SURAT PERNYATAAN. Bogor, Juli Adil G

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SURAT PERNYATAAN. Bogor, Juli Adil G"

Transkripsi

1 HUBUNGAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS TUMBUHAN DENGAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN MANGROVE SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT PROVINSI SUMATERA UTARA A D I L SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Hubungan Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Dengan Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara merupakan gagasan dan karya saya beserta komisi pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008 Adil G

3 ABSTRACT ADIL. The Relationships Between The Structure and Composition of Tree Species and the Bird Biodiversity in Mangrove Forest of the Karang Gading and Langkat Timur Laut Wildlife Preserves, Province of North Sumatera. Under the direction of DEDE SETIADI and JARWADI B. HERNOWO. Karang Gading and Langkat Timur Laut is Wildlife game reserve, that are covered by mangrove forest and are potential region in supporting local and migratory bird life, are one of conservation area in North Sumatera Province. In increasing population number of people surrounding the project area was also followed by the increasing of live needs Gading Beach, which is very susceptible with conversion and high exploitation. The conflict interest requently occurs in case of converting land that caused impact to ecology and economy of properties, and indirectly affect to the decreasing of bird diversity. The objectives of this research were to analyze the relationships between the structure and composition of tree species and the bird biodiversity. The research was conducted from June to September 2007 in the Karang Gading Beach and Langkat Timur Laut Wildlife game reserve North Sumatera Province. The sampling area was selested four subhabitats consisting of (1) primary mangrove sub-habitat, (2) Secondary mangrove sub-habitat, (3) intensif embankment sub-habitat, and (4) extensive embankment sub-habitat. A purposive sampling method was applied for mangrove vegetation, and IPA (Indices Ponctuels d Abundances) and CC (Concentration Counts) method were used for bird observe. Results showed that there signifikant relationships between the structure and composition of tree species and the bird biodiversity in all sub-habitats. The correlation coefficient in primary mangrove sub-habitat was higher than those of the other sub-habitats. The correlation coefficients of 0.86, and 0.93 were for primary mangrove. Secondary mangrove, intensive embankment and extensive embankment sub-habitat, respectively. Higt variaty of tree species in each sub-habitat could increase the bird diversity. Keywords: Structure and composition, correlation, biodiversity bird

4 RINGKASAN ADIL. Hubungan Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Dengan Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh Dede Setiadi dan Jarwadi B. Hernowo. Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut provinsi Sumatera Utara merupakan satu-satunya kawasan konservasi di Provinsi Sumatera Utara yang ditumbuhi hutan mangrove. Berdasarkan pengamatan di lapangan, menunjukkan kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa mempunyai kepentingan yang cukup signifikan untuk diteliti: (1) Kawasan hutan di Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan habitat berbagai satwa liar (2) Hutan mangrove di daerah yang bersangkutan membentuk ekosistem mangrove dengan hamparan yang cukup kompak dan luas (3) Belum banyak penelitian hubungan antara burung dengan mangrove. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup di Pantai Karang Gading yang semakin tinggi, kawasan ini sangat rentan dengan tingkat konversi dan eksploitasi lahan yang cukup tinggi. Selain itu kawasan ini juga telah terjadi konflik kepentingan berupa pengkonversian lahan menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan kawasan yang berdampak pada perubahan ekologis maupun ekonomisnya, yang secara tidak langsung berdampak terhadap penurunan keanekaragaman jenis burung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove, mengetahui keanekaragaman jenis burung, hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung dan sebagai masukan kepada instansi terkait dalam memanfaatkan ekosistem mangrove secara lestari. Penelitian ini dilakukan selama lebih kurang 3 bulan mulai dari bulan Juni sampai dengan September 2007 di Pantai Karang Gading, Langkat, Sumatera Utara. Dengan menetapkan 4 sub-habitat yaitu: (1) Sub-habitat mangrove primer (2) Sub-habitat mangrove sekunder (3) Sub-habitat tambak intensif (4) Subhabitat tambak ekstensif. Metode penelitian untuk vegetasi mangrove dengan menggunakan sampling purposive menggunakan sampling garis paralel sistematis dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 transek garis dan tiap transek garis terdiri dari 6 plot. Sedangkan untuk pengamatan burung digunakan metode IPA (Indices Ponctuels d Abundances) dan Metode Terkonsentrasi (Concentration counts). Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada 4 sub-habitat didapatkan 38 jenis, 19 famili dengan tingkat pertumbuhan fase pohon 27 jenis, pancang 23 jenis dan tingkat semai 24 jenis. Untuk sub-habitat mangrove primer pada tingkat pohon didominasi oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata BI) dengan indeks nilai penting 128.6%, kerapatan relatif jenis (KRi) 43.85%, frekuensi relatif jenis(fri) 27.42% dan dominansi relatif jenis (DRi) 57.38% dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.74) dan indeks kemerataan jenis (E=0.78). Untuk sub-habitat mangrove sekunder didominasi oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata Bl) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi) 40.86%, frekuensi relatif jenis

5 (FRi) 33.33% dan dominansi relatif jenis (FRi) 41.09% dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.69) dan indeks kemerataan jenis (E= 0.81). untuk sub-habitat tambak intensif didominasi oleh buta-buta (Excoecaria agalloca L) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi) 38.97%, Frekuensi relatif jenis (FRi) 31.57% dan dominansi relatif jenis (FRi) 31.98% dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.27) dan indeks kemerataan jenis (E=0.70). Sedangkan untuk sub-habitat tambak ekstensif didominasi oleh butabuta (Excoecaria agalloca L) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi) 61.76%, frekuensi relatif jenis (FRi) 52.37% dan dominansi relatif jenis (DRi) 58.01%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.09) dan indeks kemerataan jenis (E=0.78). Untuk tingkat Pancang pada sub-habitat mangrove primer didominasi olen nyirih (Xylocarpus granatum Koen) dengan indeks nilai penting , kerapatan relatif jenis (KRi) 36.44%, frekuensi relatif jenis (FRi) 30.55%, dan dominansi relatif jenis (DRi) 41.22%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.76) dan indeks kemerataan jenis (E=0.80). Pada sub-habitat mangrove sekunder didominasi oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata Bl) dengan indeks nilai pentng %, kerapan relatif jenis (KRi) 31.86%, frekuensi relatif jenis (FRi) 29.99%, dan dominansi relatif jenis (DRi) 40.52%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.54) dan indeks kemerataan jenis (E=0.85). Pada tambak intensif didominsi oleh buta-buta (Excoecaria agalloca L) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi) 36.00%, frekuensi relatif jenis (FRi) 29.99%, dan dominansi relatif jenis (DRi) 35.59%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.35) dan indeks kemerataan jenis (E=0.83). Sedangkan untuk tambak ekstensif di dominasi oleh buta-buta (Excoecaria agalloca L) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi) 63.63%, frekuensi relatif jenis (FRi)=54.54%, dan dominansi relatif jenis (DRi) 64.87%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.00) dan indeks kemerataan jenis (E=0.72). Untuk tingkat semai pada sub-habitat mangrove primer didominasi oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata Bl) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi)=71.05% dan Frekuensi relatif jenis (FRi) 57.12%, dengan indeks keanekaragaman (H'=1.11) dan indeks kemerataan (E=0.68). Pada sub-habitat Mangrove sekunder didominasi oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata Bl) dengan indeks nilai penting 68.19%, keapatan relatif jenis (KRi)53.91% dan frekuensi relatif jenis (FRi) 14.28%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.59) dan indeks kemerataan jenis (E=0.81). Pada subhabitat tambak intensif didominasi oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata Bl) dengan indeks nilai penting %, kerapatan relatif jenis (KRi) 63.25%, dan frekuensi relatif jenis (FRi) 47.36%. dengan ineks keanekaragaman jenis (H'=1.19) dan indeks kemerataan jenis (E=0.73). Pada sub-habitat tambak ekstensif didominasi oleh nyirih (Xylocarpus granatum Koen) dengan indeks nilai penting 59.83%, (KRi) =26.50%, frekuensi relatif jenis (FRi) 33.33%, dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.58) dan indeks kemerataan jenis (E= 0.81). Pada pengamatan keanekaragaman jenis burung pada tiap sub-habitat ditemukan 24 jenis burung pada sub-habitat mangrove primer dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=2.60) dan indeks Kemerataan (E= 0.81). Pada subhabitat mangrove sekunder ditemukan 19 jenis burung dengan indeks

6 keanekaragaman jenis (H'=2.54) dan indeks kemerataan (E=0.86). Pada subhabitat tambak intensif ditemukan 25 jenis burung dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=1.99) dan indeks kemerataan (E=0.92) sedangkan untuk tambak ekstensif ditemukan 13 jenis burung, dengan indeks keaneragaman jenis burung (H'=2.28) dan indeks kemerataan (E=0.89). Pada pengamatan burung air ditemukan 16 jenis dengan indeks keanekaragaman jenis (H'=2.14) dan indeks kemerataan jenis (E=0.77). Dari hasil analisis korelasi antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut menunjukkan korelasi yang cukup kuat. Untuk sub-habitat mangrove primer (R 2 ) 0.86, untuk sub-habitat mangrove sekunder (R 2 ) 0.92, untuk sub-habitat tambak intensif (R 2 ) 0.85 dan untuk sub-habitat tambak ekstensif (R 2 ) Kesimpulan dari penelitian ini semakin banyak jenis tumbuhan pada masing-masing sub-habitat semakin tinggi keanekaragaman jenis burung. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove dikawasan Suaka Margasatwa Pantai karang Gading dan Langkat Timur Laut.

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 HUBUNGAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS TUMBUHAN DENGAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN MANGROVE SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT PROVINSI SUMATERA UTARA A D I L Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

9 Judul Tesis Nama NIM : Hubungan Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Dengan Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. : A d i l : G Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S Ketua Ir. Jarwadi B. Hernowo, M.Sc.F Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin. DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal ujian: 18 Juli 2008 Tanggal lulus:

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. M. Bismark, M.S

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, 19 Juli 1968 dan merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Ayahanda Muzir (Alm) dan Ibunda Aisnah (Almh). Penulis menikah dengan Lismawati dan dikaruniai tiga putri. Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah di SDN Lubuk Pakam tahun 1982, kemudian SMPN 2 Lubuk Pakam tahun 1985, dan SMAN 1 Lubuk Pakam tahun Pendidikan tinggi ditempuh di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) jurusan Pendidikan Biologi dan lulus pada tahun Bekerja sebagai tenaga pengajar di Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan sejak tahun 1994 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pada program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program studi Biologi dengan mendapatkan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Departemen Agama RI.

12 PRAKATA Alhandulillah, Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan Rahmat-Nya sehingga dengan perkenan-nya jualah Tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa akanlah sulit untuk dapat menyelesaikan penelitian tesis ini tanpa bantuan moril dan semangat dari banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada : 1. Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S, Ketua Pembimbing yang selalu memberi bimbingan dalam penelitian dan semangat untuk berkarya dengan sebaik-baiknya serta dalam menyediakan bahan penelitian. 2. Ir. Jarwadi B. Hernowo, M.Sc.F, Pembimbing anggota yang memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan tesis. 3. Prof. Dr. M. Bismark, M.S, sebagai dosen penguji luar komisi atas saran dan masukan yang diberikan. 4. Ir. Djati wijaksono Hadi, M.Si, Kepala BKSDA Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan alat dan pengarahan lapangan selama penelitian. 5. Departemen Agama RI, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program peningkatan kemampuan Strata-2 di Institut Pertanian Bogor melalui Beasiswa Utusan Daerah. 6. Dra. Fatimah Ibrahim, Kepala Madarasah Aliyah Negeri 1 Medan atas ijin dan dukungan dalam melanjutkan studi S2 di IPB. 7. Lismawati dan keluarga atas dukungan, semangat dan kasih sayang yang diberikan. 8. Teman-teman BUD 2006 yang telah banyak memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Juli 2008 A d i l

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xiii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvii LAMPIRAN... xiii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Hipotesis... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung Pengertian Struktur dan Komposisi Mangrove Pengertian Struktur dan Komposisi Keanekaragaman Keanekaragaman Jenis Burung III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sejarah Kawasan Letak dan Luas Kondisi Fisik Curah Hujan Hidrologi Iklim Tipe Lahan Tanah Administrasi Penduduk Distribusi Umur Pendidikan Pekerjaan Keadaan Biologis Gambaran Mangrove di Pantai Karang Gading Gambaran Fauna di Pantai Karang Gading IV. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian... 26

14 xiv 4.3 Penentuan Stasiun Pengamatan Lokasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan Data Flora Mangrove Metode Pengumpulan Data Burung Analisis Data Analisis Data Flora Hutan Mangrove Analisis Data Burung Mangrove Lokal V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat Kekayaan Jenis Vegetasi Struktur dan Komposisi Vegetasi A. Sub-Habitat Mangrove Primer B. Sub-Habitat Mangrove Sekunder C. Sub-Habitat Tambak Intensif D. Sub-Habitat Tambak Ekstensif Kerapatan Jenis Dominansi Keadaan Jenis Burung Kekayaan Spesies Keanekaragaman Jenis Burung A. Sub-Habitat Mangrove Primer B. Sub-Habitat Mangrove Sekunder C. Sub-Habitat Tambak Intensif D. Sub-Habitat Tambak Ekstensif Keanekaragaman Jenis Burung Air Kelimpahan dan Dominansi Spesies A. Mangrove Primer B. Mangrove Sekunder C. Tambak Intensif D. Tambak ekstensif Pengelompokan Habitat Berdasarkan Stratifikasi dan Relung Ekologi Indeks Kemiripan Korelasi Antara Jumlah Burung Dengan INP dan Kerapatan Pohon Pembahasan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 76

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Luas Wilayah Kec.Secanggang Menurut Desa/ Kelurahan tahun Rata-rata Hujan dan Hari Hujan kabupaten Langkat Tahun Nama-Nama Sungai dan Panjang Serta Vol. Sungai Kabupaten Langkat Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Secanggang Tahun Distribusi Umur Kepala Keluarga Masyarakat Pantai (2004) Data Pendidikan Kepala Keluarga Masyarakat Pantai (2004) Pekerjaan Pokok dan Sambilan Masyarakat Pantai KGLT Daftar Nama Jenis Tumbuhan yang Terdapat Di SM KGLTL Daftar Jenis Mammalia yang Terdapat Di SM KGLTL Daftar Reptil yang Terdapat di SM KGLTL Daftar Jenis Burung yang Terdapat Di SM KGLTL Daftar Jenis Ikan yang Terdapat di SM KGLTL Bahan dan Alat yang Digunakan Dalam Penelitian Deskripsi Masing-Masing Stasiun Deskripsi Stasiun Pengamatan Burung Air Perbandingan Jumlah Famili dan Jenis Pada Tiap Sub-Habitat Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Untuk Fase Pohon Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Untuk Fase Pancang Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Untuk Fase Semai Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Pohon Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Pancang Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Semai Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Pohon Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Pancang Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Semai Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Pohon Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Pancang Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, dan Kemerataan Untuk Fase Semai Kelimpahan Jenis Burung, Indeks Keanekaragaman, dan Indeks Kemerataan pada Sub-Habitat Mangrove Primer Kelimpahan Jenis Burung, Indeks Keanekaragaman, dan Indeks Kemerataan pada Sub-Habitat Mangrove Sekunder Kelimpahan Jenis Burung, Indeks Keanekaragaman, dan Indeks Kemerataan Pada Sub-Habitat Mangrove Intensif... 51

16 32 Kelimpahan Jenis Burung, Indeks Keanekaragaman, dan Indeks Kemerataan Pada Sub-Habitat Mangrove Ekstensif Kelimpahan Populasi Jenis Burung dan Keanekaragaman Berdasarkan Metode Terkonsentrasi (Concentration Counts) Matriks Indeks Kemiripan (%) Komunitas Burung Antar Sub-Habitat di Suaka Margasatwa KGLTL... 63

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Keadaan Mangrove di Suaka Margasatwa KGLTL Sumatera Utara Peta Lokasi Penelitian Plot Contoh Semai, Sapihan, Tiang dan Pohon Tehnik Pengamatan Burung Dengan Metode IPA (Indices Ponctuels d Abundances) Perbandingan Jumlah Famili dan Jenis Pada Tiap Sub-Habitat Keadaan Vegetasi Sub-Habitat Mangrove Primer Bentuk Profil Vertikal Vegetasi Untuk Sub-Habitat M.Primer Keadaan Vegetasi Sub-Habitat Mangrove Sekunder Bentuk Profil Vertikal Sub-Habitat Mangrove Sekunder Keadan Vegetasi Sub-habitovilat Tambak Intensif Bentuk Profil Vertikal Vegetasi Sub-Habitat T. Intensif Keadaan Vegetasi Sub-Habitat Tambak Ekstensif Bentuk Profil Vertikal Sub-Habitat Tambak Ekstensif Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis Burung Jenis Burung Migran Yang Ditemukan Di Lokasi Penelitian Kerapatan Relatif Jenis (KRi) Pada Sub-Habitat M.Primer Frekuensi Relatif Jenis (FRi) Pada Sub-Habitat M.Primer Elang Bondol (Haliastur indus) Membuat Sarang Pada M.Primer Kerapatan Relatif Jenis (KRi) Pada Sub-Habitat M.Sekunder Frekuensi Relatif Jenis (FRi) Pada Sub-Habitat M.Sekunder Kerapatan Relatif Jenis (KRi) Pada Sub-Habitat T.Intensif Frekuensi Relatif Jenis (FRi) Pada Sub-Habitat T. Intensif Kerapatan Relatif Jenis (KRi) Pada Sub-habitat T.Ekstensif Frekuensi Relatif Jenis (FRi) Pada Sub-Habitat T.Ekstensif Grafik Analisis Koresponden Antara Stasiun Pengamatan Interaksi Antara Struktur dan Komposisi Tumbuhan Dengan Keanekaragaman Jenis Burung Cinenen Kelabu (Orthotomus ruficeps) Kuntul Besar (Egretta alba) Elang Bondol (Haliastur indus) Jenis Burung Migran Sikatan Bakau (Cyornis rufigastra)... 72

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Analisis Vegetasi Pada Sub-Habitat Mangrove Primer Hasil Analisis Vegetasi Pada Sub-Habitat Mangrove Sekunder Hasil Analisis Vegetasi Pada Sub-Habitat Tambak Intensif Hasil Analisis Vegetasi Pada Sub-Habitat Tambak Ekstensif Data Keanekaragaman Jenis Burung Di SM KGLTL Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat M.Primer Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat M.Sekunder Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat T.Intensif Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat T.Ekstensif Keanekaragaman Jenis Burung Air Keanekaragaman Jenis Burung Keseluruhan Pada Lokasi Penelitian Data Dominansi Jenis Burung Pada Lokasi Penelitian Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Burung Pengelompokan Burung Dalam Menggunakan Habitat Jenis Burung Yang Mendominasi Di Lokasi Penelitian Berdasarkan Indeks Nilai Penting Jenis Mangrove Yang Mendominasi di Lokasi Penelitian Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat M.Primer Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat M.Sekunder Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat T.Intensif Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat T.Intensif Nama Lokal, Nama Ilmiah, Nama suku dan jenis Diet Burung

19 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar dari masyarakat sekitarnya berupa penebangan secara liar untuk diambil kayunya atau daunnya (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). Luas hutan mangrove yang tersisa sekarang diperkirakan juta hektar (Departemen Kehutanan 1997), sedangkan menurut perhitungan Giesen (dalam Noor Khazali dan Suryadiputra 1999) luas sekarang diperkirakan 2.49 juta hektar dan perkiraan luas pada lima sampai sepuluh tahun lalu sebesar 4.13 juta hektar. Kelompok hutan mangrove di Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut (KGLTL) ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam, yakni Suaka Margasatwa oleh Mentri Pertanian melalui Surat Keputusan Nomor 811/Kpts./Um/11/1980 tanggal 5 November 1980 dengan luas sekitar ha. Berdasarkan pengamatan di lapangan, menunjukkan kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa sangat beralasan, karena: a. Kawasan hutan di Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan habitat berbagai satwa liar, terutama berbagai jenis burung dan merupakan salah satu tempat persinggahan jenis-jenis burung migran dari Belahan Bumi Utara dan Siberia menuju Australia dan Selandia Baru. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Giesen dan Sukotjo (1991) dilaporkan bahwa di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) dijumpai 44 jenis burung, dimana 13 jenis diantaranya merupakan burung migran, 12 jenis mamalia dan 13 jenis reptilia. b. Hutan mangrove di daerah yang bersangkutan membentuk ekosistem mangrove dengan hamparan yang cukup kompak dan luas yang mencirikan perwakilan mangrove di kawasan Indonesia bagian barat. Giesen dan Sukotjo (1991) melaporkan bahwa kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) ditumbuhi 37 jenis dari 21 suku. Berdasarkan kategori Tomlinson (1986), vegetasi yang dijumpai di kawasan tersebut terdiri atas major componen 10 jenis, minor componen 6 jenis, dan

20 2 mangal associate 21 jenis. Kondisi seperti ini menjadikan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) merupakan satu-satunya Suaka Margasatwa di Indonesia yang keseluruhan areanya merupakan tipe ekosistem mangrove. Dengan demikian, status kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa beralasan untuk dipertahankan. Tetapi dengan adanya pertambahan penduduk dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat kawasan hutan mangrove ini sangat rentan dengan tingkat konversi dan eksploitasi lahan yang cukup tinggi. Selain itu kawasan ini juga juga telah menjadi konflik kepentingan berupa pengkonversian lahan menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan kawasan yang berdampak pada perubahan ekologis maupun ekonomis, yang secara tidak langsung berdampak terhadap penurunan pendapatan masyarakat dan menurunnya keanekaragaman jenis satwa terutama burung. Dengan semakin menyempitnya hutan mangrove telah menyebabkan semakin sempit pula ruang jelajah (home range) dari burung-burung yang menggunakan hutan mangrove sebagai habitat. Akibatnya beberapa spesies tertentu terancam punah. Terancamnya keberadaan 118 jenis burung di Indonesia bukan tak mungkin akan diikuti oleh kelangkaan jenis burung lain, terlebih jika keadaan hutan di Indonesia memburuk. Makin banyak jenis burung yang menghuni suatu hutan berarti makin banyak jenis flora hutan itu. Kalau jumlah burung berkurang, berarti tanaman hutan itu juga berkurang (Tomi 2006). Keseimbangan ekosistem dapat terancam jika diketahui beberapa anggota dari ekosistem itu mulai punah. Ketidakseimbangan ekosistem di suatu negara jelas berdampak pada ekosistem regional yang otomatis juga berpengaruh pada keseimbangan ekosistem dunia. Penelitian burung di hutan mangrove di Indonesia masih sangat terbatas, laporan-laporan yang ada terutama baru diutamakan untuk identifikasi spesies. Banyak informasi yang belum kita dapatkan tentang peranan hutan mangrove bagi pelestarian burung. Khususnya burung terestrial, burung air dan burung migran. Di Indonesia juga telah dilakukan perlindungan terhadap berbagai jenis burung yang tinggal di hutan mangrove, diantaranya: Ibis cinereus, Ardea sumatrana, dan Nycticorax caledonica. Untuk keperluan pelestarian spesies

21 3 burung yang diancam kepunahan ini telah dilakukan berbagai upaya baik yang meliputi perlindungan terhadap spesies burung maupun menetapkan Suaka Alam dan Taman Nasional. Pentingnya hutan mangrove bagi berbagai jenis burung terestrial dan burung air disebabkan karena hutan mangrove merupakan tempat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi beberapa jenis burung migran (terutama dari suku Charadriidae dan Scolapacidae), hutan mangrove sangat penting artinya dalam perjalanan sebagai tempat beristirahat dan mencari makan sebelum mencapai tempat untuk berkembang biak (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui dan menganalisis struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. 2. Mengetahui dan menganalisis keanekaragaman jenis burung di hutan mangrove Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. 3. Mengetahui dan menganalisis hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman burung di Suaka margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. 1.3 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. 2. Memberikan informasi tentang keanekaragaman jenis burung di hutan mangrove Suaka margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur laut Sumatera Utara. 3. Memberikan informasi hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. 4. Memberikan masukan kepada instansi terkait dalam rangka pengelolaan yang tepat dalam memanfaatkan ekosistem mangrove secara lestari.

22 4 1.4 Kerangka Pemikiran Hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang menjadi habitat singgah burung migran saat ini senakin berkurang akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan sawah. Padahal kawasan hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara merupakan salah satu daerah penting bagi persinggahan burung-burung migran. Selain itu, kawasan ini memiliki fungsi penting tempat burung menetap yang menggunakan mangrove sebagai habitat utamanya. Luas penyebaran mangrove di Sumatera Utara ha, 60% diantaranya mengalami kerusakan. Kerusakan terparah menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Sumatera Utara berada pada titik-titik penting di pesisir Pantai Timur membentang dari Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan hingga Labuhan Batu atau kawasan yang selama ini menjadi habitat burung migran. Berdasarkan pengamatan Giyanto (2007) kerusakan hutan mangrove akibat alih fungsi menjadi tambak dan perkebunan menjadi ancaman serius bagi burung migran yang biasa singgah di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. Konversi hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap ketersediaan makanan serta perubahan fungsi ekosistem. Hilangnya habitat alami akan menyebabkan hilannya keanekaragaman makanan yang menjadi pendukung kehidupan burung migran. Ketidak tahuan pemerintah daerah akan wilayahnya akan menjadi persinggahan burung migran, menjadi salah satu penyebab habitat alami mereka berupa hutan mangrove dibiarkan beralih fungsi dan rusak. Selain di Pantai Cemara (Jambi) dan Semenanjung Banyuasin (Sumatera Selatan), wilayah persinggahan burung migran di Pulau Sumatera dan pada pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. Birdlife International 2001 menetapkan pesisir Pantai Timur Sumatera Utara sebagai daerah penting bagi burung. Khusus untuk burung migran mereka tercakup dari Karang Gading (Langkat), Bagan Percut, Bagan Serdang (Deli Serdang), Sungai Ular dan Pantai Cermin (Serdang Bedagai) Giyanto Sehingga ruang lingkup penelitian hanya dibatasi oleh Struktur dan Komposisi Hutan Mangrove hubungannya dengan keanekaragaman jenis burung di Pantai Karang Gading, Langkat, Sumatera Utara dan penggunaan habitat oleh

23 5 burung baik penggunaan habitat secara vertikal maupun penggunaan habitat secara horizontal. Sehingga diperoleh gambaran habitat yang disukai oleh burungburung dihutan mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut baik burung-burung terestrial, burung-burung air dan burung-burung migran. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi pemerintah daerah khususnya Daerah Konservasi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera utara. Ekosistem Hutan Mangrove Struktur dan Komposisi Keanekaragaman Jenis Burung Pengelolaan Ekosistem Mangrove Konservasi Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. 1.5 Hipotesis Berdasarkan teori yang ada dan tujuan dari penelitian ini, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah : H 1 : Terdapat hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara. H 0 : Tidak terdapat hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara

24 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal-asulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bahasa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai mangue dan istilah Inggris grove bila disatukan akan menjadi mangrove atau mangrave (Mecnae 1968). Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan mangimangian atau mangin. Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah sekelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah yang mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh didaerah tropis dan subtropis. Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri dari atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove adalah pepohonan atau komunitas tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar dan membawa lumpur pula pada saat pasang. Vegetasi mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Jenis-jenis mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda-beda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan

25 7 bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan (Kusmana 2005). Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna serta substrat ligkungan hidupnya daerah estuari, berperan dalam melindungi garis pantai dan erosi, gelombang laut dan angin topan. Vegetasi mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai. Mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam tinggi di mana vegetasi biasa tidak dapat tumbuh. Mangrove dideskripsikan mencakup semua tumbuhan tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tumbuhan mangrove yang mampu tumbuh ditanah basah lunak, habitatnya perpaduan air tawar dan air laut dari pasang surut. Cara reproduksi tumbuhan mangrove dengan mengembangkan buah vivivar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Istilah bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon Rhizophora sp yang penting hidup di estuari. Jaringan sistem akar mangrove memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan. Sistem perakaran mangrove juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. 2.2 Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung Morrison et al (1992) menjelaskan bahwa penelitian tentang satwa liar dengan habitatnya dimulai dari keingintahuan manusia akan interaksi satwaliar dengan lingkungannya. Penelitian-penelitian tersebut selanjutnya mendapatkan apa yng dikenal sebagai hubungan secara ekologis (ecological relationship). Pada awal hubungan tersebut digambarkan sebagai sebaran satwaliar dalam berbagai tingkatan lingkungan atau tingkatan komunitas vegetasi baik berupa perbedaan ketinggian maupun tingkatan suksesi. Penelitian Hernowo dan Prasetyo (1989), mendapatkan bahwa komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat pada suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung mempunyai relung yang berbeda dan komposisi jenis vegetasi yang beragam cenderung mempunyai kemampuan untuk menarik lebih banyak burung.

26 8 Menurut Orians (1969), banyaknya jenis burung dapat berbeda-beda tergatung pada karakteristik lingkungannya, selain struktur dari vegetasi yang ada, terutama distribusi vertikal, merupakan hal yang penting bagi penyebaran keanekaragaman jenis burung. Tomoff (1974) pada penelitiannya mengenai keanekaragaman jenis burung di berbagai semak gurun menunjukkan, bahwa makin kompleks suatu habitat dapat menyebabkan meningkatnya jenis dan banyaknya burung. Menurut James dan Wamer (1982), pada daerah temperate jenis dan banyaknya burung akan makin meningkat seiring dengan meningkatnya keanekaragaman jenis dan lapisan tajuk vegetasi hutannya, juga dengan menurunnya jenis daun jarum. Menurut Orians (1969), pada vegetasi temperate di Utara, struktur vegetasi yang terbaik dapat dibagi kedalam tiga lapisan yaitu m, m dan diatas 7.6 m. Sedangkan di Panama yang memiliki keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi, struktur vegetasinya dapat dibagi atas empat lapisan yaitu m, m, m dan diatas 15.2 m. Pembagian struktur vegetasi secara vertikal tersebut didasarkan pada kegiatan/perilaku mencari makan, kawin, bersarang dan berbagai kegiatan lainnya. Penelitian lanjutan mengenai hubungan satwaliar dan habitatnya membuat para peneliti sadar bahwa distribusi berbagai jenis satwaliar ternyata tidak dapat dijelaskan hanya dengan dasar perbedaan iklim dan sumberdaya penting saja (Morrison et al 1992). Dari berbagai penelitian mengenai burung, David Lack (dalam Morrison et al 1992) menemukan bahwa burung memerlukan kombinasi lingkungan yang tepat untuk dapat mempertahankan hidupnya, konsep ini selanjutnya disebut sebagai seleksi habitat (habitat selection). Penelitian terus berlanjut sampai ditemukannya konsep relung (niche), dimana seleksi habitat tidak hanya dipengaruhi lingkungan tempat hidupnya tetapi dipengaruhi juga oleh persaingan dalam jenis, persaingan antar jenis dan predator. Menurut Morrison, at al (1992) lebih lanjut, salah satu aspek dari penyebaran habitat yang sangat mempengaruhi populasi dan kemampuan berkembang biak satwa liar adalah karena terjadinya fragmentasi habitat yang menyebabkan meningkatnya isolasi terhadap suatu habitat satwa liar, dan menurunnya ukuan habitat yang menjadi tempat berkembang biak dan mencari

27 9 makan satwa liar (resources patches). Fragmentasi habitat menyebabkan akibat yang berbeda-beda untuk setiap jenis satwa liar, terhadap jenis satwa yang menyukai kondisi interior, yaitu suatu tempat yang berada di dalam suatu habitat yang jauh dari batas pertemuan habitat (edge), akan menyebabkan menurunnya populasi, tetapi pada jenis satwa yang menyukai kondisi edge, hal tersebut dapat meningkatkan populasinya. 2.3 Pengertian Struktur dan Komposisi Mangrove Pengertian Struktur dan Komposisi Muller-Dombois (1974) membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: Fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur tegakan. Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan didalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuhan-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Muller- Dombois, 1974). Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan. Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara 1998). Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis-jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap komunitas. Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena didalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang tinggi. Keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama

28 10 dikaitkan dengan jumlah dan jumlah individu tiap jenis pada komunitas tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis Keanakaragaman Menurut Odum (1971) keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam pempelajari suatu komunitas baik tumbuhan maupun hewan. Seorang peneliti akan mengalami kesulitan dalam menganalisa struktur komunitas secara global karena mengidentifikasi semua organisme dalam komunitas merupkan hal yang tidak mungkin dilakukan (Odum 1971; Morrison et al 1992). Sebaiknya seorang peneliti mengelompokkan komunitas yang ada dalam taxa, ordo atau klas yaitu penggolongan dari hewan dan tumbuhan. Menurut Mac Arthur (1984) keaneragaman jenis ditentukan oleh luas kawasan yang merupakan hubungan antara kawasan dengan keanekaragaman jenis di dalamnya. Keanekaragaman jenis akan berubah-ubah menurut waktu, dimana berbagai jenis datang dan pergi hingga titik keseimbangan. Pada dasarnya konsep keanekaragaman secara umum dapat dibagi kedalam dua komponen yaitu banyaknya jenis (Species richness) atau dapat juga disebut kekayaan jenis dan distribusi individu dalam tiap jenisnya (Eveness) yang seringkali disebut equitability atau gabungan keduanya atau disebut juga keanekaragaman (diversity) (Morrison et al 1992; Krebs 1978). Pengukuran distribusi individu dalam tiap jenis menjadi penting, karena dapat terjadi pada dua tempat yang sama keanekaragaman jenisnya tetapi sebaran individu dalam tiap jenisnya berbeda maka kedua tempat tersebut dapat sangat berbeda. Menurut Perrins dan Birkhhead (1983), makin sedikit jenis akan makin mempertinggi jumlah individu per jenis yang menggunakan suatu kawasan, jika hal tersebut terjadi maka antar jenis akan berkurang tetapi kompetisi antar individu dalam setiap jenisnya akan bertambah. Berbagai prinsip ekologi yang penting tercakup dalam konsep keanekaragaman ini. Tampaknya konsep keanekaragaman digunakan oleh para ahli ekologi sebagai cara untuk melihat kemungkinan system feedback, karena makin tinggi keanekaragaman akan makin memperpanjang rantai makanan dan

29 11 mempertinggi kemungkinan simbiosis baik mutualisme, komensalisme, parasitisme dan lain-lain dan mempertinggi kemungkinan mengendalikan hal-hal yang negatif (Odum 1971; Magurran 1983). Konsekuensinya dari hal ini adalah bahwa suatu komunitas yang stabil misalnya yang memiliki cuaca yang relatif lebih teratur akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi, dibandingkan dengan yang memiliki cuaca yang lebih beragam atau terganggu oleh kegiatan manusia (Odum 1971; Kreb 1978). Keanekaragaman yang makin tinggi merupakan cerminan dari stabilnya komunitas, artinya setiap jenis atau bahkan individu telah memiliki tempat tersendiri dalam habitatnya tersebut (niche), sehingga jika terdapat gangguan sekecil apapun akan terganggu stabilitas tersebut. Rentannya hutan tropis yang memiliki keanekaragaman tinggi misalnya, disebabkan oleh sebaran individu per jenisnya relatif lebih merata tetapi kebanyakan dari jenis-jenis tersebut memiliki individu per jenis yang sedikit sehingga jika gangguan tersebut terjadi pada niche jenis-jenis tersebut maka jenis tersebut dapat punah, sedangkan jenis yang dominan yaitu yang memiliki individu per jenis yang lebih banyak akan lebih bertahan (Odum 1971; Krebs 1978; Kreb 1989) Keanekaragaman jenis (Species diversity) merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan menarik dalam ekologi, baik teori maupun terapan (Magurran 1988). Banyaknya metode pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen yaitu : (1) jumlah jenis (Species richness) yang disebut kepadatan jenis (species density), berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan (2) kesamaan atau kemerataan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Krebs 1992 ; Magurran 1988). 1. Kekayaan Jenis Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh Mcintossh tahun 1967, konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis atau spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Huribert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa

30 12 indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut: (1) metode rerefaction yang pertama kali dikemukakan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Magurran, 1988), (2) indeks kekayaan jenis Margalef; (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis Jacknife. 2. Kemeratan Jenis Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Liyod dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) yang dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah: (1) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shannon-Wiener, (3) indeks kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Kreb (1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynold (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill s evenness number. 3. Kelimpahan Jenis Kelimpahan jenis atau species abundance merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Magurran 1988). Diantara sekian banyak indeks kelimpahan jenis, ada tiga indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidangekologi, yaitu, indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin (Pooole, 1974, Krebs, 1992) Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi (H'>3) jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies (H'1-3), dan jika sedikit saja spesies yang dominan, maka keanekaragamannya rendah (H'<1). Kenanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu kumunitas yang mempunyai keanekaragaman

31 13 jenis yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi (Jaring-jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks. Keanekaragaman jenis burung berbeda dari satu tempat ke tempat lain, tergantung kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah keragaman konfigurasi dan ketinggian pohon; sehingga hutan yang memiliki ukuran pohon, dan bentuk yang berbedabeda dari satu jenis pohon akan memiliki keanekaragaman jenis burung lebih tinggi dari pada tegakan pohon dari jenis yang berbeda namun memiliki struktur bentuk yang seragam (MacArthur and MacArthur 1961 dalam Welty 1982). Menurut Keast (1985), tingginya keanekaragaman jenis burung dihutan tropis disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang relatif stabil dan bersahabat yang memungkinkan terjadinya relung ekologi dan species packing terbentuk, struktur vegetasi habitat yang beragam, tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan (Floristic), beragam tipe pakan yang tersedia serta tingginya jumlah jenis burung yang jarang (rare) dan spesialis (specialized). Pengukuran keanekaragaman jenis didasarkan pada teori informasi didukung oleh banyak ahli ekologi. Pengukuran keanekaragaman ini berhubungan dengan konsep uncertainty (Ketidaktentuan). Dalam komunitas yang keanekaragaman jenisnya rendah, kita benar-benar dapat menentukan identitas suatu individu yang dipilih secara acak. Sedangkan dalam komunitas yang keanekaragamannya tinggi, sukar bagi kita untuk menentukan identitas individu yang diambil secara acak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman tinggi berasosiasi dengan ketidaktentuan yang tinggi dan keanekaragaman rendah dengan ketidaktentuan yang rendah. Pada dasarnya terdapat dua cara pengumpulan data, yaitu secara acak dan tidak acak. Jika data kelimpahan spesies diambil secara acak dari suatu komunitas atau sub-komunitas, maka penghitungan yang tepat keanekaragaman jenis adalah dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (Shannon-wiener).

32 14 III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Sejarah Kawasan Sebelum ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa, hutan di Langkat Timur laut oleh Kerajaan Negeri Deli ditetapkan sebagai kawasan Hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) 6/8/1932 No. 148 seluas hektar, sedangkan di Karang Gading ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan ZB 8/8/1935 No. 138 seluas hektar. Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 November 1980 kedua kawasan tersebut ditunjuk sebagai Suaka Alam. Suaka Margasatwa seluas hektar, dengan nama Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut. Penataan batas kedua kawasan dilakukan pada tahun 1934 (1 tahun lebih awal dari dikeluarkannya ZB Juli pada tahun 1984 sebagian batas (sebagian besar yang bersebelahan dengan daratan) direkontruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I, sepanjang 50 km. 3.2 Letak dan Luas Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur laut secara administratif pemerintahan terdiri atas dua kawasan yang terletak di dua kabupaten yakni kawasan Langkat Timur Laut dengan luas ha, terletak di Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura Kabupaten Langkat serta Karang Gading dengan luas ha, terletak di Kecamatan Labuhan Deli dan Medan Permai Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Letak astronomi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, terbentang antara ' ' BT dan '30" '45" LU. Kecamatan Secanggang memiliki luas wilayah 223,27 km, administratif Kecamatan Secanggang terdiri dari 15 desa/kelurahan dengan luas masing-masing bervariasi dari yang paling sempit yakni 4,24 km 2 (Karang Anyar) hingga yang terluas yakni 35,54 km 2 (Tanjung Ibus). Sedangkan ratio total terhadap Luasan kecamatan tertinggi adalah 14.58% (Tanjung Ibus) dan terendah adalah 1.74% (Karang Anyar) dan Hinai kiri (BPS Kabupaten Langkat, 2003). Rasio masingmasing desa/kelurahan terhadap total luas kecamatan selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

33 15 Tabel 1 Luas wilayah Kecamatan Secanggang menurut desa/kelurahan tahun 2004 No. Desa/Kelurahan Luas (km 2 Ratio Terhadap Total Luas ) Kecamatan (%) Kepala Sungai Perkotaan Teluk Cinta Raja Telaga Jernih Karang Gading Kuala Besar Selotong Secanggang Tanjung Ibus Hinai Kiri Kebun Kelapa Sungai Ular Jaring Halus Karang Anyar Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Langkat Kondisi Fisik Curah Hujan Berdasarkan data statistik tahun 2004, curah hujan rata-rata per tahun di Kabupaten Langkat adalah 166 mm dengan jumlah rata-rata jumlah hujan pertahun 10 hari. Untuk melihat rata-rata dan hari hujan Kabupaten Langkat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rata-rata hujan dan hari hujan Kabupaten Langkat tahun 2004 No. Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (Hari) Januari Februaru Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber: Kabupaten Langkat Dalam Angka Tahun 2004, BPS Kabupaten Langkat Hidrologi Pasang air laut di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut rata-rata 1.6 meter. Dua sungai besar memasuki daerah ini dengan sejumlah sungai-sungai kecil, dan diperkirakan 10% dari total kawasan tergenang

34 16 air. Daerah yang paling sedikit sungai-sungainya berada di sebelah Timur Sungai Karang Gading (Tabel 3). Di Kabupaten Langkat terdapat 20 sungai, dengan sungai terpanjang adalah Sungai Wampu, dengan panjang lebih kurang hanya 4 km. Sungai terlebar juga Sungai Wampu dengan lebar 100 m, sedangkan sungai-sungai yang lainnya berkisar antara 10 sampai dengan 30 m. Untuk lebih jelasnya panjang dan lebar serta volume sungai-sungai di Kabupaten Langkat dapat dilihat tabel berikut ini. Tabel 3 Nama-nama sungai dan panjang serta volume sungai Kabupaten Langkat No. Nama Sungai Kecamatan Luas Panjang Lebar Volume Wampu Bagerpang Gergas Selapian Bahorok Bekulap Temuyuk Bingei Mencirim Bengaru Salaon Gegumit Tambo Bekiun Menjahong Beserangan Besilam Tenang Musam Lepan Besitang Karang Gading Belengking Dendang Serapuh Air Hitam Bahorok, Selapian, Kuala, Selesai, Stabat, Binjai, Secanggang, Tanjung Pura Bahorok Bahorok, Stabat Selapian Bahorok Selapian, Kuala Selapian Sei Bingei, Binjai dan Stabat Kota Binjai, Wampu Sei Bingei Sei Bingei Kuala, Selesai Kuala Kuala, Selapian Sei Bingei, Kuala Padang Tualang, Tanjung pura Stabat, Padang tualang, Binjai Padang Tualang Padang Tualang Babalan Besitang Secanggang, Stabat Stabat Stabat Tanjung Pura Gebang Sumber: Kabupaten Langkat Dalam Angka Tahun 2004, BPS Kabupaten Langkat Iklim Karakteristik iklim di Pantai Timur Utara adalah iklim tropika dengan sedikit sensasi variasi suhu. Curah hujan tidak merata, berkisar antara sampai dengan mm/tahun. Antara bulan Desember dan Maret angin dari Timur Laut membawa udara kering dan curah hujan umunya rendah (di bawah 100 mm/bulan pada bulan Februari dan Maret). Dari bulan Maret sampai

35 17 September berada dalam pengaruh angin musim Barat Laut, curah hujan tinggi terjadi pada bulan Mei dan Agustus sampai oktober. Menurut klasifikasi iklim (Oldemann et al, 1997) wilayah pantai timur Sumatera Utara berada pada zona iklim D; sebuah zona dengan 3-4 bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) berturut-turut dan 2-6 bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan berturut-turut Tipe Lahan Tipe lahan di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur laut umumnya berlumpur dan air yang sedikit agak kecoklatan, sehingga vegetasinya didominasi oleh jenis bakau putih dan bakau hitam (Rhizophora apiculata), Lenggadai (Bruguiera parviflora), buta-buta (Excoria sp) dan nyirih (Xylocarpus granatum) serta nipah (Nipa fruticans) Tanah Keadaan di Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut umunya hampir sama dengan daerah-daerah Indonesia lainnya, yaitu dari dataran tinggi sampai rendah. Jenis batuan yang terdapat di daerah Kabupaten Langkat adalah jenis batuan metamorf yaitu dari jenis wake, batusabak, arenit kwarsa, batu lanau dan batuan konglomeratan sebagaimana diketahui bahwa batuan metamorf merupakan batuan yang sangat keras, karena sudah mengalami proses tekanan dan temperatur yang sangat tinggi 3.4 Administrasi Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Secanggang seluruhnya adalah jiwa dengan kepadatan rata-rata penduduk jiwa/km 2 sampai dengan tahun kepadatan penduduk masing-masing desa bervariasi. Desa dengan kepadatan penduduk rendah adalah Kuala Besar dikarenakan desa ini merupakan desa pantai yang masih terisolir dan sulit dijangkau dengan angkutan umum (hanya ada angkutan berupa boat). Disusul kemudian Desa Cinta Raja yang kepadatannya rendah dikarenakan desa tersebut merupakan daerah perkebunan kakao dan sawit. Kepadatan penduduk rata-rata angota rumah tangga penduduk Kecamatan Secanggang tahun 2004 selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

36 18 Tabel 4 Jumlah dan kepadatan penduduk Kecamatan Secanggang tahun 2004 No. Desa/Kelurahan Luas (km 2 ) Banyaknya Penduduk Kepala Sungai Perkotaan Teluk Cinta Raja Telaga Jernih Karang Gading Kuala Besar Selotong Pekan Secanggang Tanjung Ibus Hinai Kiri Kebun kelapa Sungai Ular Jaring halus Karang Anyar Kepadatan Penduduk jiwa/km Jumlah Sumber: BPS Langkat Distribusi Umur Dari data yang ada pekerjaan tradisional di kawasan pesisir didominasi oleh generasi usia menengah sampai usia tua, sementara generasi menengah ke muda cenderung meninggalkan pekerjaan tersebut (Tabel 5). Dari sisi gender, wanita lebih sedikit yang bekerja sebagai pelaut atau mencari kayu, umumnya wanita hanya bersifat membantu pekerjaan kaum laki-laki terutama dalam penanganan pasca tangkap/pasca panen di rumah sebagai kegiatan/usaha rumah tangga. Tabel 5 Distribusi umur kepala keluarga masyarakat pantai (2004) No. Kelompok Umur Proporsi (%) Sumber: BPS Langkat Pendidikan < 20 tahun tahun tahun tahun tahun > 60 tahun Pendidikan masyarakat pantai rata-rata adalah SD (48.0%), disusul berikutnya SLTP (30.7%), SLTA (14.67%), Diploma (5.3%) dan Sarjana (1.3%) (Tabel 6). Profil ini merupakan kondisi tingkat pendidikan yang cukup baik untuk kategori wilayah desa seperti pada lokasi studi. Relatif banyaknya masyarakat

37 19 pantai dengan tingkat pendidikan menengah ditopang oleh keberadaan Tsanawiyah dilokasi penelitian di Kecamatan Secanggang. Namun untuk mendapatkan jenjang perguruan tinggi mereka harus ke Ibu Kota Kabupaten Langkat (Stabat) atau kota Medan. Tabel 6 Data pendidikan kepala keluarga masyarakat pantai (2004). No. Pendidikan Proporsi (%) Sekolah Dasar (SD) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Diploma Sarjana Sumber: BPS Langkat Pekerjaan Pekerjaan pokok mayoritas masyarakat pantai adalah nelayan (penangkap ikan), yakni sebanyak 35 orang (46.67%), selanjutnya adalah pedagang 9 orang (12%), pembudidaya ikan sebanyak 8 orang (10.67%), aparat desa sebanyak 7 orang (9.33%), pembuat arang sebanyak 6 orang (8%), PNS sebanyak 4 orang (5.33%) dan sisanya adalah pengumpul kayu dan pengolah ikan masing-masing 4 dan 2 orang (5.3 dan 2.67%) (Tabel 7). Distribusi pekerjaan non nelayan cukup merata, yang berarti di lokasi penelitian tidak ada pekerjaan alternatif yang menonjol dan menjadi sumber mata pencarian yang signifikan bagi masyarakat. Meskipun proporsi nelayan penangkap ikan 46.67%, namun sesungguhnya hampir seluruh masyarakat pantai mata pencarian yang terkait langsung dengan sektor perikanan, karena baik perdagangan, budidaya, maupun industri yang ada juga masih bergerak pada sektor perikanan laut. Selain itu, meskipun sebagian masyarakat pantai memiliki pekerjaan pokok bukan nelayan tangkap, namun mereka juga masih melakukan penangkapan ikan sebagai pekerjaan sambilan. Berdasarkan data pekerjaan sambilan masyarakat pantai, mayoritas masyarakat pantai memiliki mata pencarian sebagai pengumpul kayu (28%), nelayan tangkap (18.67%) dan budidaya perikanan (12%), mata pencarian sambilan lainnya antara lain petani, pedagang, pengolahan ikan, pembuat arang dan buruh/pekerja dengan proporsi yang tidak menonjol. Tingginya proporsi mata pencarian masyarakat pantai yang memiliki mata pencarian sambilan sebagai pengumpul kayu menggambarkan masih tingginya tingkat ketergantungan dan intervensi masyarakat di lokasi penelitian terhadap hutan bakau. Meskipun

38 20 umumnya masyarakat di lokasi penelitian memiliki pekerjaan sambilan, namun juga terdapat 14% masyarakat pantai yang tidak memiliki pekerjaan sambilan. Umumnya kelompok ini berasal dari masyarakat pantai yang pekerjaan utamanya PNS dan nelayan tangkap. Tabel 7 Pekerjaan pokok dan sambilan masyarakat pantai Karang Gadin Langkat Timur Laut (2004) No. Pekerjaan Pokok Pekerjaan Sambilan Jenis Pekerjaan Nelayan Pedagang Pembudidaya Aparat desa Pembuat arang PNS Pengumpul kayu Pengolah ikan - Sumber: BPS Langkat Jumlah (orang) Proporsi (%) Jenis pekerjaan Pemgumpul kayu Tidak ada Nelayan Budidaya ikan Petani Karyawan/buruh Pembuat arang Pedagang Pengolah ikan Jumlah (orang) 3.5 Keadaan Biologis Gambaran Mangrove di Pantai Karang Gading Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) merupakan satu-satunya suaka margasatwa di Indonesia yang sebagian besar kawasannya berupa hutan mangrove. Berdasarkan letaknya di pesisir pantai, maka hutan mangrove merupakan kawasan ekoton yang berperan sebagai penyambung (interface) antara akosistem daratan dan lautan. Karena peranannya inilah, hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang unik. Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan penting, baik di dalam memelihara produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan penduduk di wilayah tersebut. Bagi wilayah pesisir, keberadaan hutan mangrove, terutama sebagai jalur hijau di sepanjang pantai atau muara sungai sangatlah penting untuk mensuplai kayu bakar, nener atau ikan dan udang serta mempertahankan kualitas kawasan pertanian, perikanan dan pemukiman yang berada dibelakangnya dari gangguan aberasi, intrusi, dan angin laut yang kencang. Oleh karena itu, dalam beberapa keadaan sumberdaya mangrove harus dikonservasi dan dilindungi sejalan dengan sejumlah pilihan-pilihan pengelolaan lestari yang layak. Berdasarkan kenyataan tersebut, pada tahun 1980, Mentri Pertanian telah menetapkan hutan mangrove di Pantai Karang Gading dan

39 21 Langkat Timur Laut seluas ha sebagai suaka alam dan suaka margasatwa yang semula berstatus hutan produksi. Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) merupakan satu-satunya kawasan suaka margasatwa di Indonesia yang keseluruhan arealnya berupa tipe ekosistem mangrove (Gambar 2). Secara alami kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL), merupakan habitat dari berbagai satwa dan merupakan salah satu tempat persinggahan burung-burung migran dari Siberia dan Eropa ke Australia dan Selandia Baru, sehingga keberadaan kawasan suaka margasatwa ini tidak hanya penting secara nasional, namun juga secara internasional. Namun demikian, hingga saat ini pengelolaan SM KGLTL belum didasarkan pada data potensi kawasan dan belum dilakukan secara optimal, baru terbatas pada pengamanan kawasan (Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 1998). A M.Primer M.Primer M.Primer Gambar 2 Keadaan mangrove di Suaka Margasatwa KGLTL Sumatera Utara. Pada sisi lain, kelestarian kawasan semakin terancam akibat semakin meningkatnya tekanan terhadap kawasan, akan tetapi tidak cepat teratasi. Dalam kaitan ini, salah satu kegiatan yang penting dilakukan adalah pengumpulan data dan informasi mutakhir dari potensi kawasan dan permasalahan serta ancaman

40 22 terhadap kawasan, sehingga kegiatan berikutnya dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Kawasan Mangrove Pantai Karang Gading termasuk ekosistem hutan pantai maka vegetasinya didominasi jenis Bakau Putih/Hitam (Rhizophora apiculata), Langgadai (Bruquiera parviflora), buta-buta (Excocaria sp) dan Nyirih (Xylocarpus granatum) serta Nipah (Nipa fructican), sedangkan jenis satwa yang banyak dijumpai adalah kera (Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristata), dan Raja Udang (Alcedo athis). Selain itu terdapat juga elang laut, ular, ikan dan beberapa jenis mamalia. Menurut Giesen dan Sukotjo (1991) jenis flora mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading Langkat Timur Laut dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 8 Daftar jenis tumbuhan yang terdapat di Suaka Margasatwa Karang Gading dan langkat Timur Laut (Giesen dan Sukotjo, 1991) No. Jenis Familia Nama Daerah 1. Acanthus ilicifolius Acanth. Jeruju 2. Acrostichum aureum Pterid. Piai 3. Acrotichum speciosum Pterid. Piai 4. Avicennia albaa Verben. Api-api hitam 5. Avicennia officinalis Verben. Api-api putih 6. Brownlowia tersa Tiliac. Dungun 7. Bruguiera gymnorrhiza Rhiz. Tumus 8. Bruguiera parviflora Rhiz. Lenggadai 9. Bruguiera sexangula Rhiz. Mata buaya 10. Caesalpinia crista Fabac. Gepeng 11. Casuarina equisetifolia Casuar. Cemara 12. Ceriops tagal Rhiz. Tengar 13. Chloris gayana Poac.? 14. Cryptocoryne ciliata Arac. Keladi air 15. Cyperus compactus Cyp. Pepayungan 16. Cyperus compressus Cyp. Jeriwit 17. Cyperus javanicus Cyp. Karisan 18. Cyperus malaccensis Cyp. Mensiang 19. Daemonorop leptotus Arec. Rotan air 20. Excoeria agallocha Euph. Buta-buta 21. Fagraea crenulata Logan. Pilang 22. Fimbristylis ferruginea Cyp. Paha belalang 23. Hibiscus tiliaceus Malva. Baru-baru 24. Ipomea pes-capre Convol.? 25. Livistonia ef.saribus Arec. Ibus 26. Nyfa fruticans Arec. Nipa 27. Oncosperma tigillarium Arec. Nibung 28. Pandanus tectorius Pandan. Pandan 29. Pluchea indica Astera. Beluntas 30. Rhizophora apiculata Rhiz. Bakau 31. Scyphiphora hydrophylus Rubia. Cingam 32. Sonneratia alba Sonner. Berembang 33. Sonneratia ovata Sonner. Perapat 34. Thespesia populnea Malva. Baru-baru 35. Thypa angustifolia Typac. Banat 36. Xylocarpus granatum Meliac. Nyerih 37. Xylocarpus moluccensis Meliac. Nyerih batu

41 Gambaran Fauna Di Pantai Karang Gading Daerah Pantai Karang Gading temasuk dalam kawasan ekosistem hutan pantai atau mangrove, maka satwa yang banyak dijumpai adalah kera (Macaca fascicularis), lutung (Presbytys cristata) dan burung yang banyak dijumpai adalah raja udang (Alcedo athis), elang bondol (Haliastur indus), disamping itu terdapat juga ular, ikan dan beberapa jenis mammalia. Disamping itu ditemukan juga burung-burung migran yang sering dijumpai di Pantai Timur Sumatera Utara antara lain: Cerek-cerek (Pluvialis spp), Gajahan (Numenius spp), Biru laut (Limosa spp), Trinil (Tringa spp) dan dara laut (Sterna spp). Beberapa burung migran ini belum mendapat perhatian serius dari Pemda dan peneliti burung. Padahal jika di luar negeri, wilayah persinggahan burung migran menjadi daerah wisata alam yang banyak dikunjungi turis maupun peneliti. Perhatian Pemda akan pentingnya habitat burung migran diharapkan membuat hutan-hutan mangrove itu dilestarikan. Tabel 9 Daftar jenis mammalia yang terdapat di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (Giesen dan Sukotjo, 1991) No. Jenis Mammalia Nama Daerah 1. Amblonyx cineria Berang-berang 2. Cervus unicolor Rusa 3. Helaretos malayanus Beruang 4. Macaca fascicularis Kera 5. Manis javanica Trenggiling 6. Muntiacus muntjak Kijang 7. Nycticebus Kukang 8. Paradoxurus hermaphroditus Musang pandan 9. Presbytis cristata Lutung 10. Sus barbatus Babi hutan 11. Tragulus napu Napu 12. Cynoceptalus verugatus kubung Tabel 10 Daftar reptil yang terdapat di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (Giesen dan Sukotjo, 1991) No. Jenis Nama Daerah 1. Acrochordus javanicus Ular air 2. Batagur baska Tuntong 3. Bellia crassicollis Kura-kura 4. Boiga dendrophila Ular tiung 5. Hydrophis spp. Ular selimpat 6. Naja naja Ular sendok 7. Phyton reticulatus Ular sawa 8.? Ular bakau

42 24 Lanjutan Tabel 10 9.? Ular deris 10.? Ular goni 11.? Ular lidi 12.? Ular tedung 13. Varanus salvator Biawak Tabel 11 Daftar jenis burung yang terdapat di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (Giesen dan Sukotjo, 1991) No. Jenis Burung Nama Daerah 1. Ardea purpurea Bangau ular 2. Egretta alba Bangau putih 3. Egretta intermedia Bangau putih 4. Butorides striatus Pucung laut 5. Ixobrychus cinnamomeus Pucung air 6. Mycteria cineria Bangau hitam putih 7. Leptoptilos javanicus Dohok 8. Elanus caeruleus Sikap 9. Haliastur indus Elang bondol 10. Haliaeetus leucogaster Elang lutut 11. Spilornis cheela Elang pau 12. Ictinaetus malayensis Elang hitam 13. Amourornis phenicurus Ruwa-ruwa 14. Charadrius mongolus? 15. Numenius arquata* Kalok 16. Limnodromus semipalmitus* Kalok 17. Tringa nebularia? 18. Tringa totanus*? 19. Actitis hypoleucos Kedidi 20. Lanius cristatus*? 21. Sterna sumatrana Camar 22. Sterna albifrons* Camar 23. Phaenicophaeus sumatranus Ampa-ampa 24. Centropus sinensis But-but 25. Centropus bengalensis But-but 26. Alcedo athis* Benti 27. Alcedo meninting Benti 28. Pelargopsis capensis Pekaka 29. Halcyon coromanda? 30. Halcyon pileata*? 31. Todirhampus chloris Raja udang 32. Hirundo tahitica Layang-layang hujan 33. Pycnonotus goiavier? 34. Capsychus saularis Murai 35. Dicrurus paradiseus Sri gunting batu 36. Orthotomus rificeps? 37. Dendronanthus indicus*? 38. Motacilla plava*? 39. Prinia sp Prenja 40. Nectarinia calcostetha? 41. Nectarinia jugularis? 42. Lonchura maja Pipit haji 43. Lonchura punctulata pipit 44. Herops philippinus Hamba kera *) = burung migran menurut Van Marle & Voous (1988)

43 Tabel 12 Daftar jenis ikan yang terdapat di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (Delsman, 1951; Schuster dan Djajadiredja, 1952 dikutip dari Giesen dan Sukotjo, 1991) No. Jenis Ikan Familia Nama daerah 1. Ambassis spp. Centrop. Serinding 2. Anguilla sp. Anguill. Dendong 3. Apogon spp. Apogon Serinding 4. Arius sp. Ariidae Duri 5. Channa micropeltes Channi Tomoh 6. Channa sp. Channi Lontok 7. Chorineus sp. Carang Talang 8. Cynoglosus sp. soleidae Sebelah 9. Dermogenys pusilla Hemirham Jolong 10. Eleutheronema tetradactylon Polynen Senangin 11. Ephinephelus spp. Serran Kerapu/kerapang 12. Lates calcarifer Centrop. Kakap 13. Lutjanus sanguineus Lutjan Merah/tengar 14. Lutjnus ruselli Lutjan Tanda 15. Lutjanus sp. Lutjan Jenehar 16. Macrochirichthys macrochirus Cyprin Timah-timah 17. Mugil sehali Mugil Kederah 18. Muraenesox cinereus Congrid Malung 19. Myliobatidae sp. Myliob Pari burung 20. Mystus sp. Bagrid Lundu 21. Periophthalmus sp. Gobiidae T. pelatan 22. Platycephalus scaber Platycep. Baji 23. Platycephalus sp. Platycep. Bedukang 24. Plotosus canius Plotos Sembilang 25. Pristis sp. Euselach Hiu parang 26. Rhinobatus sp. Rhinob Keke 27. Scatophagus argus Chaetod Ketang 28. Sciaenidae sp. Sciaen Gulama 29. Sphaeroides lunaris Tetraod Buntal pisang 30. Sphyraena jello Sphyraen Alu-alu 31. Stromateus cinereus Formi. Bawal putih/tambat 32. Stromateus niger Formi Bawal hitam 33. Synanceja sp. Scorp. Lepuh 34. Tetraodon sp. Tetraod. Buntal bola 35. Tetraodon sp. Tetraod. Buntal bunga 36. Thrissa sp. Clup. Teri 37. Tylosurus annulatus Bellon todak 38. Upeneus spp. Mull Biji nangka 39.? Dasytid Pari cendawan 40.? Dasytid Pari lalat 41.? Dasytid Pari harimau 42.? Dasytid Pari tuka-tuka 43.? euselach Hiu tupai 44.? Gobiidae Tembakau belacak 45.? Gobiidae Tembakul minyak 46.? Scianid Gulama pisang 47.? scianid Gulama tapa 48.?? Belangkas 49.?? Jerangas 50.?? Ketang surat 51.?? Seloncong 52.?? subang 25

44 Waktu dan Tempat penelitian IV. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. Jadwal kegiatan penelitian dan alokasi waktu dapat dilihat pada lampiran. 4.2 Bahan dan Alat Penelitian Tabel 13 Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian No. Bahan dan Alat Penelitian Keterangan 1. Termometer air raksa untuk mengukur suhu 2. Salinometer/Refraktometer untuk mengukur salinitas 3. ph/millivoltmeter untuk mengukur ph dan Eh sedimen/tanah 4. Kompas untuk menentukan arah transek garis 5. Meteran dari bahan plastik atau fibreglass sepanjang 100 m 6. Tali untuk membuat transek garis dan petak contoh (plot) 7. Alat hitung atau hand tally counter 8. Gunting atau pisau pemotong ranting atau cabang tumbuhan 9. K.plastik yang porous dan kertas koran untuk membuat koleksi 10. Label dan alat-alat tulis (pinsil, spidol) yang tahan air 11. Data sheet seperti yang disajikan pada tabel Form mangrove 12. Buku-buku floristik untuk determinasi jenis tumbuhan mangrove 13. Teropong binokuler dengan jarak jangkau ± 50 m 14. Peralatan untuk mengambil contoh air (Kemmerer water sampler) 15. Alat perekam (Tape recorder) 16. Global Positioning System (GPS) Garmin III 17. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Mac Kinnon 1993) Alat-alat penelitian bantuan dari BKSDA Sumatera Utara. 4.3 Stasiun Pengamatan Lokasi Penelitian A. Deskripsi Area Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara administratif pemerintah terdiri dari dua kawasan yang terletak di dua kabupaten yakni kawasan Langkat Timur Laut dengan luas ha. Terletak di Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura Kabupaten Langkat serta kawasan Karang Gading

45 27 dengan luas ha, terletak di Kecamatan Labuhan Deli dan Medan Permai Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis suaka margasatwa ini terletak pada posisi ' ' Bujur Timur dan ' ' Lintang Utara. Dari kota Medan untuk mencapai kawasan ini dapat ditempuh melalui jalan darat dengan jalur Medan Stabat Secanggang yang berjarak ± 70 km serta jalan laut Belawan Karang Gading dengan menggunakan boat dalam waktu sekitar 2 jam perjalanan. Dengan mudah ditempuhnya kawasan ini dari kota Medan, menjadikannya sangat potensial untuk menjaring wisatawan domestik maupun mancanegara. Pada kawasan ini juga banyak didapatkan sungai-sungai kecil yang oleh masyarakat setempat disebut paluh sehingga para nelayan mudah dijumpai. Di sebelah utara kawasan yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, dengan garis pantai ± 25 km didapatkan dua buah desa yakni Jaring Halus dan Desa Kuala Besar (berada diluar kawasan). Bila ditinjau dari pengelolaan hutannya, Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dapat dibagi atas tiga resort antara lain: 1. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut I, dikelola oleh resort KSDA LTL I yang berkedudukan di P. Sentang Kecamatan Tanjung Pura. 2. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut II, dikelola oleh resort KSDA LTL II yang berkedudukan di Secanggang Kecamatan Secanggang. 3. Suaka Margasatwa Karang Gading, dikelola oleh resort KSDA Karang Gading yang berkedudukan di Karang Gading. B. Penentuan Stasiun Pengamatan Stasiun penelitian ditentukan di kawasan ekosistem hutan mangrove Pantai Karang Gading, Langkat, Sumatera Utara. Berdasarkan pengamatan visual secara menyeluruh terhadap besar kecilnya degradasi vegetasi mangrove serta karakteristik khusus yang terdapat pada tiap stasiun dan informasi dari kepala BKSDA Sumatera Utara. Dengan demikian ditetapkan 12 stasiun untuk pengamatan struktur dan komposisi mangrove dan keanekaragaman jenis burung dan delapan titik untuk pengamatan burung air. Stasiun 1 mewakili sub-habitat hutan mangrove primer, stasiun 2 mewakili sub-habitat hutan mangrove sekunder,

46 28 stasiun 3 mewakili sub-habitat tambak intensif dan stasiun 4 mewakili sub-habitat tambak ekstensif. Tabel 14 Deskripsi masing-masing stasiun Sub-Habitat Plot Deskripsi Daerah mangrove yang tidak terdegredasi, dengan tutupan kanopi yang cukup lebar dan ketinggian pohon rata-rata diatas 10 meter. - Berada dekat sungai Rantau Panjang Mangrove Primer Luasan sub-habitat ini ha. - Letak kawasan yang sulit dijangkau - Jenis hewan buas masih banyak terdapat antara lain: kucing utan, ular bakau, buaya dll. - jenis mammalia antara lain: rusa, babi hutan Daerah mangrove yang sudah tergredasi sebagian, dengan ketinggian mangrove rata-rata dibawah 10 meter - berada dekat desa Jaring Halus Mangrove Sekunder Luas ± ha - Jenis hewan buas, antara lain ular bakau, buaya, dan jenis-jenis biawak. - Jenis mammalia antara lain rusa dan babi hutan. Daerah mangrove yang tidak tedegradasi, tetapi tutupan kanopi dan ketinggian pohon hampir sama dengan mangrove sekunder. - Mangrove tidak dirusak sama sekali, tetapi pinggiran mangrove di buat bendungan untuk memasukkan air Tambak Intensif 1-18 jika terjadi pasang (empang parit) - Luas dari tambak Intensif ini ± ha. - Berdekatan dengan aliran sungai Karang Gading - Ditemukan 2 tambak produksi. - Jenis hewan buas yang ditemui adalah ular bakau. - Mammalia lain ditemukan rusa, dan babi hutan. Mangrove pada sub-habitat ini hampir seluruhnya terdegradasi yang banyak ditemui adalah semai dan beberapa pohon masih kelihatan dari jenis buta-buta (Excoecaria agallocha) - Luas tambak ekstensif ini ha. Tambak Ekstensif Berada di sebelah aliran Sungai Karang Gading - Pada daerah ini juga ditemukan kilang-kilang arang yang sudah tidak aktif lagi. - Tambak ini sudah tidak difungsikan akibat terjadinya penyakit udang secara global diseluruh kawasan, sehingga kawasan ini terlihat hanya genangan air yang luas tanpa ada tumbuhan yang menutupi. Tabel 15 Deskripsi stasiun pengamatan burung air Metode CC (Concentration Count) Sebelah barat bagian selatan berdekatan dgn Tjg. Nibung 2. Sebelah barat dekat dengan Sungai Rantau Panjang 3. Sebelah Utara berhadapan langsung dengan S. Malaka 4. Berdekatan dengan Desa Jaring Halus 5. Dekat dengan Muara Karang Gading 6. Berdekatan dengan Desa Kuala Besar 7. Masih Berdekatan dengan Desa Kuala Besar 8. Berdekatan dengan Pelabuhan Belawan

47 29 M. Primer M. Sekunder Tambak Intesif Tambak Ekstensif Gambar 3 Peta lokasi penelitian Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dan titik pengambilan sampel penelitian.

48 Metode Pengumpulan Data Metode Pengumpulan Data Flora Mangrove Pengambilan data flora mangrove dilakukan dengan cara sampling purposif menggunakan metode sampling garis pararel sistematis (Cropper 1993; Krebs 1989) dalam jumlah plot sepanjang garis transek (Gambar 4). Jumlah plot akan disesuaikan hingga mewakili luas hutan mangrove di Pantai Karang Gading, Langkat, Sumatera Utara. Plot yang dibangun berbentuk bujursangkar yang berlainan ukurannya untuk setiap fase vegetasi dengan menggunakan metode plot bersarang (nested plot method). Untuk fase semai, plot yang dibangun berukuran 5 x 2 m, fase sapihan 5 x 5 m, fase tiang 10 x 10 m, dan fase pohon 20 x 20 m. 20 m 20 m 20 m 30 m 30 m Arah Gambar 4 Plot contoh semai (Seedling) 2x2 m plot contoh sapihan (Saplings) 5x5 m plot contoh tiang (Poles) 10x10 m plot contoh pohon (tress) dengan ukuran 20x20 m. Untuk fase tiang dengan ukuran 10 x 10 dimasukkan kedalam kelompok Pohon (Kusmana 2005) Metoda Pengumpulan Data Burung Mangrove 1. Kekayaan Species Untuk mengetahui kekayaan spesies burung yang ada di hutan mangrove Pantai Karang Gading, digunakan metode penjelajahan, yaitu pengamatan yang dilakukan dengan menjelajahi seluruh kawasan hutan mangrove yang merupakan daerah penyebaran burung. Burung yang terlihat secara langsung diidentifikasi dengan berpedoman pada buku-buku : (a) Concise Field Guide to Water Birds (Anonim 1983), (b) Panduan lapangan pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali (MacKinnon 1993), dam (c) The Slater Field Guide to Australia Birds (Slater

49 31 et al, 1992). Untuk mengetahui kekayaan spesies ini sesuai dengan keadaan hidrologi. 2. Kelimpahan Spesies Untuk mengetahui kelimpahan tiap spesies burung, digunakan dua metode sesuai dengan kondisi habitat di hutan mangrove. Pada sub-habitat vegetasi hutan mangrove yang keadaan fisik dan vegetasinya relatif homogen dan arealnya cukup luas, digunakan metode IPA (Indices Ponctuels d Abundance). Sedangkan pada sub-habitat perairan terbuka digunkan metode terkonsentrasi (Concentration counts). a. Metode IPA (Indices Ponctuels d Abundances) metode ini digunakan pada sub-habitat vegetasi hutan mangrove. Penelitian burung dilakukan pada enam titik pengamatan (nomor IPA) dengan radius 50 meter (Gambar 5) pada setiap titik pengamatan dilakukan pencatatan spesies, jumlah masing-masing spesies dan perilaku, baik yang terlihat maupun hanya terdengar suaranya. Pencacatan dilakukan selama 15 menit pada setiap titik. 50 m m 50 m 50 m Arah Gambar 5 Tehnik pengamatan burung dengan metode IPA (Indices Ponctuels d Abundances). b. Metode Terkonsentrasi (Concentration counts) Metode ini digunakan pada sub-habitat perairan, dataran berlumpur dan perairan terbuka. Penelitian burung pada setiap sub-habitat tersebut dilakukan selama 30 menit pada pagi hari, dengan mencatat semua burung yang terlihat, jumlah individu masing-masing spesies dan perilakunya. 4.5 Analisis Data Analisis Data Flora Hutan Mangrove Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif (DR) dan Indek Nilai Penting (INP) dianalisa menggunakan rumus Dumbois Muller (1974). Data yang perlu diketahui dari ekosistem hutan mangrove untuk mendapatkan gambaran struktur dan fungsi vegetasi mangrove adalah :

50 32 Indeks Nilai Penting yang dibatasi sebagai : INP = KR + FR + DR Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300 % nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis ekosistem mangrove dalam komunitas. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari nilai kerapatan relatif jenis i (Kri), Frekuensi relatif jenis-i (Fri) dan Dominansi relatif jenis-i (Dri) yang masing-masing diperoleh dari : 1. Kerapatan (K), yaitu jumlah total indipidu (N) dalam satu unit area yang diukur (A) atau N K = A 2. Kerapatan relatif jenis i (Kri), yaitu perbandingan antara kerapatan jenis-i (Ki) dan kerapatan seluruh jenis (K) atau Ki Kri = x100% K 3. Frekuensi jenis i (Fri), yaitu jumlah plot contoh ditemukannya jenis mangrove i (Pi) dalam semua plot contoh yang dibuat (P) atau pi Fi = p 4. Frekuensi Relatif (Fri), yaitu perbandingan antara Frekuensi jenis i (Fi) dan frekuensi untuk seluruh jenis (F) atau Fi Fri = F x100% 5. Dominansi jenis i (Di) adalah luas bidang dasar jenis i (Li) dalam satuan luas plot contoh pada suatu area tertentu (A) atau Li Di = A 6. Dominansi relatif jenis i (Dri) adalah perbandingan antara dominasi jenis i (Di) dan dominasi total untuk seluruh jenis (D). Di Dri = X 100% Analisis Data Burung Mangrove Lokal D a. Kelimpahan Relatif (p), yaitu semua indipidu dari jenis tertentu dibagi seluruh indipidu semua jenis

51 33 b. Indeks keanekaragaman Jenis Burung Untuk menentukan kekayaan jenis burung digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus : Dimana: H = indeks diversitas Shannon s = jumlah jenis pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni / N) ln = log natural c. Indeks Kemerataan Jenis Burung Untuk menentukan proporsi kelimpahan jenis burung dan yang ada di masing-masing tipe penggunaan lahan digunakan indeks kemerataan (Indeks of Equitability or evennes) yaitu jumlah individu dari suatu jenis atau kelimpahan masing-masing jenis dalam suatu komunitas Dimana: H ' s = i:1 E = E = indeks kemerataan H =indeks keanekaragaman Shannon S = jumlah jenis ( pi)ln pi H ' ln S d. Analisis Penyebaran Burung Untuk penyebaran digunakan untuk melihat penyebaran secara horizontal pada masing-masing habitat pengamatan dengan menggunakan nilai frekuensi ditemukannya jenis burung dalam plot contoh. Adapun rumus yang digunakan adalah : Jumlah plot ditemukan jenis burung Frekuensi jenis( FJ ) = jumlah seluruh plot contoh Frekuensi suatu jenis Frekuensi relatif ( FR) = x100 % Frekuensi seluruh jenis e. Analisis Dominansi Jenis Burung Analisis dominansi jenis burung digunakan untuk melihat bagaimana komposisi jenis burung yang dominan, sub dominan dan non dominan atau jarang dalam komunitas burung yang diamati. Analisis menggunakan parameter

52 34 kerapatan relatif sesuai dengan kategori yang dikemukakan oleh Jorgensen (1974), yaitu kategori burung dominan bila kerapatan relatif > 5 %, sub dominan bila kerapatan relatif antara 2 % - 5 % dan non dominan atau jarang bila kerapatan relatif < 2 %. Rumus yang digunakan : Jumlah suatu jenis burung Kerapa tan jenis( KJ ) = Luas plot contoh Kerapa tan relatif ( KR) = Kerapa tan suatu jenis x100% Kerapa tan seluruh jenis f. Indeks Kesamaan Jenis Burung Perubahan komposisi jenis burung dalam suatu komunitas berkaitan dengan kondisi habitat. Perubahan tersebut diukur dengan indeks kesamaan jenis (Similarity Index) terhadap jenis burung yang menghuni antara dua tipe habitat yang dibandingkan. Data yang digunakan adalah jumlah spesies yang hadir dan yang tidak hadir. Berikut pendekatan rumus Jaccard (1901) dalam Utari (2000) : Indeks Kesamaan Jenis Jaccard (Sj) = a a + b + c Dimana : a = Jumlah jenis yang umum di komunitas A dan B b = jumlah jenis yang unik di komunitas A tetapi tidak di komunitas B c = jumlah jenis yang unik di komunitas B tetapi tidak dikumunitas A Untuk mengetahui kedekatan atau kekerabatan antar komunitas burung di berbagai sub-habitat dianalisis dengan dendogram, dan untuk menguji korelasi regressi tiap sub-habitat digunakan program Exel Sebaran penggunaan komponen habitat burung terestrial dan burung air dianalisa dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Carey 1980; Rotenberry and Wiens 1980) dengan bantuan program pengolahan statistik SAS (Statistical Analysis system) (Maurer et al 1980; Afifi and Clark 1996; Susetyo dan Aunuddin 1992; SAS Institute Inc 1987). Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antar jenis burung dalam menggunakan habitat dilakukan dengan menggunakan dendrogram dari pengelompokkan hasil PCA dengan menggunakan cluster metoda average dalam SAS (Maurer et al 1980; Afifi and Clark 1996; Susetyo dan Aunuddin 1992; SAS Institute Inc 1987).

53 35 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat Hasil pengukuran terhadap parameter fisik-kimia air dan substrat yang mencakup suhu air, ph air, Salinitas air, Kedalaman air, ph substrat, salinitas substrat dan fraksi substrat dapat dilihat pada Lampiran 17, 18, 19, dan 20. Pada sub-habitat mangrove primer suhu air rata-rata C, ph air ratarata 6.67, tingkat salinitas air rata-rata 10.07%, kedalaman air rata-rata 18.12, ph substrat rata-rata 6.87, salinitas substrat rata-rata 18.08% dan fraksi substrat didominasi oleh lumpur. Pada sub-habitat mangrove sekunder rata-rata suhu air adalah 27.90, ph air 6.96, salinitas air 17.77%, kedalaman air 22.92, ph substrat 6.83, salinitas substrat 18.08% dengan komposisi fraksi 37.88% adalah lumpur. Pada sub-habitat tambak intensif rata-rata suhu air 29.75, ph air 7.00 salinitas air 17.80%, kedalaman air 91.61, ph substrat 6.96, salinitas substrat 18.25% dan fraksi substrat adalah lumpur dan pada sub-habitat tambak ekstensif rata-rata suhu air 30.77, ph air 6.70, salinitas air 17.85%, kedalaman air 70.28, ph substrat 6.70, salinitas substrat 18.11% dan fraksi substrat adalah lumpur Kekayaan Jenis Vegetasi Dalam penelitian ini Analisis vegetasi hutan mangrove dilakukan pada empat sub-habitat yaitu: (1) Sub-habitat hutan mangrove primer, (2) sub-habitat hutan mangrove sekunder, (3) sub-habitat tambak intensif dan (4) sub-habitat tambak ekstensif dengan luas seluruh kawasan ha yang tergolong kedalam kawasan Suaka Margasatwa. Dari hasil pengamatan terhadap vegetasi mangrove yang terdiri dari 12 transek dengan 72 plot dari seluruh kawasan Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara diperoleh 4 famili dari 10 jenis pada sub-habitat mangrove primer, 6 famili dari 12 jenis pada sub-habitat mangrove sekunder, 5 famili dari 8 jenis pada sub-habitat tambak intensif dan 4 famili dari 8 jenis pada sub-habitat tambak ekstensif (Tabel 16). untuk melihat Perbandingan jumlah jenis untuk tingkat pohon, pancang dan semai disajikan pada Gambar 6.

54 36 Tabel 16 Jumlah famili dan jenis pada tiap sub-habitat Tingkat Pertumbuhan Sub-Habitat Jumlah Famili Jumlah Jenis Pohon Pancang Semai Mangrove Primer Mangrove Sekunder Tambak Intensif Tambak Ekstensif Tingkat Pertumbuhan Mangrove Primer Mangrove Sekunder 6 Sub-Habitat Tambak Intensif Tambak Ekstensif Pohon Pancang Semai Gambar 6 Perbandingan jumlah jenis untuk tingkat pohon, pancang dan semai Struktur dan Komposisi Vegetasi A. Sub-Habitat Mangrove Primer Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pahon Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP (%) H' E Rhizophora apiculata Xylocarpus granatum Bruguiera gymnorhiza Rhizophora stylosa Excoecaria agallocha Bruguiera sexangula Bruguiera parviflora Rhizophora mucronata Ceriop Tagal Jumlah 300% Tabel 18 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pancang Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP (%) H' E Xiloxarpus granatum Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhiza Rhizophora mucronata Bruguiera parviflora Avicennia marina Excoecaria agallocha Jumlah 300%

55 37 Tabel 19 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase semai Spesies KRi (%) FRi (%) INP (%) H' E Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora Jumlah 200 Jenis tumbuhan yang mendominasi pada sub-habitat mangrove primer adalah Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) % untuk tingkat fase pohon, dan dominansi yang paling rendah adalah Ceriop tagal dengan Indeks Nilai Penting (INP) 4.83%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.74 dengan indeks kemerataan (E) adalah 0.78 (Tabel 17). Sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh Xilocarpus granatum Koen dengan Indeks Nilai Penting (INP) % dan dominansi yang paling rendah adalah Excoecaria agallocha L dengan Indeks Nilai Penting (INP) 3.98%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.76 dan indeks kemerataan (E) adalah 0.80 (Tabel 18). Untuk tingkat semai didominasi oleh Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) %, dan dominansi yang paling rendah adalah Bruguiera parviflora (Roxb.) W. & A. ex Griff dengan Indeks Nilai Penting (INP) 8.45%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.11 dan indeks kemerataan (E) adalah 0.68 (Tabel 19). Profil vegetasi sub-habitat mangrove primer menunjukkan adanya stratifikasi tajuk yang cukup tinggi untuk tingkat pohon. Stratifikasi tinggi tajuk ditempati oleh bakau hijau (Rhizophora apiculata BI) (Gambar 7 dan 8). Gambar 7 Keadaan vegetasi sub-habitat mangrove primer.

56 38 (A) (B) (C) Gambar 8 Bentuk profil vertikal vegetasi untuk sub-habitat mangrove primer mewakili transek 1 (A), transek 2 (B), dan transek 3 (C). Keterangan: Transek 1 (A): a. Bakau hijau f. Nyirih j. Bakau hijau b. Nyirih g. Lenggadai k. Bakau hijau c. Nyirih h. Bakau hijau d. Lenggadai i. Bakau hijau Transek 2 (B) a. Bakau bangka f. Bakau bangka k. Tancang b. Tancang merah g. Bakau hijau c. Tancang merah h. Bakau bangka d. Bakau bangka i. Tancang merah e. Bakau bangka j. Tancang Transek 3 (C) a. Buta-buta e. Bakau hijau b. Nyirih f. Bakau hijau c. Nyirih g. bakau hijau d. Bakau hijau h. Bakau hijau B. Sub-Habitat Mangrove Sekunder Pada sub-habitat mangrove sekunder ini sebagian lahan telah mengalami kerusakan, terutama pada lahan mangrove bagian tengah. Pada sub-habitat ini juga banyak ditemukan kilang-kilang arang yang berdekatan dengan Sungai Karang Gading yang sudah tidak beroperasi lagi akibat adanya larangan dari

57 39 Departemen Kehutanan (BKSDA) Sumatera Utara. Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman (H') dan indeks kemerataan (E) disajikan pada Tabel 20, 21 dan 22. Tabel 20 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan untuk fase pohon Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP (%) H' E Rhizophora apiculata Xylocarpus granatum Avicennia marina Excoecaria agallocha Bruguiera sexangula Bruguiera parviflora Bruguiera gymnorhiza Sonneratia alba Jumlah 300 Tabel 21 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pancang Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP (%) H' E Rhizophora apiculata Xylocarpus granosum Ceriops decandra Bruguiera sexangula Excoecaria agallocha Bruguiera parviflora Jumlah 300 Tabel 22 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase semai Spesies KRi (%) FRi (%) INP (%) H' E Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Bruguiera parviflora Acrostichum aureum Acanthus ilicifolius Bruguiera gymnorhiza Bruguiera sexangula Jumlah 200 Mangrove yang mendominasi pada sub-habitat ini adalah Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) % untuk tingkat fase pohon, dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Sonneratia alba J.E. Smith dengan Indeks Nilai Penting (INP) 8.47%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.69 dengan indeks Kemerataan (E) adalah Sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) % dan tingkat dominansi yang paling

58 40 rendah adalah Bruguiera parviflora (Roxb.) W. & A. ex Griff dengan Indeks Nilai Penting (INP) 16.53%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.54 dan indeks kemeratan (E) adalah Untuk tingkat semai didominasi oleh Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) 68.19%, dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Bruguiera sexangula (Lour.) Poir dengan Indeks Nilai Penting (INP) 3.25%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.59 dan indeks kemerataan (E) adalah Sebagian dari sub-habitat ini mengalami degradasi dan tingkat konversi yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari munculnya jenis jeruju (Acanthus ilicifolius L.) dan wrakas (Acrostichum aureum Linn) sebagai indikator kerusakan lingkungan (Wirjodarmojdo 1982). Bentuk Profil vegetasi hutan mangrove sekunder dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Gambar 9 Keadaan vegetasi sub-habitat mangrove sekunder.

59 41 (A) (B) (C) Gambar 10 Bentuk profil vertikal vegetasi untuk sub-habitat mangrove sekunder mewakili transek 1 (A), transek 2 (B), dan transek 3 (C). Keterangan: Transek 1 (A). a. Pedada e. Api-api i. Api-api m. Api-api b. Api-api f. Nyirih j. bakau hijau n. Api-api c. Api-api g. api-api k. Baku hijau d. Api-api h. Api-api l. Nyrih Transek 2 (B). a. Bakau hijau e. Bakau hijau i. Bakau hijau b. Nyirih f. Bakau hijau c. Bakau Hijau g. Bakau hijau d. Nyirih h. Bakau hijau Transek 3 (C). a. Nyirih e. Bakau hijau i. Bakau hijau b. Bakau hijau f. Bakau hijau j. Bakau hijau c. Bakau hijau g. Bakau hijau d. Nyirih h. Bakau hijau C. Sub-Habitat Tambak Intensif Mangrove yang mendominasi pada sub-habitat ini adalah Excoecaria agallocha L dengan Indeks Nilai Penting (INP) % untuk fase pohon, dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Sonneratia alba J.E. Smith dengan Indeks Nilai Penting (INP) 2.63%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada subhabitat ini adalah 1.19 dengan indeks kemerataan (E) adalah 0.73 (Tabel 23). Sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) % dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Bruguiera parviflora (Roxb.) W. & A. Ex Griff dengan Indeks Nilai Penting (INP) 10.82%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.35 dan indeks kemerataan (E) adalah 0.83 (Tabel 24). untuk tingkat semai didominasi oleh Rhizophora apiculata BI dengan Indeks Nilai Penting (INP) %, dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah

60 42 Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk. dengan Indeks Nilai Penting (INP) 5.86%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.19 dan indeks kemerataan (E) adalah 0.73 (Tabel 25). 11 dan 12. Profil vegetasi untuk sub-habitat tambak intensif dapat dilihat pada Gambar Tabel 23 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pohon Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP (%) H' E Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Xilocarpus granatum Bruguiera sexangula Bruguiera gymnorhiza Soneratia alba Jumlah 300 Tabel 24 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pancang Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP (%) H' E Rhizophora apiculata Xylocarpus granatum Excoecaria agallocha Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora Jumlah 300 Tabel 25 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase semai Spesies KRi (%) FRi (%) INP (%) H E Rhizophora apiculata Acrostichum aureum Excoecaria agallocha Xylocarpus granatum Bruguiera gymnorhiza Jumlah 200 Gambar 11 Keadaan vegetasi sub-habitat tambak intensif.

61 43 (A) (B) (C) Gambar 12 Bentuk profil vertikal vegetasi sub-habitat tambak intensif mewakili transek 1 (A), transek 2 (B), dan transek 3 (C). Keterangan: Transek 1 (A). a. Buta-buta e. Bakau hijau i. Bakau hijau m. Nyirih b. Bakau hijau f. Nyirih j. Bakau hijau c. Bakau hijau g. Buta-buta k. Buta-buta d. Bakau hijau h. Bakau hijau l. Bakau hijau Transek 2 (B). a. Bakau hijau e. Bakau hijau b. Buta-buta f. Buta-buta c. Nyirih g. Nyirih d. Buta-buta h. Nyirih Transek 3 (C). a. Nyirih e.tumus hijau b. Bakau hijau f. Nyirih c. Bakau hijau g. Buta-buta d. Bakau hijau h. Bakau hijau D. Sub-Habitat Tambak Ekstensif Mangrove yang mendominasi pada sub-habitat ini adalah Excoecaria agallocha L. dengan Indeks Nilai Penting (INP) % untuk fase pohon, dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Bruguiera sexangula (Lour.) Poir dengan Indeks Nilai Penting (INP) 16.05%. Indeks keanekaragaman jenis (H')

62 44 pada sub-habitat ini adalah 1.09 dengan indeks kemerataan (E) adalah 0.78 (Tabel 26). Sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh Excoecaria agallocha L dengan Indeks Nilai Penting (INP) % dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Bruguiera parviflora (Roxb.) W.& A. Ex Griff. dengan Indeks Nilai Penting (INP) 9.74%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.00 dan indeks kemerataan (E) adalah 0.72 (Tabel 27). Untuk tingkat semai didominasi oleh Xilocarpus granatum Koen dengan Indeks Nilai Penting (INP) 59.83%, dan tingkat dominansi yang paling rendah adalah Bruguiera sexangula (Lour.) Poir dengan Indeks Nilai Penting (INP) 5.74%. Indeks keanekaragaman jenis (H') pada sub-habitat ini adalah 1.58 dan indeks kemerataan (E) adalah 0.81 (Tabel 28). Profil vegetasi dari sub-habitat tambak ekstensif dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14 dan secara morfologi jenis tumbuhan yang mendominasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabel 26 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pohon Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP H' E Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Xilocarpus granatum Bruguiera sexangula Jumlah 300 Tabel 27 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase pancang Spesies KRi (%) FRi (%) DRi (%) INP H' E Excoecaria agallocha Xylocarpus granatum Rhizophora apiculata Bruguiera parviflora Tabel 28 Indeks Nilai Penting (INP), indeks keanekaragaman dan kemerataan untuk fase semai Spesies KRi (%) FRi (%) INP H' E Xilocarpus granatum Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Acrostichum aureum Bruguiera gymnorhiza Rhizophora mucronata Bruguiera sexangula Jumlah 200

63 45 Gambar 13 Keadaan vegetasi sub-habitat tambak ekstensif. (A) (B) (C) Gambar 14 Bentuk profil vertikal sub-habitat tambak ekstensif mewakili transek 1 (A), transek 2 (B) dan transek 3 (C). Keterangan: Transek 1 (A) Transek 2 (B) Transek 3 (C) a. Bakau hijau Buta-buta a. Buta-buta b. Buta-buta Nyirih b. Nyirih c. Buta-buta Tumus c. Buta-buta Tancang

64 Kerapatan Jenis Mangrove Banyaknya individu yang dinyatakan persatuan luas (hektar) merupakan kerapatan, dimana kerapatan relatif menunjukkan persentase jumlah individu dari semua jenis yang ada di dalam komunitasnya (Soerianegara dan Indrawan 1978). Pada sub-habitat mangrove primer dan sub-habitat mangrove sekunder pada tingkat pohon kerapatan tertinggi didominasi oleh Rhizophora apiculata BI dengan nilai kerapatan relatif jenis 43.85% dan 40.86%. Sedangkan untuk subhabitat tambak intensif dan tambak ekstensif kerapatan relatif jenis paling tinggi adalah Excoecaria agalloca L dengan nilai kerapatan jenis adalah 38.97% dan 61.76%. Tumbuhan dengan tingkat kerapatan jenis yang sangat rendah pada subhabitat mangrove primer adalah Ceriop tagal (Perr.) C.B. Rob. dengan nilai kerapatan relatif jenis 1.06%, sub-habitat mangrove sekunder dan sub-habitat tambak intesif Sonneratia alba J.E. Smith dengan nilai kerapatan jenis 1.73% dan 0.51% dan pada tambak ekstensif Bruguiera sexangula (Lour.) Poir dengan nilai kerapatan jenis 5.88%. Pada tingkat pancang Kerapatan relatif jenis untuk sub-habitat mangrove primer dan sub-vegetasi mangrove sekunder adalah Xilocarpus granatum Koen dengan nilai Kerapatan relatif jenis adalah 36.44% dan 34.06%. Untuk sub-habitat tambak intensif kerapatan relatif jenis tertinggi adalah Rhizophora apiculata BI dengan nilai kerapatan jenis adalah 36% dan pada sub-habitat tambak ekstensif kerapatan relatif jenis tertinggi adalah Excoecaria agallocha L dengan nilai kerapatan relatif jenis adalah 63.63% Dominansi Dominansi merupakan parameter yang penting untuk vegetasi, karena dominansi mampu memberikan gambaran penguasaan suatu daerah vegetasi oleh setiap spesies. Dominansi untuk sub-habitat mangrove primer dan sub-habitat mangrove sekunder pada tingkat pohon dikuasai oleh Rhizophora apiculata BI dengan nilai Dominansi relatif jenis 57.38% dan 41.09%, dominansi yang paling rendah pada sub-habitat mangrove primer adalah Ceriop tagal (Perr.) C.B.Rob. dengan nilai dominansi relatif jenis 0.54%, pada sub-habitat mangrove sekunder

65 47 Sonneratia alba J.E. Smith mempunyai nilai dominansi jenis paling rendah yaitu sebesar 1.97%. Untuk sub-habitat tambak intensif dan tambak ekstensif didominasi oleh Xilocarpus granatum dan Excoecaria agallocha L dengan nilai Dominansi relatif jenis 33.98% dan 58.01%. Dominansi yang paling rendah pada sub-habitat ini Sonneratia alba J.E. Smith dan Bruguiera sexangula (Lour.) Poir dengan nilai dominansi jenis 0.35% dan 5.40%. Untuk tingkat pancang dominansi untuk sub-habitat mangrove primer dikuasai oleh Xylocarpus granatum Koen dengan nilai Dominansi relatif jenis 41.12%, untuk sub-habitat mangrove sekunder, sub-habitat tambak intensif dikuasai oleh Rhizophora apiculata BI dengan nilai Dominansi relatif jenis 40.52% dan 35.59% dan pada sub-habitat tambak ekstensif dikuasai oleh Excoecaria agallocha L dengan nilai Dominansi relatif jenis 64.87%. Dominansi tumbuh dengan kondisi tanah yang berlumpur dan lembek yang mendominasi pada areal ini adalah Rhizophora apiculata BI. Keadaan habitat yang khusus ini menyebabkan adanya bentuk sistem perakaran yang khas sebagai adaptasi terhadap genangan dan salinitas (Stennis 1988). Dari pengamatan dilapangan frekuensi penggenangan pasang surut dan salinitas sangat berpengaruh kepada penyebaran beberapa spesies mangrove. 5.2 Keadaan Jenis Burung Kekayaan Jenis Keanekaragaman jenis (Diversitas) merupakan suatu dimensi yang penting dalam mempelajari daya dukung ekologis suatu komunitas. Karena diversitas suatu komunitas selain dapat menunjukkan keadaan distribusi dan kelimpahan jenis, juga dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung sebaran berbagai jenis ataupun kelompok jenis. Penyebaran dan kelimpahan populasi jenis-jenis burung terestrial, burung air dan burung migran sangat dipengaruhi oleh: (a) Luas daerah kawasan mangrove, keadaan serta letak setiap komposisi ekosistemnya (b) Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan mangrove, termasuk tinggi dan kerapatannya, berkaitan erat dengan dengan komposisi jenis-jenis burung terestrial dan burung air yang menggunakan habitat hutan mangrove (c) Lintasan migrasi dari jenis-jenis burung

66 48 yang berasal dari belahan bumi utara, terutama untuk mendapatkan makanan yang cukup. Jenis-jenis burung migran ini tidak melakukan perkembangbiakan (d) Kondisi lingkungan mangrove, terutama gangguan manusia baik yang merusak habitat (merubah hutan mangrove, meracuni lingkungan, merubah padang-padang lumpur) maupun merusak populasi burung (menembak, menjaring, mengambil telur ataupun merusak sarang-sarang mereka. Dari hasil pengamatan selama tiga bulan pada empat sub-habitat di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara dengan menggunakan metode IPA (Indices ponctuelles d Abundance Counts) dan metode CC (Concentration counts) dengan delapan titik pengamatan ditemukan 875 individu masing-masing terdiri dari 22 famili dan 44 jenis burung meliputi burung terestrial, burung air dan burung migran. Burung-burung tersebut tersebar di seluruh sub-habitat yang ada dengan jumlah spesies pada setiap sub-habitat sebagai berikut: (1) sub-habitat mangrove primer terdapat 24 jenis dari 192 individu, (2) sub-habitat mangrove sekunder terdapat 19 jenis dari 169 individu, (3) sub-habitat tambak intensif terdapat 25 jenis dari 193 individu dan (4) sub-habitat tambak ekstensif terdapat 13 jenis dari 79 individu, sedangkan untuk burung air ditemukan 16 jenis dari 242 individu. Perbedaan jumlah spesies burung di setiap habitat disebabkan masingmasing sub-habitat mempunyai karakteristik yang berbeda baik strukturnya maupun luas dan fungsinya. Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis untuk masing-masing sub-habitat dapat dilihat pada grafik histogram (Gambar 15). Jlh Individu/Jlh Jenis Tambak Intensif Mangrove Primer Mangrove Sekunder Jumlah Individu Tambak Ekstensif Burung Air Jumlah Jenis Burung Gambar 15 Perbandingan jumlah individu dan jumlah jenis burung berdasarkan sub-habitat.

67 Keanekaragaman Jenis Burung A. Sub-Habitat Mangrove Primer Jumlah jenis burung pada sub-habitat ini ada 24 jenis, dengan indeks keanekaragaman jenis (H') 2.60 dan indeks kemerataan jenis (E) 0.81 (Tabel 29). Jenis burung yang mendominasi sub-habitat ini adalah Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan Cipoh kacat (Aegithina tiphia). Cinenen kelabu (Orthotomus ruficep) adalah jenis burung lokal yang hampir ditemukan disetiap plot pengamatan, umumnya ditemukan dibawah kanopi pohon dan akar mangrove dari jenis tumbuhan Bakau hijau (Rhizophora apiculata BI). Jenis burung ini mempunyai ukuran yang relatif kecil dengan jangkauan terbang yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu tinggi. Umumnya burung insectivora ini terdapat pada hutan-hutan terbuka, daerah pinggir hutan dan aktif dilantai hutan (Mac Kinnon 1993). Tabel 29 Kelimpahan jenis burung, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan pada sub-habitat mangrove primer No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i H' E 1. Kuntul perak Egretta intermedia Belibis batu Dendrocygna javanica Elang bondol Haliastur indus Bubut alang-alang Centropus bengalensis Walet sapi Collocalia esculenta Pekakak emas Pelargopsis capensis Cekakak merah Halcyon coromanda Cekakak sungai Todirhamphus chloris Tukik belang Picomnus innominatus Pelatuk ayam Dryocopus javensis Pelatuk hijau Picus vittatus Layang-layang batu Hirundo tahitica Cipoh kacat Aegithina tiphia Terocokan/cerucuk Pycnonotus goiavier Sri gunting batu Dicrurus paradiseus Gagak kampung Corvus macrorhyinchos Kucica kampung Copsychus saularis Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Perenjak rawa Prinia flaviventris Sikatan bakau Cyornis rufigastra Kipasan belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu bakau Nectarinia calcostetha Burung madu sriganti Nectarinia jugularis Jumlah

68 50 B. Sub-Habitat Mangrove Sekunder Jumlah jenis burung yang ditemukan pada sub-habitat ini ada 19 jenis dengan indeks keanekaragaman jenis (H') 2.54 dan indeks kemerataan jenis (E) 0.86 (Tabel 30). Burung yang mendominasi sub-habitat ini adalah Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha) dan burung madu sriganti (Nectarinia jugularis). Jenis burung yang mendominasi sub-habitat ini disebabkan oleh jenis mangrove yang sedang berbunga. Tabel 30 Kelimpahan jenis burung, indeks keanekaragaman dan kemerataan pada sub-habitat mangrove sekunder No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i H' E 1. Kuntul perak Egreta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Elang bondol Haliastur indus Balam Geopelia striata Walet sapi Collocalia esculenta Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Pelatuk ayam Dryocopus javensis Layang-layang batu Hirundo tahitica Cipoh kacat Aegithina tiphia Kutilang Pycnonotus aurigaster Terocokan Pycnonotus goiavier Kucica kampung Copsychus saularis Cenenen kelabu Orthotomus ruficeps Perenjak jawa Prinia familiaris Kipasan belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu bakau Nectarinia calcostetha Burung madu sriganti Nectarinia jugularis Jumlah C. Sub-Habitat Tambak Intensif Jenis burung yang ditemukan pada sub-habitat ini ada 25 jenis dengan indeks keanekaragaman jenis (H') 2.99 dan indeks kemerataan jenis (E) 0.92 (Tabel 31). Jenis burung yang mendominasi sub-habitat ini adalah Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Elang bondol (Haliastur indus), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha), burung madu srignti (Nectarinia jugularis), kutilang (Pycnonotus aurigaster), Terocokan (Pycnonothus goiavier), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Camar putih (Sterna sumatrana) dan Kipasan belang (Rhipidura javanica).

69 51 Pada sub-habitat tambak intensif ini keragaman jenis burung lebih tinggi dibandingkan dengan sub-habitat yang lain, hal ini disebabkan adanya sistem tambak empang parit (wana-mina) yang menjadikan sub-habitat ini kaya akan sumber makanan. Pada sub-habitat tambak intensif ini mangrove sama sekali dijaga kelestariannya, sehingga jenis-jenis burung pada sub-habitat ini disamping mendapatkan makanan juga dapat beristirahat, bermain dan berkembang biak. Pada sub-habitat ini juga jaring-jaring makanan antara lingkungan dengan jenis mahkluk didalamnya sangat tinggi. Tabel 31 Kelimpahan jenis burung, indeks keanekaragaman dan kemerataan pada sub-habitat tambak intensif No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i H' E 1. Cangak merah Ardea purpurea Kuntul perak Egretta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Elang Bondol Haliastur indus Camar putih Sterna sumatrana Tekukur Streptopelia chinensis Bubut besar Centropus sinensis Burung cabak maling Caprimulgus macrurus Walet sapi Collocalia esculenta Raja udang Halcyon chloris Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Pelatuk ayam Dryocopus javensis layang-layang Batu Hirundo tahitica Cipoh kacat Aegithina tiphea Tangkar cetrong Cripsirina temia Kutilang Pycnonotus aurigaster Terocokan Pycnonotus goiavier kucica kampung Copsychus saularis Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Kipasan Belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu bakau Nectarinia calcostetha Burung madu sriganti Nectarinia jugularis Bondol jawa Lonchura malacca Jumlah D. Sub-Habitat Tambak Ekstensif Pada sub-habitat ini jenis burung yang ditemukan 13 jenis dengan indeks keanekaragaman jenis (H') 2.28 dan indeks kemerataan jenis (E) 0.89 (Tabel 32). Beberapa jenis burung yang mendominasi sub-habitat ini adalah Elang bondol ( Haliastur indus), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Pekakak emas (Pelargopsis capensis), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Kuntuk perak (Egretta

70 52 intermedia), Pipit haji (Lonchura maja), Cinnenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Kipasan belang (Rhipidura javanica) dan Cekakak sungai(todirhamphus chloris). Kurangnya keanekaragaman jenis burung pada sub-habitat ini disebabkan karena tingkat eksploitasi dan konversi lahan cukup tinggi. Faktor yang sangat berpengaruh antara lain kelimpahan makanan, tempat bermain dan tempat beristirahat bagi burung hampir sama sekali tidak ditemukan. Umumnya burungburung pada sub-habitat ini lebih banyak menggunakan lahan-lahan terbuka dan dasar hutan yang terbuka untuk mencari makan. Tabel 32 Kelimpahan jenis burung, indeks keanekaragaman dan kemerataan pada sub-habitat tambak ekstensif No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i H' E 1. Kuntuk perak Egretta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Elang bondol Haliastur indus Raja udang kalung biru Alcedo eurizona Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Kutilang Pycnonotus aurigaster Layang layang batu Hirundo tahitica Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Kipasan belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu sriganti Nectarina jugularis Pipit haji Lonchura maja Jumlah Kanekaragaman Jenis Burung Air Dalam konvensi Ramsar (3 Pebruari 1971) telah dihasilkan definisi tentang burung air (water fowl), yaitu jenis burung yang secara ekologis keberadaannya bergantung pada lahan basah. Jumlah burung air yang ada di seluruh dunia tercatat 32 famili yang terdiri dari 833 jenis, dan Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah jenis burung air tertinggi di dunia (Wibowo et al., 1996). Rose & Scott (1997) secara terperinci menggolongkan 184 jenis burung air yang terdapat di Indonesia kedalam 20 famili, diantaranya adalah Scolopacidae dan Charadriidae. Dari hasil delapan titik pengamatan ditemukan 16 jenis burung air, dengan indeks keanekaragaman jenis (H') 2.14 dan indeks kemerataan jenis (E) 0.77 (Tabel 33). Jenis burung air yang mendominasi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut antara lain Kuntul perak (Egretta intermedia),

71 53 Kuntul besar (Egretta alba) Camar putih (Sterna sumatrana), Elang bondol (Haliastur indus) dan Layang-layang batu (Hirundo tahitica). Sedangkan pada titik pengamatan satu yang berhadapan dengan Selat Malaka dijumpai dua jenis burung migran sedang mencari makan pada dataran lumpur yang luas. Burung migran yang ditemukan dari famili Scolopacidae yaitu dari jenis Gajahan besar (Numenius arquata) dan Gajahan timur (Numenius madagascariensis). Umumnya burung ini membentuk kelompok dan jarang bergabung dengan burung-burung lain (Gambar 16). Tabel 33 Kelimpahan populasi jenis burung dan keanekaragaman berdasarkan sensus metode terkonsentrasi (Concentration counts) No Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i H' E 1. Pecuk padi hitam Phalacrocorax sulcirostris Cangak Merah Ardea Purpurea Kuntul besar Egretta alba Kuntul Perak Egretta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Kowak malam kelabu Nycticorax nycticorax Bangau tong-tong Leptoptilus javanicus Elang bondol Haliastur indus Gajahan besar * Numenius arquata Gajahan timur * Numenius madagascariensis Camar putih Sterna sumatrana walet sapi Collocalia esculenta R.udang meninting Alcedo meninting Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Layang-layang batu Hirundo tahitica * Burung Migran (A) (B) Gambar 16 Jenis burung migran yang ditemukan di daerah penelitian (A) Gajahan Besar (Numenius arquata) dan (B) Gajahan Timur (Numenius madagascariensis).

72 Kelimpahan dan Dominansi Spesies Seperti halnya kekayaan spesies, kelimpahan individu burung tiap subhabitat juga mengalami perbedaan. Hal ini terjadi disebabkan kelimpahan pakan dan bertepatan pula dengan hadirnya burung-burung migran pada bulan agustus sampai dengan bulan september. Pada umumnya habitat dapat mengalami perubahan kondisi musiman dalam struktur dan ketersediaan pakan. Konsep suksesi dapat menjelaskan respon satwa terhadap perubahan habitat, yaitu setiap tingkatan suksesi berkaitan erat dengan komposisi satwa liar yang menempatinya (Alikodra 1990). A. Mangrove Primer Kelimpahan dan dominansi jenis burung pada sub-habitat mangrove primer disajikan pada Gambar 17 dan 18. Pada sub-habitat mangrove primer ini beberapa jenis burung lebih banyak menggunakan sebagai tempat beristirahat, bermain dan membuat sarang (Gambar 19). Kerapatan Relatif Jenis (KR) (%) Nana Jenis Burung Gambar 17 Kerapatan Relatif Jenis (KRi) pada sub-habitat mangrove primer. Keterangan: 1. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 9. Elang bondol (Haliastur indus) 2. Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis) 10.Terocokan/cerucuk (Pycnonotus goiavier) 3. Cipoh kacat (Aegithina tiphia) 11. Cekakak merah (Halcyon coromanda) 4. Walet sapi (Collocalia esculenta) 12. Sri gunting batu (Dicrurus paradiseus) 5. Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha) 13. Pekaka emas (Pelargopsis capensis) 6. Pelatuk besi (Dinopium javanense) 14. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) 7. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 15. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 8. Kuntul perak (Egretta intermedia) 16. Sikatan bakau (Cyornis rufigastra) 17. Bubut alang-alang (Centropus bengalensis) 18. Pelatuk hijau (Picus vittatus) 19. Perenjak rawa (Prinia flaviventris) 20. Kucica kampung (Copcychus saularis) 21. Gagak kampung (Corvus macrorhynchos) 22. Belibis batu ( Dendrocygna javanica) 23. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 24. Tukik belang ( Picomnus innominatus)

73 55 Frekuensi Relatif Jenis (FR) % Nama Jenis Burung Gambar 18 Frekuensi Relatif Jenis (FRi) pada sub-habitat mangrove primer. Keterangan: 1. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 9. Pekakak emas (Pelargopsis capensis) 2. Cipoh kacat (Aegithina tiphia) 10. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) 3. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 11. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 4. Elang bondol (Haliastur indus) 12. Walet sapi (Collocalia esculenta) 5. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 13. Gagak kampung (Corvus macrorhynchos) 6. Kuntul perak (Egretta intermedia) 14. Sri gunting batu (Dicrurus paradiseus) 7. Pelatuk besi (Dinopium javanense) 15. Sikatan bakau (Cyornis rufigastra) 8. Cekakak merah (Halcyon coromanda) 16. Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha) 17. Pelatuk hijau (Picus vittatus) 18. Terocokan/cerucuk (Pycnonotus goiavier) 19. Kucica kampung (Copcychus saularis) 20. Belibis batu ( Dendrocygna javanica) 21. Bubut alang-alang (Centropus bengalensis) 22. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 23. Tukik belang ( Picomnus innominatus) 24. Perenjak rawa (Prinia flaviventris) Pada sub-habitat mangrove primer ditemukan 6 jenis burung yang dominan dengan nilai Frekuensi relatif jenis (FRi) diatas 5%. Burung yang mendominasi sub-habitat ini antara lain Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), Elang bondol (Halistur indus), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) dan Kuntul perak (Egretta intermedia) (Gambar 17). Gambar 19 Elang Bondol (Haliastur indus) membuat sarang pada mangrove primer.

74 56 B. Mangrove Sekunder Jenis burung yang ditemukan pada sub-habitat ini lebih sedikit jika dibandingkan sub-habitat mangrove primer, hal ini disebabkan oleh konversi dan eksploitasi lahan yang terjadi pada mangrove bagian tengah. Akibat yang ditimbulkan dari konversi dan eksploitasi mangrove pada sub-habitat ini adalah terbentuknya efek tepi (Edge). Kerapatan Relatif Jenis (KR) (%) Nama Jenis Burung Gambar 20 Kerapatan Relatif Jenis (KRi) pada sub-habitat mangrove sekunder. Keterangan 1. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 10. Terocokan (Pygnonotus goiavier) 2. Elang bondol (Haliastur indus) 11. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 3. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 12. Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 4. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 13. Kucica kampung (Copsychus saularis) 5. Kuntul perak (Egretta intermedia) 14. Walet sapi (Collocalia esculenta) 6. Cipoh kacat (Aegithina tiphia) 15. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 7. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) 16. Pekaka emas (Pelargopsis capensis) 8. Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha) 17. Kokokan laut (Butorides striatus) 9. Pelatuk ayam (Dryocopus javensis) 18. Perenjak jawa (Prinia familiaris) 19. Balam (Geopelia striata) Frekuensi Relatif Jenis (FR) (%) Nama Jenis Burung Gambar 21 Frekuensi Relatif Jenis (FRi) pada sub-habitat mangrove sekunder.

75 57 Lanjutan keterangan gambar 21 Keterangan: 1. Cinenen kelabu (Orthotomus rificeps) 10. Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 2. Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha) 11. Kucica kampung (Copsychus saularis) 3. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 12. Kuntul perak (Egretta intermedia) 4. Terocokan (Pycnonotus goiavier) 13.Walet sapi (Collocalia esculenta) 5. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 14. Pekaka emas (Pelargopsis chloros) 6. Cipoh kacat (Aegithina tiphea) 15.Burung madu polos (Anthreptes simplex) 7. Elang bondol (Haliastur indus) 16.Pelatuk besi (Dinopium javanense) 8. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) 17.Perenjak jawa (Prinia familiaris) 9. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 18.Kokokan laut (Butorides striatus) 19. Balam (Geopelia striata) Pada sub-habitat mangrove sekunder ini ditemukan 12 jenis burung yang dominan antara lain Cinenen kelabu (Orthotomus rupiceps), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha), Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), Terocokan (Pycnonotus goiavier), Kipasan belang (Rhipidura javanica), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Elang bondol (Haliastur indus), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Kutilang (Pycnonotus aurigaster, Kucica kampung (Capsychus saularis) dan Kuntul perak (Egretta intermedia) (Gambar 18). C. Tambak Intensif Jenis burung yang ditemukan pada sub-habitat ini lebih tinggi dari subhabitat mangrove primer dan sub-habitat mangrove sekunder walaupun keanekaragaman jenis mangrove pada sub-habitat ini lebih rendah jika dibandingkan dengan sub-habitat mangrove primer dan sub-habitat mangrove sekunder. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem tambak empang parit (wanamina). Kelimpahan makanan dan jenis mangrove yang tidak terganggu menyebabkan keanekaragaman jenis burung meningkat pada sub-habitat ini. Pada sub-habitat ini juga sangat jelas terlihat proses rantai makan yang cukup tinggi. Kerapatan Relatif Jenis (KR) (%) Nama Jenis Burung Gambar 22 Kerapatan Relatif Jenis (KRi) pada sub-habitat tambak intensif.

76 58 Lanjutan keterangan gambar 22 Keterangan: 1. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 14. Burung cabak maling (Caprimulgus macrurus) 2. Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 15. Cipoh kacat (Aegithina tiphia) 3. Elang bondol (Haliastur indus) 16. Tekukur (Streptopelia chinensis) 4. Burung madu bakau (Nectarinia calcostha) 17. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 5. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 18. Raja udang (Halcyon chloris) 6. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 19. Kokokan laut (Butorides striatus) 7. layang-layang Batu (Hirundo tahitica) 20. Pelatuk ayam (Drypcopus javensis) 8. Camar putih (Sterna sumatrana) 21. Kucica kampung (Copsychus saularis) 9. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 22. Cangak merah (Ardea pupurea) 10. Terocokan (Pycnonotus goiavier) 23. Tangkar cetrong (Cripsirina temia) 11. Walet sapi (Collocalia esculenta) 24. Bubut besar (Centropus sinensis) 12. Pekaka emas (Pelargopsis capensis) 25. Bondol jawa (Lonchura malacca) 13. Kuntul perak (Egretta intermedia) Frekuensi Relatif Jenis (%) Nama Jenis Burung Gambar 23 Frekuensi Relatif Jenis (FRi) pada sub-habitat tambak intensif. Keterangan: 1. Cekakak sungai (Todirhampus chloris) 14. Walet sapi (Collocalia esculenta) 2. Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 15. Cangak merah (Ardea purpurea) 3. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 16. Burung cabak maling (Caprimulgus macrurus) 4. Burung madu bakau (Nectarinia calcostha) 17. Cipoh kacat (Aegithina tiphea) 5. Elang Bondol (Haliastur indus) 18. Camar putih (Sterna sumatrana) 6. Kipasan Belang (Rhipidora javanica) 19. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 7. Pekakak emas (Pelargopsis capensis) 20. Cucak sakit tubuh (Pygnonotus melanoleucos) 8. layang-layang batu (Hirundo tahitica)) 21. Bubut besar (Centropus sinensis) 9. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 22. Raja udang (Halcyon chloris) 10. Terocokan (Pycnonotus goiavier) 23. kucica kampung (Copsychus saularis) 11. Kokokan laut (Butorides striatus) 24. Pelatuk besi (Dinopium javanense) 12. Kuntul perak (Egretta intermedia) 25. Bondol jawa (Lonchura malacca) 13. Tekukur (Streptopelia chinensis) Pada sub-habitat tambak intensif ini ditemukan 10 jenis burung yang dominan antara lain Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Cinenen kelabu (Orthotomus rificeps), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha), Elang bondol (Halistur indus), Kipasan belang (Rhipidura javanica), Pekaka emas (Pelargopsis capensis), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan Terocokan (Pycnonotus goiavier) (Gambar 22).

77 59 D. Tambak Ekstensif Jenis burung pada sub-habitat ini sangat rendah jika dibandingkan dengan ketiga sub-habitat yang lain. Hal ini disebabkan tingkat eksploitasi dan konversi lahan yang cukup tinggi oleh masyarakat setempat untuk menjadikan sub-habitat ini menjadi tambak-tambak pribadi dengam membabat hampir keseluruhan dari vegetasi mangrove. Sisa-sisa tambak yang sudah ditinggalkan pada sub-habitat ini dijadikan burung sebagai tempat untuk mencari makan dan beristirahat pada sisasisa mangrove yang masih ada. Kerapatan Relatif Jenis (%) Nama Jenis Burung Gambar 24 Kerapatan Relatif Jenis (KRi) pada sub-habitat tambak ekstensif. Keterangan: 1. Elang bondol (Haliastur indus) 8. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 2. Layang-layang batu (Hirundo tahitica) 9. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 3. Pekaka emas (Pelargopsis capensis) 10. Raja udang kalung biru (Alcedo eurizona) 4. Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 11.Kokokan laut (Butorides striatus) 5. Kuntul perak (Egretta intermedia) 12. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 6. Pipit haji (Lonchura maja) 13. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 7. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) Frekuensi Relatif Jenis (%) Nama Jenis Burung Gambar 25 Frekuensi Relatif Jenis (FRi) pada sub-habitat tambak ekstensif.

78 60 Lanjutan keterangan gambar 25 Keterangan: 1. Elang bondol (Haliastur indus) 8. Kuntul perak (Egretta intermedia) 2. Pekaka emas (Pelargopsis capensis) 9. Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) 3. Layang layang batu (Hirundo tahitica) 10. Raja udang kalung biru (Alcedo eurizona) 4. Kutilang (Pycnonotus aurigaster) 11. Burung madu polos (Anthreptes simplex) 5. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) 12. Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) 6. Kipasan belang (Rhipidura javanica) 13. Pipit haji (Lonchura maja) 7. Kokokan laut (Butorides striatus) Pada sub-habitat tambak ekstensif ini jumlah individu burung mengalami penurunan walaupun keanekaragaman jenis masih dalam ketegori sedang (H' 1-3). Sehingga dari nilai frekuensi relatif jenis (FRi) tidak ada burung dalam kelompok dominan, burung yang ditemui di sub-habitat ini dalam kelompok tidak dominan (Gambar 24). 5.3 Pengelompokan Habitat Berdasarkan Stratifikasi Dan Relung Ekologi Pada umumnya hutan dataran rendah secara tegas dapat dibagi kedalam empat lapisan yaitu: (1) lapisan kanopi bagian atas, (2) lapisan sub-kanopi, (3) lapisan perdu dan (4) lapisan lantai hutan. Hernowo (1989) membagi stratifikasi hutan dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang secara vertikal oleh burung sebagai berikut: (1) lapisan di atas tajuk hutan, (2) lapisan tajuk utama (diatas 25 m), (3) lapisan tajuk pertengahan (10-25 m), (4) lapisan tajuk bawah (4-10 m), (5) lapisan semak dan lantai hutan. Stratifikasi penggunaan ruang pada profil hutan maupun penyebaran secara horizontal pada beberapa tipe habitat menunjukkan adanya kaitan yang erat antara burung dengan lingkungan hidupnya, terutama dalam pola adaptasi dan strategi untuk mendapatkan energi. Burung-burung dari famili Accipitridae seperti Elang bondol (Haliastur indus), famili Hirundinidae seperti layang-layang rumah (Delichon dasypus), layang-layang batu (Hirundo tahitica) dan juga dari famili Laridae/Sternidae seperti camar (Sterna sumatrana) meggunakan lapisan atas kanopi. Umumnya burung-burung ini bersifat carnivora dan insektivora. Pada lapisan tajuk tengah umumnya dihuni oleh jenis-jenis burung dari famili Pycnonotidae misalnya kutilang (Pycnonotus aurigaster), merbah cerukcuk/terocokan (Pycnonotus goiavier). Burung-burung yang menghuni lapisan tajuk tengah ini umumnya bersifat frugivora dan insektivora.

79 61 Lapisan tajuk bawah umumnya dihuni oleh jenis-jenis burung dari famili Nectariniidae seperti burung madu bakau (Nectarinia calcostetha), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan burung madu polos (Anthreptes simplex). Jenis burung yang menghuni lapisan tajuk bawah ini umumnya bersipat nectarivora. Pada perdu dan semak umumnya dihuni oleh famili Silvidae seperti Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) Sikatan bakau (Cyornis rifigastra) (Gambar 32), perenjak jawa (Prinia familiaris), perenjak rawa (Prinia flaviventris) dan famili Cuculidae seperti bubut alang-alang (Centropus bengalensis). Burung-burung Pada lapisan tajuk bawah ini umumnya bersipat insektivora dan granivora. Hasil pengamatan Jenis burung pada lokasi penelitian dan pola makan dapat dilihat pada (Lampiran 21). Beberapa jenis burung juga menyukai lahan-lahan terbuka seperti tambak ekstensif dan beberapa lahan yang terbuka akibat eksploitasi dan konversi. Jenis burung yang menghuni habitat terbuka ini antara lain dari famili Columbidae antara lain balam (Geopelia striata) dan tekukur (Streptopelia chinensis). Untuk burung-burung air penggunaan habitat dapat dikelompokkan dalam lima kelompok besar lainnya yaitu: (6) jenis-jenis burung air yang menggunakan kanopi pohon yang berada dipinggiran aliran sungai atau pantai, jenis burung yang menggunakan habitat ini antara lain kelompok Alcedinidae misalnya Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Pekaka emas (Pelargopsis capensis), Raja udang meninting (Alcedo meninting) dan Raja udang kalung biru (Alcedo euryzona). (7) jenis-jenis burung burung air yang menyukai tempat yang berpohon dengan banyak lapisan tajuk. Jenis burung yang menggunakan habitat ini antara lain kelompok Ardeidae misalnya kokokan laut (Butorides striatus) dan Pecuk padi hitam (Phalacrocorax sulcilostris). (8) kelompok burung air yang menyukai tempat yang berpohon kecil, dengan tumbuhan bawah yang berkayu. Jenis burung air yang menggunakan habitat ini antara dari kelompok Ardeidae misalnya kuntuk perak (Egretta intermedia). (9) jenis burung air yang menyukai tempat dengan penutupan tumbuhan bawah yang berpohon tidak terlalu tinggi. Jenis burung air yang menyukai habitat ini antara lain dari kelompok Ardeidae misalnya Bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), Kuntul perak (Egretta intermedia) dan Cangak merah (Ardea purpurea). (10) Jenis burung-burung air

80 62 yang menyukai tempat dataran lumpur yang luas tampa tumbuhan bawah dan tumbuhan atas. Jenis burung yang menyukai habitat ini antara dari kelompok Scolapacidae misalnya Gajahan besar (Numenius arquata), Gajahan timur (Numenius madagascariensis). Pengelompokan habitat berdasarkan stratifikasi dan relung ekologi ditunjukkan oleh Gambar 26. Gambar 26 Grafik analisis koresponden antar stasiun pengamatan. 5.4 Indeks Kemiripan Indeks kemiripan menunjukkan tingkat kemiripan spesies suatu komunitas dengan komunitas lainnya. Hasil perhitungan indeks kemiripan komunitas burung antar sub-habitat di Pantai Karang Gading disajikan pada Tabel 34. Hasil perhitungan menunjukkan komunitas burung di sub-habitat vegetasi tambak intensif dengan sub-habitat mangrove sekunder mempunyai indeks kemiripan yang paling tinggi sebesar 63% (atau berbeda 37%). Dan indeks kemiripan yang

81 63 paling kecil adalah sub-habitat mangrove primer dengan tambak ekstensif yaitu sebesar 31% (atau berbeda 69%). Tabel 34 Matriks Indeks Kemiripan (%) komunitas burung antara sub-habitat di Pantai Karang Gading dan Langkat Timur laut, Sumatera Utara Primer Sekunder Tambak Intensif Tambak Ekstensif Primer Sekunder Tambak Intensif Tambak Ekstensif Korelasi Antara Jumlah Burung Dengan INP dan Kerapatan pohon y = x x R 2 = RA XG BG RS Ea BS BP RM CT AM -20 Kerapatan Relatif Jenis(%) INP Jlh Individu Burung Poly. (INP) y = x x R 2 = Ra Xg Am Ea Bs Bp Bg Sa Rm Aa Ai Kerapatan Relatif Jenis (KRi) (%) INP (%) Jumlah Individu Burung Poly. (INP (%)) (1) (2) y = x x R 2 = Ea Xg Ra Bs Bg Sa Bp Aa Kerapatan Relatif Jenis (Kri) INP Jumlah Individu Burung Poly. (INP) (3) (4) Gambar 27 Interaksi antara struktur dan komposisi tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung y = x x R 2 = Ea Xg Ra Bs Bp Aa Bg Rm Kerapatan Relatif Jenis (Kri) INP Jumlah Individu Burung Poly. (INP) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman jenis burung. Hal ini ditunjukkan dengan persamaan y = x x (R 2 = 0.86) dengan koefisien determinasi 73.96% untuk sub-habitat mangrove primer (Gambar 27.1). untuk sub-habitat mangrove sekunder ditunjukkan dengan

82 64 persamaan y = 1.529x x (R 2 = 0.92) dengan koefisien determinasi 84.64% (Gambar 27.2), pada sub-habitat tambak intensif ditunjukkan dengan persamaan y = 2.847x (R 2 = 0.85) dengan koefisien determinasi 72.25% (Gambar 27.3) dan untuk sub-habitat tambak ekstensif ditunjukkan dengan persamaan y = x (R 2 = 0.93) dengan koefisien determinasi 8.64% (Gambar 27.4) Pembahasan Keanekaragaman dan kelimpahan burung pada setiap sub-habitat menunjukkan adanya perbedaan. Sub-habitat tambak intensif yang vegetasi mangrovenya tidak terganggu memiliki keanekaragaman jenis dan kelimpahan burung yang lebih tinggi daripada sub-habitat mangrove primer, sub-habitat mangrove sekunder dan sub-habitat tambak ekstensif. Keanekaragaman jenis burung yang paling rendah terdapat pada sub-habitat tambak ekstensif. Dilihat dari keadaan vegetasinya, keempat sub-habitat memiliki jenis tumbuhan mangrove yang berbeda baik tinggi tajuk, kekayaan jenis dan luas penutupan tajuk. Dickson et al. (1979) menyatakan bahwa sifat-sifat vegetasi yang mendukung kehidupan burung adalah keanekaragaman jenisnya, strukturnya, kerapatan populasi dan kerapatan tajuk-tajuknya. Dempser (1975) menyatakan bahwa keanekaragaman satwa dipengaruhi oleh komposisi jenis-jenis tumbuhan yang ada menyediakan bahan makanan bagi satwa. Keanekaragaman jenis burung yang cukup tinggi pada sub-habitat tambak intensif sangat mendukung pendapat diatas. Pada sub-habitat ini kelimpahan makanan dan tutupan tajuk sangat mendukung kehidupan burung, tetapi tidak semua burung ditemukan pada subhabitat tambak ini. Alikodra (1990) hutan primer, hutan sekunder dan semak merupakan habitat bagi burung, karena disemua tempat tersebut ditemukan berbagai jenis burung, namun tidak semua satwa menggunakan satu tipe habitat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Habitat terdiri dari kumpulan gugus-gugus sumberdaya yang didefinisikan sebagai tipe komunitas tumbuhan berbeda. Gugus-gugus habitat lebih besar dari satu daerah jelajah individu burung, dan individu-individu dalam satu kelompok menempati habitat yang sama sedangkan individu-individu kelompok lain menempati habitat yang berbeda (Hunter et al. 1992). Beberapa tumbuhan dalam

83 65 gugus sumberdaya dimanfaatkan oleh burung sebagai pakan atau pelindungan. Gugus-gugus sumberdaya (pakan), ketika terjadi pada skala kecil bahkan lebih kecil dari 200 m 2 dapat berpengaruh langsung terhadap taktik perilaku secara individu (Hunter dkk. 1992). Pada sub-habitat tambak ekstensif keanekaragaman jenis burung sangat rendah hal ini disebabkan karena keanekaragaman jenis tumbuhannya juga sangat rendah. Keanekaragaman jenis burung pada sub-habitat mangrove primer dan sekunder mempunyai persamaan disebabkan pada sub-habitat ini jenis tumbuhannya mempunyai persamaan, tetapi tingginya keanekaragaman jenis pada sub-habitat mangrove sekunder ini akibat adanya eksploitasi dan konversi lahan yang sangat tinggi membuat tutupan kanopi pohon menjadi terbuka dan terbentuk efek tepi (edge). Akibat yang ditimbulkan dari tutupan kanopi yang terbuka dan efek tepi (edge) ini menurunkan keanekaragaman jenis burung. Perubahan vegetasi dalam suatu habitat, dapat mempengaruhi burungburung yang hidup didalamnya, baik mengenai komposisi komunitas maupun kebiasaan hidupnya. Lambert (1992) memperlihatkan perubahan komposisi akibat adanya perubahan habitat. Perubahan ini terjadi dihutan dataran rendah yang telah diubah menjadi areal terbuka oleh adanya penebangan hutan. Adanya areal terbuka, beberapa spesies burung mengalami perubahan strata tempat mencari makannya dan luas daerah jelajahnya bertambah. Variasi jenis tumbuhan yang tinggi memberi peluang pada banyaknya jenis-jenis serangga yang menenpati vegetasi tersebut, yang pada akhirnya mempengaruhi keanekaragaman jenis burung. Teori relung ekologi (Kendeigh 1975; Krebs, 1972 Odum, 1971) menerangkan bahwa sifat-sifat yang beragam dari sutu komunitas tumbuhan menyebabkan relung ekologi beragam pula. Oleh karena itu relung ditempati hanya oleh satu jenis (McNaughton dan wolf, 1990) maka banyaknya relung pada vegetasi akan menyebabkan banyaknya jenis burung. Disamping faktor ketersediaan sumber makanan, tingginya keanekaragaman jenis burung pada sub-habitat tambak intensif berhubungan juga dengan profil vegetasi dan tumbuhan pada strata bawah. Sedangkan pada strata atasnya tumbuh pohon-pohon yang tinggi dengan penutupan tajuk yang rapat sepeti Xilocarpus

84 66 granatum Koen, Excoecaria agallocha L dan beberapa jenis Rhizophora apiculata BI. Disamping faktor-faktor diatas keanekaragaman jenis burung juga dipengaruhi oleh lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta faktor-faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista 1988). Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung penampakan habitat yang menyediakan makanan. Pengubahan aktivitas makan pada struktur vertikal dibagian tanaman sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan dipohon tersebut. Nurwatha (1994) dari hasil penelitiannya, burung Cabecabe, Cinenen kelabu, dan Sriganti menggunakan lapisan tajuk yang berbeda pada habitat tanaman kota yang berbeda, karena ketersediaan pakan pada ketinggian tumbuhan yang berbeda. Kehadiran suatu burung pada suatu habitat merupakan hasil pemilihan karena habitat tersebut sesuai untuk kehidupannya. Pemilihan habitat ini akan menentukan burung pada lingkungan tertentu. Hidup dalam lingkungan yang khusus itu akan memberikan berbagai penamalan yang dapat meningkatkan perbedaan perilaku pada berbagai jenis burung dalam menggunakan habitatnya. Tidak ditemukannya suatu jenis hewan termasuk burung di suatu habitat menurut Krebs dan Davis (1978) disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu: (1) ketidakcocokan habitat, (2) perilaku (seleksi habitat), (3) kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit dan pesaing) dan (4) faktor kimia-fisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan. Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Pengaruh keterbatasan pakan pada burung dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu ketika kompetitor merampas seluruh daerah atau sebagian dari suplai makanan (Hunter dkk, 1992). Potensi sumberdaya, seperti ketersediaan pakan di habitat yang ditempati, merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung (Wiens, 1992), sehingga lahan pertanian, dan bahkan kawasan kampus serta daerah pemukiman penduduk dapat menjadi habitat penting, apabila di daerah

85 67 tersebut ketersediaan makanan berlimpah. Misalnya, sejenis burung betet jawa sering ditemukan di lingkungan kebun percobaan IPB darmaga (Partasasmita, 1998, 1999, 2000), kakatua kecil Nymphicus hollandricus (Kerr) di Australia sering ditemukan di daerah pertanian gandum karena daerah tersebut menyediakan jenis makanan yang disukainya (Jones, 1987). Hal ini juga berkaitan dengan adanya kemampuan burung untuk memilih habitat yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya untuk kebutuhan hidupnya (Wiens, 1992). Kekayaan spesies dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya (Karr, 1976 dalam Johnsingh dan Joshua, 1994). Keanekaan spesies di suatu wilayah dietentukan oleh berbagai faktor. Keanekaan spesies mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi reksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi, perkembangan dan fisik (Odum 1994). Keanekaan spesies kecil terdapat pada komunitas daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah kering, tanah miskin apalagi bekas kebakaran atau letusan gunung merapi, sedangkan keanekaan yang tinggi biasanya terdapat pada lingkungan yang optimum. Keanekaan jenis burung di suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor faktor sebagai berikut : 1. Ukuran luas habitat. Semakin luas habitatnya, cenderung semakin tinggi keanekaan jenis burungnya. 2. Struktur dan keanekaan jenis vegetasi. Di daerah yang keanekaan jenis tumbuhannya tinggi maka keanekaan jenis hewannya termasuk burung, tinggi pula. Hal ini disebabkan karena setiap jenis hewan hidupnya bergantung pada sekelompok jenis tumbuhan tertentu (Ewusie 1990). 3. Keanekaan dan tingkat kualitas habitat secara umum di suatu lokasi (Gonzales 1993). Semakin majemuk habitatnya cenderung semakin tinggi keanekaan jenis burungnya. 4. Pengendali ekosistem yang dominan. Keanekaan jenis burung cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum 1994). Keanekaan spesies hewan termasuk burung dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan makanan. Keanekaan spesies yang lebih tinggi berarti rantai-rantai

86 68 pakangan yang lebih panjang dan lebih banyak kasus dari simbiosis (mutualisme, parasitisme, dan komensalisme), sehingga mengurangi rantai makanan tersebut menjadi lebih mantap (Heddy 1994; Odum 1994). Pada umumnya habitat dapat mengalami perubahan kondisi musiman dalam struktur dan ketersediaan makanan. Konsep suksesi dapat menjelaskan respons satwa terhadap perubahan habitat, yaitu setiap tingkatan suksesi berkaitan erat dengan komposisi satwa liar yang menempatinya (Alikodra,1990). Glue (1971 dalam Welty dan Baptista, 1988) mendapatkan jenis-jenis burung dominan yang berbeda pada tiap tahapan suksesi proses reklamasi suatu lahan basah. Tiga tahun setelah selesai reklamasi, jenis burung yang dominan adalah Anthus pratensis. Duabelas tahun kemudian, ketika lahan tersebut telah berubah menjadi bentangan lumpur yang lembek, jenis burung yang dominan adalah Emberiza schoeniculus. Burung junggit kuning (Motacilla flava) mendominansi saat lahan telah menjadi bentangan lumpur yang keras, 19 tahun setelah reklamasi. Selanjutnya ketika lahan tersebut telah berubah menjadi padang rumput, jenis burung yang mendominansi adalah Alanda arvensis. Perbedaan keanekaragaman burung juga terjadi berdasarkan tingkat usia dari tumbuhan di kawasan hutan Gunung Tangkuban Parahu yaitu pada hutan pinus yang berusia < 5 tahun jenis yang ditemukan 6 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Megalurus palustris; hutan pinus berusia 6-10 tahun ditemukan 7 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Zosterops palpebrosus; hutan pinus berusia tahun ditemukan 13 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Zosterops palpebrosus dan Lanius schach ; hutan pinus berusia >15 tahun ditemukan 21 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Zosterops palpebrosus dan Parus major (Hadiprayitno, 1999). Perubahan struktur habitat terjadi secara alami (kebakaran) atau akibat aktivitas manusia (penebangan) yang telah banyak dilaporkan oleh banyak peneliti berdasarkan perhitungan populasi burung akibat kebakaran. Perubahan komposisi dan keanekaragaman burung tampak pada beberapa peristiwa kebakaran hutan yang dapat menurunkan jumlah keanekagaman burung yang menempatinya. Sebagai contoh pada bekas kebakaran dari hutan pinus berusia > 15 tahun di kawasan hutan Gunung Tangkuban Parahu mengalami penurunan

87 69 jumlah spesies yang mendiaminya dari 21 spesies menjadi 12 spesies. Hal serupa juga ditemukan di kawasan hutan Acer saccharum di kaki Gunung Applachia menunjukkan penurunan kelimpahan burung-burung Empidonax minimus, Vireo olivaceus, dan Dendroica caeruscens yang mempunyai kepadatan 1,2-1,7 pasang/ha, ternyata setelah mengalami penebangan populasi burungnya menurun menjadi 0,4 pasang /ha. Spesies-spesies hewan yang berbeda dalam suatu hutan umumnya berkaitan dengan tingkatan kanopi yang berbeda pula, yang menimbulkan suatu stratifikasi vertikal hewan sebagaimana yang terdapat pada tanaman. Hewan juga bergerak secara horizontal untuk menghasilkan pola tiga dimensi yang kompleks. Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung penampakan habitat yang menyediakan makanan. Berubahnya aktivitas makan pada struktur vertikal di suatu pohon sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan di pohon tersebut. Jenis-jenis burung yang dominan dijumpai pada lokasi penelitian antara lain Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) (Gambar 28), Elang bondol (Haliastur indus) (Gambar 29), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha), burung madu sriganti (Nectarinia jugularis), kutilang (Pycnonotus aurigaster), Terocokan (Pycnonotus goiavier), Kipasa belang (Rhipidura javanica) dan Camar putih (Sterna sumatrana). Jenis-jenis burung yang dilindungi antara lain Kipasan belang (Rhipidura javanica), Elang bondol (Haliastur indus), Pekakak emas (Todirhampus chloris), kuntul perak (Egretta intermedia) dan Kuntul besar (Egretta alba) (Gambar 30). Sedangkan burung yang terancam punah antara lain Kucica kampung (Capsichus saularis), Kutilang (Pycnonotus aurigaater), Terocokan (Pycnonotus goiavier). Sedangkan burung yang dilindungi dan terancam punah antara lain Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis). Pada lokasi penelitian juga ditemukan burung migran dari famili Scolapacidae yaitu jenis burung Gajahan besar (Numenius arquata) dan Gajahan timur (Numenius madagascariensi). Berdasarkan jenis makannya burung-burung yang dijumpai didaerah penelitian terdiri dari: 12 jenis pemakan serangga (Insectivora), 2 jenis pemakan biji (Granivora), 5 jenis pemakan buah (Frugivora), 3 jenis pemakan madu (Nectarivora), 13 jenis pemakan udang, ikan, molusca (Piscivora) dan 16 jenis

88 70 pemakan gading/ikan (Carnivora). Burung pemakan serangga dan pemakan ikan ditemukan paling banyak pada lokasi penelitian (Lampiran 21). Gangguan Kawasan Jumlah burung di lokasi penelitian mengalami penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Giesen dan Soekotjo tahun 1991 (Lampiran 5). Berdasarkan komposisi spesies burung yang ditemukan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara. Dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu : (1) Burung Merandai 5 jenis (2) Burung pantai/migran 2 jenis (3) Burung yang dilindungi pemerintah 5 spesies (3) Burung yang dilindungi pemerintah dan terancam punah 1 spesies (4) Burung yang terancam punah 10 spesies (5) Golongan burung yang keberadaannya di SuakaMargasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut 26 spesies, migrasi lokal 19 spesies dan burung yang tidak ditemukan 22 spesies. Penurunan jumlah burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur laut disebabkan tingkat konversi dan ekploitasi lahan yang cukup tinggi seperti perubahan kawasan menjadi tambak, kebun kelapa sawit, penebangan pohon secara liar untuk dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan arang dan untuk hewan terjadi gangguan berupa berburuan liar, sasaran berupa satwa dan burung endemik maupun migran. Peralatan yang dipakai dalam perburuan berupa jebakan atau jerat, anjing pemburu, sumpit dan senapang angin (Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara 1988). Gambar 28 Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) burung terestrial yang mendominasi kawasan Suaka Margasatwa KGLTL.

89 71 Gambar 29 Kuntul besar (Egretta alba) burung air yang mendominasi kawasan Suaka Margasatwa KGLTL. Gambar 30 Elang bondol (Haliastur indus) burung yang dilindungi di kawasan Suaka Margasatwa KGLTL.

90 72 Gambar 31 Jenis burung migran yang ditemukan di lokasi penelitian. Gambar 32 Sikatan bakau (Cyornis rufigastra) jenis burung yang mendominasi lantai hutan mangrove

91 73 Simpulan SIMPULAN DAN SARAN 1. Berdasarkan analisis vegetasi jumlah jenis pohon dilokasi penelitian didapatkan 10 jenis pada habitat mangrove primer, 12 jenis pada habitat mangrove sekunder, 8 jenis pada habitat tambak intensif dan 8 jenis pada habitat tambak ekstensif. 2. Keanekaragaman jenis burung pada habitat mangrove primer dijumpai 24 jenis burung dengan jenis yang dominan Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), mangrove sekunder 19 jenis dengan jenis dominan Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) tambak intensif 25 jenis burung dengan jenis dominan Elang bondol (Haliastur indus), tambak ekstensif 13 jenis dengan jenis dominan Elang bondol (Haliastur indus), burung air 16 jenis dengan jenis yang dominan kuntul perak (Egretta intermedia) dan kuntul besar (Egretta alba) dan burung migran ditemukan dua jenis yaitu Gajahan timur (Numenius arquata) dan Gajahan besar (Numenius madagascariensis). 3. Pola penyebaran berdasarkan sub-habitat (relung ekologi) paling banyak burung menempati daerah tajuk tengah. 4. Terdapat hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Saran 1. Perlu dilakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove dikawasan pesisir pantai Karang Gading di luar areal Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara yang berbasis masyarakat seperti Tehnik Empang parit (Silvofisheri). Diharapkan apabila ekosistem hutan mangrove tersebut terbangun, maka fungsi habitat dari kawasan tersebut dapat dipulihkan. 2. Perlu melakukan suatu kajian tentang strategi pengelolaan konservasi untuk jenis-jenis burung dan habitatnya baik yang berada dikawasan konservasi maupun diluar kawasan konservasi.

92 74 3. Perlu diupayakan reboisasi mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut sebagai Koridor penghubung antara subhabitat mangrove maupun koridor perjalan burung sehingga keanekaragaman jenis burung meningkat. Dengan meningkatnya keanekaragaman jenis burung ini maka keseimbangan dan kelestarian lingkungan tetap terjaga.

93 75 DAFTAR PUSTAKA Alikodra. H.S Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor. Alikodra HS Burung Air di Hutan Mangrove. Majalah Kehidupan Liar di Indonesia Vol 1, No 1. Bangen, D.G Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel/Multidimensi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 95 p. Bengen, D.G Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL Institut Pertanian Bogor. BPS Statistik Sosial dan Kependudukan, Langkat, Sumatera Utara. Kantor Statistik. Sumatera Utara Cox, G.W. (1978). Laboratory Manual of General Ecology. USA : WM.C. Brown Company Publisher. Cropper SC Management of Endangered Plants. East Melbourne: CSIRO Publications. Hlm.32. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutani Sosial, Sumatera Utara. Badan Dampak Lingkungan hidup Daerah (Bapedalda) Sumatera Utara. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove. Giesen, W. & Sukotjo Global Bioderversity. Status of the Earth s Living Resources. Chapman & Hall. Giyanto Burung-Burung Migran di Langkat Sumatera Utara. Kompas. Burung-Burung Mangrove. Diakses 30 Maret Hernowo JB dan Prasetyo LB Konsepsi Ruang Terbuka Hijau Sebagai Pendukung Pelestarian Burung. Media Konservasi Vol. II (4): IUCN Global Status of Mangrove Ecosystems. Commision on Ecology, IUCN, Switzerland. Krebs CK Ecological Methodology New York: Harper & Row Publisher. Hlm Krebs, C.J Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 4th Harper College Publisher. New York.

94 76 Kusmana, C Analisis Vegetasi Hutan Mangrove di Muara Angke. Skripsi Jurusan Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kusmana, C Tehnik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Macnae, W a General Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forest in the Indo west Pasific Region. Adv. Mar Biol. 6 : McKinnon, J A Field Guide to the Bird of Java and Bali. Gajah Mada University press, Yogyakarta. McKinnon J, Philipps K dan Van Ballen A Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Jakarta: Puslitbang Biologi-LIPI. Morrison ML, Marcot BG, and Mannan RW Wildlife-Habitat Relationships, Concepts and Application. Wisconsin: The University of Winconsin Press. Mueller- Dombois, D., and H. Ellemberg, 1974, Aims and Method of Vegetation Ecology, Jhon Wiley & Sons, New York. Naamin, N Penggunaaan Lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak, Keuntungan dan Kerugiannya. Proseding Seminar Ekosistem Mangrove IV: MAP-LIPI, Jakarta. Noor YR, Khazali M dan Suryadiputra INN Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA/WI-IP. Nybakken, J.W Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Eidman, M., Koesuebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukoharjo. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 459 p. Odum, W.E. & E.J, Heald The Detritus Based Food Web of An Estuarine Mangrove Community. Estua.Res. Odum EP Fundamental of Ecology. Tokyo: Toppan Co., Ltd. Orians GH The Numbers of Bird Species in Some Tropical Forests. Ecology 50: Perrins and Birdhead Avian Ecology. Chapman & Hall. New York. Poole RW An Introduction to Quantitative Ecology. Tokyo: McGraw-Hill Kogahusha, Ltd.

95 77 Prayitno, H Potensi Satwa Liar Indonesia merupakan nilai Strategis Sebagai Penunjang Pembangunan Nasional Kumpulan Makalah Lokakarya Teknologi Konservasi Fauna, Jakarta 16 Desember 1993 BPP Teknologi. Jakarta. Hlm Ramsar People and Wetland: The Vital Link; 7 th Meeting of the Conference of the Contracting Parties to the Convention on Wetlands. San Jose, Costa Rica. www. ramsar.com. [ 3 Februari 2001]. Soerianegara Current State of Knowledge of Indonesia Mangrove Panitia Program MAB-LIPI, Jakarta. Tommoff CS Avians Species Diversity in Desert Scrub. Ecology 55: Tomi Indonesia Persinggahan Migrasi Burung Raptor. www. Burung Raptor. co.id. [ 15 Mai 2006] Wijaksono, D Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Utara. 2006, Rancangan Pengelolaan Hutan Mangrove Pantai Karang Gading. Sumatera Utara. Departemen Kehutanan. Welty, J.C The Live of Birds. Sanders College Publishing, New York. Wibowo, P. & N. Suyatno An Overview Of Indonesia. Wetland Sites- Included In Wetland Database Wetland International-Indonesia Programme/PHPA. Bogor.

96 78 Lampiran 1. Hasil Analisis vegetasi Pada Sub-habitat Mangrove Primer Spesies Jumlah (Pohon) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Rhizophora stylosa Rhizhopora apiculata Rhizophora mucronata Excoecaria agallocha Bruguiera parviflora Xylocarpus granatum Ceriops tagal Bruguiera gymnorhiza Bruguiera sexangula Spesies Jumlah (Pancang) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Avicennia marina Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Excoecaria agallocha Bruguiera parviflora Xylocarpus granosum Bruguiera gymnorhiza Spesies Jumlah (Semai) f Kri (%) Fri (%) INP Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Xilocarpus granatum Bruguiera parviflora Bruguiera gymnorhiza

97 79 Lampiran 2. Hasil Analisis vegetasi Pada Sub-habitat Mangrove Sekunder. Spesies Jumlah (Pohon) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Avicennia marina Rhizophora apiculata Excoecaria agalloca Bruguiera parviflora Xylocarpus granatum Sonneratia alba Bruguiera gymnorhiza Bruguiera sexangula Spesies Jumlah (Pancang) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Rhizophora apiculata Excoecaria agallocha Bruguiera parviflora Xylocarpus granosum Ceriops decandra Bruguiera sexangula Spesies Jumlah (Semai) f Kri (%) Fri (%) INP Bruguiera gymnorhiza Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Acathus ilicifolius Acrostichum aureum Bruguiera parviflora Bruguiera sexangula

98 80 Lampiran 3. Hasil Analisis vegetasi Pada Sub-habitat Tambak Intensif Spesies Jumlah (Pohon) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Rhizophora apiculata Excoecaria agallocha Xylocarpus granatum Soneratia alba Bruguiera gymnorhiza Bruguiera sexangula Spesies Jumlah (Pancang) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Rhizophora apiculata Excoecaria agallocha Bruguiera parviflora Xylocarpus granosum Bruguiera gymnorhiza Spesies Jumlah (Semai) f Kri (%) Fri (%) INP Rhizophora apiculata Exoecaria agallocha Xylocarpus granatum Acrostichum aureum Bruguiera gymnorhiza

99 81 Lampiran 4. Hasil Analisis vegetasi Pada Sub-habitat Tambak Intensif Spesies Jumlah (Pohon) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Rhizophora apiculata Excoecaria agallocha Xylocarpus granatum Bruguiera sexangula Spesies Jumlah (Pohon) f Kri (%) Fri (%) Dri (%) INP Rhizophora apiculata Excoecaria agallocha Bruguiera parviflora Xylocarpus granosum Spesies Jumlah (Pohon) f Kri (%) Fri (%) INP Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Exoecaria agallocha Xilocarpus granatum Acrostichum aureum Bruguiera gymnorhiza Bruguiera sexangula

100 82 Lampiran 5. Data Keanekaragaman Jenis Burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara No. Nama Spesies Tahun Sensus Nama Lokal Nama IImiah Elang bondol Haliastur indus Cekakak merah Halcyon coromanda Cekakak sungai Todirhamphus chloris Pekaka emas Pelargopsis capensis Raja Udang Alcedo meninting Belibis batu Dendrocygna javanica Cangak merah Ardea purpurea Kokokan laut Butorides striatus Kuntul perak Egretta intermedia Burung cabak maling Caprimulgus macrurus Cipoh kacat Aegithina tiphia Tekukur Streptopelia chinensis Gagak kampung Corvus macrorhyinchos Bubut alang-alang Centropus bengalensis Walet sapi Collocalia esculenta Sri gunting batu Dicrurus paradesius Layang-layang rumah Delichon dasyphus Camar putih Sterna sumatrana Kipasan belang Rhipidura javanica Sikatan bakau Cyornis rufigastra Burung madu bakau Nectarina calcostetha Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu sriganti Nectarina jugularis Pelatuk ayam Dryocopus javensis Pelatuk hijau Picus vittatus Tukik belang Picomnus innominatus Bondol jawa Lonchura malacca Pipit haji/bondol haji Lonchura maja Cucak sakit tubuh Pycnonotus melanoleucos Kutilang Pycnonotus aurigaster Terocokan/Cerukcuk Pycnonotus goiavier Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Perenjak jawa Prinia familiaris Perenjak rawa Prinia flaviventris Bubut besar Centropus sinensis Kucica kampung Copcychus saularis Balam Geopelia striate Bangau tong-tong Leptoptilus javanicus Cangak merah Ardea purpurea Kedidi* Actitis hypoleucos* Kowak malam Nycticorac nycticorac Pecuk hitam Phalacrocorax sulcirostris Raja udang meninting Alcedo meninting Benti* Alcedo attis)* Ruwa-ruwa Amaurornis Cerek Pasir Mongolia* Charadrius mongolus* Bangau putih Egretta alba Kicuit hutan* Dendronanthus indicus* Cekakak cina* Halcyon pileata* Elang tikus Elanus caeruleus Cekakak sungai Todirhamphus chloris + +

101 Lanjutan Lampiran Elang lutut Haliaectus leucogaster Hamba kera* Herops philippinus)* Layang-layang hujan Hirudo tahitica Elang hitam Ictinaetus malayensis Pucung air Ixobrichus cinnamomeus ? Lanius cristatus* Kalok Limnodromus semipalmatus* Pipit Lonchura punctulata ? Motacilla flava* Bangau hitam-putih Mycteria cineria Kalok/Gajahan besar Numenius arquata* Gajahan Timur Numenius madagascariensis* Ampa-ampa Phaenicophaeus sumatranus Elang pau Spiloris chella Camar Sterna albifrons* ? Tringa totanus* ? Tringa nebularis* Tangkar centrong Cripsirina tenia + + * Burung Migran Menurut Giesen dan sukotjo, 1991 (-) = tidak Ditemukan (+)= ditemukan 83

102 84 Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat M.Primer No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i FRi Kri (%) (%) H' E 1. Kuntul perak Egretta intermedia Belibis batu Dendrocygna javanica Elang bondol Haliastur indus Bubut alang-alang Centropus bengalensis Walet sapi Collocalia esculenta Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak merah Halcyon coromanda Cekakak sungai Todirhamphus chloris Tukik belang Picomnus innominatus Pelatuk ayam Dryocopus javensis Pelatuk hijau Picus vittatus Layang-layang batu Hirundo tahitica Cipoh kacat Aegithina tiphia Terocokan/cerucuk Pycnonotus goiavier Sri gunting batu Dicrurus paradesius Gagak kampung Corvus macrorhyinchos Kucica kampung Copcychus saularis Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Perenjak rawa Prinia flaviventris Sikatan bakau Cyornis rufigastra Kipasan belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu bakau Nectarinia calcostetha Burung madu sriganti Nectarinia jugularis Jumlah Lampiran 7. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat M. Sekunder No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i FRi KRi (%) (%) H' E 1. Kuntul perak Egreta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Elang bondol Haliastur indus Balam Geopelia striata Walet sapi Collocalia esculenta Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Pelatuk ayam Dryocopus javensis Layang-layang batu Hirundo tahitica Cipoh kacat Aegithina tiphia Kutilang Pycnonotus aurigaster Terocokan Pycnonotus goiavier Kucica kampung Copsychus saularis Cenenen kelabu Orthotomus ruficeps Perenjak jawa Prinia familiaris Kipasan belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu bakau Nectarinia calcostetha Burung madu sriganti Nectarinia jugularis Jumlah

103 85 Lampiran 8. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat Tambak Intensif No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i FR KR (%) (%) H' E 1. Cangak merah Ardea purpurea Kuntul perak Egretta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Elang Bondol Haliastur indus Camar putih Sterna sumatrana Tekukur Streptopelia chinensis Bubut besar Centropus sinensis Burung cabak maling Caprimulgus macrurus Walet sapi Collocalia esculenta Raja udang Halcyon chloris Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Pelatuk ayam Dryocopus javensis Layang-layang rumah Delichon dasyphus Cipoh kacat Aegithina tiphia Tangkar cetrong Cripsirina tenia Kutilang Pycnonotus aurigaster Terocokan Pycnonotus goiavier Kucica kampung Copsychus saularis Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Kipasan Belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu bakau Nectarinia calcostetha Burung madu sriganti Nectarinia jugularis Bondol jawa Lonchura malacca Jumlah Lampiran 9. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Sub-Habitat Tambak Ekstensif No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i FR KR (%) (%) H' E 1. Kuntuk perak Egretta intermedia Kokokan laut Butorides striatus Elang bondol Haliastur indus Raja udang kalung biru Alcedo eurizona Pekaka emas Pelargopsis capensis Cekakak sungai Todirhamphus chloris Kutilang Pycnonotus aurigaster Layang layang batu Hirundo tahitica Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Kipasan belang Rhipidura javanica Burung madu polos Anthreptes simplex Burung madu sriganti Nectarina jugularis Pipit haji Lonchura maja Jumlah

104 86 Lampiran 10. Keanekaragaman Jenis Burung Air No Nama Lokal Nama Ilmiah Jlh - P i l n P i H' E 1. Pecuk padi hitam Phalacrocorax sulcirostris Cangak Merah Ardea Purpurea Kunul besar Egretta alba Kuntul Perak Egretta intermedia Kokokan laut Butorides failaris Kowak malam kelabu Nycticorax nycticorax Bangau tong-tong Leptoptilus javanicus Elang bondol Haliastur indus Gajahan besar * Numenius arquata Gajahan timur * Numenius madagascariensis Camar putih Sterna sumatrana walet sapi Collocalia esculenta R.udang meninting Alcedo meninting Pekaka emas Pelargopsis capensis Raja udang Halcyon chloris Layang-layang batu Hirundo tahitica * Burung Migran

105 87 Lampiran 11.Total Jumlah Jenis Burung di Lokasi Penelitian. Nama Spesies Nama Lokal Nama IImiah No. Famili Cities Status Konservasi IUCN UU No Elang bondol Haliastur indus Accipitridae App Cekakak merah Halcyon coromanda Alcedinidae Cekakak sungai Todirhamphus chloris Alcedinidae Pekakak emas Pelargopsis capensis Alcedinidae Raja Udang Alcedo eurizona Alcedinidae Belibis batu Dendrocygna javanica Anatidae Cangak merah Ardea purpurea Ardeidae Kokokan laut Butorides striatus Ardeidae Kuntul perak Egretta intermedia Ardeidae Kuntul besar Egretta alba Ardeidae Burung cabak maling Caprimulgus macrurus Caprimulgidae Cipoh kacat Aegithina tiphia Chloropseidae Tekukur Streptopelia chinensis Columbidae Gagak kampung Corvus macrorhyinchos Corvidae Bubut alang-alang Centropus bengalensis Cucilidae Walet sapi Collocalia esculenta Cuculidae Sri gunting batu Dicrurus paradesius Dicruridae Layang-layang batu Hirundo tahitica Hirundinidae Camar putih Sterna sumatrana Laridae Kipasan belang Rhipidura javanica Muscicapidae Sikatan bakau Cyornis rufigastra Muscicapidae Burung madu bakau Nectarina calcostetha Nectariniidae Burung madu polos Anthreptes simplex Nectariniidae Burung madu sriganti Nectarina jugularis Nectariniidae Pelatuk ayam Dryocopus javensis Picidae Pelatuk Hijau Picus vittatus Picidae Tukik belang Picomnus innominatus Picidae Bondol jawa Lonchura malacca Ploceidae Pipit haji/bondol haji Lonchura maja Ploceidae Tangkar centrong Cripsirina tenia Corvidae Kutilang Pycnonotus aurigaster Pycnonotidae Terocokan/Cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps Silviidae Perenjak jawa Prinia familiaris Silviidae Perenjak rawa Prinia flaviventris Silviidae Bubut besar Centropus sinensis Turdidae Kucica kampung Copcychus saularis Turdidae Balam Geopelia striate Columbidae Bangau tong-tong Leptoptilus javanicus Ciconidae - VU 40. Gajahan besar* Numenius arquata* Scolopacidae Gajahan timur* N. madagascariensis* Scolapacidae Kowak malam Nycticorac nycticorac Ardeidae Pecuk hitam Tachibaptus ruficolis Podicipedidae Raja udang meninting Alcedo meninting Alcedinidae - - Keterangan : * Burung Migran Menurut Giesen dan sukotjo, 1991) VU = rentan = terancam punah App. 1 = Appendix 1

106 88 Lampiran 12. Data Dominansi Jenis Burung Pada Lokasi Penelitian Sub-Habitat Mangrove Primer Jenis Burung yang Dominan Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Burung madu sriganti (Nectarinia Jugularis), Cipoh kacat (Aegithina tiphia) Mangrove Sekuner Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), Elang bondol (Haliastur indus), Kipasa belang (Rhipidora javanica), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Terocokan (Pycnonotus goiavier), Cipoh kacat (Aegithina tiphia), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha) Tambak Intensif Elang bondol (Halistur indus), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Camar putih (Sterna sumatrana), Kipasan belang (Rhipidora javanica), Burung madu bakau (Nectarinia calcostetha), Burung madu sriganti (Nectarinia Jugularis), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Terocokan (Pynonotus goiavier), Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) Tambak Ekstensif Burung air Elang bondol (Haliastur indus), Pekakak emas (Pelargopsis capensis), Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Kuntul perak (Egretta intermedia), Layang-layang batu (Hirundo tahitica), Kipasan belang (Rhipidora javanica), Pipit haji (Lonchura maja), Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) Egretta alba, Egretta intermedia, Haliastur indus dan Hirundo tahitica

107 89 Lampiran 13. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan dan Indeks Kesamaan Nomor Tipe Habitat Jumlah Spesies H' E' 1. Mangrove primer 24 2, , Mangrove sekunder 19 2, , Tambak Intensif 25 2, , Tambak Ekstensif Primer Sekunder Tambak Intensif Tambak Ekstensif Primer Sekunder Tambak Intensif Tambak Ekstensif

108 90 Lampiran 14. Pengelompokan Burung Dalam Menggunakan Habitat Secara Vertikal Berdasarkan PCA. No. Jenis Burung Kd p Penggunaan Habitat Profil Pohon Secara Vertikal Elang bondol a 1 o.9 w.4 ff d Cekakak merah b 2 o.3 i.1 ff c Cekakak sungai c 0 a.2 w d Pekakak emas d ff c Raja udang e 0 0 w Belibis batu f 0 0 z Cangak merah g 0 s Kokokan laut h 4 i.1 0 w.6 0 ff.3 c Kuntul perak i 0 0 k.4 0 ee Cabak maling j 5 f.1 0 ff Cipoh kacat k 0 0 k Tekukur l 6 a.1 0 ff.4 x q Gagak Kampung m i.1 0 w Bubut alang-alang n ff.4 jj Walet sapi o 0 0 w Sri guntung batu p 0 0 k Layang-layang batu q 0 0 ee Camar putih r 0 0 v Kipasan belang s 8 a.1 0 ff.4 x.1 0 c Sikatan bakau t 0 0 u Burung madu bakau u 0 0 k Burung madu polos v 0 0 m B. madu sriganti w m.1 x.7 t Pelatuk ayam x 0 0 p.4 hh.3 n Pelatuk hijau y 10 a.1 0 s.2 y.2 0 b.2 q Tukik belang z 0 0 ff Bondol jawa aa ff Pipit haji bb 0 0 k Tangkar centrong cc ff d Kutilang dd 0 0 k Terocokan ee 0 0 ff Cinenen kelabu ff 0 0 p Perenjak jawa gg 14 a.1 0 ff Perenjak rawa hh 0 0 s Bubut besar ii k c Kucica kampung jj 0 0 ff.2 0 t.2 b Balam kk ff q Bangau tongtong ll 0 0 k Gajahan besar mm w.2 ff Gajahan timur nn 0 0 k b Kowak malam oo 18 i.2 0 u Pecuk hitam pp 0 0 k R. udang meninting qq ff x

109 Plot Kel.1 Kel.2 Kel.3 Kel.4 Kel.5 Kel.6 Kel.7 Kel.8 Kel.9 Kel a.1 0 ff.5 jj u a.1 0 v c ff i.1 0 jj a.1 0 ee.3 ff q w w u u.2 ee i.1 0 ff i dd c u.1 ff k dd s o.2 0 ff q.3 i.1 0 dd a.1 0 ff k s a.1 0 ff ee s a.1 0 s.2 ff ff q u w c i ee ff k ff kk k a.1 0 w.5 ff q.3 i.1 0 x k.3 jj ee.3 ff jj d ff c s a.2 0 s.2 gg.2 c o dd h v

110 Plot Kel.1 Kel.2 Kel.3 Kel.4 Kel.5 Kel.6 Kel.7 Kel.8 Kel.9 Kel a.2 0 s.1 0 c.2 h o i.1 0 dd c v l u w cc ff v s ee u d u.2 0 j.1 c g g.1 0 dd c a.1 0 l h.1 0 u aa u c q dd h i x q jj ff w k ee ff w s c s d dd cc s i ff u ee j r.8 0 w.4 ff.2 0 c q dd a.4 0 ff e k r.4 a.2 s q.2 0 ii o.2 0 ff d a.3 0 u d q.2 o.4 0 l ff dd ee

111 Plot Kel.1 Kel.2 Kel.3 Kel.4 Kel.5 Kel.6 Kel.7 Kel.8 Kel.9 Kel a.2 0 dd ee w d dd.3 ii.1 c c h.1 i.4 56 a.1 0 dd ff d d q a.1 v d bb a.2 s a c q e dd a.2 0 ff c s dd i.2 66 a q a.2 0 w q.2 69 a.2 0 dd q s d a.2 0 dd d q a d h cc.1 a e i.12 r.2 0 q ll.1 mm g.4 nn.6 cc.2 a.1 i g.4 r.4 cc.3 0 i pp h q r.8 cc.4 0 a d.1 0 g.2 ll.1 r i cc.5 a d i.23 o.4 0 oo qq cc.6 a e i.12 r q.3 cc.7 a i ll.2 0 cc.8 a e i.14 r q.3 93

112 94 Lampiran 15. Jenis Burung Yang Dominan Di Lokasi Penelitian. (Haliastur indus) (Todirhamphus chloris) (Hirundo Tahitica) (Egretta intermedia) (Pycnonotus goiavier) ( Aegithina tiphea) (Sterna sumatrana) (Dryocopus capensis) (Nectarinia calcostetha) (Copcychus saularis) (Nectarinia jugularis) (Rhipidora javanica)

113 Lampiran 16. Rhizophora apiculata BI Jenis Tumbuhan Yang Dominan Pada Sub-Habitat Mangrove Primer dan Sub-Habitat Mangrove Skunder 95

114 Excoecaria agallocha L Jenis Tumbuhan Yang Dominan Pada Sub-Habitat TambakIntensif dan Sub-Habitat Tambak Ekstensif. 96

115 Xilocarpus granatum Koen Jenis Tumbuhan Yang Dominan Pada Sub-Habitat Tambak Ekstensif. 97

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal-asulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

Hubungan Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan dengan Keanekaragaman Jenis Burung (Adil et al.)

Hubungan Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan dengan Keanekaragaman Jenis Burung (Adil et al.) HUBUNGAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS TUMBUHAN DENGAN KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI HUTAN MANGROVE SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT, PROVINSI SUMATERA UTARA (The Relationships between

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu bentang alam yang memiliki keunikan karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember EKOLOGI TEMA 5 KOMUNITAS bag. 2 Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember KOMUNITAS Keanekaragaman Komunitas Pola Komunitas dan Ekoton Keanekaragaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2010.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan jumalah Individu 1 BAB V PEMBAHASAN A. Familia Bivalvia yang didapatkan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, di mana penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU CORRELATION BETWEEN DENSITY OF AVICENNIA WITH SEDIMENT CHARACTERISTIC IN

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi ABSTRAK... xiii ABSTRACT... xiv BAB

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 ANALISIS CADANGAN KARBON PADA PENGGUNAAN LAHAN TAMBAK, PERMUKIMAN, DAN LAHAN KOSONG DI SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : TETTY LISNAWATI HUTABARAT 091201068

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, ditandai dengan ekosistem, jenis dalam ekosistem, dan plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci