KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA IING DWI LESTARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA IING DWI LESTARI"

Transkripsi

1 KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA IING DWI LESTARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Awal Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2008 Iing Dwi Lestari G

3 ABSTRACT IING DWI LESTARI. Preliminary Study of the Potency of Indigenous Plants and Their Fungal Diversity for Revegetation Program of Post Tin Mining Land in Bangka Island. Supervised by IBNUL QAYIM and NAMPIAH SUKARNO. Activity of tin mining had negative impact on the ecosystem including decreasing in soil fertility. Effort had been done to revegetate the post tin mining land, however, the plant used was mainly Acacia mangium. This because the plant was ease to grow in marginal land, including post tin mining site. The potential indigenous plant is defined as indigenous plants that have potency to be used in revegetation program of the post tin mining land. The objective of this research was to examine the potency of indigenous plants and diversity of fungi that were associated with the potential plant for revegetation program of post tin mining land. Five experimental sites were selected, they were revegetated lands of 0 year (Jongkong 5E), 3 years (Jongkong 24), 16 years (Jongkong1), and 28 years (Nibung 2), and secondary forest as a control treatment. The parameters mesuared for determining the potency of indigenous plants were Important Value Index, production and decomposition rate of litter fall. The soil characteristics that were determined plant growth such as physical and chemical properties were also measured. Litter fall analysis was carried out based on predominant tree found in all sites. Fungal diversity was studied by isolation and identification of the fungi grown in roots, leaf litters, and rhizosfers. The vegetation analysis showed that the plants were grow in all research sites were Dyera costulata, Schima wallichii, and Acacia mangium. The production and decomposition rate of litter fallnin all sites were varied. The production of litter fall from Acacia mangium in Jongkong 1 was 3.79x10-4 ton/ha/year. The highest decomposition rate of litter fall was found Nibung 2 from Dyera costulata was 16.36/year with residience time 0.06 years. The fungal diversity isolated from dominant vegetation in tree stage category was high. The average of each plant harboured fungi that were grown in roots, leaf litters, and rhizosfers of the plants. Trichoderma was the dominant fungi. Based on the data of vegetation analysis, production and decomposition rate of litter fall and fungal diversity, Dyera costulata and Schima wallichii were the potentional plants for revegetation program of post tin mining land. Keywords: Indigenous plant, fungi, post tin mining land, litter fall

4 RINGKASAN IING DWI LESTARI. Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan NAMPIAH SUKARNO. Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam yaitu terjadi penurunan kesuburan tanah, hilangnya keragaman tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Kriteria jenis tumbuhan tumbuhan yang digunakan untuk revegetasi lahan bekas tambang ialah berdasarkan sifat yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut yang antara lain ialah cepat tumbuh dilingkungan marginal dan memungkinkan jenis lain tumbuh kemudian pada lahan tersebut, menghasilkan buah yang mudah disebarkan oleh burung, dan memproduksi serasah yang mudah mengalami dekomposisi. Oleh karena itu revegetasi pada lahan bekas tambang dilakukan dengan menggunakan tumbuhan pionir yang memiliki kriteria tersebut diatas, dapat mengikat nitrogen, tahan kekeringan, dan berdaun banyak. Keberhasilan revegetasi tidak saja ditentukan oleh pemilihan jenis tumbuhan tetapi juga oleh jenis mikroorganisme yang bermanfaat dalam kesuburan tumbuhan dan tanah. Beberapa fungi dekomposer berperan dalam proses pembentukan tanah, pertumbuhan tanaman dan terlibat dalam siklus nutrisi melalui proses dekomposisi dalam tanah, terutama untuk dekomposisi selulosa, kitin, dan lignin. Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini ialah mengkaji potensi tumbuhan indigenous dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini metode kuadrat untuk menganalisis keragaman vegetasi dengan parameter yang di ukur adalah kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP). Pendugaan produksi serasah dianalis dengan menggunakan litter fall, sedangkan pendugaan laju dekomposisi serasah dengan menggunakan litter bag. Studi keragaman fungi dilakukan dengan mengisolasi dan mengidentifikasi fungi dari rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun tumbuhan yang terpilih. Lokasi yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian adalah hutan sekunder dan lahan bekas tambang timah yang telah direvegetasi selama 0 tahun (di Jongkong 5E), 3 tahun (di Jongkong 24), 16 tahun (di Jongkong 1), dan 28 tahun (di Nibung 2). Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh tumbuhan yang dominan pada semua lokasi penelitian ialah Acacia mangium dengan nilai INP yaitu % yang terdapat di lokasi Jongkong 1. Pada lahan bekas tambang tersebut juga ditemukan beberapa jenis tumbuhan lokal yaitu Dyera costulata, Schima wallichii, Vitex pubescens, dan Callophyllum lanigerum. Secara umum lahan pada lokasi penelitian memiliki sifat fisik tanah berpasir dengan ph yang masam yaitu ph dan miskin unsur hara. Pada lokasi lahan bekas tambang terlihat adanya suksesi tumbuhan yaitu ditemuinya tumbuhan bawah berupa paku-pakuan dan alang-alang, serta tumbuhnya permudaan pohon. Tumbuhan yang memproduksi serasah tertinggi ialah Acacia mangium yang terdapat pada lokasi Jongkong 1 yaitu 3.79 x 10-4 ton/ha/tahun, sedangkan laju dekomposisi tertinggi

5 terjadi pada tumbuhan Dyera costulata yang terdapat pada lokasi Nibung 2 yaitu 16.36/tahun yaitu residience time 0.06 tahun. Fungi yang berhasil diisolasi dari rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun pada setiap tumbuhan bervariasi. Secara umum, fungi yang berhasil diisolasi ialah 450 isolat, yang terdiri dari Genus Trichoderma, Aspergillus, Paecilomyces, Penicillium, Acremonium, Fusarium, Cunninghamella, Phoma, beberapa fungi Miselia sterilia, Basidiomycetes, dan Coelomomyces. Dyera costulata dan Schima wallichii merupakan tumbuhan indigenous yang berpotensi sebagai tumbuhan revegetasi pada lahan bekas tambang timah karena memiliki laju dekomposisi dan keragaman fungi yang tinggi. Kata kunci: Tumbuhan indigenous, fungi, lahan bekas tambang, produksi dan laju dekomposisi serasah.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhkarya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA IING DWI LESTARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8 Judul Tesis : Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka Nama : Iing Dwi Lestari NIM : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ibnul Qayim Ketua Dr. Ir. Nampiah Sukarno Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 8 September 2008 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya sehingga tesis yang berjudul Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya pada Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada: 1. Dr. Ir. Ibnul Qayim dan Dr. Ir. Nampiah Sukarno selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc sebagai anggota tim penguji. 3. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang diberikan kepada Dr. Ir. Nampiah Sukarno atas bantuan dana untuk melaksanakan sebagian dari penelitian ini. 4. Proyek HiLink-Dikti Aplikasi Bioteknologi untuk Pembentukan Inkubatorbisnis di Kabupaten Bangka Induk a/n Dr. Ir. Utut Widyastuti. 5. Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, Laboratorium Mikologi, dan Laboratorium Terpadu Biologi atas sarana dan prasarana penelitian. 6. Departemen Agama RI atas kepercayaan dan dukungan dana yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan pascasarjana. 7. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua program Studi Pascasarjana dan Ketua Departemen Biologi IPB, beserta seluruh dosen dan tenaga administratif. 8. Kepala Sekolah Drs. Amri, MM, seluruh guru dan karyawan tata usaha Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 14 Jakarta. 9. PT Koba Tin atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar. 10. Heri Yumaru suami tercinta dan kedua buah hati penulis yaitu Hanifah Asma Ramadhani dan Muhammad Aslam Hibatullah atas segala pengertian dan kasih sayangnya. 11. Keluarga tercinta yaitu Ayahanda H. Sukaryo, Ibunda Hj. Suti, Mas Aang Purwoko dan Nurasiyah, De Indriani dan Dede, serta Papa Suparno dan Mama Ernawati yang selalu memberikan dukungan materil maupun spirituil kepada penulis. 12. Rida dan M. Ilyas yang selalu bersedia membantu penulis. 13. Seluruh rekan-rekan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) terutama Yanti Novera, Adil, dan Sri Suryani yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Semoga sedikit tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya. Amin. Bogor, September 2008 Iing Dwi Lestari

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 April 1977 dari Ayah H. Sukaryo dan Ibu Hj. Suti. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 98 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Program Studi Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan studi di Universitas Negeri Jakarta untuk mengambil Akta Mengajar IV dan lulus pada tahun Tahun 2000 penulis bekerja sebagai guru honorer di Madrasah Aliyah Negeri 14 Jakarta sebagai guru Biologi. Pada tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama RI.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Kerangka Pemikiran... 3 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 5 Hipotesis Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Lahan Bekas Tambang Timah di PT. Koba Tin, Koba-Bangka... 6 Keragaman Jenis... 8 Serasah... 9 Keragaman Fungi METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Pengukuran Parameter Ekologi Pengukuran Produksi Serasah Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Pengambilan Sampel Tanah Pengambilan Sampel Akar Pengambilan Sampel Serasah Isolasi Fungi Identifikasi Fungi HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi Analisis Tanah... 23

12 Produksi Serasah Laju Dekomposisi Serasah Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Hutan Sekunder Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Hutan Sekunder Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Hutan Sekunder Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Callophyllum lanigerum di Lokasi Hutan Sekunder Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Vitex pubescens di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Paraserianthes falcataria di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Potensi Tumbuhan Indigenos dan Keragaman Funginya KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Indeks Nilai Penting (INP) jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian Analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian Analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian Rata-rata produksi serasah di lokasi penelitian Rata-rata laju dekomposisi serasah dan residience time beberapa tumbuhan setelah 21 hari terdekomposisi... 30

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka Peta pulau Bangka (sumber PT.Koba Tin 2004) Desain unit contoh vegetasi dalam metode kuadrat Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk menampung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi penelitian Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian Berat kering sisa serasah daun di hutan sekunder yang didekomposisikan selama 3 minggu Berat kering sisa serasah daun di Nibung 2 yang didekomposisikan selama 3 minggu Berat kering sisa serasah daun di Jongkong 1 yang didekomposisikan selama 3 minggu Keragaman fungi pada Dyera costulata di Hutan sekunder Fungi Paecilomyces sp4. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium Fungi Miselia sterilia 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa Fungi Miselia sterilia 3 dengan perbesaran 150x (a) Hifa Fungi Coelomomyces dengan perbesaran 150x (a) Hifa Fungi Penicillium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidiofor (b) Konidium Fungi Basidiomycetes isolat 2 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit Fungi Basidiomycetes isolat 3 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit Fungi Aspergillus sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor Fungi Trichoderma sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor... 36

15 20 Fungi Aspergillus niger dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor Fungi Volutella sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor Keragaman fungi pada Schima wallichii di Hutan sekunder Fungi Phoma sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidia Fungi Paecilomyces sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor Fungi Penicillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor Fungi Synchephalatrum sp. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor Keragaman fungi pada Acacia mangium di Hutan sekunder Fungi Cunninghamella sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor Fungi Acremonium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor Fungi Basidiomycetes isolat 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit Fungi Fusarium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia Fungi Penicillium sp3. dengan perbesaran 1500x (a) Konidium Fungi Verticillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Konidium Fungi Fusarium sp2. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia Keragaman fungi pada Callophyllum lanigerum di Hutan sekunder Fungi Fusarium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia (d) Konidiofor Fungi Dematiaceae dengan perbesaran 600x (a) Hifa Fungi Cladosporium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium Fungi Penicillium sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium Keragaman fungi pada Dyera costulata di Nibung Fungi Curvularia sp. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Konidium Fungi Trichoderma sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor Fungi Gliocladium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor xv

16 44 Fungi Paecilomyces sp2. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor Keragaman fungi pada Schima wallichii di Nibung Fungi Paecilomyces sp3. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor Fungi Miselis sterilia 2 dengan perbesaran 150x (a) Hifa Fungi Paecilomyces sp5. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor Keragaman fungi pada Acacia mangium di Nibung Keragaman fungi pada Vitex pubescens di Nibung Keragaman fungi pada Paraserianthes falcataria di Nibung Keragaman fungi pada Dyera costulata di Jongkong Keragaman fungi pada Schima wallichii di Jongkong Keragaman fungi pada Acacia mangium di Jongkong xvi

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data lokasi penelitian Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Hutan Sekunder Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Hutan Sekunder Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Hutan Sekunder Nilai Indeks Penting pada fase semai di Hutan Sekunder Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Hutan Sekunder Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Nibung Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Nibung Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Nibung Nilai Indeks Penting pada fase semai di Nibung Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Nibung Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Jongkong Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Jongkong Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong Luas penutupan tajuk (T) dan luas bidang dasar pohon (B) yang digunakan Hasil dekomposisi serasah pohon di Hutan Sekunder Hasil dekomposisi serasah pohon di Nibung Hasil dekomposisi serasah pohon di Jongkong Bentuk kanopi tumbuhan pada fase pohon yang digunakan saat pengukuran produksi dan laju dekomposisi serasah Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media CMC Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media CMC... 79

18 27 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan media CMC Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media Alkali lignin Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media Alkali lignin Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan media Alkali lignin... 82

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bangka merupakan penghasil utama timah di Indonesia. Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam berupa perubahan struktur morfologi tanah yang dilanjutkan dengan kerusakan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dampak penambangan timah menyebabkan perubahan iklim seperti suhu, kelembaban, dan kandungan hara tanah. Aktivitas penambangan menurunkan kesuburan tanah, mengurangi areal hutan, berkurangnya ketersediaan hasil hutan yang penting, menurunkan keragaman vegetasi jenis tumbuhan dan hewan, perubahan topografi, pencemaran dan terganggunya sistem aliran air di sekitar lokasi, kerusakan yang sangat parah sulit untuk direhabilitasi. Akibat hilangnya fungsi hutan tersebut, maka produktivitas dan stabilitas lahan akan menurun. Suksesi secara alami untuk memperbaiki lahan bekas tambang timah tanpa adanya campur tangan manusia membutuhkan waktu yang sangat lama. Tarmie (2005) menyatakan revegetasi alami pada lahan bekas tambang timah setelah belasan tahun terdiri dari Dicranopteris sp. (pakis), Melastoma sp., dan Eragrotis sp. (rumput-rumputan). Kriteria pemilihan jenis tumbuhan untuk revegetasi sementara ini berdasarkan atas sifat katalitik yang dimiliki jenis tersebut antara lain cepat tumbuh di lingkungan marginal dan memungkinkan jenis lain tumbuh kemudian, buahnya mudah disebarkan oleh burung pemakan buah, dan serasah mudah mengalami dekomposisi. Revegetasi lahan bekas tambang biasanya dengan cara pengadaan bibit tumbuhan pionir yang dapat mengikat N, cepat tumbuh, tahan kering, berdaun banyak dan mudah melapuk. Vegetasi merupakan salah satu komponen biotik yang dapat tumbuh pada suatu wilayah tertentu dan dapat dijadikan sebagai cerminan dari iklim, tanah, topografi, dan ketinggian yang saling berinteraksi secara kompleks. Setiap jenis tumbuhan membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi jenis tumbuhan dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan jenis lainnya serta kondisi

20 pertumbuhan yang berbeda dengan jenis lainnya. Vegetasi yang berupa pohon pada suatu wilayah juga menunjukan struktur dan komposisi yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan pada habitatnya secara umum. Hutan alami dan hutan hasil revegetasi bekas tambang timah di pulau Bangka diharapkan menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis fauna dan flora sehingga memiliki kekayaan jenis yang beragam. Keragaman jenis tersebut dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan diantaranya kesuburan tanahnya. Salah satu faktor penentu kesuburan tanah adalah serasah. Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari organ tumbuhan yang mati dan jatuh ke lantai hutan. Komponen serasah tersebut terdiri dari organ-organ vegetatif seperti daun, ranting, dan cabang, serta organ-organ reproduktif seperti bunga, buah dan biji. Serasah sebagai guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang jatuh disebabkan oleh faktor ketuaan (senescens), stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), kombinasi antara keduanya, kematian serta kerusakan seluruh bagian tumbuhan oleh iklim (Yunasfi 2006). Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami mineralisasi melalui tahap-tahap dekomposisi. Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi dan mikroorganisme yang adaptif tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim, dan kegiatan pasca penambangan. Kemampuan tumbuh vegetasi pada lahan pasca tambang sangat bergantung pada mikroorganisme yang bermanfaat baik, bersimbiosis maupun hidup bebas pada rizosfer tumbuhan. Hal ini karena lahan pasca tambang selain mengalami kerusakan fisik, juga miskin dari mikroorganisme bermanfaat. Fungi tanah merupakan salah satu mikroorganisme yang sangat penting dalam membantu meningkatkan kesuburan tanah dan tumbuhan. Salah satu fungi tanah yang penting ialah fungi rizosfer dan rizoplan. Selain mikoriza, terdapat banyak fungi rizosfer dan rizoplan lain yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan tumbuhan. Fungi rizosfer biasanya hidup bebas, sedangkan fungi rizoplan umumnya hidup bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan inang. Fungi merupakan satu di antara berbagai kelompok mikroorganisme yang memainkan peran sangat penting dalam proses dekomposisi

21 serasah bahan-bahan tumbuhan. Hal ini karena fungi merupakan pengurai utama dedaunan yang memiliki kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti diketahui selulosa dan lignin ini secara bersama merupakan komponen penyusun dinding sel di daun. Telah banyak penelitian yang melaporkan bahwa keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang ditentukan tidak saja oleh vegetasinya tetapi juga oleh mikroorganisme tanahnya, misalnya penggunaan mikoriza. Beberapa mikroorganisme rizosfer berperan penting dalam siklus hara dan proses pembentukan tanah, pertumbuhan tumbuhan, mempengaruhi aktivitas mikroorganisme lainnya dan sebagai pengendali hayati terhadap patogen akar (Mardieni 2003). Oleh karena itu kajian mengenai potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah perlu dilakukan. Perumusan Masalah Penurunan kualitas lingkungan dapat disebabkan oleh penggunaan alat-alat berat dan bahan kimia selama proses produksi pengambilan timah. Berdasarkan pengamatan dilapangan permasalahan yang ada di lahan bekas tambang timah PT. Koba Tin adalah sebagai berikut: 1. Lahan bekas tambang timah memiliki unsur hara dan ph tanah yang rendah, sehingga tumbuhan sulit untuk tumbuh di lahan tersebut. 2. Hilangnya vegetasi alami dan berubahnya ekosistem lingkungan tersebut. 3. Hilangnya mikroorganisme yang berperan dalam mendekomposisikan serasah Kerangka Pemikiran Peneliti Dasar pemikiran peneliti adalah bahwa daerah bekas penambangan timah mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup, sehingga perlu dikaji mengenai suksesi tumbuhan dan keragaman funginya pada revegetasi lahan bekas tambang timah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penentuan strategi rehabilitasi lahan yang baik dan cepat. Kerangka berfikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

22 Lahan bekas tambang timah Penurunan Kualitas Lingkungan Fisik : Topsoil hilang Kimia : Kesuburan tanah menurun Biologi : Vegetasi alami dan mikroorganisme (fungi) hilang Analisis tanah, analisis vegetasi dan identifikasi fungi Informasi tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk peningkatan kualitas lahan bekas tambang timah Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mempelajari struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 2. Mempelajari tentang kesuburan tanah di lahan bekas penambangan timah. 3. Menentukan produksi dan laju dekomposisi serasah pada beberapa tumbuhan. 4. Menginventarisasi keragaman fungi dari rizosfer, akar, dan serasah daun dari beberapa tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 5. Menentukan jenis tumbuhan indigenos dan funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah.

23 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempelajari tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas penambangan timah dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi untuk pertimbangan bagi pemerintah, perusahaan ataupun masyarakat dalam menentukan strategi rehabilitasi lahan bekas penambangan timah yang baik dan cepat. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Adanya variasi keanekaragaman jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 2. Kesuburan tanah di tempat penelitian mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. 3. Ada beberapa jenis tumbuhan yang memiliki nilai produksi dan laju dekomposisi serasah yang tinggi pada lahan revegetasi bekas tambang timah. 4. Ada variasi keanekaragaman jenis fungi pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 5. Ada beberapa jenis tumbuhan indigenos dan keragaman funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah.

24 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Bekas Penambangan Timah di PT Koba Tin, Koba-Bangka PT Koba Tin merupakan perusahaan kerjasama antara MSC (Malaysian Smelting Corporation) dengan pemerintah Republik Indonesia yang bergerak di bidang pertambangan timah. Wilayah kerjanya meliputi areal seluas 619 km 2 yang terletak di bagian Timur-Selatan Pulau Bangka. Kegiatan eksplorasi telah di mulai sejak Desember 1971, dengan percobaan penambangan dilakukan Maret 1973, dan penambangan komersil dimulai April Daerah kuasa pertambangan PT Koba Tin terletak di Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan dengan jangka waktu kontrak karya 30 tahun yang telah berakhir pada tahun Namun sejak terjadi pemindahan kepemilikan saham dari Iluks Resources Limited (Australia) kepada Malaysian Smelting Corporation (Malaysia) pada tahun 2002, PT Koba Tin mendapatkan perpanjangan kontrak karya hingga tahun Lokasi Penelitian Gambar 2 Peta Pulau Bangka (Sumber PT. Koba Tin 2004) Secara geografis Pulau Bangka terletak pada posisi sekitar 2 o 20 sampai 2 o 48 LS dan 106 o 7 sampai 106 o 56 BT. Luas Pulau Bangka sekitar km 2 dengan panjang 214 km dan lebar 50 km. Topografi Pulau Bangka umumnya merupakan hamparan dataran dengan sedikit bergelombang oleh perbukitan. Topografi di wilayah kontrak karya PT Koba Tin merupakan daerah berkontur rendah yang mengikuti pesisir Pantai Koba menuju ke Timur Lubuk Besar, dengan ketinggian sampai 36 m dpl. Kemiringan permukaan tanah rata-rata

25 mengarah ke Utara sesuai aliran arah aliran sungainya. Berdasarkan dokumen AMDAL (1980) diacu dalam PT. Koba Tin (2004), areal tambang timah PT. Koba Tin mempunyai jenis tanah asosiasi podsolik coklat kekuningan dan podsol. Jenis tanah lain yang dapat ditemukan adalah alluvial, regosol dan latosol. Alluvial mempunyai bahan induk bersama pasir dan clay, sementara regosol abuabu mempunyai bahan induk dari pasir. Kegiatan penambangan timah menimbulkan perubahan ekosistem dan morfologi lahan. Ciri yang terlihat pertama kali adalah hilangnya vegetasi alami dengan tanah yang rusak karena horizon tanah tidak teratur, lapisan hitam dan lapisan-lapisan lainnya sudah terbalik. Lahan pasca penambangan berupa hamparan tailing pasir yang mengandung fraksi pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, kandungan bahan organik kurang dari 2% C-organik, daya memegang air sangat rendah, daya permeabilitas air sangat cepat, jumlah mikroorganismenya sangat rendah (Juairiah et al. 2005). Tanah bekas tambang timah dapat berupa tailing dan overburden. Tailing merupakan material sisa dari penambangan timah berupa pasir yang mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang kurang subur. Sedangkan overburden merupakan material yang dipindahkan pada waktu stripping (pengupasan) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir kerikil, dan lain-lain. Pada tumpukan galian overburden telah terjadi pencampuran berbagai lapisan, sehingga yang mengandung unsur hara sudah tidak terlihat lagi, bahkan telah ikut terbawa oleh aliran permukaan. Overburden mempunyai sifat heterogen yang tidak kompak, terdiri dari 2 komponen yaitu (1) top soil yang mengalami proses oksidasi, dan (2) material yang tidak mengalami oksidasi dan pelapukan yang dikenal sebagai bahan induk kurang menyokong pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (PPAT 1990). Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang. Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adatif, iklim, dan kegiatan pasca penambangan. Adapun tujuan rehabilitasi ekosistem hutan yang mengalami degradasi adalah menyediakan, mempercepat dan melangsungkan proses suksesi alami selain untuk menambah produktivitas biologis, mengurangi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah (termasuk

26 bahan organik) dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tumbuhan (Parotta 1993). Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah suatu bentuk komunitas baik flora maupun fauna yang hidup di muka bumi. Primack et al. (1998), diacu dalam Yassir (2005) menyebutkan keragaman hayati harus dilihat dari tingkat jenis, komunitas dan ekosistem, termasuk didalamnya jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, genetik sebagai ekosistem yang di bangun menjadi lingkungan hidup. Dombois et al. (1974) menyatakan bahwa struktur dan komposisi komunitas merupakan salah satu aspek penting untuk mengungkapkan bagaimana kondisi suatu komunitas tersebut dalam sistem kehidupan terutama organisasi populasi dan interaksinya masing-masing. Struktur tumbuhan merupakan organisasi dalam ruang dimana individu-individu membentuk suatu tegakan atau perluasan tipe tegakan membentuk asosiasi secara keseluruhan. Elemen penting dalam struktur tumbuhan adalah bentuk pertumbuhan (growth form), statifikasi, dan penutupan tajuk (coverage). Lebih lanjut Kershaw (1964) diacu dalam Arrijani (2006) membedakan tiga komponen struktur vegetasi yaitu: (1) struktur vertikal yaitu stratifikasi ke dalam lapisan-lapisan menurut ketinggian, (2) struktur horizontal yaitu distribusi ruang areal populasi dan masing-masing individu, (3) jumlah struktur yaitu kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas. Penelitian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kekayaan jenis adalah untuk mengetahui jumlah jenis yang ditemukan pada suatu komunitas. Odum (1993) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dapat mempergunakan indeks kelimpahan jenis (spesies abundance), yaitu suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan jenis di dalam menilai keanekaragaman jenis dapat digunakan sebagai petunjuk kemerataan kelimpahan individu antar setiap jenis. Indeks ini dapat digunakan pula sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Adapun indeks kelimpahan jenis yang sering digunakan oleh beberapa peneliti ekologi adalah indeks kelimpahan jenis dari Shannon-Wiener.

27 Setiadi (1994) diacu dalam Kusumastuti (2005) mendefinisikan revegetasi sebagai suatu usaha manusia untuk memulihkan lahan kritis di luar kawasan hutan dengan maksud agar lahan tersebut berfungsi secara normal. Revegetasi dengan jenis-jenis pohon dan tumbuhan bawah yang terpilih dapat memberikan peranan penting dalam merehabilitasi hutan tropik. Revegetasi dengan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, menambah bahan organik dan produksi serasah yang dihasilkan sebagai humus untuk memperbaiki keseimbangan siklus hara dalam lahan revegetasi. Serasah Serasah merupakan lapisan atas pada lantai hutan yang terdiri dari bagianbagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian-bagian lainnya yang jatuh ke lantai hutan dan belum mengalami proses dekomposisi (Dephut 1997). Selain serasah yang berasal dari tumbuhan, serasah juga dapat berupa hewan yang telah mati pada permukaan tanah. Sehingga pengertian serasah dalam arti luas mencakup semua bahan organik yang tersusun dari bahan-bahan yang telah mati dan jatuh atau berada pada permukaan tanah sebelum mengalami dekomposisi. Secara umum semua serasah tersebut berperan dalam penyediaan bahan organik tanah tiap tahunnya (Deshmukh 1992). Perbedaan produksi serasah disebabkan karena adanya variasi kondisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan pada suatu lokasi tertentu. Selain itu kemampuan masing-masing pohon untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya juga berbeda-beda. Oleh sebab itu struktur dan kompisisi pohon penyusun suatu kawasan hutan juga mempengaruhi produksi serasah pada hutan tersebut (Sallata & Halidah 1990, diacu dalam Arrijani 2006). Arrijani (2006) menyatakan bahwa serasah yang jatuh ke permukaan tanah bermanfaat untuk mempertahankan dan memperbaiki struktur tanah. Dengan adanya serasah pada permukaan tanah, maka akan memberikan banyak manfaat bagi tanah terutama untuk menunjang fungsinya sebagai media tumbuh tumbuhan. Kebaikan serasah pada permukaan tanah antara lain:

28 a. Melindungi agregat-agregat tanah dari daya rusak air hujan atau mencegah erosi. b. Meningkatkan penyerapan air oleh tanah c. Mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan d. Memelihara temperatur dan kelembaban tanah e. Memelihara kandungan bahan organik tanah f. Mengendalikan tumbuhan pengganggu Bahan organik dalam serasah akan mengalami proses dekomposisi atau proses penguraian bahan organik kompleks yang berasal dari tumbuhan dan berlangsung secara fisik maupun kimiawi menjadi senyawa anorganik yang lebih sederhana. Salah satu dari serasah hasil dekomposisi bagi tumbuhan adalah sebagai sumber unsur hara berupa bahan kimia yang dapat diserap oleh tumbuhan yang akan dimanfaatkan dalam proses metabolisme dan pertumbuhan. Keragaman Fungi Fungi merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang anggotanya sangat besar dan dapat ditemukan di hampir semua relung ekologi. Fungi tanah kira-kira 100 kali lebih sedikit daripada bakteri, tetapi biasanya mempunyai biomassa yang lebih besar. Fungi tanah selalu memainkan peranan yang paling besar dalam siklus nutrisi melalui proses dekomposisi dalam tanah, terutama untuk dekomposisi selulosa, kitin, dan lignin yang terdapat pada lapisan tanah bagian atas. Fungi sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme lainnya baik pada tingkat jenis, komunitas dan ekosistem. Jika fungi tidak ada maka proses dekomposisi dan siklus nutrisi dalam tanah akan terhambat, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem (Watling et al. 2002). Habitat fungi di alam ialah tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, kotoran hewan, serasah, bagian tanaman dan hewan mati, dan lain-lain. Fungi hidup pada bahan organik baik yang mati maupun yang hidup. Fungi saprob ialah fungi yang hidup pada bahan organik hidup disebut fungi simbion. Fungi yang hidupnya bersimbiosis terdiri dari simbiosis antagonistik (parasit) dan simbiosis mutualistik. Fungi simbiosis mutualistik diantaranya ialah fungi mikoriza dan endofit.

29 Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan seperti daun, bunga, ranting maupun akar tumbuhan. Fungi ini menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim, dan antibiotik. Fungi endofit secara umum didominasi oleh kelompok Ascomycetes dan fungi bermitospora, serta beberapa Basidiomycetes. Contoh fungi endofit adalah Acremonium (Bacon & White 2000; Clay 1988). Fungi tanah biasanya ialah beberapa Basidiomycetes, Mucorales, Ascomycetes, dan Deuteromycetes. Fungi tanah lain berperan di dalam penyediaan unsur hara fosfat diantaranya ialah Aspergillus sp dan Penicillium sp. Anke (1997) menyatakan bahwa fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma, dan Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa. Fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulose yang berguna dalam penguraian serasah. Kemampuan fungi dalam menguraikan selulosa juga dipengaruhi oleh kualitas serasah itu sendiri, serasah yang memiliki kandungan lignin yang tinggi akan lebih lama terdekomposisi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robinson et al. (1994) menunjukan bahwa pada serasah daun yang mengalami dekomposisi kadar selulosa dan kadar lignin masih berkurang dengan makin lamanya waktu dekomposisi. Konsentrasi unsur hara dan lignin yang terdapat pada serasah daun berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi melalui pengaruhnya terhadap ketersediaan karbon dan unsur hara yang diperlukan oleh fungi.

30 METODOLOGI Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di lahan bekas penambangan timah PT. Koba Tin, Koba-Bangka, dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB (PPSHB IPB). Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2007 sampai bulan Mei Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan di lapangan adalah keragaman vegetasi, serasah daun, dan sampel tanah, sedangkan di laboratorium adalah media isolasi fungi seperti Low Carbon Agar + Rose Bengal (LCA), Carboxymethyl Cellulose Agar (CMC), dan Alkali Lignin, alkohol, dan lain-lain Peralatan yang digunakan di lapangan adalah kompas, meteran, tali rafia, sekop, plastik, dan alat tulis, sedangkan di laboratorium adalah mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, dan lain-lain. Pengukuran Parameter Ekologi Parameter ekologi yang diukur pada lokasi penelitian antara lain kerapatan, frekuensi, dominasi, dan indeks nilai penting masing-masing tumbuhan. Analisis vegetasi yang dilakukan dengan penentuan kurva jenis area dan metode kuadrat (Cox 2002; Setiadi 1998; Kusmana 1997). Kurva jenis area untuk mengetahui berapa % penambahan jenis tumbuhan. Metode kuadrat untuk mengetahui komposisi jenis, peranan dan struktur suatu tipe vegetasi yang diamati. a. Pengukuran kerapatan dan kerapatan relatif masing-masing pohon dilakukan setelah data lapangan dikumpulkan melalui metode kuadrat. Nilai kerapatan dan kerapatan relatif masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kerapatan jenis (K) Jumlah individu suatu jenis = Luas total petak contoh

31 K suatu jenis K. Relatif (KR) = x 100% K total seluruh jenis b. Pengukuran nilai frekuensi dan frekuensi relatif masing-masing jenis dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Dominansi (D) = Luas penutupan suatu jenis Luas petak contoh D. Relatif (DR) D suatu jenis = x100% D seluruh jenis c. Pengukuran nilai dominasi mutlak dan dominasi relatif masing-masing jenis dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Frekuensi (F) Jumlah petak yang diduduki jenis = Jumlah seluruh petak contoh F. Relatif (FR) F suatu jenis = x100 % F seluruh jenis d. Menghitung Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing jenis dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif masing-masing jenis. Rumus yang digunakan adalah: INP a = KR a + FR a + DR a Dimana : INP a = Indeks nilai penting jenis tertentu KR a = Nilai kerapatan relatif jenis tertentu FR a = Nilai frekuensi relatif jenis tertentu DR a = Nilai dominasi relatif jenis tertentu Lokasi penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan keragaman lokasi seperti hutan sekunder dan lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dengan usia 0, 3, 16 dan 28 tahun. Penempatan plot dilakspancang secara acak berdasarkan peta wilayah dan hasil survei di lapangan. Metode penempatan plot menggunakan metode garis berpetak, dengan pengambilan contoh kuadrat (Dombois et al. 1974; Setiadi 1998; Kusmana 1997) dan penempatan jalur/transek secara purposive (Gambar 3).

32 Plot 1 Plot 2 20 m dst 10 m d c b a Keterangan : a. plot 1m x1m untuk tumbuhan bawah dan semai b. plot 2m x 2m untuk pancang c. plot 10m x 10m untuk tiang d. plot 20m x 20m untuk pohon Gambar 3 Desain unit contoh vegetasi dalam Metode Kuadrat. Pada inventarisasi vegetasi perlu dibedakan antara fase pertumbuhan seedling (semai), sapling (pancang), pole (tiang), dan tree (pohon). Adapun perbedaanya adalah: a. Seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai tinggi 1,5 m. b. Sapling (pancang) permudaan yang tingginya >1,5 m dan berdiameter < 10 cm. c. Pole (tiang) pohon-pohon muda yang berdiameter cm. d. Tree (pohon) pohon dewasa dengan diameter >20 cm. Pemilihan sampel pohon untuk pengambilan serasah daun diutamakan tumbuhan dan yang memiliki Nilai Indeks Penting (INP) tinggi karena merupakan jenis yang dominan sehingga penetapannya sebagai sampel diharapkan mewakili semua jenis pohon di lokasi penelitian. Identifikasi dilakukan langsung di lokasi penelitian untuk menentukan nama ilmiah dan nama lokal masing-masing jenis tumbuhan yang ditemukan. Jika terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan tertentu, maka dilakukan koleksi terhadap sampel tumbuhan dan identifikasi lebih lanjut di Herbarium Bogoriense.

33 Pengukuran Produksi Serasah Produksi serasah diukur dengan menggunakan jaring penampung serasah (litter trap) berukuran 1m x 1m dan ditempatkan di bawah kanopi masing-masing pohon yang terpilih sebagai sampel penelitian (Gambar 4). Jumlah dan jenis pohon ditentukan kemudian berdasarkan hasil pemilihan yang ada di lokasi penelitian dan dilakukan dengan 3 kali ulangan untuk masing-masing jenis pohon. Serasah yang tertampung dalam jaring penampung diambil setiap hari selama 3 minggu. Serasah daun ditampung dalam kantong plastik dan diberi label. Lalu ditimbang berat basahnya, dikeringkan dalam oven pengering selama 4 hari atau sampai beratnya tetap, pada suhu 70 o C. Kemudian serasah kering tersebut ditimbang dengan alat timbangan. Parameter yang diukur adalah berat serasah pada masing-masing penampungan serasah dengan menggunakan satuan gram/m 2 /hari (Arrijani 2006; Francesca et al. 2005). Gambar 4 Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk menapung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Untuk menghitung laju dekomposisi serasah digunakan litter bag yang terbuat dari kantong nylon dengan pori 1 mm dengan ukuran 20 x 30 cm. Kantong ini diisi dengan 10 gram serasah daun kering dan kantong-kantong diberi label, kemudian diletakan diatas permukaan tanah berdekatan dengan pohon sampel (Gambar 5). Jumlah kantong yang dipasang disetiap lokasi tergantung hasil pengamatan analisis vegetasi. Kantong yang diambil dan diamati setelah 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Serasah daun yang tersisa dalam kantong ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 70 o C selama 4 hari atau sampai beratnya tetap (Olson 1963; Das 2003).

34 Gambar 5 Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi penelitian. Perhitungan laju dekomposisi diperoleh dari perhitungan yang dilakukan oleh Olson (1963) yaitu dengan rumus: Xt ln kt = Xo. e Xt (1) ( Xt ) = kt Xo Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (residience time) di lantai hutan digunakan rumus: 1 k (2) Dengan pengertian: Xt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g) Xo = bobot serasah awal (g) e = bilangan logaritma natural (2,72) k = laju dekomposisi serasah t = waktu pengamatan (hari) Pengambilan Sampel Tanah Sampel tanah komposit secara diagonal pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan menggunakan bor tanah berdiameter 5 cm pada kedalaman 0 20 cm untuk analisis rutin tanah. Sampel tanah untuk masingmasing lokasi diambil dari 10 petak sampel yang digunakan untuk analisis vegetasi. Sampel tanah tersebut dianalisis kesuburan tanahnya di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor.

35 Teknik pengambilan sampel tanah (rizosfer) untuk isolasi fungi dilakukan dengan cara diambil bagian rizosfer tumbuhan pada kedalaman 0 20 cm dengan menggunakan bor tanah berdiameter 5 cm. Sampel tanah (rizosfer) tersebut dikeringudarakan, diisolasi, dan diidentifikasi di Laboratorium PPSHB IPB. Rizosfer diambil dari daerah yang belum ditambang dan beberapa daerah hasil revegetasi. Pengambilan Sampel Akar Pada pengambilan sampel akar tumbuhan (rizoplan) untuk isolasi fungi dilakukan dengan cara menentukan ujung perakaran dari tumbuhan tersebut, lalu diambil akarnya dengan menggunakan bor tanah berdiameter 10 cm. Akar yang diperoleh dibersihkan dari tanah dan kotoran, lalu disimpan dalam plastik berlabel. Rizoplan diambil dari beberapa tumbuhan hasil analisis vegetasi yang memiliki INP tinggi pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan Sampel Serasah Isolasi serasah untuk identifikasi fungi diambil dari daun segar sebagai kontrol, serasah yang tertampung pada litter trap sebagai serasah minggu ke-0. Sedangkan sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-7 sebagai serasah minggu ke-1, sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-14 sebagai serasah minggu ke-2, dan sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-21 sebagai serasah minggu ke-3. Serasah daun yang diambil tersebut berasal dari beberapa tumbuhan hasil analisis vegetasi yang memiliki INP tinggi pada setiap lokasi penelitian. Isolasi fungi a. Rizosfer dan rizoplan Isolasi fungi rizosfer dengan teknik pengenceran. Sampel tanah ditimbang sebanyak 1g kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml dengan perbandingan 1:10 (bobot/volume) sampai pengenceran 10 3 kali dan dikocok dengan vortex selama menit. Suspensi dari pengenceran 10 3 diambil sebanyak 50µl dan disebar pada media LCA yang mengandung antibiotik dan

36 rose bengal, media CMC, dan media Alkali Lignin, dengan masing-masing media 3 kali ulangan. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 27 o C selama 5 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari. Koloni yang tumbuh selanjutnya dimurnikan dan diidentifikasi (Barnet & Hunter 1998; Domsch et al. 1980; Fassatiova 1986; Gandjar et al. 1999). Sampel akar muda dari tumbuhan hidup (rizoplan) dipotong ± 1cm, cuci dengan air mengalir, direndam alkohol 70% selama 1 menit, bilas dengan akuades, rendam dalam NaOCl 0.5% selama 15 menit, lalu dibilas dengan akuades 3 kali. Tiriskan dengan tissu steril dan ditanam pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin (Bill 1996). b. Dekomposer Daun segar dari tumbuhan hidup (sebagai kontrol) dipotong ± 1cm, cuci dengan air mengalir, direndam alkohol 70% selama 1 menit, bilas dengan akuades, rendam dalam NaOCl 0.5% selama 15 menit, lalu dibilas dengan akuades 3 kali. Tiriskan dengan tissu steril dan ditanam pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin. Sampel serasah daun dikeringudarakan, lalu dihancurkan dengan blender dan dipisahkan dengan saringan bertingkat yaitu 500, 250, dan 125 µm. Butiran serasah yang terdapat pada saringan dengan ukuran 125 µm dicuci dalam air mengalir selama 15 menit, lalu disebar pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin. Identifikasi Fungi Biakan murni fungi diremajakan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi 5-7 hari pada suhu ruang. Isolat fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna dan diameter koloni dan warna massa spora atau konidia. Isolat fungi juga ditumbuhkan pada kaca objek dengan Metode Riddel (Gunawan et al. 2006) yaitu dengan cara meletakkan potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm yang telah ditumbuhi fungi pada kaca objek, yang kemudian ditutup dengan kaca penutup. Isolat pada kaca objek ini ditempatkan dalam cawan Petri berdiameter 9 cm, yang

37 telah diberi pelembab berupa kapas basah. Isolat fungi pada kaca objek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai isolat fungi tumbuh cukup berkembang. Ketika isolat fungi telah berkembang dilakukan pengangkatan kaca penutup yang telah ditumbuhi fungi dengan hati-hati untuk membuang potongan agarnya. Selanjutnya pada bekas potongan agar ditetesi larutan laktofenol untuk membuat kultur permanen. Kaca penutup yang juga telah ditumbuhi fungi selanjutnya ditempatkan di atas larutan laktofenol di atas kaca objek. Kultur kaca ini diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui ciri mikroskopik fungi yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa, konidiofor, konidiogenesis, serta ciri-ciri konidia atau spora (bentuk dan rangkaian) dan ukuran spora. Setelah itu dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi (Domsch et al. 1980; Barnett & Hunter 1998; Fassatiova 1986; Gandjar et al. 1999). Pemeliharaan biakan murni dilakukan dengan cara biakan disimpan dalam parafin cair steril yang menutupi seluruh permukaan biakan

38 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Vegetasi Lokasi penelitian untuk analisis vegetasi ditentukan dengan mempertimbangkan keragaman lokasi seperti hutan sekunder dan lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dengan usia 0, 3, 16, dan 28 tahun (Lampiran 1). Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan hasil survei lokasi yang telah dilakukan. Hutan sekunder merupakan hutan yang pernah mengalami gangguan oleh manusia, misalnya pohon yang diambil kayunya untuk keperluan manusia. Tumbuhan bawah Semai Pancang Tiang Pohon 25 Jumlah jenis tumbuhan Jongkong 5E (0 tahun) Jongkong 24 (3 tahun) Jongkong 1 (16 tahun) Nibung 2 (28 tahun) Hutan sekunder Lokasi Penelitian Gambar 6 Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian. Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian tersaji pada Gambar 6. Pada hutan sekunder jumlah jenis tumbuhan tertinggi dijumpai pada fase pancang sebanyak 18 jenis, fase semai sebanyak 17 jenis, diikuti fase tiang (10), dan fase pohon (9), sedangkan tumbuhan bawah ditemukan 4 jenis. Hal ini menunjukan bahwa hutan sekunder belum memiliki komposisi jenis sesuai dengan hutan hujan tropik secara umum. Hutan hujan tropis memiliki komposisi jenis yang baik karena jumlah jenis semai lebih banyak dari pada pancang, jumlah jenis tumbuhan pancang lebih banyak dari pada tiang, dan jumlah jenis tiang lebih banyak dari pada pohon. Pada Nibung 2 (lahan revegetasi usia 28 tahun) jumlah jenis tertinggi terdapat pada tumbuhan bawah yaitu 12 jenis, fase pancang sebanyak 13, fase semai (7), lalu diikuti fase pohon

39 (6), dan fase tiang (5). Pada lokasi Nibung 2 terjadi pengurangan jumlah jenis pada fase tiang. Pada Jongkong 1 (lahan revegetasi usia 16 tahun) jumlah jenis tumbuhan tertinggi terdapat pada fase pancang sebanyak 20 jenis, lalu fase semai sebanyak 15 jenis, tumbuhan bawah 10 jenis, fase tiang sebanyak 8 jenis, dan fase pohon sebanyak 7 jenis. Sedangkan pada Jongkong 24 (lahan revegetasi usia 3 tahun) terjadi pengurangan jenis tumbuhan, yaitu hanya terdapat pada tumbuhan bawah (9), fase pancang (14) dan semai(4). Hasil analisis vegetasi secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran Perubahan yang mendasar dari lahan bekas penambangan timah ini diduga karena terjadinya perubahan bentang alam, tercuci dan hanyutnya unsur hara tanah. Sehingga terjadi kerusakan ekologi di daerah tersebut dan hanya jenis tumbuhan tertentu saja yang dapat bertahan pada kondisi tanah yang bertekstur pasir ini. Berdasarkan analisis vegetasi pada lahan bekas tambang timah dapat diduga yang pertama kali muncul adalah jenis paku-pakuan yaitu Gleichenia linearis (paku resam) karena jenis tumbuhan ini dijumpai pada tumbuhan bawah di lahan bekas tambang usia revegetasi 3 tahun (Jongkong 24) dan di lahan bekas tambang usia revegetasi 16 tahun (Jongkong 1). Setelah tumbuh jenis pakupakuan dilanjutkan tumbuh jenis vegetasi lain seperti rumput dan permudaan pohon. Jenis paku-pakuan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi karena daya reproduksi yang tinggi pada lahan yang baru dibuka dan berkembang biak dengan sistem vegetatif melalui rhizoma dan generatif melalui spora. Sistem perkembangbiakan dengan rhizoma mengakibatkan organ tumbuhan tersebut tidak terkena penetrasi setelah kondisi lingkungan cukup mendukung, maka akan muncul kembali tunas-tunas jenis paku-pakuan dengan cepat. Jenis vegetasi pada lahan bekas tambang timah memiliki urutan tumbuhan yang tumbuh adalah rumput-rumputan, semak kemudian pohon. Selanjutnya diikuti oleh jenis tumbuhan bawah yang terdiri dari herba dan rumput-rumputan. Beberapa jenis semai yang muncul merupakan jenis baru yang belum ada. Munculnya jenis baru ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu berasal dari tegakan disekitarnya yang penyebarannya dibantu oleh angin, hewan, dan air. Sebaliknya pertumbuhan bawah memiliki pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan kondisi awal. Hal ini diduga terjadi karena pada awal penambangan

40 ketersediaan nutrisi dan ruang tumbuh belum mendukung pertumbuhan tingkat semai, seiring perjalanan waktu kondisi lahan mengalami perubahan sehingga terjadi peningkatan jumlah jenis dan individu. Analisis vegetasi pada hutan sekunder, Nibung 2, dan Jongkong 1 untuk tingkat pohon tercantum pada Tabel 1 yang menunjukkan komposisi dan struktur tumbuhan yang nilainya bervariasi pada setiap jenis. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan karakter pada masing-masing jenis pohon. Acacia mangium memiliki nilai INP tertinggi di setiap lokasi penelitian (Hutan sekunder = , Nibung 2 = , dan Jongkong 1 = ). Acacia mangium merupakan tanaman revegetasi untuk lahan bekas tambang timah. Tabel 1 Indeks Nilai Penting (INP) jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian No Nama Jenis KR FR DR INP Lokal Ilmiah HUTAN SEKUNDER 1 Bintangor Calophyllum lanigerum Akasia Acacia mangium Seru Schima wallichii Pelaik Dyera costulata Kayu arang-arang Syzygium claviflorum Mesiran Ilex cymosa Cempedak Arthocarpus integer Jeled Microcos tomentosa Kayu pengikar Fam: Euphorbiaceae NIBUNG 2 1 Akasia Acacia mangium Leben Vitex pubescens Kenidae Bridelia tomentosa Pelaik Dyera costulata Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schima wallichii JONGKONG 1 1 Akasia Acacia mangium Bebetun Syzygium sp Karet Hevea brosiliensis Pelaik Dyera costulata Samak Eugenia sp Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schima walliichii Tumbuhan yang dominan pada hutan sekunder adalah Acacia mangium, karena tumbuhan ini mempunyai kemampuan adaptasi dan daya reproduksi yang

41 tinggi. Tumbuhan ini tumbuh di lapisan terluar dari hutan sekunder dan tidak dijumpai pada lapisan dalam hutan sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa Acacia mangium yang ada di hutan sekunder merupakan tumbuhan yang tumbuh sendiri karena terbawa oleh manusia ataupun hewan. Tumbuhan Schima wallichii dan Dyera costulata dijumpai pada hutan sekunder dan lahan revegetasi (Nibung 2 dan Jongkong 1). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut dapat beradaptasi di lingkungan yang kurang subur seperti di lahan bekas tambang timah. Revegetasi dengan menggunakan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, penambahan bahan organik dan produksi serasah yang dihasilkan sebagai humus untuk memperbaiki keseimbangan siklus hara pada lahan revegetasi. Vegetasi lokal seperti Imperata cylindrica dan Melastoma malabraticum merupakan jenis tumbuhan bawah yang banyak dijumpai pada lahan bekas tambang. Secara umum Imperata cylindrica (alang-alang) mendominasi di lahan bekas tambang timah, hal ini diduga jenis tumbuhan ini memiliki senyawa alellopati yang dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain. Melastoma malabraticum (kera munting) merupakan vegetasi yang banyak menginvasi lahan bekas tambang timah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tersebut bersifat asam karena memiliki ph rendah dan terjadi penumpukan fosfat pada tanah tersebut (Badri 2004). Analisis Tanah Analisis sifat tanah merupakan indikator penting dalam menilai tingkat kesuburan tanah. Tanah yang dianalisis diambil dari hutan sekunder dan beberapa lahan bekas tambang yang telah direvegetasi. Karakteristik sifat fisik tanah berdasarkan hasil analisis laboratorium yaitu tekstur tanah menunjukkan ukuran butir tanah. Tekstur tanah secara umum dibedakan atas tiga kelas, yaitu pasir (50µ- 2mm), debu (2 µ-50 µ), dan liat (kurang dari 2 µ) (Hardjowigeno 2007). Berdasarkan hasil analisis sampel tanah dari Hutan sekunder, Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E memiliki tekstur tanah yang didominasi oleh pasir (Tabel 2). Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil

42 sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Kondisi demikian menyebabkan tanah-tanah di lokasi penelitian kurang subur, sehingga akan mempengaruhi jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut. Tabel 2 Analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian No Sifat Tanah Hutan Sekunder Nibung 2 (28 tahun) Jongkong 1 (16 tahun) Jongkong 24 (3 tahun) Jongkong 5E (0 tahun) 1 Pasir Debu Liat Karakteristik sifat kimia tanah berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah, terlihat perbedaan status hara antara Hutan sekunder, Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E (Tabel 3). Tanah pada hutan sekunder memiliki ph agak masam (5.6), sedangkan tanah pada lokasi bekas penambangan (Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E) memiliki ph yang bersifat masam (².6-4.9). Berdasarkan Kusumastuti (2005), tanah di wilayah ini mempunyai kesuburan yang rendah karena tingkat kemasamannya yang tinggi (nilai ph rendah). Tabel 3 Analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian N o Sifat Tanah Hutan Sekunder Nibung 2 (28 th) Jongkong 1 (16 th) Jongkong 24 (3 th) Jongkong 5E (0 th) Lab Krit Lab Krit Lab Krit Lab Krit Lab Krit 1 ph (H 2 O) 5.6 AM 4.8 M 4.9 M 4.6 M 4.7 M 2 C (%) 2.11 S 1.61 R 2.83 S 0.40 SR 0.23 SR 3 N (%) 0.12 R 0.12 R 0.16 R 0.02 SR 0.02 SR 4 C/N 18 T 14 S 18 T 18 T 13 S 5 P 2 O 5 Bray-1 mg/kg 24 T 16 S 3 SR 2 SR 3 SR 6 K cmol(+)/kg 0.07 SR 0.07 SR 0.12 R 0.07 SR 0.05 SR 7 Ca cmol(+)/kg 0.25 SR 0.49 SR 0.33 SR 0.32 SR 0.24 SR 8 Mg cmol(+)/kg 0.21 SR 0.23 SR 0.17 SR 0.06 SR 0.06 SR 9 Na cmol(+)/kg 0.07 SR 0.07 SR 0.09 SR 0.06 SR 0.07 SR 1 0 KTK cmol(+)/kg 4.76 SR 3.36 SR 7.77 R 1.75 SR 1.43 SR 1 SR R SR 29 R 29 R 1 KB (%) SR SR SR 1.20 SR 0.89 SR 2 Al cmol(+)/kg Sumber: Data primer dan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Hardjowigeno 2007) Keterangan : Lab: Laboratorium Krit: Kriteria SR: Sangat Rendah R: Rendah S: Sedang T: Tinggi AM: Agak Masam M: Masam

43 Pada hutan sekunder nilai C-organik sebesar 2,11% (tergolong sedang), di Nibung 2 sebesar 1.61% (tergolong rendah), di Jongkong 1 sebesar 2.83% (tergolong sedang), di Jongkong 24 sebesar 0.40% (tergolong sangat rendah), sedangkan di Jongkong 5E sebesar 0.23% (tergolong sangat rendah). Nilai N-total di tiga lokasi penelitian berkriteria rendah yaitu berkisar antara 0.12% %, sedangkan di lokasi Jongkong 24 dan Jongkong 5E berkriteria sangat rendah yaitu 0.02%. Nilai C/N rasio tinggi pada tanah hutan sekunder, Jongkong 1, dan Jongkong 24 yaitu 18, sedangkan tanah pada Nibung 2 dan Jongkong 5E berkriteria sedang (13-14). Jongkong 24 merupakan lahan revegatasi berusia 3 tahun ternyata memiliki C/N rasio tinggi (18). Rendahnya kadar bahan organik di lahan bekas tambang timah disebabkan oleh hilangnya lapisan atas tanah (top soil) dan lapisan bawah (sub soil) pada saat proses awal penambangan, yaitu pada saat pengupasan tanah penutup bahan tambang. Akibatnya lapisan atas dan bawah tanah terbalik dan tertimbun oleh sisa bahan galian tambang timah. Top soil merupakan medium tempat tumbuh tumbuhan karena banyak mengandung bahan organik, unsur makro dan mikro serta mikroorganisme yang membantu mendekomposisikan bahan organik. Hilangnya top soil akan menyebabkan menurunnya produktivitas tumbuhan. Selain itu terbukanya lahan pasca tambang timah juga disebabkan oleh tidak adanya vegetasi yang dapat tumbuh di lahan tersebut. Badri (2004) menyatakan bahwa nilai N-total pada lahan pasca tambang umumnya sangat rendah, walaupun ada juga yang tinggi tetapi masih belum mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan. Hutan sekunder memiliki nilai K, Ca, Mg, Na, dan Al yang sangat rendah (Tabel 3). Hal ini diduga terjadi akibat reaksi tanah yang mengalami ganguan akibat penebangan hutan dan berubahnya fungsi hutan, sehingga menyebabkan berkurangnya unsur-unsur tersebut. Sedangkan rendahnya nilai K, Ca, Mg, Na, dan Al pada bekas lokasi penambangan, diduga akibat aktivitas penambangan yang menyebabkan unsur-unsur tersebut mudah larut atau terbuang. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi jika tidak ada dapat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan (Hardjowigeno 2007).

44 Rendahnya nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada semua lokasi penelitian disebabkan adanya penurunan ph dan kadar bahan organik. KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah, sebab tanah tidak akan mampu menyerap dan menyediakan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan tumbuhan apabila memiliki KTK yang rendah. Nilai KTK dipengaruhi oleh tekstur, ph tanah, jumlah dan tipe liat serta bahan organik. Tekstur tanah berkaitan dengan KTK karena peningkatan fraksi kasar (pasir) akan menurunkan KTK. Produksi Serasah Secara umum produksi serasah dari jenis-jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian sangat bervariasi (Tabel 4). Pengguguran daun atau ranting suatu jenis pohon yang dipengaruhi oleh umur daun, ketersediaan air dalam lingkungan, kelembaban, suhu udara, dan faktor fisiologis dari suatu pohon (Dubeux et al. 2006). Produksi serasah tertinggi pada setiap lokasi dijumpai pada tumbuhan Acacia mangium (Hutan sekunder = 1.74 x 10-4 ton/ha/tahun, Nibung 2 = 3.63 x 10-4 ton/ha/tahun, Jongkong 1 = 3.79 x 10-4 ton/ha/tahun). Produksi serasah untuk tumbuhan Dyera costulata adalah 0.89 x 10-4 ton/ha/tahun (Hutan sekunder), 0.68 x 10-4 ton/ha/tahun (Nibung 2), dan 3.20 x 10-4 ton/ha/tahun (Jongkong 1). Sedangkan pada tumbuhan Schima wallichii memiliki nilai produksi serasah sebesar 0.97 x 10-4 ton/ha/tahun (Hutan sekunder), 0.88 x 10-4 ton/ha/tahun (Nibung 2), dan 1.31 x 10-4 ton/ha/tahun (Jongkong 1). Produksi serasah tertinggi dihasilkan oleh Acacia mangium, hal ini diduga karena Acacia mangium memiliki rata-rata luas penutupan tajuk 3.1 m 2 dan luas bidang dasar 0.17 m 2 (Lampiran 18). Bentuk kanopi untuk jenis tumbuhan yang diberi perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 24. Arrijani (2006) menyatakan bahwa terjadinya perbedaan produksi serasah pada setiap tumbuhan disebabkan karena adanya variasi kodisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan tersebut. Selain itu kemampuan masing-masing pohon untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan disekitarnya juga berbeda-beda. Oleh sebab itu struktur dan komposisi pohon penyusun suatu kawasan hutan juga mempengaruhi produksi serasah pada hutan tersebut. Pada tegakan alamiah dalam

45 suatu kawasan hutan, variasi komposisi jenis penyusun formasi hutan tertentu, tingkat kerapatan pohon dan luas bidang dasar masing-masing tegakan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas serasah sehingga perbedaan parameter tersebut akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam produksi serasah suatu kawasan hutan. N o Tabel 4 Rata-rata produksi serasah di lokasi penelitian Nama jenis pohon Berat kering Lokal Ilmiah g/m 2 /hr Ton/ha/th HUTAN SEKUNDER 1 Pelaik Dyera costulata x Seru Schima wallichii x Akasia Acacia mangium x Bintangor Calophyllum lanigerum x 10-4 NIBUNG 2 1 Pelaik Dyera costulata x Seru Schima wallichii x Akasia Acacia mangium x Leben Vitex pubescens x Sengon Paraserianthes falcataria x 10-4 JONGKONG 1 1 Pelaik Dyera costulata x Seru Schima wallichii x Akasia Acacia mangium x 10-4 Ewusie (1990) yang membandingkan produktivitas tahunan serasah di 4 zona iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10.2 ton/ha/tahun; 5.6 ton/ha/tahun; 3.1 ton/ha/tahun; dan 1.1 ton/ha/tahun. Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan produktivitas serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya. Produksi serasah pada hasil penelitian ini berkisar antara 0.61x10-4 ton/ha/tahun sampai 3.79x10-4 ton/ha/tahun yang berarti produktivitas serasahnya sangat lambat. Hal ini diduga karena lokasi penelitian merupakan lahan yang kurang subur sehingga mempengaruhi produksi serasah yang dihasilkan oleh tumbuhan yang ada. Selain itu produksi serasah dapat dipengaruhi oleh angin atau kombinasi antara angin dengan faktor cuaca lainnya dan proses kematian dari tanaman itu sendiri (Brown 1984). Intensitas cahaya matahari diduga juga mempengaruhi produksi serasah pada suatu tumbuhan, dimana pada proses fotosintesis diperkirakan akan berlangsung lebih cepat dan sempurna bila intensitas cahaya matahari tinggi.

46 Keadaan ini akan mengakibatkan tumbuhan lebih aktif sehingga lebih cepat melakukan regenerasi, misalnya dengan mempercepat proses penggantian daun, dan selama musim kering akan terjadi persaingan antara daun tua dan daun muda untuk mendapatkan sinar matahari. Daun tua yang umumnya berada di bagian bawah tajuk yang kurang mendapat sinar matahari akan lebih cepat menguning dan kemudian gugur karena gagal melakukan fotosintesis (Alrasjid 1986). Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan pergantian daun dan banyaknya daun yang gugur adalah produksi bunga dan buah, aktivitas serangga, dan daun tumbuhan mempunyai masa hidup tertentu tergantung pada jenis tumbuhannya, misalnya A. Marina dan B. Cylindrica masa hidup daunnya 13 bulan dan R. apiculata selama 17 bulan. Laju Dekomposisi Serasah Pada hutan sekunder nilai berat kering sisa serasah daun tumbuhan yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum serasah daun tumbuhan mengalami penurunan berat kering sisa serasah di setiap minggunya. Pada minggu ke 3 berat kering sisa serasah tertinggi terdapat pada Calophyllum lanigerum yaitu 8.58 gram. diikuti Schima wallichii (6.38 gram), Dyera costulata (6.00 gram), dan Acacia mangium (4,00 gram). Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Calophyllum lanigerum Berat kering sisa serasah (gram) Waktu (minggu) Gambar 7 Berat kering sisa serasah daun di hutan sekunder yang didekomposisikan selama 3 minggu.

47 Berat kering sisa serasah daun tumbuhan di Nibung 2 yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 8. Secara umum serasah daun tumbuhan mengalami penurunan berat kering sisa serasah di setiap minggunya. Pada minggu ke 3 berat kering sisa serasah tertinggi terdapat pada Acacia mangium sebesar 7.37 gram, diikuti Schima wallichii (7.35 gram), Paraserianthes falcataria (².84 gram), Vitex pubescens (².80 gram), dan Dyera costulata (3,90 gram). Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Vitex pubescens P. falcataria Berat kering sisa serasah (gram) Waktu (minggu) Gambar 8 Berat kering sisa serasah daun di Nibung 2 yang didekomposisi selama 3 minggu. Pada Jongkong 1 berat kering sisa serasah daun tumbuhan yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum serasah daun tumbuhan mengalami penurunan berat kering sisa serasah di setiap minggunya. Pada minggu ke 3 berat kering sisa serasah tertinggi terdapat pada Acacia mangium sebesar 7.21 gram, diikuti Schima wallichii (5.26 gram). dan Dyera costulata (².83 gram). Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Berat kering sisa serasah (gram) Waktu (minggu) Gambar 9 Berat kering sisa serasah daun di Jongkong 1 yang didekomposisi selama 2 minggu.

48 Laju dekomposisi serasah dapat dilihat berdasarkan kecepatan penyusutan berat kering sisa serasah. Secara umum berat kering sisa serasah daun terendah dijumpai pada Dyera costulata (di Nibung 2 = 3.90 g dan di Jongkong 1 = ².83 g) yang berarti serasah ini memiliki kehilangan serasah terbesar jika dibanding dengan tumbuhan lainnya. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu dekomposisi, kualitas serasah, aktivitas dekomposer, dan faktor lingkungan (Dubeux et al. 2006). Tabel 5 Rata-rata laju dekomposisi serasah dan residience time beberapa tumbuhan setelah 21 hari terdekomposisi Lokasi Jenis Tumbuhan k (tahun -1 ) residience time (tahun) Hutan sekunder Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Calophyllum lanigerum Nibung 2 Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Vitex pubescens Paraserianthes falcataria Jongkong 1 Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Rata-rata laju dekomposisi dan residience time setelah terdekomposisi selama 21 hari di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5. Nilai laju dekomposisi yang terjadi pada serasah daun bervariasi di setiap lokasi (Lampiran 21-23). Pada hutan sekunder laju dekomposisi terbesar terdapat pada Acacia mangium dengan nilai k sebesar 15.93/tahun. lalu diikuti Dyera costulata (8.88/tahun), Schima wallichii (7.81/tahun), dan Calophyllum lanigerum (2.66/tahun). Pada Nibung 2 laju dekomposisi terbesar terdapat pada Dyera costulata dengan nilai k sebesar 16.36/tahun, kemudian Vitex pubescens (12.76/tahun), Paraserianthes falcataria (12.61/tahun), Schima wallichii (5.35/tahun), dan Acacia mangium (5.30/tahun). Sedangkan di Jongkong 1 laju dekomposisi terbesar terdapat pada Dyera costulata dengan nilai k sebesar 13.84/tahun, diikuti Schima wallichii (11.98/tahun), dan Acacia mangium (6.17/tahun). Nilai laju dekomposisi (k) yang tinggi

49 menunjukkan bahwa proses dekomposisi berlangsung cepat. Hal ini terjadi di hutan sekunder yaitu pada serasah Acacia mangium, sedangkan di Nibung 2 dan Jongkong 1 terjadi pada serasah Dyera costulata. Nilai laju dekomposisi serasah Dyera costulata memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tumbuhan lainnya yaitu 16.36/tahun dengan residience time 0.06 tahun (di Nibung 2) dan 13.84/tahun dengan residience time 0.07 tahun (di Jongkong 1). Hal ini menunjukkan bahwa serasah Dyera costulata lebih mudah terdekomposisi jika dibanding dengan serasah dari jenis tumbuhan lainnya. Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro, serta kandungan kimia dari serasah. Tanner (1981) menyatakan perbedaan laju dekomposisi disebabkan oleh faktor tipe hutan, karakteristik daun, serta suhu dan curah hujan. Anderson dan Swift (1984) berpendapat bahwa proses dekomposisi serasah ditentukan oleh 3 variabel utama yaitu komunitas dekomposer alami (makrofauna dan mikroorganisme), sifat bahan organik yang menentukan keteruraian, dan keadaan fisika-kimia lingkungan (iklim makro, edafik, dan tanah). Selain itu laju dekomposisi secara relatif akan berubah-ubah dari satu tempat ke tempat yang lain dan antara satu komponen dengan komponen yang lain. Tergantung pada tempat dekomposisi dan jenis komponen serasah. Polunin (1986) menyatakan proses dekomposisi merupakan suatu proses pencucian. perombakan secara fisik dan tahap katabolisme. Pencucian (leaching) sejumlah tertentu senyawa terlarut dan bahan organik dapat terbebaskan, yang dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti suhu, curah hujan, dan aktivitas dekomposer yang tinggi yaitu bakteri anaerob dan beberapa jenis jamur. Pribadi (2000) menyatakan karakteristik daun meliputi morfologi, anatomi, dan sifat kimia dari setiap jenis tumbuhan akan menghasilkan kecepatan dekomposisi yang berbeda. Aktivitas mikroorganisme yang memiliki enzim tertentu juga berpengaruh terhadap laju dekomposisi.

50 Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Hutan Sekunder Pada rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun Dyera costulata dijumpai 11 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 10. Jenis fungi pada rizosfer Dyera costulata ialah Paecilomyces sp4., Miselia sterilia 1 dan Miselia sterilia 3. Pada akar Dyera costulata diperoleh fungi Penicillium sp1. dan Coelomomyces. Pada daun segar Dyera costulata diperoleh jenis fungi Aspergillus sp1., Basidiomycetes isolat 2, Basidiomycetes isolat 3, dan Coelomomyces. Jenis fungi pada serasah minggu ke-0 ialah Trichoderma sp1. Jenis fungi pada serasah minggu ke-1 ialah Trichoderma sp1., dan Miselia sterilia 1. Jenis fungi pada serasah minggu ke-2 ialah Aspergillus niger dan Penicillium sp1. Jenis fungi pada serasah minggu ke-3 ialah Trichoderma sp1. dan Aspergillus niger. Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Aspergillus niger Penicillium sp1. Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1. Aspergillus niger Trichoderna sp1 Paecilomyces sp4. Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 3 Coelomomyces Penicillium sp1. Basidiomycetes isolat2 Basidiomycetes isolat3 Aspergillus sp1. Coelomomyces Gambar 10 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Hutan sekunder. Pada tumbuhan ini diperoleh fungi saprofit antara lain Paecilomyces, Aspergillus, Trichoderma, Penicillium, Miselia sterilia, dan Basidiomysetes. Sedangkan Coelomomyces merupakan fungi yang bersifat parasit pada serangga (Anke 1997). Paecilomyces sp4. membentuk koloni seperti kapas berwarna kuning kehijauan dengan serbuk berwarna hijau kehitaman dan luar koloni berwarna kuning (Gambar 11 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 11 B). Miselia sterilia 1 membentuk koloni seperti kapas renggang, berwarna putih, steril, dan luar koloni berwarna putih krem sampai putih kecoklatan

51 (Gambar 12 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dan tidak ada sambungan apit (Gambar 12 B). Miselia sterilia 3 membentuk koloni seperti kapas, kompak, padat, berwarna putih ada tetes eksudat, hifanya sangat rapat sehingga waktu diambil sangat liat, dan luar koloni berwarna putih ada lingkar konsentris (Gambar 13 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 13 B). b a A B 100 µm Gambar 11 Fungi Paecilomyces sp4 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium. a A A B 100 µm Gambar 12 Fungi Miselia sterilia 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa. a A B 100 µm Gambar 13 Fungi Miselia sterilia 3 dengan perbesaran 150x (a) Hifa.

52 Coelomomyces yang dijumpai memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu koloni seperti kapas padat, putih krem sampai kecoklatan, ada sklerotia warna hitam, dan sebalik koloni berwarna putih krem sampai coklat tua hingga hitam. Diameter koloni mencapai 8 cm dalam waktu 7 hari inkubasi (Gambar 14 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 14 B). Penicillium sp1. yang diisolasi dari akar Dyera costulata memiliki ciri-ciri makroskopis koloni seperti kapas padat, kompak, berbubuk berwarna hijau keabuabuan tersusun secara lingkar konsentris, dan sebalik koloni berwarna putih kekuningan. Koloni berdiameter 4 cm pada usia 7 hari inkubasi (Gambar 15 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 15 B). a A B 100 µm Gambar 14 Fungi Coelomomyces dengan perbesaran 150x (a) Hifa. b a A B 100 µm Gambar 15 Fungi Penicillium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidiofor (b) Konidium. Basidiomycetes isolat 2 yang diisolasi dari daun segar Dyera costulata memiliki bentuk koloni seperti kapas, putih, miselium terlihat halus, dan luar koloni berwarna putih krem (Gambar 16 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dan terdapat sambungan apit (Gambar 16 B). Basidiomycetes isolat 3 membentuk koloni seperti kapas, tipis, merata dipermukaan agar, hifa terlihat halus agak transparan, dan luar koloni putih

53 (Gambar 17 A). Struktur hifa bersepta, hialin, dan terlihat ada sambungan apit (Gambar 17 B). Aspergillus sp1. yang berhasil diisolasi memiliki bentuk koloni seperti kapas berwarna putih, di tengah berwarna hijau diikuti oleh putih di bagian pinggir, dan tersusun secara konsentris. Diameter koloni mencapai 8 cm pada umur 8 hari inkubasi dalam media PDA. Luar koloni berwarna hijau kekuningan (Gambar 18 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, berwarna agak kehijauan. Konidiofor terlihat hialin dan kepala konidiofor (vesikel) bulat. Konidia berbentuk bulat dan berwarna kuning kehijauan (Gambar 18 B). b A B 100 µm a Gambar 16 Fungi Basidiomycetes isolat 2 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit. q b A B 100 µm Gambar 17 Fungi Basidiomycetes isolat 3 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit

54 a A B 100 µm Gambar 18 Fungi Aspergillus sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor. b Trichoderma sp1. yang dijumpai membentuk koloni seperti kapas berwarna putih, hifanya menggunung, terdapat serbuk berwarna hijau, dan luar koloni berwarna putih kehijauan. Koloni tumbuh cepat pada media PDA, diameter mencapai 6.5 cm setelah diinkubasi selama dua hari (Gambar 19 A). Struktur hifa bersepta dan hialin (Gambar 19 B). Aspergillus niger membentuk koloni seperti kapas putih padat dengan butiran kepala konidia berwarna hitam. Awalnya koloni berwarna putih, lamakelamaan menjadi hitam karena diproduksinya konidia. Sedangkan luar koloni berwarna putih kehitaman. Dalam media PDA diameter koloni mencapai 4.5 cm setelah disimpan dalam suhu 27 o C selama 7 hari masa inkubasi (Gambar 20 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dengan konidia berlimpah berwarna hitam (Gambar 20 B). b a A 100 µm Gambar 19 Fungi Trichoderma sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor. B

55 a A 100 µm Gambar 20 Fungi Aspergillus niger dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor. B b Pada akar tumbuhan Dyera costulata ditemukan jenis fungi Volutella sp. yang tumbuh pada media CMC, dimana media tersebut mengindikasikan bahwa jenis fungi tersebut mampu mendegradasi selulosa. Volutella sp. yang dijumpai membentuk koloni seperti kapas, putih abu-abu gelap, dan luar koloni berwarna abu-abu tua sampai hitam (Gambar 21 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 21 B). a A Gambar 21 Fungi Volutella sp dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) konidiofor. B b 100 µm

56 Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Hutan Sekunder Keragaman fungi pada tumbuhan Schima wallichii dari hasil isolasi adalah 12 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 22. Secara umum diperoleh fungi seperti Aspergillus niger, Paecilomyces, dan Trichoderma. Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Trichoderma sp1. Aspergillus niger Paecilomyces sp1. Penicillium sp1. Trichoderma sp1. Penicillium sp4. Aspergillus niger Paecolomyces sp1. Miselia sterilia 1 Aspergillus niger Paecolomyces sp1. Miselia sterilia 1 Basidiomycetes isolat 1 Phoma sp. Coelomomyces Trichoderma sp2. Aspergillus niger Gambar 22 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Hutan sekunder. Pada rizosfer dari tumbuhan Schima wallichii dijumpai jenis fungi Penicilium sp1. dan Trichoderma sp1. Pada akar tumbuhan ini hanya diperoleh jenis Penicillium sp4. Pada daun segar diperoleh isolasi fungi seperti Basidiomycetes isolat 1, Phoma sp., dan Coelomomyces. Pada serasah daun minggu ke-0 diperoleh jenis fungi Trichoderma sp2. dan Aspergillus niger. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi Aspergillus niger, Paecilomyces sp1., dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh fungi Aspergillus niger, Paecilomyces sp1., dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi Aspergillus niger, Trichoderma sp1., dan Paecilomyces sp 1. Phoma sp. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas berwarna abu-abu tua sampai hitam, terdapat tetes eksudat warna jingga, hifa menggunung, dan luar koloni berwarna abu-abu dengan bercak kehitaman (Gambar 23 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin, konidia terdiri dari 1 sel berbentuk lonjong-oval, dan hialin (Gambar 23 B).

57 Paecilomyces sp1. membentuk koloni seperti kapas berwarna kuning kehijauan, berbubuk seperti tepung, dan luar koloni berwarna putih kecoklatan (Gambar 24 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 24 B). Penicillium sp4. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas bergranula putih, ada garis zonasi, dan luar koloni coklat kekuningan (Gambar 25 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 25 B). a A B 100 µm Gambar 23 Fungi Phoma sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidia. b c Gambar 24 A Paecilomyces sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor. B a 100 µm Fungi a b A 100 µm B Gambar 25 Fungi Penicillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor. Pada serasah minggu ke-0 tumbuhan Schima wallichii ditemukan fungi Syncephalastrun sp. yang tumbuh pada media alkali lignin. Meskipun tumbuh pada media alkali lignin, namun fungi ini diduga hanya memanfaatkan unsur

58 karbon yang telah diuraikan oleh fungi lignolitik yang mendegradasi lignin. Syncephalastrun sp. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas, hifanya aerial, berwarna abu-abu kehitaman transparan, dan luar koloni berwarna abu-abu kehitaman (Gambar 26 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 26 B). A B 100 µm Gambar 26 Fungi Syncephalastrum sp. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor. a b Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Hutan Sekunder Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Paecilomyces sp3 Penicillium sp1. Trichoderma sp1. Paecilomyces sp4. Aspergillus sp1. Cunninghamella sp. Trichoderma sp1. Acremonium sp. Basidiomycetes isolat 1 Miselia sterilia 1 Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Fusarium sp3. Miselia sterilia 1 Gambar 27 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Hutan sekunder. Keragaman fungi pada Acacia mangium sebanyak 11 jenis seperti tersaji pada Gambar 27. Pada rizosfer tumbuhan Acacia mangium ditemukan fungi Paecilomyces sp4., Aspergillus sp1., dan Cunninghamella sp. Pada akar hanya diperoleh fungi Acremonium sp. Pada daun segar diperoleh fungi seperti Fusarium

59 sp3., Basidiomycetes isolat 1, Basidiomycetes isolat 2, dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-0 ditemukan Basidiomycetes isolat 1 dan Miselia steria 1. Pada serasah minggu ke-1 hanya ditemukan fungi Trichoderma sp1. Pada Serasah minggu ke-2 ditemukan fungi Paecilomyces sp3. dan Penicillium sp1. Pada serasah minggu ke-3 hanya diperoleh Trichoderma sp1. Cunninghamella sp. yang diperoleh memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas putih keabu-abuan, menggunung, hifa aerial, dan luar koloni putih keabu-abuan dengan pusat putih krem sampai kehitaman. Koloni tumbuh cepat di media PDA, usia 4 hari setelah diinkubasi berdiameter 8 cm (Gambar 28 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 28 B). Acremonium sp. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas putih dengan hifa terlihat halus, tekstur koloni terlihat kompak, dan luar koloni berwarna putih kecoklatan. Pada media PDA diameter koloni mencapai 1-3 cm setelah diinkubasi selama 7 hari dalam suhu 27 o C (Gambar 29 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidia terdiri dari 1 sel, berbentuk oval dan hialin (Gambar 29 B). Basidiomysetes isolat 1 membentuk koloni seperti kapas kompak, putih, menggunung agak padat, steril, dan luar koloni putih kekuningan (Gambar 30 A). Struktur hifa bersepta, hialin dan terlihat ada sambungan apit (Gambar 30 B). Fusarium sp3. membentuk koloni seperti kapas putih dengan pusat berwarna keunguan, menggunung, tetes eksudat kuning, luar koloni kuning kecoklatan (Gambar 31 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidia terdiri dari makrokonidia dan mikrokonidia (Gambar 31 B). Penicillium sp3. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbetuk seperti kapas padat, berbubuk berwarna hijau kebiruan, dan luar koloni berwarna putih kuning kehijauan (Gambar 32 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 32 B).

60 A B a c b 100 µm Gambar 28 Fungi Cunninghamella sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor.. a A B b c 100 µm Gambar 29 Fungi Acremonium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (c) Konidium (c) Konidiofor. a b A B 100 µm Gambar 30 Fungi Basidiomycetes isolat 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit.

61 . b c a A 100 µm Gambar 31 Fungi Fusarium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Makrokonidia (c) Mikrokonidia. B a A B 100 µm Gambar 32 Fungi Penicillium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Konidium. Pada media alkali lignin dijumpai fungi Verticillium sp. hasil isolasi dari akar Acacia mangium dan Fusarium sp3. hasil isolasi dari serasah minggu ke-3 Acacia mangium. Verticillium sp. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas, putih sampai putih krem, terdapat tetes eksudat, dan luar koloni berwarna putih krem (Gambar 33 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidiofor hialin dengan konidia berbentu oval, terdiri dari 1 sel, dan hialin (Gambar 33 B). Fusarium sp3. yang diperoleh memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas berwarna putih ungu kemerahan, menggunung, dan luar koloni ungu kemerahan (Gambar 34 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Memiliki dua jenis konidia yaitu makrokonidia dan mikrokonidia (Gambar 34 B).

62 b a A B 100 µm Gambar 33 Fungi Verticillium sp dengan perbesaran150x (a) Hifa (b) Konidium. c a b A B 100 µm Gambar 34 Fungi Fusarium sp2. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (c) Mikrokonidia. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Callophyllum lanigerum di Lokasi Hutan Sekunder Keragaman fungi pada tumbuhan Callophyllum lanigerum sebanyak 10 jenis seperti tersaji pada Gambar 35. Pada rizosfer dari tumbuhan Callophyllum lanigerum diperoleh fungi Aspergillus sp1. Pada akar diperoleh fungi seperti Fusarium sp3., Penicillium sp1, Dematiceae, dan Miselia sterilia 1. Pada daun segar diperoleh fungi Miselia sterilia 2 dan Coelomomyces. Pada serasah minggu ke-0 diperoleh fungi Trichoderma sp1. dan Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi Aspergillus niger dan Paecilomyces sp1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh Paecilomyces sp1. dan Fusarium sp1. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh Trichoderma sp1. dan Aspergillus niger.

63 Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Trichoderma sp1. Aspergillus niger Paecilomyces sp1. Fusarium sp1. Aspergillus sp1. Fusarium sp3. Dematiaceae Miselia sterilia 1 Penicillium sp1. Aspergillus niger Paecilomyces sp1. Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 2 Coelomomyces Gambar 35 Keragaman fungi pada Callophyllum lanigerum di Hutan sekunder. Ciri-ciri Fusarium sp1. yang berhasil diisolasi ialah koloni berbentuk seperti kapas, berwarna putih halus agak transparan, luar koloni putih (Gambar 36 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, konidiofor umumnya tidak bercabang, konidia terdiri dari 2 macam yaitu makrokonidia dan mikrokonidia. Mikrokonidia terdiri dari 1-2 sel, hialin, dan fusiform. Sedangkan makrokonidia berbentuk seperti kano perahu, terdiri lebih dari dua sel, dan hialin (Gambar 36 B). Dematiaceae yang dijumpai membentuk koloni seperti kapas padat, abuabu kehitaman, terdapat tetes eksudat, dan luar koloni berwarna hitam (Gambar 37 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan berwarna coklat transparan (Gambar 37 B). c b a d A B 100 µm Gambar 36 Fungi Fusarium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (c) Mikrokonidia (d) Konidiofor.

64 a A B 100 µm Gambar 37 Fungi Dematiaceae dengan perbesaran 600x (a) Hifa. Pada akar tumbuhan Callophyllum lanigerum ditemukan jenis fungi Cladosporium sp. dan Penicillium sp2. yang tumbuh pada media CMC. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis fungi ini mampu mendegradasi selulosa. Cladosporium sp. yang diperoleh membentuk koloni seperti kapas, berbubuk hijau tua coklat gelap dan luar koloni berwarna hitam (Gambar 38 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan berwarna kecoklatan (Gambar 38 B). Ciri-ciri Penicillium sp2. yang berhasil diisolasi ialah koloni berbentuk seperti kapas berwarna putih kecoklatan, berbubuk, dan luar koloni berwarna coklat muda (Gambar 39 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 39 B). a A A A Gambar 38 Fungi Cladosporium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium. a A B 100 µm Gambar 39 Fungi Penicillium sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium.

65 Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Dyera costulata di Nibung 2 dapat dijumpai pada Gambar 40 dan berjumlah 11 jenis fungi. Pada rizosfer tumbuhan Dyera costulata diperoleh Aspergillus sp1. Pada akar diperoleh fungi Phoma sp. dan Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi Miselia sterilia 1. Pada serasah minggu ke-0 dijumpai fungi Trichoderma sp1. dan Trichoderma sp2. Pada serasah minggu ke-1 ditemukan fungi Trichoderma sp1. dan Trichoderma sp2. Pada serasah minggu ke-2 dijumpai fungi Paecilomyces sp1., Aspergillus niger, dan Curvularia sp. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi Trichoderma sp2., Penicillium sp1., dan Aspergillus sp1. Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Trichoderma sp2. Penicillium sp1. Aspergillus sp1. Aspergillus Phoma sp. Dematiaceae Aspergillus niger Paecilomyces sp1. Curvularia sp. Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1. Trichoderma sp2. Trichoderma sp1. Trichoderma sp2. Gambar 40 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Nibung 2. Curvularia sp. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni seperti kapas, sedikit berbubuk berwarna abu-abu coklat tua kehitaman, dan luar koloni berwarna hitam (Gambar 41 A). Diameter koloni setelah diinkubasi selama 7 hari mencapai 7.5 cm, bagian media yang ditumbuhi terasa padat waktu diambil untuk pembuatan kultur kaca objek. Struktur hifa yang terbentuk bersepta, berwarna coklat transparan, dan bercabang. Konidia terdiri dari 4 sel, dengan 2 sel di tepi berwarna coklat terang/transparan, sedangkan 2 sel ditengah berwarna coklat tua (Gambar 41 B).

66 Trichoderma sp2. yang dijumpai memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas tipis berwarna putih, terdapat serbuk berwarna hijau tersusun secara konsentris, dan luar koloni berwarna putih kehijauan. Koloni tumbuh cepat pada media PDA, setelah diinkubasi selama 2 hari diameter mencapai 6 cm (Gambar 42 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 42 B). b a A A 100 µm Gambar 41 Fungi Curvularia sp. dengan perbesaran150x (a) Hifa (d) Konidium. a b A B 100 µm Gambar 42 Fungi Trichoderma sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor. Hasil isolasi fungi yang ditumbuhkan pada media CMC ialah Paecilomyces sp2 dari akar Dyera costulata dan Gliocladium sp. dari serasah minggu ke-1 Dyera costulata. Ini menunjukkan bahwa fungi Paecilomyces sp2 dan Gliocladium sp tersebut mampu mendegradasi selulosa. Ciri-ciri Gliocladium sp. yang berhasil diisolasi ialah koloni berbentuk seperti kapas halus, putih transparan, ada serbuk halus berwarna krem muda, dan luar koloni berwarna putih dengan lingkar konsentris yang jelas (Gambar 43 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin. Konidiofor bercabang dengan

67 percabangan terminal. Konidia bersel satu, berbentuk slindris, dan hialin (Gambar 43 B). Paecilomyces sp2 yang diperoleh membentuk koloni seperti kapas berwarna putih kekuningan, berbubuk, dan luar koloni berwarna coklat kekuningan (Gambar 44 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 44 B). b c a A B 100 µm Gambar 43 Fungi Gliocladium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidum (c) Konidiofor. a A b 100 µm B Gambar 44 Fungi Paecilomyces sp2. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Schima wallichii terdiri dari 9 jenis seperti tersaji pada Gambar 45. Pada rizosfer dari tumbuhan Schima wallichii dijumpai fungi Paecilomyces sp4. dan Miselia sterilia 3. Pada akar hanya diperoleh fungi Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi Miselia sterilia 2 dan Coelomomyces. Pada serasah minggu ke-0 hanya diperoleh Trichoderma sp1.

68 Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi antara lain Trichoderma sp1. dan Paecilomyces sp1. Pada serasah minggu ke-2 dijumpai fungi Paecilomyces sp1. dan Paecilomyces sp3. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi Trichoderma sp1. dan Penicillium sp1. Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Trichoderma sp1. Penicillium sp1. Paecilomyces sp4. Miselia sterilia 3 Paecilomyces sp1. Paecilomyces sp3. Dematiaceae Trichoderma sp1. Paecilomyces sp1. Trichoderma sp1 Miselia sterilia 2 Coelomomyces Gambar 45 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Nibung 2. Paecilomyces sp3. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri koloni berbentuk seperti kapas berwarna kuning kecoklatan, berbubuk dengan lingkar konsentris, dan sebalik koloni berwarna coklat muda (Gambar 46 A). Struktur hifa bersepta dan hialin (Gambar 46 B). Miselia sterilia 2 yang dijumpai memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu koloni berbentuk seperti kapas, menggunung, berwarna putih, dan sebalik koloni putih kekuningan (Gambar 47 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta, hialin, dan tidak ada sambungan apit (Gambar 47 B). b c a A B 100 µm Gambar 46 Fungi Paecilomyces sp3. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor.

69 a A B 100 µm Gambar 47 Fungi Miselia sterilia 2 dengan perbesaran 150x (a) Hifa. Pada rizosfer dan akar tumbuhan Schima wallichii ditemui Paecilomyces sp5. yang tumbuh pada media CMC. Hal ini menunjukkan bahwa fungi tersebut berkemampuan untuk mendegradasi selulosa. Paecilomyces sp5. yang berhasil diisolasi memiliki ciri-ciri yaitu koloni seperti kapas berwarna coklat, berbubuk seperti tepung, dan luar koloni putih kecoklatan(gambar 48 A). Struktur hifa yang terbentuk bersepta dan hialin (Gambar 48 B). a A Gambar 48 Fungi Paecilomyces sp5. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor. b B 100 µm Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Acacia mangium terdiri dari 11 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 49. Hasil isolasi fungi dari rizosfer Acacia mangium ialah Paecilomyces sp4. dan Trichoderma sp1. Pada akar diperoleh fungi Coelomomyces dan Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi Basidiomycetes isolat 3, Basidiomycetes isolat 2, dan Coelomomyces. Pada

70 serasah minggu ke-0 diperoleh fungi Paecilomyces sp1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger, Aspergillus sp1., dan Trichoderma sp1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh fungi seperti Paecilomyces sp1., Paecilomyces sp3., dan Aspergillus niger. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Penicillium sp1. Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Aspergillus niger Penicillium sp1. Paecilomyces sp4 Trichoderma sp1. Paecilomyces sp1. Paecilomyces sp3. Aspergillus niger Coelomycetes Dematiaceae Aspergillus niger Aspergillus sp1. Trichoderma sp1. Paecilomyces sp1. Basidiomycetes isolat 3 Basidiomycetes isolat 2 Coelomomyces Gambar 49 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Nibung 2. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Vitex pubescens di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Vitex pubescens yang diperoleh sebanyak 11 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 50. Pada rizosfer ditemukan fungi seperti Trichoderma sp1. dan Miselia sterilia 1. Fungi yang ditemui pada akar adalah Dematiaceae. Pada daun segar diperoleh fungi seperti Basidiomycetes isolat 1, Basidiomycetes isolat 2, Miselia sterilia 1, dan Miselia sterilia 2. Pada serasah minggu ke-0 hanya diperoleh fungi Penicillium sp1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. Pada serasah minggu ke-2 diperoleh fungi sebagai berikut yaitu Aspergillus niger, Miselia sterilia 1, dan Penicillium sp1. Pada serasah minggu ke-3 diperoleh fungi seperti Cunninghamella sp, Trichoderma sp1, Aspergillus sp1, dan Aspergillus niger.

71 Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Cunninghamella sp. Trichoderma sp1. Aspergillus sp1. Aspergillus niger Aspergillus niger Miselia sterilia 1 Penicillium sp1. Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1 Dematiaceae Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 2 Aspergillus niger Trichoderma sp1. Penicillium sp1. Gambar 50 Keragaman fungi pada Vitex pubescens di Nibung 2. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Paraserianthes falcataria di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) Keragaman fungi pada tumbuhan Paraserianthes falcataria dari hasil isolasi diperoleh 10 jenis fungi (Gambar 51). Pada rizosfer diperoleh fungi seperti Paecilomyces sp4., Aspergillus sp1., dan Miselia sterilia 2. Pada akar tumbuhan diperoleh fungi Aspergillus niger dan Coelomomyces. Pada daun segar diperoleh fungi Coelomomyces, Miselia sterilia 1, dan Miselia sterilia 2. Pada serasah minggu ke-0 hanya diperoleh fungi Trichoderma sp2. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. Pada minggu ke-2 dijumpai fungi seperti Trichoderma sp1. dan Miselia sterilia 1. Pada minggu ke-3 diperoleh fungi seperti Trichoderma sp1. dan Trichoderma sp2.

72 Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Serasah minggu ke 3 Trichoderma sp1. Trichoderma sp2. Trichoderma sp1. Miselia sterilia 1 Aspergillus niger Trichoderma sp1. Trichoderma sp2. Paecilomyces sp4. Aspergillus sp1. Miselia sterilia 2 Aspergillus niger Coelomomyces Coelomomyces Miselia sterilia 1 Miselia sterilia 2 Gambar 51 Keragaman fungi pada Paraserianthes falcataria di Nibung 2. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (Lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Hasil identifikasi fungi pada tumbuhan Dyera costulata sebanyak 9 jenis fungi (Gambar 52). Pada rizosfer dijumpai fungi Aspergillus sp1. Pada akar dijumpai fu Aspergillus niger dan Penicillium sp1. Pada daun segar dijumpai fungi seperti Coelomomyces, Basidiomyces isolat 2, Basidiomyces isolat 3, dan Miselia sterilia 2. Pada serasah minggu ke-0 ditemukan Trichoderma sp1. Pada serasah minggu ke-1 diperoleh fungi seperti Aspergillus niger dan Aspergillus sp1. Pada serasah minggu ke-2 dijumpai fungi seperti Aspergillus niger, Miselia sterilia 1, dan Trichoderma sp1. Fungi yang mendominasi dari hasil isolasi tumbuhan Dyera costulata ialah Aspergillus dan diduga merupakan fungi saprofit. Pada hasil identifikasi ditemukan juga fungi yang diduga bersifat patogen yaitu Coelomomyces.

73 Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Aspergillus niger Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1. Aspergillus sp1. Aspergillus niger Penicillium sp1. Aspergillus niger Aspergillus sp1. Trichoderma sp1. Coelomomyces Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3 Miselia sterilia 2 Gambar 52 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Jongkong 1. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Jongkong 1 (Lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Keragaman fungi untuk tumbuhan Schima wallichii terdiri dari 9 jenis seperti tersaji pada Gambar 53. Hasil identifikasi fungi yang berasal dari rizosfer seperti Miselia sterilia 1 dan Trichoderma sp1. Hasil isolasi fungi dari akar diperoleh Trichoderma sp1. dan Aspergillus niger. Hasil isolasi dari daun segar seperti Basidiomycetes isolat 1, Basidiomycetes isolat 2, Basidiomycetes isolat 3, dan Miselia sterilia. Hasil identifikasi fungi dari isolat serasah minggu ke-0 seperti Trichoderma sp1. Hasil identifikasi fungi dari isolat serasah minggu ke-1 adalah Paecilomyces sp1. dan Penicillium sp. Sedangkan hasil identifikasi pada isolat serasah minggu ke-2 adalah Penicillium sp. Berdasarkan hasil identifikasi fungi tersebut diatas maka diduga semua jenis fungi tersebut berperan sebagai saprofit. I

74 Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Penicillium sp1 Miselia sterilia 1 Trichoderma sp1. Penicillium sp1. Paecilomyces sp1. Trichoderma sp1. Trichoderma sp1. Aspergillus niger Basidiomycetes isolat 1 Basidiomycetes isolat 2 Basidiomycetes isolat 3 Miselia sterilia 1 Gambar 53 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Jongkong 1. Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (Lahan Revegetasi Usia 16 tahun) Keragaman fungi untuk tumbuhan Acacia mangium terdiri dari 6 jenis fungi seperti tersaji pada Gambar 54. Secara umum fungi yang diperoleh bersifat saprofit seperti Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. Pada tumbuhan ini ada fungi yang diduga bersifat patogen yaitu Fusarium sp3. Tanah Akar Daun segar Serasah minggu ke 0 Serasah minggu ke 1 Serasah minggu ke 2 Trichoderma sp1 Penicillium sp1. Aspergillus niger Trichoderma sp1. Dematiaceae Trichoderma sp1. Basidiomycetes isolat 1 Fusarium sp3. Gambar 54 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Jongkong 1.

75 Pada tumbuhan Acacia mangium diperoleh fungi Penicillim sp1. yang berasal dari isolat rizosfer, Dematiaceae berasal dari isolat akar, Basidiomycetes isolat 1 dan Fusarium sp3. berasal dari isolat daun segar, Trichoderma sp1. berasal dari serasah minggu ke-0, Aspergillus niger dan Trichoderma sp1. berasal dari isolat serasah minggu ke-1, dan isolat serasah minggu ke-2 hanya ditemukan Trichoderma sp1. Secara umum jenis-jenis fungi yang diperoleh pada penelitian ini yang berasal dari serasah daun dari beberapa jenis tumbuhan pada tiap-tiap minggunya bervariasi, baik dari jumlah ataupun dari jenisnya. Hal ini diduga karena waktu pengamatan yang relatif singkat sehingga proses dekomposisi masih relatif lambat, kualitas serasah daun, dan faktor lingkungan. Fungi berperan penting dalam ekosistem yaitu untuk mempercepat proses dekomposisi serasah daun. Fungi merupakan pengurai utama serasah daun tumbuhan karena mempunyai kemampuan menguraikan selulosa dan lignin. Seperti telah diketahui bahwa selulosa dan lignin merupakan komponen utama penyusun dinding sel di daun. Pada daun tumbuhan banyak dijumpai fungi yang bersifat parasitik dan saprofit. Pada hasil isolasi-isolasi tersebut diperoleh beberapa fungi yang secara umum bersifat saprofit seperti Trichoderma, Aspergillus, Paecilomyces, Penicillium, Miselia sterilia, dan Basidiomycetes. Fungi Aspergillus, Penicillium, dan Trichoderma merupakan fungi pendegradasi selulosa, sedangkan Basidiomycetes merupakan fungi yang mampu mendegradasi selulosa dan lignin dengan baik (Suciatmih 2001). Beberapa fungi mampu mendegradasi selulosa dengan baik misalnya kelompok Basidiomycetes, Trichoderma sp., Cladosporium sp., dan Paecilomyces sp. (Anke 1997; Gandjar et al. 2006) Fungi yang diduga bersifat parasit antara lain ialah Coelomomyces, Acremonium, Fusarium, Cunninghamella, dan Phoma. Hal ini diduga bahwa jaringan tua (senescent) dan jaringan mati berpengaruh terhadap keberadaan jenis fungi parasit, saprofit primer dan sekunder yang menggunakan karbohidrat sederhana terutama selulosa dan lignin sebagai makanan. Secara alami suksesi fungi pada tumbuhan diawali oleh tumbuhnya fungi patogen lemah, lalu diikuti fungi saprofit, dan kemudian fungi dekomposer (Frankland 1998). Organ tumbuhan seperti akar, batang, dan daun bisa saja dihuni oleh fungi patogen, saat

76 organ-organ tersebut mulai tua dan menguning tapi belum gugur (senescent) maka akan ditumbuhi oleh fungi saprofit yang masih memanfaatkan senyawa-senyawa sederhana. Setelah organ-organ tumbuhan tersebut mati maka akan tumbuh jenis fungi dekomposer yang menguraikan senyawa-senyawa lebih kompleks seperti selulosa dan lignin. Secara umum jenis fungi yang diperoleh merupakan fungi yang kosmopolit yaitu hidup bebas dan bisa dijumpai pada spektrum habitat yang luas. Dekomposisi adalah proses penghancuran tumbuhan mati secara bertahap yang menyebabkan terurainya struktur organisme yang semula kompleks menjadi bentuk-bentuk sederhana seperti air, karbohidrat dan unsur-unsur hara mineral. Penghancuran serasah dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan dalam proses dekomposisi, yang menyebabkan terjadinya kehilangan bobot materi (organik). Proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara (Yunafis 2006). Anderson dan Swift (1984) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi adalah organisme penghancur (hewan dan jasad renik), kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi), dan lingkungan. Daun-daun senescent jatuh di permukaan tanah, selanjutnya mengalami pembusukan, melepaskan unsur hara, dan secara perlahan menyatu ke dalam struktur tanah. Fungi berperan penting pada saat itu, tetapi relatif masih sedikit jenis-jenis fungi yang berperan. Dekomposisi berbagaimacam tipe serasah suatu tumbuhan setelah dikolonisasi fungi sekunder, biasanya berlangsung satu tahun. Pada tahap ini juga berlangsung sejumlah proses fisika dan kimia. Serasah tumbuhan berada di permukaan tanah selama beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum terdekomposisi sempurna dan akhirnya menyatu ke dalam tanah mineral (Dix & Webster 1995). Potensi Tumbuhan Indigenos dan Keragaman Funginya Tumbuhan indigenos adalah tumbuhan asli di suatu wilayah atau bukan merupakan tumbuhan introduksi. Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan beberapa tumbuhan indigenos yang dapat tumbuh di lahan bekas tambang timah

77 yaitu Dyera costulata dan Schima wallichii. Hal ini menunjukkan bahwa jenisjenis tumbuhan tersebut dapat tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur dan bersifat asam. Pada penelitian ini nilai produksi serasah tumbuhan Dyera costulata dan Schima wallichii lebih rendah jika dibandingkan dengan Acacia mangium. Namun nilai laju dekomposisi serasah Dyera costulata lebih tinggi jika dibanding dengan tumbuhan Acacia mangium dan Schima wallichii. Hal ini diduga karena pengguguran daun atau ranting suatu jenis pohon dipengaruhi oleh umur daun, ketersediaan air dalam lingkungan, kelembaban, suhu udara, dan faktor fisiologis dari suatu pohon. Selain itu laju dekomposisi dipengaruhi oleh lamanya waktu dekomposisi, kualitas serasah, aktivitas dekomposer, dan faktor lingkungan (Dubeux et al. 2006). Pada analisis keragaman fungi dari serasah daun Dyera costulata dan Schima wallichii ditemukan fungi dominan yaitu Aspergillus, Trichoderma dan Basidiomycetes. Jenis-jenis fungi tersebut berperan dalam proses dekomposisi karena mampu mendegradasi selulosa dan lignin (Anke 1997; Griffin 1972; Gandjar et al. 2006). Hasil pengujian laboratorium menunjukkan Aspergillus dan Trichoderma dapat tumbuh pada media CMC (Lampiran 25-27). Hal ini membuktikan bahwa kedua jenis fungi tersebut mampu mendegradasi selulosa. Dan Basidiomycetes dapat tumbuh pada media alkali lignin yang membuktikan bahwa jenis fungi ini mampu mendegradasi lignin (Lampiran 28-30). Berdasarkan penelitian Novera (2008) pada tumbuhan Dyera costulata dan Schima wallichii memiliki persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang cukup tinggi sehingga diduga mampu beradaptasi dengan lahan bekas tambang yang bersifat marginal. Dyera costulata dan Schima wallichii berpotensi sebagai tumbuhan revegetasi pada lahan bekas tambang timah karena memiliki keragaman jenis fungi yang tinggi yang akan membantu proses dekomposisi serasah tumbuhan tersebut sehingga dapat memperbaiki agregat tanah dan unsur hara di dalam tanah Nurtjahya (2003) menyatakan bahwa Dyera costulata dan Schima wallichii merupakan tumbuhan lokal di Pulau Bangka yang dapat digunakan untuk revegetasi di lahan bekas tambang timah karena memiliki kemampuan cepat

78 tumbuh, pengikat nitrogen, dapat tumbuh di lahan yang bernutrisi rendah, serasahnya mudah terdekomposisi, dan mudah diperbanyak. Secara ekonomi tumbuhan Dyera costulata dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar permen, kerajinan tangan, dan pensil (Rosdayanti 2004; Misery 1996). Sedangkan tumbuhan Schima wallichii bermanfaat untuk bahan bangunan dan furniture (Salim 2005).

79 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi didominasi oleh Acacia mangium. Selain itu terdapat beberapa jenis tumbuhan indigenos yang dapat tumbuh di lahan bekas tambang timah yaitu Dyera costulata, Schima wallichii, Callophyllum lanigerum dan Vitex pubescens. Tekstur tanah di lahan bekas tambang timah didominasi oleh pasir, bersifat asam, dan memiliki unsur hara yang rendah. Setiap tumbuhan memiliki 6-11 jenis fungi yang tumbuh pada rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun. Fungi yang diperoleh antara lain ialah Trichoderma, Aspergillus, Penicillium, Fusarium, Miselia sterilia, Cunninghamella, Curvularia, Phoma, Basidiomycetes, Coelomomyces, dan Dematiaceae. Produksi serasah tertinggi dihasilkan oleh tumbuhan Acacia mangium (3.79 x 10-4 ton/ha/tahun). Laju dekomposisi serasah tertinggi dimiliki oleh Dyera costulata yaitu 16.36/tahun dengan residience time 0.06 tahun. Fungi yang banyak berperan dalam dekomposisi serasah adalah Trichoderma dan Aspergillus. Jenis tumbuhan indogenous dan funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah adalah Dyera costulata dan Schima wallichii. Saran 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai potensi tumbuhan Dyera costulata dan Schima wallichii sebagai tumbuhan revegetasi di lahan bekas tambang timah. 2. Perlu dilakukan pengidentifikasian secara molekuler mengenai jenis fungi yang diperoleh. 3. Perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui aktivitas fungi yang menguntungkan untuk perbaikan lahan bekas tambang timah.

80 DAFTAR PUSTAKA Alrasjid H Jalur hijau untuk pengelolaan hutan mangrove Pamanukan Jawa Barat. Bul. Pen. Hut. 503: Anderson JM, Swift MJ Decomposition in tropical forest. Dalam : Sutton SL & Chadwick AC (eds). Tropical rain forest: Ecology and management. Spec. Publ. series of the British Ecological Society No. 2. Blackwell Scientific Publication. London: Anke T Fungal Biotechnology. New York: Chapman & Hall Company. Arrijani Korelasi model arsitektur pohon dengan laju aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan dan erosi (Suatu studi tentang peranan vegetasi dalam konservasi tanah dan air pada sub-das Cianjur Cisokan Citarum Tengah) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bacon CW, White JF Microbial Endophytes. New York: Marcel Dekker, Inc. Badri LN Karakteristik tanah, vegetasi, dan air kolong pasca tambang timah dan tehnik rehabilitasi lahan untuk keperluan revegetasi (Studi kasus lahan pasca tambang timah Dabo Singkep) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barnett HL, Hunter BB Illustrated Genera of Imperfect Fungi. APS Press. The American Phytopathological Society St. Paul. Minnesota. Bill GF Isolation and análisis of endifitic fungal communities from woody plants. Dalam :Redlin S & Carris LM (eds). In Systematics, Ecology and Evolution of Endophytic Fungi in Grasses and Woody Plants. APS Press, St Paul : Brown MS Mangrove leaf litter production and dinamics. Di dalam: Snedaker SC & Snedaker JG, editor. The Mangrove Ecosystem: Research Methods. UNESCO. United Kingdom: Clay K Fungal endophytes of grasses : A Devensive Mutualism Between Plans and Fungi. Ecology 69:2-9. Cox GW Laboratory Manual of General Ecology. Eight edition. Publisher by McGraw-Hill Higher Education. America. Das DK, Chaturvedi OP Litter quality effects on decomposition rates of forestry plantations. Journal Tropical Ecology 44(2):

81 [Dephut] Departemen Kehutanan Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Ed ke-1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. Deshmuk I Biologi dan Ekologi Tropik. Kartasasmita K dan Dinihardja S. penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Ecology and Tropical Biology. Blackwell Scientific Publications. Dix NJ, Webster J Fungal Ecology. Chapman and Hall. London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. Dubeux JCB, Sollenberger LE, Interrante SM, Vendramini JMB, Stewart RL Litter decomposition and mineralization in Bahiagrass Pastures Managed at Different Intensities. J. Crop Science vol 46:( ). Dombois DM, Ellenberg H Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York: John wiley & sons. Domsch KK, Gams W, Anderson TH Compendium of Soil Fungi. Academic Press A Subsidiary of Harcourt Brace Jovanovich. Publishers. London New York Toronto Sydney San Francisco. Ewusie JY Pengantar Ekologi Tropik. Tanuwijaya U. penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Fassatiova O Mould and Filamentous Fungi in Technical Microbiology. Elsevier. Amsterdam Oxford New York Tokyo. Francesca MC, Angelis PD, Polle A Leaf litter production and decomposition in poplar short-rotation coppice exposed to free air CO2 enrichment (POPFACE). J. Global Change Biology (11): Frankland JC Fungal succession-unravelling the unpredictable. J. Mycology 102 (1):1-15. Gandjar I, Samson RA, Karin TV, Ariyanti O, Imam S Pengenalan Kapang Tropik Umum. Depok: Universitas Indonesia. Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Griffin DM General Ecology of Soil Fungi. London: Chapman and Hall. Gunawan AW, Dharmaputra OS, Rahayu R, Sudirman LI, Sukarno N, Listiyowati S Fungi dalam Praktik Laboratorium. Bogor: Mikologi FMIPA IPB. Hardjowigeno S Ilmu tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.

82 Juairiah L, Nurtjahya E, Prawitasari T, Dorly Konduktivitas xylem akar dan batang tumbuhan pionir di lahan pasca penambangan timah di Desa Sempan, Bangka. STIPER Bangka. Kusmana C Metode Survei Vegetasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kusumastuti E Rehabilitasi lahan pasca penambangan timah di pulau bangka dengan amelioran bahan organik dan bahan tanah mineral dengan tumbuhan indikator Jati (Tectona grandis) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Majumder M, Shukla AK, Arunachalam A Nutrient release and fungal succession during decomposition of weed residues in a shifting cultivation system. Communication in Biometry and Crop Science 3 (1): Mardieni T Keragaman fungi rizosfer tanaman Cabai Merah (Capsicum annum var. longum) pada lahan aplikasi pestisida secara berjadwal [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian IPB. Misery CJ Kajian struktur anatomi Kayu Jelutung (Dyera costulata) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nurtjahya E Potential local tree candidates for revegetation sandy tin tailling in Bangka Island. STIPER Bangka. Novera Y Analisis vegetasi, karakteristik tanah dan kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka [makalah seminar Pascasarjana]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Odum EP Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press. Olson JS Energy storage and the balance of producers and decomposers in ecological systems. Ecology 44: Parotta JA Secondary Forest Revegetation on Degraded Tropical Lands: The Role of Platation as Forest Ecosystem. Kluwer Academic Publisher. Dardrecht. The Netherland. [PPAT] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Pusat satuan Lahan dan Tanah Lembar Bangka dan Belinyu Sumatera. Skala 1: Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Pribadi R Small litterfall and leaflitter decomposition of Bintuni Bay. Majalah Ilmu Kelautan 17(5):1-18.

83 PT. Koba Tin Pemaparan tentang kegiatan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan (KP) PT. Koba Tin di Kabupaten Bangka Tengah. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Polunin NVC Decomposition proces in Mangrove Ecosystems. Dalam: Cragg SM & Polunin NVC (eds). Workshop on mangrove Ecosystem Dynamics. Matupore Island Research Station May 1985: Robinson CH, Dighton J, Frankland JC, Roberts JD Fungal communities on decaying wheat strow of different resources quality soil. Biochem. 26: Rosdayanti H Perbanyakan Jelutung Bukit (Dyera costulata) melalui kultur invitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Salim Profil kandungan karbon pada tegakan Puspa (Schima wallichii Korth.) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiadi D, Muhadiono Penuntun Praktikum Ekologi Dasar. Bogor: IPB. Suciatmih Test of lignin and cellulose decomposition and phosphate solubilization by soil fungi of Gunung Halimun. J. Berita Biologi Vol 5 (6): Tanner EV The decompocition of leaf litter in Jamaican montane rain forest. Journal of Ecology. 69: Tarmie RS Komposisi jenis dan struktur tumbuhan pada tanah hapludoxs pada berbagai tipe penggunaan lahan di Desa Sempan Bangka.[skripsi]. Bangka: STIPER Bangka. Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S,. Robinson CH Tropical Micology Vol. 2. Micromycetes. CAB International Publishing. Yassir I Keanekaragaman tumbuhan bawah. potensi Fungi Mikoriza Arbuskula (CMA) dan sifat-sifat tanah pada lahan kritis di Samboja. Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yunasfi Dekomposisi serasah daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada berbagai tingkat salinitas [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

84 LAMPIRAN

85 Lampiran 1 Data lokasi penelitian No NAMA LOKASI USIA REKLAMASI KETINGGIAN (m dpl) DATA GEOGRAFIS 1 HUTAN SEKUNDER (HS) - 7 S 02º 32' 45.2" E 106º 25' 32.9" 2 NIBUNG 2 (NB2) 28 TAHUN 5 S 02º 32' 21.8" E 106º 22' 46.4" 3 JONGKONG 1 (JK1) 16 TAHUN 9 S 02º 33' 39.8" E 106º 24' 07.7" 4 JONGKONG 24 (JK24) 3 TAHUN 5 S 02º 33' 05.4" E 106º 25' 43.3" 5 JONGKONG 5E (JK5E) 0 TAHUN 7 S 02º 32' 44.5" E 106º 25' 38" Lampiran 2 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Hutan Sekunder No Nama jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah 1 Bintangor Collophyllum lanigerum Akasia daun lebar Acacia mangium Seru Schiima walliichii ² Pelaik Dyera costulata Kayu arangarang/isut-isut Syzygium claviflorum Mesiran Ilex cymosa Cempedak Arthocarpus integer Jeled Microcos tomentosa Kayu pengikar Fam: Euphorbiaceae

86 Lampiran 3 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Hutan Sekunder No Nama jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah 1 Bebetut Syzygium racemosum Kendung daun lebar Helicia serrata Akasia Acacia mangium Bintangor Collophyllum lanigerum Merapin Rhodamnia cinerea Jack Pelangas Aporusa actandra Mensira Ilex cymosa Jeled Microcos tomentosa Seru Schiima walliichii Cempedak Arthocarpus integer

87 Lampiran 4 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Hutan Sekunder No Nama Jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah 1 Bebetut Syzygium racemosum Bintangor Collophyllum lanigerum Jeled Microcos tomentosa Kayu Batu Ilex cymosa Kendung daun lebar Helicia serrata Merapin Rhodamnia cinerea Mesira Ilex cymosa Pahala Eurya acuminate Pelangas Aporusa actandra Pelawan Tritanium sp Pelempang Putih Gordonia excelsa Pengengkang Elaeocarpus stipularis Samak Eugenia sp Selampit Syzygium lineatum Simpur Dillenia suffruticosa Seru Schiima walliichii Sesapat Anisophyllea disticha Ulas Guioa pubescens

88 Lampiran 5 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Hutan Sekunder No Nama Jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Bebetut Syzygium racemosum Betur Callophyllum sp Bintangor Callophyllum lanigerum Isut-isut/kayu arang-arang Syzygium claviflorum Jeled Microcos tomentosa Kayu Menulang Chionanthus ramiflorus Kelimpuk / Trima/telimpuk Commersonia bartremia Merapin Rhodamnia cinerea Pahala Eurya acuminate Pelangas Aporosa sp Pelawan Tritanium sp Pengengkang Elaeocarpus stipularis Puley Eurycoma longifolia Samak Eugenia sp Selampit Eugenia lineata Seru Schiima walliichii Ulas Guioa pubescens Lampiran 6 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Hutan Sekunder No Nama Jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Rumput Miang Melhania indica Rumput Sesayat Scleria purpurascens Spesies A Anonim Spesies B Anonim Lampiran 7 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Nibung 2 No Nama jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah (%) (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Leben Vitex pubescens Kenidae Bridelia tomentosa Pelaik Dyera costulata Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schiima walliichii

89 Lampiran 8 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Nibung 2 No Nama jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah (%) (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Kayu putih Melaleuca leucadendron Kenidae Bridelia tomentosa Seru Schiima walliichii Spesies 1 Ficus fistulosa Lampiran 9 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Nibung 2 No Nama jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah 1 Merapin Rhodamnia cinerea Leben Vitex pubescens Jeled Microcos tomentosa Pelangas Aporusa actandra Kemeti Syzygium spicatum Pahala Eurya acuminate Kenidae Bridelia tomentosa Selampit Syzygium lineatum Akasia Acacia mangium Seru Schiima walliichii Pelaik Dyera costulata Pengengkang Elaeocarpus stipularis Kayu putih Melaleuca leucadendron Lampiran 10 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Nibung 2 No Nama jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Jeled Microcos tomentosa Katu Hutan Breynia cernua Kenidae Bridelia tomentosa Pelangas Aporosa sp Spesies 3 Borreria laevis Spesies Z Borreria sp

90 Lampiran 11 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Nibung 2 No Nama jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Akar Bebenar Dioscorea pyrifolia Rumput sesayat Scleria purpurascens Serunai Eupatorium pallescens Kera Munting Melastoma malabrathicum Akar Tepelas Tetracera indica Alang alang Imperata cylindrica Putri malu Mimosa pudica Rumput Kemili Anonim Rumput Miang Melhania incana Rumput Gudo Paspalum scorbiculatum Akar hijau Pycnarrhena cauliflora ² Rumput Kacangan Stachytarphyta indica Lampiran 12 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Jongkong 1 No Nama Jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah (%) (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Bebetun Zyzygium sp Karet Hevea brosiliensis Pelaik Dyera costulata Samak Eugenia sp Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schiima walliichii Lampiran 13 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Jongkong 1 No Nama Jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah (%) (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Jambu Mete 3 Karet Anacardium occidentale Hevea brosiliensis Kendung daun lebar Hellicia serrata Pelaik Dyera costulata Samak Eugenia sp Sengon Paraserianthes falcataria Seru Schiima walliichii

91 Lampiran 14 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 1 No Nama Jenis K KR F FR D DR INP Lokal Ilmiah (%) (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Bebetut Syzygium racemosum Bintangor Collophyllum lanigerum Cempedak Arthocarpus integer Karet Havea brosiliensis Kendung daun lebar Hellicia serrata Kenidae Bridelia tomentosa Medang Litsea sp Merapin Rhodamnia cinerea Mesira Ilex cymosa Pelawan Tristanium sp Pelempang hitam Adinandra dumosa Pelempang putih Gordonia excelsa Puley Eurycoma longifolia Samak Eugenia sp Selampit Eugenia lineata Seru Schiima walliichii Spesies batang berpulas Anonim Spesies daun berbulu Glochidion superbum Ulas Guioa pubescens

92 Lampiran 15 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 1 No Nama Jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Bebetut Syzygium racemosum Bintangor Collophyllum lanigerum Katu hutan Breynia cernua Kayu batu Ilex cymosa Kayu putih / gelam Melaleuca leucadendron Kemirai Merapin Rhodamnia cinerea Pengengkang Elaeocarpus stipularis Samak Eugenia sp Seru Schiima walliichii Spesies buah merah Psychotria viridiflora Spesies daun lebar bergerigi Helicia robusta Lampiran 16 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 1 No Nama Jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Akar tepelas Tetracera pallescens Serunai Eupatorium pallescens Melastoma malabathricum Kera munteng Pakis/Adengadeng 4 Stenochlaena palustris Alang-alang Imperata cylindrica Paku resam Gleichenia linearis Rumput kemili Anonim Rumput merah jarum Eleocharis retroflexa Rumput miang Melhania incana Rumput sesayat Scleria purpurascens

93 Lampiran 17 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 24 No Nama jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Akasia Acacia mangium Bebetun Anonim Jeled Microcos tomentosa ² Katu hutan Breynia cernua (Blume) Kayu putih/gelam Melaleuca leucadendron Kayu uba Syzygium sp Kemirai Trema orientalis Leben Vitex pubercens Melangger Scoria blangeran Pelangas Aporosa sp Samak Eugenia sp Seru Schiima walliichii Simpur Dillenia suffruticosa Telimpuk Commersonia bartremia Lampiran 18 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 24 No Nama jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah 1 Akasia Acacia mangium Jeled Microcos tomentosa Katu hutan Breynia cernua Pelaik Dyera costulata Lampiran 19 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 24 No Nama jenis K KR F FR INP Lokal Ilmiah (%) (%) 1 Akar tepelas Tetracera indica Kera munteng Melastoma malabathricum Alang-alang Imperata indica Paku resam Gleichenia linearis Rumput jarum Anonim Rumput kelulut Anonim Rumput miang Melhania incana Rumput sesayat Scleria purpurascens Serunai Eupatorium pallescens

94 Lampiran 20 Luas penutupan tajuk (T) dan luas bidang dasar pohon (B) yang digunakan Lokasi Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Calophyllum lanigerum Vitex pubenscens Paraserianthe s falcataria T B T B T B T B T B T B HS NB JK Lampiran 21 Hasil dekomposisi serasah pohon di hutan sekunder No Tumbuhan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 BK LDS 1/k BK LDS 1/k BK LDS 1/k 1 Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Calophyllum lanigerum BK: Berat kering LDS: Laju dekomposisi serasah Lampiran 22 Hasil dekomposisi serasah pohon di Nibung 2 No Tumbuhan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 BK LDS 1/k BK LDS 1/k BK LDS 1/k 1 Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Vitex pubenscens Paraserianthes falcataria BK: Berat kering LDS: Laju dekomposisi serasah Lampiran 23 Hasil dekomposisi serasah pohon di Jongkong 1 No Tumbuhan Minggu 1 Minggu 2 BK LDS 1/k BK LDS 1/k 1 Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium BK: Berat kering LDS: Laju dekomposisi serasah

95 Lampiran 24 Bentuk kanopi tumbuhan pada fase pohon yang digunakan saat pengukuran produksi dan laju dekomposisi serasah Dyera costulata Schima wallichii Acacia mangium Callophyllum lanigerum Vitex pubescens Paraserianthes falcataria

METODOLOGI. Kerapatan jenis (K)

METODOLOGI. Kerapatan jenis (K) METODOLOGI Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di lahan bekas penambangan timah PT. Koba Tin, Koba-Bangka, dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB (PPSHB IPB). Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bangka merupakan penghasil utama timah di Indonesia. Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam berupa

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA YANTI NOVERA

ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA YANTI NOVERA ANALISIS VEGETASI, KARAKTERISTIK TANAH DAN KOLONISASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA YANTI NOVERA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang bertubuh buah, serasah daun, batang/ranting

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI

PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI PRODUKTIVITAS SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI DI KEBUN CAMPUR SENJOYO SEMARANG JAWA TENGAH SERTA UJI LABORATORIUM ANAKAN MAHONI ( Swietenia macrophylla King ) PADA BERAGAM DOSIS KOMPOS YANG DICAMPUR EM4 Sita

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH

EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH EFEK PEMBERIAN MIKORIZA DAN PEMBENAH TANAH TERHADAP PRODUKSI LEGUMINOSA PADA MEDIA TAILING LIAT DARI PASCA PENAMBANGAN TIMAH SKRIPSI NOVRIDA MAULIDESTA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove pesisir Desa Durian dan Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan penyediaan kayu jati mendorong Perum Perhutani untuk menerapkan silvikultur intensif guna memenuhi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar hutan Indonesia termasuk dalam kategori hutan hujan tropis karena memiliki curah hujan tinggi dan suhu hangat sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan

Lebih terperinci

KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DAN ANORGANIK PADA PEMANTAPAN PERTUMBUHAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) DI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH FAULIA LISFIANI

KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DAN ANORGANIK PADA PEMANTAPAN PERTUMBUHAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) DI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH FAULIA LISFIANI KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DAN ANORGANIK PADA PEMANTAPAN PERTUMBUHAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas) DI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH FAULIA LISFIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Bangka yang memiliki luas daratan 1160000 ha (PPTA 1996), sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan beberapa bukit dengan perbedaan iklim yang relatif kecil (Faber

Lebih terperinci

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH:

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina SETELAH APLIKASI FUNGI Aspergillus sp PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS SKRIPSI OLEH: SAPRIL ANAS HASIBUAN 071202026/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Gajah Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa tambahan nutrien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem tambang terbuka (open pit mining) dengan teknik back filling. Sistem ini merupakan metode konvensional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

KOMPOSISI VEGETASI PADA LAHAN BEKAS TERBAKAR DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT LODY JUNIO

KOMPOSISI VEGETASI PADA LAHAN BEKAS TERBAKAR DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT LODY JUNIO KOMPOSISI VEGETASI PADA LAHAN BEKAS TERBAKAR DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT LODY JUNIO DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TAHURA K.G.P.A.A Mangkunagoro 1 Ngargoyoso merupakan Taman Hutan Raya yang terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Provinsi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman TINJAUAN PUSTAKA Mikroorganisme Endofit Endofit merupakan asosiasi antara mikroorganisme dengan jaringan tanaman. Tipe asosiasi biologis antara mikroorganisme endofit dengan tanaman inang bervariasi mulai

Lebih terperinci

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah hutan di Indonesia pada umumnya berjenis ultisol. Menurut Buckman dan Brady (1982), di ultisol kesuburan tanah rendah, pertumbuhan tanaman dibatasi oleh faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG

KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG KAJIAN PROFIL VEGETASI TERHADAP KONSERVASI AIR (ALIRAN BATANG, CURAHAN TAJUK, DAN INFILTRASI) DI KEBUN CAMPUR SUMBER TIRTA SENJOYO SEMARANG IRFIAH FIROROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great Giant Pineapple (GGP) di Lampung Timur dan PT. Nusantara Tropical Farm, Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting dalam dunia pertanian, karena mikoriza memiliki kemampuan menunjang pertumbuhan

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

SKRIPSI DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI DALAM TANAH PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA PADANG. Oleh: ANDITIAS RAMADHAN

SKRIPSI DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI DALAM TANAH PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA PADANG. Oleh: ANDITIAS RAMADHAN SKRIPSI DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI DALAM TANAH PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT DI KOTA PADANG Oleh: ANDITIAS RAMADHAN 07113013 JURUSAN TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013 DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Bahan dan Alat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Februari sampai dengan November 2009 bertempat di lapangan dan di laboratorium. Penelitian lapangan dilakukan pada lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki diversitas mikroorganisme dengan potensi yang tinggi namun belum semua potensi tersebut terungkap. Baru

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH INOKULASI CENDAWAN ENDOFIT AKAR

PENGARUH INOKULASI CENDAWAN ENDOFIT AKAR PENGARUH INOKULASI CENDAWAN ENDOFIT AKAR Aspergillus niger DAN PERLAKUAN FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI GOGO (Oryza sativa) DAN JAGUNG (Zea mays) SUYOTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Bahan Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah dari rizosfer tanaman Cabai merah (Capsicum

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN Struktur vegetasi tumbuhan bawah diukur menggunakan teknik garis berpetak. Garis berpetak tersebut ditempatkan pada setiap umur tegakan jati. Struktur vegetasi yang diukur didasarkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great Giant Pineapple (GGP) Terbanggi Besar, Lampung Tengah dan PT. Nusantara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter di atas permukaan laut pada bulan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci