EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA DODIK BRIAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA DODIK BRIAWAN"

Transkripsi

1 EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA DODIK BRIAWAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efikasi Suplementasi Besi- Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2008 Dodik Briawan NIM A

3 RINGKASAN DODIK BRIAWAN. Efikasi Suplementasi Besi-Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita. Dibimbing oleh HARDINSYAH, MUHILAL, BUDI SETIAWAN, dan SRI ANNA MARLIYATI. Anemia merupakan masalah gizi mikro yang banyak terjadi pada setiap tahapan siklus kehidupan manusia, termasuk remaja wanita. Meskipun defisiensi asupan zat besi dianggap sebagai penyebab utama anemia, tetapi defisiensi vitamin juga turut berperan didalam perbaikan status besi. Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja wanita. Desain yang digunakan adalah studi eksperimental (randomized control trial), dengan sampel sebanyak 224 remaja berusia tahun mahasiswi tingkat satu di Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) yang tinggal di Asrama tahun 2005/2006. Sampel dialokasikan secara acak kedalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol, kelompok B-F (besi 60 mg, folat 250 ug), kelompok B-MV (besi 60 mg, folat 800 ug, vitamin A 4200 ug, vitamin C 500 mg, vitamin B12 16,8 ug). Suplemen dikemas dalam bentuk kapsul dengan ukuran dan warna yang sama, sehingga sampel tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan. Kapsul diberikan seminggu sekali selama 25 minggu. Selama suplementasi, sampel diberi makanan tambahan berupa snack dan minuman senilai kurang lebih kkal/hari. Indikator status besi yang digunakan adalah hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), dan serum feritin (SF). Peubah yang potensial sebagai pengganggu diukur pada awal dan selama pelaksanaan suplementasi, meliputi karakteristik sosialekonomi, menstruasi, konsumsi pangan, ukuran anthropometri, jumlah kapsul, dan konsumsi makanan tambahan. Uji t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan biomarker sebelum dan setelah suplementasi. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui perbedaan distribusi peubah non-parametrik ketiga perlakuan. Uji efikasi status besi ( Hb, STfR, SF) menggunakan Ancova dengan kovariat peubah pengganggu tersebut di atas dan status besi awal (baseline). Jumlah sampel yang mengalami drop-out sebanyak 21 orang (9,4%), dengan alasan sering tidak pulang ke asrama 10 orang, sampel darah menjadi rusak/beku 4 orang, tidak mau melanjutkan minum kapsul 4 orang, tidak datang saat pengambilan sampel darah 3 orang. Rata-rata umur sampel adalah 18,5±0,6 tahun. Rata-rata lama menstruasi 6,4±1,5 hari, dan siklus menstruasi teratur selama 28,1±3,7 hari. Ratarata pengeluaran bulanan selama tinggal di Asrama adalah Rp ± Alokasi untuk membeli makanan sebesar Rp (44,6%), minuman Rp (6,8%) dan jajanan Rp (5,7%). Rata-rata kepatuhan konsumsi kapsul cukup tinggi, yaitu sebanyak 22 dari 25 butir (89,7%) yang diberikan selama suplementasi. Sebelum suplementasi, rata-rata indeks masa tubuh (IMT) sampel adalah 19,8 kg/m 2, dan sebanyak 24,5% berada pada kategori kurus (IMT<18,5 kg/m 2 ). Dari penilaian konsumsi pangan, rata-rata asupan energi 1481±323 kkal, protein 36,0±8,8 g, vitamin A 621±472 RE, vitamin C 59±54 mg, dan zat besi 13,7±4,3 mg. Prevalensi defisit asupan dari kelima gizi (<70% AKG) cukup tinggi, yaitu energi dan protein 71-78%, vitamin C 68-90%, zat besi 50-55%, dan vitamin A 28-46%. Pemberian makanan tambahan (PMT berupa snack dan minuman) selama suplementasi dapat meningkatkan homogenisasi sampel, terutama asupan zat makro (energi 350 kkal dan protein 5,9 g). Pada akhir suplementasi terjadi sedikit

4 perubahan kebiasaan makan, yang menyebabkan penurunan asupan zat gizi mikro yaitu vitamin A 65 RE, vitamin C 12 mg, zat besi 1,9 mg. Selama suplementasi, dari penilaian kecukupan gizi menunjukkan peningkatan %AKG energi dari 76,4% menjadi 98,3%, protein 73,5% menjadi 87,1%; dan penurunan vitamin A 108,7% menjadi 108,4%, vitamin C 78,9% menjadi 62,7%, dan zat besi 52,7% menjadi 45,5%. Selama suplementasi, rata-rata asupan zat gizi dari PMT sebesar 342 kkal energi; 5,7 g protein; 83 RE vitamin A; 0,2 mg vitamin B12; 11 mg vitamin C; dan 2,9 mg zat besi. Dengan uji Anova, peubah karakteristik sampel, seperti umur, sosialekonomi, menstruasi; asupan gizi makro dan mikro; indeks massa tubuh (IMT); asupan energi dan zat gizi; konsumsi makanan tambahan (PMT); dan kepatuhan minum kapsul diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebelum suplementasi, prevalensi mahasiswi menderita deplesi simpanan besi 41,7%, defisit besi eritropoiesis (IDE) 40,1%, anemia 25,1%, dan anemia gizi besi (IDA) 16,4%. Indikator biomarker awal, yaitu hemoglobin (Hb) dan serum ferritin (SF) pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05), rata-rata 126,2±13,1 g/l dan 18,3± 15,9 ug/l. Namun untuk serum transferin reseptor (STfR) lebih baik pada kelompok kontrol dibandingkan dengan B-F dan B-MV, yaitu berturut-turut 5,8 mg/l; 7,9 mg/l; 11,8 mg/l, dan ketiganya berbeda nyata (p<0,05). Setelah suplementasi tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) kenaikan Hb diantara ketiga kelompok, yaitu 10,6 g/l (kontrol), 9,3 g/l (B-F), dan 10,4 g/l (B- MV). Kapsul B-MV berhasil memperbaiki status besi transpor, yang ditunjukkan oleh penurunan STfR dibandingkan dengan kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR (adjusted) berturut-turut sebesar -4,2 mg/l, -1,3 mg/l, +0,9 mg/l, dan diantara ketiga kelompok perbedaannya nyata (p<0,05). Demikian pula kapsul B-MV berhasil meningkatkan SF secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol. Perubahan SF (adjusted) pada kelompok B-MV (+13,4 ug/l) lebih tinggi dibandingkan kelompok B-F (+5,1 ug/l) dan kontrol (-1,7 ug/l). Demikian pula indikator besi tubuh (body iron) pada kelompok B-MV terjadi peningkatan paling tinggi yaitu 2,5 mg/kg (dari 1,0 mg/kg menjadi 3,5 mg/kg), dibandingkan kapsul B-F sebesar 1,5 mg/kg (dari 1,9 menjadi 3,4 mg/kg), dan kelompok kontrol justru menurun dari 2,7 menjadi 2,3 mg/kg. Uji Anova menunjukkan besi tubuh pada B- MV secara signifikan (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan B-F dan kontrol. Kesimpulannya, penambahan multi-vitamin pada suplemen besi dengan dosis tertentu yang diminum seminggu sekali, jika dibandingkan kontrol secara signifikan dapat memperbaiki status besi yang ditunjukkan oleh perbaikan indikator STfR dan SF. Kata kunci: hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), suplementasi besi-multivitamin, status besi, remaja wanita

5 ABSTRACT DODIK BRIAWAN. The Efficacy of Iron-multivitamin Supplementation on Improving Iron Status of Adolescent Females. Supervised by HARDINSYAH, MUHILAL, BUDI SETIAWAN, SRI ANNA MARLIYATI. The study was aimed to analyze the efficacy of supplementation iron-multivitamin for improving the iron status of adolescent females through the randomized control trial. Subjects were 224 of the first grade university students (IPB) who were randomly allocated to three study groups. The first group received only placebo (control group); the second group received 60 mg iron, 250 ug folate (B-F group); the third group received 60 mg iron, 800 ug folate, 4200 ug retinyl acetate, 500 mg vitamin C, and 16.8 ug vitamin B12 (B-MV group). All supplements were distributed and consumed weekly during 25 weeks. The mean changes in Hb, STfR and SF among the groups were tested with Ancova and adjusted with BMI; capsule compliance; food/snack compliance; adequacy of energy, protein, vitamin A, vitamin C, iron; and baseline value of Hb, STfR, SF. The results showed the demographics and nutritional characteristics of samples were not significantly different. At the baseline, the mean of haemoglobin (Hb=126.2±13.1 g/l) and serum ferritin (SF=18.3±15.9 ug/l) were not significantly different among the three groups (p<0.05). However, the serum transferrin receptor (STfR) was lower in the control (5.8 ± 3.2 mg/l) than B-F (7.9 ±4.4 mg/l) and B-MV (11.8±5.5 mg/l). After 25 week of supplementation, the mean change of hemoglobin was not different among the three groups (10.1 g/l; p>0.05). The B-MV group significantly lower decreased in STfR (-4.2 mg/l) and higher increased in SF (+13.4 ug/l) compared to B-F and control group (p<0.05). Meanwhile, only the STfR in B-F group (-1.3 ug/l) was significantly lower than control group (p<0.05). This implied the important of the multi-vitamin to complement the iron supplementation. Keywords: haemoglobin (Hb), serum transferrin receptor (STfR), serum ferritin (SF), iron status, iron-multivitamin, iron-folate, adolescent female

6 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA Oleh DODIK BRIAWAN GMK A Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Gizi Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8 Judul Disertasi Nama NIM Program Studi : Efikasi Suplementasi Besi-Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita : Dodik Briawan : A : Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga (GMK) Disetujui: Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Ketua Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Anggota Prof. Dr. Muhilal, APU Anggota Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS Anggota Diketahui: Ketua Program Studi GMK, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 28 Januari 2008 Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Studi ini merupakan pendalaman lanjutan penulis untuk lebih memahami permasalahan gizi yang banyak terjadi di masyarakat yaitu defisiensi zat besi. Pada tahun 1995, Dr. Pattanee Winichagon (INMU, Thailand) dan Dr. Geoffrey C. Marks (University of Queensland, Australia) telah memperkenalkan dan membimbing penulis untuk melakukan studi gizi besi pada anak remaja wanita SMP di Nakhon Phatom (Thailand) untuk penulisan tesis. Sehingga penulisan disertasi ini merupakan kelanjutan fokus penulis untuk mempelajari upaya perbaikan status besi, khususnya pada kelompok remaja. Hasil studi ini menunjukkan penambahan vitamin A, C, dan B12 selain kapsul standar besi-folat tidak hanya memperbaiki indikator hemoglobin, tetapi juga serum transferin reseptor, dan serum feritin. Puji syukur alhamdulillah dipanjatkan ke haribaan Allah Subhanalahu Wata ala yang telah meridhoi jerih payah dan usaha yang telah saya lakukan sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini. Proses penelitian yang panjang sudah dilalui sejak persiapan sekitar bulan Juli 2005, dan kemudian pada setiap tahapan kegiatan telah banyak pihak yang membantu kelancarannya. Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah berperan didalam proses ini. Kepada Tim Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (ketua) yang telah banyak memberikan masukan didalam merancang desain, analisis data, dan pembahasan. Semangat dan kejelian beliau sangat membantu penulis untuk tetap berenergi dan berupaya maksimalkan memperbaiki mutu penulisan. Prof. Dr. Muhilal, APU (anggota) telah banyak memberikan masukan untuk formulasi suplemen, masukan didalam penulisan dan rekomendasi beliau untuk memperoleh bantuan dari PT Kimia Farma. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS (anggota) dan juga ketua tim kegiatan Feeding Program telah memberikan kepercayaan dan keleluasaan pada penulis untuk merancang riset ini, termasuk penggunaan dana yang cukup besar untuk analisis biomarker. Masukan yang kritis dan supervisi yang intensif selama di lapang telah membuat penulis untuk berhati-hati didalam proses pengumpulan data. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS (anggota) telah banyak memberikan masukan dan perhatian didalam penulisan, dan dengan sangat jeli dan kritis didalam mencermati outline dan redaksi penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur SEAFAST Center IPB, Dr. Ir. Purwiyatno Haryadi, MSc atas kepercayaanya untuk menugaskan saya sebagai anggota tim kegiatan Feeding Program, sehingga saya dapat memanfaatkan kesempatan untuk melakukan riset ini. Demikian pula kepada PT Kimia Farma (cq. Divisi Riset dan Pengembangan) melalui Drs.Dediwan dan Dra. V. Ani Trimuryani yang telah membantu didalam formulasi dan produksi kapsul dan penyediaannya untuk suplementasi. Direktur Kemahasiswaan IPB (Dr. Drs. Rimbawan) dan Kepala Asrama TPB-IPB (Dr. Bony Poernomo WS) dan seluruh staf di kedua kantor yang telah memberikan kemudahan mengumpulkan data, memfasilitasi tempat, sarana, dan tenaga selama kegiatan intervensi dilaksanakan. Peran serta seluruh peserta feeding program yang ikut dalam studi ini sangat kami hargai, semoga kesediaan serta keikhlasan Saudara menjadi amal ibadah dan juga menjadi kontribusi bagi pengembangan ilmu gizi ke depan. Saya mohon maaf apabila telah khilaf dan menyebabkan ketidaknyaman selama proses pelaksanaan studi berlangsung.

10 Kepada Tim kegiatan Feeding Program Ir. Tjahja Muhandri, MT; Dias Indrasti, STP, dan Dr. Drh. Rizal Damanik, MRep, Reisi Nurdiani, SP disampaikan terima kasih atas pengertian, bantuan pemikiran, dan kebersamaan selama kegiatan berlangsung. Demikan pula kepada teman sejawat di Dept. Gizi Masyarakat: Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS; Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc, Dr.Ir. Siti Madanijah, MS, dr. Mira Dewi terima kasih atas sumbangan ide dan pemikiran melalui berbagai kesempatan dan diskusi informal. Kepala Laboratorium Biokimia SEAMEO-UI dan staf (Mbak Asih dan Umi) telah memberi kemudahan didalam proses analisa biomarker. Tim Asisten Peneliti yang dengan tekun dan penuh tanggung-jawab telah membantu setiap tahapan kegiatan (Yuni Pradila, SP; Ratnasari, SP; Adi Praja, SP; Primadhani, SP; M Aries, SP; Meta Puspasari, SP; Marhammah, SP; Nurchasanah, SP; Agustin, Siswati, Yati, Ade, dan Lia yang telah dengan tekun membantu manajemen pengelolaan data. Terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Titi Riani, MS yang menjadi penggerak utama saat pengumpulan data dan intervensi. Demikian pula dorongan dan kasih sayang dari keluarga (isteri Irawati, SP dan keponakan Moh. Nabil Ramadhan) telah membawa proses studi dan penulisan disertasi ini menjadi lebih berarti. Terima kasih pula atas dukungan dan do a dari keluarga besar Bpk/Ibu Moestiko, Ir. Etik Purnawati, Tri Hermantoro, Ssos. MM di Jawa Timur; Keluarga Soetarno, BA di Jawa Tengah; keluarga Ir. Retnaningsih, MS; dan Ir. Purwoko di Bogor. Akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, saya menyampaikan terima kasih atas bantuannya. Sekecil apapun kontribusi Bapak/Ibu/saudara sekalian sangat berarti bagi saya, dan mudah-mudahan mendapatkan balasan sebagai amal ibadah dari Allah SWT. Dan apabila terdapat kesalahan dan khilafan selama ini, mohon dibukakan pintu maaf. Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak, maka keseluruhan isi disertasi ini siap dikritisi dan diberikan masukan untuk perbaikan. Beberapa hasil studi masih perlu untuk dipublikasikan, agar dapat bermanfaat bagi masyarakat dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2008 Dodik Briawan

11 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara keluarga Bpk Moestiko dan Ibu Wartini yang dilahirkan di Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur), 1 Juli Penulis melewati masa pendidikannya mulai dari SD sampai SMA di kota yang sama. Tahun 1984 melalui PMDK (sekarang USMI), penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), kemudian memilih dan diterima di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK). Selama kuliah S1 memperoleh beasiswa ikatan dinas dari World Bank melalui Proyek CHN-III. Setelah lulus sarjana tahun 1989, mulai masa pengabdiannya sebagai tenaga asisten dosen di Laboratorium Gizi Masyarakat, Jurusan GMSK, IPB. Kemudian tahun menyelesikan studi master degree di bidang community nutrition di University of Queensland Australia dengan beasiswa dari pemerintah Australia (AUSAID). Selain mengajar dan meneliti, penulis pernah menjadi Sekretaris I Bidang Sarana Pendidikan dan Sumberdaya Manusia ( ), dan Sekretaris I Bidang Akademik ( ) di Jurusan GMSK, Faperta, IPB. Selain itu penulis juga pernah menjadi Sekretaris Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) dari tahun Pada tahun 2004, dengan beasiswa dari Program DUE-like (Dikti), akhirnya penulis memutuskan untuk melanjutkan pendalamannya di bidang ilmu gizi masyarakat di Institut Pertanian Bogor. Di dalam kegiatan akademik, penulis pernah mengajar di program diploma, sarjana, dan pasca sarjana di IPB. Mata kuliah yang diberikan adalah: Gizi untuk Kelompok Khusus, Ekonomi Pangan dan Gizi, Ilmu Gizi Dasar, Ilmu Gizi Lanjut, Pangan dan Gizi, Epidemiologi Gizi Dasar, Epidemiologi Gizi Lanjut. Kegiatan pengabdian masyarakat dilakukan melalui berbagai aktifitas dalam bentuk bantuan teknis dan pelatihan baik di instansi pemerintah, LSM dan masyarakat. Untuk kegiatan profesi, selain sebagai anggota juga aktif sebagai pengurus di DPP Persatuan Ahli Gizi (PERSAGI) dan DPP PERGIZI PANGAN.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR...xv DAFTAR LAMPIRAN...xvii PENDAHULUAN...1 Latar Belakang...1 Tujuan...4 Hipotesis...4 Kegunaan...4 TINJAUAN PUSTAKA...5 Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi...5 Remaja dan Kebutuhan Zat Besi...9 Penyebab Rendahnya Status Gizi Besi...13 Metabolisme Zat Besi...16 Hemoglobin dan Sel Darah Merah...21 Penilaian Status Gizi Besi...23 Peran Vitamin dalam Perbaikan Status Gizi Besi...25 Program Perbaikan Status Gizi Besi...34 KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL...40 Kerangka Pemikiran...40 Definisi Operasional...43 METODE...45 Desain dan Waktu Penelitian...45 Formula Kapsul Suplemen...46 Cara Penentuan Sampel...48 Pelaksanaan Suplementasi...50 Jenis dan Cara Pengumpulan Data...52 Pengolahan dan Analisis Data...55 HASIL Karakteristik Sampel...58 Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga...58 Keadaan Menstruasi...60 xi

13 Pengeluaran Bulanan...62 Status Gizi Anthropometri...64 Konsumsi pangan dan zat gizi...66 Kebiasaan Makan...66 Konsumsi Pangan...69 Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi...74 Asupan dan Tingkat Kecukupan Protein...78 Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin A...80 Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin C...83 Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Besi...85 Konsumsi dan Asupan Energi dan Zat Gizi Makanan Tambahan (PMT).87 Suplai dan Kepatuhan Konsumsi Makanan Tambahan (PMT)...87 Konsumsi Makanan Tambahan (PMT)...90 Suplementasi Kapsul...91 Kepatuhan Minum kapsul...91 Manfaat dan Keluhan Setelah Minum Kapsul...92 Status Zat Besi...94 Kadar Hemoglobin (Hb)...96 Kadar Serum Transferin Reseptor (STfR) Kadar Serum Feritin (SF) PEMBAHASAN Pelaksanaan Suplementasi Karakteristik Sampel Konsumsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi Konsumsi Makanan Tambahan (PMT) Kadar Hb, STfR, dan SF sebelum Suplementasi Pengaruh Suplementasi terhadap Hb, STfR, dan SF Generalisasi Penelitian Implikasi KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Indikator terjadinya defiensi gizi besi pada wanita dewasa Rancangan kelompok perlakuan dan jenis suplemen Jenis peubah dan cara pengumpulan data Karakteristik sosial ekonomi keluarga sampel menurut kelompok perlakuan Karakteristik sampel menurut keadaan menstruasi dan kelompok perlakuan Karakteristik sampel menurut jenis pengeluaran dan kelompok perlakuan Rata-rata berat, tinggi badan dan indeks massa tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi Sebaran sampel menurut frekuensi makan lengkap dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Sebaran sampel yang mengkonsumsi jenis makanan kurang dari 5-7 kali/minggu sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata konsumsi menurut jenis pangan dan persentase sampel yang mengkonsumsinya sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata persentase kontribusi asupan zat besi dari kelompok pangan sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan energi dan tingkat kecukupannya menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi Perubahan biomarker menurut kategori tingkat kecukupan energi (70% AKG) dan kelompok perlakuan Rata-rata asupan protein dan tingkat kecukupannya menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan vitamin A dan tingkat kecukupannya menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan vitamin C dan kecukupannya menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan zat besi dan tingkat kecukupannya menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata suplai zat gizi per hari dari makanan tambahan...87 xiii

15 19. Sebaran sampel menurut tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan dan kelompok perlakuan Rata-rata asupan zat gizi dari makanan tambahan selama suplementasi menurut kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut tingkat kepatuhan minum kapsul dan kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut manfaat minum kapsul dan kelompok perlakuan Sebaran sampel menurut keluhan sesudah minum kapsul dan kelompok perlakuan Interpretasi kategori serum feritin dan serum transferin reseptor untuk defisiensi zat besi Rata-rata kadar hemoglobin (Hb) menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status anemia sebelum suplementasi Rata-rata kadar serum transferin reseptor (STfR) menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status IDE sebelum suplementasi Rata-rata kadar serum feritin (SF) menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status deplesi simpanan besi sebelum suplementasi Rata-rata zat besi di dalam tubuh sebelum dan sesudah suplementasi menurut kelompok perlakuan xiv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Distribusi zat besi pada tubuh orang dewasa (Bothwell et al diacu dalam Beard 2000) Proses penyerapan zat besi pada usus (Beard et al. 1996) Peranan vitamin pada metabolisme zat besi dan eritropoiesis (Hughes-Jone dan Wickramasinghe 1966 diacu dalam MIP 2000) Kerangka operasional penelitian Persentase sampel yang mengalami keluhan menjelang dan saat menstruasi Rata-rata asupan energi menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan protein menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan protein sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan vitamin A menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan vitamin A sebelum dan sesudah suplementasi Rata-rata asupan vitamin C menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi Persentase sampel yang mengalami defisit vitamin C sebelum dan sesudah suplementasi Sebaran asupan zat besi menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan zat besi sebelum dan sesudah suplementasi Persentase sampel menurut tingkat pengambilan makanan tambahan Persentase sampel menurut tingkat kepatuhan konsumsi makan tambahan...89 xv

17 18. Rata-rata kepatuhan minum kapsul menurut kelompok perlakuan Distribusi kategori status hemoglobin (Hb) sebelum dan sesudah suplementasi Distribusi kategori status serum transferin reseptor (STfR) sebelum dan sesudah suplementasi Distribusi kategori status serum feritin (SF) sebelum dan sesudah suplementasi Tahapan terjadinya defisiensi besi dan perbaikan status besi setelah suplementasi xvi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Ethical clearance penelitian Daftar kandungan energi dan zat gizi produk makanan tambahan Pernyataan kesediaan partisipasi penelitian (informed concent) Kuesioner penelitian Tahapan analisis hemoglobin (Hb), serum feritin (SF) dan transferin reseptor (STfR) Rata-rata alokasi belanja bulanan menurut kelompok perlakuan Uji Anova kepatuhan minum kapsul besi Uji Anova dan post-hoc hemoglobin Uji Ancova dan estimasi selisih hemoglobin (Hb) Uji Anova dan post-hoc serum transferin reseptor (STfR) Uji Ancova dan estimasi serum transferin reseptor (STfR) akhir Uji Anova dan post-hoc serum feritin (SF) Uji Ancova dan estimasi selisih serum feritin (SF) xvii

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Selama ini anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang secara global banyak ditemukan di berbagai negara maju maupun sedang berkembang. Penderita anemia diperkirakan hampir dua milyar atau 30% dari populasi dunia. Kelompok rawan penderita anemia mulai dari usia anak pra-sekolah, anak sekolah, remaja sampai dewasa; dan tidak hanya berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. Salah satu program yang di rekomendasikan WHO sejak awal tahun 1970-an adalah suplementasi besi-folat, dan telah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian perkembangan penurunan prevalensi anemia masih dinilai sangat lambat, yang ditunjukkan oleh rendahnya penurunan angka prevalensi, dan bahkan di beberapa negara malah terjadi peningkatan (WHO 2004). Di dalam siklus hidup manusia, remaja wanita (10-19 tahun) merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi, yang ditunjukkan oleh laporan Depkes (2005) yaitu pada remaja wanita 26,50%, wanita usia subur (WUS) 26,9%, ibu hamil 40,1% dan anak balita 47,0%. Sebanyak 10-25% remaja wanita yang tinggal di pedesaan Indonesia sudah pernah menikah atau mengalami kehamilan (Depkes 2003). Pada ibu hamil, anemia dapat menyebabkan kematian ibu, bayi, atau berat bayi lahir rendah. Oleh karena itu, sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja wanita dianggap strategis didalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi (inter generation malnutrition problem) agar tidak meluas ke generasi selanjutnya (WHO 2004). Selain itu dampak anemia gizi besi pada remaja adalah menurunkan produktivitas kerja dan juga akan menurunkan kemampuan akademis di sekolahan (Beard 2001; INACG 2004). Pada awalnya, program suplementasi zat besi direkomendasikan WHO untuk diberikan kepada ibu hamil. Pada tahun 1968, suplementasi berupa zat besi elemental 60 mg diberikan setiap hari kepada ibu hamil trimester kedua dan ketiga. Kemudian tahun 1970 direkomendasikan penambahan asam folat kedalam suplemen zat besi. Didalam perkembangannya, terdapat beberapa perubahan rekomendasi WHO terhadap program suplementasi besi tersebut, termasuk

20 2 diantaranya tentang jumlah dosis, jenis zat gizi, lama intervensi, dan sasarannya. Saat ini target program suplementasi diperluas tidak hanya kepada ibu hamil, tetapi juga anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (Ekstrom 2001). Studi efikasi dan efektifnes suplementasi berbagai zat gizi mikro (multi-micro nutrients) sampai sekarang terus dilakukan dan masih terbuka untuk dikembangkan guna mendukung keberhasilan program perbaikan status gizi besi di masa mendatang. Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya seperti asam folat, vitamin A, vitamin C, vitamin B12 dan riboflavin (Beard 2000; Allen dan Casterin-Sabell 2001; Allen 2002; Andrew 1999). Vitamin mikro tersebut relatif banyak dijumpai di dalam berbagai sumber bahan pangan, baik pangan hewani maupun nabati (kecuali vitamin B12). Meskipun vitamin tersebut banyak terdapat di dalam bahan pangan, namun juga mudah mengalami kerusakan di dalam proses pengolahan, selain tingkat bioavailibilitasnya yang rendah pada pangan asal nabati (Lotfi et al. 1996). Sampai saat ini belum banyak studi tentang prevalensi defisit berbagai zat gizi mikro (vitamin) tersebut di Indonesia, apalagi secara spesifik pada kelompok remaja. Dari beberapa studi yang ada, misalnya prevalensi defisit vitamin A pada remaja di Tangerang dan Jakarta sebesar 7-20% (Dillon 2005); di Surabaya, Bangkalan, dan Sampang prevalensi sebesar 5-7% (Soekarjo et al. 2004). Diperkirakan sebanyak 50% balita di Indonesia masih mempunyai serum vitamin A < 20 mcg/dl (Depkes 2005). Prevalensi defisit riboflavin remaja wanita sebesar 59-96% (Dillon 2005). Dari pendekatan asupan zat gizi di tingkat nasional, dijumpai prevalensi rumahtangga yang defisit zat gizi (<50%AKG) cukup besar, yaitu untuk zat besi 37,9%, vitamin C 53,8%, dan vitamin A 35,3% (Depkes 2005). Di negara lain, kajian profil biomarker yang relatif lengkap untuk zat gizi mikro tersebut diantaranya studi Ahmed et al. (2005) di Bangladesh pada remaja wanita tahun, dan ditemukan prevalensi defisit asam folat 29%, riboflavin 89%, vitamin A 41%, vitamin B12 4,5%, dan vitamin C 6%. Survey di lima negara Amerika Latin menunjukkan jumlah prevalensi defisit vitamin B12 yang

21 3 cukup merata antar negara yaitu 40-50%, sedangkan prevalensi defisit asam folat beragam yaitu antara 5-89% (Allen 2004). Berdasarkan data tersebut di atas, untuk perbaikan status besi melalui suplementasi zat besi kemungkinan diperlukan tambahan zat gizi lainnya (multivitamin). Secara terpisah beberapa peneliti telah melakukan penambahan zat gizi lain kedalam suplementasi zat besi, misalnya vitamin A (Suharno et al. 1993; Ahmad et al. 2001; Soekarjo et al. 2004; Tanumihardjo et al. 2004), vitamin C (Jayatissa dan Piyasena 1999), vitamin A dan vitamin C (Angeles- Agdeppa et al. 1997) atau vitamin A dan riboflavin (Dillon 2005). Hasilnya menunjukkan dengan penambahan zat besi dengan zat gizi lainnya (vitamin), diantaranya akan dapat memperbaiki status besi. Namun masih perlu dilakukan studi lanjutan, dengan melihat efikasi gabungan besi-multivitamin (B-MV) tersebut terhadap perbaikan status besi. Selain masalah gizi mikro, kelompok remaja juga sering mengalami kekurangan energi dan protein. Angka prevalensi gizi kurang (stunted) yang sangat tinggi di Asia diantaranya akibat kekurangan zat gizi makro yang kronis (World Bank 2003; UNS-SCN 2004). Di Indonesia prevalensi gizi kurang (kurus) pada remaja sebesar 17,4 % (Permaesih dan Herman 2005). Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap mahasiswi IPB, rata-rata mengalami defisit energi sebesar kkal (Fitri 2005). Oleh karena itu, IPB pada tahun ajaran 2005/2006 melakukan kegiatan perbaikan pangan dan gizi kepada mahasiswa tingkat satu, dengan memberikan makanan tambahan berupa snack/minuman dan pendidikan gizi. Suplementasi besi-multivitamin akan lebih efektif apabila kebutuhan terhadap zat gizi makro sudah terpenuhi. Energi dan protein diperlukan pada proses metabolisme zat besi di dalam tubuh mulai dari absorpsi, transportasi, dan mobilisasi simpanannya (Beard et al. 1996; Wessling-Resnick 2000). Zat besi di dalam tubuh hampir 80% berikatan dengan protein, diantaranya adalah haemoglobin, transferrin, transferrin receptor dan ferritin yang merupakan senyawa kompleks protein dengan zat besi. Senyawa tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator yang sensitif untuk penilaian status besi di dalam tubuh (Koury dan Ponka 2004).

22 4 Studi ini dilakukan untuk mengkaji efikasi kapsul besi-multi vitamin (B- MV) terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja. Efikasi kapsul B-MV tersebut diuji dengan membandingkannya dengan kapsul program pemerintah besi-folat (B-F) dan kapsul plasebo. Suplementasi besi-multivitamin diberikan kepada remaja wanita yang kebutuhan zat gizi makronya (energi-protein) sudah relatif terpenuhi. Pertanyaan penelitian ini adalah: 1) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan hemoglobin?, 2) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan menurunkan serum transferin reseptor?, dan 3) apakah pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan serum feritin? Tujuan Tujuan umum penelitian adalah untuk mengkaji efikasi pemberian suplemen besi-multi vitamin terhadap perbaikan status besi pada remaja wanita. Secara khusus tujuan penelitian adalah: 1. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan hemoglobin (Hb) pada remaja wanita. 2. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan serum transferin reseptor (STfR) pada remaja wanita. 3. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan serum feritin (SF) pada remaja wanita. Hipotesis 1. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar hemoglobin lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol. 2. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) menurunkan kadar serum transferin reseptor lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol. 3. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar serum feritin lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol. Kegunaan Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan perbaikan program suplementasi besi, khususnya untuk kelompok remaja dan wanita usia subur (WUS) yang tidak hamil. Pengembangan formulasi suplemen besimultivitamin ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah yang mengarah pada penggunaan multi micro-nutrient (MMN) untuk perbaikan status gizi.

23 TINJAUAN PUSTAKA Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia, yang terjadi tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan dua milyar, dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan Afrika (UN-SCN 2004). Bahkan WHO menyebutkan bahwa anemia merupakan 10 masalah kesehatan terbesar di abad modern ini. Kelompok yang berisiko tinggi untuk penderita anemia adalah wanita usia subur (WUS), ibu hamil, anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian kelompok pria juga tidak terlepas dari risiko menderita anemia (INACG, 2001). Kurang lebih 50% kasus anemia di dunia kebanyakan diakibatkan oleh defisiensi zat besi (INACG 2003; WHO 2004). Kejadian anemia menyebar hampir merata di berbagai wilayah di dunia. Berdasarkan wilayah regional, WHO melaporkan prevalensi anemia pada ibu hamil yang tertinggi adalah di Asia Tenggara (75%), kemudian Mediteran Timur (55%), Afrika (50%), serta wilayah Pasifik Barat, Amerika Latin, dan Karibia (40%). Kasus anemia pada anak-anak (6-59 bulan), prevalensi tertinggi di Asia Tenggara (65%), Mediterian Timur dan Afrika (45%), Pasifik Timur, Amerika Latin dan Karibia (20%). Negara atau wilayah dengan prevalensi >10% pada satu atau lebih kelompok rawan, dipertimbangkan sebagai wilayah yang mempunyai masalah kesehatan masyarakat (MOST 2004). Meskipun anemia sudah dikenal sebagai masalah gizi masyarakat selama bertahun-tahun, namun kemajuan didalam penurunan prevalensinya masih dinilai sangat rendah (WHO 2004). Bahkan di beberapa negara ditemukan terjadi peningkatan prevalensi anemia pada wanita dewasa (Allen & Casterline-Sabel 2001). Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat, prevalensi anemia termasuk berat jika prevalensi 40%, sedang 20-39%, ringan 5-19,9%, dan normal < 5% (MOST 2004). Prevalensi anemia di Indonesia termasuk berada pada kategori sedang, namun untuk beberapa kelompok umur termasuk kategori berat. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi, dan perkembangannya dari tahun 1995 sampai 2001 tidak menunjukkan penurunan yang nyata (Depkes 2003). Dari data terakhir menunjukkan prevalensi anemia menurut kelompok

24 6 penderita yaitu, pada anak balita (47%) dan ibu hamil (40,1%) termasuk kategori berat, sedangkan pada wanita usia subur kategori sedang (26,9%) (Depkes 2005). Pada remaja wanita, data prevalensi anemia di dunia diperkirakan 46% (Beard 2003). Di Indonesia dari laporan Depkes (2005) data prevalensi anemia pada remaja wanita (15-19 tahun) sebesar 26,5%, dan pada wanita usia subur 26,9%. Hasil analisis Permaesih dan Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19 tahun) sebesar 25,5% dengan perincian laki-laki 21% dan 30% pada perempuan. Prevalensi tersebut lebih besar di perdesaan (27%) dibandingkan dengan perkotaan (22,6%). Hasil studi di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan prevalensi anemia pada remaja wanita cukup beragam. Prevalensi anemia di SMU Jakarta Timur 17,2 % (Angeles-Agdeppa et al. 1997), di SMP dan SMU Jawa Tengah 57,4% dan Jawa Timur 80,2% (Depkes 2003), di SMU Tangerang 54% dan SMU Jakarta Timur 45% (Dillon 2005), di Sekolah Madrasah Madura 48,1% (Sari et al. 2004), di SMP Jawa Timur 26% (Soekarjo et al. 2004), di SD Tangerang 26,7% (Kurniawan & Muslimatun 2005), dan mahasiswi IPB 23,4% (Setiawan et al. 2006). Jumlah zat besi di dalam tubuh hanya sedikit (3-5 g) namun mempunyai peranan yang sangat besar. Peran penting zat besi di dalam tubuh adalah untuk membentuk hemoglobin dan membantu berbagai proses metabolisme tubuh. Metabolisme tersebut diantaranya merubah pro-vitamin A menjadi vitamin A aktif, transpor oksigen, pembentukan DNA/RNA, sintesa karnitin untuk transportasi asam lemak, sintesa kolagen, dan sintesa neurotransmiter (Beard et al.1996; Agus 2005). Anemia merupakan masalah gizi yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan mempunyai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan, kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat. Termasuk diantaranya adalah gangguan perkembangan kognitif, kemampuan kerja, meningkatkan resiko kematian saat persalinan dan perinatal. Ramakrishnan (2001) menyebutkan gangguan fungsional anemia gizi besi berbeda-beda berdasarkan tahapan siklus kehidupan manusia, yaitu mulai saat kehamilan, bayi dan anak prasekolah, anak usia sekolah, dan usia dewasa. Pada orang dewasa anemia menyebabkan gangguan fungsi imunitas, mental, fisik,

25 7 dan termoregulasi (Beard 2001), sedangkan Benoist (INACG 2004) menyebutkan konsekuensi utama anemia adalah gangguan kognitif dan pertumbuhan fisik pada anak-anak, dan menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa. WHO (2004) menambahkan bahwa anemia menjadi penyebab risiko kematian yang tinggi saat kehamilan dan bayi. Secara komprehensif AISAP (Australia Iron Status Advisory Panel) (2005) menyebutkan zat besi mempunyai peranan penting pada berbagai proses biokimia di dalam tubuh. Oleh karena itu defisit zat besi dapat menyebabkan spektrum gangguan biokimia yang luas, termasuk konsekuensi non-hematologi seperti gangguan sistem imunitas, kapasitas kerja, dan fungsi neurologi. Konsekuensi klinis dari anemia gizi besi (IDA) adalah: 1) Gangguan mental dan motorik pada bayi. Review dari lima studi pada anak di empat wilayah dengan budaya yang berbeda menunjukkan anemia menyebabkan rendahya skor mental dan motorik. Rendahnya skor tersebut terjadi pada penderita anemia yang lebih dari tiga bulan dibandingkan kurang dari tiga bulan, dan mempunyai konsentrasi hemoglobin kurang dari 10,5 g/dl (anemia ringan). Studi tersebut juga menunjukkan bahwa perbaikan status besi tidak memperbaiki skor mental dan motorik, dan kemungkinan dapat bersifat permanen untuk usia selanjutnya. 2) Menurunnya kemampuan akademik anak sekolah dan remaja. Meskipun beberapa studi menunjukkan adanya hubungan tersebut, namun AIAP menilai belum banyak studi yang dilakukan dengan metode dan desain yang baik. Oleh karena itu belum jelas seberapa besar signifikansi gangguan intelektual penderita anemia pada anak usia sekolah dan remaja. Pada penderita defisit besi eritropoiesis (iron deficiency erythropoiesis =IDE) akan mengalami konsekuensi: 1) Gangguan kemampuan fisik. Banyak studi yang menunjukkan menurunnya kemampuan fisik akibat defisit besi yang menyebabkan peningkatan konsentrasi laktat dalam darah. Penurunan fisik ini bahkan sudah terjadi sejak tingkat defisit besi ringan (Hb normal), namun akan pulih kembali setelah penderita diberikan kapsul suplementasi besi. Mekanismenya adalah penurunan Hb akan menurunkan transpor oksigen, dan kemampuan otot untuk menangkap oksigen menurun yang menyebabkan akumulasi laktat karena metabolisme anaerob. Pada atlet gangguan ini terjadi

26 8 terutama untuk kategori olah raga yang menuntut kemampuan endurance. 2) Gangguan fungsi neurologi. Studi dampak kognitif pada orang dewasa belum banyak dilakukan, dan hasilnya juga masih beragam. Tingkat kelelahan kronis (chronic fatique) dapat pulih kembali pada penderita defisit besi yang diberikan kapsul besi. Peningkatan serum feritin akan berhubungan dengan aktivasi syaraf hemisphere terutama yang mempengaruhi kemampuan untuk memfokuskan perhatian (AISAP 2005) Gejala yang mengiringi defisit zat besi tergantung dari seberapa cepat proses terjadinya anemia. Pada kasus kronis, yaitu kehilangan darah secara perlahan di dalam tubuh, seseorang relatif dapat menyesuaikan diri pada konsentrasi Hb rendah, sehingga tidak muncul gejala klinis. Pemeriksaan fisik, anemia menyebabkan perubahan kulit, kuku, dan epitel lainnya. Atrofi kulit terjadi pada sepertiga pasien penderita anemia, dan perubahan kuku (bentuk seperti sendok dan mudah patah). Pasien juga menunjukkan angular stomatitis dan glositis (luka pada ujung bibir). Meskipun jarang terjadi, kadang-kadang terdapat ganguan pada jaringan tenggorokan dan kerongkongan. Perubahan ini karena gangguan enzim yang mengandung besi yang diperlukan pada epitel dan saluran pencernaan (Frewin et al. 1997). Sehingga untuk mengidentifikasi penderita anemia dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik. Gejala yang dapat dijumpai adalah cepat lelah, pucat pada kulit, bibir, gusi, mata, kulit kuku, dan telapak tangan, jantung berdenyut kencang, nafas tersengal, nyeri dada, pusing dan mata berkunang, cepat marah, tangan dan kaki dingin atau mati rasa (UNICEF/UNU/WHO 2001). Kejadian anemia tidak terlepas dengan masalah kesehatan lainnya, bahkan dampaknya dinilai sebagai masalah yang sangat serius terhadap kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan kejadian anemia adalah (MOST 2004): 1) Kurang lebih 20% kematian ibu hamil dan bayi baru lahir diakibatkan oleh anemia. Kebanyakan studi menunjukkan kejadian tersebut akibat anemia tingkat rendah dan sedang dari pada anemia berat. Risiko kematian ibu dan bayi (perinatal) akan berkurang sebesar 25% dan 28% untuk setiap kenaikan 1 g hemoglobin diantara 5-12 g/dl, 2) Anemia pada wanita hamil mengakibatkan berat bayi lahir rendah dan rawan untuk meninggal saat perinatal, 3) Defisit zat besi, baik yang anemia maupun non-anemia akan menurunkan

27 9 produktivitas kerja pada orang dewasa (physical activity), 4) Pada anak-anak sekolah menyebabkan keterbatasan perkembangan kognitif (school achievement) sehingga prestasi sekolah menurun. Studi Haltermen et al. (2001) pada 5398 anak usia 6-16 tahun di USA menunjukkan bahwa nilai matematika lebih rendah pada mereka yang defisit besi (anemi dan non-anemia) dibandingkan yang normal. Anak-anak yang defisit besi (anemia dan non-aemia) mempunyai resiko 2,3-2,4 kali dibandingkan anak normal, untuk memperoleh nilai matematika dibawah rata-rata. Remaja dan Kebutuhan Zat Besi Remaja atau adolescence adalah berasal dari bahasa Latin (adolescer) yang artinya tumbuh. Pada periode ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara anak-anak dan sebelum dewasa. Kategori periode usia remaja dari berbagai referensi berbeda-beda, yaitu antara tahun atau tahun (Krummel & Kris-Etherton 1996; Depkes 2001; World Bank 2003). Beberapa permasalahan yang terkait dengan gizi akan terjadi pada periode transisi kehidupan remaja ini. Selama masa remaja akan mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Dibandingkan periode lainnya setelah kelahiran, masa remaja mengalami pertumbuhan terpesat kedua setelah pada tahun pertama didalam kehidupan. Lebih dari 20% total pertumbuhan tinggi badan dan sampai 50% massa tulang tubuh sudah dicapai pada periode ini. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi meningkat melebihi kebutuhan pada masa anak-anak (Krummel & Kris-Etherton 1996). Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan (peak growth velocity) terjadi sekitar bulan sebelum mengalami menstruasi pertama, atau sekitar umur tahun. Pertumbuhan tinggi badan terus berlangsung sampai 7 tahun setelah terjadi menstruasi. Maksimal tinggi badan wanita diperoleh paling awal pada usia 16 tahun, atau paling akhir 23 tahun (terjadi pada populasi yang kekurangan gizi). Beberapa tahun setelah selesai pertumbuhan tinggi badan (2-3 tahun), tulang pinggul masih tumbuh, sedangkan puncak masa tulang akan tercapai sampai usia 25 tahun. Proses optimalisasi pertumbuhan ini penting untuk mengurangi resiko gangguan sewaktu proses melahirkan (ADB/SCN 2001).

28 10 Proses biologis pada masa pubertas ditandai oleh cepatnya pertumbuhan tinggi, berat badan, perubahan komposisi jaringan, dan terdapatnya perubahan karakter seksual primer dan sekunder. Kebutuhan zat gizi paralel dengan laju pertumbuhan, dan kebutuhan tertinggi zat gizi akan terjadi pada puncak pertumbuhan tersebut. Karena terdapat variasi antar individu didalam kematangan dan pertumbuhan, maka kebutuhan zat gizi berkorelasi dengan perkembangan fisiologis daripada usia kronologis (waktu kalender). Misalnya seorang anak perempuan usia 12 tahun yang sudah puber, kebutuhan zat gizinya akan berbeda dibandingkan teman seusianya yang belum puber. Selama ini pengukuran tahapan perkembangan pubertas remaja dengan menggunakan sexual maturation rate (SMR) berdasarkan karakteristik seksual sekunder (Tanner 1962 diacu dalam Krummel & Kris-Etherton 1996). Perempuan yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan, dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Perempuan yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama, serta menstruasinya lebih lambat. Misalnya di India, puncak pertumbuhan berat dan tinggi badan terlambat 18 bulan pada anak-anak yang mempunyai riwayat status gizi kurang (stunting). Kondisi awal akibat stunting semasa anak, akan menentukan hasil akhir pencapaian tinggi badan setelah dewasa. Keterlambatan menstruasi diantaranya dapat disebabkan oleh simpanan zat besi yang kurang di dalam tubuh pada anak yang mengalami kurang gizi (ADB/SCN 2001). Zat besi mempunyai peranan penting di dalam tubuh, yaitu komponen hemoglobin, transpor elektron di dalam sel, dan komponen beberapa enzim penting. Sebagian besar zat besi di dalam tubuh terdapat pada hemoglobin darah, yaitu sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Mioglobin adalah bentuk simpanan protein yang mengandung zat besi terdapat pada jaringan otot. Beberapa enzim yang mengandung zat besi (sitokrom) berperan pada metabolisme oksidatif, yaitu sebagai pembawa elektron untuk tranfer energi di dalam sel. Fungsi enzim yang mengandung besi lainnya, misalnya sitokrom P450, untuk sintesa hormon steroid sehingga apabila terjadi defisiensi besi akan mempengaruhi pertumbuhan skeletal (FAO/WHO 2001).

29 11 Penghitungan keseimbangan zat besi dengan menghitung selisih antara zat besi yang tertahan (retention) dengan kebutuhan zat besi (requirement) sudah dikenal sejak 50 tahun yang lalu (Beard et al ). Zat besi yang tertahan adalah berasal dari asupan zat besi dan bioavailabilitasnya di dalam konsumsi pangan. Kelebihan zat besi dibandingkan kebutuhan tubuh akan disimpan dalam bentuk molekul feritin. Ketika terjadi keseimbangan negatif, simpanan feritin ini dapat digunakan untuk mensuplai kebutuhan zat besi di dalam sel. Tubuh mempunyai mekanisme yang unik untuk mempertahankan keseimbangan zat besi tersebut. Pertama, menggunakan kembali zat besi dari proses katabolisme sel darah merah, yaitu setelah 120 hari sel-sel yang mati dan terdegradasi oleh makrofak pada reticular endeotelium. Kedua, zat besi dalam bentuk simpanan (feritin) akan dapat mensuplai jika terjadi defisiensi zat besi. Ketiga, mekanisme yang melibatkan absorbsi zat besi di dalam usus, yaitu penyerapan akan meningkat saat simpanan besi turun, dan penyerapan akan menurun ketika simpanannya meningkat (FAO/WHO 2001). Kebutuhan zat besi untuk remaja wanita ditentukan oleh kehilangan basal zat besi di dalam dan di luar tubuh, kehilangan saat menstruasi, dan untuk pertumbuhan. Kebutuhan zat besi tersebut menurut Hallberg (2001) dan FAO/WHO (2001) diuraikan sebagai berikut: Kehilangan zat besi basal. Kehilangan basal zat besi terdiri dari peluruhan sel-sel di permukaan eksternal dan internal tubuh. Zat besi tidak mengalami ekskresi secara aktif, namun kehilangan zat besi di dalam sel dapat terjadi melalui permukaan saluran intestin, urine dan pernafasan. Sebagai gambaran pada orang dewasa, komponen kehilangan zat besi di dalam tubuh adalah dari sel darah merah (turnover) rata-rata 0,38 mg Fe/hari, dari empedu 0,22-0,28 mg Fe/hari, peluruhan di saluran pencernaan ~0,24 mg Fe/hari dan urine ~ 0,5-1,0 mg Fe/hari (Bothwell et al diacu dalam Beard 2000 ). Median kehilangan zat besi pada remaja (15-17 tahun) sebesar 0,79 mg/hari. Pada wanita tidak menstruasi dengan berat badan 55 kg, mengalami kehilangan zat besi 0,8 mg/hari dengan variasi antar individu sebesar 15%. Kehilangan zat besi melalui keringat merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, terutama untuk di daerah tropis dan lembab. Namun studi terbaru menunjukkan perbedaan kehilangan besi melalui keringat tidak signifikan.

30 12 Kehilangan zat besi menstruasi. Tambahan kebutuhan besi untuk remaja wanita diantaranya diperlukan untuk menggantikan kehilangan zat besi selama menstruasi. Pada usia remaja, kehilangan darah menstruasi tidak berbeda dengan usia reproduktif lainnya. Berbagai studi antar negara menunjukkan kehilangan zat besi pada darah menstruasi jumlahnya relatif sama. Rata-rata kehilangan darah selama menstruasi 84 ml, sehingga setiap hari membutuhkan tambahan zat besi 0,56 mg. Pada individu yang sama tidak terdapat perbedaan kehilangan darah menstruasi antar waktu (bulan), namun perbedaan tersebut dapat terjadi antar individu (distribusi skewed). Rata-rata kehilangan zat besi pada siklus menstruasi 28 hari sebesar 0,56 mg/hari. Kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan. Kebutuhan zat besi pada bayi 4-6 bulan dapat diabaikan, karena cadangan yang masih mencukupi. Tetapi setelah usia tersebut, ketika cadangan mulai berkurang, kebutuhan zat besi cukup tinggi, terutama untuk kehidupan 18 bulan berikutnya. Pada remaja kebutuhan zat besi yang tinggi terjadi terutama saat periode growth spurt. Rata-rata kebutuhan untuk pertumbuhan pada remaja 0,55 mg/hari. Namun karena terdapat variasi laju pertumbuhan antar individu, maka kebutuhan zat besi dapat melebihi angka ratarata tersebut. Pertumbuhan yang pesat selama remaja memerlukan banyak zat besi. Untuk remaja pria, masa pubertas terkait oleh meningkatnya massa tubuh dan konsentrasi hemoglobin. Kebutuhan untuk pria 20% lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan untuk wanita menstruasi. Pada remaja wanita, pertumbuhan masih berlanjut setelah mulai menstruasi. Pada usia 14 tahun, kebutuhan besi remaja wanita 30% lebih banyak dibandingkan dengan ibunya. Sebagai perbandingan kandungan zat besi di dalam tubuh seorang pria dewasa 3-5 g, sebanyak dua pertiganya terdapat sebagai molekul hemoglobin, yaitu sebagai wahana transportasi oksigen di dalam darah. Kebutuhan zat besi pada tingkat fisiologis pada pria dewasa 1 mg/hari, sedangkan remaja dan wanita usia subur 2-3 mg per/hari (Frewin, et al. 1997). Fairweather-Tait (1966) diacu dalam Beard (2000) mengestimasi kebutuhan zat besi berdasarkan survey di UK dan Eropa, yaitu untuk remaja pria antara 1,45-2,03 mg/hari. Estimasi kebutuhan zat besi untuk remaja wanita sebelum

31 13 menstruasi 1,22 1,46 mg/hari, dan setelah menstruasi antara 1,39 2,54 mg/hari. Pada remaja wanita dengan rata-rata asupan besi mg/hari, nampaknya dengan asupan tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan zat besi agar tidak terjadi deplesi, meskipun belum cukup untuk meningkatkan simpanan besi di dalam tubuh (Beard 2000). Kebutuhan zat besi fisiologis pada remaja wanita diperkirakan sekitar 1,9 mg/hari, berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh (0,5 mg), basal (0,75 mg), dan kehilangan darah menstruasi (0,6 mg). Apabila AKG besi 15 mg/hari, dengan asumsi penyerapan zat besi 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi 1,5-2,2 mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahan keseimbangan zat besi di dalam tubuh, termasuk untuk penyimpanan sebesar 300 mg (Krummel & Kris-Etherton 1996). FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan remaja 0,55 mg/hari. Asumsi kehilangan zat besi basal 0,65 mg dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan sekitar 1,68 mg per hari. Kebutuhan tersebut didasarkan pada tingkat fisiologis, sehingga kalau biovailibilitas sebesar 5-10%, maka setiap hari diperlukan mg. Untuk Indonesia, rekomendasi kebutuhan zat besi untuk remaja wanita tahun sebesar 20 mg dan umur tahun sebesar 26 mg. Angka kecukupan zat besi tersebut didasarkan pada tingkat bioavailibilitas sedang atau sekitar 10% (Kartono dan Soekarti 2004). Penyebab Rendahnya Status Gizi Besi Terdapat beberapa jenis anemia diakibatkan baik oleh defisiensi zat gizi, infeksi maupun genetik. Anemia aplastik (aplastic anemia) terjadi karena penurunan kemampuan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. Kasus anemia hemolitik (hemolytic anemia) karena sel darah merah yang lebih cepat mengalami kerusakan. Anemia bulan sabit (sickle cell anemia) terjadi karena kelainan sel darah merah akibat dari kerusakan genetik. Anemia karena penyakit kronis (anemia of chronic disease), misalnya karena cacing parasit yang memanfaatkan zat gizi dan menyebabkan perdarahan pada pembuluh darah, serta menurunkan absorpsi zat gizi. Infeksi pada penderita malaria dapat menyebabkan anemia dengan cara merusak sel darah merah (hemolisis) dan menekan produksi sel darah merah yang baru (MOST 2004).

32 14 Kejadian terhadap keempat jenis anemia tersebut di dalam populasi umumnya berjumlah sangat sedikit. Yang paling sering terjadi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangya asupan zat besi dan zat gizi lainnya, serta rendahnya tingkat penyerapan zat besi (MOST 2004). Selain defisiensi zat besi, anemia juga terjadi karena defisiensi vitamin A, vitamin C, asam folat, B12, atau secara umum karena kekurangan zat gizi (Beard 2000). Kajian diberbagai negara oleh Beaton dan McCabe (INACG 2001) menunjukkan estimasi proporsi anemia yang disebabkan oleh defisit zat besi berkisar antara 21-85%. Namun secara umum diasumsikan 50% kejadian anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi (INACG 2003; WHO 2004). Menurut CDC (1998) dan FAO/WHO (2001) defisiensi zat besi secara umum dapat terjadi karena meningkatnya kebutuhan zat besi di dalam tubuh dan hambatan di dalam penyerapan (bioavailabilitas). Peningkatan kebutuhan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah yang berlebihan, pesatnya pertumbuhan, atau sedang mengalami kehamilan. Hambatan penyerapan zat besi dapat terjadi karena rendahnya konsumsi pangan sumber heme atau adanya gangguan (inhibitors) di dalam proses penyerapan tubuh. Penghambat penyerapan tersebut termasuk serat, polifenol, fitat dan kalsium susu. Anemia dapat terjadi karena defisiensi zat besi (iron deficiency anemia). Sumsum tulang memerlukan zat besi untuk memproduksi hemoglobin darah. Sebetulnya darah mengandung zat besi yang dapat didaur ulang kembali (turnover). Namun kehilangan darah yang cukup banyak, seperti saat menstruasi, kecelakaan, donor darah berlebihan dapat menghilangkan zat besi dari dalam tubuh. Wanita yang mengalami menstruasi setiap bulan termasuk berisiko menderita anemia. Kehilangan darah secara pelan-pelan di dalam tubuh, seperti ulcer, colon polyp dan colon cancer, juga dapat menyebabkan anemia. Asupan diet yang rendah zat besi, atau rendahnya penyerapan besi di dalam usus karena gangguan usus atau operasi usus juga dapat menyebabkan anemia (CDC 1998). Kebanyakan remaja yang mempunyai status gizi besi rendah disebabkan oleh kebiasaan kualitas konsumsi pangannya rendah. Termasuk pada kelompok risiko ini adalah vegetarian, konsumsi pangan hewani yang rendah, atau terbiasa menghindari makan (skip meal). Selain itu juga terjadi pada kelompok yang

33 15 kehilangan zat besinya cukup tinggi, yaitu periode yang panjang dan banyak kehilangan darah saat menstruasi, sering melakukan donor darah, dan olah raga yang sangat intensif (Krummel & Kris-Etherton 1996). Remaja wanita sering menderita anemia dikarenakan lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati dibandingkan hewani, lebih sering melakukan diit karena ingin langsing, dan mengalami haid setiap bulan (Depkes 2001). Pada komposisi diet normal di negara maju dapat menyediakan sekitar 15 mg besi per hari, yang 5-10% dapat diserap di usus. Kondisi asam di usus akan meningkatkan penyerapan besi menjadi bentuk ferrous, misalnya dengan keberadaan asam hidroklorat dan asam askorbat. Tubuh juga akan meningkatkan kapasitas penyerapan disaat kebutuhannya meningkat, seperti pada ibu hamil, menyusui, pertumbuhan pesat, dan defisit zat besi (Frewin et al. 1997). Masalah utama pemanfaatan zat besi oleh tubuh adalah rendahnya penyerapan di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu absorbsi besi heme dan non-heme yang menunjukkan keberadaan dua jenis zat besi yang berbeda di dalam pangan. Sumber heme pada pangan manusia adalah daging, ikan, dan unggas, sedangkan sumber non-heme adalah sereal, kacangkacangan, sayur dan buah (FAO/WHO 2001). Besi heme penyerapannya ditentukan oleh status besi yang mengkonsumsinya. Rata-rata penyerapan besi pangan heme sekitar 25%. Penyerapan besi dapat mencapai 40% saat terjadi defisit besi, tetapi hanya 10% ketika jenuh simpanan zat besi (repletion). Heme terkonversi menjadi non-heme apabila makanan diolah dengan suhu tinggi dan waktu yang lama. Adanya kalsium pada keju dan susu pada konsumsi makanan akan menghambat penyerapan zat besi (FAO/WHO 2001). Zat besi non-heme pangan di dalam penyerapannya juga ditentukan oleh status besi seseorang dan jumlah zat besi yang terdapat pada keseluruhan diet. Senyawa besi fortifikan hanya dapat diserap sebagian oleh usus. Penyerapan senyawa besi di dalam usus baik yang berasal secara alami maupun buatan akan dipengaruhi oleh faktor yang sama (Lotfi et al. 1996). Jumlah zat besi yang sama, tetapi dengan komponen makanan (meals) berbeda dapat menyebabkan perbedaan absorpsi.

34 16 Penyerapan besi juga ditentukan oleh keseimbangan faktor yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi. Keberadaan vitamin C, daging (merah dan putih), pangan fermentasi (sayuran, kedelai) dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus. Faktor yang menghambat adalah fitat, inositol, fosfat, dan polifenol. Senyawa penghambat tersebut terdapat pada produk sereal, kacang-kacangan, kopi, teh, sayuran, bumbu-bumbuan, termasuk susu kedelai (FAO/WHO 2001). Rendahnya kualitas konsumsi pangan, terutama dinegara sedang berkembang menyebabkan tingkat penyerapan zat besi yang rendah. Oleh karena itu di dalam penetapan kebutuhan zat besi digunakan empat tingkat penyerapan yang berbeda, yaitu 5%, 10%, 12%, dan 15% tergantung dari kualitas pangan yang dikonsumsinya. Penyerapan zat besi pada kegiatan suplementasi akan meningkat apabila dilakukan dalam keadaan perut yang kosong. Studi Cook dan Reddy (diacu dalam Galloway & McGuire 1996) peningkatan penyerapan suplemen waktu perut kosong dapat mencapai 2-4 kali dibandingkan setelah makan. Penyerapan pada suplementasi besi harian relatif sama dengan mingguan yang diminum setelah makan, yaitu berturut-turut 2,3% dan 2,6%. Metabolisme Zat Besi Pada wanita dewasa dengan berat badan 55 kg mempunyai total besi di dalam tubuh sebanyak 2300 mg, dan pada pria dewasa kurang lebih 3800 mg. Komponen zat besi di dalam tubuh berada dalam bentuk senyawa fungsional seperti hemoglobin, mioglobin, enzim, transferin; dan sebagian kecil dalam bentuk simpanan berupa feritin dan hemosiderin (INACG 1985, Lynch 2007). Proporsi zat besi tersebut di dalam tubuh dalam bentuk hemoglobin (74%), mioglobin (9,6%) dan feritin (8,7%). Redistribusi zat besi di dalam tubuh orang laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, dalam keadaan normal disajikan pada Gambar 1 (Bothwell et al diacu dalam Beard 2000). Setiap hari kurang lebih sebanyak 35 mg zat besi yang kembali (turnover) ke plasma. Seseorang yang mengkonsumsi makanan yang mengandung sekitar mg zat besi, hanya 0,5-2,0 mg yang dapat diabsorbsi oleh usus halus, sedangkan sisanya tidak dapat diserap oleh tubuh. Pada kondisi normal, di dalam plasma tranferin terdapat 4 mg zat besi.

35 17 Kekurangan zat besi terutama akan disuplai dari simpanannya di dalam bentuk feritin. Eritropoiesis 20 mg Mioglobin, Heme & Nonheme Protein mengandung Besi Diserap mg Tidak diserap mg Gambar 1. Distribusi zat besi pada tubuh orang dewasa (Bothwell et al diacu dalam Beard 2000) Dalam keadaan seimbang terdapat 1-2 mg zat besi keluar dan masuk kedalam tubuh setiap hari. Zat besi yang diperoleh dari makanan diserap oleh enterosit pada usus halus. Kemudian zat besi terikat dengan transferin akan beredar di dalam plasma darah. Kebanyakan besi di dalam tubuh (2/3-nya) berada dalam bentuk hemoglobin, yaitu pada erythroid precursor dan sel darah merah yang sudah matang. Sekitar 10-15% berada pada otot (myoglobin) dan jaringan lain (enzim dan sitokrom). Zat besi disimpan di parenchymal cells pada hati dan reticuloendothelial macrophages. Makrofag ini yang menyediakan besi yang siap digunakan dengan mendegradasi eritrosit dan mengisi kembali zat besi dari transferin untuk ditransfer kedalam sel (Bothwell et al di dalam Andrew 1999). Penyerapan Zat Besi Proses penyerapan zat besi bisa dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu ambilan zat besi (iron uptake), tanspor intraenterosit, dan transpor ekstraenterosit. Proses penyerapan ini dikontrol oleh faktor intraluminal, mukosa, dan somatik (Beard et al. 1996). Beberapa hal yang terkait dengan ketiga faktor tersebut berturut-turut

36 18 adalah penghambat dan pendukung penyerapan besi (intraluminal); luasan permukaan mukosa dan motilitas intestinal; proses eritropoiesis dan hipoksia akan meningkatkan penyerapan zat besi. Proses penyerapan besi tidak terjadi di mulut, esofagus maupun lambung, tetapi di usus halus duodenum dan jejenum bagian atas. Proses alur lengkap absorbsi zat besi pada usus disajikan pada Gambar 2. Proses penyerapan zat besi di dalam tubuh dibedakan antara proses besi heme dan non-heme (Beard et al. 1996). Proses penyerapan besi non-heme: senyawa pereduksi seperti asam askorbat mereduksi besi feri non-heme menjadi fero (1). Senyawa kelator akan melarutkan besi non-heme, kemudian ditransfer ke protein pengikat dalam lumen (2). Protein pengikat besi berikatan dengan transporter khusus ke permukaan luminal enterosit (3). Besi non-heme dibawa ke dalam enterosit (4). Besi ini ditransfer ke pengkelat (transferrin-like protein) (5). Protein ini ditransfer ke feritin mukosa sel (6) atau ke permukaan basolateral enterosit (8). Besi yang diserap dan tidak diambil feritin dikirim ke permukaan basolateral enterosit (9), dan dioksidasi untuk dapat berikatan dengan transferin (10). Proses penyerapan besi heme: heme berikat dengan reseptornya (1h), kemudian melebur ke dalam enterosit (2h). Setelah masuk ke sel, heme pecah menjadi karbon monoksida dan bilirubin IXa oleh enzim heme oksigenase (3h). Besi ini masuk ke pool besi intraseluler enterosit (4h) (5) dan selanjutnya proses transpor seperti pada besi non-heme (6-10). Pada tingkat fisiologis ambilan (uptake) zat besi melalui beberapa seri yang diperantarai oleh reseptor dan protein pengikat. Pada tingkat yang lebih tinggi, besi diserap secara pasif melalui jalur paraseluler. Di dalam lumen usus, besi berada dalam bentuk heme atau non-heme. Besi heme diambil langsung oleh enterosit, dan setelah aksi enzimatik proses selanjutnya seperti yang terjadi pada besi non-heme. Pada besi non-heme ditransfer ke protein pengikat di dalam lumen. Terdapat transpor spesifik untuk protein pengikat besi non-heme pada permukaan luminal enterosit. Besi non-heme ditransportasi ke dalam enterosit, yang nantinya akan berikatan dengan protein pengikat besi. Besi ini ditransfer ke feritin atau bagian basolateral enterosit. Transfer besi ini dikontrol oleh simpanan besi dan kemungkinan juga oleh faktor genetik. Kemudian besi ini akan hilang

37 19 jika sel mengalami peluruhan, atau berikatan dengan transferin dalam proses sirkulasi (Beard et al. 1996). Transpor Paraseluler Protein seperti Transferin Lisosom Ferritin Mukosa Apotransferin Seruloplasmin Lumen Heme Oksigenase Enterosit Bilirubin - CO Ferotransferin Permukaan Basolateral Gambar 2. Proses penyerapan zat besi pada usus (Beard et al. 1996) Pada transpor intraenterosit akan melibatkan protein yang menyerupai transferin (Tf-like protein). Salah satu protein tersebut adalah mobilferin, yang bersifat mampu mengikat mineral lainnya sehingga interaksi antar mineral dapat mempengaruhi penyerapan. Pada proses ini status zat besi tubuh, yang dikontrol oleh feritin akan berpengaruh terhadap zat besi yang dapat ditahan oleh enterosit. Pada transpor ekstraenterosit, zat besi yang diserap akan dikirim dan diikat oleh transferin pada bagian basolateroal permukaan enterosit. Seruloplasmin diperlukan untuk proses pengikatan ini. Penyerapan kapsul supelementasi besi yang diuji dengan isotop ( 55 Fe) dilakukan oleh Olivares et al. (1999) pada wanita tahun (tidak hamil). Penyerapan besi 60 mg/hari (fero sulfat) yang diberikan harian selama 4 hari ratarata 6,4%, sedangkan pada besi 120 mg/minggu selama dua minggu sebesar 7,4%. Studi Svanberg (diacu dalam Galloway & McGuire 1996) penyerapan besi dosis 30 mg pada ibu hamil sebesar 1,80%, 2,75%, 6,48% berturut-turut pada trimester

38 20 1, 2, dan 3. Pada wanita tidak hamil penyerapan suplementasi besi harian sebesar 2,3% dan mingguan sebesar 2,6% jika diminum setelah makan. Transportasi Zat Besi Pada transpor intraenterosit, besi yang telah diabsorbsi melalui enterosit melibatkan protein seperti transferin (Tf-like protein), misalnya mobilferin. Senyawa ini merupakan metal ion-binding, sehingga juga dapat mengangkut mineral lain seperti kalsium, tembaga dan seng. Hal ini yang menjelaskan terjadinya kompetisi di dalam penyerapan antar mineral. Pada saat status besi sudah mencukupi, maka jumlah besi yang tertahan pada enterosit akan meningkat. Sehingga zat besi tidak akan ditranspor ke plasma, tetapi akan disimpan pada mukosa sel feritin, yang kemudian akan luruh bersamaan dengan matinya enterosit. Pada transpor ekstraenterosit, molekul yang sangat berperan di dalam transpor besi adalah transferin (Tf). Besi yang sudah diserap akan terikat dengan transferin pada permukaan basolateral enterosit akan dikirim ke jaringan periferi, dan kemudian juga didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, dan melindungi besi dari filtrasi pada glomeruler. Senyawa lain yang terlibat di dalam distribusi besi ke jaringan adalah seruloplasmin, heme-hemopexin (HPX), ferritin, lactoferrin dan molekul dengan berat rendah yang belum diidentifikasi (Beard et al. 1996). Transferin adalah senyawa gabungan protein yang termasuk didalamnya ovotransferrin, lactoferrin, melanotransferrin, dan hemiferrin. Transferin terutama diproduksi di hati, meskipun jaringan lain seperti otak, ginjal, testes dan otot (bayi) juga memproduksi dalam jumlah sedikit. Gen yang memproduksi tranferrin (Tf gene) diregulasi oleh hormon pertumbuhan seperti insulin, faktor pertumbuhan epidermis, faktor pertumbuhan platelet, dan asam retinoat. Penyimpanan Zat Besi Konsentrasi besi di dalam tubuh manusia berkisar mg/kg berat badan. Tetapi konsentrasi tersebut berbeda, tergantung dari usia, jenis kelamin, jaringan dan organ (Beard et al. 1996). Sekitar 85-90% dari besi yang tidak tersimpan ditemukan berada dalam bentuk eritroid. Konsentrasi besi di dalam simpanan sebanyak 0-15 mg/kg berat badan. Di dalam tubuh distribusi besi bentuknya tidak sama, yaitu dalam bentuk feritin di hati sebesar 60%, dan 40%

39 21 sisanya berada di jaringan otot dan sistem retikuloendotelial. Pada kondisi normal, 95% simpanan zat besi di dalam hati dalam bentuk feritin dan 5% berupa hemosiderin. Setelah diserap di dalam usus, besi didistribusikan melalui mukosa sel ke pembuluh darah, yang dibawa oleh protein transferin untuk membentuk sel darah merah di sumsum belakang. Simpanan besi di dalam tubuh dalam bentuk feritin, senyawa yang labil dan mudah diakses sebagai sumber zat besi, sedangkan hemosiderin di dalam macrophages dalam bentuk yang tidak larut. Secara teoritis atom besi yang dapat disimpan dalam feritin sampai dengan 4500, namun jumlah adalah yang paling efisien untuk penyimpanan dan pelepasan zat besi. Zat besi akan lebih mudah dilepas dari feritin dengan mereduksi besi inti pada formasi feritin. Pada studi in vivo, asam askorbat dan flavin mononukleotida merupakan reduktan indogenus. Pada studi in vitro, digunakan asam askorbat untuk mobilisasi besi dari feritin, meskipun sebagian ahli menyebutkan asam askorbat yang berlebih dapat menyebabkan peningkatan mobilisasi besi dan dapat mengakibatkan oksidasi (kerusakan) jaringan. Kecepatan pelepasan besi dari feritin ditentukan beberapa faktor. Misalnya, atom besi yang baru masuk ke formasi feritin akan lebih mudah dilepas dari pada besi yang terlebih dahulu. Ikatan heme pada feritin lebih mudah untuk dimobilisasi. Seruloplasmin selain berperan di dalam tranpor ekstraenterosit, juga diperlukan untuk oksidasi feritin dan selanjutnya untuk pengikatan ke transferin. Pada tikus, defisit copper menyebabkan zat besi terakumulasi pada hati dalam bentuk feritin. Hemoglobin dan Sel Darah Merah Darah mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting di dalam tubuh, termasuk untuk transpor oksigen ke seluruh tubuh. Darah terdiri dari dua komponen utama, yaitu plasma dan elemen (sel-sel). Plasma sebagian besar terdiri dari air, dan selebihnya berupa protein dan larutan zat gizi lainnya. Tiga komponen penyusun elemen (sel darah) sebagian besar adalah sel darah merah, dan selebihnya sel darah putih dan trombosit (platelet). Ketiga macam sel ini berasal dari sel yang sama diproduksi di sumsum tulang, yang kemudian berdiferensiasi menjadi bentuk yang berbeda-beda. Setelah sel tersebut matang akan keluar dari sumsum ke pembuluh darah dengan jumlah dan fungsi yang

40 22 berbeda (Sadikin 2002). Sel darah merah (erythrocytes), merupakan komponen terbanyak diantara ketiga komponen (elemen) dan yang memberikan warna merah. Selain itu darah merah juga membawa oksigen dari paru-paru, melalui aliran darah, ke otak dan kemudian didistribusikan ke seluruh organ/jaringan tubuh. Kebanyakan sel darah (termasuk sel darah merah) diproduksi secara teratur di dalam sumsum tulang, yaitu materi berongga berwarna merah yang terdapat di dalam tulang-tulang tubuh (terutama tulang yang besar). Untuk memproduksi hemoglobin dan sel darah, diperlukan zat besi dan vitamin yang diperoleh dari makanan sehari-hari (Koury dan Ponka 2004). Fungsi utama eritrosit adalah mengikat dan membawa oksigen dari paruparu untuk diedarkan ke seluruh sel-sel tubuh, dan sebaliknya membawa sisa metabolisme berupa CO 2 untuk dibuang. Komponen eritrosit yang dapat mengikat oksigen adalah hemoglobin. Hemoglobin tersusun dari senyawa kompleks protein globin dan heme (senyawa porfirin yang bagian pusatnya diisi satu atom besi). Satu molekul hemoglobin terdiri dari empat molekul globin dan empat heme, sehingga setiap setiap satu molekul hemoglobin mempunyai empat atom besi (Sadikin 2002). Strutur molekul hemoglobin ini yang dapat mengikat oksigen, dan zat besi harus berada dalam bentuk tereduksi (Fe 2+ atau ferro). Hemoglobin yang mengalami oksidasi akan menjadi metemoglobin, dan ferro berubah menjadi ferri sehingga tidak mampu lagi mengikat oksigen. Untuk menghidari risiko oksidasi, hemoglobin diikat dan tersembunyi pada ikatan peptida molekul protein globin pada sel-sel darah merah. Pada orang dewasa, volume darah di dalam tubuh kurang lebih 5 liter (Casiday & Frey 1998). Pada setiap sel darah merah mengandung 280 juta molekul hemoglobin. Setiap detik tubuh harus memproduksi 2,5 juta sel darah merah (erythropoiesis). Selama 120 hari sel darah merah tersebut dapat digunakan oleh tubuh (lifespan), dan kemudian akan mati. Pada orang dewasa, setiap hari sekitar 200 milyar eritrosit tua (1%) akan rusak dan diganti oleh sel-sel darah yang baru (Koury & Ponka 2004). Untuk itu di dalam tubuh terjadi eritropoiesis, yaitu proses produksi sel-sel darah merah pada jaringan hematopoietik sumsum belakang. Tahapan eritropoises berawal dari bakal sel (stem cell) yaitu

41 23 hemositoblas dan berakhir menjadi eritrosit yang matang. Diantara tahapan perkembangan tersebut terdapat tiga fase yang terjadi secara berurutan, yaitu sintesa ribosom, akumulasi hemoglobin, dan keluarnya nukleus. Eritropoietin (EPO) adalah glikoprotein yang diproduksi oleh ginjal yang berfungsi sebagai regulator utama proses eritropoiesis. Sebagai respon dari menurunnya oksigen pada kasus anemia, jumlah produksi EPO meningkat pesat. Meningkatnya EPO ini akan mengurangi lebih banyak sel progenitor eritroid yang mati (apoptosis), sehingga lebih banyak diproduksi sel darah merah. Pada berbagai kasus anemia, ketidak mampuan eritropoietik merespon poduksi EPO karena terjadi defisiensi asam folat, vitamin B12 dan zat besi. Kedua vitamin ini diperlukan untuk sintesa DNA di dalam memproduksi milyaran sel darah merah baru setiap hari. Zat besi diperlukan pada keseluruhan proliferasi sel di seluruh tahap retikulosit (Koury & Ponka 2004). Penilaian Status Gizi Besi Kondisi status gizi besi di dalam tubuh manusia dapat dinilai dengan menggunakan cara hematologi dan biokimia. Setiap parameter pada status zat besi akan mencerminkan perubahan komposisi zat besi yang dipengaruhi oleh tingkat deplesinya. Tahapan defisit zat besi di dalam tubuh ini yang biasa digunakan untuk menetapkan defisiensi zat besi guna menentukan prevalensi dan akurasi diagnosis (Australian Iron Status Advisory Panel 2005). Tiga tahapan terjadinya defisiensi besi di dalam tubuh (iron deficiency), yaitu terjadinya perubahan besi pada simpanan, transportasi, dan fungsi metabolik (Lynch & Green 2001; INACG 2002; WHO/CDC 2004). Tahapan pertama terjadi ketika tubuh hampir/tidak mempunyai lagi simpanan besi (iron depletion), meskipun konsentrasi hemoglobin dalam kondisi normal. Simpanan besi (iron storage) adalah pool zat besi di dalam tubuh yang sedang tidak digunakan untuk keperluan jaringan (darah, otot, otak). Simpanan besi ini berfungsi sebagai penyangga (buffer) saat terjadi defisiensi asupan zat besi. Tahap deplesi besi ini biasanya belum diikuti oleh gangguan/efek di dalam tubuh, dan indikator pada tahapan ini adalah menurunnya serum ferritin (SF) atau meningkatnya total iron binding capacity (TIBC). Kondisi defisit lebih lanjut menyebabkan tahap kedua, yaitu iron deficient

42 24 erythropoiesis (IDE). WHO/CDC (2004) menggunakan istilah functional iron deficiency yang terjadi akibat gangguan transportasi zat besi dari simpanan ke jaringan, meskipun simpanan tersebut masih mencukupi. Kondisi ini dapat terjadi karena inflamasi atau defisensi vitamin. Pada tahap ini terjadi penurunan suplai besi ke sumsum tulang sehingga produksi sel darah merah menurun. Kadar hemoglobin mungkin mulai turun, yang menandakan terjadinya anemia ringan. Gangguan fungsi fisiologi terjadi pada tahap ini seperti turunnya kapasitas kerja, yang ditandai oleh rendahnya serum zat besi (SI), menurunnya transferrin saturation (SI/TIBC), tingginya free erythrocyte protoporphyrin (indikator ZPP), dan tingginya serum transferin reseptor (STfR) (UNICEF/UNU/WHO 2001; Lynch dan Green 2001; WHO/CDC 2004). Tahap ketiga adalah paling parah dari tahap iron deficient anemia (IDA), yang ditunjukkan oleh menurunnya konsentrasi hemoglobin atau hematokrit. IDA terjadi akibat tidak sempurnanya sintesa hemoglobin, dan menyebabkan sel darah merah ukurannya lebih kecil (microcytic) dan mengandung lebih sedikit hemoglobin (hypochromic) (Frewin et al. 1997). Kedua indikator ini dapat digunakan untuk identifikasi anemia (UNICEF/UNU/WHO 2001; WHO/CDC 2004). Anemia adalah kondisi sel darah merah dan hemoglobin jumlahnya sedikit sehingga kemampuan membawa oksigen ke jaringan tubuh berkurang. Anemia dengan indikator biokimia darah ditunjukkan oleh beberapa parameter, yang utama adalah konsentrasi hemoglobin, dan hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah). Tabel 1 menunjukkan indikator yang dapat digunakan untuk kategorisasi tingkat defisiensi zat besi untuk wanita dewasa (Biesalski & Erhardt 2007, UNICEF/UNU/WHO 2001). Hemoglobin merupakan indikator utama untuk menunjukkan tingkat keparahan defisit besi. Dengan mengkombinasikan Hb dengan SF akan meningkatkan nilai Se dan SP. Jika kedua indikator ini menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb normal kemungkinan pada individu simpanan zat besinya berkurang atau terjadi IDE. Indikator Hb dan FEP digunakan jika biaya menjadi kendala atau data segera diperlukan. Hb dan serum transferrin receptor (STfR) dapat mendeteksi IDA dan defisit besi pada

43 25 jaringan tubuh (AISAP 2005). Tabel 1 Indikator terjadinya defiensi gizi besi pada wanita dewasa Indikator Deplesi besi IDE IDA Serum feritin (ug/l) a <15 <15 <15 Serum transferin reseptor (mg/l) b Normal Tinggi Tinggi Hemoglobin (g/l) a Normal Normal <120 a UNICEF/UNU/WHO (2001) b Belum terdapat standar internasional, sehingga kateori disesuaikan dengan masing-masing kits Pertemuan WHO dan CDC Expert Consultation di Geneva (7 Mei 2004) membahas penggunaan indikator yang baik untuk mengukur defisiensi zat besi. Pertemuan tersebut mencapai kesepakatan, indikator paling baik untuk mengukur defisit besi adalah hemoglobin (Hb) dan serum ferritin (SF). Meskipun feritin dipengaruhi oleh inflamasi akibat infeksi dan penyakit kronis. Oleh karena itu, pada populasi yang sering terjadi infeksi, disarankan menambahkan indikator transferrin receptor. Indikator SF dan serum transferrin receptor (STfR) memberikan gambaran yang lebih luas, karena SF menunjukkan simpanan dan STfR menunjukkan besi pada jaringan. Berdasarkan kandungan besi pada senyawa tersebut, maka penggunaan Hb, STfR dan SF sudah mencerminkan 85% komponen zat besi di dalam tubuh dan merupakan indikator terbaik untuk pengukuran status besi (INACG 1985; AISAP 2004; WHO/CDC 2004). Peran Vitamin dalam Perbaikan Status Gizi Besi Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa anemia tidak hanya disebabkan oleh defisiensi zat besi saja. Zat gizi lain yang terkait dengan penyebab anemia adalah asam folat, vitamin B6, vitamin B12, riboflavin, dan vitamin A (WHO/UNICEF 2004; INACG 2002). Vitamin tersebut berperan didalam proses eritropoiesis dan metabolisme zat besi (penyerapan dan mobilisasi) (MIP 2000). Peran masingmasing zat gizi tersebut terhadap perbaikan status zat gizi besi disajikan pada Gambar 3 berikut. Vitamin A Fungsi vitamin A di dalam tubuh adalah untuk sistem penglihatan, pertumbuhan, pemeliharaan integritas sel epitel, imunitas dan reproduksi (FAO/WHO 2001). Selain itu juga telah ditunjukkan oleh beberapa studi bahwa dengan pemberian suplemen vitamin A akan memperbaiki status gizi besi. Studi

44 26 pada anak-anak yang menderita defisiensi vitamin A (ringan sedang) cenderung akan terjadi anemia. Gambar 3 Peranan vitamin di dalam metabolisme zat besi dan eritropoiesis (Hughes-Jone dan Wickramasinghe 1966 diacu dalam MIP 2000) Mekanisme keterkaitan antara vitamin A dengan anemia melalui beberapa kemungkinan, yaitu (MIP 2000, West et al. 2007): 1) regulasi eritropoiesis terutama sintesa erythropoietin di ginjal, 2) mobilisasi zat besi dari cadangan ke sirkulasi transferin, 3) meningkatkan resistensi tubuh dari infeksi, 4) meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus. Picciano (1999), Allen dan Casterline-Sabel (2001) menduga defisiensi vitamin A akan menghambat mobilisasi simpanan zat besi. Studi pada binatang percobaan menunjukkan defisiensi vitamin A tidak menurunkan absorpsi zat besi, tetapi dapat menurunkan sintesa hemoglobin. Namun penyebab keadaan tersebut tidak jelas antara terjadinya penurunan suplai zat besi ke sumsum tulang, atau karena hambatan di dalam proses eritropoiesis (IVACG 1998). Beberapa studi di wialayah di Indonesia, prevalensi defisit vitamin A pada remaja wanita di Tangerang dan

45 27 Jakarta sebesar 7-20% (Dillon 2005), sedangkan di Surabaya, Bangkalan, Sampang sebesar 5-7% (Soekarjo et al. 2004). Kebutuhan vitamin A untuk kelompok wanita usia tahun menurut FAO/WHO (2001) sebesar 600 ug, menurut Setiawan dan Rahayuningsih (2004) sebesar 600 ug. IOM (2001) menetapkan upper limit ug, dan menurut Lachance (1998) dosis safe range intake untuk vitamin A adalah ug. Vitamin A bertanggungjawab sekitar 4-10% terhadap variasi konsentrasi hemoglobin. Peningkatan Hb terlihat signifikan dengan pemberian suplementasi vitamin A 240 RE per hari, dan meningkat jika dikombinasikan bersama dengan zat besi. Bahkan hanya dengan suplemen vitamin A saja akan meningkatan indikator SF dan STfR. Penambahan vitamin A yang cukup akan membantu pemeliharaan besi di dalam plasma dan jaringan, yang akhirnya membantu peningkatan pembentukan sel darah merah (MIP 2000). Review beberapa studi yang dilakukan MIP (2000) pada kelompok wanita, dua studi di Indonesia dan India menunjukkan suplementasi Vitamin A dengan zat besi memperbaiki status hemoglobin. Namun pemberian vitamin A tidak selalu akan memperbaiki status besi, hal ini terjadi di wilayah yang tinggi prevalensi infeksi (kecacingan dan malaria) IVACG (1998). Penderita HIV di Tanzania dengan suplementasi ß-karoten dengan besi tidak menunjukkan hasil yang nyata. Pada studi dengan prevalensi kecacingan yang tinggi di Nepal, pengaruh vitamin A lebih efektif pada kelompok yang terinfeksi ringan, tetapi tidak efektif untuk infeksi cacing berat. Di India, penambahan dosis besar vitamin A (60000 RE) pada suplementasi besi-folat yang diberikan harian dapat meningkatan Hb dan Ht dibandingkan besi-folat saja. Di Bangladesh suplemen IU bersama dengan Fe pengaruhnya terhadap Hb lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok besi saja atau kelompok Vitamin A, Fe dan Zn. Secara umum terjadi peningkatan hemoglobin sebesar ±10 g/l dengan pemberian suplemen vitamin A pada kelompok individu yang mengalami defisiensi zat besi (Allen, 2002). Pemberian suplemen mingguan zat besi dan vitamin A (23000 IU) pada wanita yang tidak terinfeksi cacing dapat menurunkan prevalensi anemia 45% (Allen & Casterline-Sabel 2001).

46 28 Pemberian kombinasi suplemen vitamin A dengan zat besi dapat meningkatkan status besi pada wanita hamil di Indonesia yang anemia (Hb=8,0 10,9 g/l) (Suharno & Muhilal 1996). Kapsul yang diberikan terdiri dari vitamin A (retinol 2,4 mg) dengan zat besi elemental (60 mg) diberikan harian selama 8 minggu. Peningkatan kadar Hb setelah suplementasi menjadi 12,78 g/l, dimana 1/3 peningkatan karena vitamin A (3,68 g/l) dan 2/3 peningkatan karena zat besi (7,71 g/l). Pemberian suplemen vitamin A ( IU) dan zat besi (60 mg) diberikan kepada remaja laki-laki dan wanita Indonesia yang berusia tahun, dilakukan sekali seminggu selama 12 minggu. Intervensi tersebut tidak meningkatkan kadar Hb secara signifikan, namun meningkatkan serum retinol pada kelompok laki-laki. Perbedaan respon antara remaja laki-laki dan wanita terutama karena perbedaan compliances. Pemberian vitamin A efektif meningkatkan serum retinol, terutama pada sampel yang memiliki serum retinol rendah. Namun dengan suplementasi IU per minggu dianggap masih terlalu rendah (Soekarjo et al. 2004). Studi dilakukan pada remaja tahun di Bangladesh dengan perlakuan besi-folat-vitamin A dibandingkan dengan besi-folat, vitamin A, dan plasebo (Ahmed et al. 2001). Suplemen mengandung besi elemental 120 mg, asam folat 3,5 mg, dan vitamin A (retinil palmitat) 2,42 mg diberikan seminggu sekali selama 12 minggu. Perbedaan kadar Hb setelah intervensi pada kelompok besifolat-vitamin A 12,2 g/l (dari 111 menjadi 123 g/l), pada kelompok besi-folat 9,1 g/l (dari 113 menjadi 122 g/l), dan pada kelompok vitamin A 3,3 g/l (dari 113 menjadi 116 g/l). Dibandingkan dengan plasebo, perlakuan besi-folat-vitamin A dapat menurunkan prevalensi anemia (Hb<120 g/l) 92%, defisiensi zat besi (SF<12 ug/l) 90% dan defisiensi vitamin A (retinol <1,05µmol/l) 76%. Suplementasi zat besi dengan vitamin A lebih meningkatkan efikasi terhadap perbaikan status besi, yang ditunjukkan oleh menurunnya resiko kejadian anemia. Review oleh West et al. (2007) nilai odd ratio (OR) suplementasi vitamin A terhadap anemia sebesar 0,5. Nilai OR suplementasi besi (dan folat) terhadap anemia sebesar 0,2. Namun dengan kombinasi suplemen besi, folat dan vitamin A dapat lebih menurunkan peluang kejadian anemia (OR=0,1).

47 29 Vitamin C Vitamin C berperan sebagai donor elektron untuk berbagai fungsi enzim di dalam tubuh. Sebagai senyawa antioksidan vitamin C berfungsi untuk stabilisasi plasma asam folat. Keberadaan vitamin C akan meningkatkan penyerapan pangan sumber zat besi. Kebutuhan untuk kelompok wanita usia tahun menurut FAO/WHO (2001) sebesar 40 mg, menurut Setiawan dan Rahayuningsih (2004) sebesar 75 mg, sedangkan upper limit menurut IOM (1998) lebih dari 1000 mg. Defisiensi vitamin C diduga berhubungan dengan anemia, meskipun belum jelas perannya secara langsung didalam mencegah anemia, atau secara tidak langsung meningkatkan penyerapan dan mobilisasi simpanan zat besi. Suplementasi vitamin C diduga juga meningkatkan penyerapan zat besi dari pangan nabati (non-heme). Konsumsi vitamin C sebesar mg dapat meningkatkan penyerapan empat kali zat besi non-heme (MIP 2000). Vitamin C juga dapat memperbaiki status hematologi dengan mekanisme lain, yaitu mengurangi pengaruh inhibitor pada komponen pangan nabati (seperti tanin pada teh). Vitamin C mengaktifasi enzim yang diperlukan untuk mengkonversi asam folat dalam makanan kedalam bentuk aktif asam folat yang dapat mencegah anemia megaloblastik. Karena Vitamin C termasuk antioksidan, maka akan melindungi sel darah merah dari radikal bebas (MIP 2000). Vitamin C juga berperan didalam menjaga permeabilitas sel-sel darah merah. Studi Jayatissa dan Piyasena (1999) pada wanita tahun di Srilanka, dengan suplementasi zat besi, asam folat dan vitamin C yang diberikan harian dan mingguan. Rata-rata prevalensi anemia turun sebesar 15% pada mingguan dan turun 10% pada harian. Rata-rata Hb pada suplementasi harian tidak berbeda dengan mingguan, namun plasma feritin lebih tinggi pada suplementasi harian. Studi Almasyhuri et al. (1998) secara in vitro pada kapsul besi (60 mg) yang ditambahkan vitamin C (100 mg) akan meningkatkan rata-rata penyerapan zat besi sekitar 10% (22 mg menjadi 29 mg). Hasilnya kurang lebih sama dengan ketika pemberian kapsul besi ditambahkan pepaya 250 g, yaitu penyerapan zat besi meningkat dari 22 mg menjadi 26 mg.

48 30 Cook et al. (1984) melakukan studi dengan memberikan asam askorbat 2 g/hari selama 16 hari. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat dampak suplemen tersebut terhadap simpanan besi, karena rata-rata serum feritin menurun dari 46 ug/l menjadi 43 ug/l. Ketika pemberian suplemen vitamin C dilanjutkan selama 20 bulan, hasilnya yang sama ditemukan pada simpanan besi yang tidak meningkat. Vitamin B 12 Pada manusia terdapat dua enzim keberadaannya memerlukan vitamin B12 (cobalamin), yaitu methionine synthase dan methylmalonyl CoA mutase. Sumber pangan untuk vitamin ini terutama dari pangan hewani, sedangkan pada tanaman (nabati) tidak dapat mensintesa vitamin B12. Sehingga individu yang hanya sedikit mengkonsumsi pangan hewani atau vegan vegetarian dapat mengalami defisiensi B12. Meskipun dalam yang jumlah sedikit, vitamin B12 juga dapat disintesa oleh mikroflora usus. Kebutuhan vitamin B12 untuk kelompok wanita usia tahun menurut FAO/WHO (2001) sebesar 2,4 ug, menurut Setiawan dan Rahayuningsih (2004) sebesar 2,4 ug, sedangkan upper limit menurut IOM (2001) 1-5 mg. Anemia juga dapat terjadi karena defisiensi vitamin (vitamin deficiency anemia). Selain zat besi, tubuh memerlukan asam folat dan vitamin B12 untuk memproduksi sel darah merah yang cukup. Rendahnya vitamin tersebut di dalam makanan dapat menyebabkan penurunan produksi darah merah. Orang yang mengalami gangguan penyerapan vitamin B12 juga dapat menderita anemia jenis ini. Penyakit usus seperti Crohn diseases atau celiac disease akan menyebabkan gangguan penyerapan zat gizi di dalam usus halus. Beberapa orang yang penyerapan vitamin B12 terganggu akan menderita anemia (pernicious anemia). Anemia akibat defisiensi vitamin ini termasuk di dalam megaloblastic anemia, yaitu sumsum tulang memproduksi sel darah yang besar dan abnormal (megaloblasts). Selain makrositik anemia, defisiensi vitamin ini juga akan menyebabkan gangguan fungsi syaraf. Pada kasus anemia megaloblastik ditunjukkan peranan penting vitamin B12 dan asam folat di dalam proses eritropoiesis. Eritoblas memerlukan kedua vitamin tersebut untuk proliferasi selama proses diferensiasi sel. Defisit vitamin

49 31 B12 dan folat menghambat sintesa DNA, akibatnya sel darah merah merah tidak matang dan akan menjadi mati lebih awal (eritoblas apoptosis), sehingga menyebabkan anemia makrositik (Koury & Ponka 2004). Di negara sedang berkembang, prevalensi vitamin B12 diduga lebih tinggi dibandingkan di negara maju karena rendahnya konsumsi pangan hewani. Resiko defisiensi tersebut semakin besar apabila disertai dengan gangguan absorpsi dan infeksi parasit (Allen & Casterline-Sabel, 2001). Survey di lima negara Amerika Latin menunjukkan jumlah prevalensi defisit vitamin B12 cukup tinggi dan merata antar negara yaitu 40-50% (Allen 2004). Daging merupakan sumber pangan terbaik, sedangkan pangan nabati sangat sedikit mengandung vitamin B12. Meskipun defisit vitamin ini jarang terjadi, namun ibu hamil dan menyusui, penganut vegetarian ketat, dan masyarakat yang konsumsi dagingnya rendah merupakan kelompok yang berisiko. Gejala anemia ini sama dengan IDA (iron deficiency anemia) dan IDF (iron deficiency folate). Penanganan kasus ini adalah dengan pemberian asam folat dan vitamin B12 secara bersama-sama, sebab kalau hanya folat saja akan menutupi defisiensi B12. Jika tidak segera ditangani, defisiensi B12 dapat memperparah anemia, dan kerusakan syaraf yang bersifat ireversibel (MIP 2000). Defisiensi vitamin B12 dikenal sebagai penyebab gangguan autoimun (pernicious anemia). Anemia tidak muncul kecuali pada tingkat deplesi vitamin B12 yang berat. Belum banyak studi yang menyertakan vitamin B12 pada suplementasi zat besi. Studi di India dengan melakukan penambahan vitamin B12 tidak menunjukkan perbaikan kadar Hb. Pada bayi BBLR yang diberikan besi, vitamin E, asam folat secara parenteral akan memperbaiki konsentrasi Hb setelah ditambahkan vitamin B12 (Allen & Casterline-Sabel 2001). Dampak yang cukup signifikan terlihat pada bayi lahir prematur, yaitu konsentrasi Hb pada enam bulan pertama menurun cukup drastis. Pada umur enam bulan, bayi yang diberikan suplemen vitamin B12 saja atau bersama dengan folat, secara nyata terjadi peningkatan Hb dibandingkan dengan yang tidak disuplementasi, atau diberikan suplementasi folat saja (MIP 2000). Masih sedikit studi suplementasi besi yang dilakukan dengan penambahan vitamin B12 yang hasilnya dapat memperbaiki status besi. Vitamin B12 akan

50 32 menyebabkan anemia jika plasma vitamin B12 < 150 pmol/l. Studi pada anak sekolah di Meksiko (30% defisien vitamin B12 dan 50% anemia), dengan pemberian suplemen B12 sebanyak 1 mg/hari dapat meningkatkan serum vitamin B12, tetapi tidak berpengaruh terhadap indikator Hb dan MCV (Allen 2004). Asam Folat Keberadaan asam folat di dalam metabolisme tubuh diperlukan sebagai kofaktor pada sintesa DNA dan siklus metilasi. Asam folat bersama dengan vitamin B12 diperlukan untuk sintesa enzim metionin sintase. Kebutuhan asam folat untuk wanita kelompok usia tahun sebesar 400 ug (FAO/WHO 2001), di dalam AKG tahun 2004 sebesar 400 ug (Setiawan dan Rahayuningsih 2004), sedangkan upper limit menurut IOM (1998) sebesar 1000 ug. Penyebab umum defisiensi asam folat adalah karena asupan yang rendah, atau penyerapannya rendah karena asam folat terikat dengan senyawa lainnya di dalam pangan nabati. Ibu hamil trimester pertama sering terjadi defisiensi asam folat, padahal periode ini diperlukan untuk pertumbuhan janinnya. Selain itu resiko defisiensi folat terjadi di daerah endemik malaria, karena kerusakan sel darah merah menyebabkan peningkatan kebutuhan asam folat untuk memproduksinya. Kandungan folat ditemukan pada ASI, sehingga pada waktu menyusui kebutuhan asam folat akan meningkat (MIP 2000; FAO/WHO 2001). Kebanyakan studi tentang asam folat masih difokuskan pada ibu hamil. Pemberian suplementasi asam folat dapat mencegah anemia megaloblastik, tetapi hanya sedikit pengaruhnya terhadap peningkatan kadar Hb dan Ht (MIP 2000). Secara umum suplementasi asam folat dapat memperbaiki anemia yang disebabkan oleh defisit folat (IDF), bukan karena anemia akibat defisit zat besi (IDA). Tetapi didalam kebijakan kesehatan masyarakat, kedua masalah tersebut sama pentingnya sehingga suplementasi sering diberikan bersama-sama, yaitu iron and folic acid (IFA). Defisit asam folat dapat menyebabkan anemia makrositik, karena folat diperlukan untuk proses eritrosit. Pada individu yang konsentrasi asam folat pada serum atau sel darah merahnya rendah akan terjadi perubahan morfologi dan jumlah sel darah. Tidak terdapat data internasional tentang prevalensi defisit asam folat, namun di USA disebutkan prevalensinya sebesar 15%, dan diduga

51 33 prevalensinya tinggi di kawasan Afrika dan Asia (Allen dan Casterline-Sabel 2001). Survey di lima negara Amerika Latin menunjukkan prevalensi defisit asam folat beragam antar negara, yaitu berkisar antara 5-89% (Allen 2004). Selama ini asam folat ditambahkan pada suplementasi zat besi untuk diberikan kepada ibu hamil. Meta-analisis dengan 22 studi kapsul besi-folat (IFA) pada ibu hamil minimal selama 16 minggu menunjukkan asam folat berkaitan dengan penurunan risiko anemia 40% dan megaloblastik 35%. Beberapa studi terakhir menunjukkan efek asam folat lebih signifikan jika diberikan pada wilayah dengan prevalensi anemia dan infeksi parasit yang tinggi. Namun alasan utama pemberian folat pada ibu hamil adalah untuk menghindari penyakit neural tube deffects (NTD). Berbagai studi tentang efikasi asam folat didalam perbaikan status besi belum menghasilkan hasil yang konklusif (Scott, 2007). Pada beberapa studi tidak jarang dijumpai pemberian suplementasi zat besi tidak berhasil mengembalikan simpanan besi (feritin) pada status normal. Pada studi lain, ditemukan terdapat perbaikan status feritin tetapi konsentrasi hemoglobin tetap rendah. Alasan yang umum adalah karena tidak mencukupinya dosis zat besi, masalah ketaatan (compliance), periode intervensi yang singkat, dan status gizi sebelum intervensi, atau kebutuhan yang saat tinggi pada saat intervensi (kehamilan). Pada kondisi ini kemungkinan juga terjadi defisit zat gizi lainnya, sehingga respon hemoglobin terhadap suplementasi terbatas (Allen 2002). Salah satu zat gizi mikro yang biasa ditambahkan di dalam suplementasi besi adalah asam folat. Dari studi di beberapa negara, hanya terdapat sedikit peningkatan kadar hemoglobin dengan suplementasi IFA dibandingkan dengan suplemen besi saja. Studi efikasi didefinisikan sebagai seberapa jauh efek biologis dari suatu intervensi yang dilakukan dibawah prosedur yang terkontrol (ideal condition) (Davidson & Nestel 2004). Dari berbagai studi menunjukkan bahwa efikasi suplementasi besi yang ditambahkan zat gizi lainya memberikan hasil yang berbeda-beda. Namun secara umum dengan suplementasi tersebut dapat menurunkan prevalensi anemia atau perbaikan status besi dengan besaran (magnitude) yang berbeda-beda.

52 34 Program Perbaikan Status Gizi Besi Anemia merupakan faktor risiko penyebab kematian saat kehamilan dan bayi, menurunkan kemampuan kognitif dan perkembangan fisik anak, serta mengurangi produktivitas kerja orang dewasa. Meskipun dikenal sebagai masalah gizi masyarakat selama bertahun-tahun, namun perbaikannya masih dinilai sangat rendah WHO (2004). Dengan mengenali kompleksitas penyebab anemia, maka pendekatan yang integratif dan multisektoral diperlukan untuk mengatasi masalah ini. FAO/WHO (2001) menyebutkan pada umumnya strategi yang dapat dilakukan adalah melalui satu atau lebih dari tiga hal berikut ini: 1) suplementasi zat besi, misalnya dengan pemberian kapsul kepada ibu hamil, WUS dan anak sekolah, 2) fortifikasi besi pada pangan tertentu, seperti tepung terigu, dan 3) pendidikan gizi untuk meningkatkan jumlah asupan dan bioavailabilitas zat besi. MOST (2004) menyebutkan tiga program utama untuk menurunkan prevalensi anemia yaitu meningkatkan asupan zat besi/folat/vitamin A, pemberantasan malaria, dan menurunkan infeksi parasit. Asupan zat besi/folat/vitamin A dapat dilakukan dengan program suplementasi, fortifikasi (food base), dan pendidikan gizi. Pada wilayah endemik, mengurangi kejadian malaria dan infeksi parasit juga menjadi faktor penentu keberhasilan program, karena masalah ini banyak terjadi di negara sedang berkembang. Rendahnya asupan dan bioavailabilitas zat besi pada makanan merupakan faktor utama penyebab terjadinya defisiensi zat besi. Oleh karena itu, bentuk program yang berkelanjutan adalah jika dilakukan melalui perbaikan kualitas konsumsi pangan masyarakat. Untuk kelompok khusus seperti ibu hamil, berbagai negara di dunia telah menerapkan pemberian suplementasi zat besi-folat (WHO/UNICEF 2004). Apabila di wilayah tersebut banyak ditemukan infeksi cacing (hookworms endemic) dengan prevalensi 20-30%, direkomendasikan untuk diberikan obat cacing (anthelmintic treatment) mulai dari anak diatas lima tahun dan orang dewasa. Kapsul yang direkomendasikan adalah Albendazole (400 mg), Mebendazole (500 mg), Levamisole (2,3 mg/kg BB), Pyrantel (10 mg/kg BB), yang diberikan sekali dalam setahun. Jika daerah tersebut juga endemi

53 35 schistosomiasis, direkomendasikan pengobatan menggunakan Praziquantel 40 mg/kg berat badan. Suplementasi zat besi diperlukan untuk kelompok tertentu yang beresiko dan segera memerlukan penanganan. Pada kelompok ini penanganan melalui fortifikasi dan perbaikan diet saja terkadang tidak mencukupi. Oleh karena itu suplementasi dalam bentuk kapsul, sirup atau bubuk tabur (sprinkle) akan meningkatkan status besi pada kondisi yang normal. Kemudian setelah itu untuk mempertahankan status gizi besi, dapat dilanjutkan melalui perbaikan konsumsi makanan (MI 2003). Kelompok yang menjadi target program suplementasi besi pada umumnya adalah: a) ibu hamil, b) anak-anak, c) remaja wanita dan wanita usia subur. Sistem distribusi yang digunakan pada ibu hamil adalah menggunakan pemeriksaan rutin ante-natal, tempat persalinan atau dari pusat kesehatan/bidan. Pada anak-anak, distribusi dilakukan pada unit pemeriksaan kesehatan (KIA), dan pada remaja dapat melalui sekolah, tempat pemeriksaan kesehatan, dan organisasi remaja (MOST 2004). Kelompok target yang perlu dipertimbangkan didalam program perbaikan status gizi besi di Indonesia adalah bayi, anak usia sekolah, remaja, dan wanita dewasa (pekerja wanita, ibu hamil dan menyusui) (Kosen et al. 1998). Beberapa tahap kehidupan yang mungkin memerlukan suplemen besi adalah pada kelompok rawan berikut (MI 2003): 1) Anak usia dibawah dua tahun, karena pertumbuhan yang sangat pesat, 2) Remaja wanita, karena periode pertumbuhan pesat yang kedua, 3) Wanita hamil, karena kebutuhannya meningkat untuk pertumbuhan janin dan simpanan untuk menyusui, 4) Pria dan wanita dewasa yang memerlukan kerja fisik tertentu untuk memelihara ketahanan tubuh dan kapasitas aerobik. Strategi penanganan masalah anemia pada kehamilan diantaranya dilakukan melalui peningkatan status besi sejak masa remaja. Namun untuk memenuhi kebutuhan besi remaja sangat sulit kalau hanya melaui perbaikan konsumsi pangan. Jika dilihat dari pola konsumsi masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu prevalensi < 50% AKG besi sebesar 37,9% (Depkes 2005), maka kebutuhan zat besi yang tinggi untuk remaja wanita 29 mg/hari akan sulit dipenuhi dari makanan saja. Sehingga salah satu program penanggulangan yang dilakukan pemerintah adalah suplementasi. Pemberian suplemen mingguan kepada wanita dengan 60

54 36 mg besi dan 0,25 mg asam folat selama 7 bulan (30 kapsul) secara efektif dapat meningkatan status zat besi (ADB/SCN 2001). Program perbaikan status besi dapat dilakukan dengan perbaikan konsumsi pangan, fortifikasi pangan, pengobatan infeksi, dan suplementasi. Program yang berkelanjutan akan dapat dicapai melalui perbaikan konsumsi pangan, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Program fortifikasi pernah dilakukan pada komoditi gula, tepung gandum dan maisena. Di Indonesia pernah diuji coba melalui mie instan, namun tidak dilakukan evaluasi untuk melihat dampaknya terhadap perbaikan status besi (Schultink & Dillon 1998). Meskipun banyak strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan asupan zat gizi, pengalaman di negara maju seperti USA dan negara lainnya menunjukkan bahwa pendekatan food-base saja tidak dapat mencukupi kebutuhan gizi didalam siklus kehidupan wanita. Terutama untuk mencukupi kebutuhan zat gizi mikro (vitamin dan mineral), selain upaya perbaikan kualitas konsumsi pangan juga perlu dipertimbangkan strategi fortifikasi dan suplementasi (Bartley et al. 2005). Pemberian suplementasi pil besi kepada ibu hamil di Indonesia dimulai sejak tahun Kapsul tersebut mengandung 60 mg besi elemental dan 250 ug asam folat yang didistribusikan oleh bidan melalui kegiatan Posyandu dan pelayanan di Puskesmas. Program pil besi tersebut diharapkan dapat mencukupi 60% kebutuhan, dengan rekomendasi minum pil setiap hari selama kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan. Pada tahun 1997 pernah dicanangkan Gerakan Pekerja Wanita Sehat dan Produktif (GPWSP) dengan kegiatan berupa pemeriksaan berkala, pemberian tablet tambah darah (TTD) seminggu sekali selama 16 minggu (setiap tahun) dan selama haid diberikan kapsul tiap hari. Program GPWSP ditujukan pada pekerja wanita dengan mendistribusikan suplemen melalui pabrik/perusahaan tempat wanita bekerja (Depkes 1997). Kepada anak dibawah usia lima tahun suplementasi diberikan berupa sirup besi. Dosis sebanyak 15 mg/hari untuk bayi, 30 mg/hari untuk 1-5 tahun dan diberikan selama 60 hari. Program tersebut dimulai sejak 1996 yang mencakup

55 37 30% anak dari keluarga miskin gizi di wilayah Indonesia Timur (Kodyat et al. 1998). Sejak program suplementasi ibu hamil dilakukan sampai dengan 10 tahun berikutnya, ternyata prevalensi anemia tidak mengalami penurunan yang signifikan. Hambatan efektifitas program yang dijumpai adalah karena keterbatasan penyediaan tablet besi, jangkauan distribusi, daya terima sasaran dan kemungkinan karena rendahnya status vitamin A (Schultink & Dillon 1998). Banyak bukti yang tidak diragukan lagi bahwa dengan pemberian suplementasi besi akan dapat menurunkan prevalensi anemia. Namun demikian juga banyak pengalaman dari berbagai negara, bahwa program suplementasi tidak selalu dapat berjalan dengan baik. Belajar dari berbagai pengalaman tersebut, setiap komponen program mempunyai keunikan, sehingga dapat dipelajari utuk rekomendasi kebijakan mendatang. Komponen tersebut oleh Stoltzfus dan Dreyfuss (1998) meliputi suplai, distribusi, dan konsumen, yang akan menentukan cakupan dan kepatuhan, sehingga akan berdampak terhadap penurunan anemia. Saat ini strategi operasional program penanggulangan anemia di Indonesia dijabarkan di dalam tiga kegiatan pokok, yaitu: komunikasi, informasi, edukasi (KIE); suplementasi tablet tambah darah (TTD); dan pemantapan jaringan distribusi (Depkes 2003). Sasaran program penanggulangan anemia dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) sasaran langsung (wanita usia tahun), yang meliputi ibu hamil/nifas, calon pengantin (catin) wanita, pasangan usia subur, remaja wanita (dalam dan luar sekolah), pekerja wanita dan WUS tidak hamil, 2) sasaran tidak langsung, yaitu mereka yang mampu mendukung kelancaran program, meliputi keluarga dan masyarakat, tokoh agama/ masyarakat, kader, warung, toko obat, perusahaan, tenaga kesehatan, dan perusaan obat. Jaringan untuk distribusi tablet besi yang dilakukan oleh Depkes (2003) adalah melalui dua jalur: a) jalur program yang disitribusikan ke sasaran secara gratis melalui Puskesmas atau Posyandu, b) jalur mandiri, sasaran harus membeli ke toko/warung, sekolah/pesantren atau lain-lainnya. Dosis suplemen besi yang diperlukan untuk intervensi antara kelompok sasaran akan berbeda, yaitu untuk ibu hamil, anak dan remaja. Dosis untuk pengobatan secara klinis juga akan berbeda dengan target intervensi populasi.

56 38 Untuk intervensi di masyarakat, dosis untuk remaja adalah 60 mg besi (elemental iron). Apabila hamil, maka dianjurkan menambahkan 400 ug asam folat untuk mencegah resiko NTDs. Rekomendasi pemberian tablet besi adalah 1-2 kali seminggu (Stoltzfus & Dreyfuss 1998). Namun Indonesia menggunakan standar kapsul tambah darah berupa 60 mg besi (elemental iron) dan 250 ug asam folat untuk program berbaikan status gizi besi (Depkes 2003). Review dari berbagai studi yang telah dilakukan, pemberian suplemen harian dan mingguan menghasilkan efikasi yang sama. Namun program suplementasi besi di berbagai negara tidak selalu menunjukkan hasil yang efektif. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan pelaksanaan program menjadi tidak efektif (INACG 2004), yaitu: a) terhambatnya penyediaan tablet suplemen, b) indikator yang digunakan hanya Hb saja, c) target tidak fokus pada yang benarbenar menderita anemia, d) rendahnya compliance, e) tidak ikut konseling untuk menghindari efek samping, f) kurangnya akses ke fasilitas kesehatan. Efek samping dari suplementasi zat besi dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pengaruh pada saluran pencernaan atas dan bawah. Yang terkait dengan gangguan pencernaan bagian atas misalnya mual, muntah, dan nyeri ulu hati. Gangguan yang terkait dengan efek saluran pencernaan bawah adalah diare dan konstipasi (INACG 1977). Efek samping ini akan meningkat jika menggunakan dosis besi yang tinggi. Efek akan berkurang jika kapsul ditelan bersama dengan makanan (meals), namun akan menurunkan penyerapan sampai 40% (UNICEF/ UNU/WHO 2001). Studi Tee et al. (1999) menunjukkan dengan suplementasi besi mingguan, dilaporkan terdapat efek samping terjadi rata-rata pada minggu ke 0,8-2,2. Keluhan tersebut berupa perut tidak nyaman (discomfort), kembung, mual, nyeri ulu hati, diare dan konstipasi. Pada studi Angeles-Agdeppa et al. (1997) dilaporkan terdapat efek samping berupa peningkatan nafsu makan dan mudah mengantuk. Studi Tee at al. (1999) pada anak SMP di Malaysia menunjukkan distribusi melalui sekolahan hanya 2% yang drop-out. Mereka rata-rata mengkonsumsi 20 dari 22 tablet yang disediakan. Kepala sekolah dan guru turut berperan di dalam supervisi pendistribusian kapsul besi tersebut. Namun uji-coba di SMP Jawa Timur menunjukkan 90-97% murid melaporkan minimal minum

57 39 50% dari kapsul yang disediakan apabila disupervisi. Tetapi jika tidak terdapat supervisi, yang minum kapsul turun menjadi 50-70% (Soekarjo et al. 2004). Perkembangan akhir ini menunjukkan perlunya suplementasi kapsul multigizi (multi-micronutrient) dari pada hanya besi-folat. Karena selain defisit zat besi, juga ditemukan dari berbagai studi bahwa kelompok rawan di negara-negara sedang berkembang juga menderita defisit zat gizi mikro lainnya, seperti folat, vitamin A, B12, iodin, Zn dan sebagainya (UNICEF/WHO/UNU 1999). Oleh karena itu dari segi program, akan lebih efektif jika dilakukan suplementasi multigizi. Belum banyak studi yang melakukan suplementasi multi-gizi khusus untuk remaja wanita. Penelitian awal dilakukan di pedesaan Maroko terhadap suplemen multi vitamin dan mineral kepada anak pra-sekolah dan ibu hamil. Meskipun hasilnya menunjukkan kebalikannya, yaitu konsentrasi hemoglobin dan feritin pasca intervensi konsentrasinya lebih rendah (Allen 2002). Sampai saat ini sudah dilakukan uji coba efikasi suplementasi 15 jenis zat gizi terhadap ibu hamil di Meksiko dan Indonesia (Ramakrishnan et al. 2005; Sunawang 2005), sedangkan uji-coba terhadap remaja wanita baru dilakukan di Bangladesh (Ahmad et al. 2005). Hasilnya menunjukkan dampak terhadap ukuran anthropometri bayi, dan status besi tidak signifikan jika dibandingkan dengan suplementasi kapsul besi-folat. Namun uji-coba di wilayah lain masih perlu dilakukan, termasuk evaluasi terhadap dosis yang diberikan. Pada perbaikan status gizi anak balita di Indonesia pernah dilakukan uji coba suplementasi dalam bentuk tepung tabur (sprinkles). Uji coba dilakukan pada tahun 2003 pada anak usia 6-30 bulan. Sprinkles digunakan dengan cara menaburkan 1 saset per hari ( 1 AKG zat multigizi mikro) pada makanan anak. Hasilnya produk tersebut cukup diterima oleh masyarakat (75% mengkonsumsi 5-7 saset/minggu), serta menurunkan prevalensi anemia dan defisiensi besi hampir 50%. Produk ini direncanakan akan didistribusikan melalui jalur Posyandu (SEAMEO-TROPMED 2005).

58 KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL Kerangka Pemikiran Status besi seseorang ditentukan berdasarkan keseimbangan zat besi di dalam tubuh. Keseimbangan zat besi di dalam tubuh adalah selisih antara zat besi yang tertahan (retention) dengan kebutuhannya (requirement). Retensi zat besi merupakan hasil asupan zat besi dan bioavailabilitasnya di dalam makanan, yang apabila kelebihan akan disimpan di dalam tubuh. Namun yang sering terjadi adalah keseimbangan negatif, yaitu kasus defisiensi zat besi yang disebabkan karena rendahnya asupan zat besi dari makanan. Untuk itu, penelitian ini akan mempelajari efikasi suplemen besi-multivitamin pada remaja wanita yang kebutuhan zat gizi makro (energi dan protein) relatif sudah terpenuhi. Subyek penelitian adalah remaja wanita (mahasiswi) yang kondisinya relatif homogen, yaitu dalam hal kondisi sosial ekonomi keluarga dan bertempat tinggal di lingkungan yang sama (asrama), sehingga rendahnya keragaman faktor eksternal tersebut dapat meminimalkan bias selain peubah perlakuan. Kemungkinan pengaruh infeksi parasit dihindari dengan cara memberikan kapsul antihelminth pada awal intervensi. Seluruh sampel menerima makanan tambahan yang sama dari snack/minuman senilai kkal/hari selama intervensi. Selain itu sampel juga diperiksa kesehatannya, sehingga mereka yang menderita penyakit kronis yang dapat mengganggu metabolisme besi dan hematopoiesis dikeluarkan dari kerangka sampel. Status ekonomi remaja, ditunjukkan oleh jumlah uang saku yang diterima setiap bulan. Uang tersebut dialokasikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk di dalamnya konsumsi pangan dan perawatan kesehatannya. Uang saku bulanan diduga akan berpengaruh terhadap status besi melalui alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan. Peubah yang langsung mempengaruhi status besi adalah konsumsi pangan. Kebiasaan konsumsi pangan remaja sehari-hari diperoleh dari kantin dan warung yang terdapat di dalam dan di luar kampus. Pemberian suplemen sebagai peubah yang terkontrol, diberikan kepada seluruh sampel untuk perbaikan status besi. Perbedaan perlakuan dilakukan pada jenis suplemen, yaitu berupa kapsul plasebo, kapsul besi-folat, dan kapsul besimultivitamin. Pada penelitian ini proses internal di dalam tubuh yang meliputi

59 41 metabolisme zat besi dan eritropoiesis tidak diukur dan dianalisis. Tetapi dampak dari proses tersebut, berupa indikator status besi di dalam simpanan (SF=serum ferritin), transpor (STfR=serum transferrin receptor), dan hemoglobin (Hb=haemoglobin) dijadikan sebagai indikator utama dampak uji efikasi. Konsumsi pangan sehari-hari dinilai dari kandungan zat gizinya, yaitu meliputi asupan (intake) energi, protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C. Asupan asam folat dan vitamin B12 tidak dianalisis karena keterbatasan referensi data base konversi zat gizi untuk pangan Indonesia (DKBM). Selama studi berlangsung dilakukan pencatatan terhadap compliance kapsul. Pencatatan juga dilakukan terhadap siklus dan lama menstruasi karena kedua faktor tersebut kemungkinan berbeda antar remaja wanita. Demikian pula pencatatan terhadap pendarahan akibat kecelakaan, donor darah, atau penyakit lainnya yang diduga dapat menyebabkan defisiensi zat besi. Kerangka operasional penelitian ini disajikan pada Gambar 4 berikut:

60 42 Infeksi dan Penyakit Uang saku bulanan Kehilangan darah - Menstruasi - Pendarahan Makanan tambahan: Snack & Minuman Konsumsi pangan harian Suplementasi: 1. B-MV 2. B-F 3. Plasebo Compliance makanan tambahan Total konsumsi pangan Compliance kapsul Asupan energi dan zat gizi (protein, Fe, vit A, vit C) Metabolisme zat besi : Penyerapan Transpor Simpanan Eritropoiesis : Stem eritrosit cell Status Besi (Hb, STfR, SF) Keterangan: B-MV= Kapsul besi-multi vitamin Hb = Hemoglobin B-F = Kapsul besi-folat STfR = Serum Transferin Reseptor SF = Serum Feritin Gambar 4. Kerangka operasional penelitian

61 43 Definisi Operasional Status besi adalah keadaan atau gambaran kecukupan zat besi di dalam tubuh, yang dapat dinilai dari biomarker darah meliputi kadar haemoglobin (Hb), serum ferritin (SF), dan serum transferrin receptor (STfR). Anemia adalah keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah lebih rendah dari 120 g/l yang dapat diakibatkan oleh defisiensi zat gizi atau infeksi Deplesi simpanan zat besi atau Depleted iron stored adalah suatu tahap awal defisit zat besi di dalam tubuh, yaitu terjadi penurunan zat besi simpanan (iron storage), tetapi kadar hemoglobin masih dalam kondisi normal. Indikator untuk tahap ini adalah jika kadar serum feritin <15,0 ug/l. Iron deficiency erytropoiesis (IDE) adalah keadaan defisit zat besi pada tahap kedua di dalam tubuh yang ditunjukkan menurunnya suplai zat besi dari simpanan ke sumsum tulang dan jaringan lainnya, meskipun kemungkinan belum terdeteksi adanya anemia. Kategori IDE adalah jika kadar serum transferin reseptor >8,3 ug/l. Defisiensi zat besi atau iron deficiency (ID) adalah istilah yang secara praktis digunakan untuk defisit zat besi tahap kesatu (depleted iron) dan tahap kedua (iron deficiency erythropoiesis). Defisiensi zat besi dapat terjadi karena anemia maupun non-anemia. Anemia Gizi Besi (AGB) atau iron deficiency anemia (IDA) adalah tahap ketiga dan paling parah dari defisit zat besi dalam tubuh, dimana zat besi tidak cukup baik di dalam simpanan maupun untuk sintesa hemoglobin. Indikator keadaan ini ditunjukkan oleh kadar hemoglobin yang rendah (<120 g/l) dan serum feritin yang rendah (<15,0 ug/l). Status gizi anthropometri adalah keadaan gizi seseorang sebagai hasil dari asupan dan metabolisme berbagai zat gizi di dalam tubuh, yang diukur secara anthropometri dan dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (kg/m 2 ) Asupan energi dan zat gizi adalah jumlah energi dan zat gizi (protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C) yang berasal dari makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh, selama hari kuliah dan hari libur, yang dinilai dengan cara pencatatan (food record).

62 44 Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah kegiatan pemberian snack dan minuman oleh IPB kepada mahasiswi setara kkal/hari yang dilakukan setiap hari selama 24 minggu (168 hari) bersamaan dengan pelaksanaan suplementasi. Kapsul besi-folat (B-F) adalah kapsul perlakuan standar yang mengandung zat besi elemental 60 mg dan asam folat 250 ug yang diberikan seminggu sekali selama 25 minggu Kapsul besi-multivitamin (B-MV) adalah kapsul perlakuan yang mengandung zat besi elemental 60 mg, asam folat 800 ug, vitamin A 4200 ug, vitamin B12 16,8 ug, dan vitamin C 500 mg yang diberikan seminggu sekali selama 25 minggu Kapsul plasebo adalah kapsul yang secara fisik sama dengan kapsul perlakuan, tetapi hanya mengandung selulosa (avizel) yang diberikan seminggu sekali selama 25 minggu

63 METODE Desain dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah randomized control trial (RCT). Penelitian ini terdiri dari tiga perlakukan, dan alokasi sampel ke dalam kelompok perlakuan tersebut dilakukan secara acak (random assignment). Ketiga kapsul perlakuan untuk suplementasi mempunyai bentuk, ukuran, dan warna yang sama, sehingga masing-masing sampel tidak mengetahui jenis perlakuan yang dikenakan terhadap dirinya. Demikian pula di dalam pelaksanaan intervensi, baik petugas distribusi, asisten peneliti, dan tenaga laboran tidak mengetahui komposisi dari masing-masing label kapsul, serta kode sampel darah yang dianalisis. Protokol pelaksanaan studi ini sudah mendapatkan ethical clearance dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Departemen Kesehatan) No: KS (Lampiran 1). Subyek penelitian adalah remaja wanita (late adolescent) yang berusia tahun dan bersedia mengikuti studi (informed consent). Sampel dikelompokkan secara acak kedalam tiga kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan suplemen terdiri dari kontrol (plasebo), kapsul besi-folat (B-F), dan kapsul besimultivitamin (B-MV), dengan komposisi zat gizi disajikan Tabel 2. Kelompok kontrol diberikan kapsul plasebo berupa selulosa (avizel). Kelompok B-F diberikan kapsul standar (besi-folat) berisi 60 mg elemental besi (ferro sulfat) dan 250 ug asam folat. Kelompok B-MV diberikan kapsul besi-multi vitamin (B-MV) berupa zat besi elemental 60 mg, asam folat 800 ug, vitamin A (retinyl acetate) 4200 ug, vitamin B12 (cyanocobalamin) 16,8 ug, dan vitamin C (ascorbic acid) 500 mg. Tabel 2. Rancangan kelompok perlakuan dan jenis suplemen Perlakuan Jenis suplemen Kontrol Plasebo Besi-folat (B-F) Zat besi 60 mg dan asam folat 250 ug Besi-multi vitamin (B-MV) Zat besi 60 mg, asam folat 800 ug, vitamin A 4200 ug, vitamin C 500 mg, vitamin B12 16,8 ug

64 46 Studi ini didalam pelaksanaannya terintegrasi dengan kegiatan pemberian makanan tambahan (feeding program) pada mahasiswa IPB oleh SEAFAST Centre IPB. Selain masalah gizi mikro, kelompok remaja juga sering mengalami kekurangan energi dan protein. Angka prevalensi gizi kurang (stunted) yang sangat tinggi di Asia diantaranya akibat kekurangan zat gizi makro yang kronis (World Bank 2003; UNS-SCN 2004). Di Indonesia prevalensi gizi kurang (kurus) pada remaja sebesar 17,4 % (Permaesih dan Herman 2005). Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap mahasiswi IPB, rata-rata mengalami defisit energi sebesar kkal (Fitri 2005). Hal tersebut dapat terjadi karena keterbatasan uang saku untuk belanja pangan atau perilaku makan yang tidak tepat. Pada studi ini kepada seluruh sampel diberikan makanan tambahan (PMT) berupa snack dan minuman yang sama untuk menambah kekurangan energi. Tujuan utama PMT adalah untuk menambahkan energi sebesar kkal per hari, maka setiap sampel memperoleh 2-3 porsi (serving size) per hari, misalnya dalam bentuk kombinasi biskuit dan susu, roti dan juice dan lainnya. Estimasi kandungan energi dan zat gizi dari PMT yang diberikan kepada sampel disajikan pada Lampiran 2. Berkaitan dengan desain studi ini, pemberian makanan tambahan tersebut dianggap sebagai homogenisasi sampel agar terjadi optimalisasi metabolisme zat besi. Proses metabolisme zat besi di dalam tubuh mulai dari absorpsi, transportasi, dan mobilisasi simpanannya tidak terlepas dari keberadaan penyediaan energi dan protein tubuh (Beard et al. 1996). Keseluruhan kegiatan penelitian mulai dari persiapan sampai dengan pengumpulan data akhir dilaksanakan bulan September 2005 sampai Mei Periode suplementasi kapsul dilakukan bulan November 2005 Mei Formula Kapsul Suplemen Penggunaan dosis suplemen besi-folat atau disebut kapsul standar berdasarkan rekomendasi Departemen Kesehatan RI (2003), yaitu dosis 60 mg (besi elemental) dan 250 ug asam folat. Kapsul ini didalam bahasa program disebut tablet tambah darah (TTD) yang digunakan untuk program perbaikan gizi besi pada WUS, ibu hamil dan ibu nifas. Penggunaan ferrous sulfate (Fe 2 SO 4 ) sebagai suplemen dengan dosis 60 mg, dengan penyerapan 3% diperkirakan akan mensuplai zat besi terabsorpsi sekitar 1,8 mg (Lotfi et al. 1996). Kapsul standar

65 47 ini (B-F) digunakan sebagai pembanding efikasinya terhadap kapsul kontrol dan besi-multivitamin (B-MV). Formulasi kapsul besi-multivitamin dimaksudkan untuk lebih meningkatkan efektifitas metabolisme zat besi dan proses eritropoiesis. Dosis zat besi ditetapkan sama sebesar 60 mg, karena review berbagai studi dari tahun dengan dosis 60 mg mampu meningkatkan kadar Hb pada ibu hamil secara signifikan sekitar 10 g/l (Ekstrom 2001) atau 7,7 g/l (Suharno & Muhilal 1996). Didalam perkembangannya sejak tahun 1968, penggunaan dosis zat besi tersebut tetap dipertahankan oleh INACG/WHO/UNICEF pada rekomendasinya yang terbaru tahun Asam folat berperan didalam perbaikan anemia gizi besi, meskipun tidak ada rekomendasi yang spesifik untuk dosis penggunaannya (Ekstrom 2001). Stoltzfus dan Dreyfuss (1998) merekomendasikan penambahan asam folat sebesar 400 ug per hari untuk program suplementasi kelompok wanita usia subur. Studi Angeles-Agdeppa et al. (1999) menggunakan tambahan asam folat 500 ug per minggu. Belum terdapat studi tentang bioavalibilitas asam folat pada suplemen, namun bioavalibilitas pada konsumsi pangan harian umumnya kurang dari 50% (Gregory 2001). Hasil evaluasi terhadap asupan asam folat sintetis (SFA) dari fortifikasi dan suplementasi di USA pada kelompok WUS, bioavailibilitas bervariasi antara 68-87% (Lewis et al. 1999), sehingga dosis asam folat pada ujicoba suplemen ini ditetapkan sebesar 800 ug atau dua kali AKG (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Berbagai studi menunjukkan bahwa vitamin A berperan didalam perbaikan anemia gizi besi (Semba & Bloem 2002). Penggunaan dosis vitamin A ditetapkan sebesar 7 (tujuh) kali AKG (Muhilal & Sulaeman 2004), sehingga diperoleh dosis 4200 ug. Efek suplementasi vitamin A dapat meningkatkan kadar Hb sebesar 3,7 g/l (Suharno & Muhilal 1996). Studi pada remaja dengan penambahan vitamin A pada suplemen besi-folat pernah dilakukan oleh Angeles-Agdeppa et al. (1999) dengan dosis 6000 ug/minggu, sedangkan Ahmed et al. (2001) dan Dillon (2005) dengan dosis 2424 ug/minggu. Vitamin C berperan didalam proses penyerapan zat besi di dalam intestin. Pada studi ini penambahan dosis vitamin C dilakukan sebesar 7 (tujuh) kali AKG

66 48 (Setiawan & Rahayuningsih 2004), sehingga diperoleh dosis 500 mg. Penambahan vitamin C untuk kapsul besi-folat berturut-turut sebesar 60 mg dan 100 mg per minggu pernah dilakukan berturut-turut oleh Angeles-Agdeppa et al. (1999) serta Jayatissa dan Piyasena (1999). Vitamin B12 terutama berperan didalam produksi sel-sel darah merah (eritropoiesis). Tidak terdapat informasi global tentang prevalensi defisit vitamin B12, dan belum banyak informasi tentang peranan vitamin B12 didalam meningkatkan efikasi besi-folat (Allen 2002). Studi penambahan vitamin B12 sebesar 2,6 ug sebagai salah satu komponen suplemen multi-micro nutrient (MMN) pada remaja wanita pernah dilakukan oleh Ahmed et al. (2005), pada ibu hamil oleh Sunawang (2005) dan Ramakrishnan et al. (2005). Pada studi ini, penambahan dosis vitamin B12 ditetapkan 7 (tujuh) kali AKG (Setiawan & Rahayuningsih 2004), sehingga diperoleh dosis 16,8 ug. Dosis zat gizi pada kapsul besi-multivitamin yang ditetapkan tersebut di atas masih berada pada batas aman (safe level intake). Menurut IOM (2001) nilai UL (upper limit) untuk asam folat 1000 ug, vitamin C 2000 mg, dan vitamin B mg. Dosis safe range intake untuk vitamin A menurut Lachance (1998) adalah ug. Formulasi zat gizi pada ketiga kelompok perlakuan tersebut berupa serbuk berwarna putih kekuningan yang dikemas di dalam satu butir kapsul warna hitammerah dengan ukuran 0 (sedang). Sebagai filler untuk kapsul plasebo, B-F dan B- MV digunakan selulosa (avizel). Seluruh suplemen untuk penelitian tersebut diproduksi oleh PT Kimia Farma di Bandung. Hasil pengujian oleh Lab Analisis Kimia Farma dengan melakukan pemeriksaan bentuk, warna, isi, waktu hancur, dan kadar zat gizi, disimpulkan formula tersebut telah memenuhi persyaratan seperti yang diinginkan. Cara Penentuan Sampel Populasi penelitian adalah remaja wanita (17-20 tahun), berasal dari mahasiswi TPB-IPB yang mengikuti kegiatan pemberian makanan tambahan di Asrama IPB pada tahun ajaran 2005/2006. Kebijakan IPB bahwa seluruh mahasiswa TPB-IPB (tingkat satu) wajib tinggal di Asrama selama satu tahun

67 49 ajaran. Keseluruhan mahasiswa tersebut sudah menempati Asrama TPB-IPB sejak bulan Juli 2005 (USMI) dan bulan Agustus 2005 (SPMB). Jumlah minimal sampel yang ditetapkan untuk penelitian ini menggunakan asumsi bahwa α=5% (Z α =1,96); power of test=90% (Z ß =1,28); Sd (Hb)=10,6 g/l; d ( Hb)=7,1 g/l (Angeles-Agdeppa et al. 1997; Dillon 2005). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: n 2 (Sd) 2 (Z ß + Z α ) 2 d 2 sehingga diperoleh jumlah minimum sampel 47 orang per perlakuan. Dengan asumsi peserta drop-out dari penelitian sebesar 10-15%, maka jumlah sampel minimal adalah orang. Untuk tiga kelompok perlakuan diperlukan jumlah minimum sampel Daftar keseluruhan mahasiswa tingkat satu (TPB-IPB) yang diperoleh dari Direktorat Kemahasiswaan IPB sebanyak 2743 orang (1525 wanita dan 1218 putra). Untuk kegiatan pemberian makanan tambahan, serangkaian seleksi dilakukan untuk memperoleh mahasiswa dengan persyaratan berasal dari keluarga yang sosial ekonominya rendah dan nilai IMT <25,0 kg/m 2. Akhirnya diperoleh sebanyak 497 mahasiswa (298 wanita dan 199 pria) yang memperoleh bantuan snack/minuman dari IPB selama enam bulan. Jumlah subyek yang bersedia untuk mengikuti penelitian ini sebanyak 298 mahasiswi, yang ditunjukkan oleh pengisian informed consent (Lampiran 3. Untuk menghindari bias perlakuan, maka semua peserta harus menerima kapsul suplementasi yang sama. Tiga jenis perlakuan yang didesain untuk penelitian ini memerlukan 224 sampel (kontrol 75, B-F 75, dan B-MV 74), sedangkan sisanya sebanyak 74 mahasiswi digunakan untuk keperluan studi lainnya. Penempatan sampel untuk ketiga jenis perlakuan yang berbeda dilakukan secara acak. Khusus untuk analisis STfR dan SF masing-masing kelompok dipilih 55 sampel per perlakuan yang mempunyai tingkat compliance tinggi, tidak ikut donor darah, tidak sedang hamil, tidak mempunyai penyakit kronis, dan tidak sedang sakit saat pengambilan sampel darah.

68 50 Pelaksanaan Suplementasi Keseluruhan kapsul diproduksi pada waktu yang bersamaan oleh PT Kimia Farma Bandung. Setiap jenis kapsul plasebo dan perlakuan diproduksi sebanyak 2250 butir yang dibungkus dalam plastik tertutup sebanyak 5 (lima) buah dengan diberi label A, B dan C. Keseluruhan kapsul disimpan di dalam tabung plastik hampa udara (diberi silica gel) yang berbeda sesuai dengan labelnya. Pada setiap minggu, ketiga jenis kapsul dipindahkan kedalam ketiga tabung obat yang berbeda dengan ukuran lebih kecil. Pada setiap tabung diberi kode A, B, C yang diberikan kepada petugas distribusi di asrama. Petugas distribusi tidak mengetahui perbedaan komposisi yang terdapat pada tabung obat sampai kegiatan suplementasi ini selesai. Pada setiap tabung obat distribusi hanya disediakan sejumlah kapsul sesuai dengan sampel yang akan diberi per minggu, sehingga setiap minggu peneliti menyiapkan kapsul untuk didistribusikan. Petugas distribusi sebanyak dua orang, yang sudah dilatih sebelumnya tentang cara distribusi, cara minum kapsul, dan pengumpulan laporan mingguan. Kapsul didistribusikan setiap hari Rabu pada jam bertempat di dekat Kantor Pengelola Asrama (pintu gerbang Asrama Putri IPB). Distribusi dilakukan sore hari bersamaan dengan selesainya perkuliahan dan pengambilan makanan tambahan, dan kemudian mereka kembali ke kamar asrama. Untuk menjaga kepatuhan konsumsi kapsul (compliance), dilakukan berbagai upaya diantaranya melalui sosialisasi pada awal kegiatan, penjelasan pada saat pengumpulan data baseline, penyuluhan gizi di acara seminar dan social gathering, dan penjelasan saat pengambilan PMT. Untuk meningkatkan compliance suplemen, diusahakan kapsul langsung ditelan menggunakan air minum di depan petugas distribusi. Bagi sampel yang sedang puasa, belum makan siang, atau sedang merasakan mual, kapsul boleh dibawa dan berjanji untuk diminum di kamar. Bagi peserta yang berhalangan mengambil kapsul pada hari Rabu, kapsul diberikan pada hari Kamis - Jum at antara jam Kapsul suplementasi diberikan kepada sampel satu kali seminggu. Metaanalisis yang dilakukan oleh Beaton dan McCabe menunjukkan bahwa suplementasi harian dan mingguan keduanya dapat menurunkan prevalensi

69 51 anemia dan anemia gizi besi (Allen 2002). Studi Ridwan (1995) menunjukkan pemberian suplementasi 60 mg besi harian dan 120 mg mingguan, keduanya dapat meningkatkan Hb pada ibu hamil 8 g/l. Berbagai studi suplementasi besi mingguan pada remaja yang dapat memperbaiki status besi remaja adalah Jayatissa dan Piyasena (1999), Angeles-Agdeppa et al. (1997), Viteri, Ali, dan Tujague, (1999), Tee et al. (1999). Suplementasi mingguan akan menurunkan efek samping, meningkatkan compliance, mengurangi oksidatif stress, biaya murah, dan masih dapat mempertahankan simpanan besi jika suplemen diberhentikan (Allen 2002; Gross et al. 1997). Oleh karena itu, INACG (2003) merekomendasikan program kapsul mingguan untuk pencegahan anemia pada kelompok wanita usia subur (WUS). Lama suplementasi suplemen dilakukan dalam 25 minggu (25 kapsul). Umur sel darah merah adalah 120 hari (4 bulan), dimana sel-sel darah merah akan mengalami kerusakan, sehingga sebagian besar suplementasi besi diberikan dalam jangka waktu 3-6 bulan (Ekstrom, 2001). Beberapa studi suplementasi pada remaja dilakukan selama 3 (tiga) bulan (Ahmed et al. 2001; Soekarjo et al. 2004; Ahmed et al. 2005) atau kelipatannya, misalnya 6 bulan (Angeles-Agdepa et al. 1997; Viteri, Ali dan Tujague 1999; Tee et al. 1999). Karena terdapat pola suplementasi besi yang berbeda yaitu harian dan mingguan, maka pendekatan selain lama suplementasi adalah berdasarkan jumlah kapsul yang diminum. Respon hemoglobin terjadi pada saat konsumsi tablet ke-20, dan tidak ditemukan pengaruh yang signifikan setelah konsumsi tablet ke-40 (Ekstrom 2001). Pelaksanaan suplementasi selama periode 25 minggu, yang dimulai dari November 2005 Mei Seminggu sebelum suplementasi kepada seluruh sampel diberikan kapsul antihelminth (pirantel pamoat 250 mg) yang diminum di tempat. Pada waktu liburan alih semester (16 Januari 11 Pebruari 2006) kebanyakan mahasiswa pulang kampung (keluar asrama). Namun selama liburan sampel tetap diberi kapsul untuk dibawa pulang liburan. Kapsul diberikan dalam plastik (sealed) dan diberi petunjuk cara penggunaan kapsul dan dilaporkan setelah kembali ke Asrama.

70 52 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Peubah yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian meliputi karakteristik sampel, riwayat dan keluhan menstruasi, konsumsi pangan, alokasi pengeluaran, status kesehatan dan riwayat penyakit, ukuran anthropometri, biokimia darah, dan penggunaan kapsul (Tabel 3). Peubah tersebut dikumpulkan melalui pengisian dan wawancara dengan kuesioner, pengukuran langsung, dan analisis laboratorium. Sebelum mengisi kuesioner, sampel selalu diberi penjelasan cara pengisiannya (Lampiran 4). Kuesioner yang telah diisi oleh sampel kemudian diverifikasi pada waktu akan dikumpulkan. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti yang dibantu asisten peneliti tiga orang, tiga orang petugas klinik kesehatan, dan seorang dokter medis. Asisten peneliti dan dokter sebelumnya sudah diberi penjelasan tentang recana penelitian, berbagai data yang akan dikumpulkan dan cara pengumpulannya. Tabel 3. Jenis peubah dan cara pengumpulan data No Peubah Cara Pengumpulan 1. Karakteristik sampel Pengisian kuesioner 2. Riwayat dan keluhan Pengisian kuesioner menstruasi 3. Konsumsi pangan Pengisian & wawancara dengan kuesioner 4. Alokasi pengeluaran Pengisian kuesioner 5. Status kesehatan Pemeriksaan dan wawancara 6. Anthropometri (BB, TB) Pengukuran berat dan tinggi badan 7. Biokimia darah (Hb, STfR, SF) Analisis laboratorium 8. Penggunaan PMT dan kapsul Pengisian form (self reported) Sebelum pengumpulan data dilakukan, calon sampel diundang untuk diberi penjelasan umum tentang rencana umum feeding program dan bentuk perlakuan. Setelah itu calon peserta yang bersedia ikut kegiatan, secara berturut-turut diperiksa kesehatan, pengukuran anthropometri, pengambilan sampel darah, dan dilanjutkan dengan serangkaian pengisian kuesioner untuk baseline (23

71 53 September 4 Oktober 2005). Kuesioner endline dikumpulkan setelah dilakukan pengambilan darah untuk analisa biomarker (Hb, SF, STfR) (22 30 Mei 2006). Identitas sampel yang dikumpulkan meliputi tanggal lahir, lokasi kamar asrama, sumber beasiswa, jumlah uang kiriman dan asal daerah. Selain itu juga dikumpulkan data tentang status perkawinan, kehamilan, kecelakaan dan perdarahan (donor darah), pekerjaan dan alamat orangtua. Riwayat menstruasi yang ditanyakan meliputi umur pertama mengalami menstruasi. Selain itu juga dikumpulkan data tentang siklus menstruasi, keteraturan, lama menstruasi, dan gangguan menjelang dan saat menstruasi. Peubah pengeluaran yang dikumpulkan meliputi alokasi untuk pangan dan non-pangan. Alokasi ditanyakan dalam bentuk rata-rata pengeluaran harian, mingguan atau bulanan. Jangka waktu pengeluaran ditanyakan 3-5 bulan sejak sampel mulai tinggal di Asrama TPB (Juli 2005 mahasiswa USMI dan Agustus 2005 mahasiswa SPMB). Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh seorang dokter yang meliputi pemeriksaan fisik, anamnesa keluhan dan riwayat penyakit. Data riwayat kesehatan (checklist) diisi oleh sampel dan kemudian diverifikasi oleh dokter. Data anthropometri dikumpulkan sebelum dan setelah suplementasi, yang meliputi berat dan tinggi badan. Sebelum pengukuran anthropometri peserta diminta untuk mengenakan baju seminimal mungkin, dengan melepaskan jaket, mengeluarkan isi saku/kantong baju/celana, dan tidak mengenakan sepatu, sandal, dan topi. Untuk pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang (SECA ketelitian 0,1 kg) dan stadiometer (ketelitian 0,1 cm). Data konsumsi pangan yang dikumpulkan meliputi kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan, dan konsumsi pangan di hari kuliah (Senin-Jum at) dan hari libur (Sabtu-Minggu). Pencatatan dilakukan selama empat hari (baseline) dan dua hari (endline), yang dilakukan pada hari kuliah dan hari libur. Metode pengumpulan data konsumsi pangan dengan food record, yaitu form konsumsi pangan diberikan kepada sampel pada waktu pemeriksaan kesehatan dan dijelaskan cara pengisiannya, meliputi jenis makanan, jumlah yang dimakan (URT), harga makanan, dan tempat membeli makanan. Pada minggu berikutnya

72 54 form yang telah diisi sampel dikembalikan kepada tim peneliti untuk diverifikasi satu-persatu. Data frekuensi konsumsi pangan dikumpulkan dengan menanyakan kebiasaan konsumsi menurut kelompok pangan selama tinggal di asrama, dengan membandingkan sebelum dan selama suplementasi. Jawaban pertanyaan dalam bentuk pilihan tertutup, dengan alternatif pilihan: a) Selalu: 5-7 hari per minggu, b) Kadang-kadang : 3-4 hari per minggu, c) Jarang : 1-2 hari per minggu, dan d) Tidak pernah. Pengambilan sampel darah pada awal dan akhir suplementasi dilakukan secara serentak pada pagi (jam ) selama tiga hari berturut-turut. Sampel diminta untuk tidak makan dan minum sejak jam sebelum pengambilan darah dilakukan di pagi hari. Sampel darah diambil sebanyak 5 ml (baseline) dan 3 ml (endline) melalui pembuluh vena yang diambil oleh tenaga kesehatan yang terlatih (3 orang) dari RS PMI Bogor. Sampel darah dibagi kedalam dua tabung yang berbeda, yaitu ke tabung EDTA (anti koagulan) sebanyak 1-2 ml dan ke tabung tanpa koagulan 2-3 ml. Kedua tabung diletakkan dalam ice box dan segera dibawa ke Laboratorium Biokimia SEAMEO-UI (1-2 jam berikutnya) untuk dilakukan analisa Hb darah dan separasi serum. Pemisahan serum dilakukan dengan cara sentrifuse dan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Serum disimpan di dalam freezer pada suhu C sebelum dilakukan analisis secara bersama-sama antara baseline dan endline untuk serum tranferrin receptor (STfR) dan serum ferritin (SF). Untuk analisa Hb menggunakan metode cyanmethemoglobin dengan spektofotometer Coulter T series model T890 made in USA (Lampiran 5). Analisis SF dan STfR dengan metode sandwich ELISA menggunakan Multiskan Ascent made in Germany (Lampiran 5). Serum untuk analisis yang digunakan adalah Liquicheck, Bio-Rad, USA. Prosedur untuk analisa SF dan STfR mengacu metode yang dikembangkan oleh Erhard et al. (2004). Jumlah sampel yang dianalisa untuk Hb sebanyak sampel per perlakuan, sedangkan untuk STfR dan SF masing-masing sebanyak 55 sampel per perlakuan. Selama suplementasi, setiap awal minggu kepada mahasiswa dibagikan formulir untuk melaporkan (self reported) penggunaan kapsul yang telah

73 55 diberikan. Selain itu sampel juga diminta mengisi formulir tentang manfaat yang dirasakan, keluhan yang ditimbulkan, sakit yang dialami, dan obat-obatan yang digunakan. Selama pelaksanaan suplementasi peserta direkomendasikan untuk tidak minum suplemen apapun, kecuali obat-obatan yang resepnya diberikan oleh dokter. Pengolahan dan Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan diolah dan dianalisis menggunakan software Microsoft Excell 2003 dan SPSS versi 13. Sebelum dilakukan uji statistik lanjut, seluruh peubah hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk statistik elementer (rataan, standar deviasi, rentang, dan frekuensi). Data konsumsi pangan dari food record direkap untuk diidentifikasi berbagai jenis dan ukuran pangan yang telah dikonsumsi oleh sampel. Kemudian dari daftar tersebut dilakukan survai pangan ke warung-warung di sekitar (luar dan dalam) kampus untuk mendapatkan harga dan porsinya (gram). Daftar ini yang digunakan sebagai panduan pada waktu melakukan konversi konsumsi pangan dari URT menjadi gram. Data konsumsi yang sudah lengkap kemudian dikonversi kedalam zat gizi yang meliputi energi, protein, vitamin C, vitamin A, dan zat besi. Konversi kedalam asam folat dan vitamin B12 tidak dilakukan karena tidak tersedia di dalam database DKBM. Untuk konversi ke dalam zat gizi menggunakan DKBM (tahun 1970, 1995, 2001, 2005). Selain itu untuk melengkapi database konversi zat gizi juga dilakukan survei label pangan, dan juga dari software NUTRISURVEY. Untuk mengetahui asupan energi dan zat gizi selama hari kuliah dan hari libur, maka analisa dibedakan antara dua hari kuliah dan dua hari libur. Untuk menghitung tingkat kecukupan energi dan zat gizi kelompok remaja menggunakan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004). Kelompok umur remaja pada WNPG (2004) dibagi pada kategori dan tahun, untuk beberapa zat gizi ditetapkan dengan angka yang berbeda. Berdasarkan kelompok umur tersebut, secara berturut-turut kebutuhan energi 2200 kkal dan 1900 kkal, protein 55 g dan 50 g, vitamin C 75 mg, vitamin A 600 ug dan 500 ug, dan zat besi 26 mg. Kategori tingkat konsumsi energi dan protein berdasarkan Depkes (1999) yaitu <70% defisit berat, 70-80% defisit sedang, 80-90% defisit ringan, %

74 56 normal, >110% kelebihan. Untuk vitamin A, vitamin C, dan zat besi menggunakan batas 70% AKG (Gibson 2005). Kategori anemia adalah jika konsentrasi Hb <120,0 g/l, kategori defisiensi zat besi eritropoiesis jika serum transferrin receptor (STfR) >8,3 mg/l dan kategori deplesi zat besi jika serum ferritin (SF) <15 ug/l. Kategori untuk peubah lainnya adalah: 1) tingkat compliance kapsul (<80%; >80%), 2) Indeks Massa Tubuh (IMT) kurus (< 18,5 kg/m 2 ), normal (18,5-25,0 kg/m 2 ) dan obese (> 25,0 kg/m 2 ). Estimasi terhadap jumlah besi di dalam tubuh dilakukan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yang dihitung dari rasio STfR dan SF. Jumlah besi di dalam tubuh (mg/kg) = - [log (STfR:SF) 2,8229] : 0,1207. Nilai positif artinya terjadi surplus zat besi di dalam simpanan (storage compartment), dan nilai negatif menunjukkan defisit zat besi di dalam jaringan (functional compartment). Uji statistik untuk mengetahui perbedaan keragaman data keseluruhan peubah antar kelompok perlakuan (data baseline dan endline). Uji Chi-square digunakan untuk menguji kesamaan distribusi peubah non-parametrik antar kelompok perlakuan. Uji paired-sample t-test digunakan untuk membandingkan signifikansi peubah parametrik sebelum dan sesudah suplementasi. Uji ANOVA digunakan untuk membandingkan perbedaan peubah parametrik sebelum perlakuan, seperti biomarker (Hb, SF, STfR), umur, IMT, uang saku, belanja pangan, asupan dan tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin C dan vitamin A). Uji efikasi suplementasi dilakukan berdasarkan selisih nilai biomarker sebelum dan setelah suplementasi ( Hb, SF, STfR) pada ketiga perlakuan menggunakan uji ANOVA (Munro, 1997). Untuk itu dilakukan terlebih dahulu uji normalitas terhadap data biomarker menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, sedangkan uji homogenitas varian menggunakan Lavene. Kriteria pengujian adalah p>0,05 untuk menerima hipotesis (Ho) bahwa data berdistribusi normal, dan varians kelompok perlakuan identik (homogen) (Kirkwood 1988; Santoso 2002). Data biomarker yang tidak normal, kemungkinan distribusinya skew positif untuk itu transformasi yang dianjurkan logaritmik (log), atau data skew ke

75 57 kiri transformasinya kedalam bentuk kuadratik. Nilai transformasi tersebut digunakan untuk uji signifikansi ANOVA, sedangkan untuk penyajian hasil dan pembahasannya menggunakan nilai aktual peubah Hb, STfR dan SF (Kirkwood, 1988). Uji ANCOVA digunakan untuk mengkoreksi (adjusted) peubah perancu (confounder) (Munro, 1997). Peubah perancu ini diduga berpengaruh terhadap besaran selisih biomarker setelah suplementasi ( Hb, SF dan STfR), yaitu: 1) konsentrasi biomarker awal hemoglobin, serum transferrin receptor atau serum ferritin, 2) indeks massa tubuh, 3) compliance kapsul, 4) compliance makanan tambahan 4) tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C.

76 HASIL Karakteristik Sampel Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga Distribusi sampel berdasarkan suku bangsa (etnis), sebagian besar berasal dari suku Jawa (34,3%) dan Sunda (35,5%) (Tabel 4). Karena mayoritas mahasiswa IPB berasal dari Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), maka profil asal suku bangsa (etnis) sampel kebanyakan adalah dari Jawa dan Sunda. Sebagian kecil sampel lainnya berasal dari suku yang bervariasi, seperti Minang, Betawi, Batak dan lainnya, sehingga sampel suplementasi mempunyai latar belakang suku bangsa cukup beragam. Distribusi proporsi suku pada masingmasing ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Demikian pula berdasarkan asal tempat tinggal orangtua mahasiswa, sebanyak 50,7% berasal dari Jawa Barat, 14,3% dari Jawa Tengah, 12,8% dari DKI Jakarta, dan 22,2% sampel berasal dari daerah luar Jawa seperti, Sumatera dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan profil mahasiswa TPB-IPB, distribusi mahasiswa berdasarkan asal SMU berdasarkan propinsi adalah 17,8% DKI Jakarta, 38,0% Jawa Barat, 10,7% Jawa Tengah, 5,7% Jawa Timur, 5,2% Banten, 5,4% Sumatera Utara, sedangkan dari propinsi lainnya masing-masing kurang dari 2 % (Direktorat TPB-IPB 2006). Latar belakang pekerjaan orangtua cukup beragam yaitu meliputi buruh, petani, swasta, PNS, dan wiraswasta. Jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh orangtua sampel adalah wiraswasta (29,1%), dan pegawai negeri sipil (PNS) 28,6% (Tabel 4). Dengan jenis pekerjaan tersebut, diduga sebagian besar mahasiswa IPB berasal dari kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah. Pada studi ini ditemukan sebanyak 22,1% orangtua bekerja sebagai petani dan buruh, dan bahkan terdapat 5,9% orangtua yang menyatakan tidak mempunyai jenis pekerjaan yang tetap. Jenis pekerjaan orangtua sampel antara ketiga perlakuan relatif sama, dengan mayoritas wiraswasta dan PNS. Sebaran sampel menurut latar belakang pekerjaan orangtua antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Jika dibandingkan dengan data Mahasiswa TPB-IPB Dalam Angka tahun 2005/2006 (Direktorat TPB-IPB 2006), distribusi pekerjaan orangtua adalah PNS/TNI/POLRI/Pensiunan 33,1%, wiraswasta 20,0%, swasta 16%, dan petani/

77 59 nelayan 4,9%. Sebanyak 53,3% orangtua berpendidikan dibawah SMA. Orangtua mahasiswa yang mempunyai penghasilan kurang dari Rp /bulan sebanyak 19,5%, antara Rp 1-2 juta /bulan sebanyak 4,4%, antara Rp 2-4 juta/ bulan sebanyak 29,4%. Tabel 4. Karakteristik sosial-ekonomi keluarga sampel menurut kelompok perlakuan Sosial-ekonomi Kelompok keluarga Kontrol B-F B-MV Suku: Total Jawa 23 (34,3%) 23 (34,3%) 23 (34,3%) 23 (34,3%) Sunda 27 (40,3%) 25 (37,3%) 20 (29,0%) 72 (35,5%) Minang 7 (10,4%) 2 (3,0%) 5 (7,2%) 14 (6,9%) Betawi 2 (3,0%) 3 (4,5%) 5 (7,2%) 10 (4,9%) Lainnya 8 (11,9%) 14 (20,9%) 9 (13,0%) 31 (15,3%) Pekerjaan Orangtua: Wiraswasta 17 (25,4%) 20 (29,9%) 22 (31,9%) 59 (29,1%) PNS 14 (20,9%) 26 (38,8%) 18 (26,1%) 58 (28,6%) Swasta 9 (13,4% 9 (13,4%) 11 (15,9%) 29 (14,3%) Buruh 10 (14,9%) 6 (9,0%) 8 (11,6%) 24 (11,8%) Petani 11 (16,4%) 4 (6,0%) 6 (8,7%) 21 (10,3%) Tidak bekerja 6 (9,0%) 2 (3,0%) 4 (5,8%) 12 (5,9%) Biaya Pendidikan: Orangtua 62 (92,5%) 63 (94,0%) 65 (94,2%) 190 (93,6%) Beasiswa 3 (4,5%) 1 (1,5%) 0 (0,0%) 4 (2,0%) Lainnya 2 (3,0%) 3 (4,5%) 4 (5,8%) 9 (4,4%) Pada tingkat pertama (TPB-IPB), kebanyakan mahasiswa masih dibiayai oleh orangtua atau wali mahasiswa yang bersangkutan. Distribusi mahasiswa berdasarkan sumber biaya untuk pendidikan, sebagian besar berasal dari orangtua (93,6%). Sebagian kecil sampel lainnya memperoleh beasiswa (2,0%) dan ditanggung oleh kerabat keluarga lainnya (4,4%). Sebaran sampel menurut sumber biaya pendidikan antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05).

78 60 Keadaan Menstruasi Umur sampel dihitung sejak dari lahir sampai dengan saat awal pemberian suplemen, dengan menggunakan satuan tahun. Rata-rata umur dan keadaan menstrusi sampel disajikan pada Tabel 5. Pada ketiga kelompok perlakuan, ratarata umur adalah 18,5±0,6 tahun, dan dengan uji Anova umur sampel antar kelompok tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0,05). Pada ketiga kelompok, sebagian besar sampel (98,5%) berada pada batasan usia remaja lanjut (late adolescence) yaitu antara tahun. Tabel 5. Karakteristik sampel menurut keadaan menstruasi dan kelompok perlakuan 1 Keadaan menstruasi Kelompok Kontrol B-F B-MV Umur (tahun) 18,6±0,6 a 18,6±0,6 a 18,5±0,5 a 0,578 Umur Menstruasi (tahun) 13,0±1,2 a 13,0±1,0 a 13,2±1,0 a 0,599 Keteraturan menstruasi: Teratur 47 (70,1%) 58 (86,6%) 59 (85,5%) Tidak teratur 20 (29,9%) 9 (13,4%) 10 (14,5%) Lama siklus (hari) 27,6±3,4 a 28,4±4,0 a 28,2±3,6 a 0,508 Lama menstruasi (hari) 6,5 ±1,9 a 6,4 ±1,3 a 6,3±1,1 a 0,644 Siklus dalam setahun (kali) 10,8±4,5 a 9,2±3,7 a 10,1±2,7 a 0,631 1 x ± Sd, ( ) proporsi sampel p a Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok (p>0,05). yang Seluruh sampel penelitian adalah remaja yang sudah mengalami menstruasi, dan tidak mengalami gangguan menstruasi (metroragia atau menometroragia). Umur pertama kali sampel mengalami menstruasi (menarche) berkisar antara tahun. Rata-rata umur menarche sampel adalah 13,0 tahun, dan diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebanyak 27,1% sampel sudah mengalami menstruasi sejak umur 12,0 tahun, dan bahkan 4,9% sudah menstruasi sejak umur 11,0 tahun. Sebagian besar sampel (80,8%) menyatakan mempunyai siklus menstruasi yang teratur. Pengertian teratur adalah jika sampel selalu mengalami menstruasi

79 61 sesuai dengan siklusnya (25-35 hari). Distribusi proporsi menstruasi yang tidak teratur pada kelompok kontrol relatif lebih banyak (29,9%), dibandingkan dengan kelompok B-F (13,4%) dan kelompok B-MV (14,5%) (Tabel 5). Rata-rata lama menstruasi pada seluruh sampel adalah 6,4±1,5 hari, dan perbedaan diantara ketiga kelompok tidak nyata (p>0,05). Pada sampel yang mengalami siklus menstruasi teratur, lama siklus adalah 28,1±3,7 hari, dan diantara ketiga kelompok juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada sampel yang menstruasinya tidak teratur, dalam satu tahun rata-rata mengalami menstruasi sebanyak 10,2±3,9 kali. Dengan uji Anova perbedaan siklus menstruasi, lama menstruasi dan siklus menstruasi dalam setahun diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada saat menjelang menstruasi kebanyakan sampel menyatakan mengalami keluhan dengan distribusi pada kontrol 51,0%, kelompok B-F 52,0%, dan kelompok B-MV 56,0% (Gambar 5). Keluhan tersebut adalah kombinasi dari kram di bawah perut, munculnya jerawat, nyeri payudara, sakit pinggang, badan lesu atau emosi menjadi tidak stabil. Sebagian sampel lainnya mengalami keluhan, tetapi keluhan tersebut terjadi pada saat menstruasi. Jumlah sampel yang justru mengalami keluhan saat terjadi menstruasi adalah pada kontrol 57,0%, kelompok B-F 51,0%, dan kelompok B-MV 60,0%. Jenis keluhan yang disampaikan oleh sampel relatif sama antara menjelang dan saat menstruasi. Pemeriksaaan kondisi kesehatan dan penyakit dilakukan oleh dokter (medis) terhadap sampel, untuk mengetahui riwayat penyakit dan kondisi kesehatan yang diperkirakan akan mempengaruhi indikator hematologi (biomarker) sebagai output penelitian setelah suplementasi. Distribusi kondisi kesehatan saat ini pada ketiga kelompok perlakuan relatif sama, yaitu rata-rata sebanyak 86,8 % dalam kondisi sehat. Selebihnya sampel lainnya mengalami gangguan kesehatan ringan, yang diduga tidak berpengaruh terhadap kondisi hematologi sampel seperti influensa, alergi, sering lemas, sakit gigi, gangguan mata, sesak nafas, jantung sering berdebar atau pusing-pusing. Rata-rata tekanan darah (sistole/diastole) pada ketiga kelompok adalah kontrol (106/69 mmhg), B-F (107/69 mmhg), B-MV (107/70 mmhg). Sampel yang diduga mengalami perdarahan seperti kecelakaan, luka hebat (perdarahan) atau sering mengeluarkan

80 62 darah saat menstruasi tidak dipilih (excluded) sebagai sampel penelitian. Pada waktu seleksi calon sampel tidak ditemukan yang sudah menikah maupun yang sedang hamil. (%) 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 61,0 60,0 57,0 56,0 51,0 52,0 Kontrol B-F B-MV Menjelang Saat Gambar 5. Persentase sampel yang mengalami keluhan menjelang dan saat menstruasi. Pengeluaran Bulanan Uang saku mahasiswa diberikan oleh orangtua/wali dengan beberapa cara, seperti diberikan setiap tiga bulan, bulanan atau mingguan. Jenis pertama terjadi pada mahasiswa yang uang sakunya diberikan sekaligus dalam jumlah banyak, dan apabila uang habis akan minta kembali ke orangtuanya. Kebanyakan pemberian uang saku pada mahasiswa adalah melalui kiriman uang bulanan, dan ini dilakukan pada mahasiswa terutama yang berasal dari daerah. Sebagian sampel sampel yang berdomisili di sekitar Jabotabek, kebanyakan mempunyai kebiasaan pulang ke rumah setiap minggu, sehingga diantaranya pemberian uang saku juga dilakukan sekali dalam seminggu. Alokasi uang saku sampel adalah terutama digunakan untuk keperluan hidup dan kebutuhan harian lainnya, dan tidak termasuk uang untuk biaya akademik (SPP). Rata-rata pengeluaran bulanan sampel selama tinggal di Asrama IPB adalah Rp ± (Lampiran 6), yang teralokasikan ke dalam 20 jenis pengeluaran. Rata-rata pengeluaran bulanan diantara ketiga kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05). Secara umum pola alokasi pengeluaran untuk berbagai kebutuhan bulanan antar ketiga kelompok relatif sama.

81 63 Pada seluruh sampel, rata-rata pengeluaran pangan per bulan untuk membeli makanan Rp (44,6%), minuman Rp (6,8%) dan jajanan Rp (5,7%). Sehingga sebagian besar (58,0%) alokasi pengeluaran adalah untuk pangan. Total pengeluaran, persentasenya, serta alokasi pengeluaran jenis pangan tersebut antara ketiga kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) (Tabel 6). Pada ketiga kelompok, sebanyak 20% sampel biasa mengeluarkan uang (Rp14.000/bulan) untuk membeli suplemen pangan, seperti minuman berenergi, vitamin C, dan serat makanan. Tabel 6. Karakteristik sampel menurut jenis pengeluaran dan kelompok perlakuan 1 Kelompok Jenis Pengeluaran Kontrol B-F B-MV (Rp/bl) p Total pengeluaran ± a ± a ± a 0,650 Pengeluaran pangan: ± a ± a ± a 0,255 Makanan ± a ± a ± a 0,697 Minuman ± a ± a ± a 0,777 Jajanan ± a ± a ± a 0,590 Pengeluaran pangan (%) 58,7±13,1 a 57,3±10,0 a 57,8±11,2 a 0,125 1 x ± Sd a Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (Uji Anova, p>0,05) Rata-rata pengeluaran pangan per hari adalah Rp 7832±2557, sehingga dalam satu bulan diperlukan biaya makan sampel sekitar Rp (dibulatkan). Dengan menggunakan batas tersebut, maka masih terdapat sebanyak 7,5% kontrol; 6,0% B-F; dan 7,2% B-MV yang mendapatkan uang saku Rp /bulan. Rata-rata pengeluaran untuk jajanan sebesar Rp /bulan, sehingga dengan adanya kegiatan PMT dari IPB akan sangat berarti, terutama bagi mereka yang memperoleh sedikit uang saku.

82 64 Status Gizi Anthropometri Rata-rata berat badan (BB) seluruh sampel sebelum suplementasi adalah 46,8±5,7 kg. Selang berat badan pada ketiga kelompok adalah antara 33,1-64,4 kg. Diantara ketiga kelompok perlakuan berat badan tersebut relatif sama, dan dengan uji Anova perbedaan tersebut tidak nyata (p>0,05) (Tabel 7). Batasan 50 kg adalah standar berat badan normal remaja wanita menurut WNPG (2004). Distribusi proporsi sampel yang mempunyai berat badan dibawah 50 kg cukup besar, yaitu 73,1% kontrol, 70,1% B-F dan 73,9% B-MV. Proporsi sampel yang mempunyai berat badan <50 kg diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Tabel 7. Rata-rata berat, tinggi badan dan indeks masa tubuh sampel menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi 1 Anthropometri Sebelum: Kelompok Kontrol B-F B-MV BB (kg) 46,7±6,2 a 47,0±5,8 a 46,7±5,0 a 0,950 TB (cm) 153,5±5,6 a 154,1±5,6 a 153,5±5,3 a 0,769 IMT (kg/m 2 ) 19,8±2,0 a 19,7±1,9 a 19,8±1,9 a 0,979 Kategori IMT: Total Kurus 17 (25,8%) 17 (26,2%) 15 (21,7%) 49 (24,5%) Normal 49 (74,2%) 48 (73,8%) 54 (78,3%) 151 (75,5%) Sesudah: BB (kg) 48,1±6,4 a 48,4±6,0 a 48,1±5,3 a 0,927 TB (cm) 153,8±5,5 a 154,7±5,6 a 154,0±5,3 a 0,607 IMT (kg/m 2 ) 20,3±2,1 a 20,2±2,0 a 20,3±2,0 a 0,965 Kategori IMT: Total Kurus 16 (24,6%) 12 (18,5%) 12 (17,6%) 40 (20,2%) Normal 49 (75,4%) 53 (81,5%) 54 (79,4%) 156 (78,8%) Gemuk (2,9%) 2 (1,0%) 1 x ± Sd, ( ) proporsi sampel P p a Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0,05).

83 65 Rata-rata tinggi badan (TB) sampel pada ketiga kelompok perlakuan adalah 153,7±5,5 cm dengan selang 138,8 166,4 cm. Namun dengan uji Anova diantara ketiga kelompok tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) (Tabel 7). Standar tinggi badan normal sampel adalah 154 cm (WNPG 2004). Proporsi sampel yang mempunyai tinggi badan dibawah 154 cm cukup besar, yaitu 50,7% kontrol, 44,8% B-F dan 53,6% B-MV. Proporsi sampel yang mempunyai tinggi badan <154 cm diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Penilaian status anthropometri sampel menggunakan ukuran indeks masa tubuh (IMT). Sebelum suplementasi pada ketiga kelompok, rata-rata nilai IMT relatif sama yaitu sebesar 19,8±1,9 kg/m 2, dengan selang antara 15,3-24,7 kg/m 2. Dengan uji Anova rata-rata nilai IMT ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) (Tabel 7). Sebanyak 24,5% sampel termasuk pada kategori kurus (IMT <18,5 kg/m 2 ). Tingginya prevalensi berat badan yang rendah dan tinggi badan yang pendek pada sampel, termasuk negara-negara lain di Asia Tenggara akan sangat berisiko saat 24-60% diantaranya sudah menikah. Pada kondisi kurang gizi, yaitu berat badan <38 kg dan tinggi badan <145 cm akan berisiko tinggi bagi ibu pada saat proses melahirkan dan kualitas bayi yang dilahirkan (Chandra-Mouli 2006). Setelah suplementasi terdapat kenaikan berat badan sampel, yaitu rata-rata pada ketiga kelompok menjadi 48,2±5,9 kg dengan selang antara 33,7-65,6 kg. Adapun rata-rata kenaikan berat badan tersebut adalah 1,4±1,5 kg. Dengan uji Anova perbedaan berat badan setelah suplementasi antar ketiga kelompok tersebut tidak nyata (p>0,05) (Tabel 7). Ternyata proporsi sampel yang mempunyai berat badan dibawah 50 kg hanya menurun sebesar 5,9%, yaitu dengan distribusi sebesar 70,1% kontrol, 59,7% B-F dan 69,6% B-MV. Pada ketiga kelompok, proporsi sampel yang mempunyai berat badan < 50 kg tidak berbeda nyata (p>0,05). Rata-rata tinggi badan (TB) sampel setelah suplementasi menjadi 154,2±5,5 cm dengan selang antara 139,2 167,0 cm. Tinggi badan diantara ketiga kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) (Tabel 7). Rata-rata tinggi badan pada masing-masing kelompok hanya mengalami kenaikan sebesar 0,5 cm. Sehinga distribusi proporsi tinggi badan

84 66 dibawah 154 cm setelah suplementasi tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan sebelum suplementasi. Pada ketiga kelompok, proporsi sampel yang mempunyai tinggi badan <154 kg tidak berbeda nyata (p>0,05). Indeks masa tubuh setelah suplementasi rata-rata menjadi 20,3±2,0 kg/m 2, dengan selang antara 15,4-25,6 kg/m 2. Diantara ketiga kelompok perlakuan, ratarata IMT tersebut perbedaannya tidak nyata (p>0,05) (Tabel 7). Dampak kegiatan PMT selama 24 minggu nampaknya hanya menurunkan prevalensi gizi kurus (IMT <18,5 kg/m 2 )sebesar 4%, yang ditunjukkan oleh penurun prevalensi gizi kurus yaitu menjadi 20,2%. Selain itu ditemukan sebanyak 2,9 % sampel pada kelompok B-MV dikategorikan gemuk setelah suplementasi (IMT >25,0 kg/m 2 ). Namun demikian tidak ditemukan kasus gizi gemuk pada kontrol dan kelompok B-F. Konsumsi Pangan dan Zat Gizi Kebiasaan Makan Kebanyakan sampel biasa makan lengkap dalam sehari hanya dua kali, dengan kombinasi makan pagi-malam atau siang-malam. Sampel makan lengkap didefinisikan jika mengkonsumsi makanan yang terdiri nasi, lauk-pauk dan sayuran/buah. Sebelum pelaksanaan suplementasi, sebagian besar sampel yang makan lengkap sebanyak dua kali sehari pada masing-masing kelompok adalah 62,7% kontrol, 55,2% B-F, dan 53,6% B-MV (Tabel 8). Setelah suplementasi relatif tidak terdapat perubahan frekuensi makan peserta, yaitu yang makan dua kali sehari pada kontrol (67,2%), B-F (70,1%), dan B-MV (55,1%). Sebelum suplementasi, masih dijumpai rata-rata 15,8% sampel yang makan lengkap hanya sekali dalam sehari. Setelah suplementasi, pada semua kelompok terjadi penurunan jumlah sampel yang makan lengkap kurang dari sekali/hari, yaitu rata-rata menjadi 8,9%. Rata-rata hanya sekitar 27,1% sampel pada seluruh kelompok yang mengkonsumsi makan lengkap sebanyak tiga kali dalam sehari. Tidak terjadi perubahan frekuensi makan lengkap sebanyak 3 kali/hari selama suplementasi. Sebelum suplementasi, mereka yang biasa makan 1-2 kali/hari, hanya mengkonsumsi jajanan sebagai pengganti makanan lengkap, terutama gorengan (bakwan, tahu, tempe, ubi atau lainnya) dan roti yang biasa dijajakan sekitar asrama atau jalan menuju tempat perkuliahan (sekitar kampus).

85 67 Frekuensi Tabel 8. Sebaran sampel menurut frekuensi makan lengkap dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi Kelompok makan lengkap Kontrol B-F B-MV Sebelum: Total 1 kali 11( 16,4%) 12 (17,9%) 9 (13,0%) 32 (15,8%) 2 kali 42 (62,7%) 37 (55,2%) 37 (53,6%) 116 (57,1%) 3 kali 14 (20,9%) 18 (26,9%) 23 (33,3%) 55 (27,1%) Sesudah: 1 kali 8 (11,9%) 4 (6,0%) 6 (8,7%) 18 (8,9%) 2 kali 45 (67,2%) 47 (70,1%) 38 (55,1%) 130 (64,0%) 3 kali 14 (20,9%) 16 (23,9%) 25 (36,2%) 55 (27,1%) Jadwal waktu makan sampel dilihat dari kebiasaan makan lengkap yang mereka lakukan selama di Asrama IPB. Terjadi kesamaan jadwal makan pada ketiga kelompok perlakuan karena kegiatan akademik yang relatif sama. Makan pagi dilakukan oleh sampel sekitar jam 7.00, kemudian makan siang jam dan makan malam jam Tidak terjadi perubahan waktu makan selama dilakukan kegiatan suplementasi. Pengumpulan data kebiasaan konsumsi pangan diantaranya bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jenis kelompok pangan yang biasa dikonsumsi selama tinggal di asrama. Kebiasaan konsumsi tersebut dibandingkan antara awal dan akhir kegiatan suplementasi. Kebiasaan dinilai dari rata-rata frekuensi konsumsi berbagai jenis kelompok pangan dalam satuan kali per minggu. Rekomendasi terhadap pola konsumsi pangan yang sehat (PUGS) adalah apabila setiap hari seseorang mengkonsumsi minimal pangan pokok, lauk-pauk (hewani dan nabati), sayur dan buah-buahan (Depkes, 2005). Sampel dianggap jarang mengkonsumsi jenis makanan tersebut jika kurang dari 5-7 kali/minggu atau kurang dari sekali dalam 1-2 hari. Khusus untuk nasi (beras) tidak dibahas karena setiap sampel sudah terbiasa mengkonsumsinya (1-3 kali) setiap hari. Tabel 9 menyajikan distribusi sampel menurut jenis kelompok pangan yang dikonsumsi kurang dari 5-7 kali/minggu, dari proporsi tertinggi ke terendah

86 68 dengan membandingkan antara sebelum dan sesudah suplementasi. Misalnya pada makanan jajanan, diketahui bahwa 84,7% sampel biasa makan jajanan kurang dari 5-7 kali/minggu, dan selebihnya yaitu sekitar 15,3% sampel terbiasa mengkonsumsi jajanan setiap hari. Selama suplementasi, semua sampel mendapatkan makanan jajanan dari kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT), sehingga yang mengkonsumsi jajanan tambahan meningkat menjadi 97%. Tabel 9. Sebaran sampel yang mengkonsumsi jenis makanan kurang dari 5-7 kali/minggu sebelum dan sesudah suplementasi 1 Jenis Kelompok makanan Kontrol B-F B-MV Total Sebelum: Jajanan 59 (89,4%) 53 (79,1%) 59 (85,5%) 171 (84,7%) Buah-buahan 55 (82,1%) 56 (83,6%) 55 (79,7%) 166 (81,8%) Susu 51 (76,1%) 55 (82,1%) 52 (75,4%) 158 (77,8%) Lauk hewani 41 (61,2%) 49 (73,1%) 52 (75,4%) 142 (70,0%) Lauk nabati 36 (53,7%) 41 (61,2%) 33 (47,8%) 110 (54,2%) Sayuran 33 (50,0%) 38 (56,7%) 36 (52,2%) 107 (53,0%) Sesudah: Jajanan 2 65 (97,0%) 64 (95,5%) 68 (98,6%) 197 (97,0%) Buah-buahan 60 (89,6%) 60 (89,6%) 56 (81,2%) 176 (86,7%) Susu 2 63 (94,0%) 60 (98,6%) 60 (87,0%) 183 (90,1%) Lauk hewani 31 (46,3%) 33 (49,3%) 25 (36,2%) 89 (43,8%) Lauk nabati 34 (50,7%) 37 (55,2%) 33 (47,8%) 104 (51,2%) Sayuran 33 (49,3%) 38 (56,7%) 29 (42,0%) 103 (49,3%) 1 ( ) proporsi sampel yang biasa mengkonsumsi pangan <5-7 kali/minggu 2 selain paket PMT Kebiasaan mengkonsumsi buah dan sayuran diantara sampel ternyata masih sangat rendah. Terhadap kebiasaan mengkonsumsi buah, sebanyak 81,8% sampel tidak biasa mengkonsumsi buah hampir setiap hari. Sementara itu, kebiasaan mengkonsumsi sayuran juga sangat rendah, yaitu 53,0% sampel yang tidak biasa mengkonsumsi sayuran hampir setiap hari. Pada akhir suplementasi, jumlah sampel yang tidak mengkonsumsi buah dan sayuran hampir setiap hari

87 69 relatif tetap, yaitu 86,7% dan 49,3%. Jadi kebiasaan sampel didalam mengkonsumsi buah dan sayuran sebelum dan sesudah suplementasi relatif sama. Pada sampel frekuensi konsumsi lauk nabati lebih banyak dibandingkan dengan lauk pangan hewani. Sebanyak 70% sampel mengkonsumsi lauk hewani kurang dari 5-7 kali/minggu, dibandingkan 54,2% sampel mengkonsumsi lauk nabati kurang dari 5-7 kali/minggu atau sebanyak (45,8%) mengkonsumsi lauk nabati setiap hari. Sesudah suplementasi, terjadi penurunan jumlah sampel (43,8%) yang konsumsi lauk hewani kurang dari 5-7 kali/minggu, sedangkan sampel yang mempunyai kebiasaan konsumsi lauk nabati relatif sama. Kebiasaan minum susu di kalangan sampel masih sangat rendah. Sebanyak 77,8% sampel hanya biasa mengkonsumsi susu kurang dari 5-7 kali/minggu, dan diantaranya hanya 10% sampel yang mengkonsumsi susu kurang dari 1-2 kali/minggu). Jadi hanya 22,2% sampel yang hampir setiap hari terbiasa minum susu. Selama suplementasi, sampel menerima paket PMT diantaranya berupa susu, terutama untuk distribusi hari sabtu dan minggu. Nampaknya dengan pemberian PMT susu ini menyebabkan sampel hanya mengandalkan konsumsi susu di akhir pekan saja. Hal ini ditunjukkan justru terjadi peningkatan jumlah sampel yang mengkonsumsi susu kurang dari 5-7 kali/minggu, yaitu menjadi 90,1%. Konsumsi Pangan Data konsumsi pangan dikumpulkan dengan metode pencatatan (food record) sebelum dan akhir kegiatan suplementasi. Pencatatan dilakukan selama empat hari (baseline) dan dua hari (endline), yang dilakukan pada hari kuliah dan hari libur. Jadwal perkuliahan resmi di IPB adalah antara hari senin sampai jum at, sedangkan hari sabtu/minggu libur meskipun kadang-kadang terdapat kegiatan ekstra-kurikuler. Sampel yang bertempat tinggal di sekitar Jabotabek, pada hari sabtu dan minggu kebanyakan pulang ke rumah masing-masing jika sedang tidak terdapat kegiatan di kampus. Sebelum suplementasi, tidak terdapat perbedaan rata-rata konsumsi berbagai jenis pangan diantara ketiga kelompok perlakuan. Tabel 10 menunjukkan rata-rata konsumsi pangan (gram) dari berbagai jenis pangan yang dikonsumsi oleh sampel selama empat hari pencatatan. Selain itu tabel tersebut

88 70 juga menunjukkan persentase jumlah sampel yang mengkonsumsi setiap jenis pangan pada masing-masing kelompok perlakuan. Secara umum diantara ketiga kelompok perlakuan relatif sama dalam hal proporsi sampel yang mengkonsumsi maupun jumlah pangan yang dikonsumsinya. Tabel 10. Rata-rata konsumsi menurut jenis pangan dan persentase sampel yang mengkonsumsi sebelum dan sesudah suplementasi 1 Jenis pangan Kelompok (g/hari) Kontrol B-F B-MV Sebelum: Rata-rata Nasi 334 (100,0) 350 (100,0) 358 (100,0) 348 (100,0) Sayur 75 (99,0) 83 (99,0) 84 (100,0) 81 (99,0) Buah 79 (81,0) 87 (87,0) 98 (75,0) 88 (81,0) Tahu dan tempe 38 (88,0) 36 (97,0) 39 (97,0) 38 (94,0) Telur 32 (90,0) 30 (93,0) 31 (90,0) 31 (91,0) Ayam 20 (73,0) 29 (75,0) 24 (77,0) 24 (75,0) Ikan 15 (70,0) 20 (58,0) 16 (67,0) 17 (70,0) Susu 23 (34,0) 19 (28,0) 20 (49,0) 20 (49,0) Daging 10 (15,0) 14 (21,0) 12 (51,0) 12 (48,0) Sesudah: Nasi 360 (82,1) 391 (95,5) 425 (94,2) 394 (90,6) Sayur 92 (79,1) 86 (95,5) 87 (87,0) 88 (87,2) Buah 85 (35,8) 82(37,3) 90 (39,1) 86 (37,4) Tahu dan tempe 40 (64,2) 40 (76,1) 43 (75,4) 41 (71,9) Telur 35 (62,7) 38 (67,2) 35 (73,9) 36 (68,0) Ayam 39 (61,2) 38 (64,2) 41 (76,8) 39 (67,5) Ikan 22 (35,8) 29 (35,8) 26 (44,9) 26 (38,9) Susu 2 35 (13,4) 43 (20,9) 23 (24,6) 33 (19,7) Daging 25(16,4) 38 (17,9) 19 (17,4) 27 (17,2) Lainnya 178 (80,6) 234 (95,5) 220 (91,3) 222 (89,2) PMT 246 (82,1) 257 (95,5) 258 (94,2) 254 (90,6) 1 x ( ): rata-rata gram jumlah konsumsi pangan (% jumlah sampel yang mengkonsumsinya) 2 Konsumsi susu selain dari paket PMT

89 71 Semua sampel (100,0%) mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, yaitu rata-rata sebanyak 348 g/hari. Jika dibandingkan dengan anjuran PUGS, konsumsi nasi per hari adalah 500 g/hari (5 porsi) (Depkes, 2005), maka rata-rata konsumsi sampel baru mencapai 70%. Hasil pencatatan konsumsi pangan setelah suplementasi, ternyata terjadi penurunan jumlah sampel yang mengkonsumsi nasi (90,6%), tetapi rata-rata konsumsi nasi meningkat pada ketiga kelompok sebesar 46 g/hari. Kelompok sayuran merupakan jenis makanan kedua yang paling banyak dikonsumsi oleh sampel (99,0%). Meskipun rata-rata konsumsi sayuran tersebut masih rendah, yaitu 81 g/hari dibandingkan anjuran PUGS sebesar 300 g/hari (3 porsi) (Depkes, 2005). Sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah buncis, daun singkong, wortel, kacang panjang, kol, sawi, daun bayam, labu siam, daun/biji melinjo, jamur, kangkung, nangka muda, tauge atau ketimun. Setelah suplementasi terjadi sedikit peningkatan konsumsi sayuran, yaitu rata-rata pada ketiga kelompok menjadi 88 g/hari. Namun jumlah sampel yang mengkonsumsi sayur rata-rata menurun menjadi 87,2%. Buah-buahan belum menjadi bagian dari menu konsumsi harian sampel. Hal tersebut ditunjukkan rata-rata hanya 81% sampel yang mengkonsumsi buah kurang lebih sebanyak 88 g/hari. Dibandingkan anjuran PUGS konsumsi buah sebesar 200 g/hari (4 porsi), maka rata-rata tersebut baru mencapai 44% (Depkes, 2005). Buah yang banyak dikonsumsi sampel adalah pisang, melon, pepaya, mangga, nanas, apel, nangka, dan jambu biji. Relatif tidak terjadi perubahan konsumsi buah setelah suplementasi, rata-rata pada ketiga kelompok sebesar 86 g/hari. Namun jumlah sampel yang mengkonsumsi buah menurun hanya menjadi 37,4%. Lauk pauk nabati yang paling populer di kalangan sampel adalah tahu dan tempe. Sebanyak 94% sampel mengkonsumsi tahu dan tempe dengan rata-rata sebanyak 38 g/hari. Jumlah ini tidak besar karena tidak lebih dari satu potong tempe ukuran sedang. Dibandingkan anjuran PUGS konsumsi lauk nabati sebesar 150 g/hari (3 porsi), maka rata-rata konsumsi buah tersebut baru mencapai 25% (Depkes, 2005). Konsumsi tahu/tempe setelah suplementasi relatif tidak berubah,

90 72 yaitu pada ketiga kelompok rata-rata sebesar 41 g/hari, yang dikonsumsi oleh 71,9% sampel. Lauk hewani yang paling populer adalah telur, yaitu dikonsumsi oleh 91% sampel. Meskipun demikian rata-rata konsumsi telur masih rendah, yaitu 31 g/hari (kurang dari 1 butir). Ayam merupakan lauk pauk hewani kedua yang juga banyak dikonsumsi oleh sampel (75%), dengan konsumsi rata-rata 24 g/hari. Sebanyak 70% sampel mengkonsumsi ikan rata-rata sebanyak 17 g/hari. Daging juga hanya dikonsumsi oleh 48% sampel, dengan jumlah sebanyak 12 g/hari. Total konsumsi lauk hewani tersebut rata-rata sebesar 84 g/hari. Jika anjuran PUGS konsumsi lauk hewani sebesar 150 g/hari (3 porsi), maka rata-rata konsumsi buah tersebut baru mencapai 66% (Depkes, 2005). Setelah suplementasi terjadi sedikit peningkatan konsumsi pangan hewani, yaitu rata-rata pada ketiga kelompok per hari untuk ayam menjadi 39 g, daging 27 g, telur 36 g, dan ikan 26 g. Rata-rata konsumsi lauk hewani meningkat menjadi 128 g, atau meningkat sebesar 52%. Namun demikian jumlah sampel yang mengkonsumsi lauk hewani tersebut relatif menurun, yaitu untuk telur menjadi 68%, ayam 68%, ikan 39%, dan daging 17%. Depkes (2005) tidak mewajibkan remaja untuk konsumsi susu. Selama empat hari pencatatan konsumsi, susu relatif sedikit dikonsumsi oleh sampel sampel yaitu hanya 49% dengan jumlah rata-rata 20 g/hari. Setelah suplementasi sampel yang minum susu selain dari paket PMT menurun menjadi 19,7% sampel, dengan rata-rata konsumsi 33 g/hari. Namun dalam distribusi PMT, terutama hari Sabtu dan Minggu, seluruh sampel memperoleh susu kotak (200 ml/hari). Rata-rata asupan zat besi sebelum suplementasi pada ketiga kelompok perlakuan relatif sama, yaitu kontrol 13,0 mg, B-F 14,0 mg dan B-MV 14,1 mg. Demikian pula pola kontribusi masing-masing kelompok pangan terhadap total asupan zat besi pada ketiga kelompok juga relatif sama. Berdasarkan sumber pangannya, rata-rata hanya 19,9% yang berasal dari kelompok pangan hewani (telur, ayam, daging, ikan, susu), dan 18,4% dari kelompok lauk nabati (tahu dan tempe) (Tabel 11).

91 73 Tabel 11. Rata-rata persentase kontribusi asupan zat besi dari kelompok pangan sebelum dan sesudah suplementasi Kelompok Pangan Sebelum: Kelompok (%) Kontrol B-F B-MV Rata-rata Nasi 12,8 12,6 12,5 12,6 Tempe/tahu 19,4 17,9 18,0 18,4 Telur 6,1 5,5 5,6 5,8 Ayam 9,4 9,0 9,8 9,4 Ikan 3,0 2,8 2,9 2,9 Daging 1,4 1,6 1,1 1,4 Susu 0,5 0,3 0,3 0,4 Sayuran 4,8 5,3 4,7 4,9 Buah 4,6 4,0 5,8 4,7 Lainnya 38,0 41,1 39,3 39,5 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 Sesudah: Nasi 16,2 16,6 18,0 17,0 Tempe/tahu 21,2 17,8 19,6 19,5 Telur 6,2 6,6 6,3 6,4 Ayam 9,2 10,7 7,7 9,1 Ikan 4,5 4,7 4,9 4,7 Daging 2,9 4,4 2,3 3,2 Susu 1,5 0,6 0,5 0,8 Sayuran 4,6 4,8 5,2 4,9 Buah 3,8 5,5 4,7 4,7 Jajanan 30,0 28,2 30,8 29,7 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 Nasi juga menyumbang asupan zat besi yang cukup signifikan (12,6%), sedangkan sayur dan buah sangat kecil, yaitu berturut-turut 4,9% dan 4,7%. Pangan lainnya berupa makanan jajanan (di luar makanan lengkap) kontribusinya

92 74 terhadap asupan zat besi cukup besar, rata-rata yaitu 39,5%. Contoh makanan tersebut adalah bakso, perkedel, bakwan, kroket, risoles, roti, bubur kacang hijau, mie goreng, dan aneka kue-kue lainnya. Setelah suplementasi, rata-rata asupan zat besi pada ketiga kelompok adalah 11,8 mg kontrol, 11,9 mg B-F dan 11,8 mg B-MV. Namun jika dibandingkan dengan data sebelum suplementasi, terdapat kesamaan didalam pola pangan sumber zat besi. Rata-rata proporsi terbesar asupan zat besi berasal dari makanan jajanan (29,7%), tempe/tahu (19,5%), nasi (17,0%), dan selebihnya (24,2%) berasal dari lauk hewani (Tabel 11). Sumber pangan untuk besi heme berasal dari kelompok pangan hewani (telur, ayam, daging, ikan, susu), sedangkan besi non-heme berasal dari kelompok pangan nabati (nasi, tempe/tahu, sayuran, buah dan lainnya). Kontribusi asupan besi pangan hewani sebelum suplementasi pada kelompok kontrol 20,4% (2,7 g), kelompok B-F 19,2% (2,8 g), kelompok B-MV 19,7% (2,8 g). Jika dibandingkan sesudah suplementasi, terdapat sedikit peningkatan proporsi zat besi yang berasal dari pangan hewani, yaitu pada kontrol 24,3%, B-F 27,0%, dan B-MV 21,7% (Tabel 11). Kualitas konsumsi pangan sumber zat besi juga dapat dinilai dari densitas zat besi (nutrient density), yaitu kandungan zat besi (mg) didalam 1000 kkal konsumsi pangan. Sebelum suplementasi, nilai densitas zat besi antar ketiga kelompok relatif sama, yaitu kontrol 9,1; B-F 9,3 dan B-MV 9,4 mg/1000 kkal. Sesudah suplementasi, terjadi penurunan densitas zat besi yaitu kontrol menjadi 6,8 mg, kelompok B-F 6,3 mg dan B-MV 6,2 mg/1000 kkal. Densitas zat besi di dalam konsumsi pangan sampel tersebut relatif rendah, karena dengan kebutuhan energi 2000 kkal maka hanya akan diperoleh asupan besi sekitar mg. Apabila AKG besi remaja wanita sebesar 26 mg, dengan pola konsumsi pangan seperti tersebut di atas diperkirakan asupan besi hanya sebesar 46-77% AKG. Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi Asupan energi dan zat gizi dinilai dari pencatatan konsumsi pangan sebelum (baseline) dan setelah suplementasi (endline). Analisis asupan energi dibandingkan antara hari kuliah dan hari libur. Pada hari kuliah, rata-rata asupan energi pada kelompok kontrol adalah 1363 kkal, B-F 1446 kkal dan B-MV 1434

93 75 kkal (Gambar 6). Asupan energi pada hari libur pada ketiga kelompok relatif lebih tinggi dibandingkan hari kuliah, yaitu berturut-turut 1498 kkal, 1592 kkal, dan 1569 kkal. Rata-rata selisih asupan energi antara hari libur kkal lebih banyak dibandingkan dengan hari kuliah. Dari penilaian konsumsi pangan setelah suplementasi, tidak terdapat perbedaan asupan energi antara hari kuliah dan libur. Dengan uji Anova, rata-rata asupan energi antara hari kuliah dan libur pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Analisis korelasi antara energi dan zat gizi menunjukkan bahwa secara signifikan energi berhubungan positif dengan protein (r=0,821; p<0,05), zat besi (r=0,424; p<0,05) dan vitamin C (r=0,189; p<0,05), namun tidak berhubungan nyata dengan vitamin A (r=0,122; p>0,05). (kkal) Kontrol B-F B-MV Kuliah Libur Rataan Gambar 6. Rata-rata asupan energi menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi. Sebelum suplementasi, rata-rata asupan energi (hari kuliah dan libur) pada ketiga kelompok perlakuan adalah 1431 kkal (kontrol), 1509 kkal (B-F), 1502 kkal (B-MV). Jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi pada ketiga kelompok secara umum masih rendah, yaitu rata-rata ketiganya termasuk kategori defisit energi sedang (76,3% AKG). Rata-rata tingkat kecukupan energi pada ketiga kelompok perlakuan adalah 74,4% kontrol, 78,0 % B-F dan 76,7% B-MV. Tingkat kecukupan energi antar ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05).

94 76 Setelah suplementasi terjadi peningkatan asupan energi, yaitu pada kontrol menjadi 1727 kkal, B-F 1875 kkal, dan B-MV 1897 kkal, atau terjadi peningkatan asupan energi pada ketiga kelompok berturut-turut sebesar 296 kkal, 366 kkal, dan 395 kkal (Tabel 12). Dengan uji post-hoc LSD asupan energi pada kelompok kontrol secara nyata lebih rendah dibandingkan kelompok B-F dan B-MV (p<0,05), namun antara kelompok B-F dan B-MV tidak berbeda nyata (p>0,05). Pengumpulan data konsumsi pangan yang dilakukan sesudah suplementasi sudah tercakup di dalamnya konsumsi snack dan minuman dari paket PMT. Kontribusi asupan energi yang berasal dari PMT pada kontrol 409 kkal, B-F 419 kkal, dan B- MV 427 kkal. Terjadi perbedaan selisih kenaikan asupan energi dengan kontribusinya dari PMT, yang menunjukkan terjadinya sedikit penurunan asupan energi dari konsumsi pangan harian. Tabel 12. Rata-rata asupan energi dan tingkat kecukupannya menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi 1 Energi Kelompok Kontrol B-F B-MV Sebelum: Asupan 1431±283 a 1509±332 a 1502±347 a 0,302 % AKG 74,4±19,4 a 78,0±19,6 a 76,7±18,5 a 0,544 Sesudah: Asupan 1727±312 a 1875±330 b 1897± 414 b 0,019 % AKG 93,0±23,0 a 99,6±25,1 a 101,5±28,2 a 0,163 1 x ± Sd p a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p<0,05) Tingkat kecukupan energi setelah suplementasi menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata meningkat menjadi 98% atau dalam kategori cukup. Meskipun tingkat kecukupan energi kelompok kontrol lebih rendah (93,0%) dibandingkan kelompok B-F (99,6%) dan B-MV (101,5%), namun dengan uji Anova perbedaan diantara ketiga kelompok tersebut tidak nyata (p>0,05).

95 77 Sebelum suplementasi, pada ketiga kelompok sebagian besar sampel (58,5%) ternyata mengalami defisit energi tingkat berat (<70% AKG), sedangkan yang termasuk kategori cukup (>90% AKG) rata-rata hanya sekitar 4,5% sampel. Adanya homogenisasi asupan gizi makro pada sampel melalui kegiatan PMT, setelah suplementasi terdapat penurunan defisit tingkat berat yaitu menjadi 13,7%, dan yang memperoleh cukup energi meningkat menjadi 29,0% rata-rata pada ketiga kelompok. Distribusi proporsi kategori tingkat kecukupan energi diantara ketiga ketiga kelompok perlakuan relatif sama, dan menunjukkan semakin membaik setelah suplementasi (Gambar 7). (%) 70,0 65,2 60,0 50,0 55,2 55,1 40,0 38,8 Sebelum 30,0 22,8 25,4 Sesudah 20,0 10,0 15,8 4,5 10,4 4,5 14,9 4,5 0,0 <70% >90% <70% >90% <70% >90% Kontrol B-F B-MV Gambar 7. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan energi sebelum dan sesudah suplementasi. Dengan menggunakan berbagai tingkat kecukupan energi dan protein (% AKG), selisih nilai biomarker cenderung tidak lebih baik pada sampel yang %AKG energi dan proteinnya lebih tinggi dibandingkan yang kurang. Tidak terdapat pola bahwa selisih Hb, STfR dan SF lebih besar pada sampel yang AKG energi >70% dibandingkan AKG energi<70% (Tabel 13). Dengan cara yang sama, dilakukan tabulasi silang tingkat kecukupan energi dan protein dengan cutoff 70% dan 80% (AKG), namun hasilnya menunjukkan pola yang relatif sama

96 78 seperti di atas. Demikian pula hasil Ancova, % AKG energi dan zat gizi tidak mempengaruhi peningkatan Hb, STfR dan SF (p>0,05). Tabel 13. Perubahan biomarker menurut kategori tingkat kecukupan energi (70% AKG) dan kelompok perlakuan Kelompok Perubahan biomarker Kontrol B-F B-MV <70 % AKG Energi: Hb (g/l) 6,5±9,5 15,3±14,9 16,2±15,1 STfR (mg/l) -1,0±3,1 0,0±2,0-3,8±10,9 SF (ug/l) 7,9±15,3 0,1±17,6-1,9±9,5 70 % AKG Energi: Hb (g/l) 10,3±15,8 9,9±12,3 10,1±11,4 STfR (mg/l) 0,8±1,8-1,4±3,7-3,8±5,4 SF (ug/l) -0,8±11,0 4,9±27,6 14,3±26,4 Asupan dan Tingkat Kecukupan Protein Asupan protein selama hari kuliah pada kelompok kontrol 32,8 g, B-F 35,0 g, dan B-MV 34,0 g. Rata-rata asupan protein pada hari libur, berturut-turut yaitu 36,8 g, 38,4 g dan 39,0 g (Gambar 8). Seperti dijelaskan di atas pada saat libur (sabtu-minggu) sebagian sampel pulang dan makan di rumah masing-masing (tidak tinggal di asrama) dan mengkonsumsi makanan relatif lebih baik. Seperti halnya asupan energi, hasil analisis asupan protein setelah suplementasi relatif tidak berbeda antara hari kuliah dan libur. Dengan uji Anova, rata-rata asupan protein antara hari kuliah dan libur pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Rata-rata total asupan protein (hari kuliah dan libur) sebelum suplementasi pada kontrol 34,8 g, B-F 36,7 g dan B-MV 36,5 gram (Gambar 8). Jika dibandingkan dengan kecukupan protein (AKG), diperoleh rata-rata tingkat kecukupan protein 71,2% kontrol, 75,2% B-F dan 74,1% B-MV (Tabel 14). Ratarata asupan dan tingkat kecukupan protein antara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05).

97 79 (g) 41,0 39,0 37,0 35,0 33,0 31,0 29,0 27,0 25,0 38,4 39,0 36,8 36,7 36,5 34,8 35,0 34,0 32,8 Kontrol B-F B-MV Kuliah Libur Rataan Gambar 8. Rata-rata asupan protein menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi. Setelah suplementasi, asupan protein pada ketiga kelompok mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,9 gram. Pada kelompok kontrol menjadi 39,8 g, B-F 42,6 g, dan B-MV 43,4 g (Tabel 14). Asupan protein antara kontrol dengan B-MV perbedaannya signifikan (p<0,05), sedangkan antara kontrol dengan B-F, dan B-F dengan B-MV tidak signifikan (p>0,05). Tabel 14. Rata-rata asupan protein dan tingkat kecukupannya menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi 1 Protein Kelompok Kontrol B-F B-MV Sebelum: Asupan 34,8±8,3 a 36,7 ±8,8 a 36,5±9,2 a 0,357 % AKG 71,2±20,3 a 75,2±21,4 a 74,1±20,3 a 0,522 Sesudah: Asupan 39,8±7,7 a 42,6±10,4 a,b 43,4±10,6 b 0,101 % AKG 82,6±19,2 a 88,1±28,2 a 89,8±24,7 a 0,251 1 x ± Sd P a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan nyata antar kelompok (p<0,05) yang Penambahan asupan protein setelah suplementasi yang berasal dari PMT pada kontrol 6,4 g, B-F 6,8 g, dan B-MV 6,8 g. Berdasarkan kategori tingkat

98 80 kecukupan protein, rata-rata menjadi meningkat sebesar 14%, yaitu pada kontrol menjadi 82,6%, B-F 88,1% dan B-MV 89,8%. Rata-rata tingkat kecukupan protein tersebut berada pada kategori defisit tingkat ringan, dan setelah suplementasi diantara ketiga kelompok perbedaannya tidak nyata (p>0,05). Sebelum suplementasi, distribusi sampel dengan tingkat kecukupan protein defisit berat (<70% AKG) jumlahnya cukup besar, yaitu 69,7% (kontrol), 62,7% (B-F), dan 63,8% (B-MV). Setelah suplementasi terjadi penurunan defisit protein tingkat berat, yaitu berturut-turut menjadi 31,6%, 29,4%, dan 23,9% (Gambar 9). Sebaliknya untuk sampel yang kategori asupan proteinnya sudah mencukupi (>90% AKG) mengalami kenaikan pada ketiga kelompok. Distribusi persentase sampel berdasarkan kategori tingkat kecukupan protein pada ketiga kelompok perlakuan, baik sebelum dan setelah suplementasi tidak berbeda nyata (p>0,05). (%) 70,0 60,0 69,7 62,7 63,8 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 31,6 4,5 8,8 29,4 7,5 17,6 23,9 4,3 16,4 Sebelum Sesudah 0,0 <70% >90% <70% >90% <70% >90% Kontrol B-F B-MV Gambar 9. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan protein sebelum dan sesudah suplementasi. Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin A Asupan vitamin A ini dihitung dari konsumsi pangan harian, dan tidak termasuk dari kapsul suplementasi. Sebelum suplementasi rata-rata asupan vitamin A pada kelompok kontrol 541 RE, B-F 699 RE, dan B-MV 622 RE (Gambar 10). Sebelum suplementasi rata-rata asupan vitamin A di hari libur pada ketiga kelompok 586 RE, sedangkan pada hari kuliah sebesar 655 RE. Dengan

99 81 uji Anova, sebelum dan setelah suplementasi asupan vitamin A pada hari kuliah dan libur diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). (RE) Kontrol B-F B-MV Kuliah Libur Rataan Gambar 10. Rata-rata asupan vitamin A menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi. Dibandingkan dengan angka kecukupan vitamin A, sebelum suplementasi rata-rata % AKG pada ketiga kelompok sudah pada kategori cukup, yaitu pada kontrol 95,1%, B-F 122,9%, dan B-MV 108,0%. Tingkat kecukupan vitamin A pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) (Tabel 15). Tabel 15. Rata-rata asupan vitamin A dan tingkat kecukupannya menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi 1 Vitamin A Kelompok Kontrol B-F B-MV Sebelum: Asupan 541±321 a 699 ± 627 a 622 ± 407 a 0,156 % AKG 95,1±58,0 a 122,9±106,5 a 108,0±71,1 a 0,145 Sesudah: Asupan 505±358 a 589±454 a 572±390 a 0,485 % AKG 95,0±66,6 a 108,5±85,2 a 103,7±71,3 a 0,602 1 x ± Sd P a Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0,05)

100 82 Setelah suplementasi asupan vitamin A relatif menurun yaitu menjadi 505 RE (kontrol), 589 RE (B-F), dan 572 RE (B-MV). Apabila dibandingkan dengan AKG vitamin A, maka secara rata-rata pada ketiga kelompok masih mencukupi, yaitu berturut-turut 95,0%, 108,5%, 103,7% (Tabel 15). Uji Anova rata-rata asupan vitamin A dan tingkat kecukupannya setelah suplementasi tidak berbeda antara ketiga kelompok perlakuan (p>0,05). Pada saat dilakukan pencatatan konsumsi pangan, ternyata tidak terdapat kontribusi asupan vitamin A yang berasal dari paket PMT. Berdasarkan data sebelum dan setelah suplementasi, secara rata-rata tingkat kecukupan vitamin A sudah diatas 100%, namun masih terdapat sekitar 35 % sampel (baseline) dan 38% (endline) yang masih mengalami defisit asupan vitamin A (AKG< 70%). Sebelum suplementasi, prevalensi tersebut paling besar pada kelompok kontrol 45,5%, sedangkan pada kelompok B-F sebanyak 31,3% dan yang paling rendah kelompok B-MV 27,5% (Gambar 11). (%) 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 45,5 40,6 59,6 54,5 39,7 31,3 68,7 60,3 34,3 27,5 72,5 65,7 <70% 70% <70% 70% <70% 70% Kontrol B-F B-MV Sebelum Sesudah Gambar 11. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan vitamin A sebelum dan sesudah suplementasi. Setelah suplementasi sampel yang defisit vitamin A hanya menurun pada kelompok kontrol (40,6%), sedangkan kelompok B-F dan B-MV meningkat menjadi 39,7% dan 34,7% (Gambar 11). Namun distribusi tingkat kecukupan vitamin A sebelum dan setelah suplementasi antara ketiga kelompok tidak

101 83 berbeda nyata (p>0,05). Dibandingkan studi Dillon (2005), sebanyak 75% sampel remaja wanita mempunyai tingkat kecukupan vitamin A dibawah AKG (500 RE). Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin C Rata-rata total asupan vitamin C sebelum suplementasi pada kontrol 49 mg, 64 mg B-F dan 58 mg B-MV pada hari kuliah, sedangkan pada hari libur berturut-turut sebesar 53 mg, 55 mg, dan 75 mg (Gambar 12). Asupan vitamin C ini dihitung dari konsumsi pangan harian, dan tidak termasuk tambahan dari suplementasi kapsul perlakuan. Sebelum suplementasi rata-rata asupan vitamin C di hari kuliah dan libur relatif sama. Demikian pula setelah suplementasi, tidak terdapat perbedaan asupan vitamin C antara hari kuliah dan libur. Rata-rata asupan vitamin C antara ketiga kelompok perlakuan pada hari kuliah maupun hari libur tidak berbeda nyata (p>0,05). (mg) Kontrol B-F B-MV Kuliah Libur Rataan Gambar 12. Rata-rata asupan vitamin C menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi. Rata-rata asupan vitamin C (hari kuliah dan libur) sebelum suplementasi pada kontrol 51 mg, kelompok B-F 60 mg, dan B-MV 67 mg (Tabel 16). Dan dengan uji Anova, tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga kelompok (p>0,05). Demikian pula saat dibandingkan dengan tingkat kecukupannya, ratarata % AKG vitamin C berturut-turut sebesar 68,0%, 79,6%, dan 89,1% dan perbedaannya tidak nyata (p>0,05). Setelah suplementasi, asupan vitamin C menurun sebesar 12 mg, yaitu rata-rata menjadi 43 mg (kontrol), 45 mg (B-F), dan 53 mg (B-MV). Penurunan asupan tersebut, menyebabkan rata-rata tingkat kecukupannya juga menurun,

102 84 yaitu menjadi 56,8% (kontrol), 59,9% (B-F) dan 71,4% (B-MV) (Tabel 16). Namun demikian, baik asupan maupun tingkat kecukupan vitamin C setelah suplementasi tidak berbeda nyata diantara ketiga kelompok perlakuan (p>0,05). Tabel 16. Rata-rata asupan vitamin C dan kecukupannya menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi 1 Vitamin C Kelompok Kontrol B-F B-MV Sebelum: Asupan 51±38 a 60±54 a 67±65 a 0,227 % AKG 68,0±50,1 a 79,6±71,6 a 89,1±86,4 a 0,227 Sesudah: Asupan 43±34 a 45±57 a 53±62 a 0,480 % AKG 56,8±45,0 a 59,9±75,4 a 71,4±82,8 a 0,468 1 x ± Sd p a Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0,05) Berdasarkan kategori % AKG vitamin C sebelum suplementasi, pada sebagian besar sampel (60,5%) mengkonsumsi dibawah 70% AKG. Distribusi prevalensi tersebut hampir sama pada ketiga kelompok, yaitu kontrol 62,1%, B-F 64,2%, B-MV 55,1%. Setelah suplementasi, prevalensi defisiensi vitamin C meningkat yaitu kontrol 71,9%, B-F 75,0%, dan 61,2% B-MV (Gambar 13). (%) 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 71,9 75,0 62,1 64,2 61,2 55,1 44,9 37,9 35,8 38,8 28,1 25,0 <70% 70% <70% 70% <70% 70% Kontrol B-F B-MV Sebelum Sesudah Gambar 13. Persentase sampel yang mengalami defisit vitamin C sebelum dan sesudah suplementasi.

103 85 Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Besi Sebelum suplementasi, rata-rata asupan zat besi pada hari kuliah adalah 12,4 mg kontrol, 12,9 mg B-F dan 13,2 mg B-MV (Gambar 14). Rata-rata asupan pada hari libur sedikit lebih tinggi, yaitu berturut-turut 13,5 mg, 15,1 mg, dan 15,0 mg. Asupan zat besi ini dihitung dari konsumsi pangan harian, dan tidak termasuk tambahan dari kapsul suplementasi. Sebelum dan setelah suplementasi, dengan uji Anova, rata-rata asupan zat besi antara hari kuliah dan libur pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). (mg) 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 15,1 15,0 14,0 14,1 13,513,0 12,9 13,2 12,4 Kontrol B-F B-MV Kuliah Libur Rataan Gambar 14. Sebaran asupan zat besi menurut hari kuliah dan libur sebelum suplementasi. Sebelum suplementasi, rata-rata asupan zat besi pada ketiga kelompok sangat rendah, yaitu 13,0 mg kontrol, 14,0 mg B-F dan 14,1 mg B-MV. Rata-rata asupan zat besi ini diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Demikian pula saat dibandingkan dengan kecukupan zat besi, rata-rata % AKG zat besi masih sangat rendah diantara ketiga kelompok, yaitu kontrol 50,1%, B-F 53,8%, B-MV 54,2%, dan diantara ketiganya tidak berbeda nyata (p>0,05) (Tabel 17). Setelah suplementasi, asupan zat besi juga sedikit menurun 1-2 mg/hari yaitu pada kontrol 11,8 mg, B-F 11,9 mg, dan B-MV 11,8 mg. Demikian pula terhadap tingkat kecukupannya menjadi menurun, yaitu pada kontrol 45,4%, B-F 45,7 %, dan B-MV 45,5% (Tabel 17). Diantara ketiga kelompok perlakuan, asupan dan tingkat kecukupan zat besi tidak berbeda nyata (p>0,05). Pada saat

104 86 dilakukan pencatatan konsumsi pangan, ternyata tidak terdapat kontribusi asupan zat besi yang berasal dari paket PMT. Zat besi Sebelum : Tabel 17. Rata-rata asupan zat besi dan tingkat kecukupannya menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi 1 Kelompok Kontrol B-F B-MV Asupan 13,0±4,5 a 14,0±4,1 a 14,1±4,4 a 0,302 % AKG 50,1±17,2 a 53,8±15,7 a 54,2±17 a 0,302 Sesudah : Asupan 11,8±5,3 a 11,9±4,9 a 11,8±4,3 a 0,994 % AKG 45,4±20,4 a 45,7±18,8 a 45,5±16,5 a 0,994 1 x ± Sd a Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0,05). Pada hampir sebagian besar sampel, tingkat kecukupan zat besi sebelum intervensi masih dibawah 70% AKG. Prevalensi tersebut hampir sama diantara ketiga kelompok, yaitu kontrol 86,4%, B-F 86,6%, dan B-MV 85,5%. Akibat penurunan asupan besi, setelah suplementasi prevalensi yang mengkonsumsi dibawah tingkat kecukupan zat besi meningkat, yaitu menjadi 89,5% kontrol, 88,2% B-F dan 94,0% B-MV (Gambar 15). p (%) 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 86,4 89,5 86,688,2 94,0 85,5 14,0 10,0 13,012,0 14,0 6,0 <70% 70% <70% 70% <70% 70% Sebelum Sesudah Kontrol B-F B-MV Gambar 15. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan zat besi sebelum dan sesudah suplementasi.

105 87 Konsumsi dan Asupan Energi dan Zat Gizi Makanan Tambahan (PMT) Suplai dan Kepatuhan Konsumsi Makanan Tambahan (PMT) Suplai makanan tambahan ini dilakukan sebagi upaya untuk homogenisasi sampel didalam memenuhi kebutuhan zat gizi makro, terutama energi dan protein. Setiap sampel menerima paket snack dan minuman setiap hari selama suplementasi berlangsung. Untuk menghindari kebosanan, pemberian makanan tambahan tersebut dibagi dalam tiga tahap, dan setiap tahap berlangsung selama delapan minggu. Tahapan suplai tersebut relatif tidak berbeda dalam jumlah zat gizinya, tetapi lebih pada variasi jenis makanan yang diberikan. Jenis produk tahap pertama berasal dari industri besar (aneka biskuit dan jus buah), tahap kedua dari industri kecil (roti, jus buah dan susu) tahap ketiga gabungan dari keduanya. Pemberian PMT per hari adalah kombinasi dari biskuit/roti dengan susu/jus/buah. Selama kegiatan suplementasi, total makanan tambahan yang didistribusikan kepada setiap sampel sebanyak kkal dan 961,5 g protein. Selain energi dan protein di dalam makanan tambahan tersebut juga mengandung zat gizi lainnya, yaitu vitamin A RE, vitamin C 1835 mg, vitamin B12 34,6 mg dan zat besi 481,0 mg. Dalam sehari selama suplementasi, setiap sampel rata-rata akan menerima suplai zat gizi: 342 kkal energi; 5,7 g protein; 83 RE vitamin A; 0,2 mg vitamin B12; 11 mg vitamin C; dan 2,9 mg zat besi (Tabel 18). Tabel 18. Rata-rata suplai zat gizi per hari dari makanan tambahan Tahapan Energi Protein Vit. A Vit. B12 Vit. C Besi Suplai (kkal) (g) (RE) (mg) (mg) (mg) Tahap ,8 23 0,2 2 1,8 Tahap , ,2 9 3,2 Tahap , ,2 22 3,6 Rata-rata 342 5,7 83 0,2 11 2,9 Paket makanan tambahan didistribusikan oleh dua orang petugas setiap hari di depan pintu gerbang asrama. Rata-rata setiap hari sekitar 7-12 % sampel tidak mengambil paket makanan tambahan, sehingga harus diantarkan petugas ke masing-masing lorong Asrama. Rata-rata jumlah peserta yang selama program berlangsung menandatangani absensi pengambilan PMT cukup besar, yaitu 87,9% kontrol, 89,2% B-F dan 87,3% B-MV (Gambar 16). Sebagian besar alasan tidak

106 88 mengambil makanan tambahan adalah sampel tidak pulang ke asrama, atau terlambat masuk asrama karena ada aktivitas lainnya di luar kampus. (%) 90,0 85,0 80,0 75,0 70,0 65,0 60,0 55,0 50,0 87,9 89,2 87,3 Kontrol B-F B-MV Gambar 16. Persentase sampel menurut tingkat pengambilan makanan tambahan. Kepatuhan konsumsi PMT dihitung dengan proporsi konsumsi aktual terhadap suplai yang diberikan. Variasi paket PMT cukup beragam mulai dari biskuit, roti, cake, buah, susu, yogurt, dan jus buah. Untuk kemudahan dan keseragaman dalam perhitungan, tingkat kepatuhan dinyatakan dalam persentasi energi yang dimakan dari yang didistribusikan/disediakan. Unit yang digunakan adalah senilai kandungan energi (kkal) dari masing-masing snack/minuman paket PMT yang diberikan. Daftar absensi pengambilan PMT tidak digunakan sebagai ukuran tingkat kepatuhan, mengingat bahwa kemungkinan paket yang diambil belum tentu akan dikonsumsinya. Rata-rata tingkat kepatuhan konsumsi PMT pada kontrol 86,0%, B-F 87,8%, dan B-MV 87,0% dari suplai (Gambar 17). Uji Anova untuk membandingkan kepatuhan konsumsi PMT diantara ketiga kelompok perbedaannya tidak nyata (p>0,05).

107 89 (%) 90,0 85,0 80,0 75,0 70,0 65,0 60,0 55,0 50,0 86,0 87,8 87,0 Kontrol B-F B-MV Gambar 17. Persentase sampel menurut tingkat kepatuhan konsumsi makan tambahan. Apabila tingkat kepatuhan dikategorikan menjadi tiga kategori, maka peserta yang mengkonsumsi kurang dari 60% sangat rendah yaitu hanya 2,5%. Kebanyakan contoh pada ketiga kelompok (81,8%) mengkonsumsi PMT lebih dari 80% dari yang telah disediakan (Tabel 19). Tidak terdapat perbedaan tingkat kepatuhan konsumsi PMT diantara ketiga kelompok perlakuan (p>0,05). Tabel 19. Sebaran sampel menurut tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan dan kelompok perlakuan Kepatuhan Kelompok PMT Kontrol B-F B-MV Total < 60% 3 (4,5%) 0 (0%) 2 (2,9%) 5 (2,5%) 60-80% 9 (13,4%) 11 (16,4%) 12 (17,4%) 32 (15,8%) >80% 55 (82,1%) 56 (83,6%) 55 (79,7%) 166 (81,8%) Total 67 (100,0%) 67 (100,0%) 69 (100,0%) 203 (100,0%) Kepatuhan konsumsi PMT tersebut diatas dianalisis berdasarkan formulir yang dilaporkan sendiri oleh sampel (self reported). Pengamatan langsung terhadap konsumsi PMT pada sampel tidak mungkin dilakukan, karena jumlah (volume) jajanan/minuman yang tidak memungkinkan untuk dihabiskan langsung di tempat pada saat distribusi. Namun demikian, sejak awal program dan pada

108 90 setiap kesempatan selalu ditekankan kepada sampel untuk mengisi formulir konsumsi PMT tersebut dengan sejujurnya. Validasi terhadap tingkat kepercayaan pengisian formulir dilakukan dengan cara menanyakan kepada sesama teman sampel tentang seberapa benar formulir tersebut, yaitu diisi dengan jujur dengan skala 1 (sangat tidak percaya) sampai dengan 5 (sangat percaya). Berdasarkan distribusi jawaban sampel, nilai median terhadap kebenaran (kejujuran) jawaban pengisian PMT adalah 4 (percaya). Konsumsi Makanan Tambahan (PMT) Zat gizi yang dikonsumsi dari PMT dianalisis dari asupan energi, protein, vitamin A, vitamin B12, vitamin C, dan zat besi per hari. Rata-rata asupan energi pada kontrol 294 kkal, B-F 300 kkal, dan B-MV 294 kkal (Tabel 20). Tabel 20. Rata-rata asupan zat gizi dari makanan tambahan selama suplementasi menurut kelompok perlakuan 1 Asupan zat gizi PMT (per hari) Kelompok Kontrol B-F B-MV Energi (kkal) 294±33 a 300±27 a 294±33 a 0,459 Protein (g) 5,1±1,0 a 5,2±0,5 a 5,0±0,6 a 0,240 Vitamin A (RE) 67±9 a 70±6 b 68±8 a,b 0,082 Vitamin B12 (mg) 0,2±0,0 a 0,2±0,0 b 0,2±0,0 b,c 0,140 Vitamin C (mg) 9,4±1,2 a 9,4±1,1 a 9,4±1,3 a 0,960 Zat besi (mg) 2,4±0,3 a 2,4±0,4 a 2,3±0,4 a 0,549 1 x ± Sd a,b,c Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p<0,05). Asupan zat gizi lainnya antar kelompok relatif sama, yaitu rata-rata asupan protein sekitar 5 g, vitamin A 68 RE, vitamin B12 0,2 mg, vitamin C 9 mg dan zat besi 2,3 mg. Rata-rata asupan energi dan gizi dari PMT seperti vitamin A, vitamin B12, vitamin C dan zat besi diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Artinya asupan energi dan hampir keseluruhan zat gizi dari PMT antar ketiga kelompok perlakuan relatif sama. p

109 91 Suplementasi Kapsul Kepatuhan Minum Kapsul Kapsul suplementasi diberikan kepada subyek bersamaan dengan pembagian makanan tambahan di setiap hari Rabu jam Kepada semua peserta diusahakan untuk minum kapsul ditempat, dengan menggunakan air minum yang telah disediakan oleh peneliti. Subyek yang belum makan siang atau sedang berpuasa diijinkan untuk minum kapsul di kamar asrama. Untuk meningkatkan kepatuhan minum kapsul dilakukan melalui pengawasan langsung oleh peneliti saat pengambilan, dan pencatatan laporan (self reported). Seluruh sampel mengisi formulir monitoring minum kapsul, dan dikumpulkan setiap hari Senin. Sama dengan monitoring PMT, verifikasi terhadap kejujuran pengisian formulir minum kapsul dengan cara menanyakan kepada sampel lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan atas kejujuran pelaporan sampel dengan nilai median 4 (percaya) (skala 1-5). Selama suplementasi, dari laporan mingguan diperoleh informasi bahwa tidak banyak sampel yang menggunakan obat/suplemen lainnya. Pada kelompok kontrol 98,1%, B-F 98,1%, dan B-MV 97,1% menyatakan tidak minum obatobatan dari dokter atau menggunakan suplemen lainnya di luar studi. Hanya sebagian kecil harus minum obat karena gangguan kesehatan ringan, seperti demam dah flu. Kapsul diberikan satu kali dalam seminggu (satu butir), sehingga selama suplementasi subyek akan menerima 25 butir kapsul. Peserta yang menolak melanjutkan minum kapsul (drop-out) sebanyak 3 (tiga) orang pada kelompok B- F dan 1 (satu) orang pada kelompok B-MV. Alasan yang disampaikan peserta drop-out adalah dua orang karena pusing-pusing (B-F) dan dua orang mual-mual (B-F dan B-MV). Drop-out karena keluhan minum kapsul terjadi pada minggu ketiga dan kedelapan (B-F) dan minggu ketujuh (B-MV). Hal ini menunjukkan bahwa komposisi zat gizi dan jumlahnya untuk formulasi suplemen relatif tidak mempengaruhi penerimaan (keluhan) oleh subyek. Kapsul yang dikonsumsi sampel berkisar antara butir. Artinya paling sedikit diantara sampel sudah mengkonsumsi kapsul tersebut minimal selama tiga bulan (Gambar 18). Dengan uji Anova, rata-rata tingkat kepatuhan konsumsi

110 92 kapsul antar ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 10). Rata-rata jumlah kapsul yang dikonsumsi pada ketiga kelompok adalah 22,4± 2,4 butir. (kapsul) ,5 22,5 22,2 Kontrol B-F B-MV Gambar 18. Rata-rata kepatuhan minum kapsul menurut kelompok perlakuan. Untuk pembahasan lebih lanjut, kategori kepatuhan (compliance) minum kapsul ditetapkan batas minimal sebesar 80% (20 butir). Berdasarkan studi sebelumnya, efektifitas suplementasi dimulai sejak konsumsi kapsul lebih dari 20 kapsul/tablet. Pada studi ini jumlah peserta yang mengkonsumsi kapsul dibawah 80% antar kelompok relatif sama, yaitu kontrol 6 orang (9,0%), kelompok B-F 6 orang (9,0%) dan kelompok B-MV 11 orang (15,9%) (Tabel 21). Tabel 21. Sebaran sampel menurut tingkat kepatuhan minum kapsul dan kelompok perlakuan Kelompok Kepatuhan (%) Kontrol B-F B-MV Total 80 6 (9,0%) 6 (9,0%) 11 (15,9%) 23 (11,3%) >80 61 (91,0%) 61 (91,0%) 58 (84,1%) 180 (88,7%) Total 67 (100,0%) 67 (100,0%) 69 (100,0%) 203 (100,0%) Manfaat dan Keluhan Setelah Minum Kapsul Manfaat minum kapsul dinilai secara subyektif dengan cara menanyakan kepada sampel terhadap hal-hal yang dirasakan setelah 1-3 hari minum kapsul. Manfaat yang paling banyak dirasakan oleh kebanyakan sampel adalah fisik

111 93 menjadi tidak mudah lelah dan jarang sakit. Kelompok B-F yang menyatakan tidak cepat lelah adalah 28,4% dan kelompok B-MV 33,3% (Tabel 22). Manfaat Tabel 22. Sebaran sampel menurut manfaat minum kapsul dan kelompok perlakuan Kelompok Kontrol B-F B-MV Total Konsentrasi belajar 9 (13,4%) 8 (11,9%) 10 (14,5%) 27 (13,3%) meningkat Jarang sakit 18 (26,9%) 20 (29,9%) 16 (23,2%) 54 (26,6%) Tidak cepat lelah 26 (38,8%) 19 (28,4%) 23 (33,3%) 68 (33,5%) Meskipun hanya minum kapsul plasebo, namun terdapat 38,8% sampel pada kelompok kontrol yang juga menyatakan tidak cepat lelah. Nampaknya penjelasan di awal penelitian bahwa kapsul yang diberikan berupa multi-vitamin memberikan sugesti terhadap manfaat yang dirasakan oleh kelompok kontrol (placebo effect). Selain itu peserta juga merasakan lebih jarang terkena sakit dan konsentrasi belajar menjadi meningkat, rata-rata pada ketiga kelompok secara berurutan adalah 26,6% dan 13,3%. Perbedaan sebaran manfaat relatif sama antar kelompok perlakuan. Distribusi proporsi manfaat setelah minum kapsul tersebut diantara ketiga perlakuan relatif sama. Keluhan yang paling banyak disampaikan oleh peserta setelah minum kapsul adalah mudah mengantuk dan nafsu makan meningkat. Keluhan mudah mengantuk disampaikan oleh contoh kelompok kontrol 50,7%, kelompok B-F 46,3% dan kelompok B-MV 43,5%; sedangkan keluhan terjadinya peningkatan nafsu makan berturut-turut adalah 41,8%, 44,8% dan 43,5% (Tabel 23). Kedua keluhan ini relatif merata untuk ketiga kelompok perlakuan. Keluhan lainnya setelah minum kapsul pada ketiga kelompok adalah perut kembung 12,8%, konstipasi 10,3%, diare 6,4% dan feses warna hitam 3,4%. Sebaran keluhan tersebut relatif merata baik pada kontrol maupun kelompok perlakuan. Jawaban sampel terhadap pertanyaan manfaat dan keluhan setelah minum kapsul nampaknya bersifat sangat subyektif. Respon sampel terhadap keluhan dan manfaat antar ketiga kelompok relatif seragam. Untuk itu agak sulit disimpulkan terhadap kebenaran jawaban tersebut akibat dari perbedaan perlakuan

112 94 atau oleh faktor eksternal lainnya. Kehidupan dan aktivitas keseharian antar peserta hampir sama, termasuk interaksinya yang relatif dekat kemungkinan dapat menyebabkan respon yang sama antar kelompok. Studi ini bersifat blinded (perbedaan perlakuan tidak diketahui oleh sampel), dan ternyata jawaban antar kelompok relatif sama terhadap keluhan dan manfaat setelah minum kapsul. Pada awal suplementasi dijelaskan bahwa seluruh sampel diberikan kapsul suplemen multivitamin untuk meningkatkan asupan zat gizi mikro. Tabel 23. Sebaran sampel menurut keluhan setelah minum kapsul dan kelompok perlakuan Keluhan Kelompok Kontrol B-F B-MV Total Feses hitam 1 (1,5%) 3 (4,5%) 3 (4,3%) 7 (3,4%) Diare 4 (6,0%) 4 (6,0%) 5 (7,2%) 13 (6,4%) Konstipasi 10 (14,9%) 5 (7,5%) 6 (8,7%) 21 (10,3%) Perut kembung 4 (6,0%) 7 (10,4%) 15 (21,7%) 26 (12,8%) Nafsu makan 28 (41,8%) 30 (44,8%) 30 (43,5%) 88 (43,3%) meningkat Mudah mengantuk 34 (50,7%) 31 (46,3%) 30 (43,5%) 95 (46,8%) Status Zat Besi Terdapat tiga tahapan defisiensi besi didalam tubuh, yaitu berturut-turut mulai dari deplesi simpanan zat besi, defisiensi besi eritropoiesis, dan defisiensi besi anemia. Pada tahap awal (iron depleted) dicirikan oleh berkurangnya simpanan zat besi yang dapat diukur dengan serum feritin. Nilai serum feritin yang rendah merefleksikan defisit simpanan besi, apabila tidak terdapat penyakit infeksi (inflamasi). Kelompok wanita usia sampel termasuk di dalam kelompok wanita usia subur (WUS) yang sedang tidak hamil, dan batas deplesi zat besi adalah jika serum feritin <15 ug/l (UNICEF/UNU/ WHO 2001). Hasil pengukuran pada studi ini, prevalensi deplesi besi sampel sebelum suplementasi adalah 41,5%, dan sesudah suplementasi prevalensi turun menjadi 32,1%. Tahap kedua defisiensi zat besi adalah terjadinya penurunan suplai zat besi ke sumsum tulang belakang dan jaringan lainnya, yang ditunjukkan oleh menurunnya transpor besi untuk proses eritropoiesis (funcional iron deficiency

113 95 atau iron-deficient erythropoiesis atau IDE). Pada tahapan ini serum transferin reseptor (STfR) akan mengalami peningkatan. Secara internasional penggunaan batas ambang STfR belum ditetapkan, dan berbagai studi merujuk penggunan batasan STfR berdasarkan dari kits untuk analisis serum yang digunakan. Pada studi ini, kategori STfR >8,3 mg/l digunakan sebagai kategori defisit besi eritropoiesis yang didasarkan pada penggunaan serum Liquicheck, Bio-Rad, USA untuk analisis STfR metode ELISA (Erhard et al. 2004). Serum transferin reseptor merupakan metode terbaru yang cukup sensitif untuk mendeteksi defisiensi suplai zat besi dari simpanan, yang tidak dipengaruhi oleh infeksi, umur, jenis kelamin dan status kehamilan (UNICEF/UNU/WHO 2001; WHO 2004). Prevalensi IDE pada sampel ini sebelum suplementasi adalah 40,3%, dan sesudah suplementasi prevalensi turun menjadi 25,1%. Tahap ketiga, defisit zat besi disebut dengan anemia gizi besi (iron deficiency anemia atau IDA). Anemia ini terjadi ketika suplai zat besi untuk sintesis hemoglobin tidak mencukupi. Batas yang digunakan untuk kondisi anemia pada remaja wanita (tidak hamil) adalah <120 g/l (UNICEF/UNU/WHO 2001). Sampel yang menderita IDA adalah jika serum feritin <15 ug/l dan hemoglobin < 120 g/l. Hasil studi ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia sampel sebelum suplementasi adalah 25,1% (kategori sedang), dan sesudah suplementasi prevalensi turun menjadi 15,3% (kategori ringan). Prevalensi IDA sebelum suplementasi sebesar 16,4%, dan sesudah suplementasi menjadi 9,1%. Untuk menunjukkan tingkat keparahannya, penilaian status zat besi pada populasi, direkomendasikan minimal menggunakan indikator hemoglobin. Serum feritin dan serum transferin reseptor merupakan indikator terbaik untuk melengkapi hemoglobin (WHO 2004). Penggunaan ketiga indikator tersebut (Hb, STfR, SF) untuk deskripsi status zat besi pada populasi, masing-masing masih digunakan secara terpisah. Saat ini kombinasi indikator SF dan STfR digunakan oleh WHO/CDC (2005) dengan kriteria seperti pada Tabel 24. Selain anemia masih menjadi masalah, juga ditemukan banyak yang menderita deplesi zat besi dan defisit besi eritropoiesis (IDE). Sebelum suplementasi, prevalensi penderita deplesi zat besi 41,5%, dan prevalensi defisit besi eritropoiesis 40,3%. Kondisi setelah suplementasi, meskipun defisiensi zat

114 96 besi tersebut masih banyak, tetapi prevalensinya sudah menurun yaitu berturutturut menjadi 32,1% dan 25,1%. Berdasarkan kategori di atas, baik sebelum dan setelah suplementasi ternyata masih banyak terjadi defisiensi zat besi. Pada subbab berikutnya akan dibahas lebih rinci tentang kondisi masing-masing indikator status besi tersebut di atas pada ketiga kelompok perlakuan. Tabel 24. Interpretasi kategori serum feritin dan serum transferin reseptor untuk defisiensi zat besi Persentase SF dibawah ambang a Persentase STfR diatas ambang b Interpretasi <20% <10% Defisiensi zat besi tidak banyak <20% 10% Banyak defisiensi zat besi; dan banyak infeksi 20% 10% Banyak defisiensi zat besi 20% <10% Banyak defisiensi zat besi tingkat ringan a Penggunaan batas ambang rekomendasi WHO/UNICEF/UNU (2001) b Penggunaan batas ambang sesuai dengan rekomendasi pabrik untuk analisis ELISA Kadar Hemoglobin (Hb) Distribusi data kadar hemoglobin tidak normal, yaitu memiliki nilai skewness negatif (baseline -0,692 dan endline -0,526) sehingga kurva sebaran data cenderung menjulur ke kiri (skew to the left). Uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan kriteria p>0,05 untuk data berdistribusi normal, menunjukkan bahwa distribusi hemoglobin tidak normal (p<0,05). Untuk memenuhi persyaratan uji Anova, maka data hemoglobin ditransformasi kedalam bentuk kuadratik (p=0,200). Uji homogenitas data menggunakan Lavene, dengan kriteria p>0,05 berarti variasi antar kelompok sama. Setelah dilakukan transformasi kuadratik nilai hemoglobin mempunyai keragaman yang sama antar ketiga kelompok perlakuan (p>0,05) (Lampiran 8). Data yang telah ditransformasikan tersebut digunakan untuk menguji signifikansi pada uji Anova dan post-hoc LSD, dan di dalam penyajian berikut ini menggunakan data nilai Hb aktual. Sebelum suplementasi, rata-rata kadar hemoglobin (Hb) pada seluruh kelompok adalah 126,2±13,1 g/l, dengan selang antara 78,1-155,0 g/l. Rata-rata

115 97 hemoglobin pada kontrol 126,1 g/l, B-F 124,4 g/l dan B-MV 128,1 g/l. Apabila dibandingkan rata-rata kadar hemoglobin antara ketiga kelompok perbedaannya tidak nyata (p>0,05) (Tabel 25). Setelah suplementasi rata-rata kadar hemoglobin pada ketiga kelompok meningkat menjadi 136,2±14,2 g/l dengan selang antara 102,3-64,5 g/l. Secara berurutan kadar hemoglobin paling rendah pada kontrol (134,4 g/l), kemudian kelompok B-F (135,6 g/l), dan yang paling tinggi pada B-MV (138,6 g/l). Uji Anova kadar hemoglobin sesudah suplementasi antara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Dengan uji post-hoc LSD, perbedaan hemoglobin yang nyata adalah diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 8). Tabel 25. Rata-rata kadar hemoglobin (Hb) menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi 1 Hb Kelompok (g/l) Suplementasi Kontrol B-F B-MV Sebelum 126,1±14,7 a 124,4±13,5 a 128,1±0,8 a 0,279 Sesudah 134,4±14,9 a,1 135,6±14,0 a,1 138,6±13,5 a,1 0,208 Selisih 8,3±15,4 a (10,6) 11,2±12,6 a (9,3) 10,5±12,0 a (10,4) 0,425 1 x ± Sd a, Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Uji Anova, p<0,05). 1, Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah suplementasi (Uji beda-t, p<0,05). ( ) Nilai selisih adjusted dengan uji Ancova p Setelah suplementasi, pada kelompok kontrol terdapat peningkatan hemoglobin ( Hb) sebesar 8,3 g/l, kelompok B-F sebesar 11,2 g/l, dan kelompok B-MV 10,5 g/l (Tabel 25). Meskipun terdapat rata-rata perbedaan sebesar 2,2-2,9 g/l antara kontrol dengan kedua kelompok perlakuan (B-F dan B-MV), perbedaan peningkatan hemoglobin antara ketiga kelompok tidak signifikan (p>0,05) (Lampiran 8). Uji beda-t kadar Hb sebelum dan setelah suplementasi berbeda nyata (p<0,05) baik pada kelompok kontrol, B-F, dan B-MV. Analisis Ancova dilakukan dengan memasukkan peubah kovariat yang kemungkinan mempengaruhi hasil selisih Hb (confounders), yaitu kadar SF, STfR, Hb, IMT (baseline); kepatuhan kapsul dan kepatuhan PMT (selama

116 98 suplementasi); tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi (endline). Hasilnya menunjukkan bahwa selisih Hb (adjusted) selama suplementasi dipengaruhi oleh konsentrasi hemoglobin awal (p<0,05), sedangkan peubah lainnya tidak berpengaruh signifikan (p>0,05) (Lampiran 9). Dengan memasukkan seluruh peubah tersebut pada analisis Ancova, nilai Hb (adjusted) terhadap besaran peningkatan estimasi hemoglobin yaitu 10,6 g/l (kontrol), 9,3 g/l (B-F), dan 10,4 g/l (B-MV). Namun koreksi terhadap peningkatan hemoglobin tersebut tetap tidak berbeda nyata diantara ketiga kelompok (p>0,05). Analisis dilakukan untuk melihat respon selisih biomarker setelah suplementasi sampel berdasarkan status anemia sebelum suplementasi. Rata-rata kadar hemoglobin sebelum suplementasi pada sampel yang anemia adalah 108,4 g/l dan yang non-anemia 132,1 g/l. Dari ketiga indikator status besi, hanya selisih hemoglobin yang berhubungan status anemia sebelum suplementasi (Tabel 26). Pada sampel penderita anemia, Hb hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang non-anemia. Tabel 26. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status anemia sebelum suplementasi Kelompok Biomarker Kontrol B-F B-MV Hb<120 g/l (Anemia) : Hb (g/l) 15,8±13,9 a 16,6±13,7 a 16,6±14,7 STfR (mg/l) 0,2±3,9-1,2±2,2-3,8±10,4 SF (ug/l) 0,5±6,1 11,7±28,5 1,3±9,9 a HB>120 g/l (Non-anemia) : Hb (g/l) 5,5±15,1 8,6±11,3 9,3±11,2 STfR (mg/l) 0,6±2,2-1,4±4,1-3,8±5,5 SF (ug/l) 1,3±13,5 1,7±24,6 12,9±27,0 Keterangan: a Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata selisih biomarker antara sampel anemia dengan non-anemia (Uji beda-t, p<0,05) Rata-rata STfR pada penderita anemia sebesar 10,1 mg/l, angka ini lebih tinggi dari pada batas IDE (STfR >8,3 mg/l) yang direkomendasikan oleh Erhard et al. (2004). Setelah suplementasi, pada kontrol penderita anemia relatif tidak terdapat perubahan STfR (+0,2 mg/l) dibandingkan yang tidak anemia (+0,6

117 99 mg/l). Kondisi tersebut berbeda pada kelompok B-F, dengan suplementasi terjadi penurunan STfR yang relatif sama antara penderita anemia (-1,2 mg/l) dan nonanemia (-1,4 mg/l). Penurunan STfR lebih baik pada kelompok B-MV, yaitu perubahan STfR (-3,8 mg/l) antara penderita anemia dan non-anemia. Kondisi ini menunjukkan status anemia tidak menentukan responsifitas perubahan nilai STfR dan SF. Rata-rata SF sampel penderita anemia adalah 16,6 ug/l. Setelah suplementasi, pada kelompok kontrol yang anemia relatif tidak merubah SF, yaitu 0,5 ug/l dan 1,3 ug/l. Baik pada kelompok perlakuan B-F maupun B-MV menunjukkan status anemia tidak mempengaruhi besaran perubahan SF. Pada kelompok B-F, sampel anemia meningkatkan SF sebesar 11,7 ug/l dan yang tidak anemia 1,7 ug/l. Sebaliknya kelompok B-MV, yang anemia meningkatkan SF sebesar 1,3 ug/l dan yang tidak anemia meningkatkan 12,9 ug/l. Sebelum suplementasi, terdapat prevalensi defisit anemia tingkat sedang (Hb 99,9 g/l) pada ketiga kelompok, yaitu 4,5% (kontrol), 6,0% (B-F), dan 2,9% (B-MV). Total prevalensi anemia (<120 g/l) pada keseluruhan kelompok adalah 25,1%. Setelah dilakukan suplementasi terjadi peningkatan kadar hemoglobin, sehingga dapat menurunkan prevalensi anemia keseluruhan menjadi 15,3%. Pada ketiga kolompok juga tidak ditemukan sampel yang menderita anemia tingkat sedang dan berat. Sebanyak 51 sampel (25,1%) sebelum suplementasi menderita anemia (Hb<120 g/l), dengan distribusi pada kontrol 18 (26,9%), B-F 22 (32,8%), dan B- MV 11 (15,9%). Setelah suplementasi terjadi penurunan prevalensi anemia, yaitu menjadi 31 sampel (15,3%) dengan distribusi antar kelompok berturut-turut 13 (19,4%); 10 (14,9%); dan 8 (11,6%) (Gambar 19). Distribusi prevalensi anemia pada ketiga kelompok perlakuan baik sebelum maupun sesudah suplementasi tidak berbeda nyata (p>0,05).

118 100 (%) ,4 85,1 84,1 80,6 73,1 67,2 26,9 22,4 19,4 15,0 11,6 13,0 4,5 6,0 0,0 0,0 2,9 0,0 99,9 g/l ,9 g/l 120 g/l 99,9 g/l ,9 g/l 120 g/l 99,9 g/l ,9 g/l 120 g/l Kontrol B-F B-MV Sebelum Sesudah Gambar 19. Distribusi kategori status hemoglobin (Hb) sebelum dan sesudah suplementasi. Kadar Serum Transferin Reseptor (STfR) Uji Kolmogorov-Smirnov terhadap data serum transferin reseptor (STfR) menunjukkan distribusinya tidak normal (p<0,05), dengan sebaran data cenderung ke kanan (skew positif). Kemudian data STfR ditransformasi kedalam bentuk logaritma (log), dan diuji ulang dengan Kolmogorov-Smirnov yang menghasilkan nilai signifikansi 0,200 yang artinya distribusi data menjadi normal. Dengan uji Lavene menunjukkan keragaman data log STfR antara ketiga kelompok perlakuan homogen (p=0,648) (Lampiran 10). Di dalam penyajian data digunakan nilai STfR aktual. Kadar rata-rata STfR sebelum suplementasi sebesar 8,5±5,1 mg/l dengan selang antara 1,3-25,1 mg/l. Dari ketiga perlakuan, kelompok kontrol mempunyai kadar STfR lebih baik dibandingkan kedua kelompok perlakuan (B-F dan B-MV), yaitu rata-rata STfR pada kontrol 5,8 mg/l, B-F 7,9 mg/l, dan B-MV 11,8 mg/l (Tabel 27). Dengan uji Anova, perbedaan rata-rata log STfR antar ketiga kelompok sangat nyata (p<0,01), yaitu kelompok B-MV lebih buruk dibandingkan B-F dan kontrol (Lampiran 10).

119 101 Tabel 27. Rata-rata kadar serum transferin reseptor (STfR) menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi 1 STfR Kelompok (mg/l) Suplementasi Kontrol B-F B-MV p Sebelum 5,8±3,2 a 7,9±4,4 b 11,8±5,5 c 0,000 Sesudah 6,3±3,4 a,1 6,6±2,6 a,b,1 8,0±3,3 b,1 0,030 Selisih 0,5±2, 7 a (0,9) -1,3±3,7 b (-1,3) -3,8±6,5 c (-4,2) 0,000 1 x ± Sd a,b,c Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan (Uji Anova, p<0,05) 1, Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan sesudah suplementasi (Uji beda-t, p<0,05). ( ) Nilai selisih adjusted dengan uji Ancova Setelah suplementasi, pada kedua kelompok perlakuan (B-F dan B-MV) terjadi perbaikan indikator besi untuk transportasi ( STfR), yaitu rata-rata menurun pada kelompok. Perbaikan status STfR pada kedua kelompok yaitu berturut-turut turun menjadi 6,6 mg/l dan 8,0 mg/l (Tabel 27). Namun pada kelompok kontrol justru terjadi peningkatan STfR dari 5,8 mg/l menjadi 6,3 mg/l. Uji Anova dari log STfR antara ketiga kelompok setelah suplementasi menjadi berbeda nyata (p<0,05). Dengan uji post-hoc LSD, kadar STfR antara kelompok kontrol dengan B-MV perbedaannya nyata (p<0,05), sedangkan antara kontrol dengan B-F, dan B-F dengan B-MV tidak berbeda nyata (p>0,05). Uji beda-t kadar STfR sebelum dan setelah suplementasi tidak berbeda nyata (p>0,05) pada kontrol, tetapi berbeda nyata (p<0,05) pada kelompok B-F dan B-MV. Terdapat perbedaan selisih ( ) STfR selama suplementasi antara ketiga kelompok perlakuan. Pada kelompok B-MV terjadi penurunan STfR paling tinggi (-3,8 mg/l) dibandingkan kelompok B-F (-1,3 mg/l). Pada kontrol kadar STfR justru meningkat rata-rata sebesar 0,5 mg/l (Tabel 27). Uji Anova pada ketiga kelompok menunjukkan perbedaan penurunan kadar STfR yang sangat signifikan (p<0,001), dan dengan uji post-hoc menunjukkan penurunan selisih STfR paling rendah pada B-MV, kemudian B-F dan kontrol (p<0,05). Analisis Ancova dilakukan untuk mengetahui peubah kovariat yang kemungkinan mempengaruhi hasil akhir STfR, yaitu kadar SF, STfR, Hb, IMT

120 102 (baseline); kepatuhan kapsul, kepatuhan PMT (selama suplementasi); tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi (AKG endline). Analisis kovariat ini tidak dilakukan pada nilai log selisih STfR tetapi pada nilai akhir STfR. Hal ini dikarenakan sebagian besar selisih nilai STfR tersebut negatif karena terjadi penurunan STfR setelah suplementasi, sehingga transformasi log tidak dapat diterapkan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai STfR setelah suplementasi dipengaruhi oleh konsentrasi serum transferin reseptor dan hemoglobin awal (baseline) (p<0,05), sedangkan peubah lainnya pengaruhnya tidak signifikan (p>0,05) (Lampiran 11). Selisih STfR (adjusted) dihitung dari selisih STfR sebelum dengan sesudah suplementasi (adjusted), hasilnya terjadi berubahan nilai STfR sebesar +0,9 mg/l (kontrol), -1,3 mg/l (B-F), dan -4,2 mg/l (B-MV). Tabel 28. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status IDE sebelum suplementasi Kelompok Sebelum suplementasi Kontrol B-F B-MV STfR>8,3 mg/l (IDE): Hb (g/l) 8,2±15,0 10,7±12,8 9,2±10,5 STfR (mg/l) -0,7±3,5-4,5±4,6 a -6,4±5,2 a SF (ug/l) 0,8±13,2 7,3±28,9 13,2±17,1 STfR<8,3 mg/l (non-ide) : Hb (g/l) 13,4±15,4 10,9±11,2 9,0±12,1 STfR (mg/l) 0,8±2,4 0,2±1,9 1,9±5,1 SF (ug/l) 2,1±5,8-2,2±16,4 10,0±28,4 Keterangan: a Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata selisih biomarker antara sampel IDE dengan non-ide (Uji beda-t, p<0,05) Perubahan biomarker setelah suplementasi jika dianalisis berdasarkan status defisiensi eritropoiesis awal (STfR>8,3 mg/l) menunjukkan bahwa respon STfR lebih baik dari pada Hb dan SF (Tabel 28). Pada sampel dengan status IDE, jika dibandingkan dengan sampel non-ide tidak menunjukkan perbedaan perubahan hemoglobin setelah suplementasi. Demikian pula untuk respon SF, meskipun terdapat kecenderungan perbedaannya lebih besar pada sampel IDE, namun tidak signifikan (p>0,05) jika dibandingkan dengan sampel non-ide.

121 103 Respon yang lebih besar terjadi pada STfR, baik pada kelompok B-F dan B- MV. Rata-rata perubahan STfR tersebut sebesar 4,3-4,5 mg/l, dan dengan uji-t perbedaan tersebut nyata (p<0,05) antara sampel IDE dan non-ide. Jika kategori STfR>8,3 mg/l digunakan sebagai batas defisit besi eritropoiesis (IDE), prevalensinya sebelum suplementasi pada kelompok kontrol 21,8%, B-F 31,4%, dan B-MV 67,9%. Setelah suplementasi prevalensi IDE relatif tetap pada kontrol (20,4%), dan penurunannya cukup signifikan pada B-F 22,2% dan B-MV 29,7% (Gambar 20). Namun demikian penurunan prevalensi IDE pada kelompok B-MV jauh lebih besar (35,2%) dibandingkan dengan B-F (9,3%). Distribusi prevalensi IDE pada ketiga kelompok perlakuan sebelum suplementasi berbeda nyata (p<0,05), dan sesudah suplementasi distribusinya menjadi tidak berbeda nyata (p>0,05). (%) 90,0 80,0 70,0 78,2 79,6 77,8 68,6 67,3 67,9 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 21,8 20,4 31,4 22,2 32,1 29,7 Sebelum Sesudah 10,0 0,0 8,3 mg/l >8,3 mg/l 8,3 mg/l >8,3 mg/l 8,3 mg/l >8,3 mg/l Kontrol B-F B-MV Gambar 20. Distribusi kategori status serum transferin reseptor (STfR) sebelum dan sesudah suplementasi. Kadar Serum Feritin (SF) Untuk memenuhi persyaratan uji Anova diperlukan pengujian normalitas data dan homogenitas varians data serum feritin pada ketiga kelompok perlakuan. Uji Kolmogorov-Smirnov terhadap data serum feritin (SF) menunjukkan distribusinya tidak normal (p<0,05). Sebaran data SF cenderung ke kanan dengan nilai skew positif. Untuk itu data SF ditransformasi kedalam bentuk logaritma (log), dan diuji ulang dengan Kolmogorov-Smirnov. Hasilnya adalah nilai

122 104 signifikansi 0,200 artinya distribusi data log SF menjadi normal. Dangan uji Lavene menunjukkan keragaman data log SF antara ketiga kelompok perlakuan homogen (p=0,764) (Lampiran 12). Data yang telah ditransformasikan tersebut digunakan untuk menguji signifikansi pada Uji Anova dan post-hoc, sedangkan didalam penyajian data yang disajikan adalah nilai SF aktual. Sebelum suplementasi, kadar serum feritin (SF) pada keseluruhan kelompok adalah 18,3±15,9 ug/l, dengan selang antara 2,3 136,0 ug/l. Rata-rata kadar SF pada kontrol relatif lebih rendah (22,5 ug/l) dibandingkan kelompok B-F (27,4 ug/l) dan B-MV (30,6 ug/l) (Tabel 29). Namun dengan uji Anova perbedaan SF diantara ketiga kelompok perlakuan tidak nyata (p>0,05) (Lampiran 12). Tabel 29. Rata-rata kadar serum feritin (SF) menurut kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi 1 SF Kelompok (ug/l) Suplementasi Kontrol B-F B-MV p Sebelum 22,5±18,2 a 27,4±28,8 a 30,6 ±24,7 a 0,340 Sesudah 23,6±21,4 a 31,6±23,8 b 41,6 ±37,6 b,1 0,002 Selisih 1,1±12,0 a (-1,7) 4,2±25,7 a,b (+5,1) 11,0±25,3 b (+13,4) 0,058 1 x ± Sd a,b Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (Uji Anova, p<0,05) 1, Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan setelah suplementasi (Uji beda-t, p<0,05). ( ) Nilai selisih adjusted dengan uji Ancova Selama suplementasi selama 25 minggu, pada ketiga kelompok terjadi ratarata peningkatan kadar SF, yaitu menjadi 32,3 ug/l dengan selang antara 3,3 173,1 ug/l. Peningkatan SF yang tertinggi terjadi pada kelompok B-MV (41,6 ug/l), kemudian B-F (31,6 ug/l) dan sedikit peningkatan pada kontrol (23,6 ug/l) (Tabel 29). Secara umum dengan uji Anova nilai SF setelah suplementasi terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga kelompok perlakuan (p<0,05). Uji post-hoc LSD menunjukkan rata-rata nilai SF kelompok kontrol berbeda nyata dengan kelompok B-F dan B-MV (p<0,05), sedangkan antara B-F dengan B-MV tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 12). Uji beda-t kadar SF pada kontrol dan

123 105 kelompok B-F sebelum dengan setelah suplementasi tidak berbeda nyata (p>0,05), tetapi berbeda nyata (p<0,05) pada kelompok B-MV. Jika selisih kadar SF setelah suplementasi dibandingkan dengan kontrol, maka pada kedua kelompok perlakuan (B-F dan B-MV) terjadi peningkatan. Kenaikan pada kontrol hanya 1,1 ug/l, lebih rendah dibandingkan dengan kelompok B-F (4,2 ug/l) dan B-MV (11,0 ug/l). Uji post-hoc LSD menunjukkan rata-rata nilai SF pada kelompok kontrol dengan kelompok B-MV berbeda nyata (p<0,05), sedangkan antara kontrol dengan B-F, dan B-F dengan B-MV tidak berbeda nyata (p>0,05) (Tabel 29). Analisis Ancova dilakukan dengan memasukkan peubah kovariat yang kemungkinan mempengaruhi hasil analisis (confounders), yaitu kadar awal SF, STfR, Hb, IMT (baseline); kepatuhan kapsul, kepatuhan PMT (selama suplementasi); tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi (endline). Hasilnya SF selama suplementasi dipengaruhi oleh konsentrasi SF sebelum suplementasi (p<0,05), sedangkan peubah lainnya pengaruhnya tidak signifikan (p>0,05) (Lampiran 13). Selisih nilai SF adjusted menunjukkan terjadinya penurunan untuk kontrol (- 1,7 ug/l), dan terdapat peningkatan SF untuk kelompok B-F (+5,1 ug/l) dan B-MV (+13,4 ug/l). Rata-rata peningkatan SF (adjusted) tersebut signifikan antara kontrol dan B-MV (p<0,05), dan tidak berbeda antara kontrol dengan B-F, dan B- F dengan B-MV (p>0,05) (Lampiran 13). Sampel yang mengalami deplesi atau defisit cadangan zat besi (SF<15 ug/l) cenderung lebih responsif didalam perbaikan ketiga biomarker. Pada sampel yang mengalami defisit cadangan zat besi mengalami kenaikan Hb 3-4 g/l, SF 2,2-10 ug/l, dan penurunan STfR 0,3-0,7 mg/l lebih besar dibandingkan sampel yang tidak deplesi (Tabel 30). Apabila SF <15,0 ug/l digunakan sebagai deplesi zat besi, maka sebelum suplementasi prevalensi deplesi zat besi pada kontrol 47,3%, B-F 42,6%, dan B- MV 34,5% (Gambar 21). Setelah suplementasi, relatif tidak terjadi penurunan deplesi zat besi pada kontrol (45,5%), namun penurunan terutama terjadi pada kelompok B-F dan B-MV yaitu menjadi 27,3% dan 23,6%. Penurunan deplesi zat besi sebanyak 15,3% (B-F) dan 10,9% (B-MV). Distribusi prevalensi deplesi zat

124 106 besi pada ketiga kelompok perlakuan sebelum suplementasi tidak berbeda nyata (p>0,05), dan sesudah suplementasi distribusinya menjadi berbeda nyata (p<0,05). Tabel 30. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status deplesi simpanan besi sebelum suplementasi Kelompok Perubahan biomarker Kontrol B-F B-MV SF<15 ug/l (Deplesi besi) : Hb (g/l) 11,3±14,6 13,0±14,7 11,3±11,3 STfR (mg/l) 0,2±3,1-1,5±4,7-4,3±8,7 SF (ug/l) 1,8±5,1 11,5±22,8 9,5±11,4 SF>15 ug/l (Non-deplesi besi) : Hb (g/l) 7,5±15,6 9,1±10,0 8,0±11,6 STfR (mg/l) 0,8±2,4-1,2±2,9-3,6±5,0 SF (ug/l) 0,5±15,8-1,0±26,8 11,7±30,3 Nilai SF 30 ug/l digunakan sebagai batas simpanan zat besi yang cukup (replenish). Sebelum suplementasi presentase sampel yang mempunyai simpanan besi cukup adalah kontrol 29,1%; B-F 29,6%; dan B-MV 41,8%. Setelah suplementasi tidak terjadi peningkatan simpanan besi pada kontrol (30,9%), namun terjadi peningkatan pada B-F dan B-MV yaitu 43,6% dan 56,4%. (%) 60 56, ,3 45,5 23,6 23,6 30,9 29,1 42,6 27,3 29,1 27,8 29,6 43,6 34,5 23,6 41,8 23,6 20,0 Sebelum Setelah 10 0 < 15,0 ug/l 15,1-29,9 ug/l 30,0 ug/l < 15,0 ug/l 15,1-29,9 ug/l 30,0 ug/l < 15,0 ug/l 15,1-29,9 ug/l 30,0 ug/l Kontrol B-F B-MV Gambar 21. Distribusi kategori status serum feritin (SF) sebelum dan sesudah suplementasi

125 107 Estimasi terhadap jumlah besi (body iron) didalam tubuh dilakukan dengan menggunakan formula Cook et al. (2003) yang dihitung dari rasio STfR dan SF. Sebelum suplementasi, kelompok kontrol mempunyai besi tubuh yang paling tinggi (2,7 mg/kg) dibandingkan kelompok B-MV dan B-F, yaitu berturutturut 1,0 mg/kg dan 1,9 mg/kg. Tetapi setelah suplementasi kondisinya menjadi terbalik, kelompok B-MV mempunyai besi tubuh tertinggi yaitu menjadi 3,5 mg/kg, sedangkan kelompok B-F 3,4 mg/kg dan kontrol hanya 2,3 mg/kg (Tabel 31). Uji Anova peningkatan simpanan zat besi pada kelompok B-MV secara signifikan (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan B-F dan kontrol. Uji beda-t besi tubuh setelah suplementasi pada kelompok B-F dan B-MV berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan sebelum suplementasi. Tabel 31. Rata-rata jumlah zat besi di dalam tubuh sebelum dan sesudah suplementasi menurut kelompok perlakuan 1 Kelompok Suplementasi Kontrol B-F B-MV p Sebelum (mg/kg) 2,7±4,3 a 1,9± 4,1 a 1,0±3,7 b 0,104 Setelah (mg/kg) 2,3±4,3 a 3,4±3,9 a,1 3,5±3,9 a,1 0,211 Selisih (mg/kg) -0,4±2,2 a 1,5±2,7 b 2,5±3,2 c 0,211 1 x ± Sd a,b 1, Pada baris yang sama, angka dengan huruf yang tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (Uji Anova, p<0,05). Pada kelompok yang sama terdapat perbedaan yang nyata sebelum dan setelah suplementasi (Uji beda-t, p<0,05).

126 PEMBAHASAN Pada bab sebelumnya telah dibuktikan bahwa penambahan vitamin A, C, B12, dan asam folat (kapsul B-MV) dengan dosis tertentu dapat meningkatkan efikasi suplementasi zat besi. Dibandingkan kontrol, kelompok B-MV berpengaruh nyata terhadap perbaikan serum feritin (SF) dan serum transferin reseptor (STfR), sedangkan kelompok B-F hanya berpengaruh nyata terhadap perbaikan STfR. Pelaksanaan Suplementasi Beberapa faktor terkait dengan keberhasilan studi efikasi suplementasi besi. Pada desain studi sudah dipertimbangkan berbagai hal, termasuk rancangan percobaan, minimalisasi bias, formulasi suplemen, kontrol peubah pengganggu dan sebagainya, namun hasilnya tidak selalu seperti yang diformulasikan pada hipotesis. Menurut Davidson dan Nestel (2004) kemungkinan kegagalan pembuktian studi efikasi besi diantaranya adalah: 1) tidak mencukupinya dosis zat besi, 2) rendahnya tingkat ketaatan atau compliance, 3) jangka waktu intervensi yang singkat, 4) periode kebutuhan zat gizi yang sangat tinggi, 5) defisit zat gizi lainnya baik mikro & makro, dan 6) rendahnya status gizi sebelum intervensi. Beberapa faktor tersebut di atas digunakan oleh peneliti di dalam membahas hasil studi efikasi ini. Pada tahap perencanaan dan pelaksanaan suplementasi, peneliti berusaha untuk meningkatkan validitas internal. Hal tersebut dilakukan diantaranya mulai dari desain studi (RCT), randomisasi sampel, menetapkan persyaratan inklusif, standarisasi pengumpulan data, memotivasi kapsul suplemen, dan analisis data. Selain itu untuk meminimalisasi dan mengontrol potensi bias akibat adanya peubah pengganggu (confounders), maka dikumpulkan peubah lainnya selama suplementasi. Peubah tersebut adalah status anthropometri (IMT), kepatuhan minum kapsul, kepatuhan makanan tambahan, dan konsumsi pangan. Kontrol terhadap peubah tersebut di dalam tahap analisis data, dipertimbangkan dan dimasukkan sebagai kofariat pada uji Ancova (Munro 1997). Selama pelaksanaan suplementasi, terdapat sampel drop-out sebanyak 21 orang (9,4%), yaitu masing-masing pada kelompok kontrol 8 orang (10,7%), kelompok B-F 8 orang (10,7%) dan kelompok B-MV 5 orang (6,8%). Alasan

127 109 dari 21 sampel yang drop-out tersebut, kebanyakan adalah karena sering tidak pulang ke asrama 10 orang, sampel darah menjadi rusak/beku 4 orang, tidak mau melanjutkan minum kapsul 4 orang, tidak datang saat pengambilan sampel darah 3 orang. Sehingga jumlah sampel untuk analisis sebanyak 203 (90,6%), yang terdiri dari 67 kontrol, 67 B-F, dan 69 B-MV. Sub-sampel untuk analisis STfR dan SF pada masing-masing kelompok sebanyak 55 sampel. Jumlah ini masih memenuhi persyaratan minimum sampel yang diperlukan untuk uji efikasi yaitu orang. Besarnya drop-out sampel tersebut di atas sudah dipertimbangkan di dalam desain awal penelitian bahwa kemungkinannya sebesar 10-15%. Jika dibandingkan dengan studi lainnya, misalnya Ahmed et al. (2005) jumlah dropout sebanyak 10%, dengan alasan mengundurkan diri, tidak datang atau menolak saat pengambilan darah endline. Studi Angeles-Agdepa et al. (1997) jumlah dropout cukup besar yaitu 24,7%, yang disebabkan sampel menolak diambil darah, tidak datang ke sekolah saat pengambilan darah, dan menolak minum kapsul. Studi suplementasi pada remaja wanita yang dilakukan tanpa supervisi, tingkat drop-out bahkan bisa mencapai 40-50% (Soekarjo et al. 2004; Ahmed et al. 2001). Kepatuhan terhadap konsumsi kapsul merupakan faktor penting di dalam studi efikasi. Pencatatan kepatuhan ini dilakukan melalui pengawasan langsung dan pencatatan laporan (self reported). Metode pemantauan kepatuhan ini banyak digunakan oleh peneliti lainnya, misalnya pada studi Viteri et al. (1999), Tee et al. (2001), dan Soekarjo et al. (2004). Untuk memvalidasi tingkat kepercayaan, peneliti melakukan pengecekan silang (cross check) dengan cara menanyakan kepada sesama sampel tentang seberapa benar formulir tersebut diisi, yaitu dengan skala 1 (sangat tidak percaya) sampai dengan 5 (sangat percaya). Nilai median terhadap tingkat kebenaran (kejujuran) jawaban pengisian formulir adalah 4 (percaya). Rata-rata sampel mengkonsumsi kapsul sebanyak 22 dari 25 butir (89,7%) yang diberikan selama suplementasi (Gambar 18). Kepatuhan minum kapsul tidak menjadi confounder di dalam hasil analisis data biomarker, karena cakupan kepatuhannya sudah cukup tinggi dan tidak berbeda nyata (p>0,05) diantara

128 110 ketiga kelompok perlakuan. Pada studi Soekarjo et al. (2004) tingkat kepatuhan kapsul yang rendah menyebabkan efikasi yang tidak berbeda antara kelompok kontrol dengan perlakuan. Studi Zhu dan Haas (1998) menunjukkan peningkatan serum feritin berkaitan erat dengan kepatuhan konsumsi suplemen. Pada studi ini drop-out karena keluhan minum kapsul sangat rendah, yaitu hanya 4 orang (2,7%) dengan perincian tiga orang pada kelompok B-F dan satu orang pada B-MV. Rendahnya tingkat drop-out ini menunjukkan rendahnya efek samping suplementasi besi, seperti kasus mual-mual dan muntah. Menurut Ekstrom (2001) peningkatan penyerapan zat besi berhubungan dengan penurunan gangguan pada saluran pencernaan. Untuk itu diperlukan studi lebih lanjut, apakah dengan penambahan multivitamin pada suplemen besi berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan kosumen karena menurunnya efek samping tersebut. Studi Viteri et al. (1999) menyebutkan terdapat 22% sampel mengundurkan diri karena ada efek samping kapsul besi yaitu, perut kembung, diare ringan, konstipasi, mual, rasa logam, menurunkan selera makan. Studi Tee et al. (1999) menunjukkan dengan menggunakan dosis Fe 60 mg dari pada 120 mg yang diberikan setiap minggu dapat menurunkan keluhan efek samping, meningkatkan penerimaan suplemen, serta masih memberikan efikasi yang sama terhadap peningkatan hemoglobin dan feritin. Pada studi ini tingkat kepatuhan cukup tinggi (92%), sehingga dampak terhadap biomarker tidak dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kepatuhan. Dibandingkan dengan studi lainnya, misalnya Ahmed et al. (2005) dari 24 kapsul, sampel yang mengkonsumsi kapsul di atas 80% sebanyak 72-77%. Studi Zhu dan Haas (1998) rata-rata tingkat kepatuhan kapsul sebesar 87,5% dari 168 kapsul yang diberikan. Sebaliknya pada studi Soekarjo et al. (2004), konsentrasi hemoglobin kelompok intervensi tidak meningkat setelah diberikan intervensi vitamin A (10000 IU) dan besi per minggu, yang diduga karena tingkat kepatuhan minum kapsul yang rendah, yaitu hanya 50-70% sampel yang mengkonsumsi kapsul >50%. Manfaat dan keluhan minum kapsul dinilai secara subyektif dengan cara menanyakan kepada sampel tetang beberapa hal yang dirasakan setelah 1-3 hari

129 111 minum kapsul. Analisis terhadap keluhan dan manfaat tidak menunjukkan perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan (placebo effect) (Hennekens dan Buring 1997). Pada studi single/double-blinded kadang-kadang ditemukan adanya plasebo efek karena faktor subyektif akibat ketidaktahuan sampel terhadap jenis perlakuan yang diberikan. Studi ini dilakukan pada sampel yang sehat dengan kadar Hb awal ratarata 126,2 g/l (78,10-155,0 g/l). Studi efikasi dengan subyek remaja wanita yang non-anemia pernah dilakukan oleh Zhu dan Haas ( 1998), Viteri et al. (1999), dan Tee et al. (1999). Pada kebanyakan studi efikasi, kriteria inklusi sampel pada umumnya adalah berstatus anemia (Hb g/l), misalnya pada Angeles- Agdepa et al. (1997), Ahmed et al. (2001), Dillon (2005), dan Ahmed et al. (2005). Pada berbagai studi, perbedaan status anemia (kadar Hb awal) akan berpengaruh terhadap respon biomarker setelah suplementasi. Pada studi ini kecil kemungkinan terjadinya bias terhadap perubahan biomarker jika diakibatkan oleh penggunaan obat/suplemen lainnya. Hanya sekitar 2-3% sampel yang selama suplementasi menggunakan obat/suplemen atas rekomendasi dokter, dengan alasan mengalami gangguan kesehatan ringan, seperti demam dan flu. Hasil pengolahan formulir laporan mingguan sampel, pada kelompok kontrol 98,1%, B-F 98,1%, dan B-MV 97,1% menyatakan tidak minum obat-obatan atau menggunakan suplemen lainnya di luar perlakuan dari studi. Karakteristik Sampel Karakteristik sampel yang kemungkinan terkait efikasi uji suplementasi meliputi umur, suku, pengeluaran pangan, kondisi menstruasi, kesehatan, dan indeks massa tubuh (IMT). Perbedaan respon biomarker setelah suplementasi tidak diakibatkan oleh perbedaan umur, karena tidak terdapat perbedaan umur diantara ketiga kelompok perlakuan. Tahapan pertumbuhan yang pesat pada usia remaja menyebabkan kebutuhan zat besi yang lebih tinggi dibandingkan usia dewasa (Hallberg 2001). Sehingga pemanfaatan zat besi dari makanan dan suplementasi pada remaja awal akan lebih efektif dibandingkan dengan usia dewasa. Dengan uji ANOVA, perbedaan usia pada ketiga kelompok perlakuan tidak nyata (p>0,05), yaitu rata-rata 18,5±0,6 tahun. Sampel pada studi ini adalah mahasiswi dengan usia remaja akhir tahun (late adolesence). WNPG (2004)

130 112 menetapkan AKG zat besi sama baik pada kelompok usia remaja maupun dewasa (13-49 tahun), yaitu 26 mg/hari. Berdasarkan latar belakang asal daerah dan suku bangsa, sebaran sampel pada studi ini cukup bervariasi untuk menggambarkan keberagaman etnis (Tabel 4). Kadar hemoglobin tidak hanya dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ketinggian daerah tempat tinggal, atau kebiasaan merokok, tetapi juga dipengaruhi oleh genetik. Di USA kadar hemoglobin pada keturunan kulit hitam 5-10 g/l lebih rendah dibandingkan dengan warga kulit putih (UNICEF/UNU/WHO 2001). Pada studi ini karena keberagaman suku bangsa diantara ketiga perlakuan sama, maka status genetik tidak berpengaruh terhadap efek biomarker setelah suplementasi. Di Indonesia, belum ditemukan studi yang menghubungkan perbedaan hemoglobin antar suku bangsa (etnis). Rata-rata pengeluaran bulanan sampel selama tinggal di Asrama IPB adalah Rp ± (Lampiran 6), yang dialokasikan ke dalam 20 jenis pengeluaran. Rata-rata pengeluaran bulanan diantara ketiga kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05). Secara umum pola alokasi pengeluaran untuk berbagai kebutuhan bulanan antar ketiga kelompok relatif sama. Sebanyak 25% sampel biasa mengalokasikan pengeluarannya untuk membeli suplemen sebesar Rp 14000/bulan. Kriteria inklusi untuk studi ini adalah sampel dalam kondisi sehat, sehingga kemungkinan anemia tidak diakibatkan penyakit/infeksi, tetapi lebih dikarenakan oleh defisiensi vitamin. Pemeriksaaan kondisi kesehatan dilakukan untuk mengetahui riwayat penyakit dan kondisi kesehatan yang diperkirakan akan mempengaruhi indikator hematologi. Distribusi kondisi kesehatan diantara ketiga kelompok perlakuan adalah dalam kondisi sehat, dan sebanyak 13,2% sampel pada awal suplementasi mengalami gangguan kesehatan ringan seperti influensa, alergi, sering lemas, sakit gigi, gangguan mata, sesak nafas, jantung sering berdebar atau pusing-pusing. Seluruh sampel penelitian adalah remaja yang sudah mengalami menstruasi. Umur pertama kali sampel mengalami menstruasi (menarche) berkisar antara tahun (rata-rata 13,0 tahun), dan diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebanyak 27,1% sampel sudah mengalami

131 113 menstruasi sejak umur 12,0 tahun, dan 4,9% sudah menstruasi sejak umur 11,0 tahun. Lama siklus menstruasi adalah 28,1±3,7 hari, dan diantara ketiga kelompok juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05). Studi Dillon (2005) di Tangerang dan Jakarta Pusat menunjukkan rata-rata menstruasi satu tahun lebih awal, yaitu berturut-turut 12,2 tahun dan 12,3 tahun. Peubah IMT awal dimasukkan sebagai salah satu kovariat pada Ancova, namun hasilnya tidak berpengaruh terhadap efikasi status besi (p>0,05) (Lampiran 9, 11, 13). Rata-rata nilai IMT sampel sebelum suplementasi adalah 19,8 kg/m 2, dan sebanyak 24,5% berada pada kategori kurus (IMT<18,5 kg/m 2 ). Status anthropometri ini digunakan untuk menggambarkan riwayat kondisi kekurangan energi kronis (CED) pada waktu lampau. Distribusi sampel dengan kategori kurus pada kelompok B-MV (25,8%), B-F (26,2%), kontrol (21,7%) dan diantara ketiganya tidak berbeda nyata (p>0,05). Setelah suplementasi rata-rata nilai IMT meningkat menjadi 20,3 kg/m 2, dan prevalensi sampel yang kurus turun menjadi 20,2%. Prevalensi gizi kurus pada kelompok B-MV, B-F, dan kontrol berturut-turut menjadi 24,6%, 18,5%, 17,6% dan ketiganya tidak berbeda nyata (p>0,05). Respon biomarker status besi tidak dipengaruhi oleh status IMT (anthropometri), tetapi lebih dipengaruhi oleh status besi awal sebelum suplementasi. Hal ini secara statistik juga dapat terjadi karena status IMT diantara ketiga kelompok perlakuan relatif sama. Pada kebanyakan studi eksperimental lainnya, nilai IMT bukan merupakan confounder terhadap perubahan hemoglobin dan serum feritin (Kanani dan Poojara 2000; Ahmed et al. 2005; Dillon 2005). Pada desain studi cross-sectional, dari hasil analisis data SKRT (2001) menunjukkan determinan anemia remaja diantaranya adalah status gizi, yaitu yang berstatus gizi kurus risiko terkena anemia sebesar 1,5 kali (Permaesih dan Herman 2005). Pada studi cross-sectional, status IMT dapat menjadi faktor risiko kejadian anemia. Hal tersebut dapat terjadi jika pada waktu pengumpulan data kualitas konsumsi pangan rendah, sehingga kemungkinan defisit asupan zat besi dan zat gizi lainnya. Namun hasil yang berbeda diperoleh dari analisis data NHANES, pada kelompok anak dan remaja yang kegemukan berisiko terkena defisiensi zat besi lebih besar dibandingkan yang normal (OR=2,0-2,3) (Nead et al. 2004).

132 114 Studi lainnya pada kelompok wanita usia subur di Lebanon menunjukkan tidak terdapat hubungan antara IMT dengan status anemia (Khatib et al. 2006). Konsumsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi Secara umum konsumsi pangan harian sampel masih kurang, dan tidak terdapat perbedaan antara jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi diantara ketiga kelompok perlakuan. Tabel 10 menunjukkan rata-rata konsumsi pangan (gram) dari berbagai jenis pangan yang dikonsumsi oleh sampel selama empat hari pencatatan sebelum dan sesudah suplementasi. Secara umum proporsi sampel yang mengkonsumsi maupun jumlah pangan yang dikonsumsi diantara ketiga kelompok perlakuan relatif sama. Jika dibandingkan dengan ajuran konsumsi pangan PUGS (Depkes 2005), maka poporsi konsumsi pangan sampel tersebut adalah nasi 70%, sayuran 35%, buah 44%, lauk nabati 25%, dan lauk hewani 66%. Terdapat perubahan frekuensi konsumsi pangan pada awal dan akhir suplementasi, yang ditunjukkan oleh penurunan proporsi sampel yang mengkonsumsi makanan lengkap (meals) satu kali/hari dari 16% menjadi 9%, dan yang makan dua kali/hari meningkat dari 57% menjadi 64% (Tabel 9). Pada lauk hewani, terjadi penurunan proporsi sampel yang mengkonsumsi lauk hewani kurang dari 5-7 kali/minggu dari 70% menjadi 44% (Tabel 10). Meskipun dengan kedua indikator tersebut nampaknya terjadi perbaikan konsumsi pangan, namun demikian tidak terjadi peningkatan rata-rata asupan zat gizi mikro seperti vitamin A, C, dan zat besi. Peningkatan asupan energi dan protein sebagian besar karena pemberian PMT, dan bukan karena perbaikan konsumsi pangan harian (meals). Berdasarkan sumber pangannya, dari total asupan zat besi (±14 mg/hari) rata-rata 19,5% zat besi berasal dari kelompok pangan hewani (telur, ayam, daging, ikan, susu), dan 18,4% zat besi dari kelompok lauk nabati (tahu dan tempe). Pangan lainnya berupa makanan jajanan (di luar makanan lengkap) kontribusinya cukup besar yaitu 39,5% (Tabel 11). Sehingga nilai densitas zat gizi didalam komposisi konsumsi pangan sampel rata-rata adalah, zat besi 9,4 mg/1000 kkal, vitamin C 40 mg/1000 kkal, dan protein 24,4 g/1000 kkal. Jika dibandingkan dengan studi Dillon (2005) proporsi sampel yang mempunyai asupan zat besi dibawah AKG (19 mg) sebesar 95%. Studi Khatib et al. (2006)

133 115 pada kelompok wanita usia subur, dengan rata-rata tingkat kecukupan zat besi 73,4%, ternyata ditemukan sebanyak 56,2% yang mengkonsumsi besi di bawah 2/3 AKG, dan rata-rata kadar hemoglobin 110,0 g/l. Densitas zat besi (nutrient density) di dalam menu konsumsi harian mahasiswi adalah antara 6-9 mg/1000 kkal. Apabila kecukupan energi sebesar 2000 kkal/hari, maka untuk mencukupi kebutuhan zat besi (26 mg/hari), densitas tersebut seharusnya ditingkatkan menjadi 13 mg/1000 kkal. Padahal hanya sekitar 7% sampel yang mempunyai densitas besi lebih dari 13 mg/1000 kkal. Menu tersebut diperoleh dari alokasi pengeluaran pangan yang terbatas yaitu ratarata Rp 8000/hari, dan hanya diperoleh asupan zat besi sebesar mg/hari. Sehingga untuk memenuhi kecukupan besi 26 mg, masih diperlukan hampir dua kali pengeluaran saat ini. Keterbatasan uang saku ini menjadi hambatan bagi mahasiswi untuk meningkatkan densitas zat gizi mikro tersebut, kebanyakan zat gizi tersebut dapat diperoleh dari pangan hewani dan buah-buahan yang harganya relatif mahal. Prioritas alokasi pengeluaran bulanan untuk pangan dan proses pendidikan gizi (KIE) merupakan alternatif upaya untuk perbaikan kualitas konsumsi pangan jangka panjang. Namun dalam jangka pendek, penggunaan suplementasi besi dengan harga Rp /kapsul/minggu merupakan alternatif terbaik untuk perbaikan status besi remaja wanita. Metode estimasi bioavailibitas zat besi oleh Monsen et al. (1978), sampel dengan konsumsi meat, fish, dan poultry (MFP) antara g/hari dan asupan vitamin C mg/hari, diperkirakan (estimasi) skor bioavabilitas besi sebesar 10%. Sehingga penggunaan kecukupan besi sebesar 26 mg (AKG) pada studi ini sudah cukup rasional. Menurut Monsen et al. (1978) tingkat absorpsi medium (10%) adalah jika komposisi makanan mengandung pangan hewani (daging, ikan, unggas) g, dan asupan vitamin C antar mg. Kebanyakan sampel tidak biasa mengkonsumsi teh dan kopi, sehingga kemungkinan faktor penghambat penyerapan besi (inhibitors) dari kedua jenis pangan tersebut relatif kecil. Demikian pula faktor penghambat lainnya, seperti asam fitat dan oksalat dari jenis konsumsi pangan nabati, pada studi ini diduga tidak berpengaruh

134 116 terhadap efikasi status besi karena pada ketiga kelompok perlakuan pola konsumsinya relatif sama. Hasil analisis terhadap asupan energi dan zat gizi diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebelum suplementasi, rata-rata asupan energi 1481±323 kkal, protein 36,0±8,8 g, vitamin A 621±472 RE, vitamin C 59±54 mg, zat besi 13,7± 4,3 mg (Tabel 12, 14, 15, 16, 17). Dari asupan zat gizi tersebut, hanya vitamin A yang secara rata-rata sudah memenuhi AKG (>90%), dibandingkan tingkat kecukupan energi dan protein 71-78%, vitamin C 68-90%, maupun zat besi 50-55%. Angka prevalensi defisit asupan gizi mikro (<70% AKG) tersebut di atas sangat tinggi, yaitu antara 35-86% (Gambar 7, 9, 11, 13, 15). Dengan batas <50% AKG, prevalensi defisiensi asupan gizi mikro di atas tidak jauh berbeda dengan data tingkat nasional, yaitu rata-rata mengalami defisit asupan zat gizi mikro 35,5% (vitamin A), 53,8% (vitamin C), 37,9% (zat besi) (Depkes, 2005). Pada akhir suplementasi rata-rata asupan energi 1839±363 kkal, protein 42,1±9,8 g, vitamin A 558±404 RE, vitamin C 47±53 mg, zat besi 11,8±4,8 mg (Tabel 12, 14, 15, 16, 17). Terjadi peningkatan asupan energi dan protein, namun tidak untuk zat gizi mikro (vitamin A, C dan Fe). Asupan energi dan zat gizi pada akhir suplementasi antar ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Asupan energi dan protein jumlahnya kurang lebih senilai dengan snack/minuman (PMT) yang diberikan selama suplementasi. Kebiasaan konsumsi pangan mahasiswi yang masih rendah tersebut, jika berlangsung selama tinggal di Asrama (tanpa PMT), maka tidak mustahil jika banyak ditemukan kasus defisiensi gizi, seperti prevalensi gizi kurang (IMT<18,5 kg/m 2 ) 39,5% dan anemia 28,5% pada mahasiswi (Setiawan et al. 2006). Selama suplementasi terjadi peningkatan tingkat kecukupan zat gizi makro, tetapi tidak untuk zat gizi mikro. Kecukupan energi meningkat dari 76,4% menjadi 98,3% (Tabel 12), dan kecukupan protein dari 73,5% menjadi 87,1% (Tabel 14). Asupan vitamin A menurun antara RE, vitamin C menurun mg, dan zat besi menurun 1-3 mg per hari (Tabel 15, 16, 17). Hasil analisis Ancova ternyata variasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi tersebut tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap peningkatan ( ) Hb, STfR dan SF

135 117 (Lampiran 9, 11, 13). Asupan energi dan zat gizi pada studi efikasi ini tidak menjadi peubah yang berpengaruh terhadap respon biomarker. Hal ini disebabkan karena asupan energi dan zat gizi pada ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (relatif homogen). Pada studi efikasi tidak banyak ditemukan yang menganalisis hubungan asupan zat gizi dengan efek biomarker, karena kebanyakan studi mengkaitkannya dengan biomarker awal dari pada estimasi asupan zat gizi. Analisis korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan kadar Hb, STfR, dan SF pada awal dan akhir suplementasi nilai korelasinya rendah dan tidak nyata (r<0,1 dan p>0,05). Dengan menggunakan dua kategori tingkat kecukupan energi dan protein (70% dan 80 % AKG), selisih nilai biomarker (Hb, STfR, SF) cenderung tidak lebih baik pada sampel yang % AKG energi/protein cukup dibandingkan yang kurang. Tidak terdapat kecenderungan bahwa selisih Hb, STfR dan SF lebih besar pada sampel yang AKG energi >70% dibandingkan AKG energi<70% (Tabel 13). Dengan cara yang sama, dilakukan tabulasi silang tingkat kecukupan energi dan protein dengan cut-off 70% dan 80% (AKG), namun hasilnya menunjukkan pola yang relatif sama seperti di atas. Kondisi ini menunjukkan bahwa asupan energi atau protein sebesar 70% dan 80% AKG tidak berpengaruh terhadap efikasi suplementasi ( Hb, STfR, dan SF). Untuk studi lanjut perlu dikaji apakah suplementasi besi-multivitamin masih efektif pada saat asupan zat gizi makro dari konsumsi pangan sangat rendah (<50% AKG). Informasi ini diperlukan terutama untuk implementasi program suplementasi dengan sasaran penderita kekurangan energi-protein tingkat berat, misalnya pada keluarga sangat miskin atau kelompok sasaran di daerah bencana/tertinggal. Pada studi ini juga terungkap bahwa menjelang akhir suplementasi, terdapat kecenderungan sampel sudah tidak mau lagi untuk meningkatkan jumlah konsumsi pangan. Nurhayati (2006) dengan menggunakan sub-sampel studi ini menganalisis persepsi bentuk tubuh ideal pada mahasiswi yang kebanyakan adalah tinggi kurus. Pengurangan jumlah konsumsi pangan tersebut kemungkinan berkaitan dengan keinginan penampilan tubuh ideal (tidak gemuk), atau karena kesibukan menjelang ujian akhir semester saat studi ini akan berakhir. Kedua alasan tersebut akan kontradiksi dengan upaya perbaikan gizi melalui peningkatan

136 118 konsumsi pangan, karena disatu pihak masih terdapat defisiensi zat gizi pada kebiasaan konsumsi pangan remaja. Sementara dilain pihak, sampel merasa bahwa peningkatan kualitas konsumsi berkaitan dengan peningkatan berat badan, yang oleh sebagian besar remaja wanita justru ingin dihindari. Sehingga rasionalisasi perbaikan gizi mikro yang efektif dalam jangka pendek diantaranya melalui program suplementasi zat gizi atau fortifikasi pangan. Pada akhir suplementasi sampel cenderung untuk membatasi konsumsi pangan, meskipun asupan zat gizi mikro (termasuk zat besi) masih dibawah AKG. Evaluasi subyektif terhadap efek suplementasi diantaranya adalah sampel merasa meningkat nafsu makannya (43%), dan kebanyakan tidak menyukainya karena takut terjadi kegemukan. Peningkatan skor selera makan setelah suplementasi juga ditemukan pada studi Kanani dan Poojara (2000) pada remaja wanita di Bangladesh. Maka untuk meningkatkan efektifitas program/kegiatan penanggulangan anemia gizi besi perlu diikuti dengan perubahan perilaku, terutama melalui strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Materi KIE tersebut diantaranya adalah promosi penerimaan suplemen besi-multivitamin, dan konsep body image yang benar pada remaja wanita. Selain itu perlu pula dijelaskan hubungan penggunaan suplemen besi-multivitamin dengan peningkatan selera makan, cara menghindari kegemukan. Konsumsi Makanan Tambahan (PMT) Analisis terhadap tingkat kepatuhan konsumsi PMT cukup besar, yaitu rata-rata 86% (Gambar 17). Kepatuhan konsumsi PMT dinilai dari rata-rata snack dan minuman yang benar-benar dikonsumsi selama suplementasi. Tingkat kepatuhan konsumsi PMT diantara ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji Ancova, peubah konsumsi PMT tidak signifikan (p>0,05) pengaruhnya terhadap perubahan status besi (Hb, STfR, dan SF). Suplai PMT mengandung zat besi rata-rata 2,9 mg/hari, sedangkan yang riil dikonsumsi rata-rata 2,4 mg/hari (Tabel 18 dan 20). Kontribusi asupan zat besi PMT tersebut jauh lebih sedikit dari konsumsi pangan harian sebesar 11,8 mg/hari. Sehingga penambahan zat besi dari PMT saja masih sangat jauh dari kecukupan besi sebesar 26 mg/hari. Demikian pula terhadap asupan zat gizi

137 119 lainnya jumlahnya relatif kecil, yaitu rata-rata asupan protein sekitar 5 g, vitamin A 68 RE, vitamin B12 0,2 mg, vitamin C 9 mg dan zat besi 2,3 mg. Studi ini menunjukkan bahwa dengan hanya penambahan PMT dari makanan jajanan (setara kkal/hari) hanya akan memperbaiki indikator Hb sebesar 8,3 g/l. Pemberian PMT akan meminimalkan perbedaan (gap) tingkat kecukupan energi dan protein diantara ketiga kelompok perlakuan, sehingga asupan zat gizi makro menjadi relatif homogen. Peningkatan asupan zat gizi makro saja tidak akan efektif untuk memperbaiki status besi khususnya STfR dan SF, apabila keberadaan vitamin yang terkait.dengan metabolisme zat besi dan eritropoiesis mengalami defisit (Allen et al. 2000). Dibandingkan dengan studi lainnya pada anak SD, kelompok kontrol yang hanya menerima PMT-AS (senilai 300 kkal dan 4 g protein tiga kali/minggu selama 9 bulan), ternyata tidak terjadi peningkatan kadar Hb dan SF yang signifikan (Saidin et al. 1999). Pada program PMT ini biaya yang dikeluarkan untuk membeli snack/minuman per hari per sampel sebesar Rp Program tersebut berlangsung selama 24 bulan, sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar yaitu antara Rp per sampel. Oleh karena itu keberlanjutan program PMT ini kemungkinan sulit untuk diteruskan tanpa tersedianya sponsor/funding yang peduli terhadap permasalahan gizi remaja. Apabila dilihat dari dampak terhadap berbaikan gizi, maka pemberian PMT tersebut hanya memberikan kontribusi asupan energi dan zat gizi (7-15% AKG), menurunkan prevalensi gizi kurus (IMT< 18,5 kg/m 2 ) dari 25,8% menjadi 24,6% (kontrol), dan meningkatkan kadar Hb sekitar 8,3 g/l. Sementara itu tidak ditunjukkan adanya perbaikan terhadap status besi (indikator STfR dan SF), atau kemungkinan perbaikan status zat gizi mikro lainnya. Program perbaikan gizi dengan pemberian PMT termasuk pada kategori biaya tinggi jika dibandingkan dengan program lainnya seperti fortifikasi, suplementasi, atau KIE. Analisis World Bank (1994) perbandingan biaya program per orang per tahun paling tinggi adalah PMT anak sekolah 12 US$ (PMT balita 46 US$), dan lebih rendah pada program KIE 2 US$, suplementasi 0,5 US$, dan fortifikasi 0,1 US$. Sehingga apabila ketersediaan dana menjadi pembatas, maka untuk pelaksanaan program perbaikan gizi mikro dengan

138 120 suplementasi pada sasaran kelompok berisiko merupakan alternatif program yang lebih feasible. Kadar Hb, STfR, dan SF sebelum Suplementasi Prevalensi anemia sebelum suplementasi sebesar 25,1%, sedangkan prevalensi defisiensi besi eritropoiesis (IDE) dan deplesi zat besi sebesar 40,3% dan 41,5%. Prevalensi IDE dan defisit simpanan besi tersebut besarnya relatif sama, yang menunjukkan tidak terdapat mobilisasi zat besi dari simpanan ke transferin yang kemungkinan karena defisiensi asupan vitamin A (Picciano 1999; West et al. 2007). Justifikasi tersebut di atas sejalan dengan penilaian terhadap asupan zat gizi (dietary assessment) yang menunjukkan bahwa proporsi defisit gizi mikro (%AKG) cukup tinggi, sehingga mendukung asumsi peneliti bahwa perlu dilakukannya penambahan multivitamin pada suplementasi besi. Pada awal studi, ditemukan prevalensi anemia sebesar 25,1%. Namun prevalensi anemia akibat defisiensi zat besi (IDA) sebanyak 16,4%. Artinya anemia pada kelompok ini sebesar 65% diakibatkan oleh rendahnya asupan besi dari konsumsi pangan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan asumsi INACG (2003) dan WHO (2004) sebesar 50%. Kajian diberbagai negara oleh Beaton dan McCabe (INACG 2001) menunjukkan estimasi proporsi anemia yang disebabkan oleh defisit zat besi berkisar antara 21-85%. Hasil analisis korelasi Pearson pada data baseline menunjukkan terdapat asosiasi negatif yang signifikan antara Hb dengan STfR (r=-0,202; p<0,01), dan terdapat hubungan positif yang signifikan antara Hb dengan SF (r=0,312; p<0,01). Namun antara STfR dengan SF tidak terdapat hubungan yang nyata (r=-0,38; p>0,05). Kondisi ini menunjukkan bahwa indikator STfR tidak sensitif untuk mendeteksi besi simpanan, namun sangat sensitif untuk mengidentifikasi defisiensi besi fungsional seperti halnya pada indikator hemoglobin (Baynes 1996; Cook et al. 2003). Pada studi ini juga dilakukan analisis untuk menambahkan informasi terhadap penggunaan kategori STfR dan SF. Selama ini terdapat beberapa variasi di dalam penggunaan batasan (cut-off point) kategori IDE dan IDA. Pada studi ini peneliti menganalisis tabulasi silang antara status anemia dengan rata-rata STfR dan SF. Nilai rataan yang digunakan adalah pada data baseline, dengan

139 121 pertimbangan status besi belum terpengaruh oleh proses suplementasi. Hasilnya adalah pada penderita anemia, defisiensi besi eritropoiesis (IDE) terjadi jika STfR>10 mg/l dan deplesi simpanan besi jika SF<16 ug/l. Kategori ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi Erhard et al. (2004) dan UNICEF/UNU/WHO (2001). Nilai tersebut lebih tinggi karena kemungkinan sampel pada studi ini (prevalensi anemia 25,1%) tidak terdapat penderita anemia dengan kategori tingkat berat (<80 g/l). Pada kelompok remaja wanita, peneliti lain menggunakan kategori STfR dan SF yang berbeda-beda. Kategori SF (<16 ug/l) digunakan oleh Zhu dan Haas (1998). Sementara itu Zavaleta et al. (2000); Ahmed et al. (2001); Ahmed et al. (2005); Dillon (2005) menggunakan kategori SF<12 ug/l. Souminen et al. (1998) menggunakan batas SF<22 ug/l; sedangkan Viteri et al. (1999) menggunakan SF<15 ug/l. Pada berbagai studi peningkatan STfR terjadi ketika seseorang mengalami defisiensi zat besi. Percobaan dengan cara plebotomi, pada awalnya konsentrasi STfR relatif stabil, dan kemudian mulai meningkat ketika simpanan besi mulai menipis (Baynes 1996). Pada saat anemia konsentrasi STfR menjadi 8,8 mg/l dibandingkan dengan kondisi normal sebesar 5,3 mg/l. Selisih nilai biomarker sebelum dan sesudah suplementasi lebih dipengaruhi oleh nilai biomarker awal (baseline), daripada tingkat kecukupan energi dan zat gizi, compliances kapsul dan PMT, maupun IMT (Lampiran 9, 11, 13). Di dalam sistem metabolisme zat besi, kondisi status besi awal akan lebih mempengaruhi atau respon pemanfaatan zat besi. Secara signifikan kenaikan hemoglobin ( Hb) dipengaruhi oleh konsentrasi Hb awal. Banyak studi menunjukkan bahwa subyek yang anemia akan lebih responsif di dalam peningkatan hemoglobin (Beard et al. 1996, Ekstorm 2001, Allen 2002). Pada studi ini STfR akhir dipengaruhi baik oleh Hb maupun STfR awal, sedangkan penurunan ( ) SF dipengaruhi oleh nilai SF awal (p<0,05). Apabila terjadi peningkatan asupan zat besi pada penderita anemia, maka yang pertama dipenuhi adalah untuk pembentukan hemoglobin, kemudian perbaikan besi transpor, dan setelah itu akan disimpan. Studi lain menunjukkan penurunan STfR dipengaruhi oleh serum feritin (Zhu dan Haas 1998). Hasil yang sama juga pada studi Tee et al. (1999) yang menunjukkan kenaikan SF dipengaruhi oleh serum

140 122 feritin awal. Peningkatan STfR belum terjadi pada saat deplesi zat besi, tetapi peningkatannya hampir bersamaan dengan terjadinya penurunan hemoglobin (Souminen et al. 1998). Tabulasi silang dilakukan antara sampel dengan kategori anemia (Hb<120 g/l) untuk menganalisis responsifitas perbaikan biomarker. Pada kelompok B-F dan B-MV, dari ketiga indikator yang diukur, hanya Hb yang berhubungan dengan status anemia sebelum suplementasi (Tabel 26). Pada sampel penderita anemia, kenaikan Hb hampir dua kali lebih besar (16,6 g/l) dibandingkan dengan sampel yang tidak anemia (8,9 g/l). Namun untuk perbaikan indikator STfR dan SF nampaknya tidak berhubungan dengan status anemia sampel sebelum suplementasi. Berdasarkan status defisiensi eritropoiesis awal (STfR>8,3 mg/l) menunjukkan bahwa respon STfR lebih baik dari pada Hb dan SF (Tabel 28). Pada sampel dengan status IDE, tidak menunjukkan perbedaan perubahan Hb dan SF setelah suplementasi jika dibandingkan non-ide. Respon yang lebih besar terjadi pada STfR, baik pada kelompok B-F dan B-MV. Rata-rata perubahan STfR tersebut sebesar (4,3-4,5) mg/l lebih tinggi sampel IDE dibandingkan non- IDE. Selain kadar Hb, indikator STfR nampaknya cukup sensitif untuk digunakan sebagai indikator untuk mengetahui efek suplementasi. Analisis yang sama dilakukan pada sampel dengan kategori deplesi simpanan zat besi (SF<15 ug/l). Pada perlakuan B-F dan B-MV sampel yang mengalami defisit cadangan zat besi cenderung lebih responsif didalam perbaikan ketiga biomarker. Pada sampel dengan defisit cadangan zat besi mengalami kenaikan Hb 3-4 g/l, SF 2,2-10 ug/l, dan penurunan STfR 0,3-0,7 mg/l lebih besar dibandingkan sampel yang tidak defisit (Tabel 30). Hasil studi ini sejalan dengan studi lainnya (Beard et al. 1996, Ekstorm 2001, dan Allen 2002), bahwa cadangan besi yang kurang (depleted) dapat menyebabkan respon perbaikan biomarker yang lebih baik dibandingkan subyek yang tidak deplesi besi. Pengaruh Suplementasi terhadap Hb, STfR, dan SF Studi ini menunjukkan bahwa dengan hanya penambahan PMT dari makanan jajanan (setara kkal/hari) hanya akan memperbaiki indikator Hb (kelompok kontrol). Dengan suplementasi besi-folat (B-F) akan memperbaiki

141 123 indikator Hb dan STfR namun tidak signifikan terhadap peningkatan SF. Tetapi dengan formula besi-multivitamin (B-MV) tidak hanya memperbaiki Hb, tetapi juga sekaligus STfR dan SF. Dengan memodifikasi model Suominen et al. (1998), Gambar 22 menjelaskan tahapan terjadinya anemia gizi besi dan proses perbaikannya (recovery) setelah suplementasi. Gambar 22. Tahapan terjadinya defisiensi besi dan perbaikan status besi setelah suplementasi. Tanda panah ke kanan menunjukkan tahapan terjadinya defisiensi zat besi, dan tanda panah ke kiri menunjukkan proses perbaikan status besi akibat peningkatan asupan zat besi. Jadi setelah suplementasi, pada kontrol hanya memperbaiki besi fungsional kolom III, pada perlakuan B-F memperbaiki besi transpor dan fungsional (kolom II dan III). Pada perlakuan B-MV dapat memperbaiki zat besi simpanan dan fungsional (kolom I, II, III). Rata-rata peningkatan kadar Hb pada kelompok kontrol ternyata relatif sama dengan kelompok B-MV dan B-F, yaitu berturut-turut 8,3 g/l, 10,5 g/l dan 11,2 g/l. Dengan asupan zat besi sebesar mg/hari (tidak termasuk dari suplemen) akan menaikkan kadar hemoglobin saja (kontrol). Namun dengan penambahan zat besi dan vitamin lainnya akan memperbaiki indikator STFR dan

EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA DODIK BRIAWAN

EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA DODIK BRIAWAN EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA DODIK BRIAWAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gizi adalah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kebutuhan gizi yang tidak tercukupi, baik zat gizi makro dan zat gizi mikro dapat menyebabkan

Lebih terperinci

METODE Desain dan Waktu Penelitian Perlakuan Jenis suplemen

METODE Desain dan Waktu Penelitian Perlakuan Jenis suplemen METODE Desain dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah randomized control trial (RCT). Penelitian ini terdiri dari tiga perlakukan, dan alokasi sampel ke dalam kelompok perlakuan tersebut dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Wanita muda memiliki risiko yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. Anemia banyak terjadi

Lebih terperinci

-LATAR BELAKANG- Akan menurunkan kemampuan fisik dan prestasi akademik. Upaya pemerintah: suplementasi zat besi

-LATAR BELAKANG- Akan menurunkan kemampuan fisik dan prestasi akademik. Upaya pemerintah: suplementasi zat besi PENGEMBANGAN MODEL PERBAIKAN ANEMIA GIZI BESI DI SEKOLAH UNTUK PENINGKATAN PRESTASI AKADEMIK SISWA DR.IR. DODIK BRIAWAN, MCN DR.IR. SITI MADANIJAH, MS DR. FITRAH ERNAWATI, MSc SEAFAST Center LPPM - Institut

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan fisik dan perkembangan emosional antara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi. Prevalensi anemia di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan masa depan bangsa yang akan menggantikan generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia anak menjadi usia dewasa. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia pada remaja putri merupakan salah satu dampak masalah kekurangan gizi remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pekerja wanita usia subur (WUS) selama ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang utama di banyak industri, terutama industri pengolahan pangan yang pekerjaannya masih banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi

TINJAUAN PUSTAKA Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi TINJAUAN PUSTAKA Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia, yang terjadi tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja membawa

Lebih terperinci

PENGARUH DIET PENURUNAN BERAT BADAN DAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA PRAHIPERTENSI YANG KEGEMUKAN HERYUDARINI HARAHAP

PENGARUH DIET PENURUNAN BERAT BADAN DAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA PRAHIPERTENSI YANG KEGEMUKAN HERYUDARINI HARAHAP PENGARUH DIET PENURUNAN BERAT BADAN DAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA PRAHIPERTENSI YANG KEGEMUKAN HERYUDARINI HARAHAP SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanakkanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu bangsa akan maju dan mandiri jika manusianya berkualitas. Banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami sebuah masa transisi menuju dewasa. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai

Lebih terperinci

PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN C DAN MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP STATUS GIZI, KESEHATAN, DAN FUNGSI GINJAL FEBRINA SULISTIAWATI

PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN C DAN MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP STATUS GIZI, KESEHATAN, DAN FUNGSI GINJAL FEBRINA SULISTIAWATI PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN C DAN MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP STATUS GIZI, KESEHATAN, DAN FUNGSI GINJAL FEBRINA SULISTIAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global baik di negara berkembang maupun negara maju. Anemia terjadi pada semua tahap siklus kehidupan dan termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyarakat. Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang asupan makanan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan keadaan masa eritrosit dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani, 2008). Anemia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas, karena pada dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi baru pembangunan kesehatan direfleksikan dalam bentuk motto yang berbunyi Indonesia Sehat 2010. Tahun 2010 dipilih dengan pertimbangan bahwa satu dasawarsa merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari nilai normal kelompok yang bersangkutan (WHO, 2001). Anemia merupakan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan status gizi untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin, yakni sejak manusia itu masih berada

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI Skripsi ini ini Disusun untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik dan mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan suami istri. Setiap pasangan menginginkan kehamilan berlangsung dengan baik, bayi

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density.

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density. ABSTRACT SURYONO. The Effects of High Calcium Milk Consumption on Blood Calcium Concentration and Bone Density of Adolescents Boys. Under supervision of ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO, BUDI SETIAWAN, and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-12 tahun. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat pertumbuhan yang terjadi sebelumnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi mikro yang cukup serius dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar anemia di Indonesia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 21 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Prevalensi anemia di Indonesia cukup tinggi pada periode tahun 2012 mencapai 50-63% yang terjadi pada ibu hamil, survei yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia karena defisiensi besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan di dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Saat ini diperkirakan kurang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan manusia dimulai sejak di dalam kandungan ibu. Sehingga calon ibu perlu mempunyai kesehatan yang baik. Kesehatan dan gizi ibu hamil merupakan kondisi yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan suatu masalah gizi yang tersebar di seluruh dunia, baik di negara berkembang dan negara maju. Penderita anemia di seluruh dunia diperkirakan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia secara klinis didefinisikan sebagai tidak cukupnya massa sel darah merah (hemoglobin) yang beredar di dalam tubuh. Anemia defisiensi zat besi merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang ditimbulkan cukup serius dengan spektrum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen dalam darah, yakni hemoglobin (Hb) dalam darah atau jumlahnya kurang dari kadar normal. Di Indonesia prevalensi anemia pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Intik gizi yang tidak cukup dan infeksi merupakan penyebab langsung gizi kurang pada bayi dan anak (UNICEF, 1999). Hal ini berdampak tidak saja terhadap kekurangan gizi makro

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia Gizi Besi Anemia gizi besi adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi dalam hati, sehingga jumlah hemoglobin darah menurun dibawah normal. Sebelum terjadi

Lebih terperinci

METODE. Zα 2 x p x (1-p)

METODE. Zα 2 x p x (1-p) 16 METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Pemilihan tempat dilakukan secara purposif dengan pertimbangan kemudahan akses dan perolehan izin. Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan negara miskin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang berawal dari usia 9-10 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun. Remaja sebagai golongan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi utama yang terjadi di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia 15-49 tahun yang menderita anemia di enam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang berakibat buruk bagi penderita terutama golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu masalah gizi wanita yang berkaitan dengan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris),

BAB I PENDAHULUAN. seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris), 111 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja dalam ilmu psikologis diperkenalkan dengan istilah lain, seperti puberteit, adolescence, dan youth. Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum SMK N 1 Sukoharjo 1. Keadaan Demografis SMK Negeri 1 Sukoharjo terletak di Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama dan jika terjadi pada anak-anak akan menjadi persoalan serius bangsa. Kekurangan zat besi mempunyai pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang memiliki fisik tanggung, mental yang kuat

Lebih terperinci

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA CICA YULIA, S.Pd, M.Si Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanak-kanak dan dewasa (Jones, 1997). Permulaan masa remaja dimulai saat anak secara seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan status gizi masyarakat sebagai upaya peningkatan kualitas dan taraf hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN TABLET Fe DAN BUAH KURMA PADA MAHASISWI DI JURUSAN KEBIDANAN TANJUNGKARANG Nora Isa Tri Novadela*, Riyanti Imron* *Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Tanjungkarang E_mail :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia adalah penyebab kedua terkemuka didunia dari kecacatan dan dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius global ( WHO, 2014).

Lebih terperinci

ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA WIWIK WIDAYATI

ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA WIWIK WIDAYATI ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA WIWIK WIDAYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan kadar hemoglobin di dalam darah kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur. Kriteria anemia berdasarkan WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus untuk meningkatkan taraf hidup. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Gizi seimbang merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan, perkembangan, menurunkan produktifitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi dan pangan merupakan masalah yang mendasar karena secara langsung dapat menentukan kualitas sumber daya manusia serta derajat kesehatan masyarakat. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi (pembuahan) hingga permulaan persalinan. Ibu yang sedang hamil mengalami proses pertumbuhan yaitu pertumbuhan fetus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk memenuhi tumbuh kembang janinnya. Saat ini

Lebih terperinci

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia A. Topik : Sistem Hematologi B. Sub Topik : Anemia C. Tujuan Instruksional 1. Tujuan Umum : Setelah penyuluhan peserta diharapkan dapat mengtahui cara mengatasi terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan satu dari empat masalah gizi yang ada di indonesia disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah gangguan akibat kurangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia merupakan masalah yang sering ditemui pada remaja putri. Remaja putri termasuk dalam kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

MAKALAH GIZI ZAT BESI

MAKALAH GIZI ZAT BESI MAKALAH GIZI ZAT BESI Di Buat Oleh: Nama : Prima Hendri Cahyono Kelas/ NIM : PJKR A/ 08601241031 Dosen Pembimbing : Erwin Setyo K, M,Kes FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan mempunyai arti yang sangat penting bagi manusia, karena tanpa kesehatan yang optimal manusia tidak dapat melakukan semua aktifitas kesehariannnya dengan sempurna.perilaku

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA NADIYA MAWADDAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merah atau hemoglobin kurang dari normal. Kadar hemoglobin normal. umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. Untuk pria, anemia

BAB 1 PENDAHULUAN. merah atau hemoglobin kurang dari normal. Kadar hemoglobin normal. umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. Untuk pria, anemia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anemia adalah suatu kondisi medis di mana suatu jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Kadar hemoglobin normal umumnya berbeda pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) ambang menurut umur dan jenis kelamin (WHO, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) ambang menurut umur dan jenis kelamin (WHO, 2001). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) seseorang dalam darah lebih rendah dari normal sesuai dengan nilai batas ambang menurut umur dan jenis kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ada empat masalah gizi utama yang ada di Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk. Kedua, kurang vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang bersangkutan. Hemoglobin merupakan protein berpigmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara berkembang. Data Riset Kesehatan Dasar (R iskesdas)

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara berkembang. Data Riset Kesehatan Dasar (R iskesdas) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan masalah kesehatan yang paling sering dijumpai di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.

Lebih terperinci

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami PENDAHULUAN Latar belakang Anemia zat besi di Indonesia masih menjadi salah satu masalah gizi dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Anemia zat besi akan berpengaruh pada ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari normal, anemia merefleksikan eritrosit yang kurang dari normal di dalam sirkulasi dan anemia

Lebih terperinci