PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DAN UPAYA POLRES WONOGIRI DALAM MENANGGULANGINYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DAN UPAYA POLRES WONOGIRI DALAM MENANGGULANGINYA"

Transkripsi

1 PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DAN UPAYA POLRES WONOGIRI DALAM MENANGGULANGINYA JURNAL PENELITIAN Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Oleh : RUDI SUJATMIKO FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2017

2 1 Judul : PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN DAN UPAYA POLRES WONOGIRI DALAM MENANGGULANGINYA Oleh : RUDI SUJATMIKO NIM : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu kejahatan atau tindak pidana, umumnya dilakukan pelaku kejahatan karena didorong atau dimotivasi oleh dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang relatif sulit dipenuhi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi memberi peluang tindak kejahatan makin tinggi volumenya dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang makin bervariasi. Untuk menanggulangi kejahatan dan tindak pidana demikian itu dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang menyeluruh. Penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan semaksimal mungkin adanya pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil bahkan jiwa seseorang. Selanjutnya pada kejahatan umum, juga kita dapatkan beraneka ragam atau macamnya, dimana salah satunya adalah kejahatan pencurian. Poerwadarminta, menjelaskan sebagai berikut 1 : Pencuri berasal dari kata dasar curi; yang berarti berbagaibagai perkara pencurian, sedang arti dari pada pencurian adalah perkara (perbuatan dan sebagainya) mencuri (mengambil milik orang tidak dengan jalan yang sah). Kejahatan pencurian yang ada dalam KUHP juga dibagi menjadi beberapa macam antara lain kejahatan pencurian sesuai dengan ketentuan Pasal 362 KUHP atau pencurian biasa, kejahatan Pustaka, Jakarta. 1 W.J.S Poerwadarminto, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Balai

3 2 pencurian dengan pemberatan sesuai yang diatur dengan Pasal 363 KUHP, kejahatan pencurian ringan seperti yang ditentukan dalam Pasal 364 KUHP, kejahatan pencurian dalam keluarga serta kejahatan pencurian dengan kekerasan. Kejahatan pencurian dengan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 365 KUHP ditambah dengan kejahatan pencurian dengan pemberatan sesuai ketentuan Pasal 363 KUHP, dimasukkan ke dalam gequalificeerde diefstal atau pencurian yang dikualifikasikan oleh akibatnya. Perbuatan pidana pencurian dengan pemberatan sifatnya sangat merugikan masyarakat, juga sangat menjadi beban yang cukup berat dan tidak jarang semua perbuatan manusia yang menuju kearah kejahatan pada dasarnya tidak terlepas dari sifat-sifat karakter manusia itu sendiri, demikian juga pengaruh lingkungan serta berbagai faktor yang saling menunjang dan saling terkait dalam terjadinya kejahatan yang dilakukan seseorang. Penyidikan oleh kepolisian dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti- bukti yang ada kedepan persidangan. Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan disidang pengadilan. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan.

4 3 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana peranan penyidik dalam memproses tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan upaya penanggulangan tindak pidana pencurian? 2. Bagaimana pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang ditangani oleh Polres Wonogiri? 3. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi penyidik Polres Wonogiri dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Mengkaji masalah peranan penyidik dalam memproses tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan upaya penanggulangan tindak pidana pencurian. b. Mengkaji masalah pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang ditangani oleh Polres Wonogiri. c. Mengkaji tentang hambatan-hambatan yang dihadapi penyidik Polres Wonogiri dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan. 2. Tujuan Subyektif Sebagai bahan untuk menyusun skripsi guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Hasil penelitian ini dimasudkan sebagai bahan masukan pemikiran pada Polresta Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang peranan penyidik dalam memproses tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan upaya penanggulangan tindak pidana pencurian.

5 4 b. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang ditangani oleh Polres Wonogiri. c. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang hambatan-hambatan yang dihadapi penyidik Polres Wonogiri dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan. 2. Manfaat Teoritis Dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya kesadaran dan kepatuhan terhadap pentingnya melaksanakan tertib hukum, kewajiban, kepatuhan dan kesadaran hukum di bidang pidana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya khususnya masalah proses penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang sama atau hampir sama. BAB II LANDASAN TEORI A. Penyidikan Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Tujuan penyidikan secara konkrit dapat diperinci sebagai tindakan penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang 2 : 2 Abdussalam Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Jakarta: Restu Agung. Hal 86.

6 5 1. Tindak pidana apa yang dilakukan. 2. Kapan tindak pidana dilakukan. 3. Dengan apa tindak pidana dilakukan. 4. Bagaimana tindak pidana dilakukan. 5. Mengapa tindak pidana dilakukan. 6. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana tersebut. Tindakan penyidikan adalah tindakan mencari dan menemukan semua peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana, dimana titik beratnya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Polisi dengan segala kelengkapannya penyidikan dan pengusutannya diharapkan dapat memperlancar tugas penyelesaian pengajuan perkara pidana ke pengadilan yang akan dilakukan oleh kejaksaan. Tugas penyidikan dan tugas penuntutan dalam suatu proses penyelesaian perkara pada hakekatnya juga menggambarkan bahwa tugas penyidikan adalah tidak lain daripada tindakan persiapan tugas penuntutan 3. Penyidikan dapat berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan, maupun penahanan orang, yang kesemuanya erat hubungannya dengan hak asasi seseorang. Memang tidak dapat disangkal lagi, bahwa penyidikan itu bersifat inquisiator, dalam pemeriksaan tidak dilakukan di muka umum sebagaimana dalam sidang pengadilan. Sehubungan dengan sifat inquisitoir dalam penyidikan ini, perlu adanya aturan-aturan untuk menjaga agar jangan sampai timbul ekses-ekses selama pemeriksaan dalam penyidikan. B. Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa belanda Strafbaarfeit 3 Soehardi, 2003, Hukum Acara Pidana, Surabaya: Penerbit Appolo, Hal 128.

7 6 atau delict. Di samping istilah tindak pidana juga telah dipakai beberapa istilah lain baik dalam buku-buku maupun dalam peraturan tertulis, antara lain : 1. Perbuatan yang dapat dihukum. 2. Perbuatan yang boleh dihukum. 3. Peristiwa pidana. 4. Pelanggaran pidana. 5. Perbuatan pidana 4 Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri terdapat perbedaan di antara para pakar, tetapi sebenarnya hal ini tidak begitu penting sebab persoalannya hanya mengenai perbedaan kontruksi yuridis dan tidak mengenai perbedaan dalam penjatuhan pidana. Dengan kata lain persoalannya adalah menyangkut tehnik perundang-undangan. Unsurunsur tindak pidana terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif. Menurut Soemitro unsur subyektif tindak pidana adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku tinjau dari segi batinnya yaitu; 1. Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 2. Niat atau maksud dengan sengaja bentuknya; 3. Ada atau tidaknya perencanaan untuk melakukan perbuatan tersebut; 4. Adanya perasaan takut 5. C. Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana pencurian adalah sebuah perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana umum karena diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan hukum acara untuk menangani tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Tindak pidana pencurian ini oleh Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai mengambil barang, seluruhnya atau sebagain milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara 4 Saleh, K. Wantjik Kehakiman Dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 9. 5 Soemitro dan Teguh P Hukum Pidana. Surakarta: FH UNISRI. Hal 34

8 7 melanggar hukum. Dari rumusan tersebut dapat diuraikan beberapa unsur tindak pidana pencurian adalah sebagai berikut: 1. Mengambil barang 2. Seluruhnya atau sebagian milik orang lain 3. Bertujuan untuk dimiliki dengan melanggar hukum Pencurian termasuk kejahatan terhadap harta benda yang diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHP. Adapun jenis-jenis pencurian yang diatur dalam KUHP adalah sebagai berikut: 1. Pasal 362 KUHP adalah delik pencurian dalam bentuk pokok. 2. Pasal 363 KUHP adalah delik pencurian berkualitas atau dengan pemberatan. 3. Pasal 364 KUHP adalah delik pencurian ringan. 4. Pasal 365 KUHP adalah delik pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 5. Pasal 367 KUHP adalah delik pencurian dalam kalangan keluarga. D. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan Pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang dikualifikasikan diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokok. Pencurian dengan pemberatan merupakan pencurian biasa yang disertai dengan salah satu keadaan tersebut : 1. Bila barang yang dicuri itu adalah hewan, yang dimaksud dengan hewan, yaitu semua binatang yang memamah biak (kerbau, sapi, kambing, dsb.), binatang yang berkuku satu (kuda, keledai dan babi). Anjing, ayam, bebek, angsa, itu bukan hewan, karena tidak memamah biak, tidak berkuku satu dan bukan babi. Pencurian

9 8 hewan dianggap berat, karena hewan merupakan milik seorang petani yang terpenting. 2. Bila pencurian itu dilakukan pada waktu ada kejadian macammacam malapetaka seperti gempa bumi, banjir dll. 3. Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. 4. Pencurian itu, dilakukan oleh dua orang atau lebih supaya masuk Pasal ini maka dua orang atau lebih itu semua harus bertindak sebagai pembuat atau turut melakukan (Pasal 55), bukan misalnya salah satu sebagai pembuat (Pasal 55), sedang yang lain hanya membantu saja (Pasal 56). 5. Apabila dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar, memecah, dsb. Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dirumuskan sebagai berikut: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: a) Ke-1 pencurian ternak. b) Ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang. c) Ke-3 pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ yang tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak. d) Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

10 9 e) Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan (seragam) palsu. (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana paling lama Sembilan tahun. 2. Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 365 KUHP. Jenis pencurian ini lazim disebut dengan istilah pencurian dengan kekerasan atau popular dengan istilah curas. 54 Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam Pasal 365 KUHP ini adalah sebagai berikut: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. (2) Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun: a) Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan. b) Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. c) Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan dengan membongkar, merusak, atau memanjat atau

11 10 memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. d) Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam ayat (2) ke-1 dan ke-3. Agar jaksa atau hakim dapat menyatakan pelaku terbukti dengan sah telah melakukan tindak pidana pencurian dalam hal ini tindak pidana pencurian ternak mereka harus dapat membuktikan tentang dipenuhinya semua unsur tindak pidana pencurian ternak seperti yang diatur dalam pasal 363 ayat (1) angka 1 KUHP, yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur subjektif : dengan maksud untuk menguasai secara melawan hukum; Unsur subjektif ini dapat dipandang sebagai terbukti telah dipenuhi oleh pelaku, jika atas penyataan hakim, jaksa atau penasehat hukum, pelaku telah memberikan keterangan bahwa ternak itu telah diambilnya, misalnya dengan maksud : untuk dijual, untuk dipotong, untuk diberikan kepada orang lain, untuk dipakai sendiri mengerjakan sawahnya dan lain sebagainya. 2. Unsur objektif : a. barang siapa; Unsur objektif ini dapat dipandang sebagai terbukti telah dipenuhi oleh pelaku, jika : 1) pelaku merupakan orang yang melakukan sendiri perbuatan mengambil ternak kepunyaan orang lain

12 11 2) pelaku merupakan orang yang dapat diminta pertanggung jawabannya menurut hukum pidana; 3) pelaku tidak mempunyai kesalahpahaman mengenai salah satu unsur tindak pidana pencurian ternak; 4) tidak ada satupun dasar yang membuat pelaku tidak dapat dituntut; 5) tidak ada satupun dasar yang membuat pelaku tidak dapat dipidana 6. b. mengambil; Unsur 'mengambil' ini harus terbukti telah selesai dilakukan oleh pelaku, sebab jika perbuatan tersebut ternyata 'belum selesai', maka yang terjadi itu sebenarnya bukan merupakan tindak pidana pencurian melainkan hanya merupakan 'percobaan' untuk melakukan tindak pidana pencurian. c. ternak; Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan tentang ternak, melainkan dalam pasal 101 KUHP hanya menyamakan tiga jenis binatang ternmak, masing-masing yakni hewan-hewan berkuku tunggal; hewan-hewan memamah biak, dan babi d. yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain. Unsur objektif ini dapat diandang sebagai terbukti dipenuhi oleh pelaku, jika atas pertanyaan hakim, jaksa atau penasehat hukum, pelaku telah menerangkan, misalnya bahwa orang lain juga mempunyai hak atas ternak yang diambilnya atau bahwa ternak yang diambilnya itu bukan kepunyaan pelaku. 6 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, cetakan pertama, Hal 375.

13 12 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi penelitian Lokasi penelitian yang penulis ambil dalam penulisan skripsi ini adalah di Polres Wonogiri. Hal ini mengingat bahwa data-data yang mendukung permasalahan dalam penyusunan skripsi ini penulis dapatkan dari lokasi penelitian ini. B. Sifat Penelitian Penelitian yang hendak mengungkap tentang kajian proses penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana tersebut oleh aparat Polres Wonogiri adalah penelitian hukum dengan spesifikasi yuridis normatif. C. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, menurut Soerjono Soekanto penelitian deskriptif adalah metode untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lain yang ada untuk mempertegas hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam rangka menyusun teori baru 7. Jenis penelitian deskriptif ini digunakan peneliti untuk menggambarkan secara jelas tentang proses penyidikan dalam pemeriksaan tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan upaya penanggulangan. Sehingga orang dapat mengetahui dengan jelas setelah mendapat gambaran proses tersebut. D. Jenis dan Sumber Data 1. Jenis data a. Data primer, yaitu keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan di lokasi penelitian, yaitu Polres Wonogiri. b. Data Sekunder, yaitu keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan, tetapi diperoleh dari bahanbahan kepustakaan, dokumen, laporan dan tulisan-tulisan yang mendukung masalah yang diteliti. 7 Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal 10.

14 13 2. Sumber data a. Sumber data primer Penulis memperoleh data dari hasil penelitian secara langsung dari Polres Wonogiri. b. Sumber data sekunder Berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundangundangan yang mengatur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan penerapan hukum tindak pidana. Bahan hukum sekunder berupa, kepustakaan dan hasil penelitian yang relevan. E. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara Untuk mendapatkan data yang penulis perlukan, maka penulis mengadakan wawancara dengan petugas penyidik di Polres Wonogiri. Selain itu jika dimungkinkan juga melakukan wawancara dengan tersangka tindak pidana pencabulan. 2. Studi kepustakaan Teknik Pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, koran dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. F. Jalannya Penelitian 1. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian ini dilakukan pemilihan masalah, pemilihan pendekatan, merumuskan masalah, menentukan variabel data, kesemuanya disusun dalam bentuk proposal penelitian. Setelah melalui konsultasi dan revisi dari pembimbing, diajukan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta guna mendapatkan rekomendasi dan ijin di lokasi penelitian. 2. Perijinan Penelitian Perijinan direkomendasi oleh Rektor Universitas Slamet Riyadi Surakarta, ditujukan kepada instansi yang menjadi obyek dalam penelitian guna mendapatkan ijin riset dalam hal ini adalah Polres Wonogiri.

15 14 3. Pengumpulan Data Dalam hal ini pengumpulan data harus ditegaskan permasalahan jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisisan terhadap data dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian. Dalam pengumpulan data ini digunakan metode wawancara dan studi kepustakaan, sehingga baik data primer maupun data sekunder didapatkan 4. Analisis Data Analisis data didasarkan atas metode penelitian yang digunakan yakni metode deskriptif kualitatif yang spesifikasinya yuridis normatif. Agar dapat tercapai hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian maka dibutuhkan ketekunan dari peneliti. Dalam hal ini peneliti menggunakan data yang dapat diperoleh sesuai dengan yang diperoleh dari teknik pengumpulan data. 5. Menarik Kesimpulan Pekerjaan terakhir dari penelitian ini adalah menarik kesimpulan. Dalam teknik penarikan kesimpulan ini penulis menggunakan metode induktif dan deduktif. Artinya menganalisis data-data dari hal-hal yang bersifat umum menuju kepada hal-hal yang bersifat khusus. Demikian juga untuk data-data yang khusus diperlukan dengan cara menganalisis dari hal-hal yang bersifat umum. Peneliti mengambil inti dari hasil yang diperoleh setelah data diolah atau dianalisis kemudian disimpulkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang berhubungan dengan materi penelitian untuk memperoleh hasil analisis sesuai dengan tujuan penelitian. G. Metode Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pengertian analisis kualitatif adalah cara pemilihan yang menghasilkan data-data deskriptif analisis, yakni apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari secara utuh 8. 8 Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal 30.

16 15 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Peranan Penyidik dalam Memproses Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan dan Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Proses pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana merupakan bagian dari kegiatan penyidikan yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan barang buktinya. Dalam proses pemeriksaan wajib dilaksanakan dengan menjunjung tingggi hukum yang berlaku serta senantiasa memperhatikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Strategi dan taktik penyidikan yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu Reskrim pada saat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dengan cara mempelajari Laporan Polisi dan Berita Acara Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara serta Berita Acara Pemeriksaan para saksi. Selain itu, untuk memperoleh keterangan yang diberikan oleh tersangka secara benar selama proses pemeriksaan, maka taktik yang dilakukan oleh pemeriksa yaitu dengan cara membujuk secara baik-baik terhadap tersangka. Setelah dilakukan tindakan penyelidikan dan memang benar tindakan tersebut adalah suatu tindak pidana maka statusnya ditingkatkan menjadi penyidikan. Dari tindakan tersebut maka dapat diketahui korban, pelaku dan barang bukti dari tindak pidana yang terjadi. Dimulai suatu penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yakni karena terjadinya suatu tindak pidana, dan diketahuinya suatu tindak pidana salah satunya berdasarkan laporan atau pengaduan dari seseorang ataupun kejadian tersebut diketahui sendiri oleh penyidik. Sebelum dibahas lebih dalam, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu perbedaan laporan dengan pengaduan. Hasil pemeriksaan tersangka maupun saksi tidak ada pertentangan, bahkan ada kecocokan keterangan yang diberikan kepada pemeriksa, maka upaya yang dilakukan adalah dengan cara mempertemukan kedua belah pihak atau di konfrontasi baik dengan cara langsung maupun tidak langsung. Dimana tindakan tersebut

17 16 dimaksudkan untuk mencari kesesuaian dari beberapa keterangan yang berasal dari tersangka maupun saksi dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan yang benar atau paling tidak mendekati faktanya. Penahanan yang dilakukan oleh Reskrim terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Polres Wonogiri. Dalam konteks penahanan ini, untuk tersangka di Polres Wonogiri, tersangka ditempatkan di rumah tahanan bersama dengan para terpidana orang dewasa. Peranan penyidik dalam melakukan penyidikan dalam penanganan setelah melakukan hal-hal tersebut diatas, dan untuk mengakhiri proses penanganan tempat kejadian perkara adalah membuat berita acara yang berkaitan dengan apa saja yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari bukti ditempat kejadian perkara dan meneruskan hasil tersebut guna proses penyidikan selanjutnya, pemanggilan tersangka dan para saksi, penangkapan, penahanan, dan penyitaan. Upaya penanggulangan tindak pidana pencurian dilakukan secara preventif maupun represif pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari penanggulangan kejahatan pada umumnya. Upaya penanggulangan kejahatan pencurian, mengedepankan peran polri yang disertai dengan partisipasi dan kerjasama semua lapisan masyarakat. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah menjadi tanggung jawab bersama semua warga masyarakat. Reaksi ini pada dasarnya berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan terhadap kejahatan pencurian itu sendiri. Secara resmi yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan adalah pihak kepolisian. Akan tetapi karena keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polri menjadikan tidak efektifnnya usaha tersebut. Lebih jauh lagi Polri tidak mungkin akan mencapai tahap ideal pemenuhan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha penanggulangan kejahatan. Dalam upaya menanggulangi tindak pidana pencurian pihak kepolisian lebih mengedepankan tindakan preventif dibandingkan tindakan represif karena tindakan pencegahan lebih baik dari

18 17 pemberantasan. Dengan melakukan kegiatan yang bersifat preventif maka akan lebih menghemat tenaga, waktu dan biaya yang dikeluarkan ketimbang dengan tindakan seperti pencarian, penyelidikan, penangkapan, atau pengejaran maupun penyidikkan. Demikian juga upaya penanggulangan secara preventif oleh anggota masyarakat adalah lebih baik dan lebih efisien jika dibandingkan dengan tindakan represifnya. Dalam hal penanggulangan pencurian secara preventif pihak kepolisian akan mengadakan kegiatan-kegiatan seperti operasi pekat, razia selektif, patroli kepolisian. Pencegahan pencurian melalui pendekatan situasional antara lain mengadakan penyuluhan-penyulahan dan bimbingan, mengadakan pengawasan kepada residivis pencurian. B. Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan yang Ditangani Oleh Polres Wonogiri Adapun tindakan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Polres Wonogiri adalah sebagai berikut : 1. Menerima Laporan Sesuai dengan tugas dan kewajibannya, maka penyidik harus menerima laporan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Dengan laporan tersebut Polres Wonogiri segera melakukan pemeriksaan terhadap pelapor yang juga korban atas pencurian itu. a. Melakukan Tindakan Pertama Setelah menerima laporan dari seseorang maka penyidik mengecek kebenaran laporan atau pengaduan tersebut dengan memeriksa di tempat kejadian. Jika laporan atau pengaduan itu benar telah terjadi peristiwa pidana, maka apabila si tersangka masih berada di tempat tersebut, penyidik dapat melarang si tersangka meninggalkan tempat kejadian. Selanjutnya penyidik mengadakan pemeriksaan seperlunya termasuk memeriksa identitas tersangka atau menyuruh berhenti orang-orang yang dicurigai melakukan tindak pidana dan melarang orang-orang keluar masuk tempat kejadian. Kemudian penyidik harus berusaha mencari dan

19 18 mengumpulkan bahan-bahan keterangan dan bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan. Apabila pemeriksaan di tempat kejadian selesai dilakukan dan barang-barang bukti telah pula dikumpulkan maka selanjutnya harus disusun suatu kesimpulan sementara. Setelah kejadian tersebut telah dapat disimpulkan, maka petugas penyelidik/penyidik mencocokkan barang-barang bukti yang telah dikumpulkan itu satu sama lainnya, misalnya antara barang bukti yang didapatkan di tempat kejadian dengan keterangan para saksi yang melihat sendiri kejadian tersebut atau saksi korban pencurian itu sendiri. Pencocokan barang-barang bukti ini sangat penting, karena barangbarang bukti ini sangat penting, karena barang-barang bukti tersebut sangat menentukan pembuktian perbuatan si tersangka dalam persidangan. Kalau alat-alat bukti yang telah dikumpulkan itu tidak sesuai dengan keterangan tersangka atau para saksi, maka barangbarang bukti itu tidak bernilai. c. Penangkapan dan Penahanan Penangkapan tidak dapat dilakukan secara sewenangwenang, karena hal itu melanggar hak asasi manusia. Untuk menangkap seseorang, maka penyidik harus mengeluarkan surat perintah penangkapan disertai alasan-alasan penangkapan dan uraian singkat sifat perkara kejahatan yang dipersangkakan. Tanpa surat perintah penangkapan tersangka dapat menolak petugas yang bersangkutan. Perintah penangkapan baru dikeluarkan kalau sudah ada dugaan keras telah terjadi tindak pidana disertai pula bukti permulaan yang cukup. Penahanan oleh pihak penyidik dari Polres Wonogiri mempunyai pertimbangan kekhawatiran terhadap tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengurangi melakukan tindak pidana. Untuk kepentingan penyidikan, jika ternyata tersangka benar-benar melakukan tindak pidana berupa pencurian atau diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup atau dalam adanya

20 19 keadaan menimbulkan kekhawatiran tersangka melarikan diri, akan merusak dan menghilangkan barang bukti dan akan mengulangi. Selain itu bertujuan pula untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim di persidangan, maka tersangka dapat ditahan. Pasal 20 KUHAP memberikan wewenang kepada penyidik, penuntut umum atau hakim untuk melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dimana setiap kali melakukan penahanan tersebut harus memakai surat perintah penahanan. d. Penyitaan Adapun maksud diadakan penyitaan diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada hakim bahwa tersangkalah yang telah melakukan tindak pidana itu. Pada waktu penyidik akan mengadakan penyitaan suatu barang bukti, maka ia terlebih dahulu harus memperlihatkan surat bukti diri, surat tugas dan sebagainya kepada pemilik barang. Apabila penyidik akan menyita suatu barang, maka barang yang akan disita itu terlebih dahulu harus diperlihatkan kepada pemilik benda itu atau keluarganya dan dapat minta keterangan tentang barang tersebut. Setelah melakukan penyitaan, maka penyidik membuat berita acara penyitaan, kemudian berita acara tersebut dibacakan didepan yang bersangkutan. Dalam hal barang bukti suatu perkara, dimana perkaranya sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut. e. Pemeriksaan Tersangka dan Saksi Pemeriksaan tersangka dan saksi merupakan bagian atau tahap yang paling penting dalam proses penyidikan. Dari tersangka dan saksi akan diperoleh keterangan-keterangan yang akan dapat mengungkap akan segala sesuatu tentang tindak pidana yang terjadi. Sehubungan dengan itu sebelum pemeriksaan dimulai, penyidik perlu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan apakah pemeriksa tersangka atau saksi telah ditunjuk orangnya, dimana

21 20 tersangka atau saksi akan diperiksa dan apakah tersangka atau saksi yang akan diperiksa telah dipanggil sesuai ketentuan yang berlaku. Pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 51, 53, 114, 115 dan Pasal 133. Tersangka yang telah ditangkap atau dilakukan penahanan, maka dalam waktu 1 x 24 jam setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa. Dalam hal tersangka dipanggil, maka harus memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari pemeriksaan. Orang yang dipanggil apakah akan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi wajib datang. Bila tidak datang akan dipanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas/penyidik untuk dibawa kepadanya. Bagi tersangka sebelum terhadap dirinya dimulai pemeriksaan, kewajiban penyidik memberitahukan kepadanya hak untuk mendapat bantuan hukum. Tersangka didengar keterangannya tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. f. Penghentian Penyidikan Apabila penyidik mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Demikian juga dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik harus memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau kelurganya. Pemberitahuan penghentian penyidikan baik penuntut umum maupun kepada tersangka atau keluarganya merupakan suatu kontrol di samping memberikan kepastian hukum kepada masyarakat umumnya dan khususnya kepada tersangka bahwa pejabat penyidik tidak melakukan perbuatan yang sewenangwenang. g. Selesainya Penyidikan Setelah penyidik menganggap bahwa pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana telah cukup, maka penyidik atas kekuatan

22 21 sumpah jabatannya segera membuat berita acara. Pada berita acara penyidikan ini sekaligus pula dilampirkan semua berita acara yang dibuat sehubungan dengan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka penyidikan. Setelah lengkap semua berita acara diperlukan, maka penyidik menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum yang merupakan pernyerahan dalam tahap pertama yaitu hanya berkasannya perkaranya saja. Dalam hal penyidikan yang dilakukan oleh Polres Wonogiri sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Kejaksaan Negeri Wonogiri. Apabila pihak Kejari Wonogiri berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap, maka Kejari Wonogiri segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah berkas perkara dikembalikan oleh penuntut umum untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dari Kejaksaan Negeri Wonogiri tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Kejari Wonogiri kepada penyidik dari Polres Wonogiri. C. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Penyidik Polres Wonogiri dalam Melaksanakan Penyidikan Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan 1. Barang bukti hasil kejahatan sulit ditemukan disebabkan oleh pelaku disembunyikan. Berdasarkan keterangan tersangka saat dilakukan pemeriksaan menyatakan bahwa barang curian tersebut untuk dimiliki sendiri. Oleh karenanya barang hasil curiannya saat dilakukan pemeriksaan disembunyikan dengan maksud barang tersebut tidak ditemukan oleh penyidik. Dalam hal mengumpulkan bukti tersebut membutuhkan waktu yang cukup untuk mencari barang bukti hasil pencuriannya.

23 22 2. Tersangka memberikan keterangan yang berbeda-beda Saat dilakukan pemeriksaan dan penyidikan guna mengumpulkan informasi dari tersangka, ternyata tersangka memberikan keterangan tidak sama kepada penyidik satu dengan penyidik yang lainnya. c. Saksi tidak dapat memberitahukan proses kejadian tindak pidana pencurian BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Peranan penyidik dalam memproses tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah memulai melakukan penyidikan dan untuk mengakhiri setiap tindakan penyidikan dengan membuat berita acara yang berkaitan dengan apa saja yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari bukti ditempat kejadian perkara dan meneruskan hasil tersebut guna proses penyidikan selanjutnya, pemanggilan tersangka dan para saksi, penangkapan, penahanan, dan penyitaan. Upaya menanggulangi tindak pidana pencurian pihak kepolisian lebih mengedepankan tindakan preventif dibandingkan tindakan represif karena tindakan pencegahan lebih baik dari pemberantasan. Dengan melakukan kegiatan yang bersifat preventif maka akan lebih menghemat tenaga, waktu dan biaya yang dikeluarkan ketimbang dengan tindakan seperti pencarian, penyelidikan, penangkapan, atau pengejaran maupun penyidikkan. Demikian juga upaya penanggulangan secara preventif oleh anggota masyarakat adalah lebih baik dan lebih efisien jika dibandingkan dengan tindakan represifnya. 2. Pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang ditangani oleh Polres Wonogiri telah sesuai dengan aturan yang terdapat di dalam KUHAP dan Undang Undang tentang Kepolisian No. 2 Tahun Dalam proses penyelidikan dan penyidikan langkah-langkah yang diambil oleh pihak penyelidikan dan penyidik yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan penyitaan. Melakukan

24 23 pemeriksaan terhadap para saksi dan tersangka serta menyerahkan berita acara penyidikan kepada penuntut umum. 3. Hambatan-hambatan yang dihadapi penyidik Polres Wonogiri B. Saran dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana pencurian dengan pemberatan a. Barang bukti hasil kejahatan sulit ditemukan disebabkan oleh pelaku disembunyikan. b. Tersangka memberikan keterangan yang berbeda-beda c. Saksi tidak dapat memberitahukan proses kejadian tindak pidana pencurian Berdasarkanm kesimpulan diatas dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Setelah menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya telah terjadi tindak pidana atau kejahatan, sebagai langkah pertama penyidik Polres Wonogiri wajib segera memberikan tanggapan dan tindak lanjut untuk melaksanakan penyidikan. 2. Polisi hendaknya bekerja lebih siap dan cepat dalam menerima laporan keamanan dan ketertiban yang terjadi di masyarakat. Gerak cepat polisi dalam pemberantasan kejahatan merupakan cermin pengabdian terhadap perlindungan masyarakat. 3. Perlu ditingkatkan kerjasama antara masyarakat dan kepolisian dalam hal menanggulangi dan mencegah tindak pidana yang banyak terjadi selama ini. Tanpa adanya kerjasama diantara kedua belah pihak tidak akan dapat menanggulangi dan mencegah kejahatan terutama masalah pencurian yang masih mendominasi kasus-kasus kejahatan di wilayah Wonogiri. DAFTAR PUSTAKA Abdussalam Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Jakarta: Restu Agung. Bambang Poernomo Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty. Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta.

25 24 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, cetakan pertama, Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Cipta. Moeljatno Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rineka Moeljatno Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Poernomo Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty. R. Soesilo Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus. Bogor: Politea. Saleh, K. Wantjik Kehakiman Dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soehardi, 2003, Hukum Acara Pidana, Surabaya: Penerbit Appolo. Press. Soerjono Soekanto, 2009, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Soerjono Soekanto Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Soemitro dan Teguh P Hukum Pidana. Surakarta: FH UNISRI. Susilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Penerbitan Alumni, Bandung. PTIK. Sutarno Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. Jakarta: W.J.S Poerwadarminto, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Replika Aditama.

BAB I PENDAHULUAN. KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi. penyidik bukan berdasarkan atas kekuasaan, melainkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi. penyidik bukan berdasarkan atas kekuasaan, melainkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi negara republik indonesia atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang tidak dapat terelakkan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan Pengertian Tindak Pidana Pencurian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dan Pemberatan 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Pencurian pencurian merupakan perbuatan pengambilan barang. Kata mengambil (wegnemen) merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL

KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL KAJIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG DILAKUKAN PEREMPUAN (STUDI DI POLRESTA SURAKARTA) JURNAL Oleh : YOGO NUGROHO NPM: 11100074 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2016 KAJIAN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Anak dan Batasan Umur Anak Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai undang-undang. Pengertian tersebut tidak memberikan suatu konsepsi tentang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan. Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian sebagaimana diatur

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan. Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian sebagaimana diatur BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Pencurian dengan pemberatan adalah pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP dengan salah satu

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang populer dengan nama KUHAP sejak diundangkannya pada tanggal 31 Desember 1981,

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Kata pencurian dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar curi yang memperoleh imbuhan pe diberi akhiran

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Surastini Fitriasih Dalam Buku II KUHP: Bab XXII : Pencurian Bab XXIII: Pemerasan & Pengancaman Bab XXIV: Penggelapan Barang Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXVI: Merugikan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR. an, sehingga menjadi penanggulangan yang berarti proses, cara, perbuatan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR. an, sehingga menjadi penanggulangan yang berarti proses, cara, perbuatan BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PENANGGULANGAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Penanggulangan Penanggulangan itu sendiri berasal dari kata tanggulang yang berarti menghadapi, mengatasi. Kemudian ditambah

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT PASAL 365 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh : Fentry Tendean 2 ABSTRAK Pandangan ajaran melawan hukum yang metarial, suatu perbuatan selain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB A. Tindak Pencurian Kendaraan Bermotor yang Dilakukan

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013 FUNGSI PENYELIDIKAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Rovan Kaligis 2 ABSTRAK Keinginan Masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang tertib dan damai dalam hidup bermasyarakat terus diupayakan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA (Studi Kasus di Polres Sukoharjo) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam hukum acara pidana ada beberapa runtutan proses hukum yang harus dilalui, salah satunya yaitu proses penyidikan. Proses Penyidikan adalah tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

PROSES PENYIDIKAN OLEH POLRESTA SURAKARTA DALAM MENYELESAIKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN MELALUI ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)

PROSES PENYIDIKAN OLEH POLRESTA SURAKARTA DALAM MENYELESAIKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN MELALUI ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) PROSES PENYIDIKAN OLEH POLRESTA SURAKARTA DALAM MENYELESAIKAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN MELALUI ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) JURNAL PENELITIAN Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia dari satu negara ke negara lain. Hal ini menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu kumpulan dari masyarakat-masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, serta strata sosialnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 28, Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan wawancara dengan responden yang berkaitan dengan Analisis Yuridis Penyidikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 Oleh ALDINO PUTRA 04 140 021 Program Kekhususan: SISTEM PERADILAN PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang benar-benar menjunjung

Lebih terperinci

Kata kunci : Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Anak di Bawah Umur

Kata kunci : Penyidikan Tindak Pidana Persetubuhan dan Anak di Bawah Umur PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (Studi Kasus di Polres Boyolali) Oleh : IBNU YUDHAGUSMARA NPM. 12102110 Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB II. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan. Pemberatan. A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan. Pemberatan. A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pencurian dengan pemberatan, maksudnya adalah pencurian biasa yang diatur dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci