PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI AMRIZAL YUSRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI AMRIZAL YUSRI"

Transkripsi

1 PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI AMRIZAL YUSRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DAN ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERAMBAHAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI AMRIZAL YUSRI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

3 RINGKASAN AMRIZAL YUSRI. E Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan LILIK BUDI PRASETYO. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu kawasan konservasi yang mengalami perubahan penutupan lahan hutan yang disebabkan aktivitas tak terkendali oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Masyarakat menggarap lahan disektor pertanian berupa lahan sayur dan kebun yang dikhawatirkan akan menyebabkan konversi hutan dan perubahan penutupan lahan khususnya ladang di kawasan TNGC. Data dan informasi mengenai kondisi kawasan TNGC dapat dianalisis melalui teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besar, laju perubahan dan distribusi spasial penutupan lahan TNGC selama periode serta mengetahui faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perambahan di TNGC. Pengambilan data penelitian berupa data sosial masyarakat dan ground control point dilakukan di TNGC selama satu bulan pada bulan Juli Data yang dikumpulkan adalah data spasial berupa peta, citra Landsat ETM+ dan TM tahun 2006 dan 2009 serta data atribut yang meliputi karakter sosial ekonomi masyarakat, pengetahuan serta sikap masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh. Hasil pengolahan citra dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan data atribut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan. Tipe penutupan lahan di TNGC terdiri atas hutan alam, hutan tanaman pinus, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Pada periode terjadi peningkatan dan penurunan luas penutupan lahan. Penutupan lahan yang mengalami penurunan luas adalah lahan terbuka sebesar ha (-2.26%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan, hutan alam sebesar ha (-0.01%) yang terluas di Kecamatan Cigugur dan badan air sebesar 1.62 ha (0.08%). Peningkatan luas terjadi pada tipe penutupan lahan ladang sebesar ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Argapura, semak sebesar ha (0.18%) yang terluas di Kecamatan Pasawahan dan hutan tanaman sebesar ha (0.06%) yang terluas di Kecamatan Cilimus. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang mempengaruhi perambahan adalah tingkat pendapatan di luar kawasan, pengetahuan khususnya terhadap fungsi lindung serta sikap masyarakat terhadap keberadaan hutan. Untuk mengantisipasi perluasan perambahan kawasan hutan perlu dilakukan upaya pengelola dalam peningkatan pendapatan masyarakat, rehabilitasi kawasan taman nasional serta sosialisasi lebih lanjut kepada masyarakat mengenai kawasan taman nasional. Kata kunci: penutupan lahan, sosial ekonomi, taman nasional, SIG.

4 SUMMARY AMRIZAL YUSRI. E Land Cover Changes and Analysis of Factors Causing Expansion In Gunung Ciremai National Park Area. Under supervision of SAMBAS BASUNI and LILIK BUDI PRASETYO. Gunung Ciremai National Park (GCNP) is one of the conservation areas that has been facing forest land cover changes due to uncontrolled activities of people around the area. They have been practicing shifting cultivation system for horticulture that can lead to forest conversion and land cover changes especially fields in GCNP area. Data and information of the conditions in GCNP area can be analyzed through technology Geographic Information System (GIS). The aim of this research was to know rate of land cover and spatial distribution on land cover in GCNP for year periods of and investigate socio-economic factors that influence expansion in GCNP. Data on sosial and ground control point were taken in GCNP for one month in July Collected data included spatial data in the form of maps, Landsat image ETM+ year 2006 and TM year 2009 and attributed data including socio-economic conditions, knowledge and attitude of people. Spatial data were analyzed using Geographic Information System (GIS) technology. The results of image processing were analyzed qualitatively and quantitatively using the attribute data to determine its impact on land cover changes. Land cover types in GCNP consisted of virgin forest, pine plant forest, shrubs, fields, water bodies, open land and no data. In the period , there were either increases or decreases in land cover areas. Land cover of open land was decreased by ha (-2.26%) with the largest in Pasawahan Subdistrict, virgin forest by ha (-0.01%) with the largest in Cigugur Subdistrict and water bodies by 1.62 ha (0.08%). On the other hand, land cover of fields was increased by ha (0.18%) with the largest in Argapura Subdistrict, shrubs by ha (0.18%) with the largest in Pasawahan Subdistrict and pine plant forest by ha (0.06%) with the largest in Cilimus Subdistrict. Socioeconomic factors that influenced expansion of land cultivation into the park areas were rate of income in outside area, knowledge especially on cover function and attitude of people to the existing forest. To anticipate expansion of land cultivation into the forest area, the national park should create alternative beneficial projects in order to improve people income outside national park zone, rehabilitation of zone of natonal park and supervise the activities to people about national park. Keywords: land cover, socio-economic, national park, GIS

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2011 Amrizal Yusri NRP E

6 Judul Nama NRP : Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai : Amrizal Yusri : E Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,MS Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP Tanggal Lulus:

7 UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirobbil alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih pada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc, Ir. Sudaryanto dan Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan saran dalam menyempurnakan penyusunan skripsi ini. 3. Bapak, Ibu, Mbah Putri dan Kakak atas doa, kasih sayang dan segala dukungan baik moril maupun materi yang diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. 4. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis selama kuliah 5. Teman-teman di Laboratorium Manajemen Kawasan dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan atas pertukaran ilmu, kerjasama dan bantuan yang diberikan. 6. Seluruh keluarga besar Departemen KSHE terutama KSHE 43 Cendrawasih atas bantuan, kebersamaan dan kekeluargaan yang telah terjalin selama ini. 7. Keluarga besar HIMAKOVA periode dan atas pertukaran ilmu, pengalaman serta dukungannya selama ini. 8. Pengurus Kelompok Pemerhati Goa HIRA HIMAKOVA Kelompok Pemerhati ekowisata TAPAK atas pengalaman dan dukungan yang telah diberikan. 9. Heri, Dian dan Erlin sebagai teman seperjuangan yang sudah membantu penelitian di Ciremai.

8 10. Teh Nisa, Pak Robi, Pak Engkos, dan semua staf kerja TNGC yang sudah membantu pengambilan data di Ciremai. 11. Reni, Haray, Arga, Chachaw, Nano atas segala bantuan doa, tenaga, akomodasi dan fasilitasnya. 12. Anak-anak AUTIS dengan tingkahnya yang memberikan kelucuan canda dan tawa yang luar biasa tak terhingga. 13. My sweetheart Listya Citraningtyas yang selalu memberikan support, motivasi, semangat, cinta dan kasih sayang yang besar. Luv u My ride bluesky yang selalu menemani hari-hariku yang indah dan menemani selama penelitian ini. 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Juni 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kuswandi dan Ibu Pawartining Yuliati. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN Pengadilan 2 Bogor (2000), SLTPN 2 Bogor (2003) dan SMAN 1 Bogor (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis mulai aktif belajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB pada tahun Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Biro Kekeluargaan pada tahun 2008 dan anggota Biro Sosial Lingkungan pada tahun Penulis juga tergabung dalam Kelompok Pemerhati Gua (KPG) Hira HIMAKOVA dan Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) Tapak HIMAKOVA. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapangan antara lain: Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar Alam Gunung Simpang Jawa Barat, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI)-HIMAKOVA di Taman Nasional Manupeu Tanadaru pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi pada tahun Dalam usaha memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

10 i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Maret 2011 Penulis

11 ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan Sistem Informasi Geografis (SIG) Penginderaan Jauh Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan Jenis Data Metode Pengambilan Data Data spasial Data atribut Analisis Data Data spasial Data atribut BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai Sejarah kawasan... 27

12 iii Letak dan luas wilayah Topografi dan iklim Hidrologi Vulkanologi Kondisi biologis Potensi wisata Daerah Penyangga TNGC Letak dan luas Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC Klasifikasi penutupan lahan Penutupan lahan di TNGC tahun Penutupan lahan di TNGC tahun Perubahan Penutupan Lahan Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Perambahan Lahan Karakterisitik sosial ekonomi masyarakat Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan dalam kawasan Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC Pengendalian Penggunaan Lahan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 76

13 iv DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Saluran citra Landsat TM Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data penginderaan jauh Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan Objek wisata alam di TNGC Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan Penutupan lahan tiap kecamatan Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan Data luasan kebakaran di TNGC Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan dalam kawasan Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam kawasan Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam kawasan Hubungan luas lahan garapan diluar kawasan dengan luas lahan garapan dalam kawasan Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan Pengetahuan responden mengenai TNGC Alasan responden menggarap lahan TNGC Sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC... 68

14 v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Peta lokasi pengambilan data penelitian Tahapan pengolahan citra Proses konversi peta analog ke peta digital Tahapan analisis perubahan penutupan lahan Penutupan dan penggunaan lahan Peta penutupan lahan TNGC tahun Peta penutupan lahan TNGC tahun Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun Peta distribusi ladang dalan kawasan TNGC Peta distribusi semak belukar TNGC Peta distribusi lahan terbuka TNGC Persentase responden menurut mata pencaharian sampingan Persentase responden menurut usia kerja Persentase responden menurut luas garapan diluar kawasan Persentase responden menurut luas garapan dalam kawasan Persentase responden menurut jenis penggunaan lahan Persentase responden menurut tanggungan keluarga Persentase responden menurut pendapatan Persentase responden menurut pendidikan Persentase responden menurut lama menggarap... 59

15 vi DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Uji akurasi Daftar identitas responden Kuisioner responden Uji normalitas data Uji chi-square... 85

16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 mengenai perubahan fungsi hutan lindung dan hutan produksi pada kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas ha terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka Provinsi Jawa Barat menjadi taman nasional. Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, daerah resapan air bagi kawasan dibawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri. Pada saat status kawasan masih hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat diperbolehkan menggarap kawasan dengan adanya sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan pola tumpang sari. Kegiatan tumpang sari oleh masyarakat cenderung mengkonversi lahan hutan yang tidak terkendali sehingga dapat menyebabkan perluasan lahan kritis, berkurangnya tutupan lahan serta menghilangnya fungsi lindung dan konservasi kawasan. Menurut BTNGC (2006), sekitar 2000 ha lahan hutan kini sudah menjadi ladang kentang dan kebun kopi. Kerusakan yang terjadi seluas ha di lereng bagian selatan Gunung Ciremai akibat aktivitas masyarakat berupa penggarapan lahan sayur tanpa memperdulikan fungsi kawasan tersebut (BTNGC 2006). Gangguan-gangguan yang terjadi selain penggarapan lahan secara intensif antara lain adanya perubahan tegakan hutan alam menjadi tegakan hutan tanaman pinus dengan menanam kebun campuran, perusakan hutan, pencurian kayu dan kebakaran hutan yang mengakibatkan kondisi kawasan TNGC semakin memprihatinkan dari tahun ke tahun. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi maka akan menimbulkan dampak negatif diantaranya bahaya banjir, longsor, sedimentasi sungai dan waduk, hilangnya stok air tanah akibat aliran permukaan

