BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, jenis kejahatan tidaklah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, jenis kejahatan tidaklah"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia, jenis kejahatan tidaklah tetap. Pada suatu waktu timbul jenis kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal orang. 1 Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial. 2 Kejahatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktifitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi dapat menjadi penyebab kejahatan. Kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan dalam bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Kejahatan bukan saja berdimensi nasional tetapi sudah transnasional. Hal ini ditandai bukan saja kerugian yang besar dan meluas, namun juga modus operandi dan peralatan kejahatan semakin canggih. Kejahatan bukan saja dilakukan oleh 1 Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm.1 2 Saparinah Sadli, dalam Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm.11

2 2 perorangan tetapi sudah bersifat kelompok terorganisasi 3, atau lebih dikenal sebagai kejahatan terorganisir atau organized crime. Bentuk-bentuk kejahatan terorganisir atau organized crime ini selain melibatkan sekumpulan orang yang mempunyai keahlian di dalam melaksanakan tindak pidana juga didukung oleh beragam instrumen tindak pidana sehingga mereka bisa menghimpun hasil tindak pidana dalam jumlah yang sangat besar. 4 Dapat dipastikan dalam melakukan tindak pidana tersebut membutuhkan alat, atau instrumen yang digunakan, baik sebagai sebuah cara dan tindakan, maupun sebagai sebuah tujuan. Kejahatan juga menimbulkan berbagai keuntungan bagi pelakunya, terutama keuntungan ekonomi berupa harta kekayaan (baik berupa uang ataupun harta benda lainnya). Pecunia non olet, uang itu tidak ada baunya. Ungkapan ini tepat sekali dalam menggambarkan uang-uang (harta kekayaan) hasil kejahatan yang tidak menebarkan bau kejahatan. Uang-uang hasil kejahatan itu selalu aman disimpan dan disembunyikan dan jika digunakan para pelaku kejahatan tidak seorang pun dapat mencium bau kejahatan dari uang-uang tersebut. Para pelaku kejahatan dengan aman dan nyaman menikmati uang-uang hasil kejahatannya. Uang atau aset hasil tindak pidana yang tidak ada baunya ini merupakan hal yang paling utama bagi penjahat. Bagi para pelaku kejahatan itu harta kekayaan yang diperoleh merupakan darah yang menghidupi tindak pidana (the blood of the crime). 3 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 2. 4 Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana diakses pada tanggal 20 November 2012 pukul 14:24 WIB

3 3 Upaya yang paling efektif dalam pemberantasan dan pencegahan terhadap tindak pidana semacam itu selain dari sekedar menjatuhkan pidana badan terhadap para pelaku tindak pidana adalah dengan membunuh kehidupan dari kejahatan itu sendiri, yaitu dengan merampas hasil dan instrumen tindak pidana tersebut, dengan kata lain pelaku tindak pidana ditemukan dan dihukum serta hasil dan instrumen 5 tindak pidananya disita dan dirampas oleh Negara. Hal ini memungkinkan tertutupnya peluang para pelaku tindak pidana ataupun orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan menggunakan kembali instrumen tindak pidana, atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan. Munculnya aset-aset tindak pidana yang begitu besar ditemukan dalam berbagai bentuk misalnya dalam aset berwujud maupun tidak berwujud. Aset inilah yang menjadi sasaran hukum perampasan aset hasil tindak pidana. Melihat luasnya dampak dari kejahatan dengan motif ekonomi dan organized crime lainnya, terutama dari aspek ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat dan ditambah pula dengan mahalnya ongkos melawan kejahatan tersebut, maka aspek penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Aset kejahatan tersebut jika dikumpulkan dan dikelola dengan baik dan benar maka dapat dikontribusikan bagi pemasukan Negara yang kemudian dapat digunakan demi keperluan publik. Akan tetapi, ada kecenderungan bahwa aset 5 Adapun instrumen atau hasil tindak pidana itu dapat berbentuk harta benda (baik benda bergerak maupun tidak bergerak) seperti uang, surat berharga, logam mulia, alat transportasi, senjata, properti, sampai kepada binatang hidup, dan lain sebagainya, yang terkait dengan tindak pidana tersebut baik sebagai hasil kejahatan maupun instrumen atau alat untuk melakukan tindak pidananya.

4 4 yang telah dirampas itu tidak diawasi secara baik. Hal itu terjadi karena tidak jelasnya lembaga yang mengawasi dan mengelola aset yang telah dirampas. Padahal persoalan asset recovery untuk meminimalkan kerugian Negara merupakan faktor yang tak kalah penting dalam upaya pemberantasan kejahatan motif ekonomi disamping memvonis pelaku dengan hukuman seberat-beratnya. Pada saat ini perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan, bahwa penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Selain mengungkap tindak pidana dan menemukan pelakunya, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian utama dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Selain itu dalam rangka memperkuat ketentuanketentuan pidana yang sudah ada, beberapa negara mengadopsi ketentuanketentuan yang berasal dari ketentuan-ketentuan perdata untuk menuntut pengembalian hasil tindak pidana. Beberapa Negara yang telah menetapkan undang-undang mengenai perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, diantaranya adalah Pemerintah Inggris pada tahun 2002, Pemerintah Australia pada tahun 2002, dan Pemerintah Selandia Baru pada tahun Adanya ketentuan baru ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi aparat penegak hukum untuk menyita dan merampas aset hasil tindak pidana. Inggris merupakan salah satu negara (mungkin satu-satunya negara) yang memiliki sistem hukum pengembalian aset hasil kejahatan yang dikenal

5 5 dengan The Proceeds of Crime Act 2002 (POCA 2002). Undang-undang ini lahir atas komitmen kuat dari pemerintahan Inggris pada waktu di bawah Perdana Menteri Tony Blair. 6 Kuatnya komitmen itu tampak jelas dari pernyataan Tony Blair pada saat lahirnya POCA tersebut. Blair menyatakan bahwa pemerintahannya dituntut untuk menciptakan a fair and just society in which crime does not pay. Yaitu, membatasi orang dari kejahatan dengan memastikan para pelaku tindak pidana tidak bergantung pada keuntungankeuntungan dari kejahatan. Meningkatkan konfidens dalam penegakan hukum dengan memastikan tidak ada seorang pun yang tidak terjangkau hukum. Mempermudah pengadilan dalam mengembalikan hasil-hasil kejahatan dari para pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi hukuman. Dan mengembalikan aset-aset hasil kejahatan kepada masyarakat. 7 Komitmen ini diwujudkan dalam aksi nyata dengan lahirnya POCA 2002, suatu sistem hukum pengembalian aset hasil kejahatan. Meskipun POCA 2002 dalam metode konfiskasi (penyitaan) berakar pada hukum yang ada sebelumnya, namun POCA 2002 memiliki tujuan menciptakan suatu rezim hirarki pengembalian aset yang diperluas melalui konfiskasi pidana (criminal confiscation), penyitaan perdata (forfeiture) dan perpajakan yang menandai perubahan radikal dalam hukum domestik Inggris. 8 Ada dua alasan yang melatarbelakangi tujuan POCA 2002 ini. Pertama, sebagaimana arti istilah pengembalian aset, sistem ini berusaha membangun 6 Purwaning M Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Suara Karya Online, diakses terakhir kali pada tanggal 16 juli Ibid 8 Ibid

6 6 suatu persoalan hukum bahwa siapa pun tidak punya hak apa pun untuk menikmati harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Kedua, sistem hukum pengembalian aset merupakan langkah paling signifikan dalam menghilangkan perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata yang merupakan karakter utama dari strategi pengontrolan kejahatan di zaman modern ini. Pemerintah selalu berusaha mengatasi kelemahan sistem peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan gugatan perdata (Smith & Owen, Gen.Ed.2003). 9 Dengan POCA 2002, pengembalian aset hasil kejahatan merupakan bagian integral dari pencegahan dan pendekatan semua kejahatan, peradilan terhadap orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan dan penghukuman bagi yang terbukti melakukan kejahatan. POCA 2002 juga memastikan bahwa sistem hukum pengembalian aset menjangkau para pelaku yang melawan hukum tetapi tidak dapat dituntut atau tidak ditemukan kesalahannya sebagai pelaku tindak pidana. 10 Untuk melaksanakan POCA 2002 dibentuk suatu komisi khusus pengembalian aset yang disebut Assets Recovery Agency (ARA). ARA merupakan suatu departemen pemerintah, bukan kementerian yang independen yang memiliki empat tujuan strategik. Pertama, membantu mengurangi kejahatan dan menghancurkan usaha-usaha kejahatan terorganisasi lewat penemuan dan pengembalian aset-aset kejahatan yang meningkatkan efek kejahatan dalam masyarakat. Kedua, mengembalikan 9 Ibid 10 Ibid

7 7 jumlah aset substansial dengan menggunakan kekuasaan dalam POCA 2002, baik secara langsung maupun dengan membantu institusi penegak hukum lainnya. Ketiga, mendorong penggunaan investigasi finansial, di dalam maupun di luar ARA, sebagai suatu alat memerangi kejahatan, Keempat, menjalankan peran ARA dengan cara penguatan budaya yang dipusatkan pada delivery dan outcomes, penetapan standar-standar profesionalisme dan integritas yang sangat tinggi dalam bekerja. 11 Temuan hukum penting dari kajian hukum atas perampasan aset adalah bahwa harta kekayaan hasil tindak pidana diakui sebagai subjek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, bukan semata-mata sebagai objek perampasan dan penyitaan dari suatu tindak harta. Akan tetapi konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana. Kesulitan akan bertambah apabila pelaku tindak pidana menginvestasikan hasil tindak pidana dalam suatu kegiatan usaha yang sah dan selanjutnya dipindah-tangankan kepada pihak ketiga yang mempunyai atau tidak mempunyai hubungan dengan pelaku dengan menggunakan instrumen investasi yang beragam di dalam atau di luar negeri. 11 Ibid

8 8 Upaya hukum pidana Indonesia, untuk menghalangi atau menutup kemungkinan para pelaku kejahatan menikmati hasil kejahatannya, telah dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa ketentuan pidana di Indonesia sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Ketentuan mengenai perampasan aset sudah sejak lama dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT / PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, dimana didalamnya terdapat pengaturan yang memberikan kekuasaan kepada pemilik harta benda untuk menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang dapat disita dan dirampas. Secara pragmatis, hal itu dapat dilakukan dalam proses acara, misalnya dapat dilakukan dari sejak awal berupa penyitaan (Pasal 39 KUHAP) atau pemblokiran (Pasal 71 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang), ataupun pembekuan rekening (Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan). Selain itu, upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat menikmati hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai

9 9 pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Indonesia juga telah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 (UNCAC) yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang salah satunya mengatur pengembalian aset. Dalam konvensi UNCAC 2003 telah diatur bahwa pengembalian aset adalah prinsip yang mendasar, dan Negara-negara peserta harus melakukan usaha seluas-luasnya untuk bekerja sama dan memberi bantuan dalam upaya penyelamatan aset. Hal ini berarti tujuan yang paling mendasar dari konvensi PBB menentang korupsi ini adalah bagaimana mengembalikan aset-aset Negara dalam rangka pemulihan ekonomi. Sebagaimana disebutkan diatas, usaha-usaha asset recovery terutama untuk aset yang berada di negara lain, membutuhkan kerja sama diantara Negaranegara terkait. Salah satunya adalah dengan perjanjian bantuan hukum timbal balik masalah pidana atau mutual legal assistance in criminal matters (MLA) Agreement 12, yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Ketentuan tentang pengembalian aset sebagaimana dirumuskan di dalam Bab V Pasal 51 sampai dengan Pasal 59 UNCAC merupakan hasil negoisasi yang intensif; 12 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2009, Laporan Lokakarya tentang Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm.18

10 10 karena ada dua hal yang perlu dirumuskan secara akurat, yakni pada satu sisi ada kebutuhan untuk melacak dan mengembalikan kekayaan hasil kejahatan korupsi dan pada sisi yang lain harta kekanyaan hasil korupsi tersebut telah dialihkan dan ditempatkan di Negara lain sehingga pelacakan dan pengembalian ke Negara asal yang merupakan korban kejahatan korupsi harus dilakukan dengan memperhatikan prosedur hukum dan pengamanan yang sesuai dengan standar di Negara yang bersangkutan. Dalam kasus kejahatan lain yang dicakup oleh UNCAC akan dikembalikan juga dengan didasari oleh bukti kepemilikan dan kerusakan yang dialami oleh korban kejahatan. 13 Sebelum ratifikasi konvensi tersebut, di Indonesia telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan pidana yang berhubungan dengan perampasan aset hasil tindak pidana, seperti, Undang-Undang RI Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Wetboek van Strafrecht for Nederlandsh Indie untuk seluruh Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan perubahannya dengan Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHAP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang 13 Ibid, hlm 34-35

11 11 Psikotropika; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003 diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 14 Seluruh peraturan perundang-undangan tersebut di atas belum mengatur secara khusus dan lengkap mengenai lingkup pengertian istilah Asset Recovery sebagaimana yang tercantum dalam Bab V Konvensi PBB Anti- Korupsi Tahun Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC, saat ini menjadi salah satu acuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, khususnya pasal 2 ayat (1) dan Pasal Pengaturan ketentuan mengenai penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas terbatas pada dua model perampasan yaitu, penyitaan terhadap harta kekayaan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana (instrument sceleris) dan objek yang berhubungan dengan tindak pidana (objectum sceleris). Adapun dalam pengaturan perundang-undangan tersebut diatas, penyitaan terhadap hasil tindak pidana (fructum sceleris) belum diatur secara rinci dan memadai, termasuk proses pembuktian terbalik dalam perampasan aset hasil tindak pidana. 16 Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan perampasan aset Romli Atmasasmita, 2010, Globalisasi & Kejahatan Bisnis, Kencana, Jakarta, hlm Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, Tahun Ibid 17 Penulis lebih cenderung menggunakan perampasan aset daripada pengembalian aset

12 12 (asset recovery) yaitu: Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan;dan 2. Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terlihat adanya kebutuhan untuk merekonstruksi sistem hukum pidana dengan mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana di dalam suatu undang-undang. Pengaturan tersebut selain harus komprehensif juga harus terintegrasi dengan pengaturan lain dan harus sejalan dengan pengaturan yang berlaku umum di dunia internasional untuk memudahkan pemerintah dalam meminta bantuan kerjasama dari pemerintahan negara lain berdasarkan hubungan baik dengan berlandaskan prinsip resiprositas. Upaya perampasan aset ini tidak hanya menuntut kemauan politik pemerintah tetapi juga kemauan parlemen dan lembaga yudikatif terkait seperangkat hukum yang harus disiapkan melalui dari pelacakan aset, perampasan aset sampai dengan pengelolaan aset. Upaya pengembalian aset juga memerlukan kerjasama internasional, baik kerjasama bilateral maupun multilateral disebabkan pengembalian aset yang berada di luar wilayah teritorial Indonesia tentunya memerlukan kerjasama tersebut. Pemerintah Indonesia pun menyadari arti penting dan strategisnya upaya pengembalian aset sebagai bagian integral dari upaya pemberantasan tindak 18 I Ketut Sidiharsa, 2006, Catatan Seminar Nasional Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peran PPATK dan Tantangan Asset Recovery, Seminar PPATK tanggal 4 April 2006 di Gedung BI Kebon Sirih-Jakarta

13 13 pidana dengan motif ekonomi. Hanya saja kesadaran tersebut belum diikuti dengan aksi nyata yang mengekspresikan penting dan strategisnya perampasan aset. Di sini komitmen politik pemerintah untuk membangun suatu sistem hukum perampasan aset yang komprehensif integratif sangat diperlukan. Dalam sistem hukum Indonesia selama ini, upaya perampasan aset hanya dilakukan jika terdakwa atau terpidana telah meninggal dunia. Padahal upaya perampasan aset seharusnya dapat dilakukan secara simultan dengan proses pidana yang sedang berjalan. Tegasnya, perampasan aset tidak menghapus tuntutan pidana, atau sebaliknya tuntutan pidana tidak menghilangkan keharusan mengembalikan aset kepada Negara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi pokok permasalahan dalam tesisi ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah perampasan aset hasil tindak tindak pidana sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana? 2. Bagaimana perwujudan perampasan aset hasil tindak pidana (asset recovery) dalam kebijakan formulasi hukum pidana dalam hukum positif Indonesia saat ini? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

14 14 1. Untuk mengetahui keserasian antara perampasan aset hasil tindak pidana dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. 2. Untuk mengetahui perwujudan perampasan aset hasil tindak pidana dalam formulasi hukum pidana dalam hukum positif Indonesia saat ini. D. Manfaat Penelitian Ada dua manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana terutama yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana khususnya kebijakan formulasi perampasan aset hasil tindak pidana. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, yaitu yaitu memberikan masukan dan memperkaya pemikiran kepada pemerintah, parlemen, LSM, dan masyarakat sipil terkait perampasan aset hasil tindak pidana yang terjadi di Indonesia ataupun luar negeri. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang Penulis lakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM maupun Perpustakaan Universitas Gadjah Mada belum ditemukan adanya penelitian ilmiah dengan judul penelitian tesis yang penulis ajukan. Akan tetapi penulis menemukan beberapa judul tesis yang berkaitan dengan pengembalian aset atau perampasan aset,

15 15 yaitu antara lain; 1. Beniharmoni Harefa, dengan judul Tesis (2011): Upaya Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Berada di Luar Negeri. a. Permasalahan yang ditulis: 1) Bagaimana Upaya Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Berada di Luar Negeri. 2) Apa Kendala-Kendala Yang Dihadapi Perihal Pengembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi Yang Berada di Luar Negeri. b. Kesimpulan dalam Tesis Beniharmoni Harefa: 1) Upaya-upaya pengembalian aset (Asset Recovery) hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri, merupakan bagian dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Kejaksaan sebagai lembaga yang berperan dalam melaksanakan putusan pengadilan untuk mengembalikan aset yang berada di luar negeri. Upaya-upaya konkrit telah dilakukan oleh kejaksaan berdasarkan penelitian penulis adalah dengan membentuk tim terpadu pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Kejaksaan melalui tim terpadu, berdasarkan data dari Unit Pidana Khusus Kejagung RI, telah berhasil menyelamatkan uang Negara dari tahun 2006 s/d 2011 dengan total sekitar Rp ,- (enam puluh lima trilyun dua ratus sembilan milyar empat ratus lima juta lima ratus lima puluh dua ribu sembilan ratus dua puluh rupiah).

16 16 Penyelamatan uang Negara ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. 2) Upaya lain yang dilakukan kejaksaan untuk mengejar dan mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri adalah dengan peningkatan hubungan diplomasi secara intensif dengan Negara lain. Upaya peningkatan hubungan diplomasi ini dilakukan secara intensif yakni pada setiap pertemuan internasional yang diharapkan dapat membina hubungan baik Indonesia dengan Negara-negara yang sering menjadi tujuan aset dipindahkan. 3) Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana yang berada di luar negeri yakni perbedaan sistem hukum antara Negara, adanya pihak ketiga yang menghambat proses pengembalian aset, serta lambannya proses hukum di Indonesia. 2. Wahyudi Hafiludin Sadeli, Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Judul Tesis Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkait Dalam Tindak Pidana Korupsi (2010). a. Permasalahan yang ditulis: 1) Bagaimana mekanisme perampasan aset terhadap aset hasil tindak pidana korupsi yang dialihkan kepada Pihak Ketiga. 2) Bagaimana konsep perampasan aset dan dampaknya yang ditimbulkan terhadap Pihak Ketiga dalam upaya pengembalian aset

17 17 tindak pidana korupsi. b. Kesimpulan dalam Tesis Wahyudi Hafiludin Sadeli: 1) Secara prinsip internasional terhadap tindakan perampasan aset dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme yaitu; perampasan pidana (conviction) dan perampasan tanpa putusan pidana (Non- Based Conviction). Kedua jenis perampasan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu perampasan yang dilakukan oleh negara terhadap hasil dan sarana kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan dalam 2 (dua) hal. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan melanggar hukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatan mereka. Hasil kejahatan harus dirampas dan digunakan untuk kompensasi kepada korban, apakah itu negara atau individu. Kedua, merupakan upaya efek jera terhadap siapa saja yang melanggar hukum. Proses perampasan aset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: (a) Pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan delik yang dilakukan. (b) Pembekuan atau perampasan aset, dimana dilarang sementara menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang

18 18 berkompeten. (c) Penyitaan aset, diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. (d) Pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban. Mekanisme perampasan aset terhadap pihak ketiga secara hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini adalah dilakukan berdasarkan putusan pidana, dengan melalui keyakinan (conviction) untuk menetapkan pelaku adalah terpidana dan diajukannya tuntutan perampasan kepada aset pelaku untuk mengembalikan kerugian yang ada akibat kejahatan yang dilakukannya. Serta secara simultan dapat dilakukan juga upaya diluar mekanisme penuntutan pidana tersebut yaitu melalui gugatan perdata, yang dilakukan tanpa adanya persidangan terlebih dahulu. Tentunya semua mekanisme perampasan baik secara pidana maupun gugatan perdata masih dirasakan memiliki kelemahan dan kekurangan dalam memberikan kewajiban dan jaminan perlindungan kepada pihak-pihak ketiga yang terkait dengan tindakan perampasan tersebut sehingga dapat terjadi penindasan dan pelanggaran hak azasi manusia serta menimbulkan korban baru dari tindakan perampasan tersebut. 2) Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi pada tanggal 18 April 2006.

19 19 Konvensi anti korupsi pertama yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif ini tentunya menimbulkan asas hukum yang bersifat bersama (universal) untuk ditaati tiap yurisdiksi negara-negara yang meratifikasinya, sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dan penafsiran dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi transnasional serta upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tersebut. Asas hukum universal tersebut dituangkan dalam 36 (tiga puluh enam) kunci yang dijadikan acuan konsepsi pada tiap negara-negara agar melakukan suatu tindakan dan kebijakan yang bersifat kebersamaan (universal) dalam hal upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam bentuk tindakan perampasan aset. Pedoman (guidelines) yang diberi judul Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non- Conviction Based Asset Forfeiture, ditujukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan pada sistem pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini digunakan oleh beberapa negara. Diharapkan 36 kunci konsepsi yang ada pada guidline StAR tersebut dapat memberikan persamaan didalam mekanisme perampasan aset dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi pada tiap yurisdiksi. Berdasarkan kedua tesis tersebut diatas terdapat perbedaan dengan penulisan penelitian tesis ini bahwa penulisaan tesis ini menitikberatkan pada

20 20 perampasan aset dari ditinjau dari tujuan dan pedoman pemidanaan serta bagaimana kebijakan formulasi dari perampasan aset dalam undang-undang yang berlaku saat ini di Indonesia. Dengan demikian, sepanjang pengetahuan penulis, bahwa penelitian dengan judul Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Perampasan Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana dalam Hukum Positif Indonesia, belum pernah ada. []

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo Mutual Legal Assistance Trisno Raharjo Tiga Bentuk Kerjasama Ekstradisi Orang pelarian Transfer of sentence person (transfer of prisoners (pemindahan narapidana antar negara) Bantuan timbal balik dalam

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kendala yang mempengaruhi sulitnya upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk juga pembayaran Uang Pengganti dan Uang Denda dipengaruhi oleh faktor substansi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS (PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA) Menimbang :

Lebih terperinci

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor BAB 1V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan undang-undang pemberantasan korupsi yang berlaku

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan. Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010

Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan. Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010 Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010 1 Tren Global Pemberantasan Korupsi Korupsi sudah dianggap sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I. Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin

BAB I. Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin pesatnya pertumbuhan perekonomian negara-negara dunia ketiga (third countries) dan negara-negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. No.857, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-013/A/JA/06/2014 TENTANG PEMULIHAN ASET DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1

PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 0/eh: Dr. Yunus Husein 2 Pendahuluan Bagi negara seperti Indonesia yang

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.453, 2014 JAKSA AGUNG. Organisasi. Tata Kerja. Perubahan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-006/A/JA/3/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN JAKSA AGUNG

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme. TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 SEBAGAI TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI (TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) 1 Oleh: Edwin Fernando Rantung 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan Negara yang kini berada di pundak para aparatur Negara (Pemerintah) bukanlah pekerjaan

Lebih terperinci

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM Perkembangan dan kemajuan ilmu

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH DAERAH ADMINISTRASI KHUSUS HONG KONG REPUBLIK RAKYAT CHINA TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana 43 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan ancaman kepada

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal dengan Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mewujudkan

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara

Lebih terperinci

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG Oleh : Yenti Garnasih ABSTRAK Perkara kejahatan perbankan yang sangat penting dilakukan adalah bagaimana upaya pengembalian uang hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. 1 Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Aliyth Prakarsa dan Rena Yulia* Abstrak Aset negara yang dikorupsi tidak saja

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012 Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah memutuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi);

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI INDONESIA THE URGENCY OF ASSETS RECOVERY ACT IN INDONESIA

URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI INDONESIA THE URGENCY OF ASSETS RECOVERY ACT IN INDONESIA URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI INDONESIA THE URGENCY OF ASSETS RECOVERY ACT IN INDONESIA Marfuatul Latifah P3DI Bidang Hukum, Gedung Nusantara 1 Lantai 2, Setjen

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang yang terjadi dewasa ini telah terjadi secara meluas di segala segi kehidupan birokrasi negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci