BAB II PENGATURAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA. A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan dalam Islam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA. A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan dalam Islam"

Transkripsi

1 24 BAB II PENGATURAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan dalam Islam 1. Pengertian Pernikahan Istilah nikah berasal dari bahasa Arab atau disebut dengan alnikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam u, atau ibarat an al-wath wa al- aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 32 Sedangkan menurut bahasa Indonesia adalah perkawinan. Namun bila dicermati, istilah tersebut mempunyai makna yang sama, dan dalam karya tulis ini digunakan istilah perkawinan. Masalah perkawinan dalam Al-Qur an ditegaskan tidak hanya dalam bentuk garis-garis besar saja, seperti halnya perintah agama melainkan diterangkan secara tafsili/terperinci. 33 Pokok-pokok hukum perkawinan dalam Al Qur an diterangkan dalam lebih dari 8 surat, adapun inti hukum perkawinan dicantumkan dalam Al-Qur an surat Al- Baqarah: mengenai perkawinan, perceraian dan hubungan kerabat karena susuan. Mengenai perintah Allah kepada manusia untuk menikah dalam Al-Qur an disebutkan dalam surat An Nuur: 32 yang artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. 32 Wahbah al-zuhaily, al-figh al-islami Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh Mahmuddin Syukri. Juz VII, Damsyiq: Dar al-fikr, 1989, hal Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1990 hal

2 25 Nabi Muhammad SAW memperkuat Firman Allah di atas dengan bersabda Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang mengikuti sunnahku berarti termasuk golonganku dan barang siapa yang benci sunnahku berarti bukan termasuk golonganku. (HR.Bukhori-Muslim). Terdapat beberapa pengertian terkait dengan istilah perkawinan. Bermacam-macam pendapat dikemukakan oleh ahli di bidang hukum perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedang di pihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Pada bagian ini, akan mengemukakan pengertian perkawinan sebagai acuan teori penelitian yang akan dilaksanakan: a. Sayuti Thalib, perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 34 b. Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang. 35 c. Al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij. 34 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, 2010, Jakarta hal Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Ala Mazahib al-arba ah, Terjemahan oleh Mustafa. t.tp.dar Ihya al-turas al-arabi, 1986, Juz IV hal. 3

3 26 d. Muhammad Abu Zahrah didalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban. 36 e. Imam Taqiyuddin didalam Kifarat al-akhyar mendefinisikan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah alwat (bersetubuh). 37 f. Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. 38 g. R. Abdul Djamali, berpendapat bahwa istilah perkawinan menurut hukum Islam adalah nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam Bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata nikah berarti hubungan seks antara suami isteri, sedangkan ziwaj berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah Muhammad Abu Zahrah, al-ahwal al- Syakhsiyyah, Terjemahan oleh Daud Hanafi Saleh. Qahirah; Dar al-fikr al- Arabi, 1957 hal Imam Taqiyuddin, Kifarat al-akhyar fi Hal ghayat al-ikhtiyar, Terjemahan oleh Mahmud Al-Munawar. Bandung; Al-Ma arif,t.t, Juz II hal Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Kencana, 2004 hal R. Abdul Djamali, Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 2000 hal

4 27 h. Wirjono Prodjodikoro berpendapat perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan. 40 i. Ahmad Azhar Basyir, berpendapat bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT. 41 j. Hilman Hadikusuma menyebutkan perkawinan merupakan perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban dalam rangka melanjutkan keturunan. 42 k. Imam Syafi i, menyebutkan nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan seksual. l. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon goliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 86 ayat 2 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Jakarta, 1993

5 28 m. Mahmud Yunus menyebutkan nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh) beliau mendasarkan pendapatnya itu kepada Hadis Rasul yang berbunyi dikutuki Allah yang menikah (setubuh) dengan tangannya (onani). (Abu Daud). Sedangkan perkawinan menurut Hukum Perkawinan Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah. 44 Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pernikahan/perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Dalam perkataan ikatan lahir batin itu dimaksudkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami istri dalam ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. 2. Hukum Menikah Meskipun pada dasarnya Islam menganjurkan untuk kawin, namun apabila ditinjau dari keadaan melaksanakannya, perkawinan dapat berlaku hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anaas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai 44 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal. 14

6 29 kebolehan/hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi kewajiban. 45 Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf, baik dari segi karakteristik kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masingmasing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya pula, baik persyaratan harta, fisik atau akhlak. Hukum nikah terbagi menjadi 5 (lima) yaitu: a. Fardu (wajib), Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istri yakni pergaulan yang baik. Demikian juga, ia yakin bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan puasa yang dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan dari perbuatan tersebut. b. Haram, Hukum menikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram. Jika seorang wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikahinya menjadi haram Slamat Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal Ibid., hal. 45

7 30 c. Makruh, nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran, seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin terkadang orang tersebut mempunyai dua kondisi yang kontradiktif, yakni antara tuntutan dan larangan. 47 d. Mandub dan mubah jika seseorang dalam kondisi normal, maksudnya memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri Rukun dan Syarat Menikah a. Rukun-rukun Perkawinan Rukun ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Pasal 14 disebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1) Calon Suami dan Calon Istri Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. 47 Ibid., hal Ibid., hal. 47

8 31 Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah : a) Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna. Pasal 15 KHI memberikan ketentuan mengenai hal ini : (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UUP No.l Tahun 1974 yaitu calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 harus mendapat ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (4) dan (5) UU No. l Tahun b) Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani maupun rohani. c) Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa : (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat tetapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17 KHI menyebutkan bahwa : (1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menyatakan lebih dulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

9 32 (2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan. (3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. d) Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan perkawinan, tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Bab IV KHI. 2) Wali Nikah Secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan seseorang perempuan tetapi kalau menurut Muhammad dan Islam dalam kitabnya yang artinya: 49 Saudara yang akrab dari si perempuan tentang ashabahnya, bukan zawil arham atau juga orang yang berhak menikahkannya, karena suatu pernikahan tak bisa dilaksanakan tanpa ada walinya. Dan wali-wali ini apabila dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi kepada dua yaitu: a) Wali Mujbir yaitu wali yang terdiri dari ayah atok hingga ke atas. b) Wali ghairu mujbir yaitu wali yang terdiri selain yang disebutkan di atas yaitu: (1) Saudara laki-laki seibu sebapak (2) Anak laki-laki seibu 49 Ibid., hal 50

10 33 (3)Saudara laki-laki seibu (4)Anak laki-laki dari saudara lak-laki sebapa (5)Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu. 50 c) Wali hakim yaitu kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjukkan olehnya dan yang ketiganya ini (hakim) apabila betul-betul tidak ada wali yang kedua tadi, ataupun ashabah-ashabah tidak ada maka terjadi perpindahan wali itu kepada Hakim (qadhi) sesuai menurut Hadits Rasulullah SAW yang artinya: Tidak nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi wali apabila tidak ada wali untuknya, dikeluarkan oleh Tabrani. 51 Menurut pendapat Zakariya Al-Basri dalam Kitabnya yang artinya: Apabila tidak terdapat wali yang akrab semata-mata juga ada dari ashabahnya dan tidak dari pihak lainnya maka perpindahan wali untuk mengawinkannya ialah Hakim, sesuai dengan menurut kata Rasulullah SAW Hakim menjadi wali bagi orang yang tidak punya wali dan berpindahlah wali tersebut kepada hakim (qadhi) dan juga menurut Hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang mau menikah dengan seseorang perempuan yang tidak ada wali baginya berarti tidak sah. 52 Tetapi ada juga ikhtiaf-ikhtiaf Ulama tentang syarat-syarat adanya wali pernikahan atau juga dengan seizinnya juga si perempuan itu mau nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikuti sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak sah seseorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri dan dibantu hal Ibid., hal Ibid. 52 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, 2009,

11 34 pula oleh Ibnu Muzir. Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang, pendapat ini juga diambilnya dari hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya. 53 Beberapa dalil atau nash yang ada pertaliannya dengan wali nikah, mengenai pentingnya soal wali tersebut dan kutipan ini diambil dari Firman Allah SWT, yang artinya: 3) Saksi Dan janganlah kamu nikahi dengan orang-orang (mereka) musyrik sebelum mereka beriman. 54 Kemudian ada juga hadits untuk menguatkannya, artinya: Dari Abi Musa bahwasanya Rasulullah SAW ia tidak nikah kecuali dengan adanya wali. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abi Daud, Tarmizi Ibnu Hibban dan Hakim. 55 Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi`I adalah suatu keharusan dalam perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan. Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab kabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya ijab kabul diucapkan. Dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli hukum Islam mengenai persaksian dalam perkawinan adalah Hadits Nabi sebagai berikut : Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. 53 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal Ibid., hal Ibid., hal 76

12 35 Dengan Hadits Nabi selain wali diperlukan juga kehadiran dua orang saksi untuk sahnya perkawinan. Dan kedua orang saksi dibawa oleh masing-masing pihak asalkan memenuhi syarat-syarat seperti yang diwajibkan kepada wali. Dua orang saksi hendaknya laki-laki; tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya jumlahnya harus 4 (empat) orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu kalau dilihat dari makna anak kalimat terakhir dari surat (2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan : Perempuan itu mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tetapi laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi dari perempuan. Melalui pernyataan inilah ditetapkan perbandingan saksi laki-laki dan perempuan, adalah 2:4 kalau perempuan dimintakan menjadi saksi dalam suatu perkawinan. Imam Abu Hanifah mengqiaskan persaksian dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah. Tetapi karena akad nikah dipandang lebih utama daripada akad muamalah, maka secara otomatis saksi dalam nikah menjadi lebih utama dan sangat diperlukan daripada saksi-saksi lainnya dalam akad muamalah. Ketentuan mengenai saksi ini termuat dalam Pasal 24 KHI, yaitu : (1)Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaan akad nikah. (2)Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Selanjutnya Pasal 25 KHI menemukan syarat-syarat seorang saksi : a) Mukhalaf. b) Muslim. c) Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan pada waktu akad nikah. Saksi yang tuna rungu dan tuna wicara dapat

13 36 menjadi saksi asal dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berakad. d) Adil, yaitu orang yang taat beragama atau orang yang menjalankan perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut Imam Syafi`i, syarat adil bagi seorang saksi adalah merupakan keharusan, sedangkan menurut Imam Hanafi, saksi tidak harus adil. Beliau membolehkan orang fasiq menjadi saksi, asal dengan kehadirannya dapat tercapai tujuan adanya saksi dalam akad nikah. e) Saksi minimal dua orang laki-laki, jika ternyata tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita. Ketentuan ini didasarkan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat (228) yang artinya berbunyi : Dan persaksikanlah dengan luar orang saksi dari orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dengan dua orang wanita dan saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dalam Pasal 26 KHI disebutkan bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. 3) Akad Nikah (Ijab dan Qabul) Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon

14 37 suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi istrinya yang sah. Ijab Qabul itu sifatnya langsung (tidak ditunda) dan tidak meragukan para saksi. Sedangkan jarak waktu antara ijab ke qabul sekitar 1-2 detik. Kalau jarak waktu itu tidak dipenuhi atau calon pengantin pria diam, merenung atau masih memikir-mikir, akibatnya akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat juga terjadi kalau kabul tidak sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria gemetar, gugup atau berdebar sebelum mengucapkan qabul. Dan untuk pengulangannya calon pengantin pria harus ditenangkan dahulu supaya qabulnya diucapkan dengan mantap dan meyakinkan. Mengenai pelaksanaan ijab qabul, Kompilasi Hukum Islam tetap menjatuhkan pilihan : a) Tetap bersifat majelis secara berhadapan langsung. b) Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa mengurangi hak wanita untuk menolak M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU Nomor 7 Tahun 1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2001, hal. 40

15 38 Memperhatikan ketentuan Pasal 29 KHI, tidak membenarkan pelaksanaan ijab kabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi. Dalam hal calon mempelai berhalangan, KHI memilih alternatif dengan seorang kuasa. Lafaz nikahnya sebagai berikut : Wali akan menyatakan : Saya nikahkan A bin R kepadamu dengan maskawin Rp ,00 tunai. Calon suami (A) segera mengucapkan kabul begitu selesainya kata terakhir dari ijab wali dengan : Saya terima nikahnya A binti R dengan maskawin Rp ,00 tunai. Lafaz nikah ini tidak perlu diulang lagi kalau benar-benar diucapkan dengan tepat, tegas, dan jelas yang kesemuanya dinyatakan oleh para saksi setelah selesai ijab kabul diucapkan. Berarti bahwa para saksi tidak meragukan ijab kabul itu. Dari lafaz nikah ini terdapat kata-kata mengenai maskawin, ialah pemberian mutlak pengantin pria kepada pengantin wanita. Pemberian itu dilakukan sesaat sebelum upacara ijab kabul. Di dalam perkawinan Islam tidak ditetapkan batas pemberian mutlak yang harus dilakukan baik mengenai jumlah, nilai, maupun bentuknya. Tetapi walaupun demikian maskawin itu selalu merupakan benda yang mempunyai nilai sebagai tanda kasih dan menjadi hak milik mutlak pengantin wanita setelah diserahkan. Selain itu dilarang pemberian maskawin yang ditentukan jumlahnya dan tidak terjangkau oleh pada umumnya anggota masyarakat misalnya maskawin 30 ekor kerbau atau 10 kg emas. Agar sighat akad nikah tersebut sah, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai : Pasal 28 KHI menyebutkan bahwa akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 29 KHI mengatur bahwa :

16 39 (1)Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai secara pribadi. (2)Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3)Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Kalau syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan itu telah dipenuhi, maka sahlah perkawinannya dan para pihak saat itu berubah status sebagai suami-istri. Mereka hidup dalam satu kesatuan yang dinamakan keluarga. Dan sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban sebagai suami-istri. b. Syarat-syarat Menikah Syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan menurut R. Abdul Djamali yang dikutip dalam bukunya Hukum Islam, ada enam yaitu : 57 1) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan Calon suami-istri mempunyai dorongan (motivasi) yang sama untuk membentuk suatu kehidupan keluarga. Motivasi mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang diperoleh dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan 57 R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II) Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal

17 40 lanjut berpartisipasi dalam membentuk satu keluarga. Dan keinginan itu sebagai persetujuan kedua belah pihak yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain baik orang tua maupun orang yang dituakan dalam keluarga masing-masing. 2) Dewasa Ukuran kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia melainkan dari kedewasaan fisik dan psikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri. Hal ini ditentukan dari mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tandatanda itu bagi seorang pria sejak pertama kali menghasilkan sperma (baliqh) dan bagi seorang wanita sejak menstruasi pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena yang dimaksud dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam sesuai ilmu kesehatan bagi setiap bangsa yang mungkin ada perbedaannya. Sedangkan kedewasaan psikis dimaksudkan bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan mental yang baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami-istri terutama dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan terhormat. 3) Kesamaan agama Islam Kedua belah pihak pemeluk agama Islam yang sama. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan mereka itu. Bagi seorang wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan seorang pria lain agama dan hukumnya haram. Larangan itu dimaksudkan untuk menjaga dan

18 41 memelihara keturunan yang sah sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan bagi seorang pria Islam yang kuat imannya diperkenankan melakukan perkawinan dengan seorang wanita lain agama, asalkan bukan wanita penyembah berhala kecuali bertobat dan bersedia memeluk agama Islam. 4) Tidak dalam hubungan nasab Hubungan nasab, ialah hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak. Syarat ini diperlukan karena hubungan darah yang dekat baik secara vertikal maupun horisontal tidak dikehendaki, sebab perkawinan dalam keturunan satu darah masih merupakan satu keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran banyak terjadi kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari keturunan itu, sedangkan dari segi psikologi banyak terlihat adanya kelainan psikis dan mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah. 5) Tidak ada hubungan rodhoah Rodhoah ialah sepersusuan, maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya orang lain. Antara pria dan wanita itu haram hukumnya kalau melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan rodhoab ini haram juga hukumnya kalau yang menikah saudara-saudara suami, paman, bibi dan keponakan dari ibu, yang akan menikah dengan anak sepersusuannya. 6) Tidak semenda (mushoharoh)

19 42 Kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara bapak/ibu dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan ibu/bapak. Selain syarat yang dikemukakan di atas, maka ada syarat-syarat khusus bagi seorang wanita yang nantinya akan menjadi ibu rumah tangga sesaat setelah melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat khusus itu ialah : a) Pihak pria tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang ketika akan melangsungkan perkawinan. Kalau pria itu telah beristri 4 orang, maka perkawinan yang ke 5 tidak sah. b) Perkawinan poligami tidak boleh dirangkap antara istri yang masih ada hubungan darah dengan calon istri berikutnya, seperti kakak beradik dalam bersamaan menjadi istri-istri seorang pria. c) Tidak ada perceraian li`an, artinya antara suami-istri terdahulu tidak bercerai karena sumpah sebagai akibat suami menuduh istri berbuat serong atau tuduhan istri bahwa suami berbuat serong. Kalau tuduhan tidak terbukti dan tidak mempunyai saksi lengkap, maka penyelesaian tuduhan terhadap para pihak harus bersumpah sebanyak empat kali dan sumpah yang kelima dilakukan dengan memohon kutukan bagi yang berbohong. Setelah sumpah itu selesai diucapkan di hadapan sidang Pengadilan Agama maka hakim akan memutuskan cerai li`an untuk selama-lamanya. Dan mereka tidak boleh melakukan perkawinan kembali antar sesamanya.

20 43 d) Calon pengantin wanita tidak dalam ikatan perkawinan. Artinya kalau ia masih dalam hubungan perkawinan walaupun tidak seatap atau tidak diketahui domisili suaminya, maka tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang pria lain. Dan dalam keadaan pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) pun harus ada perceraian dahulu karena statusnya masih seorang istri. e) Calon istri tidak dalam masa iddah, artinya ia tidak dalam jangka waktu tunggu. Dan dalam jangka waktu tunggu itu terdiri atas : (1) Ditinggal suami karena meninggal dunia selama 4 bulan 10 hari tidak dalam keadaan hamil. Kalau ada tanda kehamilan sejak ditinggal suami, maka harus menunggu kelahiran bayinya. (2) Cerai biasa, iddahnya tiga kali suci bagi wanita yang masih menstruasi. Kalau wanita itu hamil, maka iddahnya sesudah melahirkan. (3) Iddah tiga bulan lamanya bagi seorang wanita yang telah berhenti menstruasi. Sedangkan bagi wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam perkawinannya, maka tidak ada iddah. Hikmah dari iddah ini sebenarnya untuk menentukan kebersihan wanita selama menjadi ibu rumah tangga, sehingga kalau melahirkan anak setelah putusnya perkawinan akan menjadi keyakinannya bahwa anak itu sebagai keturunannya. 4. Halangan (Mahram) Menikah a. Pengertian Mahram Kata Mahram berasal dari bahasa Arab yaitu Mahram, Mahram memiliki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih istilah mahram ini digunakan untuk menyebut

21 44 wanita yang haram dinikahi oleh pria. 58 Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus yaitu haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh. Dan selanjutnya sebagai penunjang penjelasan pengertian mahram lebih banyak lagi maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa pendapat para mujtahid sebagai berikut: 1) Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain (definisi diatas adalah mahram dalam pengertian umum). 2) Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. 3) Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, Mahram wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya. 59 Dari pengertian-pengertian di atas, bahwa mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan. Masalah tentang Mahram disinggung didalam Al-Qur an seperti dalam surat An-Nisa ayat (23), yang artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu 58 Abdurrahman,Ghazali.Fiqh Munakahat, Prenada Media, Bogor, 2003, hal Sahrani, Sohari, Sahrani.Fikih Munakahat, Raja Wali Pers, Jakarta, 2009, hal. 98

22 45 yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 60 Dari ayat ini dapat dirinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah : 61 1) Ibu kandung 2) Anak-anakmu yang perempuan 3) Saudara-saudaramu yang perempuan 4) Saudara-saudara bapakmu yang perempuan 5) Saudara-saudara ibumu yang perempuan 6) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki 7) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan 8) Ibu-ibumu yang menyusui kamu 9) Saudara perempuan sepersusuan 10) Ibu-ibu isterimu 60 Al-Qur an dan Hadits Digital:Hadits&Qur anweb3 61 Sahrani, Sohari, Sahrani.Fikih Op.Cit., hal. 99

23 46 11) Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri 12) Isteri-isteri anak kandungmu b. Macam-macam Mahram Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara itu dibagi dua, yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu abbad), dan keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu aqqat). 62 Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan, yang telah disepakati ada tiga yaitu: 1) hubungan keturunan atau nasab 2) hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan 3) hubungan persusuan Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu: 1) Zina 2) Li an Imam Syafi I dan Imam Malik bependapat bahwa zina dengan seorang wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak wanitanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza I berpendapat bahwa zina menyebabkan keharaman. 62 Mochammad Anwar, Fiqih Islam : Muamalah, Munakahat, Paroid, dan Jinayah, PT. al- Ma arif, 2010, hal. 40

24 47 Keharaman yang bersifat sementara yaitu karena bilangan, mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan halangan peristrian. 63 1) Tahrim Mu abbad (Keharaman yang Bersifat Abadi) (a) Larangan menikah karena nasab 64 Mahram karena nasab adalah mahram yang berasal dari hubungan darah atau hubungan keluarga. Allah Ta ala berfirman dalam surat An-Nur ayat (31), yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lakilaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. 65 Para ulama tafsir menjelaskan, Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahram bagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah: 66 1) Ayah Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahram bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak 63 Abdurrahman,Ghazali.Fiqh Munakahat, Prenada Media, Bogor, 2003,hal Slamet, Abidin,Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal Al-Qur an dan Hadits Digital:Hadits&Qur anweb3 66 Slamet, Abidin, Op.Cit,hal. 98

25 48 mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tak termasuk mahram bagi wanita. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT, yang artinya, Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (Qs. Al- Ahzab: 4) 2) Anak laki-laki termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka dia tak termasuk mahram berdasarkan pada keterangan di atas. 3) Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja. Saudara laki-laki tiri yang merupakan anak kandung dari bapak saja atau dari ibu saja termasuk dalam kategori mahram bagi wanita. 4) Keponakan, baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan & anak keturunan mereka. Kedudukan keponakan dari saudara kandung maupun saudara tiri sama halnya dengan kedudukan anak dari keturunan sendiri. 5) Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu. Syaikh Abdul Karim Zaidan mengatakan dalam Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar ah Tidak disebutkan bahwa paman termasuk mahram dalam ayat ini (QS. An-Nur: 31) karena kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak. Allah Ta ala berfirman didalam surat Al-Baqarah: 133 yang artinya: Adakah kamu hadir ketika Ya qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anakanaknya, Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab,

26 49 Kami akan menyembah Tuhanmu & Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail & Ishaq. Sedangkan Isma il adalah paman dari putra-putra Ya qub. Dan bahwasanya paman termasuk mahram adalah pendapat jumhur ulama. Berdasarkan ayat di atas wanita yang haram dinikahi karena nasab adalah: 1) Ibu dan garis keturunannya keatas 2) Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita dari hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya, namun hukumnya makruh. 3) Saudara perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja. 4) Bibi (saudara perempuan ayah) 5) Bibi (saudara perempuan ibu) 6) Keponakan dari saudara perempuan 7) Keponakan dari saudara laki-laki. Mereka adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki yang memiliki hubungan dengannya secara abadi. (b) Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan 67 Ar-radha ah atau sepersusuan adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. Larangan menikah karena hubungan sepersusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa: 23 Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan. 67 Slamet, Abidin,Op.Cit.,hal. 100

27 50 Sedangkan sepersusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah sebanyak lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari `Aisyah radhiyallahu `anha, beliau berkata, Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan. (HR. Muslim) 68 Hubungan mahram yang berasal dari persusuan telah disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-nya tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yang artinya, Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari persusuan. (Qs. An-Nisa : 23) Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa mahram bagi wanita dari sebab persusuan adalah seperti mahram dari nasab, yaitu: 1) Bapak persusuan (suami ibu susu), termasuk mahram juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka ke atas. Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu ais meminta izin utk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka saya berkata, Demi Allah, saya tak akan memberi izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu ais, akan tetapi yang menyusuiku adalah istri Abi Qu ais. Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang 68 Ibid., hal 101

28 51 menyusuiku adalah saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu. (HR. Bukhari) 69 2) Anak laki-laki dari ibu susu, termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik laki-laki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka. 3) Saudara laki-laki sepersusuan, baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu. 4) Keponakan persusuan (anak saudara persusuan), baik anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka. 5) Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu) Beberapa macam pokok masalah tentang mahram sepersusuan. 70 1) Mengenai kadar air susu yang menyebabkan keharaman. Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai kadarnya, berapapun kadarnya menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi i berpendapat yang menyebabkan keharaman adalah lima kali susuan. 71 2) Keadaan orang yang menyusui Ada beda pendapat dalam hal ini, apabila seorang anak tidak membutuhkan lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu disapih, kemudian disusui lagi oleh wanita lain. Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Syafi i berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan keharaman , hal Sidi, Gazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Pustaka Antara, Jakarta, 1995, hal Ibid. 71 Amin Farih, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Wali Songo Press, Semarang,

29 52 3) Kesaksian atas susuan Imam Malik berpendapat, bahwa persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian dua orang wanita. Imam Syafi i berpendapat, persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian empat orang wanita. Imam Hanafi berpendapat bahwa boleh kesaksian satu orang wanita. 73 4) Sifat wanita yang menyusui Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita itu menyebabkan keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak. 74 (c) Larangan Menikahi Wanita Yang Diharamkan karena Hubungan Pernikahan (Mushaharah) 75 Mushaharah berasal dari kata ash-shihr. Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, Shihr adalah mahram karena pernikahan. Contohnya, mahram yang disebabkan oleh mushaharah bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istri yang lain (anak tirinya) dan mahram mushaharah bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki). Hubungan mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah SWT dalam tiga ayat firman-nya,yaitu: 2008, hal Ibid. 72 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2010, hal Slamet, Abidin,Op.Cit., hal Muhammad Mas hum Zainy Al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Hikmah, Jombang,

30 53 1) Qs. An-Nur: 31 Artinya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka. 2) Qs. An-Nisa : 22 Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri). 3) Qs. An-Nisa : 23 Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tak berdosa kamu mengawininya, & istri-istri anak kandungmu (menantu). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushaharah adalah: 1) Ayah mertua (ayah suami) Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah & ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas. 2) Anak tiri (anak suami dari istri lain) Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka. 3) Ayah tiri (suami ibu tapi bukan bapak kandungnya)

31 54 Haramnya pernikahan dengan ayah tiri ini berlaku ketika ibunya telah jima dengan ayah tirinya sebelum bercerai. Namun, jika belum terjadi jima, maka diperbolehkan. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu. 4) Menantu laki-laki (suami putri kandung) Kemahraman ini terjadi sejak putrinya di akadkan kepada suaminya. 2) Tahrim Muaqqat (keharaman yang bersifat sementara) 76 Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu laki-laki yang tadinya tidak menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah : 1) Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi. 2) Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri. 76 Ahmad, Beni Saebani. Fiqh Munakahat. Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal.127

32 55 3) Wanita yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi. 4) Istri yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka. 5) Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh dinikahi. 6) Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak. 7) Menikahi wanita pezina, dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya. 8) Menikahi istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat. 9) Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya. Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian

33 56 bersama. Mahram yang bersifat muaqqat atau sementara, yang membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi. c. Dalil Tentang Mahram Didalam Al-Qur an dan Hadits Terkait dengan dalil mahram baik itu dalam Al-Qur an atau hadits sebetulnya sudah disinggung dalam penjelasan-penjelasan diatas tadi tapi pemateri akan memaparkannya lagi yaitu sebagai berikut: 77 a) Dalam Al-Qur an (1) Dalam surat An-Nur ayat (31), yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lakilaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (2) Dalam surat An-Nisa ayat (23), yang artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka 77 Al-Qur an dan Hadits Digital:Hadits&Qur anweb3

34 57 tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (3) Dalam surat Al-Ahzab ayat (4), yang artinya: Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (4) Dalam surat An-Nisa ayat (22), yang artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri). b) Dalam Hadits (1) Tentang Sepersusuan Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu. (HR. Bukhari) 78 B. Pengaturan Poligami 1. Poligami Sebelum Islam Sebelum Islam, bangsa Yahudi membolehkan poligami. Nabi Musa tidak melarang dan bahkan tidak membatasi jumlah istri seseorang yang berpoligami itu. Kitab Ulangan 25/5 mewajibkan saudara laki-laki mengawini janda saudaranya yang meninggal tanpa anak, meskipun ia telah beristri. Kitab Ulangan 21/10-17 juga 78 Slamet, Abidin,Op.Cit., hal. 108

35 58 mengatakan kebolehan poligami, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Nabi Ibrahim pun beristri dua orang dan Nabi Ya qub beristri empat orang. Tidak bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam, umat terdahulu telah mempraktikkan sistem poligami. 79 Sebagaimana di sebutkan terdahulu, untuk mempertegas kembali bahwa cukup banyak fakta sejarah membuktikan. Hal ini diakui oleh Musthafa al-sibai seperti dikatakannya : Poligami itu sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,.pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Mesir dan lain-lain. Dan ditambahkannya : Poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami; bahkan seorang raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak (tiga puluh ribu) orang. 80 Poligami dilakukan orang-orang perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para raja atau para panglima perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan bentuk keperkasaannya seseorang. 81 Dikalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk perkawinan poligami lazim dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki begitu juga jumlah gundiknya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama memberikan penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak Supardi Mursalim, Menolak Poligami, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2007, hal Musthafa al-sibai, Wanita diantara Hukum dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal Abdurrahman Husen, Hitam Putih poligami, Fakultas Ekonnomi UI, 2007, hal Drs. Supardi Mursalin, M.Ag. Menolak Poligami, Op.Cit hal. 18

MACAM-MACAM MAHRAM 1. MAHRAM KARENA NASAB Allah berfirman:

MACAM-MACAM MAHRAM 1. MAHRAM KARENA NASAB Allah berfirman: Mahram Bagi Wanita Masalah mahram bagi wanita banyak diantara kaum muslimin yang kurang memahaminya. Padahal banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita yang berkaitan erat dengan masalah mahram ini.

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6 BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 )

SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) SOAL SEMESTER GANJIL ( 3.8 ) Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam Kompetensi Dasar : Pernikahan dalam Islam ( Hukum, hikmah dan ketentuan Nikah) Kelas : XII (duabelas ) Program : IPA IPS I. Pilihlah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah 56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH A. Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi Dan Mazhab Syafi i Dalam Hal Status Hukum Istri Pasca Mula> anah

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1) SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1) Adapun ketentuan siapa yang mahram dan yang bukan mahram

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN 1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan

Lebih terperinci

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: APAKAH ITU MAHRAM Beberapa waktu yang lalu di berita salah satu televisi swasta nasional menayangkan kontak pemirsa. Di sana ada penelpon yang menyebutkan tentang kegeli-annya terhadap tingkah pejabat-pejabat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian pembatalan perkawinan Yaitu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan menurut istilah ilmu fiqih dipakai perkataan nikah dan perkataan ziwaj, nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya ( hakikat ) dan arti kiasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Syariat Islam telah menjadikan pernikahan menjadi salah

Lebih terperinci

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Pertanyaan Dari: Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H /

Lebih terperinci

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN BAB IV ANALISIS 4 MADZAB FIQIH TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NGANJUK NOMOR 0034/Pdt.P/2016/PA.NGJ TENTANG WALI AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN KHAWATIR KEMBALI KEAGAMANYA SEMULA.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Analisis Status Anak Dari Pembatalan Perkawinan No: 1433/Pdt.G/2008/PA.Jombang Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Menurut

Lebih terperinci

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1 SIAPAKAH MAHRAM KITA SIAPAKAH MAHRAMMU? 1 Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan. 2 Adapun ketentuan siapa yang mahram

Lebih terperinci

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9 A. KELUARGA Untuk membangun sebuah keluarga yang islami, harus dimulai sejak persiapan pernikahan, pelaksanaan pernikahan, sampai pada bagaimana seharusnya suami dan

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA 59 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA A. Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perkawinan di bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar 29 BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR A. Pengertian Ijbar Ijbar berarti paksaan, 1 yaitu memaksakan sesuatu dan mewajibkan melakukan sesuatu. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Harta Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh HENDRIX

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON A. Analisis Hukum Islam terhadap Alasan KUA Melaksanakan Pernikahan dengan Menggunakan Taukil Wali Nikah via Telepon Setelah mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN

MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN NIKAH ANAK PODO MBAREP DI DESA KETEGAN KECAMATAN TANGGULANGIN KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Terhadap Tradisi Larangan Nikah Anak Podo Mbarep Masyarakat desa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP A. Analisis Hukum Islam terhadap Latar Belakang Pelarangan

Lebih terperinci

Apakah Kawin Kontrak Itu?

Apakah Kawin Kontrak Itu? KOPI- Nafsu seksual (syahwat) seorang pria kepada perempuan adalah hal yang fitrah, yaitu hal yang alamiah yang telah ditetapkan adanya oleh Allah kepada manusia (Lihat QS Ali Imran [3] : 14). Hanya saja,

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara

Lebih terperinci

Istri-Istri Rasulullah? Adalah Ibunya Orang-Orang Beriman

Istri-Istri Rasulullah? Adalah Ibunya Orang-Orang Beriman Istri-Istri Rasulullah? Adalah Ibunya Orang-Orang Beriman Khutbah Pertama:?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.????????????:?????????????????????????????????????????

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN NIKAH MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN KECAMATAN LAMONGAN KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR A. Analisis Hukum Islam Terhadap Alasan Larangan Nikah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Penarikan Kembali Hibah Oleh Ahli Waris Di Desa Sumokembangsri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat

BAB I PENDAHULUAN. menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menciptakan manusia di dunia ini menghendaki dan mengangkatnya menjadi khalifah Allah di bumi, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an surat Al-Baqarah:30 Artinya:

Lebih terperinci

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik BAB IV ANALISIS TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM NO.0255/Pdt.G/2013/PA.Pas. di PENGADILAN AGAMA PASURUAN A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya saling kenal-mengenal

Lebih terperinci

BAB II TAUKIL WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM

BAB II TAUKIL WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM BAB II TAUKIL WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM A. Wali Nikah 1. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah Perwalian dalam istilah fikih disebut wila>yah, yang berarti penguasaan dan perlindungan. Yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH 75 BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Pendapat Hakim Tentang Status Istri Setelah

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI 1) TITIN APRIANI, 2) RAMLI, 3) MUHAMMAD AFZAL 1),2) Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III KONSEPSI PERNIKAHAN DALAM UU NO. 1 TAHUN Perkawinan dalam agama Islam disebut dengan nikah dan pengertian

BAB III KONSEPSI PERNIKAHAN DALAM UU NO. 1 TAHUN Perkawinan dalam agama Islam disebut dengan nikah dan pengertian 31 BAB III KONSEPSI PERNIKAHAN DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pengertian, Dasar, Rukun Penikahan A.1. Pengertian Perkawinan Perkawinan dalam agama Islam disebut dengan nikah dan pengertian nikah menurut

Lebih terperinci

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK LELANG UNDIAN DALAM PENYEWAAN TANAH KAS DESA DI DESA SUMBERAGUNG KECAMATAN NGRAHO KABUPATEN BOJONEGORO Dari bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama 58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Wasiat Kepada Non Muslim Perspektif Hukum Islam. 1. Syarat-syarat Mushii a. Mukallaf (baligh dan berakal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN A. Analisis Latar Belakang Terjadinya Pernikahan Sirri Seorang Istri yang Masih dalam Proses

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Alasan-Alasan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pasuruan Fitrah yang diciptakan Allah atas manusia mengharuskan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 1

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpasang-pasangan merupakan sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 1 Firmah Allah SWT dalam

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA 54 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA A. Analisis terhadap mekanisme transaksi pembayaran dengan cek lebih Akad merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. 1 Dalam surat Adz-Dzariyat ayat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Wasiat 1. Pengertian Wasiat Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat merupakan pesan terakhir dari seseorang yang mendekati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk Allah SWT yang bernyawa. Adanya pernikahan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM 40 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM Eksistensi perwalian dalam Islam memiliki dasar hukum yang sangat jelas dan kuat. Hal ini dapat dipahami sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh)

BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) 12 BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk sosial, dalam kehidupanya tersebut manusia membutuhkan interaksi dengan sesamanya, dari interaksi

Lebih terperinci

PERKAWINAN WANITA HAMIL DILUAR NIKAH SERTA AKIBAT HUKUMNYA PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF Oleh. Wahyu Wibisana

PERKAWINAN WANITA HAMIL DILUAR NIKAH SERTA AKIBAT HUKUMNYA PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF Oleh. Wahyu Wibisana PERKAWINAN WANITA HAMIL DILUAR NIKAH SERTA AKIBAT HUKUMNYA PERSPEKTIF FIKIH DAN HUKUM POSITIF Oleh. Wahyu Wibisana Abstrak Fenomena saat ini, banyak wanita hamil karena zina yang salah satu faktornya dikarenakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang 20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan Usia Dini 1. Pengertian Perkawinan Usia Dini Menurut Ali Akbar dalam Rouf (2002) untuk menentukan seseorang melaksanakan kawin usia dini dapat dilihat dari sudut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IJAB QABUL PADA MASYARAKAT SUKU SAMIN

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IJAB QABUL PADA MASYARAKAT SUKU SAMIN 61 BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IJAB QABUL PADA MASYARAKAT SUKU SAMIN Analisis Hukum Islam Terhadap Metode Ijab Qabul Pada Masyarakat Suku Samin di Desa Kutukan Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora

Lebih terperinci

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR: SYARIAH - MUNAKAHAT KOMPETENSI DASAR: Menganalisis ajaran Islam tentang perkawinan Menganalisis unsur-unsur yang berkaitan dengan ajaran perkawinan dalam agama Islam INDIKATOR: Mendeskripsikan ajaran Islam

Lebih terperinci

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ Manhaj yang digunakan tiap organisasi keagamaan pada dasarnya adalah sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang cenderung menggunkan metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG A. Analisis Praktek Jual Beli Emas di Toko Emas Arjuna Semarang Aktivitas jual beli bagi umat Islam sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon) Dimana memiliki sifat yang saling membutuhkan, karena sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Waris Tanpa Anak WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Pertanyaan: Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki

Lebih terperinci

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

Perkawinan dengan Wali Muhakkam FIQIH MUNAKAHAT Perkawinan dengan Wali Muhakkam Jl. KH. Abdurrahman Wahid Kel. Talang Bakung Kec. Jambi Selatan Kota Jambi Kode Pos. 36135 Telp./Fax. 0741-570298 Cp. 082136949568 Email : sumarto.manajemeno@gmail.com

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 Salinan P U T U S A N Nomor : 033/Pdt.G/2012/PA.DGL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Donggala yang mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci