BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Purwokerto Timur. Kelurahan tersebut merupakan alih bentuk dari sebuah desa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Purwokerto Timur. Kelurahan tersebut merupakan alih bentuk dari sebuah desa"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Arcawinangun sekarang termasuk sebuah kelurahan yang berada di dalam wilayah Kecamatan Purwokerto Timur. Kelurahan tersebut merupakan alih bentuk dari sebuah desa ketika Purwokerto ditetapkan sebagai Kota Administratip pada 15 Januari Penetapan itu telah mengubah status desa menjadi kelurahan. Batas timur Arcawinangun adalah Sungai Pelus. Keberadaan sungai itu memang telah membawa warna terhadap kehidupan masyarakat di sekitar DAS Pelus, termasuk Arcawinangun. Masyarakat Arcawinangun sangat tergantung kepada sungai tersebut, terutama dalam bercocok tanam, atau pemenuhan kebutuhan air untuk hidup sehari-hari. Selain itu, Sungai Pelus juga secara kultural tidak dapat dilepaskan dengan kehidupan masyarakat Arcawinangun. Apalagi, Arcawinangun adalah situs sejarah dari masa Hindu-Buddha. Mitos-mitos lama masyarakat selalu berhubungan dengan masa tersebut. Memang, ada dugaan bahwa Arcawinangun juga situs prasejarah dengan ditemukan berbagai artifak di makam Arcawinangun. Di duga salah satu bagian makam penduduk tersebut merupakan makam-makam kuna yang sudah tidak beridentitas dalam bentuk menhir-menhir kecil. Menhir-menhir itu, pada umumnya, seperti yang ditemukan di Kabupaten Banyumas, selalu mengarah ke Gunung Slamet. Hal itu menunjukkan bahwa gunung yang menjadi acuan dunia itu tidak terlepas dengan keberadaan manusia prasejarah di Banyumas. Masyarakat Banyumas masa lampau telah menciptakan mitos-mitosnya ketika berinteraksi dengan lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya di sekitar Gunung Slamet, termasuk masyarakat Arcawinangun. Mitos-mitos Hindu-Buddha yang paling menonjol adalah mitos wayang, yang berkaitan dengan mitologi Mahabharata. 1

2 Namun, yang menarik adalah mitos itu bercampur dengan legenda DAS Peluas dan legenda Banyumasan yang sudah mengakar bagi masyarakat Purwokerto, yakni tokoh Kamandaka. Kamandaka adalah tokoh legendaris yang berpusat di DAS Logawa-Mengaji-Serayu, tetapi rambahan kisahnya melewati batas-batas di lingkungan kerajaan Pasirluhur. Pertemuan antara mitologi Mahabharata dengan legenda setempat merupakan fenomena yang menarik sebagai pencerminan kesediaan menerima budaya yang berada di sekitarnya. Hal itu menunjukkan suatu kearifan lokal dari masyarakat Arcawinangun, yang perlu diteliti dengan sungguh-sungguh sebagai suatu penulisan sejarah desa di wilayah Purwokerto Timur. Sudah barang tentu, keberadaan Arcawinangun tidak mungkin dilepaskan dengan kondisi sosial budaya masyakarat desa di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap empat masalah, yaitu (1) kearifan sosial-budaya masyarakat di situs reruntuhan candi Arcawinangun, Purwokerto Timur, Banyumas yang terdapat pantangan pertunjukan wayang kulit, (2) aspek kesejarahan pantangan pertunjukan wayang kulit, (3) konflik-konflik budaya yang terjadi pada masyarakat situs Arcawinangun yang melahirkan pantangan pertunjukan wayang kulit, serta (4) makna simbolik pantangan pertunjukan wayang kulit yang berlaku hingga masa kini di situs Arcawinangun. Penelitian menggunakan sumber berupa folklor dan tradisi lisan yang terdapat pada masyarakat situs Arcawinangun yang berada di sebelah utara Daerah Aliran Sungai Serayu. Pemilihan situs Arcawinangun sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang penuh dengan mitos wayang sehingga banyak ditemukan kasus-kasus pantangan pertunjukan wayang kulit. Penelitian ini ditempuh melalui metode sejarah dengan dikombinasikan dengan metode folklor. Ilmu folklor dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai ilmu bantu sehingga folklor (termasuk tradisi lisan) yang berbentuk cerita rakyat (mitos dan legenda) siap dipakai 2

3 sebagai sumber atau data sejarah untuk keperluan penelitian sejarah kebudayaan pada umumnya atau sejarah intelektual pada khususnya. B. Masalah Penelitian Masalah penelitian ini meliputi : a. kearifan sosial budaya masyarakat di situs Arcawinangun, yang meliputi sejarah desa, kearifan lokal, dan karakter masyarakat Arcawinangun, b. aspek kesejarahan pantangan pertunjukan wayang kulit. Kedua masalah tersebut dilihat dari kacamata folklor masyarakat Arcawinangun yang eksis dalam keanekaragaman. Folklor Arcawinangun merupakan warisan masyarakat yang pernah hidup pada masa prasejarah dan Hindu-Buddha, yang masih ada hingga sekarang. Penelitian ini memfokuskan untuk mengumpulkan para pewaris folklor yang meliputi penduduk Arcawinangun yang sudah berumur tua dan menguasai folklor tersebut. Folklor yang utama dikumpulkan adalah folklor lisan, yang berisi cerita-cerita rakyat dalam bentuk mitos, legenda, dan dongeng, serta tradisi lisan yang berhubungan dengan tradisi dan adatistiadat. 3

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian terhadap kebudayaan di Karesidenan Banyumas dimulai dengan penerbitan teks Babad Pasir dan Babad Banyumas pertama kali dilakukan oleh Knebel (1900 & 1901) dengan ringkasan isinya. Teks Babad Pasir yang diterbitkan dalam bentuk tulisan Jawa cetakan berasal dari Kademangan Pasir Wetan. Oleh karena itu, naskah terbitan Knebel banyak dijumpai pada masyarakat Banyumas, khususnya kota Purwokerto dan sekitarnya. Selain itu, teks Babad Pasir berinteraksi dengan teks-teks babad lokal di Purbalingga, yaitu Babad Onje dan Babad Purbalingga. Sementara itu, teks Babad Banyumas yang diterbitkan Knebel berasal dari Kepangeranan Banyumas, yaitu naskah koleksi Kangjeng Pangeran Aria Mertadiredja III dan Pangeran Aria Gandasubrata. Di situ, Knebel tidak berhasil menjelaskan asal-usul naskah karena Pangeran Aria Mertadiredja III sudah tidak tahu lagi penulis atau penyalinan teks tersebut. Agaknya, Pangeran Aria Mertadiredja III mendapat warisan naskah itu dari ayahnya. Naskah terbitan Knebel ini kemudian dikenal sebagai teks versi Mertadiredjan yang menjadi koleksi Museum Nasional Bagian Naskah (sekarang Perpustakaan Nasional) dengan kode Hds. B. G. No Naskah ini sesungguhnya melestarikan tradisi teks dari perdesaan Purbalingga. Katalog yang berjudul Literature of Java susunan Pigeaud (1967: 147; dan 1968: 510) hanya menyebut sebuah naskah Babad Banyumas, yaitu manuskrip Dipasukarta (Lor no.1), yang tersimpan di Perpustakaaan Universitas Leiden. Naskah prosa ini diduga berasal dari Banjarnegara. Selebihnya adalah naskah-naskah yang disebut dengan judul Sejarah Wirasaba (Lor. 6427, Lor.7469, dan Lor. 7718). Naskah-naskah terakhir ini sebenarnya juga termasuk teks-teks Babad Banyumas versi Banjarnegara yang dikoleksi oleh Perpustakaan Universitas Leiden. Babad Banyumas versi Banjarnegara yang tersimpan di Leiden tersebut adalah naskah-naskah yang memuat teks yang juga berasal dari Purbalingga, yakni 4

5 Wirasaba. Selain itu, ada satu naskah lain, yaitu Babad Banyumas versi Danuredjan (prosa) yang berjudul Salasilah ing Para Leluhur ing Kadanuredjan (Lor. 6686). Sejarawan Belanda H.J. de Graaf (1985) menjelaskan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Pajang, khususnya yang menyangkut wafatnya Warga Utama I, dengan mengutip kesaksian yang diberikan oleh teks Mertadiredjan. Hal serupa juga dilakukan oleh Pigeaud dan Graaf (1985) dalam karya bersama yang berjudul Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di situ, teks Mertadiredjan digunakan sebagai sumber sejarah dengan didukung oleh teks Babad Banyumas (manuskrip Dipasukarta) yang ditafsirkan sebagai penaklukan Pajang atas Kadipaten Wirasaba yang terletak di Purbalingga. Selanjutnya, Priyadi (1990) mempresentasikan teks Mertadiredjan pada forum Seminar Sejarah Nasional V, di Semarang. Di situ, dijelaskan bahwa teks Babad Banyumas tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sumber sejarah lokal Banyumas karena memuat informasi yang sezaman ketika naskah itu disalin. Dinasti Banyumas yang disusun berdasarkan silsilah yang mengacu kepada raja-raja Majapahit dan tradisi sejarah pangiwa. Behrend (1990: & 80-81) menyebutkan adanya dua naskah babad yang terkait dengan Purbalinga dan Banyumas, yaitu Babad Banyumas (PB.C. 112), Babad Pajajaran Banyumas dumugi Babad Kadanuredjan (PB.A. 251), dan Babad Purbalingga (PB.A. 271). Perbandingan teks menunjukkan bahwa naskah yang pertama berisi teks yang dikenal secara luas oleh masyarakat Banyumas sebagai Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan, sedangkan naskah yang kedua merupakan teks tembang versi Danuredjan. Naskah ketiga tampaknya merupakan kumpulan cerita legendaris di daerah Banyumas. Naskah ini memuat empat teks, yaitu (1) Panembahan Lawet (Purbalingga), (2) Babad Purbalingga (Purbalingga), (3) Cariyos Ki Ageng Gumelem (Banjarnegara), dan (4) Babad Nusa Tembini (Cilacap). Pada bagian lain, Behrend (1990: 90-91) menunjukkan adanya silsilah Banyumas yang berjudul Sarasilah Tedhak Turunipun Raden Adipati Riya Matahun saha Ngabehi Martasura ing Banyumas (PB.A. 46). 5

6 Priyadi (1993) menjelaskan bahwa tradisi Babad Pasir dan Babad Banyumas mendapat pengaruh dari teks-teks dari Jawa Barat, khususnya yang menyangkut raja-raja Pajajaran sebagai salah satu jalur nenek moyang dinasti Banyumas. Dinasti Banyumas merupakan keturunan dinasti lokal (Pasir dan Wirasaba) dengan Pajajaran dan Majapahit. Teks Babad Banyumas melegitimasikan nenek moyang mereka yang berasal dari dua kerajaan yang berwibawa di Pulau Jawa. Pada kesempatan lain, Priyadi (1996: 63-67) mempublikasikan artikel dalam jurnal Kebudayaan. Di situ, dibahas keberadaan teks silsilah kiri atau sejarah pangiwa yang termuat dalam teks Tedhakan Serat Babad Banyumas. Pembahasan tersebut menjelaskan bahwa tradisi silsilah kiri itu tidak sepenuhnya mengambil padanannya pada teks Babad Tanah Jawi (BTJ), tetapi penulis teks melakukan perombakan dengan memasukkan tokoh Dewatacengkar yang tidak lazim. Priyadi (1997a: 232) mengungkapkan bahwa ada satu versi Babad Banyumas yang memuat teks Babad Pasir, yakni versi Banjarnegara yang tampak pada dua naskah, Babad Wirasaba Kejawar dan Serat Sedjarah Banjoemas. Gejala tersebut merupakan gejala yang tidak ditemukan pada Babad Banyumas versi lainnya. Kemudian, Priyadi (1997b) meneliti teks-teks prosa Babad Pasir. Priyadi menerbitkan teks-teks tersebut secara diplomatik agar teks dapat dikenali sedekat mungkin dengan teks aslinya oleh pembaca. Di samping itu, juga diteliti hubungan intertekstual dan munculnya toponim-toponim yang berkaitan dengan tokoh utama (Raden Kamandaka). Selanjutnya, Priyadi (1997c) meneliti Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan yang difokuskan kepada fungsi dan aspek intertekstualitasnya. Penelitian yang didasarkan naskah-naskah Banyumas belum menerbitkan suatu edisi teks beserta terjemahannya. Begitu pula dengan mencermati teks-teks transformasinya. Behrend & Pudjiastuti (1997: ) menyebut empat naskah Babad Banyumas yang tersimpan pada koleksi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Jika dikaji, naskah 6

7 pertama merupakan versi Mertadiredjan, naskah kedua dan ketiga adalah versi Wirjaatmadjan, sedangkan naskah keempat termasuk versi Banjarnegara. Di samping itu, Behrend & Pudjiastuti (1997: ) juga menyebut naskah Babad Wirasaba. Naskah terakhir ini sebenarnya berisi teks Babad Banyumas versi Banjarnegara yang berasal dari tradisi Wirasaba, Purbalingga. Agaknya, teks Babad Pasir dan Babad Banyumas juga termuat dalam katalog Ekadjati & Darsa (1999: & ). Kedua naskah tersebut merupakan karya salinan Soewigno yang naskah aslinya sudah ditemukan oleh peneliti di Banyumas. Naskah pertama adalah Babad Pasir yang pernah dipublikasikan oleh Knebel pada tahun 1900, yaitu naskah yang berasal dari Kademangan Pasir Wetan. Naskah kedua adalah Babad Banyumas versi Mertadiredjan yang juga pernah dipublikasikan oleh Knebel pada tahun Naskah yang kedua ini sekarang menjadi koleksi keluarga besar Gandasubratan di Banyumas. Selain itu, Priyadi (1999) menganalisis teks Babad Banyumas yang termuat dalam teks Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara yang berbahasa Jawa Kuna. Teks tersebut menunjukkan bahwa teks Babad Banyumas umurnya sudah cukup tua sebanding dengan teks yang terkandung dalam naskah Kalibening. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah teks di atas merupakan satu jalur tradisi dengan versi Banjarnegara dan versi Wirjaatmadjan. Kajian berikut menyajikan suntingan teks dengan metode naskah tunggal yang dilakukan terhadap teks Mertadiredjan beserta dengan terjemahan teksnya (Priyadi, 2000a). Di samping itu, Priyadi juga membahas secara mendalam genealogi yang terdapat dalam teks Tedhakan Serat Babad Banyumas sebagai kerangka struktur naratif teks. Di sini, genealogi atau sejarah pangiwa dihubungkan dengan silsilah dinasti Banyumas. Semuanya merupakan usaha melegitimasikan dinasti Banyumas yang berkuasa di daerah perbatasan Sunda dan Jawa. Kiranya teks Babad Banyumas juga memuat warisan rohani yang menjelaskan aspek-aspek kebudayaan Banyumas. Budaya tersebut tercermin dari dialek Banyumasan 7

8 yang menjadi sendi-sendi pergaulan manusia Banyumas (Priyadi, 2000b). Salah satunya yang menarik adalah tabu Sabtu Pahing yang juga berelasi dengan tabu nikah antara penduduk Wirasaba (Kecamatan Bukateja) dengan Toyareka (Kecamatan Kemangkon) yang dibatasi oleh Sungai Klawing. Oleh karena itu, Priyadi (2001a dan 2001b) menjelaskan bahwa tabu itu tidak lebih sebagai suatu sistem tanda yang bermakna sehingga penjelasan itu akan mengurangi rasa takut manusia Banyumas terhadap tabu nenek moyangnya. Tampaknya, teks Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan pernah dikaji untuk keperluan penelitian ulang hari jadi kabupaten Banyumas (Priyadi, 2001c). Penelitian ini menunjukkan bahwa teks-teks Babad Banyumas yang dipakai sebagai penentuan hari jadi pada tahun 1989 itu tidak dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengkaji teks-teks Wirjaatmadjan karena teks tersebut dapat menerangkan proses korupsi teks yang dilakukan oleh para penyalin teks pada masa lalu. Tahun 1582 yang dianggap sebagai titimangsa hari jadi Kabupaten Banyumas tidak dapat dipertanggungjawabkan karena merupakan penafsiran berantai dari buku Fruine Mees (1920). Tahun 1582 sesungguhnya merupakan waktu wafatnya raja Pajang. Priyadi (2001d: 93-95) menyatakan bahwa ada 3 naskah Babad Banyumas versi Danuredjan (prosa) yang menjelaskan tokoh cikal-bakal Islamisasi di Jawa, khususnya di daerah Cahyana (sekarang Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Purbalingga), yakni Pangeran Jambu Karang atau Syekh Jambu Karang. Islamisasi di Cahyana menurut teks lokal tersebut merupakan Islamisasi yang tertua di Jawa pada masa akhir kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Jambu Karang inilah yang menjadi nenek moyang para penguasa di Perdikan Cahyana yang selanjutnya berkembang menjadi 21 daerah perdikan. Kajian Priyadi (2002a) membahas berbagai naskah Banyumas yang meliputi berbagai versi Babad Banyumas, naskah dari Banjarnegara, Cilacap, dan Purbalingga, atau naskah yang tersimpan oleh orang Banyumas di luar komunitasnya. Uraian tadi menunjukkan 8

9 bahwa Banyumas memiliki kekayaan naskah Jawa. Jadi, secara keseluruhan buku tadi membicarakan naskah-naskah Jawa yang berasal dari Karesidenan Banyumas. Priyadi (2002b: ) membahas teks Babad Pasir untuk mengungkap karakter tokoh Banyak Catra atau Raden Kamandaka. Kesimpulan dari pembahasan itu menunjukkan bahwa Banyak Catra dalam rangka mendekati putri Pasirluhur melalui lima tahap kebinatangan, yaitu angsa (banyak), banteng (andaka), ayam jago, anjing, dan lutung. Lima tahap tersebut merupakan rekayasa atau tipu muslihat yang selalu berhasil dilakukan oleh Banyak Catra sehingga ia bisa menyunting putri Pasirluhur setelah menyingkirkan pesaingnya yang bernama Pulebahas dari Nusakambangan. Priyadi (2003a: 14-37) membahas beberapa karakter masyarakat Banyumas. Pembahasan itu menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Purbalingga dan Banyumas yang berada di sebelah utara Sungai Serayu merupakan daerah yang rawan dengan konflik-konflik sosial di tingkat perdesaan. Di daerah utara Sungai Serayu banyak ditemukan kasus-kasus tabu nikah antara penduduk satu desa dengan desa lain. Priyadi (2003b: ) meneliti teks Babad Banyumas yang mengkhususkan pada hubungan antara Banyumas dengan Majapahit. Keberadaan Banyumas diwakili oleh dinasti Paguhan yang diduga adalah Bhre Paguhan sebagaimana ditemukan pada teks Pararaton. Adipati Paguhan identik dengan Adipati Wirasaba sebagai dinasti lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinasti lokal Wirasaba dan Pasir melahirkan dinasti baru, yaitu dinasti Banyumas. Priyadi (2004: 20-37) meneliti kedudukan teks Babat Banyumas (BR.58), naskah koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Naskah tersebut berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ia merupakan naskah penghubung antara dua tradisi, yaitu tradisi lama (Babad Wirasaba) dan tradisi baru (Tedhakan Serat Babad Banyumas). Naskah BR.58 ini adalah naskah missing-link yang penting untuk menjelaskan proses transformasi Babad Wirasaba menjadi Tedhakan Serat Babad Banyumas. 9

10 Dengan demikian, kajian di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai situs arkeologi Arcawinangun belum dilakukan, terutama yang menyangkut kearifan sosial budaya masyarakat pada situs Arcawinangun, konflik-konflik budaya yang terjadi pada masyarakat di situs Arcawinangun yang melahirkan pantangan pertunjukan wayang kulit, dan makna simbolik pantangan pertunjukan wayang kulit yang masih berlaku hingga masa kini. 10

11 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Penelitian ini berusaha untuk mengungkap: a. gejala dan konsep kearifan sosial budaya masyarakat di situs Arcawinangun yang terkait dengan pantangan pertunjukan wayang kulit, yakni sejarah desa, kearifan lokal, dan karakter masyarakat Arcawinangun, serta b. aspek kesejarahan pantangan pertunjukan wayang kulit. B. Manfaat Penelitian Pengungkapan kearifan sosial budaya masyarakat Arcawinangun, yang bersentuhan dengan kesenian wayang kulit merupakan rintisan dalam penulisan sejarah lokal, khususnya sejarah desa. Sejarah desa sebagai pencerminan kultural akan memberi gambaran sebagai historiografi yang secara bertahap bermuara ke arah sejarah kesenian dan sejarah kebudayaan. 11

12 BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini ditempuh dengan metode sejarah yang dikombinasikan dengan metode penelitian folklor. Metode dipakai di sini karena ilmu tersebut dimanfaatkan sebagai ilmu bantu dalam penelitian sejarah, khususnya sejarah intelektual di tingkat lokal Banyumas. Metode tersebut dipakai untuk menyediakan data atau sumber sejarah berupa berbagai jenis folklor yang berkembang di pedesaan. A. Metode Folklor Karena data-data yang dikumpulkan berbentuk folklor, maka metode pengumpulan folklor yang dikembangkan oleh Danandjaja (1985: 1-21) dapat diterapkan. Informan kunci yang harus ditemukan adalah para pewaris aktif folklor dan bukan para pewaris pasif folklor. Pewaris aktif pada umumnya adalah dalang, dukun bayi, tokoh masyarakat, orang-orang tua (usianya di atas 60 tahun), atau orang-orang terpelajar di pedesaan. Teknik pencarian pewaris aktif tadi bisa dimulai dari seorang yang kemudian yang bersangkutan akan menunjuk orang-orang lain yang mungkin bisa memberi keterangan lebih lanjut mengenai folklor yang sedang dikumpulkan sehingga bagaikan bola salju, lama-kelamaan peneliti dapat menemukan para pewaris aktif dalam jumlah yang banyak. Setelah para pewaris aktif ditemukan, maka dilakukan wawancara dengan dua cara, yaitu wawancara tidak terarah dan wawancara terarah (Danandjaja, 1984: 187). Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas santai dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada pewaris aktif untuk memberikan keterangan yang ditanyakan agar peneliti mendapat gambaran umum bentuk folklor yang akan diteliti. Hasil wawancara tidak terarah ditindaklanjuti dengan wawancara terarah. Artinya, daftar pertanyaan yang diajukan peneliti sudah terfokus. Setiap kali wawancara, peneliti harus mencatat identitas pewaris aktif yang terdiri 12

13 dari nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa, tempat lahir, bahasa yang dikuasai, tempat wawancara, dan tanggal wawancara (Danandjaja, 1984: 217). Untuk keperluan penelitian, maka catatan lapangan (field notes) atau rekaman tape recorder yang berupa hasil wawancara harus diubah ke dalam bentuk tertulis atau ditranskripsikan. Hal ini dilakukan karena akan mempermudah kerja peneliti selanjutnya. Kemudian, kritik yang dilakukan pada sumber-sumber folklor ditempuh dengan melakukan penentuan ciri-ciri umum atau sistem, yakni metode komparatif dengan cara mengklasifikasikan folklor yang telah dikumpulkan (Koentjaraningrat, 1985: 45). Seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, Jan Harold Brunvand telah membagi folklor menjadi tiga bagian, yaitu (1) folklor lisan, (2) folklor sebagian lisan, dan (3) folklor bukan lisan (Danandjaja, 1984: 21). Folklor lisan meliputi (a) bahasa rakyat, (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional, (d) puisi rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat. Sementara itu, folklor sebagian lisan terdiri atas (a) permainan rakyat, (b) teater rakyat, (c) tari rakyat, (d) adat-istiadat, (e) upacara, dan (f) pesta rakyat; sedangkan folklor bukan lisan meliputi (a) yang material (terdiri dari kerajinan tangan rakyat, pakaian adat, perhiasan adat, masakan dan minuman rakyat, serta obat-obatan tradisional) dan (b) yang bukan material (terdiri dari gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat) (Danandjaja, 1984: 21-22). Klasifikasi Brunvand tadi dapat diterapkan dalam suatu penelitian dengan penyesuaian bentuk-bentuk folklor yang akan diteliti. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan keterangan setiap pewaris aktif kepada pewaris aktif lain tentang folklor yang telah dikumpulkan itu agar dapat dipertanggung-jawabkan isinya. Caranya adalah dengan memberi daftar pertanyaan yang sama kepada pewaris aktif lain. Atau, peneliti dapat melakukan pengecekan itu berdasarkan pengamatannya sendiri terhadap keterangan para pewaris aktif. Kredibilitas keterangan pewaris aktif dapat dipertanggungjawabkan mutunya (Danandjaja, 1984: 188) sehingga diperoleh fakta-fakta. Dengan demikian, metode folklor 13

14 memberi sumbangan bagi penelitian ini berupa fakta-fakta sementara pada sumber folklor, yang perlu mendapat kritik ekstern dan kritik intern pada metode sejarah. B. Metode Sejarah Metode sejarah terdiri dari empat langkah, yaitu (1) heuristik, (2) kritik (verifikasi), (3) Interpretasi (Penafsiran), dan (4) historiografi (Penulisan Sejarah) (Notosusanto, 1978: 35-43: bandingkan Gottschalk, 1983: 34; dan Kuntowijoyo, 1995: ; bandingkan Kartodirdjo, 1982: 63-67). Langkah heuristik (pengumpulan sumber) sudah dilakukan pada penelitian folklor. Begitu pula dengan langkah kritik yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern telah dilakukan ketika peneliti mengklasifikasikan folklor, sedangkan kritik intern ketika peneliti melaksanakan kritik teks-teks folklor Banyumas. Dengan demikian, telah didapatkan fakta yang berupa fakta mental atau kejiwaan (mentifact). Karena tujuan penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan keragaman latar belakang sosial budaya masyarakat perdesaan Banyumas, konflik-konflik budaya yang terjadi yang menimbulkan tabu pertunjukan wayang kulit, dan makna simbolik tabu pertunjukan wayang kulit, maka kritik teks lebih dipertajam sehingga interpretasi yang dihasilkan pada langkah yang ketiga ini lebih maksimal. Tujuan penelitian berkisar pada sejarah intelektual yang termasuk pada kawasan sejarah ide-ide (Kartodirdjo, 1992: ; bdk. Brinton, 1985: 201 & Ciptoprawiro, 1986). Oleh karena itu, pada langkah interpretasi terhadap fenomena sejarahnya, khususnya mentifact diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sosial-budaya masyarakat Perdesaan Banyumas karena karya historiografi tradisional sering cenderung mengaburkan dua macam realitas sejarah, yaitu realitas yang objektif terjadi dan realitas yang riil dalam diri. Yang pertama adalah fakta yang merupakan pengalaman yang aktual, sedangkan yang kedua adalah fakta yang berupa penghayatan kultural kolektif (Abdullah, 1985: 22-23). Penghayatan kultural kolektif menjadi penting manakala peneliti berusaha memahami makna karena setiap 14

15 peristiwa itu selalu dimaknai oleh masyarakat sehingga terjalin menjadi pandangan dunia yang utuh (Abdullah, 1985: 24). Pemaknaan terhadap suatu peristiwa itulah yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat sebagai suatu realitas yang baru sehingga bisa terjadi perubahan bentuk (metamorfose) peristiwa, nilai, dan tokoh (bdk. van Peursen, 1990: 58). Di sini, bisa terjadi proses personifikasi, yaitu perubahan dari ide, nilai, dan norma menjadi tokoh historis (Abdullah, 1985: 26), atau sebaliknya terjadi depersonifikasi dari tokoh sejarah menjadi ide, nilai, dan norma. Selanjutnya, hasil interpretasi tersebut disajikan pada langkah terakhir dalam bentuk karya sejarah (historiografi) berupa sejarah intelektual di tingkat lokal Banyumas sebagai perwujudan interaksi manusia dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan kebudayaan. 15

16 BAB V KEARIFAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DESA ARCAWINANGUN A. Sejarah Desa Arcawinangun Yang disebut Arcawinangun adalah suatu wilayah yang berada di sebelah utara Jalan Senopati sekarang, sedangkan di sebelah selatan lebih dikenal dengan wilayah Kejawar. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ada wilayah Arcawinangun yang berada di sebelah selatan Jalan Senopati, yang berbatasan dengan Kejawar. Batas antara Arcawinangun dan Kejawar adalah tanah yang di bawahnya terdapat urung-urung batus cadas. Di sebelah timur, ada makam tokoh legendaris yang bernama Arsantaka, yang dalam teks Babad Purbalingga, merupakan nenek moyang para bupati Purbalingga. Batas utaranya adalah Arcawinangun Lor, yang di sana ada situs Kabakan. Batas barat Arcawinangun dengan Purwakerta Lor adalah Sungai Biru dan jika menyusur ke selatan terdapat batas barat Arcawinangun dengan Purwakerta Wetan adalah Sungai Putih (Kali Putih). Batas selatan adalah Kelurahan Mersi. Dengan demikian, Arcawinangun yang asli adalah daerah yang berada di sebelah utara Jalan Senapati dan sebagian yang berada di sebelah selatan, kemudian ditambah dengan Legok. Arcawinangun bersama Arcawinangun Lor, Kejawar, dan Purwowinangun (Tanah Garing) menjadi wilayah Kelurahan Arcawinangun. Arcawinangun sejak tanggal 15 Januari 1983 berstatus menjadi kelurahan sehubungan dengan penetapan kota Purwokerto sebagai kota administratip. Arcawinangun semula adalah salah satu dari 18 desa yang berada wilayah Kecamatan Purwokerto berubah menjadi wilayah Kecamatan Purwokerto Timur, bersama Kelurahan Purwakerta Wetan, Purwakerta Lor, Kelurahan Mersi, Kelurahan Kranji, dan Kelurahan Sokanagara. Kejawar menurut tradisi lisan adalah suatu wilayah yang penduduknya jauh lebih maju dibandingkan Arcawinangun. Orang Kejawar jauh lebih terbuka terhadap orang dan budaya luar. Di Kejawar, ada kepercayaan apabila penduduk Kejawar hendak 16

17 menyelenggarkan hajat, misalnya, perkawinan atau khitanan, memberikan sesaji ke Astana Inggil dengan membawa candu sebathok, kata mitos, akan dijauhkan dari hujan lebat dan banyak tamunya. Candu sebathok maksudnya adalah sedikit. 1. Masa Prasejarah Masyarakat Arcawinangun disinyalisasikan sudah ada pada zaman prasejarah dengan peninggalan bangunan megalitikum, terutama yang sangat menonjol ditunjukkan dalam bentuk makam-makam tua yang dilingkari dengan tugu batu atau menhir. Makam-makam tersebut semuanya sudah tidak beridentitas dan tersebar di kawasan makam penduduk Arcawinangun. Menhir-menhir itu ada yang berkelompok segi empat mengelilingi dua batu menhir yang dianggap sebagai nisan, tetapi ada pula menhir tunggal yang juga dikelilingi batu. Ada dua menhir yang ditempeli dengan batu nisan masa kini. Tidak ada penduduk Arcawinangun yang mengaku keturunan dari makam-makam yang sebenarnya adalah bangunan menhir. Foto 1. Batu menhir yang menyerupai lingga 17

18 Foto 2. Batu menhir tunggal di sebalah batu menhir berkelompok yang berbentuk makam Menhir-menhir tersebut, tampaknya, dimanfaatkan untuk menunjuk sebagai makam-makam yang tidak jelas identitasnya. Makam yang tidak diketahui lagi siapa yang dimakamkan itu ternyata berjumlah cukup banyak. Di sela-sela menhir-menhir itu, penduduk Arcawinangun masa kini dimakamkan. Situs makam Arcawinangun, kiranya, merupakan situs yang berisi artifact dari berbagai periode yang mungkin diubah, ditambah, atau dikurangi. Periode megalitikum sangat menonjol dengan kehadiran menhir-menhir. Di antara menhir-menhir tersebut terdapat menhir yang mirip dengan alat kelamin laki-laki (phallus), yang bentuknya sangat langka dan belum ditemukan di situs lain. Phallus yang dibuat dalam bentuk yang sangat natural dan benar-benar bulat. Phallus yang berbentuk seperti alat kelamin yang sudah disunat itu difungsikan sebagai nisan sebuah makam, yang juga sudah tidak jelas identitasnya. Kelihatannya, batang phallus panjangnya maksimal 1 meter. 18

19 Foto 3. Phallus sebagai Nisan 2. Masa Hindu: Astana Inggil dan Senapan Disebut dengan nama Arcawinangun karena ada penemuan arca di Karangwangkal, yang dibawa ke arah selatan dan selanjutnya dibangun. Arca yang berasal dari Karangwangkal mungkin justru berasal dari Arcawinangun. Setelah candi di Arcawinangun mengalami keruntuhan, arca tersebut diambil atau dibuang dari situsnya, yang kemudian ditemukan kembali. Di Museum Nasional Gedung Gajah, memang ada arca Ganesa, yang diberi keterangan sebagai benda purbakala, yang ditemukan di Karangwangkal, Purwokerto. Melihat ukuran patung Ganesa tersebut dapat diduga bahwa candi yang dibangun paling tidak sama dengan Candi Siwa pada gugusan Candi Prambanan. Ganesa bersama dengan Siva, Durga, dan Agastya merupakan inti dari mandala. Mereka berempat merupakan suatu yang saling menguatkan, sedangkan sendiri tidak kuat (Suleiman, 1986: 171). Pembangunan, atau lebih tepatnya, pembangunan kembali terhadap arca yang ditemukan, sekarang terletak tidak jauh dari makam Arcawinangun. Arahnya berada di sebelah barat daya. Apa yang disebut arca adalah sebuah reruntuhan bangunan, yang masih 19

20 dalam bentuk fondasi bangunan candi, yang mungkin sekali adalah candi perwara. Di situ, terdapat arca kaki, yang sebenarnya, merupakan relief pada dinding candi. Ada sebuah batu yang diduga adalah sebuah yoni, tetapi yoni tersebut tidak lebih sebagai yoni dari sebuah candi kecil. Namun, tidak ada batu lingga. Candi Arcawinangun diberi nama berdasarkan bangunan candi perwara, yang merupakan bagian dari candi besar. Arca Ganesa yang tersimpan di Museum Nasional kemungkinan berasal dari bangunan candi induk. Jika orang Mersi merasa keturunan Maharesi, maka ada kemungkinan bahwa Maharesi tersebut adalah arca Agastya (Siva Maharesi) yang merupakan arca satu-kesatuan dengan Ganesa dari Karangwangkal. Sekarang, ada dua arca lain yang belum ditemukan, yaitu Siva Mahadewa dan Durga Mahisasuramardhini. Sementara itu, posisi satu-satunya candi perwara berada di jalur urung-urung batu cadas. Makam Arcawinangun adalah situs yang sangat keramat. Penduduk melihat makam tersebut sebagai kawasan yang menakutkan. Makam utama situs makam Arcawinangun adalah Astana Inggil atau Setana Dhuwur. Disebut Astana Inggil karena berada di bagian yang tertinggi. Istilah Astana Inggil mengingatkan kepada istilah sitinggil, yaitu tanah tinggi tempat bangunan pendapa didirikan. Astana Inggil ditinggikan tanahnya pada zaman Lurah Nasun atau setelah Gestapu, yang menurut kepercayaan penduduk, atas permintaan orang yang dimakamkan di situ, yakni Mbah Karta. Menurut catatan Atmodikoesoemo (1988: 76), Astana Inggil disebut juga Astana Dhuwur Mbah Karta. Mbah Karta adalah seorang pertapa yang dimakamkan di Astana Inggil. Nama Karta oleh Bupati Mardjoko disebut dengan Resi Karta. Oleh karena itu, Mardjoko menyebut nama Kertawinangun sebagai nama asal-mula Arcawinangun. Padahal, Mbah Karta merupakan seorang pertapa biasa sebagaimana hal itu menjadi tradisi lisan penduduk. Seseorang bisa disebut resi apabila pendeta atau pertapa itu berasal dari kalangan kasta ksatria (Bagus, 1985: 296). Nama Kertawinangun tidak pernah hidup dalam tradisi lisan masyarakat Arcawinangun. Nama Karta ini sering dihubungkan dengan nama kota Purwokerto, yang berasal dari bacaan Purwakerta. Bacaan karta memang 20

21 berasal dari kerta, yang berasal dari bahasa Sanskerta krta. Kata itu berarti dilaksanakan, dibuat, diselenggarakan, sedang berkembang, ulung, dan sempurna (Zoetmulder & Robson, 2000: 517). Mbah Karta menurut sebuah versi dinyatakan sebagai orang Bali yang dianggap sebagai pendiri Arcawinangun. Keterangan itu dimungkinkan eksistensi Mbah Karta sebagai seorang pertapa. Makam Mbah Kerta ada kemungkinan merupakan candi perwujudan Prabu Krtabhuwana Yasawiguna Haji Mulya ( M), yang menjadi raja selama 27 tahun. Krtabhuwana wafat pada tahun 784 M. Krtabhuwana adalah gelar bagi Hariang Banga, yang oleh masyarakat Banyumas disebut Arya Bangah (Priyadi, 2008: 111). Nama yang terakhir ini dimasukkan di urutan paling atas dalam daftar para adipati Pasirluhur atau leluhur raja-raja Galuh Purba, yang berkuasa atas Purwokerto (van der Meulen, 1988: 79). Hariang Banga sebagai tokoh sejarah adalah cucu Sanjaya dan anak Rahiyang Tamperan (Rakai Panaraban). Sanjaya adalah raja Mataram sebagai pengganti Sanna, yang memugar kerajaan pendahulunya (Poerbatjaraka, 1975: 27). Tampaknya, nama Mbah Kerta berasal dari tokoh leluhur Banyumas yang bernama Krtabhuwana. Mbah Kerta mungkin bukan orang Bali sebagaimana yang diduga selama ini. Penyebutan toponim Bali merupakan cara mengidentifikasikan agama yang dianut oleh Krtabhuwana, yaitu agama Hindu, khususnya aliran Sivaisme. Jadi, candi perwujudan itu dibangun setelah 784 M, setelah Banga wafat. Jika dikaitkan dengan tradisi upacara çraddha, candi perwujudan Krtabhuwana dibangun setelah 12 tahun beliau meninggal, tahun 796 M. Nama candinya kemungkinan adalah Krtabhuwanam karena kata bhavanam sering dipakai untuk menyebut bangunan suci candi seperti yang tercantum dalam beberapa prasasti. Ada dugaan bahwa kata kerta, juga terbaca kerti (Widada dkk., 2006: 342). Baik kerta maupun kerti memiliki arti yang sama, yaitu aman dan sejahtera (Prawiroatmodjo, 1988: 240). Demikian pula, dengan karta dan karti. Kalau kata kerti muncul ke permukaan, maka tokoh yang mengandung unsur kerti adalah raja Ho-ling yang bernama Kertikeyasingha, 21

22 atau lebih terkenal sebagai suami Dewi Sima, atau mertua raja Mandiminyak (Priyadi, 2008: 112). Toponim-toponim yang sekarang ada sering memakai nama tokoh tertentu, misalnya, ada toponim Mandiraja di Banjarnegara. Mandiraja diduga nama raja Galuh Purba yang menjadi menantu raja Ho-ling, yakni Raja Mandiminyak, yang disingkat Raja Mandi. Kertikeyasingha adalah raja Ho-ling pada tahun M, sedangkan Krtabhuwana merupakan raja Galuh Purba pada periode M. Kiranya, Krtabhuwana jauh lebih mendekati keberadaan Makam Mbah Kerta di Arcawinangun daripada Kertikeyasingha. Jika bertumpu pada pendapat Van der Meulen (1988: 79), yang menyatakan bahwa Purwokerto (T o-p o-teng) di bawah kerajaan Galuh Purba, maka Purwokerto tidak termasuk wilayah Ho-ling karena Ho-ling berada di sebelah timur Galuh Purba. Raja Mandi yang toponimnya berada di Banjarnegara lebih mendekatkan pada kerajaan Ho-ling, yang diduga berada di wilayah Bagelen. Akhirnya, Makam Mbah Karta lebih masuk akal sebagai candi perwujudan Raja Krtabhuwana Yasawiguna Haji Mulya, yang di dalam teks Babad Pasir disebut Arya Bangah sebagai leluhur para adipati di Pasirluhur. Arya Bangah adalah tokoh sejarah yang pada waktu mudanya disebut Hariang Banga. Keberadaan Kertikeyasingha terlalu tua untuk direlasikan dengan bangunan dari masa Ho-ling karena tipe candi di Dataran Tinggi Dieng lebih relevan dengan masa Ho-ling. Astana Inggil adalah tempat di pemakaman Arcawinangun yang dianggap paling keramat pernah ditemukan sebuah jarum emas, keris kecil, dan cempala (kecrek). Cempala merupakan salah satu perangkat gamelan yang telah diperoleh Dalang Gino pada tahun Masyarakat Arcawinangun percaya bahwa popularitas Dalang Gino itu bermula dengan penemuan kecrek, sebagai tanda pewaris dan penerus Dalang Ganda. Penemuan kecrek di lokasi Mbah Karta merupakan legitimasi masyarakat Arcawinangun karena terkenalnya Dalang Gino disebabkan oleh kecrek yang berasal Arcawinangun. Namun, Dalang Gino, sebenarnya, belum menunjukkan popularitasnya di Banyumas karena masih ada Dalang Taram sebagai pewaris atau anak kandung Dalang Yono. Sepeninggal Dalang 22

23 Taram, tampil Dalang Gino sebagai dalang Banyumasan yang paling popular setelah dekade 1970-an. Dalang Gino memang terkenal dengan sebutan dalang ramai karena penontonnya selalu membeludak setiap kali tampil dalam berbagai pertunjukan. Dalang Gino, kemudian, melegitimasikan dirinya sebagai pewaris Dalang Yono dari segi gaya dan tutur kata yang serak. Sementara itu, Dalang Taram terkenal sebagai dalang yang bersuara sangat tinggi nadanya. Astana Inggil sering memberi isyarat dengan suara senapan yang meletus. Jika bunyi senapan sampai 7 kali akan terjadi bencana banjir bandang, atau rumah kebakaran. Jika meletus 2-3 kali, ada pejabat pamong desa yang meninggal. Jika 1 kali, yang meninggal adalah penduduk biasa atau rakyat. Sekarang isyarat kematian ditandai oleh suara burung Sirkedasih. Kalau burung bersuara di Kejawar, penduduk Kejawar yang meninggal, atau di Arcawinangun, penduduk Arcawinangun yang meninggal. Ketika Bupati Mardjoko pada tahun 2011 membangun Astana Inggil, senapan di situ berbunyi lagi sampai 7 kali, sebagaimana sering didengar oleh masyarakat yang berada di sekitar makam. Legenda Arcawinangun mencatat adanya tokoh Adipati Kabakan, yang diidentifikasikan dengan tokoh Kamandaka menurut teks Babad Pasir. Kamandaka membuat urung-urung atau sejenis saluran air dari batu yang dimulai dari Kabakan hingga Balekambang di Mersi. Kata Kabakan muncul sebagai penggambaran pertarungan antara Silihwarni dengan Kamandaka. Pertarungan kabak-kabak (bertarung mati-matian) terjadi di sebuah tempat yang tidak jauh dari pertemuan Sungai Pelus dengan Kali Pangkon. Pertarungan dua bersaudara itu sebagaimana tercatat dalam teks Babad Pasir, juga menunjukkan pertarungan yang menjurus untuk saling membunuh. Dalam legenda yang lain, peristiwa kabak-kabak memperlihatkan pertarungan Kamandaka melawan Adipati Mersi. Dalam pertempuran itu, Adipati Mersi dikisahkan dapat dikalahkan dan terbunuh, yang selanjutnya, jasadnya dibuang melalui urung-urung batu (terbuat dari batu cadas) itu dan mengambang di Balekambang. Di duga pada zaman dahulu, lapangan bola di Mersi 23

24 merupakan tempat Balekambang. Akhirnya, jasad Adipati Mersi dimakamkan di sebelah tenggara Balekambang. Oleh masyarakat Mersi, makam Sang Adipati tersebut dikenal dengan situs Balekambang. Urung-urung batu yang pernah digali oleh beberapa orang menunjukkan kesaksian yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa pada urung-urung batu itu tertulis huruf Jawa Kuna. Kesaksian yang lain adalah huruf Arab, Pallawa, dan huruf Jawa. Urung-urung itu ternyata merupakan bangunan yang dianggap keramat oleh masyarakat Arcawinangun, misalnya, penduduk yang rumahnya berada di atas urung-urung itu sering terkena musibah. Di perbatasan Arcawinangun-Kejawar, penduduk, atau lebih tepatnya, bila ada seorang pemuda yang alim di situ, akan cepat meninggal. Mungkin, daerah di atas urung-urung itu menjadi daerah kutukan yang tidak boleh ditinggali. Ketika seorang penduduk menggali tanah untuk membuat sumur, ditemukan urung-urung batu, tetapi kemudian ditutup kembali galiannya. Penduduk Arcawinangun banyak yang hafal dengan jalur urung-urung batu dari Kabakan hingga lapangan bola Mersi. 3. Masa Buddha: Sang Baka Astana Buddha oleh masyarakat disebut sebagai warisan zaman Buddha, yang juga disebut Makam Panjang. Di makam Arcawinangun terdapat peninggalan atau artifact yang berasal dari agama Buddha Mahayana, sebagaimana tercermin dari penemuan arca Pradnja Paramita, yang dikenal oleh masyarakat, pada umumnya, sebagai arca Ken Dedes. Anggapan itu timbul mungkin didasarkan kecantikan Ken Dedes mirip dengan kecantikan arca Pradnja Paramita yang ditemukan di Singasari (Slametmuljana, 1983: 184). Pradnja Paramita adalah sakti dari Adibuddha dalam bentuk Wajradhara. Pradnja Paramita dikenal pula sebagai ibu semua Buddha dan simbol ilmu pengetahuan yang sempurna (Atmosudiro dkk., 2001: 93). Pada zaman Rajasangara, arca Pradnja Paramita dipakai sebagai simbol penyatuan kembali dua kerajaan yang dibagi oleh Airlangga dalam candi makam sebagai 24

25 perwujudan Rajapatni (Slametmuljana, 2006b: 45). Selain itu, di komplek makam Arcawinangun juga ditemukan batu-batu stupa, yang diidentifikasikan oleh masyarakat setempat sebagai salah satu alat musik gamelan, yaitu gong. Di Arcawinangun, terdapat situs Kabakan, yang menunjuk kepada tokoh yang tinggal di situ, yakni Sang Baka. Tokoh ini mirip dengan nama situs Ratu Boko yang terdapat di sebelah daerah Prambanan. Situs Ratu Boko merupakan situs atau candi peninggalan Buddha, yang menurut Prasasti Wantil (856 M), sebagai tempat Balaputradewa membuat semacam kubu pertahanan di bukit tersebut dengan menumpuk ratusan batu. Di situ, Balaputradewa berhadapan dengan seorang brahmana yang bernama Jatiningrat. Peristiwa peperangan tersebut terjadi sebelum tahun 856 (Ras, 1991: 296). Begitu pula, dengan pengusiran Balaputradewa (Slametmuljana, 2006a: ) dari Mataram. Angka tahun yang lebih eksak untuk menjelaskan peristiwa terusirnya Balaputradewa dapat dibatasi antara dua peristiwa penting. Yang pertama adalah tahun 842 sebagai akhir pemerintahan Samaratungga. Yang kedua adalah tahun 856 ketika kekuasaan diserahkan kepada Lokapala (Slametmuljana, 2006a: 241). Prasasti Wantil menyebut adanya sebuah bangunan candi, yang bisa diidentikkan dengan Candi Prambanan. Pembangunan Candi Prambanan selama ini diduga sebagai salah satu bentuk persaingannya dengan Candi Borobudur (Jordaan, 2009: 34). Persaingan tersebut merupakan cermin persaingan antara dua tradisi besar yang hidup pada waktu itu (Kartodirdjo, 1982: 132). Di Arcawinangun, kelihatannya ada juga persaingan antara Buddha (Makam Panjang) dengan Mbah Kerta (makam Astana Inggil). Persaingan dua tradisi besar itu pada masa Majapahit, agama Buddha terlebur menyatu dengan aliran Siva (Djafar, 2009: 131). Di Arcawinangun, Makam Buddha pun menyatu dengan Mbah Kerta. Situs tersebut merupakan situs yang berisi campuran artifact dari berbagai periode, termasuk masa prasejarah, Hindu, Buddha, dan masa kini. Setelah mengalami kekalahan dari Rakai Pikatan, diduga Balaputradewa meloloskan diri ke arah barat menuju Sriwijaya. Ada kemungkinan Balaputradewa tidak langsung ke 25

26 Sriwijaya, tetapi menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan di daerah Banyumas, khususnya di situs Kabakan, Arcawinangun. Nama Kabakan jelas berhubungan dengan Baka ketika Balaputradewa sebagai keturunan Sailendra mengungsi dari Mataram pada periode Prasasti Ratu Boko menyebut nama Sailendra, yang beragama Buddha Mahayana. Balaputradewa adalah anak bungsu Samaragravira dan adik Pramodawardhani (Slametmuljana, 2006a: 192 & 238). Nama Sungai Baka lebih tepat daripada Sungai Bakal. Namun, Baka secara samar-samar telah dicampuradukkan dengan legenda Babad Pasir dan diidentifikasikan dengan tokoh legendaris Kamandaka (Banyak Catra). Suatu gejala anakronisme yang terpaut jauh periodenya. Situs Arcawinangun, khususnya di tepi Sungai Pelus, bagian timur (sebelah selatan bendungan) banyak ditemukan emas, seperti boneka atau arca Ken Dedes (Pradnja Paramita), pendok keris, benda-benda emas lain, bibis, gotri, atau butiran emas. Pada tahun , ditemukan cincin-cincin emas yang besar-besar dan pendok atau karah keris seberat 1 ons. Jenis cincin yang ditemukan adalah cincin raja seberat 11 gram (dengan cendhala 4), patahan cincin, cincin manuk (cincin berhiaskan burung), enam buah cincin di bawah pasir dan cadas, cincin 5 gram, dan cincin 7 gram. Tempat penemuan emas di sebelah selatan bendungan menurut kepercayaan penduduk karena di situ ada bekas-bekas keraton kecil. Pencarian emas di Sungai Pelus dimulai oleh lima orang dari Solo pada tahun , yang kemudian diteruskan oleh masyarakat setempat pada tahun Seorang penduduk bisa dalam sehari memperoleh 50 gram. Tempat yang banyak ditemukan emas paling tidak ada dua kawasan, yaitu (1) bendungan ke atas menuju Kabakan (sebelah barat sungai) dan (2) bawah bendungan hingga sebelah utara jembatan (sebelah timur sungai). Di bawah bendungan ditemukan serpihan emas atau serbuk emas seperti pasir, yang berbentuk lada 4-5 butir (1 buah = 0,5 gram), sementara di atas jembatan ditemukan 3 butir seberat 1 gram. Dengan demikian, penemuan emas di Sungai Pelus menunjukkan tidak 26

27 hanya serbuk-serbuk emas yang merupakan bahan perhiasan, tetapi juga benda-benda atau barang-barang emas yang sudah jadi. Banyaknya penemuan emas di Arcawinangun menunjukkan bahwa secara umum, Pulau Jawa memang menghasilkan emas sebagaimana dinyatakan dalam Prasasti Canggal (732 M). Berita Cina dari abad ke-7 hingga ke-14, juga menyatakan hal yang serupa (Dick-Read, 2008: 143). Banyaknya penemuan emas dalam bentuk artifact menunjukkan bahwa situs Arcawinangun seolah-olah berelasi dengan Suwarnabhumi (Pulau Emas). Di atas bendungan, ditemukan kertas emas yang berukuran (10 X 10 cm), tetapi tidak diketahui apakah ada tulisannya atau tidak. Penemuan kertas emas, agaknya, menjadi tradisi di daerah Banyumas karena di daerah Bukateja juga ditemukan kertas emas yang bertuliskan yang terkenal dengan Prasasti Bukateja (14,2 X 8,5 cm). Prasasti koleksi Tan Oen Dji tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuna (Casparis, 1956: 207). Prasasti Bukateja itu berisi kalimat ini padehānda hawang payangńān, yang tampak tidak ada kaitannya dengan Sriwijaya. Prasasti yang memuat simbol berupa cāmara, akşamālā, triçūla, dan kuħdi diduga berasal tidak jauh dari tahun 850 M. Simbol-simbol tersebut menunjuk atribut Siva Mahadewa atau sistem kepercayaan yang mengarah kepada aliran Sivaisme (Casparis, 1956: ). Prasasti Sojomerto yang juga berbahasa Melayu Kuna dan menyebut nama Dapunta Selendra menunjukkan bahwa nenek moyang mereka masih memeluk agama Hindu, aliran Sivaisme, sedangkan keturunan keluarga tersebut akan berpindah agama ke Buddha Mahayana (Boechari, 1966: 245). Dari prasasti di atas, emas, khususnya kertas emas, dimanfaatkan sebagai sarana berkomunikasi tulisan dan simbol-simbol, yang berlaku sesuai dengan agama, yang dianut, yaitu aliran Sivaisme. Di dalam masyarakat di Asia Tenggara, misalnya, emas selalu dijadikan simbol kekayaan dan status bagi pemiliknya, selain sebagai perhiasan (Read, 1992: 110). Pada masa Jawa Kuna, emas juga difungsikan sebagai sesaji dalam upacara penetapan sima (Soekmono, 1977: 230). 27

28 4. Masa Majapahit: Astana Rawen Situs ini merupakan tempat tinggal Mbah Rawen. Pada mulanya, Mbah Rawen tinggal di Gunung Serandhil, yang kemudian pergi ke arah utara hingga sampai ke Arcawinangun. Salah satu versi menyatakan bahwa Mbah Rawen adalah abdi dalem perempuan yang hidup pada zaman Untung Surapati. Versi lain menyebutkan Mbah Rawen adalah isteri Raden Baribin yang berasal dari Majapahit. Penunjukan Majapahit sebagai asal-usul Mbah Rawen atau Nini Rawen merupakan hal masuk akal karena rawi adalah kata Sanskerta yang berarti matahari (Mardiwarsito, 1979: 468; Winter & Ranggawarsita, 1988: 227; Prawiroatmodjo, 1989: 134). Matahari bersegi delapan adalah simbol kebesaran Majapahit dalam bentuk relief lingkaran dan garis-garis sinar pada beberapa candi yang disebut Surya Majapahit (Munandar, 2008: 10). Situs Mbah Rawen menjadi ingatan kolektif masyarakat Arcawinangun yang berhubungan dengan kebesaran kerajaan Majapahit di masa lampau sebagai salah satu legitimasi masyarakat desa. Lagi pula, tokoh Baribin adalah nenek moyang orang Banyumas yang tinggal dan berkuasa di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu menurut teks-teks Babad Banyumas. Masyarakat Arcawinangun, agaknya, menyelaraskan kisah DAS Serayu dengan DAS Pelus. Dengan demikian, tradisi kecil Arcawinangun mencoba mencari relevansinya dengan tradisi besar Banyumas. Secara kebetulan atau tidak, Raden Baribin adalah seorang pangeran dari Majapahit yang mengawini adik Raden Banyak Catra (Raden Kamandaka) yang berasal dari Kerajaan Sunda. Kata rawi selain berarti matahari, juga bisa didefinisikan dengan rawa atau paya (Prawiroatmodjo, 1989: 134). Menurut ingatan kolektif masyarakat Arcawinangun, makam Mbah Rawen memang pada masa lampau berada di tengah-tengah rawa, yang sekarang telah berubah menjadi persawahan. Lagi pula, Mbah Rawen dalam tradisi lisan selalu diidentikkan sebagai seorang wanita dengan sebutan Nini Rawen. Hal tersebut menunjukkan bahwa Mbah Rawen adalah simbol kesuburan yang berhubungan dengan simbol matahari. 28

29 Pemujaan terhadap kesuburan, yang dikombinasikan dengan pemujaan matahari, adalah suatu perwujudan dari kehidupan masyarakat yang berkebudayaan petani. Kekeramatan situs Mbah Rawen terjadi ketika jam 12 siang terdengar bunyi piring yang mirip orang yang sedang mempersiapkan jamuan makan siang. Binatang gaib pada situs tersebut adalah gorila. Gorila ini agak mirip dengan keberadaan Lutung Kesarung dalam teks Babad Pasir. Lutung Kesarung termasuk binatang ajaib karena lutung pada umumnya bertubuh kecil, tetapi Lutung Kesarung bertubuh seperti manusia dewasa. 5. Masa Islam Tidak ada berita tentang pengislaman masyarakat Arcawinangun pada abad ke-16 dan 17 M, yang bertepatan dengan masa Demak. Babad Pasir, yang mengisahkan penyebaran agama Islam di Pasirluhur dan sekitarnya, memang tidak menyebut secara detail daerah yang diislamkan oleh Pangeran Makhdum Wali dan Pangeran Senapati Mangkubumi I. Mungkin sekali, Arcawinangun termasuk daerah yang dipengaruhi oleh keberadaan Pasirluhur pada waktu itu. Masyarakat Arcawinangun sendiri selalu mengaitkan situs Kabakan dengan Raden Kamandaka, yang menjadi adipati Pasirluhur dan leluhur Pangeran Senapati Mangkubumi I. Jika Arcawinangun dianggap telah diislamkan pada masa Demak mungkin pengaruhnya itu tampak pada keberadaan Makam Panjang. Sultan-sultan Demak di dekat Masjid Agung Demak, semua makamnya adalah makam-makam panjang. Namun, pada masa kini tidak ada lagi ingatan kolektif masyarakat Arcawinangun yang menyebut tokoh ulama atau penyebar agama Islam. Belum ditemukan makam-makam orang suci yang disetarafkan dengan seorang wali lokal. Tidak ada masjid tua dan bekas pesantren. 6. Masa Belanda Pada zaman Belanda, sekitar tahun 1890-an, ada orang mengalami kecelakan dan meninggal di Jalan Mertadiredja. Seorang petani yang berasal dari Arcawinangun 29

DAFTAR ISI. 1. Morfologi Cerita Rakyat Malin Tembesu Berdasarkan Struktur Naratif Propp. Agatha Trisari Swastikanthi

DAFTAR ISI. 1. Morfologi Cerita Rakyat Malin Tembesu Berdasarkan Struktur Naratif Propp. Agatha Trisari Swastikanthi Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2013 ISSN 1412-999x DAFTAR ISI 1. Morfologi Cerita Rakyat Malin Tembesu Berdasarkan Struktur Naratif Propp. Agatha Trisari Swastikanthi... 1-19 2. Constructing National Identity

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ki Gede Sebayu merupakan tokoh pendiri Tegal yang telah dikenal oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ki Gede Sebayu merupakan tokoh pendiri Tegal yang telah dikenal oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ki Gede Sebayu merupakan tokoh pendiri Tegal yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Ketokohan Ki Gede Sebayu sebagai pendiri Tegal memang sudah tersohor

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN

PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN PELAKSANAAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT BIDANG KEBUDAYAAN A. PENGANTAR Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) merupakan salah satu unsur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Secara umum, PkM tidak hanya untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kepustakaan yang relevan 1.1.1 Transliterasi Transliterasi merupakan salah satu tahap/langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa kaya akan peninggalan-peninggalan purbakala, di antaranya ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini tersebar di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penemuan penelitian. Penelitian ini mengambil cerita rakyat Onggoloco sebagai digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian sastra lisan sangat penting untuk dilakukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan tradisi, pengembangan dan revitalisasi, melestarikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia memiliki banyak warisan kebudayaan yang berupa bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis berupa naskah

Lebih terperinci

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau

MATERI USBN SEJARAH INDONESIA. 6. Mohammad Ali : Sejarah adalah berbagai bentuk penggambaran tentang pengalaman kolektif di masa lampau MATERI USBN SEJARAH INDONESIA PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ILMU SEJARAH 1. PENGERTIAN SEJARAH Istilah Sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang berarti Pohon. Penggunaan kata tersebut dalam

Lebih terperinci

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7 SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7 1. Sejarah Sunda Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang

Lebih terperinci

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM AKULTURASI : menerima unsur baru tapi tetap mempertahankan kebudayaan aslinya jadi budaya campuran ASIMILASI : pernggabungan kebudayaan lokal dan unsur baru tapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu maupun oleh kelompok masyarakat, sehingga melalui ritus kehidupan, kebudayaan dapat dialami

Lebih terperinci

Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno KELOMPOK 4 : ADI AYU RANI DEYDRA BELLA A. GHANA N.P. PUSAKHA S.W.Q (01) (Notulen) (08) (Moderator) (11) (Anggota) (20) (Ketua) Kerajaan Mataram (Hindu-Buddha), sering disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negeri yang memiliki aneka ragam budaya yang khas pada setiap suku bangsanya. Tidak hanya bahasa daerah, pakaian adat, rumah adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya dipengaruhi oleh kebudayaan India. Salah satu pengaruh kebudayaan India ialah dalam aspek religi, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang wajib kita mensyukuri rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan yang tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE. di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE. di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE A. Kesimpulan Astana Gede Kawali adalah salah satu situs bersejarah yang terdapat di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang

BAB I PENDAHULUAN. ungkapannya (Sudjiman, 1990:71). Sastra juga dapat digunakan oleh semua yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan karya lisan atau berupa tulisan yang memiliki berbagai ciri, keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan dan keindahan dalam isi dan ungkapannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain itu tinggal secara tidak menetap. Semenjak itu pula

Lebih terperinci

Cagar Budaya Candi Cangkuang

Cagar Budaya Candi Cangkuang Cagar Budaya Candi Cangkuang 1. Keadaan Umum Desa Cangkuang Desa Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain

Lebih terperinci

MENGHARGAI PENINGGALAN SEJARAH. By : Arista Ninda Kusuma / PGSD USD

MENGHARGAI PENINGGALAN SEJARAH. By : Arista Ninda Kusuma / PGSD USD MENGHARGAI PENINGGALAN SEJARAH By : Arista Ninda Kusuma / PGSD USD STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR 1. Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi

Lebih terperinci

BAB II DESA SENDANGDUWUR. Sebelah Selatan Wilayah Kecamatan Paciran serta memiliki Luas Wilayah + 22,5

BAB II DESA SENDANGDUWUR. Sebelah Selatan Wilayah Kecamatan Paciran serta memiliki Luas Wilayah + 22,5 BAB II DESA SENDANGDUWUR A. Letak Geografis desa Sendangduwur Desa Sendangduwur ini merupakan salah satu Desa yang terletak di Sebelah Selatan Wilayah Kecamatan Paciran serta memiliki Luas Wilayah + 22,5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang masih banyak memperlihatkan unsur persamaannya, salah satunya adalah suku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang damai, dimana agama ini mengajarkan keharusan terciptanya keseimbangan hidup jasmani maupun rohani sehingga dimanapun Islam datang selalu

Lebih terperinci

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK) SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Ika Cahyaningrum A2A 008 057 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena proses akulturasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada peribahasa yang menyebutkan di mana ada asap, di sana ada api, artinya tidak ada kejadian yang tak beralasan. Hal tersebut merupakan salah satu kearifan nenek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan gugusan pulau dan kepulauan yang memiliki beragam warisan budaya dari masa lampau. Kekayaan-kekayaan yang merupakan wujud dari aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di 11 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di Nusantara. Pada masa itu, proses reproduksi naskah dilakukan dengan cara disalin. Naskah-naskah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan saat-saat penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa-peristiwa penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, kita mengenal adanya siklus hidup, mulai dari dalam kandungan hingga kepada kematian. Berbagai macam peristiwa yang dilalui merupakan saat-saat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman dan kekayaan akan budaya yang telah dikenal luas baik oleh masyarakat baik dalam maupun luar negeri, sehingga menjadikan Indonesia

Lebih terperinci

Please purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark.

Please purchase PDFcamp Printer on  to remove this watermark. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata budaya terdiri dari dua kata yaitu budi dan daya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak

Lebih terperinci

CIPTARASA : PROFIL PUTRI BUNGSU SEBAGAI SIMBOL KESUBURAN, PENYATU PAJAJARAN-PASIRLUHUR, DAN SASARAN OEDIPUS

CIPTARASA : PROFIL PUTRI BUNGSU SEBAGAI SIMBOL KESUBURAN, PENYATU PAJAJARAN-PASIRLUHUR, DAN SASARAN OEDIPUS CIPTARASA : PROFIL PUTRI BUNGSU SEBAGAI SIMBOL KESUBURAN, PENYATU PAJAJARAN-PASIRLUHUR, DAN SASARAN OEDIPUS CIPTARASA: THE PROFILE OF PUTRI BUNGSU AS A SYMBOL OF FERTILITY, UNION OF PAJAJARAN-PASIRLUHUR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai tokoh Sanjaya sebagai pendiri Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai tokoh Sanjaya sebagai pendiri Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengenai tokoh Sanjaya sebagai pendiri Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah sebenarnya masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Jati diri Sanjaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, yang baru berdiri pada 12 April 2003. Jika dilihat di peta pulau Papua seperti seekor

Lebih terperinci

PETA KONSEP KERAJAAN-KARAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA

PETA KONSEP KERAJAAN-KARAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA PETA KONSEP KERAJAAN-KARAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA IPS Nama :... Kelas :... 1. Kerajaan Kutai KUTAI Prasasti Mulawarman dari Kutai Raja Kudungga Raja Aswawarman (pembentuk keluarga (dinasti)) Raja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok, BAB 5 PENUTUP 5.1 Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok, yaitu untuk menjawab pertanyaan mengenai sejak kapan permukiman di Depok telah ada, juga bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke

BAB I PENDAHULUAN. yaitu animisme dan dinamisme. Setelah itu barulah masuk agama Hindu ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebelum datangnya Islam masyarakat Indonesia masih percaya akan kekuatan roh nenek moyang yang merupakan sebuah kepercayaan lokal yaitu animisme dan dinamisme.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Beberapa artefak yang ditemukan di Indonesia pada awal Masehi memperlihatkan unsur-unsur kebudayaan India sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa India telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis

Lebih terperinci

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran BAB 7 Standar Kompetensi Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek Kompetensi Dasar 1. Menjelaskan keberadaan dan perkembangan tradisi lisan dalam masyarakat setempat. 2. Mengembangkan sikap

Lebih terperinci

PETA WILAYAH KEKUASAAN KERAJAAN MATARAM KUNO

PETA WILAYAH KEKUASAAN KERAJAAN MATARAM KUNO 95 96 Lampiran 1, Peta Wilayah Kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno PETA WILAYAH KEKUASAAN KERAJAAN MATARAM KUNO Sumber: I Wayan Badrika, Sejarah untuk Kelas XI, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 16. 97 Lampiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ayu Fauziyyah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Ayu Fauziyyah, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberagaman dalam budaya Indonesia tercermin pada bagian budayabudaya lokal yang berkembang di masyarakat. Keragaman tersebut tidak ada begitu saja, tetapi juga karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dananjaya (dalam Purwadi 2009:1) menyatakan bahwa kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hubungan perdagangan antara bangsa Indonesia dan India. Hubungan itu

BAB 1 PENDAHULUAN. hubungan perdagangan antara bangsa Indonesia dan India. Hubungan itu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masuknya agama Hindu-Buddha ke Indonesia diawali melalui hubungan perdagangan antara bangsa Indonesia dan India. Hubungan itu kemudian berkembang ke berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan Desa Cangkuang terletak diantara kota Bandung dan Garut. Di desa ini terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Pulo. Di kampung ini juga terdapat sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Setiap daerah atau kota di Indonesia memiliki kesenian dengan ciri khasnya masing-masing. Hal itu bisa dilihat pada pengaruh karya seni rupa peninggalan kerajaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak hanya berupa arca atau prasasti, tetapi juga dapat berasal dari naskahnaskah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada jaman sekarang dapat dikatakan merupakan buah pikir dari warisan leluhur. Warisan leluhur dapat berupa artefak yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN

2015 KESENIAN RONGGENG GUNUNG DI KABUPATEN CIAMIS TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Sunda Ciamis mempunyai kesenian yang khas dalam segi tarian yaitu tarian Ronggeng Gunung. Ronggeng Gunung merupakan sebuah bentuk kesenian tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno merupakan salah satu warisan nenek moyang yang masih tersimpan dengan baik di beberapa perpustakaan daerah, seperti Perpustakaan Pura Pakualaman dan Museum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

SEJARAH KOTA PURWOKERTO HISTORY OF PURWOKERTO TOWN

SEJARAH KOTA PURWOKERTO HISTORY OF PURWOKERTO TOWN SEJARAH KOTA PURWOKERTO HISTORY OF PURWOKERTO TOWN Sugeng Priyadi Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl Raya Dukuh Waluh, PO BOX 202, Telp. (0281) 636751, 634429 Fax. (0281) 637239 ABSTRACT This study

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Naskah kuno adalah benda budaya yang merekam informasi dan pengetahuan masyarakat lampau yang diturunkan secara turun temurun semenjak dulu sampai saat ini. Warisan

Lebih terperinci

MATERI STUDI RELIGI JAWA

MATERI STUDI RELIGI JAWA MATERI STUDI RELIGI JAWA Bahasa dan sastra; karya sastra Jawa Kuna yang tergolong tua; karya sastra Jawa Kuna yang bertembang; karya sastra Jawa Kuna yang tegolong muda; karya sastra yang berbahasa Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar

BAB I PENDAHULUAN. makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makam Kotagede atau sering disebut juga dengan Sargede adalah sebuah makam yang merupakan tempat disemayamkannya Ngabei Loring Pasar Sutawijaya, pendiri kerajaan

Lebih terperinci

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah merupakan hasil medium tulis yang digunakan pada sastra klasik. Isi naskah tersebut dapat meliputi semua aspek kehidupan budaya bangsa yang bersangkutan

Lebih terperinci

2014 SAJARAH CIJULANG

2014 SAJARAH CIJULANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah kuno merupakan salah satu warisan budaya Indonesia dalam bidang keberaksaraan yang telah dilindungi oleh UU RI No. 11 tahun 2010. Ungkapan warisan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cerita rakyat sebagai folklor dalam tradisi lisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang tinjauan pustaka atau kajian teori yang berkaitan dengan judul penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi 1) Repustakaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

5. (775 M) M M M 9. (832 M) 10. (842 M) 11. (850 M) 12. (856 M) 13. (863 M) 14. (880 M) 15. (907 M) 16.

5. (775 M) M M M 9. (832 M) 10. (842 M) 11. (850 M) 12. (856 M) 13. (863 M) 14. (880 M) 15. (907 M) 16. MATARAM 1. Prasasti Tuk Mas 2. Prasasti Sojomerto (akhir abad 7) 3. Prasasti Canggal (732 M) 4. Prasasti Plumpungan 750 M 5. Prasasti Ligor B (775 M) 6. Prasasti Kalasan 778 M 7. Prasasti Kelurak 782 M

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai metode penelitian yang dipakai oleh penulis dalam mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan dengan judul skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Pulau Jawa yang memiliki kekayaan akan peninggalan kebudayaan. Bentuk dari peninggalan kebudayaan dibagi menjadi

Lebih terperinci

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak

KERAJAAN DEMAK. Berdirinya Kerajaan Demak KERAJAAN DEMAK Berdirinya Kerajaan Demak Pendiri dari Kerajaan Demak yakni Raden Patah, sekaligus menjadi raja pertama Demak pada tahun 1500-1518 M. Raden Patah merupakan putra dari Brawijaya V dan Putri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang tertuang dalam bentuk naskah sejak abad IX 1. Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk naskah, Saputra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sesuai dengan berkembangnya zaman, kita perlu tahu tentang sejarahsejarah perkembangan agama dan kebudayaan di Indonesia. Dengan mempelajarinya kita tahu tentang sejarah-sejarahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah memiliki keanekaragaman budaya yang tak terhitung banyaknya. Kebudayaan lokal dari seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA

KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA KAJIAN SEMIOTIK SYAIR SINDHEN BEDHAYA KETAWANG PADA NASKAH SERAT SINDHEN BEDHAYA Skripsi Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Humaniora Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh: Fitrianna Arfiyanti

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG. lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan

BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG. lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan BAB II GAMBARAN UMUM CERITA RAKYAT LUTUNG KASARUNG 2.1 Cerita Rakyat Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat. Cerita rakyat atau legenda adalah cerita pada

Lebih terperinci

Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno Kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan medang periode jawa tengah) merupakan kelanjutan dari kerajaan kalingga di jawa tengah sekitar abad ke 8 M, yang selanjutnya

Lebih terperinci

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C0199012 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi BAB II DATA DAN ANALISA 2. 1 Data dan Literatur Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh dari: 1. Media elektronik: Internet 2. Literatur: Koran, Buku 3. Pengamatan langsung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR

GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR 1. Terbentuknya Suku Banjar Suku Banjar termasuk dalam kelompok orang Melayu yang hidup di Kalimantan Selatan. Suku ini diyakini, dan juga berdasar data sejarah, bukanlah penduduk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa BAB V KESIMPULAN Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa topeng (meski sebagian tokoh mengenakan topeng, terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan wayang topeng) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat mengatakan bahwa kata budaya berasal dari bahasa Sanksekerta budhayah yang berasal dari bentuk jamak kata budhi yang berarti budi dan akal. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Setiap daerah mempunyai kesenian yang disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat. Jawa Barat terdiri

Lebih terperinci

Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya

Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya Selain kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga termasuk kaya akan keragaman budaya. Beraneka ragam budaya dapat dijumpai di Negara ini. Keragaman budaya tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang berlatar belakang Hindu atau Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa. Orangorang di Jawa Timur menyebut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 136 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan rangkaian pengolahan data dan analisis data daatlah disimpulkan, bahwa: 1. Wilayah sekitar Kecamatan Limbangan Kabupaten Garut tersimpan banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun

I. PENDAHULUAN. yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia memiliki moto atau semboyan Bhineka Tunggal Ika, artinya yakni berbeda-beda tetapi tetap satu. Maknanya meskipun berbeda-beda namun pada hakikatnya bangsa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Ada beberapa buku yang penulis pakai dalam memahami dan langsung mendukung penelitian ini, diantaranya buku yang berkaitan dengan revitalisasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Provinsi Riau adalah rumpun budaya melayu yang memiliki beragam suku, yang dapat di jumpai bermacam-macam adat istiadat, tradisi, dan kesenian yang ada dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Khasanah budaya bangsa Indonesia yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah

Lebih terperinci