V. ANALISIS BESARAN SISTEM PENTARIFAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. ANALISIS BESARAN SISTEM PENTARIFAN"

Transkripsi

1 V. ANALISIS BESARAN SISTEM PENTARIFAN 6.1. Produksi Pergerakan Penduduk Produksi pergerakan penduduk dapat dianalisis berdasarkan besarnya biaya pokok dan biaya produksi dalam menghasilkan satu satuan unit produksi jasa angkutan dengan atau tanpa fasilitas tambahan, dimana faktor muat (load factor) atau daya tampung/kapasitas kendaraan sepanjang trayek/lintasan diketahui dan pendapatan marginal yang dapat menutupi biaya operasi. Perhitungan produksi pergerakan dapat dilakukan dengan analisis: produksi km, produksi rit, produksi penumpang orang, dan produksi penumpang km (seat-km). Berdasarkan prinsip dan kriteria perhitungan produksi pergerakan penduduk terhadap pelayanan angkutan umum penumpang di Kota Makassar, maka analisis yang dilakukan adalah analisis produksi penumpang orang atau penumpang yang diangkut di Kota Makassar pada umumnya dan lokasi penelitian pada khususnya mempertimbangkan: 1) banyaknya penumpang yang diangkut sepanjang satu lintasan sekali jalan dan 2) daya tampung kendaraan (tempat duduk). Berdasarkan persamaan pada Sub bab , maka dapat dianalisis data survei primer di atas angkutan umum penumpang non-bus (survey on board) seperti pada Tabel 26. Tabel 26. Perhitungan Faktor Muat Trayek/Rute di Lokasi Penelitian Produksi Pergerakan AUPNB No. Trayek (Rute) Hari/Jam Survei Jumlah Penumpang Daya Tampung Faktor Muat (%) Ket. 1 D Kamis/ Tinggi 2 E Kamis/ Tinggi 3 G Kamis/ Rendah 4 Makassar-Maros Kamis/ Sedang 5 Makassar-Gowa Kamis/ Tertinggi Jumlah Rata-rata 2, Sumber: Survei Data Primer (2006) Ket.: Jumlah penumpang (jumlah yang diangkut satu kali jalan dalam satu lintasan) Daya tampung (jumlah kursi standar kendaraan) Hasil analisis produksi pergerakan atau faktor muat (load factor) angkutan umum penumpang non-bus yang berdaya tampung 11 penumpang pada 5 trayek di lokasi penelitian pada hari Kamis selama rata-rata 2.01 jam adalah bernilai rata-rata 151 persen sebagai faktor muat (load factor) dari rata-rata jumlah penumpang terbanyak sebesar 17 penumpang. Berdasarkan masing-masing trayek dihasilkan faktor muat trayek terbesar adalah Makassar-Gowa (antar kota) sebesar 282 persen atau tertinggi yang merupakan kondisi yang sangat penuh

2 103 atau bertumpuk (crush capacity) dan E (antar kawasan dalam kota) sebesar 191 persen atau tinggi, sedangkan faktor muat trayek terkecil adalah Makassar- Maros (antar kota) sebesar 73 persen (sedang) dan G (antar kawasan dalam kota) sebesar 27 persen (rendah). Produksi pergerakan pada lima trayek dapat dilihat pada Gambar 21. Makassar-Gowa Makassar-Maros Trayek G Faktor Muat (%) Daya Tampung E Jumlah Penumpang D Faktor Muat Gambar 21. Produksi Pergerakan Penduduk/Penumpang Lokasi Penelitian Produksi pergerakan merupakan perbandingan antara kapasitas terjual dan kapasitas tersedia dari jasa layanan angkutan umum penumpang non-bus, dinyatakan dalam persentase dan umumnya untuk perhitungan tarif adalah 70%. Oleh karena itu, faktor muat kelima trayek di atas teridentifikasi bahwa Trayek Makassar Maros (antar kota) sebagai standar normal yang mendekati 70% walaupun untuk trayek antar kawasan dalam kota sudah melebihi faktor muat untuk Trayek D dan E sedangkan Trayek G sangat rendah atau dibawah standar Pembiayaan Operasi Angkutan Umum Penumpang Non-Bus Biaya Operasi Kendaraan (BOK) secara umum adalah untuk penggunaan bahan bakar, pelumas, ban, pemeliharaan dan onderdil, penyusutan dan bunga, dan waktu sopir/kondektur dan penumpang. Oleh karena itu, pembiayaan atau biaya operasi angkutan umum penumpang yang dihitung dalam biaya operasi satuan dalam rupiah per penumpang-km (Rp/pnp-km) mempertimbangkan harga produksi menjadi biaya internal (biaya langsung dan tak langsung kegiatan transportasi) dan biaya eksternal (biaya di luar kegiatan transportasi tetapi sebagai akibat kegiatan). Selain itu, dianalisis juga faktor keuntungan (laba) pengusaha sebagai fungsi dari tarif, biaya operasi, dan faktor muat (pengisian).

3 104 Berdasarkan prinsip dan kriteria perhitungan biaya operasi pelayanan angkutan umum penumpang di Kota Makassar dan sekitarnya, dilakukan analisis biaya angkutan keseluruhan dikurangi biaya eksternal dan keuntungan (laba) perusahaan dari 5 sampel pengusaha pada 5 trayek di Kota Makassar khususnya di lokasi penelitian. Hasil analisis berdasarkan persamaan pada Sub bab serta analisis data survei primer hasil wawancara dengan pengusaha angkutan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perhitungan Biaya Operasi Kendaraan Trayek/Rute Lokasi Penelitian No. Trayek Hari/ Jam Survei 1 D Senin/ E Senin/ G Senin/ Mksr-Mrs Senin/ Mksr-Gw Senin/ Biaya Operasi Kendaraan AUPNB Biaya langsung Biaya Tak Langsung Biaya Umum BIAYA KESELU- Tarif Faktor Muat KEUN- TUNGAN RUHAN (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Jumlah Rata-rata Sumber: Survei Data Primer Pengusaha (2006) Ket.: Nilai (4) = (1)+(2)+(3), Nilai (7) = (5)+(6)-(4) dan nilai kolom (1) s/d (7) dalam rupiah (1) bensin+oli/hari, (2) ijin trayek/hari (750 rb/thn & 500 rb/thn), dan (3) administrasi dan pengelolaan/hari. Hasil analisis biaya produksi per hari pada 5 trayek yang melewati lokasi penelitian diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil adalah Trayek D (Rp ,-), Makassar-Maros (Rp ,-), E (Rp ,-), Makassar- Gowa (Rp 99000,-), dan G (Rp 27500,-). Keuntungan perusahaan per hari pada setiap trayek di atas secara umum adalah sedang dengan urutan dari terbesar sampai terkecil adalah Trayek Makassar-Maros (Rp ,-), D (Rp ,-), E (Rp ,-), G (Rp 95000,-), dan Makassar-Gowa (Rp 51000,-). Biaya operasi yang terdiri dari produksi dan keuntungan perusahaan pada lima trayek yaitu Trayek D, E, G, Makassar-Maros, dan Makassar-Sungguminasa dapat dilihat pada Gambar 22.

4 Biaya Operasi Kendaraan (Rp) D E G Mksr- Mrs Mksr- Gw Biaya Keseluruhan Keuntungan Trayek / Rute Gambar 22. Biaya Operasi Angkutan di Lokasi Penelitian Biaya operasi angkutan umum penumpang sangat tergantung pada kondisi perusahaan, baik yang berkategori besar dengan jumlah kepemilikan kendaraan lebih banyak maupun yang berkategori kecil dan perbedaan daerah layanan serta tingkat efisiensi setiap perusahaan. Kondisi biaya operasi survei perusahaan pada trayek di lokasi penelitian berkategori perusahaan menengah yang beroperasi dalam kondisi yang wajar, sehingga dalam penentuan tarif diharapkan akan terjadi kesimbangan antara kepentingan pengusaha dan pengguna angkutan Tarif Angkutan Umum Penumpang Non-Bus Perbedaan dua kepentingan antara perusahaan atau pengusaha angkutan umum penumpang non-bus yang selalu menginginkan penetapan tarif menjadi tinggi dan kepentingan pengguna atau penumpang angkutan umum penumpang non-bus yang menginginkan tingkat tarif yang serendah mungkin menyebabkan dibutuhkannya tingkat tarif yang wajar bagi kedua kepentingan tersebut. Hal ini merupakan alternatif pemecahan sistem tarif yang mempertemukan dua kepentingan antara pengguna dan pengusaha atau sebagai penyeimbang, walaupun secara teoritis tarif angkutan umum penumpang merupakan fungsi dari biaya operasi kendaraan dan keuntungan perusahaan. Berdasarkan perhitungan tarif rata dan progresif angkutan umum penumpang di Kota Makassar, dilakukan analisis tarif pada 5 trayek di lokasi penelitian dan berdasarkan persamaan pada Sub bab Hasil analisis perhitungan tarif berdasarkan survei primer hasil wawancara dengan pengusaha

5 106 dan pengemudi angkutan serta pengguna angkutan umum penumpang non-bus dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Perhitungan Tarif Rata dan Progresif Angkutan Berdasarkan Trayek/Rute di Lokasi Penelitian No. Trayek Hari/Jam Survei Biaya Operasi A-T (1x) Tarif Angkutan Umum Penumpang Non-Bus Perkiraan Faktor Muat TARIF RATA Seksi I (Sudiang & Sgmns) Seksi II (Batangase & T.Gw) Seksi III (Term. Maros) TARIF PROG- RESIF Ket. jarak (km) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 D Senin/ E Senin/ Senin/ G Senin/ Mksr-Mrs Senin/ Mksr-Gw Jumlah Rata-rata Sumber: Survei Data Primer Pengusaha, Pengemudi, dan Pengguna (2006) Ket.: Nilai (3) = (1)/(2), Nilai (7) = (4)+(5)+(6) dan nilai kolom (1) s/d (7) dalam rupiah (1) biaya total operasi, (2) pengusaha, dan (4),(5),(6) adalah (1)/(2). Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 28 dapat disimpulkan bahwa penetapan tarif rata untuk trayek angkutan antar kawasan dalam kota adalah untuk Trayek D berjarak 15 km dan E berjarak 11.5 km sebesar Rp 2000,- per satu kali perjalanan untuk rute jauh dan dekat, sedangkan Trayek G berjarak 15.9 sebesar Rp 1700,-. Untuk perhitungan tarif progresif bagi trayek antar kota dalam suatu wilayah dihitung berdasarkan pembagian beberapa seksi berdasarkan jarak terjauh dari asal ke tujuan yaitu Trayek Mkrs-Mrs berjarak 20 km menjadi 3 seksi masingmasing 6-7 km (Sudiang, Batangase, dan Terminal Maros) sebesar Rp 4500,- dan Rp 1500,- pada setiap seksi, sedangkan Trayek Mksr-Gw berjarak 10 km menjadi 2 seksi masing-masing 5 km (Sungguminasa dan Terminal Gowa) sebesar Rp 3200,- dan Rp 1600,- pada setiap seksi. Tarif nyata yang secara menyeluruh mempertimbangkan aspek tarif pokok dan break even point dapat dianalisis dan menghasilkan daftar tarif pada lima trayek di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 29. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif nyata untuk trayek angkutan antar kawasan dalam kota adalah untuk Trayek D berjarak 15 km sebesar Rp 3700,-, Trayek E berjarak 11.5 km sebesar Rp 2600,- dan Trayek G berjarak 15.9 sebesar Rp 3300,-. Sedangkan untuk perhitungan tarif Trayek Mkrs-Mrs berjarak 20 km sebesar Rp 8140,- dan Trayek Mksr-Gw berjarak 10 km sebesar Rp 2750,-.

6 107 Tabel 29. Perhitungan Tarif Nyata Angkutan Trayek/Rute di Lokasi Penelitian No. Trayek Hari/Jam Survei TOTAL BIAYA POKOK Tarif Nyata Angkutan Umum Penumpang Non-Bus FAKTOR MUAT KAPA- SITAS JARAK RATA2 TRIP TARIF POKOK TARIF BEP TARIF NYATA (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 D Senin/ Senin/ E Senin/ G Senin/ Mksr-Mrs Senin/ Mksr-Gw Jumlah Rata-rata Sumber: Survei Data Primer Pengusaha (2006) Ket.: Nilai (5) = (1)/((2)*(3)), Nilai (6) = (5)*(4), dan Nilai (7) = (5)*(4)+10%/rit dan nilai kolom (1), (2), (5) s/d (7) dalam rupiah sedangkan (3) orang dan (4) kilometer, rit rata-rata 8 kali (PP) trayek angkutan kota dan 10 kali (PP terjauh) dan 6 kali (PP terdekat) trayek angkutan antar kota. Ket (rit) Perhitungan tarif angkutan umum penumpang menuju tingkat kewajaran atau tarif keseimbangan dapat disimpulkan berdasarkan analisis pada Tabel 26 yang berorientasi pada kepentingan pengguna dan analisis pada Tabel 27 yang lebih berorientasi pada kepentingan pengusaha dan atau pengemudi. Perbandingan hasil antara kedua perhitungan tersebut menghasilkan tarif berimbang sebagai berikut: (1) Trayek D sebesar Rp 2900,- yang berasal dari seperdua jumlah tarif rata Rp 2000,- ditambahkan tarif nyata Rp 3700,- atau 1/2 dari Rp 5700,-; (2) Trayek E sebesar Rp 2300,- yang berasal dari seperdua jumlah tarif rata Rp 2000,- ditambahkan tarif nyata Rp 2600,- atau ½ dari Rp 4600,-; (3) Trayek G sebesar Rp 2500,- yang berasal dari seperdua jumlah tarif rata Rp 1700,- ditambahkan tarif nyata Rp 3300,- atau ½ dari Rp 5000,-; (4) Trayek Makassar-Maros sebesar Rp 6300,- yang berasal dari seperdua jumlah tarif progresif Rp 4500,- ditambahkan tarif nyata Rp 8140,- atau ½ dari Rp 12640,-; dan (5) Trayek Makassar-Gowa sebesar Rp 3000,- yang berasal dari seperdua jumlah tarif progresif Rp 3200,- ditambahkan tarif nyata Rp 2750,- atau ½ dari Rp 5950,-. Besarnya tarif angkutan penumpang non-bus pada lima trayek di lokasi penelitian berdasarkan tarif rata/progresif, tarif nyata, dan tarif yang seimbang sebagai alternatif pilihan antara kepentingan pengusaha dan atau pengemudi dan pengguna angkutan umum penumpang non-bus tertera pada Gambar 23.

7 D E G Mksr-Mrs Mksr-Gw Tarif AUPNB (Rp.) Tarif Rata & Progresif Tarif Nyata Tarif Berimbang Trayek / Rute Gambar 23. Tarif Angkutan di Lokasi Penelitian 6.4. Permintaan Angkutan Umum Penumpang Non-Bus Permintaan angkutan umum penumpang non-bus (angkutan kota) dapat dianalisis berdasarkan batas wilayah angkutan penumpang umum yang diperlukan dan tidak dapat dipisahkan dari penataan sistem jaringan trayek angkutan umum penumpang (Ditjen Perhubungan Darat, 1996). Oleh karena itu, analisis permintaan merupakan bagian dari perencanaan sistem pelayanan angkutan umum penumpang yang secara operasional berpengaruh pada kewenangan penyediaan, pengelolaan, dan pengaturan pelayanan tersebut. Berdasarkan konsepsi di atas, maka jaringan trayek sebagai suatu kesatuan atau kumpulan trayek di Kota Makassar pada umumnya dan lokasi penelitian pada khususnya mempertimbangkan: (1) pola penggunaan lahan, yaitu usaha pelayanan angkutan umum dengan aksesibilitas yang baik dimana lintasan trayek di pola penggunaan lahan dengan potensi permintaan yang tinggi; (2) pola pergerakan penumpang angkutan umum, yaitu arah mengikuti pola pergerakan penumpang agar lebih efisien termasuk transfer moda dengan angkutan umum dapat diminimumkan; (3) kepadatan penduduk, yaitu lintasan trayek diprioritaskan pada kawasan berkepadatan penduduk yang tinggi atau potensi permintaan tinggi; (4) daerah pelayanan, yaitu wilayah potensial dilayani dan menjangkau semua wilayah dengan konsep pemerataan pelayanan berupa penyediaan fasilitas angkutan umum; dan (5) karakteristik jaringan jalan, yaitu konfigurasi, klasifikasi, fungsi, lebar jalan, dan tipe operasi jalur.

8 Berdasarkan persamaan pada Sub bab dapat dianalisis data sekunder dan primer dari kelima tinjauan yang berpengaruh dalam menghitung permintaan terhadap angkutan umum penumpang sebagai berikut: (1) Pola penggunaan lahan Aksesibilitas yang baik merupakan salah satu persyaratan dalam pelayanan angkutan umum, sehingga lintasan trayek angkutan umum seyogyanya melalui penggunaan lahan dengan potensi permintaan tinggi atau lokasi potensial untuk tujuan bepergian dengan berbagai kepentingan menjadi prioritas pelayanan tersebut. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan penggunaan lahan di 3 kecamatan seperti pada Tabel 30. No. Tabel 30. Penggunaan Lahan Per Kecamatan di Lokasi Penelitian Kecamatan dan Kelurahan Luas (km 2 ) Penggunaan Lahan (km 2 ) Permukiman Industri Perdagangan / Jasa Sawah Tambak Ruang Terbuka & Jalan I Ujungpandang PT/LP 1 Lae-Lae PR/LP 2 Losari tad 3 Mangkura tad 4 Pisang Selatan tad 5 Lajangiru tad 6 Sawerigading tad 7 Maloku tad 8 Bulogading tad 9 Baru tad 10 Pisang Utara tad II Panakkukang PT/LP 1 Paropo tad 2 Karampuang tad 3 Pandang tad 4 Masale tad 5 Tamamaung tad 6 Karuwisi tad 7 Sinrijala tad 8 Karuwisi Utara tad 9 Pampang PT/LP 10 Panaikang tad 11 Tello Baru PT/LP III Biringkanaya PT/LP 1 Paccerakkang tad 2 Daya tad 3 Pai tad 4 Sudiang Raya tad 5 Sudiang tad 6 Bulurokeng PT/LP 7 Untia PR/LP Jumlah Kota Makassar Sumber: BPS Kota Makassar (2006) PT/LP = permintaan tinggi/lokasi potensial PR/LP = permintaan rendah/lokasi potensial tad = tidak ada data Berdasarkan pola penggunaan lahan di tiga kecamatan, maka teridentifikasi bahwa kawasan terbangun dengan fungsi permukiman, industri, dan jasa secara umum masih dominan penggunaannya, sehingga lokasi penelitian potensial untuk menimbulkan permintaan (bangkitan) yang tinggi. Teridentifikasi bahwa lokasi yang potensial untuk perdagangan dan jasa 109 Ket.

9 110 adalah Kecamatan Ujungpandang, permukiman di Panakkukang, dan industri di Biringkanaya. Secara umum pola penggunaan lahan tersebut masih berimbang dengan ruang terbuka dan jalan, terutama di Kecamatan Panakkukang dengan luas wilayah km 2 dan Biringkanaya dengan luas wilayah km 2 yang masih didominasi kawasan tidak terbangun. Berdasarkan tinjauan kelurahan terluar atau berjarak terjauh dari ibukota kecamatan, maka terdapat 5 kelurahan di kecamatan yaitu Ujungpandang (Lae lae) yang berpotensi untuk kegiatan pariwisata/rekreasi pulau; Panakkukang (Pampang dan Tello Baru) yang berpotensi untuk kegiatan permukiman dan jasa; dan Biringkanaya (Bulurokeng dan Untia) yang berpotensi untuk kegiatan industri dan tambak. Untuk lebih jelasnya pola penggunaan lahan di lima kelurahan dapat dilihat pada Gambar 24. Luas (km2) Lae-Lae Pampang Tello Baru Bulurokeng Untia Permukiman Industri Perdagangan/ Jasa Sawah Tambak Ruang Terbuka/Jalan Kelurahan Gambar 24. Pola Penggunaan Lahan Per Kelurahan Berdasarkan grafik rata-rata penggunaan lahan di lima kelurahan tersebut teridentifikasi bahwa rata-rata didominasi untuk industri, perdagangan/jasa, sawah, tambak, dan ruang terbuka/jalan, sedangkan permukiman yang sangat tinggi di Kelurahan Tello Baru dan relatif rendah di Kelurahan Lae lae, Pampang, Bulurokeng, dan Untia. Selain itu, diidentifikasi bahwa Kelurahan Tello Baru lebih dominan sebagai tujuan perjalanan untuk tempat tinggal atau permukiman dan keempat kelurahan lainnya untuk tujuan perdagangan/jasa, industri, dan kegiatan lainnya. (2) Pola pergerakan penumpang angkutan umum Rute angkutan umum penumpang yang baik adalah arah yang mengikuti pola pergerakan penumpang secara khusus dan penduduk secara umum, sehingga tercipta pergerakan yang lebih efisien dengan meminimalisasi perjalanan penumpang dari asal ke tujuan pada saat terjadi transfer moda.

10 111 Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi pola pergerakan penumpang di 3 kecamatan seperti terlihat pada Tabel 31. No. Tabel 31.Pola Perjalanan Penduduk/Penumpang di Lokasi Penelitian Kecamatan dan Kelurahan Penduduk (jiwa) Maksud Perjalanan Pola Perjalanan Penumpang Asal Perjalanan Tujuan Perjalanan I Ujungpandang Sosial Ujungpandang Panakkukang dominan 1 Lae-Lae Belanja Lae lae Ujungpandang dominan II Panakkukang Belanja Panakkukang Ujungpandang dominan 1 Pampang Sosial Pampang Ujungpandang 2 Tello Baru Bekerja Tello Baru Biringkanaya III Biringkanaya Sosial Biringkanaya Ujungpandang dominan 1 Bulurokeng Bekerja Bulurokeng Biringkanaya dominan 2 Untia Sosial Untia Panakkukang dominan Jumlah Kota Makassar Sumber: Pemerintah Kota Makassar dan Survei Data Primer (2006) Berdasarkan hasil analisis data di atas, dapat diidentifikasi bahwa maksud perjalanan antar kawasan terbesar dari tiga kecamatan secara umum dan lima kelurahan secara khusus adalah kegiatan sosial (pendidikan, rekreasi, dan lainnya) dan kegiatan bekerja dan belanja. Asal perjalanan penumpang (penduduk) teridentifikasi yang dominan di Kecamatan Panakkukang dan Biringkanaya dibandingkan Ujungpandang, sedangkan tujuan perjalanan dominan adalah Kecamatan Ujungpandang dibandingkan kedua kecamatan lainnya. Pola pergerakan penduduk (penumpang) tersebut secara umum merupakan perjalanan Asal-Tujuan (rumah-bekerja,rumah-belanja,rumah-sosial, kantorbelanja, kantor-sosial, dan belanja-sosial) dengan variasi rata-rata jarak perjalanan antara 7-12 km. Berdasarkan grafik pola pergerakan penduduk tersebut teridentifikasi maksud pergerakan dominan adalah kegiatan sosial tersebar di Kecamatan Ujungpandang dan Biringkanaya serta di Kelurahan Pampang dan Untia, sedangkan untuk maksud belanja dan bekerja tersebar secara merata di Kecamatan Panakkukang, Kelurahan Lae lae, Tello Baru, dan Bulurokeng. Berdasarkan asal pergerakan dominan adalah Kecamatan Ujungpandang dan Kelurahan Lae lae dan di dua kecamatan serta empat kelurahan lainnya relatif sama. Untuk lebih jelasnya pola pergerakan penduduk (penumpang) di lima kelurahan yang terdapat pada tiga kecamatan dapat dilihat pada Gambar 25. Ket.

11 112 Skala Penilaian Ujung Pandang Lae-Lae Panakkukang Pampang Tello Baru Kelurahan Asal Pergerakan Biringkanaya Bulurokeng Untia Ujung Pandang Panakkukang Biringkanaya bekerja belanja sosial sosial belanja bekerja Biringkanaya Panakkukang Ujung Pandang Maksud & Tujuan Perjalanan Gambar 25. Pola Pergerakan Penduduk Lokasi Penelitian Berdasarkan tujuan pergerakan dominan adalah Kecamatan Panakkukang dan Kelurahan Lae lae, Pampang, dan Biringkanaya dibandingkan dengan Kecamatan Ujungpandang, Kelurahan Tello Baru, Bulurokeng, dan Untia yang relatif lebih kecil. (3) Kepadatan penduduk Prioritas pelayanan angkutan umum penumpang non-bus dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk tinggi, karena identik dengan tingginya potensi akan permintaan pergerakan (bangkitan), sehingga dapat diarahkan trayek angkutan sedekat mungkin menjangkau kawasan tersebut. Berdasarkan beberapa prinsip di atas, maka dapat diidentifikasi tingkat kepadatan penduduk di 3 kecamatan seperti pada Tabel 32. Berdasarkan Tabel 32 dapat diidentifikasi bahwa kepadatan penduduk tertinggi (padat) secara umum di tiga kecamatan dan secara khusus di lima kelurahan yaitu Pisang Selatan, Lajangiru, Maloku, Tamamaung, dan Sinrijala, kepadatan sedang di dua kecamatan dan empat belas kelurahan (Ujungpandang, Panakkukang, Lae lae, Losari, Mangkura, Bulogading, Baru, Paropo, Karangpuang, Pandang, Masale, Karuwisi, Karuwisi Utara, Pampang, dan Panaikang), dan kepadatan yang jarang di satu kecamatan dan sepuluh kelurahan (Biringkanaya, Sawerigading, Tello Baru, Paccerakkang, Daya, Pai, Sudiang Raya, Sudiang, Bulurokeng, dan Untia). Oleh karena itu, secara umum kelurahan terpadat adalah Kelurahan Pisang Selatan di Kecamatan Ujung Pandang dan Sinrijala di Kecamatan Panakkukang. Untuk lebih jelasnya kepadatan penduduk dapat dilihat pada Gambar 26.

12 113 Tabel 32. Kepadatan Penduduk Kecamatan di Lokasi Penelitian No. Kecamatan dan Penduduk Luas Kepadatan Peluang Kelurahan (jiwa) (km 2 ) (jiwa/km 2 ) Bangkitan *) I Ujung Pandang sedang 1 Lae-Lae sedang 2 Losari sedang 3 Mangkura sedang 4 Pisang Selatan padat 5 Lajangiru padat 6 Sawerigading jarang 7 Maloku padat 8 Bulogading sedang 9 Baru sedang 10 Pisang Utara sedang II Panakkukang sedang 1 Paropo sedang 2 Karampuang sedang 3 Pandang sedang 4 Masale sedang 5 Tamamaung padat 6 Karuwisi sedang 7 Sinrijala padat 8 Karuwisi Utara sedang 9 Pampang sedang 10 Panaikang sedang 11 Tello Baru jarang III Biringkanaya jarang 1 Paccerakkang jarang 2 Daya jarang 3 Pai jarang 4 Sudiang Raya jarang 5 Sudiang jarang 6 Bulurokeng jarang 7 Untia jarang Jumlah jarang Kota Makassar sedang Sumber: BPS dan Bappeda Kota Makassar (2006) *) asumsi tingkat padat ( ), sedang ( ), dan jarang (1-5000) jiwa/km Kepadatan (jiwa/km2) x Ujung Pandang Lae-Lae Losari Mangkura Pisang Selatan Lajangiru Sawerigading Maloku Bulogading Baru Pisang Utara Panakkukang Paropo Karampuang Pandang Masale Tamamaung Karuwisi Sinrijala Karuwisi Utara Pampang Panaikang Tello Baru Biringkanaya Paccerakkang Daya Pai Sudiang Raya Sudiang Bulurokeng Untia Gambar 26. Kepadatan Penduduk di Lokasi Penelitian (4) Daerah pelayanan Penentuan titik-titik terjauh permintaan pelayanan angkutan umum penumpang daerah perkotaan dengan menghitung jumlah permintaan pelayanan pada kelurahan-kelurahan yang terletak di sekitar batas wilayah

13 114 terbangun kota pada tiga kecamatan Kota Makassar. Data wilayah pelayanan angkutan di kelurahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. No. Tabel 33. Penentuan Wilayah Terbangun Kota dan Titik Terjauh Wilayah Pelayanan Kecamatan di Lokasi Penelitian Kecamatan dan Kelurahan Luas (km 2 ) Penduduk (jiwa) Kelurahan Terluar Titik Terjauh Pelayanan I Ujung Pandang (pusat) Lae-Lae Lae-Lae (pulau) Lae-Lae (pulau) 2 Losari Mangkura Mangkura - 4 Pisang Selatan Pisang Selatan - 5 Lajangiru Sawerigading Maloku Maloku - 8 Bulogading Baru Pisang Utara II Panakkukang (transisi) Paropo Paropo - 2 Karampuang Pandang Masale Tamamaung Karuwisi Sinrijala Karuwisi Utara Pampang Pampang Pampang 10 Panaikang Tello Baru Tello Baru Tello Baru III Biringkanaya (pinggiran) Paccerakkang Paccerakkang - 2 Daya Pai Sudiang Raya Sudiang Raya - 5 Sudiang Sudiang - 6 Bulurokeng Bulurokeng Bulurokeng 7 Untia Untia Untia Jumlah Kota Makassar Sumber: BPS Kota Makassar (2006) Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan persamaan matematis 15 sampai 20 pada Sub bab 3.6.3, maka dapat dihitung permintaan angkutan umum penumpang dalam trayek tetap dan teratur pada Tabel 34 dan Tabel 35. Tabel 34. Penentuan Jumlah Permintaan Pelayanan Angkutan Umum Kelurahan P Pm *) V1 **) V2 ***) K1 (3):(1) K2 (4):(1) L1 (5)*(2)*3 L2 (6)*(2)*2 M (2)- ((7)+(8)) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Pampang Tello Baru Bulurokeng Untia Sumber: BPS Kota Makassar (2006) *) data asumsi 47% penduduk potensial melakukan pergerakan dimana 60% menggunakan AUPNB. **) data asumsi jumlah kendaraan pribadi (mobil : motor) 10 % : 25 % dari jumlah rumah tangga kecamatan tepi. ***) data asumsi jumlah kendaraan pribadi (mobil : motor) 5 % : 15 % dari jumlah rumah tangga kec.transisi. Jumlah rumah tangga kelurahan Pampang (2979),Tello Baru (1953), Bulurokeng (1424),dan Untia (744). D 2*(9)

14 115 Tabel 35. Penentuan Jumlah Armada Kelurahan D P N Keterangan N > R (memenuhi min (2) : (3) atau tidak memenuhi) (1) (2) (3) (4) (5) Pampang > 20 (memenuhi) Tello Baru > 20 (memenuhi) Bulurokeng > 20 (memenuhi) Untia < 20 (tidak memenuhi) Sumber: BPS Kota Makassar (2006) *) data asumsi 47% penduduk potensial melakukan pergerakan Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 34 dan 35 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelurahan yang dapat dilayani angkutan umum berjenis MPU termasuk angkutan kota adalah Pampang, Tello Baru, dan Bulurokeng, sedangkan yang belum memenuhi untuk dilayani adalah Kelurahan Untia. Beberapa ketentuan lain yang mendukung kesimpulan tersebut adalah kepemilikan kendaraan pribadi dan pilihan moda lainnya menjadi bahan pertimbangan. Oleh karena itu, pelayanan angkutan umum masih memprioritaskan kelurahan dengan potensi pelayanan dan sedapat mungkin menjangkau semua wilayah perkotaan agar sesuai dengan konsep pemerataan pelayanan terhadap ketersediaan fasilitas angkutan umum penumpang. Kedudukan kelurahan terluar dan titik terjauh pelayanan angkutan umum penumpang tersebut dapat dilihat pada Gambar 27, 28, dan 29. LAE LAE Gambar 27. Kelurahan Terjauh di Kecamatan Ujungpandang

15 116 PAM PANG TELLO BARU Gambar 28. Kelurahan Terjauh di Kecamatan Panakkukang BULUROKENG UNTIA Gambar 29. Kelurahan Terjauh di Kecamatan Biringkanaya (5) Karakteristik jaringan jalan Pola pelayanan trayek angkutan umum ditentukan juga oleh kondisi jaringan jalan yang ada, yaitu: konfigurasi, klasifikasi, fungsi, lebar jalan, dan tipe operasi jalur. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka kondisi jaringan jalan di tiga kecamatan disajikan seperti pada Tabel 36.

16 117 Tabel 36. Kondisi Jaringan Jalan Lokasi Penelitian No. Kecamatan dan Kecepatan Minimal Kelas Jalan Fungsi Kelurahan Rata-rata (Eksisting) Jalan (lebar) Jalan I Ujungpandang (pusat) 30 km/jam II > 8 m Primer 1 Lae-Lae 10-20km/jam III C 5 m Kota/Lokal 2 Losari 30 km/jam II > 8 m Primer 3 Mangkura 20-40km/jam III A > 7-8 m Primer/Sekunder 4 Pisang Selatan 30 km/jam II > 8 m Primer 5 Lajangiru 20-40km/jam III A > 7 m Sekunder 6 Sawerigading 30 km/jam II > 8 m Primer 7 Maloku 30 km/jam II > 8 m Primer 8 Bulogading 30 km/jam II > 8 m Primer 9 Baru 20-40km/jam III A > 7 m Sekunder 10 Pisang Utara 20-40km/jam III A > 7 m Sekunder II Panakkukang (transisi) 30 km/jam I > 8 m Primer 1 Paropo 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 2 Karampuang 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 3 Pandang 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 4 Masale 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 5 Tamamaung 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 6 Karuwisi 30 km/jam I > 8 m Primer 7 Sinrijala 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 8 Karuwisi Utara 30 km/jam II > 7-8 m Primer/Sekunder 9 Pampang 10-20km/jam III C 5 m Kota/Lokal 10 Panaikang 30 km/jam I > 8 m Primer 11 Tello Baru 30 km/jam I > 8 m Primer III Biringkanaya (pinggiran) 30 km/jam I > 8 m Primer 1 Paccerakkang 30 km/jam II > 8 m Primer 2 Daya 10-20km/jam III C 5 m Kota/Lokal 3 Pai 10-20km/jam III C 5 m Kota/Lokal 4 Sudiang Raya 20 km/jam III B > 7 m Sekunder 5 Sudiang 30 km/jam II > 8 m Primer 6 Bulurokeng 30 km/jam I > 8 m Primer 7 Untia 10-20km/jam III C 5 m Kota/Lokal Sumber: Pemerintah Kota Makassar (2006) Berdasarkan hasil analisis data pada tabel di atas, dapat diidentifikasi bahwa fungsi jalan dominan di lokasi penelitian adalah jalan primer sebanyak 45 persen, jalan sekunder sebanyak 32 persen, jalan kota/lokal sebanyak 16 persen, dan jalan primer atau sekunder sebanyak 6.5 persen. Berdasarkan penyebarannya, maka yang terbesar adalah fungsi jalan primer 54 persen, sekunder 27 persen, dan primer atau kota/lokal dan kota/lokal 9 persen di Kecamatan Ujungpandang; fungsi jalan sekunder 50 persen, jalan primer 33 persen, primer atau sekunder dan kota/lokal 8 persen di Kecamatan Panakkukang; dan fungsi jalan primer 50 persen, jalan kota/lokal 37.5 persen, jalan sekunder 12.5 persen dan tidak terdapat jalan primer atau sekunder di Kecamatan Biringkanaya. Kondisi jaringan jalan di lokasi penelitian dikelompokkan dalam empat fungsi dan skala penilaian adalah fungsi jalan primer bernilai 100, fungsi jalan sekunder bernilai 75, fungsi jalan primer atau sekunder bernilai 75, dan fungsi jalan kota/lokal bernilai 25. Untuk lebih jelasnya karakteristik jaringan jalan dapat dilihat pada Gambar 30.

17 118 Fungsi Jalan Kecamatan dan Kelurahan Ujung Pandang (inti) Lae-Lae Losari Mangkura Pisang Selatan Lajangiru Sawerigading Maloku Bulogading Baru Pisang Utara Panakkukang (tepi) Paropo Karampuang Pandang Masale Tamamaung Karuwisi Sinrijala Karuwisi Utara Pampang Panaikang Tello Baru Biringkanaya (transisi) Paccerakkang Daya Pai Sudiang Raya Sudiang Bulurokeng Untia Gambar 30. Kondisi Jaringan Jalan Lokasi Penelitian Berdasarkan gambar di atas, teridentifikasi bahwa kondisi jaringan jalan di Kecamatan Ujungpandang atau pusat kota didominasi oleh fungsi jalan primer dan sekunder, sedangkan fungsi jalan sekunder didominasi di Kecamatan Panakkukang atau zona transisi, dan fungsi jalan primer (jalan tol dan jalan provinsi) didominasi di Kecamatan Biringkanaya atau zona pinggiran. Kegiatan permintaan akan jasa perangkutan merupakan permintaan turunan (derived demand) dimana sifat jasa tersebut tergantung pada permintaan akan barang atau jasa lain yang memerlukannya termasuk angkutan umum penumpang non-bus. Oleh karena itu, permintaan akan jasa angkutan umum penumpang dipengaruhi dan saling mempengaruhi dalam pengembangan suatu kawasan atau daerah berdasarkan aspek ekonomi, sosial, fisik lingkungan, dan kelembagaan. Berdasarkan analisis permintaan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: pola penggunaan lahan berdasarkan tingkat aksesibilitas di lokasi penelitian dan berpotensi sebagai pembangkit permintaan yang tinggi adalah penggunaan lahan untuk perdagangan dan jasa di Kecamatan Ujungpandang, permukiman di Panakkukang, dan industri di Biringkanaya.

18 119 pola pergerakan penumpang angkutan umum di lokasi penelitian yang searah dengan trayek/rute angkutan umum penumpang dan berdasarkan asal perjalanan yang dominan di Kecamatan Panakkukang, Biringkanaya, dan Ujungpandang, sedangkan berdasarkan tujuan perjalanan dominan adalah Kecamatan Ujungpandang, Panakkukang, dan Biringkanaya dengan maksud perjalanan secara umum adalah rumah-bekerja, rumah-belanja, rumah-sosial, kantor-belanja, kantor-sosial, dan belanja-sosial. kepadatan penduduk di lokasi penelitian dan berpotensi tinggi sebagai pembangkit permintaan di lima kelurahan, potensi sedang di dua kecamatan dan empat belas kelurahan, dan potensi rendah di satu kecamatan dan sepuluh kelurahan. daerah pelayanan yang dapat dikembangkan untuk pelayanan angkutan umum penumpang non-bus (MPU) adalah Pampang, Tello Baru, dan Bulurokeng. karakteristik jaringan jalan secara umum di lokasi penelitian masih sangat memungkinkan untuk pelayanan angkutan umum penumpang non-bus. Analisis besaran sistem pentarifan angkutan umum penumpang non-bus di Kota Makassar berdasarkan produksi pergerakan penduduk dari survei data primer di atas angkutan umum (on board survey) menyimpulkan bahwa: faktor muat yang memenuhi standar 70 persen adalah Trayek Makassar- Maros; pembiayaan operasi angkutan umum penumpang non-bus adalah biaya produksi terbesar sampai terkecil pada Trayek D, Makassar-Maros, E, Makassar-Gowa, dan G dan berdasarkan keuntungan terbesar sampai terkecil pada Trayek Makassar-Maros, D, E, G, dan Makassar-Gowa; tarif angkutan umum penumpang non-bus menyimpulkan bahwa besarnya tarif berimbang untuk Trayek D sebesar Rp 2900,-; Trayek E sebesar Rp 2300,-; Trayek G sebesar Rp 2500,-; Trayek Makassar-Maros sebesar Rp 6300,-;dan Trayek Makassar- Gowa sebesar Rp 3000,-; permintaan angkutan umum penumpang non-bus menyimpulkan bahwa berdasarkan pola penggunaan lahan didominasi secara berurutan oleh industri, perdagangan/jasa, sawah, tambak, dan ruang terbuka/jalan di zona pusat dan transisi kota serta permukiman di zona pinggiran kota; pola pergerakan penumpang dominan adalah dengan maksud kegiatan sosial dibanding bekerja dan belanja;

19 120 pola pergerakan berdasarkan asal yang dominan dari zona pusat, transisi, dan pinggiran kota serta berdasarkan tujuan dominan adalah zona transisi, pinggiran,dan pusat; kepadatan penduduk didominasi di zona pusat dan pinggiran kota; area pelayanan angkutan umum penumpang dominasi di kelurahan terluar dan titik terjauh yaitu di zona pinggiran dan transisi; dan karakteristik jaringan jalan di lokasi penelitian Kota Makassar memungkinkan untuk memfasilitasi pelayanan angkutan umum penumpang non-bus. Berdasarkan paramater ekonomi yang direpresentasikan oleh besaran sistem pentarifan angkutan umum penumpang non-bus sebagai bagian dari permasalahan operasional, maka ketidakterjangkauan dan ketidaktegasan sistem tarif beberapa trayek serta tidak terlayaninya beberapa kawasan di lokasi penelitian menyebabkan sebagian penduduk dan wilayah belum mempunyai akses yang optimal. Oleh karena itu, fungsi operasional dalam mengefisienkan tarif dan pemerataan radius pelayanan angkutan umum penumpang merupakan upaya mengedepankan asas berkelanjutan dari sistem transportasi sebagai bagian dari analisis produksi pergerakan penduduk, biaya operasi pengusaha, tarif berimbang pelayanan dan permintaan angkutan umum penumpang. Berbagai upaya dalam pengelolaan sistem transportasi secara umum dan angkutan umum penumpang secara khusus yang diharapkan dapat menunjang sistem pentarifan, diantaranya adalah lokasi tempat kerja dan tempat tinggal pekerja sebaiknya berdekatan satu sama lain sehingga pergerakan dapat diminimalkan. Selain itu, suatu lokasi aktivitas penduduk sebaiknya tersebar secara merata di semua kawasan permukiman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Transportasi adalah pergerakan orang dan barang bisa dengan kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor atau jalan kaki, namun di Indonesia sedikit tempat atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. penumpang, bus kecil, bus sedang,dan bus besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. penumpang, bus kecil, bus sedang,dan bus besar. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Angkutan Umum Angkutan Umum dapat didefinisikan sebagai pemindahan manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Kendaraan umum adalah setiap

Lebih terperinci

V. PENILAIAN KINERJA POLA TRAYEK/RUTE EKSISTING

V. PENILAIAN KINERJA POLA TRAYEK/RUTE EKSISTING V. PENILAIAN KINERJA POLA TRAYEK/RUTE EKSISTING 5.1. Permintaan Pergerakan Penduduk Kebutuhan akan jasa angkutan umum penumpang di Kota Makassar tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan transportasi kota

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi penilaian. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah 2.2 Angkutan Undang undang Nomer 22 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

yang sebenarnya dalam setiap harinya. Faktor muat (loadfactor) sangat dipengaruhi

yang sebenarnya dalam setiap harinya. Faktor muat (loadfactor) sangat dipengaruhi BAB III LANDASAN TEORI A. Faktor Muat (loadfactor) Faktor muat adalah merupakan perbandingan antara kapasitas terjual dan kapasitas yang tersedia untuk suatu perjalanan yang dinyatakan dalam persentase.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Umum Transportasi merupakan proses pergerakan atau perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan tertentu. Manusia selalu berusaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lalu Lintas Lalu lintas dan angkutan jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas, prasarana lalu lintas, kendaraan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Menurut Drs. Ahmad a.k muda dalam kamus saku bahasa Indonesia edisi terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. 2.2 Kinerja Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Umum Angkutan pada dasarnya adalah sarana untuk memindahkan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang menjangkau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Umum Angkutan adalah sarana untuk memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang menjangkau berbagai tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek (manusia atau barang) dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut :

BAB III LANDASAN TEORI. dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Peraturan dan Undang-Undang Terkait. Peraturan dan pedoman teknis dari pelayanan trayek angkutan umum dimuat dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Umum Kinerja adalah kemampuan atau potensi angkutan umum untuk melayani kebutuhan pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Transportasi. Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut,

TINJAUAN PUSTAKA Transportasi. Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain, dimana di tempat ini objek tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, angkutan dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR Oleh: ANGGA NURSITA SARI L2D 004 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Standar Kualitas Angkutan Umum Dalam mengoperasikan angkutan penumpang umum, parameter yang menentukan kualitas pelayanan angkutan umum mengacu pada Pedoman Teknis Penyelenggara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Angkutan dapat didefenisikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar yang sedang mengalami perkembangan transportasi. Perkembangan tersebut menjadikan kebutuhan pergerakan masyarakat menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Angkutan Umum Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam serta guna mendapatkan alternatif pemecahan masalah transportasi perkotaan yang baik, maka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam kurun waktu tertentu. (Hazian,2008) Transportasi dapat diartikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam kurun waktu tertentu. (Hazian,2008) Transportasi dapat diartikan sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Umum Kinerja adalah kemampuan atau potensi angkutan umum untuk melayani kebutuhan pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angkutan umum perkotaan merupakan bagian dari sistem transportasi perkotaan yang memegang peranan sangat penting dalam mendukung mobilitas masyarakat. Peranan tersebut

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pengantar Dalam rangka penyusunan laporan Studi Kajian Jalur Angkutan Penyangga Kawasan Malioboro berbasis studi kelayakan/penelitian, perlu dilakukan tinjauan terhadap berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pendapatan masih menjadi indikator utama tingkat kesejahteraan masyarakat, di samping berbagai indikator sosial ekonomi lainnya. Perkembangan tingkat pendapatan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA TRAYEK LYN BM SURABAYA JURUSAN BRATANG MENANGGAL DISUSUN OLEH : BIMA PUTRA

EVALUASI KINERJA TRAYEK LYN BM SURABAYA JURUSAN BRATANG MENANGGAL DISUSUN OLEH : BIMA PUTRA TUGAS AKHIR RC 090412 EVALUASI KINERJA TRAYEK LYN BM SURABAYA JURUSAN BRATANG MENANGGAL DISUSUN OLEH : BIMA PUTRA 3109.040.505 PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN TARIF PENUMPANG ANGKUTAN BUS KECIL. ( Studi Kasus Trayek Medan-Tarutung ) TUGAS AKHIR. Diajukan Untuk Memenuhi Syarat

STUDI PENENTUAN TARIF PENUMPANG ANGKUTAN BUS KECIL. ( Studi Kasus Trayek Medan-Tarutung ) TUGAS AKHIR. Diajukan Untuk Memenuhi Syarat STUDI PENENTUAN TARIF PENUMPANG ANGKUTAN BUS KECIL ( Studi Kasus Trayek Medan-Tarutung ) TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Sidang Sarjana Teknik Sipil Disusun Oleh : IMMANUEL A. SIRINGORINGO NPM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Semarang terletak antara garis 6 50-7 10 lintang selatan dan 109 35-110 50 bujur timur dengan 16 wilayah kecamatan di dalamnya. Kota Semarang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM Morlok (1978), mendefinisikan transportasi sebagai suatu tindakan, proses, atau hal yang sedang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya.secara lebih spesifik,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah dan kota di Indonesia ditandai dengan semakin tingginya jumlah penglaju (commuter) yang melakukan perjalanan antara kota induk dengan kota atau kabupaten

Lebih terperinci

V. PERANCANGAN MODEL PENGELOLAAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN

V. PERANCANGAN MODEL PENGELOLAAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN V. PERANCANGAN MODEL PENGELOLAAN TRANSPORTASI BERKELANJUTAN 8.1. Model Interaksi Transportasi-Tata Ruang Perancangan model pengelolaan transportasi angkutan umum penumpang non-bus berkelanjutan yang terintegrasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Menurut Munawar, Ahmad (2005), angkutan dapat didefinisikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaran. Undang-undang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur.

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur. BAB IV ANALISIS DATA 4.1 Hasil Survey Primer Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan secara langsung kepada operator yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur. Metode wawancara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan

BAB I PENDAHULUAN. sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perhubungan nasional pada hakekatnya adalah pencerminan dari sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan sebagai penunjang utama

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pengamatan Lapangan. Operasional Bus Damri Trayek Perumnas Banyumanik - Johar. Pengumpulan Data

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pengamatan Lapangan. Operasional Bus Damri Trayek Perumnas Banyumanik - Johar. Pengumpulan Data 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Bagan Alir Penelitian Pengamatan Lapangan Studi Pustaka Operasional Bus Damri Trayek Perumnas Banyumanik - Johar Pengumpulan Data Data Primer 1. Load Factor 2. Waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk. Perkembangan transportasi pada saat ini sangat pesat. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk. Perkembangan transportasi pada saat ini sangat pesat. Hal ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transportasi merupakan salah satu aspek penunjang kemajuan bangsa terutama dalam kegiatan perekonomian negara yang tidak lepas dari pengaruh pertambahan jumlah penduduk.

Lebih terperinci

KAJIAN KELAYAKAN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DI PURWOKERTO

KAJIAN KELAYAKAN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DI PURWOKERTO KAJIAN KELAYAKAN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DI PURWOKERTO Juanita 1, Tito Pinandita 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh Purwokerto, 53182. 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seiring dengan perkembangan Propinsi Kalimantan Barat baik dalam jumlah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seiring dengan perkembangan Propinsi Kalimantan Barat baik dalam jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan Propinsi Kalimantan Barat baik dalam jumlah maupun perkembangan sosial ekonomi, maka sarana dan prasarana transportasi secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Angkutan Umum Penumpang (AUP) Angkutan umum penumpang adalah angkutan penumpang yang dilakukan dengan sistem sewa atau bayar, seperti angkutan kota (bus, mini bus, dsb), kereta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda hidup mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya. Kegiatan transportasi ini membutuhkan

Lebih terperinci

BAGIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SEKRETARIAT DAERAH KOTA MAKASSAR Jalan Jenderal Achmad Yani No. 2 Makassar

BAGIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SEKRETARIAT DAERAH KOTA MAKASSAR Jalan Jenderal Achmad Yani No. 2 Makassar PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOM OR 3 TAHUN 2015 TE NTANG PE M BE NTUKAN KE CAM ATAN KE PUL AUAN SANGKAR R AN G ( L EMBARAN DAERAH K OTA MAK ASSAR NOMOR 3 TAHU N 20 15 ) BAGIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Lebih terperinci

STUDI EFEKTIFITAS PELAYANAN ANGKUTAN KOTA JURUSAN ABDUL MUIS DAGO

STUDI EFEKTIFITAS PELAYANAN ANGKUTAN KOTA JURUSAN ABDUL MUIS DAGO STUDI EFEKTIFITAS PELAYANAN ANGKUTAN KOTA JURUSAN ABDUL MUIS DAGO Astrid Fermilasari NRP : 0021060 Pembimbing : Ir. Silvia Sukirman FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Umum Metodologi penelitian adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala alam, masyarakat, atau kemanusiaan berdasarkan disiplin ilmu tertentu (Kamus Besar Bahasa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Peta Rute MPU CN

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Peta Rute MPU CN BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Studi Mobil Penumpang Umum trayek Caruban Ngawi (MPU CN) ini menghubungkan Kota Caruban dan Kota Ngawi. Panjang rute Caruban Ngawi 35 km dan rute arah Ngawi - Caruban 33 km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transportasi massal yang tertib, lancar, aman, dan nyaman merupakan pilihan yang ditetapkan dalam mengembangkan sistem transportasi perkotaan. Pengembangan transportasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik diperlukan urutan langkah penelitian yang terstruktur. Adapun langkah-langkah dalam pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi Pemindahan atau pergerakan adalah hasil dari kebutuhan manusia untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. mengetahui pelayanan angkutan umum sudah berjalan dengan baik/ belum, dapat

BAB III LANDASAN TEORI. mengetahui pelayanan angkutan umum sudah berjalan dengan baik/ belum, dapat BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kriteria Kinerja Angkutan Umum Pelayanan angkutan umum yang sudah memenuhi kinerja yang baik apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh BAB IV DATA DAN ANALISIS Indikator indikator pelayanan yang diidentifikasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh waktu waktu sibuk pada jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan faktor pendukung pertumbuhan perekonomian di sebuah

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan faktor pendukung pertumbuhan perekonomian di sebuah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan faktor pendukung pertumbuhan perekonomian di sebuah wilayah. Menurut Nasution (1996), transportasi berfungsi sebagai sektor penunjang pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Konsep Dasar Penelitian Penelitian model pengelolaan transportasi angkutan umum penumpang non-bus berkelanjutan menggunakan pendekatan sistem untuk keterpaduan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II STUDI PUSTAKA

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II STUDI PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandar Lampung telah terus berkembang dari sisi jumlah penduduk, kewilayahan dan ekonomi. Perkembangan ini menuntut penyediaan sarana angkutan umum yang sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah tidak terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah tidak terlepas dari pengaruh perkembangan sarana dan prasarana yang mendukung misalnya transportasi (Merdeka Wati,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Undang undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mendefinisikan angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Konsep 3.1.1. Konsep partisipasi Kegiatan Perencanaan Angkutan Pemadu Moda New Yogyakarta International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk masyarakat

Lebih terperinci

BAGIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SEKRETARIAT DAERAH KOTA MAKASSAR Jalan Jenderal Achmad Yani No. 2 Makassar

BAGIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SEKRETARIAT DAERAH KOTA MAKASSAR Jalan Jenderal Achmad Yani No. 2 Makassar PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOM OR 2 TAHUN 2015 TE NTANG PE M BE NTUKAN KE L URAHAN M INASA UPA, KE L URAHAN BONTO DURI, KE L URAHAN BIRING ROM ANG, KE L URAHAN BITOW A, KE L URAHAN L AIKANG, KE L URAHAN

Lebih terperinci

BAB II. Lintas dan Angkutan Kota (1998) dapat dijabarkan sebagai berikut :

BAB II. Lintas dan Angkutan Kota (1998) dapat dijabarkan sebagai berikut : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Transportasi Perkotaan Kebijakan transportasi perkotaan menurut Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkutan Kota (1998) dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Mengembangkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH

LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH C-1 LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH C-2 LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH 1. Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api. 2. Awak

Lebih terperinci

Ibnu Sholichin Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Ibnu Sholichin Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya EVALUASI PENYEDIAAN ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE BERDASARKAN SEGMEN TERPADAT, RATA-RATA FAKTOR MUAT DAN BREAK EVEN POINT (Studi Kasus: Trayek Terminal Taman-Terminal Sukodono) Ibnu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang maupun barang dari suatu tempat asal ke tempat tujuan. Secara umum, kebutuhan akan jasa transportasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan mengunakan kendaraan (Munawar, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan mengunakan kendaraan (Munawar, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Angkutan adalah perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan mengunakan kendaraan (Munawar, 2011). Menurut Warpani, (1990), angkutan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Transportasi sangat berperan besar untuk pembangunan di suatu daerah. Pergerakan manusia, barang, dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain dapat diperlancar dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angkutan umum sebagai salah satu moda transportasi untuk melakukan perjalanan banyak mengalami perubahan dari sisi jumlah tetapi tidak diimbangi dengan kualitas pelayanannya.

Lebih terperinci

KAJIAN TARIF ANGKUTAN UMUM TRAYEK PAAL DUA POLITEKNIK DI KOTA MANADO

KAJIAN TARIF ANGKUTAN UMUM TRAYEK PAAL DUA POLITEKNIK DI KOTA MANADO KAJIAN TARIF ANGKUTAN UMUM TRAYEK PAAL DUA POLITEKNIK DI KOTA MANADO Moses Ricco Tombokan Theo K. Sendow, Mecky R. E. Manoppo, Longdong Jefferson Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sam

Lebih terperinci

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur:

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur: TERMINAL Dalam pencapaian pembangunan nasional peranan transportasi memiliki posisi yang penting dan strategi dalam pembangunan, maka perencanaan dan pengembangannya perlu ditata dalam satu kesatuan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan manusia dan barang. Pergerakan penduduk dalam memenuhi kebutuhannya terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan manusia dan barang. Pergerakan penduduk dalam memenuhi kebutuhannya terjadi BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda mencakup benda hidup dan benda mati dari suatu tempat ke tempat lainnya. Komponen lalu lintas berupa sarana, pemakai jalan

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Kota Semarang disamping sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah, telah berkembang menjadi kota metropolitan. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata di Semarang pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Aktivitas kota menjadi daya tarik bagi masyarakat sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu aspek penunjang kemajuan bangsa terutama

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu aspek penunjang kemajuan bangsa terutama BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perkembangan transportasi pada saat ini sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi dan taraf hidup masyarakat yang semakin meningkat. Transportasi merupakan

Lebih terperinci

ANALISA KARAKTERISTIK MODA TRANSPORTASI ANGKUTAN UMUM RUTE MANADO TOMOHON DENGAN METODE ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN (BOK)

ANALISA KARAKTERISTIK MODA TRANSPORTASI ANGKUTAN UMUM RUTE MANADO TOMOHON DENGAN METODE ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN (BOK) ANALISA KARAKTERISTIK MODA TRANSPORTASI ANGKUTAN UMUM RUTE MANADO TOMOHON DENGAN METODE ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN (BOK) Christian Yosua Palilingan J.A. Timboeleng, M. J. Paransa Fakultas Teknik

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 3527 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 59) UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. memenuhi kriteria-kriteria yang distandardkan. Salah satu acuan yang dapat

BAB III LANDASAN TEORI. memenuhi kriteria-kriteria yang distandardkan. Salah satu acuan yang dapat BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kriteria Kinerja Angkutan Umum Angkutan umum dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik apabila memenuhi kriteria-kriteria yang distandardkan. Salah satu acuan yang dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. JUDUL Terminal Bus Tipe A di Surakarta, dengan penekanan pada tampilan arsitektur modern.

BAB I PENDAHULUAN. A. JUDUL Terminal Bus Tipe A di Surakarta, dengan penekanan pada tampilan arsitektur modern. BAB I PENDAHULUAN A. JUDUL Terminal Bus Tipe A di Surakarta, dengan penekanan pada tampilan arsitektur modern. B. PENGERTIAN JUDUL v Terminal : Perhentian (bus, kereta api, dan sebagainya) penghabisan,

Lebih terperinci

OPTIMASI JUMLAH ARMADA ANGKUTAN UMUM DENGAN METODA PERTUKARAN TRAYEK: STUDI KASUS DI WILAYAH DKI-JAKARTA 1

OPTIMASI JUMLAH ARMADA ANGKUTAN UMUM DENGAN METODA PERTUKARAN TRAYEK: STUDI KASUS DI WILAYAH DKI-JAKARTA 1 OPTIMASI JUMLAH ARMADA ANGKUTAN UMUM DENGAN METODA PERTUKARAN TRAYEK: STUDI KASUS DI WILAYAH DKI-JAKARTA 1 Ofyar Z. Tamin Departemen Teknik Sipil ITB Jalan Ganesha 10, Bandung 40132 Phone/Facs: 022-2502350

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Definisi evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Wakhinuddin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak secara geografis Kabupaten Sleman yang sangat strategis yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Letak secara geografis Kabupaten Sleman yang sangat strategis yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak secara geografis Kabupaten Sleman yang sangat strategis yaitu sebagai pintu masuk ke wilayah kota Yogyakarta, menyebabkan pertumbuhan di semua sektor mengalami

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Karakteristik Parkir Dalam buku Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas (Hoobs, 1995). Beberapa parameter karakteristik parkir yang harus diketahui meliputi: 1. Durasi parkir Merupakan

Lebih terperinci

Transportasi terdiri dari dua aspek, yaitu (1) prasarana atau infrastruktur seperti jalan raya, jalan rel, bandar udara dan pelabuhan laut; serta (2)

Transportasi terdiri dari dua aspek, yaitu (1) prasarana atau infrastruktur seperti jalan raya, jalan rel, bandar udara dan pelabuhan laut; serta (2) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah mengalami perkembangan sebagai akibat adanya kegiatan atau aktivitas manusia yang terjadi di dalamnya. Kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI Pada bab ini diuraikan beberapa kajian teoretis dari literature dan kajian normatif dari dokumen perundangan dan statutory product lainnya yang diharapkan dapat menjadi dasar pijakan

Lebih terperinci

4 BAB IV KONDISI WILAYAH DAN SISTEM TRANSPORTASI SAAT INI

4 BAB IV KONDISI WILAYAH DAN SISTEM TRANSPORTASI SAAT INI 4 BAB IV KONDISI WILAYAH DAN SISTEM TRANSPORTASI SAAT INI 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Nagekeo terletak di antara 8 0 26 00 8 0 64 40 Lintang Selatan dan 121 0 6 20 121 0 32 00 Bujur Timur. Bagian

Lebih terperinci

PENENTUAN RUTE ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DI SURABAYA BARAT

PENENTUAN RUTE ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DI SURABAYA BARAT PENENTUAN RUTE ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DI SURABAYA BARAT STUDI KASUS: JOYOBOYO-MANUKAN KAMIS, 7 JULI 2011 RIZKY FARANDY, 3607100053 OUTLINE PENDAHULUAN KAJIAN TEORI METODOLOGI PENELITIAN

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan kebutuhan turunan dari kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah tercermin pada peningkatan intensitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Transportasi di Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat pada saat

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Transportasi di Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat pada saat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Transportasi di Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat pada saat ini, hal itu tidak terlepas dari pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS PENENTUAN TARIF STANDAR ANGUTAN KOTA DI KABUPATEN BANYUWANGI. Rahayuningsih ABSTRAK

ANALISIS PENENTUAN TARIF STANDAR ANGUTAN KOTA DI KABUPATEN BANYUWANGI. Rahayuningsih ABSTRAK ANALISIS PENENTUAN TARIF STANDAR ANGUTAN KOTA DI KABUPATEN BANYUWANGI Rahayuningsih ABSTRAK Tarif adalah biaya yang dibayarkan oleh pengguna jasa angkutan persatuan berat atau penumpan per kilometer, penetapan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan dan rekomendasi yang merupakan sintesa dari hasil kajian indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI MULAI. Permasalahan

BAB III METODOLOGI MULAI. Permasalahan BAB III METODOLOGI 3.1 Metodologi Pemecahan Masalah MULAI Permasalahan Observasi Lapangan Studi Pustaka Pengumpulan Data Data Primer : 1. Karakteristik Sosio Ekonomi para calon peminat BRT, meliputi :

Lebih terperinci

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: NUGROHO MULYANTORO L2D 303 297 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Pelayanan dan Tarif Speedboat Nusa Sebayang - Ruslan Effendie

Pelayanan dan Tarif Speedboat Nusa Sebayang - Ruslan Effendie Pelayanan dan Tarif Speedboat Nusa Sebayang - Ruslan Effendie STUDI EVALUASI KINERJA PELAYANAN DAN TARIF MODA ANGKUTAN SUNGAI SPEEDBOAT Studi Kasus: Jalur Angkutan Sungai Kecamatan Kurun ke Kota Palangkaraya,

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA STUDI PUSTAKA EVALUASI KINERJA OPERASIONAL ARMADA BARU PERUM DAMRI UBK SEMARANG TRAYEK BANYUMANIK - JOHAR

BAB II STUDI PUSTAKA STUDI PUSTAKA EVALUASI KINERJA OPERASIONAL ARMADA BARU PERUM DAMRI UBK SEMARANG TRAYEK BANYUMANIK - JOHAR 6 BAB II STUDI PUSTAKA II.1. Tinjauan Umum Transportasi merupakan proses kegiatan memindahkan barang dan orang dari satu tempat ke tempat yang lain ( Morlok, 1985 ), sehingga transportasi adalah bukan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Dasar Hukum... 1 1.1.2 Gambaran Umum Singkat... 1 1.1.3 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 3 1.2 Maksud dan Tujuan... 3 1.2.1 Maksud Studi...

Lebih terperinci

BAB III. Landasan Teori Standar Pelayanan Kinerja Angkutan Umum

BAB III. Landasan Teori Standar Pelayanan Kinerja Angkutan Umum BAB III Landasan Teori 3.1. Standar Pelayanan Kinerja Angkutan Umum Untuk mengetahui apakah angkutan umum itu sudah berjalan dengan baik atau belum dapat dievaluasi dengan memakai indikator kendaraan angkutan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan zaman,

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan zaman, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan zaman, teknologi yang berkembang pun semakin pesat. Salah satu teknologi tersebut adalah kendaraan roda

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang dicapai selama ini telah menimbulkan berbagai tuntutan baru diantaranya sektor angkutan. Diperlukan tingkat pelayanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Magelang berada di Provinsi Jawa Tengah dengan total luas 18,120 km 2 yang terdiri atas 3 kecamatan dan 17 kelurahan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci