BAB I PENDAHULUAN. di negeri ini juga mempunyai pengaturan sendiri (Rule Regulation). Persoalan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. di negeri ini juga mempunyai pengaturan sendiri (Rule Regulation). Persoalan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seperti halnya penyelenggaraan pers, penyelenggaraan didalam perfilman di negeri ini juga mempunyai pengaturan sendiri (Rule Regulation). Persoalan sensor film merupakan masalah yang selalu aktual untuk dibahas, tidak terkecuali pada masa pasca reformasi 1998, persoalan dalam sensor film menjadi semakin relevan untuk dibicarakan pada saat ini karena terkait dengan persoalan kebebasan untuk berekspresi dan mengungkapkan pendapat yang mana menjadi salah satu tuntutan dari gerakan Reformasi itu sendiri. Runtuhnya Orde Baru diikuti krisis ekonomi, krisis politik dan moneter yang melanda Indonesia menyebabkan perfilman Indonesia terpuruk, menyebabkan 2,848 layar dari layar tutup 1, biaya produksi film melonjak tajam apalagi beberapa pasca produksi film masih harus dilakukan di luar negeri karena keterbatasan teknologi di Indonesia. Perkembangan industri kreatif dalam dunia penyiaran Indonesia memasuki media televisi swasta yang telah memberikan pilihan baru bagi khalayak untuk menikmati hiburan baru tanpa melalui ke bioskop. Sinema eletronik yang lazim diakronimkan sebagai sinetron (FTV) menjadi bentuk baru dalam film dan sinema Indonesia yang dibuat khusus untuk ditayangkan di televisi, menyaingi film seluloid yang ditayangkan di gedung sinema. Di masa sekitar suksesi ini juga, 1 Johan Jasmadi, LSF Info HD Trend Letter, edisi 15 Februari 2014, hal 14. 1

2 2 teknologi digital berkembang secara pesat dengan berbagai implikasi bagi ranah industri film dan sinema Indonesia. Sebagaimana diketahui, film merupakan salah satu media komunikasi massa adalah media komunikasi massa yang ampuh bukan saja untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan pendidikan (edukatif) secara penuh (media yang komplit). 2 Saat ini media film telah mampu merebut perhatian masyarakat. Terlebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan kontribusi perkembangan dunia perfilman. 3 Media massa juga dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung, masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya. Film memiliki efek ekslusif bagi para penontonnya. Puluhan bahkan ratusan penelitian berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia betapa kuatnya media itu mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan para penontonnya. 4 Peran besar media massa terhadap pola perilaku masyarakat ternyata lebih besar dipengaruhi oleh film dan acara di televisi. Dalam media film, perfilman Indonesia sudah berkembang sangat pesat, film yang hadir dalam bioskop juga memiliki permintaan yang cukup banyak. Hal ini menandakan film sudah menjadi media yang memiliki penonton cukup banyak di masyarakat. Negatifnya, produksi 2 Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat: Sebuah Pengantar (Jakarta: BP SDM Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1999), hal Onong Uchaja Effendi, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Cipta Aditya Bakti, 2003), hal Miftah Faridl, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, (Bandung: Pusdai Press, 2000), hal 96.

3 3 film Indonesia setahap demi setahap berani menampilkan gambar, adegan, suara yang tidak patut dikonsumsi masyarakat dan tujuan pembuatan film. Sungguh hal ini tidak bermaksud menyusahkan. Banyak perubahan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki sektor industri film kita, khususnya yang berkaitan dengan aspek kesadaran budaya self sensorchip dalam membuat dan mempertunjukkan atau menonton film untuk umum atau di bioskop. Dalam bidang perfilman, kemajuan teknologi digital terutama dalam bentuk cakram video compact disc (VCD) berkembang pesat. Berbeda dengan pita Video Home System (VHS) dan Betacam yang tidak sedahsyat VCD, teknologi cakram digital menjangkau sampai pelosok desa dengan harga yang sangat murah. Akibatnya film Indonesia yang harus ditonton dengan membeli tiket bioskop semakin dijauhi penonton. VCD bajakan merajalela, semakin meminggirkan film Indonesia dari ranah publik. Dari sudut pandang positif, kemajuan teknologi informasi memungkinkan produksi film secara digital dilakukan dengan biaya yang murah. Handycam dan kamera digital semakin murah dan teknologi editing dapat dilakukan secara murah dengan perangkat komputer multimedia, Motion Picture (hasil pengembangan photograpy menjadi cinematograpy yang mampu menyajikan citra bergerak). Perangkat lunak untuk editing juga tersedia dipasar, memungkinkan film diproduksi bukan hanya oleh kalangan industri film maupun pemerintah seperti di masa Orde Baru, namun juga oleh komunitas film. Kita dapat menilai industri perfilman Indonesia bergerak dinamis. Pihakpihak lain punya pandangan berbeda, menganggap perlu ada filter agar arah dan

4 4 tujuan diselenggarakannya perfilman dapat tercapai. Mereka berpendapat wajah tontonan publik lewat media dengar-pandang tidak berubah : tetap beringas dalam mengobrak-abrik tata nilai dan budaya bangsa ; film yang menonjolkan sisi cerita sadisme dan tindak kekerasan. Sebuah industri film sekarang menghadapi kenyataan itu, maka visi, misi dan fungsi sebuah peran LSF mau tidak mau harus diperbaharui untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat kemajuannya. Namun tindakan LSF itu jangan terlalu arbitrer atau sewenang sewenang dalam memotong film di tengah masyarakat yang sedang menuju demokrasi. 5 Kehadiran Lembaga Sensor Film atau LSF ditanggapi beragam oleh insan dalam perfilman. Di satu sisi, lembaga sangat penting untuk mengurangi dampak buruk oleh tontonan yang negatif tetapi di sisi lain, ada pula yang menganggap lembaga itu membungkam kebebasan berbicara pembuat film dan menghambat kreativitas dalam membuat karya seni. Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam perkembangan perfilman di Indonesia. Sebelum dinikmati oleh penonton, baik film bioskop maupun film televisi, setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor. 6 Lembaga sensor memiliki wewenang untuk menyeleksi bagian-bagian mana dari sebuah film yang patut dikonsumsi, atau bagian mana yang harus dipotong, atau ditiadakan. Sensor film bertujuan untuk melindungi warga negara 5 Adrian Jonathan, 5 October 2014, Perfilman Indonesia sebagai Indikator Demokrasi, pada tanggal 12 Januari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014, (3) pasa l 2, Tentang Lembaga Sensor Film, diakses pada tanggal Diakses pada tanggal 20 Juni 2015

5 5 dari penetrasi informasi. Arus akulturasi yang kuat dikhawatirkan menembus dinding-dinding rawan, terutama bagi generasi muda, sehingga pesona hiburan tidak begitu saja meruntuhkan benteng moral anak bangsa. Diyakini tampilan berunsur ultra kekerasan bisa melahirkan ketidaksadaran berkepanjangan bahkan hal itu akan bermuara pada satu persepsi, bahwa citra itu adalah suatu kewajaran sebagai konsekuensi kemajuan zaman. Akan menjadi lebih menjerumuskan lagi, manakala wujud persepsi dikukuhkan sebagai panutan, sehingga melahirkan pola perilaku yang dianggap sebagai modernisasi budaya. Dalam penelitian Redatin Parwadi membuktikan bahwa baik secara diffuse general maupun content specific, penggunaan media televisi mempunyai kontribusi atau pengaruh terhadap terjadinya penyimpangan nilai dan perilaku, di kalangan remaja. 7 Secara content pecific kontribusinya semakin nyata dan spesifik. Responden yang menonton tayangan kekerasan cenderung berperilaku agresif; mereka yang sering menonton tayangan yang berbau seks cenderung berperilaku seks menyimpang, dan mereka yang sering menonton iklan cenderung konsumtif. 7 Redatin Parwadi, 2005, Pengaruh Penggunaan Media Televisi terhadap Penyimpangan Nilai dan Perilaku Remaja (Kekerasan, Seks, dan Konsumtif) di Kota Yogyakarta, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 1, ISSN , hal,45.

6 6 Keberadaan peran LSF sangat penting perannya apabila suatu film tak melewati pintu sensor (pengklasifikasian) dikhawatirkan anak anak bisa teracuni oleh tontonan yang selayaknya menjadi konsumsi orang dewasa. 8 Salah satu anggota LSF untuk periode utusan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Imam Tantowi pada 13 Agustus l999 mengatakan, Selama ini banyak sekali tontonan film yang diputar di bioskop atau di televisi sama sekali tidak memiliki kandungan pesan rohani, bahkan banyak yang mengandung racun moral itu dapat menyebabkan terjadi degradasi etika moral dan dengan pelan tapi pasti mampu mengubah tata nilai moral generasi muda menjadi kian permissive. 9 Tantowi mempertanyakan, bagaimana mungkin film berpotensi sangat merusak moral anak bangsa bisa sampai diloloskan? Padahal pedoman dan kriteria penyensoran semuanya bertujuan melindungi moral bangsa. Ia kemudian mengajak untuk mengetuk hati nurani orang yang bertugas di Lembaga Sensor Film ikut prihatin melihat moral generasi muda kita yang semakin lama semakin menuju kemerosotan (dekadensi moral). Kalangan Lembaga Sensor Film merasa telah berusaha melakukan tugas sesuai dengan perkembangan nilai budaya masyarakat. Kami merasa telah berusaha melaksanakan ketentuan yang digariskan oleh undang-undang berikut 8 Iwan Awaluddin Yusuf. ( Maret 2014). Buruknya Sistem Klasifikasi Penonton Bioskop Indonesia: Bagaimana Nasib Anak-Anak? esia&submit=search (online),diakses pada tanggal 11 Februari Muhammad Said Budairy.(2003,Februari) Lembaga Sensor Film., Ditulis dalam Koran Republika,8 September 1999.Diakses pada tanggal 11 Februari 2015.

7 7 peraturan-peraturan lainnya. Tapi, kami juga sadar menghadapi banyak kendala. 10 Ternyata, untuk menyensor film besar, tak semua anggota sempat memperoleh giliran. Karena untuk itu ada tambahan imbalan berasal dari pemilik film. Kasus-kasus macam ini sebagian terbukti dan berhasil dihentikan dalam perjalanan kerja LSF periode pimpinan Tatiek Maliyati WS. 11 Awal Lembaga Sensor film didirikan oleh pemerintahan Indonesia Pada tahun 1950 dibentuknya Panitia Sensor Film Pusat oleh pemerintah dengan tetap mengacu kebijakan yang diterapkan pada masa Hindia Belanda tetapi hanya ditambahkan beberapa saja sesuai stabilitas yang terjadi di Indonesia. Panitia ini ternyata berorientasi pada kepentingan kekuasaan belaka. Salah satu contohnya adalah pemotongan film Darah dan Doa karya Usmar Ismail 12. Film ini berhubungan dengan Perjanjian Renville serta memaparkan perjuangan long march pasukan Siliwangi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur pada pasca Perjanjian Renville, diprotes oleh beberapa perwira Divisi Siliwangi karena dianggap tidak menampilkan perjalanan long march divisi ini, sebagaimana mestinya. Sehingga dibeberapa daerah film ini dilarang diputar. 13 Perfilman diarahkan ke delapan sasaran. Diantaranya, (1) Terbinanya akhlak mulia. (2) Terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa (3) Terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa. (4) Meningkatnya harkat dan martabat bangsa. (5) Berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa. (6) Dikenalnya budaya 10 Ibid 11 Ibid 12 Alkhajar, Eka Nada Shofa. (2010). Masa-Masa Suram Dunia Perfilman Indonesia.Thesis. Surakarta. Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS Indonesia-dari-Film-dan-Sinema-Indonesia.pdf. Diakses pada tanggal 11 februari 2015.

8 8 bangsa oleh dunia internasional. (7) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat. dan (8) Berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan. 14 Untuk mewujudkan tujuan industri perfilman yang sesuai dalam perangkat hukum (regulasi), setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, ditayangkan diharuskan untuk disensor. Maka didirikan badan pelaksananya Lembaga Sensor Film dulu bernama Badan Sensor Film (1994) dan terakhir Status Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berubah menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. LSF juga tetap berada di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Disahkannya Undang-Undang Perfilman yang baru, Undang-Undang Nomor 33 Tahun Regulasi perfilman berupa payung dan atau peraturan yang mempunyai nilai nilai hukum, sebuah pijakan aturan berupa undang-undang yang menetapkan dasar, arah, tujuan, fungsi dan peranan perfilman dalam sebuah bangsa yang maju tetapi juga (lebih) beradab, bermartabat dan bermoral. Dasar penyelenggaraannya adalah konstitusi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). 16 Untuk mendorong pertumbuhan usaha perfilman nasional, sesuai dengan fungsinya dibidang ekonomi, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan keringanan dalam penyelenggaraan usaha perfilman. Usaha perfilman tersebut diselenggarakan oleh warga negara Indonesia dalam bentuk bahan usaha yang 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Film, Bagian kedua Tujuan Pasal 3, hal.5 15 Sekretariat Lembaga Sensor Film, Sari Informasi Lembaga Sensor Film Periode , Jakarta : 2006, hal Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film, diakses pada tanggal Diakses pada tanggal 11 februari 2015

9 9 berstatus badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 17 Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas menetapkan status edar (meloloskan) film-film layar lebar di Indonesia. Sebuah film hanya dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus sensor" oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Lembaga Sensor Film (LSF) juga mempunyai hak yang sama terhadap reklame-reklame film, misalnya poster film, Iklan, Film TV, Video Klip Musik. Selain tanda lulus sensor, Lembaga Sensor Film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan (pengklasifikasian). 18 Pengklasifikasian film dalam kelompok umur ini juga harus diimplementasikan dengan pengawasan yang ketat dalam lapangan, wewenang Lembaga Sensor Film dalam meloloskan sebuah film harus juga mengontrol dan mengawasi dengan intens di bioskop agar film berating 13 tahun keatas dan film dewasa tepat sasaran. Untuk menghindari dilapangan film yang telah lulus sensor dengan label untuk dewasa, tidak bebas di tonton oleh siapa saja, apalagi anakanak usia sekolah dasar (di bawah 13 tahun), juga remaja usia sekolah menengah (17 tahun ke bawah). Lembaga Sensor Film dan Bioskop harus juga memainkan peranannya yang penting dalam industri perfilman untuk memastikan agar hanya pemilik karcis sah yang memenuhi syarat kelompok umurnya saja yang berhak masuk ke 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Film,Bagian Ketiga, Fungsi, Pasal 4 (f), hal Dokumentasi Perfilman Nasional dan LSF(online), Diakses pada tanggal 1 Desember 2014.

10 10 ruang bioskop, LSF harus bersikeras dan tegas jika ada penonton yang berduit tetapi tidak memenuhi ke-sah-an kelompok umurnya. Sejatinya, setelah film ada ditangan para penyensor film itu telah memiliki penyesuaian kriteria sesuai dengan yang ditetapkan badan pengelompokan film. Karena, kinerjanya ada beberapa proses pemotongan bagian yang harus di buang, Setelah itu Film ini pun telah dinyatakan lulus sensor. Tetapi masalah yang terjadi dalam realitasnya, kalangan masyarakat dari berbagai bidang seperti agamawan, pelajar, mahasiswa dan dan beberapa kelompok-kelompok pekerja menganggap masih banyak film yang yang lolos dalam peredarannya dibioskop merusak mental remaja, yang menjadi pangsa pasar film ini. Dari kejadian-kejadian itu, LSF telah menjadi perhatian dari masyarakat ataupun orang perfilman. Masyarakat menilai lembaga ini kurang peka terhadap isu yang di usung sebuah film. Film nasional yang dimulai dengan film Kuldesak (1997) dibuat dari kalangan sineas independen, muncul sineas-sineas intelek muda yang kelak berpengaruh pada dekade mendatang seperti Riri Riza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, dan Nan Acnas dengan memproduksi film berkonsep omnibus (omnibus boleh ada satu tema, atau satu sutradara, atau satu penulis, atau satu aktor yang selalu muncul). Namun, sampai sekarang film justru disalah artikan oleh para sebagian produser sebagai kesempatan untuk memperbanyak produksi film demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sebagian tema-tema perfilman di Indonesia terasa

11 11 sangat monoton dan terkesan ikut-ikutan atas film-film sebelumnya yang telah meraih kesuksesan, hal ini dikarenakan oleh modal dan keuntungan yang menjadi prioritas utama dalam pembuatan film. Selera pasar menjadi penentu segalanya, sehingga film-film yang diproduksi harus berpatokan kepada selera pasar. Dominasi tema film terlihat sejak tahun 2005, ketika para produser mengangkat tema percintaan yang tak lekang oleh zaman dengan latar belakang gaya hidup para remaja pada masa itu. Tahun 2006 sampai pertengahan 2007 adalah tahun dimana film horror. Mengingat tema urban legend sangat jarang gagal di pasaran, maka tak heran tema horor menjadi tren perfilman Indonesia pada tahun tersebut. Menjelang akhir tahun 2007 sampai tahun 2008, film komedi menjadi barang dagangan yang laris manis di pasaran. Pemicunya bisa saja dikarenakan oleh masyarakat Indonesia yang hidup susah sehingga membutuhkan hiburan untuk menghilangkan penat, dan film komedi menjadi salah satu solusinya. Tingginya jumlah produksi film ternyata dipicu oleh tingginya animo penonton untuk menonton film Indonesia. 19 Di era tahun 2008, sineas Indonesia mampu meneruskan trend perkembangan film nasional di tanah air, ditandai oleh banyaknya film Indonesia yang ditampilkan di bioskop di luar film-film yang bertemakan horor dan seks. Sineas Indonesia mampu melahirkan banyak karya film yang berkualitas internasional seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Perempuan Berkalung Sorban, Ayat-Ayat Cinta, sampai muncul film Tenggelamnya Kapal Vender Wick 19 Effendy, Heru Industri Perfilman Indonesia. Jakarta: PT. Erlangga.

12 12 ( tiket) dan Comic 8( tiket) di tahun Film Indonesia perlahan tapi pasti mulai mengembalikan kejayaan tanah air. Namun, dengan tema besar yang hampir seragam dalam cerita filmnya, akhirnya berdampak pada menurunnya jumlah penonton yang berkunjung ke bioskop untuk menonton film Indonesia. Masyarakat Indonesia mulai jenuh menonton film nasional karena unsurunsur yang ada pada film Indonesia sangat monoton dan mudah ditebak alur ceritanya. Ketika penonton mulai bosan dengan keseragaman, semestinya muncul film yang menawarkan sesuatu yang berbeda dari film-film yang pernah ada sebelumnya. Salah satu film yang menurut penulis bisa dijadikan sebagai pilihan untuk ditonton Kalangan Dewasa adalah sebuah film karya Sutradara sutradara Gareth Evans yang berjudul The Raid 2 : Berandal bergenre aksi atau yang dikenal dengan genre Action / Gory / Slasher adalah film-film yang dipenuhi dengan adegan yang pembunuhan yang brutal, bersimbah darah dalam arti adegan sadis diperlihatkan dengan jelas. Film The Raid 2 : Berandal menceritakan dengan tema masalah-masalah yang ditampilkan: kelompok ilegal, rumah susun sebagai metafora hirarki, dan perjuangan polisi awam yang buta terhadap jaringan kejahatan yang rapih secara terorganisasi, harus menghadapi segala sesuatunya dengan otot, jalan kekerasan adalah satu-satunya cara untuk bernegoisasi dengan rezim yang korupsi. Bagian dalam penceritaannya mengangkat sebuah seni budaya bela diri silat asli Indonesia, film ini dibintangi oleh Iko Uwais berperan sebagai Rama,

13 13 perwira pemula satuan senjata dan taktik khusus sekaligus seorang calon ayah. 'Berandal' juga memakai banyak bintang terkenal Tanah Air. Tio Pakusadewo berperan sebagai mafia sadis dengan bantuan Alex Abbad, ditambah penampilan Mathias Muchus, Arifin Putra, dan Oka Antara. Pada akhir tahun 2009, Gareth menulis film laga yang berjudul Berandal dan menyelesaikan naskahnya pada pertengahan Film ini membutuhkan pendanaan yang cukup besar biaya produksi mencapai Rp 26,9 Miliar. Dikarenakan beberapa adegan yang sangat rumit. Dalam naskah yang direvisi untuk menjadi The Raid 2 : Berandal, Rama tokoh protagonis berperan sebagai polisi yang menyamar. Dengan memberikan Rama identitas baru dalam sekuel ini, menjadikan alur cerita lebih menarik dari naskah sebelumnya. Gareth juga menambahkan adegan laga di taksi yang terinspirasi dari kisah nyata kawannya. Pra-produksi segera dilaksanakan dan diikuti dengan proses shooting di Januari 2013 dan selesai dilaksanakan pada minggu pertama Agustus di tahun yang sama. 20 Film The Raid mencoba mengambil momentum di tengah keminiman film-film aksi laga yang beredar di Indonesia yang masih belum mencapai titik kepuasan. Untuk itu sineas perfilman Indonesia berusaha untuk membuat sesuatu yang baru demi menarik minat penonton terhadap perfilman di Indonesia khususnya filmdengan genre aksi laga. Film The Raid 2 : Berandal Produksi PT Merantau Films dan XYZ Films salah satu karya Gareth Evans meraih penghargaan bergengsi di ajang Best Movie Of The Year di Indonesian Choice Awards 2014 (won) Festival Film Sundance 20 Ronald de la Rosa (2014,Maret),Kenal Lebih Dekat Dengan Team Super Dibalik Film Film The Raid 2 Berandal (online), berandal/.diakses pada tanggal 11 februari 2015.

14 , Official Selection (Pilihan Resmi) Festival Film Sundance adalah sebuah festival film di AS, dan merupakan salah satu festival film paling bergengsi di dunia bersama dengan Festival Film Cannes, Mostra Internazionale d'arte Cinematografica di Venezia, Internationale Filmfestspiele Berlin, dan Toronto Film Festival. Sebuah hasil pemikiran akan selalu menghasilkan pro dan kontra. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pola pikir, sudut pandang, analisa, ilmu, wawasan, dan perbedaan pada beragam hal lainnya. Tak terkecuali hasil pemikiran yang berbentuk kritikan. Hal ini yang terjadi pada film The Raid. Banyak pro dan kontra yang bermunculan atas ketidaksetujuan terhadap film tersebut. Film yang lulus Lembaga Sensor Film (LSF) ini dinilai mempunyai nilai yang negatif dengan penayangan ultra kekerasan dan dihiasi ceceran darah di sepanjang film. Regulasi sensor menjadi penting menjalankan tanggung jawabnya untuk memfilter sebuah tampilan kekerasan dalam film, karena itu tidak patut diperlihatkan dibioskop, pengaruh film sering kali menimbulkan akibat yang lebih jauh seperti tayangan kekerasan pada tampilan itu. Kekerasan merupakan sebuah ekspresi, baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya. Namun di luar semua kontroversi yang ada, Gareth Evans, patut di apresiasi karena sutradara yang telah membuat tema cerita yang diluar

15 15 mainstream dengan mengangkat salah satu unsur seni bela diri asli tanah air, yaitu : pencak silat kepada film dunia. Selain itu, sutradara juga berhasil mengangkat nama perfilman Indonesia di berbagai penjuru dunia dengan budget produksi yang cukup fantastis. Berdasarkan fenomena film The Raid 2 : Berandal dan identifikasi masalah di atas, maka penulis menetapkan judul penelitian ini yaitu : Peran Lembaga Sensor Film Dalam Meloloskan Adegan Kekerasan Pada Film Layar Lebar (Studi Kasus Film The Raid 2 : Berandal). 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, yang menjadi fokus dalam penelitian ini mengenai Peran Lembaga Sensor Film dalam melaksanakan Fungsi dan tugasnya sebagai lembaga sensor yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 Pasal 30 (1) Yang berisi : Melakukan adegan sadis terhadap manusia. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Yang berisi : Berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa. Berdasarkan latar belakang kasus Film The Raid 2 : Berandal yang memuat adegan kekerasan secara gamblang dan jelas dalam film tersebut peneliti ingin mengetahui peran lembaga sensor film dalam meloloskan film layar lebar.

16 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis bermaksud untuk mengetahui : 1. Bagaimana proses Lembaga Sensor Film dalam meloloskan sebuah tampilan kekerasan dalam Film The Raid 2 : Berandal? 2. Apa saja syarat-syarat yang harus dimiliki oleh sebuah film dengan tampilan kekerasan untuk mencapai kelolosan sensor? 3. Bagaimana peran Lembaga Sensor Film dalam meloloskan adegan kekerasan dalam Film The Raid 2 : Berandal? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi menjadi tujuan secara umum dan dan khusus yaitu : 1. Ingin mengetahui proses Lembaga Sensor Film (LSF) dalam meloloskan sebuah tampilan kekerasan dalam Film The Raid 2 : Berandal 2. Ingin mengetahui bagaimana mekanisme atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh sebuah film dengan tampilan kekerasan untuk mencapai kelolosan sensor sebuah film. 3. Ingin mengetahui bagaimana peran Lembaga Sensor Film (LSF) dalam meloloskan adegan kekerasan dalam Film The Raid 2: Berandal

17 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis/Akademis Secara Akademis yaitu, ingin memberikan kontribusi penelitian mengenai peranan Lembaga Sensor Film dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan terhadap Jurusan Penyiaran dalam mata kuliah Etika Profesi Penyiaran. Peneliti ini berharap juga dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan terutama di bidang komunikasi. Serta memberikan masukan secara umum mengenai perkembangan komunikasi yang dapat dilakukan melalui gambar dalam film serta dapat memberikan manfaat tentang penggunaan metode studi kasus Manfaat Praktis Hasil Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi lembaga sensor film agar lebih memperketat peranananya sebagai Lembaga Sensor Film agar film yang disensor tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat dan diharapkan dapat memberikan wawasan yang bermanfaat bagi khalayak mengenai peran Lembaga Sensor Film dalam unsur adegan kekerasanfilm The Raid 2 : Berandal. Penelitian ini agar juga dapat dijadikan contoh bagi penelitianpenelitian selanjutnya serta memberikan kontribusi informatif dan langkah positif mengenai keberadaan sensor film untuk melindungi dan menyaring dari efek dampak negatif perfilman.

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai. hingga mampu menembus ruang dan waktu.

BAB I PENDAHULUAN. lepas dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai. hingga mampu menembus ruang dan waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembangnya bentuk komunikasi massa di era globalisasi ini, tidak lepas dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai dengan ditemukannya media

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari setiap orang pada umumnya, sehingga mereka sulit membayangkan hidup tanpa media, tanpa koran pagi, tanpa majalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. film merupakan media massa yang digemari oleh masyarakat di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. film merupakan media massa yang digemari oleh masyarakat di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan film di Indonesia saat ini semakin pesat, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah film setiap tahunnya yang ada di Indonesia. Dalam website

Lebih terperinci

2015 KAJIAN VISUAL POSTER FILM DRAMA PENDIDIKAN SUTRADARA RIRI RIZA PRODUKSI MILES FILMS

2015 KAJIAN VISUAL POSTER FILM DRAMA PENDIDIKAN SUTRADARA RIRI RIZA PRODUKSI MILES FILMS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi seni adalah sebagai media komunikasi, dimana dalam setiap unsur seni memiliki pesan yang ingin dikomunikasikan kepada penikmatnya, baik tersirat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Film adalah salah satu bentuk media komunikasi dengan cakupan massa yang luas. Biasanya, film digunakan sebagai sarana hiburan yang cukup digemari masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film di berbagai belahan dunia, termasuk bangsa ini. Produksi film menjadi sangat mudah dan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN I. UMUM Salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998, ialah diadakannya reformasi dalam bidang politik dan kebudayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siaran televisi saat ini telah menjadi suatu kekuatan yang sudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Televisi sebagai media massa memiliki karakteristik tersendiri

Lebih terperinci

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman

RechtsVinding Online Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman Mengembalikan Kejayaan Perfilman Indonesia Melalui Penyempurnaan Undang-Undang Perfilman Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 22 Juli 2015; disetujui: 28 Juli 2015 Industri perfilman Indonesia pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pengetahuan masyarakat. Sekarang ini, media memiliki andil yang. budaya yang bijak untuk mengubah prilaku masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pengetahuan masyarakat. Sekarang ini, media memiliki andil yang. budaya yang bijak untuk mengubah prilaku masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Media massa berperan sebagai sumber rujukan di bidang pendidikan dan penyebaran informasi yang cepat. Dalam hal ini, media dapat meningkatkan tingkat pengetahuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari pemaparan yang telah disampaikan mulai dari Bab I sampai Bab IV

BAB V PENUTUP. Dari pemaparan yang telah disampaikan mulai dari Bab I sampai Bab IV BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari pemaparan yang telah disampaikan mulai dari Bab I sampai Bab IV mengenai peran Lembaga Sensor Film dalam penentuan kelayakan film di Indonesia pada tahun 2011 (perspektif

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Film sebagai media komunikasi massa pandangdengar mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam alur ceritanya yang berbeda-beda. Film yang bertemakan horor yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. dalam alur ceritanya yang berbeda-beda. Film yang bertemakan horor yang banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era modern semakin banyak media hiburan film yang dapat dinikmati masyarakat.film merupakan sesuatu yang sudah dikenal oleh seluruh dunia.film merupakan media campuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film

BAB I PENDAHULUAN. tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film bukan lagi menjadi fenomena baru di ranah media massa. Dengan tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film mampu merekonstruksi wacana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Produksi film di Indonesia kian hari kian berkembang, mulai dari yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Produksi film di Indonesia kian hari kian berkembang, mulai dari yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Produksi film di Indonesia kian hari kian berkembang, mulai dari yang bergenre komedi, horor, action, sampai romantik semua dapat dengan mudah diperoleh dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita.

BAB I. PENDAHULUAN. Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita. Perkembangan jaman dan teknologi ini juga berimbas kepada proses berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, yang pada masanya

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, yang pada masanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, yang pada masanya saat ini. Mengakibatkan program tayangan di stasiun stasiun televisi mendapatkan tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stasiun televisi ini berkembang karena masyarakat luas haus akan hiburan

BAB I PENDAHULUAN. Stasiun televisi ini berkembang karena masyarakat luas haus akan hiburan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia pertelevisian di Indonesia saat ini sangatlah pesat, salah satu buktinya adalah banyak stasiun televisi yang bermunculan. Stasiun televisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan film di Indonesia bisa dikatakan cukup signifikan. Terlihat dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam penyampaian pesan. Salah satu media audio visual yaitu film.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam penyampaian pesan. Salah satu media audio visual yaitu film. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perfilman di Indonesia akhir-akhir ini berkembang sangat pesat seiring dengan majunya era globalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia memiliki orang-orang kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ray Sahetapy, Jupiter, Asya Shara, Ardina Rasti, dan Ki Joko Bodo.

BAB I PENDAHULUAN. Ray Sahetapy, Jupiter, Asya Shara, Ardina Rasti, dan Ki Joko Bodo. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena film horor telah sangat membooming di indonesia, salah satunya yang baru-baru ini beredar adalah Terowongan Casablanca yang diperani oleh Ray Sahetapy,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. game berjalan beriringan, dan para desainer saling bersaing secara kreatif. Fakta

BAB I PENDAHULUAN. game berjalan beriringan, dan para desainer saling bersaing secara kreatif. Fakta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inovasi dinamika teknologi dan industri multimedia kini telah berkembang pesat. Industri multimedia seperti desain brand, pembuatan video, dan pembuatan game berjalan

Lebih terperinci

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK

PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK PENJAJAHAN TV TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK Oleh : Lukman Aryo Wibowo, S.Pd.I. 1 Siapa yang tidak kenal dengan televisi atau TV? Hampir semua orang kenal dengan televisi, bahkan mungkin bisa dibilang akrab

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN PERFILMAN JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN PERFILMAN JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN PERFILMAN JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis

Lebih terperinci

KETIKA KOMUNITAS FILM MELIHAT LEMBAGA SENSOR FILM. Filosa Gita Sukmono Budi Dwi Arifianto

KETIKA KOMUNITAS FILM MELIHAT LEMBAGA SENSOR FILM. Filosa Gita Sukmono Budi Dwi Arifianto KETIKA KOMUNITAS FILM MELIHAT LEMBAGA SENSOR FILM Filosa Gita Sukmono Budi Dwi Arifianto Terkadang Sensor tidak mampu menangkap apa yang tersirat tapi hanya tersurat (Angkringan Kota Baru, 9 Maret 2017)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para rumah produksi film berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu film, yang

BAB I PENDAHULUAN. para rumah produksi film berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu film, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin banyaknya film Indonesia yang bermunculan saat ini, membuat para rumah produksi film berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu film, yang terdiri dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman yang terus meningkat, masyarakat juga terus mengadopsi nilai-nilai seni dan budaya yang dihadirkan pada dunia industri hiburan. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

HUKUM & ETIKA PENYIARAN : MENGAPA PERLU DISENSOR DAN DIAWASI

HUKUM & ETIKA PENYIARAN : MENGAPA PERLU DISENSOR DAN DIAWASI 1 LSF Melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film, diantaranya adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalagunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi, penistaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan karya seni berupa rangkaian gambar hidup yang diputar sehingga menghasilkan sebuah ilusi gambar bergerak yang disajikan sebagai bentuk hiburan. Menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era globalisai ini, media merupakan suatu alat yang tidak pernah lepas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era globalisai ini, media merupakan suatu alat yang tidak pernah lepas dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisai ini, media merupakan suatu alat yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Kebutuhan akan informasi dan hiburan secara instan menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi merupakan hal yang paling mendasar dan paling penting dalam interaksi sosial. Manusia berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi merupakan hal yang paling mendasar dan paling penting dalam interaksi sosial. Manusia berkomunikasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi merupakan hal yang paling mendasar dan paling penting dalam interaksi sosial. Manusia berkomunikasi sejak dilahirkan didunia, komunikasi tidak hanya berupa

Lebih terperinci

Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);

Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551); SALINAN NOMOR 35/E, 2009 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGEDARAN, PERTUNJUKAN DAN PENAYANGAN FILM DI KOTA MALANG WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ismail dengan judul Lewat Djam Malam. Pada tahun 1950-an. film Indonesia bisa memasuki bioskop kelas 1 pada dekade 1950-an akhir.

BAB I PENDAHULUAN. Ismail dengan judul Lewat Djam Malam. Pada tahun 1950-an. film Indonesia bisa memasuki bioskop kelas 1 pada dekade 1950-an akhir. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul Tayangan Sepeda Untuk Shania Adaptasi dari buku kumpulan Cerpen Another Name, Another Story judul; Sepeda Untuk Shania. 1.2 Latar Belakang Film Indonesia mulai dibuat pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana film mengirimkan pesan atau isyarat yang disebut symbol, komunikasi symbol dapat berupa gambar yang ada

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Televisi sebagai media massa memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan media lain di dalam penyampaian pesannya. Salah satu kelebihan televisi yaitu paling

Lebih terperinci

Pengaruh Tayangan Sinetron Ftv Bagi Perkembangan Psikis Remaja Indonesia Saat Ini

Pengaruh Tayangan Sinetron Ftv Bagi Perkembangan Psikis Remaja Indonesia Saat Ini Pengaruh Tayangan Sinetron Ftv Bagi Perkembangan Psikis Remaja Indonesia Saat Ini Oleh : Ni Kadek Wina Ferninaindis Mahasiswa Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Denpasar ABSTRAK Masa remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain walaupun kita berbeda dibelahan bumi. Walaupun dibelahan. banyak dipilih untuk menyampaikan berbagai pesan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain walaupun kita berbeda dibelahan bumi. Walaupun dibelahan. banyak dipilih untuk menyampaikan berbagai pesan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi selama satu dekade ini sangatlah pesat khususnya komunikasi. Karena beberapa saat saja kita dapat berhubungan secara langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak film- film layar lebar horror Indonesia yang sekarang hampir setiap

BAB I PENDAHULUAN. Banyak film- film layar lebar horror Indonesia yang sekarang hampir setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dunia perfilman horor Indonesia semakin marak dan maju. Banyak film- film layar lebar horror Indonesia yang sekarang hampir setiap bioskop ada, satu bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemimpin atau seorang Leader tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat pada umumnya, hal ini disebabkan karena setiap manusia yang diciptakan didunia ini

Lebih terperinci

STIKOM SURABAYA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Banyaknya masyarakat miskin di Indonesia menjadikan Indonesia negara

STIKOM SURABAYA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Banyaknya masyarakat miskin di Indonesia menjadikan Indonesia negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyaknya masyarakat miskin di Indonesia menjadikan Indonesia negara dengan jumlah kemiskinan yang tinggi. Pola pikir masyarakat miskin yang menganggap sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagian kebudayaan massa yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dalam kehidupan bermasyarakat adalah interaksi atau komunikasi. Komunikasi memiliki peran yang sangat pnting pada era sekarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karya yang maksimal, diadakan Festival Film Indonesia (FFI) sebagai ajang

BAB 1 PENDAHULUAN. karya yang maksimal, diadakan Festival Film Indonesia (FFI) sebagai ajang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan teknologi, media massa pun berkembang dengan pesat. Begitu pula dengan film. Di Indonesia, film tidak hanya merupakan sebuah karya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perlindungan penonton film dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

BAB V PENUTUP. perlindungan penonton film dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini hendak menjawab rumusan masalah tentang bagaimana perlindungan penonton film dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Setelah melakukan interpretasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah homo pluralis yang memiliki cipta, rasa, karsa, dan karya sehingga dengan jelas membedakan eksistensinya terhadap makhluk lain. Karena memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan,

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film adalah media reproduksi informasi, media dari sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan, informasi, ungkapan

Lebih terperinci

2015 ANANLISIS NILAI MORAL PAD A TOKOH UTAMA RED A D ALAM FILM LE GRAND VAJAGE(LGU) KARYA ISMAEL FERROUKHI

2015 ANANLISIS NILAI MORAL PAD A TOKOH UTAMA RED A D ALAM FILM LE GRAND VAJAGE(LGU) KARYA ISMAEL FERROUKHI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah Peran bahasa asing sangatlah penting dalam menunjang eksistensi para insan pendidikan di era globalisasi ini. Tidak bisa dipungkiri, agar menjadi pribadi yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat diandalkan. Tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat diandalkan. Tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam pembangunannya membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat diandalkan. Tanpa sumber daya manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan informasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan akan informasi dan hiburan menjadi begitu penting bagi kita. Hampir setiap orang selalu menyediakan waktunya

Lebih terperinci

Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta Telp. : ; Fax. :

Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta Telp. : ; Fax. : FILM Sebagai Media Belajar Oleh : Teguh Trianton Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi kita. 1. tersebar banyak tempat, anonym dan heterogen.

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi kita. 1. tersebar banyak tempat, anonym dan heterogen. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain lain (menurut Barelson and Stainer, 1964). Menurut Thomas M. Scheidel mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam hal produksi ataupun dalam hal berakting. Film itu sendiri dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam hal produksi ataupun dalam hal berakting. Film itu sendiri dapat juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya zaman, film telah menjadi suatu media massa yang sering digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan. Film juga merupakan media dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi. 1. yang cukup efektif dalam menyampaikan suatu informasi.

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, televisi. 1. yang cukup efektif dalam menyampaikan suatu informasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri media pada saat ini semakin ramai, salah satunya media massa yang merupakan saluran, alat atau fasilitas yang dapat dipergunakan sebagai salah satu

Lebih terperinci

KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER PERCAYA DIRI PADA FILM

KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER PERCAYA DIRI PADA FILM NASKAH PUBLIKASI KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER PERCAYA DIRI PADA FILM Analisis Semiotik Guna Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada Film Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Oleh: EKA MARYATI A 220090162

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film adalah sarana komunikasi massa yang digunakan untuk menghibur, memberikan informasi, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi, dan sajian teknisnya

Lebih terperinci

KRITERIA PENILAIAN Faslitasi Pembuatan Film Pendek dan Dokumenter 2012

KRITERIA PENILAIAN Faslitasi Pembuatan Film Pendek dan Dokumenter 2012 KRITERIA PENILAIAN Faslitasi Pembuatan Film Pendek dan Dokumenter 2012 A. Dasar Pemikiran Pada dasarnya film dapat dimaknai atau dilihat memiliki fungsi sebagai berikut: Sebagai media ekspresi seni Sebagai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM I. UMUM Kesadaran manusia akan kebutuhan hiburan memberi peluang besar pada industri perfilman untuk mengembangkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Draf Final Hasil Pembahasan di Setneg 23 Oktober 2013 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soraya Desiana, 2015

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soraya Desiana, 2015 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dunia semakin hari semakin berkembang pesat begitu juga perkembangan teknologi di indonesia. Sebagai salah satu negara yang berkembang di dunia indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film.

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya media penyampaian suatu cerita sejak Tahun 70-an, film mulai banyak mengambil inspirasi atau karya- karya sastra yang telah ada sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara

BAB I PENDAHULUAN. yang menyanjung-nyanjung kekuatan sebagaimana pada masa Orde Baru, tetapi secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak reformasi digulirkan akhir Mei 1998, kebebasan media massa di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pemberitaan media tidak lagi didominasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan salah satu bentuk dari media massa yang sudah tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan salah satu bentuk dari media massa yang sudah tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film merupakan salah satu bentuk dari media massa yang sudah tidak asing lagi. Banyak orang yang mengisi waktu senggangnya atau untuk mencari hiburan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. banyak yang mengundang Pro dan Kontra dikalangan pakar maupun Praktisi.

BAB. I PENDAHULUAN. banyak yang mengundang Pro dan Kontra dikalangan pakar maupun Praktisi. 1 BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Televisi merupakan media elektronik dalam komunikasi massa yang muncul belakangan dibanding radio, perekam suara dan film. Meskipun muncul belakangan, namun kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kini, film merupakan salah satu pilihan utama masyarakat untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kini, film merupakan salah satu pilihan utama masyarakat untuk mencari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kini, film merupakan salah satu pilihan utama masyarakat untuk mencari hiburan. Alasannya karena film adalah sebuah hiburan yang dapat dijangkau dari segala

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian seseorang secara luas. Televisi mampu menekan pesan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian seseorang secara luas. Televisi mampu menekan pesan secara efektif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan salah satu media massa yang memiliki pengaruh paling kuat dalam pembentukan sikap dan kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk face to face maupun menggunakan alat (media). Media

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk face to face maupun menggunakan alat (media). Media BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Semua orang tentu melakukan yang namanya komunikasi, baik dalam bentuk face to face maupun menggunakan alat (media). Media komunikasi massa sangatlah bermacam-macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan suatu media komunikasi massa dan digunakan sebagai sarana hiburan. Perfilman Indonesia sempat menguasai bioskop-bioskop lokal di tahun 1980-an.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah bangsa besar adalah bangsa yang memiliki masyarakat yang berilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari berbagai sumber, misalnya lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana komunikasi yang paling efektif, karena film dalam menyampaikan pesannya yang begitu kuat sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan bagaimana konsumen dipengaruhi oleh lingkungannya, kelompok referensi,

BAB I PENDAHULUAN. dan bagaimana konsumen dipengaruhi oleh lingkungannya, kelompok referensi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perilaku konsumen selalu menarik bagi pemasar. Pengetahuan tentang perilaku konsumen membantu pemasar untuk memahami bagaimana konsumen berpikir, merasa, dan

Lebih terperinci

Modul ke: Produksi Berita TV. Daya Pengaruh Siaran TV. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Broadcasting.

Modul ke: Produksi Berita TV. Daya Pengaruh Siaran TV. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Broadcasting. Modul ke: 11 Syaifuddin, Fakultas Ilmu Komunikasi Produksi Berita TV Daya Pengaruh Siaran TV S.Sos, M.Si Program Studi Broadcasting http://www.mercubuana.ac.id Daya Pengaruh Siaran TV Televisi saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. editing, dan skenario yang ada sehingga membuat penonton terpesona. 1

BAB I PENDAHULUAN. editing, dan skenario yang ada sehingga membuat penonton terpesona. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perfilman Indonesia pada saat ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa trandisional, dan masa penjajahan sampai masa kemerdekaan.film adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa sebagai alat penyalurnya. Dalam bahasa komunikasi, pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa sebagai alat penyalurnya. Dalam bahasa komunikasi, pernyataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komunikasi adalah proses pernyataan antara manusia, yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana cerita itu, penonton secara tidak langsung dapat belajar merasakan dan

BAB I PENDAHULUAN. sarana cerita itu, penonton secara tidak langsung dapat belajar merasakan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan produk karya seni dan budaya yang memiliki nilai guna karena bertujuan memberikan hiburan dan kepuasan batin bagi penonton. Melalui sarana cerita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Media massa memiliki tiga fungsi dasar, yaitu fungsi informatif, fungsi edukatif, dan fungsi hiburan. Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan media informasi khususnya televisi, membuat dunia

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan media informasi khususnya televisi, membuat dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan media informasi khususnya televisi, membuat dunia semakin hari semakin dekat saja. Meskipun arus informasi yang mengalir tersebut akan mempunyai

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran

Menimbang : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui tayangan cerita yang ditampilkan dalam film tersebut. Cerita yang ada

I. PENDAHULUAN. melalui tayangan cerita yang ditampilkan dalam film tersebut. Cerita yang ada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang unik. Film mampu memberikan pengalaman dan perasaan yang berbeda kepada para penontonnya melalui tayangan cerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pemberdayaan

Lebih terperinci

merupakan suatu berita singkat (tidak detail) yang hanya menyajikan informasi terpenting saja terhadap suatu peristiwa yang diberitakan. adalah berita yang menampilkan berita-berita ringan namun menarik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut dengan media massa. Pesatnya perkembangan industri media

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut dengan media massa. Pesatnya perkembangan industri media 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media komunikasi yang dapat mencangkup banyak penerima pesan biasa disebut dengan media massa. Pesatnya perkembangan industri media yang didukung dengan majunya teknologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan film untuk menampilkan realitas memberikan pemahaman

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan film untuk menampilkan realitas memberikan pemahaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemampuan film untuk menampilkan realitas memberikan pemahaman kepada khalayak tentang lingkungannya. Hal ini membuat film menjadikan media untuk memahami suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri kreatif di tanah air saat ini dapat dikatakan sedang

BAB I PENDAHULUAN. Industri kreatif di tanah air saat ini dapat dikatakan sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri kreatif di tanah air saat ini dapat dikatakan sedang berkembang pesat, sebagai contoh pada bidang perfilman, Laskar Pelangi merupakan sebuah judul film layar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komunikasi visual memiliki peran penting dalam berbagai bidang, salah satunya adalah film. Film memiliki makna dan pesan di dalamnya khususnya dari sudut pandang visual.

Lebih terperinci

ABSTRAK. : Antonime, Film Pendek, Film Pendek Bisu, Pantomime, Produser

ABSTRAK. : Antonime, Film Pendek, Film Pendek Bisu, Pantomime, Produser 1 ABSTRAK Film pendek memiliki banyak genre mulai drama cerita, documenter, kartun, bisu, animasi, boneka, stop-motion, dll, dengan waktu yang pendek. Film ANTOMIME bergenre bisu atau silent movie. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,

BAB I PENDAHULUAN. medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Saat ini, media komunikasi berkembang secara menonjol

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Saat ini, media komunikasi berkembang secara menonjol BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi di dunia saat ini tidak dapat dibendung lagi. Banyaknya penemuan-penemuan, pada akhirnya memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitas sosialnya.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK TERKAIT PERATINGAN FILM BIOSKOP

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK TERKAIT PERATINGAN FILM BIOSKOP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK TERKAIT PERATINGAN FILM BIOSKOP Oleh Gede Angga Prawirayuda I Gede Artha Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Rapid technological developments, has

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan seni film mempunyai sisi kemajuan yang sangat pesat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan seni film mempunyai sisi kemajuan yang sangat pesat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan seni film mempunyai sisi kemajuan yang sangat pesat dan saat ini perfilman sudah mampu menunjukkan keberhasilannya untuk menampilkan film yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. katanya dari bahasa latin communicatio yang berarti proses penyampaian suatu. pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. katanya dari bahasa latin communicatio yang berarti proses penyampaian suatu. pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi sebagai suatu proses yang berkesinambungan tanpa awal dan akhir merupakan bagian dari kehidupan, secara terminologis atau menurut asal katanya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia tidak akan pernah terlepas dari komunikasi. Dimanapun kita, apapun yang kita lakukan, dan bagaimana bentuknya, kita pasti melakukan proses komunikasi dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengalaman dan pengorbanan yang harus dilakukan agar menjadi seorang Gamer

BAB 1 PENDAHULUAN. pengalaman dan pengorbanan yang harus dilakukan agar menjadi seorang Gamer BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Free To Play adalah Film Dokumenter yang dibuat oleh Valve, salah satu developer game yang ada didunia. Film yang ditayangkan secara gratis pada tahun 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian internal dari sistem tatanan kehidupan sosial manusia dan

BAB I PENDAHULUAN. bagian internal dari sistem tatanan kehidupan sosial manusia dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian internal dari sistem tatanan

Lebih terperinci