BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi dalam Hukum Positif Indonesia dan Singapura 1. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi di Indonesia Tindak Pidana Aborsi di Indonesia diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. a. Tindak Pidana Aborsi dalam KUHP KUHP menyatakan bahwa abortus provocatus atau aborsi yang disengaja, terlebih lagi abortus provocatus criminalis yaitu aborsi yang dilakukan dengan sengaja dengan alasan yang bersifat melawan hukum, adalah tergolong tindak pidana dan dilarang pelaksanaannya. Ketentuan mengenai tindak pidana aborsi dapat dijumpai dalam Bab XIV Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan khususnya Pasal 299 KUHP, Bab XIX Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa khususnya Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. No. Pasal Subjek Jenis Kejahatan Ancaman Pidana Setiap orang (bisa suami, keluarga, atau yang lain). Dengan sengaja mengobati atau menyuruh seorang wanita untuk mengaborsi. Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak tiga ribu rupiah Tabib, bidan, Menjadikan atau juru obat. aborsi untuk mencari keuntungan atau commit sebagai to user mata Pidana tambahan berupa sepertiga dari pidana penjara 4 (empat) tahun atau denda tiga ribu rupiah 45

2 pencaharian. dan dicabutnya hak untuk menjalani profesinya sebagai mata pencaharian Wanita hamil Mengaborsi kandungannya. Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun Setiap orang. Mengaborsi kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya. Pidana penjara paling lama dua belas tahun. Apabila menyebabkan kematian si wanita, pidana penjara paling lama lima belas tahun Setiap orang. Mengaborsi kandungan seorang wanita dengan persetujuannya. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. Apabila menyebabkan kematian si wanita, pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun Dokter, bidan, atau juru obat. Membantu melakukan kejahatan seperti yang tercantum pada Pasal 346, 347, dan 348. Pidana yang telah ditentukan pasal-pasal tersebut dan dapat ditambah sepertiga dan dicabutnya hak untuk menjalani profesinya sebagai mata pencaharian. Tabel 1. Subjek dan Jenis Tindak Pidana Aborsi dalam KUHP Adapun rumusan selengkapnya pasal-pasal tersebut sebagai berikut: 1) Rumusan tindak pidana Pasal 299 KUHP adalah sebagai berikut: (4) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. 46

3 (5) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (6) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. Unsur-unsur dari Pasal 299 KUHP yaitu : a) Barang siapa; b) Dengan sengaja; c) Mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati; d) Dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan; e) Bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan. Jika yang bersalah melakukan perbuatan aborsi untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. Jika yang bersalah melakukan perbuatan aborsi dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. 2) Rumusan tindak pidana Pasal 346 KUHP adalah sebagai berikut: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Unsur-unsur dari Pasal 346 KUHP yaitu: a) Seorang wanita; b) Dengan sengaja; c) Menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu. 3) Rumusan tindak pidana Pasal 347 KUHP adalah sebagai berikut: (3) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (4) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 47

4 Unsur-unsur dari Pasal 347 KUHP yaitu: a) Barang siapa; b) Dengan sengaja; c) Menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 4) Rumusan tindak pidana Pasal 348 KUHP adalah sebagai berikut: (3) Barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. (4) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Unsur-unsur dari Pasal 348 KUHP yaitu: a) Barang siapa; b) Dengan sengaja; c) Mengugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. 5) Rumusan tindak pidana Pasal 349 KUHP adalah sebagai berikut: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Unsur-unsur dari Pasal 349 KUHP yaitu: a) Jika seorang dokter, bidan atau juru obat; b) Membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348; c) Maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana commit kejahatan to user dilakukan. 48

5 Jika kita menelaah pasal-pasal tersebut diatas, maka akan tampak bahwa KUHP tidak memperbolehkan pelaksanaan aborsi di Indonesia. KUHP tidak melegalkan aborsi tanpa terkecuali, bahkan abortus provocatus medicinalis atau abortus provocatus therapeutic pun dilarang. Oleh karena sudah dirumuskan demikian, maka dalam kasus aborsi minimal ada dua orang yang terkena ancaman pidana, yakni si perempuan sendiri yang hamil serta barangsiapa yang sengaja membantu si perempuan tersebut mengggugurkan kandungannya (Suryono Ekotama, Harum Pudjiarto dan Widiartama, 2001: 71). b. Tindak Pidana Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Tindak Pidana Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tercantum dalam Pasal 75, 76, 77, dan terdapat ketentuan pidana pada Pasal 194. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berlaku sebagai apa yang disebut adagium hukum sebagai lex specialis derogat legi generali dari ketentuan mengenai tindak pidana aborsi di KUHP, di mana terdapat beberapa perubahan mengenai ketentuan untuk melaksanakan aborsi. Hubungan antara KUHP dengan undang-undang yang memuat tindak pidana di luar KUHP diatur dalam dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi, Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku I KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain (Frans Maramis, 2012: 47). Dengan adanya asas ini, perubahan-perubahan mengenai ketentuan aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengesampingkan pasal-pasal tindak pidana aborsi dalam KUHP. Adapun rumusan selengkapnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan tersebut: 1) Rumusan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: (1) Setiap orang dilarang commit melakukan to user aborsi. 49

6 (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: c. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau d. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Unsur-unsur dari Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: a) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. b) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: (3) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau (4) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. c) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Perubahan pengaturan mengenai pelaksanaan aborsi yang utama terlihat dalam pasal ini. Pasal ini menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dilarang untuk melakukan aborsi, akan tetapi, terdapat pengecualian yang membuat seseorang dapat melakukan aborsi, yaitu apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu/janin, dan 50

7 kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korbannya. Ketentuan yang terdapat pada pasal ini memperjelas pengaturan aborsi yang ada pada KUHP. Selain itu, tindakan aborsi tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah melalui konseling pra tindakan dan pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Yang dimaksud dengan konselor dalam ketentuan ini menurut penjelasan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu. 2) Rumusan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal ini mengatur mengenai persyaratan untuk dapat melaksanakan aborsi berdasarkan ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, terdapat kelemahan karena pasal ini menyatakan bahwa penyedia layanan kesehatan yang dapat melaksanakan aborsi adalah penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri, akan tetapi, sampai saat ini belum ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mencantumkan syarat yang bagaimana yang harus dipenuhi suatu penyedia layanan kesehatan untuk dapat membantu melaksanakan aborsi sehingga terjadi suatu ketidakjelasan. Namun, setelah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan commit Reproduksi to user disahkan, terdapat beberapa 51

8 perubahan mengenai persyaratan untuk melaksanakan aborsi tersebut ( diakses pada 20 Mei 2015 pukul WIB). 3) Rumusan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Rumusan Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Unsur-unsur dari Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu: d) Setiap orang; e) Dengan sengaja; f) Melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2). Dari rumusan pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan aborsi tetap dilarang namun terdapat pengecualian karena adanya: 3) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 4) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Aborsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini memperbolehkan adanya aborsi karena alasan medis 52

9 (abortus provocatus medicinalis) atau kehamilan akibat perkosaan. Hal ini membedakan dengan ketentuan aborsi yang ada dalam KUHP yang tidak melegalkan aborsi tanpa terkecuali bahkan abortus provocatus medicinalis karena KUHP bersifat Pro Life. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ini pun salah satunya adalah indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi. Selebihnya, Peraturan Pemerintah ini menjelaskan lebih lanjut prosedur dan tata cara aborsi itu sendiri. Adapun rumusan lengkap dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: 1) Rumusan Lengkap Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan. (2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Cukup jelas dalam pasal ini disebutkan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilaksanakan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari, atau sekitar 6 (enam) minggu. Jika dikaitkan dengan negara Indonesia yang menganut sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan agama yang paling banyak dianut di Indonesia yaitu Islam, maka aborsi yang hanya dapat dilaksanakan pada kehamilan yang paling lama berusia 40 hari dapat dikatakan adalah karena pada usia kandungan tersebut, janin belum bernyawa sehingga belum dapat dikategorikan sebagai pembunuhan. Lebih dari usia kandungan 40 hari, menurut kepercayaan Islam, janin telah commit bernyawa to user dan apabila diaborsi maka dapat 53

10 dikategorikan sebagai membunuh atau menghilangkan nyawa seseorang, oleh karena itulah aborsi hanya dapat dilaksanakan paling lambat pada usia kandungan 40 hari. 2) Rumusan Lengkap Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. (2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar. Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur mengenai keadaan yang bagaimana yang termasuk indikasi kedaruratan medis tersebut. Dalam penjelasan peraturan pemerintah ini, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mengancam nyawa merupakan keadaan atau penyakit yang apabila kehamilannya dilanjutkan akan mengakibatkan kematian ibu. Sedangkan yang dimaksud dengan mengancam kesehatan ibu merupakan suatu keadaan fisik dan/atau mental yang apabila kehamilan dilanjutkan akan menurunkan kondisi kesehatan ibu, mengancam nyawa atau mengakibatkan gangguan mental berat. Untuk kondisi yang dimaksud dengan kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin merupakan kehamilan dengan kondisi janin yang setelah dilahirkan tidak dapat hidup mandiri sesuai dengan usia, termasuk janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun janin yang tidak dapat diperbaiki kondisinya. 3) Rumusan Lengkap Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (5) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi. 54

11 (6) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. (7) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar. (8) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi. 4) Rumusan Lengkap Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (5) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: c. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan d. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. 5) Rumusan Lengkap Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (3) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. (4) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e. tidak diskriminatif; dan f. tidak mengutamakan imbalan materi. (7) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. (8) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. Terkait dengan aturan bahwa praktik aborsi hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan 55

12 oleh Menteri, sampai sekarang belum ada Peraturan Menteri Kesehatan yang membahas lebih lanjut mengenai syarat tersebut sehingga masih ada ketidakjelasan yang dapat melemahkan peraturan pemerintah ini. 6) Rumusan Lengkap Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (2) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. (3) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. (4) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 7) Rumusan Lengkap Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. (2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. (3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan: b. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi; c. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang; d. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya; e. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan f. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi. (4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan: 56

13 e. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi; f. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi; g. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan h. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan. 8) Rumusan Lengkap Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (1) Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. (2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga. (3) Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9) Rumusan Lengkap Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi: (3) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Menteri Kesehatan saat ini baru mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18, Pasal 25, dan Pasal 28 PP Kesehatan Reproduksi dan belum mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan aborsi sama sekali. Oleh karena itu, sampai saat ini masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengenai aborsi ini karena masih adanya ketidakjelasan mengenai bagaimana standar bagi penyedia layanan 57

14 kesehatan untuk melaksanakan aborsi, dan masih adanya ketidakjelasan dalam Pasal 36 PP Kesehatan Reproduksi mengenai ketentuan lebih lanjut tentang pelatihan untuk dokter yang melaksanakan aborsi oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi yang akan dijelaskan dalam Peraturan Menteri, namun sampai saat ini belum ada Peraturan Menteri yang mengaturnya. 2. Pengaturan Tindak Pidana Aborsi di Singapura Singapura memiliki undang-undang mengenai aborsi tersendiri yaitu Termination of Pregnancy Act Cap Namun, Singapura juga memiliki beberapa peraturan terkait aborsi di Penal Code. Terdapat kontradiksi antara Penal Code dan UU Aborsi itu sendiri, karena Penal Code Singapura diadopsi dari Inggris yang tidak melegalkan aborsi, namun pasal-pasal dalam Penal Code yang mengatur mengenai aborsi dengan jelas menyatakan dalam pasalnya bahwa peraturan mengenai aborsi di Singapura tunduk pada Termination of Pregnancy Act. Untuk memperjelas pengaturan aborsi itu sendiri, akan dijelaskan dalam tabel yang kemudian diuraikan per pasal. a. Tindak Pidana Aborsi dalam Singapore Penal Code Dalam Penal Code ini, dapat dilihat bahwa subjek yang dominan dibicarakan adalah pihak yang membantu terlaksananya aborsi, di mana bisa jadi ditujukan pada praktisi medis yang tidak memiliki izin praktik dari Menteri Kesehatan Singapura untuk melaksanakan aborsi, atau pihakpihak lain yang membantu melaksanakan aborsi selain praktisi medis. Jenis tindak pidana yang tercantum adalah kejahatan, dan rumusan sanksi pidana yang tercantum adalah pidana kumulatif dan pidana alternatif. No. Pasal Subjek Jenis Kejahatan Ancaman Pidana Setiap orang Secara Pidana penjara sukarela/sengaja paling lama 3 (tiga) menyebabkan tahun dan denda, commit to seorang user wanita apabila dilakukan 58

15 menggugurkan kandungannya, baik saat telah terasa pergerakan janin ataupun belum. saat pergerakan janin telah terasa pidana penjara 7 (tujuh) tahun dan denda Setiap orang Secara sukarela/sengaja menggugurkan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya. Pidana penjara yang dapat diperpanjang hingga 10 tahun dan denda Setiap orang Menggugurkan kandungan seorang wanita yang menyebabkan kematian wanita tersebut. Pidana penjara yang dapat diperpanjang hingga 10 tahun dan denda Setiap orang Dengan niat untuk Pidana penjara menghancurkan yang tidak melebihi kehidupan seorang 10 tahun atau anak yang mampu denda, atau dengan dilahirkan hidup, keduanya. dengan setiap tindakan yang disengaja menyebabkan anak meninggal sebelum atau sesudah dilahirkan. Tabel 2. Subjek, Jenis Tindak Pidana Aborsi, dan Sanksi Pidana dalam Penal Code 1) Rumusan Lengkap Section 312 Penal Code: Subject to the provisions of the Termination of Pregnancy Act (Cap. 324), whoever voluntarily causes a woman with child to miscarry, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to 3 years, or with fine, or with both; and if the woman is quick with child, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to 7 years, and shall also be liable to fine. 59

16 Terjemahan bebas: Tunduk pada ketentuan pada Undang-Undang Tindakan Penghentian Kehamilan, setiap orang yang secara sukarela menyebabkan seorang wanita untuk menggugurkan anaknya, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang hingga 3 (tiga) tahun, atau denda, atau keduanya, dan jika wanita tersebut berada dalam tahap kehamilan di mana pergerakan janin telah terasa, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang hingga 7 (tujuh) tahun, dan juga akan dikenakan denda. Unsur-unsur dari Section 312 Penal Code adalah: a) Setiap orang; b) Secara sukarela; c) Menyebabkan seorang wanita untuk menggugurkan anaknya. 2) Rumusan Lengkap Section 313 Penal Code: Whoever commits the offence defined in section 312, without the consent of the woman, whether the woman is quick with child or not, shall be punished with imprisonment for life, or with imprisonment for a term which may extend to 10 years, and shall also be liable to fine. Terjemahan bebas: Setiap orang yang melakukan kejahatan yang didefinisikan pada section 312 tanpa persetujuan dari wanita bersangkutan baik yang berada dalam tahap kehamilan di mana pergerakan janin telah terasa maupun tidak, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang sampai 10 tahun, dan dikenakan denda. Unsur-unsur dari Section 313 Penal Code adalah: a) Setiap orang; b) Yang melakukan kejahatan yang didefinisikan pada section 312 tanpa persetujuan dari wanita bersangkutan baik yang berada dalam tahap kehamilan di mana pergerakan janin telah terasa maupun tidak. 3) Rumusan Lengkap Section 314 Penal Code: Subject to the provisions commit of the Termination to user of Pregnancy Act (Cap. 324), whoever with intent to cause the miscarriage of a woman with child does 60

17 any act which causes the death of such woman, shall be punished with imprisonment for a term which may extend to 10 years, and shall also be liable to fine; and if the act is done without the consent of the woman, shall be punished either with imprisonment for life, or with the punishment above-mentioned. Terjemahan bebas: Tunduk pada ketentuan Undang-Undang Tindakan Penghentian Kehamilan, setiap orang yang dengan maksud untuk menyebabkan keguguran dari seorang wanita hamil yang setiap tindakannya menyebabkan kematian wanita tersebut, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang hingga 10 (sepuluh) tahun, dan juga akan dikenakan denda. Dan jika tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari perempuan tersebut, harus dipidana baik dengan pidana penjara seumur hidup, atau dengan pidana yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur-unsur dari Section 314 Penal Code adalah: a) Setiap orang; b) Dengan maksud; c) Menyebabkan keguguran dari seorang wanita hamil yang setiap tindakannya menyebabkan kematian wanita tersebut. Jika tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari wanita tersebut, dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana yang telah disebutkan sebelumnya. 4) Rumusan Lengkap Section 315 Penal Code: (1) Subject to the provisions of the Termination of Pregnancy Act, whoever, with intent to destroy the life of a child capable of being born alive, by any wilful act causes a child to die before it has an existence independent of its mother or by such act causes the child to die after its birth, shall, unless such act is immediately necessary to save the life of the mother, be punished with imprisonment for a term not exceeding 10 years, or with fine, or with both. (2) For the purposes of this section, evidence that a woman had at any material time been pregnant for a period of 28 weeks or more shall be prima facie evidence that she was at that time pregnant of a child capable of being born alive. 61

18 Terjemahan bebas: (1) Tunduk pada ketentuan Undang-Undang Tindakan Penghentian Kehamilan, setiap orang, dengan niat untuk menghancurkan kehidupan seorang anak yang mampu dilahirkan hidup, dengan setiap tindakan yang disengaja menyebabkan anak meninggal sebelum anak tersebut memiliki eksistensi independen dari ibunya atau karena dengan tindakan tersebut menyebabkan anak meninggal setelah kelahirannya, wajib, kecuali tindakan tersebut segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang tidak melebihi 10 tahun atau denda, atau dengan keduanya. (2) Untuk keperluan bagian ini, bukti material bahwa seorang wanita telah menjalani waktu kehamilan selama 28 minggu atau lebih akan menjadi bukti fakta yang dianggap benar kecuali dibantah bahwa ia pada saat itu mengandung seorang anak yang mampu untuk dilahirkan hidup. Unsur-unsur Section 315 Penal Code adalah: a) Setiap orang; b) Dengan niat; c) Menghancurkan kehidupan seorang anak yang mampu dilahirkan hidup; d) Dengan setiap tindakan; e) Yang disengaja; f) Menyebabkan anak meninggal sebelum anak tersebut memiliki eksistensi independen dari ibunya; g) Atau karena dengan tindakan tersebut; h) Menyebabkan anak meninggal setelah kelahirannya; i) Kecuali tindakan tersebut segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Untuk keperluan bagian ini, bukti material bahwa seorang wanita telah menjalani waktu kehamilan selama 28 minggu atau lebih akan menjadi bukti fakta yang dianggap benar kecuali dibantah bahwa ia pada saat itu mengandung seorang anak yang mampu untuk dilahirkan hidup. 62

19 b. Aborsi dalam Singapore Termination of Pregnancy Act Cap. 324 Di dalam Termination of Pregnancy Act, pelaksanaan abortus provocatus medicinalis maupun abortus provocatus criminalis tidak dilarang. Hal ini bila diperhatikan memiliki pertentangan dengan apa yang tercantum dalam Penal Code yang dapat disimpulkan melarang bentuk pelaksanaan abortus provocatus yang tidak dikarenakan oleh kedaruratan medis. Menurut segi historis, Penal Code masih didasarkan pada hukum Inggris yang diadopsi di abad ke-19. Tindakan aborsi adalah pada umumnya merupakan tindak pidana yang diancam dalam Pasal Penal Code Singapura. Namun, tindakan aborsi diperbolehkan apabila dilakukan dengan niat baik untuk menyelamatkan hidup wanita hamil. Tindakan legislatif pertama yang dirancang untuk meliberalisasi hukum aborsi disahkan pada 20 Maret Tindakan aborsi yang diizinkan antara lain dengan alasan medis, eugenic, yuridis, dan sosioekonomis. Tindakan aborsi yang dilakukan dengan alasan medis dan eugenic dapat dilakukan selama 24 minggu pertama kehamilan, sedangkan aborsi dengan alasan yuridis dan sosio-ekonomis hanya dapat dilakukan dalam 16 minggu pertama kehamilan. Undang-Undang Aborsi 1974 (Penal Code, section ) sebagaimana telah diubah dengan Act No. 12 of 1980, meliberalisasi tindakan aborsi di Singapura lebih lanjut. Di dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana yang berkaitan dengan aborsi selama kehamilan tersebut diakhiri oleh dokter yang berlisensi dan bertindak atas persetujuan tertulis wanita hamil tersebut selama 24 minggu pertama kehamilan. Di luar waktu tersebut, aborsi hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan nyawa wanita hamil dan mencegah cedera permanen besar bagi kesehatan fisik dan mental dari wanita hamil. Kecuali dalam kasus-kasus di mana aborsi segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa wanita hamil, ia harus memenuhi residensi atau persyaratan kewarganegaraan tertentu. Undang-undang yang baru ini menghapuskan Termination of Pregnancy Authorization Board dan persyaratan yang menyetujui tindakan aborsi commit (Kaan-Sheung to user Hung Terry, 2010: 894). 63

20 Termination of Pregnancy Act ini tidak hanya mengatur mengenai persyaratan untuk melaksanakan aborsi. Terdapat pula beberapa ketentuan pidana di dalamnya yang terdiri dari beberapa jenis kejahatan yang terkait pelaksanaan aborsi tersebut, yang untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut : No. Pasal Subjek Jenis Kejahatan Ancaman Pidana 1. 3 ayat Setiap orang (4) Tidak memenuhi ketentuan aborsi yang terdapat pada ayat (1), (2), dan (3). Pidana penjara tidak melebihi 3 (tiga) tahun atau denda tidak melebihi $ Setiap orang Memaksa seorang wanita hamil sehingga melakukan aborsi yang berlawanan dengan kehendaknya. Pidana penjara tidak melebihi 3 (tiga) tahun atau denda tidak melebihi $ Setiap orang yang bersangkutan untuk menjaga catatan medis sehubungan dengan pelaksanaan aborsi maupun yang terkait dengan pelaksanaan aborsi Mengungkap fakta atau informasi yang berkaitan dengan tindakan aborsi tersebut kecuali kepada orang-orang yang terkait dan untuk tujuan seperti yang dapat ditentukan. Pidana penjara tidak melebihi 12 bulan atau denda yang jumlahnya tidak melebihi $2000 atau keduanya. Tabel 3. Subjek, Jenis Tindak Pidana Aborsi, dan Sanksi Pidana dalam Termination of Pregnancy Act 1) Rumusan Lengkap Pasal 1 Termination of Pregnancy Act: This Act may be cited as the Termination of Pregnancy Act. Terjemahan bebas: Undang-undang ini dapat disebut commit sebagai to user Termination of Pregnancy Act. 64

21 2) Rumusan Lengkap Pasal 2 Termination of Pregnancy Act: In this Act, unless the context otherwise requires approved institution means any institution, hospital, maternity home, clinic or other place for the time being approved by the Minister for the purposes of this Act; authorised medical practitioner means any medical practitioner who is authorised under any regulations made under this Act to carry out treatment to terminate pregnancy; law relating to abortion means sections 312, 313, 314, and 315 of the Penal Code [Cap. 224]; medical practitioner means any person registered under the Medical Registration Act [Cap. 174]. Terjemahan bebas: Dalam Undang-undang ini, kecuali konteksnya menentukan lain institusi yang telah disetujui berarti setiap lembaga rumah sakit, rumah bersalin, klinik, atau tempat lain yang untuk sementara waktu disetujui oleh Menteri untuk tujuan undang-undang ini. praktisi medis resmi berarti setiap praktisi medis yang berwenang di bawah setiap peraturan yang dibuat berdasarkan undang-undang ini untuk melaksanakan pengobatan untuk mengakhiri kehamilan. hukum yang berkaitan dengan aborsi berarti section 312, 313, 314, dan 315 Penal Code (cap.224). praktisi medis berarti setiap orang yang terdaftar di bawah Undang- Undang Pendaftaran Medis (cap.174). 3) Rumusan Lengkap Pasal 3 Termination of Pregnancy Act: (1) Subject to the provisions of this Act, no person shall be guilty of an offence under the law relating to abortion when a pregnancy is terminated by an authorised medical practitioner acting on the request of a pregnant woman and with her written consent. (2) Except as provided by section 10, every treatment to terminate pregnancy shall be carried out by an authorised medical practitioner in an approved institution. (3) No treatment to terminate pregnancy shall be carried out by an authorised medical practitioner unless the pregnant woman (i) is a citizen of Singapore or is the wife of a citizen of Singapore; (ii) is the holder, or is the wife of a holder, of a work pass issued under the Employment of Foreign Manpower Act (Cap. 91A); or 65

22 (iii) has been resident in Singapore for a period of at least 4 months immediately preceding the date on which such treatment is to be carried out, but this subsection shall not apply to any treatment to terminate pregnancy which is immediately necessary to save the life of the pregnant woman. (4) Any person who contravenes or fails to comply with this section shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction to a fine not exceeding $3,000 or to imprisonment for a term not exceeding 3 years or to both. Terjemahan bebas: (1) Sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, seseorang tidak akan dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan mengenai hukum yang berkaitan dengan aborsi apabila kehamilan tersebut diakhiri oleh praktisi medis yang berwenang bertindak atas permintaan dari wanita hamil bersangkutan dan dengan persetujuan tertulis darinya. Menurut Termination of Pregnancy Act ini, aborsi bukanlah kejahatan apabila aborsi tersebut dilakukan oleh praktisi medis yang berwenang melakukannya berdasarkan permintaan dari wanita hamil bersangkutan (abortion on demand) dengan persetujuan tertulis. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang melarang semua bentuk aborsi kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil dan apabila kehamilan tersebut dikarenakan perkosaan. (2) Kecuali sebagaimana diatur pada ayat 10, setiap tindakan untuk aborsi harus dilakukan oleh praktisi medis resmi di institusi yang telah disetujui. (3) Praktisi medis resmi tidak dibolehkan melakukan tindakan aborsi kecuali wanita hamil tersebut: a. Merupakan warga negara Singapura atau istri warga negara Singapura; b. Adalah pemegang atau istri pemegang izin kerja yang dikeluarkan di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan Tenaga Kerja Asing (Employment of Foreign Manpower Act) Cap. 91A; atau c. Telah tinggal di Singapura selama minimal 4 bulan segera sebelum tanggal yang pengobatan commit tersebut to user harus dilakukan. 66

23 Tetapi bagian ini dapat untuk tidak diterapkan untuk setiap tindakan aborsi yang penting untuk segera dilaksanakan untuk menyelamatkan nyawa seorang wanita hamil. (4) Setiap orang yang bertentangan atau tidak memenuhi bagian ini dinyatakan bersalah atas kejahatan dan/atau dikenakan denda yang tidak melebihi $3000 atau pidana penjara dalam jangka waktu tidak melebihi 3 tahun atau keduanya. Di dalam Pasal 3 ayat (3) Termination of Pregnancy Act, dinyatakan bahwa seorang praktisi medis dilarang untuk melakukan prosedur aborsi apabila wanita hamil yang menginginkan aborsi tersebut tidak memenuhi syarat-syarat tertentu terkait kewarganegaraan, dan apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka pelaku dapat diancam pidana yang diatur pada ayat (4). 4) Rumusan Lengkap Pasal 4 Termination of Pregnancy Act: 4. (1) No treatment for the termination of pregnancy shall be carried out (a) if the pregnancy is of more than 24 weeks duration unless the treatment is immediately necessary to save the life or to prevent grave permanent injury to the physical or mental health of the pregnant woman; or (b) if the pregnancy is of more than 16 weeks duration but less than 24 weeks duration unless the treatment is carried out by an authorised medical practitioner who (i) is in possession of such surgical or obstetric qualifications as may be prescribed; or (ii) has acquired special skill in such treatment either in practice or by virtue of holding an appointment in an approved institution over such period as may be prescribed. (2) For the purposes of subsection (1), the duration of the pregnancy shall be calculated from the first day of the last normal menstruation of the pregnant woman to the end of the 24th week or to the end of any week between the 16th and the 24th week, as the case may be, or the duration of the pregnancy may be ascertained by clinical examination. Terjemahan bebas: (1) Tindakan aborsi tidak boleh dilaksanakan apabila: (a) Jika durasi kehamilan melebihi 24 minggu kecuali tindakan tersebut diperlukan secepatnya untuk menyelamatkan nyawa atau 67

24 untuk mencegah cedera permanen pada kesehatan fisik atau mental wanita hamil; atau (b) Jika durasi kehamilan lebih dari 16 minggu namun kurang dari 24 minggu kecuali tindakan tersebut dilakukan oleh praktisi medis resmi yang: (i) Memiliki kualifikasi bedah atau obstetrik seperti yang telah ditentukan; atau (ii) Telah memiliki keahlian khusus baik dalam tindakan aborsi tersebut baik dalam praktik atau berdasarkan memegang janji di lembaga yang diterima selama periode yang ditentukan. (2) Berkaitan dengan subbagian 1 tersebut, durasi kehamilan dihitung dari hari pertama menstruasi normal terakhir wanita hamil bersangkutan sampai akhir 24 minggu atau sampai minggu akhir manapun di antara minggu ke-16 dan minggu ke-24, atau durasi kehamilan dapat dipastikan melalui tes klinis. Berbeda dengan pengaturan aborsi di Indonesia yang mengharuskan aborsi dilaksanakan sebelum kehamilan berusia 6 (enam) minggu, Termination of Pregnancy Act secara tersurat menyatakan bahwa aborsi masih dapat dilakukan selama usia kandungan belum mencapai 24 minggu, atau sudah mencapai 16 minggu namun belum mencapai 24 minggu. Perbedaan batas waktu pelaksanaan aborsi ini dapat dihubungkan dengan orang Indonesia yang mayoritas kepercayaannya adalah Islam, dan mempercayai bahwa setelah 40 hari, janin telah bernyawa sehingga apabila janin diaborsi pada usia kandungan yang telah melebihi 40 hari atau 6 (enam) minggu, maka hal tersebut sama saja telah mencabut hak hidup seseorang yang telah bernyawa. 5) Rumusan Lengkap Pasal 5 Termination of Pregnancy Act: Any person who, by means of coercion or intimidation, compels or induces a pregnant woman against her will to undergo treatment to terminate pregnancy shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction to a fine not exceeding $3,000 or to imprisonment for a term not exceeding 3 years or to both. 68

25 Terjemahan bebas: Setiap orang yang, dalam arti memaksa atau mengintimidasi, memaksa atau mempengaruhi wanita hamil berlawanan dengan kehendaknya untuk melakukan perawatan untuk aborsi bersalah atas kejahatan dan dipidana denda yang jumlahnya tidak melebihi $3000 atau pidana penjara dalam jangka waktu yang tidak melebihi 3 tahun, atau dipidana dengan keduanya. Unsur-unsur Pasal 5 Termination of Pregnancy Act: a) Setiap orang; b) Yang memaksa atau mempengaruhi wanita hamil berlawanan dengan kehendaknya untuk melakukan perawatan untuk aborsi. 6) Rumusan Lengkap Pasal 6 Termination of Pregnancy Act: (1) Subject to subsection (3), no person shall be under any duty whether by contract or by any statutory or legal requirement to participate in any treatment to terminate pregnancy authorised by this Act to which he has a conscientious objection. (2) In any legal proceedings the burden of proof of conscientious objection referred to in subsection (1) shall rest on the person claiming to rely on it and that burden may be discharged by such person testifying on oath or affirmation that he has a conscientious objection to participating in any treatment to terminate pregnancy. (3) Nothing in subsection (1) shall affect any duty to participate in such treatment which is immediately necessary to save the life or to prevent grave permanent injury to the physical or mental health of a pregnant woman. Terjemahan bebas: (1) Sesuai dengan ayat (3), tidak ada orang yang akan berada di bawah kewajiban apapun baik melalui kontrak atau persyaratan undang-undang atau hukum untuk berpartisipasi dalam tindakan aborsi berdasarkan Undang-Undang ini apabila ia memiliki keberatan dari hati nurani. (2) Dalam setiap proses hukum, beban pembuktian keberatan hati nurani yang dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada orang yang mengaku memiliki keberatan tersebut dan beban pembuktian yang dibebankan kepada orang tersebut adalah bersaksi dengan sumpah bahwa ia memiliki keberatan dari hati nurani untuk berpartisipasi dalam tindakan untuk mengakhiri kehamilan tersebut. 69

26 (3) Tidak ada segala sesuatu dalam ayat (1) yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam tindakan aborsi yang diperlukan dengan segera untuk menyelamatkan nyawa atau untuk mencegah cedera permanen besar bagi kesehatan fisik dan mental seorang wanita hamil. Singapura pada dasarnya memperbolehkan pelaksanaan aborsi selama aborsi tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang yang ada dan tidak berpatokan pada kepercayaan atau agama yang dianut warga negaranya, karena Singapura adalah negara sekuler. Namun, bukan berarti Singapura tidak memperhatikan keadaan hati nurani. Walaupun tidak dipandang dari segi menghargai hak untuk hidup si janin, perundangundangan Singapura memungkinkan agar seseorang, khususnya praktisi medis, yang memiliki keberatan dari hati nuraninya untuk melaksanakan aborsi agar dapat lepas dari tanggungjawab untuk membantu seorang pasien wanita untuk melaksanakan aborsi. Namun, hal tersebut hanya berlaku pada aborsi berdasarkan permintaan si wanita hamil (abortion by demand). Apabila terdapat indikasi kedaruratan medis, keberatan hati nurani tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak pelaksanaan aborsi karena keselamatan wanita hamil diutamakan di sini. 7) Rumusan Lengkap Pasal 7 Termination of Pregnancy Act: (1) No person who (a) is concerned with the keeping of medical records in connection with treatment to terminate a pregnancy; or (b) participates in any treatment to terminate a pregnancy, shall, unless the pregnant woman expressly gives her consent thereto, disclose any facts or information relating to the treatment except to such persons and for such purposes as may be prescribed. (2) Any person who contravenes subsection (1) shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction to a fine not exceeding $2,000 or to imprisonment for a term not exceeding 12 months or to both. Terjemahan bebas: (1) Tidak ada orang yang (a) bersangkutan untuk menjaga catatan medis sehubungan dengan tindakan aborsi; atau (b) berpartisipasi dalam tindakan commit aborsi, to user 70

27 akan, kecuali wanita hamil yang bersangkutan dengan tegas memberikan persetujuannya, mengungkapkan fakta atau informasi yang berkaitan dengan tindakan tersebut kecuali kepada orang tersebut dan untuk tujuan seperti yang dapat ditentukan. (2) Setiap orang yang melanggar ayat (1) dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan dan harus bertanggung jawab dengan denda yang jumlahnya tidak melebihi $2000 atau penjara untuk jangka waktu yang tidak melebihi 12 bulan atau keduanya. 8) Rumusan Lengkap Pasal 8 Termination of Pregnancy Act: Any public officer, appointed by the Minister for the purpose, shall have power to enter any approved institution for the purpose of ensuring that the provisions of this Act, and any regulations made thereunder, are being complied with and may examine and make copies of or take extracts from any records or documents connected with any treatment to terminate pregnancy. Terjemahan bebas: Setiap petugas publik, yang ditunjuk oleh Menteri untuk tujuan tersebut, akan memiliki kuasa untuk memasuki institusi manapun yang telah disetujui untuk tujuan memastikan bahwa ketentuan Undang-undang ini, dan peraturan apapun yang dibuat di bawahnya, dipatuhi dan dapat memeriksa dan membuat salinan atau mengambil informasi dari catatan atau dokumen yang berkaitan dengan tindakan aborsi. 9) [Pasal 9 Termination of Pregnancy Act telah dihapus oleh UU 26 / 2001wef 2001/01/09]. 10) Rumusan Lengkap Pasal 10 Termination of Pregnancy Act: Notwithstanding anything in this Act, where the treatment to terminate pregnancy consists solely of the use of drugs prescribed by an authorised medical practitioner and does not, therefore, include any surgical operation or procedure it shall not be necessary (a) for the authorised medical practitioner to hold the prescribed qualifications or to have acquired skill in the treatment over such period as may be prescribed; and (b) for the treatment to be carried out in an approved institution. 71

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Hukum Aborsi Akibat Perkosaan Aborsi akibat perkosaan merupakan permasalahan

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh : Angga Indra Nugraha Pembimbing : Ibrahim R. Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract: The rise of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN. A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur mengenai masalah pengguguran

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Keywords: Abortion, Victims, Rape, Criminal Code, Law No. 36 of 2009.

Keywords: Abortion, Victims, Rape, Criminal Code, Law No. 36 of 2009. ABORSI OLEH KORBAN PEMERKOSAAN DITINJAU BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Oleh : Agus Jerry Suarjana Putra AA. Istri Ari Atu Dewi Bagian

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS MENURUT PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Setiap orang berhak atas kehidupan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kewenangan untuk menentukan telah terjadinya tindak pidana pemerkosaan adalah berada ditangan lembaga pengadilan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan sudah lama terjadi, namum sebagian masyarakat belum

Lebih terperinci

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam PIT PDFI, Balikpapan 9-10 September 2015 Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam Budi Sampurna amanat UU 36/2009 Frasa kesehatan reproduksi muncul di pasal 48

Lebih terperinci

PAYUNG HUKUM PELAKSAAN ABORTUS PROVOKATUS PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

PAYUNG HUKUM PELAKSAAN ABORTUS PROVOKATUS PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN PAYUNG HUKUM PELAKSAAN ABORTUS PROVOKATUS PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN Rika Susanti TINJAUAN PUSTAKA Bagian Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas E-mail: ifaua@yahoo.com Abstrak Pada survei

Lebih terperinci

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2 ABSTRAK Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, hamil di luar nikah sering terjadi. Hal ini dikarenakan anak-anak muda jaman sekarang banyak yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para

Lebih terperinci

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN 52 BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BAGI TENAGA KESEHATAN DAN PENYELENGGARA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PELATIHAN DAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN ABORSI ATAS INDIKASI KEDARURATAN MEDIS DAN KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Kata Kunci : Aborsi, Keterangan Penyidik, Implikasi Hukum

Kata Kunci : Aborsi, Keterangan Penyidik, Implikasi Hukum ABSTRAK Abortus provocatus dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Pengaturan aborsi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN Oleh : Clifford Andika Onibala 2

TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN Oleh : Clifford Andika Onibala 2 TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 1 Oleh : Clifford Andika Onibala 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi (pengguguran kandungan). Maraknya aborsi dapat diketahui dari berita di surat kabar atau

Lebih terperinci

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina

Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Abortus Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Oleh : Hj. Khusnul Hitamina Masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia semakin mencapai tingkat

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Sebelum adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 80 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ABORTUS PROVOCATUS DAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan : Pengertian Abortus (aborsi). Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Pendapat Hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) atas Kasus Fidelis: PN Sanggau Mestinya Melepaskan Fidelis dari Seluruh Tuntutan Hukum

Pendapat Hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) atas Kasus Fidelis: PN Sanggau Mestinya Melepaskan Fidelis dari Seluruh Tuntutan Hukum Pendapat Hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) atas Kasus Fidelis: PN Sanggau Mestinya Melepaskan Fidelis dari Seluruh Tuntutan Hukum Kepada Yth: Ketua PN Sanggau Cq. Majelis Hakim yang memeriksa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergaulan bebas sebagai pengaruh efek global telah mempengaruhi perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi. Pergaulan bebas

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA WANITA YANG SEDANG HAMIL

PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA WANITA YANG SEDANG HAMIL PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA WANITA YANG SEDANG HAMIL ABSTRACT oleh Rezki Permatawati Ni Putu Purwanti Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana Some companies that require women to voluntarily

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik hukum pada dasarnya merupakan arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 171 Barangsiapa : a. tidak memberikan kesempatan yang sama kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah

I. PENDAHULUAN. yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL

TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL TINDAKAN ABORSI DENGAN ALASAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, dan Pemidanaan dalam Tindak Pidana Perkosaan dalam Hukum Positif di Indonesia Saat Ini (Ius Constitutum)

Lebih terperinci

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN

PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN PERBUATAN ABORSI DALAM ASPEK HUKUM PIDANA DAN KESEHATAN Oleh : Bastianto Nugroho. SH., M.Hum 1, Vivin Indrianita, SST., M.Psi 2, Agung Putri Harsa Satya Nugraha, SST., M.P.H 3 Abstrak Aborsi atau lazim

Lebih terperinci

ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1. Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga

ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1. Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga ABORSI DALAM PERSFEKTIF HUKUM RIKA LESTARI 1 PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus keluarga, bahkan anak juga sebagai penerus bangsa. Baik hukum maupun masyarakat, membedakan antara anak sah dan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM TERHADAP ABORTUS PROVOCATUS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

ASPEK HUKUM TERHADAP ABORTUS PROVOCATUS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ASPEK HUKUM TERHADAP ABORTUS PROVOCATUS DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Lukman Hakim Nainggolan Dosen Fakultas Hukum Abstract: These days, mass media through newspaper, television news, and radio

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA KLINIK, IZIN USAHA RUMAH BERSALIN, DAN IZIN USAHA LABORATORIUM KLINIK SWASTA

Lebih terperinci

JURNAL KAJIAN TERHADAP TINDAKAN ABORSI BERDASARKAN KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

JURNAL KAJIAN TERHADAP TINDAKAN ABORSI BERDASARKAN KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN JURNAL KAJIAN TERHADAP TINDAKAN ABORSI BERDASARKAN KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN Diajukan oleh: FEBRY SASMITA NPM : 120511041 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan Pidana UNIVERSITAS ATMA

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

Lebih terperinci

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang No.307, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Keperawatan. Pelayanan. Praktik. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Beberapa pasal yang tercantum dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA KLINIK, IZIN USAHA RUMAH BERSALIN, DAN IZIN USAHA LABORATORIUM KLINIK SWASTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PRAKTEK DOKTER, PRAKTEK PERAWAT, PRAKTEK BIDAN DAN PRAKTEK APOTEKER DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG AKUNTAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG AKUNTAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG AKUNTAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional yang berkesinambungan

Lebih terperinci

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban.

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban. Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban. 1. Pernyataan mana tentang Rekam Medik (RM) yang tidak benar: a. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB V PENUTUP. dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan BAB V PENUTUP Berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Pada dasarnya perkembangan hukum mengenai aborsi di Indonesia sudah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEBIDANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEBIDANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEBIDANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pemenuhan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci