EKOLOGI PERILAKU AYAM HUTAN HIJAU (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOLOGI PERILAKU AYAM HUTAN HIJAU (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT"

Transkripsi

1 i EKOLOGI PERILAKU AYAM HUTAN HIJAU (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT PUTU PARTA YUDHA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ii EKOLOGI PERILAKU AYAM HUTAN HIJAU (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT PUTU PARTA YUDHA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 i RINGKASAN PUTU PARTA YUDHA. Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan DONES RINALDI. Gallus varius adalah salah satu burung dari genus Gallus yang memiliki nama lokal ayam hutan hijau dan merupakan salah satu ayam hutan endemik ayam hutan Indonesia yang hanya ditemukan di pulau Jawa, Bali, Kangean, dan Flores. Salah satu habitat alami ayam hutan hijau berada di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Gallus varius adalah spesies yang menjadi semakin penting karena banyak digunakan sebagai induk jantan dalam produksi bekisar. Ayam hutan hijau untuk produksi bekisar diperoleh sebagian besar dari populasi liar di Jawa, Madura dan Bali. Pemanfaatan dengan menangkap dari alam tentu saja dapat mengancam kelestarian dan populasi ayam hutan hijau. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan bioekologi tentang ayam hutan hijau untuk langkah awal upaya pelestarian. Salah satu pengetahuan yang penting dalam bioekologi ayam hutan hijau adalah pengetahuan perilaku ayam hutan hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku Gallus varius dan mengidentifikasi strategi perilaku Gallus varius yang dilakukan di TNBB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2011 di hutan musim dan savana semenanjung Prapat Agung. Metode yang digunakan dalam pengamatan aktivitas harian adalah Focal Animal Sampling, sedangkan pengamatan perilaku dilakukan dengan metode pengamatan langsung di titik-titik tertentu tempat ditemukannya Gallus varius. Data mengenai habitat diperoleh melalui analisa vegetasi menggunakan metode garis berpetak. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa habitat Gallus varius di TNBB meliputi dua tipe vegetasi yaitu hutan musim dan savana semenanjung Prapat Agung. Pada habitat hutan musim, ayam hutan hijau (Gallus varius) mudah dijumpai sedang beraktivitas di area yang relatif terbuka dengan permukaan tanah yang ditumbuhi rumput dan semak belukar serta berbatu. Gallus varius yang hidup di habitat savana semenanjung Prapat Agung mudah dijumpai di area terbuka dengan tanah berpasir dan ditumbuhi rumput. Gallus varius di habitat hutan musim memulai aktivitas pada pukul 05:30 WITA dan berakhir pada pukul 18:30 WITA. Proporsi penggunaan waktu terbesar sampai terkecil dimulai dari perilaku istirahat, makan, bersuara dan yang memiliki proporsi terkecil adalah bergerak. Perilaku utama Gallus varius yang dapat diamati di TNBB adalah 6 perilaku yaitu makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan bersuara. Secara umum frekuensi perilaku (makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan bersuara) Gallus varius di Taman Nasional Bali Barat tidak dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat, sedangkan durasi perilaku (makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan bersuara) Gallus varius dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat. Strategi perilaku Gallus varius dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik melalui penyesuaian terhadap lingkungannya. Kata kunci: Ekologi, perilaku, Gallus varius, TNBB

4 ii SUMMARY PUTU PARTA YUDHA. Behavioural Ecology of Green Junglefowl (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) in Bali Barat National Park. Under Supervision of JARWADI BUDI HERNOWO and DONES RINALDI. Gallus varius is one of the birds of Gallus genus that has local name of green junglefowl, and it is one of endemic Indonesia junglefowl found only on the islands of Java, Bali, Kangean and Flores. One of its natural habitat is in Bali Barat National Park. Gallus varius is a species that become increasingly important and widely used as the male parent in the production of bekisar. Production of bekisar derived mostly from wild populations in Java, Madura and Bali. Exploiting in the wild course threaten the populations of green junglefowl. Knowledge of its bio-ecology is important in conserning the bird. One of the important knowledge in green junglefowl ecology is behaviour study of green junglefowl. The research was aimed to identify and describe the behaviour of Gallus varius and identify the behavioural strategy of Gallus varius at different habitats in Bali Barat National Park. The research was carried out in July until September 2011 in monsoon forest and savannah in Prapat Agung. The method used for observation of daily activity was focal animal sampling. Behaviour was observed through observation at certain points where Gallus varius present. Data of habitat was obtained through analysis of vegetation using the line transect method. The result showed that habitat of Gallus varius consisted of two vegetation types that were the monsoon forest and savannah. Gallus varius in monsoon forest habitat could easily be found at open area with grass and shrub. In the avannah Prapat Agung, Gallus varius could easily be also found at open area with grass, sandy soils and shrub. Its activity started at 05:30 am until 18:30 pm. The largest proportion of behaviour was resting and the smallest was movement. The main behaviour observed were feeding, drinking, sleeping, resting, movement and calling behaviour. The behaviour (feeding, drinking, sleeping, resting, movement and calling) frequency of Gallus varius in Bali Barat National Park was not affected by differences of habitat type, while the duration its behaviour was significantly affected by habitat type. Behavioural strategy of Gallus varius tent to adapt with habitat in fulfilling its needs. Keywords: Ecology, Behaviour, Gallus varius, Bali Barat National Park

5 iii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2012 Putu Parta Yudha NIM E

6 iv Judul Skripsi Nama NIM : Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat : Putu Parta Yudha : E Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M. ScF Ir. Dones Rinaldi, M. ScF NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP Tanggal Pengesahan:

7 v KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat. Skripsi ini diharapkan memberi manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada program studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan karya ilmiah ini, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik dari pembaca untuk memperlancar dan memperoleh hasil penelitian selanjutnya yang lebih baik. Bogor, Februari 2012 Putu Parta Yudha NIM E

8 vi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Jembrana, Bali, tanggal 5 Januari 1989 dari pasangan I Made Gunada dan Ni Nyoman Malini. Penulis memiliki seorang saudara yang bernama Made Dharma Yuda. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 5 Yehembang tahun kemudian melanjutkan pendidikan di SMP N 3 Mendoyo (tahun ). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Negara dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma ( sekarang), Brahmacarya Bogor sebagai ketua divisi olahraga dan seni tahun , dan aktif dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) tahun Penulis mengikuti kegiatan lapang dan profesi bidang kehutanan antara lain: Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Kamojang-Sancang pada tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2010, dan Praktek Kerja Lapang di Taman Nasional Alas Purwo pada tahun Penulis menyelesaikan penelitian dan menulis skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dengan judul Ekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau (Gallus varius Shaw & Nodder, 1798) di Taman Nasional Bali Barat, dibawah bimbingan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M. ScF dan Ir. Dones Rinaldi M. ScF.

9 vii UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah-nya kepada penulis. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak, Ibu, Adik dan keluarga yang telah memberikan doa, harapan, motivasi serta dukungan sehingga skripsi ini bisa selesai dengan baik. 2. Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M. ScF dan Ir. Dones Rinaldi M. ScF selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama penyelesaian tugas akhir ini. 3. Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M. Sc selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan. 4. Balai Taman Nasional Bali Barat atas bantuan dan data-data yang telah diberikan. 5. Putu Ayu Pradnya Puspita yang telah memberikan doa, motivasi dan dukungan selama penyusunan skripsi ini. 6. Teman-teman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas motivasi dan kepeduliannya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. 7. Keluarga besar Mahayana, Petruk, Penjor, Jernat, Ladang, Ketel, Bracuk, Tungu yang telah membantu penulis sehingga mampu menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. 8. Pihak lain yang telah banyak membantu dalam pengerjaan skripsi ini. Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.

10 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Satwaliar Ekologi Perilaku Bioekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau Klasifikasi dan morfologi Habitat dan penyebaran Ekologi perilaku ayam hutan hijau... 8 BAB III METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Analisis Data BAB IV KONDISI UMUM Letak dan luas Keadaan kawasan Tipe ekosistem Flora dan fauna BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) di TNBB Aktivitas harian Ekologi perilaku makan... 38

11 ii Ekologi perilaku minum Ekologi perilaku bergerak Ekologi perilaku istirahat Ekologi perilaku tidur Ekologi perilaku bersuara Pembahasan Habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) di TNBB Aktivitas harian Ekologi perilaku makan Ekologi perilaku minum Ekologi perilaku bergerak Ekologi perilaku istirahat Ekologi perilaku tidur Ekologi perilaku bersuara BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 81

12 iii DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Alokasi waktu dan lokasi pengambilan data primer di TNBB Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di dua tipe habitat hutan musim Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di tipe habitat savana semenanjung Prapat Agung Jumlah jam pengamatan dan pertemuan dengan Gallus varius di lokasi penelitian Penggunaan waktu dalam aktivitas harian Gallus varius Perbandingan perilaku makan Gallus varius di berbagai tipe habitat Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku makan Gallus varius di tipe habitat berbeda Hasil uji chi-square perilaku makan Gallus varius Jenis vegetasi yang diduga dimakan Gallus varius di beberapa tipe habitat Perbandingan durasi perilaku minum Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda TNBB Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius di tipe habitat berbeda Hasil uji chi square frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius Rekapitulasi perilaku bergerak Gallus varius di tiga tipe habitat TNBB Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku bergerak Gallus varius di TNBB Hasil uji chi square perilaku bergerak di berbagai tipe habitat Jenis pohon yang digunakan Gallus varius pada perilaku istirahat dan tingkat kesukaanya Jenis semak yang digunakan Gallus varius pada perilaku istirahat dan tingkat kesukaanya... 53

13 iv 18. Perbandingan perilaku istirahat Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda TNBB Frekuensi dan durasi perilaku istirahat Gallus varius di berbagai tipe habitat Hasil uji chi square perilaku istirahat di berbagai tipe habitat Hasil analisa vegetasi jenis pohon tempat tidur Gallus varius di TNBB Jenis pohon kesukaan Gallus varius untuk perilaku tidur di TNBB Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku tidur Gallus varius di TNBB Hasil uji chi-square perilaku tidur Gallus varius di berbagai tipe habitat Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku bersuara Gallus varius di TNBB Hasil uji chi-square frekuensi dan durasi perilaku bersuara di berbagai tipe habitat di TNBB... 62

14 v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Ayam hutan hijau, (a) jantan, (b) betina Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Bali Barat Metode garis berpetak untuk analisa vegetasi Lokasi penelitian di hutan musim hutan musim dekat dari aktivitas (a), dan hutan musim jauh dari aktivitas (b) Grafik kerapatan tingkat vegetasi (ind/ha) pada tipe habitat hutan musim dekat aktivitas (a), hutan musim jauh dari aktivitas (b) Lokasi penelitian di savana Semenanjung Prapat Agung Grafik kerapatan tingkat vegetasi (ind/ha) pada tipe habitat savana Diagram persentase aktivitas harian Gallus varius di TNBB Pergerakan harian Gallus varius di hutan musim tanjung gelap Perilaku makan Gallus varius, (a) hutan musim, (b) hutan savana Prapat Agung Permukaan tanah bekas kaisan Gallus varius, (a) betina, (b) jantan Grafik penggunaan waktu minum Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda di TNBB Perilaku istirahat ayam hutan hijau (Gallus varius), (a) istirahat di bawah semak, (b) istirahat di pohon Perilaku tidur Gallus varius di atas pohon walikukun

15 vi DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Perilaku makan ayam hutan hijau (Gallus varius) Perilaku minum ayam hutan hijau (Gallus varius) Perilaku bergerak ayam hutan hijau (Gallus varius) Perilaku istirahat ayam hutan hijau (Gallus varius) Perilaku tidur ayam hutan hijau (Gallus varius) Perilaku bersuara ayam hutan hijau (Gallus varius) Rekapitulasi frekuensi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda di TNBB Rekapitulasi durasi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda di TNBB Uji perilaku makan ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda TNBB Uji perilaku minum ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda TNBB Uji perilaku bergerak ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda TNBB Uji perilaku istirahat ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda TNBB Uji perilaku tidur ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda TNBB Uji perilaku bersuara ayam hutan hijau (Gallus varius) di tiga tipe habitat berbeda TNBB Hasil analisa vegetasi hutan musim dekat aktivitas di TNBB Hasil analisa vegetasi hutan musim jauh dari aktivitas di TNBB Hasil analisa vegetasi hutan savana semenanjung Prapat Agung TNBB

16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Phasianidae adalah keluarga burung yang terdiri dari 50 genus dan kurang lebih 214 spesies. Anggota famili Phasianidae umumnya diketahui sebagai grouse, turkeys, pheasants, patridges, francolins dan old world quail. Anggota famili phasianidae tersebar di seluruh dunia, namun tidak ditemukan di daerah kutub (Johnsgard 1999). Madge & McGowan (2002) menyatakan bahwa Phasianidae memiliki ukuran tubuh yang bervariasi tergantung spesies, mulai dari spesies yang berukuran kecil dengan berat kurang lebih 500 gram sampai dengan spesies dengan berat mencapai 9,5 kilogram. Panjang ekor juga bervariasi tergantung spesies, ada spesies yang nyaris tanpa ekor dan ada yang memiliki ekor dengan panjang mencapai 1 meter. Variasi warna bulu yang dimiliki famili Phasianidae mulai dari spesies yang berbulu samar dan gelap sampai dengan spesies yang memiliki bulu terang dan berpola. Beberapa spesies jantan Phasianidae berukuran lebih besar dan berwarna lebih cerah serta memiliki ekor yang lebih panjang atau ornamen bulu yang lebih rumit daripada spesies betina. Spesies-spesies dalam famili Phasianidae memiliki cara unik dalam menarik pasangan pada musim kawin seperti menegakkan bulu, menampilkan warna-warni bulu dan pial serta terkadang disertai dengan dikembangkannya bulu ekor. Eriksson et al. (2008) menyatakan bahwa famili Phasianidae dibagi menjadi 4 subfamili yaitu Meleagridinae, Perdicinae, Tetraoninae, dan Phasianinae. Genus Gallus (junglefowl) adalah bagian dari subfamili Phasianinae yang endemik dan hanya dapat dijumpai pada beberapa negara saja seperti di India, Sri Lanka, Asia Tenggara dan Indonesia. Gallus varius adalah salah satu jenis dari genus Gallus yang memiliki nama lokal ayam hutan hijau dan merupakan salah satu spesies endemik ayam hutan Indonesia (Delacour 1977). Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah (2009) menyatakan bahwa ayam hutan hijau (Gallus varius) sering disebut dengan berbagai nama seperti canghegar, ayam alas, ajem alas atau tarattah. Ayam hutan hijau sebagian besar

17 2 tetap menjadi spesies liar walaupun telah lama juga dikenal sebagai hewan peliharaan karena keindahan bulu dan suara yang unik, terutama di kalangan masyarakat Jawa, Madura dan Bali. Ayam hutan hijau merupakan jenis ayam yang endemik secara kepulauan, karena menurut MacKinnon et al. (1992) ayam hutan hijau hanya ditemukan di pulau Jawa, Bali, Kangean, dan Flores. Salah satu habitat alami ayam hutan hijau di pulau Bali berada di Taman Nasional Bali Barat (Dephut 2009). Ayam hutan hijau adalah spesies yang menjadi semakin penting selama dua dekade terakhir karena banyak digunakan sebagai induk jantan dalam produksi unggas hias bekisar. Ayam hutan hijau untuk produksi unggas hias bekisar ini sebagian besar ditangkap dari populasi liar di Jawa, Madura dan Bali (Prana et al. 1996). Pemanfaatan dengan menangkap langsung dari alam langsung seperti pengambilan telur, anakan, dan ayam dewasa memiliki resiko yang dapat mengancam kelestarian dan populasi ayam hutan hijau. Oleh karena itu diperlukan semacam pengetahuan bioekologi tentang ayam hutan hijau. Salah satu pengetahuan yang penting dalam bioekologi ayam hutan hijau adalah pengetahuan perilaku ayam hutan hijau. Sampai saat ini penelitian mengenai perilaku ayam hutan hijau sangat langka dan hanya terbatas pada deskripsi perilaku yang sifatnya umum. Sebagai contoh dilaporkan oleh Arifinsjah (1987), penelitian perilaku yang dilakukan terbatas untuk studi perilaku untuk menentukan kemungkinan pengelolaannya. Sedangkan hubungan lingkungan dengan ayam hutan hijau hanya dilaporkan aspek lingkungan yang mempengaruhi perilaku ayam hutan hijau, namun tidak dijelaskan bagaimana hubungan yang terjadi antara ayam hutan hijau dengan lingkungannya. Diharapkan nantinya hasil penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dapat melengkapi pengetahuan mengenai perilaku ayam hutan hijau.

18 3 1.2 Tujuan Tujuan penelitian adalah: 1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat. 2. Mengidentifikasi strategi perilaku yang dilakukan ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat.

19 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Satwaliar Perilaku menurut Alikodra (2002) merupakan gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya. McFarland (1993) menyebutkan bahwa perilaku dihasilkan dari interaksi-interaksi kompleks antara rangsangan eksternal dan internal. Perilaku adalah tindakan yang mengubah hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Perilaku merupakan kegiatan yang diarahkan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup (Suhara 2010). Scott (1969) menyatakan bahwa pola perilaku satwa sebagai bagian dari tingkah laku yang mempunyai fungsi adaptasi yang khusus. Satu pola perilaku terdiri dari rangkaian gerakan berperilaku, sedangkan satu gerakan berperilaku dapat ditemukan dalam beberapa pola perilaku berbeda karena satu gerakan berperilaku tidak mempunyai fungsi khusus. Kumpulan pola perilaku yang mempunyai fungsi umum yang sama disebut sebuah sistem perilaku. Terdapat sembilan sistem perilaku yaitu: a. Perilaku makan dan minum (ingestive behaviour) b. Perilaku mencari tempat bernaung dan berlindung (shelter seeking) c. Perilaku bertentangan atau yang berhubungan dengan konflik antar satwa (agonistic behaviour) d. Perilaku seksual (sexual behaviour) e. Perilaku merawat tubuh (epimeletic behaviour) f. Perilaku mendekati dan merawat (et epimeletic behaviour) g. Perilaku meniru sesama (allelomimetic behaviour) h. Perilaku membuang feses (eliminative behaviour) i. Perilaku memeriksa lingkungannya (investigation behaviour)

20 5 2.2 Ekologi Perilaku Krebs & Davies (1987) menyatakan bahwa ekologi perilaku mempelajari perilaku satwa untuk bertahan hidup dengan mengeksploitasi sumberdaya, menghindari predator dan juga mempelajari bagaimana perilaku tersebut berperan dalam keberlanjutan reproduksi. Ekologi perilaku adalah ilmu yang mempelajari tentang atribut-atribut perilaku adaptif dalam memecahkan permasalahan lingkungan untuk keberlanjutan reproduksi suatu individu (Alcock 1989). Satwa memberikan reaksi berupa perubahan perilaku maupun sikap untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi menjadi salah satu strategi satwa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya agar dapat bertahan hidup. Satwa membutuhkan energi yang cukup dalam mendapatkan makanan, air, perlindungan terhadap predator, iklim serta kondisi topografi yang dihadapi. Dalam semua aspek tersebut satwa melakukan berbagai macam bentuk adaptasi dengan lingkungannya (Moen 1973). Setiap individu dalam satu spesies memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkan sumberdaya, pasangan dan tempat bersarang yang disebut strategi. Strategi adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu individu dalam persaingan mendapatkan sumberdaya, pasangan atau tempat bersarang (Krebs & Davies 1987). 2.3 Bioekologi Perilaku Ayam Hutan Hijau Klasifikasi dan morfologi Ayam hutan hijau (Gallus varius), oleh Delacour (1977) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Klas : Aves Ordo : Galliformes Famili : Phasianidae Subfamili : Phasianinae Genus : Gallus Spesies : Gallus varius Shaw & Nodder, 1798 Ayam hutan hijau jantan dan betina dapat dibedakan dari warna bulu dan ukuran tubuhnya. Delacour (1977) menyatakan bahwa ayam hutan jantan memiliki panjang total tubuh 700 mm dan betina dengan panjang total tubuh 400

21 6 mm. Ayam hutan hijau jantan pada bagian wajah berwarna merah dengan jengger (comb) yang tidak bergerigi dan berwarna hijau keunguan dan merah pada tepi luar dan tinggi jengger 19,33 mm. Sedangkan pial (wattle) mempunyai warna dasar merah dengan warna kuning terang kebiruan dan ungu dibagian luar. Paruh berwarna kuning dengan bagian atas yang kehitaman dengan panjang mm. Mata berwarna kuning dengan bagian tengah hitam. Bulu pada leher bagian atas, tengkuk leher dan leher sebagian besar berwarna hitam dengan batas berwarna biru metalik dan hijau. Pada bagian bawah dan tungging terdapat warna hitam mengkilat kehijauan yang memanjang menyempit dengan batas kuning terang. Ekor ayam hutan hijau memiliki panjang mm dengan warna hitam mengkilat hijau kebiruan. Panjang sayap ayam hutan hijau berkisar antara mm. Bulu penutup sayap berwarna hitam mengkilat hijau kebiruan dengan jumbai warna jingga karat. Sebagaian besar bulu sayap bagian bawah berwarna hitam suram. Tungkai berwarna putih sampai merah muda dengan panjang mm. Untuk berat tubuh total dari ayam hutan hijau yaitu 621,67 gr (Nishida et al. 1980). (a) (b) Gambar 1 Ayam hutan hijau, (a) jantan, (b) betina. Nishida et al (1980) menyebutkan bahwa ayam hutan betina memiliki berat tubuh total yaitu 353 gr. Pial dan pipi kecoklatan dan pada bagian atas hitam kecoklatan. Mata berwarna kuning dan berwarna hitam pada bagian tengah serta pada bagian paruh berwarna kecoklatan. Paruh ayam hutan hijau betina

22 7 panjangnya 16 mm. Leher berwarna putih, dada kecoklatan pucat dengan batas kehitaman, bagian bawah tubuh berwarna keabu-abuan dengan bercak hitam. Bulu ekor berwarna hitam dan kuning pucat dengan panjang 115 mm. Tungkai ayam hutan hijau betina memiliki panjang 58 mm berwarna putih keabu-abuan sampai kuning merah muda (Delacour 1977). Ayam hutan hijau dalam masa peralihan menjadi dewasa tidak ditandai dengan pergantian bulu. Spesies jantan ayam hutan hijau yang belum dewasa, menjelang usia dua bulan mulai tumbuh bulu-bulu berwarna hitam, hijau dan kuning yang berbaur. Anakan dari ayam hutan hijau ada yang berbulu kapas berwarna gelap dan terdapat jalur coklat kehitaman dari jengger sampai ekor, juga kepala dan sayap. Warna dada coklat dan pada bagian bawah berwarna putih krem (Grzimek 1972). Delacour (1977) menyatakan bahwa jantan muda ayam hutan hijau akan mempunyai bulu dewasa pada tahun pertama dan dapat dibedakan dengan jantan dewasa berdasarkan ukuran jengger, taji dan bulu. Jantan muda mencapai dewasa kelamin setelah usia satu tahun Habitat dan penyebaran Ayam hutan hijau menurut MacKinnon et al. (1992) tersebar disekitar Jawa, Bali, Kangean, dan Flores. Di Jawa dan Bali umumnya terdapat secara lokal pada habitat terbuka yang sesuai sampai ketinggian 1500 mdpl. Ayam hutan hijau memilih daerah berumput terbuka dan jarang atau tidak pernah ditemukan di hutan lebat serta sering mencari makan di padang rumput dekat ternak dengan memakan serangga yang tertarik pada kotoran ternak atau terganggu pada waktu ternak bergerak. Fuller & Garson (2000) menyatakan bahwa ayam hutan hijau menyukai daerah pinggiran pantai dan dekat dengan aktivitas karena sering ditemukan di beberapa daerah pertanian serta menyukai daerah terbuka dan padang rumput. Hutan pantai yang disukai adalah hutan pantai yang berbatu-batu, berkarang dengan semak belukar yang berduri, rumpun palma ataupun bambu. Ayam hutan hijau bergantung pada habitat yang ditumbuhi pepohonan mencakup hutan tropis dataran rendah, hutan tropis pegunungan, habitat terbuka dan padang

23 8 rumput yang merupakan tempat untuk mencari makan, berlindung, beristirahat, dan berkembang biak. Secara umum Gallus spp mencari makan pada pagi dan sore hari. Makan dan minum adalah perilaku makan (feeding behaviour). Ayam hutan hijau memilih tempat terbuka untuk mencari makan. Tempat terbuka tersebut dapat berupa semak belukar di dataran rendah. Makanan ayam hutan hijau adalah bijibijian, rumput-rumputan, serangga, binatang kecil lainnya seperti jangkrik, belalang dan lainnya (Mufarid 1991). Arifinsjah (1987) menyatakan bahwa ayam hutan hijau menyukai semak belukar yang relatif lebat, kumpulan pohon yang cukup rindang untuk beristirahat dan menyembunyikan dirinya dari serangan predator dan panasnya matahari. Sedangkan untuk aktivitas istirahat ayam hutan hijau sebelum aktivitas hariannya dimulai kembali atau disebut tidur memilih lokasi di percabangan pohon yang rendah antara 0-1 m dari tanah Ekologi perilaku ayam hutan hijau Ekologi perilaku mempelajari hubungan timbal balik dari perilaku satwaliar terhadap lingkungan sekitarnya. Ekologi perilaku ayam hutan hijau merupakan respon ayam hutan hijau terhadap rangsangan dari lingkungannya yang ditunjukkan dalam bentuk aktivitas, mekanisme dan strategi perilaku untuk dapat bertahan hidup. Ayam hutan hijau merupakan unggas pesisir dan lembah-lembah yang hidup bergerombol di tepian hutan. Siang hari, ayam hutan hijau biasa berkeliaran di rerumputan yang berbatu, semak-semak atau pepohonan perdu dan rumpun bambu untuk mencari makanan. Setelah matahari terbenam ayam hutan hijau tidur dengan bertengger di atas dahan pepohonan (Wood-Gush 1971). Arifinsjah (1987) menyatakan pola perilaku ayam hutan hijau dibagi menjadi: 1. Perilaku makan ayam hutan hijau adalah rangkaian gerak yang dilakukan ayam hutan hijau untuk mencari dan memilih makanan dan minum. 2. Perilaku bersuara ayam hutan hijau adalah rangkaian gerak yang dilakukan ayam hutan hijau sehingga menimbulkan bunyi yang mempunyai nada dan pola tertentu.

24 9 3. Perilaku melakukan perjalanan adalah suatu rangkaian gerak yang dilakukan ayam hutan hijau untuk tujuan tertentu sehingga meyebabkan ayam hutan hijau berpindah tempat. 4. Perilaku istirahat adalah suatu keadaan ayam hutan hijau tidak melakukan aktivitas (diam). 5. Perilaku sosial adalah suatu keterikatan antara individu ayam hutan hijau dalam kelompok yang berupa hubungan hubungan sosial dan interaksi dengan lingkungannya. Arifinsjah (1987) menyebutkan bahwa secara umum kehidupan sosial ayam hutan hijau terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe soliter dan tipe berkelompok. Berkelompok umumnya terdiri dari dua sampai sepuluh individu ayam hutan hijau. Ayam hutan hijau (Gallus varius) bersifat monogami. Organisasi sosial ayam hutan hijau adalah suatu sistem sosial yang dibentuk ayam hutan hijau untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Organisasi ini dibagi berdasarkan jumlah anggota dalam satu kelompok dan keadaan komposisinya (Arifinsjah 1987). Arifinsjah (1987) membagi kelompok ayam hutan hijau menjadi sebagai berikut: 1. Kelompok dewasa a. Kelompok pasangan yaitu terdiri dari dua individu dewasa (satu ekor jantan dan satu ekor betina). b. Kelompok jantan yaitu terdiri dari dua sampai tiga ekor jantan dewasa. 2. Kelompok muda a. Kelompok betina yaitu terdiri dari tiga sampai enam ekor betina muda. b. Kelompok jantan yaitu terdiri dari dua sampai tiga ekor jantan muda. 3. Kelompok campuran a. Kelompok biasa adalah merupakan kelompok yang terbesar jumlah anggotanya, karena gabungan dari kelompok pasangan ditambah beberapa ekor anak (satu sampai enam ekor). b. Kelompok jantan campuran yaitu terdiri dari satu sampai dua ekor jantan dewasa ditambah dengan dua sampai tiga ekor jantan muda.

25 10 c. Kelompok muda campuran yaitu terdiri dari dua sampai empat betina muda ditambah satu sampai tiga ekor jantan muda. Prana et al. (1996) menyebutkan bahwa untuk di pulau Bali yaitu masyarakat lokal Desa Pujungan mengatakan bahwa musim kawin ayam hutan hijau adalah pada bulan Mei sampai dengan Juli. Hal ini mungkin disebabkan oleh ayam hutan hijau yang hidup di habitat kering atau gersang memilih untuk kawin pada akhir musim penghujan seperti bulan Mei sampai dengan Juli untuk memperoleh pakan yang cukup melimpah. Selain itu keuntungan yang mungkin diperoleh ayam hutan hijau kawin pada bulan Mei-Juli adalah waktu yang tepat untuk bertelur dan mulai mengerami mengingat curah hujan yang relatif ringan dibandingkan pertengahan musim. Delacour (1977) menyebutkan bahwa musim bertelur ayam hutan hijau sangat beragam, namun biasanya telur banyak ditemukan pada bulan Juni sampai November. Telur yang dihasilkan tiap satu periode bertelur sekitar 6-12 butir telur dengan masa pengeraman 21 hari, telur tersebut berwarna putih sampai kuning tua kecoklatan dan berbintik-bintik. Telur diletakkan pada sarang yang terdiri dari ranting pohon, daun dan rerumputan yang disusun di atas tanah, di bawah semaksemak atau pohon yang tidak terlalu tinggi (Wood-Gush 1971).

26 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Pada kedua tipe ekosistem ini diduga menjadi tempat ditemukannya ayam hutan hijau karena menurut Fuller & Garson (2000), ayam hutan hijau menyukai daerah pinggiran pantai dan dekat dengan aktivitas karena sering ditemukan di beberapa daerah pertanian serta menyukai daerah terbuka dan padang rumput. Savana dapat ditemukan di Semenanjung Prapat Agung dan hutan musim yang terdapat di TNBB merupakan tipe ekosistem yang paling luas di TNBB sehingga yang dipilih hanya hutan musim dengan perjumpaan terhadap ayam hutan hijau termudah yaitu di Tanjung Gelap. Lokasi penelitian di TNBB seperti terlihat pada peta di bawah ini: Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Bali Barat. Sebelum dilakukan pengamatan di hutan musim dan savana, terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan atau orientasi lapangan pada bulan Juni 2011 di Taman Nasional Bali Barat. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan (Juli sampai dengan September 2011) dan difokuskan di hutan musim dan savana.

27 12 Untuk lebih jelasnya alokasi waktu pengambilan data seperti tercantum pada tabel 1 berikut: Tabel 1 Alokasi waktu dan lokasi pengambilan data primer di TNBB No Lokasi Kegiatan Tipe Habitat Perilaku Alokasi 1 Kawasan Taman Nasional Bali Barat Orientasi Lapang dan studi pustaka Semua tipe habitat ditemukannya ayam hutan - 14 hari 2 Tanjung gelap Pengambilan data perilaku 1 kelompok ayam hutan 3 Tanjung gelap Pengambilan data perilaku ayam hutan hijau dan analisa vegetasi di titik pengamatan 4 Tanjung gelap Pengambilan data perilaku ayam hutan hijau dan analisa vegetasi di 5 Semenanjung Prapat Agung 7 BTNBB dan lokasi penelitian titik pengamatan Orientasi lapang, pengambilan data perilaku ayam hutan hijau dan analisa vegetasi di titik pengamatan Melengkapi data (dokumentasi seperti foto dll) Total hijau Hutan Musim (jauh dari aktivitas ) Hutan Musim (dekat dengan aktivitas ) Ekosistem savana Semua tipe habitat ditemukannya ayam hutan hijau Semua perilaku teramati (makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara) Makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara Makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara Makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara Semua perilaku teramati (makan dan minum, bergerak, istirahat dan tidur, bersuara) 10 hari 7 hari 7 hari 21 hari 14 hari 73 hari 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan antara lain binokuler, kamera DSLR lensa tele, tally sheet, stopwatch, alat perekam suara, meteran gulung 20 m, meteran jahit 1,5 m, walking stick, kompas bidik, patok, tali rafia, alat tulis dan alat pengolah data (komputer). Objek pengamatan adalah ayam hutan hijau dan habitatnya di Taman Nasional Bali Barat.

28 Metode Pengumpulan Data a. Studi pustaka Dilakukan untuk mengumpulkan data dan literatur mengenai ekologi perilaku ayam hutan hijau. b. Studi pendahuluan Sebelum dilakukan pengamatan di lapangan untuk pengumpulan data primer terlebih dahulu dilakukan studi pendahuluan atau orientasi lapangan pada bulan Juni 2011 di Taman Nasional Bali Barat. Studi dilakukan untuk lebih mengenal lokasi penelitian dan untuk mengetahui titik-titik ditemukannya ayam hutan hijau sedang melakukan aktivitas terutama di hutan musim dan savana Prapat Agung. Metode yang digunakan dalam studi pendahuluan ini adalah dengan cara pengamatan langsung dilapangan dan wawancara dengan petugas lapangan Taman Nasional Bali Barat. c. Pengumpulan data primer Data primer adalah data utama dalam penelitian ini yaitu data ekologi perilaku ayam hutan hijau dan data habitat. Data diperoleh dengan pengamatan langsung dilapangan yaitu Taman Nasional Bali Barat. Data mengenai perilaku ayam hutan hijau berkaitan dengan individu ataupun kelompok dicatat aktivitas yang dilakukan seperti makan dan minum, bergerak, istirahat, tidur, bersuara, berkelompok, berkelahi, menarik pasangan, kawin dan bersarang pada setiap tipe habitat. Data perilaku kemudian dianalisis untuk mendapatkan ekologi perilaku dari ayam hutan hijau. Pengamatan tentang aktivitas harian ayam hutan hijau dilakukan dengan mencatat semua aktivitas yang dijumpai pada saat pengamatan. Metode yang digunakan adalah Focal Animal Sampling, dimana pelaksanaan pengamatan dilakukan khusus pada individu-individu atau kelompok tertentu. Pengamatan terhadap aktivitas harian dilakukan yaitu pada pagi sampai dengan sore hari (05:00-18:00 WITA) atau dimulai saat ayam hutan hijau bangun dari lokasi tidur dan kembali lagi ke tempat tidur di sore hari.

29 14 Pengamatan terhadap aktivitas harian seekor Gallus varius jantan dewasa dilakukan setiap hari dan dilakukan selama dua minggu (14 hari). Perilaku yang diamati yaitu: 1. Makan yaitu aktivitas yang berkaitan dengan mencari, mematuk, mengais dan menelan makanan. 2. Minum yaitu memasukkan paruh ke dalam air, menengadahkan kepala dan meneguk air. 3. Bergerak yaitu pergerakan ayam hutan hijau dari suatu tempat ke tempat lain dengan melompat, berjalan, berlari atau terbang. 4. Istirahat yaitu aktivitas diam ayam hutan hijau untuk berlindung dari sinar matahari di siang hari. 5. Tidur yaitu aktivitas ayam hutan hijau yang dilakukan di sore hari untuk tidur di pohon tidur sampai bangun tidur di pagi keesokan harinya. 6. Bersuara yaitu aktivitas mengeluarkan suara yang dilakukan oleh ayam hutan hijau. Pengamatan terhadap strategi yang dilakukan ayam hutan hijau dalam beradaptasi dengan lingkungannya diperoleh dengan pengamatan langsung pada unit contoh yang berbentuk titik pengamatan. Titik pengamatan ditentukan dengan memilih tempat-tempat strategis ditemukannya ayam hutan hijau sedang melakukan aktivitas. Dalam setiap pertemuan dengan ayam hutan hijau dicatat perilaku terkait waktu, aktivitas, durasi, lokasi beraktivitas, dan frekuensi. Data habitat mencakup komposisi jenis dan struktur vegetasi sebagai komponen habitat utama ayam hutan hijau. Pada masing-masing tipe habitat perlu diketahui fungsi pakan, shelter, cover, tempat bertengger dan bersarang. Untuk mendapatkan data mengenai habitat maka dilakukan analisa vegetasi pada lokasilokasi yang menjadi tempat ayam hutan hijau melakukan aktivitasnya. Analisa vegetasi adalah cara yang digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur vegetasi atau masyarakat tumbuhan. Untuk mengetahui kondisi areal penelitian habitat ayam hutan hijau yang dicirikan oleh struktur dan komposisi vegetasi, maka diperlukan analisa vegetasi. Banyaknya jalur dan plot contoh disesuaikan dengan kondisi tipe habitat. Metode yang digunakan untuk analisa vegetasi hutan musim adalah cara garis berpetak.

30 15 Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa untuk di Indonesia panjang jalur yang digunakan adalah 200 m dan lebar 20 m, yaitu hanya pada tempat-tempat dimana terdapat Gallus varius melakukan aktivitas. Analisa vegetasi dilakukan pada lokasi dengan tipe vegetasi hutan musim dan savana Prapat Agung. Panjang jalur nantinya juga disesuaikan dengan keragaman jenis tumbuhan yang ada. Dalam pengukuran, kriteria yang digunakan untuk menetapkan tingkat vegetasi yang dianalisis adalah sebagai berikut: a. Tingkat pohon, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada (dbh) = 130 cm dari permukaan tanah, atau diameter 20 cm diatas lebih besar atau sama dengan 32 cm kelilingnya. b. Tingkat tiang, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada atau diameter 20 cm diatas banir antara 10 cm sampai dengan 20 cm (10cm dbh 20 cm). c. Tingkat pancang, yaitu anakan pohon atau perdu yang tingginya (T) lebih dari atau sama dengan 1,5m dan memiliki diameter setinggi dada kurang dari atau sama dengan 10cm (T 1,5m; dbh 10cm). d. Tingkat semai, yaitu anakan pohon atau perdu yang tingginya kurang dari 1,5m (T 1,5m). e. Tumbuhan bawah, yaitu tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang bukan anakan pohon atau perdu (termasuk herba, liana, semak, dan rumput). Ukuran petak yang dipakai dalam analisa vegetasi ini memiliki parameter kuantitatif sesuai dengan tingkat vegetasi yang berbeda yaitu: a. 20 m 20 m untuk tingkat pohon b. 10 m 10 m untuk tingkat tiang c. 5 m 5 m untuk tingkat pancang d. 2 m 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah

31 16 Pada setiap garis transek ditentukan petak-petak pengamatan secara sistematik, seperti pada gambar di bawah ini: 20m 20m 2m 10m 5m 10m 2m 5m Gambar 3 Metode garis berpetak untuk analisa vegetasi. Untuk tingkat tiang dan pohon dicatat jenis, jumlah individu, diameter batang, tinggi bebas cabang dan tinggi total pohon. Sedangkan data yang dikumpulkan untuk semai, pancang dan tumbuhan bawah meliputi jenis dan jumlah individu setiap jenis. 3.4 Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan yaitu makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan bersuara selanjutnya dianalisis melalui teknik penyajian deskriptif, grafik dan presentase. Analisis deskriptif dan grafik merupakan penguraian dan penjelasan pola perilaku ayam hutan hijau di Taman Nasional Bali Barat serta menginterpretasikan strategi perilaku yang digunakan. Analisis kuantitatif yang digunakan untuk menguji hipotesis dari bentukbentuk perilaku di atas adalah dengan uji chi-square (X 2 ), dengan rumus sebagai berikut: X 2 = k (O i E i ) 2 E i t =1 O i = frekuensi pengamatan perilaku ke-i E i = Frekuensi harapan ke-i

32 17 Ei = Total baris total kolom total pengamatan Kriteria uji: Jika X 2 hit X 2 tab, maka terima H 1 Jika X 2 hit X 2 tab, maka terima H 0 Uji ini dilakukan pada taraf nyata 5 % dengan derajat bebas: (v) = (b-1) (k-1) dimana b adalah baris dan k adalah kolom serta menggunakan hipotesa: a. Perilaku makan Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas makan. Hipotesis yang digunakan: Frekuensi H 0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Durasi H 0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan durasi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. b. Perilaku minum Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas minum. Hipotesis yang digunakan: Frekuensi H 0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Durasi H 0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan durasi perilaku minum di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

33 18 c. Bergerak Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas bergerak. Hipotesis yang digunakan: Frekuensi H 0 = tidak ada perbedaan frekuensi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan frekuensi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Durasi H 0 = tidak ada perbedaan durasi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan durasi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. d. Istirahat Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas istirahat. Hipotesis yang digunakan: Frekuensi H 0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Durasi H 0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan durasi perilaku istirahat di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. e. Tidur Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas tidur. Hipotesis yang digunakan: Frekuensi H 0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Durasi H 0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan durasi perilaku tidur di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda.

34 19 f. Bersuara Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi untuk aktivitas bersuara. Hipotesis yang digunakan: Frekuensi H 0 = tidak ada perbedaan frekuensi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan frekuensi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Durasi H 0 = tidak ada perbedaan durasi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. H 1 = terdapat perbedaan durasi perilaku bersuara di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Data dan informasi habitat dari hasil analisa vegetasi kemudian dianalisis dan dilakukan pendekatan penggunaan habitat yang dilakukan oleh ayam hutan hijau. Data analisa vegetasi diolah dalam variabel kerapatan (K), frekuensi (F), dan dominasi (D) dengan rumus : Kerapatan (ind/ha) Kerapatan Relatif (KR) = Frekuensi = = Jumlah individu suatu jenis Total luas unit contoh Kerapatan suatu jenis Kerapatan seluruh jenis 100 % Jumlah plot ditemukannya jenis Jumlah total unit contoh Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis Total frekuensi seluruh jenis 100 % Luas Bidang Dasar = 1 4 π D2 Dominansi (m 2 /ha) = Dominansi Relatif (DF) = Luas bidang dasar suatu jenis Total luas unit contoh Dominansi suatu jenis Total dominansi seluruh jenis 100 % Indeks Nilai Penting (INP) untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai kerapatan relatif (KR), dominansi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP = KR+FR+DR. Sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang, INP = KR+FR. Faktor penentu habitat yang mempengaruhi keberadaan ayam hutan hijau di suatu tipe habitat ditentukan berdasarkan beberapa parameter seperti banyaknya jenis pakan, ketersediaan pakan, banyak pohon tidur, tinggi pohon tidur, ketersediaan tempat istirahat dan ketersediaan tempat berlindung.

35 20 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas Secara administrasi pemerintahan, Taman Nasional Bali Barat (TNBB) terletak dalam 2 kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng dan Jembrana, Propinsi Bali. Secara geografis terletak antara 8 o sampai dengan 8 o LS dan 114 o sampai dengan 114 o BT. Luas kawasan Taman Nasional Bali Barat yaitu 19002,89 Ha yang terdiri dari 15587,89 Ha berupa wilayah daratan dan 3415 Ha berupa perairan. Taman Nasional Bali Barat terbagi menjadi beberapa zona diantaranya zona inti seluas ± 8023,22 Ha, zona rimba ± 6174,76 Ha, zona perlindungan bahari ± 221,74 Ha, zona pemanfaatan ± 4294,43 Ha, zona budaya, religi dan sejarah seluas ± 50,57 Ha, zona khusus ± 3,97 Ha dan zona tradisional seluas ± 310,94 Ha (Balai Taman Nasional Bali Barat 2009). 4.2 Keadaan kawasan Balai Taman Nasional Bali Barat dalam situs resminya menyebutkan bahwa topografi kawasan terdiri dari dataran landai, agak curam, dengan ketinggian tempat antara 0 s/d 1414 mdpl. Jenis tanah di TNBB sebagian besar terdiri dari jenis Latosol. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, kawasan TNBB termasuk tipe klasifikasi curah hujan D, E, C dengan curah hujan rata-rata D : 1064 mm/ tahun, E : 972 mm/ tahun, dan C : 1559 mm/ tahun. Temperatur udara rata-rata 33 o C pada beberapa lokasi, kelembaban udara di dalam hutan sekitar 86 % (Balai Taman Nasional Bali Barat 2009). 4.3 Tipe ekosistem Balai Taman Nasional Bali Barat (2009) menyebutkan sesuai ketinggian tempat maka kawasan TNBB dibagi dalam dua ekosistem yakni tipe ekosistem darat dan tipe ekosistem laut.

36 21 Ekosistem darat di Taman Nasional Bali Barat terdiri dari: a. Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut (daerah pasang surut pantai). Penyebaran hutan mangrove secara luas di TNBB antara lain di teluk Gilimanuk, Tegal Bunder, Teluk Trima, Teluk Banyu Wedang. Sedangkan untuk sebaran yang relatif kecil berada di Prapat Agung, Teluk Kelor dan Teluk Kotal. b. Ekosistem hutan pantai Hutan pantai dapat ditemukan di Semenanjung Prapat Agung, merupakan daerah pantai berpasir kering yang dapat membentuk formasi vegetasi pantai yang sedang mengalami proses peninggian ataupun formasi vegetasi pantai yang mengalami proses pengikisan. Formasi ini dicirikan dengan sejenis tumbuhan yang menjalar, berbunga ungu termasuk herba rendah yang akarnya dapat mengikat pasir seperti Ipomoea pescaprea, selain itu juga terdapat sejenis polong (Canavalia), Teki (Cyperus penduculatus, Cyperus stoloniferus) dan rerumputan seperti Thuarea involuta dan Spinifex littoreus. Di bagian belakang formasi tersebut terdapat formasi Barringtonia. Formasi Barringtonia juga terdapat di pantai yang sedang mengalami proses pengikisan, pasirnya dipindahkan oleh ombak-ombak laut. Vegetasinya toleran terhadap siraman air asin dan tanahnya miskin hara serta mengalami kering secara musiman. Jenis yang ada antara lain: Keben (Barringtonia asiatica), Ketapang (Terminalia catappa), Waru Laut (Thespesia populnea) dan Waru (Hibiscus tiliaceus). c. Ekosistem hutan musim yang terdapat di TNBB merupakan tipe ekosistem yang paling luas di TNBB. Hutan tipe ini berada di bagian barat Gunung Panginuman serta bagian utara deretan pegunungan Penginuman serta sebagian besar Semenanjung Prapat Agung. Pada umumnya hutan musim tumbuh pada daerah dengan tipe hujan D hingga H yang dicirikan dengan adanya musim kering yang panjang. terdiri atas pepohonan dengan tajuk agak terbuka dan sederhana. Sebagian besar terdiri atas jenis-jenis pohon yang menggugurkan daunnya. Hutan musim di TNBB pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Laban (Vitex pubescens), pada tingkat tiang didominasi oleh jenis Kayu Pahit (Strychnos

37 22 lucida), pada tingkat pancang di dominasi oleh jenis Putihan (Symplocos javanica) dan pada tingkat semai didominasi oleh jenis Putihan (Symplocos javanica). d. Ekosistem hutan hujan dataran rendah Hutan hujan tropika dicirikan dengan penutupan tajuk yang lebat, struktur vegetasi yang kompleks dan keanekaragaman jenis yang tinggi. Tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di TNBB terdapat di bagian selatan Gunung Penginuman, Gunung Klatakan, Gunung Bakungan dan Gunung Ulu Teluk Trima. e. Ekosistem evergreen Merupakan hutan dataran rendah tetapi bukan termasuk ke dalam hutan yang dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi tetapi lebih dipengaruhi oleh kelembaban tanah yang tinggi. Karena kondisi tanah yang memiliki kelembaban yang tinggi menyebabkan tanaman yang tumbuh ditempat ini merupakan jenisjenis yang tahan lembab dan hijau sepanjang tahun. Hutan evergreen di Taman Nasional Bali Barat merupakan asosiasi antara hutan musim dan hutan mangrove. Sehingga memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Pada tingkat pohon di hutan evergreen didominasi oleh vegetasi Walangan, sedangkan pada tingkat tiang hingga semai di dominasi oleh vegetasi Anjring (Averrhoa spp.) f. Ekosistem savana Savana di TNBB terbentuk oleh peranan api yang menyebabkan terjadinya kebakaran rutin. Memiliki kondisi musim kering yang panjang, serta api merupakan bagian terpenting dari lingkungan. Jenis-jenis pohon dan rumput di daerah savana mempunyai sifat tahan kekeringan dan tahan api. Jumlah spesies tumbuhan sangat terbatas. Jenis rumput dari genera Panicum, Pennisetum, Andropogon dan Imperata. Sedangkan pada tingkat pohon terdiri atas pepohonan yang sangat jarang dan berfungsi sebagai tempat berteduh satwa liar, terutama herbivora. Pepohonan yang ada di savana umumnya adalah Pilang (Acacia leucophloea), Bekul (Zyzypus rotundifolia), Kemloko (Phylantus emblica) dan Intaran (Azadirachta indica). Selain ke enam ekosistem penyusun kawasan TNBB yang bersifat heterogen diatas, di TNBB juga terdapat formasi hutan homogen yang didominasi oleh

38 23 tumbuhan Sawo Kecik (Manilkara kauki). Formasi Sawo Kecik ini di terletak di sekitar Prapat Agung atau yang lebih dikenal dengan Blok Sawo Murni. Sedangkan tipe ekosistem laut meliputi: a. Ekosistem coral reef b. Ekosistem padang lamun c. Ekosistem padang berpasir d. Ekosistem perairan laut dangkal e. Ekosistem perairan laut dalam 4.4 Flora dan fauna Taman Nasional Bali Barat memiliki 175 jenis tumbuhan dan beberapa jenis diantaranya merupakan tumbuhan langka seperti bayur (Pterospermum javanicum), ketangi (Lagerstroemia speciosa), burahol (Stelechocarpus burahol), cendana (Santalum album), dan sonokeling (Dalbergia latifolia). Tumbuhan yang menjadi ciri khas kawasan Taman Nasional Bali Barat yaitu sawo kecik (Manilkara kauki) dengan jumlah yang masih banyak dan membentuk suatu ekosistem tegakan yang berbeda dengan ekosistem lainnya (Balai Taman Nasional Bali Barat 2009). Fauna yang terdapat di TNBB antara lain terdiri dari 7 jenis mamalia, 2 jenis reptilia, 105 jenis aves, 120 jenis ikan. Taman Nasional Bali Barat memiliki satwa langka dan unik yaitu Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang juga merupakan burung endemik pulau Bali. Selain itu terdapat jenis burung lain seperti jalak putih (Sturnus melanopterus), terucuk (Pycnonotus goiavier), dan ibis putih kepala hitam (Threskiornis melanocephalus). Satwaliar lain yang dapat dijumpai seperti kijang (Muntiacus muntjak), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura), banteng (Bos javanicus), dan kancil (Tragulus javanicus) (Departemen Kehutanan 2009).

39 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) di TNBB a. Hutan Musim Kawasan hutan musim diusahakan secara intensif untuk wisata alam oleh PT. Trimbawan Swastama Sejati dengan luas 284 ha dengan pembuatan resort Menjangan. Di kawasan hutan musim tanjung gelap Gallus varius mudah dijumpai di tempat-tempat yang relatif terbuka dengan permukaan tanah yang berbatu dan ditumbuhi rumput serta semak belukar. Selain itu Gallus varius juga sering ditemukan di bawah tegakan pohon ataupun semak belukar yang pada lantai hutan musim ini dipenuhi dengan serasah. Lokasi penelitian di hutan musim ini dibedakan menjadi dua yaitu hutan musim yang dekat dengan aktivitas dan hutan musim yang jauh dari aktivitas. (a)

40 25 (b) Gambar 4 Lokasi penelitian di hutan musim hutan musim dekat dari aktivitas (a), dan hutan musim jauh dari aktivitas (b). dekat aktivitas merupakan lokasi penelitian dengan tingkat kunjungan yang lebih tinggi dibandingkan hutan musim yang jauh dari aktivitas. Pada habitat hutan musim dekat aktivitas banyak ditemukan bangunan penunjang kegiatan wisata seperti hotel dan restoran serta areal yang sengaja dibuka untuk dilakukan penanaman jenis pohon tertentu. Kegiatan wisata yang sering dilakukan di hutan musim dekat aktivitas adalah bird watching, jungle tracking, berkuda dan bersepeda. Habitat hutan musim yang jauh dari aktivitas tidak ditemukan bangunan penunjang wisata dan tingkat kunjungan yang lebih rendah dari hutan musim dekat aktivitas. Wisata alam yang dilakukan di hutan musim jauh dari aktivitas sebatas bird watching dan jungle tracking saja. Areal terbuka ditumbuhi rumput yang dimiliki habitat hutan musim jauh dari aktivitas lebih sedikit karena tidak dilakukan usaha pembukaan areal penanaman seperti di hutan musim dekat aktivitas.

41 26 Vegetasi sebagai komponen penting dalam habitat berfungsi sebagai sumber makanan, tempat berlindung dan istirahat bagi Gallus varius. Hasil perhitungan terhadap kerapatan vegetasi di hutan musim dapat dilihat dalam grafik berikut: Jumlah individu Kerapatan (ind/ha) (a) Jumlah individu Kerapatan (ind/ha) 0 (b) Gambar 5 Grafik kerapatan tingkat vegetasi (ind/ha) pada tipe habitat hutan musim dekat aktivitas (a), hutan musim jauh dari aktivitas (b). Berdasarkan grafik tersebut diatas dapat dilihat bahwa kerapatan vegetasi pada dua tipe habitat di hutan musim memiliki kesamaan yaitu tumbuhan bawah memiliki kerapatan yang relatif tertinggi dibandingkan tingkat vegetasi lainnya. Pada habitat hutan musim dekat dengan aktivitas, jenis

42 27 tumbuhan bawah yang memiliki kerapatan tertinggi adalah jenis bun dingin (Porana volubilis). Sedangkan di habitat hutan musim yang jauh dari aktivitas kerapatan tertinggi adalah jenis kerasi (Lantana camara). Hasil analisa vegetasi yang dilakukan di area contoh yaitu hutan musim dekat aktivitas dan jauh dari aktivitas dapat dilihat dalam tabel 2 berikut: Tabel 2 Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di dua tipe habitat hutan musim K INP Spesies KR (%) F FR (%) D DR (%) (ind/ha) (%) Pohon dekat aktivitas Grewia koordersiana 50 55,56 0,7 36,84 16,9 7,39 99,78 Strynos lucida 2,5 2,78 0,1 5,26 10,32 4,51 12,55 Shoutenia ovata 7,5 8,33 0,3 15,79 8,95 3,91 28,03 Vitex pubescens 7,5 8,33 0,3 15,79 17,23 7,53 31,65 Acacia leuchoploea 2,5 2,78 0,1 5,26 142,96 62,46 70,5 Croton argyrathus 17,5 19,44 0,3 15,79 20,12 8,79 44,02 Bridelia monaica 2,5 2,78 0,1 5,26 12,42 5,43 13,47 Tiang Grewia koordersiana 20 14,29 0, ,85 16,16 50,45 Strynos lucida 20 14,29 0, ,98 18,48 52,77 Symplocos javanica 10 7,14 0,1 10 9,21 10,02 27,16 Shoutenia ovata 50 35,71 0, ,88 17,28 82,99 Vitex pubescens 10 7,14 0, ,74 13,87 31,01 Croton argyrathus 30 21,43 0, ,23 24,19 55,62 Pancang Symplocos javanica ,42 0,5 38, ,89 Croton argyrathus 120 9,09 0,2 15, ,48 Shoutenia ovata ,36 0,3 23, ,44 Strynos lucida ,12 0,3 23, ,2 Semai Shoutenia ovata ,67 0,6 37, ,17 Azadirachta indica 250 2,38 0,1 6, ,63 Symplocos javanica ,86 0,5 31, ,12 Strynos lucida ,71 0,3 18, ,46 Tamarindus indica 250 2,38 0,1 6, ,63 Tumbuhan bawah Eupatorium odoratum ,85 0,8 27, ,43 Lantana camara ,18 0,4 13, ,97 Abutilon indicum ,32 0,3 10, ,66 Oplismenus hirtellus ,09 0,6 20, ,78 Porana volubilis ,57 0,8 27, ,16

43 28 Tabel 2 (Lanjutan) Spesies Pohon K KR (%) F FR (%) D DR (%) (ind/ha) jauh dari aktivitas Vitex pubescens 7,5 10 0,2 9,09 10,98 0,87 19,96 Grewia koordersiana 35 46,67 0,7 31,82 14,34 1,14 79,62 Symplocos javanica 5 6,67 0,2 9,09 9,92 0,79 16,55 Croton argyrathus 2,5 3,33 0,1 4,55 10,32 0,82 8,7 Azadirachta indica 2,5 3,33 0,1 4,55 14,72 1,17 9,05 Shoutenia ovata 5 6,67 0,2 9,09 16,99 1,34 17,1 Ficus rigida 2,5 3,33 0,1 4, ,71 88,13 96 Albizzia lebeckiodes 2,5 3,33 0,2 9,09 18,46 1,47 13,89 Acacia leuchoploea 12,5 16,67 0,4 18,18 53,92 4,28 39,13 Tiang Vitex pubescens ,4 30,77 15,35 21,87 76,64 Croton argyrathus ,4 30,77 11,21 15,97 66,74 Grewia koordersiana ,2 15,39 15,06 21,45 56,84 Shoutenia ovata ,2 15,39 13,17 18,76 66,15 Acacia leuchoploea ,1 7,69 15,41 21,95 33,64 Pancang Croton argyrathus ,96 0,3 37, ,46 Strynos lucida ,82 0, ,82 Symplocos javanica 40 3,7 0,1 12, ,2 Shoutenia ovata ,52 0, ,52 Semai Cyathophyllum sumatranus , Croton argyrathus ,67 0, ,67 Strynos lucida 250 8,33 0, ,33 Tumbuhan bawah Lantana camara ,8 0,8 24,24 53,04 Eupatorium odoratum ,4 0,8 24,24 52,64 Abutilon indicum ,8 0,6 18,18 42,98 Oplismenus hirtellus ,3 9,09 23,09 Phyllanthus niruri ,6 0,2 6,06 7,66 Pogonatherum crinitum ,4 0,6 18,18 20,58 INP (%) Hasil analisa vegetasi di habitat hutan musim dekat aktivitas pada tabel 2 menunjukkan komposisi pohon talok (Grewia koordersiana) memiliki penyebaran yang cukup tinggi yaitu dengan frekuensi relatif sebesar 36,84 %. Fungsi dari pohon talok menjadi tempat tidur di malam hari. Jenis pohon lainnya yang menjadi pohon tempat tidur seperti kayu pahit (Strynos lucida), walikukun

44 29 (Shoutenia ovata), laban (Vitex pubescens), kapasan (Croton argyrathus), dan suli (Bridelia monaica). Fungsi pohon sebagai tempat istirahat di siang hari dapat ditemukan di hutan musim jauh dari aktivitas seperti jenis tekik (Albizzia lebeckiodes) dengan nilai indeks penting 13,89 %. Jenis pohon lain yang digunakan sebagai tempat istirahat seperti jenis intaran (Azadirachta indica) dan asam (Tamarindus indica). Tipe habitat hutan musim tanjung gelap yang dekat dengan aktivitas memiliki areal terbuka yang ditumbuhi tumbuhan bawah yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan musim yang jauh dari aktivitas. Akan tetapi tipe habitat hutan musim jauh dari aktivitas memiliki jumlah jenis tumbuhan bawah yang lebih banyak dibanding hutan musim yang dekat aktivitas. Fungsi vegetasi rumput yang tumbuh di hutan musim diduga dimanfaatkan sebagai makanan oleh ayam hutan hijau terutama bagian biji. tanjung gelap memiliki sumber air untuk minum yang berasal dari wadah penampungan air buatan yang dibangun oleh pihak pengelola Resort Menjangan dan kubangan satwa alami yang kering pada musim kemarau. b. Savana Semenanjung Prapat Agung Kondisi habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) yang dijadikan lokasi penelitian merupakan hamparan lahan yang dipenuhi jenis rumput dan semak serta beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Savana terbentuk karena terjadinya kebakaran rutin. Struktur ekosistemnya secara umum tersusun atas pohon-pohon yang menyebar dengan kanopi yang terbuka. Jenis-jenis pohon dan rumput di daerah savana mempunyai sifat tahan kekeringan dan tahan api. Sebagian besar kawasan savana semenanjung Prapat Agung merupakan kawasan yang sering didatangi dengan berbagai kepentingan. Kawasan savana semenanjung Prapat Agung sering didatangi untuk kepentingan sembahyang umat Hindu di Pura Segara Rupek.

45 30 Gambar 6 Lokasi penelitian di savana Semenanjung Prapat Agung. Gallus varius yang ditemukan di savana semenanjung Prapat Agung memanfaatkan habitat ini sebagai tempat mencari makan terutama di sekitar jalan berbatu yang dipinggirnya ditumbuhi beberapa jenis rumput dan tumbuhan bawah lainnya. Habitat Gallus varius di savana semenanjung Prapat Agung tidak memiliki sumber air yang digunakan untuk minum Gallus varius. Pada siang hari Gallus varius di savana semenanjung Prapat Agung ditemukan berteduh di bawah semak belukar rapat yang dinaungi pohon bila hari telah panas. Semak belukar yang rapat juga digunakan sebagai lokasi berlindung Gallus varius jika mendapat gangguan yang mengancam. Jenis gangguan yang sering ditemui di habitat ini adalah gangguan. Kegiatan masusia yang sering dilakukan adalah sembahyang umat Hindu di Pura Segara Rupek. Vegetasi tingkat semak dan pohon yang tumbuh di savana semenanjung Prapat Agung memiliki fungsi sebagai tempat berlindung dan beristirahat di siang hari. Akan tetapi tingkat vegetasi pohon tidak digunakan sebagai lokasi untuk tidur di malam hari karena selama pengamatan berlangsung tidak ditemukan Gallus varius pada sore hari naik ke pohon-pohon yang ditemukan di savana semenanjung Prapat Agung.

46 31 Hasil perhitungan terhadap kerapatan tingkat vegetasi pada habitat savana dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Jumlah individu ,5 Kerapatan (ind/ha) Gambar 7 Grafik kerapatan tingkat vegetasi (ind/ha) pada tipe habitat savana. Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa tumbuhan bawah memiliki kerapatan tertinggi dibandingkan tingkat vegetasi lainnya. Pada habitat savana semenanjung Prapat Agung, jenis vegetasi tumbuhan bawah yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah kirinyuh (Eupatorium odoratum) dengan KR 63,92%. Vegetasi kirinyuh berfungsi sebagai tempat beristirahat di siang hari untuk menghindari panas matahari dan juga berfungsi sebagai tempat berlindung saat merasa terancam. Hasil perhitungan terhadap indeks nilai penting (INP) pada habitat ayam hutan hijau (Gallus varius) di savana semenanjung Prapat Agung dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3 Indeks nilai penting (INP) dari hasil analisa vegetasi di tipe habitat savana semenanjung Prapat Agung Nama K KR Nama Ilmiah Jenis (ind/ha) (%) F FR D DR INP Pohon Intaran Azadirachta indica 10 57,14 0, ,95 53,83 160,98 Bekol Ziyphus mauritiana 2,5 14,29 0,1 16,67 7,90 18,53 49,48 Pilang Acacia leuchoploea 5 28,57 0,2 33,33 11,79 27,64 89,55

47 32 Tabel 3 (Lanjutan) Nama Nama Ilmiah Jenis Tiang K (ind/ha) KR (%) F FR D DR INP Intaran Azadirachta indica ,31 0,2 66,67 12,76 37,22 164,19 Pilang Acacia leuchoploea ,69 0,1 33,33 21,53 62,00 135,02 Pancang Intaran Azadirachta indica , Semai Intaran Azadirachta indica , Tumbuhan bawah Kirinyuh Eupatorium odoratum ,92 0,9 42, ,78 Rumput duri Bulbostylis capillaris ,02 0,3 14, ,31 Rumput pringpringan Pogonatherum crinitum ,44 0,4 19, ,49 Rumput Jampang Themeda arguens ,61 0,5 23, ,42 Vegetasi di hutan savana semenanjung Prapat Agung didominasi jenis intaran (Azadirachta indica) dengan indeks nilai penting (INP) 160,98 %, jenis pilang (Acacia leuchoploea) dengan INP 89,55 % dan bekol (Ziyphus mauritiana) dengan INP 49,48 %. Fungsi pohon sebagai tempat berlindung dan bernaung di siang hari dapat dilihat pada pohon intaran (Azadirachta indica). Pada perilaku bernaung atau istirahat di siang hari, ayam hutan hijau (Gallus varius) tidak bertengger langsung di percabangan pohon akan tetapi memilih diam di bawah tajuk pohon. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian Prapat Agung, predator yang potensial bagi Gallus varius diduga adalah biawak (Varanus salvator) karena sempat ditemukan terlihat sedang mengejar ayam hutan hijau betina Aktivitas harian Pengamatan terhadap aktivitas harian Gallus varius dilakukan pada seekor jantan dewasa dengan mengamati segala aktivitas yang dilakukan dalam sehari selama dua minggu dengan total sepuluh hari pengamatan. Dipilihnya jantan dewasa ini adalah dari hasil orientasi lapang yang telah dilakukan selama seminggu sebelumnya, bahwa Gallus varius jantan yang menjadi objek pengamatan memiliki jalur aktivitas harian yang relatif terbuka sehingga

48 33 memudahkan pengamat. Gallus varius di habitat hutan musim memulai aktivitas pada pukul 05:30 WITA dan berakhir pada pukul 18:30 WITA. Pengamatan terhadap perilaku Gallus varius dilakukan selama 564,801 jam dengan total pertemuan 492 kali. Jumlah jam pengamatan dan jumlah pertemuan dengan Gallus varius seperti dalam tabel di berikut ini. Tabel 4 Jumlah jam pengamatan dan pertemuan dengan Gallus varius di lokasi penelitian Lokasi penelitian Jumlah Jumlah waktu pertemuan pengamatan (kali) Jenis kegiatan dekat aktivitas jauh dari aktivitas Prapat Agung 227, , Ekosistem savana 48,73 31 Perilaku makan, minum, bergerak, istirahat, tidur dan bersuara Pengamatan dengan durasi yang lebih lama dilakukan di titik pengamatan Tanjung gelap karena pada lokasi ini lebih mudah dalam menemukan Gallus varius sedang melakukan aktivitas dibandingkan lokasi lainnya di Taman Nasional Bali Barat. Gallus varius adalah satwaliar diurnal yang aktif di siang hari, sehingga semua kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya dilakukan pada siang hari dan malam harinya hanya tidur tanpa melakukan kegiatan lainnya. Pada pagi hari setelah bangun dari tidurnya, mengepakkan sayap dan dilanjutkan dengan bersuara adalah kegiatan pertama yang dilakukan Gallus varius untuk memulai aktivitas hariannya. Aktivitas selanjutnya adalah turun dari pohon tempat tidurnya dengan dengan cara melompat ke bawah pohon secara vertikal dengan sayap yang direntangkan untuk mendapatkan pendaratan yang baik. Setelah Gallus varius berada di bawah pohon tempat tidurnya maka dilanjutkan dengan melakukan perjalanan ke arah lokasi makan di pagi hari. Kegiatan makan sebenarnya telah dilakukan sesaat setelah Gallus varius turun dari pohon tempat tidurnya. Hal ini dapat diketahui karena dalam perjalanan menuju lokasi makan di pagi hari Gallus varius terlihat mematuk ke arah serasah yang berada di bawah semak belukar yang merupakan jalur lintasan yang dilalui untuk menuju tempat mencari makan (feeding ground) di pagi hari yaitu berupa

49 34 areal terbuka yang ditumbuhi rumput. Kegiatan makan yang dilakukan di areal terbuka ini dimulai sekitar pukul 06:00 WITA sampai dengan sekitar pukul 10:30 WITA. Kegiatan makan di tempat terbuka ini tidak berlangsung sepenuhnya di areal tersebut karena Gallus varius selalu keluar dan masuk semak belukar yang ada di dekatnya untuk mencari perlindungan jika merasa terancam dan kembali lagi melanjutkan makan di areal terbuka tersebut. Setelah kegiatan makan usai, Gallus varius bergerak menuju semak belukar yang lebih rapat dan jauh dari lokasi makan untuk beristirahat. Dalam perjalanan menuju tempat istirahat sangat sulit untuk diikuti sebab Gallus varius sangat sensitif terhadap suara pengamat yang berjalan melewati permukaan tanah yang berserasah sehingga pengamat hanya menunggu di dekat tempat masuknya Gallus varius dalam semak belukar tersebut. Hasil pengamatan terhadap perilaku istirahat Gallus varius di siang hari merupakan hasil analisa karena sulitnya mengikuti sampai ke lokasi yang benar-benar dijadikan lokasi istirahat Gallus varius. Terdapat pola khusus yang dimiliki Gallus varius dalam melakukan aktivitasnya. Pola perilaku terlihat pada saat Gallus varius bangun dari tempat tidur dan diakhiri ketika Gallus varius kembali tidur di sore hari. Pada pagi hari setelah bangun dari tempat tidur aktivitas yang dilakukan Gallus varius secara terperinci yaitu: 1. Mengepakkan sayap. 2. Bersuara untuk memulai aktivitas harian. 3. Turun dari pohon tempat tidurnya baik dengan langsung terbang menuju bawah pohon tempat tidur ataupun melompat ke ranting yang berada lebih rendah untuk selanjutnya mendarat di bawah pohon. 4. Berjalan menuju lokasi makan di pagi hari dan mulai mematuk makanan sepanjang perjalanan. 5. Makan di sekitar lokasi makan di pagi hari. 6. Menuju tempat istirahat untuk menghindari panas matahari. 7. Makan sore yang dilakukan di lokasi makan yang tidak jauh dari lokasi makan di pagi hari. 8. Bergerak menuju lokasi tidur dengan tetap sambil mencari makanan di sepanjang perjalan menuju pohon tempat tidur.

50 35 9. Bersuara setelah mendekati pohon tidur. 10. Melompat atau terbang menuju ranting pohon yang akan dijadikan tempat tidur. 11. Bersuara untuk mengakhiri aktivitas harian. 12. Mencari ranting yang tepat dan posisi yang tepat sebelum memulai bertengger untuk posisi tidur. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh juga penggunaan waktu dalam perilaku selama satu hari yang dijelaskan melalui tabel 5 berikut: Tabel 5 Penggunaan waktu dalam aktivitas harian Gallus varius Waktu (menit) 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 Makan Minum Bergerak Istirahat Bersuara Perilaku Waktu (menit) 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 Makan Minum Bergerak Istirahat Bersuara Aktivitas harian Gallus varius pada pagi hari setelah bangun tidur dimulai dengan bersuara yang berlangsung antara pukul 05:00 sampai dengan pukul 06:00 WITA. Setelah perilaku bersuara usai Gallus varius kemudian bergerak menuju bawah pohon tidurnya dengan cara melompat atau terbang. Perilaku makan dilakukan sesaat setelah Gallus varius berada di bawah pohon tempat tidurnya dan berjalan menuju lokasi makan di pagi hari yang berlangsung antara pukul 06:00 sampai dengan pukul 09:00 WITA. Pada tabel 5 dapat dilihat tidak ditemukannya perilaku minum. Hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan khusus perilaku harian tidak terlihat Gallus varius yang menjadi objek pengamatan sedang minum. Selama perjalanan menuju lokasi makan di pagi hari, Gallus varius tetap mencari makan sambil sesekali mengais untuk mendapatkan makanan, menyisik bulu dan membersihan paruh.

51 36 Perilaku istirahat dilakukan setelah aktivitas makan di pagi hari usai yaitu dengan menuju tempat istirahat di bawah semak kirinyuh (Eupatorium odoratum) yang rapat untuk menghindari panas matahari antara pukul 09:00 sampai dengan pukul 15:00 WITA. Selama perilaku istirahat berlangsung, Gallus varius juga melakukan aktivitas lainnya seperti mengepakkan sayap, bersuara, menyisik bulu, membersihkan paruh dan berlindung jika merasa ada ancaman yang membahayakan bahkan makan juga tetap dilakukan. Setelah periode waktu istirahat berakhir kemudian aktivitas harian dilanjutkan dengan perilaku makan sore hari, lokasi makan yang digunakan mulai mendekati pohon tempat tidur. Perilaku makan sore berlangsung antara pukul 15:00 sampai dengan pukul 17:00 WITA. Menjelang sore hari, Gallus varius akan menuju pohon tempat tidurnya untuk mengakhiri aktivitas hariannya. Sebelum memulai tidur Gallus varius akan bersuara sebagai tanda aktivitas harian telah berakhir. Persentase penggunaan waktu selama sehari Gallus varius di adalah kegiatan bersuara selama jam (2%), bergerak selama jam (1%), makan selama jam (45%), dan istirahat selama 6,362 jam (52%). Persentase penggunaan waktu lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: Persentase Aktivitas Harian 2% 1% 52% 45% Bersuara Bergerak Makan Istirahat Gambar 8 Diagram persentase aktivitas harian Gallus varius di TNBB. Berdasarkan diagram dapat diketahui jika diurutkan dari proporsi terbesar sampai terkecil dimulai dari perilaku istirahat, makan, bersuara dan yang memiliki

52 37 proporsi terkecil adalah bergerak. Perilaku istirahat memilki persentase terbesar karena kondisi cuaca selama pengamatan sangat panas akibat sinar matahari sehingga Gallus varius banyak istirahat demi efisiensi energi. Perilaku makan memiliki proporsi yang cukup besar setelah perilaku istirahat. Gallus varius dalam melakukan perilaku makan diperlukan pula gerakan lainnya seperti berjalan yang termasuk dalam perilaku bergerak, namun perilaku bergerak disini dimasukkan dalam perilaku makan. Perilaku berjalan untuk mendapatkan makanan dimasukkan dalam perilaku makan karena termasuk dalam aktivitas yang mendukung perilaku makan. Gambar 9 Pergerakan harian Gallus varius di hutan musim tanjung gelap Pergerakan harian jantan dewasa Gallus varius yang diamati dari hari pertama sampai dengan hari kesepuluh terlihat memiliki pola jalur yang relatif sama, hal ini dapat dilihat dari lokasi makan di pagi dan sore hari yang berdekatan. Selain itu tempat istirahat yang dipilih pun tidak jauh berbeda dari

53 38 lokasi istirahat-istirahat sebelumnya. Namun untuk lokasi berlindung, Gallus varius bergerak dengan spontan ketika merasa terancam dan masuk ke dalam semak dengan pola yang tidak beraturan Ekologi perilaku makan Aktivitas makan Gallus varius dilakukan dengan berjalan disekitar feeding ground dan setelah di suatu titik ditemukan makanan yang terlihat langsung maka Gallus varius akan mematuk dengan menggunakan paruh dan menelan makanan tersebut. Untuk mendapatkan makanan di permukaan tanah yang berada diantara serasah ataupun tertutup tanah, Gallus varius mengais ke arah serasah ataupun tanah dengan menggunakan kedua tungkainya secara bergantian agar makanan terlihat kemudian dipatuk dan ditelan. Cara yang dilakukan Gallus varius untuk mendapatkan makanan akan berbeda antara makanan yang bisa langsung ditemukan di atas permukaan tanah dengan makanan yang berada diatas tubuhnya (setinggi tubuh). Sebelum makanan dipatuk Gallus varius akan melihat-lihat dulu makanan tersebut dan menggerakkan lehernya ke kiri dan kanan sehingga terlihat dengan jelas makanan yang akan dipatuk. Setelah yakin barulah Gallus varius mematuk ke arah makanan tersebut ataupun ditarik dengan menggunakan paruhnya jika sulit untuk diperoleh. Jenis makanan yang biasanya diperoleh dengan cara ini seperti semut yang berada di ranting-ranting tumbuhan. Perilaku makan Gallus varius dilakukan pada pagi hari sesaat setelah turun dari pohon tempat tidurnya antara pukul 06:04 WITA sampai dengan pukul 11:20 WITA. Pada sore hari perilaku makan dilakukan setelah masa istirahat berakhir yaitu pada pukul 14:13 WITA sampai dengan menjelang matahari terbenam pukul 18:30 WITA. Gallus varius memulai aktivitas makan sesaat setelah turun dari tempat tidurnya yaitu dengan berjalan dan mulai mencari makan di antara serasah yang berada di permukaan tanah. Diduga makanan yang didapat pada waktu perjalanan ke feeding ground adalah semut dan rayap. Pada pagi hari Gallus varius akan menuju feeding ground untuk memulai aktivitas makan pagi. Salah satu feeding ground Gallus varius untuk lokasi hutan musim adalah di areal terbuka yang sengaja dibuat oleh pihak pengelola Resort Menjangan. Feeding

54 39 ground Gallus varius di habitat savana semenanjung Prapat Agung berada di sekitar areal Pura Segara Rupek dan sepanjang pinggiran jalan menuju Pura Segara Rupek. (a) (b) Gambar 10 Perilaku makan Gallus varius, (a) hutan musim, (b) hutan savana Prapat Agung. Gallus varius mengais dengan cara bergantian antara tungkai kanan dan kiri. Pada saat satu tungkai mengais yang satunya lagi sebagai tumpuan untuk tetap tegak dan tubuh agak condong ke arah berlawanan dengan tungkai yang digunakan untuk mengais. Jika tungkai yang mengais adalah tungkai kanan maka tubuh Gallus varius akan condong ke kiri begitu pula sebaliknya jika tungkai yang mengais adalah tungkai kiri maka tubuh Gallus varius akan condong ke kanan. Jumlah kaisan total yang dilakukan tergantung kondisi permukaan tanah dan ketersediaan makanan, jika makanan mudah terlihat tanpa mengais maka jumlah kaisan akan semakin sedikit. Jumlah kaisan Gallus varius yang dilakukan sebelum mematuk berkisar antara 1-8 kaisan. (a) (b) Gambar 11 Permukaan tanah bekas kaisan Gallus varius, (a) betina, (b) jantan.

55 40 Permukaan tanah yang menjadi lokasi mengais Gallus varius berbentuk oval dan berdiameter antara cm. Hasil kaisan akan terlihat pada permukaan tanah yang berserasah dan permukaan tanah yang gembur. Besarnya diameter kaisan dipengaruhi oleh jenis kelamin Gallus varius. Tipe perilaku makan ayam hutan hijau berdasarkan intensitas berpindah untuk mencari makanan dapat dibagi menjadi: a. Makan bergerak berpindah Makan bergerak berpindah lebih sering dilakukan pada individu-individu yang makan secara berkelompok. Berikut adalah contoh pola pergerakan makan individu Gallus varius dimulai dengan mematuk 3 kali (3 detik), mengais 4 kali (6 detik), diam (2 detik), mengais 2 kali (2 detik), jalan (30 detik), mematuk 6 kali (4 detik), jalan (32 detik), mematuk 10 kali (8 detik), jalan (48 detik), mematuk 2 kali (1 detik), mengais 2 kali (1 detik), jalan (3 detik), mematuk 14 kali (20 detik), jalan (122 detik), jalan sambil bersuara kek-kek-kek (114 detik), mematuk 1 kali (1 detik), jalan 18 detik), mematuk 1 kali (1 detik), jalan (17 detik), mematuk 1 kali (1 detik), jalan (5 detik), mematuk 16 kali (10 detik), jalan sambil bersuara kek-kek-kek (37 detik), mematuk 4 kali (3 detik), jalan sambil bersuara (17 detik), mematuk 2 kali (2 detik), jalan sambil bersuara kek-kek-kek (38 detik) dan berjalan masuk ke dalam semak (8 detik). b. Makan pada titik tertentu Perilaku makan yang lebih banyak diam pada satu titik pencarian makanan diduga dilakukan karena pada titik tersebut kaya akan makanan sehingga Gallus varius tidak berpindah-pindah. Gerakan-gerakan yang dilakukan selama perilaku makan ini berlangsung yaitu mematuk 4 kali (3 detik), mengais 2 kali (1 detik), mematuk 2 kali (1 detik), diam (1 detik), mengais 4 kali (2 detik), mematuk 17 kali (12 detik), mengais 6 kali (3 detik), diam (2 detik), mematuk 6 kali (4 detik), diam (3 detik), mengais 8 kali (3 detik), mematuk 4 kali (3 detik), mengais 2 kali (1 detik), mematuk 9 kali (5 detik), mengais 4 kali (4 detik), mematuk 2 kali (1 detik), mengais 4 kali (2 detik), mematuk 1 kali (1 detik), diam (1 detik), mematuk 11 kali (8 detik), diam (1 detik), mengais 4 kali (2 detik), mematuk 8 kali (5 detik), diam (1 detik), mengais 6 kali (3 detik), mematuk 2 kali (1 detik), diam (4 detik) dan kemudian masuk ke dalam semak kirirnyuh.

56 41 Mekanisme perilaku makan Gallus varius dimulai pada saat turun dari pohon tempat tidurnya langsung memulai untuk mencari makanan di sepanjang perjalanan menuju tempat makan di pagi hari. Setelah berada di lokasi makan pagi hari maka Gallus varius mencari makan di lokasi tersebut sampai dengan waktu untuk istirahat di siang hari. Pada waktu istirahat usai maka Gallus varius akan memulai mekanisme makan sore dengan menuju lokasi makan sore yang berada tidak jauh dengan lokasi makan pagi dan arah perjalanannya menuju ke tempat pohon tidur di sore hari. Strategi yang dilakukan Gallus varius untuk dapat memenuhi dengan baik kebutuhan akan makanannya yaitu dengan cara sesaat setelah turun dari pohon tempat tidur telah memulai mencari makanan dan begitu pula di perjalanan sore hari menuju pohon tempat tidur juga dibarengi dengan mencari makanan. Perilaku makan juga dilakukan pada saat istirahat di siang hari yaitu mencari makanan di sekitar tempat istirahat namun dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan perilaku makan utama. Perilaku makan pada saat istirahat ini dilakukan untuk mendapatkan makanan tambahan sehingga diperoleh makanan yang melimpah. Pada habitat hutan musim, Gallus varius melakukan adaptasi dengan seringnya ditemukan di areal terbuka buatan milik pengelola Menjangan Resort karena pada area ini banyak ditumbuhi jenis rumput yang diduga menjadi makanannya. Pada habitat savana semanjung Prapat Agung, adaptasi yang dilakukan dengan mencari makanan di sekitar jalan dan bangunan Pura Segara Rupek untuk mencari rumput dan sisa sesajen yang diduga menjadi makanan Gallus varius. Perbedaan perilaku makan Gallus varius di berbagai tipe habitat dapat dlihat pada tabel 6 berikut: Tabel 6 Perbandingan perilaku makan Gallus varius di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata Ragam waktu Durasi min Durasi max (detik) (detik) (detik) (detik) Ht musim dekat aktivitas Ht musim jauh dari aktivitas Savana

57 42 Pada habitat savana memiliki rata-rata durasi perilaku makan terlama yang diperlukan Gallus varius yaitu detik. Perilaku makan yang dilakukan Gallus varius di hutan musim dekat aktivitas memiliki durasi rata-rata 8498 detik yang lebih lama dari rata-rata durasi perilaku makan di hutan musim jauh dari aktivitas dengan 8231 detik. Pada tabel juga menunjukkan bahwa sebaran waktu makan di hutan musim jauh dari aktivitas lebih beragam dibanding hutan musim dekat aktivitas yaitu detik dan serta sebaran waktu makan yang paling beragam diantara ketiga tipe habitat adalah di savana dengan detik. Selang waktu yang digunakan untuk makan terpanjang terdapat di habitat hutan musim jauh dari aktivitas yaitu detik kemudian savana detik dan hutan musim dekat aktivitas detik. Berdasarkan hasil pengamatan di tipe habitat yang berbeda seperti hutan musim dan savana diperoleh frekuensi dan durasi perilaku makan sebagai berikut: Tabel 7 Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku makan Gallus varius di tipe habitat berbeda jauh dari aktivitas Tipe habitat dekat aktivitas Ekosistem savana Total Frekuensi Durasi Hasil uji chi-square frekuensi dan durasi perilaku makan Gallus varius di habitat yang berbeda dapat dilihat pada tabel 8 berikut: Tabel 8 Hasil uji chi-square perilaku makan Gallus varius χ2 tab = 5,99; db = 2 jauh dari aktivitas Tipe habitat dekat aktivitas Ekosistem savana χ2 hitung Frekuensi 0,34 0,61 0,60 1,55 Durasi 86, , , ,58 Berdasarkan hasil uji chi-square terhadap perilaku makan ayam hutan hijau (Gallus varius) menunjukkan bahwa frekuensi perilaku makan tidak dipengaruhi oleh tipe habitat baik untuk habitat hutan musim dekat aktivitas, hutan musim jauh dari aktivitas dan hutan savana di TNBB. Nilai χ 2 hitung perilaku makan di TNBB adalah 1,55 jika dibulatkan yang lebih kecil dari χ 2 tab =

58 43 5,99. Sedangkan hasil uji chi-square untuk durasi perilaku menunjukkan nilai χ 2 hitung = 29928,58 yang lebih besar dari χ 2 tab = 5,99 sehingga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan durasi perilaku makan di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian tidak ditemukan Gallus varius yang secara langsung mematuk ke arah bagian suatu tumbuhan seperti batang, daun, buah ataupun bunga. Gallus varius diduga memakan biji rumput yang telah jatuh ke permukaan tanah karena sering terlihat mengais dan mematuk ke arah permukaan tanah yang disekelilingnya ditumbuhi jenis-jenis rumput seperti dalam tabel berikut: Tabel 9 Jenis vegetasi yang diduga dimakan Gallus varius di beberapa tipe habitat jauh Nama No Nama ilmiah dekat aktivitas dari aktivitas Savana lokal Rumput duri Rumput pringpringan Rumput merakan Rumput santen Bulbostylis capillaris Pogonatherum crinitum Themeda arguens Oplismenus hirtellus Keterangan: x = terdapat di wilayah tersebut x Jenis vegetasi yang terdapat pada dua tipe habitat yaitu jenis rumput pringpringan (Pogonatherum crinitum) yang pada saat penelitian kebanyakan dalam kondisi warna daun yang mulai berwarna kuning kering akibat musim kemarau. Selain diduga memakan biji-biji dari rumput, Gallus varius juga memakan jenis rayap dan semut yang sering ditemukan di serasah dan ranting pohon. x x x x Ekologi perilaku minum Aktivitas minum Gallus varius dilakukan dengan bergerak menuju tempat minum, mengambil posisi yang tepat untuk dapat memasukkan paruh ke dalam air, kepala ditengadahkan serta paruh menghadap keatas sehingga air yang terambil pada saat memasukkan paruh ke dalam air dapat ditelan. Hal ini dilakukan berulang-ulang dalam waktu tertentu hingga Gallus varius tidak merasa haus lagi.

59 44 Waktu yang diperlukan untuk sekali tegukan dan menengadahkan kepala dalam perilaku minum Gallus varius antara 2-10 detik dan antara setiap tegukan terdapat selang waktu antara 1-2 detik. Jumlah tegukan antara 2-5 tegukan dalam sekali memasukkan paruh ke air. Selama perilaku minum berlangsung, sesekali Gallus varius berhenti untuk mengawasi keadaan sekitar lokasi minum dan jika dianggap aman maka perilaku minum dilanjutkan kembali. Hal ini dilakukan agar Gallus varius dapat mengawasi keadaan sekeliling dari adanya ancaman bahaya ataupun predator. Setelah perilaku minum ini selesai atau jika ada gangguan yang mengancam maka Gallus varius akan segera pergi dari tempat minum dengan cara berjalan, melompat, terbang atau berlari. Gallus varius minum secara kelompok maupun sendiri. Gallus varius yang hidup di kawasan hutan musim memenuhi kebutuhan akan air dari wadah penampungan air yang sengaja dibuat oleh pengelola Resort Menjangan sedangkan di hutan savana Prapat Agung tidak ditemukan sumber air. Mekanisme minum dilakukan pada saat siang hari setelah aktivitas makan dan dilakukan biasanya sebelum menuju lokasi istirahat. Setelah minum maka Gallus varius akan menuju lokasi istirahat sebelum memulai lagi aktivitas makan sore hari. Strategi yang dapat dilihat dari 10 kali perjumpaan perilaku minum adalah jika tempat minum yang digunakan Gallus varius dipilih yang berada paling dekat dengan feeding ground. Hal ini terlihat dari 3 kali perjumpaan pasangan Gallus varius langsung berjalan menuju wadah penampungan air buatan yang berada di dekat feeding ground setelah aktivitas makan pagi usai. Strategi pemilihan tempat minum ini dilakukan untuk efisiensi energi. Gallus varius sering terlihat melakukan perilaku minum pada siang hari antara pukul 12:30 WITA sampai dengan pukul 14:30 WITA di hutan musim. Dari hasil pengamatan hanya ditemukan 10 Gallus varius sedang minum di hutan musim dan tidak ditemukan Gallus varius minum di savana semenanjung Prapat Agung.

60 45 Penggunaan waktu minum Gallus varius dapat dilihat pada gambar berikut: 2,5 Penggunaan waktu minum Gallus varius Frekuensi 2 1,5 1 0,5 0 dekat aktivitas jauh dari aktivitas Savana Waktu (WITA) Gambar 12 Grafik penggunaan waktu minum Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda di TNBB. Perilaku minum Gallus varius di hutan musim dilakukan pada siang hari setelah perilaku makan pagi usai. Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa perilaku minum di hutan musim dekat aktivitas dimulai antara pukul 09:00 WITA. Perilaku minum tidak terlihat pada pukul 10:00 WITA 13:00 WITA dan setelah pukul 13:00 WITA frekuensi perilaku minum kembali meningkat. Setelah pukul 15:00 WITA, perilaku minum tidak terlihat kembali. Perilaku minum di hutan musim jauh dari aktivitas terjadi mulai pukul 12:00 WITA sampai dengan pukul 13:00 WITA. Waktu yang digunakan untuk perilaku minum sangat singkat di tipe habitat hutan musim jauh dari aktivitas dan tidak ditemukan sama sekali perilaku minum di savana. Durasi perilaku minum Gallus varius di tiga habitat berbeda di TNBB dapat dilihat dalam tabel 10 berikut: Tabel 10 Perbandingan durasi perilaku minum Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda TNBB Lokasi Durasi rata-rata Ragam waktu Durasi min Durasi max (detik) (detik) (detik) (detik) Ht musim dekat aktivitas Ht musim jauh dari aktivitas Ekosistem savana

61 46 Durasi rata-rata yang diperlukan Gallus varius untuk minum di hutan musim dekat aktivitas adalah 175 detik sedangkan di hutan musim jauh dari aktivitas durasi minum rata-rata lebih kecil yaitu 62 detik. Pada habitat savana tidak ditemukan perilaku minum karena tidak ditemukannya lokasi sumber air yang kemungkinan menjadi tempat minum di habitat savana. Sebaran waktu perilaku minum di hutan musim jauh dari aktivitas lebih beragam dari hutan musim dekat aktivitas yang dijelaskan dengan nilai ragam yang lebih besar yaitu secara berturut-turut 6728 detik dan 2642 detik. Berbeda dengan tingkat keragaman waktu perilaku minum, selang waktu minum di hutan musim dekat aktivitas lebih panjang yaitu detik dibandingkan dengan selang waktu minum di hutan musim jauh dari aktivitas yaitu detik. Dari hasil pengamatan di tipe habitat yang berbeda seperti hutan musim dan savana diperoleh frekuensi dan durasi perilaku minum sebagai berikut: Tabel 11 Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius di tipe habitat berbeda jauh dari aktivitas Tipe habitat dekat aktivitas Ekosistem savana Total Frekuensi Durasi Setelah dilakukan uji chi square terhadap frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius di TNBB, menunjukkan bahwa di TNBB frekuensi minum tidak dipengaruhi oleh tipe habitat dengan nilai uji χ 2 hitung = 0,10 yang lebih kecil dari χ 2 tab = 5,99. Sedangkan durasi perilaku minum akan berbeda di setiap tipe habitat, dalam tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai χ 2 hitung = 434,50 yang nilainya lebih dari χ 2 tab = 5,99, secara terperinci dapat dilihat dalam tabel 12 berikut: Tabel 12 Hasil uji chi square frekuensi dan durasi perilaku minum Gallus varius Tipe habitat χ2 tab = 5,99; db χ2 = 2 jauh dekat Ekosistem hitung dari aktivitas aktivitas savana Frekuensi 0,08 0,02 0 0,10 Durasi 380,57 53, ,50

62 Ekologi perilaku bergerak Perilaku bergerak ayam hutan hijau (Gallus varius) adalah suatu gabungan gerak yang dilakukan Gallus varius untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya baik dengan melompat, berjalan, berlari dan terbang ataupun gabungan dari melompat, berjalan, berlari dan terbang. Terdapat empat tipe gerak yang menyebabkan Gallus varius berpindah tempat yang ditemukan di lokasi penelitian, yaitu: a. Melompat Merupakan gerakan yang sering dilakukan Gallus varius, saat turun dari pohon tempat tidur yang cukup tinggi Gallus varius melompat ke cabang yang lebih rendah dahulu sebelum menuju permukaan tanah dengan cara yang sama pula yaitu melompat. Gallus varius melompat dengan cara menekuk kedua tungkainya dan bertumpu pada kedua tungkainya tersebut kemudian kepala ditengadahkan atau menunduk tergantung lokasi yang ingin dituju (melompat ke atas atau kebawah). Tungkai yang tadi ditekuk digunakan sebagai awalan untuk bisa melontarkan tubuhnya dan terkadang dibarengi dengan kepakan sayap untuk memudahkan gerakan. b. Berjalan Gerakan yang dilakukan bersamaan dengan aktivitas makan, selama mencari makan Gallus varius akan terus berjalan mencari lokasi-lokasi ditemukannya makanan. Gallus varius berjalan dengan cara mengayunkan tungkainya kedepan secara bergantian, kepala tegak untuk tetap mengawasi keadaan sekitarnya. Saat berjalan selain melakukan aktivitas makan yaitu mengais dan mematuk Gallus varius terkadang terlihat bersuara. Suara yang sering dikeluarkan pada saat berjalan adalah jenis kek-kek-kek dengan tempo yang lambat. Pada siang hari Gallus varius berjalan menuju tempat istirahat dan kembali di sore hari untuk kembali melanjutkan aktivitas makan. Aktivitas berjalan terakhir yang dilakukan Gallus varius selama satu hari adalah pada sore hari yaitu berjalan menuju tempat tidurnya. c. Berlari Merupakan gerak yang termasuk dalam perilaku bergerak yang tidak tentu, karena perilaku ini hanya dilakukan jika Gallus varius menerima rangsang yang

63 48 mengancam keselamatannya. Gallus varius berlari dengan cara sama seperti berjalan tapi ayunan yang dilakukan kedua tungkainya lebih cepat dan kepala sedikit ditundukkan untuk mendapatkan kecepatan. Dalam berlari Gallus varius memiliki dua tipe gerakan yaitu berlari lurus dan terkadang berbelok-belok (zigzag) dan berlawanan dengan arah gangguan berasal. d. Terbang Gerakan ini dilakukan untuk menuju tempat yang posisinya lebih tinggi seperti naik ke percabangan pohon, berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya ataupun melewati semak belukar yang rapat. Jika Gallus varius menerima gangguan yang serius, gerakan terbang ini lebih sering dilakukan daripada berlari. Cara terbang Gallus varius adalah dengan mengambil sedikit awalan berlari jika dimulai dari permukaan tanah kemudian mengepakkan kedua sayapnya sehingga dapat terbang menuju lokasi yang diinginkan. Sedangkan jika Gallus varius terbang dari atas pohon maka gerakan terbang dimulai dengan melompat kemudian mengepakkan sayap dan membentangkan sayap untuk melayang menuju lokasi tujuannya. Pada saat terbang posisi kepala, badan dan ekor hampir membentuk garis lurus dan kedua tungkai diluruskan serta ditempelkan ke badan. Tungkai kembali ditekuk dan diturunkan pada saat Gallus varius akan mendarat di lokasi tujuannya baik di permukaan tanah atau cabang pohon. Pada saat terbang Gallus varius sering mengeluarkan suara kek-kek-kek dengan tempo yang cepat jika terbang yang dilakukan merupakan respon terhadap sebuah gangguan. Terbang yang dilakukan Gallus varius untuk mencapai lokasi tertentu seperti dari permukaan tanah ke permukaan tanah lainnya, permukaan tanah ke pohon, pohon ke pohon dan dari pohon ke permukaan tanah. Arah terbang Gallus varius dibagi menjadi dua tipe yaitu terbang lurus dan berbelok tergantung lokasi yang ingin dicapai. Waktu yang dibutuhkan untuk sekali terbang berkisar antara 2-20 detik dengan jarak tempuh meter. Gallus varius dapat terbang sampai dengan ketinggian ± 8 m dari permukaan tanah. Mekanisme perilaku bergerak Gallus varius pada kondisi habitat yang dianggap aman dilakukan mulai turun dari pohon tidur untuk bergerak demi pemenuhan kebutuhan hidupnya seperti makanan dan air kemudian bergerak menuju tempat istirahat di siang hari dan kembali bergerak menuju tempat makan

64 49 sore hari sampai kembali menuju pohon tempat tidur. Mekanisme perilaku bergerak juga terjadi secara spontan pada saat menghindari gangguan yang mengancam kelangsungan hidupnya dan merupakan perilaku bergerak yang tidak tentu, karena perilaku ini hanya dilakukan jika Gallus varius menerima gangguan yang mengancam keselamatannya. Bergerak merupakan bagian dari aktivitas harian Gallus varius yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan menghindari gangguan yang mengancam hidupnya seperti predator dan lainnya. Strategi perilaku bergerak yang dilakukan Gallus varius dapat dilihat dalam pemilihan jenis gerakan yang dipilih dalam bergerak seperti melompat, berjalan, berlari atau terbang yang disesuaikan dengan jenis gangguan sehingga dapat menghemat energi. Pada habitat hutan musim dekat aktivitas, perilaku bergerak banyak dilakukan dengan berjalan saja karena telah terjadi adaptasi terhadap gangguan yang terdapat pada habitat ini seperti banyaknya yang lewat disekitar lokasi makan. yang jauh dari aktivitas memiliki tingkat gangguan dari yang lebih kecil, akan tetapi pada saat gangguan datang maka Gallus varius akan memilih gerakan yang lebih cepat untuk menghindarinya. Gerakan yang dipilih seperti loncat, berlari dan terbang. Habitat savana semenanjung Prapat Agung tidak memiliki banyak pohon dan didominasi jenis tumbuhan bawah seperti kirinyuh (Eupatorium odoratum). Strategi yang dilakukan adalah dengan memilih bergerak menuju semak yang berada tidak jauh dari posisi Gallus varius saat menerima ancaman. Hal ini dilakukan untuk menghemat energi dalam melakukan gerakan. berikut: Rekapitulasi perilaku bergerak Gallus varius dapat dilihat dalam tabel 13 Tabel 13 Rekapitulasi perilaku bergerak Gallus varius di tiga tipe habitat TNBB Durasi rata-rata Ragam waktu Durasi min Durasi max Lokasi (detik) (detik) (detik) (detik) Ht musim dekat aktivitas 110, , Ht musim jauh dari aktivitas 10,94 134, Savana 11,40 65,

65 50 Berdasarkan tabel perilaku bergerak dapat diamati pada semua tipe habitat. Pada hutan musim dekat aktivitas durasi rata-rata perilaku bergerak yang dibutuhkan adalah 110,40 detik dan merupakan durasi terlama dibandingkan dengan habitat savana dan hutan musim jauh dari aktivitas dengan durasi rata-rata 11,40 detik dan 10,94 detik. Nilai ragam terbesar pada habitat hutan musim dekat aktivitas kemudian hutan musim jauh dari aktivitas dan savana dengan nilai berturut-turut 19999,30 detik, 134,20 detik dan 65,53 detik. Selang waktu bergerak di hutan musim dekat aktivitas adalah detik yang merupakan selang terpanjang dibandingkan habitat hutan musim jauh dari aktivitas dan savana. Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku bergerak Gallus varius dapat dilihat dalam tabel 14 berikut: Tabel 14 Rekapitulasi frekuensi dan durasi perilaku bergerak Gallus varius di TNBB Tipe habitat jauh dari aktivitas dekat aktivitas Ekosistem savana Total Frekuensi Durasi berikut: Hasil uji chi square aktivitas bergerak Gallus varius dapat dilihat pada tabel Tabel 15 Hasil uji chi square perilaku bergerak di berbagai tipe habitat Tipe habitat χ2 tab = 5,99; db = 2 jauh dari aktivitas dekat aktivitas Ekosistem savana χ2 hitung Frekuensi 1,38 0,50 0,12 2,00 Durasi 0,65 6,76 81,24 88,65 Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa hasil uji chi square di TNBB untuk frekuensi bergerak diperoleh χ 2 hitung = 1,996 yang lebih kecil dari nilai χ 2 tab = 5,99 sehingga dapat dikatakan tidak ada perbedaan frekuensi bergerak di tipe habitat/ lingkungan yang berbeda. Atau dengan kata lain, perilaku bergerak tidak dipengaruhi oleh tipe habitat. Hasil yang sebaliknya ditunjukkan pada uji chi square untuk durasi perilaku bergerak yaitu nilai χ 2 hitung = 88,645 yang jauh

66 51 melebihi nilai χ 2 tab = 5,99 sehingga dapat disimpulkan durasi perilaku bergerak dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat Ekologi perilaku istirahat Perilaku istirahat Gallus varius dilakukan setelah perilaku makan selesai dilakukan di feeding ground yaitu menuju ke tempat yang cukup teduh seperti di bawah semak rapat atau di percabangan pohon untuk diam menghindari panas sinar matahari. Perilaku istirahat dilakukan antara pukul 08:00 16:00 WITA, selama perilaku istirahat berlangsung terkadang Gallus varius juga melakukan aktivitas tambahan seperti mematuk, mandi debu, membersihkan paruh, mengepakkan sayap dan menyisik bulu. (a) (b) Gambar 13 Perilaku istirahat ayam hutan hijau (Gallus varius), (a) istirahat di bawah semak, (b) istirahat di pohon. Aktivitas istirahat berlangsung setelah perilaku makan pagi usai yaitu dengan menuju lokasi yang menjadi tempat istirahat yang berupa semak rapat atau pohon yang teduh. Aktivitas istirahat di bawah semak yang rapat biasanya dilakukan dengan berdiri di bawah semak atau dengan posisi mendekam. Aktivitas istirahat di percabangan pohon dimulai dengan memilih pohon kemudian naik ke percabangan yang sesuai. Posisi tubuh Gallus varius pada saat berada di percabangan yang sesuai adalah dengan kaki ditekuk dan leher yang kemudian ditempelkan ke punggung.

67 52 Mekanisme berlangsungnya perilaku istirahat dimulai sesaat setelah perilaku makan pagi usai dan berakhir pada saat sore hari menjelang waktu perilaku makan sore dimulai. Gallus varius yang istirahat diatas pohon kemudian melompat atau terbang menuju lokasi makan sore sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Gallus varius yang beristirahat di bawah semak akan mulai mengawasi keadaan sekitar sebelum berjalan menuju tempat makan di sore hari. Tempat istirahat di siang hari memiliki jarak yang cukup dekat dengan lokasi makan di sore hari. Pola pergerakan Gallus varius yang semakin lama akan mendekati lokasi yang menjadi tempat tidurnya di sore hari maka pemilihan lokasi istirahat ini merupakan strategi untuk menghemat energi dari Gallus varius. Strategi perilaku yang dapat dilihat dalam perilaku istirahat di bawah semak adalah tetap berusaha mencari makanan diantara serasah di bawah semak untk mendapatkan lebih banyak lagi makanan. Pada saat berada diatas pohon, Gallus varius sesekali akan kembali berdiri dan melihat keadaan sekitar termasuk berputar ganti posisi yang merupakan strategi untuk menghindari ancaman yang datang dari arah yang berlawanan. Jenis vegetasi yang dipilih sebagi tempat istirahat di hutan musim Tanjung Gelap adalah intaran (Azadirachta indica), Klincung (Kaparis sp) dan Kapasan (Croton argyrathus) serta jenis semak yang digunakan seperti semak kirinyuh (Eupatorium odoratum) dan kerasi (Lantana camara). Sedangkan di savana Prapat Agung, Gallus varius menyukai semak kirinyuh (Eupatorium odoratum) yang diatasnya dinaungi pohon intaran intaran (Azadirachta indica). Tabel 16 Jenis pohon yang digunakan Gallus varius pada perilaku istirahat dan tingkat kesukaanya Jenis pohon Tingkat Lokasi Frekuensi kesukaan Nama lokal Nama ilmiah (%) dekat aktivitas Klincung Kaparis sp jauh dari aktivitas Kapasan Croton argyrathus Savana Intaran Azadirachta indica Gallus varius memilih semak yang rapat untuk beristirahat menghindari panas matahari yang dilakukan antara pukul 08:00 16:00 WITA selama 2-6 jam.

68 53 Jenis-jenis semak yang sering digunakan Gallus varius untuk istirahat adalah sebagai berikut: Tabel 17 Jenis semak yang digunakan Gallus varius pada perilaku istirahat dan tingkat kesukaannya Jenis semak Tingkat Lokasi Frekuensi kesukaan Nama lokal Nama ilmiah (%) dekat Kirinyuh Eupatorium odoratum 4 40 aktivitas Kerasi Lantana camara 6 60 jauh dari aktivitas Kirinyuh Eupatorium odoratum 6 60 Kerasi Lantana camara 4 40 Savana Kirinyuh Eupatorium odoratum Berdasarkan tabel 17 dapat dilihat jenis semak yang paling sering digunakan untuk istirahat di hutan musim dekat aktivitas adalah kerasi (Lantana camara). Pada hutan musim jauh dari aktivitas jenis semak yang disukai adalah jenis kirinyuh (Eupatorium odoratum). Semak yang paling banyak digunakan sebagai tempat istirahat Gallus varius di savana adalah jenis kirinyuh (Eupatorium odoratum). Penggunaan waktu istirahat Gallus varius berbeda pada masing-masing individu. Pada saat satu individu memulai aktivitas istirahat kemudian disaat yang sama masih ada dijumpai individu-individu lainnya yang masih makan, minum atau melakukan aktivitas lainnya. Rekapitulasi perilaku istirahat di tiga tipe habitat di TNBB dapat dilihat dalam tabel 18 berikut: Tabel 18 Perbandingan perilaku istirahat Gallus varius di tiga tipe habitat berbeda TNBB Durasi rata-rata Ragam waktu Durasi min Durasi max Lokasi (detik) (detik) (detik) (detik) Ht musim dekat aktivitas Ht musim jauh dari aktivitas Savana Berdasarkan tabel dapat dijelaskan bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan Gallus varius untuk beristirahat di habitat hutan musim jauh dari aktivitas adalah detik dan merupakan nilai rata-rata terbesar dibandingkan

69 54 habitat hutan musim dekat aktivitas dan savana dengan waktu rata-rata detik dan detik. Nilai ragam perilaku istirahat di hutan musim jauh dari aktivitas adalah detik, pada hutan musim dekat aktivitas nilai ragam adalah detik dan pada savana nilai ragam adalah detik. Nilai ragam menunjukkan bahwa perilaku istirahat di hutan musim jauh dari aktivitas paling beragam dibandingkan dengan habitat hutan musim dekat aktivitas dan savana. Selang waktu perilaku istirahat di habitat hutan musim jauh dari aktivitas juga menjadi yang paling panjang dibandingkan dengan habitat hutan musim dekat aktivitas dan savana. Data frekuensi dan durasi perilaku istirahat Gallus varius seperti yang tertera dalam tabel 19 berikut: Tabel 19 Frekuensi dan durasi perilaku istirahat Gallus varius di berbagai tipe habitat jauh dari aktivitas Tipe habitat dekat aktivitas Ekosistem savana Total Frekuensi Durasi Setelah dilakukan uji chi-square terhadap frekuensi dan durasi perilaku istirahat di berbagai tipe habitat, hasil menunjukkan bahwa tipe habitat tidak mempengaruhi frekuensi perilaku istirahat Gallus varius. Sedangkan durasi perilaku istirahat Gallus varius dipengaruhi oleh tipe habitat seperti tercantum pada tabel 20 berikut: Tabel 20 Hasil uji chi square perilaku istirahat di berbagai tipe habitat Tipe habitat χ2 tab = 5,99; db = 2 jauh dari aktivitas dekat aktivitas Ekosistem savana χ2 hitung Frekuensi 0,16 0,05 1,27 1,49 Durasi 2231, , , ,71 Dari tabel 20 dapat dilihat nilai χ 2 hitung = 1,49 yang lebih kecil dari χ 2 tab = 5,99 yaitu tipe habitat tidak berpengaruh terhadap frekuensi perilaku istirahat. Frekuensi perilaku istirahat di habitat hutan musim dekat aktivitas, hutan musim jauh dari aktivitas dan hutan savana TNBB memiliki peluang

70 55 yang sama. Sedangkan durasi perilaku istirahat dengan nilai χ 2 hitung = 30977,71 melebihi nilai χ 2 tab = 5,99 sehingga dapat dikatakan tipe habitat berpengaruh terhadap durasi perilaku istirahat Ekologi perilaku tidur Gallus varius tidur dengan cara sama seperti pada saat istirahat yaitu bertumpu pada kedua tungkainya yang menekuk seperti posisi mengeram telur dengan mencengkram cabang pohon tempat tidurnya. Sedangkan lehernya ditarik ke arah badan sehingga terlihat menyatu dengan badan dan akhirnya memejamkan mata untuk memulai tidur. Mekanisme perilaku tidur Gallus varius yaitu dimulai pada saat pemilihan pohon tidur, menuju pohon tidur, naik ke percabangan pohon tidur, bersuara sebelum tidur, memulai perilaku tidur sampai bangun di pagi hari, mengepakkan sayap, bersuara dan turun dari pohon tidur. Pada saat naik ke atas pohon tidur, Gallus varius memiliki dua cara yaitu dengan langsung terbang ke percabangan yang akan digunakan untuk tidur dan cara kedua dengan bertahap dari percabangan pohon terendah sampai ke percabangan yang tepat dengan melompat ataupun terbang. Sebelum mulai melakukan perilaku tidur biasanya Gallus varius akan bersuara kroo-kreek atau ce-ke-keer. Tipe suara yang dikeluarkan Gallus varius pada saat bangun tidur adalah kroo-kreek atau ce-ke-keer juga, akan tetapi biasanya diawali dengan kepakan sayap dan suara keek. Sebelum naik ke atas pohon Gallus varius biasanya bersuara dan melanjutkannya setelah berada di atas pohon. Dan setelah berada pada percabangan yang sesuai maka Gallus varius akan diam dan tidak bergerak. Hal ini merupakan strategi untuk tidak menarik kedatagan predator. Strategi lainnya yang dilakukan Gallus varius yang berkelompok pada saat tidur adalah dengan memilih pohon tempat tidur yang berdekatan dengan anggota kelompoknya yang lain dengan radius 3-20 meter. Pada saat merasa ada gangguan yang mengancam pada waktu tidur maka Gallus varius akan segera bersuara kek-kek-kek dengan tempo yang cepat untuk memberi tanda kepada anggota kelompoknya yang tidur di tempat yang berdekatan. Jika gangguan yang datang dianggap berbahaya maka

71 56 Gallus varius akan terbang secara tidak beraturan dan sering diikuti oleh individu lain yang berada pada posisi terdekat dengan Gallus varius yang mendapatkan ancaman tadi dengan atau tanpa suara kek-kek-kek. Gambar 14 Perilaku tidur Gallus varius di atas pohon walikukun. Ayam hutan hijau (Gallus varius) memilih pohon tertentu untuk tidur di sore hari. Pohon yang dipilih memiliki tajuk yang cukup rapat dan percabangan relatif lurus dan datar. Gallus varius tidur di percabangan pohon yang cukup datar dan mudah dicengkram. Percabangan yang digunakan adalah pada bagian ujung percabangan. Hal ini diduga dilakukan untuk dapat dengan mudah melarikan diri pada saat predator menuju percabangan tempat tidur. Ketinggian pohon tempat tidur Gallus varius berkisar antara 3-8 meter dari permukaan tanah. Jenis pohon yang dipilih untuk tidur antara lain jenis walikukun (Shoutenia ovata), talok (Grewia koordersiana), kayu pahit (Strynos lucida), kapasan (Croton argyrathus), laban (Vitex pubescens) dan suli (Bridelia monaica).

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali ABSTRAK Penelitian tentang aktivitas burung kuntul kecil (Egretta garzetta) dilakukan di Pulau Serangan antara bulan Mei dan Juni 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas harian burung

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016. BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Hutan Bambu tepatnya di Kawasan Ekowisata Boon Pring Desa Sanankerto Kecamatan Turen Kabupaten Malang, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN HUTAN DI PULAU SELIMPAI KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN HUTAN DI PULAU SELIMPAI KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN HUTAN DI PULAU SELIMPAI KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT Structure and Composition Of Forest Stands On The Island Selimpai Districts Paloh Sambas, West Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

Sumber: & google earth 2007 Gambar 2. Lokasi Penelitian

Sumber:  & google earth 2007 Gambar 2. Lokasi Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Waktu kegiatan penelitian ini kurang lebih 5 bulan yaitu pada bulan Februari 2012 hingga Juni 2012. Lokasi penelitian yaitu di daerah Bogor Tengah dengan sampel

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di dua kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kawasan yang dipengaruhi oleh Samudera Hindia atau Kawasan Pantai Barat (Aceh Barat,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci