MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN"

Transkripsi

1 DISERTASI MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI B ILMU BIOMEDIS HEWAN SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Biomedis hewan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 Judul Penelitian: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai Parameter Kesehatan Nama: NRP: Program Studi: Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi B Ilmu Biomedis Hewan Komisi Pembimbing Menyetujui: Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Ketua Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS Anggota Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB drh.agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

4 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) Berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman Sebagai Parameter Kesehatan Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunkan telah dinyatakan secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bogor, September 2012 Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi NIM B

5

6 ABSTRACT ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model of population management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based on analysis of nutrition and stress levels as health parameters. Under the guidance DONDIN SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, and DEWI APRI ASTUTI. This research was designed to establish a model for population management for javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus), a critically endangered species inhabiting Ujung Kulon National Park. Population increase by 3% every year had been assigned by the Ministry of forestry and this rate of population increase heavily relied on the ability of this species to survive and to reproduce naturally. The habitat of the rhino has conditions that were not always favourable to the rhinos and these conditions could potentially trigger stress for these animals. The research was divided into three stages consisting of analysis of nutritions and digestibility profiles of three male rhinoceros, analysis of relationship between stress levels on hormone profile of these animals, and stress induction to model animals. Two horses were selected as models for stress on rhinoceros, as the stress induction could not be done on the rhinoceros directly due to their small numbers worldwide; thus designated as a criticaly endangered species. The results of this research showed that the feed profile directly correlated with the home range and the vegetation structure around each individual rhinoceros and there were indications that the rhinos experienced feed deficit in quantity and quality. Analysis using 3α, 11β-dihydroxy-CM as an indicator of glucocorticoid stress hormon levels suggested that the rhinos experienced greater stress during the dry season when the water source was significantly depleted. This fact was also consistent with the result from stress induction on horse as model animal suggesting that feed deficit created acute type stress while water deficit created a chronic type stress. Compilations of the results from the research stages were formulated into a model of population management for javan rhinoceros with recommendations such as: habitat enrichment using feed plants high in protein (Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus), high in fat (Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp), high in energy (Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances) with density of 15 per hectare (tree form) to 5,406 per hectare (seedling form); water availability can be enhanced by replenishing feed plants high in water contents such as: Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus, as well as maintaining access and trais to water sources that were available year round. The use of 3α, 11βdihydroxy-CM needs to be validated using biological and chemical measures to investigate its potential use in monitoring stress levels of javan rhinos in the wild; horse can be used as relevant model animal for research in stress and its implications to the javan rhinoceros. Keywords: javan rhinoceros, nutrients, digestibility, hormon, stress, model for population management

7 ABSTRAK ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan analisis nutrisi dan tingkat cekaman sebagai parameter kesehatan. Dibawah bimbingan DONDIN SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, dan DEWI APRI ASTUTI. Penelitian ini dirancang untuk membangun suatu model pengelolaan populasi untuk badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang merupakan satwa langka yang hidup di Taman Nasional Ujung Kulon. Peningkatan populasi sebesar 3% setiap tahun bergantung pada kemampuan spesies ini untuk bertahan hidup dan berkembang biak secara alami. Habitat yang dihuni oleh badak memiliki kondisi yang tidak selalu mendukung terhadap kesehatan satwa ini dan berpotensi untuk memicu cekaman. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu kajian status nutrisi dan kecernaan, kajian hubungan tingkat cekaman terhadap profil hormon pada tiga ekor badak jantan, serta uji coba cekaman terhadap hewan model. Kuda dipilih sebagai hewan model untuk mewakili fisiologi badak terhadap cekaman karena uji coba cekaman tidak dapat dilakukan langsung terhadap badak jawa yang merupakan satwa yang terancam punah karena jumlahnya yang sangat sedikit di seluruh dunia. Profil pakan badak berkorelasi dengan ruang jelajah yang ditempuhnya dan habitat tumbuhan di sekitarnya. Analisis menggunakan 3α, 11β-dihydroxy-CM sebagai indikator profil hormon glukokortikoid yang merupakan respons terhadap cekaman menunjukkan bahwa badak cenderung menunjukkan tingkat cekaman yang tinggi pada musim kering dimana ketersediaan air sangat berkurang. Hal ini juga konsisten dengan uji coba kuantifikasi yang dilakukan pada hewan model kuda dan berdasarkan parameter hematologi (netrofil:limfosit) hasilnya menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan sumber cekaman yang memiliki karakteristik akut sementara defisit air menunjukkan karakteristik kronis. Kompilasi dari simpulan dalam tahapan penelitian ini dirumuskan menjadi suatu model pengelolaan populasi dengan rekomendasi yang terdiri dari: pengkayaan habitat dengan tumbuhan yang kaya protein (Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus), kaya lemak (Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp), dan kaya energi (Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances) dalam kerapatan 15 individu per hektar (untuk jenis pohon) sampai 5,406 individu per hektar (untuk jenis semai); pemenuhan kebutuhan air dilakukan dengan memperbanyak tumbuhan pakan dengan kadar air tinggi seperti Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus serta menjamin akses/jalur ke air yang tersedia sepanjang tahun; 3α, 11β-dihydroxy-CM perlu menjalani validasi lebih lanjut (biologi dan kimia) untuk menjajagi potensi penggunaannya dalam implementasi pemantauan cekaman pada badak; penggunaan kuda sebagai hewan model yang relevan bagi badak dalam penelitian cekaman serta implikasinya. Kata kunci: badak jawa, nutrien, kecernaan, hormon, cekaman, hewan model, pengelolaan

8 RINGKASAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI. Model pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan analisis nutrisi dan tingkat cekaman sebagai parameter kesehatan. Dibawah bimbingan DONDIN SAJUTHI, HERA MAHESHWARI, HADI SUKADI ALIKODRA, dan DEWI APRI ASTUTI. Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan satwa langka yang hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten Indonesia. Kondisi habitat yang ada saat ini diduga mengalami perubahan perlahan akibat suksesi alami yang berakibat pada berubahnya struktur vegetasi yang ada. Sebagai hewan herbivora yang sangat bergantung pada vegetasi sebagai sumber makanannya, maka faktor nutrisi menjadi bagian yang penting untuk dipantau dalam populasi saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui pola pergerakan badak di habitatnya dan mengukur kualitas, palatabilitas, serta asupan nutrien dan antinutrisi (toksin) dari badak yang diikuti. Parameter yang dicatat terdiri dari: jalur lintasan badak (trajektori) beserta korelasinya dengan keragaman, palatabilitas, jumlah konsumsi pakan, kualitas nutrien tumbuhan pakan, risiko toksisitas lantaden dari tumbuhan Lantana camara, kecernaan, serta ketersediaan garam di sekitar jalur lintasan dan di dalam ruang jelajah badak tersebut. Palatabilitas ditentukan dengan memilih maksimal lima jenis tumbuhan pakan dengan estimasi jumlah ragutan terbanyak dari setiap badak. Analisis proksimat digunakan untuk mengukur dan menghitung kualitas nutrien yang ada pada setiap pakan badak, sementara risiko toksisitas lantaden dari konsumsi Lantana camara dihitung berdasarkan estimasi jumlah konsumsi kering tumbuhan Lantana camara setiap hari. Acid insoluble ash (AIA) digunakan untuk mengukur tingkat kecernaan dan menunjukkan kompatibilitas dengan hasil penghitungan kecernaan berdasarkan koleksi total.

9 Hasil pengamatan menunjukkan korelasi yang kuat antara ruang jelajah dengan keragaman pakan serta jumlah kubangan, tumbuhan dengan palatabilitas tinggi bukan merupakan tumbuhan dengan kualitas nutrisi terbaik, serta ada fluktuasi komposisi pakan yang menyebabkan rendahnya kualitas asupan air, nutrien, dan energi pada waktu-waktu tertentu. Dinamika komposisi pakan yang terjadi adalah: asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan November (setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan titik terendah di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik terendah pada bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan energi terlihat ada pada tingkat terendah pada bulan Desember. Perbandingan konsumsi lantaden pada badak jawa dengan referensi dari literatur yang menyatakan konsumsi lantaden dapat mulai menimbulkan gejala klinis pada kadar 4,000 mg/ekor/hari menunjukkan bahwa risiko toksisitas dari komsumsi lantaden pada badak jawa berada pada tingkatan yang rendah yaitu: mg/ekor/hari. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten adalah upaya untuk mempelajari dan memantau tingkat cekaman yang dihadapi oleh badak jawa di habitatnya. Tingkat kesulitan untuk mendapatkan sampel darah mengharuskan peneliti untuk menggunakan sampel feses untuk assay hormon cekaman. 3α, 11β-dihydroxy-CM merupakan salah satu metabolit glukokortikoid yang layak digunakan untuk analisis tingkat cekaman pada badak jawa. Kajian cekaman dilakukan antar individu dengan tingkat asupan pakan dan nutrien yang berbeda dan juga antar musim untuk mempelajari variasi kadar glukokortikoid di musim kering dan musim hujan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa individu 18 (individu muda) mengalami cekaman yang fluktuatif yang mungkin disebabkan oleh cekaman akibat interaksi sosial dengan badak dewasa. Badak menunjukkan kecenderungan cekaman tinggi pada musim kering yang memiliki jumlah kejadian hujan yang rendah yaitu rataan 0.2 kejadian hujan setiap harinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keterbatasan air merupakan sumber cekaman yang besar bagi badak jawa.

10 Setelah mempelajari faktor cekaman yang dihadapi oleh badak jawa akibat defisit pakan dan defisit air, maka penelitian ini dirancang untuk lebih mendalami respons yang ditunjukkan oleh kuda (sebagai hewan model untuk badak) terhadap cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons perilaku, fisiologis (hematologi dan respirasi) pada hewan model kuda akibat cekaman defisit pakan dan air 50% dari kebutuhan normal. Perlakuan yang diberikan adalah pakan kontrol sesuai kebutuhan (K) dan 50% dari kebutuhan (50%K). Jumlah kuda yang dipakai terdiri dari dua ekor kuda jantan berusia dewasa dan muda dengan bobot badan masing-masing 104 dan 98 kg. Induksi cekaman dilakukan pada dua ekor kuda model dengan mengurangi asupan pakan secara bertahap sampai asupan pakan hanya 2.65% dari berat tubuh kuda (defisit pakan) dan pengurangan air minum sampai 50% dari jumlah ad libitum yang biasanya tersedia di kandang. Parameter yang diamati terdiri dari hematologi rutin dan kadar kortisol darah yang diukur selama periode kontrol dan perlakuan induksi cekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan cekaman akut yang dapat diatasi oleh kuda (ditandai dengan penurunan kortisol pada penghujung perlakuan). Kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis dan tidak dapat diatasi dengan mudah. Dengan defisit pakan dan air, kedua ekor kuda menunjukkan perubahan-perubahan: perilaku (mengurangi aktifitas berjalan dan melakukan aktifitas menggigit ember/pagar / crib biting), peningkatan kadar kortisol, hematologi (perubahan rasio Netrofil/limfosit yang menunjukkan adanya migrasi limfosit/imunosupresi saat cekaman), dan peningkatan respirasi pada kedua ekor kuda saat mengalami cekaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya cekaman (sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya kadar indikator hormon cekaman) terjadi bersamaan dengan keterbatasan air di musim kering, dan ini dapat disimpulkan bahwa keterbatasan air tersebut cenderung dapat mengakibatkan cekaman bagi badak jawa. Untuk memastikan kuantitas dan kualitas pakan yang memadai, perlu ada upaya pengkayaan habitat dengan mengurangi dominasi tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) yang mendominasi hampir 70% dari ruang jelajah badak di

11 semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon, serta pengendalian tumbuhan Lantana camara yang menempati hampir 60% areal pakan badak (rumpang) terutama di daerah utara. Intervensi seperti ini akan memicu pertumbuhan jumlah ketersediaan tumbuhan pakan yang disukai badak. Kualitas nutrisi pakan badak dapat ditingkatkan dengan menanam tumbuhan pakan yang terdiri dari: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energy tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi). Tumbuhan-tumbuhan ini idealnya ditanam dalam komposisi kerapatan tertentu agar ketersediannya berimbang. Ketersediaan air sepanjang tahun dapat dipastikan dengan membuat jalur lintasan untuk badak ke lokasi-lokasi air dan kubangan yang tersedia sepanjang tahun serta membuat kubangan ataupun sumber air buatan yang dapat memberikan pasokan air bagi badak yang menjelajah ke lokasi tersebut.

12 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisankritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapu tanpa izin tertulis dari IPB

13

14 MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Biomedis hewan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

15

16 Judul Penelitian: Nama: NRP: Program Studi: Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) berdasarkan Analisis Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai Parameter Kesehatan Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi B Ilmu Biomedis Hewan Komisi Pembimbing Menyetujui: Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Ketua Dr. Drh. Hera Maheshwari, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra MS Anggota Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB drh.agus Setiyono, MS, PhD, ApVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Lulus:

17 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 April 1971 dan merupakan anak pertama dari 2 bersaudara dari ayah yang bernama Hariyadi Suwandar dan ibu bernama Mita Djuwita. Sejak kecil penulis tertarik dengan kegiatan alam terbuka dan juga mempelajari ilmu biologi. Dengan berbekal latar belakang ini, pendidikan S1 di bidang biologi dari University of Alberta, Kanada diselesaikan pada tahun 1994 dengan gelar Bachelor of Science (BSc). Selepas pendidikan, penulis menempuh berbagai pengalaman kerja antara lain sebagai teknisi karantina dan kesehatan ikan di SeaWorld Indonesia, konsultan biologi, sampai akhirnya menangani kegiatan pelestarian satwa badak jawa sebagai manajer proyek WWF Indonesia di Taman Nasional Ujung Kulon. Didorong oleh keinginan untuk mempelajari kesehatan pada satwa liar, penulis mengikuti pendidikan Magister Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2004, lulus pada tahun 2006, dan setelah itu membimbing beberapa mahasiswa kedokteran hewan IPB yang memiliki minat untuk mempelajari kesehatan satwa liar. Untuk lebih memperdalam pengetahuan di bidang kesehatan satwa liar, khususnya badak jawa, penulis bergabung dengan program Doktor dalam bidang Ilmu Biomedis hewan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor sejak tahun 2008 sambil melibatkan diri untuk bekerja di kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon- Banten, Bukit Barisan Selatan-Lampung, dan Kawasan ekosistem Leuser-Aceh dalam upaya melestarikan spesies badak di Indonesia. Penulis telah menerbitkan beberapa publikasi mengenai badak yang terdiri dari: dua buah artikel jurnal ilmiah di jurnal Pachyderm milik Rhino Specialist Group, dua artikel di jurnal veteriner sebagai penulis kedua, dan dua buah artikel yang sedang dalam proses peer review di jurnal Pachyderm dan jurnal on-line Biomed Research Notes

18

19 PRAKATA Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi jalan, petunjuk, dan kekuatan selama penulis menempuh studi di sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini tidak mungkin dapat tersusun tanpa bantuan dan dukungan moral dari keluarga tercinta yaitu Istri: Indriani Noverita, serta ananda: Rahadrian Ksatria, dan Ayodhya Tangguh yang selalu memberikan motivasi dan juga inspirasi. Rasa terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada para dosen pembimbing: Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD, Prof. Dr. Dewi Apri Astuti, MSc, Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS, dan Dr. drh. Hera maheshwari, MSc, yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berarti dalam penelitian ini. Terimakasih dan penghormatan juga penuli sberikan kepada Dr. drh. M. Agil yang telah banyak memberi masukan dan arahan selama pendidikan, dan kepada Handayani, drh. Dedi Setiadi, Msi, dan Ir. Ghalib, Msc yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium, serta kepada ibu Nani di PSSP atas perhatian dan kesabarannya dalam menyusun keadministrasian dan penjadwalan.. Penelitian ini didukung pula oleh kekompakan rekan-rekan WWF proyek Ujung Kulon: Timer, Andri, Nina, Yuyun, Mutia, Ngatiman, Iwan, Mawi, Rani, Makmun, dan Neng yang berhasil menjalankan kegiatan kantor secara sempurna selama penulis meninggalkan tugas-tugas kantor untuk menempuh pendidikan dan juga terimakasih tak terhingga pada Maryono dan Diki yang telah mengantar penulis bepergian dari tempat kerja ke kampus tanpa kenal lelah mulai sejak dini hari sampai sore, dan bahkan malam hari.

20 Penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada tim ROAM Taman Nasional Ujung Kulon: Daryan, Hendra Purnama, Asep Yayusm dan masyarakat desa Ujung Jaya, kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten memberikan bantuan dan dukungan selama pengambilan data di lapangan dan mendampingi perjalanan menembus belantara Taman Nasional Ujung Kulon untuk mengikuti gerak langkah badak jawa. Semoga Allah memberikan yang terbaik Bogor, September 2012 Adhi Rachmat Sudrajat Hariyadi

21 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN... 1 Permasalahan... 2 Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis... 3 Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian... 5 Novelty/kebaruan Alur Penelitian... 6 Metode Umum... 7 Tahap I: Habitat Badak dan Profil Nutrisi... 8 Tahap II: Habitat Badak dan Profil Cekaman... 8 Tahap III: Simulasi Cekaman pada Hewan Model... 9 TINJAUAN PUSTAKA Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Informasi Umum tentang Badak Jawa Jenis-jenis Cekaman Cekaman Akut Cekaman Kronis Penyakit-penyakit pada Badak Pengaruh Perubahan Iklim Mekanisme Fisiologis Terhadap Cekaman Kekeringan Termoregulasi Kondisi Kulit Defisit Glukosa Lapar Serum Ambang Batas dan Proses Perbaikan dalam Kondisi Lapar Sel Peranan dan Interaksi Hormon Kortisol dan Tiroksin sebagai Caraka Lantana camara sebagai Bahan Toksin / Antinutrisi Hewan-hewan Model dan Pembanding untuk Badak Jawa Badak Sumatra (Dicerorhinus bicornis) Badak India (Rhinoceros unicornis) Kuda Analogi Perbandingan Daftar pustaka STUDI POLA PERGERAKAN, PALATABILITAS, KUALITAS PAKAN, DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA RISIKO TOKSISITAS LANTADEN PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Abstrak Abstract Pendahuluan Tujuan Penelitian... 50

22 ii Bahan dan Metode Ruang Jelajah Badak Jawa Palatabilitas Kualitas Pakan Konsumsi Pakan Kecernaan Metode AIA (Acid insoluble ash) menurut Van Keulen & Young.. 60 Risiko toksisitas dari konsumsi Lantana camara Ketersediaan Garam Analisis Data Hasil dan Pembahasan Karakteristik Ruang Jelajah Badak Palatabilitas dan Keragaman Pakan Kualitas dan Kuantitas Asupan Nutrien Identifikasi Tumbuhan Pakan dengan Kualitas Nutrisi Tinggi Kecernaan Kajian Risiko Toksisitas Lantaden Ketersediaan Garam dan Air di Lokasi Kubangan Simpulan dan Saran Simpulan Saran Daftar pustaka PENENTUAN ASAI HORMON GLUKOKORTIKOID UNTUK MEMANTAU INDIKATOR CEKAMAN PADA BADAK JAWA JANTAN Abstrak Abstract Pendahuluan Mekanisme dan Respons Individu terhadap Cekaman Definisi Cekaman Hormon Terkait Cekaman Beserta Metabolitnya Tujuan penelitian Bahan dan Metoda Penetapan Faktor Cekaman di Habitat Badak Jawa Penetapan Sampel Feses Pengumpulan Sampel Feses Pemilihan Indikator Kadar Hormon Cekaman Asal Feses Persiapan Sampel Feses Asai Kortisol Prosedur Asai Kortisol Asai Kortikosteron Prosedur Asai Kortikosteron Asai 3α, 11β-dihydroxy-CM Prosedur Asai 3α, 11β-dihydroxy-CM Analisis Data Hasil dan pembahasan... 94

23 iii Hasil Uji Paralelisme Faktor Pengenceran untuk Kuantifikasi Metabolit Glukokortikoid (3α, 11β-dihydroxy- CM) Profil 3α, 11β-dihydroxy-CM pada Individu Badak & Populasi Kondisi cekaman Faktor cekaman dan Profil Glukokortikoid Simpulan dan saran Simpulan Saran Daftar pustaka KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR Abstrak Abstract Pendahuluan Proses Pemilihan Hewan Model ) Kelompok Hewan Model Konvensional ) Kelompok Hewan Badak (Rhinoceratidae) Tujuan Penelitian Bahan dan metoda Perbandingan Perilaku Pengambilan Data Pakan dan Air Minum (Fase Kontrol) Induksi Cekaman ) Perlakuan Defisiensi Pakan ) Perlakuan Defisiensi Air Periode Pencucian Pengamatan Pola Respirasi Penghitungan Konsumsi dan Kecernaan Kuda Analisis Data Hasil dan Pembahasan Pemilihan Hewan Model Perbandingan Perilaku Hewan Model Proses Adaptasi Kuda di Dalam Kandang ) Perilaku ) Tingkat Cekaman ) Hematologi Induksi Cekaman dengan Defisit Pakan Respons Terhadap Perlakuan Defisiensi Pakan ) Perilaku ) Tingkat Cekaman ) Hematologi Respons Terhadap Perlakuan Defisiensi Air ) Perilaku ) Tingkat Cekaman ) Hematologi Pola Respirasi dalam Kondisi Cekaman

24 iv Identifikasi Komponen Pemicu Cekaman. 132 Kecernaan dalam Kondisi Cekaman Adaptasi Fisiologis terhadap Cekaman Simpulan dan saran Simpulan Saran Daftar pustaka PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA Pendahuluan Tekanan yang dihadapi badak jawa ) Defisit Energi Asal Pakan ) Defisit Air Model Pengelolaan Badak Jawa Komponen 1: Teknik Pemantauan Pemantauan Status Nutrisi Pemantauan Cekaman Berdasarkan Profil Hormon Komponen 2: Pengkayaan Nutrisi Menekan Laju Invasi dan Dominasi Tumbuhan Langkap (Arenga obtusifolia) Pengkayaan Air, Nutrien, & Energi dari Tumbuhan Pakan Pengendalian Lantana camara Komponen 3: Mitigasi Cekaman Akibat Defisit Air Komponen 4: Penggunaan Hewan Model Untuk Riset Kecernaan dan Nutrisi Pencegahan Cekaman dan Implikasi Kesehatan Faktor-faktor lain yang relevan ) Faktor Habitat ) Faktor Populasi ) Faktor Individu dan Perilaku Hewan SIMPULAN DAN SARAN UMUM Simpulan umum Saran umum DAFTAR PUSTAKA

25 v DAFTAR TABEL Halaman 1 Daftar karakteristik antara badak jawa dengan hewan model yang digunakan dalam penelitian (kuda dan badak sumatra) Jenis vegetasi tumbuhan paling dominan di lokasi ruang jelajah badak jawa 52 3 Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh tiap ekor badak Badak jawa, lokasi, dan jenis pakan dengan palatabilitas tertinggi (persentase konsumsi basah rata-rata per hari) selama pengamatan bulan Oktober 2009 sampai April Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak jawa (palatabilitas tinggi) Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien, dan energi tertinggi Data asupan nutrisi harian badak jawa Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga ekor badak yang diamati dalam penelitian Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10% menurut Mainka et al. (1989) Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui konsumsi tumbuhan Lantana camara pada badak jawa (g/ek/h) Perbandingan hewan model serta kriteria pengamatan yang relevan dengan penelitian pada badak jawa (dari berbagai sumber) Pemberian air minum untuk setiap ekor kuda pada periode perlakuan defisit air

26 vi 13 Ethogram (daftar perilaku) berdasarkan pengamatan kuda, badak jawa, dan badak sumatra. Ethogram badak sumatra disusun berdasarkan Siswandi et al. (2005) Konsumsi pakan (% bahan kering per berat badan kuda) Konsumsi nutrien setiap ekor kuda selama periode perlakuan defisiensi pakan Persen kecernaan dua ekor kuda dengan koreksi 10 % menurut Mainka et al. (1989)

27 vii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi (Pemanfaatan dan Riset) yang tidak secara langsung difokuskan dalam penelitian ini Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia Balai Taman Nasional Ujung Kulon Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber: Munson et al. (1998) Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar = 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998) Rangkaian reaksi yang dipicu oleh kondisi lapar sel (menurunnya kadar gula dalam sel) yang berujung pada pemisahan sel (cell detachments), dan kematian sel. Sumber: Suzuki et al (2003), Wu et al (2001), dan Cavaliere et al (2001) Tumbuhan perdu Lantana camara di habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon memiliki bunga berwarna cerah. Foto: Ahariyadi WWF Indonesia Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan variasi pada DNA 12S RNA. Angka menunjukkan kedekatan kekerabatan berdasarkan perhitungan parsimoni maksimum. Sumber: Fernando et al. (2005) Tiga ekor badak jantan yang dipilih sebayak obyek penelitian: badak nomor 12 (A), nomor 13(B), dan nomor 18(C). Foto: Balai Taman Nasional Ujung Kulon-WWF Indonesia Kondisi lahan pakan badak (rumpang) dengan perbandingan tinggi tumbuhan pakan dan manusia (A) serta kondisi rumpang yang relatif terbuka dibandingkan areal pepohonan di sekitarnya (B). Foto: RSetiawan WWF Indonesia... 54

28 viii 10 Contoh jejak badak yang relatif segar. Badak berada di lokasi ini 12 jam sebelum jejak ditemukan. Foto: Ahariyadi-WWF Indonesia Pola lintasan badak no 13 di Utara (A), badak 18 di Barat (B), dan badak no 12 di Selatan (C) beserta aktifitas dari masing-masing badak sebagaimana tercatat dalam survey lapangan Beberapa contoh tumbuhan pakan badak Jawa yang tercatat dalam pengamatan di lapangan. Foto di atas menunjukkan jenis tumbuhan tepus: Amomum sp (A), Rotan: Calamus sp (B), dan Mara: Mallotus floribundus (C). Foto: Rsetiawan WWF Indonesia Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati dalam penelitian Reaksi biokimia yang merupakan proses tanggap terhadap cekaman bagi mamalia (sumber: Coenen 2005) Grafik paralelisme antara kadar 5-beta androstandiol (5-beta adiol) pada feses dengan kurva standard berdasarkan hasil uji paralelisme Fluktuasi kadar hormon glukokortikoid pada semua individu badak Rentang kadar metabolit glukokortikoid (5-beta adiol) antar individu badak Karakteristik musim pada periode pengamatan (bulan Oktober April 2010) berdasarkan rata-rata jumlah kejadian hujan, cerah, ataupun berawan dalam satu hari Perbandingan tingkat konsumsi energi per berat badan (sumbu x) dengan kadar metabolit glukokortikoid pada feses Perbandingan kadar hormon cekaman antar individu badak dengan asupan berat kering yang berbeda (A) dan antar musim/curah hujan (B) Perbandingan anatomi system pencernaan kuda (A) dan badak (B) yang menunjukkan karakteristik hewan monogastrik (lambung satu) dan keberadaan sekum untuk pencernaan selulosa. Sumber: Kuda jantan dewasa bernama Garuda (A) dan kuda jantan dewasa muda bernama Elang (B) yang digunakan sebagai hewan model dalam pengamatan di Rumah Sakit Hewan IPB Darmaga Komposisi aktifitas badak 18 (A), badak 12 (B), dan badak 13 (C) berdasarkan durasi yang terekam dengan menggunakan kamera otomatis

29 ix 24 Komposisi perilaku kuda jantan muda (A) dan jantan dewasa (B) yang tercatat dalam pengamatan perilaku Komposisi perilaku kuda Dewasa (A) dan kuda remaja (B) selama periode aklimatisasi di kandang Penurunan kadar kortisol dalam darah pada kedua ekor hewan (Garuda dan Elang) selama periode aklimatisasi di kandang Fluktuasi kadar kortisol pada hewan pada perlakuan minus pakan Perbandingan perilaku hewan model kuda jantan dewasa (A) dan kuda jantan muda (B) dalam berbagai perlakuan Trend peningkatan kadar kortisol dalam darah pada perlakuan minus air Trend peningkatan respirasi pada kuda dalam perlakuan defisit pakan (A) dan defisit air (B) dibanding dengan kondisi normal istirahat Perbandingan peningkatan respirasi badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman (stress) Trend kecernaan badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman (stress) Lokasi temuan kematian badak Jawa dalam periode tahun Titik hijau menunjukkan kasus dengan informasi yang relatif lengkap mengenai penyebab kematian Model pengelolaan populasi dan habitat badak jawa dengan pendekatan aspek nutrisi, cekaman, dan kesehatan Distribusi badak jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon (titik merah) berdasarkan hasil survey (sumber: WWF Indonesia & Balai TNUK) Lokasi ideal untuk plot pengendalian langkap (Arenga obtusifolia) di semanjung Ujung Kulon ditandai dengan poligon berwarna merah Usulan areal pengendalian tumbuhan Lantana camara di areal pakan badak ditandai dengan poligon berwarna kuning

30 x DAFTAR LAMPIRAN 1 IZIN KOMISI ETIK HEWAN DATA NUTRISI BADAK JAWA DATA HEWAN MODEL DATA PARALELISME KIT HORMON

31 PENDAHULUAN Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN memasukan badak jawa dalam kategori terancam punah. Badak jawa berada pada dua lokasi yaitu: sekitar delapan ekor di Taman Nasional Cat Tien Vietnam dan sekitar 50 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon di Indonesia. Tentang jumlah dan keragaman genetika yang ada saat ini, para ahli berpendapat bahwa populasi di Taman Nasional Ujung Kulon adalah satu-satunya populasi yang berpotensi untuk berkembang biak, dan merupakan kunci kelestarian spesies ini di muka bumi. Hal ini bukanlah hal yang ideal dari segi konservasi, karena dengan hanya bertumpu pada satu populasi saja, justru risiko kepunahan akan semakin besar. Satu populasi memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga bencana alam katastropik (gunung berapi, tsunami) dan/atau epidemik yang melanda populasi di Ujung Kulon akan menyebabkan mortalitas massal yang berpotensi melenyapkan spesies ini. Badak jawa yang telah bertahan hidup di Ujung Kulon dalam waktu yang lama sempat mengalami penurunan jumlah populasi di tahun 1962 mencapai jumlah hanya 25 ekor saja pada saat itu. Saat ini badak jawa telah mengalami peningkatan dari jumlah populasi di tahun 1962 ke jumlah sekitar 50 ekor, dan terbentuk paradigma yang beranggapan bahwa badak jawa merupakan satwa yang tangguh dan selama mereka berada di habitat alami, kesehatan mereka termasuk baik. Upaya pelestarian badak jawa umumnya dititik beratkan pada upaya pengamanan dan pengelolaan habitat, sementara aspek medis konservasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan peluang keberlangsungan spesies ini menjadi terabaikan. Kelestarian spesies badak jawa ini terletak pada kemampuan populasi yang ada pada saat ini untuk mempertahankan jumlahnya (stable population) dan meningkatkan jumlahnya (viable population). Data terkini menunjukkan bahwa populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon berada pada jumlah yang stabil serta tidak menunjukkan perkembang biakkan yang signifikan. Pertumbuhan populasi secara signifikan ditetapkan pada angka pertumbuhan minimal 3% setiap tahun sebagaimana dimandatkan dalam strategi konservasi badak Indonesia (PHKA 2007).

32 2 Sebagai populasi tertutup dimana tidak terjadi proses migrasi keluar atau masuk ke dalam Taman Nasional Ujung Kulon, pertumbuhan populasi badak jawa dapat dicapai dengan dua cara yaitu: meredam tingkat mortalitas dan/atau meningkatkan reproduksi yang ada pada populasi saat ini. Permasalahan Dua hal yang besar pengaruhnya terhadap peluang reproduksi dan juga risiko mortalitas adalah aspek asupan nutrisi dan tingkat cekaman. Sejak awal tahun 70an tidak ada lagi terjadi kasus perburuan badak jawa, oleh karena itu slah satu ancaman terbesar yang dapat menyebabkan kematian bagi badak jawa muncul dari risiko penyakit dan perubahan pada komposisi ekosistem baik yang berupa suksesi alami maupun perubahan yang terjadi sebagai dampak dari aktifitas manusia seperti perubahan iklim. Dari sudut pandang epidemiologi, nutrisi dan cekaman merupakan dua aspek yang ada dalam lingkungan / habitat badak yang berperan penting dalam menentukan kemampuan badak untuk menurunkan risiko kematian dengan cara mengatasi penyakit berupa agen infeksius dan non-infeksius. Dalam dunia medis, agen infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit yang dapat berpindah atau ditularkan dari satu individu kepada individu lainnya baik secara langsung maupun melalui perantara (vektor). Contoh-contoh agen infeksius terdiri dari: virus, bakteri, dan parasit yang dapat membahayakan kehidupan satwa liar dan juga manusia (Daszak 2000). Sebaliknya, agen non-infeksius didefinisikan sebagai penyebab penyakit yang tidak dapat berpindah atau menular dari satu individu ke individu lainnya seperti toksin (racun) yang menyebabkan penyakit akibat konsumsi ataupun kontaminasi bahan toksin yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu, fokus kajian ini dititik beratkan pada upaya untuk mengidentifikasi status kualitas nutrisi dan profil cekaman serta dampaknya terhadap individu badak agar upaya untuk menurunkan tingkat cekaman terhadap badak jawa dapat dirancang. Harapannya spesies ini akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mampu bertahan terhadap penyakit serta peluang yang lebih besar pula untuk meningkatkan kapasitas reproduksinya.

33 3 Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup badak jawa. Secara kualitatif, mortalitas akibat gangguan kesehatan badak jawa pernah terjadi pada lima ekor badak di tahun 1982 (WWF-IUCN 1982), dan satu ekor badak di tahun Semua kasus kematian diawali dengan gejala klinis kolik yang mengindikasikan adanya gangguan pada sistem pencernaan. Beberapa kemungkinan gangguan kesehatan dapat muncul karena adanya infeksi silang antar satwa liar (banteng dan badak menggunakan areal yang sama di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon), dan infeksi dari hewan ternak yang lepas dan masuk ke dalam kawasan. Selain ancaman dari agen infeksius, ancaman dari sumber non-infeksius seperti: asupan metabolit sekunder dari sumber makanan dan bahan-bahan yang bersifat toksik juga merupakan aspek yang harus dicermati dalam pengelolaan populasi. Habitat di Ujung Kulon secara perlahan namun pasti mengalami perubahan akibat berbagai kejadian seperti: invasi tumbuhan langkap Arenga obtusifolia (Putro 1997) dan perubahan iklim. Kedua faktor di atas menyebabkan berkurangnya ketersediaan tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak, sementara perubahan iklim ditengarai dapat mengakibatkan perubahan pada iklim mikro (Suprayogi et al. 2006), keragaman jenis tumbuhan (Huxman & Scott 2007), serta perubahan pada mekanisme penyebaran penyakit (Harvell et al. 2002). Suksesi vegetasi alami dapat mendorong terjadinya dominasi tumbuhan tertentu dan dapat mengakibatkan keterbatasan pakan. Beberapa jenis tumbuhan yang mendominasi struktur vegetasi tersebut mengandung antinutrisi/toksin seperti pada jenis Lantana cammara yang mengandung zat yang dikenal dengan nama: lantaden (Sharma et al. 2000). Zat lantaden ini merupakan suatu senyawa yang diproduksi secara alami oleh tumbuhan Lantana cammara dan bersifat racun hepatotoksin, atau senyawa racun yang dapat mengganggu sistem pencernaan (McSweeney & Pass 1983; Sagar et al. 2005), dan merusak hati (liver) berbagai hewan ternak (Pass et al. 1979). Selain keterbatasan pakan, ketersediaan air merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan badak jawa. Aspek pakan dan air tersebut di atas berpotensi mengakibatkan stres akut (yang terjadi dalam periode waktu singkat) maupun kronik (yang terjadi dalam waktu yang relatif panjang atau) karena badak sepenuhnya bergantung pada sumber tumbuhan pakan dan air yang terbatas di habitat alaminya.

34 4 Sampai saat ini belum ada metode aplikatif yang dapat digunakan untuk memantau kualitas asupan nutrisi dan tingkat cekaman yang dihadapi olah badak jawa. Tingkat kesulitan untuk menemukan badak di habitatnya dan tidak adanya badak jawa di penangkaran mengharuskan peneliti untuk mengembangkan metode pengamatan dan pemantauan dengan menggunakan sampel feses badak yang relatif lebih mudah didapat. Tantangan berikutnya ada pada proses untuk menggali informasi serta memperoleh parameter kesehatan dari feses badak tersebut sebagai indikator yang akurat dan sensitif untuk mencerminkan kesehatan secara umum dan kondisi pencernaan secara khusus. Indikator ini dapat digunakan sebagai baseline, namun informasi mengenai fluktuasi dan ambang batas indikator-indikator terkait masih diperlukan sebagai data pelengkap untuk menjadikan metode ini lebih relevan dan aplikatif sebagai perangkat pemantauan kesehatan badak jawa. Berdasarkan informasi baseline inilah suatu model pengelolaan populasi badak disusun dengan tujuan meningkatkan peluang untuk dapat bertahan terhadap penyakit dengan upaya untuk mengurangi risiko mortalitas serta meningkatkan peluang reproduksi. Selain menjadi bagian dalam upaya pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, perangkat pemantauan kesehatan seperti ini merupakan bagian dari metoda pemantauan populasi yang juga merupakan suatu kebutuhan pengelolaan badak jawa terkait pembentukan populasi ke-2 dimana beberapa ekor badak akan dipindahkan dari habitat yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon ke lokasi lain. Melalui upaya pemindahan badak ke habitat baru, perangkat untuk mengukur tingkat cekaman, status/profil nutrisi, dan analisis risiko kesehatan pada badak saat adaptasi, dalam proses, dan pasca pemindahan merupakan suatu keharusan untuk menjamin kelangsungan hidup populasi badak di habitat barunya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membangun suatu model pengelolaan populasi badak jawa dengan memperhatikan aspek nutrisi dan cekaman yang dapat mempengaruhi status kesehatan serta daya tahan spesies ini terhadap penyakit. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini memerlukan analisis mengenai:

35 5 1. Pola pergerakan dan lintasan badak di habitatnya (trajektori) sebagai basis dari pengumpulan informasi daya dukung alam Taman Nasional Ujung Kulon. 2. Palatabilitas, kuantitas, kualitas pakan, kecernaan, risiko toksin lantaden, dan ketersediaan garam bagi badak jawa jantan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. 3. Profil hormon glukokortikoid akibat cekaman defisit nutiren dan ketersediaan air dengan menggunakan 5-beta-adiol sebagai indikatornya. 4. Potensi penggunaan hewan model (kuda) sebagai pembanding bagi badak jawa dalam penelitian cekaman akibat defisit pakan dan air. 5. Penyusunan rekomendasi model pengelolaan badak jawa berbasis nutrisi dan ketersediaan air di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Hipotesis Penelitian 1. Kondisi habitat di Taman Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya dukung (ketersediaan pakan dan air) yang kurang memadai bagi badak jawa. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya cekaman pada badak jawa. 2. Metabolit hormon asal feses dapat digunakan sebagai indikator status dan profil glukokortikoid akibat cekaman, mengingat glukokortikoid merupakan indikator aktifitas korteks adrenal yang disebabkan oleh adanya cekaman. 3. Kuda dapat digunakan sebagai hewan model pembanding yang baik untuk penelitian terkait cekaman akibat keterbatasan pakan dan air yang mempengaruhi badak jawa, mengingat kuda memiliki kesamaan genetika, anatomi saluran cerna, dan perilaku dengan badak. Novelty / Kebaruan Kebaruan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah model yang merupakan bagian dari solusi bagi masalah reproduksi dan mortalitas yang sampai saat ini belum terpecahkan. Pendekatan konservasi yang mengacu kepada upaya mitigasi cekaman bagi spesies badak jawa baru kali ini dilakukan dengan harapan untuk meningkatkan kapasitas reproduksi serta menekan risiko kematian pada badak jawa. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan suatu mekanisme penelitian badak jawa melalui hewan model sehingga berbagai penelitian badak jawa dapat dilakukan pada hewan

36 6 model tertentu untuk menghindari risiko dan kesulitan yang timbul bila menggunakan badak jawa secara langsung. Produk nyata yang merupakan novelty atau kebaruan hasil penelitian ini adalah penerapan hasil-hasil penelitian ini untuk kepentingan pengelolaan badak jawa di habitat alaminya. Langkah-langkah penerapan hasil dari penelitian ini terdiri dari: 1. Penggunaan hewan model untuk mensimulasi kondisi habitat serta mempelajari respons yang mungkin terjadi pada badak jawa di habitat alaminya. 2. Rekomendasi pengelolaan vegetasi potensial untuk kehidupan badak jawa. 3. Penggunaan profil glukokortikoid sebagai indikator cekaman pada badak. Alur Penelitian Tahap pertama dalam penelitian ini menguatkan dugaan adanya korelasi antara ruang jelajah dan kualitas nutrisi di habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon dan juga identifikasi cekaman yang berasal dari kuantitas, kualitas, dan kecernaan nutrien dalam tumbuhan pakan; tahap ini dilanjutkan dengan menguatkan dugaan adanya cekaman yang bersifat individual (bervariasi antar individu yang berbeda) ataupun yang bersifat musiman (bervariasi antar musim) akibat terbatasnya ketersediaan air di musim kering. Informasi kualitatif yang didapat dari kajian ini kemudian diterapkan dalam uji coba menggunakan hewan model untuk mendapatkan informasi yang lebih kuantitatif dengan perlakuan yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan temuan dan data dari lapangan sehingga dampak dari cekaman tersebut dapat dipelajari langsung keterkaitan atau korelasinya. Data dan informasi dari setiap tahap dari penelitian ini kemudian digunakan untuk menyusun suatu model pengelolaan badak jawa. Model ini terdiri dari rekomendasi prosedur pemantauan cekaman dan juga rekomendasi untuk membangun suatu sistem pengelolaan habitat untuk mitigasi cekaman yang terdiri dari pemantauan intensif untuk melihat status cekaman dan dampak dari implementasi upaya mitigasi cekaman terhadap perkembangbiakkan badak jawa secara alami. Pemantauan status cekaman dapat dilakukan secara non-invasif melalui analisis sampel feses yang dilakukan secara periodik. Secara teoretis, mitigasi cekaman pada populasi badak jawa akan dapat meningkatkan peluang keberlangsungan hidup spesies ini (meningkatkan kapasitas reproduksi dan menekan risiko mortalitas). Penelitian ini juga menjajagi

37 7 kemungkinan pengembangan metoda pemantauan kesehatan yang dapat dilakukan secara non-invasif terkait tekanan yang dapat terjadi di habitat alami yaitu: akibat keterbatasan pakan (kadar toksisitas dalam pakan) serta minimnya ketersediaan air, maka penelitian ini memiliki kerangka acuan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1. Skema alur penelitian serta kontribusi yang dihasilkan terhadap konservasi badak jawa. Garis putus mewakili aspek konservasi (Perlindungan dan Pembuatan kubangan) yang tidak secara langsung difokuskan dalam penelitian ini. Metode Umum Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yang dirancang untuk mempelajari kondisi habitat badak serta profil asupan (nutrien, air, energi) dan toksin; mempelajari profil cekaman dan dinamikanya antar individu badak dan antar musim; dan menggunakan informasi dari kedua tahapan ini dalam tahap ketiga yaitu simulasi cekaman di habitat badak terhadap hewan model untuk mengkuantifikasi reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model sebagai gambaran atas reaksi tanggap yang mungkin terjadi pada badak jawa. Tiga ekor badak jawa berkelamin jantan dipilih sebagai contoh dalam penelitian ini.

38 8 Tahap 1: Habitat Badak dan Profil Nutrisi Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil asupan pada badak jawa di habitat aslinya di Taman Nasional Ujung Kulon sebagai bahan informasi yang digunakan dalam simulasi/induksi cekapam pada tahap tiga. Penguatan analogi antara badak dengan hewan model dilakukan dengan membandingkan hasil dari tahap ini (kecernaan) dengan hasil kecernaan hewan model pada tahap tiga. Tahap ini terdiri dari metoda: 1. Identifikasi ruang jelajah dan ruang pergerakan badak contoh untuk mempelajari kondisi habitat (keragaman pakan, ketersediaan kubangan/air, ketersediaan garam) terkait ruang jelajah dari setiap ekor badak. 2. Identifikasi pakan serta komposisi tumbuhan pakan yang di sukai 3. Identifikasi kualitas pakan serta penghitungan kualitas nutrisi tumbuhan pakan 4. Penghitungan tingkat kecernaan dengan metode AIA 5. Analisis deskriptif untuk mengidentifikasi perbedaan profil asupan dan kecernaan antar individu badak. Tahap 2: Habitat Badak dan Profil Cekaman Tahap ini bertujuan untuk mempelajari profil cekaman yang terjadi pada badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Perbedaan profil cekaman diamati antar individu dan juga antar musim yang berbeda (musim kering dan penghujan). Identifikasi sumber cekaman dalam tahap ini digunakan dalam simulasi/induksi cekaman pada Tahap 3. Informasi mengenai profil cekaman ini dibandingkan dengan hasil induksi cekaman dalam Tahap 3 sebagai bagian dari penguatan analogi hewan model dan badak. Tahap ini terdiri dari metode: 1. Pengumpulan sampel feses dari tiga individu badak contoh pada musim kering dan penghujan. 2. Pemilihan asai hormon yang memadai untuk digunakan pada sampel feses sebagai cara mengidentifikasi tingkat cekaman. Pemilihan asai hormon terdiri dari: pemilihan kit hormon glukokortikoid/metabolitnya, serta validasi dari hormon/metabolit tersebut. 3. Asai hormon asal feses untuk mempelajari perbedaan kandungan hormon glukokortikoid/metabolitnya serta profil dan dinamikanya.

39 9 4. Analisisi deskriptif untuk mempelajari profil cekaman antar individu dan trend keterkaitan antara profil cekaman dengan musim. Tahap 3: Simulasi Cekaman pada Hewan Model Tahap ketiga ini bertujuan untuk memilih hewan model yang sesuai untuk badak jawa dan mensimulasikan cekaman yang teridentifikasi pada Tahap 1 dan 2 serta mengukur reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model tersebut. Penguatan analogi hewan model dengan badak jawa dilakukan dengan membandingkan hasil data tahap tiga ini dengan hasil dari tahapan-tahapan sebelumnya. Tahap tiga terdiri dari metode: 1. Pemilihan hewan model berdasarkan kaidah hewan model serta kesamaan/kedekatan genetika, anatomi, dan perilaku. 2. Simulasi dan induksi cekaman yang terjadi di habitat asli badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (hasil dari tahap satu dan tahap dua) terhadap hewan model. 3. Kuantifikasi reaksi tanggap terhadap induksi cekaman berdasarakan parameter perilaku dan parameter fisiologis (respirasi, kadar hormon kortisol, hematologi, respirasi, dan kecernaan). 4. Penguatan analogi antara hewan model dengan badak melalui perbandingan reaksi tanggap yang terjadi pada hewan model dan reaksi pada badak berdasarakan pengamatan dan literatur. Hasil dari ketiga tahapan di atas digunakan dalam merumuskan sebuah model pengelolaan yang dapat diusulkan pada otoritas pengelola populasi badak jawa untuk melengkapi informasi yang diperlukan dalam menyusun strategi intervensi konservasi. Pendekatan baru dari sisi medis konservasi dan hewan model akan memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan peluang reproduksi sekaligus menurunkan risiko mortalitas yang dapat terjadi pada populasi badak jawa. Dua hal ini pada akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan populasi badak jawa sebesar 3% setiap tahun.

40 10 TINJAUAN PUSTAKA Habitat Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Dari lima spesies badak di seluruh dunia, badak jawa merupakan satu-satunya spesies yang ditemukan hanya di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon Banten. Pada tahun 1999 survei menyatakan keberadaan badak jawa di Vietnam dengan jumlah delapan ekor (Polet et al. 1999), namun saat ini populasi tersebut sudah dinyatakan punah (IRF-WWF 2011). Dengan punahnya populasi badak jawa di Vietnam pada tahun 2011, maka keberlangsungan hidup spesies ini hanya bergantung pada populasi yang ada di Ujung Kulon. Ujung Kulon merupakan kawasan lindung yang ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1990 dan diberi status sebagai situs warisan dunia (World heritage site) oleh UNESCO di tahun Taman Nasional Ujung Kulon memiliki luasan 120,000 hektar yang terdiri dari kawasan darat dan laut, dan 30,000 hektar dari luasan ini merupakan semenanjung yang dihuni oleh badak jawa. Habitat badak di semenanjung Ujung Kulon ini sebagian besar merupakan dataran dengan tingkat kelerengan yang rendah dan ditumbuhi berbagai jenis vegetasi mulai dari hutan bakau, hutan rawa pantai, hutan pantai, hutan sekunder, dan hutan primer (Hommel 1987). Perbatasan antara hutan sekunder dan hutan primer merupakan area yang sangat disukai oleh badak karena area tersebut biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak. Hommel (1987) juga menyebutkan bahwa tipologi tanah di semenanjung Ujung Kulon ini terdiri dari jenis tanah litosol yang memiliki kemampuan untuk menampung air dan menjadikan daerah ini banyak dipenuhi oleh genangan-genangan air yang digunakan sebagai kubangan oleh banyak satwa, termasuk badak jawa. Sebagai suatu kawasan lindung dengan status Taman Nasional, Ujung Kulon merupakan tempat perlindungan satwa sekaligus tempat penelitian yang bersifat ilmiah maupun edukasi. Kegiatan wisata yang bertanggung jawab (eko-wisata) merupakan salah satu kegiatan yang diterapkan di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memberikan manfaat ekonomis maupun edukasi kepada masyarakat luas. Untuk memastikan bahwa konservasi badak jawa dapat berjalan selaras dengan penelitian dan wisata, maka pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon dibagi menjadi tiga seksi konservasi dengan pembagian zonasi (zona inti, rimba,

41 11 pemanfaatan tradisional, dan zona khusus) dengan pengelolaan berbasis resort agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing seksi dan zona tersebut. Informasi Umum tentang Badak Jawa Badak jawa pertama kali dikaji secara ilmiah oleh Desmarest di tahun 1822 dan dikategorikan sebagai spesies Rhinoceros sondaicus (Corbett & Hill 1992) dan merupakan merupakan salah satu spesies langka yang dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah. Menurut Lekagul & McNeely (1977) taksonomi badak Jawa diklasifikasikan sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Super kelas : Gnathostomata Kelas : Mamalia Super Ordo : Mesaxonia Ordo : Perissodactyla Super famili : Rhinocerotidae Famili : Rhinocerotidae Genus : Rhinoceros Linnaeus, 1758 Spesies : Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 Hoogerwerf (1970) menyebutkan bahwa badak Jawa dewasa memiliki ukuran tinggi (dari telapak hingga bahu): cm dan panjang badan (dari moncong hingga ujung ekor): 392 cm, dan berat tubuh pada kisaran kg. Dibandingkan dengan badak hitam afrika (Diceros bicornis), badak putih afrika (Ceratoterium simum) dan badak india (Rhinoceros unicornis), badak jawa merupakan badak yang tergolong berukuran kecil namun masih lebih besar bila dibandingkan dengan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Badak jawa memiliki tampilan sebagaimana disajikan dalam Gambar 2 di bawah ini.

42 12 Gambar 2. Badak jawa jantan yang tertangkap oleh kamera otomatis (kamera jebak) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Foto: WWF Indonesia Balai Taman Nasional Ujung Kulon (2003). Di masa lampau badak jawa menghadapi tekanan berupa perburuan dan gangguan langsung dari masyarakat karena waktu itu mereka dianggap sebagai hama yang mengganggu lahan perkebunan masyarakat. Hal ini terjadi karena badak jawa memiliki preferensi makanan yang merupakan tumbuhan semak dan perdu yang banyak ditemukan di lahan pertanian masyarakat. Badak jawa yang dahulu tersebar di pulau Jawa, Sumatera, bahkan sampai ke Indocina populasinya makin terdesak dan badak jawa terakhir di pulau Sumatera ditembak mati di Palembang sekitar tahun 1920an dan badak jawa terakhir di luar Ujung Kulon ditembak di daerah Garut pada tahun 1930an. Sejak itu, badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten dan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Namun, populasi badak jawa di Vietnam telah dinyatakan punah pada pertengahan tahun 2010 sehingga nasib keberlangsungan spesies ini hanya ada pada populasi di Indonesia. Walaupun perburuan sudah tidak ada lagi, saat ini populasi badak Jawa masih menghadapi tantangan yang dapat membahayakan kehidupan mereka. Sebagaimana dihadapi oleh berbagai spesies badak di seluruh dunia, badak Jawa juga menghadapi risiko infeksi penyakit dan/atau gangguan kesehatan baik yang diakibatkan oleh agen infeksius maupun non-infeksius. Fisiologi dan kesehatan pada spesies badak ini adalah aspek yang belum banyak dipelajari sampai saat ini. Walaupun telah ada beberapa individu badak yang pernah dipindahkan dari alam dan ditempatkan di kebun binatang sekitar tahun 1800an (Newton 1874; Rookmaaker 1982; Rookmaaker 2005, Reynolds 1961), belum pernah ada catatan mengenai

43 13 kerentanan satwa ini terhadap cekaman dan risiko kematian akibat tekanan dan/atau proses pemindahannya dari habitat alami. Ilmu biomedis hewan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari aspek fisiologis, kesehatan, dan juga kemungkinan perlakuan untuk mencegah gangguan kesehatan pada spesies langka ini. Penelitian dititik beratkan pada kajian tingkat stres, toksisitas, dan analisis risiko akibat asupan nutrisi dan konsumsi jenis pakan alami tertentu bagi badak jawa yang tersedia di habitatnya. Sebagai hewan yang hidup liar, badak jawa sangat bergantung pada ketersediaan pakan di habitatnya, oleh karena itu, disamping perburuan, faktor lingkungan seperti perubahan iklim dan ketersediaan pakan merupakan penyebab kepunahan satwa ini dari berbagai habitat historisnya seperti di Borneo (Cranbrook & Piper 2007), Kamboja (Poole & Duckworth 2005), Malaysia (Kloss 1927), dan juga di Pulau Jawa (Scheltema 1912; Walcott 1914). Sejak tahun 60an pemantauan badak sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak dengan menggunakan metode yang sederhana seperti penghitungan jejak, penggunaan kamera dan video otomatis, sampai metode yang lebih rumit yaitu telaah genetika, jenis, dan komposisi pakan dari feses. Identifikasi individu badak dengan kamera otomatis juga memungkinkan penghitungan estimasi jumlah individu dengan metode mark-recapture, analisis komposisi populasi, nisbah kelamin, dan juga perhitungan untuk menduga pertumbuhan populasi dengan adanya kelahiran individuindividu baru (Hariyadi et al. 2008). Secara holistik, interaksi badak dengan komponen lainnya dalam ekosistem juga telah dipelajari. Berdasarkan salah satu kajian yang pernah dilakukan diperoleh data bahwa ada persaingan ruang antara banteng (Bos javanicus) dan badak yang mengakibatkan keterbatasan akses badak ke daerah-daerah tertentu (YMR 2002). Kajian palatabilitas tumbuhan pakan yang dilakukan oleh berbagai peneliti yang menginventarisir sekitar 94 jenis tumbuhan yang menjadi konsumsi harian badak jawa, namun kajian lain menunjukkan bahwa pertumbuhan dan dominasi sejenis palma (Arenga obtusifolia) mengancam ketersediaan jenis-jenis tumbuhan pakan yang dibutuhkan oleh badak tersebut (Putro 1997; YMR 2004). Jika antara hasil pengamatan dan penelitian terdahulu dibandingkan dengan keberhasilan badak jawa untuk bertahan hidup sampai saat ini, badak jawa dikenal sebagai satwa yang tangguh dan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jumlah populasi yang sangat sedikit. Diet utama yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan semak memberi nutrisi yang memadai untuk bertahan dari berbagai tekanan, termasuk juga tekanan dari penyakit. Berdasarkan

44 14 penggalian informasi dari masyarakat di sekitar zona penyangga Taman Nasional Ujung Kulon, berbagai jenis tumbuhan pakan badak telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber obat tradisional yang memiliki khasiat sebagai anti inflamasi, antipiretika, antiseptik, dan juga sebagai obat untuk memperlancar proses persalinan. Jenis-jenis Cekaman Berdasarkan rentang waktu pemaparannya, cekaman dapat dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: cekaman akut yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat dalam hitungan detik sampai sekitar 60 menit (Figueiredo et al. 2003) dan cekaman kronis yang berulang setiap hari selama 5 hari (Melia & Duman 1991) sampai waktu yang lebih lama (mingguan, bulanan, tahunan) seperti yang dialami oleh badak di kebun binatang yang mengalami cekaman kronis akibat pengandangan dan kunjungan wisatawan (Carlstead & Brown 2005). Kedua jenis cekaman ini memberikan respons berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya peningkatak sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan. Selain profil hormon dari kelas glukokortikoid, Davis et al. (2008) menyatakan bahwa profil hematologi khususnya netrofil dan limfosit merupakan indikator akan adanya cekaman pada hewan-hewan vertebrata. Cekaman Akut Cekaman akut menimbulkan respons yang spesifik berupa aktifitas pada aksis HPA (Hipotalamus-pituitari-adrenal korteks) yang berujung pada sekresi hormon glukokortikoid (Figuireido et al. 2003). Cekaman akut juga memicu sistem kekebalan tubuh untuk bekerja lebih baik dengan cara mendistribusikan lekosit dari darah ke kulit seperti yang ditunjukkan Dhabhar (2000). Mekanisme ini merupakan kerja hormon cekaman serupa dengan mekanisme bertahan atau lari (fight or flight) yang terjadi saat terjadi cekaman akut dan berpotensi untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, terutama yang masuk melalui jaringan perifer seperti kulit. Selain distribusi lekosit, reaksi sistem pertahanan tubuh terhadap cekaman akut juga termasuk distribusi sel Natural Killer (NK) yang senyawa kimianya berfungsi sebagai

45 15 pembunuh bagi agen-agen asing yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel NK ini berkurang di dalam darah dan paru-paru, namun jumlahnya tidak berkurang di limpa (Kanemi et al. 2005). Cekaman Kronis Dhabhar (2000) menunjukkan bahwa cekaman kronis memberikan respons berupa pengurangan distribusi lekosit dari kulit kembali ke dalam darah, hal ini merupakan kebalikan dari respons yang ditunjukkan oleh adanya cekaman akut. Figuireido et al. (2003) menunjukkan bahwa cekaman kronis juga menghasilkan respons berupa sensitisasi aksis HPA terhadap sumber cekaman (biasanya terjadi pada cekaman yang sama dan berulang). Sensitisasi seperti ini merupakan contoh bahwa cekaman kronis dapat memicu dan mempertahankan perubahan pada beberapa proses biokimia yang berujung pada implikasi klinis (Melia & Duman 1991). Perubahan parameter fungsi-fungsi hormonal, sistem pertahanan tubuh, metabolisme, dan sistem kardio vaskular akibat adanya cekaman kronis dapat dirumuskan menjadi sebuah indeks yang dikenal dengan indeks beban allostatic yang dapat menunjukkan kemungkinan cekaman kronis tersebut mendorong terjadinya penyakit (Juster et al. 2009). Penyakit-penyakit pada Badak Selain suspect antraks pada kasus kematian badak jawa di tahun 1980an, informasi mengenai agen infeksius yang mengancam kehidupan badak jawa belum dapat diketahui dengan pasti. Salah satu telaah yang pernah dilakukan pada badak jawa adalah telaah endoparasit yang menemukan berbagai parasit cacing (Strongyloides spp, Bunostomum spp, Trichostrongylus spp, Fasciola spp, Schistosoma spp) dan protozoa (Balantidium spp, Entamoeba spp, Cryptosporidium spp, Cycloposthium spp) dalam feses badak (Tiuria et al. 2006). Sebagai pembanding, beberapa penyakit yang mungkin menyerang badak di populasi alaminya terdiri dari: penyakit darah (parasit protozoa Theileria sp dan Trypanosoma sp), penyakit infeksius (bakteri, fungi, virus), penyakit parasitik (helminth), penyakit reproduksi (brucellosis, vibriosis), luka, leptospirosis (Jessup et al. 1992), infeksi Cowdria sp (Kock et al. 1992), dan defisiensi nutrisi dalam kasus translokasi/pemindahan badak (Clausen 1981; Jonyo 2003).

46 16 Penyakit yang ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang lebih beragam dibandingkan dengan penyakit pada populasi alami dan ini mengakibatkan kerugian material bagi pengelola kebun binatang serta kerugian ekologis berupa berkurangnya jumlah badak akibat kematian. Hal ini disebabkan oleh stress dan kondisi habitat buatan manusia yang berbeda dengan habitat alami badak. Penyakit yang umum ditemukan pada badak dalam penangkaran/kebun binatang antara lain: lingual abscess (Hatt et al. 2004), retak pada kuku, laminitis, chronic foot disease (Jacobsen 2005), lesio pada mata, katarak (Sanborn 1908), aneurism pada arteri koroner (Kock et al. 1991), hemolitik anemia (Jessup et al. 1992), degenerasi/nekrosa dengan fibrosis pada purkinje myokardial (Kock 1996), ulcer pada kornea (Gandolf et al. 1999), dermatitis eksudatif (Völlm et al. 2000), dan leukimia limfoblastik akut (Paglia & Radcliffe 2000). Dari beberapa catatan yang ada, dapat dilihat bahwa penyakit pada badak yang hidup liar berbeda dengan penyakit pada badak di kebun binatang. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pada agen penyebab penyakit, lingkungan, dan juga kondisi fisiologis badak itu sendiri. Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak muncul jenis-jenis penyakit baru yang menginfeksi manusia maupun hewan termasuk satwa liar. Beberapa contoh dari patogen baru yang muncul adalah: Virus Hendra, Virus Nipah, dan Virus West Nile (Daszak et al. 2004). Bidang medis konservasi ini menjadi bagian penting dalam proses antisipasi penyakit yang dapat muncul dan menginfeksi populasi satwa liar. Infeksi penyakit pada satwa liar akan menambah rumit upaya konservasi beberapa spesies, karena infeksi penyakit ini dapat menyebabkan kematian dan bahkan dapat meningkatkan risiko kepunahan pada spesies-spesies tertentu. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Deem et al. (2001), Wildlife Conservation Society (WCS) telah mengidentifikasi pentingnya bidang medis konservasi ini dan telah mempelopori prosedur pemantauan kesehatan pada beberapa spesies satwa liar seperti: Llama guanaco (Lama guanicoe) dan orangutan (Pongo pygmaeus). Pengaruh Perubahan Iklim Iklim pada skala mikro memberikan pengaruh pada fisiologi hewan seperti dipelajari oleh Suprayogi et al. (2006) yang menunjukkan bahwa pola respirasi pada kambing sangat dipengaruhi oleh tingkat kelembaban udara. Pada skala global, perubahan iklim akan menyebabkan perubahan pada dinamika vegetasi akibat

47 17 meningkatnya kadar CO 2 di atmosfir dan juga berubahnya keseimbangan air di dalam tanah (Huxman & Scott 2007). Korelasi antara perubahan iklim dan dinamika vegetasi ditunjukkan pula pada studi yang dilakukan oleh Williams et al. (2002) yang mempelajari perubahan vegetasi dan kondisi atmosferik pada zaman es. Perubahan struktur vegetasi ini dapat menimbulkan berbagai konsekuensi bagi badak jawa, satwa herbivora yang menggantungkan sumber pakan sepenuhnya dari vegetasi yang ada. Perubahan iklim menuju kekeringan seperti ini dapat mengakibatkan perubahan pada jenis-jenis tumbuhan dominan yang kemudian berpotensi pula untuk mengancam keberadaan jenis tumbuhan yang dibutuhkan oleh badak. Apabila jenis tumbuhan pakan badak berkurang akibat perubahan iklim seperti ini, maka defisit pakan akan dialami oleh badak sebagai konsekuensinya. Salah satu contoh kepunahan megaherbivora akibat perubahan iklim adalah kepunahan mammoth di Pulau Wrangle Siberia akibat hilangnya padang rumput serta berbagai tumbuhan yang menjadi bahan makanan mammoth di lokasi tersebut (Martin & Stuart, 1995). Pemodelan yang dilakukan oleh Permadi (2008) menunjukkan bahwa perubahan iklim berpotensi untuk merubah semenanjung Ujung Kulon menjadi daerah yang lebih kering dengan ketersediaan air yang terbatas. Pemodelan ini menunjukkan bahwa ada risiko kekeringan yang dapat melanda habitat badak di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon akibat perubahan iklim. Risiko kekeringan merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat bahwa Cameron & Perdue (2005) menunjukkan cekaman kronik yang terjadi pada hewan coba dapat timbul akibat kekeringan atau kelangkaan air (water avoidance stress), dengan demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah ketersediaan air yang lebih sedikit pada musim kemarau akan memberikan suatu tekanan pada badak jawa. Tanah dan lumpur juga merupakan komponen penting di dalam ekosistem habitat badak karena dari komponen ini badak kerap memperoleh mineral untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sehari-hari. Seperti halnya ingesti pakan dan air, badak jawa memiliki kebiasaan untuk memakan lumpur (salt licking) sebelum dan/atau setelah berkubang sebagaimana yang diamati pada beberapa sesi pemantauan perilaku yang dilakukan di Taman Nasional Ujung Kulon (Data Taman Nasional Ujung Kulon & WWF 2010). Kualitas mineral serta kontaminasi yang ada pada tanah/lumpur juga berpotensi untuk memberikan dampak terhadap mekanisme peny rapan nutrien pada badak jawa.

48 18 Mekanisme fisiologis terhadap cekaman berupa kekeringan Ketersediaan air dan aktifitas berkubang pada badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan beberapa syarat penting untuk keberlangsungan hidup badak jawa di habitat alaminya di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Banyak peneliti badak terdahulu (Schenkel, Hoogerwerf, Van Strien, Sajudin, dan Setiawan) mencatat bahwa badak berkubang lebih dari satu kali dalam sehari dan ditambah dengan aktifitas berendam di sungai maupun di laut (pesisir pantai). Termoregulasi Aktifitas berkubang ini erat kaitannya dengan upaya termoregulasi yang dilakukan badak untuk menjaga keseimbangan (homeostasis) tubuh mereka. Termoregulasi merupakan suatu proses yang terkait dengan perilaku hewan untuk berusaha mempertahankan suhu tubuh yang optimal. Suhu yang terlalu tinggi akibat proses metabolisme ataupun suhu tubuh yang terlalu rendah akan mengkibatkan ketimpangan dalam berbagai proses fisiologi tubuh hewan (fungsi dan kinerja berbagai protein) yang akhirnya mendorong kondisi yang tidak seimbang dalam fisiologi hewan tersebut. Badak memiliki kulit berlipat dengan lapisan subkutan yang mengandung banyak pembuluh darah. Lipatan kulit dan pembuluh darah tersebut berfungsi dalam proses termoregulasi pada badak (Endo et al. 2009). Kondisi kulit Kelembaban kulit pada badak menjamin kecukupan kadar air yang diperlukan untuk menjaga kulit agar dapat mempertahankan struktur dan berfungsi secara optimal. Struktur kulit badak (badak afrika) disajikan pada Gambar 3, sementara gambaran kulit yang tidak normal (mengalami lesio) disajikan pada Gambar 4. Kekurangan kadar air pada kulit dapat menyebabkan terjadinya lesio berupa retak/celah pada kulit akibat berkurangnya kelenturan kulit saat kelembaban tidak mencukupi. Baron (2006) menjelaskan bahwa lesio ini memberikan stimulasi pada reseptor syaraf pada permukaan kulit yang kemudian mengirimkan sinyal rasa nyeri akibat terjadinya perubahan molekuler pada neuron yang mengakibatkan meningkatnya sensitifitas neuron tersebut. Sensitifitas neuron ini kemudian menghantarkan sinyal rasa nyeri ke bagian hipotalamus pada otak.

49 19 Gambar 3. Struktur kulit badak afrika dalam keadaan normal yang terdiri dari lapisan keratin pada bagian terluar. Pada gambar ini terlihat lapisan keratin mengelupas dan digantikan dengan lapisan yang baru. Sumber: Munson et al. (1998).

50 20 Gambar 4. Histopatologi pada epidermis badak (badak afrika) yang menunjukkan adanya degenerasi hidroskopik, dan pembentukan celah/retakan pada kulit. Tidak ada inflamasi ditemukan pada lesio ini. Pewarnaan HE, bar = 100 mikron. Sumber: Munson et al. (1998). Kekurangan kadar air pada kulit mengakibatkan kondisi kulit kurang fleksibel/elastis sebagai stimulus bagi sekumpulan sel-sel syaraf yang dikenal dengan istilah neuron pada permukaan kulit yang berfungsi sebagai reseptor mekanis. Woolf & Mannion (1999) menjelaskan bahwa stimulus seperti ini mengakibatkan buka tutup kanal ion yang menyebabkan perubahan kadar ion Na++ dan Cl--pada lingkungan ekstrasel dan intrasel karena adanya aliran ion masuk ataupun keluar. Lebih lanjut Stuart et al. (1997) menjelasakan bahwa perbedaan ion seperti ini (depolarisasi) mengakibatkan terjadinya perubahan resting potential (-70 mv) menjadi action potential yang menjalar sepanjang neuron. Karena adanya insulasi myelin bagian akson pada sel neuron, maka lompatan elektrik action potential ini terjadi pada node of Ranvier yang tidak terlapisi oleh myelin. Node of Ranvier merupakan satu bagian dari jaringan syaraf vertebrata berbentuk nodus (simpul) yang tidak terlindungi oleh lapisan insulasi myelin sehingga memungkinkan bagi aliran listrik ringan untuk melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya. Lompatan elektrik seperti ini memungkinkan action potential untuk menjalar sepanjang serabut syaraf (axon) menuju ujung neuron yang dikenal sebagai bagian pre synaptic. Bagian ini

51 21 mengandung rongga di dalam sel yang disebut vesikula berisi zat-zat kimia yang dikenal dengan istilah neurotransmitter yang terbentuk dari senyawa asam amino ataupun mono-amina. Sinapsis yang merupakan jembatan antar serabut syaraf dari sel syaraf perifer seperti ini terdapat di bagian dorsal horn pada tulang belakang atau di dalam sistem susunan syaraf pusat. Action potential yang mencapai bagian ini kemudian memicu pergerakan vesikula ke arah membran sel, peleburan vesikula pada membran yang mengakibatkan terlepasnya neurotransmitter ke celah synapse (synaptic cleft) untuk mempengaruhi kerja neuron berikut (neuron post-synaptic). Nyeri pada kulit akibat kekeringan berbeda dengan rasa nyeri akut yang memberikan stimulus dalam intensitas tinggi (seperti tusukan dan panas) yang ditanggapi oleh neuron A-delta, nyeri pada kulit akibat kekeringan terjadi pada neuron tipe C dalam intensitas rendah yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman pada badak, namun tidak cukup kuat untuk memicu refleks otot. Proses komunikasi antar neuron pada synapse tidak menimbulkan reaksi adrenergik yang mengakibatkan kontraksi otot, tapi menghantarkan signal nyeri dari saraf perifer ke susunan syaraf pusat dengan bantuan neurotransmitter (Woolf & Mannion 1999). Neurotransmitter asetilkolin pada neuron post-synapse melekat pada reseptor asetilkolin yang ada pada membran sel. Melekatnya asetilkolin menyebabkan terbukanya kanal ion Na++ yang mengakibatkan depolarisasi pada neuron pada susunan syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya action potential yang menjalar pada susunan syaraf pusat menuju sistem korteks pada otak (untuk persepsi) dan berlanjut ke sistem limbik (untuk respons). Pada sistem korteks, impulse dari syaraf pusat yang menghantarkan sinyal nyeri dari syaraf perifer bekerja pada bagian sebelum sambungan (pre-synapse) dengan mengeluarkan neurotransmitter (serotonin) yang berfungsi untuk merekam (proses memori) rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan yang terjadi pada bagian kulit. Dalam kondisi seperti ini, bila badak menemukan kubangan dan/atau sumber air untuk melembabkan kulitnya maka stimulus pada reseptor mekanis pada kulit akan berkurang. Sel reseptor akan kembali ke resting potential dan berhenti mengirimkan sinyal nyeri/ketidaknyamanan ke otak. Di otak, serotonin akan mempelajari asosiasi antara kegiatan berkubang atau berendam dengan hilangnya rasa ketidaknyamanan. Hal ini kemudian membentuk pola perilaku terkait dengan pengurangan rasa nyeri dan ketidaknyamanan pada kulit dengan berkubang dan berendam. Selain serotonin, dalam proses interaksi yang rumit neurotransmitter dopamin bekerja dan

52 22 menimbulkan rasa nyaman sebagai bagian dari imbalan kegiatan berkubang dan berendam. Perilaku berkubang merupakan suatu dampak reflektif dari adanya nyeri (Bennet 1999) dan merupakan suatu tindakan mempertahankan diri (self preservation) yang difasilitasi oleh neurotransmitter dopamin dan serotonin pada otak. Dinamika yang terjadi pada ekosistem habitat badak tidak selalu memungkinkan badak untuk dapat segera menghilangkan rasa ketidaknyamanan akibat kekeringan pada kulit. Selama musim kemarau curah hujan jauh berkurang dan menyebabkan berkurangnya sumber air untuk berkubang dan berendam. Dengan berkurangnya sumber air seperti ini, kemungkinan besar badak harus bertahan lebih lama dengan kondisi tidak nyaman akibat kekeringan pada kulit untuk waktu yang relatif lebih lama dibanding pada musim hujan. Rasa tidak nyaman ditambah dengan intensitas kerusakan pada kulit yang makin tinggi menyebabkan impuls nyeri juga makin meningkat intensitasnya disertai meningkatnya durasi dari stimulasi yang terjadi pada reseptor nyeri pada kulit. Kondisi seperti ini menyebabkan otak untuk bekerja menanggapi kondisi yang terjadi dengan aktifasi sistem noradrenergik pada otak yang memicu sekresi hormon norepinefrin (Morilak et al. 2005). Berbeda dengan penghantaran rasa nyeri dari reseptor pada kulit melalui syaraf perifer dan syaraf pusat menuju ke otak yang terjadi dalam waktu yang cepat (hitungan detik), maka dalam menanggapi intensitas serta durasi ketidaknyamanan kekeringan pada kulit stimulasi yang terjadi melewati suatu ambang batas yang kemudian memicu sel-sel neuron pada otak untuk mengeluarkan suatu respons yang berjalan lambat (dalam hitungan jam atau hari) melalui perantara peptida berupa hormon. Dalam kondisi seperti ini sel-sel otak terpicu untuk memproduksi hormon ACTH (Adrenocortocotrophic Hormone). Serotonin yang dikeluarkan oleh neuron pada sistem korteks menginduksi sekresi ACTH dengan melekat pada reseptor serotonergik pada membran sel (Bruni et al. 1982) serta mendorong aktifasi caraka Inositol triosfosfat (IP3) yang dihasilkan dari hidrolisis fosfatidil inositol pada membran sel. Aktifasi caraka IP3 mengakibatkan mobilisasi ion Ca++ dari retikulum endoplasmik serta badan golgi sebagai depo ion Ca di dalam sel yang bila digabung dengan kalmodulin akan mengaktifasi berbagai protein kinase yang akhirnya mengaktifasi berbagai fungsi enzim dan protein dengan fosforilasi (Berridge 1984). Kalmodulin dan ion Ca++ mendorong aktifasi kalcineurin, sebuah protein fosfatase yang bergantung pada kalmodulin dan ion Ca++ dan mengatur aktifitas kanal ion, neurotransmitter dan juga transkripsi hormon ACTH (Yakel et al. 1997). Sekresi

53 23 ACTH didorong juga dengan adanya hormon Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang melekat pada reseptor pada membran sel neuron pada bagian otak yang memproduksi ACTH. ACTH yang beredar di dalam darah mencapai target organnya yaitu kelenjar adrenal yang berada di daerah ginjal. Sebagai kelenjar endokrin, adrenal memiliki sel-sel yang bertugas untuk mentranskripsi hormon berupa protein adrenalin (epinephrin) dan juga glukokortokoid kortisol yang terkait erat dengan kondisi cekaman (stres). ACTH melekat pada reseptor pada membran sel adrenal dan berfungsi sebagai agonis yang memicu hidrolisis fosfatidil inositol menjadi IP3 (Jolles et al. 1980). IP3 kemudian memicu serangkaian reaksi yang terdiri dari: mobilisasi ion Ca++ (dari retikulum endoplasmik dan golgi) yang selanjutnya bersama calmodulin mengaktifasi protein calcineurin dengan fosforilasi yang berujung pada transkripsi, translasi dan sekresi hormon-hormon cekaman dari sel-sel kelenjar adrenal. Kortisol yang muncul akibat adanya cekaman, dan hormon tiroksin yang senatiasa dibutuhkan dalam kehidupan sel bekerja secara sinergis dalam memberikan keluaran berupa peningkatan metabolisme lipid (trigliserida) di hati untuk kemudian digunakan dalam proses glukoneogenesis yang terfasilitasi oleh meningkatnya aktifitas (ekspresi) berbagai enzim. Lipid yang terakumulasi kemudian mengalami lipolisis dan terurai menjadi asam lemak sebagai bahan baku dalam proses glukoneogenesis. Pada hierarki terkecil keseimbangan dalam sistem tubuh badak jawa berjalan pada tingkat seluler dengan terjaganya metabolisme sel untuk mempertahankan berbagai fungsi sel sebagai bagian dari jaringan, sistem, dan tingkat individu. Kondisi lapar sel merupakan kondisi dimana kebutuhan metabolisme sel tidak dapat terpenuhi dalam periode waktu yang cukup lama dan melampaui kemampuan sel untuk bertahan. Energi yang digunakan oleh sel untuk menjalankan fungsi normal berasal dari ATP yang disintesis dengan bantuan senyawa berenergi tingi NADH hasil reaksi kimia dalam siklus Kreb yang terjadi di mitokondria. Siklus Kreb memerlukan asupan substrat berupa gula yang berasal dari karbohidrat, protein, maupun lemak yang memasok reaksi-reaksi tertentu dalam siklus tersebut untuk memastikan siklus berjalan dan menghasilkan NADH dan air sebagai produknya. Kondisi lapar pada sel didefinisikan sebagai defisit berbagai senyawa yang dibutuhkan dalam metabolisme sel (glukosa) dan juga defisit dari berbagai growth factor, caraka yang

54 24 diperlukan dalam proses signalling untuk mendorong berbagai fungsi dan respons selular. Penelitian yang dilakukan Soto-Gamboa et al. (2009) menunjukkan adanya korelasi antara kadar ACTH dan kadar hormon kortisol di dalam darah. Selain itu, penelitian yang sama juga menunjukkan adanya korelasi antara kadar hormon kortisol dalam darah dengan kadar hormon kortisol beserta metabolitnya dalam feses. Wasser et al. (2000) menunjukkan bahwa metabolit hormon kortisol yang dapat ditemukan pada feses terdiri dari: kortisol, kortikosteron, 11-deoksikortisol, deoksikortikosteron, kortison, prednisolon, progesteron, dan prednison. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa kortikosteron merupakan metabolit yang lazim dijumpai pada berbagai jenis spesies. Defisit Glukosa Monosakarida glukosa merupakan nutrien penting dalam metabolisme karena glukosa merupakan gula sederhana hasil dari pemecahan karbohidrat dalam metabolisme hewan dan merupakan sumber utama produksi NADH yang digunakan dalam sintesa ATP, kebutuhan energi di dalam sel. Penyerapan karbohidrat di dalam usus halus terjadi berkat bantuan protein khusus SGLT1 yang berfungsi sebagai cotransporter yang memerlukan ion Na+ dan glukosa untuk dapat menjadi pintu gerbang terserapnya karbohidrat di dalam usus yang berada pada dinding usus (Dyer et al. 2002). Lebih lanjut Mace et al. (2007) menjelaskan bahwa glukosa masuk ke dalam sel dari lingkungan ekstraseluler melalui protein transport khusus GLUT2 pada membran sel yang berfungsi sebagai kanal masuknya molekul glukosa ke dalam sel dengan bantuan Na. Tanpa adanya protein kanal ini, molekul glukosa yang tidak larut dalam lemak akan mengalami kesulitan untuk menembus membran sel dan masuk ke dalam lingkungan intrasel. Protein transpor ini bekerja secara sinergis dengan resptor insulin yang juga berada pada membran sel untuk membantu penyerapan molekul glukosa ke dalam sel. Hormon insulin sebagai caraka yang disekresikan oleh sel insula (sel β pada pankreas) berfungsi sebagai pemicu terbukanya GLUT2 untuk memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel. Pada sel paru glukosa merupakan substrat yang dapat mencegah kematian sel dengan meningkatkan produksi ATP (Allen & White 1998). Sel yang mengalami defisit glukosa ditandai dengan meningkatnya aktifitas dan produksi enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) di dalam sitosol seperti yang dinyatakan oleh Allen & White

55 25 (1998). Peningkatan aktifitas dan produksi enzim ini merupakan mekanisme internal sel untuk meningkatkan laju konversi piruvat menjadi laktat (atau sebaliknya) dan memastikan proses kimia dalam siklus Kreb dapat terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan sel. Namun demikian, tanpa adanya glukosa, sel harus menggunakan substrat lain yaitu lemak yang dirubah menjadi asam lemak dan Asetil-CoA, serta protein yang diurai menjadi asam amino yang dapat digunakan di dalam siklus Kreb. Defisit glukosa mengakibatkan meningkatnya AMP di dalam sel yang kemudian mendorong fosforilasi beberapa enzim dan mengaktifasi sejenis AMP kinase. AMP Kinase ini kemudian mendorong terjadinya pemisahan antar sel (sel detachments) yang ditandai dengan adanya protein G-aktin. Aktifitas AMP Kinase ini menghambat fosforilasi Focal Adhesion Kinase (FAK) yang berperan dalam perlekatan antar sel dan juga menghambat fosforilasi Protein Kinase C (Suzuki et al. 2003). Kondisi lapar sel (defisit glukosa di dalam sel) mengakibatkan menurunnya rasio ATP:AMP di dalam sel yang kemudian mendorong mekanisme metabolisme tubuh dan memobilisasi sel-sel lemak untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif. Mobilisasi dan penguraian lemak mengakibatkan kadar asam lemak bebas menjadi tinggi di dalam darah dan ekstrasel, dan asam lemak ini kemudian berfungsi sebagai caraka yang mengaktifasi reseptor α dengan bantuan peroxisome proliferator. Aktifasi reseptor ini kemudian mendorong ekspresi isoform dari piruvat dehidrogenase kinase (PDK4) yang kemudian menghambat aktifitas enzim kompleks piruvat dehidrogenase yang berakibat pada penumpukan asam laktat dan alanin sebagai bahan baku glukoneogenesis (Wu et al. 2001). Mekanisme lainnya terjadi dengan perlekatan antagonis Basilen Blue yang melekat pada reseptor P2 yang berperan sebagai reseptor bagi messenger yang memicu ekspresi dan keluarnya sitokrom c dari mitokondria dalam kondisi lapar glukosa. Sitokrom c ini mendorong peningkatan ekspresi Heat Shock Protein (HSP), enzim kaspase-2, GRP- 75 dan GRP-78 yang diatur oleh kadar glukosa. Dengan melekatnya antagonis pada reseptor P2, maka sitokrom c tidak keluar dari mitokondria dan peningkatan ekspresi protein dan enzim lainnya tidak terjadi (Cavaliere et al. 2001). Dalam kondisi lapar (defisit glukosa), sel dapat berhenti untuk berkembang (replikasi) dan bahkan dapat terdorong untuk mengalami apoptosis/kematian sel. Rasio ATP:AMP serta kadar glukosa yang rendah di dalam sel menyebabkan aktifasi reseptor kematian sel yang selanjutnya mengaktifasi enzim kaspase 8 dan

56 26 pengiriman signal untuk mematikan sel. Aktifasi reseptor kematian sel dihambat oleh aktifasi suatu kelas protein kinase ARK5 yang ekspresinya didorong oleh aktifasi protein Akt. Growth factors dan Fosfatidil inositol 3 kinase merupakan caraka yang diterima oleh protein Akt tersebut dan merupakan bagian dari mekanisme pertahanan hidup sel (Suzuki et al. 2003). Lapar Serum Selain glukosa, sel juga membutuhkan berbagai pembawa pesan (caraka) untuk memastikan keberlangsungan hidup dan fungsi sel secara normal. Caraka ini terdiri dari berbagai senyawa seperti epidermal growth factor (EGF) maupun faktorfaktor pertumbuhan lainnya. Secara in vitro, kondisi lapar serum dapat diciptakan dengan menggunakan media pertumbuhan yang mengandung Fetal Calf Serum (FCS) atau Fetal Bovine Serum (FBS) sebagai nutrisi sel yang kandungannya dapat dikurangi untuk menciptakan kondisi lapar tersebut. Kondisi lapar serum pada sel dapat menimbulkan hambatan pada pertumbuhan bahkan kematian sel melalui berbagai mekanisme. Yamada et al. (1996) menunjukkan bahwa pengurangan nutrisi pada media pertumbuhan sel (medium Eagle termodifikasi) mengakibatkan aktifasi suatu reseptor yang dikenal sebagai AT2 (Angiotensin receptor) pada membran sel yang kemudian mendorong ekspresi dari protein angiotensin II yang mendorong defosforilasi pada kinase MAP (Mitogen-activated). Dengan defosforilasi seperti ini, enzim MAP kinase menjadi inaktif dan sel tidak dapat melakukan pembelahan (replikasi), dan dengan demikian kondisi lapar serum ini mengakibatkan hambatan pada pertumbuhan yang dapat berakhir dengan terjadinya apoptosis sel tersebut. Salah satu penyebab terjadinya hambatan pertumbuhan sel akibat lapar serum adalah tidak adanya faktor-faktor pertumbuhan (EGF dan Insulin-like Growth Factor) yang merupakan caraka yang diterima oleh reseptor EGF pada membran sel. Melekatnya EGF pada membran sel memicu serangkaian reaksi yang merupakan fosforilasi (aktifasi) berbagai enzim tertentu termasuk MAP kinase yang mendorong faktor transkripsi dan aktifasi protein adaptor Nck yang menghubungkan reseptor Tirosin kinase dengan Pak-1 yaitu suatu kinase serin-threonin yang berperan dalam pembentukan aktin dari sitoskeleton (Galisteo et al. 1996). Tanpa adanya faktor pertumbuhan (EGF) yang melekat pada reseptor yang ada di membran sel, maka proses pertumbuhan sel tidak dapat berjalan. Peranan reseptor tirosin kinase terlihat juga dari hasil penelitian Zeng et al. (2001) pada sel endothel HUVEC (Human

57 27 Umbilical Vein Endothel) yang berinteraksi dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). VEGF sebagai caraka melekat dan mengaktifasi dua jenis reseptor tirosin kinase pada membran sel yaitu: Flt-1 dan KDR yang memiliki mekanisme respons yang berbeda. Aktifasi reseptor KDR mendorong proliferasi sel, sementara aktifasi Flt-1 mendorong respons Fosfatidil Inositol yang bersifat sebagai inhibitor terhadap proliferasi yang dipicu oleh aktifasi reseptor KDR. Aktifasi KDR sendiri berujung pada mekanisme mobilisasi Ca+ intrasel, syarat bagi berbagai fungsi sel seperti pertumbuhan, transkripsi, dan juga kehidupan sel secara umum. Tidak adanya growth factor yang melekat pada reseptor dalam kondisi lapar serum mengakibatkan tidak adanya signal yang mendorong proliferasi sel dan/atau ekspresi protein-protein tertentu yang esensial dalam menjalankan fungsi sel yang dapat berujung pada kematian sel (Vaux & Korsmeyer 1999). Ketiadaan caraka seperti growth factor pada kondisi lapar serum tidak hanya mematikan beberapa proses seluler namun juga mengaktifasi ekspresi beberapa gen seperti gen sdr (starvation deprivation response) yang ekspresinya meningkat dalam kondisi lapar serum, namun menurun dengan adanya Epidermal growth factor-egf (Gustincich & Schneider 1993) dan protein SRBC yang memiliki 43% kesamaan dengan sdr (Izumi et al. 1997). Protein SRBC dapat berikatan dengan protein kinase C dan memodifikasi (menghambat) fungsi PKC dalam perkembangan sel. Kondisi lapar serum juga dapat menstimulasi ekspresi ADP ribose sintetase yang menyebabkan tingginya kadar ADP-ribosa di dalam sel yang berujung pada fragmentasi DNA (Wielckens et al. 1983). Ambang Batas dan Proses Perbaikan dalam Kondisi Lapar Sel Lapar sel mengakibatkan kondisi sel yang dapat berakibat pada kematian sel berupa apoptosis ataupun nekrosa yang didorong oleh berbagai caraka seperti Fas Ligand, Tumor Necrosing Factor (TnF) dan lain-lain yang memicu rangkaian reaksi yang berujung pada kematian sel. Namun demikian, sel memiliki mekanisme pertahanan hidup yang memungkinkan sel untuk menghambat reaksi berantai tadi dan mencegah kematian sel. Mekanisme pertahanan hidup sel ini dijelaskan oleh Suzuki et al. (2003) dan disajikan dalam Gambar 5. Berdasarkan diagram ini, maka ambang batas terjadinya kematian sel sangat ditentukan oleh kemampuan aktifitas enzim caspase-3 untuk memulai proses kematian sel. Aktifitas enzim ini juga dipengaruhi oleh aktifitas protein ARK5 yang menunjukkan bahwa peranan konsentrasi caraka

58 28 kematian sel dan juga caraka growth factor pemicu aktifitas ARK5 merupakan faktor penentu ambang batas kemampuan sel untuk bertahan hidup (mencegah kematian sel). Pemisahan sel (cell detachments) dan kematian sel didorong oleh melekatnya caraka kematian sel berupa TNF dan Fas Ligand. Ekspresi protein caspase yang merupakan komponen penting pemicu kematian sel dapat dihambat oleh aktifitas protein ARK5 yang diaktifasi melalui serangkaian reaksi yang diawali dengan melekatnya caraka berupa growh factor dan enzim kinase Fosfatidil Inositol 3 (PI3). Proses perbaikan sangat bergantung pada proses masuknya gula yang dibutuhkan oleh metabolisme sel ke dalam lingkungan intrasel. Proses ini dapat terjadi berkat adanya aktifitas protein GLUT2 dan SGLT 1 yang berperan dalam transport glukosa dengan bantuan ion Na+, serta protein GLUT5 yang berperan dalam transport fruktosa ke dalam sel (Harmon & Macleod 2001). Setelah molekul monosakarida masuk ke dalam lingkungan intrasel, maka aktifitas enzim heksokinase diperlukan untuk mengubah glukosa menjadi glukosa-6-fosfat melalui proses fosforilasi. Pada hewan herbivora monosakarida yang didapat dari penguraian polisakarida dari tumbuhan adalah fruktosa, oleh karena itu peranan protein transport GLUT5, GLUT2, dan berbagai enzim sangat diperlukan dalam proses transpor fruktosa ke dalam lingkungan intrasel serta merubah dan mengurai molekul fruktosa menjadi piruvat yang merupakan salah satu bahan baku yang diperlukan dalam siklus Krebs. Selain interaksi ion-ion dan protein tertentu, dalam proses metabolisme lainnya interaksi antar hormon merupakan kunci dari keseimbangan metabolisme karena hormon-hormon tersebut berinteraksi dan berfungsi sebagai pembawa pesan untuk memastikan proses perbaikan ataupun proses perkembangan sel dapat terus berlangsung. Hal ini terjadi dalam proses respons terhadap cekaman di mana hormon kortisol memainkan peran yang penting bagi hewan untuk bertahan dalam kondisi tersebut.

59 29 Peranan dan Interaksi Hormon Kortisol dan Tiroksin sebagai Caraka Komunikasi antar sel dalam konteks lapar sel, kebutuhan hidup, dan kebutuhan sel untuk bertahan hidup difasilitasi oleh berbagai caraka berupa hormon seperti tiroksin (hormon tiroid T 4 ) dan hormon yang berhubungan dengan kondisi cekaman (adrenalin, kortisol). Hormon tiroid merupakan hormon yang berperan dalam berbagai proses metabolisme terutama yang berhubungan dengan pertumbuhan. Hormon tiroid larut di dalam lemak sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel dan masuk ke dalam nukleus untuk mendorong transkripsi enzim-enzim yang bersifat oksidatif fosforilatif. Enzim-enzim ini merupakan komponen penting dalam pembentukan ATP, modal utama kehidupan sel dan menempatkan peranan hormon tiroksin sebagai suatu hormon yang esensial untuk kehidupan sel. Gambar 5. Rangkaian reaksi yang dipicu oleh kondisi lapar sel (menurunnya kadar gula dalam sel) yang berujung pada pemisahan sel (cell detachments), dan kematian sel. Sumber: Suzuki et al. (2003), Wu et al. (2001), dan Cavaliere et al. (2001). Sementara itu kortisol merupakan hormon yang sekresinya diatur oleh corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipothalamus dan merupakan suatu respons terhadap cekaman metabolik seperti dalam kondisi lapar sel. CRH

60 30 merupakan caraka yang melekat pada membran sel kelenjar adrenal memicu ekspresi dan sekresi hormon kortisol. Kortisol kemudian memainkan peranan penting dalam metabolisme lipid, suatu kondisi yang terpicu oleh kondisi lapar sel. Berbeda dengan tiroksin, hormon kortisol bukan merupakan kompenen esensial dalam kehidupan sel, melainkan bagian dari mekanisme yang diperlukan oleh sel untuk bertahan hidup dalam kondisi cekaman metabolik seperti kelaparan, keberadaan zat hepatotoksin, dan cekaman lainnya (Helen & Brindley 1978). Penelitian yang dilakukan oleh Garg & Chander (1997) menunjukkan tingginya kadar hormon kortisol pada plasma darah kerbau yang mengalami cekaman berupa torsio uteri. Tingginya kadar hormon kortisol diiringi dengan rendahnya kadar hormon tiroksin yang disebabkan oleh adanya efek inhibitori kortisol terhadap sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Keberadaan kortisol ini dikaitkan juga dengan adanya kondisi lapar akibat torsio uteri yang menyebabkan anoreksia pada hewan tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan pada hati tikus, Helen & Brindley (1978) menunjukkan bahwa kortisol mengakibatkan peningkatan pada biomasa liver, dan peningkatan trigliserida pada plasma darah. Peningkatan kadar trigliserida ini terjadi akibat peranan hormon kortisol dalam meningkatkan proses lipolisis dan menurunkan esterifikasi asam lemak. Dalam penelitian yang sama hormon tiroksin juga berperan dalam peningkatan kadar trigliserida dalam darah dengan meningkatkan sintesa trigliserida dari gliserol fosfat. Kortisol juga memiliki peranan langsung maupun tidak langsung dalam meningkatkan aktifitas enzim fosfatida fosfohidrolase, enzim yang berperan dalam sintesa dan akumulasi trigliserida pada hati. Hormon kortisol seperti yang ditunjukkan oleh Nessmith et al. (1983)- memilki peranan dalam meningkatkan aktifitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase yang berperan dalam produksi NADPH suatu senyawa berenergi tinggi yang biasanya dihasilkan siklus Krebs. Kerja sinergi kortisol dan tiroksin menghasilkan keluaran berupa peningkatan aktifitas enzim yang disertai dengan peningkatan lipid pada hati. Bila bekerja sendirian tiroksin menghasilkan peningkatan lipid pada hati dan hanya menunjukkan peningkatan kecil pada aktifitas enzim, sementara kortisol sendiri hanya memberikan keluaran berupa peningkatan aktifitas enzim. Selain meningkatkan metabolisme lipid dalam kondisi lapar sel, kortisol dan tiroksin juga berperan dalam mendorong penguraian otot menjadi asam amino alanin, senyawa yang diperlukan untuk mempertahankan proses dalam siklus krebs saat kadar monosakarida menjadi

61 31 rendah dalam kondisi lapar sel. Sebaliknya, kedua hormon ini memiliki fungsi dalam meredam pelepasan asam amino glutamin dari sel otot tersebut (Karl et al. 1976). Interaksi antara sistem endokrin dengan sistem tanggap kebal telah dipelajari pada sistem endokrin hormon glukokortikoid (termasuk kortisol) yang memberikan pengaruh pada sistem tanggap kebal dengan berfungsi sebagai caraka untuk memicu perubahan pada fungsi sel-sel limfoid seperti sel T (Kelley 1988). Dalam keadaan lain hormon glukokortikoid memiliki kemampuan untuk memicu apoptosis pada sel leukimia yang berasal dari sel T dengan cara berperan dalam proses fragmentasi DNA (Bansal et al. 1991). Berbagai ancaman dan gangguan pada keseimbangan sel dapat terjadi akibat dorongan berbagai aspek seperti toksisitas, nutrisi, dan juga faktor cekaman yang kemudian memicu berbagai reaksi hormonal sebagai respon dan upaya sel untuk bertahan hidup. Salah satu ancaman yang mengancam kehidupan herbivora seperti badak adalah konsumsi antinutrisi yang bersifat toksin yang berasal dari tumbuhan jenis Lantana camara. Tumbuhan ini adalah salah satu jenis tumbuhan pakan badak yang mengandung toksin namun juga disukai oleh badak sebagai makanan sehari-hari dengan palatabilitas yang cukup tinggi. Lantana camara sebagai Sumber Bahan Toksin/Antinutrisi Sebagai satwa liar yang sepenuhnya tergantung pada ketersediaan pakan di alam, badak jawa memakan sekitar 27 famili tumbuhan pakan yang ada di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf 1970). Dengan ketersediaan pakan yang ada saat ini, dan ditunjang dengan pengamatan visual menggunakan kamera otomatis pada kondisi fisik badak jawa yang dapat dilihat dalam kondisi normal (tidak kurus), tidak ada indikasi bahwa satwa ini untuk mengalami malnutrisi. Namun demikian, keracunan akibat konsumsi jenis pakan dan anti nutrisi tertentu merupakan salah satu ancaman yang mungkin terjadi pada satwa liar seperti badak jawa. Pengamatan yang dilakukan di lapangan selama lima tahun terakhir menunjukkan adanya jenis tumbuhan yang dapat mendominasi tumbuhan pakan yang tersedia bagi badak jawa. Jenis tumbuhan Lantana camara merupakan salah satu tumbuhan dengan kandungan zat lantaden yang dikenal telah mengakibatkan keracunan pada berbagai hewan ternak (Mandial 2006; Sharma 2006). Secara kualitatif berdasarkan frekuensi ragutan yang ditemukan dalam sensus badak di Taman Nasional Ujung Kulon, tumbuhan ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dimakan oleh badak (Sriyanto et

62 32 al. 1995). Tumbuhan Lantana camara memiliki ciri khas berupa bunga berwarna cerah sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 6. Gambar 6. Tumbuhan perdu Lantana camara di habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon memiliki bunga berwarna cerah. Foto: Ahariyadi WWF Indonesia (2004) Tumbuhan ini merupakan tumbuhan invasif yang memiliki daya tahan lebih tinggi dibandingkan dengan berbagai jenis tumbuhan lainnya, dan berpotensi untuk mengakibatkan ketidakseimbangan di dalam ekosistem (Sharma et al. 2005). Sharma (2006) menyebutkan bahwa ekstraksi dan identifikasi Lantaden A (C 32 H 44 O 5 ) dan Lantaden B (C 33 H 48 O 5 ) sebagai komponen hepatotoksin yang ditemukan dalam tumbuhan Lantana camara telah dilakukan sejak tahun Lantaden diserap melalui saluran pencernaan, namun penyerapan paling optimal terjadi di usus halus. Keracunan lantaden terjadi dalam dua tahap yaitu tahap saluran pencernaan saat toksin keluar setelah tumbuhan dicerna, dan toksin tersebut diserap masuk ke peredaran darah, diikuti dengan tahap hepatik, toksin masuk ke hati dan disertai timbulnya gejala-gejala klinis seperti anoreksia, jaundice, dan fotosensitifitas (Mandial 2006). Keracunan lantaden disebabkan oleh konsumsi tumbuhan Lantana camara tanpa memerlukan metabolisme perantara, dan mengakibatkan kerusakan pada hati (Pass et al. 1979). Konsumsi daun Lantana kering sebanyak 4 g/kg berat badan setiap hari pada ruminansia kecil (kambing) selama 6 hari berturut-turut menyebabkan stasis pada rumen yang merupakan akibat dari menurunnya impuls syaraf karena kerusakan pada hati (Pass et al. 1979). Selain lantaden, tumbuhan

63 33 Lantana cammara juga mengandung zat-zat antinutrisi dari golongan triterpenoid dan flavonoid (Nayak et al. 2008). Hewan-hewan Model dan Pembanding untuk Badak Jawa Dalam kajian-kajian biomedis, penggunaan hewan model lazim dilakukan untuk menganalogikan respons biologis pada manusia. Dalam bidang biomedis hewan, konsep pemilihan hewan model dapat diterapkan untuk melakukan analogi sistem biologis pada satwa langka tanpa harus mengorbankan dan/atau mengancam kehidupan satwa langka tersebut. Kaidah-kaidah pemilihan hewan model meliputi: ketersediaan, kemudahan-kemudahan (perawatan, transportasi, perizinan), kemiripan fisiologis, efisiensi biaya, dan yang terpenting kemiripan respons hewan model dan badak jawa terhadap parameter-parameter nutrisi, dan hormon cekaman. Badak Sumatera (Dicerorhinus bicornis) Secara kekerabatan, badak sumatera dan badak jawa berada dalam famili yang sama yaitu Rhinocerotidae. Hal ini memberikan potensi bagi badak sumatra untuk menjadi analog yang tepat untuk badak jawa. Badak sumatera hidup secara soliter di ekosistem hutan hujan tropis (Strien 1986) dengan pakan alami yang terdiri dari 31 genera tumbuhan dari 13 famili (Strien 1974). Sama halnya dengan badak jawa, badak sumatera juga merupakan browser yang meragut tumbuhan pakan menggunakan bibir bagian atas. Secara anatomis, semua spesies badak merupakan hewan monogastrik dengan sistem pencernaan yang mengandalkan fermentasi dan penguraian selulosa pada sekum (Pough 1989). Penyakit-penyakit seperti: dermatitis dan kecacingan merupakan kasus-kasus yang pernah terjadi pada badak sumatra baik di alam maupun di penangkaran. Penyakit dan/atau gejala klinis seperti ini merupakan hal yang dapat terjadi pada semua spesies badak yang hidup liar, dan berpotensi pula untuk terjadi pada badak jawa. Berdasarkan kekerabatan yang dekat, kesamaan tipologi habitat, kemiripan komposisi pakan, dan juga kemiripan kerentanan terhadap penyakit dan/atau gejala klinis yang bersumber dari nutrisi dan cekaman, maka penggunaan badak sumatra sebagai model untuk badak jawa kemungkinan besar akan memberikan hasil yang akurat.

64 34 Badak India (Rhinoceros unicornis) Berdasarkan filogram pada gambar 7 dapat dilihat bahwa salah satu kerabat dekat dari badak jawa adalah badak India yang dikenal juga sebagai Greater One- Horned Rhinoceros. Studi yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) telah menghasilkan suatu data fisiologi pencernaan tentang tingkat retensi dan penyerapan air serta nutrisi yang terjadi pada spesies badak yang berada di penangkaran. Atas dasar kekerabatan yang dekat, dan juga banyaknya informasi yang telah digali dari spesies badak ini, maka badak india merupakan hewan model yang cukup tepat bagi badak jawa untuk mempelajari dan membandingkan beberapa aspek fisiologi dan perilaku. Kuda (Equus caballus) Berdasarkan telaah genetika dengan membandingkan urutan gen r12s RNA pada DNA mitokondria, tapir dan kuda termasuk kerabat dekat badak (Fernando et al. 2005) sebagaimana disajikan dalam Gambar 7. Sebagai herbivora monogastrik, anatomi sistem pencernaan kuda dan badak memiliki kesamaan dengan adanya sekum (Fowler & Miller 2003) yang berfungsi sebagai reservoir tempat bakteri yang membantu penguraian selulosa (komponen utama tumbuhan) sebagai sumber polisakarida bagi herbivora monogastrik (Raven & Johnson 1989). Demikian pula dengan kebutuhan makronutrien dan mineral, kuda dan badak memiliki kesamaan dengan perbedaan pada kebutuhan vitamin yang larut dalam lemak (Fowler & Miller 2003). Penelitian digesti yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) pada badak india (Rhinoceros unicornis) menajamkan kemiripan fisiologi pencernaan badak dan kuda pada tingkat retensi dan absorpsi nutrisi. Kuda bukan merupakan satwa dilindungi dan sudah dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan, oleh karena itu, induksi stres dan toksisitas dapat dilakukan pada kuda tanpa menimbulkan implikasi dan ancaman bagi kelestarian satwa yang dilindungi. Penggunaan kuda sebagai hewan model untuk badak memenuhi kaidah pemilihan hewan model untuk hewan (orphan). Salah satu hal penting yang perlu dicermati dalam perbandingan ini adalah fakta bahwa palatabilitas pakan badak tidak sama dengan kuda, oleh karena itu penggunaan kuda sebagai model pencernaan untuk badak memerlukan pembuatan formulasi pakan khusus (ransum) untuk menjamin palatabilitas tinggi dan kualitas nutrisi yang memadai untuk kuda.

65 35 Gambar 7. Filogram yang menunjukkan kekerabatan berbagai spesies berdasarkan variasi pada DNA 12S RNA. Angka menunjukkan kedekatan kekerabatan berdasarkan perhitungan parsimoni maksimum. Sumber: Fernando et al. (2005) Kuda dan badak diklasifikasikan dalam ordo yang sama yaitu Perissodactyla (hewan berkuku ganjil) dengan berbagai persamaan anatomis dan fisiologis. Seperti halnya badak, kuda merupakan hewan herbivora yang monogastrik. Komposisi darah kuda dan badak mengandung asam amino tirosin dalam bentuk bebas di dalam sel darah merah, serta memiliki antioksidan yang tinggi. Kedua hal ini menyebabkan kuda dan badak memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan aktifitas, bertahan terhadap penyakit, serta untuk bertahan hidup di lingkungan yang berat (Harley et al. 2004). Uji coba dengan tikus menunjukkan bahwa tyrosin berperan sebagai peredam stres dengan mempengaruhi proses biokimia dalam hippokampus (Hao et al. 2001).

66 36 Analogi Perbandingan Pemilihan hewan model sebagai pembanding untuk badak jawa dilakukan berdasarkan kesamaan-kesamaan fisiologis, anatomis, genetika, dan juga perilaku. Badak merupakan hewan monogastrik yang mengandalkan penguraian selulosa dari makanannya di sekum yang berada di bagian belakang (hindgut fermenter), dan oleh karena itu hewan model yang digunakan dalam kajian pakan harus juga merupakan hewan yang juga merupakan hindgut fermenter seperti badak. Clauss et al. (2005) menunjukkan bahwa kuda dan badak memiliki kemiripan dalam sistem pencernaan, termasuk karakteristik penyerapan nutrien. Kesamaan antar hewan model dipertegas dengan fakta bahwa hewan-hewan dalam ordo Perissodactyla (kuda dan badak) kerap menunjukkan gejala klinis yang serupa. Salah satu contoh kemiripan ini adalah gejala klinis yang dikenal dengan istilah kolik yang disebabkan oleh etiologi yang beragam (Chaffin & Cohen 1999), sementara kolik juga ditemukan pada kasus kematian badak di tahun 1982 (Strien 1982; WWF/IUCN 1982) dan kasus kematian di tahun 2003 di Taman Nasional Ujung Kulon. Hal ini menunjukkan bahwa secara klinis kedua spesies hewan ini memiliki persamaan, walaupun penyebab kolik pada kuda lebih banyak disebabkan karena faktor pemeliharaan, sementara risiko dan penyebab kolik pada badak yang hidup secara alami belum diketahui secara pasti sampai saat ini. Faktor komposisi pakan dan asupan antinutrisi pada hewan-hewan Perissodactyla merupakan aspek yang penting dan berpotensi untuk mengakibatkan perubahan fisiologis. Glade et al. (1984) dalam suatu eksperimen mencatat bahwa perubahan diet berupa komposisi kandungan energi dan protein mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol dalam serum yang merupakan karakteristik yang sama dengan respons hewan terhadap cekaman. Dalam aspek antinutrisi Sharma (2006) menyebutkan bahwa hepatotoksin lantaden dari Lantana camara dalam tingkat asupan tertentu dapat menyebabkan keracunan dengan gejala klinis berupa perubahan perilaku pada hewan ruminansia dan non-ruminansia termasuk kuda. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kuda merupakan hewan model responsif terhadap jenis-jenis cekaman yang dihadapi oleh badak di habitat alaminya terkait keterbatasan pakan dan air. Pemilihan kuda sebagai hewan model pembanding badak jawa untuk telaah diet dan dinamika hormon kortisol merupakan langkah yang logis dan dapat digunakan untuk memastikan bahwa keterbatasan pakan dan air

67 37 merupakan faktor cekaman yang memberikan respons berupa tingkat sekresi hormon kortisol dan perubahan perilaku akibat adanya cekaman tersebut. Tabel 1. Menunjukkan hasil studi komparatif berdasarkan informasi sekunder untuk menunjukkan kesesuaian penggunaan badak sumatra dan kuda sebagai hewan model untuk aspek medis konservasi badak jawa. Berdasarkan klaskifikasi ordo ketiga spesies hewan berada dalam ordo yang sama dengan sistem pencernaan yang sama (monogastrik dengan sekum). Namun demikian kuda memiliki perbedaan dengan badak dari aspek diet dan kebiasaan berkubang. Tabel 1. Daftar karakteristik antara badak jawa dengan hewan model yang digunakan dalam penelitian (kuda dan badak sumatera). Hewan Ordo Diet Sistem Pencernaan Berkubang Badak jawa Perissodactyla Semak (browsing) Monogastrik Ya Badak sumatera Badak india Perissodactyla Perissodactyla Semak (browsing) Rumput dan semak Monogastrik Monogastrik Ya Ya (grazing) Kuda Perissodactyla Rerumputan (grazing) Monogastrik Tidak

68 38 Daftar Pustaka Allen CW, White CB, Glucose modulates cell death due to normobaric hyproxic by maintaining cellular ATP. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 274: Bansal N, Houle A, Melnykovych G, Apoptosis: mode of cell death induced in T Cell leukimia lines by dexamethasone and other agents. FASEB J. 5: Barja I, et al Stress physiological response to tourist pressure in the wild population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry and molecular biology. (104)3-5: Baron R Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective. Nature clinical practice neurology. 2: Bennet RM, Emerging Concepts in the Neurobiology of Chronic Pain: Evidence of Abnormal Sensory Processing in Fibromyalgia. Mayo Clin Proc;74: Berridge MJ, Inositol Trisphosphate and Diacylglycerol as Second messengers. Biochem J 220: Bruni JF, Hawkins RL, Yen SS, Serotonergic Mechanism in the Control of Beta-endorphin and ACTH Release in Male Rats. Life Sci. 30(15): Cameron HL, Perdue MH Stres Impairs Murine Intestinal Barrier Function: Improvement by Glucagon-Like Peptide-2. The journal of pharmacology and experimental therapeutics Vol. 314, No. 1 Carlstead K, Brown JL, Relationships between patterns of fecal corticoid excretion and behaviour, reproduction, and environemental factors in captive black (Diceros bicornis) and white (Ceratohterium simum) Rhinoceros. Zoo biology 24: Cavaliere F, et al Hypoglycaemia-induced cell death: features of neuroprotection by the P2 receptor antagonist basilen blue. Neurochemistry International Volume 38, Issue 3: Chaffin MK, Cohen ND, Diagnostic Assessment of Foals with Colic. Proceedings of the Annual Convention of the AAEP vol 45 Clausen B, Survey For Trypanosomes in Black Rhinoceros (Diceros bicornis). Journal of Wildlife Diseases Vol. 17, No. 4, October, 1981

69 39 Clauss M, et al Studies on digestive physiology and feed digestibilities in captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) Corbett GB, Hill JE The mammals of Indomalayan region: a systematic review. Natural History Museum Publications. Oxford University Press. Cranbrook E, Piper PJ, Short Communications: Javan rhinoceros Rhinoceros sondaicus in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology (1): Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD, Emerging infectious diseases of wildlife threats to biodiversity and humant health. Science 287: Daszak P,. et al Conservation Medicine and New Agenda for Newly Emerging Diseases. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1026: 1 11 Deem SL, et al Conservation Medicine. Annals New York Academy of Sciences pp: Dhabhar FS, Acute stress enhances while chronic stress supresses skin immunity: the roles of stress hormones and leukocyte trafficking. Annals of the New York academy of Sciences vol 917: Neuroimmunomodulation perspectives at the new millenium: Dyer J, et al Molecular characterisation of carbohydrate digestion and absorption in equine small intestines. Equine veterinary journal 34(4): Endo H, et al The morphological basis of the armor-like folded skin of the greater Indian rhinoceros as a thermoregulator. Mammal study 34: Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM Mitochondrial DNA analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF- Columbia University Figueiredo HF, et al Stress integration after acute and chronic predator stress: Differential activation of central stress circuitry and sensitization of th ehypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. Endocrinology 144(12): Firdaus Y, Laporan Climate Modelling. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Badak Jawa. WWF Indonesia Program Iklim dan Energi Fowler ME, Miller RE, Zoo and Wild Animal Medicine 5 th Saunder Publishing, St Louis Missouri. p: 559. edition.

70 40 Galisteo ML, et al The Adaptor protein Nck Links receptor tyrosine kinases with Serine-Threonin Kinase Pak1. The Journal of Biological Chemistry 271(35): Gandolf AR, Willis AM, Blumer ES, Atkinson MW, Management of a Melting Corneal Ulcer in a Greater One-horned Rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Proceedings American Associations of Zoo Veterinarians Garg SL, Chander S, Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations in Buffaloes with uterine Torsions. Buffalo Bullettin Vol 16(4): Glade MJ, Gupta S, Reimers TJ, Hormonal Responses to High and Low Planes of Nutrition in Weanling Thoroughbreds. J Anim Sci : Gustincich S, Schenider C, Serum Deprivation Response Gene Is Induced by Serum Starvation but not by contact Inhibition. Cell Growth and Differentiation vol 4: Hao S, Avraham Y, Bonne O, Berry EM, Separation-induced body weight loss, impairment in alternation behavior, and autonomic tone: effects of tyrosine. Pharmacology Biochemistry and Behavior Volume 68, Issue 2 Hariyadi ARS, Santoso A, Setiawan R, Priambudi A, Automatic Camera Survey for Monitoring Reproductive Pattern and Behaviour of Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia. Proceeding of the 3 rd International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medicine and Conservation (AZWMC) Harley EH, Matshikiza M, Robson P, Weber B, Red blood cell metabolism shows major anomalies in Rhinocerotidae and Equidae, suggesting a novel role in general antioxidant metabolism. Animals and Environments. Proceedings of the Third International Conference of Comparative Physiology and Biochemistry. Pp Harmon DL, MacLeod KR, Glucose Uptake and Regulation By Intestinal Tissues: Implications and whole-body Energetics. J. Anim. Sci. 79(E. Suppl.):E59 E72 Harvell CD, et al Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296(5576): Hatt JM, Wenker C, Castell J, Clauss M, Dietary dan Veterinary Management of a Lingual Abscess in a Geriatric Captive Black Rhino (Diceros bicornis) With Iron storage Disease. European Association of Zoo and Wildlife Veterinarians (EAZWV) 5 th Scientific Meeting. Ebeltoft- Denmark

71 41 Helen PG, Brindley DN, The Effects of Cortisol, Corticotropin, and thyroxine on the synthesis of Glycerolipids and on Phospatidae Phophohydrolase activity in Rat Liver. Biochem J. 176: Hommel PWFM, Landscape ecology of Ujung Kulon (West java). Disertasi universitas Wageningen, Belanda. Hoogerwerf A Udjung Kulon the land of the last javan rhinoceros. E.J. brills. Leiden, Netherlands Huxman TE, Scott RL., Climate Change, Water Dynamics, and Landscape Water Balance. Southwest Hydrology. January-February IRF-WWF Vietnam s javan rhino now extinct. [9 Juni 2012] Izumi Y, et al A protein Kinase Cδ binding Protein SRBC whose expression is Induced by Serum Starvation. The Journal of Biological Chemistry Vol 272(11): Jacobsen J, A Review of Rhino Foot Problem. Fort Worth Zoo Jessup DA, et al Retrospective Evaluation of Leptospirosis In Free-ranging and Captive Black Rhinoceros (Diceros bicornis) by Microscopic Agglutination Titers dan Fluorescence Antibody Testing. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 23(4): Juster RP, McEwen BS, Lupien SJ Allostatic load biomarkers of chronic stress and impact on helath and cognition. Neuroscience and biobehavioural reviews: 1-15 Jolles J, et al Modulation of brain Phosphoinotiside metabolism by ACTHsensitive Protein Phosporylation. Nature vol 289: Jonyo JF, Doctoring Rhinos: Diseases seen in Kenya Kanemi O, et al Acute stress reduces intraprenchymal lung natural killer cells via beta-adrenergic stimulation. Clinical experimental immunology 139(1): Karl IE, Garber AJ, Kipnis DM, Alanine and Glutamine Sythesis and Release from Skeletal Muscle. The Journal of biological Chemistry 251(3): Kelley KW, Cross-talk between the Immune and Endocrine Systems, J Anim Sci. 66: Kloss CB, Further records of the one-horned rhinoceros in the Malay States. Journ. Fed. Malay States Mus. XIII, 1927

72 42 Kock N, et al Coronary Artery Aneurism In Two Black Rhinoceroses (Diceros bicornis) in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 22(3): Kock ND, et al Serological Evidence for Cowdria Ruminantium Infection in Free-ranging Black (Diceros bicornis) dan White (Ceratotherium simum) Rhinoceroses in Zimbabwe. Journal of Zoo and Wildlife Medicine 23(4): Kock ND, Myocardial Purkinje Degeneration and Necrosis with Fibrosis in Free-Ranging Black Rhinoceroses (Diceros bicornis) in Zimbabwe. Journal of Wildlife Diseases, :32(2), 1996, pp : Lekagul, McNeely Mammals of Thailand. Sahakarnbhath Co. Bangkok Mace OJ, Afflek J, Patel N, Kellet GL, Sweet taste recpetors in rats small intestines stimulate glucose absorption through apical GLUT2. Journal of Physiology 582.1: Mandial RK, An Insight into the Toxicological and Medicinal Properties of Lantana camara plant. College of Veterinary and Animal Science Palampur Himachal Pradesh Martin PS, Stuart AJ, Mammoth extinction: two continents and Wrangel island. Radiocarbon Volume 37 no.1: McSweeney CS, Pass MA, The mechanism of ruminal stasis in Lantanapoisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: Melia KL, Duman RS, Involvement of corticotropin releasing factor in chronic stress regulation of the brain noradrenergic system. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. Vol 88: Neurobiology Menargues A, Urios V, Mauri M, Welfare assessments of captive asian elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis) using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): Morilak DA, et al Role of brain norepinephrine to behavioural response to stress. Progress in neuro-psychopharmacology & biological psychiatry 29: Munson L, Koehler JW, Wikonson JE, Miller RE, Vesicular and Ulcerative Dermatopathy resembling Superficial Necrotic Dermatitis in Captive Black Rhinoceroses (Diceros bicornis). Vet Pathol 35: Nayak BS, Raju SS, Rasumbhag A Investigation of wound healing activity of Lantana Camara L. In Sprague dawley Rats using burn wound model. International Journal of Applied Research in Natural Products Vol 1(1): 15-19

73 43 Nessminth S, Baltzell J, Bardanier CD, Interaction of Glucocorticoid and thyroxine in the responses of rats starvation-refeeding J. Nutr. 113: Newton FRS,. March The Secretary on Addition to the menagerie. PHKA Strategi dan rencana aksi konservasi badak Indonesia. Direktorat jendral Perlindungan hutan dan kelestarian Alam, kementerian kehutanan Republik Indonesia. Paglia DE, Radcliffe RW, Anthracycline Cardiotoxicity in a Black Rhinoceros (Diceros bicornis): Evidence for Impaired Antioxidant Capacity Compounded by Iron Overload. Vet Pathol 37:86 88 Pass MA, Seawright AA, Lamberton JA, Heath TJ, Lantaden A toxicity in sheep. A model for cholestasis. Pathology Jan;11(1):89-94 Permadi YF, Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak Jawa. Laporan proyek WWF Indonesia. Polet G, et al The javan rhinos, Rhinoceros sondaicus annamiticus, of Cat Tien National Park, Vietnam: Current status and management implications. Pachyderm 27:34-48 Poole CM, Duckworth JW, A documented 20 th century record of Javan rhino Rhinoceros sondaicus from Cambodia. Mammalia 69(3-4): Pough FH, Heisser JB, McFarland WN, Vertebrate Life 3 rd MacMillan Publishing Company, New York p: 744 edition. Putro HR, Heterogenitas habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997 : Hal Raven PH, Johnson GB, Biology Second Edition. Times Mirror/Mosby College Publishing. St Louis Missouri. p: 981 Reynolds RJ, Javan Rhino in The Berlin zoo. International Zoo news 8(3): June July 1961 Rookmaaker K, A Javan Rhinoceros, Rhinoceros sondaicus,in Bali in Zool Garten N. F. 75 (2005) 2, Rookmaaker LC, The type locality of the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822). Sonderdrudre aus Zeitschrifl f. Siugetierkunde Bd. 47 (1982), H. 6, S Sanborn ER, Interesting Animal Surgery. Zoological Society Bullettin no

74 44 Scheltema JF, Peeps at Many lands Java. Adam & Charles Black. London Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME, Serum cortisol and thyroxine concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10: Sharma S, Sharma O, Singh B, Bhat TK, Biotransformation of lantadenes, the pentacyclic triterpenoid hepatotoxins of lantana plant, in guinea pig. Toxicon 38(9): Sharma GP, Ragubhanshi AS, Singh JS, Lantana invasion: an overview. Weed biology and management (5)4: Sharma OP, An Overview of the Research on the Hepatotoxic Plant Lantana Camara. Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA, Validation of a radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology 311A: Sriyanto A, et al A Current status of the Javan Rhino population in Ujung Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium Strien NJ, Dicerorhinus sumatrensis (Fisher). The Sumatran or two-horned Asiatic rhinoceros: a study of literature. Medelebingen Landbouwwhogeschool, Wageningen, Netherland Strien NJ, Report on short mission to Ujung Kulon National Park, Java Indonesia inconnectionwith the reported deaths of the five Javan rhinos. Laporan kegiatan WWF. Strien NJ, The Sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis (Fischer, 1814) in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia: its distribution, ecology, and conservation. Verlag Paul Parey, Hamburg Stuart G, Nelson S, Sakmann B, Hausser M, Action potential initiation and backpropagation in neurons of the mammalian CNS. Trends in neuroscience 20: Suprayogi A, Astuti DA, Satrija F, Suprianto Physiological Status of Sheep Reared Indoor System Under the Tropical Rain Forest Climatic Zone. Supporting papers Proceedings of the 4 th ISTAP Animal Production and Sustainable Agriculture in the Tropic. Faculty of Animal Science, Gajah Mada University.

75 45 Suzuki A, et al Induction of cell cell detachment during glucose starvation through F-actin conversion by SNARK, the fourth member of the AMPactivated protein kinase catalytic subunit family. Biochemical and Biophysical Research Communications Volume 311(1): Suzuki A, et al ARK5 suppresses the cell death induced by nutrient starvation and death receptors via inhibition of caspase 8 activation, but not by chemotherapeutic agents or UV irradiation. Oncogene 22: Tiuria R, et al Identification of endoparasites from faeces of Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia. Proceedings of AZWMP 2006 Chulalongkorn Uni. Fac. Of Vet. Sc., Bangkok, Thailand Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M, Remote assessment of stress in white rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis) by measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife medicine 33(3): Vaux DL, Korsmeyer SJ, Cell Death in Development. Cell vol 96: Völlm J, et al A case of extended exsudative dermatitis in an Indian rhino. European Association of zoo and wildlife veterinarians (EAZWV) Paris, France: Walcott AS, Java and Her Neighbours. A Traveler s note in Java, Celebes, the Molluccas, and Sumatra. GP Putnams and Sons. The knickerbockers press. New York & London Wasser SK, et al A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse array of nondomestic mammalian and avian species. General and comparative endocrinology 120: Wielckens K, et al Stimulation of Poly(ADP-ribosyl)ation during Erlich Ascites Tumor Cell Starvation and Suppression of Concomitant DNA Fragmentation by Benzamide. The Journal of Biological Chemistry Vol 258(7): Williams JW, et al Rapid and widespread vegetation responses to past climate change in the North Atlantic region. Geology vol 30; no. 11; p Woolf CJ, Mannion RJ, Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanism, and management. Lancet 353: Wu P, Peters JM, Harris RA, Adaptive Increase in Pyruvate Dehydrogenase Kinase 4 During Starvation is mediated by Peroxisome Proliferator-activated Receptor α. Biochemical and Biophysical Research Communication. 287(2):

76 46 WWF-IUCN Mystery of Dead Javan rhinos. The Environmentalist vol. 2 no. 3 Yamada T, Horiuchi M, Dzau VJ, Angiotensi type II receptor mediates programmed cell death. Proc Acad Sci. USA. Cell Biology Vol 93: Yakel JL, et al Calcineurin regulation of synaptic function: from ion channels to transmitter release and gene transcription. Trends in Pharmacological Sciences. Volume 18, Issue 4: YMR [Yayasan Mitra Rhino] Implementasi monitoring habitat badak jawa dengan menekan laju invasi langkap (Arenga obtusifolia) di Taman Nasional Ujung Kulon. PHKA-WWF-YMR Zeng H, Dvorak HF, Mukhopadhyay D, Vascular Permeability Factor (VPF)/Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Receptor-1 Downmodulates VPF/VEGF Receptor-2-mediated Endothelial Cell Proliferation, but Not Migration, through Phosphatidylinositol 3-Kinase-dependent Pathways. The Journal of Biological Chemistry 270(29):

77 STUDI POLA PERGERAKAN, PALATABILITAS, KUALITAS PAKAN, DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA RISIKO TOKSISITAS LANTADEN PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Abstrak Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan satwa langka yang hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten Indonesia. Kondisi habitat yang ada saat ini diduga mengalami perubahan perlahan akibat suksesi alami yang berakibat pada berubahnya struktur vegetasi yang ada. Sebagai hewan herbivora yang sangat bergantung pada tumbuhan sebagai sumber makanannya, maka kualitas nutrisi tumbuhan pakan serta kualitas asupan pakan menjadi bagian yang penting untuk dipantau dalam populasi saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memetakan pola pergerakan badak di habitatnya dan mengukur palatabilitas, kualitas pakan, kecernaan, serta asupan nutrien dan lantaden (toksin) dari badak yang diikuti. Parameter yang dicatat terdiri dari: jalur lintasan badak (trajektori)beserta korelasinya dengan keragaman pakan, dan jumlah kubangan. Palatabilitas, kualitas pakan, risiko toksisitas dari konsumsi Lantana camara, kecernaan nutrien, dan juga ketersediaan garam. Palatabilitas ditentukan dengan memilih lima jenis pakan dengan jumlah ragutan terbanyak dari setiap badak. Analisis proksimat digunakan untuk mengukur kualitas nutrien pakan, dan jumlah asupan nutrien.toksin lantaden dihitung dengan mengalikan hasil perhitungan jumlah ragutan (dalam gram) dengan kadar lantaden dari studi literatur. Kandungan garam diukur dari tanah kubangan dengan metode titrimetri,sementaraacid insoluble ash (AIA) digunakan untuk mengukur tingkat kecernaan bahan kering (BK). Hasil pengamatan menunjukkan korelasi yang kuat antara ruang jelajah dengan keragaman jenis pakan serta jumlah kubangan. Hasil pengamatan palatabilitas dan analisis proksimat menunjukkan keragaman jenis pakan, identifikasi jenis pakan dengan kualitas nutrien tinggi, dan indikasi rendahnya kadar air, nutrien, energi dari pakan pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang rendah (kering) di bulan Oktober 2009 dan Maret Kadar asupan lantaden berada pada tingkat yang relatif rendah (23.63 mg/ekor/hari). Upaya untuk memperbaiki kondisi ini dapat dilakukan dengan pengkayaan jumlah tumbuhan pakan yang mengandung kualitas nutrien tinggi yang antara lain terdiri dari: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energy tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).tumbuhan-tumbuhan ini idealnya ditanam dalam kerapatan 15 tumbuhan per hektar (untuk jenis pohon) sampai kerapatan 5,406 tumbuhan per hektar (untuk jenis semai) untuk memastikan ketersediaan yang seimbang. Kata kunci: badak jawa, palatabilitas, nutrien, kecernaan

78 48 Study of movement, palatability, feed quality, nutrient digestibility, and risk of lantadene toxicity in Javan rhinoceros in Ujung Kulon National Park Abstract Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) is a critically endangered species living in Ujung Kulon National Park, Banten Indonesia. The condition of the current habitat is predicted to undergo gradual changes due to natural succession that affects the structures of vegetations. This species is a large herbivore that relies on the feed plant type as the source of food, so the quality of these plants, as well as the nutrient intake become a crucial factor determining the well being of the animal and nutrition status needs to be included as part of the population monitoring. This research is designed for mapping the movement patterns (trajectory) and their correlation with feed diversity and the abundance of the wallow holes. This research also measured feed palatability, feed quality, nutrient digestibility, the risk of toxin intake from Lantana camara consumption, as well as NaCl availability. Palatability was determined by selecting the five feed plants with the highest amount of consumption from each rhino based on the estimation of browse marks. Proximate analysis was done to determine the nutrient quality form each feed plant. Lantadene toxin intake was calculated by multiplying the calculated feed intake (in gram) with toxin contents based on references. NaCl content was determined using tirimetric method done on mud samples from wallow sites, while acid insolubel ash (AIA) is used as indicator in measuring the digestibility. The result showed that feed plants with high palatability (most liked), identification of feed plants with high nutritional values, and there was an indication of low water, nutrien, and energy intake at certain times during months with low rain occurences (dry) in October 2009 and March Lantaden toxin intake was relatively small to cause clinical implications to the rhino (23.63 mg/day). The possible intervention to overcome the situation is to enhance the feed availability as well as to improve feed quality by replenishing high quality feed plants consisting of: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (high protein); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (high fat); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (high energy); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (high water). These plants should ideally be planted in the density of: 15 plants per hectare (tree forms) to 5,406 plants per hectara (seedling forms) to ensure availability of these plants for the rhinoceros. Key words: Javan rhinoceros, palatability, nutrients, digestibility

79 49 Pendahuluan Dari seluruh habitat badak yang ada di dunia, Taman Nasional Ujung Kulon merupakan satu-satunya habitat yang dihuni oleh badak jawa. Walaupun kondisi ekosistem di Taman Nasional ini bukanlah kondisi yang paling ideal bagi badak jawa karena kondisi vegetasi yang berubah (suksesi) dan juga kondisi ketersediaan air yang sangat terbatas di musim kering,dengan demikian, faktor nutrisi merupakan faktor penting yang perlu dipelajari dari badak jawa. Nutrisi merupakan faktor penentu dari kemampuan hewan untuk bertahan hidup, beradaptasi, serta bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Pengamatan pada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang dilakukan oleh Mundiany et al.(2005) menunjukkan bahwa konsumsi berat kering harian setiap ekor badak berada pada angka 3-4% dari berat badannya dengan kecernaan bahan kering mencapai 57.49% sampai 80.45%.Badak sumatera menyukai 37 jenis pakan yang tersedia secara alami di hutan yang antara lain terdiri dari: cakar elang (Gardenia tubifera), soka merah (Psychotria angulata), sulangkar (Leea sambucina), waru (Hibiscus tiliaceus), dan kasapan (Croton caudatus). Tumbuhan sulangkar dan waru merupakan jenis tumbuhan yang juga disukai oleh badak jawa. Dengan jumlah populasi yang kecil yaitu dalam kisaran ekor (Hariyadi et al. 2011), kemampuan badak jawa untuk bertahan hidup, beradaptasi, mentolerir cekaman, serta pada akhirnya kemampuan untuk bertahan terhadap penyakit menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan kemampuan spesies ini untuk terus bertahan hidup dan bertahan dari kepunahan. Terlebih lagi, faktor nutrisi merupakan faktor yang sangat penting dalam proses perkembang biakan yang kemampuannya ditentukan oleh kemampuan sistem tubuh untuk mensintesis hormon reproduksi (hormon steroid) yang bahan dasarnya diperoleh dari asupan nutrien seperti glukosa dan asam lemak (Koolman & Röhm, 2001). Permasalahan yang dihadapai dalam pengelolaan badak jawa adalah kurangnya data dan informasi mengenai kondisi habitat serta implikasinya pada status nutrisi pada badak jawa. Rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam kajian nutrisi dan kecernaan ini memberikan tambahan informasi yang antara lain terdiri dari: pola pergerakan badak yang dicatat oleh pengamat yang mengikuti pergerakan badak dari hari ke hari, keragaman pakan dari setiap ekor badak, dan persentase asupan nutrien dari setiap ekor badak. Informasi ini merupakan basis yang digunakan sebagai

80 50 landasan dan acuan dalam merancang kajian-kajian dan analisis dalam bab-bab selanjutnya. Palatabilitias, pendugaan jumlah asupan, dan identifikasi antinutrisi (toksin) merupakan informasi kunci yang dihasilkan dalam kajian penelitian ini. Tujuan Penelitian Status nutrisi merupakan kunci keberlangsungan hidup badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, namun ironisnya perangkat dan protokol pemantauan yang memungkinkan pihak pengelola untuk mendapatkan informasi terkait status nutrisi ini belum tersedia. Mempertimbangkan adanya kebutuhan untuk mengembangkan suatu protokol pemantauan status nutrisi secara intensif yang dapat diterapkan untuk satwa langka seperti badak jawa, maka penelitian ini bertujuan untuk menyusun protokol pemantauan yang memberikan informasi mengenai: 1. Pola pergerakan, ruang jelajah, dan lintasan badak di habitatnya (trajektori) sebagai basis dari pengamatan asupan pakan yang terjadi di alam. 2. Keragaman pakan yang digemari (palatabilitas) badak obyek penelitian ini 3. Kualitas dan kuantitas asupan nutrien yang didapat badak jawa 4. Kecernaan bahan kering pakan 5. Ketersediaan garam di lokasi kubangan 6. Risiko toksisitas tumbuhan Lantana camara Penelitian ini dirancang untuk menguji hipotesis bahwa kondisi habitat di Taman Nasional Ujung Kulon merupakan daerah dengan daya dukung yang kurang memadai bagi badak jawa.

81 51 Bahan dan Metode Penelitian di Taman Nasional Ujung Kulon dilakukan untuk mempelajari: komposisi pakan, palatabilitas, konsumsi, dan kecernaan tiga individu badak jawa (Individu kode: 12, 13, dan 18) berkelamin jantan yang diikuti secara intensif selama 6 hari setiap bulannya dalam periode pengamatan bulan Oktober 2009 sampai April Penelitian ini menggunakan badak jantan sebagai sampel dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Badak jantan memiliki pola ruang jelajah yang relatif konsisten sepanjang waktu dibandingkan betina karena tidak dipengaruhi oleh masa kebuntingan dan pengasuhan anak (White et al. 2007),maka pola pergerakan dan profil diet setiap ekor badak yang diamati merupakan satu hal yang dapat mewakili kondisi normal. 2. Badak jantan memiliki jumlah lebih banyak dibanding badak betina dengan rasio 3:2 yaitu 16 jantan dan 11 betina (Hariyadi et al. 2011), sehingga peluang untuk menemukan badak jantan akan lebih tinggi dibandingkan dengan peluang untuk menemukan badak betina. 3. Badak yang dipilih dalam penelitian ini memiliki ruang jelajah yang datar dan memungkinkan pengumpulan feses untuk analisis AIA. Ruang Jelajah Badak Jawa Tiga individu badak jawa jantan dewasa yang dipilih sebagai contoh dalam penelitian ini sudah tercatat melalui kegiatan video trap WWF Indonesia periode April 2008 Juni 2009 dan setiap individu mewakili daerah konsentrasi yang berbeda di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sriyanto et al. (1995), individu 12 mewakili daerah konsentrasi 3 dengan kepadatan tinggi di area selatan, individu 18 mewakili daerah konsentrasi 1 dengan kepadatan sedang di area barat, sementara individu 13 mewakili daerah konsentrasi 4 dengan kepadatan rendah di area utara. Ketiga daerah ini memiliki struktur vegetasi dengan kepadatan tumbuhan yang berbeda ( individu/ha untuk tumbuhan bawah; individu/ha tumbuhan semai; individu/ha tumbuhan pancang; individu/ha untuk tumbuhan tiang; dan

82 individu/ha untuk tumbuhan pohon) seperti ditampilkan pada Tabel 2 yang disusun berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat et al.(2007). Ketiga individu badak jantan yang digunakan sebagai contoh dalam penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 8. Rahmat et al. (2007) mencatat 231 jenis tumbuhan di ruang jelajah badak, dan 184 diantaranya (80%) merupakan tumbuhan makanan badak jawa. Tabel 2. Jenis vegetasi tumbuhan paling dominan di lokasi ruang jelajah badak jawa. Badak Vegetasi dominan Bawah Semai Pancang Tiang Pohon 12 Donax canaeformis Leea sambucina Arenga obtusifolia Arenga obtusifolia Hibiscus tiliaceus 13 D melanochaetis Leea sambucina E polyantha Ardisia humilis B arborescens 18 D melanochaetis E polycntha Ardisia humilis Cerbera manghas Vitex pubescens Sumber: Rahmat et al. (2007) Informasi lintasan badak didapatkan dengan cara mengikuti setiap badak secara langsung di jalur lintasan masing-masing yang telah diidentifikasi sebelumnya. Untuk menghindari cekaman terhadap badak akibat keberadaan pengamat yang terlalu dekat dengan badak, maka pengamat mengikuti pergerakan badak dalam jarak yang cukup jauh yaitu sekitar jam di belakang badak yang diikuti. Jarak ini menempatkan pengamat dalam jarak yang relatif aman dan tidak dapat terdeteksi oleh badak baik melalui penciuman, pendengaran, maupun penglihatan. Lokasi terjadinya kontak visual pertama dengan badak dan verifikasi atas identitas badak (kode individu: 12, 3, dan 18) didefinisikan sebagai titik awal. Pengambilan data pengamatan dilakukan mulai dari titik awal ini yang kemudian dilanjutkan dengan penelusuran jejak selama 1-3 bulan (minimal enam hari intensif setiap bulannya) mengikuti ruang jelajah masing-masing badak. Titik akhir pengamatan didefinisikan sebagai lokasi yang sama yaitu sampai badak kembali ke titik awal sehingga saat dipetakan lintasan badak tersebut membentuk suatu lingkaran yang realatif tertutup (temu gelang).

83 53 A B Gambar 8. Tiga ekor badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian: badak nomor 12 (A), nomor 13(B), dan nomor 18(C). Foto: Balai Taman Nasional Ujung Kulon-WWF Indonesia (2010) C Informasi koordinat temuan jejak dan trajektori badak direkam dalam alat GPS (Global Positioning system) Garmin 76CSX dan kemudian diterjemahkan ke dalam peta digital untuk menggambarkan ruang jelajah badak secara visual, serta memastikan bahwa badak telah diikuti secara penuh sampai kembali ke titik awal (temu gelang) selama 7 bulan pengamatan dari bulan Oktober 2009 sampai bulan April Luas ruang jelajah dan jarak tempuh yang ditunjukkan oleh ketiga ekor badak sampel dibandingkan dengan pola asupan serta nutrisi untuk mendapatkan korelasi antara keempat parameter di atas.

84 54 Palatabilitas Palatabilitas ditentukan dengan memilih jenis tumbuhan pakan dengan kuantitas terbanyak berdasarkan estimasi ragutan di lokasi tempat makan badak (rumpang). Lima jenis tumbuhan pakan dengan jumlah ragutan terbanyak dari setiap ekor badak dikategorikan sebagai tumbuhan dengan palatabilitas tinggi, dan penggabungan dari tumbuhan palatabilitas tinggi dari setiap ekor badak digabungkan untuk mewakili palatabilitas dari sampel populasi badak yang diamati dalam penelitian ini. Data dikumpulkan dengan cara mengikuti lintasan, mengidentifikasi rumpang (lahan pakan), mengidentifikasi bekas ragutan untuk memastikan aktifitas makan, mencatat, dan menimbang bekas makan (feeding marks). Pengamatan seperti ini mengikuti metode yang pernah dilakukan Birkett & Stevens-Wood (2005) untuk memberikan informasi tentang komposisi pakan kesukaan dari tiap individu. Gambar 9 menunjukkan kondisi lahan pakan badak yang ada di ekosistem Taman Nasional Ujung Kulon. A Gambar 9. Kondisi lahan pakan badak (rumpang) dengan perbandingan tinggi tumbuhan pakan dan manusia (A) serta kondisi rumpang yang relatif terbuka dibandingkan areal pepohonan di sekitarnya (B). Foto: RSetiawan WWF Indonesia (2009). B

85 55 Tiga kelompok pengamat yang masing-masing terdiri dari lima orang mencatat jenis tumbuhan yang dimakan oleh badak dan mengukur (dengan pendugaan) banyaknya tumbuhan pakan yang dikonsumsi oleh badak-badak tersebut. Pendugaan ini dilakukan dengan memperkirakan banyaknya tumbuhan yang dimakan badak dan menimbang tumbuhan tersebut untuk menduga berat pakan yang dimakan oleh masing-masing badak dalam periode pengamatan. Bekas ragutan badak dapat dibedakan dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi hewan besar selain badak yang memiliki perilaku makan mirip dengan badak Jawa. Salah satu hewan ini adalah banteng (Bos javanicus) yang juga menjelajahi daerah badak dan memakan beberapa jenis tumbuhan yang sama dengan badak. Membedakan bekas ragutan badak dengan bekas ragutan hewan lain. Bekas ragutan badak memiliki karakteristik berupa potongan dahan dan ranting yang mirip seperti pemotongan dengan menggunakan gunting tumpul. Hal ini terjadi karena karakteristik anatomi rahang dan perilaku makan badak yang menggunakan bibir atas (prehensil) untuk menggenggam dahan dan ranting serta memangkas dahan dan ranting tersebut dengan menggunakan gigi seri yang berada di rahang bawahnya. 2. Mengikuti pergerakan badak berdasarkan lokasi pakan dan bekas ragutan untuk mendapatkan informasi mengenai ruang jelajah yang digunakan setiap ekor badak. 3. Identifikasi dan pendugaan jumlah tumbuhan yang diragut dilakukan dengan mengamati bekas ragutan, mengambil sebagian tumbuhan dari ranting lain (sampel) untuk menyamai dengan bekas ragutan, dan menimbang sampel tersebut dalam keadaan segar, kering jemur, dan kering akhir. Kualitas Pakan Sampel tumbuhan pakan yang telah diidentifikasi dan dipilih kemudiandikirim ke laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi, Bogor untuk menjalani analisis proksimat untuk mendapatkan data kandungan air, protein dan lemak dari setiap jenis tumbuhan pakan. Sampel tumbuhan pakan juga dianalisis dengan bom kalorimeter untuk mengukur energi yang terkandung.

86 56 Asupan nutrien dihitung berdasarkan konsumsi kering (KBK) yang dikalikan dengan jumlah nutrien (protein dan lemak) dan energi hasil dari analisis proksimat.asupan nutrien ini disajikan dalam satuan g/hari bagi setiap individu, sementara asupan energi disajikan dalam satuan kilokalori (kkal) per hari untuk setiap ekor badak. Informasi tersebut merupakan basis yang digunakan dalam analisis nutrien dan perbandingan dengan hewan model pada penelitian berikutnya. Penghitungan kadar air dari tumbuhan pakan (dalam persen) dilakukan dengan menghitung selisih berat segar dengan berat kering jemur serta menghitung persen penyusutan yang terjadi untuk menentukan kadar air. Pengukuran berat kering akhir sampel tumbuhan pakan dilakukan di laboratorium Balitnak Ciawi dan berat kering akhir ini didapatkan setelah pengeringan dalam oven dengan suhu 105 o C sampai mencapai berat konstan. Total kadar air tumbuhan pakan kemudian dihitung berdasarkan penjumlahan dari kadar air antara berat segar dengan berat kering jemur dengan kadar air yang terukur dari berat kering akhir hasil analisis laboratorium menggunakan metode gravimetri. Konsumsi Pakan Pengamatan dilakukan dengan mengidentifikasi jenis tumbuhan pakan serta memastikan adanya bekas ragutan. Badak jawa meragut tumbuhan pakan dengan cara memegang ranting tumbuhan tersebut dengan bibir atas (prehensil) dan kemudian memotong/memangkas bagian ranting tersebut dengan gigi insisor bawah yang memiliki bagian tajam. Cara pemangkasan tumbuhan seperti ini memberikan tanda bekas ragutan yang memiliki ciri sebagai berikut: 1. Tumbuhan menunjukkan adanya bagian yang lebih pendek dibanding dengan bagian tumbuhan lainnya 2. Dahan atau ranting yang dipangkas menunjukkan adanya bekas potongan yang halus seperti digunting. Pendugaan jumlah dan jenistumbuhan yang dikonsumsi oleh badak dilakukan dengan cara memotong bagian dahan ataupun ranting dari tumbuhan yang sama sampai kira-kira ke titik bekas ragutan berada. Bagian tumbuhan ini kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat segar dari bagian dahan dan ranting tersebut. Prosedur ini dilakukan pada bagian tumbuhan lainnya yang menunjukkan adanya

87 57 bekas ragutan. Total jumlah dahan dan ranting yang ditimbang ini merupakan estimasi dari jumlah asupan pakan badak dari satu lokasi rumpang (areal pakan). Pengamat memperhatikan dan memperkirakan usia bekas ragutan yang ada pada tumbuhan tersebut untuk memastikan bahwa ragutan tersebut merupakan bekas aktifitas makan yang dilakukan dalam periode pengamatan (maksimum 30 jam yang lalu) dan bukan merupakan bekas aktifitas makan yang dilakukan oleh badak di luar periode waktu ini. Kuantitas asupan berupa konsumsi bahan kering (KBK) ditentukan dengan menggunakan referensi literatur. Dengan mengacu kepada informasi konsumsi berat kering pada badak india menurut Clauss et al. (2005) yang berada pada rentang % dari berat badan per hari, maka konsumsi berat kering (KBK) harian pada badak jawa diasumsikan berada pada tingkat 1% dari berat badan yang merupakan nilai tengah dalam rentang tersebut. Berat badan badak dalam penelitian ini diestimasi berdasarkan ukuran jejak yang dibandingkan dengan estimasi usia dan berat berdasarkan tabel regresi yang disusun oleh Purchase (2007) dan ditentukan sebagai berikut: Badak 12 (dewasa tua>65-70 bulan): 1,000 kg Badak 13 (dewasa sekitar >50 tahun): 1,000 kg Badak 18 (muda>25 bulan): 700 kg Langkah-langkah ini menghasilkan informasi mengenai komposisi jenis tumbuhan yang dikonsumsi, pendugaan jumlah pakan segar dan bahan kering yang dikonsumsi (dalam kg). Berikut ini metode uji yang digunakan dalam analisis proksimat untuk mengukur: kadar air (gravimetrik), nutrien protein (Kjeldahl) dan lemak (ekstraksi dengan sokslet), energi, serat kasar, kalsium, fosfor, AIA, dan tannin dari sampel pakan yang telah dikeringkan.

88 58 Metode Uji Air : IKM 01 (gravimetri) Protein : IKM 02 (Kjelhdahl destruksi autoanalisis) Lemak : IKM 03 (gravimetri dan ekstraksi dengan soxlet) Energi : IKM 04 (bomb kalorimeter ) Serat Kasar : IKM 05 (ekstraksi asam dan basa) Abu : IKM 06 (gravimetri) Ca : IKM 09 (AAS ) P : IKM 10 (spektrofotometri ) AIA : (gravimetri ) Tanin : (Spektrofotometri ) Kecernaan Pengukuran kecernaan dilakukan dengan metode Van Keulen dan Young (1977) penghitungan koefisien penyerapan (persen kecernaan) dilakukan dengan mengukur selisih kandungan AIA (acid insoluble ash) pada asupan pakan dengan feses. Hal ini sangat cocok untuk diterapkan dalam penelitian satwa liar seperti badak jawa yang hanya dapat dipelajari di habitat alaminya sehingga metode penghitungan koefisien kecernaan berdasarkan koleksi feses total (total fecal collection) hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Pengambilan feses dilakukan dengan tata cara pengambilan yang menjamin tersedianya sampel feses segar lengkap dengan informasi pendukung yang diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fernando et al. (2004). Prosedur pengumpulan sampel terdiri dari kegiatan-kegiatan di bawah ini: 1. Mencari dan menemukan feses badak jawa yang terbaru atau sesegar mungkin, dengan cara menyusuri jejak badak terbaru (usia jejak di bawah tiga hari). Usia jejak dikenali dengan memperhatikan keutuhan jejak, kesegaran tanah, adanya sisa-sisa daun, dan keberadaan jamur yang tumbuh di dalam jejak. Usia jejak yang segar biasanya memiliki bentuk yang utuh sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 10 dan tidak terdapat sisa daun (serasah) ataupun jamur. 2. Memperhatikan letak feses serta memastikan bahwa sampel feses tersebut tidak berada di aliran air sungai/terapung dikubangan. Perlu dipastikan juga bahwa gumpalan feses (boli) yang ditemukan berada dalam kondisi utuh tidak rusak akibat hujan.

89 59 3. Pengambilan sampel feses dilakukan dengan mengambil beberapa boli feses dan menyimpannya dalam kantong plastik bersegel (plastik klip) 4. Peneliti mengisi lembar data informasi mengenai temuan contoh feses yang meliputi; tanggal, waktu, koordinat posisi, lokasi, tipe vegetasi dominan, temuan tapak dan arahnya 5. Peneliti mencatat informasi detil tentang sampel feses tersebut yang terdiri dari: kondisi feses (letaknya ternaung atau daerah terbuka, apakah dekat aliran sungai, keadaan kering atau basah, prakiraan usia, jumlah boli dalam satu tumpukan, apakah tersebar atau mengumpul, adanya dekomposer, bau dan rata-rata diameter boli) juga perlu diketahui prakiraan jarak dari feses sebelumnya, dari aliran sungai, dari kubangan dan dari transek. 6. Peneliti juga mencatat informasi lain seperti: tapak satwa lainnya, adanya tumpukan feses yang berdekatan tetapi berbeda ukuran, dan lain sebagainya Gambar 10. Contoh jejak badak yang relatif segar. Badak berada di lokasi ini 12 jam sebelum jejak ditemukan. Foto: Ahariyadi-WWF Indonesia (2007) Feses badak ditemukan dalam bentuk tumpukan yang terdiri dari beberapa gumpalan feses berbentuk bola (boli), dan kesegaran feses tersebut dapat ditentukan dari warna, kelembaban, serta keberadaan serangga yang mengelilinginya. Feses segar biasanya berwarna coklat kehijauan dengan kelembaban permukaan yang khas karena masih mengandung lapisan lendir (tidak lebih dari satu jam sejak ekskresi), serta masih banyak dikelilingi serangga lalat. Dua buah boli dari setiap tumpukan

90 60 segar diambil sebagai sampel untuk analisis. Sampel ini kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat feses segar. Keseluruhan sampel feses yang diekskresikan setiap hari oleh individu badak dalam penelitian ini dikumpulkan dan ditimbang dalam keadaan basah untuk mendapatkan berat feses segar, dan kemudian dikeringkan dengan menjemurnya di udara terbuka sampai sampel dapat dilihat lebih kering. Sampel feses tersebut kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan berat feses kering udara. Sampel feses untuk mengukur pengeringan diambil dengan cara memilih tumpukan boli yang relatif paling segar dan utuh dengan memperoleh kualitas sampel feses yang baik. Maksimal 10% dari jumlah feses yang ada dalam tumpukan tersebut diambil secara manual, dan sisa tumpukan feses dibiarkan berada di lokasi tersebut agar tidak mempengaruhi fungsi tumpukan feses dalam penandaaan ruang jelajah yang dilakukan oleh badak. Penghitungan penyusutan berat kering sampel feses dan tumbuhan pakan dilakukan dengan menimbang berat basah di lapangan, berat kering udara setelah mengalami penjemuran di bawah sinar matahari sampai berat menjadi konstan, dan berat kering akhir setelah mengalami pengeringan dengan oven bersuhu 105 o sampai mencapai berat konstan. Dalam kondisi ini sampel siap dianalisis lebih lanjut di laboratorium untuk pengukuran AIA dari feses dalam kondisi kering akhir. Hal yang sama juga dilakukan terhadap sampel tumbuhan pakan yang diragut oleh badak untuk mendapatkan pengukuran AIA dari masing-masing jenis tumbuhan pakan tersebut. Metode AIA (Acid Insoluble Ash) Menurut Van Keulen & Young (1977) Pengukuran AIA dilakukan dengan menggunakan 2 g sampel (pakan dan/atau feses) yang diabukan pada suhu 600 o C. Lalu abu dimasukkan dalam piala gelas dan ditambah 25 ml HCl 2N dan dididihkan hingga volume awal menjadi kira-kira setengahnya. Abu disaring ke dalam Crucible (yang sudah diketahui bobotnya). Endapan dicuci dengan air suling panas ( o C) sampai bebas asam. Hasil saringan diabukan lagi dan kemudian berat abu yang tidak larut dalam asam hasil proses ini ditimbang dan dihitung dengan menggunakan rumus yang berlaku untuk feses dan pakan sebagai berikut: Persen AIA = berat abu yang tidak larut dalam asam x 100% Berat sampel

91 61 Sementara dengan banyaknya AIA pada fese, maka penghitungan kecernaan berat kering dilakukan dengan menggunakan rumus: AIA feses AIA pakan yang dikonsumsi x 100% AIA feses Analisis AIA ini dikoreksi dengan menggunakan faktor koreksi sebesar 10% seperti yang digunakan dalam beberapa analisis kecernaan menggunakan metode AIA (Mainka et al. 1989; Sims et al. 2007). Faktor koreksi ini perlu digunakan dalam menghitung kecernaan berat kering mengingat adanya variasai akibat proses dehidrasi saat konversi dari asupan segar menjadi asupan kering (Sims et al. 2007). Mainka et al. (1989) menggunakan angka 10% sebagai faktor koreksi untuk memperhitungkan dehidrasi. Risiko Toksisitas dari Konsumsi Lantana camara Kandungan antinutrisi lantaden dalam setiap gram kering tumbuhan Lantana camara dihitung berdasarakan informasi yang disampaikan oleh Sharma et al.(2000) yang mengidentifikasi adanya lantaden dari berat kering tumbuhan Lantana camara. Kandungan lantaden dalam tumbuhan Lantana kering didefinisikan sebagai jumlah lantaden yang telah diukur dalam studi laboratorium yaitu: 1,930.4 mg/100g Lantana kering. Penghitungan asupan lantaden dilakukan dengan mengukur berat kering konsumsi harian Lantana camara pada setiap ekor badak dan mengalikan jumlah tersebut dengan kandungan Lantaden. Perhitungan tersebut dikompilasi dalam rumus sebagai berikut: Asupan lantanden = konsumsi bahan kering x kandungan lantaden (mg/ekor/hari) (gram kering/ekor/hari) (mg/100g) 100 Ketersediaan Garam Empat kubangan di wilayah jelajah ketiga ekor badak dipilih berdasarkan status kubangan yang merupakan kubangan aktif (masih digunakan oleh badak paling tidak dalam 1 bulan terakhir). Untuk memastikan ketersediaan kandungan mineral NaCl dalam tanah di sekitar kubangan, maka sampel tanah dari beberapa kubangan di wilayah jelajah ketiga ekor badak tersebut dikumpulkan dengan menggunakan pipa

92 62 PVC berukuran diameter 1.75 cm (0.5 inci) yang ditancapkan sedalam 10 sentimeter ke dalam lumpur di tepi kubangan. Lumpur yang mengisi pipa tersebut didorong keluar dan dikumpulkan dalam kantong plastik untuk dianalisis lebih lanjut dengan metode titrimetrik di laboratorium SUCOFINDO Cilegon Banten. Analisis Data Data disajikan secara deskriptif dan korelasi antara jarak tempuh dengan keragaman pakan yang tersedia dianalisis menggunakan koefisien korelasi Pearson.

93 63 Hasil dan Pembahasan Karakteristik Ruang Jelajah Badak Jawa Penyusuran jejak dengan mengikuti jalur lintasan badak (trajektori) menunjukkan bahwa ketiga badak jantan yang dipilih sebagai obyek penelitian memiliki jarak dan ruang jelajah yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan ketersediaan pakan, air, dan kubangan. Bentuk ruang jelajah dari masingmasing badak disajikan dalam Gambar 11. Hubungan antara luas ruang jelajah dengan kondisi habitat ini dipertegas dengan adanya korelasi positif yang kuat (R= ) antara luas ruang jelajah badak dalam hektar dengan keragaman asupan pakan (jumlah pakan yang dimakan) serta korelasi positif yang kuat pula (R = ) antara luas ruang jelajah tersebut dengan jumlah kubangan yang digunakan (15 kubangan di wilayah badak nomor 12; 25 kubangan di wilayah badak nomor 18; 33 kubangan di wilayah badak nomor 13). Dari data yang ada dapat dilihat bahwa individu 12 yang berada pada daerah yang memiliki kepadatan populasi tinggi di daerah selatan semenanjung memiliki ruang jelajah yang lebih sempit (169 ha), sementara individu 13 dan 18 yang masing-masing berada di daerah dengan kepadatan populasi rendah dan sedang memiliki ruang jelajah yang lebih luas (974 ha dan 631 ha). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada area dengan konsentrasi kepadatan tinggi di area selatan (individu no 12) badak cenderung memiliki ruang jelajah yang kecil, sementara pada area dengan konsentrasi kepadatan rendah di utara (individu 13) badak menunjukkan ruang jelajah yang relatif besar. Berdasarkan catatan ini dapat dilihat adanya indikasi bahwa tingkat kepadatan populasi (kualitatif) memiliki korelasi negatif dengan luasnya ruang jelajah. Dinerstein (2003) mencatat dari spesies badak di India dan Nepal (Rhinoceros unicornis) bahwa badak jantan cenderung untuk memiliki ruang jelajah yang tidak saling bersinggungan dengan pejantan lainnya. Sebaliknya, badak betina menunjukkan persinggungan yang cukup besar dengan badak jantan. Dinerstein (2003) juga mencatat bahwa ruang jelajah badak cenderung berubah menjadi lebih besar pada musim kering dan berubah menjadi lebih sempit di musim hujan. Berdasarkan informasi ini, maka pada kondisi badak jawa dalam penelitian ini ada dua faktor yang mempengaruhi ruang jelajah badak yaitu faktor teritorial dan faktor ketersediaan sumber daya pakan, dan kemungkinan situasi yang terjadi pada badak jawa:

94 64 1. Faktor teritorial: Badak jantan cenderung mempertahankan ruang jelajahnya sehingga di daerah dengan populasi padat (dan kemungkinan ada kehadiran badak jantan lainnya) badak memperkecil luas ruang jelajahnya walaupun persinggungan antara ruang jelajah dua ekor badak atau lebih sangat mungkin untuk terjadi. 2. Faktor ketersediaan sumber daya: daerah tersebut memiliki kelimpahan dalam ketersediaan pakan, kubangan, air, dan/atau mineral yang memadai sehingga badak tidak perlu memiliki ruang jelajah yang luas dan memungkinkan lebih banyak individu badak yang dapat mendiami suatu lokasi. Berdasarkan informasi perilaku dari kamera video otomatis dapat dilihat bahwa, selain pada musim kawin, badak hampir tidak pernah menunjukkan interaksi negatif (agresi) sesama spesies, bahkan beberapa data menunjukkan bahwa interaksi positif terjadi antara dua individu dewasa. Berdasarkan pengamatan bahwa perbedaan luas ruang jelajah kemungkinan besar diakibatkan oleh faktor yang disajikan pada butir 2 di atas. Faktor habitat yang menentukan luasnya ruang jelajah dan bukan faktor perilaku. Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh badak dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3. Analisis korelasi menggunakan koefisien Pearson menunjukkan bahwa ruang jelajah berkorelasi positif kuat dengan keragaman pakan (R= ) dan juga dengan jumlah kubangan (R=0.9998). Tabel 3. Rangkuman luas ruang jelajah dan jarak tempuh tiap ekor badak Badak no Luas ruang jelajah (ha) Total Jarak tempuh (km)

95 65 A B Gambar 11. Pola lintasan badak no 13 di Utara (A), badak 18 di Barat (B), dan badak no 12 di Selatan (C) beserta aktifitas dari masing-masing badak sebagaimana tercatat dalam survei lapangan. C

96 66 Palatabilitas dan Keragaman Pakan Beberapa contoh tumbuhan pakan badak jawa ditampilkan dalam Gambar 12 untuk menunjukkan jenis tumbuhan pakan berupa tumbuhan semak dengan daun lebar.kompilasi catatan tumbuhan pakan yang dikomsumsi oleh badak selama masa pengamatan terdiri dari 108 jenis tumbuhan, dan 94 dari 108 jenis tumbuhan ini dipilih sebagai perwakilan dari jenis tumbuhan pakan tersebut untuk menjalani analisis proksimat di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor. Hasil analisis proksimat tumbuhan pakan ini disajikan dalam Lampiran 2. Selain ruang jelajah yang berbeda, setiap badak menunjukkan variasi palatabilitas jenis pakan yang berbedabeda pula sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4. Perbandingan jenis tumbuhan palatabilitas tinggi dengan data kelimpahan pakan yang dikumpulkan oleh Rahmat et al. (2007) menunjukkan adanya indikasi keterkaitan antara tingkat palatabilitas tumbuhan pakan dengan kelimpahannya di lokasi tersebut. Tumbuhan dengan palatabilitas tinggi biasanya secara proporsional memiliki kelimpahan yang tinggi di lokasi tersebut. A B C Gambar 12. Beberapa contoh tumbuhan pakan badak Jawa yang tercatat dalam pengamatan di lapangan. Foto di atas menunjukkan jenis tumbuhan tepus: Amomum sp (A), Rotan: Calamus sp (B), dan Mara: Mallotus floribundus (C). Foto: Rsetiawan WWF Indonesia (2009)

97 67 Tabel 4. Badak jawa, lokasi, dan jenis pakan dengan palatabilitas tertinggi (persentase konsumsi basah rata-rata per hari) selama pengamatan bulan Oktober 2009 sampai April Badak no Blok Palatabilitas tertinggi 12 B52 Leea sambucina, Dracontomelon puberulum, Amomum megalocheilos, Spondias pinnata 13 B55 Zanthoxylum rhetsa, Lantana camara 18 B20 Diospyros macrophylla, Ficus hispida Keterangan: Nama lokal disajikan dalam Tabel 5 Jenis-jenis tumbuhan yang memiliki palatabilitas tinggi memiliki kadar lemak yang rendah ( %) dan energi yang memadai antara 3,521 4,151 kkal/kg. Kadar lemak yang rendah merupakan faktor yang perlu diperhatikan mengingat lemak adalah bahan baku dalam sintesa hormon steroid yang berperan penting dalam siklus reproduksi badak jantan maupun betina (Koolman & Röhm 2001). Kualitas dan Kuantitas Asupan Nutrien Analisis proksimat menunjukkan kandungan air, nutrien (protein dan lemak), serta energi dari masing-masing tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi seperti yang ditampilkan pada Tabel 5. Untuk melakukan penghitungan konsumsi bahan kering (KBK) yang besarnya 1% BB dari setiap ekor badak. Tabel 5. Komposisi nutrien dan energi dari tumbuhan pakan yang disukai badak jawa (palatabilitas tinggi). Tumbuhan pakan Nama Ilmiah Nama lokal Rataan Konsumsi segar (g/hr) Air (%) Protein (%) Lemak (%) Energi (kkal/kg) Leea sambucina Sulangkar 1, ,607 Dracontomelon p Dahu ,906 Amomum megalocheilos Tepus ,151 Spondias pinnata Kedondong ,62 3,005 Zanthoxylum Kitanah ,667 rhetsa Diospyros macrophylla Kicalung ,098 Ficus hispida Bisoro 1, ,721 Lantana camara Cente ,004 Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80% lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini.

98 68 Identifikasi Tumbuhan Pakan dengan Kualitas Nutrisi Tinggi Identifikasi tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dilakukan dengan memilih jenis-jenis tumbuhan pakan dengan kandungan nutrien dan energi yang paling tinggi berdasarkan data dari analisis proksimat. Jenis-jenis tumbuhan pakan ini ditampilkan dalam Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Daftar tumbuhan pakan dengan kandungan air, nutrien dan energi tertinggi Nama Ilmiah Nama Lokal Air g/100g Protein g/100g Lemak g/100g Energi kkal/kg Moringa citrifolia Cangkudu ,460 Callicarpa longifolia Areuy Katumpang ,110 Chisocheton Kilangir microcarphus ,656 Alstonia angustiloba Lame Peucang ,358 Callicarpa longifolia Areuy katumpang ,110 Macaranga spp Mara ,901 Derris thyorsifolia Areuy Kawao ,718 Pterospermum Bayur javanicum ,678 Percampyulus glances Geureung ,702 Paederia scandens Areuy kipuak ,951 Alstonia scholaris Lame koneng ,090 Costus speciosus Pacing ,247 Keterangan: Kadar air merupakan kadar yang diukur setelah sampel tumbuhan dikeringkan. Kadar air dalam tumbuhan segar memiliki angka 60-80% lebih tinggi dibanding angka dalam tabel ini. Bila informasi pada Tabel 4 (palatabilitas pakan) dan informasi pada Tabel 6 (pakan dengan kualitas nutrisi tinggi) dibandingkan, maka dapat dilihat bahwa hanya jenis tumbuhan pakan Zanthoxylum rhetsa (kitanah) yang merupakan tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi sekaligus juga tumbuhan dengan kandungan protein tinggi setara dengan kandungan protein pada Alstonia angustiloba (lame peucang). Fakta ini menunjukkan bahwa tumbuhan dengan kualitas yang paling baik belum tentu merupakan makanan yang paling banyak dimakan oleh badak jawa. Hal tersebut tergantung pada struktur vegetasi dengan ketersediaan pakan (kepadatan tumbuhan pakn) dengan kualitas nutrisi yang baik ini. Dengan mengacu pada kerapatan tumbuhan pakan yang disukai oleh badak jawa berdasarkan Rahmat et al.

99 69 (2007), maka kerapatan masing-masing tumbuhan pakan berkualitas baik dalam Tabel 6 idealnya tersedia dalam kerapatan: 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah); 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon. Konsumsi bahan kering berbanding lurus dengan asupan air, nutrien (lemak dan protein), serta energi. Data asupan harian dari komponen-komponen yang terdiri dari air, nutrien (protein & lemak), serta energi disajikan dalam Tabel 7. Data dari Tabel ini menunjukkan bahwa ada fluktuasi asupan harian yang menyebabkan asupan air, nutrient, dan energi tidak selalu tersedia dalam jumlah yang besar sepanjang tahun. Asupan air dari pakan berada pada tingkat yang rendah pada bulan November (setelah musim kering di bulan Oktober); asupan protein menunjukkan titik terendah di bulan Oktober (musim kering); asupan lemak menunjukkan titik terendah pada bulan-bulan Oktober, November, Februari, Maret; dan asupan energi dapat dilihat ada pada tingkat terendah pada bulan Desember. Fakta ini menunjukkan bahwa populasi badak jawa menghadapi waktu-waktu tertentu saat terjadi keterbatasan air, nutrien, dan energi. Kompilasi perhitungan total konsumsi air, nutrien, serta energi dari setiap badak sampel penelitian ini disajikan dalam Tabel 8. Analisis deskriptif pada rataan asupan bahan kering harian pada ketiga ekor badak menunjukkan adanya perbedaan antara badak 18 dengan kedua ekor badak lainnya (badak 12 dan 13). Hal ini disebabkan karena perbedaan bobot tubuh antara badak dewasa (badak 12 dan badak 13) dengan badak muda (badak 18) yang memiliki bobot badan lebih kecil.

100 70 Tabel 7. Data asupan nutrisi harian badak jawa Individu Bulan Asupan Harian (g/ek/h) Air Protein Lemak Energi (Kal/ek/h) BADAK 12 Oktober 6, , November 6, , , Desember 3, , , Januari 3, , , Februari 6, , , Maret 3, , , April 4, , , BADAK 13 Oktober 5, , , November 3, , , Desember 19, , , Januari 31, , Februari 18, , , Maret 3, , , April 7, , , BADAK 18 Oktober 3, , November 1, , Desember 12, , Januari 7, , Februari 8, , Maret 3, , April 1, , Keterangan: data diambil pada tahun Pada bulan-bulan dengan jumlah kejadian hujan yang rendah (Oktober- Desember dan Maret-April) nampak jumlah konsumsi air asal pakan yang rendah, kecuali pada badak no 12 yang menunjukkan konsumsi air yang tetap rendah di bulan Desember dan Januari. Analisis regresi pada data di atas menunjukkan adanya korelasi (koefisien Pearson = 0.87) dan hubungan linear positif (R 2 = 0.76) antara rata-rata kejadian hujan per bulan dengan kadar air pada tumbuhan pakan. Hasil analisis ini menunjukkan adanya kecenderungan jumlah kandungan air asal pakan yang dipengaruhi oleh curah hujan.

101 71 Tabel 8. Rataan asupan air, protein, lemak, dan energi per ekor per hari pada tiga ekor badak yang diamati dalam penelitian. Kode Badak Air (g/ek/h) Protein (g/ek/h) Lemak (g/ek/h) Energi (kkal/ek/h) 12 5, , , , , , , , Kecernaan Perhitungan kecernaan berat kering (BK) menggunakan metode Van Keulen (1977) menunjukkan bahwa tingkat kecernaan pada sistem digesti badak yang diamati dalam penelitian ini berada pada rentang 77% sampai 91% dengan rata-rata 83%dan rentang kecernaan terkoreksi pada 69.3%-81.9% sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 8. Rentang ini cukup besar bila dibandingkan dengan rentang kecernaan pada badak lain berdasarkan literatur. Perbedaan kecernaan ini menunjukkan adanya suatu implikasi yang terjadi akibatperbedaan kondisi ketersediaan pakan yang dihadapi oleh badak di habitat alaminya. Pagan et al. (1998) menunjukkan adanya perubahan persen kecernaan akibat perbedaan diet dan tingkat aktifitas pada kuda, hewan yang memiliki anatomi dan sistem pencernaan yang sama dengan badak. Perbedaan pakan yang tersedia bagi badak serta perbedaan tingkat aktifitas yang dilakukan masingmasing badak dapat menyebabkan perbedaan dan rentang kecernaan seperti ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan terdiri dari: umur, kualitas pakan, status hewan, jumlah konsumsi dan laju pakan (McDonald, 2002). Tabel 9. Persen kecernaan berat kering dari tiga ekor badak dengan koreksi 10% menurut Mainka et al.(1989) Kode Badak AIA Pakan AIA Feses % kecernaan % kecernaan terkoreksi % 81.9% % 69.3% , % 71.1% Tabel 9 menunjukkan bahwa individu badak nomor 12 tersebut memiliki tingkat kecernaan pakan yang paling tinggi disertai dengan jumlah palatabilitas pakan terbanyak berdasarkan informasi dari Tabel 4. Badak 12 yang merupakan badak

102 72 dewasa tua dengan ruang jelajah terkecil memiliki palatabilitas jenis pakan yang lebih beragam dibandingkan dengan badak 13 dan badak 18. Selain faktor kondisi habitat, kecernaan juga dipengaruhi faktor usia, fisiologi, dan juga genetika dari hewan yang diamati. Kecernaan terkoreksi yang dihitung dengan metode AIA dalam penelitian ini (69.3%-81.9%) dapat dibandingkan dengan kecernaan pada badak sumatra (Koleksi total): 57.49% % (Mundiany et al. 2005), dan perbandingan ini menunjukkan bahwa ada kemiripan dalam hal kecernaan berdasarkan kedua metode ini yaitu pada pada rentang kecernaan berat kering 69.3%-80.45%. Informasi ini menunjukkan kemungkinan adanya kompatibilitas antara kedua metode (AIA dan koleksi total) dalam menghitung kecernaan pada badak. Kecernaan pada badak jawa berada pada rentang yang sebanding dengan perhitungan kecernaan pada badak Sumatra menggunakan koleksi total. Fakta ini menunjukkan bahwa perhitungan kecernaan menggunakan metode AIA adalah kompatibel dengan perhitungan kecernaan menggunakan metode koleksi total.pengukuran dengan metode AIA biasanya mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan metode koleksi total, hal ini disebabkan saat pengambilan sampel feses secara kualitatif. Kajian RisikoToksisitas Lantaden Berdasarkan jumlah asupan Lantana camara yang tercatat di lapangan, estimasi asupan lantaden perhari pada ketiga ekor badak dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 10 di bawah ini. Rataan asupan Lantana camara dari Tabel 10 ini menunjukkan bahwa badak mengkonsumsi lantana kering: g/ekor/hari atau setara dengan asupan lantaden sebesar rataan g/ek/hari. McSweeney & Pass (1983) menunjukkan bahwa jumlah asupan Lantana camara dengan dosis 4g/kg berat badan yang setara dengan konsumsi Lantana kering sebanyak 4,000 g/ek/hari pada badak berbobot 1 ton (dosis lantanden g/ek/hari) akan menyebabkan kerusakan pada hati yang ditunjukkan dengan gejala klinis berupa ruminal stasis seperti yang terjadi pada domba. Asupan yang terjadi pada badak masih lebih kecil dibandingkan dengan dosis ini.

103 73 Tabel 10. Estimasi penghitungan asupan antinutrisi lantaden harian melalui konsumsi tumbuhan Lantana camara pada badak jawa (g/ek/h) Badak no Rataan konsumsi Lantana Konsumsi Lantaden harian(g/ek/h) harian(g/ek/h) Tabel 10 menunjukkan bahwa badak jawa juga nampaknya menghadapi risiko dari konsumsi toksin lantaden di daerah-daerah tertentu di mana tumbuhan pakan badak banyak didominasi oleh jenis Lantana camara. Badak nomor 13 menunjukkan jumlah asupan tumbuhan Lantana sp dan juga toksin lantaden yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya dalam penelitian ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu badak nomor 13 tersebut memiliki ruang jelajah dengan dominasi tumbuhan Lantana sp yang tumbuh di areal pakan yang dikunjunginya. McFadyen (1998) menunjukkan bahwa pengendalian tumbuhan Lantana sp dapat dilakukan secara mekanis dan biologis, dan dapat menjadi bagian dari pengelolaan habitat badak berbasis nutrisi dan kesehatan. Ketersediaan Garam dan Air di Lokasi Kubangan Analisis kandungan NaCl dalam tanah disajikan dalam box plot pada Gambar 13. Diagram ini menunjukkan bahwa lokasi 1 dan 2 (blok Cikeusik dan Cigenter) tempat individu 12 dan 18 masing-masing berada memiliki kadar NaCl yang tinggi dan kemungkinan besar menarik bagi badak sebagaimana dijelaskan oleh Rahmat et al. (2007). Nilai tengah kandungan NaCl berada dalam kisaran 5-60 ppm dengan beberapa pengecualian lokasi di muara cigenter (lokasi 2) yang memiliki outlier kandungan NaCl yang sangat tinggi. Tingginya kadar garam ini dapat disebabkan oleh lokasi daerah tersebut yang berada di daerah pasang surut yang terkadang terendam oleh air laut saat pasang. Air laut yang menggenangi lokasi ini menyebabkan kadar garam di daerah ini menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi ataupun daerah lainnya. Ketersediaan garam seperti ini akan membantu proses absorpsi nutrien (termasuk glukosa) dari saluran cerna ke dalam darah. Efisiensi absorpsi seperti ini akan membantu proses penyediaan energi dalam kondisi cekaman ataupun meningkatkan kemampuan badak dalam mempertahankan homeostasis.

104 Gambar 13.Rentang kandungan NaCl dalam tanah di empat lokasi kubangan yang berada dalam lingkup ruang jelajah tiga ekor badak jawa yang diamati dalam penelitian. 74

105 75 Simpulan dan Saran Simpulan 1. Metode penyusuran lintasan (trajektori) merupakan suatu cara yang memiliki peluang keberhasilan tinggi dan berpotensi untuk diterapkan sebagai prosedur pemantauan kualitas nutrisi yang dapat diterapkan untuk pemantauan kecukupan nutrisi badak di habitat alaminya. 2. Hasil analisis komposisi pakan di lapangan menunjukkan bahwa pakan yang memiliki palatabilitas tinggi terdiri dari: Leea sambucina (Sulangkar), Dracontomelon puberulum (Dahu), Amomum megalocheilos (Tepus), Spondias pinnata (Tepus), Zanthoxylum rhetsa (Kitanah), Diospyros macrophylla (Kicalung), dan Ficus hispida (Bisoro). 3. Badak 12 menghuni daerah dengan keragaman pakan yang cukup tinggi dengan kualitas pakan yang relatif tinggi protein dan energi. Hal ini menunjukkan struktur vegetasi yang memadai di ruang jelajah badak 12, sehingga hewan ini tidak memerlukan ruang jelajah yang besar. 4. Jenis pakan ideal yang kaya nutrisi (protein dan lemak) serta energi bagi badak jawa terdiri dari tumbuhan: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energi tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi). 5. Ada indikasi kualitas air, nutrien, dan energi yang kurang memadai pada waktu-waktu tertentu (periode kering Oktober-November 2009 dan Februari- Maret 2010), terutama kandungan protein dan lemak yang rendah pada tumbuhan dengan palatabilitas tinggi. Defisit nutrien lemak akan mempengaruhi proses sintesa hormon steroid yang berfungsi dalam siklus reproduksi. Secara keseluruhan konsumsi nutrien badak jawa masih memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup dengan tingkat kecernaan yang tinggi. 6. Perbandingan hasil berdasarkan metode AIA dan koleksi total ini menunjukkan bahwa metode AIA sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode koleksi total dan dapat digunakan dalam menghitung kecernaan pada satwa liar dimana metode koleksi total tidak dapat dilakukan.

106 76 7. Asupan toksin lantaden melalui konsumsi Lantana camara yang terjadi pada badak jawa tidak akan menimbulkan dampak pada kesehatan karena jumlahnya yang sangat kecil (23.63 mg/ek/hari) atau 2.36 x 10-7 % dari berat badan badak. 8. Kebiasaan menjilat lumpur (salt licking) merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan garam, karena ada kandungan garam yang memadai pada lumpur dan tanah di sekitar kubangan. Saran 1. Perlu pengkajian potensi persemaiantumbuhan pakan bernutrisi tinggi untuk dikembangkan sebagai bagian dari upaya pengkayaan habitat badak jawa. 2. Dengan berpedoman pada hasil analisis vegetasi yang dilakukan oleh Rahmat et al. (2007), optimalisasi habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon perlu dilakukan dengan memperluas sebaran dan memperbanyak ketersediaan tumbuhan (sebutkan 5 terbaik) dengan formulasi kerapatan: 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon.

107 77 Daftar Pustaka Birkett A, Stevens-Wood B, Effect of low rainfall and browsing by large herbivores on an enclosed savannah habitat in Kenya. African journal of ecology 43: Clauss M, et al Studies on digestive physiology and feed digestibilities in captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) Dinerstein E, The return of the unicorns. The natural history and conservation of the greater one-horned rhinoceros. Columbia Universtiy Press, New york Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM Mitochondrial DNA analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia University Hariyadi ARS, et al Estimating the population structure of the Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park using the mark-recapture method based on camera and video trap identification. Pachyderm no 49: Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed] Atlas berwarna dan teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta Mainka SA, Zhao GL, Li M, Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and wildlife medicine 20:39-44 McFadyen REC, Biological control of weeds. Annual review of entomology 43: McSweeney CS, Pass MA, The mechanism of ruminal stasis in Lantanapoisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: Mundiany L, Agil M, Astuti DA, Studi Kasus: Estimasi Gambaran Nutrien pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) Jantan di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor Pagan JD, et al Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage and mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional sciences. J. Nutr. 128: 2704S-2707S Purchase D, Using spoor to determine the age and weight of subadult black rhinoceroses (Diceros bicornis L). South African Journal of Wildlife Research 37(1):

108 78 Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP, Analisis Tipologi Habitat Preferensial bagi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Institut Pertanian Bogor Sharma OP, Singh A, Sharma S, Levels of lantadene, bioactive pentacyclic triterpenoids, in young and mature leaves of Lantana camara var acuelata. Fitoterapia 71(5): Sims JA, et al Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by giant pandas. Ursus 18(1): Sriyanto A, et al A Current status of the Javan Rhino population in Ujung Kulon National Park. Javan Rhino Colloquium VanKeulen J, Young, BA Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural Marker in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no: White AM, Swaisgood RR, Czekala N, Ranging patterns in white rhinoceros, Ceratotherium simum simum: implications for mating strategies. Animal behaviour (74):

109 PENENTUAN ASAI HORMON GLUKOKORTIKOID UNTUK MEMANTAU INDIKATOR CEKAMAN PADA BADAK JAWA JANTAN. Abstrak Salah satu aspek penting dalam pengelolaan populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon Banten adalah upaya untuk mempelajari dan memantau tingkat cekaman yang dihadapi oleh badak jawa di habitatnya. 3α,11βdihydroxy-CM dari feses merupakan metabolit glukokortikoid yang diduga dapat digunakan untuk analisis tingkat cekaman pada badak jawa. Kajian cekaman dilakukan pada tiga individu (badak 12, 13, dan 18) dengan tingkat asupan pakan dan nutrien yang berbeda dan juga antar musim untuk mempelajari variasi kadar glukokortikoid di musim kering dan musim hujan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya fluktuasi pada profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada individu badak 12 dan 18 selama musim kering, dan individu 18 (individu muda) memiliki fluktuasi 3α,11β-dihydroxy-CM yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa individu nomor 18 tersebut mengalami cekaman yang fluktuatif yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kekeringan, namun mungkin pula disebabkan oleh cekaman akibat rendahnya asupan energi asal pakan per berat badan (%), dan juga disebabkan oleh adanya interaksi sosial dengan badak dewasa. Musim kering yang memiliki jumlah kejadian hujan yang rendah yaitu rataan 0.2 kejadian hujan setiap harinya cenderung menyebabkan cekaman yang tinggi pada badak. Penelitian ini menunjukkan bahwa defisit energi asal pakan dan keterbatasan air merupakan sumber cekaman yang besar bagi badak jawa. Kata kunci: badak jawa, hormon, cekaman, EIA

110 80 Analysis of 3α,11β-dihydroxy-CM profile for indicator of stress on male javan rhinoceros Abstract One of the most important aspects in conservation of javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Banten was to study and to monitor the levels of stress that the animals faced in their habitat.there was an indication that 3α,11β-dihydroxy-CM from feces was a glucocorticoid metabolite that could potentially be used for analyzing the levels of stress in javan rhino. Assessment was done to study stress variations among the three rhinos (rhino 12,13 and 18) that had different levels of feed intake, as well as to study variations of glococorticoid levels in dry and rainy seasons. The result from this study showed that there was a fluctuation in 3α,11β-dihydroxy-CM levels in rhino number 18 and 12, while rhino number 18 (a young rhino) showed a large fluctuation in 3α,11β-dihydroxy-CM level. This indicated that this young rhinoexperienced fluctuative stress that may be caused not only by energy intake deficit (energy intake per body weight) and water deficit, but also by social interactions involving adult males in the same home range. Dry season where the daily rain occassion is low (0.2 rain occurrences per day) tend to cause higher stress for the rhinos. This research shows that the deficit in energy intake per body weight (%) and water limitation are among the biggest sources of stress for rhino population. Key words: Javan rhinoceros, hormones, stress, EIA

111 81 Pendahuluan Mekanisme dan Respons Individu terhadap Cekaman Seperti halnya hewan mamalia lainnya, badak jawa menghadapi berbagai macam kondisi yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Kondisi yang mengancam keseimbangan fungsi fisiologis ini didefinisikan sebagai sumber cekaman atau stressor (Morgan & Tromborg 2007). Dengan adanya cekaman ini, badak jawamelakukan proses tanggap cekaman melalui mekanisme yang melibatkan berbagai proses pengiriman sinyal melalui sistem saraf, sistem endokrin, dan juga melibatkan proses adaptasi fisiologis. Proses-proses tersebut merupakan mekanisme tanggap cekaman yang dilakukan oleh hewan untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme (homeostasis). Salah satu strategi dalam mempertahankan homeostasis ini adalah dengan produksi hormon-hormon seperti adrenalin dan kortisol yang dapat membantu penyediaan energi secara cepat. Uji coba Induksi cekaman pada hewan model kuda dalam salah satu bagian penelitian disertasi ini telah membuktikan bahwa kadar kortisol dalam darah meningkat secara signifikan.hal ini menandakan adanya peningkatan aktifitas korteks adrenal melalui mekanisme pengaturanporos hipotalamus-pituitari-adrenal. Sekresi hormon-hormon tersebutkemudian beredar di dalam darah dan mendorong proses glukoneogenesis dan lipolisis (Koolman & Röhm 2001) sebagai upaya untuk menyediakan energi secara cepat sebagai upaya mempertahankan keseimbangan fungsi fisiologis tubuh dalam kondisi cekaman. Cekaman dari lingkungan yang dirasakan oleh badak diterima langsung oleh berbagai reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh yang mengirimkan sinyal ke pusat nyeri yang kemudian mengirimkan sinyal cekaman ke hipotalamus (Baron 2006), adapun cekaman fisiologis akibatperubahan komposisi kimia darah (hipoglisemia, toksin) juga mengirimkan sinyal cekaman kepada hipotalamus ini. Demikian pula dengan perubahan pada nutrisi yang dapat dideteksi di dalam saluran pencernaan serta pusat termoregulasi yang mengirimkan sinyal kepada hipotalamus dalam kondisi adanya cekaman (Coenen 2005). Sinyal cekaman yang diterima oleh hipotalamus ini kemudian dilanjutkan dengan reaksi tanggap cekaman yang dikenal dengan aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) yang berujung pada peningkatan aktifitas korteks adrenal dan adanya peningkatan sekresi hormon cekaman seperti adrenalin dan kortisol tergantung dari sifat cekaman tersebut (akut atau kronis).reaksi tanggap cekaman juga

112 82 dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku yang dimediasi oleh proses neuroendokrin yang melibatkan pengiriman sinyal oleh sistem saraf yang kemudian memicu sekresi hormon. Perubahan ini merupakan mekanisme perilaku stress avoidance yang memungkinkan hewan tersebut untuk mendeteksi dan menghindari sumber cekaman (Dickens et al. 2010). Gambar 14. Reaksi biokimia yang merupakan proses tanggap terhadap cekaman bagi mamalia (sumber: Coenen 2005).

113 83 Definisi Cekaman Dickens et al. (2010) menjelaskan bahwa badak memiliki mekanisme tanggap cekaman yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis atau keseimbangan fisiologi di dalam tubuh. Mekanisme ini memiliki proses yang berbeda terhadap sumber cekaman akut yang berupa tekanan tunggal yang segera ditanggapi dengan mekanisme fight or flight hasil dari mediasi sistem saraf simpatetik. Bila sumber cekaman ini berlangsung berulang-ulang atau berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka cekaman ini menjadi kronis (Wingfield & Romero 2001). Kedua jenis cekaman ini memberikan stimulasi terhadap hipotalamus dan memberikan respons berupa peningkatan aktifitas adrenal korteks yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan sekeresi hormon glukokortikoid (Barja et al. 2007) pada berbagai hewan termasuk badak (Turner Jr et al. 2002; Menargues et al. 2008). Selain kadar hormon glukokortikoid, cekaman akut dan kronis menimbulkan reaksi yang berbeda pada metabolisme dan sistem pertahanan tubuh hewan. Hal ini sangat relevan dengan keadaan yang dihadapi oleh badak jawa di habitatnya yang mengalami defisit pakan dan juga defisit air pada musim kering. Individu badak no 12 dipilih sebagai sampel untuk mewakili kondisi defisit pakan karena individu ini menunjukkan ruang jelajah yang paling kecil dengan jumlah asupan, keragaman pakan, dan juga kualitas nutrisi yang paling rendah dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya. Kondisi defisit air di habitat badak jawa didefinisikan sebagai musim kering saat ketersediaan sumber air bagi badak di Taman Nasional Ujung Kulon diprediksi menurun berdasarkan skenario perubahan iklim (Permadi 2008). Musim kering ini memiliki karakteristik berupa curah hujan yang rendah, dan oleh karena itu, data hormon untuk menggambarkan kondisi defisit air didefinisikan sebagai kadar hormon pada bulan-bulan dengan curah hujan yang rendah berdasarkan jumlah kejadian hujan per hari pada bulan tersebut. Hormon Terkait Cekaman Beserta Metabolitnya Kadar hormon kelompok glukokortikoid yang merupakan respons dari aktifitas Adrenocorticotrophin Hormone (ACTH) telah banyak digunakan sebagai indikator adanya stress pada berbagai spesies hewan seperti: anjing (Schoeman et al. 2007), karnivora (Young et al. 2004), Kerbau (Garg & Chander 1997), pengerat (Soto- Gamboa et al. 2009), dan sapi perah (Morrow et al. 2000). Selain kortisol, indikator

114 84 hormon stres lainyang dapat digunakan untuk mengukur cekaman pada hewan adalah kortikosteron (Wasser et al. 2000). Kejadian cekaman dapat juga diukur dengan indikator metabolit kortisol yang diekskresikan dalam feces dan/atau urin seperti androstenediol yang meningkat seiring adanya cekaman pada hewan (peningkatan aktifitas pada korteks adrenal) sebagaimana dijelaskan dalam Barja et al. (2007). Salah satu metabolit kortisol yang memiliki potensi sebagai indikator adanya aktifitas korteks adrenal akibat cekaman adalah 3α,11β-dihydroxy-CM (Ghalib et al. 2011). Kortisol merupakan hormon cekaman yang disekresikan oleh kelenjar adrenal dan dieksresikan melalui feses ataupun urin seperti yang ditampilkan pada Gambar 14. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa kortisol yang telah diekskresikan melalui feses ataupun urine sudah mengalami inaktivasi dimana hormon tersebut sudah mengalami konversi metabolik, konjugasi dan reduksisehingga akan diekskresikan sebagai metabolit dari kortisol. Oleh karena itu, dalam merancang suatu metoda untuk memantau tingkat cekaman berdasarkan kadar hormon pada feses, opsi untuk mendeteksi metabolit kortisol telah dikembangkan dan digunakan untuk memastikan bahwa tingkat hormon cekaman tetap dapat diukur walaupun hormon kortisol telah mengalami perubahan karena flukutasi cekaman berkorelasi positif dengan fluktuasi kortisolatau kortikosteron (Wasser et al. 2000). Pada hewan monitoring stress dapat dilakukan dengan menganalisa metabolit glukokortikoid 5-beta-androstendiol pada sampel (Barja et al. 2007) dan pada hewan dengan menganalisa 3α,11β-dihydroxy-CM pada sampel. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan populasi badak jawa saat ini adalah tidak adanya perangkat yang dapat digunakan untuk memantau tingkat cekaman yang dihadapi badak jawa dengan tepat. Kendala ini mengakibatkan kurangnya informasi yang diperlukan untuk meningkatkan peluang untuk berkembang biak dan bertahan dari penyakit. Sampai saat ini belum diketahui tentang indikator yang dapat digunakan untuk memantau tingkat cekaman pada badak jawa dari feses, belum ada informasi mengenai profil glukokortikoid pada badak, dan belum ada analisis mengenai kemungkinan adanya perbedaan profil glukokortikoid (sebagai reaksi tanggap terhadap cekaman) antar individu badak maupun perbedaan profil glukokortikoid antara kondisi musim (kering dan penghujan).

115 85 Tujuan Penelitian Dengan mempertimbangkan potensi dari penggunaan metabolit glukokortikoid pada sampel feses, dan juga mengingat adanya kebutuhan untuk memantau tingkat cekaman dan kapasitas reproduksi pada hewan langka seperti badak jawa, maka penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi indikator yang potensial untuk digunakan dalam analisis profil glukokortikoid pada feses badak jawa. 2. Mempelajari karekteristik profil glukokortikoid asal feses pada individu badak yang digunakan pada penelitian. 3. Mempelajari hubungan antara faktor cekaman (defisit air) dengan profil glukokortikoid asal feses pada badak jawa. Penelitian ini dirancang untuk menguji hipotesis bahwa metabolit hormon asal feses badak jawa dapat digunakan sebagai indikator status dan profil glukokortikoid

116 86 Bahan dan Metode Penetapan FaktorCekaman di Habitat Badak Jawa Cekaman di habitat badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon didefinisikan dalam dua faktor yaitu faktor asupan pakan dan faktor ketersediaan air. Faktor pakan dibedakan dengan jumlah asupan pakan dan nutrisi setiap ekor badak seperti yang telah dirangkum dalam Tabel 7 pada penelitian tentang asupan dan nutrisi. Ketersediaan air diwakili oleh musim dengan membedakan bulan-bulan berdasarkan jumlah kejadian hujan per hari yang dicatat oleh pengamat selama berada di habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon. PenetapanSampel Feses Badak jawa adalah salah satu spesies hewan yang sudah langka dan sangat sulit untuk dijumpai di habitat alaminya. Selain itu, sampai saat ini belum ada Badak Jawa yang berada di penangkaran ataupun di kebun binatang. Oleh karena itu, pengambilan sampel darah untuk kepentingan analisis hormon hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Salah satu hal yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan analisis hormon berdasarkan sampel feses sebagaimana pernah dilakukan oleh Santymire & Armstrong (2009) pada spesies anjing liar. Konsep yang sama dicoba diterapkan pada badak jawa dengan syarat bahwa sampel feses yang digunakan dalam analisis ini harus berada dalam kondisi segar (kurang lebih jam).analisis hormon dari feses badak dirancang untuk dapat mempelajari perbedaan hormon (terkait cekaman dan reproduksi) antar individu dan juga antar musim. Tahap induksi cekaman pada hewan model dalam rangkaian penelitian ini menunjukkan bahwa defisit pakan menyebabkan meningkatnya cekaman (ditunjukkan dengan meningkatnya kadar kortisol dalam darah), dengan demikian, pengukuran kadar hormon stress dilakukan untuk menguji apakah pola yang sama juga terjadi pada badak yang mengalami cekaman (defisit pakan dan juga defisit air).

117 87 Pengumpulan Sampel Feses Feses badak merupakan tumpukan yang terdiri dari beberapa boli, dan kesegaran feses tersebut dapat ditentukan dari warna, kelembaban, serta keberadaan serangga yang mengelilinginya. Feses segar biasanya berwarna coklat kehijauan dengan kelembaban permukaan yang khas karena masih mengandung lapisan lendir (tidak lebih dari satu jam sejak ekskresi), serta masih banyak dikelilingi serangga lalat. Dengan memperhitungkan jarak antara pengamat dengan badak berdasarkan jejak dan dengan prosedur pengamatan yang mengharuskan pengamat berada jam (maksimum 1.25 hari) di belakang badak yang diamatinya, maka dapat disimpulkan bahwa feses yang dikumpulkan berdasarkan kriteria di atas berusia tidak lebih dari 30 jam sejak defekasi.sampel feses dikumpulkan dalam periode waktu yang sama (musim hujan atau musim kering) untuk dibandingkan dalam musim yang sama. Lima gram feses segar (diukur berdasarkan jumlah feses yang dapat diambil dengan menggunakan sendok kayu khusus) diambil untuk analisis hormon. Feses yang relatif segar dapat menjamin ketersediaan hormon kortisol serta metabolitnya untuk digunakan dalam analisis hormon. Sampel feses untuk analisis hormon dengan EIA dipreservasi (diawetkan) dalam 25 ml etanol 90% (teknis) dan disimpan dalam botol plastik 50 ml untuk kemudian dikirim ke laboratorium Unit Reproduksi dan Rehabilitasi di Institut Pertanian Bogor untuk disimpan dalam freezer dengan suhu -20 o C. Pemilihan Indikator Kadar Hormon Cekaman Asal Feses Indikator kadar hormon cekaman dipilih berdasarkan kemungkinan adanya hormon cekaman (glukokortikoid) maupun metabolitnya di dalam feses. Kit yang tersedia untuk asai ini adalah: kortisol (Produksi DRG Jerman), kortikosteron (Produksi CUSABIO,Cina), dan 3α, 11β-dihydroxyetiocholanolone (3α,11β-dihydroxy-CM) yang dikembangkan oleh German Primate Centre di Gottingen, Jerman dan asainya dilakukan di laboratorium Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) IPB, Bogor. Setiap kit/indikator ini digunakan dalam uji paralelisme untuk menentukan kelayakan kit dan indikator tersebut dalam asai hormon. Uji paralelisme digunakan sebagai prosedur baku untuk menguji kelayakan sebuah kit atau antibodi bila digunakan dalam assay hormon yang dimaksud. Kurva yang dihasilkan dari assay pada sampel harus menunjukkan paralel (tidak ada kemungkinan persinggungan atau perpotongan) denga kurva baku yang sudah

118 88 ditentukan dari produsen kit. Kurva baku ini dibuat berdasarkan kalibrasi perikatanyang spesifik antara antibodi dan antigen yang digunakan dalam kit tersebut (Francois-Gerard et al. 1988). Schoeneker et al. (2004) menjelaskan bahwa selain untuk validasi kelayakan penggunaan kit atau antibodi tertentu uji paralelisme juga diperkuat dengan penghitungan variasi intra-assay and inter-assay. Kretzschmar et al. (2004) menggunakan assay EIA pada badak putih Afrika dan mencari faktor pencairan (dilution factor) yang paling optimal. Titik perikatan (binding) 50% dimana setengah dari penanda dapat melekat pada antibodi merupakan titik ideal untuk menentukan faktor pencairan. Faktor pencairan di luar rentang tersebut akan mengurangi akurasi dari asai hormon yang dilakukan. Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi ketepatan asai hormon yang digunakan adalah cross reactivity atau reaktifitas silang antara penanda / antibodi yang digunakan untuk asai sebuah hormon yang dapat juga mendeteksi hormon lain (atau metabolitnya) yang tidak diharapkan, oleh karena itu reaktifitas silang yang tinggi antara dua hormon atau lebih akan secara signifikan mengurangi ketepatan asai hormon yang digunakan (Agil et al. 2008). 5-beta-androstenediol sebagai salah satu metabolit glukokortikoid merupakan antibodi yang tidak memiliki reaktifitas silang dengan hormon lain dan hanya memiliki tingkat reaktifitas silang dibawah 0.5% dengan testosteron. 5-beta-androstenediol ini memiliki reakfitas silang 1.49% dengan androstenedione yang digunakan dalam assay testosteron (Brown et al. 2002). 3α, 11βdihydroxy-CM merupakan antibodi yang belum pernah digunakan pada sampel feses badak jawa dan memiliki kemungkinan terjadi reaktifitas silang dengan androgen karena antibodi ini mendeteksi metabolit kortisol dan juga metabolit androgen yang memiliki 19 karbon dalam rangkaian molekulnya. Persiapan Sampel Feses Sebagai prosedur baku dalam kajian hormon dari feses, maka penggunaan kit kortisol, kortikosteron, dan 3α,11β-dihydroxy-CM pada feses harus menjalani uji validitas menggunakan uji paralelisme. Uji validitas ini merupakan langkah penting untuk menentukan kekuatan validitas dari EIA untuk kajian kuantitatif (Francois- Gerard et al. 1988). Kit Kortisol (produksi DRG, Jerman), Kortikosteron (Produksi CUSABIO, Cina), dan antibodi 3α,11β-dihydroxy-CM digunakan untuk melakukan uji paralelisme pada sampel feses badak jawa yang telah dikumpulkan.

119 89 Setiap sampel yang dikumpulkan dari lapangan diproses dengan metode yang dijelaskan dalam Ziegler & Wittwer (2005). Ekstraksi dilakukan dengan mencairkan sampel yang berada dalam kondisi beku sampai kondisi sampel yang berada dalam larutan fiksasi etanol 90% (teknis) kembali menjadi cair dan larutan fiksasi menguap secara menyeluruh dan menyisakan sampel feses dalam kondisi kering. Ekstraksi g dari sampel feses dilanjutkan dengan mencampur feses tersebut dengan 2.5 ml etanol 90% dan 2.5 ml akuades. Campuran diaduk di dalam tabung plastik secara merata dengan mengguncang tabung tersebut. Setelah tercampur, larutan ini kemudian disentrifugasi selama lima menit untuk memisahkan cairan dengan partikel padat yang merupakan ekstrak untuk digunakan dalam assay kortisol, kortikosteron, dan 3α,11βdihydroxy-CM. Asai Kortisol Kit kortisol produksi DRG Jerman bekerja dengan sistem ELISA kompetitif dan terdiri dari: sumur mikrotiter (96 sumur) yang sudah dilapisi dengan antibodi antikortisol monoclonal, larutan standard dengan pengawet Proclin 0.3%, Konjugat enzim kortisol-horseradish peroxidase dengan menggunakan pengawet Proclin 0.3%, Larutan substrat tetrametilbenzidin (TMB), larutan stop yang mengandung 0.5 M H 2 SO 4. Asai kortisol ini memiliki karakteristik rentang asai ng/ml dan konsentrasi untuk kurva standard pada 800ng/ml, 400ng/ml, 200ng/ml, 100ng/ml, 50 ng/ml, 20 ng/ml, dan 0 ng/ml; reaktifitas silang dengan kortisol (100%), Kortikosteron (45%), Progesteron (95%), Deoxycortisol dan Dexametason (masing-masing 2%), estron, estriol, dan testosteron (masing-masing dibawah 0.01%); sensitifitas 2.5 ng/ml (6.9 nmol/l); presisi intra asai 3.2%-8.1% (20 repetisi); dan presisi inter asai 6.6%-7.7% (20 repetisi). Prosedur Asai Kortisol 1. Sumur-sumur pada lempeng mikrotiter (plate) ditempatkan sesuai nomor dan dipastikan tidak bergeser µl standard, kontrol, dan sampel ditempatkan di sumur yang telah disediakan dengan menggunakan ujung mikropipet yang baru untuk setiap sampel µl konjugat enzim diteteskan di setiap sumur dengan menggunakan mikro pipet. 4. Semua larutan diaduk dengan sempurna selama 10 detik.

120 90 5. Inkubasi dilakukan selama 60 menit tanpa menutup sumur pada lempeng mikrotiter. 6. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas dengan menggunakan larutan pencuci (400 µl setiap sumur). Sisa tetes larutan dikeringkan dengan bantuan kertas penyerap µl larutan substrat diteteskan di setiap sumur yang sudah kering 8. Inkubasi dilakukan selama 15 menit pada suhu ruangan 9. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan larutan stop sebanyak 100 µl ke setiap sumur. 10. Lempeng mikrotiter dibaca dengan menggunakan optical density (OD) 450 +/- 10 nm tidak lebih dari 10 menit setelah larutan stop diberikan. Asai Kortikosteron Kit kortikosteron produksi CUSABIO Cina terdiri dari: sumur mikrotiter (96 sumur) yang sudah dilapisi dengan antibodi anti-kortikosteron monoclonal, larutan standard, Konjugat enzim HRP, Larutan substrat A dan B, larutan stop yang mengandung 0.5 M H 2 SO 4. Asai kortikosteron ini memiliki karakteristik rentang asai ng/ml dan konsentrasi untuk kurva standard pada 160ng/ml, 40ng/ml, 10ng/ml, 2.5ng/ml, dan 0.63 ng/ml; tidak ada reaktifitas silang; sensitifitas dibawah 0.4 ng/ml; presisi intra asai di bawah 10% (20 repetisi); dan presisi inter asai dibawah8% (35 repetisi). Prosedur Asai Kortikosteron 1. Sumur-sumur pada lempeng mikrotiter (plate) ditempatkan sesuai nomor dan dipastikan tidak bergeser µl standard, kontrol, dan sampel ditempatkan di sumur yang telah disediakan dengan menggunakan ujung mikropipet yang baru untuk setiap sampel µl konjugat enzim dan 50 µl antibodi diteteskan di setiap sumur dengan menggunakan mikro pipet. 4. Semua larutan diaduk dengan sempurna selama 10 detik. 5. Inkubasi dilakukan selama 60 menit tanpa menutup sumur pada lempeng mikrotiter pada suhu 37 0 C.

121 91 6. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas dengan menggunakan larutan pencuci (200 µl setiap sumur). Aduk selama 10 detik, buang semua larutan, dan sisa tetes larutan dikeringkan dengan bantuan kertas penyerap µl larutan A dan 50 µl larutan Bpewarna diteteskan di setiap sumur yang sudah kering. 8. Inkubasi dilakukan selama 15 menit pada suhu ruangan 9. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan larutan stop sebanyak 50 µl ke setiap sumur dan aduk selama 1-2 detik sampai warna merata. 10. Lempeng mikrotiter dibaca dengan menggunakan optical density (OD) 450 +/- 10 nm tidak lebih dari 10 menit setelah larutan stop diberikan. Asai 3α,11β-dihydroxy-CM Kit 3α,11β-dihydroxy-CM yang terdiri dari: sumur mikrotiter (96 sumur) yang sudah dilapisi dengan antibodi anti- 3α,11β-dihydroxy-CM monoclonal, larutan standard, Konjugat enzim 3α,11β-dihydroxy-CM, Larutan substrat tetrametilbenzidin (TMB), larutan stop yang mengandung 0.5 M H 2 SO 4. Asai 3α,11β-dihydroxy-CM ini memiliki karakteristik rentang konsentrasi hormon pada standar kurvanya antara 0.6 ng/ml sampai dengan 78 ng/ml dengan konsentrasi untuk kurva standar adalah 78ng/ml, 39ng/ml, 19.5ng/ml, 9.6ng/ml, 4.8 ng/ml, 2.4 ng/ml, 1.2 ng/ml, 0.6 ng/ml,; reaktifitas silang dengan androgen (testosteron); sensitifitas 2.5 ng/ml (6.9 nmol/l); presisi intra asai 4.4%-5.4% (18 repetisi masing-masing untuk high dan low); dan presisi inter asai 6.8%-11.2% (6 repetisi masing-masing untuk high dan low). Prosedur Asai 3α,11β-dihydroxy-CM. 1. Sumur-sumur pada lempeng mikrotiter (plate) ditempatkan sesuai nomor dan dipastikan tidak bergeser µl standard, kontrol, dan sampel ditempatkan di sumur yang telah disediakan dengan menggunakan ujung mikropipet yang baru untuk setiap sampel µl konjugat enzim dan 50 µl antibodi diteteskan di setiap sumur dengan menggunakan mikro pipet. 4. Semua larutan diguncang dengan sempurna selama 10 detik.

122 92 5. Inkubasi dilakukan selama satu malamdalam lempeng mikrotiter pada suhu 4 0 C. 6. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas empat kali dengan menggunakan larutan pencuci. Guncang selama 10 detik, buang semua larutan, dan sisa tetes larutan diketukkan sampai habis pada kertas penyerap µl streptavidin-peroksidase (produksi Sigma, Jerman) ditambahkan ke dalam setiap sumur. 8. Lempeng di inkubasi selama 30 menit di dalam gelap pada suhu ruangan. 9. Cairan yang ada di dalam sumur dikeluarkan dan setiap sumur dibilas empat kali dengan menggunakan larutan pencuci. Guncang selama 10 detik, buang semua larutan, dan sisa tetes larutan diketukkan sampai habis pada kertas penyerap µl larutan substrat/pewarna (0.025% benzidin dan 0.05% H 2 O 2 ). 11. Lempeng diinkubasi selama menit di dalam gelap pada suhu ruangan sampai warna kuning muncul. 12. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan larutan stop (H 2 SO 4 ) sebanyak 50 µl ke setiap sumur dan aduk selama 1-2 detik sampai warna merata. 13. Lempeng mikrotiter dibaca dengan menggunakan optical density (OD) 450 nm tidak lebih dari 10 menit setelah larutan stop diberikan. Perangkat lunak Gen5 (Biotek, Jerman) digunakan untuk menyusun kurva berdasarkan pembacaan dari EIA reader pada semua jenis asai. Perbandingan kurva standard sesuai spesifikasi dari masing-masing kit pada uji paralelisme dijadikan sebagai penentu konsistensi hormon pada feses badak. Bila kurva standar menunjukkan garis yang paralel (tidak saling memotong), maka uji paralelisme ini dilanjutkan ke tahap duauntuk melihat adanya perbedaan kadar hormon glukokortikoid maupun metabolitnya pada beberapa sampel dan kemudian melakukan uji paralelisme pada beberapa perwakilan sampel yang dipilih. Pemilihan sampel dilakukan dengan memperkirakan sampel-sampel yang mewakili kondisi cekaman rendah: individu dengan jumlah asupan dan kualitas pakan yang tinggi hujan (2 sampel), cekaman tinggi: individu dengan jumlah dan kualitas asupan yang rendah (2 sampel), sertacekaman sedang: individu dengan jumlah dan asupan nutrisi dalam tingkat

123 93 sedang/menengah (2 sampel). Semua sampel dipilih untuk mewakili kondisi pada musing kering dengan jumlah hari hujan yang rendah serta musim hujan dengan jumlah hari hujan yang tinggi. Semua sampel digunakan untuk mengukur variasi inter-assay dan intra-assay. Deviasi kurang dari 15% pada variasi intra-assay dan inter-assay ini menunjukkan kelayakan assay hormon yang dilakukan pada sampel yang dikumpulkan dari feses badak jawa yang terkumpul dari lapangan. Analisis Data Kuantifikasi cekaman dilakukan untuk memastikan adanya perbedaan cekaman antar individu badak jawa berupa tingginya kadar indikator glukokortikoid. Perbandingan cekaman antar individu dilakukan dengan membandingkan tingkat cekaman yang dialami badak dengan konsumsi pakan dengan kandungan air rendah terhadap badak dengan konsumsi pakan dengan kandungan air tinggi pada musim yang sama. Kadar glukokortikoid dari sampel feses setiap individu badak diukur dan ratarata kuantitas hormon (dalam ng/g feses) digunakan sebagai indikator untuk membandingkan perbedaan yang ada secara deskriptif. Analisis dilakukan secara deskriptif mengingat jumlah sampel yang terlalu sedikit untuk digunakan dalam ANOVA. Kuantifikasi cekaman dilakukan antar musim yang berbeda dilakukan untuk mempelajari dinamika cekaman yang dialami semua badak (12, 13, dan 18) dalam kondisi sumber air yang terbatas di musim kering dan dalam kondisi kecukupan air di musim hujan. Sampel feses perlu didapat dari ketiga individu di bulan Oktober (musim kering dengan rata-rata jumlah curah hujan yang rendah) dan di bulan Januari (musim hujan dengan rata-rata jumlah curah hujan yang tinggi). Kadar hormon dari sampel feses setiap individu badak diukur dan rata-rata kuantitas hormon (dalam ng/g feses) digunakan untuk mebandingkan perbedaan yang ada secara deskriptif.

124 94 Hasil dan Pembahasan Hasil Uji Paralelisme Dari uji validitas menggunakan uji paralelisme dari ketiga kit hormon di atas dapat dilihat bahwa hormon kortisol dan kortikosteron tidak dapat digunakan untuk menganalisa metabolit glukokortikoid pada feses badak karena kurva standar dari kedua kit ini tidak paralel dengan kurva sampel pada pengenceran bertingkat. Berdasarkan uji paralelisme ini kit kortisol dan kortikoseron tidak dilanjutkan penggunaannya dalam penelitian ini. Pengukuran metabolit glukokortikoid 3α,11β-dihydroxy-CM sebagai indikator keberadaan hormon cekaman menunjukkan hasil yang paralel antara kurva standard dengan kurva sampel dengan tampak adanya kecenderungan yang sama antara profil kurva standard an kurva sampel. Uji paralelisme menggunakan 3α,11β-dihydroxy-CM ini menunjukkan 50% binding pada konsentrasi 3,04 pg dan pengenceran 1:80. Validasi lanjutan juga menunjukkan bahwa koefisien variasi (CV) intra-assay adalah 5.4% untuk QC low dan 4.4% untuk QC high dengan 18 repetisi. Demikian pula dengan CV inter-assay yang menunjukkan angka 11.2% QC low dan 6.8% untuk QC high dengan 6 repetisi. Berdasarkan hasil dari uji paralelisme ini yang didukung dengan CVintra-assay dan inter-assay yang berada di bawah 15%, maka dapat disimpulkan bahwa, 3α,11βdihydroxy-CMmenunjukkan kemungkinan untuk dapat digunakan dan dapat dilanjutkandengan validasi lebih lanjut sebelum diimplementasikan dalam kajian profil glukokortikoid dari sampel feses badak jawa. Faktor Pengenceran untuk Kuantifikasi Metabolit Glukokortikoid (3α,11βdihydroxy-CM) Kurva standar dan kurva sampel pada uji paralelisme ditampilkan pada Gambar 15 dapat digunakan untuk menentukan faktor pengenceran ekstrak sampel feces badak jawa yang akan dianalisa dengan kit hormon tersebut. Garis vertikal putus-putus pada Gambar 15 menandai titik tengah pada kurva standard menunjukkan titik dimana terjadi perikatan (binding) 50% dari antibodi terhadap antigen yang kemudian menunjukkan faktor pengenceran1:80.

125 95 Absorbans 0,6 0,5 0,4 0,3 Standar Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6 0,2 0, :320 1:160 1:80 1:40 1:20 Kosentrasi (pg/50ul)/ Pengenceran Gambar 15. Grafik paralelisme antara kurva standar3α,11β-dihydroxy-cmdengan pengenceran bertingkat pada sampel feses badak jawa. Profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada Individu Badak dan Populasi Kuantifikasi 3α,11β-dihydroxy-CM sebagai metabolit dari glukokortikoid dikaji lebih lanjut dengan melihat rentang kadar hormon glukokortikoid dari setiap individu untuk melihat adanya variasi rentang tersebut. Fluktuasi kadar hormon dari setiap individu sepanjang periode pemantauan ditampilkan pada Gambar 16 yang menunjukkan adanya fluktuasi yang besar dari kadar hormon pada individu badak 18 dan 12 pada bulan Oktober dan November. Hal ini dapat terjadi akibat adanya cekaman dengan jenis dan intensitas yang berbeda sehingga terjadi fluktuasi hormon cekaman seperti itu. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai rentang interval dari fluktuasi hormon yang terjadi pada setiap individu badak, analisis box plot dilakukan agar dapat menunjukkan rentang kadar hormon dari setiap individu seperti yang ditampilkan pada Gambar 17.

126 96 Kadar 5 beta adiol (ng/gram feses) Badak 12 Badak 13 Badak 18 0 Oktober November Desember Januari Februari Bulan pengamatan Gambar 16. Fluktuasi kadar 3α,11β-dihydroxy-CM antar musim pada semua individu badak Gambar 17. Rentang kadar metabolit glukokortikoid (3α,11β-dihydroxy-CM) antar individu badak sepanjang periode pengamatan Mengingat adanya kemungkinan reaktifitas silang ini, maka validasi lebih lanjut perlu dilakukan secara biologis dengan membandingkan profil 3α,11β-dihydroxy-CM pada beberapa individu yang berbeda (jantan dan betina) serta melakukan validasi secara kimiawi dengan mengkuantifikasi reaksi silang antara 3α,11β-dihydroxy-CM dengan kortisol dan androgen. Selain itu, analisis lebih lanjut dari kadar glukokortikoid perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang dapat mempengaruhi seluruh populasi yaitu faktor ketersediaan pakan dan ketersediaan air mengingat adanya kecenderungan dinamika cekaman yang tidak spesifik terhadap seluruh populasi.

127 97 Kondisi Cekaman Kondisi defisit energi asal pakan ditunjukkan dengan membandingkan jumlah asupan energi per berat badan pada badak no 12 dibandingkan dengan parameter yang sama pada badak no 13 dan 18 berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dalam penelitian nutrisi. Selain keterbatasan asupan energi asal pakan pada badak 18, selama penelitian terjadi kondisi defisit air di musim kering di Taman Nasional Ujung Kulon yang terjadi terjadi pada bulan Oktober 2010 dengan rataan jumlah kejadian hujan per hari yang rendah, sementara kondisi kecukupan air terjadi pada bulan Januari dimana jumlah kejadian hujan per hari angka tertinggi sebagaimana ditampilkan pada Gambar 18, maka feses badak no 18 digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi cekaman tinggi dan feses badak no 12 digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi cekaman rendah dalam konteks ketersediaan pakan. Gambar 18 menunjukkan bahwa rataan jumlah hari hujan (berdasarkan pengamatan di lapangan) di bulan Oktober merupakan masa-masa dengan curah hujan paling rendah (kering). Berdasarkan data jumlah hari hujan, sampel feses semua badak di bulan Oktober digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi defisit air yang diduga menimbulkan cekaman tinggi, dan feses semua badak di bulan Januari digunakan sebagai sampel untuk mewakili kondisi cekaman rendah dalam konteks ketersediaan air. Rata-rata Jumlah kejadian per Hari 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 - Cerah Berawan Hujan Gambar 18. Karakteristik musim pada periode pengamatan (bulan Oktober April 2010) berdasarkan rata-rata jumlah kejadian hujan, cerah, ataupun berawan dalam satu hari.

128 98 Faktor Cekaman dan Profil Glukokortikoid Statistik deskriptif menunjukkan adanya trend perbedaan rataan kadar hormon antara badak 12, 13, 18 (yang memiliki perbedaan tingkat kecernaan dan konsumsi energi per berat badan). Dari data ini dapat dilihat bahwa median tertinggi kadar 3α,11β-dihydroxy-CM ada pada individu badak 18, demikian juga dengan rentang tertinggi dari fluktuasi kadar hormon tersebut ditunjukkan oleh individu 18. Hal ini menunjukkan bahwa badak 18 menghadapi intensitas cekaman yang tinggi dan berbeda-beda selama periode pengamatan. Individu 18 adalah seekor badak muda (sub-adult) yang menunjukkan rataan asupan energi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan badak lainnya. Selain itu, badak muda seperti ini sering mendapatkan cekaman sosial dibandingkan dengan badak dewasa, dan cekaman seperti ini sering terjadi saat badak muda berusaha menentukan ruang jelajahnya sendiri (Hearne & Swart 1991). Intensitas cekaman juga menguat seiring dengan peningkatan kadar testosteron pada jantan saat memasuki masa kematangan seksual (siklus spermatogenesis) yang biasanya jatuh di awal musim hujan (Kretzschmar et al. 2002). Hal yang perlu dicermati dari temuan tingginya kadar glukokortikoid pada badak 18 di bulan November ini adalah kemungkinan adanya reaktifitas silang antara 3α,11βdihydroxy-CM dengan androgen. Badak 18 (badak jantan muda) kemungkinan menghadapi masa peningkatan kematangan seksual (masa pubertas) yang ditandai dengan meningkatnya hormon testosteron. Kemungkinan lain yang perlu diperhatikan adalah perubahan kadar androgen yang berfluktuasi secara musiman (Paplinska et al. 2007). Badak dengan rataan konsumsi energi per berat badan (%) yang rendah cenderung menunjukkan profil rataan kadar 3α,11β-dihydroxy-CM yang tinggi di dalam feses. Defisit energi sangat mungkin menjadi pemicu aktifitas glukokortikoid, dimana glukokortikoid berperan dalam glukoneogenesis yang berperan dalam pengadaan sumber energi tambahan untuk memasok siklus Kreb. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya kecenderungan tingginya metabolit glukokortikoid pada tingkat konsumsi energi yang rendah seperti yang ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 19.

129 99 Kandungan 3α, 11β-dihydroxy-CM dalam feses (ng/g feses) ,00% 3,20% 3,40% 3,60% 3,80% Konsumsi energi per berat badan (%) Gambar 19. Perbandingan tingkat konsumsi energi per berat badan (sumbu x) dengan kadar metabolit glukokortikoid pada feses. Demikian pula dengan juga rataan kadar hormon di musim dengan curah hujan yang berbeda(perbedaan antar musim) dimanakadar hormon cenderung lebih tinggi pada individu badak dan di musim kering di bulan Oktober sebagaimana ditampilkan pada Gambar 20. Rataan kadar 3α,11β-dihydroxy-CM(ng/gram feses) ,5 1 1,5 2 Rataan curah hujan (kejadian hujan per hari) Gambar 20. Perbandingan kadar hormon cekaman antar individu badak dengan asupan berat kering yang berbeda (A) dan antar musim/curah hujan (B) Ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang diduga sebagai pemicu cekaman pada badak jawa, dan hal ini dibuktikan dengan analisis data yang menunjukkan adanya hubungan antara jumlah curah hujan dengan kadar hormon

130 100 glukokortikoid. Rataan kadar glukokortikoid pada hari-hari dengan curah hujan rendah (sekitar 0.3 kejadian hujan per hari) menunjukkan angka yang tinggi, sementara rataan kadar glukokortikoid pada hari-hari dengan curah hujan tinggi (sekitar kejadian hujan per hari) menunjukkan angka yang rendah. Fakta seperti ini menunjukkan bahwa rendahnya curah hujan memiliki implikasi terhadap menurunnya ketersediaan air (Smit & Grant 2009) dan merupakan faktor pemicu cekaman pada badak jawa yang berujung pada tingginya sekresi glukokortikoid pada periode tersebut.

131 101 Simpulan dan Saran Simpulan 1. Kit komersial hormon kortisol dan kortikosteron tidak dapat digunakan untuk menganalisa metabolit glukokorticoid dalam sampel feces badak Jawa karena uji parelelisme menunjukkan bahwa kit tersebut tidak dapat mendeteksi keberadaan metabolit glukokortikoid yang dieskresikan dalam feces 2. Hasil analisis dengan asai hormone 3α, 11β-dihydroxy-CM menunjukkan bahwa kurva pengenceran bertingkat dari sampel feses badak jawa paralel dengan kurva standar. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan asai hormon 3α, 11β-dihydroxy-CM dapat mendeteksi keberadaan metabolit glukokortikoid pada feses badak jawa. 3. Profil kadar glukokortikoid pada setiap individu menunjukkan adanya indikasi perbedaan dan kadar hormon tinggi pada badak 18 yang merefleksikan dinamika cekaman yang lebih bervariasi dibandingkan dengan badak lainnya. 4. Faktor cekaman berupa keterbatasan asupan energi dan ketersediaan air merupakan faktor yang diduga memicu terjadinya peningkatan kadar glukokortikoid. Saran 1. Melakukan validasi lebih lanjut terhadap 3α,11β-dihydroxy-CM untuk menentukan potensi penggunaannya dalam pemantauan cekaman pada badak jawa. 2. Melakukan validasi lanjutan untuk menentukan apakah hormone assay tersebut dapat digunakan untuk menganalisa metabolit glucocorticoid dalam feces badak jawa. (masih ada beberapa step validasi yang harus dilakukan untuk memastikan apakah hormone assay tersebut tepat) 3. Mengembangkan protokol studi longitudinal monitoring fisiologi stress secara non-invasif dengan menganalisa metabolit glukokortikoid dalam feces dengan asai hormon yang tepat

132 102 Daftar Pustaka Barja I, et al Stress physiological response to tourist pressure in the wild population of European pine marten. The journal of steroid biochemistry and molecular biology. (104)3-5: Baron R Mechanism of disease: neuropathic pain-a clinical perspective. Nature clinical practice neurology. 2: Coenen M, Exercise and stress: impact on adaptive processes involving water and electrolytes. Livestock production science 92: Dickens MJ, Delehanty DJ, Romero LM, Stress: an inevitable component of animal translocation. Biological conservation 143: Francois-Gerard C, Gerard P, Rentier B, Elucidation of non-parallel EIA curves. Journal of immunological methods (111)1:59-65 Garg SL, Chander S, Plasma Cortisol and thyroid hormone Concentrations in Buffaloes with uterine Torsions.Buffalo BullettinVol 16(4): Ghalib, Supriatna I, Agil M, Engelhardt A, Non-invasive hormone monitoring: fecal androgen and glucocorticoid in male crested macaques (Macacanigra) in relation to seasonal and social factors. Thesis. Bogor Agriculture University Hearne JW, Swart J, Optimal translocation strategies for saving the black rhinoceros. Ecological modelling 59: Kretzschmar P, Gansloßer U, Dehnhard M, Relationships between androgens, environmental factors and reproductive behaviours in male white rhinoceros (Ceratotherium simum simum). Hormones and Behaviour 45: 1-9 Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed] Atlas berwarna dan teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta Menargues A, Urios V, Mauri M, Welfare assessments of captive asian elephants (Elephas maximus) and Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis) using salivary cortisol measurements. Animal Welfare (17): Morgan KN, Tromborg CT Sources of stress in captivity. Applied animal behaviour science 102: Morrow CJ, Kolver ES, Verkerk GA, Matthews LR, Urinary corticosteroids: an indicator of stress in dairy cattle. Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production 60: Paplinska JZ, et al Reproduction in male swamp wallabies (Wallabia bicolor): puberty and the effects of season. Journal of Anatomy 211:

133 103 Permadi YF, Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak Jawa. Laporan proyek WWF Indonesia. Santymire RM, Armstrong, DM, Development of a Field-Friendly Technique for Fecal Steroid Extraction and Storage Using the African Wild Dog (Lycaon pictus). Zoo Biology (28): 1-14 Schoeman JP, Goddard A, Herrtage ME, Serum cortisol and thyroxine concentrations as predictors of death in critically ill puppies with parvoral diarrhea. Journal of the American veterinary medical association (231)10: Smit IPJ, Grant CC, Managing surface-water in a large semi-arid savanna park: effects on grazer distribution patterns. Journal for nature conservation 17(2):61-71 Soto-Gamboa M, Gonzalez S, Hayes LD, Ebensperger LA, Validation of a radioimmunoassay for measuring fecal cortisol metabolites in the Hystricomorph rodent, Octodon degus. Journal of experimental zoology 311A: Turner Jr JW, Tolson P, Hamad M, Remote assessment of stress in white rhinoceros (Ceratotherium simum) and black rhinoceros (Diceros bicornis) by measurements of adrenal steroids in feces. Journal of zoo and wildlife medicine 33(3): Wasser SK, et al A generalized fecal glucocorticoid assay for use in diverse array of nondomestic mammalian and avian species. General and comparative endocrinology 120: Wingfield JC, Romero LM, Adrenocortical responses to stress and their modulation. Dalam: McEwen BS, Goodman HM (eds), Handbook of physiology section 7: The endocrine system, coping with the environments: Neural and endocrine mechanism vol. IV Oxford University Press New York: Young KM, et al Noninvasive monitoring of adrenocortical activity in carnivores by fecal glucocorticoids analyses. General and comparative endocrinology: 1-18 Ziegler TE, Wittwer DJ, Fecal Steroid Research In the Field and In Laboratory: Improved methods for Storage, Transport, Processing, and Analysis. American Journal of Primatology 67:

134 KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR Abstrak Setelah mempelajari faktor cekaman yang dihadapi oleh badak jawa akibat defisit pakan dan defisit air, maka penelitian ini dirancang untuk lebih mendalami respons yang ditunjukkan oleh kuda (sebagai hewan model untuk badak) terhadap cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons perilaku, fisiologis (hematologi dan respirasi) pada hewan model kuda akibat cekaman defisit pakan dan air 50% dari kebutuhan normal. Perlakuan yang diberikan adalah pakan kontrol sesuai kebutuhan (K) dan 50% dari kebutuhan (50%K). Jumlah kuda yang dipakai terdiri dari dua ekor kuda jantan berusia dewasa dan muda dengan bobot badan masing-masing 104 dan 98 kg. Induksi cekaman dilakukan pada dua ekor kuda model dengan mengurangi asupan pakan secara bertahap sampai asupan pakan hanya 2.65% dari berat tubuh kuda (defisit pakan) dan pengurangan air minum sampai 50% dari jumlah ad libitum yang biasanya tersedia di kandang. Parameter yang diamati terdiri dari hematologi rutin dan kadar kortisol darah yang diukur selama periode kontrol dan perlakuan induksi cekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit pakan merupakan cekaman akut yang dapat diatasi oleh kuda (ditandai dengan penurunan kortisol pada penghujung perlakuan). Kadar kortisol dan hematologi (rasio netrofil:limfosit) menunjukkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis dan tidak dapat diatasi dengan mudah. Dengan defisit pakan dan air, kedua ekor kuda menunjukkan perubahan-perubahan: perilaku (mengurangi aktifitas berjalan dan melakukan aktifitas menggigit ember/pagar / crib biting), peningkatan kadar kortisol, hematologi (perubahan rasio Netrofil/limfosit yang menunjukkan adanya migrasi limfosit/imunosupresi saat cekaman), dan peningkatan respirasi pada kedua ekor kuda saat mengalami cekaman. Kata kunci: badak jawa, hewan model, cekaman, kortisol, perilaku

135 106 Quantitiative study using animal model for javan rhinoceros in research for stress due to feed and water deprivations Abstract After learning that feed and water limitations are the major factores causing stress in javan rhinoceros, this research is designed to further study the possible physiological responses from horse (as a model for the rhinoceros) in the presence of the stress. This research is designed to study the changes in the behaviour, blood cortisol level, hematology (neutrophil/limphocyte ratio), and respiration rate. Induction of stress is done by reducing the ration down to the level of 50% of the normal supply. Treatments consist of : control for feed (K) and reduction of feed to 50% (50%K) of the normal ad libitum quantity. Two horses are used in this study consisting of one adult and one juvenile weighing 104 kg and 98 kg respectively. Induction of stress is done by reduing the feed intake to only 2.65% dry matter intake of the body weight (feed deprivation), and reducing the water supply to 50% of the normal supply. Parameters include: behaviour, blood cortisol, hematology, and respiration rate measured thorughout the control and treatments. The result shows thatcortisol level and hematology (Neutrophil:lymphocyte ratio) suggests that feed deprivation is an acute stress that can be overcome (marked with reduction of cortisol level at the end of treatment). The same parameters show that water deprivation is a chronic stress that cannot be readily overcome. With water and feed deprivation, both horses show changes in behaviour such as reduction of walking and crib biting activities, increase in cortisol level in blood, as well as the changes in neutrophil : lymphocyte ratio suggesting that there are migration of lymphocytes from the blood stream, as well as immunosuppression during the stress conditions. The result also shows increase in respiration rate in both horses under stress. Keywords: javan rhinoceros, model animal, stress, cortisol, behaviour

136 107 Pendahuluan Respons badak terhadap cekaman merupakan salah satu aspek penting yang perlu dipelajari agar dampak dari cekaman tersebut dapat diantisipasi dan upaya mitigasi cekaman dapat dilakukan untuk menunjang pelestarian spesies ini. Namun demikian, induksi cekaman secara langsung pada badak jawa tidak mungkin dilakukan karena tingkat kesulitan untuk menemukan badak jawa secara langsung dan juga status spesies tersebut yang sudah terancam punah menyebabkan uji coba yang berpotensi untuk membahayakan kehidupan badak jawa tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu kebutuhan akan penelitian kuantitatif berdasarkan hasil kajian sumber cekaman secara kualitatif di habitat alami badak jawa muncul. Kebutuhan ini melandasi konsep pendekatan baru dengan menggunakan hewan model sebagai pembanding bagai badak jawa. Sesuai dengan kaidah penggunaan hewan model pada ilmu biomedis hewan, jenis hewan model dipilih berdasarkan berbagai kecocokan seperti: kedekatan secara genetis, kemiripan anatomi, dan kemiripan perilaku. Informasi dari berbagai sumber memberikan informasi mengenai: genetika badak jawa dan kekerabatan dengan badak sumatera, tapir, dan kuda (Fernando et al. 2004); anatomi saluran pencernaan badak sebagai hindgut fermenter yang mengandalkan proses fermentasi pada saluran pencernaan bagian belakang atau sekum (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006); dan perilaku badak jawa yang diamati langsung di lapangan (Sajudin & Djaja 1984) ataupun yang diamati dengan menggunakan kamera jebak (Hariyadi et al. 2010). Studi kualitatif maupun kuantitatif untuk membandingkan perilaku hewan dapatdisusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang dibandingkan penelitian. Ethogram merupakan perangkat yang kerap digunakan oleh pengamat perilaku untuk dapat mengklasifikasikan berbagai perilaku hewan serta memungkinkannya untuk dapat dianalisis lebih lanjut secara kuantitatif sehingga analisis perilaku dapat memberikan informasi yang obyektif (Colgan 1978). Penggunaan ethogram pada penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengklasifikasikan perilaku badak jawa, badak Sumatra, dan kuda serta memungkinkan perbandingan yang obyektif pada penggolongan tersebut. Pemilihan hewan model dilakukan untuk membandingkan sistem pencernaan (saluran digesti) dengan fokus pada proses kecernaan yang terjadi setelah proses pencernaan di lambung. Oleh karena itu, kesamaan sistem pencernaan pada kuda dan badak seperti yang ditampilkan pada

137 108 Gambar 21 merupakan salah satu kriteria penting pemilihan kuda sebagai hewan model untuk aspek kecernaan pada badak jawa. Sekum Gambar 21. Perbandingan anatomi sistem pencernaan kuda (A) dan badak (B) yang menunjukkan karakteristik hewan monogastrik (lambung satu) dan keberadaan sekum untuk pencernaan selulosa. Sumber: http.wren.aps.uo.guelph.ca. A B Kriteria pemilihan hewan model dilakukan pula dengan mengidentifikasi parameter perilaku yang tepat, sehingga perlakuan dan induksi cekaman pada hewan model akan dapat memberikan gambaran perubahan perilaku serta fisiologis yang kompatibel dan dapat diterapkan pada badak jawa. Proses Pemilihan Hewan Model Hewan model untuk badak jawa dipilih berdasarkan beberapa kriteria yang terdiri dari: kedekatan genetika, kemiripan anatomi, kemiripan kimia darah, dan kemiripan perilaku. Perbandingan kriteria di atas dilakukan melalui studi literatur yang memberikan informasi mengenai genetika, anatomi, kimia darah, dan perilaku dari masing-masing kandidat hewan model. Kandidat model dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok hewan yaitu: (1) kelompok hewan model yang lazim digunakan dalam studi biomedis yang terdiri dari tikus, kambing, dan kuda; serta (2) kelompok hewan badak: Badak sumatera dan badak india. 1) Kelompok hewan model konvensional Tikus banyak digunakan dalam kajian mengenai cekaman kronis dan akut (Figuireido et al. 2003),dampak dari defisit pakan (Nessmithet al. 1983),dan dampak dari defisit air (Cameron & Perdue 2005), namun tikus tidak memiliki sistim

138 109 pencernaan yang mirip dengan badak sehingga dikhawatirkan tidak dapat memberikan gambaran yang obyektif terhadap penyerapan nutrisi yang terjadi pada badak. Kekurangan ini menyebabkan tikus tidak dipilih sebagai hewan model untuk badak jawa. Kambing juga banyak digunakan dalam penelitian mengenai ruminal stasis akibat keracunan (McSweeney & Pass 1983) dan gangguan pencernaan akibat keracunan (Pass et al. 1979), namun kambing merupakan hewan ruminan yang memiliki sistem pencernaan yang jauh berbeda dengan badak. Perbedaan anatomi pencernaan ini menyebabkan kambing tidak dipilih sebagai hewan model bagi badak jawa. Kuda telah banyak digunakan dalam penelitian terkait cekaman (Coenen 2005), kecernaan dan penyerapan karbohidrat (Pagan et al. 1998; Dyer et al. 2002), serta fluktuasi hormon (Glade et al. 1984). Kuda memiliki kimia darah yang serupa dengan badak dalam konteks kadar tyrosin bebas di dalam sel darah merah (Harley et al. 2004), dan juga kemiripan dalam anatomi saluran pencernaan sebagai hindgut fermenter (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006). Dari kelompok hewan model konvensional, kuda memiliki kekerabatan genetik yang paling dekat dengan badak jawa, dan berdasarkan informasi ini kuda dipilih sebagai hewan model yang paling memadai untuk badak jawa. 2) Kelompok hewan badak (Rhinoceratidae) Badak india telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian terkait kecernaan (Clauss et al. 2005; Clauss et al. 2006), hormon cekaman (Carlstead & Brown 2005), dan perilaku (Hutchin & Kreger 2006). Badak india memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan badak jawa, namun status spesies badak ini masih ada di dalam kategori terancam punah sehingga perlakuan intensif ataupun induksi cekaman tidak dapat dilakukan pada hewan dengan status seperti ini. Badak sumatera telah digunakan dalam studi perilaku, kecernaan, dan kajian hormon (Agil et al. 2007; Agil et al. 2008). Badak sumatera memiliki kekerabatan genetika yang tidak terlalu dekat dengan badak jawa, namun spesies badak ini dapat dengan mudah diamati di fasilitas Suaka badak sumatera di Way Kambas. Spesies badak ini berada dalam kategor sangat terancam punah (Critically endangered) sehingga tidak mungkin untuk dijadikan obyek penelitian intensif dan induksi cekaman.

139 110 Berdasarkan proses ini dapat disimpulkan bahwa badak india dan badak sumatera dapat dijadikan sebagai pembanding, sementara induksi cekaman dapat dilakukan pada kuda yang akan memberikan gambaran obyektif mengenai respons yang mungkin terjadi pada badak jawa.aspek-aspek yang dapat diteliti dari setiap jenis hewan model serta relevansinya dengan Badak jawa ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan hewan model serta kriteria pengamatan yang relevan dengan penelitian pada Badak jawa (dari berbagai sumber). Hewan Model Aspek yang Diamati Relevansi dengan Badak jawa Badak Sumatra Perilaku Konsumsi pakan Kecernaan Perilaku badak jawa (video) Jumlah asupan pakan Perhitungan kecernaan Badak India Kuda Konsumsi Pakan Kecernaan Perilaku Respons terhadap defisit pakan Respons terhadap defisit air Jumlah asupan pakan Perhitungan kecernaan Perilaku badak jawa (video) Defisit pakan / nutrisi Defisit air pada musim kering Tujuan Penelitian Tingkat kesulitan yang tinggi dalam mempelajari badak jawa secara langsung di habitatnya serta status badak jawa yang sudah terancam punah menyebabkan penelitian biomedis langsung dengan menggunakan badak jawa sebagai obyek nyaris tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu penggunaan hewan model atau orphan perlu dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan badak jawa tersebut seperti faktor cekaman akibat defisiensi pakan dan defisiensi air. Mengingat adanya kebutuhan penelitian tersebut, maka penelitian ini dirancang untuk mendapatkan informasi sebagai berikut:

140 Kompilasi dan dinamika perilaku kuda pada kondisi cekaman defisit pakan dan defisit air. 2. Dinamika hormon kortisol/glukokortikoid dan hematologi terhadap cekaman berupa defisiensi pakan dan air. 3. Dinamika pola respirasi dan kecernaan kuda dalam kondisi cekaman. Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: model untuk penelitian badak jawa dapat dilakukan dengan menggunakan kuda sebagai pembanding dalam aspek kecernaan (posterior dari esophagus) dengan adanya respons (sensitifitas) terhadap perlakuan defisit air dan pakan (profil hormon, kecernaan, dan respirasi).

141 112 Bahan dan Metode Perbandingan Perilaku Perilaku badak dan hewan model pembandingnya (badak sumatera dan kuda) perlu disusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang dibandingkan dengan perilaku badak jawa sebagai contoh dalam penelitian ini. Ethogram merupakan perangkat yang kerap digunakan oleh pengamat perilaku untuk dapat mengklasifikasikan berbagai perilaku hewan serta memungkinkannya untuk dapat dianalisis lebih lanjut secara kuantitatif sehingga analisis perilaku dapat memberikan informasi yang obyektif sesuai dengan penjelasan Colgan (1978). Penggunaan ethogram pada penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengklasifikasikan perilaku badak Jawa, badak Sumatra, dan kuda serta memungkinkan perbandingan yang obyektif pada penggolongan tersebut. Perilaku badak Jawa dapat dengan mudah diamati menggunakan kamera video otomatis yang digunakan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan WWF Indonesia dalam memantau populasi badak jawa di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Hariyadi et al. 2010). Melalui pemilihan hewan model serta pemilihan parameter perilaku yang tepat, perlakuan dan induksi cekaman pada hewan model akan dapat memberikan gambaran perubahan perilaku serta fisiologis yang kompatibel dan dapat diterapkan pada badak jawa. Dua ekor badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan dua ekor kuda sumba berkelamin jantan dipilih sebagai hewan model yang digunakan sebagai model perilaku untuk dibandingkan dengan perilaku pada badak jawa yang sudah tercatat dalam penelitian kamera jebak (Hariyadi et al. 2010). Tabel perilaku badak sumatera dibuat berdasarkan informasi berdasarkan kompilasi oleh Siswandi(2005) yang mengamati perilaku badak sumatera jantan Torgamba dan Andalas di Taman Nasional Way Kambas.Dua ekor kuda jantan (satu ekor dewasa dan satu ekor kuda muda) dengan berat masing-masing 104 kg dan 98 kg dipilih sebagai hewan model untuk menjalani perlakuan induksi cekaman dengan mengurangi ransum pakan 50% dari jumlah yang biasanya tersedia di kandang (defisit pakan) dan mengurangi ransum air 50% dari jumlah yang biasanya tersedia di kandang (defisit air). Perilaku kuda dikompilasi dengan melakukan pengamatan dan menyusun tabel perilaku dua ekor kuda sumba yang menjadi obyek penelitian di Rumah Sakit Hewan

142 113 Fakultas Kedokteran Hewan IPB Darmaga dengan dasar ijin dari komisi etik no: RSH-IPB untuk melakukan induksi cekaman. Gambar 22 menampilkan profil kedua ekor kuda jantan yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari kuda jantan dewasa bernama Garuda dan kuda jantan muda bernama Elang.Untuk menyesuaikan dengan ketersediaan data perilaku pada badak jawa dan badak sumatera, perilaku kuda dicatat pada pagi, siang/sore, dan malam hari baik saat kuda dalam keadaan bebas sebelum penelitian, maupun dalam periode pencucian atau washing out setelah perlakuan defisit pakan. A Gambar 22. Kuda jantan dewasa bernama Garuda (A) dan kuda jantan dewasa muda bernama Elang (B) yang digunakan sebagai hewan model dalam pengamatan di Rumah Sakit Hewan IPB Darmaga B Pengambilan Data Pakan dan Air Minum (Fase Kontrol) Sebelum perlakuan defisit pakan dan defisit air diberikan kepada kuda yang menjadi hewan model dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pencatatan jadwal dan kuantitas pakan yang diberikan sehari-hari dalam keadaan normal. Kedua ekor kuda model ditempatkan dalam kandang untuk memastikan bahwa konsumsi pakan dan air dapat terpantau dan tercatat secara obyektif. Kedua ekor kuda model ditempatkan di dalam kandang dan diberi waktu enam hariyang cukup untuk aklimatisasi (Noble et al. 2007) sebelum pemberian pakan dan air, dan sebelum pengamatan perilaku dilakukan. Sampel darah diambil dari vena jugularis kuda model untuk mendapatkan data hematologi rutin, dan juga kadar kortisol pada darah. Pemeriksaan darah dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Pengambilan darah dilakukan pada saat kuda baru dimasukkan ke kandang dan enam hari kemudian setelah masa aklimatisasi berakhir, sementara pengamatan perilaku dilakukan pada pagi dan siang hari dalam dua hari selama periode aklimatisasi.

143 114 Kuda diberi pakan ransum yang terdiri dari pelet (Royal Horse) dan bran (Bogasari) dengan perbandingan 1:2 (pelet:bran) yang dicampur dengan 800 ml air. Selain itu, kuda juga diberi rumput segar sebanyak kg/e/h yang diambil dari lapangan tempat kedua ekor kuda tersebut makan dalam di luar kandang dalam keadaan normal. Komposisi pakan seperti ini diberikan setiap dua hari pada kedua ekor kuda model. Air minum diberikan dalam bak minum yang diisi penuh dengan menggunakan ember takar berukuran delapan liter setiap tiga hari. Pemberian pakan dan air minum secara normal ini dilakukan dalam periode enam hari. Induksi Cekaman 1. Perlakuan defisiensi Pakan Untuk mensimulasikan kondisi defisit pakan yang terjadi pada badak jawa, maka pengurangan ransum pakan (perlakuan defisit pakan) dilakukan pada kedua ekor kuda jantan yang digunakan sebagai hewan model dalam penelitian ini. Perlakuan defisit pakan dilakukan secara bertahap dengan mengurangi jumlah ransum pakan yang diberikan menjadi 70% dan akhirnya menjadi 50% dari jumlah yang biasanya diberikan. Dengan berat badan kuda sebesar 104 kg untuk kuda dewasa (Garuda) dan 98 kg untuk kuda muda (Elang), pengurangan yang dilakukan dirancang untuk menurunkan asupan pakan kering kuda dari 5.34%-5.56% berat badan menjadi 2.65%- 2.76% berat badan.tingkat asupan ini berbeda dengan asupan kering pakan badak yang berada pada 1% berat badan. Pengurangan jatah pakan kuda ini tidak dilakukan untuk menyamai secara persis kondisi yang dihadapi oleh badak dengan mempertimbangkan etika penggunaan hewan model. Pengurangan pakan dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan perubahan yang dapat mengakibatkan kolik (Evans et al. 1990) dan juga dengan mempertimbangkan agar total asupan pakan kering tidak jatuh di bawah 2.35% dari berat badan kuda. NRC (1989) menyebutkan bahwa kebutuhan minimun bagi seekor kuda untuk mempertahankan fungsi normalnya adalah dengan asupan kering 2.35% setiap hari, oleh karena itu, asupan kering di bawah 2.35% dikhawatirkan akan menimbulkan defisit asupan nutrien yang akan berdampak negatif.pengurangan pakan secara bertahap seperti ini dilakukan dengan memperhitungkan faktor kesejahteraan hewan model (animal welfare). Pada hari pertama sampai hari ketiga pada perlakuan defisit pakan ini, setiap ekor kuda model menerima pakan 70% dari biasanya yaitu konsumsi bahan kering (KBK) sebesar 3,41 g/ek/hari atau 3.28% berat badan kuda dewasa (Garuda) dan 3.48%

144 115 berat badan kuda muda (Elang). Kemudian pada hari keempat sampai keenam jumlah asupan kering dikurangi menjadi 50% dari yang biasa diberikan yaitu konsumsi bahan kering (KBK) sebesar 2.7 g/ek/hari atau 2.6% berat badan kuda dewasa (Garuda) dan 2.76% berat badak kuda muda (Elang). Dalam setiap perlakuan (kontrol dan defisiensi pakan) pengamatan perilaku kuda model dilakukan pada pagi, dan siang/sore pada hari keempat, dan keenam. Pengambilan sampel darah dilakukan pada harikeempat dan ketujuh dengan mengambil darah dari vena jugularis. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium Pusat Studi Satwa Primata IPB untuk menjalani analisis: hematologi rutin, fungsi ginjal (ureum, kreatinin), dan hormon kortisol. 2. Perlakuan Defisiensi Air Untuk mensimulasikan kondisi defisit air yang kerap dialami oleh badak jawa, maka kedua ekor kuda model mendapatkan perlakuan berupa pengurangan jatah air minum harian selama enam hari. Baseline data air minum didapatkan dari informasi yang tercatat selama periode kontrol adalah pemberian rata-rata 16 liter setiap hari dan pengurangan jumlah ketersediaan air menjadi 50% dilakukan dengan memberikan air satu kali setiap dua hari (16 liter air pada hari berselang). Jadwal pemberian air selama periode uji coba defisiensi air disajikan dalam Tabel 12. Perlakuan dilakukan selama enam hari dan pengamatan perilaku dilakukan pada pagi, dan siang/sore di hari ketiga dan hari keenam. Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali yaitu pada hari kedua dan ketujuh dengan mengambil darah dari vena jugularis. Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium Pusat Studi Satwa Primata IPB untuk menjalani analisis: hematologi rutin, fungsi ginjal (ureum, kreatinin), dan hormon kortisol. Tabel 12. Pemberian air minum untuk setiap ekor kuda pada periode perlakuan defisit air Kuda 100% air (l/hari) 50%air (l/hari) Garuda 16 8 Elang 16 8

145 116 Periode Pencucian Periode pencucian bukanlah bagian dari perlakuan, namun proses ini dilakukan setelah perlakuan defisit pakan dan sebelum perlakuan defisit air untuk memastikan bahwa kedua ekor kuda model terbebas dari pengaruh perlakuan defisit pakan dan pengandangan yang dijalani sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melepaskan kuda model dari kandangnya dan membiarkan mereka beraktifitas dan merumput seperti biasanya. Periode ini dilakukan selama tiga hari untuk memungkinkan kuda beradaptasi kembali dengan kondisi dan lingkungannya. Rivera et al. (2002)menunjukkan bahwa kuda sudah menunjukkan perubahan kadar kortisol ke tingkat basal pada hari ke-empat, oleh karena itu, masa pencucian yang dilakukan selama tiga hari sudah mencukupi untuk mengembalikan kadar kortisol ke tingkat awal (aklimatisasi) untuk kemudian dibandingkan dengan kadar kortisol setelah induksi cekaman. Pengamatan Pola Respirasi Respirasi pada kuda dihitung berdasarkan pergerakan pada bagian samping badan (rusuk dan abdomen) pada saat respirasi berlangsung. Satu siklus respirasi dihitung sebagai satu proses yang dimulai dari penghirupan udara yang ditandai dengan mengembangnya rongga dada dan abdomen dan diakhiri dengan penghembusan udara yang ditandai dengan menyusutnya rongga dada dan abdomen. Penghitungan siklus respirasi dilakukan dengan mengamati kuda di dalam kandang dalam waktu 30 detik sambil menghitung siklus respirasi yang terjadi dalam periode pengamatan, data ini kemudian dikonversikan menjadi jumlah siklus per menit (respirasi per menit) dengan mengalikan jumlah respirasi dalam 30 detik dengan dua. Penghitungan Konsumsi dan Kecernaan kuda Konsumsi dihitung dengan menimbang, mencatat, dan menjumlahkan berat pakan segar harian yang diberikan kepada setiap ekor kuda di kandang. Konsumsi pakan kuda terdiri dari rumput, pelet, dan dedak yang diberikan setiap hari dan ditimbang menggunakan timbangan top loading merk Oxone dengan kapasitas maksimum 15 kg. Jumlah pemberian pakan dicatat setiap hari dan kemudian rataan pemberian pakan per ekor per hari dilakukan berdasarkan jumlah hari perlakuan. Untuk melengkapi informasi mengenai perubahan pada kecernaan yang terjadi dalam kondisi cekaman, feses kuda dikumpulkan untuk kemudian menjalani proses

146 117 gravimetri untuk mendapatkan kadar Acid Insoluble Ash (AIA) pada feses sebelum dan setelah perlakuan induksi cekaman untuk mempelajari adanya perubahan kecernaan sebagai respons terhadap adanya cekaman defisit pakan maupun air. Penghitungan kecernaan dilakukan dengan metoda VanKeulen & Young (1977) dengan koreksi 10% berdasarkan Mainka et al. (1989) dan Sims et al. (2007). Analisis Data Analisis perilaku dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif untuk membandingkan trend perilaku pada kedua ekor kuda model pada fase kontrol dan pada saat diberikan perlakuan. Statistik deskriptif juga akan dilakukan pada hasil laboratorium untuk hematologi (rasio netrofil : limfosit), dan cekaman (berdasarkan kadar kortisol dalam darah).statistik deskriptif digunakan untuk memperlajari pola kecenderungan pada respirasi sebelum dan setelah induksi cekaman akibat defisit pakan dan defisit air. Regresi linear berganda dilakukan untuk mengidentifikasi komponen yang paling berperan dalam menimbulkan gejala-gejala terkait cekaman. Penguatan analogi antara kuda dengan badak dilakukan dengan membandingkan trend peningkatan respirasi dan kecernaan. Data tingkat respirasi dan kecernaan kuda dalam kondisi normal didapat dari hasil studi literatur, sementara data tingkat respirasi dan kecernaan kuda dalam kondisi cekaman diperoleh dengan mengukur respirasi kuda selama masa percobaan dan mengukur kecernaan berdasarkan metoda AIA agar hasilnya dapat dibandingkan dengan data pada badak. Data tingkat respirasi badak dalam keadaan normal dan dalam kondisi cekaman diperoleh dari hasil pengamatan menggunakan rekaman video (Hariyadi et al. 2010). Penguatan analogi hewan model dengan badak dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian menggunakan hewan model dengan parameter yang sama pada badak berdasarkan penelitian sebelumnya dan data-data dari studi literatur. Kemiripan trend perilaku dan parameter lain (respirasi, kecernaan, glukokortikoid) dijadikan landasan untuk menguatkan analogi antara kuda dengan badak.

147 118 Hasil dan Pembahasan Pemilihan Hewan Model Berdasarkan proses pemilihan hewan model badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), badak India (Rhinoceros unicornis) dipilih sebagai pembanding untuk mendapatkan parameter perilaku dan kecernaan, sementara kuda (Equus caballus) dipilih sebagai hewan model yang dapat digunakan untuk perlakuan berupa induksi cekaman mensimulasi kondisi yang dihadapi badak jawa di habitatnya. Kesesuaian kuda sebagai hewan model untuk badak jawa diperkuat dengan adanya persamaan perilaku antara kuda dan badak. Perbandingan Perilaku Hewan Model Perilaku hewan model (badak sumatera dan kuda) disusun dalam sebuah ethogram yang kemudian menjadi dasar (baseline) yang dibandingkan dengan perilaku badak jawa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini. Ethogram perilaku ketiga spesies ini disajikan dalam Tabel 13, sementara kuantitas aktifitas (durasi waktu) pada badak dan kuda disajikan dalam Gambar 23 dan Gambar 24. Ethogram yang ditampilkan menunjukkan bahwa ketiga spesies hewan di atas memiliki kesamaan perilaku berupa: Jalan maju, Bersuara/dengus, garuk/gosok muka, dan makan/minum. Kuda dan badak jawa memiliki kesamaan perilaku yang terdiri dari: Jalan maju, gerak kepala, gerak ekor, jalan mundur, gerak satu kaki, bersuara/dengus, gosok muka, dan makan/minum. Dari 23 perilaku (event behaviour) yang tercatat dalam ethogram terlihat bahwa badak jawa memiliki 14 (60.87%) kesamaan perilaku dengan kuda dan 9 (39%) kesamaan perilaku dengan badak sumatera. Fakta ini menguatkan analogi antara kuda dan badak jawa dalam pemilihan kuda sebagai hewan model. Perbandingan perilaku pada badak jawa dan pada kuda menunjukkan adanya perbedaan pada durasi aktifitas yang tercatat. Badak jawa menunjukkan bahwa aktifitas lokomotor (bergerak dan berjalan) merupakan aktifitas yang dominan, sedangkan pada kuda makan merupakan aktifitas yang dominan dilakukan oleh kuda dalam kondisi lepas kandang. Di dalam kandang kuda menunjukkan aktifitas berdiri diam sebagai aktifitas yang dominan, dan aktifitas berdiri diam seperti ini juga banyak dilakukan oleh badak jawa sebagaimana terekam melalui video yang dipasang di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memantau perilaku badak jawa (Hariyadi et al. 2010).

148 119 Tabel 13. Ethogram (daftar perilaku) berdasarkan pengamatan kuda, badak jawa, dan badak sumatera. Ethogram badak sumatera disusun berdasarkan Siswandi et al (2005) Badak jawa Badak sumatera Kuda Lokomotor Bangun berdiri Gerakan telinga Gerakan kepala Jalan maju Jalan mundur Gerak satu kaki Lari kecil Berguling Berputar / rubah arah Gerakan ekor Berdiri diam Buka mulut / menguap Jalan maju Berdiri diam Gerakan telinga Gerakan kepala Jalan maju Jalan mundur Gerak satu kaki Lari kecil Gerakan ekor Berdiri diam Istirahat / diam Kedutan kulit Merawat diri Gosok muka/kepala Gosok muka/kepala Garuk/gosok muka Gosok leher Gosok badan Gosok perut samping Makan/minum Minum Menjilat / saltlick Istirahat/berkubang Berkubang Tidur Sosial / Komunikasi Mendengus/suara Kontak Agonistik Menyerang Berjaga Urinasi / Defekasi Makan/minum Menjilat / saltlick Berkubang Tidur Bersuara / mendengus Urinasi Defekasi Membaui Makan/minum Menjilat/mengendus Tidur Bersuara/dengus Kontak Urinasi Defekasi

149 120 Perbandingan perilaku antara hewan model (Badak Sumatra, Badak India, dan Kuda) menunjukkan tingkat kemiripan yang cukup tinggi dengan badak jawa. Kemiripan perilaku ini menunjukkan bahwa pengamatan perilaku merupakan salah satu cara yang dapat diandalkan dalam memantau respons badak jawa terhadap cekaman di habitatnya. Dengan demikian, pengamatan perilaku pada Badak jawa menggunakan kamera jebak memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai protokol pemantauan status kesehatan Badak jawa dalam konteks cekaman. Hal ini diperkuat dengan peluang untuk menggunakan feses Badak jawa sebagai sampel untuk mengukur kadar kortisol. Locomotor Sosial Makan/Minum Urinasi/defekasi agonistik Istirahat Merawat diri / Berkubang Locomotor Sosial Makan/Minum Urinasi/defekasi agonistik Istirahat Merawat diri / berkubang A B Gambar 23. Komposisi aktifitas badak 12 (A), dan badak 13 (B) berdasarkan durasi yang terekam dengan menggunakan kamera otomatis. Lokomotor Sosial Istirahat Merawat Diri Urinasi/defekasi Locomotor Istirahat Sosial Merawat diri Urinasi/Defekasi A Gambar 24. Komposisi perilaku kuda jantan muda (A) dan jantan dewasa (B) yang tercatat dalam pengamatan perilaku di kandang. B Proses Adaptasi Kuda di Dalam Kandang 1) Perilaku Perilaku kedua ekor kuda di dalam kandang sangat berbeda dengan karakteristik perilaku di padang rumput dilihat dari perbedaan durasi (persentase waktu) yang

150 121 digunakan oleh hewan. Di padang rumput, sebagian besar aktifitas yang dilakukan adalah makan atau merumput, sementara di dalam kandang kedua ekor kuda lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiri diam saat tidak ada makanan di kandang mereka. Gambar 25 menunjukkan komposisi aktifitas harian kedua ekor kuda selama periode aklimatisasi di dalam kandang. Perbedaan aktifitas kegiatan kuda yang dilepas dengan kuda di kandang disampaikan oleh Rivera et al (2002) yang juga menunjukkan bahwa perubahan fisiologi terkati adaptasi dari kegiatan di lapangan ke dalam kandang memerlukan waktu 3-4 hari. 2) Tingkat Cekaman Kadar kortisol dalam periode aklimatisasi ini menunjukkan adanya trend penurunan pada kedua ekor kuda sebagaimana ditampilkan pada Gambar 26. Hal ini terjadi akibat tingginya tingkat cekaman yang diterima oleh hewan saat ditarik dari padang rumput ke dalam kandang yang mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol dalam darah. Setelah menghabiskan waktu beberapa hari di dalam kandang, hewan mulai beradaptasi dengan situasi kandang dan tidak merasakan cekaman setinggi pada saat pertama kali dimasukkan ke dalam kandang. Linklater et al (2010) menyebutkan bahwa penurunan kortisol juga mungkin terjadi akibat adanya mekanisme kontrol intrinsik yang menekan aktifitas korteks adrenal yang berujung pada penurunan kadar kortisol. Linklater et al (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa mekanisme kontrol internal ini biasanya terjadi akibat penggunaan pengekang atau anestesi/sedasi terhadap hewan tersebut keberadaan mekanisme kontrol internal seperti ini. Kadar kortisol setelah proses aklimatisasi masih merupakan data yang relevan untuk digunakan sebagai baseline kadar kortisol pra perlakuan mengingat mekanisme kontrol internal tersebut bukan merupakan peubah,mengingat tidak ada pengekangan dan penggunaan anestesi dalam penelitian ini.sesuai dengan yang disampaikan oleh Rivera et al (2002), kadar kortisol serta juga perilaku kuda setelah aklimatisasi ini digunakan sebagai basis dalam analisis perbandingan kadar kortisol danperilaku dalam setiap perlakuan induksi cekaman.

151 122 Lokomotor Makan/Minum Istirahat sosial Defekasi/urinasi Merawat Diri Lokomotor Makan/minum Urinasi/Defekasi Sosial Agonistik Merawat diri A Gambar 25. Komposisi perilaku kuda dewasa (A) dan kuda remaja (B) selama periode aklimatisasi di kandang. B 3) Hematologi Rasio perbandingan persentase netrofil dan limfosit dalam darah saat aklimatisasi kuda dari lapangan ke dalam kandang menunjukkan trend penurunan dari rataan 1.05 ke Trend ini konsisten dengan trend penurunan kadar kortisol dalam darah serta menguatkan indikasi adanya proses adaptasi dengan menurunnya tingkat cekaman seperti yang disampaikan oleh Davis et al. (2008). konsentrasi kortisol dalam darah (μg/dl) Masuk Kandang Aklimatisasi Garuda Elang Gambar 26. Penurunan kadar kortisol dalam darah pada kedua ekor hewan (Garuda dan Elang) selama periode aklimatisasi di kandang. Gambar 26 menunjukkan adanya penurunan konsentrasi kortisol dalam darah saat kedua ekor kuda dibiarkan di dalam kandang selama 4 hari. Hal ini menunjukkan adanya proses penurunan cekaman pada kedua ekor kuda tersebut. Selain itu, data pada Gambar 26 ini juga menunjukkan perbedaan antara kuda dewasa (Garuda) dan kuda muda (elang) di mana kuda muda menunjukkan kadar konsentrasi kortisol yang relatif lebih rendah dibandingkan kuda dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa kuda muda mengalami aktifitas korteks adrenal yang lebih rendah dibandingkan kuda dewasa yang dapat diasosiasikan dengan kemampuan kuda muda untuk menghadapi cekaman dan atau melakukan desensitisasi terhadap cekaman yang ada.

152 123 Induksi Cekaman dengan Defisit Pakan Hasil pengamatan pada porsi pakan yang diberikan pada kedua ekor kuda jantan yang digunakan sebagai model dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap ekor kuda mendapatkan pakan yang terdiri dari bran, pelet, dan rumput dengan kualitas nutrisi, jadwal, dan jumlah pemberian pakan yang terukur. Tabel 14 menunjukkan bahwa persentase asupan pakan kering per berat badan kuda mengalami penurunan akibat adanya pengurangan pemberian ransum segar. Hal ini menunjukkan bahwa defisiensi pakan sedang terjadi, namun pengurangan jumlah pakan masih berada di atas 2.35% asupan kering per berat badan dan masih berada dalam batas aman berdasarkan kebutuhan nutrisi kuda yang tercantum dalam NRC (1989). Tabel 14. Konsumsi pakan (% bahan kering per berat badan kuda) Kuda Kontrol Defisit 30% Defisit 50% Garuda (104 kg) 5.34% 3.34% 2.65% Elang (98 kg) 5.56% 3.48% 2.76% Informasi dalam Tabel 15 menunjukkan bahwa pengurangan jumlah ransum segar yang dilakukan selama uji coba defisiensi pakan memberikan implikasi berupa berkurangnya asupan pakan kering beserta nutrien yang terdiri dari protein dan lemak, serta berkurangnya asupan energi pada setiap ekor kuda. Tabel 15. Konsumsi nutrien setiap ekor kuda selama periode perlakuan defisiensi pakan Kuda dan Perlakuan Berat Pakan Kering (kg/h) Protein (kg/h) Lemak (kg/h) Energi (Kal/h) Garuda Kontrol , Defisit 30% Defisit 50% Elang Kontrol , Defisit 30% Defisit 50%

153 124 Respons terhadap Perlakuan Defisit Pakan Perlakuan defisit pakan (pengurangan ransum pakan) secara bertahap dilakukan untuk mensimulasikan kondisi defisit energi dan nutrien sebagaimana dialami oleh badak di ruang jelajah di habitat alaminya di Taman Nasional Ujung Kulon. 1) Perilaku Pengamatan dilakukan untuk mengamati perubahan pada durasi dari berbagai aktifitasyang dilakukan kuda sebagai perilaku yang umum, dan pengamatan juga dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penambahan perilaku yang tidak muncul pada periode aklimatisasi. Pada perlakuan defisit pakan nampak bahwa durasi aktifitas berjalan menunjukkan trend penurunan dibandingkan dengan kontrol dan juga perlakuan defisit air sementara aktifitas yang muncul pada perlakuan defisit pakan namun tidak muncul pada periode kontrol adalah: mengunyah (dengan mulut kosong) dan menggigit ember. Tambahan kebiasaan dengan gerakan mulut dan mengigit ember merupakan respons yang kerap dijumpai pada kuda yang tengah mengalami cekaman dan perilaku ini terkait dengan adanya peningkatan detak jantung (Bachman et al 2003; Nagy et al. 2009). Perbandingan komposisi aktifitas perilaku kuda dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 28. 2) Tingkat Cekaman Tingkat cekaman diamati dari kadar kortisol dalam darah dan Gambar 27 menunjukkan bahwa kadar kortisol selama perlakuan defisit pakan menunjukkan fluktuasi/lonjakan yang cukup tinggi pada saat perlakuan baru berjalan 3 hari, namun kadar kortisol ini menurun pada hari-hari berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa kuda mengalami cekaman yang cukup tinggi saat ransum pakan mulai dikurangi menjadi 70% dari ransum yang biasa diterima. Menurunnya kadar kortisol pada hari-hari berikutnya dalam perlakuan defisit pakan ini menunjukkan bahwa kuda dapat beradaptasi dengan kondisi berkurangnya pakan (walaupun jumlah pakan yang diterima berkurang lagi menjadi hanya 50% dari ransum yang biasa diterima).

154 Konsentrasi Kortisol dalam Darah (μg/dl) Garuda Elang Rata-rata 0 Aklimatisasi - pakan 1 - pakan 2 Gambar 27. Fluktuasi kadar kortisol pada hewan pada perlakuan defisit pakan Buff et al (2005) menunjukkan bahwa adaptasi ini terjadi berkat adanya sekresi leptin, sebuah hormon protein, yang disekresikan oleh jaringan lemak (adiposa) dan berfungsi untuk mengatur nafsu makan serta keseimbangan energi melalui mekanisme biokimia di hipotalamus. Sekresi leptin ini sangat sensitif terhadap perubahan akut pada diet dan merupakan hal yang relevan dengan fakta yang ditunjukkan oleh kuda dalam penelitian ini dalam beradaptasi dengan kondisi defisit pakan. 3) Hematologi Data hematologi menunjukkan trend yang berbeda dengan profil kortisol pada kuda setelah perlakuan induksi cekaman berupa defisit pakan. Rasio netrofil : limfosit menunjukkan penurunan rataan dari 0.79 ke 0.49 pada tiga hari pertama dan menunjukkan peningkatan ke 0.88 pada hari ke enam. Hal ini sangat berlawanan dengan fluktuasi hormon kortisol dalam darah seperti yang disajikan dalam Gambar 26. Migrasi limfosit dari darah ke organ perifer pada kondisi cekaman terjadi setelah adanya peningkatan hormon kortisol (Davis et al. 2008), oleh karena itu, rasio N:L yang rendah pada hari ketiga bukan merupakan reaksi langsung akibat adanya peningkatan hormon kortisol tersebut karena data tersebut merupakan gambaran hematologi pada saat yang sama dan tidak dapat digunakan sebagai pembanding korelasi antara kortisol dan rasio N:L. Profil fluktuasi rasio N:L seperti ini menunjukkan kecenderungan adanya cekaman akut dimana kadar limfosit darah menurun karena sebagian besar limfosit dimobilisasi ke organ perifer seperti kulit (Dhabhar 2006). Mobilisasi limfosit seperti ini terjadi akibat adanya peningkatan

155 126 ekspresi molekul adesif yang mendorong perlekatan sel-sel monosit, granulosit, dan limfosit ke organ-organ terentu mulai dari dinding pembuluh darah dan organ-organ perifer (Goebel & Mills 2000). Dengan fakta seperti ini dapat disimpulkan bahwa defisit pakan memberikan cekaman yang bersifat akut. Kekurangan pakan merupakan satu jenis cekaman yang dapat dihadapi dengan adaptasi sehingga defisit pakan tersebut tidak lagi menjadi cekaman yang tinggi atau kronis. Sebagai mekanisme untuk mengurangi kebutuhan energi, terlihat bahwa hewan mengurangi aktifitas berjalan dalam kondisi defisit pakan ini. Hal ini sangat relevan dengan data dari Badak jawa individu no 12 di Taman Nasional Ujung Kulon yang menunjukkan tingkat asupan pakan paling rendah dan menunjukkan ruang dan jarak jelajah yang paling kecil dibandingkan dua ekor Badak lainnya sebagaimana dipaparkan dalam penelitian mengenai analisi nutrisi dan kecernaan pada Badak jawa. Respons hormonal terhadap variasi dan perbedaan diet juga telah ditunjukkan oleh Glade et al (1984) dimana flukutasi hormonal yang tidak seimbang dapat menimbulkan risiko kesehatan pada kuda, terutama kuda yang masih muda. Respons terhadap Perlakuan Defisit Air Perlakuan defisit air merupakan simulasi dari kondisi yang dihadapi oleh badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon di musim kering di mana banyak sumber air (anak sungai) yang mengering dan ketersediaan air bagi Badak jawa akan jauh berkurang. Selain itu prediksi skenario perubahan iklim yang dilakukan oleh Permadi (2008) menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya kekeringan yang berkepanjangan sepanjang tahun. 1) Perilaku Pengamatan dilakukan untuk mengamati perubahan pada durasi dari berbagai aktifitas yang dilakukan kuda sebagai perilaku yang umum, dan pengamatan juga dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penambahan perilaku yang tidak muncul pada periode aklimatisasi. Pada perlakuan defisit pakan nampak bahwa durasi aktifitas berjalan menunjukkan trend penurunan dibandingkan dengan kontrol dan juga perlakuan defisit air sementara aktifitas yang muncul pada perlakuan defisit pakan namun tidak muncul pada periode kontrol adalah: mengunyah (dengan mulut kosong) dan aktifitas menggigit ember yang banyak dilakukan oleh kuda jantan muda. Kebiasaan menggigit seperti ini dijelasakan oleh Bachman et al. (2003) dan Nagy et al.

156 127 (2009) sebagai mekanisme yang dilakukan oleh kuda dalam kondisi tercekam, dan perilaku seperti ini memiliki korelasi positif dengan peningkatan detak jantung dan kadar kortisol dalam plasma darah. Perbandingan komposisi aktifitas perilaku kuda dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 28. 2) Tingkat Cekaman Tingkat cekaman diamati dari kadar kortisol dalam darah serta tingkat respirasi pada kuda dibandingkan dengan tingkat respirasi normal atau istirahat. Respirasi normal/istirahat berdasarkan Evans et al. (1990) adalah 8-16 respirasi per menit. Fluktuasi kadar kortisol dalam darah menunjukkan kecenderungan untuk meningkat secara eksponensial (R 2 =0.948) selama periode perlakuan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 29. Demikian juga halnya dengan tingkat respirasi yang meningkat hampir secara linear (R 2 = 0.912) selama perlakuan defisit air sebagaimana ditampilkan pada Gambar 28. Peningkatan kadar kortisol nampak berjalan seiring dengan meningkatnya respirasi pada kuda, namun demikian belum dapat disimpulkan apakah kedua parameter ini (kortisol dan respirasi) saling berkorelasi ataupun bergantung satu dengan yang lainnya mengingat pada perlakuan defisit pakan respirasi terus meningkat walaupun kadar kortisol mulai menurun akibat adanya proses adaptasi.

157 128 Min air Min Pakan 2 Min pakan 1 Kontrol 0% 20% 40% 60% 80% 100% Makan Gerak Kepala Jalan maju Jalan mundur Gerak ekor kedut langkah Garuk Bersuara A Min air Min Pakan 2 Min pakan 1 Kontrol 0% 20% 40% 60% 80% 100% Makan Gerak Kepala Gambar 28. Perbandingan perilaku hewan model kuda jantan dewasa (A) dan kuda jantan muda (B) dalam berbagai perlakuan jalan Gerak ekor Twitch Stomp Garuk Bersuara B Kadar kortisol dalam darah (μg/dl) R² = 0,9484 Garuda Elang Rata-rata Expon. (Rata-rata) aklimatisasi - air 1 - air 2 Gambar 29. Trend peningkatan kadar kortisol dalam darah pada perlakuan defisit air

158 129 3) Hematologi Data hematologi menunjukkan trend yang berbeda dengan profil kortisol pada kuda setelah perlakuan induksi cekaman berupa defisit pakan. Rasio netrofil : limfosit tidak menunjukkan perubahan yang nyata dari rataan dari 0.79 ke 0.81 pada tiga hari pertama dan menunjukkan penurunan ke rataan 0.63 pada hari ke enam. Hal ini tidak seiring dengan fluktuasi hormon kortisol dalam darah seperti yang disajikan dalam Gambar 29. Rasio N:L yang relatif tidak berubah pada hari ketiga bukan merupakan reaksi langsung akibat adanya peningkatan hormon kortisol tersebut karena data tersebut merupakan gambaran hematologi pada saat yang sama dan tidak dapat digunakan sebagai pembanding korelasi antara kortisol dan rasio N:L. Kecenderungan penurunan rasio N:L pada hari keenam menunjukkan persentase limfosit yang lebih besar di dalam darah dibandingkan dengan kondisi pada hari ketiga. Hal ini dapat langsung dikaitkan dengan tidak adanya mobilisasi limfosit dari darah ke organ perifer dan menunjukkan adanya kecenderungan imunosupresi yang lazim terjadi pada cekaman yang bersifat kronis (Dhabhar 2006). Dengan kecenderungan seperti ini dapat disimpulkan bahwa defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis. Ketersediaan air merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan mengingat cekaman akibat menurunnya ketersediaan air merupakan cekaman yang bersifat kronis dan sulit untuk diatasi sebagaimana dicerminkan dari kecenderungan peningkatan kadar kortisol dan penurunan rasio N:L. Selain melakukan perilaku tambahan seperti aktifitas menggigit ember dan menjilati pagar, kuda tidak melakukan pengurangan aktifitas berjalan atau perubahan aktifitas lainnya untuk beradaptasi dengan kondisi keterbatasan air. Coenen (2005) juga menunjukkan adanya peningkatan kortisol dalam darah kuda akibat berkurangnya asupan air sebagaimana disimulasikan dalam penelitian ini. Cekaman kronis seperti yang terjadi akibat defisit air dapat menimbulkan implikasi kesehatan yang serius karena mengakibatkan imunosupresi (Domingues-Gerpe & Rey-Mendez 2001) yang menurunkan daya tahan tubuh hewan terhadap serangan agen infeksius.

159 130 Pola Respirasi Dalam Kondisi Cekaman Pengamatan respirasi serta perbandingan tingkat respirasi pada kuda dibandingkan dengan tingkat respirasi pada kondisi normal atau istirahat. Respirasi normal/istirahat yang diambil berdasarkan informasi dalam Evans et al. (1990) adalah 8-16 respirasi per menit. Analisis pada tingkat respirasi saat kondisi defisit pakan dan defisit airmenunjukkan bahwa kedua ekor kuda menunjukkan tingkat respirasi yang tinggi dibandingkan dengan respirasi dalam kondisi normal atau istirahat seperti yang ditampilkan pada Gambar 30. Peningkatan tingkat respirasi terjadi dari 8-16 respirasi per menit melonjak ke respirasi per menit yang merupakan kenaikan sebesar kali lipat dari pernapasan dalam kondisi normal. Pada badak, peningkatan respirasi akibat cekaman dari adanya interaksi agonistik terjadi dari respirasi per menit (Citino & Bush 2007) menjadi 42.60respirasi per menit (Hariyadi et al. 2010) atau kenaikan sebesar kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa kuda mengalami peningkatan respirasi yang relatif sebanding dengan badak jawa seperti yang ditampilkan pada Gambar 31. Walaupun peningkatan tingkat respirasi tidak menunjukkan adanya korelasi dengan fluktuasi pada kadar kortisol dalam darah, baik kuda maupun badak menunjukkan kecenderungan peningkatan respirasi dalam kondisi cekaman. Fakta ini menunjukkan bahwa peningkatan respirasi seperti ini merupakan indikator yang cukup sensitif untuk memantau keadaan cekaman secara kualitatif pada kuda ataupun pada badak jawa. Tingkat respirasi hewan pada saat menjalani kedua jenis cekaman menunjukkan kecenderungan peningkatan. Oleh karena itu, pengamatan pada tingkat respirasi dapat digunakan sebagai data penunjang dalam menganalisis tingkat cekaman yang dihadapi. Namun demikian tingkat respirasi ini bukan merupakan indikator yang spesifik untuk cekaman pada badak, karena selain akibat adanya cekaman peningkatan respirasi dapat pula disebabkan oleh meningkatnya aktifitas hewan (Evans et al. 1990).

160 131 Respirasi (respirasi / menit) R² = 0,8673 Garuda Elang Rata-rata Linear (Rata-rata) - Istirahat - pakan 1 - pakan 2 A 60 Respirasi (respirasi/menit) R² = 0,9124 Garuda Elang Rata-rata Linear (Rata-rata) - Istirahat - air 1 - air 2 Gambar 30. Trend peningkatan respirasi pada kuda dalam perlakuan defisit pakan (A) dan defisit air (B) dibanding dengan kondisi normal istirahat. B Respirasi per menit min max min max Kuda Badak Normal Stress Gambar 31. Perbandingan peningkatan respirasi badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman (stress).

161 132 Identifikasi Komponen Pemicu Cekaman Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terjadinya cekaman dapat diasosiasikan dengan meningkatnya kadar kortisol dalam darah dan juga meningkatnya respirasi. Regresi linear berganda dilakukan untuk mengindentifikasi kontribusi dan korelasi dari berbagai faktor seperti: asupan protein, asupan air, asupan energi, rasio N/L terhadap Kadar kortisol dan respirasi. Regresi linear berganda menunjukkan hasil sebagai berikut: Respirasi = x protein x Energi x Air (L) x n/l x kortisol. (R 2 =0.8358) Kortisol = 11, , x protein x Energi x Air (L) 2, x n/l x Respirasi. (R 2 = ) Hasil ini menunjukkan kecenderungan bahwa faktor yang paling menentukan dalam peningkatan respirasi adalah asupan protein (koefisien = ), diikuti dengan rasio n/l (koefisien 11.20), dan air (koefisien = 2.05). Demikian pula dengan peningkatan kadar kortisol dalam darah yang ditentukan oleh asupan protein (koefisien = 60,927.17), diikuti dengan rasio n/l (koefisien= 2,648.30), dan air (koefisien = ). Kecernaan Kuda Dalam Kondisi Cekaman Pada kondisi kualitas pemeliharaan yang sama, komposisi pakan yang terukur, dan periode pemberian pakan yang teratur selama perlakuan pada kedua ekor kuda, maka dapat dipastikan bahwa konsumsi pakan bagi kedua ekor kuda tersebut merupakan faktor konstan dalam uji coba ini. Oleh karena itu, perubahan fisiologi pencernaan yang terjadi pada kedua ekor kuda tersebut merupakan pengaruh dari cekaman yang timbul. AIA pada pakan dan feses kuda serta perhitungan kecernaan selama perlakuan ditampilkan pada Tabel 16.

162 133 Tabel 16. Persen kecernaan dua ekor kuda dengan koreksi 10% menurut Mainka et al (1989) Kuda & Perlakuan AIA Pakan AIA Feses % kecernaan % kecernaan terkoreksi Garuda Defisit Pakan % 64.38% Defisit Air % 64.92% Elang Defisit Pakan % 62.02% Defisit Air Dengan menggunakan metoda AIA (Van Keulen & Young 1977) dan koreksi berdasarkan Mainka et al (1989) sebagai formula penghitungan tingkat kecernaan (karena koleksi total tidak mungkin untuk dilakukan dalam penelitian ini), didapat bahwa kecernaan kuda dalam perilaku defisit pakan adalah: 62.02%-64.38% sementara kecernaan dalam kondisi defisit air adalah: 64.92% (data dari satu ekor kuda tidak dapat digunakan). Angka kecernaan ini lebih tinggi dibanding dengan kecernaan pada kuda dalam kondisi normalyang didapat dari literatur yaitu: 54.6%-62.1% (Pagan et al 1998). Kecernaan pada badak 12 digunakan untuk mewakili kondisi cekaman tinggi akibat defisit air (berdasarkan jumlah asupan air dari pakan dalam pengamatan nutrisi) dan menunjukkan tingkat kecernaan 81.9%. Kecernaan pada badak 18 dan 13 digunakan untuk mewakili kondisi cekaman rendah yang menunjukkan tingkat kecernaan 69.3%-71.1%. Dalam perbandingannya kuda menunjukkan peningkatan kecernaan dalam kondisi defisit pakan dan dalam kondisi defisit air, sementara badak menunjukkan kecernaan lebih besar pada individu yang mengalami berupa defisit air bila dibandingkan dengan badak sumatera sebagai baseline kecernaan. Kecernaan yang tinggi dalam konsumsi rendah dapat terjadi karena jumlah konsumsi pakan yang rendah (50%) dari total mengakibatkan laju pakan lambat sehingga peluang bahan dicerna menjadi tinggi. Perbandingan ini menunjukkan adanya kesamaan pada kecenderungan reaksi tanggap berupa peningkatan kecernaan pada kuda dan badak yang mengalami cekaman (khususnya defisit air) seperti yang ditampilkan pada Gambar 32 yang menunjukkan reaksi tanggap berupa peningkatan kecernaan pada badak dan kuda dalam kondisi cekaman. Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa baik kuda ataupun badak

163 134 memberikan reaksi tanggap terhadap cekaman defisit air berupa peningkatan pada tingkat kecernaan.peningkatan kadar AIA feses serta perbandingan tingkat kecernaan dalam kondisi normal (kontrol) dengan kondisi cekaman berupa defisit pakan maupun defisit air menunjukkan bahwa kuda beradaptasi secara fisiologis untuk meningkatkan kapasitas absorpsi nutrisi untuk memenuhi kebutuhan ekstra dalam beradaptasi dengan kondisi cekaman. Hal ini konsisten dengan tingginya kecernaan pada badak jawa sebagai mekanisme dalam menghadapi kondisi cekaman berupa rendahnya nutrisi dan keterbatasan pakan. Informasi ini menunjukkan bahwa kecernaan merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mendukung analisis keberadaan cekaman pada kuda ataupun badak, dan memiliki potensi untuk digunakan dalam pemodelan dan penelitian mengenai reaksi tanggap cekaman pada badak jawa. Persen kecernaan 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% min max min max Normal Stress Kuda Badak Gambar 32. Trend kecernaan badak dan kuda dalam kondisi normal dan cekaman (stress) defisit air.

164 135 Adaptasi Fisiologis Terhadap Cekaman Peningkatan respirasi dan tingkat kecernaan merupakan fenomena yang lazim ditemukan pada kuda dalam kondisi cekaman (Pagan et al 1998; Coenen 2005). Kedua perubahan ini merupakan respons fisiologis tubuh untuk menghadapi cekaman yang datang. Peningkatan respirasi menunjang peningkatan produksi energi dari molekul ATP yang diurai dalam siklus Krebs yang banyak didorong oleh proses enzimatik dan oksidatif (Koolman & Rohm 2001). Peningkatan kecernaan juga merupakan salah satu mekanisme untuk meningkatkan penyerapan nutrien dari saluran pencernaan ke pembuluh darah dan kemudian didistribusikan ke sel untuk digunakan sebagai sumber energi yang siap pakai seperti glukosa, ataupun bahan baku lainnya untuk siklus Krebs seperti protein ataupun lemak. Peningkatan metabolisme seperti ini merupakan langkah untuk menggalang energi yang digunakan dalam respons fight or flight yang dipicu oleh hormon cekaman yang disekresikan dari korteks adrenal.

165 136 Simpulan dan Saran 1. Perlakuan defisit pakan dan defisit air merupakan cara dapat dilakukan untuk menimbulkan cekaman pada hewan model (kuda). 2. Cekaman akibat defisit pakan mengakibatkan perubahan perilaku berupa pengurangan aktifitas berjalan dan adanya aktifitas menggigit embar atau pagar (crib biting). 3. Defisit air merupakan sumber cekaman dengan karakteristik kronis yang ditandai dengannaiknya kadar kortisol dan turunnya rasio N/L akibat migrasi limfosit dari organ perifer kembali ke darah (imunosupresi). 4. Defisit pakan merupakan sumber cekaman dengan karakteristik akut yang ditandai dengan kenaikan sementara kadar kortisol dalam darah yang diikuti dengan peningkatan rasio N/L akibat migrasi limfosit dari darah ke organ perifer (imunomodulasi). 5. Dampak lain dari adanya cekaman adalah adanya peningkatan respirasi dan kecernaan pada kuda yang mengalami cekaman, dan hal ini merupakan adaptasi fisiologis yang dilakukan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan energi dalam kondisi cekaman tersebut. 6. Kuda menunjukkan trend peningkatan kecernaan dan respirasi yang sebanding dengan badak, dan ini menunjukkan bahwa kuda merupakan model yang layak untuk digunakan dalam studi terkait cekaman pada badak. Saran 1. Melakukan penelitian mengenai korelasi antara tingkat cekaman kronis ataupun akut dengan kerentanan terhadap penyakit yang dapat mengancam populasi badak jawa dengan menggunakan hewan model. 2. Menerapakan konsep pemantauan perilaku dan profil hormon cekaman untuk badak jawa di habitat alaminya dengan referensi reaksi tanggap pada hewan model. 3. Menerapkan upaya mitigasi cekaman kronis akibat defisit air dengan meningkatkan akses jalur badak ke titik-titik air untuk minum maupun berkubang

166 137 Daftar Pustaka Agil M, Purwantara B, Alikodra HS, Hodges K, Toelihere MS Reproductive biology of the sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis (Fischer 1814). Disertasi program Doktor Institut Pertanian Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB Agil M, Setiadi DR, Supriatna I, Purwantara B, Non-Invasive Endocrine Monitoring of Reproduction and Stres in the wild animal: Analyzing hormone metabolites in Urine and Faeces using Enzymeimmunoassay. Proceeding of AZWMC 2008 Bachman I, et al Behavioural and physiological responses to an acute stressor in crib-biting and control horses. Applied animal behaviour science 82: Buff PR, Morrison CD, Ganjam VK, Keisler DH, Effects of short-term feed deprivation and melatonin implants on circadian patterns of leptin in the horse. Journal of animal science 83(5): Cameron HL, Perdue MH Stres Impairs Murine Intestinal Barrier Function: Improvement by Glucagon-Like Peptide-2. The journal of pharmacology and experimental therapeutics Vol. 314, No. 1 Carlstead K, Brown JL, Relationships between patterns of fecal corticoid excretion and behaviour, reproduction, and environmental factors in captive black (Diceros bicornis) and white (Ceratohterium simum) Rhinoceros. Zoo biology 24: Citino SB, Bush M Reference Cardiopulmonary Physiologic Parameters for Standing, Unrestrained White Rhinoceroses (Ceratotheriumsimum). Journal of Zoo and Wildlife Medicine 38(3): Clauss M, et al Studies on digestive physiology and feed digestibilities in captive Indian rhinoceros (Rhinoceros unicornis). Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 89 (2005) Clauss M, et al Digestion coefficients achieved by the black rhinoceros (Diceros bicornis) a large, browsing, hidgut fermenter. Journal of animal physiology and animal nutrition Coenen M, Exercise and stress: impact on adaptive processes involving water and electrolytes. Livestock production science 92: Colgan, PW Quantitative ethology. Wiley-Interscience publications. John Wiley and Sons, New York Davis AK, Maney DL, Maersz JC, The use of leucocyte profiles to measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Functional ecology 22(5):

167 138 Dhabhar FS, Acute stress enhances while chronic stress supresses skin immunity: the roles of stress hormones and leukocyte trafficking. Annals of the New York academy of Sciences vol 917: Neuroimmunomodulation perspectives at the new millenium: Domingues-Gerpe L, Rey-Mendez M, Alterations induced by chronic stress in lymphocyte subsets of blood and primary and secondary immune organs of mice. BMC Immunology 2:7. [9 Juni 2012] Dyer J, et al Molecular characterisation of carbohydrate digestion and absorption in equine small intestines. Equine veterinary journal 34(4): Evans W, Borton A, Hints HF, Vleck LDV, The Horse Second Edition. W.H. Freeman and Company, New York Fernando P, Polet G, Foead N. Ng L. Melnick DJM Mitochondrial DNA analysis of the critically endangered Javan Rhinoceros. PHKA-WWF-Columbia University Figueiredo HF, et al Stress integration after acute and chronic predator stress: Differential activation of central stress circuitry and sensitization of th ehypothalamo-pituitary-adrenocortical axis. Endocrinology 144(12): Firdaus Y, Laporan Climate Modelling. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Badak jawa. WWF Indonesia Program Iklim dan Energi Glade MJ, Gupta S, Reimers TJ, Hormonal Responses to High and Low Planes of Nutrition in Weanling Thoroughbreds. J Anim Sci : Goebel MU, Mills PJ, Acute psychological stress and exercise and changes in peripheral leukocytes adhesion molecule expression and density. Psychosomatic medicine 62: Hariyadi ARS, Setiawan R, Daryan, Yayus A, Purnama H, Preliminary behaviour observations of the Javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) based on video trap surveys in Ujung Kulon National Park. Pachyderm 47: Harley EH, Matshikiza M, Robson P, Weber B, Red blood cell metabolism shows major anomalies in Rhinocerotidae and Equidae, suggesting a novel role in general antioxidant metabolism. Animals and Environments. Proceedings of the Third International Conference of Comparative Physiology and Biochemistry. Pp Hutchin M, Kreger MD, Rhinoceros behaviour: implications for captive management and conservation. Int. Zoo. Yb 40: Koolman J, Rohm KH, Wanandi SI[ed], Sadikin M [ed] Atlas berwarna dan teks Biokimia. Cetakan I. Penerbit Hipokrates, Jakarta

168 139 Linklater WL, MacDonald EA, Flamand JRB, Czekala NM, Declining and low fecal corticoids are associated with distress, not acclimatization to stress, during the translocation of African rhinoceros. Animal conservation 13: Mainka SA, Zhao GL, Li M, Utilization of a bamboo, sugar cane, and gruel diet by two juvenile giant pandas (Ailuropoda melanoleuca). Journal of zoo and wildlife medicine 20:39-44 Sims JA, et al Determination of bamboo-diet digestibility and fecal output by giant pandas. Ursus 18(1): McSweeney CS, Pass MA, The mechanism of ruminal stasis in Lantanapoisoned sheep. Quarterly journal of experimental physiology 68: NRC Nutrient requirements of horses, 5th ed. National Academy Press, Washington DC. Nagy K, et al The effect of a feeding stress-test on the behaviour and the heart rate variability of control and crib-biting horses (with or without inhibition). Applied animal behaviour science 121: Nessminth S, Baltzell J, Bardanier CD, Interaction of Glucocorticoid and thyroxine in the responses of rats starvation-refeeding J. Nutr. 113: Noble GK, et al Effect of excercise training, circadian rythm, age, and sex, on insulin-like growth factor-1 in the horse. Journal of animal science 85: Pagan JD, et al Exercise affects digestibility and rate of passage of all-forage and mixed diets in throroughbred horses. American society for nutritional sciences. J. Nutr. 128: 2704S-2707S Pass MA, Seawright AA, Lamberton JA, Heath TJ, Lantadene A toxicity in sheep. A model for cholestasis. Pathology Jan;11(1):89-94 Permadi YF, Kajian dampak perubahan iklim terhadap kerentanan badak jawa. Laporan proyek WWF Indonesia. Rivera E, Benjamin B, Nielsen J, Shelle J, Zanella AJ, Behavioural and physiological responses of horses to initial training: the comparison between pastured versus stalled horses. Applied animal behavioural science 78(2-4): Sajudin HR, Djaja B, Monitoring populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Semenanjung Ujung Kulon. Laporan akhir penelitian IUCN/WWF proyok nomor Fakultas Biologi UNAS VanKeulen J, Young, BA Evaluation of Acid Insoluble Ash as a Natural Marker in Ruminant digestibility Studies. Journal of Animal Science vol 44 no:

169 PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA Pendahuluan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan salah satu megaherbivora yang tidak ikut punah pada saat terjadi perubahan iklim global di satu periode geologis yang dikenal dengan nama periode Holocene. Pada periode ini banyak spesies menjadi punah (terutama herbivora besar) akibat perubahan iklim yang berujung pada perubahan sebaran dan kelimpahan vegetasi (Williams et al. 2002). Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi pada herbivora besar, termasuk badak jawa, terhadap struktur vegetasi di lingkungan/habitat tempat tinggalnya; padahal vegetasi itu sendiri bukanlah komponen habitat yang statis. Perubahan habitat badak -walaupun tidak se ekstrem perubahan yang terjadi pada periode holocene- telah teramati oleh beberapa penelitian diantaranya adalah oleh Muntasib et al. (2002) yang melihat adanya kecenderungan dari sejenis tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) untuk mendominasi habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Kecenderungan seperti ini mengakibatkan menurunnya ketersediaan pakan badak serta berpotensi untuk mengakibatkan berubahnya iklim mikro. Penelitian yang dilakukan oleh Sarma et al. (2009) juga menjelaskan bahwa suksesi alami mengakibatkan perubahan pada habitat dan perubahan ini mengakibatkan penurunan dari ketersediaan pakan di padang rumput yang dihuni oleh badak india (Rhinoceros unicornis) di suaka margastwa Pobitora, Assam, India. Perubahan pada habitat dapat terjadi secara berangsur-angsur ataupun secara drastis akibat bencana alam seperti letusan gunung berapi. Letusan Krakatau di tahun 1883 adalah salah satu contoh fenomena alam yang dapat dikategorikan sebagai bencana klimatik yang mengakibatkan perubahan signifikan pada vegetasi di daerah sekitarnya (Budyko 1999). Oleh karena itu, berbagai fenomena alam dapat menjadi risiko yang mengancam kepunahan badak Jawa secara langsung seperti epidemi penyakit, letusan gunung berapi, dan tsunami; maupun secara tidak langsung seperti perubahan iklim drastis ataupun perubahan vegetasi akibat suksesi yang terjadi secara alamiah. Populasi badak Jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon menghadapi ancaman risiko penyakit yang dapat mendorong populasi ini menuju kepunahan. Pada awal tahun 1982, lima ekor badak ditemukan mati di daerah selatan

170 142 semenanjung Ujung Kulon dengan dugaan adanya penyakit menular (Strien 1982). Dugaan ini muncul didorong dengan adanya temuan kematian satwa lain di semenanjung Ujung Kulon dan beberapa kematian pada kerbau di sekitar kawasan Taman Nasional. Kasus kematian karena penyakit masih ditemukan pada seekor badak betina di tahun Kasus kematian badak masih berlanjut di tahun 2010 dimana 3 tumpukan tulang belulang yang berasal dari 3 ekor badak ditemukan di semenanjung Ujung Kulon dan analisis menunjukkan adanya agen infeksius Trypanosoma evansi yang kemungkinan dapat menulari badak dan menyebabkan kematian (Hariyadi et al. 2011). Berdasarkan kasus kematian dari tahun 2000 sampai 2010, perhitungan angka mortalitas adalah 1 kematian setiap tahun. Dengan demikian, tiga kematian di tahun 2010 merupakan angka yang secara signifikan berada di atas rata-rata angka kematian per tahun. Sebaran temuan kasus kematian badak dari tahun 2000 sampai 2010 ditampilkan pada Gambar 33. Gambar 33. Lokasi temuan kematian badak Jawa dalam periode tahun Titik hijau menunjukkan kasus dengan informasi yang relatif lengkap mengenai penyebab kematian. Keberadaan ancaman penyakit terhadap badak jawa diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) yang menunjukkan adanya agen infeksius berupa parasit darah dan juga cacing yang dapat menular dari ternak kerbau

171 143 ke badak Jawa dan bahkan kepada manusia (zoonosis). Berdasarkan temuan-temuan ini, para pakar yang tergabung dalam kelompok spesialis badak Asia: Asian Rhino Specialist Group (AsRSG) merekomendasikan untuk menyusun sebuah protokol kajian risiko penyakit serta pemantauan penyakit yang dapat menyerang populasi badak Jawa. Penyusunan protokol yang dilengkapi dengan pelatihan bagi staf lapangan merupakan langkah penting yang akan meningkatkan efektifitas patroli serta meningkatkan peluang untuk menemukan dan mencegah penyakit-penyakit yang membahayakan populasi badak Jawa. Tekanan yang Dihadapi oleh Badak Jawa Populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon telah diketahui sebagai populasi yang jumlahnya tidak lebih dari 50 individu saja, sementara rata-rata perkembangan populasinya tidak lebih dari 1% saja setiap tahunnya (Hariyadi et al. 2011). Pemerintah Indonesia telah mentargetkan pertumbuhan populasi badak jawa untuk bertambah dengan tingkat laju pertumbuhan populasi 3% setiap tahunnya. Perbandingan kondisi pertumbuhan populasi yang teramati saat ini dengan target yang telah dicanangkan oleh pemerintah menunjukkan adanya kesenjangan (gap) pada laju pertumbuhan populasi badak tersebut. Kesenjangan ini diharapkan dapat dikurangi dengan meminimalisir cekaman yang dihadapi oleh badak, sehingga mereka dapat melakukan adaptasi secara optimal terhadap perubahan yang terjadi di habitatnya. Penelitian ini telah mengidentifikasi berbagai cekaman yang dihadapi badak jawa di habitat aslinya, dan cekaman ini antara lain terdiri dari: 1) Defisit Energi Asal Pakan Perbandingan jumlah asupan nutrien (protein dan lemak) dalam penelitian ini dengan asupan nutrien (protein dan lemak) pada badak sumatera yang dilakukan oleh Dierenfeld et al. (2000) menunjukkan jumlah asupan yang relatif sama. Hal yang perlu dicermati adalah perlakuan pada badak sumatera dicatat berdasarkan asupan yang diterima badak sumatera di dalam fasilitias penangkaran yang biasanya memiliki kualitas asupan lebih rendah dari kualitas asupan yang ada di alam (Dierenfeld et al. 2000). Berdasarkan informasi ini, maka kualitas asupan pakan badak sumatera di penangkaran berdasarkan literatur ini merupakan tingkat minimum yang diperlukan oleh badak jawa di habitat alaminya.

172 144 Perhitungan dengan menggunakan formula Kleiber seperti yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) pada badak india menunjukkan bahwa kebutuhan energi ideal untuk mempertahankan homeostasis (maintenance energy) bagi badak jawa adalah: 20,825-28,051 kkal per hari (badak 12 dan 13) dan 15, kkal per hari (badak 18). Secara umum, jumlah asupan pakan yang tercatat di lapangan menunjukkan rataan harian yang memadai untuk memenuhi kebutuhan energi badak jawa, namun perhatian khusus perlu diberikan pada badak 18 (badak muda) yang jumlah rataan energi hariannya hanya sedikit di atas kebutuhan minimum. Hal ini terjadi akibat adanya penurunan asupan energi asal pakan pada bulan Desember. Fakta ini menunjukkan adanya risiko bahwa kebutuhan energi kemungkinan tidak dapat dipenuhi pada waktu-waktu tertentu dan harus segera dipenuhi dalam waktu berikutnya. Jumlah asupan energi asal pakan pada badak jawa perlu dipastikan untuk menjamin kemampuan badak untuk mempertahankan hidup dan berkembang biak. Hasil kajian hematologi pada hewan model menunjukkan bahwa kondisi defisit jumlah konsumsi pakan -bila terjadi- merupakan jenis cekaman bersifat akut dan merupakan kondisi riil yang harus dihadapi oleh badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Data dari tabel 4 menunjukkan adanya kemungkinan bahwa pakan sebagian besar pakan yang dipilih oleh badak adalah jenis-jenis dengan kandungan air yang cukup tinggi (9-17% air) sehingga berat kering dari tumbuhan pakan menjadi sangat kecil dibandingkan dengan berat segarnya. Ini merupakan salah satu mekanisme yang dilakukan oleh badak untuk mencegah terjadinya defisit air yang merupakan tingkat cekaman yang tinggi sebagaimana ditunjukkan dalam pengamatan profil glukokortikoid dan juga induksi defisit air pada hewan model. 2) Defisit Air Analisis kadar glukokortikoid dari feses badak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan hormon cekaman pada musim kering dengan jumlah kejadian hujan yang rendah setiap harinya. Perbedaan kadar hormon ini sangat jelas terlihat (walaupun tidak berbeda nyata secara statistik) di semua badak contoh dalam penelitian ini terutama badak 12. Badak 12 merupakan badak dengan kandungan air yang paling kecil dari asupan pakannya sehingga hewan ini memerlukan ketersediaan air minum yang banyak. Perhitungan kebutuhan air dilakukan berdasarkan informasi

173 145 dari Galpine (2006) yang menunjukkan kebutuhan air 0.03 liter air per kilogram berat badan, dan perhitungan ini menunjukkan bahwa badak 12 dengan bobot 1,000 kg memerlukan 28 L air setiap harinya. Hasil kajian pakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa badak 12 hanya mendapatkan rataan 5.01 L air dari tumbuhan pakan dan harus mendapatkan 23 liter dari minum setiap harinya. Kebutuhan akan air pada badak 12 ini akan meningkat pada musim kering di mana beberapa sumber air mengering dan mengakibatkan menurunnya ketersediaan air. Hal ini konsisten dengan temuan tingginya kadar glukokortikoid dari feses badak 12 di musim kering sekitar bulan Oktober 2010 (0,2 kejadian hujan per hari). Fakta ini diperkuat dengan kecenderungan yang sama saat cekaman defisit air disimulasikan pada kuda yang menunjukkan peningkatan kortisol secara eksponensial. Kajian hematologi pada hewan model menunjukkan bahwa kondisi defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis. Model Pengelolaan Badak Jawa Hasil penelitian ini memberikan beberapa opsi yang potensial untuk diterapkan sebagai bagian dari pengelolaan badak jawa. Opsi-opsi ini dapat dijadikan model pengelolaan dengan pendekatan baru (basis pengkayaan nutrisi dan mitigasi cekaman) yang belum pernah dirancang dan diimplementasikan secara optimal sebelumnya. Model pengelolaan Badak Jawa berbasis nutrisi dan mitigasi cekaman ditampilkan pada Gambar 34 dan terdiri dari berbagai komponen yaitu: 1. Komponen pemantauan yang terdiri dari: pemantauan status nutrisi dan status cekaman berdasarkan profil hormon glukokortikoid dan/atau metabolitnya. 2. Komponen pengkayaan nutrisi berupa intervensi habitat secara aktif untuk memastikan ketersediaan tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang tinggi untuk badak di Taman Nasional Ujung Kulon 3. Komponen mitigasi cekaman dengan memastikan ketersediaan air serta akses menuju air yang tersedia sepanjang tahun. 4. Komponen riset menggunakan hewan model untuk mempelajari kecernaan dan reaksi tanggap cekaman untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak negatif dari nutrisi dan kecernaan, dampak negatif dari cekaman, serta implikasi kesehatan lainnya.

174 146 Gambar 34. Model pengelolaan populasi dan habitat badak jawa dengan pendekatan aspek nutrisi, cekaman, dan kesehatan Komponen 1: Teknik Pemantauan Pemantauan Status Nutrisi Keberhasilan pengamat dalam mengikuti pola pergerakan badak (trajektori) serta identifikasi lokasi-lokasi yang menjadi areal makan badak (rumpang) menunjukkan potensi pengembangan dari teknik ini menjadi suatu teknik pemantauan kuantitas dan kualitas nutrisi yang terjadi di habitat alami badak. Kemampuan pemetaan dan analisis spatial akan mendorong keakuratan dari metode ini ke tingkat yang lebih tinggi dan dapat memberikan informasi yang sahih bagi pihak pengelola populasi badak jawa Pemantauan Cekaman Berdasarkan Profil Hormon Penelitian ini menunjukkan bahwa badak kemungkinan besar bisa beradaptasi terhadap kondisi defisit pakan ini sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya kadar hormon cekaman (kelas glukokortikoid) dari feses badak yang mengalami defisit pakan (individu 12). Kemampuan badak untuk beradaptasi saat ini ditunjang dengan kemampuan jelajah badak di areal yang masih cukup banyak ditumbuhi vegetasi pakan yang disukai badak (palatabilitas tinggi). Literatur juga menyebutkan

175 147 kemungkinan adanya mekanisme internal dalam fisiologi tubuh badak yang melakukan supresi terhadap sekresi glukokortikoid (Linklater et al. 2010). Kecenderungan (trend) kenaikan kadar kortisol dalam darah dan penurunan kadar kortisol tersebut pada pola cekaman yang muncul pada kuda sebagai hewan model yang digunakan untuk mempelajari respons akibat kondisi cekaman terkait dengan defisit pakan. Kemampuan mendeteksi kadar glukokortikoid merupakan hal yang penting dalam mengembangkan protokol pemantauan yang memungkinkan pengamat untuk mengambil data tingkat cekaman yang dihadapi oleh populasi badak di habitat alaminya. Komponen 2: Pengkayaan Nutrisi Berkurangnya ketersediaan pakan bagi badak Jawa disebabkan oleh berbagai hal yang sebagian tidak dapat dikendalikan seperti suksesi alami dan perubahan iklim. Namun demikian, sebagian dari penyebab berkurangnya ketersediaan pakan masih dapat dikendalikan seperti: dominasi/invasi vegetasi tertentu (Arenga sp atau Lantana camara), dan kualitas nutrisi yang kurang memadai. Pengkayaan nutrisi dapat dilakukan dengan tiga langkah yang terdiri dari: mengendalikan tumbuhan invasif; meningkatkan ketersediaan tumbuhan dengan kandungan air, nutrien, dan energi tinggi; serta mengurangi tumbuhan Lantana camara yang memiliki kandungan toksin. Menekan Laju Invasi dan Dominasi Tumbuhan Langkap (Arenga obtusifolia) Tumbuhan jenis palma ini memiliki pola penyebaran dengan menggunakan akar dan biji. Tumbuhan langkap ini memiliki sifat alelopatik yang menghambat pertumbuhan vegetasi lainnya di areal tempat mereka tumbuh. Risiko invasi vegetasi dapat ditentukan menggunakan protokol yang dikenal dengan Weed Risk Assessment (Dawson et al. 2009). Penyebaran tumbuhan langkap ini dapat dihambat dengan bernagai cara seperti menebang atau menggunakan herbisida sebagaimana telah dilakukan oleh YMR (2004). Talukdar et al. (2010) menyebutkan bahwa WWF telah melakukan uji coba penebangan tumbuhan langkap ini dan mencatat bahwa areal uji coba tersebut ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak tiga bulan setelah tumbuhan langkap ditebang dari areal ini. Setelah tumbuhan pakan tumbuh, areal ini kemudian dikunjungi untuk pertama kalinya oleh badak Jawa (induk dan anak) yang menunjukkan bahwa intervensi habitat semacam ini memiliki potensi untuk memberikan dampak positif

176 148 berupa peningkatan akses bagi badak ke areal yang tadinya tidak pernah dikunjungi (potensi perluasan ruang jelajah). Tumbuhnya vegetasi yang merupakan makanan badak menunjukkan bahwa pengelolaan semacam ini berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan pakan yang dibutuhkan oleh badak disamping juga berpotensi untuk membuka ruang jelajah baru yang lebih luas. Analisis nutrisi dan kecernaan menunjukkan bahwa ruang jelajah yang luas memiliki korelasi yang kuat dengan keragaman pakan. Oleh karena itu, meningkatnya luas ruang jelajah memiliki potensi untuk membantu badak menemukan keragaman pakan yang lebih tinggi. Dengan mempertimbangkan berbagai potensi dari upaya untuk menekan laju invasi dan dominasi tumbuhan langkap, maka upaya pengelolaan perlu memperhatikan dan memilih lokasi-lokasi ideal untuk mengimplementasikan upaya ini agar memberikan hasil yang optimal. Dengan mengetahui sebaran badak di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon saat ini (Gambar 35), maka lokasi-lokasi ideal untuk melakukan pengendalian langkap ini ditampilkan dalam gambar 36. Gambar 35. Distribusi badak jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon (titik merah) berdasarkan hasil survey (sumber: WWF Indonesia & Balai TNUK)

177 149 Pengkayaan Air, Nutrien, dan Energi dari Tumbuhan Pakan Selain defisit dari jumlah asupan pakan, referensi silang antara tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi dengan kandungan nutrisinya (protein, lemak, energi) menunjukkan bahwa jenis tumbuhan pakan dengan palatabilitias tinggi tidak mengandung kualitas nutrisi yang tinggi. Hal ini merupakan masalah yang cukup besar dalam konteks asupan dan nutrisi bagi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Gambar 36. Lokasi ideal untuk plot pengendalian langkap (Arenga obtusifolia) di semanjung Ujung Kulon ditandai dengan poligon berwarna merah. Berdasarkan identifikasi jenis-jenis tumbuhan pakan dalam analisis nutrisi dan kecernaan, maka tindak lanjut yang paling memungkinkan adalah membuat persemaian khusus untuk memperbanyak tumbuhan pakan bernutrisi tinggi yang terdiri dari: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energi tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).

178 150 Hasil dari persemaian ini dapat kemudian digunakan untuk memperkaya areal pakan (rumpang) badak yang sudah ada ataupun yang akan dibuat dengan memperhitungkan kerapatan dari tumbuhan pakan ideal yaitu kerapatan 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon. Pengendalian Lantana camara Hasil analisis pakan dan palatabilitias tumbuhan pakan menunjukkan bahwa individu badak nomor 13 menunjukkan pola asupan antinurisi lantaden yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa daerah pakan di dalam ruang jelajah badak nomor 13 ini memiliki jumlah tumbuhan Lantana camara yang lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan lainnya, dan oleh karenanya patut dijadikan prioritas dalam upaya pemeliharaan habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Lokasi ideal bagi upaya pengendalian Lantana camara ditampilkan dalam Gambar 37. Pengurangan tumbuhan Lantana camara diharapkan dapat membantu pertumbuhan tumbuhan pakan lain yang memiliki nutrisi tinggi. Untuk memastikan ketersediaan pakan dengan nutrisi tinggi yang telah diidentifikasi, upaya pembibitan dan penanaman tumbuhan-tumbuhan tersebut dapat dilakukan di areal pakan badak yang telah dikurangi jumlah Lantana nya, ataupun di areal pengendalian langkap (Arenga obtusifolia). Upaya optimalisasi habitat seperti ini dapat diperkuat dengan upaya pembuatan akses terhadap kubangan atau air dengan cara membuatkan jalur lintasan yang memungkinkan badak untuk mencapai sumber air dan/atau kubangan yang dibutuhkannya. Cara lainnya adalah dengan membuat sumber air, kubangan buatan, ataupun daerah resapan garam secara manual untuk memastikan ketersediaan komponen ini demi menunjang kehidupan badak Jawa.

179 151 Gambar 37. Usulan areal pengendalian tumbuhan Lantana camara di areal pakan badak ditandai dengan poligon berwarna kuning. Komponen 3: Mitigasi Cekaman Akibat Defisit Air Defisit air merupakan satu faktor yang cukup sulit untuk ditangani karena penyebab dari defisit air ini adalah faktor iklim global (curah hujan). Air berperan penting dalam kehidupan badak sebagai sumber air minum dan sebagai fungsi termoregulasi (berkubang). Cara-cara yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola untuk membantu badak dalam beradaptasi terhadap kondisi defisit air ini adalah dengan membuat akses bagi badak ke sumber-sumber air permanen yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Akses ini dapat dilakukan dengan membuat areal pakan (rumpang) ataupun membuat lintasan menuju kantong-kantong air tersebut. Cara lainnya adalah dengan memperkaya areal pakan (rumpang) badak dengan tumbuhan pakan yang kaya air dan bila memungkinkan kaya akan nutrisi. Jenis-jenis tumbuhan dengan karakter seperti ini adalah tumbuhan Areuy kipuak (Paederia scandens), Lame kuning (Alstonia scholaris), dan Pacing (Costus speciosus). Langkah pengelolaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kubangan di tempat-tempat yang telah diperhitungkan secara strategis. Pembuatan

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat PENDAHULUAN Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN memasukan badak jawa dalam kategori terancam

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA

PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA Pendahuluan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan salah satu megaherbivora yang tidak ikut punah pada saat terjadi perubahan iklim global

Lebih terperinci

KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR

KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR KAJIAN KUANTITATIF MENGGUNAKAN HEWAN MODEL SEBAGAI PEMBANDING UNTUK BADAK JAWA DALAM PENELITIAN CEKAMAN AKIBAT DEFISIENSI PAKAN DAN DEFISIENSI AIR Abstrak Setelah mempelajari faktor cekaman yang dihadapi

Lebih terperinci

PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI

PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI PEMETAAN INFESTASI CACING PARASITIK DAN RISIKO ZOONOSIS PADA IKAN LAUT DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA SKRIPSI DINI MAHARANI ARUM RIMADIANTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH PENAMBAHAN YEAST

Lebih terperinci

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA NEWSLETTER [CLICK TO TYPE THE PHOTO CREDIT] 2013 MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA Badak Jawa yang memiliki nama latin Rhinoceros sondaicus merupakan salah satu hewan yang dijamin oleh Undang-undang di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN METODE PENELITIAN. gunaan bersama tempat-tempat tersebut oleh badak jawa dan banteng.

PENDAHULUAN METODE PENELITIAN. gunaan bersama tempat-tempat tersebut oleh badak jawa dan banteng. Media Konservasi Vol. VII, No. 2, Juni 2001 : 69-74 PENGGUNAAN SUMBERDAYA AIR, PAKAN DAN COVER OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) DAN BANTENG (Bos javanicus, d'alton 1832) DI DAERAH

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK HANIFAH RAHMI

STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK HANIFAH RAHMI STUDI HEMATOLOGIS DAN HISTOPATOLOGIS ORGAN PADA TIKUS YANG DIINDUKSI KUININ SEBAGAI UJI POTENSI METABOLIK ANGKAK HANIFAH RAHMI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE

KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE TESIS Oleh : NURIANA Br SINAGA 097040008 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Analysis of Dominant Ecological Factors of Wallow Selection By Javan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Metode

MATERI DAN METODE. Metode MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kambing Perah Bangun Karso Farm yang terletak di Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis pakan

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) TESIS

PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) TESIS PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) TESIS Oleh: SUKMA ADITYA SITEPU 097040001 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PRORAM

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK (Kasus pada : Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus) Oleh : HERRY SUMARDJITO PROGRAM

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) MEETHA RAMADHANITA PARDEDE SKRIPSI DEPARTEMEN ANATOMI,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN SERTA INTERAKSI ANTARA Lactobacillus casei DAN Bifidobacterium longum TERHADAP Escherichia coli PADA SUMBER KARBON PATI DAN MI SAGU

PERTUMBUHAN SERTA INTERAKSI ANTARA Lactobacillus casei DAN Bifidobacterium longum TERHADAP Escherichia coli PADA SUMBER KARBON PATI DAN MI SAGU PERTUMBUHAN SERTA INTERAKSI ANTARA Lactobacillus casei DAN Bifidobacterium longum TERHADAP Escherichia coli PADA SUMBER KARBON PATI DAN MI SAGU TRIA MAULIANY PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

RINGKASAN. : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.

RINGKASAN. : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. RESPON KONSUMSI DAN EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM PADA MENCIT (Mus musculus) TERHADAP PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) YANG DIDETOKSIFIKASI SKRIPSI HADRIYANAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

Kampus Darmaga, Bogor 16680, Indonesia 2) Bagian Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB,

Kampus Darmaga, Bogor 16680, Indonesia 2) Bagian Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK LOKASI CAMERA TRAP DENGAN KEBERHASILAN PEREKAMAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Correlation between Characteristic of Camera

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 39 MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai dengan Juni 2008 di PT IndoAnilab, Bogor. Penelitian berlangsung tiga tahap, yaitu tahap pertama

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PROFIL MINERAL KALSIUM (Ca) DAN BESI (Fe) MENCIT (Mus musculus) LAKTASI DENGAN PERLAKUAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus L.)

PROFIL MINERAL KALSIUM (Ca) DAN BESI (Fe) MENCIT (Mus musculus) LAKTASI DENGAN PERLAKUAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus L.) PROFIL MINERAL KALSIUM (Ca) DAN BESI (Fe) MENCIT (Mus musculus) LAKTASI DENGAN PERLAKUAN SOP DAUN TORBANGUN (Coleus amboinicus L.) SAEPAN JISMI D14104087 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. RINGKASAN Nur Aini. D24103025. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PROFIL LEMAK DARAH DAN RESPON FISIOLOGIS TIKUS PUTIH YANG DIBERI PAKAN GULAI DAGING DOMBA DENGAN PENAMBAHAN JEROAN SKRIPSI AZIZ BAHAUDIN

PROFIL LEMAK DARAH DAN RESPON FISIOLOGIS TIKUS PUTIH YANG DIBERI PAKAN GULAI DAGING DOMBA DENGAN PENAMBAHAN JEROAN SKRIPSI AZIZ BAHAUDIN PROFIL LEMAK DARAH DAN RESPON FISIOLOGIS TIKUS PUTIH YANG DIBERI PAKAN GULAI DAGING DOMBA DENGAN PENAMBAHAN JEROAN SKRIPSI AZIZ BAHAUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

SUBTITUSI DEDAK PADI DENGAN LIMBAH RESTORAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA RANSUM AYAM BROILER SKRIPSI ALBERTUS RANDY SOEWARNO

SUBTITUSI DEDAK PADI DENGAN LIMBAH RESTORAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA RANSUM AYAM BROILER SKRIPSI ALBERTUS RANDY SOEWARNO SUBTITUSI DEDAK PADI DENGAN LIMBAH RESTORAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA RANSUM AYAM BROILER SKRIPSI ALBERTUS RANDY SOEWARNO PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

UJI KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PAKAN KOMPLIT HASIL SAMPING UBI KAYU KLON PADA DOMBA JANTAN LOKAL LEPAS SAPIH SKRIPSI

UJI KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PAKAN KOMPLIT HASIL SAMPING UBI KAYU KLON PADA DOMBA JANTAN LOKAL LEPAS SAPIH SKRIPSI 1 UJI KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PAKAN KOMPLIT HASIL SAMPING UBI KAYU KLON PADA DOMBA JANTAN LOKAL LEPAS SAPIH SKRIPSI Oleh: BERRY OKTA LIBRA 090306051 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENAMBAHAN DAUN KATUK

PENAMBAHAN DAUN KATUK PENAMBAHAN DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) DALAM RANSUM PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT REPRODUKSI DAN PRODUKSI AIR SUSU MENCIT PUTIH (Mus musculus albinus) ARINDHINI D14103016 Skripsi ini merupakan

Lebih terperinci

Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa. Di Ujung Kulon Pada Tahun Ir. Agus Priambudi, M.Sc

Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa. Di Ujung Kulon Pada Tahun Ir. Agus Priambudi, M.Sc Press Release Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa Di Ujung Kulon Pada Tahun 2010 P engelolaan TN. Ujung Kulon dititikberatkan pada bagaimana mempertahankan keberadaan satwa langka badak jawa (Rhinoceros

Lebih terperinci

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH KADARWATI D24102015 Skripsi ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SKRIPSI BUHARI MUSLIM

SKRIPSI BUHARI MUSLIM KECERNAAN ENERGI DAN ENERGI TERMETABOLIS RANSUM BIOMASSA UBI JALAR DENGAN SUPLEMENTASI UREA ATAU DL-METHIONIN PADA KELINCI JANTAN PERSILANGAN LEPAS SAPIH SKRIPSI BUHARI MUSLIM PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53 SIARAN PERS Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Jakarta, 29 Desember 2011 Badak jawa merupakan satu dari dua jenis spesies badak yang ada di Indonesia dan terkonsentrasi hanya di wilayah

Lebih terperinci

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaempferia galanga Linn) PADA RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER, KADAR KOLESTROL, PERSENTASE HATI DAN BURSA FABRISIUS SKRIPSI

Lebih terperinci

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT BANK NAGARI ZEDNITA AZRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

Lebih terperinci

PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA MUTU BAWANG MERAH

PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA MUTU BAWANG MERAH PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA MUTU BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) MELALUI PEMUPUKAN ZA DAN PUPUK KANDANG PADA BERBAGAI JARAK TANAM DI KABUPATEN DELI SERDANG TESIS Oleh : Riyadi Pratiwa

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD SKRIPSI RISNA HAIRANI SITOMPUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus Peternakan HMB Agro, Desa Sukajaya Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor)

ANALISIS FINANSIAL USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus Peternakan HMB Agro, Desa Sukajaya Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor) ANALISIS FINANSIAL USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus Peternakan HMB Agro, Desa Sukajaya Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor) SKRIPSI FAJAR MUTAQIEN PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer

KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA. Oleh : Venny Syahmer KETERKAITAN NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN INDEKS SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA Oleh : Venny Syahmer PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA 1 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan menyatakan bahwa tesis Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Saga, Sambiloto dan Pare Terhadap Diferensiasi Sel-Sel Leukosit, Kandungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci