BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola asuh adalah suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik, dan membimbing anak kecil. Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian pengasuhan menurut Porwadarminto (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Sedangkan pengertian mengasuh anak menurut Darajat (dalam Amal, 2005) adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode pertama sampai dewasa. Pengasuhan adalah kepemimpinan dan bimbingan yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya Tipe Pola Asuh Orang Tua Menurut Diana Baumrind (1971, dalam Santrock, 2005), ada empat gaya pengasuhan, yaitu : 1. Pengasuhan Otoriter Pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan menguhukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan

2 menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter juga mungkin sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif. 2. Pengasuhan Demokrasi Pengasuhan demokrasi mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyanyang terhadap anak. Orang tua yang demokrasi mungkin merangkul anak dengan mesra. Orang tua yang demokrasi mungkin menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respon terhadap perilaku anak yang dewasa, mandiri, dan ceria, bisa mengendalikan diri dan berorientasi, dan berorientasi pada prestasi; mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik. 3. Pengasuhan yang Mengabaikan/Permisif Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting

3 daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal. 4. Pengasuhan yang Menuruti/Neglectful Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya. Menurut Elizabet B. Hurlock (1999) ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain : 1. Melindungi secara berlebihan. Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan.

4 2. Permisivitas Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian. 3. Memanjakan Permisivitas yang berlebih, memanjakan membuat anak egois dan menuntut 4. Penolakan Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka. 5. Penerimaan Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. 6. Dominasi Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif. 7. Tunduk pada anak Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka.

5 8. Favoritisme Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga. 9. Ambisi orang tua Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes (1986 dalam Yusniah, 2008) mengemukakan tiga macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu : a. Otoriter Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi. b. Demokratis Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. c. Permisif Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan

6 permisif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas. 1. Otoriter Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), otoriter berarti berkuasa sendiri dan sewenang-wenang. Menurut Singgih D. Gunarsa (2003 dalam Yusniah, 2008), pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak, serta orang tualah yang berkuasa menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya menentang atau membantah, maka orang tua tak segan-segan memberikan hukuman. Jadi, dalam hal ini kebebasan anak sangatlah dibatasi karena apa saja yang dilakukan anak harus sesuai dengan keinginan orang tua. (Yusniah, 2008) Menurut Parsono (1994 dalam Yusniah, 2008), pada pola asuhan ini akan terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jadi, anak melakukan perintah orang tua karena takut dan bukan

7 karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak, terutama dalam pembentukan kepribadiannya karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008) mengemukakan bahwa sikap orang tua yang otoriter paling tidak menunjang perkembangan kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak menjadi patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi kurang bebas dan kurang percaya diri. Menurut Abu Ahmadi (1991 dalam Yusniah, 2008) perkembangan anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-lama anak akan

8 mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada. Setelah dewasapun anak akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan (Yusniah, 2008). Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah. 2) Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya. 3) Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak. 4) Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang. 5) Orang tua cenderung memaksakan disiplin. 6) Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana. 7) Tidak ada komunikasi dua arah antara orang tua dan anak 2. Demokratis Menurut Prof. Dr. Utami Munandar (1992 dalam Yusniah, 2008), pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturanperaturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang

9 penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua (Yusniah, 2008) Orang tua selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Pola asuh ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya, serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak (Yusniah, 2008) Pola asuh demokratis dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua pola asuh ekstrim yang bertentangan, yaitu pola asuh otoriter dan permisif. Dengan pola asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif (Yatim, 1991 dalam Yusniah, 2008) Rumah tangga yang hangat dan demokratis berarti bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembang sebagai individu, dan bahwa orang tua memberinya

10 kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua ialah mengembangkan individu yang berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Beck, 1992 dalam Yusniah, 2008) Pendapat Fromm (dalam Yusniah, 2008) bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana demokratik, perkembangannya lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter, memandang kekuasan sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Ini mungkin menimbulkan sikap tunduk secara membuta kepada kekuasaan, atau justru sikap menentang kekuasaan. Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993), dan Nur Hidayah dkk (1995) ( dalam Yusniah, 2008) adalah bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis terjadinya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi pesan nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati. Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut : 1)Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak.

11 2) Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan. 3) Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian. 4) Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga. 5) Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga. Dari berbagai macam pola asuh yang banyak dikenal, pola asuh demokratis mempunyai dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun permisif. Dengan pola asuh demokratis anak akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua yang menerapkan salah satu macam pola asuh dengan murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki kecenderungan kepada salah satu macam pola (Yusniah, 2008). 3. Permisif Menurut Poebakawatja (1976 dalam Yusniah, 2008), permisif adalah suatu sistem di mana pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut campur). Pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan ataupun

12 menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang diinginkannya karena kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Pola asuh ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah, ketergantungan dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional (Yusniah, 2008). Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah laku mereka dan ketika mereka kecewa, mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan dan hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam antara pandangan suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata (Hauck, 1993 dalam Yusniah, 2008). Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal (1992 dalam Yusniah, 2008), ciri-ciri pola asuh permisif adalah sebagai berikut : 1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya. 2) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh. 3) Mengutamakan kebutuhan material saja.

13 4) Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua). 5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga Menurut Mohammad Shochib (1998 dalam Yusniah, 2008), setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini mungkin memang tidak memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari masalah kenakalan remaja. Akan tetapi, anak tersebut cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki depresi yang lebih tinggi. Sementara pola asuh permisif membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang akan memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah, tetapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial yang harus dipatuhinya. Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga dalam menciptakan karyanya. Oleh karena itu, pola asuh yang dianggap lebih cocok untuk membantu anak mengembangkan kreativitasnya adalah demokratis. Dalam pola asuh ini, orang tua memberi kontrol terhadap anaknya dalam batas-batas tertentu, aturan untuk hal-hal yang esensial saja, dengan tetap menunjukkan

14 dukungan, cinta dan kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya, kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu, orang tua akan membantunya mencari jalan keluar tanpa berusaha mendiktenya (Shochib, 1998 dalam Yusniah, 2008). 2. Remaja 2.1. Pengertian Remaja John W. Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Sedangkan menurut PBB, remaja adalah individu yang berada dalam rentang usia tahun Ciri-Ciri Masa Remaja Menurut Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah : a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Dianggap periode yang penting karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Awal masa remaja ditandai dengan perkembangan fungsi fisik dan perkembangan mental yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

15 b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan berikutnya. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser. c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu : 1) Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. 2) Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru. 3) Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilai-nilai. 4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan sikap. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi takut bertanggung jawab. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah namun merasa dirinya mandiri untuk mengatasi masalahnya sendiri sehingga menolak bantuan orang lain. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri mengakibatkan penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan.

16 e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya didalam masyarakat, apakah ia seorang anak-anak atau orang dewasa. Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting namun lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam segala hal. Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan barang-barang mewah lain, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya didalam kelompok dengan mengikuti apa yang dilakukan kelompok seperti merokok dan minum minuman keras. f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan. Stereotip yang berlaku dalam masyarakat berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis. Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana dirinya.

17 h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang mereka inginkan. 2.3 Tugas Perkembangan Remaja Setiap fase perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan merupakan pengharapan atas apa yang akan dilakukan oleh individu pada masa perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan bersifat normatif, tepat waktu, dan diharapkan, serta diantisipasi oleh individu. Tugastugas perkembangan harus dicapai sebelum seorang individu melangkah ke tahapan perkembangan selanjutnya. Apabila seorang individu gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya, maka ia akan sulit untuk memenuhi tugas perkembangan pada fase perkembangan selanjutnya atau individu tersebut akan mengalami kesulitan untuk meyelesaikannnya di waktu yang lain atau melaksanakan tugas perkembangan pada tahap yang lebih lanjut (Hurlock, 1999). Adapun tugas perkembangan remaja menurut Marheni (2004 dalam Soetjiningsih, 2004), yaitu : 1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin. 2. Memperoleh peran sosial. 3. Menerima keadaaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif.

18 4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua. 5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri. 6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan. 7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 8. Mengembangkan dan membentuk kemampuan konsep-konsep moral. Menurut Hurlock (1999), tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu : 1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. 2. Mencapai peran sosial pria dan wanita 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. 6. Mempersiapkan karier ekonomi. 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi. 3. Perkembangan Sosialisasi 3.1. Pengertian Sosialisasi Remaja Menurut Hurlock (1999), pengertian sosialisasi adalah perolehan kemampuan berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Menurut Nur aeni (1997 dalam Junita, 2006), sosialisasi adalah suatu proses seseorang belajar berperilaku sesuai dengan tuntutan budaya tempat ia hidup.

19 Soelaeman (2001 dalam Junita, 2006), sosialisasi diartikan sebagai proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri bagaimana cara hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam. Sosialisasi merupakan proses dimana kepribadian si anak ditentukan melalui interaksi sosial (Khairudin, 1997 dalam Junita, 2006). Sosialisasi tidak hanya berlangsung selama kanak-kanak saja, tetapi setiap siklus individu, yaitu untuk berperilaku sesuai dengan harapan-harapan normatif masyarakat dan lingkungan. (Munandar, 1985 dalam Junita, 2006) Perubahan Sosial Remaja Bertrand (1980 dalam Hurlock, 1999) proses sosialisasi membuat seseorang menjadi tahu bagaimana ia harus bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Melalui proses sosialisasi seorang anak akan menjadi masyarakat yang beradab (Hurlock, 1999). Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1999). Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Perubahan sosial yang terjadi remaja menurut Hurlock (1999), antara lain :

20 1. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri sebagai akibatnya. Horrocks dan Benimoff (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan pengaruh teman sebaya pada masa remaja sebagai berikut : Kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda yang menyiapkan panggung di mana remaja dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya, remaja merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Disinilah remaja dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia orang dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya. Jadi, di dalam masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan di situ pulalah remaja dapat

21 menemukan dunia yang memungkinkannnya bertindak sebagai pemimpin apabila mampu melakukannya. Selain itu, kelompok kelompok sebaya merupakan hiburan utama bagi anak-anak belasan tahun. Kelompok sebaya terdiri dari anggota-anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya dan yang kepadanya remaja bergantung. Keremajaan memiliki sifat yang selalu maju, maka kelompok sebaya pun mulai akan berkurang. Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, sebagian besar remaja ingin menjadi individu yang berdiri di atas kaki sendiri dan ingin dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja. Faktor kedua timbul dari akibat pemilihan sahabat. Remaja tidak lagi berminat dalam berbagai kegiatan besar seperti pada waktu berada pada masa kanakkanak. Pada masa remaja ada kecenderungan untuk mengurangi jumlah teman meskipun sebagian besar remaja menginginkan menjadi anggota kelompok sosial yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan sosial. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat, maka pengaruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol dibandingkan pengaruh teman-teman. 2. Perubahan dalam perilaku sosial Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heterososial. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya

22 daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas. Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkankan diri dalam berbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja yang lebih besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan pertengkaran menjadi berkurang. Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja, semakin terlihat dalam kemampuan berdansa, dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian, remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial. Bertambah dan berkurangnya prasangka dan diskriminasi selama masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana remaja berada dan oleh sikap serta perilaku rekan-rekan dan teman-teman baiknya. Remaja, sebagai kelompok, cenderung lebih pemilih-milih dalam memilih rekan dan temanteman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, remaja

23 cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan anak yang lebih besar. 3. Pengelompokan sosial baru Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain yang melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan kurang melelahkan sehingga terjadi pengelompokan sosial baru. Pengelompokan sosial anak laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau akrab dibandingkan dengan pengelompokan anak perempuan yang kecil dan terumus lebih pasti. Pengelompokan sosial yang paling sering terjadi selama masa remaja, yaitu: a. Teman dekat Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat atau sahabat karib. Mereka adalah sesama jenis kelamin yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling mempengaruhi satu sama lain meskipun kadang-kadang juga bertengkar. b. Kelompok kecil Kelompok biasa ini terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Pada mulanya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis seks. c. Kelompok besar Kelompok besar, yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan kelompok teman dekat, berkembang dengan meningkatnya minat akan

24 pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat berkurang dia antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka. d. Kelompok yang terorganisasi Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa, dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja yang tidak mempuyai kelompok besar. Banyak remaja yang mengikuti kelompok seperti itu merasa diatur dan berkurang minatnya ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun. e. Kelompok Geng Remaja yang tidak termaksud kelompok besar dan yang merasa tidak puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui perilaku antisosial dengan berlangsungnya masa remaja, terdapat perubahan pada beberapa pengelompokkan sosial ini. Minat terhadap kelompok yang terorganisasi yang kegiatannya direncanakan dan diawasi oleh orang dewasa dengan cepat menurun karena remaja yang dewasa dan merdeka tidak mau diperintah. Hanya kalau pengendalian kegiatan diserahkan kepada remaja dengan sedikit orang campur tangan dan nasihat orang dewasa, minat ini dapat terus berlangsung. Kelompok yang terlalu banyak anggota cenderung bubar pada akhir masa remaja dan digantikan dengan kelompok-kelompok kecil yang

25 hubungannya tidak terlampau akrab. Hal ini terutama terdapat pada remaja yang bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Di tempat kerja kelompok berhubungan dengan orang-orang dari segala usia yang sebagian besar mempunyai teman dan keluarga sendiri di luar pekerjaan, kecuali jikalau remaja mempunyai bekas teman-teman sekolah yang tinggal atau bekerja di dekat tempat kerjanya sehingga masih dapat berhubungan. Teman-temannya akan terbatas pada beberapa teman sekerja saja dan kehilangan hubungan dengan kelompok yang cukup besar. Pengaruh dari geng cenderung meningkat selama masa remaja. Perilaku ini sering diungkapkan dengan perilaku pelanggaran yang dilakukan anggota-anggota geng. Seperti yang diterangkan oleh Friedman, dkk, yaitu bahwa kekuasaan yang mempengaruhi anggota-anggota geng jalanan hampir menuntut pengawasan mutlak dari kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan geng, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah. 4. Nilai baru dalam memilih teman Para remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya, baik di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanak-kanak, dan kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi merupakan faktor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan

26 masalah-masalah dan membahasa hal-hal yang tidak dibicarakan orang tua ataupun guru. Dalam suatu penelitian mengenai apa yang diinginkan remaja sebagai teman, Joseph menunjukan bahwa sebagian besar remaja mengatakan mereka ingin seseorang yang dapat dipercaya, seseorang yang dapat diajak berbicara, seseorang yang dapat diandalakan. Karena adanya perubahan nilai, maka teman semasa kanak-kanak belum tentu menjadi teman di masa remaja. Para remaja juga tidak lagi hanya menaruh minat pada teman-teman sejenis. Minat pada lawan jenis bertambah besar selama masa remaja. Dengan demikian, pada akhir remaja sering kali para remaja lebih menyukai lawan jenis sebagai teman meskipun tetap masih melanjutkan persahabatan dengan beberapa teman sejenis. Bagi sebagian besar kawula muda, popularitas berarti mempunyai teman banyak. Semakin remaja bertambah tua, maka jenis teman menjadi lebih penting daripada jumlah. Namun terlepas dari jenis teman yang benar, nilainilai remaja cenderung berubah dari tahun ke tahun, bergantung pada nilainilai yang dianut kelompok dengan siapa mereka mengidentifikasikan diri saat itu. Remaja mengerti apa yang diharapkan dari teman-temannya, sehingga remaja berkeras untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa. Seringkali hal ini menimbulkan dua akibat yang mengganggu stabilitas persahabatan remaja. Pertama, karena kurangnya pengalaman terutama dengan lawan jenis, remaja memilih teman-teman yang kurang

27 sesuai, tidak seperti yang diharapkan sehingga pertengkaran sering terjadi dan kemudian persahabatan mereka bubar. Kedua, seperti halnya dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, remaja cenderung tidak realistis dengan standar yang ia tetapkan untuk temantemannya. Remaja menjadi kritis bila teman-teman tidak memenuhi standar dan kemudian berusaha memperbaiki teman-temannya. Biasanya hal ini juga menyebabkan pertengkaran dan mengakhiri persahabatan. Lambat laun remaja menjadi lebih realistis terhadap orang-orang lain dan diri sendiri. Dengan demikian, remaja tidak sekritis sebelumnya dan lebih menerima temantemannya. 5. Nilai baru dalam penerimaaan sosial Seperti halnya adanya nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima anggota-anggota berbagai kelompok sebaya seperti kelompok besar atau geng. Nilai ini terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti bahwa ia dinilai dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain. Tidak ada satu sifat atau pola perilaku khas yang akan menjamin penerimaan sosial selama masa remaja. Penerimaan bergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku, yaitu sindroma penerimaan yang disenangi remaja dan dapat menambah gengsi kelompok besar yang diidentifikasinya.

28 Demikian pula, tidak ada satu sifat atau pola perilaku yang menjauhkan remaja dari teman-teman sebayanya. Namun ada pengelompokkan sifat sindroma aliensi yang membuat orang lain tidak menyukainya atau menolaknya. Beberapa unsur yang umum dari sindroma penerimaan dan sindroma aliensi dalam masa remaja, yaitu : a. Sindroma Peneriman - Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira. - Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan. - Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-teman sebayanya. - Perilaku sosial yang ditandai oleh kerja sama, tanggung jawab, panjang akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan. - Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan-peraturan. - Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri. - Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain dalam kelompok dan hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga. - Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah hubungan dan partisipasi berbagai kegiatan kelompok.

29 b. Sistem Aliensi - Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, dan yang mementingkan diri sendiri. - Terkenal sebagai seorang yang tidak sportif. - Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok, dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan. - Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, mengganggu, dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama, dan kurang bijaksana. - Kurang kematangan, terutama terlihat dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan. - Sifat-sifat kepribadian yang menggangu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah. - Status sosial ekonomi berada di bawah status sosial ekonomi kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota kelompok keluarga. - Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisispasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena kerja sambilan. 6. Nilai baru dalam memilih pemimpin Karena remaja merasa bahwa pemimpin kelompok sebaya mewakili mereka dalam masyarakat, mereka menginginkan pemimpin yang berkepemimpinan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang lain dan dengan demikian akan menguntungkan mereka. Terdapat banyak

30 macam kelompok pada masa remaja, seperti kelompok atletik, sosial, intelektual, agama, kelas atau masyarakat, dan pemimpin satu kelompok tidak perlu mempunyai kemampuan untuk memimpin kelompok lain. Kepemimpinan sekarang merupakan fungsi dari situasi seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa. Remaja mengharapakan pemimpinnya mempunyai sifat-sifat tertentu, karena jikalau hanya fisik yang baik pada dirinya tidak membuat seorang menjadi pemimpin. Hal ini memberikan prestise dan memberikan konsep diri yang baik. Pemimpin remaja harus mempunyai kesehatan yang baik sehingga bersemangat dan bergairah untuk melakukan sesuatu, dimana hal ini akan menentukan mutu inisiatif. Remaja yang sangat memperhatikan pakaian mengharapkan seorang pemimpin yang menarik dan rapih. Ciri lain dari pemimpin adalah tingkat intelegensi sedikit di atas rata-rata, prestasi akademik yang baik dan tingkat kematangan di atas rata-rata. Pada umumnya, para pemimpin dalam berbagai kegiatan sosial remaja berasal dari keluarga yang status sosioekonominya lebih tinggi dari status sosioekonomi keluarga remaja yang buka pemimpin. Keadaan ini tidak hanya memberikan prestise dalam pandangan teman-teman sebaya, tetapi juga memungkinkan mereka berpakaian lebih baik dan lebih rapih, memiliki pengertian tentang berbagai masalah sosial, memiliki kesempatan untuk menyenangkan orang, dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok.

31 Pemimpin biasanya berperan lebih aktif dan berpartisipasi dalam kelompok sosial dibandingkan dengan remaja bukan pemimpin, sehingga pemimpin mengembangkan wawasan sosial dan wawasan diri yang lebih mendalam. Pemimpin juga dapat menilai diri sendiri secara realistik dan dapat memperhitungkan minat serta kehendak anggota-anggota kelompok yang dipimpinnya. Pemimpin tidaklah terikat pada diri sendiri dalam artian sangat memikirkan minat dan masalah pribadi sehingga tidak sempat memperhatikan minat dan masalah anggota kelompok yang lain. Faktor utama yang terpenting dalam kepemimpinan adalah kepribadian. Pemimpin harus lebih bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat, lebih banyak akal, dan lebih mengambil inisiatif dibandingkan yang bukan pemimpin. Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, orang yang berbahagia, dan hanya mempunyai sedikit kecenderungan neurotik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja a. Pengertian Kepercayaan Diri Salah satu aspek kepribadian yang menunjukkan sumber daya manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK Artikel MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK Oleh: Drs. Mardiya Selama ini kita menyadari bahwa orangtua sangat berpengaruh terhadap pengasuhan dan pembinaan terhadap anak. Sebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian keluarga Menurut Friedmen (1998) keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu

Lebih terperinci

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL I. PENGERTIAN DAN PROSES SOSIALISASI Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1990). Tuntutan sosial pada perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi Chaplin (2011) mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya diri dalam beberapa situasi, dan ketakutan dalam situasi lainnya, merasa

Lebih terperinci

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN Dewi Sartika Panjaitan*, Wardiyah Daulay** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan **Dosen Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Remaja 1. Pengertian Remaja Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu dari kata adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Secara psikologis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek? Pedoman Observasi 1. Kesan umum subyek secara fisik dan penampilan 2. Relasi sosial subyek dengan teman-temannya 3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview Pedoman Wawancara 1. Bagaimana hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. adalah masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami perkembangan ke arah yang lebih sempurna. Salah satu tahap perkembangan dalam kehidupan manusia adalah masa remaja. Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritis 1. Tinjauan Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Orang Tua Orang tua didalam kehidupan keluarga mempunyai posisi sebagai kepala keluarga atau pemimpin rumah tangga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AGRESIFITAS ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK KARTIKA 1-61 PADANG

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AGRESIFITAS ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK KARTIKA 1-61 PADANG 1 HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP AGRESIFITAS ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK KARTIKA 1-61 PADANG Yozi Dwikayani* Abstrak- Masalah dalam penelitian ini yaitu banyaknya orang tua murid TK Kartika 1-61 Padang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permainan bola voli di Indonesia merupakan salah satu cabang olahraga yang banyak digemari masyarakat, karena dapat dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa,

Lebih terperinci

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Nama : No HP : Alamat : Pendidikan Terakhir : 1. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Pemikiran dan perhatian ditujukan ke dalam,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep dari pola asuh orangtua dan perilaku remaja. Dimana konsep-konsep ini akan membantu dalam menjelaskan mengenai hubungan pola asuh orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks. Banyak hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks. Banyak hal yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks. Banyak hal yang terjadi pada masa remaja mulai dari perubahan fisik, peningkatan intelegensi maupun pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi 1. Definisi Komunikasi Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communication, yang akar katanya adalah communis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kedisiplinan pada anak usia prasekolah 1. Pengertian Disiplin merupakan cara orang tua mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Peranan ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak

BAB II TINJAUAN TEORI. Peranan ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak BAB II TINJAUAN TEORI A. Ibu bekerja Ibu adalah wanita yang melahirkan anak (Purwadarminta, 2003). Peranan ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak anaknya, ibu mempunyai peran untuk

Lebih terperinci

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Remaja Pertengahan (15-18 Tahun) Pertemuan Orang Tua Masa perkembangan setelah masa anak-anak dan menuju masa dewasa, yang meliputi perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, moral, dan kesadaran beragama. REMAJA Batasan Usia Remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Dalam perkembangan kepribadian seseorang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Usia Dini 1. Keterampilan Sosial Anak usia dini merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan imajinasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu masa dalam tahap perkembangan manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja menurut Hurlock (1973)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

POLA ASUH KELUARGA BROKEN HOME DALAM PROSES PERKEMBANGAN ANAK DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN MADIUN, KABUPATEN MADIUN ABSTRAK

POLA ASUH KELUARGA BROKEN HOME DALAM PROSES PERKEMBANGAN ANAK DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN MADIUN, KABUPATEN MADIUN ABSTRAK 1 POLA ASUH KELUARGA BROKEN HOME DALAM PROSES PERKEMBANGAN ANAK DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN MADIUN, KABUPATEN MADIUN ABSTRAK Oleh: Santi Puspita Sari dan Poerwanti Hadi Pratiwi, M.Si Keluarga tidak akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Siswa 1. Pengertian Siswa Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses di dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualiatas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Diet 1. Pengertian Perilaku Diet Perilaku diet adalah pengurangan kalori untuk mengurangai berat badan (Kim & Lennon, 2006). Demikian pula Hawks (2008) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Manusia adalah rnakhluk sosial sehingga sejak dari lahir sudah terbentuk

BABI PENDAHULUAN. Manusia adalah rnakhluk sosial sehingga sejak dari lahir sudah terbentuk BABI PENDAHULUAN 1 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah rnakhluk sosial sehingga sejak dari lahir sudah terbentuk kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain. Pada awalnya, hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional dan metode penelitian. A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik. Pada masa ini remaja tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis, perubahan terhadap pola perilaku dan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah

Lebih terperinci

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG Irma Rostiani, Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Anak untuk Bersekolah HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS 7 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pengertian Perilaku Sosial Perilaku sosial adalah perilaku yang dimiliki individu di mana perilaku itu akan muncul pada waktu individu itu berinteraksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pola Asuh Orang Tua 1.1 Pengertian pola asuh orang tua Menurut Soetjiningsih (2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah perkembangan (developmental) merupakan bagian dari masalah psikologi. Masalah ini menitik beratkan pada pemahaman dan proses dasar serta dinamika perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh Keluarga 1.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga. Pola asuh merupakan pola perilaku orangtua yang paling dominan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh Keluarga 1.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga. Pola asuh merupakan pola perilaku orangtua yang paling dominan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh Keluarga 1.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga Pola asuh merupakan pola perilaku orangtua yang paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pengasuhan anak adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S 1 Psikologi Diajukan oleh : Refti Yusminunita F 100 050

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat lepas berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk berkomunikasi atau bergaul dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar TUGAS TUGAS PERKEMBANGAN (Developmental Task) PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, individu akan mengalami fase-fase perkembangan selama masa hidupnya. Fase tersebut dimulai dari awal kelahiran hingga fase dewasa akhir yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia 4-6 tahun merupakan waktu paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan sah yang dapat membentuk sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia kognitif anak-anak ialah kreatif, bebas dan penuh imajinasi. Imajinasi anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

Lebih terperinci