1. Penderita diare mengeluarkan kotoran (tinja atau muntahan) yang mengandung kuman penyebab. 2. Kuman ditularkan kepada orang lain atau mencemari air, makanan dan minuman atau lingkungan sekitarnya. 3. Air yang tercemar tersebut dipergunakan oleh orang lain untuk keperluan sehari-hari tanpa direbus atau dimasak, maka orang tersebut akan sakit atau tertular. 4. Penderita baru ini dengan cara yang sama akan menularkan lagi pada orang lain dan lingkungan sekitarnya yang merupakan lingkaran yang tidak ada putusnya. Sebagai akibat diare, anak akan kehilangan cairan dan elektrolit yang melebihi pemasukannya, yang disebut dehidrasi. Dehidrasi akan bersifat ringan, sedang dan berat tergantung pada banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit atau dengan kata lain tergantung pada banyaknya penurunan berat badan. Diare bila tidak segera diobati akan menyebabkan kematian karena adanya dehidrasi, maka pengobatan yang paling tepat ialah dengan rehidrasi yaitu mengganti cairan yang hilang akibat diare (Maryuni, 2013). Perilaku mempunyai bentangan yang sangat luas mencakup cara berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, berpikir, persepsi dan lainnya. Dapat dikatakan perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia baik yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung (Notoatmodjo, 2010). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu (Green, 2000) : 1. Faktor mempermudah (predisposing factor) yang mencakup pendidikan individu, pengetahuan, sikap, kepercayaan, budaya, norma sosial, keyakinan, yang memotivasi perilaku yang berkaitan dengan kejadian diare. 2. Faktor pemungkin (enabling factor) setiap karakteristik lingkungan yang memudahkan perilaku individu dalam upaya pencegahan ataupun pendukung kejadian diare. 3. Faktor penguat (reinforcing factor) setiap sanksi yang mengikuti atau diperkirakan sebagai akibat dari suatu perilaku kesehatan. Pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga faktor tersebut agar searah dengan tujuan kesehatan, sehingga menimbulkan perilaku positif dari individu atau masyarakat terhadap pencegahan diare. Hasil uji analisis multivariate logistic regression menunjukkan variabel-variabel yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita adalah : A. Faktor Perilaku Ibu Perilaku individu mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung dalam kejadian penyakit. Misalnya perilaku mencuci tangan ibu sebelum memberikan makan pada anak. Bila ibu mempunyai perilaku mencuci tangan yang baik maka akan mencegah terjadinya penyakit. Perilaku juga dipengaruhi oleh persepsi seseorang terhadap manfaat, hambatan pelaksanaan dan pengaruh dari perilaku tersebut. Perilaku individu juga dipengaruhi oleh beragam faktor lain seperti kesadaran mengenai kesehatan, kepercayaan yang dianut ibu terkait dengan kebiasaan mencuci tangan dapat mencegah penyakit (Djaja, 2009). Mengubah beberapa kebiasaan tertentu (mencuci tangan) dapat memutuskan penularan. Keluarga, teman dan petugas kesehatan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku mencuci tangan, sehingga ibu membutuhkan dorongan, dan role model (contoh) untuk menguatkan perilaku tersebut. Hal ini disebabkan tangan merupakan salah satu media masuknya kuman penyebab penyakit ke dalam tubuh. 54

63 Dengan demikian, apabila ibu terbiasa mencuci tangan terutama sebelum memberikan makan pada anak, dan BAB meminimalkan masuknya kuman melalui tangan. Namun sebagian besar ibu yang menjadi responden belum memiliki kesadaran untuk mencuci tangan. Para ibu hanya biasa mencuci tangan apabila tangan terlihat kotor. Padahal tangan yang terlihat bersih belum tentu bebas dari kuman. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat diare. Dengan proporsi pendidikan responden yang masih rendah/tamat SMP (50%) baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol, sangat memungkinkan bila pengetahuan mereka tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare sangat kurang. Praktek kebersihan berhubungan erat dengan tuna aksara. Kebiasaan tentang kebersihan dapat ditingkatkan dengan program pendidikan yang baik. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air dan sebelum menyiapkan makanan atau makan, telah dibuktikan mempunyai dampak dalam kejadian diare dan seharusnya menjadi sasaran utama pendidikan tentang kebersihan. Penurunan 14% 48 % kejadian diare dapat diharapkan sebagai hasil pendidikan tentang kebersihan dan perbaikan kebiasaan. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa perilaku ibu merupakan faktor terkait kejadian diare pada balita dengan OR = 2,968 (95 % CI : 1,445 6,100, p = 0,003). Uji statistik menunjukkan ada hubungan antara perilaku ibu balita (kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, kebiasaan ibu mencuci tangan sebelum memberikan makan pada anak, kebiasaan membuang kotoran/tinja anak) dengan kejadian diare pada balita. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai perilaku tidak baik frekuensinya lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang mempunyai perilaku baik. Salah satu perilaku hidup bersih yang penting dilakukan ibu adalah mencuci tangan sebelum memberikan makan pada anak. Perilaku cuci tangan ibu yang tidak memenuhi syarat higienis berpotensi untuk meningkatkan risiko terjadinya diare pada anak. Riset yang dilakukan oleh Apriyanti (2009) mendukung adanya hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada anak. B. Lingkungan Fisik Rumah Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit diare yaitu : 1) Kepemilikan Jamban Jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai tempat buang air besar. Sehingga sebagai tempat pembuangan tinja, jamban sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan. Pembuangan tinja yang tidak saniter akan memperpendek rantai penularan penyakit diare. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa responden yang mempunyai jamban keluarga tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 3,514 kali lebih besar untuk terkena diare dari pada balita yang mempunyai jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan dengan nilai p = 0,000 pada 95 % CI : 1,714 7,206. Penelitian Shintamurniwaty (2006) menunjukkan bahwa anak balita yang berasal dari keluarga yang tidak mempunyai jamban memiliki risiko 2,09 kali lebih besar untuk terkena penyakit diare dari pada keluarga yang mempunyai jamban keluarga (p = 0,009 pada 95% CI:1,20-3,66). Demikian juga dengan penelitian Umiyati (2009), ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada balita (p = 0,018). Sebagian besar masyarakat di wilayah puskesmas Bulu yang tinggal dekat sungai atau selokan tidak mempunyai septic tank. Dengan adanya sungai atau selokan tersebut masyarakat memanfaatkannya sebagai pembuangan akhir tinja. Tentu saja hal ini mengakibatkan pencemaran air disekitar sungai atau selokan dan juga menimbulkan bau yang tidak sedap dilingkungan sekitar pada musim kemarau panjang. Ada juga sebagian masyarakat yang mempunyai kolam, dimana diatas kolam tersebut dibuat kakus untuk BAB sekaligus untuk makanan ikan peliharaan. 55

64 Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,55 kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang membuang tinjanya secara saniter. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa prevalensi diare pada masyarakat yang membuang tinjanya di sungai sebesar 5,58 % sedangkan pada masyarakat yang membuang tinjanya di kakus prevalensi kejadian diare sebesar 1,59 % dan buang air besar di sungai akan meningkatkan risiko kejadian diare sebesar 3,1 kali dibandingkan buang air besar di jamban (Siti Tanti R, 2013). Jenis Jamban yang dipilih dalam suatu rumah tangga hendaknya mempertimbangkan syarat syarat pembuangan tinja antara lain : (1) tidak mengotori tanah, (2) tidak mengotori air permukaan, (3). Tidak mengotori air tanah, (4). Tidak terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk berkembang biak, (5). Kakus harus terlindung atau tertutup dan (6). Pembuatannya mudah. Syarat tempat pembuangan tinja kecuali harus memenuhi syarat kontruksi juga harus memenuhi syarat letak, syarat letak adalah syarat tempat pembuangan tinja (bangunan rembesan) dengan sumber air minimum 10 m. Penyakit diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Itulah sebabnya, pembuangan tinja akan lebih aman mengurangi risiko diare. Penggunaan jamban yang benar dapat mengurangi risiko diare lebih baik daripada perbaikan sumber air, walaupun dampak yang paling tinggi dapat diharapkan dari gabungan kebersihan dan perbaikan sumber air. 2) Jenis Lantai Rumah Syarat rumah sehat, yang penting jenis lantai rumahnya tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai rumah dari tanah agar tidak berdebu bisa dilakukan penyiraman air kemudian dipadatkan. Dari segi kesehatan, lantai ubin atau semen merupakan lantai yang baik sedangkan lantai rumah dipedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Apabila perilaku penghuni rumah tidak sesuai dengan norma-norma kesehatan seperti tidak membersihkan lantai dengan baik, maka akan menyebabkan terjadinya penularan penyakit termasuk diare. Menurut Kepmenkes RI (1999) syarat rumah yang sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat terbuat dari: ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan. Lantai yang basah dan berdebu dapat menimbulkan sarang penyakit. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, paling tidak perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan. Jenis lantai rumah tinggal mempunyai hubungan yang bermakna pula dengan kejadian diare pada anak balita, Hal ini ditinjau dari jenis alas atau bahan dasar penutup bagian bawah, dinilai dari segi bahan dan kedap air. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab sehingga dapat menimbulkan gangguan atau penyakit pada penghuninya, oleh karena itu perlu dilapisi dengan lapisan yang kedap air (disemen, dipasang keramik, dan teraso). Lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah. Hasil uji stastistik menunjukkan adanya hubungan antara jenis lantai dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Temanggung dengan p = 0,001 (95% CI 1,619-6,816). Balita yang tinggal dengan jenis lantai rumah tidak kedap air mempunyai risiko terserang penyakit diare sebesar 3,322 kali daripada balita yang tinggal dirumah dengan jenis lantai yang kedap air. Kondisi ini mencerminkan bahwa jenis lantai dapat berpengaruh pada kesehatan. Kepmenkes RI (1999) menyatakan bahwa syarat rumah yang sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim 56

65 penghujan. Dengan banyaknya responden yang memiliki lantai rumah yang masih tidak kedap air sangat memungkinkan lantai menjadi sarang kuman, debu untuk dapat menjadi pencetus terjadinya diare pada balita. Aktivitas balita yang bermain di lantai rumah menyebabkan terjadinya kontak antara lantai rumah dengan tubuh balita. Keadaan ini memunculkan berbagai kuman penyakit yang menempel pada tubuh balita. Kondisi yang tidak baik dapat menyebabkan terjadinya diare pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan riset Umiyati (2009) yang menyimpulkan bahwa jenis lantai berhubungan dengan kejadian diare. Hal ini disebabkan karena masih banyak lantai yang terbuat dari tanah yang menyebabkan ruang kotor dan menjadi sarang mikroorganisme serta mudah menyerap air yang mungkin air tersebut mengandung mikroorganisme. KESIMPULAN 1. Kepemilikan jamban sehat - Mayoritas responden sudah memiliki jamban yaitu sebanyak 70 (53,03%) dari total 132 responden. Sedangkan responden yang belum memiliki jamban sebanyak 62 (46,97%) - Variabel kepemilikan jamban merupakan variabel yang paling dominan dalam kejadian kasus diare pada balita (OR= 3,514), artinya balita yang tinggal di rumah yang tidak mempunyai jamban sehat, berisiko 3,514 kali lebih besar menderita penyakit diare dari pada balita yang tinggal dirumah yang mempunyai jamban sehat. 2. Perilaku ibu - Mayoritas ibu berperilaku kurang baik sebanyak 58,33% (77 responden), sedangkan sebanyak 41,67% (55 responden) berperilaku baik, dari total 132 responden. Perilaku yang masih harus diperbaiki adalah mencuci tangan pakai sabun dan cara membuang tinja bayi yang benar - Kontribusi perilaku ibu pada kejadian diare sebesar 58,33% (OR= 2,968) artinya balita yang tinggal dengan ibu yang berperilaku tidak baik mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,968 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tinggal dengan ibu yang mempunyai perilaku baik. 3. Jenis lantai rumah - Jenis lantai rumah responden yang kedap air sebanyak 55,3% (73 responden). Sedangkan rumah reponden yang belum kedap air sebanyak 44% (59 responden). - Kontribusi jenis lantai terhadap kejadian diare adalah sebesar 44,7% (OR= 3,322) artinya balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai yang tidak kedap air mempunyai risiko menderita penyakit diare sebesar 3,322 kali daripada balita yang tinggal dirumah dengan jenis lantai yang kedap air. SARAN Melaksanakan upaya promosi kesehatan kepada masyarakat terutama ibu balita dalam rangka pencegahan diare terkait lingkungan fisik yaitu kepemilikan jamban sehat dan jenis lantai rumah yang memenuhi syarat kesehatan serta terkait dengan perubahan perilaku yang berhubungan dengan kejadian diare utamanya dalam kebiasaan mencuci tangan pakai sabun dan membuang tinja yang benar. dengan melibatkan Tokoh masyarakat dan PKK pada kegiatan Dawis (Dasa Wisma) di setiap ada pertemuan Dawis. DAFTAR PUSTAKA 1. Apriyanti, Ikob,Fajar.(2009).Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Swakelola II Ilir Palembang 57

66 Tahun 2009.Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat,Vol.1, No Ciela WP, Guerrant RL. Infectios Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, H.N., (2003). Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease,New York : lange Medical Books. 3. Djaja, D., (2009). Peran Faktor Sosial Ekonomi, Biologi dan Pelayanan Kesehatan terhadap Kesakitan dan Kematian Neonatal.Majalah Kedokteran Indonesia. 4. DKK Temanggung, (2015). Laporan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. 5. DKK Temanggung, (2014). Laporan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, 6. FriedmanSL, MC Quaid KR, G.J., (2003). Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 7. Green, L.,( 2000). Health Education: A Diagnostic Approach, The Jhon Hopkins University : Mayfield Publishing Co. 8. IDAI, (2009). Pencegahan dan Pengobatan Diare pada Anak di Rumah Kepmenkes RI, (1999). Surat Keputusan Nomor 829 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan Tahun Markum, AH., (2009). Saluran Cerna : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakartam : FKUI. 11. Maryuni, (2013). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta 12. Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi edisi revisi Jakarta : Rineka Cipta 13. P2PL.( Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. 14. Siti Tanti R.( 2013). Analisis Lingkungan fisik dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang berpengaruh terhadap kejadian Diare Akut pada Balita.Skripsi, tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Semarang 15. Sugiono. (2012). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta 16. Kepmenkes RI, (2013). Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.Jakarta 17. Kepmenkes RI,( 2011). Situasi Diare di Indonesia Triwulan II. Jakarta 18. Shintamurniwaty, Faktor-faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita. Thesis, tidak dipublikasikan.universitas Diponegoro Semarang 19. Umiyati,(2009). Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi,tidak dipublikasikan.universitas Diponegoro Semarang 58

67 PENERAPAN USAHA KESEHATAN SEKOLAH DENGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT PADA SEKOLAH DASAR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANCUR BATU KABUPATEN DELI SERDANG Pomarida Simbolon 1, Lindawati Simorangkir 2, STIKes Santa Elisabeth Medan ABSTRAK Anak usia sekolah merupakan masa keemasan untuk menanamkan nilai-nilai Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan mempromosikannya dalam sekolah, keluarga maupun masyarakat. Masalah kesehatan anak sekolah merupakan masalah yang berkaitan dengan PHBS, seperti kecacingan, diare, karies gigi/gigi berlobang, masalah yang berkaitan dengan faktor berisiko, masalah gizi serta gangguan kesehatan yang berkaitan dengan sanitasi dasar yang kurang memenuhi syarat kesehatan. PHBS harus dilakukan dengan baik, bila tidak dilakukan dengan baik akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan dan penerapannya melalui pembinaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan penerapan UKS dengan PHBS di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu. Sampel dalam penelitian 34 sekolah dengan teknik pengumpulan data kuesioner dan dianalisa dengan menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara penerapan UKS dengan pelaksanaan PHBS di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu. Disarankan adanya kebijakan dari dinas kesehatan dan UPT Dinas Pendidikan bekerja sama dengan kepala sekolah untuk mengaktifkan kembali UKS. Kata kunci : Penerapan, UKS, Pelaksanaan, PHBS APLICATION UKS WITH PHBS IN PANCUR BATU HEALTH CENTER WORKING AREA DELI SERDANG DISTRICT ABSTRACT School children are a golden age to instill the values of Clean and Healthy Life (PHBS) and promotions in schools, family and community. Health problems from children are issues about PHBS, such as worm infections, diarrhea, dental caries / teeth, problems associated with risk factors, nutritional problems and health problems associated with basic sanitation that not complited about health requirements. PHBS should be done well, if they are not do it so getting an unwanted impact and its application through the development of School Health Units (UKS). This research aims to analyze the relationship of aplicarion UKS with implementation PHBS in Pancur Batu health center Working Area. The sample of the research is 34 schools with data technique using questionnaires and analysis can be done using chi-square test. The result of the research shows that there is a correlation between the application of UKS with implementation of PHBS in the working area of Pancur Batu Health Center of Deli Serdang district. Suggestion that policy from health department and UPT of Education Office cooperation with headmaster to reactivate UKS. Keywords: aplication, UKS, implementation, PHBS 59

68 PENDAHULUAN Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk dapat hidup sehat setiap individu harus mempunyai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat Perwujudan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui PHBS yakni setiap individu harus sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS. Cakupan dalam PHBS antara lain mencuci tangan menggunakan sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi narkoba, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentikjentik nyamuk. Anak usia sekolah merupakan masa keemasan untuk menanamkan nilai-nilai PHBS dan mempromosikannya baik dalam sekolah, keluarga maupun masyarakat. Saat ini di Indonesia terdapat lebih dari sekolah, berdasarkan jumlah tersebut sekolah merupakan tempat yang strategis dalam kehidupan anak, maka sekolah dapat difungsikan secara tepat sebagai salah satu institusi yang dapat membantu dan berperan dalam upaya optimalisasi tumbuh kembang anak sekolah dengan upaya promotif dan preventif (BPS, 2015). Masalah kesehatan anak sekolah meliputi masalah yang berkaitan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), seperti kecacingan, diare, karies gigi/gigi berlubang, masalah yang berkaitan dengan faktor berisiko (penyalahgunaan narkoba, seks bebas, penyakit infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, Infeksi Saluran Reproduksi), masalah gizi (gizi kurang, gizi buruk, gizi lebih, anemia) serta gangguan kesehatan yang berkaitan dengan sanitasi dasar (air bersih, jamban/wc, dan pembuangan air limbah) yang kurang memenuhi syarat kesehatan seperti tipus, kolera, disentri. Hal tersebut yang rentan pada pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan adanya ancaman sakit terhadap anak SD masih tinggi dengan adanya penyakit endemis dan kekurangan gizi (Notoatmodjo, 2012). Penyakit yang diderita oleh anak sekolah dasar terkait perilaku seperti cacingan 40-60%, anemia 23,2%, karies dan periodontal 74,4% (Depkes, 2005). Persentase orang merokok tertinggi (19,7%) berada pada kelompok usia remaja (10-19 tahun), sebagian besar (59%) penduduk yang berusia 10 tahun keatas kurang melakukan aktifitas fisik. Kondisi PHBS di Sumatera Utara dapat dilihat dari persentase rumah tangga ber PHBS 54,30%, masalah keamanan makanan yang dijual di sekitar sekolah yang belum menerapkan prinsip-prinsip Hygiene (Riskesdas, 2013). Bila PHBS tidak dilakukan dengan baik maka akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu munculnya berbagai penyakit. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai PHBS di sekolah mutlak dilakukan dan dapat dilakukan melalui pembinaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). UKS adalah upaya membina dan mengembangkan kebiasaan hidup sehat yang dilakukan secara terpadu melalui program pendidikan dan pelayanan kesehatan di sekolah. UKS adalah bagian dari usaha kesehatan pokok yang menjadi beban puskesmas yang ditunjukkan kepada sekolahsekolah. UKS diberikan pada peserta didik karena anak usia sekolah merupakan kelompok umur yang rawan terhadap masalah kesehatan. Program tentang pembinaan dan pengembangan UKS di sekolah/satuan pendidikan luar sekolah dilaksanakan melalui tiga program pokok (TRIAS UKS) yang meliputi: pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah sehat. Pelayanan kesehatan merupakan upaya intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Pelayanan kesehatan merupakan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilakukan 60

69 secara serasi terpadu terhadap peserta didik pada khususnya dan warga sekolah pada umumnya, dibawah koordinasi guru pembina UKS dengan bimbingan teknis dan pengawasan puskesmas setempat. Pembinaan lingkungan sekolah sehat mencakup lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat sekitar (Efendi & Makhfudli, 2009). Dampak dari penerapan UKS ini dapat dilihat dari peningkatan status kesehatan masyarakat sekolah dengan indikator menurunnya angka absensi siswa dan guru karena sakit, menurunnya kasus/siswa yang memerlukan P3K di sekolah, menurunnya kasus/siswa yang menderita kurang gizi, adanya pertambahan tinggi badan dan berat badan yang normal serta meningkatnya kebersihan peserta didik secara umum. Puskesmas Pancur Batu merupakan salah satu Puskesmas yang ada di provinsi Sumatera Utara. Adapun jumlah sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang adalah 34 sekolah dan terdapat 19 sekolah yang belum melaksanakan UKS. Rendahnya penerapan UKS pada Sekolah Dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu perlu dianalisis karena melalui program UKS diharapkan anak sekolah dapat menjadi agen pembangunan dan agen perubahan terhadap pembudayaan PHBS di lingkungan keluarga dan sekitarnya. Mengingat masa anak merupakan waktu yang tepat untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi terwujudnya manusia yang berkualitas fisik, mental dan sosial sebagai sumber daya pembangunan bangsa. PEMBAHASAN 1. Penerapan UKS Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penerapan UKS di sekolah dasar dalam kategori tidak diterapkan yaitu sebanyak 22 sekolah (64,7%) sedangkan sekolah dengan penerapan UKS sebanyak 12 sekolah (35,3%). Distribusi frekuensi berdasarkan variabel penerapan UKS dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penerapan UKS pada Sekolah Dasar di wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu Tahun 2017 Penerapan UKS Jumlah (n) Persentase (%) Diterapkan 12 35,3 Tidak 22 64,7 diterapkan Total ,0 Penerapan UKS UKS merupakan salah satu program yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Program UKS yang dikenal dengan Trias UKS yaitu Pendidikan Kesehatan, Pelayanan kesehatan dan Pembinaan Lingkungan Sekolah Sehat merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan peserta didik yang sehat dan cerdas. 1. Pendidikan Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian pada sekolah Dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu dalam penerapan program UKS yang diantaranya tentang pendidikan kesehatan terutama melalui kegiatan pelajaran UKS. Bila dilihat dari hasil penelitian tentang pencapaian kegiatan pelayanan pendidikan kesehatan masih kurang diterapkan dengan baik. Ketidak berhasilan penerapan tersebut diakibatkan karena kurangnya informasi yang diberikan oleh guru tentang pendidikan kesehatan seperti (imunisasi, gizi, diare, DBD, influenza, melakukan tindakan P3K), alat peraga serta sekolah kurang memanfaatkan fasilitas UKS sehingga program kurang berjalan dengan baik. Program ini kurang dapat berjalan dengan baik karena tidak tersedianya ruangan UKS, alat-alat peraga berupa phantom anatomi manusia, bahan P3K, kurangnya bahan bacaan yang berhubungan dengan pendidikan kesehatan serta sebagian besar 61

70 sekolah juga tidak menempatkan seorang guru sebagai penanggung jawab program UKS sehingga program kurang berjalan dengan baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siregar (2014) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program UKS yaitu dengan adanya sarana pendidikan kesehatan seperti ruang UKS, alat-alat peraga berupa phantom anatomi manusia, bahan P3K. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2007), yang menyatakan kunci pendidikan kesehatan di sekolah merupakan tanggung jawab guru, dimana sekolah merupakan perpanjangan tangan pendidikan kesehatan. Guru pada umumnya lebih dipatuhi oleh muridmuridnya. Oleh karena itu lingkungan sekolah, baik lingkungan fisik, sosial yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap perilaku sehat anak sekolah dasar. Menurut Effendi (2012) menyatakan bahwa untuk kelancaran penerapan program UKS harus menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat sekolah yang terdiri dari guru sebagai peserta didik, pegawai dan orang tua murid. Berdasarkan hasil penelitian masih sebagian besar sekolah yang telah menerapkan UKS, sekolah yang menerapkan UKS umumnya sekolah yang telah memiliki gedung khusus ruang UKS. Sementara sekolah yang belum memiliki ruangan UKS hanya melaksanakan program UKS saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah ketika ditanya tentang pentingnya UKS sebagian besar pihak sekolah menjawab anak-anak kami tidak pernah sakit, Puskesmas dekat jaraknya dari sekolah kami kalau ada apa-apa tinggal merujuk saja. Hasil wawancara dengan pihak sekolah umumnya pelaksanaan program UKS tidak berjalan dengan baik disebabkan tidak ada ruangan khusus untuk UKS sehingga pihak sekolah menggantikannya di Perpustakaan bila ada anak yang sakit maupun kurang sehat. Menurut peneliti tidak adanya ruangan UKS merupakan tugas dari pimpinan sekolah agar mempersiapkan ruangan UKS di setiap sekolah melalui kerjasama lintas sektoral dengan instansi terkait atau. 2. Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak sekolah agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas belajar dan prestasi belajar. Pada penerapan program UKS untuk kegiatan pelayanan lingkungan sekolah sehat yang dilakukan di sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur batu menunjukkan tingkat kegiatan kurang dilakukan secara keseluruhan dimana lingkungan sekolah tidak kelihatan bersih dan asri dan masih ada dijumpai sampah berserakan di halaman sekolah, maupun di ruangan kelas. Menurut peneliti dari hasil penelitian berdasarkan kategori pelayanan kesehatan menyatakan bahwa tidak terlaksana diakibatkan karena pemeriksaan kesehatan masih kurang terlaksana dengan baik ini terbukti bahwa pihak sekolah umumnya tidak memiliki ruang UKS sehingga tidak ada pelayanan kesehatan yang dilakukan di sekolah dan apabila datang pihak Puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan gigi, pengukuran Berat Badan maka lokasi tempat pemeriksaan tersebut dilaksanakan di Puskesmas. Faktor lain belum ada dokter kecil di sekolah tersebut. Pihak sekolah sebaiknya menunjuk seorang guru sebagai penanggung jawab dari UKS serta memfasilitasi anak sekolah dasar atau mengaktifkan kegiatan dokter kecil di setiap sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pancur batu. 3. Pembinaan lingkungan sekolah sehat Kurangnya pelaksanaan pembinaan lingkungan sekolah sehat pada anak sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu diakibatkan karena tidak adanya guru sebagai penanggung jawab program UKS sehingga program kurang 62

71 berjalan dengan baik, serta fasilitas yang kurang memadai seperti sebagian besar tidak adanya ruang UKS dan wastafel untuk kegiatan cuci tangan bersih sebelum dan sesudah melaksanakan suatu aktivitas maupun mengkonsumsi makanan pada saat jam istirahat. Effendi (2012), mengemukakan pembinaan lingkungan sekolah yang sehat merupakan gabungan antara upaya pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk dapat diterapkan dalam lingkungan sekolah dan kehidupan sehari-hari peserta didik. Menurut peneliti dari hasil penelitian berdasarkan kategori lingkungan sekolah sehat menyatakan bahwa tidak diterapkan diakibatkan karena kurangnya fasilitas yang memadai seperti tidak adanya ruang UKS dan wastafel untuk kegiatan cuci tangan. 4. Pelaksanaan PHBS Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pelaksanaan PHBS sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur dalam kategori kurang yaitu sebanyak 18 sekolah (52,9%) sedangkan PHBS sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur dalam kategori baik 16 sekolah (47,1%). Distribusi frekuensi berdasarkan variabel pelaksanaan PHBS dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pelaksanaan UKS pada Sekolah Dasar di wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu Tahun 2017 No PHBS Jumlah Persentase (n) (%) 1 Baik 16 47,1 2 Kurang 18 52,9 Total ,0 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memerhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. Mencegah lebih baik dari pada mengobati inilah yang menjadi dasar pelaksanaan PHBS. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Sekolah merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktekkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah dasar atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat. Hasil penelitian terhadap pelaksanaan kegiatan PHBS yang dilakukan pada Sekolah dasar di wilayah kerja puskesmas pancur batu bahwa program UKS sebagian terlaksana dengan baik yang ditunjukkan melalui kegiatan mencuci tangan sesudah makan, mencuci tangan sehabis bermain. Namun pada kenyataannya juga masih ada beberapa kegiatan perilaku anak sekolah seperti kebiasaan membuang sampah pada tempatnya masih tidak terlaksana, menggosok gigi minimal 2 kali sehari, kegiatan memotong kuku, menjaga kebersihan kulit sebagaimana yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007), bahwa proses perubahan perilaku perlu latihan yang berulang sehingga dapat menimbulkan kebiasaan baik yang merupakan perbuatan pokok dalam kegiatan seharihari dimana kebiasaan yang didasari oleh pengetahuan, hal yang sama juga dikemukakan oleh Ismoyowati (2007), mengatakan perilaku hidup bersih dan sehat merupakan sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan. Agar tercipta pelaksanaan PHBS yang baik guru sebaiknya memberikan informasi 63

72 tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti memberikan arahan dan nasehat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan sekolah dengan cara rajin membersihkan lingkungan sekolah khususnya ruangan kelas belajar mereka, membuang sampah pada tempatnya, serta selalu sarapan pagi sebelum pergi ke sekolah. Dalam menjalankan kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) anak sekolah di lingkungan sekolah dasar wilayah kerja puskesmas pancur Batu tidak terlaksana dengan baik, terlihat dari hasil jawaban pihak sekolah yang menyatakan mayoritas tidak menjaga kenyamanan dan kebersihan kelas anak sekolah kurang membiasakan untuk membuang sampah pada tempat sampah yang ada di ruang kelas. Menurut peneliti dari hasil penelitian berdasarkan kategori PHBS menyatakan bahwa tidak terlaksana dengan baik diakibatkan karena kebiasaan anak sekolah di lingkungan rumah sudah tidak baik dan ini tidak terlepas dari didikan orang tua untuk selalu membiasakan pola hidup bersih dan sehat. Lingkungan sekolah juga kurang sehat dinyatakan bahwa tidak terlaksana dengan baik diakibatkan karena kurangnya arahan dan bimbingan guru tentang kepedulian anak sekolah dasar dalam menjaga lingkungan sekolahnya dan ini terlihat dari masih banyaknya sampah yang berserakan di dalam maupun diluar kelas, serta sekolah jarang membuat perlombaan kebersihan antar kelas kalaupun ada hanya pada waktu hari besar seperti perayaan 17 Agustus. Mengingat pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai wujud promosi kesehatan dalam upaya mengajak dan mendorong anak sekolah dasar agar hidup bersih dan sehat maka perlu dilakukan pemeliharaan kesehatan secara berkesinambungan agar tercapai derajat kesehatan yang lebih baik. Sekolah yang sehat sangat kondusif untuk komunitasnya berperilaku sehat. Agar indikator PHBS memenuhi persyaratan serta perlu dilakukan upaya promosi kesehatan lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan jumlah sekolah sehat di Indonesia (Ismoyowati, 2007). Sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu telah pernah ada sekolah yang menjadi role model sekolah sehat tetapi saat peneliti melaksanakan penelitian nilai-nilai PHBS tersebut telah berkurang disebabkan perubahan kepala sekolah dan guru UKS. Hal ini sejalan dengan pendapat Notoadmojo yang menyatakan faktor yang mempengaruhi tindakan yaitu melalui perilaku dari pada seorang individu. Tindakan yang baik dikarenakan memiliki tingkat pengetahuan dan sikap yang baik..tindakan adalah suatu perbuatan nyata yang merupakan hasil dari perwujudan sikap. Seringkali tindakan seseorang tidak dapat terwujud karena tindakan didukung oleh faktor-faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas (Notoatmodjo, 2007). Hubungan Penerapan UKS pada Sekolah Dasar dengan Pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Hasil analisis hubungan antara penerapan UKS dengan pelaksanaan PHBS diperoleh bahwa ada sebanyak ada sebanyak 9 (75,0%) menerapkan UKS pelaksanaan PHBS yang baik. Sedangkan tidak diterapkan UKS ada 7 (31,8%) pelaksanaan PHBS baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,040 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara penerapan UKS dengan pelaksanaan PHBS. Hasil uji chi square dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Hubungan Penerapan UKS dengan PHBS pada Anak Sekolah Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu Tahun 2017 No Penerapan UKS PHBS Baik Kurang Total n % n % n % Nilai p 1 Diterapkan 2 Tidak Diterapkan ,0 31, ,0 68, ,0 100,0 0,040 64

73 Pendidikan Kesehatan merupakan salah satu trias UKS. Pendidikan kesehatan merupakan upaya menanamkan kebiasaan hidup sehat dan mendorong anak sekolah untuk turut serta dalam usaha-usaha kesehatan dan bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri beserta lingkungannya. Penerapannya diberikan melalui peningkatan pengetahuan penanaman nilai dan sikap positif terhadap prinsip hidup sehat dan peningkatan keterampilan dalam melaksanakan hal yang berkaitan dengan pemeliharaan pertolongan dan perawatan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian pada sekolah Dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu ada hubungan penerapan UKS dengan pelaksanaan PHBS. Penerapan program UKS diantaranya tentang pendidikan kesehatan terutama melalui kegiatan pelajaran UKS. Bila dilihat dari hasil penelitian tentang pencapaian kegiatan pelayanan pendidikan kesehatan masih kurang diterapkan dengan baik karena kurangnya informasi kepada anak sekolah dasar. Ketidak berhasilan penerapan tersebut diakibatkan karena kurangnya penyediaan sarana-sarana pendidikan kesehatan seperti ruangan UKS, alat-alat peraga, set P3K, kurangnya bahan bacaan yang berhubungan dengan pendidikan kesehatan serta sekolah juga tidak menempatkan seorang guru sebagai penanggung jawab program UKS sehingga program kurang berjalan dengan baik dan tidak adanya kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2013) yang menyatakan bahwa UKS dapat berjalan dengan baik agar melakukan kegiatan intrakulikuler meliputi penjaskes,orkes dan juga pada pelajaran (KPDL) kepedulian pada diri dan lingkungan seperti menanamkan sikap dan tingkah laku untuk hidup bersih dan sehat, sanak sekolah dapat mengatasi permasalahan yang timbul dari lingkungan, memberi bekal pengetahuan pada anak sekolah tentang pengaruh-pengaruh dari lingkungan dan kegiatan ekstrakulikuler disini yang berperan meliputi dokter kecil, guru olahraga, wali kelas dan kepala sekolah. Di sekolah sebelum masuk kelas guru memeriksa kerapian dan kebersihan murid, pihak guru ataupun kepala sekolah memeriksa makanan yang dijual oleh penjual makanan di halaman sekolah dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan sangat penting dalam PHBS. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2007), yang menyatakan kunci pendidikan kesehatan di sekolah merupakan tanggung jawab guru, dimana sekolah merupakan perpanjangan tangan pendidikan kesehatan. Guru pada umumnya lebih dipatuhi oleh muridmuridnya. Oleh karena itu lingkungan sekolah, baik lingkungan fisik, sosial yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap perilaku sehat anak sekolah dasar. Menurut Effendi (2012) menyatakan bahwa untuk kelancaran penerapan program UKS harus menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat sekolah yang terdiri dari guru sebagai peserta didik, pegawai dan orang tua murid. Pelayanan kesehatan merupakan upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak sekolah agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas belajar dan prestasi belajar. Pada penerapan program UKS untuk kegiatan pelayanan lingkungan sekolah sehat yang dilakukan di sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur batu menunjukkan tingkat kegiatan kurang dilakukan secara keseluruhan dimana lingkungan sekolah tidak kelihatan bersih dan asri dan masih ada dijumpai sampah berserakan di halaman sekolah, maupun di ruangan kelas. Menurut peneliti dari hasil penelitian berdasarkan kategori pelayanan kesehatan menyatakan bahwa tidak terlaksana diakibatkan karena pemeriksaan kesehatan masih kurang terlaksana dengan baik ini terbukti bahwa pihak sekolah umumnya tidak memiliki ruang UKS sehingga tidak ada pelayanan kesehatan yang dilakukan di sekolah dan apabila datang pihak Puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan gigi, pengukuran Berat Badan maka lokasi tempat pemeriksaan tersebut dilaksanakan di Puskesmas. Faktor lain belum ada dokter kecil di sekolah tersebut. Hal ini sesuai dengan teori perilaku Green. Dalam teori perilaku Green, pelayanan 65

74 kesehatan termasuk ke dalam faktor pemungkin (enabling factors) yang digambarkan sebagai faktor-faktor yang memungkinkan (membuat lebih mudah) individu atau populasi untuk merubah perilaku atau lingkungan mereka. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana atau pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Faktor ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin Kurangnya pelaksanaan pembinaan lingkungan sekolah sehat pada anak sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur Batu diakibatkan karena tidak adanya guru sebagai penanggung jawab program UKS sehingga program kurang berjalan dengan baik, serta fasilitas yang kurang memadai seperti tidak adanya ruang UKS kalaupun ada digabung dengan ruangan lain seperti perpustakaan dan wastafel untuk kegiatan cuci tangan bersih sebelum dan sesudah melaksanakan suatu aktivitas maupun mengkonsumsi makanan pada saat jam istirahat. Effendi (2012), mengemukakan pembinaan lingkungan sekolah yang sehat merupakan gabungan antara upaya pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk dapat diterapkan dalam lingkungan sekolah dan kehidupan sehari-hari peserta didik. Pembinaan lingkungan sekolah sehat merupakan salah satu upaya sekolah dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dalam rangka meningkatkan taraf kesehatan anggotanya, khususnya anak sekolah. Termasuk dalam hal ini adalah pemeliharaan kebersihan di lingkungan sekolah. Pemeliharaan kebersihan lingkungan adalah faktor yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat. Pembinaan lingkungan kehidupan sekolah sehat berupa: penghijauan, penyediaan air bersih, halaman bersih dan pemberantasan nyamuk. Notoatmodjo menyebutkan bahwa masyarakat memerlukan sarana pendukung termasuk seperti puskesmas, poliklinik, posyandu, polindes dan lainlain, termasuk juga lingkungan sekolah yang sehat, untuk memungkinkan perilaku sehat. Fasilitas ini mendukung terwujudnya perilaku kesehatan maka faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin. Berdasarkan hasil penelitian ada hubungan penerapan UKS dengan pelaksanaan PHBS pada sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Pancur batu. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2013) mengindikasikan bahwa upaya sekolah dalam menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dapat dikatakan sudah berjalan dengan cukup baik apabila telah melakukan pembinaan dengan lingkungan sekolah yang tentu akan berpengaruh terhadap perilaku hidup bersih dan sehat pada anak sekolah dasar PENUTUP Penerapan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di wilayah kerja Puskesmas pancur batu belum sepenuhnya diterapkan. Sehingga perlu adanya kebijakan pemerintah untuk membuat ruangan khusus untuk UKS di sekolah. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada anak sekolah tergambar dalam penerapan UKS di sekolah. Sekolah yang telah menerapkan UKS pada sekolahnya umumnya akan memiliki Prilaku Hidup bersih dan Sehat yang baik. Ada hubungan penerapan UKS dengan pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin diterapkan pelaksanaan UKS di Sekolah semakin baik perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada anak sekolah. Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan membuat kebijakan tentang pentingnya UKS untuk meningkatkan PHBS anak yang baik dan bagi sekolah yang belum memiliki UKS sebaiknya mengambil kebijakan agar memiliki ruang UKS serta meningkatkan peran UKS yang telah ada dan bagi yang belum ada agar segera membentuk struktur UKS di setiap sekolah sehingga perilaku anak sekolah dasar yang merupakan modal maupun aset negara untuk memperjuangkan negara Indonesia memiliki nilai-nilai perilaku bersih dan sehat yang baik. DAFTAR PUSTAKA BPS, (2015). Badan Pusat Statistik. Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Madrasah Aliyah (MA) di Bawah Kementerian Agama Menurut Provinsi Chayatin & Mubarak, (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori Dan Aplikasi. 66

75 Jakarta: Penerbit: Salemba Medika Depkes, (2007). Majalah informasi & referensi promosi kesehatan I No.3/ Tahun IX Penerbit Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI, Jakarta. Efendi & Makfudli, (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Efendi & Makfudli, (2009). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta: EGC Ismoyowati (2007). Indikator PHBS di Sekolah, majalah informasi dan referensi promosi Kesehatan I No 1/Tahun IX Penerbit Pusat Promosi Kesehatan. Depkes RI: Jakarta Kementerian Kesehatan RI (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2015: Jakarta Konsultan Manajemen Nasional, (2010). Petunjuk Teknis Kegiatan Kesehatan Sekolah (UKS) Dalam PNPM Mandiri Pedesaan. Jakarta: PNPM Mandiri Kusuma LI (2013). Hubungan antara Trias UKS dengan pelaksanaan PHBS pada murid di sekolah dasar negeri Plalangan 01 dan Plalangan 04 Gunung pati Kota Semarang Tahun Retrieved from bstrak_12468.pdf Maryunani (2013). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk mahasiswa kesehatan dan Petugas Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media, Notoadmodjo, (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, (2012). Promosi Kesehatan Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Purba S. (2014) Pelaksanaan program UKS pada sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan. Skripsi, tidak dipublikasikan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara Ragmawati A (2013) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Yogjakarta: Nuha Medika Riskesdas, (2012). Laporan Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Siregar (2014) Pelaksanaan Program UKS dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Murid Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Medan baru tahun Skripsi. Tidak dipublikasikan. Universitas Sumatera Utara Situmorang (2013) Perbandingan pengetahuan, sikap dan indakan murid tentang perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah dasar yang memiliki Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) Kecamatan Medan Baru. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Universitas Sumatra utara. 67

76 HEALTH AND GREEN JUNCTION CONCEPT SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA EMISI GAS BUANG KENDARAAN I Dewa Gede Tantara Tesa Putra 1) Iksiroh El Husna 2) Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan Tegal 1) Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang 2) dewagedetesa@gmail.com 1) iksirmahfudz@yahoo.co.id 2) Abstrak Upaya pengendalian pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan bagian dari pengendalian pencemaran udara pada sistem transportasi khususnya pada simpang bersinyal Kardinah. Simpang yang terkenal karena volume lalu lintas yang padat di Kota Tegal ini menjadi pilihan untuk lokasi penelitian. Penelitian dilakukan pada peak hour pagi dan sore hari pada tanggal 9 September Pengukuran konsentrasi hidrokarbon (HC) dan karbon monoksida (CO) dilakukan pada pagi hari ( WIB) dan sore hari ( WIB) menggunakan emisi rata-rata volume kendaraan bermotor. Hasil menunjukkan bahwa tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor ini lebih tinggi dari tingkat yang diijinkan pada peak hour. Persimpangan di pagi dan sore hari berada di bawah batas deteksi, hal ini menunjukkan bahwa daerah ini tercemar pada pagi dan sore hari saat perkantoran dan aktivitas komersial dimulai. Usulan yang direkomendasikan adalah Health and Green Junction Concept. Kata kunci: health and green junction concept, pencemaran udara, kendaraan bermotor, gas buang. HEALTH AND GREEN JUNCTION CONCEPT AS AIR CONTROL OF EMERGENCY POLLUTION GAS EMISSION VEHICLES Abstract The Efforts to control air pollution due to motor vehicle exhaust emissions are part of air pollution control in transportation system especially at Kardinah signal intersection. This famous heavy traffic volume intersection in Tegal City as the main object of this research. The study was conducted at peak hour in the morning and afternoon on September 9, Measurement of hydrocarbon concentration (HC) and carbon monoxide (CO) was done in the morning ( WIB) and in the afternoon ( WIB) average volume of motor vehicles. The results show that the exhaust emissions level of the motor vehicle is higher than the allowed level at the peak hour. Tthe morning and evening condition of intersection are below the detection limit, indicated that the area has been polluted in the offices and commercial activities hours. The recommendations solutions is Health and Green Junction Concept. Keywords: health and green junction concept, air pollution, motor vehicle, flue gas. 68

77 PENDAHULUAN Simpang bersinyal (signalised intersection) adalah persimpangan jalan yang pergerakan atau arus lalu lintas dari setiap pendekatnya diatur oleh lampu sinyal untuk melewati persimpangan secara bergilir. Dengan demikian, dalam simpang bersinyal terdapat antrian kendaraan yang harus bergiliran untuk melewati simpang pada tiap ruas jalannya. Kota Tegal merupakan salah satu kota yang berada di Jawa Tengah yang memiliki total 22 buah simpang bersinyal. Salah satu simpang bersinyal yang memiliki tingkat kepadatan volume harian rata-rata tinggi adalah Simpang Kardinah. Simpang Kardinah merupakan tempat pergerakan manusia yang sangat padat karena kondisi tempat yang strategis. Lokasi simpang ini berdekatan dengan rumah sakit, masjid, pasar dan pertokoan. Di dalam udara terkandung dari gas yang terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen, 0,93% argon, 0.03% karbon dioksida, dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen. Gas oksigen merupakan komponen esensial bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Komposisi seperti itu dibilang sebagai udara normal dan dapat mendukung kehidupan manusia. Simpang Kardinah bersinyal yang memiliki tingkat volume kendaraan bermotor tinggi mengakibatkan kualitas udara menurun. Menurut Soedomo (2001: 57) sektor transportasi merupakan sumber paling besar kontribusinya pada pencemaran udara, khususnya dalam hal CO, HC, NOX dan Pb. Kusumaningrum Nanny (2008) melaporkan bahwa 70% pencemaran udara di perkotaan disebabkan oleh aktivitas kendaraan bermotor. Dampak dari polusi udara ini tidak hanya menurunkan kualitas udara tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan. Di samping itu, polusi udara juga memberikan dampak kerugian secara ekonomi. Kerugian akibat pencemaran udara di Kota Jakarta mencapai sekitar 200 juta dollar per tahun untuk seluruh jumlah penduduk Jakarta, ini merupakan hasil kajian Bank Dunia di tahun 1996 (Kusumaningrum N, 2008). Sedangkan Gunawan (1997) melakukan penelitian di Bandung dan Surabaya bahwa akibat pencemaran udara setiap orang mengeluarkan biaya kesehatan rata-rata tiga puluh ribu rupiah per orang per tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas udara ambien kadar CO dan kadar PM10 serta mendesain dan menciptakan lingkungan Health and Green Junction di Simpang Kardinah Kota Tegal. Penelitian ini menggunakan metode research and development. Tahapan penelitian dilihat pada Gambar 1 berikut. 69

78 Mulai Survei Pendahuluan Pengambilan Data Data Sekunder Data Primer Analisis Perancanagan desain Kesimpulan Selesai Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Data primer dalam penelitian ini adalah volume lalu lintas kendaraan pada seluruh ruas dalam simpang. Pengambilan data primer dilakukan pada peak hour yaitu pagi dan sore hari. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil survei pengambilan data primer, adapun jumlah kendaraan yang melintas di simpang Kardinah pada peak hour di pagi hari pada pukul 6.30 WIB sampai dengan 8.00 WIB dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Jumlah Volume Kendaraan Bermotor pada Pagi Hari Nama Jumlah Kendaraan Ruas MC LV HV Jl Ar. Hakim Jl. Werkudara Jl. Sultan Agung

79 Jl. KS Tubun Total (Sumber: Hasil analisis, 2017) Dapat dilihat pada tabel diatas bahwa jumlah kendaraan total Motorcycle (MC), Light Vehicle (LV) dan Heavy Vehicle (HV) berturut-turut adalah 1763,65 smp/jam, 1471 smp/jam dan 282,1 smp/jam. Jadi jumlah total kendaraan bermotor yang melintas di pagi hari pada Simpang Kardinah adalah smp/jam. Sedangkan untuk hasil survei pengambilan data primer jumlah kendaraan yang melintas di simpang Kardinah pada peak hour di sore hari pada pukul WIB sampai dengan WIB dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Jumlah Volume Kendaraan Bermotor pada Sore Hari Nama Jumlah Kendaraan Ruas MC LV HV Jl Ar. Hakim Jl. Werkudara Jl. Sultan Agung Jl. KS Tubun Total (Sumber: Hasil analisis, 2017) Dapat dilihat pada tabel diatas bahwa jumlah kendaraan total Motorcycle (MC), Light Vehicle (LV) dan Heavy Vehicle (HV) berturut-turut adalah 1460,2 smp/jam, 1355 smp/jam dan smp/jam. Jadi jumlah total kendaraan bermotor yang melintas di sore hari pada Simpang Kardinah adalah smp/jam. Data volume kendaraan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan rumus kualitas udara ambien model Hobbs (1979) dan Ruktiningsih (2003). Pada model Hobbs (1979) terdapat tiga rumus antara lain CO = 2,96+0,00032V + 0, V2, NOx = 46,9-0,036T + 0,00004T2 dan Asap = 9,49 + 0,022V Hubungan antara volume lalu lintas dan kualitas udara dengan model Hobbs (1979) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Konsentrasi CO, NOx dan Asap (Hobbs, 1979) Parameter Volume Kosentrasi Gas T Kendaraan Gas Hobbs (SMP) CO P S Nox P S Asap P

80 S (Sumber: Hasil analisis, 2017) Berdasarkan model Hobbs (1979), dapat diketahui bahwa konsentrasi CO di Simpang Kardinah Tegal pada pagi hari ( WIB) dan sore hari ( WIB) berturut-turut adalah dan Sedangkan konsentrasi NOx pagi hari dan sore hari berturut-turut adalah mikrogram/m3 dan mikrogram/m3. Asap akibat kendaraan bermotor pagi hari dan sore hari hari berturut-turut adalah mikrogram/m3 dan mikrogram/m3. Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Ruktiningsih (2003), perhitungan konsentrasi CO Y = 2, ,033466X dan PM10 Y = 95, ,167484X dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Konsentrasi CO dan PM10 Ruktiningsih (2003) Parameter Volume Kosentrasi Gas T Kendaraan Gas Ruktiningsih (SMP) CO P S PM10 P S (Sumber: Hasil analisis, 2017) Berdasarkan model Ruktiningsih (2003), dapat diketahui bahwa konsentrasi CO di Simpang Kardinah Tegal pada pagi hari ( WIB) dan sore hari ( WIB) berturut-turut adalah dan Sedangkan konsentrasi PM10 pagi hari dan sore hari berturutturut adalah mikrogram/m3 dan mikrogram/m3. Berdasarkan Baku Mutu kualitas udara ambien yang disyaratkan adalah kadar CO dan kadar PM10. Sehingga model analisis yang digunakan adalah model Ruktiningsih (2003). Adapun ambang batas persyratan Baku Mutu kualitas udara ambien di Jawa Tengah adalah 10 untuk kadar CO dan 150 untuk kadar PM10. Perbandingan antara ambang batas yang disyaratkan dengan hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 2 berikut. Gambar 2. Perbandingan antara Ambang Batas dan Hasil Anlisis Kadar CO dan PM10 Jadi dapat dilihat bahwa kadar CO dan kadar PM10 pada Simpang Kardinah Kota Tegal melebihi ambang batas persyaratan Baku Mutu kualitas udara ambien yaitu 120 untuk kadar CO di pagi hari dan 107 untuk kadar CO di sore hari serta 684 untuk kadar PM10 di pagi hari dan 618 untuk kadar PM10 di sore hari. 72

81 PENUTUP Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kadar CO dan kadar PM10 pada Simpang Kardinah Kota Tegal melebihi ambang batas persyaratan Baku Mutu kualitas udara ambien yaitu 120 untuk kadar CO di pagi hari dan 107 untuk kadar CO di sore hari serta 684 untuk kadar PM10 di pagi hari dan 618 untuk kadar PM10 di sore hari. Usulan yang direkomendasikan adalah Health and Green Junction Concept pada Simpang Kardina Kota Tegal. Desain konsep Health and Green Junction dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. Gambar 3. Desain Konsep Health and Green Junction Kardinah Kota Tegal Konsep ini didesain dengan cara menanam pohon Trembesi (28.488,39), pohon Cassia (5.295,47), dan pohon Kenanga (756,59) yang mempunyai kemampuan baik dalam menyerap CO dan PM10. Adanya pohon atau tanaman menjadi satu-satunya makhluk hidup dan bahkan alat yang dapat menyerap emisi gas buang kendaraan bermotor menjadi oksigen (Anonim 2009). DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2009). Daya Serap Pohon Terhadap Karbondioksida. Tunas Hijau, Indonesia, Kids and Young People do Actions for a Better Earth. Surabaya. Anonim. (2010). Jumlah Kendaraan Bermotor Harus Dikendalikan. Retrieved from Antari AARJ dan Sundra IK. (2002). Kandungan Timah Hitam (Plumbum) pada Tanaman Peneduh Jalan di Kota Denpasar. Retrieved from 4.pdf 73

82 Chauhan A. (2010). Tree As BioIndicator Of Automobile Pollution In Dehradun City: A Case Study. New York Science Journal 3 (6): Direktorat Jendral Penata Ruang Departemen Pekerjaan Umum. (2008). Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Retrieved from Gunawan, dkk. (1997). Analisis Kerugian Akibat Polusi Udara dan Kebisingan Lalu Lintas. Pusat Litbang Jalan. P Bandung. Hobbs F.D. (1979). Traffic Planning and Engineering Press. British. Second Edition. Pergamon Hobbs FD,Totomiharjo S, Waldijono. (1995). Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas Edisi Kedua. Gajah Mada University. Yogyakarta. Liem Krisna MT, dkk. (2014). Pengaruh Volume Lalu Lintas Terhadap Perubahan Iklim Kota Semarang. Tugas Mata Kuliah Rekayasa Lingkungan. Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang. Kusumaningrum Nanny. (2008). Polusi Udara Akibat Kendaraan Bermotor di Jalan Perkotaan Pulau Jawa dan Bali. Pusat Litbang Jalan. Bandung. Menteri Kehutanan. (2004). P.03/Menhut-V/2004, Tentang Pedoman Penanaman Turus Jalan Nasional Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Kemenhut, Jakarta Ngabekti S. (2004). Manfaat Tanaman Peneduh Jalan dalam Mempengaruhi lingkungan mikro dan kualitas udara di Kota Semarang. Jurnal Mipa 27 (1): Nugrahani P dan Sukartiningrum. (2008). Indeks Toleransi Polusi Udara (APTI) Tanaman Taman Median Jalan Kota Surabaya. Jurnal Pertanian Mapeta 10 (2): Ruktiningsih R. (2003). Model Matematis Hubungan Kadar CO dan PM10 terhadap Volume dan Kecepatan Lalu Lintas pada Ruas Jalan Kota Semarang (Studi Kasus: Ruas Karang AyuPenggaron). Laporan Hasil Penelitian dan Dinas P dan K Provinsi Jawa Tengah. Semarang. Soedomo, Moestikahadi. (2001). Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. Bandung: ITB. 74

83 THE STUCTURAL MODEL OF SOSIO-ECONOMIC FACTORS OF THE UNDERFIVE CHILDREN S DIARRHEA IN THE COASTAL AREAOF MANADO CITY Oksfriani Jufri Sumampouw 1, Adisti Aldegonda Rumayar 1, Jeini Ester Nelwan 1, Ronald Imanuel Ottay 2 1 Faculty of Public Health, Sam Ratulangi University Indonesia. 2 Faculty of Medical, Sam Ratulangi University Indonesia address: oksfriani.sumampouw@unsrat.ac.id Abstract Background Diarrhea escpecially in underfive children is one of the environment based disease. Environment has three main components: abiotic, biotic and culture. Diarrhea can occur as a result of abiotic (poorsanitation), biotic(poorhygiene) and culture(poor socioeconomic).the purpose of this study was to discovered the structural model of socioeconomic factors of the underfive children s diarrhea in the Coastal Area of Manadocity. Method This is a survey research with cross sectional study. The 120 under five children with diarrhea of the coastal area of Manado city were samples. The research variables were socio-economic factors as an independent variabel and incidence of diarrhea as a dependent variabel. Characteristic of mother and family income as indicators of socioeconomic factors. All the subjects were asked about diarrhea they had experienced in the six previous month. Questioner as a tool to collecting data. Data obtained were tested using the General Structured Component Analyzed with GeSCA software. Results The findings of this research showed there was a significant influence from socioeconomic factors to diarrhea incidence in underfive children (CR=2,74). In other hand, if the socio-economic factors will be increasing, the incidence of diarrhea will be decreasing (B= -0,246). The characteristic of mother as an indicator with highest influence (Loading value= 0,846). This research was found the structural model of socio-economic factors of the underfive children s diarrhea in the coastal area of Manado city. Conclusion This study identified that socio-economic factors has influenced to underfive children s diarrhea incidence in the coastal area of Manado city. Diarrhea was cause of socioeconomy factors, so health promotion and community empowerment must be done in coastal communities of Manado city. Keywords: Underfive children, socio-economic factors, GSCA, diarrhea, coastal area LATAR BELAKANG Diare membunuh 1,8 juta anak balita di negara berkembang. Jumlah ini mengalami peningkatan dari 1,5 juta kematian dalam 20 tahun terakhir. Kejadian tahunan kasus penyakit diare pada anak-anak berusia kurang dari lima tahun di negara berkembang sebanyak 2 miliar kasus dengan tingkat kejadian rata-rata 3,2 kasus penyakit per anak. Dalam studi berbasis masyarakat, rasio antara anak laki-laki dan anak perempuan balita yang mengalami diare akut yaitu 1,2 : 1,4. Hal tersebut penting karena pada beberapa negara (misalnya, di Asia Selatan) jumlah penderita lebih besar anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Black 2007; Mandal 2013). Data dari Dinas Kesehatan Kota Manado menunjukkan bahwa masalah kesehatan tertinggi berdasarkan indikator angka morbiditas penyakit berbasis lingkungan yaitu penyakit diare. Upaya untuk menekan prevalensi diare telah dilakukan namun karena 75

84 program intervensi (pencegahan/ pengendalian) diare yang tidak tepat sehingga prevalensi diare khususnya diare balita tidak mengalami penurunan. Hal ini bisa terlihat pada data yang diperoleh dari Dinkes Kota Manado tentang prevalensi penyakit diare balita pada tahun yang mengalami kenaikan. pada tahun 2009 angka prevalensi sebesar kasus dan mengalami kenaikan pada tahun 2013 menjadi kasus. Angka tersebut menunjukkan terjadi kenaikan sebesar kasus selama 4 tahun atau sekitar 287 kasus per tahun. Diare balita merupakan salah satu masalah kesehatan di kota Manado. Diare balita merupakan masalah kesehatan yang penting untuk dicari cara pengendaliannya. Penelitian dari Sumampouw et al (2015) menunjukkan bahwa salah satu factor risiko kejadian diare Balita di kota Manado yaitu lingkungan. Hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa pada sejumlah daerah di kota Manado merupakan daerah pemukiman padat penduduk dan berada di daerah pesisir. Setiap kelompok penduduk memiliki kebiasaan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan perumahan yang khas. Contohnya, etnis Sangihe sebagian besar bekerja sebagai nelayan, kebiasaan mencuci tangan pada air laut atau tanpa cuci tangan sebelum makan, kebiasaan buang air besar (BAB) di daerah pantai, berpendidikan yang cenderung rendah. Etnis Gorontalo bekerja sebagai pedagang, kehidupan dihabiskan di daerah pasar tradisional sebagai tempat bekerja sehingga mencuci tangan sebelum makan hanya menggunakan air yang apa adanya, berpendidikan yang rendah, dan dalam satu rumah jumlah anggota mencapai orang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menemukan model struktural pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap kejadian diare balita di daerah pesisir kota Manado. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Penelitian ini merupakan cross-sectional. Data penelitian diperoleh dengan cara survey (wawancara). Tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan di daerah pesisir kota Manado yaitu 4 (empat) wilayah kerja Puskesmas yaitu Bahu, Sario, Wonasa dan Tuminting. Lokasi penelitian ini merupakan pusat kegiatan bisnis dan pemukiman padat penduduk. Populasi dan sampel 1. Populasi a. Populasi target. Populasi target dalam penelitian yaitu seluruh balita penderita diare yang pernah berobat di Puskesmas Bahu, Sario, Wonasa dan Tuminting. b. Populasi studi. Populasi studi penelitian ini yaitu seluruh balita penderita diare yang pernah rawat jalan di Puskesmas Bahu, Sario, Wonasa dan Tuminting kota Manado pada periode 6 bulan terakhir. 2. Sampel Sampel untuk penelitian sebagai berikut: a. Perhitungan bersar sampel. Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 120 responden. Hal ini dilakukan karena tidak adanya data sekunder yang menunjukkan populasi balita yang terkena diare di setiap kecamatan. b. Pengambilan sampel. Pengambilan sampel untuk penelitian kuantitatif menggunakan metode purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan selama bulan Agustus Jumlah responden yang berhasil diwawancarai sekitar 10 balita per puskesmas. Untuk melengkapi jumlah sampel minimal (30 responden/ puskesmas) maka dipilih secara acak dari catatan pemegang program diare untuk balita yang pernah menerima perawatan di puskesmas. Selanjutnya dilakukan kunjungan rumah (home visit). Penentuan sampel mengikuti kriteria inklusi dan eksklusi sampel 76

85 Instrumen/ prosedur pengumpulan data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas kuesioner, kamera alat perekam, dan alat-alat tulis untuk data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Analisis data Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan General Structured Component Analysis (GSCA) untuk menemukan model struktural. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengujian Reliabilitas Konstruk Pengujian reliabilitas konstruk dilakukan menggunakan ukuran reliabilitas konstruk (Cronbach s Alpha) atau menggunakan jumlah varian keseluruhan dalam item yang dijelaskan oleh konstruk latent (Average Variance Extracted (AVE)) atau biasa disebut discriminant reliability. Kriteria pengujian apabila nilai Cronbach s Alpha lebih besar sama dengan 0.60 dan nilai discriminant reliability lebih besar sama dengan 0.50 maka dapat dinyatakan kontruk telah reliable. Tabel 1. Pengujian reliabilitas konstruk Variabel / Dimensi Discriminant Reliability Cronbach s Alpha Karakter Ibu Keuangan Ibu Diare Balita Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai discriminant reliability untuk dimensi karakter ibu sebesar 0.774, dimensi keuangan ibu sebesar 0.799, dan variabel diare balita sebesar Hal ini berarti nilai discriminant reliability semua dimensi lebih besar dari nilai cut off sebesar Dengan demikian semua konstruk dinyatakan reliabel. Hasil analisis tersebut menghasilkan Cronbach s Alpha dimensi karakter ibu sebesar 0.629, dimensi keuangan ibu sebesar 0.727, dan variabel diare balita sebesar Hal ini berarti nilai Cronbach s Alpha semua dimensi lebih besar dari nilai cut off sebesar Dengan demikian semua konstruk dinyatakan reliabel Kontribusi Indikator Pengukur Variabel Laten Besarnya muatan atau kontribusi item dalam mengukur variabel laten dapat diketahui melalui loading faktor masing-masing item. Tabel 2. Kontribusi Item Pengukur Variabel Sosial Ekonomi Keluarga Loading Loading Dimensi Item (Dimensi) (Item) Pendidikan Karakter Ibu Umur Melahirkan Pendapatan Kondisi Keuangan Tabungan Model pengukuran dimensi karakter ibu sebagai berikut: Pendidikan = Karakter Ibu Umur_Melahirkan = Karakter Ibu Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai loading item pendidikan sebesar Hal ini berarti keragaman dimensi karakter ibu mampu dijelaskan oleh item pendidikan sebesar 89.3%. Dengan kata lain, kontribusi pendidikan dalam mengukur dimensi karakter ibu sebesar 89.3%. Nilai loading item umur melahirkan sebesar Hal ini berarti keragaman dimensi karakter ibu mampu dijelaskan oleh item umur melahirkan sebesar 86.6%. Dengan kata lain, kontribusi umur melahirkan dalam mengukur dimensi karakter ibu sebesar 86.6%. Model pengukuran dimensi karakter ibu juga menginformasikan bahwa item pendidikan memiliki nilai loading paling besar. Hal ini berarti item pendidikan merupakan 77

86 item yang paling dominan dalam mengukur dimensi karakter ibu. Model pengukuran dimensi kondisi keuangan sebagai berikut: Pendapatan = Kondisi Keuangan Tabungan = Kondisi Keuangan Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai loading item pendapatan sebesar Hal ini berarti keragaman dimensi kondisi keuangan mampu dijelaskan oleh item pendapatan sebesar 87.4%. Dengan kata lain, kontribusi pendapatan dalam mengukur dimensi kondisi keuangan sebesar 87.4%. Nilai loading item tabungan sebesar Hal ini berarti keragaman dimensi kondisi keuangan mampu dijelaskan oleh item tabungan sebesar 91.3%. Dengan kata lain, kontribusi tabungan dalam mengukur dimensi kondisi keuangan sebesar 91.3%. Model pengukuran dimensi kondisi keuangan juga menginformasikan bahwa item tabungan memiliki nilai loading paling besar. Hal ini berarti item tabungan merupakan item yang paling dominan dalam mengukur dimensi kondisi keuangan. Model pengukuran variabel sosial ekonomi keluarga sebagai berikut: Karakter Ibu = Sosek Keluarga Kondisi Keuangan = Sosek Keluarga Berdasarkan model pengukuran di atas diketahui bahwa nilai loading dimensi karakter ibu sebesar Hal ini berarti keragaman variabel sosial ekonomi keluarga mampu dijelaskan oleh dimensi karakter ibu sebesar 87.4%. Dengan kata lain, kontribusi karakter ibu dalam mengukur variabel sosial ekonomi keluarga sebesar 87.4%. Nilai loading dimensi kondisi keuangan sebesar Hal ini berarti keragaman variabel sosial ekonomi keluarga mampu dijelaskan oleh dimensi kondisi keuangan sebesar 91.3%. Dengan kata lain, kontribusi kondisi keuangan dalam mengukur variabel sosial ekonomi keluarga sebesar 91.3%. Model pengukuran variabel sosial ekonomi keluarga juga menginformasikan bahwa dimensi kondisi keuangan memiliki nilai loading paling besar. Hal ini berarti dimensi kondisi keuangan merupakan dimensi yang paling dominan dalam mengukur variabel sosial ekonomi keluarga. Evaluasi Model Struktural a. Uji Kelayakan Konstruk (Model) Pengujian kelayakan konstruk (model) dimaksudkan untuk mengetahui apakah konstruk yang terbentuk telah sesuai (layak) atau tidak. Ada beberapa indeks pengujian dalam analisis GSCA. yaitu Fit. AFit. GFI. dan SRMR. Kriteria menggunakan GFI menyebutkan apabila nilai goodness of fit tersebut nilai cut off (sebesar 0.90) maka konstruk yang terbentuk telah sesuai (layak atau good fit). sementara apabila nilai GFI berada di dalam rentang maka konstruk yang terbentuk dinyatakan marginal fit (cukup layak). Dan kriteria menggunakan SRMR menyebutkan apabila SRMR nilai cut off (sebesar 0.08) maka konstruk yang terbentuk telah sesuai (layak atau good fit). Namun apabila salah satu goodness of fit telah telah terpenuhi maka model dapat dinyatakan layak. Hasil pengujian kelayakan konstruk yang telah diringkas dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengujian kelayakan konstruk Indeks Nilai Fit AFit GFI SRMR Berdasarkan ringkasan tersebut dapat diketahui bahwa indeks global optimalization GFI > 0.9. Dengan demikian berdasarkan kriteria konstruk yang telah terbentuk dinyatakan sangat baik. Nilai goodness of fit model structural diperoleh nilai Fit sebesar Hal ini berarti kontribusi variabel sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian diare pada 78

87 balita sebesar 18.7%. sedangkan sisanya sebesar 81.3% merupakan kontribusi variabel lain yang tidak tidak dibahas dalam penelitian ini. b. Pengujian Hipotesis Pengaruh Langsung Pengujian hipotesis pengaruh langsung dimaksudkan untuk menguji ada tidaknya pengaruh variabel eksogen secara langsung terhadap variabel endogen. Pengujian hipotesis direct effect dapat diketahui melalui nilai Critical Ratio (CR) pada Tabel 4. Tabel 4. Pengujian hipotesis direct effect Hubungan B S.E. C.R Sosek Keluarga terhadap Diare pada Balita * Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap lingkungan diperoleh nilai CR sebesar Hal ini diketahui bahwa nilai CR bertanda bintang (> 2.00), sehingga dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh signifikan secara langsung sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian diare pada Balita. Koefisien direct effect faktor sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian diare pada balita sebesar menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi keluarga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap diare pada balita. Hal ini berarti meningkatnya kondisi sosial ekonomi keluarga maka cenderung dapat menurunkan risiko terjadinya diare pada balita. Berikut ini disajikan model struktural pengaruh faktor sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian diare pada anak balita di kota Manado. Pendidika n Umur Melahirk Pendap atan Tabungan 0,893 0,866 0,874 Karakt Ibu Keuanga n 0,913 0,846 Sosek Keluarga 0,804-0,246 Kejadian Diare Gambar 1. Model Struktural Teori Marc Lalonde menurut Canada s Public Health Leader (2014) menjelaskan tentang faktor-faktor penyebab penyakit. Teori ini dikenal dengan Lalonde Framework. Teori ini menunjukkan faktor yang mempengaruhi kesehatan ada 4 faktor yaitu lingkungan (biotiksosial-budaya), perilaku (gaya hidup), pelayanan kesehatan dan individu (bio-psiko-sosio). Selanjutnya, berdasarkan teori terjadinya penyakit (segitiga epidemiologi) penyakit diare balita tidak dapat terjadi jika adanya keseimbangan interaksi antara ke-3 komponen yaitu host, agent dan environment. Keadaan sakit terjadi jika interaksi antara ke-3 komponen yaitu host, agent dan environment tidak seimbang. 79

88 Gambar 2. Keadaan seimbang komponen penyebab penyakit diare Gambar diatas menunjukkan keadaan seimbang antara komponen penyebab penyakit diare. Terdiri dari 3 komponen yaitu host dalam hal ini kondisi balita. Agent yaitu faktor penyebab seperti bakteri, virus atau protozoa. Komponen terakhir yaitu environment termasuk lingkungan rumah, perilaku orang tua dan tingkat pendapatan keluarga. H A 1 A H 2 E E H A 3 4 A H E E Gambar 3. Keadaan dalam segitiga epidemiologi dimana diare balita terjadi Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada Model 1 terjadi ketidakseimbangan dimana terjadinya mutasi bibit penyakit. Model 2 terjadi ketidakseimbangan karena banyaknya populasi balita yang masih peka terhadap penyakit diare sehingga populasi tersebut rentan terhadap bibit penyakit. Model 3 terjadi ketidakseimbangan karena yaitu terjadinya perubahan iklim global yang menyebabkan mutasi gen dari bibit penyakit dan populasi masyarakat peka terhadap penyakit. Selain itu, terjadinya banjir menyebabkan penyakit diare mudah terkena pada populasi. Model 4 terjadi ketidakseimbangan karena adanya pencemaran air yang menyebabkan bibit penyakit dapat terkontaminasi pada air dan makanan (ikan dan lainnya) sehingga ketika ditelan oleh balita dapat menyebabkan diare. Berdasarkan teori-teori ini terlihat bahwa masalah kesehatan atau status kesehatan masyarakat merupakan masalah yang multifaktorial. Berdasarkan ketiga teori di atas terlihat bahwa masalah kesehatan dipengaruhi oleh determinan lingkungan (termasuk kondisi sosial), perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik (ketahanan psiko-sosiobiologik). Dari beberapa teori di atas, maka disusun suatu kerangka teori/ pemikiran. Kerangka pemikiran merupakan suatu diagram yang menjelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Kerangka teori/ pemikiran penulis paparkan dalam sebuah diagram jalur/ path diagram (Gambar 4). 80

89 Gambar 4. Kerangka berpikir Sejumlah penelitian dan kajian menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya diare balita. Menurut Ottay et al (2015) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya diare balita di kota Manado. Faktor sosial kesehatan, seperti kemiskinan, ketiadaan akses terhadap pelayanan kesehatan, kekurangan akses terhadap pendidikan, 81

90 stigma, rasisme, bias gender, merupakan beberapa di antara faktor-faktor penting yang melatari dan menyumbang terjadinya ketimpangan kesehatan (Solar dan Irwin 2007). Menurut Department of Health Western Australia (DHWA), menjelaskan bahwa status kesehatan individu dan masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan alami, masyarakat tempat tinggal, gaya hidup, keberlanjutan, lingkungan sosial, pelayanan masyarakat, lingkugan ekonomi dan transportasi. Lingkungan alami seperti kualitas udara, air dan tanah. Hendrik L. Blum dalam Planning for Health, Development and Application of Sosial Change Theory secara jelas menyatakan bahwa determinan status kesehatan masyarakat merupakan hasil interaksi domain lingkungan, perilaku dan genetika serta bukan hasil pelayanan medis semata-mata. Berdasarkan teori ini, terlihat bahwa konsep status kesehatan seseorang bahkan suatu masyarakat, dipengaruhi oleh empat faktor terdiri lingkungan 45%, perilaku 30% disusul jasa layanan kesehatan 20%, serta faktor genetik atau keturunan hanya berpengaruh 5% (Sarudji 2006). Faktor sosial ekonomi keluarga dapat diukur berdasarkan beberapa indikator seperti tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, jumlah pendapatan, dan lainnya. Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendapatan keluarga. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu utama bayi bertahan hidup di negara berkembang. Suatu penelitian yang menggunakan model interaktif multi-level yang bertujuan untuk menilai apakah efek pendidikan ibu terhadap risiko kejadian diare pada bayi. Selanjutnya, apakah pendidikan ibu dapat dimodifikasi atau dipengaruhi oleh tiga aspek yaitu lingkungan keluarga dan masyarakat dari ibu, sumber daya ekonomi masyarakat dan ketersediaan perkumpulan ibu-ibu. Penelitian ini dilakukan terhadap responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek perlindungan dari pendidikan ibu pada kejadian diare balita bervariasi sesuai dengan lingkungan sosial-ekonomi dimana ibu tinggal. Pendidikan ibu menjadi faktor protektif terhadap kejadian diare balita pada masyarakat dengan sosial ekonomi yang baik dan tidak memiliki efek pada masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan ibu terhadap kejadian diare balita lebih kecil diantara keluarga dengan status ekonomi yang tinggi. Data ini menunjukkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan ibu, mungkin tidak selalu memiliki efek menguntungkan pada kesehatan bayi. Peningkatan status kesehatan bayi dapat dilakukan melalui meningkatkan akses ibu dan anak-anak terhadap sumber daya masyarakat. Selain itu, perlu adanya upaya untuk membantu ibu lebih efektif dalam berbagai peran sosial. Hal ini menjadi prasyarat untuk meningkatkan tingkat pendidikan ibu dalam rangka menghasilkan perbaikan kesehatan bayi (Dargent- Molina et al 1994). Penduduk suatu negara berkualitas tinggi jika status kesehatannya tinggi. Indonesia tergolong negara dengan tingkat kesehatan rendah. Kondisi ini diakibatkan oleh beberapa faktor seperti lingkungan, makanan, dan layanan kesehatan (fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis). Tingkat kesehatan suatu negara dapat dinilai dari tinggi rendahnya angka kematian kasar, angka kematian bayi, dan umur harapan hidup. Tingkat kesehatan penduduk dikatakan tinggi apabila angka kematian kasar dan angka kematian bayinya rendah, tetapi umur harapan hidupnya tinggi (Wagstaff 2002). Kemiskinan dan kesehatan saling terkait. Negara-negara miskin cenderung memiliki penduduk dengan status kesehatan yang rendah dibandingkan negara-negara yang lebih baik. Dalam suatu negara, masyarakat miskin memiliki status kesehatan rendah daripada orang yang lebih tingkat pendapatannya (Wagstaff 2002). Secara sederhana, masyarakat yang hidup dalam kemiskinan akan hidup dalam status kesehatan yang rendah. Hal ini terjadi karena mereka yang miskin tidak dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai. Namun dilain pihak masyarakat yang selalu mengalami penyakit maka hidup dalam kekurangan. Hal ini terjadi karena seluruh penghasilan mereka hanya digunakan untuk membiayai kesehatan. Dalam konteks ini perlu adanya tindakan pemerintah untuk memutus keadaan ini. 82

91 KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian diare balita di wilayah pesisir kota Manado. Model struktural kejadian diare balita menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kondisi sosial ekonomi keluarga maka cenderung dapat menurunkan risiko terjadinya diare pada balita di wilayah pesisir kota Manado. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat pesisir di kota Manado sehingga dapat meningkatkan sosial dan ekonomi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Black, R Epidemiology of Diarrheal Disease. School of Public Health. John Hopkins University. Bloomberg Canada s Public Health Leader Lalonde Framework (online) diakses dari pada 5 April 2014 Department of Health Western Australia Health Impact Assassement (online) diakses dari pada 24 Maret 2014 Dinas Kesehatan Kota Manado Prevalensi Berbasis Lingkungan. Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Manado Mandal, A Diarrhea Epidemiology (online) diakses dari pada 18 Oktober 2013 Sarudji, D Kesehatan Lingkungan. Cetakan Pertama. Media Ilmu. Surabaya Solar, O., dan A. Irwin A conceptual framework for action on the sosial determinants of health. Discussion paper for the commission on sosial determinants of health. WHO Commission on Sosial Determinants f Health. (online) Diakses dari 7.pdf pada 10 September 2013 Sumampouw O.J., Soemarno, S, Andarini dan E. Sriwahyuni Environment Risk Factors of Diarrhea Incidence in the Manado City. Journal of Public Health. 5(5): DOI: /j.phr Ottay, R.I. O.J. Sumampouw, J.E. Nelwan, dan H.C.D. Cahyo Coastal Area Public Health Problem (A Case Study in the City of Manado North Sulawesi Indonesia). Food and Public Health 2015, 5(2): DOI: /j.fph Mandal, A Diarrhea Epidemiology (online) diakses dari pada 18 Oktober 2013 Wagstaff, A Poverty and health sector inequalities. Bulletin of the world health organization, 80(2),

92 Menuju Permukiman Bebas Septic Tank: Studi Pengolahan Air Limbah Domestik di Perumahan Graha Natura Widya Aprilia Kurnia, ST, MT Balai Teknik Penyehatan Lingkungan Permukiman Abstrak Perumahan Graha Natura Surabaya dibangun dengan mengusung konsep pengelolaan limbah rumah tangga secara terpadu. Penerapan teknologi ini memungkinkan untuk tidak perlu digunakannya septic tank pada tiap rumah. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan pengolahan air limbah domestik di Perumahan Graha Natura; dan 2. Mendeskripsikan alasan Perumahan Graha Natura mengusung model Perumahan Bebas Septic Tank. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara untuk memperoleh data terkait dengan pembahasan. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1. Pengelolaan limbah domestik di perumahan Graha Natura dilakukan secara terpusat, yaitu limbah dari tiap rumah disedot ke satu area terpusat, dan diolah lagi menjadi air bersih yang digunakan untuk penyiraman; 2. Alasan mengadopsi teknologi bebas septik tank adalah menghadirkan perumahan yang sehat dan ramah lingkungan; 3. Pertimbangan digunakannya teknologi ini antara lain: sumber air yang ada, kedalaman air tanah, permeabilitas tanah, kemiringan tanah, ketersediaan lahan, dan pendanaan. Kata kunci: Rumah Tangga, Air Limbah Domestik, Septic Tank Towards Septic Tank Free Settlements: Study of Domestic Wastewater Treatment in Graha Natura Housing Abstract Graha Natura Housing in Surabaya is built with the concept of integrated home waste management. Implementation of this technology is not to use septic tank at each house. This study aims to: 1. Describe the domestic waste water treatment in Graha Natura Housing; 2. Describe the reasons Graha Natura Housing brings the model of Septic Tank Free Housing. Method of data settlement used is observation and interview to get data related with. Data analysis using descriptive analysis. The results of the study show that: 1. The management of domestic waste in Graha Natura housing is done centrally, which the waste from each house is sucked into a centralized area, and processed again into clean water used for irrigation; 2. additional reasons septic tank free technology is to bring a healthy and environmentally friendly housing; 3. Considerations that use this technology include: existing water sources, ground water, soil permeability, land slope, fields, and funding. Keywords: Household, Domestic Waste Water, Septic Tank 84

93 I. Pendahuluan 1.1. Latarbelakang Sanitasi lingkungan utamanya terkait air limbah domestik menjadi salah satu persoalan penting di sektor perumahan. Tak dapat dipungkiri bahwa persoalan ini telah memberikan dampak terkait dengan kesehatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Sistem pengelolaan air limbah domestik yang tidak terencana dengan baik akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Tentunya, hal ini akan berdampak kepada peningkatan jumlah penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi yang buruk. Air limbah domestik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan material limbah cair yang bersumber dari aktivitas perkotaan atau rumah tangga yang dialirkan dan diolah di instalasi pengolahan air limbah domestik baik secara individu sistem setempat (on-site system) maupun sistem terpusat (off-site system). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 5 P.68 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik mendefinisikan air limbah domestik sebagai air limbah yang berasal dari aktivitas hidup sehari-hari manusia yang berhubungan dengan pemakaian air. Pengelolaan air limbah domestik dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kualitas lingkungan agar tidak terkena dampak negatif dari pembuangan air limbah domestik tersebut ke badan air penerima. Penyelenggaraan pengelolaan air limbah domestik bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan air limbah domestik yang ramah lingkungan, sehingga tercapai peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkunganyang lebih baik dan sehat. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa pengelolaan air limbah termasuk dalam urusan wajib Pemerintah Daerah dan merupakan pelayanan dasar bagi masyarakat. Selanjutnya dalam Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional juga menyatakan pencapaian universal akses sanitasi pada tahun Tulisan ini mengkaji persoalan sanitasi lingkungan terkait pengolahan air limbah domestik dengan kasus di Perumahan Graha Natura di Surabaya Barat. Perkembangan dan persaingan sektor perumahan di Surabaya memang semakin menuntut para pengembang untuk berinovasi dalam memberikan layanan terbaik bagi konsumennya. Salah satunya dalam hal penyediaan prasarana sanitasi lingkungan. Keberadaan prasarana lingkungan menurut Claire (1973) menjadi kebutuhan penting yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Artinya, keberadaannya menjadi syarat bagi terciptanya kenyamanan hunian Rumusan Masalah Dari uraian di latar belakang, pertanyaan yang muncul adalah: 1. Bagaimana pengolahan air limbah domestik di Perumahan Graha Natura di Kawasan Surabaya Barat tersebut? 2. Mengapa Perumahan Graha Natura di Kawasan Surabaya Barat mengusung model Perumahan Bebas Septic Tank? 1.3. Tujuan Tujuan penulisan makalah adalah: 1. Mendeskripsikan pengolahan air limbah domestik di Perumahan Graha Natura di Kawasan Surabaya Barat 2. Mendeskripsikan alasan Perumahan Graha Natura di Kawasan Surabaya Barat mengusung model Perumahan Bebas Septic Tank. II. Metode Penelitian 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 85

94 Lokasi penelitian di perumahan Graha Natura di wilayah Surabaya Barat Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Data Primer, data yang diperoleh dari survei untuk mengetahui bagamana dan mengapa pengelolaan limbah domestik dilakukan pengembang Graha Natura. 2. Data Sekunder, data yang diperoleh sudah dalam bentuk jadi yang diterbitkan oleh pihak lain. Data sekunder yang digunakan adalah: III. Hasil dan Pembahasan 3.1. Sekilas Tentang Perumahan Graha Natura Perumahan Graha Natura dibangun oleh pengembang properti PT Intiland Development dengan mengusung konsep pengelolaan limbah rumah tangga secara terpadu (integrated sewage system). Penerapan teknologi ini memungkinkan untuk tidak perlu digunakannya septic tank pada tiap rumah. Hal tersebut sejalan dengan desain masterplan serta rancangan rumah-rumah di perumahan tersebut yang mengadopsi hunian tropikal dengan menekankan pada pelestarian alam. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dilakukan mengacu pada tiga model gaya hidup, yakni: healty, technology, dan nature. PT Intiland Development menggandeng Seameo Biotrop (South East Asia Regional Center for Biology Tropical), yang merupakan pusat regional asia tenggara untuk biologi tropikal. Seameo Biotrop nantinya akan memberikan dukungan konsultatif dan teknis mengenai upaya konservasi dan keanekaragaman. Lokasi perumahan Graha Natura berada di kawasan jalan Sambikerep-Kuwukan, kelurahan Lontar, kecamatan Sambikerep Surabaya. Perumahan ini memiliki luas total lahan sebesar ,00 m 2. Dulunya lahan ini merupakan daerah perkebunan, dan sebagian daerah rawa-rawa. Perumahan Graha Natura Sambikerep Surabaya memiliki perincian penggunaan lahan sebagai berikut : - Perdagangan /jasa komersial : ,80 m 2 - Perumahan : ,30 m 2 - Fasilitas Umum Pengembang : 5.104,35 m 2 - Fasilitas Umum Pemkot : ,50 m2 - Ruang Terbuka Hijau (RTH) : ,05 m 2 - Bosem : 7.161,55 m 2 - Jalan Dan Saluran : ,45 m 2 - Total : ,00 m 2. 86

95 Gambar 1. Lokasi Perumahan Graha Natura-Surabaya Desain lingkungan dan landscape Graha Natura dipercayakan kepada seorang desainer internasional, Karl Princic, untuk menciptakan kawasan yang tertata asri dan teduh dengan banyak ruang terbuka hijau dan pepohonan besar, memberikan banyak pasokan oksigen (O 2) yang akan mengoptimalkan kualitas gaya hidup sehat penghuninya. Graha Natura juga berkomitmen untuk mewujudkan kawasan perumahan lebih sehat yang bebas limbah rumah tangga dengan membangun sistem pusat pengolahan limbah terpadu atau Integrated Sewage Treatment Plant (ISTP) yang mampu mengolah seluruh limbah cair dan padat dari rumah tangga secara terpusat. Melalui penerapan teknologi ini maka setiap rumah di Graha Natura bebas dari septic tank. Prasarana dasar yang disediakan oleh Perumahan Graha Natura kepada penghuninya relatif sangat layak. Menurut Grigg (1988) dalam Robert J Kodoatie (2003), prasarana dasar pada dasarnya merujuk pada sistem fisik, meliputi: penyediaan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi Konsep Pengolahan Air Limbah Domestik di Perumahan Graha Natura Sistem Pengolahan Limbah Demi kesehatan para penghuni, Pengembang Intiland menghadirkan teknologi ramah lingkungan yang pertama kali ada di Indonesia ini diadopsi dari luar negeri. Graha Natura bekerja sama dengan Quavac, sebuah perusahaan dari Belanda yang ahli dalam sistem pengolahan limbah untuk menghadirkan Vacuum Sewage System, sebuah sistem pengolahan limbah terpusat yang aman dan nyaman bagi penghuni. Memungkinkan limbah dari tiap rumah untuk disedot ke satu area terpusat, dan diolah lagi menjadi air bersih yang digunakan untuk penyiraman lingkungan. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T) SPALD-T di Perumahan Graha Natura secara teknis mekanismenya adalah fasilitas pengolahan air limbah berada diluar persil atau dipisahkan dengan batas jarak atau tanah yang menggunakan perpipaan untuk mengalirkan air limbah dari rumah-rumah secara bersamaan dan kemudian dialirkan ke IPAL. Secara umum, terdapat tiga komponen yang terdapat dalam SPALD-T, yakni: a. Subsistem Pelayanan merupakan prasarana dan sarana untuk menyalurkan air limbah domestik dari sumber melalui perpipaan ke Sub-sistem Pengumpulan. Sub-sistem 87

96 Pelayanan meliputi pipa tinja, pipa non tinja, bak perangkap lemak dan minyak dari dapur, pipa persil, dan bak kontrol. b. Subsistem Pengumpulan merupakan prasarana dan sarana untuk menyalurkan air limbah domestik melalui perpipaan dari Sub-sistem Pelayanan ke Sub-sistem Pengolahan Terpusat. Sub-sistem Pengumpulan terdiri dari pipa retikulasi, pipa induk, dan prasarana dan sarana pelengkap. c. Subsistem Pengolahan merupakan prasarana dan sarana untuk mengolah air limbah domestik yang dialirkan dari sumber melalui Sub-sistem Pelayanan dan Sub-sistem Pengumpulan. Prasarana dan sarana IPALD terdiri atas: a. Prasarana utama meliputi: 1) bangunan pengolahan air limbah domestik; 2) bangunan pengolahan lumpur; 3) peralatan mekanikal dan elektrikal; dan/atau 4) unit pemanfaatan hasil olahan. b. Prasarana dan sarana pendukung meliputi: 1) gedung kantor; 2) laboratorium; 3) gudang dan bengkel kerja; 4) infrastruktur jalan berupa jalan masuk, jalan operasional, dan jalan inspeksi; 5) sumur pantau; 6) fasilitas air bersih; 7) alat pemeliharaan; 8) peralatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); 9) pos jaga; 10) pagar pembatas; 11) pipa pembuangan; 12) tanaman penyangga, dan/atau 13) sumber energi listrik. Sub-sistem Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat berupa Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) yang berfungsi untuk mengolah air limbah domestik. Sub-sistem pengolahan terdiri dari unit pengolahan air limbah (pengolahan fisik, pengolahan biologis, dan/atau pengolahan kimia), pengolahan lumpur hasil olahan air limbah domestik tersebut (baik berupa lumpur dari pengolahan fisik maupun lumpur dari hasil pengolahan biologis/kimia), dan unit pembuangan akhir. Bagi kota yang sudah mempunyai IPALD tapi tidak mempunyai IPLT, IPALD yang sudah ada tidak dapat berfungsi sekaligus sebagai IPLT untuk mengolah lumpur tinja karena IPALD tetap berfungsi untuk mengolah air limbah saja. Apabila IPALD yang ada ingin difungsikan sebagai IPLT juga, maka diperlukan penyediaan tambahan unit pemisah lumpur sebelum lumpur tinja tersebut masuk ke dalam IPALD. Apabila debit lumpur tinja yang masuk ke IPALD lebih besar dari 10% (sepuluh persen) dari kapasitas terpasang IPALD, maka diperlukan unit pengolahan pendahuluan secara biologis. Air hasil olahan IPALD dan IPLT yang dibuang ke badan air penerima, harus memenuhi standar baku mutu air limbah domestik. Apabila air limbah domestik yang telah terolah akan dimanfaatkan untuk keperluan tertentu, maka air olahan tersebut harus memenuhi baku mutu sesuai peruntukannya. Pengelolaan limbah domestik di perumahan Graha Natura mengadopsi sistem terpusat. Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Sistem Terpusat (off-site) merupakan sistem dimana fasilitas pengolahan air limbah berada di luar persil atau dipisahkan dengan batas, jarak atau tanah yang menggunakan perpipaan untuk mengalirkan air limbah dari rumah-rumah secara bersamaan dan kemudian dialirkan ke IPAL. Jumlah layanan yang ditetapkan masuk kedalam kategori SPALD-Terpusat, yakni sebanyak lebih besar dari 10 Kepala Keluarga (KK), jika lebih kecil sama dengan 10 KK 88

97 maka dikategorikan sebagai SPALD-S. Perencanaan teknis SPALD-T merupakan rencana rinci pembangunan SPALD di suatu kota atau kawasan meliputi sub-sistem pelayanan, subsistem pengumpulan, sub-sistem pengolahan, dan sub-sistem pengolahan lumpur. Air Limbah Domestik Rumah Tangga Perhitungan debit air limbah didasarkan pada jumlah pemakaian air minum. Volume air limbah adalah 80% volume air minum. Perhitungan untuk pemakaian air minum penduduk sebaiknya menggunakan data primer. Apabila data primer tidak ada, data sekunder yang biasa digunakan adalah data pemakaian air PDAM untuk rumah yang hanya penggunakan PDAM sebagai satu satunya sumber air minum. Air Limbah Domestik Non Rumah Tangga Air limbah non rumah tangga yang masuk katagori domestik dan bisa diolah bersama. Sarana air limbah skala permukiman dapat menampung air limbah yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, dan dapur. Air limbah tersebut dialirkan melalui pipa ke bak kontrol, dari bak kontrol air limbah dialirkan melalui pipa ke dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Bak kontrol sangat penting dalam sistem sanitasi perpipaan. Bak kontrol berfungsi sebagai tempat memantau kondisi aliran air limbah dalam perpipaan. Sampah yang terbawa dari dalam rumah tertahan di dalamnya dan dapat diangkat supaya tidak masuk ke dalam sistem perpipaan yang dapat menyumbat aliran. Air limbah yang ditampung dalam IPAL selama beberapa hari, akan mengalami penguraian secara biologis, sehingga kualitas air buangannya (effluent) sudah memenuhi standar yang aman dibuang ke saluran drainase atau badan air terdekat Pilihan Teknologi Teknologi IPAL secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu anaerob, aerob, dan campuran. Pada prinsipnya pengolahan limbah anaerob dan aerob terletak pada kehadiran oksigen untuk metabolism mikroorganisme (bakteri). Pada proses aerob, kehadiran oksigen diperlukan sedangkan pada proses anaerob tidak diperlukan. Sistem Pengolahan Aerob. Teknologi ini paling efisien untuk sistem perkotaan (sewerage), karena dianggap lebih efesien untuk skala pelayanan penduduk yang besar. Pada sistem yang dikelola oleh institusi, penggunaan peralatan mekanikal seperti blower atau aerator pada unit pengolahan dapat dikelola dengan baik oleh operator yang terlatih Pertimbangan Mengusung Model Perumahan Bebas Septic Tank Perumahan Graha Natura mengusung konsep bebas septik tank lebih kepada alasan kepedulian kepada kesehatan lingkungan. Menurut Notoatmojo (2005), kesehatan lingkungan akan berpegaruh positif pada kesehatan manusia. Ruang lingkup kesehatan lingkungan, antara lain: perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (limbah), dan lainnya. Sistem sanitasi pada dasarnya adalah memutus rantai transmisi penyakit yang diakibatkan oleh kotoran manusia.pemutusan rantai ini dilakukan melalui penampungan kotoran pada unit pengolahan. Namun demikian tidak dapat dihindarkan sisa pengolahan, baik cairan Perlu diingat bahwa tinja itu sampah yang mengandung banyak bakteri, kuman, dan virus, terutama E coli. Saat mencemari lingkungan, pastinya bisa menimbulkan bahaya kesehatan. Seperti diketahui E.coli menjadi salah satu penyebab diare. Menurut data Unicef tahun 2013, kurang lebih balita meninggal setiap tahun di Indonesia akibat diare. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) merupakan unit yang di dalamnya terjadi proses biologis. Apabila proses biologis ini berjalan dengan baik, maka akan ada perbaikan kualitas pada efluen (pipa keluar). Tanda bahwa kualitasnya baik adalah air relatif jernih, relatif tidak ada partikel dalam aliran, dan bau tidak berlebihan. Harus dipastikan juga bahwa material berbahan logam dilindungi dengan anti karat/cat. 89

98 maupun padatan.cairan buangan perlu memenuhi kualitas buangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Perpres 185/2014 menyatakan bahwa: kualitas hasil olahan infrastruktur sanitasi harus memenuhistandar baku mutu lingkungan KLH menetapkan standar air buangan dengan empat parameter yang penting, sedangkan beberapa daerah menambahkan beberapa parameter sesuai kebijakan daerah. Sistem sanitasi skala permukiman memberi keuntungan bagi rumah tangga, misalnya: - Tidak perlu membangun tangki septik sendiri, tidak perlu alokasi lahan untuk tangki septik; - Lingkungan rumahnya lebih bersih karena seluruh air limbah baik dari kakus, mandi dan cuci seluruhnya dibuang ke sistem perpipaan yang tertutup. Terdapat beberapa aspek yang menentukan pemilihan SPAL-T dan SPALD-S. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilihat dalam algoritma pemilihan teknologi yang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. Dasar pertimbangan yang utama dalam pemilihan teknologi SPALD adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk >150 jiwa/ha (15,000 jiwa/km 2 ) sudah pasti harus melakukan sistem SPALD-T, sedangkan untuk kepadatan penduduk kurang dari 150 jiwa/ha masih terdapat beberapa pertimbangan lainnya, seperti sumber air yang ada, kedalaman air tanah, permeabilitas tanah, kemiringan tanah, ketersediaan lahan, dan termasuk kemampuan membiayai. Contohnya apabila kepadatan penduduknya lebih dari 150 jiwa/ha, kedalaman air tanahnya kurang dari 1m dan tidak memiliki permeabilitas tinggi. Jika kemiringan tanahnya lebih dari 2% (dua persen) dan kemampuan membiayai memenuhi maka dapat menggunakan SPALD-T, sedangkan jika kemiringan tanahnya kurang dari 2% (dua persen), maka terdapat pilihan teknologi lain tergantung pada kemampuan membiayai dan kecocokan teknologi yang dipilih. Gambar 3. Algoritma Pemilihan Teknologi SPAL Penentuan atau pemilihan teknologi yang tepat dan memenuhi aspek teknis dan non teknis merupakan tahapan awal yang harus dilakukan dalam perencanaan SPALD. Hal ini akan menentukan keberhasilan sistem pengolahan air limbah domestik dalam memenuhi baku mutu lingkungan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 5 P.68 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Pemahaman terhadap dasar-dasar perencanaan SPALD menjadi hal yang penting dan langkah awal untuk mencapai target universal access yang telah 90

99 dicanangkan oleh Pemerintah. Gambar 4. Skema Pengolahan Air Limbah Domestik di Perumahan Graha Natura Gambar 5. Pengelolaan Air Limbah (Air Limbah & Kotoran), Sistem oleh Quavac BV Belanda IV. Kesimpulan Dan Rekomendasi 4.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah: 1. Pengelolaan limbah domestik di perumahan Graha Natura menghadirkan Vacuum Sewage System, sebuah sistem pengolahan limbah terpusat yang aman dan nyaman baagi penghuni. Limbah dari tiap rumah disedot ke satu area terpusat, dan diolah lagi menjadi air bersih yang digunakan untuk penyiraman lingkungan. Alasan mengadopsi teknologi bebas septik tank adalah menghadirkan perumahan yang sehat dan ramah lingkungan. Perumahan ini mengadopsi hunian tropikal dengan menekankan pada pelestarian alam. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dilakukan mengacu pada tiga model gaya hidup, yakni: healthy, technology, dan nature. 2. Pertimbangan digunakannya teknologi bebas septik tank, antara lain memperhatikan aspek: kepadatan penduduk, sumber air yang ada, permeabilitas tanah, kedalaman muka air tanah, kemiringan tanah, kemampuan membiayai, kualitas air limbah yang akan diolah, tingkat pengolahan, sifat instalasi pengolahan air limbah, pertimbangan masyarakat, lokasi instalasi pengolahan, dan lainnya Rekomendasi Sudah selayaknya pembangunan berbasis lingkungan dikedepankan untuk mewujudkan pembangunan yang berbasis kesehatan lingkungan, sehingga dapat berkelanjutan dan dapat dinikmati seluruh aspek masyarakat. Harapannya, dengan adanya tulisan ini dapat menggugah para Stakeholder (pemangku kepentingan) untuk dapat lebih 91

100 baik lagi dalam mewujudkan pembangunan yang berbasis lingkungan. Sehingga, dapat mempersiapkan sumber daya baik manusia maupun pendanaannya. Daftar Pustaka Anonimous, 2016, Buku 3- Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik-Terpusat Skala Permukiman, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian PUPera Claire, H William Handbook on Urban Planning. New York: Van Hostrand Rentrold. Kodoatie, R Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Notoatmojo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta Sabrang, Adi, Rangga, 2016, Dampak Sistem Drainase Pembangunan Perumahan Graha Natura Terhadap Saluran Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Jurusan teknik Sipil-Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS 92

101 PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR WONOMULYO KECAMATAN WONOMULYO KABUPATEN POLEWALI MANDAR Patmawati Universitas Al Asyariah Mandar Jalan Budi Utomo No.2, Manding, Polewali Mandar Abstrak Aktifitas di Pasar menghasilkan jumlah sampah yang besar bersumber dari sisa dagangan yang tidak dipakai dari kios pedagang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengelolaan sampah dengan proses Reduce dan Composting di pasar Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar. Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Proses pengelolaan sampah dengan metode mengurangi sampah di pasar Wonomulyo sudah dilakukan oleh pihak pengelolah pasar yaitu sampah langsung dibersihkan dari sumbernya kemudian dikumpulkan di Tempat Penampungan Sementara di Kontainer oleh petugas kebersihan tanpa ada proses pemilahan terlebih dahulu antara sampah organik dan an-organik. Di Kecamatan Wonomulyo sudah ada tempat pengelolaan sampah yang berada di Desa Sugihwaras akan tetapi belum berfungsi secara maksimal dikarenakan alatnya yang belum lengkap serta belum diresmikan sehingga pengelolaan sampah dengan metode Composting tidak dilakukan. Disarankan perlunya kerjasama antara Pemerintah kecamatan, pengelolah pasar dan masyarakat dalam proses pengelolaan sampah seperti metode mengurangi sampah dan kompos. Kata Kunci : Pengelolaan Sampah, Pasar, Polewali Mandar. 93

102 PENDAHULUAN Menurut Stiglitz (2006) kondisi dunia yang semakin berkembang dengan berbagai macam teknologi dan industri, telah menghasilkan sampah dan polusi yang membahayakan lingkungan. Padahal di era globalisasi ini negara-negara akan terus berkembang untuk memajukan negaranya, dan itu berarti akan semakin banyak polusi dan sampah. Permasalahan lingkungan dalam globalisasi ini menyerang hampir di seluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang (Vanada.2012). Menurut Notoatmodjo (2011) kesehatan Lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal pula. Salah satu ruang lingkup kesehatan lingkungan adalah pembuangan sampah.(notoatmodjo.2011). Menurut Naatonis (2010) sampah banyak ditemukan di tempat-tempat umum, salah satu tempat umum yang menghasilkan sampah adalah pasar. Pasar Tradisional sebagai salah satu wadah perekonomian sebagian masyarakat perkotaan. Aktivitas yang ada baik itu jual beli antara pedagang dengan pengunjung atau pembeli secara tidak langsung dapat menyebabkan adanya timbunan sampah pada pasar tersebut setiap harinya. Aktivitas di Pasar akan menghasilkan jumlah sampah yang cukup besar sebagai sisa-sisa dari barang dagangan yang tidak dipakai lagi yang berasal dari kios-kios para pedagang. (Sutarjo; 2012). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) produksi sampah di Kabupaten Polewali Mandar setiap tahun terus bertambah. Pada tahun 2012 mencapai 360m³/hari yang terdiri dari sampah rumah tangga, perdagangan dan lain-lain. Sedangkan volume sampah yang terangkut sampai ke TPA (Tempat Penampungan Sementara) oleh armada pengangkut sampah sebanyak 280m³/hari, masih ada timbunan sampah yang tidak terangkut sebanyak 80m³/hari. (Buku Putih Sanitasi 2011). Wonomulyo merupakan titik tolak jantung perekonomian di Polewali Mandar yang setiap harinya pasar beroperasi tanpa henti dan tak mengenal waktu. Di pasar ini jenis pedagang dan apa yang diperjual belikan silih berganti sehingga aktivitas di pasar ini tidak pernah berhenti terhitung sejak dini hari sampai dengan matahari tenggelam. Tujuan penelitian ini, untuk mendapatkan gambaran tentang proses Reduce dan Composting di Pasar Wonomulyo Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar sebagai upaya untuk mengurangi jumlah timbunan sampah yang ada di pasar. 94

103 BAHAN DAN METODE Disain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan wawancara mendalam yang dilakukan di lokasi pasar Wonomulyo, Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar dengan jumlah informan yang diambil berdasarkan kebutuhan pemenuhan data penelitian. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomologi mengenai proses pengelolaan sampah di Pasar Wonomulyo Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar. Populasi dalam penelitian ini adalah pihak pengelolah pasar yang terdiri dari pembersih, supir pengangkut sampah, Kepala pasar, Koordinator kebersihan di Kecamatan dan Camat Wonomulyo. Penentuan sampael dipilih secara purposive sampling yatu sampel yang diambil bukan tergantung pada populasi melainkan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Alat penelitian/instrumen dalam penelitian ini yaitu: Wawancara, berupa alat perekam dan pedoman wawancara yang telah disiapkan oleh peneliti, menggunakan rekorder/rekaman dan dokumentasi. (Creswell.W.J.2014) Hasil dan Pembahasan I. Reduce a. Tentang proses pengelolaan sampah dengan metode Reduce Reduce (mengurangi sampah) berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. Reduksi atau disebut juga mengurangi sampah merupakan langkah pertama untuk mencegah penimbunan sampah di TPA (Tempat Penampungan Akhir). Sampai dimana pihak pengelolah pasar melakukan proses pengelolaan sampah. Indikator pertama yang harus kita ketahui bagaimanakah proses pengelolaan sampah di pasar. Berdasarkan penelitian terhadap informan tentang proses pengelolaan sampah di Wonomulyo Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar umumnya sampah yang ada di Pasar langsung dibersihkan dari sumber sampah kemudian dikumpulkan di TPS (Tempat Penampungan Sementara) dikontainer oleh petugas kebersihan tanpa ada proses pemilahan terlebih dahulu antara sampah organik dan an-organik begitu juga dengan sampah pasar dan sampah masyarakat semuanya bercampur dalam 1 (satu) kontainer. Kemudian sampah tersebut akan diangkut/buang oleh supir pengangkut sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Amola. Bentuk pengelolaan sampah dilakukan sejak sistem pengumpulan, pemilahan, pengangkutan, dan sistem pembuangan sampah, dengan demikian pengelolaan sampah dapat dilakukan disetiap tahapan pengelolaan sampah. Hasil 95

104 penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Faizah (2008) yang mengemukakan bahwa Sistem pengelolaan sampah dengan prinsip 3RC melalui kegiatan pemilahan sampah merupakan solusi paradigmatik, yaitu solusi dari paradigma membuang sampah yang dalam prakteknya hanya memindahkan sampah, menjadi mengelolah sampah dalam arti memilah untuk dimanfaatkan yang pada prakteknya dapat mereduksi secara signifikan timbunan sampah yang dibuang. (Tobing, 2005) b. Tentang kendala maupun hambatan dalam proses pengelolaan sampah Dalam setiap kegiatan yang dilakukan terkadang ada saja kendala maupun hambatan yang dialami. Begitu juga dalam proses pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pihak pengelolah pasar. Berdasarkan penelitian menurut informan informasi mengenai kendala maupun hambatan diketahui umumnya mempunyai kendala dan hambatan berdasarkan tugas mereka masing-masing. Hal ini diterangkan oleh petugas pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bahwa yang menjadi kendala utama adalah tidak tersedianya container sampah untuk bahan organik dan non-organik sehingga pedang menapung semua sampah yang dihasilkan dari kios-kios/lapak dagang mereka menjadi satu tempat dan terkadang kendaraan operasional mengalami kendala sehingga dalam sehari sampah baru bisa diangkut pada sore atau menjelang petang setelah menunggu bantuan pinjaman mobil operasional dari Kecamatan lain. Kontainer yang tersedia tidak hanya menampung sampah pasar kan tetapi sampah dari masyarakat setempat pun ikut tergabung dalam satu wadah, hal ini terjadi karena tidak adanya kontainer yang tersedia di kecamatan unutk sampah dari masyarakat umum Kendala lainnya adalah kurang optimalnya bentuk kerjasama antar Pemerintah Kecamatan dan Pengelola Pasar setempat dalam hal penangana dan penyadaran kepada para pedangan dalam bentuk pengelolaan sampah dari proses aktifitas dagang. Tidak adanya sanksi yang diberikan kepada pedagang terkait kedisiplinan dalam berdagang dan memang kurangnya tempat penampungan sementara yang tersedia. Sejak bulan fabruari sampai dengan penelitian ini dilakukan tempat penampungan sementara hanya satu buah kontainer yang tersedia sehingga beberapa pedagang yang jarak lapaknya cukup jauh dari kontainer maka akan membuah sampah mereka di ledeng (saluran air untuk aliran persawahan wonomulyo) atau hanya menumpuknya dipinggir jalan. 96

105 Menurut Haryato (1998) kebutuhan biaya yang berfungsi untuk membiayai operasional persampahan Kota di Indonesia yang dimulai dari penyapuan jalan, transfer dan pengangkutan, pengolahan sampah dan pembuangan akhir, agar cukup memadai minimal 5 sampai 10% dari APBD. Hal ini sesuai dengan penelitian Sampurna Jaya (2010) menyatakan pola kemitraan antara pemerintah kota, swasta dan msyarakat menjadi prioritas karena hasil program keberhasilan lingkungan akan dicapai jika adanya kerjasama stokeholders tersebut. c. Tentang Sistem Pembiayaan dalam proses pengelolaan sampah Berdasarkan penelitian menurut informan informasi mengenai sistem pembiayaan menyangkut masalah gaji, uang solar dan biaya-biaya lainnya itu telah dianggarkan oleh Dinas Pendapatan Daerah dalam setiap tahunnya. Menurut Mansur (2002) aspek pembiayaan merupakan salah satu aspek terpenting dalam pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah biasanya dibiayai dari dana publik, hampir seluruhnya dari pemerintah. Menurut Ditjen Cipta Karya Departemen PU besarnya retribusi sampah didasarkan pada besarnya biaya operasional pengelolaan sampah. Di Indonesia besar retribusi yang dapat ditarik dari masyarakat setiap rumah tangga besarnya ± 0,5% dan maksimal 1% dari penghasilan rumah tangga perbulannya. (BSN, 1991) II. Composting a. Tentang proses pengelolaan sampah dengan metode Composting Siti khoriyah (2012) Composting adalah salah satu cara pengelolaan sampah secara alamiah menjadi bahan yang sangat berguna bagi tanaman/pertanian dengan memanfaatkan kembali sampah organik dari sampah tersebut dengan hasil akhir berupa pupuk kompas yang tidak membahayakan penggunanya. Pengompasan dilakukan untuk sampah organik, kegiatan ini dilakukan secara terbuka maupun tertutup. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mereduksi jumlah sampah organik yaitu dengan melakukan proses pengelolaan sampah dengan metode composting. Dalam melakukan hal tersebut perlu adanya kerjasama pemerintah setempat dengan masyarakat. Selama ini di PasarWonomulyo belum ada kelompok atau masyarakat yang mengolah sampah menjadi pupuk kompos. Berdasarkan penelitian terhadap informan informasi mengenai proses pengelolaan sampah dengan metode composting umumnya mengemukakan belum ada kelompok/masyarakat yang mengolah sampah menjadi pupuk kompos. 97

106 Menurut Hennisong (2006) masyarakat berperan serta dalam pengelolaan sampah sejak dirumahnya masing-masing dengan mengurangi tingkat produksi sampah, memilah, mengompos, dan kegiatan lainnya. Minimasi atau pengurangan sampah tidak hanya berpengaruh pada berkurangnya penggunaan bahan namun dapat memberikan keuntungan lain pada proses seperti mengurangi dampak lingkungan pada pembuangan sampah. b. Tentang kendala maupun hambatan dalam proses pengelolaan sampah Kendala yang didapatkan oleh pihak pengelolah pasar maupun kecamatan dalam membentuk suatu kelompok dalam proses pengelolaan sampah dengan metode composting yaitu kurangnya kerjasama masyarakat dengan pemerintah setempat. Berdasarkan penelitian terhadap informan tentang kendala maupun hambatan dalam proses pengelolaan sampah dengan metode composting, pada umumnya informan mengemukakan bahwa kurangnya kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah setempat. Kendala selanjutnya yaitu alatnya yang belum lengkap. Dwiyatmiko (2009) menyatakan dengan kapasitas produksi sampah yang sangat besar dan terus meningkat akan membuat bisnis daur ulang sampah dalam bentuk composting yang sangat potensial untuk dipasarkan dan perlu diusulkan kepada pemerintah daerah agar pemasaran bisnis daur ulang melalui perusahaan daerah. Menurut SNI T tentang Operasional Pengelolaan sampah Perkotaan, biaya pengelolaan sampah dihitung berdasarkan biaya operasional pemeliharaan serta pergantian peralatan. Biaya pengelolaan sampah diusahakan diperoleh dari masyarakat (80%) dan pemerintah daerah (20%). Adapun dana pengelolaan sampah suatu kota besarnya diisyaratkan minimal ± 10% dari APBD. Perbandingan biaya pengelolaan dari biaya total pengelolaan sampah sebagai berikut: Biaya pengumpulan 20% - 40% Biaya pengangkutan 40% - 60% Biaya pembuangan akhir 10% - 30% Simpulan dan Saran Proses pengelolaan sampah dengan metode Reduce (mengurangi sampah) di Pasar Wonomulyo sudah dilakukan oleh pihak pengelolaah pasar yaitu sampah langsung dibersihkan dari sumbernya kemudian dikumpulkan di TPS (Tempat Penampungan 98

107 Sementara) di Kontainer oleh petugas kebersihan tanpa ada proses pemilahan/pemisahan terlebih dahulu antara sampah organik dan an-organik begitu juga dengan sampah pasar dan sampah masyarakat semuanya bercampur dalam 1 (satu) kontainer. Kemudian sampah tersebut akan diangkut/buang oleh supir pengangkut sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Amola. Namun, tidak melalui proses pemadatan yang dilengkapi alat pemadat, pembakaran dengan menggunakan suatu unit instalasi incinerator sederhana dan pyrolysis secara kimiawi yaitu pemanasan tanpa oksigen akan memecah zat organik tersebut (kondensasi) menjadi gas, cair dan padat. Proses pengelolaan sampah dengan metode Composting (kompos) tidak dilakukan di pasar Wonomulyo. Namun, di Kecamatan Wonomulyo sudah ada tempat pengelolaan sampah yang berada di Desa Sugihwaras tapi belum berfungsi dikarenakan alatnya yang belum lengkap serta belum diresmikan. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkn terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar yang telah memfasilitasi penulis untuk bisa melakukan pengambilan data untuk penelitian ini sampai dengan selesai. Daftar Pustaka Badan Standarisasi Nasional (BSN),1991,Satndar Nasional Indonesia (SNI) S tentang spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang di Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum Jakarta. Creswell.W.J penelitian Kualitatif dan desain riset (memilih di antara lima pendekatan). Yogyakrta. Pustaka Pelajar. Faizah Pengelolaan sampah rumah tangga berbasis masyarakat (studi kasus di kota Yogyakarta). Program Pascasarjana Undip. Semarang. Kurnia M, Khikmah SN, Farida. Evaluasi pengelolaan sampah berbasis masyarakat. The 2 nd University research colloquium ISSN Khoriyah S (2013). Prosiding seminar nasional X pendidikan biologi. Biologi, sains, lingkungan dan pembelajarannya. Surakarta. Notoatodjo Soekidjo Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. Rineka Cipta. Sari,N.P.(2016). Analisis Pengelolaan Samah padat di Kecamatan Banuhampu kabupaten Agam. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10.(2), Tobing. I.S.L. Dampak sampah terhadap kesehatan lingkungan dan Manusia. Malaha pada Lokakrya aspek lingkungan dan legalitas pembunagan sampah serta sosialisasi pemanfaatan sampah organic sebagai bahan baku pembuatan kompos. Kerjasama Universitas Nasional dan DIKMENTI DKI, Jakarta

108 INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI KEANEKARAGAMAN IKAN AIR TAWAR DI SUNGAI LUK ULO KABUPATEN KEBUMEN Titik Tri Wahyuni1 1) dan Agus Zakaria 2) 1), 2) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Ma arif Nahdlatul Ulama Kebumen titiktriwahyuni15@gmail.com 1) aguszakaria17@gmail.com 2) Abstrak Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis keanekaragaman dan komposisi spesies ikan air tawar di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. 2) Menganalisis interaksi faktor lingkungan dengan kekayaan dan kelimpahan masing-masing spesies di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel secara Cluster Random Sampling. Ikan dikoleksi dari 9 stasiun yaitu bagian hulu sebanyak 3 stasiun, bagian tengah 3 stasiun dan bagian hilir sebanyak 3 stasiun. Data morfologi ikan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui deskripsi lengkap masing-masing spesies. Pengaruh faktor lingkungan terhadap kelimpahan spesies ikan dianalisis menggunakan PCA (Principal Component Analysis). Hasil penelitian menunjukan bahwa keanekaragaman spesies ikan air tawar memiliki keanekaragaman yang sedang. Keanekaragaman spesies yang tinggi didukung oleh kualitas perairan yang baik, sedangkan perbedaan kelimpahan dan persebaran longitudinal dari setiap spesies karena adanya perbedaan karakter fisik-kimiawi dari daerah hulu sampai hilir Sungai Luk Ulo, khususnya padatan tersuspensi total (TSS). Kata kunci : ikan air tawar, keanekaragaman, Sungai Luk Ulo Abstract This research aims to 1) Analyzing the diversity and composition of freshwater fish species in Luk Ulo River of Kebumen Regency. 2) Analyzing the interaction of environmental factors with the richness and abundance of each species in Luk Ulo River of Kebumen Regency. This research uses survey method with Cluster Random Sampling. Fish collected from 9 stations ie the upstream of 3 stations, the center of 3 stations and the downstream of 3 stations. Fish morphology data were analyzed descriptively to know the complete description of each species. The environmental factor influences of the fish species abundance were analyzed using PCA (Principal Component Analysis). The results showed that the diversity of freshwater fish species have a moderate diversity. The high species diversity is supported by good water quality, while differences of the abundance and longitudinal distribution from each species due to differences in physical-chemical characters from upstream to downstream of Luk Ulo River, in particular total suspended solids (TSS). Keywords : freshwater fish, diversity, Luk Ulo River 100

109 PENDAHULUAN Ikan air tawar merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang menyusun ekosistem sungai. Keanekaragaman hayati berperan sebagai kestabilan ekosistem, sumber plasma nutfah dan sumber ekonomi. Hilang atau punahnya salah satu keanekaragaman hayati dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. Kepunahan ikan air tawar sebagian besar disebabkan oleh kerusakan/hilangnya habitat (35%), introduksi spesies eksotik (30%) dan eksploitasi spesies yang berlebihan (4%) Kerusakan habitat diantaranya berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk, ketidakpastian tataguna dan pengelolaan lahan, kebijakan ekonomi dalam pembangunan, tingkat kemiskinan yang tinggi, dan kegiatan industri. Hilangnya keanekaragaman hayati mengancam cadangan makanan, peluang ekowisata, sumberdaya hutan, biofarma dan energi (Reid dan Miller, 1989). Sungai Luk Ulo merupakan salah satu sungai yang terluas di Kabupaten Kebumen. Banyak aktivitas manusia yang dilakukan di sungai maupun di daerah sekitar sungai diantaranya adalah pembuangan limbah rumah tangga, penambangan pasir, aktivitas pemanfaatan lahan serta ekploitasi yang berlebihan. Hal ini dapat berdampak pada perubahan karakteristik sungai, sehingga akan berdampak pada penurunan populasi dan keanekaragaman biota sungai termasuk ikan air tawar. Data kekayaan spesies ikan yang komprehensif di daerah sungai Luk Ulo belum ada. Dengan demikian diperlukan adanya informasi mengenai kekayaan spesies ikan agar dapat dijadikan landasan studi lebih lanjut khususnya yang berkaitan dengan upaya pengelolaan sumberdaya ikan di Sungai Luk Ulo. Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah a. Bagaimana keanekaragaman dan komposisi spesies ikan air tawar di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. b. Bagaimana interaksi faktor lingkungan dengan kelimpahan masing-masing spesies di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. Tujuan dari penelitian ini adalah a. Menganalisis keanekaragaman yang meliputi kekayaan dan kelimpahan spesies ikan dan komposisi spesies ikan di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. b. Menganalisis interaksi faktor lingkungan dengan kekayaan dan kelimpahanmasingmasing spesies di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2017 di Sungai Luk Ulo Propinsi Jawa Tengah yang mendapat pengaruh aktivitas penambangan pasir, pertanian dan pekebunan di daerah sekitar, pembuangan limbah cair dari pemukiman penduduk serta sampah rumah tangga. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel secara Cluster Random Sampling. Ikan dikoleksi dari 9 stasiun yaitu bagian hulu sebanyak 3 stasiun, bagian tengah 3 stasiun dan bagian hilir sebanyak 3 stasiun. Penangkapan ikan dilakukan menggunakan jaring. Ikan yang diperoleh kemudian diawetkan dalam botol yang berisi alkohol 70%. Selanjutnya dilakukan proses identifikasi dan determinasi. Pengukuran data parameter kimia dan fisik dilakukan secara langsung di lokasi penelitian dan di laboratorium. Data morfologi ikan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui deskripsi lengkap masing-masing spesies. Semua spesimen ikan diidentifikasi dan dideterminasi berdasarkan Kotellat et al. (1993) dan Saanin (1984). Pengaruh faktor lingkungan terhadap kelimpahan spesies ikan Familia Cyprinidae dianalisis menggunakan PCA (Principal Component Analysis). 101

110 PEMBAHASAN 1. Keanekaragaman Spesies Jumlah ikan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 72 individu. Identifikasi dan determinasi menempatkan ikan tersebut kedalam 13 spesies. Jumlah individu bervariasi untuk tiap spesies. Spesies yang paling melimpah adalah Osteochillus vittatus dengan jumlah individu sebanyak 17 ekor, diikuti oleh Puntius binotatus dengan 11 spesimen. Spesies dengan jumlah individu yang paling sedikit adalah Clarias batrachus, Rasbora aprotaenia dan Pterygplichthys pardalis, masing-masing dengan satu individu. Spesies lainnya memiliki jumlah individu bervariasi antara dua sampai 8 spesimen. Ke-13 spesies ikan yang diperoleh dari Sungai Luk Ulo dapat diklasifikasi menjadi 7 famili, yaitu Bagridae, Channidae, Clariidae, Cyprinidae, Loricariidae, Balitoridae dan Poeciliidae (Tabel 1). Tabel 1. Spesies ikan yang dikoleksi selama survei di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen Familia Spesies Nama Jumlah Lokal Individu Channidae Channa Ikan striata Bogo 5 Bagridae Mystus gulio Ikan Kating 7 Clariidae Clarias batrachus Ikan Lele Lokal 1 Loricariida e Balitoridae Cyprinidae Clarias gariepinus Pterygoplicht hys pardalis Ikan Lele Dumbo Ikan Sapu- Sapu Ikan Jeler Ikan Benter Ikan Nilem Nemachillus crysolaimos 8 Puntius binotatus Osteochillus vittaus Barbonymus Ikan 7 gonionotus Tawes Poecillidae Hampala macrolepidot a Systomus rubripinnis Rasbora aprotaenia Poecilia reticulata Ikan Palung Ikan Ceba Ikan Bader Ikan Seribu

111 Keanekaragaman ikan pada suatu kawasan menggambarkan adanya kekayaan ikan di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, Sungai Luk Ulo memiliki kekayaan spesies yang sedang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan NCDENR (2006) bahwa sungai yang dihuni oleh 16 spesies ikan membuktikan bahwa sungai tersebut memiliki kekayaan spesies yang sedang. Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman tergantung oleh variasi jumlah individu tiap spesies ikan yang berhasil ditangkap. Semakin besar jumlah spesies ikan dan variasi jumlah individu tiap spesies maka tingkat keanekaragaman ikan dalam suatu ekosistem perairan akan semakin besar, demikian juga sebaliknya. Semakin kecil jumlah spesies ikan dan variasi jumlah individu tiap spesies maka tingkat keanekaragaman ikan dalam suatu ekosistem perairan juga akan semakin kecil (Sriwidodo et al., 2013). Jumlah total spesies yang diperoleh selama penelitian di Sungai Luk Ulo tidak sama dengan jumlah spesies yang diperoleh oleh Nuryanto et al. (2012b) di Sungai Cijalu, yaitu 19 spesies. Perolehan spesies dalam penelitian ini lebih rendah daripada hasil penelitian di Sungai Cileumeuh (Nuryanto et al., 2012a) yang mendapatkan sebanyak 22 spesies ikan. Nurnaningsih (2004) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa aktivitas manusia pada habitat ikan akan mempengaruhi keanekaragamannya. 2. Persebaran Longitudinal Spesies yang diperoleh dari ketiga stasiun Sungai Luk Ulo menunjukkan adanya pola persebaran longitudinal yang sangat kompleks. Sampel ikan yang diperoleh di daerah hulu sebanyak 49 spesimen ikan. Spesimen tersebut diklasifikasi kedalam lima famili, yaitu Channidae, Bagridae, Balitoridae, Cyprinidae, dan Poecilidae. Sementara itu, koleksi ikan pada daerah tengah sebanyak 9 ikan spesimen yang terdiri atas tiga famili yaitu Channidae, Clariidae, dan Cyprinidae. Sedangkan di daerah hilir diperoleh 9 individu ikan yang terdiri dari dua famili, yaitu Cyprinidae, dan Loricariidae. Persebaran longitudinal spesies ikan sepanjang Sungai Luk Ulo disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2.Persebaran longitudinal spesies ikan sepanjang Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen Spesies Hulu Tengah Hilir Channa striata Mystus gulio Clarias batrachus Clarias gariepinus Pterygoplichthys pardalis Nemachillus crysolaimos Puntius binotatus Osteochillus vittaus Barbonymus gonionotus Hampala macrolepidota

112 Systomus rubripinnis Rasbora aprotaenia Poecilia reticulata Keterangan : + ada - tidak ada Spesies ikan yang spesifik beradaptasi di daerah hulu yaitu ikan jeler (Nemachillus crysolaimos). Mystus gulio (Bagridae) merupakan spesies yang dapat ditemukan mulai dari daerah tengah sampai daerah hilir sungai tetapi dalam penelitian ini M. Gulio hanya ditemukan di hulu sungai yang mempunyai arus deras dengan substrat pasir berbatu. Hasil tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Kottelat et al. (1993) bahwa M. Gulio hidup pada bagian sungai yang memiliki arus lemah dengan substrat dasar berupa pasir dan lumpur. Perbedaan hasil penelitian diduga karena Sungai Luk Ulo memiliki mikrohabitat yang berbeda dengan sungai yang lain seperti sungai Serayu dan Sungai Cileumeuh. Di Sungai Serayu dan Sungai Cileumeuh terdapat mikrohabitat berupa daerah paya-paya (rawa) dengan substrat lumpur, sedangkan di Sungai Luk Ulo kondisi mikrohabitat seperti tersebut tidak ada. Ikan Systomus rubripinnis ditemukan di daerah hilir Sungai Luk Ulo, sedangkan Barbonymus gonionotus diperoleh di daerah tengah dan hilir sungai. Kedua spesies tersebut ditemukan pada bagian sungai yang memiliki substrat dasar berupa batu kerakal, pasir, dan tanah liat dengan kecepatan arus kuat maupun lemah. Sementara itu, spesies lain anggota famili Cyprinidae dapat ditemukan dari hampir semua bagian sungai. Perolehan tersebut merupakan sesuatu yang bersifat umum karena famili Cyprinidae dapat hidup baik pada bagian sungai yang memiliki arus kuat maupun arus lemah dengan kualitas air yang baik (Nikolsky 1963). Menurut Ismail & Ahmad (1992) Barbodes binotatus biasanya hidup di bagian hulu sungai, sedangkan Osteochilus vittatus lebih memilih habitat di bagian tengah sungai. Namun pada penelitian ini O. vittatus dapat diperoleh hanya di bagian hulu Sungai Luk Ulo dan B. binotatus dapat ditemukan baik di daerah tengah dan hilir sungai. Sedangkan ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) hanya ditemukan di daerah hilir yaitu 1 individu. Setiap jenis ikan agar dapat hidup dan berkembang biak dengan baik harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di mana ikan itu hidup. Selain itu komposisi dan distribusi ikan sangat dipengaruhi oleh perubahan fisik, kimia, dan biologi (Nurnaningsih, 2004). Pengukuran parameter fisika dan kimia air bertujuan untuk menentukan kualitas air. Pengukuran ini bertujuan untuk melihat pengaruh perubahan kondisi perairan terhadap komunitas sumber daya ikan. Faktor fisik dan kimia sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Faktor Fisik dan Kimia Air Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen Baku Parameter Hilir Tengah Hulu Satuan Mutu *) Suhu o C ± 30 C TSS mg/lt 100 mg/lt ph mg/lt 6-9 BOD mg/lt 3 mg/lt COD mg/liter 25 mg/lt 104

113 Turbiditas Meas - DO mg/lt - Konduktiv itas Ms/cm - Salinitas % - *) Baku mutu kadar maksimal air sungai berdasarkan Peraturan No. 82 Tahun 2001 untuk kelas II tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pencemaran air Suhu air di Sungai Luk Ulo daerah hilir sebesar o C, tengah o C dan hulu o C. Hal ini menunjukan bahwa suhu tersebut masih mendukung untuk kehidupan ikan. Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan adalah antara o C (Effendi, 2003). Total Suspended Solid (TSS) sungai Luk Ulo berkisar mg/liter dan berada di bawah standar baku mutu Peraturan No.82 tahun Kandungan padatan tersuspensi dalam perairan tidak boleh lebih dari 1000 mg/l. Tingginya kandungan TSS dalam perairan akan mengurangi kedalaman penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga berpengaruh langsung terhadap fotosintesis oleh fitoplankton dan pengaruh tidak langsung terhadap keberadaan zooplankton dalam perairan (Fardiaz, 1992). Derajat keasaman (ph) merupakan nilai untuk mengetahui tingkat keasaaman atau kebasaan suatu perairan. Nilai ph di Sungai Luk Ulo baik dibagian hilir, tengah maupun hulu adalah sebesar Nilai ph yang baik digunakan untuk kehidupan organisme berkisar antara 6-9. Kondisi ph yang terlalu rendah akan dapat mematikan organisme dan meningkatkan kelarutan logam berat di perairan (Kenconojati et al., 2016). Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Salmin, 2005). Nilai BOD 5 sungai Luk Ulo berkisar antara 4-9 mg/liter, tidak memenuhi standar baku Peraturan No.82 tahun Tingginya tingkat kandungan diduga berasal dari limbah rumah tangga. Tingginya BOD5 berbanding lurus dengan kadar COD yaitu berkisar mg/liter. Nilai COD yang tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan maupun pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai mg/liter (Syofyan dkk., 2011). Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Salmin, 2005). Oksigen terlarut air di Sungai Luk Ulo di daerah hilir sebesar 0.13 mg/liter, tengah 0.04 mg/liter dan hulu 0.08 mg/liter. Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas dan pergerakan massa air (arus dan gelombang). 3. Interaksi Parameter Lingkungan Terhadap Kelimpahan Ikan Hasil analisis PCA (Principal Component Analysis) mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan di Sungai Luk Ulo disajikan dalam Gambar

114 1 Variables (axes F1 and F2: %) TSS Kelimpaha n ikan Turbidity ph Suhu DO Conductivi ty COD BOD5 Gambar 1. Pengaruh F1 (39.40 %) faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan di Sungai Luk Ulo Berdasarkan hasil analisis PCA (Principal Component Analysis) mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan menghasilkan dua sumbu penyusun komponen utama dengan kontribusi total mencapai 67.63% yang berarti analisis komponen utama ini dapat menjelaskan data tersebut sampai dengan 67.63%. Sehingga interpretasi analisis komponen utama ini dapat mewakili keadaan yang terjadi dengan tidak mengurangi informasi yang banyak dari data yang dianalisis. Gambar 1 diatas memberikan informasi bahwa hanya TSS yang mempengaruhi terhadap kelimpahan ikan karena berada dalam kuadran yang sama. TSS (Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi total merupakan residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Materi yang yang tersuspensi mempunyai dampak buruk tehadap kualitas air karena mengurangi penetrasi cahaya kedalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan terhadap organisme lain. Matriks korelasi menunjukkan hubungan antar variabel yang ada. Nilai positif yang mendekati satu menjelaskan hubungan yang berbanding lurus antar variabel. Artinya banyaknya jumlah suatu variabel akan diikuti dengan banyaknya jumlah variabel lain. Nilai negatif mendekati minus satu menjelaskan hubungan yang berbanding terbalik antar variabel. Artinya, banyaknya jumlah suatu variabel akan diikuti dengan sedikitnya jumlah variabel lain. Nilai yang mendekati nol menjelaskan bahwa antar variabel tidak dapat berpengaruh nyata. Tabel 3. Matrik Korelasi Antar Variabel Parameter F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F Suhu TSS ph BOD

115 COD Turbiditas DO Konduktivitas Kelimpahan ikan Matriks korelasi antar parameter (Tabel 3) menunjukkan bahwa konsentrasi BOD 5 berkorelasi positif dengan kelimpahan ikan dengan nilai korelasi hal ini berarti bahwa kenaikan kandungan DO akan diikuti dengan kenaikan kelimpahan ikan. Koefisien korelasi ini berkaitan dengan kebutuhan oksigen bagi ikan. Sebaliknya, pengaruh suhu dan ph memiliki korelasi negatif terhadap kelimpahan ikan dengan nilai korelasi dan Hal ini berarti bahwa meningkatnya suhu dan ph akan menurunkan jumlah kelimpahan ikan. Untuk parameter DO dan konduktivitas tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dilihat dari matriks korelasi. Hal ini merupakan kelemahan penggunaan analisa PCA dimana antar variabel yang diolah cenderung saling mencari keterkaitan satu sama lain. Beberapa variabel tidak mempunyai hubungan yang berarti satu sama lain. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1. Keanekaragaman spesies ikan air tawar di sungai Luk Ulo mempunyai keanekaragaman yang sedang. 2. Setiap spesies memiliki kelimpahan dan persebaran longitudinal yang berbeda. 3. Keanekaragaman spesies yang tinggi didukung oleh kualitas perairan yang baik. Sedangkan perbedaan kelimpahan dan persebaran longitudinal dari setiap spesies karena adanya perbedaan karakter fisikkimiawi dari daerah hulu sampai hilir Sungai Luk Ulo khususnya padatan terrsuspensi total (TSS). UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dinas Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Kebumen serta Balai Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah yang telah bekerjasama dengan Program Studi Biologi FMIPA Universitas Maarif Nahdlatul Ulama Kebumen sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat dalam penelitian. DAFTAR PUSTAKA Effendi. H Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Fardiaz. S Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. 107

116 Ismail A dan Ahmad BM Ekologi Air Tawar. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. Kenconojati H. Suciyono. Budi D.S.. Ulkhaq M.F.. Azhar M.H Inventarisasi Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Bendo Desa Kampung Anyar Kabupaten Banyuwangi.Agroveteriner. 5 (1): Kottelat M. Whitten AJ. Kartikasari SN. Wirjoat-mojo S Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus. Hongkong. 293 p + 84 plates. Nurnaningsih Pemanfaatan Makanan oleh Ikan-Ikan Dominan di Perairan Waduk Ir. H. Juanda. [Tesis]. Pascasarjana IPB. Bogor. NCDENR (North Carolina Department of Envi-ronmnet and Natural Resources) Standard operating procedure biological monitoring: Stream fish community assessment program. Report (unpublished). Department of Environmnet and Natural Resources. North Carolina. Nikolsky GV The Ecology of Fishes. Translated from Russian by L. Birkett. Academic Press. London. 352 p. Nuryanto A. Bhagawati D. Abulias MN. Indar-mawan. 2012a. Fish diversity at Cileumeuh River in District of Majenang. Cilacap regency. Central Java. Jurnal Iktiologi Indonesia. 12(12): Nuryanto A. Bhagawati D. Abulias MN. Indarmawan. 2012b. Ichtyofauna at Cijalu River Majenang Cilacap Regency Central Java. Biotropia (Submitted). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Reid. W. V.. and K. R. Miller Keeping for Conserving Biodiversity. WRI. Option Alive. The Scincetific Basic Saanin. H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta. Bogor. Salmin Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana. Volume XXX. No. 3: Sriwidodo D.W.E. Budiharjo A. dan Sugiyarto Keanekaragaman jenis ikan di kawasan inlet dan outlet Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Bioteknologi. 10 (2): Syofyan I. Usman dan Nasution Polaris Studi Kualitas Air untuk Kesehatan Ikan dalam Budidaya Perikanan pada Aliran Sungai Kampar Kiri. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 16 (1) :

117 INISIASI PROGRAM SEKOLAH LAPANG IKLIM DI DESA WONOSARI SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN LINGKUNGAN BAGI PETANI Sigma Saputra SuryaNegara 1., Suranto 2., Komariah Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia 2. Fakultas MIPA, Dosen Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia 3. Fakultas Pertanian, Dosen Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia sigmasuryanegara@gmail.com Abstrak Sekolah Lapang Iklim (SLI) adalah salah satu program pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani dalam memahami iklim dan lingkungan untuk penentuan waktu tanam dan jenis tanaman yang cocok untuk dibudidayakan di lahan pertanian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim di Desa Wonosari terhadap Masyarakat lokal. Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan analisa deskriptif dengan metode observasi menggunakan kuesoner. Sampel diambil sebanyak 60 orang responden dengan menggunakan teknik proporsional sampling. Responden terdiri dari 30 orang gapoktan dan 30 warga yang ada di Desa Wonosari. Hasil analisis didapatkan sebesar 8 % responden mengatakan baik, 23 % responden mengatakan cukup, 47% responden mengatakan kurang dan 22% mengatakan buruk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan program Sekolah Lapang Iklim terhadap pendidikan lingkungan dan pertanian di desa Wonosari memberikan dampak yang kurang terdapat responden. Kata Kunci : Sekolah Lapang Iklim, petani, desa Wonosari, pendidikan lingkungan, pendidikan pertanian INITIATION CLIMATE FIELD SCHOOL PROGRAM IN WONOSARI VILLAGE AS ENVIRONMENT EDUCATION FARMERS Abstract Climate Field School (CFS) is government programs to increase farmers knowledge and capability in understanding climate and environment for determining the correct time and the sustainable next to cultivation on agricultural land. The purpose of this research to know the impact of Climate Field School implementation on local community in Wonosari Village. Data analysis in this research used was did not some good descriptive analysis with observation method using kuesoner. Sixty respondents were use as simple and was propotional sampling method was choosen, the respondents were divided into two sroups in wheel 30 persons from Gapoktan and the other was taken from Wonosari Village. The results showed that only 8% respondents answed good, while the other 23% and 47% said good enough and to the program of Climate Field School on enviromental education and agriculture not good enough respectuvely. In Addition, 22% of respondents responsity badly to the programme. Keywords: Climate Field School, farmer, Wonosari village, environmental education, agricultural education 109

118 PENDAHULUAN Pertanian merupakan sektor penting dalam menciptakan ketahanan pangan suatu negara. Ketahanan pangan tersebut dipengaruhi oleh produktivitas hasil pertanian. Faktor dalam produktivitas tersebut terutama dipengaruhi oleh perubahan iklim. Pengaruh perubahan iklim tersebut bersifat multidimensional, mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi pertanian, hingga aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Sehingga akibat dari perubahan iklim dapat mengganggu baik secara fisik maupun produktifitas hasil pertanian (Departemen Pertanian, 2009). Perubahan iklim sendiri merupakan kondisi beberapa unsur iklim seperti curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin yang intensitasnya cenderung menyimpang dari kondisi rata-rata, menuju ke arah yang semakin menurun atau buruk. Sehingga menyebabkan kondisi suatu wilayah pertanian semakin menurun dan akibatnya kerugiaan baik secara fisik maupun sosial ekonomi. (Departemen Pertanian, 2009). Sekolah Lapang Iklim (SLI) merupakan salah satu metode untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani dalam pemahaman unsur-unsur iklim terhadap penentuan tanam dan tanaman yang cocok untuk dibudidayakan di lahan pertanian (Novela et al., 2012a). Awalnya Sekolah Lapang Iklim didesain oleh Institute Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Indramayu, Departemen Pertanian dan Badan Meteorologi dan Geofisika (Boer, 2009). Program Sekolah Lapang Iklim di beberapa daerah memberikan manfaat seperti petani mengalami perubahan perilaku yang menyebabkan petani tanggap dan responsif terhadap inovasi-inovasi yang ada dan lebih tahu cara mengantisipasi iklim ekstrim yang sering berubah-ubah. (Novela et al., 2012). Seiring keberhasilan dari Program Sekolah Lapang Iklim di beberapa daerah. Pada tahun 2016 BMKG dan Universitas Negeri Surakarta bekerja sama untuk mengadakan kegiatan Sekolah Lapang Iklim yang ke-3 di Desa Wonosari, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Desa Wonosari memiliki ketinggian lahan 267 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Desa Wonosari sebesar ha dengan luas lahan sawah sebanyak 155,00 ha, Tegalan 193,40 ha dan pekarangan 68,86 ha. (Monografi Kecamatan Gondangrejo, 2017) Jumlah penduduk sebanyak jiwa dengan pekerjaan petani sebanyak 942 jiwa. Gapoktan terdiri dari 7 gapoktan dengan jumlah anggota 354 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk di Desa Wonosari sebanyak 448 jiwa lulusan SMP, 250 jiwa lulusan SD. (Monografi Desa Wonosari, 2017) Program Sekolah Lapang Iklim yang diadakan di Desa Wonosari diikuti oleh 30 orang yang berasal dari Gapoktan dan warga masyarakat. Setelah penerapan program Sekolah Lapang Iklim selama 5 bulan, maka dilakukan pengamatan terhadap masyarakat lokal yang tidak mengikuti Program Sekolah Lapang Iklim. Sehingga dampak pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim di Desa Wonosari terhadap Masyarakat lokal dapat diketahui. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ilmu dari Program Sekolah Lapang Iklim disebarkan oleh masyarakat yang telah mengikuti Program Sekolah Lapang Iklim kepada masyarakat lokal seperti petani dan gapoktan lain agar supaya ilmu dari Sekolah Lapang Iklim bisa berdampak terhadap lingkungan dan perkembangan pertanian di Desa Wonosari. 110

119 METODE Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari atau 5 bulan setelah Program Sekolah Lapang Iklim terlaksana. Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel diambil dari warga Desa Wonosari selain yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim sebanyak 60 orang responden dengan menggunakan teknik proporsional sampling. Sampel terdiri dari 30 orang gapoktan dan 30 warga yang ada di Desa Wonosari. Analisa Data Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan analisa deskriptif dengan metode observasi. Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan kuesoner yang nantinya diberikan kepada responden, untuk mengetahui apakah responden mendapatkan ilmu dari Program Sekolah Lapang Iklim. HASIL PENELITIAN a. Jumlah Responden Responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 gapoktan dan 30 warga desa. Hasil pengambilan data didapatkan bahwa sebanyak 40 responden bekerja sebagai petani dan 20 responden bertani sebagai sambilan Gambar 1. Jumlah Responden Data diatas untuk responden yang menjadi petani sebanyak 40 responden, responden tersebut berasal dari warga sebanyak 24 responden atau 60% dan berasal dari Gapoktan sebanyak 16 responden atau 40%. Gambar 2. Jumlah Petani Antara Warga dan Gapoktan 111

120 Tabel 1. Usia, Pendidikan dan Pendapatan Responden Pada Tabel 1 menjelaskan bahwa yang mendominasi responden adalah usia produktif (31-47 tahun) Disusul dengan usia kurang produktif (48-55 tahun). Pada pendidikan yang mendominasi responden adalah pendidikan Sekolah Dasar sebanyak 23 responden dan selanjutnya di tingkat SMA sebanyak 14 responden. Pada pendapataan yang mendominasi responden adalah yang kurang dari Upah Minimum Regional sebanyak 36 responden atau lebih dari setengah jumlah responden. Tabel 2. Hasil Pengukuran Petani Non SLI Tabel diatas menjelaskan bahwa sebagian besar responden menjawab tidak dari setiap pertanyaan yang diberikan. Gambar 3. Tingkat Pemahaman Responden Terhadap Program SLI 112

121 Hasil dari kuesioner bisa di lihat pada gambar 3 diatas yang menjelaskan sebanyak 47% atau sebanyak 28 responden kurang dalam memahami Program Sekolah Lapang Iklim. PEMBAHASAN Tingkat pemahaman dari program Sekolah Lapang Iklim untuk petani lokal yang tidak mengikuti kegiatan di Desa Wonosari sangat penting untuk diketahui. Karena bilamana warga lokal paham dengan Program Sekolah Lapang Iklim, maka akan berdampak positif pada pendapatan petani lokal dan lingkungan di Desa Wonosari. Studi yang dilakukan di Desa Wonosari, Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar ini masuk kedalam studi peningkatan pemahaman petani tentang lingkungan. Responden yang dijadikan sample di dalam penelitian ini berasal dari warga dan Gapoktan sebanyak 60 orang. Diketahui bahwa dari responden tersebut yang pekerjaan nya hanya sebagai petani sebanyak 40 responden. Responden yang berjumlah 40 orang tersebut, terdiri dari 16 orang dari gapoktan dan sisanya 24 orang dari warga. Diketahui juga dari 60 responden, sebanyak 47% kurang paham terhadap program SLI, Sebanyak 23% Cukup paham, sebanyak 8 % paham, dan sebanyak 22% tidak paham sama sekali atau buruk. Angka tersebut menunjukkan bahwa status pemahaman program SLI di masyarakat lokal Desa Gondangrejo tergolong kurang paham. Pada penelitian ini akan diuraikan pemahaman responden berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat umur dan tingkat pendapatan. Tingkat Pemahaman Berdasarkan Pendidikan Pengaruh kenapa tingkat pemahaman kurang antar lain karena tingkat pendidikan. Pada tabel 1, tingkat pendidikan yang mendominasi berasal dari sekolah dasar sebanyak 23 responden atau sebanyak 39 %. Tingkat ke dua disusul dengan SMA sebanyak 23% atau sebanyak 14 responden, disusul dengan SMP sebanyak 20% atau 12 orang. Hasil pengamatan, responden yang berpendidikan Sekolah Dasar dan SMP lebih memilih pekerjaan hanya sebagai petani saja. Responden yang berpendidikan lebih tinggi menjadikan sektor pertanian sebagai pekerjaan sambilan. Responden lulusan SMA lebih memilih menjadi buruh pabrik walaupun dengan gaji dibawah UMR. Persepsi mereka adalah bila bekerja di perusahaan seperti buruh pabrik, rezeki mereka bisa terpenuhi dengan adanya gaji bulanan. (Puspita Sari, 2015) Sebenarnya warga yang tidak ikut SLI tahu tentang pola tanam dan ingin meningkatkan pendapatan sebagai petani, walaupun mereka lulusan Sekolah Dasar, SMP atau SMA dan menginginkan pola tanam yang baru. Tetapi mereka sering takut bertanya kepada peserta SLI tentang pola tanam dari program yang telah diberikan. Mereka takut dianggap bodoh. Serta sedikit peserta yang mau mengajarkan pola tanam SLI kepada masyarakat. Sehingga ilmu yang ada di program SLI tidak sampai ke masyarakat (Khasanah, 2012). Ditambah lagi menurut mereka, kegiatan SLI tidak menguntungkan mereka secara langsung (Khasanah, 2012). Tingkat Pemahaman Berdasarkan Umur Faktor lainnya adalah pada bagian umur. Terlihat di tabel 1, usia yang menduduki peringkat ke-2 sebanyak 33% atau 20 responden dengan usia tahun, karena usia ini tergolong usia kurang produktif. ( UU No. 13, 2003) Walaupun usia yang menduduki peringkat pertama adalah produktif 37% atau 22 orang, tetapi tidak merubah pemahaman responden. Karena usia kurang produktif dan tidak 113

122 produktif (15 orang atau sekitar 25 %) bila ditambah maka lebih dari setengah responden. Oleh karena itu mereka lebih cenderung tidak perduli ketika ada program SLI. Menurut mereka program SLI susah difahami dan karena menganggap sudah tua dan tidak pantas untuk belajar lagi (Khasanah, 2012). Selain itu keterbatasan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja menyebabkan masyarakat khususnya remaja mencari alternatife pekerjaan lain di luar sektor pertanian. (Farhani, 2009) Tingkat Pemahaman Berdasarkan Pendapatan Faktor lain berdasar dari segi pendapatan penduduk. Diketahui bahwa pendapatan penduduk sebesar 36 responden atau setara dengan 60%, kurang dari UMR. Faktor ini penyebab kenapa banyak petani lokal yang tidak mau belajar dan bertanya kepada peserta. Karena menurut mereka, untuk hidup saja susah dan malah ditambah dengan program kegiatan Sekolah Lapang Iklim yang mengeluarkan dana besar untuk alatnya (Puspita Sari, 2015). Mereka berpendapat dengan sistem tradisional produksi mereka sudah mencukupi dan menghasilkan panen berlimpah. Selain itu mereka takut akan kegagalan, karena sedikit nya modal mereka untuk bertani. (Monografi Kecamatan Gondangrejo, 2017) Menurut Farhani, 2009 tingkat pendapatan di sektor pertanian relatif rendah dan karena industri di Desa Wonosari berkembang pesat sehingga menyebabkan warga bekerja di sektor industri PENUTUP Kesimpulan Dan Saran Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa sebagian besar responden kurang paham tentang program SLI dengan presentase sebesar 47%. Disusul dengan cukup sebesar 23%, buruk sebesar 22%, baik sebesar 8%. Tetapi mereka tahu ada kegiatan SLI di Desa nya. Kesimpulan ini diambil dari beberapa faktor seperti pendidikan, umur dan pendapatan. Faktor pendidikan dan umur sangat disoroti, karena diperlukan para pemuda yang mau berkecimpung di bidang pertanian, sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu seperti ilmu dari SLI. Faktor pendapatan warga desa menjadi penting, karena warga desa yang berusia muda dan berpendidikan lebih memilih bekerja di pabrik sebagai buruh pabrik. Sehingga bilamana ingin program dari SLI berjalan maka diperlukan peningkatan minat pemudanya agar mau terjun kembali ke sektor pertanian. Perlunya dibuat teknik yang lebih murah lagi ketika menerapkan ilmu atau teknologi modern untuk pertanian. Agar sistem pertanian tradisional dapat berkolaborasi dengan teknologi modern. DAFTAR PUSTAKA Adhanari, Asti Maria. (2005). Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Bagian Produksi Pada Maharani Handicraft di Kabupaten Bantul. Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Boer R. (2009). Sekolah lapangan iklim antisipasi resiko perubahan iklim. Kepala Laboratorium Klimatologi, Departemen Geomet-FMIPA IPB dan Ketua Umum Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Institut Pertanian Bogor. [Deptan] Departemen Pertanian. (2009). Pedoman Umum : Sekolah Lapang Iklim. Direktorat Pengelolaan Air. Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air dan 114

123 Departemen Pertanian. Farhani, A. (2009). Motivasi Social Ekonomi Petani Beralih Pekerjaan Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Industri Kerajinan Mebel Di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Khasanah, Uswatun. (2012). Tingkat Adopsi Teknologi Adaptasi Dan Mitigasi Fenomena Perubahan Iklim Oleh Alumni Sekolah Lapang Iklim (SLI) Di Kabupaten Majalengka. Universitas Padjadjaran. Monografi Desa Wonosari. (2017). Monografi Desa. Desa Wonosari. Karanganyar. Monografi Kecamatan Gondangrejo. (2017). Peta Lahan Sawah Kecamatan Gondangrejo. Kecamatan Gondangrejo. Karanganyar. Novela D, Suandi, Aulia F. (2012). Perilaku petani terhadap program sekolah lapang iklim (SLI) dalam usahatani padi sawah (kasus di Desa Tebing Tinggi Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci dan Desa Koto Panap Kecamatan Tanah Kampung Kota Sungai Penuh). J Sosio Ekonomika Bisnis ISSN: Puspita Sari, Meryyana, dkk. (2015). Pergeseran Pekerjaan Remaja Dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana. Setiawan Ambarita Dedi. (2014). Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Dunia Kerja. isuisuekternal. blogspot.co. id/ 2014 /12/ pengaruh-tingkat- pendidikan- terhadap. html. Diakses Undang-undang Nomor 13. (2003). Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja, Hubungan Kerja, Pengawasan, PHK, Lembaga Pekerja, Upah, Pemerintah Pusat, Pemrintah Daerah. Republik Indonesia. 115

124 IDENTIFIKASI PERUBAHAN IKLIM DI KOTA TARAKAN, KALIMANTAN UTARA Christine Elia Benedicta 1, Sumani 2, Komariah 2, Sapja Anantanyu 3, Dwi Priyo Ariyanto 2 1 Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir Sutami No 36A, Kentingan Surakarta Jawa Tengah, Indonesia Telp ( ) dicta.benedicta@gmail.com 2 Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir Sutami No 36A, Kentingan Surakarta Jawa Tengah, Indonesia 3 Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir Sutami No 36A, Kentingan Surakarta Jawa Tengah, Indonesia ABSTRAK Perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global menjadi salah satu tantangan bagi dunia saat ini. Perubahan iklim yang terjadi ditandai dengan adanya perubahan parameter iklim salah satunya adalah suhu dan curah hujan.. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan iklim melalui identifikasi perubahan suhu udara dan curah hujan yang terjadi di Kabupaten Tarakan, Kalimantan Utara dengan menggunakan metode analisis regresi linier. Data yang digunakan adalah data sekunder suhu dan curah hujan tahun 1974 sampai dengan 2016 selama 40 tahun di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa suhu udara dan curah hujan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara bersifat fluktuatif dari tahun ke tahun tetapi, suhu cenderung mengalami peningkatan sedangkan curah hujan cenderung mengalami penurunan yang diduga sebagai pengaruh dari pemanasan global. Tindakan mitigasi diperlukan untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Kata Kunci : curah hujan, suhu udara, pemanasan global. ABSTRACT Due to global warming, climate change has become one of the challenges for today s world. Climate change is nothing but the change of climate parameters including air temperature and rainfall.. This study aims to identify climate change through the identification of temperature and rainfall changes occurring in Tarakan City, North Kalimantan using linear regression analysis method. The data used are secondary temperature and rainfall data recorded from 1974 to 2016 for 40 years in tarakan City, North Kalimantan. The result of this study indicate that air temperature and rainfall in Tarakan City, North Kalimantan are fluctuating from year to year but temperature tend to increase while rainfall tends to decline as a result of global warming. Mitigation actions are needed to mitigate these negative impacts. Keywords : Rainfall, air temperature, global warming 116

125 PENDAHULUAN Perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global (global warming) merupakan salah satu tantangan bagi dunia saat ini. Perubahan iklim yang terjadi ditandai dengan adanya perubahan parameter iklim seperti suhu, curah hujan, kelembaban udara, angin dan radiasi matahari. Terjadinya perubahan iklim disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Efek GRK banyak dihasilkan dari perubahan fungsi lahan atau deforestasi, seperti perluasan padang penggembalaan dan lahan pertanian yang digunakan untuk produksi ternak dapat menyumbang 92% dari total gas rumah kaca (Gerber et al, 2013). Efek gas rumah kaca tersebut telah memicu peningkatan intensitas curah hujan dan suhu udara bumi secara global dari tahun ketahun secara signifikan, sehingga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di Indonesia. Perubahan iklim memberikan dampak bagi sektor kehidupan manusia, seperti sektor pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, kesehatan, lingkungan, sumber daya air, dan lainnya. Salah satu daerah yang merasakan dampak perubahan iklim tersebut adalah Pulau Kalimantan. Anggraini dan Trisakti (2011) menyatakan bahwa curah hujan di wilayah Kalimantan selama periode mempunyai tren yang sedikit meningkat. Kalimantan khususnya Kalimantan Utara pada tahun 2014 memiliki rata-rata curah hujan 98,6 mm. pada tahun 2015 memiliki curah hujan rata-rata 206,083 mm. Hal ini menunjukan adanya kenaikan curah hujan di Kalimantan Utara berdasarkan data BPS (2014 dan 2016). Kejadian El-nino pada tahun 1997 mengakibatkan bencana kekeringan dan menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan. Kejadian LaNina yang terjadi juga mengakibatkan bencana banjir. Di Pulau Kalimantan terjadinya kebakaran hutan yang sangat luas mengakibatkan populasi hama meningkat dan berkurangnya biodiversitas. Asap yang ditimbulkan mengganggu kesehatan masyarakat dan transportasi udara, darat, dan perairan (Sudibyakto, 2003). Namun, informasi dan dokumentasi mengenai identifikasi perubahan iklim di Kalimantan masih sangat kurang, sehingga sulit untuk mengetahui tingkat perubahan iklim dari tahun ke tahun dan sulitnya untuk menentukan tindakan mitigasi dan adaptasi yang pertu dilakukan. Oleh sebab itu identifikasi kecenderungan perubahan iklim yang terjadi di Pulau Kalimantan perlu dilakukan, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan iklim yang terjadi di Kota Tarakan, Kalimantan Utara selama 40 tahun ( ). PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari BMKG Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara tentang suhu udara rata-rata dan curah hujan yang turun setiap tahun di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Periode data adalah pada tahun 1974 sampai dengan tahun 2016 yaitu periode rentang waktu dalam 40 tahun. Metode yang digunakan untuk analisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis regresi linier. 117

126 Gambar 1. Curah hujan bulanan Kota Tarakan Kota tarakan secara geografis terletak antara 117º34 Bujur Barat dan 117º38 Bujur timur serta diantara 3º19 Lintang Utara dan 3º20 Lintang Selatan. Kota tarakan memiliki luas daratan yaitu 254,18 km 2 dan luas lautan 4,53 km 2. Pada gambar 1. menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara bulanan setiap tahun selama 40 tahun di Kota Tarakan fluktuatif, dengan suhu terendah terjadi pada tahun 1975 di bulan Juli yaitu 25,5 ºC dan suhu tertinggi terjadi pada tahun 2015 di bulan Agustus yaitu 28,3 ºC. Dari persamaan regresi di atas menunjukan bahwa telah terjadi kenaikan suhu 0,5 ºC selama 40 tahun atau 0,0125 ºC per tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan IPCC bahwa suhu rata-rata global Gambar 2. Curah hujan bulanan Kota Tarakan pada permukaan bumi akan meningkat 1,1 ºC hingga 6,4 ºC antara tahun 1990 hingga Peningkatan suhu diduga karena semakin berkurangnya vegetasi penutup lahan akibat dari perubahan alih fungsi lahan. Gambar 2. menunjukan bahwa rata-rata curah hujan bulanan setiap tahun selama 40 tahun di Kota Tarakan fluktuatif, dengan curah hujan minimum terjadi pada tahun 1983 di bulan Maret yaitu 31,5 mm dan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1995 di bulan Maret yaitu 768,8 mm 118

127 Rata-rata jumlah curah hujan pertahun di Kota Tarakan adalah mm. Dari persamaan regresi di atas menunjukan bahwa telah terjadi penurunan jumlah curah hujan 0,747 mm selama 40 tahun atau 0,019 per tahun. Hal ini tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Laimeheriwa (2014), yang menyatakan bahwa tren curah hujan dengan pola Moonson di Provinsi Maluku mengalami kenaikan curah hujan tahunan 17,8% selama 60 tahun. Penurunan curah hujan tersebut diduga karena semakin berkurangnya vegetasi sebagai sumber penguapan sehingga mengakibatkan curah hujan berkurang. PENUTUP Kesimpulan Dalam kurun waktu 40 tahun telah terjadi peningkatan suhu udara dengan laju 0,0125ºC per tahun dan terjadi laju penurunan curah hujan sebesar 0,019 per tahun. Saran Untuk mengurangi dampak negatif dan dampak kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim, maka perlu dilakukan strategi adaptasi dan mitigasi dari masyarakat, contohnya dengan membuat kalender tanam dan penggunaan pupuk alami di sektor pertanian, pengelolaan hutan yang lestari di sektor kehutanan. Hal tersebut dapat membantu masyarakat untuk beradaptasi terhadap suhu dan curah hujan dan sebagai upaya kestabilan suhu dan curah hujan setiap tahunnya. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, N dan Trisakti, B Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kebakaran Hutan dan Deforestasi di Privinsi Kalimantan Barat. Peneliti PUSFATJA, LAPAN. Jurnal Penginderaan Jaul Volume 8 hal Badan Pusat Statistik Kabupaten Malinau Kabupaten Malinau Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Malinau Kabupaten Malinau Dalam Angka. Gerber, P J; Steinfeld H; Henderson B; Mottet A; Opio C; Dijkman J; Falcucci A; Tempio G Tackling Climate Change Through Livestock: A Global Assesment of Emissions and Mitigation Opportunities. FAO. Roma. Laimeheriwa, S Analisis Tren Perubahan Curah Hujan Pada Tiga Wilayah Dengan Pola Hujan yang Berbeda di Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian vol 10 no 2 hlm Universitas Pattimura. Salinger, M. J Climate Varyability and Change : Past, Present, and Future Over View. Climate Change 70 : 9-29 Setiawan, H Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Tanah dan Potensinya sebagai rosot Karbondioksida Pada Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah. hlm Dalam Perbatasari DU (edt). Restorasi DAS : Mencari Keterpaduan di Tengah Isu Perubahan Iklim. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS). Surakarta. Sudibyakto Anomali Iklim dan Mitigasi Kebakaran Hutan di Indonesia. Majalah Geografi Indonesia vol. 17 no 1 hlm Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta 119

128 RENCANA AKSI MASYARAKAT DESA BABALAN KABUPATEN PATI DALAM MENGHADAPI KEKERINGAN Ragil Nurwahyudi 1,*, dan Maryono 1,2* 1 Program Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2 Departemen Perencanaan Kota dan Wilayah, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro ragilenvironment@gmail.com Abstrak Berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia tahun 2013, Kabupaten Pati merupakan daerah yang beresiko tinggi terjadi bencana dan menempati peringkat 11 tingkat Provinsi Jawa Tengah sedangkan secara nasional menempati rangking 156. Desa Babalan yang terletak di pinggir Sungai Juwana mempunyai sejarah kebencanaan dari tahun menunjukkan bencana banjir memberikan probabilitas dan dampak yang paling besar disusul hama tikus, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran. Desa Babalan merupakan daerah dataran terletak pada ketinggian 0-8 Mdpl. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui rencana aksi masyarakat Desa babalan dalam menghadapi kekeringan. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan diskusi kelompok. Masyarakat Desa Babalan mempunyai rencana aksi dalam menghadapi kekeringan antara lain: 1)Pembuatan sumur dalam, 2) Pembuatan bak air, 3) Pompa air dan embung, 4) Penanaman tanaman pelindung, 5) Pelatihan pengelolaan air asin menjadi air tawar, 6) Pembuatan sistem pembagian tugas mendistribusikan air. Kata Kunci: Bencana, Kekeringan, Rencana Aksi Masyarakat. COMMUNITY ACTION PLAN OF BABALAN VILLAGE, PATI REGENCY IN FACING DROUGHT Abstract Based on the Indonesia Disaster Prone Index 2013, Pati Regency is a high risk area of disaster and is ranked 11th level Central Java province while nationally ranked 156. Babalan Village located on the edge of Juwana River has disaster history from shows flood disaster Giving the greatest probability and impact followed by rat pest, tornado, drought and fire. Babalan Village is a plain area located at an altitude of 0-8 Mdpl. The purpose of this research is to know the action plan of Babalan Village community in facing drought. This research method used qualitative method with interview and group discussion. Villagers of Babalan Village have an action plan to deal with drought, among others: 1) Making deep wells, 2) Making water baths, 3) Water pumps and reservoir, 4) Planting of protective plants, 5) Training of salt water management into fresh water, 6) Making the task-distribution system distributes water. Keywords: Disaster, Drought, Community Action Plan. 120

129 PENDAHULUAN Kabupaten Pati merupakan satu dari 35 kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang termasuk daerah rawan bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, non alam maupun manusia. Berdasarkan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) 2013, Kabupaten Pati merupakan daerah yang beresiko tinggi terjadi bencana dan menempati peringkat 11 tingkat Provinsi Jawa Tengah sedangkan secara nasional menempati rangking 156. Ada beberapa bencana yang bisa terjadi di Kabupaten Pati. Pada musim penghujan Kabupaten Pati merupakan daerah yang rawan terhadap bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor maupun angin topan. Ketika musim kemarau Kabupaten Pati dilanda kekeringan. Perilaku masyarakat yang kurang kesiapan menghadapi bencana dapat diantisipasi oleh mekanisme internal. Pelajaran di Indonesia tentang penanggulangan bencana secara dominan dilakukan melalui mekanisme eksternal, yaitu, tindakan penanggulangan bencana dilakukan oleh pelaku yang berasal dari luar masyarakat. Sejauh ini, penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan dengan intervensi ekstensif oleh pelaku eksternal, sementara masyarakat setempat hanya menjadi objek program. Mekanisme eksternal tersebut dapat menciptakan komunitas yang tidak berdaya dalam pengurangan kerentanan terhadap bencana. Faktor eksternal tidak melibatkan masyarakat setempat dan mempertimbangkan potensi sumber daya lokal untuk mengurangi risiko bencana. Apalagi respon masyarakat, hal itu juga diungkapkan oleh pemimpin lokal, 'nantang perkoro' yang berarti mengharapkan agak buruk di masa depan. Menurut masyarakat, 'Kita sekarang hidup dalam damai dan damai; kita tidak harus mempersiapkan diri untuk bencana yang tidak pasti.( Maarif, 2012) Sesuai paradigma penanggulangan bencana menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 bahwa paradigma penanggulangan bencana harus bersifat preventif terpadu dan menyeluruh dengan partisipasi seluruh pihak baik pemerintah dunia usaha dan masyarakat. Desa Babalan merupakan bagian dari Kecamatan Gabus Kabupaten Pati dengan letak geografis sebagai berikut : Sebelah utara : Sungai Juwana, Desa Gajah Mati dan Desa Banjarsari Sebelah timur : Desa Koripandriyo Sebelah selatan : Desa Plumbungan Sebelah barat : Desa Tanjang Secara administrasi Desa Babalan terbagi 10 (sepuluh) Rukun Tetangga (RT). Jenis tanah Desa Babalan adalah aluvial (lempung). Wilayah desa Babalan termasuk kelompok daerah yang mempunyai ketinggian 0-8 mdpl. (YSI, 2010) Kondisi ini mengakibatkan kondisi ainya payau saat musim kemarau, karena air laut naik melewati Sungai Juwana. Data BPBD Kabupaten Pati tahun 2014 menunjukkan sejarah kejadian bencana di desa Babalan dari 9 (sembilan) tahun terakhir 2006 s/d 2014 kejadian bencana yang sering terjadi karena faktor alam yaitu banjir yang terjadi hampir setiap tahun, kekeringan, angin kencang dan bencana gagal panen karena hama tikus. Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan (Ramli, 2010). Format standar/dasar Manajemen Bencana sebagaimana dikemukakan oleh Nick Center dalam buku The Disaster Management Cycle (Nurjanah, 2011). Pasal 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada prinsip: kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah, keseimbangan dan keselarasan, ketertiban dan kepastian hukum, kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, penanggulangan bencana juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip praktis sebagai berikut: cepat dan tepat, prioritas, 121

130 koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non-diskriminasi, dan non-proselitisi (Nurjanah, 2011). Menurut Abarquez dan Murshed (2004), masyarakat dalam konteks manajemen bencana adalah sebuah kelompok yang dapat berbagi satu atau lebih hal yang sama, seperti hidup dalam keadaan yang sama lingkungan, memiliki eksposur risiko bencana serupa, atau terkena dampak bencana. Definisi serupa, meski lebih erat kaitannya dengan lingkungan binaan, diusulkan Oleh Ginige dan Amaratunga (2011). Mereka mendefinisikan komunitas sebagai Individu dan kelompok yang berbagi lingkungan alami dan dibangun yang rentan terhadapnya Bahaya. Dengan kata lain, masyarakat adalah masyarakat umum; Pengguna dan penghuni yang dibangun lingkungan dan penerima manfaat rekonstruksi pascabencana. Penilaian risiko didasarkan pada tinjauan terhadap kedua fitur teknis dari bahaya seperti lokasi, intensitas, frekuensi dan probabilitasnya; Dan juga analisis dari Dimensi fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan dari kerentanan dan kerentanan Eksposur, sambil memperhitungkan akun kemampuan penanganan yang berkaitan dengan skenario risiko kerentanan mengukur kondisi yang ditentukan oleh fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan atau proses, yang meningkatkan kerentanan sebuah komunitas untuk dampak bahaya (UN / ISDR, 2002). Identifikasi risiko dan Penilaian biasanya dilakukan oleh pelaku utama di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan tingkat desa (Moe and Pairote, 2016). Penelitian ini menjelaskan bagaimana rencana aksi masyarakat Desa Babalan dalam menghadapi kekeringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rencana aksi aksi masyarakat Desa Babalan dalam menghadapi kekeringan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistemik, faktual, akurat mengenai sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). Data primer diperoleh dengan cara wawancara melalui FDG dan data sekunder berasala dari BPBD Kabupaten Pati. PEMBAHASAN Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan (Nurjanah, 2011). Data BPBD Kabupaten Pati selama musim kemarau tahun 2017 terdapat 88 desa yang terdiri dari 10 kecamatan mengalami kekeringan. Desa Babalan Kecamatan Gabus termasuk desa terdampak kekeringan dengan jumlah Kepala Keluarga 453 atau jiwa dan estimasi kebutuhan air liter/ hari selama musim kemarau. Banyak desa yang mengajukan permintaan air bersih rata-rata 20 tangki (kapasitas liter) tetapi BPBD Kabupaten Pati belum bisa mengakomodir semua permintaan. Rata-rata BPBD Kabupaten Pati hanya mengyalurkan 2-7 tangki per desa. Analisis kebutuhan air bersih masayarakat Desa Babalan per hari 7, 05 tangki. Analisis ini berdasarkan kebutuhan air bersih per orang per hari 17 liter. Jumlah kebutuhan ini sangat besar tidak sebanding dengan yang dianggarkan BPBD Kabupaten Pati hanya 582 tangki untuk didistribusikan selama kekeringan tahun Kapasitas suatu sistem, masyarakat atau sosial untuk menolak atau mengubah agar bisa mendapatkan tingkat yang dapat diterima dalam fungsi dan struktur. Hal ini ditentukan oleh tingkat ke dimana sistem sosial mampu mengorganisir dirinya sendiri dan kemampuan untuk meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dan beradaptasi, termasuk kemampuan untuk pulih dari bencana (UN / ISDR, 2002, hal. 24). Kekeringan merupakan bagian normal iklim dan bisa terjadi di padang pasir atau ekosistem lainnya (WMO dan GWP, 2016). Namun, hal itu dianggap serius sebagai bahaya pembunuh karena menghancurkan pertanian, mata pencaharian dan ekosistem dalam perlombaan yang lambat. Kekeringan berasal dari defisiensi presipitasi dalam jangka waktu 122

131 yang lama, biasanya satu musim atau lebih, dan juga ditandai dengan tingkat keparahan, lokasi, durasi dan waktu terjadinya. (Singh, 2015) Berikut adalah kerentanan utama dan penyebab utamanya masyarakat: Tidak ada air minum untuk orang dan ternak, 1. Meningkatnya penyakit kesehatan, anak-anak kurang gizi, 2. Tidak ada pendidikan kesehatan dan kebersihan, 3. Tingkat putus sekolah yang tinggi di sekolah, 4. Rendahnya produksi ternak karena kekurangan air minum dan penyakit. 5. Pilihan mata pencaharian terbatas, dan masalah psikososial. Semua ini telah menyebabkan kemiskinan dan kerentanan yang ekstrim penduduk di masyarakat. Berikut adalah dampak utama kekeringan di masyarakat: 1. Kekurangan makanan 2. Kebakaran hutan 3. Hujan rendah, hujan tertunda 4. Penggundulan hutan 5. Air surut di waduk 6. Mengurangi lahan penggembalaan 7. Ekosistem sungai 8. Ekosistem terestrial (Kafle, 2017) Hasil Forum Discusion Group (FDG) terdapat pada Tabel 1. memberikan penjelasan tentang profil ancaman kekeringan di Desa Babalan. Elemen risiko yang terancam karena kekeringan adalah manusia, alam/ lingkungan, fisik/ infrastruktur, ekonomi/finansial dan sosial. Penjelasan ancaman kekeringan dapat berupa kekurangan air bersih, tanah pecahpecah, bangunan bergeser, penurunan produksi panen, hewan ternak kekurangan makanan dan timbulnya konflik air. Lokasi risiko kekeringan dapat mencakup wilayah desa dan kabupaten sedangkan tingkat risiko dijelaskan dengan tingkatan risiko rendah, sedang dan tinggi. 123

132 Rendah Sedang Tinggi Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Lingkungan UNDIP Tabel 1. Hasil Forum Discusion Group Pofil Ancaman Kekeringan Desa Babalan Profil Ancaman Elemen Berisiko Lokasi Elemen Berisiko Tingkat Risiko Alasan 1. Dimulai dari menurunya curah hujan sampai tidak ada hujan selama 1 (satu) bulan; 2. Masyarakat kekurangan air bersih untuk mencuci dan mandi; 3. Berdampak pada persawahan tanaman layu dan gagal panen jika tidak melakukan pola tanam (spekulasi); 4. Air sungai menjadi asin karena air laut naik dan mempengaruhi sumber air bersih 5. Masyarakat terpaksa membeli air untuk minum. 6. Jika hujan tidak turun maka jalan memjadi rusak Manusia Seluruh desa V Alam/ Lingkungan Fisik/ Infrastruktur Ekonomi/ Finansial Seluruh Kabupaten Seluruh desa Seluruh desa Sosial Seluruh desa V Politik V V V Kekurangan air bersih dan air minum Tanah/ lahan pecah-pecah Tanah yang pecah bisa menggeser struktur bangunan Tanaman kekurangan air mengakibatkan penurunan produksi bahkan gagal panen, hewan ternak kekurangan makanan karena lahan untuk pakan ternak mengering Konflik bantuan air bersih Konferensi Hyogo pada tahun 2005 telah mengadopsi lima prioritas aksi berikut ini: 1. Memastikan bahwa peredaman risiko bencana merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya; 2. Mengidentifikasi, menjajagi dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; 3. Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat; 4. Meredam faktor-faktor risiko yang mendasari; 5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat. Saat ini sudah ada pengakuan internasional bahwa upaya-upaya meredam risiko bencana harus secara sistematis dipadukan kedalam kebijakan, perencanaan dan programprogram pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, dan didukung melalui kerja sama bilateral, regional dan internasional, termasuk melalui kemitraan. Pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, tata kelola yang baik (good governance) dan peredaman risiko bencana merupakan tujuan yang sama-sama mendukung, dan untuk bisa memenuhi tantangan di depan, perlu dilakukan percepatan upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas yang diperlukan pada tingkat komunitas dan nasional untuk mengelola dan meredam risiko. (UNSDR, 2005) 124

133 Pendekatan pengelolaan bencana Fokus manajemen bencana adalah mengurangi risiko yang ditimbulkan secara aktual dan potensial Bahaya (Alexander, 2002). Rencana Aksi Komunitas merupakan rencana tindak yang disusun komunitas sebagai bagian dari upaya pengurangan risiko bencana untuk meredam ancaman, mengurangi kerentanan dan peningkatkan kapasitas. Rencana tindak merupakan perincian dari rencana penanggulangan bencana. (Perka BNPB No. 1 tahun 2012). Tabel 2. Rencana Aksi Komunitas Desa Babalan dalam Menghadapi kekeringan No Kegiatan Tujuan Sasaran Lokasi Pembuatan sumur dalam Pembuatan bak air Pompa air dan embung Penanaman tanaman pelindung Pelatihan pengelolaan air asin menjadi air tawar Pembuatan sistem pembagian tugas mendistribusikan air Mencukupi kebutuhan rumah tangga Penampung air Menyimpan air untuk musim kemarau Pelindung air Untuk memenuhi kebutuhan warga Pembagian air agar merata Masyarakat warga desa Masayarakat Masyarakat dan petani Air tidak cepat menguap Masyarakat desa Masyarakat desa Desa Rt yang belum ada Tanah masyarakat Pemukiman Desa Desa Sifat Baru Lanjutan V V V V V V Rehabilita si Rencana aksi masyarakat Desa Babalan dalam menghadapi kekeringan dijelaskan dalam Tabel 2. Rencana aksi masyarakat ada 6 rencana yaitu Pertama, pembuatan sumur dalam (Pansimas) diharapkan tambah 1 unit lagi untuk mencukupi kebutuhan air rmasyarakat. Kondisi saat ini hanya mempunyai 1 unit sumur dalam (Pansimas) itupun dengan air yang berasa agak asin. Pansimas hanya untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus 125

134 tidak untuk air minum. Kedua, pembuatan bak air sejumlah 10 untuk 10 RT (rukun tetangga) untuk memenuhi ketersedianair bagi masyarakat. Tersedianya 1 unit bak setiuap RT mampu menghembat waktu untuk pendistribusian air. Pengelolaan penyediaan bak air bersih dengan target setiap RT di Desa Babalan menjadi salah satu rencana aksi. Saat ini Desa Babalan mempunyai 6 bak air yang dikelola dari 10 RT dirasa belum efektif dari segi waktu dan pemerataan pendistribusian air. Bak air yang dikelola menerapkan retribusi setiap orang yang mengambil air di bak disarankan secara suka rela membayar. Setiap pengambilan 1 jerigen dikenakan biaya Rp 1.500,-. Air yang dikelola masyarakat Desa Babalan berasal dari pembelian air gunung. Pembelian air ini menggunakan dana dari iuran masyarakat. Pengelolaan bak air ini selalu mendapat keuntungan, dimana setiap keuntungan masuk dalam kas RT. Keuntungan ini didapat karena setiap warga yang mengambil air selalu memberikan uang lebih dari harga standar. Pengelolaan bak air selalu mendapat keuntungan di setiap baknya. Hal ini disebabkan setiap masyarakat yang mengambil air selalu memberikan uang yang lebih banyak dari pada harga standar air per jerigen. Semua keuntungan hasil pengelolaan bak dimasukan ke dalam kas RT. Ketiga, rencana pembuatan pompa air dan embung ditargetkan untuk mengairi kebutuhan persawahan. Embuh tidak diguanak untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dalam hal rumah tangga. Selama ini Desa Babalan mempunyai 1 embung untuk persawahan tetapi kondisinya kurang terawat. Keempat, penanaman tanaman pelindung di Desa Babalan didominasi pohon bambu yang mengelilingi desa. Diharapkan pohon bambu mampu menyimpan air tanah. Kelima, pelatihan pengelolaan air asin menjadi air tawar sangat dibutuhkan warga mengingat sumur sebagai sumber air berasa asin. Perlu adanya teknologi tepat guna yang mudah diterapkan di Desa Babalan. Keenam, pembuatan sistem pembagian tugas mendistribusikan air dilaksanakan saat mendapatkan bantuan air. Pembagian tugas ini bertujuan untuk pemerataan distribusi air saat ada bantuan dari luar baik dari Pemerintah daerah, swasta maupun lembaga sosial masyarakat. Bantuan air yang datang bersamaan membuat kesulitan dalam menampung air. Pembagian tugas pendistribusian air juga untuk mencegah konflik masyarakat karena berebut air. Personil pembagi air berasal dari perangkat desa dan masyarakat. Desa Babalan mempunyai 6 bak penampungan dengan kapasitas liter setiap bak. PENUTUP Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Babalan mempunyai rencana aksi dalam menghadapi kekeringan antara lain: 1). Pembuatan sumur dalam, 2). Pembuatan bak air, 3). Pompa air dan embung, 4). Penanaman tanaman pelindung, 5). Pelatihan pengelolaan air asin menjadi air tawar, 6). Pembuatan sistem pembagian tugas mendistribusikan air. Saran yang dapat disampaiakan antara lain: 1. Desa mampu membuat perencanaan dalam pengurangan risiko bencana; 2. Perencanaan yang cermat yang dituangkan dalam APBDes menjadikan rencana aksi mendekatai kenyataan; 3. Perlunya kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penangulangan bencana; 4. Koordinasi dan singkronisasi program-program pemerintah/ lembaga yang menyankut kebencanaan. DAFTAR PUSTAKA 1. Abarquez, I. and Murshed, Z. (2004). Community-based Disaster Risk Management: A Field Practioners Handbook, ADPC, Pathum Thani. 126

135 2. Alexander, D. (2002). Principles of Emergency Planning and Management. Terra Publishing, Harpenden. 3. BNPB Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Desa Tangguh Bencana. 4. Ginige, K. and Amaratunga, D. (2011). Capacity development for post-disaster reconstruction of the built environment, in Amaratunga,D. and Haigh, R.P. (Eds), Postdisaster Reconstruction of the Built Environment: Rebuilding for Resilience, Wiley, Chichester, pp Kafle, Shesh Kanta. (2017). Measuring Resilience Capability of Drought-prone Desert Communities: A Case Study of Tharparkar, Pakistan. Journal of Geography & Natural Disasters, Moe, Tun Lin and Pairote Pathranarakul. (2006). An integrated approach to natural disaster management Public project management and its critical success factors. An International Journal, Vol. 15 Iss 3 pp Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 8. Nurjanah, dkk. (2011). Manajemen Bencana. Bandung: ALFABETA. 9. Singh JS, Singh SP, Gupta SR (2015). Ecology, Environmental Science and Conservation. S. Chand & Company Private Limited. New Delhi, India. 10. S. Maarif, et.all. (2012). Initiation Of The Desa Tangguh Bencana Through Stimulus- Response Method. Indonesian Journal of Geography, Vol. 44, No. 2, UN/ISDR (2002). Living with risk: a global review of disaster reduction initiatives, Preliminary version prepared as an interagency effort coordinated by the ISDR Secretariat, Geneva. 12. UN/ISDR. (2005). World Conference on Disaster Reduction Kobe, January From org/. 13. World Meteorological Organization (WMO) and Global Water Partnerships (GWP) (2016) Integrated Drought Management Programme. Geneva. 14. Yayasan Sheep Indonesia. (2010). Benang Kusust Daerah Aliran Sungai Juwana. Yayasan Sheep Indonesia: Yogyakarta. 127

136 Kajian Faktor Lingkungan Dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kota Semarang Kartika Dian Pertiwi, Nurjazuli, Yusniar Hanani D Fakultas Kesehatan Masyarakat UniversitasDiponegoro 1,2 Jl. Prof. Sudharto, SH, Tembalang, Semarang Indonesia mkl_ppsundip@yahoo.co.id Abstrak Sejak tahun 2011 hingga 2016 penderita filariasis di Kota Semarang terus meningkat. Hingga tahun 2016 telah dilaporkan 28 kasus filariasis. Program pengendalian filariasis belum dilaksanakan, dan belum terdapat informasi mengenai aspek penentu penularan filariasis dalam hubungannya dengan vektor dan manusia di wilayah Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara faktor lingkungan dan perilaku dengan kejadian filariasis, serta mengetahui potensi penularan filariasis di Kota Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan case control. Subjek penelitian terdisi dari 21 kasus dan 21 kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan menggunakan Chi-square dilanjutkan regresi logistik dengan metode conditional backward. Dari 182 nyamuk tertangkap tidak ditemukan larva cacing filaria dalam tubuh nyamuk. Hasil identifikasi menemukan spesies Culex quinquefasciatus, Aedes aegypti, dan Armigeres sp. Variabel yang berhubungan dengan kejadian filariasis yaitu tempat perkembangbiakan (nilai p=0,017, OR=8,636), tempat peristirahatan (nilai p=0,022, OR=6,6), pengetahuan (nilai p=0,026, OR=5,667), sikap (nilai p=0,029, OR=5,2). Hasil pemeriksaan sampel darah jari tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah masyarakat di sekitarpenderita. Kata kunci: filariasis, lingkungan, perilaku, faktor risiko 128

137 PENDAHULUAN Filariasis/ lymphatic filariasis adalah penyakit tropis kurang mendapat perhatian, disebabkan oleh infeksi cacing filaria seperti Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. 1 Sebanyak 947 juta jiwa di 54 negara atau ±13% penduduk di seluruh dunia tinggal di daerah dengan potensi penularan filariasis, 80% diantaranya tinggal di 10 negara berikut, yaitu Angola, Kamerun, Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, India, Indonesia, Mozambik, Myanmar, Nigeria dan Republik Tanzania, sehingga memerlukan upaya preventif untuk menghentikan penyebaran infeksi parasit ini. 2 Tahun 2014, prevalensi mikrofilaria di Indonesia sebesar 4,7%. 8 Pada tahun 2015 ditemukan penderia filariasis di Indonesia yang tersebar di 241 Kabupaten/Kota artinya hampir 50% penduduk Indonesia tinggal di daerah dengan potensi penularan filariasis. 3 Pada tahun 2015 dilaporkan sebanyak 508 penderita filariasis di Provinsi Jawa Tengah. 4 Sejak tahun 2011 hingga 2016 jumlah penemuan kasus filariasis di Kota Semarang terus meningkat dan telah ditemukan sebanyak 28 kasus hingga tahun Kejadian filariasis berhubungan erat dengan beberapa faktor risiko, salah satu diantaranya ialah faktor lingkungan. Keadaan lingkungan yang memiliki air menggenang, seperti daerah persawahan dan rawa-rawa yang sering ditumbuhi tumbuhan air, saluran air limbah dan parit adalah salah satu habitat yang baik untuk perindukan dan tempat istirahat vektor/nyamuk spesies tertentu. 6 Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, beberapa penderita filariasis di Kota Semarang tinggal di lingkungan dengan kondisi yang hampir sama, dengan kondisi lingkungan yang merupakan pemukiman padat penduduk yang memiliki riwayat rob atau banjir. Kejadian filariasis juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. Ikhwan dkk dalam penelitiannya di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau pada tahun 2016 menyatakan adanya hubungan pengetahuan praktik penggunaan kawat kassa pada ventilasi rumah, penggunaan kelambu pada saat tidur dengan kejadian filariasis. 7 Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari tahun 2017 menunjukkan bahwa pengetahuan penderita mengenai filariasis masih sangat kurang, terbukti dengan penjelasan salah satu penderita bahwa penyakit filariasis ditularkan oleh gigitan tikus serta penderita mempunyai riwayat dirawat di rumah sakit dengan diagnosa pembengkakan/benjolan kelenjar getah bening pada lipatan paha sebelah kanan sebelum timbul pembesaran pada kaki kanan, namun penderita tidak mengetahui bahwa pembengkakan pada kelenjar getah bening merupakan tanda awal penyakit filariasis. Hingga saat ini belum dilaksanakan program pengendalian filariasis di Kota Semarang, dan belum terdapat informasi mengenai aspek penentu penularan filariasis dalam hubungannya dengan vektor dan manusia di wilayah Kota Semarang. Studi ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kota Semarang. MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cae control (kasus kontrol). Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di daerah penularan filariasis di Kota Semarang yaitu Kecamatan Semarang Tengah, Semarang Barat, Semarang Utara, Semarang Timur, Pedurungan, Tembalang, Ngaliyan, Semarang Selatan, dan Candisari. Sampel pada kelompok kasus adalah 21 penderita filariasis pada register Dinas Kesehatan Kota Semarang, sedangkan sampel kelompok kontrol diambil secara purposif dengan mencocokan jenis kelamin, rentang usia yang tidak lebih dari 2 tahun, tinggal di wilayah (kecamatan) yang sama, memiliki jarak tempat tinggal 100 meter dari tempat tinggal responden kasus dan tidak menunjukkan tnada-tanda klinis menderita filariasis seperti pembengkakan pada tangan, kaki, granula mamae ataupun alat kelamin. Perbandingan kelompok kasus dan kontrol adalah 1:1 dengan demikian sampel yang 129

138 diambil adalah 42 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara responden, observasi lingkungan, penangkapan nyamuk (survei entomologi) pada pukul dan pemeriksaan laboratorium sediaan darah jari dengan waktu pengambilan sampel pukul hasil pemeriksaan sediaan darah jari dikonfirmasi ulang menggunakan Filariasis Test Strip (FTS). Data penelitian dianalisis secara deskriptif dan pengujian hipotesis dilakukan dengan Chi-square, kemudian dilanjutkan dengan uji regresi logistik berganda dengan metose conditional backward untuk melihat faktor risiko yang paling berperan terhadpa kejadian filariasis di Kota Semarang. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah kasus filariasis di Kota Semarang dari hingga tahun 2016 sebesar 28 orang, namun karena terdapat 4 orang penderita yang telah meninggal duni dan 2 orang penderita berpindah alamat maka penelitian ini dilakukan pada 21 orang kasus dan 21 orang kontrol. Hasil penelitian diperoleh rata-rata umur responden pada kelompok kasus sebesar 51,24 tahun dengan umur terendah adalah 27 tahun dan umur tertinggi 86 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 50,76 tahun dengan umur terendah adalah 26 tahun dan umur tertinggi 84 tahun. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada kelompok kasus dan kontrol masing-masing terdiri dari 8 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Distribusi reponden berdasarkan pendidikan pada kelompok kasus proporsi tingkat pendidikan paling tinggi adalah tamat SD/sederajat (28,6%) sedangkan pada kelompok kontrol tamat SLTA/sederajat (38,1%). Distribusi reponden berdasarkan pekerjaan pada kelompok kasus proporsi jenis pekerjaan paling tinggi adalah tidak bekerja (28,6%) sedangkan pada kelompok kontrol adalah pedangang (33,3%) dan tidak bekerja (33,3%). Identifikasi dan bedah nyamuk Penangkapan nyamuk dilakukan di 42 rumah responden yang dilakukan pada saat nyamuk istirahat pukul WIB. Pembedahan nyamuk dilakukan di Balai Litbang B2P2 Banjarnegara untuk mengetahui spesies nyamuk penyebab penularan filariasis. Penangkapan nyamuk dilakukan di tempat resting yaitu pada dinding rumah, pakaian tergantung, perabot rumah tangga, tumpukan barang bekas, serta semak-semak di sekitar rumah responden. Hasil survei entomologi diperoleh 182 nyamuk tertangkap dan tidak ditemukan larva filaria dalam tubuh nyamuk. hasil identifikasi dapat dilihat pada tabel

139 Tabel 1. Hasil identifikasi, pembedahan, dan kepadatan nyamuk di Kota Semarang tahun 2017 No. Spesies Jumlah Kepadatan/orang/jam Hasil Kasus 1 Culex 49 9,333 Negatif quinquifasciatus 2 Aedes aegypti 16 3,048 Negatif 3 Armigeres sp 1 0,19 Negatif 4 Culex sp 1 0,19 Negatif Jumlah 68 12,762 No. Spesies Jumlah Kepadatan/orang/jam Hasil Kontrol 1 Culex 34 6,476 Negatif quinquifasciatus 2 Aedes aegypti 21 4 Negatif 3 Armigeres sp 0 0 Negatif 4 Culex sp 1 0,19 Negatif Jumlah 59 10,667 Penelitian ini tidak sejalan dengan Windiastuti dkk pada tahun 2013 di Kabupaten dari 90 ekor nyamuk yang dibedah ditemukan 6 ekor nyamuk dari spesies Culex quinqueasciatus positif mengandung mikrofilaria. 8 Namun jika dilihat berdasarkan spesies terbanyak yang tertangkap dalam survey entomologi pada penelitian ini, sejalan dengan yang ditemukan dalam penelitian Nurjazuli tahun 2015 di Pekalongan bahwa spesies nyamuk tertangkap yang berpotensi menjadi vektor filariasis di Pekalongan adalah Culex quinquifasciatus, Aedes aegypti, dan Armigeres subalbatus dengan jumlah tertinggi adalah Culex quinquifasciatus. 9 Kerentanan nyamuk terhadap parasit menentukan apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Bila jumlah parasit yang terhisap oleh nyamuk terlalu banyak, maka nyamuk akan mati. Bila jumlah parasit sedikit maka hanya sebagian kecil yang akan terhisap oleh nyamuk saat menggigit penderita filariasis. Penularan filariasis optimal terjadi jika kepadatan mikrofilaria dalam darah penderita 1-3 mf/ul darah.91 Selain itu konsumsi obat filariasis yaitu DEC (Diethylcarbamazine Citrate) disertai albendazole juga dapat mematikan dan menghilangkan cacing dewasa serta mikrofilaria dalam darah, sehingga apabila penderita telah memperoleh pengobatan disertai praktik kepatuhan dalam meminum obatnya maka kecil kemungkinan terdapat mikrofilaria yang terhisap pada saat nyamuk menggigit. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan mengetahui hubungan dan besar risiko masing-masing variabel bebas dengan kejadian filariasis. Hubungan bermakna antara faktor risiko dengan kejadian filariasis ditunjukkan dengan nilai p <0,05 dengan nilai Odds Ratio (OR) > 1 dan 95% CI tidak mencakup nilai 1. Hasil analisis hubungan faktor risiko ditampilkan pada tabel 131

140 No Tabel 2.Hasil analisis statistik hubungan variabel bebas dengan kejadian filariasis di Kota Semarang tahun 2017 Variabel Breeding places Ada Tidak ada Resting places Ada Tidak ada Keberadaan kassa ventilasi Tidak ada Ada Keberadaan plafon rumah Tidak ada Ada Pengetahuan Kurang baik baik Sikap Kurang baik Baik Kebiasaan keluar rumah pada malam hari Ya Tidak Kebiasaan memasang anti nyamuk Tidak menggunakan Menggunakan Kebiasaan menggunakan kelambu Tidak menggunakan Menggunakan Kebiasaan berpakaian panjang saat malam hari Tidak Ya Kebiasaan membuka pintu/jendela pada malam hari Ya Tidak Kasus Kontrol 95 % CI p-value OR n= 21 n= 21 Lower Upper 19 (90,5%) 2 (9,5%) 18 (85,7%) 3 (14,3%) 20 (95,2%) 1 (4,8%) 10 (47,6%) 11 (52,4%) 12 (57,1%) 9 (62,5%) 13 (61,9%) 8 (38,1%) 6 (28,6%) 15 (71,4%) 12 (57,1%) 9 (42,9%) 20 (95,2%) 1 (4,8%) 11 (52,4%) 10(47,6% ) 10 (47,6%) 11 (52,4%) 18 (85,7%) 3 (14,3%) 6 (28,6%) 15 (71,4%) 4 (19%) 17 (81%) 5 (6,2%) 16 (93,8%) 5 (23,8%) 16 (76,2%) 13 (61,9%) 8 (38,1%) 21 (100%) 0 (0%) 0,017* 0,022* 0,599 0,34 0,026* 0,029* 1,000 1,000 1,000 0,743-8,636 6,6 3,333 2,273 5,667 5,2 1,280 0,821 0,488 1,538-1,593 1,48 0,318 0,634 1,411 1,367 0,322 0,239 0,365 0,422-46,807 29,36 34,989 8,146 22,761 19,774 5,088 2,818 0,668 5, (71,4%) 6 (28,6%) 13 (61,9%) 8 (38,1%) 132

141 0 (0%) 21 (100%) 0 (0%) 21 (100%) Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari 11 variabel yang dianalisis terdapat 4 variabel yang terbukti sebagai faktor risiko filariasis. Keempat variabel tersebut kemudian dianalisis secara bersama-sama untuk mengetahui variabel bebas mana yang berpengaruh paling besar terhadap kejadian filariasis menggunakan regresi logistik berganda dengan metode conditinal backward. Hasil analisis multivariat didapatkan hasil bahwa dari 4 variabel tersebut terdapat 3 variabel yang patut dipertahankan secara statistik yaitu: pengetahuan masyarakat, keberadaan breeding place dan keberadaan resting place di sekitar rumah. Hasil analisi multivariat disajikan pada tabel 3. Hasil analisis multivariat tersebut dimasukkan dalam rumus persamaan regresi logistik maka diperoleh bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang baik, ada breeding place di sekitar rumahnya, dan ada resting place di sekitar rumahnya memiliki probabilitas terkena penyakit filariasis sebesar 94,68%. Tabel 3. Hasil analisis multivariat No. Variabel B p-value Exp 95%CI (B) Lower Upper 1. Pengetahuan masyarakat 2,491 0,014 12,076 1,651 88, keberadaan breeding place di sekitar 2,467 0,025 11,782 1, ,986 rumah 3. keberadaan resting place di sekitar rumah 2,241 0,026 9,402 1,305 67,752 Contanta : -4,

142 Pengetahuan masyarakat merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian filariasis di Kota Semarang. Pengetahuan masyarakat terbukti secara statistik sebagai faktor risiko kejadian filariasis dengan nilai p=0,026; OR=5,667 (95%CI=1,411-22,761), artinya bahwa masyarakat yang berpengetahuan kurang baik memiliki risiko untuk menderita filariasis hampir 6 kali lebih besar jika dibandingkan dengan masyarakat yang berpengetahuan baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain pendidikan, media masaa/sumber informasi, sosial budaya dan ekonomi, lingkungan serta pengalaman. 10 Pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian yang dapat berasal dari dalam ataupun luar sekolah. Sebanyak 81% responden kontrol telah memiliki pengetahuan baik tentang filariasis, hal ini berkaitan dengan pendidikan terakhir seseorang. Sesuai pada Tabel 4.4 sebanyak 38,1% responden kontrol memiliki pendidikan terahir tamat SMA, sedangkan 57,1% responden kasus memiliki pengetahuan yang kurang baik tentunya hal ini berkaitan dengan latar belakang pendidikannya dimana frekuensi paling banyak terletak pada pendidikan tamat SD sebanyak 28,6%. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik pula tingkat pengetahuan seseorang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ikhwan, dkk pada tahun 2016 yang menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau dengan p-value= 0,045 dan OR=1,365, dan pengetahuan dinyatakan sebagai variabel yang paling berhubungan dengan kejadian filariasis dengan nilai OR=6,154 yang artinya responden dengan pengetahuan kurang baik memiliki risiko risiko terjangkit filariasis 6,154 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan baik. 7 Keberadaan breeding place di sekitar rumah merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian filariasis setelah pengetahuan masyarakat, dengan p value=0,017 dan OR=8,636 (95% CI=1,593-46,807), maka responden yang terdapat breeding place di sekitar rumahnya memiliki risiko hampir 9 kali untuk terjangkit filariasis jika dibandingkan dengan responden yang tidak terdapat breeding place di sekitar rumahnya. Semakin banyak jumlah breeding place di sekitar rumah kasus, maka jumlah populasi nyamuk yang berpotensi menjadi vektor filariasis akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purnama pada tahun 2016 di Kabupaten Ketapang yang menunjukkan bahwa responden yang terdapat breeding place di sekitar rumahnya memiliki risiko 9,345 kali untuk terjangkit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak tedapat breeding place di sekitar rumahnya. 11 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tallan dan Mau pada tahun 2016 serta Willa dan Noshirma tahun 2015 juga menjelaskan bahwa habitat potensial sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk yang dominan berupa genangan air, mata air, saluran air dan sungai kecil, dimana salah satu spesies yang ditemukan pada habitat perkembangbiakan adalah Cx.quinquefasciatus sesuai dengan spesies vektor yang tertangkap pada survei entomologi yang dilakukan oleh peneliti. 12,13 Keberadaan resting place merupakan faktor risiko kejadian filariasis yang paling berpengaruh setelah pengetahuan masyarakat dan keberadaan breeding place di sekitar rumah dengan nilai p=0,022 dan OR=6,6 (95% CI=1,48-29,36), maka responden yang terdapat resting place di sekitar rumahnya memiliki risiko hampir 7 kali untuk terjangkit filariasis jika dibandingkan dengan responden yang tidak terdapat reting place di sekitar rumahnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Windiastuti pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa responden yang di sekitar rumahnya terdapat tempat istirahat nyamuk memiliki risiko 2,170 kali lebih besar terkena filariasis dibandingkan dengan responden yang di sekitar rumahnya tidak terdapat tempat istirahat nyamuk. Semaksemak/ kandang ternak/pakaian yang digantung merupakan tempat peristirahatan vektor nyamuk filariasis sebelum dan sesudah kontak dengan manusia, karena sifatnya terlindung dari cahaya matahari dan lembab. 8 Permukaan tempat beristirahat seperti di bawah perabot rumah tangga, benda tergantung seperti baju dan gorden juga merupakan tempat yang disukai oleh nyamuk dari 134

143 genus Aedes untuk hinggap beristirahat sesuai dengan tempat resting yang ditemukan di lokasi penelitian. Hasil observasi lingkungan menunjukkan hampir di semua rumah responden kasus didapatkan baju tergantung dan beberapa diantaranya menyimpan barangbarang bekas yang dapat menampung air hujan di sekitar rumah. Kebiasaan buruk masyarakat seperti menggantung baju yang telah dipakai di balik pintu, menyimpan baju kotor pada wadah tanpa tutup, menumpuk atau menempatkan kumpulan barang bekas di sekitar rumah dapat membentuk lingkungan potensial untuk dijadikan sebagai tempat peristirahatan nyamuk. Sikap masyarakat terbukti secara statistik sebagai faktor risiko kejadian filariasis dengan nilai p=,029 dan OR=5,2 (CI=1,367-19,774), maka masyarakat yang bersikap kurang baik memiliki risiko menderita filariasis lebih dari 5 kali dibandingkan dengan masyarakat yang bersikap baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yanuarini tahun 2015 yang menyatakan ada hubungan sikap dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan (p-value=0,001). 14 Secara teori, sikap merupakan respon seseorang terhadap suatu objek. Komponen diantaranya ialah keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek. Konsep, ide dan keyakinan seseorang terhadap suatu objek terbentuk berdasarkan pengetahuan seseorang. Tingkat pengetahuan yang tinggi dapat membentuk keyakinan dan konsep yang baik terhadap suatu objek. Apabila tingkat pengetahuan masyarakat Kota Semarang terhadap filariasis baik, maka akan memunculkan sikap yang baik pula, karena berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa proporsi responden kasus yang memiliki pengetahuan kurang baik lebih banyak dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan baik, maka sangatlah wajar jika mereka memiliki kecenderungan sikap yang kurang baik pula. Sikap yang kurang baik ini terjuwud dalam bentuk perbuatan nyata pada praktik atau kebiasaan seseorang dalam hal ini adalah praktik pencegahan filariasis yang salah atau sama sekali tidak dilakukan seperti pemasangan plafon/langit-langit rumah namun, pada ruangan dengan potensi menjadi breeding place atau resting place justru tidak dipasang plafon, tidak memasang kassa pada ventilasi rumah. Keberadaan kassa ventilasi, plafon rumah, kebiasaan keluar rumah pada malam hari, kebiasaan memasang anti nyamuk, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan berpakaian lengan panjang pada malam hai, kebiasaan membuka pintu/jendela pada malam hari tidak berhubungan dengan kejadian filariasis dalam penelitian ini. Keberadaan kassa pada ventilasi seharusnya berhubungan dengan kejadian filariasis, namun hal tersebut tidak terbukti dalam hasil penelitian ini. Hal-hal yang mempengaruhi hasil tersebut antara lain diketahui bahwa terdapat rumah dimana kain kassa tidak terpasang pada seluruh ventilasi yang ada pada rumah, responden hanya memasang kain kassa pada ventilasi ruang kamar tidur, sedangkan untuk ventilasi ruangan rumah yang lain belum seluruhnya tertutup kain kassa. Melalui ventilasi yang tidak tertutup oleh kassa, nyamuk masih memiliki akses untuk masuk ke dalam rumah dan mengadakan kontak dengan manusia, sehingga meskipun telah terpasang kassa pada ventilasi kamar tidur, risiko terjangkit filariasis peneliti juga menemukan terdapat rumah responden yang telah memasang kassa pada ventilasi rumahnya secara mnyeluruh tetapi terdapat lubang pada dinding rumahnya. Lubang pada dinding rumah responden inilah yang menjadi akses atau jalan masuk nyamuk dari luar ke dalam rumah, sehingga meskipun telah ditemukan adanya kassa pada ventilasi rumah responden, peneliti berasumsi bahwa jika tidak disertai dengan menutup lubang pada dinding rumahnya, responden tetap berisiko untuk terlular penyakit filariasis. masih tetap ada. Keberadaan langit-langit/plafon rumah seharusnya berhubungan erat dengan risiko terjangkit filariasis, namun dalam penelitian ini tidak ditemukan hasill yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh praktik pemasangan plafon/langit-langit rumah yang tidak diterapkan pada seluruh ruangan yang ada di rumah responden, sehingga dapat meningkatkan peluang masuknya vektor ke dalam rumah. Sebagaimana kita ketahui bahwa nyamuk memerlukan air dalam siklus hidupnya untuk meletakkan telurnya. Mayoritas responden memiliki 135

144 kamar mandi dengan bak penampung air tanpa penutup, tempat semacam ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk. Secara teori, semakin tinggi frekuensi seseorang berada di luar rumah pada malam hari maka semakin tinggi kemungkinan kontak dengan vektor filariasis sehingga peluang menderita filariasis juga meningkat. responden kasus maupun responden kontrol samasama memiliki praktik yang buruk dalam hal penyimpanan pakaian kotor atau baju yang sudah dipakai. Sebanyak 83,9% responden yang tidak memiliki kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari tidak langsung mencuci pakaian kotornya. Perilaku menggantung pakaian kotor dan menyimpan pakaian kotor pada wada tanpa tutup ini dapat menciptakan habitat yang optimal untuk dijadikan sebagai resting place nyamuk. Menghindarkan diri dari gigitan vektor filariasis pada saat tidur dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu, baik kelambu biasa maupun kelambu yang sudah dilapisi dengan insektisida. Kelambu yang digunakan oleh responden penelitian merupakan kelambu biasa tanpa insektidida, sehingga kurang maksimal dalam mencegah terjadinya kontak dengan vektor filariasis. Secara teori, risiko menderita filariasis semakin tinggi ketika masyarakat tidak melakukan upaya pencegahan seperti menggunakan anti nyamuk. diperoleh informasi bahwa responden kasus yang memiliki kebiasaan memasang anti nyamuk memiliki pekerjaan yang menuntutnya untuk berada di luar rumah pada malam hari seperti pekerjaan sebagai pemulung, penjual nasi kucing, atau tukang parkir. Meskipun mereka telah memasang anti nyamuk di rumahnya namun jika ketika keluar rumah tidak disertai dengan penggunaan repelent atau pakaian lengan panjang maka risiko tertular penyakit filariasis tetap ada, karena responden tidak terlindungi pada saat jam-jam aktif vektor filariasis menggigit. Penggunaan baju pelindung berupa pakaian berlengan panjang pada saat malam hari merupakan salah satu upaya dalam mencegah terjadinya penularan filariasis. meskipun tidak menggunakan pakaian lengan panjang pada saat malam hari namun sebanyak 33,3% dari reponden kontrol menggunakan repelent/anti nyamuk oles pada malam hari sehingga mereka terlindung dari gigitan hyamuk yang dapat menjadi vektor filariasis. Kebiasaan tidak menutup pintu atau jendela pada saat malam hari akan membuka akses bagi vektor untuk melakukan kontak dengan manusia. Masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan membuka pintu atau jendela pada malam hari masih berpeluang untuk menderita filariasis jika mereka tidak menutup akses masuk nyamuk ke dalam rumahnya seperti tidak memasang kassa pada ventilasi, terdapat lubang pada dinding rumah, tidak terpasang plafon pada atap rumah, dan tidak melakukan upaya perlindungan diri seperti memasang anti nyamuk terutama pada jam-jam saat vektor filariasis aktif mencari makan. Potensi penularan filariasis Pengambilan sampel sediaan darah jari dilakukan pada 4 orang yang tinggal di sekitar responden kasus dan responden kontrol ditambah dengan 1 orang yang tinggal serumah dengan penderita filariasis di Kota Semarang. Hasil pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa terdapat 9 sampel darah yang terindikasi positif mengandung mikrofilaria, yang kemudian dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan menggunakan Filariasis Tes Strip (FTS) untuk mendeteksi adanya antigen cacing dewasa Wuchereria bancrofti, dan diperoleh hasil bahwa dari kesembilan orang tersebut tidak mengandung antigen cacing dewasa Wuchereria bancrofti dalam darahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini belum terdapat potensi penularan filariasis di Kota Semarang. SIMPUILAN Faktor lingkangan dan perilaku masyarakat yang paling berperan sebagai faktor risiko kejadian filariasis di Kota Semarang adalah pengetahuan (OR=12,076), keberadaan tempat perkembangbiakan nyamuk (OR=11,782), dan keberadaan tempat peristirahan nyamuk (OR=9,402). Hingga saat ini belum ditemukan potensi penularan filariasis di Kota Semarang. Penelitian ini belum menemukan vektor yang membawa larva filaria dalam 136

145 darah. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis: Progress Report, Weekly Epidemiological Record. 2015; 90 (38): World Health Organization. Lymphatic Filariasis. Media Centre (online). Oktober Diunduh dari: factsheets/ fs102/en/ 3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Semarang; Dinas Kesehatan Kota Semarang. Data kasus filariasis semarang. DKK Semarang. Semarang; Kemenkes RI. Epidemiologi Filariasis di Indonesia. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta; Ikhwan Z, Herawati L, Suharti. Environmental, Behavioral Factors and Filariasis Incidence in Bintan District, Riau Islands Province. Kesmas: National Public Health Journal. 2016;11(1): Windiastuti IA. Suhartono. Nurjazuli. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah. Sosial Ekonomi. dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2013;12(1): Nurjazuli. Entomology Survey Based on Lymphatic Filariasis Locus in the District of Pekalongan City Indonesia. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR). 2015;22(1): Notoatmodjo, S. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta: Purnama W, Nurjazuli, Raharjo M. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. April 2017;16(1): Tallan M M, Mau F. Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Vektor Filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya. ASPIRATOR. 2016; 8(2): Willa RW, Noshirma M. Permasalahan Filariasis dan vektornya di Desa Soru Kecamatan Umbu Ratunggai Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur. Aspirator. Desember 2015;7(2): Yanuarini C, Aisah S, Maryam. Fakto-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan. Jurnal Keperawatan. Maret 2015;8(1):

146 KEYAKINAN BUDAYA MASYARAKAT MENGGUNAKAN BANGLE PADA BAYI BARU LAHIR SEBAGAI PENANGKAL ENERGI JAHAT DIDESA SIGARA-GARA KECAMATAN PATUMBAK KABUPATEN DELI SERDANG Kristina 1, Kamaliah Ainun 2 Stikes-Rumah Sakit Haji Medan Jl. Rumah Sakit Haji Medan-Medan Estate ainoen21@yahoo.co.id Abstrak Berdasarkan WHO, negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terapkan. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi penduduknya menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer. Masyarakat suku jawa yang menetap di Sumatera Utara, menurut mereka bangle selain sebagai tanaman obat juga memiliki nilai budaya yang sangatkuat. Nilai budaya yang diterapkan turun temurun hingga saat ini yaitu penggunaan bangle pada bayi yang baru lahir. Tujuan Untuk mengetahuigambaran keyakinan budaya masyarakat pengunaan bangle untuk bayi barulahir sebagai penangkal energi jahat di Desa Sigara-gara Deli Serdang. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu nifas dari suku Melayu 3 orang, Mandailing3 orang, Jawa 3 orang, Suku Karo 3 orang, Kepala Desa Patumbak 1 orang. Dukun Bayi 1 orang. Subjek penelitian ditentukan dengan purposive sampling dengan jenis maximum variation sampling (Sutopo, 2006). Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang dalam pelaksanaannya dibantu satu orang asisten peneliti, FGD dan observasi terbuka. Pada pengumpulan data, menggunakan pedoman wawancara, pedoman pertanyaan FGD, catatan lapangan, kamera, alat tulis menulis dantape recorder. Hasil penelitian ditemukan kontrol perilaku telah tumbuh pada budaya masyarakat didasari pengalaman dan apa yang dilihat. Masyarakat Desa Sigaragara melakukan pengobatan pada bayi baru lahir menggunakan bangle karena telah membuktikan khasiat bangle untuk pengobatan dari pengalaman atau melihat orang lain atau anggota keluarga melakukan pengobatan dengan memanfaatkan bangle keyakinan itu timbul karena pengalaman. Kata Kunci : Bangle, BBL, Energi jahat. 138

147 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam kebudayaan yang tinggi dan luhur. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kebudayaan yang khas, berbeda satu dengan lainnya. Masing-masing kebudayaan juga memiliki berbagai aspek yang mengandung pengetahuan dan pedoman serta tata kehidupan yang tiada ternilai. Salah satu aspek tersebut adalah pengobatan tradisional. (Holil, 2004) Tanaman suku zingiberaceae adalah salah satu suku tanaman yang tersebar luas di daerah tropis, terutama di Asia Tenggara. Ini adalah sumber daya alam yang penting menghasilkan produk yang berguna untuk makanan, rempah-rempah, obat-obatan, pewarna, parfum dan estetika (Natta., dkk, 2008). Indonesia memiliki banyak varietas tumbuhan yang mengandung minyak esensial. Salah satu diantaranya adalah Zingiber montanum (J.König) Link ex A. Dietr (Zingiberaceae) yang dikenal sebagai bangle di Indonesia atau plai di Thailand. Rimpang tumbuhan bangle Zingiber montanum (J.König) Link ex A. Dietr digolongkan sebagai rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu dapur, memiliki khasiat obat yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional (Agoes, 2010). Upaya pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisional merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan sekaligus merupakan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan. Hal ini disebabkan antara lain karena pengobatan tradisional telah sejak dahulu kala dimanfaatkan oleh masyarakat serta bahanbahannya banyak terdapat di seluruh pelosok tanah air. Dalam rangka peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, obat tradisional perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Obat-obatan tradisional selain sangat bermanfaat bagi kesehatan, juga tidak memiliki efek samping yang berbahaya karena bisa dicerna oleh tubuh. Karena itu, banyak perusahaan yang mengolah obat-obatan tradisional yang telah dimodifikasi, seperti berbentuk kapsul, serbuk, cair, dan tablet. Dewasa ini obat-obatan modern sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Obat-obatan itu dalam berbagai bentuk sudah dijual bebas dan mudah sekali didapatkan dengan harga yang relatitif terjangkau seluruh lapisan. Tanaman obat sebagai obat alternatif dan bahkan secara resmi dianjurkan untuk digunakan oleh praktisi di dunia kesehatan. Berdasarkan data WHO, negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terapkan. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi penduduknya menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer. Memang, penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern ( diunduh pada 15 Mei 2014). Menurut Guyton (1997) dan Chay et al. (2008) bangle mengandung senyawa kimia yang berkhasiat antiinflamasi dan antiedema seperti (E)-1-(3,4-dimethoxyphenyl)-butena dan (E)-1-(3,4-dimethoxyphenyl)-butadiena (DMPBD). Alam et al. (2012) membuktikan ekstrak rimpang bangle memiliki efek mukolitik (berfungsi sebagai obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas) sehingga mengurangi kekentalan dahak dan dapat digunakan sebagai obat batuk tradisional.(cahyanto,2014). Hal lain yang perlu diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Indonesia masih banyak yang tinggal di pedesaan atau di daerah pegunungan yang pada umumnya masih belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan yang memadai, baik dari pemerintah maupun swasta. Mereka masih banyak yang berekonomi lemah atau kurang mampu. Di daerah seperti itu umumnya masih sedikit atau sulit ditembus dengan peredaran obat yang harganya semakin mahal. Padahal problem kesehatan disana sangat bervariasi dan ada kalanya sulit pula cara penanggulangannya. Posisi semacam inilah tanaman tradisional ditampilkan sebagai salah satu pengobatan alternatif yang sangat penting artinya, khususnya untuk penanganan/ pelayanan kesehatan primer, baik sebagai obat preventif maupun sebagai pengobatan (kuratif). (Nursiyah, 2013). Masyarakat suku jawa yang menetap di Sumatera Utara, selain sebagai tanaman obat 139

148 bangle juga memiliki nilai budaya yang sangat kuat. Nilai budaya yang diterapkan turun menurun hingga saat ini yaitu penggunaan bangle pada bayi yang baru lahir. Ibu-ibu suku jawa yang menetap di Sumatera Utara selalu mengoleskan gerusan bangle pada dahi bayi yang baru lahir pada saat sore hari, biasanya setelah bayi dimandikan sore hari dan menjelang maghrib tiba. Menurut penuturan ibu suku jawa yang menetap di Sumatera Utara, penggunaan bangle ini bertujuan agar bayi terhindar dari gangguan buruk seperti makhluk halus/makhluk astral (Padmasari et.al, 2013). Metode Penelitian Jenis Penelitian penelitian menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yaitu bertujuan untuk melihat pada berbagai aspek subjektif dari perilaku manusia agar mampu memahami tentang bagaimana dan makna yang mereka bentuk dari peristiwa dan interaksi di dalam kehidupan sehari-hari. Subjek Penelitian ibu nifas dari suku Melayu 3 orang, Mandailing 3 orang, Jawa 3 orang, Suku Karo 3 orang, Kepala Desa Patumbak 1 orang, Dukun Bayi 1 orang, yang dapat memberi informasi yang dibutuhkan. Subjek penelitian ditentukan dengan purposive sampling dengan jenis maximum variation sampling. Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang dalam pelaksanaannya dibantu satu orang asisten peneliti dalam kegiatan FGD dan observasi terbuka. Pada pelaksanaan pengumpulan data dapat berlangsung efisien, peneliti menggunakan alat bantu yaitu pedoman wawancara yang berisi pertanyaan terbuka yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian, pedoman pertanyaan FGD, catatan lapangan, kamera, alat tulis menulis dan tape recorder. 28 Pengumpulan Data Data Dikumpulkan Oleh Peneliti berdasarkan pedoman yang telah disiapkan, seperti : In-depth interview, Focus group discussion (FGD), Observasi terbuka dilakukan oleh peneliti dan asisten peneliti saat survei pendahuluan, pendekatan kepada calon informan, saat wawancara mendalam dan FGD dan Collecting dokumen. Hasil Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang memiliki bayi berasal dari 4 suku yaitu :suku karo, suku mandailing, suku jawa, suku melayu, dukun bayi, dan ketua adat. FGD dilakukan pada kelompok ibu nifas yang memiliki bayi baru lahir dan berjumlah enam orang. Ibu nifas yang dipilih bertempat tinggal dibeberapa lingkungan desa Sigara gara untuk menjaga agar informan tidak saling berinteraksi. Umur informan antara 20 sampai dengan 34 tahun. Tabel 5.1. Karakteristik Demografi Untuk FGD Informan Umur Suku 1 30 Jawa 2 26 Melayu 3 20 Karo 4 28 Mandailing 5 27 Mandailing 6 30 Melayu 140

149 Sedangkan subjek pada wawancara mendalam berumur 20 sampai dengan 62 tahun. Semua informan adalah perempuan kecuali kepala Desa Sigara-gara dan dukun bayi. Hasil survei peneliti tahun 2017 dan informan dari kepala desa, menunjukkan bahwa ibu nifas lebih banyak memanfaatkan bangle sebagai pengusir energi jahat pada bayi baru lahir dan meracik sendiri dengan memberikan sedikit air liur ibu lalu diletakkan pada daerah dahi bayi. Karakteristik informan yang diwawancara mendalam berdasarkan demografinya secara umum disajikan pada tabel 2 dibawah ini : Tabel 5.2. Karakteristik Demografi Informan Wawancara Mendalam Informan Umur Suku Jawa Jawa Mandailing Melayu Karo Karo Kepala Desa Dukun Bayi Kepercayaan di desa Sigara gara dari dahulu sampai dengan sekarang bangle memiliki khasiat untuk mengusir energi jahat pada bayi dan ibu hamil, bayi dianggap diganggu oleh makhluk halus ketika menangis tiba-tiba terutama pada saat senja dan berkepanjangan, tidak sedang sakit ataupun lapar, maka ketika menangis yang seperti itu orang tua akan mengunyah bangle kemudian akan disemburkannya bangle pada tubuh anaknya dan pada saat itu pula anak tidak akan menangis. Ibu hamil juga menggunakan bangle dengan membawa bangle kemanapun dia pergi agar ibu dan bayi yang dikandung terhindar dari gangguan roh jahat. Selain sebagai rempah-rempah untuk bumbun dapur, tanaman Tanaman bangle memiliki banyak khasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit diantaranya adalah : Lemah jantung, Gangguan Syaraf, reumatik, mengobati asma, mengobati kepala pusing, masuk angin dan mengecilkan perut ibu yang baru melahirkan, untuk campuran jamu tradisional, mengobati sakit kuning, menghilangkan nyeri pada perut, menyembuhkan cacingan, meringankan penyakit reumatik, gangguan saraf dan daun tanaman bangle berkhasiat untuk menambah nafsu makan. Bangle merupakan warisan turun temurun. Bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun hingga ke generasi sekarang, sehingga tercipta berbagai ramuan tumbuhan obat yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. 141

150 Pembahasan Seluruh informan paham dengan pengertian bangle dan pengetahuan informan tentang manfaat untuk bayi baru lahir diperoleh dari informasi turun-temurun, karena beberapa generasi sebelumnya telah menggunakan tanaman bangle untuk menyembuhkan penyakit. Seluruh informan yaitu ibu nifas, dan dukun beranak sudah sejak lama memanfaatkan bangle Sikap sebagian besar informan terhadap manfaat bangle adalah sikap yang positif, karena sikap positif sebagian besar masyarakat terhadap pengobatan tradisional mempengaruhi perilaku untuk melakukan pengobatan sendiri dengan memanfaatkan tanaman obat yang terdapat di pekarangan atau di sekitar tempat tinggal. Sikap positif atau sikap negatif yang tumbuh untuk menggunakan Bangle sebagai pengobatan sekaligus membudidayakan juga dipengaruhi norma subjektif yaitu keterlibatan orang yang dianggap masyarakat Desa Sigara-gara sebagai orang penting, seperti orangtua, nenek, kepala desa dan petugas kesehatan. Semuanya sangat berperan untuk mempengaruhi informan menggunakan bangle karena masyarakat menganggap mereka sebagai panutan. Kepercayaan masyarakat ditunjukkan dengan sikap untuk menerima suatu pernyataan tanpa menunjukkan sikap suka atau tidak suka. Seringkali kepercayaan terhadap sesuatu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama. Selanjutnya menurut Sarwono, 2004, kepercayaan terhadap sesuatu juga dapat dikembangkan oleh pihak yang berwenang atau pemimpin masyarakat yang kemudian disebarkan kepada semua masyarakat dan kepercayaan dapat tumbuh jika seseorang mendapat informasi yang sama secara berulang-ulang. Pendapat senada dikemukakan Azwar (2003) dan sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap seseorang yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan dan faktor emosional dalam diri individu. Sikap masyarakat Desa Sigara-gara dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yang kemudian diturunkan kepada anggota keluarganya. Sebagian besar penduduk Desa sigara-gara adalah Suku Jawa, Karo, Mandailing. Media massa baik berupa media cetak atau media elektronik juga mempengaruhi sikap masyarakat Desa Sigara-gara untuk melakukan pengobatan memakai bangle. Sejalan dengan Graeft.(2000) yang mengemukakan bahwa media cetak atau media elektronik sangat baik sebagai saluran komunikasi yang mampu memberikan sebuah pengingat kunci terhadap pesan-pesan dari sebuah informasi secara tepat waktu dan berulang-ulang. Ibu nifas yakin menggunakan bangle pada bayi baru lahir tidak mempunyai efek samping, masyarakat belum mengetahui tentang kerugian pengobatan dengan bangle bila penggunaanya tidak tepat, baik secara jenis tanaman maupun dosis. tentang penggunaan tanaman obat memiliki efek samping yang merugikan kesehatan bila penggunaannya kurang tepat yang meliputi ketepatan takaran/dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan pemilihan bahan sehingga tidak terjadi efek sinergis. Perilaku individu tanpa disadari mengacu kepada aturan atau norma-norma tertentu dan aturan tersebut telah disepakati bersama. Norma sosial ini digunakan sebagai kontrol perilaku individu dalam masyarakat. Masyarakat Desa Sigara-gara sebagian besar tidak melakukan pengobatan yang menyimpang dari norma-norma subjektif dan norma agama. Tradisi untuk menggunakan orang pintar dalam memilih pengobatan tidak dapat diubah dengan mudah. Keyakinan tersebut juga telah melekat dalam kehidupan sehari-hari pada sebagian kecil masyarakat Desa Sigara-gara.. Kontrol perilaku telah tumbuh pada budaya masyarakat didasari pengalaman dan apa yang dilihat. Masyarakat Desa Sigara-gara melakukan pengobatan pada bayi baru lahir menggunakan bangle karena telah membuktikan khasiat bangle untuk pengobatan dari pengalaman atau melihat orang lain atau anggota keluarga melakukan pengobatan dengan memanfaatkan bangle keyakinan itu timbul karena pengalaman. 142

151 Kesimpulan Budaya masyarakat Desa Sigara-gara yakin terhadap khasiat bangle, sehingga digunakan pada bayi baru lahir, Keyakinan ini dipengaruhi oleh pengalaman, telah dibuktikan/testimoni, pengetahuan tentang bangle/ informasi turun-temurun. DAFTAR PUSTAKA Agoes, A Tanaman Obat Indonesia. Salemba Medica. Palembang Alam G, Mufidah, Massi N, Kurnia FRT, Rahim A, Usmar Skrining komponen kimia dan uji aktivitas mukolitik ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum Roxb.) terhadap mukosa usus sapi secara in vitro. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 16 (3) : Bhuiyan, MNI, chowdhury, Ju, Begum, J. (2008). Volalite constituents of essential oils isolated from leaf and rhizome of zingiber cassumunar Roxb, Bangladesh J Pharmacol., 3, Chahyanto. (2014). Ekstotisme ragam tanaman obat tradisional nusantara : mengenal kembali tanaman obat yang sudah jarang ditemukan diperkarangan rumah. Institute pertanian bogor Dalimarta, S Atlas tumbuhan Obat Indonesia Jilid 6. Puspa Swara. Jakarta Departemen Kesehatan R. I Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KONTRANAS). Jakarta. Holil, M., Suparta, M., Widodo, S., Nawangningrum, D. (2004). Kajian Terhadap Naskah Kuna Nusantara Koleksi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Penyakit dan Pengibatan Ramuan Tradisional. Makara Sosial Humanioral Vol 8 : Martha Tilaar Innovation Center Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Penerbit Swadaya. Jakarta. Mursito B Ramuan Tradisional untuk Pelangsing Tubuh. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Natta, Orapin, Kritika dan Pantip, Essential Oil From five Zingiberaceae For Anti Food-Borne Bacteria. International Food Research Journal,15(3): Nursiyah Studi Deskriptif Tanaman Obat Tradisional yang Digunakan Orangtua Untuk Kesehatan Anak Usia Dini di Gugus Melati Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Padmasari PD. Astuti KW, Warditiani NK Skrining fitokimia ekstrak etanol 70% rimpang bangle (Zingiber purpureum Roxb. Jurnal Farmasi Udayana Rahardjo M, Rosita SMD, Sudiarto, Kosasih Peranan populasi tanaman terhadap produktivitas bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Jurnal Bahan Alam Indonesia. 3 (1) :

152 Pengaruh Waktu Kontak Klorin Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli Pada Air Baku Sungai Garang Supriyadi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Jl. Imam Bardjo SH, Pleburan, Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah supriyadi2219@yahoo.com Abstrak Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya menunjukkan air tersebut pernah tercemar kotoran manusia. Salah satu bakteri indikator sanitasi adalah Escherichia Coli, bakteri tersebut umumnya hidup pada usus manusia. Dengan adanya bakteri Escherichia Coli dalam air, air tersebut berpotensi mengandung bakteri paktogen lainnya. Berdasarkan Permenkes RI No. 492 Tahun 2010, ambang batas kandungan Escherichia Coli air minum adalah 0 koloni/100 ml. Air Sungai Garang merupakan sumber bahan baku air minum yang digunakan masyarakat Kota Semarang, maka diperlukan pengolahan agar layak untuk dikonsumsi. Salah satu metode penghilangan kandungan bakteri Escherichia Coli yang banyak digunakan adalah klorinasi, selain murah, klorin cukup efektif dan mudah ditemukan. Penelitian ini bertujuan menentukan dosis optimum klorin untuk menghilangkan bakteri Escherichia Coli air Sungai Garang. Hasil penelitian menunjukkan dosis optimum klorin 4 mg/l waktu kontak 35 menit menyebabkan penurunan bakteri Escherichia Coli 2,1 x 10 4 koloni /100 ml sampel menjadi 0 koloni/100 ml sampel. Kata kunci: Escherichia Coli, klorin, air baku, Sungai Garang Abstract The sanitary indicator bacteria is a bacterium whose presence in water indicates that the water has been contaminated by human waste. One of the bacteria indicator of sanitation is Escherichia Coli, the bacterium generally live on human intestine. With the presence of Escherichia coli bacteria in water, the water potentially contains other pathogenic bacteria. Based on regulation Minister of Health Republic Indonesia No. 492 In 2010, the threshold content of Escherichia Coli drinking water is 0 colonies / 100 ml. Water Garang River is a source of raw drinking water used by the people of Semarang City, it is necessary for proper processing to be consumed. One method of removal of Escherichia Coli bacteria is commonly used is chlorination, in addition to cheap, chlorine is quite effective and easy to find. This study aims to determine the optimum dose of chlorine to eliminate the bacteria Escherichia Coli water Garang River. The results showed optimum dose of chlorine 4 mg / l contact time 35 mins decrease of bacteria Escherichia Coli 2.1 x 10 4 colony / 100 ml sample to 0 colony / 100 ml sample. Keyword: Escherichia Coli, Chlorine, drinking water. 144

153 PENDAHULUAN Air merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan juga sangat dipengaruhi oleh air. Oleh karena itu, air merupakan kebutuhan yang sangat penting di bumi. Air di permukaan Bumi sebagai salah satu sumber daya alam menutupi sekitar 70% permukaan bumi, dengan jumlah sekitar juta km3 (Angel dan Worseley, 1992 dalam Effendi, 2003). Air yang dimanfaatkan oleh makhluk hidup terdapat beberapa jenis, namun dari beberapa jenis air tersebut, air tawar yang paling banyak digunakan padahal kuantitasnya tidak sebanyak jenis air yang lain (air laut). Air tawar digunakan untuk keperluan makhluk hidup sehari-hari, namun persentasenya hanya sebesar 2,5% yang terdistribusi sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sumber air lain (UNEP, 2011). Upaya pemenuhan kebutuhan air oleh manusia dipenuhi melalui proses pengambilan air dari dalam tanah, air permukaan (air sungai, air danau, dan air laut), atau langsung dari air hujan. Saat ini, sebagian besar kebutuhan air dipenuhi melalui pengambilan air permukaan, khususnya air sungai. Alasan penggunaan air permukaan (air sungai) diantaranya adalah jumlah ketersediaan air permukaan cukup besar, tahapan pengolahan sederhana dan mudah (Cheremisinoff, 1995) Air sungai mengalami kontak dengan berbagai macam material yang dilalui sepanjang aliran. Air sungai pada umumnya mengandung polutan-polutan yang berasal dari limbah domestik dan limbah industri (Efendi, 2003). Polutan yang sering ditemui pada air sungai adalah bakteri Coliform Total dan Escherichia coli (Linsley, 1995). Keberadaan Coliform Total dan Escherichia coli di dalam sistem penyediaan air minum domestik telah menjadi masalah yang serius sejak lama. Pada umumnya, keberadaan bakteri bakteri tersebut di air permukaan melebihi ambang batas. Adanya kandungan bakteri Coliform Total dan Escherichia coli dalam air mengindikasikan adanya bakteri paktogen lainnya yang bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Oleh karena itu, menurut Permenkes RI No. 492 Tahun 2010, kandungan bakteri eschericia coli dan coliform total dalam air minum maksimum yang diperbolehkan adalah 0 koloni/100 ml sampel. Agar air sungai yang kotor dan tercemar polutan itu bisa dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan air minum manusia, maka dibutuhkan sistem pengolahan air yang tepat. Salah satu metode yang banyak digunakan dalam proses pengolahan air sungai adalah penghilangan kandungan bakteri Coliform Total dan Escherichia coli menggunakan sistem klorinasi. Hal ini dengan pertimbangan: (i) bakteri Coliform Total dan Escherichia coli mudah didesinfeksi oleh klorin, (ii) waktu kontak yang dibutuhkan sangat singkat, sehingga cocok untuk mengolah air permukaan dalam jumlah banyak dan berkelanjutan; serta (iii) Klorin mudah didapat dipasaran dengan harga murah. Pengelolaan sumber daya air dianggap sangat penting dalam suatu wilayah karena berhubungan dengan kebutuhan masyarakat banyak (Sudarmadji dkk.,2014). Pengelolaan sumberdaya air dilakukan disemua daerah, termasuk daerah perkotaan Sungai Garang merupakan sungai penting di Kota Semarang. Selain menjadi saluran utama pengendali banjir, airnya digunakan sebagai sumber air baku PDAM, untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Kota Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah : menghitung jumlah bakteri awal yang ada di air baku Sungai Garang dan menentukan kondisi optimum klorin terhadap efisiensi penghilangan kandungan Escherichia coli pada air baku Sungai Garang. METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Support membran filter, membran filter diameter pori 0,45 mikron, inkubator, petri disk, heather, laminar air flow, jar tester, autoclave, coloni counter, vacum pump, beaker glass 100 ml, mikro pippet, makro pipet, 145

154 spektrofotometer HACH DR 2500, pembakar bunsen, tabung reaksi, neraca analitis dan pinset steril. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Air baku sungai Garang, media Chromocult Coliform Agar, Escherichia Coli / Coliform Supplement, aquadest, reagent DPD Klorin bebas dan NaOCl Penelitian dilakukan di laboratorium PT. Tirta Gajah Mungkur (TGM) Kota Semarang. Air baku diambil pada tanggal 20 September Prosedur Penelitian 1. Pembuatan natrium hipoklorit mg/L. Timbang larutan NaOCl sebanyak 10 gram dalam neraca analitis, masukkan dalam labu takar 100 ml, larutkan dengan aquadest sampai batas volume 100 ml. Kemudian gojok dengan pelan sampai NaOCl larut sempurna 2. Prosedur pengambilan air baku Siapkan botol steril ± 10 liter yang telah diisi Na 2S 2O 3 10 % sebanyak 0.1 ml. Pastikan botol tertutup atau mulutnya terbungkus kertas aluminium. Kemudian Masukkan botol sampel ke dalam air pada kedalaman ± 20 cm, dengan posisi mulut botol berlawanan dengan arah aliran air. Buka tutup botol pelan-pelan.penuhi botol dengan sample air, kemudian diangkat dan sebagian air dibuang sehingga volumenya tinggal ± ¾ volume botol. Sterilkan mulut botol dengan cara dilap dengan alkohol 70 % dan botol ditutup kembali. Segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisa. 3. Prosedur uji untuk penentuan dosis optimum dosis Klorin pada air baku. Tuang air baku kedalam beaker glass 1000 ml, sebanyak 6 beaker glass, kemudian tempatkan semua beaker glass dalam jartester. Putar mixer dengan kecepatan 150 rpm, tambahkan ke dalam masing-masing beakerglass Klorin dengan dosis 3 mg/l, 3,5 mg/l, 4 mg/l, 4,5 mg/l, 5 mg/l dan 5,5 mg/l.pengadukan dengan mixer dilakukan selama 30 menit.setelah 30 menit matikan mixer dan angkat beaker glass. 4. Analisa bakteri Escherichia Coli dan Coliform Total. Analisa dilakukan pada sampel air baku sungai garang, dan sampel air yang telah mengalami penambahan klorin dengan dosis 3 mg/l, 3,5 mg/l, 4 mg/l, 4,5 mg/l, 5 mg/l dan 5,5 mg/l. Ambil sampel 100 ml secara aseptik. Siapkan pompa vakum dan membrane filter steril yang memiliki diameter pori 0.45µm. Saring 100 ml sampel melalui membran filter dengan menggunakan pompa vakum.bilas dengan aquadest steril sebanyak ml.pindahkan membrane filter ke cawan Petri yang telah berisi media chromocoult coliform agar, dengan menggunakan pinset steril. Inkubasi selama jam pada temperatur 37ºC. Koloni berwarna merah menunjukkan koloni Bakteri Total Coliform, sedangkan koloni berwarna biru adalah koloni Bakteri Escherichia Coli. Hitung jumlah koloni Total Coliform dan Escherichia Coli menggunakan alat penghitung koloni. Hasil adalah dalam satuan Koloni per 100 ml sampel. Untuk sampel yang mangandung koloni berlebih dilakukan pengenceran sesuai kebutuhan. 5. Prosedur analisa free khlorin dalam air sampel dengan spektrofotometer seri Hach DR 2500 Mengambil air sampel secukupnya. Tekan 'Hach Program', pilih program 80 Chlor. F & T, tekan Start. Isi sebuah sampel cell yang bersih dengan 10 ml sampel. Tambahkan 146

155 1 sachet DPD Free Khlorin Powder Pillow ke dalam sampel cell (disebut sampel). Kocok sampel cell selama 20 detik supaya bercampur homogen. Tekan lambang timer. Tekan OK. Waktu reaksi selama 1 menit akan dimulai. Ketika alarm timer berbunyi, letakkan sampel ke dalam ruang cell. Tekan Zero. Layar akan menampilkan 0.00 mg/l Cl 2. Lalu tekan Read. Hasilnya akan muncul dalam mg/l Cl 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa kandungan bakteri awal pada Air Sungai Garang Tahap awal penelitian berupa analisa kandungan bakteri Escherichia coli dan Coliform total telah dilakukan terhadap air Sungai Garang. Analisa dilakukan sebelum sampel diberi perlakuan penambahan klorin. Hasil analisa jumlah koloni bakteri pada air yang berasal dari Sungai Garang, sebelum diberi perlakuan penambahan klorin Ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisa bakteri Escherichia Coli dan Coliform Total pada air Sungai Garang Bakteri Jumlah Koloni (koloni/100 ml sampel) Escherichia Coli Coliform Total Hasil analisa kandungan bakteri Coliform total dan Eschericia coli menunjukkan cukup tinggi, melebihi ambang batas air baku Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air menyatakan bahwa ambang batas cemaran bakteri Coliform Total dan Escherichia coli adalah sebesar 1000 koloni/100 ml sampel dan 100 koloni/100 ml sampel (Tabel 2). Tingginya kandungan bakteri Coliform Total dan Escherichia coli, ini kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu keberadaan IPAL serta profil daerah aliran sungai Garang Sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Garang, dari hulu hingga hilir terdapat kegiatan pertanian, perkebunan, industri, peternakan, dan pemukiman penduduk yang berpotensi mencemari Sungai. Hulu sungai Garang berada di Kabupaten Semarang, sepanjang daerah aliran sungai Garang di Kabupaten Semarang terdapat lahan pertanian, peternakan, rumah pemotongan hewan dan kawasan hunian. Sedangkan daerah aliran sungai Garang yang melewati wilayah Kota Semarang banyak terdapat industri dan peruhan penduduk. 147

156 PARAMETE R SATUA N KEL AS I II III IV FISIKA Deviasi Temperatur oc Deviasi 3 3 Deviasi 3 Deviasi 5 Residu terlarut mg/l Residu tersuspensi mg/l KIMIA ANORGANIK ph BOD mg/l COD mg/l DO mg/l Total Fosfat sebagai P mg/l 0,2 0,2 1 5 NO3 sebagai N mg/l NH3N mg/l (0,5) (-) (-) (-) Arsen mg/l 0, Kobalt mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2 Barium mg/l 1 (-) (-) (-) Boron mg/l Selenium mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05 Kadmium mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01 Khrom (VI) mg/l 0,05 0,05 0,05 1 Tembaga mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2 Besi mg/l 0,3 (-) (-) (-) Timbal mg/l 0,03 0,03 0,03 1 Mangan mg/l 0,1 (-) (-) (-) Air Raksa mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005 Seng mg/l 0,005 0,005 0,005 2 Khlorida mg/l 600 (-) (-) (-) Sianida mg/l 0,02 0,02 0,02 (-) Fluorida mg/l 0,5 1,5 1,5 (-) Nitrit sebagai N mg/l 0,06 0,06 0,06 (-) Sulfat mg/l 400 (-) (-) (-) Khlorin bebas mg/l 0,03 0,03 0,03 (-) Belerang sebagai H2S mg/l 0,002 0,002 0,002 (-) MIKROBIOLOGI Jml/100 - Fecal Coliform ml Total Coliform Jml/100 ml RADIOKTIVITAS - Gross A BqL 0,1 0,1 0,1 0,1 - Gross BqL KIMIA ORGANIK Minyak dan lemak ug/l (-) Detergen sebagai MBAS ug/l (-) Senyawa Fenol sebagai Fenol ug/l (-) BHC ug/l (-) Aldrin/Dialdrin ug/l (-) Chlordane ug/l 3 (-) (-) (-) DDT ug/l FISIKA Heptachlor & Heptachlor ug/l 18 (-) (-) (-) epoxide Lindane ug/l 56 (-) (-) (-) Methoxychlor ug/l 35 (-) (-) (-) Endrin ug/l (-) Toxaphan ug/l 5 (-) (-) (-) 148

157 Tabel 2. PP no. 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaan air Adanya kandungan Coliform Total dan Escherichia Coli dalam air yang tinggi menyebabkan air tidak layak untuk dikonsumsi sebagai air minum. Baku mutu kandungan Coliform Total dan Escherichia Coli dalam air sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 untuk kriteria air kelas I adalah Coliform Total 1000 koloni/100 ml sampel dan Escherichia Coli 100 koloni/100 ml sampel. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kondisi awal kandungan Coliform Total sungai Garang koloni/100 ml sampel, dan kandungan Escherichia coli sungai Garang koloni/100ml sampel. Hasil percobaan penambahan Klorin pada Air Sungai Garang Penambahan klorin dilakukan melalui jar tes untuk setiap sampel menggunakan Klorin dengan dosis masing-masing 3 mg/l, 3,5 mg/l, 4 mg/l, 4,5 mg/l, 5 mg/l dan 5,5 mg/l. Parameter yang diukur setelah jartest berupa sisa Klorin, bakteri Escherichia coli dan Coliform total. Hasil analisa disajikan pada Tabel 3,4,5 dan 6. Hasil Analisa mikrobiologi ditunjukkan pada gambar 1 Gambar 1. Penampakan koloni bakteri Escherichia coli (biru), dan bakteri coliform total (merah dan biru) Tabel 3. Hasil analisa hubungan antara dosis Klorin (mg/l) dengan Klorin bebas (mg/l) sampel air Sungai Garang Dosis Klorin (mg/l) Hasil Analisa Klorin Bebas (mg/l) 3 0,16 3,5 0,24 4 0,47 4,5 0,59 5 0,73 149

158 5,5 0,89 Tabel 4. Hasil pengamatan efektifitas klorinasi pada sampel air Sungai Garang, terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia Coli dan Coliform Total Dosis Koloni per 100mL sampel Klorin (mg/l) Escherichia Coli Coliform Total , , ,5 0 0 Tabel 5. Hasil pengamatan efisiensi klorinasi sampel air Sungai Garang terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia Coli dan Coliform Total Dosis Efisiensi Desinfeksi Klorin (mg/l) Escherichia Coli Coliform Total 3 98,71% 99,48% 3,5 99,82% 99,93% 4 100% 100% 4,5 100% 100% 5 100% 100% 5,5 100% 100% Setelah dilakukan penambahan Klorin diperoleh kesimpulan bahwa semakin besar penambahan khlorin maka semakin turun kandungan bakteri Coliform Total dan Escherichia coli. Penambahan Klorin dilakukan sampai didapatkan dosis optimum, yaitu dosis terendah dimana koloni bakteri Coliform Total tumbuh dibawah 1000 koloni/100 ml sampel. Dan koloni bakteri Escherichia coli tumbuh dibawah 100 koloni/100 ml sampel. Hasil penelitian diperoleh data: Dosis optimum Klorin untuk sampel air sungai Garang adalah 4 mg/l. Efisiensi penambahan Klorin untuk sampel air sungai Garang tercapai 100 % pada dosis 4 mg/l. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kandungan Escherichia coli sungai Garang koloni/100ml sampel. Hasil penelitian diperoleh dosis optimum Klorin untuk sampel air Sungai Garang adalah 4 mg /L, mengacu pada Peraturan Pemrintah no 82 tahun 2001 untuk kriteria air kelas I. SARAN Perlu dilakukan studi lebih lanjut oleh instansi pemerintah terkait, mencari sumbersumber utama kontaminan bakteri Coliform Total dan Escherichia coli pada daerah aliran sungai Garang. Dilakukan pengendalian oleh instasi pemerintah terhadap sumber-sumber utama 150

159 kontaminan bakteri Coliform Total dan Escherichia Coli pada daerah aliran sungai, sehingga sumber air sungai tersebut memenuhi kriteria air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 82 tahun DAFTAR PUSTAKA Cheremisinoff N.P, (1995), Handbook of Water and Wastewater Treatment Technology. New Jersey: Marcel Dekker Inc Departemen Kesehatan RI, (2010),Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 492 Tahun 2010 Tentang Syarat Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum Pemerintah RI, (2001), Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 Tentang tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Effendi (2003), Telaah Kualitas Air: Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Yogyakarta: Kanisius Linsley, R. K, (1995), Teknik Sumber Daya Air.Edisi Ketiga. Jilid 2. Jakarta: Erlangga 151

160 ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN AKIBAT PENCEMARAN ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN AKIBAT PENCEMARAN TEMBAGA DARI ZONA INDUSTRI GENUK KE SUNGAI BABON KOTA SEMARANG Putrie Prasetyotami 1), Nurjazuli Nurjazuli 2), Sulistiyani Sulistiyani 2) 1) Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung, 2) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro 1) 2) 2) Abstrak Zona industri Genuk berperan dalam peningkatan kadar logam berat di bagian hilir Sungai Babon. Logam berat tembaga di perairan Sungai Babon melebihi baku mutu berdasarkan PP No. 82 Tahun Tembaga terdeteksi pada air, sedimen, makrozoobentos, dan ikan lundu(mystus nigriceps). Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis risiko kesehatan lingkungan akibat pencemaran tembaga dari zona industri Genuk ke Sungai Babon. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan deskriptif dan analitik. Analisis deskriptif untuk menggambarkn konsentrasi tembaga dalam ikan lundu, pola aktivitas dan karakteristik responden. Pendekatan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) untuk mengetahui besar risiko cemaran tembaga terhadap masyarakat pengonsumsi ikan lundu. Nilai intake (I) diperoleh dengan perhitungan antara konsentrasi tembaga dalam ikan dengan antropometri dan pola aktivitas responden. Analisis konsentrasi tembaga dalam ikan lundu (Mystus nigriceps)diukur pada 15 titik sampling yang dibagi dalam 5 segmen di bagian hilir Sungai Babon. Survei antropometri dan pola aktivitas dilakukan pada 70 responden pengonsumsi ikan lundu di Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk. Karakteristik risiko diperoleh dengan perbandingan antara intake dan nilai referensi dosis tembaga yaitu 0,01mg/kg x hari. Hasil perhitungan risiko lifetime dan realtime menunjukkan nilai RQ<1 yaitu 0,0037-0,906 mg/kg.hari untuk RQ realtime dan 0,267 mg/kg.hari pada RQ lifetime, artinya berada dalam kategori aman atau konsumsi ikan lundu dari Sungai Babon belum berisiko menimbulkan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pajanan tembaga. Kata kunci : ARKL, tembaga, ikan lundu, Sungai Babon ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ANALYSIS DUE TO POLLUTION OF COPPER FROM GENUK INDUSTRIAL ZONE TO BABON RIVER IN SEMARANG CITY Genuk industrial zone contribute to the increasing of heavy metal content at Babon river downstream. Copper in the Babon river waters surpassing the standard quality for the river class II by the Goverment Regulation No. 82 year Copper detected in water, sediment, macrozoobentos and lundu fish. The purpose of this research was analyzed environmental health risk due to copper pollution from Genuk industrial zone to the Babon river. This was an observational research with descriptive and analytic approach. Descriptive analysis to describe the concentration of copper in fish Lundu, activity patterns and characteristics of respondents. Environmental health risk analysis to find the risk of copper contamination to community whose consumed lundu fish. Result of intake obtained by calculation of copper concentration in fish with anthropometry and respondent activity patterns. Concentration analysis of lundu fish (Mystus nigirceps) measured from 5 segments devided into 15 sampling points with an average concentration of 2,61 mg/kg. Anthropometry and activity patterns survey conducted on 70 respondents whose consumed lundu fish in Trimulyo Village, Genuk District. Risk quotient obtained from comparison of intake result and dose reference of copper (0,01 mg/kg x day). The result of lifetime and 152

161 realtime risk calculation shows the value of RQ <1 which is 0,0037-0,906 mg/kg/day for realtime RQ and 0,267 mg/kg/day at lifetime RQ, meaning that being a safe category, in other words the consumption of fish from the Babon river has not at risk level of causing health problems. Keywords : EHRA, copper, Mystus nigriceps, Babon river PENDAHULUAN Sungai menerima limbah dari kegiatan manusia dan industri yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air, misalnya perubahan kondisi fisik, kimia, dan biologi. Salah satu aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan ekosistem sungai adalah aktivitas industri. Industri di Indonesia tumbuh dengan cepat dan dapat dilihat dengan semakin banyaknya zona industri (industrial zone) dan kawasan industri (industrial estate). Zona industri adalah suatu daerah yang dirancang untuk pengembangan industri dengan fasilitas dan pematangan tanah serta penyambungan jaringan utilitas yang dilakukan oleh para pengusaha. (PPRI No. 24, 2009) Limbah cair dari kegiatan industri merupakan salah satu limbah yang memiliki kandungan logam berat dan berpotensi mencemari sungai. (Sekarwati, 2015) Logam berat dalam air dapat mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Tembaga merupakan logam berat yang banyak dijumpai pada perairan alami. Keberadaan Cu 2+ dalam perairan berpotensi terakumulasi dalam tubuh biota perairan. Akumulasi dapat terjadi sebagai akibat pajanan Cu 2+ dalam jumlah berlebihan, sehingga tidak mampu dimetabolisme oleh tubuh.(darmono, 1995) Gejala yang timbul pada manusia yang keracunan Cu 2+ akut adalah mual, muntah, sakit, perut, hemolisis, netrofisis, kejang, hingga kematian. Pada keracunan kronis, Cu 2+ tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi karena tertimbunnya H 2O 2 dalam sel darah merah sehingga lapisan sel teroksidasi dan mengakibatkan pecahnya sel. Defisiensi suhu dapat menyebabkan anemia dan pertumbuhan terhambat.(darmono, 1995) Sungai Babon merupakan salah satu sungai di Kota Semarang yang di bagian hilirnya dialiri limbah dari Zona Industri Genuk. Beberapa industri besar yang mengalirkan limbah ke sungai bagian hilir antara lain industri pembuatan penyedap rasa, industri elektronik, penimbunan batu bara, industri plastik, industri tekstil, penyamakan kulit, pulp/kertas, dan pembuatan batako.(susanti, 2013) Industri tekstil dan industri elektronik memberikan andil yang besar terhadap masukan tembaga ke perairan Sungai Babon. Hasil analisis laboratorium yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang pada 8 Maret 2016 terhadap 4 (empat) contoh air sungai yang diambil dari 4 (empat) titik di aliran Sungai Babon. Pada bagian hilir terdapat beberapa parameter yang tidak memenuhi baku mutu air sungai kelas II. Parameter yang dianalisis merupakan parameter fisika dan kimia dengan perbandingan terhadap baku mutu air sebagai peruntukan air sungai berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun Parameter logam yang tidak memenuhi baku mutu air sungai kelas II adalah kadar tembaga (Cu) pada tiga titik sampel yaitu 0,0331 mg/l; 0,0247 mg/l; dan 0,0247 mg/l sedangkan kadar maksimal yang diperbolehkan adalah 0,02 mg/l. Peneliti juga melakukan uji pendahuluan dengan memeriksa kadar Cu 2+ pada air sungai, sedimen dan ikan lundu (Mystus nigriceps). Berdasarkan hasil uji laboratoriun dari penelitian pendahuluan diperoleh kadar Cu 2+ pada sedimen 2,189 mg/kg, air estuaria pada 2 titik 0,3202 mg/l dan 0,2815 mg/l, sedangkan pada ikan lundu sebesar 0,6130 mg/kg. Selain sebagai area tambak ikan dan udang wilayah hilir Sungai Babon merupakan tempat menangkap/ memancing ikan. Biota yang sering diperoleh oleh para pencari ikan antara lain ikan belanak (Mugil cephalus), ikan bandeng (Chanos chanos), dan ikan lundu (Mystus nigriceps). Hasil tangkapan nelayan tersebut dijual dan dikonsumsi sebagai 153

162 sumber protein keluarga. Hasil tangkapan nelayan dari Sungai Babon selain dijual kepada masyarakat sekitar juga dijual hingga ke Pasar Rejomulyo (Pasar Kobong) yang merupakan pasar ikan segar terbesar di Semarang. Ikan lundu (Mystus nigriceps) dipilih sebagai sampel, karena merupakan salah satu sumber protein hewani yang sering dikonsumsi dan keberadaannya mudah ditemukan di hilir Sungai Babon dalam segala kondisi. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan deskriptif dan analitik. Pendekatan deskriptif untuk menggambarkan karakteristik responden dan pola aktivitas/ pajanan. Pendekatan analitik menggunakan rancangan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) dengan tujuan mengetahui konsentrasi logam berat Cu 2+ dan besar risiko cemaran logam berat tersebut terhadap Sungai Babon Kecamatan Genuk Kota Semarang. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk Kota Semarang pada bulan Juni Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi objek dan populasi subjek. Populasi objek adalah ikan lundu (Mystus nigriceps) yang hidup di bagian hilir Sungai Babon Kecamatan Genuk Kota Semarang. Adapun populasi subjek dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang mengonsumsi ikan lundu dari aliran Sungai Babon Kecamatan Genuk Kota Semarang. Sampel objek yang digunakan adalah sampel ikan lundu (Mystus nigriceps) yang diambil pada 5 segmen di bagian hilir Sungai Babon Kecamatan Genuk Kota Semarang. Untuk penelitian menggunakan sampel hewan dalam populasi dibutuhkan minimal 10 sampel per spesiesnya (Pascoe, 2000). Oleh karena itu sampel objek diambil pada 5 segmen dengan 3 titik yang berbeda dalam satu waktu pengambilan sampel sehingga terdapat 15 titik sampel. Sampel subjek adalah masyarakat yang mengonsumsi ikan yang berasal dari Sungai Babon. Sampel yang digunakan dihitung menggunakan formula Lemeshow. Sampel diambil dengan purposive sampel dengan jumlah minimum sampel yaitu 70 responden. Sampel dipilih berdasarkan kriteria, yaitu individu dalam kelompok usia dewasa (26-45 tahun) yang mengonsumsi ikan lundu (Mystus nigriceps) dari Sungai Babon Kecamatan Genuk Kota Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan kadar tembaga dalam ikan lundu di Laboratorium Biomarker Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectrometry (AAS). Wawancara dengan responden menggunakan kuesioner dan pengukuran data antropometri. Pengolahan data menggunakan metode analisis risiko dengan menghitung nilai asupan untuk mengetahui besar risiko konsumen. Perhitungan nilai asupan didapat berdasarkan data konsentrasi tembaga (mg/kg), laju asupan, frekuensi pajanan (hari/tahu n), durasi pajanan (real time) dalam tahun, berat badan (kg), periode waktu rata-rata (30 tahun x 365 hari untuk efek nonkarsinogenik). Data nilai asupan/ intake diperoleh dengan perhitungan menggunkan persamaan: (Besmanto, 2012) I=CxRxfExDt WbxTavg Keterangan: I :asupan (intake), mg/kg hari C :konsentrasi risk agents, mg/kg untuk makanan/pangan R : laju asupan atau konsumsi, f E : frekuensi pajanan, hari/tahun D t : durasi pajanan, tahun Wb : berat badan, kg 154

163 t avg : waktu rata-rata (30 tahun 365 hari/tahun untuk zat nonkarsinogen Untuk mengetahui tingkat risiko kesehatan yang akan terjadi dari tiap individu, maka dilakukan perhitungan RQ sesuai dengan persamaan berikut : (Besmanto, 2012) RQ = I RfD Keterangan: I :asupan dari hasil perhitungan pajanan (mg/kg/hari) RfD :Reference dose/ dosis referensi (mg/kg/hari). Besar nilai RfD berdasarkan Maximum Residue Levels (MRL) untuk tembaga adalah 0,01 mg/kg/hari. (ASTDR, 2004) Hasil perhitungan RQ: a. Jika RQ > 1 maka konsentrasi agen berisiko dapat menimbulkan efek merugikan kesehatan. b. Jika RQ 1 maka konsentrasi agen belum berisiko yang dapat menimbulkan efek kesehatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sungai Babon mengalir dari wilayah Kabupaten Semarang yang berasal dari beberapa anak sungai di sekitar Gunung Butak Ungaran, dengan pola pengaliran di daerah perbukitan cenderung dendritik (bentuk ranting-ranting) dan pola pengairan di daerah dataran berkelok-kelok (Oxbow lake) yang mengalir ke arah Laut Jawa melalui perbatasan Kota Semarang dengan Kabupaten Demak. Ditinjau dari kedudukan geografis, Sungai Babon terletak diantara LS dan BT yang dibatasi oleh : - Sebelah barat berbatasan dengan DAS Kali Garang dan DAS Kali Kedungmundu - Sebelah timur berbatasan dengan DAS Kali Sayung - Sebelah selatan berbatasan dengan DAS Kali Tuntang - Sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa Wilayah Kota Semarang merupakan daerah tengah dan hilir dari Sungai Babon. Wilayah tersebut meliputi Kecamatan Genuk, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Tembalang, dan Kecamatan Banyumanik. Wilayah Kecamatan Genuk didominasi oleh kegiatan industri yang disebut dengan Zona Industri Genuk. Total industri yang ada di Kecamatan Genuk mencapai unit, industri besar dan sedang sebanyak 147 unit, industri mikro dan kecil sebanyak 982 unit sedangkan industri rumah tangga sebanyak 128 unit. (BPS, 2016) Zona Industri Genuk dibangun pada area seluas ± 800 hektar 5, sebagai tempat berdirinya berbagai jenis industri yang bersifat heterogen dan diperkirakan merupakan sumber dampak baik bagi lingkungan di dalam kawasan maupun di lingkungan sekitarnya. Dalam zona industri tersebut terdapat Kawasan Industri Terboyo Megah (200 hektar), Kawasan Industri Terboyo Semarang (KITS) seluas 300 hektar, Lingkungan Industri Kecil (LIK) Bugangan Baru seluas 100 hektar, Kawasan Industri Pangkalan Truk Kecamatan Genuk (100 hektar) dan zona industri di luar kawasan seluas ± 100 hektar.(bps, 2016) Kelurahan Trimulyo dipilih sebagai lokasi pengambilan sampel subjek karena lokasinya termasuk dalam zona industri dan berada di tepi sungai bagian hilir. Masyarakat kelurahan Trimulyo yang berprofesi sebagai nelayan memanfaatkan Sungai Babon sebagai sumber mata pencaharian baik dengan menangkap langsung dari sungai maupun dengan memelihara tambak. Selain itu, ikan yang berasal dari Sungai Babon merupakan salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat. Hingga akhir tahun 2016 jumlah penduduk di Kelurahan Trimulyo adalah jiwa dengan jumlah rumah tangga KK yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. 155

164 Karakteristik Responden Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan, dan jenis pekerjaan diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap 70 responden disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 1 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan dan Pekerjaan Tabel 1 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan dan Pekerjaan Variabel Jumlah Persentase (%) Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Umur (dewasa awal) (dewasa akhir) Pendidikan - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi Pekerjaan - Buruh - Pedagang - Ibu Rumah Tangga - Nelayan - Pegawai Negeri ,4 68,6 31,4 68,6 37,1 22,9 34,3 5,7 42,9 11,4 37,1 7,1 1,4 Tabel 1 menggambarkan distribusi dari 70 responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah perempuan dengan jumlah 48 responden (68,6%) Distribusi umur responden paling banyak pada kategori umur dewasa akhir dengan jumlah 48 responden (68,6%). Distribusi responden berdasarkan pendidikan paling banyak adalah responden berpendidikan SD yaitu sebanyak 26 responden (37,1%), sedangkan paling sedikit responden berpendidikan perguruan tinggi yaitu sebanyak 4 responden (5,7%). Distribusi menurut pekerjaan responden paling banyak bekerja sebagai buruh karena mereka bermukm di zona industri, sedangkan 7,1 % responden bekerja sebagai nelayan. Konsentrasi Tembaga pada Ikan Ikan lundu (Mystus nigriceps) dipilih sebagai sampel karena spesies ini selalu dikonsumsi dan mudah didapatkan dalam segala musim. Sampel ikan lundu diambil di 15 (lima belas) titik dalam 5 (lima) segmen dari Sungai Babon bagian hilir. Sampel yang diambil untuk kebutuhan analisis laboratorium adalah 500 gram per sampel. Tabel 2 Konsentrasi Tembaga dalam Ikan Lundu (Mystus Nigriceps) Sungai Babon Kota Semarang Tahun 2017 No Lokasi Kadar Cu (mg/kg) pengambilan sampel Titik 1 Titik 2 Titik 3 Ratarata 156

165 1 Segmen I 1,868 3,301 2,593 2,587 2 Segmen II 2,498 2,254 3,126 2,626 3 Segmen III 2,463 3,634 2,592 2,896 4 Segmen IV 2,872 1,918 2,986 2,592 5 Segmen V 1,703 2,371 2,975 2,350 Rata-rata 2,610 Standar deviasi 0,548 Minimum 1,703 Maksimum 3,634 Logam berat yang masuk pada tubuh ikan membutuhkan waktu untuk terakumulasi ke dalam otot. Jenis logam berat dan waktu yang dibutuhkan untuk logam berat tersebut masuk ke tubuh ikan sangat bervariasi. Masuknya logam berat dapat melalui saluran pencernaan, rantai makanan, dan difusi dari kulit ikan. Tembaga adalah logam yang secara jelas mengalami proses akumulasi dalam tubuh hewan. Seiring dengan pertambahan umurnya, hati dan ginjal merupakan bagian tubuh ikan yang paling banyak terdapat akumulasi tembaga. Hasil penelitian ini menunjukan terdapat konsentrasi tembaga dalam ikan lundu (Mystus nigriceps) meskipun berada di bawah baku mutu berdasarkan ketetapan Dirjen POM No.03725/B/SK/VII/89 yaitu sebesar 20 mg/kg. Konsentrasi tembaga pada ikan lundu dari 15 (lima belas) titik sampling dalam 5 (lima) segmen adalah 2,35-2,9 mg/kg. Ikan memiliki mobilitas tinggi sehingga memungkinkan adanya migrasi. Garamgaram tembaga akan bergabung dengan protein yang terdapat dalam lendir ikan, mulut, insang, dan kulit berpotensi mencegah aerasi dan menyebabkan kematian pada ikan. US EPA menyebutkan bahwa toksisitas tembaga bagi ikan air tawar berkisar antara 0,02-1 mg/l. Keberadaan tembaga yang cukup tinggi di perairan mengganggu pertumbuhan ikan, baik pertumbuhan panjang dan berat maupun reproduksi. Konsentrasi tembaga pada perairan Sungai Babon yang melebihi baku mutu dan dapat mengganggu pertumbuhan ikan. Akan tetapi, konsentrasi tembaga yang terlarut lebih sedikit dibandingkan konsentrasinya di dalam sedimen. Karena sifat ikan lundu yang hidup di permukaan, pajanan tembaga hanya berasal dari air sungai, berbeda dengan makrozoobentos yang terpapar tembaga dari sedimen dan perairan. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) 1. Identifikasi Bahaya Sungai Babon mengalami pncemaran tembaga hingga melebihi baku mutu khususnya pada segmen I, III dan V. Tembaga juga terdapat di dalam sedimen, makrozoobentos dan ikan. Pencemaran tembaga yang terjadi di Sungai Babon dapat berasal dari industri yang mengalirkan limbahnya ke badan sungai. Industri besar yang potensial mencemari Sungai Babon bagian hilir antara lain industri elektronik, tekstil, penyamakan kulit, pengemasan penyedap rasa, pembuatan es balok, dan penimbunan batu bara. Sebagai logam berat beracun, Cu dapat mengakibatkan keracunan akut dan kronis. Terjadinya keracunan akut dan kronis ini ditentukan oleh besar dosis yang masuk dan kemampuan organisme untuk menetralisir dosis tersebut. 2. Analisis Dosis Respon Reference Dose (RfD) adalah toksisitas kuantitatif nonkarsinogenik yang menyatakan estimasi dosis pajanan berlanjut sepanjang hayat (Clark, 1986). ATSDR telah memeroleh nilai akut dan menengah MRL (Maximum Residue Levels) oral untuk tembaga. Nilai ini sebagai batas konsumsi aman untuk mencegah risiko kesehatan yang ditimbulkan akibat asupan tembaga. Peneliti menggunakan nilai MRL ini dkarenakan nilai referensi dosis (RfD) untuk tembaga belum diteliti lebih lanjut. Nilai MRL tembaga yang terpajan melalui jalur ingesti adalah 0.01 mg/kg/day 157

166 (ASTDR, 2004). Hal ini didasari oleh gangguan gastrointestinal yang dialami wanita yang terpajan mg Cu/kg/day dalam air minum selama 2 minggu. Untuk menghitung MRL, nilai NOAEL dari 0,0272 mg Cu/kg/day dibagi dengan faktor ketidakpastian 3 untuk memperhitungkan variabilitas manusia. 3. Analisis Pajanan Analisis pajanan dilakukan untuk menentukan dosis risk agent timbal yang diterima individu sebagai asupan atau intake (I). Tabel 3 menyajikan karakteristik antropometri dan pola aktivitas dari responden. Tabel 3 Distribusi Karakteristik dan Pola Aktivitas Responden (N=70) No Elemen Mean Median 1 Berat badan (Wb) (kg) 62, Laju asupan (R) (gr/ hari) 3 Frekuensi pajanan (f E ) (hari/ tahun) 4 Durasi pajanan (D t)(tahun) 177, , ,79 35 Hasil uji normalitas diketahui bahwa variabel dengan sebaran data normal adalah berat badan, sehingga yang digunakan adalah nilai mean. Sedangkan variabel lainnya menggunakan nilai median karena dietahui memiliki sebaran data tidak normal. Rata-rata (Wb) berat badan responden adalah 62,73 kg, laju asupan konsumsi ikan lundu (Mystus nigriceps) menggunakan nilai median 150 gr/ hari. Nilai median untuk variabel frekuensi pajanan adalah 156 hari/ tahun. Durasi pajanan untuk mengetahui nilai intake lifetime menggunakan nilai default 30 tahun, yaitu durasi pajanan untuk permukiman (pajanan seumur hidup). Sedangkan untuk intake realtime akan menggunakan data durasi pajanan (D t) dari hasil wawancara terhadap 70 responden. Perhitungan intake tembaga dalam ikan lundu menggunakan Tavg yaitu 30tahun dikali 365 (hari/tahun) untuk logam nonkarsinogenik. Contoh perhitungan asupan tembaga pada responden yang mengonsumsi ikan lundu yang berasal dari Sungai Babon berdasarkan durasi pajanan realtime, antopometri (Wb 57 kg, f E 104 hari/tahun, dan D t 29 tahun, t avg dan R adalah 100gram/hari) serta konsentrasi Cu 0,00261 mg/gr. 787,176 gr = kg. hari = 0,00126 mg/kg.hari I = 0,00261mg gr 100gr 104 hari/tahun 29tahun hr 57kg 10950hari Nilai variabel faktor pemajanan dan hasil intake dapat dilihat pada tabel perhitungan dalam lampiran, sedangkan distribusi hasil perhitungan intake disajikan pada tabel 4. Tabel 4 Distribusi Hasil Perhitungan Intake Realtime No Keterangan Nilai 1 jumlah sampel 70 2 rata-rata 4,82 x Median 2,59 x standar deviasi 2,02 x Maksimum 9,06 x

167 6 Minimum 3,7 x 10-5 Nilai intake lifetime, yaitu asupan yang diterima individu dalam waktu 30 tahun. Nilai lifetime dihitung dari konsentrasi tiap segmen dan nilai dari konsentrasi rata-rata keseluruhan. Segmen dengan nilai terbesar terdapat di segmen III dengan nilai 0,00296 mg/kg.hari, sedangkan segmen dengan nilai intake terkecil terdapat di segmen V dengan nilai 0,0024 mg/ kg/hari. Nilai asupan dengan menggunakan konsentrasi rata-rata adalah 0,00267 mg/kg.hari. Asupan pajanan logam dihitung berdasarkan pajanan lifetime dan realtime. Asupan lifetime menggambarkan estimasi pajanan per kilogram berat badan per hari berdasarkan rata-rata pola aktivitas responden dengan durasi pajanan 30 tahun. Sedangkan, intake realtime dihitung berdasarkan pola aktivitas dari tiap responden dengan durasi pajanan dihitung mulai responden tinggal di lokasi penelitian. Rata-rata nilai intake lifetime adalah 0,00267 mg/kg/hari, tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap nilai intake dari tiap segmen. Nilai tersebut berada jauh di bawah nilai referensi dosis (RfD) berdasarkan Maximum Residue Levels (MRL) yaitu 0,01 mg/kg/hari. Hasil dari perhitungan nilai asupan realtime berada pada kisaran 0, ,00906 mg/kg/hari, nilai tersebut juga masih berada di bawah nilai referensi dosis. Konsentrasi tembaga pada ikan memengaruhi besarnya asupan zat pencemar tersebut kepada individu. Semakin besar konsentrasi tembaga pada ikan maka akan semakin besar pula asupan pajanan tembaga. Selain itu, frekuensi pajanan dan laju asupan juga berbanding lurus dengan nilai asupan. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi tembaga pada ikan sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai baku mutunya. Laju asupan dan frekuensi pajanan yang didapat dari wawancara terhadap responden menunjukkan rata-rata laju asupan adalah 150 gr/hari dengan frekuensi 156 hari/tahun. 4. Karakteristik Risiko Karakterisasi risiko dilakukan untuk mendapatkan nilai besarnya risiko individu berdasarkan asupan yang diterima. Perhitungan besar risiko yang diterima individu dilakukan dengan membandingkan nilai intake dengan dosis referensinya. Besar nilai RfD berdasarkan Maximum Residue Levels (MRL) untuk tembaga adalah 0,01 mg/kg.hari.error! Bookmark not defined. Nilai risiko dinyatakan dengan Risk Quotient (RQ) yang dihasilkan dari persamaan berikut: RQ = I RfD Keterangan: I :asupan dari hasil perhitungan pajanan (mg/kg.hari) RfD :Reference dose/ dosis referensi (mg/kg.hari) Hasil perhitungan akan mendapatkan nilai RQ> 1 dan nilai RQ< 1. Jika RQ>1 maka konsentrasi agen berisiko dapat menimbulkan efek merugikan kesehatan sedangkan RQ 1 maka konsentrasi agen belum berisiko yang dapat menimbulkan efek kesehatan. Tabel 5 Risk Quotient (RQ) lifetime No Segmen C tembaga RQ Risiko dalam ikan (mg/gr) 1 Segmen I 0, ,264 belum berisiko 2 Segmen II 0, ,268 belum berisiko 159

168 3 Segmen III 0,0029 0,296 belum berisiko 4 Segmen IV 0, ,265 belum berisiko 5 Segmen V 0, ,24 belum berisiko rata-rata 0,267 Median 0,266 SD 0,18 Min 0,24 Max 0,296 Berdasarkan hasil perhitungan seluruh segmen memiliki RQ<1 maka konsentrasi tembaga dalam ikan lundu yang dikonsumsi masyarakat belum berisiko terhadap kesehatan. Hasil perhitungan RQ realtime menunjukkan hasil yang sedikit berbeda, meskipun masih dalam kategori belum berisiko, namun beberapa nilai menunjukkan hasil yang mendekati 1. Nilai RQ individu teringgi adalah 0,9058 sedangkan nilai terkecilnya adalah 0,0037. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang mengonsumsi ikan lundu (Mystus nigriceps) yang berasal dari Sungai Babon berada dalam batas aman baik dalam waktu konsumsi realtime maupun lifetime. Hasil penelitian merupakan perhitungan dengan konsentrasi tembaga saat ini. Perubahan lingkungan, penggunaan lahan untuk pemukiman dan industri dapat memengaruhi konsentrasi tembaga dalam air sungai menjadi semakin tinggi. Peningkatan konsentrasi logam berat dalam air berbanding lurus dengan peningkatan nilai intake yang sebanding dengan peningkatan karakteristik risiko. Seperti logam berat lainnya, tembaga juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan baik akut maupun kronis. Manajemen Risiko Alternatif manajemen risiko dalam rangka perlindungan lingkungan agar fungsi Sungai Babon sesuai dengan peruntukannya dan dapat menjaga keselamatan biota serta masyarakat yang mengonsumsinya. Berikut ini manajemen risiko yang dibuat untuk meminimalisir pencemaran khususnya tembaga: 1. Perencanaan Perancanaan berupa rangkaian alternatif untuk mengurangi konsentrasi tembaga pada air dan sedimen dalam Sungai Babon bagian hilir dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Menurunkan konsentrasi tembaga dari sumber pencemar (industri) dengan peningkatan pengawasan dan pemberlakuan sanksi pada industri yang mengeluarkan limbah di atas baku mutu. b) Menurunkan konsentrasi tembaga dalam air dan sedimen dengan konservasi mangrove di sepanjang hilir sungai Babon c) Membatasi laju asupan dan frekuensi aman terhadap konsumsi ikan lundu. 2. Pengorganisasian Pengorganisasian penentuan sumber daya yang akan melaksanakan rencana. Diperlukan suatu organisasi yang terdiri dari beberapa orag yang terbagi dalam beberapa bagian/ divisi memiliki tugas, tanggung jawab, wewenang dan uraian jabatan (Job Description). 3. Pelaksanaan/ Implementasi Pelaksanaan atau implementasi merupakan lanjutan dari tahap perencanaan. Alternatif rencana diimplementasikan dengan langkah sebgai berikut: a) Menurunkan konsentrasi tembaga dari sumber pencemar (industri) dengan peningkatan pengawasan dan pemberlakuan sansi pada industri yang mengeluarkan limbah di atas baku mutu, dengan implementasi: 160

169 - Kerja sama lintas sekor antara BLH Kota Semarang, Dinas Perindustrian Kota Semarang dan Pemerintah Kabupaten Demak bekerja sama dengan industri melakukan pengawasan dan pelaporan mengenai kualitas limbah. - Industri yang tidak mampu mengelola limbahnya sendiri diarahkan untuk mengirim ke pihak ketiga. - Industri yang mampu mengelola limbah melaporkan secara berkala mengenai kualitas limbahnya. - Pemberlakuan sanksi bagi industri yang mengeluarkan limbah diatas baku mutu yang ditetapkan. b) Menurunkan konsentrasi tembaga dalam air dan sedimen dengan konservasi mangrove di sepanjang hilir sungai Babon. Selain mangrove mampu menyerap logam berat termasuk tembaga yang berada di perairan, mangrove juga mampu menahan abrasi. Abrasi yaitu pengikisan tanah pada bantaran sungai akibat tingginya debit air pada musim penghujan yang mampu menambah kadar tembaga dalam perairan. Tembaga secara alami terkandung pada kerak bumi, sehingga logam tersebut dapat tersuspensi di air sungai. Adapun implementasi yang dapat dilakuan yaitu: - Kerjasama antar pemerintah dan masyarakat (LSM) dalam program konservasi mangrove di bantaran sungai Babon bagian hilir. - Mengeluarkan peraturan mengenai perlindungan ekosistem mangrove. c) Membatasi laju asupan dan frekuensi aman dari ikan lundu Batasan laju asupan dan frekuensi aman dapat diketahui berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus turunan dari perhitungan nilai intake. Nilai konsentrasi yang digunakan adalah nilai rata-rata konsentrasi tembaga dalam ikan lundu yaitu 2,6103 mg/kg atau 0,00261 mg/gr. Dengan menggunakan nilai RfD sebagai nilai intake maka dapat dicari nilai laju asupan (R), frekuensi pajanan (f E) dan durasi pajanan (Dt). Pada dasarnya RfD adalah konsentrasi aman yang dapat dikonsumsi individu seumur hidup. Nilai dosis referensi (RfD) untuk tembaga dalam ikan adalah 0,01 mg/kg.hari.error! Bookmark not defined. Laju asupan yang aman didapatkan dengan menggunakan persamaan berikut: R = I Wb x Tavg C f E D t Keterangan: R :laju asupan atau konsumsi harian (gr/hari) C :konsentrasi rata-rata tembaga pada ikan 0,0261mg/kg I : intake/ asupan menggunakan nilai RfD (0,01 mg/kg) f E : frekuensi pajanan pada intake lifetime 156 hari/tahun D t : durasi pajanan lifetime 30 tahun Wb: berat badan rata-rata responden 62,73 kg t avg: waktu rata-rata (10950 hari/tahun) Intake yang digunakan adalah 0,01 mg/kg.hari karena menggunakan nilai referensi dosis.error! Bookmark not defined. Konsentrasi (C) merupakan konsentrasi rata-rata, berat badan (Wb), frekuensi pajanan (f E), durasi pajanan (Dt) dan rata-rata pajanan (t avg) yang digunakan sama dengan nilai yang digunakan pada perhitungan intake lifetime. Berdasarkan perhitungan tersebut laju asupan atau jumlah konsumsi aman harian masyarakat adalah 562,28 gr/hari atau masih aman hingga jumlah konsumsi 0,56kg/hari 161

170 dengan frekuensi pajanan 156 hari/tahun. Frekuensi konsumsi 365 hari/tahun atau ikan lundu aman dikonsumsi setiap hari dengan laju asupan 240 gr/hari. SIMPULAN Karakteristik risiko masyarakat yang mengonsumsi ikan lundu (Mystus nigriceps) dari Sungai Babon diperoleh nilai RQ<1. Nilai tersebut masuk dalam kategori aman atau belum berisiko menimbulkan gangguan kesehatan. Akan tetapi, untuk mempertahankan kondisi tersebut peneliti merekomendasikan untuk melakukan manajemen risiko dengan beberapa alternatif yaitu menurunkan konsentrasi tembaga dari sumber pencemar, konservasi mangrove sebagai tumbuhan penyerap polutan organik maupun anorganik sebagai upaya menurunkan konsentrasi tembaga terlarut dan pembatasan laju asupan dan frekuensi konsumsi ikan lundu. DAFTAR PUSTAKA Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) Toxicological profile for Copper. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service. Besmanto N, Cakrawati C, Rizal A, Sofwan, Hadi N, Carolina, dkk. Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Kementerian Kesehatan: Direktorat Jendral PP dan PL. Jakarta; Badan Pusat Statistik Kota Semarang. Statistik Daerah Kecamatan Genuk Katalog BPS : ;2016. Badan Pusat Statistik Kota Semarang. Semarang Dalam Angka 2016 (Kecamatan Genuk Dalam Angka 2016). Katalog BPS : ; Clark J. Marine Pollution. Oxford: Clarendon Press; Darmono. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI- Press; Pascoe D, Edwards. Single Species Toxicity Tests. Aquatic Ecotoxicology: Fundamental Concepts and Methodologies Volume II. Florida: CRC Press; Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri. Jakarta: Sekretariat Negara; Sekarwati N, Bardi M, Sunarto. Dampak Logam Berat Cu (Tembaga) dan Ag (Perak)Pada Limbah Cair Industri Perak Terhadap Kualitas Air Sumur dan Kesehatan Masyarakat Serta Upaya Pengendaliannya di Kota Gede Yogyakarta. Jurnal EKOSAINS; 2015: 7(1): Susanti.Kajian Jejak Ekologis (Ecological Footprint) di Zona Industri Genuk, Kota Semarang. Diponegoro University International Repository;

171 Analisis Risiko Kesehatan dan Kadar Timbal Dalam Darah : (Studi Pada Masyarakat yang Mengkonsumsi Tiram Bakau (Crassostrea gigas) Di Sungai Tapak Kecamatan Tugu Kota Semarang) Puspito Raharjo Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Puspito25@gmail.com Abstrak Tiram bakau merupakan salah satu biota air yang dikonsumsi masyarakat sekitar Sungai Tapak Kelurahan Tugurejo Kecamatan Tugu Kota Semarang. Kehadiran tiram bakau di Sungai Tapak diduga sudah terkontaminasi timbal yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan pada studi awal bahwa kadar timbal pada air sungai sebesar 0,462 mg/l dan tiram bakau sebesar 0,623 mg/kg. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis risiko pajanan timbal terdapat dalam tiram yang dikonsumsi oleh masyarakat di sekitar Sungai Tapak Kelurahan Tugurejo. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Subyek dalam penelitian ini berjumlah 35 orang yang mengkonsumsi tiram bakau dan 10 orang diukur kadar timbal dalam darah. Hasil analisis menunjukkan rata-rata nilai tingkat risiko timbal (HQ Pb) 0,053, nilai (HQpb) <1. Itu artinya masyarakat Kelurahan Tugurejo yang mengonsumsi tiram masih aman dan tidak berisiko menimbulkan gangguan kesehatan untuk kondisi real time. Hasil pengukuran timbal dalam darah pada 10 orang responden menunjukan rata-rata kadar timbal dalam darah 46,3 µg/dl. Tidak ada hubungan antara tingkat risiko (HQ Pb) dengan kadar timbal dalam darah, namun memiliki arah korelasi yang positif sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai HQ Pb, maka semakin tinggi kadar timbal dalam darah dengan asumsi bahwa pajanan timbal hanya berdasarkan pajanan ingesti dan konsumsi tiram bakau saja dan tidak memperhitungkan pajanan dari sumber yang lain. Kata kunci: ARKL, Timbal, Crasosstrea gigas Health Risk Assesment and Blood Lead Levels: Study On Mangrove Oysters (Crassostrea gigas) Consumers Abstract Mangrove oyster is one of the water biota consumed by the community around the Tapak River Tugurejo Village Tugu Subdistrict Semarang City. The presence of mangrove oysters in the tread river has been contaminated leads as evidenced by the results of examination in the initial study of lead content in river air of mg/l and mangrove oysters of mg/kg. The purpose of this study was to analyze the risk of lead and cadmium exposure contained in oysters consumed by communities around Sungai Tapak Kelurahan Tugurejo. This research was a observational analytic research with Environmental Health Risk Assesment (EHRA). The population in this study amounted to 35 people who consumed mangrove oysters dan 10 people measured blood lead levels. The analysis results show the average value of lead risk level (HQ Pb ) 0.053, value of HQ Pb <1. It menas that the people of Tugurejo Village who consume oysters are still safe and not at risk of causing health problems for real time conditions. The results of the measurement of lead in blood in 10 respondents showed average blood lead levels in

172 μg/dl. There is no correlation between risk level (HQPb) with lead levels in blood, but has positive correlation direction so that it can be interpreted that the higher the HQPb value, the higher the lead level in the blood with the assumption that lead exposure is only based on ingestion exposure and mangrove oyster consumption alone and does not take into account the exposure of other sources. PENDAHULUAN Pencemaran lingkungan dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak menarik perhatian karena dampak yang di timbulkannya.khususnya mengenai pencemaran air, ancaman serius terhadap kualitas perairan pantai (laut) di Indonesia adalah limbah industri, limbah manusia, pelumpuran dan turbiditas (kekeruhan) dari sungai, tumpahan minyak lepas pantai. Pencemaran air di sepanjang pantai utara pulau jawa di perbesar oleh adanya pemusatan industri di wilayah perairan tersebut. Pencemaran logam berat di perairan yang diakibatkan oleh dampak perkembangan industri harus dapat dikendalikan, karena jika tidak dilakukan sejak dini akan menimbulkan permasalahan yang serius bagi kelangsungan hidup manusia maupun lingkungan sekitarnya. 1 Wilayah Sungai tapak secara geografis terletak di Kelurahan Tugurejo Kecamatan Tugu Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah. Sungai Tapak tepatnya berada di sisi barat Kota Semarang yang berjarak sekitat 12 km dari pusat kota. Kecamatan Tugu merupakan salah satu kecamatan di Kota Semarang yang menjadi tempat berdirinya industri,baik industri kecil, menengah dan besar dengan jumlah yang cukup banyak. 2 Salah satu logam berat yang menjadi sumber pencemar yang berpotensi dapat menurunkan dan merusak kualitas lingkungan adalah Timbal (Pb). Sumber bahan pencemar di Sungai Tapak adalah berasal dari pemukiman penduduk, dan khususnya kegiatan industri yang menjadi prioritas karena letaknya yang berada dekat badan air Sungai Tapak. Limbahlimbah yang di buang di aliran sungai merupakan limbah dari Kawasan Industri Tambak aji dan industri-industri yang berada di dekat aliran Sungai Tapak di Kecamatan Tugu.2 Timbal (Pb) mempunyai sifat persisten dan toksik serta dapat terakumulasi dalam rantai makanan. Absorpsi timbal di dalam tubuh sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi dan menjadi dasar keracunan yang progresif. Keracunan timbal ini menyebabkan kadar timbal yang tinggi dalam aorta, hati, ginjal, pankreas, paruparu, tulang, limpa, testis, jantung dan otak. 3 Hasil uji pendahuluan pada air Sungai Tapak dan daging tiram bakau, ditemukan adanya kandungan logam berat pada air sungai, timbal 0,462 mg/l.kemudian ditemukan juga kandungan logam berat timbal pada daging tiram bakau sebesar 0,623 mg/kg. Hasil survei pendahuluan juga diperoleh bahwa dari 20 masyarakat mengonsumsi tiram bakau sebanyak 250 gr/hari dengan frekuensi 23 kali perminggu. Jika hal ini dilakukan secara terus-menerus, dikhawatirkan akan menimbukan efek yang merugikan bagi masyarakat yang mengonsumsi tiram bakau. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan merupakan metode yang bertujuan untuk memperkirakan risiko yang diterima oleh masyarakat yang mengonsumsi tiram bakau (Crassostrea gigas) akibat pencemaran logam berat Pb (Timbal) di Sungai Tapak Kota Semarang dan untuk mengetahui kandungan Pb pada manusia. Sampel subjek yang digunakan adalah sebanyak 35 orang yang terdiri dari warga Kelurahan Tugurejo, tepatnya RW 4. Dari jumlah total 35 responden maka akan dipilih 10 orang responden dengan sistem random sampling yang akan digunakan sebagai evaluasi dampak kesehatan dan pembuktian ada atau tidaknya kandungan timbal dalam darah pada masyarakat yang mengonsumsi tirambakau berdasarkan prediksi analisis risiko. Sampel objek yang digunakan adalah air Sungai tapak dan tiram bakau yang berasal dari 164

173 Sungai Tapak Kota Semarang. Terdapat 4 stasiun pengambilan sampel, dimana dibutuhkan 2 liter air Sungai Tapak dan 500 gram tiram bakau pada masing-masing stasiun. Sampel air dan tiram selanjutnya akan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan logam beratnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Timbal di Air Sungai Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata hasil konsentrasi timbal di air sungai pada masing-masing stasiun sebesar 0,03 mg/l. Konsentrasi timbal di air sungai sama dengan baku mutu sebesar 0,03 mg/l menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 4 Terjadinya hujan yang menyebabkan masuknya air hujan ke perairan akan mengakibatkan pengenceran secara alami di badan air sehingga konsentrasi logam berat dapat memiliki hasil yang berubah-ubah dan berbeda-beda dalam setiap pengambilan sampel. Gambar 1. Peta Pengambilan Sampel Air dan Tiram Bakau 165

174 Penelitian Suryanti (2016) menyatakan bahwa kandungan logam berat dalam air dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada waktu curah hujan tinggi, kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelauran akibat air hujan, sedangkan pada saat musim kemarau, kandungan logam berat akan lebih tinggi. 5 Namun menurut Arifin (2017), salah seorang warga di Kelurahan Tugurejo, kebiasaan industri membuang limbahnya justru pada saat turun hujan. Hal ini bisa ditandainya dengan naiknya permukaan air sungai berbarengan dengan berubahnya warna air sungai menjadi hitam pekat. Selain itu, tinggi rendahnya aktivitas produksi pada industri juga turut memberikan kontribusi dalam perubahan konsentrasi logam berat di badan air. Bisa disebabkan pada saat waktu pengambilan sampel, aktivitas produksi sedang tidak membuang limbahnya ke perairan sehingga konsentrasi logam berat menjadi rendah. 6 Tabel 1. Timbal di Air Sungai dan Tiram Bakau Sampel Satuan Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Baku 1 II III IV mutu Air mg/l 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 Sungai Tiram Bakau mg/kg 0,61 0,49 0,48 0,43 1,5 Konsentrasi Timbal di Tiram Bakau (Crassostrea gigas) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil konsentrasi timbal dalam daging tiram bakau (Crassostrea gigas)pada titik sampling I sebesar 0,61 mg/kg, titik sampling II sebesar 0,49 mg/kg, titik sampling III sebesar 0,48 mg/kg, dan titik sampling IV sebesar 0,43 mg/kg. angka tersebut berada dibawah ambang batas telah ditetapkan oleh Peraturan Kepala Badan Pengawas obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor hk Tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia Dalam Makanan dan Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 7387:2009) tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan, untuk cemaran logam timbal dan kadmium pada jenis kekerangan (mollusca) batas maksimum yang diperbolehkan adalah timbal 1,5 mg/kg. 7 Hasil pengukuran kadar timbal timbal tertinggi ada distasiun satu, yaitu tepat dimuara Sungai Tapak atau wilayah estuari dan hasil terendah pada stasiun 4 yaitu berada bagian paling hulu dari titik pengambilan sampel. Artinya semakin mengarah ke estuari atau muara sungai, konsentrasi timbal dalam tiram bakau semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh proses pencampuran massa air sungai dan laut yang akan mempengaruhi konsentrasi logam berat terlarut. Hal ini disebabkan oleh proses pengenceran dan destabilisasi partikel yang kemudian diikuti dengan pengendapan ke sedimen. Selain dipengaruhi oleh masukan air tawar dan air laut, sedimen pada dasar perairan estuari juga sangat berperan penting dalam perubahan fase logam berat dari terlaurt menjadi partikulat. Sebelum terjadi proses destabilisasi, partikel-partikel tersebut mengadsorpsi elemen atau senyawa kimia anorganik terlarut termasuk logam dan organik terlarut dan akan terdeposisi menuju sedimen. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Hamzah dan Saputro (2013), tentang pola sebaran logam berat dan nutrien pada musim kemarau diestuari Perancak, Bali. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi logam berat memiliki pola gradual yang semakin meningkat dari hulu menuju muara.6 Identifikasi bahaya US EPA telah mengklasifikasikan bahwa timbal termasuk senyawa karsinogenik yang tergabung dalam kelompok B2. Timbal memungkinkan efek yang karsinogenik pada hewan, namun belum pada manusia karena kurangnya informasi yang memadai. 166

175 International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan bahwa senyawasenyawa timbal anorganik memungkinkan efek karsinogenik pada manusia (Grup 2A), yang didapat berdasarkan data yang terbatas untuk efek karsinogenik pada manusia dan bukti yang cukup pada hewan. 8 American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH) mengungkapkan bahwa meskipun timbal dikategorikan sebagai senyawa yang karsinogenik namun untuk paparan melalui jalur selain biasanya atau inhalasi, tidak menunjukkan adanya risiko karsogenik. Data yang diperoleh dari studi epidemiologi menunjukan bahwa data dari hasil percobaan tidak cukup untuk mengkonfirmasi adanya peningkatan risiko kanker pada manusia yang terpapar. 8,9 Analisi Pajanan Analisis pajanan dengan melakukan perhitungan intake atau asupan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai yang sudah di analisis. Nilai-nilai yang digunakan untuk perhitungan asupan adalah konsentrasi timbal 0,0005 mg/gr, laju asupan 200 gr/hari, frekuensi pajanan 104 hari/tahun, lama terjadinya pajanan 11,8 tahun, dengan berat badan rata-rata 58 kg serta menggunakan nilai periode waktu rata-rata (t avg) adalah 30 tahun x 365 hari/tahun dan merupakan waktu real time dalam penelitian ini. Hasil perhitungan asupan timbal real time adalah sebagai berikut: = 0, mg/kg.hr = 1,932 x 10-4 Karakteristik Risiko Untuk mengetahui tingkat risiko dilakukan dengan membandingkan nilai intake dengan nilai dosis referensi untuk timbal (Pb). RfD untuk timbal yang merupakan efek non karsinogenik untuk jalur pajanan melalui ingesti adalah RfD 3,6 x 10-3 mg/kg.hari. 10 Perhitungan Hazard Quotient untuk konsumsi tiram bakau (Crassostrea gigas) pada pajanan timbal adalah sebagai berikut: = 0,053 Dari hasil perhitungan di atas dapat dilihat bahwa nilai HQ sebesar 0,053, itu artinya dapat dikatakan bahwa pada saat ini (real time) populasi masyarakat masih aman dan tidak berisiko untuk mengkonsumsi tiram bakau. Kondisi lifetime dapat dihitung dengan menggunakan durasi pajanan default 30 tahun dan 50 tahun yang memberikan efek non karsinogenik.hi untuk durasi pajanan 30 tahun adalah sebesar 0,139 dan untuk pajanan 50 tahun adalah sebesar 0,243, itu artinya masyarakat yang mengonsumsi tiram yang berasal dari sungai tapak masih aman dan tidak berisiko mengalami gangguan kesehatan untuk durasi pajanan 30 tahun dan 50 tahun dengan catatan sumber pajanan hanya berasal dari konsumsi tiram yang berasal dari Sungai Tapak Kelurahan Tugurejo dan tidak memperhitungkan pajanan darui sumber yang lain. Hasil nilai HQ dan HI untuk durasi pajanan real time dan lifetime dapat dilihat dalam tabel berikut: 167

176 Tabel 2. Tingkat Risiko Durasi Pajanan real time dan lifetime Durasi Pajanan Intake (mg/kg.hr) RfD HQ (Hazard Quotient) Real time 0, ,6 x ,053 Lifetime 30 th 0, ,6 x ,13 Lifetime50 th 0, ,6 x ,227 Kadar Timbal dalam Darah Hasil pemeriksaan kadar timbal dalam darah dari 10 responden seperti yang tertera dalam tabel 3, diketahui rata-rata kadar timbal dalam darah 46,3 µg/dl atau 0,46 ppm, dengan kadar timal terendah adalah 31,9 µg/dl atau 0,31 ppmdan kadar timbal tertinggi adalah 66,3 µg/dl atau 0,66 ppm. Menurut Badan Kesehatan Dunia atau WHO, nilai ambang batas kandungan timbal dalam darah sebanyak 20 µg/dl atau 0,20 ppm. 11 Tabel 3. Nilai Intake, Hazard Quotient dan Kadar Timbal dalam Darah No Intake Hazard Quotient Kadar timbal dalam darah (µg/dl) x , x , x , x , x , x , x , x , x , x ,2 Rata-rata 46,3 Untuk melihat hubungan antara variabel HQ dengan kadar timbal dalam darah, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan uji Korelasi Rank Spearman. Berdasarkan analisis korelasi rank spearman, diperoleh angka pvalue 0,06. Jika dilihat dari signifikansinya, yaitu sebesar 0,60 > lebih besar dari 0,05, maka artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai HQ dengan kadar timbal dalam darah. Namun koefisien korelasi bernilai positif, yaitu 0,0612, sehingga hubungan antara kedua variabel tersebut bersifat searah, dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai HQ, maka akan semakin tinggi pula kadar timbal dalam darah. Tidak ada hubungan antara nilai HQ dengan kadar timbal dalam darah disebabkan oleh masih rendahnya nilai intake/asupan dan frekuensi pajanan masyarakat dalam mengkonsumsi tiram bakau. Selain dipengaruhi oleh variasi nilai intake, pada saat pengambilan data, peneliti juga menanyakan sumber konsumsi lain yang berasal dari Sungai Tapak. Hasilnya diperolah bahwa selain mengonsumsi tiram bakau, masyarakat sekitar juga sering mengonsumsi ikan-ikan yang bersumber dari sungai tapak. Tingkat konsumsi ikan hampir setiap hari karena mayoritas masyarakat memiliki tambak ikan bandeng dan memiliki kebiasaan menangkap ikan disungai. Sehingga tingginya kadar timbal dalam darah juga dipengaruhi oleh konsumsi ikan-ikan tersebut.pernyataan itu sejalan dengan penelitian Putra (2016), tentang tingkat risiko konsumsi ikan belanak yang mengandung timbal di Sungai Tapak Kota Semarang, diperoleh nilai Risk Quotient lebih dari 1 ( RQ > 1) untuk pajanan lifetime 50 tahun

177 Penelitian ini, peneliti hanya mengukur pajanan melalui ingesti/oral melalui konsumsi tiram bakau saja dan tidak memperhitungkan pajanan dari sumber yang lain. Sedangkan Paparan timbal bisa diperolah melalui mengonsumsi makanan, namun tidak semua senyawa timbal yang masuk melalui saluran cerna diserap oleh tubuh, melainkan hanya 15 % dari jumlah timbal yang masuk. 30 % dari jumlah timbal masuk melalui saluran pernafasan. Timbal yang masuk melalui makanan akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh. Pada umumnya ekskresi timbal sangat lambat. Ekskresi timbal yang lambat ini menyebabkan timbal akan mudah terakumulasi dalam tubuh. 13 Manajemen Risiko Meskipun dari hasil perhitungan didapatkan tingkat risiko untuk populasi masyarakat Kelurahan Tugurejo < 1, namun demikian manajemen risiko harus tetap dilakukan agar dapat mempertahankan nilai HQ dan nilai risiko tidak lebih dari 1 (satu). Dengan melihat sudah tingginya kadar timbal dalam darah pada masyarakat yang mengkonsumsi tiram bakau, maka perlu dilakukan pengendalian dan pencegahan guna mereduksi timbal dalam darah masyarakat dengan melakukan upayaupaya mengurangi pajanan dan menghambat adrsorbsi timbal dalam darah. Salah satunya dengan memberikan ethylen diamine tetra acetic (EDTA) intravenous. Ethylen diamine tetra acetic akan mengikat kation Pb dalam tulang dan jaringan lunak. 14 Pemberian kalsium dengan dosis 3 x 500 mg/hari selama 3 bulan juga dapat menurunkan kadar timbal dalamdarah secara bermakna. 15 Pengendalian yang juga dapat dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan dengan mengurangi Sungai Tapak dari bahaya pencemaran logam berat di perairan yang dapat menyebabkan tingginya konsentrasi logam berat timbal dan kadmium pada biota sungai baik itu ikan, udang, tiram dan lain-lain. 14 Manajemen risiko dapat dilakukan dengan mempertahankan laju asupan aman dan frekuensi pajanan aman sebagaimana tertera pada gambar berikut: Gambar 2. Batas aman Laju Asupan dan Frekuensi Pajanan 169

178 KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang mengonsumsi Tiram bakau (Crassostrea gigas) masih masih aman dan belum berisiko terhadap kesehatan dengan nilai HQ < 1 baik untuk pajanan real tima atau life time. Hasil pengukuran pada darah responden menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan signifikan antara nilai HQ dengan kadar timbal dan kadmium dalam darah. Hal ini disebabkan karena diasumsikan pajanan timbal hanya berasal dari pajanan melalui ingesti dan berdasarkan konsumsi tiram bakau saja dan tidak memperhitungkan pajanan dari sumber yang lain baik inhalasi maupun dermal. DAFTAR PUSTAKA 1. Amriani, Hendrarto B, Hadiyarto A. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan (Zn) Pada Kerang Darah (Anadara Granosa L.) dan Kerang Bakau (Polymesoda L.) Di Perairan Teluk Kendari. Jurnal Ilmu Lingkungan (2): Astrini ADR, Yusuf M, Santoso A. Kondisi Perairan Terhadap Struktur Komunitas Makrozobenthos Di Muara Sungai Karanganyar dan Tapak, Kecamtan Tugu Semarang. Journal of Marine Research. 2014; 3(1): Darmono. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta: UI Press Pemerintah Republik Indonesia. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun Jakarta Suryanti A, Siswanto AD, Romadhon A. Kajian Parameter Oseanografi Dan Perbandingan Konsentrasi Logam Berat Timbal (Pb) Di Perairan Mengare- Kabupaten Gresik Dan Pulau TalangoKabupaten Sumenep. Prosiding Seminar Nasional Kelautan Hamzah F, Saputro PD. Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien Pada Musim Kemarau di Estuari Perancak, Bali. Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang- KP Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia IARC. Agents reviewed by the IARC monographs: Volumes Lyon, France: International Agency for Research on Cancer ACGIH Lead. Threshold limit values for chemical substances and physical agents and biological exposure indices. Cincinnati, OH: American Conference of Governmental Industrial Hygienists. 10. Department of Environmental Affairs The Framework for the Management of Contaminated Land, South Africa IRIS. Lead. Integrated Risk Information System. Washington, DC: U.S. Environmental Protection Agency Putra PDS, Sulistiyani, Budiyono. Analisis Risiko Kandungan Timah Hitam (Pb) Pada Ikan Belanak Di Sungai Tapak kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e- Journal). 2016; 4(5) 13. U.S. Environmental Protection Agency. Risk Assessment Guidance for Superfund Volume 1: Human Health Evaluation Manual (Part A) Office of Emergency and Remedial Response; Washington, DC, USA:

179 14. Storelli MM. Potential Human Health Risks From Metals (Hg, Cd, and Pb) and Polychlorinated biphenyls (PCBs) via seafood consumption: Estimation of target hazardquotients (THQs) and toxic equivalents (TEQs). Food and Chemical Toxycology. Elsevier

180 OPTIMALISASI PENGGUNAAN KHLORIN DALAM MENURUNKAN KADAR Fe PADA AIR SUNGAI GARANG DAN SUNGAI KREO Lukman Eka Prasaja Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Diponegoro Jl. Imam Bardjo, SH No. 3, Pleburan, Semarang bungekaprasaja@yahoo.co.id Abstrak Air yang aman dikonsumsi harus memenuhi standar kualitas sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 Tahun 2002 tentang syarat syarat dan pengawasan kualitas air minum. Diperlukan pengolahan air agar menjadi layak untuk konsumsi, diantaranya dengan menurunkan kandungan Fe menggunakan khlorin. Penelitian bertujuan menentukan kadar optimum khlorin untuk menurunkan Fe dan menghitung efisiensi penurunan Fe pada setiap penambahan khlorin. Pada penelitian ini digunakan Natrium Hipokhlorit 10 %. Kemudian menyiapkan sampel air permukaan di Sungai Garang dan Sungai Kreo. Tambahkan Natrium Hipokhlorit dengan kadar 5 mg/l, 10 mg/l, 15 mg/l, 20 mg/l, 25 mg/l, 30 mg/l, 35 mg/l, 40 mg/l, 45 mg/l dan 50 mg/l. Kemudian dilakukan pengadukan dengan kecepatan 50 rpm selama 30 menit. Kandungan sisa Fe total dan Free Khlorin diukur menggunakan Spektrofotometer seri Hach DR Diperoleh kesimpulan bahwa kadar optimum Khlorin untuk sampel air Sungai Garang sebesar 30 mg /L dan sampel air Sungai Kreo sebesar 40 mg/l. Kata Kunci : Air, Fe, Khlorin Abstract Safe water consumed must quality standards in accordance with the decision of the Minister of Health No. 907 in 2002 about the terms these terms and supervision of quality of drinking water. Therefore the required water treatment in order to be worthy to be consumed, which by means of lowering the content of Fe. This research aims to determine the optimum level of khlorin to lower iron levels and calculate the efficiency of iron levels on each addition khlorin. On the research of Natrium Hipokhlorit used this 10%. Than by preparing samples of surface water in streams river Garang and river Kreo. Add Natrium Hipokhlorit with a level of 5 mg/l, 10 mg/l, 15 mg/l, 20 mg/l, 25 mg/l, 30 mg/l, 35 mg/l, 40 mg/l, 45 mg/l and 50 mg/l. And done stirring with a speed of 50 rpm for 30 minutes. Then the rest of the content of measured Fe total and Free Khlorin by using Spectrophotometer Hach DR 2500 series. The conclusion that the optimum level of Khlorin was obtained for samples of river water Garang 30 mg/l and samples of river water Kreo 40 mg/l. Keywords: Water, Fe, Khlorin 172

181 1.PENDAHULUAN Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan. Mahluk hidup di muka bumi ini tak dapat terlepas dari kebutuhan akan air. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks, antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci. Menurut perhitungan WHO di negara negara maju tiap orang memerlukan air antara liter per hari. Sedangkan di negara negara berkembang, termasuk indonesia tiap orang memerlukan air antara liter per hari. Diantara kegunaan kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum (Effendi dan Hefni, 2003). Untuk memenuhi kebutuhan air, manusia dapat mengambil air dari dalam tanah, air permukaan, atau langsung dari air hujan. Dari beberapa sumber air yang ada, untuk memenuhi kebutuhan air dalam jumlah yang banyak bagi masyarakat, air permukaan dapat dimanfaatkan dengan melalui berbagai tahapan pengolahan. Hal ini dikarenakan jumlah ketersediaan air permukaan cukup banyak dan tidak memerlukan sistem pengolahan yang sulit. Air permukaan mengalami kontak dengan berbagai macam material yang dilalui sepanjang aliran sungai. Sehingga pada umumnya air permukaan mengandung polutanpolutanyang berasal dari limbah domestik dan limbah industri. Polutan yang sering ditemui pada air permukaan adalah besi. Keberadaan zat besi di dalam sistem penyediaan air minum domestik telah menjadi masalah yang serius sejak lama, karena pada umumnya besi berada dalam keadaan bervalensi dua. Adanya kandungan besi (Fe) dalam air menyebabkan warna air tersebut berubah menjadi kuning coklat setelah beberapa saat kontak dengan udara. Disamping menimbulkan gangguan kesehatan, juga menimbulkan bau yang kurang enak dan menyebabkan warna kuning pada dinding bak kamar mandi serta bercak-bercak kuning pada pakaian. Oleh karena itu, menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 Tahun 2002, kadar Fe dalam air minum maksimum yang diperbolehkan adalah 0,3 mg/l (Kusnaedi, 2006). Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dipikirkan teknologi yang dapat mereduksi kadar besi (Fe) dalam air permukaan sehingga dapat sesuai dengan standar yang berlaku. Ada tiga prinsip proses penghilangan besi yaitu pertukaran ion (ion exchange), proses secara biologis dan proses secara oksidasi. Yang umum digunakan pada sistem penyediaan air adalah proses oksidasi secara kimiawi, yaitu menaikkan tingkat oksidasi oleh suatu oksidator dengan tujuan merubah bentuk besi terlarut menjadi bentuk besi tidak terlarut (endapan) (Linsley, R. K, 1995). Penghilangan besi dalam air lebih baik bila digunakan sistem oksidasi menggunakan khlorin. Hal ini dengan pertimbangan bahwa besi mudah dioksidasi oleh khlorin, waktu kontak yang dibutuhkan sangat singkat, sehingga cocok untuk mengolah air permukaan dalam jumlah banyak dan berkelanjutan. Selain itu khlorin mudah didapat dipasaran dengan harga murah (Effendi dan Hefni, 2003). 2.METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : spektrofotometer seri Hach DR 2500, neraca analitis, mikro pipet 1-10 ml, mikro pipet 0,02-2 ml, labu takar 100 ml, beaker glass 1000 ml, beaker glass 100 ml, beaker glass 50 ml, jar tester, tabung reaksi dan stopwatch. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air baku (dari Sungai Garang dan Sungai Kreo), Natrium Hipoklorit (NaOCl), reagen FerroVer (for Fe total), reagen DPD free khlorin, aquadest. Penelitian dilakukan di laboratorium PT. Tirta Gajah Mungkur (TGM) Kota Semarang. Air baku diambil pada tanggal 23 Mei Prosedur penelitian Pembuatan natrium hipoklorit 10 % Menimbang larutan natrium hipoklorit secara analitis sebanyak 10 gram. Kemudian 173

182 masukkan larutan natrium hipoklorit ke dalam labu takar 100 ml. Tambahkan aquadest sampai volume 100 ml. Selanjutnya, kocok labu takar sampai larutan menjadi homogen Prosedur pengambilan air baku Mengambil sampel air pada kedalaman 20 cm dari permukaan air dengan menggunakan gayung. Kemudian bilas botol sampel dengan sampel sebanyak 2 3 kali. Lalu tampung sampel ± 1000 ml, kemudian tutup Prosedur analisa Fe total dalam air baku dengan spektrofotometer seri Hach DR 2500 Menekan tombol 'Hach Program', pilih program 265 Iron FerroVer, tekan Start. Isi sebuah sampel cell yang bersih dengan 10 ml sampel.tambahkan 1 sachet FerroVer Iron Reagent Powder Pillow ke dalam sampel cell (disebut sampel). Kocok supaya larut. Tekan lambang timer. Tekan OK. Waktu reaksi selama 3 menit akan dimulai. Ketika alarm timer berbunyi, letakkan sampel ke dalam ruang cell. Tekan Zero. Layar akan menampilkan 0.00 mg/l Fe. Lalu tekan Read. Hasilnya akan muncul dalam mg/l Fe Penyiapan air sampel Setelah air baku di ukur kadar Fe total, masukkan air baku dalam 8 beaker glass. Tambahkan masing masing air baku dengan Natrium Hipoklorit dengan kadar 5 mg/l, 10 mg/l, 15 mg/l, 20 mg/l, 25 mg/l, 30 mg/l, 35 mg/l, 40 mg/l, 45 mg/l dan 50 mg/l. Tempatkan semua sampel air baku dalam jar tester. Aduk beaker glass yang berisi sampel dengan kecepatan 50 rpm selama 30 menit Prosedur analisa Fe total dalam air sampel dengan spektrofotometer seri Hach DR 2500 Mengambil air sampel secukupnya. Tekan 'Hach Program', pilih program 265 Iron FerroVer, tekan Start.Isi sebuah sampel cell yang bersih dengan 10 ml sampel. Tambahkan 1 sachet FerroVer Iron Reagent Powder Pillow ke dalam sampel cell (disebut sampel). Kocok supaya larut. Tekan lambang timer. Tekan OK. Waktu reaksi selama 3 menit akan dimulai. Ketika alarm timer berbunyi, letakkan sampel ke dalam ruang cell. Tekan Zero. Layar akan menampilkan 0.00 mg/l Fe. Lalu tekan Read. Hasilnya akan muncul dalam mg/l Fe Prosedur analisa free khlorin dalam air sampel dengan spektrofotometer seri Hach DR 2500 Mengambil air sampel secukupnya. Tekan 'Hach Program', pilih program 80 Chlor. F & T, tekan Start. Isi sebuah sampel cell yang bersih dengan 10 ml sampel. Tambahkan 1 sachet DPD Free Khlorin Powder Pillow ke dalam sampel cell (disebut sampel). Kocok sampel cell selama 20 detik supaya bercampur homogen. Tekan lambang timer. Tekan OK. Waktu reaksi selama 1 menit akan dimulai. Ketika alarm timer berbunyi, letakkan sampel ke dalam ruang cell. Tekan Zero. Layar akan menampilkan 0.00 mg/l Cl 2. Lalu tekan Read. Hasilnya akan muncul dalam mg/l Cl 2. 3.HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi awal kandungan Fe total pada sampel air Sungai Garang adalah 4,11 mg/l. Adapun pengaruh penambahan Natrium Hipokhlorit terhadap Free Khlorin, Fe Total dan efektivitas penghilangan besi pada sampel air Sungai Garang tersaji pada Tabel 1 dan Gambar

183 Tabel 1. Pengaruh penambahan NaOCl terhadap Free Khlorin, Fe Total dan efektivitas penghilangan Fe pada sampel air Sungai Garang Gambar 1. Grafik pengaruh penambahan NaOCl terhadap efektivitas penghilangan Fe dalam sampel air Sungai Garang Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 1 diperoleh bahwa semakin tinggi penambahan kadar Natrium Hipokhlorit maka semakin menurun kadar Fe totalnya, dan mencapai kondisi break point pada penambahan kadar khlorin 30 mg/l. Untuk Sungai Kreo, kondisi awal kandungan Fe total sebesar 6,35 mg/l. Pengaruh penambahan Natrium Hipokhlorit terhadap Free Khlorin, Fe Total dan efektivitas penghilangan besi pada sampel air Sungai Kreo tersaji pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2. Pengaruh penambahan NaOCl terhadap Free Khlorin, Fe Total dan efektivitas penghilangan Fe pada sampel air Sungai Kreo 175

184 Gambar 2. Grafik pengaruh penambahan NaOCl terhadap efektivitas penghilangan Fe dalam sampel air Sungai Kreo Berdasarkan hasil analisis yang tersaji pada Tabel 2 diperoleh bahwa semakin tinggi penambahan kadar Natrium Hipokhlorit maka semakin menurun kadar Fe totalnya, dan mencapai kondisi break point pada penambahan kadar khlorin 40 mg/l. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa Khlorin dalam hal ini menggunakan Natrium Hipokhlorit efektif dalam penghilangan Fe. Hal ini dapat dilihat dari prosentase penghilangan Fe yang semakin meningkat hingga mendekati 100 %. Semakin besar penambahan Khlorin maka kadar Fe semakin turun, ini dikarenakan terjadinya proses oksidasi. Dalam hal ini Natrium Hipoklorit berperan sebagai oksidator, dengan tujuan mengubah bentuk besi terlarut menjadi besi endapan. Kelarutan dari bentuk Fe (III) trihidroksida adalah lebih rendah (mudah mengendap) dibandingkan dengan senyawa Fe (II) dihidroksida. Reaksi yang terjadi sebagai berikut : 2Fe 2+ + NaOCl + 2H + 2Fe 3+ + NaCl + H 2O Dengan penambahan Khlorin maka kadar Fe semakin turun, hingga kadar Fe konstan. Kondisi ini dinamakan break point. Break point adalah suatu kondisi reaksi yang mencapai titik konstannya, sehingga dengan penambahan pereaksi tidak mempengaruhi reaksi selanjutnya. 4.KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa Khlorin sangat efektif digunakan untuk menurunkan kandungan Fe dalam air. Dengan semakin besar penambahan kadar Khlorin maka kandungan Fe total semakin menurun sehingga efektivitas penghilangan Fe semakin tinggi. Dari penelitian diperoleh kadar optimum Khlorin untuk sampel air Sungai Garang sebesar 30 mg /L dan sampel air Sungai Kreo sebesar 40 mg/l. DAFTAR PUSTAKA Effendi dan Hefni, (2003), Telaah Kualitas Air : Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Yogyakarta : Kanisius Kusnaedi, (2006), Mengolah Air Gambut dan Air Kotor Untuk Air Minum, Jakarta : Penebar Swadaya Linsley, R. K, (1995), Teknik Sumber Daya Air.Edisi Ketiga. Jilid 2. Jakarta : Erlangga 176

185 Target Hazard Risks of Lead due to Aquatic Habitats and Food Consumption among Community in Makassar Coastal Area of South Sulawesi, Indonesia Anwar Mallongi 1, Ruslan La Ane 2, Agus Bintara Birawida 3 1 Department of Environmental Health, Hasanuddin University, 90245, Makassar, Indonesia, anwarmallongi@unhas.ac.id 2Department of Environmental Health, Hasanuddin University, 90245, Makassar, Indonesia, ruslan_fkm@yahoo.com 3 Department of Environmental Health, Hasanuddin University, 90245, Makassar, Indonesia, agusbirawida@gmail.com Abstract Background: Distribution of Lead for certainty of their suitability for consumption and other domestic uses from the sea water; bottom sediment, biota for anadara trapecia sp. and crab were widely polluted the coastal area of Makassar. This research aimed to investigate the lead (Pb) accumulation both in aquatic and terrestrial habitats and assess the potential target hazard risks (THQ) of seafood and food consumption from the coastal area of Makassar. Materials and Methods: Water column, sediment, shellfish (anadara trapecia.sp and crab) soil and snack food samples were collected in one time collection. Then, in terrestrial we collected surface soil and snack food sold in the school children. Those samples were analyzed using Varian AA240FS Atomic Absorption Spectrophotometer. In addition, the potential health risks assessment were determined using target hazard quotient (THQ) equation from EPA formulation. Results : Results revealed that the lead distribution concentration in aquatic in water column, sediment, shells, crab, were ranged from 0.12 to 0.21 mg L -1, 6.03 to 8.00 mg kg - 1 dw, and 1.22 to 2.90 mg kg -1 ww, 1.02 to 2.91 mg kg -1 ww, respectively whereas in the terrestrial of surface soil and school snack were range from and 5.00 to mg kg -1 dw and 0.01 to 0.90 mg kg -1, respectively. The magnitude values of target THQ for water column, shellfish and crab were in the range of to 0.035, to 0.041, to 0.038, respectively whereas THQ of school snack food was in the range of to Conclusion: All those levels have not been exceeded the limit standard or THQ < 1 for potential health risks which mean safe for consumption for the temporarily period, however due to the accumulation of Pb contamination communities are suggested to limit these aquatic protein sources. Keywords Water column, sediment, shells, surface soils, snack food, target hazard quotient 1. Introduction The large amount of Lead disposed to the coastal water environment generate a hazard both to the environment and human being around the coastal. The accumulation of lead in the aquatic biota may become neurotoxin and accumulative which then potentially hazard for the higher consumers including human being as the highest consumer. The specific target of lead poisoning come to young children where lead can cause a decrease in the ability of the brain, whereas in adults it may cause interference of high blood pressure and other tissue toxicity [1]. Study shown that any increase in the levels of lead in the blood of 10 ug / dl led to a decrease in IQ of 2.5 points or IQ scores [2]. Any exposure to air polluted by lead 1 ug / m3 likely to contribute 2.5 to 5.3 mg / dl in the blood of the person that is in place. Lead is taken into the body is normally 0.3 mg / 100cc per day, if the intake of lead 177

186 2.5 mg / day then it took 3-4 years to get the toxic effects. If the intake of lead 3.5 mg / day, it takes only a few years intoxication. Demographic factors such as housing location, housing physic, a trip to the school and the type of vehicles to the school has a critical influence on blood lead levels. Research conducted by Khidri, et al [3] revealed street children and kindergarten children in Makassar (90%) of which contain concentrations of lead in their blood above the 10% threshold and the other had a lead concentration 10 mg / dl in their blood. The average content of lead in children's blood were examined was 23,96μg / dl. Research conducted in the city of Ambon by Mulyadi, et al on the transport driver city show that there were 47% of respondents had concentration of lead in their blood exceeds the normal limit of> 40 g / 100 ml and the concentration of hemoglobin below normal was <13 g / 100 ml. Results of research conducted by Ratna Sari Dewi [4] shows the difference in average air lead concentrations in densely populated areas of vehicles of 2.05 ug / m3 were slightly past the Environmental Quality Standards and the area is not densely vehicle average lead concentration is still below the air quality standard environment that is 0.10 ug / m3. The average difference in blood lead concentration on traders in overcrowded vehicles by mg / 100 ml and the area is not congested vehicles by mg / 100 ml. The average difference in blood hemoglobin concentration in a congested area merchants vehicles g / 100 ml and the area is not densely vehicles by mg / 100 ml. The research from various countries indicate that Indonesia, especially the city of Makassar are not safe from the dangers of lead. Pb may cause symptoms of poisoning vary between children and adults, as well as the source and type of contamination, even low doses of lead toxicity also have permanent effects on children [5,6]. Therefore, comprehensive study of lead needs to be done. Using a spatial analysis of distribution in the environment, determines the health risks of coastal communities of Makassar and build a model of integration of environmental effect relationships of lead on human health. The approach is a solution to make the policy of prevention and prediction of decreased levels of lead, so as not to spread widely and cause health effects, especially a decrease in IQ that would lower the index of children's education is getting worse from year to year. 2. Materials and Methods 2.1 Study Design This survey method applied two approaches; environmental risks and spatial model by using cross sectional design Study: it study the dynamics of the correlation between risk factors with effects at the same time and the execution of measurements conducted shortly "point time [7]. 2.2 Location and Time Research The location of this research conducted coastal area of Makassar. The choice of location carried out in five districts namely coastal districts, Tamalate, Mariso, Ujung Tanah, Tallo and Biringkanaya. These districts represent nine coastal districts in the city of Makassar, which is indicated exposed to heavy metals lead. 2.3 Environmental Data Collection Aquatic Sampling Process Samples of seawater, sediment, shellfish, taken on the basis of the sampling sites have been determined using the Global Positioning System (GPS). We collected samples from eight stations with three repetitions. Seawater samples inserted into the sampling bottle made of plastic with 100 ml, Sediment put into a sterile plastic of 100 grams, and shells to be put into a sterile plastic with tail. Furthermore examined levels of lead using AAS method in the laboratory Terrestrial sampling process Air Sampling Air samples taken at each station is done for 3 consecutive days morning, noon, and evening. Particles in the air captured by using high volume air samplers (High Volume Air 178

187 Sample) and a filter or filter media. Pb contained in these suspended particles in the destruction by using acid solvents, and then measured by Atomic Absorption Spectrophotometer Sample Dust Measurement of respirable dust using a Personal Dust Sampler (PDS) which contains paper filter that will catch dust that expose to children. This tool is equipped with a pump that will suck the dust out of the air into the filter by using a specific flow rate. Personal Dust Sampler (PDS) is a tool used to measure the concentration of dust among school children, principle of sucking the air with a certain speed (1.7 liters / minute) through a paper filter so that air through the pipeline will be filtered by a filter that has a certain weight. PDS types used in this study are the type SKC-224 models PCXR8. 46 made in Germany. Soil Sample In this study used the land taken from five elementary schools divided into five three stations. Soil sampling at each elementary taken three different locations and at each location were taken three points then at any point in doing the repetitions. Soil samples were taken to a depth of 10 cm - 20 cm. Before taken the land cleared of litter, gravel / rock, grasses, and also roots. Equipment used to take soil samples comprising: a small shovel, navy (screwdriver), spoons, filters soil (sieve), measuring the depth of the soil (the crossbar), buckets of places to sift the soil, containers for storing soil samples were filtered and some plastic bags to store, samples collected immediately taken to the Laboratory for analysis. Samples and school food Snacks School snacks food Samples were taken at eight stations with three repetitions in each district adjacent to the air and soil sampling. 3. Results and Discussion Analysis of the data can be explained that in the city of Makassar there is considerable industrial watersheds and Tallo, especially the food industry and wood, bamboo, rattan. Total industry is closely related to the pollution load of the industry. Table 1 shows that the average lead (Pb) in the water, the sea has different variations, it appears that the average value is highest at the station at 0:19 8. districts Tallo mg / l, while the lowest in the sub-district station 1 Tamalate 0.12 mg / l. Table 1. Ditribution of Lead in Air, Sediment, anadara and soil in four districts No Variable St 1 Tmlt St 2 tmlt St 3 mriso St 4 mriso St 5 UT St 6 UT St 7 TLo Stations 1 Air [mg / ml) Sediment (mg / g) Anadara (mg / g) Soil (mg / g) St 8 Tlo Based on the analysis of spatial distribution of metals in the sediment with pb with kriging interpolation method shows that the highest distribution pattern of Pb was in station 3 around Mariso districts then in Tallo coastal and lowest Pb concentration was in Tamalate District. While the analysis of the spatial distribution of metals in shells with pb method is seen that the distribution pattern of high Pb was station 4 Mariso districts around the then coastal waters Tallo and lowest districts was Tamalate District with 5:00 to 7:20 mg / g. Based on the analysis of spatial distribution of Pb metals in the air with kriging method 179

188 is seen that the distribution pattern pb risen around the elementary school and then elementary school districts Tallo Tamalate coastal districts and the lowest in the sub-district that is in the fishing village Biringkanaya Untia can be seen from figure 1. Table 2. Distribution of Pb in Air at Elementary School Neighborhood Coastal Makassar Location (Districts ) n Mean Minimum Maximum Tamalate 8 0,626 0,132 1,204 Mariso 8 0,493 0,141 1,622 Ujung Tanah 8 1,191 0,239 2,365 Tallo 8 1,634 0,863 2,111 Deviation standard 0,325 0,474 0,812 0,469 Figure 1. Spatial distribution pattern Pb Air 3. Spatial Distribution Pattern Pb school snacks Table 3 shows that the average lead at hawker has different variations, especially in the districts Tallo, Mariso, and Biringkanaya. The average value is highest in districts Tallo of mg / kg, while the lowest in the districts Tamalate of 0,074 mg / kg. Based on the analysis of Pb spatial distribution of surface soil shown that high around the station 4 in the district Tallo followed by Tamalatea districts of the coastal and the lowest in Ujung Tanah district. Another study indicated Childhood exposure to lead remains a critical health control problem in the US. Integration of Geographic Information Systems (GIS) into childhood lead exposure studies significantly enhanced identifying lead hazards 180

189 in the environment and determining at risk children. [8] Table 3. Distribution of Pb on school snack food in the Basic school Location (Districts ) n Mean Minimum Maximum Tamalate ,08 0,99 Mariso ,23 0,79 Ujung Tanah ,97 1,30 Tallo ,20 0,80 Deviation standard 0,294 0,345 0, Review of the recent literature on GIS-based studies suggests that numerous environmental risk factors might be critical for lead exposure. New GIS-based studies are used in surveillance data management, risk analysis, lead exposure visualization, and community intervention strategies where geographically-targeted, specific intervention measures are taken. [9]. Among children in Chicago Public Schools (CPS), the severity of the effects of BLL on reading and math vary by racial subgroup (White vs. Hispanic vs. non-hispanic Black) [9] Presented data of lead content in the collected Air samples and school snack provide proof of the general pollution of lead at the Coastal of Makassar city. Obtained data were measured in relation to ambient air and frequently consumed school snack. Lead concentrations in far away from the source decreased with the increase of distance, whereas no significant correlation was found between lead levels in the muscle tissue and the length of both species [10-14]. Other results indicate contamination of these fish foods by lead with mean values varying from 8.0±0.8 to 12.5±1.6 mg kg 1. The food processing technique accounted for up to seven times increase in fish lead levels. [1.12, 15] Target Hazard Quotient (THQ) The methodology for estimation of target hazard quotient (THQ) although does not provide a quantitative estimate on the probability of an exposed population experiencing a reverse health effect, but it offers an indication of the risk level due to pollutant exposure. 21 This method was available in US EPA Region III Risk based concentration table 4. Station Table 4. Target Hazard Question (THQ) for water column, sediment, shells and school snack from Makassar coastal area, Sulawesi Selatan, Indonesia Target Hazard Quotient (THQ) Location Water Shellfish School column (Anadara Crab snack Trapezia sp.) 181

190 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 Upstream, Tamalate (23 km) from Mks city Upstream, Tamalate (18 km) from Mks city Upstream, Mariso (15 km) from Mks city Upstream, border in the West of Mks city At the west Ujung Tanah, 10 km of mks city Near shopping and entertainment center Close to the river mouth in the North Close to river mouth to the North Table 4 shows, the value of THQ for water column, shell, crab and school snack consumption were ranged from to 0.035, to 0.041, to and from to respectively. The highest THQ value observed in St.5 and St.6 where open market and community dwelling are located. In general, consumption of shell and crab is an important source of exposure to lead for humans. Communities are suggested to consume those contaminated aquatic habitat not regularly and in small amount. Conclusion The concentration of lead both in aquatic and terrestrial systems have been exceeded the allowable level for environmental standard and for lead in food standard. Although the magnitude of THQ values were still lower than 1, that means still safe for all those food to be consumed, it may produce hazard for long period of consumption due to the accumulation and biomagnifications process in the living aquatic habitats. ACKNOWLEDGEMENTS Authors would like to appreciate and would like to thank the head of Tallo district who have given a very kind cooperation during the research commencement. Hence, we also thank to laboratory members of chemical laboratory, Health Laboratories Makassar, Indonesia for their assistance during sample collection and analysis. Appreciation also goes to the Hasanuddin University, Makassar South Sulawesi for partly financial support within this study. References [1] Anwar Mallongi, Veni Hadju, Ruslan La Ane, Agus Bintara Birawida, A.L. Rantetampang, Moehammad Iqbal Sultan, M. Nadjib Bustan, Hasnawati Amqan, Noer Bahri Noor and Apollo, Assessing the Target Hazard Risks of Cadmium Pollutant due to Consumption of Aquatic Biota and Food Snack Among School Children in Tallo Coastal Area of Makassar. Research Journal of Toxins, 9: 1-7. [2] Widowati, dkk Efek Toksik Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran.Penerbit C.V ANDI OFFSET. Yogyakarta. [3] Khidri, Kadar Timbal dalam darah Anak-anak di Kota Makassar, (Online), ( diakses 10 februari 2012). [4] Dewi, Ratna Sari, Djajakusli Rafael, Abdullah, M. Tahir, Analisis Kadar Timbal Udara, Timbal Darah Dan Dampaknya Terhadap Kadar Hemoglobin Pedagang Pasar Di Ambon. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Vol 5, No 3 (2009): Vol. 5 Nomor 3, 2009 page [5] Palar, H Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta 182

191 [6] Pohan, D. D., Analisis Timbal (Pb) dan Tingkat Pengetahuan Orang Tua dan Guru Tentang Timbal (Pb) Pada Mainan Edukatif Balita di Taman Kanak -Kanak (TK) Kecamatan Medan Denai Tahun Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Medan [7] Notoadmodjo, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta [8] Akkus, C., & Ozdenerol, E. (2014). Exploring Childhood Lead Exposure through GIS: A Review of the Recent Literature. International Journal of Environmental Research and Public Health, 11(6), [9] Blackowicz, M., Hryhorczuk, D., Rankin, K., Lewis, D., Haider, D., Lanphear, B., & Evens, A. (2016). The Impact of Low-Level Lead Toxicity on School Performance among Hispanic Subgroups in the Chicago Public Schools. International Journal of Environmental Research and Public Health, 13(8), 774. [10] Fifi, U., T. Winiarski and E. Emmanuel, Assessing the mobility of lead, copper and cadmium in a calcareous soil of Port-au-Prince, Haiti. Int. J. Environ. Res. Public Health, 10: [11] Hasmi and A. Mallongi, Health risk analysis of lead exposure from fish consumption among communities along Youtefa Gulf, Jayapura. Pak. J. Nutr., 15: [12]Department of Environmental Management and The Cleanliness of Makassar, Database environmental status of Makassar Department of Environmental Management and Cleanliness of Makassar, Makassar. [13] Kim, Y.M., J.Y. Chung, H.S. An, S.Y. Park and B.G. Kim et al., Biomonitoring of lead, cadmium, total mercury and methylmercury levels in maternal blood and in umbilical cord blood at birth in South Korea. Int. J. Environ. Res. Public Health, 12: [14] Nevarez, M., L.O. Leal and M. Moreno, Estimation of seasonal risk caused by the intake of lead, mercury and cadmium through freshwater fish consumption from urban water reservoirs in arid areas of Northern Mexico. Int. J. Environ. Res. Public Health, 12: [15] Achmadi, Umar Fahmi Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta 183

192 KORELASI FAKTOR IKLIM TERHADAP ANGKA KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA MALANG TAHUN Misbahul Subhi STIKES Widyagama Husada Malang Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi kondisi iklim (suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan) dengan kasus DBD di Kota Malang pada tahun Penelitian ini bersifat analitik observasional menggunakan desain studi ekologi menurut waktu. Data yang digunakan berupa data sekunder. Laporan kasus DBD bulanan selama tahun diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Malang. Data iklim bulanan selama tahun diperoleh dari BMKG Karangploso Malang. Rata-rata bulanan dari kelembaban, curah hujan dan suhu dan jumlah kasus DBD dianalisis secara univariat dan bivariat. Koefisien korelasi pearson digunakan untuk mengetahui korelasi antara kasus DBD dengan semua faktor iklim. Hasil dari analisis bivariat menunjukkan kekuatan korelasi faktor iklim dengan kasus DBD. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kelembaban dengan kasus DBD (r=0,411,p=0,014). Suhu udara (r=0,073, p=0,676) dan curah hujan (r=0,172, p=0,317) tidak berkorelasi signifikan dengan kejadian DBD. Kata kunci : DBD, Iklim PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dengue (DENV 1 4) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk betina dari spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD juga disebut sebagai breakbone fever atau demam sendi, karena demam tersebut dapat menyebabkan penderitanya mengalami nyeri hebat seakan akan tulang mereka patah. Gejala DBD ditandai antara lain demam, sakit kepala berat, sakit pada otot, nyeri pada sendi, bercak merah di kulit, leucopenia dan thrombocytopenia (WHO, 2015). Jumlah kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia merupakan salah satu negara endemik DBD yang setiap tahun selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di berbagai kota dan setiap lima tahun sekali terjadi KLB besar. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009 (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010). Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD dilaporkan sebanyak kasus dengan jumlah kematian 871 orang ( Incidence Rate/Angka Kesakitan = 45,85 per penduduk dan CFR/Angka kematian = 0,77%). Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar kasus dengan IR 37,27 dan tahun 2011 dengan kasus dan IR 27,56 (Kemenkes RI, 2014). DBD merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. DBD juga sudah menjadi masalah yang rutin dihadapai setiap musim hujan. Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD di Jatim sebanyak orang dan pada tahun 2014 terdapat penderita DBD. Pada awal tahun 2015, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan 11 kabupaten dan kota berstatus kejadian luar biasa atau KLB DBD. Akhir bulan januari 2015 terdapat penderita DBD dengan 25 penderita meninggal. Pada periode yang sama pada Januari

193 hanya ada 975 kasus DBD. Jumlah penderita DBD di 11 kabupaten/kota yang ditetapkan KLB di tahun 2015 meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2014 (Hakim, 2015). Kota Malang adalah salah satu kota yang berada di provinsi Jawa Timur yang memiliki angka kejadian DBD yang cukup tinggi. Curah hujan yang tinggi disertai dengan semakin meningkatnya kepadatan penduduk dapat meningkatkan potensi meningkatnya angka DBD di Kota Malang. Pada tahun 2014 penderita DBD di kota Malang sebanyak 409 orang dan menempati urutan ke 5 penyakit menular terbanyak yang terjadi di kota Malang (BPS Kota Malang, 2015). Penyakit DBD sampai saat ini belum sepenuhnya dapat dikendalikan, angka kesakitan selalu berfluktuasi disertai dengan KLB (Kejadian Luar Biasa) secara sporadik. Obat dan vaksin pencegah DBD belum ditemukan, jadi manajemen penyakit ini bergantung pada pengendalian vektor seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), program 3M dan penggunaan insektisida. Program pencegahan dan pemberantasan DBD yang dirancang pemerintah pada kenyataannya belum mampu menurunkan jumlah angka kejadian dan mempersempit luas wilayah penyebaran penyakit di daerah penelitian dan hal ini menunjukkan bahwa langkah antisipasi belum berjalan baik karena penanggulangan masih bersifat reaktif (Ariati & Anwar, 2014). Usaha pengendalian vektor berhasil membasmi populasi nyamuk di beberapa wilayah, namun cara ini terbukti sulit dipertahankan dalam jangka panjang, salah satu penyebabnya adalah kondisi iklim yang tidak mendukung (Hales, et al., 2002). Usaha pengendalian vektor gagal untuk menghentikan peningkatan kejadian epidemi DBD dan perluasan daerah penularannya (Gubler, 1998). Untuk mencegah kejadian KLB DBD kembali terulang maka diperlukan sistem surveilans dan pengendalian DBD yang dilengkapi dengan kemampuan memprediksi epidemi yang efektif dan efisien (Hii, 2013). Identifikasi awal epidemi DBD adalah langkah yang penting dalam mengimplementasi kebijakan intervensi yang efektif untuk mengendalikan persebaran penyakit dan mengurangi angka kematian dan kesakitan pada manusia. Distribusi geografis dan musiman penyakit DBD berhubungan dengan sistem iklim, oleh karena itu terbuka kemungkinan untuk menggunakan parameter iklim sebagai indikator prediktif di dalam sistem deteksi dini penyakit DBD. Sistem deteksi dini DBD yang berbasis iklim dapat digunakan untuk memperbaiki kesiapan, respon dan mitigasi KLB DBD (WHO, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan faktor iklim dengan kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Malang pada tahun yang berperan penting dalam memahami dampak potensi perubahan iklim dan memberi informasi kepada pembuat kebijakan di Kota Malang untuk memberi prioritas terhadap tindakan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Pengkajian pengaruh iklim, terutama variabel suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan dengan kejadian DBD di wilayah Kota Malang masih terbatas sehingga informasi iklim belum digunakan dengan optimal sebagai informasi dalam mengambil tindakan preventif terhadap kasus DBD. PEMBAHASAN Hubungan Suhu dengan Kejadian DBD Hasil analisis korelasi antara suhu udara dengan kasus DBD di Kota Malang pada tahun menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Glenn dan Sia (2008) di Kota Manilla, Filipina tahun menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian DBD dengan suhu udara. Dan penelitian oleh Yasin (2012) yang tidak menemukan hubungan yang bermakna antara suhu udara dengan insiden DBD di Kota Bogor tahun Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil yang dilakukan oleh Sitorus (2003) memperlihatkan bahwa suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan kasus DBD. Dan Priyani (2012) yang menemukan adanya korelasi kuat antara suhu udara dengan kasus DBD di Kota Depok di tahun 2008 dan Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu dengan angka insiden DBD mungkin disebabkan karena suhu udara rata-rata per bulan yang berkisar antara 22,2 25,7 185

194 C kurang mendukung dalam proses perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dan untuk penularan virus dengue dibutuhkan suhu optimal C. Suhu udara rata rata di Kota Malang selama kurun waktu adalah 23,96 C sehingga berada dibawah suhu optimal perkembang biakan nyamuk Aedes aegypti. Tidak adanya hubungan yang signifikan juga dapat disebabkan oleh antara lain upaya pencegahan dan pemberantasan DBD oleh Dinas Kesehatan setempat, kepadatan penduduk yang meningkat dan perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan program pencegahan DBD sehingga sarang nyamuk dapat terus tumbuh. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tidak adanya hubungan antara suhu dengan insiden DBD. Menurut Dini (2010), meskipun suhu udara di wilayah tersebut merupakan suhu optimal dan menyebabkan jumlah vektor meningkat, tetapi terdapat kemungkinan bahwa vektor nyamuk yang ada meningkat dan tidak infektif sehingga tidak berpengaruh pada peningkatan angka insiden DBD. Menurut Yasin (2012) hubungan yang tidak bermakna dapat disebabkan karena variasi suhu yang tidak banyak berfluktuatif/ relatif konstan, hal ini dapat dilihat bahwa suhu di Kota Malang sendiri selama kurun waktu relatif konstan yakni berada di kisaran C. Suhu yang relatif konstan ini karena Kota Malang yang beriklim tropis sehingga sangat jarang terjadi fluktuasi suhu. Program pencegahan dan pemberantasan nyamuk yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan juga berperan dalam menurunkan angka kejadian DBD di akhir tahun (BMKG Malang, 2015). Hubungan Kelembaban dengan Kejadian DBD Hasil analisis korelasi antara kelembaban udara dengan kasus DBD di Kota Malang pada tahun menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Rata rata kelembaban udara di Kota Malang tahun adalah 82%. Hasil ini menunjukkan bahwa kelembaban rata rata yang ada di Kota Malang cukup tinggi. Hasil ini berbeda dengan Priyani (2012) yang tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kejadian DBD. Kelembaban dapat mempengaruhi umur nyamuk. Sistem pernapasan nyamuk menggunakan pipa pipa udara yang disebut trachea dengan lubang lubang pada dinding nyamuk yang disebut spiracel. Pada saat kelembaban rendah maka spiracel akan terbuka lebar tanpa ada mekanisme yang mengaturnya, sehingga menyebabkan penguapan air dalam tubuh nyamuk cepat payah. Pada kelembaban kurang dari 60%, maka hidup nyamuk akan pendek dikarenakan tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk (Ariati dan Anwar, 2014). Kelembaban tinggi berhubungan dengan meningkatnya aktivitas makan nyamuk Aedes aegypti, selain itu juga berhubungan dengan ketahanan dan perkembangan telur nyamuk (Morin, 2013). Vektor penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti menyenangi kondisi lingkungan dengan kelembaban yang cukup tinggi. Secara umum Kota Malang memiliki kelembaban yang cukup bagus bagi kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti. Dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD perlu memperhatikan faktor kelembaban udara sehingga diharapkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota agar membangun kerja sama lintas sektoral dengan instansi lain seperti BMKG yang mengamati perubahan variasi iklim seperti perubahan suhu, kelembaban, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan perubahan fisik lingkungan sehingga bisa diantisipasi peningkatan kasus DBD yang akan terjadi. Menurut Dirjen P2PL Kemenkes RI, kelembaban tinggi di kisaran 85% akan memperpanjang umur nyamuk dan meningkatkan penyebarannya. Diketahui bahwa kelembaban udara rata rata tahunan di wilayah Kota Malang berkisar antara % yang merupakan kelembaban udara rata rata optimum untuk perkembangan nyamuk Aedes aegypti. Dengan kondisi kelembaban tersebut, nyamuk betina dapat hidup 104 hari dan nyamuk jantan selama 68 hari (Ariati & Anwar, 2014). Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian DBD Hasil analisis korelasi antara curah hujan dengan kasus DBD di Kota Malang 186

195 menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna. Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Dini (2010) dan Priyani (2012) yang tidak menemukan hubungan bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD. Hasil ini berbeda dengan penelitian Febriasari (2011), Iriani (2012), Yasin (2012), dan Yudhastuti (2013) yang menemukan hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan kejadian DBD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barera (2011) mengenai dinamika populasi nyamuk Aedes aegypti mendapatkan hasil selama musim kering ditemukan lebih banyak larva nyamuk daripada di musim hujan dan keberadaan larva nyamuk tersebut berkorelasi positif dengan tingkat kejadian DBD yang terjadi pada akhir musim hujan. Rata rata curah hujan di Kota Malang tahun adalah 201,8 mm. Pada musim kemarau, tidak terjadi hujan sama sekali sehingga curah hujan rata rata bulanan dapat mencapai angka 0. Hujan dapat berpengaruh langsung terhadap keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti. Curah hujan yang sangat tinggi dapat mengakibatkan banjir yang merusak tempat perindukan nyamuk (Morin, et al., 2013). Hal ini dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk sehingga populasi vektor nyamuk dapat berkurang. Jika terjadi hujan yang tidak deras dalam durasi yang lama akan meningkatkan tempat perindukan nyamuk (Ariati & Anwar, 2014). Bila dilihat dari data rata rata bulanan bisa dikatakan bahwa pada musim kemarau jumlah penderita DBD relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan musim penghujan. Biasanya lonjakan kejadian DBD akan terjadi selama dan setelah musim penghujan. Pada umumnya peningkatan kasus DBD akan terjadi pada bulan Januari hingga bulan Juni. Kejadian DBD pada awal tahun cukup tinggi karena banyak terbentuk genangan genangan air yang terjadi pada musim penghujan sehingga menjadi habitat perkembangbiakan bagi jentik Aedes aegypti. Tetapi memasuki bulan Juli penurunan kasus rata rata sering terjadi seiring berjalannya musim kemarau sampai bulan Oktober. Menurut Sukowati (2010) bahwa Indeks Curah Hujan (ICH) tidak secara langsung mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, tetapi berpengaruh terhadap curah hujan ideal. Curah hujan ideal adalah air hujan yang tidak sampai menimbulkan banjir dan air menggenang di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang aman dan relatif lebih bersih. Tersedianya air dalam media akan menyebabkan telur nyamuk menetas dan setelah 10 sampai 12 hari akan berubah menjadi nyamuk. Jika hanya memperhatikan faktor resiko curah hujan, maka waktu yang dibutuhkan dari mulai masuk musim hujan hingga terjadinya kejadian DBD adalah sekitar 3 minggu (Ariati & Anwar, 2014). Hujan berpengaruh langsung pada keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti. Jika curah hujan rendah terjadi dalam periode yang lama akan meningkatkan keberadaan sarang nyamuk dan populasi nyamuk akan meningkat. Namun, curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir, yang akan mengurangi jumlah sarang nyamuk Aedes aegypti (Halide & Ridd, 2008). Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa korelasi yang didapatkan pada penelitian ini tidak terlalu kuat. Habitat nyamuk berkembang pada musim hujan dan berkurang pada musim kemarau (Kolivras, 2010). Efek curah hujan terhadap prevalensi dengue sangat penting untuk diteliti karena diperlukan sebagai alat untuk meramalkan variasi insiden dan risiko yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim (Iriani, 2012). Klasifikasi Mohr tentang curah hujan menyatakan pengaruh curah hujan terhadap iklim dapat mengakibatkan kondisi yang berbeda yaitu bulan basah dan bulan kering. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan rata - rata sebesar atau sama dengan 200 mm. Sementara bulan kering adalah bulan dengan curah hujan rata - rata kurang dari 60 mm. Untuk bulan yang memiliki curah hujan mm adalah bulan lembab (Priyani, 2012). BMKG mengklasifikasikan curah hujan rendah antara mm, curah hujan menengah mm, curah hujan tinggi mm dan curah hujan sangat tinggi > 400 mm (BMKG Malang, 2015). Terjadinya pergeseran musim hujan setiap tahun mengakibatkan tidak bisa ditetapkannya waktu musim hujan. Hal ini mengindikasikan pemberantasan 187

196 penyakit DBD tidak bisa difokuskan pada satu periode waktu tertentu, baik periode sebelum masa penularan maupun periode puncak kejadian. Dengan demikian, penyelenggaraan fogging masal, abatisasi selektif, dan pemantauan jentik berkala yang ditetapkan pada bulan yang sama setiap tahun tidaklah efektif dilakukan sebagai langkah pencegahan peningkatan kejadian DBD (Handayani, 2012). PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu udara dengan insiden DBD di Kota Malang selama kurun waktu (r = 0,073, p = 0,676). 2. Kelembaban udara mempunyai hubungan yang bermakna dengan insiden DBD di Kota Malang selama kurun waktu (r = 0,411, p = 0,014). 3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan insiden DBD di Kota Malang selama kurun waktu (r = 0,172, p = 0,317). Adanya hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan insiden DBD di Kota Malang menandakan perlunya kerjasama lintas sektor yang terjalin antara Dinas Kesehatan Kota Malang dengan BMKG Karangploso Malang sebagai landasan untuk membuat keputusan terkait program pencegahan penyakit DBD di Kota Malang. DAFTAR PUSTAKA Ariati, J. & Anwar, A. (2014). Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim Di Kota Bogor, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kesehatan, 42 (4), pp BPS Kota Malang. (2015). Badan Pusat Statistik Kota Malang. [Online] Available at: /linktabelstatis/ view/id/455[accessed 18 May 2015]. Fidayanto, R. (2012). Model Pengendalian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor Iklim Di Kota Surabaya. Skripsi: Universitas Airlangga. Gubler, D. (1998). Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Review, XI (3), pp Hakim, M. A. F. (2015). kompas.com. [Online] Available at: kompas.com/read/2015/01/26/ /k ejadian.luar.biasa.demam.berdarah.di.jaw a.timur [Accessed ]. Hales, S., Wet, N. d., Maindonald, J. & Woodward, A. (2002). Potential Effect of Population And Climate Change On Global Distribution of Dengue Fever : an Empirical Model. The Lancet, 360 (9336), pp Halide & Ridd. (2008). A Predictive Models For Dengue Hemorrhagic Fever Epidemics. International Journal of Environmental Health, 18(4), pp Handayani, P. (2012). Hubungan Antara Faktor Iklim dan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah DKI Jakarta Tahun Skripsi: Universitas Indonesia. Hii, Y. L. (2013). Climate and Dengue Fever : Early warning based on temperature and rainfall. Umea: Umea University. Iriani, Y. (2012). Hubungan Antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang. Sari Pediatri, 13(6), pp Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun Jakarta: Kemenkes RI. Kolivras. (2010). Changes in Dengue Risk Potential in Hawaii, USA, Due TO Climate Variability and Change. Climate Res, 42(1), p. 11. Maslukha, S. (2010). Hubungan Perubahan Parameter Iklim Akibat Global Warming Dengan Kasus Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Sidoarjo. Skripsi: Universitas Airlangga. 188

197 Morin, C., Comrie, A. & Ernst, K. (2013). Climate and Dengue Transmission: Evidence and Implication. Enveronmental Health Perspective, Volume 121, pp Pohan, Z. (2014). Hubungan Iklim Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Palembang Tahun Skripsi: Universitas Sriwijaya. Priyani, E. O. (2012). Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Kota Depok, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor Tahun Skripsi: Universitas Indonesia. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI (2010). Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, pp Sukowati, S. (2010). Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume II, pp Yudhastuti, R., Satyabakti, P. & Basuki, H. (2013). Climate Conditions, Larvae Free Number, DHF Incidence in Surabaya Indonesia. Journal of US-China Public Administration, 10 (11), pp WHO. (2005). Using Climate to Predict Infectious Disease Epidemics. Geneva: World Health Organization. WHO. (2015). Dengue and severe dengue. [Online] Available at: s117/en/ [Accessed ]. 189

198 Efektifitas Unit Pengelolaan Sampah Kota Depok Dalam Mengelola Sampah Organik Perkotaan Oscar Oleta Palit 1, Anantya Pustimbara 2, Bobby Ilham Ramadhan 3 1 Mahasiswa Sarjana jurusan Kesehatan Lingkungan UI, 2 Mahasiswa Sarjana Jurusan Biologi UI, 3 Mahasiswa Sarjana Jurusan Kesehatan Lingkungan UI oscar.oleta@ui.ac.id, anatya.pustimbara@ui.ac.id, bobby.ilham@ui.ac.id Abstrak Pembangunan kota berwawasan kesehatan lingkungan harus memperhatikan aspek persampahan. Sampah yang tidak tertangani akan menjadi pemicu masalah kesehatan, lingkungan, ekonomi dan sosial. Tujuan penelitian adalah melihat efektifitas Unit Pengelolaan Sampah kota Depok dalam mengelola sampah organik perkotaan. Metode yang dipakai adalah desktiptif melalui observasi dan pengambilan data sekunder. Kota Depok saat ini memiliki 31 Unit Pengelolaan Sampah dengan cakupan pelayanan sekitar 5% jumlah penduduk, dihitung dari jumlah Kartu Keluarga. Sampah organik kota yang dapat tertangani Unit Pengelolaan Sampah per hari sekitar 6,9%. Persentasi akan lebih besar jika perhitungan dilakukan sesuai dengan jenis sampah, yaitu 12,72%. Unit Pengelolaan Sampah diperlukan karena 55% sampah kota merupakan sampah organik. Tujuan lain Unit Pengelolaan Sampah untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota karena menekankan pemilahan sampah pada sumbernya, yaitu masyarakat. Kata kunci : efektivitas, Unit pengelolaan Sampah, sampah organik, kota Depok. Effectiveness of Unit Pengelolaan Sampah on Depok City in Managing Urban Organic Waste Abstrak City development with environmental vision must consider the aspect of waste disposal management. Waste disposal that not treated properly will trigger health, social, and also economic problems. The aim for this study is for knowing the effectivity of Unit Pengelolaan Sampah Depok to manage the city organic waste. Descriptive observation and secondary data are methods used in this study. City of Depok has now 31 Unit Pengelolaan Sampah with service coverage about 5% population, counted with their Kartu Keluarga. Unit pengelolaan Sampah treated at about 6.9% city organic waste per day. That percentation will get bigger (12.72%) if counted based on type of waste. Unit Pengelolaan Sampah is needed because 55% of total city waste is organic waste type. Another aim of Unit Pengelolaan Sampah are for increasing awareness and people s participation for processing city waste, to emphasize waste from its people. Kata kunci : effectivity, Unit Pengelolaan Sampah, organic waste, Depok city 190

199 Kota Depok termasuk salah satu kota metropolitan di Pulau Jawa (BPS, Pemerintah Kota Depok, 2015). Keberadaan kota Depok diresmikan pada tanggal 27 April tahun 1999 dikarenakan tingginya perkembangan perdagangan, jasa dan tuntuntan masyarakat sehingga Kota Depok diangkat menjadi Kotamadya dengan harapan pelayanan yang diberikan semakin cepat dan maksimal (BPS, Pemerintah Kota Depok, 2015). Pada bulan Agustus tahun 2017 Kota Depok mendapatkan Piala Adipura untuk kategori Kota Metropolitan (Kompas, Kilas Depok, 2017). Salah satu indikator utamanya mengenai persampahan (Kementerian Lingkungan Hidup, Media Indonesia, 2017). Hal tersebut menjadi target penilaian Adipura untuk mewujudkan pengurangan sampah nasional tahun 2019 sebesar 20% (Media Indonesia, 2017). Penanganan persampahan di kota Depok sedikit berbeda dengan kota lain di Indonesia. Perbedaan tersebut karena Depok mempunyai Unit Pengelolaan Sampah (UPS). Peraturan yang mengatur mengenai UPS adalah Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah. Perda tersebut menjelaskan bahwa UPS berperan untuk mengelola sampah organik menjadi kompos. Peraturan ini berbeda dengan Undang- Undang atau Peraturan Pemerintah yang sejenis karena pengelolaan sampah dilakukan di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) atau Tempat Pembuangan Sampah reduce, reuse, recycle (TPS 3R). Fungsi UPS terpisah dengan TPS, karena hanya menerima sampah organik. Apabila terdapat sampah jenis lain, maka sampah tersebut tidak akan diterima oleh UPS. UPS mulai didirikan pada tahun 2008, namun fungsinya sama seperti TPST atau TPS 3R, yaitu menerima sampah, memilah dan mengolah. Karena pemilahan sampah organik dan anorganik yang sudah dicampur tidak efektif, Pemerintah Depok melakukan perubahan sistem pengelolaan sampah. Sampah organik diolah di UPS, sampah anorganik diolah di Bank Sampah, sedangkan sampah residu dibuang ke TPA. UPS dan Bank Sampah belum mampu mengelola sampah kota secara keseluruhan sehingga sampah yang tidak tertangani diangkut ke TPA. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar peran UPS dalam pengelolaan sampah organik kota Depok. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas UPS dalam pengelolaan sampah organik kota Depok. Efektivitas dilihat dari seberapa besar sampah yang berhasil diolah oleh UPS. Nilai efektivitas membandingkan antara jumlah sampah yang dibuang setiap hari dengan jumlah sampah yang terkelola. Metode Penelitian Penelitian bersifat observasional, yaitu wawancara kepada aparatur terkait dan pengelolaan data yang tersedia. Data yang didapatkan merupakan hasil dari pengelolaan harian sampah dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan kota Depok. Benedictus (2010) menghitung efektivitas UPS menggunakan metode penghitungan : Efektivita s = jumlah sampah masuk - jumlah residu sampah x 100% jumlah sampah masuk Rumus tersebut dipakai untuk menghitung efektivitas kinerja UPS terhadap jumlah sampah yang ditangani. Unit Pengelolaan Sampah yang diteliti Benedictus hanya ditujukan untuk keperluan kinerja satu unit, sehingga tidak bisa dipakai untuk menghitung 31 unit secara keseluruhan. Rumus tersebut dimodifikasi agar dapat menghitung seluruh efektivitas seluruh UPS kota Depok terhadap jumlah sampah kota. Rumus yang telah termodifikasi sebagai berikut : Efektivita s Jumlah sampah terkelola UPS UPS x100% Jumlah sampah kota Depok Rumus efektivitas UPS jika melakukan penghitungan sampah organik secara spesifik menjadi : Efektivita s UPS Jumlah sampah terkelola UPS x100% Jumlah sampah organik kota Depok Selain hasil perhitungan efektivitas UPS berdasarkan data yang didapatkan, dihitung 191

200 juga cakupan pelayanan wilayah UPS kota Depok. Cakupan dihitung berdasarkan banyaknya Kartu Keluarga yang sampah organiknya diolah oleh UPS dibandingkan dengan jumlah keluarga di kota Depok. Hasil dan Pembahasan Unit Pengelolaan Sampah di kota Depok berjumlah 46, namun yang masih beroperasi sebanyak 31 UPS. Tersebar di 10 Kecamatan yang ada di kota Depok. Metode penanganan sampah warga oleh UPS menggunakan sistem jemput bola. Pengambilan sampah dilakukan oleh petugas UPS ke rumah-rumah. Pengangkutan disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan. Sampah dikumpulkan pada sebuah ember. Satu ember diperuntukan untuk 25 kartu keluarga. Jumlah ember disesuaikan dengan kartu keluarga yang memilah sampah organik. Tidak hanya sampah dari rumah warga, sampah organik dari beberapa restoran yang berada di jalan Margonda juga diangkut ke UPS. Tabel 1. Data dan Informasi Pengelolaan Sampah Harian kota Depok Data Cakupan Luas Daerah Pelayanan Pengelolaan Sampah Persentase Cakupan Daerah Pelayanan Persentase Cakupan Unit Pengelolaan Sampah Hasil km % 5% Sampah organik yang masuk ke UPS kemudian diolah menjadi kompos. Kompos yang sudah jadi dibagikan secara gratis kepada warga atau dipakai oleh pihak pemerintah. Kompos yang belum diambil maka disimpan di setiap UPS. Petugas UPS mencatat berat sampah organik yang masuk ke UPS, berat kompos setelah proses pengomposan dan jumlah kompos yang terdistribusi. Berikut data terkait informasi pengelolaan sampah di kota Depok. Tabel 2. Data Cakupan Wilayah Pengelolaan Sampah Kota Depok Informasi Pengelolaan Jumlah timbunan sampah harian Kota Depok Komposisi sampah menurut materi organik Jumlah terolah harian metode composting Jumlah sampah harian ditimbun di TPA Jumlah ton 55% 90 ton 600 ton Berdasarkan data pada Tabel 1. Jumlah keseluruhan sampah harian kota Depok adalah sebesar ton. Jumlah sampah harian tersebut belum seluruhnya dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok. Sampah yang dikelola terbagi lagi berdasarkan materi penyusunnya, yaitu organik, anorganik, dan residu. Apabila dihitung berdasarkan total sampah keseluruhan kota Depok, maka Efektivitas UPS adalah : Efektivita s UPS Jumlah sampah terkelola UPS Jumlah sampah kota Depok x100% 192

201 90 Efektivita s UPS x100% ,9 % Apabila penghitungan sesuai dengan jenis sampah yang dikelola oleh UPS berupa sampah organik, maka angka efektivitas UPS semakin besar. Sampah organik kota Depok sebesar 55% dari keseluruhan jumlah timbunan sampah kota. Jumlah sampah organik yang dihitung dari Tabel 1 sebesar 707,3 ton. Berdasarkan data tersebut, maka nilai efektivitas UPS untuk sampah organik sebesar: Efektivita s Efektivita s UPS Jumlah sampah terkelola UPS x100% Jumlah sampah organik kota Depok 90 UPS x100% 707,3 12,7 % Hasil perhitungan tersebut berasal dari 31 UPS yang beroperasi. Jumlah Kartu Keluarga yang tercakup dalam wilayah operasi UPS sebanyak KK, 16 restoran dan 14 kantin di Universitas Indonesia (Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Depok, 2017). Total Keluarga di Kota Depok berjumlah (BPS Kota Depok, 2015). Apabila total keluarga dibandingkan dengan jumlah KK yang telah membuang sampahnya ke UPS, maka cakupan UPS dapat dihitung sebagai berikut : Jumlah Kartu Keluarga yang tercakup UPS CakupanUPS x100% Jumlah Kelu arg a kota Depok CakupanUPS x100% % Perhitungan antara cakupan dan efektivitas UPS memiliki perbandingan yang signifikan. Perbandingan tersebut memperlihatkan bahwa persentase jumlah sampah yang tertangani tiga kali lipat lebih besar dari cakupan pelayan yang terestimasi, dari 3,9% menjadi 12,7%. Hasil perhitungan masih merupakan rata-rata jumlah timbunan sampah harian kota Depok sampai bulan September Jumlah timbunan setiap hari bisa berbeda seperti pada hari raya. Penutup Berdasarkan hasil penghitungan efektivitas, UPS kota Depok membantu mengolah sampah kota Depok sebesar 6,9%. Cakupan pelayanan sampai tahun 2017 sebesar 3,9%. Dengan cakupan pelayanan tersebut, UPS kota Depok telah mengelola sampah organik kota Depok sebesar 12,7%. Hasil tersebut menggambarkan bahwa Unit Pengelolaan Sampah kota Depok membantu dalam mengelola sampah kota Depok khusunya sampah organik. Berkaitan dengan hal tersebut, UPS membantu Pemerintah Kota Depok mendapatkan piala Adipura tahun Saran untuk penelitian selanjutnya adalah pemakaian prosedur dan parameter penghitungan efektivitas yang valid, karena terbatasnya referensi terkait efektivitas pada UPS. Penelitian mengenai Unit Pengelolaan Sampah kota Depok masih sedikit. Diharapkan akan ada penelitian lain terkait Unit Pengelolaan Sampah kota Depok. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik Kota Depok. (2015). Kota Depok Dalam Angka [PDF File] tersedia di content/uploads/2016/.../kota-depok- Dalam-Angka-2015.pdf. Benedictus, Antonio. (2010). Studi Tingkat Efektifitas Unit Pengelolaan Sampah (UPS) Dalam Mengurangi Jumlah Sampah di Kota Depok (Studi Kasus UPS Gunadarma dan UPS Merdeka 2). Skripsi, tidak dipublikasikan. Universitas Indonesia. Octviyani P. 16 Agustus Penilaian Adipura Semakin Ketat dan Variatif. 193

202 Media Indonesia. [online] /penilaian-adipura-semakin-ketat- dan-variatif/ Portal Berita Resmi Pemerintah Kota Depok. (2015). Sejarah Kota Depok. kota/sejarah Rizal. 02 Agustus Pemkot Depok Raih Adipura Kilas Depok [Online]. depok-raih-adipura-2017/ Rudi A. 02 Agustus Depok Raih Adipura, Walikota dan Wakilnya Arak-arakan Keliling Kota. Kompas. [online] 17/08/02/ /depok-raih-adipura- wali-kota-dan-wakilnya-arak-arakankeliling-kota 194

203 MEMBANGUN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT MENUJU GREEN CITY 1 Pudjo Utomo 1) Universitas Wahid Hasyim Jalan Menoreh Tengah X/22 Semarang 2) phutomo13@gmail.com Abstak Dalam konstelasi regional dan nasional, pengembangan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang dan lainnya, peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan industri di satu sisi mampu menjawab persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial, di sisi lain dampak negatif menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumber alam semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Pengembangan teknologi dan konsep perencanaan kota yang berkelanjutan, salah satunya dengan usaha pemerintah setempat guna menjaga lingkungan dengan menerapkan konsep green city. Pengembangan konsep dan teknologi akan bermanfaat hanya apabila manusia mau mempergunakannya. Yang dibutuhkan adalah sebuah rekayasa yang dapat memberi stimultan kepada masyarakat agar mau menerima konsep dan teknologi yang diintroduksi, serta membuatnya tahu melalui proses-proses pengabaran, pemberitahuan, dan pengajaran, sehingga lahirlah ketaatan kepada hukum demi kepentingan bersama. Kata kunci: konsep green city, rekayasa pemberdayaan masyarakat, kesadaran hukum. Abstract In the regional and national constellation, the development of big cities such as Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang and others, the increase of population and industrial development on the one hand is able to answer the problem of poverty and social inequality, which is very heavy for the environment because the carrying capacity of natural resources increasingly unbalanced with the speed of demands fulfillment of life needs. Development of technology and the concept of sustainable urban planning, one with the local government efforts to keep the environment applying the concept of green city. The development of concepts and technology will be useful only if humans want to use it. What is needed is an engineering that can stimulate the people to accept the concepts and technologies introduced, and make them know through the processes of preaching, notification, and teaching, so that the law is born to obey the common interests. Keywords: green city concept, engineering of community empowerment, awareness law. 195

204 Pendahuluan Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi pada suatu negara, akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, pemukiman dan kebutuhan dasar lainnya,yang pada gilirannya akan menambah beban yang amat berat bagi lingkungan karena daya dukung sumber alam semakin tidak seimbang dengan lajunya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Dari perspektif global, dampak lingkungan yang terkait dengan proses rekayasa dalam penyediaan dan penggunaan bahan dan energi dipandang sebagai penyumbang utama dalam mempengaruhi keadaan lingkungan, menurunkan kualitas lingkungan, meningkatkan limbah domestik dan limbah industri yang mengakibatkan perubahan besar pada kualitas lingkungan hidup. Pertambahan jumlah penduduk perkotaan, secara otomatis menimbulkan sejumlah tantangan terutama di dalam penyediaan kebutuhan penduduknya, termasuk kebutuhan terhadap perumahan, infrastruktur, transportasi, energi, pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta lapangan pekerjaan. Para penyelenggara pemerintahan kota, seakan berlomba menerapkan berbagai teknologi dalam upaya menanggulangi fenomena permasalahan perkotaan saat ini yang dihadapi hampir seluruh kota besar di Indonesia: Ruang Terbuka Hijau (RTH), kemacetan, sampah, penataan kawasan baik permukiman, perdagangan, ataupun industri, pedagang kaki lima, dan banjir. Di antara konsep-konsep yang berkembang dan telah banyak didiskusikan bahkan diimplementasikan adalah konsep green city. Namun, upaya-upaya pemerintah tidak didahului dengan pelibatan aktif masyarakat (bottom-up), dan berkesinambungan, sehingga tujuan dari penerapan konsep green city menjadi tidak optimal. Metode Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan teoritis. Sumber data berasal dari survei primer dan sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapangan dengan melihat kondisi lapangan yang ada untuk dapat diterapkan konsep green city pada lokasi model yang telah ditentukan, untuk mendapatkan gambaran tentang partisipasi masyarakat dalam menerima dan mengimplementasi konsep-konsep yang ditawarkan pemerintah, serta penggambaran tentang kendala yang terjadi. Penilitian dilakukan menggunakan model Kota Sehat yang dilaksanakan di kota Semarang, dengan menetapkan sampling pada dua wilayah terpilih, yaitu kelurahan Nongkosawit, kecamatan Gunungpati dan kelurahan Tanjungmas, kecamatan Semarang Utara, yang melakukan proses menuju Green City. Konsep Green City Berawal dari era revolusi dengan diajukannya konsep kota taman (garden city) oleh Ebenezer Howard pada tahun 1898 berupa gagasan mengarahkan pertumbuhan kota melalui penataan dan preservasi sabuk hijau yang mengelilingi kota dengan jarak radius pusat kota dengan wilayah yang relatif dekat dan dihubungkan dengan sistem transportasi kereta api dengan posisi stasiun terjangkau dalam waktu lima menit, maka banyak diikuti dan dikembangkan oleh para arsitek dan perencana kota dalam mengembangkan kota berwawasan ekologis, yang ide tersebut dilanjutkan oleh Le Corbusier dengan konsep A Con-temporary City (1992), Frank Lloyd Wright (1932) dengan konsep The Broadacre City of Tomorrow. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh para arsitek. Konsep selanjutnya Sustainable Cities, dikembangkan oleh Richard Roger yang merupakan pengembangan dari model dense city yaitu prinsip perencanaan berbasis efisiensi enerji, pengurangan peng-gunaan enerji tak terbarui serta pengurangan polusi, dan dikembangkan lebih lanjut dengan konsep Compact City dengan cara pemusatan kegiatan sosial-ekonomi yang beragam di sekitar lingkungan kota yang berbeda melalui pendekatan konsep mix used. (Budi Prayitno,2006). 196

205 Green City identik dengan karbon netral dan sepenuhnya berkelanjutan (Birch & Wachter,2008,p.3; Muhammad Reza Pahlevi; Weishaguna,2016,p.181), memiliki semua potensi untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon, maka dalam skala besar aplikasi, juga dapat dianggap sebagai kota rendah karbon, dengan karakteristik tertentu seperti ruang terbuka hijau, penggunaan enerji terbarukan (matahari, angin, dan air), penggunaan transportasi umum, konservasi air dan pengolahan limbah (reduce, reuse, dan recycle ). De Roo (2010), (Reza Pahlevi; Weishaguna,2016,p.182) mengidentifikasi elemen-elemen Green City sebagai berikut: 1. Green planning and design (Perencanaan dan rancangan hijau) Perencanaan dan rancangan hijau adalah perencanaan tata ruang yang berprinsip pada konsep pembangunan kota berkelanjutan. Green City menuntut perencanaan tata guna lahan dan tata bangunan yang ramah ling-kungan serta penciptaan tata ruang yang atraktif dan estetik. 2. Green open space (Ruang terbuka hijau). Ruang terbuka hijau adalah salah satu elemen terpenting Green City. Ruang terbuka hijau berguna dalam mengurang polusi, menambah estetika kota, serta menciptakan iklim mikro yang nyaman. Hal ini dapat diciptakan dengan perluasan lahan taman, koridor hijau dan lain-lain. 3. Green waste (Pengolahan sampah hijau). Pengolahan sampah hijau berprinsip pada reduce (pengurangan), reuse (penggunaan ulang) dan recycle (daur ulang). Selain itu, pengelolaan sampah hijau juga harus didukung oleh teknologi pengolahan dan pembuangan sampah yang ramah lingkungan. 4. Green transportation (Transportasi hijau). Green transportation adalah transportasi umum hijau yang fokus pada pembangunan transportasi massal yang berkualitas. Green transportation bertujuan untuk meningkatkan penggunaan transportasi massal, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, penciptaan infrastruktur jalan yang mendukung perkembangan trasportasi massal, mengurangi emisi kendaraan, serta menciptakan ruang jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda. 5. Green water (Manajemen air yang hijau) Konsep green water bertujuan untuk penggunaan air yang hemat serta penciptaan air yang berkualitas. Dengan teknologi yang maju, konsep ini bisa diperluas hingga penggunaan hemat blue water (air baku/ air segar), penyediaan air siap minum, penggunaan ulang dan pengolahan grey water (air yang telah digunakan), serta penjagaan kualitas green water (air yang tersimpan dalam tanah). 6. Green energy ( Energi hijau ) Green energy adalah strategi Green City yang fokus pada pengurangan penggunaan energi melalui penghematan penggunaan serta peningkatan penggunaan energi terbarukan, seperti listrik tenaga surya, listrik tenaga angin, listrik dari emisi methana TPA dan lain-lain. 7. Green building ( Bangunan hijau ) Green building adalah struktur dan rancangan bangunan yang ramah lingkungan dan pembangunannya bersifat efisien, baik dalam rancangan, konstruksi, perawatan, renovasi bahkan dalam perubuhan. Green building harus bersifat ekonomis, tepat guna, tahan lama, serta nyaman. Green building dirancang untuk mengurangi dampak negatif bangunan terhadap kesehatan manusia dan lingkunganndengan penggunaan energi, air, dan lain-lain yang efisien, menjaga kesehatan penghuni serta mampu mengurangi sampah, polusi dan kerusakan lingkungan. 8. Green community ( Komunitas hijau ) Partisipasi masyarakat melalui Forum Kota Sehat Konsep Kota Sehat yang dibentuk berdasar Peraturan Bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Nomor 34 tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan 197

206 Kabupaten/Kota Sehat. Pada awal pembentukannya Forum Kota Sehat Kota Semarang diprakarsai oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang sebagai tim teknis serta melibatkan berbagai elemen masyarakat praktisi dan akademisi yang tergabung dalam Forum Kota Sehat. Secara organisasi, Forum Kota Sehat ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota, terdiri dari dua tim, pertama: tim teknis yang di dalamnya adalah para pejabat pemerintah di bawah Walikota, kedua: tim forum terdiri dari anggota masyarakat, praktisi, akademisi, dan pihak swasta. 4. Kebijakan Pemerintah Kota 1.Kegiatan dalam tatanan 3. Tim Pembina Kota 2. Forum masyarakat Gambar 1. Elemen Forum Kota Sehat Komposisi tim teknis dan tim forum diharapkan akan dapat meningkatkan sinergisme, baik dalam hal pembahasan, rencana kerja, pelaksanaan atau penerapan kegiatan tatanan kota sehat, dengan target pencapaian semua tatanan dimulai pada tahun 2015 sampai dengan tahun Swastisaba adalah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kepada Bupati/ Walikota atas keberhasilan dalam menyelenggarakan Kabupaten/Kota Sehat. Terdapat beberapa tatanan kota sehat yang akan dicapai, di antaranya adalah: 1. Kawasan Permukiman, Sarana dan Prasarana umum, 2. Kawasan Sarana Lalu lintas Tertib dan Pelayanan Transportasi; 3. Kawasan Pertambangan Sehat; 4. Kawasan Hutan Sehat; 5. Kawasan Industri dan Perkantoran Sehat; 6. Kawasan Pariwisata Sehat; 7. Ketahanan Pangan dan Gizi; 8. Kehidupan Masyarakat Sehat Mandiri; 9. Kehidupan Sosial yang Sehat. Permasalahan Pelaksanaan Kota Sehat Terdapat tiga poin permasalahan yang masih dihadapi pemerintah kota Semarang dalam melaksanakan konsep Kota Sehat, pertama: masih kurangnya kesadaran hukum masyarakat, kedua: penegakan hukum yang belum optimal, ketiga: kurangnya peran swasta (Paparan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang: 2016). Dari hasil observasi lapangan, ditemukan kenyataan bahwa sebagian masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi yang dijadikan penerapan tatanan Kota Sehat yaitu kelurahan Nongkosawit Kecamatan Gunungpati (tatanan Pariwisata Sehat), dan kelurahan Tanjungmas Komplek perumahan Tanahmas Kecamatan Semarang Utara (tatanan Permukiman, Sarana dan Prasarana) memiliki karakter yang berbeda dalam hal kesadaran (hukum) masyarakatnya. Pada lokasi kelurahan Nongkosawit, sebagian responden menjawab pertanyaan yang diajukan: apakah mengetahui program pemerintah kota tentang pariwisata sehat, dari 198

207 sekitar 50 responden hanya sekitar 15% responden yang menjawab tahu, sisanya menyatakan tidak tahu. Meski masyarakat tidak tahu tentang program, dalam kenyataannya mereka sudah melaksanakan kegiatan-kegiatan kepariwisataan sesuai dengan potensi alam yang ada di sekitarnya, seperti air terjun, dan peninggalanpeninggalan sejarah yang ada, meskipun dengan cara-cara yang sederhana. Pada lokasi lain, kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara menjadi lokasi tatanan Permukiman, Sarana dan Prasarana Umum. Merupakan komplek perumahan/ real estate pertama di kota Semarang, dikenal sebagai Tanah Mas. Posisi perumahan ini berdekatan dengan pantai, dan menjadi daerah yang bertahun-tahun tergenang rob dan banjir. Upaya yang dilakukan oleh sebagian pemilik rumah secara individu adalah dengan menaikkan tinggi rumah, dengan harapan air tidak akan masuk ke dalam rumah. Pemerintah kota Semarang telah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi dampak, dengan peng-erukan dan membenahi aliran sungai, namun pengaruhnya tidak signifikan. Atas inisiatif sebagian warga yang merasa perduli atas kondisi lingkungannya, maka mereka bersepakat untuk membentuk paguyuban warga yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan, utamanya rob dan banjir. Pada awal pembentukannya, respon warga atas paguyuban ini sangat minim, tercermin dari setiap diadakan pertemuan, yang hadir paling banyak hanya 5 warga, itupun kebanyakan terdiri dari para pengurusnya (wawancara dengan Handoyo, ketua paguyuban). Upaya-upaya yang dilakukan agar warga perduli atas masalah-masalah yang dihadapi, pengurus paguyuban berkoordinasi dengan pihak kelurahan dalam hal administratif, berupa komitmen bersama antara pihak kelurahan dengan pengurus paguyuban misalnya ada warga yang membutuhkan surat keterangan kelurahan, harus ada persetujuan dari Rt dan Rw terlebih dulu. Apabila ada warga yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar retribusi yang sudah disepakati bersama, maka Rt/Rw tidak akan memberikan Surat Pengantar untuk pengurusan surat ke kelurahan. Selama 20 tahun, paguyuban warga ini berupaya mewujudkan tujuannya hingga terbebas dari banjir dan rob, dan secara otomatis membentuk kesadaran warga untuk peduli terhadap lingkungan dan sadar atas aturan/hukum meskipun aturan/hukum tersebut dalam urutan yang rendah (bukan undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah/negara ). Bagi Ewick dan Silbey, kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan hukum sebagai perilaku, dan bukan hukum sebagai aturan norma atau asas. ( Ali Achmad:2009,p.510 ). Kesadaran (hukum) yang terbentuk dari masyarakat di kelurahan Nongkosawit dan kelurahan Tanjungmas adalah kesadaran memiliki lingkungan yang dikelola dan untuk tujuan kepentingan bersama, dengan menetapkan norma yang mengatur hak dan kewajiban untuk dipatuhi. Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap. Kesadaran hukum pada titik tertentu diharapkan mampu untuk mendorong seseorang mematuhi dan melaksanakan atau tidak melaksanakan apa yang dilarang dan atau apa yang diperintahkan oleh hukum (Zulkarnain Hasibuan, p.79). Masalah kesadaran hukum masyarakat berlaku ajaran yang disebut dengan covariant theory. Teori ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentukbentuk perilaku hukum. Di samping itu berlaku juga doktrin volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich, mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/ kesadaran hukum masyarakat (Zulkarnain Hasibuan, p.85). Dengan demikian, kesadaran hukum masyarakat merupakan cerminan dari jiwa dan budaya bangsa. Peran serta masyarakat dapat dipandang (sebagai suatu upaya) untuk membantu Negara dan lembaga-lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih dapat diterima dan berhasil guna. Peran serta masyarakat ini mensyaratkan pemberian informasi kepada 199

208 masyarakat dengan cara yang berhasil guna dan berdaya guna. Untuk itu, hal yang perlu diperhatikan diantaranya: 1. Kepastian penerimaan informasi, 2. Informasi lintas batas terutama berkaitan dengan dampak kegiatan pada daerah perbatasan; 3. Informasi tepat waktu; 4. Informasi lengkap; dan 5. Informasi yang dapat dipahami. Kesadaran hukum terbentuk adalah persoalan hukum sebagai perilaku dan bukan hukum sebagai aturan norma atau asas dengan demikian tidak dimiliki secara otomatis oleh setiap orang. Dengan demikian, masyarakat memerlukan institusi untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kesadaran hukum masyarakat tidaklah identik dengan ketaatan hukum masyarakat itu sendiri. Pada hakikatnya Ketaatan hukum adalah kesetiaan seseorang atau subyek hukum terhadap hukum yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata, sedang kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk perilaku yang nyata yang mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak di antara anggota masyarakat sebenarnya sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum baik secara instinktif maupun secara rational namun mereka cenderung tidak taat terhadap hukum. Kebudayaan hukum yang berkembang dimasyarakat kita ternyata lebih banyak mencerminkan bentuk prilaku opportunis yang dapat diibaratkan mereka yang berkendaraan berlalu lintas di jalan raya, ketika lampu merah dan kebetulan tidak ada polisi yang jaga maka banyak diantara pengendara nekat tetap jalan terus dengan tidak mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang sedang menyala, atau kebiasaan membuang sampah sembarangan, merokok di tempat-tempat bebas asap rokok, dan lain-lain. Apakah dengan sikap mereka yang melanggar lampu merah itu bisa dikatakan tidak sadar hukum dan/atau tidak mengerti apa sebenarnya fungsi keberadaan lampu pengatur lalulintas yang ada di persimpangan jalan..?, barangkali terlalu prematur apabila dikatakan mereka tidak sadar hukum. Mereka sebenarnya sadar tentang perlunya peraturan lalu-lintas di jalan raya dan lebih dari itu mereka juga sadar telah melanggar lampu merah, tapi masalahnya mereka tidak taat terhadap peraturan itu. Ilustrasi kasus tersebut merupakan representasi dari kebudayaan hukum di Indonesia. Sebagian besar masyarakat kita sadar akan perlunya hukum dan penghormatan terhadap hukum itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun kenyataannya masyarakat kita cenderung tidak taat pada hukum. Kesadaran seseorang tentang hukum ternyata tidak serta merta membuat seseorang taat pada hukum karena banyak indikator-indikator sosial lain yang mempengaruhinya. Ketaatan hukum merupakan dependen variabel maka untuk membangun masyarakat patuh hukum perlu dicari independen variabel atau intervening variabel agar program Pemerintah yang menghendaki terciptanya masyarakat sadar hukum hasilnya dapat dilihat dalam bentuk ketaatan masyarakat tersebut pada hukum itu sendiri,sehingga tidak diperlukan alat pemaksa (kekuasaan cq Polisi) yang membuat masyarakat takut agar mereka patuh pada hukum. Namun disisi lain ternyata tidak sedikit pula dalam kenyataannya para Penegak Hukum kita yang tergolong dalam catur wangsa yang dalam melakukan tugasnya menegakkan hukum terutama dalam hukum pidana materiil (KUHP dan Peraturan Perundang-undang lainnya yang mengandung sanksi pidana) justru dilakukannya dengan jalan melanggar hukum pidana formil (KUHAP dan Hukum Acara Pidana lainnya) baik itu disengaja ataupun tidak disengaja, kenyataan ini dapat mengindikasikan sekaligus memberi kesan kuat kepada masyarakat bahwa proses penegakan hukum di Negara kita masih dilakukan dengan setengah hati sekalipun itu di jaman era reformasi ini yang katanya mengedepankan hukum sebagai panglima. Kenyataan ini semakin memberi kesan kuat kepada masyarakat luas bahwa penegak hukum pun di negeri ini tidak taat pada hukum. 200

209 Pentingnya membangun masyarakat yang sadar akan hukum inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat menjunjung tinggi institusi/ aturan sebagai pemenuhan kebutuhan dan pengaharapan akan ketaatan dan ketertiban. Pada tahap inilah, pemerintah sebaiknya berperan aktif mengakomodasi embrioembrio kesadaran hukum masyarakat, dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan jiwa dan budaya bangsa, sebagai contoh dalam pembangunan kota berkelanjutan (Green City) harus dilaksanakan dengan mengombinasikan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan ramah lingkungan (pro green growth), meningkatkan kesejahteraan masyarakat(pro poor), menyediakan lapangan kerja yang ramah lingkungan (pro green job) dan dalam bingkai menjaga kelestarian lingkungan (pro environment). Membangun Green City dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya manusia, teknologi dan jasa ekosistem yang memungkinkan kota dikelola secara cerdas dan berlanjut (Nadia Astriani:2014,p.277), meskipun pada kenyataannya, seringkali pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang mengakibatkan ketidaktahuan tentang apa yang akan dan sedang dikerjakan pemerintah. Program-program pemerintah lebih bersifat top-down, sehingga terbentuklah presepsi bahwa masyarakat hanya sebagai obyek kebijakan semata. Peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor penting guna mengeliminasi, setidaknya mengurangi timbulnya konflik kepentingan. Apabila tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat dan apabila masyarakat diharapkan untuk menerima dan patuh pada tindakan tersebut, maka masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengutarakan pendapatnya (Hardjosoemantri, dalam A.M.Yunus Wahid:2014, p.221; Nadia Astriani: 2015, p.276 ). Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda dengan seni, atau ilmu eksak lainnya, hukum memiliki struktur yang pada dasarnya berbasis kepada kewajiban dan hak. Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk karakteristik masyarakat (Zulkarnain Hasibuan, p.82). Di dalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, berbeda dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial apabila tidak dilaksanakan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat akan menjadi hakimnya. Tidaklah berlebihan bila ketaatan di dalam hukum cenderung dipaksakan. Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis (Ahmad Ali:2009,p.352) 1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus menerus, 2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak; 3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benarbenar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilainilai intristik yang dianutnya. Upaya Meningkatkan Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum Masyarakat Dalam Mewujudkan Green City Dalam usaha meningkatkan dan membina kesadaran hukum dan ketaatan hukum ada tiga tindakan pokok yang dapat dilakukan. a. Tindakan represif, ini harus bersifat drastis, tegas. Petugas penegak hukum dalam melaksanakan law enforcement harus lebih tegas dan konsekuen. Pengawasan terhadap petugas penegak hukum harus lebih ditingkatkan atau diperketat. Makin kendornya pelaksanaan law enforcement akan menyebabkan merosotnya kesadaran hukum. Para petugas penegak hukum tidak boleh membeda-bedakan golongan. b. Tindakan preventif merupakan usaha 201

210 untuk mencegah terjadinya pelanggaranpelanggaran hukum atau merosotnya kesadaran hukum. Dengan memperberat ancaman hukum terhadap pelanggaranpelanggaran hukum tertentu diharapkan dapat dicegah pelanggaran-pelanggaran hukum tertentu. Demikian pula ketaatan atau kepatuhan hukum para warga negara perlu diawasi dengan ketat. c. Tindakan persuasif, yaitu mendorong, dan memacu. Kesadaran hukum erat kaitan nya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan. Kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan dan nilai-nilai hukum merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Menanam kan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai kebudayaan. Pendidikan tetang kesadaran hukum hendaknya diberikan secara formal di sekolah-sekolah dan secara non formal di luar sekolah kepada masyarakat luas. Yang harus ditanamkan dalam pendidikan formal maupun non formal ialah bagaimana menjadi warga negara yang baik, tentang apa hak dan kewajiban seorang Warga Negara Indonesia. Setiap warga Negara harus tahu Undang-undang yang berlaku di negara Republik Indonesia. Dengan mengenal Undang-undang maka kita akan menyadari isi dan manfaatnya dan selanjutnya mentaatinya. Lebih lanjut ini semuanya berarti menanamkan pengertian bahwa di dalam pergaulan hidup kita tidak boleh melanggar hukum serta kewajiban hukum, tidak boleh berbuat merugikan pihak lain dan harus bertindak berhati-hati di dalam masyarakat terhadap pihak lain. Apabila faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat taat pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat taat pada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif, tidak memihak kepada siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Upaya untuk mengubah kultur yang ada di masyarakat itu harus di awali dengan pensosialisasian yang lebih mendalam dan terarah terhadap masyarakat mengenai pentingnya hukum bagi kehidupan. Dengan semakin banyak masyarakat yang mengerti akan pentingnya hukum, budaya masyarakat sedikit demi sedikit akan berubah menjadi lebih baik dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia akan lebih meningkat. Dan tujuan dari hukum akan tercapai yaitu masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera Penutup Simpulan Perwujudan konsep Green City menjadi kenyataan, memerlukan proses yang sangat rumit dan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Strategi pelibatan berbagai stakeholder dari kalangan pemerintah, kalangan bisnis dan kalangan masyarakat dalam pembangunan Green City, dengan tujuan untuk menciptakan partisipasi nyata stakeholder dalam pembangunan kota sesuai konsep Green City dan membangun masyarakat yang memiliki karakter dan kebiasaan yang ramah lingkungan, dengan demikian partisipasi aktif masyarakat dalam program-program Green City, merupakan keniscayaan. Upaya pencapaian tujuan akan terkendala bilamana tidak dibarengi dengan kesadaran dan ketaatan hukum dari masyarakat untuk menerima dan mengaplikasikan elemen-elemen Green City dalam kehidupan secara berkesinambungan. Dengan demikian maka semua upaya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun menjadi tanggung jawab semua pihak, dengan melaksanakan hubungan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Pemerintah seharusnya lebih peka dan berkesinambungan memberikan informasi mulai dari rencana sampai pada pelaksanaan kebijakan kepada masyarakat, tentang upaya-upaya yang telah dilaksanakan, termasuk kendala, keberhasilan, ataupun kegagalan. Saran Hasil penelitian ini belumlah memadai untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya mewujudkan konsep Green City, selain kurangnya kemampuan pada pengolahan data dan penyajian hasil observasi. Namun ada beberapa hal yang menjadi menarik, ditemukan pada 202

211 saat observasi di antaranya adalah kegigihan masyarakat dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan, dilakukan ditengah keterbatasan, dan tanpa pamrih. Daftar Pustaka Achmad Ali.(2009), Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk InterprestasiUndang-undang,Jakarta, Kencana. Muhammad Reza Falevi, et.al. (2017) Prosiding Perencanaan Kota, volume3, No.1, Wilayah Nadia Astriani (2014) Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hijau (RTH) Di Kota Bandung, Ruang Terbuka Somitro,R.H, (1992) Permasalahan Hukum di Dalam Masyarakat, Bandung, Alumni. Watcher,M.Susan and Birch(2008) Growing Greener Cities Urban Sustainability in the Twenty-First Century, University of Pennsylvania Press Zulkarnain Hasibuan (2005) Kesadaran Hukum dan Ketaatan HukumMasyarakat Dewasa Ini, Jakarta Peraturan Bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan No.34 th.2005 Tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat Paparan Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang (2016) Road Map Wiwerda 2017 Kota Semarang Wawancara dengan Bapak Handoyo, Ketua Paguyuban Warga Tanjungmas Tanahmas Semarang 203

212 ANALISIS TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERHADAP DAMPAK PENGGUNAAN INSEKTISIDA DI DESA PURWARAJA, KECAMATAN KIKIM TIMUR, KABUPATEN LAHAT Analysis of Farmers Knowledge Level To Impact of Insecticide Use In Purwaraja Village, Kikim Timur, District Lahat Yuanita Windusari 1 *, Arga Dita Mentari 2 1,2 Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya *Dosen Kesehatan Lingkungan FKM dan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya Kontak ywindusari@yahoo.com ABSTRAK Pestisida digunakan dalam bidang pertanian untuk meningkatkan produksi dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu yang terdiri dari kelompok hama dan penyakit maupun gulma. Jenis pestisida yang banyak digunakan di indonesia yaitu insektisida. Penggunaan insektisida yang tidak terkendali dapat menimbulkan gangguan kesehatan terutama pada petani penyemprot insektisida. Tujuan penelitian untuk menganalisis penggunaan insektisida khususnya yang terkait dengan kesehatan masyarakat di Desa Purwaraja Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat. penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional Penelitian ini dilakukan pada bulan juni 2017 dengan jumlah sampel 85 responden. Teknik pengumpulan data dengan kuesioner, wawancara dan observasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan penyajian distribusi frekuensi dari variabel dalam bentuk tabel. yang diteliti dan disajikan dalam Data dianalisis dengan menggunakan regresi logistik berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karakteristik petani adalah sebagian besar berumur 46 tahun (58,8%), dan berpendidikan rendah (SD dan SMP) sebesar 87,1 %, variabel yang diteliti tidak berhubungan dengan penggunaan insektisida, mayoritas (71,8%) pengetahuan petani tentang dampak penggunaan insektisida terkait kesehatan masyarakat dikategorikan kurang baik, mayoritas (64,7 %) penggunaan insektisida pada petani dikategorikan kurang baik. Kata kunci : tingkat pengetahuan, dampak kesehatan, insektisida. ABSTRACT Pesticides are used in agriculture to increase the production of losses caused by various disruptive bodies consisting of pests and diseases and weeds. Types of pesticides are widely used in Indonesia that is insecticide. Uncontrolled use of insecticides can cause health problems especially in insecticide spray farmers. The purpose of this study was to analyze the use of insecticides, especially those related to public health in Purwaraja Village, Timur district, Lahat. This research is a quantitative research with cross sectional research design. This research was conducted in June 2017 with total sample 85 respondents. Data collection techniques with questionnaires, interviews and observation. Processing and data analysis is done by presenting the frequency distribution of variables in tabular form. which were researched and presented in the Data were analyzed using multiple logistic regression. The results showed that the characteristics of farmers were mostly 46 years old (58.8%), and low education (elementary and junior high school) of 87.1%, the variables studied were not related to the use of insecticides, the majority (71.8% farmers' knowledge about the impact of insecticide use on public health is categorized as unfavorable, the majority (64.7%) of insecticide use in farmers is categorized as deficient. 204

213 Keywords : knowledge level, health impact, insecticide PENDAHULUAN Pestisida digunakan dalam bidang pertanian untuk meningkatkan produksi dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu yang terdiri dari kelompok hama dan penyakit maupun gulma. Namun, penggunaan pestisida memberikan dampak negatif terhadap manusia, biota dan lingkungan. Salah satu dampak negatif dengan penggunaan pestisida adalah tercemarnya lingkungan perairan (Kesuma, 2008). Menurut WHO (2003), hingga orang pertahun diseluruh dunia mengalami kasus keracunan pestisida yang terjadi pada pekerja di sektor pertanian dan 5000 sampai orang per tahun mengalami dampak yang fatal yaitu kanker, kecacatan, mandul dan liver. Keracunan pestisida sebagian besar terjadi di negara berkembang. Penggunaan pestisida di Indonesia masih cukup tinggi dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada saat ini hampir seluruh kegiatan pertanian diseluruh dunia menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama, salah satunya indonesia. Jenis pestisida yang banyak digunakan di indonesia yaitu insektisida dimana penggunaanya mencapai 70% (Sutanto, 2002) Penggunaan insektisida mencapai 55,42%, herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen 3,61%, bahan pengawet kayu 3,61%, zat pengatur pertumbuhan 3,21%, rodentisida 2,81%, bahan perata atau perekat 2,41%, akarisida 1,4%, moluskisida 0,4%, nematisida 0,44%, ajuvan 0,40%, dan lain lain berjumlah 1,41%. Jenis pestisida yang banyak digunakan adalah jenis insektisida (Khamdani, 2009). Dampak negatif dari penggunaan insektisida dapat terjadi dengan cara akut maupun kronik yang diakibatkan dari kontaminasi melalui tiga jalur yaitu melalui kulit (epidermis), saluran pencernaan (ingestion) dan saluran pernafasan (inhalation). Pemaparan akut yang dapat menyebabkan keracunan yaitu iritasi pada kulit atau mata, dan dapat menyebabkan kematian. Sedangkan pada pemaparan kronik dapat terjadi kanker, gangguan pada syaraf, kerusakan organ bagian dalam dan lain lain (Kementrian Pertanian, 2011). Insektisida yang terakumulasi pada tubuh manusia dapat menyebabkan gejala keracunan yang ditimbulkan pada manusia yaitu sakit kepala, tremor, perut mual, muntah dan keletihan. Efek kronis keracunan pestisida yaitu terjadinya kerusakan sel sel hati, ginjal, sistem syaraf, sistem imunitas, dan sistem reproduksi (Irawati, 2004). Desa Purwaraja kecamatan kikim timur kabupaten lahat hampir keseluruhan masyarakat nya berprofesi sebagai petani. Penggunaan insektisida dapat dipengaruhi oleh faktor internal meliputi; umur, tingkat pendidikan, pengetahuan dan kesehatan. Peninjauan terhadap kondisi kesehatan petani pada lingkungan pertanian akan menjadi tolak ukur seberapa berpengharuhnya dari dampak penggunaan insektisida. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan desain crosssectional. Metode kuntitatif ini digunakan untuk menganalisis dampak penggunaan insektisisda pada petani. Data yang dibutuhkan dalam beberapa variabel dilakuakn dengan wawancara mendalam dengan penyebaran kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni 2017 di Desa Purwaraja Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat. Sampel dalam penelitian ini adalah 85 responden dan keseluruhannya berjenis kelamain laki laki. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Lokasi Penelitian dan Karateristik Respoden Desa Purwaraja merupakan salah satu Desa di Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat. Desa Purwaraja mempunyai luas 551,280 Ha. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Batas wilayah dari Desa Purwaraja adalah : 205

214 a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kencana Sari b. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukoharjo c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cempaka Sakti d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Senabing B. Analisis Univariat Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karateristik Desa Purwaraja Kecamatan Kikim timur kabupaten Lahat : Variabel N % Usia > 46 tahun 35 41,2 46 tahun 50 58,8 Pendidikan Tinggi 11 12,9 Rendah 74 87,1 Lama Kerja Lama 41 48,2 Cukup lama 44 51,8 Pengetahuan Baik 24 28,2 Kurang baik 61 71,8 Kesehatan Baik 40 47,1 Kurang Baik 45 52,9 Penggunaan Insektisida Baik 30 35,3 Kurang Baik 55 64,7 206

215 Berdasarkan dari hasil penelitian menyatakan bahwa responden paling banyak berusia 46 tahun, tingkat pendidikan yang rendah (SD dan SMP), Lama kerja reponden cukup lama, responden juga paling banyak memiliki pengetahuan kurang baik, sebagian besar responden memiliki kesehatan kurang baik dan penggunaan insektisida responden kurang baik. C. Analisis Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan chi-square. a. Hubungan Umur dengan Penggunaan Insektisida Hasil analisis hubungan umur dengan penggunaan insektisida dapat dilihat pada tabel 4.2 Usia > 46 tahun 46 tahun Tabel 4.2 Hubungan Umur dengan Penggunaan Insektisida Penggunaan Insektisida Total p- Baik Kurang Baik % value N % N % N 12 34, , , , , PR 95% CI 0,928 (0,375-2,295) Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa jumlah responden 46 tahun dan responden yang memiliki pengetahuan baik adalah 36,0 %, sedangkan respoden dengan usia > 46 tahun dan responden yang memiliki pengetahuan baik adalah 34,3 %. Sehingga tidak terdapat hubungan dengan p value = 1,000 (α - 0,05). Hasil statistik menunjukan bahwa variabel usia responden tidak mempunyai hubungan untuk mempengaruhi penggunaan insektisida. b. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Penggunaan Insektisida. Hasil analisis hubungan tingkat pendidikan dengan penggunaan insektisida i dapat dilihat pada tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Penggunaan Insektisida Total Baik Kurang Baik N % N % N % p- value Rendah 26 35, , ,000 Tinggi 4 36,4 6 63, PR 95% CI 1,055 (0,282-3,941) Berdasarkan tabel 4.3 diatas yang menunujukkan bahwa jumlah responden yang tingkat pendidikan rendah (SD, SMP) dan pengetahuan baik adalah 35,1 %, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan tinggi dan persepsi baik adalah 36,4 %. Sehingga tidak mempunyai perbedaan yang bermakna dengan p value = 1,000 (α = 0,05). Hasil statistik menunjukan bahwa variabel tingkat pendidikan tidak mempunyai hubungan untuk mempengaruhi penggunaan insektisida. 207

216 Dalam hal ini dapat membuktikan bahwa tingkat pendidikan tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk membedakan penggunaan insektisida. Responden yang mayoritasnya mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu sebesar 74 %, akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan batasan yang dapat mempengaruhi pengetahuan petani. c. Hubungan Lama Kerja dengan Penggunaan Insektisida Hasil analisis hubungan masa kerja dengan penggunaan insektisida dapat dilihat dalam tabel 4.4 dibawah ini : Lama Kerja Penggunaan Insektisida Total Baik Kurang Baik N % N % N % p- value Lama 15 36, , ,989 Cukup Lama 15 34, , PR 95% CI 1,115 (0,458-2,717) Berdasarkan tabel 4.4 diatas yang menunjukkan bahwa jumlah responden pengetahaun responden dan dengan penggunaan insektisida adalah 37,5 %, sedangkan pada responden dengan pengetahuan kurang baik dan penggunaan insektisida baik adalah 34,4 %. Sehingga terdapat perbedaan yang bermakna dengan p value = 0,988 (α = 0,05). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penggunaan insektisida. d. Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Insektisida Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan penggunaan insektisida dapat dilihat pada tabel 4.5 Pengetahuan Penggunaan Insektisida Total Baik Kurang Baik N % N % N % p- value Baik 9 37, , ,988 Kurang baik 21 34, , PR 95% CI 1,143 (0,429-3,043) Berdasarkan tabel diatas yang menunujukkan bahwa jumlah responden pengetahaun responden dan dengan penggunaan insektisida adalah 37,5 %, sedangkan pada responden dengan pengetahuan kurang baik dan penggunaan insektisida baik adalah 34,4 %. Sehingga terdapat perbedaan yang bermakna dengan p value = 0,988 (α = 0,05). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penggunana insektisida. e. Hubungan Kesehatan dengan Pengetahuan Hasil analisis hubungan kesehatan dengan pengetahuan pada petani dapat dilihat dalam tabel 4.6 Kesehatan Penggunaan insektisida Total Baik Kurang Baik N % N % N % p- value Baik 16 40, , ,530 Kurang Baik 14 31, , PR 95% CI 1,476 (0,604-3,608) Berdasarkan pada tabel diatas menunjukan bahwa jumlah responden dengan 208

217 kesehatan dan pengetahuan baik adalah 40 %. Sedangkan pada responden dengan keadaan kesehatan kurang baik dan pengetahuan baik adalah 60 %. Hasil statistik menunjukkan bahwa variabel kesehatan tidak memiliki hubungan untuk mempengaruhi pengetahuan. D. Hasil Analisis Multivariat Analisis multivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui variabel mana yang paling berhubungan dengan variabel dependen. Uji yang digunakan adalah uji regresi logistik berganda (model faktor resiko) karena penggunaan insektisida sebagai variabel dependen dan usia, tingkat pendidikan, pengetahaun, kesehatan sebagai variabel independen sebagai data kategorik. Analisis multivariat terdiri atas seleksi bivariat, full model, uji counfounding, final model. Tabel dibawah ini adalah hasil model akhir atau final model dari analisis multivariat. Variabel P value PR Crude 95 % CI Min Maks Lama Kerja 0,682 0,805 0,308 2,104 Pengetahuan 0,830 0,836 0,286 2,345 Kesehatan 0, ,270 1,639 Hasil analisis multivariat menunjukan bahwa variabel yang mempunyai hubungan dengan penggunaan insektisida di Desa Purwaraja Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat adalah kondisi kesehatan petani. Didapatkan nilai PR dari variabel kondisi kesehatan adalah 0,6 yang artinya responden dengan kondisi kesehatan petani yang baik mampu meningkatkan penggunaan insektisida di Desa Purwaraja Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat 6 kali lebih besar dibanding responden yang memiliki kondisi kurang baik setelah dikontrol dengan variabel counfounding masa kerja dan pengetahuan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa : a. Karakteristik petani adalah sebagian besar berumur 46 tahun (58,8%), dan berpendidikan rendah (SD dan SMP) sebesar 87,1 %. b. Variabel yang diteliti tidak berhubungan dengan penggunaan insektisida di Desa Purwaraja Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat c. Mayoritas (71,8%) pengetahuan petani tentang dampak penggunaan insektisida terkait kesehatan masyarakat dikategorikan kurang baik Mayoritas (64,7 %) penggunaan insektisida pada petani dikategorikan kurang baik 209

218 DAFTAR PUSTAKA Achmadi Toksikologi Pestisida. Universitas Indonesia, Jakarta. Arianti, F.D Toksisitas Insektisida Endosulfan Terhadap Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Dalam Lingkungan Air Tawar. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 87 Hal. Irawati ,8 Persen Karedok Mengandung Residu Pestisida Metasiklor. Media Indonesia Online. Kementrian Pertanian Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan Beredar Tahun Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementrian Pertanian. Kementrian Kesehatan RI Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam Pengendalian Vektor. Jakarta : Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. 126 hal. Kesuma Bioindikator Efektifitas Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloeck Dengan Penentuan Lethal Concentration (LC50 96 Jam) Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus L). Jurusan biologi FMIPA Universitas lampung. Seminar nasional sains dan teknologi II. Khamdani, F Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap dengan Pemakaian alat Pelindung diri dari Pestisida Semprot pada Petani di Desa Angkatan Kidul Pati. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Koesoemadinata S Metode Standar Pengujian Toksisitas Pestisida Terhadap Ikan. Jakarta : Komisi Pestisida. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian. Komisi pestisida Pedoman Residu Pengujian Pestisida Dalam Hal Pertanian ; Pelaksanaan Batas Maksimum Residu Pestisida. Direktorat perlindungan tanaman pangan, Departemen pertanian RI. Kusuma astuti, Nurul Hidayati Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Antinyamuk di Desa Pangandaran Kabupaten Pangandaran. Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 17 (1) ; Notoatmodjo, Soekidjo Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 210

219 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Pencemaran Kromium Heksavalen (Cr VI) pada Ikan Nila di Sungai Garang Kota Semarang Suci Kurniawati 1 1 Program Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro (suci.kurnia03@yahoo.com) ABSTRAK Cr VI merupakan logam berat yang bersifat toksik dan tidak mudah terurai di lingkungan. Studi awal ditemukan konsentrasi Cr VI pada air Sungai Garang sebesar 0,078 mg/l dan pada ikan nila (Oreochromis niloticus) sebesar 0,17 mg/kg. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis risiko kesehatan akibat pencemaran Cr VI pada ikan nila yang dikonsumsi masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode ARKL dan analisis inferensial. Pengambilan sampel objek dilakukan dengan metode grab sampling sedangkan sampel subjek dilakukan secara purposive sampling. Hasil analisis konsentrasi Cr VI di air rata-rata sebesar 0,009 mg/l dan konsentrasi Cr VI di ikan nila sebesar 0,5 mg/kg. Hasil perhitungan menunjukkan nilai asupan masyarakat yang mengonsumsi ikan nila sebesar 0, mg/kg/hari. Tingkat risiko (RQ) yang diperoleh sebesar 0,08 (RQ<1). Hasil uji statistik t-test menunjukkan nilai p-value 0,001 yang berarti bahwa ada perbedaan rerata konsentrasi Cr VI antara air sungai dan ikan nila yang berasal dari Sungai Garang. Kata Kunci: ARKL, kromium heksavalen, ikan nila, Sungai Garang Kota Semarang. Environmental Health Risk Assesment Exposure of Chromium Heksavalen (Cr VI) on Tilapia in Garang River Semarang City ABSTRACT Cr VI is a heavy metal that toxic and not easily decomposes in the environment. The preliminary study found the concentration of Cr VI in Garang River was 0,078 mg/l and in tilapia (Oreochromis niloticus) was 0,17 mg / kg. The purpose of this research was to analyze the health of Cr VI contamination on tilapia that consumed by community. This research is an analytical research with ARKL method and inferential analysis. The sampling of the object sample is done by grab sampling method while the subject sample is done by purposive sampling. The result of analysis of Cr VI concentration in river water averaging 0,009 mg / l and concentration of Cr VI in tilapia was 0,5 mg / kg. The calculation results showed the intake of people that consuming tilapia was mg / kg / day. The risk level (RQ) obtained is 0.08 (RQ <1). The result of t-test statistic showed p-value 0,001 which means that there is difference of average Cr VI concentration between river water and tilapia coming from Garang River. 211

220 PENDAHULUAN Banyak logam yang mendapat perhatian sebagai kontaminan lingkungan dan bahaya yang potensial, salah satunya adalah kromium heksavalen. Kromium heksavalen merupakan logam yang penggunaannya sangat luas namun berbahaya bagi lingkungan. Kromium heksavalen mempunyai sifat persisten, bioakumulatif, toksik dan tidak mampu terurai di dalam lingkungan, serta terakumulasi di dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. 1 Hal ini tentu akan berdampak negatif apabila manusia mengonsumsi makanan yang mengandung logam berat kromium heksavalen. Garam-garam kromium yang masuk kedalam tubuh manusia akan segera dikeluarkan oleh tubuh. Akan tetapi, jika kadar kromium tersebut cukup besar dan melebihi nilai ambang batas akan mengakibatkan kerusakan pada sistem pencernaan seperti nyeri perut, muntah, ulkus lambung, perdarahan dan nekrosis serta diare berdarah. 2,3 Menurut hasil penelitian Bappeda Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro tentang kualitas estauria di Jawa Tengah tahun 2002, ada 5 (lima) sungai dan estauria yang mengandung logam berat melebihi ambang batas yaitu terdapat di Kota Tegal (Sungai Gung dan Sibelis), Kabupaten Pekalongan (Sungai Pekalongan), Kota Semarang (Sungai Babon dan Sungai Garang) dan Pati (Sungai Juwana). 4 Sungai Garang merupakan sungai terbesar di Kota Semarang. Berbagai kegiatan terdapat di sepanjang aliran Sungai Garang antara lain perkampungan, pabrik dan industri, rumah makan, apotek, pertanian, perikanan serta limpasan leachate yang berasal dari TPA Jatibarang yang memberikan kontribusi berbagai jenis polutan yang terbawa arus ke dalam aliran Sungai Garang. 5 Salah satu biota yang dominan ditemui disepanjang aliran Sungai Garang adalah ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila merupakan salah satu jenis hewan yang direkomendasikan oleh EPA (Environmental Protection Agency) sebagai hewan uji karena ikan tersebut memenuhi persyaratan yaitu penyebarannya cukup luas, banyak dibudidayakan, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mentolerir lingkungan yang buruk. Hasil studi awal menyatakan bahwa air sungai Garang mengandung kromium heksavalen melebihi ambang batas yang ditetapkan Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2001 tentang Pengendalian Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yakni sebesar 0,785 mg/l. Sedangkan konsentrasi kromium heksavalen pada ikan nila adalah sebesar 0,177 mg/kg. Menurut Food and Agricultural Organization (FAO) menentukan konsentrasi kromium pada daging dan ikan adalah sebesar 1 mg/kg. 6 Logam berat yang terkandung dalam perairan akan mengendap di sedimen dan terakumulasi dalam tubuh ikan nila, hal ini diduga kuat akan lebih berisiko apabila manusia mengonsumsi ikan yang sudah tercemar logam berat tersebut. METODE PENELITIAN Rancangan studi penelitian yang digunakan adalah analitik dengan menggunakan metode studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) dan analisis inferensial dengan tujuan untuk mengetahui konsentrasi logam Cr 6+ pada air sungai dan ikan nila serta memperkirakan besaran risiko yang diterima oleh masyarakat yang mengonsumsi ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berasal dari Sungai Garang. Lokasi penelitian berada di enam kecamatan dan delapan kelurahan yang dilewati oleh Sungai Garang beserta anak sungainya, yakni Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gajah Mungkur, Kecamatan Gunung Pati, Kecamatan, Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Semarang Barat. Sampel subjek yang digunakan adalah sebanyak 33 orang yang terdiri masyarakat di Kelurahan Pudak Payung, Srondol, Bendan Nduwur, Kandri, Kedungpane, Kalipancur, Sampangan dan Ngemplak Simongan yang mengonsumsi ikan nila (Oreochromis nilotucus) dari aliran Sungai Garang yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. 212

221 Sedangkan sampel objek yang digunakan adalah air sungai dan ikan nila dari Sungai Garang. Pengambilan sampel air sungai dan ikan nila dilakukan dengan menggunakan metode grab sampling yang diambil pada 11 segmen. Dibutuhkan 2 liter air sungai dan 500 gram ikan nila untuk dilakukan pengujian di laboratorium. Letak segmen pengambilan sampel tertera dalam gambar berikut ini: Gambar 1. Peta Segmen Pengambilan Sampel No Lokasi pengambilan sampel Konsentrasi Cr VI di air Sungai (mg/l) niloticus) 1 Segmen I 0,015 0,57 2 Segmen II 0,011 0,31 3 Segmen III 0,011 0,49 4 Segmen IV 0,009 0,82 5 Segmen V 0,01 0,81 Konsentrasi Cr VI di Ikan Nila (Oreochromis 213

222 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Kromium Heksavalen di Air Sungai dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Hasil penelitian diketahui bahwa terjadinya penurunan konsentrasi kromium heksavalen pada air sungai dibandingkan dengan hasil pada saat studi awal. Hasil pengukuran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini: Tabel 1. Konsentrasi Kromium Heksavalen Dalam air Sungai dan Ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berasal dari Sungai Garang Kota Semarang Tahun 2017 No Lokasi pengambilan sampel Konsentrasi Cr VI di air Sungai (mg/l) Konsentrasi Cr VI di Ikan Nila (Oreochromis niloticus)(mg/kg) 6 Segmen VI 0,007 0,76 7 Segmen VII 0,004 0,54 8 Segmen VIII 0,008 0,35 9 Segmen IX 0,005 0,43 10 Segmen X 0,006 0,51 11 Segmen XI 0,015 0,68 Dapat dilihat bahwa rata-rata konsentrasi kromium heksavalen pada setiap segmen masih berada di bawah nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Permen No. 82 tahun Hal ini berbeda dengan penelitian Susanti yang menyatakan bahwa sungai Garang telah mengandung logam beerat kromium yang telah melebihi ambang batas yakni lebih dari 0,05 mg/l. Hal ini disebabkan karena perbedaam kondisi dan iklim saat dilakukan pengambilan sampel. Terjadinya hujan yang menyebabkan masuknya air hujan ke perairan akan mengakibatkan arus yang deras dan pengenceran secara alami di badan air sehingga konsentrasi logam berat dapat memiliki hasil yang berubah-ubah dan cenderung lebih rendah. Penelitian Suryanti menyatakan bahwa kandungan logam berat dalam air dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada waktu curah hujan tinggi, kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelauran akibat air hujan, sedangkan pada saat musim kemarau, kandungan logam berat akan lebih tinggi. 2 Selain itu aktivitas di sekitar sungai juga ikut mempengaruhi kualitas air sungai. Seperti yang terlihat pada tabel 2, segmen I (Jembatan Pramuka) dan XI (Ngemplak Simongan) merupakan segmen dengan rata-rata kromium heksavalen tertinggi, hal ini diperkirakan terjadi karena adanya lokasi perindustrian pada kedua lokasi tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa semua industri tersebut memanfaatkan sungai sebagai sarana untuk membuang limbah. Selain itu limbah domestrik dari pemukiman juga ikut berkontribusi terhadap kualitas air sungai Garang. Hasil penelitian konsentrasi kromium heksavalen pada ikan nila menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi kromium heksavalen pada ikan nila masih berada di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh FAO. Adanya kandungan logam berat kromium heksavalen pada tubuh ikan dikarenakan sudah tercemarnya perairan Sungai Garang khususnya logam berat kromium heksavalen. Rata-rata konsentrasi kromium tertinggi pada ikan nila terdapat di segmen IV. Hal ini dikarenakan sampel ikan yang didapat selama penelitian mempunyai bentuk ukuran yang 214

223 berbeda-beda. Pada segmen IV ini sampel ikan yang diperoleh mempunyai ukuran lebih besar dibandingkan dengan sampel ikan pada segmen lain. Oleh sebab itu pada segmen ini dijadikan sebagai tempat pemancingan favorit masyarakat Kota Semarang. Ukuran ikan dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuhnya. Tingginya kandungan logam berat kromium di dalam tubuh ikan nila tersebut dikarenakan sifat akumulatif dari organisme perairan. Semakin besar ukuran tubuh ikan maka diperkirakan umur ikan juga lebih tinggi, sehingga proses akumulasi logam berat pada tubuh ikan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan ikan dengan ukuran yang lebih kecil. Hal ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ikan mujair yang terdapat di Sungai Citarum hulu dengan bobot yang paling tinggi yakni 48,9 gram mengandung logam berat cadmium paling tinggi dalam dagingnya yakni sebesar 149 ppb. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan bobot yang merupakan indikasi dari waktu hidup yang lebih lama sehingga menyebabkan kadar logam beratnya berbeda. 7 Analisis Dosis Respon (Dose Response Assassement) Pada penelitian ini nilai dosis respon yang digunakan berasal dari IRIS (Integrated Risk Information Sistem). Environmental Protection Agency (US EPA) mengklasifikasikan Cr VI sebagai karsinogen pada manusia hanya pada jalur pajanan melalui inhalasi atau pernapasan (Group A) sedangkan pajanan melalui oral tidak bisa diklasifikasikan sebagai karsinogen (Group D). Dari total Cr yang tertelan, hanya sekitar 2 sampai 3% yang diserap oleh usus (saluran gastrointestinal) yang selebihnya akan terbuang melalui urin. Cairan lambung dengan cepat mengurangi Cr (VI) menjadi Cr III. Sebagaimana diketahui bahwa Cr III dalam jumlah kecil di dalam tubuh adalah nutrisi penting bagi tubuh. Proses reduksi terjadi 100% sehingga tidak ada Cr VI yang bisa terdeteksi di saluran gastro intestinal atau di dalam darah setelah menelan Cr VI. Inilah alasan mengapa Cr VI tidak dianggap sebagai bahaya apabila terjapan melalui konsumsi atau ingesti. Di dalam IRIS tidak ada cukup data yang menyebutkan bahwa Cr VI yang masuk melalui pajanan ingesti atau tertelan berisiko terhadap kasus kanker, sehingga dalam penilaian ini referensi yang digunakan dalam analisis adalah efek non karsinonegik (RfD). RfD Cr VI pada makanan yang diperbolehkan oleh IRIS adalah sebesar 0,003 mg/kg/hari. Analisi Pajanan(Exposure Assasement) Analisis pajanan dengan melakukan perhitungan intake atau asupan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai yang sudah di analisis. Nilai-nilai tersebut diperoleh melalui wawancara pada 33 responden yang mengonsumsi ikan nila yang berasal dari Sungai Garang. 215

224 Dalam menentukan intake nilai yang dipakai tergantung dari sifat sebaran data dengan menggunakan analisis uji saphiro wilk. Data dikatakan normal apabila p value > 0,05 maka nilai yang digunakan adalah nilai ratarata atau mean. Sedangkan data dianggap tidak normal apabila p value < 0,05 maka nilai yang digunakan adalah nilai tengah atau median. Hasil perhitungan asupan kromium heksavalen dalam pajanan real time adalah sebagai berikut: Intake = Intake = Intake ( I nk ) = 0, mg/kg/hari Besar kecilnya nilai intake atau asupan pada seseorang dipengaruhi oleh besarnya nilai konsentrasi bahan kimia pada suatu bahan makanan atau dalam penelitian ini adalah logam kromium pada ikan nila serta pola konsumsi masyarakat terhadap ikan nila tersebut. Penelitian Daud menyatakan bahwa besarnya nilai intake atau asupan risk agen yang masuk ke dalam tubuh manusia berbanding lurus dengan nilai konsentrasi risk agen, laju asupan, frekuensi pajanan dan durasi pajanan. Hal ini berarti bahwa semakin besar nilai-nilai variable tersebut makan akan semakin besar pula nilai intake atau asupan yang masuk ke dalam tubuh seseorang. 8 Karakteristik Risiko (Risk Characterization) Karakteristik Risiko Populasi Perhitungan Risk Quotient (RQ) untuk konsumsi ikan nila (Oreochromis niloticus) pada pajanan kromium heksavalen adalah sebagai berikut: Tabel 2. Nilai Deskritif Variabel Untuk Pengukuran Intake Masyarakat yang Mengonsumsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang Berasal dari Sungai Garang Kota Semarang Tahun 2017 Variabel Mean Median Min-Max p-value Total n Laju asupan (gr/hari) 230, ,0-350,0 0,00 Frekuensi pajanan (hari/tahun) 140,24 104,00 52, ,00 33 Durasi Pajanan (tahun) 14,75 12,25 3,56-44,88 0,00 33 Berat badan (Kg) 60, ,0-78,0 0,50 33 Berdasarkan perhitungan dapat disimpulkan bahwa masyarakat masih aman dan belum berisiko untuk mengonsumsi ikan nila yang berasal dari Sungai Garang dengan nilai RQ 0,08 (RQ <1). Nilai karakteristik risiko atau tingkat risiko berbanding lurus dengan nilai intake yang diperoleh baik itu nilai konsentrasi logam berat di makanan, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan serta waktu rata-rata pajanan. Semakin tinggi nilai intake maka semakin tinggi pula tingkat risiko yang akan diterima. 216

225 Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata pola konsumsi masyarakat terhadap ikan nila masih tergolong jarang. Hampir semua responden tidak mengonsumsi ikan nila untuk setiap harinya. Mereka hanya mengonsumsi ikan nila pada saat mereka menginginkan memasak ikan nila dari hasil pancingan mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Mursidi bahwa penduduk yang mengonsumsi air minum yang mengandung logam kromium masih aman dan belum berisiko terhadap kesehatan (RQ 0,38). Karakteristik Risiko Individu Perhitungan tingkat risiko individu dengan menggunakan formula yang sama sehingga diperoleh hasil bahwa individu individu masyarakat yang mengonsumsi ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berasal dari Sungai Garang masih aman dan tidak berisiko terhadap kesehatan (RQ < 1) berdasarkan durasi pajanan real time. Dengan asumsi bahwa pajanan kromium hanya berasal dari ikan nila yang berasal dari Sungai Garang saja. Tingkat risiko yang diterima individu masyarakat yang mengonsumsi ikan nila yang berasal dari Sungai Garang dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 2. Tingkat Risiko Individu Masyarakat yang Mengonsumsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang Berasal dari Sungai Garang 217

226 Manajemen Risiko Meskipun Dari hasil perhitungan didapatkan tingkat risiko untuk populasi masyarakat yang mengonsumsi ikan nila < 1, hal ini bukan berarti kelompok yang tidak berisiko (RQ<1) diabaikan, tetapi tetap dilakukan pengendalian agar kondisinya tetap bisa dipertahankan sehingga nilai RQ tidak lebih dari 1. Pengelolaan risiko dilakukan dengan menerapkan fungsi manajemen Planning, Organizing, Actuating dan Controling (POAC) dengan cara pengelolan strategi risiko dengan menetapkan laju asupan aman dan frekuensi pajanan aman yang tertera dalam formula berikut: R nk (aman) f E (aman) Bersadarkan hasil perhitungan dengan menggunakan formula diatas menunjukkan bahwa untuk durasi lifetime (30 tahun) jumlah konsumsi (R) ikan nila yang aman adalah sebesar gram/hari. Sedangkan untuk frekuensi pajanan aman konsumsi ikan nila adalah sebesar 104 hari/tahun. Batasan-batasan aman laju asupan dan frekuensi pajanan dapat dilihat pada gambar berikut ini: , 1267, , 658, , 439, , 329, , 263, Frekuensi Pajanan Aman (hari/tahun) Gambar 3. Batasan-Batasan Laju Asupan dan Frekuensi Aman Dalam Durasi Lifetime Analisis Inferensial heksavalen di air sungai dan ikan nila dengan Analisis inferensial digunakan untuk menguji menggunakan uji beda rerata t-test. adanya perbedaan konsentrasi kromium Tabel 3. Perbedaan Konsentrasi Kromium pada Air Sungai dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dari Sungai Garang Kota Semarang Tahun 2017 Kadar Kromium No Variabel P value Min Max Median Mean SD 1 Kromium di air 0,004 0,015 0,009 0, Kromium di ikan nila (Orechromis niloticus) 0,31 0,82 0,54 0,57 0,177 0,00 218

227 Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa hasil uji T-test kadar kromium pada air dan ikan nila diperoleh nilai p 0,00 (p<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rerata kadar kromium antara air sungai dan ikan nila (Oreochromis niloticus) di Sungai Garang Kota Semarang. Hal ini disebabkan karena perbedaan faktorfaktor yang mempengaruhi kedua subyek tersebut. Tinggi rendahnya konsentrasi logam berat dalam perairan dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu berupa faktor fisik maupun faktor kimia dari perairan itu sendiri. Menurut Palar dalam badan perairan terjadi bermacam-macam proses kimia, mulai dari proses pengomplekan, jenis dan konsentrasi logam berat dan komponen mineral teroksida serta sistem lingkungan redoks. Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses, yaitu: pengendapan, pengenceran, dispersi dan adsorbsi serta adsorbsi oleh organisme-organisme perairan. Proses ini juga terjadi pada logam kromium yang di perairan. Selain itu faktor yang memengaruhi tingkat toksisitas logam berat antara lain suhu, salinitas, ph, dan kesadahan. Penurunan ph dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Peningkatan suhu menyebabkan toksisitas logam berat meningkat. Sedangkan kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air. Berdasarkan hasil penelitian kondisi suhu dan ph perairan cenderung dalam kisaran batas aman. Sedangkan masuknya logam berat ke dalam jaringan tubuh organisme melalui proses bioakumulasi dan sebagian besar terjadi melalui rantai makanan. Logam berat kromium yang terlarut di dalam air dan yang terendap di sedimen akan masuk ke dalam tubuh ikan sehingga logam berat tersebut akan terakumulasi dalam tubuh ikan melalui rantai makanan. Widowati menjelaskan rantai makanan pada organisme perairan berawal dari fitoplankton yang akan dimakan oleh zooplankton, zooplankton dimakan oleh ikanikan kecil, ikan-ikan kecil dimangsa oleh ikanikan besar dan akhirnya ikan ikan besar dimakan oleh manusia. Proses ini terjadi terus menerus sehingga terjadi akumulasi logam berat pada tubuh manusia. Penelitian Wisnu menjelaskan bahwa bioakumulasi logam berat pada lingkungan perairan dapat terjadi melalui 3 (tiga) cara, yakni: (1) akumulasi logam berat dari partikulat tersuspensi atau sedimen, (2) akumulasi logam berat dari makanan ikan (sistem rantai makanan), dan (3) akumulasi logam berat yang terlarut dalam air. 9 Hal ini sejalan dengan penelitian Layadhane yang menyatakan bahwa adanya perbedaan yang signifikan yang signifikan antara konsentrasi logam berat di air dan sedimen permukaan (media) pada logam berat Cu dan Pb dengan nila p-value 0,0015 dan 0,0027 (<0,05). 10 PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang mengonsumsi ikan nila (Oreochromis niloticus) yang berasal dari Sungai Garang Kota Semarang masih masih aman dan belum berisiko terhadap kesehatan dengan nilai RQ < 1 baik untuk pajanan real tima atau life time. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata konsentrasi kromium pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang lebih tinggi dibandingkan pada air Sungai Garang. DAFTAR PUSTAKA 1. Tyas, N.M., Affandi, R. Uji Toksisitas Letal Cr 6+ Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI).2016;21(2); Wiresphati E, Raharjo, Budijastuti W. Pengaruh kromium heksavalen terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan nila. Lentera Bio. 2012;1(2);

228 3. Agency for Toxic Substances and Desease. Toxicological profile for chromium. U.S. Department of health and human services. Department Of Health And Human Services, United State, Suyanto, A., Kusmiyanti, S. dan Setyaningsih, C. Residu Logam Berat Ikan Dari Perairan Tercemar di Laut Utara Jawa Tengah. Jurnal Pangan dan Gizi. 2010;1(2): Windarto, J., Pawitan, H., Suripin, Januar, M. Model Prediksi Tiggi Muka Air Sungai Kali Garang Semarang Dengan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal Teknik;2008;29(3); Food and Agriculture Organization. Compilation of Legal Limits for Hazardous Substances in Fish and Fishery Products. FAO Fisheries Circular No Rome, Budiman, B., Dhahiyat, Y., Hamdani, H. Bioakumulasi logam berat Pb (Timbal) dan Cd (Kadmium) pada Daging Ikan yang Tertangkap di Sungai Citarum Hulu. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2012;3(4); Daud, A, Dullah A, Melongi A. Risk management of cadmium (Cd) due to Leiognathus sp, Portunus Pelagicus, Anadara spand Penaeus spconsumption among community in Tallo Subdistric, Makassar, Indonesia. International Journal of Scientific and Research Publications. 2013;3(11); Wisnu, M.A., Hartati, A. Penyerapan logam berat merkuri dan Cadmium pada Ikan Mas (Cyprynus carpio). Jurnal Purifikasi. 2000;1(2) 10. Harlyan L dan Sari S. Konsentrasi Logam Berat Cu, Cd, Pb dan Zn pada Air dan Sedimen Permukaan Ekosistem Mangrove di Muara Sungai Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2015;20(1);

229 KONTRIBUSI ASPEK PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN KEPADA PERHITUNGAN INDEX KETERSEDIAAN AIR (Environmental Related Diseases Contribution into Water Availability Index Calculation) Rudatin Windraswara 1 *, Ani Fatkhi Rizki 1 1 Jurusan Kesehatan Masyarakat, Gd F5 lantai 2 FIK, Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran, Kota Semarang * Penulis korespondensi. No Tel: rudatin@mail.unnes.ac.id Abstrak Selama 20 tahun terakhir, metodologi untuk mengukur akses terhadap air bersih telahberkembang pesat. Batas kelangkaan air (water scarcity) pertama kali disusun oleh Falkenmark dan lebih lanjut disempurnakan bersama Gleick dengan mempertimbangkan berbagai sektor sosial dan kebutuhan air spesifik untuk kebutuhan dasar manusia (Falkenmark, 1989; Brown and Matlock, 2011). Pada sisi yang lain, index air yang ada belum mengeksplorasi secara langsung tentang bagaimana pengaruh dari nilai indikator air terhadap dampak kesehatan masyarakat masyarakat, misalnya dengan banyaknya kasus penyakit berbasis lingkungan seperti diare, kolera, disentri, tifoid, trakoma, skabies, infeksi mata dan kulit (Anonym, 2008). Penelitian ini mencoba memberikan alternatif dalam penilaian indeks yang sesuai dengan karakteristik masyarakat urban dengan mempertimbangkan hubungan sebab akibat antara kelangkaan air dengan penyakit yang diderita masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mengambil studi kasus pada lokasi di daerah dengan kepadatan yang tinggi, yaitu Kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Metode penentuan rawan air mengacu pada perhitungan Water Poverty Index dan Water Stress Index yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia (Falkenmark, 1989; Sullivan, 2002; Ali, 2005; Brown and Matlock, 2011) dengan mempertimbangkan aspek kejadian penyakit. Hasil penelitian mendapatkan bahwa ada variasi tingkat kerawanan air sangat tinggi (RW II dan RW III) dan tinggi (RW IV dan RW V) dan bertepatan dengan tingginya angka kejadian penyakit berbasis air di lokasi yang sama. Sehingga terdapat potensi bahwa dalam penentuan status kerawanan air (WSI) diperlukan juga analisis tambahan berupa angka kejadian penyakit untuk melengkapi indeks perhitungan air. Kata kunci: indeks tekanan air, water stress index, kesehatan lingkungan, kejadian penyakit. Abstract Over the past 20 years, methodology to measure access to clean water has been growing rapidly. Water scarcity concept was first conceived by Falkenmark and further refined along Gleick by considering various social sectors and specific water needs for basic human needs (Falkenmark, 1989; Brown and Matlock, 2011). On the other hand, there is an need to consider incident rate of water related diseases, for example the number of cases of environment-linked diseases such as diarrhea, cholera, dysentery, typhoid, trachoma, scabies, eye infections and skin (Anonym, 2008) into water index. This study tried to provide alternatives in water index calculation that match the characteristics of the urban community taking into account the causal relationship between water scarcity with the disease suffered by the people either directly or indirectly process in Sekaran District, Gunungpati, Semarang. The method referred to the calculation Water Poverty Index and the Water Stress Index adapted to the conditions in Indonesia (Falkenmark, 1989; Sullivan, 2002; Ali, 2005; Brown and Matlock, 2011) which take into account the incidence of the 221

230 disease. Results of the study found that there are varying levels of vulnerability of water is very high (RW II and RW III) and high (RW IV and RW V) and coincides with a high incidence of water-based diseases in the same location. So there is the potential that in the determination of the status of water vulnerability (WSI) is also required additional analysis such as the incidence of the disease to complete the calculation of the index of water. Keywords: water stress index, water related disease, environmental health. PENDAHULUAN Meskipun salah satu tujuan MDG (Millenium Development Goals) 2015 untuk menurunkan separuh dari jumlah orang yang tidak memiliki akses terhadap air bersih sudah tercapai ((WHO/UNICEF, 2015), tetapi di Indonesia masih terdapat 11% dari total jumlah penduduk atau sekitar 28,6 juta jiwa yang belum memiliki akses air yang aman (Anonym, 2015b; WHO/UNICEF, 2015). Salah satu tantangan utama dalam bidang pembangunan air adalah ketersediaan data dan pengukuran layanan air bersih. Selama 20 tahun terakhir, metodologi untuk mengukur akses terhadap air bersih telah berkembang pesat. Batas kelangkaan air (water scarcity) pertama kali disusun oleh Falkenmark dan lebih lanjut disempurnakan bersama Gleick dengan mempertimbangkan berbagai sektor sosial dan kebutuhan air spesifik untuk kebutuhan dasar manusia (Falkenmark, 1989; Brown and Matlock, 2011). Indikator atau skala pengukuran lingkungan sangat berguna dalam hal memudahkan perhitungan dan kondisi rumit di lapangan sehingga hanya menjadi sebuah angka index atau beberapa sub-index (Norman et al., 2013; Dickson, Schuster-Wallace and Newton, 2016). Secara umum, indikator dan index disusun untuk mempermudah dalam penentuan prioritas, alat pengukuran, menganalisis kemajuan, dan bahan dalam pengambilan keputusan. Saat ini, setidaknya terdapat beberapa indikator yang keberlanjutan manajemen dan pengelolaan air yang banyak digunakan seperti Available Water Resources per capita (AWR), Water Scarcity Index (WSI), Water Resources Vulnerability Index (WRVI), Social Water Stress Index (SWSI), Water Stress Indicator (WSI), dan Water Poverty Index (WPI) (El-gafy, 2015). Salah satu kesulitan dalam menentukan indikator atau index apakah yang sesuai adalah karena banyaknya aspek penting yang sama-sama perlu dipertimbangkan dalam konsumsi, penyediaan dan kelangkaan air. Pemilihan dari kriteria yang sesuai tidak hanya berdasarkan pertimbangan sains saja tetapi juga mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan pertimbangan politis (Brown and Matlock, 2011). Pada sisi yang lain, index air yang ada belum mengeksplorasi secara langsung tentang bagaimana pengaruh dari nilai indikator air terhadap dampak kesehatan masyarakat masyarakat, misalnya dengan banyaknya kasus penyakit berbasis lingkungan seperti diare, kolera, disentri, tifoid, trakoma, skabies, infeksi mata dan kulit (Anonym, 2008). Komponen penyakit tersebut banyak didapatkan pada indeks kesehatan lingkungan, selain aspek sanitasi, kepadatan penduduk, ruang terbuka hijau, sosio demografi, kemiskinan dan lain sebagainya (Briggs, 1999; Burke, Cords and Jaffe, 2014). Meskipun secara umum Indonesia masih menjadi salah satu negara yang memiliki air yang melimpah, namun ada persoalan cukup besar, yaitu pengelolaan air di Pulau Jawa yang dipenuhi hampir 65% penduduk Indonesia sedangkan ketersediaan airnya sangat terbatas (Ali, 2005). Krisis air terjadi di daerah-daerah dengan curah hujan rendah dan tinggi kepadatan pendududuk atau di daerah dimana kegiatan pertanian dan industri yang tinggi. Krisis air menginduksi kerusakan sumber air bersih dari segi kuantitas (eksploitasi akuifer yang berlebih, sungai kering, dll) dan kualitas (eutrofikasi, polusi bahan organik, intrusi air laut, dll). Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan masalah kesehatan dan memiliki pengaruh negatif pada ekosistem. Risiko tambahan bagi kesehatan masyarakat akibat krisis air terutama adanya perubahan dalam pola penyebaran dan aktivitas bakteri 222

231 penyebab penyakit dan inang tempat perkembangbiakannya. Penelitian ini mencoba memberikan alternatif dalam penilaian indeks yang sesuai dengan karakteristik masyarakat urban dengan mempertimbangkan hubungan sebab akibat antara kelangkaan air dengan penyakit yang diderita masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mengambil studi kasus pada lokasi di daerah dengan kepadatan yang tinggi, yaitu Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunungpati Kota Semarang sehingga akan didapatkan pemetaan indeks kelangkaan air dan analisisnya terhadap penyebaran penyakit berbasis air. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Kelurahan Sekaran, Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 75 m dari permukaan laut dengan curah hujan 7 mm/tahun dengan luas wilayah ha atau km 2. Kelurahan ini memiliki jumlah penduduk yang menyebar ke 7 RW dan 29 RT dengan kurang lebih bangunan rumah (Anonym, 2015a, 2016). Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun 2011 hingga 2015 berturut-turut sebesar jiwa, jiwa, jiwa, jiwa dan jiwa penduduk (Anonym, 2016). Salah satu penyebab kepadatan penduduk yang tinggi adalah karena banyaknya mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang berdomisili di sekitar wilayah ini. Penelitian dilak Bahan dan Alat Peralatan yang digunakan meliputi GPS untuk mengetahui posisi geografi dari penderita penyakit, kuesioner untuk wawancara dengan penduduk maupun tokoh masyarakat setempat, kamera dan recorder untuk mendokumentasi hasil wawancara. Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh rumah yang terdapat di Kelurahan Sekaran tahun 2015 yang berjumlah rumah di tujuh RW, yaitu RW I (456 rumah), RW II (361 rumah), RW III (249 rumah), RW IV (524 rumah), RW V (516 rumah), RW VI (132 rumah), RW VII (92 rumah). Pengambilan sampel untuk penelitian dilakukan dengan cara cluster random sampling yaitu pengambilan sampel acak dengan membagi populasi menjadi beberapa bagian atau kelompok untuk dilakukan pengamatan. Pembagian kelompok tersebut dilakukan sesuai dengan jumlah Rukun Warga (RW) yang ada di Kelurahan Sekaran. Di Kelurahan Sekaran terdiri dari 7 RW, pembagian sampel setiap RW dilakukan dengan cara membagi jumlah rumah setiap RW dengan jumlah populasi yang dikalikan dengan besar sampel minimal. Dengan perhitungan menggunakan rumus tersebut didapatkan hasil bahwa jumlah sampel setiap RW adalah 96 responden dengan jumlah responden berturut-turut dari RW I hingga RW VII sebanyak 19, 15, 10, 21, 21,6, dan 4 responden. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pemetaan yang dilakukan pada wilayah Kelurahan Sekaran, data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer yang diperoleh dari hasil survey menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok dan data skunder diperoleh dari instansi terkait. Metode penentuan rawan air mengacu pada perhitungan Water Poverty Index dan Water Stress Index yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia (Falkenmark, 1989; Sullivan, 2002; Ali, 2005; Brown and Matlock, 2011). Pengolahan dan Analisis Data Indikator indikator yang dipilih berdasarkan kajian literatur (Falkenmark, 1989; Sullivan, 2002; Ali, 2005; Brown and Matlock, 2011) dan hasil penelitian di wilayah lain sebagai bahan evaluasi dan rekomendasi dalam pemilihan komponen dan indikator karena 223

232 setiap wilayah memiliki perbedaan indikator dalam penentuan water stress. Indikatorindikator yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : indikator ketersediaan air (I 1), indikator cakupan layanan air perpipaan(i 2), indikator kontinuitas air (I 3), indikator kualitas air tanah (I 4), indikator ketersediaan sarana sanitasi limbah cair domestik (I 5), indikator tingkat konsumsi air bersih (I 6), indikator daya beli air bersih masyarakat (I 7), dan indikator tingkat kepercayaan masyarakat (I 8). Setiap nilai indikator memiliki nilai maskimal 20, dan akan di beri penyekalaan dengan nilai pembobotan (Ali, 2005). Langkah metode ini adalah memberikan skala kuantitatif pada masing-masing indikator yang menggambarkan tingkat pengaruh water stress di lokasi penelitian. Pengembangan konsep Water Stress Index (WSI) sangat dipengaruhi dan diadaptasi dari pengembangan Water Poverty Index (WPI). Water Stress Index didesain dari gabungan beberapa interdisiplin ilmu yang berhubungan dengan air dan manusia sebagai indikasi derajat dampak rawan air pada populasi manusia. WSI mengkombinasikan aspek fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang berhubungan dengan rawan air, akses air, dan kemampuan dalam menggunakan air (Brown and Matlock, 2011). Angka-angka WSI terssebut diperoleh dari rumus berikut : (20 i 1 I i. W i) W t WSI = 20 (1) Di mana nilai W i merupakan bobot masing-masing indikator hasil dari penilaian tenaga ahli dan stakeholder, W t adalah total pembobotan dari W i sedangkan I i adalah total skor indikator, dimana skor kedelapan indikator diperoleh dengan cara seperti berikut : 1) Indikator Ketersediaan Air (I 1) Indikator Ketersediaan menggambarkan ketersediaan volume air bersih yang ada di suatu wilayah dalam setiap tahunnya. Perhitungan ketersediaan air ini berdasarkan indikator Falkenmark (Falkenmark, 1989; Ali, 2005), sehingga diperoleh rumus: I 1 = ( AT+AP+SPAM ) P (2) Keterangan : AT : Debit Air Tanah (m 3 /tahun) AP : Debit Air Permukaan (m 3 /tahun) SPAM : Debit Air Perpipaan (m 3 /tahun) P : Jumlah Penduduk Kemudian tentukan skornya berdasarkan indikator Falkenmark (Falkenmark, 1989; Ali, 2005). Jika ketersediaan air m 3 /kapita/tahun, maka skornya 20. Jika ketersediaan air m 3 /kapita/tahun, maka skornya 15. Jika ketersediaan air m 3 /kapita/tahun, maka skornya 10. Jika ketersediaan air 500 m 3 /kapita/tahun, maka skornya 5. 2) Indikator Cakupan Layanan Air Perpipaan (I 2) Indikator ini menunjukkan jumlah penduduk yang mendapatkan pelayanan air perpipaan. Nilai persentase cakupan pelayanan air perpipaan didapat dari persamaan berikut : T = responden pengguna jaringan perpipaan responden x 100 (3) Dengan T adalah persentase cakupan layanan air perpipaan. Maka nilai indikator penggunaan air perpipaan dapat dihitung dengan rumus : I 2 = T x 20 (4) 3) Indikator Kontinuitas Air (I 3) 224

233 Kontinuitas pengaliran air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 yaitu selama 24 jam perhari. Penentuan skor untuk kontinuitas dari pengaliran air bersih jika lama pengaliran air > 12 jam, maka skornya 20 dan jika lama pengaliran air < 12 jam, maka skornya 10. Tiap RW memiliki lebih dari satu sumber air bersih sumber air bersih jaringan perpipaan, sumber air bersih non jaringan perpipaan, mata air dan sungai. Penentuan skor akhir dapat dirumuskan seperti berikut : I 3 = Skor sumber air sumber air yang digunakan (5) 4) Indikator kualitas air tanah Di Kelurahan Sekaran, baik SPAM non perpipaan ataupun SPAM perpipaan menggunakan sumber air tanah yaitu sumur artetis. Parameter kualitas air tanah yang digunakan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990. Parameter-parameter pada data kualitas air bersih tersebut dihitung dengan menggunakan indeks pencemaran (PI) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Nilai PIj menjadi dasar dalam penentuan nilai indikator kualitas air tanah. Penentuan indikatornya jika PIj 20, maka I 4 = 0 dan jika PIj < 20, maka I 4 = 20 Pij 5) Indikator ketersediaan sarana sanitasi limbah cair domestik (I 5) Indikator ini fokus terhadap jumlah penduduk yang memiliki fasilitas sarana pengolahan limbah cair domestik. Penentuan skor pada indikator ini berdasarkan persentase: Skor sistem komunal : 20 Skor sistem semi komunal/modular : 10 Skor sistem individual : 5 Skor buang ke sungai : 2 Berdasarkan ketentuan skor diatas, persamaan untuk menghitung yaitu : I 5 = [(20 x K) + (10 x SK) + (5 x V) + (2 x S)] (6) 6) Indikator Kebutuhan Air (I 6) Menurut Peraturan Menteri Pekerja Umum Nomor 18/PRT/M/2007 Kelurahan Sekaran tergolong dalam kategori kota kecil karena jumlah penduduk sebanyak jiwa dan jumlah rumah sebanyak buah sehingga kebutuhan bersih bagi warganya sebanyak 90 liter per orang perhari. sehingga penentuan skornya yaitu jika konsumsi air bersih > 90 Loh, maka skor I 6 = 20 dan jika konsumsi air bersih < 90 Loh, skor I 6 = (konsumsi air bersih/90) x 20. 7) Indikator Daya Beli Air Bersih Masyarakat (I 7) Indikator ini mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006, yang mana dapat dikatakan memenuhi prinsip keterjangkauan oleh masyarakat apabila pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air minum tidak melampaui 4% dari pendapatan masyarakat. Skor pada indikator ini adalah : b 1 : pengeluaran > 4,5%, dikatakan terbebani : skor 2 b 2 : pengeluaran antara 4 4,5%, dikatakan sedikit terbebani : skor 5 b 3 : pengeluaran < 4%, dikatakan tidak terbebani : skor 20 8) Tingkat Kepercayaan Masyarakat Indikator ini menilai tingkat kepercayaan terhadap standar air bersih yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat membeli air minum dalam kemasan (AMDK) dan datanya diperoleh dari hasil wawancara, dapat dirumuskan seperti: 225

234 I 6 = 20 ( (7) responden pengguna AMDK responden ) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan terhadap 93 responden, penentuan rawan air bersih berdasarkan indikator water stress index dan gambaran penyebaran penyakit terkait ketersediaan air dari hasil pemetaan di Kelurahan Sekaran. Penentuan Wilayah Rawan Air Bersih Rawan air (water stress) adalah kondisi di mana terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan air dengan kebutuhan. berikut adalah hasil penentuan wilayah rawan air di Kelurahan Sekaran. Tabel 1. Indikator Rawan Air RW skor indikator WSI Status Kerawanan I 1 I 2 I 3 I 4 I 5 I 6 I 7 I 8 air bersih I 5 16, ,5 5,8 17,3 19,1 2 0,363 Sedang II 5 6, ,5 5,4 11, ,516 Sangat tinggi III ,5 5, ,1 2 0,551 Sangat tinggi IV ,5 5,9 13,3 19,2 2 0,425 Tinggi V ,5 5,5 12,2 19,1 2 0,434 Tinggi VI 20 6, , ,158 Tidak rawan air VII , Tidak rawan air Gambaran wilayah rawan air bersih di Kelurahan Sekaran adalah sebagai berikut: Gambar 1. Lokasi rawan air hasil indeks rawan air Dari hasil pemetaan RW II dan RW III merupakan wilayah dengan kerawanan air atau 226

235 water stress yang sangat tinggi dengan indeks rawan air atau WSI 0,516 dan 0,551. Kemudian RW IV (WSI 0,425) dan RW V (WSI 0,434) termasuk dalam wilayah rawan air tinggi. RW I (WSI 0,363) termasuk dalam wilayah kerawanan air sedang. Sedangkan RW VI (WSI 0,158) dan RW VII (WSI 0,100) tidak mengalami rawan air bersih. Kota Semarang pada umumnya seperti juga yang dialamai oleh Indonesia, dan Kelurahan Sekaran pada khususnya selama lima tahun terakhir merasakan intensitas kemarau yang lebih tinggi dari pada kurun waktu sebelumnya. Hasil wawancara dan observasi primer, puncak kemarau lima tahun terakhir paling dirasakan parah pada tahun 2015 karena dampak El Nino. Banyak penelitian menganalisis bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi ketersediaan dan pemanfaatan air bersih (Liuzzo et al., 2014). Dan bahkan menurut International Water Management Institute (IWMI), 1,8 miliar orang diproyeksikan akan tinggal di daerah dengan rawan air bersih mutlak pada tahun 2025 (Moe, 2006). Rawan air juga berpengaruh terhadap persediaan air domestik. Persediaan air domestik adalah salah satu persyaratan mendasar bagi kehidupan manusia serta dapat mempengaruhi kebersihan dan kesehatan masyarakat (Howard, 2003). Kebutuhan akan persediaan air domestik untuk kesehatan dasar melebihi kebutuhan minimum untuk konsumsi (minum dan memasak). Volume tambahan tersebut digunakan menjaga makanan dan kebersihan pribadi untuk mencuci tangan dan makanan, mandi dan mencuci (Howard, 2003). Tanpa air, kehidupan tidak dapat dipertahankan melampaui beberapa hari dan kurangnya akses terhadap pasokan air yang cukup menyebabkan penyebaran penyakit. Kebersihan yang buruk mungkin sebagian disebabkan oleh kurangnya jumlah yang cukup pasokan air domestik. Penyakit terkait dengan kebersihan yang buruk termasuk diare dan penyakit lain yang ditularkan melalui jalur fekal-oral; kulit dan mata penyakit, di trachoma dan penyakit yang berhubungan dengan infestasi tertentu, misalnya kutu dan tick-borne tifus (Howard, 2003). Gambaran Penyebaran Penyakit Terkait Ketersediaan Air Bersih Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3, terlihat secara nyata bahwa kejadian penyakit berbasis air banyak terjadi di wilayah dengan kategori rawan air tinggi dan kategori rawan air sangat tinggi. Kondisi ini telah banyak mendapatkan perhatian para peneliti bahwa kualitas, kuantitas, kontinuitas sistem penyediaan air bersih berhubungan langsung dengan kesehatan manusia terkait timbulnya kejadia penyakit berbasis air seperti diare, tipus, kolera dan sebagainya. (El Kharraz et al., 2012; WHO/UNICEF, 2015) 227

236 Gambar 2. Peta penyebaran diare di Kelurahan Sekaran Gambar 3. Peta penyebaran tifoid di Kelurahan Sekaran Kejadian diare pada seluruh tingkatan usia terjadi hampir ada di seluruh wilayah Kelurahan Sekaran dengan jumlah total 42 penderita, dengan RW III merupakan RW (12 penderita) paling banyak terdapat penderita diare kemudian diikuti oleh RW IV dan V (9 228

237 penderita), RW II (8 penderita), RW VI (2 penderita), serta RW I dan VII (1 penderita). Penularan penyakit diare melalui oral fekal terjadi dengan mekanisme melalui air yang merupakan media penularan utama (Anonym, 2008; UNICEF Indonesia, 2012). Banyak faktor yang dapat menimbulkan penyakit diare antara lain faktor lingkungan, faktor balita, faktor ibu, dan faktor sosiodemografis. Dari beberapa faktor risiko tersebut, faktor risiko yang sering diteliti adalah faktor lingkungan karena faktor risiko yang paling rentan menyebabkan diare. Faktor lingkungan yang sering diteliti dan dibahas dari segala aspek seperti sarana air bersih (SAB), jamban, aluran pembuangan air limbah (SPAL), keadaan rumah, tempat pembuangan sampah, kualitas bakteriologis air bersih dan kepadatan hunian (Briggs, 1999; Adisasmito, 2007; UNICEF Indonesia, 2012). Dari beberapa faktor lingkungan tersebut terdapat hubungan dengan beberapa indikator kerawanan air seperti aspek sarana air bersih (SAB) berkaitan dengan indikator ketersediaan air, indikator kontinuitas air dan, indikator cakupan layanan air perpipaan. Aspek jamban dan saluran pembuangan air limbah (SPAL) berkaitan dengan indikator ketrsediaan sarana limbah cair domestik. Serta aspek kualitas bakteriologis air bersih berkaitan dengan indikator kualitas air tanah. Selain diare yang tergolong dalam penyakit terkait ketersediaan air adalah demam tifoid (Adisasmito, 2007; Anonym, 2008; UNICEF Indonesia, 2012). Demam tifoid ditularkan melalui rute oral-fekal (makanan dan kotoran), maka pencegahan utama dengan cara memutuskan rantai tersebut dengan mengikat hygiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, pengamanan limbah feses. Kemudian untuk penyebaran penyakit tifoid paling banyak terdapat di RW III (5 penderita), RW V (4 penderita), RW II (2 penderita), RW IV (1 penderita), RW VI (1 penderita), serta RW I dan RW VII tidak terdapat penderita tifoid. Mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan limbah feses juga berkaitan dengan indikator-indikator penentu rawan air. Seperti indikator ketersediaan air, kebutuhan air, kontinutas air, dan kualitas air berhubungan dengan penyediaan air bersih dan perilaku cucui tangan sebelum makan. Jika ketersediaan air, kontinuitas air, dan kualitas air tidak memenuhi kebuthan akan air masyarakat maka hal tersebut tidak mendukung atau dapat mempengaruhi perilaku mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. Sehingga perilaku ini yang awalnya diharapkan dapat memutus rantai penularan demam tifoid maka perilaku ini tidak dapat terlaksanakan maka pencegahan terkait demam tifoid akan gagal. Kemudian pengamanan limbah feses terkait dengan indikator ketersediaan sarana sanitasi limbah cair domestik, sarana limbah yang aman dapat mengurangi penularan demam tifoid oleh feses yang mengandung S.thypi. Selain diare dan tifoid dengan masing-masing kejadian 77 dan 14 pederita, penyakit lain yang termasuk dalam penyakit terkait ketersediaan air bersih atau water washed disesases seperti disentri, skabies, infeksi kulit juga terjadi di Kelurahan Sekaran dengan masing-masing kejadian sebanyak 2, 7, dan 13 penderita di tahun Namun kejadian daiare dan tifoid pada tiap tahunnya selalu termasuk dalam 10 besar penyakit yang sering terjadi di wilayah kerja Puskesmas Sekaran. Berdasarkan Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3, terlihat bahwa penyakit berbasis air (dalam hal ini adalah penyakit diare dan tifus) akan mudah ditransmisikan pada daerahdaerah dengan kerawanan air tinggi dan sangat tinggi (El Kharraz et al., 2012; WHO/UNICEF, 2015). Sehingga indikator air akan sangat bermanfaat bila disandingkan dengan data kejadian penyakit karena akan memberikan penekanan yang lebih fokus dalam mencari akar permasalahan faktor risiko penyakit sesuai konteks yang ada. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya variasi tingkat kerawanan air di lokasi studi dengan kerawanan air atau water stress yang sangat tinggi dan wilayah 229

238 rawan air tinggi bertepatan dengan tingginya angka kejadian penyakit berbasis air di lokasi yang sama. Sehingga terdapat potensi bahwa dalam penentuan status kerawanan air (WSI) diperlukan juga analisis tambahan berupa angka kejadian penyakit untuk memberikan prioritas dalam penyelesaian permasalahan faktor risiko penyakit berbasis air. Saran, indeks penyakit berbasis air bisa dipertimbangkan untuk secara langsung dapat dimasukkan dalam perhitungan formula WSI yang sudah ada. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, W., Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat, Makara Kesehatan, 11(1), pp Ali, F., Development of Water Stress Index As a Tool for the Assessment of Water Stress Areas in the Metropolitan Jakarta, in AISDR Hongkong, pp Available at: Anonym, UNICEF Handbook on Water Quality. UNICEF. Anonym, 2015a. Data Kemahasiswaan Universitas Negeri Semarang Biro Administrasi Kepegawaian dan Kemahasiswaan. Semarang. Anonym, 2015b. Ternyata Bisa Cerita Pembangunan Air Minum dan Sanitasi Indonesia. Edited by N. W. Mujahid, I. Lubis, A. Mardikanto, K. Mayang, and Cheerli. Jakarta: Sekretariat Kelompok Kerja AMPL. Anonym, Data Monografi Kelurahan. Pemerintahan Kelurahan Sekaran, Kota Semarang. Briggs, D., Environmental Health Indicators: Frameworks and methodologies, Protection of the Human Environment Occupational and Environmental Health Series, pp Brown, A. dan Matlock, M. D., A Review of Water Scarcity Indices and Methodologies, The Sustainability Consortium, p. 19. doi: White Paper #106. Burke, G., Cords, O. dan Jaffe, I., Environmental Health Index for Urban Refugees in Delhi, India. New Delhi. Dickson, S. E., Schuster-Wallace, C. J. dan Newton, J. J., Water Security Assessment Indicators: The Rural Context, Water Resources Management, 30(5), pp doi: /s El-gafy, I. K. E., The water poverty index as an assistant tool for drawing strategies of the Egyptian water sector, Ain Shams Engineering Journal. Faculty of Engineering, Ain Shams University, 18(1). doi: /j.asej Falkenmark, M., The Massive Water Scarcity Now Threatening Africa: Why Isn t It Being Addressed?, Ambio, 18(2), pp Available at: Howard, G., Domestic Water Quantity, Service Level and Health. Switzerland. El Kharraz, J., El-Sadek, A., Ghaffaour, N. dan Mino, E., Water Scarcity and Drought in WANA Countries, Procedia Engineering, 33, pp doi: /j.proeng Liuzzo, L., Noto, L. V., Arnone, E., Caracciolo, D. dan La Loggia, G., Modifications in Water Resources Availability Under Climate Changes: A Case Study in a Sicilian Basin, Water Resources Management, 29(4), pp doi: /s z. Moe, C. L., Global challenges in water, sanitation dan health, Journal of water and health, pp Norman, E., Dunn, G., Bakker, K., Allen, D. dan de Albuquerque, R., Water security assessment: integrating governance and freshwater indicators, Water Resources Management, 27, pp doi: /s Sullivan, C., Calculating a Water Poverty Index, World Development, 30(7), pp. 230

239 doi: UNICEF Indonesia, Ringkasan kajian: Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan. Jakarta: Unicef Indonesia. WHO/UNICEF, Update and MDG Assessment, World Health Organization. doi: /s Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 Peraturan Menteri Pekerja Umum Nomor 18/PRT/M/2007 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun

240 ANALISIS POSTUR KERJA TERHADAP KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PEKERJA MEKANIK BENGKEL SEPEDA MOTOR X SEMARANG Dita Puspita, Suroto, Bina Kurniawan Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro ditapsp@gmail.com Abstract: Each job has potential hazard and risk, both derived from work activities, tools and materials used, as well as the work environment. One of the dangers that may pose a health risk is the ergonomic dangers of Musculoskeletal Disorders (MSDs) complaints. MSDs are chronic disorders of the muscles, tendons and nerves caused by repetitive use, rapid movement, large power use, contact with pressure, awkward posture, low vibration and temperature. Motorcycle maintenance activities consist of six steps: measuring, disassembling, repairing, replacing with the new one or the repaired one, and adjusting. The purpose of this study is to analyze the work posture against musculoskeletal disorders (MSDs) complaints on mechanical workers of Semarang motorcycle workshop. The triangulation tool in this study is the result of an assessment of the Baseline Risk Identification of Ergonomic Factor (BRIEF) Survey. The type of research used is qualitative, while the research subject is contained 5 people with different motorcycle maintenance activities. All of the mechanical workers in the X motorcycle shop are men with the average working period of 5-12 years. The results shows that there are five different activities performed by mechanical workers of X motorcycle workshop with 45 work postures. Out of 45 work postures, there are 22 high-risk working postures (49%), 9 medium-risk working postures (51%), and 4 work-positions with mild risk (9%). The sickest part of the body is on the back, shoulders, and hands. The perceived complaints are pain, stiffness, and cramps. To avoid them, workers should conduct a stretching before the activity, on the sidelines during activity and after the move in order not to feel tired. Keywords : Working postures, musculoskeletal complaint, BRIEF, motorcycle shop 232

241 PENDAHULUAN Sektor informal pada saat ini memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia, terdapat 116 juta jiwa angkatan kerja dan dari jumlah tersebut 107,41 juta jiwa yang benarbenar bekerja. Jumlah pekerja yang bekerja di sektor informal diperkirakan 73,67% dan 31,42% bekerja di sektor formal. Angka ini akan bergeser kearah pekerja sektor informal dikarenakan banyaknya perusahaan formal yang menutup atau merelokasi usahanya keluar Indonesia dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyebabkan bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal. (1) Setiap pekerjaan memiliki potensi bahaya dan risiko, baik yang bersumber dari aktivitas kerja, alat dan bahan yang digunakan, serta lingkungan kerja. Potensi bahaya dalam pekerjaan terdiri dari bahaya kesehatan dan bahaya keselamatan. Salah satu bahaya yang dapat menimbulkan risiko kesehatan adalah bahaya ergonomi yang menyebabkan gangguan kesehatan berupa Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja. Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan gangguan kronik pada otot, tendon dan saraf yang disebabkan oleh penggunaan secara repetitif, pergerakan yang cepat, penggunaan tenaga yang besar, kontak dengan tekanan, postur janggal atau ekstrim, getaran dan temperatur yang rendah. (2) Faktor penyebab terjadinya musculuskeletal disorders (MSDs) terdiri dari faktor pekerjaan, pekerja, psikososial dan lingkungan. (3) Faktor pekerjaan adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri termasuk gerakan repetitif, beban, postur statis dan penggunaan tenaga. Faktor pekerja berupa umur, lama bekerja dan riwayat penyakit. Sedangkan faktor lingkungan kerja yaitu vibrasi, suhu dan tingkat pencahayaan. (4) Keluhan MSDs adalah keluhan pada bagian otot-otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam kurun waktu yang lama maka dapat menyebabkan kerusakan pada otot, syaraf, tendon, persendian, kartilago, dan discus intervertebralis. (5) Hasil studi Departemen kesehatan RI tentang profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 40,5 % penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya. Menurut studi yang dilakukan terhadap pekerja di 12 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan gangguan kesehatan yang dialami pekerja umumnya berupa penyakit musculoskeletal (16%), cardiovaskuler (8%), gangguan syaraf (6%), dan gangguan THT (1,5%). Posisi kerja merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap 233

242 timbulnya kejadian musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja. Pekerjaan mekanik bengkel sepeda motor merupakan salah satu pekerjaan yang masih mengandalkan tenaga manusia dan berisiko untuk menyebabkan MSDs. Hal ini dikarenakan mekanik bengkel sepeda motor bekerja secara manual. Mesin sepeda motor yang berada dibawah membuat para mekanik bengkel sepeda motor bekerja dengan duduk jongkok. (6) Perawatan sepeda motor dilaksanakan oleh mekanik bengkel resmi dan mekanik bengkel konvensional. Mekanik bengkel resmi dengan sikap kerja berdiri (sikap kerja standar), mekanik bengkel konvensional dengan sikap kerja jongkok. Baik sikap kerja standar maupun sikap kerja jongkok disebut sikap kerja statis, tidak memenuhi kaidah-kaidah kerja yang sehat. Berdasarkan survei awal, bengkel sepeda motor X yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.201 hanya memiliki satu shift kerja. Hari kerja bengkel ini ialah hari Senin sampai hari Minggu. Tidak terdapat hari libur kecuali pada hari raya besar. Jam kerja pada bengkel ini dimulai dari pukul WIB sampai WIB. Pada bengkel motor ini tidak terdapat Standard Operating Procedure untuk setiap aktivitas di bengkel. Aktivitas pemeliharaan kendaraan hanya dilakukan berdasarkan keluhan dari konsumen atau permintaan konsumen untuk servis kendaraan. Adanya aktivitas yang memiliki risiko ergonomi, seperti postur yang janggal saat melakukan pekerjaan, gerakan repetitif, serta jam kerja yang melebihi 8 jam. Contohnya adalah aktivitas saat penggantian oli terdapat gerakan repetitif yang dilakukan lebih dari 2 kali per menit dan durasi posisi statik yang lebih dari 1 menit. Pekerja mekanik di bengkel sepeda motor X ini digaji per hari dan memiliki waktu istirahat yang tidak teratur dikarenakan mengejar target pelanggan serta tidak tersedianya kotak obat yang dapat digunakan oleh pekerja ketika merasa kelelahan. Keadaan tersebut juga membuat pekerja mekanik tidak memperhatikan postur kerjanya dengan baik dan waktu istirahat sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan dari bahaya ergonomi di tempat kerja. Selain itu keluhan subjektif dari beberapa pekerja mekanik di bengkel motor X ini menyebutkan adanya keluhan nyeri punggung, serta nyeri pinggang hingga sulit untuk duduk. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari upaya pengendalian risiko terjadinya gangguan kesehatan yang bisa ditimbulkan oleh bahaya ergonomi, maka dilakukan penilaian postur kerja, khususnya pada aktivitas pemeliharaan kendaraan yang dilakukan oleh pekerja mekanik bengkel motor X. Sehubungan dengan masalah di atas, kasus musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja sektor informal bagian mekanik bengkel masih tergolong tinggi. Pada sektor informal, kepedulian terhadap tingkat kesehatan pekerjanya masih rendah, ditambah kurangnya pengetahuan para pemilik usaha maupun pekerjanya sendiri tentang 234

243 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) serta penyakit yang dapat timbul akibat kerja, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai analisis postur kerja di terhadap keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja mekanik bengkel sepeda motor X Semarang. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif untuk mengidentifikasi postur kerja pada aktivitas pemeliharaan kendaraan sepeda motor yang berisiko terhadap bahaya ergonomi. Penelitian ini dilakukan dengan menilai dan menganalisis faktor risiko postur kerja dengan Baseline Risk Identification of Ergonomic Factor (BRIEF) Survey worksheet saat melakukan aktivitas pemeliharaan kendaraan sepeda motor Setelah itu dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) pada subyek penelitian dan melakukan pengukuran tekanan darah pada pekerja untuk mendukung penilaian dengan BRIEF Survey. Teknik pengambilan sampel subjek penelitian untuk penilaian postur kerja akan dilakukan dengan purposive random sampling, yaitu ditentukan oleh informasi adanya aktivitas pemeliharaan kendaraan di bengkel sepeda motor X. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 5 orang dengan aktivitas pemeliharan kendaraan yang berbeda. Kriteria inklusi subjek penelitian adalah pekerja mekanik tetap di bengkel sepeda motor X, merasakan keluhan atau gangguan pada otot skeletal atau musculoskeletal disorders (MSDs), dan bersedia menjadi responden. Informan triangulasi pada penelitian ini yaitu kepala mekanik dan pemilik usaha bengkel sepeda motor X Semarang. HASIL DAN PEMBAHASAN Bengkel sepeda motor X merupakan tempat usaha bengkel sepeda motor sektor informal yang memiliki 15 pekerja laki-laki. Kepala mekanik pada bengkel ini adalah pekerja yang paling lama bekerja di bengkel tersebut. Aktivitas yang dilakukan oleh para pekerja tergantung pada masing-masing keluhan pelanggan. Shift kerja di bengkel ini hanya terdiri dari 1 shift. Jam kerja di bengkel tersebut adalah pukul WIB sampai WIB. Durasi waktu istirahat tidak tentu dan dilakukan secara bergantian antar pekerja. Pekerjaan pelayanan (service) sepeda motor bervariasi mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada yang rumit. Namun pelayanan sepeda motor yang rumit sekalipun tidak akan melebihi enam langkah yakni: mengukur (measuring), membongkar (disassembling), perbaikan (machining), memasang kembali yang baru atau hasil perbaikan (reassembling), dan penyetelan. Informan berjumlah lima orang yang bekerja di bengkel sepeda motor X dengan aktivitas yang berbeda. Aktivitas pemeliharaan kendaraan (sevice) sepeda motor memiliki 235

244 beberapa variasi yang tingkat kerumitannya berbeda dari satu dengan yang lainnya. Salah satu aktivitas yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan sulit dalam prosesnya adalah aktivitas pengecekan/setel karburator. Hal ini berdampak pada otot tubuh pekerja mekanik terasa sakit dan nyeri. Berikut daftar informan penelitian pada pekerja mekanik bengkel sepeda motor X. N o Tabel 1. Karakteristik Informan Informa n Usia 1. Agus (I1) 30 tahun 2. Hendro (I2) 40 tahun 3. Nino (I3) 33 tahun 4. Suharno (I4) 5. Tekno (I5) 35 tahun 30 tahun Mas a Kerj a 12 tahu n 10 tahu n 7 tahu n 10 tahu n 5 tahu n Aktivitas Pengecekan /setel karburator Instalasi kabel sepeda motor Pengecekan /penggantia n air aki Penggantian seal shock Penggantian kampas rem Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Puncak kekuatan otot baik pada perempuan maupun laki-laki adalah pada rentang usia tahun. Sebagian besar pekerja yang lebih tua usianya antara tahun hanya dapat menghasilkan 75-85% dari kekuatan otot. (7) Meningkatnya umur akan terjadi degenerasi pada tulang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan sehingga hal tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang. (4) Dapat dilihat bahwa semua informan berisiko untuk terkena keluhan otot musculoskeletal atau MSDs. Keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia kerja yaitu tahun dan keluhan pertama dialami pada usia 30 tahun dan tingkat keluhan akan meningkat seiring bertambahnya usia. Berdasarkan pengamatan dan penilaian dengan menggunakan metode Baseline Risk Identification of Ergonomics (BRIEF) Survey yang dilakukan terdapat lima aktivitas berbeda dengan 45 postur kerja. Dari 45 postur kerja tersebut diantaranya terdapat 22 postur kerja dengan risiko tinggi (49%), 9 postur kerja dengan risiko sedang (51%), dan 4 postur kerja dengan risiko ringan (9%). Berikut hasil rekapitulasi penilaian dengan metode BRIEF 236

245 Survey. Tabel 2. Hasil rekapitulasi penilaian dengan metode BRIEF Survey N Postur Tingkat Risiko o Kerja I1 I2 I3 I4 I5 1. Punggung T T T T T 2. Leher S T S S S 3. Bahu kanan S T S T S 4. Bahu kiri T T T T S 5. Siku kanan S T T T T 6. Siku kiri T T S T T 7. Tangan dan S T T S S pergelangan tangan kanan 8. Tangan dan S S S S S pergelangan tangan kiri 9. Kaki R S R R R *Keterangan: I1: Informan 1 I2: Informan 2 T: Tinggi I3: Informan 3 S: Sedang I4: Informan 4 R: Rendah I5: Informan 5 Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan subjek penelitian, bagian tubuh yang paling dikeluhkan oleh informan 1 adalah bahu sebelah kiri, informan 2 mengeluhkan pada bagian pergelangan tangan kanan, informan 3 mengeluhkan pada bagian pinggang, informan 4 mengeluhkan pada bagian pinggang dan kedua sikunya, serta informan 5 mengeluhkan pada bagian punggung. Keluhan pada bagian-bagian tubuh tersebut dirasakan saat bekerja dan saat tidur pada informan 3 dan sore ketika sudah selesai bekerja pada semua informan. Para pekerja memiliki jam istirahat yang tidak teratur, tergantung pada pekerjaannya saat itu. Waktu istirahat yang biasa digunakan oleh semua informan adalah antara jam WIB. Hal ini dapat disebabkan karena posisi kerja mekanik yang statis dan dinamis serta dilakukan berulang-ulang dengan durasi yang cukup lama setiap aktivitas yang dilakukan sesuai dengan keluhan dari pelanggan. Tidak adanya alat pendukung seperti bike lift menjadi salah satu alasan timbulnya postur janggal saat bekerja. Tuntutan beban kerja per hari membuat pekerja tetap melanjutkan pekerjaan sampai selesai walaupun terkadang merasa sangat lelah. Hal tersebut pula yang menyebabkan waktu istirahat pada pekerja hampir tidak ada sehingga menyebabkan otot-otot berkontraksi dan menimbulkan keluhan musculoskeletal. Keberhasilan kerja dipengaruhi oleh salah satu faktor diantaranya adalah 237

246 faktor kerja fisik (otot). Kerja fisik (beban kerja) dapat mengakibatkan pengeluaran energi, sehingga berpengaruh pada kemampuan kerja manusia. Untuk mengoptimalkan kemampuan kerja, perlunya diperhatikan pengeluaran energi pemulihan energi selama proses kerja berlangsung. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemulihan energi adalah istirahat. Pekerja yang bekerja dengan beban kerja berat tentunya membutuhkan periode dan frekuensi yang berbeda dengan pekerja yang bekerja dengan beban kerja ringan. Apabila lamanya waktu istirahat tidak sesuai dengan beban kerja yang diberikan akan menyebabkan pekerja berada dalam kondisi yang tidak optimal. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan dampak yang negatif, seperti waktu pengerjaan yang lebih lama, terjadinya produk cacat, timbulnya kecelakaan kerja dan sebagainya. Keterbatasan ruang gerak menjadi salah satu alasan pekerja mengalami kesulitan untuk peregangan saat merasakan kelelahan setelah bekerja. (8) Stasiun kerja pada bengkel ini masih bersifat konvensional, alat-alat mekanik berserakan karena tidak adanya tempat peralatan mekanik, dan belum adanya kotak obat yang menyediakan obat gosok atau jamu yang dapat membantu pekerja jika merasa keluhan MSDs. Tekanan darah merupakan hasil dari curah jantung dan resistensi terhadap aliran darah yang diatur oleh pembuluh darah. (9) Tujuan dari pengukuran tekanan darah pada pekerja mekanik adalah untuk melihat tingkat kesehatan pekerja, mencocokkan hasil wawancara mendalam, serta mendukung penilaian BRIEF Survey. Tabel 3. Hasil Pengukuran Tekanan Darah pada Pekerja Mekanik Bengkel Sepeda Motor X Tahun 2017 No Nama Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik 1. Agus 150 mmhg 90 mmhg 2. Hendro 120 mmhg 80 mmhg 3. Nino 140 mmhg 70 mmhg 4. Suharno 150 mmhg 60 mmhg 5. Tekno 130 mmhg 70 mmhg Tekanan darah terdiri dari tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan sistolik yaitu tekanan maksimum dari darah yang mengalir pada arteri yang terjadi pada saat ventrikel jantung berkontraksi, besarnya sekitar mmhg dan tekanan ini dapat meningkat dengan bertambahnya usia. Tekanan diastolik yaitu tekanan darah paling rendah pada dinding arteri pada saat jantung relaksasi, besarnya sekitar mmhg. Walaupun demikian, tekanan darah pada umumnya berkisar pada rata-rata nilai normal sekitar 120 mmhg untuk tekanan sistolik dan 80 mmhg untuk tekanan diastolik. Tekanan darah sistolik pada informan 1, 3, dan 4 termasuk kategori hipertensi 238

247 stadium 1; sedangkan informan 2 dan 5 termasuk kategori pre-hipertensi. Tekanan darah diastolik pada informan 1 termasuk pada kategori hipertensi stadium 1; pada informan 2 termasuk kategori pre-hipertensi; sedangkan pada informan 3, 4, dan 5 termasuk kategori normal. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat tekanan darah rendah pada semua informan. Tekanan darah dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tubuh saat itu, serta faktor eksternal seperti beban kerja maupun lingkungan kerja. Tekanan darah tinggi atau hipertensi akan meningkatkan risiko penyakit jantung (serangan jantung dan gagal jantung) dan stroke. (10) Hal ini juga bisa menjadi alasan untuk penyakit ginjal. Tekanan darah tinggi dapat diturunkan dengan mengkonsumsi obat-obatan tertentu, menjaga pola makan yang sehat, olahraga rutin, menurunkan berat badan, menghilangkan stres, menghindari/ mengurangi kebiasaan merokok atapun alkohol. Prehipertensi bukan termasuk suatu penyakit, tetapi sesorang yang teridentifikasi berisiko tinggi terkena hipertensi. Sesorang yang prehipertensi juga tidak diharuskan untuk mengikuti terapi dan disarankan untuk mengubah ke gaya hidup sehat untuk mengurangi risiko hipertensi. KESIMPULAN 1. Semua pekerja merupakan laki-laki berusia 30 tahun ke atas. Masa kerja semua pekerja mekanik di bengkel sepeda motor X 5 tahun. 2. Hasil wawancara mendalam, keluhan yang dirasakan pekerja mekanik bervariasi yaitu pegal, nyeri, dan sakit. Keluhan terbanyak adalah pada punggung pekerja. 3. Berdasarkan analisis menggunakan lembar penilaian BRIEF Survey pada penilaian 9 postur kerja saat melakukan pengecekan/ setel karburator, terdapat 3 postur dengan risiko tinggi yaitu pada postur punggung, bahu kiri, serta siku kiri; 5 postur dengan risiko sedang yaitu leher, bahu kanan, siku kanan, tangan dan pergelangan tangan bagian kiri dan kanan; serta 1 postur dengan risiko ringan yaitu pada bagian kaki. 4. Berdasarkan analisis menggunakan lembar penilaian BRIEF Survey pada penilaian 9 postur kerja saat melakukan instalasi kabel sepeda motor, terdapat 7 postur dengan risiko tinggi yaitu punggung, leher, bahu kanan, bahu kiri, siku kanan, siku kiri, tangan dan pergelangan tangan kanan; 2 postur dengan risiko sedang yaitu tangan dan pergelangan tangan kiri serta kaki. 5. Berdasarkan analisis menggunakan lembar penilaian BRIEF Survey pada penilaian 9 postur kerja saat melakukan pengecekan/penggantian air aki, terdapat 4 postur dengan risiko tinggi yaitu punggung, bahu kiri, siku kiri, tangan dan pergelangan tangan kanan; 3 postur dengan risiko sedang yaitu leher, bahu kanan, siku kiri, serta tangan dan pergelangan tangan kiri; serta 1 postur dengan risiko ringan yaitu pada bagian kaki. 239

248 6. Berdasarkan analisis menggunakan lembar penilaian BRIEF Survey pada penilaian 9 postur kerja saat melakukan penggantian seal shock, terdapat 6 postur dengan risiko tinggi yaitu punggung, bahu kanan, bahu kiri, siku kanan, siku kiri, tangan dan pergelangan tangan kanan; 3 postur dengan risiko sedang yaitu leher, tangan dan pergelangan tangan kanan, tangan dan pergelangan tangan kiri; serta 1 postur dengan risiko ringan yaitu pada bagian kaki. 7. Berdasarkan analisis menggunakan lembar penilaian BRIEF Survey pada penilaian 9 postur kerja saat melakukan penggantian kampas rem, terdapat 3 postur dengan risiko tinggi yaitu punggung, siku kanan, siku kiri; 5 postur dengan risiko sedang yaitu leher, bahu kanan, bahu kiri, tangan dan pergelangan tangan kanan, tangan dan pergelangan tangan kiri; serta 1 postur dengan risiko ringan yaitu pada bagian kaki. 8. Pengamatan dan penilaian dengan menggunakan metode Baseline Risk Identification of Ergonomics (BRIEF) Survey yang dilakukan terdapat lima aktivitas berbeda yang dilakukan oleh pekerja mekanik bengkel sepeda motor yaitu pengecekan/setel karburator, penggantian seal shock pengecekan/penggantian air aki, instalasi kabel sepeda motor, dan penggantian kampas rem dengan 45 postur kerja. Dari 45 postur kerja tersebut diantaranya terdapat 22 postur kerja dengan risiko tinggi (49%), 9 postur kerja dengan risiko sedang (51%), dan 4 postur kerja dengan risiko ringan (9%). DAFTAR PUSTAKA 1. Budihardja. Kajian Kondisi Kerja pada Sektor Informal/UKM dan Dampaknya pada Kesehatan Pekerja. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI ACGIH. TLVs and BEIs. United States: Signature Pub Cohen, L., et al. Research Methods in Education. 6 th ed. New York: Routledge Bridger, R.S. Ph.D. Introduction to Ergonomics. McGraw-Hill, Inc Tarwaka, Solichul HA Bakri, Lilis Sudiajeng. Ergonomi untuk keselamatan, kesehatan kerja dan produktivitas. Surakarta: Universitas Brawijaya Press Stanley Jovito Alphaputra Wenur, dkk. Hubungan antara Aktivitas Fisik dengan Keluhan Muskuloskeletal pada Pekerja Bengkel di CV. Kombos Kota Manado Tahun Manado: Universitas Sam Ratulangi Kroemer, K.H.E & Grandjean, E. Fitting The Task to The Human, A textbook of Occupational Ergonomic. 5 th ed. Taylor & Francis Publisher Widodo, Sarwo. Penentuan Lama Waktu Istirahat berdasarkan Beban Kerja dengan Menggunakan Pendekatan Fisiologis (Studi Kasus: Pabrik Minyak Kayu Putih Krai). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

249 9. Aulia Sani; Harmani Kalim. Diagnosis dan Tata Laksana Hipertensi, Sindrom Koroner Akut, dan Gagal Jantung. Jakarta: Medya Crea Rusdi, Nurlaela Isnawati. Awas! Anda Bisa Mati Cepat Akibat Hipertensi & Diabetes. Yogyakarta: Power Books (IHDINA)

250 Evaluasi Ketidakberlanjutan Sanitasi Guna Mendukung Sanitasi Layak Suning dan Pungut 2 1 Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 2 Dosen Teknik Lingkungan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 1 suning@unipasbya.ac.id, 2 pung.link@gmail.com Abstract Kurangnya akses sanitasi di Kawasan pesisir menjadi polemik bagi pemerintah untuk dapat mewujudkan bebas kawasan kumuh dan sanitasi layak Tahun Kawasan pesisir jauh dari perkotaan sehingga akses untuk mendapatkan pelayanan fasilitas sanitasi terhambat. Pemerintah daerah sudah memberikan bantuan berupa jamban umum untuk masyarakat pesisir, namun masyarakat belum sepenuhnya menggunakannya. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi mengapa sanitasi di kawasan pesisir tidak berkelanjutan dan bagaimana strategi kebijakan untuk mencapai akses sanitasi layak Tahun Metode analisa yang digunakan deskriptif kualitatif dengan teknik analisis kontent menggunakan software JMP. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi di lapangan, wawancara mendalam dan sebar kuesioner. Strategi kebijakan berdasarkan analisis kontent hirarki cluster menunjukkan bahwa hendaknya jamban umum di bangun tidak jauh dari permukiman, tersediannya air bersih yang cukup, membentuk kelembagaan yang bertugas mengelola jamban umum, dan terselenggaranya pengecekkan rutin terkait pemeliharan jamban umum setiap 6 bulan sekali dari pihak pemerintah. Kata kunci: Evaluasi, Ketidakberlanjutan, Kawasan Pesisir, Hirarki Cluster, Sanitasi Abstract The lack of sanitation access in coastal areas a polemic for the government to realize slum areas and proper sanitation acces in Coastal areas are far from urban areas so access to sanitation facilities is hampered. The local government has provided assistance in the form of communal latrines, but these latrines have not been well utilized by coastal communities. This study aims to evaluate the unsustainability of sanitation and how the policy strategy of proper sanitation access in The analytical method used descriptive qualitative with contents analysis technique using JMP software. Data collection techniques which conducted are field observation, in-depth interviews, and questionnaires. Policy strategies based on cluster hierarchy contents analysis shows that communal latrines should be built not far from settlements, sufficient water supply, establishing institution that are responsible the maintenance of communal toilets every 6 months from the government. Keywords: Coastal Area, cluster hierarchy, Evaluation, Sanitation, Unsustainable Pendahuluan Tahun 2007, laporan MDGs dinyatakan bahwa sebagian besar MDGs di Indonesia menunjukkan kecenderungan gagal untuk dicapai (off-the-track). Tahun 2010/2011 masyarakat sipil Indonesia memaparkan bahwa MDGs di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada keberhasilan capaian MDGs tahun Indonesia telah memiliki hampir semua kerangka institusional yang cukup kuat dan memadai sebagai regulasi untuk implementasi pembangunan berkelanjutan ke depan. Bukti empiris dari regulasi-regulasi tersebut dapat dilaksanakan dengan kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Tidak berhasilnya capaian MDGs 2015 dilanjutkan dengan program SDGs dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satu tujuan SDGs yang menjadi target pencapaian adalah point 6 memastikan masyarakat 242

251 mencapai akses universal air bersih dan sanitasi (Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, 2015) Untuk mendukung tercapaiannya SDGs point 6 hingga tahun 2030, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo sebagai bagian dari Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL/Sanitasi) telah mengikuti rangkaian kegiatan dan mengambil langkah-langkah strategis dalam Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman. Target yaitu 100% akses air minum, 0% kawasan permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak di tahun merupakan tahap awal pentahapan dari program percepatan pembangunan sanitasi permukiman. Kawasan pesisir Sedati secara geografis merupakan daerah daratan rendah dengan ketinggian rata-rata 4 m diatas permukaan laut (dpl) dengan luas wilayah sebesar 79,26 Km2, memiliki 16 desa, 155 RW, 432 RT dan KK. Berdasarkan SK Bupati Sidoarjo No. 188/452/ /2015 bahwa kawasan pesisir tersebut masuk dalam kategori lokasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh (Laporan Bappeda Sidoarjo, 2010). Letak geografis kawasan pesisir jauh dari perkotaan sehingga akses untuk memperoleh pelayanan infrastruktur lingkungan permukiman menjadi agak terhambat. Kondisi ini hampir dialami oleh negara berkembang lainnya seperti di Di Negara India bagian pedesaan. Di India tindakan buang air besar sembarangan (BABS) masih tergolong tinggi bahkan diperkirakan sampai 360 juta orang hidup tanpa jamban. Buruknya tindakan BABS tersebut disebabkan sulitnya aksesibiltas transportasi pedesaan-perkotaan, akses jaringan listrik masih belum tersedia seluruh pelosok desa, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan yang rendah (O Reilly. K, at all, 2017). Negara Ethiopia Ghana juga memiliki sejumlah permasalahan akan rendahnya akses sanitasi layak. Kurang layaknya sanitasi di Ethiopia Ghana ini karena keberadaan fisik jamban masih banyak yang kotor, tidak terawat dan bangunan mengalami kerusakan (Crockera. J, at all, 2017). Kondisi sanitasi di Negara India dan di Ethiopia Ghana ini terjadi di kawasan pesisir Sedati yang mana tindakan BABS masih tinggi dan kondisi fisik jamban banyak yang rusak, kotor dan tidak tersedia air bersih yang cukup. Penelitian ini menjadi penting dilakukan karena berkontribusi pada kebijakan pemerintah daerah untuk mengevaluasi ketidakberlanjutan sanitasi guna mendukung pencapaian target sanitasi layak tahun Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data sebar kuesioner, wawancara dan observasi. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (kontent). Analisis isi (content analysis) merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis hasil komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak (Kriyantono, Rachmat, 2012). Analisis data dilakukan secara kualitatif agar semua jawaban dari responden terkait permasalahan dapat terkumpulkan. Dalam metode ini dilakukan 3 tahapan analisis yaitu open coding, axial coding dan selective coding (Creswell, 1998). 1. Tahap pertama open coding yaitu identifikasi kata-kata kunci yang diperoleh dari jawaban responden. Pertanyaan berkaitan dengan permasalahan, responden dapat menyebutkan lebih dari satu jawaban permasalahan. 2. Tahap kedua adalah axial coding berupa pengelompokkan kata-kata kunci ke dalam kategori-kategori yang berdekatan maknanya. 3. Tahap terakhir setelah kategori terkumpul, dilakukan selective coding yang bertujuan memberikan gambaran hubungan antara kategori berdasarkan frekuensi kata kunci. Hubungan antar kategori bisa dilakukan melalui analisis distribusi dan korespondensi. Teknik analisis kontent ini menggunakan aplikasi JMP Hirarki Cluster, yaitu mengelompokkan persamalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dengan memberikan solusi sehingga dapat terlihat kesamaan karakteristik permasalahan yang berdekatan atau hampir sama. JMP (diucapkan seperti dalam kata 'jump') adalah program 243

252 komputer yang dipakai untuk analisis statistika sederhana dan kompleks. Program ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1989 oleh John Sall untuk komputer Macintosh, tetapi sekarang dapat dijalankan pada sistem operasi Windows maupun Linux. Sesuai dengan namanya, JMP diharapkan dapat langsung melompat ke bentuk analisis statistika yang diinginkan oleh pengguna, dengan kemampuan pembuatan plot dan grafik secara visual berdasarkan tabel data yang dimaksudkan. Dengan menggunakan teknik analisis kontent, peneliti dapat mengetahui permasalahan yang ada di lokasi penelitian secara mendalam berdasarkan teks/ kontent secara empiris di kawasan pesisir sedati. Sehingga peneliti mampu memberikan arahan yang menjadi output dari penelitiaan ini berdasarkan korespondensi dari kemauan masyarakat. Hasil dan Pembahasan Hirarki cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada responden untuk mengungkapkan solusi yang diharapkan berdasarkan persepsi masyarakat pesisir. Tujuan dari mengelompokkan persamalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir beserta solusinya diharapkan ditemukan suatu kesamaan karakteristik permasalahan yang berdekatan atau hampir sama. Melalui hirarki cluster ini, peneliti dapat memberikan solusi yang dapat digunakan oleh pemangku kebijakan pada khususnya guna mengevaluasi program ketidaklanjutan sanitasi yang sudah disediakan oleh pemerintah, namun tidak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir. Dengan demikian akan terlihat bentuk pengelompokan antara permasalahan dan solusi berdasarkan persepsi masyarakat. Hasil analisis cluster ditunjukkan pada Gambar 1. Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Minimal Terdapat MCK Umum Dalam 1 Kelurahan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Minimal Terdapat MCK Umum Dalam Kelurahan Minimal Terdapat MCK Umum Dalam 1 Kelurahan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Minimal Terdapat MCK Umum Dalam 1 Kelurahan MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Minimal Terdapat MCK Umum Dalam 1 Kelurahan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Pemeliharaan Rutin Setiap Bulan Sekali Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Pemeliharaan Rutin Setiap Bulan Sekali Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Pemeliharaan Rutin Setiap Bulan Sekali Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Pemeliharaan Rutin Setiap Bulan Sekali Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Minimal Terdapat MCK Umum Dalam Kelurahan Minimal Terdapat MCK Umum Dalam 1 Kelurahan Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Adanya Kelembagaan yang Bertugas Mengelolah MCK Umum sehingga Kebersihan Tetap Terjaga Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Tersediahnya Fasilitas Air Bersih Pemeliharaan Rutin Setiap 6 Bulan Sekali MCK Umum di Bangun Tidak Jauh dari Permukiman Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Memberikan Penyuluhan Kesadaran Masyarakat akan Pentingnya Kebersihan Gambar 1. Hasil Analisis Content Hirarki Cluster Gambar 1. hasil analisis JMP hirarki cluster dijelaskan sebagai berikut: 1. Jamban umum di bangun tidak jauh dari permukiman Masyarakat pesisir enggan menggunakan jamban umum selain belum terbiasa BAB di WC, karena letak bangunan jamban jauh dari permukiman sehingga masyarakat lebih memilih BAB di laut maupun tambak belakang rumah mereka. Masyarakat yang sudah memiliki jamban pribadi juga masih sering melakukan tindakan BABS dengan alasan belum terbiasa menggunakan WC dan tidak bisa keluar jika BAB di WC bahkan tidanya nyaman jika BAB di WC. Jika dilihat dari data kepemilikan jamban, saat ini masing-masing 244

253 desa pesisir sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan data tahun 2015, namun perilaku BABS sampai saat ini masih tinggi. Data kepemilikan jamban di desa pesisir ditunjukkan pada Gambar Cemplung Tanpa Tutup Cemplung Dengan Tutup Leher Angsa Sumber : Hasil Analisa, 2017 Gambar 2. Jenis Jamban di Desa Pesisir Sedati Tahun 2017 Gambar 2 menunjukkan bahwa dari 100 responden terpilih menyatakan 39 responden tidak memiliki MCK pribadi yang artinya 39 responden masih memanfaatkan tambak, sumur dan sungai sebagi tempat Buang Air Besar (BAB). Desa pesisir yang masih banyak belum memiliki jamban pribadi adalah Desa Tambak Cemandi sebesar 17% dan Kalanganyar sebesar 13%. Secara empiris masyarakat pesisir yang memilik maupun tidak memiliki jamban pribadi masih sama melakukan tindakan BABS di laut, tambak, empang maupun sungai di belakang rumah mereka dengan beberapa alasan diantaranya, tidak nyaman dan tidak bisa keluar jika BAB di WC, tidak tersedia air bersih yang cukup, jamban kotor, jauh dari rumah dan harus membayar jika BAB di jamban umum. 2. Ketersediaan Fasilitas Air Bersih Masyarakat pesisir masih kesulitan mendapatkan air bersih apalagi disaat musim kemarau. Air yang ada adalah payau sehingga untuk kebersihan diri di jamban sangat diperlukan air bersih yang cukup. Sumber air bersih di pesisir diperoleh dari air PDAM perpipaan, PDAM non perpipaan dan air bersih olahan milik investor. Mulai tahun 2011 masyarakat sudah banyak yang berlangganan PDAM perpipaan, namun pada tahun 2013 mengalami penurunan karena air PDAM perpipaan tidak mengalir secara continue sampai sekarang. Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak banyak yang berlangganan air PDAM perpipaan. Masyarakat lebih memilih membeli air dari PDAM non perpipaan melalui jasa penjual air keliling. Air PDAM non perpipaan yang dimaksud adalah air PDAM yang didistribusikan ke tandon atau tangki air milik pribadi salah satu warga, yang kemudian dijual kembali ke masyarakat melalui penjual air keliling. Air PDAM non perpipaan terkadang juga tidak tersedia secara continue, sehingga untuk mengantisipasi continuitas ketersediaan air, masyarakat membeli air dari sumber air olahan milik investor. Air olahan milik investor ini berada di desa Buncitan Kecamatan Sedati, dan lokasi ini cukup jauh dari desa pesisir. Setiap hari air olahan dari investor ini diperoleh oleh penjual air keliling melalui agen air. Agen air yang dimaksud adalah warga yang membuka usaha menjual air dengan menyediakan bak penampung air dan penjual air keliling membeli di tempat agen tersebut. Harga per jerigen air sebesar Rp ,- dan rata-rata setiap keluarga per hari menghabiskan 7-8 jerigen untuk keperluan mandi, mencuci maupun memasak. Sedangkan untuk kebutuhan air minum, keluarga ini membeli air kemasan isi ulang karena harganya lebih murah dibandingkan air kemasan aqua maupun lainnya. Kondisi 245

254 eksisting ketersediaan air bersih yang tidak memncukupi ini mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan BABS. Jamban pribadi maupun umum tidak dipergunakan karena kurangnya air bersih dan ini berpengaruh terhadap kebersihan jamban, sehingga masyarakat memilih BAB di laut, tambak, empang maupun sungai dengan fasilitas jamban helikopter. Hasil penelitian Suning (2015) menjelaskan bahwa sanitasi dapat berkelanjutan apabila keberadaannya terintegrasi dengan ketersediaan air bersih yang cukup dan perilaku masyarakat dalam bersanitasi. 3. Adanya kelembagaan yang bertugas mengelola jamban umum Adanya kelembagaan khusus melayani atau mengurusi sanitasi adalah penting. Karena kelembagaan ini berfungsi untuk mengawasi jalannya program pemerintah terhadap pengadaan jamban. Dengan adanya kelembagaan maka apa yang menjadi permasalahan tidak berlanjutnya sanitasi menjadi mudah diketahui dan diambil keputusan untuk memperbaikinya. Kelembagaan ini dibentuk oleh pemerintah daerah dengan struktur keanggotaan dari perangkat desa maupun paguyupan masyarakat pesisir yang memiliki kemauan untuk memelihara, merawat dan menjaga keberadaan jamban. Hal ini ditunjukkan oleh Priatno, Teguh, et al., (2014) bahwa faktor lingkungan memiliki pengaruh paling kuat terhadap keberhasilan program STBM (sanitasi total berbasis masyarakat). Untuk mendukung terbentuknya kelembagaan, maka gaji anggota dapat diambilkan dari iuran warga untuk kebersihan lingkungan sehingga bisa berjalan dengan baik. 4. Terselenggaranya pengecekkan rutin terkait pemeliharan jamban umum setiap 6 bulan sekali dari pihak pemerintah Pemeliharaan jamban umum seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Bentuk partisipasi masyarakat masih rendah dalam keterlibatannya untuk pemeliharaan jamban. Untuk mengantisipasi rendahnya partisipasi masyarakat, maka kelembagaan yang terbentuk dapat berfungsi sebagai lembaga yang juga mengawasi jalannya pemeliharaan jamban. Kondisi eksisting ini sejalan dengan hasil penelitiannya Katukiza, et al., (2010) bahwa keberlanjutan sanitasi dipengaruhi oleh peran aktif pemerintah maupun stakeholder, masyarakat dan teknologi. Pihak pemerintah maupun stakeholder harus rutin melakukan pengecekkan ke lapangan minimal 6 bulan sekali dengan tujuan agar jamban umum yang dibangun terfungsikan dengan baik, terjaga kebersihannya, tidak mudah rusak dan yang paling penting adalah pemerintah memberikan sosialisasi dan penyuluhan tentang kebersihan lingkungan sehingga kebiasaan masyarakat untuk BABS dapat berkurang. Penutup Hasil analisis kontent terhadap evaluasi ketidakberlanjutan sanitasi menuju sanitasi layak tahun 2019 di kawasan pesisir menunjukkan adanya beberapa aspek teknis dan non teknis yang perlu dirubah maupun dikembangkan, yaitu; (1) Jamban umum hendaknya di bangun tidak jauh dari permukiman, sehingga masyarakat tidak malas jika hendak menggunakan jamban umum, (2) Tersedianya Fasilitas Air Bersih, hal ini menjadi prioritas utama karena tanpa adanya air bersih yang cukup maka kebersihan jamban tidak terjaga hal ini yang membuat masyarakat tidak mau BAB ke jamban umum, (3) Adanya kelembagaan yang bertugas mengelola jamban umum sehingga kebersihan tetap terjaga, (4) Terselenggaranya pengecekkan rutin terkait pemeliharan jamban umum setiap 6 bulan sekali dari pihak pemerintah, hal ini penting dilakukan agar pemerintah mengetahui keberadaan jamban apakah berfungsi atau tidak dan pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi tentang kebersihan lingkungan secara rutin agar kebiasaan masyarakat BABS dapat berkurang. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih kepada Kemenristekdikti yang telah mendanai penelitian ini melalui hibah Fundamental Tahun 2017, dan terimakasih kepada Universitas PGRI Adi Buana Surabaya yang telah memfasilitasi penelitian ini. 246

255 Daftar Pustaka Bappeda (2010), Laporan Program Nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman, Sidoarjo Jawa Timur. Crocker, J., Saywell, D., & Bartram, J. (2017). Sustainability of community-led total sanitation outcomes: Evidence from Ethiopia and Ghana. International Journal of Hygiene and Environmental Health, 220(3), Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing amongfive Tradition. London: Sage Publications Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas (2015). Agenda Nasional Pembangunan Air Minum dan Sanitasi Katukiza, A.Y., Ronteltap, M., Oleja, A., Niwagaba, C. B., Kansiime, F., Lens, P. N. L. (2010), Selection of Sustainable Sanitation Technologies for Urban Slum - A Case of B Waise III in Kampala, Uganda, Journal Elsivier Science of The Total Environment 409, p Kriyantono, Rachmat. (2012). Teknik Praktis Riset Komunikasi. O'Reilly, K., Dhanju, R., & Goel, A. (2017). Exploring The Remote and The Rural : OpenDefecation and Latrine Use in Uttarakhand, India. World Development, 93, Priatno, Teguh, Zauhar, Soesilo dan Hanafi, Imam. (2014). Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Keberhasilan Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Di Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, Vol. 10. No. 2. Suning (2015), Model Konseptual Sanitasi dan Penyediaan Air Minum Berkelanjutan Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Kawasan Pesisir. Disertasi tidak dipublikasin, ITS Surabaya 247

256 Kadar Timbal Dalam Darah Dan Kejadian Gangguan Fungsi Hati Pada Ibu Hamil Di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes Redha Rahmi, 1 Suhartono, 2 Nur Endah Wahyuningsih 2 Mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Dosen Program Studi Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro ABSTRAK Latar belakang, Timbal merupakan logam sangat beracun dan dapat mempengaruhi setiap organ serta sistem dalam tubuh manusia.timbal yang masuk ke dalam tubuh akan didistribusikan ke dalam darah dan 95% timbal dalam darah diikat oleh sel darah merah hanya 5% dalam plasma darah. Penggunaan timbal dalam jumlah besar atau berulang dan akan tersimpan secara kumulatif pada organ hati. Hal ini karena Sekitar 90% timbal yang masuk ke dalam sirkulasi darah, 25% terdeposit pada organ hati. Hasil penelitian terhadap pekerja di peleburan timah hitam didapatkan ada hubungan signifikan kadar Pb dalam darah dengan gangguan fungsi hati.tujuan penelitian ingin diketahui gangguan fungsi hati dan menganalisis kadar timbal dalam darah pada kelompok ibu hamil di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Metode, Penelitian ini menggunakan metode observational analitik dengan desain crosssectional dengan sampel 49 responden. Hasil, Hasil uji memperlihatkan seluruh responden memiliki kadar timbal(pb) diatas NAB 5 µg/dl dengan rata-rata ± SD: 19,74 ± 9,214, median 19,70, minimum 6,33 dan maksimum 36,60. Meskipun semua responden dengan kadar Pb melebihi NAB akan tetapi hasil pemeriksaan kadar SGOT dan kadar SGPT Ibu hamil di wilayah pertanian menunjukkan hasil yang normal. Dengan menggunakan cut off point nilai median (19,70) responden dengan kadar Timbal (Pb) dalam darah tinggi sebesar (51%). Hasil uji korelasi dan uji beda kadar timbal (Pb) tinggi dan rendah terhadap pemeriksaan kadar SGOT dan kadar SGPT, menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan. Kesimpulan, semua responden memiliki kadar Pb melebihi NAB 5 µg/dl; tidak ada hubungan dan perbedaan antara kadar timbal(pb) dalam darah dengan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT. Kata kunci : Kadar Pb Dalam Darah, Ibu Hamil, Gangguan Fungsi Hati ABSTRACT Background: Lead is a highly toxic metal and can affect every organ and system in the human body. The tugs that enter into the body will be distributed into the blood and 95% of lead in the blood is bound by red blood cells only 5% in the blood plasma. The use of lead in large or repeated quantities and will be stored cumulatively on the liver. This is because About 90% of lead gets into the blood circulation, 25% is deposited in the liver. The result of the research on the workers in lead smelting was found there is significant correlation of Pb level in blood with the disruption of liver function. The purpose of the research wanted to know the disruption of liver function and analyze the blood lead level in pregnant women group in Grinting, Bulakamba Sub-district of Brebes district.. The method: This research uses observational analytic method with cross-sectional design with 49 respondents. The results: The test result showed that all respondents had lead level (Pb) above NAB 5 μg / dl with mean ± SD: 19,74 ± 9,214, median 19,70, minimum 6,33 and maximum 36,

257 Although all respondents with Pb levels exceeded NAB but SGOT levels and SGPT levels pregnant women in agricultural areas showed normal results. By using cut off point median value (19,70) respondents with Lead (Pb) level in "high blood" equal to (51%). The results of the correlation test and test of different levels of lead (Pb) "high" and "low" on SGOT and SGPT levels showed no significant relationship The conclusion: all respondents had Pb levels exceeding NAB 5 μg / dll; there was no relationship and difference between lead level (Pb) in blood with examination of SGOT and SGPT levels. Keywords: Blood Lead Levels, Pregnant Women, Disturbances Of Liver Function PENDAHULUAN Pencemaran lingkungan oleh timbal dapat mengakibatkan bahaya bagi kesehatan manusia. Sumber-sumber bahan pencemar timbal dalam lingkungan adalah paparan limbah industri, minuman keras yang tidak terdaftar, pencemaran udara, dan bahan bahan kosmetik. i Masalah utama keracunan timbal berasal dari pertambangan, makanan dan minuman yang terkontaminasi, cat di rumah-rumah tua, dan peleburan timbal. ii World Health Organization (WHO) memperkirakan keracunan timbal mengakibatkan kematian dan kasus-kasus ketidakmampuan intelektual sebanyak pada anak-anak setiap tahunnya. iii Timbal merupakan logam yang sangat beracun yang dapat mempengaruhi setiap organ dan sistem dalam tubuh manusia. Keracunan timbal yang juga disebut Plumbism, colica pictorum, Saturnism, Devon Colic, atau penyakit mulas pelukis (Painter s Colic). Penyakit ini merupakan suatu tipe keracunan logam yang berbahaya bagi manusia dan vertebrata karena dapat mempengaruhi jantung, tulang, perut, ginjal, sistem reproduksi dan persarafan sentral. iv Timbal bisa masuk dalam lingkungan dan tubuh manusia dari berbagai macam sumber seperti bensin (petrol), makanan, daur ulang atau pembuangan baterai mobil, mainan, cat, pipa, tanah, beberapa jenis kosmetik dan obat tradisional serta berbagai sumber lainnya. v Timbal dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, makanan dan kontak dengan kulit. Timbal tetraetil diarbsorbsi melalui kulit tetapi kebanyakan timbal masuk kedalam sel-sel darah merah dan disirkulasi keseluruh tubuh dan akhirnya terkonsentrasi dalam hati dan ginjal dan selanjutnya disebarluaskan ke tulang, gigi dan otak. Keracunan timbal bisa menyerang manusia dari berbagai usia. Akan tetapi anak usia muda, wanita hamil dan pekerja di industri tertentu lebih besar risikonya di bandingkan kelompok yang lain. vi Keracunan timbal di Indonesia, diperkirakan berasal dari berbagai sumber seperti bensin bertimbal, cat, sayuran, pupuk, pestisida dan makanan laut. Laut adalah salah satu sumber badan air yang mudah dimasuki oleh toksik logam berat salah satunya adalah timbal yang telah diidentifikasi di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Angraini D. pada tahun 2007 Konsentrasi timbal dalam air laut sekitar 1.8 ppm dan dalam sedimen sekitar 64.2 ppm dimana nilai ini merupakan lebih tinggi dari nilai ambang batas. vii Desa Grinting sangat potensial untuk terjadinya pencemaran timbal. Hal ini terjadi karena Desa Grinting adalah salah satu desa yang terletak diwilayah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Berbatasan wilayah pada bagian utara Kecamatan Bulakamba adalah laut. Laut merupakan salah satu sumber keracunan timbal lainnya yang telah diidentifikasikan di Indonesia. Penelitian kandungan logam berat di perairan pantai utara Jawa Tengah oleh Yulianto tahun 2006, dimana lokasi penelitian meliputi 13 kabupaten/kota dari Kabupaten Brebes sampai dengan Kabupaten Pati diketahui bahwa sebagian besar logam-logam berat khususnya timbal telah melebihi ambang batas baku mutu yang ditetapkan. 7 Penelitian dilakukan oleh Agus Suyanto tahun 2010 tentang residu logam berat ikan 249

258 dari perairan tercemar di Pantai Utara Jawa Tengah tepatnya di perairan Kabupaten Pati, Kota Semarang dan Kabupaten Tegal diketahui bahwa kandungan logam berat timbal pada sampel air hasil uji laboratorium melebihi ambang batas baku mutu yang ditetapkan. Konsentrasi Timbal hasil uji laboratorium pada daerah perairan diketahui rata-rata sebesar 0,03 mg/l. Nilai rata-rata konsentrasi timbal ini 10 kali lebih besar dibandingkan dengan nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan hidup. viii Konsentrasi logam berat khususnya timbal yang tinggi dapat menyebabkan biomagnifikasi atau biokonsentrasi pada rantai makanan yang ada dilaut. Biomagnifikasi atau biokonsentrasi adalah suatu proses dimana dapat mengakibatkan konsentrasi bahan toksik yang membahayakan didalam makanan yang kita makan. ix Timbal yang masuk kedalam tubuh melalui makanan dan minuman, masuk kedalam saluran pencernaan dan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh. Timbal yang masuk kedalam tubuh akan didistribusikan ke dalam darah. Sekitar 95% timbal dalam darah diikat oleh sel darah merah, 5% dalam plasma darah. Penggunaan timbal dalam jumlah yang besar atau secara berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif pada organ hati. Sehingga dapat mengakibatkan keracunan. Sekitar 90% timbal masuk kedalam sirkulasi darah dan 25% terdeposit pada organ hati. Masyarakat di Desa Grinting kemungkinan menjadi sasaran kontaminasi dengan timbal, khususnya bagi mereka yang mengkonsumsi makanan laut yang di tangkap oleh masyarakat setempat. x Kontaminasi logam berat di air laut di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes diduga berasal dari buangan limbah industri, residu minyak kapal yang lalu lalang di perairan Indonesia dan juga residu pestisida yang mengalir di sungai akibat kegiatan pertanian. Pelaku aktivitas pertanian yang melibatkan aktivitas manusia tidak hanya dilakukan oleh petani tetapi juga dilakukan oleh ibu hamil dan orang tua serta anak-anak yang terlibat pada aktivitas pertanian. Aktivitas tersebut berpotensi terpajan pestisida pada pelaku pertanian terhadap bahan kimia timbal. Salah satu sifat toksik dari timbal adalah untuk mempengaruhi fungsi hati. Beberapa fungsi hati antara lain sebagai pusat metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, memproduksi cairan empedu, memproduksi heparin (antikoagulan darah), memproduksi protein plasma, membersihkan bilirubin dari darah, pusat detoksifikasi zat beracun dalam tubuh, membentuk sel darah merah (eritrosyt) pada masa hidup janin, dan lain-lain. Gangguan maupun kerusakan pada hati dapat mengganggu fungsi penting hati dalam metabolisme dan detoksifikasi. Gangguan fungsi hati pada Wanita Usia Subur (WUS) selain berdampak pada kesehatannya sendiri juga akan berdampak pada janinnya ketika yang bersangkutan hamil. Gangguan fungsi hati dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme makanan dan detoksifikasi pada tubuh ibu sehingga akan berdampak pada jumlah zat makanan dan zat lain yang masuk ke sistem peredaran darah janin. xi MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang ada di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria yang digunakan dalam penentuan subjek penelitian adalah: Bersedia menjadi responden, serta bersedia diambil dan diperiksa darahnya, bertempat tinggal di Desa Grinting, ibu hamil dalam keadaan sehat, tidak mempunyai riwayat penyakit hati. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 49 ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan timbal dalam darah dan pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar SGOT dan kadar SGPT. Pengukuran kadar timbal dalam darah dan parameter fungsi hati (kadar SGOT, kadar SGPT) dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, sedangkan faktor yang berperan dalam paparan timbal (Status Gizi, Riwayat Paparan Pestisida, Riwayat Mengkonsumsi Obat-obatan) dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner tersetruktur. 250

259 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa kadar Pb dalam darah ibu hamil di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes dengan nilai median sebesar 19,70 µg/dl. Nilai median Kadar SGOT sebesar 17,00 U/L. Nilai median Kadar SGPT sebesar 12,00 U/L. Nilai median status gizi sebesar 27,00. Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki kadar Pb dalam darah dengan kategori tinggi sebanyak 25 responden (51%) dan katagori rendah 24 responden (49%). Variabel SGOT menunjukkan bahwa responden yang memiliki kadar SGOT dengan katagori tidak normal sebesar 1 responden (2%), dan kadar SGOT dengan katagori normal sebesar 48 responden (98%). Pada variabel kadar SGPT menunjukkan bahwa responden yang memiliki kadar SGPT dengan katagori tidak normal sebanyak 1 responden (2,%), sedangkan responden yang memiliki kadar SGPT dengan katagori normal sebesar 48 responden (98%). Pada variabel status gizi menunjukkan bahwa reponden yang memiliki status gizi normal sebesar 25 responden (51%), sedangkan responden yang memiliki status gizi tidak normal/kek sebesar 24 responden (49%). Pada variabel riwayat paparan pestisida menunjukkan bahwa responden yang terpapar pestisida sebesar 15 responden (30,6%), sedangkan responden yang tidak terpapar pestisida sebesar 34 responden (69,4%). Pada variabel riwayat konsumsi obat menunjukkan bahwa responden yang mengkonsumsi sebesar 24 responden (49%). Sedangkan responden yang tidak mengkonsumsi sebesar 25 responden (51%). Berdasarkan tabel 3 Hasil uji korelasi Spearman s rho antara parameter Kadar Pb dalam darah dengan kadar SGOT menunjukkan tidak adanya hubungan (korelasi) (r=0,282; nilai-p=0,050). Sementara kadar Pb dalam darah dengan kadar SGPT (r=0,275; nilai-p=0,056) tidak adanya hubungan (korelasi) bermakna. Hasil uji korelasi Spearman s rho antara parameter status gizi (LILA) dan kadar SGOT membuktikan tidak adanya korelasi positif (r=-0,185; nilai-p=0,202). Status Gizi (LILA) dan kadar SGOT juga membuktikan bahwa tidak ada korelasi positif (r=-0,099; nilai- p=0,498). Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa nilai median kadar SGOT pada kelompok ibu hamil dengan kadar Timbal (Pb) dalam darah tinggi sebesar 17,00 dengan nilai maksimal sebesar 27 dan nilai minimal sebesar 13. Sedangkan nilai median kadar SGOT pada kelompok ibu hamil dengan kadar Timbal (Pb) dalam darah rendah sebesar 16,00 dengan nilai maksimal sebesar 33 dan nilai minimal sebesar 12. Hasil uji mann whitney didapatkan nilai-p=0,094, menunjukan bahwa tidak ada perbedaan kadar SGOT antara ibu hamil dengan kadar Pb dalam darah tinggi dengan ibu hamil dengan kadar Pb dalam darah rendah. Berdasarkan tabel 5. diketahui bahwa nilai median kadar SGPT pada kelompok ibu hamil dengan kadar Timbal (Pb) dalam darah tinggi sebesar 12,00 dengan nilai maksimal sebesar 38 dan nilai minimal sebesar 7. Hasil uji Mann Whitney didapatkan nilai-p=0,063, menunjukan bahwa tidak ada perbedaan kadar SGPT pada ibu hamil dengan kadar Pb dalam darah tinggi dan ibu hamil dengan kadar Pb dalam darah rendah'. Tabel 1. Distribusi kadar Pb, kadar SGOT dan kadar SGPT dalam darah serta LILA Variabel Min Max Mean Median SD Kadar Pb 6,33 36,60 19,74 19,70 9,412 Kadar SGOT ,65 17,00 3,998 (U/L) Kadar SGPT ,24 12,00 7,401 (U/L) Status ,57 27,00 4,082 gizi/lila(cm) Tabel 2. Distribusi Frekuensi pada variabel katagori 251

260 Variabel N=49 % Kadar timbal dalam darah Tinggi Rendah Kadar SGOT Tidak normal Normal Kadar SGPT Tidak normal Normal Status gizi Tidak normal/kek Normal Riwayat paparan pestisida Terpapar Tidak terpapar Riwayat konsumsi obat Mengkonsumsi Tidak mengkonsumsi ,0 49,0 2,0 98,0 2,0 98,0 49,0 51,0 30,6 69,4 49,0 51,0 Tabel 3. Hasil uji korelasi variabel penelitian (n=49) Hubungan Koefisien Korelasi Nilai-p Kadar Pb dalam darah dengan kadar 0,282 0,050 a SGOT Kadar Pb dalam darah dengan kadar 0,275 0,056 a SGPT Status gizi (LILA) dengan SGOT -0,185 0,202 a Status gizi (LILA) dengan kadar SGPT -0,099 0,498 a Tabel 4. Perbedaan rerata kadar SGOT dengan variabel terikat dan pengganggu Variabel Kadar SGOT (U/L) Rerata ±SD, median minmax Kadar timbal dalam darah Tinggi (n=25) 18,32 ± 3,727, 17,00, Rendah (n=24) 16,96 ± 4,227, 16,00, Status gizi Normal (n=25) 16,72 ±3,943, 16,00, Tidak normal(n=24) 18,63 ± 3,899, 17,50, Paparan pestisida Terpapar (n=15) 16,47± 3,399, 16,00, Tidak terpapar(n=34) 18,18 ± 4,174, 17,00, Konsumsi Obat Mengkonsumsi (n= 24) 17,38 ± 3,854, 16,00, Tidak mengkonsumsi (n=25) 17,92 ± 4,192, 17,00, Nilai-p 0,094 b 0,083 b 0,162 b 0,456 b 252

261 Tabel 5. Perbedaan rerata kadar SGPT dengan variabel terikat dan variabel pengganggu Kadar SGPT (U/L) Variabel Rerata ±SD, median minmax Kadar timbal dalam darah Tinggi (n=25) 15,92 ± 8,124, 12,00, 7-38 Rendah (n=24) 12,50 ± 6,262, 10,50, 5-31 Status gizi Normal (n=25) 12,04 ± 5,20, 11,00, 5-31 Tidak normal(n=24) 16,54 ± 8,678, 14,00, 7-38 Paparan pestisida Terpapar (n=15) 12,07± 3,731, 10,00, 5-18 Tidak terpapar(n=34) 15,21 ± 8,406, 12,00, 5-38 Konsumsi Obat Mengkonsumsi (n= 24) 13,71 ± 6,577, 12,50, 5-38 Tidak mengkonsumsi (n=25) 14,76 ± 8,217, 11,00, 5-33 Nilai-p 0,063 b 0,151 0,402 0,872 Kadar timbal dalam darah Pajanan timbal pada masyarakat dapat menimbulkan efek negatif pada kesehatan, yaitu pada saraf pusat dan saraf tepi, sistem cardiovaskular, sistem hematopoetik, ginjal, hati, pencernaan, sistem reproduksi dan bersifat karsinogenik. xii Akumulasi pb tertinggi dalam jaringan lunak terjadi berturut-turut pada ginjal disusul hati, otak, paru, jantung, otot dan testis. Salah satu organ yang ikut mengalami perubahan akibat paparan timbal (Pb) yang berlebihan adalah hati. Hati merupakan organ tubuh yang terbesar dan organ metabolisme yang paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Mekanisme kerusakan hati yang diakibatkan oleh timbal (Pb) adalah timbal (Pb) tingkat tertentu dapat menginduksi pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan sistem antioksidan tubuh sehingga dengan sendirinya akan terjadi stres oksidatif. xiii Central for Diseases Control and prevention (CDC) dalam ATSDR menetapkan Nilai Ambang Batas kadar timbal dalam darah ibu hamil adalah 5 μg/dl. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa 49 orang (100%) ibu hamil memiliki kadar Pb dalam darah tidak normal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh osmel la liave leon dkk di Durango Mexico tahun 2016 pada 299 ibu hamil menemukan kadar timbal 3,82 lebih tinggi dari ambang batas yang di tetapkan oleh CDC untuk kadar timbal pada ibu hamil yaitu 5 μg/dl. xiv Hasil penelitian pada ibu hamil menunjukkan bahwa responden yang memiliki kadar timbal dalam darah yang melebihi rata-rata ada 25 responsen (49%), dengan nilai rerata 19,74 µg/dl dengan kadar Pb terendah 6,33 µg/dl dan tertinggi adalah 36,60 µg/dl. Berdasarkan hasil observasi, tingginya kadar timbal pada ibu hamil di lokasi penelitian kemungkinan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: Pertama, timbal berasal dari makanan laut yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Pemeriksaan makanan laut di lokasi penelitian secara kuantitatif menemukan kadar pb pada ikan sebesar (0,39 mg/kg), sedangkan Nilai Ambang Batas yang ditetapkan oleh SNI pada ikan yaitu (0,3mg/kg). Pada udang sebesar (0,61 mg/kg), NAB yang di tetapkan oleh SNI pada udang adalah (0,5 mg/kg). pada cumi-cumi sebesar (0,41 mg/kg), NAB yang di tetapakan pada cumi-cumi yaitu (0,5 mg/kg). Pada kerang sebesar (0,72 mg/kg) sedangkan NAB yang ditetapkan SNI pada kerang yaitu sebesar (1,5 mg/kg). Artinya ikan, udang dan cumi melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan SNI. Makanan laut yang mengandung timbal meskipun kadarnya masih dibawah ambang batas tidak layak untuk dikonsumsi karena sifat timbal yang akumulatif sehingga dapat membahayakan kesehatan. 253

262 Masyarakat, terutama ibu hamil di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes sering mengkonsumsi makanan laut seperti ikan, udang, kerang, dan cumi-cumi. Tingginya konsumsi makanan laut menyebabkan kemungkinan terkontaminasi dengan timbal melalui makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Kedua, timbal berasal dari riwayat paparan pestisida. Secara teoritis bahwa dalam pestisida mengandung bahan kimia timbal. penelitian yang dilakukan Thakur di India pada tahun 2014 menemukan kandungan pb pada pestisida jenis Methyl Parathion dengan konsentrasi sebesar 13 ppm. adanya kandungan pb dalam pestisida dipertegas oleh hasil penelitian Karyadi tahun 2005 tentang akumulasi logam berat Pb sebagai residu pada lahan pertanian, studi kasus pada lahan pertanian bawang merah di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal Jawa Tengah, dimana berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang, diketahui bahwa pada beberapa pestisida mengandung logam berat Pb. Beberapa pestisida yang digunakan oleh masyarakat yang ditemukan mengandung timbal yaitu Antracol 70 WP, Dithane M WP, Furadan 3G, Goal 240 EC, Buldog 25 EC, Hostathion 200 EC dan Profile 430 EC. Kadar Pb yang terendah terdapat pada Goal 240 EC sebesar 0,87 mg/kg dan kadar Pb yang tertinggi terdapat pada Dithane sebesar 19,37 mg/kg. Keterlibatan ibu hamil pada kegiatan pertanian memungkinkan mereka berada dalam lingkungan yang terkontaminasi timbal. Hasil pemeriksaan sayuran yang diambil dilokasi penelitian secara kumulatif diketahui kadar timbal pada sawi sebesar (0,36 mg/kg), kangkung sebesar (0,37 mg/kg), jagung sebesar (0,35 mg/kg), kacang panjang sebesar (0,28 mg/kg), kol sebesar (0,36 mg/kg) kentang sebesar (< 0,10 mg/kg), terong sebesar (0,25 mg/kg) wortel sebesar (0,17 mg/kg), bayam sebesar (0,61 mg/kg), tomat sebesar (0,34 mg/kg), bawang merah sebesar (<0,10 mg/kg), cabai sebesar (0,22 mg/kg). Sayuran bayam, kol, kangkung dan sawi memiliki kadar timbal yang melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan SNI (0,3 mg/kg), begitu juga dengan terong, jagung, kacang panjang, wortel dan cabai juga melebihi Nilai Ambang Batas yang telah di tetapkan oleh SNI yaitu (0,1). Selain itu ibu hamil juga sering mengkonsumsi buah-buahan. hasil pemeriksaan kadar timbal pada buah-buahan yang diambil di lokasi penelitian yaitu pepaya sebesar (0,34 mg/kg), pisang sebesar (0,17 mg/kg). Buah pepaya dan buah pisang juga melebihi NAB kadar timbal yang telah ditetapkan oleh SNI yaitu (0,1 mg/kg). Sementara konsentrasi timbal pada air minum yang sering dikonsumsi masyarakat, terutama ibu hamil yang ada di Desa Grinting juga merupakan penyebab tingginya timbal di dalam darah. Hasil pemeriksaan air yang di ambil dari beberapa titik di lokasi penelitian yaitu: sampel 1 sebesar (<0,002 mg/l), sampel 2 sebesar (0,0024 mg/l), sampel 3 sebesar (<0,002 mg/l), sampel 4 sebesar (0,0026 mg/l), sampel 5 sebesar (0,002 mg/l), sampel 6 sebesar (<0,002 mg/l), sampel 7 sebesar (<0,002 mg/l), sampel 8 sebesar (<0,002mg/L), sampel 9 sebesar (<0,002 mg/l), sampel 10 sebesar (<0,002 mg/l). Berdasarkan hasil pemeriksaan semua sampel air memiliki kadar timbal dibawah Nilai Ambang Batas yang telah di tetapkan oleh PERMENKES RI No. 492 Tahun 2010 sebesar 0,01 mg/l. xv Hal ini dapat menyebabkan adanya pajanan timbal yang terakumulasi pada tubuh ibu hamil. Rute penyerapan timbal kedalam tubuh dapat melalui tiga cara yakni melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Kegiatan seperti membersikan bawang dari tangkainya secara langsung ketika ibu hamil memegang bawang yang mengandung residu timbal, ini yang menyebabkan paparan awal terjadi. Sedangkan paparan secara tidak langsung melalui tanah, udara dan air. Ibu hamil yang memegang bawang merah yang masih bercampur dengan tanah juga merupakan beresiko untuk terpajan timbal karena adanya residu timbal yang menempel di tanah. Hasil Pemeriksaan Gangguan Fungsi Hati Fungsi hati merupakan variabel komposit dari variabel kadar SGOT dan kadar SGPT. 254

263 Fungsi hati dengan kategori tidak normal, jika ada salah satu variabel hasil laboratorium melebihi standar yang ditentukan. Hal ini dikeranakan hati harus melakukan berbagai jenis fungsi biokimia, sintetis dan eksresi sehingga tidak ada tes biokimia tunggal yang dapat mendeteksi fungsi hati secara menyeluruh. Hasil proses filter hati dalam darah bersirkulasi melalui tubuh. Sel-sel dihati mengandung protein yang disebut enzim yang mendorong reaksi kimia. Ketika sel-sel hati yang rusak atau hancur, enzim dalam sel akan masuk kedalam darah, dimana mereka dapat diukur dengan tes darah. Jika SGOT dan SGPT ditemukan bersama-sama dalam jumlah tinggi dalam darah, maka dapat dikatakan adanya kerusakan pada hati. xvi SGOT adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi, ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan paru-paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau kematian sel pada jaringan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya enzim ini ke sirkulasi. Ketidaknormalan atau kenaikan kadar SGOT belum tentu mengindikasikan kerusakan sel pada jaringan parenkim hati karena masih dimungkinkan kerusakan sel tersebut berasal dari organ lain. Selain dari itu, SGPT lebih sensitif sebagai indikator gangguan hati karena SGPT berasal berasal dari sitoplasma sel hati, sedangkan SGOT berasal dari mitokondria dan sitoplasma hepatosit atau sel hati. Dari hasil penelitian menemukan proporsi kadar SGOT yang tidak normal sebesar 4,1%. Proporsi kadar SGPT yang tidak normal sebesar 4,1 %. Fungsi hati pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian fidiyatun tahun Fidiyatun menemukan proporsi kejadian gangguan fungsi hati pada pekerja peleburan timah hitam di Kabupaten Tegal sebesar 67,3%. Hubungan Kadar Pb dalam darah dan Gangguan Fungsi Hati Untuk melihat kecendrungan kadar Pb dalam darah terhadap nilai SGOT dan SGPT dilakukan uji korelasi. Hasil uji korelasi Spearman Rho antara parameter kadar Pb dalam darah dan kadar SGOT membuktikan tidak adanya hubungan (korelasi) bermakna antara kadar Pb dalam darah dengan kadar SGOT nilai p=0,05 dengan kekuatan korelasi 0,282. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fidiyatun tahun 2013, dimana penelitian Fidiyatun menunjukkan bahwa ada hubungan (korelasi) antara kadar Pb dalam darah dengan kadar SGOT dengan nilai p= 0,002, dengan kekuatan korelasi lemah (r=0,294). Tetapi hasil penelitian Fafemanesh tahun 2015 mengenai bahaya kimia dan fungsi hati pada pekerja industri karet di Iran menunjukkan tidak adanya perbedaan antara pajanan bahan kimia dengan nilai SGOT dengan p= 0,1. Sementara parameter kadar timbal dalam darah dengan kadar SGPT membuktikan tidak adanya hubungan (korelasi) bermakna antara kadar pb dalam darah dengan kadar SGPT nilai -p=0,056 dengan kekuatan korelasi 0,275. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitra Ayu Minarti tahun 2015 bahwa tidak adanya hubungan antara kadar Pb dalam darah dan kadar SGPT (nilai -p 0,169) dengan kekuatan korelasi lemah r : 0,347). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diasumsikan bahwa gangguan fungsi hati pada ibu hamil mungkin disebabkan oleh faktor selain pajanan timbal (Pb). Penelitian oleh Santosa tahun 2012 menunjukkan bahwa senyawa kimia formalin dapat meningkatkan aktivitas metabolisme hepatik. Formalin yang mengenai sel akan mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma sel dan nukleus, sehingga akan mengubah struktur mukosa mengakibatkan perubahan fungsional yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Selain formalin, faktor lain yang memungkinkan terjadinya gangguan fungsi hati dengan penggunaan minyak goreng curah dan penggunaan minyak goreng yang berulang (minyak jelantah). Penelitian yang dilakukan Aisyah dkk tahun 2015 dan sutejo tahun 2012 terhadap tikus putih membuktikan bahwa pemberian minyak goreng bekas mengkibatkan kerusakan sel hati. Penggunaan minyak jelantah dapat mempengaruhi peningkatan kerusakan organ hati pada level sedang sampai berat, sedangkan penggunaan minyak curah mengakibatkan perubahan pada organ hati dalam level yang ringan. Mekanisme kerusakan 255

264 sel hati yang disebabkan oleh minyak jelantah mengandung radikal bebas ini berkaitan dengan O 2 di dalam tubuh membentuk peroksil (peroksi radikal). Peroksil mengabsorbsi atom hidrogen dari molekul lipid tak jenuh, sehingga terjadi reaksi berkepanjangan yang menghasilkan peroksida-peroksida yang lain yaitu peroksinitrit, peroksil dan peroksinitrit. Peroksida peroksida ini bersifat lipofilik yang menyebabkan peroksida lipid dalam membran dan didalam sel ini yang terserang adalah mitokondria, kemudian melepaskan ribosa dan retikulum endoplasmik, sehingga pemasokan energi yang diperlukan untuk memelihara fungsi dan struktur retikulum endoplasmik terhambat dan sintesis protein menurun sehingga sel kehilangan daya untuk megeluarkan trigliserida dan terjadilah kerusakan sel hati. Berdasarkan hasil wawancara responden diketahui sebagian besar para ibu dilokasi penelitian menggunakan minyak goreng curah (eceran) dengan penggunaan minyak goreng yang berulang. Asumsi kedua, dimungkinkan adanya interaksi kimia antara timbal dengan bahan kimia yang bersifat protektif. Penelitian yang dilakukan oleh saraswati tahun 2015 terhadap 15 ekor puyuh, membuktikan pemberian serbuk kunyit memperbaiki fungsi hepar puyuh. xvii Serbuk kunyit mengandung kurkumin yang dapat berperan memperbaiki fungsi hati, sehingga hati dapat bekerja secara maksimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kurkumin dalam serbuk kunyit sebesar 7,97%. xviii Kurkumin mempunyai efek farmakologis antara lain melancarkan aliran darah, anti inflamasi, anti oksidan dan hepatoprotektor. Kurkumin mempunyai sifat menghambat peroksidase lipid di dalam membran sel, sebagai antioksidan kurkumin dapat membersihkan radikal bebas, meningkatkan enzim antioksida, mencegah pembentukan bahan kimia inflamasi yaitu siklooksigenase-2 (COX-2), dan menginduksi enzim detoksifikasi hati yaitu gluthation-s-transferase. Penelitian yang dilakukan oleh Anindita dkk tahun 2012 membuktikan bahwa pemberian teh hijau dosis 0,015 gr/bb/hr mampu memperbaiki kerusakan pada hepatosit. Hal ini disebabkan teh hijau mengandung polifenol dalam jumlah yang tinggi. Penelitian Mousa tahun 2014 membuktikan bahwa pemberian asam sinimat pada tikus (30 mg/kg) dapat digunakan untuk pengobatan hepatosit dari kerusakan hati akut pada derajat pertama. Dimana asam sinimat ini umumnya terdapat pada kencur, cengkeh, temu kunci, lengkuas dan buah serta sayuran lainnya. Berdasarkan hasil recall makanan yang dikonsumsi anak, diketahui bahwa bahan-bahan seperti kunyit, teh, jahe, bawang putih dan kandungan asam sinimat tersebut terdapat pada makanan dan minuman yang sering dikonsumsi oleh ibu hamil. SIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: sebanyak 49 responden (100%) dengan kadar pb dalam darah melebihi ambang batas yang telah ditetapkan oleh CDC yakni 5µg/dL. kadar Timbal (Pb) dalam darah dengan katagori tinggi pada ibu hamil di Desa Grinting Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes sebesar 51%. Tidak ada korelasi antara kadar Pb dengan kadar SGOT ibu hamil (p=0,050). Tidak ada korelasi antara kadar Pb dengan kadar SGPT ibu hamil (p=0,056). Tidak ada perbedaan kadar SGOT antara ibu hamil dengan kadar pb tinggi dan ibu hamil dengan kadar Pb rendah (p=0,094). Tidak ada perbedaan kadar SGPT antara ibu hamil dengan kadar pb dalam darah tinggi dan ibu hamil dengan kadar pb rendah (p=0,063). DAFTAR PUSTAKA 1. Mayer PA. M. Jbrown and H. Falk: Global Approach to Reduching Lead Exposure and Poisoning. Mutat res. Jul-aug 2008: 659(1-2); Goyer, R.A and Tw clarkson. Toxic Effects of Metals. In cassarett and doul s :Essentilas of Toxicology. Editor C>d kaassen and J. B. Watkins III PP McGraw-Hill. Medical publishing devision

265 3. Dart, R.C, K.M. Hurlbut and L.V. Boyer-Hassen Lead. In darr, RC. Medical Toxicology (3 rd ed.). environ Health Perspect. Dec 200; 113(12): Published online aug 11, Commentaries & reviews. 4. Duffus, J. H. Environmental Toxicology. New York: John Wiley and Sons WHO (World Health Organisation): Lead exposure in children. Geneva: WHO; Suherni. Lead Poisoning in Indonesia. Sydney:The Global Lead Advice and Support Service (GLASS) Anggarini, D. Analysis of Heavy Metal Pb, Cd, Cu and Zn in Seawater, Sediment and Geloina coaxans in coastal Dumai Riau Suyanto A, Kusmiyati S, Retnaningsih CH. Residu logam berat ikan dari perairan tercemar di pantai utara Jawa Tengah. Jurnal Pangan dan Gizi. 2010; 1 (02): Kusnoputranto H. Pengantar toksikologi lingkungan. Jakarta: Universitas Indonesia; Lestari, Edward. Dampak pencemaran logam berat terhadap kualitas air laut dan sumberdaya perikanan (studi kasus kematian massal ikan-ikan di teluk jakarta). Makara, Sains. 2004; 8 (2): Irianto K. Struktur dan fungsi tubuh manusia untuk paramedis.bamdung: cv Yrama widya ; Ordberg G. Metal : Chemical Properties and Toxicity.In : Stellman Jm (ed); Encyclopedia of OccupationalHealth and Safety. 4 ed. Geneva ; ILO ) 13. Gurer H, Ercal N, Can Antioxidants be Beneficial in The Treatment of Lead Poisoning? Free Radic Biol Med; 2000, 29(10): Tong S von scahirnding YE, prapamontol T, environmental lead exposure : apublic health problem of global dimension. Bull world health organ. 2000: 78: dalam low level prnatal lead exposure aand infant sensory fungtion. Silver et al. Environmental health. 15. Kementrian kesehatan republik indonesia. PERMENKES RI No.492 tahun Samir GS. Assesing liver function. PubMed. 2007; 13 (2): Saraswati TR. Efek pemberian serbuk kunyit dalam pakan terhadap hepar Puyuh Jepang (Coturnix Japonica). Jurnal Anatomi dan Fisiologi. 2015; 23 (2): Saraswati TR, Manalu W, Ekastuti DR, Kusumorini N. The role of turmeric powder in lipid metabolism and its effect on quality of the first quail s egg. Journal of The Indonesian Tropical Animal Agriculture. 2013; 38 (2):

266 258

267

Pengolahan Lumpur Tinja Pada Sludge Drying Bed IPLT Keputih Menjadi bahan Bakar Alternatif Dengan Metode Biodrying

Pengolahan Lumpur Tinja Pada Sludge Drying Bed IPLT Keputih Menjadi bahan Bakar Alternatif Dengan Metode Biodrying JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-133 Pengolahan Lumpur Tinja Pada Sludge Drying Bed IPLT Keputih Menjadi bahan Bakar Alternatif Dengan Metode Biodrying Desy

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

PENGARUH LAJU AERASI DAN PENAMBAHAN INOKULAN PADA PENGOMPOSAN LIMBAH SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI *

PENGARUH LAJU AERASI DAN PENAMBAHAN INOKULAN PADA PENGOMPOSAN LIMBAH SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI * PENGARUH LAJU AERASI DAN PENAMBAHAN INOKULAN PADA PENGOMPOSAN LIMBAH SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI * Joko Nugroho, W.K. dan Istiqamah Jurusan Teknik Pertanian, FTP UGM Telp/fax: 0274-563542, email: jknugroho@ugm.ac.id

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT.

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT. PENGARUH VARIASI PERBANDINGAN UDARA- BAHAN BAKAR TERHADAP KUALITAS API PADA GASIFIKASI REAKTOR DOWNDRAFT DENGAN SUPLAI BIOMASSA SERABUT KELAPA SECARA KONTINYU OLEH : SHOLEHUL HADI (2108 100 701) DOSEN

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Oleh : Januariska Dwi Yanottama Anggitasari J

NASKAH PUBLIKASI. Diajukan Oleh : Januariska Dwi Yanottama Anggitasari J PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN DIARE BALITA PADA KELOMPOK MASYARAKAT YANG SUDAH MEMILIKI JAMBAN KELUARGA DENGAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG BELUM MEMILIKI JAMBAN KELUARGA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh : Januariska

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

KEMAMPUAN KOTORAN SAPI DAN EM4 UNTUK MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DAN NILAI EKONOMIS DALAM PENGOMPOSAN

KEMAMPUAN KOTORAN SAPI DAN EM4 UNTUK MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DAN NILAI EKONOMIS DALAM PENGOMPOSAN KEMAMPUAN KOTORAN SAPI DAN EM4 UNTUK MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DAN NILAI EKONOMIS DALAM PENGOMPOSAN Budi Nining Widarti, Sinta Devie, Muhammad Busyairi Fakultas Teknik Universitas Mulawarman email :

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

TESIS. Oleh MARIA POSMA HAYATI /IKM

TESIS. Oleh MARIA POSMA HAYATI /IKM PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TESIS Oleh MARIA POSMA HAYATI 097032136/IKM

Lebih terperinci

Analisis Sarana Dasar Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu

Analisis Sarana Dasar Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu J Kesehat Lingkung Indones Vol.4 No.2 Oktober 2005 Analisis Sarana Dasar Kesehatan Analisis Sarana Dasar Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Gading

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi HUBUNGAN ANTARA SIKAP DAN PERILAKU KEPALA KELUARGA DENGAN SANITASI LINGKUNGAN DI DESA PINTADIA KECAMATAN BOLAANG UKI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN Suharto S. Bunsal*, A. J. M. Rattu*, Chreisye K.F.

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNOLOGI BIODRYING DALAM PENGOLAHAN SAMPAH HIGH WATER CONTENT MENUJU ZERO LEACHATE

PENERAPAN TEKNOLOGI BIODRYING DALAM PENGOLAHAN SAMPAH HIGH WATER CONTENT MENUJU ZERO LEACHATE Jurnal PRESIPITASI Vol. 13 No.2 September 2016, ISSN 1907-187X PENERAPAN TEKNOLOGI BIODRYING DALAM PENGOLAHAN SAMPAH HIGH WATER CONTENT MENUJU ZERO LEACHATE ABSTRAK Purwono*, Mochatar Hadiwidodo, Arya

Lebih terperinci

GAMBARAN SANITASI JAMBAN DI SEKOLAH DASAR NEGERI DI WILAYAH KECAMATAN KIKIM TIMUR TAHUN 2016

GAMBARAN SANITASI JAMBAN DI SEKOLAH DASAR NEGERI DI WILAYAH KECAMATAN KIKIM TIMUR TAHUN 2016 GAMBARAN SANITASI JAMBAN DI SEKOLAH DASAR NEGERI DI WILAYAH KECAMATAN KIKIM TIMUR TAHUN 2016 Ulfah Program Studi Kesehatan Masyarakat STIK Bina Husada Palembang Email: ulfah.maria449@gmail.com ABSTRACT

Lebih terperinci

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 3-5 TAHUN YANG IBUNYA BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA DI WILAYAH KELURAHAN PURWODININGRATAN KOTA SURAKARTA

PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 3-5 TAHUN YANG IBUNYA BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA DI WILAYAH KELURAHAN PURWODININGRATAN KOTA SURAKARTA PERBEDAAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 3-5 TAHUN YANG IBUNYA BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA DI WILAYAH KELURAHAN PURWODININGRATAN KOTA SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

STUDI KASUS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAYANAN TAHUN 2015

STUDI KASUS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAYANAN TAHUN 2015 STUDI KASUS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAYANAN TAHUN 2015 Mahmudah FKM Uniska, Banjarmasin, Kalimantan Selatan E-mail: mahmudah936@gmail.com Abstrak Latar belakang: Diare

Lebih terperinci

Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap Penggunaan Jamban

Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap Penggunaan Jamban PENDIDIKAN KESEHATAN ILMU PERILAKU Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap Penggunaan Jamban Erlinawati Pane* Abstrak Secara nasional, hanya 39% rumah tangga yang menggunakan jamban yang sehat, di daerah perkotaan

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017 114 PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Sindi Martina Hastuti 1, Ganjar Samudro 2, Sri Sumiyati

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI JUMLAH DAN JENIS BULKING AGENT PADA PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI *

PENGARUH VARIASI JUMLAH DAN JENIS BULKING AGENT PADA PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI * TOPIK D PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 PENGARUH VARIASI JUMLAH DAN JENIS BULKING AGENT PADA PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI * Joko Nugroho, W.K., Nur Sigit Bintoro,dan

Lebih terperinci

Studi Timbulan Komposisi Dan Karakteristik Sampah Domestik Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru

Studi Timbulan Komposisi Dan Karakteristik Sampah Domestik Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Studi Timbulan Komposisi Dan Karakteristik Sampah Domestik Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Khalika Jaspi 1), Elvi Yenie 2), Shinta Elystia 2) 1) Mahasiswa Teknik Lingkungan, 2) Dosen Teknik lingkungan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 6 12 BULAN DI PUSKESMAS KUTA SELATAN TAHUN 2012

UNIVERSITAS UDAYANA PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 6 12 BULAN DI PUSKESMAS KUTA SELATAN TAHUN 2012 UNIVERSITAS UDAYANA PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 6 12 BULAN DI PUSKESMAS KUTA SELATAN TAHUN 2012 I GEDE DODY WIRADHARMA 0720025027 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK PASIEN, JENIS PEMBIAYAAN, STATUS AKREDITASI PUSKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN PUSKESMAS DI KOTA SURAKARTA TESIS

PENGARUH KARAKTERISTIK PASIEN, JENIS PEMBIAYAAN, STATUS AKREDITASI PUSKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN PUSKESMAS DI KOTA SURAKARTA TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK PASIEN, JENIS PEMBIAYAAN, STATUS AKREDITASI PUSKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN PUSKESMAS DI KOTA SURAKARTA TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

HUBUNGAN PAPARAN MEDIA INFORMASI DENGAN PENGETAHUAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE PADA IBU-IBU DI KELURAHAN SAMBIROTO SEMARANG

HUBUNGAN PAPARAN MEDIA INFORMASI DENGAN PENGETAHUAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE PADA IBU-IBU DI KELURAHAN SAMBIROTO SEMARANG HUBUNGAN PAPARAN MEDIA INFORMASI DENGAN PENGETAHUAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE PADA IBU-IBU DI KELURAHAN SAMBIROTO SEMARANG Adhiana Aysha Rohman 1), Syamsulhuda 2), Anung Sugihantono 3) Bagian Pendidikan

Lebih terperinci

TESIS. Oleh LISBET HERAWATY SIHOMBING /IKM

TESIS. Oleh LISBET HERAWATY SIHOMBING /IKM PENGARUH KETERSEDIAAN SARANA, PENGETAHUAN DAN SIKAP LANJUT USIA ( LANSIA) TERHADAP PEMANFAATAN POSYANDU LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS HELVETIA KOTA MEDAN TESIS Oleh LISBET HERAWATY SIHOMBING 107032197/IKM

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Sanitasi Lingkungan

Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Sanitasi Lingkungan GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG SANITASI LINGKUNGAN DI PESISIR PANTAI SINDULANG SATU KECAMATAN TUMINTING TAHUN 2014 Jessy Desiere*, Henky Loho*, Johan Josephus* *Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA SMA TENTANG BAHAYA ROKOK DI KOTA DENPASAR PASCA PENERAPAN PERINGATAN BERGAMBAR PADA KEMASAN ROKOK

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA SMA TENTANG BAHAYA ROKOK DI KOTA DENPASAR PASCA PENERAPAN PERINGATAN BERGAMBAR PADA KEMASAN ROKOK UNIVERSITAS UDAYANA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA SMA TENTANG BAHAYA ROKOK DI KOTA DENPASAR PASCA PENERAPAN PERINGATAN BERGAMBAR PADA KEMASAN ROKOK LUH DEVI PRIYANTHI ASDIANA 1120025061 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar yang berasal dari fosil dari tahun ke tahun semakin meningkat, sedangkan ketersediaannya semakin berkurang

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2 ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2 Lintang Sekar Langit lintangsekar96@gmail.com Peminatan Kesehatan Lingkungan,

Lebih terperinci

TESIS. Oleh : CUT YUNIWATI /IKM

TESIS. Oleh : CUT YUNIWATI /IKM PENGARUH PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP KESIAPAN WANITA MENOPAUSE DALAM MENGHADAPI KELUHAN MENOPAUSE DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH PROVINSI ACEH TESIS Oleh : CUT YUNIWATI 097032146/IKM

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENANGANAN SAMPAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS INGIN JAYA KABUPATEN ACEH BESAR

HUBUNGAN PENANGANAN SAMPAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS INGIN JAYA KABUPATEN ACEH BESAR HUBUNGAN PENANGANAN SAMPAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS INGIN JAYA KABUPATEN ACEH BESAR WASTE HANDLING CORRELATION WITH THE OCCURRENCE OF DIARRHEA ON TODDLER WORKING AREA

Lebih terperinci

Oleh : Dimas Setiawan ( ) Pembimbing : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT.

Oleh : Dimas Setiawan ( ) Pembimbing : Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT. Karakterisasi Proses Gasifikasi Downdraft Berbahan Baku Sekam Padi Dengan Desain Sistem Pemasukan Biomassa Secara Kontinyu Dengan Variasi Air Fuel Ratio Oleh : Dimas Setiawan (2105100096) Pembimbing :

Lebih terperinci

Surahma Asti Mulasari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Surahma Asti Mulasari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta KES MAS ISSN : 1978-0575 HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU MASYARAKAT DALAM MENGOLAH SAMPAH DI DUSUN PADUKUHAN DESA SIDOKARTO KECAMATAN GODEAN KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA Surahma

Lebih terperinci

PENGARUH PREDISPOSING FACTOR, ENABLING FACTOR

PENGARUH PREDISPOSING FACTOR, ENABLING FACTOR PENGARUH PREDISPOSING FACTOR, ENABLING FACTOR DAN REINFORCING FACTOR TERHADAP PENGGUNAAN JAMBAN DI DESA GUNUNGTUA KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN MANDAILING NATAL TAHUN 2014 Oleh : HURUL AIN NIM. 091000036

Lebih terperinci

KONDISI SANITASI LINGKUNGAN DI KENAGARIAN BIDAR ALAM KECAMATAN SANGIR JUJUAN KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL

KONDISI SANITASI LINGKUNGAN DI KENAGARIAN BIDAR ALAM KECAMATAN SANGIR JUJUAN KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL KONDISI SANITASI LINGKUNGAN DI KENAGARIAN BIDAR ALAM KECAMATAN SANGIR JUJUAN KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL DELI YARNI 10030190 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara adil serta merata (Depkes RI, 2009). Masalah penyehatan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. secara adil serta merata (Depkes RI, 2009). Masalah penyehatan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan derajat kesehatan dapat terwujud

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN PANDEGLANG

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN PANDEGLANG FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN PANDEGLANG Anni Suciawati* *Fakultas Kesehatan Prodi Kebidanan Universitas Nasional Email Korespodensi:

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK SAMPAH KOTA PADANG BERDASARKAN SUMBER SAMPAH DAN MUSIM

KARAKTERISTIK FISIK SAMPAH KOTA PADANG BERDASARKAN SUMBER SAMPAH DAN MUSIM KARAKTERISTIK FISIK SAMPAH KOTA PADANG BERDASARKAN SUMBER SAMPAH DAN MUSIM Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Andalas Email: yenni@ft.unand.ac.id ABSTRAK Pada penelitian ini dianalisis

Lebih terperinci

Alif Nuril Zainiyah, Sri Mardoyo., Marlik

Alif Nuril Zainiyah, Sri Mardoyo., Marlik HUBUNGAN KEPEMILIKAN JAMBAN DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT (STUDI DI DESA MENDALAN KECAMATAN WINONGAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2012) Alif Nuril Zainiyah, Sri Mardoyo., Marlik ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA II.

TINJAUAN PUSTAKA II. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.

Lebih terperinci

Potensi Biogas dari Pemanfaatan Janur dengan Penambahan Inokulum Kotoran Sapi

Potensi Biogas dari Pemanfaatan Janur dengan Penambahan Inokulum Kotoran Sapi 1 SKRIPSI Potensi Biogas dari Pemanfaatan Janur dengan Penambahan Inokulum Kotoran Sapi Oleh : A. A Ngurah Dwi Putra Paradiptha 0819351010 FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK MESIN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Lingkungan yang diharapkan adalah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan Departemen Kesehatan pada tahun 1998 yang lalu memiliki tujuan-tujuan mulia, salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

Bab IV Hasil Dan Pembahasan Bab IV Hasil Dan Pembahasan IV.1 Reaktor dan Proses Pengkomposan Skala Kecil IV.1.1 Reaktor Kompos Desain awal reaktor pengkomposan merupakan konsep sederhana dari tempat sampah biasa yang memiliki lubang

Lebih terperinci

PENGARUH PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KELANJUTAN UNIT PENGOMPOSAN BERBASIS MASYARAKAT ABSTRAK

PENGARUH PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KELANJUTAN UNIT PENGOMPOSAN BERBASIS MASYARAKAT ABSTRAK PENGARUH PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KELANJUTAN UNIT PENGOMPOSAN BERBASIS MASYARAKAT Selvie Diana 1 1 Email: selviepnl @yahoo.com ABSTRAK Sebagai antisipasi minimalisasi kebutuhan lahan TPA, Dinas

Lebih terperinci

TESIS. Untuk memenuhi persyaratan Mencapai derajat Sarjana S2. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

TESIS. Untuk memenuhi persyaratan Mencapai derajat Sarjana S2. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN IBU HAMIL MEMILIH PELAYANAN ANTENATAL CARE (ANC) DI POLIKLINIK KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG TESIS Untuk memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT GASIFIKASI BIOMASSA (TONGKOL JAGUNG) SISTEM UPDRAFT SINGLE GAS OUTLET

RANCANG BANGUN ALAT GASIFIKASI BIOMASSA (TONGKOL JAGUNG) SISTEM UPDRAFT SINGLE GAS OUTLET RANCANG BANGUN ALAT GASIFIKASI BIOMASSA (TONGKOL JAGUNG) SISTEM UPDRAFT SINGLE GAS OUTLET (Kajian Teknologi Filter Jerami Untuk Gasifikasi dan Nilai Kalor dari Produk Gasifikasi) Disusun untuk Memenuhi

Lebih terperinci

The Association between Social Functions and Quality of Life among Elderly in Denpasar

The Association between Social Functions and Quality of Life among Elderly in Denpasar Laporan hasil penelitian Hubungan antara Fungsi Sosial dengan Kualitas Hidup Lanjut Usia di Kota Denpasar Nandini Parahita Supraba 1,2, N.P Widarini 2,3, L. Seri Ani 2,4 1 Akademi Kebidanan Bina Husada

Lebih terperinci

T E S I S. Oleh FERRA YUSTISIA BR PURBA /IKM

T E S I S. Oleh FERRA YUSTISIA BR PURBA /IKM PENGARUH PENGETAHUAN, KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT TERHADAP PARTISIPASI SUAMI DALAM PERAWATAN KEHAMILAN ISTRI DI KELURAHAN PINTU SONA KABUPATEN SAMOSIR T E S I S Oleh FERRA YUSTISIA BR PURBA 097032133/IKM

Lebih terperinci

PENGARUH UNMET NEED KB TERHADAP KEHAMILAN DI PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2014 TESIS. Oleh ELSARIKA DAMANIK /IKM

PENGARUH UNMET NEED KB TERHADAP KEHAMILAN DI PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2014 TESIS. Oleh ELSARIKA DAMANIK /IKM PENGARUH UNMET NEED KB TERHADAP KEHAMILAN DI PUSKESMAS HELVETIA MEDAN TAHUN 2014 TESIS Oleh ELSARIKA DAMANIK 127032125/IKM PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENERAPAN REGRESI LOGISTIK DALAM ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RSUD KABUPATEN BADUNG MANGUSADA

PENERAPAN REGRESI LOGISTIK DALAM ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RSUD KABUPATEN BADUNG MANGUSADA PENERAPAN REGRESI LOGISTIK DALAM ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN RAWAT JALAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI RSUD KABUPATEN BADUNG MANGUSADA PUTU ERMA PRADNYANI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN FREKUENSI JAJAN ANAK DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT. (Studi pada Siswa SD Cibeureum 1 di Kelurahan Kota Baru) TAHUN 2016

HUBUNGAN FREKUENSI JAJAN ANAK DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT. (Studi pada Siswa SD Cibeureum 1 di Kelurahan Kota Baru) TAHUN 2016 HUBUNGAN FREKUENSI JAJAN ANAK DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT (Studi pada Siswa SD Cibeureum 1 di Kelurahan Kota Baru) TAHUN 2016 Karina AS 1) Nurlina dan Siti Novianti 2) Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PADA RUMAH TANGGA SASARAN (RTS) DI DESA BATUKANDIK PULAU NUSA PENIDA

UNIVERSITAS UDAYANA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PADA RUMAH TANGGA SASARAN (RTS) DI DESA BATUKANDIK PULAU NUSA PENIDA UNIVERSITAS UDAYANA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PADA RUMAH TANGGA SASARAN (RTS) DI DESA BATUKANDIK PULAU NUSA PENIDA ANAK AGUNG SAGUNG PUTRI KUSUMA DEWI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

SISKA DEVI BANGUN NIM.

SISKA DEVI BANGUN NIM. PENGARUH FAKTOR PENGETAHUAN IBU DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP TINDAKAN IBU DALAM PENCEGAHAN GIZI BURUK PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMPLAS KOTA MEDAN TAHUN 2010 SKRIPSI Oleh : SISKA DEVI

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Pebruari 26 PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK Riskha Septianingrum dan Ipung Fitri Purwanti purwanti@enviro.its.ac.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara jumlah sampah yang dihasilkan dengan sampah yang diolah tidak seimbang. Sampah merupakan

Lebih terperinci

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah

Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Pengaruh Pengaturan ph dan Pengaturan Operasional Dalam Produksi Biogas dari Sampah Oleh : Nur Laili 3307100085 Dosen Pembimbing : Susi A. Wilujeng, ST., MT 1 Latar Belakang 2 Salah satu faktor penting

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT LAIK SEHAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURNAMA KECAMATAN PONTIANAK SELATAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT LAIK SEHAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURNAMA KECAMATAN PONTIANAK SELATAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPEMILIKAN SERTIFIKAT LAIK SEHAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURNAMA KECAMATAN PONTIANAK SELATAN Wahyuni, Nurul Amaliyah dan Yulia Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes

Lebih terperinci

OLEH: S. HINDU MATHI NIM

OLEH: S. HINDU MATHI NIM FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT PARTISIPASI IBU DALAM PENIMBANGAN BALITA KE POSYANDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DARUSSALAM KECAMATAN MEDAN PETISAH TAHUN 2013 SKRIPSI OLEH: S. HINDU MATHI

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH JAYAGUST HARIANSYAH K.A JUNIOR SINAGA ILMU TANAH

SKRIPSI OLEH JAYAGUST HARIANSYAH K.A JUNIOR SINAGA ILMU TANAH ANALISIS PENGARUH TEKSTUR DAN C-ORGANIK TANAH TERHADAP PRODUKSI TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) DI KECAMATAN PEGAJAHAN, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI OLEH JAYAGUST HARIANSYAH K.A JUNIOR

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. Kata Kunci : Pengetahuan,Pekerjaan,Pendidikan,Pemberian ASI Eksklusif

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. Kata Kunci : Pengetahuan,Pekerjaan,Pendidikan,Pemberian ASI Eksklusif HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MODOINDING KECAMATAN MODOINDING KABUPATEN MINAHASA SELATAN Susdita R. Mailangkay*, Ardiansa A.T.

Lebih terperinci

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos. I Ketut Merta Atmaja. 1211305001. 2017. Pengaruh Perbandingan Komposisi Jerami dan Kotoran Ayam terhadap Kualitas Pupuk Kompos. Dibawah bimbingan Ir. I Wayan Tika, MP sebagai Pembimbing I dan Prof. Ir.

Lebih terperinci

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare Merry Tyas Anggraini 1, Dian Aviyanti 1, Djarum Mareta Saputri 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. ABSTRAK Latar Belakang : Perilaku hidup

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Kandungan Limbah Lumpur (Sludge) Tahap awal penelitian adalah melakukan analisi kandungan lumpur. Berdasarkan hasil analisa oleh Laboratorium Pengujian, Departemen

Lebih terperinci

PENGARUH RESIRKULASI LINDI BERSALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH TPA BENOWO, SURABAYA

PENGARUH RESIRKULASI LINDI BERSALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH TPA BENOWO, SURABAYA FINAL PROJECT RE 091324 PENGARUH RESIRKULASI LINDI BERSALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH TPA BENOWO, SURABAYA Effect of Saline Leachate Recirculation on Solid Waste Degradation Rate in TPA Benowo,

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS 13.1. Pendahuluan Tepung beras merupakan bahan baku makanan yang sangat luas sekali penggunaannya. Tepung beras dipakai sebagai bahan pembuat roti, mie dan

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Sampah Sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Pada kenyataannya, sampah menjadi masalah yang selalu timbul baik di kota besar maupun di

Lebih terperinci

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK Faktor-Faktor yang Barhubungan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Petugas Kebersihan dan Keindahan Kota Martapura Kabupaten OKU Timur Tahun 14 DELI LILIA Deli_lilia@ymail.com Dosen Program Studi

Lebih terperinci

Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung

Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung BUNGA DWIHAPSARI, SITI AINUN, KANCITRA PHARMAWATI Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

KARMILA /IKM

KARMILA /IKM PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEPATUHAN PERAWAT TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SARI MUTIARA MEDAN TAHUN 2014 TESIS Oleh KARMILA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

ROY ANTONIUS TARIGAN NIM.

ROY ANTONIUS TARIGAN NIM. HUBUNGAN KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN, DAN SIKAP KEPALA KELUARGA DENGAN KEPEMILIKAN RUMAH SEHAT DI KELURAHAN PEKAN SELESEI KECAMATAN SELESEI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2010 Oleh: ROY ANTONIUS TARIGAN NIM. 061000113

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 922-933 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA SEHAT DI DESA TOMPASO DUA KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA SEHAT DI DESA TOMPASO DUA KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA SEHAT DI DESA TOMPASO DUA KECAMATAN TOMPASO BARAT KABUPATEN MINAHASA Woodford B. S. Joseph*, Finny Warouw* *Fakultas Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA ASI EKSKLUSIF, KEBIASAAN CUCI TANGAN, PENGGUNAAN AIR BERSIH, DAN JAMBAN SEHAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA (Di Wilayah Kerja Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo) Oleh:

Lebih terperinci

PENGARUH AERASI INTERMITTENT DAN JENIS BAHAN TERHADAP DEGRADASI BAHAN ORGANIK PADA PROSES PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN KOMPOSTER MINI

PENGARUH AERASI INTERMITTENT DAN JENIS BAHAN TERHADAP DEGRADASI BAHAN ORGANIK PADA PROSES PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN KOMPOSTER MINI Seminar Nasional PERTETA, Bandung 6-8 Desember 2011 PENGARUH AERASI INTERMITTENT DAN JENIS BAHAN TERHADAP DEGRADASI BAHAN ORGANIK PADA PROSES PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN KOMPOSTER MINI Joko Nugroho

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA FACTORS INFLUENCES WITH DIARHEA IN THE CHILDREN UNDER FIVE

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA FACTORS INFLUENCES WITH DIARHEA IN THE CHILDREN UNDER FIVE JURNAL ILMU KESEHATAN AISYAH STIKES AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG VOLUME 1 NO. 2 (JULI DESEMBER 2016) P-ISSN: 2502-4825 E-ISSN: 2502-9495 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA FACTORS

Lebih terperinci

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS PADANGMATINGGI KECAMATAN PADANGSIDIMPUAN SELATAN KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2015 TESIS Oleh MUTIARA MANURUNG 137032142/

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiiyah Yogyakarta, Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

Lebih terperinci

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta KES MAS ISSN : 1978-0575 HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN, STATUS EKONOMI DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUAN-TUAN KABUPATEN KETAPANG

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA NI MADE ARIEK ASRI ARYANTI

UNIVERSITAS UDAYANA NI MADE ARIEK ASRI ARYANTI UNIVERSITAS UDAYANA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEHADIRAN ANGGOTA BINA KELUARGA BALITA (BKB) DALAM KEGIATAN BKB DI BANJAR MANUKAYA LET DESA MANUKAYA KECAMATAN TAMPAKSIRING KABUPATEN GIANYAR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sakinah, 2 Erna, 3 Marta 1,2,3. STIKes Prodi IKM Prima Korespondensi penulis :

PENDAHULUAN. Sakinah, 2 Erna, 3 Marta 1,2,3. STIKes Prodi IKM Prima Korespondensi penulis : HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PENDIDIKAN IBU RUMAH TANGGA DENGAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI DUSUN SEMAMBU BUNTING KELURAHAN JAMBI KECIL KECAMATAN MUARO SEBO TAHUN 1 Sakinah, 2 Erna, 3 Marta 1,2,3

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu. Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN TUNGKU PIROLISA UNTUK MEMBUAT KARBON AKTIF DENGAN BAHAN BAKU CANGKANG KELAPA SAWIT KAPASITAS 10 KG

RANCANG BANGUN TUNGKU PIROLISA UNTUK MEMBUAT KARBON AKTIF DENGAN BAHAN BAKU CANGKANG KELAPA SAWIT KAPASITAS 10 KG RANCANG BANGUN TUNGKU PIROLISA UNTUK MEMBUAT KARBON AKTIF DENGAN BAHAN BAKU CANGKANG KELAPA SAWIT KAPASITAS 10 KG Idrus Abdullah Masyhur 1, Setiyono 2 1 Program Studi Teknik Mesin, Universitas Pancasila,

Lebih terperinci

Endah Retnani Wismaningsih Oktovina Rizky Indrasari Rully Andriani Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Endah Retnani Wismaningsih Oktovina Rizky Indrasari Rully Andriani Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri HUBUNGAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STATUS GIZI KURANG PADA BALITA UMUR 1-5 TAHUN (Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Wilayah Utara Kota Kediri) Endah Retnani

Lebih terperinci

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:

Lebih terperinci

T E S I S. Oleh INDRA FAISAL / IKM

T E S I S. Oleh INDRA FAISAL / IKM PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KETERSEDIAAN SARANA KERJA TERHADAP KINERJA TENAGA SANITARIAN DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN HYGIENE SANITASI DI KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH T E S I S Oleh INDRA FAISAL

Lebih terperinci

TINGKAT KEMAMPUAN PENYERAPAN TANAMAN HIAS DALAM MENURUNKAN POLUTAN KARBON MONOKSIDA

TINGKAT KEMAMPUAN PENYERAPAN TANAMAN HIAS DALAM MENURUNKAN POLUTAN KARBON MONOKSIDA SKRIPSI TINGKAT KEMAMPUAN PENYERAPAN TANAMAN HIAS DALAM MENURUNKAN POLUTAN KARBON MONOKSIDA Oleh : BOVI RAHADIYAN ADITA CRISTINA 07502010028 PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 JURNAL KEBIDANAN Vol 1, No 2, Juli 2015: 57-62 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 Ana Mariza

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS POLY ALUMINIUM CHLORIDE (PAC) DALAM MENURUNKAN TOKSISITAS LEACHATE (AIR LINDI) DENGAN BIOINDIKATOR IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus)

EFEKTIVITAS POLY ALUMINIUM CHLORIDE (PAC) DALAM MENURUNKAN TOKSISITAS LEACHATE (AIR LINDI) DENGAN BIOINDIKATOR IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) DOSEN MUDA L A P O R A N P E N E L I T I A N EFEKTIVITAS POLY ALUMINIUM CHLORIDE (PAC) DALAM MENURUNKAN TOKSISITAS LEACHATE (AIR LINDI) DENGAN BIOINDIKATOR IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) Oleh:

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA. Oleh: Ni Putu Dewi Tata Arini NIM : PROGRAM STUDI KESEHATANMASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

UNIVERSITAS UDAYANA. Oleh: Ni Putu Dewi Tata Arini NIM : PROGRAM STUDI KESEHATANMASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA EFEKTIVITAS PELATIHAN MENGGUNAKAN MEDIA CETAK (BOOKLET DAN LEAFLET) UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN KADER POSYANDUTENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DI DESAGULINGAN KECAMATANMENGWI

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK Joko Widodo dan Yulinah Trihadiningrum Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP - ITS Surabaya ABSTRAK Pembuangan akhir sampah yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya.

BAB 1 : PENDAHULUAN. memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai meninggal, hal ini karena manusia memerlukan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Pendidikan, Pekerjaan, Dukungan Suami dan Keluarga, ASI Eksklusif.

Kata Kunci: Pendidikan, Pekerjaan, Dukungan Suami dan Keluarga, ASI Eksklusif. HUBUNGAN PENDIDIKAN IBU, PEKERJAAN IBU, DUKUNGAN SUAMI DAN KELUARGA DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BENGKOL KECAMATAN MAPANGET KOTA MANADO Fiji Claudia Pandean*, Adisti

Lebih terperinci

SISTEM GASIFIKASI FLUIDIZED BED BERBAHAN BAKAR LIMBAH RUMAH POTONG HEWAN DENGAN INERT GAS CO2

SISTEM GASIFIKASI FLUIDIZED BED BERBAHAN BAKAR LIMBAH RUMAH POTONG HEWAN DENGAN INERT GAS CO2 SISTEM GASIFIKASI FLUIDIZED BED BERBAHAN BAKAR LIMBAH RUMAH POTONG HEWAN DENGAN INERT GAS CO2 Oleh : I Gede Sudiantara Pembimbing : Prof. I Nyoman Suprapta Winaya, ST.,Masc.,Ph.D. I Gusti Ngurah Putu Tenaya,

Lebih terperinci

GAMBARAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TENTANG PHBS DI DESA TUNGGULO SELATAN KECAMATAN TILONG KABILA KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2012

GAMBARAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TENTANG PHBS DI DESA TUNGGULO SELATAN KECAMATAN TILONG KABILA KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2012 GAMBARAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TENTANG PHBS DI DESA TUNGGULO SELATAN KECAMATAN TILONG KABILA KABUPATEN BONE BOLANGO TAHUN 2012 NUR AIN NAPU Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA SERTA PENGGUNAAN GARAM BERIODIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II DENPASAR BARAT

KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA SERTA PENGGUNAAN GARAM BERIODIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II DENPASAR BARAT UNIVERSITAS UDAYANA KARAKTERISTIK, PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA SERTA PENGGUNAAN GARAM BERIODIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II DENPASAR BARAT PUTU TRYSNA PURNAMAYANTHI PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Target Millenium Development Goals (MDGs) ke-7 adalah setiap negara

BAB I PENDAHULUAN. Target Millenium Development Goals (MDGs) ke-7 adalah setiap negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Target Millenium Development Goals (MDGs) ke-7 adalah setiap negara memastikan keberlanjutan lingkungan hidup, untuk itu setiap negara harus dapat mengurangi

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa)

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa) PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa) Irvan, Permata Mhardela, Bambang Trisakti Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci