BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak"

Transkripsi

1 BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian Sesuai dengan prinsipnya perkawinan itu untuk selama-lamanya dan dilakukan dalam rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan Hadist Riwayat Ibnu Majah, Sesuatu yang halal yang sangat dibenci adalah perceraian. 56 Walaupun perceraian dibenci, namun jika pernikahan dipaksakan tapi mengakibatkan mudarat yang banyak daripada manfaat dalam rumah tangga, maka perceraian diperbolehkan, disinilah terlihat tujuan perceraian dalam Islam hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan semua pihak. Dalam Hukum Islam bahkan dikenal ada pesta perceraian yang yang memberi makna bahwa acara tersebut bukanlah perpisahan yang mengakibatkan permusuhan, perceraian hanya perpisahan hubungan suami isteri bukan perpisahan hubungan baik. Karena setelah perceraian hubungan suami isteri itu dapat berubah menjadi hubungan sahabat ataupun kekerabatan, karena perceraian yang terjadi hanya untuk mencari kemaslahatan akibat dari kehidupan rumah tangga yang tidak dapat dilakukan bersama lagi E. Hassan Saleh, Kajian Figh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013.

2 Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada alasan bahwa suami isteri tidak dapat rukun sebagai suami isteri. 58 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil lagi mendamaikan kedua belah pihak Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 59 Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

3 b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anaknya Perceraian dalam Hukum Islam tidak menyebabkan hilangnya tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan terserbut, karena hubungan anak dengan orang tua dengan anak tidak pernah putus, anak tersebut tetap menjadi anak dari ayah dan ibunya. Dan seorang ayah tetap berkewajiban bertanggung jawab penuh terhadap anaknya baik dari segi nafkah dan pemeliharaannya, dan wajib membayar upah kepada ibu yang memelihara anak tersebut. Jadi tanggung jawab memelihara dan mendidik anak adalah tetap menjadi kewajiban bersama walaupun terjadi perceraian. 60 Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut Undang-Undang adalah : 61 a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat member kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut. Sedangkan menurut pasal 149 Kompilasi Hukum Islam huruf d juncto pasal 156 huruf d berdasarkan inpres Nomor 1 Tahun 1991, Bapak 60 Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4 tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri sampai umur 21 Tahun. Selagi anak belum berusia 18 Tahun atau belum menikah ia berada dibawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukumnya didalam dan diluar pengadilan. 62 Meskipun memegang kuasa namun orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki. 63 Dampak dari perceraian meyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, dan bagi anak yang remaja kebutuhan fisik maupun psikis tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalurkan dengan memuaskan, dan akibatnya anak merasa terabaikan. Sehingga tidak menutup kemungkinan menyebabkan anak menjadi kasar, tidak terkendali dan bahkan bisa menjadi sangat agresif dan brutal, hal ini dikarenakan anak tidak mendapat kasih sayang orang tua secara bersamaan, dampak seperti inilah yang sangat dibenci dalam pandangan Islam karena bukan kemaslahatan yang terjadi tetapi kemudharatan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 63 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 64 Wawancara dengan Ulama Ahmad zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013

5 B. Hadhanah 1.Pengertian Hadhanah Alhadhanah berasal dari kata hadhanah-yadhunu-hadhan wa hidhanah wa hadhanah, secara bahasa hadhanah memiliki dua arti pokok. Pertama dari alhidnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang dari sinilah jika dikatakan Ihtadhana al walad mendekapnya yaitu merengkuh dan meletakkannya didalam dekapan (pelukan). Kedua al-hidhnu adalah janib asy-syay i (sisi sesuatu). Jika dikatakan Ihtadhana asy-syay a artinya meletakkan sesuatu itu disisisnya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal ini seperti sdeekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya sehinga telurnya berada disisinya dan dibawah pemeliharaannya. 65 Para ahli hukum Islam mendefenisikan Hadhanah dengan maksud melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup yang memikul tanggung jawabnya. 66 Menurut Ulama Hanafiyah membagi segala urusan yang berhubungan dengan anak kecil menjadi dua bagian yaitu kewajiban yang 65 Ash Sha ani, subulus Salam, (Surabaya : terjemahan Abu bakar Muhammad jilid 3, Al Iklash,1995), hlm Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Pendidikan dan Pengasuhan Anak menurut Alqur an dan Sunnah, (Medan : Perdana Publishing, 2012), hal 3

6 diserahkan kepada wali anak dan kepada hadhinah (pengasuh) yaitu tugas mendidik. Sedangkan pengarang kitab Al-ikhtiyar mengenainya; tersebut mengatakan, ketika anak masih kecil dan lemah untuk memperhatikan segala kemaslahatan dirinya maka Allah menjadikan untuk tugas tersebut orang yang membimbing dan mengurusnya sehingga urusan harta kekayaan dan berbagai macam transaksi (akad) diserahkan kepada lakilaki, sebab mereka lebih kuat dan lebih mampu dalam hal tersebut dan untuk perawatan diserahkan kepada perempuan sebab mereka lebih sayang dan lemah lembut serta lebih mampu untuk memberikan pendidikan dan pengasuhan karena Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta, kasih dan sayang, kemampuan, kesabaran dan ketabahan. 67 Jika dilihat dari kaca mata hukum, Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak yaitu seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan. 68 Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 point 2, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. 69 Sedangkan menurut Instuksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi hukum Islam dalam pasal 98 ayat (1) menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 67 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia Indonesi, 2009), hal Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 69 Pasal 1 point 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

7 adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 70 Sedangkan dalam Hukum Islam tidak memberikan batasan usia yang dimaksud dengan anak, karena selama anak itu belum baliqh dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk masih dianggap anak-anak atau belum dewasa. 71 Meskipun banyak rumusan mengenai anak namun perbedaan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan terhadap anak karena mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib, dan mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya yang membinasakan. Dalam istilah fiqh Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinnya putusnya perkawinan, menurut fiqh hal ini secara praktis antara suami isteri telah terjadi perpisahan sedangkan anakanak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya. 72 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadhanah, adalah masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin, mendidik, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dirinya sendiri, dan hal ini terjadi apabila dua orang suami isteri bercerai, sedangkan 70 Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, pasal 98 ayat 1 71 Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal 327

8 keduanya mempunyai anak yang belum mummayyiz (belum menguasai kemaslahatan dirinya). 2. Masa Hadhanah Para Fukaha berbeda pendapat mengenai waktu dan batas hadhanah, kepada empat kelompok pendapat yaitu : 73 a. Fukaha Hanafiyah mengatakan masa pengasuhan berakhir untuk anak laki-laki, ketika ia mencapai umur tujuh tahun atau menurut sebagian lagi Sembilan tahun, sedangkan untuk perempuan berakhir ketika anak mencapai umur sembilan tahun atau menurut sebahagian lagi sebelas tahun, setelah itu maka ayah lebih berhak dari keduanya. Kelompok ini dalam menyempurnakan hadhanah membedakannya dengan kias atau analogi berdasarkan batas usia anak perempuan dan laki-laki sebab hadhanah, itu merupakan suatu bentuk bimbingan (wilayah), karena hadhanah merupakan hak ibu sehingga hanya berkahir dengan kedewasaan anak, seperti hak wilayah (wali) dalam urusan harta kekayaan. b. Fukaha Imam Malik mengatakan masa pengasuhan anak laki-laki itu berakhir dengan ihtilam (mimpi), sedangkan untuk anak perempuan berakhir dengan sampainya ia menikah. Jika ia sampai pada usia menikah sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ibu lebih berhak terhadap anak putrinya sampai ibu tadi menikah lagi. Jika tidak sedang demikian maka anak tersebut dititipkan kepada ayahnya dan jika ayah tidak ada maka dititipkan kepada wali-walinya. Seperti dari hadis yang diriwayatkan Amr bin Syuaib, bahwa Abu Bakar menentukan terhadap Umar bin Khatab ra, mengenai Ashim, ibunya lebih berhak dengannya daripada Umar selama ia belum menikah. c. Fukaha Imam Syafii menyebutkan bahwa masa pengasuhan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun, dan jika ia telah masuk usia tersebut dan berakal sehat maka ia diperbolehkan untuk memilih antara ayah dan ibunya. Menurut hadis Abu Hurairah ra. Bahwa ada seorang perempuan yuang datang kepada Nabi Muhammad saw, seraya berkata, Sesungguhnya suamiku datang ingin membawa anakku. Nabi Muhammad saw. bersabda, ini ayahmu dan ini ibumu maka peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki. Ternyata anak itu mengambil tangan ibunya. Menurut hadis ini jika ada kedua orang tua yang bertengkar maka sang anak hendaknya diberi kesempatan untuk memilih siapa yang akan ia pilih d. Fukaha Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat yang paling masyhur mengatakan masa pengasuhan anak itu berakhir sampai anak tersebut berumur tujuh tahun, jika ia telah mencapai usia tersebut, dan untuk 73 Huzaemah Tahido Yanggo, Op.Cit, hal

9 anak laki-laki dipersilahkan memilih diantara kedua orang tuanya tetapi jika ia perempuan maka ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih baginya. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 105 menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mummayiz, atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang telah mummayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah ataupun ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. 74 Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa pengasuhan untuk anak laki-laki dan perempuan samapai batas umur tamyiz, setelah melewati batas usia umur tersebut jika anak memilih bersama ibunya maka anak tersebut tidak perlu diambil namun jika anak memilih ayahnya maka ayahnya berhak membawa dan memeliharanya sedangkan jika anak lakilaki yang sudah lewat masa tamyiz lebih memilih ibunya maka sang ayah hendaklah ikut membantu mendidik dan mengajarinya, demikian anak perempuan jika ia memilih dengan ibunya maka anak tersebut boleh tinggal bersama ibunya. Sementara anak yang masih dalam pengasuhan jika ia sakit atau gila maka jika ia seorang perempuan secara mutlak ada ditangan ibunya baik kecil ataupun sudah besar, karena seorang ibu lebih sayang kepadanya Syarat-Syarat yang Harus dipenuhi Hadhin dalam Hadhanah 74 Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang kompilasi Hukum Islam 75 Huzaemah Tahido Yanggo, Op.Cit, hal 188

10 Pemeliharaan atau pengasuhan anak harus memenuhi syarat yang telah ditentukan, bagi ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut : 76 a. Sudah Dewasa dan Berakal Orang yang belum dewasa tidak akan mampuh melakukan tugas untuk mengasuh anak, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya belum memenuhi syarat, dan orag yang tidak mempunyai akal sehat dianggap tidak cakap melakukan tindakan hukum karena untuk mengurus dirinya sendiri tidak mampu apalagi untuk orang lain maka orang tersebut tidak boleh menjadi Hadhin. b. Beragama Islam Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama karena pengasuhan anak termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh, kalau diasuh oleh orang yang bukan islam maka dikhawtirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya, makanya dalam hal pengasuhan anak kesamaan agama antara hadhin (pengasuh) dengan mahdhun (anak yang dipelihara) sangat penting. c. Amanah Orang yang dipandang fasik (durhaka kepada Allah SWT, meninggalkan perintahnya, atau keluar dan melanggar ketentuannya) tidak berhak atas handhanah karena dapat menimbulkan hal yang bersifat negatif terhadap jiwa anak yang dipeliharanya. d. Tidak bersuami 76 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal

11 Hal ini adalah untuk syarat bagi seorang ibu harus belum menikah dengan lelaki lain, jika telah menikah dengan lelaki lain maka gugurlah haknya menjadi hadhin,kecuali suaminya (ayah tiri) rela untuk melakukan hadhanah tersebut. e. Tidak Murtad Tidak kembali kepada agama semulanya dengan keluar dari agama Islam, karena bagaimanapun anak yang diasuh harus seiman dengan orang yang mengasuhnya. Bertempat tinggal yang sama dengan anak yang diasuh Menurut ulama Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah maka ibu lebih berhak atas Hadhanah, tetapi bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakan perkawinan maka ibu yang berhak tetapi bila pindah ke tempat lain maka ayahlah yang berhak. 4. Dasar Hukum Hadhanah Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak hukumnya wajib, sebagaimana wajibnya memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan, adapun dasarnya menurut Alqur an adalah : a. Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 233, yaitu hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan dan hendaklah menyusuinya, dan kewajiban seorang ayah membiayai anak yang masih kecil dan juga istri.

12 b. Berdasarkan surat Luqman ayat dan surat Al-Mujadillah(58) ayat 11, yaitu hak untuk diberi pendidikan ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar. c. Berdasarkan surat An-nisa (4) ayat 2, 6, 10, yaitu hak untuk mewarisi harta kekayaan orang tuanya. d. Berdasarkan surat Al-Qashas ayat 12 yaitu hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya. e. Berdasarkan surat At-Tahrim ayat 6 yaitu kewajiban orang tua untuk menyiapkan putra-putrinya sehat, kuat baik psikis maupun fisik. f. Berdasarkan hadist riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, dalam pertanggungjawaban terhadap kesejahteraan dan kesehatan anak Nabi saw, menjelaskan : Setiap kamu adalah penanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipercayakan kepadanya, seorang laki-laki bertanggungjawab atas kehidupan keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban kepadanya. Dan seorang isteri bertanggung jawab atas harta benda dan anak-anak suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban kepadanya. 77 Sedangkan dalam konteks hukum di Indonesia hadhanah disebut sebagai pemeliharaan anak yang diatur dalam Undang-Undang sebagai berikut yaitu ; a. Menurut pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi Suami dan Isteri yang mengikatkan diri dalam perkawinan, 77 Huzaenah Tahido Yanggo, Op.Cit, hal 197

13 dan hanya karena itupun terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka. 78 b. Menurut pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadi perceraian ; 79 1) Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. 2) Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibu sebagai pemegang hak pemeliharannya. 3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. c. Menurut bab II pasal 2 sampai dengan pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang mengatur hak-hak anak. 80 d. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 45 menyebutkan : kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, dan kewajiban itu sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu terus berlaku meskipun kedua orang tua telah bercerai Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet xxv. (Jakarta ; Pradya Paramita, 1992), hal Pasal 105 Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam 80 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak 81 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

14 C. Sebab-sebab Timbulnya Hadhanah dan Akibatnya Pada prinsipnya masalah hadhanah tidak dipermasalahkan jik kedua orang tua melaksanakan tanggung jawabnya dengan kerjasama dan jika terjadi perceraian tidak mempermasalahkan pada siapa anak tinggal, Kedua orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Akan tetapi suatu ketika, sebagai manusia mempunyai berbagai permasalahan dan keterbatasan sehingga terjadi persoalan dalam masalah hadhanah. Adapun sebab timbulnya masalah hadhanah adalah : 1. Apabila kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban pemeliharaan terhadap anaknya atau kedua orang tua meninggal dunia. Hal ini dapat diketahui dari isyarat yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (3) yang berbunyi : Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. 82 Pasal ini memberikan pengertian, bahwa salah satu penyebab timbulnya masalah hadhanah adalah karena kedua orang tua si anak tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam memelihara anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan 82 Pasal 98 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam

15 yang berikut : 2) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. la berkelakuan buruk sekali 3) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Ketentuan yang mengatur tentang kuasa asuh orang tua terhadap anaknya juga terdapat dalam pasal 10 Undang-Undang klesejahteraan Anak nomor 4 tahun 1979 yang menyebutkan : 83 1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasanya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal ini ditunjuk orang atau badan sebagai walinya. 2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai sesuai dengan kemampuan Penghidupannya dalam pemeliharaan dan pendidikan anaknya. 3) Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim. 4) pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2), (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak 83 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

16 diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik. 84 Contohnya seorang orang tua yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan kehidupan yang layak yang dikarenakan orang tua tersebut berada di dalam penjara atau tidak pernah diketahui keberadaannya. Jika diperhatikan secara teliti, ketentuan dalam Kompilasi memang lebih tegas daripada dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, karena dalam Kompilasi Hukum Islam konsennya adalah bagi orang Islam, maka penunjukkan Pengadilan Agama dalam penyelesaian masalah yang timbal akibat dari perwalian adalah dalam rangka kepastian hukum. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada kaitan antara hadhanah dengan perwalian. Dalam kasus seorang anak yang tidak lagi memiliki orang tua, atau memiliki orang tua namun dipandang tidak cakap untuk merawat anak, maka keberadaan perwalian menjadi sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu di dalam KHI dijelaskan bahwa, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tuanya dan masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Dan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa urutan pemeliharaan yang pertama sekali adalah pihak ibu, dari pihak ibu (nenek) dst ke atas. Diberikan hak prioritas kepada ibu karena ia yang melahirkan dan menyusukan serta ia M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Rajawali, 1986), hal.

17 lebih cakap dalam hal mengasuh dan merawat anak. Ibu lebih sabar dan dapat menahan hati dalam merawat anak, dibandingkan dengan bapak tidak. Oleh karena itu maka didahulukan ibu daripada bapak dalam urusan mengasuh dan merawat anak, untuk kebaikan masa depan anak. Apabila urutan pihak ibu tidak ada atau tidak memungkinkan, maka pemeliharaan itu beralih kepada pihak bapaknya dan seterusnya sampai ke atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat urutan-urutan sebagai berikut : 85 1) Ibu anak tersebut. 2) Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas 3) Nenek dari pihak ayah 4) Saudara kandung anak perempuan tersebut 5) Saudara perempuan seibu 6) Saudara perempuan seayah 7) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 9) Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10) Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi) 11) Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 13) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 14) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 15) Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. 16) Bibi yang sekandung dengan ayah. 17) Bibi yang seibu dengan ayah. 18) Bibi yang seayah dengan ayah. 19) Bibinya lbu dari pihak ibunya. 20) Bibinya ayah dari pihak ibunya. 21) Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22) Bibinya ibu dari pihak ayah. Jika anak tersebut mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuh anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing 85 Syeikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta Timur : Darat-Tauji wa An-Nashr Al- Islamiya, 1999), hal.395

18 dalam persoalan waris. Dan pengasuhan anak itu beralih kepada : 86 1) Ayah kandung anak itu. 2) Kakek dari pihak ayah dan terus keatas. 3) Saudara laki-laki sekandung 4) Saudara laki-laki seayah. 5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. 6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. 7) Paman yang sekandung dengan ayah. 8) Paman yang seayah dengan ayah 9) Pamanya ayah yang sekandung 10) Pamannya ayah yang seayah dengan ayah. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat Ayah ibu (kakek) yaitu: 1) Saudara laki-laki seibu 2) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu. 3) Paman yang seibu dengan ayah 4) Paman yang sekandung dengan ibu. 5) Paman yang seayah dengan ibu. Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya. 87 Penunjukan wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak dibawah umur tersebut, yang oleh Undang-Undang ditetapkan wali tersebut haruslah telah dewasa, berpikiran sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak baik. 88 Akan tetapi meskipan demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua 86 Ibid, hal Ibid, hal Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

19 yang menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua si anak tersebut meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. 89 Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang di bawah penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang berada dalam pengasuhannya tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan menghormati agama serta kepercayaan anak tersebut. 90 Terhadap harta kekayaan si anak yang berada dibawah kekuaasaannya, wali mempunyai kewajiban untuk: Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci. 2. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya. 3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan kesalahan wali 4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Selama melaksanakan kekuasaannya, wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak tersebut, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. 92 Jika terjadi kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan kesalahannya, maka wali dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang berada di bawah perwaliannya tersebut. 93 Alasan lain dari penunjukkan wali, termasuk wewenangnya untuk mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya, hanya 89 Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahim 1974 tentang Perkawinan 90 Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 91 Pasal 51 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 92 Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 93 Pasal 51 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

20 diperbolehkan jika kepentingan anak menghendakinya (Pasal 48 jo.pasal 52 UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila dalam, kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan beritikad tidak baik, maka hak perwaliannya dapat dicabut. Prosedur dan tatacaranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan atau Pengdilan Agama untuk mencabutnya. Menurut Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 : (1) Wali dapat dicabut kekuasaanya, dalam hal-hal yang tersebut di dalam Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun (2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 dikuatkan dalam Pasal 109 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Jika terjadi pencabutan kekuasaan seorang wali karena ia melalaikan kewajibannya atau ia berkelakuan tidak baik, hakim dengan keputusannya dapat menunjuk orang lain menjadi wali atas anak yang berada di bawah perwaliannya. Hal ini dilakukan Hakim apabila si anak tidak lagi mempunyai keluarga yang lain atau apabila Hakim memandang keluarga si anak tidak layak menjadi seorang wali karena alasan-alasan tersebut.

21 Seorang yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama untuk menjadi wali dan ia menerima penunjukan tersebut wajib menjalankan kekuasaan perwaliannya untuk kepentingan si anak dengan sebaik-baiknya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perwalian ini mempunyai beberapa asas. Pertama asas tidak dapat dibagi-bagi, kedua asas persetujuan dari keluarga, ketiga orang-orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat menjadi wali Perceraian antara Ayah dan Ibu Anak Perceraian yang menjadi sentral kajian dalam tulisan ini adalah cerai hidup yang terjadi antara suami isteri, sebab keduanya baik syah maupun ibu dari si anak merasa lebih berhak dan lebih pantas memelihara anaknya. Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak merasa lebih sayang kepada anaknya, dan masing-masing pihak merasa tidak percaya kepada pihak lainnya, atau masing-masing pihak merasa dialah yang lebih mampu memberikan kebutuhan kehidupan si anak, maka masing-masing pihak mempertahankan alasannya agar dipandang lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah atas anak yang mereka miliki. Apabila terjadi perceraian antara suami isteri, baik dengan jalan talaq, khulu atau fasakh sedang keduanya mempunyai anak, laki-laki atau perempuan yang masih berumur kurang dari tujuh tahun, maka anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya karena dialah yang penyayang dan sesuai untuk mengasuh anak. Dan kemudian itu ibu dari ibu dan demikian itulah 94 R.Subekti dalam Soedharyo Soimin, Hukum orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 55.

22 seterusnya sampai ke atas. 95 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak sehingga anak akan menjadi objek rebutan antara kedua orang tua. Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-Undang, bahwa untuk nenentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan kepentingan anak apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya harus mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik untuk kehidupan dimasa yang akan datang. 96 D. Karakter Hadhanah pada Putusan Pengadilan Agama Medan Dalam memutuskan perkara Hadhanah hakim menggunakan Kompilasi 95 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakara : AI-Hidayah, 1968), hal Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Haspar Pulungan, pada tanggal 30 Mei 2013.

23 Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagai dasar dalam menyelesaikan masalah. Setiap perkara yang masuk khususnya mengenai hadhanah berbeda-beda pokok perkaranya yang menyebabkan putusan hadhanah itu memiliki karakter yang berbeda dalam setiap putusan. Dalam hal ini karakter hadhanah pada putusan di Pengadilan Agama Medan dapat dibagi yaitu : Kondisi anak Yang dimaksud dengan kondisi anak adalah batas usia anak dan kepentingan anak. Karena setiap perkara hadhanah anak yang dijadikan objek sengketa berbeda-beda usianya dan kepentingan anak tersebut sesusai dengan keadaan fisik dan mentalnya. Maka, dalam hal ini hakim mengkategorikannya bahwa dari : a. Batas usia anak, didasarkan pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam : 1) Belum mummayiz yaitu anak yang belum berusia dibawah 12 (dua belas) tahun, maka hak asuhnya ada pada ibu. 2) Sudah mummayiz yaitu anak yang sudah berusia diatas 12 (dua belas0 tahun, maka dalam hal ini hakim dapat menjadikan keterangan anak sebagai acuan untuk memutuskan penetapan hadhanah. b. Kepentingan anak 1) Kebutuhan jasmani Kebutuhan jasmani yaitu seperti makanan, pakaian, perumahan, 97 Ibid,

24 kesehatan. Hal ini merupakan tanggung jawab seorang ayah dalam hal pembiayaannya. Berdasarkan Pasal 104 (1) Kompilasi Hukum Islam sehingga biaya penetapan hadhanah selalu ditetapkan kepada ayah oleh hakim. Pada anak yang belum mummayiz belum dapat membedakan mana yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya, masih sangat membutuhkan pengasuhan seorang ibu. Karena ibu memiliki kesabaran, ketelatenan, dan sikap lemah lembut dibanding seorang ayah sehingga. Pemeliharaan anak lebih diyakini terjamin pada ibu oleh karenanya hadhanah ada pada ibu, seperti contoh seorang bayi yang masih membutuhkan air susu ibunya dan tidak dapat digantikan dengan susu instan, sehingga anak tersebut tidak dapat hidup tanpa ASI maka demi kemaslahatan anak tersebut walaupun seorang ibu telah gugur hak asuhnya, seperti murtad, menikah lagi dengan orang lain namun hak asuh tersebut tetap dapat dimiliki oleh ibunya. 2) Kebutuhan jiwa Kebutuhan jiwa yaitu kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, perlindungan. Dalam hal ini pada anak yang belum mummayiz, seorang ibu dianggap lebih mampu memberikan kebutuhan jiwa tersebut sedangkan pada anak yang sudah mummayiz, telah mengetahui kebutuhan akan jiwanya, orang tuanya yang manakah lebih mengetahuinya, siapakah yang lebih memperhatikannya,

25 menyayanginya dan pada siapakah dia merasa nyaman, maka pernyataannya merupakan pertimbangan bagi hakim. 2. Kondisi orang tua (ibu) a. Ibu yang tidak cacat hukum yaitu seorang ibu yang memenuhi seluruh syarat dan pemegang hadhanah yaitu sudah dewasa, berakal, beragama Islam, amanah, memiliki kepribadian yang baik yang dapat menjadi contoh terhadap anak-anaknya. Anak yang belum mummayiz, hak asuhnya selalu ada pada seorang ibu yang tidak cacat hukum, kecuali ibu yang tidak cacat hukum tersebut mendapat penyakit atau cacat badan sehingga ia tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai ibu untuk mengurus anak-anaknya. Sedangkan jika anak tersebut sudah mummayiz maka walaupun ibu tidak cacat hukum tapi haknya dalam memilih diantara kedua orang tuanya tetap dipertimbangkan. b. Ibu yang cacat hukum Seorang ibu yang cacat hukum tidak dapat memiliki hak asuh pada anak belum mummayiz dan sudah mummayiz Cacat hukum yang dimaksud adalah : 2) Apabila seorang ibu terbukti melakukan perbuatan tercela seperti berjudi, pemabuk, berbuat zinah, berdasarkan Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. 3) Apabila seorang ibu terbukti sering melakukan kekerasan terhadap

26 anak-anaknya baik kekerasan fisik maupun mental yang dapat merusak pertumbuhan anak. 4) Apabila seorang ibu mendapat hukuman penjara akibat perbuatannya. 5) Apabila seorang ibu murtad yang mengakibatkan dia tidak seiman dengan anak yang dilahirkannya, maka hak asuhnya gugur karena anak yang dilahirkan secara Islam harus dibesarkan secara Islam juga sehingga orang yang mengasuh anak tersebut harus seiman dengan anak tersebut. Dalam hal ibu berpindah agama, jika pindah agama sebelum proses hadhanah harus digugat dan dibuktikan gugatannya bahwa istri pindah agama dan bila berpindah agama setelah proses hadhanah maka suami ajukan gugatan hak dengan alasan istrinya murtad, dalam hal ini hakim memberikan hak hadhanah pada ayah. 6) Apabila seorang ibu terbukti menelantarkan anaknya menyia-nyiakan anaknya, tidak memeliharanya, merawat dan mendidiknya, padahal b iaya hadhanah tetap diberikan ayahnya, maka hak hadhanah dapat dipindahkan hakim kepada ayahnya. 3. Isi putusan hadhanah Dalam kasus hadhanah hakim biasanya memutuskan penetapan hadhanah pada ibu dan penetapan biaya hadhanah ada pada ayah, namun putusan yang ditetapkan hakim tergantung pada permohonan penggugat, dalam hal ini yaitu: a. Penetapan hadhanah Biasanya penetapan hadhanah belum mummayiz ada pada ibu, apabila ibu tersebut cacat hukum maka dapat beralih pada ayah. Jika penggugat

27 seorang ibu hanya memohon penetapan hadhanah saja biasanya ibu tersebut mampu secara finansial sehingga ia tidak memerlukan bantuan mantan suaminya dan memohonkan kepada hakim untuk penetapan biaya hadhanah. Jika penggugat seorang ayah, maka dia tidak dapat memohonkan penetapan biaya hadhanah karena hal itu merupakan kewajibannya (berdasarkan Pasal 105 huruf C Kompilasi Hukum Islam). Tetapi seorang ayah dapat juga menuntut penetapan sebagai hadhanah apabila dia mampu membuktikan bahwa ibu dari anaknya tidak mampu untuk mengurus anaknya, dalam hal ini cacat hukum. b. Penetapan biaya hadhanah Hakim selalu memutuskan penetapan biaya anak pada seorang ayah sesuai pasal 156 Huruf d dan Huruf e Kompilasi Hukum Islam, namun jumlah biaya yang dimohonkan penggugat selalu dipertimbangkan hakim dengan kemampuan tergugat yaitu harus memenuhi rasa keadilan seperti yang dimaksud pada Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam. Permohonan penetapan biaya hadhanah ini biasanya dimohonkan tergugat karena hilangnya tanggung jawab seorang ayah setelah perceraian dan penggugat (ibu) secara finansial kurang mampu membiayai sendiri kebutuhan anak-anaknya. E. Karakter Hadhanah menurut Pandangan Hukum Islam

28 Dalam pandangan hukum Islam maka karakter hadhanah adalah : 98 a. Kondisi anak Dalam hukum Islam tidak ada batas usia hadhanah ditentukan seperti didalam Undang-Undang, namun kedewasaan anak hanya dilihat dari balighnya seorang anak tersebut baik itu laki-laki maupun perempuan, jika anak masih belum baligh dan belum dapat membedakan kebaikan dan keburukan untuk dirinya, maka anak tersebut adalah hak seorang ibu dalam mengasuhnya, tetapi jika sudah baligh maka dapat ditanyakan kepada anak tersebut untuk memilih dengan siapa anak tersebut ikut bahwasannya Nabi Muhammad SAW, telah menyuruh seorang anak yang sudah mengerti untuk memilih tinggal bersama bapaknya atau ibunya (Riwayat Ibnu majah dan Tirmizi). Namun dalam Islam tanggung jawab penuh memelihara dan membiayai kehidupan anaknya adalah seorang ayah (berdasarkan Q.S. At. Tahrim : 6), artinya, memelihara dan mengasuh anak merupakan kewajiban ayah namun jika ia dapat melakukannya maka ia wajib membayar upah kepada wanita yang mengasuh anaknya tersebut. Ajaran Islam bertujuan mempersiapkan anak menjadi qurratu a yun (penyejuk hati) karena anak merupakan karunia dan amanah yaitu anak sebagai fitrah dalam hidup (yang diatur dalam QS Al-kahfi), anak sebagai hiasan dalam keluarga (yang diatur dalam QS Al-Taghabun), dan anak sebagai penyejuk hati (QS Al-Furqon). Berdasarkan hal di atas maka dalam sengketa hadhanah kemaslahatan 98 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 Juli 2013.

29 anak yang paling diutamakan. b. Kondisi ibu a. Ibu yang hadhanahnya tidak gugur Seorang ibu dapat tetap memiliki hak asuh terhadap anaknya apabila syarat-syaratnya sebagai hadhin terpenuhi, antara lain : dewasa, berakal, beragama Islam amanah, bertempat tinggal yang sama dengan anaknya. b. Ibu yang hadhanah nya gugur yaitu : 1) Apabila ibu fasik atau pengetahuan agamanya kurang. Hak seorang ibu mengurus anaknya gugur jika ia fasik dan pengetahuan agamanya kurang karena ibu tersebut dianggap tidak akan dapat mendidik anaknya dengan baik. 2) Jika ibu kafir (telah berpindah agama) 3) Jika ibu sudah menikah lagi Sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW Engkau lebih berhak mengasuhnya, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain (HR Tarmizi, Al-Bahaqi dan Al-Hakim). 4) Jika ibu tersebut pergi ke tempat yang jauh Hal ini menyebabkan gugurnya hadhanah karena jika ibu pergi jauh, menyebabkan ayah anak yang diasuh tidak dapat mengunjungi anaknya sehingga anak juga dapat merasakan kehilangan kasih sayang seorang ayah. 5) Jika ibu mengidap penyakit

30 Jika ibu mengidap penyakti yang membahayakan haknya dalam hadhanah gugur karena bisa membahayakan anak yang diasuhnya bahkan dirinya sendiri belum tentu ia mampu mengurusnya akibat penyakitnya tersebut, sudah tentu untuk merawat anaknya akan menjadi beban baginya. 6) Jika ibu tersebut gila atau idiot Jika hak hadhanah ibu gugur maka ayah dapat mengasuh anaknya dengan syarat didampingi wanita lain yang dapat membantunya dan mempunyai kaf ah dalam mengasuh anak yaitu Islam, baligh, waras akalnya, amanah, mampu mendidik anaknya. Menurut pendapat ulama hadhanah yang telah gugur itu dapat kembali kepada ibu yakni sesuai dengan pendapat : Ulama Malikiyyah dalam pendapat yang masyhur berkata, Jika hak seorang ibu telah gugur karena adanya uzur, seperti sakit, tempat yang membahayakan, pergi atau pindah tempat, dan pergi untuk menunaikan, ibadah haji, kemudian uzur itu hilang karena sembuh dari penyakit atau tempatnya sudah aman, atau pulang dari bepergian maka haknya dalam hadhanah kembali lagi. Karena, uzur atau penghalang yang menggugurkan haknya telah hilang. Kaidahnya menyebutkan, Jika penghalangnya lenyap maka sesuatu yang tadinya terlarang menjadi tidak. Adapun jika seorang ibu menikah lagi dengan seorang lelaki lain yang bukan mahram dan melakukan hubungan suami istri, atau ia pergi jauh tanpa uzur, namun kemudian menjanda lagi baik karena cerai, nikahnya batal, maupun cerai mati, atau ia kembali lagi dari perjalanan jauh yang tidak ada uzur maka haknya untuk mengurus anak tidak kembali lagi meskipun penghalangnya sudah tidak ada. Alasannya karena gugurnya hak hadhanah itu dari dirinya sendiri dan tidak ada uzur. 2. Ulama Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat, Jika hak ibu gugur karena ada penghalang, namun kemudian penghalang itu lenyap maka hak hadhanah itu kembali lagi kepadanya, baik penghalang itu karena terpaksa seperti sakit, atau penghalang itu karena keinginan sendiri seperti 99 Ad-Durrul Mukhtaar, Vol. 2, hlm. 880, ; asy-syarhush Shaghiir, Vol.2, hlm. 763 ; Mughnil Muhtaaj, Vol.3, hlm. 456 ; Kasysyaaful Qinaa, Vol. 5, hlm. 580.

31 3. 4. nikah, bepergian, dan fasik. Akan tetapi, menurut Hanafiyyah hal itu harus langsung tanpa menunda-nunda waktu bagi perempuan yang dicerai ba'in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai ba in meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai raj i maka ia harus menunggu masa iddahnya dulu. Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih berhak mengurus hadhanah anaknya secara langsung sebelum selesai iddahnya, dengan syarat mendapat izin atau ridha dari suami. Namun jika suami tidak memberi izin atau tidak ridha maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya. Ulama Hanabilah sendiri menetapkan bahwa wanita yang dicerai tetap berhak mengurus hadhanah anaknya, meskipun cerai raj'i dan belum selesai masa iddahnya.

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB IV. Analisis Peran LBH Jawa Tengah Dalam Memberikan Bantuan Hukum. Terhadap Upaya Eksekusi Hak Hadlanah Dan Nafkah Anak

BAB IV. Analisis Peran LBH Jawa Tengah Dalam Memberikan Bantuan Hukum. Terhadap Upaya Eksekusi Hak Hadlanah Dan Nafkah Anak BAB IV Analisis Peran LBH Jawa Tengah Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Upaya Eksekusi Hak Hadlanah Dan Nafkah Anak Perspektif Fiqh dan Hukum Positif Berdasarkan Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2011

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Perkawinan Karena Murtad Dalam

Lebih terperinci

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG HADHANAH. yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. 1

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG HADHANAH. yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. 1 BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG HADHANAH A. Pengertian dan Dasar Hadhanah Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN ORANGTUA ATAS PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN ORANGTUA ATAS PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG KEWAJIBAN ORANGTUA ATAS PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Pengertian, Konsep dan Ketentuan tentang Anak, Pemeliharaan, dan Nafkah Menurut Hukum Pengertian

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan BAB IV ANALISIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO MENGENAI PENOLAKAN GUGATAN NAFKAH MAD{IYAH DALAM PERMOHONAN CERAI TALAK NOMOR : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda A. Analisis Undang-Undang Perkawinan dan

Lebih terperinci

BAB II PERCERAIAN, NAFKAH DALAM KELUARGA DAN H{A<D{ANAH

BAB II PERCERAIAN, NAFKAH DALAM KELUARGA DAN H{A<D{ANAH BAB II PERCERAIAN, NAFKAH DALAM KELUARGA DAN H{A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan dan melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan dan melaksanakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara yang sedang berkembang dan membangun, Negara Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan dan melaksanakan pembangunan di segala bidang, upaya tersebut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ) diambil dari kata ( berusaha mendidiknya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk

BAB II LANDASAN TEORI. ) diambil dari kata ( berusaha mendidiknya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk 18 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian H}ad}anah Kata ( ) diambil dari kata ( ) yang artinya pendamping.jika ditinjau dari segi syara, maka artinya menjaga dan mengasuh anak kecil atau yang senada dengannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

HAK ASUS ANAK : SUATU ANALISA TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH SYAR IYAH LANGSA TENTANG PENGALIHAN HAK ASUH ANAK. Oleh : Fakhrurrazi 1 dan Noufa Istianah 2

HAK ASUS ANAK : SUATU ANALISA TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH SYAR IYAH LANGSA TENTANG PENGALIHAN HAK ASUH ANAK. Oleh : Fakhrurrazi 1 dan Noufa Istianah 2 HAK ASUS ANAK : SUATU ANALISA TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH SYAR IYAH LANGSA TENTANG PENGALIHAN HAK ASUH ANAK Oleh : Fakhrurrazi 1 dan Noufa Istianah 2 Abstrak Dalam pembahasan ini peneliti memfokuskan kepada

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG 71 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG A. Analisis Terhadap Hak Asuh Anak dalam Perspektif Undang-Undang Masalah utama yang menjadi pertimbangan bagi pasangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab. Sesuai

Lebih terperinci

HAK PEMELIHARAAN ATAS ANAK (HADHANAH) AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

HAK PEMELIHARAAN ATAS ANAK (HADHANAH) AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF HAK PEMELIHARAAN ATAS ANAK (HADHANAH) AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF Oleh : Prihatini Purwaningsih Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor Abstrak Perceraian bukanlah halangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

BAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. 81 BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DAN MUT AH BAGI ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO (Study Putusan Perkara No. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn) A. Analisis

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

1 Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden No. 154 Tahun Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 154 Tahun 1991.

1 Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden No. 154 Tahun Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden No. 154 Tahun 1991. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah SWT menciptakan manusia laki-laki dan perempuan yang diciptakan berpasang-pasangan. Maka dengan berpasangan itulah manusia mengembangbiakan banyak laki-laki dan

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Wasiat Kepada Non Muslim Perspektif Hukum Islam. 1. Syarat-syarat Mushii a. Mukallaf (baligh dan berakal

Lebih terperinci

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TIDAK DITETAPKANNYA NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 2542/PDT.G/2015/PA.LMG) A. Pertimbangan Hukum Hakim yang Tidak Menetapkan Nafkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan yang suci antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik BAB IV ANALISIS TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM NO.0255/Pdt.G/2013/PA.Pas. di PENGADILAN AGAMA PASURUAN A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN HAKIM NOMOR. 0138/Pdt.G/2013/PA.Mlg TENTANG PENOLAKAN HAK ASUH ANAK OLEH SUAMI YANG DICERAI GUGAT

BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN HAKIM NOMOR. 0138/Pdt.G/2013/PA.Mlg TENTANG PENOLAKAN HAK ASUH ANAK OLEH SUAMI YANG DICERAI GUGAT 53 BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN HAKIM NOMOR 0138/Pdt.G/2013/PA.Mlg TENTANG PENOLAKAN HAK ASUH ANAK OLEH SUAMI YANG DICERAI GUGAT A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Malang

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN 55 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN A. Analisis Tentang Praktik Penjatuhan Talak Seorang Suami Melalui

Lebih terperinci

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam Kompetensi Dasar : Pernikahan dalam Islam ( Hukum, hikmah dan ketentuan Nikah) Kelas : XII (duabelas ) Program : IPA IPS I. Pilihlah

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Pertanyaan Dari: Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H /

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH 75 BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Pendapat Hakim Tentang Status Istri Setelah

Lebih terperinci

BAB III KONSEP PERWALIAN DALAM UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB III KONSEP PERWALIAN DALAM UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB III KONSEP PERWALIAN DALAM UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Sejarah tentang Perwalian Berbeda dengan pengangkatan anak, soal perwalian terdapat peruntukannya di dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Perceraian a. Pengertian Perceraian Perceraian sering diartikan oleh masyarakat luas adalah suatu kegagalan yang terjadi di rumah tangga. Dimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. BAB IV ANALISIS A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur masalah nafkah secara terperinci.

Lebih terperinci

MUNAKAHAT : IDDAH, RUJUK, FASAKH,KHULU DISEDIAKAN OLEH: SITI NUR ATIQAH

MUNAKAHAT : IDDAH, RUJUK, FASAKH,KHULU DISEDIAKAN OLEH: SITI NUR ATIQAH MUNAKAHAT : IDDAH, RUJUK, FASAKH,KHULU DISEDIAKAN OLEH: SITI NUR ATIQAH IDDAH PENGERTIAN Iddah adalah hari-hari di mana seorang wanita berpisah (bercerai) dengan suaminya menjalani masa menunggu. Selama

Lebih terperinci

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan: PEMBAGIAN WARISAN Pertanyaan dari: EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi) (Disidangkan pada Jum at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M) Pertanyaan: Sehubungan kami sangat awam masalah

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan 1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi BAB III ANALISIS Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi segala sesuatu yang ditentukan dan dikerjakan ada batasnya dan ada urutannya. Karena tidak ada satu hal pun yang diharamkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan BAB I PENDAHULUAN Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah sebagai penciptanya. Aturan

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA A. Status Nasab Dan Kewajiban Nafkah Anak Yang Di Li an Menurut Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 dan Pasal 2, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG A. Analisis Praktek Jual Beli Emas di Toko Emas Arjuna Semarang Aktivitas jual beli bagi umat Islam sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN CERAI GUGAT DENGAN SEBAB PENGURANGAN NAFKAH TERHADAP ISTERI A. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Cerai Gugat dengan Sebab Pengurangan Nafkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menciptakan manusia di dunia ini menghendaki dan mengangkatnya menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat Al-Baqarah:30 Artinya:

Lebih terperinci

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 0151/Pdt.G/2014/PA.Mlg

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 0151/Pdt.G/2014/PA.Mlg BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 0151/Pdt.G/2014/PA.Mlg A. Deskripsi Perkara Kasus yang diteliti penulis kali ini merupakan perkara cerai gugat yang di dalamnya disertai gugatan hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Penarikan Kembali Hibah Oleh Ahli Waris Di Desa Sumokembangsri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NOMOR : 3051/ PDT.G/ 2011/ PA. SBY TENTANG H{AD{A>NAH DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NOMOR : 3051/ PDT.G/ 2011/ PA. SBY TENTANG H{AD{A>NAH DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA 66 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NOMOR : 3051/ PDT.G/ 2011/ PA. SBY TENTANG H{AD{A>NAH DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis terhadap Putusan Hakim Nomor : 3051/ Pdt.G/ 2011/ PA.Sby

Lebih terperinci

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hamba- Nya melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya. Secara umum anak adalah seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian

BAB I PENDAHULUAN. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang : Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN A. Analisis terhadap ketentuan mengenai batasan usia anak di bawah umur 1. Menurut Hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor :./Pdt.G/2010/PA Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor :./Pdt.G/2010/PA Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor :./Pdt.G/2010/PA Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA -------Pengadilan Agama Poso yang mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. 1 Dalam Pasal 38 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian dalam istilah ahli Fiqih disebut talak atau furqah. Adapun

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian dalam istilah ahli Fiqih disebut talak atau furqah. Adapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perceraian dalam istilah ahli Fiqih disebut talak atau furqah. Adapun arti dari pada talak adalah membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah artinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 0012/Pdt.G/2015/PTA.Pdg adalah sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. 0012/Pdt.G/2015/PTA.Pdg adalah sebagai berikut: 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Beberapa faktor penyebab sengketa pengasuhan anak dalam perkara Nomor 0012/Pdt.G/2015/PTA.Pdg adalah sebagai berikut: - Penggugat dan Tergugat sama-sama merasa berhak mengasuh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SUMENEP TENTANG PENENTUAN TEMPAT TINGGAL BERSAMA OLEH ORANG TUA SEBAGAI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SUMENEP TENTANG PENENTUAN TEMPAT TINGGAL BERSAMA OLEH ORANG TUA SEBAGAI 61 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA SUMENEP TENTANG PENENTUAN TEMPAT TINGGAL BERSAMA OLEH ORANG TUA SEBAGAI PENYEBAB PERCERAIAN A. Analisis Tentang Penentuan Tempat Tinggal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

SALINAN PUTUSAN Nomor XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm

SALINAN PUTUSAN Nomor XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm SALINAN PUTUSAN Nomor XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Syariat Islam telah menjadikan pernikahan menjadi salah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 0804/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 0804/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0804/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA DEMAK NO. 619/PDT.G/2003/PA.DMK TENTANG PENOLAKAN MAJELIS HAKIM TERHADAP NAFKAH ANAK (HADHANAH)

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA DEMAK NO. 619/PDT.G/2003/PA.DMK TENTANG PENOLAKAN MAJELIS HAKIM TERHADAP NAFKAH ANAK (HADHANAH) BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA DEMAK NO. 619/PDT.G/2003/PA.DMK TENTANG PENOLAKAN MAJELIS HAKIM TERHADAP NAFKAH ANAK (HADHANAH) A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak No. 619/ Pdt. G/ 2003/ PA. Dmk Tentang

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang

BAB V PEMBAHASAN. penelitian, maka dalam bab ini akan membahas satu persatu fokus penelitian yang BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menghubungkan antara kajian pustaka dengan temuan yang ada di lapangan. Terkadang apa yang ada di dalam kajian pustaka dengan kenyataan yang ada di lapangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. - Putusan perkara perdata Nomor : 216/Pdt.G/1996?PA.YK. Pengadilan Agama Yogyakarta adalah:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. - Putusan perkara perdata Nomor : 216/Pdt.G/1996?PA.YK. Pengadilan Agama Yogyakarta adalah: 59 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian Berikut ini adalah kasus mengenai pembatalan perkawinan akibat perkawinan sedarah (Incest) : - Putusan perkara perdata Nomor : 216/Pdt.G/1996?PA.YK

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Analisis Pandangan Hukum Islam Dan Imam Madzhab Terhadap Perkawinan Bagi Penderita Impotensi Dalam sebuah perkawinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perkawinan yang di lakukan oleh manusia bukanlah persoalan nafsu belaka, namun langgeng dan harmonisnya sebuah rumah tangga sangatlah di tentukan oleh sejauh mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci