PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR DI DAERAH CITARUM HILIR SECARA BERKELANJUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR DI DAERAH CITARUM HILIR SECARA BERKELANJUTAN"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR DI DAERAH CITARUM HILIR SECARA BERKELANJUTAN Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi DEWI HERMAWATI SETIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengelolaan Lahan Basah Pesisir di Daerah Citarum Hilir Secara Berkelanjutan (Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Bogor, 27 Agustus 2010 Dewi Hermawati Setiani SPL

3 ABSTRACT DEWI HERMAWATI SETIANI. Sustainable Coastal Wetland Management of Downstream Citarum Area (Case Study in Coastal Wetland of Muara Gembong Bekasi Regency). Dissertation under the supervision of DEDI SOEDHARMA, JACUB RAIS, MANGATAS SITUMORANG, and HEFNI EFFENDI. Research was undertaken in Muaragembong coastal wetland. Bekasi Regency, as one of the wetlands in Indonesia, listed in the database of Wetland International under the JAV09 code, originally with a total area of 10,480 hectares. The objectives of this research is to assess and evaluate the current physical conditions and resources of the wetland, and further analysis will be made as to comply with the concept of sustainable development of wetland implemented by stakeholders. Temporal and comparative analysis were conducted to obtain information on land use/land cover change, as well as its related ecosystem dyamics of the wetland. The following four stages of analysis were respectively categorirized: (a) potency analysis and wetland ecosystem conditions; (b) wetland sustainability analysis; (c) zoning plan, and (d) policies of sustainability of wetland development The result indicated that there was a decrease in mangrove cover from 10,955 ha in 1946 (100%) to 186 ha in 2008 (1,7%),. Consequently, the disappearance of two species of each of the flora and fauna, Bruguiera sp (Tancang) and Panthera pardus melas (Macan Tutul Jawa), respectively. The decrease of natural wetland cover to create man-made wetland, such as rice fields and fishponds might be the reason of the dissapperance of flora and fauna. This itself is a natural consequence due to the increase of polulation in 1950s to 2000s, as the prime driver for environmental change. The following number of Government s regulation policies have taken place to manage the wetland areas. In 1954, it started with a legal entity to support natural conservation with an area of 10,482 ha. (Minister of Agriculture Executive Order No.92/Um/1954). In 2005 the status was changed to permanent productive forest covering 5,170 ha (Minister of Forest Executive Order No.475/Menhut-II/2005). In 2008, a Presidential Executice Order No.64/2008 was issued on integrated spatial planning of seven areas of Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Punck, and Cianjur, with an acronym of JABODETABEKPUNCUR. This includes also the Muaragembong wetland. Physically, in the last of 62 years, the area of wetland has undergone abrasion of coastline covering coastal area of 307 ha on the north coast (Tanjung Wetan) and on the west coast (Muara Legon). The most significant abrasion on the north coast was due to sand mining by local inhabitants. While coastal accreation of 979 ha was caused by sedimentation of Ci Tarum (Tarum River) and its tributaries. Satellite remote sensing using LANDSAT imageries and GIS analysis were used for land use/landcover change detection. The management option proposed in this dissertation is to keep the existence and rehabilitation of the remaining Muaragembong Wetland as natural wetland/natural conservation. The rest will be considered as non-natural wetlands, such as ponds and rice field for the livelihood of the local inhabitants. It is recommended to establish a Coordinative Board comprising Central and Local Governments, local community, and related stakeholders, to manage and to draft strategic plan and to socialize to the community with respect to the importance of wetland ecosystem for sustainable living of human beings and the environment. Keywods: wetland, coastal wetland, policy, management, Muaragembong.

4 RINGKASAN DEWI HERMAWATI SETIANI. Pengelolaan Lahan Basah Pesisir di Daerah Citarum Hilir Secara Berkelanjutan (Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi). Disertasi dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, JACUB RAIS, MANGATAS SITUMORANG, dan HEFNI EFFENDI. Tanggal 2 februari 1971 di kota Ramsar diadakan Konvensi Ramsar yang merupakan konvensi untuk lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional terutama sebagai habitat burung air dan berlaku secara formal sejak tahun Tujuan konvensi ini adalah konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia. Indonesia mengesahkan konvensi Ramsar tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1991 dan terbentuknya Komite Lahan Basah Nasional pada tahun Komitmen negara anggota konvensi yaitu negara berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana Tata Ruang Nasional dan melaporkan perkembangan implementasi komitmennya terhadap konvensi yang menjadi catatan publik. Penelitian dilakukan dilahan basah Muaragembong Kabupaten Bekasi, sebagai daerah konservasi yang tercatat dalam database lahan basah Internasional (JAV09) dengan luas ha (Silvius et al. 1987), yang merupakan satu dari 718 lahan basah yang telah tercantum dalam database Ramsar. Tujuan dari penelitian ini adalah, (1) mengevaluasi kondisi dan potensi lahan basah Muaragembong, menyusun zonasi konservasi kawasan lahan basah dan merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh stakeholder. Tahapan analisis adalah; (1) kajian kondisi dan potensi ekosistem lahan basah, (2) meyusun zonasi kawasan lahan basah, (3) merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah berkelanjutan. Kebijakan pertama adalah Keputusan Menteri Pertanian 92/Um/1954 menyatakan bahwa lahan basah Muaragembong merupakan daerah konservasi alam dengan luas Ha. Namun Keputusan Menteri Kehutanan A.1357/INS.L/1963 tentang tanah negara yang telah digarap rakyat, akan dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat, mengakibatkan hutan mangrove berubah menjadi pertanian dan perikanan. Bahkan Peraturan Pemerintah 25/1999 tentang penetapan status kawasan Muaragembong masih di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani, mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan. Peraturan Daerah 5/2003 tentang Rencana Tata Ruang kawasan Pantai Utara Kabupaten Bekasi , maka rencana pengembangan Kecamatan Muaragembong (bagian dari kawasan khusus pantai utara) menjadi Kota Baru Pantai Makmur. Tahun 2005 diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan 474/Menhut-II/2005 statusnya berubah menjadi hutan produksi dengan luas Ha, kemudian Keputusan Presiden 62/2008 menyaratkan supaya pengembangannya terintegrasi dengan pengembangan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, Bogor, Cianjur (JABODETABEKPUNCUR).

5 Penggarapan tanah telah dilakukan secara turun temurun dan bahkan ada bidang-bidang tanah yang disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (LPP Mangrove 2003). Konflik lainnya adalah status yang belum jelas: mengenai tanah timbul, jalur hijau hutan lindung, tata batas lahan kehutanan pada umumnya. Konflik tanah timbul tersebut, diselesaikan dengan ditunjuk tanah timbul sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 598/Kpts/II/1997 tahun 1997 (Tim Terpadu 2005). Metode yang digunakan untuk analisis adalah metode komparatif secara temporal ( ) untuk memperoleh informasi tentang perubahan cakupan dan dinamika ekosistem lahan basah. Analisis terdiri atas empat tahap, yakni: (a) kajian potensi dan kondisi ekosistem lahan basah, (b) analisis kesesuaian lahan basah, (c) analisis rencana zonasi dan (d) kajian tinjauan kebijakan pengelolaan lahan basah. Hasil kajian potensi dan kondisi ekosistem lahan basah didapat, telah hilang satu jenis mangrove yaitu Bruguiera sp. (Tancang) dari lima jenis yang ada (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans), serta penurunan luas mangrove dari ha (100%) pada tahun 1946 menjadi 186 ha (1,7%) pada tahun 2008; hilang satu jenis mamalia yaitu Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dari tiga jenis mamalia yang ada (Macan tutul jawa, Kera ekor panjang dan lutung); sedangkan jenis burung dan reptilia tidak mengalami perubahan jenis. Tahun , terjadi akresi seluas 979 ha (16 ha/tahun) akibat sedimentasi dari Ci Tarum beserta anakanak sungainya dan abrasi seluas 307 ha (5 ha/tahun) yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Abrasi terjadi di pantai Utara (Tanjung Wetan) yang merupakan abrasi terbesar dan pantai Barat (Muara Legon dan Muara Blakan). Namun demikian, lahan basah Muaragembong masih dapat berfungsi sebagai ekosistem lahan basah berdasarkan kriteria Ramsar dengan dibuktikannya terdapat jenis flora dan fauna dalam kriteria Ramsar. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukan mempunyai potensi sebagai kawasan mangrove ha (47%), tambak ha (40%), sawah 802 ha (5%) dan pemukiman ha (8%). Hasil tinjauan kebijakan-kebijakan pengelolaan pada lahan basah Muaragembong didapat, terdapat kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, yang mengakibatkan menyebabkan perubahan lahan basah alami menjadi lahan basah non alami. Contohnya adalah Keputusan Menteri Pertanian 92/Um/54 tentang status lahan basah ini sebagai kawasan hutan lindung ( ha), Keputusan Menteri Kehutanan A.1357/Ins/1963 tentang tanah negara yang telah digarap rakyat dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat, Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi 5/2003 tentang Muaragembong sebagai kawasan khusus pantai utara berupa kota Pantai Makmur; dan Keputusan Menteri Kehutanan 475/Menhut-II/2005 tentang perubahan kawasan hutan lindung Muaragembong seluas ± ha menjadi kawasan hutan produksi tetap. Serta Peraturan Presiden 54/2008 tentang penataan ruang Jabodetabekpunjur menjadikan lahan basah ini menjadi zona non budidaya dan zona budidaya. Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, diusulkan lahan basah alami (49%) berupa hutan mangrove; dan (2) lahan basah buatan (51%) berupa

6 ekowisata, hutan produksi, perikanan (tambak), pertanian (sawah), pemukiman, kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Disimpulkan; (1) Indonesia mengesahkan konvensi Ramsar (1991), (2) terbentuk Komite Lahan Basah Nasional (1994), (3) lahan basah Muaragembong dalam database Wetland International Indonesia (1987), (4) akresi (16 ha/tahun) dan abrasi (5 ha/tahun), (5) lahan basah buatan sebesar 94% dan alami menjadi 6%, (6) berkurangnya satu jenis fauna (Macan tutul jawa), (7) diperlukan pengelolaan kolaboratif antara pemerintah daerah dan masyarakat, (8) dan jika tidak dikelola maka ekosistem hutan mangrove dan keanekaragaman hayati hutan mangrove akan menurun. Saran adalah, (1) mengusulkan lahan basah ini menjadi lokasi Ramsar, (2) mempertahankan lahan basah alami sebagai kawasan perlindungan (49%) dan lahan basah non alami (51%), (3) melarang penambangan pasir laut disekitar Tanjung Wetan, (4) merehabilitasi lahan badah ini sebagai perlindungan terhadap abrasi dan habitat satwa, (5) mengusulkan ekowisata di pantai barat, (6) pembentukan forum pengelolaan lahan basah, mengalokasi dana pemerintah untuk kegiatan rehabilitasi dan dilakukanan, (7) melakukan penelitian lahan basah pada lokasi lain yang terdapat dalam database Ramsar, (8) mengusulkan penelitian lanjutan terhadap dampak banjir di bagian timur Kota Jakarta dengan cara penelitian sudetan Ci Tarum yaitu mengalihkan aliran Ci Tarum ke arah timur (menjauhi Teluk Jakarta) dan (9) penelitian dampak urbanisasi terhadap lahan basah. Kata-kata kunci: lahan basah, pesisir, kebijakan, pengelolaan, Muaragembong

7 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR DI DAERAH CITARUM HILIR SECARA BERKELANJUTAN Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Oleh: DEWI HERMAWATI SETIANI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

9 Penguji Luar Komis Ujian Tertutup : Dr. Ir. Eddi Supriyono, M.Sc. Dr. Ir. Ario Damar, M.Sc. Penguji Luar Komis Ujian Terbuka : Dr. Soebagio, MM (Kepala Pusdiklat Pemerintahan dan Politik Badiklat Kemdagri). Dr. Ir. Luky Andrianto, M.Sc (Staf Pengajar Dept. MSP FPIK IPB)

10 Judul Disertasi : Pengelolaan Lahan Basah Pesisir di Daerah Citarum Hilir Secara Berkelanjutan (Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi). Nama : Dewi Hermawati Setiani NIM : Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA. Ketua Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc. Anggota Dr. Mangatas Situmorang, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Sc. Tanggal Ujian : 18 Juni 2010 Tanggal Lulus :

11 KATA PENGANTAR Lahan basah pada umumnya merupakan ekosistem yang sangat produktif dan mempunyai banyak manfaat yang penting, antara lain sebagai sumber dan pemasok air, pengaturan aliran air, pencegah intrusi air asin, pelindung pantai dan pengendali abrasi di pantai dan muara, pengendap lumpur, dan sebagainya. Lahan basah Muaragembong merupakan lahan basah yang mulai mengalami degradasi dan telah terjadi konflik pemanfaatan dan penggunaan lahan. Masalah konflik tersebut adalah akibat dari pertambahan penduduk yang menyebabkan berkurangnya fungsi area perlindungan serta bertambahnya area sebagai daerah pemanfaatan pada lahan basah Muaragembong. Oleh karena itu pengelolaan lahan basah pesisir dan proses pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan lahan basah ini makin memainkan peranan dan menarik untuk dilakukan riset yang komprehensif. Pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc, Dr. Ir. Mangatas Situmorang, M.Sc dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, penuh kesabaran dan memberikan dorongan sampai tersusunnya disertasi ini serta tulus bersedia menjadi pembimbing dalam memberikan bimbingan, arahan, sumbangan pemikiran, atas pengayaan materi penelitian ini. Melalui pengetahuan dan pengalaman merekalah kualitas disertasi ini ditingkatkan. Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing terdahulu, Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi, para pejabat di Kecamatan Muaragembong, Ir. Rachmadi Danoe Atmadja sebagai atasan langsung terdahulu yang telah memberikan ijin dan menugaskan untuk mengikuti program studi ini, Ir. Rachmadi Danoe Atmadja, MM sebagai atasan langsung saat ini yang memberikan peluang untuk penyelesaian disertasi, Dr. Soebagio, MM yang telah memfasilitasi pertemuan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, kunjungan lapangan dan ketersediaan beberapa data sekunder, rekan-rekan almamater program studi SPL dan teman-teman serta seluruh staf SPL atas bantuannya selama ini. Dengan penuh kebanggaan menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua, suami dan kedua anak, yang telah memacu semangat untuk penyelesaian disertasi ini. Kepada merekalah disertasi ini dipersembahkan. Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sampai tersusunnya disertasi ini, diucapkan terima kasih. Kritik dan saran sangat dibutuhkan dalam menyempurnakan disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, 27 Agustus 2010 Dewi Hermawati Setiani

12 RIWAYAT HIDUP Lahir di Yogyakarta pada tanggal 16 November 1959 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara putra-putri Prof. Oehadijono (alm) dan Sri Zoeraika. Menyelesaikan pendididkan SD (1971) dan SMP (1974) di Gombong Jawa Tengah, SMA (SMA Negeri I-II) di Semarang (1977). Menyelesaikan S1 (1984) pada Fakultas Teknik Sipil di Universitas Diponegoro, Semarang. menyelesaikan Pascasarjana pada jurusan Hydraulic Engineering di International Institut for Hydraulic and Environmental Engineering, Delft, Belanda (1991) dengan beasiswa dari Pemerintah Belanda dan jurusan Pemasaran di Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (1997). Menyelesaikan S3 bidang Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) (2003). Pendidikan dan pelatihan tambahan baik dalam dan luar negeri diantaranya antara lain, aplikasi GT-STRUDL untuk PLTA dan Hydro Power Engineering Planning & Evaluation, BECHTEL di Jakarta dan USA (1988). Training Course on Hydro Power Management di Stockholm, Sweden dan Findland serta Denmark (1994). Training Course on Community Development di Thailand (2004). Standardization on Dam Safety di Water Resources Institute (DPMA) (1992), Bandung. Training Tunneling di Institut Teknologi Bandung (ITB) (1993) dan pelatihan earthquakes & seismic di Universitas Indonesia (1994). Mengawali karir, sebagai Staf Ahli Teknik Sipil pada tahun di PLN LMK (Unit PLN bergerak di Bidang Riset, Pengujian dan Survey) pada Dinas Survey, dengan kegiatan lapangan terkait penyusunan dokumen study kelayakan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tahun sebagai Staf Ahli Tenaga Air di Dinas Tenaga Air pada Direktorat Perencanaan PLN Pusat ( ) yaitu sebuah Unit yang bertanggung jawab terhadap Desain sampai dengan pengadaan Kontraktor atau Konsultan melalui lelang internasional sesuai dengan guide line dari pemberi loan. Tahun 1987 World Bank menawarkan bantuan kepada Pemerintah Indonesia untuk membangun kelompok enjiniring yang kuat di PLN dengan bantuan Bechtel (konsultan) termasuk membangun sistem dan prosedur sebagaimana layaknya sebuah Konsultan internasional untuk menjamin kwalitas produk yang dihasilkan dan akuntabilitas dari para pelakunya, sehingga PLN akan memiliki in house engineer yang akan mengurangi belanja Forex, termasuk penguasaan enjinering kelistrikan yang masih sedikit di miliki konsultan Nasional maka dibentuk PLN PPE (Pusat Pelayanan Enjiniring) yang tugasnya adalah melakukan kajian-kajian enjinering untuk seluruh sektor ketenagalistrikan mulai tahap desain, penyusunan dokumen lelang, membantu evaluasi proposal pada saat lelang dan melakukan supervisi saat konstruksi. Tahun bekerja di PLN PPE sebagai Team Leader dan Project Engineering Civil pada beberapa proyek PLTA dan PLTU serta transmisi-150kv, disamping itu mengajar di Departemen Pertambangan dan Energi dalam bidang peranan Teknik Sipil pada sektor Ketenagalistrikan. Kemudian dipindahkan ke PLN Pusat sampai dengan saat ini. Di PLN Pusat mulai tahun 2001 terlibat dalam kegiatan sebagai member dari Team penyusunan Road Map terkait rencana restrukturisasi sektor ketenagalistrikan oleh Pemerintah bersama Konsultan Price Water House dan tenaga akhli dari Bank Dunia. Karena permintaan Bank Dunia dan Departemen keuangan maka PLN melaksanakan EDP (Efficiency Drive Program) sebagai jawaban dalam menghadapi krisis moneter pada saat itu yang membuat PLN dinyatakan bangkrut karena besarnya hutang dalam Forex akibat nilai tukar rupiah merosot tajam dan ineffisiensi yang sangat tinggi di internal PLN. Sebagai Manager Atas (Level Dua) pada Tahun di PT PLN (Persero) Kantor Pusat di LKL (Lingkungan dan Keselamatan Ketenagalistrikan, Direktorat Pembangkitan dan Energi Primer). Tahun 2006 menjadi PH Diputi Direktur LKL dan tahun sebagai Vice President Corporate Social Responsibility, yang kemudian PLN memberikan komitmen pada PBB (United Nation) untuk melaksanakan MDGs (Millenium Development Goals) yang juga merupakan komitmen Pemerintah. Pada tahun 2009 salah satu program CSR PLN mendapatkan penghargaan dari PBB untuk pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan di Pengalengan (Jawa Barat). Tahun 2010 menjadi staf akhli Bidang Energy Primer untuk Batubara. Organisasi profesi antara lain KNI-BB (Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar) sebagai sekertaris bidang Economic and Financing of Dam Project, Himpunan Ahli Hydraulic Indonesia (HATHI) sebagai sekretaris komisi sumberdaya air, IKANED (Ikatan Alumni Netherland), Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) sebagai anggota. Hobi yang disenangi diantaranya adalah membaca, bepergian dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Menikah dengan Ir. Budiyanto, M.Sc., dikarunia dua orang putra Rizky, Ricky (alm) dan seorang putri Tarina.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii iv v 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi dan Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Berpikir Kebaruan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Konvensi Ramsar Tentang Lahan Basah Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah Potensi dan Kondisi Ekosistem Lahan Basah Pengelolaan Lahan Basah Pesisir Hasil Penelitian Terdahulu pada Lahan Basah Muaragembong Analisis kebijakan METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Waktu Penelitian Pendekatan Penelitian Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data Kajian kondisi dan potensi lahan basah Analisis kesesuaian lahan Arahan zonasi Penentuan kebijakan pengelolaan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ekosistem Lahan Basah Muaragembong Mangrove Fauna Geologi pesisir Kesesuaian Lahan

14 Kualitas Air Kesesuaian Lahan untuk Mangrove Kesesuaian Lahan untuk Tambak Kesesuaian Lahan untuk Sawah Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Arahan Zonasi Dampak Pemanasan Global terhadap Lahan Basah Muaragembong Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir dan Laut Dampak Pemanasan Global Terhadap Lahan Basah Muaragembong TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN BASAH MUARAGEMBONG Tinjauan Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Arahan Penzonaan dan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Kawasan Konservasi Kawasan Pemanfaatan Umum Rencana Aksi Kelembagaan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Usulan Lahan Basah Muaragembong Menjadi Ramsar Site KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Lima belas negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak Kriteria Ramsar untuk kepentingan internasional Jenis dan sumber data yang dikumpulkan `. Kriteria Ramsar pada lahan Muaragembong Kriteria kerusakan mangrove Kelas kesesuaian pemanfaatan lahan Kategori kesesuaian menurut skor Matriks kesesuaian untuk mangrove Matriks kesesuaian untuk tambak Matriks kesesuaian kawasan pertanian Matriks kesesuaian kawasan pemukiman Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap Ramsar Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap RTR Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap SK 475/MENHUT-II/ Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap PP 54/ Hasil overlay luas penutupan mangrove (2008) dengan kebijakankebijakan di lahan basah Muaragembong Luas penggunaan lahan basah untuk mangrove tahun 1946 s/d Perubahan jenis mangrove di lahan basah Muaragembong Keadaan populasi fauna di Muaragembong berdasarkan berbagai laporan penelitian Akresi dan Abrasi Bertambahnya lahan basah akibat sedimentasi dari sungai Perubahan luasan lahan basah hasil analisis Komposisi material kualitas air pada masing-masing titik contoh pengamatan di Muaragembong Matrik kondisi kawasan mangrove menurut parameter dan total skor kesesuaian untuk mangrove Matrik kondisi kawasan tambak menurut parameter dan total skor kesesuaian untuk tambak... 66

16 26. Kualitas air di perairan Muaragembong Matrik kondisi kawasan tambak menurut parameter dan total skor kesesuaian untuk sawah Tingkat bahaya erosi Penilaian bahaya banjir / genangan dalam kriteria klasifikasi kesesuian lahan menurut Puslittanak (1997) Hasil pengklasifikasian lahan basah Muaragembong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah Luas kawasan untuk masing-masing kegiatan pembangunan di Muaragembong Klasifikasi zona di Indonesia dan zona hasil penelitian di lahan basah Muaragembong Peraturan dan Perundang-undangan dan database Ramsar berkaitan dengan pengelolaan lahan di Muaragembong lahan basah sampai dengan tahun Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi saat ini (LANDSAT7 tahun 2008) Kebijakan dan penggunaan lahan basah Muaragembong tahun serta usulan penggunaan lahan basah tahun Perbedaan pemanfaatan Lahan berdasarkan RAMSAR, tata ruang Pemerintah Daerah Hasil Penelitian Penggunaan Lahan Basah dari tahun 1946 s/d Perubahan penggunaan lahan basah Penggunaan lahan basah alami dan lahan basah non alami Luas masing-masing arahan penggunaan lahan basah Muaragembong Jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi tahun Produksi Perikanan di Muaragembong 1998 s/d Luas panen, hasil panen per hektar dan produksi sawah di Kecamatan Muaragembong tahun 1997 dan tahun Peranan masing-masing pihak pada Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong skema ABG Bagan Alir Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Lahan Basah ini Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 1987 (Silvius 1987) dan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 2010 berdasarkan hassil penelitian

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu Peta lokasi penelitian dan sebaran desa Kerangka pendekatan analisis Penggunaan lahan tahun 1946 pada lahan basah Muaragembong Penggunaan lahan tahun 1998 pada lahan basah Muaragembong Penggunaan lahan tahun 2004 pada lahan basah Muaragembong Penggunaan lahan tahun 2008 pada lahan basah Muaragembong Luas penutupan mangrove kondisi saat tahun 2008 pada kebijakan yang berlaku di lahan basah Muaragembong Perubahan luas lahan mangrove (1946 s/d 2008) Jenis mangorve yang ada di lahan basah Muaragembong Peta geologi kuarter lembar Batujaya dan Galian, Jawa Peta topografi dan batimetri pada lahan basah Muaragembong Pola dan daerah aliran sungai di lahan basah Muaragembong Luas lahan basah tahun 1946 s/d Panorama abrasi di Tanjung Wetan pada tanggal 10 Mei Peta di Tanjung Wetan tahun 1993 dan Ilustrasi akresi dan abrasi pada peta tahun 1946 dan Peta titik pengamatan lapangan dan pengambilan contoh kualitas air Peta kelas kesesuaian mangrove pada lahan basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Peta Kelas Kesesuaian Tambak pada Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Peta Kelas Kesesuaian Sawah pada Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Peta Kelas Kesesuaian Pemukiman pada Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Peta Kelas Kesesuaian Untuk Masing-masing Peruntukan Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Peta Lahan Basah Muaragembong (Ramsar Tahun 1987 dan 2008) Peta Tata Ruang Muaragembong Kabupaten Bekasi Tahun

18 26. Peta Perubahan Fungsi Sebagai Kawasan Hutan Lindung Menjadi Hutan Produksi Tetap Daerah Ujung Karawang Muaragembong Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat (SK 475/Menhut-II/2005) Peta struktur dan pola ruang Kecamatan Muaragembong berdasarkan PP 54 tahun Penggunaan Lahan Basah Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Basah Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi saat ini (LANDSAT Lahan basah alami dan lahan basah non alami berdasarkan kebijakan Lahan basah alami dan lahan basah non alami Perubahan penggunaan lahan Muaragembong 1946 s/d Langkah-langkah proses zonasi (modifikasi Sitomorang 2009) Langkah penetapan kawasan/zona (Modifikasi Situmorang 2009) Penggunaan Lahan Basah Muaragembong berdasarkan usulan penelitian Peta Usulan Pemanfaatan Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi Silvofishery pola empang parit (Bengen 2003) Pola silvofishery empang terbuka (Puspita et. al. 2005) Sawah Pasang Surut dengan Sistem Parit Struktur Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong Prosedur pengambilan keputusan FPLBM Tahapan monitoring dan evaluasi rencana pengelolaan (Modifikasi Situmorang 2009)

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Ramsar Sites Lokasi Penelitian Kondisi lahan basah Muaragembong tahun Jumlah penduduk Muaragembong dilihat dari komposisi kelamin tahun 1985 sampai dengan Perbedaan berdasarkan luas dan persentasi pemanfaatan lahan berdasarkan Ramsar, Tata Ruang Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dan Hasil Penelitian Lima belas jenis mamalia yang terdapat pada lahan basah Muaragembong Seratus lima puluh delapan (158) jenis burung yang terdapat pada lahan basah Muaragembong Enam (6) jenis reptilia pada lahan basah Muaragembong Satu (1) jenis amphibi yang terdapat pada lahan basah Muaragembong Sembilan (9) jenis serangga yang terdapat pada lahan basah Muaragembong Sebelas jenis ikan dilahan basah Muaragembong

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti sumber air minum dan habitat beraneka ragam makhluk, tetapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir dan kekeringan, pengaman garis pantai dari intrusi air laut dan abrasi, penambat sedimen dari darat dan penjernih air, penyedia unsur hara (KNPELB 2004). Fungsi habitat, lahan basah sebagai penyedia makanan, air, hasil hutan, tempat perlindungan bagi ikan, burung, mamalia, dan sebagai tempat pemijahan berbagai spesies (Tiner 1989). Fungsi hidrologi lahan basah dapat dikaitkan dengan kuantitas air yang masuk, tinggal, dan keluar di lahan basah. Fungsi kualitas air mencakup penyerapan sedimen dan pengendali polusi pada lahan basah (Novitzki et al. 2004). Luas permukaan bumi yang terdiri dari lahan basah belum diketahui dengan pasti. Pusat Monitoring Konservasi Dunia memperkirakan sekitar 5.7 juta km 2 atau kira-kira 6% dari permukaan daratan bumi dengan komposisi yaitu 2% danau, 30% tanah berlumpur, 26% mata air, 20% payau dan 15% dataran berbanjir (Biro Konvensi Ramsar 1997). Meskipun hanya 6% muka bumi yang dicakup oleh lahan basah, tetapi menyediakan habitat untuk kira-kira 20% spesies yang diketahui, dan diyakini bahwa sejumlah besar spesies masih belum tergambarkan (Nirarita et al. 1996). Sekitar 38 juta hektar atau 21% dari luas daratan Indonesia merupakan lahan basah, yang menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan basah terluas di Asia. Lahan basah tersebut sebagian besar terdapat di daratan rendah alluvial dan lembah-lembah sungai, muara sungai dan di daerah pesisir di hampir semua pulau Indonesia. Dari 256 lahan basah di Indonesia baru 127 lahan basah yang dikonservasi walaupun situs-situs tersebut belum memperoleh status dilindungi (Wibowo & Suyatno 1996). Inventarisasi dari Wetland Internasional mendata bahwa di Indonesia terdapat 256 lahan basah (wetland sites) yang tersebar di

21 2 seluruh kepulauan. Namun baru 56 saja yang telah memenuhi kriteria Ramsar yang mempunyai arti penting secara internasional (Wibowo et al. 1996). Lahan basah di Indonesia telah mengalami perubahan dan terancam kelestariannya baik secara fisik maupun habitat yang terdapat pada lahan basah tersebut. Perubahan tersebut umumnya terjadi disebabkan oleh karena lahan basah dianggap sebagai lahan yang tidak berguna. Padahal lahan basah sangat bermanfaat antara lain adalah sebagai habitat, pengatur fungsi hidrologi, pencegah bencana alam dan menjaga sistem dan proses-proses alami. Dalam kurun waktu , setidaknya ada tiga kegiatan penting yang berkaitan langsung dengan kebijakan pengelolaan lahan basah di Indonesia yaitu: meratifikasi Konvensi Ramsar, pembentukan Komisi Nasional Lahan Basah, dan pengukuhan strategi nasional dan rencana aksi pengelolaan lahan basah di Indonesia. Namun demikian, ketiga hal itu belum mengubah pola pengelolaan lahan basah. Pengelolaannya masih bersifat sektoral menurut masing-masing lembaga dan tidak mengacu pada strategi nasional yang telah ditetapkan. Laporan Wetland Indonesia mengenai kondisi lahan basah di Indonesia menunjukkan penurunan yang signifikan. Hingga tahun 1996, diperkirakan Indonesia kehilangan lahan basah sekitar 12 juta ha (WI-IP 2002). Pada tahun 2000, luas lahan basah di Indonesia adalah 42.5 juta ha yang terdiri atas 31.4 juta ha lahan basah alami dan 11.1 juta ha lahan basah buatan. Data tahun 2002 menunjukkan adanya penyusutan luasnya, yaitu menjadi 33.8 juta ha yakni 25.0 juta ha lahan basah alami dan 8.8 juta hektar lahan basah buatan. Sebagai contoh, kondisi lahan basah di Indramayu sebagai habitat burung air dalam waktu kurang dari 10 tahun terjadi penurunan yang mencapai 1 juta ekor. Pada tahun menurun menjadi 300 ribu ekor per tahun, dan tahun 1987 tinggal 200 ribu ekor (Bratasida 2002). Convention on wetlands of international importance especially as waterfowl habitat atau lebih dikenal dengan konvensi Ramsar yang diresmikan pada tanggal 2 februari 1971 di kota Ramsar Iran dan berlaku secara formal sejak tahun Tujuan konvensi ini adalah konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia. Indonesia

22 3 mengesahkan konvensi Ramsar tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1991 yaitu mengenai lahan basah dipandang dari kepentingan internasional khususnya sebagai habitat burung air, dan terbentuknya Komite Lahan Basah Nasional pada tahun Komitmen negara anggota konvensi yaitu negara berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana Tata Ruang Nasional dan melaporkan perkembangan implementasi komitmennya terhadap konvensi yang menjadi catatan publik. Lahan basah Muaragembong telah masuk dalam daftar database Wetland International Indonesia dengan kode JAV09 merupakan salah satu dari 718 lahan basah yang telah tercantum dalam database lahan basah Ramsar. Disebutkan dalam database tersebut bahwa Muaragembong sebagai lahan basah dan cagar alam seluas ha. Penentuan lahan basah Muaragembong ditetapkan berdasarkan kriteria Ramsar yaitu termasuk lahan basah pasang surut yang khas atau mewakili dataran rendah (Silvius et al. 1987). Lahan basah ini, mempunyai pantai yang landai (1 sampai dengan 5 m), berair payau dan salinitas kearah darat cenderung rendah serta tumbuh hutan mangrove. Hutan mangrove di lahan basah Muaragembong ini tumbuh di tanah berlumpur, lahan tergenang air secara berkala, menerima pasokan air tawar dari Ci Tarum. Lahan basah di Indonesia mengalami kerusakan fisik dan biologis ekosistem lahan basah, terutama sungai, danau dan rawa, karena eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak seimbang, pencemaran, konversi habitat dan faktor alam seperti bencana alam (WI-IP 2002). Lahan basah Muaragembong sebagai salah satu lahan basah di Indonesia telah mulai terkikis baik oleh alam maupun oleh kegiatan penduduk yang berdatangan. Keberadaan hutan bakau makin terancam dengan perubahan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Bekasi (Rasyad 2004). Dibandingkan ekosistem hutan dataran tinggi, rasa kepemilikan terhadap lahan basah oleh masyarakat setempat tidak begitu kuat. Interaksi budaya dan konsep religi masyarakat terhadap hutan dataran tinggi lebih kuat dibandingkan terhadap ekosistem lahan basah. Pada sejumlah lahan basah, tidak ditemukan organisasi tani maupun kelembagaan sosial yang terkait dengan lahan basah (Walhi 2004). Pada lahan basah ini, lembaga perekonomian yang telah ada pada masyarakat nelayan Muaragembong adalah Koperasi Unit

23 4 Desa (KUD) dan TPI. Saat ini TPI tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya. Hasil tangkapan nelayan tak pernah dilelang, namun demikian restribusi terhadap hasil tangkapan tetap ditarik. Koperasi Unit Desa yang seharusnya dapat menjadi lembaga penyedia kredit dan berbagai keperluan nelayan juga tidak berjalan (Panjaitan 1997). Ditinjau dari regulasi yang ada, pengaturan pada ekosistem lahan basah masih sangat minim. Namun demikian, pandangan, ikatan batin, dan faktor pendorong konservasi maupun eksploitasi oleh masyarakat atas lahan basah di suatu tempat bersifat khas. Perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan basah Muaragembong. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan kajian yang mampu mengakomodasikan segenap kepentingan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan lahan basah Muaragembong dan tetap mengutamakan keberlanjutan fungsi ekologi dan pemanfaatan. Kelestarian ekologi dapat berjalan apabila terdapat kebijakan pengelolaan lahan basah di Muaragembong secara berkelanjutan. Oleh karena itu kajian integratif diperlukan untuk menemukan solusi optimal pengelolaan lahan basah Muaragembong Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 tentang penunjukan kawasan hutan lindung seluas ha pada lahan basah Muaragembong dengan status tanah adalah tanah negara. Namun kurangnya sosialisasi tentang arti dan fungsi lahan basah Muaragembong kepada masyarakat, maka timbullah berbagai konflik. Bahkan Pemerintah Daerah menganggap lahan basah ini potensial untuk dikembangkan untuk kepentingan produksi melalui alih fungsi, misalnya dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor A.1357/INS.L/1963 tentang tanah negara yang digarap rakyat akan dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat, maka lahan basah yang semula merupakan hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti kegiatan pertanian dan perikanan.

24 5 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25/1999 tentang penetapan status kawasan Muaragembong masih di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani, mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan antara Departemen Kehutanan sebagai pengelola lahan basah dengan masyarakat mengenai penggunaan lahan basah untuk area perlindungan dan area pemanfaatan. Kebijakan Bupati Bekasi tentang Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun dan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kawasan Pantai Utara Kabupaten Bekasi , maka rencana pengembangan Kecamatan Muaragembong (bagian dari kawasan khusus pantai utara) menjadi Kota Baru Pantai Makmur dengan kegiatan industri, pergudangan, pemukiman, pelabuhan, wisata, perdagangan dan jasa, dengan tetap mempertahankan fungsi hutan. Penggarapan tanah telah dilakukan secara turun temurun dan bahkan ada bidang-bidang tanah yang disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (LPP Mangrove 2003). Konflik lainnya adalah status yang belum jelas: mengenai tanah timbul, jalur hijau hutan lindung, tata batas lahan kehutanan pada umumnya. Konflik tanah timbul tersebut, diselesaikan dengan ditunjuk tanah timbul sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 598/Kpts/II/1997 tahun 1997 (Tim Terpadu 2005). Dalam database Wetland International dengan kode JAV09 lahan basah Muaragembong merupakan cagar alam dengan luas sebesar ha (Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, 2004) atau sama dengan luas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 (sebagai hutan tetap). Namun Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/Menhut-II/2005 tahun 2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ± ha. Dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006 tentang pengelolaan kawasan lindung dinyatakan bahwa kawasan lahan basah ini merupakan kawasan lindung. Serta Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur

25 6 (Jabodetabekpunjur) dengan tujuan antara lain keterpaduan penataan ruang pada kawasan Jabodetabekpunjur. Adanya konflik kepentingan yaitu luasnya penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi karena desakan kebutuhan lahan penduduk setempat serta lemahnya pembinaan dan pengendalian, lemahnya konsistensi kebijakan pengelolaan lahan hutan mangrove, kurang tegasnya sikap instansi yang berwenang (Perhutani dan Pemerintah Daerah) dan perbedaan persepsi diantara sektor-sektor pembangunan dan masyarakat. Persepsi masyarakat Muaragembong mengatakan bahwa hutan mangrove yang perlu dipertahankan cukup di tepi pantai saja (20 30% hutan, 80 70% tambak), yang lainnya tidak perlu walaupun kawasan tersebut secara hukum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sedangkan kebijakan Perum Perhutani menginginkan kondisi sebaliknya, bahwa pemanfaatan hutan untuk tambak tidak lebih dari 20% (Tim Terpadu 2005). Secara ringkas dapat diidentifikasi permasalahan lahan basah Muaragembong yaitu: (1) terjadi konflik penggunaan lahan, (2) konflik kewenangan antar instansi, (3) terjadi perubahan fisik habitat mangrove dan (4) adanya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam pengaturan pemanfaatan lahan ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan permasalahan penelitian yaitu: (1) bagaimana kondisi fisik dan potensi lahan basah Muaragembong, dan (2) bagaimana merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong yang berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh semua stakeholder Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi kondisi dan potensi lahan basah Muaragembong. 2. Menyusun zonasi konservasi kawasan lahan basah. 3. Merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh stakeholder.

26 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi lahan basah Muaragembong saat ini untuk menyusun kebijakan yang berguna dalam upaya pengelolaan lahan basah Muaragembong secara berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1. Bagi pemerintah Kabupaten Bekasi sebagai acuan dan pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan lahan basah Muaragembong; serta dalam pengusulan lahan basah Muaragembong menjadi Ramsar site.. 2. Masyarakat dan daerah sekitarnya (Kota Madya Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu), sebagai bahan pembelajaran dan masukan dalam melaksanakan kegiatan sosial ekonomi dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, sumberdaya alam dan usaha keberlanjutan. 3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari penelitian ini adalah mendorong adanya pertukaran data dan publikasi diantara para anggota Ramsar berkenaan dengan lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional. 4. Bagi dunia usaha menjadi acuan dalam investasi dan pembangunan Kerangka Pikir Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks, sangat produktif dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah yaitu daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam (6) meter pada waktu surut (Biro Konvensi Ramsar 1997). Wetlands International (2003) menyatakan bahwa lahan basah adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Pada lahan basah pesisir, luas hutan mangrove merupakan faktor yang menentukan keberadaan dan fungsi lahan basah.

27 8 Ekosistem lahan basah berubah dengan adanya kegiatan manusia dan proses alami. Kondisi dan potensi lahan basah dikaji untuk mengetahui apakah masih memenuhi kriteria Ramsar sebagai lahan basah, sehingga dapat ditentukan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan. Opsi pengelolaan lahan basah berdasarkan kondisi dan potensi lahan, yaitu: (1) apabila lahan basah masih berfungsi sebagai ekosistem lahan basah maka diusulkan untuk dilakukan konservasi, dan (2) apabila lahan basah telah berubah namun masih ada indikator-indikator yang memenuhi syarat sebagai lahan basah maka diusulkan untuk rehabilitasi, sebagian atau seluruhnya. Opsi ini dilakukan pada zona yang sesuai berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan Kebaruan Penelitian Sumbangan terhadap keilmuan dari penelitian ini adalah : 1. Dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong secara partisipatif dengan menggunakan kriteria Ramsar yaitu identifikasi lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional atau dapat dikatakan, suatu lahan basah dapat diidentifikasikan sebagai daerah yang mempunyai kepentingan internasional apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria Ramsar tersebut diatas (Tabel 2). Dengan menggunakan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong, maka lahan basah Muaragembong yang semula hanya dalam database Ramsar dapat diusulkan menjadi Ramsar site. Hal ini menjadikan Indonesia akan tercatat sebagai negara yang mempunyai komitmen tinggi secara internasional dalam melaksanakan konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana dan menaikan citra positif bagi negara. Disamping itu, terjadi pertukaran informasi antar anggota Ramsar tentang pengelolaan lahan basah dan dimungkinkan untuk mendapatkan dana dari Ramsar Small Grants Fund dalam pengelolaan lahan basah pada lahan basah Muaragembong. 2. Selama ini belum pernah dibuat peta lokasi lahan basah Muaragembong berdasarkan Ramsar. Informasi yang didapat pada lahan basah ini dari dalam daftar Wetlands International Indonesia Program (WI-IP 1997) adalah lahan basah ini sebagai cagar alam dengan kode JAV09 terletak pada koordinat

28 9 Lintang 06º 02' 07'' S dan Bujur 107º 4' 45'' E, dengan luas ha. Sehingga penelitian ini menghasilkan peta lahan basah Muaragembong untuk tahun 1987 seluas ha dan tahun 2008 seluas ha (Gambar 24). Adapun perbedaan lahan basah ini pada tahun 1987 dengan 2008, antara lain; (a) pada tahun 1987 lahan basah ini berdasarkan kriteria Ramsar sebagai cagar alam (Silvius et al. 1987) dan tahun 2008 lahan basah ini mengalami perubahan fisik, sehingga diusulkan menjadi lahan basah alami (konservasi) seluas ha (49%) dan lahan basah non alami seluas ha (51%), (b) kriteria Ramsar yang digunakan (Bab V. Sub Bab 5.5. Usulan Lahan Basah Muaragembong menjadi Ramsar site pada Tabel 46). 3. Penelitian pada lahan basah ini bersifat komprehensif yaitu keterkaitan lahan basah dengan interaksi masyarakat dan lingkungan, dimana pada saat ini Pemerintah belum intensif memberikan sosialisasi arti ekosistem lahan basah bagi kehidupan kepada masyarakat.

29 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konvensi Ramsar Tentang Lahan Basah Secara umum tujuan atau misi dari konvensi Ramsar adalah konservasi dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use) melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara bijaksana diseluruh dunia. Indonesia baru memiliki tiga lokasi Ramsar yaitu Taman Nasional Berbak (8 April 1992) dan Taman Nasional Danau Sentarum (30 Agustus 1994) dan Taman Nasional Wasur (16 Maret 2006) (Ramsar Convention Bureu 2010). Taman Nasional Berbak seluas km 2 dan Taman Nasional Danau Sentarum seluas km 2 dan Taman Nasional Wasur seluas km 2 (Wikipedia 2010). Dua lokasi kawasan lahan basah lainnya saat ini masih dalam proses pengusulan ke Biro Ramsar, yaitu Taman Nasional Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Nirarita 2009). Indonesia bersama 178 negara lainnya menjadi pendukung perbaikan dan perlindungan lahan basah dalam konvensi Ramsar. Tahun 2010, negara yang menjalankan konvensi Ramsar sebanyak 178 negara dengan jumlah total Ramsar site sebanyak 1908 (Lampiran 1). Lokasi Ramsar site yang terbanyak adalah Inggris (175) diikuti oleh Mexico, Australia dan lainnya (Tabel 1) (Ramsar Convention Bureu 2010). Tabel 1. Lima belas negara (15) negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak. No Nama Negara Jumlah Ramsar Site No Nama Negara Jumlah Ramsar Site 1 UK Ireland 45 2 Mexiko Netherlands 43 3 Australia Canada 37 4 Spain China 37 5 Italy Japan 37 6 Finland France 36 7 Algeria Ukraine 33 8 Algeria 47

30 11 Hingga Oktober 2008, Ramsar list of wetlands of international importance saat ini mencakup lokasi yang dikenal dengan Ramsar sites, keseluruhannya seluas juta ha, meningkat dari sebelumnya lokasi (tahun 2000). Negara dengan jumlah lokasi terbanyak adalah Inggris dengan 175 lokasi, dan wilayah cakupan terluas adalah Kanada yaitu km 2, sementara di Indonesia terdapat 3 lokasi dengan total keseluruhannya km 2 (Damanik 2008). Empat kewajiban utama yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota Konvensi: (1) mendaftarkan lokasi lahan basah yaitu menetapkan sedikitnya satu kawasan lahan basah kedalam Daftar Situs Ramsar (Ramsar list) dan mengupayakan konservasinya termasuk pemanfaatan secara bijaksana; (2) pemanfaatan secara bijaksana yaitu negara anggota konvensi berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana tata ruang Nasional, selain itu juga harus memformulasikan dan mengimplementasikan perencanaan tersebut untuk mengembangkan konservasi lahan basah dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana; (3) perlindungan dan pelatihan, yaitu negara anggota harus menetapkan perlindungan lahan basah, baik yang tercatat ke dalam Ramsar list maupun yang tidak, serta harus mengembangkan pelatihan di lapangan untuk penelitian lahan basah, pengelolaan dan pengamannya; (4) kerjasama internasional, yaitu negara anggota harus saling berkonsultasi satu sama lain mengenai implementasi konvensi, khususnya yang terkait dengan pengelolaan lahan basah di lintas batas negara, sistem air bersama, species bersama/migran (Nirarita et al. 1996) Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah Lahan basah adalah tempat di mana air adalah faktor primer yang berperan terhadap lingkungan dan kehidupan kelompok flora dan fauna. Lahan basah terjadi pada saat permukaan air mendekati atau menggenangi permukaan tanah, ataupun pada saat tanah digenangi air dangkal. Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks, sangat produktif dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah yaitu daerahdaerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air

31 12 yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut (Biro Konvensi Ramsar 1997). Wetlands International (2003) menyebutkan lahan basah adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Lahan basah sebagai ekoton yaitu suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan dimana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas (Denny 1985 dan Wortington 1976 dalam Davies et al. 1995). U.S. National Wetlands Inventory (Corwardin et al. 1979) batasan lahan basah yakni lahan-lahan peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan, dimana keadaan air biasanya terletak pada atau dekat permukaan, atau lahan yang ditutupi oleh perairan dangkal. Lahan basah menurut batasan tersebut, harus memiliki salah satu atau lebih dari ciri-ciri sebagai berikut: paling tidak secara periodik ditumbuhi tumbuhan air; sebagian merupakan tanah tergenang (hydric soils), kondisinya jenuh air atau tertutup oleh air dangkal, paling tidak secara periodik yaitu pada musim tumbuh. Berdasarkan batasan tersebut, lahan basah terdiri atas rawa, daerah pinggir sungai, danau atau hutan bakau, dan rawa di tepi laut. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (PERMEN ). Kawasan hutan payau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan payau atau jenis tanaman lain yang berfungsi memberikan perlindungan kepada keanekaragaman hayati pantai dan lautan (Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006). Lahan basah pesisir meliputi daerah pesisir yang jenuh atau tergenang air, yang umumnya payau atau asin, baik secara tetap atau musiman; umumnya terpengaruh oleh pasang surut air laut atau limpasan air tawar. Fungsi hutan mangrove dapat dibagi atas fungsi fisik, biologi dan komersial. Fungsifungsi tersebut antara lain adalah; (1) fungsi fisik yaitu menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai; (2) fungsi biologi yaitu sebagai tempat asuhan, dan berkembang biak bagi berbagai spesies udang, ikan

32 13 dan binatang lain, tempat berlindung bagi sejumlah besar spesies burung dan sebagai habitat kehidupan liar; dan (3) fungsi komersial yaitu tambak, rekreasi, penghasil kayu (Nirarita et al. 1996). Jenis lahan basah di Indonesia umumnya lahan basah palustrin, meliputi tempat-tempat yang bersifat merawa (berair, tergenang atau lembab), misalnya hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, dan rawa rumput atau rawa mangrove (WI-IP 2002). Lahan basah alami dalam peneliian ini adalah hutan mangrove dan yang dimaksud lahan basah buatan adalah ekowisata, tambak dan sawah. Lahan basah buatan (human made wetlands) adalah suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk akibat intervensi manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Wibowo et al. 1996) Potensi dan Kondisi Ekosistem Lahan Basah Menurut Green (1998), beberapa hal penting pada lahan basah adalah: hidrologi, flora, fauna, kualitas air, penggunaan lahan, tanah dan substrat serta air tanah. Dalam penelitian ini, yang diamati adalah flora, fauna, geologi termasuk akresi dan abrasi, serta penggunaan lahan. Kriteria Ramsar adalah kriteria identifikasi lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional atau dapat dikatakan, suatu lahan basah dapat diidentifikasikan sebagai daerah yang mempunyai kepentingan internasional apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria Ramsar tersebut diatas. Burung air yang dimaksud dalam Konvensi ramsar adalah burung-burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah (Ramsar 1971). Vegetasi di lahan basah dapat memperlambat aliran air sehingga mempercepat pengendapan sedimen dan menjernihkan air. Di samping itu vegetasi juga mampu menyerap unsur hara dan bahan pencemar yang berlebihan sehingga dapat menjaga kualitas air. Kriteria untuk identifikasi lahan basah dengan kepentingan internasional (Ramsar Resolution COP VIII ), terdapat empat kelompok kriteria pengidentifikasian suatu kawasan lahan basah sebagai kawasan lahan basah yang memiliki nilai universal penting (untuk tercatat kedalam Daftar Situs Ramsar/Ramsar list) (Tabel 2).

33 14 Tabel 2. Kriteria Ramsar untuk kepentingan internasional. A. Keterwakilan langka atau unik, yaitu : Kriteria 1 : Lahan basah tersebut merupakan suatu contoh keterwakilan, langka atau unik dari tipe lahan basah alami atau yang mendekati alami, sesuai dengan karakteristik wilayah biogeografisnya. B. Konservasi keanekaragaman hayati, yaitu: Kriteria 2 : Lahan basah tersebut mendukung spesies rentan, langka atau hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam. Kriteria 3 : Lahan basah tersebut mendukung populasi jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang penting bagi pemeliharaan keanekaragaman hayati di wilayah biogeografi yang sesuai, Kriteria 4 : Lahan basah tersebut mendukung jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang kritis dalam siklus hidupnya atau merupakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis tersebut saat melewati masa kritis dalam siklus hidupnya C. Kriteria khusus Waterbirds (Burung Air), yaitu : Kriteria 5 : Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh atau lebih jenis burung air. Kriteria 6 : Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh individu-individu dari satu spesies/sub spesies burung air hingga 1% dari total populasi spesies/sub spesies burung air tersebut. D. Kriteria khusus ikan, yaitu : Kriteria 7 : Lahan basah tersebut mendukung/dihuni oleh proporsi yang nyata dari species/sub species/famili ikan-ikan asli, perkembangan sejarah kehidupan dan interaksi satu sama lainnya sehingga menunjukan adanya nilai-nilai atau kontribusi penting dari lahan basah tersebut terhadap keanekaragaman hayati global. Kriteria 8 : Lahan basah tersebut merupakan sumber makanan yang penting bagi ikan-ikan, tempat berpijah dan asuhan dan/atau sebagai jalur migrasi untuk stok ikan yang berada di lahan basah tersebut atau tempat lain di luar lahan basah tersebut. Air adalah bagian integral dari ekosistem dan merupakan barang sosial dan ekonomis yang kualitas dan kuantitasnya menentukan sifat penggunaannya. Pengelolaan air secara terpadu dijelaskan sebagai suatu proses untuk mendorong koordinasi dalam pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait, yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara merata tanpa mengabaikan kelestarian ekosistem (Global Water

34 15 Partnership 2000). Unsur kunci dalam alokasi air adalah keterlibatan stakeholder dalam proses pembuatan keputusan. Melalui partisipasi stakeholder pemanfaatan dan penggunaan air yang beragam dalam satu areal tangkapan air harus ditetapkan sesuai dengan tujuan alokasi air, yang harus melibatkan ciri ekologi lahan basah yang diharapkan. Tujuan alokasi air ke lahan basah diutamakan untuk kepentingan ekologis atau berkaitan dengan praktek penggunaan secara bijaksana, seperti untuk perikanan (Ramsar Resolution COP VIII ). Kondisi hidrologi merupakan faktor yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi lahan basah, walaupun hubungan sebab akibat yang sederhana namun sulit untuk dipertahankan. Kualitas air merupakan hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan lahan basah. Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak dari kualitas air terhadap nilai dari lahan basah seperti salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, keasaman yang berdampak terhadap flora dan fauna di lahan basah (NSW 2004). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0.5 psu, perairan payau antara psu, dan perairan laut psu. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran psu. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Lahan basah Muaragembong di dominasi oleh atau dibentuk oleh endapan sungai yang ditransfer oleh air. Bahan-bahan tersebut adalah bahan erosi yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS), baik sepanjang sungai maupun anak-anak sungai, khususnya dihulu sungai di mana topografi umumnya berundulasi, kadang-kadang terjal. Proses erosi di pantai adalah bagian dari transportasi sedimen yang tergantung pada profil pantai dan proses pantai di bawah pengaruh gelombang, pasut dan arus (Moore et al. 1993). Erosi di pantai (abrasi) dalam hal ini lahan basah pesisir membentuk serta merubah bentuk pantai dan membentuk morfologi pantai (Bird 1996). Keterpaduan konservasi lahan basah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, keterpaduan konservasi lahan basah dan pemanfaatan secara bijaksana dalam pengelolaan daerah aliran sungai merupakan hal yang penting untuk dimaksimalkan dan dipertahankan agar keuntungan-keuntungan yang

35 16 diberikan lahan basah kepada masyarakat dapat tetap dinikmati (Wetlands International 2003). Zona pantai adalah peralihan yang relatif sempit antara laut dan darat, dimana fungsi dan proses ekologi yang komplek dan intensif yang bergantung pada interaksi antara laut dan darat (Ramsar Resolution VIII ). Zonasi bertujuan untuk membagi wilayah darat dan laut dalam kawasan yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible). Zona merupakan suatu kawasan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama untuk suatu peruntukan yang sesuai di daratan dan laut (MCRMP-DKP 2004). Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/264/KPTS/4/1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Departemen Kehutanan Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu sebesar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Disamping itu dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan lindung berupa kriteria sepadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Diperkirakan pasang surut pantai Utara Pulau Jawa lebih kurang 1.1 meter, sehingga lebar sepadan pantai berhutan bakau sekitar 143 meter atau 150 meter. Pada lahan basah Muaragembong, yang memungkinkan pembentukan kawasan lindung adalah hutan mangrove. Rehabilitasi lahan basah didefinisikan oleh Whitaker (1998) sebagai: (1) aktivitas pemeliharaan di dalam atau di sekitar kawasan lahan basah alami yang meningkatkan fungsi dan status ekologi, (2) aktivitas yang mengurangi kesenjangan antara keuntungan yang diberikan oleh lahan basah saat ini dengan keuntungan yang seharusnya diberikan, dan (3) bagian dari pengelolaan lahan basah seperti menyembuhkan seseorang dari sakit. Rehabilitasi bukan sebagai

36 17 pengganti konservasi. Rehabilitasi lahan basah mencakup identifikasi prosesproses alami lahan basah dan meminimalkan aktivitas-aktivitas yang mengancam. Proses rehabilitasi mencakup: menilai kondisi eksisting, identifikasi sumberdaya air, identifikasi pengelolaan air, dan memperhatikan aktivitas yang dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi lahan basah (Richardson 1998). Klasifikasi lain yang membagi lahan basah (Duggan 1990) yang antara lain budidaya perairan / perikanan dan pertanian Pengelolaan Lahan Basah Pesisir Untuk mengelola lahan basah secara efektif, diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai isu utama yang akan dilakukan dan dampaknya terhadap lahan basah, flora dan fauna, dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Isu yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori; (1) lahan basah membutuhkan pengelolaan sumberdaya fisik seperti air dan sumberdaya biologisnya seperti burung, ikan, satwa liar, dan vegetasi, (2) lahan basah dapat dikelola sebagai masalah khusus yang secara umum berasal dari aktivitas antropogenik seperti pengendapan dan polusi, (3) lahan basah juga dapat dikelola dari jasa-jasa lingkunganya seperti rekreasi dan nilai estetika (Gopal 1995). Suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis apabila pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien, berkelanjutan secara ekologi apabila dapat mempertahankan integritas ekosistem, memeliharan daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan berkelanjutan secara sosial apabila pemerataan hasil-hasil, mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Serageldin 1996). Pembangunan berkelanjutan dari suatu lingkungan alami adalah mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial di satu pihak dan melindungi alam di pihak lain, dengan kata lain, antara pemanfaatan di satu pihak

37 18 dan konservasi di lain pihak. Banyak kegiatan manusia yang secara ekologis tidak berkelanjutan dan menyebabkan degradasi serta hilangnya lahan basah. Konvensi Ramsar telah mengembangkan panduan untuk pemanfaatan lahan basah secara bijaksana yaitu penggunaan lahan basah yang lestari untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan tetap menjaga sifat-sifat alami dari ekosistem. Konsep pemanfaatan bijaksana tersebut, menunjukkan modifikasi pemanfaatan lahan basah oleh manusia sehingga memberikan keuntungan secara kontinu kepada generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang. Pengelolaan ini harus diadaptasikan kepada masyarakat lokal, agar menjadi budaya dalam pemanfaatan lahan basah yang sifatnya masih tradisional (Biro Konvensi Ramsar 1997). Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah konservasi sumberdaya, harmonisasi pembangunan dengan pemanfaatan lingkungan fisik, meningkatkan kualitas lingkungan, keadilan sosial, partisipasi politik: meningkatkan partisipasi dalam pembuatan keputusan politik dan berinisiatif dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan pada semua level komunitas lokal ke atas (Blowers 1995). Kondisi lahan basah yang kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal apabila mengalami degradasi, memerlukan pengelolaan yang bijaksana. Pengelolaan lahan basah khususnya di negara berkembang sudah banyak dilakukan. Konsep mitigasi lahan basah, dan restorasi dan mitigasi telah menjadi strategi konservasi lahan basah (Swanson 1979; Brinson and Lee 1990). Konsep mitigasi mencakup tindakan preventif dan korektif selama dan setelah kegiatan berlangsung yang berdampak negatif terhadap lahan basah sedangkan restorasi merupakan proses pengembalian fungsi-fungsi ekologis bagi lahan basah yang terdegradasi. Dalam rangka mencapai pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di daerah, maka terdapat pentahapan unsur-unsur utama kerangka kerja pengelolaan wilayah pesisir terpadu di daerah yang terdiri atas perencanaan strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil seperti pada Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dilaksanakan dengan tahapan: (1) Rencana strategis, (2) Rencana Zonasi (3) Rencana Pengelolaan (4) Rencana Aksi.

38 19 Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Fungsi lahan basah mencakup keanekaragaman hayati, pengisian kembali air tanah, penyimpan air, kualitas air, habitat, dan pemanfaatan langsung lahan basah oleh manusia seperti rumput, stok makanan ternak, perburuan, dan rekreasi. Fungsi lahan basah ini sangat bernilai bagi masyarakat. Variabel ekonomi dan lingkungan ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi nilai sosial lahan basah di kawasan pertaniann (CAST 1994; Berry and Buechler 1993). Dalam buku Handbook of Wetland Management (WWF India 1995), hal yang perlu diperhatikan pengelolaan lahan basah selain pengelolaan habitat dan pemanfaatan lahan basah adalah perhatian terhadap pelibatan masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan, kegiatan monitoring lahan basah, dan penegakan hukum dan kelembagaan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan lahan basah merupakan salah satu indikator kunci keberhasilan. Pelibatan masyarakat dalam hal ini berorientasi pada konsep pembangunan partisipatif dimana masyarakat lokal turut menentukan tujuan dan sasaran kebijakan dan berperan dalam proses untuk mencapai tujuan. Masyarakat yang terkait dengan pengelolaan lahan basah adalah mereka yang berpotensi terkena dampak atau memiliki kekuatan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan, yang disebut sebagai stakeholder (Brown dan Lee 2001). Pendekatan yang dapat dilakukan

39 20 agar masyarakat terlibat dalam kegiatan pengelolaan antara lain: inisiasi konsep kegiatan oleh masyarakat lokal, kepemimpinan lokal yang disegani sehingga dapat mengendalikan kegiatan masyarakat lokal, komposisi sosial-ekonomi masyarakat, dan pendekatan pengelolaan oleh masyarakat secara sukarela (WWF- India 1995). Pengelolaan lahan basah, khususnya lahan basah pesisir membutuhkan pendekatan dari tiga dimensi yakni pengelolaan lahan basah itu sendiri, pengelolaan sumberdaya pesisir dan pengelolaan daerah aliran sungai. Ketiga pendekatan ini harus terpadu dan terintegrasi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pengelolaan suatu ekosistem yang kompleks. Monitoring merupakan proses pengukuran perubahan karakter ekologi pada lahan basah sepanjang periode tertentu. Kegiatan monitoring merupakan bagian dari pengelolaan lahan basah. Kondisi lahan basah dapat dinilai dengan memeriksa kondisi lingkungan dan menyesuaikan hasil pengamatan ini dengan tujuan dan sasaran pengelolaan. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, yang selanjutnya disebut kawasan Jabodetabekpinjur adalah kawasan strategis nasional yang meliputi seluruh wilayah Propinsi Khusus Ibukota Jakarta, sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Propinsi Banten. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Sepadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi pantai. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008).

40 Hasil Penelitian Terdahulu pada Lahan Basah Muaragembong Beberapa peneliti terdahulu pada lahan basah Muaragembong terdapat pada Bab III dan Bab IV antara lain, Situmorang (1982), Koesoemadinata et al. (1985), Supriyatna et al. (1989), Panjaitan (1997), Rayad (2004), Suhaeri (2005). Ekosistem lahan basah Muargembong memiliki komponen utama penutupan lahan yang lebih terbuka. Kawasan areal tertutup vegetasi dapat dijumpai pada vegetasi hutan mangrove didaerah pesisir garis pantai. Telaah liputan lahan wilayah ini dominan adalah pengelolaan untuk tambak. Selain itu penutupan lahan yang cukup luas juga dijumpai untuk tanaman padi, yang sifat tajuk tanaman relatif memiliki penutupan yang rendah (Sunarto dan Melisch 1994). Hasil penelitian Abdunnur (1997) dan Zudiana (1997) menunjukan bahwa nilai-nilai parameter fisika-kimia air dan parameter fisika-kimia sedimen di Muara Jaya telah melebihi ambang batas baku mutu yang diperbolehkan bagi kehidupan biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun Fungsi dan manfaat lahan basah Muaragembong dapat dikategorikan ke dalam manfaat langsung, manfaat ekologi dan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Manfaat langsung adalah meredam pengaruh gelombang dan pasang sehingga mengurangi abrasi pantai dan menjadi lokasi untuk rekreasi, penelitian dan pendidikan. Manfaat ekologi antara lain penambat sedimen dan penjernih air, sedangkan manfaat ekonomi antara lain adalah penyedia air untuk masyarakat, penyedia hasil hutan seperti kayu, bangunan, tumbuhan obat, sumber perikanan terutama ikan dan udang, dan pendukung pertanian (Setiawan 2003) Analisis Kebijakan Dunn (2000) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pejabat publik sesuai

41 22 dengan kewenangannya. Untuk itu dalam mencapai tujuan terciptanya suatu kebijakan publik yang berpihak pada rakyat serta lahirnya kebijakan yang menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi. Strategi yang perlu dilakukan, adalah penguatan organisasi kelompok masyarakat. Advokasi kebijakan dengan merancang aturan main dalam formulasi kebijakan publik yang proposional dan partisipatif, komunikasi politik dengan memperbanyak ruang interaksi antar pihak dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan publik. Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPP- Mangrove (2000) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan. Bahkan dengan berkembangnya Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Kayu (IUPHHK), IUPHHT sebagian besar dari mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan keabsahannya.

42 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi berdasarkan pertimbangan bahwa, lahan basah Muaragembong dalam daftar Wetlands International Indonesia Program (WI-IP 1997) sebagai cagar alam dengan kode JAV09 terletak pada koordinat : Lintang 06º 02' 07'' S dan Bujur 107º 4' 45'' E, dengan luas ha (Silvius et al. 1987). Pada lahan basah ini terdapat keterwakilan habitat flora dan fauna yang tercantum dalam kriteria Ramsar. Hal ini memerlukan pengelolaan yang seksama agar habitat tersebut dapat lestari. Daerah penelitian berbatasan dengan, Laut Jawa (sebelah utara), Kecamatan Babelan (sebelah selatan), Kabupaten Karawang (sebelah timur), dan berbatasan langsung dengan Kota Madya Jakarta Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta (sebelah barat),. Terdapat enam desa yaitu Desa Pantai Bakti, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bahagia, Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Mekar dan Desa Jayasakti yang dibatasi Ci Tarum dengan muaramuranya antara lain Muara Bungin, Muara Wetan, Muara Sorongan, Muara Gembong dan Muara Mati. Kawasan ini adalah bagian dari DAS Citarum hilir. Daerah penelitian ini (Gambar 2 dan Lampiran 2) dengan total luas ha, merupakan deliniasi LANDSAT7 tahun Istilah lahan basah Muaragembong mempunyai arti sebuah kawasan daerah penelitian, sedangkan Muara Gembong memiliki arti sebuah nama muara. Lahan basah Muaragembong mengacu pada; Toponimi Indonesia (Rais, 2008), Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 9 tahun 2001 tentang Peta Administrasi Kabupaten Bekasi, Nomor 3 tahun 2003 tentang Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi, Nomor 4 tahun 2003 tentang Pengembangan Kecamatan Muaragembong (bagian dari kawasan khusus pantai utara) menjadi Kota Baru Pantai Makmur, dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat (2006) tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

43 Tg. Wetan PANTAIBAHAGIA PANTAIBAKTI Pantai PANTAIMEKAR Mekar PANTAIHARAPANJAYA JAYASAKTI Tg. Bungin Muara Bendera Sungai Citarum PANTAIBAHAGIA Pantai Bahagia Pantai Bakti T e l u k J a k a r t a PANTAISEDERHANA Pantai Sederhana Sungai Gembong Sungai Blacan Pantai Harapanjaya Jayasakti Sungai Gabeh M. Cikarang Sungai Cikarang Legenda : Batas Desa GAMBAR: GAMBAR PETA BATAS ADMINISTRASI DESA DAERAH MUARA GEMBONG, KABUPATEN BEKASI Jalan ,800 2,700 3,600 4,500 Meters Sumber: - Citra Satelit SPOT5, resolusi 5m, perekaman tahun Peta Rupabumi Indonesia, Skala 1:25.000, Publikasi Bakosurtanal Survey lapangan µ Peta Lokasi : P u l a u J a w a : Daerah Peneitian Disusun Oleh: Dewi Hermawati Setiani (SPL/995516) Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan sebaran desa (Pantai Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Sederhana, Pantai Mekar, Jayasakti dan Pantai Harapan Jaya).

44 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 tahun. Tiap tahapan draft dilakukan konsultasi dengan Pembimbinn, melalui diskusi perorangan dan melalui sidang komisi. Penelitian dimulai pada bulan Agustus 2005, dengan jadwal sebagai berikut; (1) pengambilan data primer dan sekunder (Agustus Februari 2006, ((2) analisis data hasil penelitian dan kunjungan lapangan (Februari 2006 Juli 2007), (3) penyusunana disertasi dan kunjungan lapangan bersama pembimbing (Juli 2006 s/d Juni 2007), (4) pengambilan data baru untuk kelengkapan data dan kunjungan lapangan (Juni 2007 s/d Oktober 2007), (5) analisis data hasil penelitian berdasarkan data baru (Oktober 2007 s/d April 2008), (6) penyusunan disertasi dengan data kebijakan baru (April 2008 s/d April 2010), (7) ujian tertutup (18 Juni 2010). 3.2 Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan untuk analisis adalah metode komparatif secara temporal (1946 s/d 2008) untuk memperoleh informasi tentang perubahan cakupan dan dinamika ekosistem lahan basah. Analisis terdiri atas empat tahap, yakni: (1) kajian kondisi dan potensi ekosistem lahan basah, (2) analisis kesesuaian lahan basah, (3) arahan zonasi, serta (4) analisis kebijakan pengelolaan lahan basah berkelanjutan. Analisis potensi dan kondisi ekosistem lahan basah Muaragembong mencakup, kajian kondisi flora, fauna, geologi termasuk akresi dan abrasi. Kondisi lahan basah Muaragembong dianalisis dengan jalan membandingkan lahan basah ini secara temporal dengan kriteria Ramsar untuk lahan basah Muaragembong (Tabel 4) (Silvius et al. 1987). Hasil analisis ini untuk mengetahui sejauh mana kondisi perubahan lahan basah saat ini dan potensi lahan basah ini untuk masa yang akan datang. Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan untuk mangrove, perikanan (tambak), pertanian (sawah) dan pemukiman dengan menggunakan matriks kesesuaian lahan. Hasil analisis kesesuaian digunakan untuk menyusun rencana zonasi yaitu kawasan konservasi dan kawasan pemanfaatan umum.

45 26 Analisis arahan zonasi dilakukan untuk memisahkan pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan mana kegiatan-kegiatan yang dilarang dan diijinkan untuk setiap zona peruntukan. Analisis ini dengan jalan GIS dan forum diskusi dengan stakeholder, dengan menggunakan analisis GIS (penyusunan peta dan matrik, pembobotan, pengharkatan, analisis spasial) dan diskusi dengan stakeholders. Hasil dari analisis ini dipakai untuk menentukan kebijakan pengelolaan lahan basah. Analisis kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan, untuk menentukan strategi pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh stakeholders; dengan jalan melalui analisis data spasial, analisis kesesuaian, tinjauan kebijakan pada lahan basah Muaragembong. Berkelanjutan disini dalam arti mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial di satu pihak dan melindungi alam di pihak lain, dengan kata lain, antara pemanfaatan di satu pihak dan konservasi di lain pihak. Kondisi penggunaan lahan saat ini dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan kawasan di masa lalu. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari hasil kebijakan tersebut menjadi masukan dalam pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan. Arahan kebijakan pengelolaan lahan basah mencakup dua hal utama yakni arahan pengelolaan lahan sesuai dengan zonasinya dan arahan kelembagaan pengelolaan lahan basah. Kedua hasil ini diperoleh melalui proses partisipatif dengan melibatkan stakeholder sehingga memudahkan implementasi kebijakan pengelolaan lahan basah. Integrasi konsep ini diharapkan memberikan solusi optimal pengelolaan lahan basah yang berkelanjutan. Sintesis dari ketiga analisis ini adalah kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong secara berkelanjutan. Kerangka pendekatan analisis pada lahan basah Muaragembong pada Gambar 3.

46 27 Kajian Kondisi dan Potensi Ekosistem Lahan Basah Flora (Mangrove) 1. Jenis : komparatif secara temporal. 2. Luas : analisis digital berdasarkan peta secara spasial terhadap penggunaan lahan tahun 1946, 1998, 2004, 2008, dibandingakan terhadap KEPMEN LH 201/2004 Fauna Jenis : Analisis komparatif secara temporal (1987 s/d 2008) Kriteria Ramsar Geologi Pesisir Aspek geologi (analisis deskriptif) dan aspek abrasi & akresi (analisis digital berdasarkan peta secara spasial). Analisis Kesesuaian Lahan Basah Analisis GIS (penyusunan peta dan matrik, pembobotan, pengharkatan, analisis spasial). Arahan Zonasi (UU 27/2007) Analisis GIS dan forum diskusi dengan stakeholder. Tinjauan Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah di Muaragembong yang ada Analisis deskriptif Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah yang Berkelanjutan Arahan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong: Kawasan non Budidaya dan Kawasan Budidaya Arahan Kelembagaan : Bentuk kelembagaan dan Mekanisme kerja Strategi Implementasi Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong yang Berkelanjutan Gambar 3. Kerangka Pendekatan Analisis.

47 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan di lahan basah Muaragembong dan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka di berbagai instansi (Tabel 3). Tabel 3. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan. No. Jenis Data Teknik Sumber Data Keterangan Pengumpulan 1. Kualitas air: suhu ( o C), Analisis - Primer. Tabel 24 dan salinitas (psu), ph, laboratorium. Gambar 18. Chemical Oxygen Demand (mg/l), Total Suspended Solid (mg/l). 2. Kedalaman sungai (m) Pengukuran - Primer Tabel Jenis burung, mamalia, reptilia. Tabel 20. Dokumentasi dari Instansi terkait, observasi lapangan dan wawancara penduduk. 4. Pendapat stakeholders. Rapat dengan stakeholder. 5. Luas kawasan mangrove tahun , jenis mangrove tahun Jumlah Penduduk 1985 s/d Peraturan Perundangundangan yang terkait dengan kebijakan penggunaan lahan Muaragembong. 8. Peta dasar, peta tematik (1946 s/d 2008), SPOT5 / LANDSAT7 / Analisis digital dengan data spasial berdasarkan peta, wawancara penduduk. Dokumentasi dari beberapa Instansi dan wawancara penduduk. Dokumentasi dari Instansi, internet, website dan sebagainya. Dokumentasi dari beberapa Instansi. - Primer. - Sekunder : Asian Wetland Bureau Indonesia, LPP Mangrove, Pusat Studi Kelautan UI, Bird Life Bogor. - Primer. - Primer : Observasi lapangan - Sekunder : LPP Mangrove, Pusat Studi Kelautan UI. - Sekunder: BPS Kabupaten. - Sekunder : Departemen Kehutanan, Bappeda Kabupaten Bekasi. Bakosurtanal. Lampiran 4. Tabel 34. Gambar 5, 6, 7, 8).

48 Analisis Data Kajian kondisi dan potensi lahan basah. Untuk menentukan kondisi dan potensi lahan basah, aspek yang ditinjau adalah mangrove, fauna, dan geologi. Aspek flora dan fauna digunakan metode deskriptif yaitu memperbandingkan kondisi lahan basah tahun 2008 dengan tahun 1987 pada kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong (Silvius et al. 1987) (Tabel 4). Tabel 4. Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong. Kriteria Kriteria Ramsar di Muaragembong 1 Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans). 2a 2c Lahan basah untuk mendukung kelompok spesies atau sub-spesies tumbuhan atau hewan yang berstatus langka, rentan terhadap kepunahan, atau sejumlah individu dari satu atau lebih dari spesies tersebut. Menurut IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), jenis-jenis yang memenuhi syarat dan telah disusun Silvius et al., adalah sebagai berikut; - Bluwok Putih (Mycteria cinerea). - Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus). - Kacamata Jawa (Zosterops flavus). - Burung Pecuk Ular (Anhinga melanogaster). - Kuntul Kecil (Egretta garzetta). - Burung Kipas-kipasan (Rhipidura javanica). - Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). - Kera Ekor Panjang (Macaca fasciculairs). - Lutung (Trachypithecus cristata). - Biawak (Varanus salvator). Lahan basah yang mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu lahan basah hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang. Kriteria Nilai Lahan Basah (Wetland Value) di Muaragembong A1 Kriteria Wetland Value Menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat local, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi. Sumber: Modifikasi dari Silvius et al. (1987).

49 30 Dalam penelitian ini, dapat dipetakan lahan basah Ramsar dengan koordinat Ramsar lintang 6 2' 7" S dan bujur 107 4' 45" E sesuai dalam kriteria Ramsar. Tahun 1987 peta Ramsar yang dihasilkan dengan luas ha dan tahun 2008 dengan luas ha (Gambar 27). Sedangkan aspek geologi, metoda yang digunakan adalah mendiskriditkan aspek-aspek geologi dalam peta geologi kuarter bersistem tahun 1981, sedangkan aspek akresi dan abrasi mengoverlaykan peta tahun 1946 dengan peta tahun Hasil analisis ini adalah informasi kualitas lahan basah dipandang dari akresi dan abrasi yang terjadi pada lahan basah ini. 1. Flora Flora yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mangrove, untuk mengetahui kondisi dan potensi mangrove, maka dikaji kondisi mangrove berdasarkan luas penutupan dan jenis mangrove pada lahan basah ini. Penutupan adalah perbandingan antara luas area penutupan dan luas total area penutupan. Dalam penelitian ini, kerusakan mangrove ditinjau dari (1) besarnya luas penutupan mangrove yaitu dengan jalan studi perbandingan, peta tahun 1946 (Gambar 4), diperbandingkan terhadap peta penutupan mangrove tahun 1998 (Gambar 5), 2004 (Gambar 6) dan 2008 (Gambar 7). dan (2) jumlah jenis mangrove yang hilang yaitu dengan jalan, memperbandingakan antara jumlah jenis mangrove dalam kriteria Ramsar dengan data primer (hasil observasi lapangan) dan data sekunder (LPP Mangrove 2003, Handayani dan Noverita 2004 dan Suhaeri 2005). Hasil analisis ini, memperoleh penafsiran luasan kerusakan mangrove berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove (Tabel 5). Tabel 5. Kriteria kerusakan mangrove. Kriteria Penutupan (%) Baik Sangat padat 75 Sedang 50 - <75 Rusak Jarang <50 Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004.

50 31 2. Fauna. Untuk mengetahui kondisi fauna, maka fauna yang dikaji adalah fauna yang terdaftar pada kriteria Ramsar untuk lahan basah Muaragembong. Metode yang digunakan metoda deskriptif yaitu jenis fauna dalam kriteria Ramsar tahun 1987 diperbandingkan dengan data primer dan data sekunder dari Sawego (1994), DKP-PKSPL IPB (2000), Pusat Studi Kelautan UI (2002), LPP Mangrove (2003), Tim Terpadu (2005), dan peninjauan lapangan (2004 dan 2008). 3. Geologi Pesisir Untuk mengetahui jenis endapan, dan besarnya abrasi pantai maupun akresi pada lahan basah ini, maka aspek yang ditinjau adalah aspek geologi dengan analisis deskriptif yaitu: (1) jenis endapan yang terdapat pada lahan basah Muaragembong mengacu Koesoemadinata dan Situmorang (1985), (2) abrasi dan (3) akresi. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Metoda yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis endapan adalah mengacu pada peta geologi kuarter lembar Batujaya dan Galian, Jawa (Koesoemadinata dan Situmorang, 1985). Aspek abrasi dan akresi adalah overlay peta tahun 1946, 1998, 2004 dengan peta tahun Perubahan penggunaan lahan basah mengakibatkan terjadinya akresi dan abrasi dibeberapa daerah. Data sedimentasi (data sekunder) diambil dari JANHIDROS (1978), Djaya dan Hadi (1980) Analisis kesesuaian lahan 1. Analisis Kualitas Air Analisis kualitas air untuk penggunaan lahan diutamakan pada kawasan mangrove, pertanian (sawah), perikanan (tambak) dan pemukiman. Kualitas air di lokasi penelitian dipengaruhi oleh aktivitas air laut perairan Laut Jawa dan air sungai yang berasal dari Ci Tarum. Pengambilan sampel air dilakukan pada tanggal 20 s.d. 22 Agustus 2005 (Gambar 8). Nilai parameter fisika kimia perairan yang diamati adalah suhu, ph, salinitas, total padatan tersuspensi (TSS) dan kebutuhan oksigen kimiawi (COD). Semua parameter tersebut dibandingkan dengan nilai baku mutu lingkungan

51 32 (BML) untuk masing-masing kegiatan pemanfaatan sumberdaya air sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Parameter tersebut digunakan untuk mengetahui kualitas di perairan bagi kesesuaian mangrove, tambak, sawah dan pemukiman. 2. Analisis GIS dan Data Spasial Analisis GIS dilakukan empat tahapan analisis yaitu: (a) penyusunan peta lahan basah; (b) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan; (c) pembobotan dan pengharkatan; dan (d) analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan. Analisis spasial dilakukan dengan teknik overlay semua parameter yang digunakan sehingga diperoleh lokasi yang sesuai untuk peruntukan pemanfaatan lahan mangrove, sawah, tambak dan pemukiman. Hasil analisis spasial digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun skenario perencanaan dan dapat mengidentifikasikan kegiatan pembangunan pada lahan basah dengan menentukan kriteria setiap kegiatan pembangunan. a. Penyusunan peta kawasan Penyusunan peta kawasan lahan basah dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta tematik yang bersumber dari berbagai instansi terkait. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip: (1) kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan atau konservasi; (2) kegiatan pengguna kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan; dan (3) hasil penyusunan peta kawasan yang telah sesuai dengan peruntukannya. b. Penyusunan matriks kesesuaian Kesesuaian pemanfaatan lahan basah, seperti hutan mangrove, pertanian, perikanan dan pemukiman, didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk masingmasing kegiatan tersebut. Kriteria ini didasarkan parameter biofisik. Kelas kesesuaian dibagi ke dalam empat kelas yang didefinisikan pada Tabel 6 dan kategori kesesuaian menurut skor pada Tabel 7.

52 33 Tabel 6. Kelas kesesuaian pemanfaatan lahan basah. Kelas Kesesuaian Definisi S1 (Sangat Sesuai) daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius (lahan dapat digunakan secara lestari) S2 (Sesuai) lahan dapat digunakan secara lestari tetapi mempunyai suatu pembatas S3 (Sesuai Bersyarat) lahan sangat sedikit dapat digunakan secara lestari tetapi mempunyai suatu pembatas N (Tidak Sesuai) lahan tidak dapat digunakan terhadap sesuatu pengguna tertentu secara lestari atau tidak mungkin diperbaiki Sumber : Dibyosaputro (2006). Tabel 7. Kategori kesesuaian menurut skor. No. Kategori Skor Total 1. S1 (sangat sesuai) S2 (sesuai) S3 (sesuai bersyarat) N (tidak sesuai) Sumber : Dibyosaputro (2006). Identifikasi dengan mempertimbangkan faktor pembatas masing-masing jenis kegiatan. Kriteria pemanfaatan ruang untuk konservasi mangrove (Tabel 8), tambak (Tabel 9), pertanian (Tabel 10) dan pemukiman (Tabel 11). Tabel 8. Matriks kesesuaian lahan untuk mangrove. Parameter Kemiringan Lereng Jarak dari Pantai Kategori Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor 0.20 <2 % % 3 >16 % 2 >16 % <200 m m m 2 >400 m 1 Ketinggian 0.20 <5 m m 3 >26 m 2 >26 m 1 ph Air atau 7, <3 atau>8 1 8 Salinitas psu Psu psu 2 <5atau>4 psu 1 Sumber : Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1995).

53 34 Tabel 9. Matriks kesesuaian untuk tambak. Parameter Kategori Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor Kemiringan 0.20 <2 % % % 2 >8 % 1 Jarak dari m dan 1 Pantai m m >2000 m Jarak dari Sungai m m m 2 >3000 m 1 Ketinggian 0.20 <5 m m m 2 >21 m 1 Salinitas psu psu 2 <5; >40 psu 1 Suhu C C C 2 <25 C 1 ph ; <3; >8 1 Sumber: Sugiharti et al. (2000). Tabel 10. Matriks kesesuaian kawasan pertanian (sawah). Parameter Kategori Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor Suhu C C C 2 >35 1 C ph , ; <3; >8 1 3 Ketersediaan air 0.30 >15 m m m 2 3 <5 m 1 Kemiringan % % % 2 >15 % 1 Ketinggian m m m 2 >20 m 1 Sumber: Sugiharti et al. (2000). Tabel 11. Matriks kesesuaian kawasan permukiman. Parameter Kategori Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor Kemiringan lereng % % % 2 >16 % 1 Jalan m m m 2 >1000 m 1 Ketersediaan Air Tawar 0.20 > <5 1 Ketinggian m m 3 >21 m m 1 Drainase 0.15 Tidak 4 Tidak 3 Tergenang 2 Tergena 1 tergenang tergenang periodik ng Kedalaman efektif tanah cm 4 3 <30 cm 2 >90 cm 1 Sumber : Modifikasi dari MSP-IPB dan DKP (2003) c. Pembobotan dan pengharkatan Pembobotan (weighting) pada setiap faktor pembatas ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Besarnya pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi

54 35 lahan. Pembobotan dan pengharkatan tidak memiliki nilai yang mutlak, karena hanya digunakan untuk memudahkan analisis terhadap evaluasi kesesuaian lahan. Di dalam penelitian ini bobot untuk seluruh parameter adalah antara Dengan demikian total nilai bobot untuk seluruh parameter dalam setiap peruntukan lahan adalah 1.0. Penentuan skor (scoring) berkisar antara 1 sampai 4. Dengan pemberian nilai seperti diatas (bobot dan skor), maka akan diperoleh total skor untuk setiap peruntukan adalah antara 1 sampai 4. Atas dasar nilai tersebut maka kelas kesesuaian lahan ditentukan sebagai range skor kelas kesesuaian (Tabel 8). 3. Penyusunan zonasi Hasil dari analisis kesesuaian, analisis potensi dan kondisi ekosistem lahan basah digunakan sebagai dasar penentuan zona konservasi dan zona pemanfaatan umum Arahan zonasi Tujuan rencana zonasi adalah untuk memadukan pemanfaatan dan pembangunan sumberdaya jangka panjang dalam suatu kawasan perencanaan, serta untuk mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya (Bappeda Provinsi Sumatera Barat 2005). Undang-undang Perencanaan Tata Ruang (UU Nomor 26 tahun 2006) menetapkan 2 (dua) kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Zonasi pada lahan basah Muaragembong sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Dalam hal ini identifikasi isuisu sumberdaya yang didapat dari kondisi dan potensi ekosistem serta berdasarkan potensi dan kesesuaian lahan basah. Disamping itu zonasi yang diusulkan juga mempertimbangkan Kebijakan Tata Ruang pesisir Muaragembong tahun Kabupaten Bekasi (Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi 2003), Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/Menhut-II/2005 yaitu perubahanan fungsi sebagai kawasan hutan lindung Ujungkarawang Muaragembong menjadi hutan produksi tetap, Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Zonasi ini

55 36 digunakan sebagai bahan usulan pengelolaan dalam menetapkan arahan pemanfaatan untuk setiap bagian dari lahan basah Muaragembong. Pembagian zonasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Batas zona yang digunakan adalah batas ekologi (habitat). Pada kawasan lahan basah Muaragembong dibagi menjadi dua kawasan yaitu (1) kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan lindung yang optimal bagi pengendalian abrasi dan akresi, serta perlindungan habitat satwa; (2) kawasan pemanfaatan umum. Metode analisis dan pemetaan yang dilakukan dalam penentuan zonasi pemanfaatan lahan adalah Sistim Informasi Geografis. Perangkat yang digunakan adalah Program Arc GIS 9.3 untuk pengolahan data citra dan untuk pengolahan data vektor dalam database lahan. Citra yang digunakan adalah citra LANDSAT 7 untuk mendapatkan pata Rupa Bumi (RBI) Tahun 2008, SPOT5 untuk mendapatkan peta Rupa Bumi (RBI) Tahun 2004, dan data digitasi RBI tahun 1946, 1992, dan Referensi posisi dan sistem koordinat yang digunakan mengikuti standar SNI (Standar Nasional Indonesia), yaitu sesuai dengan Peta Rupabumi Indonesia yang dipublikasikan oleh Bakosurtanal, skala 1: Untuk mempercepat dan membuat lebih tepat dalam proses perhitungan luas pada Tabel 42, maka tahapan perhitungan luas dengan menggunakan GIS sesuai dengan posisi dalam proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut; (1) sumber peta dari citra maupun dari peta rupa bumi, (2) peta didigitasi yang menghasilkan peta dalam koordinat lokal, (3) Posisi lahan basah Muaragembong berada pada UTM zona 49 selatan dengan hasil tersebut maka luas hasil digitasi akan sama luasnya yang ada dipermukaan bumi. Proses penentuan zona dengan jalan overlay antara peta penggunaan lahan tahun 2008 dengan (1) peta Ramsar (1987), (2) peta Tata Ruang Muaragembong Bekasi tahun , (3) Surat Keputusan Nomor 475/MENHUT-II/2005, (4) peta Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008, dan (5) hasil analisis kesesuaian lahan. Disamping itu juga dilakukan secara partisipatif melibatkan masyarakat, pemerintah, pengusaha dan perguruan tinggi (pakar). Teknik pembahasan yang

56 37 dilakukan adalah forum diskusi. Forum diskusi dilaksanakan dengan Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat di kota Bekasi dan di kantor kecamatan Muaragembong yang diikuti oleh wakil dari setiap stakeholder Penentuan arahan kebijakan pengelolaan Penentuan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan adalah dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Analisis perubahan penggunaan lahan dengan jalan overlay beberapa peta tahun 1946, 1998, 2004 dan Pada tahap awal dilakukan kajian terhadap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah Muaragembong. Kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong mencakup dua hal utama yakni pengelolaan lahan basah dan kelembagaan pengelolaan lahan basah Muaragembong. Strategi implementasi pengelolaan lahan basah dilakukan dengan diskusi dengan stakeholder, difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang pengelolaan lahan basah Muaragembong, dengan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan lahan basah Muaragembong. Metoda yang digunakan adalah dengan cara forum diskusi yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu (1) forum diskusi I untuk menggali kebutuhan dan keberatan dari masyarakat terhadap pengelolaan lahan basah, (2) forum diskusi II adalah konsultasi hasil kompilasi masukan yang didapat dari masyarakat dan hasil penelitian kedalam usulan penelitian pengelolaan lahan basah.

57 38 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Potensi Ekosistem Lahan Basah Muaragembong. Analisis kondisi dan potensi lahan basah Muaragembong dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi flora, fauna, geologi termasuk abrasi dan akresi dan kualitas air. Aspek yang diamati adalah perubahan kualitas lahan basah untuk jangka waktu tertentu. Peta yang digunakan adalah peta tahun 1946 (Gambar 4), peta 1998 ( Gambar 5), SPOT5 tahun 2004 (Gambar 6), dan LANDSAT7 tahun 2008 (Gambar 7) Mangrove Kondisi mangrove ditinjau terhadap; (1) perubahan luas penutupan mangrove tahun 1946, 1998, 2004, 2008 dan Ramsar (1987) yang mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove dan; (2) jumlah jenis mangrove yang hilang untuk tahun 2000, tahun 2003, tahun 2004, tahun 2005 dan tahun 2008; yang mengacu pada kriteria Ramsar tahun Kriteria tersebut menyatakan lahan basah Muaragembong adalah daerah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans) (Silvius et al. 1987). 1. Luas penutupan mangrove Luas penutupan mangrove berkurang dari tahun ke tahun, diakibatkan oleh perubahan peruntukan penggunaan lahan. Kondisi ini disebabkan oleh eksploitasi berlebihan oleh masyarakat dan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah untuk penggunaan lahan basah, misalnya merubah kawasan hutan tetap menjadi kawasan hutan produksi tetap seluas ha (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/MENHUT-II/2005). Hasil overlay beberapa kebijakan dengan kondisi lahan basah tahun 2008, menggambarkan prosentasi luas penutupan mangrove pada kondisi tahun 2008 di beberapa kebijakan sangat kecil (Tabel 14 dan Gambar 8).

58 Gambar 4. Penggunaan lahan tahun 1946 pada lahan basah Muaragembong. 39

59 Gambar 5. Penggunaan lahan tahun 1998 pada lahan basah Muaragembong. 40

60 Gambar 6. Penggunaan lahan tahun 2004 pada lahan basah Muaragembong. 41

61 Gambar 7. Penggunaan lahan tahun 2008 pada lahan basah Muaragembong. 42

62 43 Tabel 12 adalah hasil overlay peta Ramsar tahun 1987 seluas ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Ramsar, tahun 2008 penutupan mangrove tinggal seluas 535 ha atau sebesar 5 % dari ha. Tabel 13 adalah overlay peta Tata Ruang Tahun Kabupaten Bekasi seluas 600 ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Tata Ruang, tahun 2008 penutupan mangrove hanya tinggal seluas 75 ha atau sebesar 13 % dari 600 ha. Tabel 14 adalah hasil overlay peta Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/MENHUT-II/2005 tahun 2005 seluas ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, tahun 2008 penutupan mangrove hanya tinggal seluas 405 ha atau 5 % dari ha. Serta Tabel 15 adalah hasil overlay peta Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 seluas ha (100%) dengan penggunaan lahan tahun 2008 didapat, luasan mangrove jika mengacu pada Peraturan Presiden tersebut, maka penutupan mangrove tahun 2008 hanya tinggal seluas 387 ha atau 8% dari ha. Hal ini menunjukan, luas lahan penutupan mangrove (lahan basah alami) pada tahun 2008, hanya 5% sampai dengan 13% jika dibandingkan dengan luasan penutupan mangrove yang terdapat pada Ramsar, Tata Ruang dari Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Keputusan Menteri Kehutanan tahun 2005 serta Peraturan Presiden Nomor 54 tahun Resume hasil analisis luas penutupan mangrove kondisi saat ini (2008), pada beberapa kebijakan pada lahan basah Muaragembong pada Tabel 16. Tabel 12. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap Ramsar. Hasil Analisis Penggunaan Lahan Bassah Tahun 2008 Total Mangrove Terhadap Luasan Ramsar (ha) pada Lahan Basah Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Alami (Mangrove) (ha) (%) Luasan Ramsar (Silvius et al., 1987) Hasil Analisis Penggunaan lahan basah alami tahun 2008 (Mangrove)

63 Tabel 13. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap RTR Hasil Analisis Penggunaan Lahan Basah Tahun 2008 Total Mangrove Terhadap Peta Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun (ha) pada Lahan Basah Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami alami (Kawasan Lindung) Pariwisata Kawasan Kawasan Pemukiman Perkantoran Pelabuhan (ha) (%) Hutan Tambak & KPI Peta Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun Hasil Analisis Penggunaan lahan basah alami tahun 2008 (Mangrove) Tabel 14. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap SK 475/MENHUT-II/2005. Hasil Analisis Penggunaan Lahan Bassah Tahun 2008 Total Mangrove Terhadap KEPMEN No.54/Menhut-II/2005 (ha) pada Lahan Basah Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Alami (Hutan Lindung) Hutan Produksi (ha) (%) KEPMEN No. 475/Menhut-II/ Hasil Analisis Penggunaan lahan basah alami tahun 2008 (Mangrove) Tabel 15. Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap PP 54/2008. Hasil Analisis Penggunaan Lahan Basah Tahun 2008 Total Mangrove Terhadap Perpres 54/2008 (ha) pada Lahan Basah Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Alami (Hutan Lindung) Hutan Hutan Pemukiman Pemukiman (ha) (%) Produksi Produksi Terbatas Hunian Padat Hunian Sedang Perpres 54/ Hasil Analisis Penggunaan lahan basah alami tahun 2008 (Mangrove) Tabel 16. Hasil overlay luas penutupan mangrove (2008) dengan kebijakankebijakan di lahan basah Muaragembong. Kebijakan pada lahan basah Muaragembong Luas penutupan mangrove berdasarkan kondisi saat ini (peta tahun 2008) (%) Ramsar 1987 (Silvius et al.) 5 Tata Ruang Kabupaten Bekasi ( ) 13 KEPMEN 475/Menhut-II/ Perpres 54/ Luas kawasan hutan mangrove setiap tahun semakin menurun (Tabel 17 dan Gambar 9). Tahun 1946 luas kawassan hutan mangrove seluas ha (104%) dan berdasarkan Ramsar tahun 1987 seluas ha (100%), namun pada tahun 1998 menurun tajam menjadi seluas 704 ha (7%), tahun 2004 seluas

64 ha (2.3%) dan tahun 2008 menjadi tinggal 1.92 ha (2.17%). Perubahan pada pantai bagian utara akibat kegiatan penduduk. Berkurangnya luas kawasan mangrove akibat adanya pengaruh konversi lahan menjadi tambak dan sawah. Tabel 17. Luas penggunaan lahan basah untuk mangrove tahun 1946 s/d Tahun (Ramsar) Luas (ha) Persentase (%) Gambar 8. Luas penutupan mangrove kondisi saat tahun 2008 pada kebijakan yang berlaku di lahan basah Muaragembong. Perubahan Luas Kawasan Mangrove pada Lahan Basah Muaragembong Tahun (ha) 2008 Tahun (Ramsar) Luas kawasan mangrove (ha) (ha) Gambar 9. Perubahan luas lahan mangrove (1946 s/d 2008).

65 46 2. Perubahan Jenis Mangrove. Jenis mangrove yang terdapat di lahan basah ini, umumnya terdiri dari Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp., dan Nypa fruticans. Pada tahun 1998 dilakukan penanaman mangrove oleh Fakultas Kehutanan IPB, Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi (Biro Lingkungan Hidup) dan Perhutani. Hasil penanaman sebagai berikut: pada daerah pantai cukup baik, sedangkan daerah lainnya mempunyai kondisi yang sangat buruk. Pada 30 m dari garis pantai terdapat jenis Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., dan Bruguiera sp. Pada daerah tersebut, didominasi oleh Avicennia sp. yang merupakan permudaan alam dan mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat (LPP Mangrove 2000). Permudaan hutan terus berlangsung dengan adanya pertambahan daratan yang terus-menerus sepanjang tahun. Mangrove tumbuh lebat di Muara Bendera dan Muara Sorongan. Mangrove tumbuh jarang di Tanjung Wetan. Di Muara Beting mempunyai dua jenis mangrove yang mempunyai ketebalan mangrove terluas yaitu jenis Avicennia sp. dan Rhizopora sp., namun sebagian besar lokasi lain, mangrove berkurang bahkan terancam hilang dengan tergantikannya dengan tanaman-tanaman daratan. Di lokasi permudaan alam, didominasi oleh Avicennia sp. Di Muara Bendera, komposi jenis didominasi oleh Avicennia sp., dan Rhizophora sp. Jenis Avicennia sp. mempunyai pertumbuhan yang cukup cepat dan merupakan permudaan alam. Pada bagian pantai sebagian besar adalah Avicennia sp., sedangkan dekat muara banyak dijumpai jenis Rhizophora sp. Pada bagian tengah tambak atau pada pinggir tambak dan sepanjang sungai banyak dijumpai jenis Sonneratia sp. (Pidada). Sedangkan pada areal bekas pertambakan, persawahan yang tidak terurus ataupun daratan yang terbuka yang sedikit digenangi oleh air banyak dijumpai pohon Nipah (Nypa fruticans). Perubahan kawasan mangrove menjadi kawasan pemanfaatan (tambak, sawah dan pemukiman), menyebabkan berkurangnya satu jenis jenis mangrove yaitu jenis Bruguiera sp. dari lima jenis mangrove yang ada (Tabel 18 dan Gambar 10), disebabkan oleh Bruguiera sp. tumbuh pada bagian hulu lahan basah. Mangrove yang ada saat ini hanya pada daerah pantai. Jenis mangrove didominasi oleh Api-Api.

66 Tabel 18. Perubahan jenis mangrove di lahan basah Muaragembong. No Jenis Mangrove Tahun / Avicennia sp. (Api-api) 2. Bruguiera sp. (Tancang) Rhizophora sp. (Bakau) 4. Sonneratia sp. (Prapat) 5. Nypa fruticans (Nipa) Sumber: Silvius et al. (1987), LPP Mangrove (2000 dan 2003), Handayani et al. (2004), Suhaeri (2005) dan Observasi lapangan (2004, 2005 dan 2008). Besarnya penutupan lahan alami sebesar 1.7% < 50% dari total luas lahan, maka berdasarkan kriteria kerusakan mangrove pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, kondisi mangrove dinyatakan rusak. Avicennia Rhizophora sp. Gambar 10. Jenis mangrove yang ada di lahan basah Muaragembong.

67 Fauna Jumlah jenis fauna dalam kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong (1987), diperbandingkan terhadap jenis fauna tahun 1994, 2000, 2002, 2004, 2005 dan Jenis fauna yang diamati adalah mamalia, burung dan reptilia serta ikan. Sedangkan jumlah fauna tidak termasuk dalam penelitian ini. 1. Mamalia. Pada lahan basah ini, jenis mamalia dalam kriteria Ramsar ada tiga yaitu Macan tutul jawa, kera ekor panjang dan lutung (Silvius et al. 1987). Di sepanjang Ci Tarum, mamalia yang ditemukan adalah kera ekor panjang, banyak dijumpai di daerah sungai Kramat dan sungai Larangan, Lutung terdapat didaerah di Muara Beting dan Muara Bendera. Ancaman kepunahan mamalia tersebut adalah diburu dan pengrusakan hutan tempat hidup tempat sumber makanan dari satwa tersebut. Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia (2002) menemukan beberapa jenis mamalia dan beberapa jenis satwa dalam kategori kriteria Ramsar yaitu jenis Lutung dan Kera Ekor Panjang. Tim Terpadu (2005) dan bedasarkan observasi lapangan (2006), terdapat Kera Ekor Panjang di daerah Sungai Kramat dan sungai Larangan dan Lutung di Muara Beting dan Muara Bendera. Terdapat 15 jenis mamalia di kawasan hutan lindung Muaragembong (Tim Terpadu 2005). 2. Burung. Pada lahan basah ini, jenis-jenis burung berdasarkan kriteria Ramsar yaitu Bluwok putih, Bangau tong-tong, Kacamata Jawa, Burung pecuk ular, Kuntul kecil dan Burung kipas-kipasan (Silvius et al. 1987). Berdasarkan hasil pengamatan Sunarto dan Melisch (1994), di kawasan mangrove, tepi sungai, tambak terdapat Kuntul Kecil dan Burung Kipas-kipasan. Di sepanjang Ci Tarum dijumpai Bluwok Putih, Bangau Tong-tong (LPP Mangrove 2000). Di berbagai habitat pada lahan basah Muaragembong terdapat Bluwok putih, Bangau tongtong, Kuntul kecil, Burung pecuk ular, Kacamata jawa dan Kipas-kipasan (Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia 2002; Suhaeri 2005 dan Tim Terpadu 2005).

68 49 Dan tedapat Kuntul Kecil dalam jumlah yang cukup besar di Muara Bendera. Hal ini disebabkan hutan mangrove di daerah tersebut masih lebat. Seratus lima puluh delapan (158) jenis burung tercatat di wilayah hutan lindung Muaragembong, enam jenis terancam punah berdasarkan kriteria IUCN (Tabel 20). Pada saat musim dingin di bumi belahan utara, jenis-jenis burung perancah dan burung laut seperti cerek, gajahan, trinil, kedidi dan dara laut akan berimigrasi ke selatan termasuk ke wilayah hutan lindung Muaragembong (Tim Terpadu 2005). Di sepanjang Ci Tarum dijumpai Bluwok Putih, Bangau Tong-tong, (LPP Mangrove 2000). Di berbagai habitat pada lahan basah Muaragembong terdapat Bluwok Putih, Bangau Tong-tong, Kuntul Kecil, Burung Pecuk Ular, Kacamata Jawa dan Kipas-kipasan (Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia 2002; Suhaeri 2005 dan Tim Terpadu 2005). Dalam peninjauan lapangan, di Muara Bendera tedapat Kuntul Kecil dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini disebabkan hutan mangrove di daerah tersebut masih lebat. 3. Reptilia Terdapat enam jenis reptilia termasuk Biawak sesuai kriteria Ramsar (Silvius et.al. 1987) di lahan basah Muaragembong yang berada di sepanjang Ci Tarum (LPP Mangrove 2003; Suhaeri 2005 dan Tim Terpadu 2005). 5. Ikan Sebanyak 11 jenis ikan di lahan basah Muaragembong, yaitu Kepala Timah, ikan Sepat, ikan Kakap, ikan Bandeng, ikan Gabus, ikan Mujair, ikan Blosok, ikan Sidat, ikan Belanak, ikan Blodok dan ikan Sembilang. Sebanyak ton/tahun produksi ikan dari empang dan ton/tahun ikan dari laut lepas yang dihasilkan dari kecamatan Muaragembong (Tim Terpadu 2005). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka disimpulkan bahwa fauna yang hilang adalah satu jenis mamalia (Macan tutul jawa) dari tiga jenis yang ada, sedangkan jenis burung dan reptilia tidak mengalami penurunan jenis (Tabel 19), atau dengan kata lain masih dijumpai jenis fauna dalam kriteria Ramsar.

69 Tabel 19. Jenis fauna Mamalia Keadaan populasi fauna di Muaragembong berdasarkan berbagai laporan penelitian. Jenis fauna berdasarkan kriterian Ramsar 1. Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). 2. Kera Ekor Panjang (Macaca fasciculairs). 50 Jenis fauna berdasarkan tahun Lutung (Trachypithecus cristata). Burung 1. Bluwok Putih (Mycteria cinerea). 2. Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus). 3. Kacamata Jawa (Zosterops flavus). 4. Burung Pecuk Ular (Anhinga melanogaster). 5. Kuntul Kecil (Egretta garzetta). 6. Burung Kipas-kipasan (Rhipidura javanica). Reptilia 1. Biawak (Varanus salvator). Sumber: Data diolah dari Silvius et al. (1987), Sawego (1994); LPP Mangrove (2000), DKP-PKSPL IPB (2000); Pusat Studi Kelautan UI (2002); Tim Terpadu (2005); dan Peninjauan lapangan (2004, 2005 dan 2008) Geologi Pesisir Fisiografi dataran pantai ini seluruhnya merupakan daerah datar yang agak miring ke arah utara (Situmorang 1997). Wilayah lahan basah Muaragembong berdasarkan Peta Sketsa Zona Fisiografi Jawa dan Madura (Van Bemmelen 1949 dalam Situmorang 1982) terletak pada Dataran Aluvium Utara Jawa yang terkenal dengan sebutan Dataran Pantai Batavia. Pedataran pantai ini terbentang mulai dari barat ke timur, dari Provinsi Banten sampai ke Provinsi Jawa Timur dengan ketinggian dari muka laut antara 1 meter sampai 10 meter. Geologi di wilayah ini terdiri dari endapan yang terbentuk dari hasil sedimentasi. Endapan tersebut umumnya ditutupi oleh endapan dataran banjir, sehingga untuk mengetahui endapan lainnya harus dilakukan pemboran. Data bor hingga kedalaman 16 meter (Situmorang 1982) dan peta geologi Kuarter (Koesoemadinata dan Situmorang 1985) (Gambar 11), menunjukkan beberapa endapan yang mendominasi yaitu: endapan laut dangkal, endapan rawa diatas endapan laut dangkal, endapan pantai dan pematang pantai diatas endapan laut dangkal, endapan dataran banjir diatas endapan rawa dan endapan sungai.

70 51 Gambar 11. Peta geologi kuarter lembar Batujaya dan Galian, Jawa (Koesoemadinata et al. 1981). Fasies-fasies ini umumnya relatif muda, berlangsung selama Holosen (Awal Kuarter). Berdasarkan penentuan umur mutlak C-14 dating (Situmorang 1983) telah diketahui umur endapan laut dan gambut yang berjarak 20 km dari garis pantai, pada kedalaman 6 m dari permukaan tanah berumur sekitar tahun. Berarti Dataran Pantai Batavia tersebut ditafsirkan terbentuk pada masa Holosen (kurang dari tahun yang lalu). Topografi di wilayah lahan basah Muaragembong (Gambar 12) berkisar antara 1 sampai 4 m, dimana wilayah pantai paling datar terdapat di bagian utara

71 52 didominasi oleh ketinggian 1 dan 2 m. Wilayah yang terdatar ketinggian 0-1 m terdapat di sekitar Muara Tanjung Karawang Tanjung Bungin. Batimetri wilayah perairan ini termasuk perairan dangkal berkisar antara satu sampai 22 meter di bawah laut (Gambar 12). Daerah pendangkalan terluas terletak di selatan Muaragembong sampai Muara Tawar (Situmorang 1997). Gambar 12. Peta topografi dan batimetri pada lahan basah Muaragembong (Peta Rupabumi Tahun 1981/1982). Faktor penting yang menentukan ciri ekologis lahan basah adalah pola aliran air, frekuensi dan lamanya genangan, dan pasokan air tawar. Pola aliran air di pantai dipengaruhi oleh arus laut regional pada wilayah pantai Utara dan arus pasang surut pada wilayah Barat (Tim Terpadu 2005). Pola aliran air di dataran dipengaruhi oleh keberadaan Ci Tarum beserta anak-anak sungainya dan topografi pada lahan basah ini. Frekuensi dan lamanya genangan dipengaruhi oleh curah hujan dan pasang surut. Curah hujan pada daerah ini relatif kecil sekitar mm/tahun (BMG Jakarta 1971). Perairan pada lahan basah Muaragembong memiliki perairan yang relatif sama untuk pesisir di utara Jawa lainnya, yaitu dengan tipe

72 53 pasang surut diurnal (perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari). Tinggi pasang surut berkisar antara cm. Tunggang air pasang tertinggi (TAPT) di perairan pantai Jawa utara adalah 1.1 meter (KMNLH RI dan PKSPL dalam Tim Terpadu 2005). Pasokan air tawar pada lahan basah dipengaruhi oleh keberadaan Ci Tarum dan Ci Herang. Ci Tarum terdapat di wilayah administrasi desa Pantai Bahagia, yang mengalir dari arah timur ke barat. Sedangkan Ci Herang yang mengalir hampir sejajar dengan aliran Ci Tarum, bermuara di wilayah administrasi Desa Harapan Jaya. Musim kemarau, tidak pernah mengalami kekeringan atau masih tersedia air, sedang musim penghujan volume dan debit air begitu tinggi sehingga sering mengalami kelimpahan air yang menyebabkan banjir menggenangi areal-areal disekitarnya. Kelimpahan air semakin meningkat apabila dimusim penghujan disertai oleh peristiwa air laut pasang. Pengaruh kontribusi hujan sangat berarti terhadap kelimpahan air di badan-badan sungai utama maupun anak-anak sungainya. Kelimpahan air yang terdapat di desa Harapan Jaya, terutama di wilayah-wilayah pengelolaan budidaya pertanian sering merupakan faktor penunjang keberhasilan budidaya pertanian. Tipe aliran sungai merupakan tipe braided river yang secara umum sungai utamanya masih belum banyak berubah. Sungai-sungai dengan ukuran dan debit yang relatif kecil merupakan anak-anak sungai Ci Tarum maupun Ci Herang. Musim kemarau, tidak pernah mengalami kekeringan atau masih tersedia air, tetapi baik volume maupun debit air di sungai-sungai tersebut menjadi sangat berkurang. Musim penghujan volume dan debit air begitu tinggi sehingga sering mengalami kelimpahan air yang menyebabkan banjir menggenangi areal-areal disekitarnya. Kelimpasan dan pasokan air tawar dipengaruhi oleh keberadaan sungai tersebut. Data foto udara tahun 1981/1982 (Gambar 13) memperlihatkan bahwa sungai yang mengalir di wilayah lahan basah Muaragembong terdiri dari Ci Tarum, Kali Bekasi, Ci Karang, Ci Herang, Kali Kratan. Ci Tarum merupakan sungai yang mendominasi wilayah ini dengan anak-anak sungainya seperti Kali Muaragembong, Solo Bungin, Solo Wetan dan Solo Kulonsorongan. Pola aliran sungai di bagian selatan sebagian besar telah diubah oleh penduduk setempat menjadi saluran irigasi pertanian.

73 54 Gambar 13. Pola dan daerah alirah aliran sungai sekitar lahan basah Muaragembong Berdasarkan penafsiran data foto udara tersebut, maka dapat ditentukan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: a. DAS Citarum Utara, merupakan bagian dari aliran Ci Tarum di sebelah utara dengan anak-anak sungainya yaitu Solo Bungin, Solo Wetan dan Solo Kulonsorongan. Tipe aliran sungai merupakan tipe Braided River yang secara umum sungai utamanya masih belum banyak berubah. b. DAS Kali Bekasi Solo Blacan, DAS ini terdapat di bagian barat yang didominasi oleh Kali Bekasi dan Solo Blacan dengan tipe pola aliran sungai mendaun (dendritic). c. DAS Citarum Timur, merupakan bagian dari aliran Ci Tarum di sebelah timur dengan pola aliran sungai sejajar, sebagian besar bagian selatannya anak-anak sungainya yaitu Solo Bungin, Solo Wetan dan Solo Kulonsorongan. Tipe aliran sungai merupakan tipe Braided River yang secara umum sungai utamanya masih belum banyak berubah. d. DAS Cikarang Ciherang, dialiri oleh sungai-sungai seperti Ci Karang dan Ci Herang, hampir seluruh pola aliran sungai telah diubah menjadi saluran irigasi/kanal untuk pertanian.

74 55 e. DAS Kali Kratan, merupakan DAS di sebelah barat dengan bentuk pola aliran sungai sejajar. Dalam DAS ini juga hampir seluruh pola aliran sungai telah diubah menjadi saluran irigasi/kanal untuk pertanian. Berdasarkan pola aliran air, frekuensi dan lamanya genangan, serta pasokan air tawar, disimpulkan lahan basah ini memiliki ketersediaan air yang mempunyai fungsi sebagai lahan basah. Abrasi dan Akresi. Lahan basah Muaragembong terbentuk oleh transportasi sedimen melalui Ci Tarum yang berkontribusi terhadap pembentukan pantai. Perubahan garis pantai akibat transportasi sedimen dari sungai. Perubahan penggunaan lahan basah mengakibatkan terjadinya akresi dan abrasi dibeberapa daerah. Dalam analisis ini terdapat dua kategori yang dianalisis, yaitu (1) abrasi pantai dan (2) akresi. Data sedimentasi diambil dari JANHIDROS (1978) dan Djaya dan Hadi (1980). Karakteristik pantai sepanjang pantai barat didominasi oleh lumpur dan tumbuhan mangrove yang tersebar setempat-setempat sepanjang pantai barat, di wilayah rawa-rawa (Situmorang 1997). Abrasi sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan penduduk dan luas muara Ci Tarum setiap tahunnya bertambah akibat sedimentasi penggundulan hutan pada Daerah Aliran Sungai Citarum bagian hulu. Lahan basah ini berperan dalam pemeliharaan proses alami yaitu perlindungan pantai melawan erosi (Silvius et al. (1987). Tahun 1946 luas lahan basah sebesar ha, akibat sedimentasi dari sungai sehingga tahun 1998 luas lahan menjadi ha dan abrasi akibat penggalian pasir, sehingga tahun 2004 luas lahan basah menjadi ha (Tabel 20 dan Gambar 14). Luas Lahan Basah Luas Lahan Basah (ha) Total Luas Lahan Basah Tahun Gambar 14. Luas Lahan Basah Muaragembong tahun

75 56 Tabel 20. Akresi dan Abrasi. Tahun Luas (ha) Abrasi. Faktor tata guna lahan di wilayah ini mencerminkan intensitas manusia dalam penggunaan lahan untuk tambak dan sawah serta berpengaruh terhadap keberadaan mangrove. Dampaknya adalah terjadi abrasi pada beberapa daerah dan menurunnya jenis flora dan fauna. Terjadi abrasi pantai akibat proses alam di sekitar Muara Blacan dan abrasi tertinggi pada pantai utara (Tanjung Wetan) Desa Pantai Bahagia (Gambar 15 dan 16) diakibatkan oleh kegiatan penggalian pasir. Pada pantai barat (Muara Legon dan Muara Blakan) terdapat abrasi walaupun tidak sebesar pada Tanjung Wetan (Gambar 17). Gambar 15. Panorama abrasi di Tanjung Wetan pada tanggal 10 Mei 2006 (Situmorang 2006). Gambar 16. Peta di Tanjung Wetan Tahun 1993 dan 2004.

76 57 2. Akresi Sedimentasi dan akresi pantai mendominasi di daerah pantai barat. Sedangkan di wilayah pantai timur, jelas terlihat pantai berpasir kasar yang sudah terbentuk sejak lama, hal ini dibuktikan dengan dominasi torehan endapan pematang pantai yang terdapat jauh kearah daratan. Pantai berpasir juga tersebar umumnya di muara-muara sungai antara lain: Muara Tanjung Krawang, Muara Beting dan Muara Bungin, sedangkan di muara sungai lainnya biasanya diendapkan sedimen lumpuran. Sedimen yang terjadi merupakan sedimen halus yang pembentukannya didominasi oleh akumulasi sedimen yang berasal dari sungai. Proses abrasi terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan dari mangrove berubah menjadi tambak dan permukiman (Verstappen 1953 dalam Situmorang 1982). Sebelum tahun 1945 hutan mangrove di daerah pesisir dan pantai Teluk Jakarta sangat tebal dan luas dan merupakan daerah perlindungan hutan pesisir (dilarang untuk ditebang) dan alokasi lahan tambak sudah ditentukan oleh Pemerintah Belanda. Lahan basah dalam pengaturan sistem alami, dipengaruhi oleh sedimentasi dari sungai yang dipengaruhi oleh Ci Tarum beserta anak-anak sungainya. Sedimen dari Ci Tarum pada lahan basah ini dapat berfungsi sebagai perlindungan pantai dari abrasi. Bertambahnya daratan tiap tahunnya akibat terjadinya sedimentasi dari sungai (Tabel 21) dan perubahan lahan basah hasil analisis (Tabel 22). Tabel 21. Bertambahnya lahan basah akibat sedimentasi dari sungai. Tahun Bertambahnya daratan lahan basah Sumber Muara sungai Ci Tarum bertambah m/tahun JANHIDROS, Muara sungai Ci Tarum bertambah 44 m/tahun Djaja, Luasan lahan basah 16 ha/tahun Hasil analisis GIS Sumber: Djaya dan Hadi (1980), hasil analisis (2008). Tabel 22. Perubahan luasan lahan basah hasil analisis. Perubahan lahan basah Tahun Luas Perubahan 62 tahunan (ha) Luas Perubahan 1 (satu) tahunan (ha) Akresi (ha) Abrasi (ha) 307 5

77 58 Akresi sebesar 979 ha atau 16 ha tiap tahun dan abrasi sebesar 307 ha atau 5 ha tiap tahun. Perubahan garis pantai tahun 1946 dan tahun 2008 (Gambar 17) disebabkan sedimentasi dari sungai dan abrasi pantai dan sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan penduduk. Luas lahan basah di daerah Desa Pantai Bahagia berkurang drastis akibat penggalian pasir yaitu pada Juli sampai dengan Desember LANDSAT menunjukan sedimentasi dari sungai yang merupakan penyebab utama terbentuknya akresi. Hal ini nampak jelas dari penyebaran kekeruhan air laut di dekat pantai khususnya sekitar muara sungai. Perubahan garis pantai pada lahan basah Muaragembong dapat dilihat pada Gambar 17. Tanjung Wetan Muara Legon Muara Gembong Muara Blakan : Abrasi : Akresi : Sebagian dari Peta tahun 1946 Gambar 17. Ilustrasi akresi dan abrasi pada peta tahun 1946 dan 2008.

78 Kesesuaian Lahan Kualitas air Kualitas air memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kondisi umum kualitas air di perairan lahan basah ini (Tabel 23 dan Gambar 18). Data fisika kimia air hasil pengamatan pada tanggal 7 Januari 2004 dibandingkan dengan baku mutu lingkungan untuk setiap parameter. Kedalaman Tabel 23. Komposisi material kualitas air pada masing-masing titik contoh pengamatan di Muaragembong. Sta ph Salinitas TSS COD Suhu Posisi Lokasi (psu) (mg/l) (mg/l) ( 0 C) (cm) Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Pesisir Daratan Daratan Daratan Daratan Daratan Pesisir *) Perairan *) Perairan **) Perairan **) Perairan **) Perairan **) Perairan **) Perairan BML alami <200 <100 alami 300 Sumber data : Zudiana (1997), Abdunnur (1997), dan hasil pengelolaan data. Keterangan: 1 s.d 13: hasil pengamatan; 14 *) dan 15 *) : Zudiana (1997); 16 **), 17 **), 18 **) dan 19 **) : Abdunnur (1997).

79 Tg. Wetan Muara Bendera Sungai Citarum 9 PANTAIBAHAGIA Tg. Bungin PANTAIBAHAGIA PANTAIBAKTI T e l u k J a k a r t a PANTAISEDERHANA PANTAIMEKAR Sungai Gembong Sungai Blacan PANTAIHARAPANJAYA JAYASAKTI M. Cikarang Sungai Cikarang Sungai Gabeh Legenda : Batas Desa GAMBAR: 4.1 PETA PETA LOKASI TITIK PENGAMBILAN CONTOH SEDIMAN SEDIMEN DAN KUALITAS AIR LAHAN DAERAH NASAH MUARA MUARAGEMBONG GEMBONG, KABUPATEN KABUPATEN BEKASI BEKASI Jalan ,800 2,700 3,600 4,500 3 Lokasi Pengmbilan Contoh Sedimen dan Kualitas Air µ Meters Sumber: - Citra Satelit SPOT5, resolusi 5m, perekaman tahun Peta Rupabumi Indonesia, Skala 1:25.000, Publikasi Bakosurtanal Survey lapangan Peta Lokasi : : Daerah Peneitian P u l a u J a w a Disusun Oleh: Dewi Hermawati Setiani (SPL/995516) Gambar 18. Peta titik pengamatan lapangan dan pengambilan contoh kualitas air lahan basah Muaragembong Kabupaten Bekasi.

80 61 Kualitas air, dari hulu ke hilir memiliki perbedaan sifat fisik dan kimia secara teratur. Nilai ph, salinitas, TSS air dari hulu ke hilir mendekati garis pantai semakin meningkat. Secara umum kondisi kualitas air perairan lahan basah Muaragembong memenuhi Nilai Baku Mutu Lingkungan (BML) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Sedangkan pada daerah perairan, suhu perairan dalam kondisi normal, derajat keasaman (ph) dalam kondisi netral sampai agak basa. COD dibawah ambang batas baku mutu, sedangkan disekitar Muara Jaya diatas ambang batas. kandungan oksigen tidak menunjang pertumbuhan biota air (Zudiana 1997 dan Abdunnur 1997) Kesesuaian lahan untuk mangrove Salah satu lokasi penyebaran hutan mangrove di Kabupaten Bekasi adalah pada lahan basah Muaragembong. Berdasarkan data tahun 1982, walaupun sebagian besar hutan mangrove telah berubah menjadi daerah pertambakan, namun kondisinya lebih baik dibandingkan dengan hutan mangrove di tempat lain di Teluk Jakarta (DKP - PKSPL IPB 2000). Secara umum, kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi mangrove adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat: air tenang/ombak tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur, dan lereng endapan tidak lebih dari 0.25 % %. Dengan demikian, tempat ideal untuk perkembangan mangrove terdapat di pantai-pantai pada teluk yang dangkal, muara sungai, delta, bagian terlindung dari tanjung, selat yang terlindung, dan tempat-tempat yang serupa. Adapun luas mangrove di suatu tempat dipengaruhi oleh tinggi pasang surut yang menentukan jauhnya jangkauan air pasang. Semakin jauh jangkauan air pasang di suatu daerah, semakin luas mangrove yang dapat dikembangkan atau ditanam (Khazali 1999). Dengan demikian lahan basah Muaragembong tempat ideal untuk perkembangan mangrove karena mempunyai pantai yang dangkal. Menurut Kautsky (1997) untuk mendukung usaha budidaya secara intensif supaya tetap lestari, maka dalam 1 m 2 luasan budidaya diperlukan luas mangrove minimal 9.6 m 2 untuk menyerap limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya.

81 62 Lahan basah Muaragembong merupakan tempat ideal untuk perkembangan mangrove karena mempunyai pantai yang dangkal. Menurut Panjaitan (1997) untuk mendukung usaha budidaya secara intensif supaya tetap lestari, maka dalam 1 m 2 luasan budidaya diperlukan luas mangrove minimal 9.6 m 2 untuk menyerap limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Analisa kesesuaian untuk mangrove dimulai dengan tahap pertama, sebagai berikut : tahap tabulasi kriteria kesesuaian. Dalam hal ini digunakan kriteria kesesuaian lahan menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1995), yaitu kesesuaian untuk mangrove dapat dilihat pada Tabel 8. Tahap kedua, menyusun tabel lokasi penelitian, sesuai parameter mangrove. Jika dikuantifikasi, maka kondisi kawasan untuk mangrove dipetakan pada Tabel 24. Tahap ketiga memberi skor, yaitu dengan cara membandingkan Tabel 8 dengan Tabel 24. Tahap keempat pembobotan, bobot dikalikan dengan skor menurut kesesuaian, lalu dihitung totalnya. Dari hasil pemberian skor didapat matriks skor kesesuaian untuk mangrove (Tabel 24). Tahap kelima, membandingkan jumlah skor total dengan kategori skor menurut kesesuaian yang ada pada Tabel 7. Contoh pada stasiun1, total skor yang diperoleh adalah total jumlah bobot x skor = 0,2x4 + 0,2x4 + 0,2x4 + 0,2x4 = 4 atau kategori S1. Proses lebih lanjut, yaitu dengan menggunakan teknik overlay semua parameter-parameter, sehingga diperoleh lokasi yang sesuai untuk peruntukan pemanfaatan lahan mangrove. Berdasarkan hasil analissi, maka diperoleh klasifikasi sangat sesuai (7 448 ha), sesuai (4 850 ha) dan sesuai bersyarat (1 263 ha). Konsep daya dukung kawasan mangrove, yakni 100 persen dari total luas potensi kawasan, maka luas daya dukung adalah ha (Gambar 19).

82 Tabel 24. Matrik kondisi kawasan mangrove menurut parameter dan total skor kesesuaian untuk mangrove. 63 STA Posisi Lokasi Jarak dari pantai (m) (0,2) Ketinggian (m) (0,2) ph (0,2) Salinitas (psu) (0,2) Kemiringan lereng (%) (0,2) Total skor Klas Kesesu aian 1 Pantai S1 2 Pantai S1 3 Pantai S1 4 Pantai , S1 5 Pantai S1 6 Pantai S1 7 Pantai S1 8 Daratan S1 9 Daratan S1 10 Daratan S1 11 Daratan S2 12 Daratan S2 13 Pantai S2 *) 14 Daratan *) 15 Daratan S S3 Keterangan : - S1 : Sangat sesuai : S2 : Sesuai : S3 : Sesuai bersyarat : N : Tidak sesuai : STA : Stasiun

83 Gambar 19. Peta kelas kesesuaian mangrove pada lahan basah Muaragembong Kabupaten Bekasi 64

84 Kesesuaian lahan untuk tambak Analisa kesesuaian untuk tambak dimulai dengan tahap pertama, sebagai berikut : tahap tabulasi kriteria kesesuaian. Dalam hal ini digunakan kriteria kesesuaian menurut Sugiharti et al. (2000), yaitu kesesuaian untuk tambak dapat dilihat pada Tabel 9. Tahap kedua, menyusun tabel lokasi penelitian, sesuai parameter tambak. Jika dikuantifikasi, maka kondisi kawasan untuk tambak dipetakan pada Tabel 25. Tahap ketiga memberi skor, yaitu dengan cara membandingkan Tabel 9 dengan Tabel 25. Tahap keempat pembobotan, bobot dikalikan dengan skor menurut kesesuaian, lalu dihitung totalnya. Dari hasil pemberian skor didapat matriks skor kesesuaian untuk tambak (Tabel 25). Tahap kelima, membandingkan jumlah skor total dengan kategori skor menurut kesesuaian yang ada pada Tabel 7. Melihat jumlah skor total yang ada, maka terdapat kesesuaian lahan untuk tambak dengan kategori sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2). Proses lebih lanjut, yaitu dengan menggunakan teknik overlay semua parameter-parameter, sehingga diperoleh lokasi yang sesuai untuk peruntukan pemanfaatan lahan tambak. Berdasarkan hasil analisis, maka klasifikasi kesesuaian lahan tambak, sangat sesuai (7 421 ha) dan sesuai (7 819 ha). Berdasarkan konsep daya dukung untuk tambak, yakni 35 persen dari total luas potensi kawasan, maka luas daya dukung untuk tambak adalah ha yang tersebar pada enam desa yang ada (Gambar 20). Kegiatan budidaya tambak cukup tinggi. Pada lahan basah ini sebagian besar tambak dikelola secara tradisional dan sebagian lainnya dalam keadaan terlantar. Kriteria dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan yaitu: (1) kriteria lingkungan untuk organisme yang dibudidayakan, (2) kriteria lingkungan yang berpengaruh pada sistem wadah budidaya, (3) faktor-faktor sosial ekonomi.

85 66 Tabel 25. Matrik kondisi kawasan tambak menurut parameter dan total skor kesesuaian untuk tambak. Sta Kemiringan (%) (0,2) Jarak dari pantai (m) (0,2) Jarak dari sungai (m) (0,2) Ketinggian (m) (0,15) ph (0,15) Salinitas (psu) (0,10) Suhu ( 0 C) (0,10) Posisi Lokasi Total skor Klas Kesesuaian Pantai 4 S Pantai 3.75 S Pantai 3.45 S Pantai 3.45 S Pantai 3.9 S Pantai 3.45 S Pantai 3.9 S Daratan 3.6 S Daratan 3.5 S Daratan 3.75 S Daratan 3.9 S Daratan 3.4 S Pantai 3.6 S2 *) 14 4 *) 15 4 Keterangan : - S1 : Sangat sesuai : S2 : Sesuai : S3 : Sesuai bersyarat : N : Tidak sesuai : Daratan 3 S Daratan 2.85 S2

86 67 1. Kriteria lingkungan untuk organisme yang dibudidayakan. Kriteria lingkungan untuk organisme yang dibudidayakan berdasarkan kondisi fisik, kimia, dan biologi perairan. Air untuk pengairan tambak diperoleh dari air laut dan air sungai yang sudah mendekati muara dengan sifat payau. Udang Putih tumbuh baik pada salinitas tinggi, Udang Windu tumbuh paling baik pada salinitas antara 15 sampai 22 dan bandeng toleran terhadap perubahan salinitas, namun pertumbuhan optimal terjadi pada rentang (Harris 1993). Pasokan air yang cukup, kesempurnaan pengeluaran air buangan/limbah, dan pengeringan dasar tambak secara rutin merupakan hal penting dalam mempertahankan stabilitas produksi tambak (Soeseno 1987). Kualitas perairan di Muaragembong pada Tabel 26. Tabel 26. Kualitas air di perairan Muaragembong. Paramter Nilai rata-rata Kadar maks/min untuk budidaya (*) Sumber data ph Penelitian DO (mg/l) Zudiana (1997) BOD (mg/l) < 45 Abdunnur (1997) TSS (mg/l) <200 Penelitian COD (mg/l) <100 Penelitian Kedalaman (cm) 105 alami Penelitian Suhu ( 0 C) Penelitian Salinitas (psu) Penelitian Kecerahan (NTU) Zudiana (1997) (*) : Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP dan PKSPL IPB (2000). Beberapa parameter kualitas air mengacu pada Zudiana (1997) dan Abdunnur (1997). Nilai DO diatas batas kelayakan yang ditentukan DKP PKSPL IPB (2000). Namun secara keseluruhan kualitas air dapat diperuntukan bagi tambak. Tim Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP dan PKSPL IPB (2000) yang menyatakan bahwa kebanyakan karakteristik kualitas air yang diamati memenuhi syarat untuk keperluan budidaya perikanan.

87 68 2. Kriteria lingkungan yang berpengaruh pada sistem wadah budidaya Kriteria sistem wadah budidaya perikanan adalah topografi lahan. Topografi di Muaragembong secara umum relatif datar dengan kemiringan sekitar 2%. Dalam pembangunan tambak adalah meratakan pelataran tengah petakan tambak. Pelataran diratakan agar air yang menggenangi dapat merata sedalam 40 cm. Tanah harus melandai ke pintu air agar pengeringan tambak dapat lancar (Soeseno 1987). Untuk memperoleh produksi yang lebih baik dan stabil, pengeringan dasar tambak secara rutin menjelang penebaran benur (benih udang) atau nener (benih bandeng) wajib dilakukan untuk menumbuhkan pakan alam (Poernomo 1992). Pengairan untuk tambak udang, air payau atau air laut murni dengan jumlah cukup untuk mengganti air tambak setiap waktu diperlukan. Pada budidaya Bandeng tradisional tinggi air dalam petak < 40 cm untuk memungkinkan kelekap tumbuh optimal. Sebagian besar tambak di lahan basah Muaragembong dikelola secara tradisional.dan sebagian keadaannya terlantar. Curah hujan mm/tahun dengan bulan kering 2 sampai dengan 3 bulan, cukup baik digunakan tambak (Setiawan 2003). Tinggi pasang surut berkisar cm (Situmorang 1997) dan curah hujan rata-rata mm/tahun (BPS Jawa Barat 2000). 3. Faktor-faktor sosial ekonomi Lokasi budidaya perikanan di Muaragembong telah memenuhi beberapa kriteria sosial dan ekonomi antara lain: tidak terlalu jauh dari sumber pakan, tersedia benih, serta dekat dengan daerah pemasaran. Wilayah pertambakan di Muaragembong pada umumnya di tepi pantai yang jauh dari kota, namun pakan, baik yang berasal dari penangkapan di alam maupun dari hatchery, dapat dipesan dan diangkut dengan kondisi baik sampai ke tambak. Untuk kebutuhan listrik baik bagi perumahan maupun untuk usaha budidaya perikanan telah tersedia dalam kapasitas yang memadai dari PLN. Di samping itu, sebagian petani menggunakan generator untuk menggerakkan kincir di tambak. Sedangkan untuk faktor pendukung yang lain pasar khusus untuk perikanan, es dan cold storage, pengelolaan ikan dan pusat informasi belum ada.

88 69 Gambar 20. Peta Kelas Kesesuaian Tambak pada Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi.

89 Kesesuaian lahan untuk sawah Analisa kesesuaian untuk sawah yaitu; tahap pertama sebagai berikut : tahap tabulasi kriteria kesesuaian. Dalam hal ini digunakan kriteria kesesuaian menurut Sugiharti et al. (2000), yaitu kesesuaian untuk sawah dapat dilihat pada Tabel 10. Tahap kedua, menyusun tabel kondisi lokasi penelitian, sesuai parameter sawah. Jika dikuantifikasi, maka kondisi kawasan untuk sawah dipetakan pada Tabel 27. Tahap ketiga memberi skor, yaitu dengan cara membandingkan Tabel 10 dengan Tabel 27. Tahap keempat pembobotan, bobot dikalikan dengan skor menurut kesesuaian, lalu dihitung totalnya. Dari hasil pemberian skor didapat matriks skor kesesuaian untuk sawah (Tabel 27). Tahap kelima, membandingkan jumlah skor total dengan kategori skor menurut kesesuaian yang ada pada Tabel 7. Tabel 27. Matrik kondisi kawasan tambak menurut parameter dan total skor kesesuaian untuk sawah. ph Sta Posisi Suhu Kemiringan Ketinggian Total Klas Lokasi ( 0 C) lereng (%) (m) Skor Kesesuaian (0,3) (0,3) (0,3) (0,2) 1 Pantai S3 2 Pantai S3 3 Pantai S3 4 Pantai S3 5 Pantai S3 6 Pantai S3 7 Pantai S2 8 Daratan S2 9 Daratan S2 10 Daratan S1 11 Daratan S1 12 Daratan S2 13 Pantai S3 14 Daratan S2 15 Daratan S2 Keterangan : - S1 : Sangat sesuai : S2 : Sesuai : S3 : Sesuai bersyarat : N : Tidak sesuai :

90 71 Pengklasifikasian kesesuaian lahan dilakukan dengan cara melakukan pemadanan (matching) antara kriteria kelas kesesuaian lahan Puslittanak (1997) yang terdiri dari tingkat bahaya erosi (Tabel 28), bahaya banjir / genangan (Tabel 29) untuk komoditas padi sawah, dengan hasil analisis kondisi lahan basah dan iklim dari lahan basah Muaragembong. Tabel 28. Tingkat bahaya erosi. Kelas Bahaya Erosi simbol Jumlah tanah permukaan yang hilang (cm/tahun) Sangat ringan sr <0,15 Ringan r Sedang sd Berat b Sangat berat sb >4.8 Sumber : Puslittanak Tabel 29. Penilaian bahaya banjir / genangan dalam kriteria klasifikasi kesesuian lahan menurut Puslittanak (1997). Kedalam banjir x (cm) Lamanya banjir y (bulan) Simbol Kelas bahaya banjir F Tanpa Keterangan Kombinasi (Fx, y) F0 <25 < 1 F1 Ringan F1.1, F2.1, F F2 Sedang F1.2, F2.2, F3.2, F F3 Agak berat F1.3, F2.3, F3.3 >150 > 6 F4 Berat F1.4, F2.4, F3.4, F4.2, F4.3, F4.4 Sumber : Puslittanak Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor pembatas yang paling buruk atau nilai rating kriteria yang paling rendah berdasarkan hasil pemadanan. Hasil pemadanan ini diketahui faktor pembatas yang menyebabkan suatu lahan dikategorikan pada kelas kesesuaian tersebut. Dengan teknologi, kelas kesesuaian lahan (kesesuaian aktual) dapat diperbaiki atau ditingkatkan agar mempunyai kesesuaian yang lebih baik untuk penggunaan tertentu (kesesuaian potensial). Namun demikian, tidak semua faktor atau kriteria dapat diperbaiki. Hasil analisis kelas kesesuaian menujukkan bahwa lahan basah Muaragembong di kategorikan S1 (sesuai) untuk padi sawah dengan faktor

91 pembatas sawah (ketersediaan). Hasil pengklasifikasian berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah disajikan pada Tabel Tabel 30. Hasil pengklasifikasian lahan basah Muaragembong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah. Karakteristik Lahan Hasil Analisis Hasil Klasifikasi Temperatur (tc) 1. Temperatur rata-rata ( 0 C) 29 S1 Ketersediaan Air (wa) 1. Curah hujan (mm/tahun) S1 Bahaya Erosi (eh) 1. Lereng (%) 2. Bahaya erosi 2 Sangat rendah Bahaya Banjir (fh) 1. Genangan F3.1 S1 2. Kelas Kesesuaian Lahan S1 Sumber: Hasil analisis S1 S1 Proses lebih lanjut, yaitu dengan menggunakan teknik overlay semua parameter-parameter, sehingga diperoleh lokasi yang sesuai untuk peruntukan pemanfaatan lahan sawah. Berdasarkan hasil analisis, maka klasifikasi kesesuaian lahan sawah, sangat sesuai (2 402 ha), sesuai (1 532 ha), sesuai bersyarat (429 ha) dan (tidak sesuai) ha. Total kesesuaian lahan untuk sawah seluas ha. Konsep daya dukung untuk lahan sawah, yakni 45 persen dari total luas potensi kawasan, maka luas daya dukung untuk lahan sawah adalah ha. Peta kelas kesesuaian sawah disajikan pada Gambar 21. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa sebagian kawasan memiliki lahan sawah, dan sebagian tidak memiliki kawasan lahan sawah. Pada daerah ini kegiatan persawahan banyak mengandalkan air dari Ci Tarum dan Ci Herang. Di beberapa wilayah yang mempunyai permukaan tanah lebih tinggi menggunakan pompanisasi dengan sumber air dari Ci Tarum sehingga sawah mendapatkan pengairan secara periodik. Kelas kesesuaian dengan hasil tidak sesuai, tersebar pada daerah dekat dengan pantai. Wilayah ini banyak dimanfaatkan untuk tambak dimana banyak mengandung air laut sehingga kadar garam atau salinitas tinggi sehingga tidak baik untuk pertumbuhan tanaman padi.

92 Gambar 21. Peta Kelas Kesesuaian Sawah pada Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi. 73

93 Kesesuaian lahan untuk pemukiman Lahan permukiman merupakan lahan yang dimodifikasi, diciptakan dan dipelihara. Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh klasifikasi sangat sesuai (583 ha), sesuai (1 588 ha), sesuai marginal (554 ha) dan tidak sesuai ( ha) (Gambar 22). Analisa kesesuaian untuk pemukiman adalah tahap pertama, membuat tabulasi kriteria kesesuaian. Dalam hal ini digunakan kriteria kesesuaian menurut MSP-IPB dan DKP (2003), yaitu kesesuaian untuk pemukiman dapat dilihat pada Tabel 10. Tahap kedua, menyusun kondisi lokasi penelitian, sesuai parameter pemukiman. Tahap ketiga memberi skor, yaitu dengan cara membandingkan Tabel 10 dengan kondisi lokasi penelitian. Tahap keempat pembobotan, bobot dikalikan dengan skor menurut kesesuaian, lalu dihitung totalnya. Dari hasil pemberian skor didapat matriks skor kesesuaian untuk pemukiman. Tahap kelima, membandingkan jumlah skor total dengan kategori skor menurut kesesuaian yang ada pada Tabel 11. Tahapan untuk analisa kesesuian untuk pemukiman ini adalah tahapan sama dengan analisa kesesuain untuk mangrove, tambak dan sawah, sehingga diperoleh lokasi yang sesuai untuk peruntukan pemanfaatan lahan pemukiman. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan (Tabel 31 dan Gambar 23), maka potensi pengembangan yang dimiliki daerah tersebut adalah, luas kawasan mangrove ha (47%), tambak ha (40%) dan sawah 802 ha (5%) dan pemukiman ha (8%). Tabel 31. Luas kawasan untuk masing-masing kegiatan pembangunan di Muaragembong. Penggunaan Lahan Jumlah Mangrove Tambak Sawah Permukiman Luas (ha) Persentase (%) %

94 Tg. Wetan PANTAIBAHAGIA PANTAIBAHAGIA PANTAIBAKTI PANTAISEDERHANA PANTAIMEKAR PANTAIHARAPANJAYA JAYASAKTI Muara Bendera Sungai Citarum Tg. Bungin T e l u k J a k a r t a Sungai Gembong Sungai Blacan Sungai Gabeh M. Cikarang Sungai Cikarang Tingkat Kesesuaian : GAMBAR 4.21 Peta Lokasi : Legenda : Kelas Kesesuaian GAMBAR: 4.21 PETA KELAS KESUAIAN PEMUKIMAN PETA KESESUAIAN LAHAN UNTUK PEMUKIMAN Legenda Batas : Desa Kelas Kesesuaian : : S1 LAHAN BASAH MUARAGEMBONG KABUPATEN BEKASI Tidak Sesuai Jalan Batas Desa : S2 Tingkat Kesesuaian ,800 2,700 3,600 4,500 Jalan Tingkat Kesesuaian : 2 S3 Meters Sumber: - Citra Satelit SPOT5, resolusi 5m, perekaman tahun Peta Rupabumi Indonesia, Skala 1:25.000, Publikasi Bakosurtanal Survey lapangan µ P u l a u J a w a Tingkat Kesesuaian 3 : N : Daerah Peneitian Disusun Oleh: Dewi Hermawati Setiani (SPL/995516) Gambar 22. Peta Kelas Kesesuaian Pemukiman pada Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi.

95 76 Gambar 23. Peta Kelas Kesesuaian Untuk Masing-masing Peruntukan Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi.

96 Arahan Zonasi Zonasi di lahan basah Muaragembong memisahkan pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan mana kegiatan-kegiatan yang dilarang dan diijinkan untuk setiap zona peruntukan. Zonasi merupakan suatu upaya untuk menciptakan suatu keseimbangan antara perlindungan dan pemanfaatan. Arahan zonasi mengacu pada UU 27 tahun 2007 dan Peraturan Menteri KP Nomor 16 tahun 2008 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu kawasan pemanfaatan umum dan kawasan konservasi. Klasifikasi zona yang biasa digunakan di Indonesia dan zonasi hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 32. Kawasan perlindungan (konservasi) merupakan perlindungan terhadap abrasi dan akresi serta perlindungan habitat, yang ditujukan pada daerah yang masih memiliki fungsi sebagai lahan basah dan mendukung keberlanjutan hidup eksositstemnya. Sedangkan daerah yang sudah tidak mampu mendukung fungsinya sebagai lahan basah akan dikonversi menjadi kawasan pemanfaatan umum (ekowisata, tambak, sawah, pemukiman, kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan dengan mempertimbangkan untuk menyanggah kelestarian ekosistem pesisir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kegiatan konservasi mangrove dan budidaya memerlukan zonasi sebagai dasar hukumnya agar tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan pemerintah. Revisi pada rencana penzonaan dilakukan setahun sekali melalui perintah Bupati, sedangkan kaji ulang rencana penzonaan secara menyeluruh dilakukan setiap lima tahun. Zonasi yang diusulkan (Gambar 37) mengacu pada Sebaran Lahan Basah Ramsar (Gambar 24), Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi tahun (Gambar 25), Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.475/Menhut- II/2005 tentang perubahan fungsi sebagai kawasan hutan lindung Ujung Karawang (Muaragembong) seluas ± ha menjadi kawasan hutan produksi tetap disajikan (Gambar 26), peta struktur dan pola ruang Kecamatan Muaragembong berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008 (Gambar 27) dan hasil analisis kesesuaian lahan (Gambar 23).

97 78 Tabel 32. Klasifikasi zona di Indonesia dan zona hasil penelitian di lahan basah Muaragembong. UUPR (26/2006) Kawasan Budidaya. Kawasan Konservasi. Kawasan Strategis. UUPWP3K (27/2007) Kawasan Pemanfaatan Umum. Kawasan Konservasi. Kawasan Strategis Nasional. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PER.16/MEN/2008) Kawasan Pemanfaatan Umum : Pariwisata, Pemukiman, Pelabuhan, Pertanian, Hutan, Pertambangan, Perikanan Budidaya, Perikanan tangkap, Industri, Infrastruktur Umum, Zona pemanfaatan terbatas sesuai karakteristik biogeofisik lingkungan. Kawasan Konservasi : Konservasi Perikanan, Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Konservasi Maritim, Konservasi Sepadan Pantai. Kawasan Strategis Nasional Tertentu: Pertahanan Keamanan, Situs Warisan Dunia, Perbatasan, Pulau-Pulai Kecil Terluar. Alur/Lorong Alur Laut : Alur Pelayaran, Alur Umum, Alur Migrasi Ikan, Alur Pipa, Alur Kabel Bawah Laut. Sub Zona Hasil Penelitian Lahan Basah Muaragembong (Usulan) Kawasan Pemanfaatan Umum : 1. Kawasan ekowisata mangrove. 2. Kawasan Hutan Produksi 3. Kawasan Perikanan Budidaya/ tambak. 4. Kawasan Pertanian / sawah. 4. Kawasan Pemukiman. 6. Kawasan Perkantoran. 7. Pelabuhan. 8. Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Kawasan Konservasi 1. Konservasi mangrove. Sumber: Undang Undang Nomor 26 (2006), Undang Undang Nomor 27 (2007), Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2008.

98 79 LOKASI RAMSAR 2008 Polygon Center LOKASI RAMSAR 1997 RAMSAR Center Koordinat : Lintang S Bujur E Luas : ha Gambar 24. Peta Ramsar tahun 1987 dan 2008 pada lahan basah Muaragembong.

99 Gambar 25. Peta Tata Ruang Muaragembong Kabupaten Bekasi Tahun (Pemerintah Daerah Bekasi 2003). 80

100 Gambar 26. Peta Perubahan Fungsi Sebagai Kawasan Hutan Lindung Menjadi Hutan Produksi Tetap Daerah Ujung Karawang Muaragembong Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat (SK 475/Menhut-II/2005). 81

101 Gambar 27. Peta struktur dan pola ruang Kecamatan Muaragembong berdasarkan PP 54 tahun 2008 (Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpuncur). 82

102 83 Lahan basah ini pada umumnya memiliki komponen utama penutupan lahan yang relatif lebih terbuka. Kawasan area tertutup vegetasi dapat di jumpai pada vegetasi hutan mangrove di daerah Muara Sampan dan pada sebagian daerah pesisir. Telaah liputan lahan di wilayah ini (LANSAT7 tahun 2008), didominansi untuk pengelolaan lahan untuk tambak (76%) dan sawah (11%) yang sifat tajuk tanaman relatif memiliki penutupan yang rendah (Gambar 28). Penggunaan Lahan Basah Tahun 2008 (ha) 279 ; 2% 371 ; 3% ; 11% 464 ; 4% Tambak Mangrove 7 ; 0% 186 ; 1% 452 ; 3% Kebun Ladang/Tegalan Permukiman ; 76% Rawa Sawah Sungai Gambar 28. Penggunaan Lahan Basah Tahun Lahan basah mulai mengalami perubahan penggunaan lahan yang diakibatkan oleh perambahan kawasan mangrove menjadi kawasan tambak dan kawasan pertanian (sawah) oleh masyarakat (Gambar 29). Penggunaan Lahan Basah Tahun 1946 s/d 2008 (ha) Luas Lahan Basah Total Luas Lahan Basah Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Tahun Gambar 29. Perubahan Penggunaan Lahan Basah.

103 Dampak Pemanasan Global terhadap Lahan Basah Muaragembong. Studi yang dilakukan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2005 memprediksi, hingga akhir abad ini permukaan laut akan naik sekitar 1 meter. Akibatnya, 42 negara pulau kecil yang tergabung dalam Small Islands Developing States (SIDS) terancam tenggelam. Negaranegara itu tersebar di perairan laut Afrika, Asia, Pasifik, Karibia, dan Mediterania. Papua Nugini di Pasifik pada saat ini sudah kehilangan 25% garis pantainya karena terendam air laut (Febriana dan Sukendar 2007). Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC) mempublikasikan hasil penelitian para ilmuwan dari berbagai negara. Hasil penelitian itu mencatat, selama tahun telah terjadi peningkatan suhu di seluruh bagian bumi sebesar 0.15 hingga 0.3 derajat celsius. Di Indonesia, menurut perkiraan Global Fluid Dynamic dan Goddart International Space Study, temperatur udara akan meningkat 2 hingga 4.2 derajat celsius sampai tahun Indonesia sudah merasakan naiknya suhu udara akibat pemanasan global. Hal ini terlihat dari makin menipisnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu puncak Pegunungan Jayawijaya, Papua (Hilman 2008 dalam Situmorang 2009). Tak mengherankan jika air laut makin naik, karena bertambahnya volume air akibat melelehnya salju di seluruh permukaan bumi. Kenaikan air laut di Indonesia mencapai sekitar 0.5 sentimeter per tahun atau 10 sentimeter dalam 20 tahun (Maarif 2008 dalam Situmorang 2009) Dampak Pemanasan Global Terhadap Ekosistem Pesisir dan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan (2008), memperkirakan bahwa Indonesia akan kehilangan banyak pulau kecil pada akhir abad ini, akibat naiknya air laut. Sejumlah pulau di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dengan semua infrastruktur industri wisatanya pun akan tenggelam. Indonesia semula memiliki pulau, kini tinggal pulau, yang lainnya tenggelam akibat naiknya air laut dan penambangan yang menyebabkan permukaan pulau makin rendah. (Salim 2008 dalam Situmorang 2009). Mengutip hasil penelitian internasional yang menyimpulkan bahwa sebanyak 634 juta orang di dunia akan kehilangan

104 85 tempat tinggal karena tenggelam akibat pemanasan global, maka pulau-pulau kecil milik Indonesia akan lenyap dari peta, sehingga garis batas negara akan menciut ke dalam. Salim (2008) menyatakan kita sudah kehilangan lebih dari 20 pulau akibat naiknya muka laut. Diperkirakan dalam 30 tahun mendatang, sebanyak pulau di Indonesia akan menyusul tenggelam jika laju pemanasan global tak dikendalikan. Bahkan sebagian wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten akan ikut tenggelam pada akhir abad ini Dampak Pemanasan Global Terhadap Lahan Basah Muaragembong Hasil studi Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 2007 mencatat, permukaan air laut di Teluk Jakarta naik setinggi 0.57 sentimeter per tahun. Kondisi itu diperburuk oleh anjloknya permukaan tanah sampai 0.8 sentimeter per tahun akibat pengambilan air tanah dan pembangunan gedung-gedung bertingkat. Studi itu memperkirakan, jika suhu bumi terus meningkat, maka pada tahun 2050 sebagian wilayah Jakarta, seperti Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing, akan lenyap ditelan laut. Begitu juga sebagian wilayah Bekasi, seperti Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya. Setiap peningkatan 10 sentimeter permukaan air laut akan merendam 10 meter kawasan pantai. Kabupaten Bekasi saat ini telah berkembang menjadi daerah industri yang akan menghasilkan buangan gas CO 2 dan berdampak negatif terhadap peningkatan suhu di atmosfer dan mengakibatkan timbulnya gas rumah kaca. Gas karbon yang telah lepas ke udara dapat diserap kembali melalui tegakan hutan. Hutan lindung Muaragembong harus dipertahankan sebagai fungsi penyerap karbon seluas ha dengan asumsi bahwa jumlah tegakan 463 pohon/hektar mampu menyerap kg karbon per hektar (Helmi 2003 dalam Tim Terpadu, 2005).

105 86 5. TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN BASAH MUARAGEMBONG 5.1. Tinjauan Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi lahan basah ini (Tabel 32) adalah pengelolaan hutan lindung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak tahun 1954 diserahkan kepada Jawatan Kehutanan Propinsi Jawa Barat melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 (Tim Terpadu 2005) yang merupakan penunjukan kawasan hutan lindung Ujungkrawang (Muaragembong) seluas ha yang telah ditata batas sesuai Berita Acara Tata Batas tanggal 3 Pebruari dan disahkan tanggal 31 Mei Kemudian Surat Menteri Kehutanan Nomor A.1357/INS.L/1963 tahun 1963 ke Kepala Direktorat Agraria, Kepala Dinas Perkebunan dan Kepala Jawatan Kehutanan tentang tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan tanah lain yang dikuasai negara dan telah digarap rakyat akan dijadikan tanah pertanian yang selanjutnya akan dibagikan kepada masyarakat. Perubahan kawasan hutan lindung menjadi kawasan pertanian mengurangi fungsi hutan lindung. Dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 43/KA/1967 tahun 1967 seluas ha tentang penambahan luas kawasan hutan akibat adanya tanah timbul (akresi) di Cabang Bungin. Dalam daftar lahan basah pada Wetlands International Indonesia Program (WI-IP 1997), salah satunya terdapat lahan basah pada pantai Utara Jawa adalah Cagar Alam Muaragembong dengan luas lahan basah ha. Batasan lahan basah menurut Wetland Internasional (kode JAV09) terletak pada koordinat: Lintang 06º 02' 07'' S dan Bujur 107º 4' 45'' E dengan ketinggian 0 s.d 15 meter. Luas lahan basah ini sama dengan luas kawasan hutan lindung Ujungkrawang (Muaragembong) berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 tahun Keputusan Presiden nomor 48 tahun 1991 tentang pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat. Bahwa di Ramsar, Iran, pada tanggal 2 Pebruari 1971 telah diterima konvensi lahan basah untuk kepentingan internasional khususnya untuk habitat burung air sebagai hasil konferensi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

106 87 (UNESCO) mengenai lahan basah dipandang dari kepentingan internasional sebagai habitat burung air. Konvensi tersebut bertujuan melestarikan lahan basah berikut flora dan faunanya yang pelaksanaannya memerlukan keterpaduan antara kebijaksanaan internasional. Peraturan Pemerintah Nomor 25 / 1999 tentang penetapan status kawasan Muaragembong masih di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani. Dan berdasarkan Undang- Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi tahun Kecamatan Muaragembong merupakan bagian dari kawasan khusus pantai utara Kabupaten Bekasi. Serta Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 5 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi Tahun Struktur pemanfaatan ruang kawasan khusus ini, diarahkan menjadi lima kawasan antara lain kawasan pengembangan Muaragembong Selatan (Desa Pantai Bahagia, Desa Pantai Harapanjaya) dan Muaragembong Utara (Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Bakti, Desa Pantai Sederhana) menjadi pusat pengembangan dan pelayanan yang diarahkan pada Kota Pantai Makmur dengan kegiatan pertanian, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran, pariwisata serta pergudangan/terminal peti kemas dengan tetap mempertahankan fungsi hutan. Pengembangan wisata di kawsan khusus pantai utara ini dilakukan secara terintegrasi yang antara lain dengan Taman Impian Jaya Ancol, Waterboom di Cikarang. Kawasan lindung berupa hutan bakau pada sepadan sungai dan sepadan pantai. Dalam Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tahun 2004 tentang Selayang Pandang Kabupaten Bekasi, tanah di Kecamatan Muaragembong dinyatakan

107 88 tanah hak milik sebesar 18.52% dan tanah Perum Perhutani sebesar 56.27% dan tanah negara bebas negara bebas sebesar 25.21%. Tanah Perhutani pada lahan basah ini merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat dan untuk menunjang kelestarian lingkungan hidup. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/Menhut-II/2005 tahun 2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujungkrawang (Muaragembong) seluas ± ha terletak di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi menjadi kawasan hutan Produksi Tetap. Berdasarkan hasil pengkajian Tim Terpadu yang terdiri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Universitas Gadjah Mada, merekomendasikan kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) menjadi blok perlindungan dan blok pemanfataan (hutan produksi tetap), sedangkan blok penggunaan diperuntukan bagi kepentingan non kehutanan. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat nomor 2 tahun 2006 tentang pengelolaan kawasan lindung Muaragembong terletak di Kabupaten Bekasi merupakan kawasan hutan payau. Perlindungan terhadap kawasan hutan payau dilakukan untuk melestarikan hutan payau sebagai pembentuk ekosistem hutan payau dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur). Dengan tujuan antara lain, mewujudkan keterpaduan penataan ruang antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini, maka diharapkan dapat terwujudnya keterpaduan penataan ruang antar daerah Jabodetabekpunjur sebagai kesatuan wilayah perencanaan dan pengelolaan kawasan pantai hutan bakau Muaragembong dapat dilestarikan sebagai pembentuk ekosisitem hutan bakau. Rencana pola ruang pada daerah penelitian ini diperuntukan sebagai; ruang untuk kawasan lindung yaitu zona non budidaya (N1); dan ruang untuk kawasan budidaya yaitu zona budidaya (B1, B2, B4 dan B7) dan zona penyangga (P1 dan P2).

108 89 Zona Budi Daya, selanjutnya disebut Zona B, adalah zona yang karakteristik pemanfaatan ruangnya ditetapkan berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada kawasan budidaya. Zona Non Budi Daya, selanjutnya disebut N, adalah zona yang karakteristik pemanfaatan ruangnya ditetapkan berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada kawasan lindung. Zona Penyangga, selanjutnya disebut zona P, adalah zona pada kawasan budidaya di perairan laut yang karakteristik pemanfaatan ruangnya ditetapkan untuk melindungi kawasan budidaya dan/atau kawasan lindung yang berada di daratan dari kerawanan terhadap abrasi pantai dan instrusi air laut. Ruang untuk kawasan lindung atau zona non budidaya (N1), tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya, kegiatan budidaya yang telah terlanjur dalam jangka panjang harus dikeluarkan dari zona ini, hutan lindung (HL), riset, hutan sepadan sungai, sepadan pantai, hutan bakau. Sedangkan ruang kawasan budidaya yaitu (1) zona B1 diarahkan untuk perumahan hunian padat (perkotaan), perdagangan dan jasa, industri ringan non polutan dan berorientasi pasar; (2) zona B2 diarahkan untuk perumahan hunian sedang (pedesaan), pertanian/ladang, industri berorientasi tenaga kerja; (3) zona B4 diarahkan untuk perumahan hunian rendah, pertanian lahan basah/kering, perkebunan, perikanan, peternakan agroindustri dan hutan produksi; (4) zona B4/HP adalah zona B4 yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas sesuai Peraturan Perundang undangan; (5) zona B7/HP adalah zona B7 yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi tetap atau hutan produksi terbatas sesuai Peraturan Perundang undangan.; (6) zona P1 adalah zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang berfungsi untuk mencegah abrasi, instrusi air laut, pencemaran, dan kerusakan dari laut. Pemanfaatan diarahan untuk menjaga fungsi zona N1; (7) zona P4 adalah zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah. Diarahkan untuk menjaga fungsi zona B2 dan B4. Peraturan, Perundang-undangan yang berlaku pada lahan basah Muaragembong dan database Ramsar, yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah di Muaragembong dari tahun 1954 sampai dengan tahun 2008, dapat dilihat pada Tabel 33.

109 90 Tabel 33.Peraturan dan Perundang-undangan dan database Ramsar berkaitan dengan pengelolaan lahan di Muaragembong lahan basah sampai dengan tahun Tahun Kebijakan Keterangan Status 1954 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. A.1357/Ins/ Database Wetland dengan kode JAV09 (Silvius et al. 1987) Peraturan Presiden Nomor 48/ Peraturan Presiden Nomor 25/ Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 tahun Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 5 tahun Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/Menhut- II/ Peraturan Daerah Propinsi Jawa barat Nomor 2 tahun Peraturan Presiden Nomor 54. Tentang penunjukan kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) seluas ± ha yang telah di tata batas sesuai Berita Acara Tata Batas tanggal 3 Februari 1957 dan disahkan tanggal 31 Mei Tanah perkebunan, kehutanan dan tanah lain yang dikuasai negara dan telah digarap rakyat, dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat. Lahan basah Muaragembong masuk dalam database Ramsar sebagai cagar alam, dengan luas ha. pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat. Penetapan status kawasan Muaragembong di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi Tahun Perubahan sebagian fungsi kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) seluas ± ha terletak di Kecamatan Muaragembong menjadi kawasan hutan produksi tetap. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Muaragembong, terletak di Kabupaten Bekasi merupakan kawasan hutan payau. Penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur). Kawasan hutan lindung. Tanah pertanian. Cagar alam. Kawasan perlindungan. Peninjauan status kawasan. Kawasan khusus pantai utara Kabupaten Bekasi. - Menjadi Kota Pantai Makmur. - Kawsan lindung. - Kawasan hutan lindung - Kawasan hutan produksi tetap. - Kawasan hutan payau. - Zona non Budidaya. - Zona Budidaya dan zona penyangga.

110 91 Hasil overlay kebijakan-kebijakan pada lahan basah Muaragembong dan analisis kesesuaian lahan dengan peta tahun 2008 (kondisi saat ini), menunjukan luas kawasan lindung (mangrove) pada lahan basah alami ditinjau pada kondisi saat ini berkisar antara 2% sampai dengan 13% (Tabel 34 dan Gambar 30). Tabel 34. Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi saat ini (peta LANDSAT7 tahun 2008). Kebijakan di lahan basah Kawasan lindung hasil overlay kebijakan Kawasan lindung berdasarkan Muaragembong dan dengan kondisi saat ini (2008) kebijakan yang ada dan Hasil Analisis Kesesuaian dan hasil analisis kesesuaian lahan analisis kesesuaian (ha) (%) (ha) Ramsar Tata Ruang KEPMEN No.54/ Perpres 54/ Hasil Analisis Kesesuaian Usulan penggunaan lahan Luas (ha) Ramsar Tata Ruang KEPMEN No.54/ Perpres 54/ Hasil Analisis Kesesuaian 400 Usulan penggunaan lahan Kawasan lindung hasil overlay kebijakan dengan kondisi saat ini Kawasan lindung berdasarkan kebijkan dan hasil analisis kesesuaian lahan Gambar 30. Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi saat ini (LANDSAT7 2008). Perubahan penggunaan lahan basah selama 62 tahun ( ) yang disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah, kegiatan manusia dan alam, mengakibatkan berkurangnya luas lahan basah alami. Hasil analisis, persentasi luas lahan basah alami terhadap total luas lahan basah adalah; tahun 1946 sebesar

111 92 87%, tahun 1992 sebesar 15%, tahun 1998 sebesar 13%, tahun 2004 dan 2008 sebesar 6%. Sedangkan berdasarkan Ramsar (1987) sebesar 100%, Tata Ruang sebesar 6%, KEPMEN 54/2005 sebesar 51%, Perpres 54/2008 sebesar 56%. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, maka penggunaan lahan basah alami sebesar 47% dan usulan penggunaan lahan basah alami sebesar 50%. Hal ini menunjukan usulan penggunaan lahan basah alami hasil analisis dalam penelitian ini, mendekati KEPMEN 54/2005 dan Perpres 54/2008. Penggunaan lahan basah alami dan non alami dapat dilihat pada Tabel 35 dan Gambar 31. Tabel 35. Kebijakan dan penggunaan lahan basah Muaragembong tahun serta usulan penggunaan lahan basah tahun Penggunaan Lahan Basah Muaragembong Total Hasil Analisis Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Lahan Basah (ha) (%) (ha) (%) (ha) Peta 1946 (digitasi) Peta LANSAT Tahun Peta SPOT5 Tahun Peta SPOT7 Tahun Ramsar Tata Ruang KEPMEN No.54/ Perpres 54/ Hasil Analisis Kesesuaian Usulan penggunaan tahun Luas (ha) Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Kebijakan pada lahan basah Muaragembong dan usulan penelitian Gambar 31. Lahan basah alami dan non alami berdasarkan kebijakan.

112 93 Hasil peneltian, didapat (1) kawasan perlindungan (mangrove) sebesar 49%, yang diperuntukan sebagai perlindungan terhadap abrasi dan perlindungan habitat satwa dan (2) kawasan pemanfaatan umum sebesar 51% yaitu berupa ekowisata, perikanan (tambak) dan pertanian (sawah), pemukiman dan kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Atau lahan basah alami sebesar 49%, lahan basah non alami (lahan basah buatan) sebesar 45% dan lahan basah non alami (penggunaan kering) sebesar 6% (Tabel 42, 43 dan Gambar 36, 37). Perbedaan pemanfaatan lahan berdasarkan kebijakan-kebijakan yang ada pada Tabel 36, sedangkan luas dan presentasi pada Lampiran 5. Tabel 36 Perbedaan Pemanfaatan Lahan Berdasarkan Ramsar, Tata Ruang Pemerintah Daerah dan Hasil Penelitian. No Kawasan Konvensi Ramsar Perda 5/2003 SK.475/ Menhut- II/2005 PP 54/2008 Kondisi 2008 Hasil Penelitian 1. Cagar Alam Kawasan - Mangrove/Lindung 3. Kawasan hutan produksi 4. Ekowisata Kawasan Sawah Kawasan Tambak Permukiman Tempat pelelangan ikan (TPI) 9. Pelabuhan Kantor Penelitian Ladang Sungai Rawa Arahan Penzonaan dan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong. Kewenangan Pemerintah Daerah meliputi eksplorasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam serta tanggung jawab untuk melestarikannya (UU Nomor 32 tahun 2004). Dengan kata lain Pemerintah Daerah diwajibkan untuk dapat memenuhi kebutuhan daerahnya, maka untuk mendukung pendapatan asli daerah di lahan basah dengan strategi melakukan kegiatan dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan dan keinginan masyarakat berupa ekowisata, budidaya tambak dan pertanian (sawah) dan tetap menjaga berfungsinya hutan mangrove. Peran serta masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan

113 94 ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya melalui pendidikan dan penyuluhan (Undang Undang Nomor 5 tahun 1990). Kebijakan Pemerintah yang berubah-ubah dalam peruntukan lahan basah, mengakibatkan luas lahan basah mengalami penurunan secara fisik dan habitat. Secara fisik kawasan mangrove mengalami penurunan luasan dari ha (100%) pada tahun 1946 menjadi 186 ha (2.17%) pada tahun 2008, yang diakibatkan oleh perambahan kawasan mangrove menjadi kawasan tambak, sawah dan pemukiman. Secara habitat, terdapat satu jenis mamalia dan satu jenis mangrove (Bruguiera sp.) hilang. Penggunaan lahan (1946 s/d 2008) dapat dilihat pada Tabel 37 dan Gambar 32). Tahun 1946 luas lahan basah non alami sebesar 13%, tahun 2008 sebesar 94%. Terjadi perubahan luas lahan dari ha (1946) menjadi ha (1998) dan luas lahan menurun menjadi ha (2004 dan 2008). Tabel 37. Penggunaan Lahan Basah dari tahun 1946 s/d Tahun Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Total Luas Lahan Basah Lahan Basah Buatan Lahan Kering Total non Alami Lahan Basah (ha) (%) (ha) (ha) (ha) (%) (ha) Luas Lahan Basah Lahan Basah Alami Lahan Basah Non Alami Tahun Gambar 32. Lahan basah alami dan lahan basah non alami.

114 95 Luas lahan basah mangrove setiap tahun semakin menurun (Tabel 38) Perubahan lahan ini disebabkan oleh dua hal utama yakni perubahan akibat alami dan non alami. Perubahan pantai bagian utara (Tanjung Wetan) akibat kegiatan penduduk. Laju perubahan garis pantai akibat abrasi dan akresi semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi karena adanya pengaruh konversi lahan yang dilakukan oleh penduduk. Konversi lahan umumnya untuk lahan tambak, sawah dan pemukiman (Gambar 33). Tabel 38. Perubahan penggunaan lahan basah. Tahun Mangrove Tambak Sawah Permukiman Luas (ha) Mangrove (ha) Tambak (ha) Sawah (ha) Pemukiman (ha) Tahun Gambar 33. Perubahan penggunaan lahan Muaragembong 1946 s/d Hasil analisis potensi dan kondisi, terjadi satu jenis mangrove (Bruguiera sp.) hilang dari lima jenis mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans) yang ada dan satu jenis mamalia (Macan Tutul Jawa) hilang dari tiga jenis mamalia yang ada (Macan tutul jawa, Kera ekor panjang dan Lutung) sedangkan jenis burung dan reptilia tidak mengalami

115 96 perubahan jenis. Disamping itu, dalam 62 tahun ( ) terjadi akresi seluas 979 ha atau 16 ha tiap tahun dan abrasi seluas 307 ha atau 5 ha tiap tahun, yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Namun demikian, lahan basah Muaragembong masih dapat berfungsi sebagai ekosistem lahan basah berdasarkan kriteria Ramsar dengan dibuktikannya terdapat jenis flora dan fauna dalam kriteria Ramsar. Sedimentasi yang terjadi setiap tahunnya dari Ci Tarum dan abrasi sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan penduduk. Hasil analisis kesesuaian lahan basah yang diperoleh sebagai berikut; lahan basah ini memiliki kesesuaian lahan mangrove, tambak, perikanan dan pemukiman. Lahan basah ini, mempunyai potensi sebagai kawasan mangrove, tambak dan sawah. Maka berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, potensi pengembangan pada lahan basah ini adalah kawasan mangrove ha (47%), tambak ha (40%), sawah 802 ha (5%) dan pemukiman ha (8%). Hasil tinjauan kebijakan-kebijakan pengelolaan pada lahan basah Muaragembong didapat, luas lahan basah alami berdasarkan Tata Ruang Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi seluas 879 ha, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 475/MENHUT-II/2005 seluas ha, Peraturan Presiden Nomor 54/2008 seluas ha. Kondisi lahan basah ini tahun pada Lampiran 3. Arah kebijakan adalah (1) bagi kawasan yang secara fisik teknis harus tetap menjadi kawasan perlindungan ekosistem akan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung (mangrove), termasuk sepadan pantai dan sekitar badan sungai dimana pada saat sekarang kawasan tersebut berupa tambak, (2) bagi kawasan yang tidak termasuk hutan mangrove, diusulkan sebagai kawasan pemanfaatan yaitu berupa ekowisata, hutan produksi, tambak dan sawah, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan, (3) sedangkan kawasan yang sudah lama dihuni dan memiliki fasilitas sosial lengkap diusulkan pemindahan penduduk pada kawasan pengganti diluar kawasan perlindungan ekosistem dengan program pemindahan penduduk dan pemukiman kembali (masyarakat yang dipindahkan, kualitas hidupnya akan lebih baik atau paling tidak sama dengan ditempat asalnya. Langkah langkah proses zonasi (modifikasi Situmorang, 2009) adalah pada Gambar 34, sedangkan langkah penetapan kawasan/zona pada Gambar 35.

116 97 Identifikasi kondisi dan potensi lahan basah : 1. Identifikasi jenis dan area sumberdaya (flora dan fauna). 2. Identifikasi penggunaan sumberdaya saat ini. (pemanfaatan lahan tahun 2008). 3. Identifikasi potensi perkembangan (konservasi dan pemanfaatan umum). Analisis potensi dan kondisi lahan basah (item 1 s/d 3) Penyusunan aturan pengambil keputusan. Penetapan tujuan penggunaan setiap area sumberdaya. (Penggunaan secara berkelanjutan). Memeriksa konsistensi draft Rencana dengan Tata Ruang Pemerintah Daerah Kabuten Bekasi , SK.475/Menhut-II/2005 dan PP 54/2008. Penyusunan Draft Peta Zonasi lahan basah. Menetapkan zonazona dan arahan pemanfaatannya Rencana Zonasi Identifikasi lokasi konflik (potensi) dan memberikan usulan penyelesaian permasalahan. (komersial > < konservasi) Melaksanakan konsultasi publik dan menyesuaikan draft rencana zonasi berdasarkan input dari masyarakat Menetapkan Penzonaan Pengelolaan dan Aksi 1. Kawasan Konservasi (mangrove) 2. Kawasan Pemanfaatan Umum. Gambar 34..Langkah-langkah proses zonasi (Modifikasi dari Situmorang, 2009).

117 98 Kajian kondisi dan potensi lahan basah : 1. Identifikasi jenis dan area sumberdaya (flora dan fauna). 2. Identifikasi penggunaan sumberdaya saat ini. (pemanfaatan lahan tahun 2008). 3. Identifikasi potensi perkembangan (konservasi dan pemanfaatan umum). Mengumpulkan Peta tahun 1946, Peta tahun 1998, SPOT5 tahun 2005 dan LANDSAT7 tahun Mengumpulkan data jenis flora dan fauna. Memetakan lokasi lahan basah Muaragembong. Penyusunan Rencana Zonasi lahan basah Muaragembong: 1. Penyusunan aturan pengambil keputusan. 2. Penetapan tujuan penggunaan setiap area sumberdaya. Penggunaan secara berkelanjutan. 3. Menetapkan zona-zona (pengelompokan area sumberdaya bertujuan sama dalam zonasi). Berdiskusi dengan ahli Bertanya kepada tokoh masyrakat Identifikasi pendapat dan harapan masyarakat. Penggambaran pada peta. Berdiskusi dengan Ahli. Mengadakan rapat dengan stakeholders. 4. Identifikasi kegiatan sesuai di setiap zonasi Kawasan konservasi (mangrove). Kawasan Pemanfaatan Umum (kawasan ekowisata, hutan produksi, tambak, sawah, pemukiman, kantor penelitian, pelabuhan untuk nelayan, tempat pelelangan ikan). Berdiskusi dengan stakeholders. Gambar 35. Langkah penetapan kawasan/zona (Modifikasi dari Situmorang 2009).

118 99 Arah kebijakan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah bagi kawasan yang secara fisik teknis harus tetap menjadi kawasan perlindungan ekosistem akan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung (mangrove), termasuk sebagai hutan mangrove pada lokasi sekitar pantai dan sekitar badan sungai dimana pada saat sekarang kawasan tersebut berupa tambak. Bagi kawasan yang tidak termasuk hutan mangrove, diusulkan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan pemanfaatan yaitu berupa ekowisata, hutan produksi, tambak dan sawah, sedangkan kawasan yang sudah lama dihuni dan memiliki fasilitas sosial lengkap diusulkan masyarakat untuk dipindahkan pada kawasan pengganti diluar kawasan perlindungan ekosistem dengan program pemindahan penduduk dan pemukiman kembali, yang artinya penduduk yang dipindahkan, kualitas hidupnya akan lebih baik atau paling tidak sama dengan ditempat asalnya. Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, maka diusulkan lahan basah alami pada lahan basah Muaragembong seluas ha. Luas lahan basah alami ini hampir sama dengan luas Keputusan Menteri Kehutanan dan peraturan Presiden tersebut diatas. Adapun rencana pengelolaan dan aksi lahan basah secara lestari adalah menggabungkan antara kepentingan ekologis dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat yaitu (1) kawasan perlindungan berupa pengendalian abrasi dan akresi serta perlindungan habitat satwa berupa hutan mangrove sebesar 49%; dan (2) kawasan pemanfaatan umum sebesar 51% yaitu berupa ekowisata, perikanan (tambak) dan pertanian (sawah), pemukiman dan kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Atau lahan basah alami sebesar 49%, lahan basah non alami (lahan basah buatan) sebesar 45% dan lahan basah non alami (penggunaan kering) sebesar 6% (Tabel 39, 40 dan Gambar 36, 37). Tabel 39. Penggunaan lahan basah alami dan lahan basah non alami. Penggunaan Lahan Basah Luas Lahan Basah Total (ha) (%) (ha) Lahan Basah Alami Lahan Basah non Alami (penggunaan basah) Lahan Basah non Alami (penggunaan kering) 781 6

119 100 Tabel 40. Luas masing-masing arahan penggunaan lahan basah Muaragembong. No. Peruntukan Lahan Luas Total Luas (ha) (ha) (%) 1. Kawasan Konservasi (Mangrove) Kawasan Pemanfaatan Umum a. Ekowisata 932 b. Hutan Produksi c. Tambak d. Sawah e. Pemukiman 699 f. Perkantoran penelitian 71 g. Tempat Pelelangan Ikan 5 h. Pelabuhan 7 Total Gambar 36. Penggunaan Lahan Basah Muaragembong berdasarkan Usulan Penelitian.

120 101 Gambar 37. Peta Usulan Pemanfaatan Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi.

121 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi pada lahan basah Muaragembong diusulkan seluas ha sebagai pengendalian abrasi (di Tanjung Wetan, Muara Legon dan Muara Blakan) dan mendukung kelompok fauna (Bluwok Putih, Bangau Tongtong, Kuntuk Kecil, Kipas-kipasan, Kera Ekor Panjang, Lutung dan Biawak) yang berstatus langka. Sekitar ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara pulau Jawa telah berhasil direhabilitasi dengan tanaman utama Rhizophora sp. dan Avicenia sp. dengan persen tumbuh hasil penanaman berkisar antar 60-70% (Soemadihardjo dan Soerianegara 1989 dalam Bengen 2001). Hutan mangrove yang rusak di Cilacap, telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. Tumbuhan mangrove pada sepadan pantai yang antara lain berfungsi sebagai daerah perlindungan pantai terhadap gempuran ombak, penahan lumpur, tempat hidup, mencari makan dan berkembang biak berbagai jenis hewan (ternasuk benih bandeng dan udang). Strategi yang dipakai adalah melakukan rehabilitasi pada hutan mangrove yang telah dialihkan fungsinya untuk mengembalikan fungsi ekologis. Rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat lokal dilakukan dengan dari tahap perencanaan, implementasi, monitoring, evaluasi, sampai dengan sosialisasi akan pentingnya ekosistem hutan mangrove. Rehabilitas dilakukan dengan pembentukan kelompok yang beranggotakan masyarakat lokal terkena dampak langsung dari kegiatan, misalnya pananaman dilakukan pada lahan tambak yang masih berproduksi, tambak yang sudah rusak, daerah sepadan pantai, tanah timbul. Pelibatan masyarakat lokal akan berdampak terhadap kesadaran masyarakat akan fungsi hutan mangrove. Jenis mangrove yang ditanam disesuaikan dengan zonasi ataupun tujuan dari penanaman mangrove. Untuk penahan abrasi digunakan jenis Bakau (Rhizophora sp.) dan untuk penghijauan saja cukup jenis Api-api (Avicennia sp.). Jarak tanam mangrove, bila ditanam untuk perlindungan pantai bibit ditanam pada jarak 1x1 meter, bila untuk produksi digunakan jarak 2x2 meter (Bengen 2001). Rehabilitasi yang dilakukan pada lahan basah ini adalah jenis Avicennia sp. dan Rhizophora sp. dengan jarak 1x1 meter. Pada lahan basah ini, maka pada daerah

122 103 terdepan pantai ditanam jenis Avicennia sp. (Api-api) dan pada bagian pinggir pantai kearah darat ditanam jenis Sonneratia sp. (Prapat). Sedangkan untuk mengembalikan jenis mangrove yang hilang, maka dilakukan penanaman jenis Bruguiera sp. (Tancang) pada daerah kearah darat dari garis pantai Kawasan Pemanfaatan Umum Zona pemanfaatan umum diperuntukan bagi ekowisata, hutan produksi, pertanian (sawah), perikanan (tambak), pemukiman, kantor penelitian, pelabuhan dan tempat pelelangan ikan. 1. Ekowisata Lahan basah ini memiliki sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Ci Tarum terdapat pada lahan basah ini, mengelilingi hutan bakau, daerah tambak, sawah, dan dekat dengan Jakarta serta Pulau Seribu, maka potensi pengembangan ekowisata hutan mangrove sangat dimungkinkan. Kawasan ekowisata berupa hutan mangrove (Avicennia sp., Sonneratia sp. dan Rhizophora sp.) seluas 932 ha pada pantai barat di desa Pantai Sederhana dengan konsep sebagai konservasi, rekreasi alam, kegiatan ekonomi, penelitian dan pendidikan serta partisipasi masyarakat lokal. Sebagai lahan konservasi dapat merupakan proteksi terhadap abrasi dan perlindungan terhadap habitat flora dan fauna. Ekowisata dapat menunjang ekonomi dengan meningkatkan pendapatan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya rencana pembangunan jalan tol Cilincing Cikarang dan transportasi laut, maka kegiatan ekowisata akan menunjang peningkatan ekonomi. Pada saat ini, transportasi ke Kecamatan Muaragembong pada lahan basah ini dengan menggunakan kapal nelayan melalui tiga muara besar yaitu Muara Bendera, Muara Mati dan Muara Bungin. Dengan adanya ekowisata, wisatawan dapat menikmati, keindahan alam hutan mangrove, burung-burung yang terdapat dalam kriteria Ramsar, lutung, kera ekor panjang, biawak. Disamping itu, di sepanjang sungai dapat dilakukan kegiatan ekonomi yaitu berupa berupa penjualan kepiting bakau dan udang serta bandeng dari tambak-tambak maupun hasil tangkapan nelayan di laut. Hasil tersebut selama ini

123 104 dipasarkan kepada pedagang disepanjang sungai, sehingga di sepanjang sungai yang digunakan bagi pelayaran terdapat berbagi kegiatan ekonomi termasuk wisata yang antara lain masyarakata lokal dapat menjual ikan segar yang dimasak bersama para wisatawan. Lokasi potensi ekowisata pada pantai barat lahan basah ini yaitu di desa Pantai Sederhana berdasarkan faktor, (1) pengembangan ekowisata ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang Pemerintah Kabupaten Bekasi tahun , dimana pantai barat lahan basah Muaragembong merupakan daerah wisata, sehingga dapat dipastikan mendapat dukungan dari pemerintah daerah kabupaten Bekasi; (2) memiliki keunikan yaitu terdapat fauna dalam kriteria Ramsar; (3) dan dapat dijangkau dengan alat transportasi dengan jalan menyusuri Ci Tarum dari Muara Bendera dan keluar dari Muara Bungin, sehingga wisatawan dengan menggunakan perahu mengelilingi lahan basah Muaragembong; (4) kehidupan masyarakat lokal yang dapat diajak berperan serta untuk pengembangan ekowisata dimana selama ini masyarakat lokal hanya sebagai buruh tambak dengan pendapatan kecil. Dengan dilibatkan dalam ekowisata, maka masyarakat lokal mempunyai kegiatan sendiri, sehingga wisatawan diharapkan merasa aman dan nyaman terhadap masyarakat lokal; (5) direncanakan dilakukan kerjasama antara masyarakat lokal, Universitas, swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, serta Pemerintah Daerah DKI (Kabupaten Pulau Seribu dan Kodya Jakarta Utara), diharapkan kegiatan ekowisata yang merupakan satu paket, dengan wisatawan yang diberangkatkan dari Dunia Fantasi atau Marina Ancol. Disamping itu juga bekerjasama dengan organisasi inernasional, lembaga penyandang dana baik pemerintah maupun non-pemerintah, organisasi kebudayaan, media massa baik cetak maupun elektronik (radio dan televisi). Kontribusi ekowisata secara langsung adalah adanya dana untuk kegiatan konservasi dan pengelolaan lingkungan, termasuk penelitian, sedangkan secara tidak langsung adalah meningkatnya kesadaran publik terhadap konservasi pada lahan basah ini.

124 Hutan Produksi Hutan produksi (1 244 ha) yang dimaksud adalah hutan budidaya dengan mangrove jenis Bruguiera sp., yang dikombinasikan dengan tambak silvofishery model empang parit (Gambar 38), atau hutan mangrove dan empang menjadi satu hamparan yang diatur oleh pintu air. Tambak mengelilingi hutan produksi. Kawasan pertambakan juga perlu ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery), yaitu kombinasi antara perikanan dengan hutan mangrove (Bengen 2001). Gambar 38. Silvofishery pola empang parit (Bengen 2001). Luas daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak (Puspita et al. 2005). Pada lahan basah ini, maka daerah pada tambak dekat dengan laut ditanam Bruguiera sp. sebesar 80% dari keseluruhan luas lahan produksi. Untuk menambah penghasilan masyarakat, maka Bruguiera sp. tersebut dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk sejajar dengan pematang tambak. Bruguiera sp. yang ditanam di dekat pematang tambak berfungsi untuk melindungi tanah pematang dari kikisan air dan tempat berlindungnya hewan budidaya, dengan jarak tanam 2x2 meter. Strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan dan perikanan di sekitar hutan produksi adalah dengan jalan melibatkan masyarakat lokal dengan Perhutani, sehingga dapat terjamin fungsi ekologi (habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan, tempat berpijah, berkembang biak), ekonomi (produksi perikanan, produksi kayu, sumber pendapatan bagi masyarat lokal) dan sosial.

125 Perikanan (Tambak) Berdasarkan data dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi (2000), tanah di Kecamatan Muaragembong merupakan tanah hak milik (18.52%), tanah Perhutani (56.27%) dan tanah negara bebas (25.21%). Penggarapan kawasan hutan oleh masyarakat sudah dilakukan dengan intensif, berdasarkan peta tahun 2008, luas tambak yang dibudidayakan mencapai ha (76%) dan sawah seluas ha (11%) dari total luas lahan basah seluas Dalam hal ini tampak bahwa Perhutani tidak menguasai tanah secara fisik. Secara umum, masyarakat Muaragembong merupakan masyarakat nelayan. Hal ini merupakan potensi yang dapat digunakan untuk pengembangan perikanan tambak di Kecamatan Muaragembong. Perkembangan jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Muaragembong didominasi oleh usaha tambak dan sawah yang mencapai 73% dari seluruh rumah tangga perikanan (Tabel 41). Hal ini merupakan potensi yang dapat digunakan untuk pengembangan perikanan tambak di Kecamatan Muaragembong. Tabel 41. Jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi tahun Jenis Usaha Rumah Tangga Perikanan Perikanan laut Perairan umum Kolam Tambak Sawah Jumlah Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bekasi (2008). Produksi tambak ( ) menempati urutan pertama (Bekasi Dalam Angka, 2009) (Tabel 42).

126 107 Tabel 42. Produksi Perikanan di Muaragembong 1998 s/d Jenis Usaha Produksi (ton) Perikanan Laut Perairan umum Kolam Tambak Sawah Jumlah Sumber: BPS Bekasi (2008). Kawasan tambak seluas ha, dengan pola silvofishery empang terbuka, yang telah banyak dikembangkan pada lahan basah ini (Gambar 39). Mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak (Sofiawan 2000). Gambar 39. Pola silvofishery empang terbuka (Puspita et. al. 2005) Strategi dan pelaksanaan kegiatan tambak adalah dengan jalan melibatkan masyarakat lokal dengan Perhutani, sehingga dapat terjamin fungsi ekologi (habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan, tempat berpijah, berkembang biak), ekonomi (produksi perikanan, sumber pendapatan bagi masyarat lokal) dan sosial. 2. Pertanian Kemampuan penanaman budidaya padi dua kali/tahun, kecuali di sekitar Cikarang tiga kali/tahun dengan menggunakan saluran irigasi dari Cikarang dan

127 108 pompanisasi. Luas panen dan produksi padi sawah di Kecamatan Muaragembong mengalami peningkatan dari tahun 1992 (837 ha) ke tahun 2008 (1 534 ha). Namun hasil per hektar secara umum mengalami penurunan (Tabel 43). Tabel 43. Luas panen, hasil panen per hektar dan produksi sawah di Kecamatan Muaragembong tahun 1997 dan tahun Tahun Luas Panen (Ha) Hasil per Ha (Kg) Produksi (Ton) Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bekasi 2008 Pertanian yang dimaksud adalah sawah pasang surut, yang tergenang air secara keseluruhan pada musim hujan. Sistem pengelolaan air pada sawah pasang surut ini dengan sistem Parit. Dibuat jaringan pengairan sehingga air tawar dapat masuk ke area sawah pada Gambar 40 (Muslihat dan Suryadiputra 2004 dalam Puspita et al. 2005). Gambar 40. Sawah Pasang Surut dengan Sistem Parit (Puspita et.al. 2005). 3. Pemukiman Pendorong utama perubahan lingkungan terjadi sejak awal 1985 adalah akibat sosio-ekonomis. Bertambahnya penduduk sebesar jiwa ( )

128 jiwa tiap tahun (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, 2006) (Lampiran 3). Pesatnya pertambahan penduduk tersebut mengakibatkan perubahan penggunaan lahan dan dorongan sosio-ekonomis menyebabkan tekanan terhadap lingkungan, yang pada akhirnya terjadi perubahan keadaan lingkungan, misalnya timbul abrasi pantai dan berkurangnya mangrove. Pada umumnya wilayah pemukiman di daerah ini tersebar di tepi sungai dan kanal yaitu dipinggir Ci Tarum, Kali Bekasi, Kanal CBL dan lain-lain. Untuk menunjang kegiatan ekonomi pada lahan basah ini, maka diusulkan kawasan pemukiman berada dekat dengan kegiatan perekonomian (ekowisata, hutan produksi, tambak dan pertanian). Pemukiman yang telah ada disekitar kegiatan perekonomian pada lahan basah ini tetap dipertahankan dan merupakan faktor potensial, hanya saja perlu penataan kembali. Berdasarkan hasil analisis, kawasan pemukiman seluas 699 ha (5% dari luas lahan). Strategi penataan kawasan pemukiman adalah dengan tetap mempertahankan dan mengembangkan kawasan pemukiman yang sudah ada sebagai pendukung kegiatan ekonomi dengan tetap mempertimbangkan lingkungan. 4. Kantor Penelitian Lahan basah Muaragembong masuk dalam database Ramsar (1987) sehingga daerah ini baik untuk daerah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang ekosistem lahan basah pesisir termasuk flora dan fauna dan pendidikan penggunaan lahan basah secara berkelanjutan. Dalam Rencana Tata Ruang (Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, 2003), perkantoran terletak di desa Pantai Mekar dekat dengan percabangan Ci Tarum. Diusulkan perkantoran di daerah ini diperuntukan untuk kegiatan penelitian lahan basah Muaragembong seluas 71 ha. 5. Pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan Dalam Rencana Tata Ruang (2003), kawasan pelabuhan di Desa Pantai Harapan Jaya yang berbatasan dengan laut, perlu ditinjau kembali, dikarenakan merupakan daerah sedimentasi dan terjadi pendangkalan secara terus-

129 110 menerus. Sehingga diusulkan lokasi pelabuhan di pindah ke Muara Karang dan tempat pelelangan ikan disamping lokasi pelabuhan. Yang dimaksukan pelabuhan disini adalah pelabuhan lokal (kapal nelayan) diperuntukan untuk nelayan tradisional dari dan ke pelabuhan nusantara atau dermaga lainnya Rencana Aksi Dari hasil kajian ditemukan tiga issue pengelolaan lahan basah Muaragembong sebagai dasar dalam penentuan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong. Issue tersebut adalah: (1) terjadi konflik kepentingan terhadap penggunaan lahan basah yaitu konversi penggunaan lahan dari kawasan hutan mangrove menjadi tambak dan sawah dan terjadi konflik kepentingan antara keputusan Menteri kehutanan tahun 2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujung Krawang menjadi kawasan hutan tetap, dan peraturan daerah propinsi Jawa Barat tahun 2006 tentang pengelolaan kawasan lindung; serta peraturan daerah kabupaten Bekasi tahun 2003 tentang pengembangan kecamatan Muaragembong bagian dari kawasan khusus pantai utara menjadi Kota Baru Pantai Makmur; (2) terjadi abrasi dan sedimentasi (terkikis dan pendangkalan pada daerah pantai) dan (3) berkurangnya luasan kawasan hutan mangrove disebabkan bertambahnya kawasan tambak dan sawah. Rencana aksi untuk menyelesaikan konflik kepentingan adalah: (1) pembangunan sesuai dengan tata ruang pada Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tetang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; (2) melakukan pengawasan; dan (3) pengendalian. Rencana aksi untuk menanggulangi abrasi dan sedimentasi adalah meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat tentang rehabilitasi dan penanaman hutan mangrove pada daerah sepadan pantai; menanggulangi sedimentasi adalah kerjasama dengan Pemerintah Propinsi yang menguasai DAS Citarum. Rencana aksi untuk menanggulangi berkurangnya luas kawasan hutan mangrove adalah: (1) peningkatan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove; (2) rehabilitasi bersama masyarakat dan (3) pemanfatan tanah timbul untuk mangrove. Perkiraan lama waktu pelaksanaan dan alokasi anggaran tergantung program Pemerintah Daerah. Pemerintah diharapkan mengalokasi dana

130 111 untuk kegiatan rehabilitasi pada lahan basah ini yang mengalami perubahan lahan dan menghimpun dana Corporate Social Responsibility dari perusahaanperusahaan yang melakukan kegiatan pada lahan basah ini sebagai tanggung jawab sosial perusahaan dalam melakukan kegiatan Kelembagaan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dengan instansi terkait dan masyarakat akan dituangkan dalam pembentukan kelembagaan dengan tujuan untuk menghubungkan manajemen pada tingkat masyarakat dengan manajemen tingkat pemerintah kabupaten. Implikasinya adalah pemerintah dan masyarakat, bersama-sama dalam penentuan bentuk kelembagaan, merumuskan program kegiatan yang akan dilakukan dalam pembangunan kawasan lahan basah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan evaluasi. Berdasarkan hasil pertemuan diperoleh berbagai informasi dan persepsi mengenai pentingnya pembentukan kelembagaan atau forum yang bertugas untuk mengelola dan mengawasi pelaksanaan pemanfaatan lahan basah. Juga dirumuskan kebijakan pengelolaan yaitu (1) kawasan perlindungan (mangrove) berfungsi sebagai pengendalian abrasi dan akresi serta perlindungan habitat satwa, (2) kawasan pemanfaatan berfungsi sebagai pendukung aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Kelembagaan yang dimaksud disini adalah membentuk Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong (FPLBM) yang bertugas sebagai koordinator dan bertanggung jawab kepada Bupati Bekasi. Ketua FPLBM adalah Bupati. Apabila dilakukan perubahan pada lahan basah tersebut, harus ada keterlibatan FPLBM sebagai penanggung jawab. Strategi pengelolaan lahan basah Muaragembong dengan skema ABG (Academic, Business Entity, Government) yaitu pelibatan berbagai unsur, Academic termasuk masyarakat lokal, Business Entity melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dan Government (Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dan Kecamatan). Tugas FPLBM adalah membantu Bupati Bekasi dalam perumusan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong, melaksanakan sosialisai mengenai pentingnya fungsi lahan basah, perumusan program pemberdayaan

131 112 masyarakat, review dan merekomendasi permintaan ijin pemanfaatan lahan berdasarkan pada (1) kawasan konservasi (mangrove) dan (2) kawasan pemanfaatan umum. Keanggotaan FPLBM terdiri dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, kelompok profesi, pengusaha dan tokoh masyarakat. Peranan masing-masing pihak pada Tabel 44 dan Struktur FPLBM dan keanggotaannya dapat dilihat pada Gambar 41. Tabel 44. Peranan masing-masing pihak pada Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong melalui skema ABG. No Kegiatan Akademisi (Perguruan Tinggi, Masyarakat, LSM) 1. Sosialisasi fungsi lahan X basah, komunikasi, inovasi. 2. Perumusan program dan X pendampingan. 3. Perumusan kebijakan X pengelolaan lahan basah 3. Merekomendasi X permintaan ijin pemanfaatan lahan Business Entity X Government (Pemerintah Lokal) X 4. Pendanaan. X X 5. Pendampingan tekhnis. X 6. Kerjasama (dalam dan X X X luar negeri), konsultasi implementasi konvensi dengan negara anggota Ramsar. 7. Payung hukum X 8. Pengawasan dan X X X pemantaun 9. Ramsar X Sumber : Modifikasi Atmadja X

132 113 GOVERMENT (PEMDA) FPLMG AKADEMIS Business entity / Industri Gambar 41. Struktur Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong (Modifikasi Atmadja 2004). Adapun tahapan dari alur pengambilan keputusan seperti pada Gambar 41. Pengambilan keputusan FPLBM diawali dari tingkat bawah yaitu di tingkat masyarakat dilakukan melalui musyawarah. Hasil keputusan dari tingkat masyarakat ini diteruskan ketingkat FPLBM dengan mengkoordinasikan dengan hasil keputusan instnasi teknis (Gambar 42), dan tingkat FPLBM untuk memberikan masukan kepada Bupati dalam arah dan pedoman pengelolaan lahan basah. Dewan Pembina Bupati Bekasi Badan Pengelola Lahan Basah Muaragembong (FPLBMG) Stakeholders dan Tim Teknis Kelompok masyarakat : Hasil-hasil rapat bulan, tahunan, dan insidentil Instansi teknis terkait: Keputusan bersama Gambar 42. Prosedur pengambilan keputusan FPLBM. FPLBM membentuk tim monitoring dan evaluasi yang tugasnya adalah memantau dan mengevaluasi pelaksaan rencana kegiatan secara berkala dan

133 114 hasilnya dilaporkan kepada FPLBM untuk diteruskan kepada Penanggung Jawab dengan tembusan Tim teknis dan Pelaksana Kegiatan. Tim Teknis memberi masukan kepada FPLBM sesuai dengan laporan hasil monitoring dan evaluasi. (Gambar 43). Metoda monitoring implementasi kegiatan dengan pengamatan sederhana di lapangan seperti mengumpulkan contoh flora dan fauna dan pengamatan perubahan nilai sosial. Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong membentuk tim monitoring dan evaluasi. Tim monitoring dan evaluasi bertugas secara berkala memantau dan mengevaluasi pelaksaan rencana kegiatan. Hasil kerja Tim Monitoring dan Evaluasi dilaporkan kepada Forum Pengelola lahan basah Muaragembong untuk diteruskan kepada Penanggung Jawab (Tabel 45). Penanggung Jawab (Bupati Bekasi) Tim Teknis FPLBM Pelaksana Kegiatan (Pemrakarsa) Tim Monitoring dan Evaluasi Gambar 43. Tahapan monitoring dan evaluasi rencana pengelolaan (Modifikasi Situmorang 2009) Tabel 45. Bagan Alir Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Lahan Basah ini. No. Tim Tugas 1 Tim Monitoring dan Evaluasi 2 Forum Pengelola Mempunyai fungsi monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan kegiatan dari Pelaksana Kegiatan (Pemrakarsa) dengan menugaskan Tim Ahli Menyampaikan laporan hasil monitoring dan evaluasi kepada badan Penanggung Jawab kegiatan dan menembuskan kepada Tim Pengarah dan Tim teknis. 3 Tim Teknis Memberi masukan kepada Tim Pengelola sesuai dengan laporan hasil monitoring dan evaluasi.

134 Usulan Lahan Basah Muaragembong menjadi Ramsar site Ramsar site yang terdapat dalam list of Wetlands of International Importance, yang terdaftar adalah dari negara Inggris (175 Ramsar sites) dan dari Indonesia hanya tiga yaitu Taman Nasional Berbak (8 April 1992) dan Taman Nasional Danau Sentarum (30 Agustus 1994) dan Taman Nasional Wasur (16 Maret 2006). Dua lokasi kawasan lahan basah lainnya saat ini masih dalam proses pengusulan ke Biro Ramsar, yaitu Taman Nasional Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Nirarita 2009). Indonesia memilki Ramsar site yang sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, Australia, Canada dan Amerika maupun negara Asia lainnya. Berdasarkan analisis potensi dan kondisi lahan basah, maka diketahui bahwa lahan basah ini merupakan lahan basah pesisir, yang dipengaruhi oleh oleh keberadaan Ci Tarum beserta anak-anak sungainya dan air laut. Atau dengan kata lain merupakan daerah pesisir yang bersifat payau, terpengaruh oleh limpasan air tawar dan air laut serta memiliki ketersediaan air yang mempunyai fungsi sebagai lahan basah. Lahan basah ini masih berfungsi sebagai lahan basah menurut kriteria Ramsar, walaupun terjadi perubahan fisik dalam periode 1946 s/d 2008 yaitu terjadi akresi seluas 16 ha per tahun dan abrasi seluas 5 ha per tahun serta bertambahnya lahan basah buatan menjadi 94% dan berkurangnya lahan basah alami menjadi 6 %, berkurangnya jenis flora (Bruguiera sp.) dan berkurangnya jenis fauna (Macan tutul jawa). Semula lahan basah ini berdasarkan kriteria Ramsar sebagai cagar alam dan termasuk lahan basah pasang surut yang khas atau mewakili dataran rendah (Silvius et al. 1987). Namun lahan basah ini mengalami perubahan fisik, sehingga diusulkan menjadi lokasi Ramsar yang kelima di Indonesia, berupa lahan basah alami (konservasi) seluas ha (49%) dan lahan basah non alami (ekowisata, hutan produksi, tambak dan sawah) seluas ha (51%). Beberapa kriteria Ramsar yang terdapat dalam lahan basah Muaragembong tahun 2010 adalah sebagai berikut. 1. Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Memenuhi syarat di

135 116 lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans). 2. Lahan basah ini dihuni beberapa jenis hewan yang terdaftar dalam buku IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), yang jenis-jenis tersebut telah disusun Silvius et al. yaitu jenis mamalia (kera ekor panjang dan lutung), jenis burung (Bluwok Putih, Bangau Tong-tong, Kacamata Jawa, Burung Pecuk Ular, Kuntul Kecil, Burung Kipas-kipasan) dan jenis reptilia (biawak). Jenis-jenis fauna tersebut termasuk 15 jenis mamalia, seratus lima puluh delapan (158) jenis burung, enam (6) jenis reptilia dan sebelas (11) jenis ikan (Tim Terpadu, 2010). 3. Terdapat jenis-jenis burung perancah dan burung laut seperti cerek, gajahan, trinil, kedidi dan dara laut akan berimigrasi ke selatan termasuk ke wilayah hutan lindung Muaragembong, pada saat musim dingin di bumi belahan utara (Tim Terpadu 2005). 4. Lahan basah ini mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang. 5. Menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat local, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi. Potensi dan kondisi lahan basah Muaragembong berdasarkan kriteria Ramsar Tahun 1987 dan 2010 pada Tabel 46 dan peta Ramsar pada Gambar 24). Pada progran SPL selama ini, penelitian mengenai lahan basah sangat kurang diminati. Pada umumnya SPL lebih menekankan pada tahapan Intergrated Coastal Zone Management (ICZN), maka diusulkan dalam tahapan ICZM tersebut pada studi SPL, ditambahkan rincian mengenai topik lahan basah secara umum (internasional) dan secara khusus merinci perkembangan lahan basah pesisir di Indonesia yang terdapat dalam database Ramsar (56 lokasi) dan tiga lokasi

136 117 lainnya merupakan Ramsar site. Diusulkan juga, lahan basah dimasukan sebagai materi dalam mata kuliah dinamika Sumberdaya Pesisir dan Lautan (MSP 532).

137 118 Tabel 46. Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 1987 (Silvius 1987) dan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 2010 berdasarkan hassil penelitian. Kriteria Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 1987 (Silvius et al. 1987) 1 Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa fruticans). 2a Kriteria lahan basah untuk mendukung kelompok spesies atau sub-spesies tumbuhan atau hewan yang berstatus langka, rentan terhadap kepunahan, atau sejumlah individu dari satu atau lebih dari spesies tersebut. Memenuhi syarat di lokasi ini menurut IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), jenis-jenis yang telah disusun Silvius et al., adalah: - Jenis mamalia (Macan tutul jawa, Kera ekor panjang, Lutung), - Jenis burung (Bluwok putih, Bangau tong-tong, Kacamata jawa, Pecuk ular, Kuntul kecil dan Kipaskipasan).dan - Jenis reptilia (Biawak). Kriteria Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 2010 (berdasarkan hasil penelitan) 1 Lahan basah yang khas atau mewakili dataran rendah pasang surut dan rawa air tawar dengan kelompok mangrove yang relatif baik. Dan yang memenuhi syarat di lokasi ini adalah mangrove (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp. dan Nypa fruticans). Sedangkan Bruguera sp., diusulkan untuk dapat ditanam kembali. 2a Kriteria lahan basah untuk mendukung kelompok spesies atau sub-spesies tumbuhan atau hewan yang berstatus langka, rentan terhadap kepunahan, atau sejumlah individu dari satu atau lebih dari spesies tersebut. Memenuhi syarat di lokasi ini menurut IUCN Red Data List (1994) dan daftar CITES (1994), adalah : - Jenis mamalia : Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas), Kera Ekor Panjang (Macaca fasciculairs), Lutung (Trachypithecus cristata). - Jenis burung : Bluwok Putih (Mycteria cinerea), Bangau Tong-tong (Leptoptilos javanicus), Kacamata Jawa (Zosterops flavus), Burung Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Kuntul Kecil (Egretta garzetta). Burung Kipas-kipasan (Rhipidura javanica). - Jenis reptilia : Biawak (Varanus salvator). - Terdapat jenis-jenis burung perancah dan burung laut seperti Cerek (Pluvialis), Gajahan (Numenius), Trinil (Tringa), Dara laut (sterna), Kedidi (Calidris), akan berimigrasi ke selatan termasuk ke wilayah hutan lindung Muaragembong, pada saat musim dingin di bumi belahan utara. Jenis fauna diatas, termasuk 15 jenis mamalia (Lampiran 6), seratus lima puluh delapan (158) jenis burung (Lampiran 7), enam (6) jenis reptilia (Lampiran 8) dan terdapat satu jenis amphibi (Lampiran 9), sembilan jenis serangga (Lampiran 10), terdapat dalam lahan basah ini (Tim Terpadu 2005).

138 119 Tabel 46 Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 1987 (Silvius 1987) dan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 2010 berdasarkan hassil penelitian.(lanjutan). Kriteria Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 1987 (Silvius et al. 1987) 2c Kriteria lahan basah yang mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu lahan basah hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang. A1 Lainlain. Kriteria Wetland Value Menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat local, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi. Luas lahan basah ha. Kriteria Kriteria Ramsar di Muaragembong tahun 2010 (berdasarkan hasil penelitan) 2c Kriteria lahan basah yang mempunyai nilai khusus sebagai habitat tumbuhan atau hewan, terutama pada tingkat/stadium yang menentukan (kritis) dalam siklus kehidupan. Khusus lokasi ini yaitu lahan basah hutan mangrove adalah penting sebagai tempat pemijahan dan pengasuhan untuk jenis-jenis ikan laut dan udang. - Sebanyak 11 jenis ikan (Lampiran 11) di lahan basah Muaragembong, yaitu Kepala timah (Apiocheilus panchax), ikan sepat (Trichogaster trichopterus), Ikan kakap (Lates calcarifer), Ikan bandeng (Chanos chanos), Ikan gabus (Channa micropeltes), Ikan mujair (Oreochromis nilotichus), Ikan blosok (Oxyeleotris marmorata), Sidat (Moringua javanica), Ikan blanak (Mugil cephalus), Ikan glodok (Periophtalmus sp.), Ikan sembilang (Plotosus canius) (Tim Terpadu, 2005),. - Mangrove pada lahan basah ini, masih pemijahan,, pengasuhan untuk jenisjenis ikan laut, udang, serangga dan crustacea. - Lahan basah ini dekat dengan Cagar Alam Pulau Rambut, maka diharapkan lahan basah ini dapat mendukung 11 species burung air yang berada di Pulau Rambut dalam mencari makan dan mendukung kawasan konservasi disekitar lahan basah ini, antara lain kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. A1 Kriteria Wetland Value menyediakan (atau memiliki potensi untuk menyediakan) beberapa pengaturan atau fungsi yang menguntungkan lainnya, termasuk berperan dalam pemeliharaan proses atau system alami yang ada pada tingkat lokal, regional atau nasional. Untuk lokasi ini, adalah penting untuk perlindungan kawasan pantai melawan erosi. Erosi yang terjadi pada pantai saat ini sebesar 5 ha tiap tahunnya. Luas lahan basah ha.

139 120

140 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis potensi dan kondisi lahan basah, kesesuaian, dan kebijakan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Lahan basah Muaragembong masih berfungsi sebagai lahan basah menurut kriteria Ramsar, walaupun terjadi perubahan fisik dalam periode 1946 s/d 2008 yaitu terjadi akresi seluas 16 ha per tahun dan abrasi seluas 5 ha per tahun serta bertambahnya lahan basah buatan menjadi 94% dan berkurangnya lahan basah alami menjadi 6 %. Kondisi ini menjadi pertimbangan perlunya mempertahankan lahan basah ini dengan tidak mengkonversikan sepenuhnya menjadi peruntukan lain. 2. Berkurangnya luasan ekosistem lahan basah (mangrove) dan hilangnya flora (mangrove) jenis Bruguiera sp. dan fauna jenis Macan tutul jawa. 3. Berkurangnya satu jenis fauna (Macan tutul jawa) dari tiga jenis. Sedangkan jenis burung dan reptilia tidak berkurang. 4. Indonesia mengesahkan konvensi Ramsar berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1991 yaitu menganai lahan basah dipandang dari kepentingan Internasional khususnya sebagai habitat burung air, dilanjutkan dengan terbentuknya Komite Lahan Basah Nasional pada tahun Untuk tercatat kedalam daftar Situs Ramsar (Ramsar list), digunakan kriteria mengacu pada kriteria dalam konvensi Ramsar tahun 1971 untuk lahan basah yang mempunyai kepentingan Internasional. 6. Lahan basah Muaragembong telah masuk dalam database Wetland International Indonesia dengan kode JAV09 adalah satu dari 718 lahan basah yang telah tercantum dalam database Ramsar. 7. Lahan basah ini, selain memiliki manfaat langsung yaitu sebagai fungsi ekologi (habitat, hidrologi, kualitas air, perlindungan kawasan pantai melawan erosi dan perlindungan habitat satwa), juga terdapat manfaat tidak langsung yaitu sebagai fungsi jasa (tempat rekreasi, sarana pendidikan dan penelitian).

141 Tidak adanya sinkronisasi kebijakan penggunaan lahan basah diantara institusi Pemerintah Pusat dan Daerah, maka diperlukan koordinasi antara Pemerintah baik pusat maupun daerah dengan stakeholder. 9. Kelembagaan pengelolaan lahan basah Muaragembong yang disepakati oleh stakeholder adalah pengelolaan kolaboratif antara Pemerintah Daerah dan masyarakat. 10. Jika lahan basah ini tidak dikelola dengan baik, maka implikasi terhadap ekosistem hutan mangrove dan keanekaragaman hayati hutan mangrove akan menurun, tidak saja dari fungsi ekologi, ekonomi tetapi juga dari fungsi jasa. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan: 1. Mempertahankan lahan basah alami sebagai kawasan perlindungan alam seluas ha (49%) yaitu kawasan mangrove yang masih utuh di sepadan pantai, sedangkan sisanya berupa lahan basah non alami seluas ha (51%) yaitu diperuntukan kegiatan lahan basah buatan sebesar 45% (ekowisata, hutan mangrove, tambak, sawah), dan lahan basah non alami penggunaan kering sebesar 6% (pemukiman, kantor penelitian, pelabuhan dan tempat pelelangan ikan). 2. Melarang penambangan pasir disekitar Tanjung Wetan termasuk endapan pantai, laut dan sungai di sekitarnya. 3. Perlu upaya merehabilitasi lahan basah dengan cara menanam vegetasi mangrove sepanjang sepadan pantai dan pada daerah-daerah yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap abrasi dan habitat satwa serta meningkatkan ekosistem mangrove, termasuk menanam jenis mangrove yang hilang (Bruguiera sp.). 4. Dengan berkurangnya ekosistem mangrove, maka secara umum daerah ini rentan terhadap bahaya pesisir laut (ombak, abrasi, banjir dan sebagainya). Sedangkan secara khusus lahan basah Muaragembong merupakan bentang pertahanan Teluk Jakarta (bagian timur), sehingga perlu diantisipasi akan terjadi bencana pesisir laut terhadap wilayah pantai pesisir Kota Jakarta, bila tidak dilaksanakan kegiatan perlindungan dan rehabilitasi mangrove.

142 Mengusulkan lahan basah Muaragembong menjadi lokasi Ramsar (Ramsar site), karena telah memenuhi beberapa kriteria Ramsar, sehingga akan meningkatkan kepedulian Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengelola dengan baik. 6. Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap dampak banjir di bagian timur Kota Jakarta dengan cara penelitian sudetan Ci Tarum yaitu mengalihkan aliran Ci Tarum ke arah timur (menjauhi Teluk Jakarta). Usaha ini bertujuan untuk mengurangi banjir dan sedimentasi yang di transportasikan oleh Ci Tarum ke teluk Jakarta, sehingga akan mengurangi bahaya banjir di Kota Jakarta dan sekitarnya. 7. Lahan basah Muaragembong berada di pulau Jawa yang padat penduduknya di mana 60% penduduk Indonesia berada di Jawa yang hanya 7% dari luas daratan Indonesia (Rais 2008). Bukan tidak mungkin dampak jumlah penduduk yang besar merupakan dorongan bagi perubahan penggunaan lahan, termasuk lahan basah. Penelitian perlu dilakukan bagaimana daya dukung yang makin menurun, tidak hanya di Muaragembong, tetapi di seluruh pulau Jawa, sehingga dapat dipertahankan ekosistem alami yang sehat. Penelitian tersebut menyangkut dampak urbanisasi terhadap lahan basah (Azous dan Horner. 2001). 8. Selain penelitian pada lahan basah Muaragembong, perlu dilakukan penelitian lahan basah di Indonesia pada lokasi lain yang terdapat dalam database Ramsar. 9. Mengusulkan untuk dikembangkan wisata mangrove di pantai barat lahan basah ini, sehingga dapat meningkatkan Pendapatan Daerah dan meningkatkan pendapatan penduduk lokal. 10. Merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh stakeholders. 11. Perlu adanya forum pengelolaan lahan basah yang terdiri dari unsur Pemerintah (Pusat dan Daerah), masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengelolaan lahan basah termasuk menyusun rencana strategis dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnya ekosistem lahan basah bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.

143 Agar Pemerintah mengalokasikan dana untuk kegiatan rehabilitasi di lahan basah Muaragembong (APBN/APBD) yang mengalami perubahan lahan dan mengajak perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan pada lahan basah untuk melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility secara terintegrasi sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan khususnya lahan basah Muaragembong. 13. Bagi kawasan yang sudah lama dihuni dan memiliki fasilitas sosial lengkap diusulkan masyarakat untuk dipindahkan pada kawasan pengganti diluar kawasan konservasi dengan disertai dengan program pemberdayaan masyarakat yang disusun secara berkesinambungan. 14. Wilayah pesisir merupakan bagian dari coastal wetland, sehingga diusulkan adanya penambahan materi kuliah coastal wetland pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.

144 136 Lampiran 1. Ramsar Sites (Ramsar Convention Bureu 2010). No Nama Negara Jumlah Wetlands 1 Albania 3 2 Algeria 47 3 Antigua and Barbuda 1 4 Argentina 19 5 Armenia 2 6 Australia 65 7 Austria 19 8 Azerbaijan 2 9 Bahamas 1 10 Bahrain 2 11 Bangladesh 2 12 Barbados Graem 1 13 Belarus 8 14 Belgium 9 15 Belize 3 16 Benin 4 17 Bolivia 8 18 Bosnia 3 19 Botswana 1 20 Brazil Bulgaria Burkina Faso Burundi 1 24 Cambodia 3 25 Cameroon 5 26 Canada Cape Verde 3 28 Central African Rep Chad 6 30 Chile China Colombia 5 33 Comoros 3 34 Congo 6 35 Congo, D. R. of 2 36 Congo, Republic of 1 37 Dem. Rep. of Congo 1 38 Costa Rica Côte d Ivoire 6 40 Croatia 4 41 Cuba 6 42 Cyprus 1 43 Czech Republic Denmark Denmark (Greenland) Djibouti 1 47 Dominican Republic 1 48 Ecuador Egypt 2 50 El salvador 4 51 Equatorial Guinea 3 52 Estonia Eucador 1 54 Fiji 1 55 Finland Former USSR 4 57 France FYR of Macedonia 1 59 Gabon 9 60 Gambia 3

145 137 Lampiran 1. Ramsar Sites (Ramsar Convention Bureu 2010) (Lanjutan). No Nama Negara Jumlah Wetlands 61 Georgia 2 62 Germany Ghana 6 64 Greece Guatemala 7 66 Guinea Guinea-Bissau 1 68 Honduras 6 69 Hungary Iceland 3 71 India Indonesia 3 73 Iran, I.R.of Iran, Islamic Rep Iraq 1 76 Ireland Israel 2 78 Italy Jamaica 3 80 Japan Jordan 1 82 Kazakhstan 7 83 Kenya 5 84 Korea, Republic of 2 85 Republic of Korea Kyrgyz Republic 2 87 Latvia 6 88 Lebanon 4 89 Lesotho 1 90 Liberia 5 91 Libyan Arab Jama 2 92 Liechtenstein 1 93 Lithuania 5 94 Luxembourg 2 95 Macedonia, The Former Yugoslavia Republic of 1 96 Madagascar 6 97 Malawi 1 98 Malaysia 6 99 Mali Malta Marshall Islands Mauritius Mauritania Mexico Moldova Rep.Moldova Monaco Mongolia Morocco Mozambique Myanmar Namibia Nepal Netherlands Netherlands (Aruba) Netherlands (Netherlands Antilles) New Zealand Nicaragua Niger Nigeria 11

146 138 Lampiran 1. Ramsar Sites (Ramsar Convention Bureu 2010) (Lanjutan). No Nama Negara Jumlah Wetlands 121 Norway Norway (Spitzbergen) Pakistan Palau Panama Papua New Guinea Paraguay Peru Philippines Poland Portugal Romania Russian Federation Rwanda Saint Lucia Samoa Sao Tome and Principe Senegal Serbia Serbia Montengro Seychelles Sierra Slovak Republic Slovenia South Africa Spain Sri Lanka Sudan Suriname Sweden Switzerland Syria Tajikistan Tanzania Thailand Togo Trinidad & Tobago Tunisia Turkey Turkmenistan UK UK (Bermuda) UK (Falklands Malvinas) UK (Cayman Islands) UK Indian Ocean Territory U.R. of Tanzania U.S.A United States / America Uganda Ukraine United Arab Emirates United Kingdom Uruguay Uzbekistan Venezuela Viet Nam Yemen Yugoslavia Zambia 8 Total 1908

147 139 Lampiran 2. Lokasi Penelitian

148 140 Lampiran 2. Lokasi Penelitian (Lanjutan). Prof. Dr. Ir. Yacub Rais, MSc dan Dr. Mangatas Situmorang saat beristirahat di tambak desa Pantai Bahagia, Nypa fruticans (Nipa) 25

149 141 Lampiran 2. Lokasi Penelitian (Lanjutan). 20 Sonneratia sp. (Pidada) 24

150 142 Lampiran 2. Lokasi Peneliitian (Lanjutan). Keterangan : = Kawanan burung Kuntul di Muara Sorongan kearah laut dan kearah tepi barat 11 Keterangan : = Kawanan burung Kuntul pada sisi barat mulut Muara Sorongan 10

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

5. TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN BASAH MUARAGEMBONG

5. TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN BASAH MUARAGEMBONG 86 5. TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN BASAH MUARAGEMBONG 5.1. Tinjauan Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi lahan basah ini (Tabel 32)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Lima belas negara (15) negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak. Jumlah Ramsar Site. Jumlah. Negara. Negara.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Lima belas negara (15) negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak. Jumlah Ramsar Site. Jumlah. Negara. Negara. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konvensi Ramsar Tentang Lahan Basah Secara umum tujuan atau misi dari konvensi Ramsar adalah konservasi dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use) melalui aksi nasional dan kerjasama

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 212: 355-364 ISSN : 288-3137 PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 188.44 / 62 / 2012 TENTANG KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. SUMUR PANDANWANGI LUAS AREAL

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci