Daftar Isi. Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan Yadi Mulyadi dkk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Daftar Isi. Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan Yadi Mulyadi dkk"

Transkripsi

1

2 Daftar Isi Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Dewi Susanti 3-14 Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan Yadi Mulyadi dkk Foto sampul depan: Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D) Lukisan Cadas Pada Gua di Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Kalimantan Timur ISSN : Pelindung : Dr. Hilmar Farid Direktur Jenderal Kebudayaan Pengarah : Dr. Harry Widianto Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Penanggung Jawab : Drs. Marsis Sutopo, M.Si Kepala Balai Konservasi Borobudur Pemimpin Redaksi : Yudi Suhartono, MA Redaksi : Iskandar Mulia Siregar, S.Si Wiwit Kasiyati, S.S., M.A Brahmantara, S.T Hari Setyawan, S.S Jati Kurniawan, S.S Mitra Bestari : Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si Prof. Dr. Inajati Adrisijanti Dr. Agi Ginanjar, S.S,. S.E,. M.Si Ir. Suprapto Siswosukarto, Ph.D Tata Letak : Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom Alamat Redaksi : Balai Konservasi Borobudur Jl. Badrawati Borobudur Magelang Jawa Tengah Telp. (0293) , Fax. (0293) balai@konservasiborobudur.org konservasiborobudur@yahoo.com Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D) Lukisan Cadas Pada Gua-Gua Prasejarah Di Indonesia (Studi Kasus : Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Kalimantan Timur) Brahmantara, ST Validasi Metode Penentuan Kalsium Pada Sampel Air Filter Layer Secara Automatik Titrasi Di Balai Konservasi Borobudur Yorfan Ruwindya dkk Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi Yustinus Suranto dkk Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus Fr. Dian Ekarini Permasalahan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah; Kinerja Program Pendukungan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman hingga September 2016 Yosua Adrian Pasaribu Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, konservasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran harap menyebutkan sumber referensi yang jelas. website : 1

3 SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR Penerbitan Jurnal Borobudur ini merupakan salah satu upaya untuk terus meningkatkan pelestarian cagar budaya di Indonesia. Berbagai artikel yang disajikan diharapkan dapat menjadi sumber rujukan dalam melaksanakan pelestarian. Edisi pertama tahun 2016 ini kembali menghadirkan tujuh judul kajian dengan berbagai topik yang berbeda. Upaya yang konsisten dalam menerbitkan jurnal ini dengan dua edisi per tahun, serta diikuti dengan semakin luasnya penulis yang berkontribusi. Salah satu yang positif dari jurnal edisi ini adalah semakin banyaknya penulis di luar institusi penerbit (Balai Konservasi Borobudur), yaitu lima dari penulis luar dan dua dari dalam institusi. Hal ini semakin membuktikan kualitas dan daya tarik Jurnal Borobudur sebagai sarana komunikasi ilmiah di kalangan pelestari cagar budaya. Pelestarian cagar budaya harus terus dilakukan karena umumnya cagar budaya berada dalam kondisi yang rentan bahkan juga ada yang terancam. Usaha pelestarian yang dilakukan harus tepat sasaran sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sasaran yang dimaksud adalah risiko yang dihadapi oleh cagar budaya. Sebagai artikel pembuka Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan oleh Dewi Susanti dilanjutkan dengan artikel berjudul Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep oleh Yadi Mulyadi, dkk, Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D) Lukisan Cadas Pada Gua-Gua Prasejarah Di Indonesia (Studi Kasus : Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Kalimantan Timur) oleh Brahmantara, Validasi Metode Penentuan Kalsium Pada Sampel Air Filter Layer Secara Automatik Titrasi di Balai Konservasi Borobudur oleh Yorfan Ruwindya dan Riyanto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasan Dan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi oleh Yustinus Suranto, dkk, Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus oleh Fr. Dian Ekarini dan terakhir adalah artikel Permasalahan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah; Kinerja Program Pendukungan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman hingga September 2016 oleh Yosua Adrian Pasaribu. Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan manfaat khususnya dalam pelestarian cagar budaya. Tim Redaksi 2

4 Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Dewi Susanti Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar . Abstrak : Upaya pelestarian yang selama ini dilakukan masih dominan dilakukan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat setempat. Masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang secara tidak sadar dapat merusak serta mengubah kondisi lingkungan asli kompleks gua tersebut, karena tidak adanya ikatan dan rasa memiliki terhadap sumberdaya arkeologis di lokasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat strategi pencegahan kerusakan gua gua prasejarah di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dengan melibatkan masyarakat sebagai salah satu bagian dari stakeholder, sehingga dapat mencegah dan mengatasi kerusakan yang terjadi selama ini. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menciptakan kelestarian gua-gua prasejarah dan lingkungannya yang beriringan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data yang meliputi studi pustaka, observasi, wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis data meliputi analisis faktor-faktor penyebab kerusakan dan kepentingan stakeholder. Tahapan terakhir adalah perumusan bentuk keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi. Berdasarkan perolehan data tentang apresiasi dan posisi, kepentingan dan keinginan masyarakat, maka dapat dirumuskan bentuk konservasi berbasis masyarakat yang mengedepankan masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa tingkat kerusakan yang terjadi pada kompleks Gua Prasejarah Belle disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor manusia yang terdiri dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh instansi pemerintah seperti pembuatan jalan setapak dan aktivitas juru pelihara, kegiatan peneliti, aktivitas masyarakat sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang meliputi penebangan pohon, pemanfaatan lahan dan gua, serta kebakaran lebih memiliki dampak negatif terhadap kelestarian gua-gua prasejarah di Bellae. Ancaman yang diprediksi akan terjadi yaitu penambangan gamping dan marmer. Kerusakan yang terjadi akibat aktivitas manusia ini menunjukkan belum adanya kepedulian masyarakat Bellae terhadap tinggalan arkeologis beserta lingkungannya. Selain itu, tingkat pemahaman masyarakat Bellae sangat minim, namun masyarakat Bellae memiliki keinginan untuk terlibat dalam upaya pelestarian yang dilakukan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Kata kunci: masyarakat, kerusakan, kompleks gua, lingkungan, konservasi ABSTRACT : So far, the conservation efforts has been predominantly carried out by the government without involving the local community. Meanwhile, society is one of the stakeholders who may cause damages and changes to the conditions of the original environment of the cave complex resulted from the absence of their bound and sense of belonging to the archaeological resources. The purpose of this study is to set up a prevention strategy for the Prehistoric Cave Complex of Bellae by involving the community as a part of the stakeholders. In addition, the results of this study are expected to create the sustainability of the prehistoric caves and the environment in association with the development and growth of the society. The data collection methods used in this research includes literature reviews, observation, interviews and Focus Group Discussion (FGD). Data analysis includes analysis of factors that cause damage and stakeholder interests. The final stage is the formulation of the form of community involvement in conservation activities. Based on the data acquired regarding appreciation and position, interests and desires of the community, a form of community-based conservation involving the public as stakeholders can be formed. The result shows that the damage occurs in Prehistoric Caves complex of Bellae caused by natural and human factors which consist of various activities undertaken by government agencies such as the built of pathway, activities conducted by maintainer, researchers, and communities who cut trees, the use of land and caves, and fires. Another threat is mining limestone and marble. Damage caused by human activities show the lack of awareness on archaeological site and their environment of people who live at sumounding areas of Ballae cave complex. In addition, their minimal level of understanding toward archaeological artefacts, yet they have a desire to get involved in conservation efforts undertaken in Bellae Prehistoric Caves Complex. Keywords: society, the damage, the cave site, environment, conservation 3

5 Susanti, Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan I. Pendahuluan A. Latar Belakang Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan salah satu kawasan yang penting dalam perspektif arkeologi karena memiliki keunikan tersendiri. Di kompleks Bellae tersebut terdapat 27 situs gua prasejarah yang tersebar di sepanjang lereng dan tebing bukit. Disamping itu, terdapat pula satu situs terbuka, yaitu Pelataran Je netaesa. Gua-gua yang terdapat di Kompleks Bellae memiliki jarak yang berdekatan, sehingga membentuk satu kawasan tersendiri. Selain itu, Kompleks Gua Prasejarah Bellae juga memiliki tinggalan arkeologis yang lengkap. Berbagai tinggalan arkeologis baik berupa artefak batu, sampah dapur, maupun lukisan dinding (rock art) masih banyak dijumpai. Temuan artefak batu seperti alat serpih dan bilah sebarannya hampir merata di semua gua yang ada di Kompleks Bellae, tetapi lancipan Maros (Maros point) hanya ditemukan di Leang Bubbuka dan Leang Kajuara, sedangkan mikrolit geometris hanya ditemukan di Leang Kajuara dan Leang Cammingkana. Lukisan dinding yang terdapat di Bellae berupa lukisan figuratif dan non-figuratif. Lukisan figuratif antara lain lukisan cap tangan yang berwarna merah dan gambar manusia yang berwarna hitam (Supriadi, 2008:5). Hingga saat ini, nuansa masyarakat tradisional masih tergambar di dalam kawasan ini. Karakteristik masyarakat petani masih dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini masih mendukung integrasi lingkungan alam kars dan kehidupan tradisional masyarakatnya. Hal tersebut dapat menjadi dukungan bagi sistem pengembangan Kawasan Cagar Budaya berwawasan pelestarian. Maka dari itu, diperlukan sebuah usaha untuk menjaga kelestariannya. Usaha yang dimaksud adalah konservasi yang berbasis masyarakat. Dalam usaha ini, masyarakat dilibatkan dan diberikan pengetahuan tentang cara mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan yang berakibat pada penurunan kualitas lukisan dan kerusakan lukisan sebagai akibat aktivitas manusia. Kekayaan yang dimiliki kawasan ini perlu dijaga kelestariannya. Di sisi lain, kawasan Bellae telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dan sebagai kawasan konservasi cagar alam. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa upaya pelestarian yang telah dilakukan, diharapkan kawasan ini akan tetap terjaga kelestariannya. Namun, kenyataannya sampai saat ini kondisi gua-gua prasejarah yang ada di kawasan ini terus mengalami kerusakan dan sebagian makin mengkhawatirkan. Contoh, terjadinya kerusakan pada bagian lapisan batuan dinding gua, pertumbuhan mikroorganisme pada bagian dinding gua dan lukisan dinding gua, serta terjadinya kerusakan lingkungan berupa penebangan pohon-pohon di sekitar gua, perluasan lahan pertanian, dan pemukiman akibat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Beranjak dari kondisi tersebut maka perlu adanya upaya konservasi. Upaya konservasi yang pada umumnya dilakukan oleh pemerintah, sebaiknya beralih menjadi konservasi yang berbasis masyarakat. Dengan strategi tersebut, kondisi kerusakan yang terjadi dan faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi menjaga kelestarian Cagar Budaya. Dalam pelaksanaannya, wawasan konservasi berbasis masyarakat perlu diperhatikan karena masyarakat merupakan subjek utama dan pengampu terdekat atau pemilik. Masyarakat sebagai pemilik Cagar Budaya perlu diberi dorongan untuk menjaga kelestarian Cagar Budaya. Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki kandungan nilai penting yang sangat tinggi, hingga menjadikan kawasan ini sebagai kebanggaan bangsa, masyarakat, serta berpotensi menjadi kebanggaan dunia (world heritage site). Pemanfaatan sumberdaya budaya yang ada pada kawasan ini dapat tetap terjaga dan terkendali sebaik-baiknya dengan pendekatan konservasi yang berbasis pada masyarakat. Pendekatan ini merupakan bentuk tanggung jawab moral masyarakat Sulawesi Selatan khususnya masyarakat Bellae, agar tetap menjaga warisan nenek moyang yang ada pada wilayah tempat tinggal mereka. Dengan demikian generasi-generasi berikutnya masih dapat menikmati kekayaan sumberdaya budaya yang ada di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil pemaparan di atas, muncul beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji yaitu. 1. Bagaimana kondisi kerusakan gua-gua prasejarah Bellae yang terjadi dari tahun ke tahun dan faktorfaktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut? 2. Bagaimana bentuk strategi konservasi berbasis masyarakat yang dapat dilakukan terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae? 4

6 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal 3-14 B. Metode Penelitian Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data dengan sebanyak-banyaknya yang terkait dengan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang sudah dilakukan, jenis kerusakan lukisan dan peran stakeholder. Stakeholder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu/ perorangan atau kelompok yang berkepentingan dengan pengelolaan dan pelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae, baik yang terkait secara langsung maupun yang tidak langsung. Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui empat cara yaitu studi pustaka, observasi, wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). Studi pustaka yang dimaksudkan adalah penelusuran dan mendapatkan data serta informasi dari berbagai sumber baik berupa laporan, buku, makalah, tesis, skripsi, dan artikel-artikel baik dari sumber internet maupun sumber lainnya ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Observasi atau pengamatan dilakukan dengan melakukan pengamatan pada Kawasan Gua-Gua Prasejarah Bellae, dan mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan keterancaman Kawasan dan Guaguanya. Pengamatan baik berupa aktivitas penduduk, pengujung, kondisi gua, dan lingkungannya. Obeservasi ini dilakukan dengan membuat catatan, memotret dan menentukan waktu serta tempat untuk pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD). Wawancara dilaksanakan untuk mendapatkan data yang belum terhimpun dalam pengamatan. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, cenderung tidak formal namun bersifat mendalam dan dapat dikembangkan oleh peneliti sendiri. Wawancara ini dilakukan terhadap masyarakat yang bermukim disekitar kawasan Bellae, pengunjung, dan instansi yang memiliki keterkaitan dan hubungan dengan lokasi dan masalah penelitian. Instansi yang dimaksud yaitu terdiri dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, Balai Arkeologi Makassar, Akademisi (arkeologi Universitas Hasanuddin), Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Dinas Kebudayaan dan Pariwsata Kabupaten Pangkep, Dinas Kehutanan Kabupaten Pangkep, kelompok pecinta alam (Edelweis), dan perangkat desa. Focus Group Discussion (FGD). FGD pada dasarnya merupakan satu alternatif yang penting dalam sebuah kajian yang bersifat kualitatif. Ada beberapa tujuan penting FGD yaitu (1) menyerap beberapa informasi (pengetahuan, pandangan, dan sikap/respon) dari sejumlah orang (yang menjadi partisipan) di suatu tempat, dalam suatu waktu, dan untuk suatu acara yang telah dirancang; (2) informasi itu diharapkan sangat bervariasi sehingga menjadi pengkayaan bagi para pengkaji, dan (3) di antara partisipan bukan saja bisa menyampaikan tetapi juga bisa mengkritisi pandangan, sikap, dan pengetahuan partisipan lain secara argumentatif. Data yang diperoleh dari hasil studi pustaka, observasi lapangan, wawancara dan FGD akan diolah dalam bentuk narasi dan tabel. Analisis Data Analisis data meliputi analisis faktor-faktor penyebab kerusakan dan kepentingan stakeholder. Pada analisis dilakukan identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, baik faktor alam maupun faktor manusia. Faktor alam mengacu pada hasil analisis klimatologi yang telah dilakukan, dan faktor manusia meliputi aktivitas para stakeholder. Stakeholder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu/ perorangan atau kelompok yang berkepentingan dengan pelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae, yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Dalam analisis stakeholder hal utama yang dilakukan adalah melakukan identifikasi beragam individu/ perorangan, kelompok, dan institusi yang terkait dengan kelestarian dan pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Stakeholder yang telah diindentifikasi kemudian diklasifikasi berdasarkan posisi, kepentingan, dan kebutuhannya. Stakeholder yang memiliki posisi, kepentingan, dan kebutuhan yang sama sebagai instansi yang memiliki wewenang terhadap pelestarian Kompleks Bellae yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN. BABUL), Dinas Kehutanan Kabupaten Panngkep, dan Pemerintah Setempat (Kelurahan). Stakeholder yang memiliki posisi, kepentingan, dan kebutuhan untuk pemanfaatan yaitu lembaga peneliti seperti Balai Arkeologi Makassar (BALAR) dan akademisi (Arkeologi UNHAS), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pangkep, Dinas Pertambangan Kabupaten Pangkep, Pecinta alam 5

7 Susanti, Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan (Edelweis), masyarakat lokal, dan pengunjung. Perumusan Bentuk konservasi yang Berbasis Masyarakat Tahapan terakhir adalah perumusan bentuk keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi. Berdasarkan perolehan data tentang apresiasi dan posisi, kepentingan dan keinginan masyarakat, maka dapat dirumuskan bentuk konservasi berbasis masyarakat yang mengedepankan masyarakat sebagai pemangku kepentingan. II. Pembahasan A. Kondisi Kerusakan Faktor Alam Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, baik melalui pengamatan langsung maupun studi pustaka diketahui bahwa kerusakan yang terjadi pada gua-gua prasejarah di Kompleks Bellae dari waktu ke waktu semakin parah. Berdasarkan data mengenai iklim makro yang terjadi di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, diketahui bahwa lama penyinaran matahari pada bulan Januari hingga bulan September mengalami peningkatan, sedangkan pada bulan Oktober sampai Desember mengalami penurunan. Diketahui bahwa lama penyinaran matahari di lingkungan Situs Minasatene terendah terjadi pada bulan Desember dan Januari. Temperatur udara juga mengalami peningkatan pada siang hari dan turun secara drastis pada malam hari. Fluktuasi suhu tersebut mengakibatkan tingkat kelembaban yang terjadi di Kompleks Gua Prasejarah Bellae semakin tinggi yaitu rata-rata berkisar antara %. Tingkat kelembaban tersebut dengan mudah memicu pertumbuhan mikroorganisme yang terjadi dalam gua-gua prasejarah. Air yang terdapat di dalam dan di sekitar lingkungan gua merupakan salah satu penyebab terjadinya kelembaban dalam gua, sehingga dengan mudah dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme seperti algae dan moss. Pertumbuhan mikroorganisme ini akan mempercepat terjadinya pelapukan pada bagian lapisan batuan dan lukisan. Pada musim kemarau algae dan moss akan kering, hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan pengelupasan. Contoh kasus kerusakan yang terjadi pada guagua prasejarah yaitu dapat kita temukan pada Leang Lompoa. Pada tahun 2007 lukisan cap tangan masih nampak jelas dan masih teridentifikasi, namun bagian lapisan batuan sudah mengalami pengelupasan dan penggaraman. Pengelupasan lapisan batuan nampak pada bagian atas lukisan cap tangan dan di sekitar lukisan tersebut terdapat juga aliran air yang memicu terjadinya pengelupasan dan penggaraman permukaan lapisan batuan. Namun demikian kerusakan lukisan tersebut dibiarkan tanpa ada upaya apapun. Pada tahun 2015 tampak bahwa lukisan tersebut hampir semuanya tertutup algae. Permasalahan tersebut apabila dibiarkan tanpa ada upaya apapun dapat menyebabkan hilangnya lukisan cap tangan, karena lama kelamaan akan terjadi pengelupasan akibat mengeringnya algae yang menutupi lukisan tersebut. Kondisi lukisan manusia di Leang Lompoa juga sangat parah. Di tahun 2007 kondisi tiga lukisan manusia yang ada di gua tersebut masih nampak jelas demikian pula lapisan dinding gua yang memiliki lukisan belum mengalami pengelupasan yang parah. Pada tahun 2015 lukisan tersebut hanya tersisa satu dan sudah tidak utuh, sedangkan dua lukisan lainnya sudah terkelupas dan hilang. Batuan dinding juga nampak parah karena hampir semua batuan dinding mengalami pengelupasan. Faktor Manusia Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerusakan gua dan lingkungan di Kompleks Gua-Gua Prasejarah Bellae, tidak hanya terjadi akibat kondisi alam tetapi juga disebabkan oleh faktor manusia. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa ada beberapa pihak (stakeholder) yang memiliki kepentingan terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Aktivitas stakeholder pada Kompleks Gua Prasejarah Bellae secara tidak sadar banyak memberikan dampak yang negatif terhadap tinggalan sumberdaya arkeologi dan lingkungannya. Untuk memperjelas mengenai kepentingan dan dampak yang ditimbulkan oleh stakeholder, maka akan diuraikan sebagai berikut. 1 Instansi Pemerintah (Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar) Pembuatan Jalan Setapak Tujuan BPCB Makassar dalam membuat fasilitas seperti jalan setapak di sekitar gua-gua adalah agar dapat memudahkan akses menuju gua tersebut. Pembuatan pagar dimaksudkan agar dapat mencegah terjadinya perusakan terhadap tinggalan-tinggalan 6

8 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal 3-14 yang ada di dalam gua. Namun demikian secara tidak sadar dengan pembuatan fasilitas jalan setapak tersebut, pihak BPCB Makassar telah melakukan perusakan baik terhadap temuan permukaan situs maupun terhadap lingkungan situs itu sendiri. Aktivitas Juru Pelihara Kontribusi yang diberikan oleh juru pelihara situs dalam penurunan kualitas tinggalan arkeologi yang ada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah dari cara-cara mereka membersihkan lingkungan. Pada umumnya cara yang dilakukan oleh juru pelihara dalam menjaga kebersihan lingkungan situs dan lantai gua yaitu dengan cara menyapu menggunakan sapu lidi. Tanpa disadari bahwa cara yang dilakukan oleh juru pelihara tersebut justru mengakibatkan terjadinya pergeseran temuan permukaan dan bahkan kadang ada yang hilang. 2. Kegiatan Peneliti Komunitas peneliti juga tidak sedikit kontribusinya dalam menurunkan kualitas tinggalan arkeologi yang terakumulasi di dalam situs. Peneliti biasanya melakukan ekskavasi pada lantai gua dan halaman gua serta seringkali juga mengambil sampel temuan untuk kepentingan analisis dan untuk kepentingan lainnya. Aktivitas peneliti ini tanpa disadari telah mengakibatkan terjadinya penyusutan pada lantai, halaman gua dan temuan. Catatan mengenai temuan yang diambil sebagai sampel analisis laboratorium masih kurang, tidak menginformasikan dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada kompleks gua tersebut. 3. Masyarakat Sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pangkep dan data dari Kelurahan, diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae sebagian besar hanya tamat sekolah dasar (SD). Adapun mata pencahariannya pada umumnya adalah petani. Masyarakat Bellae yang memiliki pendidikan SMP dan SMU hanya sedikit sedangkan masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi dapat dihitung jari atau tergolong sangat sedikit. Tingkat pendidikan masyarakat ini sangat berdampak pada keberadaan sumberdaya arkeologi yang ada di kompleks gua tersebut. Pengetahuan masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi hanya pada keberadaan gua dan lukisan yang ada dalam gua, sehingga beberapa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat tanpa disadari dapat menyebabkan terjadinya kerusakan baik pada gua maupun lingkungan sekitar gua itu sendiri. Aktivitas yang dilakukan masyarakat di sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah penebangan pohon, pemanfaatan lahan dan gua, dan pembakaran lahan. 4. Pengunjung Selama ini Kompleks Gua Prasejarah Bellae telah menjadi salah satu tujuan wisata di Sulawesi Selatan. Tujuan pengunjung yang datang pada kompleks ini ada dua hal, yaitu melakukan wisata budaya, dan wisata terapi ikan. Meningkatnya jumlah pengunjung yang datang pada kompleks ini selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumberdaya arkeologis yang ada di kawasan Bellae. Dampak negatif dari aktivitas pengunjung antara lain berupa vandalisme yaitu adanya coretan dan tulisan pada bagian dinding gua bahkan seringkali dilakukan pada lukisan dinding gua. Salah satu akibat aktivitas pengunjung dapat kita lihat di Leang Kassi. Leang Kassi ini dipilih karena dianggap mewakili lokasi gua sangat dekat dari jalan raya (akses jalan menuju Bellae). Selain itu, gua ini juga sering sekali dijadikan objek wisata dan tingkat kunjungan sangat tinggi terutama pada hari-hari libur atau pada saat sore hari. Tingkat keramaian pengunjung pada leang ini disebabkan karena di lingkungan Leang Kassi terdapat kolam penampungan air PDAM. Kolam ini dimanfaatkan oleh pengunjung dan masyarakat sebagai kolam renang. Di sisi lain, juga diketahui bahwa area di sekitar Leang Kassi ini dimanfaatkan sebagai lahan peternakan bebek. Padatnya tingkat kunjungan pada leang ini dan semakin banyaknya pemanfaatan yang dilakukan di sekitarnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan dampak 7

9 Susanti, Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan pada Leang Kassi. Tingkat kerusakan yang terjadi pada leang ini dari tahun ke tahun semakin parah dan mengkhawatirkan. Pada tahun 2014 lukisan dinding gua di Leang Kassi, belum mengalami kerusakan berupa coretan yang dilakukan oleh pengunjung. Pada tahun 2015 lukisan tersebut telah mengalami kerusakan akibat ulah pengunjung. 5. Penambangan Gamping dan Marmer Penambangan gamping dan marmer ini diprediksi kedepannya akan menjadi penyebab terjadinya kerusakan di sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Hal ini mengingat bahwa di sekitar kawasan cagar budaya Maros-Pangkep terdapat aktivitas penambangan baik yang bersifat perorangan maupun perusahaan. Penambangan perorangan terutama dilakukan masyarakat setempat untuk mencari kotoran kelelawar dan burung di gua-gua untuk dijadikan pupuk. Namun, penambangan ini sudah jarang dilakukan lagi. Penambangan oleh perusahaan besar, terutama untuk mendapatkan batu marmer atau bahan pembuatan semen, intensitasnya cukup besar, sehingga kerusakan yang ditimbulkan terhadap lingkungan juga besar. Selain kehilangan bukit-bukit gamping, proses penambangan dengan ledakan juga berpotensi merusak gua-gua dalam radius sekitar 300 m, karena getarannya. Dampak lain dari aktivitas ini adalah debu yang dapat tersebar luas di lingkungan tempat penambangan termasuk di situs-situs gua. Polusi debu berpotensi memberikan dampak negatif secara langsung dan tidak langsung terhadap sumberdaya arkeologi dan lingkungan sekitar di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Untuk tetap menjaga kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae, perlu adanya kebijakan dan pelestarian sumberdaya arkeologi. Kebijakan dan pelestarian tidak lagi harus dilihat dari perspektif arkeologi semata, tetapi dari berbagai perspektif pihak-pihak yang berkepentingan yang meliputi masyarakat Bellae, BPCB Makassar, Lembaga peneliti (BALAR Makassar dan akademisi), TN. Babul, Dinas Kehutanan Kab. Pangkep, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Pangkep, Dinas Pertambangan Kab. Pangkep, pemerintah setempat, pecinta alam dan pengunjung. Hal ini, dilakukan untuk mengetahui keinginan dari berbagai pihak (stakeholder) terhadap sumberdaya arkeologi, serta untuk mengurangi potensi munculnya konflik kepentingan. Di sisi lain, hal ini dilakukan untuk mewujudkan pelestarian sumberdaya arkeologi yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak terkait dan paling utama adalah melibatkan masyarakat setempat. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang arkeologi, diketahui bahwa untuk menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi masyarakat setempat harus dilibatkan. Tujuan pelibatan masyarakat tersebut yaitu agar masyarakat dapat memahami dan terlibat secara langsung dalam upaya menjaga kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan di atas, tentang banyaknya stakeholder yang memiliki kepentingan dan kebutuhan terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka perlu dilakukan analisis untuk menentukan posisi, kepentingan serta kebutuhan setiap stakeholder terhadap Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis ini, maka salah satu alat bantu yang digunakan adalah analisis bawang bombay. Analisis ini merupakan sebuah cara untuk menganalisis perbedaan kepentingan dan kebutuhan dari pihakpihak stakeholder. Dalam permasalahan yang terjadi di Kompleks Gua Prasejarah Bellae diketahui bahwa ada beberapa kelompok stakeholder yang terdiri dari pelestari, peneliti, dan pihak pemanfaat. Stakeholder yang terdiri dari pihak pelestari memiliki kepentingan untuk menjaga kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pihak peneliti memiliki kepentingan untuk tetap melakukan penelitian pada Kompleks Gua Prasejarah Bellae untuk memajukan ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pihak pemanfaat memiliki kepentingan untuk pemanfaatan lahan-lahan di sekitar Kompeks Gua Prasejarah Bellae yang dapat meningkatkan PAD. Berikut adalah hasil analisis bawang bombay dalam bentuk matriks Berdasarkan pada analisis stakeholder, maka perlu disusun sebuah konsep yang dapat mencakup semua kepentingan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi konflik yang mungkin terjadi di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Oleh karena itu, pihak pemerintah 8

10 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal 3-14 Pemanfaat (PAD) 1. Disbudpar Kab. Pangkep 2. Dinas Pertambangan Kab. Pangkep 3. Pemerintah setempat (Kelurahan) 4. Masyarakat Bellae 1. Menjadikan Kompleks Bellae sebagai daerah tujuan wisata 2. Memberikan izin kepada pihak penambang 3. Sebagai ruang untuk beraktivitas POSISI KEPENTINGAN KEBUTUHAN Pelestari 1. BPCB Makassar 2. TN. BABUL 3. Dinas Kehutanan Kab. Pangkep Menjaga Kelestarian Tinggalan Cagar Budaya dan lingkungan Kompleks Bellae Identitas Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan Peningkatan PAD Pelindungan, pelestarian dan pengelolaan Sumberdaya Arkeologi dan lingkungannya Gambar. Alat Bantu Analisis Bawang Bombay Antara Pihak Pelestari dengan Pemanfaat (PAD) Pemanfaat (Kepuasan) 1. Pecinta Alam (Edelweis) 2. Pengunjung POSISI Peneliti 1. Balai Arkeologi Makassar (BALAR) 2. Akademisi (Arkeologi UNHAS) Tersedianya ruang untuk kegiatan kepencinta alaman, memanfaatkan ruang dan untuk tempat menikmati keindahan alam dan budaya KEPENTINGAN KEBUTUHAN Melakukan penelitian Lahan melakukan aktivitas untuk peningkatan ekonomi dan kepuasan batin Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan kepuasan intelektual Gambar. Alat Bantu Analisis Bawang Bombay 9

11 Susanti, Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki wewenang tertinggi, dalam hal ini pihak pengelola BPCB Makassar dan pihak TN. BABUL perlu melalukan sosialisasi dan koordinasi kepada masyarakat. Koordinasi tersebut menyangkut pentingnya menjaga kelestarian tinggalan gua-gua prasejarah dan lingkungannya serta membuat solusi untuk mengalihkan aktivitas masyarakat dari memanfaatkan gua dan memanfaatkan lingkunganya ke kegiatan yang dapat mendukung peruntukan pelestarian tinggalan arekologis beserta lingkungannya. Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan daerah yang rawan kerusakan. Kerusakan dapat terjadi akibat perubahan alamiah atau disebabkan oleh ulah manusia baik disadari maupun tidak. Kerusakan kawasan dalam skala besar dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang akan merugikan masyarakat dalam jangka panjang. Kompleks Gua Prasejarah Bellae merupakan kawasan yang memiliki cukup banyak kekayaan baik berupa kekayaan budaya maupun kekayaan alam. Kompleks Gua Prasejarah Bellae saat ini, mengalami ancaman kerusakan sehingga perlu dikonservasi secara terukur dan terpadu. Keterpaduan upaya konservasi ini perlu melibatkan peran serta masyarakat di sekitar kompleks Bellae karena merekalah pemangku utama dari kelestarian sumberdaya arkeologi dan sumber daya alam. Selain itu, upaya yang akan dilakukan ini juga akan memberikan manfaat baik secara sosial maupun ekonomi. Melalui tulisan ini, maka akan dicoba membuat sebuah upaya konservasi dalam penanganan kerusakan yang terjadi selama ini di Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan strategi pelibatan masyarakat dalam menjaga kelestariannya B. Strategi Konservasi Kompleks Gua Prasejarah Bellae Strategi konservasi yang akan dilakukan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah konservasi yang berbasis masyarakat. Menurut Tanudirjo (2005) masyarakat adalah elemen utama yang berperan dalam upaya pelaksanaan konservasi, karena masyarakat itu sendiri yang dapat memberikan arti dan nilai terhadap sumberdaya arkeologi yang ada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Pandangan masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi bervariasi, ada yang beranggapan sebagai sarana hiburan dan rekreasi, pelampiasan hobby, atau ada juga yang beranggapan sebagai bagian dari industri pariwisata yang dapat menghasilkan uang dan memberikan manfaat secara ekonomi pada masyarakat setempat (Tanudirdjo, 2005: 1). Hasil wawancara dan FGD (Focus Group Discussion) yang telah dilakukan kepada masyarakat setempat diperoleh informasi bahwa selama ini Kompleks Gua Prasejarah Bellae hanya dijadikan sebagai tempat untuk rekreasi dan pelampiasan hobby, bukan sebagai kawasan wisata yang dapat menjadi sumber pendapatan dan menyejahterakan masyarakat Bellae. Melalui penelitian ini mencoba membuat strategi konservasi Kompleks Gua Prasejarah Bellae yang berbasis masyarakat. Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua kelompok stakeholder yang memiliki kepentingan pada Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan yang utama adalah melibatkan masyarakat Bellae dalam menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi dan lingkungannya. Dengan pelibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan manfaat dan secara tidak langsung masyarakat akan memiliki ikatan emosional dengan tinggalan sumberdaya arkeologi tersebut. Hal utama yang harus dilakukan sebelum perumusan strategi konservasi berbasis masyarakat adalah penanganan konflik yang selama ini terjadi pada Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Konflik yang terjadi pada kompleks gua tersebut menimbulkan dampak yang negatif terhadap tinggalan sumberdaya arkeologi yang ada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Berikut akan diuraikan mengenai penangan konflik, antisipasi faktor penyebab kerusakan dan pelibatan masyarakat dalam menjaga kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae serta bagaimana cara agar dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat Bellae. Mengatasi Konflik Berdasarkan hasil analisis konflik, diketahui bahwa konservasi Kompleks Gua Prasejarah Bellae dapat memberikan manfaat jika sistem penanganan kerusakan sumberdaya arkeologi dan lingkungannya dapat dilaksanakan secara kolaboratif. Dalam konteks cagar budaya, pelestarian dimaknai sebagai upaya pengelolaan sumber daya budaya yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta menjamin 10

12 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal 3-14 kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pada hakikatnya pelestarian cagar budaya merupakan kegiatan berkesinambungan (sustainable activity) yang dilakukan secara terus menerus dengan perencanaan yang matang dan sistematis, sehingga pemanfaatannya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang merupakan pemilik syah cagar budaya. Pelestarian cagar budaya tidak hanya terkait dengan objek cagar budayanya saja, tetapi juga meliputi aspek-aspek lain baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan kenyataan bahwa cagar budaya tidaklah berdiri sendiri. Dalam kajian arkeologis, jelas terlihat bahwa setiap cagar budaya terikat dengan konteksnya baik, lingkungan maupun budaya secara umum. Oleh karena itu, pelestarian cagar budaya harus mencakup pelestarian konteks cagar budaya itu sendiri termasuk lingkungan. Secara global, gagasan ini pun telah diterapkan oleh sebagian besar negara, bahkan UNESCO dalam hal ini merumuskannya dalam konsep Natural Heritage Landscape, dimana cagar budaya merupakan satu kesatuan dengan bentang alam dan bentang budaya. Hal ini berarti, pelestarian cagar budaya tidak dapat lagi dilepaskan dari pelestarian lingkungan atau alam. Upaya pelestarian dapat dilaksanakan dalam tiga kegiatan utama yaitu perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Perlindungan dimaksudkan untuk mencegah agar cagar budaya tidak mengalami kerusakan dan kehancuran. Pengembangan dapat diartikan sebagai upaya untuk menjaga kualitas penampilan cagar budaya agar dapat difungsikan terus seperti fungsi semula atau untuk fungsi lain yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pemanfaatan, memberikan kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, maupun kebudayaan di masa kini dan mendatang. Dalam konteks penanganan kerusakan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, peran serta masyarakat harus diakomodasikan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Pada tahap awal proses observasi, perencanaan yang meliputi persiapan, perumusan konsep dan sampai pada rekomendasi sebaiknya secara intens melibatkan masyarakat. Upaya Penangan Kerusakan 1. Penanganan Lingkungan Dalam rangkan melakuka penanganan iklim makro, usaha yang dapat dilakukan adalah pihak BPCB Makassar dan TN. BABUL selaku instansi pemerintah adalah melakukan kerjasama dengan pihak BMKG setempat agar dapat didukung dengan peralatan untuk pembuatan stasiun klimatologi mini. Sehingga selanjutnya pihak pengelola dapat melakukan sosialisasi mengenai stasiun klimatologi yang dibuat pada kompleks gua tersebut. Untuk mencegah terjadinya kapilarisasi dan mengurangi tingkat penyinaran matahari pada dinding gua maka perlu dilakukan penanganan lingkungan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah pengalihan aliran air. Sehingga air yang mengalir kearah lukisan dapat dialihkan kearah lain yang tidak memiliki lukisan, mengingat aliran air akan mempercepat terjadinya pengelupasan dinding gua dan pertumbuhan mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya pelapukan yang terus menerus terjadi pada bagian mulut gua yang cenderung terbuka akibat penyinaran matahari, maka perlu dilakukan upaya penanaman pohon di sekitar gua-gua. Jenis pohon yang akan ditanam harus jenis tanaman endemik dan sesuai dengan kondisi lingkungan serta sesuai dengan prinsip konservasi lingkungan. Untuk mewujudkan upaya tersebut maka pihak BPCB Makassar dan TN. BABUL melakukan koordinasi dengan stakeholder lain seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kab. Pangkep, Dinas Kehutanan kab. Pangkep, Pencinta Alam, Akademis, Juru Pelihara dan Masyarakat setempat dengan tujuan agar pada saat pelaksanaan konservasi lingkungan ini semua stakeholder dapat terlibat dan melaksanakan secara bersama-sama. 2. Masyarakat Di Sekitar Kompleks Bellae Pemanfaatan oleh masyarakat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemanfaatan lahan dan gua. Pemanfaatan yang dilakukan masyarakat Bellae hingga saat ini masih dapat kita temukan, hal tersebut diakibatkan karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang pelestarian gua-gua prasejarah dan lingkungannya. Selain itu, karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat dan tidak adanya upaya pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak akademisi. 11

13 Susanti, Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Mengingat bahwa akar permasalahan dari kerusakan gua-gua di kompleks Bellae karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan gua-gua prasejarah dan lingkungannya. Berdasarkan dari hasil pengamatan di lapangan maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan/pemahaman masyarakat yaitu pendidikan lingkungan, penanaman etika lingkungan, dan pembiasaan perilaku yang ramah lingkungan. 3. Pelibatan masyarakat Penanganan faktor penyebab terjadinya kerusakan tidak akan mencapai hasil yang maksimal, apabila tidak melibatkan masyarakat setempat. Pelibatan masyarakat dalam bentuk upaya konservasi akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya, baik secara politik maupun ekonomi. Masyarakat Bellae menjadi lebih berdaya, sehingga memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melestarikan gua-gua prasejarah beserta lingkungannya, memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, serta dapat memberikan akses kepada masyarakat untuk mencari nafkah. Untuk mendukung keberhasilan konservasi yang berbasis masyarakat dalam usaha penanganan kerusakan gua-gua prasejarah dan lingkungannya, diperlukan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan keahlian. Maka dari itu, masyarakat diberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keberdayaan masyarakat. Contoh pelatihan yang dilakukan adalah manajemen organisasi, pembuatan souvenir, pengolahan makanan tradisional dan pengemasannya. Hal yang paling utama adalah membangun masayarakat yang sadar lingkungan sehingga pengetahuan masyarakat tentang penyebab terjadinya kerusakan dan jenis-jenis kerusakan gua, lukisan dinding gua dan lingkungannya sudah dipahami dan diketahui, sehingga dengan melihat kondisi kerusakan yang terjadi masyarakat sudah mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam penanganan kerusakan gua-gua prasejarah dan lingkungannya, maka perlu dilakukan pendekatan pengembangan masyarakat. Keberhasilan kegiatan pengembangan suatu wilayah sangat tergantung pada dukungan komunitas disekitarnya, yang karakter secara fisik sosial budaya merupakan sumberdaya utama. Maka pelestarian lingkungan fisik ini perlu memandang masyarakat lokal sebagai sumberdaya yang dinamis yaitu sebagai subjek dan bukan sekedar objek. Pendekatan ini perlu ditempuh karena masyarakat Bellae adalah orangorang yang paling tahu kondisi sosial budaya setempat. Setiap kegiatan yang dilakukan harus memperhitungkan keinginan masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Oleh karena itu, setiap langkah keputusan perencanaan harus mencerminkan masyarakat lokal yang secara aktif ikut terlibat didalamnya. Dengan melibatkan masyarakat dari awal maka akan lebih menjamin kesesuaian program pengembangan dengan aspirasi masyarakat setempat, kesesuaian dengan kapasitas yang ada, serta menjamin adanya komitmen masyarakat karena adanya rasa memiliki yang kuat. Dalam melakukan pengembangan masyarakat setempat, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan yaitu memajukan tingkat hidup masyarakat sekaligus melestarikan identitas budaya dan tradisi lokal, meningkatkan tingkat pendapatan secara ekonomis sekaligus mendistribusikan merata pada masyarakat lokal, berorientasi pada pengembangan usaha berskala kecil dan menengah dengan daya serap tenaga besar dan berorientasi pada teknologi tepat guna, mengembangkan semangat kompetisi sekaligus kooperatif, dan memanfaatkan pariwisata seoptimal mungkin dengan dampak seminimal mungkin. Merujuk penjelasan di atas mengenai konservasi berbasis masyarakat yang dilakukan di Kompleks Gua Prasejarah Bellae akan memberikan manfaat secara sosial ekonomi secara adil. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan konservasi ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan dinikmati oleh masyarakat Bellae. Manfaatnya yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan maupun tambahan penghasilan untuk mendukung kehidupan masyarakat setempat. Distribusi keuntungan dari hasil usaha yang dilakukan tidak hanya diterima oleh masyarakat yang terlibat langsung tapi juga diperoleh oleh seluruh masyarakat Bellae. Keuntungan yang diperoleh bagi masyarakat yang tidak terlibat secara langsung yaitu dengan adanya upaya pembangunan fasilitas seperti perbaikan masjid, perbaikan sarana dan prasarana serta pemberian bantuan terhadap warga yang mengalami musibah seperti sakit atau meninggal. Hasil usaha pelestarian gua-gua prasejarah dan lingkungannya 12

14 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal 3-14 yang dikelola oleh masyarakat akan terbagi secara adil, masing-masing pengurus, pekerja, dan seluruh warga menerima bagiannya sesuai dengan porsi dan peranannya dalam pelaksanaan konservasi gua-gua prasejarah dan lingkungannya. Kondisi tersebut sesuai dengan penjelasan Keller dalam Emilia (2013) bahwa pergeseran paradigma konservasi yang dilakukan oleh pemerintah bergeser menjadi konservasi berbasis masyarakat. Hal tersebut akan membantu masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan dan terlupakan menjadikan masyarakat memiliki peran dan memperoleh pendapatan dari usaha konservasi gua-gua prasejarah dan lingkungannya sehingga masyarakat dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan pelestarian, bukan hanya sebagai penonton sebagaimana pelestarian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Dalam melakukan usaha konservasi yang berbasis masyarakat di Kompleks Gua Prasejarah Bellae, maka fungsi dan aktivitas harus berjalan dengan baik, memanfaatkan aktivitas dan potensi yang sudah ada serta atas kesepakatan dengan masyarakat setempat. Untuk mewujudkan upaya tersebut maka ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pelaksanaan (Actuating), pengendalian, koordinasi dengan stakeholder, monitoring dan evaluasi, dan strategi keberlanjutan peran masyarakat. Berdasarkan pemaparan di atas, fungsi dan aktivitas konservasi yang melibatkan masyarakat untuk menjaga kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae tidak akan maksimal apabila semua keolompok stakeholder tidak bekerjasama dan tidak terlibat. Untuk memaksimalkan kegiatan tersebut, maka hal utama yang perlu dilakukan adalah penataan lingkungan, penataan pengunjung, dan penataan jalur kunjungan. Upaya ini dilakukan agar kondisi Kompleks Gua Prasejarah Bellae tetap terjaga kelestariannya dan masyarakat Bellae dapat terlibat dan mengawasi secara lansung. III. Penutup Kompleks Gua Prasejarah Bellae memiliki nilai penting yang sangat tinggi berupa nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai penting kebudayaan. Melihat pentingnya kompleks gua ini dalam kajian arkeologi, maka kompleks gua ini perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini seiring dengan berlakunya Undang- undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang memberikan arahan yang jelas dan mengakomodasi berbagai kepentingan tentang perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan situs cagar budaya untuk sebesarbesarnya kepada kesejahteraan rakyat. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Balai Konservasi Borobudur dan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, diketahui bahwa kondisi gua-gua prasejarah dan lingkungannya, saat ini telah mengalami tingkat kerusakan yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan kerusakan. Kerusakan gua-gua prasejarah pada umumnya disebabkan oleh faktor alam, sehingga mengakibatkan terjadinya pengelupasan pada bagian lapisan dinding gua, pertumbuhan algae, lichen dan moss. Pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya terjadi di bagian lapisan dinding batuan yang dilewati oleh aliran air. Selain faktor alam, kerusakan gua-gua dan lingkungannya juga disebabkan oleh aktivitas manusia seperti instansi pemerintah dalam hal ini BPCB Makassar yang membuat akses jalan menuju gua dan dalam zona inti secara permanen. Hal lain yang dilakukan adalah metode pembersihan lingkungan yang dilakukan oleh jupel yang menggunakan sapu lidi untuk membersihkan halaman gua, sedangkan disekitar halaman gua banyak ditemukan artefak. Komunitas peneliti juga tidak sedikit kontribusinya dalam menurunkan kualitas tinggalan arkeologi yang terakumulasi di dalam situs. Peneliti biasanya melakukan ekskavasi pada lantai gua dan halaman gua serta seringkali juga mengambil sampel temuan untuk kepentingan analisis dan untuk kepentingan lainnya. Aktivitas peneliti ini tanpa disadari telah mengakibatkan terjadinya penyusutan pada lantai, halaman gua dan temuan. Catatan mengenai temuan yang diambil sebagai sampel analisis laboratorium masih kurang, tidak menginformasikan dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada kompleks gua tersebut. Pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat berupa penebangan pohon disekitar lingkungan gua dan pemanfaatan lahan disekitar gua seperti berkebun dan sawah. Aktivitas yang dilakukan tersebut secara langsung dan tidak langsung memberikan dampak yang negatif terhadap tinggalan yang ada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Hal lain yang diprediksi dapat mengancam kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae adalah penambangan gamping dan marmer. 13

15 Susanti, Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan BPCB Makassar adalah Instansi pemerintah yang bertanggungjawab terhadap pelestarian dan peninggalan purbakala yang ada di Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Dalam usaha perlindungannya, beberapa kebijakan yang telah dilakukan antara lain pembuatan pagar, pengangkatan juru pelihara, studi kelayakan, pemetaan dan pengukuran, studi teknis, pemintakatan (zoning), deliniasi dan kajian sosial. Melalui usaha yang dilakukan oleh BPCB Makassar pada kawasan ini, diharapkan agar kawasan ini akan tetap terjaga kelestariannya. Namun kenyataannya sampai saat ini kondisi gua-gua prasejarah yang ada di kawasan ini terus mengalami kerusakan dan sebagian makin mengkhawatirkan. Upaya perlindungan belum berjalan dengan maksimal. Pembuatan pagar pengaman dan penempatan juru pelihara juga belum memberikan jaminan terhadap kelestarian situs gua-gua prasejarah. Melihat kondisi kerusakan yang terjadi pada gua-gua prasejarah dan lingkungannya, maka perlu dilakukan upaya konservasi. Konservasi yang dilakukan pada kompleks gua ini tidak dilakukan pada objek semata tetapi konservasi yang lebih fokus kepada masyarakat yang ada di sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae. Dalam melakukan konservasi yang berbasis masyarakat perlu ada sebuah konsep tentang bentuk upaya yang bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Konsep yang dibuat adalah dalam bentuk organisasi Desa. Organisasi ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan bagian penting (pemangku kepentingan). dalam pelestarian tinggalan arkeologi dan lingkungannya. Hasil akhir dari tulisan ini merupakan konsep dasar pelestarian dan rekomendasi agar strategi konservasi dalam menjaga kelestarian Kompleks Gua Prasejarah Bellae bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Konsep yang dihasilkan dalam penulisan ini tidak menutup kemungkinan suatu saat akan dievaluasi atau mengalami perubahan, sesuai dengan kebutuhan stakeholder. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi perubahan konsep harus tetap mengutamakan kepentingan masyarakat sekitar Kompleks Gua Prasejarah Bellae dan tetap melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan. DAFTAR PUSTAKA Anonim Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Balai Konservasi Sumber daya Alam Sulawesi Selatan I Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ( ). Makassar : Dipa Bagian Anggaran 69 Balai KSDA Sulawesi Selatan. Emilia, Fransisca Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat dalam Upaya Konservasi Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang). Tesis. Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Sumantri, Iwan Penerapan Kajian Pola Pemukiman Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan: Studi Kasus Biraeng. Dalam Iwan Sumantri (ed). Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, pp Makassar: Ininnawa. Supriadi PemanfaatanKompleks Gua Prasejarah Bellae, Sulawesi Selatan. Tesis.Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Tanudirjo, Daud Aris Peranan Masyarakat dalam Pelestarian Bangunan dan Kawasan Bersejarah. Makalah disampaikan dalam Penguatan Pelestarian Warisan Budaya dan Alam. Badan Pelestari Pusaka Indonesia 22 September Wibowo, Budi, dkk Pemberdayaan Lembaga Mukim dalam Pembangunan Daerah Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Badan PerencanaanPembangunan Daerah Kota Banda Aceh. Wibowo, Budi. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014: Hal Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis Masyarakat Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande Kecamatan Kutaraja Banda Aceh Provinsi Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya diakses tanggal pukul PM full/nature html 14

16 Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan Oleh: Yadi Mulyadi dkk. Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin sundabugis@gmail.com Abstract : Prehistoric cave paintings in the karst region Maros Pangkep is the remains of cultural heritage vulnerable to damage, either due to natural and cultural factors. Therefore, a review of the conditions of prehistoric cave paintings in the area is important to do in order to obtain accurate data related to the level of damage to the painting in each cave. Archaeological research methods combined with environmental and conservation approach, be a guide in this study. Archaeological research methods operationalized in the form of data collection, data processing and data interpretation. As for the environment and conservation approach applied in the observation of flora and fauna and landscapes of the region. The number of caves that became the object of study is 44 caves with details of 24 caves in Maros and 20 caves in Pangkep. Based on the study conducted, the condition of the cave paintings in the karst region Maros Pangkep vary from moderate to severe, and only five caves are in good condition. This refers to the level of damage and physical weathering (cracked, broken, worn out), biological weathering (the growth of algae, moss, lichen), chemical weathering (salting, cementation), which is also affected by natural and human factors. Therefore, to maintain the conditions of prehistoric cave paintings, necessary to have prehistoric cave conservation system that combines environmental conservation, archaeological conservation and resource management based on archaeological preservation. Keywords: prehistoric cave paintings, preservation, conservation. Abstrak : Lukisan gua prasejarah di kawasan karst Maros Pangkep merupakan cagar budaya yang rentan dengan kerusakan, baik karena faktor alam maupun budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai keterawatan lukisan gua prasejarah di kawasan ini penting untuk dilakukan guna memperoleh data yang akurat terkait tingkat kerusakan lukisan pada masing-masing gua. Metode penelitian arkeologi yang dipadukan dengan pendekatan lingkungan dan konservasi, menjadi panduan dalam kajian ini. Metode penelitian arkeologi dioperasionalkan dalam bentuk pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi data. Adapun pendekatan lingkungan dan konservasi diterapkan dalam observasi flora fauna dan bentang alam kawasan. Jumlah gua yang menjadi objek kajian yaitu 44 gua dengan rincian 24 gua di Maros dan 20 gua di Pangkep. Berdasarkan kajian yang dilakukan, tingkat keterawatan lukisan gua di kawasan karst Maros Pangkep ini bervariasi mulai dari sedang sampai parah, dan hanya lima gua yang kondisi keterawatan lukisan guanya bagus. Hal inimengacu pada tingkat kerusakan dan pelapukan fisik (retak, pecah, aus), pelapukan biologis (pertumbuhan algae, moss, lichen), pelapukan kimiawi (penggaraman, sementasi), yang juga dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor manusia.oleh karena itu untuk mempertahankan tingkat keterawatan lukisan gua prasejarah diperlukan sebuah sistem konservasi gua prasejarah yang memadukan antara konservasi lingkungan, konservasi arkeologis dan juga pengelolaan sumberdaya arkeologi yang berbasis pelestarian. Kata kunci: lukisan gua prasejarah, keterawatan, konservasi. Pendahuluan Kawasan Karst Maros-Pangkep secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Ciri khas dari kawasan karst ini yaitu bentuk karstnya yang berupa menara atau dalam istilah geologis disebut tower karst. Gugusan karstnya membentang dari Kabupaten Maros sampai Kabupaten Pangkep bahkan sampai Kabupaten Barru, sehingga disebut dengan nama kawasan karst Maros-Pangkep. Saat ini kawasan karst Maros-Pangkep sedang dalam proses penetapan menjadi kawasan warisan dunia oleh UNESCO. Umumnya kawasan ini dan kawasan karst lainnya secara ekonomi dikenal sebagai kawasan yang memiliki potensi bahan galian tambang untuk bahan bangunan, marmer dan bahan baku semen. Selain potensi tambang kawasan ini juga memiliki potensi ekonomi lain yang tidak kalah penting, yaitu nilai jasa lingkungan (environmental services) seperti sumberdaya air, keanekaragaman hayati, keunikan bentang alam, obyek wisata alam, dan potensi tinggalan sejarah dan 15

17 Mulyadi, Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan purbakala berupa situs gua prasejarah. Mengacu pada data tahun 2012, terdapat 126 gua prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep, 78 diantaranya memiliki tinggalan berupa lukisan gua prasejarah, dengan beragam bentuk dan jenis gambar. Keberadaan gua prasejarah tersebut yang menjadikan kawasan karst ini dikenal dengan kawasan gua prasejarah Maros-Pangkep, yang saat ini sementara dalam proses penetapan sebagai Kawasan Cagar Budaya Gua Prasejarah Maros-Pangkep. Ironisnya, keberadaan tinggalan purbakala di guagua prasejarah tersebut, khususnya yang berupa lukisan gua makin lama kondisinya makin mengkhawatirkan. Saat ini telah banyak lukisan gua praseajarah yang mengalami kerusakan, salah satunya karena letak gua-gua prasejarah yang berada di alam terbuka sangat rentan terpengaruh oleh faktor lingkungan/alam sekitarnya. Faktor cuaca dan iklim merupakan pengaruh yang dominan terhadap kerusakan dan pelapukan dinding gua dan lukisannya yang selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi keselamatan dan keberadaan lukisan tersebut. Disamping itu, pesatnya pembangunan industri tambang dan laju pertumbuhan penduduk disekitar kawasan Maros-Pangkep mengakibatkan rusaknya beberapa situs. Untuk menghidari hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian agar dapat dapat menganalisis dan memprediksi secara dini adanya pengaruh negatif yang dapat mengancam keselamatan dan kelestarian kawasan gua-gua prasejarah dan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, dilakukan kajian kondisi keterawatan kawasan gua-gua Maros-Pangkep yang meliputi observasi kerusakan dan pelapukan,observasi dampak lingkungan, observasi geohidrologi, dan observasi pamanfaatan dan pengamanan situs. Maksud dan Tujuan Kajian ini dimaksudkan untuk melakukan pengumpulan dan perekaman data mengenai kondisi keterawatan kawasan gua-gua prasejarah Maros-Pangkep. Adapun tujuan yang ingin dicapai yaitu: a. Mengetahui tingkat keterawatan gua-gua prasejarah meliputi kerusakan dan pelapukan fisik (retak, pecah, aus), pelapukan biologis (pertumbuhan algae, moss, lichen), pelapukan kimiawi (penggaraman, sementasi). Disamping itu, untuk mengetahui jumlah titik-titik kebocoran dinding gua di musim kemarau dan musim penghujan. b. Mengetahui kondisi mikro dan makro klimatologi, keanekaragaman flora dan fauna serta observasi untuk mengetahui kualitas udara di lingukungan. c. Mengetahui kondisi air di gua-gua prasejarah dan lingkungan sekitarnya terutama di musim kemarau dan musim hujan yang sangat berpengaruh terhadap kestabilan gua. Mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan pengamanan, sarana dan prasarana serta obeservasi pengunjung untuk mengetahui kualitas kunjungan, fasilitas sarana dan layanan. Metode Metode penelitian arkeologi yang dipadukan dengan pendekatan lingkungan dan konservasi, menjadi panduan dalam pelaksanaan kajian ini. Metode penelitian arkeologi dioperasionalkan dalam bentuk pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi data. Adapun pendekatan lingkungan dan konservasi diterapkan dalam observasi flora fauna dan bentang alam kawasan. Sedangkan pendekatan antropologis dilakukan dalam Bentang alam kawasan gua prasejarah Rammang-Rammang Maros, salah satu gugusan karst Maros Pangkep (Sumber: Yadi Mulyadi, 2012) 16

18 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal (Sumber: Hamrullah, 2012) bentuk wawancara terbuka dengan responden terpilih yang menjadi narasumber berdasarkan beberapa kriteria tertentu yang mengacu pada kebutuhan informasi untuk kepentingan kajian. Kriteria yang dimaksud meliputi, ketokohan, peran dan jabatan di masyarakat baik dalam konteks status sosial, budaya dan administratif pemerintahan. Pengumpulan data arkeologi diawali dengan penelusuran data pustaka berupa laporan penelitian terdahulu yang telah dilakukan di wilayah survey. Data pustaka tersebut meliputi laporan penelitian dari rentang waktu 2011 sampai 2013 yang telah dilakukan oleh BP3 Makassar (kini BPCB Makassar), penelitian oleh Balai Arkeologi Makassar dan yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin. Hasil penelusuran data pustaka tersebut menjadi data awal yang memandu tim survey dalam pelaksanaan pengumpulan data lapangan. Kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan dalam bentuk observasi, survei, pemetaan dan perekaman data baik secara deskriptif maupun visual. Observasi difokuskan dalam bentuk pengamatan objek arkeologi dan lingkungan di setiap gua prasejarah yang disurvei. Sedangkan survei dilakukan dalam bentuk survei permukaan, yaitu penelusuran data arkeologi secara horisontal yang memadukan teknik grid dan transet, sehingga setiap data arkeologi yang terdapat dipermukaan bisa terekam dengan baik. Adapun pemetaan dilakukan untuk memperoleh data yang terkait dengan peta dan denah situs serta keletakan dan sebaran tinggalan arkeologis. Sedangkan proses perekaman data visual dilakukan dengan menggunakan kamera SLR dan penggambaran secara manual, khususnya tinggalan berupa lukisan gua prasejarah. Proses perekaman data ini menjadi bagian penting dalam upaya penyelamatan data arkeologi secara dini. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tindakan preventif (save by record), mengingat sifat dari tinggalan arkeologi yang rapuh, jumlah yang terbatas dan langka. Profil Wilayah Penelitian Uraian pada bagian ini memaparkan gambaran umum kawasan karst Maros-Pangkep, yang merupakan wilayah penelitian pada kegiatan kajian keterawatan guagua prasejarah di Maros-Pangkep. Wilayah ini sendiri telah banyak dikaji oleh berbagai pihak, termasuk oleh 17

19 Mulyadi, Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar kini bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan. Berdasarkan penelusuran data pustaka, BPCB Makassar telah melakukan beberapa kegiatan di wilayah ini yang terkait dengan upaya pelestarian gua-gua prasejarah, diantaranya pemintakatan atau zonasi gua-gua prasejarah yang dilakukan pada tahun 2007 dan dilanjutkan di tahun 2012, kajian sosial budaya dan delineasi kawasan gua prasejarah Maros-Pangkep yang dilakukan tahun Oleh karena itu, data terkait dengan profil wilayah ini merujuk pada laporan-laporan tersebut, dan ditambah dengan data terbaru yang diperoleh di lapangan. Secara administratif, gua-gua prasejarah di kawasan karst Maros Pangkep ini masuk dalam dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Secara keseluruhan situs-situs gua prasejarah yang terdapat di kawasan karst Maros-Pangkep berjumlah 126 gua. Di Kabupaten Maros, terdapat 65 gua prasejarah yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Bontoa, Kecamatan Simbang dan Kecamatan Bantimurung. Sedangkan di Kabupaten Pangkep terdapat 61 gua prasejarah yang berada di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Balocci, Kecamatan Minasate ne, Kecamatan Bungoro, Kecamatan Labbakkang, dan Kecamatan Tondong Tallasa. Di Kabupaten Maros sebaran gua prasejarah terbanyak berada di Kecamatan Bantimurung yaitu sejumlah 47 gua atau 72%, kedua di Kecamatan Bontoa sebanyak 13 gua atau 20% dan ketiga di Kecamatan Simbang sebanyak 5 gua atu 8%. Di Kabupaten Pangkep, 33 gua atau 54% berada di Kecamatan Minasa Te ne, 13 gua atau 22% berada di Kecamatan Bungoro, dan di Kecamatan Labakkang sebanyak 8 gua atau 13%, serta di Kecamatan Tondong Talassa sebanyak 2 gua atau 3 % dari total keseluruhan gua prasejarah di Kabupaten Pangkep. Kawasan karst Maros Pangkep secara astronomis berada antara S4o o dan E119o o Secara areal geologi, kawasan ini termasuk dalam areal geologi regional Maros, Pangkep, dan Watampone yang secara umum terbagi atas dua baris pegunungan yang memanjang dengan arah utara-barat laut yang terpisahkan oleh lembah Sungai WalannaE. Pada lereng barat dan beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi karst (karst topography), yang menunjukkan adanya kandungan batu gamping. Tipe perbukitan di daerah ini merupakan topografi karst yang dicirikan oleh bentuk- bentuk bukit terjal, puncak bukit membulat, menara-menara karst, stalagtit dan stalagmit. Kawasan pegunungan gamping ini terdiri dari bukitbukit terjal dengan lubang-lubang hitam horizontal yang merupakan gua-gua sisi lereng dan gua-gua kaki cadas (clift foot cave). Lubang-lubang horizontal yang merupakan gua-gua tersebut terbentuk oleh proses-proses alam yang lazim terdapat pada kawasan gamping. Batuan dasar karst adalah batu gamping numulit eosen, berlapis tebal, lapisan agak mendatar dan relatif murni, terletak di atas sekis kristalin dan genis vulkanik ofiolt kretaseus(permana, 2008). Batuan dasar yang membentuk gua-gua prasejarah di kawasan ini terdiri dari hasil pelarutan kalsium karbonat (CaCo3) yang menghasilkan endapanendapan sinter atau pelarutan batu gamping oleh air yang menghantarkannya lalu diendapkan kembali. Endapan ini 18

20 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal sering disebut travertin yang ukurannya tergantung pada kepekatan dan posisi aliran lelehan cairan dari dinding gua, sedangkan lelehan cairan yang keluar dari langit-langit gua menjadi dasar terbentuknya stalagtit dan stalagmit. Bila keadaan ini berlangsung terus-menerus, maka proses selanjutnya akan menjadi pilar yang merupakan hasil akhir proses pelarutan. Pembentukan karst ditentukan oleh proses pelarutan batuan gamping, iklim dan umur batu gamping serta lamanya proses pelarutan. Sebagai contoh, batu tetes (stalagtit dan stalagmit) yang banyak dijumpai di dalam gua-gua di daerah gamping. Prosesnya sebagai berikut, air hujan yang banyak mengandung CO2 akan melarutkan CaCO3 sehingga membentuk senyawa baru kalsium bikarbonat yang kemudian menguap, sedangkan air yang mengalir sebagai sungai di bawah tanah kalsium karbonatnya mengendap sebagai stalagtit (atas) dan stalagmite (bawah). Morfologi karst, diartikan sebagai bentuk bentang alam karst (karst landscape) yang berkembang di suatu kawasan/formasi batuan karbonat (batu gamping dan dolomit) yang telah mengalami proses karstifikasi atau pelarutan sampai tingkat tertentu. Kekhasannya bisa dibedakan antara fenomena di atas permukaan (exokarst) dan fenomena di bawah permukaan tanah (endokarst). Exokarst antara lain ditunjukkan dengan adanya menara yang berbentuk kerucut atau kubah (tower karst), lembah (lokva), dan dolina (polje). Sedangkan endokarst ditunjukkan adanya gua (cave/rock shelter) dengan segala bentuk lekukan, terap/jenjang (bench), lorong dan sungai bawah tanah serta stalagtit dan stalagmit atau disebut speleotem. Nilai ekonomi kawasan karst selama ini diidentikkan dengan hasil tambang, sementara itu banyak yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya kawasan karst itu mempunyai nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan mengandalkan hasil non tambang. Nilai-nilai ekonomi non tambang kawasan karst seperti: nilai estetika atau keindahan yang dimiliki, bentuk alam atau geomorfologinya, kawasan-kawasan karst yang unik yang terdapat dibeberapa tempat serta adanya gua-gua indah yang terkandung di bawah permukaan tanah. Kesemua nilai-nilai ekonomi non tambang ini lama kelamaan akan habis karena pembangunan yang terus menerus ada serta akan menyisakan banyak sekali kerusakan apabila kurang kesadaran masyarakat untuk selalu melestarikannya (Munandar, 2008). Pada beberapa gugusan di kawasan karst inilah terdapat gua-gua prasejarah yang pada umumnya berada di bagian bawah dinding-dinding tebing bukit karst terjal yang memiliki puncak-puncak bukit seperti bentuk menara dengan ketinggian meter dari permukaan laut. Bukit-bukit karst tersebut membentang dari Pangkep hingga ke selatan di Maros sepanjang + 45 km, dan memiliki jarak dari bukit hingga ke garis pantai sejauh 8 12 km di Pangkep, dan km di Maros. Berdasarkan data dari Badan Pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kawasan karst Maros-Pangkep ini memiliki potensi hutan yang cukup luas, terdiri atas taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi keseluruhannya mencapai ,79 ha. Dengan karakter tutupan lahan karst yang khas, maka potensi flora dan fauna juga sangat besar dengan beberapa diantaranya merupakan spsies yang endemik. Mengacu pada data tersebut, terdapat banyak ragam jenis dari vegetasi (flora) karts, antara lain Planqium sp, Calophilum sp, Leea Indica, Sapotaceae, Polyalthia insignis, Pangium edule, Aleurites moluccana, Celastroceae, Cinamomum sp, dan Leea aculata. Sedangkan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada habitat hutan dataran rendah antara lain Vitex cofassus (Bitti), Palaquium obtusifolium (Nyato), Pterocarpus indicus (Cendrana), Ficus sp (Beringin), Sterquila foetida, Dracontomelon dao (Dao), Dracontamelon Mangiferum, Arenga pinnata (Aren), Colona sp, Dillenia serrata, Alleurites moluccana (Kemiri), Diospyros celebica (Kayu hitam), Buchanania Arborescens, Antocepalus cadamba, Myristica sp, Kneam sp dan Calophyllum inophyllum. Palem Wanga (Piqafetta filaris dan Arenga Sp), Uru (Elmerrilia tsiampacca),cassuarina Sp, Duabanga mollucana, Vatica sp, Pangium edule, Eucalypthus deglupta (yang homogen), Litsea sp,dan Agathis philippinensi. Berbagai jenis bambu, Ficus sumatrana, Castanea acuminatissima, Tristania sp, Pandanus spp, Phillocladus sp. Berbagai jenis paku-pakuan, Bitti (Vitex cofassus) Nyatoh (Palaquium obtusifolium), Cenrana (Pterocarpus indicus), Beringin (Ficus benjamina),sterqulia foetida, Dao (Dracontomelon dao),dracontomelon mangiferum, Aren (Arenga pinnata),colona sp, Dillenia serrata, Kamiri (Aleuritus mollucana), Bayur (pterospermum celebicum), Mangifera spp, Manggis hutan (Garcinia spp), Zizigium cumini, Arthocarpus spp, Diospyros celebica, Buchanania arborescens, Jabon 19

21 Mulyadi, Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan (Antocepalus cadamba), Myristica sp, Knema sp, Calophyllum inophyllum. Selain itu ada beberapa jenis flora yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat yaitu Asam Jawa (Tamarindus indica, Linn.), Tasbeh (Canna indica L.), Jambu Biji (Psidium guajava, Linn.), Tembelekan (Lantana camara Linn.), Cakar Ayam (Selaginella doederleinii Hieron), Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia, Swingle.), Pulai (Alstonia scholaris [L.] R. Br.), Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb), Rumput Bambu (Lophatherum gracile Brongn.), Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.), Jukut Pendul (Kyllinga brevifolia, Rottb). Adapun jenis fauna yang khas dan endemik, antara lain Enggang Sulawesi (Ryticeros cassidix), Enggang Kerdil (Peneloppides exahartus), Musang Sulawesi (Macrogolidia musshenbroeckii), Kelelawar, Kera Sulawesi (Macaca Maura), Kuskus (Phalanger celebencis), Kuskus Sulawesi (Strgocuscus celebensis), kuskus beruang (Phalanger ursinus), Tarsius (Tarsius sp) dan lain lain, serta berbagai jenis kupu-kupu yakni, Papilio Endemik, Papilio blumei, P. Polites, P. Satapses, Troides halipron, T. Helena, T. Hypolites dan Graphium androcles. Selain itu terdapat jenis fauna yang endemik dalam gua sebagai penghuni gelap abadi seperti ikan dengan mata tereduksi bahkan mata buta (Bostrychus spp), Kumbang buta (Eustra sp), dan Jangkrik gua (Rhaphidophora). Adapun kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar gua-gua prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep ini memiliki berbagai profesi yang tidak berbeda seperti bertani, berkebun, beternak, membuat kerajinan tangan dan mencari kayu bakar. Kebudayaan Maros- Pangkep adalah kebudayaan dari masyarakat suku Bugis- Makassar. Kehidupan kelompok masyarakat menuturkan bahasa Bugis dan Makassar, terkait dengan budaya masyarakat biasanya berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang dianggap penting, yang biasa disebut Tudang Sipulung, saat akan turun sawah maka akan diadakan acara Appalili, saat panen tiba diselenggarakan upacara adat Ma raga, Mappadendang, Ma kampiri, saat menyambut tahun baru Islam diselenggarakan upacara adat Bias Muharram dan Maulid Rasulullah upacara penolak bala Salonreng dan Kalubampa. Maros Pangkep dan kajian Delineasinya pada tahun 2011, terdapat 127 situs prasejarah di kawasan ini, tepatnya 126 berupa gua prasejarah dan 1 situs terbuka (open site) di pelataran Gua Sakapao Kabupaten Pangkep. Gua-gua prasejarah tersebut tersebar di perbukitan karst yang membentang meliputi dua wilayah administratif yaitu Kabupaten Maros dan Pangkep, dari 127 situs prasejarah tersebut 78 diantaranya merupakan situs yang memiliki tinggalan berupa lukisan gua pada dinding atau langitlangit gua. Gambar tangan merupakan lukisan yang paling dominan ditemukan di 71 gua prasejarah, artinya hanya 6 gua prasejarah di kawasan Maros Pangkep yang tidak memiliki lukisan berupa gambar tangan dan satu gua tidak memiliki tinggalan lukisan. Adapun lukisan yang terdapat di 6 gua prasejarah tersebut yaitu berupa gambar manusia di Leang Batu Tianang, Leang Karama, Leang Ulu Tedong, Leang Pamelakkang Tedong; gambar manusia kangkang di Leang Tagari dan Leang Kassi. Selain lukisan berupa gambar tangan, di gua prasejarah Maros-Pangkep ditemukan pula gambar figuratif dan non-figuratiflainnya. Gambar figuratif seperti, fauna (babi rusa, anoa, ikan, kura-kura, penyu, kalajengking, lipan dan burung), manusia (dengan gaya dan sikap yang berbeda, seperti berkelompok dan sendiri yang mengunakan atribut dan yang tidak), alat-alat seperti mata panah, jaring ikan dan perahu. Sedangkan pada gambar non-figuratif berupa geometris, yang berkembang dari bentuk titik, garis, atau bidang yang berlubang, dari yang sederhana hingga rumit. Motif geometris murni seperti pada pola anyaman, garis, lingkaran dan segitiga (Linda, 2005; Handayani, 2015). Hal lain yang juga berbeda adalah penggunaan warna (merah dan hitam) dan teknik dalam pembuatan gambar (Linda, 2005). Lebih lanjut, Handayani (2015) merangkum tema penelitian lukisan gua prasejarah di Maros Pangkep yang dilakukan oleh mahasiswa Arkeologi Universitas Hasanuddin dari kurun waktu sebagaimana terlihat pada diagram di bawah ini: Sebaran Lukisan Gua di Situs Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Mengacu pada data hasil zonasi di kawasan karst 20

22 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Tabel 1. Daftar Gua Prasejarah yang di Observasi NO NAMA GUA KABUPATEN MAROS KABUPATEN PANGKEP 1 Gua Mandauseng Gua Caddia 2 Gua Gua Gua Lambuto 3 Gua Tenggae Gua Lompoa 4 Gua Samongkeng Gua Kassi 5 Gua Lambatorang Gua Kajuara 6 Gua Pajae Gua Pattenung 7 Gua Uluwae Gua Sakapao 8 Gua Ellepusae Gua Buloribba 9 Gua Ambe Pacco Gua Cammingkan 10 Gua Jing Gua Ujung 11 Gua Barugae Gua Sassang 12 Gua Sengkae Gua Batanglamara 13 Gua Batabatae Gua Sapiria 14 Gua Ululeang Gua Parewe 15 Gua Baratedong Gua Pabujang-Bujangan 16 Gua Barajarang Gua Bulu Ballang 17 Gua Wanuwae Gua Pamelakkang Tedong 18 Gua Ellebireng Gua Lasitae 19 Gua Ka do Gua Sumpang Bita 20 Gua Tampuang Gua Bulu Sumi 21 Gua Jarie 22 Gua Pettakere 23 Gua Pettae 24 Gua Karrama Mengacu pada diagram tersebut, pengkajian gambar prasejarah 50% tentang makna dan religi, 22% mengkaji jenis dan bentuk dari gambar dan 7% mengkaji jumlah, teknik pembuatan, umur dan kandungan kimia. Diagram tersebut, menunjukan ketertarikan peneliti dalam mengkaji gambar yang ada pada gua prasejarah di Maros Pangkep, lebih terfokus pada pengkajian makna, religi, jumlah, jenis dan bentuk (Handayani, 2015:8). Dalam kajian ini, tidak semua gua prasejarah yang memiliki tinggalan lukisan gua diobservasi. Pemilihan gua prasejarah yang diobservasi mengacu pada pertimbangan tertentu yang dapat menunjang pelaksanaan kajian ini. Adapun jumlah gua yang diobservasi yaitu 24 gua di Maros dan 20 gua di Pangkep. Pendeskripsian hasil observasi untuk setiap gua prasejarah meliputi aspek tinggalan arkeologi, lingkungan dan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan serta pelindungan. Pemaparan hasil observasi ini, diuraikan pergua per kabupaten. Adapun gua-gua prasejarah yang diobservasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dalam teknis observasi lapangan, ke 44 gua prasejarah ini diamati dalam dua tahapan yang berbeda. Kegiatan observasi pertama dilakukan pada November 2013 dalam kondisi musim kemarau, sedangkan observasi kedua saat turun hujan di Desember 2013, yang difokuskan pada dampak hujan terhadap tingkat keterawatan gua dan lukisan prasejarah. Deskripsi hasil observasi Uraian pada bagian ini mengacu pada hasil pengamatan selama observasi yang kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi umum, terkait dengan kerusakan dan potensi ancaman yang terjadi di kawasan ini. Faktor kerusakan dibagi dalam dua katagori yaitu faktor alam dan faktor manusia. Lukisan pada dinding gua prasejarah umumnya mengalami kerusakan yang sama, yaitu terjadi pengelupasan dan sedimentasi. Disamping itu di beberapa tempat warna lukisan mulai memudar terutama lukisan yang terletak di bagian dinding depan mulut gua. Kerusakan lukisan gua disebabkan adanya perubahan temperatur yang besar dalam sehari. Temperatur naik tinggi pada siang hari dan turun tajam pada malam hari. Ketika batuan terkena panas dan mengembang pada siang hari, lalu dingin dan terkontraksi di malam hari, tekanan sering dialami oleh lapisan luar. Tekanan menyebabkan lapisan luar batuan menjadi terkelupas dan jadi lapisan tipis. Meskipun kerusakan ini disebabkan terutama oleh perubahan temperatur, proses ini juga diperparah oleh adanya kelembaban yang tinggi. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa lukisan yang berada dimulut gua (terbuka) memiliki tingkat kerusakan yang lebih tinggi dari pada yang ada di bagian dalam gua. Akan tetapi tidak bisa di pungkiri bahwa hampir semua lukisan yang berada di depan mulut gua mengalami kerusakan yang parah, meskipun vegetasinya masih bagus. Hal ini disebabkan oleh perubahan cuaca yang semakin tidak menentu dan tentunya faktor pemanasan global. Ada musim hujan mulut gua yang tidak terlindungi akan terkena air hujan secara terus menerus. Air yang bereaksi dengan karbon dioksida dapat membentuk asam 21

23 Mulyadi, Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan karbonat, mengalir melewati permukaan batuan yang memiliki lukisan, menyebabkan kerusakan pada lukisan. Di samping itu, pada permukaan batuan yang terkena air hujan akan tumbuh lumut/ganggang/jamur (tumbuhan tingkat tinggi). Pertumbuhan lumut/ganggang/jamur ini dipercepat oleh adanya paparan sinar matahari. Dengan bantuan sinar matahari proses fotosintesis dapat berlangsung cepat yang memacu perkembangan tumbuhan hijau. Sejumlah tumbuhan dapat menciptakan pelapukan kimia melalui pelepasan senyawa asam, yaitu moss pada akar yang menyebabkan pelapukan. Pertumbuhan tumbuhan tingkat tinggi juga banyak terjadi pada gua-gua yang terletak di dekat sawah/ air. Hal ini disebabkan karena penguapan air sekitar sehingga menyebabkan lingkungan gua menjadi lembab dan mempercepat pertumbuhan tumbuhan tingkat tinggi (lumut/ganggang). Pada musim penghujan, permukaan batuan mengalami pelapukan biologi yang disertai pembentukan lapisan lumut. Pada musim kemarau permukaan tersebut terpapar sinar matahari secara terus menerus mengakibatkan terjadinya penguapan air dan tumbuhan pada permukaan batuan mati. Tumbuhan mati ini meninggalkan lapisan yang berwarna hijau kehitaman pada permukaan batuan. Peluruhan dari tumbuhan mati dalam lapisan batuan dapat membentuk asam organik yang jika larut dalam air pada musim penghujan berikutnya, menyebabkan pelapukan kimia. Pelepasan senyawa kelat dapat secara mudah mempengaruhi batuan yang ada di sekitarnya dan dapat menyebabkan leaching lapisan batuan yang hebat Kondisi salah satu lukisan gua yang mengalami kerusakan parah di Leang Jing (Sumber: Yadi Mulyadi, 2012) yang mengakibatkan terjadinya pengelupasan lapisan permukaan. Degradasi ekosistem di pegunungan karst di Maros dan Pangkep terjadi karena adanya penebangan pohon-pohon di sekitar lingkungan karst yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan di pegunungan karst yang menimbulkan perubahan besar. Pada awalnya perubahan lingkungan masih dalam kemampuan alam untuk memulihkan secara alamiah, tetapi makin lama makin menimbulkan banyak perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang terjadi sering masih dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan kerugian secara jelas dan berarti, tetapi semakin besar perubahannya akhirnya menimbulkan kerugian yang jelas dan berarti. Penebangan pohon-pohon di sekitar lingkungan karst bisa menjadi salah satu faktor penyabab kerusakan lukisan yang di dalam gua, seperti degradasi tanah dan erosi, sedimentasi pada gua, dan penurunan kualitas air. Gua merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan di luar gua. Perubahan yang terjadi di luar gua sangat berpengaruh pada lingkungan gua. Perubahan lingkungan luar gua mempengaruhi ketersediaan sumber pangan di dalam gua. Terjadinya perubahan lahan seperti penebangan liar atau penggundulan hutan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan guano yang dihasilkan kelelawar, dan berpengaruh pada ketersediaan air di dalam gua melalui sistem percelah rekahan, sehingga menyebabkan perubahan kondisi mikroklimat dalam gua yang berpengaruh pada proses dekomposisi, dan perkembangan mikroorganisme yang pentingsebagai sumber energi utama dalam gua. Dalam kaitannya dengan pelestarian gua prasejarah, penebangan pohon di sekitar gua untuk perkebunan dan merapatnya rumahrumah penduduk di sekitar gua dapat menyebabkan perubahan iklim mikro (suhu, kelembaban) dan kualitas air rembesan yang masuk dan mengalir pada dinding gua. Hal tersebut berkaitan dengan meningkatnya kandungan karbon dioksida di udara. Semakin tinggi kandungan karbondioksida di udara proses karstifikasi (pelarutan kapur) meningkat. Pada beberapa gua prasejarah di kawasan ini, telah terjadi perubahan lingkungan sekitar yang menyebabkan lingkungan gua menjadi terbuka dan tidak terlindungi oleh tumbuhan perindang (vegetasi). Hal ini memudahkan 22

24 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal sinar matahari masuk ke dalam gua tanpa ada penghalang, dan mengenai lukisan secara langsung. Lukisan yang terkena sinar matahari secara terus menerus dan dalam jangka waktu lama, dapat menjadi salah satu faktor yang mempercepat terjadinya pelapukan pada dinding gua. Selain itu, terbukanya lingkungan memudahkan juga angin masuk ke dalam gua secara langsung mengenai lukisan. Faktor angin ini mempercepat terjadinya pengelupasan lapisan terluar dinding gua yang mengandung lukisan yang telah mengalami pelapukan. Data lapangan menunjukkan bahwa kondisi kerusakan lukisan yang cukup parah terutama terjadi pada lukisan yang terletak pada bagian mulut gua dan tidak terlindung oleh stalaktit, pepohonan dan lainnya sebagainya. Kerusakan lukisan dinding gua diduga diakibatkan oleh adanya kontak dengan atmosfer yang berbeda secara signifikan pada musim hujan dan kemarau. Kerusakan lukisan dinding gua yang terjadi di antaranya adalah pengelupasan lapisan dinding gua yang memuat lukisan. Selain itu, kerusakan juga disebabkan oleh pertumbuhan lumut/ganggang yang menutupi lukisan dan Lukisan terhapus oleh aliran air hujan yang melewati lukisan. Adanya fluktuasi temperatur yang besar dalam sehari baik di musim kemarau dan musim hujan, waktu temperatur naik tinggi pada siang hari dan turun tajam pada malam hari. Ketika batuan terkena panas dan mengembang pada siang hari, lalu dingin dan terkontraksi di malam hari, tekanan (stress) sering dialami oleh lapisan luar. Tekanan menyebabkan terkelupas lapisan luar batuan menjadi lapisan tipis. Meskipun ekspansi termal ini disebabkan terutama oleh perubahan temperatur, proses ini juga diperparah oleh adanya kelembaban yang tinggi. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa lukisan yang berada di mulut gua (terbuka) memiliki tingkat kerusakan yang lebih tinggi daripada yang ada di bagian dalam gua. Pada musim hujan mulut gua yang tidak terlindungi akan terkena air hujan secara terus menerus. Air hujan dapat bersifat asam karena karbon dioksida atmosfer larut dalam air hujan menghasilkan asam karbonat. Dalam lingkungan tidak tercemar, ph air hujan sekitar 5,6. Oksida ini dalam air hujan menghasilkan asam kuat dan menurunkan ph sampai 4,5 atau 3,0 (Suhartono, 2012). Sulfur dioksida ini dapat berasal dari lingkungan yang tercemar akibat gas buangan dari kendaraan bermotor. Air hujan yang bersifat asam ini dapat menyebabkan pelapukan pada lapisan luar/permukaan batuan yang terkena air hujan. Hal ini diperparah juga dengan kondisi pelataran dan akses masuk ke beberapa gua yang tergenang air pada saat musim hujan, sehingga tingkat kelembaban semakin meningkat. Tingkat Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk mengetahui tingkat keterawatan gua-gua prasejarah yang terdapat di kawasan karst Maros-Pangkep. Kondisi tinggalan arkeologi khususnya lukisan gua, kondisi lingkungan makro dan mikro, serta penerapan bentuk pengelolaan yang terkait dengan upaya pelindungan menjadi indikator utama dalam kajian ini. Hal yang perlui dipahami, kerusakan dan pelapukan pada cagar budaya, termasuk dalm hal ini gua prasejarah beserta tinggalannya, merupakan peristiwa alami yang tidak dapat dihentikan. Oleh karena itu seyogyanya upaya konservasi dapat memperlambat proses tersebut. Dokumentasi dan monitoring merupakan kegiatan yang sangat penting agar tidak kehilangan data ketika cagar budaya mengalami kerusakan dan pelapukan. Salah satu proses pelapukan larutan yang paling dikenal adalah karbonasi, proses di mana karbon dioksida atmosfer mengacu pada pelapukan larutan. Karbonasi terjadi pada batuan yang mengandung kalsium karbonat seperti batuan kapur/karst. Hal ini terjadi apabila karbon dioksida atau asam organik membentuk asam karbonat lemah yang bereaksi dengan kalsium karbonat (batuan kapur) dan membentuik kalsium bikarbonat (Suhartono, dkk, 2009). Pertumbuhan tumbuhan tingkat tinggi juga banyak terjadi pada gua-gua yang terletak di dekat empang/air. Hal ini disebabkan karena penguapan air sekitar sehingga menyebabkan lingkungan gua menjadi lembab dan mempercepat pertumbuhan tumbuhan tingkat tinggi (lumut/ganggang). Kondisi ini dapat dilihat pada gua Pamelakkatedong, Bulu Ballang dan Lasitae di Pangkep. Di samping pelapukan kimia oleh air hujan sebagaimana diuraikan di atas, air hujan dapat menimbulkan pelapukan biologi. Permukaan batuan yang terkena air hujan akan tumbuh lumut/ganggang/jamur (tumbuhan tingkat tinggi). Pertumbuhan lumut/ganggang/jamur ini dipercepat oleh adanyapaparan sinar matahari. 23

25 Mulyadi, Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan Tabel 2. Tingkat kerusakan lukisan gua prasejarah di Kabupaten Maros NO NAMA GUA KERUSAKAN 1 Gua Mandauseng Sedang 2 Gua Botto Sedang 3 Gua Tenggae Sedang 4 Gua Samungkeng Parah 5 Gua Lambatorang Sedang 6 Gua Pajae Sedang 7 Gua Uluwae Parah 8 Gua Ellepusae Parah 9 Gua Ambe Pacco Parah 10 Gua Jing Bagus 11 Gua Barugae Bagus 12 Gua Sengkae Sedang 13 Gua Batabatae Parah 14 Gua UluGua Parah 15 Gua Baratedong Parah 16 Gua Barajarang Sangat Bagus 17 Gua Wanowae Sedang 18 Gua Ellebireng Sedang 19 Gua Kado Sedang 20 Gua Tapuang Parah 21 Gua Jarie Bagus 22 Gua Pettakare Sedang 23 Gua Pettae Sedang 24 Gua Karrama Sedang Tabel 3. Tingkat kerusakan lukisan gua di Kabupaten Pangkep NO NAMA GUA KERUSAKAN 1 Gua Caddia Sedang 2 Gua Lambuto Sedang 3 Gua Lompoa Sedang 4 Gua Kassi Sedang 5 Gua Kajuara Sedang 6 Gua Patennung Parah 7 Gua Sakapao Bagus 8 Gua Bulo Ribba Sedang 9 Gua Camming Kana Sedang 10 Gua Ujung Sedang 11 Gua Sassang Sedang 12 Gua Batang lamara Sedang 13 Gua Sapiria Parah 14 Gua Parewe Parah 15 Gua Pabujang-Bujangan Parah 16 Gua Bulu ballang Sedang 17 Gua Pamelakkang Tedong Sedang 18 Gua Lasitae Sedang 19 Gua Sumpang Bita Bagus 20 Gua Bulu Sumi Bagus Dengan bantuan sinar matahari proses fotosintesis dapat berlangsung cepat yang memacu perkembangan tumbuhan hijau. Sejumlah tumbuhan dapat menciptakan pelapukan kimia melalui pelepasan senyawa asam, yaitu moss pada akar diklasifikasikan sebagai pelapukan. Pada musim penghujan, permukaan batuan akan mengalami pelapukan kimia dan biologi yang disertai pembentukan lapisan lumut dan lapisan hasil pelapukan kimia. Pada musim kemarau permukaan tersebut akan terpapar sinar matahari secara terus menerus mengakibatkan terjadinya penguapan air dan tumbuhan pada permukaan batuan akan mati. Tumbuhan mati ini akan meninggalkan lapisan yang berwarna hijau kehitaman pada permukaan batuan. Peluruhan dari tumbuhan mati dalam lapisan batuan dapat membentukasam organik yang, jika larut dalam air (pada musim pengujan berikutnya), menyebabkan pelapukan kimia. Pelepasan senyawa kelat dapat secara mudah mempengaruhi batuan yang ada di sekitarnya, dan dapat menyebabkan leaching lapisan batuan yang hebat yang mengakibatkan terjadinya pengelupasan lapisan permukaan. Degradasi ekosistem juga terjadi di pegunungan karst di Maros dan Pangkep adalah dalam bentuk destruksi bentang lahan. Destruksi bentang lahan dalam bentuk penambangan batu gamping dan penambangan untuk pabrik semen. Destruksi bentang lahan ini jika dibiarkan akan mengacam keberadaan gua-gua prasejarah yang berada di Maros dan Pangkep. Selain itu, kerusakan dalam bentuk vandalism banyak dijumpai hampir di seluruh gua yang diobservasi. Vandalisme dapat diartikan sebagai perbuatan merusak dan menghancurkan hasil seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya), perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas (Suhartono, dkk, 2011). Vandalisme akibat ulah manusia ini berupa coret-coretan baik dinding gua yang ada lukisan maupun dinding yang tidak ada lukisan. Bentuk vandalisme di gua-gua prasejarah mengancam kelestarian tinggalan arkeologi khususnya lukisan gua prasejarah. Hal yang menarik lainnya terkait dengan pengamatan di lapangan yang dipadukan dengan wawancara mengenai bentuk-bentuk pelindungan yang dilakukan di setiap gua prasejarah, ternyata berkorelasi dengan tingkat kerusakan dan keterancaman gua. Variabel bentuk-bentuk pelindungan adalah bentuk pengelolaan 24

26 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal yang dilakukan yaitu berupa, pemagaran, penyediaan papan informasi, papan larangan, papan nama dan juru pelihara. Untuk gua prasejarah yang memiliki semua variabel tersebut menjadi gua dengan tingkat keterawatan paling tinggi, kondisi sebaliknya terjadi pada gua yang tidak memiliki semua variabel tersebut. Hal ini berarti, keberadaan juru pelihara, dan prasaran penunjang berupa pagar, papan nama, papan informasi dan papan larangan sangat penting dalam menunjang keterawatan gua prasejarah.untuk mengetahui tingkat kerusakan dari vegetasi sekitar gua, dilakukan pengambilan data tumbuhan di sekitar gua. Hasil dari pengamatan di lapangan yang dilakukan dalam dua tahapan tersebut, memperlihatkan tingkat kerusakan yang bervariasi mulai dari tingkat kerusakan sedang sampai parah. Tingkat kerusakan ini yang berimplikasi langsung pada tinggkat keterawatan gua prasejarah. Berikut di bawah ini tingkat kerusakan lukisan gua prasejarah di kabupaten Maros dan Pangkep. Analis Pemecahan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, tingkat keterawatan lukisan gua di kawasan karst Maros Pangkep ini bervariasi mulai dari sedang sampai parah, dan hanya lima yang kondisinya bagus. Dengan demikian, kondisi lukisan gua di kawasan ini sangat memprihatinkan dan perlu segera ada tindakan konservasi dan pelestarian yang menyeluruh. Mengingat pemicu kerusakan pada lukisan gua tersebut terdiri dari dua faktor yaitu alam dan manusia, maka pada uraian di bagian ini dipaparkan analisis pemecahan masalah yang mengacu pada kedua faktor penyebab kerusakan tersebut. Dalam upaya untuk mengurangi pertumbuhan algae yang dapat merusak lukisan gua, perlu dilakukan penanganan terhadap algae supaya pertumbuhan tidak meluas. Tindakan yang harus dilakukan adalah mematikan terlebih dahulu algae yang ada dengan menggunakan bahan pestisida. Jika langsung dibersihkan, tidak akan efektif karena spora yang terdapat pada algae akan menyebar dan pindah ke tempat lain. Pestisida yang akan digunakan tidak sembarangan tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan dan sudah lolos uji laboratorium. Untuk menggurangi dampak yang akan ditimbulkan di kemudian hari, bahan pestisida yang akan digunakan tidak langsung digunakan pada algae yang tumbuh pada dinding di sekitar lukisan atau menutupi lukisan, tetapi diuji dulu denganmenggunakan algae yang tumbuh pada batuan yang karst yang ada di sekitar lingkungan gua. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat efektivitas dan dampak yang akan ditimbulkan akibat pemakaian pestisida tersebut. Jika hasil menunjukkan bahan pestisida tersebut efektif dan tidak menimbulkan dampak, baru diterapkan pada algae yang tumbuh pada dinding gua yang memiliki lukisan. Jika algae telah mati dan kondisi dinding gua dalam keadaan baik, bisa dilanjutkan dengan melakukan pembersihan mekanis kering dengan menggunakan sikat halus. Tetapi jika dinding gua telah mengalami pelapukan, algae yang telah mati cukup dibiarkan dalam kondisi tersebut. Adapun upaya lain yang perlu dilakukan yaitu menghentikan penebangan pohon (vegetasi) di sekitar gua dan penanaman kembali vegetasi/penghijauan di lingkungansekitar gua. Penanaman vegetasi di lingkungan sekitar gua prasejarah akan memberi manfaat dalam upaya untuk memperlambat kerusakan yang terjadi pada lukisan. Vegetasi yang ada di sekitar lingkungan gua diharapkan dapat menghalangi sinar matahari dan angin masuk ke dalam gua yang mengenai lukisan secara langsung.hal ini akan mengurangi pengelupasan pada lapisan dinding gua. Jenis-jenis tanaman yang nantinya ditanam di sekitar gua hendaknya juga harus memperhatikan lingkungan sekitar dan jenis tanah yang ada. Secara umum jenis tanaman yang dapat ditanam untuk melindungi mulut gua dari pengaruh luar adalah pohon-pohon tinggi yang rindang atau lebat daunnya, dan mempunyai akar tunggang sehingga akar tidak tumbuh menyamping dan merusak gua. Dalam melakukan penanaman vegetasi, yang perlu diperhatikan adalah nantinya vegetasi ini berfungsi untuk menghalangi sinar matahari dan angin masuk ke dalam gua dan mengenai lukisan secara langsung, sehingga diperlukan pengaturan dalam penanamannya. Pengaturan penanaman diperlukan untuk menjaga supaya kondisi gua tidak terlalu lembab, sinar matahari dapat masuk ke dalam gua, tetapi tidak mengenai lukisan secara langsung. Proses penanaman kembali vegetasi/ penghijauan di lingkungan sekitar gua memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga perlu dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kerusakan lukisan gua yang lebih parah sebelum konservasi lingkungan terwujud. Idealnya, dilakukan penutupan secara total seluruh gua, 25

27 Mulyadi, Kajian Keterawatan Lukisan Gua Prasejarah di Kawasan Karst Maros Pangkep Sulawesi Selatan pengaturan air yang masuk ke dalam dan kemudian diberi alat untuk menstabilkan suhu dan kelembaban ruang, serta dapat di kontrol dari luar gua. Dengan stabilnya suhu dan kelembaban ini diharapkan lukisan dapat bertahan lebih lama dan menghambat faktor yang menyebabkan kerusakan. Namun penutupan total seluruh gua akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal itu tidak mungkin dilakukan karena kondisi keletakan dan bentuk gua yang berbeda. Untuk itu, diperlukan beberapa gua yang dijadikan perwakilan untuk ditutup total. Gua yang menjadi perwakilan yaitu gua yang memiliki berbagai lukisan dan masih dalam kondisi baik. Hal ini diperlukan, jika ke depannya kerusakan lukisan tidak dapat dicegah karena berbagai faktor, kita masih memiliki satu atau beberapa gua yang lukisannya masih bisa dipertahankan. Upaya jangka pendek lainnya yang dilakukan misalnya dengan menutup beberapa bagian gua yang menjadi akses masuknya sinar matahari dan angin yang akan mengenai lukisan secara langsung. Diharapkan dengan penutupan sementara beberapa bagian gua, dapat mengurangi terpaan angin dan sinar matahari mengenai lukisan, yang akhirnya dapat memperlambat terjadi proses kerusakan dan pelapukan pada lukisan dinding gua. Perbaikan dari segi sumberdaya manusia pun perlu dilakukan, misalnya dengan penyuluhan dan sosialisasi baik kepada masyarakat, pengusaha penambangan batu gamping/pabrik semen, LSM dan pihak-pihak yang terkait. Melakukan pendekatan ke masyarakat untuk membentuk kelompok masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga gua-gua prasejarah yang ada di lingkungannya. Adapun untuk mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi pada lingkungan sekitar gua prasejarah di kawasan karst Maros Pangkep, perlu dilakukan monitoring lingkungan secara rutin untuk mengetahui kondisi lingkungan di sekitar gua,sehingga dapat diketahui jika ada perubahan lingkungan yang mengancam kelestarian lukisan gua prasejarah. Penutup Keberadaan tinggalan purbakala di gua-gua prasejarah tersebut, khususnya yang berupa lukisan gua makin lama kondisinya makin mengkhawatirkan. Saat ini telah banyak lukisan gua prasejarah yang mengalami kerusakan, salah satunyakarena letakgua-gua prasejarah yang berada di alam terbuka sangat rentan terpengaruh oleh faktor lingkungan/alam sekitarnya. Faktor cuaca dan iklim merupakan pengaruh yang dominan terhadap kerusakan dan pelapukan dinding gua dan lukisannya, yang selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi keselamatan dan keberadaan lukisan tersebut.pada dasarnya kerusakan dan pelapukan merupakan proses alami dan dapat terjadi pada semua cagar budaya termasuk lukisan dinding gua. Upaya konservasi yang dilakukan hanya bersifat untuk menghambat laju kerusakan dan pelapukan yang terjadi. Untuk itu diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk melestarikan lukisan dinding gua prasejarah yang merupakan cagar budaya dan dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Berdasarkan hasil observasi dan analisis yang dilakukan dalam kajian ini, memperlihatkan bahwa tingkat keterawatan gua-gua prasejarah di Maros Pangkep bervariasi mulai dari tidak terawat sampai terawat. Hal inimengacu pada tingkat kerusakan dan pelapukan fisik (retak, pecah, aus), pelapukan biologis (pertumbuhan algae, moss, lichen), pelapukan kimiawi (penggaraman, sementasi). Selain itu juga mengacu pada data jumlah titiktitik kebocoran dinding gua di musim kemarau dan musim penghujan, dimana hampir semua gua yang diobservasi memperlihatkan adanya titik-titik kebocoran tersebut. Kondisi mikro dan makro klimatologi, keanekaragaman flora dan fauna serta observasi untuk mengetahui kualitas udara di lingukungan gua sangat berpengaruh pada tingkat keterawatan gua prasejarah. Demikian pulakondisi air di gua-gua prasejarah dan lingkungan sekitarnya terutama di musim kemarau dan musim hujan yang sangat berpengaruh terhadap kestabilan gua. Selain itu adanya permasalahan yang berkaitan dengan pengamanan, sarana dan prasarana berupa belum semua gua prasejarah dilengkapi dengan prasarana yang memadai, juga berperngaruh pada tingkat keterawatan gua prasejarah baik di Maros maupun di Pangkep. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat keterawatan gua prasejarah di Maros dan Pangkep ini sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor manusia, oleh karena itu untuk mempertahankan tingkat keterawatan gua prasejarah diperlukan sebuah sistem konservasi gua prasejarah yang memadukan antara konservasi lingkungan, konservasi arkeologis dan juga pengelolaan sumberdaya arkeologi yang berbasis 26

28 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal pelestarian.mengacu pada hasil kajian, maka ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti yaitu: 1. Observasi atau pengamatan lingkungan meliputi pengukuran suhu, kelembaban, arah angin yang dilakukan secara periodik. Hal ini dapat ditempuh dengan memasang alat untuk pengukuran tersebut yang dilakukan dengan kerjasama pihak Balai Meteriologi dan Geofisika 2. Menambah sarana dan prasaran penunjang di setiap gua, berupa pagar, papan nama, papan informasi dan papan larangan yang mengacu pada peraturan terbaru. 3. Melakukan evaluasi secara berkala terkait dengan distribusi dan kinerja juru pelihara setiap gua prasejarah sehingga terjadi optimalisasi peran dan fungsi juru pelihara situs dalam kaitannya dengan pelestarian dan keterawatan gua prasejarah. 4. Melaksanakan dan mengefektifkan sosialisasi pelestarian Cagar Budaya yang menyentuh seluruh elemen masyarakat dan stakeholder terkait, termasuk sosialisasi di kalangan pelajar, pemerintah dan juga sektor swasta dalam hal ini perusahaan tambang. 5. Meningkatkan koordinasi lintas sektoral dengan berbagai pihak yang terkait dengan upaya pelestarian kawasan gua prasejarah di Maros-Pangkep. DAFTAR PUSTAKA Handayani, Sultra Gambar Fauna Perairan Pada Gua-Gua Prasejarah Maros Pangkep. Skripsi. Makassar: Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin. Linda, Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM Munandar, Aris Identifikasi Pengaruh Lingkungan Terhadap Keterawatan Peninggalan Gua prasejarah. Makalah dalam Semiloka Konservasi Lukisan Gua Prasejarah Maros Pangkep di Sulawesi Selatan. Makasar : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Permana, R. Cecap Eka, Pola Gambar Tangan Pada Gua-gua Prasejarah Di Wilayah Pangep-Maros Sulawesi Selatan. Disertasi Depok : Universitas Indonesia Suhartono, Yudi, Basuki Rahmad, Agus Kristianto Studi Konservasi Lukisan Gua Prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep Tahap II. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Suhartono, Yudi, Fr Dian Ekarini, Yudhi Atmaja HP, Kajian Konservasi Lukisan Gua Prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep Tahap III. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Tim Pelaksana Laporan Pemintakatan (Zoning) Gua-Gua Prasejarah Kawasan Karst Bantimurung Kabupaten Maros. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar Tim Pelaksana Laporan Zonasi Gua-Gua Prasejarah Kabupaten Maros. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar Tim Pelaksana Laporan Delineasi Kawasan Gua Prasejarah Maros-Pangkep. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. 27

29 Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D) Lukisan Cadas Pada Gua-Gua Prasejarah Di Indonesia (Studi Kasus : Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Kalimantan Timur) Brahmantara, ST Balai Konservasi Borobudur bramantarayk@gmail.com Abstrak : Perkembangan teknologi perekaman data cagar budaya khususnya luksian Cadas (Rock Art) telah berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan teknologi digital. Teknik dan metode perekaman data cagar budaya berkembang dari teknik sederhana sampai dengan teknologi mutakhir berbasis digital dengan format tiga dimensi (3D). Teknologi Terestrial Laser Scanner merupakan perangkat digital dengan sasaran perekaman tiga dimensi (3D). Dalam penelitian ini penerapan Teknologi Terestrial Laser Scanner digunakan untuk merekam data geometri gua dan detail lukisan cadas (Rock Art) pada kawasan Karst Sangkulirang mangkalihat Kutim Kalimantan Timur. Proses registrasi dari masing masing posisi pemindaian (scan world) menghasilkan tingkat akurasi data yang sangat tinggi dengan rata-rata eror dibawah 2mm. Dari hasil pengolahan data didapatkan beberapa output dan beberapa produk akhir yang sangat signifikan seperti gambar 2D, citra 3D, DSM (digital surface model), data kontur dengan interval sampai 25 cm, animasi dalam format avi dan informasi publikasi dalam bentuk virtual tour 360. Dari hasil analisa data tingkat akurasi, jumlah output yang dihasilkan dan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk proses perekaman data metode perekaman data dengan Teknologi Terestrial Laser Scanner ini sangat efektif untuk digunakan dalam perekaman data dan pendokumentasian cagar budaya khususnya lukisan cadas (rock art). Kata kunci : Terestrial Laser Scanner, lukisan cadas (Rock Art), tiga dimensi (3D) Abstract : The development of cultural heritage data recording technologies, especially Rock paintings (rock art) has grown rapidly along with the development of digital technology. Techniques and methods of data recording of cultural heritage evolved from simple techniques to digital-based cutting-edge technology with three-dimensional format (3D). Terrestrial Laser Scanner technology is a digital device with a target of three-dimensional (3D) recording technology. In this study the application of Terrestrial Laser Scanner technology is used to record the geometry data on the cave and rock paintings detail (rock art) in the Karst region of Sangkulirang Mangkalihat East Kutai Regency, East Kalimantan. The process of registration of each scaning position (scan world) produce a level of data accuracy which is very high with an average error below 2 mm. From the data processing activity obtained multiple outputs and some of the final product is very significant as 2D images, 3D images, DSM (digital surface model), contour data at intervals of up to 25 cm, the animation in avi format and publication information in the form of virtual tour 360. From the data analysis and accuracy rate, the amount of output produced and the allocation of time required to process the data recording method using Terrestrial Laser Scanner technology is very effective to be used in data recording and documentation of cultural heritage, especially rock painting (rock art). Keywords: Terrestrial Laser Scanner, rock paintings (rock art), three-dimensional (3D) PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Disamping keanekaragaman suku bangsa yang ada, pulau Indonesia juga terdiri dari berbagai macam topografi kepulauan dengan karakteristik yang berbeda-beda, ada pulau dengan gugusan gunung dan ada pulau yang dikelilingi oleh lautan. Tinggalan budaya yang tersebar dari sabang sampai merauke merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Salah satu tinggalan dari masa prasejarah yang mempunyai nilai keagungan luar biasa, refleksi dari nilai seni masa lalu adalah lukisan cadas (Rock Art) pada gua prasejarah di Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Kalimantan Timur. Berbagai macam penelitian dengan berbagai macam latar belakang keilmuan sudah dilakukan untuk mengetahui lebih dalam tentang lukisan cadas (Rock Art) yang dibuat oleh nenek moyang prasejarah. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal 28

30 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Kebudayaan dan Unit Pelaksana Teknisnya di daerah yaitu BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Kalimantan Timur terus berusaha untuk melestarikan keberadaan tinggalan prasejarah tersebut, tidak hanya berhenti pada tataran pelestarian, BPCB Kaltim terus melakukan usaha pelestarian dengan mengajukan lukisan cadas (Rock Art) pada gua prasejarah di Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Kalimantan Timur tersebut sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites). Data lukisan cadas (Rock Art) yang ada di Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat sangatlah banyak dengan keanekaragaman lukisan pada masing-masing gua. Proses perekaman data dan pendokumentasian lukisan cadas (Rock Art) sangat diperlukan untuk mendukung proses pelestarian dan mendukung pengajuan sebagai warisan dunia (World Heritage). Kemajuan teknologi berbasis digital untuk pemetaan dan penggambaran saat ini berkembang cukup pesat dan luas. Salah satu perangkat yang menggunakan teknologi tinggi dan kemampuan digital untuk merekam data adalah Terestrial Laser Scanner. Pemanfaatan teknologi Terestrial Laser Scanner mampu memberikan data dan akurasi ketelitian yang sangat tinggi dalam format dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Teknologi Terestrial Laser Scanner saat ini sudah mengalami pengembangan fungsi di berbagai bidang, salah satunya untuk perekaman data Cagar Budaya, dibandingkan alat dan metode lainnya, teknologi ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu kecepatan perekaman data yang tinggi, tingkat akurasi yang baik dan kenampakan data hasil perekaman yang sesuai dengan kondisi asli obyek (Pflipsen, 2006). Metode pengukuran perangkat Terestrial Laser Scanner ini hampir sama dengan metode pada Fotogrametri rentang dekat (close range photogrammetry), hal yang membedakan adalah jarak kemampuan alat merekam obyek. Pada perangkat long range Laser Scanner kemampuan yang dimiliki oleh alat mampu merekam jarak sampai dengan 1 km dengan hasil yang didapatkan berupa data tiga dimensi (3D) dalam bentuk titik-titik awan (point clouds). Rumusan Masalah Rumusan masalah yang ada dari uraian latar belakang penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah metode perekaman data dan pendokumentasian lukisan cadas (rock art) pada gua prasejarah dengan teknologi Terestrial Laser Scanner tiga dimensi (3D) merupakan solusi yang ideal, yang hasilnya bisa dipertanggungjawabkan sebagai data acuan (reference) untuk kegiatan preservasi? 2. Seberapa efektif teknologi Terestrial Laser Scanner tiga dimensi (3D) ini bisa digunakan untuk perekaman data dan pendokumentasian secara detail obyek lukisan cadas (rock art) pada gua prasejarah di kawasan Karst Sangkulirang Mangkulihat Kalimantan Timur? Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi pada beberapa hal yaitu : 1. Proses perekaman data dan pendokumentasian dilakukan pada lukisan cadas (rock art) gua prasejarah di kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat, Propinsi Kalimantan Timur. 2. Perekaman data dan pendokumentasian yang dilakukan meliputi geometri gua dan detil lukisan cadas (rock art). 3. Proses perekaman data dan pendokumentasian menggunakan perangkat Terestrial Laser Scanner tiga dimensi (3D) Leica Scan Station C 10. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengaplikasikan teknologi Terestrial Laser Scanner tiga dimensi (3D) untuk perekaman data dan pendokumentasian lukisan cadas (rock art) pada gua prasejarah. 2. Mendapatkan metode perekaman data dan pendokumentasian cagar budaya yang cepat, tepat dan efektif. 3. Mendapatkan data-data geometri gua, dan detail lukisan cadas (rock art) sebagai data acuan awal Manfaat Penelitian Manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah penggunaan aplikasi teknologi Terestrial Laser Scanner tiga dimensi (3D) yang diharapkan mampu dijadikan sebagai satu metode yang tepat dan cepat untuk perekaman data pendokumentasian cagar budaya lukisan cadas (rock art) 29

31 Brahmantara, Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D)... Gambar 1. Perangkat perekaman 3D Laser scanner (a) tribach, (b) laptop, (c) tripod, (d) kabel koneksi data, (e) scanning head, (f) target scan gua prasejarah yang membutuhkan ketelitian, kecepatan, data detail dan tingkat akurasi yang tinggi. Metode Penelitian Alat Peralatan yang digunakan dalam proses perekaman data dilapangan untuk analisis data penelitian terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), dengan rincian sebagai berikut : 1. Laser Scanner scan station C10 Leica 2. External kamera Canon Eos 70D 3. Bracket external kamera 4. Tripod 5. Target 3 inchi dan 6 inchi 6. Tribach 7. Laptop work station (MSI) 8. Software Cyclone Software Autocad Software 3D Reshaper. Metode Pelaksanaan Metode yang digunakan dalam prose perekaman data tiga dimensi (3D) menggunakan Laser Scanner dibagi menjadi 4 tahap, yang terdiri dari : 1. Tahap persiapan Pada tahap persiapan awal penelitian ini kegiatan yang dilakukan meliputi studi pustaka/literatur terkait data situs/obyek yang menjadi sasaran perekaman data. Dalam tahapan persiapan ini dibutuhkan arkeolog, surveyor dan juga juru pelihara sebagai personil yang menangani langsung situs/ obyek dilapangan. Arkeolog memberikan informasi tentang sejarah situs/obyek, sehingga memberikan gambaran tentang hal-hal penting pada bagian apa saja yang harus direkam secara lebih detail. Juru pelihara situs membantu dalam proses perekaman dilapangan 2. Tahap perekaman data di lapangan Merupakan tahapan yang dilakukan pada obyek penelitian yaitu pada Gua Mengkuris di kecamatan Karangan Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. Dalam tahapan perekaman data dilapangan ini dibagi menjadi beberapa aktivitas yaitu : a. Survey lokasi untuk penentuan titik berdiri alat b. Proses perekaman data (pemindaian tiga dimensi (3D) 3. Tahap Pengolahan data Proses pengolahan data dilakukan dilapangan dan dilaboratorium. Pengolahan data dilapangan sebagai koreksi awal apabila ada data yang kurang, sehingga bisa cepat dilengkapi dan proses selanjutnya yaitu pengolahan data dilaboratorium bisa dilanjutkan. 4. Tahap Analisis Data Dari pengolahan data tiga dimensi (3D) hasil perekaman, kemudian dilakukan analisis obyek mengenai dimensi lukisan cadas, elevasi keletakan masing-masing lukisan, kesamaan bentuk dan geometri dari gua. DAFTAR PUSTAKA Kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat Lukisan cadas (Rock Art) merupakan salah satu 30

32 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal tinggalan arkeologi yang cukup populer di dunia. Lukisan cadas (Rock Art) merupakan suatu karya manusia yang memiliki pola tertentu yang dibuat baik pada dinding gua, dinding ceruk, tebing, maupun batu besar (Tanudirjo dan Mahirta, 2009: 47). Pembuatan pola-pola gambar pada setiap objek cadas dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya menggores, mencungkil, menyemprot, dan cap. Menurut Tan (2014,73-74) gambar cadas di Asia Tenggara mulai ditemukan pada abad 19. Peneliti yang paling banyak menulis tentang gambar cadas di Asia Tenggara adalah Kusch. Sangkulirang Mangkalihat adalah Kawasan karst yang sangat luas di Provinsi Kalimantan timur, yang di dalamnya terdapat berbagai gua yang bergambar lukisan cadas (rock art). Berdasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan, diketahui bahwa di samping lukisan cadas, pada gua-gua tersebut juga ditemukan berbagai ekofak dan artefak, yang diperkirakan berasal dari masa 4000 tahun yang lalu. Hasil temuan berupa data arkeologis tersebut, tersebar diberbagai gua di pegunungan karst, baik di kawasan Gunung Gergaji, Kawasan Muara Bulan, Kawasan Gambar Cadas Batu Kulat dan Kawasan Gambar Cadas Batu Tabalar. Perekaman Data dan Pendokumentasian Cagar Budaya Proses perekaman data, sistem pendokumentasian dan manajemen informasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Rangkaian kegiatan tersebut digunakan sebagai salah satu usaha pelestarian dan pemeliharaan obyek Benda Cagar Budaya. Dalam sebuah manajemen informasi dan sistem pendokumentasian obyek Benda Cagar Budaya perlu melibatkan berbagai multi disiplin ilmu untuk mendapatkan informasi yang menyeluruh dan lengkap. Sistem pendokumentasian khususnya untuk Benda Cagar Budaya mengalami perkembangan yang cukup pesat, beberapa perkembangan sistem pendokumentasian dan perekaman data dalam rangka pelestarian Cagar Budaya antara lain : a. Sketsa dan Pencatatan Manual Merekam data/obyek dengan melihat langsung melalui berbagai keanekaragaman format, kemudian dituangkan dalam bentuk gambar dengan dimensi dengan akurasi yang kurang teliti. Alat yang digunakan seperti : pensil, blocknote, ballpoint. b. Hand Survey Teknik Perekaman dengan mengukur obyek menggunakan tangan, berdasarkan penilaian dan peralatan sederhana seperti : penggaris sederhana, meteran kecil, pensil kertas gambar. c. Photography Teknik Perekaman modern dengan menggunakan alat kamera disertai dengan metode khusus untuk mendapatkan data langsung dari obyek. e. Photogrammetry Sebuah teknik survei di mana geometri dua dimensi atau tiga-dimensi objek dapat diukur dari foto-foto yang diambil dari dua atau lebih sedikit berbeda posisi, dengan metode pengambilan foto yang disebut stereographs. Hasil data ini mampu menyediakan penampil dengan dua perspektif yang berbeda dari objek yang sama yang meniru perspektif visi teropong manusia. Pengukuran diekstrak dari stereographs, dan 3-D Informasi direkonstruksi menggunakan bebrapa instrumen perangkat keras. Gambar 2. Peta Sebaran Bentang Alam Karst Sangkulirang Mangkalihat Terrestrial Laser Scanner 3D Lichti, dkk (2005) mengemukakan bahwa Terestrial Laser Scanner (TLS) merupakan suatu peralatan penangkapan gambar (image) aktif yang secara cepat dapat memperoleh kumpulan dari titik titik tiga dimensi dari suatu objek maupun permukaan. 31

33 Brahmantara, Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D)... Tabel 1. Kerangka Metode Pendokumentasian berdasarkan tingkat akurasi yang dihasilkan A AKURASI RENDAH B AKURASI MENENGAH C AKURASI TINGGI Manual Recording Photo sederhana Sketsa Photo format besar dan detail Gambar tangan Photograph format besar Photography resolusi tinggi Foto Stereo Photogrammetry Gambar tangan Digital Recording Data Vektor /CAD Gambar AUTOCAD detail ukuran GPS Gambar AUTOCAD detail ukuran autocad overlay dengan photo rekonstruksi GPS, 3D modeling DIGITAL Photogramettry TOTAL STATION GPS 3D Modeling 3D Laser Scanning Raster Image Photo DIGITAL Scanning PHOTO Digital VIDEO Photo DIGITAL FOTO UDARA High resolution Digital VIDEO Photo DIGITAL resolusi tinggi FOTO UDARA resolusi tinggi Guiding principal of recording, documenting, the getty conservation institute, 2007 Boehler, dkk (2002) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis scanner berdasarkan prinsip pengoperasiannya, yaitu: 1. Triangulation Scanners. Terdiri dari single camera solution dan double camera solution. 2. Ranging Scanners a. Time of flight of a laser pulse. Laser dipancarkan ke objek selanjutnya jarak dihitung dari waktu perjalanan antara sinyal transmisi dan penerimaannya. Prinsip ini mempunyai akurasi rendah karena merupakan tipe scanner jarak jauh dengan cakupan 1, meter. Scanner jenis ini cepat dalam melakukan akuisisi data dan titik yang didapat hingga mencapai titik setiap detiknya. b. Phase comparison method. Metode ini juga sering dikenal melalui alat tacheometric. Laser yang dipancarkan dimodulasikan dengan gelombang harmonik dengan jarak yang dihitung dengan menggunakan perbedaan beda fase antara gelombang pancar dan gelombang yang diterima. Akurasi yang dihasilkan rendah karena merupakan tipe scanner jarak menengah. Akan tetapi, scanner jenis ini dapat mengukur hingga titik setiap detiknya. Spesifikasi dan prinsip kerja Terrestrial Laser Scanner 3D scanstation C 10 Scanner mengukur suatu objek sebagai point cloud. Dengan tiap point cloud merupakan jarak dari alat dan sudut horisontal/vertikal (Mendy, dkk 2011). Data yang direkam adalah data sudut horizontal (α), sudut vertikal (ß), dan jarak antara pusat koordinat scanner dengan obyek yang direkam (R). Seperti dapat dilihat pada Gambar 1. bidang X dan Y dijadikan sebagai reference plane dalam koordinat scan. Laser bergerak dari atas ke bawah dan ke samping kanan scanner sesuai dengan arah perputaran jarum jam. Sistem kerja dari laser ini adalah memindai permukaan obyek dengan garis vertical, sesuai dengan detil kerapatan spasi yang dibuat, data yang terekam langsung terekam dalam scan head atau bisa dikendalikan melalui laptop yang dikoneksikan melalui kabel pada perangkat laser scanner, seperti pada liustrasi gambar 4. Registrasi Data Laser Scanner 3D Registrasi merupakan proses penggabungan data hasil perekaman yang didapat dari beberapa scanworld (titik berdiri alat) sehingga terletak dalam satu sistem koordinat (Jacob, 2005 dalam Parana, 2012). Metode Tabel 2. Spesifikasi alat yang digunakan Leica scan station C 10 SYSTEM PERFORMANCE Accuracy of Single Measurement Position* 6 mm Distance* 4 mm Angle (horizontal/vertical) 60 µrad/60 µrad (12 /12 ) Modeled Surface 2 mm Precisin**/Noise Target Acquisition*** 2 mm std. deviation Dual-Axis Compensator Selectable on/off, resolution 1 Dynamic Range +/-5, Accuracy

34 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Tabel 3. Data teknis obyek dan pengaturan proses scanning 3D DATA SITUS Nama Situs Lokasi Gua Tapak Tangan Mengkuris Desa Batulepok, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur DATA TEKNIS PEMINDAIAN Jumlah Station (titik berdiri) 8 SW (scan world) Jumlah Data Point points Waktu Perekaman 16 jam ( 2 hari) Spasi/kerapatan proses scanning a. Permukaan obyek Jarak 10 5 mm b. Target scan Jarak 10 2 mm Gambar 4. Ilustrasi proses pemindaian Laser Scanner 3D scanstation C 10 registrasi yang digunakan dalam pengolahan TLS dalam penelitian ini adalah Multi Station Adjustment. Prinsip dasar dari metode ini adalah penggabungan data dari dua atau lebih posisi (scanworld) terhadap titik-titik data yang secara otomatis akan menemukan titik-titik data yang sama berdasarkan titik terdekat menggunakan proses adjustment. Algoritma dalam metode ini adalah Iterative Closest Point (ICP). PEREKAMAN DATA DILAPANGAN Survei dan perencanaan titik berdiri (scan world) Setelah dilakukan survey kondisi dilapangan kemudian diperhitungkan jumlah titik berdiri untuk bisa merekam seluruh area gua yang ada dan detail posisi lukisannya. Dari hasil survey data tersebut kemudian dilakukan proses pemindaian tiga dimensi (3D) dengan rincian data obyek dan data teknis pengaturan alat sebagai berikut : Delapan posisi titik berdiri scan (scan world) masing-masing memindai dengan area 360 derajad arah horizontal (dom) hal ini untuk merekam keseluruhan geometri gua dan juga detail posisi masing-masing lukisannya. Pengaturan kerapatan scan dengan besaran 5 mm pada jarak 10 m merupakan pengaturan dengan tingkat kedetilan sangat tinggi hampir mendekati tingkat kedetilan untuk akurasi pada target untuk penggabungan (registrasi) data akhir. Tingkat kerapatan yang sangat tinggi yaitu sebesar 5 mm mempunyai konsekuensi kapasitas data yang dihasilkan juga akan sangat besar seperti pada tabel 3 diatas menghasilkan data point sebesar points, untuk itu pengolahan data (post processing) juga memerlukan perangkat computer yang mempunyai spesifikasi yang tinggi. Gua Tapak Tangan Mengkuris mempunyai struktur geometri ruang dalam yang terbuka dan tidak begitu banyak lekukan, sehingga lebih memudahkan dalam proses pemindaian 3D, sedangkan posisi panel lukisan yang ada tersebar dari balkon atas sampai pada ruang bawah gua. Gambar 4. Ilustrasi proses pemindaian Laser Scanner 3D scanstation C 10 33

35 Brahmantara, Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D)... Proses pemindaian (scanning) Gua Tahap pemindaian (scanning) lukisan cadas dilakukan melalui tiga (3) tahapan, yaitu : 1. Pemotretan citra obyek 360 (Acquire Photo Image) Proses pengenalan obyek yang dilakukan dengan Pemotretan citra obyek. Hasil yang dapat dilihat pada proses ini adalah hasil foto dengan dimensi keliling sampai 360 untuk arah horisontal dan 270 untuk arah vertical Gambar 6. Satu sampel hasil pemindaian 3D 2. Pemindaian 3D (scanning) Merupakan proses inti dari Pemindaian 3D dimana instrument Laser Scanner melakukan perekaman terhadap surface obyek dengan pemindaian laser yang kemudian tersimpan dalam data point (Point Clouds) berkoordinat (x,y,z). Bagian obyek yang akan di scan dapat disetting sesuai dengan keinginan kita. Untuk setingan kerapatan point dapat dilakukan sampai dengan spasi 2 mm, semakian kecil/rapat setingan spasi yang kita lakukan maka data akan semakin kompleks dan detail, jumlah point yang dihasilkan akan semakian besar dan waktu yang dibutuhkan pun akan semakin lama. 3. Pemindaian Target (scanning target) Proses pemindaian target ini merupakan satu tahapan yang sangat penting karena metode penggabungan (registrasi) yang akan digunakan adalah dengan menggunakan target (target to target) sehingga diperlukan data scanning target yang akurat. Penggabungan data scan (registrasi) Proses penggabungan data scan (registrasi) ini dilakukan untuk menggabungkan data scan dari bebrapa Gambar 5. Hasil Acquire Photo Image Gambar 7. Hasil scanning target dengan kerapatan spasi 2 mm sudut gua sehingga didapatkan satu kesatuan data tiga dimensi (3D) yang utuh dan akurat. Pada proses pemindaian 3D (scanning) ini metode penggabungan yang digunakan adalah dengan metode menggunakan target (target to target). Disamping metode penggabungan menggunakan target ada beberapa metode lain yang bisa digunakan yaitu : 1. Metode cloud to cloud Titik ikat yang digunakan untuk registrasi didapat dari titik titik objek hasil perekaman sehingga pada saat perekaman target tidak perlu pemasangan target. Syarat agar scanworld dapat diregistrasi, maka antar scanworld harus memiliki pertampalan minimum sebesar 20 % dari daerah yang direkam. Kekurangan untuk metode ini kualitas registrasinya paling rendah dibanding dengan metode lainnya. 2. Metode Visual Aligment Visual dari masing masing posisi titik berdiri alat merupakan unsur yang penting dari metode ini, dan hasil pertampalan secara visual minimal 80 %, hampir sama dengan prinsip pada fotogrametri rentang dekat (close range fotogrametry), hal ini sangat akan berpengaruh terhadap hasil registrasi. Dibandingkan dengan metode target to target metode ini mempunyai tingkat kualitas akurasi yang lebih rendah. Metode target to target yang digunakan pada 34

36 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal proses perekaman ini dengan memasang target sebanyak 4 buah, target minimal yang bisa digunakan adalah sebanyak 3 buah, tambah 1 target tetap digunakan untuk mengantisipasi eror yang dihasilkan pada salah satu target. Dari proses registrasi dengan software cyclone 9.0 didapatkan tingkat eror yang cukup rendah dengan nilai hampir keseluruhan dibawah 2 mm sehingga hasil penggabungan data keseluruhan mempunyai tingkat akurasi yang sangat tinggi, untuk rincian tingkat eror dari masing masing target adalah sebagai berikut : Tabel 4. Nilai eror prose penggabungan (registrasi) data scan Gua Tapak Tangan Mengkuris Gambar 8. Denah Ruang Gua Mengkuris PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA Pengolahan data scan Proses pengolahan data menggunakan beberapa perangkat lunak (software) seperi cyclone 9.0, Autocad 2015, dan 3D Reshaper. Dari proses pengolahan data ini akan menghasilkan beberapa output dan produk antara lain : 1. Gambar (drawing) 2D Yang terdiri dari : Gambar Tampak, Gambar Potongan dan denah situasi Dari gambar 8,9 dan 10 yang merupakan data gambar dua dimensi (2D) bisa diketahui denah gua, potongan melintang dan data perbedaan elevasi pada masing-masing ruang yang ada didalam gua. 2. Gambar/citra 3D (3D model image point clouds) Format : tiff, bmp dan jpeg Gambar 11,12 dan 13 merupakan data gambar tiga dimensi (3D) keseluruhan bentuk geometri gua dan posisi masing-masing lukisan cadas yang ada. Dari hasil data ini bisa diketahui dengan mudah dimensi dari gua itu. Dalam tahapan analisis selanjutnya dari data ini juga bisa dibuat kontur (gambar 18) dan digital surface model (DSM) (gambar 17). Gambar 15 dan 16 menunjukan posisi keletakan Gambar 9. Gambar Potongan Memanjang A-A Gambar 10. Gambar Potongan Melintang B-B lukisan secara detail, posisi keletakan ini ditunukan dalam besaran koordinat (x,y,z) dari datum point yang sudah ditentukan. Dari gambar tersebut (15 dan 16) juga bisa dilihat secara detail bentuk lukisan dan ukuran masing-masing jari. 35

37 Brahmantara, Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D)... Gambar 14. Detail model 3D lukisan panel 1 Gambar 11. hasil model 3D posisi titik berdiri (scan world) Gambar 15. Detail model 3D lukisan panel 2 Gambar 12. hasil model 3D tampak atas (colour from scanner) Gambar 16. Detail model 3D lukisan panel 3 Gambar 13. hasil model 3D potongan memanjang (colour from scanner) 3. DSM (Digital Surface Model) dan kontur Salah satu output dan produk lain yang bisa dihasilkan dari pengolahan data scan 3D ini adalah DSM (Digital Surface Model) dan kontur. Data DSM (Digital Surface Model) cukup efektiv untuk digunakan sebagai visualisasi model untuk mengetahui beda tinggi yang terbentuk dalam perbedaan chart warna, sedangkan 36 untuk data kontur yang dihasilkan sangat detail bisa dibuat dengan internal dalam cm. file yang dihasilkan dalam format : mesh dan dwg; dxf 4. Animasi (fly through animation) Format data : avi Gambar 19 merupakan hasil pengolahan data dalam bentuk animasi dengan format avi. Hasil animasi ini cukup informative digunakan sebaggai visualisasi dalam rangka penyebaran informasi kepada masyarakat luas tentang detail bentuk gua dan lukisan yang ada didalamnya.

38 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Gambar 20. Output data berupa aplikasi virtual tour 360 Gambar 17. Hasil model 3D dalam format DSM Gambar 18. Hasil data kontur interval 25 cm Analisa Data Proses perekaman data dengan teknologi laser scanner 3D untuk sasaran obyek Gua Tapak tangan Mengkuris dilakukan dalam waktu 2 hari dengan estimasi operasional perekaman perharinya selama 8 jam, dan selama 8 jam alat melakukan proses pemindaian secara terus menerus. Proses registrasi dengan metode target to target menghasilkan eror yang sangat rendah, hampir semua titik beridir (scan world) dibawah 2 mm. Pengaturan spasi kerapatan scan sebesar 5 mm merupakan pengaturan dengan tingkat kedetailan sangat tinggi. Dari pengolahan data pemindaian 3D menghasilkan beberapa output yang cukup signifikan untuk perolehan data dalam format 2D dan 3D, termasuk juga animasi visual dan virtual tour. Dari analisa waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perekaman data lukisan cadas (Rock Art), metode menggunakan Terrestrial Laser Scanner ini hanya membutuhkan waktu yang cukup pendek hanya dengan waktu 2 hari menhasilkan beberapa output dan produk yang cukup banyak dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Gambar 19. Hasil data DSM bagian Pilar 5. Virtual tour 360 Operasional dengan aplikasi IE (internet explorer) Hasil data berupa virtual tour 360 pada gambar 20 diatas merupakan media yang tidak kalah menarik yang bisa digunakan sebagai media interaktif publikasi, selain sebagai media interaktif data virtual tour ini juga bisa digunakan sebagai referensi dan acuan data karena dari aplikasi ini juga bisa diketahui secara langsung posisi, ukuran dan bentuk dari masing-masing lukisan yang ada. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data perekaman lukisan cadas (Rock Art) pada Gua Tapak Tangan Mengkuris, di kawasan Karst Sangkulirang Mangkalihat dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu : 1. Terestrial Laser Scanner 3D sangat efektif untuk digunakan sebagai perangkat dan metode perekaman data tiga dimensi (3D) pada lukisan gua (Rock Art). 2. Efektifitas dari penggunaan perangkat Terestrial Laser Scanner 3D untuk perekaman data lukisan gua (Rock Art) ini bisa dilihat dari analisa kebutuhan waktu untuk proses perekaman, tingkat akurasi dan 37

39 Brahmantara, Pemanfaatan Teknologi Terestrial Laser Scanner Untuk Perekaman Data Dan Pendokumentasian Tiga Dimensi (3D)... ketelitian data dan produk atau output data yang bisa dihasilkan. 3. Nilai akurasi yang dihasilkan dari proses registrasi data point menghasilkan nilai akurasi yang sangat tinggi dari semua sudut dan titik berdiri (scan world) menghasilkan nilai eror rata-rata dibawah 2 mm, nilai eror tersebut masih sangat baik dibandingkan dengan eror yang dihasilkan oleh laser distometer dengan nilai sebesar 9 mm Saran Beberapa masukan yang bisa disampaikan dari hasil evaluasi dan analisa data penelitian antara lain : 1. Metode perekaman data Cagar budaya khususnya lukisan cadas (Rock Art) dalam format 3D sangatlah penting sebagai data dan acuan untuk penanganan konservasi dan monitoring. Terestrial Laser Scanner 3D merupakan salah satu metode yang sangat efektif untuk digunakan, namun penggunaan alat ini masih sangatlah terbatas dikarenakan faktor mahalnya alat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk pengembangan teknologi perekaman data berbasis 3D dengan metode lain yang lebih murah, efisien namun akurasinya tetap bisa dipertanggung jawabkan. 2. Hasil / output data dari perekaman 3D gua ini menghasilkan data koordinat x,y,z yang akurasinya sangat tinggi, format data yang dihasilkan ini bisa digunakan sebagai data untuk pembuatan maket atau prototype dengan skala yang sangat mudah untuk diatur. Untuk itu perlu kiranya untuk program pelestarian dan pengembangan informasi lukisan cadas ini dibuat maket atau prototype berdasarkan data Laser Scanner 3D DAFTAR PUSTAKA Aronaff Geographic Information System : A Management Perspective. Ottawa Kanada : WDLPublication Ford, D. & Williams, P Karst Hydrogeology and Geomorphology. John Wiley & Sons, Ltd., 562p. Pearson, Michael & Sharon Sullivan Looking After Heritage Places. Melbourne : Melbourne Universty Press Permana, R. Cecap Eka, Pola Gambar Tangan Pada Gua-gua Prasejarah Di Wilayah Pangep-Maros Sulawesi Selatan. Disertasi Depok : Universitas Indonesia Samodra, Hanang, Nilai Strategis Kawasan Kars di Indoensia, Pengelolaan dan Perlindungannya. Balitbang ESDM Departemen ESDM, Bandung. Robin Leteiler, Recording, Documentation and Information Management for the Conservation of Heriatge Places, The Getty Conservation Institute. Boyd, Carolyn E, Rock Art of the Lower Pecos, College Station, Texas A&M University Express Diego Gonzales_Aquilera, Angel Munoz Nieto, Javier Gomez Lahoz, Jesus Herrero, Gabriel Guiterez Alonso, D Digital Surveying and Modeling of Cave Geometry : Application to Paleolithic Rock Art, Sensors Journal. The ISPRS International Archives of the Photogrametry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/c.19 ISSN , sries 1, 2007 & CIPA Heritage Documentation Best Practices and Aplication. ICOMOS 38

40 Validasi Metode Penentuan Kalsium Pada Sampel Air Filter Layer Secara Automatik Titrasi Di Balai Konservasi Borobudur Yorfan Ruwindya dkk. Program Studi DIII Analis Kimia FMIPA Universitas Islam Indonesia yruwindya.ak@gmail.com Abstrak : Telah dilakukan validasi metode penentuan kalsium dalam sampel air filter layer dengan metode automatik titrasi. Air yang mengandung kalsium dianalisis dengan menggunkan alat automatik titrasi yang berprinsip pada titrasi potensiometri. Titer yang digunakan adalah larutan EDTA. Dalam penelitian ini dilakukan validasi metode dengan parameter akurasi, presisi, linieritas, batas deteksi dan batas kuantitatif. Nilai persen perolehan kembali (%Recovery) untuk sampel T2H sebesar 107,5286% dan sampel S2C sebesar 105,1429%. Nilai persen relatif standar deviasi (%RSD) untuk sampel T2H sebesar 1,8581% dan sampel S2C sebesar 2,0076%. Hasil linieritas metode menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,998. Nilai batas deteksi dari alat diperoleh sebesar 0,6858 mg/l dan batas kuantitatif sebesar 2,2862 mg/l. Berdasarkan hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan secara rutin pada penentuan kalsium dalam sampel air dengan alat automatik titrasi karena metode valid. Kata kunci: automatik titrasi, LOD, LOQ, linieritas, akurasi dan presisi Abstract : Has been validated method of determination of calcium in the water sample filter layer with automatic titration method. Water that contains calcium analyzed by using means of automatic titration principled on potentiometric titration. Titer used is EDTA solution. In this research, the method validation parameters of accuracy, precision, linearity, limit of detection and quantitative limits. Value percent recovery (% Recovery) for T2H samples and samples of % % of S2C. Value percent relative standard deviation (% RSD) for sample T2H of % and % of the sample S2C. The results show the method linearity correlation coefficient of Values obtained detection limits of the instrument of mg / L and a quantitative limit of mg / L. based on the results obtained, show that this method can be used routinely in the determination of calcium in water samples by means of automatic titration because the method is valid. Keywords: automatic titration, LOD, LOQ, linearity, accuracy and precision I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk melindungi Candi Borobudur yang merupakan salah satu warisan dunia (World Heritage), telah dilakukan dua kali pemugaran terhadap candi tersebut, yaitu pada tahun dan tahun Pasca pemugaran kedua terus dilakukan upaya pelestarian terhadap candi Borobudur. Kelestarian Candi Borobudur sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek bahan dan aspek konstruksi bangunan candi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kelestarian Candi Borobudur adalah faktor lingkungan, baik yang bersifat biotis (lumut, algae dan jasad renik lainnya) dan yang bersifat abiotis (panas matahari, hujan, kelembaban dan sebagainya). Pada pemugaran kedua Candi Borobudur dibuat sebuah lapisan yang disebut sebagai filter layer (lapisan penyaring). Lapisan penyaring (filter layer) dibuat untuk menahan perembesan air yang mengalir ke permukaan luar (Boniyem, 2013). Hal ini masih dirasa belum efektif karena air masih bisa mempengaruhi kelestarian bangunan candi, karena adanya kandungan-kandungan mineral dalam air. Salah satu kandungan mineral yang terdapat dalam air adalah kalsium. Kalsium yang berasal dari dalam air jika merembes ke bangunan candi, akan menambah kadar kalsium dalam bangunan candi karena umumnya bangunan candi terbuat dari batuan andesit yang sudah memiliki kadar kalsium yang cukup tinggi. Hal ini akan menimbulkan efek terbentuknya endapan garam pada permukaan bangunan candi dan endapan garam ini akan membentuk lapisan putih yang dapat merusak relief candi. Metode yang digunakan untuk menentukan kandungan kalsium dalam air filter layer ini adalah dengan mengikuti acuan pada prosedur Manual Practical Titration Metrohm, yaitu metode titrimetri yang ternyata sama dengan SNI tentang cara uji kalsium (Ca) dalam air dengan metode titrimetri. Metode ini merupakan metode rutin yang digunakan di 39

41 Ruwindya, Validasi Metode Penentuan Kalsium Pada Sampel Air Filter Layer Secara Automatik Titrasi Di Balai Konservasi Borobudur laboratorium dan akan digunakan pada alat yang berbeda yaitu autotitrator, sehingga perlu diuji validitasnya atau dilakukan validasi terhadap metode uji tersebut. Parameter yang ditentukan untuk melakukan validasi tersebut antara lain adalah batas deteksi, batas kuantitatif, presisi, dan akurasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memvalidasi metode pengujian penentuan kalsium dalam sampel air. B. Metode Penentuan konsentrasi kalsium dalam air filter layer pada Candi Borobudur ini menggunakan alat automatik titrasi Metrohm 848 Titrino Plus. Bahan yang digunakan sebagai standar pada penelitian ini antara lain larutan standar baku kalsium dengan konsentrasi 1000 mg/l dan larutan Titriplex III atau Na2EDTA dengan konsentrasi 0,01 M. Acuan prosedur penelitian ini mengacu pada SNI tentang cara uji kalsium (Ca) dalam air dengan metode titrimetri. Validasi metode dilakukan karena metode yang digunakan ini biasanya untuk model titrasi konvensional dan akan diterapkan pada titrasi otomatis atau titrasi potensiometri, maka metode ini perlu dilakukan validasi metode. Tabel 1. Volume titrasi dan konsentrasi sampel T2H air filter layer KODE VOLUME TITRASI KONSENTRASI SAMPEL (ml) (mg/l) T2H 1 1, ,26 T2H 2 1, ,35 T2H 3 1, ,87 T2H 4 1, ,33 T2H 5 1,472 23,6 T2H 6 1, ,41 T2H 7 1, ,01 Tabel 2. Volume titrasi dan konsentrasi sampel S2C air filter layer KODE VOLUME TITRASI KONSENTRASI SAMPEL (ml) (mg/l) S2C 1 1, ,02 S2C 2 1, ,96 S2C 3 1, ,86 S2C 4 1, ,35 S2C 5 1, ,79 S2C 6 1, ,58 S2C 7 1, ,41 Tabel 3. Penentuan %RSD dan %KV Horwitz sampel T2H air filter layer NO KONSENTRASI SD %RSD KV HORWITZ (mg/l) 1 23, , , ,33 0,4375 1,8581 9, ,6 6 23, ,01 X 23,5471 Tabel 4. Penentuan %RSD dan %KV Horwitz sampel S2C air filter layer NO KONSENTRASI SD %RSD KV HORWITZ (mg/l) 1 19, , , ,35 0,3814 2, , , , ,41 X 18,9957 Alat automatik titrasi ini sendiri juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari alat automatik titrasi antara lain dapat meneliti dengan cepat, tingkat akurasi baik, dan tingkat presisi baik. Kekurangan dari alat ini adalah alat ini tidak mampu menganalisis konsentrasi suatu sampel yang kecil di bawah 0,2 ppm, sehingga alat ini hanya cocok untuk menganalisis konsentrasi yang tinggi. II. PEMBAHASAN Hasil percobaan penentuan kandungan kalsium dalam sampel air filter layer dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Nilai konsentrasi kalsium dalam sampel telah dikonversi dari volume titran yang diperoleh untuk mentitrasi sampel. Penentuan kandungan kalsium dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: EP1 adalah volume titrasi (ml), 0,4008 mg/ml adalah faktor konversi Ca (1 ml Na2EDTA 0,01 M = 0,4008 mg), 1000 adalah faktor konversi dari ml menjadi L, dan C00 adalah volume sampel yang dititrasi (ml). 40

42 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Ca (mg/l) = EP1 X 0,4008 X 1000 C00 Kandungan kalsium yang terdapat dalam sampel air filter layert2h berkisar antara 23,35 mg/l sampai 24,33 mg/l dengan rata-rata 23,5471 mg/l. Sedangkan, untuk sampel air filter layer S2C berkisar antara 18,79 mg/l sampai 19,58 mg/l dengan rata-rata 18,9957 mg/l. Presisi dari metode yang digunakan untuk menganalisis kandungan kalsium dalam air filter layer diperoleh setelah menganalisis sampel dengan tujuh kali preparasi. Presisi ditentukan dari nilai simpangan baku relatif. Nilai tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: SD KV X : standar deviasi : koefisien variasi (RSD, simpangan baku relatif) : rata-rata pengukuran Hasil dari penentuan presisi pada analisis yang dilakukan terhadap sampel air filter layer dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan nilai persen relatif standar deviasi (%RSD) dan nilai KV horwitz yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa repitabilitas dari pengukuran sampel T2H dan S2C air filter layer diterima. Pengukuran akurasi dari metode yang digunakan ini dilihat dari uji persen perolehan kembali. Nilai persen perolehan kembali dilakukan dengan metode adisi (penambahan baku) yaitu dengan menambahkan sejumlah larutan standar ke dalam larutan sampel (spiking). Selisih hasil antara kandungan larutan yang di-spike dengan kandungan sampel tanpa spike dibandingankan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan). Perhitungan perolehan kembali dapat ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: SD KV (%) = X 100% X (C1 - C2) % Perolehan kembali (recovery) = X 100% C3 C1 : konsentrasi dari analit dalam campuran contoh + sejumlah tertentu analit C2 : konsentrasi dari analit dalam contoh C3 : konsentrasi dari analit yang ditambahkan kedalam contoh Hasil dari penentuan persen perolehan kembali (recovery) pada analisis yang dilakukan terhadap sampel air filter layer dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6, terlihat bahwa nilai persen perolehan kembali (% recovery) pada sampel T2H air filter layer berkisar antara 99,7% sampai 112,9% dengan nilai rata-rata sebesar 107,5286%, sedangkan, pada sampel S2C air filter layer nilai persen perolehan kembali (% recovery) yang diperoleh berkisar antara 99,3% sampai 111% dengan nilai rata-rata sebesar 105,1429%. Berdasarkan hasil nilai persen perolehan kembali atau % recovery yang diperoleh untuk setiap sampel, maka dapat disimpulkan bahwa akurasi dari metode yang digunakan dalam analisis penentuan kandungan kalsium pada sampel air filter layer ini baik. Penentuan linieritas dari metode digunakan lima konsentrasi kalsium yang berbeda yaitu dari konsentrasi 2 mg/l, 4 mg/l, 6 mg/l, 8 mg/l, dan 10 mg/l. Hasil pengukuran kalsium dalam larutan tersebut dapat dilihat Tabel 5. Penentuan % recovery pada sampel T2H air filter layer KONSENTRASI SAMPEL NON SPIKE,B (mg/l) KONSENTRASI SAMPEL SPIKE, A (mg/l) KONSENTRASI TARGET, C (mg/l) % RECOVERY 23,26 34, ,4 23,35 34, ,5 23,87 34, ,3 24,33 34, ,7 23,6 34, ,41 34, ,9 23,01 34, ,9 Rata-Rata 107,5286 Tabel 6. Penentuan % recovery pada sampel S2C air filter layer KONSENTRASI SAMPEL NON SPIKE,B (mg/l) KONSENTRASI SAMPEL SPIKE, A (mg/l) KONSENTRASI TARGET, C (mg/l) % RECOVERY 19,02 29, ,9 18,96 29, ,5 18,86 29, ,5 19,35 29, ,6 18,79 29, ,2 19,58 29, ,3 18,41 29, Rata-Rata 105,

43 Ruwindya, Validasi Metode Penentuan Kalsium Pada Sampel Air Filter Layer Secara Automatik Titrasi Di Balai Konservasi Borobudur Tabel 7. Konsentrasi terukur larutan standar Ca KONSENTRASI TEORITIS KONSENTRASI TERUKUR (mg/l) (mg/l) 2 2,44 4 4,04 6 6,43 8 8, ,44 C Terukur (mg/l) y = x R² = C Teoritis (mg/l) Tabel 8.Batas deteksi dan batas kuantitatif Gambar 1. Kurva linieritas PARAMETER NILAI Intersep 0,215 Slope (S) 1,0315 Koefisien korelasi 0,998 Koefisien determinasi 0,9961 pada Tabel 7. Kurva linieritas diperoleh dengan membuat kurva hubungan antara konsentrasi teoritis sebagai sumbu X dan konsentrasi terukur sebagai sumbu Y, sehingga nilai regresinya dapat ditentukan. Nilai dari regresinya dapt dilihat pada Tabel 8 dan kurva linieritas dapat dilihat pada Gambar 1. Nilai batas deteksi dan batas kuantitatif ditentukan dengan mengukur nilai larutan standar Ca pada lima konsentrasi yang berbeda yaitu 2; 4; 6; 8; 10 mg/l. Hasil dari pengukuran kemudian dibuat kurva antara konsentrasi secara teoritis dengan konsentrasi yang terukur. Batas deteksi dari metode ini diperoleh sebesar 0,6858 mg/l dan batas kuantitatif diperoleh sebesar 2,2862 mg/l, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Batas deteksi dan batas kuantitatif PARAMETER NILAI Standar deviasi 0, Slope (S) 1,0315 LOD 0,6858 mg/l LOQ 2,2862 mg/l III. PENUTUP Metode penentuan kalsium dengan metode titrasi potensiometri telah di validasi dengan parameter presisi, akurasi, linieritas, batas deteksi dan batas kuantitatif. Nilai dari persen perolehan kembali dan persen temu balik serta koefisien determinasi menunjukan bahwa metode yang digunakan baik dan sensitif. Metode yang digunakan valid. Hal ini berdasarakan nilai yang diperoleh dari semua parameter validasi. Metode ini dapat digunakan secara rutin pada penentuan kalsium dengan alat automatik titrasi. DAFTAR PUSTAKA BKB, 2014, Kompleks Candi Borobudur (Borobudur Temple Compounds), Borobudur, Indonesia: Balai Konservasi Borobudur (BKB). Boniyem, 2013, Verifikasi Metode Uji Penentuan Kandungan Timbal pada Sampel Air Filter layercandi Borobudur dengan Spektrofotometer Serapan Atom, Laporan PKL, FMIPA, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia (UII). Patel, D., Patel, S., Parmar, Y., Chauhan, K., Sannigrahi, P., Rawat, A.S., dan Vardhan, A., 2013, A Novel Potentiometric Titration Method for Quantitative Determination Bromide Content in Doxorubicin Hydrochloride, IJPRR, Vol. 2. No. 9, Riyanto, 2014, Validasi & Verifikasi Metode Uji: Sesuai dengan ISO/IEC Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi, Edisi 1, Yogyakarta: Deepublish. Soekmono, 1983, Pelita Borobudur Laporan Kegiatan Proyek Pemugaran Candi Borobudur Seri A No. 5: Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi Borobudur 1972/1973, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 42

44 Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi Yustinus Suranto dkk. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Abstrak : Memilih pohon yang tumbuh di tanah munggu merupakan kearifan tradisional masyarakat etnik Minang. Merekaberkeyakinan bahwa pohon ini menghasilkan kayu berkualitas tinggi sebagai bahan konstruksi. Pengukuran kualitas kayu sebagai bahan konstruksi dapat dilakukan berdasarkan banyak parameter, salah satu parameter diantaranya adalah sifat kekerasan kayu.penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur pohon, bonita dan posisi aksial batang terhadap sifat kekerasan dan kualitas kayu. Kayu jati dari kawasan hutan KPH Kendal Perum Perhutani Jawa Tengah dipilih sebagai obyek penelitian. Tiga puluh enam pohon jati ditebang dari petak-petak hutan pada kawasan hutan KPH Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Tiga cakram kayu berketebalan 6 cm diambil dari masing-masing posisi aksial batang, yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung masing-masing pohon. Pengukuran kekerasan kayu dilakukan berdasarkan standar British BS Data dianalisis dengan analisis varian dalam rancangan acak lengkap berblok yang disusun secara faktorial. Pengujian lanjutan dilakukan dengan analisis MRT Duncan. Berdasarkan kekerasannya, kualitas kayu ditentukan dengan metode analisis determinan berbasis pada kurva normal Z. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bonita berpengaruh terhadap kekerasan kayu, sedangkan kelas umur, posisi aksial batang dan seluruh interaksi faktor-faktor itu tidak berpengaruh. Nilai kekerasan kayu tertinggi dihasilkan bonita 3,5 (405,54 kg/cm2), diikuti bonita 4,5 (369,64kg/cm2), bonita4 (361,90 kg/cm2) dan bonita 3 (349,93kg/cm2). Berdasarkan nilai kekerasannya, kualitas kayu jati berperingkat kelas 3 dengan predikat kayu berkualitas sedang atau mediocre. Bonita cenderung berpengaruh meningkatkan kualitas kayu itu menjadi peringkat kelas 2 bila bonita berinteraksi dengan kelas umur 5 dan posisi kayu bagian pangkal batang. Kata kunci: umur, bonita, posisi aksial, kekerasan, kualitas kayu, jati Abstract : Traditional wisdom owned by Minang ethnic teaches to choose the tree that grows in the 'Tanah Munggu' as a source of wood for construction purposes. they believe that the timber produced from these locations have a high quality. Measuring wood quality as a construction material can be done based on many parameters, one parameter of which is wood hardness. The study was aimed to determine the effect of tree age, site qulaity index and stem axial position to hardness and wood quality. Teak wood grown on forest areas of Kendal Forest District, Perhutani forest state corporation on Central Java Province was chosen as research objects. Thirty-six teak trees were harvested on forest areas of Kendal Forest District, Central Java Province. Three disks were taken from each tree s stem, namely from the butt, middle and upper parts. Three of 6 cm thickness discs were taken axially on each free-branch stem, i.e the butt, middle and upper part of stem. Wood hardness was measured based on the British standard BS Data were analyzed by using variance analysis, which was designed in blocked factorial. The differences were tested further by using MRT Duncan. Wood quality was determined based on the wood hardness, and classification of wood quality was elaborated based on analysis disciminants of the Z curve normal. The results showed that site quality index affect the wood hardness, while the age class, stem axial position and all of the possible interaction among these factors had no effect on wood hardness. The highest value of wood hardness was produced by bonita 3.5 ( kg/cm2 ), followed by bonita 4.5 ( kg/cm2 ), bonita 4 ( kg/cm2 ) and bonita 3 (349, 93 kg/cm2 ). Based on it s wood hardness, the quality of teak wood was rated as a third class and It was predicated as moderate or mediocre level. The site quality index tends to have an affect of improving wood quality being ranked second grade when site quality indes was in interaction with age classes V and butt position of the stem. Key words: age, site quality index, stem axial position, hardness, wood quality, teak. I. Pendahuluan A. Latar Belakang Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, baik ditinjau dari perspektif etnik, bahasa, adat, budaya, agama, golongan maupun kelompok. Dengan demikian, bangsa Indonesia tersusun atas komponenkomponen etnik dalam kemajemukan. Masing-masing etnik memiliki budaya, adat dan tradisi yang unik dan hal ini merupakan perwujudan kearifan tradisional atau local genius. Kearifan tradisional merupakan sikap 43

45 Suranto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi dan aktivitas hidup yang berbasis pada budaya tradisi yang mengandung keunggulan. Kearifan tradisional dari masing-masing etnik itu menjadi komponen untuk mendukung pembentukan budaya bangsa Indonesia. Dengan kata lain, budaya Bangsa Indonesia merupakan perpaduan dari puncak-puncak budaya etnik, sehingga suatu keunggulan budaya berbasis pada kearifan local yang dimiliki oleh etnik tertentu disumbangkan menjadi karakter budaya unggul bangsa Indonesia. Salah satu wujud kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat etnik Jawa dalam kaitan dengan teknologi dan pengolahan kayu adalah peneresan pohon. Peneresan pohon adalah proses menghilangkan kulit batang pohon pada posisi bagian pangkal untuk mematikan pohon itu secara perlahan-lahan. Proses peneresan ini diyakininya sebagai salah satu wujud perlakuan terhadap pohon yang akan ditebang agar mendapatkan kayu yang berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas kayu yang disebabkan perlakuan peneresan ini ternyata mengandung kebenaran akademis, karena data empiris memperkuat kebenaran keyakinan itu. Oleh karena itu, peneresan pohon masih dipraktekkan pada pengelolaan hutan modern sampai saat ini (Suranto, 2011). Dalam konteks etnik Minang di Sumatera Barat, salah satu wujud kearifan tradisional yang berkait dengan teknologi kayu adalah memilih pohon dari jenis tertentu yang tumbuh di Tanah Munggu. Dalam perbincangan dengan Drs. Fitra Arda, MA., Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Batu Sangkar, diperoleh pemahaman bahwa Tanah Munggu adalah suatu lokasi tapak yang berada di puncak bukit yang tinggi dengan tingkat kelerengan yang terjal dan kondisi lahannya didominasi oleh cadas berbatu. Masyarakat etnik Minang memiliki keyakinan bahwa kayu yang dihasilkan dari pohon yang tumbuh di kawasan Tanah Munggu merupakan kayu yang berkualitas tinggi dibandingkan dengan kualitas kayu yang dihasilkan dari pohon yang tumbuh di tapak lainnya. Oleh karena itu, kayu dari Tanah Munggu ini dipilih sebagai bahan konstruksi, baik konstruksi bangunan yang terutama bersifat sakral, maupun konstruksi mebel. Kawasan Tanah Munggu yang dibedakan dari tapak kawasan lainnya dalam ranah kearifan lokal masyarakat etnik minang ini di dalam ranah pemikiran modern dikenal dengan konsep bonita. Bonita adalah terminologi untuk mendiskripsikan tingkat kesuburan tempat, pertumbuhan dan produktivitas biomasa pada suatu tempat (Wulffing, 1932). Tempat yang berbonita tinggi, berarti tempat itu memiliki tingkat kesuburan, pertumbuhan dan produktivitas biomasa tinggi tetapi disertai dengan kualitas kayu yang rendah. Sebaliknya, tempat yang berbonita rendah berarti tempat itu memiliki tingkat kesuburan, pertumbuhan dan produktivitas biomasa rendah, tetapi disertai dengan kualitas kayu yang tinggi (Prayitno, 1995). Konsep Tanah Munggu ini menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh bonita, umur pohon dan posisi kayu secara aksial pada batang terhadap tingkat kekerasan kayu dan kualitas kayu sebagai bahan konstruksi. Penelitian bertujuan untuk mencapai dua hal. Pertama, mengetahui pengaruh faktor umur pohon, bonita, posisi aksial batang dan interaksinya terhadap sifat kekerasan kayu. Kedua, menentukan kualitas kayu jati sebagai bahan konstruksi berdasar parameter nilai kekerasan kayu. Penelitian ini dilaksanakan dengan memilih lokasi kawasan hutan yang berjenis pohon jati yang dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kendal Perum Perhutani Jawa Tengah. Hutan jati pada KPH Kendal ini dipilih sebagai kawasan pelaksanaan penelitian hubungan antara tingkat bonita dengan kekerasan kayu dan kualitas kayu karena kawasan ini memiliki kondisi lahan dan dokumen lengkap tentang praktek silvikultur dan pengelolaan hutan yang dipersyaratkan bagi pelaksanaan penelitian. B. Tinjauan Pustaka Kondisi Ekologi dan Pertumbuhan Pohon Jati Jati (Tectonagrandis Linn) merupakan salah satu spesies tumbuhan yang tumbuh secara alami di Indonesia terutama di Pulau Jawa, Pulau Madura, dan Pulau Bali. Pohon jati dapat mencapai tinggi 30 meter dan diameter 50 cm dengan batang bebas cabang dapat mencapai 15 sampai dengan 20 meter. Batangnya berbentuk silindris dan terdapat alur longitudinal pada bagian pangkalnya serta berbanir. Pohon jati memiliki pola pertumbuhan tertentu, yaitu cenderung tumbuh dalam kondisi mengelompok dan memiliki sifat menggugurkan daun pada musim kemarau. Pertumbuhan pohon merupakan suatu proses pertambahan biomassa dan diwujudkan di dalam bentuk 44

46 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal pertambahan ukuran tinggi pohon dan pertambahan ukuran diameter batang, cabang dan ranting pohon. Pertumbuhan pohon dipengaruhi tiga faktor utama, yaitu potensi genetis, kondisi ekologis lingkungan tempat tumbuh pohon dan sistem silvikultur yang diterapkan dalam penumbuhan hutan (Baker dkk., 1979; Litman dan Nakamura, 2007). Kondisi ekologis lingkungan merupakan resultante dari pengaruh faktor-faktor: topografi, iklim dan tanah serta kegiatan manusia. Faktor topografi mewujud dalam kondisi pegunungan, lembah dan sungai. Faktor iklim meliputi temperatur, jumlah dan pola presipitasi dan kelembaban udara. Faktor tanah mencakup kondisi kimia dan fisika tanah, material geologi pembentuk tanah (Litman dan Nakamura, 2007). Bonita Bonita merupakan terminologi yang digunakan untuk mendiskripsikan terhadap mutu tempat tumbuh (site quality) atau mutu tapak di dalam kawasan hutan di Indonesia, khususnya kawasan hutan jati di Pulau Jawa. Mutu tempat tumbuh berimplikasi terhadap tingkat kesuburan tempat tumbuh. Sementara itu, tingkat kesuburan tempat tumbuh menentukan laju pertumbuhan pohon, volume kayu yang dihasilkan serta kualitasnya (Litman dan Nakamura, 2007). Bagi kawasan hutan jati di P. Jawa, pemeringkatan terhadap bonita telah dilakukan oleh Wolf von Wulffing. Dalam pemeringkatan ini, bonita diberi nilai peringkat dari angka satu sampai dengan enam, dengan perbedaan tingkatan mutu antara nilai peringkat satu terhadap peringkat berikutnya adalah setengah. Peringkat bonita disajikan dengan angka-angka yang secara berurutan sebagai berikut: 1, 1,5, 2, 2,5, 3, 3,5, 4, 4,5 dan seterusnya yang berakhir pada angka 6. Dengan demikian, terdapat keragaman yang tinggi dalam hal bonita di dalam kawasan hutan jati (Wulfing, 1932). Bonita ditentukan oleh ratarata nilai rata-rata dari 100 pohon tertinggi kawasan hutan seluas satu hektar. Semakin tinggi nilai rata-rata 100 pohon tertinggi, semakin tinggi nilai bonita. Bonita merupakan pencerminan dari pertumbuhan pohon. Proses Fisiologi Pertumbuhan Pohon dan Pembentukan Kayu Pertumbuhan pohon ditentukan oleh kondisi lingkungan dan proses-proses fisiologis yang berlangsung di dalam pohon. Proses-proses fisiologis itu antara lain fotosintesis, metabolisme nitrogen, respirasi, asimilasi, akumulasi garam, pencernaan, absorpsi, translokasi, transpirasi, pertumbuhan dan reproduksi (Baker dkk., 1979; Jones, 2014.). Fotosintesis merupakan proses sintesis karbohidrat atau glukosa. Berbahan dari glukosa ini, disintesis berbagai unsur-unsur kimia kayu, yakni selulosa, lignin, hemiselulosa dan ekstraktif. (Baker dkk., 1979; Litman dan Nakamura, 2007). Unsur-unsur kimia ini membentuk matriks mikrofibril dan menyusun dinding sel kayu. Sel yang merupakan suatu matrik dinding sel dan rongga sel ini jumlahnya sangat banyak, dan secara keseluruhan menjadi unsur sitologis penyusun kayu (Shmulsky dan Jones, 2011). Sifat Kayu Kayu memiliki sifat-sifat dasar dan sifat pengolahan yang khas. Sifat dasar kayu mencakup sifatsifat: kimia kayu, anatomi kayu dan struktur kayu, fisika kayu, dan mekanika kayu (Shmulsky dan Jones, 2011; Wanneng, 2011). Sifat mekanika kayu merupakan suatu aspek yang berkaitan dengan karakter kayu pada saat menahan muatan yang dibebankan kepadanya. Karakter yang berkaitan dengan mekanika ini dapat dirinci lebih lanjut menjadi kekerasan kayu, kekakuan kayu dan kelenturan kayu beserta kekuatan-kekuatan: lengkung, tekan, geser, belah dan tarik kayu. Penentuan jenis parameter yang paling tepat untuk ditampilkan, bergantung pada dua hal. Pertama, jenis dan arah gaya membebani kayu. Kedua, wujud pengorganisasian pada kayu saat menerima beban (Prawirohatmodjo, 2001). Berdasarkan kekuatannya, kayu dikelompokkan ke dalam lima kelompok kekuatan kayu. Kelas kuat I merupakan kelompok kayu paling kuat, sedangkan kelas V merupakan kelompok kayu yang paling lemah (Anonim, 1976). Kualitas Kayu Kualitas kayu merupakan suatu konsep mengenai kondisi baik-tidaknya suatu kayu yang dinyatakan berdasarkan parameter yang melekat pada kayu tersebut. Kondisi kayu penentu kualitas itu diorientasikan pada kegunaan kayu. Mengingat bahwa kegunaan kayu berkait dengan nilai kayu, maka kualitas kayu berkait dengan nilai 45

47 Suranto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi kayu. Konsep kualitas kayu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu kehutanan, khususnya yang mencakup ilmu silvikultur, ilmu kayu serta teknologi kayu (Prayitno, 1995). Konsep kualitas kayu berkembang lebih lanjut dengan adanya tambahan persyaratan yang disesuaikan dengan jenis dan karakter industri pengolahan kayu. Industri pengolahan kayu di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu industri konstruksi, industri serat khususnya pulp dan kertas, dan industri energi. Industri konstruksi meliputi menjadi dua macam, yaitu industri konstruksi bangunan dan industri konstruksi mebel. Pengaruh Umur, Ponitadan Posisi Aksial Batang terhadap Kualitas Kayu Perhatian yang besar telah ditunjukkan oleh ilmuwan terhadap pengaruh umur pohon terhadap sifatsifat kayu. Zobel dkk. (1965), menyatakan bahwa umur pohon memiliki pengaruh secara langsung terhadap sifatsifat kayu. Hasil-hasil studi dari banyak peneliti mengenai hal ini telah dikompilasikan oleh Zobel dan Buijtenen (1989). Kekuatan kayu semakin tinggi seiring dengan semakin tua umur pohon. Variabilitas kayu sangat besar sehingga penentuan kualitas kayu sangat penting. Sebagaimana disebutkan, bahwa bonita ditentukan oleh rata-rata nilai rata-rata dari 100 pohon tertinggi kawasan hutan seluas satu hektar. Semakin tinggi nilai rata-rata 100 pohon tertinggi, semakin tinggi tinggi nilai bonita. Dengan kata lain, bonita merupakan pencerminan dari pertumbuhan pohon. Semakin tinggi angka bonita sebuah petak hutan sebagai satuan administrasi pengelolaan hutan, maka petak tersebut akan semakin tinggi kualitas tempat tumbuhnya dan semakin besar pula kuantitas kayu yang dihasilkan (Wulffing,1932). Sementara itu, perbedaan tingkat kecepatan pertumbuhan pohon, berpengaruh terhadap kualitas kayu yang dihasilkan (Zobel dan Buijtenen, 1989; Moore dkk 2009). C. Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan penelitian berupa pohon jati sebanyak 36 batang yang ditebang dari 36 petak terpilih dari kawasan hutan KPH Kendal seluas ,58 ha, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pohon sebanyak 36 batang mewakili tiga aras kelas umur (yaitu III, IV dan V) dan empat aras bonita (yaitu 3, 3,5, 4 dan 4,5) dengan tiga kali ulangan setiap kombinasi perlakuan. Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Pertama, memilah petak-petak hutan yang terkategori sebagai kelas umur III, IV dan V dari hutan di dalam kawasan hutan KPH Kendal dengan koordinat ' 22'' LS sampai dengan ' 17'' LS dan ' 28'' BT sampai dengan ' 35'' BT. Petak-petak ini tercatat di dalam buku Register Inventarisasi Hutan (Model RPKH PDE2) Bagian Hutan (BH) Subah, BH Kalibodri, BH Kaliwungu, KPH Kendal, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kedua, memilah lebih lanjut berdasarkan tingkat bonita terhadap petak-petak hutan yang menjadi anggota populasi hutan berkelas umur III, kemudian diambil petak-petak yang termasuk ke dalam empat kelompok bonita, yaitu kelompok bonita: 3, 3,5, dan 4, serta 4,5. Aktivitas yang sama juga dilakukan terhadap kelas umur IV dan V. Dengan demikian, secara keseluruhan terpilah 12 kelompok petak hutan. Ketiga, memilih tiga petak dari setiap 12 kelompok itu, sehingga diperoleh 36 petak yg menjadi sumber bahan penelitian. Pemilihan didasarkan pada nilai-nilai penting dengan urutan: status kelas hutan (KU, TJBK, TBPTH, HLT), tahun tanam dan kerapatan tegakan (Dkn). Rekapitulasi petak-petak hutan terpilih disajikan pada sebuah tabel di bawah ini. Keempat, melakukan inventarisasi terhadap pohon-pohon yang tumbuh pada setiap petak hutan terpilih. Inventarisasi dilakukan dengan metode petak ukur yang ditentukan berdasarkan teknik sampling dengan intensitas 2,5%. Petak ukur dibuat berbentuk lingkaran berjari-jari 17,8 m, sehingga luas setiap petak ukur adalah 0,1 ha. Kelima, mengukur keliling batang pada posisi setinggi dada terhadap semua pohon yang berada di dalam setiap petak ukur, kemudian menghitung nilai rata-rata. Nilai rata-rata ini dijadikan dasar untuk menentukan pohon sampel yang akan ditebang sebagai wakil pohon dari masing-masing petakhutan terpilih. Bersama dengan petak-petak hutan terpilih, hasil penelitian mengenai nilai rata-rata keliling batang setinggi dada pohon sampel yang mewakili masing-masing petak 46

48 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Tabel 1. Petak-petakTerpilih dalam Hutan dan Nilai Rata-rata (cm) Keliling Setinggi Dada Batang Pohon yang Mewakili Masing-masing Petak. ULANGAN NO KELAS UMUR BONITA Petak Keliling (cm) Petak Keliling (cm) Petak Keliling (cm) 1 III 3 36D E 80,48 89C 56,8 2 III 3,5 43O 96 3H 80,5 56J 52,2 3 III 4 33A C 81 37D 70 4 III 4,5 11A 94 14B 74,5 4J 70,17 5 IV 3 6C 100,1 36D1 116,8 37A 75 6 IV 3,5 43J H C 88,97 7 IV 4 26C 86 36G 96,58 36H 136,33 8 IV 4,5 46G C A V 3 18C 128,3 18A 102 6H 135,54 10 V 3,5 41C A A V 4 5C C 102,29 65E V 4,5 64B E A 124,25 terpilih ini disajikan pada Tabel 1 berikut. Keenam, menebang pohon sampel dari petak. Penebangan didahului dengan pemberian tanda cat warna merah pada kulit batang yang menghadap ke utara. Ketujuh, membagi batang bebas cabang menjadi bagian pangkal, tengah dan ujung. Kedelapan, memotong setiap posisi batang untuk mendapatkan cakram (disk) berukuran 6 cm arah longitudinal, sehingga secara keseluruhan, diperoleh 108 cakram. Setiap cakram diberi notasi nomor pohon, bagian kayu arah aksial batang dan tanda yang menyatakan orientasi arah utara. Kesembilan, membuat contoh uji dengan ukuran tebal, lebar dan panjang masing-masing 2 cm x 2 cm x 6 cm. Contoh uji dikondisikan sedemikian rupa sehingga mencapai keadaan kering udara dengan kadar air 14 %. Kesepuluh, melakukan pengujian kekerasan kayu berdasarkan standar British BS Alat yang diperlukan dalam penelitian ini ada delapan macam. Ke-8 alat itu meliputi: (1) Gergaji rantai potong/ chain saw, digunakan untuk menebang pohon dan memotong balak menjadi cakram kayu berukuran 6 cm. (2) Gergaji pita dan gergaji bundar, digunakan untuk membuat contoh uji, (3) Pita ukur, untuk mengukur dimensi panjang cakram, (4) Kaliper merk Mitutoyo dengan ketelitian 0,001 mm, untuk mengukur tebal, lebar dan panjang contoh uji, (5) moisture meter, untuk mengukur kadar air kayu (6) Rak dan kipas angin digunakan untuk mengeringkan secara alami terhadap contoh uji sehingga mencapai kadar air 14%. (7) Mesin uji mekanika kayu merk Baldwin Satec System Inc.Type Universal Testing Machine Model 60 HVL LB, dan(8) alat tulis dan peralatan pendukung. Analisis Hasil Penelitian Penelitian melibatkan tiga faktor, yaitu kelas umur, bonita dan posisi aksial batang bebas cabang. Faktor kelas umur mencakup tiga aras, yaitu kelas umur III, IV dan V. Faktor bonita mencakup empat aras, yaitu bonita 3, 3,5, 4 dan 4,5. Faktor posisi aksial kayu mencakup tiga aras, yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung batang. Dengan ulangan tiga kali, sehingga diperoleh 108 unit pengujian. Analisis hasil penelitian dilakukan dengan analisis varian dalam rancangan acak lengkap berblok yang disusun secara faktorial (Snedecor dan Cochran, 1964; Delorme, 2014). Apabila ditemukan adanya faktor perlakuan dan interaksinya yang berpengaruh nyata, maka dilakukan pengujian lanjutan dengan menggunakan analisis Multiple Range Test (MRT) Duncan. Analisis kualitas kayu berdasarkan kekerasannya dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan berdasarkan kurva normal Z. Kelas kualitas kayu dibedakan menjadi lima peringkat. Dengan demikian, analisis diskriminan juga membedakan wilayah kurva normal Z itu menjadi lima wilayah dengan kriteria berikut. Wilayah 1 berada pada posisi dengan nilai Z1< - 1,5. Wilayah 2 dengan nilai 1,5 <Z 2 < - 0,5. Wilayah 3 dengan nilai -0,5<Z 3 < + 0,5. Wilayah 4 dengan nilai + 0,5 <Z 4 < + 1,5. Wilayah 5 dengan nilai Z 5 > +1,5. 47

49 Suranto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi Nilai Z bagi masing-masing sampel dihitung dengan rumus: Zi = {(Xi - µ) / σ}. Notasinya adalah sebagai berikut. Zi adalah nilai Z pada pengamatan kei, Xi adalah nilai pengamatan terhadap sampel ke-i, µ adalah nilai rata-rata dari seluruh sampel dan σ adalah standar deviasi masing-masing nilai Z terhadap nilai ratarata pengamatan. II. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian Hasil penelitian kekerasan kayu disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Pengukuran KekerasanKayu (kg/cm2) KELAS BONITA POSISI ULANGAN NILAI UMUR RERATA III 3 Pangkal 395,50 280,32 512,72 396,18 Tengah 380,21 288,47 341,47 336,72 Ujung 433,21 283,37 322,11 346,23 3,5 Pangkal 427,10 428,12 381,23 412,15 Tengah 426,08 393,46 382,25 400,60 Ujung 440,35 335,36 320,07 365,26 4 Pangkal 423,02 338,42 424,04 395,16 Tengah 369,00 268,08 274,20 303,76 Ujung 414,87 387,34 327,20 376,47 4,5 Pangkal 381,23 260,95 261,97 301,38 Tengah 362,88 405,69 269,10 345,89 Ujung 396,52 347,59 301,72 348,61 IV 3 Pangkal 319,05 300,70 458,70 359,48 Tengah 412,83 200,81 309,88 307,84 Ujung 461,76 389,38 413,85 421,66 3,5 Pangkal 409,77 476,03 490,30 458,70 Tengah 392,44 380,21 441,37 404,67 Ujung 321,09 373,07 313,95 336,04 4 Pangkal 334,34 373,07 278,28 328,56 Tengah 376,13 370,02 314,97 353,71 Ujung 477,04 360,84 355,75 397,88 4,5 Pangkal 445,45 381,23 311,91 379,53 Tengah 397,54 382,25 353,71 377,83 Ujung 311,91 407,73 374,09 364,58 V 3 Pangkal 386,32 415,89 298,66 366,96 Tengah 333,32 154,94 467,87 318,71 Ujung 318,03 226,29 342,49 295,60 3,5 Pangkal 419,96 330,26 397,54 382,59 Tengah 381,23 545,34 320,07 415,55 Ujung 540,24 530,05 352,69 474,33 4 Pangkal 288,47 392,44 408,75 363,22 Tengah 261,97 473,99 322,11 352,69 Ujung 344,53 448,50 363,90 385,64 4,5 Pangkal 465,83 547,38 389,38 467,53 Tengah 360,84 424,04 367,98 384,29 Ujung 391,42 355,75 324,15 357,10 Analisis Hasil Penelitian Pengaruh faktor kelas umur, faktor bonita, faktor posisi aksial batang dan interaksi antara faktor-faktor tersebut terhadap kekerasan kayu dapat diketahui dengan melakukan analisis varian. Hasilnya disajikan dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3. Analisis Varian KekerasanKayu (kg/cm2) SUMBER VARIASI Keterangan: tanda * berarti berbeda secara nyata, ns berarti tidak berbeda nyata. Hasil analisis varian tersebut memperlihatkan, bahwa faktor bonita mempengaruhi secara nyata terhadap kekerasan kayu, dengan nilai F-hitung = 3,30 dan tingkat signifikansi 0,025. Sementara itu, faktor kelas umur, posisi aksial batang dan interaksi antara faktorfaktor tersebut tidak berpengaruh terhadap kekerasan kayu. Oleh karena itu, pembedaan terhadap kekerasan kayu dalam aras bonita perlu dilakukan dengan analisis MRT Duncan. Hasilnya secara numeris disajikan pada Tabel 4 berikut. DB JUMLAH KUADRAT Blok , ,93 1,90 ns 0,1574 Kelas Umur (KU) , ,78 0,78 ns 0,4642 Bonita , ,62 3,30* 0,0252 KU*Bonita , ,19 1,00 ns 0,4340 PosisiAksialBatang , ,25 1,28 ns 0,2852 KU*Posisi 4 974,17 243,54 0,05 ns 0,9948 Bonita*Posisi , ,45 0,65 ns 0,6883 KU*Bonita*Posisi , ,69 1,58 ns 0,1168 Error , ,78 Total ,45 RATA-RATA KUADRAT Keterangan: nilai ditandai oleh huruf yang sama berarti nilai tersebut tidak berbeda secara nyata Analisis Diskriminan Kualitas Kayu F HITUNG SIGNIFI KANSI Tabel 4. Pengaruh Bonita Terhadap Kekerasan Kayu (kg/ cm2) BONITA RATA-RATA NILAI DUNCAN 5% 3 349,93 b 3,5 405,54 a 4 361,90 b 4,5 369,64 ab 37,17 Analisis diskriminan penentuan kualitas kayu dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata, standar deviasi dan nilai Z, kemudian menentukan arah gerak nilai Z dan memperingkat kualitas kayu. Berdasarkan 48

50 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal hasil perhitungan, diperoleh nilai rata-rata kekerasan kayu sebesar 371,75 kg/cm2 dan standar deviasi sebesar 71,57 kg/cm2. Dengan menggunakan rumus Z, diperoleh hasil perhitungan nilai Z bagi setiap nilai rata-rata pada faktorfaktor: kelas umur, bonita, dan posisi aksial batang serta interaksi antara masing-masing faktor tersebut. Sementara itu, dipahami bahwa pola keterkaitan antara kekerasan kayu dan peringkat kualitas kayu itu bersifat positif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat kekerasan kayu membawa konsekuensi semakin tinggi pula kelas kualitas kayu. Keterkaitan yang bersifat positif ini dijadikan dasar untuk menentukan status nilai Z. Dengan demikian, hubungan nilai Z dengan kualitas kayu juga berpola positif atau berarah gerak kekanan, sehingga semakin besar nilai Z juga berarti semakin tinggi peringkat kualitas kayu. Kualitas kayu yang semakin tinggi diberi notasi peringat kelas kualitas 1 sampai dengan 5, yang secara berurutan masing-masing peringkat kelas kualitas itu diberi predikat sangat baik, baik, sedang, buruk dan sangat buruk. Hubungan antara wilayah Z, nilai Z, peringkat kualitas dan predikat kualitas disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Klasifikasi Kualitas Kayu berdasarkan Nilai Z Kekerasan Kayu Wilayah Z Nilai Z Peringkat Kualitas Predikat 1 Z< -1,5 5 Sangat buruk Berdasarkan pola penempatan nilai Z pada kurva normal tersebut, maka dapat diketahui besarnya nilai kelas kualitas kayu bagi setiap nilai rata-rata kekerasan kayu yang dimiliki oleh setiap faktor penelitian, yakni kelas umur, bonita, posisi aksial batang serta setiap interaksi antara ketiga faktor tersebut. Bersama dengan hasil perhitungan nilai rata-rata, standar deviasi dan nilai Z, maka hasil pemeringkatan kualitas kayu berdasarkan kekerasan disajikan pada Lampiran 1. B. Pembahasan Pembahasan Terhadap Kekerasan Kayu 2-1,5 <Z< -0,51-0,5 <Z< 0.5 0,51 <Z< 1,5 4 Buruk Analisis varian pada Tabel 3 memperlihatkan, bahwa hanya faktor bonita yang berpengaruh nyata terhadap kekerasan, sedangkan faktor umur, posisi aksial 3 3 Sedang 4 2 Baik 5 Z > 1,5 1 Sangat baik batang dan interaksi antara faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh secara nyata. Hasil Pengujian MRT Duncan pada Tabel 4, memperlihatkan bahwa nilai kekerasan tertinggi dimiliki oleh bonita 3,5 (405,54 kg/cm2), kemudian diikuti nilai pada bonita 4,5 (369,64 kg/cm2) dan nilai pada bonita 4 (361,90 kg/cm2) serta oleh bonita 3 (349,93 kg/cm2). Kekerasan kayu yang dihasilkan oleh pohon yang tumbuh pada bonita berbeda secara nyata terhadap kekerasan kayu dari bonita 3 dan 4. Hasil penelitian pengaruh bonita terhadap kekerasan yang memiliki kecenderungan demikian dapat dipahami, khususnya bila dikaitkan dengan variasi berat jenis. Penelitian pengaruh umur, bonita, dan posisi aksial batang terhadap berat jenis jati memperlihatkan, bahwa bonita berpengaruh sangat nyata terhadap berat jenis. Analisis MRT Duncan memperlihatkan, bahwa berat jenis pada bonita 3, 3,5 dan 4 serta 4,5 adalah 0,48 dan 0,51 dan 0,48 serta 0,49. Berat jenis pada bonita 3,5 memiliki nilai tertinggi dan berbeda sangat nyata terhadap bonita 3, 4, dan 4, 5, sedangkan bonita 3, 4, dan 4, 5 tidak berbeda nyata (Suranto dkk., 2015). Keterkaitan secara paralel antara kekerasan dan berat jenis ini dapat dipahami, mengingat bahwa berat jenis merupakan indikator tentang banyaknya zat biomasa sebagai penyusun dinding sel kayu, sehingga semakin besar berat jenis akan mengakibatkan semakin besar pula jumlah dinding sel yang ada pada kayu. Sementara itu, semakin jumlah zat biomasa pada kayu akan mengakibatkan semakin besar pula kekerasan kayu. Hal ini didasarkan teori yang dikemukan antara lain oleh Prawirohatmodjo (2001) dan Shmulsky dan Jones (2011). Pembahasan terhadap Kualitas Kayu Berdasarkan Hasil Pemeringkatan Kelas Kualitas Kayu sebagaimana disajikan pada Lampiran 1, terlihat bahwa faktor tunggal umur pohon, bonita, dan posisi aksial batang serta berbagai interaksi dua faktor maupun tiga faktor itu menghasilkan nilai kualitas kayu berbedabeda. Secara keseluruhan nilai-nilai kualitas kayu itu berada di dalam kisaran nilai angka terendah 2 dan nilai angka tertinggi 4, dengan nilai rata-rata keseluruhan adalah 3,01. Nilai angka terendah 2 diwakili antara lain oleh interaksi dua faktor yaitu kelas umur V dan bonita 3,5 (5 x 3,5), sedangkan nilai indeks kualitas kayu tertinggi 4 diwakili oleh interaksi kelas umur III dan bonita 4,5 49

51 Suranto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi (3 x 4,5). Nilai rata-rata total 3,01 ini dapat dibulatkan menjadi nilai 3, yang berarti bahwa nilai 3 mendominasi peringkat kualitas kayu. Kelas kualitas 3 mengindikasikan bahwa kayu memiliki predikat kualitas sedang (mediocre) sebagai bahan konstruksi. Dalam konteks umur pohon, terlihat bahwa kayu dari pohon kelas umur III, IV dan V memiliki tingkat kekerasan kayu masing-masing sebesar 360,70 dan 374,21 dan 380,35 kg/cm2 sehingga semakin tua umur pohon menghasilkan kayu dengan kekerasan semakin tinggi secara numeris. Meskipun demikian, semua nilai itu berada di dalam indeks kualitas kayu 3. Dengan demikian, baik kelas umur III, IV maupun V menghasilkan kayu dengan kelas kualitas dengan predikat sedang (mediocre) sebagai bahan konstruksi. Dalam konteks bonita, terlihat bahwa kayu yang dihasilkan dari tempat tumbuh dengan bonita 3, 3,5 dan 4 serta 4,5 memiliki kekerasan kayu yang berbeda, yaitu masing-masing sebesar 349,93 kg/cm2, 405,54 kg/cm2, dan 361,90 kg/cm2 serta 369,64 kg/cm2. Meskipun demikian, semua nilai itu termasuk ke dalam indeks kualitas kayu 3. Sehingga, baik bonita 3, 3,5, 4, dan 4,5 menghasilkan kayu dengan kelas kualitas dengan predikat yang sama, yaitu kualitas sedang (mediocre) sebagai bahan konstruksi. Dalam konteks posisi aksial batang, terlihat bahwa kayu yang berasal dari bagian pangkal, tengah, dan ujung batang memiliki kekerasan kayu yang berbedabeda, yaitu masing-masing sebesar 384,29 kg/cm2, 358,52 kg/cm2, dan 372,45 kg/cm2. Meskipun nilai kekerasan kayu berbeda secara numeris, tetapi semua nilai itu termasuk ke dalam indeks kualitas kayu 3. Dengan demikian, baik posisi pangkal, tengah maupun ujung batang menghasilkan kayu dengan kelas kualitas yang predikatnya sama, yaitu kualitas sedang (mediocre) sebagai bahan konstruksi. Dalam konteks interaksi antara kelas umur dan bonita, terlihat bahwa interaksi antara kelas umur V dan bonita 3,5 memiliki indeks kualitas kayu terendah, yaitu 2, sebaliknya interaksi antara kelas umur III dan bonita 4,5 memiliki indeks kualitas kayu tertinggi 4. Notasi perlu disajikan disini, bahwa indeks kualitas kayu yang angkanya semakin kecil, membawa konsekuensi bahwa kelas kualitas kayu semakin tinggi. Dengan demikian, ditemukan realitas bahwa interaksi antara kelas umur V dan bonita 3,5 memiliki kelas kualitas kayu tertinggi, sebaliknya interaksi antara kelas umur III dan bonita 4,5 memiliki kelas kualitas kayu terendah. Kenyataan ini dapat dipahami berdasarkan argumentasi berikut. Di dalam konteks kelas umur, terbukti bahwa kelas umur V memiliki nilai kekerasan kayu yang tertinggi dibandingkan kelas umur III dan IV. Sementara itu, di dalam konteks bonita terlihat bahwa bonita 3,5 menghasilkan kekerasan kayu yang paling tinggi pula dibandingkan dengan bonita 3, bonita 4, dan bonita 4,5. Kedua aras yang menempati posisi kekerasan kualitas tertinggi baik pada faktor kelas umur maupun faktor bonita ini berinteraksi, sehingga menghasilkan interaksi yang memiliki nilai yang tertinggi pula. Sebaliknya justru berlaku bagi interaksi antara kelas umur III dan bonita 4,5. Di dalam konteks kelas umur, terbukti bahwa kelas umur III memiliki kekerasan kayu yang terendah dibandingkan kelas umur IV dan V. Sementara itu, di dalam konteks bonita terlihat pula bahwa bonita 4,5 menghasilkan kekerasan kayu yang berada pada besaran ketiga dibandingkan dengan bonita 3, bonita 3,5 dan bonita 4. Kedua aras peringkat yang menempati posisi kelas kualitas terendah pada faktor kelas umur dan urutan ketiga pada faktor bonita itu kemudian berinteraksi, sehingga menghasilkan interaksi yang memiliki nilai interaksi yang terendah pula bagi interaksi kelas umur III dan bonita 4,5. Dalam konteks interaksi antara umur pohon dan posisi aksial batang, terlihat bahwa seluruh interaksi kelas umur dan posisi pangkal batang memiliki indeks kualitas kayu yang sama, yaitu 3. Dengan demikian, seluruh nilai indeks kualitas kayu itu pada berbagai interaksi antara kelas umur dan posisi aksial batang itu berada di dalam kelas kualitas yang sama, yaitu kelas kualitas 3. Hal ini berarti seluruh interaksi antara faktor umur dan faktor posisi aksial batang itu terkatagorikan ke dalam predikat kualitas kayu cukup (mediocre) sebagai bahan konstruksi. Dalam konteks interaksi antara bonita dan posisi aksial batang, terlihat bahwa interaksi antara bonita 3,5 dan posisi pangkal (3,5 x P) memiliki indeks kualitas kayu terendah, yaitu 2. Sebaliknya, interaksi antara bonita 4,5 dan posisi ujung batang (4,5 x U) memiliki indeks kualitas kayu tertinggi, yakni 4. Untuk memperlihatkan keterkaitan antara indeks kualitas kayu dan kelas kualitas kayu, disini disajikan sebuah notasi, bahwa indeks kualitas kayu yang angkanya semakin kecil, memberikan konsekuensi bahwa 50

52 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal kelas kualitas kayu semakin tinggi. Dengan demikian, ditemukan realitas bahwa interaksi antara bonita 3,5 dan posisi pangkal batang (3,5 x P) memiliki kelas kualitas kayu tertinggi, sebaliknya interaksi antara bonita 4,5 dan posisi ujung (4,5 x U) memiliki kelas kualitas kayu terendah. Kenyataan ini dapat dipahami, berdasarkan argumentasi berikut. Di dalam konteks bonita terlihat bahwa bonita 3,5 menghasilkan nilai kekerasan kayu yang paling tinggi dibandingkan dengan bonita 3, bonita 4, dan bonita 4,5. Sementara itu, di dalam konteks posisi aksial batang, terlihat bahwa posisi pangkal juga menghasilkan nilai kekerasan kayu yang paling tinggi dibandingkan dengan posisi tengah dan ujung batang. Kedua aras yang menempati posisi kekerasan kayu tertinggi pada faktor bonita maupun faktor posisi aksial batang itu berinteraksi, sehingga menghasilkan hasil interaksi yang tertinggi pula. Kondisi sebaliknya justru berlaku bagi interaksi antara bonita 4,5 dan posisi ujung batang (4,5 x U). Di dalam konteks bonita, terbukti bahwa bonita 4,5 memiliki nilai kekerasan kayu yang rendah, yakni pada urutan ketiga di bawah bonita 3,5 dan bonita 4. Sementara itu, di dalam konteks posisi aksial batang, terlihat pula bahwa posisi ujung batang menghasilkan kekerasan kayu yang paling rendah dibandingkan dengan kekerasan kayu pada posisi tengah batang, apalagi terhadap posisi pangkal batang. Kedua hal itu berinteraksi, sehingga menghasilkan interaksi yang memberikan nilai kekerasan kayu yang terendah, sehingga predikat kelas kualitasnya juga menempati posisi terendah. Dalam konteks interaksi antara kelas umur, bonita dan posisi aksial batang, terlihat bahwa interaksi antara kelas umur IV, bonita 3,5 dan posisi pangkal (4 x 3,5 x P) memiliki indeks kualitas kayu terendah, yaitu 2. Sebaliknya, interaksi antara kelas umur III, bonita 4,5 dan posisi ujung batang (3 x 4,5 x U) memiliki indeks kualitas kayu tertinggi, yakni 4. Untuk memperlihatkan keterkaitan antara indeks kualitas kayu dan predikat kelas kualitas kayu, disini disajikan sebuah notasi, bahwa indeks kualitas kayu yang angkanya semakin kecil, memberikan konsekuensi bahwa predikat kelas kualitas kayu semakin tinggi. Dengan demikian, ditemukan realitas bahwa interaksi antara kelas umur IV, bonita 3,5 dan posisi pangkal batang (4 x 3,5 x P) memiliki kelas kualitas kayu tertinggi, sebaliknya interaksi antara kelas umur III, bonita 4,5 dan posisi ujung (3 x 4,5 x U) memiliki kelas kualitas kayu terendah. Kenyataan ini dapat dipahami, berdasarkan argumentasi berikut. Di dalam konteks bonita terlihat bahwa bonita 3,5 menghasilkan tingkat kekerasan kayu yang paling tinggi dibandingkan dengan bonita 3, bonita 4, dan bonita 4,5. Sementara itu, di dalam konteks posisi aksial batang, terlihat bahwa posisi pangkal juga menghasilkan tingkat kekerasan kayu yang paling tinggi dibandingkan dengan posisi tengah dan ujung batang. Di pihak lain, di dalam konteks umur pohon, terlihat bahwa kelas umur IV menghasilkan kekerasan kayu pada peringkat yang menengah, yakni lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan kayu dari kelas umur III. Kedua aras yang menempati posisi kekerasan kayu tertinggi baik dari faktor bonita maupun dari faktor posisi aksial batang itu bersama dengan aras menengah yang dikontribusikan dari faktor umur tersebut berinteraksi, sehingga menghasilkan hasil interaksi yang tertinggi pada interaksi ketiga faktor tersebut, yakni interaksi dengan notasi (4 x 3,5 x P). Kondisi sebaliknya justru berlaku bagi interaksi kelas umur III, bonita 4,5 dan posisi ujung batang (3 x 4,5 x U). Di dalam konteks kelas umur, kelas umur III menghasilkan peringkat kekerasan kayu yang paling rendah dibandingkan dengan kelas umur IV, apalagi dibandingkan terhadap kelas umur V. Sementara itu, di dalam konteks posisi aksial batang, terlihat pula bahwa posisi ujung batang menghasilkan kekerasan kayu yang paling rendah dibandingkan dengan kelas kualitas kayu pada posisi tengah batang, apalagi terhadap posisi pangkal batang. Di pihak lain, dalam konteks bonita, terbukti bahwa bonita 4,5 memiliki kekerasan kayu yang relatif rendah dibandingkan dengan bonita 3,5. Kedua aras peringkat yang menempati posisi kekerasan kayu dengan urutan terendah pada faktor umur maupun pada faktor posisi aksial batang itu bersama dengan aras yang relatif rendah yang dikontribusikan oleh faktor bonita tersebut saling berinteraksi, sehingga menghasilkan interaksi yang memiliki nilai kelas kualitas kayu terendah bagi interaksi kelas umur III, bonita 4,5 dan posisi ujung batang (3 x 4,5 x U). Hasil penelitian ini secara keseluruhan menghasilkan kelas kualitas kayu jati adalah 3. Kelas kualitas kayu jati ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kelas kualitas kayu jati menurut Vademecum 51

53 Suranto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi Kehutanan, yakni kelas 2 (Anonim, 1976). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh faktor umur pohon ketika ditebang. Penelitian ini menggunakan kayu jati berumur 25 sampai dengan 45 tahun, sedang penelitian menurut Vademecum Kehutanan menggunakan kayu jati miskin riap yang kondisinya masak untuk ditebang, yakni berumur minimum 120 tahun. Dengan demikian, realitas ini dapat dipahami, karena jati yang berumur muda memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan jati berumur tua. Hal ini sesuai dengan teori, yang menyatakan semakin tua umur pohon, menghasilkan kayu yang berkualitas semakin tinggi (Zobel dan Buijtenen, 1989). III. Penutup Dua buah kesimpulan dan sebuah saran disajikan sebagai penutup. Dua butir kesimpulan itu adalah sebagai berikut. Pertama, dalam konteks tingkat kekerasan kayu, maka: (a) bonita mempengaruhi tingkat kekerasan kayu, sedangkan kelas umur dan posisi aksial batang serta interaksi faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhinya, (b) kayu yang berasal dari bonita 3, 3,5 dan 4 serta 4,5 memiliki kekerasan kayu yang berbeda secara nyata, yaitu masing-masing sebesar 349,93 kg/cm2, 405,54 kg/cm2 dan 361,90 kg/cm2 serta 369,64 kg/cm2. Kedua, dalam konteks kualitas kayu, maka (a) sebagai faktor tunggal, bonita (aras 3 sampai dengan 4,5) dan umur pohon (kelas umur III sampai dengan V atau umur 25 sampai dengan 45 tahun), serta posisi aksial batang tidak mempengaruhi tingkat kualitas kayu ditinjau dari aspek kekerasannya. Semua faktor itu menghasilkan kualitas kayu yang sama, yaitu peringkat kualitas 3, dengan predikat kualitas sedang (mediocre) sebagai bahan konstruksi. (b) bonita cenderung berpengaruh dalam bentuk peningkatan peringkat kualitas kayu, yakni meningkat menjadi peringkat kualitas 2 dengan predikat kualitas baik, bila pengaruh bonita itu berlangsung dalam mekanisme interaksi, yakni dengan faktor umur pohon khususnya pada aras kelas umur V dan faktor posisi aksial batang khususnya pada aras bagian pangkal batang. Sebuah saran disampaikan sebagai berikut. Bonita perlu dipertimbangkan sebagai faktor penting saat memilih kayu jati untuk digunakan sebagai bahan konstruksi. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departeman Pertanian. Baker F. S., Daniel, T.W., dan Helms J.A., Principles of Silviculture. McGraw-Hill Incorporation. New York. Delorme, A., Statistical methods. Wartz Center for Computational Neuroscience, INC, University of San Diego California, CA , La Jolla, USA. Sumber: edu/~arno/mypapers/statistics.pdf. Diunduh: 6 Juni Jones, H.G., Plants and Microclimate. A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiology. Third Edition. Cambrige University Press. New York. Litman, L. dan Nakamura, G., Forest Ecology. Forest Stewardship, seri 3, publikasi no Devision of Agriculture and Natural Resources. University of California. United States of America. Moore, J.R., Lyon, A.J., Searles G.J., and Vihermaa, L.E., The Effects of Site and Stand Factors on the Tree and Wood Quality of Sitka Spruce Growing in the United Kingdom. Silva Fennica. 43(3): The Finnish Society of Forest Science. The Finnish Forest Research Institute. ISSN Sumber: silvafennica. Diunduh 12 September Prayitno, Pertumbuhan dan Kualitas Kayu. Program Pasca Sarjana. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Prawirohatmodjo, S Sifat-sifat Mekanika Kayu. Bagian Penerbitan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Shmulsky, R and Jones, D., Forest Product and Wood Science. An Introduction. 6 edition. Wiley-Blackwell Publication. United Kingdom. Snedecor G.W., dan Cochran, W.G.,1964. Statistical Methods. The Iowa State University Press. Ames. United States of America. Suranto, Y., Ilmu Tegangan Pertumbuhan dan 52

54 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Peneresan Pohon Sebagai Satu Wujud Teknologi Kayu Berbasis Kearifan Lokal Budaya Jawa. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume V Nomor 5. Balai Konservasi Borobudur. Magelang. Suranto, Y., Prayitno, T.A., Marsono, D,. Pramana, J.G.S., Pengaruh Umur, Bonita dan Posisi Aksial Batang terhadap Kualitas Kayu Jati. Studi Kasus KPH Kendal. Disertasi. Program Pasca-sarjana Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak diterbitkan). Wanneng, P., Wood Property Assessment of Teak (Tectona grandis Linn. F) Plantation of Different Ages Grown in Lao PDR. Masters Research thesis, School of Forest and Ecosystem Science, The University of Melbourne. Sumber: dtl.unimelb.edu.au/dtl_ publish/ research/46/ html. Diunduh 23 Mei Wulffing, Wolf von, Tabel Tegakan untuk Tanaman Jati. Pengumuman Singkat Balai Penelitian Kehutanan No. 63. Terjemahan oleh Ir. Sudarwono Hardjosudiro. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Zobel B.J., Ralston J., dan Robert J.H, Wood Yields from Loblolly Pine Stands of Different Age, Site and Stand Density. North California State University School for Raleigh, North California. Zobel, B.J., dan J.P. Buijtenen, Wood Variation. It s Causes and Control. Springer-Verlag. Berlin, Hiedelberg, New York, London, Paris, Tokyo. 53

55 Suranto, Pengaruh Umur Pohon, Bonita Dan Posisi Aksial Batang Terhadap Kekerasandan Kualitas Kayu Jati Sebagai Bahan Konstruksi Lampiran 1. Hasil Pemeringkatan Kelas Kualitas Kayu berdasarkan Nilai Kekerasannya NO URUT FAKTOR TUNGGAL DAN INTERAKSINYA NILAI KEKERASAN KAYU (kg/cm2) NILAI RATA- RATA STANDAR DEVIASI NILAI Z PERINGKAT KELAS DAN PREDIKAT KUALITAS 1 KU III 360,70 371,75 71,57-0, sedang 2 KU IV 374,21 371,75 71,57 0, sedang 3 KU V 380,35 371,75 71,57 0, sedang 4 Bon 3 349,93 371,75 71,57-0, sedang 5 Bon 3,5 405,54 371,75 71,57 0, sedang 6 Bon 4 361,90 371,75 71,57-0, sedang 7 Bon 4,5 369,64 371,75 71,57-0, sedang 8 Pangkal 384,29 371,75 71,57 0, sedang 9 Tengah 358,52 371,75 71,57-0, sedang 10 Ujung 372,45 371,75 71,57 0, sedang 11 (3X3) 359,71 371,75 71,57-0, sedang 12 (3X3,5) 392,67 371,75 71,57 0, sedang 13 (3X4) 358,46 371,75 71,57-0, sedang 14 (3X4,5) 331,96 371,75 71,57-0, buruk 15 (4X3) 362,99 371,75 71,57-0, sedang 16 (4X3,5) 399,80 371,75 71,57 0, sedang 17 (4X4) 360,05 371,75 71,57-0, sedang 18 (4X4,5) 373,98 371,75 71,57 0, sedang 19 (5X3) 327,09 371,75 71,57-0, buruk 20 (5X3,5) 424,15 371,75 71,57 0, baik 21 (5X4) 367,18 371,75 71,57-0, sedang 22 (5X4,5) 402,91 371,75 71,57 0, sedang 23 (3XP) 376,22 371,75 71,57 0, sedang 24 (3XT) 346,74 371,75 71,57-0, sedang 25 (3XU) 359,14 371,75 71,57-0, sedang 26 (4XP) 381,57 371,75 71,57 0, sedang 27 (4XT) 361,01 371,75 71,57-0, sedang 28 (4XU) 380,04 371,75 71,57 0, sedang 29 (5XP) 395,07 371,75 71,57 0, sedang 30 (5XT) 367,81 371,75 71,57-0, sedang 31 (5XU) 378,17 371,75 71,57 0, sedang 32 (3xP) 374,21 371,75 71,57 0, sedang 33 (3xT) 321,09 371,75 71,57-0, buruk 34 (3xU) 354,50 371,75 71,57-0, sedang 35 (3,5xP) 417,81 371,75 71,57 0, baik 36 (3,5xT) 406,94 371,75 71,57 0, sedang 37 (3,5xU) 391,87 371,75 71,57 0, sedang 38 (4XP) 362,31 371,75 71,57-0, sedang 39 (4XT) 336,72 371,75 71,57-0, sedang 40 (4XU) 386,66 371,75 71,57 0, sedang 41 (4,5XP) 382,81 371,75 71,57 0, sedang 54

56 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal NO URUT FAKTOR TUNGGAL DAN INTERAKSINYA NILAI KEKERASAN KAYU (kg/cm2) NILAI RATA- RATA STANDAR DEVIASI NILAI Z PERINGKAT KELAS DAN PREDIKAT KUALITAS 42 (4,5XT) 369,34 371,75 71,57-0, sedang 43 (4,5XU) 356,76 371,75 71,57-0, sedang 44 (3X3XP) 396,18 371,75 71,57 0, sedang 45 (3X3XT) 336,72 371,75 71,57-0, sedang 46 (3X3XU) 346,23 371,75 71,57-0, sedang 47 (3X3,5XP) 412,15 371,75 71,57 0, baik 48 (3X3,5XT) 400,60 371,75 71,57 0, sedang 49 (3X3,5XU) 365,26 371,75 71,57-0, sedang 50 (3X4XP) 395,16 371,75 71,57 0, sedang 51 (3X4XT) 303,76 371,75 71,57-0, buruk 52 (3X4XU) 376,47 371,75 71,57 0, sedang 53 (3X4,5XP) 301,38 371,75 71,57-0, buruk 54 (3X4,5XT) 345,89 371,75 71,57-0, sedang 55 (3X4,5XU) 348,61 371,75 71,57-0, sedang 56 (4X3XP) 359,48 371,75 71,57-0, sedang 57 (4X3XT) 307,84 371,75 71,57-0, buruk 58 (4X3XU) 421,66 371,75 71,57 0, baik 59 (4X3,5XP) 458,70 371,75 71,57 1, baik 60 (4X3,5XT) 404,67 371,75 71,57 0, sedang 61 (4X3,5XU) 336,04 371,75 71,57-0, sedang 62 (4X4XP) 328,56 371,75 71,57-0, sedang 63 (4X4XT) 353,71 371,75 71,57-0, sedang 64 (4X4XU) 397,88 371,75 71,57 0, sedang 65 (4X4,5XP) 379,53 371,75 71,57 0, sedang 66 (4X4,5XT) 377,83 371,75 71,57 0, sedang 67 (4X4,5XU) 364,58 371,75 71,57-0, sedang 68 (5X3XP) 366,96 371,75 71,57-0, sedang 69 (5X3XT) 318,71 371,75 71,57-0, buruk 70 (5X3XU) 295,60 371,75 71,57-1, buruk 71 (5X3,5XP) 382,59 371,75 71,57 0, sedang 72 (5X3,5XT) 415,55 371,75 71,57 0, baik 73 (5X3,5XU) 474,33 371,75 71,57 1, baik 74 (5X4XP) 363,22 371,75 71,57-0, sedang 75 (5X4XT) 352,69 371,75 71,57-0, sedang 76 (5X4XU) 385,65 371,75 71,57 0, sedang 77 (5X4,5XP) 467,53 371,75 71,57 1, baik 78 (5X4,5XT) 384,29 371,75 71,57 0, sedang 79 (5X4,5XU) 357,10 371,75 71,57-0, sedang 55

57 Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus Oleh Fr. Dian Ekarini Balai Konservasi Borobudur fransiscadian79@gmail.com Intisari : Rumah pencu adalah rumah tradisional masyarakat di Kabupaten Kudus. Rumah adat Kudus ini semakin hari semakin habis keberadaannya. Tulisan ini berusaha mengetahui permasalahan pelestarian rumah adat Kudus yang berada di dekat wisata religi Masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Metode yang digunakan adalah studi pustaka, observasi, dan FGD (focus grup discussion). Dari hasil penelitian diketahui tingginya biaya perawatan rumah adat Kudus yang dirasakan oleh pemilik menjadi salah satu kendala dalam upaya pelestarian rumah tradisional. Tidak adanya bantuan dalam perawatan dari instansi yang berwenang dan faktor waris menjadi salah satu penyebab semakin sedikitnya jumlah rumah adat Kudus ini. Rumah adat Kudus sebagian besar dijadikan sebagai rumah tinggal bagi pemilik dan sebagian besar pemilik tidak berencana untuk memanfaatkan rumah adat ini sebagai tempat berusaha/berdagang (toko, restoran, homestay) dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dari sektor pariwisata. Manajemen wisata sangat dibutuhkan guna mendukung pemanfaatan rumah adat Kudus ini. Paket wisata ziarah ke kompleks Masjid Menara dan makam Sunan Kudus yang biasanya diselenggarakan secara terorganisir oleh agen-agen wisata membatasi jam kunjung wisatawan sehingga tidak sempat untuk melihat atau menikmati daya tarik rumah adat Kudus. Hal ini menyebabkan sulitnya meningkatkan potensi wisata rumah-rumah tradisional yang ada di sekitar Masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Kata kunci: rumah pencu, pelestarian, wisata ziarah Abstract : Pencu house is the traditional house of communities in Kudus Regency. These traditional houses of Kudus is becoming smaller in number. This article tries to find out the problems of preservation of the traditional house near Mosque Tower and the tomb of Sunan Kudus. The method used are literature study, observation, and FGDs (focus group discussion). The high cost of maintenance of the traditional house that is felt by the owner become obstacles in the preservation of traditional house. The absence of aid in the treatment from an authorized agency and inheritance factors has led to the small number of this traditional house. The Kudus traditional house mostly used as a residence and most owners do not plan to take advantage of this traditional house as a trade (local retailing activities, restaurants, homestay) in order to increase household income. Visitor management is urgently needed to support the utilization of these traditional houses. Travel pilgrimage packages to the Mosque Tower and the tomb of Sunan Kudus is usually organized by travel agents that restricting visiting hours. This causes difficulty in improving the tourism potential of the traditional houses surrounding the Mosque Tower and the tomb of Sunan Kudus. Keyword: pencu house, preservation, travel pilgrimage Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak kebudayaan dan adat istiadat yang beraneka ragam. Keragaman budaya tersebut jika tidak dipelihara dan dijaga kelestariannya maka akan dapat luntur dan hilang. Apabila hal ini terjadi maka sungguh sayang dan kita tidak bisa melestarikan hasil karya nenek moyang kita. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dibuat untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya Bangsa Indonesia agar dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut untuk dilestarikan adalah Rumah Adat Kudus yang sering disebut Rumah Pencu yang merupakan peninggalan Bangsawan Kudus. Rumah tradisional asli Kabupaten Kudus ini sering disebut sebagai Rumah Pencu atau joglo terbuat dari kayu dengan konstruksi knock down (bongkar pasang tanpa paku) sehingga dapat dipindah tempat tanpa merusak konstruksi rumah. Rumah Adat Kudus merupakan perpaduan antara bentuk Joglo dan Limasan. Arsitektur rumah tradisional ini merupakan khas pesisir utara yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, Cina, Islam dan Eropa. Rumah. Dinamakan pencu karena pada bagian rumah utama mempunyai atap perpaduan antar bentuk joglo dan limasan. Bentuk inilah yang disebut dengan atap pencu (Disbudpar Kab. Kudus, 2009). Pada permukaan kayu terdapat kaya akan ukiran dengan bentuk yang mengikuti pola binatang, rangkaian bunga melati, motif ular naga, buah nanas (sarang lebah) motif burung dan lain-lain. Rumah adat ini dengan mudah digunakan sebagai penanda Rumah 56

58 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Adat Kudus karena ciri khasnya dari fisik arsitekturnya maupun filosofinya (Disbudpar Kab. Kudus, 2014). Ukiran rumah Adat Kudus tidak terlepas dari jasa seorang keturunan Cina bernama Tee Ling Sing yang kemudian disebut sebagai Kyai Telingsing. Kyai Telingsing adalah juru sungging atau pemahat yang berasal dari Cina. Keahlian memahat dengan aliran sungging inilah yang kemudian mengilhami terjadinya nama kampung Sunggingan (Disparbud Kab. Kudus, 2008). Kyai Telingsing di makamkan di Desa Sunggingan yang hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Menara Kudus. Semakin besar bangunan rumah dan semakin rumit dan halus ukirannya menunjukkan semakin tingginya tingkat ekonomi dan derajad sosial pemiliknya. Rumah adat Kudus ini telah menjadi benda cagar budaya (BCB) sejak tahun Penetapan Rumah Adat Kudus sebagai Benda Cagar Budaya berawal dari pelaksanaan kegiatan inventarisasi Rumah Adat Kudus oleh Kelompok Registrasi dan Penetapan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah yang kemudian menghasilkan Surat Keputusan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya) Jawa Tengah No. 988/102.SP/ BP3/P.IX/2005 tentang Penetapan Benda Cagar Budaya di Kabupaten Kudus pada 22 September 2005 (Agusta, 2014). Dengan berjalannya waktu banyak orang yang tidak lagi peduli dengan keberadaan Rumah Adat Kudus ini, terbukti dengan semakin sedikitnya jumlah rumah adat yang tersisa. Faktor ekonomi diduga sebagai faktor utama yang berperan dalam berkurangnya jumlah rumah adat Kudus ini. Banyaknya orang berduit yang tertarik membeli dengan harga tinggi membuat pemilik rumah tergiur untuk menjual rumah adatnya. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana melestarikan rumah adat Kudus yang khususnya berada di dekat situs Masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Tujuan diambilnya lokasi yang dekat dengan kawasan wisata adalah untuk melihat peluang pelestarian rumah adat Kudus yang didukung oleh adanya sektor pariwisata. Metodologi Lingkup penelitian adalah rumah-rumah tradisional Kudus yang berada di desa sekitar kawasan wisata Masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Desa- desa yang menjadi fokus pengamatan adalah desadesa yang keberadaannya paling dekat dengan kawasan wisata Masjid Menara dan makam Sunan Kudus yaitu Desa Kauman, Desa Langgar Dalem dan kelurahan Kerjasan. Penggalian informasi didapatkan dengan cara studi pustaka, observasi lapangan, wawancara dan FGD (focus grup discussion). Observasi lapangan digunakan untuk mengetahui keberadaan dan kondisi rumah adat Kudus yang ada. Sedangkan wawancara dilakukan kepada beberapa stakeholder diantaranya pemilik rumah adat Kudus dan aparat pemerintah untuk memperoleh informasi mengenai persepsi responden seputar kepemilikan dan kebijakan pelestarian rumah tradisional Kudus. Kegiatan FGD (focus grup discussion) digunakan untuk menggali permasalahan pelestarian rumah tradisional dan mencoba mencari alternatif pemecahannya. Kawasan Wisata Religi Masjid Menara dan makam Sunan Kudus Lokasi Masjid Menara dan makam Sunan Kudus berada di desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten kudus. Kompleks yang menjadi tujuan wisata religi khususnya bagi umat muslim ini terdiri dari Menara Kudus, Masjid Al Aqsa dan makam Sunan Kudus. Pengunjung wisata religi ini biasanya datang secara rombongan dari berbagai daerah bahkan dari luar pulau Jawa. Sistem paketan wisata ini membatasi jam kunjung wisatawan dan pada umumnya tidak diagendakan menginap di kompleks Masjid Menara dan makam Sunan Kudus ini. Kondisi pemukiman di sekitar kompleks wisata religi Masjid Menara dan makam Sunan Kudus ini sudah pandat penduduknya. Gambaran sekilas tentang kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan wisata religi adalah sebesar orang/km2 Desa Langgar Dalem, orang/km2 Desa Kauman dan orang/km2 di Kelurahan Kerjasan (BPS Kabupaten Kudus, 2016). Jalan di dalam kampung kebanyakan berupa jalan setapak yang sempit karena padatnya pemukiman. Banyak warga desa yang memanfaatkan rumahnya untuk berdagang pakaian dan peralatan ibadah. Pengunjung yang berwisata religi setelah selesai mengunjungi kompleks Masjid Menara dan makam Sunan Kudus, dapat berjalan-jalan menyusuri jalan setapak untuk menikmati suasana desa sekitar kawasan wisata. 57

59 Ekarini, Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus Rumah Adat Kudus dan Filosofinya Rumah Adat Kudus memiliki kerumitan ukiran yang menandakan tingkat pengerjaan yang membutuhkan keterampilan yang tinggi disertai dengan bahan kayu yang tidak asal-asalan. Terbukti dengan tidak mudah lapuk di samping juga perawatan yang dilakukan secara khusus agar kayu dapat awet dan tidak mudah dimakan serangga. Pada setiap tiang dan dinding sisi dalam Rumah Adat Kudus terdapat ragam hias ukir-ukiran yang merupakan campuran dari kebudayaan Hindu, China, Islam dan Eropa, antara lain berupa: 1. Ukiran Naga: terletak pada bangku kecil untuk masuk ruang dalam (kebudayaan China) 2. Mahkota: terdapat di atas pintu masuk ke gedongan (kebudayaan Eropa) 3. Bunga dan sulut-suluran: terdapat pada ruang jogo satru (kebudayaan Persia/Islam) 4. Ukiran Padupaan: yang terdapat diantara pembatas ruang jogosatru dan ruang sentong dalam (kebudayaan Hindu) (Supani, 2010). Bentuk bangunan Rumah Adat Kudus terdiri dari bagian kepala, badan dan kaki. Bagian kepala bangunan masing-masing unit bangunan berbeda yaitu: 1. Dalem beratap joglo tinggi (pencu) 2. Jogosatru beratap panggang pe (sosoran) 3. Pawon beratap kampung dengan sosoran di bagian depan atau disebut dengan atap kampung gajah ngombe. 4. Kamar mandi beratap kampung atau panggang pe sedangkan sisir beratap kampung. 5. Regol beratap kampung atau limasan. Bagian badan bangunan ditandai adanya 3 (tiga) pintu pada jogosatru serta satu pintu pada pawon (dapur). Pintu utama terletak di tengah berupa pintu berdaun dua. Dua buah pintu lain mengapit pintu utama, berlapis dua. Lapis pertama, pintu dalam, berupa gebyog yang bisa digeser, lapis dua, pintu luar, berupa pintu sorong kerawangan setengah dinding. Pintu pawon (dapur) rangkap dua seperti pintu pengapit pada jogosatru. Jarang terdapat jendela pada bagian depan, jika ada biasanya berupa sepasang jendela kecil berjeruji pada dinding gebyok. Kaki bangunan berupa pondasi yang berundak-undak mulai dari jogosatru sampai ke dalem dengan bahan batu kali. Pondasi umpak terbuat dari bata dipakai pada soko guru. Daerah Kudus dulunya merupakan daerah rawa-rawa kemungkinan hal ini yang menyebabkan rumah di daerah Kudus berlantai panggung untuk mengatasi kelembaban tanah dan banjir ( Tata ruang Rumah Adat Kudus terdiri dari beberapa ruangan, yaitu: 1. Jogosatru, adalah nama bagian depan dari rumah adat Kudus. Makna kata jogosatru adalah jogo artinya menjaga dan satru artinya musuh. Sehari-hari ruangan ini dipergunakan sebagai tempat menerima tamu. Di dalam ruangan ini terdapat satu tiang yang disebut Soko Geder, yang melambangkan Tuhan yang tunggal dan mengingatkan penghuninya agar selalu iman dan taqwa kepada-nya. Tiang ini lebih bermakna simbolik dari pada fungsi konstruksi. 2. Ruang dalam (inti) sebagai kamar-kamar dan gedongan (kamar utama) yang digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka, kekayaan dan sebagai kamar tidur kepala keluarga. Di dalam ruangan ini terdapat empat soko guru yang melambangkan Nafsu Patang Prakoro atau 4 jenis nafsu manusia yaitu amarah, luamah, sufiah dan mutmainah. Hal ini mengandung pengertian bahwa penghuninya harus mampu menguasai dan mengendalikan hawa nafsu tersebut. 3. Pawon (dapur), digunakan sebagai ruang keluarga, misalnya untuk ruang makan, ruang bermain anakanak dan dapur. Untuk halaman depan rumah, terdapat sumur pada sebelah kiri rumah dinamakan Pakiwan (kamar mandi), sebagai simbol agar manusia membersihkan diri baik fisik maupun rohani. Pakiwan tersebut berupa sumur, kamar mandi dan padasan Rumah adat Kudus pada umumnya menghadap ke selatan, ini dikarenakan berpegang kepada filosofi yang mengharuskan tempat tinggal yang membelakangi gunung (Gunung Muria), dikelilingi persawahan/perkebunan dan menghadap ke samudera. Keberadaan rumah adat Kudus saat ini sangat memprihatkan lantaran jumlahnya yang semakin sedikit. Dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten Kudus hanya terdapat 21 rumah adat yang tersisa, demikian dinyatakan Kasi Sejarah Kebudayaan Disbudpar Kabupaten Kudus 58

60 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Sutiono kepada KORAN MURIA tanggal 3 Agustus 2016 ( duh-rumah-adat-kudus-hanya-tersisa-21-unit.html). Pelestarian Rumah Adat Kudus Di lingkungan masyarakat dikenal sebutan Kudus Kulon dan Kudus Wetan yaitu pembagian wilayah yang bukan berdasarkan pada batas administrasi namun karena adanya Sungai Gelis yang membagi Kota Kudus menjadi bagian barat dan timur. Kudus Kulon merupakan pusat kota lama dari Kota Kudus yang di dalamnya terdapat warisan budaya yang terkenal yaitu Menara Kudus, Makam dan Masjid Menara Kudus. Kudus Kulon tidak terlepas dari sejarah Sunan Kudus karena kompleks makamnya yang menjadi daya tarik wisata religi bagi umat muslim. Setiap hari banyak orang yang berkunjung di kompleks yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya ini. Kompleks Masjid Menara dan makam Sunan Kudus ini secara administrasi berada di wilayah 3 desa yaitu Desa Kauman, Kelurahan Kerjasan dan Desa Langgar Dalem. Desa yang telah ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus adalah Desa Kauman. Sebagai desa wisata, Desa Kauman mendapatkan bantuan berupa pelatihan-pelatihan keterampilan seperti pelatihan peci dan cinderamata. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekitar kompleks Masjid Menara dan makam Sunan Kudus diperoleh hasil jumlah bangunan rumah adat yang masih bertahan di sekitar situs ini sangat sedikit jumlahnya. Sebagai contoh di Desa Kauman hanya tinggal 1 buah rumah adat yang komponen bangunannya relatif masih utuh, padahal berdasarkan informasi dari aparat Desa Kauman, dahulu di desa ini sebagaian besar bangunannya berupa rumah adat semua. Ada 2 buah Rumah Adat Kudus yang dibeli oleh Yayasan pengelola kompleks Masjid Menara dan Makam Kudus dalam upaya mempertahankan rumah adat supaya tidak hilang. Rumah adat yang dibeli tersebut letaknya tidak jauh dari kompleks situs dan saat ini dikelola oleh yayasan, berada di Kelurahan Kerjasan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pemilik rumah adat yang di Desa Kauman dan Langgar Dalem, kebanyakan rumahrumah adat tersebut dipakai sebagai rumah tinggal pemilik. Kebanyakan pemilik rumah tidak berkeinginan untuk menjadikan rumah adatnya sebagai tempat kunjungan wisata seperti homestay maupun tempat untuk tempat usaha (cafe, rumah makan, tempat dagangan bordir, baju, galeri dan lain-lain). Alasannya adalah lahan yang mereka miliki sangat sempit dan rumah tersebut sebagai tempat tinggal sehingga bisa mengganggu privasi keluarga. Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan di desadesa sekitar situs Masjid Menara dan makam Sunan Gambar 1. Foto Rumah Adat Yang Ada di Desa Kauman 59

61 Ekarini, Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus Kudus diperoleh informasi mengenai pelestarian yang dilakukan masyarakat pemilik rumah tradisional. Dalam rangka pelestarian Rumah Adat Kudus, menurut masyarakat pemilik Rumah Adat Kudus, belum ada upaya yang dilakukan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata selain sebatas himbauan agar tetap dijaga. Sosialisasi pelestarian dan bantuan maupun perawatan rumah adat dari pemerintah belum ada. Kesulitan yang dihadapi masyarakat pemilik dalam melestarikan Rumah Adat Kudus adalah biaya perawatan bangunan rumah yang relatif tinggi, dan karena waris. Biaya perawatan rumah yang tinggi tersebut diantaranya meliputi pembersihan rumah kayu yang kontinyu agar tidak dimakan rayap, penggantian material kayu yang mahal biayanya, harga kayu pengganti yang mahal dan sulit pengadaannya. Sedangkan bagi waris apabila ahli waris yang banyak anggota keluarganya lebih memilih untuk menjual rumah adatnya agar dapat dibagi rata. Banyaknya anggota keluarga dan tuntutan faktor ekonomi serta biaya hidup membuat pemilik rumah terpaksa menjual rumah adatnya walaupun mereka merasa sayang karena merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyangnya. Apalagi pembeli rumah adat biasanya berani membayar tinggi untuk sebuah rumah adat asli yang lengkap komponennya. Berdasarkan informasi dari warga, di Desa Kauman sendiri terdapat orang bekerja sebagai calo untuk penjualan Rumah Adat Kudus. Kurangnya sosialisasi dari instansi terkait dan kesadaran masyarakat untuk melestarikan warisan budaya Rumah Adat Kudus menjadi faktor pendukung semakin hilangnya Rumah Adat Kudus yang berpindah ke tempat lain bahkan mungkin sampai ke luar negeri. Konstruksi rumah adat yang knock down relatif menjadikan Rumah Adat Kudus ini mudah untuk dibawa kemana-mana. Banyak orang yang mencari rumah adat untuk diperdagangkan karena bisnis ini sangat menjanjikan terutama apabila pembelinya merupakan kolektor barang antik yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. Kota Kudus dengan sebutannya sebagai Kota Kretek merupakan kota yang mempunyai banyak perusahaan rokok besar namun berdasarkan informasi dari pihak aparat Desa Kauman, belum ada bantuan dari perusahaan rokok khususnya dalam hal pelestarian Rumah Adat Kudus. Kebanyakan bantuan dari perusahaan rokok seperti Djarum berupa beasiswa di sekolah-sekolah dan di bidang olah raga. Pernah ada pelatihan membatik yang diselenggarakan oleh perusahaan rokok Djarum untuk warga masyarakat di sekitar situs Masjid Menara dan Makam Kudus, namun hanya satu kali saja. Pemilik Rumah Adat Kudus merasakan biaya perawatan sehari-hari rumah adat yang tinggi apalagi bila ada kerusakan yang memerlukan penggantian kayu. Selain memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk memperbaiki kerusakan, bahan kayunya pun sulit untuk mendapatkan kualitas yang sama. Sebagian masyarakat pemilik rumah adat membersihkan dan merawat rumahnya paling tidak sekali dalam setahun biasanya menjelang Hari Raya Idul Fitri. Perawatan kayu Rumah Adat Kudus memakai bahan tradisional campuran dari pelepah pisang, tembakau dan cengkeh yang direndam 24 jam, kemudian diaplikasikan pada kayu dengan cara digosok-gosokkan menggunakan kain. Bahan cengkeh membuat serat kayu menjadi terlihat dan bagus. Berdasarkan penggalian informasi dengan pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, diperoleh hasil bahwa tidak dipungkiri masih lemahnya usaha-usaha mempertahankan dan melestarikan Rumah Adat Kudus. Beberapa usaha telah dilakukan namun disadari belum maksimal hasilnya. Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dalam rangka melestarikan rumah adat Kudus adalah disajikannya rumah adat Kudus yang masih lengkap komponennya di Musem Kretek, adanya reproduksi rumah adat Kudus yang berada di Desa Janggalan dan daerah Gebog dengan harapan apabila ada orang yang berminat membeli rumah adat dapat membeli hasil reproduksi dan bukan rumah aslinya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus sampai saat ini belum dapat melakukan pendataan cagar budaya atau yang diduga cagar budaya karena keterbatasan anggaran dan tenaga teknis (belum mempunyai tenaga arkeologi) termasuk pendataan tentang Rumah Adat Kudus. Tahun 2016 ini baru akan mengajukan anggaran untuk kegiatan pendataan warisan budaya. Belum adanya pendataan warisan budaya di Kabupaten Kudus (Rumah Adat Kudus, bangunan kolonial dan lain-lain) memungkinkan cepat habis/ hilangnya warisan budaya tersebut apabila tidak segera ditangani dengan serius. Keterbatasan sumberdaya manusia di lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 60

62 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Kabupaten Kudus juga menjadi kendala dalam melakukan upaya-upaya pelestarian warisan budaya yang ada di Kabupaten Kudus. Pada saat ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, Bidang Kebudayaan memiliki 2 Kasi (Kepala Seksi) yang masing-masing hanya mempunyai 1 (satu) orang staf, sehingga total ada 5 (lma) staf termasuk dengan kepala bidang. Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah (FGD) dengan masyarakat Desa Kauman yang merupakan desa tempat situs Masjid Menara dan makam Sunan Kudus berada, didapatkan informasi bahwa apabila rumah adat akan dikembangkan untuk priwisata dalam rangka menambah penghasilan pemilik rumah, ternyata menemui berbagai kendala yaitu rumah yang relatif sempit ruangannya sehingga membuat kurang nyaman dan tidak adanya kamar untuk wisatawan yang akan menginap, selain itu rumah adat selama ini dijadikan sebagai rumah tinggal bersama keluarga sehingga tidak ada rencana untuk menjadikan tempat usaha. Semakin sedikitnya jumlah rumah adat Kudus yang ada sekarang ini disebabkan karena belum adanya sosialisasi yang mendalam tentang pelestarian warisan budaya dari instansi terkait dan juga karena faktor waris. Banyak kasus karena faktor waris ini, pemilik kesulitan untuk mempertahankan rumah adatnya akibat desakan kebutuhan hidup keluarga. Masyarakat pada dasarnya mengetahui dan ingin mempertahankan dan melestariakan rumah adat mereka dan tidak berniat untuk menjualnya. Biaya yang tinggi dalam perawatan memang menjadi kendala dalam mempertahankan Rumah Adat Kudus ini sedangkan bantuan dari instansi terkait belum ada. Warga pemilik Rumah Adat Kudus memiliki dilema dalam melestarikan rumah adatnya, di satu sisi jika mempertahankan rumah adat pemilik harus mengeluarkan anggaran yang ekstra untuk perawatan, sedangkan di sisi lain terdapat kebijakan dari pemerintah tidak boleh menjual rumah adat ke luar daerah, sedangkan bantuan biaya perawatan tidak ada. Selama ini kejadian di lapangan apabila ada jual beli rumah adat, baru sebatas dilakukan pencatatan saja oleh pemerintah namun tidak bisa untuk melarangnya. Dalam usaha pengembangan Rumah Adat Kudus menjadi tempat usaha untuk menambah penghasilan seperti homestay, rumah makan, toko souvenir, dan lain-lain, pemilik masih ragu-ragu apakah usahanya ini akan kembali modal karena jika tidak pemilik rumah akan mengalami kerugian. Pemilik meragukan apakah pengunjung akan tertarik melihat dan menghabiskan waktunya ke rumah-rumah Adat Kudus, karena karakteristik pengunjung di kompleks Masjid Menara dan Makam Kudus adalah wisata religi yang biasanya berupa kelompok orang atau rombongan yang dibatasi oleh jam kunjung dan setelah selesai mereka langsung pulang ke tempat masing-masing dan tidak sempat berkeliling ke tempat-tempat lain di sekitar situs. Wisata religi tersebut umumnya merupakan wisata paketan yang sudah diatur jam kunjungnya sehingga pengunjung kurang leluasa untuk berkeliling sekitar situs Masjid Menara dan Makam Kudus. Alternatif Solusi Berdasarkan data dari badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus dapat diketahui mengenai data pengunjung yang menginap di hotel yaitu rata-rata sekitar 1 malam, selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah. Data tersebut dapat digunakan untuk alternatif pengembangan rumah adat Kudus sebagai homestay tempat menginap tamu yang berkunjung di kawasan wisata Masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Pemilik dapat menawarkan suasana penginapan yang tradisional Tabel 1. Rata-Rata Lama Menginap (RLM) Tamu Hotel di Kabupaten Kudus Menurut Bulan dan Jenis Hotel, 2015 (Malam) BULAN BINTANG NON BINTANG SELURUH HOTEL Januari 1,22 1,51 1,41 Februari 1,67 1,54 1,60 Maret 1,50 2,90 2,27 April 1,71 1,46 1,56 Mei 2,16 1,57 1,81 Juni 2,04 1,89 1,96 Juli 1,93 1,81 1,85 Agustus 1,39 2,49 2,06 September 1,93 1,81 1,85 Oktober 1,70 2,05 1,91 November 1,23 2,49 1,98 Desember 2,26 1,83 1,99 Rata-rata ,73 1,95 1, ,92 1,82 1, ,61 1,35 1, ,85 1,45 1, ,29 1,05 1,17 Sumber: BPS Kabupaten Kudus, 2015 ( 61

63 Ekarini, Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus dengan jamuan makanan tradisional Kudus yang bisa menari minat pengunjung untuk tinggal. Suasana malam hari di kawasan wisata ini yang ramai dapat memberikan kesan tersendiri bagi pengunjung. Sebagai leader dalam upaya pelestarian warisan budaya Joglo Pencu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus harus segera membuat langkahlangkah pencegahan semakin habisnya rumah adat Kudus ini. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dapat bekerja sama dengan lembaga lain misalnya dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah untuk tenaga teknis bidang arkeologi yang nantinya dapat membantu program kerja dinas. Kegiatan pendataan warisan budaya baik tangible maupun intangible merupakan kegiatan yang harus segera dilaksanakan. Kegiatan tersebut sekaligus ditinjaklanjuti dengan kegiatan penilaian untuk ditetapkan menjadi warisan budaya oleh Bupati sembari menunggu terbentuknya Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten. Tim penilai warisan budaya dapat diambil dari tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu (arkeologi, teknik sipil, teknik arsitektur dan lain-lain) dan dapat berasal dari instansi pemerintah maupun swasta dan untuk sementara ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 31 ayat (3) dinyatakan bahwa Tim Ahli Cagar Budaya ditetapkan dengan Keputusan Menteri untuk tingkat nasional, Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi dan Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat kabupaten/ kota. Jika menunggu proses terbentuknya Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten tentunya akan memerlukan waktu yang lama dan warisan budaya yang ada di Kudus terlanjur akan habis dan hilang. Selain memberikan sosialisasi akan pentingnya melestarikan budaya bangsa khususnya Rumah Adat Kudus, pemerintah dapat bekerja sama dengan swasta maupun pengusaha untuk memberikan bantuan atau subsidi biaya perawatan rumah adat Kudus kepada pemilik. Pemberian penghargaan kepada pemilik rumah adat Kudus yang setia menjaga dan memelihara rumahnya juga akan menjadi motivasi pemilik untuk tidak menjual rumahnya kepada pihak lain. Tugas melestarikan rumah adat tinggalan nenek moyang bukan hanya kewajiban dari pemerintah semata namun juga masyarakat dan pemilik rumah adat itu sendiri. Dengan adanya kesadaran yang tinggi dan pengetahuan yang luas untuk mempertahankan warisan budaya, akan mencegah semakin habisnya keberadaan Rumah Adat Kudus yang tidak ada duanya. Jangan sampai generasi yang akan datang apabila ingin melihat rumah adatnya harus datang ke tempat yang jauh dari asalnya. Kesimpulan Secara umum masyarakat warga desa di sekitar lokasi wisata Masjid Menara dan makam Sunan Kudus berkeinginan untuk melestarikan rumah adat Kudus. Berbagai kendala yang dihadapi oleh pemilik rumah dalam mempertahankan rumah adat diantaranya adalah faktor Gambar 2. Foto Suasana di Sekitar Situs Masjid Menara Kudus Pada Waktu Malam Hari 62

64 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal bagi waris keluarga, biaya perawatan yang tinggi, belum adanya bantuan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kondisi rumah dan lingkungan yang sempit, kebutuhan modal yang besar dalam upaya pemanfaatan rumah adat untuk pariwisata dan belum adanya manajemen wisata yang terkoordinasi. Sebenarnya banyak potensi yang dapat dikembangkan dalam rangka peningkatan pendapatan warga dengan pemanfaatan rumah adat Kudus ini. Rumah adat Kudus dapat dijadikan sebagai homestay bagi wisatawan yang berkunjung ke kompleks Masjid Menara dan makam Sunan Kudus. Selain ini warga dapat memanfaatkan rumah adatnya sebagai pusat kuliner dan souvenir khas Kudus. Namun tentunya diperlukan sebuah Agusta, R.A Perancangan Model Bisnis Galeri Rumah Adat Kudus. Tesis. Program Studi Magister Manajemen. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada BPS Kecamatan Kota Kudus Dalam Angka Badap Pusat Statistik Kabupaten Kudus Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kudus. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Benda Cagar Budaya Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kudus. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, Jawa Tengah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Budaya dan Wisata Kabupaten Kudus. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, Jawa Tengah Supani, Sancaka Dwi Sejarah Rumah Tradisional manajemen wisata terutama dalam mengatur terutama alur pengunjung dan butuh campur tangan serta bantuan dari pemerintah untuk keberhasilan program ini. Masyarakat pemilik rumah adat Kudus di daerah sekitar Masjid Menara dan makam Sunan Kudus sadar bahwa mereka harus melestarikan rumah adat mereka sebagai warisan dari nenek moyang. Keberadaaan faktor ekonomi yang tidak seimbang dalam pemeliharaan rumah adat Kudus memicu pemilik untuk cenderung menjual rumah adatnya. Inilah dilema yang dihadapi warga masyarakat sekarang ini karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dalam upaya melindungi keberadaan rumah adat Kudus ini. DAFTAR PUSTAKA Kudus dan Filosofinya. Makalah disampaikan dalam Workhop Konservasi BCB Kayu Konservasi dan Pemugaran Rumah Tradisional, Selasa-Rabu, Juni 2010 di Hotel Manohara, Borobudur. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya LAMAN BPS Rata-Rata Lama Menginap (RLM) Tamu Hotel di Kabupaten Kudus Menurut Bulan dan Jenis Hotel, LinkTabelStatis/view/id/148 diakses tanggal 14 Oktober 2016 pukul WIB diakses tanggal 12 Oktober 2016 pukul WIB 63

65 Permasalahan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah; Kinerja Program Pendukungan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman hingga September 2016 Yosua Adrian Pasaribu Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Abstract : Law Number 11 Year 2010 on Cultural Heritage mandates the District/City Government to carry out the registration and establishment of cultural heritage. In order to implement these regulations, the National Government through the Directorate of Preservation of Cultural Heritage and Museums, Ministry of Education and Culture had programs that supported the registration and establishment of cultural heritage since 2013-September The program has resulted 274 (50%) registration heritage teams, 39 candidates heritage expert teams (7%), and 33 cultural heritage experts (6%). This article looks at the achievement of the program, the problems, and the proposed solutions to problems. Abstrak : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengamanatkan Pemerintah Kabupaten/ Kota untuk melaksanakan pendaftaran dan penetapan cagar budaya. Dalam rangka implementasi peraturan tersebut, Pemerintah Pusat melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan program pendukungan pendaftaran dan penetapan cagar budaya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi sejak tahun 2013-September Program tersebut telah menghasilkan 274 Tim Pendaftaran Cagar Budaya (50%), 39 orang kandidat Tim Ahli Cagar Budaya (7%), dan 33 orang Tim Ahli Cagar Budaya yang bersertifikat (6%). Artikel ini melihat pencapaian pendaftaran dan penetapan cagar budaya, permasalahan, dan usulan solusi pemecahan masalah tersebut. Pengantar Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (Pasal 1 angka 1 UU 11/2010 CB). Bupati/ walikota mengeluarkan penetapan status Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya (Pasal 33 ayat (1) UU 11/2010 CB). Berdasarkan pola pikir Undang-Undang tersebut maka proses pelestarian Cagar Budaya dimulai dari penetapan suatu benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis sebagai Cagar Budaya oleh Bupati/Walikota setempat di mana objek tersebut berada. Pendaftaran dan penetapan benda-benda tersebut sebagai Cagar Budaya oleh Bupati/Walikota setempat diharapkan dapat meningkatkan pelestarian Cagar Budaya di tingkat kabupaten/kota. Setiap orang pun dilarang untuk memindahkan Cagar Budaya tanpa izin walikota/bupati (Pasal 67 UU 11/2010 CB), sehingga dapat mengurangi resiko kerugian berupa kehilangan. Pengaturan pelestarian Cagar Budaya di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi merupakan pengaturan baru yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Pada Undang-Undang tersebut, dinyatakan bahwa pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab Pemerintah (Pasal 18 UU 5/1992 BCB). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan, Pemerintah memiliki kewajiban dalam (a) Registrasi nasional cagar budaya, (b) penetapan cagar budaya peringkat nasional (penetapan cagar budaya yang berada di dua propinsi atau lebih), (c) pengelolaan cagar budaya peringkat nasional, dan (d) penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar negeri, Pemerintah Provinsi memiliki kewajiban dalam (a) penetapan cagar budaya peringkat provinsi (penetapan cagar budaya yang berada di dua kabupaten atau lebih), (b) pengelolaan cagar budaya peringkat provinsi, dan (c) penerbitan 64

66 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal izin membawa cagar budaya ke luar Daerah provinsi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewajiban dalam (a) penetapan cagar budaya peringkat kabupaten/kota, (b) pengelolaan cagar budaya peringkat kabupaten/kota (di wilayahnya masing-masing), dan (c) penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. Meskipun sudah berjalan selama 6 (enam) tahun, implementasi pelestarian Cagar Budaya secara Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah belum terlaksana secara optimal. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 23/2014 Pemda). Hingga saat ini, secara umum Pemerintah Daerah masih mewarisi pemahaman UU 5/1992 BCB mengenai pelestarian Cagar Budaya yang merupakan tanggung jawab Pemerintah. Renovasi total cagar budaya Masjid Keraton Landak di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat yang disponsori oleh Bupati pada tahun merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman mengenai pelestarian cagar budaya. Pada tulisan ini akan dicoba diuraikan mengenai permasalahan pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah terutama mengenai pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya. Tulisan ini akan menggunakan studi kasus program pendukungan pendaftaran dan penetapan cagar budaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat sejak tahun 2013-September Kinerja Program Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman hingga September 2016 Peraturan Perundang-undangan yang mengatur pelestarian Cagar Budaya mengamanatkan bahwa pelestarian cagar budaya dilakukan secara otonomi daerah (UU 11/2010 CB & UU 23/2014 Pemda). Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam registrasi nasional cagar budaya, serta pelestarian cagar budaya peringkat nasional. Oleh karena itu, secara logika implementasi peraturan perundang-undangan dalam kegiatan Pemerintah sifatnya berupa sosialisasi dan pendukungan terhadap pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah, selain pelestarian Cagar Budaya peringkat Nasional yang telah ditetapkan berdasarkan UU 5/1992 CB. Pendaftaran dan Penetapan Objek sebagai Cagar Budaya oleh Bupati/Walikota merupakan langkah awal Gambar 1. Pembagian Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya. 65

67 Pasaribu, Permasalahan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah;Kinerja Program Pendukungan Pendaftaran... pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah. Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di tingkat Kabupaten/Kota merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan karena dengan adanya register Cagar Budaya di Pemerintah Kabupaten/Kota, kasus-kasus kehilangan Cagar Budaya, pencurian Cagar Budaya, pasar gelap barang antik, dan sebagainya dapat diminimalisir. Adanya register Cagar Budaya di Pemerintah Kabupaten/ Kota juga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan Cagar Budaya di tingkat kabupaten/kota, baik berupa pariwisata, lelang ekonomis, dan lain-lain yang sifatnya dapat meningkatkan pendapatan Daerah. Berikut adalah pembagian kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya (Gambar 1. Pembagian Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya). Pemerintah telah membentuk sistem jejaring/ website yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendaftarkan objek miliknya sebagai Cagar Budaya, akan tetapi untuk dapat menetapkan suatu objek sebagai Cagar Budaya dibutuhkan adanya Tim Ahli Cagar Budaya yang bekerja di Pemerintah Daerah. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya (UU 11/2010 CB Pasal 1). Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Ahli Cagar Budaya dibantu oleh Tim Pendaftaran Cagar Budaya yang bekerja bagi Pemerintah Daerah untuk menyusun berkas pendaftaran objek calon Cagar Budaya sebagai dasar kajian Tim Ahli Cagar Budaya (Paparan Junus Satrio Atmodjo pada Workshop Pendaftaran Cagar Budaya, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Yogyakarta tahun 2013). Gambar 2. Pencapaian Sosialisasi Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya. Tim Ahli Cagar Budaya berperan untuk merekomendasikan penetapan objek sebagai Cagar Budaya kepada Bupati/Walikota, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa keberadaan Tim Ahli Cagar Budaya di kabupaten/ kota maka Bupati/Walikota tidak dapat menetapkan suatu objek sebagai Cagar Budaya. Dampaknya tentu saja kabupaten/kota tidak dapat melestarikan cagar budaya di daerahnya karena belum adanya objek yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Hingga bulan September 2016, dari 548 jumlah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, baru 39 Pemerintah Daerah yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya, dan baru 33 (tiga puluh tiga) Pemerintah Daerah yang telah mengirimkan Tim Ahli Cagar Budaya untuk mengikuti assesment sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya. Pemerintah (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) telah mengadakan kegiatankegiatan pendukungan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya di Daerah antara lain workshop pendaftaran Cagar Budaya, fasilitasi pendaftaran Cagar Budaya, dan sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya. Pada dasarnya, kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan bersifat sosialisasi dan pelatihan terhadap dinas-dinas yang membidangi pelestarian Cagar Budaya di Pemerintah Daerah. Hingga tahun 2016, dari 548 Pemerintah Daerah di Indonesia, 380 Pemerintah Daerah sudah mengikuti workshop pendaftaran Cagar Budaya. Oleh karena itu dapat dikatakan lebih dari setengah (69%) Pemerintah Daerah di Indonesia telah mengetahui peraturan perundangundangan terbaru mengenai pelestarian Cagar Budaya Gambar 2. Pencapaian Sosialisasi Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya). Kegiatan Pemerintah (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman) mengenai pendukungan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya (terutama workshop pendaftaran Cagar Budaya) oleh Pemerintah Daerah telah merangkul 69% Pemerintah Daerah di Indonesia, dan 72% dari yang sudah mengikuti workshop telah membentuk Tim Pendaftaran, akan tetapi dari 69% Pemerintah Daerah di Indonesia, baru 7% yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya, dan hanya 33 Pemerintah Daerah/6% yang telah memiliki Tim Ahli yang bersertifikat dan dapat merekomendasikan penetapan Cagar Budaya kepada Kepala Daerah (Gambar 3. Pencapaian Program Pendukungan Pendaftaran dan 66

68 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal Gambar 3. Pencapaian Program Pendukungan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya. Penetapan Cagar Budaya). Permasalahan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Daerah Pelestarian Cagar Budaya di tingkat Pemerintah Daerah dimulai dengan penetapan Cagar Budaya, sedangkan berdasarkan studi kasus pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah hingga September 2016 terdapat 39 (tiga puluh sembilan) Pemerintah Daerah (Kabupanten/ Kota dan Provinsi) yang telah memiliki Tim Ahli Cagar Budaya. Sedangkan Tim Ahli Cagar Budaya merupakan unsur kunci dalam penetapan Cagar Budaya di tingkat Daerah. Jika ditelaah berdasarkan statistik kegiatan pendukungan yang dilakukan Pemerintah hingga September 2016, maka permasalahan-permasalahan yang dapat terlihat antara lain; 1. Sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang pelestarian Cagar Budaya secara Otonomi Daerah belum optimal (mengingat baru 69% dari seluruh Pemerintah Daerah yang mengikuti kegiatan workshop yang diadakan Pemerintah). 2. Kurangnya sumber daya manusia yang dapat mengisi posisi Tim Ahli Cagar Budaya di Tingkat Daerah (terutama kabupaten/kota yang terpencil). 3. Kurangnya political will dari Pemerintah Daerah untuk melestarikan Cagar Budaya. Berdasarkan studi kasus tersebut dapat diketahui mengenai kekuatan dan kelemahan Pemerintah dalam pelestarian Cagar Budaya terutama penetapannya di daerah. Berikut adalah perincian SWOT (strenghts, weakness, opportunities & threaths) Pemerintah dalam menjalankan penetapan cagar budaya di Tingkat Daerah (Gambar 4. SWOT Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya). Solusi Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Daerah Berdasarkan studi kasus pendaftaran dan penetapan yang dilakukan Kementerian maka untuk menjawab permasalahan-permasalahan di daerah, maka pada bagian ini akan dirinci mengenai solusi-solusi yang dapat diambil. Berikut merupakan solusi-solusi tersebut; 1. Permasalahan Sosialisasi Peraturan Perundangundangan mengenai pelestarian Cagar Budaya Perubahan peraturan perundang-undangan mengenai hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pelestarian Cagar Budaya dari UU 5/1992 BCB ke UU 11/2010 CB sangat krusial. Pemerintah 67

69 Pasaribu, Permasalahan Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah;Kinerja Program Pendukungan Pendaftaran... Strengths 1. Peraturan Perundang-undangan. 2. Tim Ahli Cagar Budaya Nasional sudah terbentuk. 3. Anggaran Kementerian. Opportunities 1. Meningkatnya minat masyarakat terhadap kepurbakalaan dan heritage. 2. Berkembangnya bisnis kepurbakalaan dan heritage di masyarakat. 3. Kemampuan mengadakan Gerakan Nasional. Weakness 1. Peraturan Perundang-undangan tentang Cagar Budaya tidak populer. 2. Jumlah Tim Ahli yang bersertifikat untuk bekerja di kabupaten/kota tidak memadai. 3. Penetapan dilakukan oleh Kabupaten/Kota. 4. Kementerian hanya dapat menjadi fasilitator dalam penetapan cagar budaya di kabupaten/kota. 5. Sosialisasi pendaftaran dan penetapan belum mencapai masyarakat. Threaths 1. Penetapan di kabupaten/kota tidak dilakukan oleh kabupaten/kota. 2. Kemampuan kabupaten/kota sangat bervariasi terkait penetapan cagar budaya. 3. Kurangnya political will dari kepala daerah. Gambar 4. SWOT Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya. Daerah yang sebelumnya tidak mengurusi bidang pelestarian Cagar Budaya kini diberi amanat untuk melakukan pelestarian Cagar Budaya secara otonomi di daerahnya masing-masing. Perubahan krusial membutuhkan sosialisasi yang lebih tepat ditujukan kepada Kepala-Kepala Daerah dibandingkan kepada dinas-dinas kebudayaan daerah. Studi kasus sosialisasi kepada dinas-dinas kebudayaan yang telah dilakukan oleh Pemerintah sejak baru mencapai 63% dari seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Berdasarkan studi kasus tersebut, diusulkan agar sosialisasi mengenai otonomi pelestarian Cagar Budaya dilakukan di Jakarta oleh Menteri kepada Kepala-Kepala Daerah sehingga Kepala-Kepala Daerah dapat membentuk Tim Ahli Cagar Budaya di daerahnya masing-masing untuk memulai proses pelestarian Cagar Budaya secara otonomi. 2. Permasalahan kekurangan SDM untuk mengisi posisi Tim Ahli Cagar Budaya Permasalahan ini sudah diangkat oleh Titi Surti Nastiti (2012:454-62), dan menurutnya solusi yang dapat diambil adalah membuka jurusan arkeologi di universitas-universitas terkemuka di Indonesia, dan mengadakan sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dan melibatkan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia dalam proses sertifikasi tersebut. Jumlah sarjana arkeologi dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Udayana sejak tahun berjumlah 2097 orang (Nastiti 2012:459). Jika diasumsikan bahwa pada setiap dinas kebudayaan di Kabupaten/Kota dan Provinsi terdapat tiga orang arkeolog, maka angka tersebut relatif mencukupi karena kebutuhan arkeolog di seluruh Indonesia menjadi tiga dikali 548 dinas yakni 1644 orang. Berdasarkan studi kasus pada tulisan ini, diketahui bahwa baru 5 (lima) % dari jumlah Pemerintah Daerah yang telah mengikuti kegiatan workshop Pemerintah yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya di daerahnya. Angka tersebut lebih menunjukkan bahwa permasalahan sebetulnya terletak pada perhatian Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya. Angka tersebut menunjukkan perlunya ada perubahan strategi dalam hal sosialisasi peraturan perundang-undangan terbaru mengenai pelestarian Cagar Budaya secara otonomi. Sosialisasi terhadap Pemerintah Daerah diusulkan dilaksanakan di Jakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Kepala- Kepala Daerah. 3. Permasalahan kurangnya political will Pemerintah Daerah Renovasi total Masjid Keraton Landak di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat yang 68

70 Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 10, Nomor 1, Juni 2016, Hal disponsori oleh Bupati tentunya adalah bukti ketidakpahaman mengenai peraturan pelestarian cagar budaya. Solusi dari permasalahan ini sebenarnya sudah terjawab melalui kuatnya peraturan perundangundangan yang mengatur hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dalam hal pelestarian Cagar Budaya (UU 11/2010 CB dan UU 23/2014 Pemda). Strategi sosialisasi peraturan perundang-undangan pelestarian Cagar Budaya secara otonomi diusulkan dikaji kembali sehingga sosialisasi lebih efektif dan mencapai sasaran Kepala-Kepala Daerah (Bupati/ Walikota). Mengingat perubahan pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab otonomi Daerah, maka diusulkan sosialisasi dilaksanakan di Jakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Kepala-Kepala Daerah sehingga gaungnya lebih besar dan diharapkan political will dari Pemerintah Daerah dapat diraih. Penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan mengenai pelestarian cagar budaya pun dapat menjadi kunci untuk sosialisasi peraturan tersebut. Penutup Kegiatan pendaftaran dan penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Pemerintah Daerah tahun 2013 hingga September 2016 telah menghasilkan 274 Pemerintah Daerah yang telah memiliki Tim Pendaftaran Cagar Budaya (50%), 39 Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) yang telah memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (7%), dan 33 Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) yang telah memiliki Tim Ahli Cagar Budaya yang telah bersertifikat (6%). Jika benda cagar budaya yang telah ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota berdasarkan UU 5/1992 BCB statusnya dikonversikan menjadi cagar budaya, maka saat ini Pemerintah Daerah wajib melestarikan Cagar Budaya tersebut berdasarkan peraturan perundangundangan yang baru. Register Nasional Cagar Budaya baru dapat dilakukan terhadap Cagar Budaya yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Kini akar permasalahan yang terjadi adalah Pemerintah Daerah belum siap dengan perangkat pendukung sumber daya manusia, baik Tim Pendaftaran Cagar Budaya maupun Tim Ahli Cagar Budaya sementara kedua tim ini sangat erat kaitannya dengan penetapan cagar budaya. Penetapan Cagar Budaya adalah titik awal dalam pelestarian Cagar Budaya, konsekuensi logis dari belum tersedianya Tim Ahli Cagar Budaya di Pemerintah Daerah (1%) maka Pemerintah Daerah tidak dapat menetapkan suatu objek menjadi Cagar Budaya, sehingga tidak dapat melestarikan objek tersebut. Sosialisasi peraturan perundang-undangan pelestarian cagar budaya yang otonomis kepada Bupati dan Walikota dirasakan lebih tepat untuk dilakukan, mengingat sosialisasi terhadap dinas-dinas Kabupaten/Kota yang telah dilakukan selama ini kurang memberikan hasil yang memuaskan terhadap pendaftaran dan penetapan cagar budaya. DAFTAR REFERENSI Nastiti, Titi Surti Menyongsong Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. dalam Supratikno Rahardjo (ed) Arkeologi untuk Publik (454-62), Ikatan Ahli Arkeologi. Jakarta. Wedatama Widya Sastra. Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11, Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23, Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 69

71 PEDOMAN BAGI PENULIS 1. Naskah yang diajukan oleh penulis merupakan karya ilmiah orisinal, yang belum pernah diterbitkan, merupakan hasil penelitian, tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang konservasi cagar budaya. 2. Judul harus harus singkat, jelas dan mencerminkan isi naskah.. Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, di bawahnya diikuti nama lembaga tempat bekerja, alamat lembaga, dan Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi tulisan, tidak lebih dari 350 kata. Disajikan dalam bahsa Indonesia dan bahasa Inggris. Isi abstrak meliputi tujuan, metode, dan hasil akhir. 4. Kata Kunci harus ada, mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata (dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 5. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel dan sebagainya harus bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi keterangan (termasuk sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung. 6. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, jenis huruf arial 11, jumlah halaman minimal 10 halaman dan maximal 20 halaman yang diketik pada kertas A4,. 7. Sistematika Penulisan meliputi: Rangkuman hasil penelitian Makalah / artikel - Judul - Judul - Abstrak - Abstrak - Latar belakang - Latar Belakang - Metode - Pembahasan - Pembahasan - Penutup - Penutup - Daftar Pustaka - Daftar pustaka 8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut : nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/nomor halaman. 9. Naskah diserahkan dalam bentuk file tipe Microsoft Word 2003/2007 Document (*.doc/*.docx) dan print out-nya ke alamat redaksi : Dewan Redaksi Jurnal Borobudur d/a Balai Konservasi Borobudur Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang dan dikirim melalui jurnalborobudur@gmail.com 10. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan menyesuaikan naskah tulisan dengan format Jurnal Borobudur). 70

72 3

Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan

Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Strategi Konservasi Berbasis Masyarakat Pada Kompleks Situs Gua Prasejarah Bellae Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan Dewi Susanti Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar Email. Dewisusantiarkeo_02@yahoo.com

Lebih terperinci

Daftar Isi. Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara Asyhadi Mufsi Batubara 4-16

Daftar Isi. Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Identitas: Problematika Pelestarian Cagar Budaya di Wilayah Sulawesi Tenggara Asyhadi Mufsi Batubara 4-16 1 Daftar Isi Foto sampul depan: Lawang Sewu Kini dan Dulu Dok. BPCB Jawa Tengah ISSN : 1978-8584 Pelindung : Prof. Kacung Marijan, Ph.D. Direktur Jenderal Kebudayaan Pengarah : Dr. Harry Widianto Direktur

Lebih terperinci

Daftar Isi. Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya Supratikno Rahardjo 4-17

Daftar Isi. Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya Supratikno Rahardjo 4-17 1 Daftar Isi Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya Supratikno Rahardjo 4-17 Identifikasi Kawasan Cagar Budaya Situs Kerajaan Islam Mataram di Pleret, Bantul dengan

Lebih terperinci

Perawatan Kayu Secara Tradisional pada Masyarakat Bugis-Makassar dan Toraja Dewi Susanti 4-11

Perawatan Kayu Secara Tradisional pada Masyarakat Bugis-Makassar dan Toraja Dewi Susanti 4-11 1 Daftar Isi Perawatan Kayu Secara Tradisional pada Masyarakat Bugis-Makassar dan Toraja Dewi Susanti 4-11 Penggunaan Jeruk Nipis sebagai Salah Satu Upaya Konservasi Secara Tradisional pada Prasasti Sukawana

Lebih terperinci

Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto 4-10

Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto 4-10 1 Daftar Isi Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya Riyanto 4-10 Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali Ida Bagus Alit Sancana 11-23 Foto sampul depan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kawasan kars Maros-Pangkep dikenal dengan tipe kars menara (tower kars)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kawasan kars Maros-Pangkep dikenal dengan tipe kars menara (tower kars) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kars Maros-Pangkep dikenal dengan tipe kars menara (tower kars) yang khas. Secara administratif kawasan kars ini terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3 Februari 2018

RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3 Februari 2018 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Konservasi Borobudur RILIS PERS: Rekomendasi FGD Pemasangan Kembali Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur, Yogyakarta, 2-3

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PERIZINAN DAN PEMANFAATAN CANDI BOROBUDUR, CANDI MENDUT, DAN CANDI PAWON

STANDAR OPERASIONAL PERIZINAN DAN PEMANFAATAN CANDI BOROBUDUR, CANDI MENDUT, DAN CANDI PAWON KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN STANDAR OPERASIONAL PERIZINAN DAN PEMANFAATAN CANDI BOROBUDUR, CANDI MENDUT, DAN CANDI PAWON 2015 Balai Konservasi Borobudur Jl. Badrawati

Lebih terperinci

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR

STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR STUDI PROSPEK PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA KAWASAN SEKITAR KARS GOMBONG SELATAN DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN WILAYAH TUGAS AKHIR Oleh: WISNU DWI ATMOKO L2D 004 358 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan dalam menghasilkan devisa suatu negara. Berbagai negara terus berupaya mengembangkan pembangunan sektor

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang mempunyai pesona alam dan budaya yang begitu mengagumkan. Salah satu dari sekian banyak objek wisata yang dimiliki yaitu Taman Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian Indonesia yang semakin membaik ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi salah satunya didorong oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan,

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non materi

BAB I PENDAHULUAN. ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non materi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seperti telah lama diketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Keterangan : * Angka sementara ** Angka sangat sementara Sumber : [BPS] Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang penting, dimana dalam perekonomian suatu Negara, apabila dikembangkan secara terencana dan terpadu, peran pariwisata

Lebih terperinci

Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Pemanfaatan dan Kelestarian Candi Borobudur

Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Pemanfaatan dan Kelestarian Candi Borobudur Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Pemanfaatan dan Kelestarian Candi Borobudur Oleh : Panggah Ardiyansyah, S.S Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Pendahuluan Semenjak diresmikannya pada tanggal 23

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota adalah sebuah tempat dimana manusia hidup, menikmati waktu luang, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan manusia lain. Kota juga merupakan wadah dimana keseluruhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. Perkembangan suatu kota dari waktu ke waktu selalu memiliki daya tarik untuk dikunjungi.

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya BAB V A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya ilmiah ini, diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, akan diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Kasus Proyek Perkembangan globalisasi telah memberikan dampak kesegala bidang, tidak terkecuali pengembangan potensi pariwisata suatu kawasan maupun kota. Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah

BAB I PENDAHULUAN. devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan salah satu sektor penting untuk meningkatkan devisa bagi negara, terutama Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) bagi daerah yang memiliki industri

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta memiliki banyak bangunan monumental seperti Tamansari, Panggung Krapyak, Gedung Agung, Benteng Vredeburg, dan Stasiun Kereta api Tugu (Brata: 1997). Beberapa

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU 1. Latar Belakang Sebagai modal dasar untuk mengembangkan kepariwisataannya yaitu alam dan budaya tersebut meliputi alam dengan segala isi dan bentuknya baik berupa

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bandung adalah salah satu kota besar di Indonesia dan merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat yang banyak menyimpan berbagai sejarah serta memiliki kekayaan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Manusia khususnya di daerah perkotaan sibuk dengan pekerjaannya yang terlalu menyita waktu. Akibatnya mereka berusaha mencari kegiatan yang dapat melepaskan keletihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdirinya hotel dan restoran di kawasan wisata dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, sebagai akibat dari pembangunan pariwisata yang tidak terpadu. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. berikut : Investasi industri pariwisata dengan didukung keputusan politik ekonomi

BAB VI KESIMPULAN. berikut : Investasi industri pariwisata dengan didukung keputusan politik ekonomi BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Hasil penelitian secara kritis yang sudah dianalisis di kawasan Borobudur, menggambarkan perkembangan representasi serta refleksi transformasi sebagai berikut : Investasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Henny Mahmudah *) *) Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan email : henymahmudah@gmail.com Abstrak Wilayah pesisir

Lebih terperinci

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH Nama Instansi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Alamat : Jalan Tgk. Chik Kuta Karang No.03 Banda Aceh Kode Pos 23121 Telp : (+62 651) 26206, 23692, Fax

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan yang indah, hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pegunungan yang indah, hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keindahan alam dan beraneka ragam budaya. Masyarakat Indonesia dengan segala hasil budayanya dalam kehidupan bermasyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Konsep yang diajukan dalam penelitian ini adalah konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders yang

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan hidup (Environment) dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya yaitu manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN URUSAN WAJIB LINGKUNGAN HIDUP

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN URUSAN WAJIB LINGKUNGAN HIDUP BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN URUSAN WAJIB LINGKUNGAN HIDUP 4.1. Visi dan Misi 4.1.1. Visi Bertitik tolak dari dasar filosofi pembangunan daerah Daerah Istimewa Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pariwisata telah berkembang pesat seiring perubahan pola pikir, bentuk, dan sifat kegiatan warga masyarakat. Perkembangan ini menuntut industri pariwisata agar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing BAB V KESIMPULAN Barus merupakan bandar pelabuhan kuno di Indonesia yang penting bagi sejarah maritim Nusantara sekaligus sejarah perkembangan Islam di Pulau Sumatera. Pentingnya Barus sebagai bandar pelabuhan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Terdapat dua fungsi dari atraksi

BAB I PENDAHULUAN. wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Terdapat dua fungsi dari atraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atraksi wisata merupakan salah satu komponen penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan salah satu faktor inti tarikan pergerakan wisatawan menuju daerah tujuan wisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang dikelola dan dilindungi dalam rangka pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Penetapan status sebuah kawasan menjadi

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya. Bab Enam Kesimpulan Masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di suatu kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), seringkali diabaikan dan kurang diberikan peran dan tanggung jawab dalam mendukung aktivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Bentuknya yang khusus itu menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari wisata

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI 1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata Pada dasarnya pengembangan pariwisata adalah suatu proses yang berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan BAB I PENDAHULUAN Sejarah perkembangan ekowisata yang tidak lepas dari pemanfaatan kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan definisi ekowisata sebagai perjalanan ke wilayah-wilayah

Lebih terperinci

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan

4 Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan LAMPIRAN 64 65 Lampiran 1 Tugas pokok dan fungsi instansi-instansi terkait No. Instansi Tugas pokok dan fungsi 1 BAPPEDA Tugas pokok: melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah bidang perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Abstrak Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 6, September 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Salam sejahtera, jumpa lagi dengan Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama.

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI 189 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI A. Simpulan Umum Kampung Kuta yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis, merupakan komunitas masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi nenek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci