BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan Kedudukan Perempuan Terhadap Warisan dalam Pandangan Pengadilan Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan perempuan terhadap warisan, maka dasarnya adalah aturan perundang-undangan positif (hukum positif) dan putusan pengadilan Sehubungan dengan itu untuk menjelaskan kedudukan perempuan terhadap warisan di Indonesia, maka kita harus melihat format hukum waris yang terdapat di Indonesia, menyusul kemudian seiap sistem yang terdapat dalam setiap format hukum waris yang di maksud Kedudukan perempuan ditinjau dari sistem waris KUH Perdata Dalam sistem waris KUH Perdata, hubungan keahliwarisan di dasarkan kepada beberapa faktor, yaitu : a) Faktor hubungan darah; yang menempatkan para kerabat menjadi ahli waris berdasarkan keturunan b) Faktor perkawinan; yang menempatkan janda dan duda saling mewaris c) Faktor testamen yang menempatkan seseorang sebagai ahli waris berdasarkan kehendak sepertiyang tertulis dalam testamen. Memperhatikan patokan hubungan keahliwarisan yang di dasarkan pada keturunan, perkawinan dan testamen dan bila di hubungkan dengan ketentuan yang

2 mengatur hak dan kedudukan perempuan untuk mewarisi yang di atur dalamkuh Perdata, dapat di rinci sebagai berikut : a. Hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalah sama b. Janda sebagai istri behak mewarisi harta warisan mendiang suami (pasal 832 KUH Perdata) Kedudukan perempuan dalam sistem Hukum Waris Islam Pada sistem hukum waris Islam, ada kesamaan pengaturan dengan KUH Perdata, dimana : a. Berdasarkan hubungan darah atau keturunan b. Berdasarkan hubungan ikatan perkawinan c. Berdasarkan wasiat Kedudukan perempuan dalam Hukum Waris Islam sebagaimana yang telah di atur dalam Kompilasi Hukim Islam (KHI) yang ada adalah sebagai berikut : a. Anak perempuan mempunyai hak dan kedudukan mewarisi harta peninggalan orang tua berdasarkan hubungan darah, yaitu dengan aturan : a. Bersama dan bersekutu dengan anak laki-laki b. Porsi anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan yaitu 2:1 (pasal 176 KHI) c. Bila tidak ada anak laki-laki maka : 1. Yang ada hanya seorang anak perempuan maka mendapat 1/2 bagian 2. Bila lebih dari seorang maka mendapat 2/3 bagian b. Janda adalah ahliwaris berdasarkan kepada ikatan perkawinan Furuddul Muqadarrah (jumlah/bahagian yang sudah tetap) c. Ibu mewarisi harta warisan anak (pasal 178 KHI) a. Dalah hal ini anak meninggalkan anak dan dua saudara atau lebih maka ibu mendapat 1/6 bagian b. Bila anak tidak memiliki keturunan atau saudara yang lain maka ibu mendapat 1/3 bagian

3 c. Ibu mendapat 1/3 bagian dari sisa setelah di ambil oleh janda atau duda si anak, di mana ibu mewarisi bersama ayah. (Harahap, 1975:138) Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Adat Pembahasan kedudukan perempuan dalam sistem hukum waris adat merujuk kepada putusan pengadilan, tidak mengenal lagi pembedaan nilai hukum waris berdasarkan kedudukan sosial. Terhadap semua lapisan masyarakat, mulai dari petani sampai kepada bangsawan, baik perempuan atu laki-laki di terapkan hukum waris yang sama. Hal ini dapat di lihat pada Keputusan Mahkamah Agung No 302/Sip/1960 tanggal 2 November 1960, di mana di sebutkan bahwa hukum adat di seluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda mewarisi harta asal suami. (Harahap, 1975:144) Dengan demikian hukum waris adat baru telah mengaburkan bentuk-bentuk stelsel kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Yang paling kuat mendapat goncangan dan pegeseran adalah sistem patrilineal. Selama ini stelsel tersebut hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini kemudian dibalikkan oleh hukum waris adat baru yang memberi porsi yang hak dan kedudukan yang sama kepada kepada anak perempuan dan janda sebagai ahli waris dengan jumlah sama. Paham dan pandangan yang menempatkan anak perempuan sebagai ahli waris penuh harta orang tuanya, ditegaskan dalam Keputusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961 yang menyatakan : atas dasar rasa kemanusiaan dan keadilan umum

4 dan juga atas hakekat persamaan hak, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama terhadap warisan orang tuanya. Keputusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961 ini merobek kemapanan stelsel patrilineal ke arah stelsel parental parental yang berwawasan harmonisasi secara horizontal. Ketentuan harmonisasi yang di atur ini kemudian membawa akibat : a) Telah menjadi standard hukum yang berbobot b) Semua putusan pengadilan yang muncul kemudian telah menjadikan putusan tersebut sebagai rujukan secara nasional c) Dengan demikian para hakim telah sepakat menegakkan asas terhadapnya dan terikat untuk mengikutinya. Sedangkan perempuan yang berkedudukan sebagai janda berhak mewarisi harta bersama. Hal tersebut dapat di lihat kembali pada putusan Mahkamah Agung No 320/K/Sip/1958 yang berisikan: menurut hukum adat Tapanuli, pada zaman sekarang janda mewarisi harta pencaharian suami. Putusan ini di katakan sebagai titik awal lahirnya pengakuan adat hakdan kedudukan janda untuk mewarisi harta bersama yang berwawasan nasional. Dengan demikian putusan tersebut sekaligus megkonstruksi lahirnya harta bersama yang di barengi dengan pemberian hak dan kedudukan janda untuk mewarisi harta bersama tersebut.

5 Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan Adat Sistem pewarisan adat di Indonesia pada dasarnya di pengaruhi oleh susunan kekeluargaan masyarakat yang bersangkutan. Akibatnya adalah dimana pengertian warisan itu kemudian menimbulkan masalah-masalah sebagai berikut 1. Bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang pewaris dengan kekayaannya? 2. Hal ini di pengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si pewaris berada. Dalam masyarakat dengan sistem patrilineal, yamg menjadi ahli waris adalah hanya orang-orang yang di tarik dari garis keturunan laki-laki saja. Dalam masyarakat matrilineal yang berhak mewarisi adalah setiap orang yang ditarik dari garis keturunan perempuan saja. Sedangkan pada masyarakat parental yang paling berhak mewarisi adalah anak lak-laki dan anak perempuan (Notopura, 1981:16). 3. Bagaimana dan sampai di mana harus terdapat tali kekeluargaan antara pewaris dan ahli waris, agar kekayaan si pewaris dapat beralih kepada ahli waris? 4. Bagaimana dan sampai di mana wujud kekayaan yang beralih itu di pengaruhi oleh sifat kekeluargaan, dan di mana si pewaris dan ahli waris sama-sama berada? Dari hal-hal tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa masalah warisan itu sangat erat hubungannya dengan sifat kekeluargaan.

6 Dalam masyarakat Indonesia, mengenai sistem kekeluargaan ini dapat di kelompokkan atas tiga bahagian, yaitu : Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal) seperti yang terdapat pada Suku Batak, Nias dan Bali, Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilineal) seperti di Minangkabau dan Pertalian darah menurut garis Ibu dan Bapak (Parental) seperti yang terdapat pada Suku Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak (Prodjodikoro, 1973:86). Untuk memahami masalah perwarisan, ketiga sistem kekeluargaan tersebut tidak dapat di pisahkan. Karena misanya dalam masyarakat patrilinealyang menjadi ahli waris adalah orang-orang yang di tarikdari garis keturunan laki-laki saja. Contohnya di daerah Tapanuli yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki atau saudara laki-laki dari mendiang, sedangkan janda,anak perempauan dan cucu perempuan tidak lah sebagai ahli waris. Dalam masyarakat matrilineal yang berhak mewarisi adalah setiap orang yang di tarik dari garis perempuan saja. Sedangkan dalam masyarakat parental yang paling berhak mewarisi adalah anak perempuan dan anak laki-laki, apakah di tarik dari garis perempuan atau laki-laki. (Notopura, 1981:16) Sesuai dengan perkembangan jaman, dimana keadaan masyarakat juga ikut berkembang maka masalah warisan di masing-masing sistem kekeluargaan juga mengalami perkembangan, misalnya Pada suatu keluarga dengan sistem patrilineal pada Suku Batak, ketentuan hukum waris adatnya menyatakan bahwa pada prinsipnya hanya anak laki-laki sajayang mendapat harta warisan atau yang mewarisi harta orang tuanya. Namun ketentuan ini dalam praktek telah

7 di perlemah dengan adanya pemberian harta kepada anak perempuan yang di sebut Pauseang. Seorang wanita tidak kawin dari Suku Batak dan tinggal di Pematang Siantar, dimana tinggal segala suku bangsa di Indonesia berhak melakukan tindakan hukum terhadap yang di peroleh dalam perkawinan. (Mahadi, 1980:5) Dalam sebuah keluarga dengan sistem kekeluargaan yang matrilineal maka harta pencaharian seorang suami tidak di wariskan kepada anak-anaknya sendiri melainkan kepada saudara sekandung. Ketentuan adat ini di dalam adat Minangkabau telah mengalami perkembangan, misalnya ; seorang suami memiliki sejumlah harta peninggalan yang dalam hal ini pewaris dapat mengadakan koreksi sendiri terhadap hukum warisnya yaitu dengan jalan sebelum meninggal dunia ia sudah menghibahkan barang-barang dan harta pencahariannya kepada anak-anaknya. Dalam suatu keluarga dengan sistem kekeluargaan parental, sebagai contoh keluarga di Jawa yang terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya. Apabila anak tertua seorang laki-laki, adalah suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya secara hibah sebahagian dari harta keluarga, misalnya sebidang tanah pertanian. Pada waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuwat gawe) sebagai dasar materil untuk kehidupannya setelah ia mentas. Kepada anak perempuan yang telah dewasa dan kawin, lazimnya pada waktu ia di kawinkan, orang tuanya memberikan ia sebidang tanah sebagai dasar materil bagi kahidupannya lebih lanjut setelah ia berdiri sendiri dengan suaminya sebagai suatu keluarga baru. Setelah pewaris meninggal, hibah-hibah yang telah di lakukan

8 akan di perhitungkan nantinya di dalam harta warisan ayah mereka yang akan beralih kepada ahliwaris. Di dalam Hukum Adat Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan, yaitu : 1. Sistem kewarisan individuil Ciri dari sistem ini adalah bahwa harta peninggalan dapat di bagi-bagi diantara para ahliwaris seperti yan terdapat pada masyarakat bilateral di Jawa. 2. Sistem kewarisan kolektif Cirinya bahwa harta peninggalan itu di warisi oleh kelompok ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum. Dimana harta tersebut yang disebut pusaka tidak boleh di bagi-bagikan pemilikannya diantara apa ahliwaris dan hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya sajakepada mereka (hanya memiliki hak pakai seperti pada masyarakat Minangkabau) 3. Sistem Kewarisan Mayorat Cirinya sebagian besar harta peninggalan diwarisi oleh seorang anak saja, seperti di Bali, dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki tertua. Ketiga sistem pewarisan tersebut jika dihubungkan dengan sistem kekeluargaan kita dapat kita lihat bahwa sistem kewarisan itu tidak langsung menunjuk suatu bentuk susunan masyarakat tertentu. Karena suatu sistem pewarisan itu dapat di temukan dalam berbagai bentuk susunan masyarakat, yaitu : 1. Sistem kewarisan Mayorat (hak anak tertua) selain dijumpai pada masyarakat patrilineal di tanah Semendo Sumatera Selatan, juga terdapat di Kalimantan pada masyarakat parental Suku Dayak. 2. Sistem kewarisan kolektif, selain dijumpai pada masyarakat matrilineal di Minangkabau, dalam batas-batas tertentu dijumpai juga di Ambon dalam masyarakat patrilinel (yang di sebut tanah dati ) dan juga di Minahasa dalam masyarakat bilateral (yang disebut tanah wakesunterananak barang kelakeran ) Sistem pewarisan yang berlaku pada mayarakat Karo

9 Sistem kekeluargaan masyarakat Suku Batak Karo adalah mayarakat yang menarik garis keturunan dari salahatu pihak saja yaitu dari pihak laki-laki. Dengan demikian masyarakat ini juga menganut stelsel kebapaan (patrilineal) di mana si anak meneruskan klan bapak. Ciri dari mayarakat Suku Batak Karo yang berasaskan stelsel kebapaan adalah bahwa anak laki-laki saja yang dapat meneruskan marga ayahnya dan hanya anak laki-laki jugalah yang menjadi ahli waris dan mendapat bahagian yang sama. Mengenai sistem kekeluargaan mayarakat karo, Djaja S Meliala (1979:30) mengatakan : Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan, membawa akibat bahwa : 1. Mempelai wanita setelah menikah dan setelah di bayar uang jujur harus mengikuti suaminya, 2. anak anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klan ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan. 3. Harta yang di peroleh selama perkawinan adalah milik suami. Dengan sitem kekeluargaan patrilineal yamg dianut Suku Batak Karo, di mana hanya anak laki-laki yang menjadi penerus garis keturunan dari orang tuanya maka hanya anak laki-laki yang berhak

10 mewarisi harta kekayaan orang tuanya. Atas alasan itu pula maka perempuan di dalam adat masyarakat karo sejak dahulu bukan merupakan ahli waris. Namun demikian, dalam prakteknya seorang perempuan Suku Bqatak Karo tidak berarti tidak mendapat sama sekali kekayaan dari orang tuanya. Seorang perempuan karo juga memperoleh bahagian dari harta peninggalan orang tuanya. Anak perempuan mendapat hak yang di sebut Hak Buat-Buaten atau hak pakai seumur hidupnya atas bagian tanah dari harta peninggalan tersebut dan tidak dapat di wariskan. Hak buat-buaten ini pada dasarnya di berikan kepada anak perempuan pada saat pembagian harta warisan. Di samping itu menurut kebiasaan dari masyarakat karo, pada saat anak perempuan akan melangsungkan perkawinan atau pernikahan, maka orang tuanya akan melengkapi perhiasan anak tersebut, seperti kalung, cincin, gelang, anting-anting dan perhiasan lain. Pemberian inilah yang menjadi hak milik anak perempuan. Kadangkala nilai dari pemberian ini melebihi harga dari sebidang tanah. Pemberian yang dilakukan orang tua terhadap anak perempuannya ini lazim di sebut dengan istilah pemere yaitu pemberian yang di dasarkan kepada Keleng Ate (kasih sayang).

11 Dalam hal kedudukan janda pada masyarakat Karo, setelah kematian suaminya adalah tetap merupakan bagian dari kerabat suami. Dengan demikian si janda tetap berhak menikmati barang-barang peninggalan suaminya sehingga ia terjamin kehidupannya dan tidak terlantar. Teridah Bangun menyatakan bahwa kebiasaan dalam masyarakat karo, seorang janda yang di tinggal mati suaminya dapat memilih tiga kemungkinan, yaitu : a) Kawin lagi dengan saudara/kerabat suaminya (lakoman) b) Tetap tinggal menjanda dalam lingkungan keluarga suami c) Kawin lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini ia harus mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada saat ia kawin dahulu. Karena sistem kekeluargaan patrilineal dan sistem perkawinan dengan membayar uang jujur inilah yang pada akhirnya menyebabkan di dalam hukum adat masyarakat karo hanya anak laki-laki meneruskan keturunan dan menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya Pandangan Umum tentang Gender Pengertian Gender

12 Pada saat ini kata gender telah memasuki perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi pemerintah, non pemerintah diperbincangkan masalah gender. Apa sesungguhnya gender itu? Dari pengamatan, masih terjadi ketidak jelasan, kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Gender difahami dengan cukup bervariasi. Dikatakan demikian, karena dalam realitas sosial memang kata gender ini banyak yang lari dari konsep semula. Misalnya saja, ketika orang menyebutkan gender, maka konotasi yang muncul adalah perempuan. Ada juga yang mengartikannya dengan jenis kelamin, sebagaimana yang dimaknai dalam kamus Bahasa Inggris Sebenarnya, gender bukanlah perempuan, bukan pula jenis kelamin. Tetapi yang dimaksudkan dengan gender adalah sebuah konstruksi sosial budaya yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender dapat berubah dalam kurun waktu dan tempat. Gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir. Kontruksi sosial budaya yang dibangun laki-laki dan perempuan secara tidak adil, di mana posisi perempuan selalu dilemahkan dengan berbagai macam aturan dan alasan. Di sinilah ketidakadilan itu muncul. Sehingga sejak berabad-abad yang lalu, nasib kaum perempuan masih saja tertindas. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah pada zaman revolusi hijau, dimana pada saat itu banyak kaum perempuan terpinggirkan

13 dari perannya sebagai pekerja di bidang pertanian, pelebelan negative (stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu yang pada umumnya dilekatkan kepada perempuan, misalnya adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer) (Fakih, 1999:73-74) Begitu pandangan banyak para pakar gender. Gender kini disosialisasikan memang karena ada persoalan yang menghantam kaum perempuan. Barangkali itulah sebabnya kalau berbicara soal gender akan sangat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan. Kosakata gender pertama kali disinggung oleh Ann Oakly (1972) untuk membedakan seks (jenis kelamin) secara biologis dan realitas konstruksi sosial budaya atau seks laki-laki dan perempuan. Menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society merumuskan gender adalah pembedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan, juga merupakan tingkah laku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat (socially constructed) melalui proses sosial dan budaya yang panjang (Fakih,1999:71). Menurut Julia Cleves Mosse, Gender adalah: Seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim dan maskulin. Perangkat khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran gender kita.(mosse, 1996:3) Selanjutnya Caplan 1987 dalam The Construction of

14 Sexualitas, menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis namun melalui proses sosial dan kultural (Fakih, 1999:72) Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan lakilaki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, misalnya tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan hanya membantu (Djohani, 1996:7). Menurut Inpres (Instruksi Presiden) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarus utamaan Gender, gender adalah konsep yang mengacu pada peranperan dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat (Kelompok Kerja Convention Watch UI, 2003:72). Perubahan ini dapat ditandai dengan banyaknya wanita pada saat ini yang bekerja di luar sektor domestik atau bahkan sebagai pencari nafkah utama pada keluarga. Dari defenisi yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefenisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis (tidak bersifat kodrat) sedangkan jenis kelamin (sex) adalah perbedaan yang

15 bersifat biologis atau kodrat. Maka untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Misalnya pula, zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat berbeda laki-laki lebih lemah dari perempuan. Ciri-ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih, 1999:8-9). Dengan perkataan lain, gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seorang yang ia pelajari (Saparinah, 2000:4). Hal yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan hanyalah kodrat biologis. Perempuan di negara dan suku manapun mempunyai alat reproduksi yaitu seperti rahim, mempunyai vagina, mengalami menstruasi, dapat hamil, melahirkan serta menyusui. Sedangkan laki-laki kodrat biologisnya adalah memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma yang dapat membuahi sel telur perempuan. Fakta biologis inilah yang dimaksud sebagai kodrati atau suatu konstruks

16 (bangunan) yang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain (antara laki-laki dan perempuan) Prinsip Kesetaraan Gender dan Ketimpangannya di Indonesia Kedudukan dan posisi kaum perempuan dan laki-laki secara teoritis dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu : Pertama, bila dilihat secara biologis, perbedaan dan kedudukan sosial antara laki-laki dan perempuan selalu dikaitkan dengan jenis kelamin (seks) yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut. Akibat dari perbedaan secara biologis ini, maka tidak jarang berimplikasi jauh terhadap kedudukan sosial (social role) yang diperankan oleh kedua pihak. Hal ini tidak jarang membawa dampak perempuan diperlakukan kurang adil (diskriminasi) dalam menentukan peran dan posisinya dibandingkan kaum laki-laki. Kedua, bila dilihat secara budaya (culture), yaitu perbedaan antara laki-laki dan perempuan dikonstruksikan mempunyai atau kedudukan bukan disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, melainkan merupakan suatu bangunan sosial (Social Construct) yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang selanjutnya dapat melahirkan peranan, kedudukan, hak dan tanggung jawab, serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan dilihat dari realita sosial dimana mereka berada (Akbar, 2000).

17 Diakui atau tidak, bahwa selama ini banyak ketimpangan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini bukanlah persoalan yang disebut mengada-ada (Junis,19 Juni 2004:16). Persoalan itu bukan isu tetapi adalah sebuah realitas di masyarakat kita. Oleh karena itu, bila kita mau membuka mata dan juga hati kita, kita baru bisa melihat bagaimana realitas kaum perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender. Dengan membuka mata untuk melihat dan menganalisis masalah kaum perempuan berkaitan dengan peran sosialnya di dalam membangun kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan itu, maka sebenarnya sangat banyak persoalan yang menghimpit dan memarginalkan kaum perempuan selama ini. Dengan mencoba mengindentifikasi serta menganalisis realisasi kehidupan kaum perempuan di muka bumi ini, maka di sanalah kita menemukan bahwa selama ini perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Pandangan, perlakuan atau tindakan diskriminatif terhadap perempuan yang menghantam kaum perempuan selama berabad-abad ini telah membangkitkan kesadaran terutama kaum perempuan yang mulai terasa bahwa selama ini mereka ditindas. Ditindas secara sosial, budaya, agama dan lain-lain. Penindasan itu berbentuk sebuah kontruksi sosial, pengkondisian yang melemahkan kaum perempuan di dalam masyarakat. Dengan pelemahan dan penindasan secara sosial, budaya, agama dan lain-lain, membuat posisi perempuan

18 dalam segala sektor kehidupan menjadi sangat terbatas. Keterbatasan ini sering dikatakan karena memang sudah kodratnya kaum perempuan. Sebagai contoh, kodrat kaum perempuan adalah mengurus suami, anak dan semua urusan rumah tangga. Kodrat laki-laki adalah sebagai kepala keluarga dan sebagainya. Inilah salah satu bentuk kontruksi sosial dan pengkondisian sosial yang memposisikan perempuan pada posisi yang terpinggirkan. Inilah yang disebut dengan persoalan gender. Padahal, bila kita mau jujur dan ikhlas melihat hal-hal yang bernama kodrrat dan non kodrat, kita bakal berkata ternyata, yang membedakan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan hanyalah pada hal-hal yang kodrati yang memang tidak dapat dipertukarkan, seperti mengalami menstruasi (haid), melahirkan dan menyusui yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Sementara peran-peran sosial baik itu peran domestik (rumah tangga) maupun peran di sektor publik dapat dipertukarkan. Inilah apa yang disebut dengan ketidakadilan gender (gender injustice). Ketidakadilan tersebut seperti masalah beban ganda (double burden) yang harus diemban oleh perempuan, penomorduaan (subordination) terhadap perempuan, pelebelan (stereotype), kekerasan (violence) serta marginalisasi (peminggiran) yang menyebabkan kemiskinan yang parah di kalangan kaum perempuan seperti yang terjadi pada zaman dimulainya revolusi hijau. Bentuk bentuk ketidakadilan ini hingga saat ini masih terus berlangsung. Kita bisa melihat realitas di sekitar kita. Kita bisa melihat bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil.

19 Ketidakadilan itu justru dipengaruhi oleh cara pandang, sikap dan perbuatan kita terhadap kaum perempuan dengan cara pelebelan dan sebagainya. Dan satu hal yang sangat sering mempurukkan perempuan ke dalam lembah yang melemahkan perempuan adalah karena persepsi kita tentang apa yang dikatakan kodrat dan non kodrati.. Tersadar dari kondisi buruk yang melanda kaum perempuan, belakangan ini muncul sebuah keprihatinan yang melahirkan keinginan dan komitmen untuk memberdayakan dan menguatkan kaum perempuan, baik secara individu maupun dalam bentuk kelompok yang akhirnya membangun sebuah gerakan bersama. Apabila dilihat pada tingkat global pada dasawarsa tahun 1990-an konsep gender dan pembangunan diperkenalkan dan dengan cepat menjadi populer. Ciri-ciri utama wawasan gender dan pembangunan adalah sebagai berikut: a. Wawasan gender dan pembangunan melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan secara holistik dan komprehensif, yaitu mengkaji bagaimana masyarakat terorganisir dalam hubungan gender dalam berbagai dimensinya, seperti dimensi ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan dan pembangunan dalam arti luas. b. Wawasan gender dan pembangunan tidak hanya menaruh perhatian pada fungsi reproduksi perempuan, tetapi pada keterkaitan antara fungsi produksi (baik dalam rumah tangga maupun dalam pasar) dengan fungsi reproduksi biologis maupun sosial (pola arah). c. Pertanyaan mendasar yang ingin dipecahkan adalah mengapa perempuan secara sistematik cenderung ditempatkan pada posisi lebih rendah atau sekunder dalam hubungan dependensi terhadap pria. d. Karenanya wawasan gender dan pembangunan melihat peningkatan peranan perempuan sebagai upaya, mengubah hubungan gender yang selaras, seimbang dan serasi. e. Sehubungan dengan itu, intervensi kebijaksanaan dalam meningkatkan peranan perempuan tidak hanya ditujukan kepada kebutuhan praktis perempuan yang berorientasi kepada kesejahteraan lahiriah semata-mata,

20 tetapi pada pemenuhan kebutuhan strategik gender perempuan, kebutuhan mengaktualisasikan diri, kebutuhan untuk memiliki akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Bainar dan Aichi Halik, 1999:15). Pada umumnya masyarakat berasumsi bahwa bila hukum diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya, maka akan tercipta keadilan. Terdapat pula persepsi yang luas bahwa hukum mengatur hubungan-hubungan antar manusia secara adil dan tidak memihak. Bila hukum ditinjau melalui paradigma kritis maka persepsi arus umum (main stream) yang cukup lama bertahan tanpa digoyang-goyangkan ini akan dipertanyakan, malahan akan ditolak (Notosusanto,1997:176). Di kalangan kaum perempuan sendiri karena terlalu lama dikungkung dalam budaya patriarkhis, kaum perempuan sendiri tidak percaya terhadap kemampuannya dalam memimpin. Untuk itulah dalam usaha mencapai hukum yang adil dan menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hubungan kemanusiaan, perlu dilakukan upaya-upaya mempercepat kesetaraan gender di masyarakat kita. Barus (2001:43) menyatakan bahwa berbicara mengenai pengakuan dan jaminan sebagai prinsip dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak dan kewajiban sebagai warganya di Indonesia secara hukum tertulis tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya perubahan atau penambahan (amandemen), dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam beberapa pasal-pasalnya mengandung prinsip : a. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 : Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. b. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 : Kemerdekaan berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pendapat

21 c. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 : Hak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. d. Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 : Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. e. Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. f. Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 : Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. g. Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. h. Pasal 2 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada perkecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asalusul kebangsaan atau kemasyarakatan. i. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita secara substantif diatur dalam Pasal (Disingkat dengan CEDAW = Commission on the Elimination of All Types of Discrimination) yang mana setelah sepuluh tahun diratifikasi oleh Indonesia barulah sejumlah wanita yang terdiri dari para pengajar dan aktifitas sejumlah LSM perempuan membentuk kelompok kerja convention watch yang bertujuan untuk mensosialisasikan substansi dari konvensi wanita. j. Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap wanita Tahun k. Pasal 45 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi Manusia. Yang maksudnya bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa adanya pengakuan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia sebenarnya secara formal sudah mendapat pengakuan sejak lama. l. GBHN 1978 yang mengandung 5 (lima) esensi pokok: (1) Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang bangunan (prinsip kemitra sejajaran). (2) Adanya keselarasan dan keserasian tanggung jawab dan peranan perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat (prinsip peran ganda).

22 Amanat GBHN tentang pelaksanaan peran ganda perempuan secara selaras dan serasi secara implisit juga mengandung pengertian pembagian kerja dan tingkat kesejahteraan yang seimbang, akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan serta partisipasi dalam pengambilan keputusan. (3) Partisipasi perempuan dalam pembangunan dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mencakup semua faktor pembangunan dan semua aspek kehidupan (prinsip holistik/komprehensif). (4) Tanggung jawab perempuan dalam membina anak balita, remaja, dan generasi muda (prinsip pendidik pertama dan utama). (5) Perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan (prinsip pemberdayaan). m. GBHN 1983, terjadi perluasan esensi dalam peningkatan kedudukan dan peranan perempuan yaitu dengan dicantumkannya tentang peranan perempuan dalam kesejahteraan keluarga antara lain melalui gerakan pembinaan kesejahteraan keluarga. n. GBHN 1988, terjadi lagi perluasan dengan penambahan 2 (dua) esesi pokok, yaitu : (1) Pengakuan terhadap kodrat perempuan yang seharusnya dilindungi serta harkat dan martabat perempuan yang perlu dijunjung tinggi. (2) Perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang lebih menopang kemajuan perempuan. o. GBHN 1988, terdapat essensi pokok yang sangat memperkuat posisi perempuan. Esensi baru dalam GBHN 1993 adalah : (1) Kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan secara eksplisit disebutkan. (2) Pentingnya peranan orangtua (bukan semata-mata ibu) dalam pendidikan anak. (3) Pengembangan kemampuan dalam peningkatan penguasaan IPTEK oleh perempuan. (4) Peran aktif perempuan dalam pengambilan keputusan. (5) Peningkatan kemampuan perempuan dalam menghadapi perubahanperubahan, baik dalam masyarakat maupun dunia internasional. (6) Peningkatan keterampilan, produktifitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja perempuan. (7) Peranan perempuan dalam menangani masalah sosial, ekonomi, yang diarahkan pada pemerataan pembangunan, pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan. p. GBHN 1998 kembali menegaskan bahwa perempuan adalah mitra sejajar lakilaki, baik sebagai perencana dan pelaksanaan pembangunan maupun sebagai pengambil keputusan, perumus kebijaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangunan. Agar perempuan dapat memberi sumbangan sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa, kualitas dan kedudukan mereka dalam keluarga dan masyarakat harus ditingkatkan serta didukung oleh keluarga dan masyarakat itu sendiri.

23 q. GBHN 1999, mengenai kesetaraan gender dapat disimpulkan bahwa pemerintah atas nama negara harus berusaha menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan perundang-undangan yang berbasis gender. Apabila hal ini terlaksana tentunya membuktikan adanya keseriusan dalam menempatkan kedudukan dan peranan perempuan. Komitmen ini telah dapat diwujudkan dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalam Pasal 45 disebutkan Hak Wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia Ketentuan ini menjelaskan bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Laki-laki dan Perempuan di dalam Keluarga Dalam kehidupan manusia, kita akan melihat kenyataan dimana dua orang yang berlainan kelamin yaitu laki-laki dan perempuan menjalani suatu kehidupan bersama dalam suatu kesatuan rumah tangga masing-masing yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai suami isteri. Untuk mewujudkan kesatuan rumah tangga yang sehat dan keturunan yang sah dan terbentuk, maka perlulah hubungan tersebut diatur dengan perkawinan. Dengan adanya perkawinan maka anak atau keturunan yang lahir darinya akan terpelihara karena ada yang bertanggung jawab yaitu orang tuanya yang sah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan inilah yang menjadi pangkal tolak terciptanya pergaulan dan masyarakat yang teratur. Lebih lanjut Prawirohamidjoyo (1986:22) mengatakan sebagai berikut Dasar-dasar dari perkawinan itu dibentuk oleh unsur-unsur alam dari kehidupan itu sendiri: kebutuhan dan fungsi biologik, menurunkan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak itu menjadi anggota-anggota masyarakat, yang sempurna (berharga/volwaarding). Bentuk tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam, berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembaga/perantara Menurut UU No. 1 Tahun Pengertian perkawinan

24 Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, arti dan tujuan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Harahap, 1975:249). Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 perkawinan itu diartikan sebagai Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan Ikatan lahir bathin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan dengan suatu hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami-isteri, dengan kata lain dapat disebut hubungan formal.hubungan formal ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya, suatu ikatan bathin adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walaupun tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Hal ini seyogianya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam taraf permulaan untuk mengadakan perkawinan ikatan bathin ini diawali hidup bersama. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal (Saleh, 1980:14-15). Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan perkawinan dengan cara cerai hidup hanya merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi (Sitepu, 1998:22).

25 Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Hadikusuma (1984:88) memberikan pengertian tentang perkawinan adalah sebagai ikatan dalam arti kenyataan tidak nyata antara pria dan wanita sebagai suami isteri untuk tujuan membentuk keluarga. Selanjutnya dilihat dari sudut pandang etnologi (culture antropologie), perkawinan dipandang sebagai suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat sedemikian rupa sehingga anak-anak yang dilahirkan oleh si isteri adalah keturunan yang diakui dari kedua belah pihak (Hamidjoyo, 1986:23) Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap-tiap perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kehidupan bahagia dalam suatu keluarga dapat dirasakan apabila telah dicapai kesejahteraan lahir dan bathin. Keluarga sejahtera menurut Pasal 1 angka (11) Undang-Undang No. 1 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan menyatakan: Keluarga sejahtera ialah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dan masyarakat serta lingkungan Akibat hukum dari suatu perkawinan Suatu perkawinan yang dilangsungkan secara sah menurut hukum akan menimbulkan berbagai akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perkawinan itu pada pokoknya menyangkut 3 hal penting, yaitu : 1) hubungan suami isteri; 2) hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu terhadap hubungannya dengan kedua orang tuanya (ayah dan ibunya), serta seterusnya dengan kerabat ayah dan kerabat pihak ibunya; 3) mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Bagaimana akibat hukum suatu perkawinan terhadap 3 hal tersebut di atas, sangat tergantung dari sistem hukum mana hal itu ditinjau, karena masing-

26 masing sistem hukum berbeda-beda pengaturannya. Mengenai hal tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut : ad.1) Mengenai hubungan suami dengan isteri dirumuskan dalam Bab VI dari Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memberikan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang selengkapnya berbunyi: (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada hak dan kedudukan yang seimbang yang dibarengi dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Dalam pembinaan rumah tangga, berdasarkan Pasal 33 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 kepada suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) dibebani kewajiban moral untuk saling cinta mencintai dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan masingmasing. Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, sebagai perwujudan dari hak dan kedudukan yang seimbang tersebut. Berdasarkan Pasal 32 angka (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, rumah tempat kediaman bersama tersebut ditentukan oleh suami isteri bersama. Dengan demikian maka dikatakan bahwa di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 berlaku suatu asas yaitu hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat demikian pula segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama.

27 Walaupun hak dan kedudukan oleh suami isteri adalah seimbang namun suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan sebaliknya isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. ad. 2) Mengenai hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan kedua orang tuanya dan dengan kerabat ayah dan ibunya diatur dalam Bab X dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya yang diatur dalam Pasal 45 berbunyi: (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang tua dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dari ketentuan Pasal 45 ayat (2) tercermin adanya persamaan antara Undang-Undang No 1 tahun 1974 dengan hukum adat pada umumnya khususnya hukum adat Karo, kewajiban orang tua sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri. ad.3) Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan terhadap suami isteri diatur dalam Bab VII yang terdiri dari tiga Pasal yaitu Pasal 35, 36 dan 37 Dalam Pasal 35 disebutkan : (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian pada asasnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa dalam suatu perkawinan itu ada dua kelompok harta, yaitu harta

28 bersama, dan harta bawaan termasuk di dalamnya harta benda yang diperoleh masing-masing berupa hadiah atau warisan. Menurut Yahya Harahap (1975:249) termasuk pula harta bersama suami isteri, yaitu: a) Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang-barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri. b) Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai. Tentang pengertian harta bawaan itu sendiri tidak ada diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, namun dari namanya harta bawaan maka harta tersebut harus sudah dimiliki oleh masing-masing suami atau isteri sebelum perkawinan. Tentang bagaimana caranya harta itu diperoleh tidak menjadi masalah. Sedangkan mengenai harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2 tersebut tentulah hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami atau isteri selama dalam ikatan perkawinan, karena jika diterimanya sebelum perkawinan maka tentu masuk dalam pengertian harta bawaan Menurut hukum perkawinan adat Karo Pengertian perkawinan Pengertian perkawinan pada masyarakat Karo berbeda dengan pengertian perkawinan umumnya yaitu adanya ikatan antara seorang wanita dengan seorang pria

29 dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), tetapi mempunyai arti yang sangat luas karena perkawinan itu bukan hanya masalah antara pihak wanita dan pria saja tetapi menjadi masalah kedua keluarga para pihak laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain bahwa apabila seorang laki-laki mau kawin, di dalam menentukan siapa yang menjadi calon isterinya, bukan hanya si laki-laki tersebut, tetapi yang menentukan ikut juga keluarga atau orang tua si laki-laki tersebut. Demikian juga seorang perempuan di dalam menentukan siapa yang menjadi calon suaminya, bukan hanya terserah kepada si wanita tersebut, tetapi keluarga, dan orang tua siwanita tersebut ikut menentukan. Malah kadang-kadang suatu perkawinan bisa tidak jadi dilaksanakan apabila salah satu orang tua dari pihak-pihak yang mau kawin tidak setuju. Hal ini adalah disebabkan salah satu tujuan perkawinan itu adalah untuk memperluas kekeluargaan (pebelang kade-kade) (Purba, 1992:93). Selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan melanjutkan/meneruskan keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilainilai serta adat kebiasaan di dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan. Berbagai kedudukan sosial serta pemaknaan yang dibuat oleh masyarakat mengenai anak laki-laki dapat menimbulkan permasalahan bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki. Kehadiran seorang

30 anak laki-laki (secara adat) dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga berkedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuan mereka. Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan sebagai benang merah yang menghubungkan ikatan kerabatan antara suatu keluarga dengan saudara laki-laki ayahnya (father brother) serta orang-orang yang semarga dengan ayahnya. Semua anak laki-laki akan memperoleh kedudukan yang sama dan sederajat dengan ayahnya, sama-sama menjadi kalimbubu dari saudara perempuan ayah (father sister atau bibi-bengkila beserta anak-anaknya) dan saudara perempuan mereka sendiri. Namun bukan berarti anak perempuan tidak mempunyai arti dalam masyarakat Karo, kedudukan anak perempuan pada masyarakat Karo demikian pentingnya karena dari anak perempuan itulah lahir ikatan kekeluargaan sebagai anak beru. Karenanya suku Karo mengenal adanya konsep yang melukiskan anak lakilaki dan anak perempuan dengan matahari dan bulan. Hal ini dapat dilihat pada setiap upacara perkawinan adat, oleh pihak sangkep sitelu yang berbicara memberikan nasehat dan doa restu selalu mengharapkan agar penganten memperoleh anak dengan istilah matahari (anak laki-laki) dan bulan (anak perempuan) (Sitepu, 1998:21). Laki-laki yang mengikatkan diri dengan seorang perempuan dinamakan suami, sedangkan perempuan yang juga mengikatkan diri dengan seorang laki-laki dinamakan isteri. Di dalam masyarakat Batak Karo, suami disebut Perbulangen dan Isteri disebut Ndahara. Perbulangen berasal dari kata Bulang yang artinya, topi. Oleh karena itu pada masyarakat Batak Karo seorang suami dilambangkan sebagai topi yang berfungsi sebagai pelindung kepala, juga berfungsi

31 sebagai pelindung bagi isteri dan anak-anaknya (pelindung keluaga) (Saragih, 1980:30). Di samping arti dan tujuan perkawinan pada masyarakat Karo seperti yang telah diuraikan di atas yaitu memperluas kekeluargaan (pebelang kade-kade) dan meneruskan keturunan laki-laki atau marga, maka masyarakat Batak Karo juga menganut sistem perkawinan yang exogami yaitu pada prinsipnya seseorang harus kawin dengan orang lain yang berasal dari klen (marga) yang berlainan. Dengan kata lain bahwa orang yang berasal dari klan yang sama dilarang untuk melakukan perkawinan kecuali marga Sembiring dan Perangin-angin. Syarat-syarat perkawinan yang ditetapkan oleh hukum adat berbeda-beda menurut daerah masing-masing. Bagi suku bangsa Karo, secara umum perkawinan itu mulai dianggap sah, setelah selesai pembayaran uang jujur (unjuken) pada waktu pelaksanaan pesta perkawinan baik pesta itu diadakan secara besar-besaran maupun secara kecil-kecilan. Oleh karena adanya pembayaran uang jujur pada masyarakat Karo maka bentuk perkawinannya dikenal dengan bentuk perkawinan Hukum Kebapaan artinya sifat yang terpenting dalam perkawinan ini adalah dengan pembayaran uang jujur. Menurut Hadikusuma (1995:88), perkawinan adat mengenal beberapa bentuk, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:.. dalam masyarakat patrilineal berlaku perkawinan dengan pembayaran jujur, dalam masyarakat matrilineal berlaku adat perkawinan semanda, dan dalam masyarakat parental atau bilateral berlaku adat perkawinan bebas. Ketiga bentuk perkawinan itu membawa akibat hukum yang berbeda, terhadap kedudukan suami isteri, terhadap anak keturunan dan terhadap harta perkawinan. Perkawinan dengan pembayaran uang jujur (unjukan) adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang-barang magis atau

32 sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau sebagai pembeli (tukur) atas berpindahnya siperempuan ke dalam klen si laki-laki (mengembalikan keseimbangan magis di keluarga pihak perempuan). Perkawinan jujur ini adalah salah satu bentuk perkawinan mempertahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapaan (patrilineal), hal ini dilatar belakangi bahwa dengan dilakukannya pembayaran uang jujur maka si isteri (perempuan) akan dibawa masuk kedalam pihak keluarga si suami (lakilaki). Hubungan dengan marga orang tuanya menjadi terputus. Dengan demikian nantinya apabila siwanita melahirkan anak, maka sianak yang lahir itu tidak menuruti marga dari siwanita itu melainkan menuruti marga dari laki-laki yang menjadi suami perempuan (ayah sianak tersebut). Seperti yang telah dijelaskan bahwa perkawinan yang tidak disertai adanya pembayaran uang jujur pada dasarnya dianggap perkawinan itu tidak sah menurut adat. Akan tetapi ada juga perkawinan yang dilaksanakan tanpa dilakukan pembayaran uang jujur, perkawinan itu dianggap sah menurut adat. Hal ini kita jumpai dalam perkawinan Lakoman (Leviraat Huwelijk) dan perkawinan Gancih abu (Ver vang en Vervolg Huwelijk). Perkawinan Lakoman adalah suatu perkawinan dimana seorang janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena meninggal dunia kawin lagi dengan saudara lakilaki suaminya.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel kabapaan. Stelsel kebapaan ini yang dianut masyarakat Karo ini dapat dilihat dari kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, masalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial sudah makin kompleks dan terdiri dari berbagai aspek yang mana hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER OLEH WAYAN SUDARTA Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan (hak

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani * Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 24 Oktober 2015; disetujui: 29 Oktober 2015 Perilaku seks menyimpang hingga saat ini masih banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat pada saat sekarang ini, masalah dalam kehidupan sosial sudah semakin kompleks dan berkepanjangan, dimana terdapat beberapa aspek yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN A. Sekilas Tentang Bapak Kasun Sebagai Anak Angkat Bapak Tasral Tasral dan istrinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya maka berbeda pula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas membentang dari kota Sabang Provinsi Nanggro Aceh Darussalam hingga kota Merauke Provinsi Papua. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

KULIAH WARDAT 10 April 2012 Pertemuan ke 9

KULIAH WARDAT 10 April 2012 Pertemuan ke 9 KULIH WRDT 10 pril 12 Pertemuan ke 9 UU No.1/ 1974: Ps. 3: asas monogamy relative Ps. 5: syarat perkawinan Ps.8: Larangan perkawinan Ps. 13: Pencegahan perkawinan Ps. 31: Hak & kewajiban Suami Istri seimbang/

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D 101 09 047 ABSTRAK Tulisan ini mengangkat 3 masalah utama, yaitu (a) Bagaimanakah Status Hukum dan Hak Mewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis di Provinsi Sumatera Utara, suku Batak terdiri dari 5 sub etnis yaitu : Batak Toba (Tapanuli), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam kehidupannya manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu dampak akan pesatnya teknologi yang berakibat pada luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek perkawian campuran. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu keturunan ditarik dari ayahnya. Dilihat dari marga yang dipakai oleh orang batak yang diambil dari

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup bersama dengan manusia yang lain terutama ketertarikan lawan jenis untuk membentuk sebuah keluarga

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara melindungi dan menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sedang dijalankan oleh Pemerintah RI. Selain itu,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sedang dijalankan oleh Pemerintah RI. Selain itu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna. Salah satu buktinya bahwa manusia diberikan cipta, rasa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember 1984 mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mennunjukan komitmennya untuk

Lebih terperinci

BAB V PARA AHLI WARIS

BAB V PARA AHLI WARIS BAB V PARA AHLI WARIS Para waris adalah semua orang yang (akan) menerima Penerasan atau pembagian warisan, baik ia sebagai ahli waris atau bukan ahli waris, tetapi mendapat warisan 1. Anak Kandung - Anak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagian yang terkecil dan yang pertama kali digunakan manusia sebagai sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga inilah kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perempuan adalah tiang negara, artinya tegak runtuhnya suatu negara berada di tangan kaum perempuan. Penerus peradaban lahir dari rahim seorang perempuan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Begawai Pernikahan adalah suatu momen yang sakral, dimana penyatuan dua insan ini juga harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawin adalah perilaku mahluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar manusia berkembang biak. Oleh karena itu perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki beranekaragam suku bangsa, tentu memiliki puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waris adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang perpindahan harta pusaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA Disusun Oleh : ANDRE RISPANDITA HIRNANTO D 1114001 SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia terdiri atas gugusan pulau-pulau besar maupun kecil yang tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Oleh: 1. Rico Andrian Hartono(135010101111114)/ 17 2. Ramadhanti Safirriani(135010119111001)/ 46 3. Farahdyba R (135010107111189)/ 44 4. Giovanna Calista F (135010101111106)/

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN Oleh Drs. Bakti Ritonga, SH.,MH. 1 Assalmu alaikum wr.wb. Salam sejahtera untuk kita semua Yang Terhormat; Bapak dan Ibu Pembina, jajaran pengurus, dan seluruh pesrta

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin Dalam laporan penelitian di atas telah disajikan 2

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau

II TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau 1 II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dan segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Pandangan tersebut didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat, terlebih di masyarakat perkotaan. Fenomena waria merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat, terlebih di masyarakat perkotaan. Fenomena waria merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di jaman modern ini, banyak sekali waria yang hidup di dalam masyarakat, terlebih di masyarakat perkotaan. Fenomena waria merupakan suatu paparan nyata yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci