BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak berkembang. Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Sugihastuti, 2007:173). Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

2 Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 meliputi: 1. Suami, istri, dan anak, 2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, 3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Sinar Grafika, 2009 : 3). Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan sebuah rumusan yang kemudian disinonimkan dengan penyiksaan terhadap istri, sehingga pada akhirnya banyak sekali penelitian yang kemudian difokuskan pada kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap istri bukanlah isu kekerasan biasa, melainkan sebuah gambaran mengenai relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan sebuah hubungan. Laki-laki mempertahankan otoritas didalam mengontrol, mendominasi, dan upaya lainnya sama seperti bagaimana laki-laki melakukannya dalam lingkup masyarakat ( Shinta & Bramanti, 2007: 35). Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisian perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan

3 mendapat perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya (Relawati, 2011: 95). Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial. Hal ini, membuat masyarakat menentukan batas-batas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan di anggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut (Luhulima, 2000 : 8). Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan persoalan besar yang ditandai oleh sikap diam dan tidak ada penyelesaian masalah. Hal ini terkait dengan nilai-nilai budaya yang melekat dalam konsep keluarga, bias bersumber dari ajaran agama, budaya dan mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Falsafah dalam suatu budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan menutup rapat aib keluarga seringkali menjadi alasan sebuah keluarga untuk tidak membuka persoalan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (Relawati, 2011: 14) Bentuk- Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Ada 4 bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu: 1. Kekerasan Fisik Menurut Pasal 6 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan fisik adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

4 Adapun klasifikasi lain dari kekerasan fisik yaitu; A. Kekerasan fisik berat 1. Cedera berat 2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari 3. Pingsan 4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati 5. Kehilangan salah satu panca indera. 6. Mendapat cacat. 7. Menderita sakit lumpuh. 8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih 9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan 10. Kematian korban. B. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: 1. Cedera ringan 2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat 3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat. 2. Kekerasan Psikis Menurut Pasal 7 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan psikis adalah sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

5 Adapun klasifikasi lain dari kekerasan Psikis yaitu; A. Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: 1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun. 2. Gangguan stres pasca trauma. 3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) 4. Depresi berat atau destruksi diri 5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya 6. Bunuh diri B. Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini: 1. Ketakutan dan perasaan terteror

6 2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak 3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual 4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis) 5. Fobia atau depresi temporer 3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape) seringkali terjadi tetapi dianggap tidak mungkin sehingga selalu diabaikan. Menurut Pasal 8 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan seksual yaitu: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Seksual yaitu; A. Kekerasan seksual berat, berupa: 1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. 2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. 3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

7 4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. 5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. 6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera. B. Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. C. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat. 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi mencakup penelantaran dalam rumah tangga dan juga mengakomodasi pelarangan bekerja yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Menurut Pasal 9 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan ekonomi meliputi: a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. b. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk

8 bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Ekonomi yaitu; A. Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa: 1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran. 2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya. 3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban. B. Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (Shinta & Bramanti, 2007: 12-16) Faktor- Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Secara Teoritis. Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli. Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dan kawan-kawan. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya

9 permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga. 2. Secara Empiris Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita (Shinta & Bramanti, 2007: 19-20). Setiap bentuk kekerasan mempunyai faktor penyebab yang dapat sama namun dapat pula berbeda. Kekerasan dalam Rumah Tangga secara umum terjadi karena ada faktor stress (tekanan) yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan pada orang lain. Stress banyak terjadi karena faktor ekonomi, psikologis, pola asuh semasa anak-anak dan lain-lain. Adapula penyebab terjadinya kekerasan justru karena adanya anggapan bahwa korban adalah pihak yang seharusnya boleh diperlakukan seperti kemauannya. Adapula faktor lain yang menyebabkan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu; 1. Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara

10 2. Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-aki harus kuat, berani serta tanpa ampun 3. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri 4. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan Penyebab yang khas dari Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah anggapananggapan gender, telah menjadi akibat yang khas pula terhadap korbannya. Para perempuan yang menjadi korban cendrung menyalahkan diri, merasa sebagai pihak yang telah lalai menjalankan kewajiban, merasa kotor dan tak berdaya. Pihak korban benar-benar menginternalisasi keyakinan-keyakinan umum bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan sehingga kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi. Korban menganggap bahwa pengalaman yang dialami bukan kekerasan, dan karenanya tidak pernah berusaha mengungkapkannya (Relawati, 2011: 14). 2.2 Advokasi dalam Rangka Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Pengertian Advokasi Advokasi (LBH Malang, 2008:7) adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial), Advokasi adalah upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pembelaan terhadap seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya.

11 Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap permasalahan yang diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut (sumber: diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul WIB). Sasaran advokasi dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu: a. Advokasi Kasus (case advocacy) Merupakan kegiatan yang dilakukan lembaga sosial untuk membantu klien agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan social yang telah menjadi haknya. Alasannya terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis atau kelompok professional terhadap klien dan klien sendiri tidak mampu merepon situasi tersebut dengan baik. Lembaga sosial berbicara, berargumen, dan bernegosiasi atas nama klien individual. Karenanya advokasi ini sering disebut dengan advokasi klien (client advokasi). Ada beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi klien, yaitu: 1. Yakinkan bahwa klien anda menginginkan anda menjadi advokatnya. Jangan terlibat dalam advokasi, jika anda tidak memiliki persetujuan secara eksplisit (tertulis) dengan klien anda dan klien anda memahami baik potensi manfaatnya maupun resikonya. Sedapat mungkin, libatkan klien dalam semua keputusan yang berkenaan dengan tindakan-tindakan yang akan anda ambil. 2. Sadarilah bahwa advokasi anda dapat merusak hubungan anda atau hubungan lembaga anda dengan lembaga atau profesional lainnya, dan rusaknya hubungan ini dapat menimbulkan masalah pada masa mendatang ketika anda

12 membutuhkan kerja sama mereka untuk melayani klien lainnya. Jangan menggunakan advokasi jika anda belum mencoba pendekatan dengan resiko yang lebih kecil atau kurang kemungkinannya untuk mempolarisasikan pihak-pihak yang terpengaruh. 3. Keputusan anda untuk memainkan peran sebagai advokat klien harus muncul sebagai keinginan tulus untuk memberikan pelayanan kepada klien anda dan bukan dari keinginan untuk menghukum atau memalukan lembaga atau keinginan untuk memperbesar diri. 4. Sebelum anda memilih taktik konfrontasi ini, yakinkan anda memahami fakta yag terjadi. Jangan keputusan anda didasarkan pada deskripsi sepihak tentang apa dan mengapa sesuatu terjadi. Sadarilah bahwa klien kadang-kadang dapat saja memiliki pemahaman atau interpretasi yang salah terhadap penjelasan yang diberikan oleh profesional dan perwakilan lembaga. Jangan mendasarkan rencana advokasi anda pada asumsi bahwa anda memahami kebijakan, prosedur, atau kriteria elektabilitas yang lain. Dapatkan faktanya sebelum anda memutuskan bagaimana untuk memulai atau meneruskan. 5. Bila anda memutuskan bahwa sebuah taktik advokasi diperlukan, aturlah sebuah pertemuan dengan lembaga atau perwakilan program yang tepat. Pertemuan wawan muka hampir selalu lebih efektif daripada telepon dan surat. Akan tetapi, sebuah surat yang menggambarkan situasi klien anda dan kepedulian anda mungkin diperlukan sebelum pertemuan wawan muka. Hormatilah rantai komando (misal, jangan meminta berbicara dengan supervisor sebelum anda berbicara dengan pekerja sosial lapangan yang sudah kontak dengan klien anda, jangan meminta berbicara dengan

13 administrator sebelum anda berbicara dengan supervisor untuk pekerja sosial lapangan). 6. Sebelum anda berbicara dengan wakil lembaga, tulislah (catat) dengan pasti apa yang akan anda katakan dan pertanyaan-pertanyaan yang akan anda tanyakan. Mulailah percakapan anda dengan meminta penjelasan secara santun, mengapa klien anda ditolak untuk mendapatkan pelayanan atau penyembuhan dengan cara seperti itu. Komunikasikan kepedulian atau kepentingan anda secara faktual dan jangan kasar, tetapi berbicaralah dengan nada yang menunjukkan perasaan yang kuat pada masalah tersebut. Buatlah rekaman tertulis tentang kepada siapa anda berbicara, posisi mereka dan respons mereka, serta waktu, tanggal dan tempat berkomunikasi. 7. Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga berkeinginan untuk memberikan pelayanan yang diminta oleh klien anda, tetapi tidak bisa karena persoalan teknis atau prosedural yang tidak masuk akal atau karena persyaratan kebijakan, mintalah informasi bagaimana keputusan tersebut dapat dipertimbangkan kembali dan kepada siapa anda dan klien anda harus berbicara. Tanyakanlah apakah administrator, anggota dewan pengurus, atau komisi legislatif mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh klien anda atau mungkin konsultasikan bagaimana masalah ini dapat dipecahkan. 8. Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga atau program pada faktanya mengancam klien anda dengan cara yang tidak adil dan tidak tepat, jelaskanlah bahwa jika masalah tersebut tidak dapat dipecahkan dan diperbaiki, anda akan membawa kepentingan anda tersebut pada mereka yang berada di rantai komando yang lebih tinggi atau membuat komplein formal.

14 Pertimbangkanlah untuk menggunakan ekspresi marah yang terukur untuk mendemonstrasikan pemecahan anda. 9. Jika tindakan lanjutan diperlukan, anda akan memerlukan nasihat hukum sebelum melanjutkan. Sebagai persiapan untuk naik banding atau komplain formal, anda akan memerlukan dokumentasi secara rinci tentang apa yang terjadi dan apa yang sudah dicoba, tahap demi tahap, untuk memecahkan masalah tersebut. Anda akan memerlukan nama, tanggal dan isi semua komunikasi dan salinan semua surat yang dikirimkan dan yang diterima. b. Advokasi kelas (class advocacy) Menunjuk pada kegiatan kegiatan atas nama kelas atau kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak hak warga dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan kesempatan. Focus advokasi kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan perubahan hukum dan kebijakan public pada tingkat lokal maupun nasional. Advokasi kelas melibatkan proses proses politik yang ditujukan untuk mempengaruhi keputusan keputusan pemerintah yang berkuasa. Pekerja social biasanya bertindak sebagai perwakilan sebuah organisasi, bukan sebagai praktisi mandiri. Advokasi kelas umumnya dilakukan melalui koalisi dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda sejalan. Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi kelas, yaitu: 1. Sadarilah bahwa advokasi dapat membantu dalam menciptakan perubahanperubahan yang diperlukan dalam hukum dan perundang-undangan, kebijakan dan program. Membuat perubahan adalah sulit, tetapi tidak mustahil. 2. Ingatlah bahwa anda tidak dapat melakukannya sendiri. Pekerja-pekerja sosial individual akan membutuhkan bekerja sama dengan yang lain. Sebuah

15 kelompok memiliki lebih banyak kekuatan daripada individual, dan beberapa organisasi yang bekerja sama memiliki lebih banyak kekuatan daripada satu organisasi yang bekerja sendiri. Bekerja dengan organisasi yang lain akan berarti bahwa organisasi anda sendiri harus membagi beberapa sumberdaya, membuat beberapa kompromi, dan mungkin melakukan sesuatu secara berbeda. Akan tetapi dalam jangka waktu panjang, organisasi anda akan mengerjakan lebih banyak sebagai bagian dari koalisi daripada bekerja sendiri. 3. Perbaikan-perbaikan banyak diperlukan dalam sistem pelayanan kemanusiaan kita. Jika anda tidak dapat mengerjakan segala sesuatu yang diperlukan, anda harus memutuskan yang mana yang harus diprioritaskan. Pilihlah perkara anda secara hati-hati. Jika anda atau organisasi anda mengambil beberapa perkara pada satu waktu, anda mungkin akan membaginya menjadi terlalu kecil. Lebih baik membuat perolehan yang nyata hanya dalam satu area daripada memperoleh secara minimal atau beberapa hal mengalami kegagalan sama sekali. 4. Juga penting untuk memilih sebuah perkara dimana kemungkinan untuk berhasilnya besar. Realistislah! Jangan buang-buang waktu dan enerji organisasi anda untuk perkara yang hilang. Pengalaman keberhasilan menimbulkan harapan dan perasaan kemungkinan adanya keberhasilan yang lain. Jika anggota-anggota sebuah organisasi dapat melihat bahkan keberhasilan sekecil apapun, mereka akan lebih menginginkan untuk menginvestasikan dirinya dalam upaya advokasi di masa mendatang. 5. Advokasi yang berhasil dibangun di atas fondasi analisis dan perencanaan yang hati-hati. Adalah penting untuk mendefinisikan apa yang anda lihat

16 sebagai suatu masalah dan kajian masalah secara cermat, sebelum anda memutuskan apa yang dilakukan untuk hal tersebut. Jangan memulai suatu usaha mengubah sesuatu sebelum anda mengetahui dengan pasti apa yang harus dirubah, mengapa harus dirubah, dan apa yang akan menyertai perubahan tersebut. 6. Sebelum anda bertindak, lakukan penilaian yang cermat tentang apa yang akan diperlukan berkenaan dengan waktu, enerji, uang, dan sumberdaya lainnya untuk mencapai tujuan anda. Apakah anda memiliki sumberdaya? Jika tidak, alangkah baiknya untuk menurunkan skala tujuan anda atau menunggu sampai anda terorganisasi secara lebih baik dan lebih mampu untuk mencapai tujuan anda. 7. Cobalah untuk memahami siapa yang menjadi oposan bagi anda. Akan selalu terdapat penolakan terhadap perubahan, dan analisis terhadap situasi akan mencakup pemahaman tentang mengapa ada penolakan. Advokat perlu kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam sepatu oponen (misalnya memiliki empati). Orang selalu memiliki alasan untuk menentang perubahan. Anda mungkin tidak setuju dengan alasannya, tetapi anda harus membuat mereka memahami bahwa anda sedang menggambarkan suatu cara untuk menanggulangi penolakan dengan berhasil. 8. Advokasi yang berhasil memerlukan kedisiplinan diri. Salah satu dari banyak kesalahan yang paling serius dilakukan seseorang dalam advokasi adalah bertindak impulsif. Jika itu terjadi, organisasi yang lain dalam koalisi kemungkinan akan menarik diri atau menjadi enggan untuk bekerja sama sebab mereka takut kesembronoan anda akan menyebabkan kerusakan atau mengganggu organisasi mereka atau terhadap koalisi. Demikian juga, jika

17 anda bertindak impulsif, mereka yang menentang anda dapat lebih mudah mendiskreditkan organisasi anda. 9. Advokasi merupakan penggunaan kekuatan (power). Anda mungkin tidak memiliki kekuatan sebanyak yang anda inginkan, tetapi jangan mengabaikan/ meremehkan kekuatan yang anda miliki. Pada hakekatnya, kekuatan (power) merupakan kemampuan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang seperti anda inginkan. Berpikirlah bahwa kekuatan merupakan sumber daya yang dapat digunakan atau dihabiskan untuk tujuan tertentu (sumber: diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul WIB). Adapun yang menjadi tujuan advokasi yaitu : a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung) b. Penindakan hukum terhadap pelaku KDRT c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT. d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT Jenis Jenis Advokasi Scheneider mengemukakan 4 jenis advokasi yaitu : 1. Advokasi klien ( client advocacy). Tujuan akhirnya adalah untuk membantu klien tentang bagaiman klien berjuang memenangkan pertarungan terhadap hak haknya di lembaga lain dan system pelayanan social yang ada.

18 2. Advokasi masyarakat (cause advocacy). Advokasi lembaga social selalu membantu klien individu, dan keluarga dalam memperoleh pelayanan. Jika terdapat masalaha yang mempengaruhi kelompok yang lebih besar maka advokasi ini yang paling sesuai digunakan. 3. Advokasi Legislatif (Legislative Advocacy), Advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu undang undang. 4. Advokasi Administrasi (Administrative advocacy). Advokasi jenis ini bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan keluhan administrative dan mengatasi masalah masalah administrative (sumber: diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul WIB). Yayasan Pusaka Indonesia dalam memberikan advokasi terhadap korban Kekerasan dalam Rumah tangga bertujuan untuk mendampingi dan melindungi hakhak korban kekerasan yang termarjinalkan. Paling tidak dari cita- cita ataupun tujuan yang hendak dicapai adalah melakukan upaya- upaya mendorong peningkatan perhatian dan tanggung jawab baik itu kepada pemerintah, masyarakat dan keluarga korban Pentingnya Advokasi Kebijakan Webster s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang (Wadong, 2000: 64). Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi

19 tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) dalam hal ini permasalahan sosial (Wadong, 2000: 64). Dalam kedudukannya sebagai organisasi atau lembaga, maka yang dimaksud adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu, meliputi yaitu: a. Hukum dan perundang-undangan b. Peraturan c. Putusan pengadilan d. Keputusan dan Peraturan Presiden e. Platform Partai Politik f. Kebijakan-kebijakan institusional lainnya (Wadong, 2000: 65). Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara serta pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggung jawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negara ( Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2014, Pada Pukul WIB). Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau organisasi masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok lembaga, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi masyarakat, serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan ( Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2014, Pada Pukul WIB).

20 Advokasi kebijakan publik termasuk pula menyuarakan kepentingan dan mencari dukungan terhadap posisi tertentu berkenaan dengan kebijakan publik tertentu. Posisi ini dapat berupa persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan kebijakan yang ada. Oleh karenanya, advokasi kebijakan publik dapat berupa tindakan penentangan terhadap posisi pemerintah dalam isu-isu tertentu, sehingga dapat memperbaiki kebijakan publik yang perlu dirubah ( Diakses Pada Tanggal 15 Maret 2014, Pada Pukul WIB) Pengertian Korban Korban menurut Arief Gosita (dalam Mansur & Gultom, 2006: 46) adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. Pengerian lain, Menurut Muladi (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban (victims) adalah orang- orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak- haknya yang melanggar hukum pidana di masing- masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Adapun menurut undang- undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dengan mengacu pada pengertian- pengertian korban tersebut, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan- perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaaan bagi diri/ kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di

21 dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya. Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kekerasan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Tetapi pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental (Mansur & Gultom, 2006: 48-49) Perlindungan dan Hak- Hak Korban Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik yang diperoleh dari berbagai media massa, cetak maupun elektronik. Peristiwa- peristiwa KDRT tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/ kerugian bagi korban dan juga keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya KDRT ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten. Berkaitan dengan korban KDRT, perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang menanganinya. Namun, pertama- tamaperlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak- hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari korban KDRT yang menimpa dirinya. Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal (mansur & gultom, 2006: 51-52).

22 Berdasarkan Pasal 10 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokasi, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan e. Pelayanan bimbingan rohani (Mansur & Gultom, 2006: 53-54) Kewajiban Korban Sekalipun hak- hak korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban KDRT diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kekerasan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban KDRT, antara lain : a. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana b. Kewajiban untuk memeberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya KDRT kepada pihak yang berwenang c. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kekerasan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya

23 d. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan KDRT e. Kewajiban untuk bersedia dibina dan membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi (Mansur & Gultom, 2006: 54-55) Peran dari Berbagai Stakeholders 1. Polisi, Advokat, Pekerja Sosial, Tenaga Kesehatan, dan Relawan Pendamping Korban : a. Memberikan perlindungan sejak menerima/ mengetahuilaporan KDRT dan memintakan surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan b. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan kekerasan yang diterima c. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban d. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping e. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban f. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak- hak korban dan proses peradilan 2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, perlindungan dan pelayanan terhadap korban. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berkewajiban: a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di Kantor Kepolisian, Aparat, Tenaga Kesehatan, Pekerja Sosial dan Pembimbing Rohani

24 b. Pembuatan dan pengembalian sistem serta mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban c. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban d. Untuk menyelenggarakan upaya pelayanan terhadap korban tersebut, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. 3. Masyarakat Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya- upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana b. Memberikan perlindungan kepada korban c. Memberikan pertolongan darurat d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Shinta & Bramanti, 2007: 19). 2.3 Upaya yang Dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia Yayasan Pusaka Indonesia yang bergerak dalam proses advokasi terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban tindakan kejahatan, dalam proses advokasi biasanya dilakukan dengan 2 (dua) cara: 1. Mendatangi Calon Klien Dari banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (anak dan perempuan sebagai korban) telah di dampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia, namun semakin terasa banyak kasus yang tidak bisa di dampingi karena semata- mata berbagai macam proses terkait. Tidak jarang Yayasan Pusaka Indonesia harus menjemput sebuah

25 kasus ke tempat kejadian, khususnya ketika suatu dianggap sangat mendesak dan harus segera di dampingi. Pemberian advokasi yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia kepada korban KDRT dengan cara mendatangi baik secara langsung pada korban tersebut atau melalui koran (media massa) atau mitra- mitra Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan bahkan hakim dan lembaga- lembaga swadaya lain yang mengetahui peran dan kedudukan Yayasan Pusaka Indonesia (SPO Penangan Kasus Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 12). 2. Menunggu Calon Klien Prosedur pemberian advokasi dalam hal menunggu calon klien (korban KDRT) yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia dapat dikatakan prosedur yang sederhana di dahului dengan permohonan yang dilakukan keluarga, korban dan Yayasan Pusaka Indonesiaakan merespon dengan cepat menyangkut penanganan kasus tersebut. Upaya yang selanjutnya dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia dalam mendampingi klien, yaitu; 1. Investigasi adalah serangkain tindakan untuk mengumpulkan fakta- fakta dalam mencari kebenaran informasi tentang keberadaan korban/ pelaku. Investigasi dapat dilakukan berdasarkan penerimaan laporan langsung (berasal dari keluarga/ korban), penerimaan laporan tidak langsung (berasal dari LSM lain/ media massa/ rujuakan polisi), meliputi : a. Kunjungan kerumah korban; untuk mengetahui tempat tinggal korban dan kondisi sosial serta ekonomi keluarga.

26 b. Meminta korban/ keluarga untuk melakuka kunjungan ke Yayasan Pusaka Indonesia, apabila investigasi yang dilakukan berdasarkan pengadaan tidak langsung; untuk mengetahui posisi kasus yang dialami korban (kronologi kasus). 2. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban adalah tindakan yang dilakukan untuk memindahkan korban dari lokasi kejahatan/ pelaku dan memberi rasa aman kepada korban, meliputi : a. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian; untuk mendapatkan bantuan/ perlindungan hukum b. Menempatkan korban di rumah aman sementara (shelter) untuk menjauhkan korban dari pelaku. 3. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan adalah melakukan langkah- langkah medis yang dipandang perlu untuk korban, misalnya Visum et Repertum, rekan medik ( bagi korban kekerasan fisik dan seksual), meliputi : a. Membawa korban ke Rumah Sakit (RS), dengan merujuk ke Pusat Layanan Terpadu di RS polda; untuk mengetahui kondisi kesehatan korban; adapun pendampingan saat pemeriksaan kesehatan dengan tujuan agar korban serasa terlindungi. 4. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis adalah tindakan yang dilakukan sebagai upaya penguatan psikologis korban, meliputi : a. Melakukan wawancara terhadap korban, berkaitan dengan latar belakang masalah, kejadian kasus, sampai harapan- harapan korban ke depannya.

27 5. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi) adalah langkah hukum berupa pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), apabila pihak keluarga korban menginginkan kasusnya dilanjutkan, meliputi : a. Proses hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pengadilan; untuk memperoleh bantuan/ perlindungan hukum. 6. Proses Perlindungan adalah langkah kepada korban yang kasusnya telah selesai ditangani, meliputi: a. Rehabilitasi: untuk pemulihan kondisi korban (penguatan secara psikologis, apabila diperlukan oleh korban) b. Reintegrasi : untuk mengembalikan korban kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan 7. Monitoring adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi ( fisik, psikologis, sosial, ekonomi) dari korban, meliputi: a. Melakukan kunjungan ke rumah korban, atau melalui telepon; untuk mengetahui kondisi korban selanjutnya, memantau perkembangan dari modal usaha yang telah diberikan b. Mengikutsertakan korban dalam kegiatan- kegiatan yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia (Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 44). 2.4 Peran Pekerja Sosial terhadap Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Charles Zastrow (dalam Sukoco, 2001: 7) Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompokkelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan

28 Beberapa peranan Pekerja Sosial yang saling berkaitan, menunjang dan melengkapi dalam penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga tercakup dalam aspek-aspek sebagai berikut: a. Informasi, yaitu menghimpun, mengembangkan, memanfaatkan serta menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga. b. Partisipasi, yaitu mengambil langkah-langkah aktif asilitas, proaktif dalam penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh sasaran serta pengembangan pendekatan penanggulangan masalah dan peningkatan kesejahteraan sasaran. c. Pemberdayaan, yaitu meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggungjawab, komitmen, partisipasi dan kemampuan semua pihak yang terkait dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga. d. Fasilitas, yaitu memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga. e. Asistensi, yaitu menyediakan bantuan, baik material maupun konsultasi, bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga. f. Mediasi, yaitu menjalurkan kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan antar organisasi atau lembaga penyedia peayanan maupun antara pihak yang membutuhkan dengan pihak pemilik sumber, sehingga tercipta suatu sistem yang baik untuk penanganan kekerasan dalam rumah tangga. g. Kemitraan, yaitu menjalin hubungna dengan pemilik sumber serta menyalurkan hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi atau lembaga penyedia pelayanan dengan pemilik sumber.

29 h. Mobilisasi, yaitu menghimpun, mendayagunakan, mengembangkan dan mempertanggung jawabkan sumber-sumber yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (Solekhah, 2009 : 8). Adapun Berdasarkan Pasal 22 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam memberikan pelayanan terhadap korban, pekerja sosial harus : 1. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban. 2. Memberikan informasi mengenai hak- hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penempatan perintah perlindungan dari pengadilan 3. Mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif 4. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial, yang dibutuhkan korban 5. Seluruh pelayanan ini dilakukandi rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat. 2.5 Kerangka Pemikiran Advokasi yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia secara khusus adalah pada tataran pendampingan dan pemberian bantuan hukum. Sebagai lembaga yang mempunyai keterbatasan terhadap pendampingan korban KDRT serta kasuskasus lainnya. Rumah tangga merupakan suatu wadah yang di dalamnya terdiri dari keluarga yang umumnya memiliki pertalian darah antar anggotanya. Setiap anggotanya memiliki peran dan fungsi masing-masing, seperti ayah umumnya adalah seorang yang menjadi tulang punggung perekonomian bagi keluarga dan paling bertanggung jawab terhadap anggota keluarga lainnya, ibu berperan sebagai pengatur

30 keuangan rumah tangga dan melayani suami serta merawat anak-anaknya, sedangkan anak sebagai anggota keluarga yang mendapatkan proses sosialisasi segala tindaktanduk dari orang lain disekelilingnya sebagai pembentukan tingkah laku anak tersebut. Secara umum, keluarga merupakan suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana pendidikan, perlindungan, sosialisasi, religius, rekreasi, ekonomi dan fungsifungsi lainnya. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu hal yang harus di dapatkan setiap anggotanya, sehingga keharmonisan di dalam sebuah keluarga akan terwujud. Namun, apabila fungsi-fungsi tersebut tidak dapat di jalankan dengan baik, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan di dalam sebuah keluarga sangatlah besar. Salah satu contoh adalah apabila seorang ayah menyalahgunakan peran dan fungsinya sebagai pemimpin, tetapi lebih menganggap dirinya adalah penguasa yang harus ditakuti dan dituruti setiap kehendaknya oleh setiap anggota keluarga lainnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan potensi yang ada dalam diri anggota keluarga lainnya tidak berkembang. Dalam upaya melakukan perlindungan dan pendampingan, Yayasan Pusaka Indonesia selalu melakukan investigasi terhadap korban dan pelaku KDRT, memberikan perlindungan secara hukum dan psikogis. Dimana Yayasan Pusaka Indonesia berperan penting dalam perlindungan korban baik anak dan perempuan. Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga bekerja sama dengan pihak yang terkait untuk membantu korban yang mengalami KDRT. Pemberian konseling dan pelayanan medis selayaknya menjadi suatu yang penting, karena hal tersebut dapat membantu korban kekerasan dalam menjalankan fungsi sosialnya ditengah- tengah masyarakat. Bukan hanya itu tetapi juga dukungan

31 dari keluarga korban menjadi satu paket yang tidak dapat dipisahkan dalam pemberian kepercayaan diri korban. Perempuan dan anak yang selalu menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi ( penelantaran rumah tangga) dimana pelakunya adalah ayah atau suami korban. Anak dan perempuan yang menjadi korban yang sangat dirugikan baik materil maupun inmateril, mereka sangat memerlukan pelayanan yang maksimal dan meyeluruh, mudah diakses dan berjangka panjang. Dimana korban yang mengalami kekerasan yang sangat parah atau memperihatinkan selayaknya harus berada di rumah aman, agar mereka merasa terlindungi dari pihak- pihak yang ingin menyakitinya, berusaha mengintervensi, menghilangkan rasa trauma dan tekanan mental serta mengembalikan rasa percaya diri korban. Program- program pemulihan dan perlindungan sangat dibutuhkan dalam mengembalikan martabat korban kekerasan, kesehatan jasmani dan rohaninya. Selain itu, program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi lingkungan korban, agar tidak ada lagi korban KDRT. Perbaikan tersebut bisa melalui kesejahteraan lahiriah, peningkatan harga diri, dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri. Rasa ketergantungan korban terhadap pelaku, terutama dari segi ekonomi, menunjukkan bahwa anak terutama perempuan adalah makhluk yang sangat rentan mengalami kekerasan. Pelaku merasa dirinya yang paling berkuasa, sehingga bisa sesukanya melakukan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sebelum korban kembali ke lingkungannya atau memulangkan korban ke kampung halamnannya, korban seharusnya sudah siap untuk mandiri dalam ekonomi. Monitoring yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia bertujuan untuk mengetahui suksesnya proses pemberian konseling dan motivasi diri agar dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki oleh korban.

32 Perlunya pencapaian tujuan dalam menghapus kekerasan dalam rumah tangga, dimana peran semua lapisan masyarakat dan pembentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, agar tidak terjadi lagi kekerasan dalam rumah tangga. Tabel 1 Bagan Alur Pikir Advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Upaya Yayasan a. Investigasi b. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban c. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan d. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis e. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi) f. Proses Perlindungan g. Monitoring Tujuan dari advokasi a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung) b. Penindakan hukum terhadap pelaku KDRT c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT. d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT.

33 2.7 Definisi Konsep Woodruf (Sugiyono, 2011: 54) mendefinisikan konsep sebagai adalah suatu gagasan/ ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep- konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep- konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana definisi ini diartikan sebagai batasan arti. Dalam hal ini, perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (siagian, 2011: 138). Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah: a. Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif.

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017 ASPEK HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BERDASARKAN UU NO.23 TAHUN 2004 1 Oleh : Ollij A. Kereh 2 ; Friend H. Anis 3 Abstrak Perkembangan kehidupan sosial dewasa ini menunjukkan menurunnya nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT)

BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT) BAB IV ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT) A. Penafsiran dan Ruang Lingkup Rumah Tangga Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menentukan : Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sedangkan perkawinan sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 2 TAHUN 2013 SERI C NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK, SALINAN BUPATI DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2015 No.15,2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Bantul. Perubahan, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul, Perlindungan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, kata implementasi sama dengan kata pelaksanaan. Implementasi adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN, PELAYANAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 16 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 16 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 16 Tahun : 2012 Seri : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL 1 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK salinan NOMOR 8 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DARI TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004) BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004) A. Landasan Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004 Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang R.I.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG KERJASAMA PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh negara pada hakikatnya memberikan dampak buruk kepada perempuan. Maraknya kasus-kasus yang terjadi terhadap perempuan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, namun selama ini selalu dirahasiakan atau ditutup-tutupi oleh keluarga maupun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPTEN LUMAJANG NOMOR 48 TAHUN 2007 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN LUMAJANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DENPASAR, Menimbang : a. bahwa Kota

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM

Lebih terperinci

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASER, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 7 TAHUN : 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa kekerasan terhadap

Lebih terperinci

BUPATI PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Di Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER,

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan Secara umum kekerasan identik dengan pengerusakan dan menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Namun jika kita pilah kedalam jenis kekerasan itu sendiri, nampaknya

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 66 TAHUN : 2013 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKALAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM TERHADAP PENANGANAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI PPT SERUNI KOTA SEMARANG

BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM TERHADAP PENANGANAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI PPT SERUNI KOTA SEMARANG BAB IV ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM TERHADAP PENANGANAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI PPT SERUNI KOTA SEMARANG A. Analisis Pelaksanaan Penanganan anak Korban kekerasan seksual di PPT SERUNI

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BUPATI DOMPU PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI DOMPU PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK BUPATI DOMPU PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DOMPU, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG DRAFT BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang memiliki permasalahan dalam hidupnya, dan mereka memiliki caranya masing-masing untuk menangani masalah tersebut. Ada orang yang bisa menangani masalahnya,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBENUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PENYEDIA LAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBENUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PENYEDIA LAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBENUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PENYEDIA LAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN Lampiran : 1 (satu) GUBENUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukkan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan. Permasalahan yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENCEGAHAN DAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA 1 BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA A. Sejarah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO Salinan PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 10

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 10 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK Menimbang Mengingat : : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, a. bahwa anak harus mendapatkan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan, penganiayaan, pemerasan dan perkosaan atau tindakan yang membuat seseorang merasa kesakitan baik secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang dalam perkawinannya menginginkan agar dapat membangun keluarga yang harmonis, damai dan bahagia karena saling mencintai. Sebuah keluarga yang harmonis menjadi

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 3/2016 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang: a. bahwa setiap

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I. UMUM Keutuhan dan kerukunan rumah

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus kekerasan di dalam rumah tangga merupakan hal yang bersifat pribadi dan cenderung dirahasiakan dari dunia luar. Kasus ini dapat merugikan sebagian orang dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci