PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK

Transkripsi

1 PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI DENGAN RAMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GRESIK Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang irigasi dan Instruksi Presiden. Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi, merupakan kebijaksanaan untak Peningkatan dan Perluasan tujuan Pembangunan Pertanian dari Program Swasembada Beras menjadi Swasembada Pangan; b. bahwa guna mendukung kebijaksanaan dimaksud perlu diberikan peran yang lebih besar kepada Petani Pemakai Air untuk mengelola irigasi dengan hakekat dari, oleh dan untuk petani; c. bahwa untuk melaksanakan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi I Jawa Timur, 2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3046); 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209);

2 4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya tanaman (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3478); 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3699); 6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3839); 7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembar Negara RI Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3848); 8. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 206); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3952); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4156). Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN GRESIK MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : a. Daerah adalah Kabupaten Gresik;

3 b. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah bersama Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah; c. Bupati adalah Bupati Gresik; d. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gresik; e. Dinas adalah Perangkat Daerah yang mempunyai wewenang dalam Pengelolaan Irigasi; f. Air adalah Semua air yang terdapat pada, diatas maupun dibawah permukaan tanah yang dimanfaatkan di darat; g. Sumber air adalah Tempat/wadah air yang terdapat pada, diatas maupun dibawah permukaan tanah; h. Irigasi adalah Usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian. yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak; i. Daerah irigasi adalah Kesatuan wilayah yang mendapat air dan satu jaringan irigasi; j. Jaringan irigasi adalah Saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dan penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangannya; k. Jaringan utama adalah Jaringan irigasi yang berada dalam satu sistem irigasi, mulai dan bangunan utama, saluran induk/tersier, saluran sekunder dan bangunan sadap serta bangunan pelengkapnya; l. Jaringan tersier adalah jaringan yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air didalam petak tersier yang terdiri dani saluran pembawa yang disebut saluran tersier, saluran pembagi yang disebut saluran kuarter dan saluran pembuang, berikut saluran bangunan turutan serta pelengkapnya, termasuk jaringan irigasi pompa yang luas areal pelayanannya disamakan dengan areal tersier; m. Petak irigasi adalah petak lahan yang memperoleh air irigasi; n. Petak tersier adalah kumpulan petak irigasi yang merupakan kesatuan dan mendapatkan air irigasi melalui saluran tersiar yang sama; o. Penyediaan air irigasi adalah penentuan banyaknya air per satuan waktu dan saat pemberian air yang dapat dipergunakan untuk menunjang pertanian; p. Pembagian air irigasi adalah penyaluran air dalam jaringan utama;

4 q. Pemberian air irigasi adalah penyaluran alokasi air dan jaringan utama ke petak tersier dan kuarter; r. Penggunaan air irigasi adalah pemanfaatan air dilahan pertanian; s. Pembuangan/Drainase adalah pembuangan kelebihan air irigasi yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu; t. Waduk adalah Tempat/wadah penampungan air di sungai agar dapat digunakan untuk irigasi maupun keperluan lainnya; u. Waduk Lapangan atau Embung adalah Tempat/wadah penampungan air irigasi pada waktu terjadi surplus air di sungai atau air hujan. BAB II TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 2 Irigasi diselenggarakan dengan tujuan untuk: a. Terwujudnya kemanfaatan air secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khusunya petani; b. Terwujudnya tujuan pembangunan pertanian dan program swasembada beras menjadi swasembada pangan; c. Memberikan peran lebih besar kepada petani pemakai air untuk mengelola irigasi dengan hakekat dan, oleh dan untuk petani. Pasal 3 Irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktifitas lahan untuk mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan lainnya. BAB III PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN AIR Pasal 4 Pengelolaan irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat petani dan dengan menempatkan Himpunan Petani Pemakai Air sebagai pelaku utama pengambilan keputusan dalam penge1ola irigasi yang menjadi tanggungjawabnya.

5 Pasal 5 (1) Guna memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat petani, pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaat air permukaan dan air bawah tanah secara terpadu dengan tidak mengabaikan aspek lingkungan; (2) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengelolaan. dengan memperhatikan kepentingan pengguna dibagian hulu, tengah dan hilir secara seimbang, adil dan merata; (3) Penyelenggaraan pengelolaan irigasi dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan agar tercapai pemanfaatan jaringan irigasi yang optimal. Pasal 6 (1) Penyelenggaraan pengelolaan irigasi diiaksanakan dengan dukungan keandalan air irigasi dan prasarana irigasi yang baik guna menunjang peningkatan pendapatan petani; (2) Untuk mendukung keandalan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan membangun waduk dan atau waduk Iapangan/embung, mengendalikan kualitas air, Jaringan drainase dan pemanfaatan kembali air pembuangan/drainase. BAB IV KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI Pasal 7 (1) Lembaga pengelolaan irigasi meliputi: Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA), Instansi Pemerintah, Pemerintah Kabupaten atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannya dalam perencanaan pembangunan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan dan pembiayaan jaringan irigasi; (2) Beberapa HIPPA pada tingkat Tersier / Desa dapat membentuk Gabungan HIPPA pada tingkat sekunder; (3) Beberapa Gabungan HIPPA pada tingkat sekunder dapat membentuk Induk HIPPA.

6 Pasal 8 (1) Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk berbagai keperluan, Bupati membentuk Komisi Irigasi yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati; (2) Komisi Irigasi sebagaimana dimaksud ayat (1) mempunyai fungsi membantu Bupati dalam peningkatan kinerja pengelolaan irigasi, terutama pada bidang penyediaan, penggunaan air irigasi pada tanaman dan untuk keperluan lainnya serta merekomendasikan prioritas alokasi pengelolaan irigasi Kabupaten; (3) Keanggotaan Komisi Irigasi sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintahan Daerah, Dinas Teknis, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA, Organisasi Profesi dan unsur lain yang dianggap perlu. BAB V PEMBERDAYAAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI AIR Pasal 9 Bupati melakukan pemberdayaan Himpunan Petani Pemakai Air yang meliputi: a. Peningkatan kemampuan Himpunan Petani Pemakai Air yang antara lain melalui Pelatihan, bimbingan, pendampingan, pengelolaan dan kerjasama pengelolaan dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan; b. Penguatan kelembagaan HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA yang mencakup kegiatan fasilitas sebagai Badan Hukum yang otonom yang bergerak dibidang irigasi, pertanian dan usaha ekonomi lainnya; c. Apabila terjadi hambatan dalam kepengurusan Himpunan Petani Pemakai Air yang menyebabkan tidak berfungsinya Himpunan Petani Pernakai Air sebagai pengelola Irigasi, maka Komisi Irigasi dapat membantu penyelesaian masalah yang fasilitasnya dibantu oleh Pemerintah Daerah.

7 BAB VI PENYERAHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN IRIGASI Pasal 10 (1) Bupati menyerahkan sebagaian kewenangan pengelolaan atau pada tingkat Daerah Irigasi kepada Himpunan Petani Pemakai Air yang sudah berbadan Hukum dilakukan secara bertahap dan demokratis dengan prinsip satu sistim irigasi satu kesatuan pengelolaan; (2) Penyerahan kewenangan pengelo irigasi dan Pemerintah Daerah kepada Himpunan Petanai Pemakai Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui kesepakatan tertulis dan tanpa penyerahan asset jaringan irigasi; (3) Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi pada Daerah Irigasi yang jaringan irigasinya multiguna dilaksanakan melalui kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah, Himpunan Petani Pemakai Air dan Pengguna lainnya; (4) Biaya pengelolaan jaringan irigasi yang sudah diserahklan menjadi tanggungjawab gabungan Himpunan Petani Pemakai Air secara mandiri; (5) Apabila setelah diserahkan pengelolaan jaringan irigasi dan kenyataan dilapangan HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA tidak mampu, Pemerintah Daerah dapat membantu menyelesaiakan masalah dan setelah diaudit ternyata tidak layak untuk pengelolaan irigasi, maka Pemerintah mengambil kembali pengelolaan irigasi tersebut. BAB VII PENYEDIAAN AIR IRIGASI Pasal 11 (1) Air Irigasi pada umumnya disediakan untuk mengairi tanaman pada petak-petak tersier untuk mencapai hasil yang optimal namun dalam penyediaan perlu diperhatikan keperluan keperluan lainnya, pemukiman, peternakan, perikarian air tawar, industri dan pelestarian lingkungan hidup dalam suatu Daerah Irigasi; (2) Apabila terjadi kebakaran atau bencana lainnya, air irigasi diutamakan untuk penanggulangannya; (3) Dalam Penyediaan air irigasi Dinas yang bersangkutan mengusahakan secara optimal untuk penyediaan air baik dalam daerah irigasi atau antar Daerah Irigasi.

8 Pasal 12 (1) Pada kondisi air terbatas Bupati membuat suatu aturan menyesuaikan dengan kondisi air yang ada bagi pemegang hak guna air sesuai dengan asas keadilan; (2) Pada Daerah Irigasi ditetapkan suatu rencana pola tata tanam agar air yang tersedia dengan jumlah yang terbatas dapat mencukupi kebutuhan bagi usaha pertanian dan apabila dilanggar dikenakan sanksi pelanggaran; (3) Rencana dimaksud ayat (2) Pasal ini ditetapkan oleh Dinas Bersama HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA yang bersangkutan. Pasal 13 (1) Dinas bersama HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA membuat inventaris tanah-tanah yang berhak atas air irigasi untuk tanaman-tanaman dan persiapan pemberian airnya disusunan menurut Desa/Kelurahan dan Daerah Irigasi sebagai berikut: a. Tanah-tanah dengan hak air irigasi sepanjang tahun sesuai ketersediaan air irigasi; b. Tanah-tanah yang mendapat air irigasi tidak penuh dalam satu tahun penuh: 1. Tanah yang mendapat air irigasi selama masa irigasi musim kemarau secara bergilir; 2. Tanah-tanah yang tidak sepenuhnya berhak atas air irigasi, tetapi hanya waktu ada kelebihan air irigasi; 3. Tanah-tanah yang lazimnya tergenang air. c. Tanah dengan Hak Air Irigasi hanya waktu musim hujan atau pada waktu banjir, dimana alokasi dan sumber air tidak dapat menjangkau tanah-tanah karena letak tophografi tanah yang bersangkutan. (2) Daftar dimaksud ayat (1) Pasal ini ditetapkan oleh Bupati setelah mendapat rekomendasi dan Komisi Irigasi; (3) Masa berlaku dan peninjauan kembali daftar dimaksud ayat (1) Pasal ini selama 5 (lima) tahun.

9 Pasal 14 (1) Perubahan status tanah sawah menjadi tanah darat atau sebaliknya suatu Daerah Irigasi yang telah ditetapkan harus mendapat izin dan Bupati dan mendapat rekomendasi dari Komisi Irigasi; (2) Suatu Daerah Irigasi dinyatakan tertutup untuk perluasan tanah persawahan baru bila persediaan air irigasi hanya cukup untuk tanah-tanah yang telah terdaftar; (3) Pemegang izin pemakaian air suatu sumber air bagi keperluan usaha lain dapat memanfaatkan air yang diperlukannya melalui saluran air irigasi yang ada dengan syarat: a. Mengikuti sistim distribusi air yang telah ditetapkan untuk Daerah Irigasi tersebut; b. Ikut serta secara aktif memelihara fungsi jaringan beserta bangunannya. BAB VIII POLA PEMBAGIAN AIR Pasal 15 (1) Kesepakatan pembagian Air Irigasi dilaksanakan oleh HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA bersama-sama dengan Dinas dalam suatu Daerah Irigasi; (2) Pada Daerah Irigasi yang penggunaan Airnya ditetapkan setiap 6 (enam) bulan sekali sesuai ketentuan pemberian air waktu musim hujan atau musim kemarau dan hasil musyawarah semua penggunia air dan Pemerintah Daerah melalui Forum Koordinasi pengelolaan Irigasi. Pasal 16 (1) Dalam hal persediaan atau keadaan air tidak mencukupi untuk pemberian air secara serempak keseluruhan jaringan irigasi, maka Dinas bersama HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA dan pengguna lainnya mengadakan musyawarah untuk merencanakan gilir air; (2) Jadwal pelaksanaan gilir disepakati bersama oleh forum musyawarah dan mendapat persetujuan Komisi Irigasi; (3) Jadwal gilir pelaksanaan gilir air disebarluaskan kepada pihak pengguna air 5 (lima) hari sebelum pelaksanaan gilir ditetapkan.

10 Pasal 17 (1) Kelebihan air dari suatu daerah Irigasi dapat dipergunakan ke Daerah Irigasi lain dengan mendapat persetujuan dari HIPPA/ G.HIPPA/I.HIPPA yang bersangkutan dan Pemerintah Daerah/Dinas; (2) Apabila terjadi tangkis putus dan atau kerusakan bangunan pelengkapnya, maka untuk mencegah kerusakan yang lebih berat pada jaringan irigasi Dinas berwenang untuk sementara mengurangi atau menghentikan penyeluran air irigasi pada jaringan yang rusak; (3) Dinas segera melaporkan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bupati; (4) Setelah kerusakan tersebut ayat (2) dapat diperbaiki, maka Jaringan irigasi segera difungsikan kembali. Pasal 18 (1) Pemberian air irigasi kepetak-petak tersier harus melalui bangunan sadap yang telah ditetapkan atau dengan cara lain yang tidak mengganggu kepentingan umum; (2) Bangunan pembagi dan bangunan sadap dimaksud ayat (1) harus dilengkapi dengan alat ukur/pengukur air dan papan operasi untuk pencatatan dan pemberian air. BAB IX PENGGUNA AIR IRIGASI Pasal 19 (1) Pengguna Air Irigasi ditingkat usaha tani harus melalui saluran tersier dan kwarter pada tempat yang telah ditentukan; (2) Untuk penggunaan Air Irigasi dalam suatu Daerah Irigasi HIPPA.G menunjuk petugas bagian teknik; (3) Bagi pengguna air irigasi selain untuk tanaman dalam suatu Daerah Irigasi harus mendapat persetujuan dari (HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA) dan Dinas; (4) Apabila debet irigasi tidak mencukupi untuk keperluan tanaman secara bersama, maka diatur secara bergilir.

11 BAB X INVENTARIS DAERAH IRIGASI Pasal 20 (1) Inventarisasi Daerah irigasi meliputi kegiatan pencatatan/pendataan fisik, kondisi dan fungsi Jaringan ketersediaan air, areal pelayanan dan Lembaga Irigasi; (2) Kegiatan inventarisasi dilaksanakan oleh Dinas bersama dengan HIPPA; (3) Daftar inventarisasi sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Dinas; (4) Daftar yang telah ditetapkan oleh Dinas sebagaimana dimaksud ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) tahun; BAB XI OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN Pasal 21 (1) HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk melakukan operasional dan pemeliharaan diwilayah kerjanya, kecuali untuk jaringan irigasi yang belum diserahkan wewenang pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; (2) Operasi dan pemeliharaan untuk jaringan, drainase dan bangunan pelengkapnya untuk milik Badan Hukum, Badan Sosial atau perorangan menjadi tanggungjawab masing-masing; Pasal 22 (1) Komisi Irigasi menetapkan ketentuan-ketentuan pemeliharaan dan pengamanan guna menjamin kelestarian fungsi dan kondisi jaringan dan drainase beserta bangunan pelengkapnya; (2) Ketentuan dimaksud ayat (1) Pasal ini meliputi pemeliharaan terus menerus, pemeliharaan berkala, pencegahan, pengamanan, peningkatan jaringan irigasi dan rehabilitasi; (3) Dalam rangka operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase setiap anggota masyarakat wajib ikut serta aktif memelihara fungsi jaringan irigasi dan drainase beserta bangunan pelengkapnya dengan cara mentaati ketentuan ketentuan pengamanan serta tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

12 BAB XII PENGAMANAN JARINGAN IRIGASI Pasal 23 (1) Sebagai usaha pengamanan jaringan irigasi dan drainase beserta bangunan-bangunannya, menetapkan garis sempadan air untuk bangunan dan sempadan air untuk pagar, diukur dari batas luar tubuh saluran dan atau bangunan irigasi dimaksud; (2) Garis Sempadan Air untuk bangunan, diukur dari tepi atas samping saluran dan atau dan luar kaki tangkis saluran atau bangunan dengan jarak; a. Lima meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 4 (empat) M3/detik atau lebih; b. Tiga meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 (satu) sampai 4 (empat) M3/detik; c. Dua meter untuk saluran Irigasi dan pembuangan dengan kemampuan dan 1 (satu) M3/detik. (3) Garis Sempadan Air untuk pagar diukur dari tepi atas samping saluran atau dan luar kaki tangkis saluran atau bangunan dengan jarak: a. Tiga Meter untuk saluran irigasi pembuangan sebagaimana tersebut pada (2) huruf a pasal ini; b. Dua Meter untuk saluran irigasi pembuangan sebagaimana tersebut pada (2) huruf a pasal ini; c. Satu Meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana tersebut pada ayat (2) huruf c Pasal ini. Pasal 24 (1) Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) bersama Pemerintah Daerah dapat menetapkan waktu dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan untuk keperluan pemeriksaan dan atau perbaikan; (2) Waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang akan dikerjakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ditentukan secara tepat dan diberitahukan kepada pemakai selambat lambatnya 2 (dua) Minggu sebelum pelaksanaan pengeringan;

13 (3) Untuk masa pengeringan lebih dan 2 (dua) Minggu setiap musim hanya di dalam keadaan darurat dengan persetujuan dan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA); BAB XIII PEMBANGUNAN JARINGAN IRIGASI Pasal 25 (1) Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) memiliki wewenang dan tanggungjawab dalam pembangunan jaringan irigasi untuk perluasan areal irigasi diwilayah kerjanya berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat setempat; (2) Pemerintah Daerah dan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) memfasilitasi pembangunan pengembangan irigasi sebagaimana dimaksud berdasarkan kesepakatan dan tetap memperhatikan prinsip kemandirian. Pasal 26 (1) Bupati menetapkan rencana Pembagunan jaringan irigasi utama beserta bangunan pelengkapnya alas usul HIPPA/G.HIPPA/ I.HIPPA dan mendapat rekomendasi dari Komisi Irigasi kabupaten; (2) Badan Hukum, Badan Sosial, Perorangan dan Pemakai air irigasi untuk keperluan lainnya yang memanfaatkan sumber air dan atau jaringan sendiri berdasarkan rencana induk pengembangan irigasi. BAB XIV PEMBIAYAAN Pasal 27 (1) Pembiayaan Pembagunan Jaringan Irigasi Utama dan beserta pelengkapnya yang dikerjakan untuk kesejahteraan dan kesetaraan umum maupun untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten; (2) Pembiayaan Pengelolaan Jaringan Irigasi yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA menjadi tangungjawabnya;

14 (3) Dengan mengingat kemampuan masyarakat Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembiayaan atas dasar Perencanaan dan Pembangunan Jaringan Irigasi untuk mendapat rekomendasi dan Komisi Irigasi Kabupaten. Pasal 28 (1) Pembiayaan Pengelolaan Jaringan Irigasi disalurkan melalui Dana Pengelolaan irigasi Kabupaten; (2) HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA berhak mengajukan usulan untuk mendapatkan Dana Pengelolaan Irigasi kepada Komisi Irigasi Kabupaten; (3) Prioritas alokasi dana Pengelolaan Irigasi berdasar prinsip keadilan dan keterbukaan; (4) Jaringan Irigasi untuk Badan Hukum, Badan Sosial, Perorangan dan pemakai air lainnya, pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi menjadi tanggungjawab yang bersangkutan. BAB XV KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI Pasal 29 (1) Pemerintah Daerah berkewajiban mempertahankan dan meningkatkan sistem irigasi secara berkelanjutan dengan mewujudkan kelestarian sumber daya air, menyelenggarakan sistem irigasi yang partisipatif, mencegah alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain; (2) Untuk mewujudkan kelestarian Sumber Daya Air sebagainiana dimaksud ayat (1), Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya konservasi Daerah-daerah pengaliran sungai, waduk dan embung; (3) Untuk menyelenggarakan sistem irigasi yang partisipatif Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pemberdayaan kepada HIPPA/ G.HIPPA/I.HIPPA dalam hal pengelolaan irigasi.

15 Pasal 30 (1) Perubahan penggunaan lahan beririgasi untuk kepentingan selain pertanian dengan tujuan komersial dalam suatu Daerah Irigasi yang telah ditetapkan, harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pemerintah Daerah dengan mengacu pada tata ruang yang telah ditetapkan. serta memberikan kompensasi yang nilainya setara dengan biaya pembangunan jaringan irigasi dan setara dengan biaya pencetakan lahan beririgasi baru; (2) Pemerintah Daerah melakukan penertiban pada lahan beririgasi yang tidak berfungsi dengan memfungsikan kembali sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan. BAB XVI LARANGAN LARANGAN Pasal 31 (1) Dilarang membuat saluran irigasi, selain pada tempat yang telah ditentukan; (2) Dilarang mengambil Air Bawah Tanah pada Daerah Irigasi dengan mempergunakan pompa tanpa ijin dan Dinas yang berwenang kecuali untuk kepentingan rumah tangga; (3) Dilarang mengambil bahan-bahan berupa pasir, kerikil, batu atau hasil lainnya dan jaringan irigasi tanpa izin dari Dinas yang berwenang. Pasal 32 (1) Untuk menghindari kerusakan pada Jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya, maka: a. Dilarang mengembalakan dan menambatkan ternak atau hewan pada bangunan-bangunan pengairan atau diluar bangunan dengan jarak yang diperkirakan ternak dapat masuk kedalamnya; b. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan huruf a pasal ini, pemilik atau pengembala ternak akan dikenakan sanksi yang telah ditetapkan; (2) Dilarang membuang limbah benda padat, cair atau tanpa alat-alat mekanis yang dapat berakibat menghambat aliran, merubah sifat air serta merusak bangunan jaringan irigasi beserta tanah urutannya.

16 Pasal 33 (1) Dalam rangka menjaga kelestarian jaringan irigasi dan bangunan dilarang: a. Membuat galian atau membuat selokan sepanjang saluran irigasi dan bangunan pelengkapnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan irigasi; b. Merusak atau mencabut tanaman yang ditanam sepanjang saluran irigasi dan bangunan pelengkapnya; c. Dengan sengaja menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air dengan jalan apapun; d. Menanam tanaman dan membuat bangunan atau pagar dalam batas garis sempadan air sesuai pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Daerah ini juga berlaku untuk jalur tanah-tanah yang terletak diantara saluran irigasi dan tangkis atau jalur yang didarat untuk keperluan irigasi. (2) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tidak berlaku bagi perbaikan-perbaikan yang tergolong pemeliharaan biasa pada bangunan jaringan irigasi atau bangunan pelengkapnya. BAB XVII PENGAWASAN Pasal 34 (1) Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan terhadap HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA, Badan Hukum, Badan Sosial, Perorangan dan pengguna air irigasi lainnya atas keseluruhan proses dan hasil pengelolaan irigasi; (2) Untuk melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah ini melaksanakan audit teknis, audit organisasi dan keuangan; (3) Untuk kepentingan pengawasan setiap pemanfaatan air irigasi dan jaringan irigasi wajib memberikan kesempatan kepada petugas untuk mengadakan pemeriksaan serta memperlihatkan data yang diperlukan; (4) Anggota HIPPA/G.HIPPA/I.HIPPA melakukan pengawasan terhadap kinerja pengawas.

17 BAB XVIII SANKSI ADMINISTRASI Pasal 35 Dalam hal pengelolaan irigasi setelah dilakukan audit dari segi administratif kurang memenuhi persyaratan tertib administrasi dilakukan tindakan sanksi administrasi. BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 36 (1) Barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tercantum pada pasal 11 ayat (2) diancam dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp ,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah); (2) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 diancam dengan pidana kurunan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp ,- (lima ratus ribu rupiah); (3) Selain ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (2) Pasal ini yang berupa bangunan dapat dibongkar dengan biaya yang bersangkutan tanpa mendapatkan ganti mgi; (4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) adalah pelanggaran. BAB XX KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 37 Selain oleh Pejabat Penyidik Umum, penyidik atas tindakan pidana dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Gresik yang pengangkatannya ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pasal 38 Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para Pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 Peraturan Daerah ini berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang adanya tindak pidana;

18 b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa identitas tersangka; d. Melakukan penyitaan benda atau surat; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melelui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum tersangka atau keluarganya; i. Mengadakan tindakan lain menurut Hukum yang bertanggungjawab. BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah yang pernah berlaku di Kabupaten Gresik yang sepanjang menyangkut tentang Irigasi dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi; (2) Segala Peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan irigasi masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

19 Pasal 41 Peraturan Daerah ini berlaku pada tanggal diundangkan; Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Gresik. Diundangkan di Gresik Pada Tanggal 24 Mei 2004 SEKRETAR1S DAERAH KABUPATEN GRESIK ttd Drs. GUNAWAN, MSi Pembina Utama Madya NIP Disahkan di : Gresik Pada tanggal : 24 Mei 2004 BUPATI GRESIK TTD Drs. KH. ROBBACH MA'SUM, MM LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TAHUN 2004 NOMOR 5 SERI E