III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Inventarisasi data mutu produk formula bayi yang terdaftar di BPOM selama tahun Inventarisasi data dilakukan melalui pengamatan terhadap berkas pendaftaran suatu produk, yang terdiri dari (1) hasil pengujian produk untuk memperoleh data mengenai karakteristik cemaran biologi dan kimia, (2) isian dari formulir pendaftaran untuk memperoleh data daftar bahan baku dan karakteristik penggunaan bahan tambahan pangan (BTP), dan (3) label produk yang disetujui oleh Badan POM untuk mengetahui karakteristik kadar energi, kadar zat gizi dan kadar ingredien lainnya. Jumlah data yang dapat dikumpulkan tidak sama untuk setiap karakteristik, ini disebabkan oleh pengujuan karakteristik yang dipersyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Codex bersifat sukarela, serta sebagian berkas contoh label tidak dapat ditemukan. Badan POM memberlakukan regulasi teknis lain untuk pengendalian mutu produk terdaftar. Beberapa produk yang tidak dilengkapi hasil pengujian produk adalah produk daftar ulang, yang sampai dengan tanggal 28 Januari 2008 tidak wajib menyerahkan hasil pengujian produk akhir. Beberapa berkas tidak dilengkapi dengan contoh label yang disetujui karena contoh label tersebut tidak ada dalam berkas. Data karakteristik yang terkumpul kemudian dikonversi kedalam satuan yang dipersyaratkan pada SNI dan Standar Codex. Data karakteristik cemaran dan penggunaan BTP pada berkas pendaftaran produk memiliki satuan yang beragam. Sehingga dalam pengolahan data diperlukan beberapa konversi dan asumsi. Hasil pengujian produk akhir yang diterima oleh Badan POM terdiri dari sertifikat pengujian dari laboratorium pemerintah, laboratorium swasta, dan laboratorium produsen. Asumsi pada cemaran biologi adalah jumlah bakteri pada hasil uji merupakan jumlah yang dapat langsung dibandingkan dengan persyaratan standar. Sebagai contohnya jika pada hasil uji tertera jumlah bakteri Salmonella adalah negatif/1500 g produk, sedangkan persyaratan menurut standar adalah per 25 g produk, maka diasumsikan jumlah bakteri per 25 g produk adalah negatif. Asumsi ini diambil karena SNI tidak menetapkan satuan untuk batas cemaran biologi. 24

2 Perhitungan jumlah cemaran kimia dilakukan dengan mengkonversi dari hasil pengujian yaitu mg/kg bubuk menjadi mg/kg produk siap konsumsi. Perhitungan dilakukan dengan memperhatikan faktor pengenceran masingmasing produk. Dalam perhitungan bobot produk siap konsumsi, diasumsikan bahwa bobot produk siap konsumsi = bobot bubuk + bobot air. Asumsi ini diambil karena tidak didapatkan data mengenai berat jenis produk. Asumsi pada penggunaan BTP adalah setiap formula bayi dianggap memiliki berat jenis sama dengan air, yaitu 1g/ml. Sehingga jumlah penggunaan BTP per g produk sama dengan 1 ml produk siap konsumsi. Asumsi yang dilakukan pada perhitungan kadar zat gizi adalah kadar asam linoleat pada label adalah dalam bentuk gliserida, kadar vitamin A pada label adalah dalam bentuk retinal, kadar vitamin K pada label adalah dalam bentuk vitamin K1, dan kadar vitamin C pada label adalah dalam bentuk asam askorbat. Dari pengamatan diketahui pula bahwa tidak ada produk yang mencantumkan kadar DHA dalam persentase asam lemak, sementara Standar Codex mengatur kadar DHA dalam persentase asam lemak. Kadar DHA dalam persentase dalam asam lemak dihitung dengan membagi kadar DHA dengan kadar lemak dan mengalikan dengan 100%. Setelah seluruh data diolah menjadi satuan yang sama dengan yang ditetapkan oleh standar, maka dilakukan pembuatan tabel data karakteristik mutu produk. Data dikelompokkan berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga diperoleh 8 tabel karakteristik produk formula bayi, yaitu (1) cemaran biologi, (2) cemaran kimia, (3) penggunaan BTP, (4) kandungan energi, (5) kandungan zat gizi makro, (6) kandungan vitamin, (7) kandungan mineral, (8) dan kandungan ingredien lainnya. Data hasil pengamatan karakteristik mutu produk formula bayi secara lengkap ditampilkan pada Lampiran. Data pengamatan karakteristik cemaran biologi ditampilkan pada Lampiran 1. Data pengamatan karakteristik cemaran kimia ditampilkan pada Lampiran 2. Data pengamatan karakteristik penggunaan BTP ditampilkan pada Lampiran 3. Data karakteristik kandungan energi ditampilkan pada Lampiran 4. Data karakteristik mengenai kandungan zat gizi makro ditampilkan pada Lampiran 5. Data karakteristik mengenai kandungan vitamin ditampilkan pada Lampiran 6. Data karakteristik kandungan mineral ditampilkan pada Lampiran 7. Data karakteristik kandungan ingredien lainnya ditampilkan pada Lampiran 8. 25

3 Pada tabel-tabel tersebut, data yang tidak ada diberi tanda strip ( - ). Dari tabel karakteristik produk dilakukan pengolahan data sehingga diketahui nilai minimum, maksimum, dan simpangan bakunya. B. Pemetaan dan Evaluasi Kesesuaian Karakteristik Mutu Formula Bayi Terhadap data yang dikumpulkan dilakukan pemetaan dan evaluasi kesesuaian setiap nilai suatu karakteristik tertentu. Pada tahap ini dibuat 2 (dua) jenis grafik, yaitu grafik profil suatu karakteristik dan grafik sebaran nilai suatu karakteristik. Grafik profil menggambarkan nilai setiap produk untuk suatu karakteristik tertentu. Suatu grafik profil yang dibahas lebih lanjut akan ditampilkan pada bab ini, sementara suatu grafik yang tidak dibahas akan ditampilkan pada Lampiran. Grafik sebaran menggambarkan jumlah produk yang memiliki nilai karakteristik pada kisaran tertentu. Pada grafik sebaran nilai karakteristik dibagi kedalam 5 (lima) kisaran. Tahapan penelitian berikutnya adalah nilai karakteristik produk formula bayi dievaluasi kesesuaiannya terhadap SNI dan Standar Codex. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan setiap nilai karakteristik pada produk formula bayi yang terdaftar dengan standar sehingga diperoleh jumlah produk sesuai pada setiap karakteristik terhadap SNI dan Standar Codex. Semakin banyak jumlah produk yang sesuai maka kesesuaian suatu karakteristik semakin tinggi. Evaluasi kesesuaian juga dilakukan terhadap kisaran nilai karakteristik tertentu dengan jumlah produk terbanyak. Kisaran nilai ini dibandingkan terhadap ketentuan SNI dan Standar Codex. Ini dilakukan untuk menganalisis kisaran nilai suatu karakteristik tertentu yang dimiliki oleh mayoritas produk yang di pasar Indonesia. Hasil penelitian akan dibahas berdasarkan jenis karakteristik mutu yang diteliti kesesuaiannya terhadap SNI dan Standar Codex. Jenis karakteristik mutu dibagi menjadi karakteristik yang dipersyaratkan oleh SNI dan Standar Codex, karakteristik yang hanya dipersyaratkan oleh SNI, dan karakteristik yang hanya dipersyaratkan oleh Standar Codex. 1. Karakteristik yang dipersyaratkan oleh SNI dan Standar Codex SNI dan Standar Codex tidak mensyaratkan jenis karakteristik cemaran biologi yang sama. Jumlah cemaran kimia yang diatur oleh SNI 26

4 dan Standar Codex adalah jumlah cemaran timbal, residu pestisida, dan bahan aktif. Penggunaan BTP yang diatur oleh SNI dan Standar Codex adalah dari golongan pengental (gum guar, gum kacang lokus, dipati fosfat tunggal atau campuran, dipati fosfat yang diasetilkan tunggal atau campuran, dipati fosfat yang difosfatkan tunggal atau campuran, pati hidroksipropil, karagen), pengemulsi (lesitin serta mono dan digliserida), pengatur ph (natrium karbonat, natrium hidroksida, kalium bikarbonat, kalium hidroksida, kalium sitrat, kalsium hidroksida, L (+) asam laktat, asam sitrat), dan antioksidan (vitamin E dan L-askorbil palmitat). Kadar energi juga diatur oleh SNI dan Standar Codex. Jenis kadar zat gizi makro yang diatur oleh SNI dan Standar Codex adalah kadar protein, lemak, dan asam linoleat. Jenis kadar vitamin yang diatur oleh SNI dan Standar Codex adalah kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B6, asam folat, asam pantotenat, vitamin B12, biotin, dan vitamin C. Jenis kadar mineral yang diatur oleh SNI dan Standar Codex adalah kadar natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfor, rasio kalsium dan fosfor, magnesium, zat besi, iodium, seng, tembaga, dan mangan. a. Cemaran kimia 1. Timbal Data karakteristik mengenai jumlah timbal dapat dikumpulkan dari 35 produk formula bayi. Dari data diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk jumlah cemaran timbal formula bayi masing-masing adalah 0; 0,25; dan 0,08 mg/kg produk siap konsumsi. Dari hasil pengujian diketahui bahwa terdapat 9 produk yang menunjukkan tidak terdeteksi adanya timbal, dan hasil ini dipetakan sebagai 0,0 mg/kg produk siap konsumsi. Profil cemaran timbal formula bayi ditampilkan pada Gambar 1. SNI mensyaratkan cemaran timbal formula bayi tidak boleh lebih dari 0,1 mg/kg produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan cemaran timbal formula bayi tidak boleh lebih dari 0,02 mg/kg produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian 27

5 dari total 35 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 31 atau 89% sementara jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 29 atau 83%. Gambar 1. Profil cemaran timbal formula bayi (n = 35) Dari Gambar 1 terlihat bahwa ada 4 produk yang tidak sesuai SNI, yaitu produk nomor 20, 22, 31, dan 49. Produkproduk tersebut dan produk nomor 32 tidak sesuai Standar Codex. Kadar timbal tertinggi terdapat pada produk nomor 20, 22, 31, dan 49, yaitu 0,25 mg/kg produk siap konsumsi. Keempat produk tersebut bermerek sama, namun terdiri dari produk yang berbeda dan diproduksi oleh produsen yang berbeda. Dari total 35 produk diketahui bahwa 30 atau 86% produk diantaranya memiliki nilai cemaran timbal 0 0,12 mg/kg produk siap konsumsi. Ini merupakan kisaran tidak adanya timbal sampai batas maksimum SNI dan melebihi batas maksimum Standar Codex. Sebaran nilai jumlah cemaran timbal formula bayi ditampilkan pada Gambar 2. Produk nomor 20, 22, 31, 32 dan 49 adalah produk yang dikemas dalam kaleng. Cemaran timbal yang terdapat pada produk dapat berasal dari kemasan kaleng yang penyok, proses pengemasan yang kurang baik, penggunaan alat pengolahan yang mengandung timbal, lingkungan produksi, dan air. Kemasan kaleng diduga merupakan sumber cemaran yang paling utama, 28

6 karena sebagian besar produk formula bayi yang beredar menggunakan kemasan kaleng. Gambar 2. Sebaran jumlah cemaran timbal formula bayi Pada tahun 1971 FDA Amerika Serikat menemukan bahwa kadar timbal pada formula bayi kemasan kaleng berkisar 0,34 0,54 ppm (Shea 1973). Timbal berasal dari solder pada kaleng produk. Kasus ini juga antara lain yang dapat menyebabkan Codex menetapkan timbal sebagai salah satu cemaran kimia yang dipersyaratkan pada Standar Codex. Kasus ini menyebabkan dilakukan perbaikan proses pengemasan produk formula bayi, yaitu dengan mengurangi penggunaan solder bertimbal. Langkah ini dibuktikan dapat menurunkan asupan timbal oleh bayi secara signifikan. Pada tahun 1980an mulai diperkenalkan proses doubleseam untuk proses pengalengan. Proses ini dapat mengurangi jumlah solder yang dibutuhkan yang pada akhirnya mengurangi cemaran timbal pada produk yang dikemas dalam kaleng. Selain tidak menggunakan solder bertimbal, usaha lainnya untuk mengurangi jumlah cemaran timbal lainnya adalah mengontrol jumlah timbal pada air yang digunakan dalam proses produk formula bayi, dan mengurangi pencemaran lingkungan oleh timbal misalnya dengan penggunaan bensin tanpa timbal. 29

7 Daya serap dan retensi timbal oleh bayi lebih tinggi dibandingkan oleh orang dewasa. Timbal yang masuk ke tubuh orang dewasa dapat diekskresikan kembali sekitar 99% selama beberapa minggu, sedangkan pada anak jumlah timbal yang dapat dikeluarkan lagi dari tubuhnya hanya 32% (Andarwulan dkk 2005). Ini menyebabkan cemaran bayi lebih rentan terhadap efek negatif cemaran timbal dibandingkan orang dewasa. 2. Residu Pestisida Dari 57 produk formula bayi data cemaran residu pestisida hanya dapat dikumpulkan dari 5 produk formula bayi. Data ini dikumpulkan dari 3 hasil uji dan 2 surat pernyataan bebas pestisida. Jumlah cemaran residu pestisida tersebut adalah 0, rendah, dan 0,009 µg/kg produk. SNI mensyaratkan residu pestisida bebas atau jika secara teknis tidak dapat dihindari, residu pestisida tidak melebihi batas yang diizinkan. Standar Codex mensyaratkan residu pestisida bebas, atau jika secara teknis tidak dapat dihindari residu pestisida dikurangi sampai batas maksimum. SNI dan Standar Codex tidak menentukan lebih lanjut batas maksimumnya. Dari 57 produk hanya 5 produk yang menyatakan bebas pestisida yang 100% sesuai dengan SNI dan Standar Codex. Sedikitnya produk yang memenuhi ketentuan ini menunjukkan sulitnya pelaksanaan persyaratan bebas pestisida. Hal ini disebabkan oleh SNI dan Standar Codex tidak menyebutkan secara spesifik jenis residu pestisida yang harus diujikan. Kelima produk yang menyatakan bebas pestisida juga tidak berdasarkan hasil uji, melainkan melalui suatu pernyataan tertulis. Pengujian laboratorium pada sampel dapat menghasilkan bebas residu pestisida jika dinyatakan jenis residu pestisida yang dipersyaratkan. Tidak ada satu cara pengujian yang mampu mendeteksi secara umum keberadaan seluruh jenis residu pestisida. Pengujian membutuhkan bahan baku pembanding residu pestisida tertentu yang akan dinyatakan jumlahnya pada suatu sampel. 30

8 3. Bahan Aktif Dari 57 produk formula bayi tidak ada yang melampirkan hasil uji cemaran bahan aktif. SNI mensyaratkan formula bayi bebas dari bahan aktif yang mempunyai efek farmakologi. Standar Codex mensyaratkan formula bayi tidak mengandung cemaran lain (misalnya bahan aktif secara biologi) dalam jumlah yang dapat menimbulkan bahaya bagi bayi. Tidak adanya data menyebabkan karakteristik kadar bahan aktif tidak dapat dievaluasi kesesuaiannya. Tidak dapat diketahui secara pasti apa yang dimaksud dengan bahan aktif pada SNI dan Standar Codex. Salah satu kemungkinan yang tergolong bahan aktif adalah obat bagi ternak (veterinary drug). Sehingga ketentuan ini tergolong sulit untuk dilaksanakan. b. Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) Dari hasil pengamatan diketahui bahwa dari 19 jenis BTP yang diizinkan digunakan oleh SNI dan Standar Codex, hanya 8 jenis BTP yang digunakan. Bahan tambahan pangan tersebut adalah pengental (dipati fosfat tunggal atau campuran dan karagen), pengemulsi (lesitin serta mono dan digliserida), pengatur ph (kalium sitrat dan asam sitrat), dan antioksidan (vitamin E dan L-askorbil palmitat). Pada perhitungan penggunaan BTP diasumsikan bahwa berat jenis formula bayi sama dengan berat jenis air, yaitu 1g/ml, sehingga dalam melakukan perhitungan volume produk siap konsumsi tidak digunakan faktor pengenceran yang ditetapkan oleh produsen. 1. Pengental a. Dipati Fosfat Tunggal atau Campuran Jenis BTP dipati fosfat tunggal atau campuran hanya digunakan pada 1 produk formula bayi, dengan jumlah 0,01 g/100 ml produk siap konsumsi. Penggunaan BTP dipati fosfat tunggal atau campuran untuk formula bayi diatur pada SNI dan Standar Codex dengan batas maksimum penggunaan 0,5 31

9 g/100 ml produk siap konsumsi. Sehingga jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 100%. b. Karagenan Jenis BTP karagen hanya digunakan oleh 3 produk formula bayi, dengan nilai 0,03 g/100 ml produk siap konsumsi, dan 0,28 g/100 ml produk siap konsumsi. Karakteristik mengenai penggunaan BTP karagenan dipersyaratkan di SNI dan Standar Codex. SNI dan Standar Codex mensyaratkan batas maksimum penggunaan karagenan untuk formula bayi dengan bahan dasar susu sapi adalah 0,03 g/100 ml produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 2 atau 67% produk sesuai SNI dan Standar Codex. 2. Pengemulsi a. Lesitin Lesitin merupakan jenis BTP yang paling banyak digunakan di produk formula bayi. Dari penelitian diketahui bahwa BTP lesitin digunakan pada 28 atau 49% produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk jumlah penggunaan BTP lesitin pada formula bayi masing-masing adalah 0; 2; dan 0,45 g/100 ml produk siap konsumsi. Profil penggunaan BTP lesitin ditampilkan pada Gambar 3. Produk nomor 39 memiliki jumlah penggunaan BTP lesitin 2 g/100 ml produk siap konsumsi. Produk nomor 30 dan 36 memiliki kadar lesitin 0,0004 g/100 ml produk siap konsumsi, nilai ini dipetakan sebagai 0,00 g/100 ml produk siap konsumsi. Penggunaan BTP lesitin pada formula bayi dipersyaratkan oleh SNI dan Standar Codex dengan batas maksimum penggunaan 0,5 g/100 ml produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 28 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 19 atau 68%. 32

10 Gambar 3. Profil penggunaan BTP lesitin pada formula bayi (n = 28) Dari total 28 produk diketahui bahwa 19 atau 68% produk memiliki nilai penggunaan BTP lesitin pada kisaran 0,0004 0,4 g/100 ml produk siap konsumsi. Sebaran nilai jumlah penggunaan BTP lesitin pada formula bayi ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4. Sebaran jumlah penggunaan BTP lesitin formula bayi (n = 28) b. Mono dan Digliserida Dari penelitian diperoleh hasil bahwa BTP mono dan digliserida digunakan pada 3 produk formula bayi. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan BTP pengemulsi lainnya, yaitu lesitin yang digunakan oleh 28 produk. Produk formula bayi 33

11 yang menggunakan mono dan digliserida adalah yang berbahan dasar susu sapi biasa. Jumlah penggunaan mono dan digliserida pada produk adalah 0,27; 0,8; dan 0,37 g/100 ml produk siap konsumsi. Penggunaan BTP mono dan digliserida untuk formula bayi dengan bahan dasar susu sapi biasa diatur di SNI dan Standar Codex dengan batas maksimum penggunaan 0,4 g/100 ml produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 3 produk diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 2 atau 67%. 3. Pengatur ph a. Kalium Sitrat Dari penelitian diperoleh hasil bahwa BTP kalium sitrat hanya digunakan pada 5 produk formula bayi. Profil penggunaan BTP kalium sitrat ditampilkan pada Lampiran 9. SNI mengizinkan penggunaan BTP kalium sitrat untuk formula bayi dengan batas maksimum secukupnya, dengan batas natrium dan kalium yang sesuai. Standar Codex mengizinkan penggunaan BTP kalium sitrat untuk formula bayi dengan batas maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Berdasarkan hasil penelitian dari 5 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 4 atau 80%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 5 atau 100%. Produk yang tidak sesuai dengan SNI adalah produk nomor 47, karena kadar kaliumnya hanya 46 mg/100 kkal produk siap konsumsi, sedangkan SNI menetapkan kadar kalium tidak kurang dari 80 mg/100 kkal produk siap konsumsi. b. Asam Sitrat Dari penelitian diperoleh hasil bahwa jenis BTP asam sitrat hanya digunakan pada 2 produk formula bayi. SNI mengizinkan penggunaan BTP asam sitrat untuk formula bayi dengan batas maksimum secukupnya. Standar Codex mengizinkan penggunaan BTP asam sitrat untuk formula bayi dengan batas maksimum CPPB. Sehingga penggunaan BTP 34

12 asam sitrat produk formula bayi sesuai persyaratan SNI dan Standar Codex. Berdasarkan hasil penelitian dari 2 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai persyaratan SNI dan Standar Codex. 4. Antioksidan a. Vitamin E Dari penelitian diperoleh hasil bahwa jenis BTP vitamin E hanya digunakan pada 1 produk formula bayi sejumlah 0,01 g/100 ml produk siap konsumsi. SNI dan Standar Codex mengizinkan penggunaan BTP vitamin E untuk formula bayi dengan batas maksimum 0,01 g/100 ml produk siap konsumsi. Sehingga jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 100%. b. L-Askorbil Palmitat Dari penelitian diperoleh hasil bahwa BTP L-askorbil palmitat digunakan pada 3 produk formula bayi. Penggunaan BTP L-askorbil palmitat adalah sejumlah 0,0003 dan 0,03 g/100 ml produk siap konsumsi. SNI dan Standar Codex mengizinkan penggunaan BTP L-askorbil palmitat untuk formula bayi dengan batas maksimum 0,01 g/100 ml produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 3 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai persyaratan SNI dan Standar Codex adalah 1 atau 33%. c. Kandungan Energi Pengamatan dilakukan terhadap kandungan energi produk formula bayi per 100 ml produk siap konsumsi. Data diperoleh dari 28 produk yang mencantumkan kandungan energi per 100 ml produk siap konsumsi pada label produk. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kandungan energi formula bayi masing-masing adalah 53; 87; dan 7 kkal/100 ml produk siap konsumsi. Profil kadar energi formula bayi ditampilkan pada Gambar 5. 35

13 Gambar 5. Profil kadar energi formula bayi (n = 28) SNI dan Standar Codex mengatur bahwa kandungan energi adalah tidak kurang dari 60 kkal/100 ml produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 70 kkal/100 ml produk siap konsumsi. Jumlah ini dinyatakan mencukupi dan tepat untuk menunjang laju pertambahan berat badan pada bayi yang sehat. Berdasarkan hasil penelitian dari total 28 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 20 atau 71%. Jumlah produk yang memiliki kadar energi dibawah standar adalah 1, yaitu produk nomor 2. Jumlah produk yang memiliki kadar energi diatas standar adalah 7, yaitu produk nomor 1, 4, 5, 7, 9, 55, dan 57. Produk nomor 7, 55 dan 57 adalah produk untuk bayi berat badan lahir rendah. Kadar energi yang diatas standar pada ketiga produk ini diduga merupakan nilai tambah yang diciptakan produsen agar bayi yang mengkonsumsi produknya dapat mendapatkan berat badan yang normal. Dari total 28 produk diketahui bahwa 17 atau 59% produk diantaranya memiliki kandungan energi kkal/100 ml produk siap konsumsi atau pada area lebih dari nilai tengah batas standar. Dari total 28 produk diketahui bahwa 7 atau 25% produk diantaranya memiliki kandungan energi lebih besar dari batas maksimum standar. Sebaran nilai kandungan energi ditampilkan pada Gambar 6. 36

14 Gambar 6. Sebaran kadar energi formula bayi (n = 28) Hasil penelitian sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa kadar energi ASI lebih rendah 5 10% dari rekomendasi FAO/WHO sebelumnya. Jika dulu dinyatakan kadar energi ASI sekitar 750 kkal/liter, maka sekarang ditemukan bahwa kadar energi ASI sekitar 650 kkal/liter. Selain itu ditemukan pula bahwa total pengeluaran energi bayi lebih rendah dari yang sebelumnya diasumsikan. Diduga produk-produk dengan kadar energi lebih besar dari batas maksimum standar belum menyesuaikan produknya dengan hasil penelitian terbaru. Pemerintah harus lebih melakukan pembinaan kepada produsen formula bayi untuk menyesuaikan kadar energi produknya dengan persyaratan SNI untuk mencegah efek negatif asupan energi yang berlebih oleh bayi. Asupan energi yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan dapat menyebabkan bayi memiliki berat badan lebih dari yang diperlukan yang dapat meningkatkan resiko obesitas dikemudian hari. d. Zat gizi makro 1. Protein Data karakteristik mengenai kadar protein yang dapat diperoleh adalah 52 produk formula bayi. Dari data yang dikumpulkan diperoleh hasil bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku kadar protein formula bayi masing-masing adalah 37

15 1,8; 3,5; dan 0,4 g/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar protein formula bayi ditampilkan pada Gambar 7. Terdapat 1 produk dengan nilai kadar protein 3,5 g/100 kkal produk siap konsumsi, yaitu produk nomor 11. Gambar 7. Profil kadar protein formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar protein seluruh jenis formula bayi tidak boleh kurang dari 1,8 g/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 4 g/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar protein yang berbeda berdasarkan bahan dasar formula bayi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 52 atau 100% produk sesuai SNI. Ini mengindikasikan bahwa seluruh produsen telah menyadari pentingnya protein bagi tumbuh kembang bayi dan mampu menghasilkan produk yang sesuai SNI. Dari total 52 produk diketahui bahwa 44 atau 85% produk diantaranya memiliki nilai kadar protein 1,8 2,7 g/100 kkal produk siap konsumsi atau kurang dari nilai tengah batasan SNI. Sebaran nilai kadar protein formula bayi dibandingkan dengan SNI ditampilkan pada Gambar 8. Dari Gambar 8 terlihat bahwa lebih banyak produk yang memiliki kadar protein kurang dari nilai tengah batasan SNI. 38

16 Gambar 8. Sebaran kadar protein formula bayi (n = 52) Menurut Standar Codex, kadar protein formula bayi yang berbahan dasar protein susu sapi tidak boleh kurang dari 1,8 g/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 3,0 g/100 kkal produk siap konsumsi. Dari 45 produk formula bayi berbahan dasar protein susu sapi diperoleh jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 43 atau 96%. Produk nomor 10 dan 11 tidak sesuai Standar Codex karena memiliki kadar protein lebih dari 3,0 g/100 kkal produk siap konsumsi. Dari total 45 produk diketahui bahwa 22 atau 50% produk diantaranya memiliki nilai kadar protein pada kisaran 1,8 2,1 g/100 kkal produk siap konsumsi atau kurang dari nilai tengah batasan Standar Codex. Sebaran nilai kadar protein formula bayi bahan dasar protein susu sapi dibandingkan dengan Standar Codex ditampilkan pada Gambar 9. Dari Gambar 9 terlihat bahwa lebih dari 50% produk memiliki kadar protein kurang dari nilai tengah batasan standar. Standar Codex menetapkan kadar protein formula bayi yang berbahan dasar isolat protein kedelai tidak boleh kurang dari 2,25 g/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 3,0 g/100 kkal produk siap konsumsi. Terdapat 6 produk formula bayi yang berbahan dasar protein kedelai. Terdapat 1 formula bayi yang berbahan dasar protein gandum, dengan kadar protein 2,0 g/100 kkal produk siap 39

17 konsumsi. SNI dan Standar Codex belum mengatur penggunaan bahan baku gandum sebagai sumber protein. Sehingga acuan yang dipakai dalam evaluasi kesesuaian adalah kadar protein bahan dasar kedelai. Gambar 9. Sebaran kadar protein formula bayi bahan dasar protein susu sapi (n = 45) Dari 7 produk formula bayi berbahan dasar isolat protein kedelai dan formula bayi yang berbahan dasar gandum diperoleh jumlah produk berbahan dasar protein kedelai dan gandum sesuai persyaratan Standar Codex adalah 6 atau 86%. Produk nomor 28 yang berbahan dasar gandum tidak sesuai kadar proteinnya dengan Standar Codex. Koletzko et al 2005 tidak dapat merekomendasikan penggunaan sumber protein selain protein susu sapi, isolat protein kedelai, dan protein susu sapi terhidrolisa. Dari total 7 produk diketahui bahwa 3 atau 43% produk diantaranya memiliki nilai kadar protein pada kisaran 2,7 2,8 g/100 kkal produk siap konsumsi atau lebih dari nilai tengah batasan Standar Codex. Sebaran nilai kadar protein formula bayi berbahan dasar protein kedelai dan formula bayi yang berbahan dasar protein gandum dibandingkan dengan Standar Codex ditampilkan pada Gambar

18 Gambar 10. Sebaran kadar protein formula bayi bahan dasar protein kedelai dan formula bayi yang berbahan dasar protein gandum (n = 7) Dari total 52 produk berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 49 atau 94%. Kesesuaian karakteristik ini terhadap Standar Codex tergolong tinggi. Ini mengindikasikan bahwa kesesuaian kadar protein produk terhadap SNI lebih tinggi dibandingkan kesesuaian terhadap Standar Codex. 2. Lemak Data karakteristik mengenai kadar lemak yang dapat diperoleh adalah 52 produk formula bayi. Dari data yang dikumpulkan diperoleh hasil bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku kadar protein formula bayi masing-masing adalah 2,4; 6,0; dan 0,5 g/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar lemak formula bayi ditampilkan pada Gambar 11. Produk dengan kadar lemak terendah yaitu 2,4 g/100 kkal produk siap konsumsi, adalah produk nomor 11 yang memiliki kadar protein paling tinggi. Nilai ini dibawah batas minimum standar. SNI mengatur bahwa kadar lemak formula bayi adalah tidak kurang dari 3,3 g/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 6 g/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mengatur bahwa kadar lemak formula bayi adalah tidak kurang dari 4,4 g/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 6 g/100 kkal produk siap konsumsi. Codex menetapkan kadar lemak 4,4 6 41

19 g/100 kkal dengan justifikasi bahwa kadar lemak tersebut dapat menjadi sumber energi 40 54% dari total energi yang dibutuhkan bayi. Jumlah ini mendekati kadar lemak pada ASI. Gambar 11. Profil kadar lemak formula bayi (n = 52) Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 51 atau 98%. Jumlah produk Standar Codex adalah 47 atau 90%. Kesesuaian kadar lemak terhadap SNI lebih tinggi daripada kesesuaian terhadap Standar Codex. Dari total 52 produk diketahui bahwa jumlah produk yang memiliki kadar lemak 4,6 5,2 g/100 kkal produk siap konsumsi adalah 27, jumlah produk yang memiliki kadar lemak 5,3 6,0 g/100 kkal produk siap konsumsi adalah 20. Sebaran nilai kadar lemak formula bayi ditampilkan pada Gambar 12. Dari Gambar 12 terlihat bahwa lebih dari produk beredar memiliki kecenderungan untuk mengandung lemak mendekati batas maksimum standar. 3. Asam Linoleat Data karakteristik tentang kadar asam linoleat yang dapat diperoleh adalah dari 52 produk formula bayi. Dari data yang dikumpulkan diperoleh hasil bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku kadar asam linoleat formula bayi masing-masing adalah 0; 1107,0; dan 259,5 mg/100 kkal produk siap konsumsi. 42

20 Profil kadar asam linoleat formula bayi ditampilkan pada Gambar 13. Gambar 12. Sebaran kadar lemak produk formula bayi Gambar 13. Profil kadar asam linoleat formula bayi (n = 52) Dari Gambar 13 terlihat bahwa produk nomor 1, 11, dan 38 tidak mengandung asam linoleat dan produk nomor 49 mengandung asam linoleat sebanyak 200 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 1 dan 11 adalah produk yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri dan bukan pemain besar di produk formula bayi. Produk nomor 38 adalah produk yang dihasilkan di luar negeri dan bukan pemain besar di Indonesia. Produk nomor 43

21 49 adalah produk yang dihasilkan di dalam negeri dari produsen yang tergolong besar di produk formula bayi. SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar asam linoleat tidak boleh kurang dari 300 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex menetapkan acuan batas atas (ABA) kadar asam linoleat sebesar 1400 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 50 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 48 atau 92%. Asam linoleat merupakan salah satu asam lemak esensial bagi bayi. Dari total 52 produk, diketahui 22 atau 42% memiliki kadar asam linoleat mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar asam linoleat formula bayi ditampilkan pada Gambar 14. Gambar 14. Sebaran kadar asam linoleat formula bayi (n = 52) e. Vitamin 1. Vitamin A Data karakteristik mengenai kadar vitamin A diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin A masing-masing adalah 91,00; 723,33; dan 76,50 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin A formula bayi ditampilkan pada Gambar 15. Kadar vitamin A terendah dimiliki 44

22 oleh produk nomor 16, yaitu 91 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Kadar vitamin A tertinggi dimiliki oleh produk nomor 57, yaitu 723,33 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 15. Profil kadar vitamin A formula bayi (n = 52) Kadar vitamin A pada standar disyaratkan sebagai retinol karena bioavailibilitasnya pada produk lebih tinggi dibandingkan karotenoid. SNI mensyaratkan kadar vitamin A formula bayi tidak boleh kurang dari 250 UI/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 500 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin A formula bayi tidak boleh kurang dari 199,8 UI/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 599,4 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 51 atau 98%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 50 atau 96%. Kesesuaian vitamin A produk terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Dari total 52 produk diketahui bahwa 29 atau 56% produk memiliki nilai kadar vitamin A pada kisaran 343,9 470,2 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin A formula bayi ditampilkan pada Gambar 16. Dari Gambar 16 terlihat bahwa lebih dari 50% produk memiliki kadar vitamin A pada area disekitar nilai tengah batasan SNI dan Standar Codex. 45

23 Gambar 16. Sebaran kadar vitamin A formula bayi (n = 52) 2. Vitamin D Data karakteristik mengenai kadar vitamin D diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin D formula bayi masing-masing adalah 1,3; 122,00; dan 18,94 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin D formula bayi ditampilkan pada Gambar 17. Gambar 17. Profil kadar vitamin D formula bayi (n = 52) Dari Gambar 17 terlihat bahwa beberapa produk memiliki nilai tidak sesuai standar. Produk nomor 2 memiliki kadar vitamin D 1,30 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 16 memiliki kadar vitamin D sebesar 2,00 UI/100 kkal produk siap 46

24 konsumsi. Produk nomor 57 memiliki kadar vitamin D sebesar 122,00 UI/100 kkal produk siap konsumsi, produk ini juga memiliki kadar vitamin A melebihi batas maksimum. Kadar vitamin D pada produk disyaratkan sebagai vitamin D3, ini disebabkan tidak ada kajian aktivitas biologi vitamin D2 di bayi. SNI mensyaratkan kadar vitamin D formula bayi tidak boleh kurang dari 40 UI/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 80 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin D formula bayi tidak boleh kurang dari 40 UI/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak boleh lebih dari 100 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 42 atau 81%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 49 atau 94%. Kesesuaian kadar vitamin D produk terhadap Standar Codex lebih tinggi daripada terhadap SNI. Dari total 52 produk diketahui bahwa 33 atau 63% produk memiliki vitamin D UI/100 kkal produk siap konsumsi atau pada area disekitar nilai tengah batasan SNI dan Standar Codex. Sebaran kadar vitamin D formula bayi ditampilkan pada Gambar 18. Dari Gambar 18 terlihat bahwa lebih dari 50% produk memiliki kadar vitamin D pada area disekitar nilai tengah batasan SNI dan Standar Codex. Gambar 18. Sebaran kadar vitamin D formula bayi (n = 52) 47

25 Tubuh manusia termasuk bayi dapat mensintesis vitamin D, dengan bantuan sinar matahari. Ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan standar produk di negara tropis lebih rendah daripada standar di negara dengan 4 musim. Vitamin D berperan dalam meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfor juga meningkatkan pertumbuhan tulang dan gigi. Konsumsi vitamin D yang berlebih dapat menyebabkan hiperkalsemia dan hiperkalsiurea. 3. Vitamin E Data karakteristik mengenai kadar vitamin E diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin E formula bayi masing-masing adalah 0,97; 4,80; 0,84 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin E formula bayi ditampilkan pada Gambar 19. Produk nomor 57 memiliki kadar vitamin E tertinggi, yaitu 4,80 UI/100 kkal produk siap konsumsi. SNI mensyaratkan kadar vitamin E formula bayi tidak boleh kurang dari 0,7 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin E formula bayi tidak boleh kurang dari 0,75 UI/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas adalah 7,5 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 19. Profil kadar vitamin E formula bayi (n = 52) 48

26 Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Hal ini dapat disebabkan vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah ketengikan pada produk. Dari total 52 produk diketahui bahwa 29 atau 56% produk memiliki kadar vitamin E pada kisaran 1,05 1,80 UI/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin E formula bayi ditampilkan pada Gambar 20. Gambar 20. Sebaran kadar vitamin E formula bayi (n = 52) 4. Vitamin K Data karakteristik mengenai kadar vitamin K diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin K formula bayi masing-masing adalah 2,10; 15,00; dan 2,16 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin K formula bayi ditampilkan pada Gambar 21. Dari Gambar 21 terlihat beberapa produk yang nilai kadar vitamin K tidak sesuai standar. Produk nomor 1 memiliki kadar vitamin K terendah, yaitu 2,10 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 54 memiliki kadar vitamin K 3,00 µg/100 kkal produk siap konsumsi. SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin K formula bayi tidak boleh kurang dari 4 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex menetapkan acuan batas atas sebesar 49

27 27 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 50 atau 96%. Gambar 21. Profil kadar vitamin K formula bayi (n = 52) Vitamin K merupakan koenzim yang berperan dalam sintesa sejumlah protein yang berperan dalam koagulasi darah dan metabolisme tulang, antara lain protrombin. Vitamin K yang tidak mencukupi dapat menyebabkan menurunnya protrombin dan penyakit hemorrhage (pendarahan). Dari total 52 produk diketahui bahwa 24 atau 46% produk memiliki kadar vitamin K pada kisaran 8-9 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin K formula bayi ditampilkan pada Gambar Vitamin B1 Data karakteristik mengenai kadar vitamin B1 diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin B1 formula bayi masing-masing adalah 60,00; 169,00; dan 28,99 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin B1 formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. 50

28 Gambar 22. Sebaran kadar vitamin K formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar vitamin B1 formula bayi tidak boleh kurang dari 40 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin B1 formula bayi tidak boleh kurang dari 60 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Ini menggambarkan seluruh produk telah mampu untuk menghasilkan produk sesuai standar. Tidak adanya jaringan cadangan vitamin B1 membuat asupan sehari-hari penting untuk mencukupi kebutuhan vitamin B1 bagi tubuh. Dari total 52 produk diketahui bahwa 23 atau 44% produk memiliki kadar vitamin B1 pada kisaran µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin B1 formula bayi ditampilkan pada Gambar Vitamin B2 Data karakteristik mengenai kadar vitamin B2 diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin B2 formula bayi masing-masing adalah 13,00; 244,00; dan 43,96 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin B2 formula bayi ditampilkan pada Gambar 24. Produk nomor 16 memiliki kadar vitamin B2 paling kecil dan tidak sesuai standar, yaitu 13,00 51

29 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 28 memiliki kadar vitamin B2 sebesar 67,00 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 23. Sebaran kadar vitamin B1 formula bayi (n = 52) Gambar 24. Profil kadar vitamin B2 formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar vitamin B2 formula bayi tidak boleh kurang dari 60 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin B2 formula bayi tidak boleh kurang dari 80 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 51 atau 98%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 50 atau 96%. Kesesuaian kadar vitamin B2 produk terhadap SNI lebih tinggi 52

30 daripada terhadap Standar Codex. Vitamin B2 merupakan koenzim FAD (flavin adenin dinukleotida) dan FMN (flavin mononukleotida). FAD dan FMN merupakan enzim pada pernapasan sel. Dari total 52 produk diketahui bahwa 20 atau 38% produk diantaranya memiliki nilai kadar vitamin B2 pada kisaran µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin B2 formula bayi ditampilkan pada Gambar 25. Gambar 25. Sebaran kadar vitamin B2 formula bayi (n = 52) 7. Vitamin B3 Data karakteristik mengenai kadar vitamin B3 diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin B3 formula bayi masing-masing adalah 0; 1212,12; dan 399,84 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin B3 formula bayi ditampilkan pada Gambar 26. Produk nomor 1, 7, 9, dan 26 tidak mengandung vitamin B3, nilai ini dipetakan sebagai 0 µg/100 kkal produk siap konsumsi. SNI mensyaratkan kadar vitamin B3 formula bayi tidak boleh kurang dari 250 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin B3 formula bayi tidak boleh kurang dari 300 µg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 1500 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi 53

31 diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 41 atau 79%. Gambar 26. Profil kadar vitamin B3 formula bayi (n = 52) Dari total 52 produk diketahui bahwa 23 atau 44% produk diantaranya memiliki nilai kadar vitamin B3 pada kisaran µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran kadar vitamin B3 formula bayi ditampilkan pada Gambar 27. Gambar 27. Sebaran kadar vitamin B3 formula bayi (n = 52) Vitamin B3 terdapat dalam 2 bentuk, yaitu asam nikotinat dan nikotinamid. SNI mensyaratkan dalam bentuk nikotinamid. 54

32 Fungsi utama vitamin B3 adalah sebagai koenzim NAD dan NAD +. Vitamin D3 merupakan faktor anti pelagra. 8. Vitamin B6 Data karakteristik mengenai kadar vitamin B6 diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin B6 formula bayi masing-masing adalah 58,00; 142,35; dan 23,87 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin B6 formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI mensyaratkan kadar vitamin B6 formula bayi tidak boleh kurang dari 35 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin B6 formula bayi tidak boleh kurang dari 35 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 50 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Vitamin B6 berperan dalam sintesis hemoglobin. Dari total 52 produk diketahui bahwa 29 atau 56% produk diantaranya memiliki nilai kadar vitamin B6 pada kisaran µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin B6 formula bayi ditampilkan pada Gambar 28. Gambar 28. Sebaran kadar vitamin B6 formula bayi (n = 52) 55

33 9. Asam Folat Data karakteristik mengenai kadar asam folat diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar asam folat formula bayi masing-masing adalah 8; 190; dan 25,63 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar asam folat formula bayi ditampilkan pada Gambar 29. Produk nomor 20 memiliki kadar asam folat paling tinggi, yaitu 190,00 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 29. Profil kadar asam folat formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar asam folat formula bayi tidak boleh kurang dari 4 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar asam folat formula bayi tidak boleh kurang dari 10 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 52 atau 100%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 47 atau 90%. Kesesuaian kadar asam folat terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Ketersediaan asam folat bersama vitamin B12 sangat penting bagi pembaruan sel. Dari total 52 produk diketahui bahwa 49 atau 94% produk diantaranya memiliki nilai kadar asam folat pada kisaran 8 44 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar asam folat formula bayi ditampilkan pada Gambar

34 Gambar 30. Sebaran kadar asam folat formula bayi (n = 52) 10. Asam Pantotenat Data karakteristik mengenai kadar asam pantotenat diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar asam pantotenat formula bayi masing-masing adalah 0,55; 1000,00; dan 196,71 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar asam pantotenat formula bayi ditampilkan pada Gambar 31. Dari Gambar 31 terlihat bahwa produk nomor 11, 51, dan 55 memiliki kadar asam pantotenat 1 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 31. Profil kadar asam pantotenat formula bayi (n = 52) 57

35 SNI mensyaratkan kadar asam pantotenat formula bayi tidak boleh kurang dari 300 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar asam pantotenat formula bayi tidak boleh kurang dari 400 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 48 atau 92%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 42 atau 81%. Kesesuaian kadar asam pantotenat terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Dari total 52 produk diketahui bahwa 32 atau 61% produk diantaranya memiliki nilai kadar asam pantotenat µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran kadar asam pantotenat formula bayi ditampilkan pada Gambar 32. Gambar 32. Sebaran kadar asam pantotenat formula bayi (n = 52) 11. Vitamin B12 Data karakteristik mengenai kadar vitamin B12 diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin B12 formula bayi masing-masing adalah 0,2; 21,07; dan 2,88 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin B12 formula bayi ditampilkan pada Gambar 33. Produk nomor 10 memiliki kadar vitamin B12 sebesar 21,07 µg/100 kkal produk siap 58

36 konsumsi. Profil kadar vitamin B12 formula bayi, kecuali produk nomor 10 ditampilkan pada Lampiran 9. Gambar 33. Profil kadar vitamin B12 formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar vitamin B12 formula bayi tidak boleh kurang dari 0,15 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin B12 formula bayi tidak boleh kurang dari 0,1 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Vitamin B12 diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin. Dari total 52 produk diketahui bahwa 30 atau 58% produk diantaranya memiliki nilai kadar vitamin B12 pada kisaran 0,20 0,30 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran kadar vitamin B12 formula bayi ditampilkan pada Gambar Biotin Data karakteristik mengenai kadar biotin diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar biotin formula bayi masing-masing adalah 1,54; 10,00; dan 1,42 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar biotin formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. 59

37 Gambar 34. Sebaran kadar vitamin B12 formula bayi (n=52) SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar biotin formula bayi tidak boleh kurang dari 1,5 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Dari total 52 produk diketahui bahwa 33 atau 63% produk diantaranya memiliki nilai kadar biotin 1,5 3,2 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar biotin formula bayi ditampilkan pada Gambar 35. Gambar 35. Sebaran kadar biotin formula bayi (n=52) 13. Vitamin C Data karakteristik mengenai kadar vitamin C diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai 60

38 minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar vitamin C formula bayi masing-masing adalah 8,00; 23,23; dan 3,10 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar vitamin C formula bayi ditampilkan pada Gambar 36. Gambar 36. Profil kadar vitamin C formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar vitamin C formula bayi tidak boleh kurang dari 8 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar vitamin C formula bayi tidak boleh kurang dari 10 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 52 atau 100%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 44 atau 86%. Kesesuaian kadar vitamin C produk terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan, meskipun efeknya baru tampak dengan dosis farmakologis. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan scurvy (pendarahan jaringan lunak, misalnya gusi). Sementara kelebihan vitamin C dapat menyebabkan timbulnya batu ginjal. Dari total 52 produk diketahui bahwa 24 atau 46% produk diantaranya memiliki nilai kadar vitamin C pada kisaran 8 10 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar vitamin C formula bayi ditampilkan pada Gambar

39 Gambar 37. Sebaran kadar vitamin C formula bayi (n = 52) f. Mineral 1. Natrium Data karakteristik mengenai kadar natrium diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar natrium formula bayi masing-masing adalah 20,00; 54; dan 8,56 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar natrium formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar natrium formula bayi tidak kurang dari 20 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 60 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Natrium merupakan kation utama di cairan ekstraseluler tubuh manusia. Sebagian besar natrium di tubuh terdapat dalam bentuk ion. Pertukaran natrium dan kalium melalui membran sel menyediakan lonjakan energi yang menyebabkan pengambilan zat gizi melalui proses transpor membran. Natrium dikeluarkan lewat ginjal. Asupan yang melebihi kapasitas ginjal untuk ekskresi dapat menyebabkan efek negatif. Dari total 52 produk diketahui bahwa 29 atau 56% produk diantaranya memiliki nilai kadar natrium pada kisaran

40 mg/100 kkal produk siap konsumsi atau kurang dari nilai tengah batas standar. Sebaran nilai kadar natrium formula bayi ditampilkan pada Gambar 38. Gambar 38. Sebaran kadar natrium formula bayi (n = 52) 2. Kalium Data karakteristik mengenai kadar kalium diperoleh dari 52 produk. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar kalium formula bayi masing-masing adalah 46,00; 1644; dan 214,72 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar kalium formula bayi ditampilkan pada Gambar 39. Produk nomor 2 memiliki kadar kalium terbesar, yaitu 1644 mg/100 kkal produk siap konsumsi. SNI mensyaratkan kadar kalium formula bayi tidak kurang dari 80 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 200 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar kalium formula bayi tidak kurang dari 60 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 180 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 48 atau 92%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 49 atau 94%. Kesesuaian kadar kalium produk terhadap Standar Codex lebih tinggi daripada terhadap SNI. 63

41 Gambar 39. Profil kadar kalium formula bayi (n = 52) Kalium merupakan kation utama cairan intraseluler yang berkontribusi terhadap aktivitas osmosis intraseluler. Kebutuhan kalium ditentukan berdasarkan jumlah yang hilang melalui ginjal dan untuk keperluan jaringan. Pertukaran natrium dan kalium melalui membran sel menyediakan lonjakan energi yang menyebabkan pengambilan zat gizi melalui proses transpor membran. Kalium dikeluarkan lewat ginjal. Asupan yang melebihi kapasitas ginjal untuk ekskresi dapat menyebabkan efek negatif. Dari total 52 produk diketahui bahwa 28 atau 54% produk memiliki kadar kalium pada kisaran mg/100 kkal produk siap konsumsi atau kurang dari nilai tengah batas standar. Sebaran nilai kadar kalium formula bayi ditampilkan pada Gambar Klorida Data karakteristik mengenai kadar klorida diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar klorida formula bayi masing-masing adalah 0; 96; dan 13,44 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 10 tidak mengandung klorida. Produk nomor 40 memiliki kadar klorida 35 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 42 memiliki kadar klorida 38 64

42 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar klorida formula bayi ditampilkan pada Gambar 41. Gambar 40. Sebaran nilai kadar kalium formula bayi (n = 52) Gambar 41. Profil kadar klorida formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar klorida tidak kurang dari 55 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 150 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar klorida formula bayi tidak kurang dari 50 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 160 mg/100 kkal produk siap konsumsi. 65

43 Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 48 atau 92%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 49 atau 94%. Kesesuaian kadar klorida produk terhadap Standar Codex lebih tinggi daripada terhadap SNI. Klorida merupakan anion utama dicairan ekstraseluler, bersama natrium berkontribusi terhadap 80% aktivitas osmosis. Klorida penting untuk sistem transpor membran. Klorida dikeluarkan lewat ginjal. Asupan yang melebihi kapasitas ginjal untuk ekskresi dapat menyebabkan efek negatif. Dari total 52 produk diketahui bahwa 40 atau 77% produk diantaranya memiliki nilai kadar klorida pada kisaran mg/100 kkal produk siap konsumsi atau pada area kurang dari nilai tengah batasan SNI dan Standar Codex. Sebaran nilai kadar klorida formula bayi ditampilkan pada Gambar 42. mbar 42. Sebaran kadar klorida formula bayi (n = 52) Ga 4. Kalsium Data karakteristik mengenai kadar kalsium diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar kalsium formula bayi masing-masing adalah 56,00; 130; dan 16,50 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar kalsium formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. 66

44 SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar kalsium formula bayi tidak kurang dari 50 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex menetapkan acuan batas atas sebesar 140 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Kalsium berperan penting dalam pembentukan struktur dan kekuatan dari tulang dan gigi. Bioavailibitas kalsium dari formula bayi kurang dari kalisum pada ASI. Dari total 52 produk diketahui bahwa 20 atau 38% produk diantaranya memiliki nilai kadar kalsium pada kisaran mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar kalsium formula bayi ditampilkan pada Gambar 43. Gambar 43. Sebaran kadar kalsium formula bayi (n = 52) 5. Fosfor Data karakteristik mengenai kadar fosfor diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar fosfor formula bayi masing-masing adalah 30,00; 89; dan 12,88 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar fosfor formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar fosfor formula bayi tidak kurang dari 25 mg/100 kkal produk siap konsumsi. 67

45 Standar Codex menetapkan acuan batas atas sebesar 100 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Fosfor merupakan mineral terbanyak kedua setelah kalsium didalam tubuh manusia. Fosfor berperan untuk struktural dan fungsional. Kelebihan fosfor akan dikeluarkan lewat urin. Dari total 52 produk diketahui bahwa 24 atau 46% produk diantaranya memiliki nilai kadar fosfor pada kisaran mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar fosfor formula bayi ditampilkan pada Gambar 44. Gambar 44. Sebaran kadar fosfor formula bayi (n = 52) 6. Rasio Kalsium dan Fosfor Data karakteristik mengenai rasio kalsium dengan fosfor diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk jumlah rasio kalsium dengan fosfor formula bayi masing-masing adalah 1,32; 3; dan 0,3 per 100 kkal produk siap konsumsi. Profil rasio kalsium dengan fosfor formula bayi ditampilkan pada Gambar 45. Produk nomor 40 memiliki nilai rasio kalsium dan fosfor tertinggi dan tidak sesuai standar, yaitu 3,4 per 100 kkal produk siap konsumsi. 68

46 Gambar 45. Profil rasio kalsium : fosfor formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan rasio kalsium : fosfor formula bayi tidak kurang dari 1,2 per 100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 2,0 per 100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan rasio kalsium : fosfor formula bayi tidak kurang dari 1 per 100 kkal produk siap konsumsi dan tidak lebih dari 2,0 per 100 kkal produk siap konsumsi. Tubuh akan menjaga rasio kalsium : fosfor = 1,5 : 1, karena ini rasio yang vital untuk pertumbuhan tulang yang ideal. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI dan Standar Codex adalah 51 atau 98%. Dari total 52 produk diketahui bahwa 34 atau 65% produk diantaranya memiliki nilai rasio kalsium : fosfor pada kisaran 1,8 2,0 per 100 kkal produk siap konsumsi atau pada area lebih besar dari nilai tengah batasan SNI dan Standar Codex. Sebaran nilai rasio kalsium : fosfor formula bayi ditampilkan pada Gambar Magnesium Data karakteristik mengenai kadar magnesium diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar magnesium formula bayi masing-masing adalah 3,00; 112; dan 14,49 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar magnesium formula bayi ditampilkan pada Gambar 47. Produk nomor 29 69

47 memiliki kadar magnesium 112 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 46. Sebaran rasio kalsium : fosfor formula bayi (n = 52) Gambar 47. Profil kadar magnesium formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar magnesium formula bayi tidak kurang dari 6 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar magnesium formula bayi tidak kurang dari 5 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 15 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 51 atau 98%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 50 atau 96%. 70

48 Kesesuaian kadar magnesium produk terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Magnesium terlibat dalam berbagai proses metabolisme yang sama dengan kalsium dan fosfor. Magnesium penting untuk pembentukan tulang, gigi, DNA, produksi dan transfer energi, dan berperan dalam fungsi syaraf. Magnesium dan seng banyak terdapat dibagian hippocamus pada otak, sehingga diyakini kebutuhan magnesium dapat mempengaruhi perkembangan emosi dan perilaku. Dari total 52 produk diketahui bahwa 21 atau 40% produk diantaranya memiliki nilai kadar magnesium pada kisaran 7-8 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar magnesium formula bayi ditampilkan pada Gambar 48. Gambar 48. Sebaran kadar magnesium formula bayi (n = 52) 8. Zat besi Data karakteristik mengenai kadar zat gizi diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar zat besi formula bayi masing-masing adalah 0,60; 2; dan 0,33 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar zat besi formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI mensyaratkan kadar zat besi formula bayi tidak kurang dari 0,15 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar zat besi formula bayi tidak kurang dari 0,45 71

49 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Zat besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin yang berperan dalam transpor oksigen dalam darah. Jumlah zat besi yang bersenyawa dengan protein dalam tubuh adalah 85%. Zat besi sangat penting untuk pernapasan sel. Studi terbaru membuktikan bahwa absorbsi zat besi di formula bayi telah meningkat menjadi 15 20% dari ASI, hasil ini menjadi dasar bahwa fortifikasi zat besi di formula bayi bisa diturunkan jumlahnya. Asam fitat yang mungkin terdapat pada formula bayi berbahan dasar protein kedelai dapat menghambat penyerapan zat besi. Dari total 52 produk diketahui bahwa 19 atau 37% produk memiliki nilai kadar zat besi pada kisaran 1,17 1,44 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar zat besi formula bayi ditampilkan pada Gambar 49. Gambar 49. Sebaran kadar zat besi formula bayi (n = 52) 9. Iodium Data karakteristik mengenai kadar iodium diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar iodium formula bayi masing-masing adalah 6,00; 27; dan 4,07 µg/100 kkal 72

50 produk siap konsumsi. Profil kadar iodium formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI mensyaratkan iodium formula bayi tidak kurang dari 5 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar iodium formula bayi tidak kurang dari 10 µg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 60 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 52 atau 100%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 48 atau 92%. Kesesuaian kadar iodium produk terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Iodium berperan untuk produksi hormon tiroid, yaitu hormon untuk perkembangan dan pertumbuhan syaraf otot pusat, pertumbuhan tulang, perkembangan fungsi otak, dan metabolisme sel tubuh (kecuali sel otak). Dari total 52 produk diketahui bahwa 21 atau 40% produk diantaranya memiliki nilai kadar iodium µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar iodium formula bayi ditampilkan pada Gambar 50. Gambar 50. Sebaran kadar iodium formula bayi (n = 52) 73

51 10. Seng Data karakteristik mengenai kadar seng diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar seng formula bayi masing-masing adalah 0,5; 1; dan 0,17 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar seng formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI dan Standar Codex mensyaratkan kadar seng formula bayi tidak kurang dari 0,5 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex menetapkan acuan batas atas sebesar 1,5 mg/100 kkal. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui 100% produk sesuai SNI dan Standar Codex. Seng merupakan unsur vital untuk sintesa DNA dan RNA. Dari total 52 produk diketahui bahwa 17 atau 33% produk diantaranya memiliki nilai pada kisaran 0,79 0,92 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar seng formula bayi ditampilkan pada Gambar 51. Gambar 51. Sebaran kadar seng formula bayi (n = 52) 11.Tembaga Data karakteristik mengenai kadar tembaga diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar tembaga formula bayi masing-masing adalah 0,06; 120; dan 17,89 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar tembaga formula bayi 74

52 ditampilkan pada Gambar 52. mengandung tembaga. Produk nomor 16 tidak Gambar 52. Profil kadar tembaga formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar tembaga formula bayi tidak kurang dari 45 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar tembaga formula bayi tidak kurang dari 35 µg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 120 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 49 atau 96%. Jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 50 atau 98%. Kesesuaian kadar tembaga produk terhadap Standar Codex lebih tinggi daripada terhadap SNI. Dari total 52 produk diketahui bahwa 33 atau 63% produk memiliki nilai kadar tembaga pada kisaran µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar tembaga formula bayi ditampilkan pada Gambar Mangan Data karakteristik mengenai kadar mangan diperoleh dari 52 produk formula bayi. Terdapat 1 (satu) produk dengan kadar mangan sebesar 80 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk jumlah kadar mangan formula bayi masing- 75

53 masing adalah 3,00; 80; dan 16,92 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar mangan formula bayi ditampilkan pada Gambar 54. Gambar 53. Sebaran kadar tembaga formula bayi (n = 52) Gambar 54. Profil kadar mangan formula bayi (n = 52) SNI mensyaratkan kadar mangan formula bayi tidak kurang dari 5 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan kadar mangan formula bayi tidak kurang dari 1 µg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 100 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Kadar mangan yang 60 kali lebih besar daripada kadar di ASI harus dihindari karena ekskresi mangan di bayi dapat menyebabkan akumulasi di 76

54 jaringan otak, dan dapat menyebabkan perkembangan abnormal di jaringan syaraf. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai SNI adalah 51 atau 98% sementara jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 52 atau 100%. Kesesuaian kadar mangan produk terhadap Standar Codex lebih tinggi daripada terhadap SNI. Dari total 52 produk diketahui bahwa 42 atau 81% produk diantaranya memiliki nilai kadar mangan pada kisaran 3-18 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar mangan formula bayi ditampilkan pada Gambar 55. Gambar 55. Sebaran kadar mangan formula bayi (n = 52) 2. Karakteristik yang hanya dipersyaratkan oleh SNI Karakteristik jumlah cemaran biologi yang hanya diatur oleh SNI adalah nilai angka lempeng total, nilai angka paling mungkin bakteri koliform, jumlah bakteri Staphylococcus aureus, serta jumlah bakteri Salmonella dan Shigella. Jumlah cemaran kimia yang hanya diatur oleh SNI adalah jumlah cemaran arsen, residu hormon, dan antibiotika. Penggunaan BTP yang hanya diatur oleh SNI adalah dari golongan pengatur ph (natrium bikarbonat, kalium bikarbonat, dan natrium sitrat). 77

55 a. Cemaran biologi 1. Angka Lempeng Total Data karakteristik mengenai nilai angka lempeng total (ALT) diperoleh dari 39 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk nilai ALT formula bayi masing-masing adalah 9; ; dan 1760 koloni/g produk. Profil angka lempeng total tiap produk formula bayi ditampilkan pada Gambar 56. Produk nomor 2 memiliki nilai ALT paling besar, yaitu koloni/g produk. Produk dengan nilai ALT tertinggi kedua yaitu 5000 adalah produk nomor 53. Gambar 56. Profil angka lempeng total formula bayi (n = 39) SNI mensyaratkan angka lempeng total (ALT) formula bayi tidak boleh lebih dari koloni/g produk. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 39 produk 100% sesuai SNI. Seluruh produk dapat memenuhi persyaratan. Nilai ALT selain mencerminkan kualitas mutu mikrobiologi produk akhir merupakan indikator untuk mengetahui kondisi sanitasi proses dan lingkungan. Ini menggambarkan kondisi sanitasi produk yang baik. Standar Codex tidak mensyaratkan nilai ALT melainkan mensyaratkan nilai bakteri aerob mesofilik sebagai indikator Cara Produksi Formula Bayi yang baik. Pengujian cemaran bakteri aerob mesofilik tidak harus dilakukan pada produk akhir. 78

56 Dari total 39 produk diketahui bahwa 37 atau 95% produk diantaranya memiliki nilai ALT pada kisaran koloni/g produk. Sebaran nilai ALT formula bayi ditampilkan pada Gambar 57. Gambar 57. Sebaran angka lempeng total formula bayi (n = 39) 2. Angka Paling Mungkin Bakteri Koliform Data karakteristik mengenai nilai angka paling mungkin (APM) bakteri koliform diperoleh dari 24 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk APM bakteri koliform formula bayi masingmasing adalah 0; 10; dan 2 per g produk. Profil angka APM koliform produk ditampilkan pada Gambar 58. Terdapat 2 produk memiliki hasil uji APM < 0,3 per gram produk, nilai ini dipetakan sebagai 0,2 per gram produk. Terdapat 1 (satu) produk yaitu produk nomor 53 yang memiliki nilai APM bakteri koliform sebesar 10 per g produk. Produk nomor 53 memiliki nilai ALT 5000 koloni/g produk. SNI mensyaratkan nilai APM bakteri koliform formula bayi tidak boleh lebih dari 24 per g produk. Bakteri koliform merupakan indikator higiene proses. Standar Codex tidak mensyaratkan cemaran bakteri koliform, namun mensyaratkan bakteri Enterobacteriaceae sebagai indikator higiene proses. Pengujian jumlah bakteri Enterobacteriaceae dapat dilakukan pada produk 79

57 akhir atau pada tahap proses sebelumnya. Pengujian total bakteri Enterobacteriaceae dapat mendeteksi jenis mikroba yang lebih luas daripada bakteri koliform, termasuk diantaranya beberapa strain E.coli, Salmonella dan Shigella. Gambar 58. Profil APM bakteri koliform formula bayi (n = 24) Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total 24 produk 100% sesuai SNI. Bahkan nilai maksimum yang dimiliki suatu produk adalah 10. Sehingga terdapat peluang jika pemerintah ingin meningkatkan memperketat indikator bakteri koliform. Dari total 24 produk diketahui bahwa 22 atau 92% produk diantaranya memiliki nilai pada kisaran 0 2 per g produk. Sebaran nilai APM bakteri koliform formula bayi ditampilkan pada Gambar Jumlah Bakteri Staphylococcus aureus Data karakteristik jumlah bakteri S.aureus dapat dikumpulkan dari 41 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk jumlah bakteri S.aureus formula bayi masing-masing adalah 0, 100, dan 17 koloni/ g produk. Profil jumlah bakteri S.aureus tiap produk formula bayi ditampilkan pada Gambar 60. Produk nomor 3, 10, dan 35 masing-masing memiliki jumlah bakteri S.aureus sebesar 100, 39, dan 20 koloni/ g produk nilai - nilai ini tidak sesuai dengan standar. 80

58 Gambar 59. Sebaran APM bakteri koliform formula bayi (n = 24) SNI mensyaratkan jumlah bakteri S.aureus formula bayi tidak boleh lebih dari 10 koloni per g produk. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total 41 produk jumlah produk sesuai SNI adalah 38 atau 93%. Sumber cemaran bakteri Staphylococcus aureus adalah dari manusia, yaitu dari bagian rongga hidung, kerongkongan, tangan, luka yang terbuka, dan feses. Debu dan pakaian yang kotor juga dapat menjadi sumber cemaran S.aureus. S.aureus dapat memproduksi enterotoksin yang menyebabkan penyakit pada manusia. Gambar 60. Profil cemaran S.aureus formula bayi (n = 41) 81

59 Dari total 41 produk diketahui bahwa 39 atau 95% produk diantaranya memiliki nilai 0-20 koloni/g produk, termasuk diantaranya 85% produk yang jumlah S.aureus sebesar 0 koloni/g produk. Sebaran jumlah bakteri S.aureus formula bayi ditampilkan pada Gambar 61. Gambar 61. Sebaran jumlah bakteri S.aureus formula bayi (n = 41) 4. Jumlah Bakteri Salmonella dan Shigella Data karakteristik mengenai jumlah bakteri Salmonella dan Shigella yang dapat dikumpulkan adalah 8 produk formula bayi. Seluruh produk memiliki jumlah bakteri Salmonella dan Shigella 0 koloni/g produk. Jumlah produk yang melampirkan hasil uji Salmonella dan Shigella sangat sedikit, ini mengindikasikan bahwa sebagian besar produk tidak menggunakan indikator tersebut untuk mengetahui keamanan produknya. Profil jumlah bakteri Salmonella dan Shigella tiap produk formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. SNI mensyaratkan jumlah bakteri Salmonella dan Shigella formula bayi tidak boleh lebih dari 2 koloni/g produk. Standar Codex tidak mensyaratkan jumlah bakteri Salmonella dan Shigella, melainkan mensyaratkan total bakteri Salmonella. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total 8 produk 100% sesuai SNI. 82

60 b. Cemaran kimia 1. Jumlah Cemaran Arsen Data karakteristik mengenai jumlah arsen dapat dikumpulkan dari 35 produk formula bayi. Dari data diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk jumlah cemaran arsen formula bayi masing-masing adalah 0; 5,0145; dan 0,8465 mg/kg produk siap konsumsi. Dari hasil pengujian diketahui bahwa terdapat 10 produk yang menunjukkan tidak terdeteksi adanya arsen dan 2 produk menunjukkan absen adanya arsen sehingga hasil-hasil ini kemudian dipetakan sebagai 0 mg/kg produk siap konsumsi. Profil cemaran arsen formula bayi ditampilkan pada Gambar 62. SNI mensyaratkan cemaran arsen formula bayi tidak boleh lebih dari 0,05 mg/kg produk siap konsumsi. Standar Codex tidak menetapkan kadar cemaran arsen. Berbagai studi menunjukkan bahwa arsen asupan dalam jumlah sangat kecil dapat memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan, ini yang menyebabkan Standar Codex tidak mensyaratkan cemaran arsen. Nilai Provisional Tolerable Daily Intake (PTWI) arsen adalah 0,015 mg/kg BB. Gambar 62. Profil cemaran arsen formula bayi (n=35) 83

61 Produk nomor 17 memiliki jumlah cemaran arsen paling besar, yaitu 5,0145 mg/kg produk siap konsumsi, nilai ini tidak sesuai standar. Produk nomor 40 memiliki kadar arsen tidak sesuai standar. Sumber cemaran arsen dapat berasal dari air, lingkungan pabrik, bahan tambahan pakan hewan organoarsenik, dan erosi tanah. Profil cemaran arsen formula bayi kecuali produk nomor 17 ditampilkan pada Gambar 63. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total 35 produk jumlah produk sesuai SNI adalah 33 atau 94%. Gambar 63. Profil cemaran arsen formula bayi, kecuali produk nomor 17 (n = 34) Dari total 35 produk diketahui bahwa 33 atau 94% produk diantaranya memiliki nilai cemaran arsen pada kisaran 0 0,025 mg/kg produk siap konsumsi. Sebaran cemaran arsen formula bayi kecuali produk nomor 17 ditampilkan pada Gambar Jumlah Cemaran Residu Hormon dan Antibiotika Data mengenai jumlah cemaran residu hormon dan antibiotika hanya diperoleh dari 5 produk formula bayi. Jumlah cemaran residu hormon dan antibiotika tersebut adalah 0 mg/kg produk dan rendah. Produk yang melampirkan pernyataan jumlah cemaran residu hormon dan antibiotika sangat sedikit. Pernyataan ini tidak dibuktikan melalui hasil pengujian. Hal ini menunjukkan 84

62 bahwa karakteristik tersebut sulit digunakan sebagai indikator mutu produk. Faktor penyebabnya antara lain adalah karena pada SNI tidak dinyatakan dengan jelas jenis residu hormon dan antibiotika yang dipersyaratkan. Sehingga pengujian kadarnya dalam produk akhir menjadi sulit. Gambar 64. Sebaran jumlah cemaran arsen produk (kecuali produk nomor 17) (n=34) SNI menetapkan formula bayi harus bebas dari residu hormon dan antibiotik. Standar Codex tidak mensyaratkan karakteristik ini. Hal ini dapat disebabkan Codex telah mensyaratkan kadar bahan aktif antaralain yang memiliki efek farmakologis, diantaranya termasuk hormon dan antibiotika. Dari 5 produk 100% sesuai SNI. c. Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) Pada perhitungan penggunaan BTP diasumsikan bahwa berat jenis formula bayi sama dengan berat jenis air, yaitu 1g/ml. Sehingga dalam melakukan perhitungan volume produk siap konsumsi tidak digunakan faktor pengenceran yang ditetapkan oleh produsen. 1. Pengatur ph a. Natrium Bikarbonat Dari penelitian diperoleh hasil bahwa jenis BTP natrium bikarbonat hanya digunakan pada 1 produk formula bayi. Jumlah penggunaan BTP natrium bikarbonat sejumlah 0,00024 g/100 ml produk siap konsumsi. 85

63 SNI mengizinkan penggunaan BTP natrium bikarbonat untuk formula bayi dengan batas maksimum secukupnya, dengan batas Na dan K yang sesuai. Maka 1 atau 100% produk dengan penggunaan BTP natrium bikarbonat sejumlah 0,00024 sesuai SNI. 3. Karakteristik yang hanya dipersyaratkan oleh Standar Codex Karakteristik cemaran biologi yang hanya diatur oleh Standar Codex adalah jumlah bakteri Salmonella, dan jumlah bakteri Enterobacter sakazakii. Penggunaan BTP yang hanya diatur oleh Standar Codex adalah dari golongan pengatur ph (natrium hidrogen karbonat, kalium hidrogen karbonat, natrium dihidrogen sitrat, dan trinatrium sitrat) dan dari golongan gas kemasan (karbon dioksida dan nitrogen). Kadar zat gizi makro yang hanya diatur oleh Standar Codex adalah kadar asam alfa linolenat, rasio asam linoleat dan asam alfa linolenat, dan kadar karbohidrat. Kadar mineral yang hanya diatur oleh Standar Codex adalah kadar selenium, kromium dan molibdenum. Kadar ingredien lainnya yang hanya diatur oleh Standar Codex adalah kadar kolin, mio-inositol, L- karnitin, taurin, nukleotida, dan DHA. a. Cemaran biologi 1. Jumlah Bakteri Salmonella Data karakteristik mengenai jumlah bakteri Salmonella yang dapat dikumpulkan adalah 51 produk formula bayi. Seluruh produk tersebut memiliki jumlah bakteri Salmonella sebesar 0 koloni/25 g produk. Profil jumlah bakteri Salmonella tiap produk formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. Dari hasil pengujian diketahui bahwa terdapat 49 produk yang menunjukkan hasil negatif dan 2 produk yang menunjukkan hasil absen, dan hasilhasil ini dipetakan sebagai 0 koloni/25 g produk. Standar Codex mensyaratkan jumlah bakteri Salmonella formula bayi tidak boleh lebih dari 0 koloni/25 g produk. SNI mensyaratkan jumlah Salmonella diuji bersama Shigella. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total 51 produk jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 51 atau 100%. 86

64 2. Jumlah Bakteri Enterobacter sakazakii Data karakteristik mengenai jumlah bakteri E.sakazakii dapat dikumpulkan dari 13 produk formula bayi, 9 diantaranya adalah produk yang pendaftaran tahun Pada Tahun 2008, Badan POM memberikan rekomendasi pada produk formula bayi yang akan mendaftarkan produknya agar dilengkapi dengan hasil pengujian jumlah bakteri E.sakazakii. Dari hasil pengujian diketahui bahwa terdapat 11 produk yang menunjukkan hasil negatif dan 2 produk yang menunjukkan hasil absen, dan hasilhasil ini dipetakan sebagai 0 koloni/10g produk. Sehingga seluruh produk memiliki nilai jumlah bakteri E.sakazakii 0 koloni/10 g produk. Profil jumlah bakteri E.sakazakii tiap produk formula bayi ditampilkan pada Lampiran 9. Standar Codex mensyaratkan jumlah bakteri E.sakazakii (spesies Cronobacter) tidak boleh lebih dari 0 koloni/10 g produk. SNI tidak mensyaratkan cemaran E.sakazakii. Bakteri E.sakazakii dapat menyebabkan neonatal meningitis. Pada tahun 2004 terjadi kasus di Selandia Baru dan Perancis yang disebabkan oleh bakteri ini. Berkembangnya E.sakazakii pada formula bayi disebabkan praktek penyiapan, dan penanganan yang kurang higienis, penyimpanan botol yang dipakai untuk menyimpan formula lebih dari 24 jam pada lemari pendingin tanpa alat pengontrol suhu. Insiden ini terjadi pada bayi lahir berat badan rendah (kurang dari 1,5 kg) dengan jumlah kasus 9,4 dari bayi. Hasil pengujian produk tidak ada yang menyebutkan bahwa bakteri E.sakazakii yang dihitung jumlahnya adalah spesies Cronobacter. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total 13 produk jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 13 atau 100%. b. Zat gizi makro 1. Asam Alfa Linolenat Data karakteristik mengenai kadar asam alfa linolenat yang dapat dikumpulkan sejumlah 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan 87

65 simpangan baku untuk kadar asam alfa linolenat formula bayi masing-masing adalah 0; 347,0; dan 51,0 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar asam alfa linolenat formula bayi ditampilkan pada Gambar 65. Terdapat 7 produk tidak mengandung asam alfa linolenat. Produk nomor 2 memiliki kadar asam alfa linolenat paling besar yaitu 347 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 65. Profil kadar asam alfa linolenat formula bayi (n = 52) Standar Codex mensyaratkan kadar asam alfa linolenat formula bayi tidak boleh kurang dari 50 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 39 atau 75%. Kesesuaian ini dapat disebabkan karena kadar asam alfa linolenat tidak disyaratkan oleh SNI. Dari total 52 produk diketahui bahwa 28 atau 54% produk memiliki nilai kadar asam alfa linolenat mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar asam alfa linolenat formula bayi ditampilkan pada Gambar 66. Asam alfa linolenat telah ditambahkan pada produk yang didaftarkan pada tahun Asam alfa linolenat (omega 3) adalah asam lemak esensial yang berperan sebagai prekursor sintesis DHA yang ketersediaannya diperlukan untuk perkembangan bayi. 88

66 Gambar 66. Sebaran kadar asam alfa linolenat formula bayi (n = 52) 2. Rasio Asam Linoleat dengan Asam Alfa Linolenat Data karakteristik mengenai rasio asam linoleat dengan asam alfa linolenat yang dapat dikumpulkan adalah dari 52 produk. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk rasio asam linoleat dengan asam alfa linolenat formula bayi masing-masing adalah 1; 57,0; dan 7,3 per 100 kkal produk siap konsumsi. Profil rasio asam linoleat dengan asam alfa linolenat formula bayi ditampilkan pada Gambar 67. Produk nomor 7, 9, 18, dan 49 tidak mengandung asam alfa linolenat, dan produk nomor 1, 11, dan 38 tidak mengandung asam linoleat dan asam alfa linolenat sehingga pada grafik profil dipetakan sebagai 0 (nol). Terdapat 1 (satu) produk dengan nilai rasio tertinggi, yaitu 57,3 per 100 kkal produk siap konsumsi. Standar Codex mensyaratkan rasio tidak boleh kurang dari 5,0 dan tidak boleh lebih dari 15,0 per 100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 36 atau 69%. Nilai kesesuaian ini dapat disebabkan karena SNI tidak mensyaratkan kadar asam alfa linolenat. 89

67 Gambar 67. Profil rasio asam linoleat dengan asam alfa linolenat formula bayi (n = 52) Dari total 52 produk diketahui bahwa 40 atau 77% produk diantaranya memiliki nilai rasio 0-11 per 100 kkal produk siap konsumsi atau pada area sekitar nilai tengah batas yang ditetapkan Standar Codex. Sebaran nilai rasio asam linoleat dengan asam linolenat formula bayi ditampilkan pada Gambar 68. Setiap produk yang menambahkan asam alfa linolenat telah memperhatikan rasio jumlah rasio asam linoleat dengan asam alfa linolenat. Rasio ini diperlukan untuk menjaga kesetimbangan antara kedua asam lemak tersebut. Kadar asam alfa linolenat perlu dibatasi maksimum 1/5 dari asam linoleat, karena asupan yang tinggi dapat menyebabkan ketengikan yang menurunkan kestabilan produk. 3. Karbohidrat Data karakteristik mengenai kadar karbohidrat yang dapat dikumpulkan adalah dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar karbohidrat formula bayi masingmasing adalah 10; 16,2; dan 1,0 g/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar karbohidrat formula bayi ditampilkan pada Gambar 69. Produk nomor 11 memiliki kadar karbohidrat tidak sesuai standar dan paling tinggi, yaitu 16,2 g/100 kkal produk siap konsumsi. 90

68 Produk ini juga memiliki kadar lemak kurang dari batas minimum standar, dan tidak mengandung asam alfa linolenat. Gambar 68. Sebaran rasio asam linoleat dengan asam linolenat formula bayi (n = 52) Standar Codex mensyaratkan kadar karbohidrat formula bayi tidak boleh kurang dari 9 dan tidak boleh lebih dari 14,0 g/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 51 atau 98%. Kesesuaian karakteristik ini tergolong tinggi, meskipun SNI tidak mensyaratkan kadar karbohidrat. Karbohidrat telah ditambahkan pada produk yang didaftarkan pada tahun Gambar 69. Profil kadar karbohidrat formula bayi (n = 52) 91

69 Dari total 52 produk diketahui bahwa 38 atau 73% produk diantaranya memiliki nilai kadar karbohidrat pada kisaran 10,0 11,2 g/100 kkal produk siap konsumsi atau kurang dari nilai tengah batasan standar. Sebaran nilai kadar karbohidrat formula bayi ditampilkan pada Gambar 70. Gambar 70. Sebaran kadar karbohidrat formula bayi (n = 52) Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi yang penting bagi bayi. Nilai minimum yang dipersyaratkan Standar Codex adalah jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan glukosa otak bayi. Nilai maksimum yang dipersyaratkan Standar Codex adalah jumlah yang diperlukan untuk memenuhi 56% kebutuhan energi bayi. c. Mineral 1. Selenium Data karakteristik mengenai kadar selenium diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar selenium formula bayi masing-masing adalah 0; 11; dan 1,67 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar selenium formula bayi ditampilkan pada Gambar 71. Terdapat 22 produk tidak mengandung selenium. Produk nomor 28 mengandung selenium sebanyak 11 µg/100 kkal produk siap konsumsi. 92

70 Gambar 71. Profil kadar selenium formula bayi (n = 52) Standar Codex mensyaratkan kadar selenium formula bayi tidak kurang dari 1 µg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 9 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 39 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 30 atau 77%. Kesesuaian ini dapat disebabkan oleh SNI tidak mensyaratkan kadar selenium. Selenium telah ditambahkan pada produk yang didaftarkan pada tahun Selenium dapat berfungsi sebagai antioksidan, seperti vitamin C dan vitamin E. Selenium dalam bentuk selenoprotein merupakan kofaktor enzim antioksidan, misalnya glutation peroksidase. Dari total 52 produk diketahui bahwa 48 atau 92% produk memiliki nilai kadar selenium pada kisaran 0-2 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Jumlah produk yang tidak mengandung selenium adalah 22 produk. Sebaran nilai kadar selenium formula bayi ditampilkan pada Gambar Kromium Data karakteristik mengenai kadar kromium diperoleh dari 20 produk formula bayi, yang merupakan formula medis khusus bagi bayi. Formula bayi digolongkan ke dalam formula untuk keperluan medis khusus jika formula tersebut berbahan dasar protein 93

71 kedelai; merupakan formula bayi dengan klaim rendah laktosa, kurang laktosa atau bebas laktosa; merupakan formula khusus untuk bayi hipoalergenik, bayi berat, bayi berat lahir rendah, atau bayi yang alergi protein susu. Hanya produk nomor 38 yang mengandung kromium sebanyak 2,1 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Jumlah total produk formula medis khusus adalah 20. Sehingga masih ada 19 produk yang tidak mengandung kromium. Gambar 72. Sebaran kadar selenium formula bayi (n = 52) Karakteristik mengenai kadar kromium dipersyaratkan di Standar Codex bagi formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi. Standar Codex mensyaratkan kadar kromium formula bayi tidak kurang dari 1,5 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil dari 20 produk jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 1 produk atau 5%. Kesesuaian yang sangat rendah ini dapat disebabkan oleh SNI tidak mensyaratkan kadar kromium. Produk yang mengandung kromium didaftarkan pada tahun Ada sebuah studi di Amerika Serikat yang mengamati pertumbuhan anak malnutrisi yang diberikan kromium dibandingkan dengan yang tidak diberikan kromium. Hasil studi menunjukkan bahwa kelompok anak yang diberikan kromium memiliki pertambahan berat badan yang signifikan. Hal ini yang 94

72 menyebabkan Codex mensyaratkan kadar kromium untuk formula medis khusus bagi bayi. 3. Molibdenum Data karakteristik mengenai kadar molibdenum diperoleh dari 20 produk formula bayi, yang merupakan formula medis khusus bagi bayi. Jumlah total produk formula medis khusus bagi bayi yang terdaftar adalah 20. Hanya produk nomor 38 yang mengandung kromium dengan jumlah 3,0 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk nomor 38 juga merupakan satu-satunya produk medis khusus yang mengandung kromium. Sehingga masih ada 20 produk yang tidak mengandung molibdenum. Karakteristik mengenai kadar molibdenum dipersyaratkan di Standar Codex bagi formula untuk keperluan medis khusus bagi bayi. Standar Codex mensyaratkan kadar molibdenum formula bayi tidak kurang dari 1,5 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa dari 20 produk jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 1 atau 5%. Kesesuaian yang sangat rendah ini dapat disebabkan oleh SNI tidak mensyaratkan kadar molibdenum. Produk yang mengandung molibdenum didaftarkan pada tahun Dosis rendah molibdenum diduga diperlukan untuk kemampuan detoksifikasi secara efektif komponen xenobiotik. Molibdenum hidroksilase dapat membantu metabolisme obat dan komponen asing. d. Ingredien lainnya 1. Kolin Data karakteristik mengenai kadar kolin diperoleh dari 52 produk formula bayi. Terdapat 2 produk yang tidak mengandung kolin dan nilai ini dipetakan sebagai 0 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar kolin formula bayi masing-masing adalah 0; 24; dan 5,28 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar kolin formula bayi ditampilkan pada 95

73 Gambar 73. Produk nomor 10,11, dan 42 tidak mengandung kolin. Produk nomor 1 mengandung kolin sebanyak 5 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Gambar 73. Profil kadar kolin formula bayi (n = 52) Standar Codex mensyaratkan kadar kolin formula bayi tidak kurang dari 7 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas sebesar 50 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 48 atau 92%. Kesesuaian ini tergolong tinggi, meskipun kadar kolin tidak dipersyaratkan di SNI. Kolin telah ditambahkan pada produk yang didaftarkan pada tahun Badan POM menggolongkan kolin sebagai vitamin B kompleks. Kolin berfungsi dalam integritas struktur dan fungsi signal dari membran sel. Sphingomyelin merupakan salah satu bentuk kolin - fosfolipid yang dapat memperkuat fungsi transfer signal syaraf otak. Suplementasi kolin bagi bayi dalam kandungan dapat meningkatkan fungsi belajar, ingatan, dan menurunkan stres saat terekspos alkohol. Dari total 52 produk diketahui bahwa 16 atau 31% produk diantaranya memiliki nilai kadar kolin pada kisaran mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar kolin formula bayi ditampilkan pada Gambar

74 Gambar 74. Sebaran kadar kolin formula bayi (n = 52) 2. Mio inositol Data karakteristik mengenai kadar mio inositol diperoleh dari 52 produk formula bayi. Terdapat 6 produk yang tidak mengandung mio-inositol dan nilai ini dipetakan sebagai 0 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar mio inositol formula bayi masing-masing adalah 0; 21; dan 3,56 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar mio inositol formula bayi ditampilkan pada Gambar 75. Produk nomor 10,11, 29, 30, 36, tidak mengandung inositol. Gambar 75. Profil kadar mio inositol formula bayi (n = 52) 97

75 Standar Codex mensyaratkan kadar mio inositol formula bayi tidak kurang dari 4 mg/100 kkal produk siap konsumsi dan acuan batas atas 40 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 39 atau 87%. Kesesuaian ini tergolong tinggi, meskipun kadar mio inositol tidak dipersyaratkan di SNI. Mio inositol telah ditambahkan pada produk yang didaftarkan pada tahun Mio inositol merupakan karboksilik poliol, dulu digolongkan sebagai vitamin B8 tapi kemudian ditemukan bahwa inositol dapat disintesis tubuh sehingga dikeluarkan dari kelompok vitamin. Badan POM menggolongkan mio inositol dalam kelompok vitamin B kompleks. Mio inositol berperan sebagai basis penyusun pengirim pesan dan dalam pemeliharaan membran sel (Anonim ). Dari total 52 produk diketahui bahwa 35 atau 67% produk diantaranya memiliki nilai kadar mio inositol pada kisaran 5-8 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar mio inositol formula bayi ditampilkan pada Gambar 76. Gambar 76. Sebaran kadar mio inositol formula bayi (n = 52) 3. L-karnitin Data karakteristik mengenai kadar l-karnitin diperoleh dari 52 produk formula bayi. Terdapat 27 produk yang tidak mengandung l-karnitin dan nilai ini dipetakan sebagai 0 mg/100 kkal produk siap 98

76 konsumsi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar l-karnitin formula bayi masing-masing adalah 0; 3; dan 1,05 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar l-karnitin formula bayi ditampilkan pada Gambar 77. Gambar 77. Profil kadar l-karnitin formula bayi (n = 52) Standar Codex mensyaratkan kadar l-karnitin formula bayi tidak kurang dari 1,2 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 25 atau 48%. Kesesuaian ini dapat disebabkan oleh SNI yang tidak mengatur kadar l-karnitin. Pada tahun 2004 hanya 1 produk yang menambahkan l-karnitin. Pada tahun 2005 jumlah produk yang menambahkan l-karnitin menjadi 5. Dari total 52 produk diketahui bahwa 27 atau 52% produk diantaranya memiliki nilai kadar l-karnitin sebesar 0,00-0,68 mg/100 kkal produk siap konsumsi, seluruh produk tersebut tidak mengandung l-karnitin. Sebaran nilai kadar l-karnitin formula bayi ditampilkan pada Gambar Taurin Data karakteristik mengenai kadar taurin diperoleh dari 52 produk formula bayi. Produk nomor 10, 33, 42, dan 54 tidak 99

77 mengandung taurin dan nilai ini dipetakan sebagai 0 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar taurin formula bayi masing-masing adalah 0; 12; dan 2,43 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar taurin formula bayi ditampilkan pada Gambar 79. Gambar 78. Sebaran kadar l-karnitin formula bayi (n = 52) Gambar 79. Profil kadar taurin formula bayi (n = 52) Standar Codex mensyaratkan kadar taurin formula bayi tidak lebih dari 12 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 diketahui bahwa 100% produk sesuai 100

78 Standar Codex. Kesesuaian ini tergolong sangat tinggi. Meskipun SNI tidak mensyaratkan kadar taurin, produk pendaftaran tahun 2004 telah banyak yang ditambahkan taurin. Dari total 52 produk diketahui bahwa 30 atau 58% produk memiliki nilai kadar taurin 6 7 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Sebaran nilai kadar taurin formula bayi ditampilkan pada Gambar 80. Gambar 80. Sebaran kadar taurin formula bayi (n = 52) 5. Nukleotida Data karakteristik mengenai kadar nukleotida diperoleh dari 52 produk formula bayi. Terdapat 38 produk yang tidak mengandung nukleotida dan nilai ini dipetakan sebagai 0 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar nukleotida formula bayi masing-masing adalah 0; 21; dan 5,79 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar nukleotida formula bayi ditampilkan pada Gambar 81. Standar Codex mensyaratkan kadar nukleotida formula bayi ditambahkan sesuai prinsip Cara Produksi Pangan yang Baik. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 14 produk menambahkan nukleotida, dan 100% sesuai Standar Codex. Pada tahun 2004 hanya 1 produk yang menambahkan nukleotida. Pada tahun 2005 jumlah produk yang menambahkan nukleotida bertambah banyak. 101

79 Gambar 81. Profil kadar nukleotida formula bayi (n = 52) Nukleotida yang terlalu banyak dapat meningkatkan risiko infeksi jaringan pernapasan. Nukleotida merupakan komponen penyusun DNA dan RNA. Bentuk nukleotida antaralain ADP (adenosin trifosfat), NAD (nikotin adenin dinukleotida), dan FAD (flavin adenin dinukleotida). Dari total 52 produk diketahui bahwa 39 atau 75% produk diantaranya memiliki nilai kadar nukleotida pada kisaran 0-2,2 mg/100 kkal produk siap konsumsi, dengan 38 produk tidak mengandung nukleotida. Sebaran kadar nukleotida formula bayi ditampilkan pada Gambar 82. Gambar 82. Sebaran kadar nukleotida formula bayi (n = 52) 102

80 6. DHA Data karakteristik mengenai kadar DHA diperoleh dari 52 produk formula bayi. Terdapat 22 produk yang tidak mengandung DHA dan nilai ini dipetakan sebagai 0 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 52 produk formula bayi diketahui bahwa 30 produk menambahkan DHA. Dari data tersebut diketahui bahwa nilai minimum, maksimum, dan simpangan baku untuk kadar DHA formula bayi masing-masing adalah 0; 21; dan 5,79 mg/100 kkal produk siap konsumsi. Profil kadar DHA formula bayi ditampilkan pada Gambar 83. Gambar 83. Profil kadar DHA formula bayi (n = 52) Standar Codex tidak mewajibkan penambahan DHA, jika ditambahkan maka kadarnya memiliki acuan batas atas sebesar 0,5% asam lemak/100 kkal. Dari total 52 produk 25 atau 48% produk mengandung DHA 0-0,08 % total lemak, termasuk diantaranya 22 produk yang tidak mengandung DHA. Produk yang mencantumkan klaim DHA terdiri dari produk dengan kadar DHA 0,04 0,32 % total lemak. Sebaran kadar DHA pada produk formula bayi dibandingkan dengan acuan batas atas Standar Codex ditampilkan pada Gambar 84. DHA telah banyak ditambahkan pada produk dengan tahun pendaftaran Meskipun sampai saat ini SNI tidak mengatur 103

81 penambahan DHA. DHA merupakan asam lemak esensial di otak dan mata. Gambar 84. Sebaran kadar DHA formula bayi (n=52) 7. Fluorida Data karakteristik mengenai kadar fluorida diperoleh dari 52 produk formula bayi. Dari data yang dikumpulkan diperoleh hasil bahwa 1 produk memiliki kadar fluorida sebesar 6 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Produk yang mengandung fluorida adalah produk dengan tahun pendaftaran Standar Codex tidak mewajibkan penambahan fluorida, jika ditambahkan, maka kadar fluorida formula bayi tidak kurang dari 100 µg/100 kkal produk siap konsumsi. Berdasarkan hasil penelitian dari total 1 produk yang mengandung fluorida diketahui bahwa jumlah produk sesuai Standar Codex adalah 1 atau 100%. C. Evaluasi kesesuaian produk formula bayi terhadap persyaratan SNI dan Standar Codex Evaluasi dilakukan dengan membandingkan nilai setiap karakteristik dari suatu produk dengan nilai yang ditetapkan oleh standar. Setiap karakteristik diberikan bobot yang sama. Sehingga dapat diketahui kesesuaian produk terhadap standar. Suatu produk dikatakan memiliki kesesuaian 100% terhadap SNI atau Standar Codex apabila semua nilai karakteristik pada produk tersebut sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh SNI atau Standar Codex. Sedangkan suatu produk dikatakan memiliki kesesuaian 0% terhadap SNI atau Standar Codex apabila tidak ada nilai karakteristik pada produk tersebut yang sesuai dengan nilai yang ditetapkan SNI atau Standar Codex. 104

82 Karakteristik yang ditetapkan oleh SNI dan Standar Codex digolongkan menjadi karakteristik keamanan, gizi, dan mutu. Karakteristik keamanan terdiri dari cemaran biologi dan kimia. Karakteristik gizi terdiri dari kadar zat gizi makro, dan mikro (vitamin dan mineral). Karakteristik mutu terdiri dari cemaran biologi, cemaran kimia, kadar zat gizi makro, dan kadar zat gizi mikro. Untuk produk yang tidak dilengkapi dengan data suatu karakteristik yang dipersyaratkan oleh standar, maka karakteristik tersebut dinyatakan tidak sesuai standar. Jenis dan nilai persyaratan yang diatur oleh SNI dan Standar Codex tidak sama, oleh sebab itu evaluasi kesesuaian produk terhadap SNI dilakukan secara terpisah dengan evaluasi kesesuaian produk terhadap Standar Codex. Evaluasi kesesuaian dilakukan terhadap 57 produk formula bayi, yang terdiri dari 28 produk yang dibuat di dalam negeri (produk domestik) dan 29 produk yang dibuat di luar negeri (impor). Tabel hasil evaluasi kesesuaian setiap produk terhadap SNI ditampilkan pada Lampiran 10. Tabel hasil evaluasi kesesuaian setiap produk terhadap Standar Codex ditampilkan pada Lampiran 11. Untuk dapat melihat peta sebaran kesesuaian produk terhadap standar maka kesesuaian produk dibagi kedalam 5 (lima) tingkatan, yaitu 0 20%, 21 40%, 41 60%, 61 80%, dan %. Tingkat kesesuaian paling tinggi adalah %. Tingkat kesesuaian paling rendah adalah 0 20%. 1. Kesesuaian produk terhadap SNI a. Karakteristik keamanan Karakteristik keamanan yang dipersyaratkan oleh SNI adalah nilai ALT, nilai APM bakteri koliform, jumlah bakteri Staphyloccocus aureus, jumlah bakteri Salmonella dan Shigella, kadar arsen, kadar timbal, residu pestisida, residu hormon dan antibiotika, dan kadar bahan aktif. Dari hasil evaluasi kesesuaian karakteristik keamanan produk diketahui bahwa kesesuaian tertinggi adalah 67% dan kesesuaian terendah adalah 0%. Tingkat kesesuaian karakteristik keamanan produk yang memiliki jumlah produk paling banyak adalah 21 40%. Hal ini disebabkan oleh sebagian produk daftar ulang tidak memberikan hasil uji produk akhir, hasil pengujian residu pestisida, residu hormon 105

83 dan antibiotik hanya diberikan oleh 1 produk, dan tidak ada produk yang memberikan hasil pengujian kadar bahan aktif. Grafik sebaran kesesuaian karakteristik keamanan produk terhadap SNI dapat dilihat pada Gambar 85. Gambar 85. Sebaran kesesuaian karakteristik keamanan produk terhadap SNI (n = 57) b. Karakteristik gizi Karakteristik gizi yang dipersyaratkan oleh SNI adalah kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B6, asam folat, asam pantotenat, vitamin B12, biotin, vitamin C, natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfor, rasio kalsium dan fosfor, magnesium, zat besi, iodium, seng, tembaga, dan mangan. Dari hasil evaluasi kesesuaian karakteristik gizi produk diketahui bahwa kesesuaian tertinggi adalah 100% dan kesesuaian terendah adalah 0%. Tingkat kesesuaian 0% adalah produk nomor 6, 8, 14, 20 dan 22 yang pada berkasnya tidak ada contoh label yang disetujui. Tingkat kesesuaian yang memiliki jumlah produk paling banyak adalah %. Grafik sebaran kesesuaian karakteristik gizi produk terhadap SNI dapat dilihat pada Gambar 86. Kesesuaian karakteristik keamanan produk terhadap SNI lebih tinggi daripada karakteristik gizi, karena dalam proses pendaftaran regulasi teknis yang digunakan oleh BPOM memiliki persyaratan zat gizi yang 106

84 sama dengan SNI. Sementara persyaratan cemaran biologi dan kimia pada regulasi teknis BPOM tidak sama dengan persyaratan SNI. Gambar 86. Sebaran kesesuaian karakteristik gizi produk terhadap SNI (n = 57) c. Karakteristik mutu Dari hasil evaluasi kesesuaian mutu produk terhadap SNI diketahui bahwa kesesuaian tertinggi adalah 94% dan kesesuaian terendah adalah 19%. Produk dengan kesesuaian tertinggi adalah produk nomor 60. Produk dengan kesesuaian tertinggi merupakan produk yang diproduksi di dalam negeri dan merupakan produk formula bayi biasa. produsennya. produk yang termahal. Produk ini merupakan produk unggulan dari Dari segi harga, produk nomor 60 bukan merupakan Produk dengan kesesuaian terendah adalah produk nomor 20. Ini merupakan produk maklon yang diproduksi di dalam negeri. Produk dengan kesesuaian terendah bukan produk dengan harga terendah. Tingkat kesesuaian mutu produk terhadap SNI yang memiliki jumlah produk paling banyak adalah pada Grafik sebaran kesesuaian mutu produk terhadap SNI yang dibagi dalam 5 tingkatan dapat dilihat pada Gambar 87. Pada Gambar 88 dapat dilihat sebaran kesesuaian mutu produk domestik dan impor terhadap SNI. Dari Gambar 90 terlihat bahwa kesesuaian mutu produk domestik dan impor terhadap SNI tidak jauh 107

85 berbeda. Kesesuaian dengan jumlah produk terbanyak untuk produk domestik dan impor adalah %. Gambar 87. Sebaran persentase kesesuaian mutu produk terhadap SNI (n=57) Gambar 88. Sebaran persentase kesesuaian mutu produk domestik dan impor terhadap SNI (n=57) 2. Kesesuaian produk terhadap Standar Codex a. Karakteristik keamanan Karakteristik keamanan yang dipersyaratkan oleh Standar Codex adalah jumlah bakteri Salmonella, dan jumlah bakteri Enterobacter sakazakii. timbal, residu pestisida, dan bahan aktif yang mempunyai efek farmakologi. Dari hasil evaluasi kesesuaian karakteristik keamanan produk terhadap Standar Codex diketahui bahwa 108

86 kesesuaian tertinggi adalah 80% dan kesesuaian terendah adalah 0%. Hal ini disebabkan antara lain oleh sebagian produk daftar ulang tidak memberikan hasil uji produk akhir, hasil pengujian residu pestisida hanya diberikan oleh 1 produk, tidak ada produk yang memberikan hasil pengujian kadar bahan aktif. Tingkat kesesuaian dengan jumlah produk paling banyak adalah 21 40%. Grafik sebaran kesesuaian produk yang sesuai keamanan produk terhadap Standar Codex dapat dilihat pada Gambar 89. b. Karakteristik gizi Karakteristik gizi yang dipersyaratkan oleh Standar Codex adalah kadar vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B6, asam folat, asam pantotenat, vitamin B12, biotin, vitamin C, natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfor, rasio kalsium dan fosfor, magnesium, zat besi, iodium, seng, tembaga, mangan, selenium, kromium, dan molibdenum. Dari hasil evaluasi kesesuaian karakteristik gizi produk terhadap Standar Codex diketahui bahwa kesesuaian tertinggi adalah 100% dan kesesuaian terendah adalah 0%. Tingkat kesesuaian 0% adalah produk nomor 6, 8, 14, 20 dan 22 yang pada berkasnya tidak ada contoh label yang disetujui. Gambar 89. Sebaran kesesuaian karakteristik keamanan produk terhadap Standar Codex (n = 57) 109

87 Tingkat kesesuaian dengan jumlah produk paling banyak adalah %. Grafik sebaran kesesuaian karakteristik gizi produk terhadap Standar Codex dapat dilihat pada Gambar 90. Gambar 90. Sebaran kesesuaian karakteristik gizi produk terhadap standar Codex (n = 57) c. Karakteristik mutu Dari hasil evaluasi kesesuaian mutu produk terhadap Standar Codex diketahui bahwa kesesuaian tertinggi adalah 87% dan kesesuaian terendah adalah 15%. Produk dengan kesesuaian tertinggi adalah produk nomor 18, 45, 66, dan 75. Seluruhnya merupakan produk untuk keperluan medis khusus bagi bayi. Produk ini terdiri dari produk dalam dan luar negeri. Dari segi harga produkproduk ini bukan merupakan produk yang paling mahal. Produk dengan kesesuaian terendah adalah produk nomor 20. Ini adalah produk yang memiliki kesesuaian terendah juga terhadap SNI. Ini merupakan produk maklon yang diproduksi di dalam negeri. Tingkat kesesuaian yang memiliki jumlah produk paling banyak adalah 61 80%. Grafik sebaran tingkatan kesesuaian mutu produk terhadap Standar Codex dapat dilihat pada Gambar 91. Jumlah produk dengan tingkat kesesuaian % terhadap Standar Codex adalah 18, nilai ini lebih kecil dari pada jumlah produk dengan tingkat kesesuaian yang sama terhadap SNI. Ini berarti 110

88 tingkat kesesuaian mutu produk terhadap SNI lebih tinggi daripada terhadap Standar Codex. Gambar 91. Sebaran kesesuaian mutu produk terhadap Standar Codex (n = 57) Dari total 57 produk yang dianalisis, jumlah produk yang diproduksi di dalam negeri (domestik) adalah 28 dan jumlah produk yang diproduksi di luar negeri (impor) adalah 29. Pada Gambar 92 dapat dilihat sebaran kesesuaian mutu produk domestik dan impor terhadap Standar Codex. Dari Gambar 92 terlihat bahwa pada tingkat kesesuaian % jumlah produk domestik lebih banyak daripada produk impor. Pada tingkat kesesuaian kesesuaian mutu 61 80% jumlah produk impor lebih banyak daripada produk domestik. Gambar 92. Sebaran kesesuaian mutu produk MD dan ML terhadap Standar Codex (n = 57) 111

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Nasional Indonesia Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan disasi Nasional dan berlaku secara nasional (Pemerintah RI 2000). adalah spesifikasi teknis

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.480,2014 BADAN POM. Formula Bayi. Pengawasan. Keperluan Medis. Khusus. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.480,2014 BADAN POM. Formula Bayi. Pengawasan. Keperluan Medis. Khusus. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.480,2014 BADAN POM. Formula Bayi. Pengawasan. Keperluan Medis. Khusus. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.52.08.11.07235 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN FORMULA

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN 7 2013, No.709 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN PERSYARATAN KEAMANAN, MUTU DAN GIZI FORMULA PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

2011, No BAB 9 FORMAT

2011, No BAB 9 FORMAT 5 LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.23.11.11. TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.06.51.0475

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR MUTU GIZI, PELABELAN, DAN PERIKLANAN SUSU FORMULA PERTUMBUHAN DAN FORMULA PERTUMBUHAN ANAK USIA 1-3 TAHUN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.11.11.09605 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.06.51.0475 TAHUN 2005 TENTANG

Lebih terperinci

PERSYARATAN KEAMANAN, MUTU DAN GIZI FORMULA LANJUTAN. 1.1 Ketentuan ini berlaku untuk Formula Lanjutan dalam bentuk cair atau bubuk.

PERSYARATAN KEAMANAN, MUTU DAN GIZI FORMULA LANJUTAN. 1.1 Ketentuan ini berlaku untuk Formula Lanjutan dalam bentuk cair atau bubuk. 7 LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA LANJUTAN PERSYARATAN KEAMANAN, MUTU DAN GIZI FORMULA LANJUTAN 1. Ruang Lingkup

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA PERTUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.52.08.11.07235 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN FORMULA BAYI DAN FORMULA BAYI UNTUK KEPERLUAN MEDIS KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2013, No.710 6

2013, No.710 6 6 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN MINUMAN KHUSUS IBU HAMIL DAN/ATAU IBU MENYUSUI PERSYARATAN KEAMANAN, MUTU DAN GIZI

Lebih terperinci

PENGAWASAN FORMULA BAYI DAN FORMULA BAYI UNTUK KEPERLUAN MEDIS KHUSUS

PENGAWASAN FORMULA BAYI DAN FORMULA BAYI UNTUK KEPERLUAN MEDIS KHUSUS PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.1.52.3920 TENTANG PENGAWASAN FORMULA BAYI DAN FORMULA BAYI UNTUK KEPERLUAN MEDIS KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA LANJUTAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA LANJUTAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN FORMULA LANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa masyarakat

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN MINUMAN KHUSUS IBU HAMIL DAN/ATAU IBU MENYUSUI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI)

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 224/Menkes/SK/II/2007 TENTANG SPESIFIKASI TEKNIS MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP-ASI) MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang panjang sudah lama dikenal di Indonesia, tetapi bukan tanaman asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini tumbuh dan menyebar

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG ACUAN LABEL GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

INFORMASI NILAI GIZI

INFORMASI NILAI GIZI Format Informasi Nilai Gizi untuk pangan yang biasa dikombinasikan dengan pangan lain sebelum dikonsumsi INFORMASI NILAI GIZI Takaran saji. (URT) ( g) Jumlah Sajian per Kemasan :. JUMLAH PER SAJIAN Sereal

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PENGADAAN BARANG PROYEK PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT TAHUN 2011 UNTUK BALITA KURANG GIZI

SPESIFIKASI PENGADAAN BARANG PROYEK PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT TAHUN 2011 UNTUK BALITA KURANG GIZI SPESIFIKASI PENGADAAN BARANG PROYEK PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT TAHUN 2011 UNTUK BALITA KURANG GIZI Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) untuk balita dengan berat badan di bawah standart dalam bentuk

Lebih terperinci

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR PENGUJIAN BAHAN PANGAN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR PENGUJIAN BAHAN PANGAN No. BAK/TBB/BOG311 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2010 Hal 1 dari 9 BAB III ACUAN LABEL GIZI Jika kita membeli produk makanan atau minuman di supermarket, seringkali Informasi Nilai Gizi yang tercetak pada kemasan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2013 TENTANG ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN BAGI BANGSA INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2013 TENTANG ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN BAGI BANGSA INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2013 TENTANG ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN BAGI BANGSA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011 SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011 DIREKTUR STANDARDISASI PRODUK PANGAN BADAN POM RI 1 Maret 2012 1 LIST PERATURAN 1. Peraturan Kepala Badan POM No.HK.03.1.23.11.11.09605 Tahun 2011

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PRODUK SUPLEMENTASI GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PRODUK SUPLEMENTASI GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PRODUK SUPLEMENTASI GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga mampu

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga mampu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini merupakan kontribusi dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:HK TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:HK TENTANG NOMOR:HK.00.05.5.1142 TENTANG ACUAN PENCANTUMAN PERSENTASE ANGKA KECUKUPAN GIZI PADA LABEL PRODUK PANGAN RI, Menimbang : a. bahwa pangan yang disertai pernyataan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: HK TENTANG PENGAWASAN PANGAN OLAHAN ORGANIK

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: HK TENTANG PENGAWASAN PANGAN OLAHAN ORGANIK PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR: HK.00.06.52.0100 TENTANG PENGAWASAN PANGAN OLAHAN ORGANIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI, Menimbang

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

LOGO VITAMIN DAN MINERAL

LOGO VITAMIN DAN MINERAL LOGO VITAMIN DAN MINERAL Widelia Ika Putri, S.T.P., M.Sc Vitamin - Zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil - Pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh - Zat pengatur pertumbuhan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Peningkatan Volume. Batas Maksimum.

BERITA NEGARA.  BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Peningkatan Volume. Batas Maksimum. No.680, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Peningkatan Volume. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Peneltian.

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Peneltian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Peneltian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat

Lebih terperinci

8.9 VITAMIN, MINERAL DAN ZAT GIZI LAIN

8.9 VITAMIN, MINERAL DAN ZAT GIZI LAIN 8.9 VITAMIN, MINERAL DAN ZAT GIZI LAIN 8.9.1 Ketentuan tentang pencantuman vitamin, mineral dan zat gizi lain mengikuti ketentuan tentang pencantuman zat gizi yang berada dalam kelompok tersebut. 8.9.2

Lebih terperinci

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Bagian 2 : Biskuit

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Bagian 2 : Biskuit Standar Nasional Indonesia Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Bagian 2 : Biskuit ICS 67.230 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Secara garis besar, bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan bahan pangan. Kandungan gizi yang ada pada ikan sangatlah

Lebih terperinci

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Bagian 1 : Bubuk Instan

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Bagian 1 : Bubuk Instan Standar Nasional Indonesia Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Bagian 1 : Bubuk Instan ICS 67.230 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gizi selama Kehamilan dan Menyusui

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gizi selama Kehamilan dan Menyusui II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gizi selama Kehamilan dan Menyusui Salah satu faktor di antara sekian banyak yang mempengaruhi keberhasilan suatu kehamilan adalah gizi. Status gizi ibu hamil salah satunya berpengaruh

Lebih terperinci

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK. Oleh : Titian Rahmad S. H

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK. Oleh : Titian Rahmad S. H MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK Oleh : Titian Rahmad S. H0506010 JURUSAN/PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 MINERAL Mineral merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengental. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengental. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.554, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengental. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Produk 2.1.1 Susu Kita mengenal beberapa bahan makanan yang mengandung sedikit atau tidak sama sekali bagian-bagian yang sangat diperlukan (vital) untuk tubuh kita. Dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISIS KANDUNGAN GIZI BERDASARKAN STUDI LITERATUR Studi literatur ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya mengenai empat jenis produk yang diproduksi PT.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI )

TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI ) TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI ) Sebagai acuan bagi produsen pangan dalam memproduksi MP-ASI, Indonesia telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang MP-ASI yang terdiri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis dan Takaran Saji Minuman Komersial Minuman komersial yang digunakan sebagai sampel pada peneilitian ini merupakan minuman komersial yang pada awalnya merupakan minuman yang sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suplemen berfungsi sebagai pelengkap bila kebutuhan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. Suplemen berfungsi sebagai pelengkap bila kebutuhan gizi yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suplemen berfungsi sebagai pelengkap bila kebutuhan gizi yang disuplai dari makanan pokok tidak terpenuhi. Suplemen di pasaran dapat dibedakan berdasarkan kategori penggunaannya,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN Analisis Perilaku Konsumen dalam Proses Keputusan Pembelian Produk Susu untuk Batita (1-3 Tahun) Merek Dancow Batita Nama/NRP : Pagitta Puteri Fabiola/A103043

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu yang baru keluar dari kelenjar mamae melalui proses pemerahan merupakan suatu sumber bahan pangan yang murni, segar, higienis, bergizi, serta mengandung sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fosfor 40 mg; dan menghasilkan energi 30 kalori (Tarmizi, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. fosfor 40 mg; dan menghasilkan energi 30 kalori (Tarmizi, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonium L.) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang dikembangkan dan memiliki prospek yang bagus serta memiliki kandungan gizi yang berfungsi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Metode

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Metode BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Jakarta selama delapan bulan sejak bulan Agustus 2007 sampai dengan Maret 2008. Data awal diperoleh dari Direktorat Penilaian Keamanan Pangan Badan

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR: HK.00.05.52.6291 TENTANG KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN RI, Menimbang : Mengingat : a. b. c. d. 1. bahwa

Lebih terperinci

Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan

Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN BERBAHAYA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA 2005 Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label PENDAHULUAN Latar Belakang Label merupakan salah satu alat komunikasi untuk menyampaikan sebuah informasi produk agar mudah dipahami oleh konsumen. Label yang disusun secara baik akan memudahkan konsumen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan tubuh yang memiliki dua bentuk yaitu padat dan cair. Pangan merupakan istilah

Lebih terperinci

TELUR ASIN PENDAHULUAN

TELUR ASIN PENDAHULUAN TELUR ASIN PENDAHULUAN Telur asin,merupakan telur itik olahan yang berkalsium tinggi. Selain itu juga mengandung hampir semua unsur gizi dan mineral. Oleh karena itu, telur asin baik dikonsumsi oleh bayi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.802, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Antioksidan. Batas Maksmum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengatur Keasaman. Batas Maksimum.

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengatur Keasaman. Batas Maksimum. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.547, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengatur Keasaman. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KONSEP ILMU GIZI DAN PENGELOMPOKAN ZAT-ZAT GIZI. Fitriana Mustikaningrum S.Gz., M.Sc

KONSEP ILMU GIZI DAN PENGELOMPOKAN ZAT-ZAT GIZI. Fitriana Mustikaningrum S.Gz., M.Sc KONSEP ILMU GIZI DAN PENGELOMPOKAN ZAT-ZAT GIZI Fitriana Mustikaningrum S.Gz., M.Sc Tujuan Pembelajaran Mengetahui ruang lingkup gizi Mengetahui hubungan gizi dengan kesehatan Mengetahui Pengelompokan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Garam Pengemulsi. Batas Maksimum.

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Garam Pengemulsi. Batas Maksimum. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.555, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Garam Pengemulsi. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum. A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum. A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum A. Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan Q1 Apakah iklan pangan yang dievaluasi menggunakan kata-kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan.

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan peternakan dimasa mendatang bertujuan untuk mewujudkan peternakan yang modern, efisien, mandiri mampu bersaing dan berkelanjutan sekaligus dapat memberdayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vitamin dan mineral, sayuran juga menambah ragam, rasa, warna dan tekstur

BAB I PENDAHULUAN. vitamin dan mineral, sayuran juga menambah ragam, rasa, warna dan tekstur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran segar adalah bahan pangan yang banyak mengandung vitamin dan mineral yang penting untuk tubuh (Ayu, 2002). Di samping sebagai sumber gizi, vitamin dan mineral,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga yang sehat merupakan kebahagian bagi kehidupan manusia. Hal ini memang menjadi tujuan pokok dalam kehidupan. Soal kesehatan ditentukan oleh makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi Susu pada saat remaja terutama

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi Susu pada saat remaja terutama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi Susu pada saat remaja terutama dimaksudkan untuk memperkuat tulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 2002, konsumsi kalsium di kalangan masyarakat baru mencapai rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. pada 2002, konsumsi kalsium di kalangan masyarakat baru mencapai rata-rata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan adalah salah satu faktor kehidupan yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut data Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes RI pada 2002, konsumsi kalsium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengembang. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengembang. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN No.550, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Pengembang. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif dr. Yulia Megawati Tenaga Kerja Adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat

BAB I PENDAHULUAN. Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat IX-xi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teh sarang semut merupakan salah satu jenis teh herbal alami yang terbuat dari bahan utama yaitu tumbuhan umbi yang digunakan oleh semut sebagai sarang sehingga

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.18,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Label dan Iklan. Pangan Olahan. Pengawasan Klaim. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan menggunakan tepung terigu, namun tepung terigu adalah produk impor. Untuk mengurangi kuota impor terigu tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan

BAB I PENDAHULUAN. akan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani siklus hidupnya membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Kebutuhan zat gizi bagi tubuh meliputi kebutuhan akan zat gizi makro dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya status ekonomi masyarakat dan banyaknya iklan produk-produk pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan seseorang. Salah satunya jenis komoditas pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT

PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT PANGAN LOKAL SEBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT Oleh : ENDANG SUPRIYATI, SE KETUA KWT MURAKABI ALAMAT: Dusun Kenteng, Desa Puntukrejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. APA YANG ADA dibenak dan PIKIRAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Sekuestran. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Sekuestran. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.557, 2013 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Bahan Tambahan Pangan. Sekuestran. Batas Maksimum. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DARI ANAK TAMAN KANAK-KANAK TERHADAP PEMILIHAN MULTIVITAMIN DI KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DARI ANAK TAMAN KANAK-KANAK TERHADAP PEMILIHAN MULTIVITAMIN DI KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA i HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DARI ANAK TAMAN KANAK-KANAK TERHADAP PEMILIHAN MULTIVITAMIN DI KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : NATHALIA YULI INDAH PERMATASARI K100040053

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman anggota kacang-kacangan yang memiliki kandungan protein nabati yang paling tinggi jika dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN. karena kandungan gizi yang ada didalamnya. Susu merupakan sumber protein,

1. BAB I PENDAHULUAN. karena kandungan gizi yang ada didalamnya. Susu merupakan sumber protein, 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu adalah bahan makanan yang memiliki peran penting bagi manusia karena kandungan gizi yang ada didalamnya. Susu merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat

Lebih terperinci

Keterangan mengenai takaran saji merupakan informasi pertama yang tercantum dalam format Informasi Nilai Gizi.

Keterangan mengenai takaran saji merupakan informasi pertama yang tercantum dalam format Informasi Nilai Gizi. 5.1 TAKARAN SAJI Keterangan mengenai takaran saji merupakan informasi pertama yang tercantum dalam format Informasi Nilai Gizi. 5.1.1 Pengertian a. Takaran saji adalah jumlah produk pangan yang biasa dikonsumsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tetapi belum meluas pembudidayaannya.

BAB I PENDAHULUAN. dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tetapi belum meluas pembudidayaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran yang sudah lama dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tetapi belum meluas pembudidayaannya. Salah satu alasan

Lebih terperinci

Gambar 1. Cara penggunaan alat pemeras madu. Gambar 2. Alat Pemeras madu. Gambar 3. Alat Penyaring madu Gambar 4. Ruang pengolahan madu 70 %

Gambar 1. Cara penggunaan alat pemeras madu. Gambar 2. Alat Pemeras madu. Gambar 3. Alat Penyaring madu Gambar 4. Ruang pengolahan madu 70 % BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengabdian yang telah dilakukan yaitu pembuatan alat pemeras madu (Gambar 1 & 2) dan penyaring madu (Gambar 3). Pelaksanaan pembuatan ruang khusus pengolahan madu (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis DHA Kondisi analisis optimum kromatografi gas terpilih adalah dengan pemrograman suhu dengan suhu awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur pembangunan. Peningkatan kemajuan teknologi menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 :

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsumsi produk pangan hasil fermentasi semakin meningkat seiring berkembangnya bioteknologi. Produk-produk fermentasi dapat berbahan dari produk hewani maupun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Seiring dengan berkembangnya zaman, masyarakat semakin

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Seiring dengan berkembangnya zaman, masyarakat semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman dan makanan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia. Seiring dengan berkembangnya zaman, masyarakat semakin menyadari akan pentingnya mengkonsumsi makanan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Sampel dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan rentang usia 20-55 tahun. Menurut Hurlock (2004) rentang usia sampel penelitian ini dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu industri minuman yang dikemas dalam kantong plastik. Minuman

BAB I PENDAHULUAN. suatu industri minuman yang dikemas dalam kantong plastik. Minuman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Minuman serbuk instan adalah minuman yang diproduksi oleh suatu industri minuman yang dikemas dalam kantong plastik. Minuman tersebut dijual dan dapat ditemukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia 4. PEMBAHASAN Biskuit adalah salah satu makanan ringan yang disukai oleh masyarakat, sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk biskuit yang lebih sehat. Pembuatan biskuit ini menggunakan

Lebih terperinci

menyebabkan air dari cairan ekstraseluler masuk ke dalam sel, sehingga tekanan osmotik dari cairan ekstraseluler meningkat. Volume cairan, termasuk

menyebabkan air dari cairan ekstraseluler masuk ke dalam sel, sehingga tekanan osmotik dari cairan ekstraseluler meningkat. Volume cairan, termasuk MINERAL Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses

Lebih terperinci

Apakah Diet Makanan Saja Cukup Sebagai Obat Diabetes Alami?

Apakah Diet Makanan Saja Cukup Sebagai Obat Diabetes Alami? Apakah Diet Makanan Saja Cukup Sebagai Obat Diabetes Alami? Bicara tentang diabetes pasti juga perlu membicarakan mengenai diet makanan bagi penderita diabetes. Diet makanan bagi penderita diabetes dapat

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes

GIZI DAUR HIDUP. Rizqie Auliana, M.Kes GIZI DAUR HIDUP Rizqie Auliana, M.Kes rizqie_auliana@uny.ac.id Pengantar United Nations (Januari, 2000) memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok

Lebih terperinci