17 2 (run off), serta menurunnya kuantitas dan kualitas pangan daerah dan nasional akibat kurangnya air untuk irigasi persawahan. Perkembangan perubahan tutupan lahan yang terjadi di kawasan TNGC sebagai salah satu dasar pengelolaan kawasan, dapat dilihat dengan menggunakan teknologi sebagai alat monitor terhadap perubahan tutupan lahan. Teknologi yang dapat digunakan adalah aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG). Sistem Informasi Geografi merupakan suatu perangkat yang dapat membantu memperoleh data-data spasial dalam waktu singkat. Penggunaan Sistem Informasi Geografi dapat mempermudah mengetahui perubahan penutupan lahan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai perubahan tutupan lahan sehingga dapat menganalisis dinamika perubahan penutupan lahan yang terjadi dan membantu Balai TNGC untuk mengambil langkah lanjutan dalam penyelesaian permasalahan tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Perubahan penutupan lahan di kawasan TNGC akibat aktivitas masyarakat berupa penggarapan lahan yang semakin tidak terkendali akan menurunkan fungsi kawasan sebagai fungsi lindung dan konservasi. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan : 1 Seberapa besar perubahan penutupan lahan yang terjadi di TNGC? 2 Bagaimana distribusi penutupan lahan di TNGC? 3 Faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di TNGC? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1 Mengetahui besar dan laju perubahan penutupan lahan TNGC periode Mengetahui distribusi spasial perubahan penutupan lahan TNGC periode Menganalisis faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya perambahan lahan di TNGC.

18 3 1.4 Manfaat Manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai perubahan penutupan lahan TNGC dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta kaitannya dengan kondisi masyarakat. Selain itu juga sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola TNGC dalam manajemen kawasan.

19 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Dephut 1990). Taman nasional merupakan kawasan alami baik darat dan atau laut, yang ditunjuk untuk (a) melindungi integritas ekologis satu atau lebih ekosistem untuk generasi saat ini dan yang akan datang, (b) meniadakan eksploitasi atau penggunaan yang berlawanan dengan maksud penunjukan kawasan dan (c) menyediakan dasar bagi kepentingan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan dan rekreasi yang sesuai dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994). IUCN memberikan karakteristik mengenai taman nasional sebagai berikut: 1 Taman nasional merupakan suatu kawasan alami yang cukup luas terdiri dari satu atau beberapa ekosistem yang tidak banyak dijamah oleh manusia. Dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan eksploitasi, berkembang berbagai jenis flora dan fauna, serta memiliki nilai ilmiah, pendidikan serta rekreasi. 2 Kegiatan pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pemerintah yang ditujukan untuk melestarikan potensi sumberdaya alam dan ekosistem taman nasional. 3 Kawasan yang dapat dikunjungi oleh masyarakat dan dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merubah ciri-ciri ekosistem yang ada karena memiliki unsur-unsur pendidikan, penelitian, ilmiah dan rekreasi ilmiah. Berdasarkan IUCN (1994), terdapat enam tujuan pengelolaan taman nasional, yaitu : 1 Melindungi kawasan alami dan indah untuk pemanfaatan spiritual, ilmiah, pendidikan dan rekreasi. 2 Mengelola penggunaan pengunjung untuk tujuan rekreasi, budaya dan pencarian inspirasi pada tingkat yang akan menjaga kealamiahan kawasan.

20 5 3 Memelihara keanekaragaman dan kestabilan ekologis sumberdaya genetik dan spesies dalam kondisi alami. 4 Menjaga atribut ekologis, geomorfologis dan estetis yang menjamin penetapan kawasan. 5 Mencegah eksploitasi atau penggunaan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan. 6 Menghitung kebutuhan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya. Secara ekologis, taman nasional memiliki manfaat bagi masyarakat sekitar, misalnya dalam hal pengendalian banjir, menyediakan air minum saat musim kemarau, selain itu adanya spesies liar dapat membantu dalam pertanian misalnya burung-burung pemakan hama dan serangga dalam penyerbukan (MacKinnon et al. 1990). Secara ekonomi dan sosial dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas lingkungan, produktivitas usaha tani, produktivitas usaha kerja dan jasa-jasa lingkungan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan perekonomian. Soewardi (1978) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pokok, taman nasional memerlukan adanya alokasi ruang yang berfungsi untuk perlindungan dan pemanfaatan itu sendiri yang disebut sistem zonasi. Menurut Soewardi (1978) taman nasional setidaknya harus mempunyai: 1 Zona inti, pada zona ini kegiatan manusia sangat terbatas hanya untuk penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan dan ilmu pengetahuan dan tidak boleh ada bangunan permanen. 2 Zona rimba, merupakan kawasan zona yang tidak boleh ada bangunan permanen, kegiatan hanya sebatas penelitian, pendidikan dan wisata alam terbatas. 3 Zona pemanfaatan, merupakan wilayah yang dikhususkan untuk pemanfaatan baik untuk sarana pengelolaan taman nasional berupa penelitian, penunjang budidaya maupun kegiatan wisata antara lain dengan penyediaan bumi perkemahan, shelter dan lain-lain. Selain itu, zona-zona lain yang mungkin diperlukan dalam taman nasional sesuai dengan situasi dan kondisi setempat adalah zona rehabilitasi, zona pemanfaatan tradisional, zona kultural/budaya dan zona penyangga (MacKinnon

21 6 et al. 1990). Menurut pasal 16 ayat 2 Undang-undang No 5 Tahun 1990, daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam/pelestarian alam, baik kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan. Daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan di sekitarnya (MacKinnon et al. 1990). Menurut MacKinnon et al. (1990) daerah penyangga memiliki dua fungsi utama, yaitu : 1 Penyangga perluasan, memperluas kawasan habitat yang terdapat di kawasan yang dilindungi ke dalam kawasan penyangga. Contohnya hutan produksi, kawasan buru, hutan alami yang digunakan penduduk untuk mencari kayu bakar, kawasan terlantar dan padang penggembalaan. 2 Penyangga sosial, dimana pemanfaatan sumberdaya alam dari kawasan penyangga merupakan hal sekunder dan tujuan pengelolaannya adalah menyediakan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat setempat. Tetapi penggunaan tanah untuk tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama dari kawasan yang dilindungi. MacKinnon et al.(1990) membagi beberapa tipe utama daerah penyangga taman nasional, yaitu : 1 Zona pemanfaatan tradisional di dalam kawasan yang dilindungi. Ada situasi ketika tidak ada tanah yang cocok di luar kawasan konservasi untuk ditetapkan sebagai zona penyangga serta lebih disukai untuk mengizinkan pengumpulan produk alam tertentu dari beberapa bagian kawasan konservasi atau pada waktu-waktu tertentu daripada menjadikan lahan yang bernilai penting sebagai kawasan penyangga. 2 Penyangga hutan. Termasuk hutan kayu bakar atau bahan bangunan yang terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di atas tanah negara. Hutan ini dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya, atau bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa setempat, selain berfungsi

22 7 melindungi air dan tanah. Penggalakan hutan tanaman di zona penyangga mungkin merupakan satu-satunya strategi pengelolaan sumberdaya yang efektif untuk menjamin keutuhan kawasan yang dilindungi dalam jangka waktu yang panjang. 3 Penyangga ekonomi. Daerah penyangga diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa dari mengambil sumberdaya dari dalam kawasan konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial atau komunikasi, atau lahan produktif, perburuan terkendali di daerah penyangga dekat kawasan konservasi, bahkan uang tunai dari penghasilan kawasan konservasi. 4 Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah penyangga, maka batas kawasan itu sendiri harus berfungsi sebagai penyangga. Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan, kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Pada beberapa kasus, yang diperlukan hanyalah batas yang jelas terlihat seperti sebaris atau jalur tipis pohon-pohon yang mencolok sebagai batas hidup. 3.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Lahan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan adalah jenis kegiatan yang dapat mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan tersebut dapat berupa gangguan hutan, penyerobotan lahan dan perladangan berpindah (Khalil 2009). Gangguan terhadap hutan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam dan manusia. Gangguan yang disebabkan oleh alam meliputi kebakaran hutan akibat petir dan kemarau, letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan erosi. Sementara itu gangguan yang disebabkan oleh manusia dapat berupa penebangan dan pencurian kayu, perambahan lahan dan kebakaran dengan sistem ladang berpindah. Lillesand dan Kiefer (1993) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Pola-pola perubahan lahan terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya (Meffe & Carrol 1994 dalam Basuni 2003).

23 8 Wijaya (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja dibidang pertanian memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja dibidang pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan. Menurut Darmawan (2002), salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar kawasan. Peubah sosial ekonomi yang berpengaruh dominan terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman dan perluasan areal pertanian (Yatap 2008). 2.3 Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI 1990). Sistem informasi geografis adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk (a) akuisisi dan verifikasi data, (b) kompilasi data, (c) penyimpan data, (d) perubahan dan updating data, (e) manajemen dan pertukaran data, (f) manipulasi data, (g) pemanggilan dan presentasi data dan (h) analisis data (Bern 1992 dalam Prahasta 2005).

24 9 Menurut Prahasta (2005), sistem informasi geografi merupakan sistem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu: 1 Pengorganisasian data dan informasi. 2 Penempatan informasi pada lokasi tertentu. 3 Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya serta analisa spasial lainnya. 2.4 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Informasi tentang objek disampaikan pada pengamat melalui energi elektromagnet yang merupakan pembawa informasi sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi itu dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat elektromagnetik (Lo 1995). Citra Landsat merupakan citra satelit untuk penginderaan sumberdaya bumi. Thematic Mapper (TM) adalah suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada cahaya tampak dan inframerah bahkan spektral (Lo 1995). Thematic Mapper dipasang pada Landsat dengan tujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik dan ketelitian geometrik. Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi objek-objek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit range panjang gelombang yang digunakan, maka semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan objek. Pengetahuan menyeluruh mengenai karakteristik spektral dari data penginderaan jauh sangat dibutuhkan pada penggunaan teknik analisis dengan bantuan komputer. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

25 10 Tabel 1 Saluran citra Landsat TM Saluran Kisaran gelombang Kegunaan 1 0,45-0,52 Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas pengunaan lahan, tanah dan vegetasi. 2 0,52-0,60 Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan. 3 0,63-0,69 Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan nonvegetasi 4 0,76-0,90 Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air. 5 1,55-1,75 Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah. 6 2,08-2,35 Pemisahan formasi batuan 7 10,40-12,50 Saluran inframerah termal, bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Sumber : Lillesand & Kiefer (1990) 2.5 Pembangkitan Data Penutupan Lahan dengan Citra Landsat Skema klasifikasi merupakan rancangan skema penutupan lahan suatu wilayah yang disusun berdasarkan informasi tambahan dari wilayah yang akan diinterpretasikan. Salah satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan terlihat pada skema klasifikasi (Lo 1995) pada Tabel 2. Tabel 2 No Sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan untuk data penginderaan jauh Tingkat I (menggunakan citra Landsat) 1 Perkotaan atau lahan perkotaan a Pemukiman Tingkat II (menggunakan foto udara skala kecil) b Perdagangan dan jasa c Industri d Transportasi e Kompleks industri dan perdagangan f Kekotaan campuran dan lahan bangunan g Kekotaan dan lahan bangunan lainnya

26 11 Tabel 2 (Lanjutan) No Tingkat I Tingkat II (menggunakan citra Landsat) (menggunakan foto udara skala kecil) 2 Lahan pertanian a Tanaman semusim dan padang rumput b Daerah buah-buahan, jeruk, anggur dan tanaman hias c Lahan tanaman obat d Lahan pertanian lainnya 3 Lahan peternakan a Lahan penggembalaan terkurung b Lahan peternakan semak dan belukar c Lahan peternakan campuran 4 Lahan hutan a Lahan hutan gugur daun semusim b Lahan hutan yang selalu hijau c Lahan hutan campuran 5 Air a Sungai dan kanal b Danau c Waduk d Teluk dan muara 6 Lahan basah a Lahan hutan basah b Lahan basah bukan hutan 7 Lahan gundul a Dataran garam kering b Gisik c Daerah berpasir selain gisik d Tambang terbuka, pertambangan 8 Padang lumut a Padang lumut semak belukar b Padang lumut tanaman obat c Padang lumut lahan gundul d Padang lumut daerah basah e Padang lumut daerah campuran 9 Es dan salju abadi a Lapangan salju abadi Sumber : Lo (1995) b Gletser Sistem klasifikasi pada Tabel 2 disusun berdasarkan kriteria berikut: (1) tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85%, (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari penutupan lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke

27 12 dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survei lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan datang dan (10) lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di dalam menjelaskan setiap kategori penggunaan dan penutupan lahan. Anderson (1971) dalam Lo (1995) menganggap bahwa pendekatan fungsional atau pendekatan berorientasi kegiatan akan lebih sesuai digunakan untuk citra satelit ruang angkasa, sebagai skema klasifikasi tujuan utama. Pendekatan ini merupakan sistem klasifikasi lahan yang umum digunakan di Amerika Serikat yang diperkenalkan oleh United States Geological Survey (USGS). Pada klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ada beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh dari data pengideraan jauh. Informasi mengenai penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya dan untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk melengkapi data penutupan lahan. Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan dapat juga ditentukan dengan menggunakan klasifikasi yang ditetapkan oleh Badan Planalogi Kehutanan pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan Kelas Hutan lahan kering primer dataran rendah Hutan lahan kering primer pegunungan rendah Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi Hutan lahan kering primer sub-alpine Hutan lahan kering sekunder dataran rendah Keterangan Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah ( meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif. Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah ( meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif. Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi ( meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif. Seluruh kenampakan hutan di zona sub-alpine (>3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan masif. Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah ( meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan dalam lahan terbuka.

28 13 Tabel 3 (Lanjutan) Kelas Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah Hutan lahan kering sekunder pegunungan tinggi Hutan lahan kering sekunder sub-alpine Hutan rawa primer Hutan rawa sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Semak/belukar Semak/belukar rawa Savana HTI Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering bercampur dengan semak Transrnigrasi Sawah Tambak Keterangan Seluruh kenampakan hutan di pegunungan rendah ( meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka. Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi ( meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka. Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (> 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka. Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan. Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa). Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum ditebang. Hutan bakau, nipah dan nibung yang telah ditebang) yang ditampakan dengan pole alur di dalamnya. Khusus untuk areal bekas tebangan yang telah dijadikan tambak/sawah (tampak pola persegi pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah (tampak pole persegi/pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah. Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali, didominasi vegetasi rendah dan tidak menampakkan lagi bekas alur/bercak penebangan. Semak/belukar dari bekas hutan di daerah rawa. Kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput dengan sedikit pohon. (Kenampakan alami daerah Nusa Tenggara Timur dan pantai selatan Irian laya). Seluruh kawasan HTI baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa kahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI. Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran Perkebunan (Perkebunan Besar). Lokasi perkebunan rakyat mungkin tidak termasuk dalam peta sehingga memerlukan informasi pendukung lain. Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang Semua ativitas pertanian di lahan kering, berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Seluruh kawasan baik yang sudah diusahakan maupun yang belum, termasuk areal pertanian, perladangan dan permukiman yang berada didalamnya. Semua aktivitas pertanian di lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Aktivitas perikanan yang tampak sejajar pantai.

29 14 Tabel 3 (Lanjutan) Kelas Keterangan Tanah terbuka Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) tanah terbuka bekas kebakaran dan tanah terbuka yang ditumbuhi rumput/alang-alang. Kenamapakan tanah terbuka untuk pertambangan dimasukan ke kelas pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas land clearing dimasukkan ke kelas pertanian, perkebunan atau HTI. Pertambangan Tanah terbuka yang digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka, openpit (batubara, timah, tembaga dll.). Tambang tertutup seperti minyak, gas dll. Tidak dikelaskan tersendiri, kecuali mempunyai areal yang luas sehingga dapat dibedakan dengan jelas pada citra. Salju Areal yang tertutup oleh salju abadi. Permukiman permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri dll. yang memperlihatkan pola alur yang rapat. Tubuh air Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang dan lamun (lumpur pantai). Khusus kenampakan tambak di tepi pantai dimasukkan ke pertanian lahan basah. Rawa Kenampakan rawa yang sudah tidak berhutan. Awan Semua kenampakan awan yang menutupi suatu kawasan. Jika terdapat awan tipis yang masih mempelihatkan kenampakan di bawahnya dan masih memungkinkan untuk ditafsir, penafsiran tetap dilakukan. Poligon terkecil yang di delineasi untuk awan adalah 2 x 2 cm2. Sumber : Dephut (2001) Citra satelit Landsat sebagai satelit sumberdaya bumi telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Contoh penggunaan citra Landsat dalam bidang kehutanan dan lingkungan antara lain, identifikasi penyebaran habitat, sebaran spasial dan karakteristik ruang terbuka hijau (RTH), klasifikasi kelas tegakan hutan, pemantauan perubahan penggunaan lahan/tutupan lahan, dan aplikasi-aplikasi yang lainnya. Salah satu contoh aplikasi SIG mengenai perubahan penutupan lahan di kawasan konservasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Khalil (2009). Penelitiannya dilakukan di Hutan Adat Citorek Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan aplikasi SIG dengan membandingkan penutupan lahan tahun 1990 sampai Tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah Kasepuhan Citorek dikelompokkan menjadi 9 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, kebun campuran, semak belukar dan rumput, ladang, sawah, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air dan awan. Lebih lanjut Khalil (2009) menganalisis perubahan penutupan lahan di Hutan Adat Cotorek dengan hasil adanya penurunan luas hutan pada kurun waktu sebesar 1.31%. Ladang mengalami penurunan sebesar 25.48% pada kurun waktu Sawah mengalami peningkatan luas menjadi 89.92% pada kurun waktu Kebun campuran dan semak mengalami fluktuasi

30 15 luas pada kurun waktu Fluktuasi ini disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi areal pertanian seperti kebun campuran, ladang dan sawah yang diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Penelitan perubahan penutupan lahan dilakukan juga oleh Darmawan (2002) di Cagar Alam Rawa Danau tahun 1994 sampai tahun Tipe penutupan lahan yang terdapat di Rawa Danau dikelompokkan menjadi 7 kategori. Tipe penutupan itu adalah hutan, vegetasi campuran, rumput, sawah, tanah kosong, pemukiman dan badan air. Pada kurun waktu terdapat peningkatan luas pemukiman sebesar 1%. Hutan mengalami peningkatan luas sebesar 1.3%, badan air mengalami peningkatan luas sebesar 2.4%, sawah mengalami peningkatan luas sebesar 12.2%, rumput mengalami penurunan sebesar 10.2%, vegetasi campuran dengan penurunan sebesar 9.2% dan tanah kosong dengan peningkatan luas sebesar 2.7%. Peningkatan akitvitas masyarakat dalam kawasan cagar alam hanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat pendapatan dan jenis penggunaan lahan yang didominasi sawah.

31 16 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan selama lima bulan, yaitu pada bulan Juli-November Pengambilan data lapangan berupa penandaan lokasi (ground check) dilakukan selama satu bulan di Resort Argalingga dan Sangiang di Kabupaten Majalengka dan Resort Cigugur, Pasawahan dan Mandirancan di Kabupaten Kuningan. Selain itu untuk pengambilan data sosial masyarakat dilakukan pada dua desa yaitu Desa Seda di Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan dan Desa Sangiang di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka. Pengolahan data dilakukan selama empat bulan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data penelitian.

32 Alat dan Bahan Alat yang dibutuhkan selama penelitian adalah Global Positioning Sistem (GPS), kamera digital, alat tulis, kuisioner dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ArcGis 9.3, ERDAS 9.1 dan SPSS 15. Bahan yang digunakan adalah peta rupa bumi, peta batas kawasan TNGC, peta administrasi kecamatan, peta citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra Landsat TM tahun Jenis Data Data yang diambil dikelompokkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data utama yang diperoleh dari cek lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder adalah seluruh informasi pendukung yang berhubungan dengan penelitian seperti peta, data monografi desa dan kondisi umum kawasan. 3.4 Metode Pengambilan Data Data spasial Data spasial adalah data yang bersifat keruangan meliputi peta rupa bumi, citra Landsat, peta batas administrasi, dan peta batas kawasan TNGC sebagai data sekunder. Peta dan citra Landsat tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB, BIOTROP dan BTNGC. Data lain yang digunakan adalah data Ground Control Point (GCP) untuk menandakan lokasilokasi jenis penutupan lahan yang ada di lapangan. Data GCP merupakan data yang menyatakan posisi keberadaan suatu benda di atas permukaan bumi. Pengambilan data ini dilakukan dengan cara menandakan lokasi (ground check) dan dicatat koordinat lokasi melalui Global Positioning System (GPS). Data ini kemudian digunakan untuk mengolah citra Landsat agar sesuai dengan keadaan di lapangan dan mengurangi bias Data atribut Data atribut adalah data yang menunjukkan tulisan atau angka-angka yang membantu dalam menginterpretasikan citra Landsat. Data ini meliputi data monografi desa, kondisi umum kawasan dan data kondisi sosial ekonomi

33 18 masyarakat seperti jumlah tanggungan keluarga, usia, mata pencaharian, pendidikan, pendapatan, luas penggunaan lahan, pengetahuan dan sikap penduduk terhadap kawasan. Data ini dibutuhkan dalam menganalisis faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai serta pola penggunaan lahan oleh masyarakat khususnya sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan hutan. Pengumpulan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut dilakukan melalui wawancara dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan penilaian subyektif peneliti berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu (Iskandar 2008). Sampel yang diambil dalam peneltian ini adalah para petani penggarap dalam kawasan TNGC, sedangkan pengambilan jumlah sampel responden berdasarkan rumus Slovin (Santoso 2005) yaitu : N n = 1+Ne 2 Keterangan : n = Jumlah sampel yang diinginkan N = Jumlah populasi sampel E = Tingkat kesalahan yaitu 10% Berdasarkan perhitungan rumus Slovin diperoleh besar sampel sejumlah 94 kepala keluarga, yaitu 50 kepala keluarga dari Desa Sangiang dan 44 kepala keluarga dari Desa Seda. Total populasi warga Desa Seda dan Desa Sangiang sebesar 1588 kepala keluarga. Pertimbangan pengambilan sampel berdasarkan kepala keluarga dikarenakan seorang kepala keluarga adalah pencari nafkah untuk keluarga sehingga lebih dapat menggali informasi yang dibutuhkan. Selain itu berdasarkan mata pencaharian dominan yaitu petani penggarap di kawasan TNGC.

34 Analisis Data Data spasial Penelitian mengenai analisis perubahan penutupan lahan merupakan penelitian yang menganalisis mengenai penggunaan lahan oleh masyarakat dalam beberapa periode. Perkembangan penggunaan lahan ini akan menyebabkan terjadinya perubahan lahan, sehingga dibutuhkan data berupa gambaran/peta perubahan penutupan lahan. Peta penutupan lahan diperoleh melalui pengolahan data spasial meliputi peta rupa bumi, peta batas kawasan taman nasional, peta batas administrasi kecamatan dan citra Landsat tahun 2006 dan Proses pengolahan peta penutupan lahan dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang disajikan pada Gambar 2. Citra Koreksi Geometris Peta Batas Kawasan TNGC Peta Rupa Bumi Citra Subset Image Overlay Cek Lapangan Klasifikasi Citra Tidak Citra Hasil Klasifikasi Uji Akurasi Terima? Peta Tutupan Lahan Ya Gambar 2 Tahapan pengolahan citra.

35 20 1 Pembuatan peta digital Pembuatan peta digital dilakukan menggunakan seperangkat komputer dengan software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Input dalam proses pembuatan peta digital adalah peta rupa bumi, yang diolah melalui empat tahap. Tahapan ini adalah digitasi peta, editing peta, pembuatan atribut dan transformasi koordinat. Hasil pengolahan data ini adalah peta rupa bumi digital. Peta digital digunakan untuk menentukan lokasi penelitian dan menjadi acuan dalam koreksi geometrik saat pengolahan citra. Proses pembuatan peta digital dapat dilihat pada Gambar 3. Peta Analog Scanning Screen digitizing Atributing Transform UTM Peta digital Gambar 3 Proses konversi peta analog ke peta digital. 2 Koreksi data citra Data citra yang diperoleh, harus dilakukan koreksi terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Koreksi data citra yang dilakukan adalah koreksi geometris. Koreksi geometris dilakukan karena adanya pergeseran koordinat, sehingga perlu dilakukan pembetulan data citra. Koreksi geometris bertujuan agar posisi titik-titik (pixel) pada citra sesuai dengan posisi titik-titik geografi di permukaan bumi. Posisi ini adalah kedudukan geografis daerah yang terekam pada citra. Kegiatan yang pertama dilakukan saat melakukan koreksi geometris adalah penentuan tipe proyeksi dan koordinat yang digunakan. Tipe proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM) dan sistem koordinat geografis. Tahap selanjutnya adalah koreksi distorsi yang dilakukan melalui penentuan titik ikat medan yang ditempatkan sesuai dengan koordinat citra dan koordinat peta. Setelah itu, dilakukan resampling citra mengunakan pendekatan metode tetangga terdekat (nearest neighbour).

36 21 Resampling citra merupakan proses transformasi citra dengan memberikan nilai pixel citra terkoreksi. 3 Pemotongan data citra (subset image) Pemotongan data citra bertujuan untuk menetukan batas wilayah yang akan diteliti. Pemotongan dilakukan dengan memotong data citra yang sudah terkoreksi untuk mendapatkan wilayah lokasi penelitian. 4 Klasifikasi data citra Klasifikasi data citra merupakan kegiatan untuk menentukan kelas-kelas yang terdapat pada data citra. Kelas-kelas tersebut menunjukkan kategori-kategori lahan dan didasarkan pada warna yang tampak dalam data citra. Klasifikassi dilakukan dengan cara mengelompokkan warna yang sama pada citra ke dalam kelas-kelas tertentu. Kegiatan klasifikasi terbagi atas dua tahap yaitu klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dan klasifikasi citra terbimbing (supervised). Klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan sebelum pengambilan data di lapangan (ground check). Penentuan kelas-kelas tidak didefinisikan sendiri dan peta hasil klasifikasi ini dapat dijadikan acuan saat pengambilan data di lapangan. Klasifikasi citra terbimbing (supervised clasification), merupakan kegiatan klasifikasi kelas-kelas citra yang didefinisikan sendiri. Pendefinisian ini didasarkan pada data lapangan yang telah diperoleh berupa titik-titik koordinat yang ditandai dengan GPS. Kelas-kelas yang didefinisikan menunjukkan jenis penutupan lahan yang ada di lapangan dan hasil dari klasifikasi citra ini adalah peta penutupan lahan. 5 Uji akurasi Saat klasifikasi citra, terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam menentukan kelas tutupan lahan, sehingga perlu dilakukan uji akurasi. Tahapan uji akurasi bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan klasifikasi citra terbimbing. Akurasi citra dilakukan dengan cara menyesuaikan kelas tutupan lahan yang telah diklasifikasi dengan data Ground Control Point (GCP) yang diambil melalui GPS. Nilai akurasi minimal yang diterima adalah 85%. Apabila tingkat akurasinya kurang dari 85%, maka perlu dilakukan klasifikasi ulang.

37 22 6 Analisis perubahan lahan Analisis perubahan lahan dilakukan dengan membandingkan peta perubahan lahan tahun 2006 dan Kedua peta tersebut dioverlay sehingga diketahui perubahan penutupan lahan yang terjadi pada tahun Tahapan analisis perubahan penutupan lahan seperti pada Gambar 4. Peta Penutupan Lahan 2006 Peta Penutupan Lahan 2009 Overlay Perubahan Penutupan Lahan 2009 Gambar 4 Tahapan analisis perubahan penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan dilakukan dengan menghitung selisih luas masing-masing tipe penutupan lahan setiap tahun dan dianalisis secara deksriptif, sedangkan untuk menghitung laju perubahan penutupan lahan menggunakan rumus berikut: N 2 - N 1 V = x 100% N 1 Keterangan: V : Laju perubahan (%) N 1 : Luas penutupan lahan tahun pertama (ha) N 2 : Luas penutupan lahan tahun kedua (ha)

38 Data atribut Ada beberapa pendekatan analisis data atribut sosial ekonomi yang digunakan yaitu metode tabulasi deskriptif dan uji statistik. Penjelasan mengenai metode analisis adalah sebagai berikut: 1 Metode tabulasi deskriptif Data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta pengetahuan dan sikap responden terhadap kawasan TNGC ditunjukan oleh jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Setelah wawancara dilakukan dan data-data sudah terkumpul, maka selanjutnya dilakukan proses tabulasi data-data hasil wawancara dan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan sehingga dapat diketahui perluasan lahan yang mungkin terjadi, dan analisis terhadap pengelolaan yang berlaku secara kualitatif untuk mengetahui pengaruh sejarah pengelolaan kawasan terhadap perubahan penutupan lahan yang terjadi. 2 Metode uji statistik a Analisis regresi linear sederhana Metode ini bertujuan untuk mengetahui hubungan/korelasi karakteristik sosial ekonomi masarakat penggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai variabel tak bebas (y) adalah luas lahan garapan dalam kawasan, dan yang bertindak sebagai variabel bebas (x) adalah karakteristik sosial ekonomi penggarap. Model hubungan tesebut dapat dibuat dengan persamaan sebagai berikut : y = a + bx Model hubungan dari persamaan tersebut selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji korelasi (R 2 ). Korelasi diproyeksikan dalam koefisien korelasi yang menunjukan kemampuan model yang dihasilkan dalam menerangkan keragaman populasi (responden) yang ingin dikaji atau dengan kata lain R 2 menunjukan persentase variasi data yang terjadi pada variabel tak bebas (y) yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (x) dengan adanya regresi. Dengan demikian semakin besar R 2 yang dihasilkan, semakin baik regresi yang diperoleh.

39 24 Dalam regresi sebelum dianalisis terdapat syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah data harus terdistribusi secara normal. Oleh karena itu, diperlukan uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro- Wilk. Distribusi data normal jika kedua-duanya diuji tidak signifikan >0.05 (Iskandar 2008). Apabila data-data tersebut terdistribusi normal maka analisis dapat dilanjutkan, sedangkan apabila data tidak terdistribusi normal maka tidak bisa dilakukan analisis regresi. b Analisis uji chi-square Uji chi square menganalisis secara deskriptif hubungan antara variabel terpengaruh dan variabel pengaruh. Variabel terpengaruh dalam penelitian ini yaitu (y) yang merupakan luas lahan garapan dalam kawasan dan yang bertindak sebagai variabel pengaruh adalah (x) yang merupakan karakteristik sosial ekonomi penggarap yaitu jumlah tanggungan keluarga (x 1 ), tingkat umur (x 2 ), tingkat pendidikan (x 3 ), pendapatan (x 4 ), luas garapan di luar kawasan (x 5 ), dan lama masyarakat menggarap (x 6 ). Model hubungan tesebut dapat dihipotesiskan sebagai berikut : y = f (x 1, x 2, x 3, x 4, x 5, x 6 ) Untuk melihat hubungan antara variabel-variabel di atas, maka dibuat kategori terhadap variabel tersebut sehingga dapat diperlukan untuk analisis selanjutnya. Kategorinya adalah sebagai berikut: 1 Luas lahan garapan dalam kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan luas lahan garapan responden dalam kawasan yang dinyatakan: a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan responden. b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai rata-rata keseluruhan responden. 2 Jumlah tanggungan keluarga, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan jumlah tanggungan keluarga responden yang dinyatakan: a Kecil, bila jumlah tanggungan keluarga responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan responden. b Besar, bila jumlah tanggungan keluarga responden lebih dari nilai rata-rata keseluruhan responden.

40 25 3 Tingkat umur, dikategorikan berdasarkan produktivitas manusia yang dinyatakan: a Produktif, bila usia responden berkisar antara tahun. b Non produktif, bila usia responden lebih dari 64 tahun. 4 Tingkat pendidikan, yang dikategorikan dalam: a Tidak sekolah. b Sekolah Dasar (SD). c Sekolah Menengah Pertama (SMP). d Sekolah Menengah Atas (SMA). 5 Tingkat pendapatan, dilihat dari besarnya pendapatan rata-rata keseluruhan responden yang dinyatakan: a Rendah, bila pendapatan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan. b Tinggi, bila pendapatan responden lebih dari nilai rata-rata. 6 Luas lahan garapan diluar kawasan, dilihat dari nilai rata-rata keseluruhan lahan garapan responden yang dinyatakan: a Kecil, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden kurang dari nilai rata-rata keseluruhan responden. b Besar, bila luas lahan garapan dalam kawasan responden lebih dari nilai rata-rata keseluruhan responden. 7 Lama menggarap, yang dinyatakan: a < 5tahun (setelah penetapan TNGC). b > 5tahun (sebelum penetapan TNGC). Jumlah responden yang terdapat dalam suatu faktor sosial ekonomi disusun dalam tabel frekuensi dan tabel silang. Tabel frekuensi digunakan untuk melihat dominansi setiap faktor sosial ekonomi yang telah dikategorikan. Sedangkan tabel silang digunakan untuk menentukan hubungan variabel pengaruh dan variabel terpengaruh melalui uji chi-square dengan rumus sebagai berikut: χ 2 = (f₀-f t ) 2 f t

41 26 Keterangan : f₀ = frekuensi observasi yang diperoleh dari penelitian. f t = frekuensi teortis yang nilainya ditentukan dari penggandaan perbandingan jumlah total kolom dengan jumlah total baris data pada tabel silang. Hipotesis keputusan untuk pengujian ini adalah sebagai berikut : H 0 : Karakter sosial ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. H 1 : Karakter sosial ekonomi berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. χ 2 hitung χ 2 tabel (n-1;k-1) ; terima H 0 χ 2 tabel (n-1;k-1) ; terima H 1 Apabila terima H 0, maka variabel pengaruh (x) tidak berpengaruh terhadap variabel terpengaruh (y), dan sebaliknya apabila terima H 1 maka variabel pengaruh (x) berpengaruh terhadap variabel terpengaruh (y). Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%.

42 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai Sejarah kawasan Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi 3078 m dpl. Gunung Ciremai awalnya merupakan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei Kawasan hutan ini kemudian berubah status menjadi hutan produksi pada tahun 1978 yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terbagi dalan dua unit wilayah yaitu KPH Kuningan dan KPH Majalengka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.143/Kpts/Um/3/1978. Sebagian kawasan hutan produksi di Gunung Ciremai kemudian diubah statusnya sebagai kawasan hutan lindung di Kawasan Hutan Produksi Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka berdasarkan Kepmenhut nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang penunjukan areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± ha. Pada saat kawasan dikelola Perum Perhutani, telah ada sistem yang berjalan salah satunya adalah sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dimulai sekitar tahun 1999 (Suryadarma 2009). PHBM adalah sebuah sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem pengelolaan taman nasional pada umumnya. Kebijakan PHBM ini tertuang dalam pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang penggunaan dan pemanfaatan hutan berbasis sosial forestry. Program PHBM antara masyarakat dan Perum Perhutani dengan memanfaatkan pola tumpangsari (agroforestry). Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, dijelaskan bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi dengan tujuan perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata untuk kelestarian kawasan sehingga tidak diperbolehkan adanya aktivitas masyarakat khususnya pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan hutan di kawasan ini telah dilakukan sejak lama, yaitu sejak kawasan hutan Gunung Ciremai masih berstatus hutan produksi. Seperti dibeberapa wilayah yang dimanfaatkan untuk pertanian, lahan tumpangsari justru banyak dikonversi lahannya menjadi ladang sayur mayur

43 28 tanpa memelihara hutan pinus sebagai tegakan utama. Pemanfaatan ini semakin tidak terkendali dan sangat berpotensi mengakibatkan lahan kritis. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC. Kawasan hutan lindung Gunung Ciremai kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi taman nasional dengan dikeluarkannya surat keputusan menteri kehutanan nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Selanjutnya pada 30 Desember 2004, dilakukan penunjukan BKSDA Jawa Barat II sebagai pengelola TNGC hingga terbentuknya organisasi TNGC berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No.SK. 140/IV/Set- 3/2004. Penyelesaian proses perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak mulai dari masyarakat desa sekitar sampai organisasi non pemerintah yang berpendapat bahwa penunjukan kawasan menjadi taman nasional agak terburu-buru, tanpa sosialisasi ke masyarakat dan tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap keberadaan taman nasional sangat merugikan masyarakat karena telah dirubah peruntukannya, tidak dapat lagi dikelola dengan tujuan produksi dan masyarakat tidak diperbolehkan lagi menggarap dalam kawasan. Hal ini seperti pernyataan Hermawan (2005) bahwa penolakan penunjukan kawasan menjadi taman nasional disebabkan: (1) proses penetapan TNGC dianggap tidak mengindahkan proses pembicaraan yang sedang berlangsung, (2) proses penetapan yang penuh ketergesaan dikhawatirkan akan merugikan masyarakat, (3) tidak adanya sosialisasi penetapan TNGC kepada masyarakat dan (4) kekhawatiran tertutupnya akses masyarakat pada kawasan Gunung Ciremai setelah ditetapkan menjadi taman nasional. Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada di kawasan TNGC menjadi kawasan konservasi telah menyebabkan perubahan sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan untuk melindungi terhadap tanah dan air sebagai daerah resapan, tetapi juga

44 29 ditingkatkan sebagai kawasan pelestarian alam. Begitupun dengan kawasan hutan produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani, dengan adanya peralihan kawasan menjadi taman nasional, masyarakat sudah tidak bisa lagi menggarap lahan dalam kawasan Letak dan luas wilayah Secara geografis, TNGC terletak pada koordinat BT BT dan LS LS. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka dengan luas ± ha Topografi dan iklim Kawasan TNGC memiliki toporafi yang bergelombang, berbukit dan bergunung membentuk kerucut dengan ketinggian mencapai 3078 m dpl. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TNGC termasuk ke dalam tipe iklim B dan C dengan curah hujan mm/tahun dan temperatur udara 18 0 C 22 0 C Hidrologi Kawasan Gunung Ciremai kaya dengan sumber daya air berupa sungai dan mata air. Sungai-sungai yang bersumber dari Gunung Ciremai berjumlah ± 43 buah dan 156 titik mata air, 147 titik mata air terus menerus mengalirkan air sepanjang tahun dengan debit rata-rata liter/detik serta kualitas airnya memenuhi standar kriteria kualitas air minum Vulkanologi Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600 dan berbentuk kerucut. Gunung ini merupakan gunung api soliter yang dipisahkan oleh zona sesar Cilacap Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada zona Bandung. Gunung Ciremai merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunung api Plistosen yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisme Plio-Plistosen di atas batuan tersier. Vulkanisme generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk kaldera

45 30 Gegerhalang. Vulkanisme generasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi sekitar 7000 tahun yang lalu Kondisi biologis Tipe ekosistem hutan yang berada di kawasan TNGC secara umum merupakan tipe hutan dataran rendah ( m dpl), hutan hujan pegunungan ( m dpl), dan hutan pegunungan atas (> 2400 m dpl). Pada stipe ekosistem tersebut terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi berupa keanekaragaman flora, fauna dan potensi wisata. Flora yang ditemukan di kawasan tersebut berdasarkan hasil eksplorasi sebanyak 57 jenis, diantaranya adalah edelweis, pasang, jamuju, harendong, kiteja, kipare, kicalungcung, hamirung, kijagong, kiceuhay, pelending, cereme, kiucing, kileho, kinugrah, cerem, kibeusi, kisieur, walen, nangsi, kiampet, kemuning, ipis kulit, kigawulan, huru, kalimarot, kisalam, totongoan, talingkup, kendung, pendung, kiamis, kitaji, kipait, ramo giling, kihuut, kisareni, tangogo, hamperu badak, hamerang, beunying, kawoyang, kareumbi, masawa, kikacapi, kikacang, baros, songgom, kijeruk, gintung, kisireum dan kijengkol. Jenis fauna yang ditemukan di kawasan TNGC cukup beragam terdiri dari jenis burung, mamalia dan reptil. Macan tutul (Panthera pardus), kijang (Muntiacus munjak), kera ekor panjang (Macaca Fascicularis), elang hitam (Ictinaetus malayensis), ekek kiling (Cissa thalassina), sepah madu (Perictorus miniatus), lutung (Presbytis cristata), surili (Presbytis comata), ular sanca (Phyton molurus), meong congkok (Felis bengalensis), walik (Ptilinopuscinctus) dan anis (Zoothera citrina). Taman Nasional Gunung Ciremai juga memiliki sejumlah potensi wisata alam, yaitu Objek Wisata Talaga Remis, Objek Wisata Situ Nilam, Objek Wisata Situ Ayu Salintang, Situ Cicerem, Bumi Perkemahan Cikole dan Mata Air, Bumi Perkemahan dan Wisata Air Paniis, Bumi Perkemahan Cibeureum, Bumi Perkemahan Cibunar dan Parigi, Bumi Perkemahan Palutungan dan Kawasan Wisata Lembah Cilengkrang.

46 Potensi wisata Kawasan TNGC memiliki objek wisata alam yang telah dikelola sebelum penetapan statusnya sebagai taman nasional. Potensi wisata terdapat di kawasan TNGC cukup unik, variatif dan memiliki nilai jual yang tinggi. Potensi tersebut mencakup potensi fisik maupun hayati antara lain panorama alam, keindahan air terjun, pemandian air panas, bentang alam, kawasan persawahan, aliran sungai yang mengalir dapat dijadikan alternatif wisata bagi para wisatawan. Beberapa objek wisata alam yang selama ini telah diusahakan di kawasan TNGC dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Objek wisata alam di TNGC No Kabupaten Nama lokasi Jenis daya tarik 1 Kuningan Telaga Remis Danau Situ Cicerem Danau Bumi Perkemahan Cikole Aktivitas berkemah Pemandian Paniis dan Bumi Perkemahan Aktivitas berkemah Singkup Sumur Cikajayaan Wisata air Bumi Perkemahan Cibeureum Aktivitas berkemah Jalur Pendakian Linggarjati Aktivitas pendakian Jalur Pendakian Palutungan Aktivitas pendakian Bumi Perkemahan Hulu Ciawi Aktivitas berkemah Bumi Perkemahan Cibunar Aktivitas berkemah Bumi Perkemahan Balong Dalam Aktivitas berkemah Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh Wisata air Lembah Cilengkrang Air terjun Pemandian Alam Cigugur Wisata air Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Putri Aktivitas berkemah 2 Majalengka Jalur Pendakian Apuy Aktivitas pendakian Bumi Perkemahan Cipanten Aktivitas berkemah Curug Sawer Air terjun Situ Sangiang Wisata air Sumber : BTNGC (2006) 4.2 Daerah Penyangga TNGC Letak dan luas Daerah penyangga TNGC terletak melingkari kawasan TNGC yang meliputi 46 desa di 14 kecamatan dan 2 kabupaten. Ada 25 desa di 7 kecamatan di Kabupaten Kuningan di sekitar kawasan TNGC sebelah timur dengan luas keseluruhan desa tersebut sebesar km 2. Sementara itu, ada 20 desa di 7 Kecamatan di Kabupaten Majalengka di sekitar kawasan TNGC sebelah barat dengan luas keseluruhan desa tersebut sebesar ± km 2.

47 Kondisi sosial ekonomi masyarakat 1 Kepadatan penduduk Luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk Kabupaten Kuningan adalah km 2. Jumlah penduduk dari desa-desa tersebut sebesar jiwa dengan kepadatan penduduk /km 2 (BPS Kabupaten Kuningan 2003). Sedangkan luas wilayah desa-desa sekitar taman nasional yang masuk Kabupaten Majalengka adalah ± km 2, dengan jumlah penduduk mencapai jiwa, laki-laki berjumlah jiwa dan perempuan sebanyak jiwa (BPS Kabupaten Majalengka 2003). 2 Mata pencaharian Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan yang berada di sekitar kawasan TNGC terdiri dari petani sebanyak orang (68.79%), industri sebanyak 2323 orang (2.46%) dan sektor jasa sebanyak orang (28.55%). Besarnya jumlah petani menunjukkan besarnya jumlah masyarakat yang bergantung pada lahan pertanian dengan luas kepemilikan lahan pertanian oleh petani hanya mencapai 0.2 ha. Adapun komoditas pertanian yang dihasilkan diantaranya padi, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sedangkan mata pencaharian penduduk Kabupaten Majalengka yang berada di sekitar kawasan TNGC sebagian besar di sektor pertanian (34%), baik di lahan milik, penggarap atau buruh tani dengan komoditi yang ditanam di atas lahan ladang/kebun/tegalan adalah sayuran-sayuran dan buah-buahan. Mata pencaharian lain yaitu 33% di sektor industri pengolahan, 17% di sektor perdagangan dan sisanya tersebar di sektor jasa, angkutan, perkebunan, perikanan dan perdagangan. 3 Penggunaan lahan Secara umum pola penggunaan lahan masyarakat di sekitar TNGC terdiri dari tanah sawah dan bukan sawah (kebun, hutan rakyat, perkebunan, perumahan dan tanah pekarangan). Luas penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan adalah seluas ha yang terbagi menjadi lahan sawah ha (berdasarkan sistem pengairan irigasi teknis, setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa maupun tadah hujan) dan bukan sawah ha yang terdiri dari kebun, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan dan lain-lain (BPS Kabupaten Kuningan 2003). Adapun penggunaan lahan di sekitar kawasan TNGC yang berada di wilayah

48 33 Kabupaten Majalengka secara umum diklasifikasikan menjadi lahan sawah dan lahan kering. Pada tahun 2003 tercatat bahwa luas lahan sawah di Kabupaten Majalengka sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2002 yaitu dari ha menjadi ha. Hal ini disebabkan adanya peralihan fungsi lahan dari sawah menjadi tanah tegalan atau perumahan. Penggunaan lahan di kawasan barat (Majalengka) sampai dengan tahun 2005 didominasi untuk tanah ladang/tegalan yaitu seluas ha. 4 Sosial budaya Berdasarkan data BPS Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka tahun 2003, sebagian besar penduduk yang ada di 14 kecamatan sekitar kawasan TNGC umumnya memeluk agama Islam (98%), sedangkan sebagian kecil beragama Kristen Protestan dan Katolik (2%). Interaksi masyarakat desa dengan kelompok hutan Gunung Ciremai telah lama berlangsung sejak kawasan tersebut belum ditunjuk sebagai taman nasional. Berbagai aktivitas dilakukan masyarakat, baik secara ekologi, ekonomi dan sosial berhubungan dengan kawasan tersebut, termasuk beberapa situs yang terdapat di dalam kawasan Gunung Ciremai yang merupakan bagian dari kegiatan ritual kepercayaan dan budaya bagi sebagian masyarakat di sekitar dan di luar kawasan Gunung Ciremai.

49 34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan di Kawasan TNGC Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi manusia, gangguan alam dan suksesi tumbuhan secara alami. Penggunaan lahan merupakan perubahan keadaan lahan yang disebabkan oleh adanya kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Penutupan lahan dan penggunaan lahan yang ada di TNGC berdasarkan hasil survei dikelompokkan menjadi tujuh kategori. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut adalah hutan alam, hutan tanaman, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Penutupan dan penggunaan lahan di TNGC disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Penutupan dan penggunaan lahan. (a) Hutan alam; (b) Hutan tanaman pinus; (c) Semak belukar; (d) Ladang; (e) Lahan terbuka; (f) Badan air.

50 Klasifikasi penutupan lahan Proses klasifikasi dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik interpretasi penginderaan jauh menggunakan citra Landsat. Citra yang digunakan untuk klasifikasi adalah citra dengan tahun penyiaman 2006 dan Berdasarkan hasil interpretasi citra, klasifikasi penutupan lahan terbagi dalam 7 tipe yaitu hutan alam, hutan tanaman, semak, ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data. Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat band 5,4,3 disajikan pada Tabel 5. Adapun klasifikasi tipe penutupan lahan dijelaskan sebagai berikut : 1 Hutan alam merupakan kelompok hutan yang masih alami baik itu hutan primer maupun hutan sekunder. 2 Hutan tanaman merupakan kelompok hutan produksi eks Perum Perhutani. Dalam kawasan TNGC dan sekitarnya didominasi oleh hutan tanaman pinus dengan sistem agroforestry. 3 Semak adalah lahan yang didominasi oleh tumbuhan bawah, rumput dan belukar. Areal ini dapat juga berupa bekas pembukaan hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali. 4 Ladang merupakan lahan pertanian kering yang ditanami bukan tanaman keras. Umumnya ladang ditanami dengan sayuran atau tanaman pangan semusim. 5 Lahan terbuka adalah seluruh kenampakan lahan yang tidak bervegetasi, lahan bekas kebakaran dan tanah bebebatuan. 6 Badan air merupakan penampakan permukaan air yang berupa danau,sungai, dan kolam. 7 Tidak ada data adalah penampakan awan dan bayangan pada citra. Adanya awan dan bayangan mengakibatkan citra tidak dapat diklasifikasi.

51 36 Tabel 5 Kunci interpretasi tipe penutupan lahan pada citra Landsat No. Tipe penutupan lahan Deskripsi tampilan citra 1 Hutan alam Hutan alam berwarna hijau tua gelap dan berada pada kelas kelerengan yang curam Gambar citra Landsat 2 Hutan tanaman pinus Hutan tanaman pinus berwarna hijau agak gelap dan memiliki tekstur yang halus 3 Semak Semak berwarna kuning sangat terang hingga merah muda terang. Memiliki tekstur yang agak halus. 4 Ladang Ladang berwarna kebiruan, berbercak kemerahan dan kecoklatan. 5 Lahan terbuka Lahan terbuka berwarna ungu, merah muda gelap dan keabuan

52 37 Tabel 5 (Lanjutan) No. Tipe penutupan Deskripsi tampilan citra lahan 6 Badan air Badan air berwarna biru tua Gambar citra Landsat 7 Awan dan bayangan awan Awan berwarna putih dan bayangan berwarna hitam Penutupan lahan di TNGC tahun 2006 Hasil pengolahan citra Landsat dengan waktu penyiaman citra 24 September 2006 adalah peta penutupan lahan TNGC (Gambar 6). Nilai overall classification accuracy peta tutupan lahan tahun 2006 adalah 86.49%. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7, luas tipe penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dijelaskan sebagai berikut: 1 Tipe petutupan lahan yang terluas di TNGC adalah hutan alam dengan luas ha. Hutan alam yang ada di TNGC sebagian besar merupakan hutan sekunder. Persebaran hutan alam paling luas yaitu di Kecamatan Argapura dengan luas ha dan terkecil pada Kecamatan Sukahaji dengan luas ha. 2 Tipe penutupan lahan terluas kedua adalah semak dengan luas ha. Semak merupakan lahan berupa rumput, tumbuhan bawah atau ilalang yang tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang ditinggalkan. Semak mendominasi luasan TNGC di beberapa wilayah karena lahannya sebagian berbatu dan adanya faktor kebakaran hutan yang menyebabkan suksesi secara alami. Semak belukar terluas berada di Kecamatan Pasawahan dengan luas ha diikuti Kecamatan Argapura

53 38 dengan luas ha, dan yang terkecil berada di Kecamatan Cikijing dengan luas ha. 3 Tidak ada data merupakan penutupan lahan terluas ketiga dengan luas ha. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra berupa awan, bayangan awan, serta punggungan bukit-bukit. 4 Hutan tanaman pinus merupakan tipe penutupan lahan terluas keempat dengan luas ha. Hutan tanaman pinus di TNGC dahulu dikelola Perum Perhutani. Distribusi hutan tanaman pinus terluas berada di Kecamatan Argapura dengan ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas ha dan yang terkecil di Kecamatan Sukahaji dengan luas 1.17 ha. 5 Lahan terbuka merupakan penutupan lahan terluas kelima dengan luas ha. Lahan terbuka diakibatkan oleh kebakaran lahan-lahan semak belukar yang menyebabkan semak-semak menjadi tanah-tanah hitam. Selain itu karena adanya pembukaan lahan oleh masyarakat sebelum digarap menjadi lahan pertanian. Lahan terbuka di TNGC yang terluas berada di Kecamatan Pasawahan dengan luas ha, kemudian Kecamatan Argapura dengan luas ha dan yang terkecil berada di Kecamatan Cikijing dengan luas 0.9 ha. 6 Ladang merupakan tipe penutupan lahan terluas keenam dengan luas ha. Ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami sayur-sayuran seperti kubis, cabai, kentang, petcay dan lainnya. Ladang merupakan lahan garapan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat dan sudah ada sebelum adanya kawasan TNGC atau semenjak masih dikuasai oleh Perum Perhutani, sehingga ladang masih banyak terdapat di dalam kawasan taman nasional. Luasan ladang yang terluas berada di wilayah Kecamatan Argapura dengan ha, kemudian di Kecamatan Talaga dengan luas ha dan terluas ketiga di Kecamatan Cigugur dengan luas ha. 7 Badan air merupakan tipe penutupan lahan yang terkecil yang sangat jelas terdeteksi di wilayah danau/situ Sangiang dengan luas ha dan Talaga Remis dengan luas 2.34 ha.

54 39 Gambar 6 Peta penutupan lahan TNGC tahun Penutupan lahan di TNGC tahun 2009 Hasil pengolahan citra Landsat dengan waktu penyiaman citra 16 Maret 2009 adalah peta penutupan lahan TNGC (Gambar 7). Nilai overall classification accuracy peta tutupan lahan tahun 2009 adalah 89.19%. Berdasarkan Tabel 6 dan

55 40 Tabel 7, luas tipe penutupan lahan di TNGC tahun 2009 dijelaskan sebagai berikut: 1 Penutupan lahan terluas di TNGC adalah hutan alam dengan luas ha. Hutan alam di TNGC sebagian besar merupakan hutan sekunder dan sebagian hutan yang masih primer/alami. Hutan alam terluas berada di wilayah administrasi Kecamatan Argapura dengan luas ha, kemudian Kecamatan Cigugur dengan luas ha dan yang terkecil pada Kecamatan Sukahaji dengan luas ha. 2 Tipe penutupan lahan terluas kedua adalah semak dengan luas ha. Semak merupakan lahan berupa rumput, tumbuhan bawah atau ilalang yang tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang ditinggalkan. Distribusi semak terluas pada Kecamatan Pasawahan dengan luas ha dan Kecamatan Mandirancan dengan luas ha. 3 Tidak ada data merupakan penutupan lahan terluas ketiga dengan luas ha. Luas penutupan lahan ini terkait dengan kondisi saat penyiaman citra yang berupa awan, bayangan awan serta punggungan bukit-bukit. 4 Hutan tanaman merupakan tipe penutupan lahan terluas keempat dengan luas ha. Penggunaan lahan hutan tanaman pinus ini terlihat dari aktivitas penggarapan lahan masyarakat dengan sistem tumpangsari. Distribusi terluas yaitu pada Kecamatan Argapura dengan ha diikuti dengan Kecamatan Mandirancan dengan luas ha. 5 Ladang merupakan tipe penutupan lahan terluas kelima dengan luas ha. Ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami tanaman sayuran semusim. Ladang merupakan lahan garapan yang sudah lama diterapkan oleh masyarakat dan sudah ada sebelum adanya kawasan TNGC. Distribusi ladang terluas berada di Kecamatan Argapura dengan luas ha, kemudian di Kecamatan Cigugur dengan luas ha. 6 Lahan terbuka merupakan penutupan lahan terluas keenam dengan luas ha. Lahan terbuka merupakan lahan yang tidak bervegetasi, tanah dan berbatu seperti di puncak Gunung Ciremai, serta lahan semak yang mengalami kebakaran lahan dan hutan. Distribusi terluas berada pada wilayah Kecamatan Pasawahan dengan luas ha

56 41 7 Luas penutupan lahan paling kecil adalah badan air. Badan air terdeteksi jelas di Situ Sangiang (Kecamatan Talaga) dengan luas ha dan Telaga Warna (Kecamatan Pasawahan) dengan luas 2.25 ha. Legenda Gambar 7 Peta penutupan lahan TNGC tahun 2009.

57 Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra Landsat TM tahun 2009, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan penutupan lahan di kawasan TNGC. Perubahan penutupan lahan secara umum dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009 Perubahan penutupan Luas penutupan lahan (ha) Tipe lahan No penutupan Total Total lahan Laju/3tahun 2006 % 2009 % (ha) (%) 1 Hutan alam Hutan tanaman Ladang Semak Lahan terbuka Badan air Tidak ada data Penutupan lahan di TNGC terbagi dalam 12 kecamatan yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC. Sebagian wilayah TNGC termasuk ke dalam batas wilayah-wilayah administrasi kecamatan yang berada di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan. Luasan penutupan lahan pada masingmasing kecamatan dan perubahan penutupan lahannya selama periode dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

58 43 Tabel 7 Penutupan lahan tiap kecamatan No Kabupaten Kecamatan Hutan alam (ha) Hutan tanaman pinus (ha) Semak belukar (ha) Tidak Hutan Lahan Badan Hutan Semak Lahan Ladang ada tanaman terbuka air alam belukar terbuka (ha) data pinus (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) 1 Majalengka Cikijing Talaga Argapura Sukahaji Rajagaluh Sindangwangi Kuningan Darma Cigugur Jalaksana Cilimus Mandirancan Pasawahan Ladang (ha) Badan air (ha) Tidak ada data (ha) 43

59 44 Tabel 8 Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan No Kabupaten Kecamatan Hutan alam (ha) Luas (ha) Laju perubahan (%) Hutan tanaman pinus (ha) Luas (ha) Laju perubahan (%) Luas (ha) Semak (ha) Lahan terbuka (ha) Ladang (ha) Badan air (ha) Laju perubahan (%) Luas (ha) Laju perubahan (%) Luas (ha) Laju perubahan (%) Luas (ha) Laju perubahan (%) Luas total (2006) Luas total (2009) 1 Majalengka Cikijing Talaga Argapura Sukahaji Rajagaluh Sindangwangi Kuningan Darma Cigugur Jalaksana Cilimus Mandirancan Pasawahan

60 45 Penutupan lahan hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder di TNGC selama periode mengalami penurunan luas hutan sebesar ha dengan laju perubahan luas sebesar 0.01%. Penurunan luas hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Cigugur dengan ha dan peningkatan hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Talaga ha. Hutan alam mengalami penurunan luas dan perubahan menjadi semak belukar sebesar 7.80%, menjadi hutan tanaman sebesar 4.19%, dan menjadi ladang sebesar 0.80% dari luas tahun 2006 pada tahun Penurunan luas hutan ini mengindikasikan adanya gangguan kawasan hutan berupa pencurian dan penebangan kayu, penggarapan lahan serta beberapa kejadian kebakaran hutan yang merusak pohon dan menyebabkan lahan tersebut menjadi kurang tertutup vegetasi. Selain itu juga karena adanya lahan hutan yang dimanfaatkan untuk kebun campuran karena merupakan kawasan enclave. Wilayah enclave ini memang sudah ada lama sejak masih dikelola Perum Perhutani. Kawasan TNGC terdapat dua lokasi yang menjadi kawasan enclave dan keduanya berada di wilayah resort pasawahan dengan luas masing-masing 12.5 ha dan 67.5 ha. Lokasi enclave ini cenderung merupakan hutan campuran sekunder dan tidak ada pemukiman di dalamnya. Hutan sekunder mendominasi kawasan hutan di TNGC karena ekosistem ini banyak dijumpai baik di daerahdaerah hutan tropika basah maupun hutan musim, di dataran rendah dan bukitbukit. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder di TNGC disebabkan karena faktor alam yaitu letusan gunung berapi yang sudah terjadi sebanyak 7 kali diantaranya tahun 1698, 1772, 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938 (BTNGC 2006) sehingga vegetasi hutan alam pada masa lalu mengalami suksesi dan menjadi hutan sekunder. Secara umum persebaran deforestasi dan reforestasi hutan di TNGC selama periode dapat dilihat pada Gambar 8.

61 46 Gambar 8 Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun Hutan tanaman pinus dalam wilayah TNGC mengalami peningkatan luas pada periode yaitu sebesar ha dengan laju perubahannya sebesar 0.06%. Penurunan luas hutan tanaman pinus terbesar yaitu di wilayah Kecamatan Argapura dengan luas ha dan peningkatan luas hutan tanaman pinus terluas di Kecamatan Cilimus dengan ha. Selama periode , hutan tanaman pinus yang mengalami perubahan menjadi vegetasi semak sebesar 8%. Hal ini memungkinkan karena selama periode telah terjadi kebakaran lahan hutan sebesar ha (Tabel 9). Hutan tanaman pinus merupakan vegetasi yang mudah terbakar dan interpretasi pada citra Landsat akan terlihat

62 47 vegetasi bawahnya yang berupa semak. Hutan tanaman pinus juga mengalami perubahan menjadi hutan alam sebesar 16%. Perubahan penutupan ini diduga karena adanya pemanfaatan intensif lahan garapan berupa kebun campuran di bawah tegakan pinus sehingga klasifikasi diinterpretasikan menjadi hutan alam. Penggunaan lahan untuk kebun campuran tidak bisa dideteksi berdasarkan klasifikasi citra Landsat karena agak tertutup oleh kelompok hutan tanaman pinus. Selain itu, hutan tanaman pinus juga mengalami perubahan menjadi ladang sebesar 10% dari luas tahun 2006 pada tahun Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat tidak merawat hutan tanaman pinus. Hutan tanaman pinus sengaja dicuri dan ditebang agar tidak menghalangi ladang sayuran yang tidak membutuhkan naungan. Selain itu, lokasi hutan pinus ini pun dekat dengan daerah rawan kebakaran, seperti di Pesawahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tunggak batang sisa kebakaran yang masih hitam tegak berdiri. Hutan tanaman pinus yang dahulu dikelola dengan sistem tumpangsari dalam program PHBM menyebabkan banyaknya masyarakat yang menggarap lahan TNGC sehingga memungkinkan adanya perubahan penutupan lahan menjadi ladang sayuran tanpa memelihara tegakan utamanya yaitu pinus. Kondisi ini terlihat di wilayah TNGC sebelah barat seperti di Kecamatan Bantaragung, Argalingga, Argamukti, Talaga sampai wilayah timur TNGC seperti Cigugur, dan sebagian Cilimus. Masyarakat yang berkebun dan berladang dengan sistem tumpangsari seharusnya menggarap lahan sampai tegakan pinus menjadi besar dan terpelihara dan kemudian masyarakat menggarap di lahan yang lain terutama di lahan bekas tebangan pinus. Namun kenyataannya di lapangan masyarakat justru tidak memelihara tegakan pinus dan pohon hutan lainnya. Mereka justru menebang pohon tersebut agar masyarakat bisa terus menggarap lahan lebih lama. Hal ini kemungkinan diduga karena sudah tidak ada wewenang Perum Perhutani terkait adanya peralihan status menjadi taman nasional sehingga masyarakat beranggapan bahwa pemeliharaan pinus akan menjadi sia-sia. Secara umum penurunan (deforestasi) dan peningkatan (reforestasi) areal hutan tanaman pinus pada beberapa wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

63 48 Gambar 9 Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun Ladang di kasawan TNGC mengalami peningkatan luas pada periode sebesar ha dengan laju perubahan luasnya sebesar 0.18%. Peningkatan luas ladang di dalam kawasan taman nasional sangat tidak terkendali. Pemanfaatan lahan untuk ladang ini dapat dikatakan sebagai perambahan yang disebabkan konversi lahan menjadi ladang sayuran. Hal ini dikarenakan aktivitas masyarakat dalam bertani lebih banyak memanfaatkan lahan di dalam kawasan dibandingkan di luar kawasan terkait dengan keberadaan lahan garapan yang

64 49 sudah ada sebelum kawasan TNGC ditunjuk. Pada periode tahun telah terjadi perubahan lahan dari ladang menjadi semak sebesar 17%. Hal ini memungkinkan karena pada sebagian wilayah di Kecamatan Talaga masyarakat menanam jagung dimana komoditi jagung memiliki pencitraan yang agak serupa dengan semak yang berwarna kekuning-kuningan. Selain itu diduga adanya masyarakat yang meninggalkan sebagian lahan garapannya dalam kawasan untuk tidak menggarap lagi dikarenakan adanya sosialisasi dari petugas taman nasional dalam rangka penutupan kawasan untuk lahan garapan sehingga lahan yang ditinggalkan tersebut berubah menjadi semak. Distribusi ladang dalam kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Peta distribusi ladang dalam kawasan (a) tahun 2006; (b) tahun Berdasarkan peta distribusi ladang dalam kawasan TNGC, dapat dilihat penyebaran lokasi penggarapan lahan khususnya ladang sayur tanpa naungan sebagian besar berada di wilayah administrasi Kabupaten Majalengka seperti wilayah Kecamatan Argapura dengan luas peningkatan sebesar ha. Sedangkan sebagian kecil berada di wilayah Kabupaten Kuningan yaitu wilayah Kecamatan Cigugur dan sebagian Cilimus. Hal ini dapat dipahami karena

65 50 wilayah-wilayah tersebut berada pada ketinggian antara m dpl yang cocok ditanami sayuran. Namun pemanfaatannya menjadi tidak terkendali dan sampai masuk ke dalam kawasan taman nasional diantaranya ada yang mencapai ketinggian sekitar 1980 m dpl yaitu pada lokasi Blok Ciinjuk, Desa Cipulus, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka. Perambahan ini diduga karena masyarakat lebih senang menanam sayuran seperti kol, kentang, bawang daun, petcay dan cabai yang memiliki musim panen yang cepat sekitar 3-4 bulan sekali panen sehingga lebih produktif dibandingkan harus menanam dan memelihara tanaman keras/buah-buahan seperti kopi, cengkeh dan alpukat yang memiliki masa panen relatif lama yaitu sekitar 1-3 tahun sekali panen. Hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan akan memperluas lahan garapannya apabila tidak dilakukan sosialisasi intensif dan langkah konkrit dalam rangka penutupan kawasan untuk penggarapan. Semak belukar mengalami peningkatan luas lahan yang cukup tinggi pada periode yaitu sebesar ha dengan laju perubahan luasan sekitar 0.18%. Peningkatan penutupan semak terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan dengan luas ha. Semak belukar yang mengalami perubahan vegetasi diantaranya menjadi ladang sebesar 7.36% dan hanya 3.70% yang berubah menjadi lahan terbuka. Pada periode di wilayah TNGC terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar yang menghabiskan semak belukar dan membakar hutan-hutan di sekitarnya, terutama hutan tanaman pinus. Kebakaran hutan yang sering terjadi terutama pada saat musim kemarau, yaitu antara bulan Juni sampai dengan Oktober. Daerah yang rawan terjadi kebakaran hutan adalah daerah puncak Gunung Ciremai dan bagian kaki Gunung Ciremai sebelah utara di wilayah Kabupaten Kuningan serta sebelah timur wilayah Kabupaten Majalengka (BTNGC 2010). Distribusi semak belukar dapat dilihat pada Gambar 11.

66 51 Gambar 11 Peta distribusi semak belukar (a) tahun 2006; (b) tahun 2009 Lokasi-lokasi pada tiap resort di wilayah TNGC yang mengalami kebakaran lahan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Data luasan kebakaran di TNGC No Resort 2006 (ha) 2007 (ha) 2008 (ha) 2009 (ha) Total (ha) 1 Pasawahan Mandirancan Cilimus Jalaksana Cigugur Sangiang Argalingga Gunung Wangi Bantaragung Total Sumber: Data dan informasi kebakaran hutan TNGC (2010). Berdasarkan Tabel 9, daerah yang paling rawan kebakaran lahan adalah di Resort Pasawahan, Mandirancan dan Cilimus. Data menunjukan tahun 2006

67 52 merupakan kebakaran terbesar yang pernah terjadi di kawasan Gunung Ciremai dengan luas lahan yang terbakar sebesar ha. Hal ini dapat terdeteksi dari citra Landsat yang diambil pada 24 September 2006 yang merupakan lahan semak namun terdeteksi sebagai lahan terbuka karena cukup besar semak yang terbakar. Pada wilayah-wilayah ini tutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan kondisi lahan yang berbatu dengan total luas kebakaran selama mencapai ha. Selain itu, pola penggunaan lahan sebagian masyarakat dengan menggunakan sistem land clearing. Masyarakat membuka lahan dengan melakukan pembakaran lahan terlebih dahulu, yang bertujuan agar lahan yang digarapnya lebih subur karena areal bekas pembakaran dipercaya mengandung humus, sehingga sewaktu-waktu pembukaan lahan yang disebabkan oleh land clearing dapat mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan. Hal ini didukung oleh Hadiprasetyo (2009) yang mengatakan bahwa selain penggarap mengolah lahan dengan cara mencangkul dan memupuk, sebagian masyarakat lain masih membersihkan lahan dengan cara membakar karena membutuhkan waktu yang relatif cepat dan biaya yang lebih murah daripada memupuk. Lahan terbuka di kawasan TNGC berupa tanah bebatuan di daerah puncak gunung/kawah dan sebagian wilayah Kecamatan Pasawahan. Pada lahan terbuka terjadi penurunan yang tinggi yaitu sebesar ha dengan laju perubahan luasan sebesar 2.26%. Penurunan lahan terbuka terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan dengan luas ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas ha. Kemudian di sekitar penutupan hutan tanaman pinus terdeteksi lahan terbuka yang merupakan areal bekas kebakaran dan tebangan Perum Perhutani yang lahannya kurang tertutup vegetasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk digarap dengan perubahan vegetasi lahan terbuka menjadi ladang pada tahun 2009 sebesar 5.8% dari total luasan lahan terbuka tahun Lahan terbuka mengalami perubahan penutupan vegetasi yang tinggi menjadi semak sebesar 69%. Hal ini karena adanya sistem suksesi alam pada hutan sekunder atau semak bekas lahan kebakaran. Sebaran lahan terbuka di kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar 12.

68 53 Gambar 12 Peta distribusi lahan terbuka (a) tahun 2006; (b) tahun Penutupan lahan berupa badan air mengalami penurunan luas pada tahun yaitu sebesar 1.62 ha dengan laju perubahan luasan sebesar 0.08%. penurunan luas badan air ini disebabkan karena fluktuasi debit air sehingga dapat mempengaruhi dalam interpretasi citra. Pada saat musim kemarau atau saat curah hujan kecil, jumlah air cenderung berkurang. Pada saat musim hujan jumlah air meningkat dan air akan melimpah kepinggiran daratan disekitarnya. Badan air ini terdeteksi baik di wilayah Situ Sangiang dan Talaga Remis. Tidak ada data merupakan penutupan lahan berupa awan, bayangan awan serta punggungan bukit yang tidak bisa terdeteksi dalam citra dan tidak mengalami perubahan luas pada periode tahun Pada saat proses klasifikasi citra, luas tidak ada data disamakan setiap tahun. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan luas tipe penutupan lahan yang sama pada citra yang terklasifikasi.

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI

ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI ANALISIS PENUTUPAN LAHAN KAWASAN HUTAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI KRUENG ACEH PRA DAN PASCA TSUNAMI Forest Land Cover Analysis of Krueng Aceh Watershed in Pre and Post-Tsunami Mahyuddin 1), Sugianto 2),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (LAND COVER CHANGES IN WAY KAMBAS NATIONAL PARK)

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (LAND COVER CHANGES IN WAY KAMBAS NATIONAL PARK) PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (LAND COVER CHANGES IN WAY KAMBAS NATIONAL PARK) Danang Arif Maullana dan Arief Darmawan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 9 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan data atribut berupa data sosial masyarakat dilakukan di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Banten (Gambar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Enok Yanti, 2013 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan sebagai sumberdaya alam fisik mempunyai peranan sangat penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan diperlukan manusia untuk tempat tinggal

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya (UU RI No.41

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN

ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN ANALISIS PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN (LAND COVER) DI TAMAN WISATA ALAM SUNGAI LIKU KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2013-2016 (Analysis Of Land Cover Changes At The Nature Tourism Park Of Sungai Liku In Sambas Regency

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat dan Hutan Adat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat dan Hutan Adat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat dan Hutan Adat Pengertian masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional I yang dikemukakan oleh Moniaga (2004), yaitu kelompok masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci