BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar ha, lebih kurang ha atau 26 % telah dialokasikan dan digunakan untuk pengembangan tanaman perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Tidak dipungkiri bahwa usaha perkebunan dan HTI yang sebagian besar diselenggarakan oleh perusahaan-perusahan skala besar telah memberikan nilai positif pembangunan, termasuk konstribusinya bagi pendapatan daerah. Namun demikian, selagi intervensi program dan investasi skala besar seperti itu tidak diiringi perhatian pembangunan terhadap berbagai aktivitas ekonomi mikro dan tradisional yang biasanya menjadi tumpuan kehidupan mayoritas masyarakat perdesaan di sekitarnya, maka tujuan pertumbuhan ekonomi daerah dan pemerataan pembangunan yang berkesinambungan dipastikan juga akan sulit dicapai. Hal ini tercermin dari masih beratnya masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat perdesaan sekitar lokasi kegiatan akumulasi kapital perusahaanperusahaan besar kontraktor perkebunan dan HTI tersebut. Keadaan yang lebih menghawatirkan biasanya terjadi di daerah perdesaan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Perusahaan-perusahaan skala besar pemegang konsesi HPH dan HTI seringkali masih dominan menganut orientasi pandangan arus utama (mainstream) memanfaatkan hutan dan lahan dengan tujuan mengeksploitasi kayu. Dalam praktek eksploitasi sumberdaya alam seperti ini, perhatian terhadap nilai ekonomi berupa hasil hutan non-kayu (HHNK) beserta fungsi ekologis dan sosial dari keberadaan hutan seringkali diabaikan. Pemberian hak konsesi kepada perusahaan-perusahaan skala besar dan konversi lahan yang dilangsungkan bahkan sering menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan, fungsi ekologis hutan menjadi terganggu, lahan garapan para petani perdesaan semakin sempit dan tekanan penduduk terhadap hutan pun semakin meningkat. Kehadiran aktivitas akumulasi kapital skala besar ternyata juga belum 1

2 memberikan kontribusi yang nyata terhadap ketersediaan lapangan kerja dan pilihan-pilihan sumber pendapatan bagi masyarakat perdesaan di sekitarnya yang masih tergantung dari sektor pertanian dan ekonomi skala kecil lainnya. Ironisnya lagi, di beberapa penjuru daerah perdesaan yang dahulunya dikenal dengan kehidupan tradisionalnya yang harmonis, kemudian juga mengalami perubahan sosial seperti nilai-nilai tradisional menjadi longgar, peranan lembaga-lembaga tradisional memudar ataupun berkurangnya legitimasi pemimpin tradisional. Situasi ini tidak terkecuali juga terjadi di kawasan hutan Tesso Nilo di Provinsi Riau. Di kawasan hutan tropis dataran rendah terbesar di Pulau Sumatra ini telah berlangsung proses pengalihan fungsi hutan yang semula sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, habitat satwa khas, penghasil oksigen, mengatur iklim mikro maupun makro, menyerap gas-gas perusak lapisan ozon penyebab efek rumah kaca yang menaikan suhu bumi, melindungi tanah serta air tanah, penghasil produk hutan seperti getah, madu, buah-buahan, obat-obatan, protein hewani, rotan, damar dan kayu serta sumber mata pencaharian penduduk perdesaan sekitar kini mengalami berbagai benturan kepentingan. Rantai panjang proses benturan kepentingan tersebut meliputi fakta penebangan hutan secara besar-besaran untuk industri kayu, pengalihan fungsi hutan primer yang heterogen menjadi hutan tanaman homogen dan pembukaan perkebunan besar sangat tidak hanya mengancam pelestarian keanekaragaman hayati, tetapi juga telah menimbulkan dampak negatif bagi eksistensi masyarakat lokal. Secara bersamaan dewasa ini berlangsung pula pemanfaatan sumber daya hutan secara berlebih oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan akibat menyempitnya lahan sebagai tiang utama mata pencaharian mereka. Bukan hanya akibat pertumbuhan penduduk secara alamiah di kawasan itu, tetapi juga akibat peningkatan migrasi yang menyertai laju okupasi lahan dan pengalihan fungsi hutan menjadi fungsi-fungsi lain, termasuk untuk permukiman permanen. Berdasarkan krusialitas dan kompleksnya persoalan pembangunan di kawasan hutan Tesso Nilo ini wajarlah jika banyak pihak menunjukkan keprihatinannya, utamanya kalangan pemerhati dan aktivis lingkungan. Sejak tahun 2000 beberapa NGO, terutama diprakarsai oleh WWF Indonesia mulai memikirkan langkah-langkah ke depan mengenai kawasan hutan Tesso Nilo yang 2

3 dititik beratkan pada usaha-usaha untuk menjaga supaya dapat seluas mungkin mempertahankan daerah tersebut tetap berupa hutan dan membuatnya menjadi kawasan lindung. Pandangan ini dituangkan dalam apa yang di Riau dikenal sebagai Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Landscape (TNBTL) atau Lansekap (Kawasan) Bukit Tigapuluh Tesso Nilo yang meliputi daerah seluas kira-kira 2 juta hektar termasuk blok terbesar hutan dataran rendah yang masih tersisa, yang ketika itu dikenal sebagai Usulan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dalam dokumen perencanaan konservasi kawasan hutan Tesso Nilo tahun 2000 disebutkan bahwa TNBTL tersebut mencakup Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang sudah lebih dulu diresmikan; Lansekap TNBT terletak di dalam sebuah wilayah multi guna seluas 2 juta hektar yang dibatasi oleh empat kawasan lindung yang sudah ada yaitu Bukit Rimbang, Bukit Baling, Bukit Bungkuk dan Kerumutan, dan kawasan lindung yang diusulkan menjadi taman nasional yaitu Tesso Nilo. Total area hutan dalam kawasan lindung ini adalah hektar. Upaya pembangunan konservasi kawasan hutan Tesso Nilo itu selanjutnya mulai mendapatkan dukungan formal. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) telah diresmikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 255/Menhut-II/2004 bertanggal 15 Maret 2004 seluas hektar. Lebih dari hektar sisa hutan alam di Tesso Nilo untuk saat ini masih digunakan sebagai kawasan hutan produksi hingga tahun ke depan selanjutnya juga diharapkan untuk dimasukkan ke dalam areal taman nasional tersebut. TNTN berbatasan dengan 22 desa dengan lokasi yang tersebar di 4 kabupaten di Provinsi Riau, yakni: Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi. Menurut laporan WWF Indonesia, desa-desa yang berbatasan dengan TNTN di Provinsi Riau ini hingga kini masih mengalami berbagai masalah pembangunan, utamanya dalam bidang sosial ekonomi. Masalah ini meliputi persoalan ketimpangan ekonomi internal antar desa dan kompleksitas konflik kepentingan antar para pihak. Tingkat perekonomian desa-desa transmigrasi misalnya digambarkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan desa-desa yang didiami oleh mayoritas penduduk tempatan. Salah satu persoalan utama masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Tesso Nilo adalah kurangnya pilihan-pilihan ekonomi secara berkelanjutan yang 3

4 memungkinkan mereka hidup berdampingan secara harmonis dengan hutan Tesso Nilo. Persoalan lain yang juga mengemuka saat ini adalah munculnya konflik pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan pemegang konsesi di kawasan tersebut. Belum lagi konflik antara masyarakat dengan hidupan liar yang ada di hutan Tesso Nilo terutama konflik dengan gajah dan harimau Sumatra masih berlangsung hingga saat ini. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan diatas, maka diajukan beberapa pemasalahan kajian pada penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat desa dan ketergantungannya terhadap sumber daya hutan? 2. Bagaimana konflik antar para pemangku kepentingan (stakeholders/actors) yang berhubungan dengan potensi dan peluang pengembangan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan? 1.3 Tujuan 1. Mempelajari kehidupan ekonomi masyarakat desa dan ketergantungannya kerhadap sumber daya hutan. Telaahan ini terutama difokuskan terhadap pemahaman tentang ketersediaan sumber daya alam termasuk hasil hutan non-kayu (non timber forest product), pola mata pencaharian, masalah kemiskinan dan strategi survival keluarga dan masyarakat di desa-desa di sekitar hutan Tesso Nilo. 2. Mengenali dan menganalisis konflik antar para pemangku kepentingan (stakeholders/actors) yang berhubungan dengan potensi dan peluang pengembangan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan. Telaahan ini difokuskan terhadap tata hubungan dan konflik antara manusia dengan gajah, antara masyarakat dengan TNTN, antara masyarakat desa dengan perusahaan, antara masyarakat dengan pemerintahan daerah, serta resolusi konflik yang relevan dengan upaya mengembangkan pilihan-pilihan pembangunan sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan Tesso Nilo. 4

5 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi teknis situasi dan kondisi serta dinamika masyarakat perdesaan sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Memberikan pemetaan konflik social terkait dengan masyarakat, otoritas pemerintah pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah. Serta memberikan masukan mengenai resolusi konflik yang relevan dengan kondisi sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan Tesso Nilo. 5

6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori Strukturalisme Konflik Konflik berasal dari kata kerja configere yang maknanya adalah saling memukul. Sementara istilah conflict dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperanangan, atau perjuangan yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Istilah tersebut memberikan penjelasan bahawa sebuah konflik berlaku kerana adanya interaksi fizikal oleh dua pihak atau lebih. Hal ini menunjukkan bahawa konflik merupakan interaksi sosial yang melibatkan hubungan antara individu (Pruitt 2004). Konflik menjadi sebuah fakta kehidupan yang tak dapat dihindari, yang melekat pada jaringan kehidupan. Konflik atau perlawanan antara kumpulan atau komuniti merupakan bentuk dari pada interaksi sosial, yang dapat berlaku pada masyarakat manapun, yang mana pelbagai perbezaan kepentingan saling berbenturan sehingga menciptakan konflik dalam pelbagai derajatnya. Berkaitan dengan kondisi integrasi di dalam sebuah sistem sosial, Talcott Parsons menyatakan bahawa tidak ada sistem sosial yang terintegrasi secara sempurna, kerana selalu ada kemungkinan berlaku: a) ketidaksesuaian dalam prioritas bagi nilai-nilai yang berbeza ; b) interpretasi yang saling bertentangan mengenai nilai-nilai bersama ; c) konflik peranan ; d) motivasi ambivalen atau negatif ; e) ketegangan antara kebutuhan individu dan peranan yang ditentukan secara budaya ; f) harapan individu yang tidak tetap. Konflik sosial merupakan gejala ketegangan yang harus diatasi oleh sistem untuk mempertahankan keseimbangan keperluan atau kepentingan individu. Hubungan antara individu yang mengalami ketegangan secara konsisten tunduk pada persyaratan sistem keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan stabilitas sosialnya (Johnson 1986; Ritzer 1988). Beberapa proposisi penting mengenai konflik menurut pemikiran Marx menjelaskan hubungan kepentingan antara kumpulan dominan yang kuat dan 6

7 memiliki power, dengan kumpulan subordinat yang lemah dan tidak memiliki power. Marx menggambarkan tingkat inequality didalam distribusi sumberdaya langka, menentukan konflik kepentingan antara kumpulan yang menguasai power dengan yang tidak menguasainya. Proposisi-proposisi penting yang dimaksudkan iaitu sebagai berikut (Turner 1978; Wirawan 2012) : 1. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya langka dalam suatu sistem, semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan (kumpulan kuat) dan segmen subordinat (kumpulan lemah) dalam sistem tersebut. 2. Semakin menyadari segmen subordinat akan kepentingan kolektif, semakin besar kemungkinan mereka mempertanyakan keabsahan distribusi sumber yang tidak merata. A. Perubahan sosial yang diciptakan oleh segmen dominan semakin mengacaukan hubungan yang ada di antara para subordinat, maka semakin besar kemungkinannya segmen subordinat menyadari kepentingan kolektif mereka. B. Semakin praktik-praktik segmen dominan menimbulkan disposisi keterasingan di antara segmen subordinat, maka semakin besar kemungkinan kumpulan lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka. C. Semakin segmen subordinat dapat saling berkomunikasi mengenai keluhan-keluhan mereka, maka semakin besar kemungkinan kumpulan lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka. 1) Semakin konsentrasi anggota dari pada kumpulan subordinat bersifat spasial, maka semakin besar kemungkinan mereka akan menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka. 2) Semakin kumpulan subordinat memiliki akses kepada media pendidikan, semakin beraneka-ragam cara komunikasi mereka, maka semakin besar kemungkinan menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka. D. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan kesatuan sistem keyakinan, maka semakin besar kemungkinan mereka menjadi sadar kepada kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya. 7

8 1) Semakin besar kemampuan untuk mendapatkan (to recruit) juru bicara ideologis, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideology mereka 2) Semakin kecil kemampuan kumpulan dominan mengatur proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideologis pada kumpulan subordinat 3. Semakin segmen subordinat dalam suatu sistem menyadari kepentingan kolektif mereka, semakin kuat mereka mempertanyakan keabsahan (legitimacy) distribusi sumberdaya langka, maka semakin besar kemungkinan mereka mengorganisir untuk memulai konflik terbuka dengan segmen dominan. a. Semakin besar kemerosotan (deprivation) kumpulan subordinat bergerak dari dasar absolut ke dasar relative, maka semakin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik b. Semakin kumpulan dominan kehilangan kemampuan untuk menyatakan kepentingan kolektif mereka, semakin besar kemungkinan kumpulan subordinat menyusun dan memulai konflik c. Semakin besar kemampuan kumpulan subordinat mengembangkan struktur kepemimpinan, semakin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik 4. Semakin segmen subordinat disatukan oleh keyakinan bersama dan semakin berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen dominan dan segmen-segmen yang dikuasai dalam sistem tersebut akan mengalami polarisasi. 5. Semakin besar polarisasi antara segmen dominan dengan segmen yang dikuasai, maka akan semakin keras konflik yang berlaku. 6. Semakin keras suatu konflik, maka semakin besar perubahan struktur sebuah sistem dan redistribusi sumberdaya langka. Penjelasan struktural terhadap fenomena konflik sosial merujuk kepada perspektif konflik Ralf Dahrendorf yang mementingkan elemen-elemen struktur sosial sebagai dasar terciptanya konflik sosial. Konflik didasari oleh susunan- 8

9 susunan struktural tertentu, yang oleh kerananya selalu cenderung melahirkan susunan struktural sebagai yang telah ada. Dengan demikian Dahrendorf menghubungkan konflik dengan struktur sosial tertentu, dan bukan menganggapnya berhubungan dengan variabel-variabel psikologis (sifat-sifat agresif) atau variabel historis deskriptif dan variabel kebetulan (Poloma 2003) Selanjutnya Dahrendorf menyatakan bahawa pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar sebagai berikut : 1. Setiap masyarakat sentiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan sosial merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Masyarakat merupakan suatu proses sosial dan memiliki sifat yang dinamis, dimana keadaan masyarakat selalu berubah sesuai dengan fenomena-fenomena yang berlaku di dalam masyarakat tersebut dalam waktu yang terus berterusan. 2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam dirinya atau dengan kata lain konflik ialah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat, salah satu yang dapat mempengaruhi perubahan ditengah-tengah masyarakat adalah konflik di masyarakat tersebut. 3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi berlakunya disintegrasi dan perubahan sosial. 4. Setiap masyarakat terintegrasi diatasi penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang. Dahrendorf melihat kumpulan-kumpulan yang bertentangan sebagai kumpulan yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi. Pada asosiasi yang ditandai oleh pertentangan, terdapat ketegangan antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Secara empiris, pertentangan kumpulan mungkin paling mudah dianalisis jika dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubunganhubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kumpulan penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kumpulan bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Setiap kumpulan atau sistem sosial terbagi ke dalam berbagai kepentingan, yakni : 9

10 kepentingan orang-orang yang menguasai kepemilikan material, dan orang-orang yang tidak menguasainya (institusi ekonomi), dan kepentingan mereka yang memiliki dominasi otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan otoritas tersebut. Setiap perbezaan kepentingan menempatkan anggota masyarakat pada posisi dominan dan subordinat (Poloma 2003). Setiap fenomena konflik memiliki intensitasnya masing-masing. Sumbersumber konflik tertentu menghasilkan konflik dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan konflik yang dihasilkan oleh sumber konflik yang lain. Intensitas, merujuk pada pengeluaran energi dan keterlibatan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik. Dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas adalah tingkat keserupaan (konsistensi) konflik di pelbagai asosiasi yang berbeza serta tingkat mobilitas. Tingkat konsistensi yang tinggi bermakna, para anggota dari kumpulan konflik saling berkonfrontasi dalam berbagai hubungan asosiasional. Hal ini berlaku kerana orang yang dominan pada satu asosiasi, juga dominan dalam asosiasi yang lain, sedangkan yang subordinat pada satu asosiasi juga demikian pada asosiasi yang lain. Selain itu, kesempatan untuk konflik yang luas dan mendalam akan semakin besar kalau tak satupun dari asosiasi yang terlibat mampu menyediakan peluang untuk mobilitas keatas. Semakin besar konsistensi antara persebaran penghargaan ekonomis, status sosial atau prestise, dan sebagainya, dengan persebaran otoritas, maka semakin besar pula intensitas konflik kelas (Johnson 1986; Poloma 2003). Berbeda dengan intensitas konflik, maka kekerasan merujuk pada alat yang digunakan oleh pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingan. Tingkat kekerasan boleh sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh ketenangan sampai pada kekerasan terbuka, termasuk serangan fisik atas manusia dan miliknya. Tingkat deprivasi sosio ekonomis daripada mereka yang berada dalam posisi subordinat, merupakan faktor yang dapat membawa impak pada munculnya konflik yang keras. Sehubungan dengan konflik sosial, George Simmel (Turner 1978; Wirawan 2012) mengembangkan tiga perangkat proposisi tentang intensitas konflik bagi pihak yang terlibat dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan, dalam rangkaian proposisi tentang intensitas konflik. George Simmelmengemukakan 10

11 bahawa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini ada korelatif positif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kumpulan dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antara anggota kumpulan yang bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik dianggap telah merintangi pencapaian tujuan dan kepentingan individu oleh para anggota kumpulan yang bertikai, maka konflik itu cenderung menjadi kekerasan Teori Galtung tentang Munculnya Konflik dalam Masyarakat Kajian ini merujuk kepada teori kekerasan struktural dan kultural dari Johan Galtung. Johan Galtung mengatakan bahawa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi (Contradiction = C), sikap (Attitude = A),perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya. Kontradiksi merujuk pada dasar situasi konflik, termasuk ketidakcocokan tujuan yang ada atau dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren di antara mereka (Galtung 1973; Liliweri 2009). Sikap ialah persepsi pihak-pihak yang bertikai dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, merupakan persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kumpulan lain. Dalam konflik dan kekerasan, pihak-pihak yang bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan), kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang merupakan kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang merusak. Kontradiksi ialah kemunculan situasi yang melibatkan masalah sikap dan perilaku sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur 11

12 persepsi dan gerak kumpulan yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial. Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep mengenai situasi kontradiksi yang didahului oleh sikap dan perilaku ini digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung (lihat Rajah 2.1). Galtung berpendapat bahawa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total. Struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada. Kemudian pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku konfliktual, sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang. Contradiction (kontradiksi) Attitude (Sikap) Behaviour (Perilaku) Gambar 2.1: Segitiga ABC Galtung Sumber : Johan Galtung (1973) Konflik dapat melebar, menimbulkan konflik sekunder pada pihak-pihak utama, atau pihak-pihak yang terseret masuk. Hal ini akan merumitkan tugas menyelesaikan konflik intinya, dan pada akhirnya penyelesaian konflik harus melibatkan seperanangkat perubahan dinamis, yang melibatkan penurunan perilaku konflik, perubahan sikap, dan transformasi hubungan atau kepentingan yang berbenturan, yang berada dalam inti struktur konflik (Liliweri 2009; Susan 2009). 12

13 Pembahasan tentang konflik selalu mengarah pada upaya penyelesaiannya serta analisis mengenai sumber-sumber penyebab munculnya konflik tersebut. Salah satu penjelasan mengenai sumber konflik yang diajukan oleh para pemerhati konflik adalah, adanya kelangkaan sumber daya untuk pemenuhan keinginan dan keperluan hidup individu dan masyarakat. Keadaan ini akan membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut, dan ketika berlaku ketidakpuasan, maka akan berlaku konflik (Liliweri 2009). Sehubungan dengan kelangkaan sumber pemenuhan keperluan hidup, maka setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sumber konflik antara dua pihak, yaitu kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan hak (right), yang mana : 1) Kepentingan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama terhadap obyek yang disengketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan, dan lain-lain 2) Kekuasaan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk memperoleh status dan peranan sehingga memiliki kewenangan yang dominan 3) Hak sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk memperoleh tuntutannya, kerana masing-masing merasa bahawa tuntutan itu berkaitan dengan hak dan tanggungjawabnya. Salah satu bentuk penyelesaian konflik yang mungkin ditawarkan ialah dengan memenuhi kepentingan semua pihak. Akan tetapi penyelesaian ini hanya menghentikan konflik untuk sementara waktu. Apabila sumber daya yang diperebutkan telah habis, maka situasi konflik akan muncul kembali. Cara yang lain, yaitu menyerahkan kekuasaan atau hak kepada salah satu pihak merupakan solusi konflik yang tidak berdampak kepada integrasi sosial. Cara ini adalah sebuah bentuk penyelesaian yang bersifat zero-sum solution, dan akan diikuti oleh penyalahgunaan wewenang dan hak oleh pihak dominan, yang kemudian akan 13

14 menimbulkan konflik yang baru. Oleh kerana itu, konflik sosial seringkali memiliki sifat berulang sesudah beberapa tahun mereda. Konflik sedemikian adalah kerana sumber konflik yang sebenarnya sulit terungkap, dan konflik tidak dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Selalu masih tersisa perbezaan-perbezaan yang akan memicu konflik pada masa-masa mendatang. Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuatan sumberdaya (resource power). Kekuatan sumberdaya boleh dibagi menjadi kekuatan punitive yaitu kekuatan yang menghancurkan. Kemudian, kekuatan ideologis, kekuatan remuneratif yang cenderung menciptakan kekerasan budaya. Galtung mendefinisikan kekerasan budaya sebagai aspek budaya, iaitu ruang simbolik keberadaan manusia seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika, matematika), yang dapat dipakai untuk melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural atau penggunaan otoritas (wewenang) untuk menciptakan sebuah kebijakan. Jadual 2.2 ialah tipologi kekerasan yang disebutkan oleh Galtung (Galtung 1990). Tabel 2.1: Tipologi kekerasan Galtung (Galtung s typology of violence) Survival needs Well-being needs Identity needs Freedom needs Killing Maiming, Desocialization Repression siege, misery, resocialization detention sanction second citizen expulsion Kekerasan langsung Kekerasan struktural exploitation exploitation Penetration segmentation Sumber : Johan Galtung (1990) Marginalization fragmentation Kekuatan sumberdaya dan kekuasaan struktural saling memperkuat. Galtung mengungkapkan bahawa kekerasan struktural, kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian dan keberlangsungan hidup (survival needs), kesejahteraan (well-being needs), kebebasan (freedom needs), dan identitas (identity needs). Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan 14

15 personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung 1973; Susan 2009) Pengendalian Konflik Kemampuan sebuah masyarakat mengelola perselisihan kepentingan dan konflik erat kaitannya dengan mutu dan legitimasi struktur, lembaga, dan tata aturannya. Kunci untuk penyelesaian konflik secara damai ialah dengan mengembangkan lembaga-lembaga demokrasi yang stabil dan menghormati hak asasi manusia (Anwar 2005). Katup penyelamat (savety-valve) merupakan salah satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kumpulan dari kemungkinan konflik sosial, membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, dan membersihkan suasana dalam kumpulan yang sedang kacau. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan. Lewat katup penyelamat (savety-valve) permusuhan dihambat dan diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu : mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif (Johnson 1986, Poloma 2003). Secara umum, ada tiga macam bentuk pengendalian konflik, yakni : a) Konsiliasi, iaitu pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui lembagalembaga tertentu yang memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak bertikai ; b) Mediasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-dua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator ; c) Arbritasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila keduadua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik (Kerr dalam Dahrendorf 1986). Ketiga mekanisme pengendalian konflik ini banyak digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang berlaku. 15

16 Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kerr sebelumnya, mengenai konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi, berikut ini terdapat beberapa bentuk akomodasi lainnya. Akomodasi, ialah keadaan yang merupakan hasil dari interaksi yang bersifat damai (Summerdalam Narwoko 2010). Akomodasi sebagai proses sosial berlangsung dalam beberapa bentuk, masing-masing dapat disebutkan dan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemaksaan (coercion) proses akomodasi yang berlangsung melalui cara paksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam sanksi. 2. Kompromi (compromise) proses akomodasi yang berlangsung dalam bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak yang sadar menghendaki akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutan masingmasing sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah penyelesaian. 3. Pengguna jasa perantara (mediation) suatu usaha kompromi yang dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan dengan bantuan pihak ketiga, dan tidak memihak, mencuba mempertemukan dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa atas dasar itikat kompromi kedua belah pihak. 4. Pengguna jasa penengah (arbitrate) suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Seperti halnya dengan perantara, penengah ini juga dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi perantara itu sekedar mempertemukan kehendak kompromistis kedua-dua pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan membuat keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada. 5. Peradilan (adjudication) suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai authoriti untuk menyelesaikan konflik. Pengadilan (hakim) tidaklah dipilih oleh pihakpihak yang bertikai seperti apa yang berlaku pada proses akomodasi melalui penengah. Akan tetapi, seperti halnya para penengah, para pengadilan (adjudication, khusus hakim) itu selalu menggunakan aturanaturan tertentu sebagai standar penyelesaian sengketa. 16

17 6. Toleration, suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa manifestasi persetujuan formal macam apapun. Pertentangan berlaku kerana individuindividu bersedia menerima perbezaan-perbezaan yang ada sebagai suatu kenyataan, dan dengan kerelaan membiarkan perbezaan itu, serta menghindari diri dari pertelingkahan-pertelingkahan yang mungkin timbul. 7. Stalemat, adalah suatu bentuk akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan tiba pada suatu posisi maju tidak boleh dan mundur tidak boleh. Stalemate adalah suatu situasi kemacetan yang stabil, sehingga beberapa pihak mengatakan bahawa stalemate bukanlah proses akomodasi melainkan resultant suatu proses akomodasi Beberapa cara lain yang digunakan dalam usaha mengendalikan konflik, dinyatakan oleh Moore Christopher (Susan 2009). Bentuk-bentuk pengendalian dan proses pengurusan konflik yang dimaksud iaitu: a. Avoidance ialah pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan mengharap konflik boleh terselesaikan dengan sendirinya. b. Informan problem solving ialah pihak-pihak yang berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal. c. Negotiation ketika konflik masih terus berlanjut, maka para pihak berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah secara formal. Hasil dari negosiasi bersifat prosedural yang meningkat semua pihak yang terlibat dalam negosiasi. d. Mediation ialah munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak kerana dipandang boleh membantu parah pihak berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai. e. Executivedispute resolution approach iaitu kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk penyelesaian konflik. f. Arbitration suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga dipandang netral atau imparsial. g. Judicial approach berlakunya intervensi yang dilakukan oleh lembagalembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum. 17

18 Langkah-langkah penyelesaian konflik dan pertikaian sosial mana yang sesuai tentunya sangat bergantung kepada sumber konflik, pencetus konflik, keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik serta tingkat intensitas konflik. Faktor pencetus konflik dan pertikaian kerapkali bukan merupakan sumber konflik yang sebenarnya. Pencetus konflik ialah suatu tindakan atau kejadian yang langsung mencetuskan pertikaian antara kedua-dua pihak. Sedangkan sumber konflik merupakan akar permasalahan yang harus ditarik jauh ke belakang secara historis, yang akan memberikan penjelasan secara substansi mengenai asal-muasal kebencian antara pihak-pihak yang bertikai. Pengendalian atau penyelesaian konflik yang hanya berasas kepada faktor pencetus konflik, tidak akan menghasilkan sebuah solusi yang menyeluruh dan mendalam, namun mungkin hanya akan meredam pertikaian atau kekerasan pada masa yang singkat sahaja, dan tidak lama kemudian akan muncul pertikaian yang serupa, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih kuat. Oleh itu, beberapa konflik yang berlaku tidak dapat benar-benar dihapuskan, dan akan berulang pada bilangan masa tertentu. Sumber setiap pertikaian ialah kebencian yang tersimpan. Apabila kebencian kepada pihak yang berkuasa tidak mampu diungkapkan, maka akan berlaku transfer of hate, iaitu kebencian yang dialihkan kepada pihak lain yang mewakili kepentingan lawan yang berkuasa tersebut. Pada keadaan seperti ini tentu konflik dan pertikaian menjadi fenomena yang sangat sukar untuk diselesaikan, terutama untuk mendapatkan sumber konfliknya, kerana sebenarnya pada setiap pertikaian memiliki nilai pembenarannya sendiri. Dalam rangka upaya pembangunan sosial ekonomi perdesaan sekitar hutan Tesso Nilo saat ini dibutuhkan strategi khusus yang mampu mengintegrasikan tujuan konservasi alam, perbaikan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan penguatan fiskal bagi pembangunan daerah secara terpadu. Untuk itulah diperlukan suatu pendekatan pengelolaan pembangunan perdesaan sekitar kawasan hutan Tesso Nilo (yang sebagaimana kini sudah ditetapkan sebagai Taman Nasional Tesso Nilo) yang menganut prinsip dari pembangunan konservasi untuk pembangunan ekonomi ke arah pembangunan ekonomi untuk pembangunan berkelanjutan. 18

19 Upaya mengembangkan pembangunan konservasi ini membutuhkan strategi yang integral dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat desa-desa di sekitar hutan mengingat sejatinya masyarakat perdesaan sekitar hutan adalah bagian tidak terpisahkan dari pemangku kepentingan utama pembangunan itu sendiri. Secara khusus dalam upaya pembangunan TNTN, persepktif ini menjadi sangat relevan karena sesuai pula dengan visi pembangunan daerah Provinsi Riau yang memprioritaskan penanggulangan K2I (kemiskinan, kebodohan dan infrastruktur) yang antara lain dengan memberikan perhatian khusus terhadap upaya untuk membangun otonomi desa. Inilah momentum untuk membuktikan komitmen berbagai pihak dalam menyelaraskan pembangunan daerah yang mampu mengakomodasi asas-asas fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya dalam membangun kehidupan yang lebih berkualitas di perdesaan sekitar kawasan hutan Tesso Nilo Provinsi Riau. Secara teoritik, masalah pembangunan perdesaan di sekitar hutan dapat dijelaskan sebagai masalah persaingan yang kompleks antara kepentingan konservasi untuk pelestarian lingkungan alam dengan kepentingan ekonomi dan sosial dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Hal ini meliputi kepentingan yang terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa dalam tradisi dan pengalaman praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya hutan maupun yang terkait dengan persaingan antara usaha ekonomi kapitalistik dengan usaha ekonomi rakyat yang tidak seimbang. Hal yang disebutkan terkahir bisanya juga dilingkupi pula masalah struktural dalam pembangunan yang tidak terpisahkan dalam proses pembangunan yang bersifat sentralistik dan uniformitas yang juga sudah cukup lama berlangsung. Berkenaan dengan ini diperlukan suatu pendekatan terpadu dalam kelola kawasan, kelola usaha dan kelola sosial yang hendaknya mampu mengupayakan rekonsiliasi antara para pemangku kepentingan dalam pembangunan. Pembangunan perdesaan di sekitar hutan dengan sendirinya secara khas juga membutuhkan perhatian penyesuaian terhadap keadaan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya setempat dengan memposisikan masyarakat perdesaan sebagai pemangku utama pembangunan. 19

20 2.2 KERANGKA PEMIKIRAN Pemerintah Masyarakat Daerah Pengelola TNTN Perusahaan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) KONFLIK RESOLUSI: Konsiliasi Mediasi Arbritasi Sumber Kepentingan (interest) Kekuasaan (power) Hak (right) Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran Konflik Antar Pemangku Kepentingan di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau 20

21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dalam rangka penyusunan rekomendasi teknis pembangunan sosial ekonomi masyarakat perdesaan di sekitar hutan Tesso Nilo Provinsi Riau. Daerah sasaran penelitian ini meliputi 22 desa sekitar kawasan TNTN yang tersebar di empat kabupaten di Provinsi Riau, yakni: Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi. 3.2 Informan Karena penelitian ini merupakan studi kasus dan menggunakan pendekatan kualitatif, maka pengambilan informan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu untuk memperoleh gambaran seluas-luasnya tentang konflik antar pemangku kepentingan di seputar Taman Nasional Tesi Nilo. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh terkait dengan masyarakat, otoritas pemerintah pengelola kawasan, perusahaan dan pemerintahan daerah. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan dengan menerapkan metode dan teknik pengumpulan data untuk masing-masing tahapannya adalah sebagai berikut. Tahap I. Pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan intervensi kebijakan dan program pembangunan yang pernah dilakukan pemerintah serta pihak lain, baik tingkat nasional maupun daerah. Bersamaan dengan ini dilakukan pengumpulan data tentang keadaan demografis, peta wilayah, potensi sumber daya, keadaan ekonomi perdesaan, tingkat kemiskinan, kategori dan intervensi pembangunan yang pernah dilakukan terkait dengan keberadaan perusahaanperusahan besar yang melakukan akumulasi kapital di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo ini. Data sekunder dikumpulkan melalui laporan penelitian terdahulu, dinas dan instansi terkait serta berbagai dokumen yang relevan. 21

22 Tahap II. Pengumpulan data primer tentang struktur sosial, kehidupan sosial budaya, pola mata pencaharian, seluk beluk aktivitas ekonomi menurut jenis-jenis usaha perdesaan, konflik antar para pemangku kepentingan dan strategi survival keluarga perdesaan di sekitar hutan. Data dikumpulkan dengan metode pengamatan langsung (direct observation), wawancara mendalam (depth interview) dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) melalui kunjungan lapangan dan transek ke desa-desa sasaran penelitian. Dalam melaksanakan wawancara mendalam dan FGD, antara 5-10 orang terdiri dari pemimpin formal, pemimpin informal dan warga petani di setiap desa-desa sasaran penelitian yang dikunjungi telah menjadi informan kunci dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan verifikasi data sekunder dan temuan-temuan data primer awal secara langsung dengan pemerintah (dinas/instansi terkait di tingkat provinsi Riau dan keempat kabupaten yang mewilayahi TNTN), peneliti dari perguruan tinggi setempat, praktisi NGO dan Forum Masyarakat Tesso Nilo. Melalui tahapan ini, didapatkan kategorisasi masyarakat menurut tingkat kemiskinannya, kategorisasi dan karakteristik usaha ekonomi perdesaan di sekitar hutan serta peta konflik dan resolusi konflik antar para pemangku kepentingan pembangunan. Banyak data penting dan relevan berupa kekayaan informasi kualitatif yang telah didalami sesuai dengan tujuan penelitian ini. Tahap III. Melakukan crosscheck melalui diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) bersama para pihak (multi-steakholders/actors) dengan tujuan melakukan pembahasan partisipatif dan multi-pihak dalam rangka menemukan usulan pilihan-pilihan strategi pembangunan berkelanjutan yang tepat dan layak terap oleh pemerintah daerah dalam rangka pembangunan sosial ekonomi masyarakat perdesaan di sekitar hutan Tesso Nilo Provinsi Riau. 3.4 Teknik Analisis Data Sesuai dengan prinsip pendekatan penelitian yang digunakan, penelitian ini tidak berpretensi untuk mencapai tujuan generalisasi ataupun representatifitas yang dapat dilengkapi melalui pelaksanaan survei opini publik dan respon masyarakat desa serta evaluasi kebijakan publik dalam studi-studi lanjutan di masa akan datang. 22

23 Teknik analisa data dalam penelitian ini mengacu pada model interaktif Huberman dan Miles (dalam Bungin, 2003:69). Teknik analisis data model interaktif huberman dan Miles menyatakan adanya sifat interaktif antara kolektif data atau pengumpulan data dengan analisis data. Analisis data yang dimaksud yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data atau penarikan kesimpulan. Pengumpul Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan (Penarikan/ Verifikasi) Gambar 3.1 Analisis Data Model Interaktif Huberman dan Miles Reduksi data adalah mengelola data dengan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang data yang tidak diperlukan serta mengorganisir data tersebut. Dengan mengorganisir data maka dapat dengan mudah menyajikan atau memaparkan data-data yang diperlukan untuk disimpulkan dengan cara induktif pada penelitian, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan atau verifikasi dalam menganalisis data penelitian (Bungin, 2003). 23

24 BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA SEKITAR TESSO NILO Di dalam peta wilayah Provinsi Riau antara lain dapat ditemukan adanya dua buah sungai bernama Sungai Tesso dan Sungai Nilo yang melintasi empat daerah kabupaten yakni Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi, tepat di bagian inti dan masing-masingnya membelah di bagian tengah wilayah Riau ibaratkan jantungnya provinsi ini. Kedua sungai ini hingga sekarang masih dikitari kawasan hutan alam paru-paru penghasil oksigen terpenting dari kawasan hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatra. Secara hidrologis, kedua sungai ini juga memiliki fungsi tata air yang penting sebagai kawasan tangkapan air dan menjadi kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tidak terpisahkan dengan Sub-DAS Kampar DAS Indragiri Rokan. Bagi kalangan komunitas peneliti dan praktisi konservasi, kawasan sekitar Sungai Tesso dan Sungai Nilo ini kemudian lebih populer disebut dengan nama kawasan hutan Tesso Nilo dan sejak Tahun 2004 telah dikukuhkan pula secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). 4.1 Letak Administratif dan Sebaran Desa Menurut pembagian wilayah administratif, 22 desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo ini tersebar di 4 kabupaten di Provinsi Riau, yaitu: Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi. Menurut pembagian wilayah Kecamatannya, Desa-desa ini terbagi lagi ke dalam 9 Kecamatan, masing-masing 3 Kecamatan di Kabupaten Pelalawan, 1 Kecamatan di Kabupaten Indragiri Hulu, 2 Kecamatan di Kabupaten Kampar dan 3 Kecamatan di Kabupaten Kuantan Singingi. Secara terperinci daftar desa sekitar TNTN menurut pembagian wilayah administratif kecamatan dan kabupaten yang menaungi selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini: 24

25 Tabel 4.1 Nama Desa Sekitar TNTN Menurut Pembagian Wilayah Administratif KABUPATEN KECAMATAN DESA Langgam 1. Pangkalan Gondai Langgam 2. Segati Pelalawan Pangkalan Kuras 3. Kesuma/Sei Medang Ukui 4. Lubuk Kembang Bunga Ukui 5. Air Hitam Pasir Penyu 6. Pontian Mekar Indragiri Hulu Pasir Penyu 7. Tasik Juang Pasir Penyu 8. Sei. Beras-beras Kelayang 9. Air Putih Kampar Kiri 10. Gunung Sari Kampar Kampar Kiri 11. Suka Makmur Kampar Kiri 12. Gunung Sahilan Kampar Kiri Hilir 13. Rantau Kasih Kuantan Hilir 14. Gunung Melintang Logas Tanah Darat 15. Situgal Logas Tanah Darat 16. Rambahan Logas Tanah Darat 17. Perhentian Luas Kuantan Singingi Logas Tanah Darat 18. Giri Sako Logas Tanah Darat 19. Lubuk Kebun Logas Tanah Darat 20. Hulu Tesso Logas Tanah Darat 21. Logas Tanah Darat Singingi Hilir 22. Suka Maju Sumber: WWF Riau, 2015 Pengidentifikasian 22 desa sekitar TNTN ini tidak terlepas dari langkah yang lebih awal dilakukan WWF Indonesia, Ada 3 kriteria yang digunakan sebagai acuan penentuan desa-desa perbatasan TNTN ini, yaitu: 1) Letak geografis desa dekat/berdekatan dengan kawasan TNTN dan kawasan yang masih diusulkan untuk menjadi kawasan perluasan TNTN, 2) Desa sering mengalami gangguan serangan gajah, dan 3) Desa memiliki hak ulayat di kawasan TNTN dan kawasan yang masih diusulkan untuk menjadi kawasan perluasan TNTN. 4.2 Tipologi Desa dan Keadaan Demografi Secara demografis, desa-desa sekitar kawasan TNTN ini dapat dibagi ke dalam 3 tipologi desa, yakni: desa asli, desa transmigrasi dan desa campuran (mix). 25

26 Pertama, tipologi desa asli dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk desa adalah penduduk tempatan atau penduduk asal setempat yang mengklaim diri secara umum bersuku bangsa Melayu Riau. Sebagian besar desa bertipologi ini merupakan desa-desa dengan sejarah pembentukan desanya lebih tua atau lebih dahulu dibandingkan dua kategori desa yang lainnya. Namun demikian ditemukan juga adanya desa-desa asli dengan riwayat pembentukannya relatif baru sebagai hasil ekspansi penerukaan penduduk tempatan. Kedua, tipologi desa transmigrasi dengan ciri-ciri utamanya mayoritas penduduk desa terdiri dari warga transmigran asal Pulau Jawa. Sebagai desa yang dibentuk secara resmi menjadi desa permanen dengan sendirinya warga desa-desa transmigrasi ini juga telah menjadi penduduk permanen di daerah ini dari hasil program nasional transmigrasi sejak tahun 1970an. Umumnya keluarga kaum transmigran asal Pulau Jawa di daerah ini kini telah terdiri atas 2-3 generasi. Ketiga, tipologi desa campuran (mix) dengan ciri-ciri utama komposisi penduduknya terdiri atas beragam latar belakang suku bangsa yang merupakan campuran antara penduduk yang berasal dari desa-desa asli sekitarnya dan penduduk pendatang yang berasal dari daerah seprovinsi dan dari luar provinsi Riau. Selain penduduk asal Melayu Riau, di perdesaan ini dapat ditemui juga warga suku bangsa lainnya seperti Batak, Jawa, Nias, Minangkabau dan lain-lain. Desa-desa tipologi ketiga ini umumnya berdiri lebih akhir dibandingkan desa-desa dari kedua tipologi desa lainnya. Desa-desa campuran ini umumnya berdiri melalui proses transmigrasi swakarsa yang mengikuti berlangsungnya pembukaan hutan dan lahan yang telah meningkat sangat pesat di kawasan ini di era akhir tahun 1970an dan 1980an. Dapat dipastikan bahwa pendirian desa-desa ini terkait erat dengan hadirnya aktivitas-aktivitas akumulasi kapital skala besar yang diselenggarakan kontraktor-kontraktor HPH, perkebunan kelapa sawit, HTI dan pengembangan industri pulp, serta tidak terkecuali juga karena adanya program transmigrasi resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah nasional. Menurut data BPS (2014) desa-desa sekitar TNTN ini didiami oleh lebih dari jiwa penduduk yang terdiri dari KK. Adapun gambaran 26

27 terperinci mengenai jumlah penduduk di 22 desa sekitar TNTN ini dapat dilihat dari Tabel 4.2 di bawah ini: Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Jumlah KK di Desa-Desa Sekitar TNTN KABUPATEN KECAMATAN DESA Pelalawan Indragiri Hulu Kampar Kuantan Singingi JUMLAH PENDUDUK JUMLAH KK Langgam 1. Pangkalan Gondai Langgam 2. Segati Pangkalan Kuras 3. Kesuma/Sei Medang Ukui 4. Lubuk Kembang Bunga Ukui 5. Air Hitam Pasir Penyu 6. Pontian Mekar Pasir Penyu 7. Tasik Juang Pasir Penyu 8. Sei. Beras-beras Kelayang 9. Air Putih Kampar Kiri 10. Gunung Sari Kampar Kiri 11. Suka Makmur Kampar Kiri 12. Gunung Sahilan Kampar Kiri Hilir 13. Rantau Kasih Kuantan Hilir 14. Gunung Melintang Logas Tanah Darat 15. Situgal Logas Tanah Darat 16. Rambahan Logas Tanah Darat 17. Perhentian Luas Logas Tanah Darat 18. Giri Sako Logas Tanah Darat 19. Lubuk Kebun Logas Tanah Darat 20. Hulu Tesso Logas Tanah Darat 21. Logas Tanah Darat Singingi Hilir 22. Suka Maju JUMLAH Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015 Gambaran data penduduk yang dipaparkan di atas memperlihatkan bahwa jumlah penduduk antar desa bervariasi besarnya dan secara umum menunjukkan proporsi seimbang antara jumlah penduduk asli dan penduduk pendatang. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk di daerah ini sesungguhnya lebih dipengaruhi oleh faktor tingginya tingkat migrasi penduduk pendatang dibandingkan pertumbuhan alamiah dari penduduk asal di daerah ini sendiri. Adapun keadaan sumber daya manusia di desa-desa sekitar TNTN dapat dikatakan masih memprihatinkan sehingga perlu perhatian dan terobosan untuk mengatasinya. Dari sumber resmi kependudukan tingkat provinsi yang tersedia di 27

28 BPS (2014) ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di desa-desa sekitar TNTN ini tergolong rendah dengan ciri-ciri mayoritas penduduk maupun Kepala Keluarga di desa-desa ini hanya berpendidikan terakhir tidak tamat dan tamat Sekolah Dasar. Sebagian besar penduduk desa sekitar hutan Tesso Nilo mata pencahariannya bergerak dalam sektor pertanian perdesaan. Pertanian tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit serta mencari kayu ke kawasan hutan masih merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Sebagian kecil masyarakat seperti di Desa Gunung Sahilan dan Rantau Kasih di Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar, Hulu Tesso Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi, Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan dan desa-desa di pinggiran sungai lainnya juga memiliki mata pencaharian sebagai nelayan mencari ikan di sungaisungai utama di sekitar permukiman mereka. Kegiatan berternak sapi dan kerbau serta memelihara ayam juga dijumpai di sejumlah desa, tetapi umumnya masih kurang berkembang. Cara berternak sapi misalnya secara umum masih dilakukan dengan sistem dilepas dan biasanya memang belum dijadikan andalan pendapatan keluarga. Desa Perhentian Luas, Desa Rambahan, Desa Situgal dan Desa Logas di Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi, Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui dan Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam di Kabupaten Pelalawan mengandalkan juga lebah madu sebagai mata pencaharian sampingan penduduk. Sementara itu, kehadiran banyaknya perusahaan besar yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan dan industri pengolahan hasil hutan di daerah ini tampaknya belum memberi kontribusi berarti dalam menampung tenaga kerja di sektor jasa dan formal dari kalangan penduduk asal desa-desa sekitarnya. Penyerapan tenaga kerja lokal mulai dari pekerja buruh harian hingga pekerja terampil dan profesional relatif sangat rendah. Tingkat penyerapan tenaga kerja lokal yang terbesar hanya untuk buruh harian perkebunan, sedangkan untuk tenaga kerja terampil dan profesional di perusahaan sangatlah kecil. 28

29 4.3 Sistem Organisasi Sosial Kehidupan masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo antara lain juga perlu dipahami dari sudut pandang sosial budaya yang meliputi sistem organisasi sosial tradisional masyarakat desa sekitar kawasan ini. Secara sosiokultural, khususnya apabila merujuk pada pembagian sosio-kultural masyarakat tempatan, desa-desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo dapat pula dibagi ke dalam dua varian sistem organisasi sosial tradisional. Pertama, desa-desa yang secara organisasi sosial dominan mengikuti sistem perbatinan atau dalam istilah setempat biasa juga disebut menganut adat Melayu Petalangan. Desa-desa yang menganut sistem organisasi sosial tradisional seperti ini terutama dapat ditemukan di daerah perdesaan sekitar TNTN di kabupaten Pelalawan dan kabupaten Indragiri hulu, seperti: 1. Desa Pangkalan Gondai 2. Desa Segati 3. Desa Desa Kesuma/Sungai Medang 4. Desa Lubuk Kembang Bunga 5. Desa Air Hitam 6. Desa Pontian Mekar 7. Desa Tasik Juang 8. Desa Sei. Beras-Beras 9. Air Putih Kedua, desa-desa sekitar TNTN yang menganut sistem kepenghuluan dengan sistem organisasi sosial dan kekerabatan yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Minangkabau. Dalam penggolongan sosial-budaya Minangkabau memang dikenal adanya pengkategorian mengenai daerah rantau, yang wilayahnya meliputi beberapa daerah di Provinsi Riau, seperti di kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Dalam hal ini patut dicatat meskipun dinyatakan mendapat pengaruh dari kebudayaan Minangkabau, tetapi pada hakikatnya terdapat cukup banyak juga perbedaan dan kekhasan yang menjadikan sistem kehidupan sosial budaya masyarakat desa-desa ini unik dan tidak dapat digeneralisasi sebagaimana kedudayaan Minangkabau sendiri yang sejatinya juga 29

30 bersifat plural. Adapun desa-desa sekitar TNTN yang dominan menganut sistem kepenghuluan ini secara administratif berada di kabupaten Kampar dan kabupaten Kuantan Singingi, seperti: 1. Desa Gunung Melintang 2. Desa Situgal 3. Desa Ramabahan 4. Desa Perhentian luas 5. Desa Giri Sako 6. Desa Lubuk Kebun 7. Desa Hulu Tesso 8. Desa Logas Tanah Darat 9. Desa Suka Maju 10. Desa Gunung Sari 11. Desa Suka Makmur 12. Desa Gunung Sahilan 13. Desa Rantau Kasih Secara tradisional, baik sistem pebatinan maupun sistem kepenghuluan merupakan kesatuan kelompok masyarakat yang tersusun berdasarkan struktur dan hubungan hubungan kekerabatan. Dari para tetua adat disebutkan bahwa terdapat perbedaan sistem adat antara kedua masyarakat yang menganut sistem organisasi sosial ini. Perbedaan itu terutama terlihat dalam pola kepemimpinan pada sistem perbatinan yang dinyatakan lebih bersifat otokrasi dengan undang adat lantak luka, sedangkan sistem kepenghuluan lebih bersifat demokratis, dengan undang adat lantak bane. Hubungan antara anggota-anggota suku atau kerabat dengan pemimpin tradisional pada masing-masing masyarakat ini dilukiskan bahwa dalam sistem pebatinan agak lebih longgar dibandingkan pada masyarakat yang menganut sistem kepenghuluan. Longgar dalam pengertian lemahnya solidaritas sosial pada tingkat kesatuan komunitas wilayah pebatinan. Solidaritas sosial biasanya masih terpelihara pada tingkat keluarga luas ataupun kesatuan sosial berdasarkan territorial yang terikat oleh kerja sama aktivitas mata pencaharian seperti dalam 30

31 pembukaan ladang, berburu dan dalam melawan serangan-serangan dari binatang atau dari warga masyarakat lainnya. Sifat individualistik, sebagai konsekuensi dari pola okupasi yang kurang berkembang (tetap bertahan sebagai petani peladang) dalam masyarakat pebatinan, dalam banyak hal tidak menguntungkan dalam usaha melakukan perbaikan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada masyarakat desa-desa pertalangan yang biasanya hidup lebih di daerah pedalaman terdapat kecenderungan untuk hidup mengelompok berdasarkan ikatan kekerabatan dan memberi corak terhadap pola pembentukan pemukiman. Menurut Parsudi Suparlan (1993), ada beberapa pola pengelompokan tempat tinggal pada masyarakat Melayu yang menganut sistem pebatinan ini seperti ini, seperti: 1) ada kecenderungan memilih tempat tinggal berdekatan dengan orang tua, mertua, saudara sekandung; 2) ada kecenderungan memilih tempat tinggal berdekatan dengan saudara sepupu, saudara angkat, saudara lakilaki dari ibu, saudara-saudara kandung ibu atau bapak; 3) memilih tempat tinggal dengan orang-orang yang berasal dari pebatinan yang sama. Pola seperti ini sampai sekarang juga kami temui di sejumlah desa pertalangan, termasuk di kampong-kampung daerah penerukaan baru yang dipelopori oleh penduduk tempatan di desa-desa sekitar TNTN di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu. Di desa-desa yang masyarakatnya mengklaim menganut pengaruh kebudayaan matrilineal Minangkabau seperti di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi ditemukan susunan kekerabatan yang ditarik berdasarkan garis keturunan ibu. Setiap individu adalah anggota dari kaum dan suku ibunya. Keluarga matrilineal ini tersusun dalam struktur keluarga luas (extended family) yang dipimpin oleh ninik mamak. Di antara sesama anggota sekerabat matrilineal ini tidak diperkenankan menjalin tali perkawinan karena melanggar prinsip perkawinan eksogami suku. Namun demikian terdapat perbedaan yang mendasar dibandingkan dari praktek-praktek umum adat yang masih berlaku di tanah Minangkabau, misalnya dalam pola kepemilikan komunal, sistem pewarisan dan pola pengambilan keputusan yang di dalam praktek di desa- 31

32 desa sekitar Tesso Nilo ini ternyata lebih meniru prinsip-prinsip sistem patrilineal yang secara struktural lebih cenderung menguntungkan posisi kaum laki-laki. Meskipun terdapat perbedaan ideasional mengenai sistem organisasi sosial dan struktur kepemimpinan tradisional antara sistem pebatinan dengan sistem kepenghuluan, namun di dalam kenyataannya perbedaan ini juga tidaklah selalu menonjol terlihat dalam tataran praktek kehidupan sosial budaya masyarakat desa sekitar kawasan Tesso Nilo. Struktur kepemimpinan tradisional dalam masyarakat yang menganut sistem pebatinan di desa-desa sekitar kawasan Tesso Nilo biasanya terdiri dari: Batin, Ninik Mamak dan kepala keluarga inti atau kepala rumah tangga. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kepenghuluan struktur kepemimpinannya terdiri dari atas: Penghulu, Mamak nan Barompek, Mamak Sako dan Tungganai. Di desa-desa ataupun di kampung-kampung yang menganut sistem pebatinan maupun kepenghuluan terdapat pengelompokan kekerabatan yang disebut suku. Nama-nama suku pada kedua sistem ini ternyata juga tidak memperlihatkan banyak perbedaan, seperti pada beberapa desa dengan sistem pebatinan terdapat beberapa nama-nama suku seperti: Melayu, Mandahiling, Palabi dan Piliang. Hanya saja di dalam masyarakat yang menganut sistem kepenghuluan, nama-nama suku ini biasanya lebih banyak, seperti: Mandahiling, Melayu, Kampuang Salapan, Piliang, Pitopang, Melayu Darek, Melayu Kepalo Koto, Domo, Caniago dan lain-lain. Dalam kenyataannnya di banyak desa sekitar kawasan Tesso Nilo pengaruh sistem organisasi sosial dan kepemimpinan tradisional umumnya semakin memudar. Bahkan ada sejumlah desa yang sebenarnya sistem organisasi sosialnya tidak lagi dapat dikategorikan ke dalam kedua sistem organisasi sosial berbasis kebudayaan penduduk tempatan tersebut. Hal ini terutama dapat dijumpai di sebagian besar desa-desa bentukan baru melalui transmigrasi yang diprakarsai pemerintah nasional maupun transmigrasi swakarsa. Desa-desa ini biasanya mayoritas penduduknya adalah warga pendatang. Desa-desa ini meliputi daerah perdesaan sekitar TNTN bertipologi desa transmigrasi dan desa campuran (mix), seperti: 1. Desa Pontian Mekar 32

33 2. Desa Tasik Juang 3. Desa Sei. Beras-Beras 4. Desa Air Putih 5. Desa Gunung Sari 6. Desa Suka Makmur 7. Desa Giri Sako 8. Desa Hulu Tesso 9. Desa Suka Maju 4.4 Sistem Kepemilikan dan Hak-hak Tradisional atas Tanah Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat perdesaan sekitar kawasan hutan Tesso Nilo baik yang menganut sistem organisasi sosial pebatinan maupun kepenghuluan bersifat komunal. Menurut klasifikasi beberapa tipe pemilikan tanah yang dikemukakan oleh World Bank, pola penguasaan dan pemilikan tanah seperti ini masih dapat digolongkan ke dalam tipe komunal tradisional dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. konsentrasi pemilikan yang rendah dimana hak kedaulatan berada pada komunitas, 2. pengolahan tanah tidak terpusat dan hak pengelolaan berada pada anggota-anggota kelompok, 3. kesama-rataan sosial ekonomi yang tinggi, 4. produktifitas tenaga kerja rendah, 5. produktifitas tanah rendah, 6. intensitas tenaga kerja rendah, 7. intensitas modal rendah, 8. produksi lebih berorientasi subsistensi, dan 9. struktur jasa dan pelayanan pendukung masih terkebelakang. Hampir semua informan pemuka adat yang ditemui, menyatakan bahwa seluruh tanah dan hutan Tesso Nilo beserta semua tanaman yang ada di atasnya dikenai hak ulayat milik komunal dari suku ataupun pebatinan yang ada di daerah tersebut. Adapun otoritas tertinggi atas hak ulayat ini, dalam masyarakat yang 33

34 menganut sistem pebatinan otoritasnya dipegang oleh Batin sedangkan pada desadesa yang menganut sistem kepenghuluan otoritasnya dipegang oleh Datuk/Penghulu. Sistem kepemilikan tanah secara komunal tradisional seperti ini sampai sekarang umumnya masih tetap dipertahankan oleh masyarakat tempatan di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Dalam contoh kasus adanya penebangan pohon sialang (jenis pohon tempat lebah menghasilkan madunya) yang dilakukan oleh pihak perusahaan pemegang HPH, maka suku ulayat pemilik lahan tersebut mengajukan keberatan kepada perusahaan dan menuntut denda ganti rugi sesuai dengan adat yang berlaku. Setelah melalui proses yang cukup panjang, dan ketika tidak dapat diselesaikan melalui jalur penegakan hukum adat, perkaranya bahkan dilanjutkan hingga ke pengadilan negara. Hasilnya keputusan pengadilan mengabulkan tuntutan komunitas adat, sehingga meskipun perusahaan melakukan penebangan di areal konsesi HPHnya, pihak perusahaan yang melakukan penebangan pohon sialang itu tetap dikenai denda membayar ganti rugi kepada suku pemegang ulayat atas tanah tersebut. Tetapi, walaupun pengakuan hak ulayat dan kepemilikan komunal atas lahan dan hutan diakui dan tetap dipegang dengan teguh oleh masyarakat tempatan, terdapat pemandangan umum bahwa pengaturan penggunaan dan penguasaan atas lahan dan hutan di kawasan ini ternyata relatif longgar. Pada suatu lahan atau hutan yang dimiliki oleh suku atau batin tertentu misalnya, tidak berarti hanya anggota suku atau batin bersangkutan itu saja yang berhak menggunakan dan menguasainya. Anggota dari suku atau batin lain di daerah itu juga dapat meminta dan menerima hak untuk membuka ladang, mengambil kayu, mendirikan rumah, memetik buah-buahan yang ada di dalamnya dan berburu hewan. Urusannya tidaklah rumit, cukup dengan mengurusnya kepada batin, atau datuk, atau penghulu atau ninik mamak pemegang otoritas hak ulayat untuk meminta izin. Dalam kehidupan tradisional dahulunya dikenal adanya syarat mengisi adat. Dengan perkataan lain, ini berarti bahwa adanya pola kememilikan atas tanah dan hutan oleh batin atau suku tertentu, sifatnya tidak terlalu mengikat 34

35 dengan pola penguasaan dan aturan penggunaannya. Apabila telah meminta izin dan mendapat persetujuan dari otoritas pemilik ulayat atau pemimpin suku tertentu, maka tanah beserta tanaman yang ada di atas kalau terus dikelola akan dapat menjadi hak milik individu. Hak kepemilikan atas tanah yang terus diurus ini selanjutnya dapat permanen (sebagai hak milik individu) dan dapat diwariskan pula kepada generasi anak cucu dalam keluarganya. Dengan demikian konsep kepemilikan kumunal atas tanah pada masyarakat desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo ini dapat menjadi jauh lebih luas sebagai faktor internal (internal factor) dan sekaligus faktor penekan (push factor) yang mendorong laju ekspansi penduduk dan eskalasi okupasi lahan atau hutan. 4.5 Pola Perkampungan Secara tradisional, pola permukiman masyarakat asli di desa-desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo terdiri atas perkampungan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan tingkat kemiringan 15 sampai dengan 45. Aliran sungai memiliki arti penting bagi masyarakat desa di daerah ini terutama karena fungsinya sebagai prasarana transportasi dan untuk memenuhi kebutuhan dasar air minum dan MCK. Penduduk yang tinggal di pinggiran sungai, biasanya juga melakukan aktivitas mencari ikan. Di sejumlah desa secara amat terbatas dijumpai pula pemanfaatan aliran sungai sebagai sumber pengairan pertanian sawah. Pertanian padi di daerah ini memang umumnya besifat tadah hujan dan itupun biasanya diproduksi secara terbatas pada ladang-ladang penduduk yang baru dibuka. Mayoritas penduduk memenuhi keputuhan pangan beras mereka dengan cara membeli dari pedagang yang mendatangkan beras dari luar daerah ini. Perkampungan asal di daerah ini biasanya mengelompok berdasarkan hubungan kekerabatan, yang biasanya berjumlah 6 sampai dengan 10 buah rumah yang masing-masing dihuni oleh keluarga-keluarga inti atau dengan tambahan keluarga muda yang masih hidup menumpang dengan orang tua atau mertua mereka karena belum mendirikan rumah sendiri. Kelompok-kelompok permukiman yang tersusun menurut kesatuan suku secara patrilineal maupun matrilineal ini biasanya terdiri dari perumahan dengan luas lahan kurang lebih 500 meter persegi. Jarak dan batas antara rumah yang satu dengan yang lainnya 35

36 maupun antara satu kelompok kerabat dengan kerabat lainnya bervariasi sehingga terkesan tidak teratur secara rapi disebabkan biasanya perumahan dibangun dan dikembangkan sesuai keadaan topografi alam di sekitar dengan berorientasi ke arah sungai. Berdasarkan pengetahuan budaya dan pengalaman adaptasi masyarakat dengan lingkungan alamnya, secara umum masyarakat desa asli sekitar kawasan hutan Tesso Nilo mempunyai sistem kategorisasi penggunaan lahan dan hutan yang ada di lingkungannya atas empat (4) bagian, yaitu: perkampungan, polak, ladang/kebun dan hutan. Perkampungan merupakan kesatuan wilayah pusat konsentrasi penduduk dengan permukimannya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat melakukan berbagai aktivitas kehidupan sosial antar keluarga dan antar kelompok komunitas. Perkampungan biasanya juga dijadikan tempat memelihara dan menggembalakan ternak. Polak merupakan kesatuan lahan yang biasanya terletak di sekitar permukiman dan masih menjadi bagian yang menyatu dengan pusat kampung hingga pinggir kampung yang biasanya digunakan untuk menanam tanaman padi, beragam tanaman buah-buahan (kelapa, durian, kuini, pisang, rambutan dan sebagainya) dan tanaman muda lainnya. Polak seperti kebun campur yang merupakan bentuk evolusi tertua dari sistem perladangan yang memiliki fungsi penting bagi ekonomi subsistens bagi keluarga dan masyarakat perdesaan. Ladang/kebun merupakan satu kesatuan lahan yang biasanya terletak di pinggiran hingga di luar perkampungan yang digunakan untuk cocok tanam tanaman tua. Bedanya dari polak, di ladang penduduk biasanya melakukan cocok tanam secara monokultur dan mengusahakan cash crop sebagai tanaman utamanya yang diandalkan untuk menghasilkan pendapatan uang tunai. Tanaman karet diusahakan oleh penduduk desa sekitar hutan Tesso Nilo sudah lama, sejak generasi kakek dan nenek mereka, ketika pertama kalinya masyarakat di daerah ini berpapasan dengan ekonomi tanaman ekspor dan kapitalisme di jaman pendudukan kolonial Belanda. 36

37 Adapun hutan, merupakan bagian wilayah hutan alam yang dimiliki secara ulayat (komunal) dan dijadikan sebagai cadangan lahan untuk generasi keturunan hingga masa akan datang. Hutan biasanya juga digunakan penduduk desa untuk tempat mengambil kayu bahan bangunan, bahan membuat sampan untuk transportasi sungai dan tempat mengambil hasil hutan non-kayu seperti madu lebah, getah damar, jelutung, rotan, manau, tabu-tabu, tumbuhan tertentu untuk obat-obatan, serta tempat melakukan kegiatan berburu. Dalam perkembangannya kemudian, terutama sejak tahun 1980an terjadi perubahan pola permukiman penduduk di beberapa tempat di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Hal ini terkait langsung dengan adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan hak konsesi kepada perusahaan pemegang HPH dan penetapan beberapa daerah sekitar kawasan ini menjadi desa transmigrasi. Begitu pula seterusnya pembukaan perkebunan-perkebunan kelapa sawit, HTI dan pembangunan industri kayu dan kertas berskala besar di kawasan ini, secara sistematik turut mendorong terjadinya perubahan pola perkampungan di berbagai pelosok desa sekitar kawasan ini. Beberapa desa asli hingga kini memang masih memperlihatkan ciri-ciri perkampungan tradisional. Demikian pula beberapa pemukiman transmigrasi masih tetap mengikuti pola pemukiman di sepanjang aliran sungai. Namun demikian terdapat kecenderungan umum di beberapa desa, terlihat adanya inisiatif masyarakat untuk pindah dari pemukiman lama di sepanjang aliran sungai ke pinggiran jalan yang dapat dilalui oleh alat transportasi darat. Salah seorang pemuka masyarakat menyebutkan alasan pindah dan mendirikan rumah di sepanjang jalan yang dapat dilalui oleh transportasi darat, dengan tujuan agar hubungan transportasi, interaksi dan komunikasi dengan dunia luar dapat lebih mudah dilakukan. 4.6 Pengaruh Kehadiran Perusahaan bagi Masyakat sekitar Hutan Kehadiran perusahaan skala besar penyelenggara aktivitas akumulasi kapital di sektor kehutanan dan perkebunan di Propinsi Riau telah berlangsung sejak lama ditandai masuknya perusahaan pemegang HPH ke daerah ini mulai tahun Peningkatan yang pesat terlihat nyata sampai akhir tahun 1992, dari 37

38 17 buah pada tahun 1974/1975 menjadi 68 buah pada tahun 1991/1992. Dengan begitu luasnya areal konsesi hutan yang dimiliki oleh 68 perusahaan pemegang HPH di Propinsi Riau ketika itu secara langsung telah mengakibatkan munculnya sejumlah persoalan pada masyarakat desa sekitar yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dan perhutanan. Kehadiran aktivitas akumulasi kapital bidang kehutanan secara besar-besaran juga telah menimbulkan ekses negatif sebagai akibat dari penebangan hutan, seperti; bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. San Afri Awang (1993: 64) ketika itu mengemukakan bahwa konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemegang HPH tidak terjadi, hal ini disebabkan karena perusahaan pemegang HPH tidak pernah melarang masyarakat untuk membuka hutan dan mengambil hasil hutan, seperti rotan, kayu gaharu dan madu, di dalam wilayah konsesi perusahaan. WWF Riau mengidentifikasi ada 9 perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang terletak dekat dengan kawasan hutan Tesso Nilo (termasuk perluasan TNTN). Selain itu terdapat pula sejumlah perusahaan besar lainnya yang bergerak dalam usaha skala besar di bidang kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo. Perusahaanperusahaan ini terdiri dari 38 perusahaan pemegang HPH yang meliputi total penguasaan hutan seluas ha dan dan 20an perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), termasuk di antarnya PT. RAPP yang paling populer dikenal oleh masyarakat desa sekitar kawasan ini. 38

39 Gambar.4.1. Peta Sebaran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, HPH dan HTI di Sekitar Kawasan Hutan Tesso Nilo Sumber: WWF Riau, Penerimaan Masyarakat Desa terhadap TNTN Pengukuhan kawasan hutan Tesso Nilo menjadi taman nasional pada tahun 2004 memberi harapan baru bagi masyarakat desa sekitar. Setidaknya hal ini terlihat dengan adanya komitmen dukungan formal dari 22 desa yang tersebar di sekitarnya. Sejumlah program telah diluncurkan, seperti program konservasi gajah yang terpadu dengan tujuan penanganan gangguan gajah; program penguatan ekonomi keluarga perdesaan yang telah dimulai melalui pembinaan produksi lebah madu dan bubidaya ikan di sungai; penguatan masyarakat desa sekitar hutan melalui pembinaan forum masyarakat Tesso Nilo; dan berkoordinasi dengan masing-masing pemerintah daerah dalam mendukung program-program pembangunan daerah yang berorientasi pelestarian lingkungan. Penerimaan masyarakat kedua puluh dua desa sekitar kawasan hutan Tesso Nilo terhadap keberadaan TNTN ternyata cukup beragam. Dari berbagai informasi kualitatif yang diperoleh selama penelitian ini diketahui masih relatif rendahnya pengenalan mayoritas masyarakat desa sekitar terhadap TNTN. Sejak TNTN dikukuhkan secara resmi sampai sekarang sosialisasinya sebenarnya belumlah sampai pada berbagai lapisan masyarakat desa sekitar. 39

40 Di setiap desa memang ditemukan adanya tokoh-tokoh masyarakat (formal dan informal) yang sudah mengetahui karena mereka beberapa kali pernah terlibat dalam proses perencanaan hingga pengukuhan TNTN. Tetapi di kalangan para tokoh masyarakat itu sendiri terkesan adanya beragam pemahaman dan interpretasi tentang urgensi dan keberadaan TNTN. Sebagian tokoh desa yang hingga kini masih berposisi mendukung program pembangunan TNTN umumnya belum memandang kehadiran kebjakan dan program ini sebagai bagian dari kebutuhan dan kepentingan bersama masyarakatnya. Pemahaman mereka tentang keberadaan TNTN umumnya juga masih bersifat parsial. Pandangan parsial yang paling umum ditemui adalah adanya anggapan bahwa keberadaan TNTN sebatas kepentingan untuk konservasi gajah. Selain itu, TNTN lebih dipandang sebagai programnya WWF. NGO bertaraf Internasional ini lewat perwakilannya WWF AREAS Riau Project memang dapat dikatakan paling banyak terlibat memprakarsai dan mengimpelementasikan pembangunan TNTN. Tetapi bagaimanapun juga posisi organisasi ini sesungguhnya tetaplah sebagai salah satu pihak fasilitator-dinamisator pembangunan TNTN. Oleh sebab itu amatlah keliru apabila masih ditemui juga pejabat/aparat pemerintahan setingkat kabupaten dan provinsi sekalipun yang ikut memandang bahwa TNTN itu adalah milik dan programnya WWF. Sebagian besar para tokoh masyarakat desa yang kami wawancarai soal pandangannya terhadap kebijakan dan keberadaan TNTN bahkan mulai mengambil posisi ragu dan apatis. Bagi mereka, kebijakan dan tindak lanjut program TNTN dianggap tidak pasti. Hingga sekarang ketidak-pastian ini masih terus berlanjut dan tidak tahu sampai kapan hal ini terus berlangsung. Terlepas dari kompleksnya persoalan yang ada, mereka beranggapan bahwa pemerintah dan pihak-pihak terkait sangat lamban dalam mengambil langkah. Tuntutan kepastian yang mereka butuhkan sebenarnya hanya dua macam. Pertama, perlunya segera melakukan pengukuran dan penentuan tapal batas TNTN. Harapan mereka atas hal ini adalah untuk menghambat laju pembukaan hutan oleh perusahan-perusahaan besar dan warga pendatang. Di samping itu juga terdapat harapan agar jangan sampai penetapan tapal batas TNTN itu memasuki lahan garapan dan sisa hutan ulayat mereka yang selama ini diklaim telah banyak 40

41 diambil oleh perusahaan-perusahaan besar di sekitarnya. Kedua, perlunya tindak lanjut program yang lebih konkrit dalam rangka upaya perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakat perdesaan. Bagi mereka apapun namanya program pembangunan yang diarahkan ke desa, saat ini yang paling mendesak ialah adanya upaya nyata untuk mengatasi masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Ada pula tokoh masyarakat yang kini sudah terang-terangan mengambil posisi menolak kehadiran TNTN, meskipun semulanya mereka akui ikut mendukung. Di salah satu desa transmigrasi yang dalam 1 tahun terakhir mengalami peningkatan serangan gajah, secara resmi pemerintah desanya telah mengajukan surat penolakan. Dalam logika mereka pembangunan TNTN inilah yang telah memicu peningkatan serangan gajah terhadap tanaman penduduk dan manusia. Dalam kalangan warga awam memang tidak ditemukan pro kontra yang tajam dalam menyikapi keberadaan TNTN. Hal ini tampaknya lebih disebabkan karena masih minimnya pengenalan mereka terhadap keberadaan TNTN. 41

42 BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN Analisis pemangku kepentingan untuk menelaah dan memecahkan konflik di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) perlu dilakukan, karena analisis konflik dan resolusi konflik memerlukan pemahaman mengenai peta konflik, siapa berkonflik dengan siapa dan hal apa yang dikonflikkan. Pada saat ini, kawasan TNTN dapat dibagi dua menurut peresmian areanya. Pertama adalah kawasan TNTN yang telah diresmikan menjadi TNTN seluas ha. Area kedua merupakan kawasan rencana atau usulan pengembangan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo seluas ha. Analisis ini mempertimbangkan pemangku kepentingan pada kedua klasifikasi kawasan TNTN tersebut. Secara konsepsional, TNTN berinteraksi baik secara langsung maupun tidak dengan berbagai pihak pemangku kepentingan. Secara langsung TNTN berinteraksi dengan pihak-pihak pemangku kepentingan berikut ini: 1. Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo beinteraksi dengan perusahahanperusahaan yang beroperasi baik dalam kawasannya, umumnya di kawasan rencana pengembangan, maupun di lahan yang berdampingan dengan TNTN. Perusahahan-perusahaan tersebut keseluruhannya berorientasi penggunaan lahan yang luas untuk aktivitas akumulasi kapitalnya. Mereka terdiri dari 5 buah perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Indusri (HTI), 3 buah perusahahan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan 7 buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar. Kesemuanya mengontrol lahan yang sangat luas. 2. TNTN berinteraksi dengan 22 komunitas desa yang tinggal di sekitarnya (9 komunitas asli, 8 komunitas transmigran asal Pulau Jawa dan 4 komunitas gabungan penduduk asli dengan transmigran asal Pulau Jawa). 42

43 Secara umum, komunitas tersebut bergantung kepada lahan pertanian maupun hutan sebagai sumber pendapatan utamanya. Secara kebudayaan komunitas tersebut dapat dibagi 5 yaitu Pelalawan, Indagiri Hulu, Kampar, Kuantan dan Jawa. Secara tidak langsung, TNTN berinteraksi dengan pemerintah daerah 4 kabupaten (Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi) dan pemerintah Provinsi Riau. Di satu pihak, pemerintah Provinsi maupun Kabupaten membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berdampak terhadap komunitas setempat dan perusahaan dan juga TNTN, seperti kebijakan yang terkait dengan peruntukan lahan. Salah satu contoh adalah Dinas Kehutanan Provinsi Riau mengeluarkan Surat Keputusan tentang pemanfatan hasil hutan oleh PT. RAPP dan menegaskan bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Riau wajib memonitor dan mengontrol aktivitas PT. RAPP karena aktivitas perusahaan ini tersebar di beberapa daerah Kabupatennya. Di pihak lain, baik komunitas lokal maupun perusahaan-perusahaan mencari bantuan kepada Pemerintah setempat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Sebagai contoh, pemimpin formal maupun informal komunitas desa-desa yang berkonflik dengan perusahaan meminta bantuan Bupati, DPRD Kabupaten dan Camat setempat untuk menyelesaikan konflik mereka. 5.2 Hubungan yang Berkonflik Antar Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan TNTN yang telah dipaparkan di atas merupakan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang kadang-kadang bersesuaian satu sama lain, tetapi kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Konflik atau kerjasama terjadi antara mereka bergantung kepada situasi kepentingaan mereka. Apabila kepentingan mereka berkesesuaian, maka mereka akan berkooperasi. Apabila kepentingan mereka bertentangan, maka mereka berkonflik. Pada saat ini, kepentingan antar pemangku kepentingan sering bertentangan yang membuat hubungan antar mereka berkonflik. TNTN itu sendiri merupakan pihak yang mempunyai kepentingan sendiri, yaitu konservasi satwa liar, terutama gajah dan harimau Sumatra. TNTN dirancang untuk menjadi perlindungan terakhir gajah dan harimau Sumatra 43

44 tersebut. Gajah Sumatra merupakan binatang yang suka menjelajah dalam wilayah yang jauh, dapat mencapai 7 Km dalam satu malam. Gajah berdarah panas, sehingga mereka membutuhkan vegetasi hutan yang lebat untuk bernaung. Gajah memerlukan lestarinya hutan juga untuk makan dan minum. Hal ini berarti gajah memerlukan hutan yang lebat sebagai habitatnya. Untuk dapat berfungsi sebagai pelindung satwa liar tersebut, TNTN berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutannya. Selanjutnya keterjaminan kelestarian hutan memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang lebih luas mencakup keseimbangan ekosistem hutan, fungsi hidrologis (tata air) dan kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat desa di sekitar hutan. Kepentingan TNTN tersebut ada yang berkesesuaian dengan kepentingan sekelompok penduduk desa-desa sekitarnya. 1. Kepentingan TNTN untuk melestarikan hutan berkesesuaian dengan kepentingan sekelompok penduduk sekitar yang mencari produk non kayu ke TNTN, yaitu mereka yang mencari madu lebah sebagai sumber pendapatan tambahan. Kelompok pencari madu hutan ini pada umumnya terdapat di Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi, desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui dan desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam di Kabupaten Pelalawan. Karena lebah memerlukan pohon Sialang untuk bersarang, penduduk memerlukan kelestarian pohon Sialang tersebut. Mereka malah telah merumuskan hukum adat dan bahkan telah melahirkan Peraturan Desa (Perdes), seperti yang telah dirumuskan di Desa Rambahan Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi untuk melestarikan pohon Sialang tersebut Pada umumnya penduduk desa-desa sekitar TNTN berkepentingan untuk mengendalikan gajah dan harimau agar satwa liar tersebut tidak mengganggu mereka dan mata pencaharian mereka. Sedangkan konservasi gajah dan harimau dalam kawasan TNTN disamping bertujuan untuk melestarikan satwa juga untuk tujuan agar binatang tersebut tidak mengganggu penduduk. 1 Lihat juga laporan WWF Area Riau Project tahun 2005 tentang Pengembangan Kegiatan Usaha Madu Sialang di Kecamatan Logas Tanah Darat. 44

45 Akan tetapi, terdapat pula kepentingan TNTN yang dinilai penduduk desadesa sekitar bertentangan dengan kepentingan mereka karena hal-hal berikut: 1. Gajah Menyerang Perkebunan Penduduk. Gajah di kawasan Tesso Nilo diperkirakan tinggal ekor. Akibat konflik antara gajah dan penduduk sekitar TNTN, baik Gajah itu sendiri maupun penduduk setempat menderita kerugian. Gajah juga menyerang tanaman karet dan kelapa sawit serta padi ladang penduduk hampir di semua desa yang berbatasan langsung dengan hutan. Serangan gajah ini terjadi hampir di seluruh 22 desa sekitar TNTN, tetapi intensitasnya berbeda. Dari sudut intensitas serangan gajah, desa-desa sekitar TNTN dapat dibagi dua. Pertama, desa-desa yang serangan gajah sudah mulai berkurang secara signifikan (tidak ada serangan dua tahun terakhir) karena terhalang oleh kawasan perkebunan perusahaan-perusahaan besar. Kedua, desa-desa yang intensitas serangan gajah tinggi (lebih dari tiga kali setahun terakhir). Desa-desa yang termasuk kategori ini adalah : desa Situgal Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi, desa Lubuk Kembang Bunga, desa Air Hitam (keduanya termasuk wilayah Kecamaatn Ukui Kabupaten Pelalawan) dan desa Gunung Sahilan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar. Perbedaan intensitas serangan gajah di dua klasifikasi desa-desa ini akibat beroperasinya berbagai perusahaan besar yang membuat desa-desa tidak lagi berbatasan langsung dengan hutan. 2. Penduduk Mengambil Hasil Kayu ke Hutan Ada kelompok penduduk desa-desa sekitar yang mengambil kayu ke hutan Tesso Nilo untuk dijual. Praktek mereka disebut oleh pihak berwenang sebagai pembalakan liar (illegal logging). Mereka ini adalah penduduk setempat yang laki-laki yang pada umumya tidak mempunyai kebun, baik kebun karet maupun kebun kelapa sawit sebagai sumber pendapatan atau mereka yang mempunyai kebun karet tetapi anak-anaknya sudah besar dan kebun karetnya sudah tua seluas hanya 1 sampai 2 ha. Penduduk desa-desa sekitar TNTN adalah petani peladang, bukan petani sawah. Mata pencaharian ini dikondisikan oleh keadaan alam desa mereka yang rawa dan perbukitan hutan dataran rendah. Akibatnya, sumber pendapatan potensial penduduk bertumpu kepada ladang (umumnya perkebunan 45

46 karet dan akhir-akhir ini sawit). Bagi mereka yang tidak mempunyai kebun oleh berbagai sebab seperti tidak adanya lahan, tidak adanya modal untuk membangun kebun atau terbiasa kehutan untuk mengambil kayu, semenjak 1980an mengambil kayu ke hutan merupakan sumber pendatan alternatif. Menurut pengakuan baik pemimpin formal maupun informal komunitas desa, jumlah penduduk desa yang mencari kayu ke hutan untuk dijual akhir-akhir ini makin berkurang, bukan karena sadar konservasi melainkan karena kayu sudah mulai sulit. Untuk membuktikan adanya pembalakan liar di sekitar TNTN tidaklah sulit. Tumpukan kayu bulat hasil tebangan telihat dengan mudah di berbagai tempat dan truk-truk bermuatan kayu bulat lalu lalang di jalan-jalan PT. RAPP, jalan perkebunan hingga jalan raya yang melintasi desa. Di samping itu, sawmill ditemukan di berbagai tempat di dekat kawasan TNTN. 3. Menjual Lahan Hutan dalam Kawasan Tanah Ulayat a. Proses Okupasi Lahan Usulan TNTN PT. RAPP berdampak besar terhadap kawasan hutan. Untuk melancarkan aktivitas produksinya terutama untuk mengangkut kayu akasia dari lokasi perkebunan ke pabrik, perusahaan besar ini membuat jalan poros yang menghubungkan desa satu dengan desa yang lain. Hampir tidak ada desa-desa sekitar TNTN yang tidak terhubungkan oleh jalan poros PT. RAPP. Biasanya jalan yang dibuat oleh perusahahan ini dulunya termasuk kawasan hutan yang cukup jauh dari perkampungan penduduk setempat. Terbukanya kawasan hutan oleh jalan PT. RAPP tersebut membuat kawasan hutan makin bernilai ekonomis, karena memungkinkan untuk ditransformasi menjadi kawasan perkampungan dan perladangan seiring tersedianya kemudahan untuk memobilisasi orang dan barang. Semua ini menimbulkan komoditifikasi lahan hutan. Di mata penduduk lokal, kawasan hutan di atas tanah ulayat suku mereka dilihat sebagai komoditi, sebagai komoditi yang bernilai untuk dijual kepada orang lain. Aktor-aktor desa yang kreatif dan yang berjiwa kewirausahaan menangkap peluang ini sebagai peluang bisnis. Mereka mengorganisasi penjualan lahan hutan atas tanah ulayat yang menyebabkan terjadinya okupasi lahan pada kawasan usulan pengembangan TNTN. Persoalan tersebut ditunjukkan oleh kasus okupasi lahan di Dusun Toro Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan dan Dusun 46

47 Bukit Kesuma Desa Kesuma Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan. Berikut ini akan dipaparkan proses okupasi lahan usulan TNTN di Dusun Bukit Kesuma. Kawasan Bukit Kesuma terlihat dalam proses perkembangan menjadi sebuah pemukiman yang mapan. Di kawasan tersebut, daerah yang dulunya hutan, kini telah benar-benar menjelma menjadi sebuah perkampungan. Di sana sudah ada pusat aktivitas penduduk; ada pasar yang telah mempunyai kios dan los yang permanen yang ramai dikunjungi oleh penduduk sekitar sekali dalam seminggu; ada sebuah masjid yang cukup luas untuk ukuran daerah setempat; ada beberapa warung di sekitar pasar. b. Pemerintah Setempat Memfasilitasi dan Memberi Peluang Terjadinya Okupasi Lahan Bukan hanya pemimpin adat Desa Bukit Kesuma yang melegitimasi okupasi lahan, melainkan juga aparat pemerintahan desa. Di dinding sebuah warung di pusat perkampungan Bukit Kesuma tertempel sebuah pengumuman yang ditujukan kepada pembeli lahan hutan di kawasan tersebut. Pengumuman tersebut ditandatangani oleh kepala desa, ketua RW dan ketua RT Desa Kesuma. Isi pengumuman tersebut adalah pemerintah desa meminta kepada pembeli lahan hutan untuk mengurus kembali ke aparat Desa Kesuma untuk mendapatkan surat izin pembukaan kebun, karena surat izin yang dikantongi pembeli selama ini adalah hanya surat keterangan pembelian lahan hutan. Pengumuman ini, sesunguhnya, menyatakan bahwa pemerintah Desa Kesuma melegetimasi penjualan lahan hutan di Bukit Kesuma kepada pihak luar desa. Pemerintah Kabupaten Pelalawan dan Kecamatan Pangkalan Kuras juga turut memungkinkan okupasi lahan usulan TNTN tersebut terjadi dan berkembang sampai pada situasi saat ini. Hal ini terjadi karena tidak ada larangan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah kabupaten maupun kecamatan terhadap penjualan lahan eks konsesi HPH PT. Siak Raya di Bukit Kesuma. Alasan yang disampaikan oleh Kecamatan Pangkalan Kuras tentang mengapa mereka membiarkan penjualan dan okupasi lahan di Bukit Kesuma adalah si pemegang HPH sendiri atas lahan tersebut, PT. Siak Raya, tidak peduli dengan penjualan dan okupasi lahan tersebut. Bagi mereka sebagai pihak pemerintah kecamatan, 47

48 adalah sebuah kewajiban perusahaan tersebut untuk mencegah terjadinya okupasi lahan di kawasan yang bersangkutan. Alasan penting lain yang perlu diperhatikan adalah pihak Kecamatan Pangkalan Kuras tidak mengetahui bahwa lahan hutan dalam area HPH PT. Siak Raya di Bukit Kesuma termasuk kawasan usulan pengembangan Taman Nasional Tesso Nilo yang tidak boleh diduduki oleh penduduk. Ironisnya, pemerintah Kabupaten Pelalawan, khususnya melalui Dinas Kehutanan setempat pun juga tidak melakukan kontrol pengawasan terhadap perusahaan konsesi ini. 5.3 Hubungan Berkonflik Antara Penduduk Sekitar dengan Perusahaan Konflik dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Hampir seluruh 22 komunitas perdesaan yang ada sekitar TNTN berdampingan dan berhubungan dengan berbagai perusahahan-perusahahan besar yang kesemuanya bergerak dalam bidang kehutanan dan perkebunan. Seperti yang telah disinggung terdahulu, komunitas perdesaan tersebut berdampingan dengan 5 buah perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Indusri (HTI), 3 buah perusahahan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan 7 buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar. Kesemuanya mengontrol lahan yang sangat luas. Terjadi konflik antara sebagian penduduk umumnya 22 desa tetangga TNTN dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Penduduk telah melakukan aksi-aksi kolektif untuk menyatakan protes mereka terhadap prilaku perusahaan bahkan semenjak mulainya proses pembersihan lahan. Walaupun ada penduduk setempat yang melakukan aksi-aksi kekerasan untuk menyatakan protes dan menuntut hak seperti memanen buah kelapa sawit tanpa izin perusahaan, pada umumnya penduduk melakukan taktik-taktik damai seperti menyurati dan mendatangi pihak manajemen perusahaan untuk melobi mereka agar mengabulkan permintaannya Konflik dengan PT. RAPP Di samping penduduk setempat berkonflik dengan berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit, mereka juga berkonflik dengan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Konflik tersebut pada umumnya berkenaan dengan bagi hasil 48

49 Hutan Tanaman Rakyat (HTR), pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) terpadu kebun plasma sawit dan penguasaan tanah ulayat. Bagi hasil HTR. Salah satu model produksi kayu akasia PT. RAPP adalah menerapkan konsep bagi hasil dengan penduduk sekitar pemilik lahan. Perusahaan tersebut meminta penduduk setempat pemilik lahan untuk menyerahkan lahannya kepada PT. RAPP guna ditanami pohon akasia (bahan baku pulp produksi RAPP) dengan kontrak 2 x 7 tahun 2 untuk satu kali penyerahan. Mulai dari pembersihan lahan sampai panen merupakan tanggung jawab PT. RAPP. Persentase bagi hasil terdiri dari 60% untuk PT. RAPP dan 40% bagi pemilik lahan. Sebagian peserta HTR kecewa dengan uang bagi hasil yang mereka terima, seperti yang terjadi di Kecamatan Logas Tanah Darat. Menurut mereka, untuk panen pertama, uang bagi hasil yang mereka terima kecil yaitu Rp ,- per ha. Penilaian peserta HTR terhadap besarnya uang bagi hasil yang diterima tidak berdasarkan pengetahuan mereka terhadap harga pasar, karena mereka tidak mengetahui harga pasar pohon akasia. Pembangunan HTI Terpadu Kebun Plasma Sawit. Penduduk desa Gunung Sahilan Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar menuntut kompensasi dari pembukaan HTI oleh PT. RAPP agar perusahaan membangun kebun plasma kelapa sawit untuk masyarakat desa. Perusahaan tersebut menyatakan kesediaannya untuk mengabulkan tuntutan penduduk desa yang bersangkutan, tetapi atas alasan terbatasnya lahan (lahan yang ada termasuk konsesi perusahaan lain) pembangunan perkebunan tersebut terkendala. Penguasaan Tanah Ulayat. Konflik antara komunitas desa-desa sekitar TNTN dengan PT. RAPP berkenaan dengan isu penggunanan tanah ulayat oleh perusahaan tersebut jauh lebih serius ketimbang persoalan bagi hasil HTR yang telah dipaparkan di atas. Hampir di seluruh 22 desa, terdapat ketidak-puasan penduduk lokal baik penduduk awam maupun elit lokal terhadap PT. RAPP. Dari kaca mata penduduk setempat, lahan yang dieksploitasi oleh PT. RAPP termasuk dalam wilayah tanah ulayat mereka yang terdiri dari dua klasifikasi. Pertama, tanah yang ditanami akasia oleh PT. RAPP merupakan lahan 2 Satu kontrak 7 tahun karena pohon akasia dipanen setelah berumur 7 tahun. 49

50 hutan eks HPH sebuah perusahaan, yang belum pernah digarap oleh penduduk lokal. Akan tetapi, menurut konsepsi lokal, lahan ini masuk wilayah ulayat sukusuku komunitas desa-desa yang pada suatu waktu nanti mungkin akan dapat digarap sebagai lahan cadangan generasi anak cucu. Tidak ada ganti rugi atau bentuk pembayaran lain yang diterima oleh pemilik tanah ulayat dari PT. RAPP. Kedua, lahan yang ditanami PT. RAPP merupakan lahan bekas garapan penduduk setempat yang dalam terminologi lokal disebut sasok (sesap). Mata pencaharian umumnya penduduk di 22 desa-desa sekitar TNTN adalah pertanian perladangan yang semi berpindah-pindah, karenanya ada lahan yang dulunya pernah digarap, kemudian ditinggalkan. Bekas penggarap tanah ulayat menerima kompensasi dari PT. RAPP berupa uang ganti jerih payah menggarap lahan yang disebut upah tobeh (upah tebas) dan upah tobang (upah tebang) karena penduduk menebas semak belukar dan menebang kayu-kayu besar sebelum dapat mengolah tanah. Berkaitan dengan itu, tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh pemimpinpemimpin umumnya desa sekitar TNTN kepada PT. RAPP bukan kembalikan tanah ulayat, melainkan bantuan untuk pembangunan fasilitas umum desa dan perbaikan ekonomi penduduk kurang mampu. 5.4 Penyebab Inti Konflik Penduduk dengan Perusahaan Penyebab konflik dapat dibagi dua. Pertama adalah penyebab esensi dari konflik. Tanpa adanya penyebab ini aktor-aktor tidak punya landasan untuk berkonflik. Kedua adalah faktor yang memberi peluang untuk munculnya atau untuk berkembangnya konflik (perubahan era reformasi termasuk ke dalam faktor ini). Studi ini memfokuskan terhadap penyebab esensi konflik antar para pemangku kepentingan (stakeholders) di sekitar TNTN, karena tanpa menyentuh penyebab ini solusi konflik tidak akan bertahan lama. Ada dua penyebab esensi konflik antara penduduk setempat dengan perusahaan-perusahaan, yaitu status tanah yang dipakai oleh perusahaan adalah tanah ulayat komunitas desa dan proses pembebasan tanah yang tidak berpihak kepada komunitas desa yang bersangkutan. Kedua penyebab tersebut saling berkaitan dan, oleh sebab itu, tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain. 50

51 Tanah yang dikuasai oleh keseluruhan perusahaan termasuk kawasan TNTN menurut konsepsi lokal adalah tanah ulayat suku atau batin mereka. Perusahaan-perusahaan yang sekarang mengontrol tanah tersebut tidak membelinya dari pemegang otoritas tanah ulayat, melainkan sebagian dengan cara membayar uang tobeh / uang tobang (upah garap) apabila bekas garapan penduduk dan dengan tidak membayar apapun untuk tanah yang tidak bekas garapan. Oleh sebab itu, menurut penduduk setempat, tanah yang dipakai oleh perusahaan statusnya masih tanah ulayat mereka yang dipakai oleh perusahaanperusahaan. 5.5 Upaya Resolusi Konflik Komunitas-komunitas Desa Lemah Lembaga internal komunitas desa pada dasarnya terdiri dari dua macam. Pertama adalah lembaga pemerintahan desa dan lembaga lain yang berkaitan dengan pemerintahan yang dibentuk oleh pemerintah. Kedua adalah lembaga kekerabatan yang terdiri dari persukuan atau perbatinan yang dipimpin oleh seorang pimpinan tradisional (ninik mamak atau batin). Ninik mamak atau batin tidak mempunyai organisasi pada tingkat desa. Ada organisasi kelompok tani yang pada dasarnya bentukan pemerintah, tetapi ini juga tidak efektif yang diindikasikan oleh anggotanya sedikit dan sudah lama tidak mempunyai aktivitas. Perjuangan komunitas desa berhadapan dengan perusahaan-perusahahan dan pemerintah kabupaten cenderung diorganisiasi oleh pemerintah desa (kepala desa), tidak terlihat ada perjuangan menuntut hak yang diorganisasi oleh pemimpin adat (ninik mamak atau batin). Terkesan pemimpin adat secara politik lemah dalam desa dan mereka tidak terorganisiasi secara solid. Di samping itu, ada indikasi bahwa lembaga formal desa terkooptasi oleh perusahaan karena kepala desanya atau personil lembaga desa yang lain punya pertalian bisnis dengan perusahaan atau bekerja di perusahaan atau anggota keluarganya bekerja di perusahaan. Akibatnya, komitmen mereka untuk memperjuangkan kepentingan komunitas desa lemah. Di sebuah desa, pada tahun 1996 dan 2001, kepala desa diprotes oleh masyarakatnya karena dituduh berpihak kepada PT. RAAP. 3 3 Purwoko, 2003:

52 5.5 2 Forum Tesso Nilo untuk Memperkuat Komunitas Desa belum Berdaya Di bawah koordinasi Divisi Community Development, WWF AREAS Riau Project melaksanakan fasilitasi pendirian dan melakukan pendampingan untuk pengembangan Forum Tesso Nilo. Program WWF ini merupakan pendekatan keorganisasian untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan TNTN, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gangguangangguan hubungan sosial antara berbagai pihak terhadap kepentingan TNTN. Di antaranya adalah gangguan hubungan yang berkonflik antara para pemangku kepentingan (stakeholders). Didirikan pada tahun 2004, Forum Tesso Nilo adalah sebuah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang beranggotakan komunitas-komunitas 22 desa yang berbatasan dengan TNTN. Pengurusnya juga terdiri dari orang-orang yang berasal dari komunitas-komunitas desa tersebut. Struktur kepengurusan forum terdiri dari: Pengawas (Pemimin adat dari 22 desa sekitar TNTN) Ketua Umum (utusan dari sebuah desa) Sekretaris (utusan sebuah desa) Bendahara (utusan sebuah desa) Ekonomi Berkelanjutan (utusan sebuah desa) Perlindungan SDA (utusan sebuah desa) Hubungan Multi Pihak (utusan sebuah desa) Pengembangan Organisasi (utusan sebuah desa) Personil pengurus Forum terdiri dari utusan-utusan desa dan pemimpin adat desa-desa, tetapi unsur lembaga pemerintahan desa tidak termasuk ke dalam kepengurusan Forum. Personil Forum terdiri dari utusan-utusan desa yang dikirim oleh pemerintah desa (bukan dipilih oleh penduduk desa) yang bersangkutan pada acara beberapa kali lokakarya yang diorganisasi oleh Divisi Community Empowerment WWF. Peserta lokakarya tersebutlah yang menempatkan utusanutusan desa ke dalam jabatan-jabatan Forum. Melalui mekanisme seperti ini, ada 52

53 kemungkinan orang yang lebih potensial untuk mengelola Forum yang berasal dari 22 desa menjadi tidak terekrut ke dalam Forum Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi Riau Tidak Responsif Sampai akhir Desember 2005 tuntutan-tuntutan calon penerima plasma dari berbagai desa sekitar TNTN agar kebun plasma sawit dikonversi belum direalisasikan. Menurut praturan, pemerintah kabupaten bertanggung jawab untuk mengorganisasi pengkonversian kebun plasma dalam pembangunan perkebunan dengan model inti-plasma. Konversi kebun plasma itu sendiri memerlukan kordinasi berbagai pihak, karena hal tersebut terkait dengan berbagai hal, adanya sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN dan adanya penunjukan bank sebagai pelaksana. Tugas pemerintah setempatlah melakukan koordinasi ini. Untuk kasus desa-desa sekitar TNTN, pemerintah Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, Kampar dan Kuantan Singingi menurut peraturan merupakan aktor yang bertanggung jawab untuk mengorganisasi pengkoversian kebun plasma kelapa sawit yang telah berproduksi kepada calon penerima plasma di wilayahnya masing-masing. Belum dikonversinya kebun plasma tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah kabupaten tersebut, termasuk DPRD setempat tidak responsif terhadap tuntutan komunitas sekitar TNTN. Sementara ini pihak pemerintah Provinsi sebagai unit pembina pemerintahan daerah yang berada di wilayahnya juga tidak melakukan kontrol pengawasan untuk memecahkan masalah-masalah ini. 5.6 Resolusi Konflik di Luar Pengadilan yang telah Dilakukan Program Community Development Walaupun program Community Development (CD) yang dilancarkan oleh perusahaan-perusahaan ditujukan untuk membantu penduduk ekonomi lemah untuk dapat meningkatkan pendapatannya, program tersebut dapat pula dipahami sebagai sebuah pendakatan untuk memecahkan hubungan yang berkonflik antara perusahaan-perusahaan dengan penduduk 22 desa desa sekitar TNTN, karena program tersebut dapat berfungsi sebagai katup peredam konflik. Dari semua perusahaan yang beroperasi sekitar TNTN, ternyata hanya ada dua perusahaan yang terdidentifikasi melakukan program CD, yakni PT. RAPP 53

54 dan PT. Siak Raya. Di antara kedua perusahaan pelaksana CD itu ternyata hanya PT. RAPP yang mempunyai program CD yang lebih intensif dan telah dikelola secara kelembagaan oleh perusahaan. Program-program CD PT. RAPP pada umumnya berkenanan dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi alternatif penduduk berekonomi lemah pada umumnya di desa-deda peserta HTR perusahaan yang bersangkutan. Unit usaha ekonomi yang diintroduksi kepada penduduk seluruh desa yang dibantu adalah peternakan Sapi Bali dan palawija dan sayur mayur. Penduduk desa yang dibantu diharuskan membentuk kelompok tani. Mereka, kemudian dilatih dan diberikan bantuan bibit dan pupuk. Sayangnya program CD yag dilakukan ini umumnya masih belum memberi dampak positif berarti bagi perbaikan kehidupan masyarakat dampingannya. Unit usaha yang dikembangkan tidak menjalar ke penduduk lain, bahkan anggota kelompok yang dilatih banyak yang drop-out dari program tersebut. Selain dari itu, program CD PT. RAPP juga memberikan bantuan pembangunan fasilitas umum (FASUM) seperti pembangunan fisik sarana ibadah, sekolah, peningkatan sarana jalan desa, kantor desa dan tempat pertemuan umum. Program-program CD PT. RAPP yang bersifat fisik ini telah memberikan kesan positif keberadaan perusahaan yang bersangkutan di mata penduduk. Namun, terdapat kesan di kalangan penduduk bahwa mereka harus mengemis kepada PT. RAPP untuk mendapatkan bantuan-bantuan tersebut, karena inisiatif bantuan tidak berasal dari perusahaan yang bersangkutan, malainkan dari usaha penduduk untuk melobi pihak PT. RAPP. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa programprogram CD PT. RAPP tidak dapat berfungsi sebagai katup penyelamat yang berfungsi sebagai pereda konflik antara perusahaan yang bersangkutan dengan penduduk sekitar. 5.7 Resolusi Konflik Gajah-Manusia yang Telah Dilakukan Usaha Komunitas Tempatan Para petani di desa-desa sekitar TNTN yang tanaman mereka sering diserang oleh gajah telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi tanaman mereka dari serangan gajah. a) Teknik Pemantauan Serangan Gajah. Para petani setempat berusaha untuk memantau serangan gajah dengan tujuan agar serangan dini dari 54

55 gajah dapat diketahui. Cara yang mereka lakukan adalah menunggui lahan yang tanaman di atasnya rawan untuk diserang gajah pada waktu malam hari. Para petani membangun pondok-pondok di lahan mereka dan secara bergantian anggota keluarga dewasa yang laki-laki pada malam hari melakukan ronda untuk memantau serangan gajah. Hal ini dilakukan di semua desa yang sering diserang gajah. b) Menghalau Gajah. Apabila terjadi serangan gajah, para petani menghalau gajah ke hutan dengan menggunakan bunyi-bunyian (suara dan suara pentongan atau benda yang lain) dan api bukan untuk membakar gajah tetapi untuk menakuti gajah. Cara ini umumnya dilakukan sebagai bagian dari penerapan pengetahuan asli dan tradisi penduduk tempatan di desa-desa sekitar TNTN. Ada juga mereka yang memasang lampu-lampu minyak tanah atau obor bambu di jalan masuk ke kebun atau di dalam kebun seperti yang dilakukan di Desa Lubuk Kembang Bunga Usaha WWF dan Perusahaan-Perusahaan a) Membuat Parit. Taktik resolusi konflik gajah-manusia dengan cara membuat parit-parit di tapal batas dengan kawasan hutan untuk membuat gajah tidak dapat masuk ke kawasan yang dilindungi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta besar perkebunan kelapa sawit. b) Pemantauan. WWF telah melaksanakan taktik pemantauan dengan cara menugaskan petugas patroli di beberapa buah desa. Di samping itu, WWF juga telah memfasilitasi gajah piaraan beserta tenaga terlatih untuk menghalau jagah liar yang mengganggu tanaman dan penduduk. Kegiatan ini terdapat di Desa Lubuk Kembang Bunga di Kabupaten Pelalawan. 55

56 BAB VI PENUTUP 6.1 KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian dilapangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Tingkat kemiskinan di desa-desa sekitar TNTN dicirikan dengan masih tingginya jumlah penduduk dan rumah tangga miskin yang umumnya bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata tingkat kemiskinan di provinsi dan masing-masing kabupaten yang mewilayahinya. 2. Situasi sosial ekonomi desa-desa sekitar TNTN masih ditandai dengan terdapatnya kesenjangan sosial ekonomi antara desa asli/tempatan yang umumnya lebih miskin dibandingkan dengan desa-desa transmigrasi. 3. Keberadaan perusahaan-perusahaan besar sekitar desa-desa sekitar TNTN ternyata belum memberikan kontribusi berarti bagi perbaikan ekonomi masyarakat desa-desa tersebut bahkan meluas pandangan dalam masyarakat bahwa keberadaan perusahaan-perusahan besar itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab utama kontinuitas kemiskinan perdesaan sekitar. 4. Terdapat hubungan yang berkonflik antara penduduk desa-desa sekitar TNTN dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berkenaan dengan konversi kebun plasma kelapa sawit. 5. Terdapat hubungan yang berkonflik antara penduduk desa-desa dengan PT RAPP berkenaan dengan harga penjualan produksi hasil HTR dan tuntutan kepedulian perusahaan terhadap masalah sosial ekonomi dan pembangunan perdesaan karena perusahaan menggunakan tanah ulayat komunitas lokal yang selama ini menjadi sumber ekonomi dan lahan cadangan bagi masyarakat. 56

57 6. Di beberapa penjuru saat ini berlangsung okupasi lahan di areal eks konsesi HPH dan areal taman nasional yang masih potensial akan terjadi juga di lokasi lainnya di masa akan datang. 7. Di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Tesso Nilo, serangan gajah cukup intensif yang menimbulkan kerugian terhadap perekonomian penduduk. 8. Sosialisasi program konservasi TNTN, khususnya sosialisasi program konservasi gajah ternyata masih minim dan belum merata diterima masyarakat sehingga pandangan pro kontra tentang program-program konservasi ini berpotensi meluas dan cenderung kontra produktif bagi upaya menggalang partisipasi masyarakat perdesaan dalam rangka pembangunan TNTN itu sendiri. 9. Terdapat juga kenyataan masih minimnya inisiatif kebijakan pembangunan daerah oleh pemerintah Provinsi Riau maupun pemerintah daerah di keempat kabupaten yang mewilayahi TNTN dalam mengembangkan kebijakan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi perdesaan maupun dukungan terhadap pembangunan TNTN. 6.2 SARAN Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1. Tingkat konversi lahan dan hutan pada lokasi dan sekitar TNTN sangatlah tinggi, hal ini terlihat dengan banyaknya perusahaan perkebunan sawit, perkebunan karet, HPH dan HTI yang memiliki konsesi lahan skala besar di daerah ini. Dengan ini diharapkan terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat dengan perusahaan dalam upaya meningkatkat perekonomian masyarakat tempatan melalui program Community Development. 2. Konversi lahan dan hutan telah menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat setempat, bukan saja karena konversi hutan yang diklim sebagai hutan ulayat oleh masyarakat, tapi juga sebagian konversi lahan 57

58 yang semula merupakan lahan sosok (bekas garapan masyarakat). Dalam hal ini diharapkan kebijaksanaan perusahaan yang didukung oleh pemerintah setempat dalam upaya penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat serta kepentingan perusahaan. 3. Masyarakat melihat perbedaan tingkat ekonomi warga transmigrasi dengan masyarakat lokal sebagai akibat dari perbedaan perlakuan baik oleh pemerintah maupun oleh investor. Hal ini membutuhkan perhatian khusus terutama pemerintah desa untuk dapat bersosialisasi dengan baik serta mengintegrasikan masyarakat, menjadi jembatan maupun fasilitator antar penduduk lokal, trnasmigarasi dan perusahaan dengan membuat berbagai kebijakan yang tidak memihak dan mengedepankan kepentingan bersama. 58

59 DAFTAR PUSTAKA Burhan Bungin, 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Burhan Bungin, 2009, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Media Group Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II, Jakarta: Gramedia, 1986 Fearon, James D & Latin, David Violence and The Social Construction of Etnich Identity, In International Organization 54 Autum, IO Foundation and The Massachhusetts Institute of Technology. Gould, Roger V Collective Violence and Group Solidarity : Evidence From A Feuding Society. In American Sociological Review Vol. 64, June Francis Fukuyama, 2002, Trust. Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Yogyakarta, Qalam George Ritzer, Sociological Theory 2 nd ed, 1988, New York : Albert A Knopf Harry Hikmat, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama Press I Ngurah Suryawan., 2010, Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern, Bara di Bali Utara, Jakarta : Prenada Isbandi Rukminto Adi, 2008, Intervensi Komunitas. Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta : Rajawali 59

60 Johan Galtung, 1973, Theories of Conflict : Definitions, Dimensions, Negations, Formations, URL: Book Theories Of Conflict.pdf Johan Galtung, 1990, Cultural Violence, Journal of Peace Research, Vol.27,No.3, Aug., 1990, Sage Publications Ltd, URL: Jonathan H Turner, 1978, The Structure of Sociological Theory, Illinois : The Dorsey Press Kamaruddin M. Said, 2002, Etnisiti atau Anomie? Analisis Sosiologikal Peristiwa Pergaduhan Beramai-ramai di Petaling Jaya Selatan, dalam Akademika Jurnal Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, bilangan 60 Januari 2010 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Margaret Poloma, 1999, Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Gramedia Michael D. Hills, Kluckhohn and Strodtbeck's Values Orientation Theory. Online Readings in Psychology and Culture, Unit 4, Novri Susan, 2009,Sosiologi Konflik, Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group Ralf Dahrendorf, 1986, Klas dan Konflik Klas dalam Masyarakat Industri, Jakarta: Rajawali 60

61 Robert M.Z. Lawang, 2005, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Suatu Pengantar, Jakarta : FISIP-UI Press Robert K. Merton,1981, Social Theory and Social Structure, New Delhi : Amerind Publishing Co, Syarif Ibrahim Alqadri, Pola Pertikaian di Kalimantan Barat, Faktor-faktor yang mempengaruhinya dan Peranan Media Massa.,2003 b, Otonomi dan Multikulturalisme, Makalah Seminar Nasional Pendidikan Multikulturalisme dan Revitalisasi Hukum Adat Diselenggarakan oleh Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jakarta Desember Varsney, Ashutosh Ethnic Conflict and Civil Life : Hindus and Muslims in India. Book Draft. Forthcoming Yale University Press The Local Roots of India Riots. Far Eastern Economic Review (March 21- th) Suwarsono dan Alvin Y. So, 1991, Perubahan Sosial Dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: LP3ES. 61

62 LAPORAN PENELITIAN TAHUN ANGGARAN 2016 KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO PROVINSI RIAU KETUA: Dr. H. YOSERIZAL, MS NIDN: ANGGOTA: YESI S.Sos M.Soc Sc NIDN: SUMBER DANA: PNBP FISIP UR 2016 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS RIAU JUNI

63 63

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Strukturalisme Konflik Konflik berasal dari kata kerja configere yang maknanya adalah saling memukul. Sementara istilah conflict dalam bahasa Inggris berarti

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA SEKITAR TESSO NILO

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA SEKITAR TESSO NILO BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA SEKITAR TESSO NILO Di dalam peta wilayah Provinsi Riau antara lain dapat ditemukan adanya dua buah sungai bernama Sungai Tesso dan Sungai Nilo yang melintasi empat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan 18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo 4.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas

Lebih terperinci

INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 1

INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 1 INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 1 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN 5.1. LATAR BELAKANG DESA KESUMA Kawasan penelitian yang ditetapkan ialah Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Desa ini berada pada

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK PENGERTIAN KONFLIK Konflik (menurut bahasa) adalah perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Konflik pertentangan dalam hubungan kemanusiaan (intrapersonal dan interpersonal)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NEQUALITY DAN MUNCULNYA PERILAKU ANOMI Beberapa konsep yang digunakan pada kajian ini ialah, komunitas, inequality, konflik, dan pola perilaku. Komunitas yang dimaksud disini

Lebih terperinci

ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN

ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN Fani Julia Putri, Analisis Konflik Antara Masyarakat Dengan Perhutani ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN Fani Julia Putri 1, Bunyamin Maftuh 2,Elly Malihah

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

Bimbingan dan Konseling Sosial

Bimbingan dan Konseling Sosial Bimbingan dan Konseling Sosial Situasi Sosial Situasi yang menggambarkan adanya interaksi antar individu, yang didalamnya terdapat sikap saling mempengaruhi. Situasi dalam keanekaragaman. Konflik Kata

Lebih terperinci

BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO. 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN

BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO. 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN Analisis pemangku kepentingan untuk menelaah dan memecahkan konflik di kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi

Lebih terperinci

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya 36 BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF A. Teori Konflik Kehidupan sosial dan konflik merupakan gejala yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, konflik merupakan gejala yang selalu melekat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pendekatan terhadap sumber daya alam yang dikandung dalam sistem budaya tradisional adalah bersifat holistik dan bottom up sejalan dengan nalar yang berwawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang terpenting di negara kita, karena sebagian besar warga Indonesia bermatapencaharian sebagai petani, namun juga sebagian besar warga miskin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang sangat tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial

Lebih terperinci

VII KONFLIK DAN INTEGRASI

VII KONFLIK DAN INTEGRASI VII KONFLIK DAN INTEGRASI Pengertian Konflik Konflik adalah perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PENELITIAN PERGURUAN TINGGI TAHUN ANGGARAN 2015

LAPORAN PENELITIAN PENELITIAN PERGURUAN TINGGI TAHUN ANGGARAN 2015 LAPORAN PENELITIAN PENELITIAN PERGURUAN TINGGI TAHUN ANGGARAN 2015 ORIENTASI NILAI BUDAYA MASYARAKAT PADA KONDISI INEQUALITY : Studi Pada Komunitas yang Berpotensi Konflik di Desa Kesuma Seputar Taman

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah

BAB V PENUTUP. utama yang menjadi akar permasalahan konflik. Pada bab kedua naskah ini telah BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisa terkait konflik pada tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi yang telah dituliskan di bab sebelumnya, maka pada kesimpulan ini diperlukan elaborasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. 1 Menurut. perwujudannya secara mudah. 2

BAB II KAJIAN TEORITIS. yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. 1 Menurut. perwujudannya secara mudah. 2 21 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Teori Konflik 1. Pengertian Konflik Menurut Webster, istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelaian, peperangan, atau perjuangan. Konflik adalah persepsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF. keterlibatan konflik yang di dalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan

BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF. keterlibatan konflik yang di dalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan 31 BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF A. TEORI KONFLIK Ralf Dahrendorf melihat proses konflik dari segi intensitas dan sarana yang digunakan dalam konflik. Intensitas merupakan sebagai tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kawasan hutan atau hutan tropis yang cukup luas di dunia. Kawasan hutan di Indonesia mencapai ±137,09 Juta ha

Lebih terperinci

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012 KONFLIK ORGANISASI Salah satu yang sering muncul dalam upaya melakukan inovasi organisasi adalah terjadinya konflik di dalam organisasi. Sebagaimana lazim diketahui bahwa suatu organisasi secara keseluruhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Lebih jauh lihat diakses pada 15 October WIB.

BAB 1 PENDAHULUAN. Lebih jauh lihat  diakses pada 15 October WIB. 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dimulai sejak keluarnya UU No.22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU 32/2004 yang isinya memuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dicermati kembali proses pemekaran Provinsi Riau menjadi Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, ada dua perkiraan yang kontradiktif bahwa Provinsi Riau Kepulauan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang terkenal akan kemajemukan suku bangsanya, terdapat lebih dari 654 komunitas lokal atau sub suku bangsa dari 19 suku bangsa tersebar di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA REPORT FEBRUARY 2O12 Ringkasan Laporan VISI HIJAU UNTUK SUMATRA Menggunakan informasi Jasa Ekosistem untuk membuat rekomensi rencana peruntukan lahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sebuah Laporan oleh

Lebih terperinci

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

STUDI MASYARAKAT INDONESIA STUDI MASYARAKAT INDONESIA 1. Prinsip Dasar Masyarakat Sistem Sistem kemasyarakatan terbentuk karena adanya saling hubungan di antara komponenkomponen yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa seluas 3.289.131 hektar, berada dalam kondisi rusak. Lahan kritis di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

[Type the document subtitle]

[Type the document subtitle] PENGAKUAN KEBERADAAN KEARIFAN LOKAL LUBUK LARANGAN INDARUNG, KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU DALAM PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP [Type the document subtitle] Suhana 7/24/2008 PENGAKUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak dapat dicapai semata-mata dengan menyingkirkan hambatan yang menghalang kemajuan ekonomi. Pendorong utama pertumbuhan ekonomi ialah upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Jayapura Tahun 2013-2017 merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang harus ada dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem Strategi Rehabilitasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci