DAYA HAMBAT EKSTRAK AIR DAUN ASHITABA (Angelica keiskei) TERHADAP BAKTERI Salmonella typhimurium

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAYA HAMBAT EKSTRAK AIR DAUN ASHITABA (Angelica keiskei) TERHADAP BAKTERI Salmonella typhimurium"

Transkripsi

1 DAYA HAMBAT EKSTRAK AIR DAUN ASHITABA (Angelica keiskei) TERHADAP BAKTERI Salmonella typhimurium Dewi Peti Virgianti 1, Senia Agustien 2 1,2 STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya dewivirgianti@gmail.com Abstrak - Ashitaba (Angelica keiskei) merupakan tanaman obat asli Jepang yang berkhasiat untuk meningkatkan produksi sel darah merah, produksi hormon pertumbuhan, serta meningkatkan pertahanan tubuh untuk melawan infeksi, kanker, dan juga sebagai sumber antioksidan. Daun ashitaba (Angelica keiskei) diketahui mengandung senyawa alkaloid, tanin, fenolat, dan senyawa chalcone yang bersifat antibakteri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) pada berbagai konsentrasi dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium ATCC Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen terhadap bakteri Salmonella typhimurium ATCC dengan metode Kirby-Bauer. Konsentrasi pengenceran ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) yang diteliti mulai dari konsentrasi 10% sampai konsentrasi 100% dengan kepadatan bakteri yaitu 3x10 4 sel/ml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zona hambat terbentuk pada konsentrasi 20% sampai 100%. Semakin besar konsentrasi ekstrak semakin besar pula zona hambat yang terbentuk. Zona hambat terbesar yaitu pada konsentrasi 100% dengan besar zona hambat 15,8 mm, sedangkan daya hambat terkecil yaitu pada konsentrasi 20% sebesar 5,6 mm. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium ATCC 14028, dengan besar daya hambat yang meningkat seiring peningkatan konsentrasi ekstrak. Kata kunci : Ashitaba (Angelica keiskei), Salmonella typhimurium ATCC PENDAHULUAN Penyakit demam tifoid di Indonesia masih memerlukan perhatian dalam penanganannya karena prevalensinya yang masih tinggi Pada profil kesehatan Indonesia tahun 2010 dinyatakan bahwa demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pasien rawat inap sakit di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat (Widoyono, 2005). Di Indonesia demam tifoid dikenal sebagai penyakit tifus merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan yang serius. Penyakit ini menyebabkan perdarahan dan perforasi usus, bahkan menimbulkan komplikasi seperti hepatitis, meningitis, nepritis, miokarditis, bronkhitis, dan pneumonia (Hadisaputro, 1990). Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella typhi merupakan salah satu spesies bakteri salmonella yang berbentuk basil, gram negatif, fakultatif aerob, bergerak dengan flagel peritrik, mudah tumbuh pada pembenihan biasa dan tumbuh baik pada perbenihan yang mengandung empedu yang apabila masuk kedalam tubuh manusia akan dapat menyebabkan penyakit infeksi Salmonella typhi dan mengarah keperkembangan tifus atau demam enterik (Brooks et al, 2005). Minat masyarakat untuk memanfaatkan kembali kekayaan alam, yaitu tumbuh-tumbuhan sebagai ramuan obat seperti telah lama dilakukan nenek moyang pada zaman lampau, semakin meluas. Para ahli terus-menerus mengadakan penelitian dan pengujian terhadap sejumlah tumbuhan tertentu yang berkhasiat untuk pengobatan, baik di dalam maupun di luar negeri (Thomas, 1989). Indonesia adalah negara dengan wilayah yang beriklim tropis sehingga terdapat berbagai macam tumbuhan herbal. Tumbuhan herbal ialah tumbuhan yang mempunyai khasiat untuk menyembuhkan penyakit. Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan maka pemanfaatan bahan-bahan alami semakin mendapat perhatian (Saputera et al, 2013). Angelica keiskei tanaman asli Kepulauan Izu di lepas pantai Jepang dan sekarang juga dibudidayakan di Indonesia, yang dikenal sebagai ashitaba. Tanaman ini telah dimanfaatkan oleh bangsa Tiongkok sejak 2000 tahun lalu sebagai obat herbal tradisional (traditional Chinese medicine) (Wiadnyana et al, 2015). Ashitaba (Angelica keiskei) merupakan salah satu tanaman introduksi sehingga belum banyak dikenal di Indonesia. Di Indonesia, ashitaba dikembangkan di Malang, Jawa Timur dan Jawa Barat, di Kebun Percobaan Manoko, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di Lembang, Jawa Barat (Sembiring dan Manoi, 2010). Menurut Sembiring dan Manoi (2010), tanaman ashitaba berpotensi meningkatkan produksi sel darah merah, produksi hormon pertumbuhan serta meningkatkan pertahanan tubuh untuk melawan infeksi, kanker dan juga sebagai sumber antioksidan. Disamping itu juga dapat menyembuhkan diabetes, asam lambung, hipertensi, jantung koroner, asma, liver, menurunkan kolesterol, osteoporosis, ginjal, maag dan menambah vitalitas, penghambat proliferasi HIV dan sebagai antibakteri. 1

2 Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui daya hambat ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella typhi. 2. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun ashitaba, akuades steril, BaCl 2, biakan murni Salmonella typhimurium ATCC 14028, etanol, H 2 SO 4, kertas cakram, media Mueller Hinton, Agar Nutrient, NaCl fisiologis steril. Sedangkan alat yang digunakan adalah autoclave, batang pengaduk, blender, botol semprot, bulf, cawan petri, clinnipet, corong glass, dry sterillisator, erlenmeyer (IWAKI Pyrex, Japan), gelas kimia (IWAKI Pyrex, Japan), inkubator mikrobiologi (Type BE 400/memmert), jangka sorong, kaca arloji, kaca bengkok, lampu spirtus, neraca analitik (OHAUS), ose bulat, oven, pinset, pipet tetes, pipet ukur, rak tabung, tabung reaksi, turbidimeter, laminar air flow, rotary evaporator. Cara Kerja 1. Preparasi Sampel (Depkes RI, 1985) Daun ashitaba sebanyak 100 gram dicuci bersih dan ditiriskan. Kemudian dikeringkan ditempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari langsung. Setelah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender sampai terbentuk serbuk. 2. Ekstraksi Daun Ashitaba (Farmakope, 1995) Simplisia daun ashitaba ditimbang sebanyak 50 gram, dimasukkan ke dalam gelas kimia. Dilarutkan dengan air steril sebanyak 500 ml kemudian aduk rata. Didiamkan selama 3x24 jam ( 3 hari). Setelah direndam selama 3 hari, ekstrak disaring kemudian dievaporasi dengan menggunakan alat rotary evaporator pada suhu C untuk memisahkan pelarut dengan ekstrak. Sehingga didapatkan ekstrak kental, kemudian diuapkan pada waterbath untuk menghilangkan sisa pelarut. 3. Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antibakteri ekstrak air daun ashitaba terhadap bakteri Salmonella typhi dilakukan dengan metode Kirby-Bauer (Lay, 1994). Dituangkan agar Mueller-Hinton suhu 45 o C yang masih cair sebanyak 12 ml (ketebalan ± 4-5 mm) kedalam cawan petri yang steril, goyangkan dan biarkan membeku. Suspensi bakteri Salmonella typhimurium ATCC kepadatan bakteri 0,5 mcfarland sebanyak 0,1 ml, disebarkan dengan batang L ke dalam media Mueller-Hinton yang sudah beku. Lempeng agar dibiarkan mengering selama 5 menit. Kertas cakram yang telah direndam pada ekstrak air daun ashitaba pada berbagai konsentrasi, diletakkan di atas agar Mueller-Hinton yang sudah ditanami bakteri Salmonella typhi. Pengerjaan sampel dilakukan secara duplo. Cawan diinkubasi pada suhu 37 o C selama jam. Selain dilakukan pula pengujian kontrol dengan menggunakan cakram yang tidak direndam pada ekstrak. Diamati adanya daerah hambat berupa zona bening di sekitar kertas cakram. Diameter zona hambat dihitung dengan cara diukur menggunakan jangka sorong. 4. Uji Fitokimia a. Alkaloid (Mustarichie et al, 2011) Sampel ekstrak ditambah dengan 0,5 ml HCl 1% kemudian tambahkan 1-2 tetes reagen Dragendorf. Apabila sampel menghasilkan warna jingga, maka ekstrak mengandung alkaloid. b. Saponin Masukkan 2 ml sampel kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 10 ml akuades lalu dikocok selama 30 detik, diamati perubahan yang terjadi. Apabila terbentuk busa yang mantap (tidak hilang selama 30 detik) maka identifikasi menunjukkan adanya saponin. c. Terpenoid Sampel ditambahkan dengan vanillin dan H 2 SO 4 pekat. Terjadi perubahan warna menjadi ungu menunjukkan adanya kandungan terpenoid. d. Tannin Sebanyak 3 ml sampel diekstraksi akuades panas kemudian didinginkan. Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. Filtrat A digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat B ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam filtrat C ditambahkan gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi. e. Fenolat Sampel ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, kemudian diamati perubahan warna yang terjadi. Jika terbentuk warna hijau maka sampel mengandung senyawa fenolat. f. Flavonoid Ekstrak ditambah dengan 1-2 ml methanol panas 50% kemudian ditambahkan Mg dan 4-5 tetes HCl pekat. Larutan berwarna merah atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid. 2

3 Analisis Data Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimen, data yan diperoleh dianalisis secara deskriptif. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian daya hambat ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium ATCC dengan berbagai varian konsentrasi, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Diameter Daya Hambat Ekstrak Air Daun Ashitaba (Angelica keiskei) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhimurium ATCC dengan Berbagai Konsentrasi Pengenceran Variasi konsentrasi Ø Disk Zona hambat Rata-rata (mm) Ulangan I Ulangan II 10% 4 mm % 4 mm 5,5 mm 5,7 mm 5,6 30% 4 mm 6,6 mm 6,2 mm 5,9 40% 4 mm 6,9 mm 7,5 mm 6,7 50% 4 mm 7,3 mm 8,5 mm 7,9 60% 4 mm 8,9 mm 8,6 mm 8,8 70% 4 mm 10,1 mm 9,4 mm 9,8 80% 4 mm 11,1 mm 9,9 mm 10,5 90% 4 mm 11,9 mm 11,9 mm 11,9 100% 4 mm 17,4 mm 14,2 mm 15,8 Kontrol Tidak terdapat zona hambat Hasil uji fitokimia daun ashitaba (Angelica keiskei) dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Hasil Skrining Uji Fitokimia Daun Angelica keiskei No. Parameter Hasil Pengamatan 1. Alkaloid (+) Positif 2. Saponin (-) Negatif 3. Terpenoid (-) Negatif 4. Tannin (+) Positif 5. Fenolat (+) Positif 6. Flavonoid (-) Negatif 3

4 Gambar 1. Daya hambat yang terbentuk pada pengujian ekstrak air Angelica keiskei terhadappertumbuhan Salmonella typhimurium ATCC Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan daya hambat ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) terhadap bakteri Salmonella typhimurium ATCC diperoleh hasil bahwa ekstrak air daun ashitaba dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 20% sampai 100%. Hal ini dapat diketahui dengan adanya zona jernih di sekitar kertas cakram yang berarti dapat menghambat bakteri Salmonella typhimurium ATCC Sedangkan pada konsentrasi 10% tidak terdapat zona jernih berarti ekstrak air daun ashitaba tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Kontrol menunjukkan bahwa tidak terdapat zona hambat pada cakram yang tidak mengandung ekstrak ashitaba. Zona jernih yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi ekstrak air daun ashitaba berbeda, semakin besar konsentrasi ekstrak air daun ashitaba maka semakin besar pula diameter zona hambat terhadap bakteri Salmonella typhimurium ATCC Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak air daun ashitaba, maka semakin besar pula zat aktif yang terdapat di dalamnya. Diameter zona hambat yang terbentuk terjadi karena terdapatnya senyawa kimia aktif yang berasal dari ekstrak air daun ashitaba dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Daun ashitaba mengandung beberapa senyawa-senyawa kimia aktif yang dibuktikan dari hasil uji fitokimia yang dilakukan, diantaranya alkaloid, tannin, dan fenolat. Alkaloid adalah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik. Hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada makhluk hidup. Kemampuan senyawa alkaloid sebagai antibakteri sangat dipengaruhi oleh keaktifan biologis senyawa tersebut. Keaktifan biologis dari senyawa alkaloid ini disebabkan oleh adanya gugus basa yang mengandung nitrogen yang merusak inti sel bakteri sehingga bakteri menjadi lisis. Dengan demikian bakteri akan menjadi inaktif (Anita et al, 2014). Tannin merupakan jenis bahan kimia sebagian besar terkandung dalam berbagai jenis tanaman, terutama tanaman obat. Tannin mampu menghambat sintesis dinding sel bakteri dan protein sel bakteri (Ardananurdin et al, 2004). Tannin merupakan golongan senyawa fenolik. Tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer. Aktivitas antimikroba tannin yaitu berkaitan dengan kemampuannya dalam menginaktivasi adhesi, enzim-enzim, transpor protein pada mikroba serta dapat berikatan dengan polisakarida dan merusak membran sel (Harbone, 1987). Fenolat bekerja melalui penghambatan enzim mikroorganisme oleh bagian senyawa yang teroksidasi, kemungkinan melalui reaksi dengan gugus sulfhidril atau melalui interaksi yang non spesifik dengan protein mikroorganisme. Senyawa fenolat bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak dinding sel bakteri tanpa dapat diperbaiki lagi sehingga pertumbuhan bakteri terhambat (Pelczar dan Chan, 1986). Penentuan kategori penghambatan antimikroba berdasarkan diameter zona hambat dikemukakan oleh Arora dan Bhardawaj (1997) yang menyatakan bahwa bila diameter zona hambat yang terbentuk <6 mm maka dikategorikan lemah, bila 9-12 mm dikategorikan sedang dan bila >12 mm dikatakan tinggi. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) konsentrasi 20% sampai 100% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhimurium ATCC dengan kekuatan daya hambat antara lemah, sedang sampai kuat tergantung dari konsentrasi ekstrak yang diujikan, semakin pekat konsentrasi ekstrak maka semakin kuat pula daya hambat yang dihasilkan. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa ekstrak air daun ashitaba (Angelica keiskei) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi pada konsentrasi 20% sampai 100%. 4

5 5. DAFTAR PUSTAKA Anita, A., Khotimah, S., Yanti, H. A. (2014). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Benalu Jambu Air (Dendropthoe pentandra (L.) Miq) Terhadap Pertumbuhan Salmonella typhi. Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak. Jurnal Protobiont. Vol. 3, No 2 : Ardananurdin, A., Winarsih, S., Widayat, M. (2004). Uji Efektifitas Dekok Bunga Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Sebagai Antimikroba Terhadap Bakteri Salmonella typhi Secara In Vitro. Laboratorium Mikrobiologi Unibraw. Jurnal Kedokteran Brawijaya, April; Vol XX, No. 1: Arora D.S. dan Bhardwaj. (1997). Antibacterial Activity of Some Medicinal Plants. Geo. Bios. 24: Brooks, G. F., Butel, J. S., Morse, S. A. (2005). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama Jakarta : Salemba Medika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Penerbit Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta. Farmakope Indonesia. (1995). Edisi V. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Hadisaputro, S. (1990). Beberapa faktor yang memberi pengaruh terhadap kejadian perdarahan atau perforasi usus pada demam tifoid. Direktorat Pembinaan Penelitian Pada Masyarakat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta. Harborne, J. B. (1987). Metode Fitokimia. Penerbit ITB: Bandung. Kementrian Kesehatan RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia Tahun Kementrian Kesehatan RI: Jakarta. Lay, Bibiana W. (1994). Analisa Mikrobiologi di Laboratorium. Raja Grafindo Persada : Jakarta. Mustarichie, R, Musfiroh, I dan Levita, J Penelitian Kimia Tanaman Obat, Widya Padjajaran; Bandung. Pelczar, M.J., dan Chan, E.C.S. (1986). Dasar Dasar Mikrobiologi, Jilid 1, Alih Bahasa : Hadioetomo, R. S., Imas, T., Tjitrosomo, S.S., dan Angka, S.L. UI-Press: Jakarta. Saputera, S. A., Fifendi, M., Fitriani, V. (2013). Pengaruh Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia) terhadap Pertumbuhan Salmonella typhi. Laboratorium Kopertis Padang. Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat. Sembiring, B, Br., dan Manoi, F. (2011). Identifikasi Mutu Penelitian Tanaman Ashitaba, Balai Penelitian Obat dan Aromatik: Vol. 22 No. 2. Thomas, A.N.S. (1989). Tanaman Obat Tradisional. Kanisius : Yogyakarta. Wiadnyana, I. M. P., Budiasa, K., Berata, I. K. (2015). Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Ashitaba (Angelica keiskei) terhadap Perubahan Histopatologi Usus Halus Mencit (Mus musculus). Buletin Veteriner, Lab. Farmakologi, Lab. Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Februari: Volume 7 No. 1: Widoyono. (2005). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga : Jakarta. 5

6 UJI EFEKTIFITAS TERATAI (Nymphaceae nouchali) TERHADAP PENURUNAN KADAR FOSFAT DALAM AIR Korry Novitriani dan Syifa Fadila Nur Azizah Program Studi D-III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Abstrak. Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat yang biasanya membentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat tak larut, dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik. Fosfat merupakan bentuk dari fosfor yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan. Keberadaan fosfat yang berlebihan dan disertai dengan adanya nutrient lainnya di perairan akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Fosfat merupakan salah satu indikator pencemaran air yang bersumber dari limbah penduduk, industri dan pertanian yang mampu menyebabkan terjadinya pertumbuhan ganggang secara berlebihan. Sehingga perlu dilakukan penanggulangan dengan memanfaatkan tanaman air seperti teratai untuk menurunkan kadar fosfat dalam air. Teratai memilik stuktur anatomi yang berbeda dengan tumbuhan lainnya, perbedaan tersebut merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Dengan menggunakan metoda timah klorida (SnCl 2 ), dilihat penurunan konsentrasi pospat dari 0-4 hari setelah diberi tanaman teratai didapat konsentrasi posfat 3,2486; 2,2431; 1,7038; 0,7695 dan 0,6069 ppm. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teratai efektif menurunkan konsentrasi fosfat dalam air dengan persentase penurunan 30,95; 47,55; 75,67 dan 81,32%. Kata Kunci: Fosfat, teratai, metode SnCl 2 1. PENDAHULUAN Terjadinya perubahan keadaan air menandakan terjadinya pencemaran. Menurut Azwir (2006), bahwa pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke lingkungan oleh kegiatan yang berasal dari kegiatan manusia atau proses alam. Sehingga menyebabkan kualitas lingkungan kurang atau tidak berfungsi sesuai dengan semestinya. Adanya partikel atau kompeonen yang mampu menyebabkan terjadinya pencemaran air inilah yang kemudian menyebabkan air tidak berfungsi seperti semestinya, diantaranya bahan pencemar air adalah limbah rumah tangga seperti sabun yang mengandung fosfat bekas mencuci, limbah industri seperti air bekas pencucian dalam skala besar dan limbah pertanian seperti pupuk yang mengandung fosfat, nitrogen dll. Di perairan fosfat merupakan salah satu indikator pencemaran air yang bersumber dari berbagai macam limbah buangan seperti limbah penduduk, industri dan pertanian yang mampu menyebabkan terjadinya pertumbuhan ganggang dan tumbuhan air secara berlebihan (Alaerts, 1984 : 231). Akibat dari adanya pertumbuhan ganggang dan tumbuhan air yang berlebihan juga dapat memicu terjadinya ledakan pertumbuhan algae (alge bloom) yang berlimpah dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya terjadi penghambatan penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga terjadinya kekurangan kadar oksigen terlarut dalam air, sehingga menimbulkan terjadinya penurunan kualitas air dan terganggunya ekosistem yang terdapat di dalam badan air. Menurut Yunianto tahun 2005 dalam khasanah (2008) Fosfat (PO 4 3- ) merupakan bentuk dari fosfor dalam kondisi asam okso yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Teratai memilik stuktur anatomi yang berbeda dengan tumbuhan lainnya, perbedaan tersebut merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Teratai sebagai tanaman hidrofit memiliki kelebihan dalam ketersediaan air dan kelembaban yang tinggi serta keadaan kekurangan oksigen karena ruang-ruang udara yang dimilikinya membantu menyerap gas dan menyimpan udara dan CO 2 sehingga mampu mengapung diatas permukaan air. Absorpsi nutrisi banyak dilakukan oleh batang dan daun sehingga fosfor sebagai unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tumbuhan mudah di transportasikan di seluruh tanaman, baik di floem maupun di xilem yang terdapat dalam korteks yang tersebar hampir diseluruh batang tubuh teratai. Sehingga diperlukan pemeriksaan penurunan penyerapan fosfat diair dengan menggunakan media penyerap tanaman air seperti teratai. 2. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air yang ditambahkan dengan standar fosfat, sedangkan bahan kimia yang digunakan meliputi larutan asam sulfat (H 2 SO 4 ), Gliserol, indikator fenolftalein 6

7 0.05N, larutan kalium dihidrogen fosfat (KH 2 PO 4 ) induk 250 ppm, larutan standar KH 2 PO 4 0,5; 1; 2; 3 dan 4 ppm, larutan ammonium molibdat ((NH 4 ) 6 Mo 7 O 24.4H 2 O), larutan timah klorida (SnCl 2.2H 2 O) dan air suling. Alat-alat gelas, timbangan analitik, waterbath, kertas saring, labu ukur, pipet volume, pipet tetes, batang pengaduk, bulp, corong glass, erlenmeyer, gelas arloji, gelas kimia, gelas ukur dan Spektrofotometer Shimadzu UV Mini Penentuan kadar Fosfat Penentuan kadar fosfat dilakukan dengan metode spektrofotometer secara timah klorida (Clesseri,1980). Prinsip dari metode ini didasarkan pada pembentukan senyawa kompleks fosfomolibdat yang berwarna kuning, yang selanjutnya akan direduksi dengan timah klorida (SnCl 2 ) membentuk kompleks warna biru molibdenum. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi fosfor. Warna biru yang timbul diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang nm. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisa kadar fosfat menggunakan metode spektrofotometri berdasarkan reaksi reduksi oksidasi asam fosfomolibdat oleh timah (II) klorida (SnCl 2 ) dalam suasana asam dan membentuk senyawa kompleks heterofosfomolibdat yang mempunyai karakteristik warna biru molibdenum menurut Radojevie, dkk. tahun 1999 (Khasanah,2008) : PO (NH 4 ) 2 MoO H + PMo 12 O NH H2O Menurut walinga tahun 1995 dalam Hardiyanto (2009) dan dalam Khasanah (2008), bahwa Ortofosfat direaksikan dengan amonium molibdat dalam suasana asam menghasilkan heterofosfomolibdat (PMo 12 O ) komplek berwarna kuning, kemudian direduksi dengan timah (II) klorida menghasilkan senyawa kompleks heterofosfomolibdat PMo 12 O berwarna biru terbentuk dengan reaksi sebagai berikut : PMo 12 O Sn 2+ PMo 12 O Sn 4+ Panjang gelombang maksimum pengukuran fosfat menggunakan Shimadzu UV-mini 1240 adalah 698 nm (A = 0,662). Warna komplementer yang ditimbulkan dari reduksi timah (II) klorida adalah warna biru molibdenum. Menurut Khopkar (2003: 195) menjelaskan bahwa warna komplementer biru memiliki panjang gelombang sekitar nm, jika hasil ini dibandingkan dengan Clesseri (1980), maka panjang gelombang maksimum dalam pengukuran konsentrasi fosfat menggunakan Shimadzu UV-mini 1240 mengalami pergeseran yang awalnya 690 nm menjadi 698 nm. Pergeseran panjang gelombang maksimum ke arah yang lebih panjang merupakan pergeseran red shift (pergeseran merah atau batokromik) karena adanya auksokrom atau gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas yang terikat pada kromofor atau gugus dengan ikatan tidak jenuh yang mengandung elektron valensi dengan tingkat eksitasi lebih rendah, sehingga energi yang dibutuhkan untuk mempromosikan elektron menjadi lebih rendah. Contohnya gugus hidroksil,metoksi dan amina NH 2. Pergeseran panjang gelombang maksimal berubah sesuai pelarut yang digunakan dan adanya pengaruh hiperkromik (kenaikan intensitas) yang kuat akibat absoritivitas molar (Khasanah, 2008). Kepekaan analisis fosfat dengan metode stano klorida pada panjang gelombang 698 nm dengan kompleks molibdenum biru yang terbentuk memiliki waktu kestabilan tidak lebih dari 10 menit dan keasaman larutannya. Menurut Khasanah (2008), bahwa Fosfat dalam medium air pada ph 7 dapat berdisiosiasi membentuk senyawa H 2 PO 4 -, HPO 4 2-, dan PO 4 3- yang menghasilkan ion H + dengan bertahap, sehingga ph sampel semakin asam. Dalam penelitian ini dilakukan eksperimen pemanfaatan tanaman teratai yang bertujuan sebagai salah satu alternatif dalam menurunkan kadar fosfat di dalam air yang disebabkan akibat terjadinya pencemaran air, sehingga lebih mengurangi resiko terjadinya eutrofikasi dan penurunan kualitas air. Pada proses pemanfaatan atau efektifitas teratai dalam menurunkan kadar fosfat dalam air tersebut digunakan sampel buatan yang dibuat seakan-akan bahwa air tersebut adalah air limbah yang mengandung fosfat. Sebelum ditambahkan standar fosfat, teratai yang digunakan untuk diuji efektifitasnya tersebut ditanam pada tempat yang memadai dan dilakukan adaptasi lingkungan terhadap media yang digunakan untuk tujuan menumbuhkan teratai tersebut. Adaptasi yang dilakukan selama seminggu dengan dilihat keadaan teratai tersebut apakah terus tumbuh atau mati, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar fosfat pada hari ke 0, 1, 2, 3 dan 4. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh konsentrasi fosfat pada hari ke-0 adalah 3,2486 ppm, pada hari ke-1 mengalami penurunan 30,95% menjadi 2,2431 ppm, hari ke-2 mengalami penurunan 47,55% menjadi 1,7038 ppm, hari ke-3 mengalami penurunan 75,67% menjadi 0,7695 ppm dan hari ke-4 mengalami penurunan 81,32% menjadi 0,6069 ppm. Hasil penelitian menunjukan terjadi penyerapan fosfat oleh teratai, sehingga menurukan kadar fosfat dalam air.(gambar 1) 7

8 Turun 30,95 % Turun 47,55% Turun 75,67% Turun 81,32 % Konsentrasi (ppm) Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi Penelitian Kesehatan ,5 3, ,5 2, ,7038 1,5 1 0,5 0,7898 0, Hari Gambar 1 Efektifitas teratai terhadap penurunan kadar fosfat dalam air Pada penurunan konsentrasi fosfat dari hari keempat ke hari kelima hanya mengalami penurunan sebesar 5,65% yang diakibatkan karena tidak adanya pergantian keadaan air seperti yang terjadi di alam, sehingga mengakibatkan daur fosfor tidak sepenuhnya terjadi pada tempat simulasi limbah buatan yang mengakibatkan penurunan konsentrasi tidak signifikan seperti hari ke-1, ke-2 dan ke-3, karena berada pada titik jenuh. Pada hari ke-2 ke hari ke-3 mengalami penurunan yang besar di bandingkan dengan penurunan pada hari ke-1 ke, hal ini disebabkan karena adanya proses penyerapan fosfat oleh teratai meningkat yang diakibatkan karena semakin berkurangnya unsur hara yang terdapat dalam air tempat penanaman teratai sehingga mengakibatkan teratai melakukan penyerapan lebih besar dari hari sebelumnya. Teratai memilik stuktur anatomi yang berbeda dengan tumbuhan lainnya, perbedaan tersebut merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Teratai sebagai tanaman hidrofit memiliki kelebihan dalam ketersediaan air dan kelembaban yang tinggi serta keadaan kekurangan oksigen karena ruang-ruang udara yang dimilikinya membantu menyerap gas dan menyimpan udara dan CO 2 sehingga mampu mengapung diatas permukaan air. Absorpsi nutrisi banyak dilakukan oleh batang dan daun sehingga fosfor sebagai unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tumbuhan mudah di transportasikan di seluruh tanaman, baik di floem maupun di xilem yang terdapat dalam korteks yang tersebar hampir diseluruh batang tubuh teratai. Pada beberapa kandungan kimia dalam teratai membentuk ikatan kation-anion dengan fosfat atau P yang diangkut oleh xilem dan floem dari hasil absorbsi batang dan daun yaitu asam amino pada akar dan daun, kalsium dan besi pada biji, asparagin pada rimpang dan akar, dan protein pada rimpang, biji dan akar (Marzianti, 2012). Namun keberadaan tanah atau lumpur pada media tanam teratai sebagai bagian dari proses adaptasi teratai dengan lingkungan tumbuhnya agar menyerupai dengan lingkungan teratai sebelumnya atau dialam harus diperhatikan. Menurut Kalay dan Hindersah tahun 2003 dalam Paramita (2011), menyatakan bahwa lumpur buangan mengandung unsur C-organik, N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Zn, Al dan Mn dalam jumlah nyata yang digunakan sebagai sumber nutrisi bagi pembibitan tanaman. Senyawa fosfat yang berada dalam air tersebut kemungkinan akan dikonsumsi jasad hidup, berikatan dengan bahan organik, kation Al, Fe, Mn, Ca, dan kation lain yang terdapat dalam tanah lumpur tersebut. Sehingga fosfat yang diserap oleh teratai lebih sedikit dari pada fosfat yang berikatan dengan bahan organik dan kation dalam tanah lumpur tersebut. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukan terjadi penyerapan fosfat oleh teratai, sehingga menurunkan kadar fosfat dalam air, dengan penurunan konsentrasi pada hari ke-1 30,95%, pada hari ke-2 47,55%, pada hari ke-3 75,67% dan pada hari ke-4 81,32%.Yang berarti terjadi penyerapan fosfat oleh teratai sehingga teratai dinyatakan efektif untuk menurunkan kadar fosfat dalam air. 8

9 5. DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G dan Sri Sumestri, Metoda penelitian Air, Usaha Nasional, Surabaya, Azwir, Analisa Pencemaran Air Sungai Tapung Kiri Oleh Limbah Industry Kelapa Sawit Pt. Peputra Masterindo Di Kabupaten Kampar, Universitas Diponegoro, Semarang, Clessceri, L.S., EG Arnorld.R.R. Trussel and A.H.F. Mory, 1980, Standart Methods for The Examination of Water and Wastewater, 15th Ed, Washington: APHA, AWWA, WPCF. Khasanah, Uswatun, Efektifitas Biji Kelor (Moringa Oleifera, Lamk) Sebagai Koagulan Fosfat Dalam Limbah Cair Rumah Sakit (Studi Kasus Di Rsu Dr. Saiful Anwar Malang), Malang: Jurusan Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Malang [Skripsi], Khopkar, S.M., Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press, Jakarta,1990. Marzianti, Dewi, Biologi Tumbuhan Lahan Basah, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Paramita Astusty, Galuh, Studi Pemanfaatan Lumpur IPAL PT. Kelola Mina Laut Untuk Pupuk Tanaman, Surabaya : Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Surabaya,

10 UJI TOKSISITAS AKUT PENENTUAN LD 50 VCO (VIRGIN COCONUT OIL) YANG DIBUAT DENGAN FERMENTASI MENGGUNAKAN Lactobacillus casei GALUR KOMERSIAL TERHADAP MENCIT JANTAN Meti Kusmiati 1), Korry Novitriani2), Rianti Nurpalah 3) Program Studi D III Analis Kesehatan STIKes BTH Tasikmalaya meti.kusmiati@gmail.com korry_novitriani@yahoo.com nurpalahrianti@yahoo.co.id Abstrak. Uji toksisitas akut adalah uji yang diberikan dengan memberikan suatu senyawa yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam sampai 7 hari. Melalui uji ini akan diperoleh nilai LD 50 sehingga dapat dilihat potensi ketoksikannya dari senyawa tersebut. Penggunaan VCO sebagai minuman kesehatan sudah tentu harus melalui serangkaian uji untuk keamanan konsumsinya, salah satunya uji toksisitas akut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek toksisitas akut VCO (Virgin Coconut Oil) hasil fermentasi menggunakan Lactobacillus casei galur komersial yang diukur secara kuantitatif dengan LD 50 serta mengamati gejala toksik akut pemberian VCO hasil fermentasi menggunakan Lactobacillus casei galur komersial. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain yang dipakai adalah Post Test-Only Controled Group Design. Hewan uji berupa 25 ekor mencit jantan yang diperoleh dari PT. Biofarma Bandung yang mempunyai kriteria inklusi berupa rentang umur 2-3 bulan, berat badan gram, tingkah laku dan aktivitas normal dan tidak ada kelainan anatomis yang tampak. Setiap mencit yang sudah melewati adaptasi didalam suasana kandang, diberikan asupan minyak VCO dengan perlakuan yang berbeda. Hewan uji dibagi dalam 5 kelompok yaitu satu kontrol dan empat perlakuan (dosis 0,4 ml/20g BB; 0,6 ml/20g BB; 0,8 ml/20g BB dan 1 ml/20g BB). Pengamatan gejala toksik dilakukan secara intensif selama tiga jam pertama sampai dua puluh empat jam setelah perlakuan sedangkan jumlah hewan uji yang mati dilakukan sejak perlakuan sampai hari ke tujuh. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada mencit yang mati. Pada pengamatan gejala toksik tidak didapatkan kelainan lain selain perubahan gerakan yang menurun berupa kepasifan. Kata kunci : Toksisitas akut, LD 50, VCO, Mencit jantan 1. LATAR BELAKANG Uji toksisitas akut merupakan salah satu uji pra-klinik. Uji ini dilakukan untuk mengukur derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat, yaitu 24 jam, setelah pemberian dalam dosis tunggal. Dosis letal tengah (LD 50 ) adalah tolak ukur secara kuantitatif yang sering digunakan untk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik (PerKBPOM, 2014; Nurlaila dkk, 1992; Loomis TA, 1987). Minyak kelapa murni adalah salah satu hasil olahan dari buah kelapa (Cocos nucifera) dengan proses fermentasi pada suhu relatif rendah tanpa ada pemanasan (Sutarmi dan Hartati, 2005). VCO mengandung asam laurat yang di dalam tubuh manusia akan diubah menjadi monolaurin yang dapat membunuh virus, bakteri, cendawan dan protozoa sehingga dapat menangkal serangan virus seperti HIV, herpes, influenza dan bakteri-bakteri patogen. VCO dapat juga meningkatkan metabolisme dalam tubuh untuk menambah energi dan mengontrol berat badan (Christianti Lara dkk, 2009). Penggunaan VCO sebagai minuman kesehatan sudah tentu harus melalui serangkaian uji, seperti uji khasiat, toksisitas dan uji klinik. Begitu juga dengan VCO yang sudah banyak digunakan di masyarakat karena manfaatnya yang sangat banyak namun dosis yang digunakan masih berbeda-beda sehingga penulis tertarik untuk melakukan uji toksisitas akut VCO yang dibuat dengan fermentasi menggunakan Lactobacillus casei galur komersial. Penelitian dilakukan secara in vivo, menggunakan hewan uji mencit jantan dengan paparan tunggal dosis bertingkat. Peneliti mengamati jumlah hewan yang mati pada 24 jam pertama pemberian VCO. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain yang dipakai adalah Post Test-Only Controled Group Design. Hewan uji berupa 25 ekor mencit jantan yang mempunyai kriteria inklusi berupa rentang umur 2-3 bulan, berat badan gram, tingkah laku dan aktivitas normal dan tidak ada kelainan anatomis yang tampak. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi mencit tampak sakit, terdapat abnormalitas anatomi dan mencit mati. Setiap mencit yang sudah melewati adaptasi didalam suasana kandang, diberikan asupan minyak VCO (Virgin Coconut Oil) dengan perlakuan yang berbeda. Hewan uji dibagi dalam 5 kelompok yaitu satu kontrol dan empat perlakuan yaitu perlakuan 1 dengan dosis 0,4 ml/20g BB, perlakuan II dengan dosis 0,6 ml/20g BB, perlakuan III dengan dosis 0,8 ml/20g BB dan perlakuan IV dengan dosis 1 ml/20g BB. Pengamatan gejala toksik dilakukan secara intensif selama tiga jam pertama setelah perlakuan sampai dua puluh empat jam, gejala toksik yang diamati meliputi perubahan perilaku, gerakan, ukuran, pupil 10

11 sampai sekresi dan koma. Perhitungan jumlah hewan uji yang mati dilakukan sejak perlakuan sampai hari ke tujuh. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel sebanyak 25 ekor mencit jantan memenuhi kriteria inklusi, sehingga dapat langsung mengalami randomisasi. Dua puluh lima ekor mencit tersebut tidak mengalami sakit ataupun mati selama percobaan Hasil pengamatan uji kuantitatif berupa jumlah mencit mati, yang ditunjukkan dalam tabel 1 di bawah ini : Tabel 1. Jumlah mencit mati 7 hari dan gejala toksik setelah pemberian VCO Kelompok Perlakuan Jumlah Sampel Gejala Toksik Jumlah Mencit Mati Kontrol Aquadest 5 Tidak ada 0 P1 0,4 ml/20g BB VCO 5 Tidak ada 0 P2 0,6 ml/20g BB VCO 5 Tidak ada 0 P3 0,8 ml/20g BB VCO 5 Tidak ada 0 P4 1 ml/20g BB VCO 5 Tidak ada 0 Berdasarkan tabel 1 diperoleh tidak ada satu pun mencit yang mati setelah diberi perlakuan berupa VCO hasil fermentasi menggunakan Lactobacillus casei galur komersial dengan rentang dosis 0,4 ml/20g BB - 1 ml/20g BB. Berdasarkan kesepakatan para ahli, bila dosis maksimal tidak ada kematian pada hewan uji, maka jelas senyawa tersebut praktis tidak toksik. Dosis tertinggi dalam penelitian ini adalah 1 ml/20g BB. Sedangkan dosis maksimal yang diijinkan dengan menggunakan mencit adalah 5000 mg/kgbb, sehingga belum mencapai dosis maksimal yang dianjurkan dan belum menimbulkan kematian hewan uji pada pengujian ini. Tidak adanya kematian pada hewan uji selama pengamatan menunjukkan bahwa VCO memberikan pengaruh yang positif terhadap ketahanan tubuh hewan uji. Hal tersebut terkait dengan fermentasi VCO menggunakan bakteri Lactobacillus casei galur komersial dimana bakteri asam laktat memberikan dampak positif bagi kesehatan dan nutrisi. Selain itu kandungan kimia dari VCO yaitu asam laurat yang diubah menjadi monolaurin dapat berfungsi sebagai antibakteri, antivirus, antijamur dan anti protozoa alamiah, sehingga mencit yang mendapat asupan dosis VCO dapat terhindar dari berbagai penyakit penyebab kematian. Peneliti tidak menemukan kelainan apapun yang signifikan yang terjadi pada mencit seluruh kelompok setelah pemberian perlakuan pada uji kualitatif gejala toksik. Hanya ada 1 mencit pada perlakuan 4 yang mengalami perubahan aktivitas yang tampak, yaitu hanya perubahan gerakan yang menurun berupa kepasifan. Kekurangan penelitian ini adalah peneliti tidak mengamati terhadap sistem kardiovaskuler, pernafasan, somatomotor, kulit dan bulu. Keterbatasan sarana merupakan kendala untuk menilai kelainan-kelainan di atas. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa LD 50 VCO (Virgin Coconut Oil) hasil fermentasi menggunakan Lactobacillus casei galur komersial dengan rentang dosis 0,4 ml/20g BB -1 ml/20g BB tidak menimbulkan efek toksik. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini mendapatkan bantuan dana dari P3M STIKes BTH Tasikmalaya. Dan kami sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Dra. Hj. Yayah Syafariyah, S.Kep. Ners. MM sebagai ketua STIKes BTH Tasikmalaya yang telah mensupport kami untuk terus berkarya melakukan penelitian. 6. DAFTAR PUSTAKA Cristianti Lara, Adi H P Pembuatan minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) Menggunakan Fermentasi Ragi Tempe. Nurlaila, Donatus IA, Sugiyanto, Wahyono D, Suhardjono D. dalam Danang Dwi Atmodjo Karya Tulis Ilmiah. Uji Toksisitas Akut Penentuan LD50 Ekstrak Valerian (Valeriana officinalis) Terhadap mencit Balb/c. Universitas Diponegoro, Semarang. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara Invivo. Sutarmi dan Hartati Taklukkan Penyakit dengan VCO.Jakarta. Penebar Swadaya. 11

12 PEMERIKSAAN KADAR UREUM PADA PASIEN HIPERTENSI DAN KORELASINYA DENGAN LAMA MENDERITA RIANTI NURPALAH, APIT RAHAYU Prodi D III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya nurpalahrianti@yahoo.co.id ABSTRAK Latar belakang dan Tujuan : Hipertensi merupakan penyakit dengan salah satu cirinya adalah tekanan sistolik lebih dari 140 mmhg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmhg. Silent killer merupakan sebutan yang diberikan untuk hipertensi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi ini adalah sebuah kondisi medis saat seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal, kibatnya volume darah meningkat dan saluran darah menyempit. Bila tekanan darah tinggi tidak dikontrol dengan baik, maka dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti stroke ringan, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia, dimana salah satu parameter pemeriksaan laboratorium untuk melihat fungsi ginjal adalah pemeriksaan kadar ureum. Tujuan :Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan kadar ureum pada penderita hipertensi dan melihat korelasinya dengan lamanya seseorang menderita hipertensi. Metode : Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 20 orang pasien hipertensi dengan lama menderita yang bervariasi dari 10 sampai 14 tahun, dan dilakukan pemeriksaan ureum dengan metode Urease UV. Hasil : dari hasil penelitian diperoleh kadar ureum normal yaitu 35% (7 orang) sedangkan kadar ureum diatas normal yaitu 65% (13 orang), dari data tersebut dilihat korelasinya antara lama menderita dengan kadar ureum, didapat nilai P lebih besar dari 0,05 artinya tidak ada korelasi yang kuat antara lama menderita hipertensi dengan tingginya kadar ureum dalam darah. Kata Kunci : Hipertensi, Urean, Lama Menderita 1. LATAR BELAKANG Hipertensi adalah salah satu penyakit paling umum dan paling berbahaya dalam kehidupan modern. Menurut penelitian, satu dari lima orang dewasa laki-laki ataupun perempuan menderita tekanan darah tinggi (Hipertensi). Padahal jika tekanan darah tinggi dideteksi dan diobati pada waktunya, akibat yang serius, seperti stroke, serangan jantung, dan gagal ginjal, dapat dicegah. Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan salah satu ciri-ciri tekanan sistolik lebih dari 140 mmhg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmhg. Hipertensi juga merupakan problem kesehatan masyarakat yang memerlukan penanganan dengan baik, mengingat prevalensi di Indonesia masih cukup tinggi (price, 1995:7). Mekanisme terjadinya hipertensi yaitu hormon renin, berpengaruh pada tekanan darah. Dengan adanya angiotensin II sekresi aldosteron meningkat. Keadaan ini akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Pengaruh konsumsi garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan tekanan darah. Pada keadaan normal, kejadian tersebut akan diikuti oleh pengeluaran garam, sehingga kembali pada keadaan hemodinamik. Namun pada penderita hipertensi mekanisme tersebut terganggu sehingga tekanan darah meningkat (Soenardi dan Soetardjo, 2005:6). Ketika penderita dinyatakan hipertensi, biasanya pada sebagian besar pasien yang mengontrol kesehatannya dibutuhkan waktu minimal 10 tahun untuk melihat adanya kelainan fungsi ginjal atau kerusakan fungsi ginjal sampai dapat terdeteksi, namun ada beberapa pasien yang baru mengidap hipertensi selama 2 tahun sudah terdiagnosa ginjal mengalami kerusakan. Selama proses tersebut berlangsung yang terjadi adalah pembuluh darah yang secara terus menerus mendapatkan tekanan aliran darah yang sangat tinggi, kemudian terjadi pecahnya pembuluh darah sehingga glomerolus akan mengalami kerusakan terhadap ginjal. Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna (Wilson, 2005). Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya GGT melalui suatu proses yang mengakibatkan hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang progresif dan irreversible. Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan proses adaptif, yaitu meningkatnya aliran darah, penigkatan GFR (Glomerular Filtration Rate) dan peningkatan keluaran urin di dalam nefron yang masih bertahan. Proses ini melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta perubahan fungsional yang menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus di dalam nefron yang masih bertahan. Dalam jangka waktu lama, lesi-lesi sklerotik yang terbentuk dari kerusakan nefron semakin banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasi glomerulus, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal. 12

13 Adanya kelainan fungsi ginjal atau kerusakan ginjal pada penderita hipertensi dapat dilihat dari hasil beberapa pemeriksaan dan salah satunya adalah pemeriksaan kadar ureum dengan hasil pemeriksaan melebihi nilai normal, dan nilai normal dari pemeriksaan ureum yaitu mg/dl (Dr.Anna Palmer dan Profesor Bryan Williams, 2007:48). Ginjal memiliki peran penting untuk membuang sisa-sisa metabolisme dan cairan berlebih dari dalam tubuh. Sehingga jika ginjal gagal menjalankan fungsinya maka dibutuhkan terapi pengganti ginjal agar seseorang dapat bertahan hidup (Anonim, 2008). Terapi pengganti ginjal yang dapat diberikan untuk penanganan penyakit GGT diantaranya adalah hemodialisis dan transplantasi ginjal (Sukandar, 2006). 2. METODA PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif, untuk melihat gambaran hasil pemeriksaan ureum pada pasien hipertensi, dan dilihat korelasinya antara lama menderita hipertensi dengan tingginya kadar ureum dalam darah. Sampel sebanyak 20 orang diambil dari penderita hipertensi yang berobat ke Rumah Sakit TMC Tasikmalaya. Pasien diwawancara untuk mendapatkan data pendukung dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar ureum darah. a. Cara Kerja Pengambilan Darah - Torniquet dipasang pada lengan atas dan orang yang akan diambil darahnya diminta agar untuk mengepal dan membuka tangannya berkali-kali agar vena terlihat jelas. - Bersihkan tempat yang akan diambil darahnyadengan alkohol 70% dan biarkan sampai kering. - Tegangkan kulit di atas vena itu dengan jari kiri supaya vena tidak bergerak-gerak.tusuk kulit dengan jarum dan semprit dengan tangan kanan sampai ujung jarum masuk kedalam vena. - Torniquet dilepaskan dan perlahan-lahan tarik penghisap semprit sampai jumlah darah yang dikehendaki didapat. Kapas ditaruh di atas jarum dan cabutlah semprit jarum itu. - Pasien diminta supaya menekan tempat penusukan selama beberapa menit dengan kapas alcohol tadi. Jarum diangkat dari semprit dan alirkan darah kedalam wadah atau tabung melalui dinding (R.Gandasoebrata,1985:7,8) b. Cara Memperoleh Serum - Sampel didiamkan selama menit dalam tabung sentrifuge. Setelah membeku di putar 3000 rpm selama5menit. - Serum dipisahkan denganclinnipet. Serum di masukan kedalam tabung reaksi untuk pemeriksaan (R.Gandasoebrata,1985:7,8) c. Cara Kerja Pemeriksaan Ureum - Nyalakan alat, dengan menekan tombol di bagian pinggir alat, pilih menu, klik ready, tekan order, tekan identify sampel, yaitu posisi sampel disimpan di nomor sesuai yang di komputer, klik patient ID, masukkan no rekam medik, nama, sex (jenis kelamin). - Masukkan jenis parameter yang akan diperiksa contoh klik ureum, tekan order, tekan tombol ceklis. - Masukkan sampel sesuai dengan nomor di dalam monitor, banyak sampel yang ada di dalam tabung maksimal 200 μl nanti alat TRX mengambil sendiri jumlah sampel yang diperlukan. Banyak jumlah isi dalam satu rak yaitu 1 40, tekan star. - Hasil print keluar, catat hasil. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil pemeriksaan kadar ureum yang bervariasi, dari 20 pasien yang menjadi objek pemeriksaan sebagian kadar ureumnya normal dan sebagian mengalami peningkatan. Hasil penelitian secara lengkap didapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 1. Data Responden dan Hasil Pemeriksaan Ureum Darah Pasien 13

14 Data Sampel Kode Pasien L/P Usia (Tahun) Tekanan (mmhg) Lama Menderita (Tahun) Kadar Ureum (mg/dl) 1 ME P / RI L / DD P / AW P / SW P / YR L / EA L / TD L / WL L / MP P / SM L / US P / TN P / MR L / HR L / NA L / MA L / IA L / WR P / SHS P / Berdasarkan hasil penelitian pada 20 sampel pasien hipertensi, dengan lama sakit 10 tahun atau lebih didapat hasil kadar ureum di atas normal sebanyak 13 orang (65%) ditemukan pada pasien laki-laki sebanyak 7 dari 11 orang dan pada pasien perempuan sebanyak 6 dari 9 orang. Sedangkan pasien yang memiliki kadar ureum normal sebanyak 7 orang (35%) ditemukan pada pasien laki-laki sebanyak 4 dari 11 orang dan pada pasien perempuan sebanyak 3 dari 9 orang. Sebaran dari hasil penelitian dapat dilihat pada grafik sebagai berikut : Grafik 1. Sebaran kadar ureum dengan lama menderita yang berbeda Pada pasien yang diperiksa dilihat kadar ureum kebanyakan di atas normal, hal ini selaras dengan teori yang diungkapkan oleh Dr.Anna Palmer dalam buku yang di tulisnya dengan judul Hipertensi. Di dalam buku tersebut penulis menyampaikan bahwa untuk proses kelainan fungsi ginjal atau kerusakan ginjal pada pasien hipertensi biasanya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk dapat terdeteksi, dan kebanyakan pasien mengalami tekanan darah yang turun naik. Dari hasil yang didapat kemudian dikaitkan dengan jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh responden pada saat wawancara, dimana untuk beberapa pasien yang hasil kadar ureumnya di atas normal terdapat pada responden yang memiliki gaya hidup kurang baik, misalnya kurang melakukan olahraga dan juga 14

15 tidak dihentikannya mengkonsumsi makanan yang bergaram tinggi, hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor tidak normalnya hasil pemeriksaan ureum. Berdasarkan dari teori yang terdapat pada beberapa buku sumber, hasil pemeriksaan ureum tinggi dapat juga dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut : shock, penurunan darah ke ginjal, dehidrasi, peningkatan katabolisme pada hemolisis, luka bakar, demam tinggi, trauma dan kurang berolahraga. Dari sampel yang diperiksa sebagian besar hasilnya di atas normal, peningkatan kadar ureum di dalam darah ini kemungkinan terjadi karena rutinitas olahraga yang kurang, mengkonsumsi rokok secara berlebih, riwayat penyakit yang di derita dan juga mengkonsumsi makanan bergaram tinggi serta jeroan. Namun demikian apabila pasien melakukan pengobatan dengan rutin, maka gangguan terhadap jaringan lain dapat terdeteksi sejak awal, dan terhindar dari kerusakan secara mendadak (akut), adanya kelainan fungsi ginjal atau kerusakan ginjal pada pasien hipertensi dapat dilihat dari hasil beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dan salah satunya adalah pemeriksaan kadar ureum. Hasil uji secara statistic dengan uji korelasi pearson menunjukan tidak terdapatnya hubungan antara lamanya menderita hipertensi dengan tingginya kadar ureum darah. Nilai P yang didapat sebesar lebih besar dari Hal tersebut terjadi karena terdapatnya beberapa factor pengganggu yang terdapat pada responden, salah satunya adalah riwayat penyakit penyerta yang telah diderita bersama-sama dengan hipertensi tersebut. Pengamatan yang dilakukan terhadap data hasil pemeriksaan terdapat pasien yang lama sakitnya baru 10 tahun didapat hasil di atas normal, setelah dilakukan peninjauan dari data kuesioner ternyata pasien tersebut memiliki riwayat penyakit ginjal kronis kemudian tidak berhenti dari rutinitas mengkonsumsi makanan yang seharusnya tidak dimakan oleh pasien hipertensi, salah satu contohnya seperti mengkonsumsi lalaban hijau mentah. Pada kasus yang lain ada juga pasien yang memiliki riwayat penyakit hipertensi sudah 11 tahun tetapi di dapat hasil yang normal, setelah dilihat pada hasil kuisioner ternyata pasien tersebut mempunyai pola hidup yang baik, seperti olah raga yang rutin dilakukan, tidak mengkonsumsi rokok, dan jarang mengkonsumsi makanan yang dapat mempengaruhi tekanan darah seperti tidak mengkonsumsi jeroan, garam berlebih, daging, dll. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hasil pemeriksaan Kadar Ureum Pada Pasien Hipertensi terhadap 20 orang pasien di Rumah Sakit TMC Tasikmalaya, dengan riwayat penyakit 10 tahun atau lebih telah didiagnosa menderita hipertensi, didapat hasil sebanyak 7 orang (35%) memiliki kadar ureum normal dan sekitar 13 orang (65%) memiliki kadar ureum di atas normal. Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan tidak terdapatnya korelasi yang signifikan antara lamanya menderita hipertensi dengan kadar ureum di dalam darah. 5. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia : Anonim., End Stage Renal Disease (ESRD). [diakses tanggal 11 september 2012]. Boediana. S, Pemilihan Uji Laboratorium Yang Efektif. Jakarta : EGC : B. Harow, Text Book Clinical Biochemistry 7th WB SandersCo. Philadelphia : Corwin, Buku Saku Patofisiologi Klinik. Jakarta : EGC : D. N. Baron, Kapita SelektaPatologi Klinik, Edisi 4. Jakarta : EGC : Gandasoebrata. R, Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat : Ganong, Fisiologi Kedokteran, Edisi 14. Jakarta : EGC : Guyton, A.C., and Hall, J.E., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed, Jakarta: EGC, pp dan Koolman, Atlas Berwarna Dan Teks Biokimia. Jakarta : Hipokrates : Lehninger, Dasar-Dasar Biokimia, Jilid 1. Jakarta : Erlangga : Merck, Reagen Diasnotic Chemical. Jakarta : Palmer. A, Williams. B, Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : Erlangga : Price, Sylvia. A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4. Jakarta : EGC : Puspitoroni. M, Cara Mudah Mengatasi Tekanan Darah Tinggi, Edisi 1. Yogyakarta : Image Press : Ronald. A, Sacher, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Jakarta :Gramedia Pustaka Utama : Wolff. P. H, Hipertensi. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer :

16 DAYA HAMBAT EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Malassezia furfur Rudy Hidana, Syaidah Nurtavia Program Studi DIII Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK. Malassezia furfur merupakan jamur dimorfik lipofilik yang tergolong flora kulit normal dan dapat dikultur dari kerokan kulit yang berasal dari hampir seluruh area tubuh pada orang dewasa yang juga merupakan penyebab pitiriasis vasikolor (panu). Bawang putih (A. sativum Linn.) mengandung senyawa aktif allisin yang mempunyai efek sebagai antijamur.penelitian ini manggunakan metode eksperimen, sampel yang digunakan berupa Bawang putih (A. sativim Linn). Penelirtian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak bawang putih (A. sativum Linn.) dalam menghambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur dan juga bertujuan untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak bawang putih yang dapat menghambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur penyebab penyakit pada kulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih (A. Sativum Linn.) mampu menghambat pertumbuhan jamur Malassezia furfur penyebab penyakit pada kulit. Ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan yang dihasilkan oleh ekstrak bawang putih (A. sativum Linn.) pada media SDA (SaboraudDextrose Agar). Konsentrasi minimum daya hambat 3% dengan zona hambatan 1,5 mm, konsentrasi 4% dengan zona hambatan 4,42 mm, konsentrasi 5% dengan zona hambatan 6,21 mm, konsentrasi 6% dengan zona hambatan 6,34 mm, konsentrasi 7% dengan zona hambatan 8,17 mm. konsentrasi 8 % dengan zona hambatan 8,39 mm. konsentrasi 9% dengan zona hambatan 8,87 mm. konsentrasi 10% dengan zona hambatan 9,2 mm.dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa ekstrak bawang putih dapat menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur dalam konsentrasi minimum yaitu pada konsentrasi 3%. 1. PENDAHULUAN Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sukandar, 2006). Penggunaan obat tradisional sudah semakin meningkat dan bukan lagi menjadi obat alternatif. Saat ini telah diketahui bahwa tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat tersebut mengandung zat-zat kimia aktif yang memiliki potensi besar, yaitu untuk menghambat aktivitas bakteri dan jamur. Namun, produksi obat-obatan tradisional, memiliki beberapa kelemahan salah satunya adalah belum banyaknya pengetahuan dan penelitian mengenai kandungan kimia dan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas biologisnya. Salah satu tanaman obat yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan adalah bawang putih (Dirjen Peternakan 1982). Bawang putih (Allium sativum L) yang semula dikenal sebagai bumbu dapur, kini telah diketahui memiliki beragam kegunaan dalam menunjang kehidupan manusia. Selain manfaat utamanya untuk bahan baku keperluan dapur, umbi bawang putih juga dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku untuk pembuatan obat-obatan (Cahyono, 1996). Dalam pengobatan, bawang putih digunakan sebagai antimikroba, antiinflmasi, antiplasmodik, antiseptik, bakteriostatik, antiviral dan antihipertensi. Secara tradisional, bawang putih biasa digunakan untuk mengobati bronkitis kronik, asma bronkitis, respiratory catarh dan influenza. Bawang putih memiliki khasiat sebagai antifungi karena kandungan senyawa sulfur organik yaitu alliin yang disintesis dari asam amino sistein. Apabila bawang putih dihancurkan atau dipotong-potong maka allinase akan mengkonversi alliin menjadi allicin (Syamsiah, 2003). Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri, bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan jamur dan bakteri. Menurut penelitian Haefa kulsum (2014) Bawang putih berpotensi sangat kuat dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans, hal ini disebabkan dalam bawang putih terdapat suatu zat yang disebut minyak atsiri. Minyak atsiri ini sifatnya mudah menguap pada suhu kamar sehingga disebut Terpenoid Essential Oils. Minyak atsiri dapat digunakan sebagai pewangi, antibakteri dan antijamur. Salah satu zat aktif yang terdapat di dalam minyak atsiri adalah allicin. Allicin dapat bergabung dengan protein dan mengubah strukturnya agar mudah untuk dicerna. Kemampuan bergabung dengan protein itulah yang akan mendukung daya antibiotiknya, karena allicin menyerang protein mikroba dan akhirnya membunuh mikroba tersebut. Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan, daya hambat ekstrak bawang putih terhadap jamur malassezia furfur dengan menggunakan konsentrasi dari 10% hingga 100% ternyata ekstrak bawang putih dapat menghambat jamur malassezia furfur yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar kertas cakram. Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan negara tropis beriklim panas dan lembab, apalagi bila higiene juga kurang sempurna (Madani A, 2000). 16

17 Pitiriasis Versikolor adalah infeksi jamur superfisial pada lapisan tanduk kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan. Pitiriasis versikolor mengenai muka, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha dan lipatan paha (Harahap, 2000). Biasanya jamur ini lebih menyukai kulit yang tidak tertutup pakaian. penyakit panu jarang menimbulkan gatal. Oleh karena itu orang yang panu tidak minta diobati. Mereka mengobatinya karena merasakan malu saja. Pengobatannya pun sederhana(irianto, 2009). 2. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoclave, batang pengaduk, gunting steril, cawan petri steril, dry sterilisator, corong, erlenmeyer, neraca analitik, evaporator, labu alas bulat, gelas kimia, tabung reaksi, tabung reaksi, clinikpet, bunsen, cawan uap, kaca arloji, kain kasa, kertas saring, kapas sumbat. Sedangkan untuk bahan yang digunakan adalah bawang putih, media SDA, biakan jamur Malassezia furfur, etanol 70%, cakram kosong, BaCl 2 1%, H 2 SO 4 1%, NaCl 0,85%,, aquadest steril. 3. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini bersifat eksperimen. Prosedur Kerja Penelitian : 1. Pembuatan Ekstrak Dengan Cara Maserasi Prinsip maserasi : penyarian zat aktif yang digunakan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar yang terlindung dari cahaya (Farmakope Herbal Indonesia, 2008 : 174). 2. Pembuatan ekstrak bawang putih a. Dibuat ekstrak dari bawang putih yang telah dihaluskan dengan cara maserasi. b. Ditimbang 100 Gram potongan bawang putih (Allium sativum L), masukan kedalam gelas kimia. c. Dilarutkan dalam pelarut etanol 70% sebanyak 1000 ml d. Rendam selama 1 hari pertama dan sesekali diaduk, kemudian diamkan selama 3 hari pada suhu 25 0 C. Pisahkan maserat dengan cara menyaringnya dengan maserator. e. Kumpulkan maserat, kemudian uapkan dengan menggunakan Rotatory evavorator hingga diperoleh ekstrak kental (Farmakope Herbal Indonesia, 2008 : 174). 3. Uji Kualitatif Senyawa Kimia Pengujian fitokimia menurut Mustariche, et al., (2011) adalah sebagai berikut: a. Identifikasi Senyawa Flavonoid Sampel dilarutkan dalam etanol absolut dan dibagi menjadi 2 tabung, tabung 1 sebagai blangko dan tabung 2 untuk tabung uji. Tabung 2 ditambah dengan 2 tetes HCl pekat, diamati warna yang terjadi dan dibandingkan dengan blangko. Tabung 2 dihangatkan diatas penangas air selama 15 menit, kemudian diamati perubahan yang terjadi. Terbentuk warna merah kuat atau violet, menunjukana danya senyawa flavonoid. b. Identifikasi Golongan Senyawa Alkaloid Sampel diambil sedikit, ditambah dengan HCl 2M dan dipanaskan diatas penangas air sambil diaduk, kemudian didinginkan hingga suhu kamar. NaCl serbuk ditambahkan, diaduk dan disaring, kemudian filtrat ditambah HCl 2M hingga volume tertentu. Fitrat dibagi ke dalam 2 tabung reaksi, tabung 1 ditambah reagen wagner dan tabung 2 sebagai blangko. Tabung 1 diamati terbentuknya endapan dan dibandingkan dengan tabung 2. Jika terbentuk endapan bahan mengandung alkaloid. c. Identifikasi Golongan Senyawa Saponin Dimasukkan 1 mg sampel ke dalam tabung reaksi. Kemudian Tambahkan 1 ml aquadest, kemudian dikocok dan didiamkan, jika terbentuk buih yang tidak menghilang selama 30 menit, maka bahan tersebut mengandung saponin. d. Identifikasi Senyawa Tannin Sampel ditambah aquadest panas, kemudian diaduk dan didinginkan. Tambahkan 5 tetes NaCl 10% kemudian disaring. Filtrat dibagi menjadi 3 bagian, A, B, dan C. Filtrat A digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrate C ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl 3 dan ke dalam filtrat C ditambahkan larutan gelatin, kemudian diamati perubahan yang terjadi. Jika terbentuk endapan pada filtrat C maka terdapat tannin. Jika terbentuk warna hijau kehitaman pada filtrat B menunjukan adanya tannin terhidrolisa, jika terbentuk hijau kecoklatan pada B menunjukan adanya tannin terkondensasi dan terbentuk warna selain warna-warni ini menunjukan adanya senyawa polifenol. 17

18 4. Pembuatan pengenceran ekstrak bawang putih (Allium sativum L) Stok 100% = mg/ml Untuk pengenceran : Pengenceran yang diinginkan/10 x volume pengenceran Misal: 10% 10/100 x 2 ml = 0,2 ml stok Jadi: 0,2 ml stok + 2 ml aquadest steril = volume total 2 ml 5. Pembuatan media Sabouraud Dextrosa agar a. SDA ditimbang sebanyak 3,9 Gram, lalu di pindahkan ke dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquadest 60 ml. b. Larutan dihomogenkan dengan bantuan pemanasan dan pengadukan. c. Pelarutan tidak boleh sampai mendidih (pelarutan harus sempurna sehingga tidak ada kristal yang tersisa). d. Labu erlenmeyer yang telah berisi agar dimasukan ke dalam autoclave untuk disterilisasi dengan suhu C selama 15 menit. e. Dinginkan sampai suhu 45 0 C, lalu ditambahkan Chloramphenicol 0,03 mg. Tuangkan dalam cawan petri, goyangkan dan biarkan membeku. 6. Pembuatan suspensi jamur Malassezia furfur a. Standar 0,5 Mc Farland 1) 9,9 ml H 2 SO 4 1% dimasukan dalam tabung steril. 2) Ditambahkan BaCL 1% sebanyak 0,1 ml. 3) Dipisahkan menjadi dua bagian masing-masing 5 ml kemudian ditambahkan 5 ml H 2 SO 4 1 %. 4) Campuran dihomogenkan, diukur kekeruhannya dengan turbidi meter untuk mengetahui nilai NTU. 5) Kekeruhan larutan ini digunakan sebagai standar kekeruhan untuk suspensi jamur. b. Pembuatan sampel Malassezia furfur 1) Dimasukan 10 ml NaCl 0,85 ke dalam tabung steril. 2) Ditambahkan beberapa ose jamur Malassezia fufur sampai di dapat kekeruhan yang sama dengan standar 0,5 Mc Farland. 3) Dibandingkan secara visual dengan standar 0,5 Mc Farland. 4) Diukur kekeruhan dengan turbidimeter sehingga nilai NTU suspensi jamur sama dengan NTU Standar 0,5 MC Farland. (Bonang, Gerand, dan Enggar S. Koeswardono, 1982) 7. Uji aktifitas antijamur Uji aktivitas antijamur ekstrak bawang putih sebagai berikut : a. Rendam kertas cakram dalam ekstrak bawang putih selama 24 jam. b. Dituangkan SDA suhu 45 0 C yang masih cair ke dalam cawan petri yang steril, goyangkan dan biarkan membeku. c. Strain jamur Malassezia furfur ditanam dengan swab hingga rata kedalam media SDA yang sudah beku. Lempengan agar dibiarkan mengering selama 5 menit. d. Kemudian letakkan kertas cakram yang sudah di rendam dengan ekstrak daun ketepeng cina di atas agar yang sudah di tanam jamur. e. Diinkubasi pada suhu 25 0 C selama 7 hari. f. Selain pengerjaan sampel, dilakukan pula pembuatan kontrol positif (Media SDA + suspensi jamur) dan kontrol negatif (Media SDA ). 18

19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN No Konsentrasi ekstrak (%) Zona Cakram (mm) Diameter Zona Hambat (mm) Keterangan Tidak terdapat zona bening Tidak terdapat zona bening ,5 Terdapat zona bening ,42 Terdapat zona bening ,21 Terdapat zona bening ,34 Terdapat zona bening ,17 Terdapat zona bening ,39 Terdapat zona bening ,87 Terdapat zona bening ,2 Terdapat zona bening PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bahwa ekstrak bawang putih (Allium sativum L) dapat menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur. Pada penelitian ini digunakan ekstrak etanol bawang putih. Pada pembuatan ekstrak penggunaan etanol dimaksudkan agar didapatkan suatu senyawa yang terkandung dalam ekstrak bawang putih yang diduga dapat berperan sebagai antimikroba. Pelarut etanol dipilih karena sifat toksiknya lebih rendah dibanding pelarut lain. Bawang putih yang digunakan pada penelitian ini merupakan bawang putih yang berasal dari umbi lapis. Bawang putih ini mengandung air sebanyak 70,5 gram dari setiap 100 gram bawang putih atau sekitar 70,5%. Ekstrak bawang putih dibuat dengan menggunakan ekstrak etanol 70%. Proses maserasi dilakukan dengan menimbang 100 gram bawang putih yang telah halus kemudian dilarutkan pada etanol 70% lalu didiamkan selama 3x24 jam. Selanjutnya yaitu proses evaporasi dimana zat yang terkandung dalam bawang putih akanterpisahkan dari pelarutnya menggunakan alat evaporator dengan suhu yang telah diatur sehingga akan didapatkan larutan kental yang berisi zat zat aktif dari bawang putih yang akan digunakan untuk daya hambat jamur. Waktu yang diperlukan untuk proses evaporasi ini dapat ditentukan sesuai pelarut yang digunakan. Untuk etanol 70% membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam pada suhu 60 C. Proses evaporasi ini dinyatakan selesai ketika pelarut sudah tidak menetes ke dalam tabung penyimpanan pelarut. Hasil evaporasi berupa larutan kental yang berisi zat zat aktif yang terkandung dalam bawang putih. Larutan kental ini kemudian harus diuapkan agar sisa-sisa pelarut yang masih menempel pada larutan kental bawang putih menghilang. Dari 100 gram bawang putih yang dimaserasi dengan etanol 70% didapatkan ekstrak pekat sebanyak gram. Pada penelitian ini diuji juga kandungan fitokimia yang ada dalam ekstrak bawang putih untuk mengetahui zat aktif yang terdapat pada ekstrak, yang berpotensi sebagai zat antijamur. Berdasarkan uji fitokimia tersebutdiketahui bahwa seluruh bentuk ekstrak bawang putih tidak mengandung flavonoid. Akan tetapi seluruh ekstrak mengandung tannin, alkaloid dan saponin. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa uji daya hambat ekstrak bawang putih terhadap malassezia furfuryaitu dimana konsentrasi 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9% dan 10% sudah memperlihatkan adanya zona bening dengan diameter yang berbeda, hal ini diketahui bahwa pada konsentrasi ini ekstrak bawang putih dapat menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur. Diameter zona yang berbeda menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak bawang putih maka zona yang terbentuk pun semakin luas. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih memiliki zat aktif berupa tannin, alkaloid, saponin dan allicin yang mana keempat zat tersebut merupakan komposisi kimia yang terkandung dalam ekstrak bawang putih sebagai antijamur. Pada penelitian ini pembuatan konsentrasi dilakukan mulai dari 1% hingga 10%. Selain 3% hingga 10% menunjukan zona bening, lain hal dengan konsentrasi 1% dan 2% Kedua konsentrasi ini tidak menunjukan 19

20 adanya zona bening yang artinya pada konsentrasi 1% dan 2% ekstrak bawang putih tidak dapat menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur. Dengan demikian, hasil dari pengujian tersebut menunjukkan setiap kosentrasi dari masing-masing ekstrak memberikan zona hambat yang berbeda yang semakin besar konsentrasi ekstrak semakin besar pula zona hambat yang terbentuk. Menurut Zohra et al dalam Kusnadi 2010, perbedaan besarnya zona hambat yang terbentuk pada masing-masing kosentrasi dapat diakibatkan karena adanya perbedaan besar kecilnya konsentrasi atau banyak sedikitnya kandungan zat aktif antijamur yang terkandungan didalamnya. Terbentuknya zona bening merupakan bentuk penghambatan pertumbuhan terhadap jamur Malassezia furfur. 5. KESIMPULAN 1. Ekstrak bawang putih dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur 2. Pada penelitian ini diperoleh konsentrasi minumum yang dapat menghambat pertumbuhan jamur malassezia furfur yaitu 3%. 6. DAFTAR PUSTAKA Ankri S, Mirelman D Antimicrobial Properties Of Allicin From Garlic. Departemen of Biological Chemistry. Microbes and Infection. 1: Aulifa,D.L.I, Aryantha,I.N.P dan Sukrasno. aktivitas anti jamur ekstrak metanol dari tumbuhan rempah-rempah: Bionatura- Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. Vol.16,No.1, Bandung Budimulja, U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. FKUI. Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000). Prameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.Jakarta: Departenen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia, Edisi Keempat. DepartemenKesehatan Gandahusada, Srisasi, dkk. Parasitologi Kedokteran. Edisi Kedua. Jakarta:fakultas kedokteran universitas indonesia, Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:Hipokrates Irianto, koes. Parasitologi. Yrama Widya: Bandung Kulsum, H. Aktivitas Antifungi Ekstrak Bawang Putih dan Black Garlic Varietas Lumbu Hijau dengan Metode Ekstraksi yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Candida Albican Lingga Martha Elselina, Rustama Mia Miranti. Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Air Dan Etanol Bawang Putih (Allium Sativum L.) Terhadap Bakteri Gram Negatif Dan Gram Positif Yang Diisolasi Dari Udang Dogol (Metapenaeus Monoceros), Udang Lobster (Panulirus Sp), Dan Udang Rebon (Mysis Dan Acetes). FMIPA. Universitas Padjadjaran. Sumedang Londhe, et al. Role Of Garlic (Allium Sativum) In Various Diseases: An Overview. J Of Pharmaceutical Research And Opinion. India Madani AF. Infeksi jamur kulit. Di dalam: Marwali H, ed. Ilmu penyakitkulit. Jakarta: Hipokrates Mandal, Wilkins, dkk. Lecture Notes Penyakit Infeksi, Edisi keenam, Erlangga. Jakarta, 2004 Matthew, Titus. Efficacy of Allium sativum (Garlic) Bulbs Extracts on Some Enteric (Pathogenic) Bacteria. New York Science Journal.New York Partogi, D Ptyriasis versikolor dan diagnosis bandingnya. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU. Medan. [Diakses 26 januari 2015] Rukmana, R. Budi daya bawang putih.yogyakarta: Konisiu, Syamsiah, Tajuddin. Khasiat & manfaat bawang putih raja antibiotik alam. Agromedia Pustaka

21 DAYA HAMBAT EKSTRAK ETANOL DAUN JAWER KOTOK (Coleus atropurpureus) TERHADAP BAKTERI Pseudomonas aeruginosa SECARA IN VITRO Rochmanah Suhartati, Desi Oktofiani Program Studi DIII Teknologi Laboratorium Medik, STIKes BTH Tasikmalaya ABSTRAK Daun Jawer kotok (Coleus atropurpureus) merupakan tanaman obat asli Indonesia yang memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai antibakteri, karena memiliki kandungan senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri seperti tannin, flavonoid, saponin alkaloid dan fenol. Penelitian daya hambat ekstrak etanol daun Jawer kotok terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa, bertujuan untuk mengetahui apakah daun Jawer kotok dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa. Daun Jawer kotok diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan alkohol 70% selanjutnya dibuat berbagai variasi konsentrasi 10%, 25%, 40%, 55%, 75%, 85%, 100%, uji daya hambat mengunakan metoda agar difusi Kirby-Bauer. Adanya daya hambat ditunjukan dengan terdapatnya daerah bening (zona hambat) disekitar kertas cakram yang berisi ekstrak daun Jawer kotok. Hasil menunjukan pada konsentrasi 10% - 100% ekstrak etanol 70% daun Jawer kotok dapat menghambat pertumbuhan bakteri P.aeruginosa dengan zona hambat terbesar terdapat pada konsentrasi 100% sebesar 8,45±0,38 mm. Analisis data dengan uji ANOVA meggunakan SPSS 18 menunjukan bahwa ekstrak etanol daun Jawer kotok berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri P. aeruginosa, uji lanjut LSD menunjukan terdapat perbedaan zona hambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi ekstrak 10% - 100%, semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin besar zona hambat yang terbentuk. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun Jawer kotok dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa pada konsentrasi %. Kata Kunci : Coleus atropurpureus, ekstrak etanol, Jawer kotok, Pseudomonas aeruginosa. 1. LATAR BELAKANG Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri di masyarakat masih banyak ditemukan, penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif atau Gram negatif. Salah satu bakteri Gram negatif yang sering menyebabkan infeksi, terutama pada kulit dan luka adalah P. areuginosa. Upaya pencegahan dan pengobatan dengan antibiotik telah dilakukan untuk mencegah infeksi, namun keberadaan bakteri yang resisten terhadap antibiotik menjadi penyulit dalam kesembuhan penyakit (Karsinah dkk, 2004). Sebagai alternatif pengobatan, masyarakat banyak kembali kealam dengan menggunakan tanaman obat yang terdapat disekitar tempat tinggal, salah satu tanaman obat Indonesia yang mudah ditemukan di daerah Jawa Barat adalah Jawer Kotok (C. atropurpureus). Jawer kotok merupakan tumbuhan semak yang mudah dibudidayakan (Dalimartha, 2004). Daun memiliki manfaat untuk mengobati berbagai penyakit seperti demam, sembelit, sakit perut, bisul, abses serta luka borok (Kartasapoetra, 2006). Dalam daun Jawer kotok mengandung beberapa senyawa aktif sebagai antibakteri diantaranya yaitu : tannin, saponin, steroid, terpenoid, serta alkaloid (Mutiatikum dkk, 2010). Jawer kotok memiliki nama lain diberbagai daerah yaitu : Iler, Miana, si gresing, saru-saru, ati-ati atau majana. Daun Jawer kotok memiliki morfologi daun berbentuk hati, pada setiap tepiannya terdapat jorong-jorong atau lekuk-lekuk tipis yang bersambungan, ujung daun meruncing sedangkan pangkalnya berbentuk bulat dan didukung oleh tangkai daun, daun-daun tersebut berambut dan memiliki warna yang beraneka ragam. Namun daun yang digunakan untuk tanaman obat adalah daun yang berwarna ungu tua atau merah kehitaman (Rahmawati, 2008). Menurut Ahmad, 2014 daun miana/jawer kotok bersifat tidak toksik dengan nilai LC50 > 1000 ppm, sehingga aman digunakan. Gambar 1.1 Daun Jawer Kotok (Coleus atropurpureus) Penelitian yang telah dilakukan Yuniarni dkk, 2014, ekstrak daun Jawer kotok dapat digunakan sebagai antijamur, menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans dengan zona hambat sebesar 18,80 ± 0,36 mm pada konsentrasi minimal 30%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yuningsih, 2007, ekstrak daun Jawer kotok 21

22 dapat menghambat bakteri Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan konsentrasi ekstrak terendah 0,1 mg/ml. Darwis, dkk, 2014 membuktikan bahwa ekstrak daun dapat menghambat bakteri S. aureus mulai konsentrasi 3,5 %. Hasil tersebut menandakan bahwa daun Jawer kotok selain memiliki manfaat sebagai anti jamur dapat juga sebagai antibakteri. Potensi ekstrak daun dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa harus diketahui, supaya pemanfaatan daun Jawer kotok dapat lebih luas khususnya dalam mencegah penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri Pseudomonas. Senyawa antibakteri yang terdapat dalam daun dapat ditarik dengan cara ekstraksi menggunakan berbagai jenis pelarut, salah satunya dapat menggunakan etanol 70%, selain harganya relatif murah pelarut tersebut bersifat polar yang masih mengadung molekul air sehingga dapat menarik beberapa senyawa aktif antibakteri yang bersifat polar. Ekstraksi yang paling sederhana dengan maserasi (merendam bahan alam dengan menggunakan pelarut selama beberapa hari pada suhu ruang), Ekstrak yang dihasilkan diuji potensinya terhadap bakteri P. aeruginosa dengan tujuan untuk mengetahui daya hambatnya terhadap pertumbuhan bakteri P. aeruginosa. 2. METODA PENELITIAN Bahan-bahan yang digunakan yaitu daun Jawer kotok yang berwarna merah. Diperoleh dari kebun percobaan Manoko Lembang Bandung sebanyak 100gr dalam bentuk serbuk kering, pelarut etanol 70%, aquadest, Nutrient Agar, Mueller-Hinton Agar, NaCl 0,85%, antibiotik tetrasiklin, kertas cakram dan Strain bakteri P. aeruginosa. Alat-alat yang digunakan yaitu : erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, gelas kimia, tabung reaksi, cawan uap, vial, neraca, mikropipet, tip kuning, tip biru dan tip putih, plat tetes, mortir dan alu, batang pengaduk, rotary evavorator, waterbath, autoclave, ruang laminar air flow. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian, seperti alat-alat gelas kualitatif dan bahan yang harus tetap kering disterilisasi dengan menggunakan oven pada suhu 180⁰ C selama 2 jam. Adapun alat gelas kualitatif dan bahan yang harus tetap basah seperti media disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 121⁰C selama 15 menit. Alat berbahan plastik seperti tip disterilisasi menggunakan alkohol 70% selama 20 menit (Soemarno,1987). Ekstrak etanol dibuat dengan cara maserasi, yaitu simplisia daun Jawer kotok direndam sebanyak 100 gram dalam 700 ml pelarut etanol 70% selama 4 x 24 jam dan sesekali diaduk setiap hari. Setelah 4 x 24 jam, ekstrak dipisahkan dengan menggunakan kertas saring, Maserat yang diperoleh dikumpulkan, kemudian diuapkan dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator dalam suhu 60⁰C sampai diperoleh ekstrak kental (Auliawan, 2015), sisa pelarut etanol yang terdapat dalam ekstrak kental diuapkan dengan waterbath, dan ekstrak ditimbang dan hitung rendemennya (BPOM, 2004). Ekstrak selanjutnya dibuat berbagai variasi konsentrasi dengan cara pengenceran dengan menggunakan aquadest steril, konsentrasi yang dibuat adalah 100%, 85%, 75%, 55%, 40%, 25% dan 10%. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan uji Anova dan uji lanjut LSD menggunakan statistik SPSS HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak etanol 70% daun Jawer kotok (C. atropurpureus) meliputi senyawa Tanin, Flavonoid, Saponin, Alkaloid dan Fenol. Menunjukkan hasil sebagai berikut: a. Tannin Positif : terdapat warna hijau kehitaman b. Flavonoid Negatif : tidak terdapat warna merah kuat atau violet c. Saponin Positif : timbulnya buih d. Alkaloid Positif : terbentuk endapan e. Fenol Positif : terbentuk warna hijau kehitaman 22

23 Sedangkan hasil perhitungan rendemen ekstrak diperoleh hasil sebagai berikut: Berat Simplisia = 100 gram Berat Ekstrak Kental = 12,6897 Rendemen Ekstrak = Berat Ekstrak Kental x 100% Berat Simplisia = 12,6897 gram x 100% 100 gram = 0,1268 x 100% Rendemen Ekstrak = 12,68% Bakteri P. aeruginosa yang digunakan, sebelummnya dilakukan terlebih dahulu pengecekan kemurniannya melalui pewarnaan Gram dan uji biokimia, diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Hasil Pewarnaan Gram Hasil : terdapat bakteri berbentuk basil dengan susunan monobasil berwarna merah dan bersifat gram negatif 2. Hasil Pertumbuhan pada media uji Biokimia a. Media SIM (Sulfur Indol Motility) Hasil : Sulfur (-); Indol (-); Motility (+) b. Media Simmon Citrat Hasil : Positif (Berwarna Biru) c. Media TSIA Hasil : M/M, H 2 S (-), Gas (-) d. Media Gula Manitol Hasil : negatif, tidak terdapat gas dan tidak memfermentasi manitol e. Media Agar Nutrien Miring Hasil : Positif (Flouresen Warna Hijau) Hasil diatas sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh bakteri P. aeruginosa (Radji, 2011). Berdasarkan hasil penelitian daya hambat ekstrak etanol daun Jawer kotok terhadap bakteri P. aeruginosa diperoleh hasil yang tertera pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Hasil Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun Jawer Kotok Terhadap Bakteri P. aeruginosa. No Diameter Diameter Zona Hambat Konsentrasi Rata-rata Diameter Cakram Diameter kertas cakram Ekstrak (%) Zona Hambat (mm) (mm) Ulangan I Ulangan II ,15 8,75 8,45±0, ,10 7,53 7,31±0, ,83 7,18 7,00±0, ,40 6,70 6,55±0, ,40 5,75 6,08±0, ,88 6,00 5,95±0, ,05 3,83 3,94±0,17 Berdasarkan Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa pada ekstrak etanol daun Jawer kotok konsentrasi 100%, 85%, 70%, 55%, 40%, 25% dan 10% terdapat zona hambat dengan diameter rata-rata tiap konsentrasi ekstrak berbeda, yang berarti pada konsentrasi tersebut dapat menghambat pertubuhan bakteri P. aeruginosa. Daya hambat kontrol positif dan kontrol negatif diperoleh hasil sebagai berikut: a. Kontrol Positif (media Mueller-Hinton + Suspensi Bakteri + Antibiotik Tetrasiklin): terdapat zona jernih (Diameter Zona Hambat : 11,41±0,67). b. Kontrol Negatif (media Mueller-Hinton + Suspensi Bakteri + Aquadest Steril): tidak terdapat zona jernih (Diameter Zona Hambat : 0,00±0,00). Hasil analisis data menggunakan SPSS 18 menunjukan bahwa bahwa data berdistribusi normal dengan uji Kolmogorov-smirnov Sig.p = 0,88 (p>0.05). ANOVA Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups 23, ,922 44,180,000 Within Groups,621 7,089 Total 24,

24 Hasil uji Anova menggunakan derajat kepercayaan 95% nilai Sig.p = 0,00 (p<0,05) menunjukan terdapat perbedaan signifikan zona hambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa, hal ini menunjukan bahwa secara statistik terdapat pengaruh ekstrak etanol 70% dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa. Gambar 3.1 Daya hambat Ekstrak terhadap Bakteri P. aeruginosa Berdasarkan hasil penelitian daya hambat ekstrak etanol daun Jawer kotok (C. atropurpureus) terhadap bakteri P.aeruginosa terbentuk zona hambat pada konsentrasi 10, 25, 40, 5, 70, 85 dan 100%, dengan zona hambat terkecil yaitu pada konsentrasi ekstrak 10% dengan diameter zona hambat sebesar 3,94±0,17 mm. Adapun zona hambat terbesar yaitu pada konsentrasi 100% dengan diameter zona hambat sebesar 8,45±0,38 mm. Zona hambat yang terbentuk pada masing-masing konsentrasi ekstrak daun Jawer kotok berbeda-beda, sesuai dengan konsentrasi ekstrak yang dibuat, semakin besar konsentrasi ekstrak daun Jawer kotok, maka semakin besar pula diameter zona hambat yang terbentuk. Hasil uji lanjut LSD menunjukan bahwa konsentrasi ekstrak 10 % dengan konsentrasi 25% - 100% zona hambat yang terbentuk berbeda signifikan, demikian juga antara konsentrasi 100% degan konsentrasi 25 % - 85% berbeda signifikan. Sedangkan zona hambat pada konsentrasi 25% dengan 40% dan 55% perbedaannya tidak signifikan, konsentrasi 55% dengan 40% dan 70% tidak signifikan dan konsentrasi 70 % dengan 55% dan 85% tidak signifikan. Terbentuknya zona hambat tersebut dikarenakan adanya zat antimikroba yang terkandung dalam ekstrak etanol daun Jawer kotok yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa seperti tannin, saponin, alkaloid dan fenol. Sebelum dilakukan uji daya hambat, terlebih dahulu dilakukan uji fitokimia terhadap ekstrak kental daun Jawer kotok. Pada uji fitokimia diperoleh hasil positif uji kualitatif tannin yang ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman, hal ini disebabkan karena penambahan FeCl 3 menyebabkan terbentuknya kompleks Fe 3+ -tannin dan Fe 3+ -polifenol. Uji saponin positif ditandai dengan terbentuknya buih stabil, hal ini menunjukkan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam air. Uji alkaloid juga menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan, hal ini disebabkan karena terbentuknya endapan kalium alkaloid. Selain itu juga hasil positif pada uji fenolat yang ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman. Namun pada uji flavonoid didapatkan hasil negatif karena tidak terbentuknya warna merah kuat atau violet (Mustarichie, 2011). Tannin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar dan larut dalam air, senyawa ini sering ditemukan pada tanaman. Senyawa ini bersifat antibakteri karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk (Robinson, 1995). Saponin sebagai antibakteri yaitu dengan mekanisme kerja dapat merusak permebialitas membran sel bakteri, karena zat aktif permukaannya mirip detergen, sehingga saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak permebialitas membran. Rusaknya membran sel ini sangat mengganggu kelangsungan hidup bakteri (Harborne, 2006). Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam tumbuhan, senyawa ini terbentuk dari proses fotosintesis. Mekanisme alkaloid sebagai antibakteri yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Darsana, 2012). Mekanisme kerja senyawa fenol sebagai antibakteri yaitu dengan mendenaturasi protein sel. Ikatan hidrogen yang terbentuk antara fenol dan protein mengakibatkan struktur protein menjadi rusak. Ikatan hidrogen tersebut akan mempengaruhi permeabilitas dinding sel dan membran sitoplasma karena keduanya tersusun dari protein. Permeabilitas dinding sel dan membran sitoplasma yang terganggu dapat menyebabkan ketidakseimbangan makromolekul dan ion dalam sel, sehingga sel menjadi lisis (Pelczar, 1988). Pada penelitian ini, uji daya hambat ekstrak etanol daun Jawer kotok terhadap bakteri P. aeruginosa, menggunakan ekstrak etanol daun Jawer kotok yang dimaserasi dengan pelarut etanol 70% selama 4 x 24 jam, 24

25 menghasilkan rendemen ekstrak sebesar 12,68%. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif Jawer kotok yang terekstrak dengan pelarut etanol 70% relatif sedikit jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuningsih (2007) dengan menggunakan air sebagai pelarutnya menghasilkan rendemen ekstrak sebesar 25,94%, karena senyawa aktif yang terdapat pada daun Jawer kotok cenderung bersifat polar. Daun Jawer kotok yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun Jawer kotok tua yang berwarna merah hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yuningsih (2007) yang menyatakan bahwa daun tua memiliki daya hambat yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan daun muda. Selain uji kualitatif senyawa aktif pada ekstrak etanol daun Jawer kotok, dilakukan juga Pewarnaan Gram dan uji biokimia terhadap strain bakteri P. aeruginosa untuk memastikan bahwa bakteri yang digunakan merupakan bakteri P. aeruginosa. Hasil dari Pewarnaan Gram yaitu didapat bakteri berbentuk basil dengan susunan monobasil berwarna merah, hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut bersifat gram negatif karena mengambil warna merah dari zat warna safranin (Lay, 1992). Berdasarkan hasil uji biokimia didapatkan hasil positif terdapat pergerakan pada media SIM, hal ini menunjukkan bahwa bakteri dapat bergerak karena memiliki flagel. Pada media Simmon citrate didapatkan hasil media berubah menjadi warna biru, hal ini disebabkan karena bakteri menggunakan citrate sebagai sumber karbonnya, sehingga akan dihasilkan NH 3, NH 3 ini akan mengakibatkan suasana menjadi alkalis dan mengubah warna media yang sebelumnya hijau menjadi biru karena terdapatnya indikator bromthymol blue. Pada media TSIA pada lereng media berwarna merah, dasar media juga berwarna merah dan negatif H 2 S, hal ini menunjukkan bahwa bakteri tidak memfermentasi tiga gula yang terdapat pada media TSIA dan tidak menghasilkan H 2 S. Pada media gula manitol tidak terbentuk gelembung udara dan perubahan warna media, hal tersebut dikarenakan bakteri tidak memfermentasi manitol sehingga tidak dapat menaikkan ph media (Novel, 2010). Pada media agar nutrient terlihat koloni bakteri tumbuh dengan baik dan menghasilkan flouresen biru kehijauan yang menjadi ciri khas dari bakteri P. aeruginosa (Karsinah dkk, 1994). 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun Jawer kotok (C. atropurpureus) berpengaruh terhadap bakteri P. aeruginosa yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa pada konsentrasi 10% - 100%. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Kepada Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Kepada Ketua Program Studi DIII Teknologi Laboratorium Medik BTH Tasikmalaya Kepada Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIKes BTH Tasikmalaya 6. DAFTAR PUSTAKA Ahmad L. Yuszda K, La Ode Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Miana menggunakan metoda Brine Shrimp Lethality Test (BLST). Skripsi. Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Negri Gorontalo. Auliawan Riky, Bamabang Cahyono Efek Hidrolisis Daun Iler (Coleus scutellarioides) Terhadap Aktivitas Inhibisi Enzim alpha Glukosidase. Jurnal Scient dan Matematika Vol. 22 (1).p Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: BPOM RI. Dalimartha, Setiawan Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta: Trubus Agrididya. Darsana, I., Besung, I., Mahatmi, H Potensi Daun Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steenis) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli secara In Vitro. Indonesia Medicus Veteritus Darwis, Welly &Romauli, Karsina Uji Efektivitas Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellaroides) Sebagai antibakteri Staphylococcus aureus. Koservasi hayati, 9(2), Harborne, J.B Metode Fitokimia, Edisi Ke-2. Bandung: ITB. Karsinah., Lucky H.M., Suharto dan Mardiastuti H.W Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. Kartasapoetra, G Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta: Rineka Cipta. Lay, Bibiana W Mikrobiologi. Jakarta: C.V Rajawali. Mustarichie, Resmi., Ida Musfiroh dan Jutti Levita Penelitian Kimia Tanaman Obat. Bandung: Widya Padjajaran. 25

26 Mutiatikum, D., Alegantina, S., Astuti, Y Standarisasi Simplisia Dari Daun Miana (Plectranthus scutellaroides (L.) Benth) Yang Berasal Dari Tiga Tempat Tumbuh Manado, Kupang Dan Papua. Penelitian Kesehatan Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,38 (1), Novel, Sinta. S., Asri Peni. W dan Ratu Safitri Praktikum Mikrobiologi Dasar. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media. Pelczar, J.M dan Chan, E.C.S Dasar-dasar mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press. Pratiwi, Rika Uji Aktifitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Mangga Bacang (Mangifera foetida L.) Terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Sripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak. Radji, M Buku Ajar Mikrobiologi: Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. Jakarta: EGC. Rahmawati F Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Antibakteri Ekstrak Daun Miana (Coleus scuntellariodes L. Benth) [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Robinson, T Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan oleh Kosasih, P., Edisi Keenam. Bandung: ITB. Soemarno Penuntun Praktikum Bakteriologi. Jogjakarta: C.V. Karyono. Yuniarni, Umi., Lukmayani, Yani., dan Fitriyani Alfi Pengaruh Dekok Daun Beluntas, Jawer Kotok dan Sirih Serta Kombinasinya Sebagai Obat Antikeputihan Terhadap Candida albicans. Prosiding SNaPP2014 Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN , 4(1). Yuningsih, Ratnawati Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Jawer Kotok (Coleus scutellarioides [L.] Benth.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor. 26

27 EKSTRAK DAUN KEMANGI SEBAGAI REPELLENT ALAMI TERHADAP NYAMUK Aedes aegypti Tanendri Arrizqiyani 1,2, Rudy Hidana 2 Dan Joko Prasetyo 3 1,2,3 Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, STIKes BTH Tasikmalaya. tanendri.arrizqiyani@gmail.com rhidana65@gmail.com Abstrak - Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang hingga kini jumlah kasusnya cenderung meningkat. Sampai saat ini upaya yang bisa dilakukan untuk mengendalikan demam berdarah dengue salah satunya dengan cara mencegah kontak antara manusia dan nyamuk dengan menggunakan repelen seperti ekstrak daun sirih (piper betle L) yang telah terbukti memiliki potensi untuk menolak serangga. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui daya proteksi ekstrak daun sirih sehingga dapat dimanfaatkan sebagai repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti. Sampel yang digunakan adalah ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% sedangkan objek yang digunakan yaitu nyamuk Aedes aegypti betina yang masih muda (umur 5-7 hari). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa semkin tinggi konsentrasi ekstrak daun sirih maka daya proteksi semakin besar, namun semakin lama waktu pengamatan daya proteksi semakin kecil. Kesimpulan penelitian ini yaitu bahwa ekstrak daun sirih memiliki daya proteksi yang tinggi terhadap larva Aedes aegypti seiring bertambahnya konsentrasi dan menurun seiring bertambahnya waktu. Kata kunci: daun kemangi, repelensi dan Aedes aegypti 1. LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara yang berada di daerah tropis, sehingga merupakan daerah endemik bagi penyakit-penyakit yang diperantarai penyebabnya oleh nyamuk seperti demam berdarah, malaria, dan filariasis. Pengendalian nyamuk maupun perlindungan terhadap gigitan nyamuk merupakan usaha untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut (Tawatsin et al., 2001). Nyamuk merupakan serangga yang sangat mengganggu karena selain menyebabkan rasa gatal dan sakit, beberapa jenis nyamuk merupakan vector atau penular berbagai jenis penyakit berbahaya, seperti demam berdarah, malaria, kaki gajah, dan cikungunya (Kardinan, 2004). Demam berdarah dengue (DBD) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina masih menjadi masalah kesehatan dibanyak daerah tropis dan subtropis di dunia khususnya Indonesia. Perlindungan terhadap gigitan nyamuk merupakan usaha untuk pencegah penyebaran penyakit tersebut. Salah satu cara menghindari gigitan nyamuk yang paling praktis adalah menggunakan sediaan repellent nyamuk. Salah satu cara untuk menghindari gangguan atau gigitan nyamuk dapat menggunakan repellent. Namun sebagian besar sediaan repellent yang sering digunakan di Indonesia mengandung Diethyl toluamide (DEET) sebagai bahan aktif (BPOM, 2009 : 5). Repelen yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah repelen sintetik, contohnya adalah N,N-dietil-meta-toluamida (DEET) yang digunakan untuk menolak nyamuk. Banyak laporan mengenai toksisitas DEET, mulai dari efek ringan, seperti urtikaria dan erupsi kulit, sampai pada reaksi berat, seperti toxic encephalopathy (Tawatsin, 2006). Oleh karena itu diperlukan adanya alternatif repellent yang lebih aman dan tidak memiliki efek samping. Daun sirih (Piper betle L) termasuk dalam famili Piperaceae (sirih-sirihan) yang mengandung minyak atsiri dan senyawa alkaloid (Nugroho, 2003). Senyawa-senyawa seperti sianida, saponin, tanin, flaponoid, steroid, alkanoid, dan minyak atsiri diduga dapat berfungsi sebagai repellent nyamuk Aedes aegypt (Aminah,1995). Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini digunakan daun sirih sebagai repellent alami terhadap nyamuk Aedes aegypti. 2. METODE PENELITIAN Ekstraksi Daun kemangi diekstraksi menggunakan pelarut etanol 96%. Daun sirih dibuat serbuk kemudian direndam dalam etanol 96% selama 8 jam. Ekstrak yang diperoleh ditampung ke dalam gelas kimia kemudian dilakukan evaporasi untuk menghilangkan pelarut yang masih bersatu dengan ekstrak. Ekstrak diencerkan menjadi beberapa variasi konsentrasi yaitu 20%, 40%, 60% dan 80%. Pengujian ekstrak kemangi pada larva nyamuk Siapkan empat kandang ukuran P=60 cm, L=40 cm dan T=50 cm. Kandang masing-masing diisi 25 ekor nyamuk yang diambil dari kolonisasi Lokalitbang P2B2 Ciamis. Sebelum uji repellent, lengan yang digunakan sebagai umpan (probandus) harus disamakan kondisinya terlebih dahulu yaitu dengan cara dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan hingga benar-benar kering. Setiap lengan yang akan dijadikan umpan diolesi larutan repellent sebanyak 0,1 ml untuk 30 cm luas permukaan. Untuk setiap perlakuan konsentrasi yang diuji digunakan 1 lengan dalam 1 kurungan. Setiap 10 detik sekali, usikan tangan. Hitung jumlah nyamuk yang 27

28 hinggap pada setiap usikan setiap jam pengujian selama enam jam. Jarak dari satu usikan ke usikan lain sekitar 10 detik, satu kali usikan dianggap ulangan, sehingga jumlah ulangan 10 kali. Pengolahan data Penentun daya proteksi nyamuk dilakukan berdasarakan metode standar pengujian efikasi pestisida. Rumus daya proteksi nyamuk dihitung dengan rumus : Σc Σn Daya Proteksi Nyamuk = x 100% Σc Keterangan : Σc = jumlah nyamuk yang hinggap pada lengan kontrol Σn = jumlah nyamuk yang hinggap pada lengan perlakuan (Departemen Pertanian, Jakarta.2010). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan metode yang digunakan pada penelitian, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 3.1 Jumlah Nyamuk Aedes Aegypti yang hinggap pada lengan probandus 20% 40% 60% 80% Jam K P K P K P K P Tabel 3.2 Hasil perhitungan persentase daya proteksi ekstrak daun sirih Konsentrasi Jam 20% 40% 60% 80% 0 28,57% 47,47% 71,13% 93,75% 1 28,86% 45,36% 72,72% 93,40% 2 26,04% 44,89% 71,42% 80,81% 3 24,74% 43,43% 69,38% 89,01% 4 20,00% 38,94% 67,67% 64,94% 5 15,62% 17,34% 54,08% 57,94% 6 6,25% 10,20% 41,23% 56,66% Pembahasan Ekstraksi daun sirih Geraniol dan eugenol berfungsi sebagai repelen karena mampu bercampur dengan host odour yang merupakan gabungan CO2 dengan senyawa-senyawa lain dari tubuh host, sehingga host oudor akan berubah dan nyamuk tidak dapat mengenali hostnya. Linalol bekerja dengan memblok reseptor olkaftori nyamuk (ors) yang terdapat dalam sensilla. Molekul bau yang telah diterima nyamuk tidak dapat diteruskan ke otak yang merupakan pusat kendali. Proses pengambilan zat aktif yaitu dengan proses ekstraksi dengan pelarut mudah menguap yaitu etanol 96%, minyak atsiri dilarutkan dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap, cara ini sangat sederhana yaitu dengan merendam simplisia didalam pelarut, kemudian ekstraksi berjalan secara sistematis pada suhu kamar. Pelarut akan berpenetrasi kedalam bahan dan melarutkan minyak atsiri beserta beberapa jenis lilin dan albumin serta zat warna. Larutan tersebut kemudian diuapkan menggunakan evaporator dan minyak 28

29 dipekatkan pada suhu rendah, setelah semua pelaruut diuapkan dalam keadaan vakum, maka diperoleh minyak daun yang pekat. Beberapa faktor pendukung yang dapat mempengaruhi repelen antara lain: jenis serangga yang menggigit, jenis kelamin, tingkat aktivitas, dan hembusan angin. Hal yang harus diperhatikan selama penelitian salah satunya suhu tubuh probandus berkisar antara 36 C dan suhu ruangan berkisar antara C. Jika suhu probandus dan suhu ruangan tidak diperhatikan senyawa yang terkandung pada ekstrak daun sirih hijau (piper belte L) akan mudah hilang dan bau aromatisnya tidak akan bertahan lama karena mengalami penguapan serta akan mempengaruhi lamanya daya proteksi nyamuk yang hinggap pada lengan probandus. Daya proteksi ekstrak daun kemangi terhadap larva nyamuk Aedes aegypti Hasil penelitian menunjukan daya proteksi yang berbeda-beda. Satu kali pengolesan ekstrak daun sirih hijau daya proteksi tertinggi pada konsentrasi 20% yaitu 28,86% pada jam ke satu konsentrasi 40% yaitu 47,47% pada awal perlakuan, konsentrasi 60% yaitu 72,72% pada jam ke dua dan konsentrasi 80% yaitu 93,75% pada awal perlakun. Rata-rata daya proteksi mengalami penurunan drastis pada jam ke lima dan ke enam ini diduga karena repelen yang terdapat pada tangan probandus menguap. Komponen bahan aktif yang mampu mengusir nyamuk belum diketahui secara pasti, namun dari hasil pengujian daun sirih memiliki potensi sebagai penolak serangga yang disebut dengan repelen walaupun efektifitasnya hanya dapat dilihat pada jam permulaan pengujian. Daya proteksi ekstrak daun sirih masih jauh dibawah ketentuan Komisi Pestisida Departemen Pertanian. Komisi Pestisida mensyaratkan bahan anti nyamuk memiliki efektifitas daya proteksi sebesar 90% selama 6 jam. Namun, melalui pengujian ini diketahui bahwa jenis tanaman ini memiliki potensi sebagai repelen berbahan alami dan efektif terhadap nyamuk Aedes Aegypti yang relatif aman untuk kulit manusia, walaupun pada rentang waktu satu jam paparan. 4. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian ini yaitu bahwa ekstrak daun sirih memiliki daya proteksi yang tinggi terhadap larva Aedes aegypti seiring bertambahnya konsentrasi dan menurun seiring bertambahnya waktu. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terim kasih kepada P2B2 Lokalitbang, STIKes BTH Tasikmalaya serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. 6. DAFTAR PUSTAKA Akhsin, H Parasitologi. Yogyakarta : Kuha Medika. Boror, D. Triplehorn, C. Johnson Pengenalan Pelajaran Serangga Cepa L Sebagai Penolak Hinggapan (Repellent ) Terhadap Nyamuk Culex sp Dengan Metode Gelang Anti Nyamuk. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Culicidae) and Oviposition Deterrent Effects Against Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Southeast Asian J Trop Med Public Health. Departemen Kesehatan RI Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI. Devi, Shobana Uji Efektivitas Ekstrak Ethanol Daun Kemangi Sebagai Repellent Terhadap Semut Api (Solepnosis sp) (jurnal). Malang : FK Universitas Brawijaya. Djaenudin Natadisastra dan Ridad Agoes Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ditjen PPM dan PLP Panduan Praktis Surveilen Epidemiologi Penyakit. Jakarta : Depkes RI. Departemen Kesehatan RI Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Penting Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Jakarta : Buletin Harian : Tim Penanggulangan DBD Departemen Kesehatan RI. Fessenden, 1986, Kimia Organik, Erlangga, Jakarta. Hasyimi, H,M Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : CV. Trans Infomedia. 29

30 Irianto, Koes Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia. Bandung : CV. YRAMA WIDYA. Kemenkes Kardinan, Agus Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Bogor : Agromedia Pustaka. Kardinan, A. 2007b. Potensi selasih sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 13(2): Made, I Pemberantasan Sarang Penyebar Penyakit Tanaman Liar dan Penggunaan Pestisida. Jakarta : Pusat Pendidikan Tenga Kesehatan Depkes RI. Silver, John B., Mosquito Ecology: Field Sampling Methods (online). tanggal 28 Desember 2013 Soedarto Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV. Agung Seto. Sudarsono, Gunawan D, Wahyuono S, Donatus IA, Purnomo. Tumbuhan obat II (hasil penelitian, sifat-sifat, dan penggunaannya). Yogyakarta : Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada; Tria, Pepi Yuliani. Jurnal : Uji Potensi Ekstrak Etanol Bawang Merah ( Allium) Tawatsin, A., Asavadachanukorn, P., dkk Repellency of Essential Oils Extracted from Plants in Thailand Against Four Mosquito Vectors (Diptera: W. Harold Dasar Parasitologi Klinis Edisi Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Gandahusada Srisasi, dkk Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : FK Universitas Indonesia 30

31 PERBEDAAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA SEBELUM DAN SETELAH MENJALANI KEMOTERAPI Yane Liswanti 1, Karinda Aditia 2 1 Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, STIKes BTH Tasikmalaya yaneliswanti@yahoo.com Abstrak. Kanker merupakan suatu penyakit pertumbuhan sel akibat adanya kerusakan gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kanker payudara telah menjadi tumor ganas tertinggi yang dapat menyebabkan kematian. Kemoterapi merupakan salah satu penatalaksanaan kanker yang bertujuan menghancurkan atau memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker, tetapi obat-obat kemoterapi tidak hanya menghancurkan sel-sel kanker namun juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat. Selain itu dapat mengakibatkan efek antara lain anemia, leukopenia dan trombositopenia, hal tersebut terjadi karena obat kemoterapi menekan atau merusak sel-sel sumsum tulang sehingga produksi sel-sel darah berkurang.penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan jumlah leukosit sebelum dan setelah menjalani kemoterapi. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional, data sampel diperoleh dari ruang Poliklinik Bedah Onkologi ruang Kemoterapi dan dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.Teknik analisis data yang digunakan adalah uji Anova. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah leukosit sebelum dan setelah menjalani kemoterapi berbeda secara signifikan dibuktikan dengan uji repeated Anovadiperoleh signifikansi < 0,001 dengan demikian bahwa tidak ada dua pengukuran jumlah leukosit yang berbeda. Untuk mengetahui pengukuran mana yang berbedamaka dilakukan uji pared wise comparison dan didapatkan hasil perbandingan pengukuran sebelum kemoterapi dengan siklus I, sebelum kemoterapi dengan siklus II dan siklus I dengan siklus II. Pada setiap perbandingan pengukuran tersebut diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001.Dengan demikian terdapat perbedaan pada semua pengukuran jumlah leukosit. Dari hasil penelitian pada 16 pasien kanker payudara sebelum dan setelah menjalani kemoterapi yang dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung didapat hasil perbedaan pada semua pengukuran jumlah leukosit yaitu terjadinya penurunan jumlah leukosit setelah menjalani kemoterapi pada siklus I dan II. Kata kunci :Kanker payudara, jumlah leukosit, sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi 1. LATAR BELAKANG Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 12% seluruh kematian disebabkan oleh kanker dan pembunuh nomor dua setelah penyakit kardiovaskular.menurut Departemen Kesehatan RI (2006) menunjukkan jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai 6 % dari populasi (Depkes, 2006). Kanker masuk dalam sepuluh besar kematian di Indonesia berdasarkan data IARC (InternationalAgency for Research on Cancer) tahun 2002, prevalensi terjadinya kanker payudara di Indonesia adalah 126 per penduduk dan merupakan penyebab kematian perempuan terbanyak no.1 di Indonesia diikuti kanker serviks (Imam, Rasjidi : ix). Menurut WHO, setiap tahun terjadi tujuh juta penderita kanker payudara dan lima juta orang meninggal akibat penyakit kanker payudara (Naning, Pranoto : 20). Di Indonesia, kanker payudara menempati posisi kedua terbanyak dari seluruh kanker pada wanita. Mereka yang berasal dari orangtua yang mempunyai riwayat kanker payudara, lebih besar kemungkinan untuk terkena kanker yang ditakuti ini, dibandingkan pada wanita yang tanpa resiko itu. Kelompok risiko tinggi juga dimiliki wanita yang tidak melahirkan (Handrawan, Nadesul : 144). Umumnya penderita kanker payudara tidak dapat ditolong karena terlambat diketahui dan diobati. Hasil penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, yang dilakukan pada tahun menunjukkan bahwa 80% penderita kanker payudara datang memeriksakan diri atau berobat ketika penyakitnya sudah pada stadium lanjut (Endang, Purwoastuti. 2008: 13). Terapi kanker payudara dapat digolongkan menjadi pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan terapi hormonal (jong, 2004).Salah satu pengobatan kanker payudara yaitu dengan kemoterapi. Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk menghancurkan atau memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker.kemoterapi terbukti dapat mengurangi angka kematian sampai 72 % dan menurunkan angka kekambuhan sampai 35 % pada kanker payudara stadium awal (stadium I sampai IIIa) yang berusia kurang dari 50 tahun (Zubairi, 2006). Efek samping kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi tidak hanya menghancurkan sel-sel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat (Noorwati, 2007).Efek samping kemoterapi bervariasi tergantung regimen kemoterapi yang diberikan. Kemoterapi dapat mengakibatkan berbagai efek antara lain adalah anemia, trombositopeni dan leukopenia (Sudoyo, 2006).Leukopenia menyebabkan penderita mudah terkena infeksi karena fungsi pertahanannya terganggu (Vera, Uripi : 31). 31

32 Proses penghambatan dari aktivitas sumsum tulang mengakibatkan penurunan produksi sel-sel darah dan trombosit yang disebabkan oleh efek kemoterapi. Leukopenia sering terjadi pada pasien yang menerima kemoterapi, karena reduksi sementara pada jumlah total dari leukosit yang disirkulasi dan panjang hidup leukosit sangat singkat yaitu 6 sampai 8 jam (Susan, Martin Tucker dkk : 806). Berdasarkan hal tersebut, tampak terjadi efek samping yang ditimbulkan akibat kemoterapi terhadap jumlah sel-sel darah (leukosit) pada penderita kanker payudara, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang perbedaan jumlah leukosit pada penderita kanker payudara sebelum dan setelahmenjalani kemoterapi. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional.populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2012).Populasi penelitianini adalah penderita kanker payudara sebelum dan setelah menjalani kemoterapi sebanyak 16 orang.sampel penelitian adalah total sampling yaitu 16 orang penderita kanker payudara sebelum dan setelah menjalani kemoterapi. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari alat (neddle, tabung vakum EDTA, holder, tourniquet, hematology analyzer Sysmex XE-5000, rotator), dan bahan (sampel/darah vena, alkohol, plester). Tahapan penelitian diawali dengan pengambilan darah vena dengan menggunakan teknik vacuntainer yaitu dengan tabung vakum EDTA, kemudian sampel tersebut dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dengan hematology analyzer yang merupakan alat otomatis untuk pemeriksaan parameter hematologi. Analisis data yang digunakan adalah analisis dengan.uji statistik Anova dengan signifikansi p < 0,001.Tujuannya untuk melihat perbedaan penurunan jumlah leukosit sebelum dan setelah menjalani kemoterapi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian jumlah leukosit pada pasien kanker payudara sebelum dan setelah menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dapat dilihat pada tabel berikut: Usia (tahun) Tabel 1Data Hasil Penelitian Pemeriksaan Jumlah Leukosit (/mm3) Keterangan No Kode Sebelum Keterangan Setelah kemoterapi Pasien Kemoterapi Siklus Siklus I II 1 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 2 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan meningkat pada siklus II 3 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 4 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan meningkat pada siklus II 5 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 6 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 7 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan meningkat pada siklus II 8 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 9 A Normal Terjadi penuruna pada siklus I dan II 10 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 11 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 12 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 13 A Normal Terjadi penurunaa pada siklus I dan II 14 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 15 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 16 A Normal Terjadi penurunan pada siklus I dan II 32

33 Sumber : data primer Keterangan : Nilai Normal : /mm3 (R. Gandasoebrata. 2010). Tabel 2 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Sebelum_Kemoterapi * SIklus_I * Siklus_II * Sumber : data primer Berdasarkan perhitungan uji normalitas didapat nilai siginifikansi p > 0.05.Maka data berdistribusi normal. Tabel 3 Nilai rata-rata Jumlah Leukosit Sebelum dan Setelah Menjalani Kemoterapi Hasil Pemeriksaan Jumlah Nilai rata-rata jumlah leukosit Leukosit p Sebelum Kemoterapi 7081,250 Siklus I < Siklus II 4737,500 Hasil uji repeated anova Tabel 4 Perbedaan rata-rata Jumlah Leukosit Sebelum dan Setelah Menjalani Kemoterapi Hasil Pemeriksaan Jumlah Perbedaan rata-rata Leukosit p Sebelum Kemoterapi vs Siklus I 1637,500 < Sebelum Kemoterapi vs Siklus II 2343,750 < Siklus I vs Siklus II 706,250 < Hasil uji pared wise comparison Pembahasan Berdasarkan tabel 3 diperoleh bahwa nilai signifikansi Anova < 0,001 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata jumlah leukosit sebelum dan setelah menjalani kemoterapi pada siklus I dan II terjadi penurunan jumlah leukosit atau didapat hasil perbedaan pada semua pengukuran jumlah leukosit yaitu didapat hasil nilai rata-rata sebelum kemoterapi =7081,250, siklus I = dan siklus II =4737,500.Untuk mengetahui pengukuran mana yang berbeda maka dilakukan uji pared wise comparison(tabel 4),kemudian dilakukan perbandingan pengukuran sebelum kemoterapi dengan siklus I, sebelum kemoterapi dengan siklus II dan siklus I dengan siklus II. Pada setiap perbandingan pengukuran tersebut diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001.Dengan demikian terdapat perbedaan pada semua pengukuran jumlah leukosit. Pada penelitian ini kombinasi obat kemoterapi yang digunakan yaitu CAF (FAC) : cyclophosphamide + Doxorubicin (Adriamycin) + 5-fluorouracil (Adrucil). Hasil jumlah leukosit terjadi perbedaan penurunan baik setelah menjalani kemoterapi pada siklus I dan II, salah satu penyebab terjadi penurunan jumlah leukosit dikarenakan dari efek samping kemoterapi yang disebabkan oleh obat-obat kemoterapi. Obat tersebut tidak hanya menghancurkan sel-sel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat. Efek samping kemoterapi bervariasi tergantung regimen (pengaturan dosis serta jarak waktu untuk terapi) kemoterapi yang diberikan.salah satu efek samping kemoterapi adalah efek terhadap sumsum tulang yang bisa dideteksi melalui pemeriksaan darah.darah perifer, yaitu pemeriksaan hb, jumlah leukosit dan jumlah trombosit. Dimana apabila pasien akan melakukan kemoterapi kembali maka hasil pemeriksaaan Hb tidak boleh kurang dari 10 mg%, leukosit tidak boleh kurang dari 3000/mm3 dan trombosit tidak boleh kurang dari /mm3. Efek samping tersebut mulai muncul pada waktu yang berbeda-beda dan dapat menimbulkan keluhan subyektif yang dirasakan pasien. Namun efek samping yang dialami pada waktu periode tertentu akan mengalami proses pemulihan. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya pemulihan berbeda pada masing-masing efek samping, biasanya kurang dari 1 minggu.obat kemoterapi mencegah sumsum tulang dari pembentukkan sel-sel darah baru. Oleh karena rata-rata umur leukosit adalah enam jam, eritrosit 120 hari dan trombosit 10 hari, maka waktu penurunan jumlah sel-sel darah dapat diprediksi setelah pemberian kemoterapi (calvagna, 2007). Diantara regimen (pengaturan dosis serta jarak waktu untuk terapi) kemoterapi untuk kanker payudara yang sering digunakan adalah cychlophospamid, adriamycin, 5 fluorourasil (5FU) dan plaklitaksel. Efek 33

34 samping cyclophosphamide berupa mual, muntah yang dimulai dari 2-4 jam setelah pemberian obat, puncaknya terjadi dalam 12 jam berakhir dalam 24 jam.leukopenia terjadi pada hari ke-7 sampai 14 dengan masa perbaikan terjadi pada hari ke-18 sampai 25, juga terjadi anemia, trombositopenia, hipersegmentasi pada kulit dan kuku. Depresi sumsum tulang bertambah apabila digunakan berrsama antineoplastiklain atau terapi radiasi. Leukopenia dapat menurunkan respon antibodi(citra, Tri Wahyuni Faisel. 2012) & (deglin & Vallerand, 2005). Adriamycin mengandung senyawa anti kanker doxorubicin.senyawa itu mampu mengganggu aktivitas pembelahan DNA pada sel kanker sehingga sel kanker sulit untuk tumbuh berkembang. Efek samping awal adriamycin dalam waktu satu minggu setelah pengobatan yaitu sakit sepanjang situs dimana obat diberikan serta mual dan muntah, kemudian terjadi penurunan jumlah sel-sel darah terendahterjadi pada hari ke-10 sampai 14 setelah kemoterapi dan kembali normal terjadi pada hari ke-15 sampai 21.Akibat terjadinya penurunan jumlah leukosit, eritrosit dan trombosit sehingga meningkatkan risiko infeksi, anemia dan atau perdarahan. Obat fluorourasil adalah kristalin senyawa organik dari golongan antimetabolis. Termasuk obat anti kanker dengan nama kimia 5 fluorourasil. Bekerja dengan membunuh sel kanker dan obat tersebut mempengaruhi sel normal.sel yang terinfeksi tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan dirinya sendiri tetapi sel terus membunuh.setelah sel yang terinfeksi dihancurkan, sel-sel normal mempertahankan posisinya dan terjadi pemulihan sel dengan sendirinya. Efek samping dari 5 fluorourasil antara lain neutropenia (jumlah sel neutrofil dibawah nilai normal), stomatitis (inflamasi lapisan mukosa dari struktur pada mulut), diare dan menyebabkan warna urin (pink ke merah) dalam 48 jam. Efek samping dari kombinasi obat kemoterapi CAF mengakibatkan penderita mulai mengalami penurunan jumlah leukosit pada rentang waktu segera sampai 3 hari dan akan mengalami pemulihan dalam waktu < 1 minggu. Agar sel tubuh normal mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya, maka pemberian kemoterapi biasanya harus diberi jeda (selang waktu) 2-3 minggu sebelum dimulai lagi pemberian kemoterapi berikutnya (Lola Susanti dan Mula Tarigan: 2012). Kemoterapi mengakibatkan jumlah sel darah (jumlah leukosit) mengalami penurunan, sehingga penderita menjadi rentan terinfeksi baik dengan cara menekan produksi netrofil maupun karena efek sitotoksik langsung yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel yang melapisi saluran cerna. Proses pemulihan gejalagejala infeksi bervariasi tergantung agen infektif. Leukopenia adalah jumlah sel darah (leukosit) dibawah nilai normal.fungsi utama leukosit adalah membantu tubuh melawan infeksi.sel-sel leukosit adalah unit dari sistem pertahanan tubuh.leukosit menahan masuknya benda asing atau bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia (yang terjadi saat infeksi atau serangan virus atau bakteri) melalui dua jalan, yaitu fagositosis dan mengaktifkan respon imun tubuh (seperti membuat beberapa jenis antibodi atau immunoglobulin tubuh).leukosit menyerang mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh.namun, pada umumnya yang diserang adalah mikroorganisme atau benda asing yang telah dikenal dan bersifat spesifik (seperti virus HIV, sel-sel kanker dan kuman TBC) dan memusnahkan serta menyapu bersih debris (kotoran-kotoran) yang berasal dari sel-sel tubuh yang rusak atau sudah mati. Penderitayang mengalamipeningkatan jumlah leukosit setelah menjalani kemoterapi pada siklus II, hal ini dapat disebabkan karena kondisi setiap pasien yang berbeda diantaranya perbedaan usia, jenis kelamin, nutrisi /status gizi yang cukup baik dikonsumsi responden, tidak ada gangguan (untuk cadangan sumsum tulang, fungsi paru, hati, ginjal) dan tidak ada penyakit penyerta lain,sedangkan yangmengalami penurunan jumlah leukosit baik pada siklus I maupun siklus II diakibatkan karenakondisi setiap pasien yang berbeda diantaranya perbedaan usia, jenis kelamin, nutrisi /status gizi yang kurang/buruk, ada gangguan fungsi (cadangan sumsum tulang, fungsi paru, hati, ginjal dan penyakit penyerta lain), serta perbedaan dan jeda waktu pemberian kemoterapi yang berbeda dikarenakan hasil laboratorium setiap penderita untuk memenuhi syarat melakukan kemoterapi berbeda. Sebelum melakukan kemoterapi terlebih dahulu harus diketahui dengan baik bagaimana status penderita sebagai data dasar yaitu fisik penderita (terutama status penampilan penderita dan toksisitas), radiologi (terutama keadaan parunya) dan laboratorium (hemoglobin, leukosit dan eritrosit).pemberian dosis protokol sebaiknya diberikan bila hb 10 mg%, leukosit 4000 per mm 3 dan trombosit per mm KESIMPULAN Dari hasil penelitian didapat hasil rata-rata jumlah leukosit sebelum dan setelah menjalani kemoterapi pada siklus I dan II terdapat perbedaan yaituterjadinya penurunan jumlah leukosit. Hal ini dibuktikan dengan uji statistik Anova diperoleh (sig) 0,001 <(sig) 0,05, maka terdapat perbedaan hasil jumlah leukosit sebelum dan setelah menjalani kemoterapi. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Ketua STIKes BTH Tasikmalaya dan P3M, Direktur dan Kepala Laboratorium RSUP Hasan Sadikin atas izin yang diberikan, dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. 34

35 6. DAFTAR PUSTAKA Citra, Tri Wahyuni Faisel. (2002).Gambaran Efek Samping Kemoterapi Berbasis Antrasiklin Pada Pasien Kanker Payudara di RSUD Dokter Soedarso Pontianak.Program Pascasarjana. Universitas Tanjungpura: Pontianak. De Jong, W. (2002).Kanker, Apakah Itu? Pengobatan, Harapan Hidup, dan Dukungan Keluarga (Alih Bahasa Oleh Astoeti Suharto Heerdjan). Arcan: Jakarta. Endang, Purwoastuti.(2008).Kesehatan Masyarakat Kanker Payudara. Kanisius: Yogyakarta. Handrawan, Nadesul.(2010). Sehat Itu Nikmat. Cetakan 1. Libri: Jakarta. Heltty.(2008). Pengaruh jus kacang hijau Terhadap Kadar Hemoglobin, Jumlah Sel Darah Pasien Kanker Dengan Kemoterapi di RSUP Fatmawati Jakarta Imam, Rasjidi.(2010). Kanker pada Wanita. Elex Media Komputindo: Jakarta. Laboratorium Patologi Klinik RSHS.Prosedur Pemeriksaan Hematologi 37 Parameter Menggunakan Alat Sysmex XE Standar Prosedur Operasional: Lola Susanti dan Mula Tarigan.(2012).Karakteristik Mual dan Muntah Serta Upaya Penanggulangan Oleh Penderita Kanker yang Menjalani Kemoterapi. Fakultas Keperawatan. Universitas Sumatera Utara: Medan. Naning, Pranoto. (2010). Sejarah Perjalanan Payudara. Kanisius: Yogyakarta. R. Gandasoebrata. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat: Jakarta Sudjana, Statistika. Tarsito: Bandung Susan, Martin Tucker dkk.(1993).standar Perawatan Pasien.Vol 4. Buku Kedokteran ECG:Jakarta. Vera, Uripi. (2002). Menu untuk Penderita Kanker. Puspa Swara: Jakarta. 35

36 HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN DUKUNGAN ORANG TUA DENGAN INFESTASI CACINGAN PADA ANAK Undang Ruhimat Program Studi Teknologi Laboratorium Medik, STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Abstrak. Anak adalah investasi masa depan, sementara anak merupakan individu beresiko tinggi dari berbagai penyakit, termasuk penyakit kecacingan. Disisi lain orang tua memiliki peran penting terhadap status kesehatan anak. Selain pengetahuan yang cukup, sikap dan dukungan orang tua yang baik memiliki kontribusi yang besar terhadap kesehatan anak. Dengan demikian maka penelitian ditujukan untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara pengetahuan, sikap dan dukungan orang tua terhadap infestasi cacingan pada anak. Objek penelitian adalah orang tua anak Sekolah Dasar yang tersebar di wilayah kerja Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya. Metode penelitian bersifat kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara pengetahuan, sikap dan dukungan orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. Analisis multivariat regresi logistik menunjukkan bahwa sikap orang tua adalah variabel yang paling dominan/berpengaruh terhadap infestasi cacingan pada anak, dimana OR variabel sikap adalah 3.372, artinya responden/orang tua yang memiliki sikap yang baik cenderung akan memberi kontribusi kali lebih baik daripada responden/orang tua yang memiliki sikap kurang baik. Kata kunci : perilaku, cacingan, anak. 1. PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penyakit yang disebabkan oleh parasit terutama karena infeksi cacingan masih merupakan masalah kesehatan yang cukup serius. Namun demikian perhatian terhadap penyakit ini masih relatif kurang termasuk oleh jajaran petugas kesehatan sekalipun, alasan klasik adalah masih banyak masalah kesehatan selain masalah cacingan yang dianggap lebih penting. Alasan diatas tentunya tidak dapat dibenarkan karena penyakit cacingan dari tahun ke tahun tidak ujung hilang dan bahkan cenderung meningkat. Anak adalah investasi masa depan yang harus selalu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Namun demikian anak terutama anak usia sekolah merupakan individu yang rentan terhadap ancaman penularan penyakit, anak-anak adalah masa rawan terserang berbagai penyakit. Anak usia sekolah sangat potensial untuk terkena infeksi kecacingan. Kecacingan yang sering dijumpai pada anak usua SD adalah cacingan yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helmint). Penyakit kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas anak sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Secara umum infeksi kecacingan berpengaruh pada tingkat kecerdasan, mental dan prestasi anak sekolah. Dari uraian di atas dapat difahamai bahwa penyakit cacingan masih menjadi masalah serius bagi kita semua, kita tidak bisa berpangku tangan tentang masalah kesehatan yang satu ini, sebagi masyarakat kita bersama pemerintah terutama petugas kesehatan secara bersama-sama melakukan upaya untuk mencegah berkembangnya penyakit cacingan secara sporadik, masyarakat harus berperan aktif dan ambil bagian dalam menangani masalah cacingan, umpamanya melakukan inisiasi kepada anggota keluarga atau masyarakat sekitar untuk tetap menjaga personal hygiene putera-puteri tersayang. 2. TUJUAN PENELITIAN Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan dukungan orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. 3. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah metoda kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. POPULASI DAN SAMPEL Responden dalam penelitian ini adalah orang tua siswa Sekolah Dasar yang tersebar di 30 SD di Wilayah Kerja Kecamatan Cibalong, dengan total populasi sebanyak 640 orang. Untuk memenuhi sampel penelitian, sampling dilakukan secara acak dan proporsional dari total populasi, sehingga diperoleh sampel penelitian sebanyak 86 responden. 4. HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan terhadap 87 responden, namun ditengah perjalanan satu diantaranya keluar dari objek penelitian, sehingga jumlah responden yang diteliti sebanyak 86 orang. Untuk memenuhi keterwakilan dalam pengambilan sampel, teknik sampling dilakukan dengan metode proporsional random sampling. Berikut 36

37 dipaparkan mengenai hasil analisa terhadap variabel karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan responden ) serta pengetahuan, sikap dan dukungan orang tua terhadap infestasi cacingan pada anak. 1. Karakteristik Responden Dari hasil analisa terhadap karakteristik individu dapat dideskripsikan bahwa karakteristik umur responden yaitu : Usia tahun sebanyak 10 orang (11.6 %), umur tahun sebanyak 54 orang (62.8 %) dan umur tahun sebanyak 22 orang (25.6 %). Jenis kelamin responden sebagian besar adalah perempuan sebanyak 46 orang (53.5 %) dan lakilaki 40 orang (46.5 %). Berdasarkan tingkat pendidikan responden ahwa 20 orang (23.3 %) berpendidikan SD, 21 orang (24.4 %) berpendidikan SMP, 30 orang responden (34.9 %) berpendidikan SMA dan sebagian kecil responden (15 orang diantaranya) atau 17.4 % tingkat Perguruan Tinggi. 2. Pengetahuan tentang penyakit dan infestasi cacingan. Pengetahuan yang dimaksud pada penelitian ini adalah sejauh mana responden dapat memahami tentang penyakit cacingan, mencakup bahaya, cara transmisi serta factor-faktor penyebab timbulnya cacingan terutama pada anak. Pengetahuan tentang cacingan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu pengetahuan baik dan kurang. Dari hasil analisis diketahui bahwa sebagian besar responden sudah memiliki pengetahuan yang baik mengenai cacingan, yaitu sebanyak 50 responden dan sebagian kecil lainnya (36 responden) pengetahuannya masih kurang. Adapun distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan tentang penyakit cacingan disajikan pada tabel 4.3 sebagai berikut: Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Penyakit dan Infestasi Cacingan pada Anak Pengetahuan tentang Cacingan Frekuensi ( f ) Persentase (%) Kurang Baik Total ,0 3. Sikap terhadap penyakit dan infestasi cacingan. Variabel sikap terhadap penyakit dan infestasi cacingan adalah merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai reaksi (respons) terhadap upaya pencegahan timbulnya penyakit dan infestasi cacingan, terutama cacingan pada anak. Sikap responden terhadap penyakit cacingan dikategorikan menjadi dua yaitu sikap baik dan kurang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa 45 orang responden menunjukkan sikap yang baik, sementara 41 orang lainnya memberikan gambaran sikap masih kurang baik. Adapun distribusi responden berdasarkan sikap terhadap penyakit dan infestasi cacingan dapat dilihat pada tabel 4.4 : Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Sikap Responden Terhadap Penyakit dan Infestasi Cacingan pada Anak Sikap terhadap Cacingan Frekuensi ( f ) Persentase ( % ) Kurang Baik Total Dukungan orang tua terhadap upaya pencegahan penyakit dan infestasi cacingan pada anak Dukungan orang tua merupakan bentuk-bentuk apresiasi orang tua terhadap anak dalam upaya pencegahan cacingan pada anak. Apresiasi dukungan orang tua dapat berupa teguran,larangan dan atau sejenisnya yang diduga dapat berpengaruh terhadap sikap anak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 86 responden sebagian besar yaitu sebanyak 56 responden (65.1 %) menunjukkan dukungan yang masih kurang, sementara sebagian kecil dari responden atau sebanyak 30 responden (34.9 %) menunjukkan dukungan yang baik. Adapun distribusi frekuensi responden berdasarkan dukungan orang tua disajikan pada tabel 4.5 sebagai berikut : 37

38 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Orang Tua Terhadap Upaya Pencegahan Penyakit dan Infestasi Cacingan Dukungan Orang Tua Frekuensi ( f ) Persentase ( %) Kurang Baik Total Analisa bivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian ini menggunakan crosstabs (bentuk tabel silang) untuk menyajikan deskripsi data yang terdiri dari baris dan kolom. Pengujian data secara bivariat terhadap variabel bebas yang terdiri dari variabel pengetahuan, sikap dan dukungan orang tua terhadap upaya pencegahan penyakit dan infestasi cacingan pada anak. 1. Hubungan antara pengetahuan orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa dari 54 orang anak dengan infestasi cacingan positif, 36 responden/orang tua mereka telah memiliki pengetahuan yang baik tentang cacingan. Sementara 18 orang responden lainnya menunjukkan pengetahun yang masih kurang. Hasil analisa hubungan antara pengetahuan dengan infestasi cacingan pada anak disajikan dalam tabel 4.6 di bawah ini : Tabel 4.6. Hubungan antara Pengetahuan Orang Tua dengan Infestasi Cacingan pada Anak Infestasi Cacingan pada Anak Pengetahuan Orang Tua Kurang Baik Total N % n % N Positif Negatif Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p value = 0.037, dimana nilai p < 0.05, artinya ada hubungan antara pengetahuan orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. 2. Hubungan antara sikap orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. Dari hasil analisa diketahui bahwa dari 54 anak dengan infestasi cacingan positif, 19 orang tua mereka (25.7 %) menunjukkan sikap yang kurang baik, sementara 35 orang responden/orang tua siswa (28.3%) menunjukkan sikap yang baik terhadap penyakit dan infestasi cacingan pada anak. Hasil analisa hubungan antara sikap orang tua dengan infestasi cacingan pada anak dapat disajikan dalam tabel 4.7 : Tabel 4.7. Hubungan antara Sikap Orang Tua dengan Infestasi Cacingan pada Anak Infestasi Cacingan pada Anak Sikap Orang Tua Kurang Baik Total N % n % N Positif Negatif Berdasarkan hasil uji chi square diketahui nilai p value = dimana nilai p < 0.05, artinya ada hubungan antara sikap orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. 3. Hubungan antara dukungan orang tua dalam upaya pencegahan penyakit cacingan dengan infestasi cacingan pada anak Hasil analisa diketahui bahwa dari 54 orang anak dengan infestasi cacingan positif, sebagian besar dari responden/orang tua mereka yaitu 30 orang (35.2 %) memberikan dukungan masih kurang, sementara 24 responden/orang tua lainnya (18.8 %) sudah menunjukkan dukungan yang baik. Hasil analisa hubungan antara dukungan orang tua dengan infestasi cacingan pada anak dapat disajikan dalam tabel 4.8 sebagai berikut : 38

39 Tabel 4.8. Hubungan antara Dukungan Orang Tua dengan Infestasi Cacingan pada Anak Dukungan Orang Tua Infestasi Cacingan pada Kurang Baik Total Anak N % n % n Positif Negatif : No. Selanjutnya ringkasan dari hasil uji bivariate chi square dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini Tabel 4.8. Ringkasan Hasil Uji Bivariat Antara Variabel Bebas dan Variabel Terikat Kepatuhan Independent Variable Pelaksanaan SOP P Value Keterangan 1 Pengetahuan orang tua Ada hubungan 2 Sikap orang tua Ada hubungan 3 Dukungan orang tua Ada hubungan Dari hasil uji chi square/crosstab pada analisa bivariat antara variabel bebas dengan variabel terikat, seluruh variabel yang diuji menunjukkan adanya hubungan. Sehingga ketiga variabel tersebut dapat masuk ke dalam analisis multivariat regresi logistik untuk mengetahui pengaruhnya secara bersama-sama. Hasil analisa regresi logistik dari tiga variabel diatas diketahui bahwa sikap orang tua adalah variabel yang paling berpengaruh terhadap infestasi cacingan pada anak. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.9 : Tabel 4.9. Hasil Analisis Regresi Logistik antara Variabel Independen dengan Variabel Dependen Infestasi Cacingan pada Anak 95,0% C.I.for Variabel B S.E. Wald Df Sig. Exp(B) EXP(B) Lower Upper Pengetahuan Sikap Dukungan orang tua Constant Selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh dapat dilihat pada kolom exp (B), dimana dari tabel diatas menunjukkan bahwa variabel sikap mempunyai OR artinya responden /orang tua dengan sikap yang baik cenderung akan mendorong/member dukungan pada anaknya kali lebih baik daripada responden dengan sikap kurang baik. 39

40 PEMBAHASAN Analisis multivariat regresi logistik menunjukkan bahwa sikap orang tua adalah variabel yang paling dominan/berpengaruh terhadap infestasi cacingan pada anak, dimana OR variabel sikap adalah 3.372, artinya responden/orang tua yang memiliki sikap yang baik cenderung akan memberi kontribusi kali lebih baik daripada responden/orang tua yang memiliki sikap kurang baik. Green mengemukakan, bahwa sikap merupakan salah satu faktor predisposisi (predisposing factor) terhadap perubahan suatu perilaku. Sumber lain menyebutkan bahwa sikap dipandang sebagai kecenderungan, kemudian yang diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi jika telah diketahui sikapnya. Dengan sendirinya tindakan yang diawali adalah melalui proses yang cukup komplek dan sebagai titik awal untuk menerima rangsangan. Dalam diri individu sendiri terjadi dinamika berbagai psikofisik seperti kebutuhan, motivasi, perasaan, perhatian dan lain-lain. Semua proses ini sifatnya tertutup sebagai dasar pembentukan sikap yang akhirnya melalui ambang batas terjadi tindakan yang bersikap terbuka, inilah yang disebut dengan tingkah laku. Jelasnya bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi berupa kecenderungan tingkah laku. Sikap merupakan reaksi (respons) terhadap stimulus, sikap seseorang terhadap stimulus (perangsang) akan berbeda-beda, dimana perubahan sikap ini dipengaruhi oleh perbedaan bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan dan situasi lingkungan. Demikian juga sikap seseorang terhadap stimulus yang sama belum tentu menunjukkan sikap yang sama pula. Dengan demikian bahwa pembentukan sikap yang terjadi termasuk sikap orang tua terhadap anaknya yang berkaitan dengan upaya pencegahan penyakit dan infestasi cacingan adalah bukan suatu kebetulan, tetapi melalui proses yang panjang dan komplek. Sikap positif, negatif ataupun keragu-raguan adalah pilihan. Orang tua bersikappisitif ataupun negatif bukan tanpa alasan, tetapi yang paling utama bagimana caranya bahwa sikap itu dapat dibentuk dan diarahkan pada sikap-sikap positif dan bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (45.00 %) telah memiliki sikap yang baik terhadap upaya pencegahan penyakit dan infestasi cacingan, hal ini diduga memiliki asosiasi yang kuat dengan faktor intrinsik responden dalam kapasitasnya sebagai individu. Pengetahuan yang cukup tentang penyakit cacingan menjadi faktor dominan dalam pembentukan sikap positif terhadap upaya pencegahan penyakit dan infestasi cacingan. Pendidikan formal setingkat SMA bahkan sebagian dianaranya tungkat Diploma dan Sarjana dirasa cukup untuk dapat memahami tentang penyakit dan upaya pencegahan penyakit cacingan. Selain sikap kedua variabel lain dalam penelitian yaitu pengetahuan dan dukungan orang tua juga memeiliki hubungan dengan infestasi cacingan pada anak. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa dari 86 responden 50 diantaranya (58.1 %) memiliki pengetahuan baik, sementara 36 orang lainnya (41.9 %) berpengetahuan kurang. Hasil uji chi square (p value 0.037, p < 0.05) menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan orang tua dengan infestasi cacingan pada anak. Green (dalam Notoatmodjo) menjelaskan, bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau didapat dari pengalaman orang lain. Aktivitas dan kepatuhan seseorang ditentukan oleh pengetahuan, sebelum seseorang berperilaku ia harus tahu terlebih dahulu atau seseorang harus memiliki pengetahan terlebih dahulu. Sangat difahami dalam penelitian ini diketahui sebagian besar responden telah memiliki pengetahuan yang baik, sebagian besar dari responden/petugas laboratorium memiliki strata pendidikan yang cukup dengan latar belakang SMA dan bahkan sebagian kecil diantaranya berpendidikan Diploma atau Sarjana. Dalam ranah kesehatan Green berpendapat, bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor penting, yaitu : 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup : pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai-nilai. 2. Faktor pemungkin (enabling factors), antara lain ketersediaan fasilitas/sarana kesehatan. 3. Faktor pendukung (reinforcing factors), meliputi : pendapat, dukungan dan kritik dari keluarga, teman, tokoh agama, petugas kesehatan, dll. Merujuk pada apa yang dikemukakan Green, bahwa dukungan keluarga merupakan reinforcing factors untuk terciptanya suatu perilaku, dengan demikian dukungan orang tua adalah penting dalam mencapai suatu tujuan. Kaitannya dengan hasil penelitian ini, dukungan orang tua memiliki kontribusi besar terhadap perilaku anak dalam upaya pencegahan penyakit dan infestasi cacingan pada anak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 86 responden sebagaian besar dari mereka yaitu 56 orang (65.1 %) masih menunjukkan dukungan yang kurang, sementara sebagian kecilnya yaitu 30 orang (34. 9 %) sudah menunjukkan daya dukung yang baik. 5. KESIMPULAN Dari hasil analisa bahwa penelitian mengenai keterkaitan antara pengetahuan, sikap dan dukungan orang tua terhadap infestasi cacingan pada anak ketiga-tiganya memiliki hubungan secara signifikan. 40

41 Pengetahuan orang tua memiliki hubungan antara penyakit dan infestasi cacingan pada anak, demikian juga sikap dan dukungan orang tua. Dimana dari ketiga variabel tersebut diketahui bahwa sikap orang tua adalah variabel paling dominan berkontribusi terhadap terjadinya infestasi cacingan pada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap orang tua memiliki kecenderungan kali lebih berkontribusi terhadap kejadian penyakit dan infestasi cacingan pada anak. 6. PUSTAKA Adisasmito Wiku, Sistem Kesehatan, Penerbit Raja Grafindo Persada; Jakarta, 2007 Akhsin Zulkoni, Parasitologi, Mulia Medika; Yogyakarta, Azwar. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar, Jakarta, 2007 Bernadus Sandjaja, Buku parasitology Kedokteran, Bandung, Bina Cipta, Danim, S. Metode Penelitian untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Bumi Aksara, Jakarta, Departemen Parasitologi, FKUI, Parasitologi Kedokteran, Jakarta Djaenudin Natadisastra dan Agoes Ridad, Parasitologi Kedokteran, EGC; Jakarta, Gandahusada Srisasi, Parasitologi Kedokteran, Jakarta FKUI, Gracya Lyenes S & David A Brucker, Diagnostik Parasitologi Kedokteran Jakarta, EGC Green L W. Health Promotion Planning An Educational and Enviromental Approach. Mayfield Publishing Company, Toronto, Gunawan J., dkk, Mikrobiologi dan Parasitologi Bandung., PT. Citra Aditya Bakti Inge Sutanto, Parasitologi Kedokteran, Edisi IV, FKUI; Jakarta, Judith A, John P & Elizabeth MB. Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Koes Irianto, Parasitologi, Penerbit CV Yrama Widya; Bandung, M Muslim, Parasitoogi Untuk Keperawatan, EGC; Jakarta, Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Saefuddin, A, dkk. Statistika Dasar. Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, Soedarto, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, CV Sagung Seto; Jakarta, Sugiono, Wibowo S. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung, Tietjen. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasiaslitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas, YBP-SP, Jakarta, 2004 Tresnaningsih, Erna. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan. Setjen Depkes RI, Jakarta,

42 UJI AKTIVITAS PENYEMBUHAN LUKA FORMULA GEL EKSTRAK ETANOL DAUN BABADOTAN (Ageratum conyzoides L) TERHADAP TIKUS JANTAN WISTAR Yedy Purwandi Sukmawan 1*, Ratih Aryani 1 1 Program Studi Farmasi, STIkes Bakti Tunas Husada, Tasikmalaya, Indonesia * yedipur@gmail.com Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas penyembuhan luka formula gel ekstrak etanol daun babadotan (Ageratum conyzoides L) terhadap tikus jantan wistar dengan melakukan eksisi untuk membuat luka dengan diameter 1 cm. Kemudian pada luka eksisi yang telah dibuat tersebut diberikan perlakuan plasebo (basis gel) terhadap kelompok kontrol, diberikan bioplacento terhadap kelompok pembanding, diberikan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% terhadap kelompok uji I dan diberikan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% terhadap kelompok uji II. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa efek penyembuhan luka sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% menghasilkan efek yang paling baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, pembanding dan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% dengan persentase penutupan luka pada hari ke tujuh yaitu 50,33±4,93%, 30,67±9,08%, 43,5±6,36%, dan 41±3,61% secara berturutturut. Kata Kunci : sediaan gel daun ekstrak etanol 5% dan 10%, penyembuhan luka. 1. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati, memiliki banyak sekali tanaman yang berkhasiat untuk penyembuhan luka. Salah satu tanaman yang paling banyak diteliti untuk efektivitas penyembuhan luka adalah adalah tanaman babadotan (Ageratum conyzoidesl) (Gouri Kumar Dash et al, 2011 dan Mustafa et al 2005). Metabolit sekunder yang dipercaya memiliki peranan dalam penyembuhan luka yang dihasilkan tanaman babadotan ini adalah flavonoid dengan kemungkinan efek antioksidan yang dimilikinya (Shirwaikar et al,2003 ; Santosh et al 1998 dan Fraga,1987). Oleh karena itu, untuk dapat diaplikasikan dan mudah diakses penggunaannya oleh masyarakat maka diperlukan pembuatan sediaan farmasinya dalam bentuk sediaan gel yang memiliki keuntungan tidak lengket, penyebarannya baik, efek dingin, dan pelepasan zakt aktif yang baik (Voight, 1994). Selain itu, sediaan gel juga lebih disukai penggunaannya di masyarakat. 2. METODE PENELITIAN Alat Kandang tikus, timbangan tikus, sode oral, syringe 1ml, gelas ukur, beaker glass, botol semprot, batang pengaduk, kertas saring, kapas, stopwatch, mortar dan stamper, penangs air, evaporator, ekstraktor, magnetic stirrer, dan alat-alat pendukung lainnya yang umum digunakan di laboratorium. Bahan Bioplacenton,NH 4 OH, CHCl 3, HCl, pereaksi Dragendorf dan Mayer, logam Mg, amil alkohol, gelatin, FeCl, KOH 5%, eter, vanilin, H 2 SO 4, asam asetat anhidrat, HPMC, dan aquadest. Hewan Percobaan Hewan Percobaan yang digunakan adalah tikus jantan galur Wistardengan bobot gram. Tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 5 hari dan disimpan dengan pencahayaan 12 jam terang dan 12 jam gelap serta pemberian makan dan minum ad libitum. Pengumpulan dan Determinasi bahan Bahan uji berupa daun babadotan diperoleh di pekarangan rumah Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya dan Determinasi dilakukan di herbariumsekolah Ilmu Teknologi HayatiInstitut Teknologi Bandung. Persiapan Ekstrak dan Sediaan Gel Daun kering yang telah di serbukkan ditimbang 500 gram,kemudian masukkan pada alat ekstraksi dan dimasukkan alkohol 70% sampai merendam serbukdan dilakukan tiga kali pengulangan pemberian alkohol 70% 42

43 .Kemudian Ekstrak cair tersebut di evaporasi menggunkan evaporator pada suhu 60 o C sampai didapat ekstrak kentalnya.ekstrak yang didapat diinkorporasikan kepada basis gel yang telah diformulasi Aktivitas Penyembuhan Luka Penyembuhan luka merupakan suatu multiproses. Efek suatu obat terhadap proses penyembuhan luka ini dipelajari melalui penentuan persentase penutupan luka selama 7 hari. Tikus sebelumnya dianestesi menggunakan eter kemudian jaringan pada tengkuk dari leher tikus dengan ukuran diameter 1 cm dilakukan eksisi yang sebelumnya rambut disekitar area tersebut dipotong terlebih dahulu, diberikan desinfeksi alkohol 70 %. Pada luka eksisi yang telah dibuat tersebut diberikan perlakuan plasebo (basis gel) terhadap kelompok kontrol, diberikan bioplacento terhadap kelompok pembanding, diberikan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% terhadap kelompok uji I dan diberikan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% terhadap kelompok uji II. Analisa Data Hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk rataan ± SE. Hasil secara statistika beda antara masing-masing kelompok dihitung menggunakan metode ANOVA dan diteruskan dengan LSD menggunakan program SPSS HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Skrining Fitokimia Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia No Nama Ekstrak Babadotan 1 Alkaloid + 2 Saponin - 3 Sesquiterpen dan monoterpen - 4 Tanin dan Polifenol + 5 Steroid dan Triterpenoid + 6 Kuinon - 7 Flavonoid + Berdasarkan skrining fitokimia yang telah dilakukan, metabolit sekunder yang terkandung pada esktrak etanol daun babadotan adalah alkaloid, tanin, polifenol, steroid, triterpenoid dan flavonoid. Hasil Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Kelompok Tabel 2. Hasil Persentase (%) Penutupan Luka Persentase (%) Penutupan Luka Hari-2 Hari-3 Hari-4 Hari-5 Hari-6 Hari-7 Placebo 3±2,64 13,67±8,50 21,67±11,06 26,67±8,32 30,67±9,08 46±4,58 Bioplacenton 15±7,07* 22±7,07 34±2,83 42±5,66* 43,5±6,36 54±7,07 Gel daun babadotan (5%) 5,67±4,04 11,33±3,21 17±6,01 27,33±4,04 41±3,61 52,67±8,32 Gel daun babadotan(10%) 17,33±6,65* 23,33±4,51 24,33±4,51 32,33±5,51 50,33±4,93* 69±4,35* Nilai diekspresikan sebagai rataan ± SD, * = berbeda secara signifikan dibanding kontrol (p < 0,05). Pada hari kedua sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% memberikan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dalam aktivitas penutupan luka bila dibandingkan dengan kontrol, begitu pula bioplacenton sebagai pembanding memberikan efek yang signifikan (p<0.05). Sedangkan untuk sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam penutupan luka bila dibandingkan kontrol 43

44 (p>0.05), meskipun secara persentase ekstrak etanol daun babadotan 5% menunjukkan penutupan luka yang lebih baik dibanding kontrol yaitu 5,67±4,04% dan 3±2,64% secara berturut-turut. Pada hari ketiga dan keempat sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% dan bioplacenton tidak memberikan efek yang signifikan (p>0.05) bila dibandingkan dengan kontrol, meskipun secara persentase menunjukkan penutupan luka yang lebih baik dibanding kontrol yaitu 23,33±4,51%, 22±7,07%, dan 13,67±8,50% secara berturut-turut pada hari ketiga serta 24,33±4,51%, 34±2,83% dan 21,67±11,06% secara berturut-turut pada hari keempat. Begitu pula dengan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% pada hari ketiga dan hari keempat tidak menunjukkan signifikansi (p>0.05) bila dibandingkan kontrol dan persentase efek penutupan lukanya tidak lebih baik dibanding kontrol yaitu 11,33±3,21 dan 13,67±8,50% secara berturut-turut pada hari ketiga serta 17±6,01% dan 21,67±11,06% secara berturut-turut pada hari keempat. Pada hari kelima hanya bioplacenton sebagai pembanding yang memberikan signifikansi dalam penutupan luka (p<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan untuk sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% dan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% tidak memberikan signifikansi (p>0.05) bila dibandingkan kontrol, meskipun tidak memberikan signifikansi akan tetapi sediaan ekstrak etanol daun babadotan 5% dan sediaan gel esktrak etanol daun babadotan 10% menunjukkan persentase lebih baik dibandingkan kontrol yaitu 27,33±4,04%, 32,33±5,51% dan 26,67±8,32 secara berturut-turut. Pada hari keenam dan ketujuh hanya sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan yang memberikan efek yang signifikan (0<0.05) dalam penutupan luka bila dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan untuk bioplacenton dan sediaan gel ekstrak etanol meskipun tidak menunjukkan signifikansi (p>0.05) bila dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi menunjukkan persentase penutupan luka yang lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol yaitu 43,5±6,36%, 41±3,61% dan 30,67±9,08% secara berturut-turutsecara berturut-turut pada hari keenam dan 54±7,07%, 52,67±8,32 dan 46±4,58% secara berturut-turut pada hari ketujuh Gambar 2. Hasil Eksisi Pada Tikus Gambar 3. Perbandingan Luka Pada Hari ke-1 dan Hari ke-7 Bila dilihat dari hasil penampakkan yang terjadi pada luka masing-masing kelompok, kelompok kontrol menunjukkan luka yang masih tampat terlihat seperti basah dengan warna luka jaringan granulosit yang terbentuk berwarna kemerahan. Sedangkan untuk kelompok pembanding, kelompok sediaan gel esktrak etanol 44

45 daun babadotan 5% dan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% menunjukkan jaringan granulosit yang tampak kering dengan warna luka berwarna kehitaman. Dari keseluruhan hasil yang didapatkan mengenai sediaan uji gel ekstrak etanol daun babadotan dari hari kedua sampai hari ketujuh menunjukkan bahwa sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% memberikan hasil yang lebih baik dalam penutupan luka bila dibandingkan dengan sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5%. Sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 5% bisa dikatakan tidak memberikan efek yang berbeda dibandingkan dengan kontrol. Efek peyembuhan luka yang ditunjukkan oleh sediaan ekstrak etanol daun babadotan ini diakibatkan karena aktivitas flavonoidnya. Kaempferol dan quercetin merupakan metabolit sekunder golongan flavonoid yang terkandung dalam tanaman babadotan memiliki efek antioksidan dan aktivitas penyembuhan luka yang terjadi mungkin diakibatkan dari efek antioksidannya (Shirwaikar et al,2003 ; Santosh et al 1998 dan Fraga,1987). Selain itu, tanaman babadotan juga terbukti memiliki efek antimikroba yang dapat membuat area luka dalam keadaan steril yang akibatnya dapat meningkatkan pula efek penyembuhan lukanya (perumal et al, 1999 dan gouri et al, 2011). Akan tetapi, kemungkinan dari efek imunomodulator juga tidak bisa diabaikan dalam penyembuhan luka yang mungkin juga dapat mempengaruhi efek penyembuhan luka dari sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10%. 4. KESIMPULAN Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, maka bisa disimpulkan bahwa efek penyembuhan luka sediaan gel ekstrak etanol daun babadotan 10% lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, pembading dan sediaan ekstrak etanol daun babadotan 5%. 5. DAFTAR PUSTAKA Fraga,C.G., U.S Mactino, G.E Ferraro, J.F. Coussio dan A. Boveris Flavonoids as antioxidant evaluated in vitro and in situ liver chemilum inescence. BiochemicalMedicine and Metabolic Biology. Gouri Kumar Dash dan Narasimha Murty Wound Healing Effect of Ageratum conyzoides Linn. J Pharmacology IJPBS. 2; Mustafa et al, Evaluation of Wound Healing Potential of Ageratum conyzodesleaf Extract in Combination with Honey in Rats as Animal Model. International Journal of Molecular Medicine and Advance Science 1 (4) : Perumal, S.R., S. Ignacimuthu dan R.D. Patric Preliminary screening of ethnomedicinal plants from India. J. Ethnopharmacol., 66: Santosh, A.C., S.A. Vyemura, J.L Lopes, J.N. Bajon, F.E Mingatto dan C. Curti Effect of Naturally occuring flavonoids on lipid peroxidation and membrane permeability transaction in mitochondria. Free Radical Biology and Medicine., 24: Shirwaikar, A., A.P. Somashekar, A.L Udupa, S.I Udupa dan S. Somashekar Wound Healing studies of Aristolochia bracteolate Lam. With supportive action of antioxidant enzyme., 10 : Voigt. R, BukuPelajaranTeknologiFarmasi. Penerjemah Dr. Soendani 45

46 PENGEMBANGAN DAN EVALUASI FORMULA TABLET FAST DISINTEGRATING TABLETS (FDT) DARI KOMPLEKS INKLUSI LORATADIN--SIKLODEKSTRIN Anggraeni 1, Lusi Nurdianti 1*, Rika Yulianti 1 1 Program Studi Farmasi, STIKes BTH Tasikmalaya. * lusinurdianti83@gmail.com Abstrak - Loratadin merupakan obat antihistamin generasi 2 yang termasuk dalam kelompok Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas 2 yang memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitas tinggi. Pembentukan kompleks inklusi loratadin dengan -siklodekstrin menggunakan metode kneading dengan perbandingan berat 2:1 dapat meningkatkan kelarutan loratadin. Bentuk sediaan padat lebih disukai karena kemudahan dalam pemakaian serta ketepatan dosis, untuk itu penelitian ini mengembangkan sediaan tablet Fast Disintegrating Tablets (FDT) loratadin dari hasil kompleks inklusi. Kendala dari tablet FDT yaitu waktu hancur harus singkat, juga masalah rasa yang ditinggalkan oleh tablet FDT jika tidak diformulasikan dengan baik. Maka dibuat kompleks inklus yang mampu meningkatkan kelarutan loratadin sehingga waktu hancur tablet yang dibuat juga meningkat. Dibuat 3 formula yang mengandung Ac-Di-Sol sebagai superdisintegran pada formula 1, 2 dan 3 secara berturut-turut 1,5%; 2%; dan 2,5% juga Avicel PH 102 sebagai filler binder dan natrium sakarin sebagai pemanis. Evaluasi sediaan meliputi keseragaman bobot, keseragaman ukuran, kekerasan, kerapuhan, waktu hancur, penetapan kadar, uji disolusi dan uji kesukaan rasa tablet FDT. Hasil pengujian menunjukan bahwa Formula 3 mengandung Ac-Di-Sol 2,5% menjadi formula yang paling optimal dengan waktu hancur 23,666 detik. Persen disolusi pada waktu 60 menit pada formula 1, 2 dan 3 berturut-turut menghasilkan 78,0%, 69,6%, dan 100,0%. Dari hasil uji kesukaan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada rasa ketiga formula (>0,05). Kata Kunci : Loratadin kompleks inklusi, tablet FDT. 1. LATAR BELAKANG Kelarutan merupakan salah satu sifat fisiko kimia senyawa obat yang penting dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna (Narsa, 2011). Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apa pun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan kemungkinan memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna atau tidak menentu, sehingga menghasilkan respons terapeutik yang minimum (Ansel, 1989). Loratadin merupakan obat antihistamin generasi 2 yang termasuk dalam kelompok Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas 2 yang memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitas tinggi sehingga perlu dilakukan perbaikan kelarutan untuk meningkatkan kelarutannya (Sri, 2014). Untuk meningkatkan kelarutan suatu obat yang sukar larut dalam air, dikembangkan kompleks inklusi padat yang akan lebih cepat larut dari pada obat itu sendiri sehingga dapat memperbaiki kecepatan disolusi, absorpsi, ketersediaan hayati, dan stabilitas kimia obat. Pada kompleks inklusi, molekul obat sebagai molekul guest terperangkap dalam rongga siklodektrin yang bersifat hidrofilik sehingga mudah larut dalam media air (Syofyan, dkk 2013). Penelitian kompleks inklusi yang dilakukan oleh Sri (2014) telah melaporkan bahwa pembentukan kompleks inklusi loratadin dengan -siklodestrin menggunakan metode kneading dan koevaporasi dengan perbandingan berat 2:1 dapat meningkatkan kelarutan loratadin. Oleh karenanya, perlu dilakukan pengembangan sediaan produk untuk mengetahui profil disolusi loratadin kompleks inklusi dalam bentuk sediaan tablet FDT. Rute pemberian obat secara oral memiliki penerimaan yang luas hingga 50 60% dari total sediaan. Bentuk sediaan padat lebih disukai karena kemudahan dalam pemakaian, ketepatan dosis, menghindarkan rasa sakit saat pemakaian, dan yang paling penting adalah kepatuhan pasien. Bentuk sediaan padat yang paling terkenal adalah tablet dan kapsul. Saat ini terdapat bentuk penghantaran baru sediaan oral yaitu Fast Disintegrating Tablets (FDT) yang juga dikenal dengan sebutan Orally Disintegrating Tablets (ODT), mouth dissolving tablets, dan orodispersible. FDT didesain untuk dapat hancur dengan cepat tanpa dikunyah dan tanpa memerlukan air minum serta memiliki rasa yang enak di mulut. British Pharmacopoeia (2008) mempersyaratkan waktu hancur FDT adalah 3 menit atau kurang. Bahan aktif yang sesuai untuk sediaan FDT antara lain adalah yang bahan aktif dengan dosis dibawah 50 mg. Golongan obat yang sesuai untuk sediaan FDT adalah obat-obat penyakit kardiovaskuler, analgesik, antialergi, dan obat untuk disfungsi ereksi (Mikhania, 2014). Pada penelitian ini, dikembangkan sediaan dari hasil komplek inklusi loratadin--siklodestrin menggunakan metode kneading dengan perbandingan berat 2:1. Sediaan yang akan dikembangkan yaitu tablet Fast 46

47 Disintegrating Tablets (FDT), dimana suatu tablet FDT didesain untuk dapat hancur dengan cepat, maka dilakukan evaluasi tablet untuk mengetahui formula yang memenuhi syarat tablet FDT. 2. METODE PENELITIAN Pembuatan Kompleks Inklusi Pembuatan kompleks inklusi loratadin menggunakan metode kneading timbang siklodektrin sebanyak 15 gram lalu ditambahkan etanol 96% dan dilakukan pengadukan dalam mortir hingga didapatkan konsistensi slurry (pasta). Kemudian secara perlahan ditambahkan loratadin sebanyak 5 gram. Campuran kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven dengan suhu 30 o C sampai terbentuk kompleks kering. Kompleks inklusi dipulverisasi dan dilewatkan melalui ayakan mesh 80. Formulasi Tablet Dibuat 3 bentuk formula tablet menggunakan zat aktif loratadin dengan -siklodektrin hasil kompleks inklusi dengan komposisi eksipient yang sama tetapi hanya berbeda konsentrasi penghancur dan Pengisinya. Kemudian akan dibandingkan dengan tablet yang ada dipasaran. Tabel 1. Formulasi Sedian Tablet FDT Komposisi F1 F2 F3 Loratadin kompleks inklusi 10mg 10mg 10mg Partek M 200 q.s q.s q.s Avicel PH 102 q.s q.s q.s PVP K-30 3% 3% 3% Ac-Di-Sol 1,5% 2% 2,5% Natrium sakarin 5mg 5mg 5mg Magnesium stearat 0,5% 0,5% 0,5% Talk 1% 1% 1% Total (mg) Pembuatan Tablet kempa langsung Pembuatan FDT loratadin dimulai dengan penimbangan seluruh bahan-bahan komponen tablet (loratadin, Manitol, Avicel PH-102, PVP K-30, Ac-Di-Sol, natrium sakarin, talk, magnesium stearat). Untuk pembuatan dengan metode cetak langsung, semua bahan (loratadin, Manitol, Avicel PH-102, PVP K-30, Ac-Di-Sol, natrium sakarin) diayak menggunakan ayakan ukuran mesh 16 kemudian dicampur menggunakan turbula mixer selama 10 menit. Talk dan magnesium stearat yang telah diayak menggunakan ayakan ukuran mesh 40 ditambahkan ke dalam campuran. Setelah itu baru dicampur selama 5 menit menggunakan turbula mixer. Massa cetak yang diperoleh setelah pencampuran diperiksa laju alir dan kompresibilitasnya, kemudian dikempa membentuk tablet dengan kekerasan dan bobot yang diinginkan. 3. HASIL PENELITIAN Evaluasi Massa Tablet Tabel 2. Hasil Evaluasi Massa tablet FDT Formula Laju alir Sudut istirahat Indeks kompresibilitas (%) tablet FDT (gram/detik) ( o ) F ,61 20 F2 8,33 26,56 20 F3 8,7 27,55 17,85 Ket: mengandung Ac-Di-Sol F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (2,5%) Massa tablet dievaluasi dengan mengukur laju alir, sudut istirahat dan indeks kompresibilitas. Evaluasi tersebut berfungsi untuk mengetahui kemampuan mengalir massa tablet sehingga akan mempengaruhi tablet saat dicetak dan bobot tablet yang dihasilkan. Laju alir pada formula 1 memenuhi syarat laju alir bahwa laju alir yang baik itu 100 gram dalam 10 detik. Formula 2 dan 3 kurang baik hal ini disebabkan pencampuran yang kurang merata dan distribusi ukuran partikel tidak merata. Selain laju alir, sifat alir juga ditentukan oleh sudut istirahat (Lachman, dkk, 1990) semakin kecil sudut istirahat yang terbentuk maka semakin baik sudut istirahatnya. Sudut istirahat yang dihasilkan dari ketiga formula masuk dalam kategori sangat mudah mengalir (25 o -30 o ). Sifat alir yang baik akan membuat pengisian die terpenuhi secara merata sehingga keseragaman bobot tablet tidak menyimpang (Lachman, Lieberman dan Kanig, 1994). 47

48 Indeks kompresibilitas dari ketiga formula yaitu sebesar 17,85-20%, hasil tersebut menunjukan bahwa indeks kompresibilitas formula tersebut memenuhi syarat, yaitu kompresibilitas 16-20% masuk dalam kategori cukup baik. Hal ini menunjukan massa tablet memiliki sifat untuk membentuk massa tablet yang stabil dan kompak bila diberi tekanan (Prabowo, 2011). Evaluasi Tablet FDT Evaluasi penampilan fisik tablet FDT dengan mengamati bentuk, warna, bau, rasa dan kesukaan pada tablet. Tablet yang diperoleh dari ketiga formula berbentuk bulat, warna putih, tidak berbau, dan berasa manis. Formula 1 Formula 2 Formula 3 Gambar 1. Tablet FDT Tabel 2. Hasil Dan Evaluasi Keseragaman Ukuran Tablet FDT Formula Diameter Tebal d/t (cm) (cm) F1 0,720,006 0,440,002 1,6230,017 F2 0,710,002 0,420,002 1,6540,009 F3 0,710,002 0,460,004 1,5510,010 Ket: mengandung Ac-Di-Sol F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (2,5%) n=3. Tabel 2 menunjukan hasil evaluasi keseragaman ukuran tablet. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut diperoleh keseragaman tablet yang memenuhi syarat, yaitu diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1 1/3 tebal tablet. Keseragaman ukuran yang memenuhi syarat di pengaruhi oleh sifat alir serbuk dan homogenitas campuran. Sifat alir yang akan membuat pengisian die terpenuhi secara merata sehingga keseragaman bobot tablet tidak menyimpang (Lachman, Lieberman dan Kanig, 1986). Tabel 3. Hasil Evaluasi Keseragaman Bobot Tablet FDT Formula Bobot Penyimpangan (%) (mg) 1 210,04,677 1,6181, ,35,146 1,1841, ,03,145 1,0840,888 Ket: mengandung Ac-Di-Sol F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (2,5%) n=3. Tabel 3 memperlihatkan hasil evaluasi keseragaman bobot. Berdasarkan hasil yang diperoleh tablet FDT tidak lebih dari 2 tablet yang menyimpang lebih besar 7,5% dan tidak satu pun yang menyimpang lebih besar dari 15%, sehingga dapat dinyatakan bahwa ketiga formula memenuhi persyaratan keseragaman bobot Farmakope Indonesia edisi III. Tabel 4. Hasil Evaluasi Kekerasan dan Kerapuhan Formula Kekerasan Friabilitas (Kp) (%) 1 3,290,359 0, ,450,452 0,50 3 3,570,506 0,45 Ket: mengandung Ac-Di-Sol F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (2,5%) n=3. Parameter lain yang penting dalam FDT adalah kekerasan dan kerapuhan. Kebanyakan FDT dibuat tidak terlalu keras karena tablet yang terlalu keras akan mempersulit penetrasi air. Oleh karena itu diperlukan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengisi sekaligus pengikat yang tidak menghalangi penetrasi air. Filler binder merupakan bahan pengisi tablet yang dapat berperan sebagai bahan pengikat. Salah satu filler binder yang 48

49 digunakan untuk pembuatan FDT adalah Avicel PH 102 (Mohanchandran dkk., 2010). Kekuatan tablet ditentukan dengan cara mengukur kekerasan dan kerapuhan tablet. Kekerasan berguna sebagai metode pengontrol fisik selama proses pembuatan (Lachman, Lieberman dan Kanig, 1986). Kekerasan tablet FDT cukup rendah agar tablet dapat segera hancur di rongga mulut. Kekerasan tablet FDT yang baik adalah yang berada pada rentang 3-5 kg/cm 2 (Panigrahi dan Behera, 2010). Selanjutnya dilakukan uji friabilitas atau kerapuhan tablet, uji ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan tablet dalam guncangan yang terjadi selama proses pembuatan, pengemasan dan pendistribusian. Syarat keregasan tablet konvensional adalah kurang dari 1% (Lachman, Lieberman dan Kanig, 1986). Dari hasil yang diperoleh kerapuhan tablet FDT dari ketiga formula tersebut memenuhi syarat kerapuhan tablet. Hasil uji dapat dilihat pada tabel 4 dimana friabilitas yang diperoleh ketiga formula secara berturut-turut yaitu 0,371; 0,50; dan 0,45%. Tabel 5. Uji Waktu Hancur dan Penetapan Kadar Formula Waktu hancur Kadar Tablet (s) (%) FDT F1 40,332,516 70,190,325 F2 37,001,732 60,800,315 F3 23,6662,081 93,410,320 Ket: mengandung Ac-Di-Sol F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (2,5%) n=3. Selain parameter kekerasan dan kerapuhan, waktu hancur merupakan parameter paling penting pada tablet FDT. Menurut British Pharamcopoeia edisi 5 (2008) menyebutkan bahwa waktu hancur sediaan FDT adalah 3 menit atau kurang. Hasil uji waktu hancur ditunjukan pada tablet 5 semua formula telah dinyatakan memenuhi syarat karena waktu hancur tablet kurang dari 3 menit. Terlihat bahwa formula 3 merupakan waktu hancur paling cepat dibandingkan formula 2 dan 3. Hal ini disebabkan formula 3 mengandung % Ac-Di-Sol paling tinggi yaitu 2,5%. Ac-Di-Sol ini berfungsi sebagai superdisintegran dimana Ac-Di-Sol mempunyai mekanisme ganda yaitu penyerapan air (water wicking) dan pembengkakan secara cepat (rapid swelling) yang akan menyebabkan tablet hancur secara cepat (Mohanchandran dkk., 2010). Dari uji penetapan kadar tablet FDT hasil kompleks yang dilakukan pada 10 tablet secara acak sebagai perwakilan dari semua tablet hasil uji penetapan kadar dapat dilihat pada Tabel 4.5 bahwa F1 mengandung zat aktif sekitar 70,19% F2 hanya 60,80% dan F3 yang paling banyak mengandung zat aktif yaitu 93,41%. Tabel 6. Hasil Disolusi % Terdisolusi tablet FDT Waktu (menit) F1 F2 F ,5 55,114,3 66,04,2 48,013,5 5 82,18,4 69,86,0 80,221,5 7,5 88,50,8 66,86,3 79,916, ,07,4 65,16,5 92,68, ,57,6 64,96,7 94,610, ,18,2 65,96,4 98,09, ,87,7 67,85,9 101,712, ,014,1 69,64,6 100,02,8 Ket: mengandung Ac-Di-Sol F1 (1,5%), F2 (2%) dan F3 (2,5%) n=3. Gambar 2 Grafik Profil Disolusi Tablet FDT Uji disolusi dilakukan pada ketiga formula. Ketiga formula mengandung Ac-Di-Sol dengan konsentrasi 1,5%; 2%; dan 2,5%. Hasil uji disolusi formula 1, 2 dan 3 pada menit ke 2,5 berturut-turut adalah 55,1%; 66,0%; dan 48,0%. Hasil ini menunjukan bahwa pelepasan loratadin pada formula 2 lebih cepat dibandingkan formula 1 dan 3, sehingga jumlah loratadin yang terlarut lebih meningkat Formula 1, 2 dan 3 pada menit ke 5 secara berturut-turut 82,1%; 69,8%; dan 80,2%. Hal ini dikarenakan adanya pembentukan kompleks inklusi antara loratadin dengan β-siklodekstrin yang bersifat lebih hidrofilik dari pada obat itu sendiri sehingga loratadin menjadi lebih mudah larut. Selain pembentukan kompleks inklusi, pemilihan eksipien pada tablet FDT dengan adanya Ac-Di-Sol sebagai superdisintegrant memberikan sifat penghancuran tablet yang cepat ketika bersentuhan dengan media cair sehingga disolusinya pun cepat (Pamudji, 2011). Dilihat dari gambar 2 profil disolusi menunjukan bahwa 49

50 formula 3 lebih tinggi di bandingkan formula 1 dan 2. Pada formula 1, 2 dan 3 selama 60 menit secara berturutturut loratadin terdisolusi sebanyak 78,0%; 69,6%; dan 100,0%. Tablet FDT selain memiliki kelebihan hancur dengan cepat sehingga obat dapat diabsorpsi dengan cepat namun memiliki kekurangan yaitu dari segi rasa. Tablet FDT akan meninggalkan rasa tidak enak jika tidak diformulasikan dengan baik, maka untuk itu dilakukan uji kesukaan rasa pada tablet FDT yang dibuat. Uji kesukaan dilakukan kepada 44 orang panelis secara acak untuk menilai rasa dari tablet FDT yang dibuat. Uji ini menggunakan 44 orang panelis dengan tujuan untuk mewakili sampel dan mengurangi variablevariabel yang mungkin akan mengganggu hasil dari uji ini (Kurnianto, 2013). Pada uji kesukaan ini dipilih semua formula. Hasil dari olah data statistik menggunakan uji Friedman diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada ketiga formula yang diujikan. Ini berarti tidak terdapat perbedaan bermakna penilaian rasa pada ketiga formula tersebut. Gambar 3. Grafik Uji Kesukaan Rasa Tablet FDT Dari hasil ranking diketahui bahwa formula 3 mendapat respon paling tinggi, disusul oleh formula 2, dan terakhir formula 1. Rasa manis yang terdapat pada sediaan F3 lebih disukai disebabkan karena adanya kandungan pemanis yaitu manitol yang lebih banyak. Menurut Rowe dkk. (2009) baik natrium sakarin maupun manitol dapat digunakan sebagai pemanis dalam sediaan tablet. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Kompleks inklusi loratadin dan β siklodekstrin dengan metode kneading dengan perbandingan 2:1 dapat meningkatkan laju disolusi dari tablet FDT. Waktu hancur dari ketiga formula memenuhi syarat menurut British Pharamcopoeia edisi 5 (2008) menyebutkan bahwa waktu hancur sediaan FDT adalah 3 menit atau kurang. Hasil uji waktu hancur semua formula telah dinyatakan memenuhi syarat karena waktu hancur tablet kurang dari 3 menit. Persen terdisolusi yang paling banyak yaitu formula 3 selama 60 menit 100,0%, formula 1 sebanyak 78,0%, dan formula 2 sebanyak 69,6%. Hal ini dikarenakan adanya pembentukan kompleks inklusi antara loratadin dengan β-siklodekstrin yang bersifat lebih hidrofilik dari pada obat itu sendiri sehingga loratadin menjadi lebih mudah larut. Formula 3 dikatakan formula yang paling optimal selain dari pembentukan kompleks inklusi juga karena adanya penambahan eksipien pada tablet Fast Disintegrating Tablets (FDT) Ac-Di-Sol ini berfungsi sebagai superdisintegran dimana Ac-Di-Sol mempunyai mekanisme ganda yaitu (water wicking) dan (rapid swelling) yang akan menyebabkan tablet hancur secara cepat. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ini kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini dan khususnya untuk institusi Stikes Bakti Tunas Husada yang telah memfasilitasi sarana dan prasarana dalam menyelesaikannya penelitian ini. 6. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anggraini, Septia. (2010). Optimasi Formula Fast Disintegratin Tablet Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) dengan Bahan Penghancur Sosium Starch Glycolate dan Bahan Pengisi Manitol (Skripsi). Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ansel, H., C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Ansel, H., C. Allen, Jr., Loyd V. Popovich, N., G. (2013). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IX, Jakarta : EGC. Asih, Isna, I. (2011). Pembentukan Kompleks Inklusi Glikazid-Beta Siklodekstrin dan Perbandingan Kecepatan Disolusi Glikazid dari Sediaan Tablet (Skripsi). Depok : Universitas Indonesia. Azhar, R. Yanti, R,I. Zaini, E. (2014). Pembuatan Kompleks Inklusi Meloksikam-B-Siklodektrin dengan Metode Co-Grinding (Skripsi). Padang : Universitas Andalas. Narsa, Angga. (2012). Peningkatan Laju Disolusi Ketokonazol Dengan Teknik Dispersi Padat (Tesis). Bandung : Institut Teknologi Bandung. 50

51 Departemen farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Framana, Adithia. (2013). Optimasi Formula Fast Disintegrating Tablet (Fdt) Natrium Diklofenak Menggunakan Kombinasisuperdisintegrant Ac-Di-Sol Dan Crospovidone (Skripsi). Yogyakarta : UGM. Kurnianto, wahyu. (2012). Formulasi Tablet Cepat Hancur Menggunakan Prageatinisasi Pati Singkong Ftalat sebagai Eksipien (Skripsi). Depok : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Lieberman, H.A., Lachman, L., Kanig J.L. (1989). Teori Dan Praktek Farmasi Industry Edisi Tiga Jilid 1. Jakarta : UI Lieberman, H.A., Lachman, L., Kanig J.L. (1994). Teori Dan Praktek Farmasi Industry Edisi Tiga Jilid 2. Jakarta : UI Manca, M. L., Zaru, M., Ennas, G., Valenti, D., Sinico, C., Loy, G Fadda, A. M. (2005). Diclofenac-βsiklodekstrin Binary System: Physicochemical Characterization and in Vitro Didolution and Diffusion Studies. Article 58, E464. Mikhania. (2014). Formulasi dan Evaluasi Fast Disintegrating Tablet (FDT) Loratadin (Tesis). Bandung : Institut Teknologi Bandung. Mohanchandra, P.S., Sindhumol, P.G., & Kiran, T.S. (2010). Enhancement of Solubility and Dissolution Rate. (International Journal of Comprehensive Pharmacy). Panigrahi, R., dan Behera, S. (2010). A review on Fast Dissolving Tablets, WebmendCentral Quality and Patient Safety. Prabowo, Imam. (2011). Optimasi Kecepatan Disintegrasi Tablet Terdisintegrasi Cepat (Fast Disintegrating Tablet) Domperidon Dengan Superdisintegran Sodium Starch Glycolate (Skripsi). Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia. Revi, Y. Asyarie, S. Noerono, S. (2007). Pengaruh Pembentukan Kompleks Inklusi Ketoprofen Dalam - Siklodektrin Terhadap Laju Disolusi Ketoprofen. Majalah Kedokteran IndonesiaI:57(1):4-9. Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, London, Pharmaceutical Press. Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Owen, S.C. (2006). Handbook of Pharmaceutical Excipients Fith Edition, London, Pharmaceutical Press. Siregar, C. J. P. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta : Kedokteran ECG. Sri Nurhayati. (2013). Pembentukan Kompleks Inklusi Loratadin Dengan -siklodekstrin Menggunakan Metode Kneding dan Koevaporasi (Skripsi). Tasikmalaya : Stikes Bakti Tunas Husada. Sweetman, S.C. (2007). Martindale 35 The Complete Drug Reference. London: The Pharmaceutical Press. Syofyan. Rizka, Y. Erizal. (2013). Studi Preformulasi Peningkatan Sifat Kelarutan Sulfametoksazol Melalui Pembentukan Kompleks Inklusi Dengan -siklodektrin Menggunakan Metode Co-Grinding. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi Dan Klinik III.ISSN: Tjay H. T, K. Rahardja, (2008). Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya, Edisi VI, cetakan pertama, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. United States Pharmacopoeial Convention Inc. United States Pharmacopoeia, 35st ed. Rockville

52 KAJIAN PEMBENTUKAN PIGMEN PADA MONASCUS - NATA KOMPLEKS DENGAN MENGGUNAKAN AMPAS TAPIOKA SEBAGAI MEDIA Anna Yuliana 1*, Marlia Singgih 2, Nurul Kamilah 1 1 Prodi Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada, Tasikmalaya 2 Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung * Abstrak. Telah dilakukan penelitian pembentukan pigmen pada Monascus Nata kompleks dengan menggunakan ampas tapioka sebagai media. Kapang uji yang digunakan untuk pembentukan pigmen yaitu Monascuspurpureus. Isolasi pigmen dilakukan dengan cara ekstraksi pigmen sampel pada hari ke-14, 15 dan hari ke-16 yang selanjutnya dilakukan pengujian Kromatografi Lapis Tipis dengan pengembang etanol-etilasetat (7:3) menggunakan pembanding produk beras angkak dengan nilai Rf 0,83. Penyerapan panjang gelombang diukur dengan Spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang nm. Pigmen yang terbentuk pada hari ke-14, 15 dan 16 berturut turut adalah pigmen kuning, merah dan jingga dengan panjang gelombang 447 nm, 500 nm dan 494 nm. Kata Kunci : Monascus purpureus, Ampas Tapioka, Monascus Nata kompleks, Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Spektrofotometer UV Vis. 1. LATAR BELAKANG Penampilan makanan, termasuk pigmennya, sangat berpengaruh untuk menggugah selera. Penambahan zat pigmen pada produk makanan bertujuan agar makanan lebih menarik. Zat pigmen yang dipergunakan untuk produk bahan tambahan makanan berasal dari mikroorganisme yang penggunaanya saat ini semakin meningkat. Salah satu mikroorganisme yang dapat menghasilkan pepigmen alami adalah Monascus purpureus. Monascus. purpureus banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan pigmen melalui proses fermentasi baik pada substrat padat maupun substrat cair (Kusumawati, dkk., 2005). Nata adalah suatu produk olahan makanan yang berupa padatan yang kenyal (jelly) yang berasal dari endapan yang disaringkan. Bahan baku yang sering digunakan dalam pembuatan nata adalah air kelapa yang hasilnya menjadi Nata de Coco (Marisda, 2005). Nata de cassava adalah nata yang dihasilkan dari air hasil samping produksi tapioka yang difermentasi oleh Acetobacter xylinum yang kemudian diinkubasi selama delapan hari pada suhu ruang 28 O C-35 O C setelah delapan hari proses inkubasi terbentuk lapisan nata de cassava (Misgiyarta, 2005). Pepigmenan nata dapat memperbaiki penampilannya sebagai bahan makanan. Dimana untuk memberikan pigmen pada nata dapat digunakan Monascus purpureus sebagai pepigmen alami. Nata yang dipigmeni dengan cara melakukan fermentasi pada media cair dengan menggunakan Monascus purpureus disebut Monascus Nata kompleks. Pigmen yang terlihat pada nata disebabkan oleh pigmen yang berada di dalam miselium Monascus purpureus tersebut dapat tumbuh di dalam suatu jaringan selulosa nata (Kusumawati, dkk., 2005). Berdasarkan uraian diatas, maka pemanfaatan ampas tapioka sebagai media atau substrat yang dilakukan dengan cara fermentasi cair dengan menggunakan Monascus purpureus sebagai pembentukan pigmen pada nata dapat diteliti. 2. METODE PENELITIAN Alat Alat yang digunakan dalam penelitian adalah spektrofotometer UV-Vis (SHIMADZU UV 1240), autoklaf, ose bulat, pinset, plat KLT silika gel G, klinipet, botol, mortar dan stamper, alat penghancur miselium, pemanas api, kertas saring, nampan plastik, dan alat-alat gelas laboratorium yang umum digunakan. Bahan Bahan - bahan yang diperlukan dalam penelitian diantaranya : Sabouraud Dextrose Agar (SDA), air suling, etanol, etil asetat, asam asetat, sukrosa, urea. Sampel Penelitian Sampel penelitian yang digunakan adalah ampas tapioka yang diperoleh dari daerah Cineam, Kabupaten Tasikmalaya.Mikroorganisme yang digunakan adalah kapang Monascus purpureus dan Acetobacter xylinum. 52

53 Metode Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan bahan, preparasi sampel, sterilisasi alat dan bahan, pembuatan media Sabouraud Dextrose Agar (SDA), pembiakan Monascus purpureus pada agar miring, pembuatan suspensi Monascus purpureus, pembuatan inokulun Monascus purpureus pada fermentasi cair, pembuatan Nata de Cassava, fermentasi cair Monascus Nata kompleks dengan menggunakan ampas tapioka, ekstraksi pigmen, pengujian Kromatrografi Lapis Tipis (KLT), pengukuran pembentukan pigmenmonascus purpureus pada Monascus Nata kompleks. Pembuatan Nata de cassava Air hasil samping produksi tapioka umur satu hari hingga duahari sebanyak 1L, masukkan kedalam panci, kemudian rebus, tambahkan asam asetat sebanyak 10 ml, sukrosa sebanyak 25 g dan urea sebanyak 2 g kemudian diaduk hingga merata agar terlarut sempurna, didihkan selama 15 menit. Setelah itu biarkan media yang telah steril tersebut menjadi dingin kemudian masukkan kedalam nampan plastik dan langsung ditutup dengan kertas koran bersih atau steril, setelah itu diinkubasi pada suhu ruang. Hari kedua setelah proses inkubasi tersebut kemudian tambahkan Acetobacter xylinum sebanyak 100 ml tiap satu nampan plastik kemudian tutup lagi setelah itu diinkubasi pada suhu ruang, selama delapan hari. Pada saat panen tebal Nata de cassava kira kira mencapai 1,25 1,5 cm (Misgiyarta, 2005). Fermentasi Monascus Nata Kompleks Media fermentasi Monascus Nata kompleksyang digunakan adalah ampas tapioka. Media fermentasi kemudian dididihkan pada suhu 100 C selama 30 menit dan disaring. Ampas tapioka yang telah disaring kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 C selama 2 hari, kemudian dihaluskan menggunakan blender. Media yang telah berbentuk serbuk kemudian dilarutkan dengan menggunakan air dan dinetralkan dengan menambahkan NaOH 1M sebanyak kurang lebih 25 ml tiap 1 L. Dari pembuatan Nata de cassava diambil sebanyak sepuluh potongan nata tersebut kemudian dimasukkan ke dalam media fermentasi (100 ml) dalam botol. Setelah disterilisasi dengan menggunakan autoklafpada suhu 121 C selama 20 menit, kemudian didinginkan. Setiap botol diinokulasi dengan starter sebanyak 10% (v/v). Fermentasi berlangsung selama 16 pada suhu kamar (Kusumawati, dkk., 2005). Ekstraksi Pigmen Monascus-nata kompleks dari hasil proses fermentasi cair pada hari ke-14, 15 dan 16, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 70 C selama 24 jam. Kompleks yang sudah kering didapat sebanyak 0,36 g kemudian ditumbuk dengan menggunakan mortar dan stamper setelah itu ditambah 10 ml etanol sambil diaduk dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian didiamkan selama 24 jam. Campuran kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit (Kusumawati, dkk., 2005). Pengujian KLT Plat KLT yang dipergunakan adalah silika gel GF254 (fasa diam), dan pengembangan yang dipergunakan adalah etanol dan etil asetat (7:3). Larutan sampel dan pembanding dari beras angkak yang ditotolkan pada fase diam (silika gel). Kemudian dielusi dan bercak yang terjadi diamati dibawah sinar tampak pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm (Yulia, 2009). Pengukuran Pembentukan PigmenMonascus purpureus pada Monascus Nata Kompleks Hasil dari ekstraksi pigmenmonascus Nata Kompleks pada hari ke-14, 15 dan 16 yang berpigmen tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang nm (Yulia, 2009). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentasi Monascus Nata Kompleks Dilakukan fermentasi Monascus Nata Kompleks dengan menggunakan ampas tapioka sebagai media. Pertumbuhan kapang Monascus purpureus dimulai pada hari ketiga dengan adanya pembentukan pigmen titiktitik putih, kuning kemudiaan selanjutnya menjadi merah seiring dengan lamanya waktu fermentasi Monascus Nata Kompleks yang berlangsung selama 16 hari. Jenis karbohidrat di dalam media yang digunakan sangat mempengaruhi proses pembentukan pigmen. Pada penelitian yang dilakukan menggunakan sukrosa sehingga Monascus Nata Kompleks yang didapatkan berpigmen merah atau jingga. Perbedaan jenis karbohidrat yang terdapat di dalam media fermentasi menyebabkan intensitas pigmen berbeda (Sheu et al, 2000). 53

54 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis Pengujian dengan menggunakan Kromatrografi Lapis Tipis (KLT) Monascus Nata Kompleks dengan pembanding produk beras angkak dapat dilihat hasilnya bahwa sampel yang digunakan memiliki cirri yang identik dengan pembanding yang dipergunakan. Hasil pengamatan pada lampu UV 254 dan 366 terlihat adanya pusat bercak dengan nilai Rf 0,83. Pengukuran Pembentukan PigmenMonascus purpureus pada Monascus Nata Kompleks Penyerapan pigmenpigmen yang dihasilkan dari M. Purpureus pada Monascus nata kompleks diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang nm. Pembentukan pigmen dimulai sesudah pertumbuhan terjadi. Nutrisi yang terkandung pada media digunakan untuk memenuhi pertumbuhan terlebih dahulu. Apabila pertumbuhan maksimum tercapai, nutrisi yang tersisa digunakan untuk pembentukan pigmen. Pembentukan pigmenpigmen mulai tebentuk pada hari ke-14, sehingga pengukuran dilakukan mulai hari ke-14. Pembentukan pigmen dipengaruhi oleh adanya kandungan karbohidrat, pati sebagai sumber karbon (C). Dari hasil pengamatan, pembentukan pigmenpigmen pada hari ke-14 dari sampel adalah pigmen kuning dengan panjang gelombang 447 nm. Sedangkan pada hari ke-15 panjang gelombangnya mengalami pergeseran batokromik yang ditunjukan dengan pigmen merah tua dengan panjang gelombang 500 nm. Dan pada hari ke-16 panjang gelombang sampel mengalami pergeseran hipsokromik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan pigmen sampel dari merah tua menjadi jingga dengan panjang gelombang 494 nm dapat dilihat pada Tabel 1. Penurunan panjang gelombang pada hari ke-16 dimungkinkan karena sumber nutrisi untuk pembentukan pigmen semakin berkurang akibat adanya penumpukan jumlah sel yang menyebabkan kekurangan oksigen sehingga pertumbuhan berjalan lambat atau mati. Tabel Pengukuran pembentukan pigmenmonascus purpureus ekstrak Monascus-nata kompleks melalui fermentasi media cair pada hari ke 14, 15 dan 16. Hari Hari ke-14 Hari ke-15 Hari ke-16 Ekstrak Monascus - Nata Max Kompleks hasil fermentasi cair Absorban 0,576 0,614 0, KESIMPULAN Media ampas tapioka pada fermentasi cair dapat digunakan sebagai media untuk pembentukan pigmenpigmen pada Monascus Nata Kompleks sebagai sumber karbon.pengujian dengan menggunakan Kromatrografi Lapis Tipis (KLT) dengan pembanding produk beras angkak dilihat pada lampu UV 254 nm dan 366 nm memiliki ciri yang identik dengan nilai Rf 0,83. Intensitas pigmen yang terbentuk pada hari ke-14, 15 dan 16 dengan spektrofotometer diukur pada panjang gelombang nm. Pada hari ke-14 pigmen yang dihasilkan berpigmen kuning dengan panjang gelombang 447 nm. Sedangkan pada hari ke-15 panjang gelombangnya mengalami peningkatan dengan panjang gelombang 500 nm dan pada hari ke-16 panjang gelombang sampel mengalami penurunan dengan panjang gelombang 494 nm. Sehingga pengukuran pembentukan pigmenmonascus purpureus pada Monascus Nata Kompleks dapat tumbuh pada rentang panjang gelombang nm. 5. DAFTAR PUSTAKA Broder, C.U., and P.E. Koehler, Produced by Monascus purpureus with regad to quality and quantity. Journal of Food Science 45 : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Bakteriologi Umum. Jakarta : Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. Dwijosoeputro, D Dasar dasar mikrobiologi. Jakarta : Djambatan : hal Hermawati, A Produksi pigmen angkak Monascus purpureus pada fermentasi padat dengan substrat limbah tahu. [Skripsi]. Tasikmalaya : Sekolah Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada. Jenie, B.S.L., Helianti, dan S. Fardiaz, Pemanfaatan ampas tahu, onggok dan dedak untuk produksi pigmen merah oleh Monascus purpureus. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 5 (2): Kasim. E., S. Astuti, dan N. Nurhidayat, Karakteristik pigmen dan kadar lovastin beberapa isolat Monascus purpureus. Biodiversitas (6)3 : Kasim. E., N. Suharna, dan N. Nurhidayat, Pemanfaatan isolat lokal Monascus purpureus untuk menurunkan kolesterol darah pada tikus putih galur spraque dawley. Biodiversitas (7)2 :

55 Kusumawati, H.T., Suranto, dan S. Ratna, Kajian pembentukan pigmen pada Monascus nata kompleks dengan menggunakan ampas tapioka sebagai media. Biodiversitas (6)3 : Lin, C.F Isolation and Cultural Condations of Monascus sp for the Production of Pigment in a Submerged Culture. Journal of Fermentation Technology 51 : Lin, Y.L., Wang, T.H., Lee, M.H., and Su, N. W Biologically Active Components And Nutraceuticals In The Monascus Fermented rice : A Review, Appl Microbiol Biotechnol, 77(22), Poedjiadi, A Dasar Dasar Biokimia. Jakarta : Penerbit universitas Indonesia (UI-Press): Hal Pudjiatmoko Limbah Cair Pati Cassava Sebagai Substrat Nata de Cassava. [diakses tanggal 12 mei 2012]. Marisda, Rhizky Eva Peluang bisnis melalui Nata de Cassava. Yogyakarta. Marwada, C., P Spektrofotometer. [diakses 6 februari 2012]. Misgiyarta Produksi Nata de cassava dengan substra limbah cair tapioca. [diakses tanggal 6 Februari 2012]. Riadi, L Teknologi Fermentasi. Yogyakarta : Graha Ilmu ; hal 1-3, 13 Rahma, Irma Rahmawati Pemanfaatan limbah nanas sebagai bahan baku pembuatan cuka [Skripsi]. Tasikmalaya : Sekolah Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada. Salim, E Mengolah singkong menjadi tepung mocaf bisnis produk alternative pengganti terigu. Yogyakarta. hal Sheu. E., C.L. Wang, and Y.T. Shyu, Fermentation of Monascus purpureus on bacterial cellulosa nata and the color stability of Monascus Nata complex. Journal of Food Science 65(2) : Sudjadi Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sumanti, D Teknologi Fermentasi dalam Pelatihan Teknologi pengolahan hasil pertanian. yang mempengarui Fermentasi.html [diakses tanggal 6 februari 2012]. Underwood, A.L. dan Day. R.A. 2002, Analisis Kimia Kuantitatif Edisi keenam. Jakarta : Erlangga ; hal 384, 487. Yulia, N Pembentukan pigmen Monascus purpureus pada fermentasi padat dengan limbah tapioka sebagai substrat. [Skripsi]. Tasikmalaya : Sekolah Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada. 55

56 PENAMBATAN (DOCKING) KOMPONEN SENYAWA YANG TERKANDUNG DALAM UBI UNGU (Ipomea batatas L) SEBAGAI ANTIKANKER Saeful Amin 1*, Adi Nugraha 1, Nur Laili Dwi Hidayati 1 1 Prodi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas HusadaTasikmalaya * saeful_amin@stikes-bth.ac.id, saefulamin@yahoo.com Abstrak. Ubi Ungu (Ipomoea batatas L) merupakan tanaman yang memiliki kandungan antioksidan tinggi yang dapat menangkal radikal bebas dan mampu mencegah terjadinya penyakit kanker. Untuk pencarian senyawa utama dalam tanaman ubi ungu (Ipomoea batatas L) digunakan metode docking PLANTS. Diperoleh 5 senyawa yang memiliki energi lebih rendah dibanding native ligand. Untuk kanker payudara senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -117,450kkal (1RG7), - 106,541kkal (3ERT) dan -116,325kkal (3MJW). 4,5-diCQA dengan energi sebesar -96,280kkal (2W1D). YGM-0a dengan energi sebesar -81,238kkal (2W1D), dan YGM-0d dengan energi sebesar -115,778kkal (3MJW). Pada kanker kulit senyawa 3,4,5-triCQA berpotensi sebagai antikanker dengan energi -77,742kkal (2YE5) dan -99,410kkal (2VC1). Pada kanker usus besar (2CGY) senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -85,359kkal dan YGM-0d dengan energi sebesar -82,768kkal. Senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -102,205kkal dan YGM-0b dengan energi sebesar -110,622kkal berpotensi sebagai antikanker limfoma (4MKC). Senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -102,825kkal dan YGM-0b dengan energi sebesar -103,059kkal berpotensi sebagai antikanker mulut rahim (3LMY). Kata kunci: Docking, PLANTS, Ubi Ungu, Antikanker. 1. LATAR BELAKANG Kanker adalah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multifikasi dan fungsi homeostatis lainnya pada organisme multiseluler (Gunawan et.al, 2007). Perbedaan dasar antar sel kanker dan sel normal adalah sel kanker mengalami proliferasi sel yang tidak terkontrol, diferensiasi sel yang menurun, serta memiliki kemampuan menyerang jaringan disekelilingnya dan membangun pertumbuhan baru di tempat ektopik(block, 2004). Khemoterapi penyakit neoplastik telah menjadi bertambah penting. Saat ini, sebagian besar pasien kanker mendapat beberapa bentuk khemoterapi meskipun dalam beberapa kasus tampaknya hanya bersifat paliantif (sementara) (Block, 2004). Antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya senyawa tersebut mampu menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel normal. Pada umumnya antikanker menekan pertumbuhan atau poliferasi sel dan menimbulkan toksisitas karena menghambat pembelahan sel normal dan proliferasinya cepat. Obat antikanker merupakan obat spesialistik, batas keamanannya begitu sempit sehingga dosis yang diberikan harus tepat dan akurat (Gunawan et.al, 2007). Umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu bahan makanan yang memiliki kandungan senyawa antioksidan yang sangat tinggi, yaitu isoflavonoid. Selain itu, umbi ubi ungu juga mengandung provitamin, polifenolik dan karbohidrat. Umbi ubi jalar ungu telah banyak digunakan untuk komsumsi seharihari. Adanya kenyataan bahwa kanker bisa dicegah dengan antioksidan, maka memberikan kemungkinan penggunaan umbi ubi jalar ungu yang mengandung antioksidan untuk mencegah kanker (Sumardika, 2010). 2. METODE PENELITIAN Alat Peralatan yang digunakan berupa perangkat keras dan lunak. Perangkat tersebut berupa personal komputer dengan spesifikasi Intel(R) Core(TM) i3-4030u 1.90GHz, 2,00 GB (1,88 GB usable) of RAM, grafik Intel HD grapihics 4400, OS Windows 7 Professional Copyright Microsoft Corporation, serta perangkat lunak yang digunakan seperti Pendrivelinux, MarvinSketch versi , YASARA versi , PLANTS1.2, Molecular dan Molegro Molecular Viewer. Bahan Bahan yang digunakan berupa senyawa dari ubi ungu.selain itu bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis jenis reseptor kanker dari beberapa jenis kanker beserta native ligand nya. 56

57 Preparasi Senyawa Umbi Ubi Ungu (Ipomea batatas L) Penggambaran ligand dilakukan dengan cara menggambar ligand pada MarvinSketch, dilakukan protonasi pada ph 7,4.Kemudian lakukan konformasi ligand lalu simpan hasil pencarian konformasi dengan tipe file.mol2(purnomo, 2013). Preparasi Reseptor Protein dari jenis kanker yang akan digunakan dapat diperoleh dari Protein Data Bank (PDB) dan dapat didownload dari situs Protein kembali dipreparasi dengan program YASARA dan Marvinsketch. Dari hasil preparasi diperoleh tiga file yaitu protein, ref_ligand dan ligand pembanding.file hasil preparasi disimpan dengan tipe file.mol2 (Purnomo, 2013). Docking Ligand Pembanding Hasil dari tiga file yang didapatkan dari setiap preparasi protein untuk berbagai jenis kanker kemudian didocking-kan kembali menggunakan program PLANTS. Maka akan didapatkan nilai best score dari ligand pembanding (ligand alami) dan dihitung pula besaran nilai Root Mean Square Distances (RMSD) dari ligand pembanding dengan hasil harus kurang dari 2Å (Purnomo, 2013). Docking Ligand Uji Terhadap Reseptor dan Visualisasi Hasil Docking ligand uji senyawa ubi ungu terhadap protein targetdilakukan dengan menggunakan program PLANTS.Diperoleh nilai best scoreligand uji, nilai inilah yang akan dibandingkan dengan nilai best scoreligand asli dan divisualisasikan dengan menggunakan aplikasi MMV untuk melihat interaksi antara reseptor dengan ligand (Purnomo, 2013). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi Reseptor dan Docking Setelah dipilih beberapa kode reseptor, maka kode-kode tersebut divalidasi dengan cara me-redocking masing-masing native ligand terhadap reseptornya. RMSD (Root Mean Square Deviation) merupakan parameter yang digunakan untuk mengevaluasi kemiripan dua buah struktur. Kemiripan tersebut diukur berdasarkan perbedaan jarak atom sejenis. Jadi native ligand alami dilihat kemiripan konformasi dan ligandnya dari kesamaan atom antara native ligand dan native ligand hasil redocking, nilai RMSD apabila reseptor itu valid adalah 2Å dan apabila nilainya >2Å maka reseptor tersebut tidak dapat digunakan (Purnomo, 2013). Dari reseptor reseptor perwakilan tiap kanker yang reseptornya telah tervalidasi (nilai RMSD <2Å) akan digunakan sebagai niali pembanding pada ligand uji senyawa tanaman ubi ungu (Ipomoea batatas L). Docking Ligand Uji Senyawa pada Tanaman Ubi Ungu (Ipomoea batatas L) terhadap Reseptor Kanker Setelah validasi dan pencarian best score native ligand dari tiap reseptor kanker selanjutnya dilakukan pengujian terhadap ligand senyawa tanaman ubi ungu dengan cara men-docking-kan tiap-tiap ligand satu persatu pada reseptor yang telah dipilih. Berdasarkan Tabel 2. nilai best score pilihan dan analisis ligand yang memiliki energi terendah dibandingkan 11 jenis native ligand reseptor kanker yang sebelumnya dipilih untuk docking, hasilnya berupa ligand tanaman ubi ungu memiliki potensi sebagai antikanker pada 5 jenis reseptor kanker yaitu kanker payudara, kanker kulit, kanker usus besar, kanker limfoma, dan kanker rahim. Interaksi ligand dengan reseptor divisualisasikan dengan program aplikasi YASARA dan MMV. Visualisasi Hasil Docking Tiap ligand uji hasil docking dengan menggunakan sofware PLANTS yang nilai energinya rendah dibandingkan native ligand kemudian divisualisasikan, diperoleh 9 kode PDB yang akan divisualisasikan menggunakan aplikasi MMV diantaranya 1RG7, 3ERT, 3MJW, dan 2W1D (kanker payudara), 2YE5 dan 2VC1 (kanker kulit), 2CGY (kanker usus besar), 4MKC (kanker limfoma), dan 3MLY (kanker rahim). 57

58 Tabel 1. Jenis Kanker, Kode PDB, RMSD, dan Energinya Kode RMSD Energi No Jenis Kanker PDB (Å) (kkal) 1 Kanker Hati 3U6J 1, ,631 1RG7 1, ,485 3ERT 1, ,635 2 Kanker Payudara 3MJW 0, ,315 1TQN 0, ,572 2W1D 0, ,629 2YE5 0, ,785 3 Kanker Kulit 2VCI 1, ,839 4 Kanker Prostat 3L3Z 0, ,858 5 Kanker Darah 3QRK 1, ,966 6 Kanker Tulang 3UGC 0, ,977 7 Kanker Paru-Paru 4XP7 0, ,831 8 Kanker Usus Besar 2CGY 1, ,338 9 Kanker Limfoma 4MKC 0, , Kanker Otak 3L9N 0, , Kanker Rahim 3LMY 1, ,733 Tabel 2. Nilai Best Score Ligand Uji Beserta NilaiEnergi Terendah Kode No. Jenis Kanker Nilai Energi (kkal) PDB 1 Payudara 2 Kulit 1RG7 3ERT 3MJW 2W1D 2YE5 2VC1 3 Usus Besar 2CGY 4 Limfoma 4MKC 5 Rahim 3MLY Keterangan: **Dilanjutkan ke tahap berikutnya Native Ligand -114,485 3,4,5-triCQA -117,450** Native ligand -104,635 3,4,5-triCQA -106,541** Native ligand -102,315 YGM-0d -115,778** 3,4,5-triCQA -116,325** Native ligand -68,629 YGM-0a -81,238** 4,5-diCQA -96,280** Native ligand -59,785 3,4,5-triCQA -77,742** Native ligand -96,839 3,4,5-triCQA -99,410** Native ligand -71,338 YGM-0d -82,768** 3,4,5-triCQA -85,359** Native ligand -101,651 YGM-0b -110,622** 3,4,5-triCQA -102,205** Native ligand -88,733 YGM-0b -103,059** 3,4,5-triCQA -102,825** 58

59 Hasil Visualisasi Kanker Payudara Kode 1RG7 Setelah melewati proses validasi dan pencarian best score reseptor serta proses docking ligand uji, maka dilakukan tahap visualisasi pada ligand yang memiliki nilai best score terkecil dibandingkan nilai best score native ligand. Dari hasil identifikasi diketahui bahwa ligand dari daun ubi ungu yaitu 3,4,5-triCQA memiliki nilai energi yang lebih rendah yaitu sebesar -117,450kkal yang bila dibandingkan dengan nilai energi senyawa methotrexate yang hanya -114,485kkal. 3,4,5-triCQA (caffeoylquinic acid) merupakan golongan poliphenol pada daun dan batang tanaman ubi ungu, senyawa-senyawa golongan poliphenol diperkirakan dapat memberikan efek farmakologis sebagai antikanker dengan mekanisme menghambat pembelahan sel pada siklus mitosis dan poliferasi sel (Islam, 2006). Hasil visualisasi menunjukan interaksi antara ligand dengan asam amino, untuk senyawa native ligand (methotrexate) terdapat 21 residu asam amino diantaranya Ala 6, Asn 34, Gly 95, Gly96, Ile 4, Ile 5, Ile 94, Leu 104, Leu 110, Leu 112, Leu 4, Lys 32, Met 92, Phe 125, Phe 31, Thr 35, Thr 46, Trp 30, Tyr 100, Val 40, dan Val 93. Dari 20 asam amino yang berinteraksi tersebut terdapat 7 ikatan hidrogen antara native ligand diantarnya Ala 6, Ile 4, Ile 5, Phe 31, Thr 35, Trp 30, dan Tyr 100. visualisasi pada Gambar 1. Gambar 1.Visualisasi Reseptor 1RG7 dengan Native Ligand (Methotrexate) Sedangkan untuk senyawa uji 3,4,5-triCQA terdapat 31 residu asam amino diantaranya Ala 7, Ala 6, Ala 19, Ala 107, Asn 34, Asp 27, Glu 17, Gly 95, Gly 96, Ile 5, Ile 50, Ile 91, Ile 94, Leu 4, Leu 104, Leu 104, Met 20, Met 42, Met 92, Phe 31, Pro 105, Ser 3, Thr 35, Thr 46, Thr 113, Trp 30, Tyr 100, Tyr 111, Val 40, Val 93, dan Val 99. Dari 31 residu tersebut terdapat 10 ikatan hidrogen yaitu pada asam amino Leu 104, Tyr 100, Ile 5, Leu 4, Met 92, Val 93, Ile 94, Gly 95, Gly 96, dan Ala 7, dari jumlah residu dapat diketahui bahwa senyawa uji 3,4,5-triCQA lebih reaktif berinteraksi dengan reseptor dibandingkan senyawa native ligand pada reseptor 1RG7. Untuk visualisasi interaksi hidrogen ligand uji pada Gambar 2. Gambar 2.Visualisasi Reseptor 1RG7 dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) 59

60 Hasil Visualisasi Kanker Payudara Kode 3ERT Untuk reseptor 3ERT senyawa 3,4,5-triCQA pada daun ubi ungu energi yang dihasilkan dari proses docking lebih kecil dibandingkan native ligand 4-Hydroxytamoxifen hanya menghasilkan energi sebesar -104,635kkal sedangkan untuk senyawa 3,4,5-triCQA energinya sebesar -106,541kkal, sehingga ligand uji lebih stabil berikatan dengan reseptor dibandingkan native ligannya tersebut. Selain dilihat dari nilai best score dari proses docking, dilihat pula interaksinya antara asam amino pada reseptor. Untuk senyawa 4-Hydroxy-tamoxifen terdapat 22 residu asam amino diantaranya Ala 361, Ala 382, Glu 385, Gly 390, Ile 386, Ile 389, Ile 452, Ile 514, Leu 379, Leu 384, Leu 387, Leu 448, Leu 453, Lys 449, Met 357, Met 388, Phe 435, Phe 445, Ser 518, Trp 360, Trp 383, dan Val 446. Dari 22 residu tersebut terdapat 2 ikatan hidrogen dengan reseptor yaitu Lys 449 dan Ile 386 dan visualisasinya pada Gambar 3. Gambar 3. Visualisasi Reseptor 3ERT dengan Native Ligand (4-Hydroxytamoxifen) Untuk interaksi senyawa 3,4,5-triCQA dengan reseptor terdapat 29 residu asam amino yaitu Ala 382, Asn 455, Cys 381, Glu 323, Glu 385, Gly 390, Gly 457, Ile 386, Ile 389, Ile 452, Ile 514, Leu 354, Leu 378, Leu 379, Leu 384, Leu 387, Leu 453, Leu 454, Lys 449, Met 357, Met 388, Phe 435, Phe 445, Ser 456, Trp 360, Trp 383, Trp 393, Val 392, dan Val 446. Dari 29 residu tersebut terdapat 17 ikatan hidrogen dengan ligand yaitu Gly 457, Asn 455, Ser 456, Leu 453, Ile 452, Ser 456, Gly 390, Leu 387, Met 388, Ile 386, Leu 387, Ile 389, Trp 393, Trp 383, Leu 384, Val 448, dan Phe 443, dan divisualkan pada Gambar 4. Gambar 4. Visualisasi Reseptor 3ERT dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) 60

61 Hasil Visualisasi Kanker Payudara Kode 3MJW Untuk visualisasi native ligand kanker payudara dengan kode 3MJW tertera padagambar 5. Gambar 5. Visualisasi Reseeptor 3MJW dengan Native Ligand (Benzofuranone) Native ligand pada reseptor kanker payudara dengan kode 3MJW adalah benzofuranone yang memiliki energi best score docking sebesar -102,315kkal yang merupakan nilai pembading untuk nilai best score docking ligand uji. Berdasarkan Gambar 16. diketahui bahwa ada 16 residu asam amino yang terpengaruhi oleh native ligand yaitu Ala 666, Asp 841, Gln 662, Gln 665, Gln 846, His 658, Leu 660, Leu 661, Leu 663, Leu 843, Leu 845, Met 842, Phe 698, Thr 1037, Tyr 659, dan Val 664. Selain itu terjadi 10 interaksi ikatan hidrogen antara native ligand dengan residu tersebut, diantaranya residu asam amino yang berikatan dengan native ligand adalah Ala 666, Leu 663, Gln 662, Thr 1037, Gln 665, Met 842, Leu 660, Gln 846, Tyr 659 dan Leu 661. Setelah dilakukan docking terhadap ligand senyawa ubi ungu diperoleh 2 ligand yang memiliki nilai best score yang lebih kecil dibandingkan native ligand yaitu senyawa Yamagawamurasaki-0d (YGM-0d) (caffeoylated (cyanidin 3-sopharoside-5glucoside) dengan energi sebesar-115,778kkal dan 3,4,5-triCQA pada daun ubi ungu dengan energi sebesar -116,325kkal. Untuk interaksi pada ligand YGM-0d divisualisasikan pada Gambar 6. Gambar 6. Visualisasi Reseptor 3MJW dengan Ligand Uji (YGM-0d) 61

62 Diketahui 34 residu asam amino yang terpengaruhi oleh ligand YGM-0d yaitu Ala 666, Arg 839, Arg 845, Arg 849, Asp 841, Cys 869, Gln 662, Gln 665, Gln 640, Gln 846, Gln 1038, His 658, Ile 844, Ile 870, Leu 1035, Leu 657, Leu 660, Leu 661, Leu 663, Leu 838, Leu 843, Leu 845, Met 1033, Met 1034, Met 1036, Met 628, Met 842, Phe 698, Ser 871, Thr 1037, Tyr 659, Val 656, Val 664, dan Val 667. Selain itu ligand juga berikatan dengan 24 asam amino Leu 657, Arg 845, Gln 846, Tyr 659, Leu 660, Leu 663, Leu 661, Gln 662, Val 667, Gln 665, Ala 66, Val 664, Thr 1037, Met 1036, Met 1033, Leu 843, Ile 884, Asp 841, Leu 843, Met 842, Cys 869, Ser 871, Ile 870, dan Gln 846. Jumlah residu reseptor yang berinteraksi dengan ligand YGM-0d jauh lebih banyak dibandingkan native ligand yang hanya memiliki 16 residu dan 10 ikatan hidrogen dengan reseptor, semakin banyak interaksi yang terjadi antara ligand dengan reseptor maka potensial efek farmakologisnya kemungkinan lebih baik dan besar dibandingkan native ligand. Sedangkan untuk interaksi ligand dari daun ubi ungu dengan reseptor 3MJW tersaji pada Gambar 7. Gambar 7. Visualisasi Reseptor 3MJW dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) Pada ligand 3,4,5-triCQA terdapat residu asam amino dari reseptor yang berinteraksi dengan ligand tersebut diantaranya Ala 666, Arg 839, Arg 849, Asp 841, Gln 662, Gln 665, Gln 846, Gly 1038, His 658, Leu 657, Leu 660, Leu 661, Leu 663, Leu 677, Leu 843, Leu 845, Met 1033, Met 1034, Met 842, Phe 698, Thr 1037, Tyr 659, Val 664, dan Val 667. Dari residu-residu tersebut terjadi ikatan hidrogen antara ligand dengan asam amino, asam amino yang berikatan adalah Leu 663, Ala 666, Gln 662, Gln 665, Val 667, Met 842, Leu 843, Thr 1037, Arg 849, Gln 846, Leu 661, Leu 660, Tyr 659, Val 656, Leu 661, Leu 657, His 658, dan Met Hasil Visualisasi Kanker Payudara Kode 2W1D Untuk interaksi dan visualisasi reseptor dengan kode 2W1D tersaji pada Gambar 8. seperti yang tertera dalam tabel native ligand (2-(1H-pyrazol-3-yl)-1H-benzimidazole). Gambar 8. Visualisasi Reseptor 2W1D dengan Native Ligand (2-(1H-pyrazol-3-yl)-1Hbenzimidazole) 62

63 Terdapat beberapa residu yang berinteraksi, diantaranya Ala 273, Asn 261, Asp 256, Asp 274, Glu 260, His 254, Ile 257, Ile 272, Leu 262, Lys 258, Phe 275, dan Pro 259. Dari 12 residu terjadi ikatan hidrogen dengan 3 asam amino yaitu Asn 261, Lys 258, dan His 254.Pada ligand uji tanaman ubi ungu, diperoleh 2 ligand yang memiliki energi lebih kecil dibandingkan native ligand yaitu ligand YGM-0a dari bagian umbi tanamana ubi ungu dengan energi sebesar -81,238kkal dan 4,5-diCQA yang berasal dari bagian daun ubi ungu dengan energi sebesar -96,280kkal. Pada Gambar 9. tersaji interaksi antara ligand YGM-0a dengan reseptor. Gamabr 9. Visualisasi Reseptor 2W1D dengan Ligand Uji (YGM-0a) Terdapat residu asam amino yang berinteraksi diantaranya Ala 273, Arg 255, Asn 261, Asp 256, Asp 274, Asp 311, Glu 260, Gly 276, His 254,Ile 193, Ile 253, Ile 257, Ile 272, Leu 240, Leu 262, Leu 263, Leu 270, Leu 318, Lys 256, Lys 258, Lys 271, Phe 275, Phe 322, Pro 259, Ser 278, Thr 217, Trp 277, Tyr 219, Tyr 295, dan Val 218. Dan yang berikatan hidrogen dengan ligand YGM-0a yaitu asam amino His 254, Arg 255, Trp 277, Asp 311, Ala 273, Ile 272, Leu 263, Lys 271, Ile 257, Asp 256, Lys 256, Lys 258, Asn 261, Glu 260, Leu 262, Tyr 219, dan Pro 259. Gambar 10. Visualisasi Reseptor 2W1D dengan Ligand Uji (4,5-diCQA) Untuk interaksi ligand 4,5-diCQA divisualisasikan pada Gambar 10. dimana terdapat residu asam amino yang berinteraksi dengan ligand 4,5-diCQA diantaranya Ala 273, Arg 255, Asn 261, Asp 256, Asp 274, Glu 260, His 254, Ile 193, Ile 257, Ile 272, Leu 262, Leu 318, Lys 258, Lys 271, Phe 275, Pro 259, Thr 217, Trp 277, Tyr 219, dan Val 218. Dari residu tersebut terjadi ikatan hidrogen antara ligand uji dengan residu asam amino, diantaranya asam amino yang berikatan ialah Asp 274, His 254, Ile 272, Glu 260, Lys 258, Asn 261, Leu 262, Val 218, Tyr 219, Leu 257, Arg 255, dan Asp 256. Hasil Visualisasi Kanker Kulit Kode 2YE5 Setelah melewati skrining virtual mulai dari validasi, pencarian best score maka dilakukan visualisasi pada hasil best score yang telah dipilih dari tiap ligand. Untuk reseptor kanker kulit digunakan reseptor dengan kode 2YE5. 5-Methoxy-Benzene-1,3-Diol sebagai native ligand memiliki nilai best score sebesar -59,785kkal, untuk interaksi dengan residu asam amino pada reseptor yaitu Ala 141, Asn 51, Ile 91, Leu 107, Leu 188, Leu 48, Phe 63

64 138, Thr 184, Val 150, dan Val 186. Dari residu-residu yang terpengaruhi ini tidak ada ikatan hidrogen yang terjadi antara native ligand dengan residu asam amino dan hasilnya divisualisasikan pada Gambar 11. Gambar 11. Visualisasi Reseptor 2YE5 dengan Native Ligand (5-Methoxy-Benzene-1,3-Diol) Setelah dilakukan docking pada ligand senyawa ubi ungu diperoleh senyawa 3,4,5-triCQA yang memiliki nilai best score terkecil dari native ligand sebesar -77,742kkal yang artinya ligand uji 3,4,5-triCQA lebih stabil berikatan dengan reseptor seperti yang divisualisasikan pada Gambar 12. Residu asam amino yang terpengaruhi yaitu Ala 141, Asn 51, Asp 93, Glu 47, Gly 137, Ile 187, Ile 91, Leu 107, Leu 188, Leu 45, Leu 48, Leu 89, Lys 185, Met 98, Phe 138, Ser 140, Ser 50, Ser 52, Thr 184, Thr 90, Tyr 139, Tyr 142, Val 136, Val 148, Val 150, Val 186, dan Val 92. Dimana dari residu-residu asam amino tersebut yang berikatan hidrogen dengan ligand uji adalah asam amino Ile 91, Ile 187, Leu 188, Ala 141, Tyr 139, Ser 140, Phe 138, Glu 47, Gly 137, Asn 51, Asp 93, Val 186, Val 92, dan Leu 107. Gambar 12. Visualisasi Reseptor 2YE5 dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) Hasil Visualisasi Kanker Kulit Kode 2VC1 Pada reseptor 2VC1 native ligand ini memiliki nilai best score dari hasil docking dengan menggunakan PLANTS sebesar -96,839kkal. 64

65 Gambar 13. Visualisasi Reseptor 2VC1 dengan Native Ligand (L-Methionine) Dan beberapa residu asam amino dari reseptor ini terpengaruhi oleh native ligand ini diantaranya Ala 55, Asn 51, Asp 102, Asp 54, Asp 93, Gly 108, Gly 135, Gly 97, His 154, Ile 96, Leu 107, Leu 48, Lys 58, Met 98, Phe 138, Ser 52, Thr 184, Thr 109, Val 150 dan Val 186. Dari residu-residu asam amino tersebut ada interaksi ikatan hidrogen antara native ligand dengan residu asam amino reseptor diantaranya asam amino yang berikatan adalah Asn 51, Asp 93, Thr 184, Gly 97, dan Lys 58, interaksi tersebut tersaji pada Gambar 13. Pada hasil docking ligand uji senyawa ubi ungu dipilih senyawa 3,4,5-triCQA dengan nilai docking sebesar -99,410kkal yang jika dibandingkan dengan native ligand lebih kecil. Pada ligand 3,4,5-triCQA terdapat beberapa residu asam amino dari reseptor yang terpengaruhi diantaranya Ala 141, Ala 55, Arg 46, Asn 51, Asp 54, Asp 93, Glu 42, Glu 47, Gly 137, His 189, Ile 187, Ile 43, Ile 49, Leu 107, Leu 188, Leu 45, Leu 48, Leu 56, Lys 147, Lys 185, Met 98, Phe 138, Phe 44, Ser 140, Ser 50, Ser 52, Ser 53, Thr 149, Thr 184, Thr 90, Tyr 139, Val 148, Val 150, dan Val 186. Interaksi ikatan hidrogen yang terjadi pada ligand 3,4,5-triCQA dengan residu asam amino 2VC1 adalah asam amino Glu 42, Asn 51, Ile 49, dan His 189 seperti yang tertera pada Gambar 14. Gambar 14. Visualisasi Reseptor 2VC1 dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) Hasil Visualisasi Kanker Usus Besar Kode 2CGY Pada hasil docking native ligand reseptor dengan kode 2CGY diketahui nilai best score native ligand (Forsmann Antigen) memiliki energi sebesar -71,338kkal sedangkan untuk senyawa uji ubi ungu didapat 2 ligand yang memiliki nilai energi yang rendah dibandingkan native ligand yaitu senyawa ligand YGM-0d (caffeoylated (cyanidin 3-sophoroside-5 glucoside)) dari bagian tanaman umbi dan senyawa 3,4,5-triCQA dari bagian tanaman daun. Kedua ligand tersebut memiliki energi sebesar-82,768kkal untuk senyawa YGM-0d dan - 83,359kkal untuk senyawa 3,4,5-triCQA. Terdapat 23 residu asam amino yang terpengaruhi oleh native ligand pada makromolekul reseptor 2CGY yaitu asam amino Ala 32, Ala 66, Ala 78, Arg 67, Cys 80, Cys 9, Ile 65, Ile 7, Ile 93, Leu 31, Leu 49, Leu 68, Lys 33, Lys 77, Met 91, Phe 76, Ser 50, Ser 79, Ser 92, Ser 94, Trp 15, Tyr 81, dan Val 64. Dari residu asam amino tersebut, native ligan berikatan hidrogen dengan 12 asam amino diantaranya Ala 78, Lys 33, Leu 31, Ser 79, Cys 80, Tyr 81, Leu 68, Arg 67, Ile 65, Ala 66, Ile 93, dan Ser 94 data tertera pada Gambar

66 Gambar 15. Visualisasi Reseptor 2CGY dengan Native Ligand (Forsmann Antigen) Sedangkan untuk ligand YGM-0d terdapat 30 residu asam amino yang terpengaruhi diantarnya Ala 32, Ala 66, Ala 78, Arg 67, Cys 33, Cys 80, Cys 9, Gln 53, Glu 30, Ile 51, Ile 65, Ile 7, Ile 93, Leu 31, Leu 48, Leu 49, Leu 54, Leu 68, Lys 33, Lys 77, Met 91, Phe 76, Ser 79, Ser 90, Ser 92, Trp 15, Trp 95, Tyr 69, Tyr 81, dan Val 47. Dari residu tersebut 18 asam amino dengan ligand YGM-0d berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dan asam amino tersebut diantaranya Ile 96, Ile 48, Arg 67, Ser 79, Glu 30, Ile 65, Ile 31, Lys 77, Ala 78, Cys 33, Cys 9, Ser 92, Ile 7, Ile 93, Met 91, Thr 52, Gln 53, dan Cys 80 yang tertera pada Gambar 16. Gambar 16. Visualisasi Reseptor 2VC1 dengan Ligand Uji (YGM-0b) Kemudian untuk ligand uji 3,4,5-triCQA yang berasal dari bagian tanaman daun ubi ungu terdapat 31 residu asam amino yang terpengaruhi, diantaranya Ala 32, Ala 66, Ala 78, Arg 29, Arg 67, Asp 12, Cys 80, Cys 9, Glu 30, Ile 51, Ile 65, Ile 7, Ile 93, Leu 31, Leu 48, Leu 49, Leu 68, Lys 33, Lys 77, Met 91, Phe 76, Ser 50, Ser 79, Ser 92, Ser 94, Thr 82, Trp 15, Trp 95, Tyr 69, Tyr 81, dan Val 47. Dari residu asam amino tersebut 11 asam amino membentuk ikatan hidrogen dengan ligand 3,4,5-triCQA, asam amino tersebut diantaranya Lys 77, Tyr 69, Cys 80, Val 64, Tyr 81, Arg 67, Ser 92, Ser 50, Ser 79, Ile 48, dan Ile 96 untuk interaksinya tersaji pada Gambar

67 Gambar 17. Visualisasi Reseptor 2CGY dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) Hasil Visualisasi Kanker Limfoma Kode 4MKC Dari hasil docking PLANTS didaptkan nilai best score dari reseptor kanker limfoma dengan kode PDB 4MKC adalah sebesar -101,651kkal dengan native ligand yaitu 5-chloro-N~2~-[5-methyl-4-(piperidin-4-yl)-2- (propana-2-yloxy)phenyl] pyrimidine-2,4-diamine (LDK378). Pada interaksinya native ligand dengan reseptor terdapat 22 residu yang terpengaruhi diantaranya Ala 1148, Ala 1200, Ala 1252, Asp 1203, Asp 1270, Glu 1132, Glu 1197, Gly 1123, Gly 1125, Gly 1201, Gly 1202, Gly 1269, His 1124, His 1247, Leu 1122, Leu 1196, Leu 1198, Leu 1256, Lys 1150, Met 1199, Ser 1206, dan Val Lalu dari 22 residu tersebut terdapat 4 residu yang berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dengan native ligand, diantaranya Leu 1256, Gly 1269, His 1247, dan Ala 1252 data tertera pada Gambar 18. Gambar 18. Visualisasi Reseptor 4MKC dengan Native Ligand (LDK378) Untuk ligand YGM-0b nilai docking yang diperoleh adalah sebesar -110,662kkal dan nilai docking dari 3,4,5-triCQA sebesar -102,205kkal. Dari ligand YGM-0b terdapat 33 residu asam amino yang dipengaruhi diantaranya Ala 1251, Ala 1252, Ala 1266, Arg 1248, Arg 1253, Asn 1254, Asn 1178, Asp 1203, Asp 1249, Asp 1270, Asp 1311, Cys 1255, Gly 1269, His 1247, Ile 1179, Ile 1233, Ile 1250, Ile 1268, Leu 1204, Leu 1256, Leu 1257, Lys 1205, Lys 1267, Met 1199, Met 1273, Phe 1174, Phe 1245, Phe 1271, Pro 1292, Ser 1314, Val 1229, Val 1180 dan Val Dari 33 residu tersebut 13 asam amino dengan ligand berinteraksi membentuk ikatan hidrogen, asam amino tersebut ialah Ala 1252, Lys 1205, Leu 1204, Leu 1256, Cys 1255, Gly 1269, His 1247, Arg 1248, Ile 1250, Asp 1249, Asn 1254, Ala 1251, dan Arg Interaksi tersebut tertera pada Gambar 19. Gambar 19. Visualisasi Reseptor 4MKC dengan Ligand Uji (YGM-0b) Untuk ligand 3,4,5-triCQA terdapat 28 residu asam amino yang terpengaruhi diantaranya asam amino tersebut adalah Ala 1251, Ala 1252, Ala 1266, Arg 1253, Asn 1178, Asn 1254, Asp 1249, Asp 1270, Asp 1311, Cys 1237, Cys 1255, Gly 1269, His 1247, Ile 1179, Ile 1233, Ile 1246, Ile 1250, Ile 1268, Leu 1204, Leu 1240, Leu 1256, Leu 1318, Lys 1267, Met 1199, Phe 1245, Phe 1271, Val 1180, dan Val Dari ke-28 residu tersebut 10 asam amino berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dengan ligand 3,4,5-triCQA, asam amino 67

68 tersebut ialah Ala 1251, Ala 1252, Asn 1254, His 1247, Arg 1253, Cys 1255, Val 1180, Lys 1267, Ala 1266, dan Val 1265 untuk datanya tertera pada Gambar 20. Gambar 20. Visualisasi Reseptor 4MKC dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) Hasil Visualisasi Kanker Rahim Kode 3LMY Untuk docking ligand uji terhadap kanker rahim digunakan reseptor dengan kode 3LMY, pada reseptor ini memiliki native ligand 5-(4-Chloro-Phenyl)-6-Ethyl-Pirimidine-2,4-Diamine menghasilkan nilai best score sebesar -88,733 kkal dan berinteraksi dengan 18 residu asam amino reseptor. Asam amino tersebut diantaranya Ala 486, Arg 203, Arg 284, Asn 232, Glu 485, Gly 204, Gly 484, His 202, His 235, Ile 205, Leu 206, Leu 234, Leu 286, Met 226, Phe 231, Val 233, Val 285, dan Val 509. Dari 18 residu tersebut 5 asam amino berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dengan ligand, asam amino tersebut diantaranya Ile 205, Val 233, His 235, Leu 234, dan Arg 284, untuk interaksi dan visualisasi tertera pada Gambar 21. Gambar 21. Visualisasi Reseptor 3LMY dengan Native Ligand (Pryrimethamine) Setelah dilakukan docking terhadap reseptor kode 3MLY dengan ligand uji senyawa tumbuhan ubi ungu, dari hasil docking diperoleh 2 ligand yang memiliki nilai best score yang lebih kecil daripada native ligand. 2 ligand tersebut ialah YGM-0b dan 3,4,5-triCQA. Kedua ligand ini memiliki nilai best score sebesar - 103,059kkal untuk ligand YGM-0b dan -102,825kkal untuk ligand 3,4,5-triCQA. Pada ligand YGM-0b terdapat 29 residu asam amino yang terpengaruhi diantaranya Ala 225, Ala 506, Arg 203, Arg 284, Asn 229, Asn 232, Asn 323 Glu 485, Glu 288, Gly 204, Gly 484, His 202, His 235, Ile 205, Ile 207, Ile 283, Leu 234, Leu 206, Leu 286, Leu 502, Leu 513, Met 226, Phe 231, Pro 287, Ser 201, Trp 236, Trp 503, Val 233, dan Val 285. Dari ke-29 residu tersebut 18 residu berinteraksi dengan ligand membentuk ikatan hidrogen residu yang berikatan dengan ligand diantaranya Gly 204, Ile 205, Ile 207, His 235, Trp 236, Leu 286, Leu 234, Pro 287, Glu 485, Arg 284, Asn 232, Asn 323, Leu 234, Val 233, Arg 203, Gly 484, His 202, dan Glu 485. Untuk interaksinya terpapar pada Gambar

69 Gambar 22. Visualisasi Reseptor 3LMY dengan Ligand Uji (YGM-0b) Kemudian untuk ligand uji 3,4,5-triCQA terdapat 28 residu asam amino dari reseptor diantaranya Ala 486, Arg 203, Arg 284, Asn 232, Cys 487, Glu 485, Gly 204, Gly 483, Gly 484, His 202, His 235, Ile 205, Ile 207, Ile 283, Ile 444, Ile 482, Leu 206, Leu 234, Leu 286, Leu 513, Met 226, Phe 231, Pro 287, Ser 201, Thr 222, Trp 236, Val 233, dan Val 285. Dari 28 residu asam amino tersebut terdapat 17 asam amino yang berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dengan ligand, 17 asam amino tersebut ialah Asn 232, Val 285, Arg 284, Asn 232, Arg 203, His 202, Gly 484, Gly 483, Ile 482, His 235, Leu 206, Ile 206, Ile 205, Ala 486, Gly 204, Trp 236, Leu 286, dan Leu 234. Untuk interaksinya tertera pada Gambar 23. Gambar 23. Visualisasi Reseptor 3LMY dengan Ligand Uji (3,4,5-triCQA) 4. KESIMPULAN Dari data hasil pengujian secara (in silico) dapat diambil kesimpulan bahwa dari 31 senyawa uji yang terkandung dalam tanaman ubi ungu (Ipomoea batatas L.), didapat 5 senyawa yang memiliki potensi sebagai antikanker berdasarkan hasil docking senyawa uji lebih kecil dibandingkan senyawa alami pada reseptor. Untuk kanker payudara senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -117,450kkal pada kode PDB 1RG7, - 106,541kkal pada kode PDB 3ERT dan -116,325kkal pada kode PDB 3MJW. 4,5-diCQA dengan energi sebesar-96,280kkal pada kode PDB 2W1D. YGM-0a dengan energi sebesar -81,238kkal pada kode PDB 2W1D, dan YGM-0d dengan energi sebesar -115,778kkal pada kode PDB 3MJW. Pada kanker kulit senyawa 3,4,5- tricqa berpotensi sebagai antikanker dengan energi -77,742kkal pada kode PDB 2YE5 dan -99,410kkal pada kode PDB 2VC1. Lalu pada kanker usus besar dengan kode PDB 2CGY, senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -85,359kkal dan YGM-0d dengan energi sebesar -82,768kkal berpotensi sebagai antikanker. Senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -102,205kkal dan YGM-0b dengan energi sebesa -110,622kkal berpotensi sebagai antikanker limfoma pada reseptor dengan kode PDB 4MKC. Senyawa 3,4,5-triCQA dengan energi sebesar -102,825kkal dan YGM-0b dengan energi sebesar-103,059kkal berpotensi sebagai antikanker rahim dengan kode PDB 3LMY. 69

70 5. DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society Breast Cancer Facts and Figures. Atlanta: American Cancer Society, Inc. Apriliyanti, T Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi Jalar Ungu (Impomoea batatas L) dengan Variasi Proses Pengeringan. Skripsi S-1 Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Semarang. Bilotta, K. A. J Nurse s Quick Check: Diseases 2 nd Ed, Kapitaselekta Penyakit : Dengan Implikasi Keperawatan. Wuri Praptiani., et.al. Penerjemah. Jakarta: EGC. Block, John H and John M. Beale, Jr Wilson and Gisvold s Textbook of Organic Medicinal And Pharmaceutical Chemistry 11 th Edition. Wilson dan Gisvold : Buku Ajar Kimia Medisinal Dan Kimia FarmasiEdisi 11. Dr. A. A. Kd. Harmita. Apt, et.al. Penerjemah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Burger, A Burger s Medicinal Chemistry Fourth Edition Part I The basis of Medicinal Chemistry, Edited by Manfred E. Wolf, Asas-Asas Kimia Medisinal Edisi Ke-4. Mulyadi, Dr, Apt., et.al. Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Darmono Kanker yang Diturunkan (Genetika Kanker). Semarang: Undip Press. de Jong, W Kanker, Wat Heet?! Medische Informatie Over De Ziekte(n), De Behandeling Ed De Prognose, Kanker, Apakah Itu?! Pengobatan, Harapan Hidup, dan Dukungan Keluarga. Astoeti Suharto Heerdjan., et. al. Penerjemah. Jakarta: Arcan. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI Daftar Komposisi Bahan Makanan: Jakarta. Djoerban, Z., Terapi Suportif Kanker Paru. Cardiovascular Respiratory Immunology From Pathogenesis to Clinical Application Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit dalam FKUI. Friboulet L et.al The ALK Inhibitor Ceritinib Overcomes Crizotinib Resistance in Non-small Cell Lung Cancer. Di dalam: US National Library of Medicine National Institutes of Health, 4 Juni United State of America: National Institutes of Health; abstr Gunawan, S. G et.al Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Howard S et.al. (2009).Fragment-based discovery of the pyrazol-4-yl urea (AT9283), a multitarget kinase inhibitor with potent aurora kinase activity. ACS Piblications). US National Library of Medicine National Institutes of Health. Islam, S Sweetpotato (Ipomoea batatas L.) Leaf: Its Potential Effect on Human Health and Nutrition. Journal of Food Science (JFS). Institute of Food Technologists. Korb, O, et.al PLANTS: Application of Ant Colony Optimization to Structure-Base Drug Design. Theoretische Chemishe Dynamik. University Konstanz. Germany. Koswara, S Teknologi Pengolahan Umbi Umbian: Pengolahan Ubi Jalar. Southeast Asian Food And Agricultular Science and Technology (SEAFAST) Center. Research and Community Service Institution. Bogor Agricultular University. Bogor. Mukesh, B. and Kumar Rakesh Molecular Docking: A Review. Departement of Pharmaceutical Chemistry, School of Pharmaceutical Sciences. India: Jaipur National University. Murray, R. K, Daryl K. Granner, and Victor W. Rodwell Harper s Illustrated Biochemistry 27 th Ed., Biokimia Harper Edisi 27. Braham U., et.al. Penerjemah. Jakarta: EGC. Otto, S. E Pocket Guide To Onocology Nursing, Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jane Freyana Budi., et al. Penerjemah. Jakarta: EGC. Purnomo, H Kimia Komputasi Untuk Farmasi dan Ilmu Terkait. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Roughley SD and Hubbard RE How Well Can Fragments Explore Accessed Chemical Space? A Case Study From Heat Shock Protein 90. Di dalam: US National Library of Medicine National Institutes of Health, 23 Juni United State of America: National Institutes of Health; abstr Rukmana, R Ubi Jalar Budidaya Dan Pasca Panen. Yogyakarta: Kanisius. Truong, Van-Den, et. al Characterization of Anthocyanins and Antocyanidins in Purple-Fleshed Sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. Journal of Agricultural and Food Chemistry Article. pubs.acs.org/jafc. Amerika: American Chemical Society. Sumardika, Wayan et.al Efek Sitotoksik dan Antiproliferatif Ekstrak Etanol Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) Terhadap Sel Line Kanker Payudara T47D. Penelitian Bagian Farmakologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Divisi Hermatologi Onokologi Medik Ilmu Penyakit Dalam. Bali Februari 2015] 25 Februari 2015] 25 Februari 2015] 25 Februari 2015 ] 70

71 UJI PELEPASAN FORMALDEHID DALAM MANGKUK BERBAHAN MELAMIN DENGAN METODE KROMATOGRAFI AIR KINERJA TINGGI Lilis Tuslinah 1*, Ruswanto 1, Tia Fitriani 1 1 Program Studi Farmasi, STIKes BTH Tasikmalaya. * lilistuslinah@yahoo.com. Abstrak. Telah dilakukan penentuan kadar formaldehid dalam mangkuk berbahan melamin dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pada mangkuk sampel ditambahkan larutan simulasi sebagai media migrasi formaldehid dari permukaan mangkuk. Formaldehid yang bermigrasi diderivatisasi dengan larutan 2,4- dinitrofenilhidrazin membentuk Hidrazon. Derivat yang terbentuk dianalisis dengan KCKT menggunakan kolom ZORBAX Eclipse XDB C-18 5 µm (125 x 4 mm) dengan fase gerak Asetonitril- Dapar Fosfat ph 4,0 (40:60), laju alir 1 ml/menit, detektor UV-Vis pada 360 nm. Pada Uji Kesesuaian Sistem (UKS) menunjukkan Faktor Kapasitas 1,3, Faktor Selektifas 1,17, Resolusi 3,0, dan Efisiensi Kolom Validasi metode meliputi pengujian Linearitas, Batas Deteksi, Batas Kuantisasi, Kecermatan dan Keseksamaan. Kurva kalibrasi menunjukkan koefisien korelasi r= 0,997 dengan persamaan regresi y= 53195x , Batas Deteksi 1,45, Batas Kuantitasi 3,66, Persen Perolehan Kembali adalah 100,53%, dan koefisien variasi 1,58%. Penelitian dilakukan pada suhu 80 o C dan 60 o C dengan metode spiked dengan konsentrasi formaldehid yang ditambahkan 5, 8, 11, 14, 17, 20 ppm. Hasil pengukuran migrasi formaldehid dalam mangkuk menunjukkan kadar formaldehid pada suhu 80 o C 0,28 ppm dan 60 o C 1,41 ppm Kata kunci: Mangkuk Berbahan Melamin, Formaldehid, KCKT 1. LATAR BELAKANG Peralatan rumah tangga yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari terbuat dari berbagai jenis bahan. Salah satunya adalah melamin. Di berbagai toko yang menjual perabotan rumah tangga, peralatan makan dan minuman yang terbuat dari melamin relatif mudah ditemukan. Peralatan rumah tangga itu semakin membanjiri pasar tradisional dan swalayan. Peralatan makan melamin mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan peralatan makan yang terbuat dari kaca, logam atau keramik. Melamin lebih kuat, harga murah, desain warna menarik dan beragam, ringan dan tidak mudah pecah. Dengan segala kelebihan mangkuk berbahan melamin tersebut, sebagian orang tidak menyadari bahwa mangkuk berbahan melamin menyimpan potensi membahayakan bagi kesehatan manusia (Harjono, 2006). Bahan baku yang digunakan (mangkuk melamin) merupakan persenyawaan (polimerisasi) kimia antara melamin-formaldehid. Bila kedua senyawa bergabung menjadi satu, membentuk polimer melamin-formaldehid, tetapi formaldehid dapat muncul dan bersifat racun bila wadah mengalami depolimerisasi, misalnya karena paparan panas, sinar ultraviolet, gesekan dan tergerusnya permukaan wadah hingga partikel formaldehid terlepas.formalin (formaldehid) bisa bercampur pada makanan dan minuman terutama jika masih dalam kondisi panas (Chemistry, 2009 ) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 42 persen peralatan makanan yang diuji lembaga itu ternyata mengandung melamin. Melamin ini adalah racun. Bila terkena panas, peralatan yang mengandung kompleks melamin-formaldehid dapat melepaskan formaldehid dan melamin. Dua zat racun ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker, batu ginjal, dan gangguan kandungan kemih (Swamurti, 2009). Efek formaldehid pada kesehatan manusia dapat terlihat setelah terkena dalam jangka waktu yang lama dan berulang. Iritasi kemungkinan parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, dan menstruasi. Akumulasi formaldehid yang tinggi di dalam tubuh bisa menyebabkan beragam penyakit. Bahkan penyakit kanker yang mematikan (Anonimous, 2005). Formaldehid yang terhirup lewat pernafasan (inhalasi) akan segera diabsorbsi ke paru dan menyebabkan paparan akut berupa pusing kepala, rhinitis, rasa terbakar, dan lakrimasi (keluar air mata dan pada dosis yang lebih tinggi bisa buta), bronchitis, edema pulmonari atau pneumonia karena dapat mengecilkan bronchus dan menyebabkan akumulasi cairan di paru. Pada orang yang sensitif dapat menyebabkan alergi, asma, dan dermatitis. Jika masuk lewat penelanan (ingestion) sebanyak 30 ml (2 sendok makan) dari larutan formaldehid dapat menyebabkan kematian, hal ini disebabkan sifat korosif larutan formaldehid terhadap mukosa saluran cerna lambung, disertai mual, muntah, nyeri, pendarahan, dan perforasi. Jika terpapar secara terus-menerus dapat mengakibatkan kerusakan pada hati, ginjal, dan jantung (Widyaningsih, 2006) 71

72 2..METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, dilakukan penetapan kadar formaldehid dalam mangkuk berbahan melamin dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan detektor UV-Vis. Tahap pertama yang dilakukan adalah identifikasi bahan yang digunakan yaitu mangkuk berbahan melamin. Tahap kedua adalah penentuan panjang gelombang maksimum 2,4-dinitrofenilhidrazon sebagai hasil reaksi formaldehid dengan 2,4- dinitrofenilhidrazin. Tahap ketiga adalah penentuan kondisi optimum KCKT dan Uji kesesuaian sistem KCKT. Tahap keempat adalah Validasi metode. Tahap kelima adalah penentuan kadar formaldehid dalam mangkuk berbahan melamin. Alat dan Bahan Alat penelitian yang digunakan adalah HPLC Agilent Technologies 1120 Compact LC dilengkapi dengan detector UV-Visible, kolom ZORBAX Eclipse XDB-C18 ( 3x150 mm, 3,5 μm), Syringe, Spektofotometer UV- Vis SHIMADZU 1240, Filter eluen dan sampel, Membrane filter Whatman Nylon 0,2 μm, vial, Penangas air C, Termometer, Timbangan analitis, Vortex Mixer. Bahan bahan yang digunakan untuk semua pereaksi dan pelarut dalam derajat pro analisis, yaitu sampel berupa mangkuk berbahan melamin dengan merk melamin ware, Aquabidestilata steril Pro Injeksi dari IKA, Asetonitril grade HPLC dari J.T. Baker, Asam Fosfat, Formalin 38%, 2,4-dinitrofenilhidrazin, NaOH, Na 2 HPO 4 Cara kerja Uji Kualitatif Reaksi spesifik untuk mengidentifikasi larutan formaldehid adalah pembentukan warna dengan asam kromatropat. Reaksi ini terjadi berdasarkan kondensasi formaldehid dengan sistem aromatik dari asam kromatropat. Sebanyak 5 ml asam kromatropat dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambah 1 ml destilat. Larutan kemudian dipanaskan dalam penangas air yang mendidih selama 15 menit. Selama pemanasan diamati warna ungu yang terbentuk yang menunjukkan ada tidaknya kandungan formaldehid. Pembuatan Larutan Baku Formaldehid Larutan baku dibuat dengana melarutkan formaldehid dalam larutan fasa gerak KCKT dengan konsentrasi 5,8,11,14,17,20 ppm. Saring dengan penyaring berpori 0,2 μm. Penentuan Panjang Gelombang Hidrazon Sebanyak 1 ml formaldehid dalam pelarut fasa gerak KCKT direaksikan dengan larutan 2,4- dinitrofenilhidrazin (2,4-DNPH) 0,1%. Campuran ini divortex selama 1 menit dan dibiarkan pada suhu ruang selama 2 menit. Tambahkan larutan buffer fosfat 0,1 M ph 6,8 dan NaOH 1M. Saring dengan penyaring berpori 0,2 μm. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang nm dengan spektofotometer UV-Vis. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh digunakan untuk menetapkan panjang gelombang pada detektor KCKT. Pembuatan Sampel Sampel dibuat dengan cara memanaskan air sampai suhu 100 o C, kemudian dituangkan ke dalam mangkuk simpan hingga suhu 80 o C dan 60 o C, dari masing-masing penyimpanan di ukur pelepasan formaldehidnya. Penentuan Kondisi Optimum KCKT Pengkondisian KCKT diperoleh dengan pengaturan variasi laju aliran fase gerak, dan variasi komposisi fase gerakdan suhu kolom. Uji kesesuaian sistem Kesesuaian Sistem dilakukan pada kondisi optimum. Parameter yang ditentukan adalah faktor kapasitas (k), faktor selektifitas (α), Resolusi (R), dan Efisiensi kolom (N). Kecermatan Penentuan kecermatan dilakukan dengan metode spiked. Sampel mangkuk berbahan melamin diisi air mendidih, diamkan sampai suhu 80 o C dan 60 o C, ke dalam masing-masing sampel ditambahkan zat murni formaldehid dengan konsentrasi 5, 8, 11, 14, 17, dan 20 ppm. Direaksikan dengan larutan 2,4- dinitrofenilhidrazin (2,4-DNPH) 0,1%. Campuran ini divortex selama 1 menit dan dibiarkan pada suhu ruang selama 2 menit. Tambahkan larutan buffer fosfat 0,1 M ph 6,8 dan NaOH 1M. Saring dengan penyaring berpori 0,2 μm. Hitung persen Perolehan Kembali sampel (harmita, 2004). 72

73 Penentuan Keseksamaan Penentuan keseksamaan dilakukan pada konsentrasi 3,6 ppm (dilakukan 6 kali). Reaksikan dengan larutan 2,4-dinitrofenilhidrazin (2,4-DNPH) 0,1%. Campuran ini divortex selama 1 menit dan dibiarkan pada suhu ruang selama 2 menit. Tambahkan larutan buffer fosfat 0,1 M ph 6,8 dan NaOH 1M. Saring dengan kertas saring membran filter 0,2 mm. Suntikkan 20 μl larutan uji pada KCKT. Hitung Koefisien Variasinya (harmita, 2004). Penetapan Kadar Pelepasan Formaldehid dalam Mangkuk Berbahan Melamin Dari masing-masing variasi suhu 80 o C dan 60 o C diambil 1 ml larutan kemudian direaksikan dengan larutan 2,4-dinitrofenilhidrazin (2,4-DNPH) 0,1%. Campuran ini divortex selama 1 menit dan dibiarkan pada suhu ruang selam 2 menit. Tambahkan larutan buffer fosfat 0,1 M ph 6,8 dan NaOH 1M. Saring dengan membran filter 0,2 μm. Sampel disuntikkan sebanyak 20 μl ke dalam kolom kemudian dicatat luas puncaknya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1. Kromatogram larutan 2,4-dinitrofenilhidrazin Gambar 2. Kromatogram Sampel yang mengandung Formaldehid Tabel 1 Hasil Uji Kesesuaian Sistem Parameter Nilai (suhu 60 o C) Waktu Retensi (t R ) 4.3 menit Faktor Kapasitas (k ) 1.3 Faktor Selektifitas 1.17 Resolusi (Rs) 3.0 Efisiensi Kolom Hasil uji kesesuaian sistem memenuhi kriteria optimum yang disyaratkan sehingga kondisi analisis memberikan kepastian kesesuaian dan kondisi percobaan yang dilakukan Sistem pemisahan yang baik akan menghasilkan puncak analit yang runcing dengan jumlah pelat teoritik yang tinggi. Resolusi (R) merupakan ukuran pemisahan dua puncak yang berdekatan, semakin jauh puncak terpisah maka semakin besar resolusinya. Resolusi yang baik menunjukkan harga R 1,5. Detektor yang umum digunakan di dalam KCKT adalah detektor UV-Vis, maka metode ini dikembangkan lebih lanjut dengan cara menambahkan gugus kromofor yang akan menyerap cahaya pada gelombang tertentu. Reaksi penambahan gugus kromofor ini dikenal dengan nama reaksi derivatisasi. Dalam penelitian ini, formaldehida direaksikan terlebih dahulu dengan 2,4-dinitrofenilhidrazin (DNPH). Reaksi ini akan menghasilkan senyawa 2,4-dinitrofenilhidrazon yang berwarna merah anggur dalam suasana basa dan dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang 360 nm. Jumlah formaldehida yang diuji akan sebanding dengan banyaknya senyawa hidrazon yang terbentuk. Pemilihan metode pembentukan warna dengan 2,4- dinitrofenilhidrazin didasarkan pada kespesifikan reaksi dan warna yang dihasilkan dari reaksi ini. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y= 53195x , dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,997. Dari kurva kalibrasi, juga dapat diperoleh batas deteksi dan batas kuantisasi sebesar 1,45 μg/ml dan 3,66 μg/ml. 73

74 Tabel 2 Data Kurva Kalibrasi Formaldehid Konsentrasi (ppm) AUC Rata-rata Gambar 3. Kurva Kalibrasi Formaldehid Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Dalam uji kecermatan dilakukan metode simulasi (spike). Tabel 3. Hasil uji Kecermatan Konsentrasi, ppm Rata-rata % Recovery 104,75% 104,48% 97,49% 93,16% 100,71% 102,58% 100,53% Tabel 4. Hasil Uji Keseksamaan No AUC KV 1,58 Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Hasil uji keseksamaan menunjukkan bahwa koefisien variasi sebesar 1,58%, memenuhi kriteria keseksamaan jika simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Metode analisis yang telah divalidasi kemudian diaplikasikan pada penentuan kadar formaldehid dalam mangkuk berbahan melamin. Hasil penentuan kadar pada suhu 80 o C adalah 0,28 ppm, sedangkan hasil penentuan kadar pada suhu 60 o C adalah 1,41 ppm. 74

75 4. KESIMPULAN Sistem KCKT yang digunakan adalah sistem isokratik dengan kolom ZORBAX Eclipse XDB C-18 sebagai fasa diam dan Asetonitril:Dapar Fosfat 0,025 M ph 4,0 (40:60) sebagai fasa geraknya, detektor UV-Vis pada panjang gelombang 360 nm, laju alir sebesar 1 ml/menit, dan volume penyuntikan sebesar 20 μl. Parameter yang diperoleh dari kromatografi yang digunakan antara lain waktu retensi 2,4- dinitrofenilhidrazon 4,3; faktor kapasitas 1,3,faktor selektifas 1,17, resolusi 3,0. Uji validasi metode memberikan Persamaan regresi yang didapat dari kurva kalibrasi adalah y=53195x+55995, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,997, Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi alat yang digunakan, yaitu sebesar 1,45 μg/ml dan 3,66 μg/ml.persen perolehan kembali 100,53%, dan keseksamaan dengan koefisien variasi 2,0% yaitu 1,58%. Hasil penentuan kadar pada suhu 80 o C adalah 0,28 ppm, sedangkan hasil penentuan kadar pada suhu 60 o C adalah 1,41 ppm. 5. DAFTAR PUSTAKA Anonimous., Instruksi Kerja Pengujian Bidang II. Medan : Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan a. Formaldehida. diakses tanggal 27 April b. Formalin Di Balik Piring-piring Cantik. diakses tanggal 27 April Ariwahjoedi Bahaya Kanker Di Balik Melamin Murah. diakses tangal 24 April Connors, K. A A Textbook of pharmaceutical Analysis 3 rd ed. John Wiley & Sons Inc. USA Depkes RI Farmakope Indonesia., Edisi Ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Farmakope Indonesia., Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Harjono, Y Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas. Harmita Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode Dan Cara Perhitungannya.DepartemenFarmasi FMIPA-UI. Jakarta.117, 124. Johnson, E. L, Robert Stevenson Dasar Kromatografi Cair. terjemahan Kosasih Padmawinata. Penerbit:ITB Bandung.9. Kopkhar, S. M Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI. Kurnianingsih Formalin Ada pada Melamin. diakses tanggal 27 April Kurniasih, Criscelda Penentuan Kadar Formaldehida Dalam Pasta Gigi Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Bandung : ITB. M, Muhamad Analisis Instrumental. Surabaya:Airlangga University PRESS. O Neil, Maryadele J. et.al The Merck Index 14 th ed, Merck & Co. Inc: New Jersey Roth, h. J AnalisisFarmasi, terjemahan S. Kismandan S. Ibrahim. Gajah Mada University PRESS:Yogyakarta.93. Sweetman, Sean C Martindale: The Extra Pharmacopoeia 35 th Ed Vol.2. The Pharmaceutical PRESS:London Underwood, A. L, R. A. Day Analisis Kimia Kuantitatif. Terjemahan Iis Sopyan.Erlangga:Jakarta ,565. Widodo, J Pengaruh Formalin Bagi Sistem Tubuh.putera kembara.org.id diakses tanggal 24 April

76 KARAKTERISASI DISPERSI PADAT KOFEIN DENGAN POLIVINIL PIROLIDON (PVP) K-30 Rian andrianto 1, Indra 1, Ratih Aryani 1 * 1 Program studi Farmasi, STIKes BTH Tasikmalaya. * ratih_aryani@ymail.com Abstrak - Telah dilakukan penelitian tentang studi karakterisasi dispersi padat kofein dan polivinil pirolidon (PVP K-30) dengan metode pelarutan yang dibuat tiga perbandingan variasi jumlah kofein dan PVP K-30 yaitu 1:1, 2:1 dan 1:2. Sebagai pembanding dibuat campuran fisik dengan komposisi yang sama. Serbuk dispersi padat dan campuran fisik dikarakterisasi dengan analisis difraksi sinar-x (PX-RD), Differential Scanning Calorimetry (DSC), spektroskopi FT-IR, mikroskop polarisasi dan profil disolusi. Hasil analisis difraksi sinar-x menunjukkan bahwa serbuk hasil dispersi padat kofein dan PVP K-30 mengalami penurunan fasa kristal. Analisa DSC menunjukkan terjadinya penurunan puncak endotermik, bergeser ke arah suhu yang lebih rendah. Spektrum FT-IR menunjukan tidak terjadi pergeseran spektrum dan interaksi kimia antara kofein dan PVP K-30 dalam serbuk dispersi padat. Analisis mikroskop polarisasi pada serbuk dispersi padat memperlihatkan ukuran partikel yang lebih besar, hal ini menunjukkan bahwa serbuk kafein sudah terdispersi dengan pembawanya membentuk suatu sistem dispersi padat. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem dispersi padat kofein dan PVP K-30 dapat memperbaiki sifat fisikokimia serta meningkatkan kelarutan dan profil laju disolusi kofein. Kata kunci: Kofein, Dispersi padat, Uji kelarutan, dan Laju disolusi. 1. LATAR BELAKANG Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam menentukan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Leuner dan Dressman, 2000). Obat yang memiliki kelarutan kecil dalam air dapat pula memberikan efek yang cepat jika dilakukan suatu usaha pengembangan formula untuk meningkatkan laju kelarutannya (Zaini, et.al., 2011). Berbagai metode telah dilakukan untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat seperti pembuatan dispersi padat, pembentukan prodrug, kompleks inklusi obat dengan pembawa dan modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan solvat (Abdou, 1989). Dispersi padat adalah campuran yang homogen dari satu atau lebih bahan aktif dalam matriks yang inert dengan tujuan untuk meningkatkan bioavabilitas oral dari bahan obat yang sukar larut (Serajuddin,1999). Peningkatan laju disolusi obat yang dibuat dengan sistem dispersi padat disebabkan adanya pengurangan ukuran partikel obat ke tingkat minimum, pengaruh solubilisasi pembawa, peningkatan daya keterbasahan dan pembentukan sistem dispersi yang metastabil (Erizal, 2007). Dalam penelitian ini digunakan kofein sebagai model obat yang memiliki kelarutan yang kecil dalam air. Kofein merupakan salah satu jenis alkaloid yang terdapat pada tumbuhan dan termasuk salah satu derivat xantin yang mengandung gugus metil. Kofein atau 1, 3, 7-trimetilxantin dengan rumus molekul C 8 H 10 N 4 O 2, memiliki sifat fisik seperti berbentuk kristal dengan warna putih, serta memiliki rasa agak pahit (Depkes RI, 1995). Tujuan dari penelitian ini untuk mengkarakterisasi dan meningkatkan kelarutan kofein melalui metode dispersi padat dengan teknik pelarutan. 2. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: timbangan Analitik (Shimadzu AUX 220), spektrofotometri UV Vis (SHIMADZU 1700), spektrofotometer inframerah (FTIR), difraksi sinar-x (Philips X- Ray Diffractometer), Alat uji termal (Differential Scanning Calorimetry). desikator, vial, pengayak mesh 80, dan alat alat gelas yang menunjang penelitian. Bahan yang digunakan adalah kofein (PT. Brataco Chemika), polivinil pirolidon (PVP) K-30, kloroform (PT. Megasetia Agung Kimia). Cara Kerja Karakterisasi Bahan Baku Karakterisasi bahan baku kofein dilakukan mencakup: pemerian, bentuk, warna, bau, dan rasa, dan kelarutan dari kofein. 76

77 Perbandingan Kofein- PVP K-30 Perbandingan dibuat berdasarkan perbandingan berat zat, karena kofein memiliki bobot molekul 194,19 sedangkan polivinil pirolidon (PVP) K-30 memiliki bobot molekul Perbandingann jumlah kofein dengan PVP dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Kofein- (PVP) K-30 Sampel Perbandingan Kofein PVP K-30 Total (mg) (mg) (mg) 1 1: :1 666,7 333, :2 333,3 666, Pembuatan Dispersi Padat dan Campuran Fisik Serbuk campuran fisik dan dispersi padat dibuat dengan beberapa perbandingan. Sistem dispersi padat dibuat dengan teknik pelarutan dengan memvariasikan jumlah kofein-polivinil pirolidon (PVP) K-30 dengan perbandingan sebagai berikut: (1:1), (2:1) dan (1:2). Dispersi padat dibuat dengan metoda pelarutan yaitu campuran kofein dan polivinil pirolidon (PVP) K-30 dilarutkan dalam kloroform sampai terbentuk larutan jernih. Larutan yang dihasilkan diuapkan dan dikeringkan pada suhu ruangan sampai kering. Padatan yang dihasilkan dikerok dan dilewatkan pada ayakan mesh 80 dan disimpan di dalam desikator. Karakterisasi Dispersi Padat Penetapan Pola Difraksi Sinar X Pola difraksi sinar-x Kofein, PVP K-30, dispersi padat Kofein-PVP K-30 direkam dengan Philips Analytical X-Ray pada interval 5-45 / 2θ menggunakan sumber radiasi Cu (Sutriyo, et.al., 2005). Analisis Termal dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC) Uji termal dilakukan terhadap kofein, PVP K-30, dispersi padat kofein-pvp K-30, dan campuran fisik kofein-pvp K-30, menggunakan Differential Scanning Calorimetry Sejumlah sampel (5-10 mg) dimasukkan ke dalam wadah alumunium, kemudian dipanaskan dan diukur dari ºC. Kecepatan pemanasan 10 C/menit dengan pengaliran gas Nitrogen 60 ml/menit. Proses endotermik atau eksotermik tercatat pada rekorder (Sutriyo, et.al., 2005). Analisis Spektrofotometer FTIR Spektrum IR kofein, PVP K-30 dispersi padat kofein-pvp K-30 dan canpuran fisik kofein-pvp K-30 diukur dengan spektrofotometer inframerah (FTIR BioRed-Merlin), menggunakan tablet KBr. Spektrum serapan direkam dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) direkam pada bilangan gelombang cm -1 (Sutriyo, et.al., 2005). Uji Kelarutan Uji kelarutan dilakukan terhadap kofein dan dispersi padat kofein dengan beberapa perbandingan yang telah dibuat. Ditimbang 100 mg kofein dan dispersi padat kofein dalam berbagai perbandingan dengan berat ekivalen, kemudian dimasukan kedalam beaker glass, tambahkan 5 ml aqua demineralisata, kemudian dilarutkan dengan bantuan magnetic stirrer pada suhu ± 37 o C. Setiap 12 jam larutan tiap sampel diambil, kemudian dianalisis dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimal menggunakan spektrofotometer UV- Vis. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kofein Dibuat larutan baku 50 mg kofein dengan aqua demineral dalam labu ukur 50 ml (konsentrasi 1000 ppm), diukur serapan larutan tersebut dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum nm dan memiliki absorbansi antara 0,2-0,8 (Gianotto, 2007). Penentuan Kurva Kalibrasi Kofein Dibuat larutan baku 50 mg kofein dimasukan dalam labu ukur 50 ml, kemudin larutkan dengan aqua demineral sampai tanda batas (konsentrasi 1000 ppm). Dibuat deret 6 konsentrasi dan diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum kofein dengan spektrofotometer UV-Vis secara berurutan dan memiliki adsorbansi antara 0,2-0,8 kemudian dibuat kurva kalibrasinya dan ditentukan koefisien korelasi dan persamaan regresi (Gianotto, 2007) 77

78 Penetapan Kadar Kofein Dalam Dispersi Padat Masing-masing perbandingan padatan dispersi padat setara dengan 50 mg kofein, kemudiaan dilarutkan dengan aqua demineral dalam labu ukur 50 ml, cukupkan volume sampai tanda batas dengan aqua demineral (konsentrasi 1000 ppm). Pengukuran serapan larutan sampel pada panjang gelombang maksimum 273 nm. Konsentrasi kofein dalam serbuk ditentukan menggunakan kurva kalibrasi. Uji Disolusi Penentuan profil disolusi kofein dilakukan berdasarkan USP 32 dengan menggunakan medium disolusinya yaitu air. Pada pengujian disolusi ini menggunakan metode dayung dengan kecepatan 50 rpm pada suhu 37 o C. Labu disolusi diisi dengan 900 ml air, kemudian tiap perbandingan serbuk dispersi padat ditimbang setara dengan 300 mg kofein, lalu dimasukkan ke dalam medium disolusi. Larutan disolusi di pipet 5 ml pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25 dan 30. Pada setiap pemipetan diganti dengan medium disolusi (volume dan suhu yang sama pada saat pemipetan). Serapan larutan yang telah dipipet dari medium disolusi diukur pada panjang gelombang maksimum. Kadar kofein yang terdisolusi pada setiap waktu dapat dihitung dengan menggunakan kurva kalibrasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bahan Baku Hasil data karakterisasi bahan baku kofein dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil karakterisasi bahan baku (kofein) No Karakterisasi Hasilkarakterisasi fisik fisisk 1 Bentuk Hablur 2 Warna Putih mengkilat 3 Bau Tidak berbau 4 Rasa Pahit 5 Kelarutan Agak sukar larut dalam air Larut dalam kloroform Dari hasil karakterisasi fisik bahan baku kofein didapat bahwa kafein yang akan digunakan telah sesuai Farmakope Indonesia (edisi IV). Perbandingan Kofein-PVP K-30 Pada Perbandingan dispersi padat ini dibuat berdasarkan perbandingan berat, karena kofein memiliki bobot molekul 194,19 sedangkan polivinil pirolidon (PVP) K-30 memiliki bobot molekul Sehingga tidak dimungkinka untuk dibuat campuran biner dalam fraksi mol karena bobot molekul antara kofein dan PVP sangant berbeda. Hasil Dispersi Padat dan Campuran Fisik Dispersi padat dibuat dengan metode pelarutan, dimana kofein dan PVP yang dicampurkan kemudian ditambahkan pelarut yang dapat melarutkan kofein dan PVP yaitu kloroform. Kloroform selain dipilih sebagi pelarut yang dapat melarutkan antara kofein dan PVP secara sempurna juga sangat baik dalam proses penguapannya pada suhu rendah sehingga dapat mencegah terjadinya penguraian dari zat aktif. Dalam pembuatan dispersi padat kofein-pvp dibuat 3 variasi perbandingan yaitu bertujuan untuk mengetahui perbandingan manakah yang dapat meningkatkan kelarutan dari kofein. Campuran fisik dibuat dengan perbandingan yang sama, dimana dalam pembuatannya yaitu kafein dan PVP dicampurkan sampai homogen tanpa ada perlakuan apapun. Campuran fisik dibuat bertujuan untuk membandingkan hasil karakterisasi serbuk dispersi padat dengan penetapan pola difraksi sinar-x (Philips X-Ray Diffractometer), analisis termal Differential Scanning Calorimetry (DSC), analisis spektrofotometer infra merah (FTIR) dan mikroskop polarisasi. Karakterisasi Dispersi Padat dan Campuran Fisik Pola difraksi sinar-x (PX-RD) Pengukuran difraksi sinar-x kofein, PVP K-30, dispersi padat dalam perbandingan (1:1, 2:1, 1:2) dan campuran fisik dalam perbandingan (1:1, 2:1, 1:2). Data hasil pola difraksi sinar-x dapat dilihat pada Gambar 1. 78

79 Gambar 1. Difraktogram a) Perbandingan 1:1, b) Perbandingan 2:1, c) Perbandingan 1:2 Dari hasil uji difraksi sinar-x menunjukan pola difraksi PVP adalah amorf, dimana pada pola difrksi sinar- X menunjukan tidak adanya intensitas puncak, sedangkan kofein murni masih dalam bentuk kristalnya, itu dibuktikan pada hasil pola difraksi sinar-x dimana intensitas puncak yang tajam. Pola difraksi pada campuran fisik dan dispersi padat terjadi penurunan intensitas puncak yang menunjukan terjadinya penurunan fase kristal pada kofein. Pada dispersi padat kofein, semakin besar jumlah PVP dalam campuran fisik dan dispersi padat maka semakin rendah intensitas puncaknya, ini dibuktikan pada campuran fisik dan serbuk dispersi padat dengan perbandingan 1:2. Namun pada perbandingan 2:1 intensitas puncak pada campuran fisik lebih rendah dibandingakan dengan hasil dispersi padat. Alasan peningkatan intensitas puncak pada hasil dispersi padat dikarenakan jumlah PVP pada perbandingan 2:1 sangat kecil, sehingga dalam serbuk dispersi padat didominasi oleh kofein. Penurunan intensitas puncak-puncak pada dispersi padat menunjukan adanya penurunan fase kristal. Karena semakin tinggi puncak maka semakin besar fasa kristal, sebaliknya semakin kecil intensitas puncak maka semakin kecil fasa kristalnya. Terjadinya penurunan fase kristal pada sistem dispersi padat maka kelarutannya dapat meningkat. Scanning Calorimetry (DSC) Hasil uji termal menggunakan Differential Scanning Calorimetri dari kofein, PVP K-30, dispersi padat dalam perbandingan (1:1, 2:1, 1:2) dan campuran fisik dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Termogram DSC a) Campuran fisik dan dispersi padat 1:1 b) Campuran fisik dan dispersi padat 2:1 c) Campuran fisik dan dispersi padat 1:2. Berdasarkan hasil analisis termogram DSC terhadap campuran fisik dan serbuk dispersi padat tidak menunjukan titik etektikum antara kofein dan PVP K-30. Dengan tidak terbentuknya titik etektikum bukan berarti tidak terbentuknya sistem dispersi padat. Titik leleh kofein pada puncak endotermik dengan suhu 236,4 o C dan PVP K-30 memperlihatkan puncak endotermik pada suhu 52,6 o C. Termogram campuran fisik dan serbuk dispersi padat merupakan gabungan dari termogram kofein dan PVP, analisis temogram yang didapat 79

80 yaitu terjadinya penurunan puncak endotermik pada perbandingan campuran fisik yaitu penurunan suhu antara ,5 o C. Pada perbandingan serbuk dispersi padat terjadi penurunan pucak endotermik pada suhu antara ,1 o C. Terjadinya penurun puncak endotermik atau pelebaran puncak endotemik, bergeser ke arah suhu yang lebih rendah. Hal ini menunjukan terjadinya penurunan fase kristal pada serbuk dispersi padat. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Dari hasil spektrum serapan inframerah kofein, PVP K-30, dispersi padat dalam perbandingan (1:1, 2:1, 1:2) dan campuran fisik dalam perbandingan (1:1, 2:1, 1:2) berupa pita absorpsi dengan bilangan gelombang dari 4000 sampai 400 cm- 1 yaitu dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Spektrum FTIR (1) Kofein, (2) PVP K-30, (3) CF 1:1, (4) CF 2:1, (5) CF 1:2, (6) DP1:1, (7) DP 2:1, (8) DP 1 Dari hasil analisis spektrum FT-IR pada serbuk dispersi padat dan campuran fisik kofein-pvp K30, menunjukan tidak terjadi pergeseran pita adsorpsi pada daerah bilangan gelombang cm -1 karena masih adanya gugus karbonil (C=C) pada daerah bilangan gelombang 1701,22, gugus alkana (C-H) pada daerah bilangan gelombang 2954,95 dan gugus amina (N-H) pada daerah bilangan gelombang 3113,11. Dengan demikian dari hasil analisis spektrum inframerah pada serbuk dispersi padat dan campuran fisik kofein-pvp K- 80

81 30 tidak mengalami pegeseran pita absorpsi, sehingga tidak terjadi interaksi pada gugus fungsi antara kofein dan PVP K-30. Mikroskop Polarisasi Analisa morfologi permukaan serbuk campuran fisik dan dispersi padat kofein dengan menggunakan mikroskop polarisasi memperlihatkan bentuk padatan dari setiap perbandingan dengan pembesaran 400 kali. Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa serbuk dispersi padat memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan campuran fisik, ini dapat dikatakan bahwa pada dispersi padat antara kofein dan PVP telah terdispersi secara molekuler sehingga tidak dapat dibedakan lagi dengan bentuk partikel-partikel penyusunnya. Hal ini menunjukan bahwa serbuk kofein sudah terdispersi dengan polimer sebagai pembawanya membentuk suatu sistem dispersi padat. Gambar 4. Mikroskop polrisasi pembesaran 400X (1) Kofein, (2) PVP K-30, (3) CF 1:1, (4) CF 2:1, (5) CF 1:2, (6) DP 1:1, (7) DP 2:1, (8) DP 1:2 Hasil Uji Kadar Berdasarkan analisis spektrofotometer UV, diperoleh panjang gelombang maksimum kofein sebesar 273 nm dalam pelarut air. Uji kadar dilakukan untuk memastikan jumlah kofein yang ada dalam suatu padatan dispersi padat dari tiap perbandingan. Hasil uji kadar pada serbuk dispersi padat dari berbagai perbandingan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penentuan kadar kofein dalam dispersi padat Perbandingan Berat yang di timbang (mg) Kadar kofein Kadar kofein di seharusnya (mg) peroleh (mg) % kadar kofein yang di peroleh (mg) DP Kofein-PVP (1:1) ,53 94,12% DP Kofein-PVP (2:1) 50 33,33 32,51 97,53% DP Kofein-PVP (1:2) 50 16,66 12,90 77,43% Berdasarkan hasil pengujian persen kadar kofein dapat dilihat bahwa dari tiga perbandingan serbuk hasil dispersi padat, persen kadar yang diperoleh tidak mencapai 100%. Ada beberapa faktor yang dapat mengurangi hasil kadar dari serbuk hasil dispersi padat yaitu terjadinya penyebaran kofein dengan PVP yang tidak homogen, itu dibuktikan pada perbandingan 1:2 dimana persen kadar yang di dapat lebih kecil dibandingan pada serbuk dispersi padat 1:1 dan 2:1. Hasil Uji Kelarutan Uji kelarutan dilakukan untuk mengetahui peningkatan kelarutan serbuk dispersi padat dibandingkan dengan serbuk kofein dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kelarutan kofein dan serbuk dispersi padat. Sampel Zat terlarut Kofein 16,3 mg/ml DP Kofein-PVP 1:1 17,7 mg/ml DP Kofein-PVP 2:1 18,8 mg/ml DP Kofein-PVP 1:2 22,3 mg/ml Dari hasil uji kelarutan terhadap kofein dan serbuk dispersi padat pada berbagai perbandingan dispersi padat dengan perbandingan 1:2 memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi yaitu 22,3 mg/ml. Terjadinya 81

82 peningkatan kelarutan yaitu dimana terjadinya pengurangan ukuran partikel kofein ke tingkat minimum, sehingga ukuran molekul dari kofein lebih kecil dibandingkan pada perbandingan 1:1 dan 2:1. Laju Disolusi 4. KESIMPULAN Tabel 5. Persen Laju disolusi Waktu Jumlah obat terdisolusi (%) (menit) Kofein DP 1:1 DP 2:1 DP 1:2 5 80,40 75,00 78,90 66, ,60 77,60 106,90 84, ,80 76,40 89,50 95, ,90 77,80 85,80 88, ,60 74,00 77,70 83, ,90 77,00 74,40 84,20 Berdasarkan penelitian pada karakterisasi dari hasil dispersi padat kofein dengan PVP K-30 menunjukan bahwa penambahan polivinilpirolidon (PVP) sebagai polimer dapat menurunkan fase kristal dari kofein, sistem dispersi padat kofein menggunakan polivinil pirolidon (PVP) K-30 pada perbandingan 1:2 dapat meningkatkan kelarutan di dalam air dibandingkan dengan kofein murninya, dan dari hasil uji laju disolusi pada dispersi padat dengan perbandingan 2:1 lebih baik dibandingkan dengan kofein murninya. 5. DAFTAR PUSTAKA Abdou, H.M. (1989). Dissolution Bioavailability dan Bioequivalence Pennsylvania: Mack Publishing Company. Chiou, W.L. dan Riegelman, S. (1971). Pharmacetical Applications of Solid of Solid Dispersion System. J. Pharm. Sci, 60, 9: Departemen Kesehatan R.I. (1995). Farmakope Indonesia (edisi IV). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Erizal. (2007). Karakterisasi Fisikokimia Dan Laju Disolusi Dispersi Padat Ibuprofen Dengan Pembawa Polietilen Glikol Melalui website ( Artikel ilmiah.com) [Februari 23, 2015]. Gandjar, I.G dan Abdul R. (2012). Analisis Obat Secara Spektrofotometri dan Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leuner., C dan Dressman., J. (2000). Improving Drug Solubility for Oral Delivery Using Solid Dispersions. Eur. J. Pharm. Biopharm. 50, Margaret. (2008). Peningkatan Kelarutan Ibuprofen Dengan Metode Dispersi Padat Menggunakan Polietilengikol 6000 [Skripsi]. FMIPA. Universitas Indonesia Depok. Martin A, J. Swarbrick dan A. Cammarata. (1990). Physical Pharmacy, Edisi 1 dan 2. Philadelphia: Lea and Febiger. Moffat, A.M., et.al. (2005). Clark s Analysis of Drug and poison. Pharmacheutical Press. Mumin A, Kazi F A, Zainal A, Zakir H. (2006). Determination and Characterization of Caffeine in Tea, Coffee, and Soft Drink by Solid Phase Extraction and High Performance Luquid Chromatography (SPE HPLC). Malaysian Journal of Chemistry, 8: Mutschler, Ernst. (1991). Dinamika Obat. Edisi 5. Penerjemah Mathilda B Widianto, Anna Setiadi Ranti. ITB. Bandung. Nichols, G., S. Luk, C. Roberts, (2011), Microscopy, in: Solid State Characterization of Pharmaceuticals, R. A. Storey., I. Ymén, John Wiley & Sons Ltd., United Kingdom. Novita sari,y, et.al. (2014) Uji Sistem Dispersi Padat Kofein Dengan Menggunakan Polivinil pirolidon (PVP) K-30 [Skripsi]. Sekolah tinggi ilmu farmasi (stifarm) padang. Schultheis, N, Ann Newman. (2009). Pharmaceutical Cocrystals and Their Physicochemical Properties. Crystal Growth and Design, 9,6: Serajuddin, A.T.M., (1999), Solid Dispersion of Poor Water Soluble Drugs : Early Simonelli, A.P., Mehta, S.C., dan W.I. Higuchi. (1969). Dissolution Rates of High Energy Polyvinylpyrrolidone (PVP) - Sulphathiazole Coprecipitates. J. Pharm. Sci, 68: Sutriyo, Rosmaladewi, Febrian Hevike Filosane. (2005). Pengaruh Polivinil pirolidon Terhadap Laju Disolusi Furosemid Dalam Sistem Dispersi Padat. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.1. Zaini, E. Auzal H, Sundani N.S, dan Dewi S. (2011). Peningkatan Kelarutan Trimetoprim Melalui Metode Kokristalisasi dengan Nikotinamida, Jurnal Farmasi Indonesia, 5:

83 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DAUN SINTRONG (Crassocephalum crepidioides Benth) MENGGUNAKAN GC-MS Darantia Febrina 1, Tresna Lestari 1*, Diana Sri Zustika 1 1 Program studi Farmasi, STIKes BTH Tasikmalaya. * beatsign@yahoo.com Abstrak - Sintrong adalah tanaman yang termasuk ke dalam keluarga Asteraceae yang merupakan salah satu tumbuhan potensial penghasil minyak atsiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan menentukan kadar minyak atsiri daun sintrong dengan mengguna kan metode destilasi uap air dan mengetahui komponen-komponen senyawa kimia minyak atsiri daun sintrong dengan menggunakan analisis GC-MS. Penelitian dilakukan meliputi tahapan karakterisasi simplisia, isolasi minyak dan analis komponen minyak atsiri. Hasil karakterisasi makroskopik diperoleh serbuk simplisia berwarna hijau, bau khas daun sintrong, dan memiliki rasa pahit untuk pengujian mikroskopik menunjukan adanya jaringan rambut penutup dan kristal oksalat. Pemeriksaan karakteristik mutu simplisia diperoleh susut pengeringan 10,3%, kadar sari larut air 16%, kadar sari larut etanol 9,3%, kadar air 6,3%, kadar abu total 15,5%, kadar abu tidak larut asam 2,9% dan kandungan golongan senyawa metabolit sekunder flavonoid, polifenol, kuinon, monoterpen dan seskuiterpen, steroid dan triterpenoid. Isolasi minyak atsiri dengan menggunakan destilasi uap air menghasilkan 2 ml minyak atsiri berwarna kuning muda dan memilki bau khas minyak atsiri daun sintrong. Hasil dari bobot jenis minyak atsiri 0,4508 gram/ml dan nilai indeks bias 3,340. Berdasarkan analisis dengan menggunakan GC-MS, terdapat 46 komponen senyawa golongan minyak atsiri yang memiliki nilai puncak paling tinggi diantaranya bicyclo [3,1,1]heptan 6,6-dimethyl-2 (34,32%) dan sabinen (19,58%). Kata Kunci: Crassocephalum crepidioides (Benth) S.Moore, minyak atsiri, GC-MS. 1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri yang cukup besar di dunia. Alam Indonesia sangat kaya akan tumbuh-tumbuhan yang mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri dapat dihasilkan dari berbagai bagian tanaman seperti akar, batang, ranting, daun, bunga, ataupun buah. Di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Sementara itu, minyak atsiri yang beredar di pasaran dunia ada sekitar 70 jenis (Sukmajaya dkk, 2012). Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, tetapi merupakan campuran senyawa organik yang tersusun lebih dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan. Sebagian komponen minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak bersifat aromatik. Senyawasenyawa ini secara umum disebut terpenoid (Guenther, 2006). Sintrong (Crassocephalum crepidioides) adalah sejenis tanaman gulma yang berasal dari afrika yang kemudian menyebar ke daerah asia dan sampai di Indonesia. Sintrong adalah tumbuhan yang termasuk ke dalam suku Asteraceae. Biasanya masyarakat menggunakan daun sintrong sebagai lalapan, secara tradisional sintrong diketahui bisa mengobati antidiabetes (Nurmalasari M, 2014). Diduga daun sintrong memiliki kandungan minyak atsiri, karena belum banyak pustaka tentang minyak atsiri daun sintrong maka dilakukan penelitian tentang isolasi dan identifikasi minyak atasiri dari daun sintrong menggunakan metode GC-MS. 2. METODE PENELITIAN Pengolahan simplisia Sampel daun sintrong dibersihkan menggunakan air bersih dan mengalir. Daun sintrong segar digunakan untuk isolasi minyak atsiri, sedangkan daun sintrong kering digunakan untuk karakterisasi mutu simplisia (Depkes, 1985). Karakterisasi Mutu Simplisia Pengujian karakteristik mutu simplisia dilakukan untuk mengetahui kualitas mutu simplisa yang terdiri dari karakteristik spesifik meliputi analisis makroskopik, mikroskopik, penapisan fitokimia, kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol serta karaktersitik non spesifik meiputi penetapan kadar air, susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam (Depkes 1995). 83

84 Isolasi Minyak Atsiri dengan Destilasi Uap Air (water and steam distillation) Isolasi minyak atsiri daun sintrong dilakukan dengan cara destilasi uap air. Daunsintrong segar dimasukan ke dalam ketel yang berisi sarangan. Penyulingan diawali dengan memasukan air ke dasar ketel sampai mengisi 1/3 bagian. Bahan daun sintrong disimpan dibagian atas pada sarangan. Setelah itu ketel ditutup rapat, lalu dipanaskan. Pada saat air mendidih, uap airnya akan melewati lubang- lubang pada sarangan dan masuk ke dalam sel simplisia membawa minyak atsiri yang terdapat dalam daun sintrong menuju ke kondensor. Selanjutnya uap air dan minyak atsiri akan ditampung. Minyak atsiri dan air akan terpisah berdasarkan perbedaan bobot jenis. Analisis Organoleptik Minyak atsiri Pemeriksaan organoleptik minyak atsiri dilakukan dengan panca indera terhadap bau, warna dan rasa, dari minyak atsiri daun sintrong (Crassocephalum Crepidioides) hasil didestilasi. Analisis Bobot Jenis Sejumlah minyak atsiri dengan volume tertentu dimasukkan ke dalam piknometer yang telah ditara dan di timbang pada suhu 25 C. Bobot jenis adalah perbandingan bobot terhadap volume minyak atsiri (Depkes, 1979). Analisis Indeks Bias Minyak Atsiri Penetapan dilakukan dengan menggunakan alat Refraktometer Abbe, alat dipasang sedemikian rupa sehingga sinar natrium cukup meneranginya. Prisma pada refraktometer dibersihkan dengan menggunakan alkohol. Sejumlah kecil minyak yang akan diuji diteteskan ke dalam prisma dengan memutar skrup pada prisma hingga prisma sedikit terbuka kemudian skrup ditutup kuat. Biarkan beberapa menit agar suhu dan bahan merata. Gerakan slide mundur atau maju sampai garis atau pita warna yang sangat halus tepat membagi dua bidang terang dan bidang gelap. Nilai indeks bias pada posisi tersebut dicatat (Depkes, 1995). Identifikasi Minyak Atsiri Menggunakan GC-MS Minyak atsiri daun sintrong yang telah diisolasi kemudian dianalisis komponen senyawanya menggunakan alat GC-MS. 3. HASIL PENELITIAN Karakteristik Simplisia Salah satu cara untuk mengendalikan mutu simplisia adalah dengan melakukan standarisasi simplisia. Standarisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam dan akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut. Standarisasi mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus mempunyai persyaratan tertentu (Febrianti, 2014). Standarisasi simplisia dilakukan dengan menetapkan parameter standar yang meliputi karakteristik spesifik dan non spesifik dari simplisia. Hasil karakterisasi terhadap identitas simplisia diketahui tanaman sintrong memiliki nama jenis Crassocephalum crepidioides Benth. Berdasarkan pengamatan makroskopik diperoleh serbuk simplisia berwarna hijau, bau khas daun sintrong, dan memiliki rasa pahit dan untuk pengujian mikroskopik menunjukan adanya jaringan rambut penutup dan kristal oksalat (Gambar 1). Hasil penetapan karakteristik fitokimia simplisia diketahui daun sintrong mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, polifenol, kuinon, monoterpenoid, seskuiterpenoid dan triterpenoid. Hasil karakterisasi terhadap mutu simplisia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengujian Karakteristik Simplisia Parameter Kadar (%) Susut Pengeringan 10,3 % Kadar sari Larut air 16% Kadar sari larut etanol 9,3% Kadar air 6,3% Kadar abu total 15,5 % Kadar abu tidak larut asam 2,9% 84

85 Pengujian parameter simplisa bertujuan untuk mengetahui mutu simplisa daun sintrong yang digunakan untuk penelitian. Pada pengujian kadar air diperoleh simplisia kering daun sintrong memiliki kandungan air sebesar 6,3%. Secara umum simplisia dipersyaratakan memiliki kandungan air tidak lebih dari 10% (Depkes RI, 2008). Hal ini dimaksudkan agar simplisia terhindar dari pertumbuhan mikroba yang dapat mencemari simplisia serta mengehnetikan terjadinya reaksi enzimatis akibat adanya air yang dapat mengubah komposisi senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia. Untuk mengetaui besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan dilakukan uji susut pengeringan. Hasil pengujian diperoleh nilai sebesar 10,3%. Nilai ini lebih besar dibandingkan kadar air, hal ini menunjukkan bahwa di dalam simplisia selain terdapat air juga terdapat senyawa lain yang menguap pada saat pengeringan, misalnya minyak atsiri. Pengujian parameter simplisia yang lainnya adalah kadar abu. Pengujian ini bertujuan untuk melihat jumlah senyawa anorganik yang terkandung dalam simplisia. Senyawa anorganik dalam simplisia dapat bersumber dari internal simplisia (fisiologis) atau pun yang bersifat sebagai pengotor (non fisiologis). Kadar abu yang terlalu tinggi mencerminkan kualitas pengolahan simplisia yang kurang baik, selain itu kadaar abu juga perlu dibatasi jumlahnya karena dapat berbahaya bagi tubuh jika terakumulasi dalam jumlah yang banyak. Isolasi Minyak Atsiri Bahan yang digunakan untuk destilasi minyak atsiri daun sintrong adalah bahan segar. Sampel yang sudah dicuci kemudian dirajang agar kelenjar minyak dapat terbuka sebanyak mungkin, sehingga memudahkan penguapan minyak atsiri saat destilasi berlangsung karena minyak atsiri dikelilingi oleh kelenjar pembuluhpembuluh, dan kantung minyak. Isolasi minyak atsiri dilakukan dengan metode destilasi uap-air. Proses destilasi memerlukan waktu 6-8 jam hingga diperoleh minyak atsiri yang berwarna kuning. Dari g sampel daun sintrong segar didapatkan hasil 2 ml minyak atsiri, rendemen yang didapatkan adalah 0,01 %. Kandungan minyak atsiri dalam suatu bahan tergantung dari umur tanaman dan kandungan minyak di tempat hidupnya, selain itu juga kadar dan mutu minyak atsiri dipengaruhi oleh kesuburan tanah, umur panen (daun muda atau tua), bibit tanaman bagus atau tidak, penanganan sebelum disuling, cara penyulingan, pemisahan minyak dengan air destilatnya serta penyimpanan minyak. Gambar 2. Minyak atsiri daun sintrong hasil destilasi Analisis Mutu Minyak Atsiri Berdasarkan pengamatan panca indera, secara organoleptik minyak atsiri daun sintrong memiliki warna kuning muda, kental dan wangi yang khas seperti bau daun sintrong itu sendiri. Pada penetapan bobot jenis diperoleh nilai bobot jenis minyak atsiri daun sintrong sebesar 0,4508 g/ml. Niai bobot jenis minyak atsiri sangat penting terutama terkait dengan kemurnian dari hasil destilasi. Indek bias merupakan perbandingan antara kecepatan sinar cahaya yang terdapat di dalam udara dan kecepatan cahaya di dalam zat dengan suhu tertentu. Nilai indeks bias bisa mempengaruhi komponen minyak atsiri karena nilai indeks bias yang dihasilkan memiliki hubungan yang sangat erat dengan komponenkomponen yang terkandung dalam minyak atsiri. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan diperoleh nilai indeks bias minyak atsii daun sintrong adalah 3,

86 Untuk mengetahui konponen senyawa minyak atsiri daun sintrong dilakukan karakterisasi dengan menggunakan kromatografi gas yang dirangkai dengan spektrometri massa (GC-MS). Fase diam yang digunakan untuk analisis adalah phenyl methyl silox dan fase gerak gas helium. Analisis spectra massa didasarkan pada base peak (puncak dasar) dan SI (Similarity Indek) dengan perbandingan spectra dari Wiley 7.LIB. Jika nilai SI >90 maka senyawa yang terdeteksi sesuai dengan data pembanding. Berdasarkan hasil pengujian GC-MS menunjukkan terdapat 46 komponen (46 puncak) yang terdeteksi (Gambar 3). Dari data tabel dapat diketahui bahwa minyak atsiri daun sintrong kebanyakan terdiri dari golongan monoterpen yang terelusi dengan waktu retensi 3,864-19,573 menit. (A) Gambar 3. (A) Kromatogram Hasil Pemisahan Kromatografi Gas Sampel Minyak atsiri daun sintrong, (B) Keterangan Puncak Kromatogram Karena minyak atsiri daun sintrong didominasi oleh senyawa hidrokarbon golongan monoterpen dan seskuiterpen yang memiliki atom karbon C10 dan C15 maka pola fragmentasi yang terjadi pada hasil MS adalah pemutusan atom CH misalnya untuk senyawa puncak 9 (sembilan) pada hasil GC memberikan pola fragmentasi yang memilki kemiripan dengan senyawa sabinan dengan nilai SI=95 berdasarkan data WILEY7.LIB (Gambar 4). 86

87 Gambar 4. Hasil Spektrometri Massa, (A) Pola Fragmentasi Puncak 9, (B) Pola Fragmentasi Sabinen Sabinen adalah golongan senyawa monoterpen dengan BM=136, puncak ion molekul ini muncul pada hasil fragmentasi senyawa 9 yang terlihat dengan M/Z 136 pada puncak paling kiri dari spektrum. Hilangnya 15+ massa atom dari m/z 136 ke m/z 121 menunjukkan adanya pelepasan CH3, fragmentasi berlanjut dengan hilangnya 14+ masa atom dari m/z 121 menjadi m/z 107 yang menunjukan pelepasan CH2, selanjutnya kehilangan 14+ masa atom dari m/z 107 ke m/z 93 menunjukan pelepasan -CH2. Puncak dengan m/z 93 ini merupakan base peak yang dihitung dengan intensitas 100%. Nilai intensitas puncak yang lain dihitung relative terhadap base peak. Berdasarkan study literatur minyak atsiri dengan komponen senyawa penyusun golongan monoterpen banyak diketahui memiliki aktivitas sebagai antibakteri, misalnya pada minyak atsiri daun sirih merah dengan komponen minyak atsiri α-tuyan, α-pinen, kamfen, sabinen, β- mirsen dan golongan seskuiterpen yaitu transkariofilen memiliki aktivitas terhadap antibakteri (Siti N, 2010). Adapun hasil pengujian yang lain terhadap minyak atsiri bunga kecombrang dengan komponen senyawa dominan α-pinen memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel HeLa yang lebih tinggi dibandingkan ekstraknya (Utari, E. W., 2013 dan Lestari, T., 2013). Oleh karena itu minyak atsiri daun sintrong juga dapat diteliti lebih lanjut untuk dilakukan pengujian bioaktivitasnya sebagai antibakteri, antikanker, dll. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan isolasi minyak atsiri daun sintrong yang diisolasi menggunakan metode destilasi uap air memberikan rendemen sebanyak 0,01%. Hasil pengujian mutu minyak atsiri daun sintrong memiliki warna kuning jernih, bau agak menyengat yang khas seperti bau daun sintrong serta memiliki nilai bobot jenis 0,4508 gram/ ml dan nilai indeks bias sebesar 3,343.Hasil analisis menggunakan GC-MS menunjukan bahwa minyak atsiri daun sintrong tersusun dari 46 komponen senyawa kimia yang didominasi oleh golongan hidrokarbon monoterpenoid dengan komponen yang memiliki nilai puncak yang paling tinggi diantaranya Bycyclo [3,1,1] heptan,6,6-dimethyl-2 (34,32%), Sabinene (19,58%). 5. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan Republik Indonesia Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta : Departement Kesehatan Republik Indonesia ; hal 4,7,10,15 Departemen Kesehatan Republik Indonesia Materia Medika Indonesia. Edisi VI. Jakarta : Departement Kesehatan Republik Indonesia. hal 333,336,337 Departemen Kesehatan Republik Indonesia Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia Farmakope Herbal Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; hal168, 169, 171 Guenther, E., Minyak Atsiri. Jilid I. Penerbit Universitas Indonesia Press : Jakarta Nurmalasari, Mira Pengaruh Metode Ekstraksi Terhadap Kadar Polifenol Ekstrak Etanol Daun Sintrong (Crassocephalum Crepidioides (Benth).S.moore). [Skripsi]. Prodi SI Farmasi Stikes Bakti Tunas Husada: Tasikmalaya. 87

88 Lestari, T dan Ruswanto. (2015). Fitokimia, Total Phenolic Content dan Sitotoksisitas Ekstrak dan Minyak Atsiri Bunga Kecombrang (Etlingera elatior). Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi Penelitian Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Sukmajaya A.P.T, IG.P, N.M Puspawati,dan A.P Bawa Putra Analisis Minyak Atsiri Daun Tenggulung (Protium javanicum Burm.F.) Dengan Metode Kromatografi Gas- Spektroskopi Massa. Jurnal Kimia Vol.6, No. 2, Juli 2012 hal Utari, E.W., Tresna, L dan Diana S.Z. (2014). Isolasi dan Identifikasi Minyak Atsiri Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Dengan Metode Gass Chromatography Mass Sepctrometry (GC-MS). Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. Vol 12 Nomor 1 Agustus

89 FORMULASI SEDIAAN GEL ANTI JERAWAT EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle L.) Puji Lestari 1, Rika Yulianti 1*, Lusi Nurdianti 1 1 Program studi Farmasi, STIKes BTH Tasikmalaya. * yulianti_kamil@yahoo.co.id Abstrak. Daun sirih merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai anti jerawat. Maka dari itu, peneliti mencoba membuat suatu sediaan dari ekstrak tanaman tersebut, dengan tujuan untuk melihat aktivitas antijerawat ekstrak daun sirih dalam bentuk sediaan gel. Formulasi dibuat dengan menggunakan konsentrasi basis yang sama yaitu karbomer 4%. Berdasarkan hasil evaluasi sediaan yang meliputi pemeriksaan organoleptik, pengukuran ph, pengujian stabilitas, pengukuran viskositas dan aktivitas anti jerawat terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode sumuran yang baik menurut segi farmasetika adalah sediaan dengan basis karbomer 4% dan konsentrasi ekstrak daun sirih (Piper betle L.) 30%. Pada pengujian uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dilakukan terhadap sediaan gel dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 30%, dibandingkan dengan gel yang tanpa ekstrak dan etanol 70%. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri (diameter zona bening), gel ekstrak daun sirih 30% dengan konsentrasi basis karbomer 4% menunjukan hasil zona bening 17,5mm sehingga memberikan aktivitas sebagai bakteriosid yang dapat membunuh bakteri. Dari hasil pengolahan data dengan uji one way ANOVA bahwa gel ekstrak daun sirih yang disimpan pada suhu 27 C dan 10 C menunjukan perbedaan yang tidak signifikan (ρ>0,05) dari segi ph dan viskositas, sedangkan untuk gel ekstrak yang disimpan pada suhu 40 C mengalami perubahan selama penyimpanan konsentrasi ekstrak daun sirih menunjukan perbedaan yang tidak signifikan (ρ<0,05). Kata kunci : Daun sirih, Gel, Antijerawat, Karbomer 1. LATAR BELAKANG Jerawat merupakan penyakit pada permukaan kulit wajah, leher, dada dan punggung yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif sehingga pori-pori kulit akan menyebabkan timbunan lemak yang berlebihan. Jika timbunan itu bercampur dengan keringat, debu dan kotoran lain, maka akan menyebabkan timbunan lemak yang berlebihan. Jika timbunan itu bercampur dengan keringat, debu dan kotoran lain, maka akan menyebabkan timbunan lemak dengan bintik hitam diatasnya yang kita sebut komedo. Jika pada komedo itu terdapat infeksi bakteri, maka terjadilah peradangan yang dikenal dengan jerawat yang ukurannya bervariasi dengan ukuran kecil sampai ukuran besar serta berwarna merah, kadang-kadang bernanah serta menimbulkan rasa nyeri. Antibiotik dapat digunakan untuk mengatasi jerawat, seperti klindamisin, erotromisin, dan tetrasiklin. Agen keratolitik yaitu benzoil peroksida juga dapat digunakan sebagai anti jerawat (Price, et al., 2002). Pengamatan selama 10 tahun menunjukan peningkatan resistensi antibiotik dari 34,5% tahun 1991 sampai 64% tahun 1997 (Coates, et al., 2002). Penggunaan antibiotik sebagai pilihan pertama harus ditinjau kembali untuk membatasi perkembangan resistensi antibiotik (Azrifitria, et al., 2010). Saat ini mulai dikembangkan pemanfaatan tanaman herbal yang berkhasiat sebagai anti jerawat yaitu tanaman daun sirih (Piper betle folium). Berdasarkan pengalaman empiris masyarakat salah satu antibakteri yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan adalah anti bakteri yang terdapat dari daun sirih (piper betle) dari family Piperaceae yang dikenal dengan nama sirih atau ikmo. Umumnya ditanam dipekarangan rumah sebagai tanaman obat yang hampir seluruh bagian tanamannya dapat digunakan. Untuk mempermudah proses penghambatan jerawat dari ekstrak daun sirih maka dibuat sediaan gel untuk pemakaian secara topikal. Sediaan topikal merupakan sediaan yang penggunaannya pada kulit dengan tujuan untuk menghasilkan efek lokal. Bentuk sediaan gel lebih mudah digunakan dan penyebarannya dikulit juga mudah, dilihat dari sifatnya yang lembut, warnanya yang bening, mudah dioleskan, tidak meninggalkan lemak dan mudah dicuci, sehingga banyak orang yang lebih menggunakan gel dibandingkan sediaan yang lainnya. Gel merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Bahan pembawa yang digunakan dalam sediaan topikal akan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap absorpsi obat dan memiliki efek yang menguntungkan jika dipilih secara tepat. 89

90 2. METODE PENELITIAN Cara kerja Determinasi Bahan adalah daun sirih yang berasal dari kecamatan Cikatomas, Kota Tasikmalaya yang dideterminasi di Sekolah Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung. Pembuatan Serbuk Simplisia Daun sirih dikumpulkan, dicuci dengan air bersih lalu ditiriskan dan dikeringkan menggunakan oven. Setelah kering lalu dihaluskan dan diayak dengan mesh 40. Pemeriksaan Mutu Serbuk Pemeriksaan mutu serbuk meliputi: Identifikasi serbuk yaitu pemeriksaan organoleptis meliputi bau, rasa dan warna, pemeriksaan kadar air serbuk, menggunakan metode destilasi toluen dan skrining fitokimia. Pembuatan Ekstrak Secara Maserasi Serbuk sebanyak 500 gram dimasukan ke dalam bejana bermulut lebar, ditambahkan etanol 70% sebanyak 1 liter kemudian didiamkan selama 3x24 jam sambil sesekali diaduk. Maserat disaring dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Pelarut yang masih tertinggal diuapkan menggunakan waterbath. Penapisan Fitokimia Meliputi golongan senyawa kuinon, alkaloid, tannin, polifenol, steroid, triterpenoid, saponin, flavonoid, monoterpenoid dan seskuiterpenoid. Penyusunan Formula Sediaan Dalam penelitian ini formula krim dibuat dengan menggunakan konsentrasi basis yang sama dan ekstrak daun sirih dengan konsentrasi yang berbeda, sehingga formula yang dibuat sebanyak 4 formula. Komposisi Tabel 3.1. Formula Sediaan Gel Konsentrasi F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 Ekstrak Daun Sirih 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% Karbomer 4% 4% 4% 4% 4% 4% 4% Trietanolamin 0,5% 0,5% 0,5% 0,5% 0,5% 0,5% 0,5% Propilenglikol 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% Metil Paraben 0,18% 0,18% 0,18% 0,18% 0,18% 0,18% 0,18% Propil Paraben 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% Oleum rosae qs qs qs qs qs qs qs Aquadest ad 100 ad 100 ad 100 ad 100 ad 100 ad 100 ad 100 Pembuatan Sediaan Basis dikembangkan dengan air panas, kemudian ditambah trietanolamin sedikit demi sedikit hingga membentuk massa gel. Tambahkan propilenglikol. Zat aktif yang telah diencerkan dengan sedikit etanol dimasukkan ke dalam basis kemudian ditetesi oleum rosae dan dicukupkan bobotnya dengan aquadest hingga 100 gram. Evaluasi Fisik dan Uji Kesukaan Sediaan Evaluasi terhadap krim yang diformulasi meliputi pemeriksaan organoleptik, ph, stabilitas, viskositas, uji kesukaan terhadap 30 responden dan pengujian aktivitas sediaan terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Analisis Data Hasil evaluasi sifat fisik sediaan dianalisis menggunakan metode Anova dan uji kesukaan menggunakan metode Friedman Test. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Fitokimia Berdasarkan hasil skrining fitokimia diketahui bahwa ekstrak daun sirih (Piper betle L.) mengandung senyawa saponin, tannin, kuinon dan monoseskuiterpen. Formulasi Sediaan Gel Pada pembuatan sediaan gel ini, ekstrak daun sirih diekstraksi dengan metode maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70%, pemilihan metode maserasi ini didasarkan pada sifat fisika-kimia dari 90

91 metabolit sekunder yang akan ditarik, dimana saponin dan tannin larut pada pelarut yang polar. Formulasi sediaan gel ekstrak daun sirih (Piper betle L) dibuat dengan menggunakan tujuh konsentrasi ekstrak yang berbeda yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30%. Basis gel yang digunakan adalah basis karbomer dengan konsentrasi yang sama. Penambahan propilenglikol bertujuan sebagai humektan untuk menjaga kelembapan kulit dan mencegah kehilangan air dari sediaan. Evaluasi Sediaan Pengamatan Organoleptik Selama masa penyimpanan, hasil pemeriksaan yang dilakukan menunjukan bahwa semua sediaan gel ekstrak daun sirih stabil, baik dari segi konsistensi, bau dan warna. Pengukuran ph Gel ekstrak daun sirih ini ditujukan untuk penggunaan sediaan secara topikal, maka dari itu ph dari sediaan berubah sesuai dengan ph kulit yaitu berkisar antara 4,5-6,5 karena ph ini sangatlah berpengaruh terhadap laju penetrasi terhadap sediaan dan tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang hidrofil juga terhadap kestabilan viskositas dari sediaan gel. Dari hasil pengamatan terhadap lamanya penyimpanan diperoleh hasil ph dari ke 7 formula ini memiliki rentang ph yang sesuai dengan rentang ph kulit normal, dan secara analisis statistik menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Pengukuran Viskositas Viskositas merupakan salah satu parameter yang menentukan mutu dari sediaan gel yang dibuat. Pengukuran viskositas pada sediaan gel digunakan dengan menggunakan Viskometer Brookfiled. Prinsip dari pengukuran viskositas dengan viscometer brookfield adalah mengukur besarnya hambatan akibat kekentalan suatu fluida yang diukur. Pengukuran viskositas pada tiap sediaan gel yang dibuat diukur menggunakan spindle no. 6 dengan kecepatan perputaran yang berbeda, karena jika pada pemeriksaan viskositas kecepatan perputaran dari tiap formula sama maka viskometer tidak akan mampu membaca nilai viskositas dari sediaan, hal ini disebabkan karena konsistensi dari sediaan yang berbeda. Hasil analisis secara statistik menunjukan bahwa viskositas tiap formula berbeda secara bermakna. Uji Kesukaan Penilaian yang dilakukan meliputi kelembutan, kemudahan diratakan, kemudahan dibersihkan, kelengketan dan organoleptik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari semua parameter penilaian memberikan hasil analisis yang tidak bermakna yang artinya dengan perbedaan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam formula tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap penilaian responden. Uji Aktivitas Anti Jerawat Sediaan Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap formula dengan konsentrasi paling besar yaitu Formula 7, menggunakan metode sumuran (hole method) untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh ekstrak daun sirih (Piper betle L.) dalam menghambat pertumbuhan bakteri Sthapylococcus aureus. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pada formula 7 memiliki daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang ditandai dengan adanya zona bening disekitar gel sebesar 17,5 mm. Beda dengan pembanding formula tanpa ekstrak memberikan daya sebesar 1,55 mm, sedangkan zona bening untuk kontrol positif sebesar 15 mm. 4. KESIMPULAN Bahwa formula yang paling baik berdasarkan hasil uji evaluasi adalah formula dengan konsentrasi basis karbomer 4% dan ekstrak sirih 30%, dan berdasarkan hasil uji pada bakteri Staphylococcus aureus menyatakan bahwa formula tersebut memiliki aktivitas penghambatan sebesar 15,95 mm. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terimakasih kepada pihak Yayasan, seluruh civitas akademika STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya atas kerjasama dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan lancer. 6. DAFTAR PUSTAKA Agoes, Azwar Tanaman Obat Indonesia. Jakarta : Salemba Medika Agus dan Tinyon Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta: PT. Argomedia Pustaka Anief, M Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Anonim Farmakope indonesia Jilid 4. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ansel, Howard.C Pengantar Sediaan Farmasi, Edisi keempat Jakarta: UI Press. 91

92 Anwar, effionora Eksipien dalam sediaan Farmasi. Jakarta : PT. Dian Rakyat. Citrosupomo, gembong Taksonomi tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Departeman Kesehatan Republik Indonesia Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan RI, (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat: Jakarta Harahap, marwali Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. Hariana, arief Tumbuhan Obat dan Khasiat. Jakarta : Penebar Swadaya. Lachman, Leon, dkk, (1994). Teori Dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Ketiga. UI Press: Jakarta. Martin, Alfred., dkk, (1993). Farmasi Fisik, Edisi Kedua. UI Press: Jakarta. Syaifuddin Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta : Salemba Medika. Wade, A and P.J Waller, (1994). Handbook of Pharmaceutical Excipient, 2 nd ed, The Pharmaceutical Press. London. 92

93 ANALISIS IKATAN HIDROGEN PADA PEMBENTUKAN KOKRISTAL KETOKONAZOL DENGAN ASAM ADIPAT Indra 1* 1 Program Studi Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya * indraf04@gmail.com Abstrak. Kokristal merupakan material padat yang terdiri dari dua atau lebih molekul padat yang membentuk satu kisi kristal yang berbeda dan dihubungkan oleh ikatan antar molekul seperti ikatan hidrogen. Kokristal memiliki potensi untuk diterapkan pada semua zat aktif, termasuk asam, basa, dan molekul yang tidak terionisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan ikatan hidrogen yang terjadi pada kokristal ketokonazol (KTZ) dan asam adipat (AD) dengan menganalisis posisi donor-akseptor dan muatan atom-atom pada molekul ketokonazol dan asam adipat. Crystallographic information file (cif) diunduh dari Open Crystallography Database kemudian divisualisasikan menggunakan software Mercury 3.3. Analisis donor-akseptor proton dan muatan atom-atom ketokonazol dan asam adipat dilakukan menggunakan software Marvin Sketch Berdasarkan hasil visualisasi packing kokristal KTZ dengan AD dapat diketahui bahwa pembentukan ikatan hidrogen terjadi pada atom N21 dan O36 pada KTZ dengan dua gugus karboksilat AD. Hal ini sesuai dengan hasil analisis posisi donor-akseptor pada atom KTZ dan AD yang dilanjutkan dengan analisis muatan pada atomatom tersebut bahwa atom N21 dan O36 pada KTZ dan asam karboksilat pada AD memiliki peluang yang paling besar untuk terbentuknya ikatan hidrogen. Kata kunci: Kokristal, ketokonazol, ikatan hidrogen 1. LATAR BELAKANG Salah satu metode menarik dan sederhana yang baru-baru ini dikembangkan dalam bidang ilmu bahan dan rekayasa kristal untuk meningkatkan laju pelarutan dan ketersediaan hayati obat-obat yang sukar larut adalah teknik kokristalisasi untuk menghasilkan kokristal (senyawa molekular) dengan sifat-sifat fisika dan fisikokimia yang lebih unggul. Kokristal dapat didefinisikan sebagai kompleks kristal yang terdiri dari dua atau lebih konstituen molekul yang terikat bersama-sama dalam kisi kristal melalui interaksi nonkovalen terutama ikatan hidrogen (Trask, et al., 2006). Agar dapat membentuk kokristal, zat aktif yang digunakan harus memiliki gugus yang mampu berikatan secara nonkovalen dengan koformer. Pada penelitian bertujuan untuk menganalisis pembentukan ikatan hidrogen yang terjadi pada kokristal ketokonazol (KTZ) dan asam adipat (AD) dengan menganalisis posisi donor-akseptor dan muatan atom-atom pada molekul ketokonazol dan asam adipat. 2. METODE PENELITIAN Alat penelitian yang digunakan adalah software Mercury 3.3, dan Marvin Sketch Crystallographic information file (cif) diunduh dari Open Crystallography Database. Yang divisualisasikan menggunakan program mercury 3.3. Struktur senyawa KTZ dan AD dilakukan analisis jumlah, posisi dan muatan (charge) pada atom-atom KTZ dan AD yang diprediksikan sebagai proton donor-akseptor pada pembentukan ikatan hidrogen menggunakan software Marvin Sketch HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur molekul KTZ dan AD dibuat bentuk dua dimensi dengan menggunakan Software Marvin Sketch selanjutnya dibentuk model tiga dimensi dengan menggunakan Software Marvin View dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 1. 93

94 Gambar 1. Hasil Pemodelan senyawa bentuk 2 dan 3 dimensi Struktur KTZ dan AD dilakukan analisis untuk menentukan jumlah dan letak atom yang berperan sebagai proton donor dan akseptor dengan menggunakan software marvin sktetch. Analisis dilakukan pada menu H Bond Donor/Acceptor, dengan menggunakan seting ph lower limit = 0 ph upper limit = 14, ph step size = 0.5 dan hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar 4.2 Gambar 2. Proton Donor dan Akseptor pada AD (A) dan KTZ (B) Pada gambar 4.2 dapat diperoleh informasi bahwa untuk molekul AD memiliki jumlah proton donor sebanyak 2 atom dan proton akseptor sebanyak 4 atom. Pada molekul KTZ proton akseptor berjumlah 8 atom sedangkan proton donor tidak dimiliki oleh struktur KTZ. Atom oksigen pada gugus hidroksil dan karbonil pada molekul AD berperan sebagai proton akseptor karena atom oksigen memiliki muatan elektronegatifitas yang besar. Atom hidrogen memiliki ukutan atom yang kecil dan medan elektropositifitas yang besar sehingga dapat bergerak mendekat ke atom elektronegatif membentuk jenis gabungan elektrostatis yaitu ikatan hidrogen. Struktur molekul KTZ dan AD pada tabel 4.1 dilakukan perhitungan muatan atom menggunakan software Marvin Sketch , perhitungan dilakukan dengan menyertakan atom hidrogen dan semua ikatan baik phi maupun sigma. Hasilnya divisualisasi menggunakan Software Marvin Space. Pada gambar 4.3 dan 4.4 warna biru menunjukan muatan atom lebih positif sedangkan atom yang memiliki muatan negatif ditunjukan dengan warna merah. Permukaan struktur ketokonazol pada atom N21 dan O36 memiliki warna permukaan merah yang menandakan bahwa atom-atom tersebut memiliki muatan yang elektronegatif dengan nilai muatan masing-masing sebesar dan Hal ini mengindikasikan bahwa atom N21 dan O36 diprediksikan sebagai atom yang akan bertindak sebagai proton akseptor apabila terjadi interaksi dengan suatu senyawa yang dapat memberikan proton (proton donor) sehingga akan terbentuk suatu ikatan (jembatan) hidrogen. 94

95 Gambar 3. Muatan (charge) pada struktur Ketokonazol Struktur molekul AD memiliki gugus karbonil dan hidroksil pada dua sisi, sehingga warna permukaan merah dan biru terletak dikedua sisi molekul AD. Proton donor terletak pada gugus hidroksil sehingga berjumlah 2 yaitu pada atom H19 dan H20 dengan nilai muatan yang sama yaitu Proton akseptor pada molekul AD terdapat pada gugus hidroksil yaitu atom O8 dan O10 dengan nilai muatan dan gugus karbonil yaitu atom O7 dan O9 dengan nilai muatan sebesar Gambar 4 Muatan (charge) pada struktur Asam Adipat Struktur kristal KTZ dan kokrital KTZ-AD diperoleh dari Open Crystallography Database yang kemudian divisualisasikan menggunakan software Mercury (Versi Trial 3.3) (CCDC, Cambridge, UK) untuk menganalisa crystal packing motif, ikatan hidrogen pada packing kristal secara 3 dimensi. Hasil visualisasi struktur kristal KTZ dan AD dapat dilihat pada gambar 4.5. Gambar 5. Visualisasi struktur kristal KTZ dan kokristal KTZ-AD Berdasarkan hasil visualisasi packing kristal kokristal KTZ-AD dapat diketahui bahwa pembentukan kokristal antara KTZ dengan AD terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen antara atom N21 dan O36 pada ketokonazol dengan gugus karboksilat pada kedua sisi asam adipat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis posisi proton-donor dan muatan atom pada molekul KTZ dan AD. Ikatan hidrogen terjadi pada atom N21 dan atom O36 pada molekul KTZ. Atom N21dan O36 pada KTZ terletak pada permukaan molekul KTZ yang paling luar 95

96 hal ini dapat dilihat pada hasil visualisasi terlihat warna merah yang dominan. Posisi atom N21 dan atom O36 tersebut memudahkan terjadinya interaksi dengan proton donor pada dua sisi gugus karboksilat AD sehingga terjadi pembentukan ikatan hidrogen antara KTZ-AD. 4. KESIMPULAN Kokristal terbentuk melalui interaksi nonkovalen terutama ikatan hidrogen. Analisis ikatan hidrogen pada packing kokristal yang sudah terbentuk penting dilakukan untuk dapat memprediksikan pembentukan kokristal pada BAF atau koformer yang berbeda. Berdasarkan hasil visualisasi packing kokristal KTZ dengan AD dapat diketahui bahwa pembentukan ikatan hidrogen terjadi pada atom N21 dan O36 pada KTZ dengan dua gugus karboksilat AD. Hal ini sesuai dengan hasil analisis posisi donor-akseptor pada atom KTZ dan AD yang dilanjutkan dengan analisis muatan pada atom-atom tersebut bahwa atom N21 dan O36 pada KTZ dan asam karboksilat pada AD memiliki peluang yang paling besar untuk terbentuknya ikatan hidrogen. 5. DAFTAR PUSTAKA Aher, S., Dhumal, R., Mahadik, R., Ketolainen, J., Paradkar, A., 2013, Effect of Cocrystallization Techniques on Compressional Properties of Caffeine/Oxalic Acid 2:1 Cocrystal, Pharmaceutical Development and Technology, 18(1), Carstensen, J.T., 2001, Advanced Pharmaceutical Solid, Taylor & Francis, Chattoraj, S., Shi, L., Sun, C.C., 2010, Understanding the Relationship Between Crystal Structure, Plasticity and Compaction Behaviour Of Theophylline, Methyl Gallate, and their 1:1 Cocrystal, Crystal Engineering Communication, 12, Chow, S.F., Chen, M., Shi, L., Chow, A.H.L., Sun, C.C., 2012, Simultaneously Improving The Mechanical Properties, Dissolution Performance, and Hygroscopicity of Ibuprofen and Flurbiprofen by Cocrystallization with Nicotinamide, Journal of Pharmacy Research, 29, Datta S, Grant D.J.W, (2004). Crystal Structures of Drugs: Advances in Determination, Prediction and Engineering, Nature Reviews Drug Discovery, 3, Friscic, T., Jones, W., 2008, Recent Advance in Understanding the Mechanism of Cocrystal Formation via Grinding, Journal Crystal Growth and Design, 9(3), Gilmore, C. J., 2011, X-Ray Diffraction, in: Solid State Characterization of Pharmaceuticals, R. A. Storey., I. Ymén, John Wiley & Sons Ltd., United Kingdom, Grossjohann, C., Eccles, K.S., Maguire, A.R., Lawrence, S.E., Tajber. L, Corrigan, O.I., Healy, A.M., 2012, Characterisation, Solubility and Intrinsic Dissolution Behaviour of Benzamide:Dibenzyl Sulfoxide Cocrystal, International Journal of Pharmaceutics, 422(1-2), Hanysova, L., Vaclavkova, M., Dohnal, J., Klimes, J., 2005, Stability of Ramipril in the Solvents of Different ph, Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 37, Joshi, A.B., Patel, S., Kaushal, A.M., Bansal A.K., 2010, Compaction Studies of Alternate Solid Forms of Celecoxib, Advanced Powder Technology, 21, Karki, S., Friscic, T., Fabian, L., Laity, P.R., Day, G.M., Jones, W., 2009, Improving Mechanical Properties of Crystalline Solids by Cocystal Formation: New Compressible Forms of paracetamol, Journal Advanced Materials, 21, Lee, T., Chen H.R., Lin H.Y., Lee, H.L., 2012., Continuou Co-Crystallization As a Separation Technology: The Study of 1:2 Co-Crystal of Phenazine-Vanilline, Journal Crystal Growth., 12, Lu, E., Nair, R,H., Suryanarayanan, R., 2008, A Rapid Thermal Method for Cocrystal Screening, Crystal Engineering Communication, 10 (6), Qiu, Y., Chen, Y., Zhang, G.G.Z., 2009, Pharmaceutical Theory and Practice : Developing Solid Oral Dosage Forms, Elsevier s Science & Technology., United Kingdom, Rahman, Z., Samy R., Sayeed V.A., Khan M.A., 2012, Physicochemical and Mechanical Properties of Carbamazepine Cocrystal With Sacharin, Pharmaceutical Development and Technology, 17(4), Rasenack N, Muller BW, 2002, Crystal Habit and Tableting Behavior, Int. Journal of Pharmaceutics, 244, Setyawan, D., 2012, Pengaruh Variasi Kompresi dan Berbagai Jenis Eksipien Terhadap Karakteristik Fisik Eritromisin Stearat dan Sediaan Tabletnya, Disertasi Program Studi Doktor Farmasi, Institut Teknologi Bandung. Shariare, M.H.,Leusen F.J.J., Matas, M, York, P., Anwar J, 2011, Prediction the Mechanical Behaviour of Crystalline Solid, Pharmaceutical Research. Trask, A.V., and Jones, W., 2005, Crystal Engineering of Organic Co-crystals by The Solid State Grinding Approach, Topics in Current Chemistry, 254,

97 UJI AKTIVITAS ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL DAUN SRIKAYA (Annona squamosa L.) dan DAUN JOMBANG (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG DIINDUKSI POTASSIUM OXONATE Tita Nofianti 1 *, Reny Nurilahi 1, Norries Fachlevy Kristiana Putra 1 1 Program Studi S-1 Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Jl. Cilolohan No. 36 Kota Tasikmalaya * Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang uji aktivitas antihiperurisemia ekstrak etanol daun srikaya (Annona squamosa L) dan daun jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) terhadap tikus putih jantan galur Sprague dawley yang diinduksi potassium oxonate. Tikus dibagi menjadi 9 kelompok perlakuan dan setiap kelompok terdiri atas 5 ekor tikus. Kelompok I (Kelompok normal) mendapat perlakuan diberikan suspensi PGA 1% secara oral, kelompok II (Kontrol negatif) diberikan suspensi PGA 1% secara oral dan induksi potassium oxonate dosis 300 mg/kg BB tikus secara intraperitonial, kelompok III (Kontrol positif) diberikan allopurinol dosis 9 mg/kg BB tikus, kelompok IV (Dosis uji I) diberikan ekstrak etanol daun srikaya dosis 67,5 mg/kg BB tikus, kelompok V (Dosis uji II) diberikan ekstrak etanol daun srikaya dosis 135 mg/kg BB tikus, kelompok VI (Dosis uji III) diberikan ekstrak etanol daun srikaya dosis 270 mg/kg BB tikus, kelompok VII (Dosis uji IV) diberikan ekstrak etanol daun jombang dosis 48,5 mg/ Kg BB tikus, kelompok VIII (Dosis uji V) diberikan ekstrak etanol daun jombang dosis 97 mg/kg BB tikus, kelompok IX (Dosis uji VI) diberikan ekstrak etanol daun jombang dosis 194 mg/kg BB tikus, Pemberian sediaan uji dilakukan secara oral dan 1 jam kemudian di induksi dengan potassium oksonat secara intraperitonial. Penetapan kadar asam urat dilakukan dengan menggunakan metode Urikase-PAP. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian ekstrak etanol daun srikaya dan ekstrak etanol daun jombang dapat menurunkan kadar asam urat secara signifikan. Penurunan kadar asam urat yang paling baik dari kelompok ekstrak uji dimiliki oleh kelompok dosis uji II dengan persentase penurunan sebesar 52,63 % diikuti dengan kelompok dosis uji VI sebesar 44,08 %, kelompok dosis uji III yaitu sebesar 35,53 %, dosis uji I yaitu sebesar 27,96 %, dosis uji V yaitu sebesar 26,32 % dan dosis uji IV yaitu sebesar 12,83%. Kata kunci : Srikaya, Jombang, Antihiperurisemia, Potassium oxonate. 1. LATAR BELAKANG Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta, penderita penyakit rematik gout dari tahun ke tahun semakin meningkat dan ada kecenderungan diderita pada usia semakin muda, yaitu kelompok usia produktif (30 sampai 50 tahun). Oleh karena itu, jika penyakit ini tidak ditangani secara tepat, maka gangguan yang ditimbulkan dapat menurunkan produktivitas kerja (Krisnatuti, 1997 dalam Azizahwati et al, 2005). Penyakit tersebut disebabkan oleh kelainan enzim ataupun karena pola hidup mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi sehingga meningkatkan kadar asam urat darah (hiperurisemia) yang pada akhirnya akan terakumulasi sebagai kristal monosodium urat dijaringan lunak terutama persendian (Azizahwati, 2005). Usaha untuk menurunkan kadar asam urat darah dapat dilakukan dengan mengurangi produksi asam urat atau meningkatkan eksresi asam urat oleh ginjal (Kristiani, 2013). Allopurinol adalah contoh obat yang bekerja menghambat pembentukan asam urat melalui penghambatan aktivitas enzim xantin oksidase dan probenesid merupakan contoh obat urikosurik yang dapat meningkatkan eksresi asam urat dengan menghambat reabsorbsi ditubulus ginjal ( Katzung et al., 2012). Namun obat tersebut memiliki efek samping yang merugikan yaitu gangguan kulit, lambung, usus, gangguan darah, dan interstisial nefritis akut (Tarigan, 2012). Dari hasil penelitian diketahui bahwa daun srikaya (Annona squamosa L.) mengandung senyawa metabolit sekunder, yaitu flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid, steroid, alkaloid, dan kumarin (Mulyani, 2013). Sedangkan serbuk herba jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, tanin, minyak atsiri, kumarin, saponin, steroid dan triterpenoid (Winarti, 2007). Senyawa flavonoid dapat menghambat kerja xantin oksidase sehingga menghambat pembentukan asam urat dalam tubuh (Hayani, 2011). 97

98 2. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat yang digunakan terdiri dari Photometer TC-3300, centrifugator H-C-12, Rotary evaporator, timbangan analitik, kandang tikus, sonde oral, mortir dan stemper, maserator, gelas kimia (Pyrex), batang pengaduk,corong (Pyrex), pipet tetes, clini pet, tip, tabung eppendorf, cawan penguap, panci, pisau bedah, botol semprot, vial, tabung reaksi (Pyrex), rak tabung, penjepit kayu, dan spuit 2 cc. Bahan yang digunakan adalah daun srikaya, daun jombang, etanol 70%, Potassium oxonate, allopurinol, reagen kit Uric acid, serum darah tikus, kloroform, PGA 1%, FeCl 3, gelatin 1%, serbuk Zn, HCl 2N, amil alkohol, pereaksi dragendorf, pereaksi mayer, pereaksi bouchardat, amonia, CHCl 3, NaOH, vanilin-asam sulfat, pereaksi Lieberman-bouchard. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang diperoleh dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor yang berumur 2-3 bulan dengan bobot badan ± gram. Determinasi Tumbuhan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun srikaya (Annona squamosa L.) dan daun jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) yang diperoleh dari kebun percontohan manoko di Lembang- Bandung. Bahan baku yang telah dikumpulkan kemudian dipastikan identitasnya di Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung (UNPAD). Preparasi Sampel Daun srikaya (Annona squamosa L.) dan daun jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) dikumpulkan dari kebun percontohan manoko Lembang-Bandung. Daun srikaya (Annona squamosa L.) dan daun jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) segar dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran yang menempel, kemudian dicuci menggunakan air yang mengalir dan bersih, kemudian dikeringkan setelah itu dilakukan sortasi dari bahan asing yang masih menempel pada daun srikaya kering, daun yang sudah dinyatakan bersih dihaluskan hingga diperoleh serbuk daun srikaya. Serbuk tersebut selanjutnya disimpan pada tempat kering dalam wadah tertutup rapat (Agoes, 2007). Pembuatan Ekstrak Daun Srikaya Serbuk daun srikaya (Annona squamosa L.) dan daun jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund) masing-masing sebanyak 250 gram diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Serbuk dimasukan kedalam maserator dan ditambahkan pelarut etanol 70% sampai terendam pada suhu ruang, rendam selama 6 jam pertama sambil sekali-sekali diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam. Kemudian filtrat ditampung dan residunya direndam lagi beberapa kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama sampai filtrat menjadi tidak lagi berwarna, kemudian pekatkan dengan Rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental. Bobot ekstrak kering yang diperoleh kemudian ditimbang. Rendemen ekstrak dihitung dengan membandingkan bobot ekstrak yang diperoleh terhadap bobot sampel awal. Skrining Fitokimia Terhadap Simplisia dan Ekstrak Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia metabolit sekunder yang dimiliki oleh daun srikaya dan daun jombang. Senyawa metabolit sekunder yang diujikan adalah alkaloid, flavonoid, polifenolat, tanin, steroid, triterpenoid, monoterpen, seskuiterpen, saponin, dan kuinon. Pengujian aktivitas Antihiperurisemia atau Gout Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley berumur 2-3 bulan dengan bobot badan ± gram sebanyak 30 ekor. Tikus diadaptasikan selama 7 hari sebelum dilakukan percobaan, makan dan minum tetap diberikan, Tikus dipuasakan selama 18 jam pada hari ke-7 sampai hari ke-8 (Ariyanti et al, 2007). Pengujian aktivitas antihiperurisemia yang dilakukan menggunakan metode induksi potassium oxonate, dengan langkah-langkah sebagai berikut : Hewan dikelompokan menjadi 6 kelompok, Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya pada hari setelah aklimatisasi, yaitu sebagai berikut : Kelompok normal, tikus diberikan suspensi PGA 1% secara oral. Kelompok kontrol negatif (-), tikus diberikan suspensi PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Kelompok kontrol positif (+), tikus diberikan allopurinol secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. 98

99 Kelompok dosis uji I, tikus diberikan ekstrak etanol daun srikaya dosis 67,5 mg/kg BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Kelompok dosis uji II, tikus diberikan ekstrak etanol daun srikaya dosis 135 mg/kg BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Kelompok dosis uji III, tikus diberikan ekstrak etanol daun srikaya dosis 270 mg/kg BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Kelompok dosis uji IV, tikus diberikan ekstrak etanol daun jombang dosis 48,5 mg/kg BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Kelompok dosis uji V, tikus diberikan ekstrak etanol daun jombang dosis 97 mg / Kg BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Kelompok dosis uji VI, tikus diberikan ekstrak etanol daun jombang dosis 194 mg/kg BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberikan Potassium oxonate secara intraperitonial. Satu jam setelah pemberian pottasium oxonate kemudian diperiksa kadar asam urat dengan menggunakan reagen kit Uric Acid dan diperiksa dengan Photometer TC Penetapan kadar asam urat menggunakan metode kolorimetri dengan pereaksi enzimatik (metode urikase- PAP). Pada tabung eppendorf, sampel dimasukan kemudian supaya darah dapat memisah dengan serum maka disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Setelah itu serum dipisahkan kedalam tabung eppendorf sebanyak 20 µl serum dan juga dimasukkan 1000 µl pereaksi asam urat (Uric acid). Selanjutnya dikocok dan di inkubasi pada suhu 25 0 C selama 15 menit. Hingga terbentuk warna merah muda. Warna senyawa stabil selama 30 menit sejak diinkubasi. Penetapan kadar asam urat dilakukan dengan menggunakan Photometric pada panjang gelombang 546 nm (Reagen Uric Acid AIM). Analisis Data Data yang diperoleh adalah kadar asam urat kemudian dianalisis menggunakan metode statistik yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, uji ANOVA dan uji LSD. Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% (Priyanto, 2008). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Determinasi Tumbuhan Determinasi ini bertujuan untuk menetapkan kemurnian sampel daun srikaya dan daun jombang yang berkaitan dengan ciri-ciri makroskopis dengan mencocokkan ciri-ciri tersebut terhadap pustaka. Hasil determinasi yang telah dilakukan di Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD) menunjukan bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun srikaya (Annona squamosa L.) dan daun jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund). Hasil Ekstraksi Daun Srikaya (Annona squamosa L.) dan Daun Jombang (Taraxacum campylodes G.E.Haglund). Serbuk daun srikaya dan daun jombang masing-masing dilakukan ekstraksi menggunakan metode maserasi (cara ekstraksi dingin) untuk mencegah rusaknya senyawa-senyawa kimia yang tidak tahan pemanasan, khususnya flavonoid. Maserasi dilakukan dengan merendam simplisia dengan pelarut ekstraksi disertai pengadukan konstan selama 6 jam. Proses ini dilanjutkan dengan didiamkan selama 18 jam berikutnya agar terjadi kesetimbangan diantara senyawa kimia yang tertarik dalam maserat dan yang masih tertinggal dalam simplisia. Maserasi dilakukan sampai sudah terjadi perubahan warna filtrat yang didapatkan pada setiap kali maserasi, yaitu dari warna hijau tua kehitaman hingga warna hijau kecoklatan. Perubahan warna dapat dijadikan indikator telah tertariknya senyawa-senyawa berbobot molekul rendah seperti saponin, tanin, terpenoid, dan flavonoid pada proses ekstraksi (Harborne, 1996). Pelarut yang digunakan yaitu etanol 70 % karena kebijakan pemerintah yang membatasi penggunaan cairan pelarut ekstraksi. Terkait dengan toksisitasnya, sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan untuk diujikan pada hewan coba adalah air dan alkohol (etanol) serta campuran air:etanol. Karena dinilai cukup 99

100 polar untuk menarik flavonoid sebagai senyawa aktif yang diduga berperan besar dalam penelitian ini (Nathasa, 2012). Pada tahap selanjutnya, seluruh maserat diuapkan menggunakan rotary evaporator dan penangas air dengan suhu maksimal 50 0 C sehingga didapatkan ekstrak kental. Banyaknya simplisia daun srikaya dan daun jombang yang diekstraksi adalah sebanyak 250 gram. Setelah dilakukan maserasi dan evaporasi, didapat berat ekstrak etanol kental daun srikaya sebanyak 34,31 gram, sehingga diperoleh rendemen sebanyak 13,72%. Sedangkan berat ekstrak etanol kental daun jombang sebanyak 56,92 gram, sehingga diperoleh rendemen sebanyak 22,77% Hasil Skrining Fitokimia Skrining fitokimia secara kualitatif bertujuan untuk mengetahui kandungan golongan senyawa kimia yang ada didalam simplisia dan ekstrak. Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Daun Srikaya Daun Srikaya Daun Jombang Pengujian Simplisia Ekstrak Simplisia Ekstrak Alkaloid Tanin& Polifenol Flavonoid Saponin Steroid& Triterpenoid Monoterpen& Seskuiterpen Kuinon Keterangan : (+) = Terdeteksi (-) = Tidak Terdeteksi Berdasarkan dari tabel tersebut diketahui bahwa simplisia dan ekstrak etanol daun srikaya mengandung alkaloid, polifenol, flavonoid, dan steroid. Sedangkan simplisia dan ekstrak etanol daun jombang mengandung flavonoid, saponin, kuinon, monoterpen dan seskuiterpen. Analisis Data Hasil Pengukuran Kadar Asam Urat Berdasarkan Tabel 2 hasil pengukuran rata-rata kadar asam urat dalam serum tikus putih jantan setelah pemberian induksi pottasium oxonate dosis 300 mg/kg BB tikus dari masing-masing kelompok uji terhadap uji aktivitas antihiperurisemia ekstrak etanol daun srikaya dan daun jombang menggunakan metode Urikase-PAP dengan berbagai variasi dosis yaitu dosis uji I (67,5 mg/kg BB tikus), dosis uji II (135 mg/kg BB tikus) dan dosis uji III (270 mg/kg BB tikus), dosis uji IV (48,5 mg/kg BB tikus), dosis V (97 mg/kg BB tikus), dosis VI (194 mg/kg BB tikus) bahwa kadar asam urat tiap kelompok bervariasi. Dari kesembilan kelompok uji, kadar rata-rata asam urat untuk kelompok normal paling rendah dibanding dengan kelompok lainnya dan kelompok kontrol negatif paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain. Diantara kesembilan kelompok dosis uji, kelompok dosis uji II ekstrak etanol daun srikaya (135 mg/kg BB tikus) memiliki kadar rata-rata asam urat paling rendah yaitu 2,88 mg/dl, kemudian kelompok dosis uji VI ekstrak etanol daun jombang (194 mg/kg BB tikus) dengan kadar rata-rata asam urat 3,40 mg/dl. Kelompok dosis uji III dan I ekstrak etanol daun srikaya (270 mg/kg BB tikus) dan (67,5 mg/kg BB tikus) dengan kadar rata-rata asam urat 3,92 dan 4,38 mg/dl, kelompok dosis uji V dan IV ekstrak etanol daun jombang dengan kadar rata-rata asam urat 4,48 dan 5,30 mg/dl. 100

101 Tabel 2. Kadar Asam Urat dari Masing-masing Kelompok Pengujian Pada Uji Aktivitas Penurunan Kadar Asam Urat Ekstrak Etanol Daun Srikaya dan Daun Jombang Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Normal Kontrol (-) Kontrol (+) Dosis I Dosis II Dosis III Dosis IV Dosis V Dosis VI ± 0.14 ± 0.26 ± 0.23 ±0.15 ±0.42 ±0.28 ± 0.30 ± 0.30 ± 0.19 Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa ekstrak etanol daun srikaya pada dosis II memiliki kemampuan yang paling baik dalam menurunkan kadar asam urat daripada kelompok dosis uji I dan dosis uji III dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Sedangkan ekstrak etanol daun jombang dosis uji IV memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan dosis uji V dan dosis uji VI meskipun belum mampu menurunkan kadar asam urat melebihi allopurinol sebagai obat pembanding yang memiliki efektivitas terbaik. Penurunan kadar asam urat yang paling baik dari kelompok ekstrak uji dimiliki oleh kelompok dosis uji II dengan persentase penurunan sebesar 52,63 % diikuti dengan kelompok dosis uji VI sebesar 44,08 %, kelompok dosis uji III yaitu sebesar 35,53 %, dosis uji I yaitu sebesar 27,96 %, dosis uji V yaitu sebesar 26,32 % dan dosis uji IV yaitu sebesar 12,83%. Hasil Analisis Normalitas Uji normalitas Kolmogorov-smirnov dilakukan untuk mengetahui bahwa sampel diambil dari populasi yang berdistribusi normal. Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, menunjukkan bahwa data kadar asam urat dari masing-masing kelompok terdistribusi normal karena p>α (0,730 > 0,05) sehingga hasilnya H 0 diterima, artinya kesembilan kelompok uji diambil dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil Analisis Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk memperlihatkan apakah semua varian homogen atau tidak. Berdasarkan uji analisis homogenitas varian Levene menunjukkan bahwa p>α ( 0,256 > 0,05) sehingga H 0 diterima artinya semua varian homogen. Data kadar asam urat terdistribusi normal dan juga mempunyai varian yang homogen, maka dengan hasil tersebut selanjutnya dapat dilakukan uji ANAVA dan LSD. Hasil Analisis Varians (ANAVA) Hasil uji ANAVA menunjukkan bahwa p<α (0,00 < 0,05) sehingga H 0 ditolak, ini menunjukkan terdapat perbedaan aktivitas diantara masing-masing kelompok uji. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan dosis menyebabkan perbedaan aktivitas. Untuk mengetahui kadar asam urat pada ekstrak etanol daun srikaya dan ekstrak etanol daun jombang apakah mempunyai aktivitas yang bermakna secara farmakologi apabila dibandingkan dengan kelompok normal, kontrol negatif, dan kontrol positif. Hasil Analisis LSD Hasil uji LSD menunjukkan bahwa kelompok normal, kontrol positif, dosis uji I,II, III, IV, V dan dosis uji VI, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada tingkat kepercayaan 95% bila dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Kadar rata-rata asam urat pada kelompok normal menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal tersebut disebabkan karena pemberian induksi potassium oxonate dapat meningkatkan kadar asam urat. Kelompok kontrol normal menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kontrol positif pada tingkat kepercayaan 95%, hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian allopurinol pada kelompok kontrol positif mampu menurunkan kadar asam urat, tetapi kadarnya tidak sama dengan kelompok normal. Kelompok normal menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan dosis uji I, III, IV, V, VI. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun srikaya dosis uji I, III,IV, V, VI memiliki efek menurunkan kadar asam urat, tetapi tidak dapat menurunkan kadar asam urat sampai kadar normal. 101

102 Kadar rata-rata asam urat pada kelompok kontrol negatif menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif, dosis uji I, II, III, IV,V dan dosis uji VI. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian induksi potassium oxonate mampu meningkatkan kadar rata-rata asam urat dan pemberian allopurinol pada kelompok kontrol positif serta pemberian ekstrak etanol daun srikaya dan ekstrak etanol daun jombang pada kelompok dosis uji mempunyai efek menurunkan kadar asam urat. Kelompok kontrol positif menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan Kelompok dosis uji I, III, IV, V dan dosis uji VI. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif memiliki efek menurunkan kadar asam urat yang berbeda signifikan dengan kelompok dosis uji I, III, IV, V dan dosis uji VI. Kelompok kontrol positif menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji II. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok dosis uji II dan kelompok kontrol positif memiliki aktivitas menurunkan kadar asam urat yang hampir sama. Kelompok dosis uji I menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji II, III, V dan VI sedangkan dengan kelompok dosis uji V tidak berbeda bermakna. Kelompok dosis uji II menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji I, III, IV,V dan VI. Kelompok dosis uji III menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji I, II, IV, V dan VI. Kelompok dosis uji IV menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji I, II, III, V dan VI. Kelompok dosis uji V menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji II, III, IV, V dan VI sedangkan dengan kelompok dosis uji I tidak berbeda bermakna. Kelompok dosis uji VI menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok dosis uji I, II, III, IV dan dosis uji V. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa L.) dan Ekstrak Etanol Daun Jombang dengan berbagai variasi dosis yaitu dosis uji I ekstrak etanol daun srikaya (67,5 mg/kg BB tikus), dosis uji II ekstrak etanol daun srikaya (135 mg/kg BB tikus), dosis uji III ekstrak etanol daun srikaya (270 mg/kg BB tikus), dosis uji IV ekstrak etanol daun jombang (48,5 mg/ Kg BB tikus), dosis uji V ekstrak etanol daun jombang (97 mg/kg BB tikus), dosis uji VI ekstrak etanol daun jombang (194 mg/kg BB tikus) dapat menurunkan kadar asam urat pada tikus putih jantan yang diinduksi dengan potassium oxonate. Pada dosis uji II ekstrak etanol daun srikaya memiliki aktivitas yang paling baik dalam menurunkan kadar asam urat pada tikus putih jantan dengan persentase efektifitas yang paling tinggi yaitu 52,63 % dibandingkan dengan dosis I yang memiliki persentase efektifitas 27,96 % dan dosis III dengan persentase efektifitas 35,53%. Sedangkan dosis uji VI ekstrak etanol daun jombang memiliki aktivitas paling baik dengan persentase efektifitas 44,08% dibandingkan dengan dosis uji IV yaitu sebesar 12,83 % dan dosis uji V yaitu sebesar 26,32%. 5. DAFTAR PUSTAKA Agoes, Goeswin Teknologi Bahan Alam. Bandung : ITB; hal Ariyanti R, W Nurcahyanti, W S Arifah Pengaruh Infusa Daun Salam (Eugenia polyantha Wight.) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Darah Mencit Putih Jantan yang Diinduksi dengan Potasium Oksonat. Pharmacon 8 (2) : Azizahwati, W Sumali, P Kartika Efek Penurunan Kadar Asam Urat dalam Darah pada Tikus Putih Jantan dari Rebusan Akar Tanaman Akar Kucing (Acalypha indica Linn). Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN v0l. 4 (1) : Dalimartha S Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta: Puspa Swara; hal 145. Febriyanti M, Supriyatna, dan A Rizky Kandungan Kimia dan Aktivitas Sitotoksik Ekstrak dan Fraksi Herba Anting-anting Terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7. Jurnal Farmasi Indonesia ISSN ; 7 (1); Harborne, J B Metode Fitokimia. Bandung : ITB; hal Katzung BG, Master SB, Trevor AJ, editor Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Vol 2. Jakarta : EGC; hal Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Suplemen II Farmakope Herbal Indonesia Edisi II. Jakarta: Kemenkes RI. Kementrian Kesehatan RI Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; hal

103 Mulyani M, Arifin B, Nurdin H Uji Antioksidan dan Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Daun Srikaya (Annona squamosa L). Jurnal Kimia Unand (ISSN No ); 2(1): Nathasa, Yiska Efek pemberian Ekstrak Etanol 70% Umbi Sarang Semut (Hydnophytum moseleyanum Becc.) terhadap Kadar Asam Urat Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Kalium Oksonat [Skripsi]. Depok : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi; hal Nuraini, Dini N Aneka Daun Berkhasiat Untuk Obat. Yogyakarta : Gava Media; hal 212. Permawati, Mia Karakterisasi Ekstrak Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm.F.) dan Pengaruhnya terhadap Kadar Asam Urat Plasma Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Kalium Oksonat [Skripsi]. Depok : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Farmasi Universitas Indonesia. Priyatno, Duwi jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta : ANDI; hal 40; S Alex Budidaya dan Khasiat Srikaya Untuk Kesehatan dan Bisnis Makanan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press; hal : 3. Suhendi A, Nurcahyanti, Muhtadi, Sutrisna EM Aktivitas Antihiperurisemia Ekstrak Air Jinten Hitam (Colenus ambonicius Lour) pada Mencit Jantan Galur Balb-C dan Standarisasinya. Majalah Farmasi Indonesia; 22(2), Winarti, Wiwin dkk Identifikasi Senyawa Flavonoid dalam Fraksi n-butanol Taraxacum oficinale, Asteraceace. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia September 2007 : Yonetani Y, Iwaki K Effects of Uricosuric drugs and Diuretics on Uric acid excretion in Oxonatedtreared rats. The Japanes journal of Pharmacology : 33 (5) :

104 UJI AKTIVITAS ANTIHIPERURISEMIA EKSTRAK ETANOL BUAH TOMAT (SOLANUM LYCOPERSICUM L), BUAH PARE (MOMORDICA CHARANTIA L.) DAN CAMPURAN KEDUANYA Nur Rahayuningsih 1*, Aprilia Khusnul R 1, Fuzi Pratiwi 1 1 Program Studi Farmasi, STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya. * beatsign@yahoo.com. Abstrak - Telah dilakukan uji aktivitas antihiperurisemia ekstrak etanol buah tomat (Solanum lycopersicum L), buah pare (Momordica charantia L.) dan campuran keduanya terhadap 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague dawley yang berumur 2-3 bulan dengan berat gram, dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif (PGA 1%), kelompok kontrol positif (alopurinol 36 mg/200 g BB tikus), kelompok I (ekstrak etanol buah pare dosis 0,824 g/200 g BB tikus), kelompok II (ekstrak etanol buah tomat dosis 0,64 g/200 g BB tikus), kelompok III (campuran ekstrak buah pare dosis 0,824 g/200 g BB tikus dan ekstrak etanol buah tomat dosis 0,64 g/200 g BB tikus). Kalium oksonat diberikan secara intraperitonial sebagai induktor dan pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis. Pengukuran kadar asam urat dengan metode enzimatik yang diukur dengan Photometer TC-3300 pada panjang gelombang 546 nm. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa aktivitas penurunan kadar asam urat paling tinggi adalah kelompok III yaitu dapat menurunkan hingga kadar rata-rata asam urat 1,76 mg/dl dan efektivitas penurunannya sebesar 58.69%, tetapi aktivitasnya tidak lebih baik dari alopurinol yang dapat menurunkan hingga kadar rata-rata asam urat 0,92 mg/dl. Kata kunci: Tomat (Solanum lycopersicum L), Pare (Momordica charantia L.), asam urat, kalium oksonat. 1. LATAR BELAKANG Hiperurisemia yaitu produksi asam urat dalam tubuh yang meningkat, karena adanya gangguan metabolisme purin bawaan, kelainan pembawa sifat atau gen, kelebihan mengkonsumsi makanan berkadar purin tinggi seperti daging, jeroan, kepiting, kerang, keju, capcay, kacang tanah, bayam, buncis, penyakit seperti leukemia (kanker sel darah putih), kemoterapi, radioterapi. Selain itu, kadar asam urat dalam darah juga meningkat karena pembuangan asam urat yang sangat berkurang, yang diakibatkan oleh minum obat tertentu (anti-tb/pirazinamid, diuretik, salisilat), dalam keadaan kelaparan, puasa, dan diet ketat, keracunan, olahraga terlalu berat, meningkatnya kadar kalsium darah akibat penyakit hiperparatiroid, mungkin juga hipertiroid, hipertensi, gagal ginjal (Syahrazad, 2010). Buah Pare (momordica charantia l.) dan Tomat (solanum lycopersicum l) mengandung senyawa flavonoid. Penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang mengandung senyawa flavonoid mampu menghambat aktivitas enzim xantin oksidase sehingga dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah (Hayani dan Widyaningsih, 2011). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek ekstrak etanol Buah Pare (momordica charantia l.), Tomat (solanum lycopersicum l) dan campuran kedua ekstrak tersebut terhadap tikus putih yang dibuat tinggi kadar asam uratnya. 2. METODE PENELITIAN Persiapan Hewan Uji Sebelum pelaksanaan penelitian, hewan coba yang digunakan terlebih dahulu diaklimatisasi selama 7 hari. Tikus yang diikutsertakan dalam penelitian adalah tikus yang sehat dengan ciri-ciri mata merah jernih, bulu tidak berdiri dan terjadi peningkatan berat badan yang baik (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998). Pengumpulan Bahan dan Determinasi Bahan yang digunakan yaitu buah tomat (solanum lycopersicum l) yang didapatkan dari kebun tomat di daerah Kp. Pasir Huni, Ds. Cijoho Kecamatan Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya dan buah pare hijau (momordica charantia l.) yang didapatkan dari Cisaladah, Kampung Mangkalaya, Desa Pangauban Kota Garut. Bahan dikumpulkan dan dipastikan identitasnya dengan melakukan determinasi di Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjajaran, Jatinangor, Jawa Barat. Dilakukan pada awal sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut. 104

105 Preparasi Sampel Bahan yang digunakan disortasi basah dari buah yang terkena hama penyakit atau kotoran. Dibersihkan dengan air mengalir agar pengotornya seperti tanah dan debu hilang. Buah tomat digunakan semuanya dan buah pare dikupas dan dikeluarkan bijinya. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia meliputi identifikasi senyawa golongan fenol, flavonoid, tanin, saponin, alkaloid, terpen, dan glikosida (DepKes RI, 1995). Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica charantia l.) Buah pare yang telah menjadi serbuk dimasukkan ke dalam maserator. Ekstrak dibuat secara maserasi, dengan cara merendam serbuk buah pare kering dalam pelarut etanol 96%, setiap 24 jam diganti pelarut yang baru dan sesekali dilakukan pengadukan. Kemudian disaring dengan kain saring sampai tertarik kandungan flavonoidnya. Setelah itu, pelarut etanol yang tersisa diuapkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental buah pare. Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Tomat (Solanum lycopersicum l) Buah tomat yang telah dicuci bersih dan kering kemudian dipotong-potong menjadi kecil lalu dihaluskan dengan cara diblender. Kemudian bubur tomat yang terhasil dimasukkan kedalam alat maserator, lalu tambahkan larutan penyari etanol 96% dan aduk. Maserasi dilakukan selama ±24 jam secara berulang-ulang dengan setiap hari diganti pelarutnya dan dilakukan pengadukan. Ekstraksi dilakukan hingga senyawa dalam buah tomat telah habis yang ditandai dengan filtrat yang dihasilkan bening. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental. Pembuatan Campuran Ekstrak Etanol Buah Tomat (Solanum lycopersicum l) dan Buah Pare Hijau (Momordica charantia l.) Ekstrak kental yang diperoleh dari kedua ekstrak tunggal buah pare dan buah tomat dicampurkan. Pengujian Aktivitas Antihiperurisemia Sebelum pelaksanaan penelitian, tikus diaklimatisasi selama 7 hari, tetapi tetap diberikan makan dan minum. Tikus dipuasakan selama 18 jam, pada hari ke-8 dilakukan pengujian. Langkah-langkah perlakuannya dilakukan sebagai berikut : Tikus dibagi menjadi 5 kelompok (setiap kelompok terdiri dari 5 ekor). Kelompok pertama sebagai kelompok kontrol negatif : tikus diberi suspensi PGA 1 % secara oral dan 1 jam kemudian diberi potassium oxonat dosis 50 mg/200 g BB tikus secara intraperitonial. Kelompok kedua sebagai kelompok kontrol positif : tikus diberi alopurinol dosis 36 mg/200 g BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1% secara oral dan 1 jam kemudian diberi potassium oxonat dosis 50 mg/200 g BB tikus secara intraperitonial. Kelompok III : tikus diberi ekstrak buah pare dosis 0,824 g/200 g BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1 % secara oral dan 1 jam kemudian diberi potassium oxonat dosis 50 mg/200 g BB tikus secara intraperitonial. Kelompok IV : tikus diberi ekstrak tomat dosis 0,64 g/200 g BB tikus yang disuspensikan dengan PGA 1 % secara oral dan 1 jam kemudian diberi potassium oxonat dosis 50 mg/200 g BB tikus secara intraperitonial. Kelompok V : tikus diberi campuran ekstrak buah tomat dan ekstrak buah pare yang disuspensikan dengan PGA 1 % secara oral dan 1 jam kemudian diberi potassium oxonat dosis 50 mg/200 g BB tikus secara intraperitonial. Satu jam setelah pemberian potassium oxonat kemudian dilakukakn pemeriksaan kadar asam urat dengan menggunakan reagen kit Uric acid dan diperiksa dengan Spectrophotometer Genesys 10S UV-Vis pada panjang gelombang 546 nm. 3. HASIL PENELITIAN Hasil Ekstraksi Buah Tomat dan Pare Secara keseluruhan proses ekstraksi 350 gram serbuk simplisia buah pare menghasilkan 32,11 gram ekstrak kental yang berwarna hijau coklat sehingga didapatkan rendemen ekstrak 9,17%. Dari hasil ekstraksi simplisia buah tomat kering sebanyak 200 gram diperoleh ekstrak kental sebanyak 78,40 gram sehingga didapatkan rendemen ekstrak sebesar 39,2%. 105

106 Hasil Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder di dalam sampel yang diduga memiliki aktivitas sebagai antihiperurisemia. Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Buah Tomat Buah Tomat Golongan Simplisia Kering Ekstrak Kental Flavonoid + + Alkaloid - - Tanin - - Polifenol - - Monoterpen & Seskuiterpen + + Steroid & Triterpenoid + + Saponin - - Tabel 2. Hasil skrining fitokimia buah pare Golongan Simplisia Buah Pare Ekstrak Alkaloid - - Flavonoid + + Tanin dan Polifenolat - - Kuinon + + Steroid dan triterpenoid Steroid Steroid Monoterpen dan seskuiterpen + + Saponin - - Keterangan: (+) terdeteksi (-) tidak terdeteksi Hasil pengukuran kadar asam urat pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel tersebut dapat dilhat bahwa penurunan kadar asam urat tiap kelompok bervariasi. No. Tabel 3 Kadar Asam Urat Dari Masing-Masing Kelompok Kelompok Negatif Kadar Asam Urat (mg/dl) Kelompok Kelompok I Kelompok II Kelompok III Positif 1 4,1 0,3 2,0 2,5 1,5 2 4,2 0,6 2,4 2,6 1,7 3 4,5 1,6 2,4 2,8 0,9 4 4,1 1,2 2,6 2,7 2,5 5 4,4 0,9 2,6 3,1 2,2 Rata-rata ± SD 4,26 ±0,18 0,92 ± 0,51 2,4 ± 0,24 2,74 ± 0,23 1,76 ± 0,6 Dari tabel 3 tersebut dapat terlihat kadar asam urat kelompok kontrol negatif paling tinggi karena pada kelompok ini hanya diberi induksi saja. Kadar asam urat kontrol positif menunjukkan kadar asam urat paling rendah. Dari ketiga kelompok uji, kelompok campuran ekstrak menghasilkan kadar asam urat yang paling rendah yaitu 1,76 mg/dl. 106

107 Dari gambar 1 tersebut terlihat bahwa kelompok III dengan presentase efektivitas penurunan sebesar 58.69% memiliki kemampuan menurunkan kadar asam urat lebih baik dibandingkan dengan kelompok I dengan presentase efektivitas penurunan sebesar 43,66% dan kelompok II dengan presentase efektivitas penurunan sebesar 35,68%. Kelompok III menghasilkan aktivitas terbaik, dengan demikian aktivitas kombinasi ekstrak ini merupakan aktivitas sinergistik dari dosis terbaik tunggal pare dan tomat Penurunan kadar asam urat pada kelompok uji diduga dihasilkan oleh senyawa flavonoid yang terkandung di dalam ekstrak. Flavonoid memiliki banyak manfaat seperti antioksidan, dan inhibitor aktivitas enzim (Murota dan Terao, 2003). Salah satu enzim yang dapat dihambat aktivitasnya adalah xantin oksidase (Van Hoorn et al. 2003). Dengan adanya mekanisme hambatan terhadap aktivitas xantin oksidase pada basa purin sehingga akan menurunkan produksi asam urat (Azmi, 2010). Xantin oksidase adalah enzim pensintesis asam urat. Xantin oksidase memiliki peranan penting dalam proses pembentukan asam urat dengan mengkatalisis berturut-turut perubahan hipoxantin menjadi xantin kemudian asam urat. Manusia mengubah nukleosida purin utama, yaitu adenosin dan guanin menjadi asam urat. Pertama-tama adenosin mengalami deaminasi menjadi inosin oleh enzim adenosin deaminase. Fosforolisis ikatan N-glikosinat inosin dan guanosin, yang dikatalisis oleh enzim nukleosida purin fosforilase, akan melepaskan senyawa ribosa 1- fosfat dan basa purin. Selanjutnya hipoxantin dan guanin membentuk xantin oleh reaksi yang masing-masing dikatalisis oleh enzim oksidase dan guanase. Kemudian xantin teroksidasi menjadi asam urat dalam reaksi kedua yang dikatalisis oleh enzim xantin oksidase (Rodwell et al., 2000). Selain berperan dalam menghambat aktivitas xantin oksidase, flavonoid juga berperan sebagai antioksidan sehingga mampu melindungi DNA dari radikal bebas. Oleh karena itu, diduga proses terbentuknya asam urat endogen dapat diminimalkan (Muraoka dan Miura, 2003). Hubungan antara struktur flavonoid dengan aktivitasnya sebagai inhibitor xantin oksidase disebabkan oleh adanya ikatan rangkap pada atom C2=C3 serta adanya gugus hidroksil pada atom C3, C5 dan C7 (Cos et al. 1998, Van Hoorn et al. 2002). Aktivitas antihiperurisemia senyawa flavonoid akan menurun dan bahkan kehilangan aktivitasnya apabila terjadi glikosilasi pada atom C7. Namun jika glikosilasi terjadi pada atom C8 akan meningkatkan aktivitas antihiperurisemia dan inhibitor xantin oksidase. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh posisi glikosilasi terhadap sisi pengikatan komponen tersebut terhadap enzim (Mo et al. 2007). Struktur planar dan adanya gugus hidroksil pada senyawa flavonoid mungkin memiliki peranan yang penting dalam interaksinya dengan molekul target pada komponen tersebut. Berdasarkan hasil uji ANAVA terlihat bahwa ρ < α (0,000 < 0,05) sehingga H 0 ditolak, hal ini menunjukkan adanya perbedaan aktivitas penurunan kadar asam urat diantara setiap kelompok secara bermakna dengan tingkat kepercayaan 95%. Penurunan kadar asam urat untuk masing-masing kelompok kemudian dibandingkan dan dianalisis dengan menggunakan uji LSD (Least significant Differences) pada taraf nyata 0,05. Data hasil uji lanjutan LSD dapat dilihat bahwa ketiga kelompok dosis uji dan kelompok kontrol positif menunjukkan adanya perbedaan secara bermakna terhadap kelompok kontrol negatif pada aktivitas penurunan kadar asam urat pada taraf nyata 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%. Kelompok negatif berbeda secara bermakna pada tingkat kepercayaan 95% bila dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Dan jika dibandingkkan dengan kelompok I, kelompok II, dan kelompok II, menunjukkan adanya perbedaan secara bermakna, hal ini menunjukkan kelompok uji memiliki efek menurunkan kadar asam urat secara bermakna. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna pada tingkat kepercayaan 95% bila dibandingkan dengan kelompok I, kelompok II, dan kelompok III. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok uji memiliki aktivitas penurunan kadar asam urat yang berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif. Berdasarkan hasil analisis penurunan aktivitas kadar asam urat kelompok dosis uji menunjukkan aktivitas sebagai antihiperurisemia yang masih dibawah kelompok kontrol positif yang berarti penurunan kadar asam uratnya tidak sebaik seperti kelompok kontrol positif yang diberi obat pembanding alopurinol yang mempunyai efek menurunkan kadar asam urat. Kelompok I dengan tingkat kepercayaan 95% bila dibandingkan dengan kelompok II menunjukkan penurunan kadar asam urat tidak berbeda secara bermakna (0,192>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol buah tomat mempunyai potensi menurunkan kadar asam urat yang sebanding atau sama dengan ekstrak etanol pare. Dan jika dibandingkan dengan kelompok III, menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan taraf kepercayaan 95%, hal ini menunjukkan kelompok III memiliki efek menurunkan kadar asam urat yang berbeda secara bermakna dengan kelompok I. Kelompok III menunjukkan penurunan kadar asam urat yang berbeda secara bermakna (p<0,05) dengan taraf kepercayaan 95% dibandingkan dengan kelompok I dan kelompok II. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak campuran mempunyai efek menurunkan kadar asam urat yang berbeda secara bermakna dengan kelompok I dan kelompok II. 107

108 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol buah tomat, pare dan campuran ekstrak yang diberikan secara oral memiliki aktivitas sebagai penurun kadar asam urat dengan ekstrak campuran merupakan kelompok terbaik yang dapat menurunkan kadar asam urat dengan persen efektivitas penurunan sebesar 58.69%. 5. DAFTAR PUSTAKA Alexander Dewi, Alam Gemini, Kondar Willem Pengaruh Ekstrak Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria) Terhadap Kadar Asam Urat Pada Kelinci. Majalah Farmasi dan Farmakologi. Vol. 15, No. 2 hal. 89 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Riset dikesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Canene-Adam, et al., The growth of the Dunning R-3327-H transplantable prostate adenocarcinoma in rats fed diets containing tomato, broccoli, lycopene, or receiving finasteride treatment. Dalam: Febriansah, R., et al Tomat (Solanum lycopersicum L) Sebagai Agen Kompreventif Potensial. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Cos et al Strcture-activity Relationship and Classification of Flavonoids as Inhibitor of Xanthin Oxidase and Superoxide Scavengers. Dalam: Darminto Bakuh Khasiat Antihiperurisemia Estrak Kulit Batang Mahoni (Swietenia macrophylla King) pada Tikus Putih Galur Sprague dawley. Bogor: Departemen Biokimia FMIPA Institut Pertanian Bogor. Dalimartha Setiawan Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta:Trubus Agriwidya. Dalimartha Setiawan Tanaman Obat Di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Puspa Swara. Dalimartha Setiawan, Dalimartha FD Tumbuhan Sakti Atasi Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya. Departemen Kesehatan RI Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Eveline., et al Studi Aktivitas Antioksidan Tomat (Lycopersicon esculentum) Konvensional dan Organik Selama Penyimpanan. Prosiding SNST Ke-5. Tangerang: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pelita Harapan Furst DE, Ulrich RW, Prakash S Anti-inflamasi Non-steroid, Antirematik Pemodifikasi Penyakit, Analgesik Non-opioid, & Untuk Gout. Dalam: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editor Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC Gustiansyah Rizki J Efek Susu Kacang Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Terhadap Kadar Asam Urat Darah Tikus Jantan yang Diinduksi Kalium Oksonat [Skripsi]. Depok: Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Indonesia. 108

109 PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN SRIKAYA (Annona squamosal L.) TERHADAP KONSENTRASI SPERMATOZOA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) Nur Laili Dwi Hidayati 1*, Tita Nofianti 1, Yani Suryani 1 1 Program Studi Farmasi, STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Jl. Cilolohan no 36, Tasikmalaya * nur.laili81@gmail.com Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun Srikaya terhadap konsentrasi spermatozoa tikus putih jantan dengan menggunakan hewan uji sebanyak 20 ekor, terbagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif (suspensi PGA 1%) dan 3 kelompok dosis uji (Ekstrak etanol daun Srikaya). Pemberian ekstrak etanol daun Srikaya untuk dosis uji I sebanyak 0,00484 g / 200 g BB tikus; dosis uji II sebanyak 0,00967 g / 200 g BB tikus dan dosis III sebanyak 0,01934 g / 200 g BB tikus. Pemberian sediaan uji dilakukan secara peroral selama 48 hari. Data konsentrasi spermatozoa kemudian dianalisis menggunakana ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun Srikaya dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa secara signifikan. Kata kunci : daun Srikaya, konsentrasi, spermatozoa 1. LATAR BELAKANG Pengendalian jumlah penduduk telah dilaksanakan oleh pemerintah diantaranya melalui pengendalian angka kelahiran berupa program Keluarga Berencana (KB). Salah satu upaya yang telah dilaksanakan dalam program KB adalah penyediaan sarana kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi pada prinsipnya adalah untuk mencegah terjadinya pembuahan atau peleburan antara sel sperma dengan sel telur. Sarana kontrasepsi lebih banyak ditujukan pada wanita, sedangkan pada pria masih terbatas, sehingga perkembangan kontrasepsi pria jauh tertinggal dibandingkan dengan kontrasepsi wanita (Wardoyo, 1990 dalam Rusmiati, 2007). Rendahnya partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana dikarenakan oleh terbatasnya pilihan kontrasepsi pria yang dapat digunakan, berupa kondom dan vasektomi (Wilopo,2006 dalam Rusmiati, 2007). Penggunaan bahan alam dapat dijadikan sebagai alternatif bahan kontrasepsi bagi pria, dengan mekanisme diantaranya menurunkan kualitas spermatozoa sehingga akan mempengaruhi keberhasilan fertilisasi. Daun srikaya mengandung senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid, flavonoid, saponin, kuinon, tanin, dan steroid/triterpenoid. Menurut data empiris, daun srikaya dapat digunakan sebagai antifertilitas (Dalimartha, 2003). Sejauh ini, penelitian daun srikaya terpusat pada hewan uji betina. Pemberian ekstrak daun srikaya (Annona squamosa L) berefek sebagai antifertilitas (Mulyani et al., 2013; Kristianty, 2014; dan Paturrohman, 2014). Pengkajian antifertilitas daun srikaya untuk tikus jantan belum dilakukan melalui mekanisme penurunan kualitas spermatozoa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pemberian ekstrak daun srikaya terhadap kualitas spermatozoa tikus putih jantan yaitu konsentrasi spermatozoa. 2. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian diantaranya yaitu timbangan analitik, gelas kimia, gelas ukur, pipet tetes, tabung reaksi, rak tabung, blender, kertas saring, gelas objek, cawan petri, mikroskop, sonde oral, spuit, disposible 1 ml, maserator, hemositometer Neubaeur, stop watch, hand counter, timbangan tikus, kapas, rotary evaporator, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu daun srikaya (Annona squamosa L), tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley, Eosin Y 2 %, NaCl fisiologis 0,9%, air suling, larutan PGA 1%, pereaksi Dragendorff, pereaksi Liberman-Buchard, Mayer, serbuk Mg, HCl 2N, amilalkohol, etanol 70%, eter, gelatin 1 %, vanillin 10 %, asam sulfat pekat, amonia, kloroform, dan larutan besi (III) klorida. Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan tikus putih jantan galur Sprague Dawley, berumur 3-4 bulan, yang telah dipatikan identitas dan kesehatanya oleh i-ratco. Hewan uji diadaptasikan terlebih dahulu, diberi makan dan minum secara adlibitum. 109

110 Persiapan Sampel Tanaman Daun Srikaya segar diperoleh dari perkebunan Manoko, Lembang, Bandung. Kemudian dipastikan identitasnya di Herbarium Jatinangor Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi MIPA, Unpad, Bandung. Pembuatan Serbuk Simplisia Daun srikaya (Annona squamosa L) dikumpulkan dari perkebunan Manoko, Lembang, Kota Bandung. Daun yang sudah dinyatakan bersih dan kering dipotong kecil-kecil kemudian dihaluskan hingga diperoleh serbuk daun srikaya. Serbuk tersebut selanjutnya disimpan pada tempat kering dalam wadah tertutup rapat (DepKes, 1985). Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Srikaya Serbuk daun srikaya (Annona squamosa L) sebanyak 250 gram diekstraksi dengan cara ekstraksi dingin metode maserasi (Harbone, 1987) dengan pelarut etanol 70%. Skrining Fitokimia Dilakukan skrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun Srikaya untuk senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, saponin, tannin, monoterpenoid dan seskuiterpenoid (Franswoth, 1996). Pemberian Sediaan Uji Sediaan uji yang diberikan adalah ekstrak etanol daun Srikaya dengan dosis seperti yang tertera pada Tabel 1. Pemberian perlakuan dilakukan secara oral selama 48 hari (Larasaty, 2013). Tabel 1. Perlakuan Dan Sediaan Yang Diberikan Pada Hewan Uji Perlakuan Kontrol Negatif Dosis uji I Dosis uji II Dosis uji III Sediaan yang diberikan PGA 1% Ekstrak daun srikaya dalam PGA 1% (0,00484g/200 g BB Tikus) Ekstrak daun srikaya dalam PGA 1% (0,00967g/200 g BB Tikus) Ekstrak daun srikaya dalam PGA 1 % (0,01934g/200 g BB Tikus) Pembuatan Suspensi Spermatozoa Pada hari ke 49, tikus dikorbankan dengan cara dianastesi menggunakan kloroform, kemudian tikus dibedah untuk pengambilan epididimis. Epididimis kiri dan kanan disayat untuk mengeluarkan spermatozoa. Kemudian epididimis diletakan didalam cawan petri yang telah berisi NaCl fisiologis 0,9% sebayak 1 ml dan dibiarkan 1-2 menit agar spermatozoa dapat menyebar keluar dari epididimis (Simbolon et al., 2013). Penghitungan Konsentrasi Spermatozoa Penghitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan menggunakan haemocytometer yang terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol, kemudiaan dicuci dengan air dan dikeringkan dengan tissue. Haemocytometer diletakan di meja mikroskop, ditutup dengan cover glass kemudian diatur lapang pandangnya dengan pembesaran mikroskop 100 x (Sukendi et al., 2011 dan Sukendi, 2012). Kemudian dilakukan pengenceran dari larutan stok sebanyak 10x yaitu dengan cara pipet sebanyak 0,1 ml spermatozoa kemudian tambahkan 0,9 ml NacL fisiologis 0,9%. Sperma yang telah diencerkan dari larutan stock diambil dengan menggunakan pipet tetes, kemudian diteteskan di bilik haemocytometer melalui sela-sela parit kaca. Selanjutnya dihitung konsentrasi spermatozoa pada 5 kotak kamar hitung Neubauer dengan cara dihitung jumlah spermatozoa yang masuk pada tiap-tiap kamar hitung Neubeur (Sutrisno, 2010). Rata-rata spermatozoa di hitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : =xx2,5x10 5 xf. pengenceran (Spz/mL). Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh dari penghitungan konsentrasi spermatozoa dianalisis secara statistik menggunakan program komputer Statistical Product dan Service (SPSS) yang meliputi uji Normalitas, 110

111 Homogenitas, ANOVA (Analysis of Varians) dan uji LSD (Least Significant Differences). Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% (Priyatno, 2009). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Berdasarkan hasil ekstraksi, diperoleh 44,73 gram ekstrak kental sehingga rendemen yang diperoleh sebesar 18%. Berdasarkan hasil pengamatan secara organoleptik didapat bahwa warna ekstrak etanol daun srikaya (Annona squamosa L.) adalah hijau pekat dengan bau khas daun srikaya (Annona squamosa L.). Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Srikaya Berdasarkan hasil pengujian skrining fitokimia ekstrak etanol daun srikaya (Annona squamosa L.) menunjukan hasil positif yaitu alkaloid, flavonoid dan steroid. Hasil konsentrasi spermatozoa (jt/ml) Spermatozoa yang diamati dalam penelitian ini adalah spermatozoa yang berasal dari epididimis. Epididimis merupakan tempat pematangan spermatozoa sebelum diejakulasikan keluar tubuh, sehingga diprediksikan bahwa spermatozoa yang telah matang terkonsentrasi paling banyak di epididimis (Suckow, 2006 dalam Hutasuhut, 2014). Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa pemberian ketiga dosis ekstrak etanol daun srikaya secara oral selama 48 hari menunjukan penurunan konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan seperti yang tertera pada Gambar 1. Gambar 1. Rata-rata Konsentrasi Spermatozoa (Jt/mL) Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata konsentrasi spermatozoa pada kelompok negatif, dosis uji I, dosis uji II dan dosis uji III berturut-turut adalah 13,8 Jt/mL±2,9Jt/mL ; 9,3 Jt/mL±3,1Jt/mL ; 7,7 Jt/mL±1,3Jt/mL ; 5,6 Jt/mL±1,5t/mL. Pemberian ekstrak etanol daun srikaya secara deskriptif berpengaruh terhadap konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan. Semakin besar dosis yang diberikan, semakin besar pula penurunan konsentrasi spermatozoa. Berdasarkan hasil uji LSD, antara kelompok kontrol negatif dengan dosis I, dosis II dan dosis III menunjukan perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan, pemberian ekstrak etanol daun Srikaya mampu menurunkan konsentrasi spermatozoa secara signifikan, dengan dosis yang paling baik adalah dosis 3. Hal ini disebabkan karena kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak etanol daun srikaya, diduga senyawa steroid karena mempunyai mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus-hipopisis dan testis yaitu dengan cara menghambat sekresi hormon FSH dan LH (Steven, 1974 ; Iis, 1996 dalam Hartini, 2011). Adanya senyawa steroid meningkatkan kadar testosteron hewan uji. Kadar testosteron yang tinggi menyebabkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis. Testosteron akan menghambat hipotalamus untuk menghasilkan GnRH sehingga kadar GnRH turun dan menghambat hipofisis anterior untuk menghasilkan FSH dan LH. Bila FSH turun maka terjadi gangguan pada sel sertoli yang menyebabkan berkurangnya zat-zat makanan yang diperlukan untuk proliferasi, diferensiasi serta memelihara sel-sel spermatogenik. Apabila kadar LH turun maka testosteron yang dihasilkan juga berkurang. Kadar FSH dan testosteron yang rendah akan menyebabkan proses spermatogenesis terganggu, akibatnya jumlah spermatozoa yang dihasilkan menurun (Steven, 1974 ; Iis, 1996 dalam Hartini, 2011). 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, pemberian ekstrak etanol daun srikaya (Annona squamosa L.) dapat menurunkan konsentrasi sprermatozoa secara signifikan. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada institusi STIKes BTH Tasikmalaya atas dukungannya baik moril, materiil maupun sarana dan prasara sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Alex, S., 2011: Budidaya dan Khasiat Srikaya untuk Kesehatan dan Bisnis Makanan. Pustaka Baru Press, Yogyakarta. 111

112 Condro, H.S., A. Shofy Mubarak dan L. Sulmartiwi, 2012 : Pengaruh Penambahan Madu pada Medium Pengencer NaCl Fisiologis dalam Proses Penyimpanan Sperma terhadap Kualitas Sperma Ikan Komet (Carassius auratus). Journal of marine and Coastal Science. 1(1) :1-12. Dalimartha, Setiawan, 2003: Atlas Tumbuhan Obat Jilid 3. Puspa Swara, Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 1985 :Farmakope Indonesia. Edisi III. DepKes RI, Jakarta. Harborne, J.B, 1987 : Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB, Bandung. Hartini, 2011: Pengaruh Dekok Daun Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) terhadap Jumlah, kecepatan dan Morfologi Spermatozoa Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). [Tesis]. Program Studi Ilmu Biomedik. Kristianty, Riski, 2014: Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa L.) terhadap Siklus Estrus Tikus Putih Betina (Rattus novergicus) Galur Wistar [Skripsi]. STIKes Bakti Tunas Husada, Tasikmalaya. Kuswodo, Gunawan, 2002: Analisis Semen pada Pasangan Infertil. Tesis, Undip, Semarang Larasaty, Widya, 2013 : Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley secara In Vivo [Skripsi]. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Mulyani, M., Bustanul, A dan Hazli, N., 2013: Uji Antioksidan dan Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Daun Srikaya (Annona squamosa L.). Jurnal Kimia Unand. 2(1). Paturrohman, G.T., 2014 : Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Srikaya (Annona squamosa L.) terhadap Profil Uterus Tikus Putih Betina (Rattus novergicus) [Skripsi]. STIKes Bakti Tunas Husada, Tasikmalaya. Priyatno, D., 2008 : 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. ANDI, Yogyakarta. Rusmiati, 2007:Pengaruh Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) tehadap Viabilitas Spermatozoa Mencit Jantan (Mus musculus L.). Bioscientiae. 4(2) : Sangeeta Nath and Bibhas Deb, 2015 : Survey on the effect of plant extract on reproductive parameters of mammals: A review. Int. J. Pure App. Biosci. 3 (3): Simbolon, I. S., Triva, M.L dan Mulyadi, A., 2013 : Presentase Spermatozoa Hidup pada Tikus Wistar dan Sprague-Bawley. Jurnal Medika Veterinaria. 7(2) : Widiyani, Tetri., 2006: Efek Antifertilitas Ekstrak Akar Som Jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan. Buletin Penelitian Kesehatan. 32(3) : Yulianto, R.A, 2013 : Pengaruh Vitamin E Terhadap Kualitas Spermatozoa Tikus Putih yang Dipapar Timbal. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. 112

113 ANALISIS KADAR FENOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN DAN BIJI PEPAYA (Carica papaya L) MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS Ira Rahmiyani 1, Yeni Yulia Andriani 1, Saeful Amin 1 1 Program Studi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Abstrak. Analisis kadar fenol Total Phenolic Content (TPC) dan uji aktivitas antioksidan telah dilakukan pada ekstrak daun dan biji papaya (Carica papaya L). Pembanding yang digunakan pada penetapan kadar fenol adalah asam galat yang direaksikan dengan reagen Follin-Ciocalteu dan natrium karbonat 7%. Nilai TPC ditetapkan secara spektrofotometri UV- Vis dan dihitung sebagai GAE (Galiic Acid Equivalent) yaitu jumlah kesetaraan asam galat per seratus gram ekstrak. Ekstrak daun papaya memberikan nilai TPC g GAE/100 g ekstrak. Biji pepaya memberikan nilai TPC g GAE/100 g ekstrak. Pada uji aktivitas antioksidan pembanding yang digunakan yaitu asam askorbat, dengan metode DPPH. metode DPPH didasarkan pada pengukuran penurunan serapan DPPH pada panjang gelombang maksimum 516 nm. Ekstrak daun papaya memberikan nilai IC 50 g/ml sedangkan ekstrak biji papaya memberikan nilai IC 50 g/ml. Kata Kunci: daun, biji, Pepaya, Total Fenolic Content, Antioksidan 1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia yang memiliki lebih dari spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya namun kurang dari 300 tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara regular. Sekitar 1000 jenis tanaman telah di identifikasi dari aspek botani sistematik tumbuhan dengan baik. WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit. Salah satu tanaman yang dapat dijadikan obat tradisional adalah pepaya. Masyarakat indonesia lebih banyak mengkonsumsi daun dan buahnya saja. Sementara biji yang terdapat dalam buah pepaya kurang di manfaatkan. Padahal banyak sekali kandungan yang terdapat dalam biji pepaya tersebut. Biji pepayapun diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid dan saponin (Warisno, 2003). Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yaitu memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi warna pada tumbuhan seperti warna daun. Kandungan polifenol dapat melindungi sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit degeneratif antara lain kanker, aterosklerosis, stroke, rematik, dan jantung. Upaya untuk mecegah atau mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas radikal bebas adalah dengan mengkonsumsi makanan atau suplemen yang mengandung antioksidan. Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas stabil dan tidak reaktif (Christalina, 2014). 2. METODE PENELITIAN Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan porselen, gelas kimia, gelas ukur, tabung reaksi, neraca analitik, mikroskop, oven, statif, klem, alat refluks, tanur, plat KLT, chamber, rotary evaporator, kuvet dan spektrofotometer UV-Vis. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia daun dan biji pepaya, etanol 75%, kloralhidrat 70%, amonia encer, kloroform, asam klorida, Mayer, Dragendrof, zink, natrium hidroksida, eter, vanilin asam sulfat, besi (III) klorida, gelatin, Lieberman-Buchard, etanol, Folin Ciocalteu, asam askorbat, dan DPPH. Determinasi Tumbuhan Tanaman pepaya (Carica Papaya) yang diperoleh dari Manoko Bandung di determinasi terlebih dahulu di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB Bandung. 113

114 Pengolahan Simplisia Penyiapan bahan yang dilakukan meliputi pengumpulan bahan, pencucian, perajangan, pengeringan,dan pembuatan serbuk simplisia kering. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Kemudian proses pengeringan simplisia dilakukan dengan cara di oven pada suhu 45. Setelah itu dilakukan sortasi kering untuk memisahkan benda-benda asing bagian-bagian yang tidak dinginkan. Selanjutnya dihaluskan sampai diperoleh serbuk simplisia. Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik Simplisia Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia biji dan daun pepaya. Pemeriksaaan yang dilakukan meliputi bentuk, rasa, bau, dan warna. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia biji dan daun pepaya yaitu untuk melihat fragmen penanda yang dimiliki oleh biji dan daun pepaya tersebut. Pemeriksaan dilakukan dengan menambahkan larutan kloralhidrat 70 % LP, kemudian diamati dibawah mikroskop. Penapisan Fitokimia Simplisia Tujuan dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan dan mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan dan dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa alkaloid, flavonoid, kuinon, tanin dan polifenol, steroid dan triterpenoid, monoterpen dan seskuiterpen (Mustarichie, 2011). Ekstraksi Timbang simplisia biji dan daun pepaya, masukan dalam labu alas bulat. Lakukan pembasahan simplisia menggunakan pelarut etanol 70%. Lakukan ekstraksi menggunakan metode refluks. Ekstraksi ini dilakukan sampai 3 kali pergantian pelarut setiap 3-4 jam. Ekstrak cair diuapkan untuk menghilangkan pelarut menggunakan rotary evaporator sampai diperoleh pasta pekat. Ekstrak kemudian ditentukan rendemennya. Pemantauan Ekstrak dengan Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis Uji ini dilakukan terhadap ekstrak biji dan daun pepaya yang ditotolkan pada lempeng silika gel GF 254 yang selanjutnya dielusi 1 cm dari tepi atas plat KLT ukuran 3x10 cm menggunakan fase gerak yang sesuai. Lempeng kemudian dikeluarkan dan diangin-anginkan. Lempeng KLT diamati dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm hingga terlihat beberapa bercak noda yang timbul kemudian hitung nilai Rf (Sjahid, 2008). Penentuandan Pengukuran Standar Asam Galat Penetapan kadar fenol total dilakukan dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteu. Larutan standar asam galat yang telah direaksikan dengan reagen Folin Ciocalteu dan natrium karbonat 7%, kemudian diukur panjang gelombang maksimum kompleks senyawa berwarna biru dengan spektrofotometer Vis dalam rentang nm (Saifudin, 2011) Pembuatan Kurva Kalibrasi Asam Galat Asam galat dilarutkan dalam aquabides. Kemudian dibuat 6 deret konsentrasi yang berbeda. Masing-masing konsentrasi ditambah dengan 0,2 ml Folin Ciocalteu, dicampur homogen selama 10 detik kemudian didiamkan selama 5 menit. Lalu ditambah 2 ml Natrium Karbonat 7% b/v (dalam aquabides), dicampur homogen selama 30 detik. Inkubasi hingga terbentuk kompleks senyawa berwarna biru. Absorbansi diukur pada panjang gelombang maksimum asam galat dengan spektrofotometer (Saifudin, 2011). Penentuan Kadar Fenol Pada Sampel Ekstrak biji dan daun pepaya dilarutkan dalam aquabides. Ditambah dengan 0,2 ml Folin Ciocalteu, dicampur homogen selama 10 detik kemudian didiamkan selama 5 menit. Lalu ditambah 2 ml Natrium Karbonat 7% b/v (dalam aquabides), dicampur homogen selama 30 detik. Inkubasi hingga terbentuk kompleks senyawa berwarna biru. Absorbansi diukur pada panjang gelombang maksimum asam galat dengan spektrofotometer (Saifudin, 2011). Penentuan Aktivitas Antioksidan Secara Kualitatif Noda atau bercak yang timbul dari hasil pengamatan Kromatografi Lapis Tipis kemudian disemprot dengan larutan DPPH 0,2 %. Hasil positif jika timbul warna kuning pada noda dengan latar belakang ungu pada lempeng silika. 114

115 Pembuatandan Penentuan Panjang Gelombang Maksimal Larutan DPPH Untuk larutan DPPH, ditimbang 50 mg DPPH yang dilarutkan dalam metanol hingga volume 100 ml dan didapatkan larutan DPPH 500 ppm. Absorbansi di ukur pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer dalam rentang nm (Molyneux, 2004). Penentuandan Pengukuran Antioksidan Secara Kuantitatif Ekstrak daun dan biji papaya dilarutkan dalam metanol p.a. Hasil pelarutan tersebut kemudian dibuat 6 variasi konsentrasi yang berbeda. Larutan ekstrak metanol di pipet sebanyak 2 ml kedalam vial coklat direaksikan dengan DPPH 50 ppm sebanyak 2 ml. Larutan uji tersebut dikocok dan diinkubasi dalam vial coklat selama 30 menit dan pada suhu ruangan, lalu diukur serapannya menggunakan spektrofotometer (Wahyuni, 2013). Pembuatan dan Pengukuran Standar Vitamin C Serbuk asam askorbat dilarutkan dalam methanol p.a, kemudian dibuat dengan 6 variasi konsentrasi yang berbeda. Asam askorbat yang telah dilarutkan dipipet sebanyak 2 ml kedalam vial coklat direaksikan dengan DPPH 50 ppm sebanyak 2 ml. Larutan uji tersebut dikocok dan diinkubasi dalam vial coklat selama 30 menit dan pada suhu ruangan, lalu diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Wahyuni, 2013). Analisis Penentuan IC 50 DPPH Penentuan aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol dilakukan secara kuantitatif untuk menetukan nilai IC 50 dari ekstrak metanol dalam meredam 50 % radikal bebas DPPH dengan melihat intensitas senyawa antioksidan dalam ekstrak daun dan biji buah pepaya yang berpotensi menangkal radikal bebas DPPH. Kapasitas antioksidan (persen inhibisi) atau peredaman untuk menghambat radikal bebas menurut Andayani et.al (2008) ditentukan dengan persamaan : Analisis Data Hasil perhitungan dimasukan ke dalam persamaan regresi dengan konsentrsi ekstrak (ppm) sebagai absis (sumbu x) dan nilai persen (%) peredaman antioksidan sebagai ordinatnya (sumbu y) (Zuhra, 2008). Perhitungan nilai IC 50 dihitung dengan mengikuti persamaan : Ket : y = 50 % peredaman x = nilai IC 50 yang akan didapat (ppm) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Determinasi Tumbuhan Hasil yang diperoleh dari determinasi menunjukan sampel yang digunakan adalah pepaya dengannamalatincarica papaya L. Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Daun dengan bau khas dan bentuk bundar dengan tulang-tulang daun menjari, pinggir daun bercangap sampai berbagi menjari. Pengolahan Sampel Daun dan Biji Pepaya Sampel biji dan daun pepaya diperoleh dari Manoko Bandung. Sampel diolah menjadi serbuk simplisia melalui tahapan pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan pembuatan serbuk. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada simplisia. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Kemudian dilakukan perajangan yang bertujuan untuk mempermudah pengeringan. Setelah sampel dirajang, kemudian sampel di keringkan dengan cara di oven pada suhu. Sampel yang sudah di oven kemudian dilakukan sortasi kering yang bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing bagian yang tidak di inginkan. Terakhir dilakukan penyerbukan simplisia dengan tujuan untuk memperbesar luas permukaan kontak antara sampel dengan pelarut pada proses ekstraksi. Penyerbukan dilakukan di Fakultas Farmasi ITB Bandung dengan ukuran 20 mesh atau sama dengan 1 inchi persegi mengandung 20 lubang. 115

116 Pemeriksaan Makroskopik Simplisia Daun dan Biji Pepaya Gambar 1 Pemeriksaan Makroskopik Simplisia daun dan biji pepaya (a) Daun pepaya segar (b) Biji pepaya segar. Hasil pemeriksaan makroskopik menunjukan simplisia biji pepaya berwarna coklat, berbau khas, tidak berasa. Biji berbentuk jorong sampai bundar memanjang atau bundar. Panjang 5 mm 9 mm. Pada permukaan biji terdapat tonjolan dengan rusuk membujur dan rusuk melintang tidak beraturan. Biji diliputi selaput tipis agak mengkilat warna kecoklatan. Selaput biji mudah koyak. Untuk simplisia daun pepaya berwarna hijau tua, bau khas, rasa sangat pahit. Helaian daun rapuh, warna permukaan atas hijau tua, permukaan bawah berwarna lebih muda. Bentuk bundar dengan tulang-tulang daun menjari, pinggir daun bercangap sampai berbagi menjari. Cuping-cuping daun berlekuk sampai bebagi tidak beraturan. Tulang daun sangat menonjol dari permukaan bawah. Gambar 2. Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia biji dan daun pepaya (a) parenkima rilus bentuk polygonal dengan tetes minyak (b) keeping biji dengan tetesminyak (c) hablur kalsium oksalat berbentuk rosel (d) epidermis atas dan epidermis bawah. Hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk biji pepaya menunjukan bahwa terdapat fragmen pengenal yaitu parenkim arilus bentuk poligonal memanjang dengan tetes minyak, parenkim keping biji dengan tetes minyak. Sedangkanhasil mikroskopik pada daun pepaya menunjukan bahwa terdapat fragmen epidermis atas, fragmen epidermis bawah dengan stomata type anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk rosel, lepas atau dalam parenkim. Fragmen pembuluh kayu, saluran getah. 116

117 Penapisan Fitokimia Daun dan Biji Pepaya Penapisan fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak biji dan daun pepaya. Hasil dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1. Penafisan Fitokimia Golongan Simplisia Ekstrak Senyawa Biji Daun Biji Daun Alkaloid Flavonoid Saponin Tanin Polifenol Steroid Triterpenoid Monoterpen Seskuiterpen Kuinon Ket : (-) tidak terdeteksi (+) terdeteksi Ekstraksi Daun dan Biji Pepaya Ekstraksi dilakukan dengan metode refluks menggunakan pelarut etanol 70%. Rendemen yang diperoleh dari hasil pemekatan untuk biji 8,68 % sedangkan untuk daun 28,47 %. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat Berdasarkan hasil penentuan panjang gelombang maksimum Asam Galatdengan spektrofotometri UV- Visibel, senyawa berwarna biru dari reaksi antara asam galat dengan reagen Follin-Ciocalteu memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 761 nm. Panjang gelombang ini digunakan untuk penetapan kadar fenol pada ekstrakbiji dan daun pepaya. Hasil Pengukuran Kadar Fenol Total Ekstrak Daun dan Biji Pepaya Penetapan Total Phenolic Content (TPC) dilakukan terhadap ekstrak biji dan daun pepaya. Pembanding yang digunakan adalah asam galat dengan konsentrasi 15, 20, 25, 30, 35, dan 40 ppm. Dari variasi konsentrasi dan hasil absorbansi yang didapat, kemudian dibuat kurva baku diperoleh persamaan regresi linier y = 0,018x + 0,091dengan nilai R 2 = 0,993. Ekstrak daun biji papaya dibuat konsentrasi masing-masing daun 500 ppm dan biji 2000 ppm, kemudian direaksikan dengan reagen Follin Ciocalteu dan natrium karbonat dan diukur pada panjang gelombang 761 nm.perhitungan kadar fenol dilakukan dengan cara memasukan nilai absorbansi sampel ke dalam regresi linier yang didapat dari pembanding asam galat. Dari hasil perhitungan, diperoleh kadar fenol total pada daun pepaya adalah 2,2 g GAE/100 g ekstrak, sedangkan untuk biji pepaya 0,868 g GAE/100 g ekstrak. Berdasarkan data diketahui bahwa daun pepaya memiliki kandungan fenol lebih besar daripada biji pepaya. Asam galat digunakan sebagai pembanding karena termasuk senyawa fenol yang bersifat stabil (Belinda, 2011). Hasil Uji Kualitatif Senyawa Antioksidan Ekstrak Daun dan Biji Pepaya Gambar 3. Uji kualitatif ekstrak daun dan biji papaya setelah disemprot DPPH 0,2%. (a) Ekstrak biji pepaya (b) Ekstrak daun pepaya 117

118 Hasil Pengukuran Antioksidan Secara Kuantitatif Ekstrak Daun dan Biji Pepaya Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH menggnakan spektrofotometer UV- Visibel. Metode ini merupakan suatu metode pengujian aktivitas antioksidan yang sederhana, mudah dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat. Metode DPPH didasarkan pada pengukuran penurunan serapan DPPH pada panjang gelombang maksimum yang sebanding dengan konsentrasi penghambat radikal bebas yang ditambahkan kedalam larutan DPPH. Dari hasil pengujian aktivitas antioksidan masing-masing ekstrak, menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi maka akan semakin kecil nilai absorbansi. Hal ini dapat terjadi karena adanya senyawa aktif didalam ekstrak biji dan daun pepaya yang bereaksi sebagai antioksidan akan mereduksi radikal bebas DPPH, sehingga senyawa radikal DPPH akan membentuk senyawa radikal tereduksi dan sebagai akibatnya akan menurunkan konsentrasi DPPH. Ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan paling kuat akan memberikan nilai absorbansi yang paling kecil. Hasil absorbansi yang didapat dihitung nilai persen (%)peredamannya kemudian dibuat kurva baku untuk medapatkan persamaan regresi linier. Nilai persamaan regresi linier digunakan untuk menghitung nilai IC 50, dengan y adalah 50% nilai kemampuan antioksidan menghambat radikal bebas DPPH dan x adalah konsentrasi (ppm) dalam meredam 50% radikal bebas DPPH. Berdasarkan hasil perhitungan yang didapat, daun pepaya memiliki IC ,24 lebih rendah dibandingkan biji pepaya yang memiliki IC ,27. Hal ini berarti aktivitas antioksidan ekstrak daun papaya lebih tinggi dibanding ekstrak biji pepaya. Hasil Pengukuran Aktivitas antioksidan dengan DPPH dapat dilihat pada Tabel2 Tabel 2 Hasil Analisis Potensi Antioksidan Ekstrak Daun dan Biji Pepaya Ekstrak konsentrasi Abs peredaman Regresi Linier IC ,504 0,454 8,52 17, ,407 26,13 Biji Pepaya 800 0,363 34, ,322 41, ,250 54,62 y=0,044x 0, ,27 Daun Pepaya Vitamin C ,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 0,410 0,385 0,357 0,334 0,302 0,269 0,466 0,428 0,384 0,349 0,306 0,261 25,72 30,25 35,32 39,49 45,28 51,26 15,57 22,46 30,43 36,77 44,56 52,71 y=0,101x + 15,13 345,24 y=14,35x + 6,961 2,85 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Kadar fenol total yang didapat pada ekstrak daun pepaya adalah 2,2 g GAE/100 g ekstrak dan ekstrak biji pepaya 0,868 g GAE/100 g ekstrak. Ekstrak daun papaya memiliki aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH dengan nilai IC ,24L dan ekstrak biji pepaya 1150, DAFTAR PUSTAKA Apriani, R Studi Ekstraksi dan Penentuan Sifat Fisiko Kimia Serta Komposisi Asam Lemak Penyusun Trigliserida dari Minyak Biji Pepaya [Skripsi]. Universitas Pendidikan Indonesia. Christalina, et all. Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Alami Ekstrak Fenolik Biji Pepaya. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. ISSN Depkes RI MateriaMedika Indonesia Jilid V. Jakarta. 118

119 Depkes RI Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta. DepKes RI Farmakope Herbal Indonesia Edisi 1. Jakarta. Fessenden Ralf J Kimia Organik Jilid 2 edisi ketiga. Jakarta: Gramedia. Fransworth, 1996.Biological and Phytochemical Screening of Plants.Journal of Pharmaceutical Sciences. Gholib Kimia FarmasiAnalisis. Yogyakarta :PustakaPelajar. Harborne, J.B MetodeFitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan K. Padmawinata dan I. Sudiro. Cetakan ke II. Bandung: ITB. Latief Obat Tradisional. Jakarta: EGC. Miranda, N Uji Aktivitas Antioksidan Sirup Berbahan Dasar Rosela (Hibiscus Sabdariffa). [Skripsi]. Universitas Pendidikan Indonesia. Munawaroh, S Pengaruh Metode dan Variasi Pelarut Ekstraksi Terhadap Kadar Polifenolat Bunga Kecombrang [Skripsi]. Stikes Bakti Tunas HusadaTasikmalaya. Nurmalasari, M Pengaruh Metode Ekstraksi Terhadap Kadar Polifenol Ekstrak Etanol Daun Sintrong [Skripsi]. Stikes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya. Panji, T Teknik Spektroskopi. Yogyakarta: GrahaIlmu. Putra Kitab Herbal Nusantara. Yogyakarta: Kata Hati. Saifudin A, Teruna HY Standarisasi Bahan Obat Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sjahid, Landyyun Rahmawan Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun Dewandaru. Program Sarjana.Universitas Muhammadiyah. Surakarta. Suhanya, P Evaluation of Antyoxydant and antibacterial activities of aqueous, methanolic and alkaloid extracts from MitraginaSpeciosa (Rubiaceae Family) leaves. Molecules. Thomas A.N.S Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta: Kanisius. Wahyuni, Y Studi Aktivitas Antioksidan Pada Sari Jeruk Siam [Skripsi]. Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Warisno BudidayaPepaya. Yogyakarta: Kanisius. Winarsi, H Antioksidan Alami dan Radikal Bebas.Yogyakarta: Kanisius. 119

120 PERBANDINGAN KECEPATAN DISOLUSI DISPERSI PADAT KETOKONAZOL DENGAN PENAMBAHAN TWEEN 80 SEBAGAI SURFAKTAN Erva Arpiani 1, Lusi Nurdianti 1, Rika Yulianti 2 Program S-1 Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya lusinurdianti83@gmail.com Abstrak - Telah dilakukan penelitian pembuatan dispersi padat untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi Ketokonazol. Dispersi padat Ketokonazol dibuat dengan metode pelarutan menggunakan pembawa yang mudah larut yaitu PVP K30. Dispersi padat dibuat dalam perbandingan 1:1 dengan pembanding dibuat campuran fisik dan serbuk Ketokonazol murni. Uji kelarutan dilakukan terhadap dispersi padat tersebut dengan menggunakan medium air. Uji laju disolusi juga dilakukan terhadap dispersi padat dengan menggunakan metode dayung dalam medium disolusi 900 ml larutan asam klorida 0,1 N ph 1,2 suhu 37±0,5 o C dan kecepatan 50 putaran per menit (rpm). Dilakukan uji penetapan kadar serta dihitung persen perolehan kembali Ketokonazol dalam serbuk dispersi padat. Serbuk dispersi padat yang terbentuk dikarakterisasi sifat fisikokimia meliputi analisa Powder X-Ray Diffraction (PXRD), analisa thermal Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan analisa spektrum Fourier Transform Infra Red (FTIR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem dispersi padat memiliki kelarutan lebih besar dibanding dengan Ketokonazol murni dengan kadar 43,76 mg/l dan 49,96 mg/l untuk kadar Ketokonazol dalam serbuk dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan. Laju disolusi Ketokonazol juga meningkat dalam dispersi padat tersebut dibanding dengan Ketokonazol murni. Penambahan Tween 80 sebagai surfaktan ke dalam sistem dispersi padat Ketokonazol-PVP K30, lebih meningkatkan laju disolusi Ketokonazol. Diperoleh persen perolehan kembali sekitar 97,36% dalam serbuk dispersi padat tersebut dan 93,27% untuk persen perolehan kembali dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan. Kata kunci : Dispersi padat, Ketokonazol, PVP K30, Tween LATAR BELAKANG Senyawa obat harus mempunyai kelarutan dalam air yang cukup untuk dapat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik (Iskandarsyah, 2010). Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Erizal, 2007). Berbagai metode untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat telah dilaporkan seperti pembentukan prodrugs, kompleks inkulsi obat dengan pembawa dan modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan solvat (Erizal, 2007). Teknik dispersi padat pertama kali diperkenalkan oleh Sekiguchi dan Obi pada tahun 1961 dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yang tidak larut dalam air (Alatas dkk, 2006). Ketokonazol adalah zat antijamur sintetik golongan azol yang merupakan turunan imidazol. Berupa serbuk putih atau hampir putih, praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam metilen klorida, larut dalam metanol, dan agak sukar larut dalam etanol (British Pharmacopeia, 2009). Ketokonazol termasuk dalam BCS (Biopharmaceutical Classification System) kelas dua. Dimana senyawa ini memiliki permeabilitas yang tinggi dan kelarutan yang buruk sehingga diperlukan usaha untuk memperbaiki kelarutan dalam air dan laju disolusinya (Narsa, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Alatas pada tahun 2006, penambahan surfaktan dapat lebih meningkatkan laju disolusi dari dispersi padat ketoprofen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kecepatan disolusi dispersi padat Ketokonazol dengan penambahan Tween 80 sebagai surfaktan. Interaksi dan tipe dispersi padat yang terbentuk dikarakterisasi dengan manggunakan pola Powder X-Ray Difraction, analisis termal dengan Differential Scanning Calorimetry, Fourier Transform Infra Red dan penentuan profil disolusi. 2. METODE PENELITIAN Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat gelas yang umum digunakan di laboratorium, mortar, vial kaca, timbangan analitik (Metler Toledo), magnetic stirrer (Wisestir MSH-30D, Wisd Laboratory Instruments), desikator, ph meter (Toledo), Spektrofotometer Genesys 10S UV-Vis, dissolution tester, analisis thermal Differential Scanning System (DSC) (STA PT1600, Linseis Thermal Analysis), Powder X-Ray Difraction (PXRD) PW1710 BASED, Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) Iraffinity-1 Shimadzu A

121 Bahan Ketokonazol (PT. Kimia Farma), Polyvinylpyrolidon K30 (PT. Kimia Farma), Tween 80 (Brataco), Kloroform (Brataco), Asam Klorida (Brataco), Aquades (Brataco). Pembuatan Diagram Fase Biner Ketokonazol dan PVP K30 dicampurkan dengan perbandingan gram (1:0), (0:1), (1:9), (3:7), (5:5), (7:3) dan (9:1) kemudian dilewatkan pada ayakan mesh 80 dan disimpan dalam desikator pada suhu ruangan. Campuran diperiksa dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) untuk mengetahui perbandingan optimal (Kumar, et al 2011). Pembuatan Dispersi Padat Ketokonazol Pembuatan dispersi padat Ketokonazol dengan PVP K30 dilakukan terhadap perbandingan paling optimal hasil campuran fisik menggunakan metode pelarutan. Ketokonazol dan PVP K30 dicampur dengan dan tanpa penambahan Tween 80 sebanyak 2% yang telah dilarutkan. Ketokonazol dan PVP K30 dilarutkan dalam kloroform secukupnya dalam beaker glass hingga larut. Kemudian dicampurkan dan diaduk dengan bantuan magnetic stirrer. Pelarut diuapkan pada suhu ruangan kemudian simpan dalam desikator selama 48 jam. Dispersi padat yang telah kering dilewatkan pada ayakan mesh 80 (Narsa, 2012). Uji Kelarutan Penentuan kelarutan jenuh dilakukan terhadap Ketokonazol murni, dispersi padat dengan dan tanpa penambahan Tween 80 2% dilakukan dengan melarutkan 50 mg Ketokonazol dalam aquades. Larutan dikocok selama 84 jam dalam bekker glass dengan bantuan magnetic stirer pada suhu 37 ± 0,5 o C dengan kecepatan 100 rpm. Larutan uji disaring melalui kertas saring milipore 0,45 µm dan diukur menggunakan Spektrofotometri UV pada panjang gelombang antara nm (Narsa, 2012). Uji Disolusi Uji disolusi dilakukan terhadap Ketokonazol murni, campuran fisik dan dispersi padat dengan dan tanpa penambahan Tween 80 2% dengan menggunakan medium disolusi asam klorida 0,1 N dengan ph 1,2 sebanyak 900 ml dengan jenis alat yang digunakan adalah alat tipe II. Pengadukan diputar dengan kecepatan 50 rpm dengan suhu 37±0,5 o C. Pada 100 mg sampel dilakukan uji disolusi, kemudian diambil sebanyak 10 ml pada tiap rentang waktu 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit. Ukur serapannya pada panjang gelombang 269 nm dengan Spektrofotometer UV (Narsa, 2012). Penetapan Kadar Ketokonazol Penetapan kadar dilakukan terhadap Ketokonazol murni, campuran fisik, dispersi padat dengan dan tanpa penambahan Tween 80 2%. 50 mg serbuk dilarutkan dalam 50 ml HCl 0,1 N dan diukur serapannya menggunakan alat Spektrofotometer UV. Tentukan konsentrasi Ketokonazol dengan menggunakan kurva kalibrasi pada panjang gelombang serapan maksimum 269 nm serta dihitung persen perolehan kembalinya (Kumar, et al 2011). Karakterisasi Dispersi Padat Ketokonazol Powder X-Ray Difraction (PXRD) Penetapan pola difraksi sinar X terhadap Ketokonazol murni, PVP K30, campuran fisik dan serbuk dispersi padat dilakukan menggunakan difraktometer dengan Cu sebagai anoda dan grafit monokromatik. Alat dioperasikan pada voltase 40kV, arus 30 Ma. Sampel dianalisis dengan rentang sudut 2θ pada suhu 5 o C 70 o C, dan parameter proses diatur pada ukuran tahap scan 0,02 o (2θ) dan waktu tahap scan 0,5 detik (Narsa, 2012). Differential Scanning Calorimetry (DSC) Karakterisasi dengan menggunakan DSC dilakukan terhadap Ketokonazol murni, PVP K30, campuran fisik dan serbuk dispersi padat. Alat yang digunakan adalah DSC (STA PT1600, Linseis Thermal Analysis). Sebanyak 3-4 mg sampel dan scanning pada kecepatan 20 o C/ menit dengan suhu o C (Kumar, et al 2011). Fourier Transform Infra Red (FTIR) Karakterisasi dengan menggunakan FTIR dilakukan terhadap Ketokonazol murni, PVP K30, campuran fisik dan dispersi padat menggunakan metode KBr pelet (Narsa, 2012). 121

122 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Diagram Fase Biner Campuran fisik Ketokonazol dan PVP K30 dibuat dengan perbandingan 1:0, 0:1, 1:9, 3:7, 5:5, 7:3 dan 9:1. Hasil campuran fisik Ketokonazol dengan PVP K30 dianalisis dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) untuk mengetahui perbandingan optimal yang membentuk campuran eutektikum. Campuran eutektikum merupakan campuran dua atau lebih senyawa yang melebur secara serentak pada suhu yang sama, dan terendah yang disebut dengan titik eutektikum (Erizal, 2007). Hasil pemeriksaan DSC menunjukkan bahwa antara Ketokonazol dan PVP K30 tidak terbentuk titik eutektikum yang menandakan bahwa tidak terjadi interaksi antara Ketokonazol dan PVP K30 akibatnya kisi kristal Ketokonazol tidak dapat dirusak oleh PVP K30 (Voight, 1971). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 diagram fase biner Ketokonazol dan PVP K30, dimana melting point Ketokonazol dan PVP K30 masing-masing cenderung konstan, tidak ada titik dimana melting point Ketokonazol dan PVP K30 melebur secara bersamaan dibawah suhu melting point Ketokonazol. Pembuatan Dispersi Padat Ketokonazol Teknik pembuatan dispersi padat yang digunakan adalah metode pelarutan. Metode ini dipilih karena tidak membutuhkan proses yang rumit dan dapat mencegah dekomposisi termal antara zat aktif dan polimer yang digunakan karena penguapan pelarut dilakukan pada suhu rendah (Agoes, 2012). Pelarut yang digunakan adalah kloroform karena merupakan pelarut organik yang mudah menguap dengan titik didih yang cukup rendah yaitu 61,2 o C dan melarutkan dengan baik Ketokonazol dan PVP K30. Mekanisme dispersi padat dalam meningkatkan kelarutan adalah dengan memperkecil ukuran partikel (Patil, 2011). Ketokonazol terdispersi molekuler dalam PVP K30 sehingga terselimuti oleh PVP K30. Pengecilan ukuran partikel ini disebabkan karena proses rekristalisasi Ketokonazol terhambat dengan adanya PVP K30 yang telah mengkristal terlebih dahulu akibat melting point yang lebih rendah. Berdasarkan pada hasil pemeriksaan campuran fisik menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) tidak terbentuk titik eutektikum antara Ketokonazol dan PVP K30, maka perbandingan yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat ini adalah 1:1 dimana jumlah Ketokonazol dan pendispersi sama. Berdasarkan hasil penelitian Alatas pada tahun 2006, penambahan surfaktan dapat lebih meningkatkan laju disolusi dari dispersi padat. Maka dibuat dispersi padat Ketokonazol dengan penambahan surfaktan yaitu Tween 80 sebanyak 2% untuk mengetahui apakah dapat lebih meningkatkan laju disolusinya. Uji Kelarutan Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam larutan jenuhnya pada kondisi tertentu (Voight, 1971). Uji kelarutan ini dilakukan untuk mengetahui kelarutan dari Ketokonazol dengan kondisi medium yang digunakan adalah air dan dilakukan pemeriksaan cuplikan tiap 12 jam dengan menggunakan alat Spektrofotometri UV-Vis. Berdasarkan kelarutan Ketokonazol dalam medium air adalah 15,47 mg/l. Dalam dispersi padat kelarutan Ketokonazol meningkat kadarnya menjadi 21,57 mg/l. Sementara kelarutan Ketokonazol dalam dispersi padat dengan Tween 80 sebagai surfaktan adalah 23,23 mg/l. Dapat disimpulkan bahwa dengan dibuatnya sistem dispersi padat dapat meningkatkan kelarutan dari Ketokonazol murni. Peningkatan pada dispersi padat ini disebabkan karena adanya interaksi dan perubahan kristalinitas antara zat aktif dengan pembawa PVP K30 dan Tween sebagai surfaktan (Narsa, 2012). Penambahan Tween 80 sebagai surfaktan juga dapat meningkatkan waktu kelarutan jenuh Ketokonazol dengan kadar yang lebih besar dari Ketokonazol murni dan dispersi padat. Hal ini dikarenakan surfaktan dapat meningkatkan keterbasahan (Alatas, 2006). Uji Disolusi Uji disolusi ini dilakukan untuk mengukur jumlah zat aktif yang terdisolusi dalam medium cair yang diketahui volumenya pada suatu waktu tertentu. Uji disolusi dilakukan terhadap Ketokonazol murni, campuran fisik, dispersi padat dan dispersi padat dengan Tween 80 sebagai surfaktan dengan medium disolusi asam klorida 0,1 N. Setiap selang 5 menit selama 30 menit dilakukan pengambilan cuplikan yang kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan alat Spektrofotometri UV-Vis. Berikut profil disolusinya. Berdasarkan Gambar 3 dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan memiliki peningkatan laju disolusi dan persen terdisolusi paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Kemudian diikuti dengan dispersi padat tanpa penambahan surfaktan, campuran fisik Ketokonazol PVP K30 dan Ketokonazol murni. Peningkatan laju disolusi bahan obat dalam dispersi padat disebabkan oleh pengecilan ukuran partikel, sehingga luas permukaan kontak obat dengan medium disolusi lebih besar (Sinko, 2011). Juga terjadi efek solubilisasi oleh pembawa yaitu PVP K30 yang mudah larut dalam air kemudian menyelimuti Ketokonazol maka akan 122

123 membantu meningkatkan kelarutannya. Adanya pengaruh penambahan Tween 80 sebagai surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka sehingga meningkatkan keterbasahan terhadap Ketokonazol (Alatas, 2006). Penetapan Kadar Ketokonazol Uji penetapan kadar dilakukan untuk mengetahui kadar Ketokonazol dalam sistem dispersi padat dan dihitung berapa persen perolehan kembalinya. Tabel 1. Hasil Perolehan Kembali Sampel Perolehan Kembali (%) Dispersi Padat 1:1 97,36 Dispersi Padat + Tween 80 93,27 Campuran Fisik 1:1 68,73 Kadar Ketokonazol dalam dispersi padat adalah 25,66 mg dengan persen perolehan kembali sebesar 97,36%. Sementara kadar Ketokonazol dalam dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan adalah 26,69 mg dengan persen perolehan kembali sebesar 93,27%. Pada campuran fisik Ketokonazol dan PVP K30 diperoleh kadar 32,82 mg dengan persen perolehan kembali sebesar 68,73%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa persen perolehan kembali yang paling kecil adalah pada campuran fisik Ketokonazol dan PVP K30 yaitu 68,73%. Jadi dispersi padat Ketokonazol dengan PVP K30 yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan persen perolehan kembalinya tidak lebih besar dibanding dengan dispersi padat. Karakterisasi Dispersi Padat Powder X-Ray Diffraction (PXRD) (a) (b) (c) (d) 123

124 Gambar 4 Difraktogram (a) Ketokonazol (b) PVP K30 (c) Campuran Fisik Ketokonazol : PVP K30 (d) Dispersi Padat (e) Dispersi Padat +Tween 80 Difraktogram PXRD menunjukkan bentuk kristalin dari Ketokonazol dengan terlihatnya puncak-puncak utama dengan intensitas cukup tajam. Sedangkan pada PVP K30 tidak terlihat puncak-puncak yang menandakan bersifat amorf. Pada campuran fisik Ketokonazol dan PVP K30 terlihat puncak-puncak namun dengan intensitas yang rendah, hanya terlihat satu puncak utama yang memiliki intensitas tinggi. Pola difraktogram dispersi padat juga terlihat puncak-puncak yang lebih rendah. Sedangkan pada dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan juga terlihat puncak-puncak yang hampir mirip dengan dispersi padat yang tidak ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan dimana terlihat puncak namun dengan intensitas yang lebih rendah dibanding dengan Ketokonazol murni. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukkan dispersi padat dapat mengubah kristalinitas Ketokonazol menjadi lebih amorf dibandingkan bentuk murninya karena Ketokonazol dapat terdispersi secara homogen dalam keadaan amorf ke dalam PVP K30 dengan terlihatnya puncak-puncak yang mengalami penurunan (Retnowati, 2010). Dispersi padat yang tidak ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan menunjukkan puncak yang lebih rendah dibanding dengan yang ditambahkan Tween 80. Hasil dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan maupun yang tidak kristalinitasnya telah berubah menjadi lebih amorf. Differential Scanning Calorimetry (DSC) (e) (a) (b) (c) 124

125 (d) (e) Gambar 5 Termogram (a) Ketokonazol (b) PVP K30 (c) Campuran Fisik Ketokonazol : PVP K30 (d) Dispersi Padat (e) Dispersi Padat+Tween 80 Evaluasi dan karakterisasi lain dilakukan untuk mengamati interaksi antara Ketokonazol dan PVP K30 dan dispersi padatnya. Termogram dari uji DSC untuk Ketokonazol menunjukkan puncak 149,6 o C yang merupakan masih rentang titik leleh Ketokonazol. Puncak yang tajam menunjukkan kristalinitas Ketokonazol yang tinggi dan membutuhkan energi yang tinggi untuk pelelehannya (Narsa, 2012). Sedangkan pada PVP K30 terlihat puncak endotermis yang lebih lebar yaitu 57,2 o C menunjukkan lebih bersifat amorf. Pada termogram dispersi padat puncak endotermis PVP K30 menghilang, hanya terlihat puncak Ketokonazol yang melebar menjadi 142 o C. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengecilan ukuran partikel dari PVP K30, sehingga energi yang dibutuhkan untuk dispersi padat melebur menjadi lebih kecil (Balata, 2010). Hasil tersebut menunjukkan dispersi padat lebih bersifat amorf. Sedangkan pada termogram dispersi padat yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan terdapat dua puncak dimana puncak Ketokonazol mengalami kenaikan menjadi 156,1 o C namun terjadi pelebaran sedangkan pada PVP K30 terjadi penurunan menjadi 50,4 o C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Ketokonazol berada dalam bentuk amorf. Dibandingkan pula dengan campuran fisik Ketokonazol dan PVP K30 yang menunjukkan kedua titik lebur masih terlihat jelas puncak endotermisnya yaitu untuk Ketokonazol menjadi 147,7 o C dan PVP K30 menjadi 51,6 o C. Fourier Transform Infra Red (FTIR) (a) 125

126 (b) (c) (d) Gambar 6 Termogram (a) Ketokonazol (b) PVP K30 (c) Campuran Fisik Ketokonazol : PVP K30 (d) Dispersi Padat (e) Dispersi Padat+Tween 80 Berdasarkan Gambar 6 dapat terlihat bahwa pada spektrum Ketokonazol murni menunjukkan puncak dari C=O amida, C-O eter alifatik dan C=C aromatis pada bilangan gelombang 1647,21; 1249; dan 1512,19 cm -1. Apabila terjadi interaksi antara Ketokonazol dan PVP K30 maka akan terjadi pergeseran dan perluasan dari spektrum FTIR (Narsa, 2012). Pita-pita absorpsi utama yang ditunjukkan dispersi padat baik yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan maupun yang tidak tetap muncul pada bilangan gelombang yang sama dengan Ketokonazol murni. Pada daerah sidik jari (fingerprint region) untuk dispersi padat baik yang ditambahkan Tween 80 sebagai surfaktan maupun yang tidak terlihat seperti Ketokonazol murninya, namun terjadi penurunan ketajaman dari puncak-puncaknya. Pada campuran fisik juga masih terlihat puncak-puncak utama yang muncul pada bilangan gelombang yang sama dengan Ketokonazol murni. (e) 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa : Dispersi padat dapat meningkatkan kelarutan dan kecepatan disolusi dari Ketokonazol, karena Ketokononazol terdispersi molekuler dalam PVP K30 sehingga menyebabkan kristalinitasnya berubah menjadi lebih amorf. Penambahan Tween 80 sebagai surfaktan dapat lebih meningkatkan kecepatan disolusi dari dispersi padat Ketokonazol. 126

127 Perubahan bentuk Ketokonazol tersebut dapat dilihat dari puncak-puncak hasil karakterisasi dispersi padat dengan menggunakan Powder X-Ray Diffraction (PXRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC) dimana terjadi penurunan puncak-puncak dan analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) yang menunjukkan tidak adanya interaksi antara Ketokonazol dan PVP K DAFTAR PUSTAKA Agoes, Goeswin Seri Farmasi Industri 6: Sediaan Farmasi Padat. Bandung: ITB. Alatas, Fikri. Sundani, Nurono. Sukmadjaja, Asyarie Pengaruh Konsentrasi PEG 4000 Terhadap Laju Disolusi Ketporofen dalam Sistem Dispersi Padat Ketprofen-PEG 4000 [Skripsi]. Bandung: Jurusan Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Balata, Gehan. Mahmoud, Mahdi. Rania, Abu Bakera Ketokonazole solid dispersions and inclusion complexes. Journal of Pharmaceutical Sciences 2010, 5 (1): Erizal, Salaman Karakterisasi Fisikokimia dan Laju Disolusi Dispersi Padat Ibuprofen dengan Pembawa Polietilenglikol Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda Tahun Erizal, Salman Profil Disolusi Tablet Dispersi Padat Glibenklamid-PEG 6000 dengan Bahan Pengisi Avicel PH 102 dan Emcompress. Artikel Ilmiah Penelitian Dosen Muda Tahun Anggaran Iskandarsyah, Alip Mutakim Preparasi dan Karakterisasi Nanosuspensi dengan Polivinilpirolidon (PVP) sebagai Pembawa Nanopartikel Senyawa Asam Mefenamat. Jakarta: Departemen Farmasi FMIPA UI. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VII, No. 2, Narsa, Angga Cipta Peningkatan Laju Disolusi Ketokonazol dengan Teknik Dispersi Padat [Tesis]. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Patil, Rahul M. Ajim H. Maniyar, Mangesh T. Kale, Anup M. Akarte, Dheeraj T. Baviskar Solid Dispersion: Strategy to Enhance Solubility. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research Volume 8, Issue 2, Article-012. Reddy, Kumar Karunakar Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory Approach. Dissolution Technologies, Retnowati, Dini. Setyawan Dwi Peningkatan Disolusi Ibuprofen dengan Sistem Disoersi Padat Ibuprofen-PVP K90. Majalah Farmasi Airlangga, Vol. 8. No. 1. Sinko, Patrick J, editor Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika. Edisi 5. Jakarta: EGC. Hal The Council of Pharmaceutical Society of Great Britain British Pharmacopeia. London: The Pharmaceutical Press. Voight, Rudolf Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Soewandhi, Soedani Noerono, penerjemah. Berlin: Gadjah Mada University Press. Hal

128 UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH HIJAU (Piper betle L.) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY Tita Nofianti 1, Ihsan Nurihsan 1 Prodi Farmasi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Abstrak. Telah dilakukan penelitian uji aktivitas ekstrak etanol daun sirih hijau (Piper betle L.) terhadap tikus putih jantan galur sprague dawley. Hasil penafisan fitokimia menunjukan bahwa daun sirih hijau mengandung flavonoid, alkaloid dan steroid. Peningkatan kadar enzim SGPT dan SGOT diakibatkan oleh CCl 4 dengan dosis (0,4 ml/kg BB) dengan cara oral. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau D1 (0,005 g/200 g BB), D2 (0,010 g/200 gbb), dan D3 (0,020 g/200 gbb) mempunyai efek yang sama terhadap penurunan kadar enzim SGOT. D2 (0,010 g/200 gbb) dan D3 (0,020 g/200 gbb) memiliki efek yang sama terhadap penurunan kadar enzim SGPT, dan dosis yang efektif untuk keduanya adalah D2 yang mempunyai nilai persen penurunan kadar enzim SGPT sebesar (21,15%) dan SGOT (20,91%). Kata kunci : Sirih Hijau, SGOT, SGPT, CCl 4 1. LATAR BELAKANG Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostatis tubuh meliputi metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan imunologi. Prevalensi penyakit hati di Indonesia dan sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Dari RS. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien berkisar 4.1% dari pasien yang dirawat dibagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 pasien (4%) dari seluruh pasien dipenyakit dalam. Dan prevalensi hepatitis B di Indonesia mencapai 21.8 %. Umunya penyakit hati menempai urutan ketiga setelah penyakit infeksi dan paru (Riskesda, 2013). Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan gangguan hati antara lain adalah paparan senyawa kimia, konsumsi obat-obatan yang memiliki efek samping merusak hati, ketergantungan alkohol, racun dari jamur dan serangan virus menjadi faktor yang harus diperhatikan sebagai penyebab timbulnya penyakit hati. Gangguan hati yang disebabkan oleh obat dikenal dengan hepatitis obat atau disebut juga dengan hepatitis toksik, karena kerusakan hati yang terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik terhadap hati. Obat-obat untuk megobati gangguan fungsi hati yang diberikan selama ini hanya bersifat simptomatik. Selain itu dapat diberikan pengobatan yang bersifat suportif dan promotif untuk menjaga kelangsungan fungsi hati. Obat-obat ini disebut dengan hepatoprotektor, yaitu senyawa berkhasiat yang dapat melindungi sel hati dari pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati. Sekarang terus dikembangkan berbagai macam obat yang mempunyai sifat hepatoprotektor untuk mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan pada hati. Hepatoprotektor ini dapat terbuat dari bahan sintetis maupun dari bahan alam misalnya dari tumbuh tumbuhan. Bahan alam diyakini mempunyai efek samping yang lebih rendah dari pada bahan sintetis. Sementara itu Indonesia memiliki banyak tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Salah satu tumbuhan berkhasiat obat tersebut adalah daun sirih hijau. Selama ini selain dimanfaatkan sebagai tanaman obat, sirih juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan ritual adat dan keagamaan. 2. METODE PENELITIAN Alat : Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadang tikus, timbangan analitik, timbangan hewan, mortir dan stemer, blander, maserator, gelas ukur, gelas kimia, aluminium foil, Alat untuk persiapan hewan coba : Centrifuga H-C-8, timbangan hewan, timbangan analitik, gelas kimia (pyrex), cawan penguap, spuit 1 cc, stemper dan mortir, wadah untuk pelet, kandang tikus yang terbuat dari plastik yang ditutupi kawat yang dilengkapi tempat minum, pisau bedah, bejana maserasi, batang pengaduk, blender, rotary evaporator, fotometer, tabung effendrof. Bahan : Simplisia daun sirih hijau, pelarut etanol 70%, minyak kelapa, kertas saring, CCl 4,, pakan standar dan minum, aquadest, tikus putih jantan galur sprague dawley, pereaksi dragendrof, pereaksi mayer, NaOH, pereaksi 128

129 anisaldehid-asam sulfat atau vanilin-asam sulfat, serbuk magnesium, FeCl3 1%, larutan gelatin 1%, pereksi Lieberman-buchard. Reagen Kitt SGOT dan SGPT. Metode Pembuatan Simplisia Daun sirih hijau (Piper betle L.) segar, dicuci dibawah air mengalir, kemudian dirajang untuk memperoleh potongan yang lebih kecil sehingga mempercepat proses pengeringan. Setelah itu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender sampai diperoleh serbuk simplisia halus (Depkes, 1985). Pembuatan Ekstrak Timbang 400 gram serbuk daun sirih hijau (Piper betle L.) masukan kedalam maserator, tambahkan etanol 70% sampai bahan simplisia terendam, maserasi selama 24 jam, lakukan remserasi. Skrining Fitokimia Pengujian skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder dan memastikan adanya senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etanol daun sirih hijau (Piper betle L.) Meliputi alkaloid, flavonoid, saponin, monoterpenoid & seskuiterpenoid, steroid dan triterpenoid, tanin & polifenol, kuinon. Pembuatan Larutan Perlakuan Ekstrak etanol daun sirih hijau (Piper betle L.) dibuat larutan uji dengan 3 variasi dosis, yaitu D1 (0,005 g/200 g BB), D2 (0,010 g/200 gbb), dan D3 (0,020 g/200 gbb). Larutan uji dibuat dengan menggunakan larutan CMC 0,5% sebagai pelarut ekstrak. Larutan CMC 0,5% dibuat dengan melarutkan 1 gram CMC dalam aquades hangat sampai larut homogen, kemudian add dengan aquadest 50 ml dalam labu ukur. Sedangkan ccl 4 digunakan sebagai penginduksi untuk menghasilkan efek hepatotoksik pada hewan uji. Dosis ccl 4 yang digunakan adalah 0,4 ml/kg BB. Larutan ccl 4 dibuat dengan melarutkannya dalam minyak kelapa dan diberikan melalui oral. Perlakuan Hewan Uji Kelompok I : kelompok kontrol normal, kelompok uji yang hanya diberikan pakan pelet dan minum. Kelompok II : kelomok kontrol negatif, adalah kelompok uji yang hanya diberi CMC 0,5% dan diinduksi karbon tetraklorida dengan dosis 0,4 ml. Kelompok III : kelompok dosis uji I, adalah kelompok uji yang diberi ekstrak daun sirih hijau dengan dosis 0,005 g/200 g BB tikus dan diinduksi karbon tetraklorida dosis 0,4 ml Kelompok IV : kelompok dosis uji II, adalah kelompok uji yang diberi ekstrak daun sirih hijau dengan dosis 0,010 g/200 g BB tikus dan diinduksi karbon tetraklorida dosis 0,4 ml. Kelompok V : kelompok dosis uji III, adalah kelompok uji yang diberi ekstrak daun sirih hijau dengan dosis 0,020 g/200 g BB tikus dan diinduksi karbon tetraklorida dosis 0,4 ml. Ekstrak daun sirih hijau diberikan menggunakan sonde secara oral dengan dosis yang telah ditentukan untuk masing-masing dosis selama 7 hari, sedangkan untuk kelompok normal dan negatif hanya diberi CMC 0,5 %. Pada hari ke-7 kelompok dosis, kelompok kontrol negatif diinduksi dengan larutan karbon tetraklorida, sedangkan kelompok netral hanya diberikan CMC 0,5%. Induksi diberikan 2 jam setelah pemberian ekstrak pada hari ke 7 dengan cara oral. Semua hewan percobaan diambil darah pada hari ke 8 dan diukur kadar enzim SGPT dan SGOT dengan cara mengambil darah lewat vena jungularis. Pemeriksaan Kadar Kadar Enzim SGOT dan SGPT Pengujian biokimia darah pada serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) dan serum glutamat piruvat transminase (SGPT) dilakukan dengan cara disentrifuga dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan serum dari darah. Sebelum pemeriksaan serum, dilakukan blanko terlebih dahulu. Sebanyak 100 mikron serum yang diperoleh, ditambah reagen Kitt sesuai Tabel 1. Tabel 1 Persiapan Larutan Untuk Pengukuran Kadar enzim SGOT dan SGPT Reagen Blanko Standar Sampel R µl 1000 µl 1000 µl R2 200 µl 200 µl 200 µl Standar µl - Sampel µl 129

130 Pada suhu kamar langsung dibaca pada fotometer dengan panjang gelombang 340 nm dengan faktor 1746 tanpa inkubasi, karena menggunakan metode enzimatik dimana proses inkubasi berlangsung pada saat sampel berada didalam fotometer (reagen kitt SGPT dan SGOT AIM). Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode analisis secara statistic meliputi Uji Normalitas, Homogenitas, ANOVA (Analysis Of Varian) dan Uji LSD. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Berdasarkan hasil ekstraksi simplisia daun sirih hijau sebanyak 400 gram, diperoleh ekstrak kental 64,063 gram sehingga rendemen yang diperoleh sebesar Pelarut yang dipilih yaitu etanol 70% karena dinilai cukup polar untuk menarik flavonoid sebagai senyawa aktif yang diduga berperan besar dalam penelitian ini. Selain ini juga digunakan simplisia kering karena dalam kandungan air dari etanol 70% mampu melisis sel sampel sehingga penetrasi pelarut kedalam sel lebih mudah dan tersari lebih baik, menurut farmakope herbal dinyatakan bahwa pelarut yang digunakan untuk menyari simplisia tidak dinyatakan lain yaitu etanol 70%. Untuk melindungi senyawa yang diduga sebagai hepatoprotektor yang terdapat pada simplisia agar dapat diekstraksi secara sempurna, maka dipilih ekstraksi cara dingin yaitu dengan metode maserasi. Skrining Fitokimia Skrining fitokimia secara kualitatif dilakukan bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada daun sirih hijau (Piper betle L.) Skrining fitokimia pada daun sirih hijau terhadap senyawa metabolit sekunder meliputi alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, kuinon, steroid dan triterpenoid, monoterpen dan seskuiterpen. Berdasarkan hasil skrining fitokimia, daun sirih hijau mengandung alkaloid, flavonoid dan steroid. Hasil Pengukuran Kadar Enzim SGPT Sebelum dilakukan pengujian pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau terhadap kadar enzim SGOT dan SGPT dari kerusakan hati, tikus putih terlebih dahulu beri ekstrak etanol daun sirih hijau dengan D1 (0,005 g/200 g BB), D2 (0,010 g/200 gbb), dan D3 (0,020 g/200 gbb) selama 7 hari, 2 jam setelah pemberian ekstrak semua kelompok kecuali kelompok normal diinduksi dengan ccl 4 0,4 ml/kg BB tikus, hari ke 8 kemudian diambil darah melalui vena jungularis untuk pemerikasaan selanjutnya. CCl 4 hampir merusak semua sel tubuh termasuk hati. CCl 4 dimetabolisme oleh hati melalui sitokrom P 450 menyebabkan konversi molekul CCl 4 menjadi radikal bebas CCl 3 yang akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal triklorometil peroksida (CCl 3 O 2 - ) (Hodgson dan Levi, 2000). Radikal bebas yang terbentuk akan bereaksi dengan asam lemak tak jenuh pada membran sel menyebabkan terjadinya kerusakan sel melalui peristiwa peroksidasi lipid sehingga dengan pemberian CCl 4 menyebabkan jaringan hati kelompok perlakuan mengalami kerusakan yang dinilai melalui parameter salah satunya enzim SGPT. Peningkatan kadar enzim SGPT ini menjadi petunjuk yang spesifik terhadap kerusakan hati, karena sangat sedikit kondisi selain hati yang berpengaruh terhadap kadar enzim ini dalam serum (Widmann, 1995). Hasil Pengukuran Kadar Enzim SGPT Tabel 2 Hasil Pengujian Kadar SGPT serum tikus (U/I) Kadar SGPT Serum Tikus (U/I) No Negatif Normal Dosis 1 Dosis 2 Dosis Rata-rata ,2 54,4 51,4 ± SD 11,81 8,426 11,51 10,21 10,89 Gambar 1 Grafik Rata-rata Kadar Enzim SGPT Antar Kelompok Perlakuan Pada gambar 1, rata-rata kadar enzim SGPT kelompok normal sebesar (47,00±8,426) IU/I, sedangkan pada kelompok kontrol negatif yang diberi CCl 4, kadar SGPT mengalami kenaikan yaitu sebesar (69,00±11,81) IU/I. 130

131 Pemberian CCl 4 sebagai induktor hepatotoksik tanpa diberikan hepatoprotektor mengakibatkan kerusakan hati pada kelompok negatif yang kadarnya jauh diatas kelompok normal. Peningkatan kadar enzim SGPT ini bahwa pemberian CCl 4 dosis toksik dapat menyebabkan kerusakan hati melalui metabolit reaktifnya yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim SGPT (Sartono, 2002). Penurunan kadar enzim SGPT terjadi pada kelompok D1, D2 dan D3. Akan tetapi penurunan ini belum mencapai keadaan normal. Terbukti dengan hasil uji statistik antara kelompok D1 dengan kelompok negatif menunjukan adanya penurunan tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna, kelompok D2 dan D3 dengan kelompok negatif menunjukan perbedaan yang bermakna. Hal ini menunjukan bahwa pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau dosis 10 mg/200 gbb dan 20 mg/200 gbb memperlihatkan efek sebagai hepatoprotektor yaitu dapat melindungi terhadap kerusakan jaringan hati yang diinduksi CCl 4, namun efek hepatoprotektor tersebut belum optimal. Terjadinya penurunan kadar enzim SGPT merupakan salah satu indikasi sel-sel hati yang mengalami kerusakan atau terjadinya perlindungan hati dari kerusakan yang diakibatkan oleh CCl 4 setelah pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau. Hal ini disebabkan daun sirih hijau mengandung kelompok senyawa atau lignan antara lain flavonoid, steroid dan triterpenoid, alkaloid, saponin, minyak atsiri yang menunjukan aktivitas antioksidatif melalui peningkatan radikal bebas dan dekomposisi peroksida lipid (Priharyanti, 2007; Zakaria, 2007). Berdasarkan hasil analisis statistik uji normalitas, diperoleh nilai sig (0,815) > 0,05, sehingga H o diterima, artinya kadar enzim SGPT diambil dari masing-masing kelompok terdistribusi normal. Berdasarkan hasil analisis homogenitas, diperoleh nilai sig sebesar (0,805 >0,05). Data hasil analisis dikatakan homogen apabila nilai sig > 0,05. Sehingga semua data pada pengujian kadar enzim SGPT homogen. Karena hasil uji normalitas dan homogenitas menunjukan nilai signifikasi > 0,05 maka dapat dilanjutkan dengan uji ANOVA. Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap masingmasing kelompok. Berdasarkan hasil analisis uji ANOVA pada lampiran 5 tabel 4.6 diperoleh nilai sig (0,040) < 0,05) sehingga H o ditolak, artinya ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun sirih hijau terhadap kadar enzim SGPT serum tikus. Berdasarkan hasil uji LSD, kelompok normal menunjukan adanya perbedaaan yang bermakna jika dibandingkan dengan kontrol negatif (-) dengan nilai sig 0,004. Jika dibandingkan dengan kelompok D1, D2 dan D3 menghasilkan nilai sig 0,112, 0,258 dan 0,521, artinya kelompok normal tidak adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok tersebut. Kelompok negatif (-) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna jika dibandingkan dengan kontrol normal, D2 dan D3 dengan nilai sig 0,004, 0,042 dan 0,017. Kelompok D1 jika dibandingkan dengan kelompok yang lainnya dengan nilai 0,112, 0,124, 0,579, 0,324 artinya menunjukan tidak adanya perbedaan yang bermakna. Hasil Pengukuran Kadar Enzim SGOT Tabel 2 Hasil Pengujian Kadar SGPT serum tikus (U/I) Kadar SGOT Serum Tikus (U/I) No Negatif Normal D1 D2 D ,5 108,5 109,9 109, ,5 118,5 117,1 116,7 117, ,2 119,2 125,4 125,6 129, ,4 125,6 136,4 132,9 130, ,2 136,6 134,2 163,2 134,5 Rata-rata 163,96 121,68 124,6 129,66 124,26 ± SD 11,24 10,34 21,21 20,67 10,55 Gambar 2 Grafik Rata-rata Kadar Enzim SGOT Antar Kelompok Perlakuan Dilihat dari grafik pada gambar 2 diperoleh rata-rata kadar enzim SGOT kelompok kontrol negatif adalah (163,96±10,34) yang terlihat jauh diatas normal bila dibandingkan dengan kelompok (normal) yaitu (121,68±10,34). Peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT ini sesuai dengan yang diuraikan oleh Wanes (1996) bahwa pemberian CCl 4 dosis toksik dapat menyebabkan nekrosis terutama melaui metabolit reaktifnya yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT. Penurunan kadar enzim SGOT pada kelompok D1, D2 dan D3 cukup drastis akan tetapi belum mencapai seperti pada keadaan normal. Hal ini menunjukan bahwa pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau memperlihatkan efek sebagai hepatoprotektor yaitu dapat melindungi terhadap kerusakan jaringan hati yang diinduksi oleh CCl 4, namun efek hepatoprotektor tersebut belum optimal dan mugkin akan semakin efektif apabila dilakukan penelitian lagi untuk mencari kadar dosis optimal. 131

132 Terjadinya kesembuhan sel-sel hati yang mengalami kerusakan atau terjadinya perlindungan hati dari kerusakan yang diakibatkan oleh CCl 4 setelah pemberian ekstrak daun sirih hijau disebabkan karna adanya senyawa yang terdapat dalam daun sirih hijau. Senyawa tersebut seperti flavonoid, tanin, minyak atsiri dapat melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan secara genetis dan menormalkan fungsi sel yang rusak sehingga dapat meningkatkan fungsi sel (Heinicke, 2000). Senyawa golongan yang bersifat antioksidan dapat bertindak sebagai penetral radikal bebas. Mekanisme kerja senyawa antioksidan mungkin dengan cara memberikan elektronnya atau menghentikan reaksi berantai dari radikal bebas, sehingga dapat mencegah reaksi rantai berlanjut dari peroksidasi lemak dan juga protein akibat dampak radikal bebas. Dengan demikian kerusakan sel lebih lanjut dapat dicegah. Hambatan kenaikan kadar enzim SGOT tergantung pada besarnya dosis ekstrak daun sirih hijau yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis normalitas statistik uji normalitas, diperoleh nilai sig (0,452 > 0,05) sehingga H o diterima, artinya kadar enzim SGOT yang diambil dari masing-masing kelompok terdistribusi normal. Berdasarkan hasil analisis homogenitas diperoleh nilai sig (0,433). Karena hasil uji normalitas dan homogenitas menunjukan nilai signifikasi > 0,05 maka dapat dilanjutkan dengan uji ANOVA. Berdasarkan hasil analisis uji ANOVA diperoleh nilai sig (0,002 < 0,05), sehingga H o ditolak, artinya ada perbedaan yang signifikan akibat dari pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau terhadap kadar enzim SGOT serum tikus. Berdasarkan hasil uji LSD, kelompok normal menunjukan adanya perbedaaan yang bermakna jika dibandingkan dengan kontrol negatif (-) dengan nilai sig 0,000. Jika dibandingkan dengan kelompok D1, D2 dan D3 didapat nilai sig 0,378, 0,429 dan 0,797, artinya kelompok normal tidak adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok tersebut. Kelompok kontrol negatif (-) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna jika dibandingkan dengan kontrol normal, D1, D2 dan D3 dengan nilai sig 0,000, 0,003, 0,002, dan 0, KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan : Pemberian ekstrak etanol daun sirih hijau (Piper betle L.) dapat melindungi kerusakan hati terhadap dari CCl 4 dengan D1 (0,005 g/200 gbb), D2 (0,010 g/200 gbb) dan D3 (0,020 g/200 gbb). Dosis efektif sebagai hepatoprotektor yang dapat menurunkan kadar enzim SGOT dan SGPT adalah dosis DAFTAR PUSTAKA Abdul latief. H Obat Tradisional. Jakarta. EGC Atmaja, Wahyu, K. J., Santi, Purnasari., Azizahwati efek hepatoprotektif infus daun sukun (Apocarpus altilis (PARK.) FSB.) terhadap kerusakan hati yang diinduksi dengan karbon tetraklorid. Universitas Indonesia FMIPA. Departemen Farmasi. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol VII (2). Baradero, Mary.,dkk Klien Gangguan Hati. jakarta. EGC Dalimartha, Stiawan Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 3 Puspa suara; Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia A Farmakope Indonesia, Edisi 1. Jakarta :Departemen Kesehatan Republik Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati. Jakarta: DepartemenKesehatanRepublik Indonesia Febriyanti, Maya et al Jurnal Farmasi Indonesia Volume 7 No. 1.Jakarta : IAI Fransworth, N.R Biological and Phyto-chemical Screening of Plant.J.Pharm. Sci (3) : Frank C. LU Basic Toxikology Fundamentals Target Organ and risk Assesment. Edi Nugroho. Penerjemah. Jakarta; UI press. Hamidi, M.Yulis., Malik, Zulkifli., MachyarMutiara Ryan Gambaran histopatologi kerusakan hati mencit yang diproteksi air rebusan daun sirih (Piper betle L.). Pekanbaru.Fakultas Kedokteran Universitas Riau Hodgsons E. And Levi P.E A Text Book of Modern Toxicology. 2 nd ed. USA : McGRAW-Hill Companies Inc, pp : Jeon, ti., Hang, sg., Park, NG., Shin, SI., Choi, SD. Park, DK Toxikology. 187 (67-73). 132

133 Katzung, B. g Farmakologi Dasar dan Klinik. Diterjemahkan oleh Sjabana, D., Isbandiat, E. S. Basori, A., Soedjak. M. N., Uno, I., Ramadhani, RB., Zakaria, S.P. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. Mescher, Anthony L Histologi Dasar JUNQUEIRA. Jakarta.EGC.Edisi 12 hal 281. Misnadiarly, Dra Riset mengenal penyakit liver. Puslitbang biomedis dan farmasi.badan litbangkes. Mohandis,Haki Efek ekstrak daun talok (Muntingia calabura L.) terhadap akivitas enzim sgpt terhadap mencit yang diinduksi karbon tetraklorida. Surakarta: [skripsi] Fakultas Kedokteran UNS. Panjaitan, Ruqiah gandaputri, Ekowati, Handrayani., Chairul, masriani, Zulfa Zakiah., Wesmen manalu Pengaruh pemberian karbontetraklorida terhadap fungsi hati dan ginjal tikus. Pontianak. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura vol. II no 1 Sari tappi, lintongpopi.,loho, L.lily., Gambaran histopatologi hati tikus wistar yang diberikan jus tomat (Solanum lycopersicum) pasca kerusakan hati wistar yang diinduksi. [RISKESDA] Riset Kesehatan Daerah Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Underwood.J.C.E Patologi umum dan sistemik. Jakarta. EGC 2 hal 469 Widmann F.K Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksan Laboratorium. Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal : 331. Wenas N.T Kelainan Hati Akibat Obat : Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hal :

134 UJI AKTIVITAS ANTIDEPRESI INFUSA DAUN SELASIH (Ocimum basilicum Linn) TERHADAP MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Muharram Priatna 1, Yura Kalfataru Iskandar 1, Yedy Purwandi Sukmawan 1 1 Program Studi Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada, Tasikmalaya Abstrak. Saat ini, pencarian suatu farmakoterapi dari tanaman obat untuk penyakit kejiwaan telah mengalami kemajuan yang signifikan. Penelitian kali ini dilakukan untuk mengevaluasi aktivitas antidepresi infusa daun selasih (Ocimum basilicum). Mencit jantan galur swiss webster diberi infusa daun selasih secara oral dengan pemerian tunggal, dengan dosis yang digunakan adalah 1.95, 3.9 and 7.8 g/ kg BB. Aktivitas antidepresi ini dievaluasi menggunakan metode Force Swimming Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh dosis diatas yang digunakan dari infusa daun selasih menurunkan durasi imobilitas dengan peningkatan durasi berenang secara bermakna (p<0.05). Oleh karena itu, Selasih mungkin bisa diterima sebagai sumber tanaman yang potensial sebagai agen psikoterapi untuk depresi. Akan tetapi masih perlu dilakukan suatu penelitian lebih lanjut. Kata Kunci : Selasih (Ocimum basilicum L.), antidepresi, forced swimming test 1. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan kita tidak bisa lepas dengan masalah ataupun terhadap benturan-benturan yang kerap terjadi dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap orang pernah berhadapan dengan masalah dan tekanan ini, banyak yang berhasil menghadapi masalah ini dengan baik (beradaptasi) tetapi tidak sedikit orang yang tidak bisa menghadapi masalah yang dihadapi dan akibatnya akan terjadi suatu penyakit akibat keadaan ini. Salah satu penyakit yang terkait keadaan stress ini adalah depresi. Depresi didefinisikan sebagai gangguan dimana suatu keadaan murung yang bertahan setelah lebih dari 2-3 minggu atau bahkan bertambah buruk (Tan dan Rahardja, 2005). Menurut The National Comorbidity Survey Replication prevalensi keadaan depresi di Amerika Serikat mencapai 16.2 % dan perempuan lebih cenderung terkena keadaan ini kali dibanding pria (Dipiro et al,1997). Pengobatan yang dilakukan saat ini untuk mengatasi keadaan depresi terbatas pada obat-obat sintetik yang tergolong pada obat antidepresi dan memiliki penggunaan terbatas. Golongan obat yang termasuk antidepresi adalah antidepresi trisiklik, SSRI (Selective Serotonine Receptor Inhibitor),MAOI (Mono Amine Oxidase inhibitor) (Ganiswara, 2005)..Oleh karena itu, diperlukan sesuatu yang baru, dapat ditoleransi dengan baik, dan memiliki efikasi yang tinggi. Maka dari itu, terapi menggunakan herbal harus dipertimbangkan sebagai obat baru dalam mengatasi gangguan ini. Selasih (Ocimum basilicum) merupakan tanaman perdu dan termasuk family lamiaceae (Dalimartha, 2008). Selasih dalam beberapa literatur dianggap memiliki khasiat antidepresi tetapi belum ada data ilmiah yang menyatakan hal tersebut. Khasiat anti depresi yang dimilikinya diperkirakan karena adanya flavonoid, terpenoid, dan polifenol (Prakash, 2005). Zat-zat tersebut diatas terutama flavonoid telah dilaporkan sebagai neuroprotektor melawan bermacam kondisi patologis otak dan diterima sebagai sumber untuk terapi penyakit neuropsikologis (Wattanathorn et al.2007). Berdasarkan uraian diatas maka penulis merasa tertarik untuk membuktikan secara ilmiah khasiat infusa daun selasih sebagai antidepresi. 2. BAHAN DAN METODE Bahan: Bahan uji berupa daun selasih yang telah dikeringkan dan diperoleh dari pekarangan rumah, Kecamatan Tawang Kabupaten Tasikmalaya dan dideterminasi di Jurusan Biologi FMIPA-Universitas Padjadjaran. Hewan Percobaan : Hewan yang dipergunakan adalah mencit jantan (20-30gram) galur swiss-webster. Tikus sebelumnya dikarantina selama satu minggu. Bahan Kimia : Bahan kimia yang dipergunakan adalah PGA (Pulvis Gummi Arabicum), Imipramine HCl. 134

135 Alat Alat-alat yang digunakan adalah : silinder plastik (Tinggi 21cm, Diameter 19 cm), timbangan, sode oral, stop watch, penangas air, labu ukur, termometer. Pembuatan Infusa : Daun selasih kering ditimbang kemudian dihaluskan menggunakan blender, kemudian dilakukan ekstraksi dengan metode infusa (pemanasan selama 15 menit pada suhu 90 0 C). Penapisan Fitokimia : Penafisan fitokimia menurut prosedur Farnsworth (1966). Pengujian Khasiat Antidepresi Infusa Daun Selasih Pada Mencit Jantan Galur Swiss Webster : Untuk melihat khasiat antidepresi dari infusa daun selasih digunakan metode Force Swimming Test (Modified Porsolt test). Mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor, sebelum di uji sehari sebelumnya diberenangkan terlebih dahulu selama 15 menit untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya dan 24 jam kemudian kepada masing-masing kelompok diberi perlakuan sebagai berikut: Kelompok negatif diberikan larutan PGA 1%, kelompok kontrol positif diberikan imipramin (0.32 mg/kg BB) disuspensikan dalam PGA 1% dan kelompok uji infusa daun selasih yang terdiri atas tiga kelompok yaitu Uji I (1.95 gram/ Kg BB), Uji II (3.9 gram/ Kg BB) dan Uji III (7.8 gram/ Kg BB) yang disuspensikan dalam PGA 1% dan diberikan secara oral. Setelah satu jam kemudian mencit dimasukkan dalam silinder plastik (Tinggi 21cm, Diameter 19cm) yang berisi air dengan ketinggian 18 cm pada suhu 25 0 C. Mencit akan berenang aktif. Setelah saat-saat tertentu mencit menunjukkan sikap tidak bergerak sama sekali,keadaan mencit tidak bergerak menunjukkan bahwa mencit tersebut mengalami keputusasaan yang dianggap menyerupai keadaan depresi. Pada saat itu lamanya mencit tidak bergerak dicatat selama waktu pengamatan 10 menit. Data yang diperoleh ditampilkan sebagai rataan ± Standar deviasi. Dianalisis secara statistik menggunakan ANAVA dan diteruskan dengan LSD. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian aktivitas antidepresi daun selasih berlandaskan pada data tertulis dan secara empiris dari masyarakat. Metode yang digunakan untuk pengujian khasiat antidepresi adalah metode Force Swimming Test, prinsipnya hewan diberenangkan pada suatu silinder plastik berisi air dengan luas terbatas yang kemudian dapat menghasilkan rasa putus asa karena tidak bisa keluar dari keadaan tersebut yang ditandai dengan imobilitas dari hewan tersebut. Imobilitas ini merefleksikan suatu keadaan depresi pada manusia. Penapisan Fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolitnya. Hasil Penapisan Fitokimia bisa dilihat pada tabel 1. Pengujian aktivitas antidepresi infusa daun selasih dengan tiga dosis uji berbeda yaitu Uji I (1.95 gram/ Kg BB), Uji II (3.9 gram/ Kg BB) dan Uji III (7.8 gram/ Kg BB) dan kontrol positif (imipramine 0.32 mg/kg BB) yang diberikan peroral dengan pemerian tunggal pada mencit menggunakan metode Force Swimming Test diperoleh hasil sebagai berikut. Hasil perhitungan durasi immobilitas untuk setiap kelompok pada pengamatan 5 menit dan 10 menit secara berturut-turt tertera pada tabel 2 dan tabel 3. Tabel 1. Hasil Penafisan Fitokimia Golongan Senyawa Hasil Alkaloid - Flavonoid + Saponin + Tanin + Fenol + Steroid - Triterpenoid - Kuinon + Monoterpen dan Seskuiterpen + Berdasarkan Tabel 1. Diatas dapat dilihat hasil penafisan fitokimia untuk mengetahui metabolit yang terkandung dalam infusa daun selasih. Pada hasil penafisan fitokimia terkandung senyawa yang diuga sebagai antidepresi yaitu Flavonoid. 135

136 Tabel 2. Durasi Imobilitas Pada 5 Menit Perlakuan Menit K (-) K (+) D I D II D III Jumlah Rataan S. deviasi Grafik 1. Durasi Imobilitas Setiap Kelompok Pada 5 Menit Waktu Pengamatan Berdasarkan tabel 2 diatas yaitu hasil pengamatan durasi imobilitas pada waktu 5 menit menunjukkan bahwa ada hubungan antara dosis dengan durasi immobilitas, semakin tinggi dosis maka semakin tinggi penurunan imobilitas yang dihasilkan. Terlihat dosis uji I, II, dan III lebih baik dalam penurunan durasi imobilitas dibanding dengan kelompok kontrol positif. Dosis uji III memberikan nilai penurunan imobilitas yang paling tinggi dibanding yang lainnya. Tabel 3. Durasi Imobilitas Pada 10 Menit Perlakuan Menit 10 K (-) K (+) D I D II D III Jumlah Rataan S. deviasi

137 Grafik 2. Durasi Imobilitas Setiap Kelompok Pada 10 Menit Waktu Pengamatan Berdasarkan tabel 3 diatas yaitu pengamatan durasi imobilitas pada waktu 10 menit terlihat pula adanya hubungan antara dosis dan penurunan durasi imobilitas pada kelompok dosis uji I, uji II dan uji III. Hal ini terlihat semakin tinggi dosis semakin tinggi penurunan durasi imobilitasnya. Pengamatan pada 10 menit ini memperlihatkan adanya perbedaan durasi imobilitas yang dihasilkan pada kontrol I dengan pengamatan pada 5 menit. Pengamatan 5 menit memberikan hasil penurunan durasi imobilitas pada yang lebih baik dibanding pengamatan 10 menit pada kontrol I terhadap kontrol positif. Hal ini diduga karena pada 10 menit, imipramin hampir atau telah mencapai dosis maksimumnya didalam darah sehingga semakin memberikan aktivitas penurunan imobilitas yang semakin baik. Sebelum melakukan analisa menggunakan metode ANAVA (Analysis of Variance) terlebih dahulu dilakukan analisis normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov dan pengujian Levene statistic untuk menilai homogenitasnya, hal ini karena sebelum bisa melakukan analisa ANAVA harus memenuhi tiga syarat yaitu nilai berdistribusi normal, homogen dan pemilihan sampel secara acak (Random). Hasil perhitungan Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat pada tabel 4, sedangkan pengujian homogenitas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4. Hasil Kolmogorov-Smirnov Uji Kolmogorov-Smirnov Nilai Jumlah Data 25 Rataan Parameters Normal Standar Deviasi Absolut.103 Perbedaan paling tertinggi Positif.078 Negatif Kolmogorov-Smirnov Z.515 P.953 Uji Distribusi Adalah Normal Hasil uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data tersebut memiliki distribusi normal (p>0.05), sehingga Ho diterima artinya kelima kelompok perlakuan diambil dari populasi yang terdistribusi normal. Tabel 5. Pengujian Homogenitas Levene Statistik Derajat Kebebasan1 Derajat Kebebasan2 p Berdasarkan pengujian homogenitas varian Levene pada tabel 5. dapat dilihat bahwa (p>0.05). sehingga Ho diterima artinya semua varian homogen. Dikarenakan data yang digunakan memiliki nilai distribusi normal dan homogen, maka bisa dilanjutkan dengan pengujian ANAVA. Hasil pengujian ANAVA bisa dilihat pada table 6. Tabel 6. Hasil Pengujian ANAVA ANAVA Nilai Derajat Jumlah Kuadrat Rataan Kuadrat F p Kebebasan Antar Kelompok Dalam Kelompok Total Hasil uji ANAVA (Analysis of Variance) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antar perlakuan pada taraf nyata 0.05 sehingga Ho ditolak. Hal ini mengindikasikan infusa daun selasih dari ketiga dosis uji serta kelompok positif selama 10 menit waktu pengamatan memberikan perbedaan yang bermakna terhadap penurunan imobilitas dengan tingkat kepercayaan 95%. Penurunan durasi imobilitas untuk masing-masing kelompok kemudian dibandingkan dan dianalisis dengan menggunakan uji LSD (Least Significant Differences). Hasil uji LSD selama 10 menit waktu pengamatan dapat dilihat pada tabel

138 Tabel 7. Hasil Uji LSD (I) Kelompok (J) Kelompok Perbedaan Tingkat Kepercayaan 95% Std. Error p Rataan (I-J) Batas Bawah Batas Atas negatif positif * uji I * uji II * uji III * positif negatif * uji I uji II uji III * uji I negatif * positif uji II uji III * uji II negatif * positif uji I uji III uji III negatif * positif * uji I * uji II *. Perbedaan Rataan Signifikan Pada Level Keterangan: Negatif : larutan PGA 1%, Positif : larutan imipramine (0.32 mg/kg BB) disuspensikan dalam PGA 1% Uji I : infusa daun selasih (1.95 gram/ Kg BB) disuspensikan dalam PGA 1% Uji II : infusa daun selasih (3.9 gram/ Kg BB) disuspensikan dalam PGA 1% Uji III : infusa daun selasih (7.8 gram/ Kg BB) disuspensikan dalam PGA 1% Pada tabel 7. dapat terlihat bahwa masing-masing dosis uji infusa daun selasih dan kontrol positif menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap kontrol negatif pada penurunan durasi imobilitas pada taraf nyata Apabila dosis uji dibandingkan dengan kelompok kontrol positif, dosis uji III memberikan suatu perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 0.05 artinya dosis uji III memberikan perbedaan bermakna terhadap penurunan imobilitas dengan tingkat kepercayaan 95% dibanding kelompok kontrol positif. Sedangkan dosis uji I dan uji II tidak berbeda secara bermakna dengan dosis positif. Jadi, uji III memiliki aktivitas penurunan imobilitas yang lebih baik dibandingkan kontrol positif, uji I,dan uji II. Sedangkan uji I dan uji II bisa dikatakan memiliki aktivitas penurunan imobilitas yang sama dengan kontrol positif. Dari tabel hasil LSD tersebut dapat terlihat adanya perbedaan bermakna dari masing-masing dosis uji terhadap kontrol negatif (p<0.05). Menurut Kitada (1981) dan Porsolt (1978) menyatakan bahwa efek antidepresi dapat menurunkan durasi imobilitas pada 5 menit dan 10 menit. Sejalan dengan pernyataan diatas maka infusa daun selasih memiliki aktivitas antidepresi dengan ditandai adanya penurunan imobilitas selama waktu pengamatan 10 menit. Penurunan imobilitas yang merefleksikan sebagai khasiat antidepresi dari infusa daun selasih ini diduga dari metabolit sekunder yang terkandung di dalamnya terutama flavonoid. Flavonoid ini dianggap sebagai neuroprotektor dan khasiat terhadap antidepresinya diduga berdasarkan hambatan pengambilan kembali neurotransmitter, penghambat enzim Mono Amin Oksidase dan merangsang pembentukan neurotrophin (BDNF) yaitu suatu hormon pertumbuhan yang bertanggung jawab akan kelangsungan hidup dan pertumbuhan syaraf-syaraf. Ketiga mekanisme diatas diduga bekerja secara sinergis sehingga memberikan suatu aktivitas penurunan imobilitas yang bermakna dibanding kontrol negatif. Pada Dosis III memberikan suatu perbedaan yang bermakna dibanding kontrol positif (p<0.05), hal ini diduga selain karena kerja sinergis dari ketiga mekanisme diatas yaitu hambatan pengambilan kembali neurotransmitter, penghambat enzim Mono Amin Oksidase dan merangsang pembentukan neurotropin berperan 138

139 pula besarnya dosis dari dosis uji III tersebut. Dimana pada dosis III diduga terkandung senyawa aktif yang optimal sehingga memberikan hasil yang optimal pula. 4. KESIMPULAN Hasil studi pra klinis terhadap mencit setelah pemberian tiga macam dosis, 1.95 gram/ Kg BB untuk dosis I, 3.9 gram/ Kg BB untuk dosis II, 7.8 gram/ Kg BB untuk dosis III dengan pemerian tunggal (acute administration), ketiga infusa daun selasih menunjukkan aktivitas antidepresi yang ditandai dengan penurunan imobilitas yang berbeda secara bermakna dibanding kelompok negatif. Penggunaan dosis uji III (7.8 gram/ Kg BB) memberikan hasil tertinggi dalam menurunkan durasi imobilitas. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara pasti senyawa yang paling bertanggung jawab akan khasiat antidepresinya, serta dilakukan pengujian aktivitas antidepresi menggunakan metode uji dan cara ekstraksi yang berbeda. 5. DAFTAR PUSTAKA Dalimartha S (2008). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agridiya: Jakarta Dipiro J et al (1997).Pharmacotherapy A Patophysiologic Approach. Stamford United States : Appleton and Lange Farnsworth (1966). Biological and Screening of Plant, J. Pharmaceutical Science Ganiswara (2005). Farmakologi dan terapi. Jakarta : UIP Tan dan Rahardja (2003). Obat-Obat Penting. Jakarta : Gramedia Tumangger et al.(1999). Penapisan Efek Antidepresi dan Fitokimia Beberapa Tumbuhan Pakan Primata dengan Metoda Berenang. CDK: Indonesia. J. Cermin Dunia Kedokteran No. 123, 1999 Prakash dkk (2005). Therapeutic Uses Of Ocimum basilicum Linn With A Note On Eugenol and It s Pharmacological Actions: a Short Review.Dehradoon: Indian. J. Physiol Pharmacol Wattanathorn et al (2007). Evaluation of the Anxiolytic an Antidepressant Effects of Alcoholic Extract of Kaempferia parviflora in Aged Rats. Khonkaen : Thailand. J. Agri. & Bio. Sci., 2 (2): 94-98,

140 ANALISIS PERAN PETUGAS KESEHATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN KONTRASEPSI JANGKA PANJANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMANSARI KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2016 FENTY AGUSTINI DAN TUPRILIANY DANEFI Program Studi Diploma III Kebidaan, STIKes Respati Tasikmalaya Abstrak Pemilihan jenis kontrasepsi pada setiap wanita bergantung pada beberapa factor diantaranya umur, jumlah keluarga yang diinginkan, paritas, pengalaman metode yang lalu, status kesehatan, efektifitas, pertimbangan efek samping dan biaya. Laporan Puskesmas Tamansari tahun 2012 cakupan AKDR sebanyak 5,70%, Implan sebanyak 4,32%, cakupan MOW sebanyak 0,47%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan kontrasepsi jangka panjang dan hubungan peran petugas kesehatan dengan penggunaan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya Tahun Metode penelitian ini adalah analitik dan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportional random sampling, setelah dilakukan penelitian jumlah sampel sebanyak 372 orang. Data diperoleh menggunakan instrument dan dianalisis dengan menggunakan univariat dan bivaria. Hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar tidak menggunakan kontrasepsi jangka panjang (69,9%) dan terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang (p value 0,002). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya Tahun Petugas kesehatan agar meningkatkan peran aktif petugas dalam mensukseskan program KB. Kata Kunci:Peran petugas kesehatan, Pemilihan Kontrasepsi jangka panjang 1. LATAR BELAKANG Penduduk Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan kurang lebih 228 juta jiwa, dengan pertumbuhan penduduk 1,64% dan total fertility rate (TFR) 2,6%. Dari segi kuantitas jumlah penduduk Indonesia cukup besar tetapi dari segi kualitas melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Indonesia pada tahun 2011 berada diperingkat 124 dari 187 negara pada tahun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sendiri dipengaruhi oleh tiga hal pokok, antara lain pendidikan, kesehatan dan standar kehidupan yang diukur dari tingkat daya beli masyarakat atau pendapatannya dengan mengacu pada pendapatan per kapita.ketiga hal ini bermuara pada kualitas hidup masyarakat suatu negara (BKKBN, 2012). Pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan kualitas penduduk yang merupakan potensi sumber daya manusia (SDM) sehingga dapat mendukung pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan.oleh karena itu, kebijakan program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) tidak semata-mata sebagai upaya mempengaruhi pola dan arah demografi, tetapi juga untuk mencapai kesejahteraan masyarakat lahir dan batin bagi generasi sekarang dan generasi mendatang (BKKBN, 2012). Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian.banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional Keluarga Berencana (KB), kesehatan individual dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Akmal, 2009). Cakupan kontrasepsi jangka panjang yang digunakan di Indonesia antara lain Intra Uterine Devices (IUD) (6,2 %), implan (4,3 %), tubektomi (3,7 %), dan vasektomi (0,4 %). Berdasarkan laporan seluruh klinik Keluarga Berencana di Jawa Barat peserta Keluarga Berencana (KB) jangka panjang pada tahun 2008 sebanyak mencapai 10,61% (BKKBN Jabar, 2008). Pemakaian waktu metode kontrasepsi pada setiap wanita bergantung pada beberapa faktor. Menurut Proverawati (2010) beberapa faktor yang berperan dalam pemilihan kontrasepsi diantaranya umur, jumlah keluarga yang diinginkan, paritas, pengalaman metode yang lalu, status kesehatan, efektifitas, pertimbangan efek samping dan biaya.pemilihan kontrasepsi juga didasarkan pada tujuan dari penggunaan kontrasepsi tersebut yakni menunda menjarangkan, atau mengakhiri kehamilan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Tasikmalaya, pada tahun 2011 jumlah Pasangan Usia Subur sebanyak orang dan peserta KB aktifsebanyak orang, dari jumlah tersebut yang menggunakan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) 140

141 sebanyak 8,69%, implan sebanyak 2,61%, Metode Operasi Wanita (MOW) sebanyak 1,34% dan Metode Operasi Pria (MOP)sebanyak 6,12%.Pada tahun 2012 jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak orang dan peserta KB aktifsebanyak orang, dari jumlah tersebut yang menggunakan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) sebanyak 12,61%, implan sebanyak 3,52%, Metode Operasi Wanita (MOW) sebanyak 1,79% dan Metode Operasi Pria (MOP) sebanyak 0,15%. Kecamatan Tamansari merupakan daerah dengan jumlah pengguna metode kontrasepsi jangka panjang cukup rendah. Pada tahun 2011 jumlah pengguna Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) sebanyak 5,75%, Implan sebanyak 4,80%, Metode Operasi Wanita (MOW) 0,52% dan Metode Operasi Pria (MOP) 0,08% dari jumlah peserta aktif sebanyak orang. Hal ini lebih kecil dibandingkan dengan Kecamatan Tawang dengan jumlah peserta implan sebanyak 2,52%, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) sebanyak 25,38%, Metode Operasi Wanita (MOW) sebanyak 3,78% dan Metode Operasi Pria (MOP) sebanyak 0,33%. Sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan yaitu pengguna Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) sebanyak 5,70%, Implan sebanyak 4,32%, cakupan Metode Operasi Wanita (MOW) sebanyak 0,47% dan Metode Operasi Pria (MOP) sebanyak 0,07% dari jumlah peserta aktif sebanyak orang lebih kecil dibandingkan dengan Kecamatan Tawang dengan jumlah peserta implan sebanyak 2,62%, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)sebanyak 26,69%, Metode Operasi Wanita (MOW) sebanyak 4,07% dan Metode Operasi Pria (MOP) sebanyak 0,34%. Menurut data Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP), yang bersumber dari rekapitulasi laporan bulanan klinik Keluarga Berencana dan laporan pengendalian lapangan program Keluarga Berencana nasional tingkat kecamatan, hitungan kasar peserta Keluarga Berencana yang drop out hingga Juni tahun 2013 sebanyak atau 5,16%.Dari jumlah atau 5,16% peserta KB yang drop out di seluruh Kota Tasikmalaya tersebut, jika dipersentasiterbanyak adalah peserta dari Kecamatan Tamansari yakni 7,21%. Kemudian jumlah peserta KB drop out, paling rendah di Kecamatan Mangkubumi sebesar 2,29%. Metode kontrasepsi jangka panjang ini memiliki efektivitas sampai 99 persen dengan tingkat kegagalan hanya 0,05 dari 100 wanita yang memakainya. Menurut informasi yang diperoleh dari Bidan Koordinator Puskesmas Tamansari mengenai penggunaan kontrasepsi oleh wanita usia subur masih memiliki kendala, diantaranya sebagian wanita usia subur memilih metode kontrasepsi tanpa memperhatikan indikasi dan kontraindikasi jenis kontrasepsi yang dipilihnya.berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelaahan lebih lanjut mengenai Analisis Peran Petugas Kesehatan Yang berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya Tahun METODE PENELITIAN Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode analitik dan rancangan cross sectional yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengetahui analisis factor peran petugas kesehatan yang berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas TamansariKota Tasikmalaya tahun Populasi 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh akseptor KB yang berlokasi di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya periode bulan April tahun2013 yaitu sebanyak orang. 2. Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus (Riyanto, 2011) N. Z a (1. P(1 P) 2 n = )2 N. d 2 + Z(Z a (1. P(1 P) 2 )2 n = Besar sampel N = Besar populasi Z = Standar deviasi normal biasanya ditentukan pada 1,96 d = Presisi / ketepatan yang diinginkan 0,05 p = Proporsi untuk sifat tertentu 0,5 n = 11,583. 1, ,5(1 0,5) 11,583. (0.05) 2 + 1, ,5(1 0,5) 11,583.3,84.0,5(0,5) n = 11,583. (0.0025) + (3,84).0,5(0,5) 141

142 11,583.3,84.0,25 n = 11,583. (0.0025) + (3,84).0,25 n = ,95 + 0,96 n = 11119,68 29,91 n =371,67 dibulatkan menjadi 372 orang Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel dari tiap kelurahan dengan teknik proportional random sampling. Tabel 3.1 Sebaran Sampel dari tiap Kelurahan Kelurahan Peserta aktif Total Populasi Total sampel Sampel Tamansari Mugarsari Tamanjaya Sumelap Setiawargi Mulyasari Sukahurip Setiamulya Jumlah Pemilihan sampel berdasarkan atas kriteria dengan mengacu kepada indikasi dan kontraindikasi dari akseptor kontrasepsi jangka panjang : a. Kriteria Inklusi 1) Sesuai dengan Indikasi implan 2) Sesuai dengan Indikasi Alat Kontrasepsi Dalam Rahim 3) Sesuai dengan indikasi Metode Operasi Wanita 4) Sesuai dengan indikasi Metode Operasi Pria b. Kriteria Ekslusi 1) Kondisi akseptor KB tidak sehat 2) Tidak berada di tempat saat dilakukan penelitian 3) Tidak bersedia menjadi responden Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan random sederhana berupa pengambilan kertas undian.apabila terdapat sampel yang tidak bisa dijadikan responden, maka dilakukan pengocokan kembali. Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu: 1. Variabel independen : peran petugas kesehatan 2. Variabel dependen : Pemilihan kontrasepsi jangka panjang Lokasi dan Waktu Penelitian akandilaksanakan di Wilayah Keja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya pada bulan Juni tahun Prosedur Pengambilan Data Pengambilan data dalam penelitian ini adalah primer dengan menggunakan format checklist untuk mengungkap pemilihan kontrasepsi jangka panjang.serta menggunakan format kuesioner untuk memperoleh data mengenai peran petugas kesehatan.sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu penulis meminta bantuan kepada bagian PLKB di kecamatan Tamansari yang berjumlah 8 orang.breefing dilakukan di Puskesmas Tamansari dengan materi penjelasan tentang tujuan penelitian dan tentang tata cara pengisian kuesioner. Langkah-langkah dalam pengambilan data pertama adalah memberikan informed consent kepada sasaran penelitian, kemudian teknisnya bagi responden yang bisa membaca dan menulis maka kuesioner 142

143 diberikan dan responden mengisi sendiri. Apabila terdapat responden yang tidak dapat menulis ataupun membaca maka kuesioner diwawancarakan. Responden yang akan dijadikan sampel adalah mereka yang memiliki kondisi kesehatan baik, bersedia menjadi responden, berada di tempat saat dilakukan penelitan dan memiliki indikasi dari penggunaan kontrasepsi jangka panjang. Apabila terdapat responden yang tidak bisa dilakukan penelitian, maka dilakukan pengocokan kembali. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini berupa format kuesioner yang terdiri dari 5 pertanyaan mengenai peran petugas yang berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi dengan penilaian 2 jika Ya dan nilai 1 jika Tidak. Terhadap instrumen tersebut penulis tidak melakukan uji validitas dan reliabilitas karena instrumen tersebut telah digunakan oleh penelitian terdahulu dan telah diuji validitaskan (hasil terlampir). Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Data yang telah ada diolah dan dianalisis dengan melalui tahap : a. Penyusunan Data, Peneliti pada tahap ini telah mengumpulkan hasil dari format checklist, selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap data-data tersebut, pengecekan atau pemisahan identitas dan karakteristik yang diteliti. b. Pengkodean Data, Peneliti pada tahap ini telah melakukan pemberian kode atau mengubah data-data yang berbentuk huruf ke dalam bentuk angka sehingga memudahkan menganalisis data. c. Klasifikasi Data, yaitu pengorganisasian data agar dapat dengan mudah dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan serta dianalisis. Dengan kata lain memisahkan tiap hasil kuesioner sesuai dengan kategori masing-masing dengan bentuk tabel. d. Entry Data, yaitu memasukan data ke dalam program komputer dengan menggunakan SPSS untuk ditampilkan dalam bentuk tabel serta dianalisis dalam bentuk narasi. 2. Analisis Data a. Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang menghasilkan data distribusi frekuensi dan dipersentasekan serta dianalisis dalam bentuk narasi, selanjutnya dianalisis dan disesuaikan dengan teori yang ada. b. Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel sesuai dengan tujuan penelitian maka analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan independen dengan menggunakan Uji Chi-Square dengan rumus : 2 2 O E X E Total Baris x Total Kolom E Seluruh Data Keterangan: X 2 = Chi-square O = Nilai Observasi E = Nilai expected (harapan) Kriteria pengujian dengan menggunakan distribusi p value< 0.05.Apabila hasil uji statistik p < 0.05 artinya ada hubungan yang bermakna Ho ditolak dan H 1 diterima artinya terdapat hubungan, namun sebaliknya apabila p value> 0.05 maka Ho diterima dan H 1 ditolak artinya tidak terdapat hubungan. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat dilakukan untuk melihat besar risiko dengan menghitung nilai OR (Odd rasio) dengan menggunakan rumus : ad bc = besar risiko a = baris ke 1 kolom ke 1 b = baris ke 1 kolom ke 2 c = baris ke 2 kolom ke 1 d = baris ke 2 kolom ke 2 Selanjutnya interprestasi dari hasil rasio yaitu : 1) Apabila nilai OR 1 artinya tidak ada hubungan 2) Apabila OR< 1 artinya ada proteksi atau perlindungan 3) Apabila OR> 1 artinya sebagai faktor resiko 143

144 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat a. Pemilihan kontrasepsi jangka panjang Tabel 1 Distribusi frekuensi pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas TamansariKota Tasikmalaya tahun 2013 Pemilihan kontrasepsi Jumlah Persentase (%) Ya Tidak Jumlah Data pada tabel 1 menunjukkan kurang dari 2/3responden tidak memilih kontrasepsi jangka panjang. b. Peran petugas kesehatan Tabel 2 Distribusi frekuensi peran petugas kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas TamansariKota Tasikmalaya tahun 2013 Peran petugas kesehatan Jumlah Persentase (%) Mendukung Tidak mendukung Jumlah Data pada tabel 2 menunjukkan lebih dari 3/4 responden tidak mendapat dukungan dari tenaga kesehatan. Peran petugas kesehatan dalam pelayanan kontrasepsi hanya sebatas penyampaian informasi mengenai kontrasepsi jangka panjang 2. Analisis Bivariat a. Hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang. Tabel 3 Hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas TamansariKota Tasikmalaya Tahun Kontrasepsi jangka panjang Peran Petugas Total Ya Tidak kesehatan F % F % Jml (%) Mendukung Tidak mendukung Jumlah , , P value OR 0,002 2,29 Data pada tabel 3 menunjukkan sebanyak 44,6% ibu yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan memilih kontrasepsi jangka panjang. Sebanyak 26% ibu yang tidak mendapat dukungan dari tenaga kesehatan memilih kontasepsi jangka panjang.berdasarkan hasil analisis didapat nilai p value sebesar 0,002 artinya terdapat hubungan antara peran tenaga kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang. Ibu yang mendapat dukungan dari petugas kesehatan berpeluang sebesar 2,29 kali untuk memilih kontrasepsi jangka panjang dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapat dukungan dari petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 44,6% ibu yang mendapat dukungan dari tenaga kesehatan memilih kontrasepsi jangka panjang. Sebanyak 26% ibu yang tidak mendapat dukungan dari tenaga kesehatan memilih kontasepsi jangka panjang.berdasarkan hasil analisis didapat nilai p value sebesar 0,002 artinya terdapat hubungan antara peran tenaga kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang. Ibu yang mendapat dukungan dari suami berpeluang sebesar 2,29 untuk memilih kontrasepsi jangka panjang dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapat dukungan dari suami. Berdasarkan data tersebut penulis berpendapat bahwa faktor pemilihan kontrasepsi dapat ditentukan oleh adanya peran dari petugas kesehatan berupa pemberian informasi atau kejelasan yang berkelanjutan kepada responden. Kondisi tersebut di atas merupakan salah satu bentuk pelayanan kebidanan mengenai pelayanan keluarga berencana yang seharusnya diiringi dengan kegiatan pengayoman bagi akseptor KB.Hal ini 144

145 sesuai dengan BKKBN (2007) yang menjelaskan bahwa usaha peningkatan kualitas pelayanan program selama ini juga didukung dengan kegiatan ayoman pasca pelayanan, melalui penanggulangan efek samping, komplikasi dan kegagalan. Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa tanpa informasi KB dan pelayanan KB yang mudah diakses dan kurang berkualitas, menyebabkan kurangnya informasi dan pemahaman dari pengguna jasa akan kontrasepsi sehingga dapat menentukan terhadap pemilihan kontrasepsi. Penulis berpendapat bahwa masih belum optimalnya peran petugas kesehatan karena terbatasnya tugas petugas dalam memberikan pelayanan KB jangka panjang, dimana petugas kesehatan terlebih dahulu harus mengikuti pelatihan untuk memberikan pelayanan kontrasepsi jangka panjang sehingga peran petugas kesehatan hanya sebatas memberikan informasi tentang KB jangka panjang. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis faktor peran petuas kesehatan yang berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya Tahun 2013, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : a. Penggunaan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya Tahun 2013 sebagian besar tidak memilih kontrasepsi jangka panjang (69,9%). b. Terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemilihan kontrasepsi jangka panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya Tahun 2013 dengan p value 0,002.Ibu yang mendapat dukungan dari petugas kesehatan berpeluang sebesar 44,6% untuk memilih kontrasepsi jangka panjang. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam pembuatan penelitian ini. Adapun sumber dana penelitian ini bersumber dari pembiayaan STIKes Respati Tasikmalaya. 6. DAFTAR PUSTAKA Akmal (2009) Jenis-jenis Kontrasepsi Program KB, tersedia dalam : diakses tanggal 31 April 2013 BKKBN Jabar, Kont Kontrasepsi. Dari Tulisan diakses tanggal 17 Februari 2013 BKKBN Tingkatkan Kualitas Manusia Melalui KB. Notoatmodjo Promosi Kesehatan: Ilmu dan Seni. Rhineka Cipta. Jakarta Notoatmodjo Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Rhineka Cipta. Jakarta Proverawati, Panduan Memilih Kontrasepsi. Nuha Medika. Jakarta Riyanto, A Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Medical Book. Jakarta Wiknjosastro Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta 145

146 ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERDARAHAN POST PARTUM DI RSU KABUPATEN TANGERANG Nuntarsih¹, Dorsinta Siallagan², Elis Mudiyah³ ¹,²,³Program Studi Diploma 3 Kebidanan STIKes Banten ¹nuntarsih@gmail.com, ²dorsinta.siallagan@gmail.com ³ dec.elis_moury@yahoo.com ABSTRAK Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml. Perdarahan post partum dibagi menjadi perdarahan post partum primer dan sekunder. Angka kejadian perdarahan post partum di RSU Kabupaten Tangerang yang disebabkan oleh faktor umur, paritas, atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir di tahun 2012 sangatlah tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan perdarahan post partum. Metode penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan Cross sectional menggunakan pendekatan retrosfektif. Subyek pada penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum di RSU Kabupaten Tangerang tahun 2012 sebanyak 231 ibu bersalin, dengan perolehan sampel sebesar 150 orang. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara umur, paritas, atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dengan perdarahan post partum. Dengan demikian penanganan dan penatalaksanaan aktif kala III pada ibu bersalin lebih diperhatikan lagi agar tidak terjadi komplikasi atau penyulit pada proses persalinan sehingga mengurangi frekuensi ibu bersalin dengan perdarahan post partum serta menghindari terlambat mendiagnosa, terlambat merujuk dan terlambat melakukan tindakan yang benar. Kata kunci : Perdarahan post partum 1. LATAR BELAKANG Kematian maternal menurut definisi WHO ialah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Sebab-sebab kematian ini dapat dibagi menjadi 2 golongan yakni yang langsung disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, dan sebab-sebab yang lain seperti penyakit jantung, kanker dan sebagainya. Angka kematian maternal (Maternal Mortality Rate) ialah jumlah kematian maternal diperhitungkan terhadap 1000 atau KH, kini di beberapa Negara menggunakan perhitungan per KH (Wiknjosastro, 2010:7). Pembangunan kesehatan saat ini telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat. Pada periode 2004 sampai dengan 2007 terjadi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 per kelahiran hidup menjadi 228 per kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 per 1000 kelahiran hidup menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup. Namun demikian keberhasilan tersebut masih perlu terus ditingkatkan, mengingat AKI dan AKB di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (SDKI 2007). Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%), dan infeksi (11%).Selain itu keadaan ibu sejak pra-hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya.penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah kurang energi kronis/kek pada kehamilan (37%), anemia pada kehamilan (40%), dan keadaan 4 terlalu (terlalu muda/tua, sering dan banyak). Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan resiko terjadi kematian ibu dibanding dengan ibu yang tidak anemia.sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007 penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (39%), Eklampsia (20%), Infeksi (7%) dan lain-lain (33%) (Depkes RI,2009). Jumlah Ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum tahun 2012 di RSUD Tangerang adalah sebanyak 231 kasus (Data rekam medic RSU Tangerang). 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian survey analitik dengan rancangan Cross sectional yaitu dengan menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi (Notoadmojo,2010:37). Dengan menggunakan pendekatan retrosfektif yaitu dengan melihat ke belakang (backward looking) artinya pengumpulan data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi. Penelitian ini dilakukan di RSU Kabupaten Tangerang pada tanggal 13 Juni 30 Juli 2013 dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari hasil rekam medik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum di RSU Kabupaten Tangerang tahun 2012 yaitu sebanyak 231 kasus. 146

147 Perhitungan sampel : Z 2. 1 α n = 2. P 1 P. N d 2. N 1 + Z 2. 1 α/2. P(1 P) n = n = 1,96 2.0,08 1 0, , , ,08(1 0,08) 3,841.0,08 0, , ,841.0,08(0,92) n = 3,841.0, ,26 n = 62,10 0,83 n = 74,8 = 75 dibulatkan n = 75 x 2 = 150 Pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medik dengan perdarahan post partum di RSU Kabupaten Tangerang tahun Teknik pengambilan sampel dengan cara simple random sampling dengan cara mengundi anggota populasi sebanyak sample yang dibutuhkan. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Tabel 1 Persentase Perdarahan Post Partum di RSU Kabupaten Tangerang Tahun 2012 No Variabel Primer Sekunder Jumlah F % F % F % Perdarahan Post Partum Persentase perdarahan post partum di RSU Kabupaten Tangerang tahun 2012 yang mengalami perdarahan post partum primer sebanyak 100 orang (67%) sedangkan yang mengalami perdarahan post partum sekunder sebanyak 50 orang (33%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Perdarahan Post Partum Berdasarkan Faktor Karakteristik dan Faktor Risiko di RSU Kabupaten Tangerang Tahun 2012 No Variabel Jumlah % Pendidikan 1 SMP SMA Pekerjaan 3 Bekerja Tidak bekerja Umur 5 < 20 dan > 35 tahun tahun Paritas 7 Primipara

148 8 Multipara Atonia uteri 9 Ya Tidak Retensio placenta 11 Ya Tidak Sisa placenta 13 Ya Tidak Robekan jalan lahir 15 Ya Tidak Analisis Bivariat Berdasarkan hasil penghitungan, terdapat 61 (41%) orang ibu bersalin dengan umur < 20 tahun dan > 35 tahun dan terdapat 89 (59%) orang ibu bersalin dengan umur antara 20 tahun sampai 35 tahun. Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 4,987 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara umur dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin. terdapat 63 (42 %) orang ibu bersalin dengan Primipara dan terdapat 87 (58 %) orang ibu bersalin dengan Multipara. Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 4,433 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara paritas dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin, terdapat 39 (26%) orang ibu bersalin dengan atonia uteri dan terdapat 111 (74%) orang ibu bersalin tidak dengan atonia uteri. Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 30,56 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara atonia uteri dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin. terdapat 39 (26%) orang ibu bersalin dengan atonia uteri dan terdapat 111 (74%) orang ibu bersalin tidak dengan atonia uteri. Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 30,56 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara atonia uteri dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin. Berdasarkan hasil penghitungan, terdapat 46 (31 %) orang ibu dengan retensio plasenta dan terdapat 104 (69 %) orang yang tidak mengalami retensio plasenta. Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 4,013 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara retensio plasenta dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin. terdapat 34 (23%) orang ibu bersalin dengan sisa plasenta dan 116 (77%) orang ibu bersalin tidak terdapat sisa plasenta. Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 4,868 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara sisa plasenta dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin. terdapat 29 (19 %) orang ibu bersalin dengan robekan jalan lahir dan terdapat 121 (81 %) orang ibu bersalinan orang tidak dengan robekan jalan lahir. Pembahasan Penelitian ini menggunakan sampel sejumlah 150 ibu bersalin di RSU Kabupaten Tangerang dengan melihat data pada medical record pasien. Tingginya angka kematian Ibu tidak dapat dipisahkan dari status biologis wanita yaitu masih tingginya jumlah perkawinan usia muda < 20 tahun, jarak waktu hamil dan bersalin masih pendek, masih banyak yang hamil pada usia > 35 tahun, jumlah anak banyak (grandemultipara) (Manuaba,2012:9). Peneliti dapat menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara umur dengan perdarahan post partum. Begitupula ada keterkaitan antara paritas dengan perdarahan karena semakin tinggi Paritas semakin berisiko terjadinya perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan lahir yang disebabkan luka parut dari persalinan sebelumnya. Adapun hubungan antara Atonia uteri dengan perdarahan post partum karena pada kasus atonia uteri rahim tidak berkontraksi dan otot-otot rahim tidak bekerja secara maksimal sehingga pembuluh-pembuluh darah tidak dapat menutup dengan baik dan menimbulkan perdarahan banyak. Paling banyak terjadi pada lebih dari 24 jam postpartum. Retensio plasenta adalah terlambatnya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Saifuddin,2009:178). Dari 170 ibu bersalin, terdapat 55 (65%) orang ibu dengan retensio plasenta yang mengalami perdarahan (KTI Laila Fadlilah,2012). Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta (Winkjosastro,2010:526). Berdasarkan hasil penghitungan peneliti dapat menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara sisa plasenta dengan perdarahan postpartum karena sisa-sisa plasenta maupun selaput ketuban yang tertinggal dapat menganggu kerja otot-otot rahim untuk menjepit pembuluh-pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan perdarahan. Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi atau karena versi ekstraksi. 148

149 Dari hasil yang diperoleh tabel X 2 hitung = 4,189 lebih besar dari X 2 tabel =3,841, yang artinya ada hubungan antara robekan jalan lahir dengan perdarahan post partum pada ibu bersalin. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta (Winkjosastro,2010:526). Karena jika terjadi robekan portio, ruptur perineum grade III dan IV, darah akan terus mengalir dari sumber robekan dan jika kasus-kasus robekan itu terjadi di Bidan praktek mandiri ataupun di Desa yang jauh dari Rumah Sakit darah akan terus mengalir dari sumber robekan sehingga terjadi perdarahan jika tidak segera ditangani secara adekuat di fasilitas yang memadai dan petugas kesehatan yang terlatih. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari hasil uji analisis data menunjukkan bahwa Persentase perdarahan post partum primer dan sekunder di RSU Kabupaten Tangerang tahun 2012 adalah 67 % terjadi perdarahan post partum primer dan 33 % terjadi perdarahan post partum sekunder, kemudian adanya hubungan antara umur, paritas, atonia uteri, retensio placenta, sisa placenta dan robekan jalan lahir dengan perdaran post partum di RSU Kabupaten tangerang tahun UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terimakasih kepada pihak RSU Kabupaten Tangerang yang sudah mengizinkan peneliti mengambil data untuk penelitian yang sekaligus menjadi lahan penelitian, STIKes Banten dan semua pihak terkait yang sudah membantu hingga penelitian ini dapat dipublikasikan. 6. DAFTAR PUSTAKA Bagian Obstetri & Ginekologi, 2002, Obstetri Patologi, Bandung:Elstar Offset Manuaba, Ida Bagus Gde, 2012,Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC Mubarok, Wahit Iqbal,2011, Promosi Kesehatan untuk Kebidanan, Jakarta : Salemba Medika Notoadmodjo,Soekidjo,2010,Metedologi Penelitian Kesehatan,Jakarta:PT Rineka Cipta Prawirohardjo,Sarwono,2010,Ilmu Kebidanan,Cetakan ketiga, Edisi Keempat,Jakarta: Yayasan Sarwono Prawirohardjo Rukiyah,Yeyeh.2010, Asuhan kebidanan IV (Patologi),Jakarta: Trans Info Media Sabarguna, Boy & Riksa Wibawa Resna,2011, Biostatistik, Cetakan pertama, Jakarta:UI-Press Saifuddin, Abdul Bari, 2009,Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Sujarweni, Wiratna,2012, SPSS untuk Paramedis, cetakan pertama, 2012, Yogyakarta: Gava Media 149

150 PERAN PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM PENINGKATAN PENGETAHUAN SISWA-SISWI TENTANG PERNIKAHAN DINI Reni Nofit, 1 Andriyani, 2 Dorsinta Sillagan 3 1 Program studi diploma 3 kebidanan STIKes Banten Nofita.reni@gmail.com 2 Mahasiswa program studi diploma 3 kebidanan STIKes Banten andriyani255@gmail.com 3 Program studi diploma 3 kebidanan STIKes Banten Dorsinta.sillagan@gmail.com Abstrak; Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian remaja di dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari 60 juta perempuan yang berusia diseluruh dunia menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Secara nasional, jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 1359 kasus dengan rat-rata usia perkawinana di bawah usia 19 tahun. Data Susenas Banten tahun 2012 menyebutkan, remaja yang melakukan pernikahan di usia muda cukup tinggi. Remaja yang melakukan pernikahan dibawah usia 15 tahun sebesar 13.75%, pada usia tahun sebesar 33.19% dan yang melakukan pernikahan pada usia tahun ada sebesar 41.63%. sementara data kantor Urusan Agama (KUA) Pasar kemis 2014 menyebutkan bawah kejian pernikahan dini remaja < 19 tahun ada sebesar 56.7%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran pendidikan kesehatan dalam peningkatan pengetahuan remaja tentang pernikahan ini. Metode Penelitian adalah pra eksperimental dengan rancangan onegroup pretest posttest design. Subjek penelitian adalah remaja puteri kelas X dan XI SMA Al-Ghozali yang dipilih dengan Probability Sampling dengan perolehan sampel sebesar 42 siswi. Analisis data dilakuan secara univariat dan uji T. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan, rata-rata pengetahuan sebelum diberikan penkes dan setelah penkes terjadi peningkatan sebesar dengan nilai P value Kesimpulan Peran pendidikan kesehatan secara signifikan dapat meningkatkan pengetahuan tentang pernikahan Dini, sehingga disarankan pendidikan kesehatan menjadi kegiatan rutin yang diselenggarakan pihak sekolah untuk menambah wawasan siswa. Kata Kunci : Penkes, Pernikahan Dini, siswa/i 1. LATAR BELAKANG Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian remaja di dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari 60 juta perempuan yang berusia diseluruh dunia menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Secara nasional, jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 1359 kasus dengan rat-rata usia perkawinana di bawah usia 19 tahun. Data Susenas Banten tahun 2012 menyebutkan, remaja yang melakukan pernikahan di usia muda cukup tinggi. Remaja yang melakukan pernikahan dibawah usia 15 tahun sebesar 13.75%, pada usia tahun sebesar 33.19% dan yang melakukan pernikahan pada usia tahun ada sebesar 41.63%. sementara data kantor Urusan Agama (KUA) Pasar kemis 2014 menyebutkan bawah kejian pernikahan dini remaja < 19 tahun ada sebesar 56.7%. Faktor penyebab terjadinya pernikahan dini diduga kurangnya informasi yang diterima oleh remaja terkait dengan kesehatan reproduksinya serta masih minimnya pendidikan yang ditempuh oleh remaja khususnya pada daerah pedesaan. Hasil penelitian Nandang,dkk (2009) menyebutkan bahwa remaja muda yang berpendidikan rendah memiliki resiko 4,259 kali untuk menikah dini dari pada remaja yang berpendidikan tinggi. Sehingga perlu upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka Kejadian pernikahan ini, salah satu upaya yang telah dicanangkan adalah wajib belajar 9 tahun serta program lain yaitu penyebaran informasi terkait bahaya menikah muda. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu media dan sarana yang baik untuk meningkatkan pengetahuan remaja, bahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NaSIONAL (BKKBN) telah mengeluarkan program Pusat dan Informasi dan Konseling disetiap sekolah-sekolah, program ini bertujuan salah satunya untuk menurunkan angka triad KRR. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan remaja sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang pernikahan dini. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pra-ekpermiental dengan pendekatan one group pretest-postest design. Design dengan cara memberikan pretest (pengamatan awal) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan posttest (pengamatan akhir). Sampel penelitian ini adalah semua siswi kelas X di SMA 095 PGRI Pasar Kemis yang berjumlah 42 responden. 150

151 Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa Univariat dan Analisa Uji T. Analisa univariat digunakan untuk menganalisa tiap variable dari hasil penelitian dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentase. Analisis Uji T paired/related atau pasangan digunakan pada analisis data penelitian eksperimen. Pada penelitian ini Uji T digunakan untuk melihat peran pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan siswa terhadap Pernikahan Dini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan di SMA PGRI 095 Pasar Kemis dengan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini. Kemudian di analisis dengan menggunakan Uji beda dua mean untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini di SMA PGRI 095 Pasar Kemis. a. Hasil Distribusi Frekuensi pengetahuan Siswa/I sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini Table 3.1: Distribusi Frekuensi Pengetahuan siswi sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini Pretest Postest No Pertanyaan Benar Salah Benar Salah F % F % F % F % 1 Pengertian nikah menurut bahasa arab? 14 33, , , ,3 2 Pengertian pernikahan dini 30 71, , ,3 7 16,7 3 Pengertian pernikahan dini menurut UU perkawinan 10 23, , , ,9 4 Pengertian pernikahan dini menurut BKKBN 28 66, , , ,2 5 Pernikahan dini termasuk prilaku menyimpang atau tidak 27 64, , , ,0 6 Faktor yang mempengaruhi pernikahan dini 30 71, , , ,2 7 Dampak pernikahan dini 28 66, , ,6 9 21,4 8 Dampak psikologis pada pernikahan dini 21 50, , , ,1 9 Dampak biologis pada pernikahan dini 31 73, , ,0 8 19,0 10 Resiko pernikahan dini 36 85,7 6 14, ,7 6 14,3 11 Faktor resiko usia dini menikah 37 88,1 5 11, ,5 4 9,5 12 Umur melahirkan bagi yang menikah dini 26 61, , , ,2 13 Pencegahan pernikahan dini oleh tokoh masyarakat 7 16, , , ,6 14 Upaya apa saja untuk melakukan pencegahan pernikahan dini 11 26, , , ,8 15 Bagaimana mencegah pernikahan dini 34 81,0 8 19, ,2 2 4,8 Berdasarkan tabel di atas maka hasil yang dapat dijelaskan adalah pada pre-test di soal No.11 paling banyak di jawab oleh responden yaitu sebanyak 37 responden (88,1%) dengan benar, hal tersebut menggambarkan bahwa responden sudah mengetahui banyak tentang faktor resiko apabila menikah pada usia dini, soal No.13 paling sedikit di jawab oleh responden yaitu hanya 7 responden (16,7%) yang telah mengetahuinya, pada hal ini responden hanya mengetahui saja dan belum tentu mengerti tentang pencegahan pernikahan dini. Nilai yang di dapatkan dari post-test menunjukan peningkatan pada No. 15 sebanyak 40 responden (95,2%) tidak hanya pada No. 1 tetapi peningkatan juga pada nomor soal yang lainnya pun mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan responden mengelami peningkatan setelah diberi informasi yang lebih jelas dan dimengerti sehingga diharapkan setelah responden mengetahui dan mengerti responden dapat mengubah prilaku ke arah yang lebih baik. 151

152 b. Hasil Distribusi Frekuensi berdasarkan tingkat pengetahuan Sebelum dan Sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini Table 3.2: Distribusi Frekuensi Pengetahuan siswi sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini Tingkat Pengetahuan Pre-test (%) Post-test(%) Baik 16,6% 38,0% Cukup 35,7% 54,7% Kurang 47,6% 7,14% Pengetahuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan bahwa hasil dari Uji skewness yaitu pembagian hasil dari skewwnes dan standar error didapatkan hasil (0,220 : 0,365) = 0,602 dan hasil (<2) berarti distribusi normal.pengetahuan sesudah diberikan pendidikan kesehatan hasi dari Uji skewness yaitu pembagian hasil dari skewwnes dan standar error didapatkan hasil (-0,133 : 0,365) = 0,364 dan hasil (< 2) berarti distribusi normal. c. Hasil Penelitian Uji Normalitas data sebelum dan sesudah diberikan pendidikan Kesehatan Tentang pendidikan Kesehatan Table 3.3: Uji Normalitas data sebelum dan sesudah diberikan pendidikan Kesehatan Tentang pendidikan Kesehatan Pengetahuan Skewness Standar Error Pre-test 0,220 0,365 Post-test -0,133 0,365 Pengetahuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan bahwa hasil dari Uji skewness yaitu pembagian hasil dari skewwnes dan standar error didapatkan hasil (0,220 : 0,365) = 0,602 dan hasil (< 2) berarti distribusi normal.pengetahuan sesudah diberikan pendidikan kesehatan hasi dari Uji skewness yaitu pembagian hasil dari skewwnes dan standar error didapatkan hasil (-0,133 : 0,365) = 0,364 dan hasil (< 2) berarti distribusi normal. d. Hasil Penelitian Uji t atau Uji Beda Dua Mean (Paired Sample) Tabel 3.4. Perbandingan tingkat pengetahuan siswa-siswi kelas XI sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini di SMA PGRI 095 Pasar Kemis tahun 2015 Pengetahuan Mean Standar N T df P value Deviasi Sebelum 60,438 14, , ,000 Sesudah 74,007 12,0822 Hasil Uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 (p value = 0,000, α = 0,05), karena p value 0,05 maka Ha diterima. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hastono (2007) jika p value α (0,05) maka keputusannya Ho ditolak. Dengan demikian terdapat perbedaan yang bermakna antara tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan pada siswa-siswi. Pembahasan Hasil penelitian mengenai perbedaan pengetahuan siswi sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan terhadap pengetahuan siswi sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan, keberhasilan tersebut sesuai dengan teori bahwa media promosi kesehatan merupakan salah satu sarana atau upaya yang dapat digunakan untuk menampilkan pesan dan informasi kesehatan yang ingin disampaikan kepada remaja sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya (Mubarak,dkk 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian Wardhani (2009) yang menyatakan terdapat pengaruh pemberian penyuluhan kesehatan yang signitifikan terhadap pengetahuan siswa- siswi. Dalam meningkatkan pengetahuan siswa-siswi kelas XI, peneliti dalam penelitian ini menggunakan intervensi pendidikan melalui media leaflet dalam bentuk cetak yang berjudul Pernikahan Dini dan alat bantu yang berupa infokus dan laptop. Pendidikan ini menjelaskan tentang 152

153 Pernikahan Dini dengan 42 responden yang di ambil dari 2 kelas siswa-siswi kelas XI. Sebagai salah satu media pendidikan kesehatan kelompok besar, kelompok besar ini adalah apabila peserta penyuluhan lebih dari 15 orang dengan metode ceramah dan leaflet, ceramah adalah metode yang baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah (Notoadmodjo, 2010). Peneliti menggunakan media leaflet dan presentasi menggunakan powerpoint sebagai upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang disampaikan oleh peneliti, baik melalui media cetak atau media elektronik sehingga sasaran responden pengetahuannya tentang pernikahan dini dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Tahiruddin (2007) yang menyebut bahwa terjadi peningkatan pengetahuan setelah diberikan penyuluhan kesehatan dengan metode ceramah dan media leaflet. Hal senada juga terdapat pada hasil penelitian O'Neil P dan Simanungkalit yang membuktikan pengaruh metode ceramah tanya jawab dan media leaflet terhadap peningkatan pengetahuan. Munawaroh, (2008) pada penelitiannya yang berjudul Efektifitas metode ceramah dan leaflet dalam peningkatan pengetahuan remaja tentang sex bebas di SMA negeri Ngrayon, menyebutkan dimana terjadi peningkatan pengetahuan lebih signifikan dengan menggunakan metode ceramah dan leaflet dibandingkan hanya menggunakan leaflet saja. Hasil penelitian Nasution (2010) juga sama dengan penelitian lainnya yang membuktikan bahwa media promosi kesehatan leaflet efektif untuk meningkatkan skor pengetahuan seseorang, dan penelitian Supardi (2002) juga sesuai dengan penelitian yang lain yang membuktikan adanya pengaruh metode ceramah dan pemberian leaflet terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat. Hasil penelitian Pulungan (2007) juga membuktikan bahwa metode pendidikan kesehatan dengan penyuluhan (ceramah) dapat meningkatkan pengetahuan setelah dilakukan posttest dibandingkan pretest. Dari 6 penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa metode ceramah dan leaflet dapat meningkatkan pengetahuan siswa-siwi tentang pernikahan dini. Peningkatan pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pertama faktor internal misalnya segi minat anak-anak tersebut terhadap apa yang disampaikan peneliti karena minat adalah sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam (Mubarak, 2007). Pada saat penelitian, peneliti merasakan bahwa sebagian besar responden menunjukkan perilaku yang menunjukkan minat terhadap apa yang akan disampaikan peneliti, ketika proses pendidikan kesehatan berlangsung mereka sangat antusias dengan pendidikan kesehatan karena didalam materi tersebut siswa dapat melihat gambar-gambar yang menarik. Setelah pendidikan kesehatan selesai mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaaan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa keingintahuannya, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan pengetahuan mereka mengenai Pernikahan Dini dan hal ini dibuktikan dengan hasil test dimana hasilnya terdapat peningkatan nilai rata-rata setelah dilakukan pendidikan kesehatan. 4. SIMPULAN Ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan siswa/i sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang Pernikahan Dini adalah 60,438 dengan standar deviasi 14,4567 dan sesudah jumlah diberikan pendidikan kesehatan didapat rata-rata pengetahuan adalah 74,007 dengan standar deviasi 12,0822. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p value 0,000 (p value = 0,000, α = 0,05), karena p value 0,05 maka Ha diterima. sehingga disarankan kepada sekolah untuk menjadikan pendidikan kesehatan sebagai suatu kegiatan yang terjadwal untuk meningkatkan pengetahuan siswa/i. 5. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2009). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Rineka Cipta. Bertalina. (2015, April 1). Pengaruh promosi kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan tentang gizi seimbang pada sisw sekolah dasar negeri di kecamatan rajabasa kota bandar lampung. Jurnal Kesehatan, VI, Desiyanti, I. W. (2015, April 2). Faktor-faktor yang berhubungan terhadap pernikahan dini pada pasangan usia subur dikecamtan mapanget kota manado. JIKMU, 05. Fauzi, N. (2012). Gambaran Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Terhadap Resiko Perkawinan Dini Pada Kehamilan dan Proses Persalinan. Jurnal Perempuan, Volume II, No 3. Hairul. (2014). Pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan remaja putri tentang dampak pernikahan dini pada siswa kelas xi di sma negeri 1 tayan hilir. Hasan. (2013, Desember 7). Meningkatnya Angka Pernikahan Dini di Perkotaan. Jurnal Perempuan, Volume II, No 2. Hastono, S. P. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers. 153

154 Jannah, F. (2012). Pernikahan Dini Dan Implikasi Terhadap Kehidupan Keluarga Pada Masyarakat Madura ( Perspektif Hukum Dan Gender ). Pernikahan Dini, Volume IV, Kairani, R. (2008, juni 2). Kematangan Emosi Pada Pria dan Wanita yang Menikah muda. Jurnal Psikologi, 02. Kumalasari, I. (2012). Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan Dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Landung, J. (2009, Oktober). Studi kasus kebiasaan pernikahan usia dini pada masyarakat kecamatan sanggalangi kabupaten tanah toraja. Jurnal MKMI, 05. Maryatun. (2010, Februari 1). Bahaya Perkawinan Pada Perkawinan Usia Muda. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan, 01. Meriati, N. W. (2013, Agustus). Dampak Penyuluhan Pada Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pemilihan dan Penggunaan Obat Batuk Swamedikasi di Kecamatan Malalayang. Jurnal Ilmiah Farmasi, 02. Mubarak I, W. (2012). Promosi Kesehatan Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo, S. (2012). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Sabarguna, B. S. (2011). Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa D3 Kebidanan. Jakarta: CV Sagung Seto. Suhadi. (2012). pernikahan dini,perceraian dan pernikahan ulang. journal unnes, Volume IV, No. 2. Supardi, S. (2002). Pengaruh Metode ceramah dan media leaflet terhadap perilaku pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan. Bul penel Kesehatan, 30, Wawan A, D. M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan,Sikap dan Prilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. Wulandari. (2014, April). Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 02, sendiri yang sesuai dengan aturan. Bul penel Kesehatan, 30, Wawan A, D. M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan,Sikap dan Prilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. Wulandari. (2014, April). Pengaruh Status Ekonomi Keluarga Terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 02,

155 HUBUNGAN STATUS GIZI BALITA DENGAN PERKEMBANGAN BALITA USIA 3-5 TAHUN DI KELURAHAN CIKALANG KOTA TASIKMALAYA SRI GUSTINI, SITI SAADAH MARDIAH Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya ABSTRAK-Jumlah balita di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 10 persen. Pada manusia terutama pada masa balita, proses tumbuh kembang terjadi sangat cepat. Pertumbuhan dan perkembangan anak didukung oleh pemberian makanan yang bergizi, karena gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adakah hubungan Status Gizi Balita dengan Perkembangan Balita Usia 3-5 Tahun di Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya Tahun Metode penelitian yang digunakan adalah Survei Analitik Korelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi penelitian adalah seluruh balita usia 3 5 tahun yang mengunjungi Posyandu di Kelurahan Cikalang yang berjumlah 402 balita. Instrumen penelitian yang digunakan adalah daftar isian untuk pengukuran status gizi dan KPSP untuk perkembangan balita. Pengolahan data menggunakan Chi Square. Hasil penelitian dari 80 orang balita di Posyandu Kelurahan Cikalang paling banyak adalah status gizi baik sebanyak 67 orang (83,8%). Perkembangan balita paling banyak adalah sesuai sebanyak 65 orang (81,3%). Dari 80 orang responden dengan status gizi baik sebanyak 60 orang responden (89,6%) memiliki perkembangan yang sesuai. Hasil uji statistik diperoleh ñ-value = 0,000 lebih kecil dari α 0,05. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan perkembangan balita usia 3-5 tahun di Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya. Kata Kunci : Status gizi balita, Perkembangan balita. 1. LATAR BELAKANG Masa balita merupakan fase terpenting dalam membangun pondasi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari genetik sedangkan faktor eksternal berupa status gizi pada masa balita (Santoso dan Lies, 2004). Pada manusia terutama pada masa balita, proses tumbuh kembang terjadi sangat cepat. Pertumbuhan dan perkembangan anak didukung oleh pemberian makanan yang bergizi, karena gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya (Pujianta, 2010). Dari data statistik Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya mengenai status gizi balita berdasarkan berat badan per tinggi badan periode Agustus 2010 menunjukan bahwa sebanyak 0,15 persen balita mengalami status gizi sangat kurus, 4,79 persen status gizi kurus, 90,69 persen mengalami status gizi normal dan 4,37 status gizi nya gemuk. Dari data yang didapatkan di Puskesmas Kahuripan dari jumlah 1578 balita yang dilakukan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang didapatkan 16 balita yang mendapatkan intervensi. 0,25 persen mengalami gangguan motorik halus, 0,82 persen mengalami gangguan motorik kasar, 0,50 persen mengalami gangguan sosialisasi dan 0,57 persen mengalami gangguan bicara aktif. Cikalang merupakan salah satu kelurahan yang berada diabawah wilayah kerja Puskesmas Kahuripan. Jumlah Balita umur 3-5 tahun pada akhir Agustus 2015 yang ada di Kelurahan Cikalang sebanyak 402 orang (RW I-RW XIV). Berdasarkan gambaran pada latar belakang maka penulis merasa tertarik melakukan penelitian mengenai Hubungan Status Gizi Balita dengan Perkembangan Balita Usia 3-5 Tahun di Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya. 2. METODE PENELITIAN a. Rancangan Penelitian Jenis rancangan penelitian ini adalah metode penelitian survei analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional b. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya, pada bulan September-November

156 c. Subjek Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 3 5 tahun di Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya. Adapun jumlah balita 3-5 tahun pada akhir Agustus 2015 adalah sebanyak 402 orang balita. 2. Sampel a) Kriteria Sampel Adapun kriteria sampel yang diteliti adalah balita yang berusia 3-5 tahun yang mengunjungi Posyandu pada setiap RW di Kelurahan Cikalang Kota Tasikmalaya. b) Cara Pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah quota sampling, besarnya sampel diambil berdasarkan rumus Taro Yamane yang terdapat dalam Notoatmodjo (2003), yaitu : N n = 1 + N(d) 2 Keterangan : n : jumlah sampel yang diteliti N : jumlah populasi d : nilai presisi Dari 402 jumlah populasi didapatkan sampel sebanyak 80 orang balita. Sampel akan diambil secara random/acak, d. Teknik Pengumpulan Data Berupa data primer dengan menggunakan lembar observasi. Untuk menilai status gizi dilihat dari tabel status gizi berdasarkan tinggi dan berat badan serta jenis kelamin, dan lembar observasi untuk menilai perkembangan balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). e. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini menggunakan variabel dependen dan independen. Variabel independen yaitu status gizi dan variabel dependen yaitu perkembangan balita usia 3-5 tahun. f. Instrumen Penelitian Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar observasi. Untuk menilai status gizi dilihat dari tabel status gizi berdasarkan tinggi dan berat badan serta jenis kelamin, dan lembar observasi untuk menilai perkembangan balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP). g. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari pemeriksaan Data (Editing), Coding, Pemindahan data dan Tabulating data. 2. Analisa Data a. Analisa Univariat Status gizi balita dan Perkembangan balita Analisis univariat ini digunakan untuk mengetahui persentase dan distribusi status gizi balita dan perkembangan balita usia 3-5 tahun, Dengan rumus: P = n N 100% Keterangan : P : persentase n : jumlah anak dalam kategori tertentu N : jumlah seluruh sampel (Arikunto, 2006). b. Analisis Bivariat Menggunakan Chi Kuadrat, yaitu untuk menguji apakah frekuensi yang terdapat pada masing-masing sampel berbeda secara signifikan atau hanya kesalahan pengambilan sampel. Chi kuadrat dapat digunakan untuk menganalisis dua atau lebih sampel yang diteliti. X 2 K (0 i E i ) = i=i E i Keterangan Oi = frekuensi hasil pengamatan pada klasifikasi ke-i Ei = frekuensi yang diharapkan pada klasifikasi ke i (Sugiyono, 2009) 156

157 Adapun interpretasi dari hasil analisis bivariat adalah sebagai berikut : 1. Jika nilai ñ-value < á (0,05), maka variabel tersebut memiliki hubungan yang bermakna. 2. Jika nilai ñ-value > á (0,05), maka variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang bermakna. Dalam pengolahan data ini juga dibantu dengan program SPSS. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian 1. Analisa Data a. Analisa Univariat 1) Status Gizi Balita Distribusi frekwensi data hasil penelitian berdasarkan status gizi balita di posyandu Kelurahan Cikalang dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 2 Distribusi Frekwensi Status Gizi Balita Usia 3-5 Tahun Di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Status Gizi Responden F % Gizi Buruk 0 0 Gizi Kurang 9 11,3 Gizi lebih 3 3,8 Obesitas 1 1,3 Gizi Baik 67 83,8 Jumlah Berdasarkan tabel 3 diperoleh bahwa status gizi responden paling banyak termasuk kedalam kategori Status Gizi Baik sebanyak 67 orang (83,8%). 2) Perkembangan Balita Distribusi frekwensi data hasil penelitian berdasarkan status gizi balita di posyandu Kelurahan Cikalang dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 3 Distribusi Frekwensi Perkembangan Balita usia 3-5 Tahun Sesuai Dengan KPSP di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Perkembangan Balita Distribusi Frekuensi F % Intervensi 2 2,5 Meragukan 13 16,2 Sesuai 65 81,3 Jumlah Berdasarkan tabel tersebut diperoleh bahwa status perkembangan balita paling banyak adalah sesuai yaitu sebanyak 65 orang (81,3%). b. Hubungan Status Gizi Balita Dengan Perkembangan Balita Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan perkembangan balita usia 3-5 tahun di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini : Tabel 4 157

158 Hubungan Status Gizi Balita Dengan Perkembangan Balita Usia 3-5 Tahun Sesuai dengan KPSP di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Status Perkembangan Nilai Gizi I % M % S % Total % ñ Kurang 2 22,2 5 55,6 2 22, Lebih Obesitas ,000 Baik , , Jumlah 2 2, , , I : Intervensi M : Meragukan S : Sesuai Tabel 4 menunjukan tabulasi silang antara status gizi balita dengan perkembangan balita di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang kota Tasikmalaya, dari 80 orang responden sebagian besar termasuk kategori status gizi baik dengan perkembangan yang sesuai yaitu sebanyak 60 orang (89,6%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square antara status gizi dengan perkembngan balita menunjukkan bahwa ñ-value = 0,000 lebih kecil dari nilai alfa (α) 0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan perkembangan balita usia 3-5 tahun di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. b. Pembahasan 1. Status Gizi Balita Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang diperoleh bahwa status gizi balita usia 3-5 tahun paling banyak ada dalam kategori gizi baik yaitu sebanyak 67 orang (83,8%). Status gizi balita di posyandu Kelurahan Cikalang sebagian besar ada pada kategori baik. Disusul dengan gizi kurang 11,3 %, kemudian gizi lebih 3,8 %, lalu obesitas 1,3%. Tidak ditemukan dengan status gizi buruk (0%). Sebagian besar dengan status gizi kurang terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 7 orang dan laki laki sebanyak 2 orang. Biasanya laki laki lebih aktif daripada perempuan sehingga mudah lapar dan pada akhirnya banyak mengkonsumsi makanan. Sehingga ditemukan balita jenis kelamin laki-laki dengan status gizi obesitas 1 orang dan status gizi gemuk 2 orang, sementara pada balita wanita tidak ditemukan obesitas dan hanya 1 balita yang status gizinya gemuk. Setelah di lakukan pengkajian, sebagian besar balita umur 3-5 di kelurahan cikalang masuk dalam kategori status gizi baik disebabkan oleh berbagai faktor baik dari segi pengetahuan ibu balita tentang gizi juga program kesehatan balita yang ada di posyandu berupa penyuluhan dan program pemberian makanan tambahan. Adapun sisanya karena jarang mengunjungi posyandu dan pola makan yang tidak seimbang. Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2001). Gizi baik adalah keadaan dimana tubuh mendapatkan gizi yang optimum atau berat badan menurut umur sesuai dengan standar. Balita yang menilai gizi baik akan terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya (Depkes, 2006). Gangguan gizi awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi kurang pada baita tidak hanya menimbulkan gangguan fisik, tapi juga mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas dimasa dewasa (Depkes RI, 2002). Penilaian status gizi ini dilakukan berdasarkan penilaian BB/TB dimana indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat 158

159 badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya (WHO & Unicef, 2009). 2. Perkembangan Balita Usia 3-5 Tahun Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa perkembangan balita usia 3-5 tahun di posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang paling banyak adalah kategori sesuai yaitu sebanyak 65 orang (81,3%). Kemudian disusul dengan meragukan sebanyak 16,3% dan Intervensi sebanyak 2,5 %. Rata rata usia balita dengan perkembangan meragukan adalah umur 4-5 tahun dan yang memerlukan intervensi balita umur 4 tahun. Dari beberapa item pengetesan rata rata dengan perkembangan meragukan dan intervensi mereka tidak dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut, kemudian rata rata tidak dapat bermain ular tangga dan mengikuti aturan mainnya. Disamping itu rata rata mereka dalam mengenakan celana panjang/kemeja/baju kaos masih dibantu orang tuanya dan masih ada yang belum bisa menyebutkan nama lengkapnya. Dari fakta hasil penelitian tentang perkembangan balita yang ada di posyandu paling banyak termasuk kategori perkembangan sesuai. Salah satu program dari Puskesmas Kahuripan yaitu dilaksanakannya program Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang yang dilaksanakan secara berkala pada setiap balita di setiap posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan dan salah satunya dilaksanakan di posyandu Kelurahan Cikalang. Dengan adanya program SDIDTK tersebut maka dapat dideteksi dan intervensi secara dini adanya peyimpangan perkembangan pada balita. Perkembangan yang sesuai, rata rata balita di kelurahan cikalang hampir dapat melakukan seluruh item pengetesan. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian. Pada manusia terutama pada masa balita, proses tumbuh kembang terjadi sangat cepat (Pujianta, 2010). Anak usia 3-5 tahun dunianya akan mulai membuka. Dia akan menjadi lebih mandiri dan mulai lebih berfokus pada orang dewasa dan anak-anak di luar keluarga. Dia akan ingin mengeksplorasi dan bertanya tentang lingkungannya bahkan lebih (Yantic, 2010). 3. Hubungan status gizi balita dengan perkembangan Balita usia 3-5 Tahun. Gizi balita adalah makanan sehat dan seimbang yang mengandung zat-zat gizi yang harus dikonsumsi balita selama masa pertumbuhan (Francin dkk, 2005). Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita terhadap perkembangan balita usia 3-5 tahun di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun Dari 80 orang responden yang status gizinya termasuk kedalam kategori baik sebanyak 60 orang (89,6%) memiliki perkembangan yang sesuai. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square antara status gizi dengan perkembangan balita menunjukkan bahwa ñ-value = 0,000 lebih kecil dari nilai alfa (α) 0,05 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan perkembangan balita usia 3-5 tahun di posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun Status gizi yang normal akan berpengaruh pada perkembangan balita. Ini dapat dilihat dari banyaknya balita yang memiliki status gizi normal memiliki perkembangan yang sesuai. Faktor pengetahuan ibu balita dan program posyandu mengenai gizi balita sangat berpengaruh pada asupan makanan balita yang pada akhirnya berpengaruh pada status gizi balita. Jika status gizi baik maka tidak akan mengalami kesulitan pada balita untuk melakukan aktifitas baik berupa gerakan halus, kasar, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian. Karena aktifitas yang dilakukan tergantung dari asupan makanan pada balita yang menentukan tingkat status gizi balita dan perkembangan balita. Pertumbuhan dan perkembangan anak didukung oleh pemberian makanan yang bergizi, karena gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya (Pujianta, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak diantaranya faktor dalam/internal meliputi ras, keluarga, umur, jenis kelamin, genetik dan kelainan kromosom. Faktor luar/eksternal meliputi faktor prenatal (gizi, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, kelainan imunologi, anoksia, embrio, psikologi ibu), faktor persalinan (komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia), faktor pasca persalinan (gizi, lingkungan fisis dan kimia, psikologis, endokrin, sosio ekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulasi dan obat-obatan. 4. KESIMPULAN 159

160 Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan status gizi balita dengan perkembangan balita usia 3-5 tahun di posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya,maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari hasil penelitian dan pengolahan data diperoleh bahwa status gizi balita di posyandu Kelurahan Talagasari paling banyak termasuk kategori status gizi baik sebanyak 67 orang (83,8%). 2. Dari hasil penelitian dan pengolahan data diperoleh bahwa perkembangan balita di posyandu Kelurahan Talagasari paling banyak termasuk kategori perkembangan sesuai sebanyak 65 orang (81,3%). 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan perkembangan balita usia 3-5 tahun di Posyandu Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun UCAPAN TERIMA KASIH Dana penelitian ini diperoleh dari dari dana DIPA Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Hj. Betty Suprapti, SKP, M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya. 2. Ani Radiati, SPd, M.Kes selaku Ketua Risbinakes Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya 3. Nunung Mulyani, APP, M.Kes. selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya 4. Yanyan Bahtiar, M.Kep. selaku Kepala UPPM Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya dan staf 5. Seluruh pihak yang telah membantu 6. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S (2003) Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Antasari (2010) Ratusan Ribu Balita di Jawa Barat Terancam Gizi Buruk, tersedia dalam : (diakses 27 Juli 2015) Arisman (2004) Gizi Dalam Daur Kehidupan, EGC, Jakarta. Arya (2009) Balita, tersedia dalam : (diakses tanggal 2 Juni 2015). BKKBN (2003) Modul Bina Keluarga Balita, Jakarta. CDC (2010) Anak-anak Prasekolah tersedia dalam : (diakses tanggal 1 Juni 2015). Depkes RI (2000) Status Gizi Versi KMS, tersedia dalam (diakses tanggal 2 Juni 2015). (2002) Program Gizi Mikro, Depkes RI, Jakarta. (2006) Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita, Depkes RI, Jakarta. (2008) Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak, Depkes RI, Jakarta. Endah (2008) Aspek Perkembangan Motorik dan Keterhubungannya dengan Aspek Fisik dan Intelektual Anak, tersedia dalam : (diakses tanggal 19 Juli 2015). Francin, E, Rumdansih, Y, Heryati (2005) Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi, EGC, Jakarta. Hanifa, L (2011) Gizi Balita Cermin Masa Depan Kita, tersedia dalam (diakses tanggal 28 Juli 2015). Jose, S (2010) Gizi Buruk di Indonesia Masuk Kategori Serius - G20, tersedia dalam : (diakses tanggal 20 Juli 2015). Kemenkes RI (2008) Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar, Jakarta. Kemenkes RI (2012) Instrumen Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak, Jakarta. Mommy (2010) Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Balita. (diakses tanggal 31 Juni 2015). Notoatmodjo (2003) Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta Jakarta. 160

161 Pujianta, S (2010) Hubungan Status Gizi dengan Perkembangan Motorik Kasar balita Usia 2-5 Tahun di posyandu Desa Bentarsari Kecamatan Salem Kabupaten Brebes, tersedia dalam Error! Hyperlink reference not valid. diakses tanggal 2 Juli 2015). Radiansyah, E (2007) Gizi Kurang, tersedia dalam : (diakses tanggal 20 Juni 2015). Santoso, S dan Lies, A (2004) Kesehatan dan Gizi, Rineka cipta, Jakarta. SK Menkes 920/Menkes/SK/VIII/2002. Soekirman (2000) Status Gizi, tersedia dalam : (diakses tanggal 27 Juli 2015). Supariasa, I (2002) Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta. WHO&UNICEF (2009) Penilaian Status Gizi Balita, tersedia dalam : (diakses tanggal 29 Juni 2015). Yantic (2010) Deskripsi Perkembangan motorik balita 3-5 tahun, tersedia dalam (diakses tanggal 1 Juli 2015) 161

162 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU IBU TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI RW 04 KELURAHAN BANTAR GEBANG BEKASI Devinda Larasati 1, Lenny Irmawaty 1, Tetty Rina 1, Ari 3, Ema 2, Marni 1 1 STIKes Medistra Indonesia 2 Poltekes Tasikmalaya 3 Klinik Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada usia anak-anak terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru yang disebabkan terutama oleh bakteri. Bakteri penyebab pneumonia paling sering adalah Streptoccus pneumonia (pneumokokus), hemophilus influenza tipe b (Hib) dan Staphylococcus aureus.tujuan penelitian untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Ibu Terhadap Pencegahan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi. Metode penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Subyek penelitian adalah ibu yang memiliki balita di wilayah RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi, sejumlah 129 responden. Teknik simple random sampling menggunakan analisis Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan ada dua variabel yang memiliki hubungan signifikan terhadap variabel perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita yaitu pengetahuan (P value = 0,000) dan sikap (P value = 0,009). Simpulan penelitian, faktor yang berhubungan dengan prilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi termasuk pengetahuan dan sikap. Kata Kunci : Pneumonia, Perilaku, Pencegahan Penyakit pada balita ABSTRACT Pneumonia as cause death largest especially in children, because of low awareness mother child influence behavior mother in the prevention of disease pneumonia. Research purposes this is to know factors relating to behavior mother against the prevention of disease pneumonia in toddlers in RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi. This research methods used is descriptive analytic desain using cross sectional desain sampling using simple random sampling method to 129 respondents by using the chi squere test in RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi. The result showed that a variable that has a significant relation to variable behavior the prevention of disease in toddlers pneumonia is knowledge (P value = 0,000) and attitudes (P value = 0,009). Education variable ( P value = 1,000 ) availability of health ( P value = 0,768 ) and support health workers (P value = 0,136) having no relation to conduct the prevention of disease pneumonia in toddlers. In this thesis, researchers are focusing more on the factors related to the behavior of the mother of prevention of pneumonia. Based on the results of the research shows that the knowledge and attitudes of mothers has a relationship with pneumonia disease prevention behavior in toddlers in Kelurahan Bantar Gebang RW 04 Bekasi. 1. PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan suatu penyakit yang terbanyak dan tersering diderita oleh balita karena sistem pertahanan tubuh mereka masih rendah (Klinikita, 2007 dalam Ferdiansyah, 2012). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk, pilek atau tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi ini tidak diobati dengan antibiotik. Pneumonia adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan terutama oleh bakteri.bakteri penyebab pneumonia paling sering adalah Streptoccus pneumonia (pneumokokus), hemophilus influenza tipe b (Hib) dan Staphylococcus aureus(misnadirly, 2008). Bakteri ini bisa disebarkan oleh penderita pneumonia melalui percikan droplet saat batuk atau bersin dan berbicara kepada orang sekitar penderita.udara yang mengandung banyak bakteri ini, sangat berbahaya bagi siapapun termasuk balita.oleh karena itu, lingkungan yang bersih dan rumah yang selalu dalam keadaan rapi dan cukup cahaya sangat diperlukan. Menurut Direktur Regional World Health Organization (WHO) Western Pacific, selain penyebab kematian pada anak, pneumonia juga penyebab utama rawat inap pada balita di mayoritas Negara berkembang, padahal sebagian besar pembiayaan rumah sakit itu tidak dijamin asuransi, tetapi harus dibayar secara tunai sehingga meningkatkan angka kemiskinan di banyak negara di Asia (Kartasasmita, 2007). Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Di Amerika Serikat misalnya, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata orang (Misnadirly, 2008) Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Diperkirakan 75% pneumonia pada anak balita di negara berkembang termasuk Indonesia disebabkan oleh pneumokokus dan Hib.(Misnadirly, 2008).Program pengendalian ISPA menetapkan bahwa semua kasus yang ditemukan harus mendapat tata laksana sesuai standar, dengan demikian angka penemuan 162

163 kasus ISPA juga menggambarkan penatalaksanaan kasus ISPA.Jumlah kasus ISPA dimasyarakat diperkirakan 10% dari populasi. Target cakupan program ISPA nasional pada pneumonia balita sekitar 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun pada tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru mencapai 18,81% (Depkes, 2009). Pneumonia adalah penyakit infeksi menular merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia.data WHO tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi kematian balita karena saluran pernapasan di dunia adalah sebesar 19-26%. Pada tahun 2007 diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta kematian pada anak. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, Pneumonia adalah penyebab kematian kedua pada balita setelah Diare (Buletin Jendela Epidemiologi, 2010). Pada usia anak-anak, Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Angka kematian Pneumonia pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21 %. Hampir 1,5 juta anak di bawah lima tahun meninggal akibat penyakit itu setiap tahunnya Adapun angka kesakitan diperkirakan mencapai 250 hingga 299 per 1000 anak balita setiap tahunnya. Di Indonesia angka balita yang terkena pneumonia pada tahun 2008 yaitu 66 per 1000 anak.dan pada tahun 2009, pneumonia ini menyebabkan kematian balita di Indonesia sebesar 39 per 1000 anak balita.fakta yang sangat mencengangkan.karenanya, kita patut mewaspadai setiap keluhan panas, batuk, sesak pada anak dengan memeriksakannya secara dini (UNICEF, 2011). Di Jawa Barat pada tahun 2007, prevalensi diagnosis pneumonia adalah sebesar 0,72% dan 2,43% didiagnosis beserta gejala pneumonia (Anonim, 2007). Sedangkan pada tahun 2011 yang diperoleh dari Profil Data Kesehatan Indonesia kejadian pneumonia pada balita sebesar 39,11%. Dari hasil pemetaan insiden pneumonia membuktikan bahwa pneumonia tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, hanya angka insidennya yang berbeda-beda, tergantung pada status gizi, sosial ekonomi, sosial budaya, lingkungan, bagaimana perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan dan bagaimana kesiapan dan kesiagaan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan (Buletin Pneumonia, 2010) Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalamannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan sebagaiman diketahui pengetahuan merupakan pangkal dari sikap, sedamgkan sikap akan mengamalkan tindakan sesorang. Pengetahuan dan sikap yang baik diharapkan mampu menumbuhkembangkan tindakan yang positif (Sarwono dalam Yenni, 2011). Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: faktor predisposing atau faktor pemudah (mencakup: pengetahuan, sikap, tradisi, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya), faktor enabling atau faktor pendukung (mencakup: ketersediaan sarana atau fasilitas kesehatan) dan faktor reinforcing atau faktor penguat (mencakup: perilaku dari petugas kesehatan dan tokoh masyarakat). Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada Tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada bayi dua tahun (>35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok ibu dengan pendidikan yang rendah. Kemudian Notosiswoyo dkk (2003) menambahkan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia dikarenakan rendahnya pengetahuan ibu balita mengenai penyakit pneumonia yang menimpa anaknya sehingga mereka terlambat membawa anak balitanya berobat ke puskesmas. Pemilihan ibu sebagai kelompok sasaran karena pada umumnya ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anaknya dan seringkali ibu berperan sebagai pengambil keputusan dalam mencari pertolongan pengobatan dini bagi anaknya yang sakit, dengan kata lain tindakan ibu sangat menentukan derajat kesehatan keluarga. Perilaku ibu mempunyai peranan dalam pencegahan penyakit pneumonia, sehubungan dengan itu kerjasama antara petugas kesehatan dengan ibu perlu ditingkatkan terutama dalam pencegahan pneumonia, misalnya cara mencari pengobatan ke puskesmas terdekat, menjauhkan anak dari asap rokok, kayubakar, anti nyamuk bakar, memberikan gizi yang baik untuk anak dan lain-lain (Sibarani dalam Yenni, 2011). Dari hasil survei awal di salah satu RW di Kelurahan Bantar Gebang Bekasi yaitu RW 04, di dapat masih banyaknya warga yang belum mengerti mengenai penyakit pneumonia dan ditemukan juga masih banyak warga yang berpendidikan rendah. Selain itu pemukiman yang padat penduduk dan keadaan rumah yang masih semi permanen juga banyak ditemukan.selain itu, pemukiman penduduk di sekitar RW 04 masih dekat dengan pabrik-pabrik yang menyebabkan polusi udara yang tidak baik untuk anak balita. Berdasarkan keterangan dari dua warga didapat bahwa di RW 04 masih banyak ibu yang berpendidikan rendah seperti tamat SD dan SMP dan bekerja sehingga perhatian kepada anaknya menjadi berkurang selain itu tidak adanya petugas kesehatan yang melakukan penyuluhan kesehatan mengenai pneumonia di daerahnya sehingga warga tidak mengetahui cara pencegahan penyakit pneumonia. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif analitik dimana penelitian diarahkan secara objektif dan sistematis untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan dalam suatu komunitas melalui pendekatan kuantitatif dengan metode Cross Sectional, dimana variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Subyek dalam penelitian ini adalah ibu yang memilki 163

164 balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang tahun 2013 sebanyak 129 orang. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner terstruktur dengan jenis pertanyaan Open ended question. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini juga dikembangkan oleh peneliti sendiri. Analisis data menggunakan chi-square dengan nilai mutlak α = 0, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1) Distribusi frekuensi usia balita dan berat badan sesuai usia di wilayah RW 04 kelurahan Bantar Gebang Bekasi tahun 2013, dari 98 balita terbanyak berusia 1 5 tahun sebanyak 81,6 % (80) balita dan usia 0 12 bulan sebanyak 18 balita (18,4%) dan yang memiliki berat badan terbanyak yaitu berat badan sesuai usia sebanyak 78 balita (79,6%), berat badan < usia sebanyak 17 balita (17,3%), dan berat badan > usia yaitu sebanyak 3 balita (3,1%). 2) Distribusi frekuensi pengetahuan ibu terhadap pencegahan penyakit pneumonia terbanyak adalah pengetahuan baik yaitu sebanyak 46 responden (46,9%), pengetahuan cukup sebanyak 31 responden (31,6%) dan pengetahuan kurang hanya 21 responden (21,5%). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Notosiswoyo (2001) menunjukkan bahwa masih terdapat ibu yang tidak mengetahui istilah ISPA dan Pneumonia sebanyak (70%) dan tidak tahu cara mencegahnya sebanyak (56,5%). 3) Distribusi frekuensi sikap terbanyak yang dimiliki oleh responden adalah sikap positif yaitu sebanyak 94 responden (95,6%) dan yang memiliki sikap negatif yaitu sebanyak 4 responden (4,1%). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Notosiswoyo (2001) menunjukkan bahwa persentase terbesar dari ibu bayi/balita setuju terhadap hal-hal berikut: penyakit pneumonia dapat menimbulkan kematian (83,8%), salah satu tanda bahaya ISPA adalah napas cepat (68,2%), pneumonia tidak dapat diobati dengan pengobatan sendiri (88,2%), pneumonia hanya diobati di Puskesmas/rumah sakit (96,2%), dan pneumonia tidak dapat diobati oleh pengobatan tradisional (92,9%). Sikap-sikap tersebut merupakan sikap positif dari Ibu bayi/balita, menunjukkan bahwa sesungguhnya ibu menaruh perhatian yang besar terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA dan pneumonia yang diprogramkan oleh pemerintah. 4) Distribusi frekuensi pendidikan responden terbanyak adalah pendidikan rendah yaitu sebanyak 62 responden (63,3%) dan yang berpendidikan tinggi hanya 36 responden (36,7%). Pada penelitian ini sebanyak 36,7% responden berpendidikan tinggi, ada kemungkinan bahwa sebagian besar responden akan lebih mudah menerima dan memahami pesan kesehatan yang akan diterimanya. Sedangkan 63,3% responden berpendidikan rendah, hal ini kemungkinan faktor sosial ekonomi sehingga banyak masyarakat yang mengalami kendala melanjutkan sekolahnya. 5) Distribusi frekuensi responden yang menyatakan ketersediaan sarana kesehatan yang baik sebanyak 61 responden (62,2%) dan ketersediaan sarana yang kurang baik yaitu hanya 37 responden (37,8%). Dari hasil penelitian ternyata banyak responden yang menyatakan bahwa ketersediaan sarana kesehatan sangat berpengaruh terhadap pencegahan penyakit pneumonia. 6) Distribusi frekuensi responden yang menyatakan tidak adanya dukungan petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit pneumonia terbanyak yaitu 66 responden(67,3%). Dari hasil penelitian ternyata banyak responden yang menyatakan bahwa kurang adanya dukungan dari petugas kesehatan berupa penyuluhan mengenai pencegahan penyakit pneumonia pada balita. 7) Distribusi frekunsi responden terbanyak melakukan pencegahan penyakit pneumonia yaitu sebanyak 84 responden (85,7%). Dari hasil penelitian ternyata banyak responden yang berperilaku baik terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita.hal yang penting dalam perilaku adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku.karena perubahan perilaku merupakan tujuan pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lainnya. 8) Distribusi fekuensi yang dilakukan observasi menunjukkan bahwa masih ada ibu yang tidak melakukan pencegahan penyakit pneumonia dapat ditunjukkan dari responden yang tidak memberikan ASI kepada anaknya sebanyak 50 responden (51%), tidak memberikan makanan bergizi sebanyak 20 responden (20,4%), tidak membuka jendela untuk pertukaran udara dikarenakan tidak adanya jendela yang terbuka hanya terdapat jendela kaca yang permanen sebanyak 26 responden (26,5%), begitu juga masih banyak ibu yang membawa anaknya saat sedang memasak di dapur sebanyak 35 responden (35,7%), dan yang masih menggunakan anti nyamuk bakar sebanyak 13 responden (13,3%). 9) Hubungan pengetahuan dan perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita menunjukkan bahwa pengetahuan ibu yang baik yaitu sebanyak 46 responden (46,92%) melakukan tindakan pencegahan penyakit pneumonia yaitu sebanyak 44 responden (44,88%). Sedangkan responden yang tidak melakukan pencegahan penyakit pneumonia terbanyak pada responden dengan pengetahuan kurang yaitu 9 (9,18%). Hasil uji statistik diperoleh p Value = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 maka artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan ibu terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita. 164

165 Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor perilaku.faktor perilaku ini ditentukan atau dibentuk dari beberapa faktor.faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku salah satunya adalah pengetahuan. Menurut Notoatmodjo yang mengutip pendapat Rogers (1974), apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses (awernes, interest, evaluation, trial, and adoption) (AIETA), dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Yenni S. (2011) bahwa ada hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit dengan p value = 0,000. Artinya bahwa orang yang memiliki pengetahuan baik tentang penyakit pneumonia memiliki kecenderungan untuk melakukan upaya pencegahan penyakit pneumonia dengan baik. 10) Hubungan sikap dan perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita Berdasarkan tabel 10 di atas menunjukkan sikap responden terbanyak yaitu sikap yang positif sebanyak 95 responden (95,92%) dan melakukan tindakan pencegahan penyakit pneumonia 83 responden (84,68%). Sedangkan yang tidak melakukan tindakan pencegahan penyakit pneumonia terbanyak pada responden dengan pengetahuan baik juga yaitu 11 (11,24%) responden. Hasil uji statistik diperoleh p Value = 0,009 lebih kecil dari nilai α = 0,05 artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara sikap ibu terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.sikap itu merupakan kesiapan atau kesedian untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.sikap belum merupakan suatu tindakan atau perilaku.sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu pengahayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Muchlis Riza (2008) menunjukkan bahwa ada hubungan sikap ibu terhadap kejadian pneumonia pada balita dengan p value = 0,02 dimana p value lebih kecil dari pada α = 0,05. Penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki sikap positif maka seseorang tersebut akan melakukan tindakan pencegahan penyakit pneumonia. 11) Hubungan pendidikan dan perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita menunjukkan pendidikan responden terbanyak adalah pendidikan rendah yaitu sebanyak 61 responden (63,62%) dan menunjukkan perilaku pencegahan penyakit pneumonia sebanyak 53 responden (54,07%). Hasil uji statistik diperoleh p Value = 1,000 lebih besar dari nilai α = 0,05 artinya tidak ada hubungan yang sangat signifikan antara pendidikan ibu terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita. Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulita Riza (2005) yang menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita dengan p value > 0,05. Namun penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Yenni S. (2011) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita dengan p value = 0,000. Menurut Notoatmodjo (2010), orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pengetahuan atas keluasaan wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan.semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi. Pendidikan seseorang berpengaruh terhadap perilakunya yang menyebabkan seseorang berperilaku positif atau negatif terhadap sesuatu. Dengan kata lain perilaku yang menyebabkan seseorang berperilaku positif atau negatif terhadap sesuatu, itu salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang itu sendiri. Penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita. 12) Hubungan ketersediaan sarana kesehatan dan perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita bahwa adanya ketersediaan sarana kesehatan yang baik yaitu sebanyak 61 responden (62,24%) dan yang melakukan pencegahan penyakit pneumonia sebanyak 53 responden (54,07%). Hasil uji statistik diperoleh p Value = 0,768 lebih besar dari nilai α = 0,05 maka dapat di simpulkan bahwa H0 gagal ditolak dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan yang sangat signifikan antara ketersediaan sarana kesehatan terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita. Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Yenni S. (2011) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan sarana kesehatan terhadap perilaku dalam pencegahan penyakit pneumonia pada balita dengan p value = 0,884 lebih besar dari nilai alpha. Menurut Notoatmodjo (2010), meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tinggi tentang kesehatan, namun fasilitas kesehatan yang tidak mendukung maka tindakan tentang kesehatan tidak 165

166 akan terwujud. Oleh karena itu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi harus diikuti dengan ketersediaan sarana kesehatan yang baik sehingga terwujud perilaku hidup sehat. 13) Hubungan ketersediaan sarana kesehatan dan perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita menyatakan bahwa tidak ada dukungan petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit pneumonia yaitu sebanyak 66 responden (67,36%) dan responden yang melakukan pencegahan penyakit pneumonia adalah sebesar 54 responden (55,09%). Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara petugas kesehatan dengan perilaku ibu terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yenni S. (2011) dimana hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara petugas kesehatan terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita dengan hasil p value = 0,000 lebih kecil dari nilai alpha. Menurut Nur (2004) kerjasama dan penyuluhan dari petugas kesehatan sangat diperlukan sebagai contoh/acuan dalam melakukan tindakan kesehatan.peran petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap perilaku ibu dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005). Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan petugas kesehatan adalah dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan baik itu berupa penyuluhan, saran dan tindakan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada ibu. 4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1) Karakeristik usia terbanyak yaitu 1-5 tahun dan berat badan terbanyak yaitu berat badan sesuai dengan usia balita. 2) Responden dengan tingkat pengetahuan terbanyak yaitu pengetahuan baik. 3) Responden terbanyak yang memiliki sikap positif. 4) Responden dengan pendidikan terbanyak yaitu pendidikan yang rendah. 5) Responden terbanyak menyatakan bahwa ketersediaan sarana kesehatan di wilayah bantar gebang baik. 6) Responden terbanyak menyatakan bahwa tidak adanya dukungan petugas kesehatan terhadap pencegahan penyakit pneumonia. 7) Responden terbanyak menunjukkan melakukan perilaku pencegahan penyakit pneumonia. 8) Observasi yang dilakukan responden ada yang melakukan perilaku pencegahan penyakit pneumonia namun masih ada yang tidak melakukan pencegahan penyakit pneumonia. 9) Ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan ibu terhadap perilaku pencegahanpenyakit pneumonia pada balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi Tahun ) Ada hubungan yang sangat signifikan antara sikap ibu terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi Tahun ) Tidak ada hubungan yang antara pendidikan ibu terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi Tahun ) Tidak ada hubungan yang antara ketersediaan sarana kesehatan terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi Tahun ) Tidak ada hubungan dukungan petugas kesehatan terhadap perilaku pencegahan penyakit pneumonia pada balita di RW 04 Kelurahan Bantar Gebang Bekasi Tahun Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita adalah pengetahuan dan sikap ibu. Saran 1) Disarankan untuk mengerakkan kader-kader agar dapat melakukan program-program pencegahan penyakit pneumonia pada ibu yang memiliki balita seperti melakukan kebersihan lingkungan, menganjurkan kepada ibu yang memiliki balita untuk memberikan ASI eksklusif dan memberikan makanan bergizi seperti nasi, lauk, dan sayur. Selain itu dianjurkan kepada ibu agar menjauhkan anak dari asap kayu bakar dan asap rokok agar anak terhindar dari penyakit pneumonia. 2) Disarankan untuk petugas kesehatan mengadakan kegiatan penyuluhan kesehatan dengan memberikan poster atau selebaran mengenai pencegahan penyakit pneumonia di posyandu sehingga ibu yang memiliki balita mendapatkan informasi yang akurat dan pengetahuan ibu dapat meningkat mengenai cara pencegahan penyakit pneumonia. 3) Disarankan untuk institusi pendidikan dapat memberikan tambahan pengetahuan untuk mahasiswa pada mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam dan Keperawatan Anak khususnya terkait dengan pneumonia. 166

167 5. SUMBER PUSTAKA Notoatmodjo Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta Misnadiarly Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia. Yayasan Obor: Jakarta Asih, Niluh Gede Keperawatan Medikal Bedah dengan Klien Gangguan Sistem Pernapasan. EGC: Jakarta Karel Merawat Anak Sakit di Rumah. Puspa Swara: Jakarta Notoatmodjo Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta Hidayat, A. Azis Alimul Metodologi Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba Medika: Jakarta Arikunto, S Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Ibu Dalam Melakukan ANC Selama Secara Rutin Selama KehamilanTahun Said, dkk (2010).Buletin Pneumonia pada Balita. Jakarta : Depkes. Yenni.S Pengaruh Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Ibu Balita Terhadap Pencegahan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Kelurahan Batang Beruh Kecamatan Sidikalang Tahun 2011 Notosiswoyo Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Ibu Bayi/Anak Balita Serta Persepsi Masyarakat Dalam Kaitannya Dengan Penyakit ISPA Dan Pneumonia. Riza, Muchlis Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Ibu Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di IRNA Anak RSMH Palembang Tahun Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Ibu Dalam Penceraian Pengobatan Dan Pemulihan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Merah Tahun Asih, Retno Continuiting Education. Ilmu Kesehatan Anak Pneumonia.Surabaya : FK Unair. tanggal 14 Februari Pukul diunduh tanggal 14 Februari Pukul Diunduh tanggal 14 Februari Pukul diunduh tanggal 15 Februari Pukul diunduh tanggal 15 Februari Pukul diunduh tanggal 15 februari Pukul

168 HUBUNGAN STATUS IMUNISASI DPT DAN CAMPAK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KECAMATAN CILEUNGSI TAHUN 2012 VIDIA NURFILYANI P 1, LENNY I 1, TETTY R 1, ARI, EMA 2, MARNI 1 1 STIKes Medistra Indonesia 2 Poltekkes Tasikmalaya ABSTRAK - Kematian Anak Balita di Indonesia akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih tergolong tinggi. Sebanyak 6 per 1000 kematian disebabkan oleh pneumonia. Jumlah anak balita yang meninggal akibat pneumonia di Indonesia dapat mencapai orang pertahun, orang perbulan, 416 orang perhari, 17 orang perjam, atau 1 orang balita permenit. Salah satu pencegahan ISPA yang paling efektif adalah dengan pemberian imunisasi dasar lengkap pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan status imunisasi DPT dan Campak dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi tahun Penelitian menggunakan desain cross sectional, populasi yaitu seluruh balita yang tercatat dalam kohort MTBS di Puskesmas Kecamatan Cileungsi periode Januari s/d Mei tahun 2012 dan sampel sebanyak 286 balita dengan systematic random sampling. Hasil penelitian: Balita yang menderita ISPA sebanyak 194 orang (67,8%), balita dengan status imunisasi DPT tidak lengkap sebanyak 211 orang, dan balita yang tidak memperoleh imunisasi campak sebanyak 202 orang. Hubungan antara status imunisasi DPT dengan kejadian ISPA sangat signifikan (p value = 0,0005), dan hubungan antara status imunisasi campak dengan kejadian ISPA pada balita sangat signifikan (p value=0,0005). Imunisasi DPT dan campak yang tidak lengkap merupakan salah satu pencetus tingginya angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi. Kata kunci: ISPA, Imunisasi DPT, Imunisasi Campak, Balita 1. LATAR BELAKANG Pembangunan kesehatan bertujuan untuk menyelenggarakan kesehatan guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat. Hidup sehat merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Abdul, 2009). Derajat kesehatan masyarakat khususnya Anak Balita diukur dengan menggunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian anak yang berusia dibawah 5 tahun. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Depkes, 2008). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kematian balita di negara berkembang lebih dari 40 per 1000 kelahiran hidup yaitu 15%-20% disebabkan oleh ISPA. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Komplikasi dari ISPA diantaranya pneumonia karena disebabkan oleh gizi kurang dan dikombinasikan dengan lingkungan yang tidak hygiene (Budianto, 2008). WHO memperkirakan 13 juta balita meninggal dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta balita setiap tahun. ISPA merupakan penyakit yang sering dilaporkan sebagai 10 penyakit utama di negara berkembang. Program Pemberatasan Penyakit ISPA yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu menetapkan angka 10% dari pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Perkiraan angka kematian pneumonia secara nasional adalah 6 per 1000 balita atau balita pertahun, kriteria untuk menentukan bahwa kematian pneumonia pada balita masih merupakan masalah disuatu negara, adalah apabila angka kematian bayi berada diatas 40/1000 balita, atau proporsi kematian akibat pneumonia balita diatas 20% (Maryunani, 2010). Kematian balita di Indonesia akibat ISPA terutama disebabkan oleh pneumonia adalah 6 per1000 balita. Jadi, setiap 1000 balita setiap tahun ada 6 orang diantaranya yang meninggal akibat pneumonia sebelum ulang tahunnya yang ke-5. Jumlah kematian balita akibat pneumonia di Indonesia dapat mencapai orang pertahun, perbulan, 416 perhari, 17 orang perjam, atau 1 orang balita tiap menit ( Maryunani, 2010). Salah satu pencegahan ISPA yang paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi dasar lengkap pada balita. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, dan campak. Peningkatan cakupan imunisasi dasar akan 168

169 berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA agar dapat mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA yaitu diupayakan imunisasi dasar lengkap. Balita yang mempunyai status imunisasi dasar lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak terlalu berat. Berdasarkan penelitian Sudirman di Bekasi tahun 2008 balita yang imunisasi dasarnya tidak lengkap 4,28 kali memiliki resiko terkena pneumonia dibandingkan dengan balita yang imunisasi dasarnya lengkap (Maryunani, 2010). Rama (2010) menyatakan angka kejadian pneumonia pada balita tahun 2009 di Jawa Barat (46,16%) menempati urutan kedua terbanyak kasus kejadian pneumonia setelah Nusa Tenggara Barat (71,45%). Puskesmas Kecamatan Cileungsi merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat yang merupakan tempat masyarakat melakukan pengobatan penyakit ISPA dan belum pernah dilakukan penelitan terkait dengan judul penelitian. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan analisa status imunisasi DPT, Campak dan hubungannya dengan kejadian ISPA di lokasi tersebut. 2. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Rancangan penelitian menggunakan Cross Sectional yaitu penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat yang bersamaan antara faktor resiko dengan paparan penyakit (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang tercatat dalam kohort di Puskesmas Kecamatan Cileungsi periode Januari sampai dengan Mei tahun 2012 yang berjumlah 997 balita. Nursalam (2008) menyatakan bahwa jika besar populasi < 1000 menggunakan rumus: N n 2 1 N d 997 n ,05 n = 285,46 balita 2 Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah 285,46 dibulatkan menjadi 286 balita. Keterangan: N : Besar populasi n : Besar sampel d : Tingkat kepercayaan (0,05) Tehnik sampling yang digunakan adalah systematic random sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi dan pengambilan sampel dilakukan lotere tetapi diberikan nomor urut tertentu kemudian mengambil nomor urut genap saja seperti kelipatan 2 yaitu 2, 4, 6 dan seterusnya (Hidayat, 2011). Pengumpulan Data Penelitian menggunakan data sekunder yang diperoleh dari medical record Puskesmas Kecamatan Cileungsi. Alat ukur (instrument) yang digunakan untuk mengukur variabel independen dan dependen adalah dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-barang tertulis. Pada penelitian ini, peneliti menyelidiki status imunisasi dan ISPA yang tercatat pada medical record (rekam medik) bayi dan balita yang terdapat di Puskesmas Kecamatan Cileungsi. Pengumpulan data dilakukan melalui izin secara administrasi dan pertemuan dengan Kepala Puskesmas Kecamatan Cileungsi untuk menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Gambaran teknis pengumpulan data yaitu menyerahkan surat izin penelitian kepada kepala bagian rekam medik Puskesmas Kecamatan Cileungsi, kemudian membaca kohort MTBS pada tahun 2012, melakukan sampling dan bedasarkan daftar tersebut mencari serta membaca rekam medik yang sesuai. Pengolahan Data 1. Editing Saat pengumpulan data, ditemukan beberapa rekam medik yang tidak terisi lengkap status imunisasi DPT dan campak, tidak lepas dari teknik pengambilan sampel hal ini dapat diatasi hingga jumlah sampel terpenuhi. 169

170 2. Coding Pengkodean dilakukan dengan ketentuan: jika status imunisasi lengkap diberikan kode 1 dan jika tidak lengkap diberikan kode 0. Demikian halnya untuk ISPA diberi kode 0 dan jika tidak ISPA diberikan kode 1 3. Entry data Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master atau database komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi. Entry data penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS versi Cleaning Data Data yang telah di entry dicek kembali untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan, baik kesalahan dalam pengkodean maupun dalam membaca kode. Hal ini terbukti dimana terdapat data yang kosong dan salah pengkodean sehingga tidak dapat dianalisis untuk mendeteksi kesalahan ini penulis mengunakan bantuan Microsoft office (exel). Setelah kesalahan ditemukan kemudian diperbaiki hingga benar dan layak untuk dianalisis. Analisa Data Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data menurut Sugiyono (2011) yaitu: mengelompokkan data berdasarkan variabel, mentabulasi data tiap variabel yang diteliti dan melakukan perhitungan untuk menjawab hipotesis yang telah diajukan. Analisis menggunakan uji statistic Chi Square (X 2 ). Analisa statistik ini dilaksanakan dengan bantuan perangkat lunak program komputer (SPSS versi 17) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tabel IV-1. Gambaran Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 ISPA n persen Ya ,8 Tidak 92 32,2 Jumlah Sumber : Kohort MTBS Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Tabel IV-2. Gambaran Status Imunisasi DPT pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Status Imunisasi DPT n persen Tidak Lengkap ,8 Lengkap 75 26,2 Jumlah Sumber : Rekam Medik Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Tabel IV-3. Gambaran Status Imunisasi Campak pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Status Imunisasi Campak n persen Tidak ,6 Ya 84 29,4 Jumlah Sumber : Rekam Medik Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun

171 Tabel IV-4. Hubungan Status Imunisasi DPT dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Status Imunisasi DPT ISPA Total P Value Ya Tidak n persen n persen n persen 0,0005 Tidak Lengkap , , ,78 Lengkap 22 7, , ,22 Total , , Tabel IV-5. Hubungan Status Imunisasi Campak dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Status Imunisasi ISPA Total P Value Campak Ya Tidak n persen n persen n persen 0,0005 Tidak , , ,63 Ya 28 9, , ,37 Total , , Pembahasan Analisa Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Hasil penelitian menunjukan lebih banyak balita menderita ISPA. Hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada balita (>35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah. Di Jawa Barat kejadian ISPA berada di angka 24,73%. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Dari angka-angka di rumah sakit Indonesia didapat bahwa 40% sampai 70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 2008), sebanyak 40-60% kunjungan pasien ISPA berobat ke puskesmas dan 15-30% kunjungan pasien ISPA berobat ke bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes RI, 2008).Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Depkes (2008) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab ISPA pada balita adalah status imunisasi yang tidak lengkap. Penelitian Sumargono (2009) membuktikan bahwa imunisasi mempengaruhi terjadinya kejadian ISPA ringan, sedangkan kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya ISPA sedang. Analisa Status Imunisasi DPT pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon ibu balita terhadap program imunisasi masih relatif rendah. Rendahnya respon tercermin pada masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi bayi dari berbagai antigen yang ada Tingkat cakupan imunisasi dari 5 antigen yang ada, diantara 5 antigen tersebut salah satunya adalah cakupan imunisasi DPT. Menurut data dari umpan balik program kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat tahun 2010 menunjukan bahwa cakupan imunisasi DPT untuk Propinsi Jawa Barat sebesar 45,5% dan untuk Kabupaten Bogor cakupan imunisasi DPT sebesar 46,7% (DinKes Jabar, 2010). Faktor-faktor yang mepengaruhi cakupan imunisasi adalah sebagai berikut : adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah sebelum berusia 1 bulan, masih adanya keengganan ibu bayi untuk mengimunisasi karena takut resiko sakit pada anak, jarak rumah dengan tempat pelayananan imunisasi dan kurang tetapnya jadwal imunisasi pada posyandu-posyandu tertentu (Chandra,2011). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan lebih banyak balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi mempunyai status imunisasi DPT tidak lengkap. Hal ini disebabkan pada saat dilakukan penelitian banyak ibuibu yang mengeluhkan suhu tubuh anaknya naik setelah diberikan imunisasi DPT, padahal demam ringan setelah imunisasi DPT merupakan efek samping yang ringan yang disebabkan oleh komponen pertusis. Cakupan imunisasi DPT di Puskesmas Cileungsi dapat ditingkatkan apabila diberikan pemahaman tentang imunisasi DPT kepada ibu-ibu yang memiliki bayi 0-11 bulan bahwa terjadinya demam setelah imunisasi DPT merupakan efek samping ringan dan demam tersebut dapat diturunkan dengan memberikan asetaminofen. Analisa Status Imunisasi Campak pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Program imunisasi di Indonesia dimulai sejak 33 tahun silam atau tepatnya 1977, hingga sekarang baru mencakup sekitar 80% desa dan kelurahan. Masih banyak daerah yang belum mendapatkan imunisasi yang salah satunya adalah imunisasi campak. Menurut data dari laporan umpan balik program kesehatan Propinsi Jawa Barat menunjukan bahwa cakupan imunisasi campak untuk Propinsi Jawa Barat sebesar 44,2% dan untuk Kabupaten Bogor cakupan imunisasi DPT sebesar 46% (Dinkes Jabar, 2010). Menurut Menteri Kesehatan 171

172 (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih, meskipun Indonesia sejak tahun 1990 telah mencapai status Universal Child Immunization (UCI), yakni tahap di mana cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah mencapai 80 % Salah satu kendala yang dihadapi dalam cakupan imunisasi ini adalah setelah penerapan desentralisasi ada pemerintah daerah (pemda) yang tidak menempatkan imunisasi sebagai prioritas dalam alokasi anggarannya kekuatan komitmen antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dukungan biaya operasional, dan sumber daya lainnya di pemerintah daerah padahal pemerintah pusat telah menyediakan vaksin, alat suntik, dukungan rantai dingin atau cold chain untuk seluruh Indonesia dan menyediakan Biaya Operasional Kesehatan (BOK) untuk seluruh puskesmas. Faktor lainnya yang menyebabkan cakupan imunisasi campak masih rendah adalah kurang partisipasi masyarakat karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat imunisasi campak yaitu dapat mencegah penyakit campak (Andika,2011). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan lebih banyak balita tidak memperolah imunisasi campak. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan penelitian banyak ibu-ibu yang memiliki balita yang kurang mengetahui tentang manfaat imunisasi campak karena ibu-ibu yang memilki balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi memiliki pendidikan yang rendah data ini diperoleh dari laporan tahunan Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2011 sehingga banyak ibu-ibu yang tidak membawa anaknya ke puskesmas atau posyandu untuk memperoleh imunisasi campak kepada anaknya sehingga cakupan imunisasi campak di Puskesmas di Kecamatan Cileungsi rendah, dalam hal ini diperlukan peranan petugas pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi mendalam tentang imunisasi campak agar ibu-ibu memiliki kesadaran tentang pentingnya imunisasi campak. Analisa Status Imunisasi DPT dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi DPT menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita ISPA yang mendapatkan imunisasi DPT lengkap dan tidak lengkap, dan bermakna secara statistis. Menurut penelitian yang dilakukan Tupasi (1985, dalam Suhandayani, 2007) menyebutkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi DPT berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sievert pada tahun 1993 menyebutkan bahwa status imunisasi DPT yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti mencegah kejadian ISPA (Suhandayani, 2007). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori Prabu (2009), secara umum terdapat 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Pada faktor individu anak, faktor risikonya terdiri dari : umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi dan menurut teori Maryunani (2010: 16) yaitu sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri dan pertusis, maka peningkatan cakupan imunisasi DPT akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Berdasarkan hasil penelitian bahwa status imunisasi DPT berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi, hal ini dikarenakan vaksin DPT mengandung taksoid difteri, taksoid tetanus dan bakteri bordetalla pertusis, bakteri yang terkandung dalam vaksin DPT merupakan bakteri penyebab ISPA sehingga balita yang memiliki status imunisasi DPT lengkap memiliki kekebalan terhadap penyakit ISPA. Pada saat dilakukan penelitian lebih banyak balita yang menderita ISPA di Puskesmas Kecamatan Cileungsi memiliki status imunisasi DPT tidak lengkap hal ini menyebabkan angka kejadian ISPA tinggi pada balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi, hal ini dikarenakan balita yang mempunyai status imunisasi DPT tidak lengkap tidak memliki kekebalan terhadap penyakit ISPA. Oleh karena itu imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada bayi karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya. Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Analisa Status Imunisasi Campak dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi Tahun 2012 Tingginya angka kejadian penyakit ISPA tidak terlepas dari masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi pada balita dan salah satu cakupan imunisasi pada balita yang berpengaruh terhadap penyakit ISPA adalah cakupan imunisasi campak. Rendahnya cakupan imunisasi campak di Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 44,2% dan untuk Kabupaten Bogor cakupan imunisasi campak sebesar 46% (Dinkes Jabar, 2010). Rendahnya cakupan ini telah memberikan pengaruh yang cukup berarti pada tingginya kejadian ISPA di daerah ini. Data ini pula membuktikan bahwa ada hubungan yang cukup berarti antara rendahnya cakupan imunisasi campak dengan tinginya kejadian yang ISPA (Jamaludin,2012). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori Shaleh (2008:276) yaitu penekanan angka kejadian ISPA dapat dilakukan dengan meningkatkan cakupan imunisasi yaitu imunisasi campak karena ISPA yang sering menyebabkan kematian pada balita berasal dari jenis ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi campak 172

173 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada hubungan antara status imunisasi campak dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi, hal ini dikarenakan ISPA yang terjadi balita berasal dari jenis ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi campak hal ini disebabkan ISPA sama seperti gejala awal penyakit campak yaitu demam dan flu sehingga peningkatan cakupan imunisasi campak dapat menekan angka kejadian ISPA pada balita. Balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak tidak memliki kekebalan terhadap penyakit ISPA sehingga balita tersebut akan mudah terserang penyakit ISPA karena imunisasi campak bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit yang berbahaya seperti pneumonia yang merupakan jenis penyakit ISPA yang dapat menyebabkan kematian. 4. KESIMPULAN Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa status imunisasi DPT dan imunisasi campak merupakan salah satu faktor pencetus tingginya angka kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Cileungsi. Saran 1. Bagi Puskesmas Kecamatan Cileungsi a. Sumber Daya Alat Diharapkan dapat menyediakan Sumber Daya Alat seperti vaksin dan spuit agar target pencapaian imunisasi dasar sebesar 100% dapat tercapai. b. Sumber Daya Manusia Diharapkan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Kecamatan Cileungsi agar melakukan survey faktorfaktor yang menyebabkan ketidaklengkapan status imunisasi DPT dan campak di Puskesmas Kecamatan Cileungsi dan memberikan pengetahuan yang mendalam tentang manfaat imunisasi DPT dan Campak kepada masyarakat terutama para ibu yang memiliki bayi dan balita. c. Manajemen Terpadu Balita Sakit Diharapkan bagi bidan yang bertugas di bagian MTBS pada khususnya dan seluruh bidan pada umumnya agar melakukan pemeriksaan mendalam apakah penyakit yang diderita pasien tersebut termasuk difteri/pertusis atau ISPA bukan pneumonia atau ISPA pneumonia dengan membuat indikator anamnesa/pemeriksaan sesuai formulir MTBS 2. Bagi institusi pendidikan Pencapaian tujuan pembelajaran dalam kurikulum khususnya imunisasi dan ISPA harus 100%. Hal ini mewujudkan kemampuan mahasiswa sebagai calon tenaga kesehatan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat dan melakukan tindakan imunisasi DPT dan Campak khususnya dan seluruh imunisasi pada umumnya. 5. DAFTAR PUSTAKA Abdul Faktor resiko kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe. Budianto,W Tesis: Analisis Hubungan Kualitas Udara Ambien dengan Hidayat, A.A.2009.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Medika.Jakarta. Kejadian Penyakit ISPA. Kebidanan.Salemba.2011.Metode Penelitian Kebidanan dan Tekhnik Analisis Data.Salemba Medika.Jakarta. Rama, M Panduan Lengkap Kesehatan Mengenal, Mencegah dan Infeksi.Citra Pustaka.Yogyakarta. Maryunani, A.2010.Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan.Trans Info Media. Mufidah,F.2012.Cermati Penyakit-Penyakit yang Rentan Diderita Anak Usia Notoatmodjo,S.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.PT.Rineka Cipta.Jakarta. Nursalam.2008.Metode Penelitian Kesehatan.Salemba Medika.Jakarta. Mengobati Penularan Penyakit dari Jakarta. Sekolah.Flashbook.Jogjakarta. Sulfitra, Tesis : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap di Indonesia(Analisis Data SDKI ). Saydam,G.2011.Memahami Berbagai Penyakit (Penyakit Pernapasan dan Gangguan Pencernaan.Alfabeta.Bandung. 173

174 Sugiyono.2011.Metode Penelitian Pendidikan.Alfabeta.Bandung. Depkes Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes RI, Jakarta. Yogie.2009.Indonesia Sehat 2025http://yoghiepratama.blogspot.com/2009/07/indonesia-sehat-2025.html diunduh pada tanggal 02/07/12 pukul wib Anne.2010.Cara Perawatan Bayi dan Balita diunduh pada tanggal 02/07/2012 pukul wib Augusta.2012.Pengertian Data diunduh pada tanggal 02/ pukul wib Doni.2012.Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Status Imunisasi DPT I http : kti-skripsi-keperawatan.blogspot.com/2012/07/gambaran-tingkat-pengetahuan-ibu_09 html.diunduh pada tanggal 14/08/2012 pukul wib Sholehah.2011.Imunisasi DPT diunduh pada tanggal 14/08/2012 pukul

175 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI SUNTIK PADA AKSEPTOR KB DI BPS JENDA GINTING KECAMATAN JAGAKARSA TAHUN 2014 Tetty R.A 1, Marni K 1, Lenny S 1, Niki W 2, Emma K 2 1 Program Studi D3 Kebidanan, STIKes Medistra Indonesia tetty_art@yahoo.com 2 Program Studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya ABSTRAK- Pencapaian target pemerintah DKI Jakarta mengenai akseptor KB yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang masih rendah yaitu sebesar 18,01% dari jumlah target 60% dan angka ini didominasi oleh akseptor KB suntik sebanyak akseptor dari akseptor. Tujuan Penelitian: untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB. Metode penelitian yang digunakan bersifat analitik, jumlah populasi 222 orang, sample 69 orang, sample random sampling. Penelitian ini menggunakan analisis bivariat dengan uji chi square. Hasil penelitian didapat tidak ada hubungan antara umur dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik dengan nilai p = 0,774, tidak ada hubungan antara pendidikan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB dengan nilai p = 1,000, tidak ada hubungan antara paritas dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB dengan nilai p = 1,000, tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB dengan nilai p = 0,348, ada hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB dengan nilai p = 0,0005. Dapat disimpulkan bahwa dari hasil penelitian ini hanya faktor pengetahuan yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik, sedangkan faktor umur, pendidikan, paritas dan dukungan suami tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB. Kata Kunci : Kontrasepsi, suntik, akseptor KB 1. LATAR BELAKANG Laju kepadatan penduduk Indonesia diperkirakan 216 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan pada tahun 2004 diperkirakan 112 jiwa per km 2. Jumlah penduduk propinsi DKI Jakarta pada tahun 2008 yaitu sebesar jiwa, sedangkan kepadatan penduduk yaitu sebesar jiwa/km 2. Dengan jumlah laki-laki sebesar jiwa dan jumlah pendududk permpuan jiwa (SDKI, 2004). Salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk adalah melalui program Keluarga Berencana (KB). Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan keluarga dalam memberikan nasehat perkawinan, pengobatan kemandulan dan penjarangan kehamilan, pembinaan ketahanan keluarga, meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, serta untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Depkes RI, 2003). Keluarga kecil yang bahagia dicanangkan dengan adanya program KB pada awal 1970, tercatat angka kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) turun dari 5,61 per Pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 1971 menjadi 2,78 per PUS pada tahun Demikian juga dengan jumlah peserta KB meningkat terus dari pada awal program hingga 27 juta akseptor pada awal tahun Keberhasilan program KB di Indonesia tidak bisa lepas dari peran dan partisipasi perempuan dan ibu rumah tangga. Namun sangat disayangkan ketika melihat angka partisipasi pria, jumlahnya sangat minim (BKKBN, 2003). Adanya program KB diharapkan ada keikutsertaan dari seluruh pihak dalam mewujudkan keberhasilan KB di Indonesia. Program KB yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga kecil sejahtera yang serasi dan selaras dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kebijakan operasional dikembangkan berdasarkan empat misi gerakan KB Nasional yaitu pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteran keluarga, yang selanjutnya secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi pelayanan kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi keluarga dan ketahanan keluarga gerakan KB Nasional (Depkes RI, 2003). Di Indonesia jumlah seluruh akseptor KB terhitung bulan Maret 2010 yaitu sebesar jiwa, dengan akseptor KB IUD sejumlah jiwa, MOW jiwa, MOP jiwa, Kondom jiwa, Implant jiwa, Suntikan jiwa, PIL jiwa ( diakses tanggal 5 Juni 2010). Di propinsi DKI Jakarta terdapat jiwa sebagai akseptor KB terhitung sejak bulan Maret Yang menggunakan IUD (4.621 jiwa), MOW (288 jiwa), MOP (155 jiwa), Kondom (2.167 jiwa), implant (1.462 jiwa), Suntik ( jiwa), dan PIL (9.323 jiwa).( diakses tanggal 5 Juni 2010). Keikutsertaan akseptor KB di DKI Jakarta yaitu sebanyak jiwa. Pencapaian akseptor KB di DKI Jakarta untuk metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) aktif cakupannya sebesar 18,01 % dari seluruh jumlah akseptor KB, sedangkan target MKJP sebesar 60% untuk metode non MKJP yang aktif sebesar 81,44%. Data 175

176 tersebut menunjukan masih rendahnya pencapaian akseptor MKJP dibandingkan dengan akseptor non MKJP dari total keseluruhan, sehingga masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi. Salah satu alat kontrasepsi non MKJP yang banyak dipilh oleh akseptor KB adalah kontrasepsi suntik (Dinas Kesehatan DKI Jakarata, 2010). Kontrasepsi suntikan adalah cara untuk mencegah terjadinya kehamilan dengan melalui suntikan hormonal. Kontrasepsi hormonal jenis KB suntikan ini di Indonesia semakin banyak dipakai karena kerjanya yang efektif, pemakaiannya yang praktis, harganya relatif murah dan aman. Tujuan Penelitian: untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB. 2. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu menganalisis hubungan umur, pendidikan, paritas, dukungan suami dan pengetahuan terhadap penggunaan alat kontrasepsi suntik di BPS Jenda Ginting Kecamatan Jagakarsa. Populasi pada penelitian ini ialah seluruh akseptor KB aktif bulan Juni tahun 2014 yaitu sejumlah 222 orang. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 69 orang, Teknik sampling yang di gunakan dalam adalah simple random sampling. Variabel dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, paritas, dukungan suami dan pengetahuan dengan akseptor KB pengguna alat kontrasepsi suntik. Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan mengumpulkan langsung dari responden / sampel oleh peneliti dengan menggunakan kuesioner, selain itu menggunakan daftar register dan rekam medik responden untuk mengetahui alat kontrasepsi yang digunakan. Analisis dengan menggunakan uji Chi Squre untuk mengetahui hubungan umur, pendidikan, paritas, dukungan suami dan pengetahuan terhadap penggunaan alat kontrasepsi suntik di BPS Jenda Ginting Kecamatan Jagakarsa. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Hubungan Umur dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik di BPS Jenda Ginting Tahun 2014 Umur Suntik Ya Tidak Total % f % f % < 20 tahun P Value tahun 35 50, , ,8 0,774 > 35 tahun 10 14,5 6 8, ,2 Total 45 65, , Berdasarkan tabel diatas akseptor KB terbanyak ditemukan pada kelompok umur tahun yang menggunakan alat kontrasepsi suntik yaitu sebanyak 35 orang (50,7%). Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai P value yaitu 0,774 sedangkan α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P>α (0,774>0,05) kesimpulannya H0 diterima artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara umur akseptor KB suntik dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Tabel 2. Hubungan Pendidikan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik Di di BPS Jenda Ginting Tahun 2014 Pendidikan Suntik Ya Tidak Total % f % f % Rendah 16 23,2 8 11, ,8 Tinggi 29 42, , ,2 Total 45 65, , P Value 1,000 Berdasarkan tabel diatas akseptor KB suntik terbanyak ditemukan pada kelompok ibu dengan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 29 orang (42%). Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai P value yaitu 1,000 sedangkan α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P>α (1,000>0,05) kesimpulannya H0 diterima artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan akseptor KB suntik dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. 176

177 Tabel 3. Hubungan Paritas dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik Di di BPS Jenda Ginting Tahun 2014 Suntik Paritas Ya Tidak Total % P Value F % f % Primipara 16 23,2 8 11, ,8 Multipara , ,2 1,000 Grandemultipara Total 45 65, , Berdasarkan tabel diatas akseptor KB suntik terbanyak ditemukan pada kelompok ibu multipara sebanyak 29 orang (23,2%). Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai P value yaitu 1,000 sedangkan α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P>α(1,000>0,05) kesimpulannya H0 diterima artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara paritas akseptor KB suntik dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Tabel 4. Hubungan Dukungan Suami dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik Di BPS Jenda Ginting Tahun 2014 Dukungan suami Suntik Ya Tidak Total % f % F % Ada 45 65, , ,5 PValue Tidak Ada ,5 1 1,5 0,348 Total 45 65, , Berdasarkan tabel diatas dari seluruh akseptor KB suntik yang mendapatkan dukungan suami sebanyak 45 orang (65,2%). Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai P value yaitu 0,348 sedangkan α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P>α (0,348>0.05) kesimpulannya H0 diterima artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan ibu yang menggunakan alat kontrasepsi suntik. Tabel 5. Hubungan Pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik Di di BPS Jenda Ginting Tahun 2014 Pengetahuan Suntik ya Tidak Total % f % f % Kurang 29 42,0 4 5, ,8 Cukup 9 13, , ,7 Tinggi 7 10,1 5 7, ,5 Total 45 65, , P Value 0,0005 Berdasarkan tabel diatas akseptor KB suntik terbanyak ditemukan pada ibu dengan pengetahuan kurang sebanyak 29 orang (42%). Hasil perhitungan statistik didapatkan nilai P value yaitu 0,0005 sedangkan α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P<α (0,0005<0,05) kesimpulannya H0 ditolak artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan akseptor KB suntik tentang penggunaan alat kontrasepsi suntik. 4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur akseptor KB suntik dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Usia di bawah 35 tahun berpeluang dua kali untuk memilih kontrasepsi suntik ( diakses tanggal 14 Juni 2010). Pada umumnya umur akan mempengaruhi seseorang dalam menentukan pemilihan alat kontrasepsi karena 177

178 biasanya ibu dengan usia muda (baru pertama kali menggunakan alat kontrasepsi) akan cenderung memilih alat kontrasepsi yang kebanyakan orang pakai ( diakses tanggal 14 Juni 2010). Hal ini berarti bahwa faktor umur tidak berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Ini menunjukan bahwa ibu yang memiliki umur lebih tua biasanya memiliki pengalaman sebelumnya dalam menggunakan alat kontrasepsi. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat. Seseorang yang lebih dewasa akan lebih percaya diri dari orang yang belum cukup kedewasaannya. Tidak hanya itu seorang ibu yang menggunakan alat kontrasepsi suntik biasanya merasa lebih nyaman karena cara pemakaian suntik lebih mudah hanya dengan disuntik setiap bulan dapat mengatur jarak kehamilan yang diinginkan. Ibu yang memiliki pengalaman sebelumnya menggunakan kontrasepsi suntik akan memakai kontrasepsi suntik lagi karena sudah merasa cocok dan tidak ingin pindah dengan kontrasepsi lain. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan akseptor KB suntik dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga diharapkan makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Dapat diartikan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup ( diakses tanggal 14 Juni 2010). Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa pendidikan yang rendah selalu bergandengan dengan informasi dan pengetahuan yang terbatas. Pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang tidak peduli terhadap program kesehatan. Rendahnya pendidikan berpengaruh pada perilaku ibu dalam memilih alat kontrasepsi, dengan pendidikan yang rendah memperlihatkan pola pikir mereka masih rendah sehingga mereka berperilaku sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka belum bisa menerima pengetahuan baru tentang metode kontrasepsi yang modern ( unimus.ac.id diakses tanggal 14 Juni 2010). Tidak ada hubungan yang signifikan antara paritas akseptor KB suntik dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Hal ini berarti bahwa faktor paritas tidak ada hubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Hal ini menunjukan bahwa seorang ibu yang pernah melahirkan sebelumnya dan pernah menggunakan alat kontrasepsi suntik dan ia merasa tidak cocok ia tidak ingin memakai alat kontrasepsi suntik lagi. Ada juga ibu yang baru melahirkan pertama kali mereka langsung ingin menggunakan alat kontrasepsi suntik setelah menyusui 6 bulan, mereka yakin bahwa alat kontrasepsi suntik adalah alat kontrasepsi yang paling baik karena banyak orang-orang yang memakai alat kontrasepsi tersebut, dan mereka juga banyak mendapatkan informasi tentang suntik dari ibu-ibu yang pernah menggunakan suntik. Tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan penggunaan suntik pada akseptor KB. Dukungan suami mengenai KB cukup kuat pengaruhnya dalam penggunaan metode kontrasepsi untuk istrinya khususnya dalam pemilihan kontrasepsi dan menjadi akseptor KB ( diakses tanggal 14 Juni 2010). Hal ini berarti bahwa faktor dukungan suami tidak ada hubunganya dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Hal ini menunjukan bahwa pada dasarnya seorang suami hanya memberikan dukungan/motivasi terhadap istrinya dalam penggunaan alat kontrasepsi, suami tidak berhak untuk menentukan jenis alat kontrasepsi yang digunakan oleh istrinya. Seorang istri memiliki hak penuh terhadap kesehatan dirinya termasuk juga dalam menggunakan alat kontrasepsi. Seorang suami yang mendukungan istrinya untuk menggunakan alat kontrasepsi akan peduli terhadap istrinya seperti mengingatkan istri untuk jadwal penyuntikan selanjutnya, mengantarkan istri ketempat pelayanan KB dan sebagainya. Tetapi, tidak hanya itu, seorang suami juga dapat berperan serta dalam program keluarga berencana, seperti memakai alat kontrasepsi pada pria. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Seorang ibu yang memiliki pengetahuan baik akan lebih tahu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menjarangkan kelahiran anak dan juga para ibu sudah banyak mendapat informasi dari dokter, bidan dan petugas kesehatan lainnya tentang kontrasepsi suntikan. Seorang yang memiliki pengetahuan baik akan cenderung memilih alat kontrasepsi yang sesuai dan cocok digunakannya karena, dengan pengetahuan yang baik seseorang akan lebih mudah menerima informasi terutama tentang alat kontrasepsi. Sejalan pendapat dari Nursalam dan Siti Priyani (2002) yang mengatakan bahwa pada umumnya pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pendidikan yang pernah diterima, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Hal ini berarti bahwa faktor pengetahuan berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Hal ini menunjukan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan baik akan lebih memahami tentang keadaan dirinya dan akan berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya, termasuk juga dalam menggunakan alat kontrasepsi. Ibu yang memiliki pengetahuan kurang cenderung menggunakan alat kontrasepsi hormonal seperti suntik, yang 178

179 diketahui bahwa suntik adalah salah alat kontrasepsi yang mudah digunakan dan praktis sehingga ibu-ibu lebih sering menggunakan alat kontrasepsi suntik tanpa melihat efek dari penggunaan kontrasepsi suntik. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor umur, pendidikan, paritas dan dukungan suami dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB Ada hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik pada akseptor KB. Saran Peneliti menyarankan: 1) Agar petugas kesehatan lebih meningkatakan penyuluhan bagi ibu-ibu tentang bagaimana pemilihan alat kontrasepsi yang benar dan penyuluhan mengenai pengetahuan tentang kontrasepsi KB. Serta memberikan informed consent sebagai persetujuan akseptor dalam menggunkan kontrasepsi, 2) Memperhatikan alasan akseptor dalam memilih alat kontrasepsi dengan benar-benar memperhatikan latar belakang kesehatannya dan memberikan informasi yang bersifat pendapat bagi akseptor dalam memilih alat kontrasepsi, serta memberikan penjelasan mengenai efek samping, kuntungan, cara kerja serta cara pemakaian dari alat kontrasepsi yang digunakan. 6. DAFTAR PUSTAKA Hidayat,A.A. Metode Penelitian Kebidanan dan Tehnik Analisa. Jakarta: Salemba Medika BKKBN. Angka pengguna akseptor KB.2003 Depkes RI. Program KB.2003 Santoso, Gempur. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka Hartanto, Hanafi. Keluarga Berencana dan Kontresepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.2004 Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Jakarta: YBP-SP Kamus Besar Bahasa Indonesia Maemunah. Kamus Istilah Kebidanan. Jakarta: EGC Mardalis Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara. Nursalam dan Pariani. Pendekatan Praktek Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka SDKI. Jumlah Penduduk Indonesia Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Hastono, Sutanto Priyo. Analisa Data Kesehatan. Depok: FKM UI.2007 Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta: Gajah Mada University Widyastuti, Yani. Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Fitramaya diakses tanggal 14 Juni diakses tanggal 14 Juni diakses tanggal 14 Juni

180 HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG DISMENOREA DENGAN PENANGANAN NON FARMAKOLOGIK PADA REMAJA PUTRI DI SMK BUNDA AUNI BEKASI TAHUN 2015 Tetty R.A 1, Emma 2, Nelil Mudaris 3, Lenny S 1, Ari 4, Niki W 2,Marni K 1 1 Program Studi D3 Kebidanan, STIKes Medistra Indonesia tetty_art@yahoo.com 2 Program Studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Jawa Barat 3 Akademi Kebidanan Bunda Auni Abstrak- Dismenorea atau nyeri haid merupakan gangguan yang menyertai haid berupa nyeri perut bagian bawah yang terkadang nyeri tersebut meluas hingga ke pinggang, punggung bagian bawah dan paha. Sebanyak 14% dalam sebulan remaja tidak masuk sekolah karena mengalami gangguan-ganguan yang disebabkan dismenorea. Tingkat pengetahuan yang kurang tentang dismenorea akan mempengaruhi penanganan dismenorea, seperti penanganan nonfarmakologik dismenorea yang kurang baik. Untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan tentang dismenorea dengan penanganan non farmakologi pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 113 remaja putri awal dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara random sampling dengan jenis simple random sampling. Data diuji dengan uji korelasi Chi Square. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang dismenorea diketahui bahwa sebanyak 82 (72.6%) remaja putri memiliki pengetahuan kurang baik dan, sebanyak 31 (27.4%) remaja putri memiliki pengetahuan yang baik tentang dismenorea. Distribusi frekuensi penanganan secara non farmkologik terdapat 21 (18,6%) remaja putri yang memiliki penanganan yang kurang baik, dan 84 (74,3%) remaja putri yang memiliki penanganan yang baik, 8 remaja putri (7,1%) yang memiliki penanganan sangat baik. Analisa hubungan antara tingkat pengetahuan tentang dismenore dengan penanganan non farmakologik didapatkan hasil dari 82 responden memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang dismenohore sebanyak 57 (69.5%) responden melakukan penanganan non farmakologik baik Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang dismenora dengan penanganan non farmakologik pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi 2015 dengan P Value < α (0,034 < 0,05) Kata Kunci: Pengetahuan, Dismenorea, Penanganan Nonfarmakologik 1. LATAR BELAKANG Pendidikan Masa remaja berada pada rentang usia tahun yang merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan. Pada rentang waktu ini terjadi pertumbuhan fisik yang cepat, termasuk pertumbuhan serta kematangan dari fungsi organ reproduksi (Tim Penulis Poltekkes Depkes, 2010). Secara fisiologis, setiap remaja yang sudah mengalami kematangan dalam organ reproduksi akan mengalami menstruasi, dimana menstruasi merupakan perdarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa organ kandungan telah berfungsi dengan matang (Kusmiran, 2012). Saat menstruasi sebagian wanita dapat mengalami Dismenorea. Dismenorea merupakan gangguan yang menyertai haid berupa nyeri perut bagian bawah yang terkadang nyeri tersebut meluas hingga ke pinggang, punggung bagian bawah dan paha. Wanita yang mengalami disminore memproduksi prostaglandin 10 kali lebih banyak dari wanita yang tidak mengalami dismenorea dan 10% dari wanita yang mengalami disminore mengeluhkan tidak dapat melakukan aktivitas 1 sampai 3 hari dalam satu bulan. Dismenorea tidak selalu disebabkan oleh kelainan organ reproduksi (Wiknjosastro, 2009).Umumnya dismenorea pada remaja disebabkan karena ketidak stabilan hormon tubuh, pola makan yang tidak teratur,kelelahan, dan stress (Shadine, 2010) Hasil penelitian didapatkan angka kejadian dismenorea dari beberapa negara di dunia, seperti di Amerika Serikat 60%, di Swedia 72%, Rafsanjan 85,5%, Gilan 73%, Delhi 40,7%, Gambia 14%, Thailand 42,2%, Nigeria 58%, Kota Meksiko 52,2%, Tehran71% bahkan 15% dari remaja di Tehran tidak masuk sekolah 1 sampai 7 hari dalam setahun karena dismenorea (Journal of community research, 2012). Angka kejadian Dismenorea di Indonesia juga cukup tinggi yaitu sekitar 64.25% (Dinas Kesehatan Jawa Barat,2013) dan angka kejadian dismenorea di beberapa daerah di Indonesia yakni, Semarang 66%, Jakarta 83.5%, Palembang 58.2%.Disminorea mempunyai beberapa dampak negatif diantaranya dalam satu bulan terdapat 14% remaja tidak dapat bersekolah oleh karena gangguan yang disebabkan oleh dismenorea. (Ernawati, 2010) Gangguan yang disebabkan oleh dismenorea dapat ditangani secara non farmakologik diantaranya dengan melakukan pola hidup yang sehat, melakukan teknik relaksasi, berlatih yoga, dan menggunakan terapi herbal. Terapi herbal dapat digunakan dalam penanganan dismenorea secara nonfarmakologik karena mempunyai mekanisme kerja sebagai penguat imun, menurunkan kadar estrogen yang secara bersamaan meningkatkan kadar progesteron yang berguna untuk mengatasi dismenorea dan teknik relaksasi mempunyai 180

181 mekanisme kerja memberi ketenangan dalam tubuh sehingga memberi efek relaksasi terhadap otot-otot yang tegang karena dismenorea (Olivia, 2013). Pernyataan ini dikuatkan oleh Ernawati (2010) bahwa nyeri dismenorea dapat diatasi dengan melakukan teknik relaksasi. Upaya penanganan disminore khususnya yang secara non farmakologik telah dilakukan oleh sebagian remaja namun tiada hasil yang memuaskan. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan para remaja tentang dismenorea dan penanganan nonfarmakologik dismenorea sehingga masih banyak remaja yang belum mengetahui tentang penanganan disminorea secara non farmakologik. Di Indonesia sebagian besar remaja yang mengalami dismenorea mengatasinya dengan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit tanpa mengetahui dosis, kandungan dan efek samping dari obat tersebut dan mengkonsumsi jamu instan yang sudah siap dalam kemasan botol. Penggunaan obat penghilang rasa sakit dapat mengakibatkan gangguan gastrointestinal, reaksi hematologi dan kulit sedangkan penggunaan jamu instan dapat mengakibatkan ketagihan dan beberapa orang yang mempunyai riwayat alergi tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi jamu instan karena akan menimbulkan alergi (Health Kompas, 2012). Tujuan penelitian ini yaitu (1) untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan tentang dismenorea pada remaja putri (2) untuk mengidentifikasi penanganan nonfarmakologik dismenorea pada remaja putri (3) untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan tentang dismenorea dengan penanganan nonfarmakologik pada remaja putri 2. METODE Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik, dengan menggunakan pendekatan cross sectional dimana peneliti mengamati hubungan antar variabel waktu. Rancangan cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara faktor risiko/ paparan dengan penyakit (Hidayat, 2011). Populasi dalam penelitian adalah 158 remaja putri usia tahun di SMK Bunda Auni Bekasi. Pengambilan sampel secara simple random sampling. Sampel yang digunakan yaitu 113 remaja putri. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tabel 1.Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang dismenorea pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi 2015 No Pengetahuan F % 1 Kurang Baik 82 72,6 2 Baik 31 27,4 Total Dari tabel diatas, distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang dismenorea dapat diketahui bahwa sebanyak 82 (72.6%) remaja putri memiliki pengetahuan kurang baik tentang dismenorea, dan terdapat 31 (27.4%) remaja putri awal memiliki pengetahuan yang baik Tabel 2. Distribusi frekuensi penanganan non farmakologik pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi 2015 No Penanganan F % 1 Kurang Baik Baik Sangan Baik Total Distribusi frekuensi penanganan dismeorea secara non farmakologik pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi menunjukkan dari 113 remaja putri terdapat 21 remaja putri (18,6%) yang memiliki penanganan yang kurang baik, 84 remaja putri (74,3%) yang memiliki penanganan yang baik, 8 remaja putri (7,1%) yang memiliki penanganan yang sangat baik. 181

182 Tabel 3. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Dismenorea dengan Penanganan Nonfarmakologik pada Remaja Putri di SMK Bunda Auni 2015 Pengetahuan Tentang Dismenorea Penanganan Nonfarmakologik Dismenorea Kurang Baik Baik Sangat Baik Total P Value F % F % F % F Kurang baik % % 5 6.1% Baik 1 3.2% % 3 9.7% Total % % 8 7.1% 113 Diperoleh p value = 0,034 dengan nilai kemaknaan lebih kecil dari nilai α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 gagal ditolak, dimana hasilnya menunjukan bahwa ada Hubungan tingkat pengetahuan tentang dismenorea dengan penanganan nonfarmakologik pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi Tahun Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan dismenorea secara nonfarmakologik yang kurang baik disebabkan oleh tingkat pengetahuan remaja putri yang kurang tentang dismenorea. Sehingga menyebabkan gangguan-gangguan yang diakibatkan oleh dismenorea tidak cepat tertangani dan mengakibatkan remaja putri tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Remaja putri akan melakukan penanganan nonfarmakologik yang baik jika mendapatkan pengetahuan yang baik tentang dismenorea, sebaliknya remaja putri akan melakukan penanganan nonfarmakologik yang kurang baik jika memiliki pengetahuan yang kurang baik. Gangguan yang disebabkan oleh dismenorea dapat ditangani secara non farmakologik diantaranya dengan melakukan pola hidup yang sehat, melakukan teknik relaksasi, berlatih yoga, dan menggunakan terapi herbal. Terapi herbal dapat digunakan dalam penanganan dismenorea secara non farmakologik karena mempunyai mekanisme kerja sebagai penguat imun, menurunkan kadar estrogen yang secara bersamaan meningkatkan kadar progesteron yang berguna untuk mengatasi dismenorea dan teknik relaksasi mempunyai mekanisme kerja memberi ketenangan dalam tubuh sehingga memberi efek relaksasi terhadap otot-otot yang tegang karena dismenorea (Olivia, 2013). Pernyataan ini dikuatkan oleh Ernawati (2010) bahwa nyeri dismenorea dapat diatasi dengan melakukan teknik relaksasi. 4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan (1) Distribusi frekuensi pengetahuan tentang dismenorea pada remaja putri awal di SMK Bunda Auni Tahun 2015 menunjukkan 82 (72.6%) remaja putri memiliki pengetahuan kurang baik tentang dismenorea, dan terdapat 31 (27.4%) remaja putri memiliki pengetahuan yang baik. (2) Distribusi frekuensi penanganan non farmakologik pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2015 menunjukkan 21 (18.6%) remaja putri yang memiliki penanganan yang kurang baik, 84 (74.3%) remaja putri yang memiliki penanganan yang baik, 8 remaja putri (7.1%) yang memiliki penanganan yang sangat baik. (3)Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang dismenorea dengan penanganan non farmakologik pada remaja putri di SMK Bunda Auni Bekasi 2015 dengan p value < α (0,034<0,05) Saran (1)Bagi pelayanan kesehatan yaitu Bekerjasama dengan sekolah untuk melakukan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi khususnya penanganan nonfarmakologik dismenorea (2) bagi institusi pendidikan yaitu Dengan dilakukan penelitian ini, disarankan untuk mengadakan seminar tentang kesehatan reproduksi sehingga dapat meningkatkan pengetahuan remaja putri (3) Bagi penelitian selanjutnya yaitu Area penelitan diperluas dengan jumlah sample yang lebih banyak sehingga hasil yang di peroleh lebih bagus, Hasil penelitan ini dapat digunakan sebagai data penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan tentang dismenorea dengan penanganan nonfarmakologi dismenorea pada remaja putri, dan Analisa data yang digunakan pada penelitian berikutnya tidak terbatas pada analisa univariat dan bivariat, tapi juga menggunakan analisa multivariat yang menghubungkan beberapa variabel independen dengan variabel dependen. 182

183 5. DAFTAR PUSTAKA Budiman Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Salemba Medika Kesehatan. Jakarta: Hidayat, A. Aziz Alimul Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Journal of community research, 2012 Kusmiran, Eny Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo, Soekidjo Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi, Jakarta: Rineka Cipta Nursalam Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Olivia, Femi Mengatasi Gangguan Haid. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Putra, Sitiatava, Rizema Panduan Riset Keperawatan dan Penulisan Ilmiah. Jogjakarta: D-Medika Shadine, Mahnnad Penyakit Wanita.Yogyakarta: Citra Pustaka Yogyakarta. Widyastuti, Yani Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya Wiknjosastro, Hanifa Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Apriani, Kiki Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Posyandu di Posyandu Cempaka I Dusun Tenggak Sidoharjo Sragen. ( diunduh 09 September 2013) 183

184 HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG MENARCHE DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWI KELAS 1 DAN 2 DI SMK BUNDA AUNI BEKASI TAHUN 2014 MARNI K 1, TETTY R 1, NELIL M 2 LENNY I 1,, ARI 3 DAN EMMA K 4 1 Program Studi DIII Kebidanan STIKes Medistra Indonesia Bekasi marni_karo@yahoo.com 2 Akademi Kebidanan bunda Auni Bekasi-Bogor 3 Klinik Bakti Tunas Husada Tasikmalaya 4 Program studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Jawa Barat ABSTRAK- Remaja putri ditandai dengan datangnya haid pertama (menarche). Apabila mereka sudah mendapatkan informasi yang benar tentang datangnya menstruasi maka mereka tidak akan mengalami kecemasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi kelas 1-2 di SMK Bunda Auni Tahun Desain penelitian ini adalah Deskriptif Analitik dengan rancangan penelitian Cross Sectional, 173 orang sebagai sampel, dan menggunakan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 46 siswi (26,6%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan ringan, 16 siswi (9,2%) dengan tingkat kecemasan sedang, 8 siswi (4,6%) dengan tingkat kecemasan berat, 2 siswi (1,1%) dengan tingkat kecemasan panik, 4 siswi (2,3%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan ringan, 41 siswi (23,7%) dengan tingkat kecemasan sedang, 18 siswi (10,4%) dengan tingkat kecemasan yang berat, 1 siswi (0,6%) yang memiliki pengetahuan kurang dengan tingkat kecemasan sedang, 36 siswi (20,8%) yang tingkat kecemasan berat, dan 1 siswi (0,6%) dengan tingkat kecemasan panik. Dengan p value = 0,0005 lebih kecil dari α value = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 gagal ditolak, dimana hasil analisanya menunjukkan bahwa ada Hubungan Pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi kelas 1-2 di SMK Bunda Auni Tahun Kata Kunci : Pengetahuan, Menarche, Tingkat Kecemasan 1. PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa yang lebih dewasa. Remaja adalah individu baik laki-laki maupun perempuan yang berada pada masa usia antara anak-anak dan dewasa, yang menurut WHO batasan usianya adalah 10 tahun sampai dengan 19 tahun. (Qonitatin Ulfah, 2009) Berapa tahun terakhir masalah kesehatan reproduksi remaja menjadi kepedulian Nasional karena disadari bahwa remaja dalam hidupnya menghadapi berbagai masalah khusus yang membutuhkan perhatian yang khusus pula. Kebutuhan terhadap kesehatan reproduksi remaja sebenarnya merupakan permasalahan dunia, akan tetapi di negara kita hal ini tidak mendapatkan perhatian yang memadai (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Program kesehatan reproduksi remaja merupakan upaya untuk membantu remaja agar memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap dan perilaku kehidupan reproduksi sehat dan bertanggungjawab. Kesehatan reproduksi ini tidak saja bebas dari penyakit dan kecacatan, namun juga sehat mental dan sosial dari alat, sistem, fungsi serta proses reproduksi (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Data demografi di Amerika Serikat (1990) menunjukkan jumlah remaja berumur tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia, sepertiganya adalah remaja umur tahun. (Maesaroh, 2010). Di Indonesia ada sekitar remaja berusia tahun atau sekitar 30,2% dari total penduduk Indonesia (Widyastuti, 2009). Namun tidak semua remaja di Indonesia menyadari bahwa pada masa remaja terjadi perubahan yang besar. Terjadinya perubahan besar ini umumnya membingungkan remaja yang mengalaminya. Pada saat inilah dalam kehidupan remaja diperlukan perhatian khusus agar mereka mempunyai pengetahuan yang baik tentang perubahan yang dialaminya, sehingga diharapkan mereka mempunyai perilaku yang baik terhadap kesehatan reproduksinya, khususnya pada saat pertama kali menstruasi atau menarche. Saat terjadi menarche, tidak semua remaja memberikan reaksi positif saat mengalaminya. Berk (1993) mengungkapkan, reaksi remaja wanita terhadap datangnya haid pertama (menarche), yaitu reaksi negatif, ketika muncul menstruasi pertama, seorang individu akan merasakan keluhan-keluhan psikologis (sakit kepala, sakit pinggang, mual-mual, muntah) maupun kondisi psikologis yang tak stabil (bingung, sedih, stress, cemas, mudah tersinggung, marah emosional). Reaksi-reaksi tersebut kemungkinan bisa muncul karena ketidaktahuan remaja tentang perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada awal kehidupan seorang remaja wanita dan kurangnya pengetahuan, dimana hal ini bisa disebabkan dari segi fisik dan psikologis remaja yang belum matang, informasi yang kurang dari orang tua menyebabkan timbulnya perasaan cemas dan takut pada remaja ketika menstruasi pertama tiba. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi tkelas 1-2 di SMK Bunda Auni Bekasi

185 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Dimana metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menghubungkan variabel independen dan variabel dependen. Populasi dalam penelitian adalah remaja putri di Akbid Yaleka maro Merauke sebanyak 306 responden pada bulan Februari Pengambilan sampel ini menggunakan teknik pengambilan sampel acak terstratifikasi (stratified random sampling) adalah metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi ke dalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Univariat Variabel pengetahuan tentang menarche pada remaja putri Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan pada Remaja Putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 Pengetahuan Frekuensi Persentasi (%) Baik 72 41,6 Cukup 63 36,4 Kurang 38 22,0 Total Berdasarkan tabel di atas, distribusi frekuensi pengetahuan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan dari 173 remaja putri terdapat 72 remaja putri (41,6%) yang memiliki pengetahuan baik tentang menarche, 63 remaja putri (36,4%) yang memiliki pengetahuan cukup tentang menarche, dan 38 remaja putri (22,0%) yang memiliki pengetahuan kurang tentang menarche.variabel tingkat kecemasan pada remaja putri Tabel.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan pada Siswi di SMK Bunda Auni Tahun 2014 Tingkat Kecemasan Frekuensi Persentasi (%) Ringan 50 28,90 Sedang 58 33,53 Berat 62 35,84 Panik 3 1,73 Total Berdasarkan tabel di atas, distribusi frekuensi tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan dari 173 remaja putri terdapat 50 remaja putri (28,90%) yang memiliki tingkat kecemasan ringan, 58 remaja putri (33,53%) yang memiliki tingkat kecemasan sedang, 62 siswi (35,84%) yang memiliki tingkat kecemasan berat, dan 3 remaja putri (1,73%) yang memiliki tingkat kecemasan panik. Analisa Bivariat Tabel 3. Hubungan Pengetahuan tentang Menarche dengan Tingkat Kecemasan pada Remaja Putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 Pengetahuan Tingkat Kecemasan Total P.Value Ringan Sedang Berat Panik n % n % n % n % n % Baik 46 26,6 16 9,2 8 4,6 2 1, ,6 0,0005 Cukup 4 2, , , ,4 Kurang , ,8 1 0, Total 50 28, , ,8 3 1, Berdasarkan tabel di atas, di dapatkan hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 di peroleh bahwa dari 173 remaja putri, sebanyak 46 remaja putri (26,6%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan ringan, 16 remaja putri (9,2%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan sedang, 8 remaja putri (4,6%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan berat, 2 remaja putri (1,1%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan panik, 4 remaja putri (2,3%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan ringan, 41 remaja putri (23,7%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan sedang, 18 remaja putri (10,4%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan yang berat, 1 remaja putri (0,6%) yang memiliki pengetahuan kurang dengan tingkat kecemasan sedang, 36 remaja putri (20,8%) yang memiliki pengetahuan yang kurang dengan tingkat kecemasan berat, dan remaja putri (0,6%) yang memiliki pengetahuan kurang dengan tingkat kecemasan panik. 185

186 Dan dari hasil uji statistik di dapatkan P value yaitu 0,0005 sedangkan nilai α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P value< α (0,0005<0,05). Jadi dapat di simpulkan bahwa H0 ditolak, artinya maka terdapat hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada remaja putri. Pembahasan Hubungan Pengetahuan Tentang Menarche dengan Tingkat Kecemasan pada Remaja Putri Menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal. Menurut Notoatmodjo (2011) Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian dasar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menarche didefinisikan sebagai pertama kali menstruasi, yaitu keluarnya cairan darah dari alat kelamin wanita berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung pembuluh darah. Menurut Berk (1993); Turner dan Helms (1995); Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih Dirga Gunarsa (1991) mengungkapkan reaksi remaja wanita terhadap datangnya haid pertama (menarche), yaitu reaksi negatif, ketika muncul menstruasi pertama, seorang individu akan merasakan keluhan-keluhan psikologis maupun kondisi psikologis yang tak stabil (bingung, sedih, stress, cemas, mudah tersinggung, marah emosional). Hal ini kemungkinan karena ketidaktahuan remaja tentang perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada awal kehidupan seorang remaja wanita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kecemasan ini disebabkan karena siswi yang baru mengalami menarche, mereka merasakan siklus haid yang belum teratur sehingga mereka merasa cemas yang berat sehingga mengakibatkan kepanikan. Kecemasan ini juga diakibatkan karena kurangnya pengetahuan tentang perubahanperubahan yang terjadi seperti perubahan fisik, psikologis, dan emosi sehingga mereka merasa bingung dan takut. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Vera susanti dan Yusi Sofiyah (2008) di salah satu SMP di daerah Bandung terdapat siswi yang memiliki pengetahuan rendah dengan tingkat kecemasan yang berat. Hal ini terbukti bahwa pembekalan pada remaja yaitu pengetahuan tentang menarche akan mempengaruhi sikap mereka. Sikap dalam penelitian ini adalah kecemasan mereka. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dengan pengetahuan yang tinggi akan mempengaruhi kecemasan pada mereka. Dan dari hasil uji statistik di dapatkan P value yaitu 0,0005 sedangkan nilai α = 0,05. Jadi, dapat diketahui bahwa nilai P value< α (0,0005<0,05). Maka dapat di simpulkan bahwa H0 ditolak, artinya maka terdapat hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi. 4. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka hasil penelitian tentang Hubungan Pengetahuan Tentang Menarche dengan Tingkat Kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Distribusi frekuensi pengetahuan tentang menarche pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan 72 remaja putri (41,6%) yang memiliki pengetahuan baik tentang menarche dan 38 remaja putri (22,0%) yang memiliki pengetahuan kurang tentang menarche. 2. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan 50 remaja putri (28,90%) yang memiliki tingkat kecemasan ringan dan 3 remaja putri (1,73%) yang memiliki tingkat kecemasan panik. 3. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 dengan P value SUMBER PUSTAKA Dewi, Ratna. (2012). 3 Fase Penting Pada Wanita. Edisi Pertama. Jakarta: PT. Elex media. Dariyo, Agoes. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia. Hawari, D. (2011). Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. 186

187 Ida Ayu. Dkk. (2010). Buku Ajar Ginekologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC. Hastono, Sutanto Priyo (2007), Analisis Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. Notoatmodjo. (2011). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suliswati. Dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Ulfah, Qonitatin. (2009). Hubungan Karakteristik dan Pengetahuan tentang Menstruasi dengan Kecemasan pada Menarche pada Remaja Putri di SMP Muhammadiyah Gubug. Utami, Sri. (2008). Hubungan antara Dukungan Sosial (ibu) dengan Kecemasan Menghadapi Menarche pada Remaja Putri Prapubertas pdf. Diunduh 5 Februari diunduh 9 Maret

188 GAMBARAN PERILAKU REMAJA PUTRI TENTANG PERSONAL HYGIENE DALAM MENCEGAH KEPUTIHAN DI SMK YALEKA MARO-PAPUA MERAUKE TAHUN 2015 MARNI K 1, EMMA K 2, TITUS T 3, LENNY I 1, 4 ARI DAN TETY R 1 1 Program Studi DIII Kebidanan STIKes Medistra Indonesia Bekasi marni_karo@yahoo.com 2 Program studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Jawa Barat 3 Akademi Kebidanana Yaleka Maro-Papua Merauke 4 Klinik Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK-Latar Belakang : Sekitar 75% perempuan di Dunia pasti akan mengalami keputihan paling tidak sekali seumur hidupnya. Di Indonesia, 70% remaja putri mengalami masalah keputihan. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Mei 2015 kepada 10 siswi, didapatkan hasil 7 siswi (70%) berperilaku baik dalam mencegah keputihan dan 3 siswi (30%) berperilaku kurang baik dalam mencegah keputihan. Tujuan : Untuk mengetahui gambaran perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Tempat penelitian di SMK Yaleka Maro Merauke tahun 2015 tanggal 06 Juni Juni Populasi berjumlah 109 siswi dengan sampel 33 siswi. Teknik pengambilan data menggunakan systematic random sampling. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tertutup, variabel yang digunakan adalah variabel tunggal dan menggunakan analisa univariat. Hasil : Perilaku remaja putri yang positif dalam mencegah keputihan ditunjukkan dengan perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin (100%), perilaku penggunaan sabun (72,7%), perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin (84,8%), perilaku kebersihan pakaian dalam (100%), perilaku penggunaan air (66,7%), dan perilaku pemakaian pembalut (100%). Sedangkan perilaku yang negatif ditunjukkan dengan perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin (84,8%). Kesimpulan : Perilaku remaja putri tentang persoal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun 2015 adalah kategori positif. Kata Kunci : Perilaku, Remaja Putri, Personal Hygiene, Keputihan 1. PENDAHULUAN Keputihan adalah semua pengeluaran cairan alat genitalia yang bukan darah. Keputihan bukan penyakit tersendiri, tetapi manifestasi gejala dari hampir semua penyakit kandungan (Manuaba, 2010 : ). Menurut WHO (2010), sekitar 75% perempuan di Dunia pasti akan mengalami keputihan paling tidak sekali seumur hidupnya, dan sebanyak 45% akan mengalami dua kali atau lebih (Magfiroh, 2010). Di Indonesia, 70% remaja putri mengalami masalah keputihan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi cuaca yang lembab sehingga menyebabkan wanita di Indonesia mudah terkena keputihan (Dechacare, 2010). Remaja putri di Papua umumnya bersifat kurang peduli dengan keputihan pada dirinya. Padahal seharusnya remaja lebih waspada terhadap gejala keputihan. Hal ini terbukti dari semakin sedikitnya kesadaran pada diri untuk berperilaku hidup bersih (hygiene person). Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (2013), Persentase berperilaku hidup bersih (hygiene person) di Indonesia sebesar 56,2%. Persentase terbesar ada di Provinsi Jawa Tengah (76,42%), Kalimantan Timur (75,26%) dan Kalimantan Selatan72,62%). Sedangkan persentase terkecil terdapat di Papua (25,80%), Papua Barat (25.50%) dan Sulawesi Tengah (30.90%) (Oscar Primadi, 2013). Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Meliza Risky Amelia (2012) dengan judul Gambaran Perilaku Remaja Putri Menjaga Kebersihan Organ Genitalia dalam Mencegah Keputihan di SMA YLPI Pekanbaru diperoleh hasil bahwa 117 orang (62,2%) memiliki tindakan buruk dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk mencegah keputihan, dan 71 orang (37,8%) memiliki tindakan baik dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk mencegah keputihan. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Mei 2015 mengenai perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan yang telah dilakukan kepada 10 siswi, didapatkan hasil 7 siswi (70%) berperilaku baik dalam mencegah keputihan dan 3 siswi (30%) berperilaku kurang baik dalam mencegah keputihan. Pada remaja yang kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kebersihan alat genitalia akan berdampak pula pada perilaku remaja dalam menjaga kebersihan alat genitalianya. Karena pengetahuan dan perilaku perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara kebersihan alat genitalia (Kusmiran, 2011). Uraian teori dan studi pendahuluan di atas menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian pada remaja putri di SMK karena penelitian sebelumnya dilakukan pada remaja putri di SMP dan SMA. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Gambaran Perilaku Remaja Putri Tentang Personal Hygiene Dalam Mencegah Keputihan Di SMK Yaleka Maro Merauke tahun

189 Tujuan Umum penelitian ini untuk mengetahui gambaran perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012 : 35). Jenis penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif. Kuantitatif yaitu data yang berhubungan dengan angka-angka (Notoatmodjo, 2012 : 171). Desain penelitian atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012 : 38). Menurut Nasir et al (2011 : 187), populasi diartikan sebagai keseluruhan atau totalitas objek yang diteliti. Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswi-siswi di SMK Yaleka Maro Merauke yang berjumlah 109 siswi. Jenis Data yang Dikumpulkan data primer Menurut Sibagariang (2010 : 118), data primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli atau pertama. Data primer dalam penelitian ini didapat dari pengisian kuesioner oleh siswi-siswi di SMK Yaleka Maro Merauke tahun Data sekunder menurut Sibagariang (2010 : 118), data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan. Data sekunder dalam penelitian ini didapat Teknik Pengelolaan Dat Editing,Coding,Entry,Cleaning,Tabulating dan Teknik Analisis Data adalah analisis univariat yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel yang meliputi perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan memaparkan secara lengkap hasil penelitian dan pembahasan perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro-Papua Merauke. Penelitian dilakukan selama 1 minggu, dimulai tanggal 06 Juni 2015 sampai dengan 13 Juni 2015 Hasil Penelitian Perilaku Remaja Putri Tentang Personal Hygiene Dalam Mencegah Keputihan 1) Perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Cara Mencuci Bagian Luar Alat Kelamin Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif Cara mencuci bagian Negatif 0 0 luar alat kelamin Total Berdasarkan tabel 1, dari 33 responden menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 33 responden (100%) memiliki kategori positif pada perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin. 2) Perilaku Penggunaan Sabun Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Penggunaan Sabun Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif 24 72,7 Penggunaan sabun Negatif 9 27,3 Total Berdasarkan tabel 7, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 24 responden (72,7%) yang memiliki kategori positif, dan 9 responden (27,3%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku penggunaan sabun. Jadi, perilaku penggunaan sabun terbanyak adalah kategori positif sebanyak 24 responden (72,7%). 189

190 3) Perilaku Cara Membersihkan Dan Mengeringkan Alat Kelamin Tabel 8. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Cara Membersihkan Dan Mengeringkan Alat Kelamin Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin Positif 28 84,8 Negatif 5 15,2 Total Berdasarkan tabel 8, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 28 responden (84,8%) yang memiliki kategori positif, dan 5 responden (15,2%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin. Jadi, perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin terbanyak adalah kategori positif sebanyak 28 responden (84,8%). 4) Perilaku Kebersihan Pakaian Dalam Tabel 9. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Kebersihan Pakaian Dalam Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Kebersihan pakaian dalam Positif Negatif 0 0 Total Berdasarkan tabel 9, dari 33 responden menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 33 responden (100%) memiliki kategori positif pada perilaku kebersihan pakaian dalam. 5) Perilaku Mencukur Rambut Disekitar Alat Kelamin Tabel 10. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Mencukur Rambut Disekitar Alat Kelamin Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Mencukur rambut disekitar alat kelamin Positif 5 15,2 Negatif 28 84,8 Total Berdasarkan tabel 10, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 5 responden (15,2%) yang memiliki kategori positif, dan 28 respnden (84,8%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin. Jadi, perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin terbanyak adalah kategori negatif sebanyak 28 responden (84,8%). 6) Perilaku Penggunaan Air Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Penggunaan Air Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif 22 66,7 Pemakaian air Negatif 11 33,3 Total Berdasarkan tabel 11, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 22 responden (66,7%) yang memiliki kategori positif, dan 11 responden (33,3%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku penggunaan air. Jadi, perilaku penggunaan air terbanyak adalah kategori positif sebanyak 22 responden (66,7%). 7) Perilaku Pemakaian Pembalut Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Pemakaian Pembalut Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif Penggunaan pembalut Negatif 0 0 Total Berdasarkan tabel 12, dari 33 responden menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 33 responden (100%) memiliki kategori positif pada perilaku pemakaian pembalut. 190

191 Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, perilaku remaja putri yang positif dalam mencegah keputihan ditunjukkan dengan perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin (100%), perilaku penggunaan sabun (72,7%), perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin (84,8%), perilaku kebersihan pakaian dalam (100%), perilaku penggunaan air (66,7%), dan perilaku pemakaian pembalut (100%). Sedangkan perilaku yang negatif ditunjukkan dengan perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin (84,8%). Responden berperilaku positif berdasarkan teori disebabkan karena pemikiran/ perasaan dan orang penting sebagai referensi. Pemikiran atau perasaan (thoughts and feeling), meliputi pengetahuan (sebagai hasil pengalaman), persepsi, kepercayaan, sikap, dan nilai. Orang penting sebagai referensi disebut kelompok referensi (reference group). Individu cenderung melakukan atau mencontoh perilaku orang lain yang penting untuknya. Kelompok referensi terdiri atas orang tua, guru/dosen, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala adat (suku), dan kepala desa (Maulana, 2012 : 227). Responden berperilaku negatif berdasarkan teori disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan informasi. Pada remaja yang kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kebersihan alat genitalia akan berdampak pula pada perilaku remaja dalam menjaga kebersihan alat genitalianya. Karena pengetahuan dan perilaku perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara kebersihan alat genitalia (Kusmiran, 2011). Menurut peneliti, responden berperilaku positif disebabkan karena pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri dan orang lain. Dengan adanya pengalaman tentang keputihan, pengetahuan yang diperoleh remaja putri akan semakin banyak dan dengan adanya informasi yang diperoleh dari orang lain (dalam hal ini lebih banyak informasi berasal dari orang tua) akan semakin banyak pengetahuan yang diperoleh remaja putri dalam mencegah keputihan. Menurut peneliti, responden berperilaku negatif disebabkan karena responden tidak mengetahui pentingnya perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumber informasi yang diperoleh responden dari pendidikan formal. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun 2015 diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1) Perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 33 responden (100%). 2) Perilaku penggunaan sabun pada remaja putri SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 24 responden (72,7%). 3) Perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 28 responden (84,8%). 4) Perilaku kebersihan pakaian dalam pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 33 responden (100%). 5) Perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku negatif sebanyak 28 responden (84,8%). 6) Perilaku penggunaan air pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 22 responden (66,7%). 7) Perilaku pemakaian pembalut pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 33 responden (100%). 5. UCAPAN TERIMAKASIH penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1) Venni Florence Lakie, SE selaku Ketua Yayasan Lentera Kasih yang telah mendirikan SMK Yaleka Maro Merauke. 2) dr. Titus Tambaip, M.Kes selaku Pembina Yayasan Lentera Kasih Maro Merauke. 3) Kepala sekolah SKM Yaleka Maro Merauke telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMK Yaleka Maro Merauke 4) Seluruh guru di SMK Yaleka Maro Merauke yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. 5) Seluruh siswi di SMK YAleka Maro Merauke yang telah bersedia menjadi responden. 6) Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan penelitian ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. 191

192 6. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Dechacare Keputihan No Way. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Hidayat Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Kusmiran, E Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Kumalasari,I & Andhyantoro,I Kesehatan Reprosuksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Magfiroh, KTI Hubungan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri terhadap Kejadian Flour Albus Di SMA II Jepara. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Manuaba,I.B.G Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC Maulana Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC Nasir,A et al Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Notoatmodjo Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Oscar Primadi, Profil Kesehatan Papua. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Saryono Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Sibagariang,E.E et al Buku Saku Metodologi Penelitian Untuk Mahasiswa Diploma Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media Sulistyaningsih Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Tarwato, Wartonah Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Wawan,A dan Dewi,M Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha medika Yuliarti,N A to Z Woman Health & Beauty. Yogyakarta: C.V Andi Offset 192

193 GAMBARAN PERILAKU REMAJA PUTRI TENTANG PERSONAL HYGIENE DALAM MENCEGAH KEPUTIHAN DI SMK YALEKA MARO-PAPUA MERAUKE TAHUN 2015 MARNI K 1, EMMA K 2, TITUS T 3, LENNY I 1, 4 ARI DAN TETY R 1 1 Program Studi DIII Kebidanan STIKes Medistra Indonesia Bekasi marni_karo@yahoo.com 2 Program studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Jawa Barat 3 Akademi Kebidanana Yaleka Maro-Papua Merauke 4 Klinik Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK - Latar Belakang : Sekitar 75% perempuan di Dunia pasti akan mengalami keputihan paling tidak sekali seumur hidupnya. Di Indonesia, 70% remaja putri mengalami masalah keputihan. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Mei 2015 kepada 10 siswi, didapatkan hasil 7 siswi (70%) berperilaku baik dalam mencegah keputihan dan 3 siswi (30%) berperilaku kurang baik dalam mencegah keputihan. Tujuan : Untuk mengetahui gambaran perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Tempat penelitian di SMK Yaleka Maro Merauke tahun 2015 tanggal 06 Juni Juni Populasi berjumlah 109 siswi dengan sampel 33 siswi. Teknik pengambilan data menggunakan systematic random sampling. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tertutup, variabel yang digunakan adalah variabel tunggal dan menggunakan analisa univariat. Hasil : Perilaku remaja putri yang positif dalam mencegah keputihan ditunjukkan dengan perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin (100%), perilaku penggunaan sabun (72,7%), perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin (84,8%), perilaku kebersihan pakaian dalam (100%), perilaku penggunaan air (66,7%), dan perilaku pemakaian pembalut (100%). Sedangkan perilaku yang negatif ditunjukkan dengan perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin (84,8%). Kesimpulan : Perilaku remaja putri tentang persoal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun 2015 adalah kategori positif. Kata Kunci : Perilaku, Remaja Putri, Personal Hygiene, Keputihan 1. PENDAHULUAN Keputihan adalah semua pengeluaran cairan alat genitalia yang bukan darah. Keputihan bukan penyakit tersendiri, tetapi manifestasi gejala dari hampir semua penyakit kandungan (Manuaba, 2010 : ). Menurut WHO (2010), sekitar 75% perempuan di Dunia pasti akan mengalami keputihan paling tidak sekali seumur hidupnya, dan sebanyak 45% akan mengalami dua kali atau lebih (Magfiroh, 2010). Di Indonesia, 70% remaja putri mengalami masalah keputihan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi cuaca yang lembab sehingga menyebabkan wanita di Indonesia mudah terkena keputihan (Dechacare, 2010). Remaja putri di Papua umumnya bersifat kurang peduli dengan keputihan pada dirinya. Padahal seharusnya remaja lebih waspada terhadap gejala keputihan. Hal ini terbukti dari semakin sedikitnya kesadaran pada diri untuk berperilaku hidup bersih (hygiene person). Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (2013), Persentase berperilaku hidup bersih (hygiene person) di Indonesia sebesar 56,2%. Persentase terbesar ada di Provinsi Jawa Tengah (76,42%), Kalimantan Timur (75,26%) dan Kalimantan Selatan72,62%). Sedangkan persentase terkecil terdapat di Papua (25,80%), Papua Barat (25.50%) dan Sulawesi Tengah (30.90%) (Oscar Primadi, 2013). Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Meliza Risky Amelia (2012) dengan judul Gambaran Perilaku Remaja Putri Menjaga Kebersihan Organ Genitalia dalam Mencegah Keputihan di SMA YLPI Pekanbaru diperoleh hasil bahwa 117 orang (62,2%) memiliki tindakan buruk dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk mencegah keputihan, dan 71 orang (37,8%) memiliki tindakan baik dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk mencegah keputihan. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Mei 2015 mengenai perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan yang telah dilakukan kepada 10 siswi, didapatkan hasil 7 siswi (70%) berperilaku baik dalam mencegah keputihan dan 3 siswi (30%) berperilaku kurang baik dalam mencegah keputihan. Pada remaja yang kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kebersihan alat genitalia akan berdampak pula pada perilaku remaja dalam menjaga kebersihan alat genitalianya. Karena pengetahuan dan perilaku perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara kebersihan alat genitalia (Kusmiran, 2011). Uraian teori dan studi pendahuluan di atas menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian pada remaja putri di SMK karena penelitian sebelumnya dilakukan pada remaja putri di SMP dan SMA. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Gambaran Perilaku Remaja Putri Tentang Personal Hygiene Dalam Mencegah Keputihan Di SMK Yaleka Maro Merauke tahun

194 Tujuan Umum penelitian ini untuk mengetahui gambaran perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012 : 35). Jenis penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif. Kuantitatif yaitu data yang berhubungan dengan angka-angka (Notoatmodjo, 2012 : 171). Desain penelitian atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012 : 38). Menurut Nasir et al (2011 : 187), populasi diartikan sebagai keseluruhan atau totalitas objek yang diteliti. Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswi-siswi di SMK Yaleka Maro Merauke yang berjumlah 109 siswi. Jenis Data yang Dikumpulkan data primer Menurut Sibagariang (2010 : 118), data primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli atau pertama. Data primer dalam penelitian ini didapat dari pengisian kuesioner oleh siswi-siswi di SMK Yaleka Maro Merauke tahun Data sekunder menurut Sibagariang (2010 : 118), data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan. Data sekunder dalam penelitian ini didapat Teknik Pengelolaan Dat Editing,Coding,Entry,Cleaning,Tabulating dan Teknik Analisis Data adalah analisis univariat yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel yang meliputi perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan memaparkan secara lengkap hasil penelitian dan pembahasan perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro-Papua Merauke. Penelitian dilakukan selama 1 minggu, dimulai tanggal 06 Juni 2015 sampai dengan 13 Juni 2015 Hasil Penelitian Perilaku Remaja Putri Tentang Personal Hygiene Dalam Mencegah Keputihan 8) Perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Cara Mencuci Bagian Luar Alat Kelamin Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Cara mencuci bagian luar alat kelamin Positif Negatif 0 0 Total Berdasarkan tabel 1, dari 33 responden menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 33 responden (100%) memiliki kategori positif pada perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin. 9) Perilaku Penggunaan Sabun Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Penggunaan Sabun Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif 24 72,7 Penggunaan sabun Negatif 9 27,3 Total Berdasarkan tabel 7, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 24 responden (72,7%) yang memiliki kategori positif, dan 9 responden (27,3%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku penggunaan sabun. Jadi, perilaku penggunaan sabun terbanyak adalah kategori positif sebanyak 24 responden (72,7%). 10) Perilaku Cara Membersihkan Dan Mengeringkan Alat Kelamin 194

195 Tabel 8. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Cara Membersihkan Dan Mengeringkan Alat Kelamin Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin Positif 28 84,8 Negatif 5 15,2 Total Berdasarkan tabel 8, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 28 responden (84,8%) yang memiliki kategori positif, dan 5 responden (15,2%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin. Jadi, perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin terbanyak adalah kategori positif sebanyak 28 responden (84,8%). 11) Perilaku Kebersihan Pakaian Dalam Tabel 9. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Kebersihan Pakaian Dalam Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Kebersihan pakaian dalam Positif Negatif 0 0 Total Berdasarkan tabel 9, dari 33 responden menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 33 responden (100%) memiliki kategori positif pada perilaku kebersihan pakaian dalam. 12) Perilaku Mencukur Rambut Disekitar Alat Kelamin Tabel 10. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Mencukur Rambut Disekitar Alat Kelamin Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Mencukur rambut disekitar alat kelamin Positif 5 15,2 Negatif 28 84,8 Total Berdasarkan tabel 10, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 5 responden (15,2%) yang memiliki kategori positif, dan 28 respnden (84,8%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin. Jadi, perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin terbanyak adalah kategori negatif sebanyak 28 responden (84,8%). 13) Perilaku Penggunaan Air Tabel 11. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Penggunaan Air Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif 22 66,7 Pemakaian air Negatif 11 33,3 Total Berdasarkan tabel 11, dari 33 responden menunjukkan bahwa terdapat 22 responden (66,7%) yang memiliki kategori positif, dan 11 responden (33,3%) yang memiliki kategori negatif pada perilaku penggunaan air. Jadi, perilaku penggunaan air terbanyak adalah kategori positif sebanyak 22 responden (66,7%). 14) Perilaku Pemakaian Pembalut Tabel 12. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Perilaku Pemakaian Pembalut Perilaku Kategori perilaku N Persentase (%) Positif Penggunaan pembalut Negatif 0 0 Total Berdasarkan tabel 12, dari 33 responden menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 33 responden (100%) memiliki kategori positif pada perilaku pemakaian pembalut. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, perilaku remaja putri yang positif dalam mencegah keputihan ditunjukkan dengan perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin (100%), perilaku penggunaan sabun (72,7%), perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin (84,8%), perilaku kebersihan pakaian dalam (100%), perilaku penggunaan air (66,7%), dan perilaku pemakaian pembalut (100%). Sedangkan perilaku yang negatif ditunjukkan dengan perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin (84,8%). 195

196 Responden berperilaku positif berdasarkan teori disebabkan karena pemikiran/ perasaan dan orang penting sebagai referensi. Pemikiran atau perasaan (thoughts and feeling), meliputi pengetahuan (sebagai hasil pengalaman), persepsi, kepercayaan, sikap, dan nilai. Orang penting sebagai referensi disebut kelompok referensi (reference group). Individu cenderung melakukan atau mencontoh perilaku orang lain yang penting untuknya. Kelompok referensi terdiri atas orang tua, guru/dosen, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala adat (suku), dan kepala desa (Maulana, 2012 : 227). Responden berperilaku negatif berdasarkan teori disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan informasi. Pada remaja yang kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kebersihan alat genitalia akan berdampak pula pada perilaku remaja dalam menjaga kebersihan alat genitalianya. Karena pengetahuan dan perilaku perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara kebersihan alat genitalia (Kusmiran, 2011). Menurut peneliti, responden berperilaku positif disebabkan karena pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri dan orang lain. Dengan adanya pengalaman tentang keputihan, pengetahuan yang diperoleh remaja putri akan semakin banyak dan dengan adanya informasi yang diperoleh dari orang lain (dalam hal ini lebih banyak informasi berasal dari orang tua) akan semakin banyak pengetahuan yang diperoleh remaja putri dalam mencegah keputihan. Menurut peneliti, responden berperilaku negatif disebabkan karena responden tidak mengetahui pentingnya perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumber informasi yang diperoleh responden dari pendidikan formal. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran perilaku remaja putri tentang personal hygiene dalam mencegah keputihan di SMK Yaleka Maro Merauke tahun 2015 diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1) Perilaku cara mencuci bagian luar alat kelamin pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 33 responden (100%). 2) Perilaku penggunaan sabun pada remaja putri SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 24 responden (72,7%). 3) Perilaku cara membersihkan dan mengeringkan alat kelamin pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 28 responden (84,8%). 4) Perilaku kebersihan pakaian dalam pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 33 responden (100%). 5) Perilaku mencukur rambut disekitar alat kelamin pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku negatif sebanyak 28 responden (84,8%). 6) Perilaku penggunaan air pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 22 responden (66,7%). 7) Perilaku pemakaian pembalut pada remaja putri di SMK Yaleka Maro Merauke kategori terbanyak adalah perilaku positif sebanyak 33 responden (100%). 5. UCAPAN TERIMAKASIH penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1) Venni Florence Lakie, SE selaku Ketua Yayasan Lentera Kasih yang telah mendirikan SMK Yaleka Maro Merauke. 2) dr. Titus Tambaip, M.Kes selaku Pembina Yayasan Lentera Kasih Maro Merauke. 3) Kepala sekolah SKM Yaleka Maro Merauke telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMK Yaleka Maro Merauke 4) Seluruh guru di SMK Yaleka Maro Merauke yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. 5) Seluruh siswi di SMK YAleka Maro Merauke yang telah bersedia menjadi responden. 6) Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan penelitian ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. 6. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Dechacare Keputihan No Way. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Hidayat Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika 196

197 Kusmiran, E Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Kumalasari,I & Andhyantoro,I Kesehatan Reprosuksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Magfiroh, KTI Hubungan Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri terhadap Kejadian Flour Albus Di SMA II Jepara. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Manuaba,I.B.G Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC Maulana Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC Nasir,A et al Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Notoatmodjo Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Oscar Primadi, Profil Kesehatan Papua. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Saryono Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Sibagariang,E.E et al Buku Saku Metodologi Penelitian Untuk Mahasiswa Diploma Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media Sulistyaningsih Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Tarwato, Wartonah Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan. Diakses tanggal 20 Mei 2015 Wawan,A dan Dewi,M Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha medika Yuliarti,N A to Z Woman Health & Beauty. Yogyakarta: C.V Andi Offset 197

198 Efek Exercise Terhadap Kapasitas Fungsional Fisik dan Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis Literatur Review Anggriyana widianti 1, Titis Kurniawan 2 Background Gagal ginjal kronik menjadi salah satu masalah kesehatan global. Terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis menjadi salah satu terapi efektif yang meningkatkan kondisi fisik pasien. Namun penelitian sebelumnya menyebutkan penurunan aktivitas fisik dan kualitas hidup pasien. Beberapa literatur menyebutkan potensial exercise terhadap peningkatan kapasitas fungsional fisik pasien. Terdapat banyak jenis exercise yang dapat diaplikasikan pasien hemodialisis. Pentingnya review dibutuhkan untuk mengetahui keefektifan exercise terhadap peningkatan kapasitas fisik dan kualitas hidup pasien. Method;Pencarian literatur relevan melalui e-database EBSCO Host, Proquest, Pubmed dan Google Schoolar yang terpublikasi tahun Literatur menggunakan desain RCT, pilot study, cohort prospective dan quasi experiment. Result; Total terdapat 7 artikel (4 RCT, 1 quasi experiment, 1 pilot study dan 1 cohort prospective) yang direview dari 27 artikel yang memenuhi kriteria. Rentang usia partisipan 20 sanpai 70 tahun yang rutin menjalani hemodialisis >3 bulan. Terdapat 3 tipe exercise yaitu aerobik exercise dan kombinasi exercise yaitu aerobik-resistence exercise dan aerobikstreghtening exercise. Empat penelitian dilakukan di unit hemodialisis, 2 penelitian home exercise dan 1 di pusat kebugaran. Durasi exercise menit, dilakukan 2-3 kali perminggu. Penilaian kualitas hidup menggunakan SF-36, kapasitas fungsional fisik menggunakan pengkajian fisik. Review aerobik exercise maupun kombinasi terbukti aman, dan efektif meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional fisik pasien hemodialisis. Namun hanya 4 penelitian menggunakan RCT, 4 penelitian mengukur kepatuhan dan pengukuran time series tidak dilakukan pada semua penelitan dan jumlah sample sebagai limitasi. Conclusion; Aerobik exercise maupun kombinasi efektif terhadap peningkatan kondisi fisik pasien hemodialisis. Kata Kunci: Exercise, kualitas hidup, kapasitas fisik, hemodialisis 1. PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik (GGK) masih menjadi masalah global. Berdasarkan data The Global Burden of Disease tahun 2010, GGK menduduki peringkat ke-18 dalam daftar penyebab mortalitas dari sejumlah angka kematian global yaitu 16,3 per 100 ribu (Lazano et al,2012).world Health Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal di Indonesia pada tahun sebesar 41,4% (Tandi, Mongan, Manopo,2014). Salah satu upaya penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien GGK adalah dialisis yang juga memiliki peningkatan prevalensi (Baredero et.al, 2005).Insiden hemodialisis di Indonesia meningkat 2077 pada tahun 2002 menjadi 4344 pada tahun 2006 (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Meskipun hemodialisis sangat membantu/menguntungkan pasien GGK, namun terapi ini juga berisiko menimbulkan komplikasi (O zkan & Ulusoy,2011). Komplikasi akibat hemodialisis diantaranya adalah komplikasi kardiovaskuler seperti hipotensi 20%-50%, aritmia 35% (Burton et al., 2008); kram 24-8%(Kobrin et al., 2007);komplikasi gastrointestinal (mual-muntah) 5%-10%; dan sakit kepala 5%-10% (Jesus et al, 2009). Komplikasi lain bisa muncul akibat peralatan hemodialisis, hipertensi, efusi perikardial, nyeri dada, sindrom disequilibrium, cerebrovascular accident, serta komplikasi yang berhubungan dengan antikoagulan (O zkan & Ulusoy,2011).Komplikasi gangguan neurologi yang dapat terjadi pada pasien hemodialisis yaitu gangguan pergerakan dan restless leg syndrom (RLS) sebanyak 20% (Brouns & Deyn,2004). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa kapasitas fisik dan kapasitas aerobik menurun drastis pada pasien hemodialisis dibandingkan dengan orang sehat. Anemia adalah salah satu penyebab yang paling esensial dari kelelahan dan berkurangnya kapasitas fungsional pasien, dan peningkatan terjadi setelah pemberian rekombian human eritopoeitin. Kelemahan eritopoietin adalah tidak dapat digunakan sebagai penyimpanan kapasitas Exercise ke level normal pada pasien hemodialisis (Parsons, Toffelmire, King-Van,2006). Munculnya uremik myopati berkontribusi dalam berkurangnya fungsi fisik. Uremik myopati secara konsisten dapat menyebabkan hipotrofi dan disuse. Rendahnya level aktifitas fisik, stadium GGK, komplikasi hemodialisis dan penurunan kekuatan otot berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup pasien hemodialisis. Kualitas hidup yang menurun secara signifikan menyebabkan kelelahan, nyeri, restriksi mobilisasi dan perubahan psikologis (Mustata, Chan, Lai, Miller,2004). Pasien hemodialisis dilaporkan memiliki aktivitas fisik yang rendah di segala usia dan jenis kelamin dibandingkan dengan populasi umum. Rendahnya aktifitas fisik pasien hemodialisis memiliki pengurangan konsumsi VO2 peak, berkurangnya self-report fungsi fisik, hilangnya masa otot dan berkurangnya keadaan fisik. Aktivitas fisik yang rendah tersebut teridentifikasi berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan kualitas hidup pasien yang rendah pada pasien hemodialisis (Morishita & Nagata, 2015; Johansen,2005). Terdapat cukup bukti ilmiah bahwaexercise dapat meningkatkan kapasitas fungsional fisik pasien hemodialisis. Konstantinidouet al (2002) melaporkan terjadinya peningkatan VO2 peak dan kapasitias 198

199 fungsional fisik pada pasien hemodialisis setelah dilakukan fleksibility Exercise dan aktivitas fisik lainnya. Studi tersebut juga menyimpulkan Exercise selama hemodialisis memiliki keuntungan lebih besar karena lebih efisien, nyaman dan efektif waktu karena pasien berada di rumah sakit tiga kali per minggu. Aerobik dan strenghtening Exercise pada pasien hemodialisis memberikan efek positif pada kekuatan otot, fungsi fisik, dan fatigue (De- Paul, 2002). Perawat memiliki peran dalam meningkatkan kualitas hidup memiliki fungsi sebagai role model untuk mendorong keberkelanjutanaktivitas fisik pada pasien hemodialisis (Bennet et al,2013). Meskipun telah banyak penelitian mengenai Exercise pada pasien hemodialisa, namun pelaksanaan latihan program latihan di unit hemodialisis di Indoensia belum diterapkan. Exercise belum menjadi program protokol rutin bagi pasien hemodialisis di Indonesia. Kurangnya pedoman praktek klinis berdasarkan hasil penelitian yang berkualitas dalam hal ini juga menyebabkan kurangnya penggunaan pendekatan klinis Exercise pada pasien hemodialisis. Dengan demikian menjadi penting untuk dilakukan review mengenai jenis Exercise terhadap kapasitas fungsional dan kualitas hidup pada pasien hemodialisis. Sehingga diharapkan dapat digunakan dalam peningkatan kualitas hidup pasien hemodialisis. 2. TUJUAN Mengidentifikasi jenis Exercise dalam peningkatan aktivitas fisik pasien hemodialisis dalam peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. 3. METODE Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam review ini adalah penelitian yang membahas program Exercise pada pasien hemodialisis. Pemilihan jenis penelitian yang memberikan intervensi dengan kontrol (tanpa Exercise, atau Exercise yang memiliki intensitas lebih rendah, plasebo) Tipe partisipan/klien Partisipan dalam penelitian yang di review adalah 20 sampai 70 tahun, mengikuti rutin hemodialisis 3 kali per minggu, dan minimal melakukan hemodialisis selama 3 bulan terakhir. Tipe intervensi Intervensi berupa program latihan atau Exercise aerobic sebagai intervensi utama atau kontrol yang dilakukan di pelayanan kesehatan dan luar unit hemodialisa Tipe tujuan Tujuan review dalam penelitian ini yaitu kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien hemodialisis. Metode Pencarian Artikel Metode yang digunakan dalam review ini yaitu menggunakan tipe metode desain RCT, pilot study, cohort prospective dan quasi experiment. Pencarian data base melalui EBSCO Host, Proquest,Pubmed dan Google Schoolar. Artikel yang diseleksi yaitu mulai Juni tahun 1991 sampai Desember Pencarian artikel menggunakan kata kunci Exercise and physical capacity or quality of life and hemodialysis. 4. HASIL Pencarian artike penelitian dicari melalui database EBSCO Host, Proquest, dan Google Schoolar. Pencarian awal didapatkan sebanyak judul artikel sesuai kata kunci yang telah ditentukan sebelumnya. Penyeleksian dilakukan terhadap judul artikel, kemudian dilakukan penyeleksian berdasarkan tujuan didapatkan 296 judul penelitian. Penyeleksian dilakukan tersebut sesuai dengan kriteria jenis artikel yang di review berdasarkan metode, tipe partisipan dan tipe intervensi. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan 7 artikel yang dilakukan review dengan 2 jenis tipe intervensi yaitu Exercise yang dilakukan di unit hemodialisa dilakukan oleh Segura Orti et al. (2009), de Lima et al. (2013), Reboredo et al. (2011) dan Molsted et al. (2003). Sedangkan penelitian Capitanini et al. (2008), Bulckaen et al.(2011) dan Koh et al.(2010) memberikan Exercise yang dilakukan diluar unit hemodialisa. Exercise di Unit Hemodialisa Penelitian menggunakan metode RCT dilakukan oleh Segura-Ortí, Kouidi dan Lisón (2009) mengenai Effect of resistance Exercise during hemodialysis on physical function and quality of life: randomized controlled trial. Tujuan yang diukur yaitu kapasitas latihan, kekuatan otot, fungsi fisik dan kualitas hidup. Outcome yang akan diukur adalah sit-to-stand-to-sit test (STS 10 and STS 60), 6 minutes walking test (6MWT), dynamometry, graded Exercise test (GXT) dan SF-36. Sebanyak 27 pasien dengan rentang usia 38 tahun sampai 73 tahun, terbagi dalam 2 kelompok, yaitu 19 pasien kelompok resistence Exercise dan 8 pasien kontrol yang diberikan aerobicexercise intensitas rendah. Partisipan melakukan Exercise dibawah pengawasan fisioterapis selama 2 jam, selama tiga kali perminggu untuk jangka waktu 6 bulan. Kedua kelompok dilakukan pemanasan, pendingnan dan 5 menit latihan peregangan. Fase Exercise utama berlangsung 25 menit. Kelompok intervensi terdiri dari empat isotonik progresif dan latihan ketahanan isometrik pada kelompok otot utama dari ekstremitas bawah. Latihan pertama 199

200 dengan memfleksikan lutut yang terpasang beban di pergelangan kaki. Latihan kedua dengan meningkatkan resistensi, pasien dapat melakukan 3 set dengan 15 kali pengulangan. Latihan ketiga terdiri 1 set dengan 15 kali pengulangan unilateral ekstensi menggunakan double band elastis. Latihan terakhir melakukan kontraksi pergelangan otot fleksor, paha depan dan otot pinggul ekstensor. Intensitas semua latihan disesuaikan menggunakan RPE (level antara 12 dan 14). Sedangkan kelompok kontrol melakukan bersepeda dengan intensitas rendah (RPE level 11). Hasil penelitian menunjukan peningkatan kapasitas fungsional ditunjukan dengan penurunan STS kelompok intervensi, peningkatan METS, peningkatan dinamometri kaki kanan dan kiri dibanding kelompok kontrol (p<0,05). Sedangkan skor kualitas hidup tidak terdapat perbedaan antar kedua kelompok tersebut. Streghthening Exercise dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien hemodialisis dengan metode RCT dibuktikan oleh de Lima et al. (2013) yang berjudul Effect of Exercise Performed during Hemodialysis: Strength versus Aerobic. Penelitian ini untuk melihat pengaruhnya terhadap kekuatan otot, kapasitas fungsional, fungsi pulmonal dan kualitas hidup. Penilaian kekuatan otot pernafasan dinilai menggunakan maximal inspiratory pressure (MIP), maximal expiratory pressure (MEP). Tiga puluh dua pasien terbagi menjadi 3 kelompok (G1=11 pasien kelompok kontrol, G2=11 pasien kelompok streghthening Exercise, G3=10 pasien kelompok aerobic Exercise), melakukan intervensi 2 jam pertama hemodialisis, selama 8 minggu. Kelompok G2 melakukan latihan otot perifer terdiri dari tiga seri dari 15 repetisi dalam setiap serinya. Pertama, anggota tubuh bagian bawah yang terdiri dari latihan lutut fleksiekstensi, dan pinggul dan lutut fleksi dengan dorsofleksi kaki, kedua, pergelangan kaki melakukan restriksi dengan memanfaatkan 40% dari beban maksimum satu pengulangan (1RM). 1RM dievaluasi setiap 15 hari menggunakan dan disesuaikan Borg s scale. Kelompok G3 mengayuh sepeda ergometric selama 20 menit dengan intensitas Borg s scale skala ringan sampai moderat. Hasil penelitian menunjukan streghthening Exercise dan aerobic Exercise dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan, kapasitas fungsional dan kualitas hidup, ditunjukan dengan nilai peningkatan (MIP) (p=0,0112) dan number of steps achieved (NSA) (p=0,018), peningkatan kualitas hidup (p<0,05). Penelitian lain yang dilakukan Reboredo, Henrique, Faria, Chaoubah, Bastos dan de Paula (2011) berjudul Exercise Training During Hemodialysis Reduces Blood Pressure and Increases Physical Functioning and Quality of Life. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi fisik, tekanan darah, kualitas hidup dan nilai laboratorium. Sebanyak 18 pasien dengan rentang usia (36 tahun 58 tahun) diberikan Exercise selama 3 kali perminggu dalam waktu 6 bulan. Exercise yang digunakan menggunakan protokol yang disetujui oleh Research Ethics Committee of the Federal University of Juiz de Fora. Terbagi dalam 2 fase, yaitu fase kontrol selama 12 minggu dan fase intervensi selama 12 minggu. Fase kontrol (hari -12 ke hari 0) merupakan plasebo dengan memberikan intervensi stretching Exercise ekstremitas bawah selama 10 menit ketika hemodialisis. Diakhir fase kontrol, pasien melakukan tes 6MWT, 24 jam ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) dan dinilai SF-36. Pada fase intervensi setelah fase kontrol, pasien melakukan aerobicexercise (hari ke-0 sampai ke-12). Aerobik Exercise diawasi dan dilakukan selama 2 jam pertama dari hemodialisis dan terdiri dari tiga fase : pemanasan, pendinginan, dan cooldown. Elektromagnetik siklus ergometer horisontal digunakan untuk aerobik Exercise. Tahap pemanasan terdiri dari 10 menit peregangan ekstremitas bawah, serta beban rendah latihan aerobik dan rotasi rendah selama 5 menit. Intensitas Exercise sesuai Borg s scale yang dianjurkan yaitu rentang 11 sampai 13. Diakhir fase intervensi, pasien melakukan tes 6MWT, 24 jam ABPM dan dinilai SF-36. Pasien melakukan 6MWT dengan berjalan selama 6 menit pada jalur datar 30 meter yang kemudian diukur perceived exertion menggunakan Borg scale. Tekanan darah diukur menggunakan oscillometric monitor pada interval 20 menit mulai pukul dan dan setiap 30 menit selama tidur. Hasil penelitian menunjukan peningkatan fungsi fisik (6MWT p=0.001), penurunan tekanan darah (p<005), peningkatan hemoglobin (p<005), dan peningkata kualitas hidup. 200

201 Penelitian lain yang dilakukan oleh Molsted, Eidemak, Sorensen dan Kristensen (2003), berjudul Five Months of Physical Exercise in Hemodialysis Patients: Effects on Aerobic Capacity, Physical Function and Self- Rated Health. Desain RCT dengan sebanyak 33 pasien dibagi menjadi 2 yaitu kelompok Exercise 22 pasien dan kelompok kontrol 11 pasien. Penelitian ini menggunakan blinded yaitu pada Exercise tester. Efek Exercise diukur menggunakan kapasitas aerobik, 2-min stair climbing, squat test, self-rated health (SF36), tekanan darah dan lipid. Intervensi diberikan pada kelompok Exercise 2 kali seminggu selama 5 bulan yang disupervisi oleh fisioterapis. Exercise yang diberikan yaitu 10 menit pemanasan, menit streghthening Exercise&aerobicExercise dan menitmengayuhpadaergometer dan pendinginan 5-10 menit. Intensitas dinilai menggunakan Borg s scale rentang Sedangkan kelompok kontrol hanya melakukan aktivitas biasa. Tes kapasitas aerobik diukur 10 hari setelah Exercise selesai dilakukan menggunakan ergometer elektrik. Saat dilakukan tes kapasitas aerobik, pasien dimonitor VO2 max, teknana darah dan monitor EKG. Hasil penelitian menunjukan terdapat peningkatan fungsi fisik (0,004), dan kapasitas aerobik yaitu VO2 max meningkat (p=0,012), peningkatan kulaitas hidup SF-36 (p=0,004) pada kelompok excerise. Sedangkan tekanan darah dan lipid tidak terjadi perubaan signifikan. Exercise di luar unit hemodialisa Studi yang dilakukan Capitanini et al. (2008), berjudul Effects of Exercise training on Exercise aerobic capacity and quality of life in hemodialysis patients. Penelitian ini merupakan jenis pilot study. Partisipan sebanyak 20 orang dengan rentang usia 30 tahun - 42 tahun (10 pasien hemodialisis sebagai kelompok intervensi dan 10 orang sehat sebagai kontrol). Sesi exercise dilakukan 2 kali seminggu, pada hari-hari nondialisis, selama 12 bulan. Intensitas latihan ini adalah submaksimal, yaitu, di bawah anaerobik yang anaerobicthreshold (S1), tidak melebihi 60 % dari konsumsi puncak VO2. Durasi setiap sesi hingga 90 menit (pemanasan, peregangan menit dilanjutkan dengan menit bersepeda dari siklus ergometer elektik dan diikuti pendinginan. Semua sesi diadakan di pusat kegugaran di luar rumah sakit, dengan pengawasan pelatih fisik dan perawat dialisis atau dokter. Penilaian kapasitas fungsional diukur pada awal dan setelah 12 bulan intervensi. Kapasitas fungsional dinilai menggunakan pemeriksaan biokimia, tes latihan cardiopulmonary, ekokardiografi dan Short Form 36 (SF-36). Hasil penelitian menunjukan selama 12 bulan exercise menunjukan peningkatan kapasitas fungsional. Terdapat peningkatan VO2 pada S1. Nilai ambang ventilasi meningkat, sedangkan tekanan darah sistolik dan tekanan nadi menunjukkan penurunan (P<0,05). Skor SF-36 menunjukan peningkatan. Home based Exercise Bulckaen, Capitanini, Lange, Caciula, Giuntoli, Cupisti (2011) melakukan dengan desain kohort prospektif yang berjudul Implementation of Exercise training programs in a hemodialysis unit: effects on physical performance. Sebanyak 18 pasien hemodialisis yang terbagi menjadi 2 intervensi, yaitu advised walking group (AWG) dan supervised walking group(swg) Penelitian yang dilakukan Bulckaenet al. (2011) ini adalahprospektif, terkontrol.pemeriksaan 6MWT, treadmilldilakukan pada awal perioderun-in(t-12) danpada awal (T0), dan kemudiansetelah 3bulan(T3) dan6bulan(t6). Setelahperiode kontrolrun-in 12-bulan,pasiendirekrutdimulai2pelatihanolahragayang berbeda jadwaluntuk jangka waktu6bulan dan sekali lagi setelah3dan6bulan pelatihanfisik. IndeksKahndievaluasi dalam semuapasien. Program AWG mengikuti programpelatihanexercise di rumah yaitu berjalan,dandipantau olehpedometer. Sedangkan. Program SWG diikuti Exercise dirumahditambah programpelatihan 2 kaliseminggu di pusat kebugaran yaitu berjalan ditreadmill selama menit danlatihanekstremitas atas dengan ergometer. Intradialisis Exercise untuk koordinasi, kekuatan otot dan fleksibilitas dengan intensitas rendah dilakukan saat 2 jam pertama hemodialisis atau selama 30 menit. Exercise juga menggunakan bola elastis yang diletakan di lutut. Posisi pasien yaitu duduk. Hasil penelitian menunjukan peningkatan endurance lebih terlihat pada kelompok SWG dibanding AWG (p<0,01). Program home based exercise juga dilakukan oleh Koh, Fassett, Sharman, Coombes dan Williams (2010) yang berjudul Effect of Intradialytic Versus Home-Based Aerobic Exercise Training on Physical Function and Vascular Parameters in Hemodialysis Patients: A Randomized Pilot Study. Penelitian ini menggunakan metode RCT, dilakukan pada 70 pasien hemodialisis, terbagi menjadi 3 kelompok yaitu, 27 pasien intradialitik exercise, 21 pasien home basedexercise dan 22 pasien perawatan biasa. Intradialitik exercise melakukan exercise mengayuh menggunakan ergometer pada 2 jam pertama hemodialisis, 3 kali seminggu selama 6 bulan, intensitas skala pada skala Borg. Pasien melakukan15menitper sesipada 2 minggupertama, 30menitper sesilatihan sampai minggu ke 12dan45menit sampai minggu ke 24. Home based exercise melakukan exercise berjalan 3 kali seminggutanpa pengawasanselama 6 bulandi skala Borg RPE12-13, selama 15 menit/sesidan 45 menit padaminggu ke-24 pasien dipantau menggunakan telepon. Usual caremempertahankan gaya hidup seperti biasa denganpengingatreguler. Pada6 bulan, tidak ada perbedaanyang signifikan antaraperubahantes berjalan6menit jarak(latihan intradialytic,p=0,2; home based,p=0,3). Aktivitas fisik menunjukan tidak ada perbedaan, namun self reported 201

202 aktivitas fisik meningkat pada intradialitik,p=0,03. Nilai SF-36 menunjukan penurunan pada kelompok intradialitik (p=0,01), dan tidak pada home based (p=0,6). PEMBAHASAN Pasien GGK yang menjalani program hemodialisisjangka panjang, sering mengalami muscle wasting, dan kelelahanyang berlebihan. Hal ini disebabkan karena inaktivitas, atrofi ototdan berkurangnya fungsi fisikterkait denganpeningkatan mortalitaspasien GGK (Kosmadakis et al.2010). Pada pasiendialisis, exercise memberikan manfaat dengan dibuktikan oleh penelitian baikaerobik exercisedanresistenceexercise. Penelitian secara komprehensif, termasukjenis latihan, wakturelatif terhadapsesidialisisdan efekyang dihasilkanpada fungsifisiologis, telah dibuktikan memberi efek positif pasien hemodialisis. Intradialyticaerobikexercisemeningkatkan secara signifikanterhadap kapasitaslatihan aerobikdan durasi latihan. Resistence exercise meningkatkan kekuatandan fungsional kapasitaspasien (Cheema, Fiatarone,2005; Storer, Casaburi, Sawelson, Kopple,2005). Secara keseluruhan Exercise pada pasien hemodialisis mempengaruhi struktur dan fungsi otot, fungsi jantung, tekanan darah dan risiko kardiovaskuler lain, efisiensi hemodialisis, adaptasi psikologis, dan peningkatan kualitas hidup. Exercise yang dilakukan selama hemodialisa dan diluar unti hemodialisa sama-sama memiliki keuntungan bagi pasien. Namun jika ditinjau dari kepatuhan pasien dalam menjalankan exercise, exercise yang dilakukan di unit hemodialisa lebih efektif. Model Ini lebih efisien nyaman dan efektif waktu karena pasien berada dalam rumah sakit tiga kali per minggu, sehingga program exercise menyesuaikan program rutin hemodialisa (Konstantinidou, koukouvou, kouidi, deligiannis, tourkantonis, 2002). Exercise yang dilakukan di unit hemodialisa dilakukan oleh Segura Orti et al. (2009), de Lima et al. (2013), Reboredo et al. (2011) dan Molsted et al. (2003). Sedangkan penelitian Capitanini et al. (2008), Bulckaen et al.(2011) dan Koh et al.(2010) memberikan exercise yang dilakukan diluar unit hemodialisa. Monitor atau supervisi penting dilakukan untuk mengevaluasi kepatuhan pasien dalam melakukan exercise, baik yang diberikan saat intradialisis atau di luar unit hemodialisa. Saat intradialisis, selain karena mengikuti program jadwal rutin, ketika dilakukan di unit hemodialisis, pasien termonitor oleh perawat atau staff dialisis. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Segura-Orti et al. (2009), Reboredo et al. (2011), Bulckaen et al.(2011) dan Molsted et al. (2003) dengan memberikan exercisedilakukan supervisi oleh fisioterapis. Sedangkan Capitanini et al. (2008), dan Koh et al.(2010) dilakukan supervisi oleh perawat, dokter dan pelatih exercise. Monitoring melalui telepon juga dilakukan oleh Koh et al.(2010) pada kelompok home based. Meskipun tidak secara signifikan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap program exercise, namun telemonitoring ini dapat digunakan sebagai reminder atau monitoring program. Pentingnya supervisi dalam exercise sangat mendukung program execise. Exercise yang diawasi memberikan perbaikan yang signifikan dan relevan secara klinis dibandingkan dengan program latihan tanpa pengawasan. Manfaat yang jelas dari program latihan diawasi termasuk potensi keuntungan seperti tersedianya instruksi, pengawasan dan akuntabilitas terhadap kepatuhan, fasilitas yang menguntungkan dan adanya interaksi sosial (Haas, Llyod, Yang, Terjung, 2012). Ini menjadi salah satu kekuatan penelitian yang dilakukan Segura-Orti et al. (2009) karena terpantau program intervensinya. Sedangkan penelitian de Lima et al. (2013) tidak menyertakan supervisi dalam studinya. Termonitornya pasien dalam melakukan exercise meningkatkan kepatuhan pasien. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Segura-Orti et al (2009), Reboredo et al (2010), Buclaen et al (2003) dan Koh et al (2010) yang melihat kepatuhan dalam penelitiannya. Penilaian kepatuhan dilakukan menggunakan diary (Koh et al 2010), hitungan sesi exercise (Segura-Orti et al.,2009; Reboredo et al.,2010). Pedometer yang digunakan selain untuk menilai kepatuhan, juga sebagai motivator dalam aktivitas fisik pasien. Dengan meningkatnya kepatuhan, maka kualitas hidup pasien akan meningkat karena terjadi peningkatan kapasitas fungsional fisik pasien. Penilaian kepatuhan tersebut menambah kekuatan penelitian karena menggambarkan efek lain dari exercise yang berpengaruh pada kualitas hidup pasien. Aerobicexercise dan exercise lain terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup dan fungsi fisik. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Segura Orti et al. (2009) dengan memberikan resistence exercise dan aerobicexercise, de Lima et al. (2013) dan Bulckaen et al.(2011) memberikan streghtheningexercise dan aerobicexercise, Reboredo et al. (2011), Capitanini et al. (2008), Koh et al.(2010) dan Molsted et al. (2003) memberikan aerobicexercise. Kesamaan dari keempat penelitian tersebut yaitu sama-sama memberikan aerobicexercise sebagai intervensi utamanya atau sebagai kontrolnya dan aktivitas exercise yang diberikan yaitu mengayuh. Painter (2005) memberikan guidline bagi pasien hemodialisis untuk melakukan aerobicexercise atau cardiovascularexercise dengan memberikan gerakan pada otot besar dan waktu yang direkomendasikan adalah 30 menit selama 3-4 kali perminggu. Hal tersebut untuk mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler. Sedangkan menurut American College of Sports Medicine (ACSM) dan American Heart Association (AHA) merekomendasikan minimal 30 menit selama 5 hari/minggu untuk moderat exercise atau 20 menit selama 3 kali/minggu untuk exercise yang lebih berat (Haskell et al.,2007).penelitian Segura Orti et al. (2009), de Lima et al. (2013), Reboredo et al. (2011), dan Molsted et al. (2003) memberikan waktu aerobik Exercise berkisar

203 menit sebagai waktu Exercise inti dan 10 menit untuk pemanasan dan pendinginan. Hal tersebut sesuai dengan guidlane ACSM & AHA dan rekomendasi bagi pasien hemodialisis. Penilaian kapasitas exercise pada ketujuh penelitian tersebut memiliki perbedaan dalam cara pengukuran kapasitas exercise. Segura Orti et al. (2009) dan Reboredo et al. (2011) mengukur kapasitas Exercise dilakukan menggunakan 6 minutes walking test (6MWT). Pengukuran kapasitas exercise tersebut sesuai dengan rekomendasi dari American Thoracic Society (2002). Pasien diinstruksikan untuk berjalan cepat selama 6 menit pada jalur datar sepanjang 30 meter, jarak yang ditempuh klien akan direkam. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Molsted et al. (2003) menggunakan Krogh bicycle ergometer elektrik. Pengukuran kapasitas dihitung menggunakan beban kerja submaksimal yaitu 65% dari maksimal kapasitas yang dikayuh selama 5 menit pada kecepatan 60 rpm. Sedangkan de Lima et al. (2013) menggunakan step test (ST) yaitu berjalan selama 4 menit. Capitanini et al. (2008) menggunakan VO2 max. Rekomendasi bagi pasien dialisis, kapasitas aktivitas pasien dialisis yang ditoleransi yaitu 50% sampai 60% kapasitas individu normal dan toleransi exercise yang dapat dilakukan adalah moderate exercise (Painter,2005). Evaluasi intensitas exercise yang diberikan pada penelitian Segura-Orti et al. (2009), de Lima et al. (2013), Reboredo et al. (2011), Molsted et al. (2003), Bulckaen et al.(2011) dan Koh et al.(2010) dilakukan secara objektif dan subjektif. Penilaian secara subjektif menggunakan borg s scale. Sedangkan penilaian objektif pada penelitian terebut dengan tes kardiopulmonal dan ekokardiografi. Pasien melakukan exercise jika memenuhi intensitas pada Borg scale. Borg s rating of perceived excertion (RPE) merupakan instrumen subjektif digunakan untuk menilai persepsi usaha selama exercise. Intensitas exercise tersebut dikuatkan oleh penelitian lain. Borg scale direkomendasikan untuk memonitor intensitas exercise pasien hemodialisis. Untuk pasien CKD, intensitas exercise menggunakan Borg scale yaitu pada skala (Kosmadakis, Bevingtonb, Smith, Clapp, Viana, Bishop, Feehally,2010). Sedangkan Scherr, Wolfarth, Christle, Pressler, Stefan dan Halle (2013) merekomendasikan bagi pasien yang kurang sehat dan tidak terlatih, dengan penyakit kardiovaskular, intensitas pelatihan RPE yaitu Scherr et al (2013) menambahkan standar baku penentuan intensitas latihan adalah pengujian latihan cardiopulmonary exercise testing ( CPET ), analisis ventilatori gas, analisis laktat. Standar intensitas pada masing-masing penelitian tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi skala Borg. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Capitanini et al (2008) tidak menggunakan penilaian subjektif. Kekuatan metode penelitian Segura-Orti et al. (2009), Reboredo et al. (2011), dan Molsted et al. (2003) yaitu menggunakan desain RCT. Penggunaan blinded dilakukan oleh Segura-Orti et al. (2009). Blinded dilakukan pada pasien dan evaluator yang tidak mengetahui treatment yang diberikan. Kekuatan desain ini bisa meminimalisir faktor perancu yang dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian. Blinded juga dilakukan oleh Molsted et al (2003) yaitu pada tester yang melakukan uji tes Exercise sebelum dilakukan intervensi aerobicexercise.sedangkan pada penelitian Reboredo et al. (2011) dan Koh et al.(2010) tidak dilakukan blinded. Sehingga dapat menjadi kelemahan penelitian tersebut karena menjadi bias dan kurang mengontrol faktor konfonding lainnya. Metode kohort prospektif yang dilakukan Bulckaen et al (2011) memiliki kelemahan dengan jumlah pasien yang sedikit. Hal tersebut menyebabkan validitas dari penelitian bisa terancam, karena hilangnya subjek selama penelitian yang disebabkan drop out, tingkat partisipasi yang rendah. Jumlah sampel yang terlampau sedikit, dapat menjadi limitasi masing-masing penelitian. Segura-Orti et al. (2009) dengan 27 sampel, de Lima et al. (2013) 32 sampel, Reboredo et al. (2011) 18 sampel, dan Molsted et al. (2003) 33 sampel, Capitanini et al. (2008) 10 pasien hemodialisis, Bulckaen et al. (2011) 13 pasien.meskipun jumlah sample pada penelitian Molsted et al. (2003) lebih banyak dibanding penelitian lain, namun dalam metode penelitian, jumlah sampel tersebut dianggap kurang kuat sehingga hal ini dapat menjadi limitasi dalam penelitian tersebut karena dengan jumlah sampel yang sedikit, kurang kuat merepresentasikan hasil penelitian. Masing-masing penelitian tersebut menggunakan kontrol dalam studinya. Kontrol diberikan perlakuan dengan intervensi exercise yang berbeda pada kelompok yang berbeda pula. Hal ini dilakukan oleh Segura-Orti et al. (2009), de Lima et al. (2013) dan Molsted et al. (2003). Sedangkan Reboredo et al. (2011) membuat kelompok kontrol dari responden yang sama yaitu fase kontrol (hari -12 ke hari 0) merupakan plasebo dengan memberikan intervensi stretching exercise pada responden yang akan diberikan intervensi utama. Penilaian outcome times series masing-masing outcome tidak dilakukan pada semua penelitian. Hanya berupa pengukuran sebagai monitoring saja Seperti yang dilakukan oleh de Lima et al. (2013) dan Reboredo et al. (2011). Pengukuran outcome primer dan sekunder disemua penelitian dilakukan setelah semua intervensi exercise selesai dilakukan yaitu pada akhir intervensi. Sehingga tidak dapat mengetahui perubahan dari masingmasing outcome dari waktu ke waktu selama intervensi tersebut dilakukan. 5. KESIMPULAN Aerobic exercise, resistence exercise dan streghtening exercise memberikan efek positif pada pasien hemodialisis sehingga dapat dijadikan terapi dalam peningkatan aktivitas fisik pasien hemodialisis. Peningkatan kapasitas fisik dan kualitas hidup terjadi setelah pasien melakukan exercise. Kepatuhan terhadap exercise pasien dapat ditingkatkan dengan memberikan program exercise di unit hemodialisa yaitu mengikuti jadwal rutin hemosialisis. Monitor saat melakukan aktivitas diperlukan untuk melihat kepatuhan dan pengaruhnya 203

204 terhadap pasien. Diperlukan penilaian kapasitas fisik dan kualitas hidup menggunakan metode time series agar telihat progresivitas berdasarkan waktu pemberian exercise. 6. DAFTAR PUSTAKA Lozano R, Naghavi M, Foreman K, Lim S, Shibuya K, Aboyans V, Abraham J, Adair I...(2012). Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study2010. Lancet 2013; 380: Prodjosudjadi, W., & Suhardjono. (2009). End-stage renal disease in indonesia: treatment development, J Ethnicity & disease, 19, Bennett, P. N., Breugelmans, L., Barnard, R., Agius, M., Chan, D., Fraser, D.,... Potter, L. (2013). Sustaining a Hemodialysis Exercise Program: A Review. Seminars in Dialysis, 23. doi: /j X x Brouns, R., & Deyn, P. P. D. (2004). Neurological complications in renal failure: a reviewclinical Neurology and Neurosurgery, 107. De-Paul, V., Moreland, J., Eager, T., & Clase, C. M. (2002). the effectivesness of aerobic and uscle strength training in patients receiving hemodialysis and EPO: a randomized control trial. Amrican Journal kidney disease, 40. Konstantinidou, E., Koukouvou, G., Kouidi, E., Deligiannis, A., & Tourkantonis, A. (2002). exercise training in patients with end-stage renal disease on hemodialysis: comparison of three rehabilitation programs. J Rehabil Med, 34. Morishita, Y., & Nagata, D. (2015). Strategies to improve physical activity by exercise training in patients with chronic kidney disease. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease, 8. Tandi, M., Mongan, A., & Manoppo, F. (2014). Hubungan antara derajat penyakit ginjal kronik dengan nilai agregasi trombosit di rsup prof. Dr. R. D. Kandou manado. Jurnal e-biomedik (ebm), 2. Mustata S., Chan C., Lai A., Miller J.(2004).Impact of an Exercise program on arterial stiffness and insulin resistance in hemodialysis patients. J Am Soc Nephrol.15:2718. Parsons TL., Toffelmire EB., King-Van CE.(2006).Exercise training during hemodialysis improves dialysis efficacy and physical performance. Arch Phys Med Rehabil.87: Cheema BSB., Fiatarone SMA.(2005).Exercise training in patients receiving maintenance hemodialysis: a systematic review of clinical trials. Am J Nephrol. 25: Storer TW., Casaburi R., Sawelson S., Kopple JD.(2005).Endurance Exercise training during haemodialysis improves strength, power, fatigability and physical performance in maintenance haemodialysis patients. Nephrol Dial Transplant. 20: American Thoracic Society. (2002).ATS statement: guidelines for the six-minute walk test. Am J Respir Crit Care Med;166: Capitanini A.,Cupisti A.,Mochi N., Rossini D.,Lupi A.,Michelotti G.,Rossi A.(2008). Effects of exercise training on exercise aerobic capacity and quality of life in hemodialysis patients.jnephrol; 21: Segura-Ortí E., Kouidi E.,. Lisón J.F.(2008). Effect of resistance exercise during hemodialysis on physical function and quality of life: randomized controlled trial. Clinical Nephrology, 71 : Bulckaen M., Capitanini A.,Lange S., Caciula A., Giuntoli F.,Cupisti A.(2011). Implementation of exercise training programs in a hemodialysis unit: effects on physical performance. JNephrol; 24(06): de Lima MC., Cicotoste C., Cardoso KD., Junior LGF., Monteiro MB.,Dias AS.(2013). Effect of Exercise Performed during Hemodialysis: Strength versus Aerobic. Renal Failure,; 35(5): Molsted S.,Eidemak I.,Sorensen HT., Kristensen JH. (2004).Five Months of Physical Exercise in Hemodialysis Patients: Effects on Aerobic Capacity, Physical Function and Self-Rated Health.Nephron Clin Pract ;96:c76 c81.doi: / Reboredo MD., Henrique DMN.,Faria RD.,Chaoubah A., Bastos MG., de Paula RB.(2010). Exercise Training During Hemodialysis Reduces Blood Pressure and Increases Physical Functioning and Quality of Life. Artificial Organs 34(7): doi: /j x Koh KP., Fassett RG.,Sharman JE., Coombes JS.,Williams AD..(2010). Effect of intradialytic versus homebased aerobic exercise training on physical function and vascular parameters in hemodialysis patients: a randomized pilot study. Am J Kidney Dis 55:88-99 Kosmadakis G.C.,Bevington A., Smith A.C.,Clapp EL., Viana J.L., Bishop N.C., Feehally J..(2010). Physical Exercise in Patients with Severe Kidney Disease.Nephron Clin Pract;115:c7 c16. DOI: / Konstantinidou E., Koukouvou G., Kouidi E., Deligiannis A.,Tourkantonis A.(2002). Exercise training in patients with end-stage renal disease on hemodialysis: comparison of three rehabilitation programs. J Rehabil Med; 34:

205 Haas TL.,Lloyd P., Yang H.,Terjung RL.(2012). Exercise Training and Peripheral Arterial Disease.Compr Physiol. 2: doi: /cphy.c Painter, Patricia. (2005). Exercise for dialysis patient, A Guide for the Nephrologist. MedicalEducation Institute, Inc Haskell WL.,Lee I., Pate RR., Powell KE., Blair N., Franklin BA.(2007). Physical Activity and Public Health Updated Recommendation for Adults From the American College of Sports Medicine and the American Heart Association. Circulation.;116: Scherr J.,Wolfarth B., Christle JW.,Pressler A.,Wagenpfeil S.,Halle M.(2013).Associations between Borg s rating of perceived exertion and physiological measures of exercise intensity. Eur J Appl Physiol.113: DOI /s x 205

206 PENGEMBANGAN PROGRAM SELF- MANAGEMENTBERBASIS KELUARGA TERHADAP PERILAKU DIET PADA PENDERITA DIABETES MILLITUS TIPE 2: Literatur Review ANIH KURNIA Program Studi D III Keperawatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya miqdadhasna@ymail.com Latar Belakang: WHO statistik menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah tertinggi keempat penderita diabetes. Laporan dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus telah mencapai tingkat epidemi global. Jumlah ini merupakan peningkatan dari 39 juta pada tahun 2007 dan terus meningkat mencapai 439 juta pada tahun 2030 (IDF, 2009). Tujuan: untuk mnegembangkan program self-managemen diet berbasis keluarga pada pasien dengan diabetes tipe 2. Metode: Pencarian dilakukan dengan mereview artikel terkait evidence-based practices. Hanya artikel dalam bahasa inggris direview. Pencarian ditemukan enam belas studi eksperimental diterbitkan terkait dengan topik. Hasil: meskipun self-managemen diet memiliki manfaat besar bagi pasien diabetes, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes mengalami kesulitan dalam melaksanakan program perilaku diet mereka. Kurangnya dukungan keluarga merupakan menjadi salah satu penyebab dari kegagalan tersebut. Partisipasi anggota keluarga dalam program pendidikan kesehatan tentang diabetes memiliki pengaruh psikososial yang baik. Review ini dapat merekomendasikan bahwa pengembangan program self-management berbasis keluarga dapat menjadi faktor positif dalam membantu perilaku self-managementdiet pada pasien diabetes tipe 2. Teori yang dikembangkan oleh Funnell & Anderson (2004) dapat memandu pengembangan program dengan tujuan memberdayakan individu dan keluarga dalam meningkatkan perilaku diet penderita. Program ini terdiri dari: (1) merefleksikan pengalaman self-management saat ini dan / atau masa lalu dengan mendengarkan perilaku diet mereka; (2) mendiskusikan emosi dan perasaan mereka; (3) menyusun Planing Of Action (POA) bersama-sama dengan pasien; (4) edukasi tentang manajemen diet dan strategi pemecahan masalah; dan (5) penetapan tujuan dan mempersiapkan tindakan yang akan dilakukan. Semua sesi ini melibatkan keluarga dan pasien. Tindak lanjut (Followup) diperlukan untuk mengevaluasi perilaku diet penderita. Kesimpulan: kolaborasi pasien, keluarga dan tenaga kesehatan dapat memberikan pengaruh yang positif pada perilaku selfmanagement diet pada pasien dengan diabetes millitus tipe 2. Penelitian selanjutnya diperlukan karena adanya kesadaran pentingnya perilaku self-managenet diabetes dengan mengintegrasikan dukungan keluarga ke manajemen diet rutin. Kata kunci: diabetes millitus tipe 2, dukungan keluarga, perilaku diet, self-management Pendahuluan 1. Latar belakang Laporan dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus telah mencapai tingkat epidemi global. Jumlah ini merupakan peningkatan dari 39 juta pada tahun 2007 dan terus meningkat mencapai 439 juta pada tahun 2030 (IDF, 2009). Organisasi Kesehatan Dunia saat ini (WHO) menunjukkan Indonesia menduduki keempat penderita diabetes. Riset kesehatan dasar pada tahun 2007 menunjukkan bahwa tiga daerah di Indonesia memiliki prvalensi diabetes diatas 1,5%; Aceh, Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Widjojo, 2011). Prevalensi diabetes millitus tipe 2 adalah jenis yang lebih banyak di derita (Sutanegara, Darmono, & Budhiarta, 2000). Penyakit diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang hampir terjadi di semua negara dan terus meningkat dalam jumlah yang signifikan. Peningkatan prevalensi diabetes dapat menyebabkan komplikasi jika tidak dapat mengontrol penyakitnya dan menjadi beban kesehatan di seluruh dunia (Ignatavicius & Workman, 2010). Untuk mengendalikan komplikasi, diperlukan strategi yang tepat. Penderita diabetes harus mengontrol penyakit mereka secara teratur dan mengubah gaya hidup mereka ke arah yang lebih baik misalnya manajemen diet. Manajemen diet merupakan hal yang paling dasar bagi penderita diabetes (Arsand, Tufano, Ralston, & Hjortdahl, 2008). Manajemen diet merupakan komponen inti dan memiliki manfaat bagi penderita diabetes, sebab penderita diabetes mengalami kesulitan dalam pengelolaan perilaku diet mereka (Lin, Anderson, Hagerty, & Lee, 2008; Nelson, Reiber, & Boyko, 2002). Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan perilaku diet membutuhkan waktu yang cukup lama, kebiasaan menyajikan makanan dan mengubah kebiasaan makanan yang mereka konsumsi seumur hidup. Faktor lain yang mempengaruhi adalah pengetahuan, kepercayaan dan kuarngnya dukungan dari anggota keluarga ((Bazata, Robinson, Fox, & Grandy, 2010; O Dea, 2003). Dukungan keluarga memberikan manfaat secara langsung dalam self-management (Toljamo & Hentimen; Wang & Fenske at cited in Xu, Toobert, Savage, Pan, & Whitmer, 2008) (misalnya menyiapkan makanan, mendorong penderita untuk makan makanan yang sehat, dan jadwal latihan secara 206

207 bersama-sama). Dukungan keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi kesembuhan penyakit, pemeliharaan kesehatan dan mengubah perilaku penderita (Cohen; DiMatteo & Hays; Helgeson & Cohen; Uchino, Cacioppo, & Kiecolt-Glaser; Wallston, Alagna, DeVellis, & DeVellis as cited in DiMatteo, 2004). Anggota keluarga dapat membantu dengan melakukan pengujian glukosa darah atau dengan mengidentifikasi tanda-tanda hipoglikemi. Keluarga dapat berperan sebagai sumber daya psikologis, sehingga penderita merasa sehat (Paddison, 2010). Penelitian yang di lakukan oleh Jack (2003) & Awallom (2011) menyatakan bahwa self management yang baik akan menghasilkan hubungan yang baik antara pasien, keluarga dan penyedia layanan kesehatan. Kolaborasi yang baik antara klien dan keluarga akan menghasilkan selfmanagement yang baik (Registered Nurses Association of Ontario, 2010). Manajemen diet merupakan salah satu faktor yang paling penting dari manajemen diabetes. Manajemen diet pada penderita diabetes akan dipengaruhi oleh perilaku diet orang disekitar mereka khususnya anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena sebagian penderita diabetes hidup bersama dengan anggota keluarganya sehingga anggota keluarga mempengaruhi perilaku mereka. Studi ini bertujuan untuk mereview dukungan anggota keluarga dalam program self-management secara signifikan mempengaruhi perilaku diet penderita diabetes millitus tipe Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan program self-manajement berbasis keluarga terhadap perilaku diet penderita diabetes millitus tipe Metode Artikel yang diambil dari CINAHL, PubMed, Ebscohost. Peneliti juga menggunakan pencarian melaluui internet seperti Google Schoolar, google web dengan kata kunci yang digunakan adalah diabetes millitus tipe 2, self-management, perilaku diet dan dukungan keluarga.data, informasi dan dokumen yang cocok dengan kata kunci diambil. Penulis memeriksa hasil pencarian dan membuat evaluasi awal tentang apakah artikel relevan dan mendownloadnya. Kemudian penulis membaca dengan teliti artikel download dan menggali informasi yang relevan. Kriteria inklusi dari artikel diambil berfokus pada perilaku diet, standar self-managenet dan dukungan keluarga. Artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris dan ditulis oleh perawat, mahasiswa perawat, atau dokter. Penelitian dilakukan dalam berbagai setting (rumah sakit, keluarga, atau komunitas), dan meta-analisis, sistematik review, randomized controlled trials, quasi-experimental, korelational. 4. Hasil Self-management, dalam konteks kesehatan didefinisikan sebagai keterlibatan individu dalam mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, membangun dan mempertahankan kemitraan dengan orang lain yang terlibat, memiliki pengetahuan, sumberdaya, dan percaya diri dalam mengelola dampak dari kesehatan yang ditimbulkan (Queensland Health, 2008). Kemampuan individu dalam mengelola dirinya sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu; dukungan sosial, kesiapan untuk berubah, cara mendapatkan informasi, kemampuan individu, keluarga dan keterlibatan layanan kesehatan. Proses self-manajement mengacu pada kemampuan individu dalam menggunakan keterampilan dalam mengelola kondisi kronis atau faktor risiko. Self-management yang digunakan mengacu pada proses yang berbeda: (1) kegiatan seperti merefleksikan pengalaman self-management; (2) membahas emosi dan perasaan; (3) keterlibatan dalam pemecahan masalah; (4) pendidikan kesehatan dan konseling; (5) penetapan tujuan dan perencanaan tindakan / planing of action(poa) (Tang, Funnell, Brown, & Kurlander, 2010). Proses ini biasanya difasilitasi oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih, dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan program. 5. Rekomendasi Penderita DMT2 memiliki risiko tinggi terjadi komplikasi, sehingga endekatan self-management diet dianjurkan bagi penderita DMT2. Dengan cara mengubah perilaku diet mereka. Peran dan dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang penting dalam perubahan perilaku. Hal ini dikarenakan sebagain besar penderita tinggal bersama dengan anggota keluarganya. Diperlukan penelitian selanjutnya tentang self management diet berbasis keluarga dengan menggunakan pendekatan individu. Hubungan kolaborasi antara individu dan keluarga sangat menentukan keberhasilan selfmanagement diet mereka. Program management diet dengan melibatkan keluarga dan memberdayakan penderita diperlukan untuk mencapai efektifitas program. 207

208 DAFTAR PUSTAKA Arsand, E., Tufano, J. T., Ralston, J. D., & Hjortdahl, P Designing mobile dietary management support technologies for people with diabetes. Journal of Telemedicine and Telecare, 14, Awalom, F. S Family support in the self-management of type 2 diabetes among hispanics. Bazata, D. D., Robinson, J. G., Fox, K. M., & Grandy, S. G Affecting behavior change in individuals with diabetes, findings From the study to help improve early evaluation and management of risk factors leading to diabetes. The Diabetes Educator, DiMatteo, M. R. (2004). Social support and patient adherence to medical treatment: A metaanalysis. Health Psychology, 23, Funnell, M. M., & Anderson, R. M Empowerment and self-management of diabetes. Clinical Diabetes, 22, Ignatavicius., Workman., & Mcleod, M. E Medical surgical nursing; Patientcentered collaborative care (6thed). Saunders, chapter 67, pp International Diabetes Federation Diabetes Atlas, 4th. Brussels. Jack, L. (2003). Diabetes self-management education research: An international review of intervention methods, theories, community partnerships and outcomes. Diabetes Self Manage Health Outcomes, 11, Lin, C., Anderson, R. M., Hagerty, B. M., & Lee, B Diabetes selfmanagementexperience: A focus group study of Taiwanese patients with type 2 diabetes. Journal of Nursing and Health Care of Chronic illness in Association with Journal of Clinical Nursing, 17 (5), Registered Nurses Association Of Ontario Strategies to support self-management in chronic conditions: collaboration with clients. Toronto, Canada. Registered Nurses Association Of Ontario. Sutanegara, D., Darmono., & Budhiarta, A. A. G The epidemiology and management of diabetes mellitus in Indonesia. Diabetes Research and Clinical Practice 50 (2), Widjojo, B The rapid rise of Diabetes in Indonesia. Xu, Y., Toobert, D., Savage, C., Pan, W., & Whitmer, K Factors influencing diabetes self-management in chinese people with type 2 diabetes. University of Miami, 31,

209 Pengukuran sesak dengan Modified Borg Scale: Literature review Dhestirati Endang Anggraeni, S. Kep., Ners. Mahasiswa Magister Keperawatan Medikal Bedah Program studi magister keperawatan Universitas Padjadjaran Abstrak- Latar Belakang: Melakukan pengkajian sesak secara komprehensif merupakan salah satu kunci untuk dapat melakukan manajemen sesak dengan tepat. Pengkajian tersebut harus dilakukan dengan menggunakan skala yang tepat. Modified Borg Scale (MBS) merupakan salah satu skala yang valid dan reliabel dalam menilai sesak yang dirasakan oleh pasien. Tujuan: Untuk mengidentifikasi penggunaan Modified Borg Scale sebagai salah satu instrumen dalam pengukuran sesak. Metode: Review ini disusun dari penelitian-penelitian yang dipublikasikan secara online menggunakan bahasa inggris. Database yang digunakan adalah Ebscohost, Proquest, dan ScienceDirect, dengan kata kunci dyspnea (breathlessness, dll) AND measurement (scale, dll) yang dimodifikasi untuk setiap database tanpa mengurangi kata. Hasil: Dari penelusuran yang dilakukan, didapatkan ada 6 penelitian terkait dengan penggunaan Modified borg scale untuk mengkaji sesak. Dari review terhadap penelitian tersebut didapatkan bahwa semua partisipan dapat menggunakan MBS untuk mempersepsikan derajat keparahan dari sesak yang dialami. Ketika pengukuran status pernafasan mengalami peningkatan, skor MBS mengalami penurunan. Dengan demikian, MBS valid dan reliabel dalam pengukuran sesak. MBS juga dapat digunakan pada berbagai macam kondisi dengan keluhan sesak, dari mulai bronchospasme ringan hingga terminal ill. Kesimpulan: Dari review ini dapat menambah informasi mengenai penggunaan Modified Borg Scale sebagai salah satu instrumen yang valid dan reliabel untuk mengkaji sesak yang dirasakan oleh pasien. Penulis juga merekomendasikan penggunaan MBS di tatanan praktek untuk menambah kualitas asuhan yang diberikan. Kata Kunci: Modified Borg Scale, pengukuran sesak 1. LATAR BELAKANG Sesak nafas merupakan suatu gejala yang kompleks yang mempengaruhi banyak dimensi dari pasien yang tidak hanya mempengaruhi pasien dalam melakukan aktivitas fungsional, tetapi juga dapat menyebabkan terjadinya distress dan rasa tidak nyaman. Sesak nafas juga merupakan masalah utama pada pasien dengan penyakit jantung atau penyakit respirasi yang kronis, dan menjadi alasan bagi pasien untuk mencari pengobatan (Wahls, 2012). The American Thoracic Society (ATS) menyatakan bahwa sesak nafas merupakan suatu gejala yang subjektif, sama halnya dengan nyeri, yang hanya bisa dideskripsikan dan diinterpretasikan oleh pasien dan pengkajian apapun pada sesak nafas harus berdasarkan atas laporan dari pasien (The American Thoracic Society dalam Parshall, et al, 2011). Melakukan pengkajian sesak nafas secara komprehensif merupakan salah satu kunci untuk dapat melakukan manajemen sesak nafas dengan tepat. Selain itu, pengkajian sesak nafas juga merupakan suatu sarana dalam mengevaluasi keefektifan pengobatan (Parshall, 2011). Terkait dengan tugas perawat, pengkajian merupakan tahap pertama dari lima proses keperawatan yang harus dilakukan oleh perawat dalam menjalankan perannya sebagai caregiver atau pemberi pelayanan (Potter & Perry, 2005). Dalam tatanan klinis di Indonesia, berdasarkan pengetahuan penulis bahwa pengkajian sesak nafas belum menggunakan suatu instrument yang baku. Perawat melakukan pengkajian sesak nafas hanya berdasarkan pernyataan subjektif pasien, seperti sesak nafas masih dirasakan atau sesak nafas dirasakan berkurang. Hal ini akan berdampak pada penentuan manajemen sesak nafas selanjutnya, mengingat bahwa evaluasi kondisi pasien saat ini merupakan kunci untuk membuat perencanaan selanjutnya. Dengan demikian akan berpengaruh terhadap kualitas asuhan yang diberikan. Agar dapat melakukan manajemen dengan tepat, maka pengkajian sesak nafas harus dilakukan dengan menggunakan skala yang tepat. Skala yang digunakan dalam pengukuran sesak nafas yang ideal adalah menggunakan skala yang valid danreliable(crissafulli & Clinni E, 2010). Salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam melakukan peengkajian sesak nafas adalah dengan Modified Borg Scale (MBS). MBS merupakan suatu instrument pengkajian sesak nafas untuk menilai seberapa parah derajat kesulitan untuk bernafas yang dirasakan oleh pasien (Burdon, et al, 1982 dalam Kendrick, et al, 2000). MBS pada awalnya dikembangkan oleh Burdon, et al (1982). Kendrick, et al (2000) kemudian menambahkan kata breathlessness pada setiap penjelasan dari skor sesak. Setelah itu, MBS mulai banyak digunakan dalam penelitian-penelitian. MBS merupakan instrumen yang efektif dan mudah digunakan. Dalam pelaksanaannya, perawat hanya perlu menyebutkan rentang skala sesak nafas dari 0 (tidak sesak nafas) sampai 10 (sesak nafas maksimal). Kemudian pasien diminta untuk menyebutkan derajat kesulitan bernafas yang dirasakan oleh pasien. Sehingga, tidak banyak waktu yang diperlukan untuk melakukan pengkajian sesak nafas dengan menggunakan MBS. Dengan demikian, instrumen ini bisa digunakan pada saat melakukan initial assessment baik pada pasien rawat inap maupun pasien yang baru datang ke unit gawat darurat. MBS juga menjadi instrumen yang paling banyak digunakan dalam pengkajian sesak nafas (Bausewein, et al, 2007). Melihat kelebihan dari MBS tersebut, maka 209

210 dibuat review ini untuk mengidentifikasi penggunaanmodified Borg Scalesebagai salah satu instrument dalam pengkajian sesak nafas. 2. METODE Definisi sesak nafas Sesak nafas adalah suatu pengalaman subjektif atau ketidaknyamanan dalam bernafas yang terdiri dari sensasi kualitatif yang berbeda untuk setiap pasien. Untuk tujuan dari review ini, digunakan pengertian sesak nafas dari The American Thoracic Society. Definisi Modified Borg Scale Modified Borg Scale adalah instrument pengukuran sesak nafas untuk mengukur kesulitan dalam bernafas. Skala ini menggunakan nomor yang dimulai dari angka 0 ketika tidak terjadi kesulitan dalam bernafas sampai angka 10 ketika kesulitan untuk bernafas dirasakan sangat maksimal. Tipe Penelitian Tipe penelitian dalam review ini adalah penelitian original yang membahas mengenai penggunaan Modified Borg Scale Tipe partisipan/klien Melibatkan partisipan sehat serta pasien dengan keluhan sesak nafas pada usia dewasa diberbagai setting pelayanan kesehatan. Tipe outcome Outcome penelitian ini yaitu partisipan dapat menyebutkan skala sesak nafas yang dipersepsikan sesuai dengan skala MBS serta adanya ketepatan dalam penggunaan MBS dengan ketepatan manajemen sesak nafas. Pencarian literature Review ini disusun dari penelitian-penelitian yang dipublikasikan secara online menggunakan Bahasa Inggris. Database yang digunakan adalah Ebscohost, Proquest, dan ScienceDirect, dengan kata kunci dyspnea (breathlessness, dll) AND measurement (scale, dll) yang dimodifikasi untuk setiap database tanpa mengurangi makna. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari penelusuran yang dilakukan, didapatkan ada 6 jurnal terkait dengan penggunaan Modified Borg Scale(MBS) untuk mengkaji skala sesak nafas. Penelitian tersebut yaitu penelitian yang dilakukan oleh Intarakamhang & Wangjongmeechaikul (2013); Boshuizen, Vincent, & van den Heuvel, (2013); Von Leupoldt, Ambruzsova, Nordmeyer, Jeske, & Dahme (2006); Kendrick, Baxi, & Smith (2000); Capodaglio (2001); dan Shumway, Wilson, Howard, Parker, & Eliasson, (2008). Penelitian pertama yang dilakukan oleh Intarakamhang & Wangjongmeechaikul (2013) dengan tujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan keefektifan 3 subjective rating scale: Modified Borg Scale, The Combined Numerical Rating Scale(NRS)+ FACES dan likert scale. Penelitian ini menggunakan descriptive methodology dengan sampel sejumlah 73 partisipan yang berusia >23 tahun yang dibagi menjadi 3 group. Masing-masing group melakukan treadmill exercise test menggunakan bruce protocol, dengan batas latihan mencapai 85% dari maksimal heart rate, kemudian masing-masing group diukur dengan menggunakan tiga skala yang berbeda yaitu dengan Modified Borg Scale, The Combined Numerical Rating Scale(NRS)+ FACES dan likert scale. Dari penelitian ini didapatkan data bahwa dengan menggunakan perhitungan chi-square (p=0,084) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dihubungkan dengan nilai heart rate 85% dari heart rate maksimal. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Boshuizen, Vincent, & van den Heuvel, (2013) dengan tujuan untuk mempelajari persepsi partisipan tentang sesak nafas menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan Modified Borg Scale (MBS). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan randomized controlled trial terhadap 64 partisipan yang direncanakan akan melakukan thoracosintesis. Selama 14 hari partisipan ditanya skala sesak nafas yang dialami dengan menggunakan VAS dan MBS baik pada saat istirahat maupun beraktivitas. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa waktu median adalah selama 2 hari. MBS secara statistic dapat memberikan prognostik lebih baik dibandingkan dengan VAS untuk dilakukan pengulangan pleural drainase selama 30 hari. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Von Leupoldt, Ambruzsova, Nordmeyer, Jeske, & Dahme (2006) dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari sensori dan afektif partisipan terhadap sesak nafas dengan menggunakan MBS. Dengan menggunakan randomized controlled trial, penelitian ini melibatkan 16 partisipan yang sehat berusia > 26 tahun. Pada penelitian ini, Partisipan diminta untuk melakukan pernafasan dengan menggunakan inspiratory resistive load (3,57 kpa/l/s) dalam keadaan konsentrasi penuh dan distraksi, kemudian partisipan diminta menyebutkan intensitas dari sesak nafas dengan menggunakan VAS dan 210

211 dilanjutkan dengan MBS. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa VAS secara intensitas mempengaruhi skala sesak nafas yang dipersepsikan oleh partisipan. Dan mempengaruhi MBS secara signifikan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kendrick, Baxi, & Smith (2000) dengan tujuan untuk Untuk mengetahui efektivitas dari Modified Borg Scale dalam mengkaji status sesak nafas yang dirasakan oleh partisipan. Penelitian ini menggunakan metode retrospective review study dengan 400 partisipan laki-laki berusia tahun yang datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas. Partisipan yang datang ke IGD diperiksa skala sesak nafas dengan menggunakan MBS kemudian dievaluasi setelah 30 menit diberikan terapi respirasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Semua partisipan dengan akut bronchospasme dapat menggunakan MBS untuk mempersepsikan derajat keparahan dari sesak nafas yang dialami. Ketika pengukuran peak flow mengalami peningkatan, skor MBS mengalami penurunan. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara skor MBS dengan perubahan PEFR (Peak Expiratory Flow Rate). Dengan demikian, MBS valid dan reliabel dalam pengukuran skala sesak nafas. Penelitian yang dilakukan oleh Capodaglio (2001) dengan tujuan untuk membandingkan pengkajian sesak nafas BS dengan VAS pada aktivitas latihan treadmill dan cycleergometer. Penelitian ini menggunakan metode randomized controlled trial terhadap 15 partisipan berusia >31 tahun. Pada penelitian ini Partisipan melakukan latihan arm-cranking (treadmill dan cycleergometer) dengan kecepatan 60 rpm sampai partisipan merasa kelelahan. Pada saat partisipan menghentikan latihannya, sesak nafas diukur dengan MBS dan VAS. Kemudian latihan diulang 2 minggu kemudian dengan prosedur yang sama. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa dengan peningkatan beban kerja, pengukuran sesak nafas dengan menggunakan MBS secara signifikan menunjukkan hasil lebih efektif dibandingkan dengan VAS dengan nilai p<0,005. Penelitian yang juga medukung penggunaan MBS adalah penelitian yang dilakukan oleh Shumway, Wilson, Howard, Parker, & Eliasson, (2008) dengan tujuan untuk mengkaji adanya air hunger dengan menggunakan MBS, VAS dan American Thoracic society shortness of breathe. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode prospective observational study terhadap 198 pasien terminal ill. Partisipan dalam penelitian ini dikaji skala sesak nafasnya dengan menggunakan tiga instrumen tersebut. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa 39% partisipan beresiko untuk terkena air hunger, dan 59% partisipan melaporkan adanya air hunger. Ketiga skala yang digunakan untuk mengkaji sesak nafas secara statistik signifikan dalam mengukur sesak nafas. Pembahasan Sesak nafas merupakan kondisi yang paling dirasakan oleh pasien yang berhubungan dengan adanya masalah pada sistem kardiopulmonal serta tidak ada goldstandard dalam pengukuran skala sesak nafas. Pilihan dalam pengukuran skala sesak nafas sangat tergantung dari tujuan yang ingin dicapai serta ketersediaan sumber. Di dalam literature review ini dilakukan telaahan terhadap Modified Borg Scale(MBS) sebagai salah satu skala yang dapat digunakan untuk pengukuran sesak nafas. Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai skala yang dapat digunakan untuk pengukuran sesak nafas. Bausewein, et al (2007) menyatakan bahwa terdapat 38 skala yang dapat digunakan dalam pengukuran sesak nafas. Diantara semua skala yang ada, MBS adalah salah satu skala yang bisa digunakan untuk mengukur skala sesak nafas, dengan mengukur energi yang digunakan untuk bernafas. Dalam studi ini juga dijelaskan bahwa MBS adalah skala pengukuran sesak nafas yang paling banyak digunakan. MBS ini bisa digunakan untuk mengukur sesak nafas baik pada partisipan yang sehat maupun pasien dengan gangguan sistem kardiopulmonal. Untuk penggunaan pada partisipan sehat, hal ini telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Intarakamhang & Wangjongmeechaikul (2013), Von Leupoldt, Ambruzsova, Nordmeyer, Jeske, &Dahme (2006) dan Capodaglio (2001). Dalam ketiga penelitian tersebut, partisipan diminta untuk melakukan latihan treadmill hingga heart rate mencapai 85% dari heart rate maksimal atau sampai partisipan mengalami kelelahan, keemudian pengkajian sesak nafas dilakukan dengan menggunakan MBS. Latihan kemudian diulang untuk mengetahui keakuratan dari skala yang digunakan. Von Leupoldt, Ambruzsova, Nordmeyer, Jeske, &Dahme (2006) menambahkan pada penelitiannya mengenai faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran sesak nafas yaitu faktor sensori dan afektif. Wahls (2012) menyatakan bahwa sesak nafas merupakan suatu gejala yang kompleks yang mempengaruhi banyak dimensi dari pasien yang tidak hanya mempengaruhi pasien dalam melakukan aktivitas fungsional, tetapi juga dapat menyebabkan terjadinya distress dan rasa tidak nyaman. Selain itu, juga terdapat hubungan sebaliknya, dimana apabila distres meningkat maka sesak nafas pun akan ikut terpengaruh. Hal inilah yang menjadi kelebihan dari penelitian ini. Dalam penelitian ini, partisipan diminta untuk melakukan restrictive inspiratory load dengan konsentrasi penuh dan dalam kondisi terdistraksi. Hasilnya, menyatakan bahwa sesak nafas mengalami perbedaan dengan adanya perbedaan afektif dan sensori. Hal ini juga didukung oleh Huang, et al (2013) dalam penelitiannya terhadap 97 partisipan dengan heart failuredengan tujuan untuk melihat faktor yang mempengaruhi sesak nafas. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara skala sesak nafas dengan dukungan sosial, kecemasan serta depresi yang dialami oleh partisipan. Dari hasil studi ini, maka untuk 211

212 mengurangi sesak nafas yang dirasakan oleh partisipan, maka harus dibuat kondisi psikologis partisipan agar lebih nyaman. Penggunaan MBS pada pasien dengan gangguan sistem kardiopulmonal didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Boshuizen, Vincent, & van den Heuvel (2013); Shumway, Wilson, Howard, Parker, & Eliasson, (2008) dan Kendrick, et al (2000). Ketiga penelitian ini mengkaji sesak nafas yang dikeluhkan oleh pasien dengan membandingkan dengan skala lain. Kendrick, et al (2000) telah membuktikan bahwa penggunaan MBS pada pasien dengan akut bronchospasme yang datang ke unit gawat darurat dinyatakan efektif. Ketika peak flow mengalami peningkatan, skor MBS mengalami penurunan. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara skor MBS dengan perubahan PEFR. Hal ini didukung oleh Bausewein, et al (2007) yang menyatakan bahwa tidak banyak waktu yang diperlukan untuk melakukan pengkajian sesak nafas dengan menggunakan MBS, sehingga instrumen ini bisa digunakan pada saat melakukan initial assessment baik pada pasien rawat inap maupun pasien yang baru datang ke unit gawat darurat (Bausewein, et al, 2007). Boshuizen, et al (2013) dan Shumway, et al (2008) menggunakan MBS untuk mengkaji keluhan sesak nafas pada partisipan dengan terminal ill. Pada penelitian ini, partisipan yang dijadikan sampel dengan beberapa diagnosa terminal yang berbeda. Boshuizen, et al (2013) melakukan penelitian terhadap partisipan dengan kassus gastroenterology sebanyak 21,9% serta dengan keganasan sebesar 17,1%, dan lain-lain. Pada penelitian ini, didapatkan bahwa MBS dapat digunakan untuk mengkaji adanya air hunger pada pasien terminal ill. Penelitian ini juga menemukan bahwa petugas kesehatan telah salah dalam menentukan derajat keparahan dari sesak nafas yang dirasakan oleh partisipan. Padahal, untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien dengan terminal ill, penentuan sesak nafas menjadi indikator penting dalam mengevaluasi keefektifan intervensi serta untuk menentukan langkah intervensi selanjutnya. Dengan adanya penelitian ini, maka petugas kesehatan dapat menggunakan skala yang tepat dalam mengkaji sesak nafas. Selain itu, bias dari penelitian ini adalah dengan tidak mengkajinya faktor kecemasan pada pasien dengan terminal ill. karena pasien dengan terminal ill mempunyai level cemas dan depresi yang lebih besar dibanding pasien lainnya (Selecky, et al, 2005). Shumway, et al (2008) menggunakan MBS pada partisipan dengan malignant pleural effusion. Dalam penelitian ini, MBS tidak hanya digunakan untuk mengevaluasi keefektifan pengobatan, tapi juga untuk memprediksi intervensi medis selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan jumlah cairan yang terdapat dalam pleura. Semakin banyak jumlah cairan yang terakumulasi dalam pleura, maka semakin berkurang jumlah oksigen yang dapat ditampung oleh paru dengan demikian skala sesak nafas yang dinilai dengan MBS semakin meningkat (Lenker, et al, 2015). Seperti inilah alur mengapa MBS bisa digunakan untuk memprediksi reintervensi pleural effusion. Sehingga, MBS dapat menggambarkan status pernafasan pasien. 4. KESIMPULAN MBS merupakan suatu skala pengkajian sesak nafas yang valid dan reliabel digunakan untuk mengkaji sesak nafas yang dirasakan, baik untuk partisipan yang sehat maupun sakit, dan dengan berbagai kondisi, baik bronchospasme ringan hingga terminal ill. Dengan luasnya penggunaan MBS, maka hendaknya perawat menjadikan MBS sebagai standar dalam melakukan pengkajian sesak nafas di tatanan klinis, karena pengkajian secara komprehensif merupakan kunci untuk menilai keefektifan pengobatan serta untuk menentukan intervensi selanjutnya. Selain itu, pasien juga harus berada dalam lingkungan social dan psikologis yang optimal agar dapat mengendalikan sesak nafas yang dirasakan. 5. DAFTAR PUSTAKA Bausewein, C., Farquhar, M., Booth, S., Gysels, M., & Higginson, I. J. (2007). Measurement of breathlessness in advanced disease: A systematic review. Respiratory Medicine, 101(3), doi: Boshuizen, R. C., Vincent, A. D., & van den Heuvel, M.,M. (2013). Comparison of modified borg scale and visual analog dyspnea scores in predicting re-intervention after drainage of malignant pleural effusion. Supportive Care in Cancer, 21(11), doi: Capodaglio, E. M. (2001). Comparison between the CR10 borg's scale and the VAS (visual analogue scale) during an armcranking exercise. Journal of Occupational Rehabilitation, 11(2), doi: Crisafulli, E & Clini, E. M. (2010). Measures of dyspnea in pulmonary rehabilitation. Multidiciplinary respiratory medicine, 5: doi:// / Dorman, S., & Edwards, A. (2007). Which measurement scales should we use to measure breathlessness in palliative care? A systematic review. Palliative Medicine, 21(3), doi: Fierro-carrion, G., Mahler, D.A., Ward, J, & Bird, J.C. (2004). Comparison of continuous and discrete measurements of dyspnea during exercise in patients with COPD and normal subject. Chest. 125:77-84 Hareendran, A. Leidy, N.K., Monz, B.U., Winnette, R., Becker, K., & Mahler, D., (2012). Proposing a standardized method for evaluating patient report of the intensity of dyspnea during exercise testing in COPD, Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 7: Huang, T., Moser, D., Hsieh, Y., Gau, B., Chiang, F.,& Hwang, S. (2013). Moderating effect of psychosocial factors for dyspnea in taiwanese and American heart failure patients. Doi: /jnr.0bo13e d77 212

213 Intarakamhang, P., & Wangjongmeechaikul, P. (2013). The assessment of sesak nafas nafas nafas nafas during the vigorous intensity exercise by three dyspnea rating scales in inactive medical personnel. Global Journal of Health Science, 5(6), Retrieved March 4, 2016 from Kendrick, K.R., Baxi, S.C., & Smith, R. M. (2000). Usefulness of the modified 0-10 borg scale in assessing the degree of sesak nafas nafas nafas nafas in patients with COPD and asthma. J. Emerg Nurs. Jun;26(3): Retrieved March 2, 2016 from Lenker, A., Mayer, D.K.,& Bernard, S.A. (2015). Intervention to treat malignant pleural effusions. National center for biotechnology information U.S. national library of medicine. doi: /15.CJON Parshall, M. B., Schwartzstein, R. M., Adams, L., Banzett, R. B., Manning, H. L. Bourbeau, J., et al. (2011). An official American thoracic society statement: update on the mechanisms, assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Care MedVol 185, iss.4, pp DOI: /rccm ST Potter, P. A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Edisi 4 volume 2. Alih bahasa: Renata Komalasari, dkkk. Jakarta: EGC Selecky, P.A., Eliasson, A.H., Hall, R.I., Schneider, R.F.,& Varkey, B.(2005). Palliative and end-of-life care for patients with cardiopulmonary disease: America college of chest physicians position statement. Chest; 128: Shumway, N. M., Wilson, R. L., Howard, R. S., Parker, J. M., & Eliasson, A. H. (2008). Presence and treatment of air hunger in severely ill patients. Respiratory Medicine, 102(1), doi: Von Leupoldt, A., Ambruzsova, R., Nordmeyer, S., Jeske, N., & Dahme, B. (2006). Sensory and affective aspects of dyspnea contribute differentially to the borg scale's measurement of dyspnea. Respiration, 73(6), Retrieved February 24, 2016 from Wahls, S. A. (2012). Causes and evaluation of chronic dyspnea. Ametican family physician;86(2): Retrieved February 29, 2016 from 213

214 NILAI STRES PRA UJIAN SEKOLAH SEBELUM DAN SETELAH DILAKUKAN TEKNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF SISWA-SISWI KELAS XI SMAN 12 TANGERANG SELATAN 2015 Dian Puspitasari Effendi 1, Kamaluddin Latief 2. Nur Rokhmah 3 Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Banten, dpusp1t4s4r1@gmail.com Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Banten. kamaludinlatief@gmail.com Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan STIKES Banten, Abstrak- Pendahuluan, Siswa-siswi yang berusia remaja mengalami stres, salah satunya terjadi karena ujian sekolah yang semakin dekat. Faktor lain yang menimbulkan stres pada siswa-siswi menjelang ujian sekolah adalah fakor akademik dan non akademi. Untuk meringankan gejala stres dibutuhkan upaya pengendalian stres. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai stres pra ujian sekolah sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif. Tujuan Penelitian, Mengetahui nilai stres pra ujian sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada murid kelas XI SMAN 12 Tangerang Selatan 2015 Metode Penelitian, desain Quasi Experimental dengan pendekatan Pretest-Posttest Control Group Design. Pengambilan sampel dengan metode Simple Random Sampling dengan Jumlah sampel 60 dibagi menjadi dua kelompok. instrument pengukuran gejala stres menggunakan Self Reporting Questionnaire sedangkanuji statistic menggunakan Wilcoxon Match Pair Test dan Mann Whitney. Hasil penelitian, Nilai rerata sebelum dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok intervensi adalah 9,30, Nilai rerata pretest pada kelompok kontrol adalah 8,37, Setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif nilai rerata pada kelompok intervensi adalah 6,53, Pada kelompok kontrol nilai rerata posttest adalah 8,97. P.Value= 0,000, menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna pada kelompok intervensi sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif. P.Value= 0,032 menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna pada kelompok kontrol. Simpulan, terjadi penurunan nilai strespada kelompok intervesi.pada kelompok kontrol ada perbedaan nilai stres yaitu stabil dan meningkat, serta ada perbedaan nilai stres antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Saran, Relaksasi otot progresif dapat menjadi tindakan alternatif untuk meringankan gejala stres kata Kunci, Stres Pra Ujian Sekolah, Siswa-siswi kelas XI, Relaksasi Otot Progresif dan SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan 1. PENDAHULUAN Sumber stres pada remaja dapat diakibatkan.semakin dekatnya waktu ujian sekolah yang mengharuskan siswa lebih sering belajar, merupakan stresor dari lingkungan yaitu sekolah (Hidayat, 2006).Stresor yang berkaitan dengan sekolah terjadi karena academic pressures (tekanan akademik) terutama menjelang ujian sekolah. Beberapa faktor penyebab stres menjelang ujian sekolah antara lain: 1) faktor kurikulum: target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian yang begitu ketat, 2) faktor guru: sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten, 3) faktor manajemen sekolah: penerapan disiplin sekolah yang ketat, 4) faktor masa depan, 5) faktor persaingan membuat siswa sering dilanda kondisi stres (Suhendri, 2012). Penelitian yang dilakukan (Gusniarti, 2002) dalam (Rahmat, 2013) terhadap peserta didik di salah satu sekolah di Jakarta menemukan Sekitar 40,74% peserta didik merasa terbebani dengan keharusan mempertahankan peringkat sekolah, 62,96 % peserta didik merasa cemas menghadapi ujian semester, 82,72% peserta didik merasa takut mendapat nilai ulangan yang jelek, 80,25% merasa bingung menyelesaikan PR yang terlalu banyak, dan 50,62 % peserta didik merasa letih mengikuti perpanjangan waktu belajar di sekolah. Fenomena stres yang berkaitan dengan tuntutan akademik dapat pula mempengaruhi koping para siswa. Berdasarkan penelitian (Rahayu, 2014 Kejadian diatas dapat menimbulkan dampak fisik maupun psikologis pada siswa. Dampak tersebut dapat menunjukkan bahwa siswa- siswi masih rentan terhadap stres dan gangguan emosional lainnya. Berdasarkan data Riskesdas Kementrian Kesehatan RI tahun 2013, prevalensi gangguan emosional pada penduduk umur 15 tahun di Banten sebanyak 5,1%. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI pada Riskesdas Provinsi Banten tahun 2013 menyebutkan bahwa berdasarkan kelompok umur, angka kejadian gangguan mental emosional penduduk umur tahun sebanyak 6%, menempati tempat ketiga setelah kelompok umur tahun diperingkat kedua dan umur 75+ diperingkat pertama. Di Kota Tangerang Selatan sendiri angka gangguan mental emosional umur 15 sebanyak 1,8%. Dari data tersebut diperoleh juga, prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Berdasarkan fenomena diatas, dibutuhkan peran perawat untuk membantu siswa belajar bagaiman mencegah dampak negatif tersebut. Salah caranya yaitu memberi edukasi mengenai management stress. Disini, 214

215 teknik yang diajarkan adalah relaksasi otot progrsif, maka peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan nilai stres pra ujian sekolah sebelum dan setelah diberikan teknik relaksasi otot progresif pada siswa-siswi kelas XI. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitan quasi experimental designdengan pendekatan pretest-posttest with control group. Sampel sebanyak 60 orang siswa-siswi yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 30 orang kelompok intervensi dan 30 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel menggunakansimple random sampling. Penelitian ini dilakukan pada 7-12 September 2015 di ruang kelas XI.IPA 3 SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan. Penelitian dilakukan selama 6 hari dengan dengan frekuensi latihan relaksasi otot progresif sebanyak 1 sesi/hari selama menit.alat adalah self reporting questionnairedengan modifikasi. Analisa data yang digunakan yaitu Analisa Univariat dan Analisa Bivariat, Analisis Bivariat dilakukan dengan uji wilcoxon match pair test dan uji mann whitney. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Distribusi Nilai Mean, Median, Minimal, dan Maksimal pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sebelum dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif di SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Sebelum dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif Mean Median Minimal Maksimal Kelompok Intervensi 9, 30 9, Kelompok Kontrol 8, 37 7, Berdasarkan Tabel nilai rata-rata stres sebelum dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok intervensi adalah 9, 30 dan nilai rata-rata strespada kelompok kontrol adalah 8, 37, hal ini menunjukan bahwa rata-rata stres kelompok intervensi lebih tinggi dari rata-rata streskelompok control, juga menemukan adanya perbedaan nilai rata-rata kecemasan sebelum dilakukan teknik relaksasi otot progresif, dimana nilai rata-rata kelompok perlakuan lebih tinggi dari kelompok kontrol. Nilai rata-rata kecemasan sebelum dilakuan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan adalah 25, 32 dan pada kelompok kontrol adalah 22, 69. Median pada nilai stres kelompok intervensi sebelum teknik relaksasi otot progresif adalah 9,00, pada kelompok kontrol adalah 7,50. Nilai minimal pada kedua kelompok sama yaitu 6, hal ini terjadi karena cut off point seseorang mengalami gangguan mental emosional,disini adalah stres berdasarkan Self Reporting Questionnaire adalah 6 gejala yang sedang dirasakan. Perbedaan terjadi pada nilai maksimal, nilai tertinggi pada kelompok intervensi adalah 15 dan pada kelompok kontrol adalah 13, dapat disimpulkan bahawa nilai maksimal pada kelompok intervensi lebih tinggi dari pada kelompok kontrol, dengan selisih 2 gejala. Distribusi Nilai Mean, Median, Minimal, dan Maksimal pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Setelah dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif di SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Setelah dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif Mean Median Minimal Maksimal Kelompok Intervensi 6, 53 6, Kelompok Kontrol 8, 97 9, Berdasarkan Tabel diketahuai nilai rata-rata stres setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok intervensi adalah 6, 53 dan pada kelompok kontrol adalah 8, 97. Setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif terlihat penurunan rata-rata nilai stres kelompok intervensi dari 9,30 menjadi 6,53, sedangkan pada kelompok kontro terlihat peningkatan rata-rata nilai stres dari 8,37 menjadi 8,97. Hasil uji statistik yang dilakukan. Median pada setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok intervensi adalah 6,00, pada kelompok kontrol adalah 9,00. Nilai minimal pada kelompok intervensi adalah 2 dan pada kelompok kontrol adalah 6, dari hal ini dapat terlihat bahwa pada kelompok intervensi terdapat penurunan gejala stres dimana nilai minimal 6 gejala, sedangkan pada kelompok kontrol gejala stres stabil yaitu 6. Nilai maksimal juga terjadi perubahan, gejala stres pada kelompok intervensi mengalami penurunan yaitu paling banyak adalah 11 gejala, sedangkan pada kelompok kontrol meningkat yaitu paling banyak adalah 14 gejala.berdasarkan 215

216 analisis tersebut, dapat disimpulkan terdapat penurunan gejala stres pada kelompok intervensi, hal ini dapat terjadi karena kelompok intervensi mendapatkan latihan selama 5 hari, dan responden pun mengaku mempraktekan teknik relaksasi otot progresif secara mandiri. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai stres terlihat meningkat, hal ini dapat terjadi karena responden tidak melakukan upaya untuk meringankan gejala stres yang dirasakan selama 5 hari proses penelitian. Hasil analisis bivariat Uji Wilcoxon Match Pair Test Nilai Stres Pra Ujian Sekolah Pada Kelompok Intervensi Sebelum dan Setelah Dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif di SMA Negeri 12 Tangerang Selatan 2015 Posttest- PretestIntervensi Kategori Rank n Ratarata Rank Jumlah Rank P. Value (sig) Posttest pretest Posttest pretest Posttest = pretest Negatif Rank Positif Rank Ties , 50 0,00 565, 00 0,00 0,000 Jumlah 30 Hasil analisis tabel didapatkan perbandingan nilai stres pada kelompok intervensi sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif yaitu 30 murid (Posttest pretest) memiliki nilai stres lebih rendah setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif dari pada sebelum dilakukan latihan. Pada tabel 5.6 juga diperoleh hasil uji statistik dengan Wilcoxon Match Pair Test diperoleh nilai pada kelompok intervensi yaitu P. Value (sig) sebesar 0,000 karena P. Value 0,05 pada signifikasi 5% maka Ha diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nilai stres yang bermakna pada siswa- siswi kelas XI kelompok intervensi setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif. Dari hasil uji statistik diatas pun menunjukan adanya penurunan nilai stres pra ujian pada seluruh murid kelompok intervensi. Uji Wilcoxon Match Pair Test Perbedaan Nilai Stres Pra Ujian SekolahPada Kelompok Kontrol Sebelum dan Setelah dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif Pada Kelompok Perlakuan di SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Posttest- PretestKontrol Kategori Rank n Ratarata Rank Posttest pretest Posttest pretest Posttest = pretest Negatif Rank Positif Rank Ties Jumlah 30 11,10 10,97 Jumlah Rank 55, , 50 0,032 P. Value (sig) Dari hasil tabel diatas dapat diartikan bahwa relaksasi otot progresif dapat mempengaruhi tingkat stres. Pada kelompok kontrol didapatkan nilai sebanyak 5 murid (Posttest pretest) mengalami penurunan nilai stres, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya kontrol sehingga reponden bisa belajar dari responden lain atau responden kontrol tersebut memiliki cara sendiri untuk meringankan stresnya, sedangkan 9 murid (Posttest = pretest) memiliki nilai stres yang tetap dan 16 murid (Posttest pretest) mengalami peningkatan nilai stres hal ini dapat disebabkan kurangnya upaya pengontrolan stres dan membiarkan diri berada dalam tekanan. Hasil P. Value (sig) sebesar 0,032 karena P. Value < 0,05 pada signifikasi 5% maka Ha diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nilai stres yang bermakna padakelompok kontrol. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden kelompok kontrol mengalami peningkatan nilai stres. 216

217 Uji Mann-Whitney Perbedaan Nilai Stres Setelah dilakukan Teknik Relaksasi Otot Progresif Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di SMA Negeri 12 Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Posttest n Ratarata Rank Jumlah Rank P. Value (sig) Intervensi Kontrol Jumlah 60 22, 42 35, , , 50 Pada tabel didapatkan hasil uji statistik dengan Mann Whitney terhadap nilai posttest pada kelompok intervensi dan kontrol yaitu P.Value (sig) sebesar 0,000 karena P.Value < 0,005 pada signifikasi 5%, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nilai stres antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah teknik relaksasi otot progresif. Hal ini dapat menjelaskan bahwa relaksasi otot progresif berdampak pada penurunan nilai stres pada kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol terdapat nilai stres yang relatif stabil dan meningkat tanpa dilakukan perlakuan. Dalam penelitin ini, menunjukan masih adanya probabilitas remaja mengalami gangguan psikologis. Dari seluruh populasi kelas XI sebanyak 278 orang, terdapat 147 orang yang sedang merasakan stres. Setelah diketahui jumlah pasti siswa- siswi yang mengalami stres, peneliti membaginya menjadi dua kelompok yaitu sebanyak 30 orang kelompok intervensi dan 30 orang kontrol.dari hasil diskusi diketahui beberapa penyebab stres pada siswa-siswi yaitu dari segi akademik dan non akademik. Segi akademik karena guru yang kurang jelas dalam mengajar, semakin seringnya ulangan, dan pekerjaan rumah yang banyak, sedangkan dari sisi non akademik karena ketidaknyamanan pada suasana ekstrakurikuler, kegiatan les dan faktor relationship dengan lawan jenis dan teman sebaya. Gelaja stres yang diraskan siswa-siswi diatas sesuai dengan publikasi yang dikelurkan Yale Stress Center yang berjudul The Effects of High Stress on the Brain and Body in Adolescents yang menyatakan bahwa stres berkontribusi dalam masalah fisik dan psikologis, seperti kurangnya energi, lelah, sulit tidur,peningkatan tekanan darah, sulit konsentrasi, perubahan mood yang drastis, migraine, tidak dapat berpikir dengan jelas dan meningkatnya perasaan negatif. Stres berdampak pula terhadap fungsi kognitif yaitu berkurangnya konsentrasi, memori, minat dan kemampuan pengambilan keputusan. Dampak stres tersebut dapat dicegah dengan berbagai upaya,salah satunya yaitu dengan melakukan teknik relaksasi otot progresif. Setelah peneliti memberikan latihan relaksasi otot progresif salama 5 hari berturut- turut selama menit, dengan 14 gerakan menegangkan otot dan melemaskan otot, ternyata mendatangkan efek positif pada siswa-siswi. Responden mengaku lebih rileks karena intervensi dilakukan setelah kegiatan belajar dan ekstrakurikuler. Setelah mereka merasakan beban dari kegiatan tersebut, mereka dapat berbagi keluh kesah dengan peneliti dan ditambah melakukan latihan relaksasi, membuat keluhan mereka berkurang. Selain fakor waktu pelaksanaan, dua faktor penting yang menentukan keberhasilan teknik relaksasi otot progresif dalam menurunkan stres adalah lingkungan dan lama latihan (National Safety Council, 2004). Lingkungan yang tenang dapat membuat tubuh lebih rileks, kondisi lingkungan pada saat latihan pun sangat mendukung. Dimana latihan dilakukan diruang kelas yang luas dan jauh dari kebisingan. Dengan melakukan latihan relaksasi otot progresif minimal 1 kali sehari dapat membantu meringankan tekanan dalam diri individu. Hal ini dapat dilihat dari nilai posttest yang menunjukkan paling banyak 5 keluhan stres dan rata- rata menunjukkan penurunan sebanyak 4 keluhan stres. 4. KESIMPULAN 1. Nilai rata-rata sebelum dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok intervensi adalah 9, 30, hal ini menunjukan bahwa responden sedang mengalami gejala stres sebelum dilakukannya intervensi.setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif nilai rata-rata pada kelompok intervensi adalah 6, 53 yang artinya terjadi penurunan nilai stres pra ujian sekolah setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif. 2. Hasil analisis menyatakan bahwa ada perbedaan nilai stres pra ujian sekolah pada siswa- siswi kelas XI kelompok intervensi sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif, dimana P. Value sebesar 0,000. Hasil juga menunjukkan bahwa seluruh nilai stres responden mengalami penurunan. 3. Nilai rata-rata stres pada kelompok kontrol sebelum dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan adalah 8, 37, hal ini menunjukkan bahwa responden sedang mengalami gejala stres. 4. Pada kelompok kontrol nilai rata-rata stres setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan adalah 8, 97, hasil ini menunjukan terjadinya peningkatan nilai stres pra ujian sekolah pada kelompok kontrol tanpa adanya perlakuan. 0,

218 5. Hasil analisis menyatakan bahwa ada perbedaan stres pada kelompok kontrol sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan, dimana P. Value sebesar 0,032. Hal ini dapat menggambarkan bahwa nilai stres pada kelompok kontrol stabil dan meningkat. 6. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai stres setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, yang dibuktikan dengan P. Value = 0, UCAPAN TERIMAKASIH Peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh responden, pihak berwenang pada tempat penelitian yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian di SMA 12 Tangerang Selatan, serta STIKes Banten yang telah mendukung proses penelitian ini 6. DAFTAR PUSTAKA Adeoti, F.Y. & Irene, Durosaro (2009). Effectivitness Of Relaxation Techniques In Reducing Examination Anxiety Among Secondary School Students In Niger.Ser, Volume 11, Number Aini, A. Q. (2013). Hubungan Koping dengan Kepercayaan Diri Siswa dalam Menghadapi Ujian Nasional di SMP Negeri 5 Kota Tangerang Selatan. Jakarta. Andersson, W.H., Bjorngaadr,H.J., Kaspersen, L.S., Wang, A.E.S., Skre,I., & Dahl, T. (2009). The effects of individual factors and school environment on mental health and prejudiced attitudes among Norwegian adolescents, Ingunn Skre, Thomas Dahl. Soc Psychiat Epidemiol,DOI /s , 1-9. Ari, D.L.P. & Pratiwi, A. (2010). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, Kartasura : Universitas Muhammadiyah Surakarta Aryani, R. (2010). Kesehatan Remaja : Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika. Austaryani, P.N. & Widodo, A. (2010). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Perubahan Tingkat Insomnia Pada Lansia di Posyandu Lansia Desa Gonilan, Kartasura : Universitas Muhammadiyah Surakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.(2013). Buku 1 Pokok-Pokok Hasil RISKESDAS Provinsi Banten (hal: ). Jakarta. Diunggah pada 26 April 2015 dari Badran, A. (2009). Resep Tetap Sehat dan Terhindardari Stres. Jakarta: Kinza Books. Clemmitt, Marcia. (2007). Students Under Stress. CQ Researcher, Retrieved November 21,2014, from Council, Safety National. (2004). Manajemen Stres. Jakarta: EGC. Dahlan, Sopiyudin M. (2010). Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Arkans. Dalami, Ermawati. (2010). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Trans Info Media. Efendi,Fery & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Firman. (2006). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Dan Visualisasi terhadap Penurunan Stres pada Siswa Sekolah Dasr. 7. Fowler, S.H., Lebel, Myriam. (2013). Promoting youth mental health through the transition from high school Literature review and environmental scan. The Social Research and Demonstration Corporation (SRDC), Gurmeet & Singh, Jitender. (2014). Effectiveness of Progressive Muscular Relaxation on Psychological Well-Being of Adolescents. Multidisciplinary Scientific Reviewer, Volume-01, Issue-03, Gusniarti, Uli. (2002). Hubungan Antara Persepsi Siswa terhadap Tuntutan dan Harapan Sekolah dengan Derajat Stres Siswa Sekolah Plus. Jurnal Psikologika, Hidayat, Alimul Aziz. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Higgins,S., Hall, E., Wall, K., Woolner, P., & McCaughey, C. (2005). The Impact of School Environment : A Literature Review. Newcastle: The Centre for Learning and Teaching School of Education, Communication and Language Science University of Newcastle. Joy,E.F., Jose,T.T., Nayak, K.A. (2014). Effectiveness Of Jacobson's Progressive Muscle Relaxation (JPMR) Technique On Social Anxiety Among High School Adolescent In A Selected School Of Udipi District, Katarnaka State. Nitte University Journal of Health Science, NUJHS Vol. 4, No.1, March 2014, ISSN , 88. Kementrian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.(2013). Riset Kesehatan Dasar (Hal:128). Jakarta. Diunggah pada 24 April 2015 dari Nair, P.P., Meera.P.K. (2014). Effectiveness of Progressive Muscle Relaxation in Reducing Academic Stress of Secondary Schools Students of Kerala. Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS), Volume 19, Issue 8, Ver. I (Aug. 2014), PP e-issn: , p-issn: , Nangia, Anita & Sareen, Seema. (2011). Effectiveness of Training Programme in Relaxation Techniques in reducing Academic and Social Stress among Adolescents. International Referred Research Journal, October, 2011,ISSN , RNI: RAJBIL 2009/30097, VOL-III *ISSUE 25, 4. Narkeesh & Raghuveer. (2011). Effect Jacobson's Progressive Relaxation On Autonomic Variables In Normal Adolescents. Indian Streams Reserach Journal, Vol.1,Issue.XI/Dec; 11pp.1-4, ISSN: , 5-6. Rahayu, F. (2014). Hubungan Tingkat Stres dengan Strategi Koping yang Digunakan Siswa - Siswi Akselerasi SMAN 2 Kota Tangerang Selatan. 45. Rahmat, H. (2013). Kecenderungan Kepribadian Peserta Didik Berdasarkan Tingkat Gelaja Stres Akademik

219 Sarastika, P. (2014). Manajemen Pikiran untuk Mengatasi Stres Depresi Kemarahan dan Kecemasan. Yogyakarta: Araska. Sartono, S. W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers. Sasroasmoro, S & Ismael. (2010). Dasar - Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV SAGUNG SETO. Setyoadi & Kushariyadi.(2011). Terapi Modalitas Keperawatan Pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika. Suhendri, S. S. (2012). Efektifitas Konseling Kelompok Rational- Emotif untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Menghadapi Ujian. Jurnal Bimbingan Konseling 1 (2), Suyamto. (2012). Pengaruh Relaksasi Otot Dalam Menurunkan Skor Kecemasan T-TMAS Mahasiswa Menjelang Ujian Akhir Program (UAP) di Akademi Keperawatan Notokusumo Varvogli,Liza & Daviri, Christina. (2011). Stress Management Techniques: evidence-based procedures that reduce stress and promote health. Health Science Journal, VOLUME 5, ISSUE 2 (2011), World Health Organization. (1994). A User's Guide A Self Reporting Quetionnaire. Geneva: Division Of Mental Health. World Health Organization. (2001). Health Research Methodology A Guide For Training In Research Methods Second Edition. Manila: Regional Office for Western Pacific. World Health Organization. (2007). Education and Treatment in Adolescent Sexuality : The Training of Health Professional. Geneva. Yale Stress Center.(2014). The Effects of High Stress on the Brain and Body in Adolescents. Retrieved March 21,2015, from Yusuf, M. (2005). Kiat Sukses dalam Karier. Bogor: Ghalia Indonesia. Yusuf, S. (2012). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya. Zimmer-Gembeck, J.M., Skinner A. E. (2008). Adolescents Coping with Stress : Development ans Diversity. The Prevention Research, Volume 12(4),

220 PENGARUH TERAPI MUSIK PADA ANAK DENGAN ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD) Dilfera Hermiati 1, Titin Sutini 2 1 Mahasiswa Pascasarjana Keperawatan Jiwa UNPAD, inga_fera_ok@yahoo.com 2 Dosen Fakultas Keperawatan UNPAD 1,2 Gedung Rumah Sakit Pendidikan UNPAD, Jalan Eyckman No.38 Bandung ABSTRAK- Pendahuluan dan Tujuan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan neurobehavioral yang paling umum didiagnosis pada masa kanak-kanak yang dapat mempengaruhi 4-12% dari usia sekolah anak-anak. Peningkatan anak yang mengalami ADHD memerlukan terapi untuk mengurangi gejala yang diderita seperti hiperaktif, kurang perhatian dan impulsive. Salah satu terapi yang dapat digunakan adalah terapi musik, dengan musik dapat mengembangkan keterampilan kognitif seperti perhatian dan memori. Oleh karena itu penting untuk menelaah berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan pengaruh terapi musik pada anak dan remaja dengan ADHD. Tujuan dari penelusuran literature ini adalah untuk memeberikan informasi tentang pengaruh terapi music pada anak dengan ADHD. Metode Penelusuran Metoda penelusuran literatur/ artikel melalui database CINAHL, EBSCOHost, proquest, google scholar dan Cochrain dari tahun dengan katakunci terapi music dan ADHD. Hasil penelusuran Terdapat 5 artikel yang dapat menjawab tujuan review yang menunjukkan apa saja pengaruh terapi music yang diberikan pada anak dan remaja dengan ADHD, diantaranya adalah peningkatan perhatian, peningkatan konsentrasi dan membantu dalam berbicara. Kesimpulan Terapi musik dapat menimbulkan efek yang positif pada anak dengan ADHD sehingga dapat digunakan sebagai salah satu terapi untuk membantu anak dan remaja dalam mengurangi gejala dari ADHD seperti tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktif dan gangguan psikososial lainnya. Kata Kunci: Terapi Musik, ADHD, anak-anak dan remaja. 1. PENDAHULUAN Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan neurobehavioral yang paling umum didiagnosis pada masa kanak-kanak yang dapat mempengaruhi 4-12% dari usia sekolah anak-anak (Leslie, 2002). ADHD merupakan suatu kondisi medis, yang ditandai oleh hiperaktivitas, ketidakmampuan memusatkan perhatian dan impulsivitas, yang terdapat secara persisten (menetap) (Sedyaningsih, 2011). Pada anak ADHD akan terlihat adanya suatu aktivitas berlebihan, tidak bisa diam, selalu bergerak, tidak mampu memusatkan perhatian dan menunjukkan perilaku yang impulsif. ADHD dinilai berdasarkan gejala yang dominan pada rentang waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosa ADHD ditegakkan (Nurwiretno, 2010). Prevalensi anak ADHD sangat bervariasi. Angka prevalensi paling rendah adalah 1,3% pada remaja tahun di Belanda (Saputro, 2009). Angka prevalensi paling tinggi dilaporkan oleh Bathia yaitu sebesar 29% pada anak usia tahun di India (Saputro, 2009). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV menyebutkan prevalensi kejadian ADHD pada anak usia sekolah sekitar 3%-5% (Judarwanto, 2009 dalam Dewi dkk, 2011). Tanda yang sering timbul dari anak ADHD diantaranya adalah kurangnya perhatian, hiperaktif, gelisah, tidak dapat duduk diam atau bermain dengan tenang, dan impulsive (Varcarolis & Halter, 2010). Oleh karena itu, anak dengan ADHD cenderung mengalami disfungsi psikososial baik pada masa anak-anak, remaja dan bahkan beberapa pada usia dewasa (Findling, Singkatnya, & Manos, 2002). Banyak hal yang dapat menyebabkan ADHD diantaranya adalah faktor genetika (Willerman, (1973) dalam Parson (2006) dan Paternotte & Buitelaar (2010)), kerusakan otak (Routh (1978) dalam Parson (2006)), asupan makanan (Saputro (2009), Conners & Taylor (1980) dalam Parson (2006)), lingkungan (McCracken (2000) dalam Videbeck (2001) dan Saputro (2009)) dan faktor neurobiologis (Parson (2006) dan McKeever, et al (2004)). Tingginya angka prevalensi anak dengan ADHD diperlukan penatalaksanaan yang benar. Penatalaksanaan ADHD salah satunya harus merupakan penatalaksanaan yang multimodal yaitu dirancang dapat memenuhi harapan orang tua di rumah dan guru di sekolah, yaitu adanya perbaikan prestasi/penampilan akademis dan tingkah lakunya. Sehingga diperlukan penatalaksanaan yang tepat yang dapat membantu orang tua dan guru salah satunya adalah dengan menggunakan terapi musik. Menurut penelitian Jackson & Nancy (2003) memberikan rekomendasi bahwa terapi musik dan gerak dapat dikembangkan untuk formulasi strategi treatmen untuk anak-anak dengan ADHD. Dengan alasan tersebut maka penting untuk menelaah literature terkait dengan pengaruh terapi music pada anak ADHD. 220

221 2. METODE Kriteria penelitian yang dilakukan review. Tipe penelitian Pada review ini, kami mengambil penelitian dengan rancangan penelitian randomized controlled trial, case study, dan meta analisis. Tipe pastisipan Melibatkan partisipan anak yang mengalami ADHD dengan rentang usia antara 6-14 tahun Tipe intervensi/pengamatan Penelitian yang dimasukkan jika menjelaskan tentang upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan intervensi terapi musik terhadap anak dengan ADHD. Metode pencarian artikel Dalam penyusunan review ini dipilih penelitian original yang dipublikasikan secara online. Pencarian dilakukan pada bulan Maret 2016 dan artikel yang dipublikasikan dengan bahasa Inggris dan Indonesia antara bulan January 2006 dan Maret Database yang digunakan meliputi, Cochrane, Ebscohost, Proquest dan Google Scholar. Cluster Key word yang digunakan adalah terapi musik, ADHD. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Total hasil penelusuran penelitian original dengan key word yang ditentukan adalah 307 artikel dengan rincian Cochrane sejumlah 19 artikel, Ebscohost sejumlah 13 artikel, dan Proquest sejumlah 874 artikel. Setelah diskrining lebih lanjut sesuai sample, dan keterkaitan dengan implikasi keperawatan maka terpilih 5 artikel yang dapat menjawab tujuan review. Dari 5 artikel tersebut menunjukkan apa saja pengaruh terapi music yang diberikan pada anak dengan ADHD, diantaranya adalah peningkatan perhatian (Jorgensen, 2015; Maloy & Peterson, 2014, Pelham et al, 2011), peningkatan konsentrasi (Wiebe, 2007) dan penurunan Hiperaktivitas (susah duduk diam) (Rusmawati, Widyorini, &Sumijati, 2012). Peningkatan Perhatian Gangguang perhatian merupakan salah satu gejala yang muncul pada anak dengan ADHD (Varcarolis & Halter, 2010). Anak dengan ADHD jenis predominan yaitu ketidakmampuan memusatkan perhatian, seringkali tampak sebagai anak yang suka melamun, pasif dan sulit untuk ikut beraktivitas dengan teman-temannya. Sehingga dengan alasan tersebut maka peningkatan perhatian sangat diperlukan untuk memfasilitasi kinerja pada anak dengan ADHD. Penelitian yang dilakukan oleh Jorgensen (2015) menyebutkan bahwa terapi musik mampu meningkatkan perhatian pada anak dengan ADHD terbukti dengan peningkatan kinerja dalam penyelesaian tugas yang diberikan dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini juga dijelaskan oleh Maloy & Peterson (2014) melalui metanalisis yang menyebutkan bahwa perhatian anak dengan ADHD dapat meningkat setelah diberikan terapi musik yang dapat dilihat dengan meningkatnya pembelajaran pada bidang akademik anak.pelham et al (2011) juga menyebutkan musik dapat meningkatkan perhatian anak laki-laki dalam hal berkonsentrai terhadap penyelesaian tugas anak di sekolah. bahwa Peningkatan Konsentrasi Penelitian yang dilakukan oleh Wiebe (2007) pada adolescent melalui case studi selama tujuh minggu menunjukkan bahwa musik dapat membantu pengalaman sekolah dan pekerjaan rumah mereka sehingga dapat mengikuti proses belajar dan konsentrasi meningkat. Teknik yang digunakan adalah dengan mendengarkan music melalui headphone sehingga suara dari luar tidak terdengar. Mendengarkan music digunakan untuk membuat stimulus yang handal dan konstan, membatasi kemungkinan gangguan dari lingkungan sehingga perhatian adolescent dan konsentrasi dapat difokuskan pada penyelesaian tugas sekolah. Namun penelitian ini memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan pada satu kasus sehingga diperlukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. Penurunan Hiperaktivitas Penelitian yang dilakukan oleh Rusmawati, Widyorini, & Sumijati (2012) menyebutkan bahwa terapi musik dapat menurunkan frekuensi perilaku tidak bisa duduk tenang dan keluar dari bangku pada anak yang mengalami ADHD. Namun dalam penelitian ini terdapat keterbatasan seperti tindakan penurunan perilaku hiperaktivitas anak dapat dipengaruhi oleh suasana hati, dengan artian bahwa suasan hati dapat berpengaruh pada mood anak dan mempengaruhi emosional anak untuk bertindak. Waluupun demikian musik akan mempengaruhi emosional anak untuk membuat pilihan tentang tindakan apa yang dapat lakukan (Schaefgen, 2008) 221

222 Pembahasan Menurut DSM-IV-TR, ADHD ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak dalam memberikan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi secara utuh, disamping itu anak ADHD mudah sekali beralih perhatiannya dengan waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Gejala kurang konsentrasi yang terjadi pada anak ADHD dapat mengganggu masa perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi. Beberapa perilaku yang nampak seperti cenderung bertindak ceroboh, mudah tersinggung, lupa pelajaran sekolah dan tugas rumah, kesulitan mengerjakan tugas di sekolah maupun di rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah, melamun, sering keceplosan dalam berbicara, tidak memiliki kesabaran yang tinggi, sering membuat gaduh, berbelit-belit dalam berbicara, dan suka memotong serta ikut campur pembicaraan orang lain adalah bentuk perilaku umum lainnya yang menjadi ciri khas ADHD. Selain itu mereka juga cenderung bergerak terus secara konstan dan tidak bisa tenang. Akibatnya, mereka sering kesulitan untuk belajar di sekolah, mendengar dan mengikuti instruksi orang tua dan bersosialisasi dengan teman sebayanya (Flanagen, 2005 dalam Hatiningsih, 2013). Mendengarkan musik dapat sebagai terapi diantaranya dapat mengembangkan keterampilan kognitif seperti perhatian dan memori (Canadian Association for Music Therapy, 2006). Salah satu penyebab hiperaktivitas pada anak, yaitu faktor neurologis terutama ketidakmatangan fungsi sentral nervus sistem yang mempengaruhi hantaran rangsang dari saraf perifer tidak dapat bekerja dengan baik, akibatnya anak cepat bereaksi tanpa memikirkan akibat dari perilakunya/impulsivitas (Suharmini, 2005). Anak mudah merespon suara-suara yang memiliki irama seperti pada musik klasik yang dapat dianalogikan sebagai suara ibu. Terapimusik merupakan integrasi dari stimulasi audio. Musik secara langsung diproses melalui sistem limbic (amigdala, talamus, cerebal hypothalamus, hippocampus) dan melalui sistem pendengaran, suara masuk ke dalam otak, memicu faktor emosional yang mendorong motivasi dan kemauan untuk membuat pilihan danmelakukan pola sensorik baru, diantaranya adalah dengan peningkatan pemusatan perhatian (Berger, 2002). Music juga dengan cara tertantu dapat memodulasi gejala kurangnya perhatian (Jorgensen, 2015). Selain hal tersebut music dapat juga berguna untuk mendapatkan kepercayaan diri dan berpotensi sebagai penyembuhan pada anak sekolah seperti anak dengan ADHD (Jones, 2004). 4. KESIMPULAN Banyak terapi yang dapat diberikan pada anak dengan ADHD salah satunya adalah dengan terapi musik. Musik dapat memberikan efek tenang pada pasien. Khusus untuk anak dengan ADHD music dapat memberikan efek positif diantaranya adalah dapat meningkatkan perhatian anak dalam berkonsentrasi untuk menyelasaikan tugas sekolah. Selain itu music juga dapat mengurangi hiperaktivitas yang merupakan salah satu ciri dari anak dengan ADHD. 5. DAFTAR PUSTAKA Berger, D. (2002). Music Therapy, and The Autistic Child Sensory Integration. London dan Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher. Dewi, dkk. (2011). Perbedaan keakraban suami-istri berdasarkan adanya anak dengan kecenderungan attention deficit/hyperactivity disorder. Berita Kedokteran Masyarakat. Vol. 27, No. 4, Desember Hatiningsih, N. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak attention deficit hyperactive disorder (ADHD). Jurnal ilmiah psikologi terapan fakultas psikologi universitas muhammadiyah malang, Vol. 01, No. 02, Agustus Jackson, N A Survey of Music Therapy Methods and Their Role in the Treatment of Early Elementary School Children with ADHD. Journal of Music Therapy. Proquest Education Journals; Temple University. Jorgensen Carrer, L. R. (2015). Music and sound in time processing of children with ADHD. Frontiers In Psychiatry, 1-7. doi: /fpsyt Jones, K. (2004). School nursing in search of the holistic paradigm. Creative Nursing, 10(1), p. Leslie, L. (2002). The role of primary care physicians in attention-deficit/hyperactivity disorder. Pediatric Annals, 31 (8), Maloy, M., & Peterson, R. (2014). A Meta-Analysis of the Effectiveness of Music Interventions for Children and Adolescents With Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder. Psychomusicology: Music, Mind & Brain, 24(4), doi: /pmu McKeever, P. et al (2004). Attention deficit hyperactive disorder (ADHD):A practical guide for school. Ireland : Western Education & Library Board. Ouellet, S. (2012). Music Therapy as Support in the Development of a Child with Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Canadian Journal Of Music Therapy, 18(1), Parson, C. (2006). The client with attention-deficit disorder. Response to stressors across the life span. Chapter 17. Online Pdf. 222

223 Patternotte, A & Buitelaar, J. (2010). ADHD Attention deficit hyperactive disorder (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas) gejala, diagnosis, terapi serta penanganannya di rumah dan di sekolah. Alih bahasa Van Tiel. Jakarta : Prenada. Pelham, W. E., Waschbusch, D. A., Hoza, B., Gnagy, E. M., Greiner, A. R., Sams, S. E., Carter, R. L. (2011). Music and video as distractors for boys with ADHD in the classroom: Comparison with controls, individual differences, and medication effects. Journal of Abnormal Child Psychology, 39(8), doi: Rusmawati, Widyorini,W.,& Sumijati, V., S. (2012). Pengaruh terapi musik dan gerak terhadap penurunan hiperaktivitas anak yang mengalami attention deficit hyperactivity disorder (adhd). Saputro, D. (2009). ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder). Sagung Seto, Jakarta. Saputro, D. (2009). ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder). Sagung Seto, Jakarta. Schaefgen, R. (2008). Konsep Sensori Integrasi Informasi Dasar. Bandung: Pencetakan Institut Teknologi Bandung. Varcarolis, E, M., & Helter, M. J. (2010). Foundation of psychiatric mental health nursing a clinical approach (6 th ed). United States of America: Saunders Elsevier. Videbeck, S.L. (2001). Psychiatric mental health nursing. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 223

224 PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG KEPUTIHAN DI MTs NURUL ISLAM CISAUK Dorsinta Siallagan 1, Nuntarsih 2, Nadhila Tarlih Saputri 3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten dorsinta.siallagan@gmail.com Abstrak. Keputihan merupakan masalah kedua sesudah gangguan haid, dialami oleh sebagian besar wanita dan merupakan gejala awal kanker leher rahim yang dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan penyuluhan terhadap pengetahuan remaja putri tentang keputihan di MTs Nurul Islam Cisauk Tahun Desain penelitian yang digunakan adalah Pre Eksperimental Design dengan rancangan one grup pretest-posttest. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh remaja putri di MTs Nurul Islam Cisauk. Sampel sejumlah 34 responden yang diambil secara Accidental Sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Hasil uji statistic menggunakan Non Parametrik Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil penelitian diperoleh nilai Pretest-posttest Asymp. Sig (2 tailed) 0,000 berarti dapat disimpulkan bahwa penyuluhan mempunyai peranan terhadap peningkatan pengetahuan remaja putri tentang keputihan. Penyuluhan merupakan hal yang efektif bagi remaja dan dapat dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan. Kata Kunci : Pengetahuan, Keputihan, Remaja putri. 1. PENDAHULUAN Keputihan dialami oleh sebagian besar wanita terutama remaja dan sering tidak ditangani dengan serius karena menganggap keputihan adalah suatu hal yang biasa. Keputihan berupa lendir vagina atau cairan bening tidak berbau, akan tetapi dalam keadaan patologis terdapat cairan berwarna, berbau, jumlahnya banyak dan disertai gatal dan rasa panas atau nyeri. Di Indonesia kejadian keputihan terjadi trend peningkatan setiap tahun. Berdasarkan hasil penelitian menyebutkan bahwa tahun 2003, 60% wanita pernah mengalami keputihan, sedangkan tahun 2004 hampir 70% wanita Indonesia pernah mengalami keputihan (Ayuningtyas, 2014). Angka ini berbeda dengan Eropa yang hanya 25% saja karena cuaca di Indonesia yang lembab sehingga mudah terinfeksi jamur Candida Albicans yang merupakan salah satu penyebab dari keputihan (Wilujeng, 2014). Penelitian dari Donatila Novrinta pada 64 siswi kelas X dan XI SMA Negeri 4 Semarang periode , menyebutkan bahwa 96,9% responden pernah mengalami keputihan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rachel Dwi Wilujeng pada 15 orang responden siswi di SMA GIKI I Surabaya, menunjukkan bahwa 60% siswi tidak mengetahui keputihan. Rendahnya pengetahuan remaja tentang keputihan mengakibatkan tingginya kejadian keputihan. Keputihan adalah cairan putih yang keluar dari liang senggama secara berlebihan. Keputihan abnormal dapat terjadi pada semua infeksi alat kelamin (Saifuddin, 2014) Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan. Di Indonesia, pendidikan mengenai kesehatan reproduksi belum banyak dilakukan. Pendidikan kesehatan reproduksi tidak tercakup di dalam kurikulum sekolah seperti yang direkomendasikan oleh WHO, karena adanya konflik antara nilai tradisi Indonesia dengan globalisasi kebarat baratan yang dianggap muncul seiring adanya pendidikan kesehatan reproduksi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indry Diana Fatimah menganalisis dari 32 responden setelah dilakukan pengisian kuesioner terdapat peningkatan pengetahuan remaja putri tentang keputihan setelah diberikan penyuluhan tentang keputihan. Tujuan penelitian ingin mengetahui peranan penyuluhan terhadap pengetahuan remaja putri tentang keputihan. 2. METODE PENELITIAN Peneliti menggunakan rancangan penelitian pre-ekpermiental dengan pendekatan one group pretestposttest design (Hidayat, 2011). Peneliti melakukan pretest dengan menyebarkan kuesioner pengetahuan sebanyak 10 pertanyaan dikerjakan selama 10 menit pada setiap remaja. Kemudian peneliti memberikan penyuluhan tentang Keputihan dengan selama menit bersamaan dengan penyebaran leaflet. Setelah itu peneliti melakukan posttest dengan menyebarkan kuesioner yang sama dan dikumpulkan setelah dikerjakan 10 menit. Hasil pre test dan post test dibandingkan untuk melihat apakah ada peranan penyuluhan terhadap pengetahuan remaja tentang keputihan. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh remaja putri di MTs Nurul Islam Cisauk sedangkan sampel sejumlah 34 responden. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Non Probability dengan jenis Accidental Sampling, berarti penentuan atas dasar judgment atau pemikiran tertentu (Sabarguna, 2011). Analisa data menggunakan Non Parametrik Wilcoxon Signed Rank Test karena data yang dimiliki tidak berdistribusi normal. 224

225 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Skor Tabel 1 Distribusi Frekuensi Frek. Pre Test Frek. Post Test Total Berdasarkan tabel 1 menunjukkan skor sebelum dilakukan penyuluhan yang mendapatkan nilai tertinggi sebanyak 3 responden dan yang mendapatkan nilai terendah dengan nilai sebanyak 3 responden. Setelah diberikan penyuluhan tentang keputihan di dapatkan nilai tertinggi dengan jumlah 9 responden dan yang mendapatkan nilai terendah yaitu sebanyak 3 responden. Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Responden Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan nilai rata rata pengetahuan remaja sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan, dari 34 sampel yang diambil didapatkan nilai mean sebelum diberikan penyuluhan adalah 56,17 dengan standar deviasinya 19,38, sedangkan setelah diberikan penyuluhan pengetahuan remaja meningkat sebesar 23,53 sehingga nilai meannya menjadi 79,70 dan nilai standar deviasinya 18,17. Setelah dilakukan pengujian normalitas dan didapatkan hasil distribusi tidak normal, maka dapat diuji dengan uji wilcoxon. Tabel 3. Perbedaan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Keputihan Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Di MTs Nurul Islam Cisauk Tahun 2015 Test Statistics b Ranks N Mean Rank Sum of Rank Nilai Posttest pretest Negative rank 0 a,00,00 Positive rank 32 b 16,50 528,00 Z a Ties 2 c Asymp. Sig (2-tailed) N Mean SD Min Maks Pre test Post test ,000 Total 34 Berdasarkan tabel 3 diatas menunjukan bahwa dari 34 responden 32 responden mengalami peningkatan pengetahuan sedangkan 2 responden memiliki nilai yang tetap. Mean rank atau nilai yang memiliki pergeseran sebanyak digit dan didapatkan nilai p-value < PEMBAHASAN Design Penelitian ini menggunakan Pre Experimental Design berupa rancangan One Group Pretest- Posttest dengan intervensi penyuluhan. Hasil Posttest mengalami kenaikan yang signifikan dari hasil Pretest. Penyuluhan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengubah individu, kelompok dan masyarakat menuju hal hal yang positif secara terencana melalui proses belajar sehingga dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Penyuluhan juga merupakan bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami (Machfoed, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Anas Rahmad Hdayat yang menyatakah ada peningkatan pengetahuan sebesar 26,3% setelah diberikan pendidikan kesehatan pada siswa remaja putri di SMK Batur Jaya 2, Ceper Klaten (Anas Rahmad Hidayat, 2015). Peneliti melakukan intervensi penyuluhan dan menggunakan metode melalui media cetak dalam bentuk leaflet yang berjudul Keputihan. Leaflet dibagikan kepada responden sebelum dilakukan penyuluhan ya ng dibuat semenarik mungkin, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mudah dimengerti, gambar yang 225

226 tercetak jelas dan pemilihan warna yang cerah. Leaflet yang dibuat dengan desain yang baik dapat menarik keinginan peserta untuk membacanya, dengan membaca leafleat yang dibagikan oleh peneliti dapat membantu meningkatkan pengetahuan remaja putri tentang Keputihan. Penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian Menik Kustriyani dengan judul Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Siswi Sebelum dan Sesudah Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Keputihan di SMU Negeri 4 Semarang yang menyatakan setelah membagikan leaflet yang di desain dengan baik menarik perhatian responden untuk mengetahui isi dari leaflet ditambah dengan suasana santai dan tidak formal pada saat penyampaian materi dapat meningkatkan pengetahuan dan ketertarikan responden terhadapat materi yang akan diberikan (Kustriyani, 2009). Tempat yang digunakan peneliti untuk menyampaikan materi yaitu ruang kelas masing- masing, sehingga tidak terlalu bising, karena jika terlalu bising dikhawatirkan responden tidak fokus untuk mendengarkan materi yang disampaikan. Dengan tempat yang digunakan oleh peneliti, mengakibatkan responden dapat mendengarkan isi materi yang disampaikan dengan baik sehingga dimungkinkan adanya peningkatan pengetahuan remaja. Hal ini didukung dengan pernyataan Kustriyani (2009) bahwa ruang kelas masing- masing, ruang kelas yang nyaman dan lengkap mendukung untuk terjadinya peningkatan tingkat pengetahuan. 4. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 34 responden di MTs Nurul Islam Cisauk dan dari hasil uji analisis data menunjukkan bahwa, sebelum dilakukan penyuluhan skor terkecil 30 dan skor tertinggi 90 dengan nilai rata rata dan standar deviasi Setelah dilakukan pendidikan kesehatan diperoleh hasil skor terkecil adalah 40 dan skor tertinggi 100 dengan nilai rata rata dengan standar deviasi Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan memiliki peranan terhadap peningkatan pengetahuan remaja putri tentang keputihan di MTs Nurul Islam Cisauk tahun SARAN Berdasarkan hasil simpulan, penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan. Penyuluhan dibutuhkan untuk penambahan informasi yang bermanfaat bagi remaja yang berhubungan dengan keputihan. Petugas kesehatan diharapkan dapat menyediakan pelayanan kesehatan dan program pendidikan kesehatan seperti penyuluhan dan berkewajiban menyampaikan informasi-informasi yang diperlukan oleh remaja, salah satunya informasi tentang keputihan. Pemberian informasi yang benar salah satunya dengan penyuluhan dan menyediakan leaflet dengan bahasa yang mudah dimengerti sehingga dapat digunakan sebagai alat peraga agar remaja lebih mudah memahami. 6. DAFTAR PUSTAKA Anas Rahmad Hidayat, L. (2015). Tingkat Pengetahuan remaja Putri Tentang Keputihan Di SMK BATUR JAYA 2 Ceper Klaten. Journal Permata indonesia, Ayuningtyas, D. N. (2014). Hubungan Antara Pengetahuan dan Perilaku Menjaga Kebersihan Genetalia Eksterna Dengan Kejadian Keputihan Pada Siswi SMA Negeri 4 Semarang. Kesehatan, 4. Hidayat, A. A. (2011). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Kustriyani, M. (2009). Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Siswi Sebelum dan Sesudah Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Keputihan di SMU Negeri 4 Semarang. Undip, Sabarguna, B. S. (2011). Bistatistik. Jakarta: Universitas Indonesia. Saifuddin, A. B. (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo. siallagan, d. (2015). asuhan kebidanan 1. jakarta: egc. Wilujeng, R. D. (2014). Perbedaan Pengetahuan Remaja Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan. Jurnal Kebidanan,

227 EFEKTIVITAS LATIHAN ROM (RANGE OF MOTION) PASIF TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT PADA PASIEN PASCA STROKE DI DESA SASAKPANJANG KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014 Ela Susilawati, S,Kp., M.Kep 1, Riksa Wibawa Resna, SKp,. MARS., 2, Homsatun 3 ¹ Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Banten e.susilawati@yahoo.com ²Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes Banten riksawibawa.stikesbanten@gmail.com ³Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan homsatun789@yahoo.com Abstrak : Pendahuluan. Kelemahan otot merupakan dampak terbesar pada pasien stroke untuk itu diperlukan latihan ROM pasif dengan tujuan untuk mempertahankan atau memelihara kekuatan otot. Apabila latihan ROM pasif tidak dilaksanakan maka akan terjadi penurunan kekuatan otot, atropi otot, kontraktur, dan luka dekubitus. Tujuan penelitian untuk mengetahui keefektivan ROM (range of motion) pasif terhadap peningkatan kekuatan otot pada pasien pasca stroke di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor. Metode penelitian. peneliti menggunakan rancangan penelitian quasi-experiment dengan pendekatan two group pre and post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terkena stroke. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan tehnik probability simple random sampling dengan jumlah sampel 26 orang. Yang terdiri dari 13 kelompok control dan 13 kelompok intervensi. Penelitian ini menggunakan uji statistic uji wilcoxon. Hasil penelitian. hasil perhitungan uji wilcoxon nilai uji statistic Z sebesar -3,219 dengan p sebesar 0,001. Nilai p < 0,05 sehingga diputuskan terdapat peningkatan derajat kekuatan otot pasien sebelum dan sesudah terapi ROM pasif 2x sehari termasuk signifikan (p = 0,001 < 0,05). Simpulan dan Saran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan latihan ROM. Disarankan agar latihan ROM dapat dilatih secara rutin agar peningkatan otot tetap meningkat. Kata Kunci : ROM (range of motion), pasien stroke, kekuatan otot 1. LATAR BELAKANG Dengan adanya fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar tempat tinggal banyak masyarakat yang mengalami stroke akibat perubahan pola gaya hidup modern yang serba instan dan praktis, sehingga membuat orang malas melakukan pola hidup sehat seperti makan- makanan yang sehat ataupun berolahraga secara teratur. Unsur patofisiologi yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik berupa hemiparese atau hemiplegia yang dapat mengakibatkan kondisi imobilitas, kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan pada otot ekstremitas secara umum, penurunan fleksibilitas dan kekakuan sendi yang dapat mengakibatkan kontraktur sehingga pada akhirnya pasien akan mengalami keterbatasan terutama dalam melakukan activities of daily living (ADL). Bila hal ini dibiarkan akan menimbulkan perubahan perilaku sehingga memperpanjang masa penyembuhan atau pemulihan kesehatannya, menyebabkan gangguan fisik, dan psikis serta komplikasi penyakit lainnya. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup penderita stroke sehingga dia tidak dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan tenaga kesehatan sebesar 7% dan yang berdasarkan gejala sebesar 12,1%, DKI Jakarta masing-masing 9,7%. Sedangkan untuk daerah Jawa Barat sebesar 12,0%. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang berdasarkan tenaga kesehatan serta yang berdasarkan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur >75 tahun (43,1% dan 67,0%). Menurut Kemenkes RI 2012, jawa barat memiliki jumlah penduduk tertinggi, dengan jumlah lansia yang meningkat 68,4 % dan merupakan urutan ke 21. Untuk daerah bogor memiliki angka lansia tertinggi di jawa barat (BPS Provinsi Jawa Barat 2012). Angka lansia di tajurhalang memiliki urutan ke 26 se-kabupaten bogor dan angka hipertensi ke 3 di desa sasak panjang kecamatan tajurhalang. Disfungsi pada ekstremitas atas yang paling umum terjadi, ekstremitas atas memiliki peranan yang besar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang. Penggunaan ekstremitas atas sangat penting 227

228 karena memberikan penilaian yang subjektif tentang tingkat kesejahteraan seseorang, sehingga gangguan motorik pada lengan dianggap mempengaruhi kualitas hidup seseorang (yanti, 2011). Untuk menormalkan sendi dan otot ekstremitas atas dapat dikembalikan dengan menggerakkan secara teratur. Latihan ROM merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses intervensi keperawatan yang dinilai cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pada penderita stroke. Latihan pergerakan sendi atau ROM merupakan pergerakan maksimum yang mungkin dilakukan oleh sendi untuk meningkatkan fleksibilitas dan rentang gerak sendi (Berman, 2009). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Range Of Motion (ROM) pasif terhadap peningkatan kekuatan otot pada pasien pasca stroke. Sedangkan Tujuan khususnya yaitu mengidentifikasi kekuatan otot sebelum dilakukan Range Of Motion (ROM) pada pasien pasca stroke, mengidentifikasi kekuatan otot setelah dilakukan Range Of Motion (ROM) pada pasien pasca stroke, dan mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan Range Of Motion (ROM) pada pasien pasca stroke 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada tanggal September di Desa Sasakpanjang kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor. peneliti menggunakan rancangan penelitian quasi- experiment dengan pendekatan two group pre and post test design. Populasi dalam penelitian iniadalah seluruh pasien yang terkena stroke. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan tehnik probability simple random sampling dengan jumlah sampel 26 orang. Yang terdiri dari 13 kelompok control dan 13 kelompok intervensi. Penelitian ini menggunakan uji statistic uji wilcoxon. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Kekuatan Otot Pada Pasien Pasca Stroke Kelompok Intervensi Sebelum dan Sebelum Dilakukan Terapi Latihan ROM Pasif di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tanjung halang Kabupaten Bogor Tahun 2014 Kekuatan Otot Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi Kelompok Intervensi Jumlah Persen Jumlah Persen ,4% 1 7,7% ,7% ,7% 1 7,7% ,5% 5 38,5% ,7% 1 7,7% ,7% 1 7,7% ,1% 3 23,1% Total % % Berdasarkan tabel 3.1 diatas menggambarkan hasil penelitian didapatkan nilai terbanyak dari 13 responden pada kelompok kontrol yang dilakukan penelitian pada saat pretest sebanyak 5 (38,5 %) responden mengalami derajat kekuatan otot sebesar 120. Sedangakan pada kelompok kontrol pada saat posttestdidapatkan nilai terbanyak dari 13 responden kelompok kontrol sebanyak 5 (38,5 %) responden mengalami derajat kekuatan otot sebesar 120. Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Kekuatan Otot Pada Pasien Pasca Stroke Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi Latihan ROM Pasif di Desa Sasakpanjang Kecematan Tajurhalang Kabupaten Bogor Tahun 2014 Nilai Mean Median Min-Max Standar Deviasi Sebelum 118,08 120, ,493 Sesudah 120,38 120, ,385 Berdasarkan tabel 3.2 diketahui 13 responden pada kelompok kontrol didapatkan nilai mean pada kekuatan otot sebelum diberikan terapi adalah dan median , nilai minimal 70 dan maksimal pada peningkatan kekuatan otot sebelum diberikan terapi adalah 140 serta nilai standar deviasi sejumlah Sedangkan responden kelompok kontrol didapatkan nilai mean pada kekuatan otot setelah diberikan terapi adalah dan median , nilai minimal 70 dan nilai maksimal pada peningkatan kekuatan otot setelah diberikan terapi adalah 140 serta nilai standar deviasi sejumlah

229 Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Kekuatan Otot Pada Pasien Pasca Stroke Kelompok Intervensi Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi Latihan ROM Pasif di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tanjung halang Kabupaten Bogor Tahun 2014 Kekuatan Otot Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi Kelompok Intervensi Jumlah Persen Jumlah Persen ,7% ,7% ,5% ,1% 4 30,8 % ,7% ,7% 3 23,1% ,4% ,7% 3 23,1% ,7% Total % % Berdasarkan tabel 3.3 diatas menggambarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor didapatkan nilai terbanyak dari 13 responden kelompok intervensi yang dilakukan penelitian pada saat pretest sebanyak 5 (38,5 %) responden mengalami derajat kekuatan otot sebesar 110. Sedangkan pada saat posttestmenggambarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor didapatkan nilai terbanyak dari 13 responden kelompok intervensi yang dilakukan penelitian pada saat posttest sebanyak 4 (30,8 %) responden mengalami derajat kekuatan otot sebesar 120 dan 1 (7,7 %) responden mengalami derajat kekuatan otot sebesar 150. Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Kekuatan Otot Pada Pasien Pasca Stroke Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Dilakukan Terapi Latihan ROM Pasif di Desa Sasakpanjang Kecematan Tajurhalang Kabupaten Bogor Tahun 2014 Nilai Mean Median Min-Max Standar Deviasi Sebelum 115,00 120, ,581 Sesudah 131,54 130, ,679 Berdasarkan tabel 3.4 diketahui 13 responden kelompok intervensi didapatkan nilai mean pada kekuatan otot sebelum diberikan terapi adalah dan median , nilai minimal 90 dan nilai maksimal pada peningkatan kekuatan otot sebelum diberikan terapi adalah 140 serta nilai standar deviasi sejumlah Sedangkan responden kelompok intervensi didapatkan nilai mean pada kekuatan otot setelah diberikan terapi adalah dan median , nilai minimal 120 dan nilai maksimal pada peningkatan kekuatan otot setelah diberikan terapi adalah 150 serta nilai standar deviasi sejumlah Pembahasan Hasil penelitian di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor sebagian besar rata-rata nilai derajat kekuatan otot pretest pada kelompok kontrol adalah sebesar , hal ini di karenakan pada kelompok kontrol setelah pasca stroke jarang menggerakkan sehingga menyebabkan adanya penurunan pada derajat kekuatan otot tersebut. Hal ini juga disebabkan oleh jarak yang cukup jauh pada tempat rehabilitasi oleh karena itu banyak responden yang tidak melakukan terapi dikarenakan transportasi yang tidak memadai. Sedangkan setelah pretest kelompok kontrol tidak diberikan intervensi apapun selama 7 hari oleh karena itu kelompok kontrol tetap pada awal pengukuran yang mengakibatkan kekakuan pada otot-otot nya. Menurut (Soekarno, 1995) jika seseorang yang mengalami hemiparase tidak diberikan latihan ROM pasif maka akan terjadi kontraktur, karena adanya atropi, kelemahan otot, tidak ada keseimbangan otot sehingga otot memendek karena adanyalengketan dari kapsul sendi dan pembengkakan sendi, adanya spastic dari otot dan rasa sakit pada sendi otot. Penderita stroke dapat mengalami kesulitan saat berjalan karena gangguan padakekuatan otot, keseimbangan dan koordinasi gerak, sehingga kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Latihan gerak mempercepat penyembuhan pasien stroke,karena akan mempengaruhi sensasi gerak diotak (Irdawati, 2008). Penderita stroke yang mengalami paralisis dan tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat dapat menimbulkan komplikasi, salah satunya adalah kontraktur. Kontraktur dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan mobilisasi, gangguan aktivitas sehari-hari dan cacat yang tidak disembuhkan (asmadi, 229

230 2008). Berdasarkan penelitian diatas untuk membantu pemulihan bagian siku atau ekstremitas atas diperlukan tekhnik untuk merangsang tangan seperti dengan latihan ROM. Penderita stroke dengan hemiparesis agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan memenuhi aktifitas sehari- hari secara mandiri (Levine, 2009). Menurut Irfan (2010) fungsi tangan begitu sangat penting dalam melakukan aktifitas sehari-hari dan merupakan bagian yang paling aktif, maka lesi pada bagian otak yang mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas akan sangat menghambat dan akan mengganggu kemampuan dan aktifitas sehari-hari pada seseorang. Menurut Perry & Poter (2006) latihan ROM bisa dilakukan minimal 2X/hari. Terapi latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian pasien, mengurangi tingkat ketergantungan pada keluarga, dan meningkatkan harga diri dan mekanisme koping pasien. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa latihan ROM berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot pada kelompok intervensi di Desa Sasakpanjang Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 26 responden di desa sasakpanjang kecamatan tajurhalang kabupaten bogor dan dari uji analisis data menunjukkan bahwa latihan ROM berperan terhadap peningkatan kekuatan otot.. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Bapak dr. Resna A. Soerawidjaja, MSc.PH., selaku ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten, Kepala desa Sasakpanjang kabupaten Bogor beserta jajarannya dan kepada para responden yang ikut serta dalam penelitian ini. 6. DAFTAR PUSTAKA Berman, Audrey, Synder, Shirlee, Kozier, Barbara & erb, Glenora Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & erb. Jakarta: EGC. Cemy & havid Keefektifan Range of Motion (ROM) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas pada Pasien stroke. Corwin, Elizabeth J Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Dewanto, George dkk Panduan Praktis diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC Dourman, Karel Waspadai Stroke Usia Muda. Jakarta: Cerdas sehat, Febrina sukmaningrum Efektivitas Range Of Motion Aktif-Asistif Spherical Grip Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada Pasien Stroke Di Rsud Tugurejo Semarang. rnal/index.php/ilmukeperawatan/article/ view/53. Diakses pada tanggal 11 oktober 2013 pukul Feigin, Valery Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Fransisca B. Batticaca Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Ginanjar, Genis W Stroke hanya Menyerang Orang Tua. Yogyakarta: B.First Ginsberg, Lionel Neurologi. Erlangga Hastono, S.P Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Havid Maimurahman dan Cemy Nur Fitria Keefeektifan Range Of Motion (Rom) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke. dff1taqe. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2013 pukul Hendrik H. Damping Pengaruh Penatalaksanaan Terapi Latihan Terhadap Kepuasan Pasien Fraktur Di Irina A Blu Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado

231 .php/juiperdo/article/download/40/41. diakses pada tanggal 21 Maret 2014 pukul Herin Mawarti dan Farid Pengaruh Latihan Rom (Range Of Motion) Pasif Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Dengan Hemiparase. hp?article=116526&val=5318. Diakses pada tanggal 6 oktober 2013 pukul Hidayat, A.A Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medik Irdawati, Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan otot pada pasien Stroke Non- Hemoragik Hemiparase Kanan Dibandingkan Dengan Hemiparese Kiri. Irfan, M Fisioterapi bagi insan stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu Jacob, Annamma Clinical Nursing Procedures. Levine, Peter G Stronger after stroke panduan lengkap dan efektif terapi pemulihan stroke. Alih Bahasa : Rika Iffati Farihah. Jakarta : Etera Lumantobing Stroke, bencaana peredaran darah di Otak. Jakarta: FKUI Muttaqin, Arif Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem persarafan. Jakarta: salemba Medika Murtaqib Perbedaan Latihan Range Of Motion (Rom) Pasif Dan Aktif Selama 1 2 Minggu Terhadap Peningkatan Rentang Gerak Sendi Pada Penderita Stroke Di Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. ult/files/jks _56-68.pdf. diakses pada tanggal 27 maret 2014 pukul Notoatmodjo, S Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Pinzon, Rizaldy & Asanti, Laksmi Awas stroke! Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan, dan Pencegahan. Yogyakarta: Andi Potter & Perry Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC Rendra Subianto Pengaruh Latihan Rom (Range Of Motion) Terhadap Perubahan Mobilisasi Pada Pasien Stroke. =193. Diakses pada tanggal 21 maret 2014 pukul Ririn purwanti dan Wahyu purwaningsih Pengaruh Latihan Range Of Motion (Rom) Aktif Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Post Operasi Fraktur Humerus Di Rsud Dr. Moewardi Riskesdas nload/rkd2013/laporan_riskesdas2013.p DF. diakses pada tanggal 3 april 2014 pada pukul Santoso, Singgih Statistik Nonparametik Konsep Dan Aplikasi Dengan Spss.Jakarta:Granmedia Sarah ullya Pengaruh Latihan Range Of Motion (Rom) Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut Pada Lansia Di Panti Wreda Wening Wardoyo Ungaran aners/article/download/718/587. Diakses pada tanggal 11 oktober 2013 pukul Smeltzer & Bare Buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddarth vol. 1. Jakarta: EGC Suratun dkk Klien Gangguan Sistem Muskuluskeletal. Jakarta: EGC Wina yulinda Pengaruh Empat Minggu Terapi Latihan Pada Kemampuan Motorik Penderita Stroke Iskemia Di RSUP H.Adam Malik Medan. repository.usu.ac.id/bitstream/ / 14271/1/10E00027.pdf. diakses pada tanggal 21 maret 2014 pukul

232 GAMBARAN GANGGUAN KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI WREDHA TASIKMALAYA Eli Kurniasih Program Studi D-III Keperawatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Abstrak. Usia individu tidak dapat dielakkan akan terus bertambah dan berlangsung konstan dari lahir sampai mati (Bear: 2007) Terganggunya kapasitas intelektual berhubungan erat dengan fungsi kognitif pada usila. Gangguan memori, perubahan persepsi, masalah dalam berkomunikasi, penurunan fokus dan atensi, hambatan dalam melaksanakan tugasan harian adalah gejala dari gangguan kognitif. Gangguan ini sering dialami oleh golongan usila. Sekurang-kurangnya ada 10% dari usila yang berumur diatas 65 tahun dan 50% dari usila yang berumur diatas 85 tahun mengalami gangguan ini (Tanaya:1997). Tujuan pnelitian diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif yang normal/utuh pada lansia, diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif terganggu pada lansia di panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya. The Mini Mental State Examination (MMSE) sebagai instrumen untuk menilai kognitif pasien. Tes ini meski paling sering digunakan, memiliki kelemahan pada waktu yang dibutuhkan untuk tes tersebut. MMSE menggunakan instrumen penilaian 30 poin. Penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu berusaha memaparkan secara kuantitatif. Peneliti mendeskripsikan secara kecenderungan-kecenderungan, perilaku, atau opini-opini dari suatu populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki gangguan kognif definitif yaitu sejumlah 20 (64,5 %), probable gangguan kognitif 9 (29%) responden dan yang Normal hanya 2 responden atau 6,5%. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden mengalami gangguan kognitif sekitar 64,5 % dimana usia paling tua adalah 90 tahun dan yang mengalami gangguan dengan usia paling muda 59 tahun. Akibat adanya peningkatan jumlah usila, masalah kesehatan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, terutama masalah yang berkaitan dengan gejala-gejala penuaan. Kekuatan fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-tahap tertentu. Kesimpulan penelitian Diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif yang normal/utuh pada lansia di panti wredha Welas Asih Tasikmalaya. Diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif terganggu pada lansia di panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya. Kata kunci : Lansia, Gangguan Kognitif. PENDAHULUAN Usia individu tidak dapat dielakkan akan terus bertambah dan berlangsung konstan dari lahir sampai mati (Bear: 2007), sehingga individu akan melewati beberapa fase perkembangan yang pada akhirnya mencapai usia lanjut atau lansia (Sunaryo:2004). Proses menjadi tua tidak dapat dihindari oleh kita semua, namun tidak ada pengaruh antara ciri menjadi tua itu dengan kesehatan. Gambaran lansia yang lumpuh dan makin lemah hanya merupakan stereotip karena ada lansia yang kuat dan aktif. Penyakit kronis dan penuaan tidaklah sinonim, namun penelitian telah menunjukkan peningkatan insiden penyakit kronis terjadi pada saat orang bertambah tua (Basford:2006). Jumlah orang lanjut usia di Indonesia menduduki nomor keempat di dunia, setelah China, India dan USA. Usia harapan hidup rata-rata meningkat sehingga 70 tahun dan untuk perempuan sedikit lebih panjang. Akibat adanya peningkatan jumlah usila, masalah kesehatan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, terutama masalah yang berkaitan dengan gejala-gejala penuaan. Kekuatan fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-tahap tertentu. Terganggunya kapasitas intelektual berhubungan erat dengan fungsi kognitif pada usila. Gangguan memori, perubahan persepsi, masalah dalam berkomunikasi, penurunan fokus dan atensi, hambatan dalam melaksanakan tugasan harian adalah gejala dari gangguan kognitif. Gangguan ini sering dialami oleh golongan usila. Sekurang-kurangnya ada 10% dari usila yang berumur diatas 65 tahun dan 50% dari usila yang berumur diatas 85 tahun mengalami gangguan ini (Tanaya:1997). karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti infeksi, maka seringkali akan timbul gangguan fungsi kognitif, depresi, imobilisasi, instabilisasi, dan inkontinensia (atau lazim disebut sebagai geriatric giants). Keadaan akan semakin rumit jika secara psikososial terdapat hendaya seperti neglected atau miskin (finansial). Sehingga pendekatan untuk pasien geriatri harus bersifat holistik dan paripurna, yaitu biopsiko-sosial, juga dari sisi kuratif, reehabilitatif, preventif, dan promotif (Soejono dalam Saputra: 2013) Di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, psikogeriatris menggunakan the Mini Mental State Examination (MMSE) sebagai instrumen untuk menilai kognitif pasien. Tes ini meski paling sering digunakan, memiliki kelemahan pada waktu yang dibutuhkan untuk tes tersebut. MMSE menggunakan instrumen penilaian 30 poin. Instrumen ini pertama dikembangkan sebagai skrining kelainan kognitif untuk membedakan antara kelainan organik dan non organik (misalnya schizophrenia). Pada saat ini, MMSE merupakan metode untuk skrining dan monitoring perkembangan demensia dan delirium. MMSE berkorelasi baik dengan skor tes skrining kognitif yang lain. Waktu yang dibutuhkan rata-rata 8 menit dengan rentang 4-21 menit. Skor pada MMSE bisa bias karena pengaruh tingkat pendidikan, perbedaan bahasa, dan hambatan budaya. Pasien dengan tingkat pendidikan lebih rendah dapat keliru diklasifikasikan sebagai gila, dan pada pasien dengan tingkat pendidikan tinggi bisa tidak terdeteksi. Skor MMSE umumnya menurun dengan bertambahnya usia (Saputra:2013). Penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan penyebab terbesar terjadinya ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas normal sehari-hari, dan juga merupakan alasan tersering yang menyebabkan terjadinya 232

233 ketergantungan terhadap orang lain untuk merawat diri sendiri. Belum pernah ada penelitian tentang profil penurunan fungsi kogntif di Panti Wredha Welas Asih kab. Tasikmalaya. Panti Welas Asih merupakan satu-satunya panti jompo yang ada di kota maupun kabupaten Tasikmlaya, ada sekitar 40 lansia yang tinggal di panti ini, dimana peneliti sudah mencoba melakukan penelitian pendahuluan dijumpai ada beberapa lansia yang terlihat mengalami gangguan kepikunan. Dengan menerapakan metode MMSE dapat diketahui adanya gangguan kognitif pada lansia di panti ini. Sehingga bisa diketahui treatmen selanjutnya terkait kebutuhan perawatan lansia. 1.1 Rumusan Masalah Bagaimana gambaran fungsi kognitif pada lansia di panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui gambaran fungsi kognitif pada lansia di panti wredha Welas Asih Tasikmalaya Tujuan Khusus 1. Diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif yang normal/utuh pada lansia di panti wredha Welas Asih Tasikmalaya. 2 Diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif terganggu pada lansia di panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya. B. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu berusaha memaparkan secara kuantitatif. Peneliti mendeskripsikan secara kecenderungan-kecenderungan, perilaku, atau opini-opini dari suatu populasi dengan meneliti sampel populasi. Peneliti mengidentifikasi tujuan penelitian survei ini, tujuannya untuk menggenralisasi populasi dari beberapa sampel sehingga dapat dibuat kesimpulan-kesimpulan/dugaan sementara tentang karakteristik perilaku (Cresswell:2010) Dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan metode MMSE. Hasil skornya; (1) Kognitif Normal (skor : 24 23); (2) Probable Gangguan Kognitif (Skor : 17 23); dan (3) Definite Gangguan Kognitif (Skor : < 16). 1. Populasi dan sampel Sampel penelitian yaitu Total Sampling, dengan subjek penelitian adalah seluruh lansia penghuni panti wredha welas Asih yang berada di Tasikmalaya tanpa melihat jenis kelaminnya. Jumlah Subjek sebanyak 40 orang lansia yang terdiri dari 30 wanita dan 10 laki-laki. 2. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data a. Rekomendasi penelitian berupa di tandatanganinya proposal penelitian oleh kepala P3M Stikes BTH Tasikmalaya. b. Ijin Penelitian dari Penanggung Jawab Panti Wredha. c. Wawancara awal dengan bagian penanggung jawab lansia di Panti wredha welas asih mengenai isu penyakit kognitif dan masalahnya pada lansia. d. Membuat konsep penelitian berdasarkan wawancara tersebut dan membuat formulir pengisian data. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah menyusun materi kuesioner. e. Tahap Pelaksanaan : Membuat daftar lansia di panti wredha welas asih. Menentukan responden yang memenuhi kriteria inklusi penelitian, lalu diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilaksanakan dan diminta kesediaannya terlibat dalam penelitian. Kesediaan ditandai dengan penandatanganan informed concent. Selanjutnya responden diberikan kuesioner yang ditanyakan langsung oleh peneliti, pada pembacaan kuesioner ini peneliti menanyakan pertanyaan dengan cara dibimbing dalam pembacaanya, ini dilakukan supaya tidak terjadi kesalahan dalam mempersepsikan pertanyaan dikarenakan usia lansia yang sudah tua, kesulitan membaca, dan menulis karena kondisi, serta memahami isi pertanyaan. Peneliti dibantu oleh mahasiswa yang menjadi relawan yang telah distandarisasi untuk meneliti. 233

234 f. Pengolahan Data g. Analisis Data 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di Panti wredha Welas Asih Tasikmalaya, Bulan Juni Alasan pemilihan tempat penelitian adalah karena panti jompo ini hanya ada satu-satunya di Tasikmalaya. Waktu penelitian, peneliti sendiri yang menentukan pembagiannya yang akan dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin. C. Hasil Penelitian Tabel Responden Tabel 4.1 Data Penialaian Mini Mental State Examination (MMSE) di Panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya 2015 N o Nama Pendidik an Umur Nilai Interpretasi 1 Ny. Asih SR Normal 2 Ny. Yayah SD Definite Gangguan Kognitif 3 Ny. Ika STAN Probable Gangguan Kognitif 4 Ny. Fitri SD Definite Gangguan Kognitif 5 Tn. Ikin SMA Definite Gangguan Kognitif 6 Ny. Inah SD Definite Gangguan Kognitif 7 Tn. Sugito SMP Definite Gangguan Kognitif 8 Tn. Geny SD Probable Gangguan Kognitif 9 Ny. Aah SD 80 9 Definite Gangguan Kognitif 10 Ny. Mulyana SMA Definite Gangguan Kognitif 11 Ny. Cicoh Definite Gangguan Kognitif 12 Ny. Admi SD Definite Gangguan Kognitif 13 Ny. Ruhaenah SD Probable Gangguan Kognitif 14 Ny. Ida Probable Gangguan Kognitif 15 Ny. Oneng SD Normal 16 Tn. Endang SD Definite Gangguan Kognitif 17 Ny. Sopiah SD Probable Gangguan Kognitif 18 Ny. Neni SD Definite Gangguan Kognitif 19 Ny. Maymunah SR 76 0 Definite Gangguan Kognitif 20 Ny. Epon SR Probable Gangguan Kognitif 21 Ny. Asri SD 80 0 Definite Gangguan Kognitif 22 Ny. Icah SR 75 0 Definite Gangguan Kognitif 23 Ny. Erin SMA Definite Gangguan Kognitif 24 Tn. Asep SLTA Probable Gangguan Kognitif 25 Tn. Tomas SLTA Probable Gangguan Kognitif 26 Tn. Amas SMP Probable Gangguan Kognitif 27 Tn. Dili SD 80 6 Definite Gangguan Kognitif 28 Tn. Utang SMP 75 9 Definite Gangguan Kognitif 29 Ny. Iyah SR 80 8 Definite Gangguan Kognitif 30 Ny. Eras SD 64 9 Definite Gangguan Kognitif 31 Ny. Suparman SD 60 7 Definite Gangguan Kognitif Tabel 4.2 Distribusi Responden Penilaian Kognitif 234

235 di Panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya 2015 Penilaian Kognitif Jumlah % Normal 2 6,5 Probable Gangguan Kognitif 9 29 Definite Gangguan Kognitif 20 64,5 Jumlah Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki gangguan kognif definitif yaitu sejumlah 20 (64,5 %), probable gangguan kognitif 9 (29%) responden dan yang Normal hanya 2 responden atau 6,5%. D. PEMBAHASAN Gangguan kognitif merupakan masalah yang sering terjadi pada golongan usia lanjut. Prevalensi gangguan kognitif tinggi pada negara yang memiliki populasi usila yang tinggi. Indonesia merupakan negara keempat dunia yang memiliki populasi usila tertinggi dan diperkirakan akan menjadi ketiga tertinggi pada Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden mengalami gangguan kognitif sekitar 64,5 % dimana usia paling tua adalah 90 tahun dan yang mengalami gangguan dengan usia paling muda 59 tahun. Akibat adanya peningkatan jumlah usila, masalah kesehatan yang dihadapi menjadi semakin kompleks, terutama masalah yang berkaitan dengan gejala-gejala penuaan. Kekuatan fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-tahap tertentu. Terganggunya kapasitas intelektual berhubungan erat dengan fungsi kognitif pada usila 10. Tabel 4.1 menunjukkan hasil bahwa rata-rata sampel dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak memiliki persentasi yang tidak normal dibandingkan dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan. Hasil ini berbeda dengan hasil-hasil penelitian terdahulu di mana lebih banyak ditemukan bahwa sampel yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak memiliki hasil yang tidak normal dibandingkan lelaki 9. Hasil penelitian ini, di mana sampel dengan jenis kelamin yang lebih dominan memiliki hasil tidak normal, bisa disebabkan oleh karena tidak sebandingnya jumlah sampel laki-laki dan jumlah sampel perempuan. Ini merupakan salah satu kekurangan dalam penelitian ini. Sehingga, diharapkan akan ada penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih besar dan distribusi yang lebih luas. Fungsi kognitif yang buruk juga merupakan suatu prediktor kematian dan juga dapat dilihat sebagai penanda status kesehatan secara umum pada usila. Aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang bermanfaat pada fungsi kognitif usila. Ia juga merupakan salah satu dari upaya pencegahan terhadap gangguan fungsi kognitif dan demensia 2. Di kalangan para lansia penurunan fungsi kognitif merupakan penyebab terbesar terjadinya ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas normal sehari-hari, dan juga merupakan alasan tersering yang menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap orang lain untuk merawat diri sendiri (care dependence) pada lansia.2 Tanpa adanya upaya pencegahan yang efektif, peningkatan jumlah populasi lansia akan mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk dengan 3 demensia. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa, akibat pertumbuhan populasi lansia yang terus bertambah, demensia menjadi salah satu tantangan besar dalam pelayanan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat di negara-negara berkembang dan Indonesia termasuk di dalamnya. Penelitian terbaru di Amerika mengajukan bahwa, usia lanjut dan faktor kerentanan genetik sudah merupakan faktor yang pasti sebagai penyebab demensia. Diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit serebrovaskular dan juga penyakit arteri perifer dikatakan juga memiliki hubungan dengan insidensi demensia. Fakta dari penelitian yang lain menyebutkan bahwa penyakit vaskularisasi juga memainkan peranan yang penting sebagai faktor risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif, dan terdapat bukti yang kuat bahwa faktorfaktor psikososial seperti pencapaian tingkat pendidikan, kehidupan sosial yang aktif dan kegiatan-kegiatan yang merangsang mental juga berperan dalam pecegahan terjadinya demensia 9. KESIMPULAN 1. Diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif yang normal/utuh pada lansia di panti wredha Welas Asih Tasikmalaya. 2. Diketahui jumlah lansia yang mengalami fungsi kognitif terganggu pada lansia di panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya. DAFTAR PUSTAKA 235

236 1. John W. Cresswell. Research Design. Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Jogyakarta; Milfa Sari Muzamil, Afriwardi, Rose Dinda Martini. Hubungan Antara Tingkat Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif pada Usila di Kelurahan Jati Kecamatan Padang Timur Nugroho, Wahjudi.Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC; Slevin O, Basford L, editor. Teori, Dan Praktik Keperawatan; Pendekatan Integral Pada Asuhan Pasien. Jakarta: EGC; Stanley M, Beare PG. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC; Sunaryo. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC; Tanaya Z.A., Hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi lanjut usia. Binaan Puskesmas, Jakarta Barat, Title: PENILAIAN STATUS KOGNITIF PADA LANJUT USIA Posted by:robin perdana saputra. Published : Mongisidi Rachel, dkk. profil penurunan fungsi kognitif lansia yang di Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. 10. Lumbantobing, S.M., Kecerdasan pada usia lanjut dan demensia. Edisi 4.Jakarta: Balai penerbit FKUI. 236

237 HUBUNGAN ANTARA SIKAP DAN PERILAKU PEMBERIAN ASI EKLSUSIF PADA IBU MENYUSUI DI DESA BANYURESMI KABUPATEN TASIKMALAYA Enok Nurliawati Prodi D DIII Keperawatan STIKes BTH Tasikmalaya enoknurliawati@gmail.com Abstrak. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makan yang utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. Pemberian ASI sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi karena di dalam ASI terkandung zat-zat nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. NAmun demikian cakupan pemberian ASI secara nasional masih rendah yaitu sebesar 52.3% dan Jawa Barat sebesar 21,8%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan anatar sikap ibu terhadap pemberian ASI eklusif dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI eklusif di desa Banyuresmi. Metode penelitian menggunakan deskriftif korelasi dengan pendekaan cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 53 orang. Alat pengumpul data menggunakan kuisioner. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dan perilaku pemberian ASI secara ekslusif dengan p value = dan OR = 6.53 yang berarti bahwa ibu yang mempunyai sikap positif mempunyai peluang sebesar 6.53 kali untuk memberikan ASI secara ekslusif dibandingkan dengan Ibu yang mempunyai sikap negatif. Kata kunci: ASI ekslusif, Sikap, Perilaku 1. LATAR BELAKANG Air Susu Ibu (ASI) merupakan makan yang utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. WHO merekomendasikan pemberian ASI secara ekslusif. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 yang dimaksud dengan ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral) ( Kemenkes RI, 2014) Pemberian ASI sangat penting bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi karena di dalam ASI terkandung zat-zat nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena mengandung protein untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman dalam jumlah tinggi sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko kematian pada bayi. Kolostrum berwarna kekuningan dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga. Hari keempat sampai hari kesepuluh ASI mengandung immunoglobulin, protein, dan laktosa lebih sedikit dibandingkan kolostrum tetapi lemak dan kalori lebih tinggi dengan warna susu lebih putih. Selain mengandung zat-zat makanan, ASI juga mengandung zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan menganggu enzim di usus. Meskipun ASI Ekslusif sudah diketahui manfaat dan dampaknyaserta menjadi amanat konstitusi, namun kecendrungan pada ibu untuk menyusui bayi secara Eksklusifmasih rendah. Secara nasional cakupan pemberian ASI eksklusif sebesar 52,3% belum mencapai target yaitu sebesar 80%. Jawa Barat cakupan pemberian ASI ekslusif sebsar 21,8% atau menduduki peringkat terakhir diantara provisi se-indonesia (Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2015). Masih rendahnya cukupan pemberian ASI di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa factor baik secara internal maupun eksternal. Salah satu factor internal adalah sikap ibu terhadap pemberian ASI. Penelitian terhadap 124 wanita Vietnam yang tinggal di Australia menyatakan faktor yang paling penting untuk menyusui adalah sikap yang positif dari ibu dan tenaga kesehatan (Rossita dan Yam, 2000).Penelitian cross sectional di Tikrit, Irak memberikan hasil sebagian besar responden percaya bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi tapi hanya 45% yang bersikap positif terhadap pemberian ASI dan hanya 28,9% yang memberikan ASI eksklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan anatar sikap ibu terhadap pemberian ASI eklusif dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI eklusif di desa Banyuresmi. 237

238 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelasi dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sikap ibu menyusui terhadap pemberian ASI ekslusif dan dan menjadi variable terikatnya adalah perilaku ibu menyusui dalam memberikan ASI ekslusif. Penelitian dilaksanakan di Desa Banyuresmi pada bulan Oktober- Nopember Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi berumur 6 12 bulan yang berdomisili di Desa Banyuresmi. Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik cluster sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 53 responden. Alat pengumpulan data menggunakan kuisioner yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan yang berkaitan dengan pemberian ASI ekslusif dan bagian kedua merupakan pertanyaanpertanyaan berkaitan dengan sikap ibu terhadap pemberian ASI Ekslusf. Sebelum kuisioner digunakan dilakukan terlebih dahulu uji validitas dan reliabilitas instrument. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tabel 1. Distribusi Frekuensi Perilaku ibu dalam Pemberian ASI Ekslusif No. Perilaku Jumlah Presentase 1 Tidak Memberikan ASI Ekslusif Memberikan ASI Ekslusif Jumlah % Dari table di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yaitu 36 orang (67,9%) tidak memberikan ASI secara ekslusif, sedangkan yang meberikan ASI secara ekslusif hanya sebaian kecilnya yaitu sebanyak 17 oarang (32.1%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Terhadap Pemberian ASI Ekslusif No. Sikap Jumlah Presentase 1 Negatif % 2 Postitif % Jumlah % Berdasarkan tabel 1 di atas bahwa sebagian besar responden yaitu 29 orang (54.7%) mempunyai sikap yang positif terhadap pemberian ASI ekslusif. Sedangkan responden yang mempunyai sikap negative sebanyak 24 orang (45.3%). Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap dan Perilaku Menyusui Perilaku Sikap Tidak Memberikan ASI Ekslusif Memberikan ASI EKlusif Total OR (95% CI) P value N % n % n % Negatif ( Postitif Jumlah Berdasarkan analisis bivariate pada tabel 3 di atas menunjukan bahwa ada sebanyak 3 orang ( 12,5%) Ibu yang bersikap negative memberikan ASI secara ekslusif dan sebanyak 14 orang (48.3%) Ibu yang bersikap positif memberikan ASI secara eklusif. Uji statistic diperoleh nilai p = maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dan perilaku pemberian ASI ekslusif. Hasil analisis juga diperoleh bahwa OR = 6.53, hal tersebut mempunyai arti bahwa ibu yang mempunyai sikap positif mempunyai peluang sebesar 6.53 kali untuk memberikan ASI secara ekslusif dibandingkan dengan Ibu yang mempunyai sikap negatif. 238

239 Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif (p=0.013, OR=6.53, CI 95%: ). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian hasil penelitian Ramadani (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap ibu terhadap pemberian ASI Eksklusif. Sikap diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku. Pengaruh langsung tersebut lebih berupa perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi yang memungkinkan. Dalam interaksi ini individu membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2011).Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan dan pengalaman. Faktor eksternal meliputi media massa, institusi pendidikan/agama, masyarakat, fasilitas serta lingkungan kerja. Sikap ibu dalam mengambil keputusan untuk menyusui juga diteliti oleh Arora et al. (2000) di Pennsylvania yang menyatakan bahwa keputusan untuk menyusui atau memilih susu botol paling sering dibuat saat hamil trimester III. Alasan memilih menyusui karena bermanfaat bagi kesehatan bayi, alami dan adanya ikatan kasih sayang. Alasan memilih susu botol adalah persepsi ibu tentang sikap ayah, jumlah susu yang kurang mencukupi dan karena kembali bekerja. Faktor-faktor yang mendorong seorang ibu untuk menyusui karena banyaknya informasi saat prenatal class, informasi di majalah, TV dan buku, dukungan keluarga. Sedangkan penghambat pemberian ASI eksklusif adalah teman hidup, anggota keluarga dan tenaga kesehatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap ibu adalah pengetahuan. Hasil penelitian Nana Yulianah, Burhanuddin Bahar dan Abdul Salam (2013) menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan sikap ibu dalam pemberian ASI ekslusif. Pengetahuan ini sangat berperan dalam membentuk sikap positif atau sikap negatif seseorang.pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).Kecenderungan tindakan pada kondisi pengetahuan yang baik adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu, sedangkan kecenderungan tindakan pada sikap negatif adalah menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek secara spesifik (Azwar, 2011).Oleh karena itu, sikap sebagian besar responden yang masih negatif tentang ASI Eksklusif diduga berkaitan dengan kondisi pengetahuanyang masih rendah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pembentukan sikap dipengaruhi olehproses belajar, di mana belajar berarti berubah. Tujuan belajar adalah menimbulkan perubahan disalah satu atau lebih ranah (bidang, domain) yaitu ranah kognitif, afektif, psikomotor dan interaktif sesuai dengan tujuan belajar. Perubahan itu dapat pula diperoleh seseorang melalui pendidikan formal, informal atau berdasarkan pengalaman. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005).Sikap tidak berdiri sendiri tapi dapat terbentuk dari pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh seseorang dari luar. 4. KESIMPULAN Prosporsi ibu yang memberikan ASI secara ekslusif di Desa Banyuresmi sebesar 32,1 %, hal tersebut sudah berada di atas cakupan provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 yaitu sebesar 21.8% tetapi masih dibawah cakupan nasional pada tahun 2015yaitu sebesar 52.3%. Berdasarkan analisis bivariate menunjukan bahwa ada hubungan antara sikap dan perilaku memberikan ASI secara eksluif dengan p value dan Hasil analisis juga diperoleh bahwa OR = 6.53, hal tersebut mempunyai arti bahwa ibu yang mempunyai sikap positif mempunyai peluang sebesar 6.53 kali untuk memberikan ASI secara ekslusif dibandingkan dengan Ibu yang mempunyai sikap negatif. 5. SARAN Sikap ibu memberikan pengaruh terhadap perilaku pemberian ASI seacara ekslusif. Meskipun sikap merupakan salah satu factor internal tetapi dapat dipengaruhi oleh factor eksternal. Oleh karena itu diperlukan dukungan yang positif pada ibu supaya mempunyai sikap yang positif terhadap pemebrian ASI. Dukungan dapat berupa pemberian informasi tentang ASI ekslusif atau dukungan dari orang-orang terdekat dan petugas kesehatan dalam memberikan ASI secara ekslusif. 239

240 6. DAFTAR PUSTAKA Arora S, Wehrer J, Junkin C, Kuhn P Major factor influencing breastfeeding mother s perception of father s attitude and milk supply. Pediatrics. Azwar, Sikap Manusia Teori dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, Cakupan Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi 0-6 Bulan Menurut Provinsi Tahun 2014, Kemenkes: Jakarta Kemenkes RI, Profil Keseahatn Indonesia Tahun 2014, Kemenkes: Jakarta Maramis, Ilmu Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan. Airlangga University Press: Surabaya. Notoatmodjo, S., Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineke Cipta: Jakarta. Nana Yulianah, Burhanuddin Bahar dan Abdul Salam (2013), Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Kepercayaan Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Bonto Cani Kabupaten Bone Tahun 2013, Tesis, diakses tanggal 9 Januari 2016 Perinasia, Manajemen Laktasi Menuju Persalinan Aman dan Bayi Baru Lahir Sehat, Jakarta Ramadani, M., 2009.Hubungan Dukungan Suami dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Air Tawar Kota Padang Sumatera Barat Tahun Tesis diterbitkanfkm-ui Jakarta. Available at. 9 Januari Rusli Utami, Mengenal ASI Ekslusif, TrubusAgriwidiya: Jakarta Soetjiningsih, ASI Petunjukuntuk Tenaga Kesehatan, EGC: Jakarta 240

241 Hubungan Antara Keterpajanan Asap Rokok Dengan Kejadian Tuberkulosis Pada Anak Di RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya Etty Komariah Sambas 1, Enok Nurliawati 1 1 STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ettykomariah@yahoo.com Abstrak- Tuberkulosis di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang memerlukan strategi khusus dalam pengendaliannya. Angka morbiditas TB terus meningkat pada tahun 2009 sebanyak 228 kasus per penduduk menjadi 235 kasus TB per penduduk pada tahun 2011.Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB sebesar 0,4 persen dimana provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan prevalensi TB tertinggi yaitu 0,7 (Riskesdas, 2013). TB dapat terjadi pada individu dewasa dan anak-anak. Pada anak-anak, TB dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dan dapat menyebabkan komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak. Penelitian dilaksanakan di RSU Dr. Soekardjo Tasikmalaya pada bulan Maret-April Rancangan penelitian adalah deskriptif korelasional dengan menggunakan pendekatan case control. Teknik sampling secara consecutive sampling dengan cara accidental sampling. Besar sampel untuk kelompok kasus 47 orang dan kelompok kontrol 47 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan univariat, bivariat Chi Square (X²) dengan derajat kemaknaan 5% (alpha = 0,05) atau Confidence Interval 95%, Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak (p value = 0,023). Nilai OR = 2,613 (CI : 0,867-7,608), artinya anak yang terpajan pada asap rokok mempunyai peluang 2,613 kali untuk menderita TB dibanding anak yang tidak terpajan asap rokok. Kata kunci : asap rokok, tuberkulosis 1. PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai jaringan atau organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin serta mulai merambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi rendah saja. TB dapat terjadi pada individu dewasa dan anak-anak. TB anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 50% dari jumlah seluruh populasi. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Sekurang-kurangnya anak di dunia menderita TB setiap tahun. Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. (Kemenkes, 2013). Prevalensi TB Anak kelompok umur kurang dari 1 tahun adalah 0,2, umur 1-4 tahun adalah 0,4 dan umur 5-14 tahun adalah 0,3. (Riskesdas, 2013). Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6% (Kemenkes, 2013). TB pada anak akan membawa dampak jangka pendek dan jangka panjang yang dapat mempengaruhi kualitas kehidupannya seperti gangguan kesehatan fisik, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, aktivitas sosial dan kepercayaan diri serta kemungkinan komplikasi primer atau komplikasi penyebaran hematogen dan limfogen. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan TB pada anak yang dapat diidentifikasi adalah bayi dan anak di bawah umur lima tahun, mengalami penurunan imunitas seperti HIV positif, sedang menjalani terapi steroid dan kemoterapi kanker, (Wijayaningsih, 2013). Beaglehole (1997), Long (1996), dan Whaley & Wong (1995), menyatakan bahwa faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit TB adalah faktor genetik, keadaan status gizi, riwayat imunisasi, riwayat kontak, dan lingkungan rumah, sedangkan faktor risiko keterpaparan pada asap rokok masih menunjukkan hasil penelitian yang berbeda. Data hasil studi pendahuluan di RSU Dr. Soekardjo menunjukkan peningkatan penderita TB. WHO (2014) menyatakan bahwa asap rokok yang tersebar mengandung lebih dari 4000 jenis bahan kimia. Ratusan di antaranya telah terdeteksi berbahaya, seperti karbon monoksida, ammonia, arsenik, nikel, kadmium, dan formaldehida, yang dapat menyebabkan gangguan jangka panjang dan jangka pendek pada organ tubuh termasuk paru-paru. Kaitan perokok pasif dan infeksi TB pada anak menjadikan bahan pemikiran yang sangat penting, mengingat tingginya prevalensi merokok dan tuberkulosis di negara berkembang Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak. 241

242 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik (korelasional) dengan pendekatan case control. Lokasi penelitian dilakukan di poliklinik anak RSUD Dr. Soekardjo Tasikmalaya. Penelitian secara keseluruhan dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari bulan Februari sampai dengan Mei Pengambilan data dilakukan selama 50 hari pada bulan Maret-April Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien anak penderita TB paru dan yang bukan penderita TB paru yang melakukan pengobatan di Poli Anak RSUD Dr. Soekardjo Tasikmalaya.Besar sampel sebanyak 94 responden (kelompok kasus 47 responden, kelompok kontrol 47 responden). Cara pengambilan sampel kelompok kasus melalui consecutive sampling sedangkan kelompok kontrol dengan cara accidental sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan SPSS for windows versi 21 meliputii analisis Univariat, Bivariat: uji Chi square. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur, Jenis Kelamin Responden dan Keterpajanan pada Asap Rokok Sub Variabel Kasus Kontrol Jumlah Umur 0-4 tahun 5-14 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan\ Keterpajanan pada asap rokok di rumah Tidak Ya f % f % Frekuensi terpajan asap rokok 1 kali / hari > 1 kali /hari (24%) 70 (76% 53 (56%) 41 (44%) 19 (20%) 75 (80%) 28 (37%) 47 (63%) Lamanya menghirup asap rokok sehari <5 menit /hari > 5menit /hari 8 33 Keadaan lingkungan rumah semasa anak menghirup asap rokok jendela atau pintu terbuka jendela atau pintu tertutup (43%) 43(57%) 33(44%) (56%) Berdasarkan tabel 1 diperoleh data sebagian besar responden yaitu 70 orang (76%) berumur antara 5-14 tahun, jenis kelamin responden sebagian yaitu 53 orang ( 56%) adalah lelaki. Berdasarkan hasil tabulasi untuk keterpajanan pada asap rokok, dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden sebanyak 75 orang (80 %) terpajan pada asap rokok. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 47 orang (63%) terpajan pada asap rokok lebih dari satu kali sehari. Data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebanyak 43 orang (57%) menghisap asap rokok lebih dari lima menit sehari. Sebagian besar responden yaitu 42 orang (56%) menyatakan keadaan pintu atau jendela sering tertutup semasa anak menghirup asap rokok. 242

243 Tabel 2 Hasil analisis bivariat Hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak Keterpajanan pada asap rokok Kasus Kontrol Jumlah OR f % f % (95%CI) P value Tidak ,613 (0,867-7,608) 0,023 Ya Total Hasil analisis bivariat pada tabel 2 mengenai hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak menjelaskan bahwa pada kelompok kasus (anak yang menderita TB), terdapat 41 anak (87%) terpajan pada asap rokok dan 6 anak (13%) tidak terpajan pada asap rokok. Untuk kelompok kontrol (anak yang tidak menderita TB), ada 34 anak (72%) yang terpajan pada asap rokok dan 13 anak (28%) yang tidak terpajan asap rokok. Hasil uji statistik (α= 0,05) diperoleh nilai p= 0,023, maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB antara anak yang terpajan dan tidak terpajan asap rokok (ada hubungan yang signifikan antara keterpajanan pada asap rokok dengan kejadian TB pada anak). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 2,613, artinya anak yang terpajan pada asap rokok mempunyai peluang 2,613 kali untuk menderita TB dibanding anak yang tidak terpajan asap rokok. B. PEMBAHASAN Tuberkulosis pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda dengan TB paru orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah masalah diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering tidak khas atau sulit terdeteksi sehingga perlu ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik. TB pada anak dapat mempengaruhi perkembangan dan status kesehatan anak bahkan dapat menimbulkan kematian. Keterpajanan asap rokok sangat berperan sebagai salah satu faktor risiko utama penyebab dan juga merupakan faktor yg memperparah penyakit TB. Pada penelitian ini diperoleh hasil gambaran dan signifikansi hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak. Hasil penelitian menemukan bahwa kejadian TB anak paling banyak terjadi pada umur 6 tahun, dengan sebagian besar responden yaitu 34 (72) % anak berada pada kelompok umur 5-14 tahun. Hal ini sesuai dengan data yang dikemukakan oleh Kemenkes (2013) bahwa jumlah kasus TB pada kelompok umur 5-14 tahun lebih tinggi daripada kelompok umur 0-4 tahun. Berdasarkan pathogenesis penyakit TB, bakteri mycobacterium tuberculosa yang masuk ke badan host dapat membentuk imunitas seluler sebagai respon dari proliferasi kuman TB di dalam tubuh. Setelah imunitas seluler terbentuk, maka focus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi sempurna membentuk fibrosis atauu kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perijuan dan enkapsulasi. Dalam prosesnya kuman TB tetap dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar limfe, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Gejala akan muncul apabila terpapar pada faktor resiko penyakit TB seperti menghisap asap rokok baik dari rokok yang dihisap sendiri (main stream smoke) maupun asap rokok dari orang lain (side stream smoke atau second hand smoke ) secara berterusan dan dalam jangka waktu yang lama. Anak kelompok umur 5-14 tahun dapat menjadi sangat rentan untuk mengalami kelemahan fungsi paru apabila terpajan pada asap rokok secara berterusan dan dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa pada anak penderita TB hampir seluruh responden (87% ) terpajan pada asap rokok dan pada anak bukan penderita TB sebanyak 72 %. Frekuensi terpajan pada asap rokok pada anak penderita TB hampir seluruh responden (83%) lebih dari 1 kali sehari sedangkan pada anak bukan penderita TB sebanyak 38%. Lamanya terpajan asap rokok pada anak penderita TB hampir seluruh responden (80%) lebih dari 5 menit sehari dan pada anak bukan penderita TB sebagian besar ( 71%) kurang dari 5 menit sehari. Durasi yang lama dan frekuensi yang sering terpajan pada asap rokok dapat meningkatkan tahanan jalan nafas (airway resistant) yang dapat menurunkan fungsi paru-paru normal. 243

244 Menurut jenis kelamin, kejadian TB pada anak lebih dari setengahnya (53%) adalah lelaki. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Andi Utama (2006) yang mengemukakan bahwa perempuan dalam usia produktif lebih rentan menderita penyakit TB dibandingkan lelaki pada umur yang sama. Dari hasil pengumpulan data, proporsi antara kelompok kasus dan kontrol sama-sama lebih besar pada adanya paparan asap rokok dalam keluarga yaitu 87% pada kasus dan 75% pada kontrol. Keterpajanan asap rokok terbukti secara statistik (p value 0,023) sebagai faktor risiko terjadinya tuberkulosis pada anak dan anak yang terpajan pada asap rokok mempunyai peluang 2,613 kali untuk menderita TB dibanding anak yang tidak terpajan asap rokok (OR 2,613, CI : 0,867-7,608). Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Wijaya (2012), yang menunjukkan bahwa merokok dan asap rokok yang dihisap dapat meningkatkan risiko infeksi tuberkulosis paru, risiko perkembangan penyakit, dan penyebab kematian pada penderita tuberkulosis. Penelitian Diani (2011) menyatakan hal serupa bahwa pajanan terhadap asap rokok beresiko meningkatkan proporsi infeksi tuberkulosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada anak penderita TB sebagian besar (73%) menghisap asap rokok di rumah dengan jendela dan pintu tertutup, dan sedangkan pada anak bukan penderita TB sebagian kecil (35%) menghisap asap rokok di rumah dengan jendela dan pintu tertutup. Menurut hasil penelitian Sri Maywati sebanyak 52 % masyarakat di Ciawi Tasikmalaya merokok di dalam rumah. Hasil Survey Perilaku Hidup Bersih dan Sehat menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga sehat dengan indikator tidak merokok baru mencapai 47,6%, belum mencapai 80% target Nasional (Dinkes Kota Tasikmalaya, 2012). Merokok dapat mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi, hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan mukosa dan menurunkan pergerakan silia, sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri, termasuk kuman tuberkulosis, dan berakibat pada rentannya tubuh pada infeksi tuberkulosis paru (Aditama, 2005). Hal ini diperberat jika merokok dilakukan di dalam rumah apalagi dengan pintu atau jendela yang tertutup. Asap rokok akan merusak pertahanan paru yang disebut Muccocilliary Clearance dimana bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang infeksi yang sudah masuk dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat memakan bakteri penggangggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respon terhadap antigen sehingga jika ada benda asing masuk ke paru-paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia, asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan produksi anti protease sehingga merugikan tubuh manusia. Asap rokok juga menurunkan aktivitas lisozim A. Lisozim A adalah salah satu enzim hidrolitik dari kompartemen lisosomal sel fagosit yang disekresi ke area ekstraseluler dan terbukti mempunyai efek bakterisidal dengan mekanisme hidrolisis bagian polisakarida dinding sel kuman mycobacterium tuberculosis. 4. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Umur responden sebagian besar (76%) berumur antara 5-14 tahun, dan sebagian kecil (24%) berumur antara 0-4 tahun 2. Jenis kelamin responden sebagian ( 56%) adalah lelaki dan sebagian (44%) adalah perempuan. 3. Keterpajanan asap rokok : sebagian besar responden (80 %) terpajan pada asap rokok dan sebagian kecil (20%) tidak terpajan asap rokok. 4. Frekuensi terpajan asap rokok : Sebagian besar responden (63%) terpajan pada asap rokok lebih dari satu kali sehari dan sebagian kecil responden (37%) satu kali sehari. 5. Lamanya terpajan asap rokok : sebagian responden (57%) menghisap asap rokok dari anggota keluarga atau orang yang ada di rumahnya lebih dari lima menit sehari dan sebagian (43%) kurang dari lima menit sehari. 6. Keadaan rumah sewaktu terpajan asap rokok : sebagian besar responden (69%) pintu atau jendela sering tertutup semasa anak menghirup asap rokok dan sebagian kecil responden (31%) pintu atau jendela sering terbuka semasa anak menghirup asap rokok. 7. Terdapat hubungan yang signifikan antara keterpajanan asap rokok dengan kejadian TB pada anak (p value = 0,023). Nilai OR = 2,613 (CI : 0,867-7,608), artinya anak yang terpajan pada asap rokok mempunyai peluang 2,613 kali untuk menderita TB dibanding anak yang tidak terpajan asap rokok. B. SARAN 1. Dinas Kesehatan Dalam upaya menurunkan angka kejadian Tuberkulosa pada anak hendaknya pihak Puskesmas dengan didukung oleh Dinas Kesehatan setempat khususnya bagian Program Pemberantasan Penyakit Menular maupun seluruh tenaga keperawatan yang berkaitan, untuk dapat lebih menekankan upaya promotif dan preventif yang terkait dengan penyakit Tuberkulosa dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang secara signifikan beresiko untuk terjadinya tuberkulosa pada anak, yaitu melalui : 244

245 a. mengefektifkan dan mengintensifkan penyuluhan kesehatan terkait dengan pengaruh rokok dan asap rokok terhadap kejadian TB b. Mengoptimalkan pemantauan dan pengobatan tuntas pada anak yang menderita TB aktif. 2. Kader dan tokoh masyarakat Keberhasilan program penyuluhan mengenai TB oleh pihak dinas kesehatan dan puskesmas sangat ditunjang oleh kerjasama dari masyarakat terutama yang berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku termasuk kader kesehatan, tokoh masyarakat dan keluarga penderita sendiri. Oleh karena itu hendaknya kegiatan-kegiatan dari bagian Program Pemberantasan Penyakit Menular selalu melibatkan peran serta dari kader kesehatan dan tokoh masyarakat. 3. Pendidikan Keperawatan Mengembangkan kurikulum pendidikan keperawatan mengenai TB dan faktor-faktor yang beresiko dalam terjadinya TB pada anak, terutama yang terkait dengan pengaruh rokok terhadap kejadian TB, supaya mahasiswa keperawatan mendapat pengetahuan yang mencukupi mengenai TB sehingga dapat diaplikasikan ke dalam praktek keperawatan baik di rumah sakit, puskesmas atau masyarakat. 5. DAFTAR PUSTAKA Aditama T.Y. (2005). Rokok dan tuberculosis. diakses 6 Maret 2015 American Psychological Association. (2001). Publication manual of American Psychological Association. (5 th ed). Washington, D.C: Author Arikunto. S. (2006). Prosedur penelitian :suatu pendekatan praktik. (edisi revisi). Jakarta: rineka Cipta Centres for Diseases Control and Prevention( CDC). (2014). Diseases and death. diakses tanggal 6 Maret 2015 Dahlan S.M. (2010). Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika Diani. Setyanto, Nurhamzah, (2011). Proporsi infeksi tuberculosis dan gambaran faktor risiko pada balita yang tinggal dalam satu rumah dengan pasien tuberculosis paru dewasa. diakses tanggal 8 Mei 2015 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Profil Kesehatan Jawa Barat tahun 2014 Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Survey Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tahun Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Terobosan menuju akses universal Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Petunjuk teknis manajemen TB pada anak Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012 Kunoli, F.J.,(2013). Pengantar epidemiologi penyakit menular. Jakarta: Trans info media Marcdante,K.,Kliegman.R.,Jenson.H.,Behrman.R.(2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Terjemahan Edisi keenam. Singapore: Elsevier Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia (2014). Hubungan merokok dan TBC. Simbolon, D. (2007). Faktor risiko tuberculosis paru. Jurnal Kesehatan UI vol.2 No.3 Utama, A. (2006). Informasi singkat tentang tuberculosis. diakses 14 Maret 2015 Wijayaningsih, S.,(2013). Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Trans info media WHO.(2014).Tobacco. diakses tanggal 6 Maret

246 Faktor yang mempengaruhi pemanfaatan Voluntary Counseling and Testing (VCT) HIV/AIDS. (Review) Euis Teti Hayati 1, Sheizi Prista sari 2 1 Mahasiswa Magister Keperawatan Komunitas Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran euistetihayati@ymail.com 2 Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran sheizi@unpad.ac.id Abstrak- Latar Belakang: Peningkatan kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat, Jawa Barat menduduki kasus ke empat di Indonesia. Kurangnya kesadaran dalam pemanfaatan VCT dan kurangnya pemahaman tentang HIV/AIDS akan mengakibatkan sulitnya mendeteksi kasus HIV/AIDS sehingga akan sulit untuk mengatasi baik penyebaran maupun penularan penyakitnya. VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menangani penyebaran HIV/AIDS. Metode: Studi literatur ini bertujuan untuk mengidentifikasi literatur yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan VCT HIV/AIDS. Literatur yang digunakan merupakan publikasi ilmiah dari database Proquest, EBSCOhost dan Google scholar yang diambil tahun 2009 sampai 2015, dengan menggunakan kata kunci HIV/AIDS dan pemanfaatan VCT. Dipilih 8 artikel yang relevan dengan tujuan review ini. Hasil: terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi responden dalam pemanfaatan VCT yaitu: (1) masih kurangnya kesadaran untuk memanfaatkan VCT (2) persepsi risiko rendah (3) kurangnya kepercayaan dalam kerahasiaan hasil tes (4) masih adanya anggapan bahwa VCT itu mahal dan (5) kurangnya ketersedian tempat dan sarana untuk melakukan VCT. Kesimpulan: Banyak faktor yang mempengaruhi pemanfaatan VCT, namun belum teridentifikasi keterkaitan satu faktor dengan yang lainnya. Saran: Diperlukan penelitian untuk menghasilkan analisis lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang paling berhubungan dalam pemanfaatan VCT. Kata Kunci : Pemanfaatan VCT, HIV/AID 1. LATAR BELAKANG Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS ) yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di California telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit dan merupakan serangkaian abnormalitas yang berkaitan dengan infeksi Human Immuno Deficiency Virus (HIV). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga sangat rentan dan mudah terjangkit bermacam penyakit (Sudoyo et al, 2006). Data terbaru secara global menunjukan pada akhir 2014 terdapat orang hidup dengan HIV/AIDS. Pada tahun yang sama, sekitar 2 juta orang terinfeksi baru dan 1,2 juta orang meninggal (United Nations Joint Program on HIV/AIDS [UNAIDS], 2015). Sementara itu sejak tahun 2005 sampai September 2015 kasus HIV di Indonesia sebanyak dan kasus AIDS Hasil ini didapat dari laporan layanan konseling dan tes HIV. Kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta kasus, diikuti Jawa Timur kasus, Papua kasus, Jawa Barat kasus dan Jawa Tengah kasus (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2015). Dalam rangka meningkatkan penanggulangan HIV/AIDS yang efektif dan komprehensif di Indonesia, pemerintah telah melakukan beberapa upaya melalui Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS (SRAN). Strategi ini bertujuan untuk mencegah dan mengurangi risiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan (Komisi Penanggulangan AIDS [KPA],2010). VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menangani penyebaran HIV/AIDS (Depkes RI, 2006). VCT perlu dilakukan karena merupakan pintu masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV/AIDS, dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes positif maupun negatif dengan fokus pemberian dukungan terapi ARV, dapat membantu mengurangi stigma di masyarakat, serta dapat memudahkan akses ke berbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan klien (Murtiastutik, 2008). Alemie, G. A., & Balcha, S. A. (2012) mengungkapkan bahwa VCT merupakan komponen penting dari setiap kegiatan pengendalian dan pencegahan HIV/ AIDS. VCT membuat orang menyadari status HIV mereka dan memungkinkan identifikasi awal dari orang-orang yang membutuhkan perawatan. Ini merupakan link penting untuk perawatan dan dukungan HIV/AIDS. 246

247 2. METODE PENELITIAN Studi literatur ini bertujuan untuk mengidentifikasi literatur yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi pemanfaatan VCT HIV/AIDS. Literatur yang digunakan merupakan publikasi ilmiah dari database Proquest, EBSCOhost dan Google scholar yang diambil dari tahun 2009 sampai 2015, dengan menggunakan kata kunci HIV/AIDS dan pemanfaatan VCT. Review ini melibatkan responden baik yang memanfaatkan layanan VCT maupun yang tidak memanfaatkan layanan VCT dan telaahan ini dilakukan pada jenis penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif, dipilih 8 artikel yang relevan dengan tujuan review ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kurangnya kesadaran dalam memanfaatkan VCT dan kurangnya pemahaman tentang HIV/AIDS akan mengakibatkan sulitnya mendeteksi kasus HIV/AIDS sehingga akan sulit untuk mengatasi baik penyebaran maupun penularan penyakitnya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi responden untuk memanfaatkan VCT. Menurut penelitian (Afridi et al, 2008), faktor pendorong pemanfaatan VCT adalah keterpaparan informasi tentang HIV/AIDS, persepsi beresiko, dan akses pelayanan kesehatan. Meshesha (2014) yang melakukan penelitian pada Pemuda di kota Hawassa,Southern Ethiopia dengan menggunakan teori HBM dengan jumlah sampel 06 FGD yang terdiri dari 6-8 peserta dengan cara yang sama 13 wawancara mendalam informan kunci dilakukan pada (3 pemimpin agama, 2 tokoh masyarakat, 2 ODHA, 2 anak jalanan, 2 PSK dan, 2 konselor) mengatakan bahwa faktor penghambat pemanfaatan VCT adalah takut stigma dan diskriminasi, takut terhadap hasil tes HIV positif, persepsi beresiko tinggi sementara masih kurang kesadaran untuk memanfaatkan VCT, kurangnya kepercayaan terhadap kerahasiaan hasil tes, kurangnya pendekatan konseling pra dan post test sebelum mengambil sampel darah, kekurangan keterbukaan dengan keluarga terhadap masalah seksual. Penelitian Yahaya, Jimoh, & Balagon (2010), pada Pemuda di Kwara, Nigeria dengan jumlah sampel 800 tapi yang diisi hanya 600 quisioner juga mengungkapkan bahwa faktor penghambat pemanfaatan VCT adalah kurangnya pengetahuan, takut terhadap hasil positif, biaya VCT dianggap mahal, kurang memadai pusat layanan VCT, stigmatisasi. Penelitian yang serupa yang dilakukan oleh Wang, (2009) pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di Kota Jinan, Cina Utara dengan jumlah sampel 17 WPS dan 12 manager yang diambil dari 23 tempat hiburan yang ada dikota Jinan bahwa faktor pendorong pemanfaatan VCT adalah pengetahuan dan pandangan tentang VCT, sikap positif, merasa beresiko, adanya pengaruh dari luar dan ajakan teman, sedangkan faktor penghambat pemanfaatan VCT adalah persepsi kerentanan yang rendah, persepsi yang rendah terhadap keparahan penyakit HIV/AIDS, persepsi hambatan yang tinggi, persepsi yang rendah tentang manfaat dalam melakukan VCT (Abebe,2006). Misir (2013) melakukan penelitian di Southern Ethiopia melibatkan 6,651 peserta dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa faktor penghambat pemanfaatan VCT adalah sikap negatif dan acuh tak acuh, merasa beresiko, takut diskriminasi dan keterbukaan, takut stigma dan diskriminasi, takut menghadapi hasil tes HIV, kurangnya kesadaran, persepsi risiko rendah, kurangnya kepercayaan terhadap hasil tes, kurangnya pendekatan konseling pra dan post test, dan kurangnya pendekatan konseling pra dan post test. Zou, H., Wu, Z., Yu, J., Li, M., Ablimit, M., Li, F., & Poundstone, K. (2013) hasil penelitiannya yang dilakukan pada responden Lelaki yang berhubungan Seks dengan lelaki di Beijing Urumqi, China pada bulan Agustus 2007 yang mana menghubungi LSL dengan menggunakan pesan instan, online chatting kamar, ponsel, dan (rekrutmen aktif). Sebanyak LSL dihubungi dan 429 menghadiri klinik VCT. Satu dari setiap 4 orang yang direkrut melalui pesan instan benar-benar pergi untuk tes HIV, sedangkan hasil rekrutmen untuk gay online, kontak telepon selular, dan adalah 1: 6, 1:10, dan 1: 140, masing-masing. Mayoritas peserta (80%, 317/399) melaporkan bahwa mereka termotivasi untuk mencari tes HIV dari kepedulian untuk kesehatan mereka, dan hanya 3% (11/399) melaporkan bahwa termotivasi oleh insentif keuangan. 4. KESIMPULAN Hasil review artikel diatas menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pemanfaatan VCT, namun belum ada penelitian untuk menganalisis faktor-faktor secara bersamaan sehingga saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. dan juga belum banyak penelitian yang berbicara tentang keyakinan,sehingga perlu penelitian dengan menggunakan pendekatan Health Believe Model. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur Penulis persembahkan kehadirat Alloh SWT atas limpahan rahmat dan ridho- Nya Penulis dapat menyeleasikan studi literatur ini tepat waktu. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada jungjunan alam Nabi Besar Muhammad SAW, Keluarganya, para sahabatnya, dan kita sebagai umatnya sampai akhir zaman. Selanjutnya Penulis sampaikan bahwa dalam penyusunan ini masih banyak kekurangan dan kelemahan 247

248 sehingga atas bantuan, bimbingan, dan dukungan semua pihak Penulis dapat menyelesaikannya. Maka pada kesempatan ini ijinkan Penulis menyampaikan rasa hormat, ucapan terima kasih dn penghargaan yang setinggitingginya kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, selaku Rektor Universitas Padjadjaran Bandung 2. Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung 3. Sheizi Prista Sari, S.Kep.,Ners., M.Kep, selaku Pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan, bimbingan dan energi dengan penuh dedikasi dan ketelitian selama penyusunan studi literatur ini. Akhirnya Penulis sampaikan semoga studi literatur ini bermanfaat bagi semua pihak, kritik, saran, serta bimbingan dari semuanya Penulis nantikan demi kesempurnaan studi literatur ini. Sekian dan terima kasih. 6. DAFTAR PUSTAKA Meshesha, (2014). Factors influencing voluntary counseling and testing service utilization associated with VCT utilization among youths in Arbaminch town: a health belief model approach. Southern Ethiopia [M.S. thesis], Faculty of Public Health, Jimma University, Jimma, Ethiopia, Yahaya, L. A., Jimoh, A. A. G., & Balogun, O. R. (2010). Factors hindering acceptance of HIV/AIDS voluntary counseling and testing (VCT) among youth in kwara state, nigeria. African Journal of Reproductive Health, 14(3), Retrieved from Misir, P. (2013). HIV/AIDS stigma-reduction on VCT uptake: An adapted systematic review. Eastern Journal of Medicine, 18(4), Retrieved from UNAIDS (2015) melalui (Komisi Penanggulangan AIDS [KPA],2010). Strategi dan aksi nasional penanggulangan aids Wang, Y., Li, B., Pan, J., Sengupta, S., Emrick, C. B., Cohen, M. S., & Henderson, G. E. (2011). Factors associated with utilization of a free HIV VCT clinic by female sex workers in jinan city, northern china. AIDS and Behavior, 15(4), doi: Odimegwu, C., Adedini, S. A., & Ononokpono, D. N. (2013). HIV/AIDS stigma and utilization of voluntary counselling and testing in nigeria. BMC Public Health, 13, 465. doi: Wang, Y., Li, B., Pan, J., Sengupta, S., Emrick, C. B., Cohen, M. S., & Henderson, G. E. (2011). Factors associated with utilization of a free HIV VCT clinic by female sex workers in jinan city, northern china. Alemie, G. A., & Balcha, S. A. (2012). VCT clinic HIV burden and its link with HIV care clinic at the university of gondar hospital. BMC Public Health, 12, doi: Zou, H., Wu, Z., Yu, J., Li, M., Ablimit, M., Li, F., & Poundstone, K. (2013). Internet-facilitated, voluntary counseling and testing (VCT) clinic-based HIV testing among men who have sex with men in china. PLoS One, 8(2) doi: Sudoyo (2006). Ilmu Penyakit Dalam Jakarta FKUI Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2015). Pusat data dan informasi HIV/AIDS Depkes RI Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Voluntary Counselling and Testing = VCT). Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta 248

249 PENGARUH PERILAKU MEROKOK TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA PRODI D.III KEPERAWATAN STIKes BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA TAHUN 2014 Evi Irmayanti, M.KM Departemen Keperawatan Komunitas Prodi D.III Keperawatan STIKes BTH Abstrak. Penelitian ini mengangkat pengaruh perlaku merokok terhadap prestasi mahasiswa prodi D.III Keperawatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya pada tahun Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku merokok dikalangan mahasiswa prodi keperawatan dan bagaimana pengaruhnya terhadap prestasi belajar mahasiswa tersebut. Desain penelitian ini menggunakan corelasi deskriptiv yang melibatkan 60 orang mahasiswa sebagai responden penelitian dan quisioner sebagai alat pengumpulan datanya. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara perilaku merokok dengan prestasi akademik mahasiswa diprodi D.III Keperawatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya denganp value <a (p value<0,05). Hal tersebut dapatdijadikan rekomendasi terhadap mahasiswa, karena telah terbukti bahwa perilaku merokok memiliki dampak negative terhadap prestasi akademik. PENDAHULUAN Kebiasaan merokok merupakan masalah penting dewasa ini. Rokok untuk sebagian orang sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditingalkan dalam kehidupan sehari-hari. Masayarakat yang merokok pertama kali adalah suku bangsa indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad ke XVI ketika bangsa Eropa menemukan Benua Amerika, sebagian para penjelajah Eropa itu meniru dengan mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa (Logayah, 2012). Jumlah perokok di dunia semakin meningkat demikian dalam penelitian Institute for Health Metric and Evaluation di University of Washington DC di Amerika Serikat yang mengkaji tentang tingkat perokok dari tahun 1980 sampai 2012 berdasarkan data dari 187 negara. Badan kesehatan dunia WHO tahun 1999, menganggap perilaku merokok telah menjadi masalah penting bagi seluruh dunia sejak satu dekade yang lalu (Mayasari, 2007). Menurut Global Aduts Tobacco Survey (GATS, 2011), Indonesia memiliki jumlah perokok aktif terbanyak dengan prevalensi 67% laki-laki dan 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang) dan 85,4% masyarakat terpapar asap rokok ditempat umum. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia telah melakukan beberapa survey mengenai kebiasaan merokok pada tahun 2011 menemukan angka prevalensi merokok dikalangan penduduk usia 20 tahun keatas di Jakarta dan Sukabumi mencapai 68 persen laki laki dan delapan persen perempuan.menurut data SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 1995, jumlah persentase perokok di Jawa Barat adalah sebesar 58,9%, sedangkan persentase jumlah perokok di Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan hasil Survei Perilaku Kesehatan Remaja di sembilan lokasi PKRE (Pendidikan Kesehatan Reproduksi Esensial)tahun 2004 adalah sebesar 46,38% (Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan kecanduan bagi individu dan masyarakat.berdasarkan PP No.19 tahun 2003,diketahui bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau dibungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabakum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin merupakan alkaloid yang stimulan yang sangat bersifat adiktif dan mempengaruhi otak/susunan saraf. (Mukuan, 2012 dalam Yuliarti. dkk, 2013 ). Jika remaja terus menerus menghisap rokok, maka akan terjadi penumpukan nikotin di otak (Prasadja, 2012 dalamyuliarti. dkk, 2013 ). Penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2011), ada pengaruh perilaku merokok terhadap memori jangka panjang perokok, yaitu ingatan perokok lebih rendah ketika dibandingkan dengan bukan perokok.azwar (2004) mengatakan prestasi atau keberhasilan akademik dapat dioperasionalkan dalam bentuk atau indicator berupa nilai raport, indeks prestasi studi atau nilai kelulusan. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan perilaku merokok dengan prestasi akademik mahasiswa prodi D.III Keperawatan STIKes BTH Tasikmalaya. 249

250 METODOLOGIPENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis desain deskriptif korelatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara variable independen dengan variable dependen yaitu hubungan antara perilaku merokok dengan perstasi akademik mahasiswa. Sampel penelitian ini berjumlah 60 respnden mahasiswa laki-laki baik yang merokok maupun tidak merokok. Analisa data pada penelitian ini melaui dua tahapan yaitu menggunakan analisa univariat dan bivariat. HASIL PENELITIAN A. Analisis Univariat Analisa yang pertama dilakukan adalah analisa univariat, yang digunakan untuk mendapatkan data mengenal karakteristik responden meliputi, semester, status merokok, lama merokok, umur pertama kali merokok, tingkat ketergantungan terhadap rokok,jumlah rokokyang dikonsumsi setiap hari, dan nilai IPK sebagai indikator prestasi akademik mahasiswa. Hasil analisa univariat tersebut dapat dilihat dalam tabel-tabel dibawah ini: Semester Semester III Semester V Tabel 1. Distribusi frakuensi responden berdasarkan karatkristik Kategori Responden Frekuensi (n) Prosentasi (%) ,3 46,7 Total Status merokok Ya Tidak ,0 40,0 Total Lama Merokok Tidak merokok 0-10 Tahun >10 tahun ,0 55,5 5,0 Total Umur Pertama kali merokok Tidak merokok tahun tahun tahun tahun ,0 5,00 10,29 40,0 2,94 Total Tingkat ketergantugan terhadap rokok Tidak merokok Tinggi (tidak bisa tanpa rokok setiap hari) Sedang (Merasa ada yang kurang bila tidak merokok dalam sehari) 20 40,0 20,0 33,33 Rendah (tidak masalah bila harus tidak merokok dalam sehari) 4 6,67 Total Jumlah rokok yang dihisap dalam sehari Tidak merokok 1-10 batang batang >20 batang ,0 51,7 5,0 3,3 Total Kategori perilaku merokok Tidak merokok Perokok ringan Perokok sedang dan berat ,0 51,7 8,3 Total

251 Menurut tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa dari 60 orang responden yang diteliti, distribusi frekuensi menurut semester adalah semester lima yaitu 28 orang (46,7%). Status merokok ditunjukan oleh mayoritas merokok berjumlah 36 orang (60,0%). Lama merokok ditunjukan oleh mayoritas kurang dari 0-10 tahun yaitu 33 orang (55,0%). Umur mulai merokok menunjukkan tertinggi pada rentang usia tahun yautu 24 orang (40,0%). Pada data tingkat ketergantungan terhadap rokok, mayoritas menunjukkan tingkatan sedang yaitu 20 orang. Adapun jumlah rokok yang dihisap setiaphari menunjukkan data tertinggi 1-10 batang perhari yaitu 31 orang (51,7%), sehingga dapat dikategorkan sebagai perokok ringan. Tabel 2. Ditribusi frekuensi berdasarlan Indek Prestasi Kumulatif (IPK) semester IPK Frekuensi (n) Prosentasi (%) Kurang memaskan Memuaskan Sangat memuaskan ,70 88,3 5,00 Total Menurut data pada tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa dari 60 responden yang diteliti, distribusi frekuensi responden menurut prastasi akademik dari IPK teringgi adalah memuaskan yaitu 53 orang (88,3%). B. Analisis Bivariat Tabel 3. Hubungan perilaku merokok dengan prestasi akademik mahasiswa prodi D.III Keperawatan STIKes BTH Tasikmalaya. Variabel N Mean (nilai IPK) SD 95% CI for Mean P value Lower bound Upper bound Tidak merokok Perokok ringan Perokok sedang, berat ,20 0,24 0, Hasil analisis bivariat yang ditunjukkan oleh tabel 3 diatas menjelaskan bahwa rata-rata prestasi akademik responden yang tidak merokok lebih tinggi dibandingkan dengan yang merokok yaitu dengan IPK 3,21 dengan standar deviasi 0,20. Perokok ringan memliki rata-rata IPK sebesar 3.16 dengan standar deviasi 0, 24 sedangkan IPK rata-rata perokok sedang dan berat adalah 2,91 dengan standar deviasi 0,31. Hasil uji statistic menunjukkan bahwa H0 ditolak atau dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan prastasi akademik mahasiswa prodi D.III Keperawatan STIKes BTH Tasikmalaya. PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Semester Karakteristik berdasarkan semester responden paling banyak menunjukkan semester lima yang berjumlah 32 orang atau 53,3%. Pada semester lima umur responden rata-rata adalah 22tahun dan pada umur tersebut mereka berada pada kelompok remaja akhir. Pada masa ini, mereka mencoba menjadi orang dewasa seutuhnya dengan perilaku yang dianggap sebagai identitas kedewasaan tersebut (Monique, 2004). 2. Umur pertama kali merokok dan lama merokok Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa umur pertama kali merokok didominasi oleh rentang umur tahun yaitu 24 orang atau 40%. Hal ini didukung oleh data dari Riskesdas (2013) bahwa prevalensi perilaku merokok usia pertama kali diatas 15 tahun mengalami peningkatan dari 34,7% menjadi 36,3%. Semakin awal seseorang merokok akan semakin sulit untuk berhenti. Rokok juga mempunyai doseresponse effect artinya semakin muda usia merokok semakin besar pengaruhnya terhadap tubuh (Bustan 1997 dalam Firdaus 2010). 3. Tingkat ketergantungan terhadap rokok Hasil penelitian menunjukkan tingkat ketergantungan terhadap rokok yaitu ketergantugansedang atau merasa ada yang kurang tanpa rokok dengan jumlah 20 orang atau 33,33%. 251

252 4. Jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari Mayoritas responden dalam penelitian ini menghisap rokok 1-10 batang perhari. Sitepu (2002) menyatakan hal tersebut termasuk kategori perokok sedang. A.Prestasi Akademik (IPK) Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 60 responden ini didapatkan sebagian besar responden memiliki IPK dalam rentang memuaskan sebanyak 88,3% dan terbanyak diraih oleh responden yang bukan perokok. Penelitian oleh Mananta (2008) menunjukkan hasilbahwa perilaku berisiko yang mempunyai hubungan erat dengan penurunan prestasi adalah merokok, menonton video porno dan perilaku seksual bebas. B. Hubungan perilaku merokok dengan prestasi akademik mahasisa Prodi D.III Keperawatan STIKes BTH Tasikmalaya Hasil penelitian yang dilakukan kepada 60 responden didapatkan hasil rata-rata prestasi akademik responden yang tidak merokok lebih tinggi dibandingkan dengan yang merokok yaitu dengan IPK 3,21 dengan standar deviasi 0,20. Perokok ringan memliki rata-rata IPK sebesar 3.16 dengan standar deviasi 0, 24 sedangkan IPK rata-rata perokok sedang dan berat adalah 2,91 dengan standar deviasi 0,31. Hasil uji statistic menunjukkan bahwa H0 ditolak atau dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan prastasi akademik mahasiswa prodi D.III Keperawatan STIKes BTH Tasikmalaya. Widodo (2010) menyatakan prestasi mahasiswa yang merokok lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak merokok. Haustein dan Gronebegr (2010) menyatakan, merokok tidakhanya berpengaruh terhadap kesehatan fisik semata, tetapi berpengaruh juga terhadap fungsi otak dan kesehatan psikis. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan analisis univariat maka dapat disimpulkan bahwa responden paling banyak menunjukkan semester lima yang berjumlah 32 orang atau 53,3%, sedangkan hasil yang diperoleh bahwa umur pertama kali merokok didominasi oleh rentang umur tahun yaitu 24 orang atau 40,0%, tingkat ketergantungan terhadap rokok yaitu ketergantugan sedang atau merasa ada yang kurang tanpa rokok dengan jumlah 20 orang atau 33,33%. Adapun mayoritas responden dalam penelitian ini menghisap rokok 1-10 batang perhari. Sitepu (2002) menyatakan hal tersebut termasuk kategori perokok sedang. Hasil analisa bivariat menunjukkan sebagian besar responden memiliki IPK dalam rentang memuaskan sebanyak 88,3%. Saran Setelah penulis selesai melakukan penelitian ini, dapat disarankan terutama kepada responden bahwa perilaku merokok sebaiknya dihentikan atau dihindari karena mengingat perilaku tersebut memberikan dampak negative terutama terhadap prestasi akademik, selain juga sangat buruk untuk kesehatan jangka panjang, bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang-orang disekitarnya. Bagi institusi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya dan instirtusi kesehatan lainnya, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk bahan sosisalisasi ataupun bahan pendidikan kesehatan/penyuluhan kepada masyarakat mengenai dampak negative merokok terutama kepada para remaja yang dianggap generasi penting dalam kehidupan. DAFTAR PUSTAKA Adioetomo,S.M Meredam Wabah : Pemerintah dan Aspek Ekonomi terhadap tembakau. Publikasi Bank Dunia Ahmadi, A Strategi Belajar Mengajar. Bandung. CV. Pustaka Setia Ayuningtyas, D Penyebab Perilaku Merokok terhadap Memori Jangka Panjang pada Perokok.( um.ac.id//index/php/bk-psikologi/article/view/12499). Diunduh pada tanggal 29 September Firdaus Dilemanya Sebuah Rokok. Jakarta. CV. Rasa Aksara Haustein, K.O., & Groneberg, D Tobacco or Health? 2 nd Edition. Berlin. Springer Kemenkes RI Profil Kesehatan Indonesia Jakarta. Kemenkes RI Mananta Hubungan Perilaku Beresiko terhadap Prestasi Belajar Siswa SMAN I Lore Selatan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. ( provinsi-sulteng). Diunduh pada tanggal 29 September 2014 Monique, A Menghindari Merokok. Jakarta. PT. Balai Pustaka. Riskesdas Laporan Nasional Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan Kemenkes RI tahun 2010 Riskesdas Laporan Nasional Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan Kemenkes RI tahun 2013 Sitepoe, M Kekhususan Merokok di Indonesia. Jakarta. Gramedia. WHO GATS (Global Adult Tobacco Survey). Indonesia Report. ( Diunduh pada tanggal 30 September

253 Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Stres pada Lansia Single Parent Lilis Lismayanti 1, Miftahul Falah 2 1,2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya lilismayanti@gmail.com miftahulfalah57@gmail.com Abstrak - Stres adalah reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang disebabkan oleh berbagai tuntutan. Tingkatan stres menurut Lovibond yaitu normal, stres ringan,sedang,berat dan stres sangat berat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada lansia single parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya. Metode penelitian ini adalah metode survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah lansia single parent di Kelurahan Mugarsari sebanyak 126 orang. Pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Instrumen pada penelitian ini menggunakan lembar cheklis dan kuesioner Depression Anxiety Stres Scale (DASS 42) yang dikembangkan Lovibond Analisis data penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukan bahwa distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak lansia perempuan sebanyak 40 orang (71,4%). Distribusi responden berdasarkan penyebab single parent karena kematian sebanyak 48 orang (82,1%). Distribusi status ekonomi sebagian besar berstatus ekonomi rendah sebanyak 51 orang (91,1%). Distribusi status kesehatan sebagian besar sakit sebanyak 51 orang (91,1%). Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat stres dengan ρ value 0,026, tidak ada hubungan antara penyebab single parent dengan tingkat stres dengan ρ value 0,467, ada hubungan antara status ekonomi dengan tingkat stres dengan ρ value 0,04, tidak ada hubungan antara status kesehatan dengan tingkat stres dengan ρ value 1,000.Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dan status ekonomi dengan tingkat stres. Sehingga Lansia harus mencari informasi dengan bertanya atau konsultasi pada petugas kesehatan tentang stres yang di alami sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat mencegah dampak dari stres. Kata Kunci: factor, stress, lansia, single parent 1. Latar Belakang Penduduk lansia di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Peningkatan jumlah lansia yang signifikan akan berdampak terhadap peningkatan masalah penyakit degenerative, baik masalah fisik, pasikologis/mental, social, ekonomi, dan spiritual. Masalah psikologis dapat berdampak terhadap masalah lainnya. Masalah psikologis yang dapat dialami oleh lansia salah satunya adalah stres. Stres adalah reaksi tubuh terhadap sesuatu yang menimbulkan tekanan, perubahan dan ketegangan emosi. Stres pada lansia dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya masalah perubahan hidup dan kemunduran fisik yang dialami oleh lansia. Lansia dapat mengalami kesepian yang disebabkan oleh putusnya hubungan dengan orang-orang yang paling dekat dan disayangi, post power syndrome, kehilangan kekuatan, penghasilan dan kebahagiaan. Lansia yang kehilangan pasangan yang diakibatkan oleh perceraian dan kematian menimbulkan masalah dalam penyesuaian diri. Keadaan ini sangat menyulitkan terutama bagi seorang ibu lansia, seringkali mengalami kesepian yang mendalam. Single Parent merupakan salah satu faktor yang menyebabkan para lansia stresnya meningkat. Hasil survey Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), jumlah perceraian di Indonesia semakin meningkat, pada kurun tahun 2010 ada perkara yang berakhir dengan perceraian ke Pengadilan Agama se-indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Hal tersebut akan berdampak pada tingkat stress suami dan istri yang di tinggal oleh pasangannya khususnya pada lansia. Kondisi stres pada para lansia tersebut bisa diartikan dengan kondisi yang tidak seimbang, adanya tekanan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang biasanya tercipta ketika lansia tersebut melihat ketidaksepadanan antara keadaan dan sistem sumber daya biologis, psikologis, dan juga sosial yang erat kaitannya dengan respon terhadap ancaman dan bahaya yang dihadapi pada lanjut usia (Sriati, 2007). Tingkat stres yang dialami setiap lansia tergolong tinggi dan didapatkan stresor atau 5 faktor penyebab stres secara berurutan antara lain perubahan dalam aktivitas sehari-hari, perubahan dalam perkumpulan keluarga, kematian pasangan, kematian anggota keluarga dan perubahan dalam pilihan maupun kuantitas olahraga dan rekreasi ( Depkes, Yeniar dkk, Juniarti, Ramaita, 2012). Selain itu penurunan kemampuan dalam mempertahankan hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungan, fungsi badan, dan kejiwaan secara alami (Haryadi, 2012). Tingkat kesepian pada lansia yang di sebabkan kematian pasangannya sangat tinggi dan merupakan salah satu pemicu stres pada lansia khususnya penghuni Panti Werdha. Selanjutnya penelitian tentang pengelolaan stres pada ibu single parent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya stres pada seorang ibu single parent saat perceraian dan pasca perceraian, stres yang dirasakan ialah menjalani hidup 253

254 dan membesarkan anak seorang diri tanpa dukungan seorang suami, status sebagai single parent, masalah ekonomi, pekerjaan, peran ganda subjek dan hubungan pribadi subjek dengan lingkungan setelah perceraian (Akmaliah, 2012). Mugarsari merupakan tempat yang jumlah lansianya tinggi dibandingkan dengan kelurahan yang lainnya di Kota Tasikmalaya, yaitu berjumlah 1157 orang, 126 orang diantaranya adalah lansia single parent. Mereka tinggal tanpa pasangannya, dan harus menafkahi dirinya sendiri serta anaknya yang masih tinggal bersamanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor-faktor apa yang mempengaruhinya dan mengetahui factor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stress pada lansia single parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya.. 2. Metode Penelitian Penelitian ini survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian adalah 126 orang lansia single parent yang berumur 60 tahun di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya. Ukuran sampel pada penelitian ini adalah 56 orang. Teknik sampling yang digunakan simple random sampling yaitu dengan cara lotre Penelitian dilaksanakan tanggal 17 Maret 19 Juli Pengumpulan data menggunakan lembar checklist dan kuesioner yang sudah baku yaitu Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) dari Lovibond (1995). DASS 42 merupakan seperangkat skala subjektif untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. Kuesioner ini telah dilakukan penelitian untuk melakukan pengujian validitas dan realiabilitas di Indonesia. Hasil validitas dan reabilitas kuesioner DASS tinggi, baik pada sampel nonklinis maupun sampel klinis. Analisa data terdiri dari analisa univariat dan bivariat. Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan tingkat stress, status ekonomi, jenis kelamin, penyebab single parent, status ekonomi, dan status kesehatan. Uji korelasi untuk menentukan ada tidaknya hubungan anatara kedua variabel dengan menggunakan rumus chi-kuadrat. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian terhadap 56 responden didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin lansia single parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Jenis Kelamin Frekuensi Persentase(%) Laki-laki 16 28,6 Perempuan 40 71,4 Total Berdasarkan data pada tabel 1 didapatkan bahwa lansia perempuan lebih banyak dibanding dengan lansia laki-laki, hal ini berhubungan dengan harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Artinya bahwa laki-laki lebih rentan untuk sakit dan meninggal dibanding dengan perempuan. Hal ini dapat terbukti dari beberapa penelitian tentang lansia, responden laki-laki lebih sedikit dibanding perempuan. (Mutiara,2011; Lismayanti,2013; Kurniasari, 2013). Salah satu alasan bahwa perempuan memiliki kecenderungan angka harapan hidupnya lebih tinggi diantaranya bahwa perempuan memiliki estrogen sehingga resiko terjadi penyakit jantung lebih kecil, dikarenakan estrogen dapat membantu dalam mempertahankan elastisitas pembuluh darah, sehingga akan mengurangi resiko terhadinya penyakit jantung koroner, yang merupakan penyebab kematian nomor satu. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Penyebab Single Parent pada Lansia di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Penyebab Single Parent Frekuensi Persentase(%) Perceraian 10 17,9 Kematian 46 82,1 Total Tabel 2 menunjukkan bahwa Single Parent pada Lansia sebagian besar dikarenakan kematian, hal ini ada relevansi dengan jenis kelamin yang sebagian besar perempuan. Perempuan yang ditinggal oleh suaminya dikarenakan meninggal sebagian besar mereka tidak menikah lagi, sedangkan laki-laki yang ditinggal oleh isterinya cenderung untuk menikah lagi. Hal ini diantaranya niat berinfak seorang laki-laki yang sesuai dengan hadist shohih yang berbunyi : Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda pula kepada Sa ad bin Abi Waqas 254

255 radhiyallahu anhu, Sungguh tidaklah kamu menginfakkan suatu infak semata untuk mencari wajah Allah melainkan kamu mendapatkan pahala padanya. Bahkan apa yang kamu letakkan pada mulut istrimu, (Muttafaq alaih). Dengan hadist tersebut sehingga laki-laki single parent termotivasi untuk menikah lagi. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Status Ekonomi lansia Single Parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Status Ekonomi Frekuensi Persentase (%) Tinggi 5 8,9 Rendah 51 91,1 Total Hasil analisa pada tabel 3 didapatkan bahwa sebagian besar lansia status ekonominya rendah. Banyak factor yang menyebabkan status ekonominya rendah, diantaranya apabila pensiun maka akan berkurangnya pendapatan, kekuasaan, kesempatan dan yang lainnya. Kondisi fisik pada lansia terus menurun sehingga kemampuan untuk bekerja yang dapat menunjang ekonomipu mulai menurun (Nugroho,2000). Tabel 4 Distribusi Frekuensi Status Kesehatan Lansia Single Parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Status Kesehatan Frekuensi Persentase (%) Sehat 5 8,9 Sakit 51 91,1 Total Pada tabel 4 diketahui, sebagian besar lansia single parent mengalami sakit, hal ini mungkin dikarenakan secara fisiologis fungsi tubuhnya semakin menurun, selain itu kebutuhan yang harus dipenuhi sementara factor pendukung semakin berkurang.(hastono,2005) Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat stress lansia Single parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Tingkat Stres Frekuensi Persentase (%) Tidak Stres 19 33,9 Stress (ringan, sedang, berat) 37 66,1 Total Berdasarkan hasil analisa data pada tabel 5 diketahui bahwa sebagaian besar lansia menglami stress mulai dari yang ringan, sedang, sampai dengan stress berat. Hal ini mungkin banyak factor yang dapat mempengaruhinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tingkat Stres pada Lansia Single Parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Tingkat Stres Total P Value OR Jenis Tidak Stres Stres Kelamin f % f % F % 0,026 3,857 Laki-laki 9 56,2 7 43, Perempuan Jumlah 19 33, , Tabel 6 menunjukan p value 0,026 lebih kecil di banding dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat stres. Dari hasil analisis diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,857, artinya lansia perempuan mempunyai peluang 3,86 kali terjadinya stres dibandingkan dengan lansia laki-laki. Perempuan akan lebih mudah mengalami stress karena perempuan lansia akan mengalami menopause, sehingga terjadi ketidakseimbangan hormonal yang akan mempengaruhi tingkat stress bahkan dapat mengakibatkan depresi. Hal ini sejalan dengan pendapat Colangelo (2013) dan Seifert (2012) bahwa pada wanita lansia akan mengalami disregulasi system hormonal yang dapat mengakibatkan aktivasi trombosit lebih besar sehingga mempengaruhi tingkat depresi pada wanita. Selain itu hormone estrogen dan androgen yang dapat menekan 255

256 terjadinya depresi akan berkurang pada saat menopause, sehingga resiko terjadinya stress atau depresi semakin meningkat. Tabel 7 Hubungan antara penyebab single parent dengan tingkat stres pada lansia di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Penyebab Single Parent Tingkat Stres Total P Value OR Tidak Stres Stres f % f % f % 0,467 0,42 Perceraian Kematian Jumlah 19 33, , Berdasarkan data pada tabel 7 menunjukkan p value 0,467 lebih besar di banding dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penyebab single parent dengan tingkat stres yang artinya bahwa penyebab single parent baik perceraian maupun kematian tidak berdampak terhadap tingkat stres. Tabel 8 Hubungan antara status ekonomi dengan tingkat stres pada lansia single parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Status Ekonomi Tingkat Stres Total P Value OR Tidak Stres Stres f % f % f % 0,041 9,600 Tinggi Rendah 15 29, , Jumlah 19 33, , Tabel 8 menunjukan ρ value 0,041 lebih kecil di banding dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan tingkat stres. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai Odds Ratio (OR) = 9,600, artinya lansia yang status ekonominya rendah mempunyai peluang 9,6 kali terjadinya stres dibandingkan lansia yang status ekonominya tinggi. Rendahnya status ekonomi lansia akan berdampak terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, termasuk makan, pemeliharaan rumah, kesehatan, kebutuhan sekolah anak, dan kebutuhan lainnya. Keadaan ini semakin mendesak apabila status keadaan lansia perempuan yang tidak memiliki pekerjaan menetap, keadaan sakit dan masih ada anak yang membutuhkan biaya, sehingga lansia seperti ini akan terbebani dengan kebutuhan-kebutuhannya, sehingga akan menjadi factor predisposisi terjadinya stress. Status Kesehatan Tabel 9 Hubungan antara status kesehatan dengan tingkat stres pada lansia single parent di Kelurahan Mugarsari Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya Tingkat Stres Total P Value OR Tidak Stres Stres F % F % F % 1,000 1,333 Sehat Sakit 17 33, , Jumlah 19 33, , Tabel 4.8 menunjukan ρ value 1,000 lebih besar di banding dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status kesehatan dengan tingkat stres yang artinya bahwa status kesehatan baik sehat maupun sakit tidak ada hubungannya dengan tingkat stres. Hal ini dikarenakan lansia cenderung lebih banyak memanfaatkan fasilitas kesehatan, terutama pada pelayanan kesehatan dasar, sehingga ketika sakit tidak dijadikan beban bagi dirinya. Selain itu ketika lansia sakit, banyak yang beranggapan bahwa sakit itu hal yang lumrah bagi lansia (Kuriasari,2013). 4. Kesimpulan a. Ada hubungan antara jenis kelamin dan status ekonomi dengan tingkat stress pada lansia single parent b. Tidak ada hubungan antara penyebab single parent dan status kesehatan dengan tingkat stress pada lansia single parent 256

257 5. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada : a. Rektor Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya b. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya c. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya d. Rekan dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, khususnya dosen padaprogram studi ilmu keperawatan. e. Kepala Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, Yang mana semuanya telah banyak membantu penulis sehingga diselesaikannya artikel ini. 6. Daftar Pustaka Abdurrahman, A.,(2009). Hubungan Antara Tingkat Stres Dan Status Sosial Ekonomi. Retrived 4 April,2013, from Mutiara, E.(2011). Karakteristik dan Kebutuhan Penduduk Lanjut Usia di Kota Medan. Universitas Sumatera Utara. Disampaikan dalam Desiminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Kependudukan.BKKBN Medan Desember Lismayanti,L.(2013). Karakteristik Lansia di Panti Wredha Welas Asih Tasikmalaya. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan.III Yeniar,I. (2012). Gerontologi dan Progeria. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sriati, A.(2007). Tinjauan Tentang Stress. Retrived 4 April,2013, form Juniarti,N.(2008). Perbedaan Tingkat Stres Sebelum Dan Sesudah Terapi Musik pada Kelompok Remaja di Panti Asuhan Yayasan Bening Nurani Kabupaten Sumedang. Retrived 4 April,2013, from Ramaita.(2012). Hubungan Tingkat Stres Dengan Tingkat Insomnia Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Kurniasari, N.D.(2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Depresi pada Lansia.retrived 29 Mei,2014, form thesis.umy.ac.id/datapublik/t34688.pdf Kumpulan Hadist Shohih Bukhori dan Muslim. Retrived 4 April,2013, form Nugroho,W.(2000). Keperawatan Gerontik.Penerbit Buku EGC.Jakarta. Hastono,S.(2005). Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesehatan Lansia Di Desa Sei Buluh Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai. retrived 4 April,2013, form repository.usu.ac.id... Public Health SP - Ilmu Kesehatan Masyarakat. Colangelo, L.A., Craft,L.L., Ouyang, P.,Liu. K., Schreiner, P.J., Michos, E.D. (2013) Assosiation of Sex Hormones and SHBG with Depressive Symptoms in Post-menopausal Women: The Multi-Ethnic Study of Atherosklerosis. NIH Public Acces. 19(8): Seifert, C.R., Poppert, H., Sander, D., Faurer., Etgen, T., Ander, K.H., (2012). Depressive Symptoms and the Risk of Ischemic Stroke in The Elderly-Influence of Age and Sex. PLoS ONE 7(11) : e

258 PENGARUH SELF HELP GROUP DALAM MENINGKATKAN AKTIVITAS SELF MANAGEMNT PENDERITA HIPERTENSI DI DESA TAGOGAPU KABUPATEN BANDUNG BARAT Hilman Mulyana 1, Ahmad Yamin 2, Sheizi Prista Sari 3 1 Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan, Universitas Padjadjaran Bandung dan Dosen STIKes Mitra Kencana Tasikmalaya. h_main@ymail.com 2 Dosen Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran Bandung. ahmad_yamin65@yahoo.com 3 Dosen Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran Bandung sheizi.akademik@gmail.com ABSTRAK Pendahuluan : Penyakit kronik seperti hipertensi yang prevalensinya mencapai 25,8% penduduk Indonesia, membutuhkan kemampuan penderita dalam mengontrol tekanan darahnya seumur hidup. Ketidakpatuhan melakukan aktivitas self management menjadi masalah utama dalam kemampuan pengelolaan penyakit ini oleh sebab itu diperlukan penanganan tepat untuk meningkatkan aktivitas self management, salah satunya melalui program pendekatan kelompok (self help group). Tujuan : Penelitian ini untuk melihat pengaruh program self help group terhadap peningkatan self management penderita hipertensi di Puskesmaas Tagogapu Kabupaten Bandung Barat.Metode penelitian : Menggunakan quasi experimental dengan pendekatan pre-test dan post-test control group design, intervensi diberikan selama 5 kali dalam 5 minggu pada 60 responden. Pengumpulan data menggunakan instrument H-Scale yang dimodifikasi oleh peneliti, pada minggu pertama dan kelima yang terdiri dari kelompok kontrol (n=30) dan kelompok intervensi (n=30) kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat.hasil penelitian : Menunjukan skor aktivitas self management pada kelompok intervensi mengalami peningakatan dengan nilai mean 1,53 pre-test menjadi 1,70 post-test dan hasil uji t-independent didapatkan nilai p-value maka dapat disimpulkan bahwa program self help group cukup berpengaruh terhadap aktivitas self management penderita hipertensi. Simpulan : Berdasarkan hasil analisis, program self help group terbukti dapat meningkatkan aktivitas self management penderita hipertensi, sehingga dapat diterapkan pada group lain sebagai bagian dari program pengendalian PTM untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan kemampuan self management sebagai upaya pencegahan masalah yang lebih komplek. Kata kunci : Hipertensi, Self Help Group, Self Management 1. PENDAHULUAN Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyebab utama kematian secara global, hal tersebut ditunjukan Badan Kesehatan Dunia atau Word Health Organization (WHO) pada 2008 dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh PTM termasuk menjadi penyebab kematian penduduk diusia lebih muda. Salah satunya hipertensi sebagai penyebab utama penyakit stroke dan serangan jantung. Hipertensi menyebabkan 63% kematian di seluruh dunia dengan membunuh 9,4 juta setiap tahunnya, sedangkan untuk kawasan Asia 1,5 juta artinya satu dari tiga orang menderita tekanan darah tinggi. Data Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010, menyebutkan 40% negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi dan di negara maju hanya 35% serta terdapat 36% orang dewasa yang menderita hipertensi untuk kawasan Asia Tenggara. WHO (2011) memperkirakan pada 2025 mendatang penderita hipertensi mencapai 29% dari seluruh populasi penduduk dunia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi secara nasional 25,8% penduduk Indonesia menderita penyakit hipertensi dan diketahui terdapat 13 provinsi yang persentasenya melebihi angka nasional, dengan tertinggi di provinsi Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Sementara itu data yang di diperoleh dari Profil Kesehatan Jawa Barat (2013) prevalensi hipertensi relatif cenderung meningkat dibanding pada Angka kejadian hipertensi pada 2013 mencapai 196 / penduduk sedangkan pada 2012 hanya mencapai 193.6/ penduduk. Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Jawa Barat dengan tingkat prevalensi hipertensi cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dari data dinas kesehatan Kabupaten Bandung Barat 2014 menunjukan hipertensi termasuk dalam 10 besar penyakit. Data yang diperoleh dari Laporan Bulanan 1 (LB1) pada 2013 terdapat orang total kunjungan pasien hipertensi dengan rincian kasus lama dan kasus baru. Perbandingan penderita hipertensi antara laki-laki orang dan orang perempuan (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat, 2013). Desa Tagogapu salah satu desa yang berada diwilayah Kabupaten Bandung Barat yang memiliki prevalensi hipertensi cukup tinggi, hal ini dibuktikan berdasarkan data yang didapatkan dari Laporan Bulanan 1 258

259 (LB1) Puskesmas Tagogapu pada 2014 terdapat 1692 kasus hipertensi dan termasuk 10 besar kasus penyakit yang diamati menurut puskesmas, kedua setelah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut tidak spesifik (Profil Puskesmas Tagogapu, 2014). Kemudian dari laporan kegiatan posbindu lansia dari bulan April September 2015 prevalensinya terus meningkat, dari 3 desa wilayah binaan puskesmas Tagogapu yaitu desa Tagogapu (4,0%), desa Campaka Mekar (3,7%), dan desa Ciburuy (3,6%), dari presentasi tersebut maka Tagogapu menjadi desa yang paling tinggi prevalensinya tercatat 407 kasus atau terjadi kenaikan 16,2% (Profil Puskesmas Tagogapu, 2014). Tingginya angka kejadian hipertensi di desa Tagogapu dan hasil kajian lapangan praktik residensi pada tahun 2015, dari 407 penderita hipertensi diketahui jenis kelamin perempuan 62,7% dengan usia paling banyak > 65 tahun sebanyak 28,4% dan rata-rata berpendidikan SD 2,1%, penderita merasakan tanda gejala hipertensi 85,1%, memiliki riwayat atau faktor keturunan sebanyak 46,3%, mengkonsumsi obat anti hipertensi sebanyak 31,3%, tidak berolah raga sebanyak 76,1%, perokok aktif sebanyak 43,3%, mengkonsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan hipertensi sebanyak 58,2%, keadaan rumah dan tempat bekerja menjadi sumber faktor penyebab stres sebanyak 41,8% dan 20,9%, sebagian besar 61,2% penderita hipertensi tidak memanfaatkan lingkungan tertentu untuk relaksasi atau sekedar menghilangkan stres, hanya 19,4% yang memiliki pengetahuan yang baik tentang penyakit hipertensi, sebagian besar 64,2% penderita hipertensi mempunyai sikap unfavorable selanjutnya sebagian besar 59,7% penderita hipertensi memiliki perilaku kurang tentang hipertensi. Dalam kebanyakan kasus hipertensi tidak hanya disebabkan dari morbiditas, tetapi dipengaruhi juga oleh gaya hidup tidak sehat (Siboni, Alimoradi, Khatooni, & Atashi, 2012). Faktor lain yang dapat memperburuk kesehatan adalah kurangnya pengalaman dalam perawatan hipertensi (Bokhour, Cohn, Cortes, Solomon, Fix, Elwy & et al., 2012). Tingkat perilaku perawatan diri atau self management di kalangan penderita hipertensi dewasa relatif rendah (Yang, Jeong, Kim, & Lee, 2014). Rigsby (2011) menemukan bahwa modifikasi gaya hidup yang merupakan aspek dari perawatan diri pada penderita hipertensi ialah bagian integral dari usaha pengendalian tekanan darah. Perawat harus mengetahui faktor dasar yang mempengaruhi pelaksanaan aktivitas perawatan diri penderita hipertensi sehingga mampu melakukan intervensi yang paling tepat. Manajemen hipertensi sangat bergantung pada kemampuan penderita hipertensi sendiri dalam mengatur dan merubah serta mempertahankan perilaku yang sehat (Escridge, 2005). Bhandari, Bhattarai, Bhandari, & Jha (2012) menemukan bahwa tingkat perawatan diri yang baik, tetapi mereka diketahui mengalami kesulitan melakukan aktivitas perawatan diri yang diperlukannya, mereka sering menyesuaikan sendiri dosis obat dan berhenti memakai obat ketika tanpa adanya gejala abnormal. Penelitian yang dilakukan Ridwan, Boonyasopun, & Jittanoon (2013) yang mengusulkan sebuah metode untuk meningkatkan kemampuan penderita hipertensi dalam melakukan perawatan diri serta memberikan layanan yang lebih efektif maka dapat dilakukan dengan pendekatan kelompok (self help group). Implementasi self help group didasarkan pada community based care model (Nursasi, 2014). Sokolovsky, Sosoc, & Pavlekovic, 1991) menemukan bahwa 90% dari 128 partisipan dalam kegiatan ini telah mencapai tekanan darah yang terkontrol. Program yang terdapat dalam self help group terdiri dari beberapa kegiatan seperti sesi pendidikan kesehatan, refleksi pengalaman penderita hipertensi, penetapan tujuan dan penyelesaian masalah, serta pemantauan kesehatan mandiri dirumah. Sokolovsk juga menjelaskan dalam kegiatan self help group ini penderita hipertensi akan belajar dan bertukar informasi sesama penderita hipertensi tentang pengalaman perawatan diri yang telah dilakukannya. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelilitian Kuantitatif dengan Quasi Experimental Design dan rancangan Pre-Post Test Control Goup Design. Penelitian ini membandingkan hasil intervensi pada dua kelompok penderita hipertensi, yaitu kelompok intervensi (kelompok yang diberikan intervensi self help group) dan kelompok kontrol (kelompok yang diberikan intervensi pendidikan kesehatan). Populasi dalam penelitian ini berdasarkan hasil praktek residensi di desa Tagogapu kabupaten Bandung Barat 2015, ditemukan seluruh penderita hipertensi sebanyak 407 orang dan yang menjadi sampelnya sebanyak 60 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok dengan menggunakan purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi yang sudah ditetapkan sebagai berikut; 1) Penderita sudah terdiagnosa penyakit hipertensi, 2) Bisa melakukan aktivitas secara mandiri, 3) Bisa membaca, menulis dan berbahasa Indonesia dengan baik, serta 4) Bersedia dijadikan responden dan mampu mengikuti selama proses penelitian. Adapun yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah program self help group dan variabel terikat adalah aktivitas self management perawatan hipertensi, yang terdiri dari; 1) Kepatuhan pengobatan, 2) Diet rendah garam, 3) Aktivitas fisik, 4) Menghindari merokok, 5) Manajemen berat badan dan, 6) Mengurangi konsumsi alkohol. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur aktivitas perawatan diri menggunakan H-SCALE (hypertension Self-Care Activity Level Effects) yang sudah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan 259

260 dengan budaya Indonesia khususnya daerah kabupaten Bandung Barat. Selanjutnya instrumen untuk mengukur dukungan sosial diadopsi dari penelitian Prasetyo (2012) yang terdiri dari 5 pertanyaan dengan keseluruhan skor nilai total 23 berarti dukungan sosial baik dan jika <23 berarti dukungan sosial kurang. Untuk keseragaman kegiatan self help group peneliti membuat modul yang bersisikan Satuan Acara Penyuluhan (SAP), materi tentang perawatan hipertensi dan panduan self help group. Modul tersebut kegiatannya diintegrasikan dengan SOP yang ada di Puskesmas. Sedangkan untuk tahap pelaksanaannya dilakukan selama 5 minggu mulai dari minggu pertama dilakukan pre-test dan minggu ke 5 di akhiri dengan post-test. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil : Pengambilan data dilakukan di desa Tagogapu dengan menggunakan sumber data primer yaitu data diambil langsung dari responden yang dilakukan selama 5 minggu pada bulan November-Desember Tabel 1. Gambaran Variabel Dependen (n=60) Sebelum Setelah Indikator Kelompok Baik Cukup Kurang Baik Cukup Kurang F % F % F % F % F % F % Aktivitas self management perawatan diri Kontrol ,3 2 6,7 2 6, ,3 Intervensi 1 3, ,3 1 3, ,3 5 16,7 0 0 Tabel diatas menunjukan aktivitas self management perawatan diri penderita hipertensi sebelum dan setelah dilakukan intervensi SHG pada kedua kelompok. Terlihat bahwa terjadi perubahan namun tidak signifikan pada kelompok kontrol yaitu masih ada responden pada ketegori kurang 3,3%, namun pada kelompok intervensi terjadi kenaikan cukup signifikan yaitu pada kategori baik 83,3%. Jika dilihat dari indikator self management, meliputi; 1) Kepatuhan pengobatan, 2) Mengurangi kebiasaan merokok, 3) Olah raga, 4) Manajemen stres, 5) Pengendalian berat badan, dan 6) Berhenti mengkonsumsi alkohol, menunjukan adanya peningkatan aktivitas perawatan diri pada kelompok kontrol pada indikator pengendalian berat badan. Sedangkan pada kelompok intervensi peningkatan terjadi pada indikator kepatuhan pengobatan, olah raga dan pengendalian berat badan. Tabel 2. Perbedaan Aktivitas Self Management Perawatan Diri Penderita Hipertensi Sebelum dan Sesudah Diberikan Intervensi Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Intervensi (n=60). Variabel Intervensi Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi Mean Mean Aktivitas self management Sebelum 1,33 1,53 perawatan diri Sesudah 1,57 1,70 p-value ,000 Hasil uji t-independent menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata self management perawatan diri penderita hipertensi pada kedua kelompok sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan nilai p-value kelompok kontrol 0,001 dan kelompok intervensi 0,000 artinya kedua kelompok memiliki nilai p-value <0,05. Dengan demikian kedua intervensi (pendidikan kesehatan dan program self helf group) berpengaruh terhadap self management aktivitas perawatan diri penderita hipertensi, namun jika dibandingan dari kedua intervensi tersebut program self helf group cukup berpengaruh dapat meningkatkan self management aktivitas perawatan diri penderita hipertensi. Pembahasan : Hasil penelitian menunjukan bahwa kepatuhan pengobatan penderita hipertensi termasuk dalam kategori cukup pada kedua kelompok, hasil tersebut didukung Huang, Chen, Zhou, & Wang, (2014) yang menunjukan bahwa kepatuhan pengobatan merupakan masalah utama dalam pengelolaan hipertensi sehingga 260

261 strategi untuk meningkatkan kepatuhan penderita terhadap obat hipertensi merupakan hal penting untuk mengontrol tekanan darah. Kurang aktivitas olah raga masih menjadi masalah utama dalam prevalensi PTM termasuk hipertensi. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur seperti olah raga dapat menurunkan tahanan perifer yang kan menurunkan tekanan darah dan melatih otot jantung, selain itu akan merangsang pelepasan endorfin (morfon endogen) yang akan menimbulkan euporia dan relaksasi otot sehingga tekanan darah tidak meningkat (Sihombing, 2010). Jones, Ricard, Sefcik, & Miller (2001) menjelaskan bahwa insiden terjadinya peningkatan tekanan darah dihubungkan dengan faktor resiko gaya hidup. Manajemen berat badan merupakan bagian dari pengendalian peningkatan tekanan darah dan upaya mengurangi resiko penyakit jantung dan stroke. Modifikasi gaya hidup sehat menunjukan peningkatan kemampuan dalam pengendalian tekanan darah sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi dari hipertensi Rigsby (2011). Profram self help group memberikan pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk membantu orang-orang dalam kelommpok eksperimen melaui partisipasi aktif dalam perawatan diri, mengidentifikasi masalah, mecari solusi yang mungkin, mengambil tindakan dan mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan secara mandiri. Pendidikan kesehatan melalui self help group dapat mengidentifikasi dan mengatasi masalah serta memberdayakan anggota kelompok untuk menerapkan manajemen diri yang positif, sehingga dapat mengoptimalkan pelayanan perawatan penderita hipertensi. Selain itu penggunaan buku pintar (modul) dalam self help group dapat membantu anggota kelompok agar patuh terhadap program perawatan diri yang harus dilakukan dalam mengontrol tekanan darahnya. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, program pendidikan kesehatan dan program self help group terbukti dapat meningkatkan aktivitas self management penderita hipertensi, namun jika melihat perbedaan signifikansi dari kedua intervensi tersebut maka self help group dipilih dan dapat diterapkan pada group lain sebagai bagian dari program pengendalian PTM untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan kemampuan self management sebagai salah satu upaya pencegahan masalah yang lebih komplek. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menyadari banyak mendapatkan bimbingan dan saran yang bermanfaat dari berbagai pihak, untuk itu peneliti menyampaikan terima kasih kepada; (1) Bapak Kusman Ibrahim, RN., PhD, dekan fakultas keperawatan Universitas Padjadjaran, (2) Ibu Desy Indra Yani, MNS, selaku Koordinator Praktik Residensi beserta Tim dosen pmbimbing, (3) Hj. Reni Hidayat, SKM selaku kepala puskesmas Tagogapu, (4) Seluruh masyarakat di Desa Tagogapu, (5) Teman-teman Magister Keperawatan Komunitas Angkatan DAFTAR PUSTAKA Andersen, E. T and Mc. Farlan. (2007). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik. ed. 3. Jakarta : EGC Flynn, S. J., Ameling, J. M., Hill-Briggs, F., Wolff, J. L., Bone, L. R., Levine, D. M., &... Ebony Boulware, L. (2013). Facilitators and barriers to hypertension self-management in urban African Americans: perspectives of patients and family members. Patient Preference & Adherence, doi: /ppa.s46517 Gu, J., Zhang, X., Wang, T., Zhang, Y., & Chen, Q. (2014). Hypertension Knowledge, Awareness, and Self-Management Behaviors Affect Hypertension Control: A Community-Based Study in Xuhui District, Shanghai, China. Cardiology, 127(2), doi: / Hans petter. (2008). Hipertensi. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, Gramedia. Huang, S., Che, Y., Zhou, J., & Wang, J., (2014). Use of family member-based supervision in the management of patients with hypertension in rural China. Patien Preference and Adherensce 2014:8, Jones, R. P., Ricard, R., Sefcik, E., & Miller, M. (2001). The Healt Risk of Hypertension in South Texas: A Demographic Profile. Holistic Nursing Practice, 15 (4), Luehr, D., Woolley, T., Burke, R., Dohmen, F., Hayes, R., Johnson, M., et al. (2012). Health care guideline hypertension diagnosis and treatment. Institute for clinical systems improvement. Marliani, L., & Tantan. (2007). 100 Question & Answer Hipertensi. Jakarta : Elex Media Komputindo. 261

262 Pereira, M., Lunet, N., Azevodo & Barros, H. (2009). Differences in prevalence, awareness, treatment and control of hypertension between developing and developed countries. Journal of Hypertension. Vol.2 No Prasetyo, A. S. (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Care Management Pada Askep Pasien Hipertensi di RSUD Kudus. Depok : Fakultas Keperawatan, UI. Ragot, S., Sosner, P., Bouche, G., Guillemain, J., & Herpin, D. (2005). Appraisal of the knowledge of hypertensive patients and assessment of the role of the pharmacists in the management of hypertension: results of a regional survey. Journal Of Human Hypertension, 19(7), doi: /sj.jhh Rigsby, B. D. (2011). Hypertension Improvement Through Healthy Lifestyle Modification. Asociation Black Nursing Jurnal Faculty ABNF Journal, 1, Sihombing, M. (2010). Hubungan Perilaku Merokok, Konsumsi Makanan/Minuman, dan Aktivitas Fisik dengan Penyakit Hipertensi pada Responden Obes Usia Dewasa di Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 9.,

263 Survey Budaya Perawat Terhadap Penerapan Standard Precaution di RSUD Kota Kendari Muhamad Asrul*, Julianus Ake** dan Kadek Ayu Erika ** *Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Unhas ** Dosen Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Unhas *** asrulasha@yahoo.com Latar belakang :Prevalensi Healthcare Acquired Infection (HAIs) atau infeksi yang terjadi pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit terus meningkat. Menurut WHO (2011) diperkirakan di negara- Negara maju berkisar 7,6 % dan berkembang 10,1%. Berdasarkan laporan National Nosocomial Infenctions Surveilance (NNIS) bahwa 5 6 kasus infeksi tiap 100 kunjungan di rumah sakit, memperkiran setiap tahun terjadi 2 juta kasus infeksi nosokomial, kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan. Menurut WHO (2005) jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi berkisar 20% - 60% dari semua kasusi nfeksi di seluruh dunia. Penerapan standard precaution (SP) merupakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi, dirancang untuk memutus siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat. Tujuan Penelitian :mengetahui hubungan antara budaya perawat terhadap penerapan SP di RSUD Kota Kendari. Metode :Penelitian ini menggunakan desain obsevasional analytic dengan pendekatan cross sectional study. Hasil penelitian: kumulatif kasus infeksi setiap tahun mengalami peningkatan yaitu 2 juta kasus infeksi nasokomial terjadi rumah sakit. Penerapan SP di RSUD Kota Kendari umumnya belum optimal, 60% perawat tidak menggunakan handscoen, 40% tidak mencuci tangan saat melakukan pelayanan pada pasien, 70 % penyimpanan linen infeksius dan nonifeksius digabung pada wadah yang sama. Kesimpulan: Penerapan SP di RSUD Kota Kendari belum memenuhi standar pelayanan. Hal tersebut dikudung hasil masih ada60% perawat tidak menggunakan handscoen, 40% tidak mencuci tangan, 70 % linen infeksius dan nonifeksius digabung padawadah yang sama. Oleh karena itu perlu mengevaluasi kembali program pencegahan dan pengendalian infeksi di RS untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja Infection and Prevention Control Nurse(IPCN). Kata Kunci : Budaya dan Standard Precaution 1. LATAR BELAKANG Rumah sakit (RS) adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, dengan salah satu tujuannya, yaitu memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan dan sumber daya manuasia di RS (UU Rumah Sakit, 2009). RS sebagai institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayananan medis dan asuhan keperawatan untuk semua jenis penyakit termasuk penyakit infeksi. Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab peningkatan angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality), serta dapat mengakibatkan meningkatnya lama perawatan di RS (Darmadi, 2008). WHO (2011) Healthcare Associated Infections (HAIs) sebagai infeksi yang terjadi pada pasien selama proses perawatan di RS. Diperkirahkan bahwa prevalensi HAIs di negara negara maju dan berkembang berkisar 7,6% dan 10,1% (Ogoina et al, 2015). National Nosocomial Infections Surveilance (NNIS) dan Centre for disease control (CDC) pada tahun 2002 melaporkan bahwa 5 6 kasus infeksi nosokomial tiap 100 kunjungan ke RS. Memperkirakan setiap tahun terjadi 2 juta kasus infeksi nosokomial, kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di RS dan luka karena tertusuk jarum suntik terjadi setiap tahun walaupun telah dilakukan pendidikan berkelanjutan dan upaya mencegah kecelakaan tersebut (CDC & NNIS, 2004). Pada hasil penelitian Lelyana (2006) di RS DR Sardjito Yogyakarta mengatakan bahwa sebagian besar petugas kesehatan sudah mengatahui Universal Precaution (UP) tetapi belum optimal dalam pelaksanaannya, ketidakpatuhan pemakaian sarung tangan dari 137 responden, sebesar 61 %, sedangkan ketidakpatuhan mencuci tangan sebesar 40 %. 32% tenaga kesehatan yang menggunakan alat pelindung pada kondisi yang memerlukan pemakaian alat pelindung dan 40% yang kadang-kadang menutup kembali alat suntik setelah digunakan. Tingkat keragaman yang sangat kompleks yang ada dipelayanan RS sangat memungkinkan terjadinya infeksi silang dari orang atau personel pelayanan ke penderita yang dirawat, penderita ke penderita, pengunjung ke penderita serta sebaliknya, termasuk didalamnya adalah perilaku yang buruk dari tenaga kesehatan dalam 263

264 upaya pencegahan infeksi nosokomial. Menurut WHO (2005) Jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi berkisar antara 20% sampai 60% dari semua kasus infeksi di seluruh dunia. Cara yang paling efektif dan sederhana untuk mencegah infeksi di RS adalah penerapan Standard Precaution (SP). Penerapan SP merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang rutin harus dilaksanakan terhadap semua pasien dan fasilitas pelayanan kesehatan guna menurunkan resiko penularan mikrooranisme pathogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui (Depkes, 2007, 2008). Penelitian ini berusaha untuk melihat dinamika budaya organisasi yang mempengaruhi perawat terhadap pelaksanaan SP. Pemahaman akan dinamika budaya yang lebih spesifik dalam konteks; komunikasi, pelatihan dan pengembangan, reward, pengambil keputusan, pengambilan risiko, kerjasama, dan praktik manajemen dalam penerapan SP, sub sub variabel inilah yang selanjutnya menjadi variabel yang akan diteliti. Responden dalam penelitian perawat berjumlah 140 responden, terdiri dari laki-laki berjumlah 39 respoden (27,9%) dan perempuan berjumlah 101 responden (72,1%). Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara budaya perawat terhadap penerapan SP di RSUD Kota kendari. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini, adalah: a. Mengetahui hubungan antara (umur, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, dan lama kerja) dengan penerapan SP di RSUD Kota Kendari. b. Mengetahui hubungan antara budaya (komunikasi,pelatihan dan pengembangan, reward, pengambil keputusan, pengambilan risiko, kerjasama dan praktik manajemen) dengan penerapan SP di RSUD Kota Kendari. 2. METODE PENELITIAN a. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain observational analytic dengan pendekatan cross sectional study, dimana variabel independent dan variabel dependent dilakukan pengukuran sekaligus dalam waktu bersamaan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara budaya perawat terhadap penerapan SP di RSUD Kota Kendari. b. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota Kendari Provinsi pada bulan Maret c. Populasi Populasi adalah perawat pelaksana berjumlah 140 perawat. d. Sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian. Teknik sampling pada penelitian ini yaitu propotional stratified random sampling yang memenuhi criteria inklusi dan ekslusi sehingga diperoleh estimasi jumlah sampel sebesar 92 responden. e. Gambar lokasi penelitian f. Analisis Data Analisis data didasarkan pada kualitas isi berdasarkan kode/kata kunci yang telah ditetapkan oleh peneliti. Analisis univariat merupakan analisis yang berkaitan dengan gambaran karakteristik satu set data dengan skala pengukuran kategorik (Dahlan, 2009). Analisis Univariat ini bertujuan untuk mendeskripsikan dari masing-masing variabel yang diteliti untuk mengetahui jumlah atau frekuensi (n) 264

265 dan presentase (%) dari tiap variabel yang diteliti (Dahlan,2009). Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen serta varibel confounding dalam penelitian ini. Untuk melihat hubungan dari tiap variabel independen dan variabel dependen diuji dengan uji Chi- Square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Apabila nilai p 0,05 menunjukan ada hubungan antara variabel independen dan dependen, dan apabila nilai p 0,05 menunjukan tidak ada hubungan bermakan antara variabel independen dan dependen. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen yang paling berpengaruh terhadap variabel dependen. Analisis uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi logistic 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi HAIs sejak tahun Prevalensi HAIs atau infeksi yang terjadi pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit terus meningkat. WHO (2002) memperkirakan terjadi kasus penularan Hepatitis C, kasus penularan Hepatitis B, & 1000 kasus penularan HIV pd tenaga kesehatan di dunia. WHO bahwa sekitar 8,7% dari 55 RS dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasific tetap menunjukan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10%. Berdasarkan pengamatan di Amerika serikat angka kejadian infeksi nosokomial adalah pasien yg mengalami infeksi pada saat di rawat di RS. Angka insiden kerugian yg diakibatkan oleh infeksi nosokomial cukup besar, infeksi ini juga menjadi penyebab kejadian kurang lebih kematian pertahun di Amerika Serikat (Handoko, 2003). Menurut WHO (2011) diperkirakan di negara- negara maju berkisar 7,6 % dan berkembang 10,1%. Berdasarkan laporan National Nosocomial Infenctions Surveilance (NNIS) bahwa 5 6 kasus infeksi tiap 100 kunjungan di rumah sakit, memperkiran setiap tahun terjadi 2 juta kasus infeksi nosokomial, kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan. Menurut WHO (2005) jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi berkisar 20% - 60% dari semua kasus infeksi di seluruh dunia. Penerapan standard precaution (SP) merupakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi, dirancang untuk memutus siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat. Penerapan SP di RSUD Kota Kendari belum memenuhi standar pencegahan dan pengendalian infeksi di RS yang telah ditetapkan oleh Depkes RI. Hal tersebut dikudung hasil observasi awal masih ada 60% perawat tidak menggunakan handscoen, 40% tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan invasif, 70 % linen infeksius dan nonifeksius digabung pada wadah yang sama. Oleh karena itu perlu kebijakan pihak manajemen RS terhadap penerapan SP serta mengevaluasi kembali program pencegahan dan pengendalian infeksi di RS untuk meningkatkan mutu pelayanan dan perlindungan terhadap perawat dan pasien. 5. KESIMPULAN Penerapan SP di RSUD Kota Kendari belum memenuhi standar pelayanan. Hal tersebut dikudung hasil observasi awal masih ada 60% perawat tidak menggunakan handscoen, 40% tidak mencuci tangan, 70 % linen infeksius dan nonifeksius digabung pada wadah yang sama. Oleh karena itu perlu mengevaluasi kembali program pencegahan dan pengendalian infeksi di RS untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja Infection and Prevention Control Nurse (IPCN) dan Infection and Prevention and Control Link Nurse (IPCLN) tiap ruangan. 6. UCAPAN TERIMA KASIH Perkenankanlah penulis dengan tulus menyampaikan rasa terima kasih yang dalam dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:. a. Pemerintah Kota Kendari b. Direktur RSUD Kota Kendari c. Ka. PSMIK-FK Unhas dan seluruh staf. d. Istri dan anak-anakku tersayang, saudaraku serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan materil selama penulis mengikuti pendidikan. 7. D A F T A R P U S T A K A Acharya, S. A., Khandekar, J., Sharma, A., Tilak H.R., Kataria, A. (2013). Awareness and Practices of Standard Precautions for Infection Control among Nurses in a Tertiary Care Hospital. NJI-Des Amoran O. E & Onwube O.O. (2013). Infection Control and Practice of Standard Precautions Among Healthcare Workes in Northen Nigeria. Journal of Global infectious diseases. (5), doi : / x

266 Armstrong & Murlis. (2007). Reward Management. Edisi I.Jakarta: Gramedia. Bertolino, Truxillo, & Fraccarolly. (2011) Age as moderator of the relationship of proactive personality with training motivation, perceived career delelopment from training, and training behavioral intentions. Journal of Oranizational behavior. (32) Bhargava A, Mishra B, Thakur A, Dogra V, Loomba P & Gupta S. (2013). Assessment of Knowledge, attitude and practices among Healthcare Workers in a Tertiarycare Hospital on Needle Stik Injury. International journal of Health Care Quality Assurance, 26 (6), doi : /IJHCQA Clark O.L, Zickar M. J & Jex S. M (2013) Role Definition as a Moderarator of the Relationship Between safety Climate and Oragnizational Citizenship Behavior Among Hospital Nurses. Depatement psychology, Bowling Green State University, OH, USA, (29) doi: /s Centre for disease control (CDC) & National Nosokomial Infections surveillance (NNIS). System report. Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta : Salemba Medika. Dahlan, S. M. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika. Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakait dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. Jakarta : JHPIEGO dan PERDALIN. Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakait dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. Jakarta : JHPIEGO dan PERDALIN. Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakait dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya. Jakarta : JHPIEGO dan PERDALIN. Departemen Kesehatan RI. (2001). Penanggulangan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta Departemen Kesehatan RI. (2001). Standar Peralatan Keperawatan Dan Kebidanan di Sarana Kesehatan. Jakarta. Departemen Kesehatan R.I Indonesia Sehat Jakarta. Daft, R. (2003). Manajemen. Edisi 2. Jakarta. Salemba Empat. Dahlan, M. S. (2009). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Dessler, G. (2000). Human resource management. Seventh edition. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Efendi. (2008). Metode Penelitian Survei. Jakarta : PT. Pustaka Indonesia. Elhag, M. K. (2006). Understanding Standard Precautions. Medlab. Magazine. Handoko. (2003). Epidemiologi infeksi nosokomial. Jakarta. Hasbullah T. Pengendalian infeksi nosokomial di RS Persahabatan Jakarta (http// diakses tangal 26 Januari 2016) Hidayat, A.A.A. (2007). Riset keperawatan dan teknik peneulisan ilmiah.jakarta : Salemba Medika. Gibson, J., James,I, & John, D. (2000). Oranisasi behavior. Boston : Mc. Graw-Hill Higher education. Gibson, J.L., Ivancevich J. M., Donnelly, J. H. (2010). Organisasi, Perilaku, Struktur, proses. (N. Ardiani, Penerjemah). Jakarta : Binarupa Aksara. Kreitner, R & Kinicki. (2010). Organizational Behaviour. New York: Mc Graw-Hill Higher education. Kosentrasi Epidemiologi Pascasarjana Unhas. (2012). Jurnal masyarakat epidemiologi Indonesia. Volume I. Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi 10. Yogyakarta. ANDI. Lelyana L. (2006). Risk management of HIV/AIDS infektioan at DR Sardjidto Hospital. Yogyakarta( diakses tanggal 26 Januari 2016). Masitoh (2001). Analisis kinerja perawat pelaksana dan hubungannya dengan karakteristik demografis dan karakteristik organisasi di ruang rawat inap RSAB Harapan Kita. Tesis Program Magister Keperawatan FIK UI: Tidak dipublikasikan. MRSA Infeksi Nosokomial. Jurnal Keperawatan, (Online). ( diakses 26 Januari 2016). Nawawi (2008). Manajemen sumber daya manusia untuk bisnis yang kompetitif, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman skripsi, tesis, dan instrument penelitian keperawatan. Jakarta : salemba medika Notoatmodjo, S. (2010) Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. 266

267 Notoatmodjo,S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta; Rineka Cipta. Ogoina,D.,Pondei, K.,Adetunji, B., Chima, G., Isichei, C., Gidado, S. (2015). Knowledge, attitude and practice of standard precaution of infection control by hospital works in two tertiary hospital in Nigeria.Journal of Infection Prevention,16 (1), doi : / Pangewa, M. (2007). Perilaku keorganisasian. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. Pohan, I. (2007). Penjaminan mutu kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. (2016). Pedoman penulisan tesis. Makassar : Author. Riani, L. A. (2011.) Budaya Organisasi. Yogyakarta. Graha Ilmu Ricardo, Ronald & Jolly, J. (2003). Oragnization culture and teams. Academy of management journal, (13) Rivai, V. (2009). Manajemen sumber daya manusia untuk perusahaan dari teori ke praktek. Jakarta : Rajawali Pers. Robbins S. & Judge, T. (2008). Perilaku oranisasi. (Terjemahan D. Angelica, R. Cahyani, dan A. Rosyid) Edisi 12. Yogyakarta : Selemba Empat. Robbis, S. (2005). Prinsip Prinsip perilaku organisasi. Edisi kelima (Terjemahan Halida dan D. Sartika). Jakarta : Erlangga. Rodwell, John J., Rene, K., & Mark, A. (1998) The relationship among work relaled perceptions integral role communication. Employess. Journal of management Vol. 20. Siagiaan, P.S. (2010) Manajemen sumber daya manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Siagiaan, P.S. (2012) Manajemen sumber daya manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sully, P. & Dallas,J. (2005). Essential communication skill for nursing USA: Philadelphia st louis Sidney Toronto:Elservier Mosby. Sopiah. (2009). Perilaku organisasional. Yogyakarta : Andi Offset. Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif R & D. Bandung: Alfabeta. Tietjien l,bossemeyer D,MC intosh N.(2004). Panduan pencegahan infeksi untuk pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas. Jakarta YBP-SP. Undang Undang Republik Indonesi. No.44 (2009). Tentang Rumah Sakit. Yusran M. (2006). Pengaruh Penerapan Universal Precaution Terhadap Kejadian Kontak Darah Pada Tenaga Kesehatan Di Rumah Sakit Abdoel Muluk Bandar Lampung Yusran M. (2008). Kepatuhan Penerapan Prinsip-Prinsip Pencegahan Infeksi(Universal Precaution) Pada Perawat Dirumah Sakit Umum Daerah Abdul Muluk Bandar Lampung. Wibowo, S. (2010). Budaya organisasi; sebuah kebutuhan untuk meningkatkan kinerja jangka panjang. Jakarta : Rajawali Pers. WHO. (2005)..Nursing care of the sick: A guide for nurses working in small rural hospital. Jakarta ; EGC. WHO. (2008). Penerapan Kewaspadaan Standar Difasilitas Palayanan Kesehatan ( bahasa.pdf, diakses 26 Januari 2016). WHO. Scaling up HIV/AIDS care : Service delivery and human resources perpective (Gevana, 2004): http/ Zees F.R, (2011). Analisis faktor budaya organisasi yang berhubungan dengan perilaku caring perawat pelaksana di runag rawat inap RSD Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. 267

268 PENGARUH COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY (CBT)TERHADAP DEPRESI PASIEN TUBERCULOSIS PARU Nieniek Ritianingsih dan Nawati Program Studi Keperawatan Bogor Poltekkes Kemenkes Bandung Tuberculosis paru merupakan suatu penyakit infeksi kronis pada paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia.masalah yang biasa mucul pada pasien TB paru adalah depresi berhubungan dengan prognosis penyakit, reaksi yang muncul dari teman/relasi, efek pada pekerjaan dan kemungkinan penularan terhadap orang lain. Depresi dapat diatasi dengan cognitive behavioral therapy (CBT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh CBT terhadap depresi pasien TB paru. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah CBT dapat berpengaruh terhadap depresi pasien TB paru di kota Bogor. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metoda kuasi eksperimental dengan pendekatan pre test post test control group design. Dua puluh dua orang terlibat dalam penelitian ini untuk mengikuti CBT selama 12 minggu (5 sesi) dan 22 orang dijadikan kontrol.tingkat depresi dievaluasi sebelum dan setelah kegiatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CBT berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan depresi pasien TB paru (P < 0.05) dan terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat depresi pasien TB paru pada kelompok intervensi dan kontrol. Disarankan pelayanan kesehatan dapat menjadikan CBT sebagai suatu program terstruktur untuk mengatasi depresi pada pasien TB paru. Kata Kunci: TB paru, cognitive behavioral therapy, depresi. PENDAHULUAN Tuberculosis paru (TB paru) merupakan suatu penyakit infeksi kronis pada paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia (Phipps, Sand & Mark,2007). Terdapat sekitar 8,7 juta kasus baru tuberculosis di dunia dan 1,4 juta orang meninggal dunia pada tahun 2011 (WHO, 2012). Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat kasus tuberculosisparu baru sebanyak /tahun dengan jumlah kematian /tahun (TB Indonesia, 2013).Tuberculosis banyak terjadi di daerah penduduk yang padat, perekonomian yang rendah, dan pada seseorang yang mengalami gangguan kesehatan tertentu (Monahan & Neigbors, 2008). Pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan penanggulangan tuberculosis di Indonesia melalui 3 direktorat jenderal yaitu bina keluarga masyarakat, pelayanan medik dan pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan melalui penerapan strategi DOTS (Directly observed treatment shortcourse) dengan komponen pelayanan kesehatan di Puskesmas, rumah sakit dan balai pengobatan penyakit paru (Depkes, 2013). Manifestasi klinis yang akan terjadi pada pasien tuberculosis paru yaitu kehilangan berat badan, anoreksia, demam ringan berkeringat malam, batuk kering dengan sputum purulen atau berbercak darah (Black & Hawk, 2009). Disamping gangguan fisik tersebut pasien tuberculosis juga akan mengalami gangguan psikologis.masalah keperawatan yang sering muncul adalah depresi berhubungan dengan prognosis penyakit, reaksi yang muncul dari teman/relasi, efek pada pekerjaan dan kemungkinan penularan terhadap orang lain (Monahan & Neigbors, 2008). Pasien dengan TB paru dinegara Pakistan 52% diantaranya mengalami depresi.dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan 108 pasien tuberkulosis 50 orang (46.3%) diantaranya mengalami depresi (Husain, et al, 2008). Dan dari 65 orang pasien TB 43% diantaranya mengalami depresi dengan nilai HADS yang abnormal (>11)(Aamir S,et al. 2010).Di Indonesia sendiri belum ditemukan angka pasti berapa jumlah anka pasien TB paru yang mengalami depresi. Pasien dengan tuberculosis harus menjalani pengobatan yang terdiri dari berbagai jenis obat seperti isoniazid, rifampin, pyrazynamid, ethambutol atau steptomycin dan program terapi yang harus dijalani pasien dalam jangka panjang (18 s.d. 24 mg).pengobatan dalam waktu lama tersebut juga turut menyebabkan terjadinya depresi pada pasien TB.Dari 75 pasien yang menjalani terapi TB 52,2 % diantaranya mengalami depresi (Vega, et al, 2004). Perawatan dan pengobatan yang efektif untuk gangguan depresipada pasien tuberkulosis sangat diperlukan.hal ini dilakukan agar individu yang mengalami gangguan tersebut dapatkembali produktif dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari.saat ini penatalaksanaan klien depresi tidak hanya diberikan pengobatan psikofarmaka saja, namun juga dengan pendekatan psikoterapi. Salah satu psikoterapi yang yang telah banyak dilakukan dan cukup efektif dalam mengurangi dan mengontrol gejala penyakit atau gangguan depresi adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT).Cognitive behavioral therapydapat membantu pasien membantu pasien berkompromi dengan permasalahan yang dihadapinya dengan mengubah pola berpikir, perilaku dan respon emosi pasien sehingga depresi dapat dikurangi (Zakiyah, 2014). 268

269 Dari hasil riset sebelumnya CBT dapat mengurangi derajat depresi pada pasien dengan multiple scklerosis (Jones et.al, 2013) Cognitive behavioral therapy merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan untuk mengatasi pasien TB yang mengalami depresi (Townsend, 2009). Dari hasil penelitian sebelumnya depresi yang muncul pada pasien tuberkulosis dapat diatasi melalui therapy Cognitive Behavioral Therapy (CBT) (Nrepp,2013). Dalam dunia keperawatan di Indonesia CBT sering digunakan untuk mengatasi depresi dan kecemasan pada pasien gangguan jiwa.untuk mengatasi masalah psikososial pada pasien dengan gangguan pernafasan seperti TB paru masih jarang dilaksanakan. Masih sedikitnya penelitian yang berkaitan pengaruh CBT terhadap depresi pasien dengan tuberkulosis paru mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh cognitive behavioral therapy terhadap depresi pasien tuberculosis paru, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh cognitive behavioral therapy terhadap depresi pasien tuberculosis paru. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metoda kuasi eksperimental dengan pendekatan pre test post test control group design.tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan carapurposive sampling.jumlah sampel penelitian adalah 44 responden.analisis Univariat digunakan untuk data numerik dilakukan dengan menghitungmean, median, simpangan baku, nilai minimal, dan maksimal. Sedangkan untuk data katagorik dilakukan dengan menghitung frekuensi dan prosentase. Untuk jenis analisis bivariat yang digunakan adalah dependent sample test (Paired t-test)danindependent t-test. HASIL 1. AnalisisUnivariat Analisis univariat memperlihatkan karakteristik responden dengan uraian sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi pasien TB paru berdasarkan usia Variabel Kelompok Rerata SD Minimal- Maksimal 95% CI Usia Intervensi Kontrol Hasil analisis didapatkan dari 22 responden yang mengikuti cognitive behavioral therapypada kelompok intervensi rata-rata berusia (95% CI: ), dengan standar deviasi Usia terendah 20 tahun dan tertinggi 60 tahun. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata usia responden yang mengikuti cognitive behavioral therapy adalah antara sampai Sementara pada kelompok kontrol rata-rata berusia (95% CI: ), dengan standar deviasi Usia terendah 20 tahun dan tertinggi 55 tahun. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata usia responden pada kelompok kontrol adalah antara sampai Tabel 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan Variabel Kelompok Frekuensi Persentase (%) Tingkat Pendidikan Intervensi Tidak tamat sekolah SD Dasar Menengah Tinggi 0 0 Kontrol Dasar Menengah Tinggi

270 Hasil analisis didapatkan dari 22 responden yang melaksanakan cognitive behavioral therapy pada kelompok intervensi terbanyak adalah berpendidikan dasarsebanyak 16 orang (36.4%) dan paling sedikit tidak tamat SD sebanyak 1 orang (2.3%), dari data di atas dapat disimpulkan bahwa tingat pendidikan responden terbanyak adalah berpendidikan dasar. Sementara pada kelompok kontrol terbanyak adalah berpendidikan dasarsebanyak 17 orang (77.3%) dan paling sedikit berpendidikan menengah sebanyak 5 orang (22.7%), dari data di atas dapat disimpulkan bahwa tingat pendidikan responden terbanyak adalah pendidikan dasar. Tabel 3 Distribusi frekuensi pasien TB paru berdasarkan jenis pekerjaan Variabel Kelompok Frekuensi Persentase (%) Jenis pekerjaan Intervensi Tidak Bekerja Bekerja Kontrol Tidak Bekerja Bekerja Hasil statistik dari 22 responden yang melaksanakan cognitive behavioral therapy pada kelompok intervensi terbanyak adalah tidak bekerjasebanyak 19 orang (86.4%) dan yang bekerja sebanyak 3 orang (13.6%), dari data di atas dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak adalah yang tidak bekerja. Sementara pada kelompok kontrol terbanyak adalah tidak bekerjasebanyak 18 orang (81.8%) dan paling sedikit responden bekerja sebanyak 4 orang (18.2%), dari data di atas dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak adalah tidak bekerja. Tabel 4 Distribusi Tingkat depresiresponden Sebelum Cognitive behavioral therapy Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Variabel Kelompok Rerata SD Minimal- 95% CI Maksimal Tingkat depresi sebelum CBT Intervensi Kontrol Hasil analisis didapatkan rata-rata tingkat depresipasien TB paru sebelum cognitive behavioral therapy pada kelompok intervensi adalah (95% CI: ), dengan standar deviasi Tingkat depresi terendah adalah 11 dan tertinggi 18. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata tingkat depresipasien TB paru sebelum mengikuti cognitive behavioral therapy adalah antara sampai (depresi sedang). Sementara pada kelompok kontrol rata-rata tingkat depresipasien TB paru adalah (95% CI: ), dengan standar deviasi Tingkat depresi terendah adalah 13 dan tertinggi 17. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata kualiatas hidup pada kelompok kontrol adalah antara sampai (depresi sedang). Tabel 5. Distribusi Tingkat depresipasien TB parusesudah Cognitive behavioral therapy Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol Variabel Kelompok Rerata SD Minimal- 95% CI Maksimal Tingkat depresi sesudah CBT Intervensi Kontrol

271 Hasil analisis didapatkan rata-rata tingkat depresipasien TB paru sesudah cognitive behavioral therapy pada kelompok intervensi adalah 5.32 (95% CI: ), dengan standar deviasi Tingkat depresi terendah adalah 2 dan tertinggi 9. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata tingkat depresipasien TB paru sesudah mengikuti cognitive behavioral therapy adalah antara 4.37 sampai 6.27 (normal/tidak depresi). Sementara pada kelompok kontrol rata-rata tingkat depresi adalah (95% CI: ), dengan standar deviasi Tingkat depresi terendah adalah 13 dan tertinggi 17. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata tingkat depresi pasien TB pada kelompok kontrol adalah antara sampai (depresi sedang). 2. Analisis Bivariat Tabel 6 Distribusi Tingkat depresipasien TB paru kelompok intervensi Sebelum dan Sesudah Cognitive behavioral therapy Variabel Kelompok Rerata SD SE P value Tingkat depresi Intervensi Sebelum Sesudah Hasil analisis didapatkan rerata tingkat depresipasien TB paru(kelompok intervensi) sebelum cognitive behavioral therapyadalah dengan standar deviasi Pada akhir intervensi rerata tingkat depresi adalah 5.32 dengan standar deviasi Hasil uji statistik didapatkan nilai P=0.00, α= 0,05, maka dapat dianalisis terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat depresipasien TB paru sebelum dan sesudah cognitive behavioral therapypada kelompok intervensi Tabel 7 Distribusi Tingkat depresi pasien TB paru kelompok kontrol Sebelum dan Sesudah Cognitive behavioral therapy Variabel Kelompok Rerata SD SE P value Tingkat depresi Kontrol Sebelum Sesudah 14, Hasil analisis didapatkan rerata tingkat depresi pasien Tb paru sebelum cognitive behavioral therapy adalah dengan standar deviasi Pada akhir intervensi rerata tingkat depresi adalah dengan standar deviasi Hasil uji statistik didapatkan nilai P=0.00, α= 0,05, maka dapat dianalisis tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat depresi pasien TB paru sebelum dan sesudah cognitive behavioral therapy pada kelompok kontrol. Tabel 8 DistribusiTingkat depresipasien TB paru Sesudah Cognitive behavioral therapypada Kelompok Intervensi dan Kontrol Variabel Kelompok Rerata SD SE P value Tingkat depresi sesudah CBT Intervensi Kontrol

272 Hasil analisis didapatkan rerata tingkat depresipasien TB paru sesudah cognitive behavioral therapypada kelompok intervensi adalah 5.32 (normal/tidak depresi) dengan standar deviasi 2.15, sementara pada kelompok kontrol rerata tingkat depresi sesudah cognitive behavioral therapy adalah 14.59(depresi sedang) dengan standar deviasi Hasil uji statistik didapatkan nilai P=0.00, α= 0,05, maka dapat dianalisis terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat depresipasien TB pada kelompok intervensi dan kontrol sesudah cognitive behavioral therapy. PEMBAHASAN Cognitive Behavioral Therapy merupakan bentuk psikotherapi dengan berdasar pada konsep proses mental patologis. Fokus dari pengobatan yaitu pada modifikasi perilaku maladaptif.tingkat depresi pasien TB dapat menurun dengan cognitive behavioral therapy(cbt) karena dengan dengan terapi ini pasien didorong untuk dapat mengekspresikan perasaannya.pendekatan CBT dalam mengatasi depresi terbagi menjadi komponen restruktur kognitif dan perilaku.tujuan CBT adalah adalah menolong pasien mengenal pola pikir negatifnya, mengevaluasi validitasnya dan mengganti hal-hal tersebut dengan pola pikir yg lebih sehat (Townsend, 2009). Pada CBT pasien dan therapis duduk bersama untuk meyepakati pola atau perilaku yang dibutuhkan untuk di ubah. Pada proses CBT terdapat langkah-langkah yang dilakukan yaitu:1. Mengidentitikasi masalah dan berdiskusi untuk mencari solusinya. 2. Mencatat pikiran-pikiran negatif dan mencoba menkonternya dengan hal-hal positif 3. Mencari peluang-peluang adanya pikiran yang positif 4. Mengakhiri setiap waktu dengan memvisualisasaikanbahwa yang sudah dilalui adalah hal yang menyenangkan 5. Berusaha menerima bahwa kekecewaan merupakan bagian hidup yang normal. SIMPULAN Cognitive behavioral therapy berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan tingkat depresi pasien TB paru KEPUSTAKAAN Amir S,et al Co-morbid anxiety and depression among pulmonarytuberculosis patients. J.Coll Physicians surg pak Oct:20 (10): doi: /JCPSP Black, J.M., & Hawk, J.H. (2009).Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcome. 8 th edition. Missouri: Elsevier Saunders Depkes. (2013). Kesepakatan untuk pemberantasan tubercolosis. Dowson C, Laing R, Barraclough R, Town I, Mulder R, Norris K, Drennan C. (2001). The use of the Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) in patients with chronic obstructive pulmonary disease: a pilot study. NZMed.J. Oct 12;114(1141): Hudoyoahmad et all JurnalTuberkulosis Indonesia vol 7. ISSN Jakarta:PerkumpulanemberantasanTuberkulosisIndonesia (PPTI) Husain,O.M, Dearman,P.S, Chandry.B.I, Nadeem.R, Waheed.W.(2008). The relationship between anxiety, depretion and illness Perception in tuberculosis patient in Pakistan. Lin pract epidemiol Ment.health;4;4. Publish online 2008 Feb 26. Jones Ashley,et.al(2013). Cognitive behavioral therapy for mental disorder in people with multple scklerosis benefit marking study. Psycological reseach.www. Researchgate.match/.../ an Lemone,P, Burke,M.K. (2011). Medical surgical nursing critical Thinking in client care.5nd edition. New Jersey:Prentice Hall-Inc Publishing.Inc; Mahpudin.A.H, Hubungan factor lingkunganfisikrumah, social ekonomi, responbiologisterhdapkejadian tuberculosis paru BTA positifpadapendudukdewasa di Indonesia. Jakarta: PerpustakaanUniversitas Indonesia. Manoharam E, John KR, Joseph A, Jacob KS. Psychiatric morbidity, patients' perspectives of illness and factors associated with poor medication compliance among the tuberculosis in Vellore, South India. Indian J Tuber.2001; 48:77 Monahan. D. Frances & Neighbors Marianne (2008). Medical-Surgical Nursing Foundation for Clinical Practice. Philadelphia: WB Saunder company Nrepp.(2013).Cognitive Behavioral Therapy for Depression and Anxiety Disorders.www. Nrepp.samsha.gov./CBT.aspx 272

273 Pare Lisu Imelda, amirudinridwan, Leida Ida Hubunganantarapekerjaan, PMO, pelayanankesehatan, dukungankeluargadandiskriminasidenganperilakuberobatpasie TB paru. Makasar: UniversitasHasanuddin. Phipps, J.W., Sand,K.J., Marek,F.J., (2007). Medical-surgicalNursing-Heatlh and illness perpectives. 8 th edition. St.Louis, Missouri: Mosby,Inc. Rekam medis RS. Gunawan Partowidigdo Cisarua Bogor (2012).Web.mb. (2005).Cognitive behavioral therapy for deprhttp:// Santoso.(2014). Lampiran kuesioner skala nilai depresi. Selvera. R. Nidya. (2013). Teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan somatisasi.jurnal SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: Volume I (1), Suparyanto.(2012). Konsep depresi. Blogspot.com/2012/02/konsep-depresi.html TB Indonesia. (2013).Sosialiasi pedoman penyusunan modul TB untuk pendidikan dokter di Indonesia. Townsend.C.Mary. (2009).Psychiatric Mental Health Nursing.Concepts of Care in Evidence Based-Practice. Philadelphia. F.A.Davis Company Vega.P, Acha.J, Castillo.H, Guerra.P, Smith,M.C, Shin.S. (2004). Psychiatric issues in the management of patients with multidrug-resistant tuberculosis. Inter.J. Tuberc Lung Dis 8(6): ,Diperoleh tanggal 15 September WHO.(2012). Global tuberculosis repport 2012.www. Who.int/tb/publications/globalreport/gtbr12_executivesummary.pdf Zakiyah.(2014). Pengaruh dan Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Berbasis Komputer terhadap Klien Cemas dan Depresi.E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan. Volume 1 Nomor 1 Juni 2014 Zigmond AS, Snaith RP. The hospital anxiety and depression scale. Acta Psychiatr Scand 1983; 67:

274 Penerapan Foot Reflexology dalam Managemen Nyeri pada Pasien Kanker. (Review) Nina Gartika 1, Etika Emaliyawati 2 1 Mahasiswa Magister Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran STIKes Aisyiyah Bandung nina.gartika@gmail.com 2 Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Abstrak- Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit cardiovaskuler. Nyeri merupakan salah satu gejala yang paling banyak ditakutkan oleh pasien kanker. Prevalensinyeri pada pasien kanker diperkirakan 25% dialami pasienyang barudidiagnosiskanker, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi anti-kanker dan lebih dari 75% pada pasien denganstadium lanjut. Keluhan nyeri akibat kanker mempengaruhi aspek fisiologis, psikologis, fungsi sosial dan mental, serta penurunan kualitas hidup pasien, yang bukan hanya diderita oleh pasien, keluarga dan bahkan menjadi beban masyarakat. Nyeri yang bersifat multidimensional ini memerlukan penanganan berupa managemennyeri yang tepat baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Footreflexology merupakan salah satu managemen nyeri non farmakologi yang dapat digunakan dalam menurunkan nyeri pada kanker. Adapun tujuan dari study literatur iniadalah untuk menjelaskan literatur yang terkait dengan penerapan foot reflexology dalam managemen nyeri pada pasien kanker. Metode pencarian artikel adalah dengan menggunakanelectronic data base Pubmedline, EBSCO host, ProQuest, Google scholardan Science Directyang diambil dari tahun 2005 sampai Enam artikel yang relevan dengan tujuan review ini dipilih setelah dilakukan penelusuran dengankatakunci dalam bahasa Inggris yaitupain, cancer pain, reflexology, foot reflexology, pain management. Hasil review didapatkan hanya sedikit study yang berfokus pada penggunaan foot reflexology terhadap managemen nyeri terutama pada pasien kanker, walaupun demikian hasilnya menunjukkan terjadi penurunan nyeri pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak dilakukan foot reflexology. Manfaat positif dari foot reflexology ini akan dapat dirasakan pasien jika dilakukan oleh orang yang kompeten. Oleh karena itu perawat yang akan menerapkan managemen nyeritersebut perlu mengikuti pelatihan untuk menjamin performa dan teknik reflexology yang tepat. 1. LATAR BELAKANG Penyakit kanker masih menjadi permasalahan utama baik di negara maju maupun negara berkembang. Kanker menjadi penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi kanker di Indonesia mencapai 1,4 per penduduk atau sekitar orang, dengan jumlah kanker terbanyak adalah kanker payudara. Berdasarkan estimasi Global Burden Cancer (Globocan), International Agency for Research Center (IARC) tahun 2012, insiden kanker payudara sebesar 40 per perempuan (Kemenkes, 2014). Nyeri merupakan salah satu gejala yang paling banyak ditakutkan pasien kanker (Van den Beuken-van Everdingen et al., 2008). Berdasarkan data dari International Association for the Study of Pain (IASP), prevalensi nyeri pada pasien kanker payudara berada pada kisaran 40-89% (Satija et al., 2014). Menurut Black et al. (2012) 90% pasien kanker mengalami nyeri sepanjang perjalanan penyakitnya. Yang, Sun, Lu, Pang, and Ding (2012) mengemukakan bahwa prevalensi nyeri diperkirakan sebesar 25% dialami pasien yang baru didiagnosis kanker, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi anti-kanker dan lebih dari 75% pada pasien dengan stadium lanjut. Keluhan nyeri akibat kanker mempengaruhi aspek fisiologis, psikologis, fungsi sosial dan mental, serta penurunan kualitas hidup pasien, yang bukan hanya diderita oleh pasien tetapi menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan masyarakat (Yang et al., 2012). Selain itu Paice and Ferrel (2011) menjelaskan bahwa nyeri kanker yang dirasakan terus-menerus, berdampak pada seluruh dimensi kualitas hidup, mempengaruhi kemampuan pasien dalam melanjutkan pengobatan, tipisnya harapan untuk kembali sehat sebagai cancer survivor ataupun meninggal dalam keadaan damai. Terapi nyeri yang didapatkan oleh pasien kanker berdasarkan pedoman WHO antara lain diawali dengan obat-obatan non-opioid seperti paracetamol, ibuprofen. Jika efek analgesia tidak didapatkan, maka diberikan opioid ringan seperti codein, tramadol. Opioid keras seperti morphine, oxycodone diberikan jika nyeri masih tidak dapat dikontrol dengan sebagaimana mestinya (Satija et al., 2014). Penggunaan analgetik opioid dapat memberikan efek ketergantungan dan toleransi fisik, gejala khas dari toleransi fisik adalah adanya penurunan dari efek obat jika pemakaian obat tersebut berulang, sehingga untuk dapat mengatasi nyeri, dosis obat harus dinaikkan (Desen, 2008). Selain itu menurut Yang et al. (2012) beberapa obat pereda nyeri cukup mahal harganya sehingga menjadi beban financial bagi banyak keluarga pasien dengan kanker. Fenomena di atas memicu penggunaan terapi lain untuk meredakan nyeri pada pasien 274

275 kanker sekaligus mengurangi efek ketergantungan terhadap obat-obatan pereda nyeri. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penunjang berupa terapi komplementer. Deng and Cassileth (2005) merekomendasikan reflexology untuk mengurangi keluhan nyeri pada pasien kanker. Foot reflexology merupakan bagian dari reflexology yang mengaplikasikan tekanan pada area spesifik di kaki yang dinamakan titik refleksi dan ini didasarkan pada premis bahwa stimulasi pada titik-titik tersebut dapat menciptakan jalur saraf yang terhubung dengan organ-organ spesifik, kelenjar dan sistem tubuh (Stephenson, Swanson, Dalton, Keefe, & Engelke, 2007). 2. TUJUAN Penulisan review ini bertujuan untuk menjelaskan literatur yang terkait dengan penerapan foot reflexology dalam manajemen nyeri pada pasien kanker. 3. METODE Literatur yang diambil dalam review ini adalah original article yang telah dipublikasi secara online dijurnal ilmiah dari tahun 2005 sampai Original article ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental/quasi eksperimen dengan pengambilan sampel randomized controlled trial. Review ini melibatkan responden dengan berbagai jenis kanker, terutama kanker payudara dan kanker paru-paru. Pencarian artikel dilakukan pada bulan Januari Data base yang digunakan dalam pencarian meliputi Pubmedline, EBSCO host, ProQuest, Google scholar dan Science Direct. Dipilih 6 artikel yang relevan dengan tujuan review ini setelah dilakukan penelusuran dengan kata kunci pain, cancer pain, reflexology, foot reflexology, pain manajement 4. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Dasar Teori Reflexology dalam Manajemen Nyeri Mekanisme pasti dari reflexology belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian Tiran and Chummun (2005), ditemukan adanya peranan reseptor sensory dalam sistem saraf. Dalam penelitiannya, Stephenson and Dalton (2006) dan Tiran and Chummun (2005) mengungkapkan bahwa menurunnya sensasi nyeri dalam reflexology diatur melalui mekanisme gate control. Menurut Stephenson and Dalton (2006) secara umum gate control theory menjelaskan bahwa nyeri sebagai stimulus noxious dapat meningkat atau menurun melalui modulasi dalam mekanisme gating, dimana jika jalur nyeri terbuka maka terjadi peningkatan rasa nyeri dan sebaliknya, rasa nyeri akan berkurang jika jalur nyeri ditutup. Hal ini sejalan dengan Melzack & Wall (1965) dalam Moayedi and Davis (2013) yang menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur dan dihambat melalui mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan tersebut ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, talamus, dan sistem limbik. Teori ini menyatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat pertahanan terbuka dan impuls nyeri dihambat saat pertahanan tertutup. Temuan tersebut didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Pongpiyapiboon (2005) dan Heinricher, Tavares, Leith, and Lumb (2009) bahwa foot reflexology membantu dalam transmisi impulse neuronal dalam menstimulasi kelenjar pituitary di hipotalamus untuk mengeluarkan endorfin, suatu opioid endogen neuropeptida yang diproduksi oleh tubuh dan mengaktifkan reseptor opiat sehingga menimbulkan efek analgetik. Aksi opioid endogen ini diyakini bekerja pada sistem saraf pusat dengan menghambat pengeluaran substansi P. Reflexology dalam Mereduksi Nyeri pada Pasien Kanker Sejalan dengan penelitian mengenai mekanisme reflexology dalam menurunkan nyeri, terdapat dua penelitian yang menguji pengaruh foot reflexology terhadap nyeri pada pasien kanker. Stephenson et al. (2007) melakukan penelitian quasi experimental terhadap pasien dengan jenis kanker yang berbeda. Penelitian ini melibatkan 86 pasien, dimana 42 pasien dilakukan foot reflexology oleh pasangan/ partner masing-masing sedangkan 44 pasien sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya kelompok intervensi dilakukan foot reflexology selama 30 menit oleh partner mereka sebanyak satu sesi pemijatan. Sebelumnya, para partner tersebut dilatih reflexology oleh peneliti, karena peneliti sendiri merupakan reflexologist terlatih. Reflexology yang diberikan meliputi 10 menit untuk relaksasi kaki, 15 menit untuk mengaplikasikan reflexology pada bagian tubuh pasien yang mengalami nyeri atau disesuaikan dengan letak kanker. Area helper yang diindikasikan untuk meningkatkan sistem immun dilakukan pemijatan selama 5 menit. Instrumen pengukuran yang digunakan antara lain The Brief Pain Inventory (BPI), The Short Form Mcgill Pain Questionnaire (SF-MPQ) dan Visual Analogue Scale untuk kecemasan. Hasil penelitian menunjukkan 34% pasien mengalami penurunan nyeri, dan 62% mengalami penurunan kecemasan pada kelompok intervensi. Penelitian lainnya dilakukan oleh Wyatt, Sikorskii, Rahbar, Victorson, and You (2012) dengan design penelitian longitudinal, randomized clinical trial menggunakan sampel yang lebih besar yaitu 385 pasien kanker payudara stadium lanjut yang mendapatkan kemoterapi dan/ atau terapi hormonal. Responden secara 275

276 random dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu reflexology (n=95), lay foot manipulasi (LFM) (n=95) dan perawatan konvensional (n=96). Dua kelompok reflexology awal (n=51) dan LFM (n=48) kelompok uji yang digunakan untuk menentukan protokol. Protokol reflexology yang digunakan mencakup 30 menit stimulasi sembilan titik esensial spesifik kanker payudara dengan tekanan ibu jari. Protokol LFM didisain mirip dengan reflexology namun tidak termasuk tekanan ibu jari dan menghindari stimulasi langsung terhadap sembilan titik refleksi spesifik kanker payudara. Intervensi reflexology dan LFM dilakukan selama 30 menit tiap sesi dalam waktu empat minggu. Reflexology dilakukan oleh reflexologist yang tersertifikasi dengan menggunakan metode reflexology Ingham. Hasil akhir yang diukur adalah dari breast cancer specific HRQOL, fungsi fisik, dan gejala, yang diukur selama tiga kali wawancara telepon yaitu: pre intervensi, segera setelah intervensi, dan enam minggu pasca intervensi. Instrumen yang digunakan adalah The Physical Function Subscale of the SF-36, The Functional Assessment ofcancer Therapy Breast (FACT-B) Scale, Version 4, The Brief Fatigue Inventory (BFI), The Brief Pain Inventory Short Form, The Center of Epidemiologic Studies Depression (CES-D) scale, the State-Trait Anxiety Inventory. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak ada efek samping yang merugikan dari intervensi reflexology. Selain itu dilaporkan pula adanya peningkatan dari fungsi fisik dan penurunan dyspnea pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan pada breast cancer-spesific HRQOL, gejala depresi, kecemasan, nyeri dan nausea tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. PEMBAHASAN Nyeri merupakan fenomena yang kompleks yang melibatkan aspek fisik, perilaku, emosi, spiritual, dan interpersonal. Nyeri yang bersifat multidimensional ini memerlukan pengkajian, penanganan dan manajemen pasien yang tepat. Menurut Smeltzer and Bare (2008) penatalaksanaan nyeri nonfarmakologi, digunakan sebagai tambahan, bukan pengganti terapi obat (farmakologi). Salah satu manfaatnya adalah pasien dapat mengambil sikap yang lebih aktif terhadap nyeri. Nyeri berat selama beberapa jam atau berhari-hari, dengan kombinasi obat dan intervensi nonfarmakologi merupakan cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tiran and Chummun (2005) dan Stephenson et al. (2007) yang mengenai mekanisme reflexology terhadap manajemen nyeri, terdapat beberapa kesamaan yaitu adanya mekanisme gate control dan pengeluaran opioid endogen berupa endorfin dan enkhefalin. Kedua mekanisme tersebut tidak berjalan sendiri namun ada kesinambungan satu dengan yang lain. Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa stimulus pada titik-titik refleksi dihantarkan oleh serabut sensory Aβ yang menekan transmisi sinyal nyeri (Stephenson & Dalton, 2006). Sesuai dengan gate control theory, stimulasi pada serat yang mentransmisikan stimulus non nyeri dapat memblokir impuls nyeri di gerbang dorsal horn, sebagai contoh jika reseptor sentuh (serabut Aβ) terstimulasi maka reseptor tersebut akan mendominasi sehingga gerbang tertutup (Helms & Barone, 2008). Tiran and Chummun (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa adanya kontak skin-to-skin pada reflexology dapat merangsang pengeluaran endorfin dan enkephalin sehingga terjadi penurunan nyeri dan meningkatkan perasaan sejahtera. Selain itu efek analgesia dapat dicapai dengan tekanan dari titik refleks tertentu, yang secara efektif memblok jalur nyeri melalui mekanisme gate control. Mekanisme respon tersebut berhubungan dengan sifat dari kaki yang sensitif terhadap tekanan, regangan dan gerakan. Kulit itu sendiri mengandung beberapa type reseptor saraf sensory. Adanya variasi dari derajat tekanan, oleh sentuhan dan pijatan, menstimulasi ujung saraf sensory (corpus paccini) untuk berikatan dengan reseptor-reseptor tersebut. Potter and Perry (2010) menjelaskan bahwa peranan neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak berperan dalam mengatur proses pertahanan terhadap nyeri. Substansi P dilepaskan oleh neuron Aδ dan C untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain neuron Aδ dan C, juga terdapat neuron Aβ yang lebih tebal dan lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke korteks serebral. Sistem ini dikenal dengan sebutan sistem analgesia. Menurut Helms and Barone (2008) setiap otak manusia memiliki kemampuan untuk menekan besarnya sinyal nyeri yang masuk ke dalam sistem saraf, dimana serabut di dorsal horn, batang otak dan jaringan perifer melepaskan neuromodulator yang dikenal sebagai opioid endogen yang menghambat kerja dari neuron yang mentransmisikan impuls nyeri. β endorfin dan dynorfin merupakan jenis opioid alami yang dihasilkan dan substansi tersebut bertanggung jawab terhadap penurunan nyeri. Level endorfin bervariasi pada individu, sehingga perbedaan individu akan memiliki tingkat nyeri yang berbeda pula. Neurotransmiter analgesia lainnya yaitu enkhefalin. Guyton and Hall (2008) menjelaskan bahwa enkhefalin bekerja menghambat presinaptik dan postsinaptik pada serabut nyeri tipe Aδ dan C yang bersinaps di kornu dorsalis. Aktivasi enkhefalin dapat menghambat transmisi nyeri ke otak sehingga nyeri tidak dipersepsikan. Aktivasi enkhefalin ini berhubungan erat dengan beta-endorfin, met-enkhefalin, leu-enkhefalin dan dynorfin. Sekresi endorfin dan dynorfin ini dapat meningkatkan enkhefalin sehingga menekan efek nyeri di otak. 276

277 Pada penelitian yang dilakukan oleh Stephenson et al. (2007) dilaporkan terjadi penurunan nyeri pada kelompok intervensi yang diberikan foot reflexology selama satu sesi, sedangkan pada penelitian Wyatt et al. (2012) tidak ditemukan adanya penurunan nyeri pada kelompok intervensi. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan pengalaman nyeri pada pasien kanker bergantung pada beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Parala-Metz and Davis (2013) yaitu letak kanker, waktu sejak didiagnosis, ada tidaknya intervensi pembedahan, ada tidaknya tindakan kemoterapi atau radiasi. Penelitian mengenai pengaruh foot reflexology terhadap pasien non kanker menunjukkan hasil yang signifikan. Seperti penelitian Taha and Ali (2011) terhadap pasien rhematoid arthritis, yang menguji pengaruh foot reflexologi terhadap intensitas nyeri. Sebanyak 38 orang pasien pada kelompok intervensi dilakukan foot reflexology selama 20 menit dan dilakukan follow up selama delapan minggu. Hasil menelitian menunjukkan adanya penurunan nyeri yang signifikan (p<0.001) Penelitian lainnya dilakukan oleh Valiani, Babaei, Heshmat, and Zare (2010) terhadap 68 mahasiswa yang mengalami dysmenorrhe. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dan mengetahui efektivitas reflexology dan ibuprofen dalam mereduksi intensitas dan durasi nyeri pada nyeri menstruasi. Kelompok intervensi diberikan 10 sesi reflexology, masing-masing sesi dilakukan selama 40 menit dalam dua siklus menstruasi berturut-turut. Kelompok kontrol diberikan ibuprofen 400mg tiga kali sehari selama tiga hari selama 3 siklus menstruasi berturut-turut. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa pada kelompok reflexology terjadi penurunan intensitas dan durasi nyeri menstruasi yang lebih signifikan dibandingkan dengan kelompok terapi ibuprofen (p < 0.05). Terdapatnya perbedaan hasil foot reflexology pada pasien kanker dan non kanker di atas, dipicu oleh beberapa faktor, antara lain type nyeri (nyeri kronis atau nyeri akut), tidak adanya protokol baku yang menjelaskan lama pemberian foot reflexology pada tiap sesi dimana masing-masing penelitian memiliki variasi waktu yang berbeda (20 menit, 30 mnit, 40 menit), dan bervariasinya keberlangsungan dari intervensi (Ernst, 2009). Akan tetapi hasil penelurusan dari semua literatur melaporkan tidak ada kontra indikasi dari pemberian intervensi foot reflexology sehingga intervensi ini relatif aman bagi pasien. 5. KESIMPULAN Hasil review artikel diatas ditemukan bahwa mekanisme penurunan nyeri dari foot reflexology berdasarkan pada gate control theory dan pengeluaran opioid endogen berupa endorfin dan enkhefalin. Di samping itu penelitian yang membahas tentang pengaruh foot reflexology terhadap pasien kanker masih sangat terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sample yang lebih besar dan teknik foot reflexology yang tepat. Namun demikian secara umum foot reflexology relatif aman digunakan sebagai bagian dari intervensi non farmakologi dalam menurunkan intensitas nyeri pasien. Manfaat tersebut akan dapat dirasakan jika reflexology dilakukan oleh orang yang kompeten sehingga diperlukan pelatihan untuk menjamin performa dan teknik yang tepat, sebelum kemudian menerapkannya kepada pasien. Khususnya bagi perawat, karena perawat memiliki peranan besar dalam mempengaruhi persepsi nyeri pasien. 6. DAFTAR PUSTAKA Black, B., Hartford, A. J., Herr, K., Fine, P., Sanders, S., Tang, X.,... Forcucci, C. (2012). The relationships among pain, non-pain symptoms, and quality of life measures in older adults with cancer receiving hospice care. Pain Med, 12(6), doi: /j x. Desen, W. (2008). Buku Ajar Onkologi Klinis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Ernst, E. (2009). Systematic review : Is reflexology an effective intervention? A systematic review of randomised controlled trials. MJA, 191(5), Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Heinricher, M. M., Tavares, I., Leith, J. L., & Lumb, B. M. (2009). Descending Control of Nociception: Specificity, Recruitment and Plasticity. Brain Res Rev, 60, Helms, E. J., & Barone, P. C. (2008). Physiology and treatment of pain. Critical carenurse, 28(6), Moayedi, M., & Davis, D. K. (2013). Theories of pain: from specificity to gate control. Journal of Neurophysiology, 109(1), doi: /jn Paice, J. A., & Ferrel, B. (2011). The management of cancer pain. Cancer Journal Clinic, 61, Parala-Metz, A., & Davis, M. (2013). Cancer Pain. Cleveland Clinic - Hematology Oncology, Pongpiyapiboon, T. (2005). Effects of symptom management with reflexology program on pain and frequency of pain medication taking in elderly patient with prostatectomy. (Masters thesis), Chulalongkorn University. Potter, A. P., & Perry, G. A. (2010). Fundamentals of Nursing. Singapore: Elsevier Inc. Satija, A., Ahmed, M. S., Gupta, R., Ahmed, A., Rana, S. P. S., Singh, P. S.,... Bhatnagar, S. (2014). Breast cancer pain management - A review of current & novel therapies. Indian J Med Res, 103, Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2008). Brunner & Suddarth's Textbook of medical surgical nursing. Philadelpia: Lippincot. 277

278 Stephenson, N. L. N., & Dalton, A. J. (2006). Using reflexology for pain management. Journal Of Holistic Nursing, 21(2), doi: / Stephenson, N. L. N., Swanson, M., Dalton, J., Keefe, J. F., & Engelke, M. (2007). Partner-delivered reflexology: effects on cancer pain and anxiety. Oncology Nursing Forum, 34(1), doi: /07.ONF Taha, M. N., & Ali, H. Z. (2011). Effect of reflexology on pain and quality of life in a patient with rheumatoid arthritis. Life Science Journal, 8(2), Tiran, D., & Chummun, H. (2005). The physiological basis of reflexology and its use as a potential diagnostic tool. Complementary Therapies in Clinical Practice, 11, Valiani, M., Babaei, E., Heshmat, R., & Zare, Z. (2010). Comparing the effects of reflexology methods and Ibuprofen administration on dysmenorrhea in female students of Isfahan University of Medical Sciences. IJNMR, 15, Van den Beuken-van Everdingen, M. H. J., Peters, M. L., de Rijke, J. M., Schouten, H., C., K., M.,, & Patijin, J. (2008). Concerns of former beast cancer patients about disease recurrence: a validation and prevalence study. Psycho-Oncology, 17, Wyatt, G., Sikorskii, A., Rahbar, H. M., Victorson, D., & You, M. (2012). Health-related quality-of-life outcomes: A reflexology trial with patients with advanced-stage breast cancer. Oncology Nursing Forum, 39(6), Yang, Sun, L., Lu, Q., Pang, D., & Ding, Y. (2012). Quality of life in cancer patients with pain in Beijing Chin J Cancer Res, 24(1), doi: /s

279 MANAJEMEN DIRIUNTUK MENGATASI FATIGUE PADA PASIEN HEMODIALISIS: KAJIAN LITERATUR SISTEMATIS Novi Malisa 1, Kusman Ibrahim 2 1 Mahasiswa Pascasarjana Keperawatan Medikal Bedah UNPAD, novimalisa53@gmail.com 2 Dekan Fakultas Keperawatan UNPAD, kusman_ibrahim@yahoo.com 1,2 Gedung Rumah Sakit Pendidikan UNPAD, Jalan Eyckman No.38 Bandung ABSTRAK Fatigue merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien Gagal Ginjal Terminal yang menjalani terapi hemodialisis yaitu sebanyak 60-97% dari total pasien yang menjalani hemodialisis, menyebabkan konsentrasi menurun, malaise, gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari harinya yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisis.kajian literatur diperlukan untuk mengetahui intervensi berbasis fakta untuk mengatasi fatigue. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui strategi intervensi manajemen diri pasien hemodialisis dalam mengelola fatigue. Metode yang digunakan dalam membuat artikel ini adalah cirtical review. Proquest(tahun )dan Google Scoolar(tahun ) merupakan database yang digunakan dalam review ini.key word yang digunakan adalah fatigue, nursing intervention, end stage renal deseases, chronic kidney deseases, hemodialysis, self management, intervensi keperawatan, penyakit ginjal, gagal ginjal kronis, hemodialisis dan manajemen diri.didapatkan 6 artikel penelitian yang sesuai dengan tujuan dan kriteria review. Ada3strategi untuk mengatasi fatigue, yaitu latihan fisik, penggunaan sinar infra merah dan relaksasi: yoga. Penerapan intervensi ini terbukti menurunkan fatigue. Dari 6penelitian,pelaksanaan intervensi yang memungkinkan sebagai self management pasien adalah intervensi latihan fisik saja. Akan tetapi pelaksanaan latihan fisik ini perlu pendampingan dari ahli untuk memantau tanda-tanda vital dan kondisi pasien secara keseluruhan setelah latihan fisik, oleh karena itu disarankan perlunya penelitian mengenai empowering interventionyang benar benar melibatkan pasien secara langsung dan pelaksanaannya dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pasien sehingga pasien dapat mengelola kondisi yang dialaminya setiap saat sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan pasien yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien. Kata kunci : fatigue, manajemen diri, ESRD dan hemodialisis 1. PENDAHULUAN Prevalensi penyakit End Stage Renal Disease (ESRD) menempati urutan pertama diagnosa penyakit utama pasien yang menjalani hemodialisis (HD) yaitu sebanyak pasien (82%) dari keseluruhan pasien gagal ginjal yang menjalani terapi HD dan Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi urutan pertama dengan penambahan pasien baru yang menjalani HD selama tahun 2013 yaitu sebanyak orang (30,03%) (Pernefri, 2013). End Stage Renal Disease (ESRD) atau biasa dikenal dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) merupakan stadium akhir dari Chronic Renal Failure (CRF) yang menyebabkan berbagai keluhan bagi pasien seperti fatigue (O Sullivan & McCarthy, 2007), depresi dan penurunan kemampuan fungsi fisik sehingga berdampak pada buruknya kualitas hidup pasien (Morsch, Goncalves & Barros, 2006). Beberapa intervensi telah ditetapkan untuk mengatasi berbagai keluhan tersebut diantaranya terapi HD, pembatasan cairan, pengaturan diet, pemberian pengobatan untuk mengurangi gejala dan tindakan preventif untuk mencegah penyakit semakin bertambah parah (Thomas-Hawkins & Zazworsky, 2005). Dari keseluruhan keluhan pasien, fatigue merupakan keluhan yang paling sering dirasakan yaitu sebanyak 60-97% dari total pasien yang menjalani HD, menyebabkan konsentrasi menurun, malaise, gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari harinya sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien HD (Jhamb et al, 2011). Munculnya keluhan fatigue bisa disebabkan oleh banyak faktor, termasuk status nutrisi yang buruk, gangguan psikologis, perubahan kondisi kesehatan, dan gangguan tidur yang buruk (Evans & Lambert, 2007). Fatigue yang tidak teratasi dengan baik akan meningkatkan berbagai macam resiko yang menyebabkan kematian, gagal jantung, komplikasi akibat gagal jantung atau dirawat untuk pertamakalinya akibat gagal jantung selama menjalani terapi HD (Jhamb et al., 2011). Moattari, Ebrahimi, Sharifi, and Rouzbeh (2012) menyarankan dalam penelitiannya bahwa pemberdayaan pasien HD seharusnya difikirkan oleh pusat pelayanan hemodialisis untuk membantu pasien mengontrol masalah kesehatannya. Peningkatan manajemen diri dapat secara efektif mengurangi prevalensi morbiditas maupun mortalitas pasien yang menjalani hemodialisis (Griva et al., 2011). Beberapa penelitian terkait manajemen diri pasien hemodialisis telah dilakukan diantaranya adalah edukasi self-management (Lingerfelt & Thornton, 2011), terapi konitif dan dukungan sosial (Henry, 2014), dan self-monitoring (Dowell & Welch, 2006) namun belum ada studi yang fokus terhadap pengelolaan diri terkait dengan gejala fatigue yang disebabkan oleh proses hemodialisis. Mengingat pentingnya penatalaksanaan fatigue dan pentingnya peningkatan manajemen diri pasien hemodialisis maka penulis tertarik untuk melakukan tinjauan yang lebih 279

280 Inklusi Kelayakan Skrining Identifikas Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi Penelitian Kesehatan 2016 mendalam dengan melakukan literature review yang bertujuan untuk membahas strategi intervensi manajemen diri terhadap gejala fatigue pada pasien hemodialisis. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui strategi intervensi manajemen diri pasien hemodialisis dalam mengelola fatigue. 2. METODE Artikel ini merupakan sebuah critical review dari beberapa penelitian original article (Randomized Control Trial/RCT). Literature review adalah suatu bentuk telaah formal terhadap artikel penelitian dengan menggunakan tehnik berfikir kritis meliputi penggunaan logika, ringkasan akurat, analisis, argument dan evaluasi informasi (Aysem, 2009). Penelitian yang dimasukkan adalah penelitian yang menjelaskan tentang intervensi untuk mengatasi fatigue yang dapat digunakan sebagai manajemen diri pasien hemodialysis dengan tipe outcome primer yang dinilai adalah tingkat manajemen diri pasien yang digambarkan melalui pengontrolan skala fatigue selama pasien tidak menjalani hemodialisis dan outcomes sekundernya adalah kualitas hidup pasien, self-efficacy pasien, pengetahuan mengenai manajemen diri pasien. Apabila dalam satu artikel memuat hanya salah satu outcome yang digunakan baik itu outcome primer maupun sekunder, penulis tetap memasukan penelitian tersebut ke dalam kriteria inklusi. ProQuest dan Google Schoolar merupakan database yang digunakan dalam review ini. Kata kunci yang digunakan adalah fatigue, nursing intervention, end stage renal deseases, chronic kidney deseases, hemodialysis, self management, intervensi keperawatan, penyakit ginjal, gagal ginjal kronis, hemodialisis dan manajemen diri. Kata kunci tersebut saling dikombinasikan agar tercapai hasil pencarian yang lebih spesifik. Pencarian dilakukan pada bulan Agustus 2015 dengan batasan publikasi artikel mulai tahun HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Total hasil penelusuran artikel dengan kata kunci yang telah ditentukan adalah 270 artikel, dengan rincian ProQuest 242 artikel dan Google Schoolar 28 artikel. Didapatkan 110 artikel melalui pemilihan judul, dan berkurang lagi menjadi 51 artikel melalui skrining kesesuaian dengan tujuan review. Sebanyak 46 artikel dieksklusikan karena tidak memenuhi kriteria yang ditentukan; intervensi yang diberikan tidak mencakup outcome manajemen diri pasien hemodialisis, penelitian bukan merupakan suatu intervensi, dan intervensi dalam penelitian tidak memungkinkan untuk self-management program. Setelah skrining lebih lanjut sesuai desain dan keterkaitan dengan implikasi keperawatan maka terpilih 6 artikel yang terbagi menjadi 3 sub bahasan; 3 artikel yang membahas tentang program latihan/exercise (Van Vilsteren, de Greef, & Huisman, 2005; Matsumoto et al, 2007; Molsted, Eidemak, Sorensen, & Kristensen, 2004), 2 artikel yang membahas tentang penggunaan infra merah (Lin, Lee, su, Huang, & Liu, 2011; Su, Wu, Lee, Wang, & Liu, 2009) dan 1 artikel yang membahas tentang relaksasi: yoga (Yurtkuran, Alp Yurtkuran, & Dilek, 2007). Hasil temuan diidentifikasi melalui pencarian berdasarkan database (n=270) Hasil temuan setelah reduksi terhadap duplikasi temuan (n=250) Hasil temuan setelah skrining (n=110) Eksklusi (n=140) Artikel full-text dilakukan pengkajian terhadap kelayakan (n=28) Artikel full-text dieksklusikan (n=82) Artikel dimasukkan dalam review (n=6) Gambar 1. Flow diagram of trial selection process for the critical review 280

281 Dari hasil kajian literatur secara sistematis, intervensi yang umum dilakukan untuk mengatasi fatigue dikelompokkan sebagai berikut : 1) Program latihan exercise Matsumoto et al. (2007) melakukan penelitian di pusat hemodialisis di Jepang untuk mengetahui dampak dari latihan ketahanan fisik jangka panjang sebelum hemodialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin. Responden terdiri dari 55 orang yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok intervensi sebanyak 22 orang dan kelompok kontrol sebanyak 33 orang. Pelaku intervensi adalah anggota penelitian sendiri. Intervensi latihan ketahanan fisik terdiri dari pemanasan dan peregangan diikuti oleh peningkatan durasi secara progresif sampai 20 menit dan dilakukan secara inten setiap siklusnya dengan lama intervensi 12 bulan. Hasil dari penelitian adalah latihan ketahanan fisik terbukti signifikan menaikkan kekuatan fisik dari kondisi asal pada kelompok intervensi (p = 0.011). Penelitian lain mengenai efektifitas latihan fisik dilakukan oleh Van Vilsteren, de Greef, & Huisman (2005). Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui apakah program latihan dengan intensitas rendah sampai sedang di kombinasikan dengan konseling program dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dewasa yang menjalani hemodialisis. Responden terdiri dari 96 orang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok intervensi (n = 53) dan kelompok kontrol (n = 43). Penelitian ini dilakukan di Pusat dialisis di Belanda. Pelaku intervensi adalah konselor latihan fisik untuk konseling dan perawat peneliti untuk latihan fisik. Kelompok intervensi diberikan latihan sebelum dialisis selama menit diikuti siklus intradialisis menit pada 2 jam pertama dialisis, intervensi dilakukan 2-3 kali seminggu dan konseling latihan sebanyak 4 kali selama dilakukan intervensi. Kelompok kontrol hanya menerima perawatan rutin seperti biasa. Penelitian ini dilakukan selama 12 minggu. Hasil penelitian menunjukan bahwa latihan fisik dikombinasikan dengan konseling terbukti signifikan (p < 0,05) terjadi perbaikan ketahanan tubuh (ES 0,65) di kelompok intervensi. Selanjutnya Molsted, Eidemak, Sorensen, & Kristensen (2004) juga melakukan penelitian untuk mengetahui efek latihan fisik dengan penilaian sendiri terhadap status kesehatan pada pasien dewasa yang mendapatkan terapi hemodialisis. Responden dalam penelitian ini berjumlah 33 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi berjumlah 22 orang dan kelompok kontrol berjumlah 11 orang. Penelitian dilakukan di University Hospital, Denmark. Intervensi latihan fisik dilakukan oleh fisioterapis. Teknis pelaksanaan intervensi adalah latihan fisik dilakukan selama 60 menit dengan 10 menit pemanasan,20-30 menit kombinasi antara peregangan dengan latihan aerobik dan menit terakhir adalah siklus dari peregangan dan pendinginan, dilaksanakan dua hari seminggu pada umumnya hari dimana tidak dilakukan hemodialisis. Lama intervensi adalah 5 bulan. Hasil penelitian menunjukan tidak ada perubahan ketahanan fisik yang signifikan dalam kelompok intervensi ataupun kelompok control (p>0,05) 2) Penggunaan Infra merah Su, Wu, Lee, Wang, and Liu (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui efek sinar infra merah dengan stimulasi pada titik tertentu dibandingkan dengan terapi bantal penghangat terhadap denyut jantung dan kualitas hidup pasien dewasa yang mengalami gagal ginjal. Responden sebanyak 61 orang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok intervensi sinar infra merah (n = 31) dan kelompok kontrol dengan bantal penghangat (n = 30). Tempat penelitian di Rumah sakit University yang menjadi pusat dialisis di Taiwan. Pelaku Intervensi adalah perawat peneliti. Intervensi dilakukan selama 30 menit dengan interval antara pemberian infra merah 1 minggu pada kelompok intervensi dan interval antar bantal penghangat 1 minggu pada kelompok kontrol. Lama pelaksanaan intervensi adalah 12 minggu. Hasil penelitian menunjukan tidak adanya signifikansi dalam peningkatan kualitas hidup pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p > 0.05) tetapi signifikan dalam perubahan level fatigue pada kelompok intervensi. Selanjutnya Lin, Lee, Su, Huang, and Liu (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui efek sinar infra merah terhadap fatigue pada pasien dewasa yang menjalani hemodialisa. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 61 orang dengan pembagian kelompok intervensi sebanyak 36 orang dan kelompok kontrol sebanyak 25 orang. Tempat penelitian dilakukan di Pusat hemodialisis di Taipei. Pelaku intervensi menggunakan numerator yang menyediakan pelayanan terapi infra merah. Pelaksanaan intervensi berupa pemberian sinar infra merah terhadap 4 titik yang ditentukan selama 30 menit, 3 kali seminggu dengan lama pelaksanaan penelitian selama 2 minggu. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan sinar infra merah terbukti signifikan menurunkan fatigue pada kelompok intervensi (p = 0.006) dan di kelompok kontrol (p = 0.05). 3) Relaksasi : Yoga Penelitian yang dilakukan oleh Yurtkuran, Alp, Yurtkuran, & Dilek (2007) ditujukan untuk mengetahui efek dari yoga terhadap fatigue pasien dewasa yang menjalani hemodialisis. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 40 orang terbagi menjadi 19 orang untuk kelompok intervensi dan 18 orang untuk kelompok kontrol dengan total 37 orang responden yang mengikuti penelitian sampai selesai. Tempat penelitian dilaksanakan di unit rawat jalan klinik dialisis Turki. Pelaku intervensi adalah Pelatih yoga tersentifikasi. Kelompok intervensi 281

282 diberikan latihan yoga menit, 2 kali seminggu pada hari dialisis dan kelompok kontrol menerima perawatan rutin dan anjuran untuk melakukan latihan ROM aktif selama 10 menit di rumah. Lama perlakuan selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa yoga terbukti signifikan menurunkan fatigue (p < 0.05). PEMBAHASAN Manajemen diri merupakan kemampuan individu untuk mengelola segala hal yang berkaitan dengan kondisi penyakitnya meliputi gejala fisik, psikososial, medikasi, dan perubahan gaya hidup yang biasa terjadi pada individu yang memerlukan perawatan jangka panjang akibat penyakit yang dialaminya (Johnston, Liddy, Ives, & Soto, 2008). Curtin, Sitter, Schatell, dan Chewning (2004) menyatakan bahwa manajemen diri merupakan suatu proses keterlibatan individu yang mengalami penyakit kronis dalam mengelola penyakit dan meningkatkan status kesehatannya melalui serangkaian kegiatan pemantauan dan pengelolaan tanda gejala penyakit, dampak penyakit pada fungsi sehari-hari, hubungan interpersonal, dan kepatuhan terhadap pengobatan. Fenlon & Foster (2009) menambahkan melalui manajemen diri ini, individu didorong untuk dapat membuat keputusan dan menentukan pilihan terkait dengan pengelolaan penyakitnya, beradaptasi terhadap perspektif dan keterampilan perawatan dirinya yang merupakan penerapan dari perilaku kesehatan secara mandiri, dan berupaya mempertahankan atau meningkatkan status fisik maupun psikisnya. Quinan (2007) membagi manajemen diri pada pasien hemodialisis kedalam dua domain yaitu manajemen diri pasien terhadap kesehatannya (manajemen cairan dan diet, medikasi, perawatan, komunikasi dengan tenaga kesehatan, efikasi diri, serta kepatuhan terhadap program terapi) dan manajemen diri pasien terhadap aktivitas sehari-hari (kegiatan seperti memelihara kapasitas fungsional sehari-hari dengan optimal). Program manajemen diri berusaha untuk memberdayakan pasien dalam mengelola penyakitnya dengan cara meningkatkan efikasi diri (tingkat keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam pengelolaan penyakitnya). Program latihan exercise telah dibuktikan oleh Matsumoto et al. (2007) dan Van Vilsteren, de Greef, & Huisman (2005) dapat menurunkan fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisis. Namun pada penelitian Molsted, Eidemak, Sorensen, & Kristensen (2004), latihan exercise tidak terbukti dapat menurunkan fatigue pasien hemodialisis. Dari kedua penelitian (Matsumoto, 2007; Van Vilsteren, de Greef, & Huisman, 2005) memiliki kesamaan yaitu setiap siklus exercise terdiri dari fase pemanasan, inti dan pendinginan. Kedua penelitian ini pun sama-sama menggunakan kelompok kontrol dan intervensi. Lama penelitian, metode pelaksanaan exercise dan lama durasi pemberian exercise pada kedua penelitian tersebut memiliki perbedaan. Pada penelitian Matsumoto et al. (2007), durasi intervensi exercise satu kali pelaksanaan adalah 20 menit dilaksanakan secara inten selama 12 bulan. Sementara penelitian Van Vilsteren, de Greef, & Huisman (2005) memiliki pelaksanaan intervensi yang lebih pendek yaitu selama 12 minggu, namun ada modifikasi dalam metode pelaksanaannya yaitu dengan menambahkan konseling program exercise dari konselor latihan fisik. Exercise dilakukan secara bertahap yaitu latihan sebelum dialisis selama menit diikuti siklus intradialisis menit pada 2 jam pertama dialisis, intervensi dilakukan 2-3 kali seminggu dan konseling latihan sebanyak 4 kali selama dilakukan intervensi. Kekuatan penelitian yang dilakukan oleh Matsumoto et al. (2007) adalah pelaksanaan intervensi yang lama (12 bulan) dan dilakukan secara inten dengan proses pelaksanaan bertahap dari pemanasan, inti kemudian pendinginan. Dengan intervensi yang terus menerus dan proses yang dilaksanakan dengan tepat menjadikan exercise pada penelitian ini memiliki efektifitas terhadap penurunan fatigue responden pada kelompok intervensi. Namun sayangnya pada penelitian ini tidak dilakukan perbandingan efektifitas antar kelompok sehingga tidak dapat dilihat perbedaan level fatigue pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Selain itu penelitian ini juga tidak ada power analisis sehingga dalam poin hasil dan pembahasan kurang menjelaskan secara detail terkait efektifitas exercise terhadap level fatigue pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil penelitian Van Vilsteren, de Greef, & Huisman (2005) juga dinilai memiliki kekuatan, yaitu menambahkan konseling sebagai pendampingan terhadap pelaksanaan exercise. Responden menjadi terfasilitasi dalam berdiskusi dan mendapatkan solusi dari hal-hal yang menyebabkan kebingungan. Sampel penelitian yang cukup besar (96 orang) untuk kelompok dan intervensi memungkinkan hasil penelitian lebih dapat mengeneralisasi. Kelemahan penelitian ini adalah waktu pelaksanaan intervensi cukup pendek yaitu selama 12 minggu dengan siklus exercise hanya dilaksanakan pada saat pasien menjalani hemodialisis saja. Selain itu, sama halnya dengan penelitian Matsumoto et al. (2007), penelitian ini pun tidak ada power analisis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Molsted, Eidemak, Sorensen, & Kristensen (2004) membuktikan bahwa exercise tidak signifikan menurunkan fatigue pasien. Apabila dianalisis, meskipun intervensi pada penelitian ini diterapkan secara detail, namun waktu yang dilakukan intervensi pada hari yang tidak dilakukan dialisis (selangseling). Selain itu jumlah responden sedikit dengan proporsi yang tidak seimbang antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, hal ini turut mempengaruhi tidak adanya signifikansi exercise terhadap penurunan fatigue pasien. Jika mengacu pada self management pasien HD, intervensi exercise pada ketiga penelitian ini tidak cukup memfasilitasi responden untuk dapat melakukan exercise sendiri karena intervensi dilakukan oleh peneliti ataupun ahli exercise dengan tidak adanya program pengajaran exercise terhadap responden. Setiap proses 282

283 pelaksanaan exercise dikendalikan oleh pemberi intervensi sehingga tidak terjadi peningkatan self management responden. Jenis intervensi selanjutnya adalah penggunaan sinar infra merah yang telah terbukti dapat menurunkan fatigue dalam penelitian yan dilakukan oleh Su, Wu, Lee, Wang, & Liu (2009) dan Lin, Lee, Su, Huang, & Liu (2011). Dari kedua penelitian ini terdapat kesamaan yaitu durasi setiap kali terapi infra merah selama 30 menit dan kedua penelitian ini pun sama-sama menggunakan kelompok kontrol dan intervensi. Ada beberapa hal yang berbeda diantara kedua penelitian ini yaitu prosedur pelaksanaan terapi infra merah, lama penelitian dan pelaksana intervensi sinar infra merah. Pada penelitian Su, Wu, Lee, Wang, & Liu (2009), prosedur pelaksanaan terapi infra merah dilakukan pada satu titik dengan interval pemberian terapi adalah 1 minggu. Pelaksanaan intervensi dilakukan selama 12 minggu. Su, Wu, Lee, Wang, & Liu (2009) juga membandingkan efektifitas terapi sinar infra merah dengan terapi bantal penghangat terhadap fatigue pasien. Hasil penelitian menunjukan terapi sinar infra merah lebih efektif dalam menurunkan fatigue dibanding dengan terapi bantal penghangat. Sementara pada penelitian Lin, Lee, Su, Huang, & Liu (2011), terapi inframerah dilaksanakan pada empat titik dengan interval pemberian terapi adalah 3 kali seminggu selama 2 minggu. Kekuatan penelitian Su, Wu, Lee, Wang, & Liu (2009) adalah waktu pelaksanaan intervensi yang lama, adanya analisis mengenai karakteristik kelompok intervensi dan adanya pembanding intervensi. Dengan lamanya waktu pelaksanaan terapi infra merah memungkinkan tingkat efektifitas terapi lebih meningkat dan juga dapat memberikan gambaran bahwa sinar infra merah dapat digunakan sebagai terapi jangka panjang. Analisis karakteristik pada kelompok intervensi dapat pula mengurangi bias terhadap hasil penelitian yang disebabkan faktor dari diri responden sendiri. Kekurangan dalam penelitian ini adalah tidak ada power analisis dan tidak dijelaskan secara terperinci mengenai pelaksanaan intervensi sehingga walaupun pelaksana intervensi adalah peneliti sendiri yang sudah mahir dalam penggunaan terapi infra merah tetapi bagi responden sendiri tidak mengetahui secara jelas apa yang harus dilaksanakan dan bagaimana prosedurnya, hal ini meningkatkan ketergantungan responden terhadap peneliti. Selanjutnya penelitian Lin, Lee, Su, Huang, & Liu (2011) memiliki kekuatan yaitu intervensi dijabarkan secara detail, tahap demi tahap dengan pelaku intervensi adalah orang praktisi profesional di bidang terapi infra merah dan sudah memiliki lisensi kepakaran. Hal ini menjadi penguat dan menghindari bias pada saat pelaksanaan intervensi. Durasi pemberian sinar infra merah sangat dekat sekali yaitu seminggu tiga kali yang memungkinkan efek sinar infra merah ini terjadi secara continue. Selama penelitian, tidak ada pengurangan jumlah responden. Kekurangan dari penelitian ini adalah lama pelaksanaan intervensi hanya 2 minggu saja, tidak ada power analisis dan responden harus pergi ke tempat pemberi pelayanan infra merah sehingga responden tidak dapat melaksanakan intervensi secara mandiri di rumah. Jika mengacu pada self management pasien HD, kedua penelitian mengenai penggunaan terapi infra merah tidak cukup memfasilitasi responden untuk dapat melakukan terapi sendiri melainkan harus dilakukan oleh ahli terapi sinar infra merah karena menggunakan beberapa titik yang dipercaya sebagai titik untuk menurunkan fatigue. Jika suatu ketika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk pergi ke tempat pelayanan infra merah maka terapi ini tidak dapat dilaksanakan. Keterbatasan ini merupakan faktor yang dapat menyebabkan tidak adanya proses peningkatan kemampuan diri pasien dalam mengelola fatigue. Jenis intervensi yang terakhir adalah relaksasi yoga. Penelitian yang dilakukan oleh Yurtkuran, Alp, Yurtkuran, & Dilek (2007) menunjukan keberhasilan yoga dalam menurunkan fatigue dibandingkan dengan latihan ROM. Kekuatan dari penelitian ini adalah adanya kelompok kontrol dan pelaksanaan intervensi dilakukan oleh orang yang telah tersertifkasi sehingga pelaksanaan yoga dilaksanakan sesuai dengan aturan, prosesnya bertahap dan adanya arahan saat pelaksanaan dari pelatih. Kelemahan pada penelitian ini adalah responden hanya pada wanita, sehingga hasil penelitian tidak dapat menjeneralisasi untuk semua jenis kelamin. Selain itu adanya interaksi dalam grup sebagai confounding factor yang memungkinkan antar anggota grup saling mempengaruhi dan saling memberikan justifikasi yang dapat beroengaruh terhadap hasil penelitian. Dalam durasi pelaksanaan intervensi, tidak adanya aturan yang tepat berapa lama, hanya ada aturan kisaran menit. Tidak bakunya aturan durasi ini memungkinkan adanya perbedaan perlakuan intervensi yoga setiap kali pelaksanaannya. Pelaku intervensi dalam penelitian ini adalah orang lain bukan responden sendiri, sehingga jika dikaitkan dengan self management pasien maka intervensi ini tidak dapat memfasilitasi peningkatan kemampuan pasien dalam merawat dirinya sendiri. 4. KESIMPULAN Program manajemen diri pada pasien hemodialisis berusaha meningkatkan kemandirian pasien dengan cara meningkatkan efikasi diri terkait pengelolaan penyakitnya. Seluruh program manajemen diri yang dipaparkan diatas mampu meningkatkan outcome pasien dengan meningkatkan kondisi fisik pasien terkait gejala fatigue yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien, namun pelaksanaan intervensi yang memungkinkan sebagai self management pasien adalah intervensi latihan fisik saja. Akan tetapi pelaksanaan latihan fisik ini perlu 283

284 pendampingan dari ahli untuk memantau tanda-tanda vital dan kondisi pasien secara keseluruhan setelah latihan fisik, oleh karena itu disarankan perlunya penelitian mengenai empowering intervention yang benar benar melibatkan pasien secara langsung dan pelaksanaannya dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pasien sehingga pasien dapat mengelola kondisi yang dialaminya setiap saat sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan pasien yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien. 5. DAFTAR PUSTAKA Aysem. (2009). Writing a critical review. Retrieved from: Bandura, A., Ramachaudran, V. S (ed.), (1998). Self-efficacy. Encyclopedia of human behavior. New York: Academic Press. Curtin, R. B., Sitter, D. C. B., Schatell, D., Chewning, B. A. (2004). Self-Management Knowledge and Functioning and Weil-Being of Patients on Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal. 31, 4, Dowell, S. A., Welch, J. L. (2006). Use of electronic self-monitoring for food and fluid intake: A pilot study. Nephrology Nursing Journal. 33, 3, education research. Journal of Graduate Medical Education doi: /JGME-D Evans, W.J., & Lambert, C.P. (2007). Physiological basis of fatigue. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation, 86(1, Suppl.), S29-S46. Fenlon, D., Foster, C. (2009). Self management support: a review of the evidence. Retrieved from: Griva, K., Mooppil, N., Seet, P., Sarojiuy, D., Krishnan, P., James, H., et al. (2011). The NKF-NUS hemodialysis trial protocol-a randomized controlled trial to determine the effectiveness of a self management intervention for hemodialysis patients. BMC Nephrology. 12, 4, Henry, S. L. (2014). Working for the weekend: The effect of cognitive functioning, social support, and the interdialytic interval on disease self-management among patients on hemodialysis. United States: UMI Dissertation Publishing. Jhamb, M., Pike, F., Ramer, S., Argyropoulos, C., Steel, J., Dew, M. A.,... Unruh, M. (2011). Impact of Fatigue on Outcomes in the Hemodialysis (HEMO) Study. American Journal of Nephrology, 33(6), doi: Johnston, S., Liddy, C., Ives, M. S., Soto, E. (2008). Literature review on Chronic Disease Self-Management. Ontario: Elisabeth Bruyere. Lin, C. H., Lee, L. S., Su, L. H., Huang, T. C., & Liu, C. F. (2011). Thermal therapy in dialysis patients A randomized trial. The American Journal of Chinese Medicine, 39(5, doi: doi: /s x x Lingerfelt, K., Thornton, K. (2011). An educational project for patients on hemodialysis to promote selfmanagement behaviors of end stage renal disease. Nephrology Nursing Journal. 38, 6, Matsumoto, Y., Furuta, A., Furuta, S., Miyajima, M., Sugino, T., Nagata, K., & Sawada, S. (2007). The impact of pre-dialytic endurance training on nutritional status and quality of life in stable hemodialysis patients (Sawada study). Renal Failure, 29(5), doi: / Moattari, M., Ebrahimi, M., Sharifi, N., & Rouzbeh, J. (2012). The effect of empowerment on the self-efficacy, quality of life and clinical and laboratory indicators of patients treated with hemodialysis: a randomized controlled trial. Health and Quality of Life Outcomes, 10, 115. doi: Morsch, C. M., Goncalves, L. F., & Barros, E. (2006). Health-related quality of life among haemodialysis patients: Relationship with clinical indicators, morbidity and mortality. Journal of Clinical Nursing, 15(4), O'Sullivan, D., & McCarthy, G. (2009). Exploring the Symptom of Fatigue in Patients with End Stage Renal Disease. Nephrology Nursing Journal, 36(1), 37-39,

285 Quinan, P. (2007). Control and coping for individuals with end stage renal disease on hemodialysis: A position paper. The CANNT Journal. 17, 3, Richard, C. J. (2006). Self-Care Management in Adults Undergoing Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal. 33, 4, Su, L.H., Wu, K.D., Lee, L.S., Wang, H., & Liu, C.F. (2009). Effects of far infrared acupoint stimulation on autonomic activity and quality of life in hemodialysis patients. The American Journal of Chinese Medicine, 37(2), Thomas-Hawkins, C., & Zazworsky, D. (2005). Self-management of chronic kidney disease: Patients shoulder the responsibility for day-to-day management of chronic illness. How can nurses support their autonomy?. American Journal of Nursing, 10 5( 10), van Vilsteren, M.C., de Greef, M.H., & Huisman, R.M. (2005). The effects of a low-to-moderate intensity preconditioning exercise programme linked with exercise counselling for sedentary haemodialysis patients in the netherlands: Results of a randomized clinical trial. Nephrology, Dialysis, Transplantation, 20(1), doi: /ndt/gfh560 Yurtkuran, M., Alp, A., Yurtkuran, M., & Dilek, K. (2007). A modified yogabased exercise program in hemodialysis patients: A randomized controlled study. Complementary Therapies in Medicine, 15(3)( ). doi: doi: /j.ctim

286 SELF CARE MANAGEMENT PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2: STUDI FENOMENOLOGI PADA PESERTA PROLANIS DI PUSKESMAS KOTA BANDUNG SALAMI 1 1 Departemen Keperawatan Komunitas Program Studi S1 Keperawatan STIKes Aisyiyah Bandung amiesuyanto@gmail.com. ABSTRAK Diabetes Mellitus tipe 2 atau DM tipe 2 disebut sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat berkurangnya sensivitas sel terhadap insulin. DM tipe 2 merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang sangat ditakuti karena dapat menimbulkan kematian dini dan komplikasi yang serius.keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 membutuhkan keseriusan dan penanganan yang komprehensif baik dari penderita, keluarga masyarakat dan pemerintah. Self care management atau pengelolaan penyakit secara mandiri/ self care management oleh penderita merupakan kunci utama keberhasilan penatalaksanaan penyakit ini. Data dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 7,6 juta dan dari jumlah tersebut 50% yang menerima perawatan, dan dari yang menerima perawatan tersebut hanya 1/3-nya yang berhasil mencapai target perawatan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui Program Penanggulangan Penyakit Kronis (Prolanis). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui secara lebih mendalam perilaku penderita DM tipe 2 yang mengikuti prolanis di Puskesmas Kota Bandung. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak tujuh orang. Design penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi. Pengambilan data secaraindept interview, dengan menggunakan alat perekam. Hasil wawancara yang sudah direkam dibuat verbatim dan dianalisis secara tematik. Teknik analisis yang digunakan dengan Metode Collaizi. Ditemukan enam tema hasil penelitian yaitu diet yang dilakukan, program olahraga, penggunaan pengobatan tradisonal, diskriminasi, dukungan sosial dan harapan kepada petugas kesehatan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan pada petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan pada pasien DM tipe 2 bukan hanya berdasarkan aspek medis saja, tetapi berbasis pada perspektif pasien. Kata Kunci: DM tipe 2, Fenomenologi, Metode Collaizi,Prolanis, Self care management 1. LATAR BELAKANG DM tipe 2 adalah penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat berkurangnya sensivitas sel terhadap insulin. Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang sampai saat ini belum bisa disembuhkan, olah karena itu untuk mempertahankan kualitas hidup, penderitanya harus mampu melakukan pengelolaan diri dengan baik. Prevalensi DM tipe 2 terus meningkat, seiring dengan berubahnya demografi kependudukan karena meningkatnya urbanisasi dan gaya hidup sedentaris.penyakit ini sangat ditakuti karena dapat menimbulkan kematian dini dan komplikasi yang serius. Laporan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2012, penderita DM di Indonesia mencapai 8,4 juta jiwa dan pada tahun 2030 diprediksi akan mencapai angka 21,3 juta jiwa, dan termasuk sepuluh besar negara dengan penderita DM terbanyak di dunia.dalam hal pengelolaan penyakit DM, kondisi Indonesiamemprihatinkan. Data dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) tahun 2011 menunjukkan, dari jumlah penderita DM tipe 2 yang ada, hanya 50% yang menerima perawatan, dan dari yang menerima perawatan tersebut hanya 1/3-nya yang berhasil mencapai target perawatan. Berdasarkan pola mortalitas, penyakit ini menempati sepuluh besar penyakit di unit rawat jalan, unit rawat inap, dan untuk pola kematian di Rumah Sakit. Data-data di atas menunjukan bahwa penyakit DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan yang serius, yang apabila tidak dilakukan penanggulangan dengan tepat, kondisi ini akan berdampak pada masalah kesehatan yang merugikan. Langkah-langkah strategis telah dilakukan oleh pemerintah melalui Direktorat Penanggulangan Penyakit Tidak Menular, diantaranya dengan cara peningkatan kapasitas sumber daya kesehatan, baik untuk pelayanan di Puskesmas, maupun untuk kegiatan Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Strategi ini sinergis dengan progam PT Askes (sekarang BPJS) yang mengelola asuransi kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang meluncurkan Program Penanggulangan Penyakit Kronis (Prolanis) sejak tahun Saat ini program utama Prolanis adalah Program penanggulangan penyakit DM tipe 2 (PPDM). Program ini sudah dilaksanakan dibeberapa Puskesmas di Kota Bandung. Pelaksanaan program tersebut merujuk pada tujuh pilar pengelolaan DM yaitu konsultasi medis, edukasi kelompok, pelayanan obat yang cepat dan terintegrasi, pemantauan kesehatan, aktivitas klub, reminder dan home visit. Pelaksanaan prolanis di Puskesmas lebih kearah promotif-preventif dan secara rutin melakukan pemantauan kesehatan peserta sebulan sekali, senam DM seminggu sekali, edukasi sebulan sekali, pemeriksaan glukosa darah puasa dan dua jam post pandrial sebulan sekali serta pemeriksaan HbA1c setahun sekali. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya yang baik dalam menanggulangi penyakit DM, tetapi tanpa peran penderita hasilnya tidak akan optimal, hal ini disebabkan penderitalah yang secara langsung akan melakukan pengelolaan penyakit mulai dari minum obat, melakukan olahraga, menjaga diet, mengelola stress 286

287 dan melakukan pencegahan komplikasi.oleh karena itu, self care management yang dilakukan penderitaterhadap pengelolaan penyakit merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 12 Oktober 2013 dengan tiga orang penderita DM yang berobat ke Puskesmas di Kota Bandung diperoleh data bahwa penderita DM tipe 2 melakukan pengelolaan penyakitnya dengan cara berbeda, satu orang mengatakan bahwa penyakit ini pemberian Tuhan jadi harus diterima agar menjadi penggugur dosa, sehingga semua usaha dilakukannya. Satu orang merasakan kesulitan mengontrol diet karena kebiasaan makan yang susah dirubah. Uraian fenomena di atas merupakan sebagian kecil dari pengalaman penderita DM tipe 2 dalam melakukan pengelolaan penyakit dan masih banyak respon lain yang belum terungkap. Respon individu terhadap penyakit kronis seperti DM ini akan berbeda, tergantung pada pengalaman masa lalu, persepsi terhadap penyakit, emosi, pemecahan masalah, dan proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya akan terwujud dalam tindakan seseorang dalam melakukan pengelolaan penyakit. Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk menggali secara lebih mendalam tentang fenomena yang ada, untuk mengetahui bagaimana pengalaman penderita dalam melakukan pengelolaan penyakitnya. Cara tepat untuk mendalami pengalaman hidup penderita DM dalam mengelola penyakitnya adalah dengan melakukan penelitian dengan metode penelitian kualitatif. Dengan metode penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang bagaimana penderita DM tipe 2 melakukan pengelolaan diri. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Polit and Beck (2010) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang secara naturalistik berguna untuk mempelajari fenomena di tempat kejadiannya. Partisipan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan purposive sampling yang sesuai dengankriteria inklusi. Jumlah partisipan sebanyak tujuh orang. Pengambilan data dengan menggunakan tape recorderkemudian dibuat verbatim, pada Nopember 2013 sampai dengan Januari2014. Hasil verbatim dianalisis dengan menggunakan metode Colaizzi, Keandalan data penelitian (Trustworthiness) dilakukan dengan memenuhi prinsipcredibility, dependeability, confirmability, transferability. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Karakteristik Partisipan Usia partisipan dalam penelitian ini antara 55 th sampai dengan77 tahun, semua partisipan berdomisili di Bandung, Pendidikan 2 orang SMP, 3 orang SLTA, 1 orang S1, 1 orang S3. Pekerjaan partisipan 3 orang Ibu RT, 3 orang pensiunan, 1 orang dosen. Keseluruhan partisipan beragama Islam. Berdasarkan suku, empat orang partisipan bersuku Sunda dan tiga orang bersuku Jawa. Berdasarkan jenis kelamin terdiri dari empat laki-laki dan tiga perempuan. Rentang terlama menderita DM yaitu dua belas tahun, dan yang terbaru dua tahun. b. Hasil Analisis Tema Tema-tema yang teridentifikasi dari hasil wawancara. terdiri dari tujuh tema. Berikut ini uraian secara rinci tema-tema tersebut : 1) Melakukan pengobatan medis dan komplementer Dari penelitian ini teridentifikasi bahwa dalam mengelola penyakit, mayoritas partisipan menggunakan pengobatan medis,seperti diungkapkan oleh beberapa partisipan berikut ini: Berobatnya ke puskesmas, dapat metformin, minum satu pagi-pagi setelah sarapan minum obatnya ga pernah lupa. (P1) Saya rutin minum obat..., saya dapat 2 macam: glukodek sebelum makan.. (P-7) makan dan metformin setelah Semua partisipan tidak ada masalah dalam mengkonsumsi obat medis oral, meskipun satu orang pernah mengalami efek samping tetapi bisa diatasi, sebagaimana disampaikan oleh partisipan tiga. Disamping menggunakan terapi obat oral, beberapa partisipan mengkombinasikan dengan terapi komplementer sebagaimana disampaikan oleh partisipan berikut ini : waktu saya dikasih glukobay saya ga cocok, gak enak perut kayak mau BAB padahal tidak...saya lalu komplen ke dokter dan obatnya sekarang sudah diganti. (P-3) Ibu juga dibekam...kalo sudah dibekam rasanya jadi enteng ke badannya (P-5) 287

288 Bapa ikut terapi di happy dream, tiap hari ke sana...tidur-tiduran di matras kerasanya enak aja, ke badan...gak kaku.. (P-6) selain berobat rutin, sejak bulan September saya juga makan garcia, kulit manggis... herbal, obat itu kan single user...disamping itu obat juga ada efek samping, kreatinin saya sempat tinggi. (P-7) Saya..juga ke alternative... terapinya, seluruh tubuh dicambuk dan dicubit-cubit sampe biru, disuruhnya sih seminggu tiga kali tapi saya baru dua kali berhenti, soalnya gak kuat sakit sekali...(p-3) 2). Modifikasi Diet yang Dilakukan Tema kedua yang teridentifikasi yaitu modifikasi diet yang dilakukan. Diet merupakan faktor penting dalam keberhasilan penyakit DM. Seperti diungkapkan oleh partisipan dibawah ini: Makan-nya dari beras raskin itu katanya kadar gulanya rendah, soalnya ga pulen, (P-1) Makan biasanya pake beras merah, untuk minumnya pagi-pagi pake tropikana slim, kalo lagi males pesen saja ke catering sehat... (P-4) Makannya diatur, kalo pagi sarapan pake lontong siang ga makan nasi ketemu nasinya nanti pas sore hari... (P-5) Meskipun beberapa partisipan memiliki kesadaran dalam pembatasan makanan, namun kadang ada pula ketidakpatuhan yang dilakukan. Seperti diungkapkan beberapa partisipan berikut ini: suka ngemil biskuit, padahal gak boleh...tapi suka ada yang ngasih (P-4)...kadang-kadang ditabrak juga...itu mah kalo lagi nakal, Jadi apa yang Bapa pengen ya... makan saja... (P-6) Tapi kalo ke undangan ya makan aja yang ada,... susah nyegahnya hehee. (P-3)...biasanya kalo sedang ngajar di luar kota atau pelatihan di hotel...disitu kan segala jenis makanan ada, biasanya kalo, sudah sarapan roti rasanya masih belum makan hehehe...pagi udah sarapan, jam 10dapet lagi snack (P-7) 3). Kegiatan Olah Raga yang Dilakukan Hasil wawancara menunjukan bahwa beberapa partisipan melakukan olah raga sesuai dengan kemampuannya Seperti ungkapan partisipan berikut ini: Ibu olahraga kaki, taroh koran di bawah kaki dan korannya dirobek-robek pake jari-jari kaki (sambil memperagakan) kemudian digulung-gulung dibentuk bola, itu yang ngajarin anak PKL (P-1) ikut senam tiap Jumat di puskesmas, kalo Minggu ikut senam di RT senam lansia gerakan nya juga ringan-ringan (P-8) setiap hari kecuali Senin Kamis, jalan keliling 4 kali kira-kira satu jam-lah...kalo cape berhenti terus jalan lagi.. (P-7) tiap hari, senam jantung di lapang Lodaya ikut club jantung sehat. (P-3) 4). Melakukan praktik spiritual untuk mencapai kepasrahan Praktik spiritual dalam mengelola penyakit, juga dilakukan oleh beberapa partisipan. Beberapa partisipan mengaku mengikuti pengajian karena menurutnya memberikan perasaan pasrah dan ada juga rasa syukur. Seperti diungkapkan partisipan satu dan tiga berikut ini: Ibu mah ikutan pengajian, meski dikasih penyakit seperti ini, alhamdullilah tidak seperti yang lain kalau kaki gatal terus digaruk juga ga papa, ga jadi borok. (P-1) 288

289 Agama juga pengaruh sekali, saya juga ikut beberapa taklim, kemarin saya ikut taklim di Babussalam...supaya lebih pasrah. (P-3) 5). Pencegahan komplikasi yang dilakukan Beberapa partisipan melakukan pencegahan komplikasi hal ini karena mereka mengikuti edukasi tentang penyakitnya di Puskesmas. berikut adalah penuturannya: Dulu kalo di rumah pake sendal jepit biasa, sekarang sendalnya kayak gini tertutup. (P-4) Kaki dicek pagi-pagi, caranya kaya ruku pas shalat...diliat satu-satu jari...itu diajarin di prolanis (P-3) Partisipan tujuh berusaha menurunkan berat badan yang diyakininya akan menurunkan lemak perut, sehingga mengurangi komplikasi ke jantung. Berikut penuturan partisipan tujuh :.saya sedang target menurunkan berat badan, kata dokter berat badan saya masih harus diturunkan dua kilo lagi sekarang masih 72, mungkin kalo berat badan turun, lemak perut juga turun jadi dapat mengurangi komplikasi ke jantung (P-7) Kalo sedang jengkel sama cucu biasanya gula bisa naek...makanya pikiran kita harus tenang...kalo lagi marah Ibu langsung wudlu (P-1) 6). Dukungan Sosial yang diperoleh Dukungan keluarga, teman dan petugas kesehatan menjadi faktor pendorong motivasi partisipan dalam mengatur hidup dan mengelola penyakitnya, seperti diungkapkan oleh partisipan berikut ini: Yang banyak memberikan support itu istri saya, kalo di rumah saya kerja terus depan computer, biasanya istri saya yang ngingetin...kasih majalah tentang kesehatan jadi inget terus kalo kita itu orang sakit... (P-7) Partisipan enam dan tujuh mengatakan mendapatkan manfaat yang banyak dari keikutsertaannya menjadi peserta prolanis seperti diungkapkan berikut ini: Di prolanis lebih enak jadi ga repot, Kalo disini dua minggu sekali dapat penyuluhan.ibu pernah ga kontrol-kontrol 2 bulan, di sms, petugas disini tuh lebih perhatiin kita (P-6) Di Prolanis ini banyak sekali manfaatnya... diantaranya ya...silaturahmi, Belajar dari pengalaman orang lain, itu.penting karena saling menguatkan (P-7) Di prolanis itu senang, apalagi rumah dekat jadi gak perlu ke Salamun, di sini juga banyak temen lansia jadi bisa cerita-cerita ketawa-ketawa...(p4) 7). Harapan terhadap Petugas Kesehatan Tema lain yang teridentifikasi adalah harapan terhadap petugas kesehatan. Seperti dituturkan oleh beberapa partisipan berikut ini: Pengennyasih dokter ga beda-beda kalo kasih tahu biar ibu ga bingung (P-1) Sedangkan partisipan dua yang menjadi pengurus PNPM, mengharapkan adanya penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan sampai di tingkat RT berikut penuturannya: Petugas mestinya turun ke lapangan ke RT-RT kasih penyuluhan...tentang gula banyak itu Neng, di Bapa saja..satu RT sampe 10 orang lebih...masyarakat itu suka males ke puskesmas...ga ada waktu... (P-2) Mestinya petugasnya juga ikut olah raga...bentuk support juga itu itu..., nambah semangat juga karena banyak yang muda-muda heheh (P-7) 289

290 Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan partisipan selama mereka mengelola penyakit DM membentuk tujuh tema yaitu pengobatan medis dan komplementer yang dilakukan, modifikasi diet yang dilakukan, aktivitas fisik yang dilakukan, praktik spiritual untuk mencapai kepasrahan, pencegahan komplikasi, supprt system dan harapan kepada petugas kesehatan. Hal tersebut merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh partisipan dalam mengelola penyakitnya. Hal ini selaras dengan penelitian kualitatif di Pakistan yang dilakukan oleh Ijaz and Ajmal (2011) yang mendukung temuan ini, di mana hasil penelitian membuktikan bahwa penderita DM diabetes mengelola diabetes melalui perencanaanterapi, diet, agama, olah raga. Dalam hal pengobatan, hampir seluruh partisipan melakukan upaya penatalaksanaan terapi medis, berobat ke layanan kesehatan dan rutin meminum obat yang diberikan, tetapi ada beberapa partisipan lainnya mengkombinasikan keduanya. Secara umum DM dapat diatasi dengan obat-obatan antidiabetes yang secara medis disebut obat hipoglikemia oral (OHO). Penggunaan obat ini diharapkan dapat menurunkan kadar glukosa darah (Soegondo dkk, 2011). Berdasarkan jenis obat yang diberikan, mayoritas partisipan mengkonsumsi OHO lini pertama yaitu metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan DM tipe 2, hal ini karena tingkat HbA1c beberapa partisipan kurang dari 8%, obat ini disamping memiliki efek netral terhadap penurunan berat badan dan biaya rendah serta tersedia di Puskesmas. Pengkombinasian terapi medis dan komplementer yang dilakukan, menurut partisipan adalah karena adanya kekhawatiran akan efek samping obat medis dan juga manfaat langsung yang dirasakan oleh partisipan setelah melakukan terapi komplementer, seperti badan tidak kaku. Dalam hal modifikasi diet, pemahaman pentingnya mengatur diet, tampak dari adanya kesadaran partisipan dalam hal makan.temuan yang didapatkan yaitu partisipan berusaha mengatur pola makan, membatasi dan mengurangi makan, hati-hati dalam hal makan, memilih makanan sampai mengganti gula biasa dengan gula tropikana slim. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kadar gula di dalam darah, dan tetap memenuhi kebutuhan nutrisi untuk menghasilkan sumber energi yang diperlukan. Hal tersebut selaras dengan konsensus PERKENI (2011) bahwa standar diet yang dianjurkan dengan komposisi seimbang, berupa karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-25%). Temuan lain adalah adanya ketidakpatuhan dalam hal pengaturan makan. Hal ini disebabkan kondisi budaya yang belum memberikan menu khusus pada penderita ketika momen momen tertentu seperti hari raya ataupun pelatihan. Tema berikutnya adalah kegiatan olahraga yang dilakukan. Olahraga pada penderita DM memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan kadar gula darah, dimana saat melakukan latihan fisik terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif, sehingga secara langsung dapat menyebabkan penurunan glukosa darah.selain itu dengan latihan fisik dapat menurunkan berat badan, meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan respirasi, menurunkan LDL dan meningkatkan HDL sehingga mencegah penyakit jantung koroner apabila latihan yang dilakukan sesuai dengan program yang seharusnya.partisipan dalam penelitian ini telah berupaya melakukan senam lansia, jalan kaki dan senam jantung serta merasakan manfaat olahraga yang dilakukan. Berkaitan dengan pencegahan komplikasi, tiga partisipan melakukan perawatan kaki tetapi belum mencakup semua dimensi perawatan kaki.perawatan kaki yang dilakukan oleh partisipan sebatas pemakaian sandal didalam dan diluar rumah serta satu orang partisipan melakukan inspeksi kaki dengan teknik seperti gerakan ruku dan ini adalah hasil edukasi di Prolanis. Perawatan kaki merupakan salah satu pilar pengelolaan penyakit yang penting, karena bermanfaat dalam mencegah ulkus diabetikum yang seringkali berujung pada amputasi. Praktik spiritualyang dilakukan oleh partisipan adalah tema lain yang ditemukan. Beberapa partisipan mengaku setelah didiagnosis menderita DM tipe 2 menjadi sering ke pengajian karena merasa lebih memberikan rasa pasrah, bahkan bersyukur penyakitnya lebih ringan dari penderita lainnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian kualitatif yang dilaporkan oleh Gupta, et.al (2014) bahwa spritualitas merupakan variabel yang penting dalam melakukan self care dan berhubungan erat dengan kekuatan dan harapan. Tema lain yang muncul adalah dukungan sosial yang merupakan aspek sangat penting bagi penderita. Dukungan sosial yang didapatkan oleh partisipan dalam penelitian berasal dari dari keluarga, teman dan juga petugas kesehatan. Menurut penelitian Yusra (2010) tentang hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien DM tipe 2 bahwa dukungan keluarga meningkatkan kualitas hidup pasien sebesar 35%. Dukungan sosial diketahui memiliki korelasi langsung dengan tingkat kepatuhan penderita penyakit kronis. Harapan terhadap petugas kesehatan merupakan tema ke tujuh yang teridentifikasi. Harapan partisipan terhadap petugas kesehatan adalahmenekankan pentingnya tenaga kesehatan memahami karakteristik pasien secara mendalam bagaimana sulitnya mengelola penyakit DM. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki kebiasaan yang berbeda-beda, demikian pula dengan kondisi lingkungan, permasalahan, dan kesulitan yang berbeda-beda pula. Dengan adanya tenaga kesehatan memahami hal ini, maka diharapkan partisipan yang diberikan edukasi oleh petugas akan dapat diterapkan dengan mudah oleh pasien dan keluarga.pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan olehxu Y, et.al (2008) di China, bahwa faktor yang berhubungan secara langsung dengan perilaku pengelolaan penyakit DM tipe 2 adalah komunikasi 290

291 dengan petugas kesehatan, karena komunikasi yang dibangun antara petugas kesehatan dan penderita, akan berpengaruh terhadap tingkat pengelolaan penyakit. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa self care management oleh partisipan DM tipe 2 ditemukan tujuh tema yaitu penggunaan pengobatan medis dan komplementer, modifikasi diet, program olahraga, praktik spritual, pencegahan komplikasi, dukungan sosial dan harapan kepada petugas kesehatan.dan ada pula upaya dalam melakukan pengelolaan penyakit yang tidak aman yaitu penggunaan terapi komplementer dengan cara dicambuk yang menyakiti tubuh partisipan, sehingga hal ini membutuhkan tindak lanjut dalam hal edukasi terhadap penderita dan keluarga dalam memilih terapi komplementer. Serta harus lebih memperhatikan pengelolaan terapi berdasarkan perspektif pasien agar edukasi yang diberikan lebih tepat. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada seluruh partisipan yang telah berkontribusi, Kepala Puskesmas dan pengelola PPDM, serta Stikes Aisyiyah Bandung yang telah memberikan dana untuk penelitian hingga publikasi. 6. DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association. (2013). Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus. Diabetes Care, volume 36. Asuransi Kesehatan. (2010). Program Penanggulangan Penyakit Kronis. Infokes. Dnas Kesehatan Kota Bandung. (2011). Profil Kesehatan Kota Bandung. Bandung: Dinas Kesehatan Kota Bandung. Gupta, P., Anandarajah, G. (2014). The Role of Spirituality in Diabetes Self Management: In Urban, Underserved Population : Aqualitative Study. Rhode Island Medical Journal Spirituality & Medicine, International Diabetes Federation. (2011). Global Diabetes Plan www. Idf. Org. International Social Security Association. (2012). Health In Health Insurance for Government Employee Indonesia. Perkeni. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. Polit, DF., Beck, CT. (2010). Essentials of Nursing Research : Appraising Evidence for Nursing Research. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. Shirmen Ijaz,. Ajmal. A. (2011, Vol 9). Experiencing Type II Diabetes In Pakistan. Journal of Social and Clinical Psychology, Soegondo, S., Soewondo P, Subekti I (2011). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: FK UI. Xu Y,. Toobert D.,Savage,C.,Pan W, Whitmer K (2008). Factors Influencing Diabetes Self Management In Chinese People With Type 2 Diabetes. Diaberes Nurs Health, December 31: 163. Yusra, A. (2010). Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Diabetes Mellitus Tipe 2 di RS Fatmawati. Jakarta: Prodi magister Fakultas Ilmu keperawatan UI. 291

292 PENGARUH METODE PRECEPTORSHIP DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PENINGKATAN KOMPETENSI KLINIS MAHASISWA KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS PROVINSI SULAWESI TENGGARA Santhy Program Studi Magister Keperawatan Universitas Hasanuddin Abstrak -Latar Belakang: Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Mamchur & Myrick (2003) menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa yang tidak kompeten sebanyak 42 % hal ini disebabkan oleh kendala dalam pengelolaan pembelajaran klinik, seperti perbedaan persepsi tentang pembelajaran praktik klinik antara pembimbing dari institusi dan pembimbing di klinik serta jumlah pembimbing di klinik belum memadai baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menghadapi kendala tersebut maka diperlukan pengelolaan belajar praktik klinik dengan menggunakan proses preceptorship yang meliputi bimbingan secara langsung kepada mahasiswa selama praktik dan pencapaian hasil belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode preceptorship dan motivasi belajar serta pengaruh karakteristik mahasiswa keperawatan terhadap peningkatan klinis di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi ekperimen dengan menggunakan One Group Pretest and Posttest Design dan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian ini menggunakan pertanyaan objektif, kuesioner dan daftar cek (cheklist). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 60 orang pada mahasiswa program Ners. Data dianalisa secara univariat dan bivariat. Hasil penelitian:ada pengaruh yang bermakna antara penerapan metode preceptorship dan motivasi belajar terhadap kompetensi klinis dengan nilai p 0,05. Interaksi metode preceptorsip dan motivasi belajar dengan nilai p 0,05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna dalam interaksi antara metode preceptorship dengan motivasi belajar terhadap kompetensi klinis responden Kesimpulan dan Saran:Penerapan metode preceptorship dan motivasi belajar mempengaruhi kompetensi klinis mahasiswa. Oleh karena itu diharapkan lahan praktik tetap mendorong preceptor untuk senantiasa menerapkan metode preceptorship dalam praktik klinik keperawatan. Kata kunci : Metode preceptorship, motivasi belajar, kompetensi klinis 1. LATAR BELAKANG Proses pembelajaran pada pendidikan klinis merupakan komponen yang sangat penting dalam mempersiapkan tenaga kesehatan menjadi klinisi yang profesional. Pembelajaran klinis sangat kompleks dan keberhasilan sasaran pembelajarannya dipengaruhi beberapa faktor, maka perlu dilihat bagaimana bentuk-bentuk pembelajaran klinis yang diterapkan pada berbagai institusi pendidikan keperawatan (Billay, 2004). Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) menyatakan bahwa proses pembelajaran klinis memberikan manfaat yang sangat besar dan menyenangkan bagi peserta didik, akan tetapi proses ini lebih banyak tantangannya. Pengalaman belajar langsung di rumah sakit mengharuskan peserta didik terlibat langsung dalam melakukan penatalaksanaan dengan pasien dengan petugas medis lainnya (AIPNI, 2010). Untuk dapat memberikan bimbingan yang baik dan optimal kepada mahasiswa seorang pembimbing klinik keperawatan harus memahami sasaran kompetensi pendidikan. Salah satu kompetensi utama perawat dalam kurikulum profesi ners tahun 2010 yaitu sebagai care provider (pemberi asuhan keperawatan) yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara efektif, aman, dan bermutu tinggi (KKNI, 2013). Menurut undang-undang keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 mengenai kewenangan praktik keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan, oleh karenanya mahasiswa keperawatan diwajibkan memiliki kompetensi tersebut (UU RI No 38 Tahun 2014). Hal ini menunjukkan bahwa perawat memiliki kewajiban profesi untuk mendukung peserta didik dalam upaya mereka untuk memperbaiki dan mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk melakukan praktik yang aman, etis dan efektif. Praktik klinis adalah bagian kompleks pendidikan keperawatan, dan perawat yang bertindak sebagai preceptors untuk mahasiswa keperawatan menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diatasi selama proses precepting. Untuk dapat memberikan bimbingan yang baik dan optimal kepada mahasiswa seorang pembimbing klinis harus memahami sasaran kompetensi pendidikan dan pentingnya proses kepaniteraan klinik (Kaviani & Stilwel 2000, Ehrenberg & Ha ggbloom 2007). Menurut Kaviani & Stilwel 2000, Ehrenberg & Ha ggbloom 2007 Praktik klinik keperawatan sangat penting bagi mahasiswa keperawatan, karena hal tersebut dapat meningkatkan kompetensi klinis. Praktik klinik keperawatan dapat berjalan dengan baik jika ditunjang oleh tenaga pendidik dan pembimbing klinik yang baik, untuk menjadi pendidik klinis yang baik, harus memenuhi kriteria yaitu mempunyai persiapan yang baik dan terstruktur, mempunyai skill klinis yang baik, memiliki self efficacy, bertanggung jawab, mampu memberikan penjelasan dan jawaban, peserta didik mudah menghubungi pembimbing untuk berkonsultasi, menjadi teladan yang baik, tidak menimbulkan kecemasan peserta didik, memberikan motivasi, antusias dalam proses pendidikan dan pengembangan profesional peserta didik,serta memberikan umpan balik yang konstruktif (Mamchur & Myrick, 2003). Temuan dari studi wawancara oleh Luhanga, Billay, Grundy, & Myrick pada tahun 2010 menunjukkan bahwa keberhasilan supervisi klinis tergantung pada kemampuan institusi pendidikan untuk membuat kerangka kerja yang mendukung dan pembimbing instititusi memiliki waktu untuk mengawasi mahasiswa. 292

293 Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Mamchur & Myrick (2003) menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa yang tidak kompeten sebanyak 42 % hal ini disebabkan oleh kendala dalam pengelolaan pembelajaran klinik, seperti perbedaan persepsi tentang pembelajaran praktik klinik antara pembimbing dari institusi dan pembimbing di klinik serta jumlah pembimbing di klinik belum memadai baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menghadapi kendala tersebut maka diperlukan pengelolaan belajar praktik klinik dengan menggunakan proses preceptorship yang meliputi bimbingan secara langsung kepada mahasiswa selama praktik dan pencapaian hasil belajar. Perbedaan penerapan metode pembelajaran preceptorship dengan konvensional adalah berdasarkan optimalisasi komponen/kondisi dalam proses belajar dan di klinik yang berbeda, seperti tempat praktik yang menunjukkan situasi dan keadaan fisik (tempat belajar) serta proses bimbingan itu sendiri, meliputi pembimbing lapangan atau preceptors, metode pembelajaran, teknik mengajar dan program pelaksanaan praktik klinik(myrick & Younge, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Malini dan Huriani (2006) didapatkan bahwa metode pengajaran klinik yang telah diterapkan selama ini kurang meningkatkan kompetensi klinik para mahasiswa. Kurangnya pencapaian kompetensi ini mempengaruhi kesiapan para alumni pada saat bekerja di dunia nyata. Untuk itulah diperlukan metode pembelajaran klinik baru pada mahasiswa yaitu dengan menggunakan metode preceptorship. Beberapa masalah yang berkaitan dengan pengajaran klinis yaituwaktu praktik klinik keperawatan yang terlalu pendek,latar belakang pendidikan instruktur klinis yang bervariasi, kerjasama yang kurang baik antara pendidikan tinggi dan layanan penyedia, dan tidak ada waktu khusus untuk pengawasan dan mengajar di lahan praktik (Ohrling & Halberg, 2007).Permasalahan penyelenggaraan pendidikan keperawatan di Indonesia adalah pembimbing klinik yang kurang yaitu rasio pembimbing mahasiswa rata-rata 1:30-40 sebanyak 87% (standar 1:10), biaya praktik mahasiswa ke rumah sakit sangat mahal berkisar s.d /mhs/bln, perbandingan antara jumlah rumah sakit dengan institusi pendidikan 1:8, penggunaan fasilitas RS terbatas, seperti; sarung tangan, jarum infus, alat suntik, kapas steril, dll. Sebanyak 80%.Mahasiswa tidak mendapatkan bimbingan klinik yang memadai, baik oleh pembimbing rumah sakit maupun oleh institusi pendidikan, 95% menyatakan fungsi-fungsi manajemen (planning, organizing, directing, controlling dan actuiting) belum dilaksanakan optimal dalam pelaksanaan pendidikan klinik. Sehingga tujuan penyelenggaran pendididikan keperawatan tidak tercapai dimana lulusan tidak bisa diserap oleh pemangku kepentingan atau pengguna karena ketrampilan dan kompetensi yang tidak memadai serta jika melakukan kegiatan praktik dapat membahayakan nyawa pasien, Dinas kesehatan tidak dapat mengeluarkan ijin sebagai tenaga kesehatan yang disebut Surat Ijin Perawat (Hadi, 2015). Giyanto (2010) menjelaskan selain penyebab eksternal (pembimbing dan lingkungan klinis praktik keperawatan), terdapat penyebab internal dari pihak mahasiswa yang mengakibatkan kurangnya kompetensi klinis mahasiswa dalam mengikuti praktik klinik keperawatan. Penyebab internal tersebut adalah rendahnya motivasi belajar. Tidak seluruh mahasiswa tertarik atau berminat terhadap praktik klinik keperawatan. Mahasiswa cenderung bersikap dan berperilaku sebaliknya. Dari hasil penelitian Giyanto (2010) terdapat perbedaan yang bermakna antara peningkatan kompetensi komunikasi terapetik pada kelompok responden dengan motivasi belajar tinggi dengan kelompok responden dengan motivasi belajar rendah. Data di Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara jumlah pembimbing praktik klinik adalah 67 orang sesuai dengan surat keputusan direktur RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 23 Tahun Pembimbing klinik yang telah mengikuti pelatihan preceptorship sejumlah 35 orang, dengan jumlah mahasiswa keperawatan yang mengikuti praktik keperawatan untuk tahun 2013 adalah 1996 dan untuk tahun 2014 sejumlah 2699 (Litbang RSU Bahteramas, 2015). Tabel 1. Data Preceptor Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara No Pernah mengikuti Pelatihan Preceptorship Belum mengikuti Total pelatihan preceptoship Sumber : Litbang RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Data tersebut menunjukkan bahwa perbandingan jumlah preceptee dan preceptor yang tidak sesuai. Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penerapan metode preceptorship dan motivasi belajar terhadap peningkatan kompetensi klinis pada mahasiswa keperawatan di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan metode preceptorship terhadap peningkatan kompetensi klinis mahasiswa keperawatan di Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Tujuan Khusus a. Menilai besar peningkatan kompetensi klinis mahasiswa sebelum dan setelah melakukan praktik klinik keperawatan dengan penerapan metode preceptorship. b. Mengetahui pengaruh motivasi belajar mahasiswa dalam mengikuti praktik klinik keperawatan terhadap kompetensi klinis mahasiswa keperawatan. c. Mengetahui pengaruh metode preceptorship dan motivasi belajar terhadap kompetensi klinis mahasiswa keperawatan d. Mengetahui pengaruh karakteristik mahasiswa yang mengikuti Praktik klinik keperawatanberdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi. 293

294 2.METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan disain kuasi-ekperimen. Disain kuasi-eksperimen memfasilitasi pencarian hubungan sebab akibat dalam situasi dimana kontrol secara sempurna tidak memungkinkan untuk dilakukan seperti pada disain true-experiment (Wood & Haber, 2006). Penelitian quasi eksperimen adalah penelitian yang menguji coba suatu intervensi pada sekelompok subjek dengan atau tanpa kelompok pembanding namun tidak dilakukan randomisasi untuk memasukan subjek dalam kelompok perlakuan atau kontrol (Dharma, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode preceptorship dan motivasi belajar terhadap peningkatan kompetensi klinis mahasiswa keperawatan. Pada penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok tanpa ada kelompok pembanding, dengan menilai hasil pre test dan post test. Penelitian ini menggunakan pendekatan One-Group Pretest-Posttest Design. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara motivasi belajar tinggi dan rendah terhadap kompetensi komunikasi terapetik digunakan rancangan analisis desain faktorial, yaitu modifikasi desain eksperimen dengan memperhatikan kemungkinan adanya pengaruh variabel lain terhadap variabel dependen (Sugiono, 2009). Analisis desain faktorial juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara dua variabel independen kategorik dengan satu variabel dependen kontinum melalui analisis varian dua jalur (Santoso, 2008). A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara, karena rumah sakit ini telah memiliki pembimbing klinik yang telah dilatih mengenai metode pelatihan preceptorship, dan jumlah mahasiswa keperawatan yang melakukan praktik klinik keperawatan cukup banyak dari berbagai institusi pendidikan keperawatan yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sehingga memudahkan proses penelitian ini terutama dalam pengambilan sampel penelitian. Waktu penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Februari tahun B. Populasi dan Sampel opulasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa profesi ners keperawatan yang mengikuti praktik klinik keperawatan di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara. Besar sampel diperoleh dari populasi berdasarkan jumlah mahasiswa ners keperawatan yang mengikuti praktik klinik keperawatan di Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara. Jumlah populasi mahasiswa tersebut adalah 96 mahasiswa. Penentuan kriteria sampel sangat membantu peneliti untuk mengurangi bias pada hasil penelitian, terutama jika variabel-variabel confounding ternyata mempunyai pengaruh terhadap variabel yang diteliti. Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi (Nursalam, 2008 yang dikutip dalam Nursalam 2013). Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian pada populasi target dan pada populasi terjangkau (Sastroasmoro & Ismael, 2007). Karakteristik sampel yang dapat dimasukkan dalam kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi: 1. Mahasiswa usia tahun dan bersedia menjadi responden 2. Kooperatif dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan dari studi karena berbagai sebab (Sastroasmoro & Ismael, 2007). Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Mahasiswa menolak untuk menjadi responden penelitian 2. Responden mengundurkan diri 3. Responden cuti pendidikan 4. Pindah domisili pada saat penelitian Perhitungan besar sampel minimal berdasarkan hasil perhitungan menggunakan uji hipotesis beda 2 proporsi kelompok berpasangan. Perhitungan jumlah sampel ini digunakan untuk penelitian dengan hipotesis menguji perbedaan proporsi antara dua kelompok yang berpasangan (paired) (Dharma, 2011). Untuk membuktikan hipotesis, peneliti melakukan penelitian quasi eksperimen dengan desain pre and post test. Uji hipotesis dilakukan dengan cara menguji beda proporsi kemampuan klinis mahasiswa keperawatan sebelum dilakukan bimbingan menggunakan metode preceptorship dengan setelah dilakukan bimbingan dengan metode preceptorship (perbedaan proporsi kemampuan klinis mahasiswa keperawatan antara pre dan post test) Perhitungan jumlah sampel minimal yang digunakan pada penelitian menggunakan rumus sebagai berikut: 294

295 N p = {Zı- 2 f Z)+Zı-ß f (P1 P2)² (P1-P2)² Np : Jumlah pasangan (jumlah sampel) Zı- 2 : Standar normal deviasi untuk (dapat dilihat pada tabel distribusi Z) Zı-ß : Standar normal deviasi untuk ß (dapat dilihat pada tabel distribusi Z) P2 P1 P1-P2 f : Proporsi kejadian sebelum perlakuan : Proporsi kejadian setelah perlakuan : Perbedaan proporsi yang dianggap bermakna secara klinik (effect size) : Proporsi pasangan data responden (pre test dan post test) = 1,96 0,2 +0,842 0,842 0,7 0,5 ²}² (0,7 0,5) = {0, ,754} 0,04 = 60 mahasiswa C. Tehnik Sampling Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dilakukan dengan tehnik non probability sampling jenis purposive sampling. Nursalam (2013) menyatakan bahwa purposive sampling sering disebut sebagai judgement sampling, dimana purposive sampling ini adalah cara penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang diinginkan peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. D. Instrumen, Metode dan Prosedur Pengumpulan Data 1. Instrumen Menurut Dharma (2011), instrumen penelitian (alat ukur) merupakan suatu alat yang dipergunakan oleh peneliti untuk mengamati, mengukur dan menilai suatu fenomena yang terjadi, dimana data yang didapatkan dianalisis, dan dijadikan sebagai bukti (evidence) dari suatu penelitian. Jenis instrumen yang dapat digunakan dalam bidang ilmu keperawatan menurut (Nursalam, 2013) adalah biofisiologis, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala. Instrumen pengumpul data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada data umur, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi. Data demografi dikumpulkan menggunakan format data demografi untuk menjelaskan karakteristik responden yang dirancang oleh peneliti dengan mengacu pada studi literatur. Lembar pengkajian data demografi responden dapat dilihat pada lampiran 1. Untuk data metode preceptorship dikumpulkan dengan menggunakan lembar instrumen yang dikutip dari Saragih (2011) yang dikembangkan dari quesioner Peterson (2009). Lembar instrumen ini terdiri dari 35 pertanyaan dengan menggunakan skala Likert. Total hasil pengukuran dengan rentang nilai , dikatakan baik jika nilai yang dicapai 87,5 dan dikatakan kurang jika < 87,5. Terdapat 4 pilihan jawaban yang harus dijawab (diberi tanda centang) yaitu Sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), setuju (3) dan sangat setuju (4). Untuk data kompetensi klinis dikumpulkan dengan diberikan soal multiple choice dengan sejumlah soal 30 soal. Soal tersebut diberikan pada saat pre test dan post test. Dengan menggunakan Skala Guttman. Pertanyaan disusun dalam bentuk multiple choice dengan memilih jawaban yang benar. Jawaban benar, skor = 1, dan jawaban salah skor = 0. Selain itu menggunakan kuesioner untuk penilaian afektif dengan 3 alternatif jawaban, yaitu sangat setuju (SS), kurang setuju (KS), dan tidak setuju (TS). Item pertanyaan postif diberi nilai 3 pada jawaban SS, nilai 2 pada jawaban KS dan nilai 1 pada jawaban TS. Item negatif diberikan nilai sebaliknya. Serta penilaian ketrampilan (psikomotor) menggunakan lembar chek list. Secara umum skoring dilakukan dengan memberi nilai 1 jika item dilakukan dan nilai 0 jika item tidak dilakukan. Untuk data motivasi belajar dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan jumlah pertanyaan 49 pertanyaan dengan skala Likert terdapat 5 pilihan jawaban yang harus dijawab diberi tanda centang ( ) yaitu 295

296 tidak sesuai (1), kurang sesuai (2), cukup sesuai (3), sesuai (4) dan sangat sesuai (5). Variasi motivasi belajar dikategorikan menjadi rendah dan tinggi. Total hasil pengukuran dengan rentang nilai , dikatakan baik jika nilai yang dicapai 98 dan dikatakan kurang jika < 98. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data sebelum digunakan, akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. Uji instrumen dilakukan pada responden di luar sampel penelitian namun memiliki karakteristik yang sama dengan sampel yang sesuai. E. Analisis Data Proses selanjutnya, data yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk analisis univariat, dan bivariat, yaitu sebagai berikut: 1. Analisis Univariat (analisis deskriptif) Analisa univariat dilakukan terhadap karakteristik responden, variabel bebas, dan variabel terikat. Tujuan analisis ini adalah untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007). Hasil analisis data berupa distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, jenis kelamin dan tingkat sosial ekonomi. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat berguna untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara 2 variabel atau apakah ada perbedaan yang signifikan antara 2 atau lebih kelompok (Hastono, 2007). Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesa yang telah dirumuskan. Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Mc Nemar dilakukan untuk mengetahui apakah ada peningkatkan kompetensi klinis mahasiswa keperawatan yang bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi. Dalam penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 0,05 dan CI 95%. Hipotesis dijawab dengan membandingkan p value dengan alpha. Tabel 2. Analisis Bivariat Pengaruh penerapan metode preceptorship dan motivasi belajar terhadap peningkatan kompetensi mahasiswa keperawatan Variabel Independen Variabel Dependen Uji Statistik Penerapan preceptorship metode Kompetensi klinis mahasiswa keperawatan sebelum dan sesudah intervensi Uji t Motivasi belajar Kompetensi klinis Uji t Interaksi penerapan metode preceptorship& motivasi belajar Kompetenesi klinis mahasiswa keperawatan Uji anova two-way 3.HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa program profesi Ners yang sedang mengikuti praktik klinik keperawatan di RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara.Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 60 orang, yang dibagi secara random menjadi kelompok perlakuan sebanyak 30 orang dan kelompok pembanding sebanyak 30 orang. Mengacu pada pendapat Hadi (2000) bahwa besar sampel penelitian yang diperlukan, agar dapat mewakili data penelitian diperlukan jumlah sampel minimal 30 orang. a. Jenis Kelamin Responden Penelitian Variasi jenis kelamin responden pada kelompok perlakuan dan kelompok pembanding relatif seimbang. Berdasarkan uji homogenitas data menggunakan chi kuadrat, diperoleh nilai hitung chi kuadrat (x2) sebesar 3,320 (x2 < 3,841) dengan nilai p sebesar 0,068 (p > 0,05). b. Usia Responden Penelitian Variasi usia responden pada kelompok perlakuan dan kelompok pembanding relatif sebanding karena tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam uji homogenitas menggunakan t-test, dimana diperoleh nilai t hitung sebesar 0,197 (t < 2,045) dengan nilai p sebesar 0,845 (p > 0,05). 2.Motivasi Belajar 296

297 Variasi motivasi belajar dikategorikan menjadi rendah dan tinggi berdasarkan nilai rerata (mean) yang diperoleh pada tiap kelompok. Jika lebih rendah dari mean, dikategorikan sebagai rendah dan jika lebih tinggi dari mean, dikategorikan sebagai tinggi. Hasil uji normalitas data menggunakan Kolmogorov Smirnov test, pada kelompok perlakuan menunjukkan nilai hitung Z sebesar 0,529 dengan nilai p sebesar 0,942 (p > 0,05) dan pada kelompok pembanding nilai hitung Z sebesar 0,671 dengan nilai p sebesar 0,759 (p > 0,05). Artinya data motivasi belajar pada kelompok perlakuan maupun pembanding berdistribusi normal. Sedangkan hasil uji homogenitas dengan chi-square antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding diperoleh nilai yang sebanding karena tidak menunjukan perbedaan yang bermakna, dimana diperoleh nilai hitung x2 sebesar 1,814 (x2 < 3,841) dengan nilai p sebesar 0,367 (p > 0,05). 3. Kompetensi klinis a. Kompetensi klinis Sebelum Perlakuan Pengukuran kompetensi klinis meliputi 3 ranah, yaitu kemampuan kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan psikomotor. Berdasarkan uji normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov test, diperoleh hasil bahwa seluruh nilai hitung p > 0,05, sehingga seluruh data kompetensi komunikasi terapetik sebelum perlakuan berdistribusi normal. Sedangkan menurut uji homogenitas menggunakan t-test, diketahui bahwa kemampuan awal responden dalam kelompok perlakuan maupun pembanding relatif homogen, yang ditunjukkan dengan seluruh nilai hitung t < 2,045 dengan nilai p > 0,05. b. Kompetensi Komunikasi klinis Setelah Perlakuan Berdasarkan uji normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov test, diperoleh hasil bahwa seluruh nilai hitung p> 0,05, sehingga seluruh data kompetensi komunikasi terapetik setelah perlakuan berdistribusi normal. c. Peningkatan Kompetensi klinis Berdasarkan analisis data hasil penelitian diketahui bahwa terjadi peningkatan kompetensi klinis baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok pembanding. Peningkatan tersebut diperoleh dari selisih antara nilai post test dan nilai pre test pada tiap kelompok atau lazim disebut sebagai gain score. Secara umum, peningkatan kompetensi komunikasi terapetik pada kelompok perlakuan lebih besar dibanding peningkatan pada kelompok pembanding. Perbedaan peningkatan tersebut dapat disajikan dalam Hasil uji normalitas data peningkatan kompetensi klinis (gain score) pada kelompok perlakuan menunjukkan seluruh nilai hitung Z sebesar 0,578 dengan nilai p sebesar 0,892 (p > 0,005) dan pada kelompok pembanding nilai hitung Z sebesar 0,608 dengan nilai p sebesar 0,854 (p > 0,005), sehingga data tersebut dinyatakan berdistribusi normal. Menurut hasil t-test untuk sampel berkorelasi (paired t-test) diperoleh nilai hitung t sebesar 8,378 (t > 2,045) dengan nilai p sebesar 0,000 (p 0,05), artinya terdapat perbedaan yang bermakna antara peningkatan (gain score) kompetensi klinispada kelompok perlakuan dengan peningkatan (gain score) pada kelompok pembanding. 4. Perbedaan Kompetensi Klinis Berdasarkan Motivasi Belajar Guna mengetahui pengaruh motivasi belajar terhadap kompetensi klinis, seluruh data peningkatan kompetensi klinisdari kelompok perlakuan dan pembanding dijadikan satu, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tingkat motivasi tinggi dan tingkat motivasi rendah. Terdapat 35 responden yang memiliki motivasi belajar tinggi dan 25 responden yang memiliki motivasi belajar rendah. Rerata peningkatan kompetensi klinis pada kelompok responden yang memiliki motivasi belajar tinggi sebesar 17,25, sedangkan pada kelompok responden dengan motivasi belajar rendah sebesar 12,183 atau terdapat selisih sebesar 5,067. Berdasarkan hasil uji t-test untuk sampel berkorelasi (paired t-test) diperoleh nilai hitung t sebesar 4,254 dengan nilai p sebesar 0,000 (p 0,05), artinya terdapat perbedaan yang bermakna antara peningkatan kompetensi klinis pada kelompok responden dengan motivasi belajar tinggi dengan kelompok responden dengan motivasi belajar rendah. 5. Interaksi penerapan metode preceptorship dan Motivasi Belajar Guna mengetahui interaksi antara penerapan metode preceptorshipdengan motivasi belajar (tinggi dan rendah) terhadap kompetensi kompetensi klinis dilakukan uji anava 2 jalur dengan ringkasan sebagai berikut: Selanjutnya diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata peningkatan kompetensi klinis antara responden yang memiliki motivasi belajar tinggi dan diberi perlakuan metode preceptorship dibandingkan responden yang memiliki motivasi belajar rendah dan diberi perlakuan metode preceptorship B. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Penelitian Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam penelitian eksperimen, adalah kondisi awal responden pada kedua kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sebanding atau tidak ada perbedaan yang bermakna (Furchan, 2007). Sehingga atas dasar itulah maka sebelum perlakuan dimulai, dilakukan uji homogenitas terhadap variabel jenis kelamin dan usia responden baik pada kelompok perlakuan maupun pembanding. Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji chi-square terhadap variabel jenis kelamin dan uji t-test terhadap variabel usia pada kelompok perlakuan dan kelompok pembanding, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05), 297

298 yang berarti subjek penelitian dalam kondisi yang sebanding, sehingga memenuhi salah satu persyaratan dalam penelitian eksperimen. Jenis kelamin responden lebih banyak didominasi perempuan, baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok pembanding. Hal ini kemungkinan disebabkan karena responden adalah mahasiswa program profesi Ners, yang merupakan calon perawat, dimana perawat adalah suatu profesi yang secara historis didominasi kaum hawa. Sedangkan usia responden seluruhnya masuk dalam kelompok umur tahun, sesuai kriteria inklusi yang ditetapkan. Hal tersebut mudah dipenuhi karena seluruh responden adalah mahasiswa program profesi Ners kelas reguler yang rata-rata memiliki usia yang hampir sama. 3. Motivasi Belajar Berdasarkan hasil uji homogenitas menggunakan chi-square antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding diperoleh nilai yang sebanding karena tidak menunjukan perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Berdasarkan distribusi frekuensi data, jumlah responden yang memiliki motivasi belajar tinggi jumlahnya berimbang, baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok pembanding. Demikian pula dengan responden yang memiliki motivasi belajar rendah. Hal ini sama sekali tidak dilakukan dengan sengaja, karena penentuan kelompok perlakuan dan pembanding sepenuhnya menggunakan metode random. Namun hal ini juga menjadi keuntungan tersendiri karena kondisi awal antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding benar-benar sebanding dari aspek motivasi belajar responden. Sedangkan menurut uji normalitas data menggunakan Kolmogorov Smirnov test, data motivasi belajar berdistribusi normal karena secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan asumsi distribusi normal. Sehingga data motivasi belajar memenuhi syarat untuk diuji menggunakan statistik parametrik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2009) bahwa statistik parametrik digunakan untuk menganalisis data interval atau rasio, yang diambil dari populasi berdistribusi normal. 3. Kompetensi Klinis a. Kompetensi Klinis Sebelum Perlakuan Berdasarkan perbandingan rerata dan simpangan baku serta hasil uji homogenitas data kompetensi komunikasi terapetik baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok pembanding pada saat pre-test, menunjukkan bahwa nilai rerata variabel kompetensi komunikasi terapetik, baik secara keseluruhan maupun tiap ranah (kognitif, afektif dan psikomotor) tidak ada perbedaan yang bermakna, dimana nilai p > 0,05. Berarti kondisi awal kompetensi klinis responden pada kelompok perlakuan dan kelompok pembanding relatif sebanding. Hal ini sesuai dengan pendapat Furchan (2007) bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam penelitian eksperimen, adalah kondisi awal responden pada kedua kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sebanding atau tidak ada perbedaan yang bermakna. Sesuai pula dengan pendapat Murti (2006) bahwa syarat perbandingan yang valid adalah kelompok-kelompok studi yang dibandingkan harus sebanding (comparable). Kondisi yang seimbang tersebut sangat dimungkinkan, karena responden penelitian ini seluruhnya adalah mahasiswa program profesi Ners kelas reguler b. b.kompetensi Klinis Setelah Perlakuan Kompetensi komunikasi terapetik responden setelah pemberian intervensi berbeda secara bermakna antara kelompok perlakuan dan pembanding. Hal tersebut terlihat dari rerata (mean) kompetensi komunikasi terapetik pada kelompok perlakuan, yaitu sebesar 75,792, sementara rerata pada kelompok pembanding sebesar 64,681, sehingga terdapat selisih sebesar 11,111. Hal serupa juga terjadi pada tiap ranah kompetensi yang diukur, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Terdapat selisih rerata kemampuan kognitif komunikasi terapetik sebesar 13,17; selisih rerata kemampuan afektif komunikasi terapetik sebesar 3,665; dan selisih rerata kemampuan psikomotor komunikasi terapetik sebesar 16,462. c. Peningkatan Kompetensi Klinis Terjadi peningkatan kompetensi komunikasi terapetik baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok pembanding. Peningkatan tersebut nampak dari gain score pada masing-masing kelompok. Rerata peningkatan kompetensi komunikasi terapetik pada kelompok perlakuan sebesar 18,6, lebih besar hampir dua kali lipat dibanding peningkatan pada kelompok pembanding, yaitu sebesar 9,806. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan pada tiap aspek kompetensi klinis, mulai dari kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. 4. Perbedaan Kompetensi Komunikasi Terapetik Berdasarkan Motivasi Belajar Rerata peningkatan kompetensi klinis pada kelompok responden yang memiliki motivasi belajar tinggi sebesar 17,25, sedangkan pada kelompok responden dengan motivasi belajar rendah sebesar 12,183 atau terdapat selisih sebesar 5,067. Sementara hasil t-test menunjukkan nilai hitung t sebesar 8,825 dengan nilai p 0,05, sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara peningkatan kompetensi komunikasi terapetik pada kelompok responden dengan motivasi belajar tinggi dengan kelompok responden dengan motivasi belajar rendah. Hal ini sesuai dengan konsep dari Zanikhan (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi motivasi belajar, akan semakin kuat dorongan belajarnya dan semakin maksimal usaha belajarnya, sehingga terjadi peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang lebih optimal. Sebaliknya, semakin rendah motivasi belajar, akan semakin lemah dorongan belajarnya dan semakin minimal usaha belajarnya, sehingga peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang kurang optimal. Fakta tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Riza (2004), Sudjatmiko (2009) serta penelitian Nadziruddin, 298

299 Susanti dan Dhestirati (2008) dimana motivasi belajar merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap prestasi mahasiswa keperawatan. 5. Interaksi Metode penerapan preceptorshipdan Motivasi Belajar Berdasarkan uji anava 2 jalur, diperoleh nilai hitung F sebesar 0,012 dengan nilai p > 0,05, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna dalam interaksi antara metode preceptorship dengan motivasi belajar terhadap kompetensi klinis responden. Sementara, nilai F yang menggambarkan pengaruh metode pembelajaran terhadap kompetensi komunikasi terapetik dan motivasi belajar terhadap kompetensi komunikasi terapetik, seluruhnya memiliki nilai p 0,05, sehingga dapat dinyatakan terdapat pengaruh yang bermakna metode preceptorship dan motivasi belajar secara sendiri-sendiri terhadap kompetensi komunikasi terapetik. 4. KESIMPULAN 1. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara penerapan metode preceptorship terhadap kompetensi komunikasi klinis mahasiswa program profesi Ners. 2. Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara motivasi belajar tinggi dengan motivasi belajar rendah terhadap kompetensi komunikasi terapetik mahasiswa program profesi Ners, dimana motivasi belajar tinggi memiliki pengaruh lebih baik dibanding motivasi belajar rendah. 3. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara metode preceptorship dengan motivasi belajar terhadap kompetensi komunikasi terapetik mahasiswa program profesi Ners. 5. Daftar Pustaka Ahmadi, A & Supriyono, W. (2004). PsikologiBelajar (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI). (2010). Kurikulum pendidikan ners: Implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Bastable, B.S. (2002). Perawat sebagai pendidik: Prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran. Jakarta: EGC (2008). Nurse as educator. Third edition. Philipine edition: Jones and Bartlet Publisher Beecroft, P.C., Dorey, F., & Wenten, M. (2008). Turnover intention in new graduate nurses: A multivariate analysis. Journal of advanced nursing. 62 (1), Blom, C. (2009). Development of clinical preceptor model. Journal nurse educator. 34, Billay, D. B., Younge, O. (2004). Contributing to the theory development of preceptorship. Nurse education today. 7 (24), Doi.org/ /j.nedt Cooper, M.A, & Palmer, A. (2000) Mentoring, preceptorship and clinical supervision: A guide to profesional support roles in clinical. Second edition. Amazone UK: Blackwell Science. Dermawan, D. (September, 2012). Mentorship dan preceptorship. Jurnal Akper Poltekkes, Bakti Mulyo Sukoharjo. 8 (8), Depkes RI. (2006). Profil kesehatan Indonesia. Jakarta. Dharama, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan (Pedoman melaksanakan dan menerapkan hasil). Jakarta: CV Trans Info Media Duteau, J. (2012). Making a difference: The value of preceptorship program in nursing education. The journal of continuing education in nursing. 1 (43), Doi: / Giyanto. (2010). Pengaruh metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kompetensi komunikasi terapeutik mahasiswa program ners (Tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta). Gusnia & Saragih. (2013). Hubungan karakteristik perawat pada program preceptorship terhadap proses adaptasi perawat baru. Jurnal Poltekkes Bandung. 1 (1) Hadi, M. (2015). Tiga hari: Pelatihan preceptorship (Power point slides). Tidak dipublikasikan, Rumah sakit umum Bahteramas provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, Indonesia. Kaviani & Stilwel. (2000). An input output analysis of the impact of mining on the South African economy. Resources poliy. 26 (2000), La Biondo, Wood, & Haber, J. (2010). Nursing research: Methods and critical appraisal for evidence-based practice. Sixth edition. St. Louis, Missouri: Mosby Luhanga, Billay, Grundy, & Myrick. (2010). The one-to one relationship: Is it really key to an effective preceptorship experience? A review of literature. Journal of nursing education. 1(7) Doi: / x Malini, H., Huriani. (2006). Kajian metode pengajaran klinik dalam meningkatkan kompetensi mahasiwa keperawatan dalam praktik profesi. Program studi keperawatan Universitas Andalas. Padang Mangkunegara, A.P. (2005). Evaluasi kinerja sumber daya manusia (SDM). Bandung. Refika Aditama. Mamchur, C., & Myrick, F. (2003). Preceptorship and interpersonal conflict: A multidisiplinary study. A journal of advance nursing. 43 (2)

300 Myrick, F., & Younge, O. (2005). Nursing preceptorship: Connecting practice and education. Philadelphia, USA: Lippincot, Williams & Wlikins Nursalam, Effendi, F. (2012). Pendidikan dalam keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Nursalam. ((2013). Metodologi penelitian keperawatan: Pendekatan praktis. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Novianti. (2005). Sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara Ohrling, K, & Halberg, I.R. (2007). The meaning of preceptorship: Nurses lived experience of being a preceptor. Journal of advanced nursing. 33 (4), Peterson, J.Z. (2009). Dissertation: Job stress, job satisfaction and intention to leave among new nurses. (Unpublised graduate) Departement of nursing science. University of Toronto. Permenkes. (2010). Tentang izin dan praktek perawat. Permenkes RI No. HK. 0202/menkes/140/1/2010. Bppsdmk.depkes.go.id/tkki/data/.../permenkes 47_tahun 2012.pdf. Diakses pada tanggal 16 Januari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 73 Tahun 2013 Tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bidang Pendidikan Tinggi. Republik Indonesia. (2009). UU RI No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit. 44Th_2009. Tentang Rumah sakit. Diakses tanggal 21 Januari Reilly, D.E & Oermann, M.H. (2002). Pengajaran klinis dalam pendidikan keperawatan. Edisi ke-2. Alih bahasa Ennie Noviestari. Jakarta: EGC Sastroasmoro, S & Ismai, S. (2007). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto. Susanti, I.A., Gama, H., Wirakusumah, F.F. (2014). Korelasi metode pembelajaran preceptorship dengan pengetahuan & ketrampilan pemeriksaan kehamilan. Program studi Kebidanan. Fakultas Kedokteran. Universitas Padjajaran. Sunaryo. (2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC Siagian, P.S. (2004). Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono (2009). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfa Beta (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfa Beta. Saragih & Nurmaidah. (2011). Penelitian: Hubungan program preceptorship dan karakteristik perawat dengan proses adaptasi perawat baru di PKSC, RSB, dan RSPI. Fakultas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia Swansburg, R.C & Swansburg, L.C. (2001). Pengembangan staf keperawatan: Suatu komponen pengembangan SDM. Jakarta: EGC Tim KKNI Dikti. (2013). Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Materi miniloka penyusunan learning outcome. Uno, H.B. (2007). Teori motivasi dan pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara Zanikhan. (2008). Motivasi belajar siswa. http/zanikhan.multiply.com.journal/item/1206/minat belajar siswa. Zerwekh, J. & Garneau, A.Z. (2014). Nursing today: Transition and trends. Seventh editions. States of America: Elsevier Saunders. Zilembo, M & Monterosso, L. (2008). Towards a conceptual framework for preceptorship in the clinical eduction of undergraduate nursing students. Contemporary nurse: A journal for Australian nursing profesion. 30 (1),

301 INTERVENSI PSIKOEDUKASI UNTUK MENGATASI KECEMASAN KELUARGA DALAM MERAWAT KLIEN SKIZOFRENIA LITERATURE REVIEW Tantan Hadiansyah 1, Aat Sriati 2 1 Mahasiswa Pascasarjana Keperawatan Jiwa UNPAD, tantan.hadiansyah78@gmail.com 2 Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran 1,2 Gedung Rumah Sakit Pendidikan UNPAD, Jalan Eyckman No.38 Bandung ABSTRAK Skizofrenia masih merupakan masalah kesehatan penting karena tingginya angka kesehatan jiwa di dunia dan indonesia. Hal ini menimbulkan kecemasan pada keluarga, Oleh karena itu, diperlukan penanganan terhadap kecemasan yang dialami oleh keluarga. Tujuan penulisan ini adalah untuk menarik sebuah kesimpulan berdasarkan temuan evidence-base yang membahas tentang efektifitas intervensi psikoedukasi pada kecemasan keluarga dalam merawat klien skizofrenia. Metode dalam artikel ini menggunakan literature review dari hasil penelitian tahun yang telah dipublikasi dalam media elektronik seperti ProQuest, Pubmed, Ebscohost dan CINAHL. Jumlah artikel penelitian Randomized Controlled Trials (RCTs) yang diperoleh sebanyak 15 artikel, hanya 9 artikel yang memenuhi kriteria. Kata kunci yang digunakan adalah psychoeducation, schyzophrenia, dan family anxiety. Artikel direview oleh dua orang untuk mengkaji kualitas penelitian. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa intervensi psikoedukasi ini membantu menurunkan tingkat stress dan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien skizofrenia serta meningkatkan kualitas tidur dan kualitas hidup. Review ini menyimpulkan bahwa intervensi psikoedukasi lebih direkomendasikan untuk digunakan pada penurunan kecemasan keluarga dalam merawat kllien skizofrenia. Intervensi psikoedukasi ini dapat diaplikasikan sebagai salah satu intervensi pada keluarga dan merupakan praktek keperawatan profesional yang paling sederhana, murah, dan mudah diaplikasikan oleh perawat secara mandiri. Kata kunci: Pyschoeducation, schyzophrenia, dan family anxiety 1.LATAR BELAKANG World Health Organization (WHO) menyebutkan masalah utama gangguan jiwa di dunia adalah skizofrenia, depresi unipolar, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, gangguan obsesis kompulsif ( Stuart & Laraia, 2005). Skizofreniaadalah gangguan pada otak dan pola pikir (Torrey, 1997 dalam Carson, 2000). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 jumlah penderita gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) mencapai 1,7 permil populasi dan Jumlahseluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013 adalahsebanyak orang. Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik dan sosial budaya (Maslim, 2008). Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkrit, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart & Laraia, 2005). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah gangguan jiwa psikotik yang ditandai dengan disorganisasi kepribadian yang cukup parah, distorsi realita dan ketidakmampuan berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya hendaya nyata pada taraf kemampuan fungsional sebelumnya yang dapat terlibat dalam bidang pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri sendiri (Bentsen, 2001; Lefley, 2000; dalam Kaplan & Sadock, 2007), sehingga klien memerlukan bantuan dan pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (National Institute of Mental Health [NIMH], 2012). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rubin dan Peyrot (2012) bahwa sebanyak 77% klien penderita penyakit kronis merasa membutuhkan pertolongan keluarganya. Skizofenia akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban yang berat bagi keluarga, baik beban mental maupun materil karena gangguan menjadi kronis dan individu tidak mampu lagi produktif sehingga memerlukan perawatan dan tanggung jawab sepanjang masa oleh keluarganya. Perawatan dan tanggung jawab ini membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit dan dapat menimbulkan beban bagi keluarga. Beban tersebut berkaitan dengan masalah objektif dan subjektif yang berdampak terhadap peran, tanggung jawab dan hubungan yang diharapkan oleh keluarga sebagai care giver. Keluarga umumnya mengalami perasaan sedih, Cemas, ketakutan, khawatir dan kebingungan menghadapi anggota keluarganya yang mengalami skizofrenia. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa skizofrenia berdampak buruk dan menjadi beban pada individu, keluarga dan masyarakat. 301

302 Setelah didiagnosa skizofrenia, maka pada keluarga akan timbul suatu periode krisis. Periode ini ada 3 tahapan, pertama tahap penolakan atau penyangkalan. Mereka akan menyangkalnya, mereka berusaha mencari ahli lain yang akan menyatakan bahwa anaknya normal sampai akhirnya menyerah baik dengan terpaksa atau dengan sadar. Kedua, tahap duka cita dan kesedihan yang mendalam. Ada juga yang langsung masuk ke tahap duka cita ini tanpa melewati tahap penolakan. Ketiga, tahap penerimaan. Orang tua secara kenyataan menerima keadaan ini, baik secara sadar maupun terpaksa. Respon masing-masing tahapan memerlukan waktu yang berbeda untuk masing-masing keluarga (Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti M. T, 2006). Perhatian kesehatan pada saat ini lebih fokus pada klien penderita skizofrenia, sedangkan keluarga yang selalu dekat dengan klien dan memberikan perawatan serta dukungan emosional masih sedikit dilakukan penelitian. Di indonesia literatur mengenai pengalaman dan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien serta penanganannya masih terbatas. Perhatian pada keluarga ini menjadi hal yang sangat penting karena keberhasilan pengobatan dan perawatan klien tidak terlepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan. Hal ini didukung oleh penelitian yag dilakukan oleh Reinhard, given, Petlick, dan Bemis (2008) bahwa informasi tentang fluktuatif kondisi klien, tanda dan gejala, serta respon klien akan pengobatan yang dijalani hanya bisa didapatkan dari keluarga yang merawatnya. Keluarga mempunyai kebutuhan sendiri dalam merawat anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa yang terkadang dapat menimbulkan respon berduka dan trauma pada keluarga. Peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia sangat penting karena keluarga merupakan tempat individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga dipandang sebagai satu sistem, gangguan yang terjadi pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi sistem, disfungsi dalam keluarga dapat sebagai penyebab gangguan. Hal inilah yang menyebabkan diperlukannya penanganan dan empati dari pelayanan kesehatan professional kepada keluarga (Fortaine, 2009). Penanganan yang harus dilakukan terhadap kecemasan keluarga diperlukan adanya keterlibatan peran perawat, terutama perawat jiwa. Perawat jiwa adalah salah satu profesi yang ikut bertanggung jawab dalam menangani masalah psikologis yang dialami keluarga, aga pada waktu yang akan datang tidak menjadi penyebab gangguan kejiwaan. Tindakan penanganan secara awal inilah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa terkait peran keluarga dalam merawat klien skizofrenia. Peran yang dapat dilakukan oleh perawat jiwa untuk mengatasi masalah pada keluarga saat ini telah dikembangkan psikoterapi untuk keluarga antara lain Family Psycoeducation (FPE) dan Triangle Therapy (Keliat & Walter,2011). Selain terapi tersebut, terdapat terapi modalitas yang dapat digunakan untuk menangani masalah yang dihadapi keluarga diantaranya adalah art therapy, CBT, dan psikoedukasi. Penelitian terkait mengenai effects of art therapy for family caregiver of cancer patients: a sistematic review, dengan menggunakan kuasi ekperimen didapatkan hasil bahwa art therapy dapat menurunkan tingkat kecemasan, stress dan emosi negatif pada family caregiver. (Lang dan Lim, 2014). Terapi lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan pada keluarga adalah cognitive behaviour therapy (CBT). Penelitian terkait yang dilakukan oleh Kwok et. Al (2014) terhadap keluarga dengan klien skizofrenia, menunjukan hasil bahwa CBT dapat meningkatkan kemampuan diri dalam merawat klien dan dapat menurunkan gejala psikologis skizofrenia, serta meningkatkan kesejahteraan emosi mereka. Namun CBT hanya berfokus pada pikiran dan keyakinan untuk berbagai gejala, tampa merubah psikologis dari keluarga. Sedangkan intervensi psikoedukasi selain memberikan informasi mengenai kesehatan mental juga dapat menurunkan simptom masalah kesehatan mental, khususnya menurunkan kecemassan dan depresi (Cartwright, 2007). Mengingat pentingnya penatalaksanaan intervensi psikoedukasi untuk keluarga dengan penderita skizofrenia maka penulis tertarik untuk melakukan tinjauan yang lebih mendalam dengan melakukan literature review yang bertujuan untuk membahas intervensi psikoedukasi terhadap penurunan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien skizofrenia. 2. METODE PENELITIAN Tipe penelitian Artikel ini merupakan sebuah critical review dari beberapa penelitian original article (Randomized Control Trials/RCTs). Literature review adalah suatu bentuk telaah formal terhadap artikel penelitian dengan menggunakan tehnik berfikir kritis meliputi penggunaan logika, ringkasan akurat, analisis, argument dan evaluasi informasi (Aysem, 2009). Tipe partisipan Pada review ini, penulis melibatkan penelitian dengan partisipan keluarga dengan klien skizofrenia. Tipe intervensi Penelitian menjelaskan tentang intervensi untuk menurunkan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien skizofrenia. Tipe outcome Outcomeprimer 302

303 Outcome primer yang dinilai adalah tingkat kecemasan keluarga yang digambarkan melalui pengontrolan skala kecemasan setelah keluarga menjalani intervensi psikoedukasi. Strategi pencarian ProQuest, Pubmed, Ebscohost dan CINAHL merupakan database yang digunakan dalam Literature review ini. Kata kunci yang digunakan adalah Pyschoeducation, schyzophrenia, dan family anxiety. Kata kunci tersebut saling dikombinasikan agar tercapai hasil pencarian yang lebih spesifik. Pencarian dilakukan pada bulan Februari 2016 dengan batasan publikasi artikel mulai tahun HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Dari penelusuran yang dilakukan, didapatkan ada 9 artikel yang terbagi menjadi 4 sub bahasan; 2 artikel yang membahas tentang Art therapy, CBT (Lang dan Lim, 2014; Kwok et al., 2014), 2 artikel membahas tentang psikoedukasi terhadap penurunan beban keluarga (Tanriverdi & Ekinci, 2012; Chien & Wong, 2010) dan 1 artikel yang membahas tentang peningkatan keterampilan koping dan dukungan sosial (Omranifard et. al 2014). 4 artikel membahas tentang efektifitas psikoedukasi terhadap penurunan kecemasan (Ozkan, Erdem, Saliha, & Zararsiz, 2013; Sheng Ran et. Al, 2011; Maldonado, Urizal dan Garcia, 2010; Pollio, D. E., North, C. S., & Osborne, V. A, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Lang dan Lim, (2014) tentang terapi modalitas yang dapat digunakan untuk menangani masalah yang dihadapi keluarga diantaranya adalah art therapy, CBT, dan psikoedukasi. Penelitian terkait mengenai effects of art therapy for family caregiver of cancer patients: a sistematic review, dengan menggunakan kuasi ekperimen didapatkan hasil bahwa art therapy dapat menurunkan tingkat kecemasan, stress dan emosi negatif pada family caregiver. Terapi lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan pada keluarga adalah cognitive behaviour therapy (CBT). Penelitian terkait yang dilakukan oleh Kwok et. Al (2014) terhadap keluarga dengan klien skizofrenia, menunjukan hasil bahwa CBT dapat meningkatkan kemampuan diri dalam merawat klien dan dapat menurunkan gejala psikologis skizofrenia, serta meningkatkan kesejahteraan emosi mereka. Namun kekurangan CBT hanya berfokus pada pikiran dan keyakinan untuk berbagai gejala. Penelitian yang dilakukan oleh Chien dan Wong (2010), yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh psikoedukasi di Cina, dilakukan terhadap 56 keluarga dengan penderita skizofrenia sebagai kelompok intervensi. didapatkan hasil sebagian besar menurunkan beban keluarga dalam erawat klien skizofrenia. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Tanriverdi & Ekinci (2012) terhadap 31 keluarga di Turki, dilakukan psikoedukasi sebanyak 8 (delapan) sesi, kemudian dilakukan pre-test dan post-test terdapat perbedaan skor beban keluarga yang saangat signifikan (P = 0.001). psikoedukasi untuk keluarga dengan klien skizofrenia memberikan efek dalam mengurangi beban sebagai sebagai caregivers. Omranifard et. al (2014) melakukan penelitian terhadap 60 keluarga yang merawat klien skizofrenia, dilakukan intervensi psikoedukasi sebanyak 10 sesi. Didapatkan hasil yang sangat sinifikan menunjukan peningkatan keterampilan koping dan dukungan sosial yang baik (p<0.01). Ozkan, Erdem, Saliha, & Zararsiz (2013) melakukan penelitian terhadap 30 responden keluarga sebagi kelompok intervensi dengan cara telepsikoedukasi dengan menggunakan media telepon dalam memberikan psikoedukasinya, dilakukan pengukuran kecemasan sebelum dan sesudah psikoedukasi kemudian dilakukan follow up setelah 6 bulan post psikoedukasi. Didapatkan hasil, terdapat penurunan kecemasan secara signifikan pada kelompok intervensi (p<0.001). Sheng Ran et. Al, (2011) melakukan penelitian yang sama, penelitian ini dilakukan di daerah pedesaan di Cina. Sebanyak 24 keluarga yang menjadi responden sebagai kelompok intervensi diberikan psikoedukasi selama 9 bulan. Setelah dilakukan evaluasi menunjukan hasil bahwa intervensi psikoedukasi efektif untuk menurunkan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien skizofrenia serta memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial keluarga. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Maldonado, Urizal dan Garcia (2010) penelitian dilakukan pada 22 responden sebagai kelompok intervensi, setelah dilakukan intervensi psikoedukasi sebanyak 4 sesi perminggu dalam jangka waktu 6 bulan pada kelompok ini didapatkan hasil terjadinya perubahan sikap dan penurunan kecemasan. Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Pollio, D. E., North, C. S., & Osborne, V. A, (2010) terhadap 25 keluarga sebagai kelompok intervensi, kelompok ini diberikan intervensi psikoedukasi sebanyak 5 sesi perpertemuam dalam rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Perubahan yang terlihat adalah peningkatan pengetahuan 303

304 dan penurunan cemas. Penurunan kecemasan yang terjadi pada keluarga terlihat signifikan, keluarga mampu merawat kembali klien skizofrenia dengan baik. 4. PEMBAHASAN Terapi modalitas untuk menangani masalah yang dihadapi oleh keluarga sebagai perawat klien skizofrenia adalah art therapy, CBT dan psikoedukasi. Art therapy dan CBT hanya berfokus pada psikomotor, pikiran dan keyakinan dari tanda dan gejala yang dialami oleh keluarga. (Freedman, Bowden, & Jones, 2012). Sedangkan psikoedukasi lebih efektif untuk meningkatkan pengetahuan, memperbaiki psikologis dan menurunkan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia (Donker, T, Griffiths, K. M., Cuijpers, P. & Cristensen, H, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Chien dan Wong (2010), dan Tanriverdi & Ekinci (2012) hanya berfokus pada penurunan beban keluarga yang dialami oleh keluarga yang merawat klien. Sedangkan yang di maksudkan beban keluarga adalah meliputi beban sosial, fisik, mental/psikologis dan ekonomi (Urizar & maldonado, 2006), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Omranifard et. al (2014) yang membahas tentang peningkatan keterampilan koping dan dukungan sosial, sedangkan bukan hanya hal itu saja yang dibutuhkan keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia. Karena jika keluarga memiliki kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi yang merupakan salah satu karakteristik kepribadian, maka akam menambah masalah yang berdampak bagi klien dan pada keluarga itu sendiri (Maslach dan Leiter, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Ozkan, Erdem, Saliha, & Zararsiz (2013) dimana mereka melakukan intervensi psikoedukasi dengan menggunakan media telepon selama 6 bulan, walaupun memberikan hasil adanya perubahan penurunan kecemasan pada keluarga namun untuk lebih maksimal diperlukan adanya keterlibatan individu dan keluarga dalam kegiatan psikoedukasi ini (Lucksted, A., McFarlane, W., Downing, D., & Dixon, L, 2012) Penelitian Sheng Ran et. Al, (2011) melakukan intervensi psikoedukasi selama 9 bulan. Setelah dilakukan evaluasi menunjukan hasil bahwa intervensi psikoedukasi efektif untuk menurunkan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien skizofrenia serta memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial keluarga. Waktu yang dilakukan lebih lama dari penelitian sebelumnya. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Maldonado, Urizal dan Garcia (2010) yang melakukan intervensi psikoedukasi sebanyak 4 sesi perminggu dalam jangka waktu 6 bulan pada kelompok ini didapatkan hasil terjadinya perubahan sikap dan penurunan kecemasan. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pollio, D. E., North, C. S., & Osborne, V. A, (2010) melakukan intervensi psikoedukasi sebanyak 5 sesi perpertemuan dalam rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Walaupun waktu yang digunakan lebih singkat namun hasilnya efektif terhadap penurunan kecemasan pada keluarga dalam merawat klien skizofrenia. 5. KESIMPULAN Intervensi psikoedukasi adalah suatu tindakan pendekatan edukasi yang diberikan kepada individu atau keluarga untuk memperkuat strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental. Review ini menyimpulkan bahwa intervensi psikoedukasi lebih direkomendasikan untuk digunakan pada penurunan kecemasan keluarga dalam merawat kllien skizofrenia. Intervensi psikoedukasi ini dapat diaplikasikan sebagai salah satu intervensi pada keluarga dan merupakan praktek keperawatan profesional yang paling sederhana, murah, dan mudah diaplikasikan oleh perawat secara mandiri. 6. DAFTAR PUSTAKA Aysem. (2009). Writing a critical review. Retrieved from: Bentsen, H. (2001). Relatives distress and patients symptomps and behaviors: a prospectives study of patient with skizophrenia and their relatives. Acta Psychiatrica Scandinavia : 104 (1): Carson, V.B. (2000). Mental HealthNursing : The Nurse patienjourney. Philadelphia. W.B.Sauders Company. Cartwright, M. E. (2010). Psycoeducation among, caregiver of children reseiving mental healt service. Disertations. Graduate school of Ojio State University. Chien, W. T. & Wong, K. F. (2010). A family psycoeducation group for chinese with schizophrenia in Hong Kong. Psychiatic Service Arlington. Donker, T, Griffiths, K. M., Cuijpers, P. & Cristensen, H. (2010). Psykloeducation for depresion, anxiety and psychological distress: A Meta-analysis. Biomedic Central Medicine, 7:79. Fortaine, K. L. (2009). Mental health nursing sixt edition. New jersey: Pearson pretice Inc. Freedman, Bowden, & Jones (2012). Family nursing: research, theory and practice, 5th edition New jersey : Pearson Education, Inc. 304

305 Gonzales-Blanch, C. et al. (2010). Effects of family psychoeducation on expressed emotion and burden of care in first-episode psychosis: a prospective observational study. Spanish Journal of Psychology, 13(1), Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti M. T. (2006). Penerimaan keluarga individu yang mengalami keterbelakangan mental. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol 8 (2). Kalpan & Saddock. (2007), Synopsis of Pshyciatry Science ClinicalPsychiatry. Baltimore: Williams &Wilkins. Keliat & Walter. (2001). Buku Saku Keperawatan. Depok: FIK UI. Kwok, T. Au,. A., Wong, B., et al. (2014). Effectiveness of online cognitive behavioral therapy on family caregivers of people with dementia. Dove Press Journal: Critical Intervention in Aging. Lang, Dora Sp., & Lim, C.L. (2014). Effect of art Therapy for family caregivers of cancer patiens: a systematic review. The JBI Database of Systematic reviews and implementation Reports, ISSN Lefley, H. P. (2000). The impact of mental disorder on family and carer. Dalam Thornicroft, Szmukler (Ed.): Textbook of comunity psychiatry. USA: Oxford University Press. Lucksted, A., McFarlane, W., Downing, D., & Dixon, L, (2012). Recent development in family psychoeducation as an ecidence-base practice. Journal of Marital an Family Therapy; Jan 2012; 38, 1; proquest Research Library. Maldonado, J. G,rı zar, A. C, & Garcı a, M. F. (2010). Effects of a psychoeducational intervention program on the attitudes and health perceptions of relatives of patients with schizophrenia. Assessment and Psychological Treatments University of Barcelona. Soc Psychiatry Psychiatry Epidemiol. 44: Maslach, C., Leiter, M. P., & Schaufeli. (2001). Job burnout. Anual Review Psychology. 52, Maslim R. (2008). Diagnosa Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari PPGDJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya National Institute of Mental Health [NIMH]. (2012). Schizophrenia. Diakses tanggal 20 Maret Omranifard, V., Yari, A. Rafizadeh, M. et. Al. (2014). Effect of need assessment base psychoeducation for families of patients with schizophrenia on kualiti of life of patients and their families: A controlled study. J Edu Health Promo, 3:125. Ozkan, B., Erdem, E., Saliha., & Zararsiz, G. (2013). Effect of psychoeducation and telepsychiatric follow up given to the caregiver of the schizophrenic patient on family burden, depression, and expression of emotion. Pakistan Journal of Medical Science, Sep-Okt: 29(5) Pollio, D. E., North, C. S., & Osborne, V. A. (2010). Family responsive psychoeducation groups for family with an adult member with mental illness: pilot result. Community Mental Health Journal, Vol. 38, No. 5: proquest. Pg Reinhard, S. C., Given, B., Petlick, N. H., & Bemis, A. (2008). Suppurting family caregiver in providing care. Patient Safety and Quality: An Evidence Base Handbook for Nurses, Vol. 1. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2013 Rubin, R. R., and Peyrot, M. (2012). Psychological Issue & treatement for people with Diabetes. Journal of Clinical Psychologi, 57(4). Sheng Ran, M., Ze Xiang, M., Lai, C., Chan, W., Leff, J., Simpson, P., Sheng Huang, M., He Shan, Y., & Gan Li, S. (2010). Effectiveness of psychoeducational intervention for rural Chinese families experiencing schizophrenia A randomised controlled trial. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 38 : Stuart, G., and Laraia, M., (2005) ThePrinciple and Practise of Psychiatric Nursing. Elsevier Mosby, St Louis Missouri. Tanriverdi, D. & Ekinci, M. (2012). Effect psychoeducation intervention has on the caregiving burden of caregivers for schizophrenic patiens in Turkey. PubMed: Int J Nurs Pract, Jun: 18(3):

306 HUBUNGAN LEVEL KECEMASAN DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS DI RSU DR.SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA Wawan Rismawan INTISARI Latar Belakang : Insidens decubitus di Indonesia sebesar 33.3%, angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insidens decubitus di ASEAN yang hanya berkisar %. Setiap munculnya penyakit maka akan berpengaruh terhadap aspek psikis dan fisik itu sendiri, oleh karena itu perlu diketahuinya hubungan antara kejadian decubitus dengan kecemasan penderitanya. Tujuan : untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan kejadian decubitus di RSu Dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya Metode Penelitian : Jenis penelitian yang sedang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik Asosiatif dengan desain penelitian crosssectional. Maka dari itu penelitian ini mengambil populasi pada pasien bedrest total di RS Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada penyakit typoid, stroke, trauma abdomen, trauma tulang belakang, post operasi laparatomy dan post operasi craniotomy dengan lama bedrest total selama lebih dari 3 hari. Penelitian ini menggunakan tekhnik non probability sampling (purposive) yang berarti yaitu tekhnik penentuan sample dengan pertimbangan tertentu. Teknik pengumpulan data dengan questioner. Penelitian ini menggunakan analisis univariate dan bivariate. Hasil : Hasil analisis data menunjukkan nilai p value < 0,05 yaitu sebesar 0,000 dan r 0,615 yang mempunyai nilai signifikan menunjukkan ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan kejadian decubitus di RSU Dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya. Kesimpulan : Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kejadian decubitus di RSU dr.soekardjo Kota Tasikmalaya Kata Kunci : Tingkat kecemasan, Dekubitus. PENDAHULUAN Insidensi dan pravelensi terjadinya dekubitus di Amerika tergolong masih cukup tinggi dan perlu mendapatkan perhatian dari kalangan tenaga kesehatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa insidensi terjadinya dekubitus bervariasi, tapi secara umum dilaporkan bahwa 5-11% terjadi ditatanan perawatan acute care, 15-25% ditatanan perawat jangka panjang atau longterm care, dan 7-12% ditatanan perawatan rumah/homecare (Mukti, 2002). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan insidens dekubitus di Indonesia sebesar 33.3%, angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insidens decubitus di ASEAN yang hanya berkisar %. Namun angka insidens dan prevalensi decubitus masih simpang siur. Hal ini disebabkan perbedaan metodologi, sample, clinical setting, dan variable lainnya (Saldy, 2011). Penelitian di Indonesia dilaporkan dari Annas, HA cit Purwaningsih (2000) menyebutkan bahwa dari 78orang pasien tirah baring yang dirawat di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar sebanyak 12 orang (15,8%) mendapatkan dekubitus. Setyajati (2001) juga melakukan penelitian yang menghitung angka kejadian dekubitus pada pasien tirah baring di RS Muwardi Surakarta, pada bulan Oktober2002 angka kejadian dekubitus sebanyak 38,18%. Penelitian tentang angka kejadian dekubitus juga dilakukan oleh Purwaningasih (2000)di Ruang Al, B1, C1, D1 dan ruang B3IRNAI RSUPDR. Sardjito pada bulan Oktober 2001, didapatkan hasil dari 40 pasien tirah baring, angka insidens mencapai 40%. Angka ini relative tinggi dan akan semakin meningkat jika tidak dilakukan upaya dalam mencegahnya. Kecemasan sendiri merupakan keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya yang ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009). Kecemasan biasanya muncul pertama kali pada masa anak-anak dan remaja (WHO, 2004). Di mana pada usia ini terjadi proses perubahan psikologi dan pembentukan kepribadian sehingga rentan dengan tingginya tingkat kecemasan (Sadock & Sadock, 2007). Kecemasan mempunyai dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif terjadi jika kecemasan muncul pada tingkat ringan hingga sedang dan memberikan kekuatan untuk melakukan sesuatu, membantu individu membangun pertahanan dirinya agar rasa cemas yang dirasakan dapat berkurang sedikit demi sedikit (Leonard, 2009). Kecemasan mengarahkan seseorang untuk mengambil langkah untuk mencegah ancaman atau meringankan akibatnya, contohnya adalah belajar giat untuk mempersiapkan diri menghadapi suatu ujian (Sadock&Sadock, 2007). Sedangkan dampak negatif terjadi jika kecemasan muncul pada tingkat tinggi dan menimbulkan gejala fisik yang dapat berdampak negatif terhadap hasil belajar (Leonard, 2009). Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian denganr umusan Bagaimana hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian decubitus dirs Dr. Soekardjo KotaTasikmalaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan keluarga klien tentang kejadian dekubitus terhadap kejadian dekubitus pada pasien bedrest total di RS Dr. Soekardjo KotaTasikmalaya dengan harapan dapat mencegah terjadinya dekubitus. 306

307 Tinjauan Teori 1. Kecemasan Kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman (Sadock & Sadock, 2007). Gejala dari kecemasan terdiri atas dua komponen, yakni komponen psikis dan komponen fisik. Gejala psikis berupa anxietas atau kecemasan itu sendiri misalnya khawatir atau was-was. Komponen fisik merupakan manifestasi dari kesiagaan yang berlebih (hyperarousalsyndrome) yakni: jantung berdebar, napas cepat (hiperventilasi, yang sering dirasakan sebagai sesak), mulut kering, keluhan lambung, tangan dan kaki terasa dingin dan ketegangan otot (dipelipis, tengkuk, atau punggung), perasaan pusing seperti melayang, rasa kesemutan ditangan dan kaki, kalau parah dapat terjadi spasme otot tangan dan kaki (spasme karpopedal) (Maramis, 2009). Survei komunitas menunjukkan sekitar 3-5% orang dewasa mengalami kecemasan. Kecemasan biasanya dimulai pada awal masa dewasa, antara usia 15 dan 25tahun, tetapi angka terus meningkat setelah usia 35tahun. Dengan rasio perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 2:1 (Puri dkk, 2011). 2. Pengertian Dekubitus Dekubitus adalah luka pada jaringan kulit yang disebabkan oleh tekanan yang berlangsung lama dan terus menerus (Doh,1993 dalam Martin, 1997). Istilah dekubitus diambil dari kata Latin decumbere, yang artinya berbaring. Ini merupakan luka yang terjadi karena tekanan atau iritasi kronis. Keadaan ini terjadi pada kulit punggung pasien yang selalu terbaring ditempat tidur atau yang sulit bangkit dari ranjang perawatan dalam waktu yang lama. Dekubitus mengakibatkan kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan menembus otot bahkan sampai mengenai tulang. Hal ini disebabkan adanya penekanan pada suatu bagian tubuh yang berlangsung terus menerus misalnya karena tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya sehingga peredaran darah di sekitar daerah itu terhenti, yang mengakibatkan kerusakan atau kematian kulit dan jaringan sekitarnya. Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus atau luka dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung dan kepala bagian belakang. Lokasi yang sering terkena dekubitus adalah daerah tumit, siku, kepala bagian belakang, dan daerah sekitar bokong. Penyebab Dekubitus : Kulit kaya akan pembuluh darah yang mengangkut oksigen ke seluruh lapisannya. Jika aliran darah terputus lebih dari 2-3jam, maka kulit akan mati, yang dimulai pada lapisan kulit paling atas (epidermis). Penyebab dari berkurangnya aliran darah ke kulit adalah tekanan. Jika tekanan menyebabkan terputusnya aliran darah, maka kulit yangmengalami kekurangan oksigen pada mulanya akan tampak merah dan meradang lalu membentuk luka terbuka (ulkus). Gerakan yang normal akan mengurangi tekanan sehingga darah akan terus mengalir. Kulit juga memiliki lapisan lemak yang berfungsi sebagai bantalan pelindung terhadap tekanan dari luar. Risiko tinggi terjadinya ulkus dekubitus ditemukan pada: a) Orang-orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah dipasung) b) Orang-orang yang tidak mampu merasakan nyeri, karena nyeri merupakan suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak. Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri. c) Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang penting. d) Gesekan dan kerusakan lainnya pada lapisan kulit paling luar bisa menyebabkan terbentuknya ulkus. Bajuyang terlalu besar atau terlalu kecil, kerutan pada seprei atau sepatu yang bergesekan dengan kulit bisa menyebabkan cedera pada kulit. Pemaparan oleh kelembaban dalam jangka panjang (karena berkeringat, air kemih atau tinja) bisa merusak permukaan kulit dan memungkinkan terbentuknya ulkus. 3. Hubungan Kecemasan dengan Kejadian Dekubitus Kecemasan adalah keadaan tegang yang berlebih tidak pada tempatnya yang ditandai perasaan khawatir, tidakmenentu, atau takut (Maramis, 2009). Dimana Kecemasan mempengaruhi proses berfikir, persepsi dan belajar. Kecemasan cenderung menghasilkan kebingungan dan distorsipersepsi (Sadock &Shadock, 2007). Kejadian decubitus merupakan hal yang terjadi salah satunya karena pasien tidak pernah mengalami kecemasan sehingga tidak menyiapkan diri untuk mencegah / mengatasi cemasnya tersebut atau bisa saja karena tidak mengetahui penyebab terjadinya decubitus. Hal yang lebih parah adalah sudah mengetahui tetapi pasien tidak mau mengatasinya sehingga terjadi decubitus, dan baru mengalami kecemasan bisa saja karena hal-hal yang terjadi setelah mengalami decubitus, ditambah dengan kecemasan akibat penyakit utamanya. 307

308 Hipotesis Nol Tidak ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan kejadian decubitus di RSU Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Metodologi Penelitian : Penelitian Analitik Asosiatif merupakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara dua variabel (atau lebih) tersebut. Dimana hubungan antara variabel dalam penelitian akan dianalis dengan menggunakan ukuran-ukuran statistika yang relevan atas data tersebut untuk menguji hipotesis (Sugiyono, 2008). Jenis penelitian yang sedang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik Asosiatif dengan desain penelitian observatif. Populasi adalah universum dapat berupa orang, benda, gejala, atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti. Populasi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu populasi target (target population) dan populasi survei (surver population) (Danmin, 2003). Maka dari itu penelitian ini mengambil populasi pada pasien bedrest total di RSUD Kota Tasikmalaya pada penyakit typoid, stroke, trauma abdomen, trauma tulang belakang, post operasi laparatomy dan post operasi craniotomy dengan lama bedrest total selama lebih dari 3 hari. Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007), maka dari itu penelitian ini mengambil pada pasien bedrest total di RSUD Kota Tasikmalaya pada penyakit typoid, stroke, trauma abdomen, trauma tulang belakang, post operasi laparatomy dan post operasi craniotomy dengan lama bedrest total selama lebih dari 3 hari.penarikan sampel non probabilitysampling adalah tekhnik pengambilan sampel dengan tidak memberikan peluang yang sama dan setiap anggota populasi, yang bertujuan tidak untuk generalisasi yang berasas pada probabilitas yang tidak sama (Hidayat, 2007), Penelitian ini menggunakan tekhnik non probability sampling yang berarti yaitu tekhnik penentuan sample dengan pertimbangan tertentu. Tekhnik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pengambilan sample dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sample yang ditetapkan. Pengumpulan data dengan kuesioner. Uji Instrumen terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas adalah menyatakan apa yang seharusnya diukur (Nursalam, 2008), Uji reabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam, 2008). Maka instrumen dalam penelitian ini akan diuji dengan uji validitasdan uji reabilitas, dan kami tidak akan menggunakan uji interater rabilitty karena kami yang akan terjun langsung dalam penelitian ini. Analisis data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok penelitian,yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengungkap fenomena (Nursalam, 2008), pada penelitian ini menggunakan analisis univariate dan bivariate. Adapun definisi operasionalnya adalah sebagai mana terlihat pada tabel 1.1 berikut : Nama No Variabel 1 Tingkat Kecemasan Table 1 : Definisi Operasiona Definisi Operasional Skala Penilaian Sesuatu hal yang dirasakan oleh pasien berupa khawatir, waswas, takut yang tanpa obyek. 2 Dekubitus Kerusakan jaringan kulit dan otot akibat tirah baring yang lama dengan ciri-ciri rubor, dolor, calor, rumor dan lesi Nominal 1) Cemas 2) Tidak Cemas Nominal Ringan : Stadium 1 Stadium 2 Berat : Stadium 3 Stadium 4 Hasil Penelitian Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia No Usia Frekuensi Persentase tahun 13 19,70 % tahun 47 71,21 % 3. >51 tahun 6 9,09 % Jumlah % 308

309 Daritabel2 terlihatbahwaberdasarkanusiaresponden,jumlahterbesarberada pada usia antara tahun yakni sebanyak 47 pasien (71,21%), dan usia tahun sebanyak 13 pasien (19,70%), sedangkan persentase terendah berada pada usia lebih dari 51 tahun yakni sebanyak 6 pasien (9,09%). Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar usia pasien yang mengalami dekubitus yakni usia41-50 tahun (71,21 %). Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan NO Tingkat Kecemasan Jumlah Persentase 1 Tidak Cemas 52 78,79% 2 Cemas 14 21,21% JUMLAH % Dari tabel 3 terlihat bahwa responden sebagian besar tidak mengalami kecemasan yakni sebanyak 52 pasien (78,79%), dan responden yang mengalami kecemasan sebanyak 14 pasien (21,21%). Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Dekubitus No Kejadian Dekubitus Jumlah Persentase 1. Stadium ,8 % 2. Stadium ,7 % 3. Stadium ,8 4. Stadium Jumlah % Daritabel 4 di atas, hasilpenilaian decubitus didapatkanhasilbahwaluka decubitus yang masuk kriteria stadium 2 adalah tertinggi yaitu 23 pasien (34.7%), artinya tergolong decubitus ringan sebanyak 40 pasien (60,5%), sedangkan yang mengalami decubitus berat 26 pasien (39.5%). Tabel 5.Tabulasi silang antara Kecemasan dengan Kejadian Dekubitus dirsuddr. Soekardjo KotaTasikmalaya Tahun 2014 KejadianDekubitus Kecemasan Tidak Ada Stadi umi Stadi umii Stadi um III Stadi um IV Total TidakCemas ,1% Cemas ,21% 6 value= 0,045 2 = 4,020 = 0,05 6 Pada tabel 5. diketahui bahwa jika terjadi kecemasan maka kejadian decubitus mengecil yaitu 14 (21.21%), jika pasien tidak cemas maka kejadian decubitus meningkat 52 pasien (87.1%). Dari hasil perhitungan dengan menggunakan chi square diperoleh bahwa value sebesar (0,045) lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha ( ), yaitu 0,045 <0,05. Maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kejadian decubitus di RSU Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengalami kecemasan yakni sebesar 52 pasien(78,79%), dan hanya sebanyak 14 pasien (21,21%) yang mengalami kecemasan. Kemudian berdasarkan hasil uji hipotesis pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa hipotesis peneliti diterima. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara tingkat kecemasan dengan Kejadian Dekubitus pasien. Kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan 309

310 sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman (Taylor, 1995) terutama pada masa masuk ke Rumah Sakit. Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan mempunyai peran yang besar seorang pasien mengalami decubitus atau tidak, memperparah keadaan decubitus atau tidak. Kesimpulan: Berdasarkan data hasil penelitian dan hasil analisis statistik, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara tingkat kecemasan dengan Kejadian Dekubitus di RSU Dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya. Saran : 1. Pasien yang mengalami suatu penyakit yang memerlukan tirah baring yang lama agar sedini mungkin diberikan informasi terjadinya resiko decubitus. 2. Pasien dan keluarga harus ikut berperan serta dalam melakukan mobilisasi untuk pencegahan dekubitus. 3. Perawat terus memonitor psikis pasien terutama kekhawatiran/kecemasan terjadinya dekubitus pada pasien dan memonitor fisik pasien terutama bagian tubuh yang mengalami tekanan lama karena harus bedrest total. DAFTAR PUSTAKA Dahlan, Sopiyudin., Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi5. Jakarta, Salemba Medika. Elvira,D., dan Hadisukanto., Buku Ajar Psikiatri. Jakarta, Balai Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hamilton, M., The Assessment of Anxiety States. British Journal of Medical Psychology. No Hawari, D., Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Edisi kesatu, Cetakan ketiga. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Hawari,D.,2009. Psikometri Alat Ukur (Skala) Kesehatan Jiwa. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya, Airlangga University Press. Mella Kumala,Sari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Orang Tua Anak Yang Dirawat Di Ruang Rawat Inap Akut RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun diakses tanggal 19 Juli 2015 jam wib Mudjadid, E., Pemahaman dan Penanganan Pikosomatik Gangguan Anxietas dan Depresi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. In: SudoyoW.A. (ed). Ilmu Penyakit Dalam. JilidII. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu. Notoatmodjo, S., Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, PT Asdi Mahasatya. Puri,B.K.,Laking,J.Paul.,danTreasaden Buku Ajar Psikiatri Edisi2. Jakarta, EGC. Sadock,B.J.,danSadock,V.A.,2007. Kaplan&Sadock'sSynopsisofPsychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Philadelphia: LippincottWilliams &Wilkins. Silvalitar Konsep Kecemasan. tanggal 21 Pebruaru 2015 jam 16.00wib. Stuart G, & Sundeen J Keperawatan Jiwa. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.Taylor.,danJanet,A.,1953.Personality Scale for Manifest Anxiety. Jurnal of Abnormal and Social Psychologi. Vol

311 KEBUTUHAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA: STUDY LITERATUR Witdiawatiˡ,Sheizi Pristasari² ˡMahasiswa Magister keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung ˡStaf pengajar Akademi Keperawatan Pemkab Garut ²Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung Pendahuluan :Kematian akibat kanker payudara masih menempati urutan pertama pada kasus baru kanker di Indonesia bahkan didunia. Dukungan penuh dari keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita kanker payudara. Tujuan penulisan ini adalah mengidentifikasi kebutuhan dukungan keluarga pada penderita kanker payudara. Metode. Metodologi penelaahan artikeladalah dengan literatur review naratif pada penelitian kuantitatif dan kualitatif yang terpublikasi secara online dari tahun dengan database EBSCO, CINAHL, Proquest dan Google scholar dengan menggunakan kata kunci dukungan keluarga, kanker payudara. Hasil penelusuran didapatkan sembilan artikel yang relevan dengan topik. Hasil. Bentuk dukungan keluarga yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah komunikasi, informasi, hubungan emosional dan rekomendasi pelayanan kesehatan. Dukungan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup dan perawatan penderita kanker payudara. Simpulan. Review ini menyimpulkan kajian penelitian menunjukan dukungan keluarga sangat diperlukan bagi penderita kanker payudara dari mulai awal didiagnosa. Bentuk dukungan keluarga yang dibutuhkan berbeda beda dalam dalam setiap fase perjalanan penyakit. Intervensi keperawatan dengan berbasis keluarga sangat diperlukan dalam penatalaksanaan perawatan kanker payudara. Kata Kunci : dukungan keluarga, kanker payudara 1. LATAR BELAKANG Kanker payudara atau kanker mamae adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam jaringan payudara (Corwin, 2009). Kanker payudara merupakan kanker paling umum pada wanita di seluruh dunia, dengan hampir 1,7 juta kasus baru didiagnosis pada tahun 2012 (World Cancer Research Fund International,2015). Berdasarkan Data Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC), pada tahun 2012 kematian akibat kanker payudara masih menempati urutan pertama pada kasus baru (43,3%,) dan penyebab kematian akibat kasus kanker pada perempuan (12,9%). Di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi penyakit payudara cukup tinggi yaitu 1,4% dengan insidens kanker sebesar 40 per perempuan dan kanker leher rahim 17 per perempuan. Angka ini meningkat dari tahun 2002, dengan insidens kanker payudara 26 per perempuan dan kanker leher rahim 16 per perempuan (Globocan/IARC, 2012). Kanker payudara merupakan salah satu penyakit yang berdampak terhadap kualitas kehidupan penderitanya. Sejak divonis dengan diagnosa kanker payudara maka berbagai prosedur perawatan dan pengobatan harus dijalani oleh penderita kanker payudara. Perubahan fisik dan juga psikologis akibat proses perjalanan penyakit mulai muncul pada penderita kanker payudara. Dampaknya, maka terjadi penurunan kualits hidup dari penderita kanker payudara. Dukungan penuh dari keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita kanker payudara. Keluarga merupakan bagian terdekat dari kehidupan penderita kanker payudara. Keluarga didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang bergantung satu sama lain untuk ikatan emosional, fisik dan dukungan ekonomi. Sedangkan dalam teori ilmu sosial, keluarga adalah sekelompok orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, ikatan darah, atau proses adopsi, dimana mereka merupakan satu rumah tangga, saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan satu sama lain dalam peran sosial masing-masing sebagai suami dan istri, ibu dan ayah, anak dan putri, kakak dan adik; dan berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan budaya umum (Kaakinen,2010). Tujuan penulisan ini adalah mengidentifikasi kebutuhan dukungan keluarga pada penderita kanker payudara. Studi literatur ini berusaha memberikan kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi makna dari dukungan keluarga bagi penderita kanker payudara. Dengan memahami esensi dan makna dari kebutuhan dukungan keluarga pada penderita kanker payudara, maka hasil review ini akan memberikan pemahaman kepada perawat komunitas tentang perawatan pada pasien kanker dan keluarganya di komunitas, sehingga dapat menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik. 2. METODA PENELITIAN Metodologi penelaahan artikel adalah dengan literatur review naratif. Kami melakukan kajian komprehensif dari literatur untuk mengidentifikasi artikel peer-review yang meneliti dukungan keluarga pada penderita kanker payudara. Kajian literatur dilakukan pada penelitian yang terpublikasi secara online dari tahun dengan database EBSCO, CINAHL, Proquest dan Goggle Schollar dengan menggunakan kata kunci dukungan keluarga, kanker payudara. Fokus studi kami dilakukan pada penelitian dibeberapa negara Asia dan Amerika. Hasil penelusuran awal kami dapatkan artikel, kemudian kami kriteriakan lagi secara khusus pada dukungan keluarga bagi penderita kanker payudara saja. Kami mengecualikan artikel yang teridentifikasi 311

312 oleh pencarian database namun tidak secara eksplisit menyebutkan dukungan keluarga bagi penderita kanker payudara. Akhirnya kami didapatkan sembilan artikel yang relevan dengan topik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Berdasarkan hasil pembatasan, dari artikel maka hanya 24 artikel yang memenuhi kriteria. Lima belas artikel kami keluarkan lagi dari kajian karena tidak fokus pada dukungan keluarga. Sebagai hasilnya, akhirnya hanya sembilan arikel yang kami masukan sebagai artikel yang akan kami review. PEMBAHASAN Dukungan keluarga didefinisikan sebagai bentuk hubungan interpersonal yang melindungi seseorang dari efek stress yang buruk (Kaplan dan Sadock, 2002). Sedangkan menurut Friedman (2003) adalah sikap, tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga pada penderita kanker dapat didefinisikan sebagai sikap dan tindakan berupa dukungan dalam bentuk informasi, nilai, instrumen atau sumber daya dan dukungan emosional yang terbentuk karena adanya hubungan interpersonal. Dukungan informasi dari keluarga tentang perawatan dan pengobatan yang harus dijalani oleh penderita kanker payudara merupakan kebutuhan awal pertama kali didiagnosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat pertama kali didiagnosa, maka upaya pertama yang akan keluarga lakukan adalah mencari informasi terkait pengobatan kanker payudara. Pemecahan masalah dan penilaian yang positif adalah prediktor positif dan signifikan dari kecenderungan keluarga untuk mencari dukungan sosial selama menjadi care giver (Rankin, 2011). Mokuau,et.al(2007) dalam penelitian terhadap 8 penderita kanker payudara dan 17 keluarga penderita menyimpulkan bahwa penduduk asli Hawaii melihat keluarga sebagai sumber yang paling penting dari emosi dan dukungan nyata bagi wanita dengan kanker, dan mengidentifikasi kebutuhan untuk meningkatkan dukungan informasi untuk pasien dan keluarga dalam menghadapi kanker. Tipe dukungan yang dibutuhkan penderita kanker payudara dari keluarganya antara lain informasi yang berkaitan dengan perawatan dan pengobatan, tangible, dan dukungan emosional. Komunikasi dalam keluarga juga merupakan faktor yang dapat meningkatkan kualitas hidup penderita kanker payudara. Komunikasi dan dukungan sosial keluarga dianggap memiliki efek langsung dan buffering pada kesejahteraan dan penyesuaian emosional untuk pasien kanker. Hubungan sosial baik kuantitas dan kualitas mempengaruhi kesehatan mental, perilaku kesehatan, kesehatan fisik dan risiko kematian dari penderita kanker payudara (Sampoornam, 2015; Lim, 2013; Saragih, 2012). Penelitian Cohort study prosfektif yang dilakukan oleh Kroenke,et.al (2013) di NewYork mengkaji hubungan antara jaringan sosial dan mekanisme dukungan sosial terhadap kualitas hidup penderita kanker setelah didignosa. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa selain jaringan sosial, dukungan sosial dalam bentuk informasi dan hubungan emosional keluarga secara sigifikan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita kanker payudara setelah penderita didiagnosa. Ketahanan hidup penderita kanker payudara juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga (Lopez,et.al.2011; Graves.2012). Sampoornam(2015), dalam penelitian kualitatifnya di India mengungkapkan ada tiga tema fokus yang berhubungan dengan mekanisme koping keluarga dan survivor kanker payudara yaitu kuantitas dan kualitas hubungan, keterlibatan dalam kelompok dan mempertahankan hubungan. Kuantitas hubungan sosial merupakan hubungan dalam konteks keluarga. Sedangkan kualitas hubungan meliputi aspek positif dari hubungan sosial, seperti dukungan emosional yang diberikan oleh anggota keluarga yang signifikan dan aspek strain sosial seperti tertekan karena diagnosis kanker payudara bagi wanita. Hubungan sosial memiliki efek yang signifikan pada kesehatan wanita dan mempengaruhi jalur perilaku, psikososial dan fisiologis. Kuantitas dan Kualitas hubungan sosial yang sehat terbentuk sepanjang perjalanan hidup dan memiliki dampak kumulatif pada kesehatan dari waktu ke waktu yang membantu dalam prognosis kanker payudara. Disisi lain, hubungan sosial juga memprovokasi sistem jaringan sosial yang mendukung didalam dan di luar keluarga. 4. KESIMPULAN SIMPULAN Review ini menyimpulkan kajian penelitian menunjukan dukungan keluarga sangat diperlukan bagi penderita kanker payudara dari mulai awal didiagnosa. Dukungan keluarga yang dibutuhkan berbeda beda dalam dalam setiap fase perjalanan penyakit. Bentuk dukungan keluarga yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah komunikasi, informasi, hubungan emosional dan rekomendasi pelayanan kesehatan. SARAN Berdasarkan hasil kajian dari beberapa penelitian diatas, dukungan dari keluarga merupakan kebutuhan yang sangat penting dan vital bagi penderita kanker payudara. Hasil studi literatur ini dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan intervensi keperawatan berbasis keluarga agar penderita kanker payudara mendapatkan perawatan secara komprehensif dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya. 312

313 5. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih yang tak terhingga kami haturkan kepada: 1. Kusman Ibrahim,S.Kp.,MNS.,PhD, selaku Dekan fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung 2. Sheizi Pristasari, S.Kep.,Ners.,M.Kep., selaku tim sekaligus pembimbing dalam Study Literatur ini 6. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan RI (2015). Buletin Kanker pusdatin/...kanker.pdf Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, Dikshit R, Eser S, Mathers C, Rebelo M, Parkin DM, Forman D, Bray, F. GLOBOCAN 2012 v1.1, Cancer Incidence and Mortality Worldwide: IARC CancerBase No. 11 [Internet]. Lyon, France: International Agency for Research on Cancer; Available from: accessed on 16/01/ Friedman, Marilyn M., ; Bowden, Vicky R; Jones Elaine G (2003), Family Nursing : Research,Theory and Practice. 5 th edition, New Jersey, Pearson Education Inc. Graves, K. D., Jensen, R. E., Cañar, J., Perret-gentil, M., Leventhal, K., Gonzalez, F.,... Mandelblatt, J. (2012). Through the lens of culture: Quality of life among latina breast cancer survivors. Breast Cancer Research and Treatment, 136(2), doi: Jensen, Niels; Kreuzer, Max (2004). Family Support. Aarhus University Press; Ã rhus, DK Kaakinen, et.al (2010). Family health care nursing : theory, practice, and research. 4 th edition. F. A. Davis Company. Philadelphia Kroenke, C. H., Kwan, M. L., Neugut, A. I., Ergas, I. J., Wright, J. D., Caan, B. J.,... Kushi, L. H. (2013). Social networks, social support mechanisms, and quality of life after breast cancer diagnosis. Breast Cancer Research and Treatment, 139(2), doi: Lim, J., & Ashing-giwa, K. (2013). Is family functioning and communication associated with health-related quality of life for chinese- and korean-american breast cancer survivors? Quality of Life Research, 22(6), doi: Lim, J., & Ashing-giwa, K. (2013). Is family functioning and communication associated with health-related quality of life for chinese- and korean-american breast cancer survivors? Quality of Life Research, 22(6), doi: Lopez-class, M., Perret-gentil, M., Kreling, B., Caicedo, L., Mandelblatt, J., & Graves, K. D. (2011). Quality of life among immigrant latina breast cancer survivors: Realities of culture and enhancing cancer care. Journal of Cancer Education, 26(4), doi: Mokuau, N., D.S.W., & Braun, K. L., D.R.P.H. (2007). Family support for native hawaiian women with breast cancer. Journal of Cancer Education, 22(3), doi: Rankin, S. R. (2011). Influence of coping styles on social support seeking among cancer patient family caregivers (Order No ). Available from ProQuest Nursing & Allied Health Source. ( ). Retrieved from Sampoornam, W. (2015). Hermeneutic circle focusing lived experience of breast cancer survivorship- A phenomenological approach. Asian Journal of Nursing Education and Research, 5(3), Retrieved from Saragih, R. (2012). Peranan Dukungan Keluarga dan Koping Pasien dengan Penyakit Kanker terhadap Pengobatan Kemoterapi di RB 1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun Jurnal Keperawatan. FIK, UDA, Medan 313

314 HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU, PENGETAHUAN, DAN SIKAP IBU POST SC DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI RSUD dr SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA SOFIA FEBRUANTI 1, DUDI HARTONO 2 1Program Studi D III Keperawatan Tasikmalaya, Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya sofiafebruanti@gmail.com 2Program Studi D III Keperawatan Tasikmalaya, Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya duhar09@gmail.com ABSTRAK ASI merupakan nutrisi terbaik bagi bayi, namun banyak faktor yang dapat mempengaruhi ibu menjadi gagal dalam menyusui terutama pada ibu post Sectio Cesarea (SC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik ibu post SC, pengetahuan, dan sikap ibu SC dengan pemberian ASI eksklusif di RSUD dr Soekardjo kota Tasikmalaya. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan pendekatan consecutive sampling, dengan jumlah sampel 67 responden. Hasil penelitian menunjukkan rata- rata umur responden 31,94, pendidikan tinggi 55,2 %, multipara 59,7 %, tidak bekerja di luar rumah 92,5 %, berpengetahuan cukup 46,3 %, sikap positif 77,6 %, pemberian ASI eksklusif 53,7 %. Ada hubungan antara pengetahuan ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif (p=0,007), dan ada hubungan antara sikap ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. Untuk RS sebaiknya memfasilitasi ibu yang akan menjalani SC untuk melaksanakan IMD dan pemberian ASI eksklusif jika keadaan ibu dan bayi stabil Kata kunci: ibu post SC, ASI eksklusif. 1. LATAR BELAKANG Menyusui/ memberikan Air Susu Ibu (ASI) merupakan salah satu cara untuk menekan AKB dan AKN. Diperkirakan lebih dari satu juta anak meninggal tiap tahun akibat diare, penyakit saluran nafas, dan penyakit infeksi lainnya karena mereka tidak disusui secara memadai. Data Susenas ( ) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0 6 bulan di Indonesia menunjukkan penurunan dari 62,2% (2007) menjadi 56,2% (2008) (Depkes, 2010). Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal diantaranya belum optimalnya penerapan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM), pemahaman masyarakat serta gencarnya pemberian susu formula (Depkes, 2010). Pemberian ASI oleh ibu terhadap bayinya merupakan sebuah perilaku. Menurut teori Green (1980), perilaku manusia berasal dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu factor perilaku (behavior causes) dan factor di luar perilaku (non-behavior causes). Sedangkan perilaku ditentukan dari tiga factor yaitu factor predisposisi/ predisposing factors yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai- nilai; factor pendukung/ enabling factors yang meliputi ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan seperti puskesmas, pojok ASI; dan factor pendorong/ reinforcing factors meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Hal ini disebabkan ASI memenuhi semua yang dibutuhkan oleh bayi meliputi perkembangan, nutrisi, dan system imun yang tidak dapat diganti oleh susu formula apapun (Hale, 2007). Beberapa penelitian di Eropa menunjukkan bahwa anak- anak usia 9,5 tahun yang mendapat ASI eksklusif memiliki IQ 12,9 poin lebih tinggi daripada anak seusia yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Suatu penelitian di Inggris menyebutkan bahwa perbedaan rata-rata IQ bayi yang diberi ASI lebih tinggi dibandingkan bayi tanpa ASI (Muktamar, 2007 dalam Mardiyaningsih, 2010). Sedangkan penelitian Nurmiati dan Besral (2008) dalam Mardiyaningsih (2010) menunjukkan bahwa bayi yang disusui dengan durasi 6 bulan atau lebih memiliki ketahanan hidup 33,3 kali lebih baik daripada bayi yang disusui kurang dari 4 bulan, dan bayi yang disusui dengan durasi 4-5 bulan memiliki ketahanan hidup 2,6 kali lebih baik daripada bayi yang disusui kurang dari 4 bulan. Namun, banyak ibu yang tidak memberikan ASI kepada bayinya, atau hanya memberikan ASI parsial. Penyebabnya antara lain sulitnya menyusui saat minggu- minggu pertama kelahiran, kurangnya dukungan dari tenaga kesehatan dan budaya, persepsi yang salah tentang tidak adekuatnya supply ASI atau ibu memiliki persepsi yang salah bahwa ia tidak dapat mencukupi kebutuhan bayinya (Glover, Manaen, Waldon, 2007). Siregar (2004) menyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain ASI tidak segera keluar setelah melahirkan/ produksi ASI kurang, kesulitan bayi dalam mengisap, keadaan putting susu ibu yang tidak menunjang, ibu bekerja, dan pengaruh promosi susu formula. Sedangkan hasil penelitian Ambarwati (2004), terdapat hubungan antara pengetahuan ibu, status pekerjaan ibu, promosi susu formula bayi dengan kegagalan pemberian ASI eksklusif. 314

315 Produksi ASI yang kurang merupakan penyebab terbanyak kegagalan menyusui (Zuppa et al, 2010). Berkurangnya produksi ASI dapat terjadi karena berbagai keadaan seperti kelahiran premature, penyakit ibu atau anak, pemisahan antara bayi dengan ibu, laktasi secara tidak langsung, cemas, lelah, dan stress emosional. Colin & Scott (2002) menyatakan bahwa kebanyakan ibu tidak memiliki persiapan untuk menghadapi masalah atau kesulitan dalam menyusui. Mereka berhenti menyusui karena cemas terhadap produksi ASI-nya yang kurang. Produksi ASI yang menurun pada hari- hari pertama persalinan disebabkan kurangnya rangsangan hormone prolactin dan oksitosin. Isapan bayi pada puting ibu akan merangsang pengeluaran hormon prolaktin (yang merangsang produksi ASI) dan hormon oksitosin (yang merangsang refleks pengeluaran ASI). Kerja kedua hormon tersebut akan membuat kolostrum lebih cepat keluar. Selain isapan bayi pada putting susu ibu, dapat dilakukan juga dengan melakukan perawatan atau pemijatan payudara, membersihkan puting, sering menyusui bayi meskipun ASI belum keluar, menyusui dini dan teratur serta pijat oksitosin dapat diaplikasikan untuk membantu produksi ASI (Biancuzzo, 2003; Mardiyaningsih, 2010). Berdasarkan hasil observasi di RS, ibu post SC tidak bisa langsung menyusui bayinya karena dianggap belum sadar penuh, ibu masih perlu istirahat, dan nyeri pada sekitar luka operasi. Hal ini merupakan salah satu penyebab terbesar produksi ASI menurun pada hari- hari pertama post partum SC. Oleh sebab itu, program pendidikan harus diberikan pada semua ibu menyusui untuk mengatasi masalah seperti frekuensi dan lama menyusui yang tidak adekuat, perlekatan yang kurang tepat, pengosongan payudara yang tidak adekuat selama pengeluaran ASI baik secara manual ataupun mekanikal, dan lain- lain (Zuppa et al, 2010). Program pendidikan atau edukasi tentang menyusui dapat diberikan sejak kehamilan. Hasil penelitian Budiarti (2009) menunjukkan bahwa edukasi yang diberikan pada masa kehamilan berpengaruh terhadap produksi ASI. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kuantitatif. Rancangan yang digunakan adalah rancangan penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu post SC. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik consecutive sampling, dengan jumlah 67 responden. Kriteria inklusi sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu post SC, ibu melahirkan SC di RSU dr Soekardjo Tasikmalaya, ibu berdomisili di wilayah kota Tasikmalaya, dan bersedia menjadi responden. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapatkan surat izin pelaksanaan penelitian dari pimpinan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya dan kesbangpol kota Tasikmalaya. Selanjutnya peneliti berkoordinasi dengan pihak RSU dr Soekardjo kota Tasikmalaya untuk mengidentifikasi ibu post SC yang lahir minimal 6 (enam) bulan yang lalu. Kemudian peneliti menghubungi ibu post SC untuk memberikan kuesioner apakah bayinya diberikan ASI eksklusif selama minimal 6 bulan. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan serta manfaat penelitian kepada calon reponden. Jika responden setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian, maka responden diminta menandatangani informed consent dan mengisi lembar data demografi serta kuesioner. Analisis data menggunakan analisis univariat dan dan bivariat. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Table 1. Distribusi responden menurut umur, n=67 Variable Mean SD Min-maks 95 % CI Umur , ,42 33,46 Pada table 1., hasil analisis didapatkan rata- rata umur ibu adalah tahun dengan standar deviasi 6,223 tahun. Umur termuda 21 tahun dan umur tertua 43 tahun. Table 2. Distribusi responden menurut pendidikan Pendidikan Jumlah Persentase (%) Rendah (SD, SMP) 30 44,8 Tinggi (SMU, PT) 37 55,2 Total Distribusi pendidikan responden pada umumnya adalah tinggi sebanyak 37 orang (55,2 %). Table 3. Distribusi responden menurut paritas Paritas (jumlah melahirkan) Jumlah Persentase (%) Primipara 27 40,3 Multipara 40 59,7 Total Distribusi paritas responden pada umumnya adalah multipara sebanyak 40 orang (59,7 %). 315

316 Table 4. Distribusi reponden menurut pekerjaan Pekerjaan Jumlah Persentase (%) Bekerja di luar rumah Tidak Bekerja di luar rumah ,5 92,5 Total Distribusi pekerjaan responden pada umumnya adalah tidak bekerja di luar rumah sebanyak 62 orang (92,5 %). Table 5. Distribusi responden menurut sumber informasi Sumber informasi Jumlah Persentase (%) Media cetak 18 26,9 Petugas kesehatan 49 73,1 Total Distribusi sumber informasi yang didapat responden pada umumnya adalah berasal dari petugas kesehatan sebanyak 49 orang (73,1 %). Table 6. Distribusi responden menurut pengetahuan Pengetahuan Jumlah Persentase (%) Baik 23 34,3 Cukup 31 46,3 kurang 13 19,4 Total Distribusi pengetahuan responden pada umumnya adalah cukup sebanyak 31 orang (46,3 %). Table 7. Distribusi responden menurut sikap Sikap Jumlah Persentase (%) Positif 52 77,6 Negatif 15 22,4 Total Distribusi sikap responden pada umumnya adalah positif sebanyak 52 orang (77,6 %). Table 8. Distribusi responden menurut pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Jumlah Persentase (%) Ya 36 53,7 Tidak 31 46,3 Total Distribusi pemberian ASI eksklusif responden pada umumnya adalah iya sebanyak 36 orang (53,7 %). Table 9. Distribusi responden menurut paritas dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Total Paritas Tidak Ya P-value n % n % N % Primipara 20 74,1 7 25, ,006 Multipara Jumlah 36 53, , Pada table 9., hasil analisis hubungan antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa ada sebanyak 20 orang primipara post SC yang tidak memberikan ASI eksklusif (74,1 %). Multipara post SC yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 24 orang (60 %). Hasil uji statistic diperoleh nilai p=0,006, maka dapat disimpulkan ada hubungan antara paritas ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. 316

317 Table 10. Distribusi responden menurut pekerjaan dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Total Pekerjaan Tidak Ya P-value N % n % n % Bekerja di luar rumah ,057 Tidak bekerja di luar rumah Jumlah 36 53,7 46, Pada table 10., hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa ada sebanyak 5 orang ibu bekerja di luar rumah yang memberikan tidak ASI eksklusif (100 %). Ibu yang tidak bekerja di luar rumah yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 50 orang (62 %). Hasil uji statistic diperoleh nilai p=0,057, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. Table 11. Distribusi responden menurut sumber informasi dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Total Sumber informasi Tidak Ya P-value n % n % n % Media cetak elektronik 11 61,1 7 38, ,463 Petugas kesehatan Jumlah 36 53, , Pada table 11., hasil analisis hubungan antara sumber informasi dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa ada sebanyak 11 orang ibu dengan sumber informasi media cetak dan elektronik yang tidak memberikan ASI eksklusif (61,1 %). Ibu yang mendapatkan sumber informasi berasal dari petugas kesehatan yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 24 orang (49 %). Hasil uji statistic diperoleh nilai p=0,463, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara sumber informasi yang didapatkan ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. Table 12. Distribusi responden menurut pendidikan dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Total Pendidikan Tidak Ya P-value n % n % n % Rendah 20 66, , ,056 Tinggi 16 43, , Jumlah 36 53, , Pada table 12., hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa ada sebanyak 20 orang ibu dengan pendidikan rendah yang tidak memberikan ASI eksklusif (66,7 %). Ibu yang berpendidikan tinggi yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 21 orang (56,8 %). Hasil uji statistic diperoleh nilai p=0,056, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. Baik Cukup Kurang Table 13. Distribusi responden menurut pengetahuan dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Pengetahuan Tidak Ya Total n % N % n % 11 47, , , , ,3 1 7,7 13 P-value Jumlah 36 53, , Pada table 13., hasil analisis hubungan antara pengetahuan ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa ada sebanyak 11 orang ibu berpengetahuan baik yang tidak memberikan ASI eksklusif (47,8 %). Ibu berpengetahuan kurang yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 1 orang (7,7 %). Hasil uji statistic diperoleh nilai p=0,007, maka dapat disimpulkan ada hubungan antara pengetahuan ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. 0,

318 Table 14. Distribusi responden menurut sikap dan pemberian ASI eksklusif Pemberian ASI eksklusif Total Sikap Tidak Ya P-value n % N % n % Positif 23 44, , ,004 Negatif 13 86,7 2 13, Jumlah 36 53, , Pada table 14., hasil analisis hubungan antara sikap ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif diperoleh bahwa ada sebanyak 23 orang ibu memiliki sikap positif yang tidak memberikan ASI eksklusif (44,2 %). Ibu memiliki sikap negatif yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 2 orang (13,9 %). Hasil uji statistic diperoleh nilai p=0,004, maka dapat disimpulkan ada hubungan antara sikap ibu post SC dengan pemberian ASI eksklusif. B. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata- rata umur responden adalah 31,94 tahun, dengan umur termuda 21 tahun dan 43 tahun. Pendidikan responden termasuk tinggi sebanyak 37 orang (55,2 %), Paritas responden termasuk kategori multipara sebanyak 40 orang (59,7 %), Pekerjaan responden termasuk kategori bekerja di luar rumah sebanyak 62 orang (92,5 %), Sumber informasi responden umumnya berasal dari petugas kesehatan sebanyak 49 orang (73,1 %), Sikap responden umumnya termasuk kategori positif sebanyak 52 orang (77,6 %), Pemberian ASI eksklusif sebanyak 36 orang (53,7 %). Pemberian ASI eksklusif yang cukup rendah pada ibu post SC ini merupakan salah satu penyumbang penyebab rendahnya pemberian ASI. Padahal target Indonesia untuk pencapaian pemberian ASI eksklusif pada usia 0 6 bulan pada tahun 2015 adalah minimal 80 % ibu memberikan ASI eksklusif (Hesna, 2014). Sectio caesarean (SC) merupakan salah satu metode persalinan buatan melalui abdomen, jika persalinan pervaginam tidak dapat dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Namun banyak dampak yang ditimbulkan jika ibu melahirkan dengan cara SC. Salah satu dampak tersebut adalah masalah pemberian ASI. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Salah satu penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif dari faktor internal antara lain pengetahuan yang rendah, sikap ibu terhadap ASI eksklusif yang negatif (Yulianah, Bahar, Salam, 2013). Sedangkan menurut Widaningsih (2013), kemauan bayi untuk menyusu, niat ibu, adanya kesempatan, informasi, dukungan petugas kesehatan, keluarga/masyarakat, tegasnya kebijakan pemerintah dan perlindungan terhadap wanita bekerja merupakan kunci keberhasilan ASI eksklusif. Berbagai hasil penelitian di berbagai negara memperlihatkan bahwa persalinan dengan SC memberi dampak menurunnya pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Hal ini mengakibatkan penurunan pemberian ASI pada tiga hari pertama kelahiran terutama saat bayi masih dirawat di RS, dan hari- hari berikutnya (Kuyfer, Vitta, Dewey, 2014). Masalah ini pun terjadi di kebanyakan RS yang ada di Indonesia. Hanya beberapa RS saja yang memfasilitasi ibu- ibu yang melahirkan secara SC untuk melaksanakan IMD, menyusui secara eksklusif tanpa bantuan susu formula sedikitpun. RSUD dr Soekardjo memiliki kebijakan bahwa ibu yang melahirkan secara SC maka bayi langsung dirawat di ruang perinatologi selama ibu belum mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan menunggu keadaan bayi stabil. Hal ini dilakukan karena ibu umumnya mengeluh belum sadar penuh, merasa nyeri pada luka bekas operasi, tidak bisa menyusui karena nyeri saat bergerak, ASI belum keluar, bayi menangis. Kurangnya dukungan tenaga kesehatan dalam pemberian ASI eksklusif dan penundaan rawat gabung merupakan salah satu penyebab gagalnya pemberian ASI eksklusif (Wulandari & Dewanti, 2014). Hal ini tentu membuat program pemberian ASI eksklusif menjadi tidak berhasil. Keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada ibu post SC banyak dipengaruhi oleh faktor. Pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian ASI eksklusif merupakan faktor penting kunci keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang memiliki pengetahuan baik tentang pemberian ASI eksklusif dan sikap ibu yang positif terhadap pemberian ASI eksklusif menjadi faktor utama pemberian ASI eksklusif pada bayinya menjadi berhasil. Ibu yang memiliki pengetahuan baik tentang ASI eksklusif akan mengusahakan untuk memberikan ASI pada bayinya. Karena ibu mengetahui bahwa ASI tidak digantikan oleh makanan/ minuman apapun. Hal ini menjadi dasar seorang ibu untuk tetap berusaha memberikan ASI walaupun persalinannya mengalami SC. Walaupun pada saat dilakukan pengambilan data, ada beberapa ibu yang mengatakan bahwa pada hari pertama dirawat di RS, bayinya tidak diberikan ASI namun setelah bayi dirawat gabung bersama ibu, ibu berusaha memberikan ASI eksklusif walaupun merasa nyeri pada luka bekas operasi. Pengetahuan yang baik dan sikap positif tidak berbanding lurus dengan pendidikan dan sumber informasi. Artinya walaupun ibu memiliki pendidikan tinggi dan sumber informasi yang didapatkan dari berbagai sumber, 318

319 namun jika tidak memiliki sikap positif terhadap pemberian ASI maka keberhasilan pemberian ASI eksklusif sulit dicapai. Pekerjaan pun banyak berkontribusi terhadap keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara ibu yang bekerja di luar rumah dengan ibu yang tidak bekerja di luar rumah terhadap pemberian ASI eksklusif, namun bukan berarti bahwa ibu yang bekerja di luar rumah tidak dapat memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian Februanti, Suprapti, Susanti, (2013) menunjukkan bahwa ibu bekerja pun masih tetap dapat memberikan ASI eksklusif. Ibu bekerja di luar rumah dapat berhasil memberikan ASI eksklusif jika memiliki pengetahuan tentang ASI eksklusif yang baik, motivasi yang kuat dalam memberikan ASI eksklusif, dukungan keluarga dan tempat bekerja untuk memberikan ASI eksklusif. Sikap ibu yang positif pun merupakan faktor penting keberhasilan pemberian ASI. Jika ibu memiliki sikap positif terhadap pemberian ASI maka ibu akan mengusahakan agar tetap memberikan ASI eksklusif walaupun dilakukan persalinan SC. Paritas merupakan jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu primiara merupakan ibu yang baru pertama kali melahirkan. Sedangkan multipara adalah ibu yang melahirkan lebih dari satu kali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara paritas dengan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang pernah melahirkan lebih dari satu kali yang berhasil memberikan ASI eksklusif pada anak sebelumnya cenderung untuk berhasil memberikan ASI eksklusif pada anak berikutnya. Namun bukan berarti ibu yang baru melahirkan pertama kali tidak ada berhasil memberikan ASI eksklusif. Karena ada faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan ibu memberikan ASI eksklusif. 4. KESIMPULAN A. Rerata umur responden adalah 31,94 tahun, dengan umur termuda 21 tahun dan 43 tahun. Pendidikan responden termasuk tinggi sebanyak 37 orang (55,2 %), Paritas responden termasuk kategori multipara sebanyak 40 orang (59,7 %), Pekerjaan responden termasuk kategori bekerja di luar rumah sebanyak 62 orang (92,5 %), Sumber informasi responden umumnya berasal dari petugas kesehatan sebanyak 49 orang (73,1 %), Sikap responden umumnya termasuk kategori positif sebanyak 52 orang (77,6 %), Pemberian ASI eksklusif sebanyak 36 orang (53,7 %). B. Ada hubungan antara paritas, pengetahuan, dan sikap ibu post SC terhadap pemberian ASI eksklusif. C. Tidak ada hubungan antara pendidikan, pekerjaan, dan sumber informasi ibu post SC terhadap pemberian ASI eksklusif 5. DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, Ria. (2004). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kegagalan Pemberian asi Eksklusif Di Wilayah Binaan Puskesmas Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Tahun Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Biancuzzo, M. (2003). Breastfeeding the newborn: Clinical strategies for nurses. St. Louis: Mosby. Budiarti, T. (2009). Efektifitas pemberian paket sukses ASI terhadap produksi ASI ibu menyusui dengan seksio sesarea di wilayah Depok Jawa Barat. Tesis. Depok: FIK UI. Tidak dipublikasikan Colin, WB., Scott, JA. (2002). Breastfeeding: reasons for starting, reasons for stopping aand problems along the way. Breastfeeding Review : Professional Publication of the Nursing Mothers' Association of Australia [2002, 10(2):13-19]. Februanti, Sofia., Suprapti, Betty., Susanti, Dwi Dahlia. (2013). Pengalaman ibu bekerja di luar rumah yang memberikan ASI eksklusif di kota Tasikmalaya. Buletin Media Informasi. Edisi 1 tahun 2013 Glover, Marewa., Manaen, Harangi., Wolden, Jhon. (2007). Influences that affect Maori women breastfeeding. Maori Breastfeeding Review 2007; 15 (2): 5-14 Hale, Ralph. (2007). Breastfeeding: maternal and infant aspect. ACOG clinical review. vol. 12. Jan-feb Hesna, Yervi. (2014). Pemenuhan hak menyusui pada ibu. Diunduh dari pada tanggal 29 November Kementrian kesehatan RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia tahun Jakarta: Kemenkes RI Kuyfer, Edye., Vitta, Bineti., Dewey, Kathryn. (2014). Implications of Cesarean Delivery for Breastfeeding Outcomes and Strategies to Support Breastfeeding. Washington DC: A&T Technical Brief Mardiyaningsih, Eko. (2010). Efektifitas Kombinasi Teknik Marmet dan Pijat Oksitosin Terhadap Produksi Asi Ibu Post Seksio di Rumah Sakit Wilayah Jawa Tengah. Tesis. Depok: FIK UI Siregar, MHD, Arifin. (2004). Faktor faktor yang mempengaruhi pemberian ASI oleh ibu melahirkan. Medan: FKM USU Widaningsih. (2013). Faktor penentu pemberian ASI eksklusif pada pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah mada 319

320 WHO. (2006). Pregnant adolescents: delivering on global promises of hope. Switzerland: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. Wulandari, Dwi Retno., Dewanti, Linda. (2014). Rendahnya praktik menyusui pada ibu post sectio caesarea dan dukungan tenaga kesehatan di rumah sakit. Jurnal kesehatan masyarakat nasional. Vol. 8 no. 8 Mei Yulianah, Nana., Bahar, Burhanuddin., Salam, Abdul. (2013). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Kepercayaan Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Bonto Cani Kabupaten Bone Tahun Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Zuppa, Antonio., et all. (2010). Safety and Efficacy of Galactogogues: Substances that Induce, Maintain and Increase Breast Milk Production. J Pharm Pharm Sci, 13 (2): ,

321 HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG MENARCHE DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWI KELAS 1 DAN 2 DI SMK BUNDA AUNI BEKASI TAHUN 2014 MARNI K 1, TETTY R 1, NELIL M 2 LENNY I 1,, ARI 3 DAN EMMA K 4 1 Program Studi DIII Kebidanan STIKes Medistra Indonesia Bekasi marni_karo@yahoo.com 2 Akademi Kebidanan bunda Auni Bekasi-Bogor 3 Klinik Bakti Tunas Husada Tasikmalaya 4 Program studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Jawa Barat Abstrak -Remaja putri ditandai dengan datangnya haid pertama (menarche). Apabila mereka sudah mendapatkan informasi yang benar tentang datangnya menstruasi maka mereka tidak akan mengalami kecemasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi kelas 1-2 di SMK Bunda Auni Tahun Desain penelitian ini adalah Deskriptif Analitik dengan rancangan penelitian Cross Sectional, 173 orang sebagai sampel, dan menggunakan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 46 siswi (26,6%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan ringan, 16 siswi (9,2%) dengan tingkat kecemasan sedang, 8 siswi (4,6%) dengan tingkat kecemasan berat, 2 siswi (1,1%) dengan tingkat kecemasan panik, 4 siswi (2,3%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan ringan, 41 siswi (23,7%) dengan tingkat kecemasan sedang, 18 siswi (10,4%) dengan tingkat kecemasan yang berat, 1 siswi (0,6%) yang memiliki pengetahuan kurang dengan tingkat kecemasan sedang, 36 siswi (20,8%) yang tingkat kecemasan berat, dan 1 siswi (0,6%) dengan tingkat kecemasan panik. Dengan p value = 0,0005 lebih kecil dari α value = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 gagal ditolak, dimana hasil analisanya menunjukkan bahwa ada Hubungan Pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi kelas 1-2 di SMK Bunda Auni Tahun Kata Kunci : Pengetahuan, Menarche, Tingkat Kecemasan 1. PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa yang lebih dewasa. Remaja adalah individu baik laki-laki maupun perempuan yang berada pada masa usia antara anak-anak dan dewasa, yang menurut WHO batasan usianya adalah 10 tahun sampai dengan 19 tahun. (Qonitatin Ulfah, 2009) Berapa tahun terakhir masalah kesehatan reproduksi remaja menjadi kepedulian Nasional karena disadari bahwa remaja dalam hidupnya menghadapi berbagai masalah khusus yang membutuhkan perhatian yang khusus pula. Kebutuhan terhadap kesehatan reproduksi remaja sebenarnya merupakan permasalahan dunia, akan tetapi di negara kita hal ini tidak mendapatkan perhatian yang memadai (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Program kesehatan reproduksi remaja merupakan upaya untuk membantu remaja agar memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap dan perilaku kehidupan reproduksi sehat dan bertanggungjawab. Kesehatan reproduksi ini tidak saja bebas dari penyakit dan kecacatan, namun juga sehat mental dan sosial dari alat, sistem, fungsi serta proses reproduksi (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Data demografi di Amerika Serikat (1990) menunjukkan jumlah remaja berumur tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia, sepertiganya adalah remaja umur tahun. (Maesaroh, 2010). Di Indonesia ada sekitar remaja berusia tahun atau sekitar 30,2% dari total penduduk Indonesia (Widyastuti, 2009). Namun tidak semua remaja di Indonesia menyadari bahwa pada masa remaja terjadi perubahan yang besar. Terjadinya perubahan besar ini umumnya membingungkan remaja yang mengalaminya. Pada saat inilah dalam kehidupan remaja diperlukan perhatian khusus agar mereka mempunyai pengetahuan yang baik tentang perubahan yang dialaminya, sehingga diharapkan mereka mempunyai perilaku yang baik terhadap kesehatan reproduksinya, khususnya pada saat pertama kali menstruasi atau menarche. Saat terjadi menarche, tidak semua remaja memberikan reaksi positif saat mengalaminya. Berk (1993) mengungkapkan, reaksi remaja wanita terhadap datangnya haid pertama (menarche), yaitu reaksi negatif, ketika muncul menstruasi pertama, seorang individu akan merasakan keluhan-keluhan psikologis (sakit kepala, sakit pinggang, mual-mual, muntah) maupun kondisi psikologis yang tak stabil (bingung, sedih, stress, cemas, mudah tersinggung, marah emosional). Reaksi-reaksi tersebut kemungkinan bisa muncul karena ketidaktahuan remaja tentang perubahanperubahan fisiologis yang terjadi pada awal kehidupan seorang remaja wanita dan kurangnya pengetahuan, dimana hal ini bisa disebabkan dari segi fisik dan psikologis remaja yang belum matang, informasi yang kurang dari orang tua menyebabkan timbulnya perasaan cemas dan takut pada remaja ketika menstruasi pertama tiba. 321

322 Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi tkelas 1-2 di SMK Bunda Auni Bekasi METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Dimana metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menghubungkan variabel independen dan variabel dependen. Populasi dalam penelitian adalah remaja putri di Akbid Yaleka maro Merauke sebanyak 306 responden pada bulan Februari Pengambilan sampel ini menggunakan teknik pengambilan sampel acak terstratifikasi (stratified random sampling) adalah metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi ke dalam kelompok-kelompok yang homogen yang disebut strata. 3. HASIL PENELITIAN Analisa Univariat Variabel pengetahuan tentang menarche pada remaja putri Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan pada Remaja Putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 Pengetahuan Frekuensi Persentasi (%) Baik 72 41,6 Cukup 63 36,4 Kurang 38 22,0 Total Pengetahuan Tingkat Kecemasan Total P.Value Ringan Sedang Berat Panik n % n % n % n % n % Baik 46 26,6 16 9,2 8 4,6 2 1, ,6 Cukup 4 2, , , ,4 0,0005 Kurang , ,8 1 0, Total 50 28, , ,8 3 1, Berdasarkan tabel di atas, distribusi frekuensi pengetahuan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan dari 173 remaja putri terdapat 72 remaja putri (41,6%) yang memiliki pengetahuan baik tentang menarche, 63 remaja putri (36,4%) yang memiliki pengetahuan cukup tentang menarche, dan 38 remaja putri (22,0%) yang memiliki pengetahuan kurang tentang menarche.variabel tingkat kecemasan pada remaja putri Tabel.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan pada Siswi di SMK Bunda Auni Tahun 2014 Tingkat Kecemasan Frekuensi Persentasi (%) Ringan 50 28,90 Sedang 58 33,53 Berat 62 35,84 Panik 3 1,73 Total Berdasarkan tabel di atas, distribusi frekuensi tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan dari 173 remaja putri terdapat 50 remaja putri (28,90%) yang memiliki tingkat kecemasan ringan, 58 remaja putri (33,53%) yang memiliki tingkat kecemasan sedang, 62 siswi (35,84%) yang memiliki tingkat kecemasan berat, dan 3 remaja putri (1,73%) yang memiliki tingkat kecemasan panik. 322

323 Analisa Bivariat Berdasarkan tabel di atas, di dapatkan hubungan pengetahuan dengan tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 di peroleh bahwa dari 173 remaja putri, sebanyak 46 remaja putri (26,6%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan ringan, 16 remaja putri (9,2%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan sedang, 8 remaja putri (4,6%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan berat, 2 remaja putri (1,1%) yang memiliki pengetahuan baik dengan tingkat kecemasan panik, 4 remaja putri (2,3%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan ringan, 41 remaja putri (23,7%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan sedang, 18 remaja putri (10,4%) yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat kecemasan yang berat, 1 remaja putri (0,6%) yang memiliki pengetahuan kurang dengan tingkat kecemasan sedang, 36 remaja putri (20,8%) yang memiliki pengetahuan yang kurang dengan tingkat kecemasan berat, dan remaja putri (0,6%) yang memiliki pengetahuan kurang dengan tingkat kecemasan panik. Dan dari hasil uji statistik di dapatkan P value yaitu 0,0005 sedangkan nilai α = 0,05 jadi, dapat diketahui bahwa nilai P value< α (0,0005<0,05). Jadi dapat di simpulkan bahwa H0 ditolak, artinya maka terdapat hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada remaja putri. PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan Tentang Menarche dengan Tingkat Kecemasan pada Remaja Putri Menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal. Menurut Notoatmodjo (2011) Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian dasar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menarche didefinisikan sebagai pertama kali menstruasi, yaitu keluarnya cairan darah dari alat kelamin wanita berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung pembuluh darah. Menurut Berk (1993); Turner dan Helms (1995); Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih Dirga Gunarsa (1991) mengungkapkan reaksi remaja wanita terhadap datangnya haid pertama (menarche), yaitu reaksi negatif, ketika muncul menstruasi pertama, seorang individu akan merasakan keluhan-keluhan psikologis maupun kondisi psikologis yang tak stabil (bingung, sedih, stress, cemas, mudah tersinggung, marah emosional). Hal ini kemungkinan karena ketidaktahuan remaja tentang perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada awal kehidupan seorang remaja wanita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kecemasan ini disebabkan karena siswi yang baru mengalami menarche, mereka merasakan siklus haid yang belum teratur sehingga mereka merasa cemas yang berat sehingga mengakibatkan kepanikan. Kecemasan ini juga diakibatkan karena kurangnya pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang terjadi seperti perubahan fisik, psikologis, dan emosi sehingga mereka merasa bingung dan takut. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Vera susanti dan Yusi Sofiyah (2008) di salah satu SMP di daerah Bandung terdapat siswi yang memiliki pengetahuan rendah dengan tingkat kecemasan yang berat. Hal ini terbukti bahwa pembekalan pada remaja yaitu pengetahuan tentang menarche akan mempengaruhi sikap mereka. Sikap dalam penelitian ini adalah kecemasan mereka. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dengan pengetahuan yang tinggi akan mempengaruhi kecemasan pada mereka. Dan dari hasil uji statistik di dapatkan P value yaitu 0,0005 sedangkan nilai α = 0,05. Jadi, dapat diketahui bahwa nilai P value< α (0,0005<0,05). Maka dapat di simpulkan bahwa H0 ditolak, artinya maka terdapat hubungan pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada siswi. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka hasil penelitian tentang Hubungan Pengetahuan Tentang Menarche dengan Tingkat Kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Distribusi frekuensi pengetahuan tentang menarche pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan 72 remaja putri (41,6%) yang memiliki pengetahuan baik tentang menarche dan 38 remaja putri (22,0%) yang memiliki pengetahuan kurang tentang menarche. 323

324 2. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 menunjukkan 50 remaja putri (28,90%) yang memiliki tingkat kecemasan ringan dan 3 remaja putri (1,73%) yang memiliki tingkat kecemasan panik. 3. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang menarche dengan tingkat kecemasan pada remaja putri di SMK Bunda Auni Tahun 2014 dengan P value FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEAKTIFAN KADER POSYANDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SINGAPARNA KAB. TASIKMALAYA TAHUN 2015 SONI HERSONI ABSTRAK Keaktifan kader dalam kegiatan Posyandu akan meningkatkan keterampilan karena dengan selalu hadir dalam kegiatan, kader akan mendapat tambahan keterampilan dari pembinaan petugas maupun dengan belajar dari teman sekerjanya. Namun pada kenyataannya masih ada posyandu yang mengalami keterbatasan kader karena tidak semua kader aktif dalam setiap kegiatan posyandu sehingga posyandu tidak dapat berjalan lancar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi keaktifan kader posyandu di pukesmas Singaparna kabupaten Tasikmalaya..Penelitian ini bersifat Analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan mengetahui faktor yang mempengaruhi keaktifan kader dan hubungannya dengan keaktifan kader posyandu. Populasi dalam penelitian ini seluruh kader posyandu yang ada di 21 unit posyandu berjumlah 106 orang dan yang di ambil dengan mengunukan rumus slovin jadi keseluruhan kader yang tinggal 52 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 52 orang. Penelitian dilakukan pada tanggal agustus di pukesmas peusangan siblah krueng. Analisa yang digunakan mengunakan chi square. Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 52 orang kader yang aktif sebanyak 37 orang (71,2%). Pendidikan tinggi 37 orang (71,2%), yang pernah mendapatkan insentif 39 orang (75%), dan yang mendukung sebanyak 43 orang (82,7%). Dari hasil uju statistik diperoleh bahwa ada pengaruh tingkat pendidikan (p-value=0,019), pemberian insentif kader (p-value = 0,005), dan dukungan keluarga (P-Value = 0,005) terhadap keaktifan kader posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Tahun Sesuai hasil penelitian disarankan kepada petugas kesehatan agar terus mengegerakkan kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu, dan kepada pemerintah agar dapat memperhatikan kesejahteraan keder posyandu agar kader termotivasi untuk dapat aktif dan semangat dalam menjalankan posyandu. Kata Kunci : Faktor Pendidikan, Insentif Kader, Dukungan Kelurga Latarbelakang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan mengemban misi untuk mendorong kemandirian masyarakat dalam hal hidup sehat melalui pemberdayaan masyarakat. Wujud nyata dari dari upaya pemberdayaan masyarakat adalah hadirnya berbagai bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) disetiap wilayah kerja Puskesmas. UKBM yang memiliki peranan nyata dan telah mampu berkembang di tengah masyarakat yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) (KemenKes RI, 2011,). Menurut Abdullah (2010) bahwa kader dalam pelaksanaan Posyandu merupakan titik sentral kegiatan Posyandu, keikutsertaan dan keaktifannya diharapkan mampu mengerakkan partisipasi masyarakat. Namun keberadaan kader relatif labil karena partisipasinya bersifat sukarela sehingga tidak ada jaminan bahwa para kader akan tetap menjalankan fungsinya dengan baik seperti yang diharapkan. Jika ada kepentingan keluarga atau kepentingan lainnya maka Posyandu akan ditinggalkan. Namun kenyataaan di lapangan menunjukkan masih ada posyandu yang mengalami keterbatasan kader, yaitu tidak semua kader aktif dalam setiap kegiatan posyandu sehinggga pelayanan tidak berjalan lancar. Idealnya posyandu purnama dan mandirim jumlah kadernya minimal 5 orang. Keterbatasan kader disebabkan adanya kader drop out karena lebih tertarik bekerja di tempat lain yang memberikan keuntungan ekonomis, kader pindah karena ikut suami, dan juga setelah bersuami tidak mau lagi menjadi kader, kader sebagai relawan 324

325 merasa jenuh dan tidak adanya penghargaan kepada kader yang dapat memotivasi mereka untuk bekerja dan faktor-faktor lainnya seperti kurangnya pelatihan serta adanya keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang seharusnya dimiliki oleh seorang kader, karena berdasarkan penelitian sebelumnya kader yang direkrut oleh staf puskesmas kebanyakan hanya berpendidikan sampai tingkat SLTA dengan pengetahuan yang sangat minim dan umumnya tidak bekerja. Berdasarkan data profil dinas kesehatan Propinsi Jawa barat pada tahun 2012, jumlah posyandu tahun 2010 sebanyak unit yang terdiri dari 28,05% posyandu purnama, dan 5,59% posyandu mandiri. Pada tahun 2011sebanyak unit yang terdiri dari 33,17% posyandu purnama dan 6,44% posyandu mandiri,sedangkan pada tahun 2012 jumlah posyandu unit dengan posyandu purnama sebanyak 37,78% dan posyandu mandiri sebanyak 7,82%.Sementra itu, berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2012 jumlah posyandu sebanyak 633 Posyandu dengan stratifikasi sebagai berikut: posyandu pratama sebanyak 9 posyandu (1,42%), posyandu madya sebanyak 189 posyandu (29,86%, posyandu purnama sebanyak 408 (64,45%), posyandu mandiri sebanyak 27 posyandu (4,27%)(Dinkes Kab.Tasikmalaya, 2012). Di Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya terdapat 12 desa, terdapat 21 posyandu dengan jumlah kader posyandu seluruhnya sebanyak 106 orang yang menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk mendukung kesehatan masyarakat,terutama kesehatan ibu dan anak. Agar dalam pelaksanaan kegiatan posyandu terarah dan berhasil maka posyandu disetiap kegiatannya dibantu oleh kader-kader yang dibimbing dan diarahkan oleh puskesmas. Kader-keder tersebut memiliki tingkat pengetahuan, pendidikan formal yang bervariasi, dan sebagian diantaranya juga sudah mengikuti pelatihan khusus bagi Posyandu (Puskesmas Singaparna, 2015). Keaktifan menurut kamus umum bahasa Indonesia, aktif adalah giat, rajin dalam berusaha atau bekerja. Keaktifan adalah kegiatan atau kesibukan seseorang. Tingkat keaktifan yang dimaksud disini adalah tingkat kegiatan kader atau kesibukan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996), dengan demikian kader posyandu yang aktif adalah kader yang giat, rajin dalam berusaha atau bekerja adapun keaktifan kader posyandu merupakan kegiatan atau kesibukan kader di kelompok posyandu (Depkes RI, 2002). Keaktifan kader dalam kegiatan Posyandu akan meningkatkan keterampilan karena dengan selalu hadir dalam kegiatan, kader akan mendapat tambahan keterampilan dari pembinaan petugas maupun dengan belajar dari teman sekerjanya. Konsep Dasar Posyandu Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan disenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar/sosial dasar untuk mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian bayi.(kemenkes RI, 2011) Posyandu yang terintegrasi adalah kegiatan peleyanan social dasar keluarga dalam aspek pemantauan tumbuh kembang anak. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara koordinatif dan intregatif serta saling memperkuat antar kegiatan dan program untuk kelangsungan pelayanan di posyandu sesuai dengan situasi/kebutuhan lokal yang dalam kegiatannya tetap memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat.(kemenkes RI, 2011) Posyandu diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut (Nita, 2011): 1. Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (Ibu Hamil, melahirkan dan nifas). 2. Mempercepat penerimaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS), sebagai salah satu upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. 3. Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan keluarga berencana (KB) beserta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera. Kader adalah tenaga suka rela yang dipilih oleh masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat. Dalam hal ini kader juga disebut sebagai penggerak atau promoter kesehatan.(rita,2009) Banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keaktifan keaktifan seorang kader, diantaranya: pendidikan, insentif, dan dukungan keluarga. 1. Pendidikan, yaitu suatu jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh dan dimiliki oleh seseorang kader posyandu dengan mendapatkan sertifikasi kelulusan/ijazah, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. ((Notoatmodjo, 2005). 2. Insentif, yaitu salah satu stimulus yang dapat menarik seseorang untuk melakukan sesuatu karena dengan melakukan perilaku tersebut, maka ia akan mendapat imbalan. Kebanyakan orang juga berpendapat bahwa gaji atau insentif adalah alat yang paling ampuh untuk meningkatkan motivasi kerja dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerja karyawan disuatu organisasi kerja. Dengan kata lain seseorang akan melakukan sesuatu jika ada penghargaan berupa insentif terhadap apa yang ia lakukan. Dalam hal ini insentif merupakan 325

326 tujuan yang ingin dicapai dari suatu perilaku yang dilakukan. Misalnya kader Posyandu mendapat insentif atas pekerjaannya selain dalam rangka berpartisipasi dalam kegiatan Posyandu dan menjalankan tugas kader. (Notoatmodjo, 2005) 3. Dukungan Keluarga, yaitu suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut melaksanakan kegiatan. Dukungan dapat timbul dari berbagai macam pihak seperti dukungan dari keluarga, teman sejawat maupun dukungan dari pemberi kebijakan. Tetapi dukungan keluarga merupakan dukungan yang paling terdekat dan diharapkan paling memberikan motivasi yang kuat bagi kerja seorang kader, sarwono dalam (chintia, 2013) KERANGKA KONSEP PENELITIAN Menurut notoatmodjo (2005), kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah hubungan antara konsepkonsep yang diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan. Kerangka konsep penelitian ini adalah faktor pendidikan, insentif, dan dukungan keluarga mempengaruhi keaktifan kader posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. HIPOTESA Untuk memperkuat kerangka konsep penulis mengunakan 3 (tiga) buah hipotesa yang memerlukan pengujian statistic, dimana : 1. Ha : Ada Pengaruh Pendidikan Terhadap Keaktifan Kader Posyandu. 2. Ha : Ada Pengaruh Insentif Terhadap Keaktifan Kader Posyandu. 3. Ha : Ada Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Keaktifan Kader Posyandu. METODELOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan rancangan Cross Sectional dimana pengumpulan data variabel dependen dan independen dilakukan secara bersamaan. B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader posyandu yang ada di 21 unit posyandu di wilayah kerja puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun 2015.yang berjumlah 106 orang. 2. Sampel Menurut Notoatmojo (2010) sampel penelitian adalah sebagian atau keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah kader di wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun Untuk menentukan ukuran dan besarnya sampel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan rumus Slovin yaitu:n = N N(d 2 ) Keterangan : N : besar populasi yang diketahui n : besar sampel d 2 : tingkat kepercayaan yang diinginkan (5%) Berdasarkan perhitungan maka diperoleh jumlah sampel yaitu 52 orang responden. Untuk menentukan berapa jumlah sampel yang diteliti di 21 posyandu, maka tekhik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah secara proposional kemudian dilanjutkan dengan simple random sampling ( acak sederhana) dengan cara diundi. Analisa Univariat Menggambarkan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti dengan menggunakan distribusi frekuensi dan presentase masing-masing variabel. Selanjutnya data ditampilkan dalam bentuk table dan narasi, dalam menentukan kategori setiap variabel dan sub variabel maka penelitian dapat berpedoman pada skor rata-rata setiap variabel tersebut. Kemudian setelah diketahui kategori untuk setiap variebel/sub variabel, peneliti akan menghitung distribusi frekuensi dan mencari presentasipada setiap variabel dengan menggunakan rumus : P =ƒ/nx100% Analisa Bivariat 326

327 Analisa bivariat merupakan analisis dari dua variabel yaitu untuk mengetahui hubunganya. Analisa yang digunakan adalah tabulasi silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat kemaknaannya 95% (P<0,05) sehingga dapat diketahui ada atau tidak adanya hubungan yang bermakna secara statistik dengan menggunakan program computer SPSS for windows versi 16. Melalui perhitungan uji chi-square selanjutnya ditarik suatu kesimpulan bila nilai P < α (P 0,05) maka Ha di terima, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara variabel terikat dengan variabel bebas. Aturan yang berlaku untuk uji Khi Kuadrat (Chi-square), untuk program komputerisasi seperti SPSS adalah sebagai berikut : 1) Bila pada tabel contingency 2x2 dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Fisher Exact Test. 2) Bia pada tabel Contingency 2x2 tidak dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Continuity Correction. 3) Bila tabel Contingency yang lebih dari 2x2 misalnya 3x2, 3x3 dan lain-lain, maka hasil yang digunakan adalah Pearson Chi-Square. 4) Bila pada tabel Contingency 3x2 ada sel dengan nilai frekuensi harapan (e) kurang dari 5, maka akan dilakukan meger sehingga menjadi table Contingency 2 x2 (Budiarto, 2002) Hasil Penelitian Hasil Penelitian yang disajikan terdiri dari 2 bagian yaitu analisis univariat dan analisis bivariat. Analisa Univariat adalah analisis yang menyajikan Data secara deskriptif berupa distribusi proporsi data karakteristik Responden, faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan kader posyandu. Sedangkan analisa bivariat uji analisis hubungan anatara dua variabel yaitu pendidikan, insentif kader dan dukungan keluarga (Independen) dengan keaktifan kinerja pusyandu (Dependen) 1. Analisa Univariat Pengumpulan data penelitian dilakukan tanggal 24 sampai 28 November 2015 di Pukesmas Singaparna jumlah satuan dengan alat ukur: a. Data Indentitas Responden Data Identitas Responden Meliputi : umur, responden untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Umur Responden Di Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun (n=52) Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Umur Responden Di Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun (n=52) No. Katagori Umur Frekuensi Prrosentase ( %) tahun tahun Jumlah Berdasarkan hasil penelitian tentang indentitas responden ditinjau dari umur, dijumpai distribusi tertinggi responden penelitian berada pada katagori umur 30 tahun sebanyak 31orang (59,6%). b. Variabel penelitian 1. Pendidikan Kader Tabel 5.2: Distribusi Responden Menurut Pendidikan Kader Di Wilayah Kerja Peukesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun (n=52) No. Katagori Frekuensi Prrosentase ( %) 1. Rendah 15 28,8 2. Tinggi 37 71,2 327

328 Jumlah Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 52 responden pada subvariabel pendidikan kader berada pada katagori tinggi sebanyak 37 responden (71,2%) 2. Insentif kader Tabel 5.3: Distribusi Responden Menurut Insentif kader Di Wilayah Kerja Peukesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun 2015.(n=52) Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa dari 52 responden pada subvariabel insentif kader berada pada katagori pernah sebanyak 39 responden (75 %). 3. Dukungan keluarga Tabel 5.4: Distribusi Responden Menurut Dukungan Kader Di Wilayah Kerja Peukesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun 2015.(n=52) No. Katagori Frekuensi Prrosentase ( %) 1. Tidak 9 17,3 mendukung 2. Mendukung 43 82,7 Jumlah Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa dari 52 responden pada subvariabel dukungan keluarga berada pada katagori mendukung sebanyak 43 responden (82,7%). 4. Keaktifan Kader Posyandu. Tabel 5.5: Distribusi Responden Menurut Keaktifan Kader Pusyandu Di Wilayah Kerja Peukesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun (n=52) Berdasarkan hasil uji statistic antara variabel pendidikan kader dengan variabel keaktifan kader posyandu didapatkan bahwa dari 52 responden didapatkan kader dengan pendidikan tinggi yang aktif diposyandu sebanyak 31 orang (83,6%), dimana p-value = 0,019 jika p-value < α = 0.05 maka berarti tingkat pendidikan kader posyandu mempengaruhi kektifan kader posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. b. Pengaruh faktor insentif kader dengan keaktifan kader posyandu Tabel 5.7 : Pengaruh Faktor Insentif Kader Dengan Keaktifan Kader Posyandu Di Wilayah Kerja Peuksemas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun 2015 (n=52) No Insentif Keaktifan kader Total P OR kader Aktif Tidak aktif f % f % f % value 95% 1 Tidak 8 53,3 5 13, ,675 pernah 2 Pernah 7 46, , ,005 (1,157 Jumlah ,902) Berdasarkan hasil uji statistic antara variabel insentif kader dengan variabel keaktifan kader posyandu didapatkan bahwa dari 52 responden didapatkan kader yang pernah mendpatkan insentif dan aktif dalam kegiatan posyandu sebanyak 32 orang (86,5%), dimana p-value = 0,005 jika p-value < α = 0.05 maka berarti faktor insentif yang pernah diterima kader posyandu mempengaruhi keaktifan kader posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. 328

329 c. Pengaruh faktor dukungan kader dengan keaktifan kader posyandu Tabel 5.8 : Hubungan Faktor Dukungan Kader Dengan Keaktifan Kader Posyandu Di Wilayah Kerja Peuksemas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun (n=52) Insentif Keaktifan kader Total P OR kader Aktif Tidak aktif f % f % f % value 95% Tidak mendukung ,1 9 17,3 6,659 Mendukung , ,7 0,005 (1,120 Jumlah ,612 Berdasarkan hasil uji statistik antara variabel dukungan keluarga dengan variabel keaktifan kader posyandu didapatkan bahwa dari 52 responden didapatkan kader yang mendapatkan dukungan keluarga dan aktif dalam kegiatan posyandu sebanyak 34 orang (91,9%), dimana p-value = 0,005 jika p-value < α = 0.05 maka berarti faktor dukungan keluarga mempengaruhi keaktifan kader posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Pembahasaan Berdasarkan hasil analisa data penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi yang peneliti lakukan di Pukesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun 2014., maka pembahasan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengaruh Pendidikan kader terhadap keaktifan kader posyandu. Berdasakan hasil uji statistik dari sub variabel pendidikan dengan variabel keaktifan kader posyandu dengan nilai p-value 0,019. Dari 52 responden di dapatkan yang berada pada katagori tinggi sebanyak 31 responden dengan persentase (83,8%). Menurut asumsi peneliti, bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagii seorang kader dalam menjalankan posyandu. Kader yang berpendidikan tinggi tentu akan lebih mudah dalam dalam menerima informasi-informasi terbaru mengenai posyandu dan lebih mudah menjalankan tugas dan peran sebagai kader posyandu. Dari hasil penelitian ini penliti menyimpulkan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi dengan keaktifan kader posyandu. 2. Pengaruh Insentif kader terhadap keaktifan kader posyandu. Berdasakan hasil uji statistik dari sub variabel insentif kader dengan variabel keaktifan kader posyandu dengan nilai p-value 0,005. Dari 5 responden di dapatkan yang berada pada katagori aktif sebanyak 22 responden dengan persentase (86,5 %). Insentif adalah upah atau gaji yang diberikan kapada kader. Jadi menurut asumsi peneliti, bahwa insentif yang diberikan kepada kader baik itu berupa uang, barang ataupun penghargaan dapat menjadi salah satu motivasi dan dorongan bagi kader untuk lebih giat lagi dalam melaksanakan, memelihara, dan mengembangkan kegiatan posyandu. Jika kader tidak aktif otomatis posyandu juga tidak dapat berjalan dengan lancar. Dari hasil penelitian peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa insentif merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keaktifan kader posyandu. 3. Pengaruh dukungan keluarga terhadap keaktifan kader posyandu. Berdasakan hasil uji statistik dari sub variabel dukungan keluarga dengan variabel keaktifan kader posyandu dengan nilai p-value 0,005. Dari 52 responden di dapatkan yang berada pada katagori aktif sebanyak 34 responden dengan persentase (91,9 %). Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan Kesimpulan Berdasarkan Penelitian yang dilakukan pada Tanggal 24 sampai 28 November 2015 yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keatifan kader posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya tahun Dengan Jumlah Responden 52 Orang. 329

330 Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ada pengaruh tingkat pendidikan kader terhadap keaktifan kader poyandu dalam wilyah kerja puskesmas Sinagparna dimana dari 52 respoden yang berpendidikan tinggi dan aktif dalam kegiatan posyandu sebanyak 31 orang (83,8%) dengan nilai p-value= 0, Ada pengaruh insentif kader terhadap keaktifan kader poyandu dalam wilyah kerja puskesmas Singaparna dimana dari 52 responden yang pernah mendpatka insentif dan aktif dalam kegiatan posyandu sebanyak 32 orang (86,5%) dengan nilai p-value= 0, Ada pengaruh tingkat dukungan keluarga terhadap keaktifan kader poyandu dalam wilyah kerja puskesmas Singaparna dimana dari 52 responden yang mendapatkan dukungan keluarga dan aktif dalam kegiatan posyandu sebanyak 34 orang ( 91,9%)dengan nilai p-value= 0,005 Saran 1. Kepada kader posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas Singaparna diharapkan untuk tetap akif dalam melaksanakan kegiatan posyandu sehingga pelayanan terhadap ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas dan ju bayi serta balita akan tetap berjalan dengan baik. 2. Kepada Prodi S-2 Keperawatan diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi informasi tambahan dan masukkan untuk pengembangan pendidikan S-2 Keperawatan. 3. Bagi peneliti lanjutan agar dapat melakukan penelusuran lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan kader posyandu DAFTAR PUSTAKA Alimul, Hidayat (2010). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa data. Jakarta: Salemba medika. Arhmsyah (2012). Kader Posyandu. tanggal 8 april 2013) Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prektik. Edisi Revisi VI. Jakarta : PT Rineka Cipta Budiarto, Eko (2002). Biostatistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Dinkes NAD, (2009). Profil Kesehatan Nangroe Aceh Darusalam, Banda Aceh. Dinkes Bireuen, (2009). Profil Kesehatan Kabupaten Bireuen, Bireuen. Di Desa Mulang Maya kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Harisman dan Dina, Faktor Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Kader Posyandu Utara Tahun Jurnal Isaura, V. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Kader Posyandu Di Wilayah Kerja Puskesmas Tarusan Kecamatan KotoXi Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Skripsi Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas, Padang Kemenkes RI, (2011). Buku Panduan Kader Posyandu, Jakarta. Kresno, (2009). Gizimu. gizimu.word press.com (diakses tanggal 08 April 330

331 TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA MENGENAI RISIKO PENGGUNAAN LENSA KONTAK DAN CARA MENGHINDARI RISIKO PENGGUNAAN LENSA KONTAK Chita Widia, SPd., SKep., MKM D III Keperawatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya Indonesia ABSTRAK - Aksesori mata yang menjadi favorit salah satunya adalah softlens atau lensa kontak yaitu lensa korektif, kosmetik, atau dapat dijadikan terapi yang biasanya ditempatkan di kornea mata. Lensa kontak lebih diminati karena lebih trendi dan tidak merepotkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kesehatan mengenai risiko penggunaan lensa kontak dan cara menghindarinya. Kegunaan penelitian ini secara teoretis adalah memberikan informasi bahwa penggunaan lensa kontak memiliki risiko terhadap kesehatan mata dan memberikan informasi bahwa Risiko akibat penggunaan lensa kontak dapat dihindari. Aspek praktis kegunaan penelitian ini adalah memberikan informasi kepada mahasiswa STIKes BTH Tasikmalaya khususnya yang menggunakan lensa kontak mengenai resiko penggunaan lensa kontak dan memberikan informasi mengenai cara menghindari risiko penggunaan lensa kontak. Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah: teknik utama digunakan indeph interview, sebagai pendukung digunakan observasi dan analisis dokumen. Hasil observasi lapangan menunjukan bahwa 10 responden yang menggunakan lensa kontak 100% adalah wanita. Rata-rata responden menggunakan lensa kontak 30% hasil konsultasi dengan tenaga kesehatan, 70% tidak. Responden yang tidak mengetahui resiko pemakaian lensa kontak sebesar 75% Responden yang mengetahui cara perawatan lensa kontak adalah sebesar 25 %. Sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan tentang kesehatan mata yang baik (5%) sedang (20%) dan kurang (75%). Hal ini terjadi karena rata-rata responden menggunakan lensa kontak adalah untuk meningkatkan kecantikan penampilan tanpa mengetahui resiko yang akan ditimbulkan akibat pemakaian lensa kontak tersebut dalam jangka waktu lama Kata Kunci: Lensa Kontak Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Mata adalah salah satu indera manusia untuk berfungsi jika mendapat bantuan cahaya, mata sering disebut organ optimal yang mendeteksi cahaya dan termasuk salah satu alat optik alami.cara kerja mata yang paling sederhana hanya membedakan terang dan gelap, tetapi fungsi yang lebih kompleks untuk membedakan intensitas warna yang berbeda memberikan rasa visual. Menjaga kesehatan mata merupakan hal yang cukup penting diperhatikan. Mata adalah jendela dunia. Menjaga kesehatan mata, dengan kata lain menyelamatkan aset masa depan. Mata yang sehat adalah cerminan dari jiwa yang sehat, karena mata mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi tubuh kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ilmu refraksi telah menciptakan bebrbagai penemuan baru salah satunya untuk perehabilitasi kelainan refraksi pada mata diantaranya lensa kontak. Menurut PERMENKES Nomor 1424/MENKES/XI/2002 lensa kontak adalah lensa yang dipasang menepel pada kornea atau sclera mata untuk memperbaiki tajam penglihatan atau rehabilitasi kosmetik. Lensa kontak sudah menjadi bagian gaya hidup. Lensa kontak tidak hanya sebagai alat bantu penglihatan tapi juga untuk mempercantik penampilan dan sebaiknya. Memasang lensa kontak di 331

332 tempat yang bersih tidak dianjurkan memasang lensa kontak di tempat berpolusi udara ataupun diluar rumah. Pada saat ini, banyak ditemukan lensa kontak dengan aneka warna. Beberapa individu memakainya tanpa peduli efek buruknya. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kesehatan mengenai risiko penggunaan lensa kontak dan cara menghindarinya. SUBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian pada penelitian ini adalah populasi mahasiswa STIKes Bakti Tunas Husada Tasikalaya yang menggunakan lensa kontak yaitu 10 orang. 3.2 Metoda Penelitian Rancangan Penelitian Untuk memudahkan memasuki setting penelitian, maka peneliti mula-mula akan berkenalan secara umum selanjutnya kepada calon subyek penelitian akan diadakan pendekatan secara pribadi. Setelah kehadiran peneliti dirasa telah diterima dengan baik, barulah akan memulai mengumpulkan data yang diperlukan,tentunya dengan tetap membina hubungan baik yang telah terjalin Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah: teknik utama digunakan indeph interview, sebagai pendukung digunakan observasi dan analisis dokumen. Pengumpulan data dilakuan pada bulan Oktober sampai dengan Desember Analisis Data Pola analisis data yang akan digunakan adalah etnografik, yaitu dari catatan lapangan (field note) kemudian akan dilakukan pengkodean, kategorisasi atau klasifikasi kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya akan disusun tema-tema berdasarkan hasil analisis data tersebut. Sebagai bahan pijakan sekaligus pisau analisis bila perlu digunakan teori-teori yang relevan dan hasil penelitian terdahulu yang mendukung Keabsahan Data Untuk menghindari kesalahan data yang akan di analisis, maka keabsahan data perlu diuji dengan beberapa cara sebagai berikut: 1. Pengumpulan data secara terus menerus pada subyek penelitian yang sama. 2. Triangulasi pada sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bila perlu 3. Pengecekan oleh subyek penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian dilaksanakan sebagai berikut: 1) Lokasi penelitian: STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya. 2) Bulan Oktober sampai dengan bulan Desember ) Alasan pemilihan tempat penelitian: (1) Merupakan kota tempat tinggal penulis. (2) Pengambilan sampel mudah, (3) Jarak terjangkau. 4) Jadwal Penelitian Jadwal penelitian dimulai sejak dimulai sejak dibuat draft usulan penelitian hingga presentasi hasil penelitian bulan Oktober s.d Desember

333 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Lokasi dan Subjek Penelitian 1) Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini di STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya. 2) Subjek Penelitian Subjek pada penelitian atau responden penelitian ini adalah 10 orang mahasiswa yang menggunakan lensa kontak Analisis Hasil observasi lapangan menunjukan bahwa 10 responden yang menggunakan lensa kontak 100% adalah wanita. Rata-rata responden menggunakan lensa kontak 30% hasil konsultasi dengan tenaga kesehatan, 70% tidak. Responden yang tidak mengetahui resiko pemakaian lensa kontak sebesar 75% Responden yang mengetahui cara perawatan lensa kontak adalah sebesar 25 %. Sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan tentang kesehatan mata yang baik (5%) sedang (20%) dan kurang (75%). KESIMPULAN Responden penelitian rata-rata menggunakan lensa kontak adalah untuk meningkatkan kecantikan penampilan tanpa mengetahui resiko yang akan ditimbulkan akibat pemakaian lensa kontak tersebut dalam jangka waktu lama. Penyuluhan mengenai kesehatan mata, penggunaan lensa kontak dan resiko yang ditimpulkan oleh pemakaian lensa kontak perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat pengguna lensa kontak dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya kesehatan mata. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Watik Pratiknya. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Rajawali; A.Wawan dan Dewi M Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Nuha Medika. Yogyakarta Ibnu Fajar. Statistika Untuk Praktisi Kesehatan, Yogyakarta: Graha Ilmu; Hans-Walter Roth. Contact Lens Complications Etiology, Pathogenesis, Prevention, Therapy, New York USA; Thieme 2003 John W Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches: 3 rd edition. Los Angeles: Sage; 2009 Notoatmodjo, S Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka cipta. Jakarta Notoatmodjo, S Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Sutanto Priyo Hastono. Analisis Data, Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;

334 HUBUNGAN PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL : FACEBOOK DAN TWITTER DENGAN PERILAKU SEKS REMAJA SMA KOTA BOGOR Farial Nurhayati, Yuyun Rani H* *Program Studi Keperawatan Bogor Poltekkes Kemenkes Bandung * farialn@yahoo.com Abstrak - Perkembangan informasi yang cepat dari seluruh dunia dan kemudahan dalam mengakses informasi serta kecanggihan alat komunikasi membuat remaja mudah mendapat informasi.. Bila remaja tidak dapat menyeleksi informasi yang mudah diakses, akan dapat mendorong remaja untuk melakukan kebiasaan tidak sehat seperti penggunaan narkoba, merokok atau bahkan seks bebas. Di Indonesia tidak semua orang tua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Metode: penelitian menggunakan metode cross sectional dengan jumlah sampel 103 remaja Sekolah Menengah Atas Kelas yang diambil dari 3 SMA Negeri di Kota Bogor Barat. Hasil penelitian tidak ada hubungan signifikan antara penggunaan media sosial: twitter dan facebook terhadap perilaku seksual remaja Kota Bogor Barat. Pemerintah harus dapat mengantisipasi masuknya situs-situs yang terkait pornoaksi dan pornografi. Sekolah hendaknya memberikan pengetahuan pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswanya agar dapat menghindari perilaku seks bebas yang berisiko. Kata kunci : media sosial, perilaku seks, remaja PENDAHULUAN Media sosial termasuk blog, twitter, facebook dan youtube yang dapat berbagi segala informasi. Informasi yang ada di media sosial dapat diakses oleh seluruh penggunanya dengan mudah. Sosial media adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu (Rustian 2012). Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun , remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia tahun, perempuan 34,7%, lakilaki 30,9%. Sedangkan pada usia tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%. ( teknologi.kompasiana,2014). Dampak terburuk menurut Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di 33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan, terakhir 21,2% remaja mengaku pernah aborsi (Kompasiana,2014). Peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual sangat dipengaruhi oleh faktor perubahanperubahan fisik selama periode pubertas. Kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan seksual remaja lebih tinggi dariorang dewasa. Tidak jarang dorongan-dorongan seksual ini menimbulkan ketegangan fisik dan psikis (Desmita, 2012). Peranan media sosial sangat besar terhadap perilaku seksual remaja. Hasil penelitian kualitatif dari Muffidah (2014) situs yang paling disukai informan adalah facebook dan twitter. facebook dan twitter memiliki fitur yang kaya dan dapat meyalurkan informasi dengan cepat dan ringkas. Teman-teman partisipan penelitian ini banyak yang memakai media sosial facebook dan twitter. Penelitian Wei & Lo (2005) tentang penggunaan pornografi internet yang berhubungan dengan sikap dan perilaku seksual remaja di Taiwan mendapatkan hasil bahwa 38% responden telah terpapar pornografi internet dan ada hubungannya dengan perilaku seksual remaja tersebut. Penelitian Heny et al (2013) di Jombang menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kemampuan sosialisasi dengan kecanduan jejaring sosial. Remaja yang sosialisasinya rendah semakin sering menggunakan jejaring sosial. Sosialisasi yang rendah dapat menjauhkan remaja dari lingkungan sosial seperti keluarga dan masyarakat. 334

335 METODE PENELITIAN Dalam rancangan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian menggunakan quota sampling dari tiga sekolah menengah atas di Kota Bogor. Jumlah siswa/siswi yang menjadi responden yaitu 103 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah mengumpulkan data melalui pernyataan terstruktur atau quesioner penelitian, klasifikasi, pengolahan atau analisa data, membuat kesimpulan dan laporan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik 103 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 1 Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik responden di kota Bogor tahun 2015 (n=103) Karakteristik Sub karakteristik n % Jenis kelamin 1. Perempuan 2. Laki-laki ,6 53,4 Tingkat pendidikan ayah 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. PT ,0 2,9 30,1 66,0 Tingkat pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan Ibu 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. PT 1. PNS/ABRI 2. Swasta 3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja 1. PNS/ABRI 2. Swasta 3. Wiraswasta 4. Tidak bekerja ,9 3,9 36,9 56,3 36,9 36,9 20,4 5,8 23,3 14,6 4,9 57,3 Pendapatan Orang tua 1. Dibawah UMR 18 17,5 2. Sama dengan atau diatas UMR 85 82,5 Hasil analisis menunjukkan lebih dari setengah responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 55 orang (53,4%). Tingkat pendikan ayah lebih dari setengahnya adalah perguruan tinggi yaitu 68 orang (66%). Lebih dari setengah responden pendidikan ibu adalah perguruan tinggi yaitu 58 orang (56,3%). Pekerjaan ayah sama besar antara Pegawai Negeri Sipil dengan Pegawai swasta yaitu 38 orang (36,9%). Sebagian besar ibu responden tidak bekerja yaitu 59 orang (57,3%). Pendapatan orang tua responden sebagian besar di atas Upah Minimum Regional yaitu sebanyak 85 orang (82,5%). Sebagian besar responden memakai satu alat komunikasi untuk membuka media social yaitu sebanyak 71 orang (68,9%). 335

336 Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik penggunaan media social di SMA kota Bogor Barat tahun 2015 (n=103) Karakteristik Sub karakteristik n % 29 11, , , ,5 Media social yang sering digunakan 1. blog 2. facebook 3. tweeter 4. youtube Kenal media social 1. SD 2. SMP ,8 26,2 Media sosial yang banyak digunakan oleh responden adalah tweeter yaitu sebanyak 94 orang (36,2%). Alat komunikasi yang sering digunakan untuk membuka media sosial adalah smartphone yaitu sebanyak 100 orang (54,3%) responden menggunakan smartphone. Sebagian besar responden mengenal media social sejak di Sekolah Dasar yaitu sebanyak 76 orang (73,8%). Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Penggunaan Media Sosial dan Perilaku seks Remaja di SMA kota Bogor Barat tahun 2015 (n=103) Variabel n % Penggunaan 1. Jarang 42 40,8 media Sosial 2. Sering 61 59,2 Perilaku seks 1. Ringan 51 49,5 remaja 2. Berat 52 50,5 Penggunaan media sosial oleh responden lebih dari setengah sering yaitu 61 orang (59,2%). Perilaku seks remaja lebih dari setengah menunjukkan perilaku seks berat yaitu 52 orang (50,5%). Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Penggunaan media sosial dan Perilaku seks Remaja di SMA kota Bogor Barat tahun 2015 (n=103) Penggunaan Media Sosial Perilaku Seks Total OR (95% P value Ringan Berat CI) N % N % N % Jarang ,033 1,00 Sering % % Jumlah 51 49, , Dari 42 orang remaja yang jarang menggunakan media sosial, ada sebanyak 21 (50%) orang yang perilakuseksnya berat. Dari 61 remaja yang sering menggunakan media sosial ada sebanyak 31 (50,8) remaja berperilaku seks berat. hasil uji statistic diperoleh nilai p = 1,00, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian perilaku seks berat antara remajayang jarang dan sering menggunakan mediasosial. (tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan media sosial dengan perilaku seks pada remaja). Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara penggunaan media sosial : twitter dan facebook terhadap perilaku seks remaja Kota Bogor Barat. Selain media sosial ada hal-hal 336

337 lain yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Penelitian Wei & Lo (2005) tentang penggunaan pornografi internet yang berhubungan dengan sikap dan perilaku seksual remaja di Taiwan mendapatkan hasil bahwa 38% responden telah terpapar pornografi internet dan ada hubungannya dengan perilaku seksual remaja tersebut. Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelian Wei & Lo (2005). Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu perilaku seksual teman, orang-orang yang terdekat dengan remaja, status pernikahan orang tua, kemampuan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pornografi serta keterbatasan akses pelayanan kesehatan reproduksi (Odeyemi et all, 2009). Peranan guru sangat penting bagi remaja untuk memahami penggunaan media sosial dan perilaku seksual. Remaja dapat melakukan konseling dengan guru di sekolah mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual mengingat masa remaja penuh dengan rasa keingintahuan dalam mengeksplor segala hal. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara penggunan media sosial facebook dan twitter terhadap perilaku seks remaja di Kota Bogor. Saran Orang tua harus membekali anaknya dengan pendidikan agama yang baik agar anak terhindar dari perilaku negatif. Orang tua juga harus menjalin komunikasi yang intensif dengan anak remajanya agar dapat mengontrol perilaku anak remaja. Sekolah juga hendaknya memberikan pengetahuan pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswanya agar dapat menghindari perilaku seks bebas yang berisiko KEPUSTAKAAN Ayu Azmi Muffiddah.2014, Penggunaan Media Sosial sebagai Media Komunikasi di Kalangan Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Ilmu komunikasi FISIP UB Pengguna Facebook, twitter, Foursquare dan Flickr). Diakses tanggal 26 Pebruari, 2015 Brandon Smith, 2012, Twitter for beginners, Desmita., Psikologi perkembangan,, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Gwenn Schurgin O'Keeffe, Kathleen Clarke-Pearson, 2011, The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families, Journal of Pediatrics, April 2011, VOLUME 127 / ISSUE 4, diakses tanggal 23 Oktober Heny Nurmandia, Denok Wigati & Luluk Musluchah, 2013, Hubungan antara kemampuan sosialisasi dengan kecanduan jejaring sosial, Jurnal Penelitian Psikologi Vol 04. No 02, In-So Nam,2013, A Rising Addiction Among Youths: Smartphones, diakses tanggal 23 Oktober Jomeen Julie & Witfield Clare,2010, A survey oe teenage sexual Health : Knoledge, Behaviour and attitudes in East Yorkshire Notoatmodjo, S Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Odeyemi K, Anajole A., Ogunowo B., 2009, Sexual behavior and the influencing factors among out of school female adolescent in Mushin market, Lagos, Nigeria., Int J adolesc Med Health, 2009 Jan- Mar;21(1): Diakses tanggal 30 Oktober Psikology dictionary, 2014, Diakses tanggal 14 Desember,

338 Rafi Saumi Rustian, 2012, Apa itu social media, Socialmediadefine.com, What is social media, diakses tanggal 14 Desember 2014 Sumiati, dkk. (2009). Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. Jakarta : Trans Info Media Wei Ran & Lo Ven-hwei, 2005, Exposure to internet Pornography and taiwanese Adolescent s Sexual Attitudes and Behaviour, Journal of Broadcasting & Electronic Media 49 (2) p Wong. DL, Hockenberry-Eaton.M, Wilson. D, Winkelstein. ML, Schwarts. P, 2009, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1, Jakarta, EGC diakses tanggal 10 Maret diakses tanggal 10 Maret

339 PENGARUH EYE MASK DAN EARPLUGS TERHADAP KUALITAS TIDUR PASIEN DI RUANG PERAWATAN INTENSIF Asep Robby 1, Hana Ariyani 2 1 Program Studi DIII Keperawatan, STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya bee_robby@yahoo.com 2 Program Studi S1 Keperawatan, STIKes Mitra Kencana Tasikmalaya hanaariyani@yahoo.co.id Abstrak Faktor lingkungan di unit perawatan intensif (ICU) terutama bunyi dari peralatan dan cahaya lampu ruangan telah diketahui sebagai salah satu penyebab dari gangguan tidur pada pasien. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa menggunakan eye mask dan ear plugs dapat meningkatkan kualitas tidur pasien di ruang intensif. Review ini bertujuan untuk melihat gambaran hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengaruh eye mask dan earplugs terhadap kualitas tidur pasien intensif. Metode Sumber literatur yang relevan didapatkan dari hasil pencarian pada beberapa web yaitu Google schoolar, proquest, wiley online library, dan PubMed. Hasil pencarian penulia mendapatkan 24 jurnal yang terdiri dari 12 jurnal yang relevan dan 12 jurnal yang berhubungan dengan tema. Hasil Berdasarkan hasil tinjauan literatur diketahui bahwa secara umum eye mask dan earplugs memberikan pengaruh yang positif kualitas tidur pasien di ruang intensif. Kesimpulan Eye mask dan earplugs dapat menjadi pilihan perawat untuk meningkatkan kualitas tidur pasien di ruang intensif. Kata Kunci: earplugs, eye mask, sleep quality, patient sleep deprivation 1. PENDAHULUAN Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia dan gangguan dalam pemenuhannya dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis begitupula sebaliknya. Tidur merupakan kondisi reversibel yang ditandai dengan penurunan tingkat kesadaran dan interaksi dengan lingkungan, gerak, aktivitas otot dan perilaku yang disadari (Neyse, Daneshmandi, Sadeghi, & Ebadi, 2011). Lack dan Wright (2009) mengatakan bahwa ritme atau pola tidur keseharian diatur oleh suprachiasmatic nucleus (SCN) yang terdapat di hipotalamus dan juga peran dari hormon melatonin. Onset melatonin terjadi sekitar 2 jam sebelum tidur dan rata-rata jumlah sekresi melatonin terbesar yaitu pada saat larut malam yaitu antara pukul 01:00-03:00. Sepanjang hari ritme sirkadian dapat mengalami fluktuasi yang merupakan pengaruh dari melatonin sebagai jam biologis dalam mengatur siklus tidur seseorang. Menurut NSF (2015), kadar melatonin dalam darah mulai menurun sekitar jam 9 pagi dan hampir tidak terukur pada siang hari dan pada umumnya keinginan kuat untuk tidur terjadi antara pukul 2:00-4:00 dan pukul 13:00-15:00. Florence Nightingale mengatakan bahwa tidur sangat bermanfaat bagi kesehatan dan penting dalam asuhan keperawatan karena memiliki fungsi restoratif (Lane & East, 2008). Untuk itu Young, Bourgeois, Hilty, dan Hardin (2008) menyarankan agar pengkajian terhadap kualitas tidur pasien harus menjadi bagian rutin semisal penilaian tanda-tanda vital, karena kualitas tidur dapat mengungkapkan informasi lebih lanjut tentang kesehatan pasien secara keseluruhan. Faktor-faktor yang dapat menjadi sumber gangguan tidur pasien yaitu faktor internal pasien seperti usia, jenis kelamin (Campbell, Stanchina, Schlang, & Murphy, 2011), kecemasan karena penyakit, perasaan terisolasi, dan ketakutan terhadap kematian. Selain itu faktor eksternal diantaranya seperti keberadaan pasien lain, noise dari peralatan monitoring, medikasi, pencahayaan ruangan, suhu ruangan ekstrim, dan intervensi medis yang berulang-ulang (Frighetto et al., 2004). Faktor eksternal atau lingkungan merupakan faktor yang paling sulit dikendalikan, faktor ini diketahui merupakan penyebab 80% dari gangguan yang dikeluhkan pasien dirumah sakit (De almondes, Mota, & Araújo, 2008). Penelitian Adib-Hajbaghery, Izadi-Avanji, dan Akbari (2009) menemukan bahwa kebisingan (noise) dan cahaya lampu merupakan faktor yang sering mengganggu tidur pasien ruang intensif. 339

340 Berdasarkan publikasi National Sleep Foundation [NSF] (2015) diketahui bahwa cahaya menstimulasi SCN untuk men-set suhu tubuh agar meningkat dan menghambat pelepasan melatonin dari kelenjar pineal. Sebaliknya ketika suasana gelap, suhu tubuh akan menurun dan sekresi melatonin akan dimulai. Sedangkan level bunyi (noise) yang tinggi atau asing menurut persepsi seseorang dapat mempengaruhi aspek emosional sehingga dapat memicu respon stres yang diakibatkan peningkatan aktivitas simpatis dan kelenjar pituitari yang dapat mempengaruhi kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon kortisol. Keterlibatan sistem limbik, diantaranya hipokampus dan amigdala, juga memiliki peran penting dalam respon emosional tersebut (Spreng, 2000). Bagian tersebut memiliki hubungan erat dengan hipotalamus yang mengontrol sistem saraf otonom dan keseimbangan hormonal. Studi laboratorium menemukan bahwa stimulus bunyi yang mengganggu menyebabkan perubahan pada aliran darah, tekanan darah, dan denyut jantung. Hal tersebut merupakan reaksi terhadap peningkatan hormon stres di antaranya katekolamin: adrenalin dan nor-adrenalin, serta kortisol kortikosteroid (Babisch, 2003). Menurut Basner et al. (2010) bahwa apabila level bunyi cukup tinggi, maka dapat mengganggu siklus Non REM dan REM yang normal sehingga berpengaruh pada waktu bangun dan waktu tidur yang mendalam (deep sleep). 2. METODE Sumber literatur yang relevan didapatkan dari hasil pencarian pada beberapa web yaitu Google schoolar, proquest, wiley online library, dan PubMed dengan kata-kata kunci effect earplugs, effect eye mask, sleep quality in ICU. Hasil penelusuran penulis mendapatkan 12 jurnal yang relevan dan 12 jurnal yang berhubungan dengan tema. 3. HASIL Lingkungan dapat menjadi sumber gangguan tidur selama perawatan di rumah sakit. Faktor lingkungan di ICU seperti bunyi dari peralatan monitoring dan cahaya ruangan telah diketahui sebagai penyebab penting dari gangguan tidur (sleep deprivation) pada pasien kritis. Mayoritas hasil penelitian yang didapat menemukan dampak yang positif bahwa menggunakan eye mask dan atau earplugs dapat meningkatkan kualitas tidur pasien di ruang perawatan intensif. Pengaruh penggunaan eye mask terhadap kualitas tidur pernah dilakukan oleh Mashayekhi, Arab, dan Pilevarzadeh (2013) terhadap 60 pasien dengan di ruang Cardiac Care Unit (CCU), rata-rata tidur malam pasien yaitu selama 6,6 ± 1,1 jam. Mereka menemukan penggunaan eye mask berpengaruh signifikan secara statistik kualitas tidur (p <0,05). Penelitian Daneshmandi, Neiseh, Shermeh, dan Ebadi oleh (2012) terhadap 60 pasien SKA dengan menggunakan instrumen subjektif Petersburg's sleep quality index, diketahui bahwa penggunaan eye mask meningkatkan kualitas tidur pada pasien SKA. Dalam publikasi National Sleep Foundation [NSF] (2009) diketahui bahwa cahaya dapat menghambat pelepasan melatonin yang merupakan agen biokimia utama yang mempengaruhi tidur, oleh karena itu penggunaan eye mask untuk menghambat cahaya yang masuk ke mata dapat membantu onset tidur serta memungkinkan individu untuk tidur lebih lama. Suara (noise) merupakan salah satu stimulus yang dapat mengganggu tidur pasien intensif. Level bunyi sebesar 45 db atau lebih dapat menambah waktu yang dibutuhkan untuk mulai tertidur yaitu sekitar 20 menit (Öhrström, 1993). Level bunyi antara desibel cukup mengganggu tidur pasien selama dalam perawatan. Pemasangan earplugs dapat menurunkan level kebisingan (noise) sampai db, sehingga diharapkan dapat membantu memperpendek onset tidur dan mempercepat pencapaian tahap tidur selanjutnya dan meningkatkan kepuasan dalam tidur. Pengaruh earplugs terhadap kualitas tidur juga pernah dilakukan oleh Jones dan Dawson (2012) dan Richardson, Allsop, dan Coghill et al. (2007) mereka menemukan bahwa tidak ada pengaruh positif dalam persepsi tidur dari intervensi ini (p> 0,5), namun meskipun demikian ternyata signifikan berpengaruh menurut perhitungan statistik, dimana efek dari intervensi ini menurunan 50% risiko delirium atau kebingungan. Hasil penelitian Scotto, McClusky, Spillan, dan Kimmel (2009) terhadap 88 responden pasien di ruang intensif, dengan menggunakan instrumen subjektif Verran-Snyder-Halpern Sleep Scale, mereka menemukan bahwa sebagian besar responden melaporkan kepuasan dalam tidur mereka apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa earplugs, namun penelitian ini terbatas hanya satu malam saja. Penelitian serupa dari Rompaey, Elseviers, Fromont dan Jorens (2012) yang melakukan penelitian terhadap 69 pasien dewasa di ruang intensif, mereka menemukan bahwa responden yang menggunakan earplugs pada hari pertama perawatan memiliki persepsi yang lebih 340

341 baik dari pada kontrol. Mereka merekomendasikan earplugs menjadi alat yang mungkin berguna dalam pencegahan delirium dan efek yang menguntungkan terkuat yaitu dalam 48 jam pertama perawatan. Martin (2008) terhadap 10 pasien di ruang rawat akut dengan menggunakan instrumen subjektif Verran and Snyder-Halpern Sleep Scales mereka menemukan bahwa earplugs meningkatkan kualitas tidur secara signifikan pada partisipan ini. Maka mereka menyarankan agar perawat memberikan pilihan untuk memakai earplugs pada pasien yang mengalami kesulitan dalam tidur. Penelitian Neyse, Daneshmandi, Sharme dan Ebadi (2011) terhadap 60 pasien SKA menggunakan instrumen subyektif Petersburg's sleep quality questionnaire, mereka menemukan bahwa pasien yang menggunakan earplugs mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Penelitian Wallace, Robins, Alvord, dan Walker (1999) yang melakukan penelitian terhadap pasien di ruang perawatan intensif dengan menggunakan instrumen polysomnografi, mereka menemukan bahwa paparan suara (noise) secara signifikan meningkatkan frekuensi terbangun, persentase tidur NREM Tahap 2, latensi tidur REM, dan penurunan waktu tidur, sleep maintenance efficiency index, and dan persentase tidur REM. Pemberian earplugs menghasilkan penurunan signifikan dari latensi tidur REM, dan peningkatan persentase tidur REM. Penggunaan kombinasi kedua alat tersebut pernah dilakukan oleh Hu, Jiang, Zeng, Chen, dan Zhang (2010) terhadap 14 pasien sehat yang dirawat di ruang simulasi ICU, mereka menyimpulkan bahwa penggunaan eye mask dan earplugs dapat meningkatkan waktu REM, memperpendek periode latensi REM, meningkatkan kadar melatonin, dan menurunkan kadar kortisol. Hasil ini mungkin lemah karena tempat penelitiannya yaitu di laboratorium simulasi ICU dengan orang dewasa sehat sebagai sampel dalam jumlah yang sedikit. Namun demikian, intervensi ini memberikan dampak menguntungkan secara objektif yaitu dengan peningkatan kadar melatonin nokturnal. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Le Guen et al. (2014) terhadap 41 pasien pascaoperasi di ruang post anaestheticia care unit (PACU), dengan menggunakan instrumen actigrafi mereka menyimpulkan bahwa penggunaan eye mask dan earplugs secara signifikan meningkatkan kualitas tidur pada pasien pascaoperasi. Richardson, Allsop, dan Coghill et al. (2007) mencatat adanya pendapat yang bervariasi mengenai kenyamanan penggunaan eye mask dan earplugs. Penggunaan eye mask pada suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan penurunan toleransi atau kenyamanan disebabkan masker terasa panas dan basah oleh keringat, sedangkan ketidaknyamanan dalam penggunaan earplugs diantaranya kepekaan terhadap earplugs, posisi yang tidak benar, mudah terlepas, atau perasaan cemas apabila tidak mendengar suara sama sekali. Selain itu Siemers (2013) meneliti persepsi 35 pasien terhadap intervensi eye mask yang telah dilakukan sebelumnya. Hasilnya 54 % responden menyukainya, 23 % bersikap netral, dan 23 % kurang menyukainya. Sedangkan penilaian terhadap intervensi earplugs terhadap 36 responden. Hasilnya 25% responden menyukainya, 56% bersikap netral, dan 19 % kurang menyukainya. REKOMENDASI Perawat sebagai care provider memiliki peran dalam mengatasi gangguan tidur pasien selama proses perawatan. Menurut Bulechek, Butcher, Dochterman dan Wagner (2013), bahwa intervensi untuk meminimalisasi gangguan pola tidur (sleep pattern disturbance) pada pasien hospitalisasi yakni manajemen lingkungan untuk memfasilitasi kenyamanan (enviromental management: comfort). Intervensi tersebut di antaranya: menciptakan lingkungan yang tenang, aman dan bersih, membatasi pengunjung, mengatur tingkat pencahayaan ruangan, menghindarkan cahaya langsung yang tertuju pada mata pasien, meminimalkan tindakan saat waktu tidur terutama pada malam hari. Dari intervensi yang diberikan perawat, outcome yang diharapkan antara lain waktu, pola, dan kualitas tidur pasien adekuat, serta secara subjektif pasien melaporkan tingkat kebugaran fisik dan kenyamanan secara psikologis sesudah tidur. Sejalan dengan yang diungkapkan Zborowsky, Kreitzer (2008), yaitu dengan: (1) menciptakan ruangan yang terapeutik dengan mengurangi stresor dari lingkungan, memberikan pengalihan/hiburan yang positif, dan tetap menghubungkan pasien dengan alam sekitar; (2) meningkatkan hubungan dengan memastikan pasien tetap memiliki akses ke support system mereka; dan (3) mendorong kolaborasi dengan menawarkan alternatif kepada pasien dalam upaya menurunkan gangguan terhadap pandangan dan pendengaran mereka selama perawatan. Penggunaan eye mask dan earplugs merupakan pilihan yang baik karena merupakan intervensi non invasif, non farmakologis, tidak mengganggu tindakan medis, dan mudah penggunaannya. Perawat hendaknya menyediakan kedua alat ini dan memberikan penawaran kepada pasien apabila mengalami kesulitan dalam tidur. 341

342 DAFTAR PUSTAKA Babisch, W. (2003). Stress hormones in the research on cardiovascular effects of noise. Noise and health, 5(18), 1. Basner, M., Müller, U., & Griefahn, B. (2010). Practical guidance for risk assessment of traffic noise effects on sleep. Applied Acoustics, 71(6), doi: /j.apacoust Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M. M., & Wagner, C. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). Elsevier Health Sciences. Campbell, S. S., Stanchina, M. D., Schlang, J. R., & Murphy, P. J. (2011). Effects of a Month Long Napping Regimen in Older Individuals. Journal of the American Geriatrics Society, 59(2), Daneshmandi, M., Neiseh, F., Shermeh, M.S., & Ebadi, A. (2012). Effect of Eye Mask on Sleep Quality in Patients with Acute Coronary Syndrome. J of Car Sci. doi: /jcs Retrieved from journals.tbzmed.ac.ir/ JCS De Almondes, K.M., Mota, N.B., & Araújo, J.F. (2008). Sleep-wake cycle pattern, sleep quality and complaints about sleep disturbances made by inpatients. J. Sle. sc.vol.1. Retrieved from sleepscience.com.br/sleepscience/pdf/articles/vol1/sleepscience_vol1_issue01 _art06.pdf Frighetto, L., Marra, C., Bandali, S., Wilbur, K., Naumann, T., & Jewesson, P. (2004). An assessment of quality of sleep and the use of drugs with sedating properties in hospitalized adult patients. J Health Qual Life Outcomes. 24:1-10. doi: / bodyclock Hu, R. F., Jiang, X. Y., Zeng, Y. M., Chen, X. Y., & Zhang, Y. H. (2010). Effects of earplugs and eye masks on nocturnal sleep, melatonin and cortisol in a simulated intensive care unit environment. J Crit Care, 14(2), R66. doi: /cc8965 Retrieved from Jones, C., & Dawson, D. (2012). Eye masks and earplugs improve patient's perception of sleep. J Nursing in critical care, 17(5), Retrieved from Lack, L. C., & Wright, H. R. (2007). Clinical management of delayed sleep phase disorder. J Behavioral sleep medicine, 5(1), Retrieved from Lane, T., & East, L. A. (2008). Sleep disruption experienced by surgical patients in an acute hospital. British journal of Nursing, 17(12), Le Guen, M., Nicolas-Robin, A., Lebard, C., Arnulf, I., & Langeron, O. (2014). Earplugs and eye masks vs routine care prevent sleep impairment in post-anaesthesia care unit: a randomized study. British journal of anaesthesia, 112(1), Martin, K. A. (2008). The effect of earplugs on perceived sleep quality of acute care patients (Doctoral dissertation, Montana State University-Bozeman, College of Nursing). Mashayekhi, F., Arab, M., Pilevarzadeh, M., Amiri, M., & Rafiei, H. (2013). The effect of eye mask on sleep quality in patients of coronary care unit. www. sleepscience.com.br,108. doi: /jcs National Sleep Foundation. (2009). Sleep drive and your body. Retrieved from National Sleep Foundation. (2015). Melatonin and sleep. Retrieved from Neyse, F., Daneshmandi, M., Sadeghi Sharme, M., & Ebadi, A. (2011). The effect of earplugs on sleep quality in patients with acute coronary syndrome. Iranian Journal of Critical Care Nursing (IJCCN), 4(3), Retrieved from user_files_662776/eng/ a caa820.pdf Öhrström, E., Skånberg, A., Svensson, H., & Gidlöf-Gunnarsson, A. (2006). Effects of road traffic noise and the benefit of access to quietness. Journal of Sound and Vibration, 295(1), Chicago 342

343 Richardson, A., Crow, W., Coghill, E., & Turnock, C. (2007). A comparison of sleep assessment tools by nurses and patients in critical care. Journal of clinical nursing, 16(9), doi: /j x Scotto, C. J., McClusky, C., Spillan, S., & Kimmel, J. (2009). Earplugs improve patients subjective experience of sleep in critical care. Nursing in critical care, 14(4), Spreng, M. (2000). Central nervous system actifvation by noise. Noise and health, 2(7), 49. Retrieved from Wallace, C. J., Robins, J., Alvord, L. S., & Walker, J. M. (1999). The effect of earplugs on sleep measures during exposure to simulated intensive care unit noise. American Journal of Critical Care, 8(4), 210. Young, J.S., Bourgeois, J.A., Hilty, D.M., Hardin, K.A. (2008). Sleep in hospitalized medical patients, part 1: factors affecting sleep. J Hosp Med, 3(6): J Hosp Med. 3(6): doi: /jhm.372. Zborowsky, T., & Kreitzer, M. J. (2008). Creating optimal healing environments in a health care setting. Minnesota medicine, 91(3),

344 Survey Implementasi Program Penanggulangan HIV-AIDS Pada Kelompok Risiko di Kabupaten Mimika Papua Adolfina Tandilangan*, Julianus Ake** dan Kadek Ayu Erika** *Mahasiswa PSMIK Unhas ** Dosen PSMIK Unhas *** Latar belakang: Prevalensi kejadian HIV-AIDS meningkat. Papua merupakan urutan ketiga dengan jumlah HIV kasus, AIDS kasus. Di Mimika kasus HIV-AIDS meningkat setiap tahun yaitu tahun 2013 HIV 177 kasus, AIDS 272 kasus, tahun 2014 HIV 208 kasus, AIDS 206 kasus. Penyebab meningkatnya kasus HIV-AIDS karena kurangnya efektifitas pelaksanaan pengendalian program intervensi perubahan perilaku oleh kelompok beresiko dalam mencegah penyebaran infeksi HIV-AIDS. Ini dapat dilihat pada cakupan pelaksanaan program yang belum memenuhi standar pelayanan minimal menurut kemenkes yaitu Pencegahan melalui peningkatan pengetahuan 85%, penggunaan kondom 100%, conseling test 100%, Pengobatan 90%, pelayanan Infeksi Menular Seksual (IMS)100%, Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) 100%. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui Kesesuaian cakupan program HIV-AIDS di Mimika dengan cakupan standar pelayanan minimal. Metode: Survey analitik dengan pendekatan cross sectional study. Hasil penelitian: kumulatif kasus HIV-AIDS di Mimika setiap tahun mengalami peningkatan dimana pada tahun 2014 berjumlah 414 yang terdiri dari HIV 208 kasus, AIDS 206 kasus sedangkan pada tahun 2015 berjumlah 436 kasus yang terdiri dari HIV 204 kasus, AIDS 232 kasus. Sedangkan untuk cakupan pelaksanaan program penanggulangan yang terdiri dari lima program yaitu Pencegahan (peningkatan pengetahuan 34%, penggunaan kondom 72%), Conseling test 100%, ARV 46%, IMS 33% dan PPIA 33%. Kesimpulan: Pelaksanaan Program HIV-AIDS di Mimika belum memenuhi standar Pelayanan Minimal. Hal ini dapat dilihat ada selisih antara cakupan standar pelayanan minimal dan cakupan pelaksanaan program: peningkatan prevalensi HIV yang seharusnya mengalami penurun namun mengalami kenaikan sebesar 22 kasus dan cakupan mengalami gap yaitu pencegahan (pengetahuan 51%, penggunaan kondom 28%), ARV 44%, IMS 67% dan PPIA 63%. Oleh karena itu pentingnya mengevaluasi pengendalian program untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja penyelenggara program. Kata Kunci : HIV-AIDS, Implementasi, Program, Survey Sumber Literatur : 50 ( ) LATAR BELAKANG PenyakitHumanImmunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang sangat ditakuti olehmasyarakat,penyakit ini mendapat perhatian khususkarena keganasannya dan akibat yang ditimbulkan.berbagai penelitian dilakukan untuk menemukanobat yang lebih baik dari yang telah ada sebelumnya. Bahkan bukan hanya obat yang menjadi tujuanpenelitian tersebut, tetapi juga bagaimana dan apa sajayang dapat dilakukan agar HIV/AIDS tidak menyebarluas. Untuk memberikan respons pada epidemi masingmasing negara memiliki strategi yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah kasus dan sumber daya yang dimilikinya. Indonesia yang memiliki berbagai provinsi dan kabupaten tentunya memiliki kebijakan yang berbeda sesuai kasus dan sumber daya yang dimilikinya. Menurut WHO (2012), jumlah penderita HIV tahun 2012 sebanyak 35.3 Juta orang. Indonesia bersama dengan India dan Pakistan merupakan Negara di Asia dengan laju epidemi HIV yang cepat. Dalam lima tahun terakhir ini, laju epidemi HIV di Indonesia tercepat di ASEAN. Berdasarkan laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan September 2014, secara kumulatif jumlah kasus HIV ada kasus, kasus AIDS. Sedangkan Papua merupakan urutan ketiga dengan jumlah HIV ada kasus dan AIDS ada kasus (Ditjen P2PL, 2013). Jumlah kasus HIV selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2013 jumlah HIV 177 kasus dan AIDS 272 kasus, tahun 2014 jumlah HIV 208 kasus dan AIDS 206 kasus. Penyebab meningkatnya kasus HIV-AIDS karena kurangnya efektifitas pelaksanaan pengendalian program intervensi perubahan perilaku oleh kelompok beresiko dalam mencegah penyebaran infeksi HIV-AIDS. Ini dapat dilihat pada cakupan pelaksanaan program yang belum memenuhi standar pelayanan minimal menurut kemenkes yaitu Pencegahan melalui peningkatan pengetahuan 85%, penggunaan kondom 100%, conseling test 100%, Pengobatan 90%, pelayanan Infeksi Menular Seksual (IMS)100%, Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) 100%. Kurangnya cakupan program intervensi pengendalian HIV dan AIDS di Kota Mimika disebabkan aspek perencanaan yang tidak maksimal, kurangnya dana dan adanya kendala-kendala sarana dan prasarana serta kondisi geografis. Hal ini seperti Penelitian Rumbrapuk (2014) menyatakan pencapaian program kesehatan di Kabupaten 344

345 Digoel masih rendah disebabkan proses perencanaan masih ada yang belum efektif karena tidak melibatkan staf, namun dari segi output berupa Planning Of Action (POA) sudah efektif karena semua Puskesmas memiliki POA. Adanya penomena tersebut diatas dan telah berjalannya program penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Mimika Papua membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti Survey Implementasi Program Penanggulangan HIV-AIDS Pada Kelompok Risiko di Kabupaten Mimika Papua Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus yang dijelaskan sebagai berikut: Tujuan Umum Untuk mengetahui Kesesuaian cakupan program HIV-AIDS di Mimika dengan cakupan standar pelayanan minimal. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini, adalah: Mengetahui prevalensi kejadian HIV-AIDS Mengetahui kesesuaian cakupan implementasi pencegahan dengan cakupan pelayanan minimal Mengetahui kesuaian cakupan implementasi IMS dengan cakupan pelayanan minimal Mengetahui kesuaian cakupan implementasi ARV dengan cakupan pelayanan minimal Mengetahui kesuaian cakupan implementasi konseling test dengan cakupan pelayanan minimal Mengetahui kesuaian cakupan implementasi PPIA dengan cakupan pelayanan minimal. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan secara survey analitik dengan pendekatan cross sectional study. Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Kata satu saat bukan berarti semua subyek diamati tepat pada saat yang sama, tetapi tiap subyek hanya diobservasi satu kali dan pengukuran variabel subyek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut. Menurut Sumantri(2011), penelitian cross sectional merupakan penelitian non eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu, dengan model pendekatan point time(kelana Kusuma Dharma, 2011; Nursalam, 2008; Sugiyono, 2014) Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kantor komisi penanggulangan HIV-AIDS Kabupaten Mimika Provinsi Papua pada bulan Maret Populasi Populasi adalah keseluruhan sumber data atau subjek penelitian yang diperlukan dalam suatu penelitian dan datang ke klinik VCT. Sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi kelompok risiko yang datang ke klinik VCT sehingga besaran sampel diperoleh secara total sampling. Gambar lokasi penelitian 345

346 Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk analisis univariat (analisis deskriptif). Analisa univariat dilakukan terhadap karakteristik responden, variabel bebas, dan variabel terikat. Tujuan analisis ini adalah untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007). Hasil analisis data berupa distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur dan jenis kelamin. HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi HIV-AIDS sejak tahun Gambar 1. Kasus HIV-AIDS yang ditemukan Sejak Tahun Data pada Gambar 1 menunjukkan kumulatif kasus HIV di Kabupaten Mimika dari tahun 1996 sampai tahun 2015 berjumlah 4,583 kasus, terdiri dari infeksi HIV berjumlah 2,514 kasus (54.85%) sedangkan kasus AIDS berjumlah 2,069 kasus (45.14%). Perbandingan temuan kasus antara infeksi HIV dan AIDS dari tahun 1996 sampai tahun 2005 dengan temuan kasus antara tahun 2006 sampai tahun 2015, menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata, dimana dari tahun 1996 sampai tahun 2005 dari temuan kasus lebih banyak infeksi HIV (tidak bergejala) sedangkan di tahun 2006 sampai tahun 2015 temuan antara infeksi HIV dan kasus AIDS cenderung seimbang. Tentu saja ini sebagai indikator bahwa pelacakan kasus secara aktif telah dilakukan, kemudahan masyarakat untuk memperoleh layanan, kesadaran masyarakat untuk menerima layanan dan yang turut berpengaruh adalah riwayat lamanya penyebaran HIV- AIDS di Mimika sehingga sangat memungkinkan sejumlah orang yang terinfeksi pada tahap tidak bergejala di masa lampau, baru ditemukan pada saat ini pada tahap bergejala. 346

347 Gambar.2. Penemuan Kasus HIV-AIDS Menurut Jalur Penularan Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat tiga pola jalur penularan HIV di Kabupaten Mimika, yaitu yang pertama adalah pola penularan melalui jalur seksual dan merupakan pola paling banyak. Pola penularan yang kedua, adalah pola penularan HIV dari Ibu ke anak atau pola kedua terbanyak. Pola ini tentunya akan memberikan pengaruh pada kualitas hidup pada anak yang lahir dari Ibu yang terinfeksi HIV. Pola yang terakhir atau pola penularan ketiga, adalah pola penularan melalui jarum suntik pada pengguna narkotika suntik. Pola penularan melalui jarum suntik merupakan pola yang paling sedikit sehingga tidak nampak pada Gambar 2, namun secara keseluruhan telah ditemukan 4 kasus infeksi HIV melalui pola ini dengan riwayat penemuan kasus menurut waktu, yaitu 1 kasus atau pertama kali ditemukan pada tahun 2007 atau 11 tahun setelah kasus HIV pertama kali ditemukan di Timika kemudian 1 kasus ditemukan lagi di tahun 2010 dan kasus ketiga dan keempat masing - masing 1 kasus di tahun 2013 dan tahun Gambar 3. Penemuan Kasus HIV-AIDS Di Kabupaten Mimika Menurut Jenis Kelamin Penemuan kasus HIV-AIDS di Kabupaten Mimika menurut jenis kelamin, terlihat sangat flutuaktif antara laki-laki dan perempuan sehingga menggambarkan fenomena "Bola Ping Pong" (ping pong phenomenal). Angka-angka kasus HIV-AIDS menurut jenis kelamin tidak akan stabil sebelum perilaku seksual banyak 347

348 pasangan dan tidak aman terus berlangsung baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Dan kejadian ini hampir sebagian besar didominasi oleh kelompok usia produktif atau usia seksual aktif. Gambar 4 juga menunjukkan penemuan infeksi HIV-AIDS terjadi secara merata pada setiap kelompok usia dengan jumlah infeksi terbanyak berada pada kelompok usia seksual aktif, yaitu kelompok usia tahun, diikuti oleh kelompok usia 30 tahun keatas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pola penularan HIV melalui jalur seksual memberi dampak terhadap perpindahan HIV dari ibu ke anak sehingga sejak tahun 2001, kasus HIV mulai ditemukan pada anak dan terus bertambah setiap tahun terutama di tahun 2009 dan tahun 2015 yang jumlahnya sangat banyak yaitu 16 kasus di tahun 2009 dan 15 kasus di tahun Cakupan Layanan Konseling Berdasarkan Gambar 5 di atas, menunjukkan di tahun 2015 capaian terhadap target dari indikator konseling dan tes HIV tercapai lebih dari 100% dan capaian ini selalu dialami dalam tiga tahun terakhir. Selain itu juga pada Gambar 10 menunjukkan perbandingan antara riwayat orang yang pernah mengikuti konseling dan tes HIV sebelumnya di tahun 2015 lebih banyak yaitu 3 dari 5 orang pernah mengikuti tes HIV dari pada orang yang baru mengikuti tes HIV dan hampir mirip di tahun 2014 tetapi berbanding terbalik di tahun 2013 karena di tahun 2013, ternyata 9 dari 10 orang yang baru mengikuti tes HIV. Hal ini terjadi karena di tahun 2013 lebih banyak layanan kesehatan melakukan pelacakan kasus secara mobile. Apabila dilihat dari jenis kelamin maka menunjukkan bahwa perbandingan jumlah laki-laki yang menerima layanan konseling dan tes HIV 2 kali lebih banyak dibandingkan perempuan di tahun 2015, dan sama dengan jumlah laki-laki yang menerima layanan ini di tahun 2013 meskipun sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun Hal ini karena di tahun 2014 jumlah laki-laki 3 kali lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan. Berdasarkan gambaran perbandingan laki-laki dan perempuan yang menerima layanan ini, maka diasumsikan bahwa cenderung di tahun 2015 minimal sebanyak 2 kali dalam satu orang laki-laki yang menerima layanan konseling dan tes HIV untuk kepentingan pemeriksaan rutin, seperti karyawan PT. Freeport Indonesia dan Anggota TNI. Cakupan Layanan IMS Target Cakupan 201SCakupan 2014Cakupan 2013 Gambar 6. Target dan Capaian Layanan IMS Pencapaian terhadap target indikator dari orang menerima layanan IMS di tahun 2015 hanya sebesar 33%, meskipun demikian terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 15% di tahun 2013 meningkat menjadi 19% di tahun 2014 dan naik 2 kali di tahun

349 Cakupan Layanan ARV Penemuan kasus HIV-AIDS Masuk Perawatan Memenuhi syarat Menerima ARV Gambar 7.Casecade Pengobatan ARV Tahun Sesuai standar pelayanan minimal oleh Kementerian Kesehatan R.I jumlah ODHA yang menerima pengobatan ARV adalah 90% dari kasus HIV yang terdiagnosa. Pada tahun 2015, jumlah capaian terhadap target indikator ini, adalah 86% atau 273 orang dari 315 orang yang ditargetkan atau masih terjadi gap 3.33%. Cakupan PPIA Gambar 8. Pelayanan Perawatan Ibu Hamil HIV Positif Sebagaimana Gambar 8 menunjukkan terjadi peningkatan terhadap jumlah ibu hamil yang mengikuti tes HIV dari jumlah sasaran ibu hamil (ANC) Kabupaten Mimika. Data tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil yang mengikuti tes HIV di tahun 2015 sebanyak 5,195 (93%) dari 5,574 jumlah sasaran Ibu hamil. Capaian ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 4,580 ibu hamil (82%) dari jumlah sasaran di tahun 2014 dan 3,473 ibu hamil (62%) dari jumlah sasaran ibu hamil di tahun Dari jumlah ibu hamil yang mengikuti tes HIV ditemukan rata-rata persentase ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 1%. Menurut pedoman nasional tatalaksana pengobatan ARV tahun 2014 oleh Kementerian Kesehatan pengobatan ARV diberikan pada ibu hamil HIV positif tanpa memandang jumlah banyaknya sel CD4 maupun usia kehamilan adalah 100% dan ternyata di Kabupaten Mimika masih terdapat gap yang cukup besar yaitu45 % pada tahun 2013 kemudian turun menjadi 24% di tahun 2014 dan naik menjadi 38% di tahun

350 Cakupan Penggunaan kondom dan pengetahuan komfrehensif Gambar 9. Persentase Penggunaan Kondom Data pada Gambar 9 menunjukkan bahwa dari 442 jumlah WPS di tahun 2015 yang terdiagnosa IMS sebanyak 28 orang atau sama dengan 6.33% sehingga WPS yang menggunakan kondom secara konsisten adalah sebesar 93.67%, persentase ini sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan data di tahun 2014 dan 2013, dimana pada tahun 2014 terdapat 37 orang terdiagnosa IMS dari 415 orang (8.9%) sehingga diasumsikan WPS yang menggunakan kondom secara konsisten sebanyak 91.08% dan di tahun 2013 sebanyak 92.45% dengan kejadian IMS sebesar 41 orangdari 502 WPS. Puskesmas Tabel 1. Pengetahuan AIDS Komprehensif Menurut Puskesmas % HIV Tidak Ditularkan Melalui Gigitan Nyamuk % HIV Dapat Dicegah Jika Setia Pada Pasangan % HIV Dapat Dicegah Dengaan Penggunaan Kondom Secara Konsisten Pada Hubungan Seks Berisiko Kontak Sosial (Tinggal Serumah Dengan ODHA, Makan-Minum Dengan ODHA, Berjabat Tangan dengan ODHA) % Seseorang Yang Terinfeksi HIV Dapat Diketahui Melalui Pemeriksaan Darah % Orang Yang Menjawab 5 Pertanyaan Dengan BENAR Puskesmas Mapurujaya (n=254) Puskesmas Bhintuka (n=115) Puskesmas Jita (n=54) Puskesmas Agimuga Puskesmas Atuka (n=96) Puskesmas Kokonao(438) Puskesmas Amar(n=115) Puskesmas Potowaiburu (n=28) Puskesmas Kwamki 66 Lama/Jiliyale (n=227)

351 Puskesmas Wakia (n=95) Puskesmas Jila (n=70) RS. Waa Banti(n=91) Puskesmas Limau Asri (n=715) Puskesmas Pasar Sentral(n=479) Puskesmas Wania (n=264) Total (n=3,198) Apabila persentase SPM Pengetahuan AIDS komprehensif yang dihapakan adalah 85% dan persentase ini dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : 1. Kategori Baik : 57 %- 85% 2. Kategori Sedang : 28% - 56 % 3. Kategori Kurang : < 28% Maka secara keseluruhan pada tahun 2015 persentase tingkat pengetahuan AIDS komprehensif masyarakat yang diukur/dinilai oleh puskesmas mencapai 34% atau pada tingkat pengetahuan SEDANG dengan rata-rata orang yang dapat menjawab dengan benar 5 pengetahuan AIDS komprehensif adalah 29 orang. Persentase tertinggi dari 5 pertanyaan AIDS komprehensif, adalah : keyakinan masyarakat bahwa HIV dapat diketahui dengan pemeriksaan darah (75%) dan terendah adalah HIV dapat dicegah dengan menggunakan kondom secara konsisten dan HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial (masing-masing 59%), namun secara keseluruhan jika ditinjau setiap dari masingmasing komponen pertanyaan maka tingkat pengetahuan masyarakat berada pada kategori BAIK. Jika persentase ini dibandingkan dengan hasil pengukuran tahun 2013 dan tahun 2014, menunjukan terjadi peningkatan karena di tahun 2013 persentase pengetahuan AIDS komprehensif hanya 2 dari 10 orang atau 21% meningkat di tahun 2014 menjadi 3-4 dari 10 orang atau 34%. Persentase pengetahuan AIDS komprehensif ini jika dibandingkan dengan hasil STHP di Tanah Papua tahun 2013 dimana pengetahuan AIDS komprehensif hanya mencapai 9% maka tingkat pengetahuan AIDS komprehensif pada masyarakat yang dilayani oleh puskesmas di Kabupaten Mimika lebih tinggi 4 kali. Jika ditinjau menurut puskesmas maka dari 15 layanan yang melaporkan maka lebih banyak masyarakat dengan tingkat pengetahuan pada kategori SEDANG kecuali puskesmas Amar, Puskesmas Kokonao, puskesmas Potowaiburu, Puskesmas Jila dan RS. Waa Banti yang ada pada kategori KURANG. KESIMPULAN Apabila dilihat data perbandingan cakupan pelaksanaan program setiap tahun mengalami perubahan, tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan bahwapelaksanaan Program HIV-AIDS di Mimika belum memenuhi standar Pelayanan Minimal. Hal ini dapat dilihat ada selisih antara cakupan standar pelayanan minimal dan cakupan pelaksanaan program: peningkatan prevalensi HIV yang seharusnya mengalami penurun namun mengalami kenaikan sebesar 22 kasus dan cakupan mengalami gap yaitu pencegahan (pengetahuan 51%, penggunaan kondom 28%), ARV 44%, IMS 67% dan PPIA 63%. Oleh karena itu pentingnya mengevaluasi pengendalian program untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja penyelenggara program. 351

352 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak yang telah mendukung dan berpartisipasi kepada saya dalam melanjutkan pendidikan dari awal sampai pada akhir perkualihan: Pemerintah Kabupaten Mimika Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika Prodi DIII Keperawatan politekes Kemenkes Jayapura Kepala Komisi Penanggulangan HIV-AIDS beserta penyelenggara program Suami dan anak-anakku tercinta. DAFTAR PUSTAKA Amibor, P & Ogurotifa. (2012). Akses ART pada ODHA. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Asari, I. Y. K. (2013). Perilaku Beresiko Penyebab Human Immunodeficiency Virus ( HIV) Positif. Uversitas Negeri Semarang. Azwar, A. (2012). Pengantar Administrasi Kesehatan. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara. Bakara, D. M, Esmianti, F, & Wulandari, C. (2014). The Effect of Health Counseling on HIV / AIDS on The Knowledge Level of Students at SMA Negeri 1 Selupu Rejang in 2013), 2013, Brouwere, V. (2008). Public Health: Managemen and Evaluation Of Health Programmes. Institute of Tropical Medicine Master in Disease Control Buchbinder, S. B & Shanks, N. H. (2014). Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta: EGC. Bustami. (2011). Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan & Askep Tabilitasnya. Ciracas Jakarta: Erlangga. Dahlan, M. S. (2014). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan.Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat.Dilengkapi Aplikasi Menggunakan SPSS (Edisi 6). Jakarta: Epidemiologi Indonesia. Depkes.RI.(2007). Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Dharma,K.K.(2011). Metodologi Penelitian Keperawatan ; Panduan Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: CV. Trans Info Media. Dharma, K. K. (2013). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media. Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika. (2015). Laporan Penaggulangan IADS Kabupaten Mimika. Timika papua: Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Mimika. Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika. (2016). Laporan Penanggulangan AIDS Kabupaten Mimika tahun Timika papua: Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Mimika. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (DP2MPL). (2013). Statistik Kasus HIV/ AIDS di Indonesia. Jakarta: Kementerian RI. Gomez, G. B, Borquez, A, Case, K. K., Wheelock, A, Vassall, A, & Hankins, C. (2013). The Cost and Impact of Scaling Up Pre-exposure Prophylaxis for HIV Prevention: A Systematic Review of Cost-Effectiveness Modelling Studies. PLoS Medicine, 10(3). Haerana, B. T & Muslimah. (2015). Hubungan Pengetahuan, Sikap, Motivasi dan Peran Petugas LSM terhadap. Jurnal Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Harapan Ibu, 1(2), 1 6. Hidayat, A. A. A. (2007). Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. 352

353 Huber.D.L. (2010). Leadership and Nursing Care Management. (Nancy O Brien, Ed.) (4th ed.). America: Elsevier. Kamariah, N. (2013). Dimensi Knowledge managament dan kepemimpinan strategik dalam meningkatkan kinerja rumah sakit. Yogyakarta: Leutikabooks. Katoronang, S. (2014). Pelaksanaan Promosi Kesehatan Dalam Penanggulangan HIV / AIDS. Manado: Unsrat. Kemenkes. RI. (2012). Pedoman Nasional Manajemen Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Jakarta: Kementerian Republik Indonesia. Kemenkes. RI. (2013). Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan I Tahun Jakarta: Ditjen PP & PL. Kemenkes. RI. (2015). Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan III Tahun Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Kementerian Kesehatan, R.I. Kurniadi, A. (2013). Manajemen keperawatan dan prospektifnya. Teori,Konsep dan Aplikasi (Ed.1 ed.). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Leslie, B. (2012). Penelitian Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan bagi ODHA di Papua. Jayapura. Marquis, B. L & huston, C. L. (2013). kepemimipinan & manajemen keperawatan Teori dan aplikasi. (E. K. Y. & A. O.T, Ed.) (4th ed.). Jakarta: EGC. Muninjaya, A. A. (2013). Manajemen Kesehatan (Ed.3 ed.). Jakarta: EGC. Mwisukha, A, Ndegwa, I. N, & Wanderi, P. M. (2012). Factors Influencing Behaviour Change for the Prevention of the Spread of HIV/AIDS among Students in Githunguri Division, Githunguri District, Kiambu County, Kenya, 3(16), Retrieved from A..pdf Nasronudin. (2012). Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial HIV & AIDS. Surabaya: Airlangga University Press. Nazir, A, Muhith, A, & Ideputri, M. (2011). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan; Konsep Pembuatan Karya Ilmiah dan Thesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Notoatmodjo. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi, Thesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika. Rachmadi, T. (2015). Peran Dinas Kesehatan Dalam Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus -Acquired Immuno Deficiency Syndrome ( HIV-Aids) Sesuai Pearturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 ( studi di Kabupaten Kebumen). Jurnal Idea Hukum, Vol. 1 no. Ridwan, E., Syafar, M., & Natsir, S. (2013). Hambatan terhadap perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada pasangan ODHA serodiskordan di kota Makassar. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, RumbrapukIRF. (2014). Efektifitas Penerapan Fungsi Manajemen Dalam Pencapaian Kinerja Puskesmas Di Kabupaten Boven Digoel. Unhas. Samson, R. (2009). Leadership and Management in Nursing Practice and Education (First). missouri: Jaypee Brothers Medical Publisher. Sari, E. N, Wicaksono, R. y, Luthfiyah, A. N., Rosmania, F. A., & Syafirah, S. (2014). Perencanaan dan Evalausi Program. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 353

354 Saryono, & Anggraeni, M. D. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Setiawati, N. (2014). Pengetahuan dan Perilaku Mahaisswa Universitas Surabaya Terkait Upaya Pencegahan HIV/AIDS, 3(1), Simamora, R. S. (2014). Untuk Pencegahan HIV Pada Pekerja Seks Waria Di Lokalisasi Gor Kota Bekasi Tahun 2014, 2. Retrieved from file:///users/suratno/downloads/ pb.pdf Siyoto, S, & Supriyanto, S. (2015). Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, CV. Sulaiman, E. S. (2014). Manajemen Kesehatan Teori dan Praktek di Puskesmas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumantri, A. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Perdana Medika Group. Supriyanto, Stefanus, & Damayanti. (2007). Perencanaan dan Evaluasi. Surabaya: Airlangga University Press. Ubra, R. (2012). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan ARV pada Pasien HIV di Kabupaten Mimika. Universitas Indonesia Depok. Walensky, R, et all. (2013). Cost-effectiveness of HIV treatment as prevention in serodiscordant couples (Provisional abstract). New England Journal of Medicine, 369(18), WHO. (2012). An analysis of HIV Prevention Pragraming to Preven HIV Transmisision During Commercial Sex In Developing Countries. Wijayati, D. T. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Strategik pada Organisasi Non Profit (Studi Manajemen Strategik pada Dinas Propinsi Jawa Timur). Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, 12(1) pp Retrieved from Wijono, J. (2000). Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press. 354

355 KEBIJAKAN CUTI BERSALIN BAGI IBU PEKERJA DI BERBAGAI NEGARA: LITERATURE REVIEW PENELITIAN INTERNASIONAL ALIA NUTRIA Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Abstrak - Kesehatan pertumbuhan dan perkembangan anak dari ibu pekerja merupakan topik yang sering diteliti secara akademik di bidang kesehatan masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan anak, salah satunya adalah kesehatan ibunya sendiri. Pada ibu yang baru bersalin dikenal postpartum depression atau depresi pascapersalinan. Bagi ibu pekerja, keadaan menjadi lebih sulit karena di sisi lain, saat masa cuti usai ia harus segera menyiapkan dirinya untuk kembali bekerja, melaksanakan kewajibannya yang lain. Artikel ini merupakan literature review dari berbagai penelitian internasional melalui internet dan kami mendapatkan 7 (tujuh) penelitian dari NBER Working Paper Series, Journal of Health Economics, Journal of Health Politics, Policy and Law, Center for Economic and Policy Research, dengan fokus penelitian adalah lama cuti bersalin yang berpengaruh pada kesehatan ibu serta kebijakan cuti bersalin di berbagai negara. Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya berhenti pada kesehatan ibu semata, tetapi ada implikasi dalam perspektif kebijakan publik. Kesimpulan: Untuk mempertahankan populasi dan menjaga kualitas generasi penerus bangsa dengan mencetak anak-anak yang sehat secara fisik dan mental, perlu diperhatikan kebijakan mengenai cuti bersalin dan pengasuhan anak bagi orangtua pekerja sebagaimana telah diterapkan di berbagai negara. Kata kunci: cuti bersalin, kesehatan anak, kesehatan ibu, kebijakan publik, pengasuhan anak. LATAR BELAKANG Peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus ibu pekerja banyak dilakukan oleh wanita. Berbagai alasan yang melatarbelakanginya, salah satunya alasan finansial. Tak heran jika para ibu pekerja ini juga berperan menjadi seorang penyelamat ekonomi keluarga, terutama bagi para orangtua tunggal. Masalah timbul saat wanita harus menjalani kodratnya, hamil dan melahirkan. Masa kehamilan dan melahirkan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang wanita yang pernah mengalaminya. Disisi lain, wanita harus segera menyiapkan dirinya untuk kembali bekerja, melaksanakan kewajibannya yang lain. Konflik antara keinginan prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosiokultural dan persoalan dalam kehamilan itu sendiri dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, termasuk depresi. Keadaan tersebut dapat ditandai dengan perasaan cemas dan rasa bersalah pada diri sendiri. Apabila hal itu dibiarkan dapat berakibat fatal baik bagi ibu itu sendiri ataupun bagi bayinya. Baik studi retrospektif dan prospektif yang berbasis komunitas telah menghasilkan angka prevalensi depresi sesudah persalinan mayor dan minor antara 10-15%. Bila beberapa wanita dilaporkan menderita gejala-gejala singkat setelah kelahiran anak, depresi berkembang lebih perlahan lebih dari 6 (enam) bulan pertama pascapersalinan. Ada 3 (tiga) tipe gangguan psikis pascapersalinan, diantaranya adalah maternity blues, depresi pascapersalinan dan psikosis pascapersalinan (Ling dan Duff, 2001). Depresi pascapersalinan yang berlangsung sampai berminggu minggu atau bulan dan kadang ada diantara mereka yang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Psikosis pascapersalinan, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pascapersalinan. Di Indonesia, Pemerintah mengatur soal cuti bersalin bagi wanita pekerja formal di perusahaan swasta dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1: Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Sedangkan bagi wanita PNS, peraturan tentang cuti hamil diatur dalam Bagian Kelima Pasal 19 PP No.24 Tahun 1976 yang menyatakan bahwa : (1) Untuk persalinan anaknya yang pertama, kedua, dan ketiga, Pegawai Negeri Sipil wanita berhak atas cuti bersalin, (2) Untuk persalinan anaknya yang keempat dan seterusnya, kepada Pegawai Negeri Sipil wanita diberikan cuti di luar tanggungan Negara, (3) Lamanya cuti-cuti bersalin tersebut dalam ayat (1) dan (2) adalah 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan sesudah persalinan. Untuk tenaga kesehatan yang berstatus PTT (Pegawai Tidak Tetap), maka peraturan mengacu pada Permenkes No 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap di Lingkungan Kementerian Kesehatan Indonesia yaitu berhak atas 355

356 cuti melahirkan selama 40 (empat puluh) hari. Ada perbedaan lama cuti sesudah persalinan dalam 3 (tiga) peraturan tersebut. Di beberapa negara, saat kelahiran anak, suami dari wanita yang melahirkan pun diberi hak cuti, demi kesetaraan gender dan memberi kesempatan kepada laki-laki untuk ikut terlibat dalam hal pengasuhan anak, sehingga istilahnya bukan lagi maternal leave, tetapi parental leave. Parental leave dapat terwujud dengan dua syarat: apabila orangtua diberikan jaminan mendapatkan kembali posisi pekerjaaannya dan adanya dukungan finansial (tidak menghilangkan gaji). Di Indonesia, bagi suami yang bersangkutan (apabila sebagai pekerja/buruh di suatu perusahan), juga berhak memperoleh hak cuti (hak tidak masuk bekerja dan tetap diberi upah) selama 2 (dua) hari jika istrinya melahirkan disaat bersamaan dengan hari kerja. Demikian ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf c dan ayat (4) huruf e UU Ketenagakerjaan. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan literature review. Sumber data penelitian ini berasal dari literatur yang diperoleh melalui internet berupa hasil penelitian Internasional yang dipublikasikan di 5 (lima) database jurnal yaitu NBER Working Paper Series, Journal of Health Economics, Journal of Health Politics, Policy and Law, Center for Economic and Policy Research. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian adalah maternal leave, working mother dan postpartum depression. Dalam pencarian selama kurun waktu ditemukan 646 artikel. Data kemudian dipersempit berdasarkan tahun menjadi 561 artikel, hal ini dilakukan untuk menjaga keterkinian penulisan berdasarkan hasil penelitian terbaru. Artikel kemudian direview dengan membaca abstrak. Didapatkan 70 artikel dan sampel penelitian adalah 7 penelitian internasional yang relevan. Kriteria inklusi adalah karya ilmiah yang meneliti hubungan lama cuti bersalin dengan kesehatan ibu serta tumbuh kembang anak juga kebijakan mengenai cuti bersalin di berbagai negara. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Lama cuti bersalin terhadap perkembangan anak Ada 4 (empat) penelitian mengenai pengaruh lama cuti bersalin ibu pekerja terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Satu penelitian di Kanada menyatakan tidak ada perbedaan terhadap perkembangan anak usia bulan yang ibunya mengajukan perpanjangan cuti, perlu diingat bahwa kebijakan di Kanada untuk cuti bersalin adalah minggu, tergantung negara bagian. Studi lainnya yang juga dilakukan di Kanada menyatakan bahwa ada peningkatan jumlah ibu yang memberikan ASI, juga ada peningkatan pada status kesehatan baik pada anak setelah diberlakukannya kebijakan cuti yang baru setelah tahun 2000 (sebelum tahun 2000, cuti bersalin di Kanada berkisar antara minggu). Studi lain dilakukan di Amerika menyatakan bahwa ada peningkatan status kesehatan anak setelah tahun 1993 dibandingkan sebelum tahun Sebelum tahun 1993, hanya 13 negara bagian yang memberikan cuti bersalin dengan durasi bervariasi antara 6-16 minggu tanpa mendapatkan upah. Setelah diberlakukan undang-undang baru (FMLA/ Family Medical Leave Act), Amerika Serikat mengharuskan perusahaan memberi cuti bersalin minimal 12 minggu, walaupun tetap tanpa ada pemberian upah. Status kesehatan anak diantaranya berkurangnya infeksi telinga, asma, eczema, dan penyakit alergi lainnya dihubungkan dengan pemberian ASI eksklusif Lama cuti bersalin terhadap kesehatan ibu Ada 3 (tiga) penelitian mengenai pengaruh lama cuti bersalin ibu pekerja terhadap kesehatan ibu, khususnya terhadap kondisi depresi pascapersalinan. Seluruh penelitian menyatakan lama cuti bersalin yang diambil oleh seorang ibu pekerja berpengaruh signifikan terhadap resiko depresi. Dagher, McGovern, dan Dowd, mengungkapkan hasil penelitian perihal implikasi kebijakan cuti bersalin terhadap terjadinya depresi pascapersalinan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa semakin lama masa cuti bersalin yang diambil oleh seorang wanita setelah ia melahirkan, akan menurunkan resiko wanita tersebut mengalami apa yang disebut depresi pascapersalinan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa wanita yang kembali bekerja lebih cepat dari enam bulan setelah bayi lahir memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami gejala depresi pascpersalinan Tapi penambahan lama cuti tidak berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik ibu. Kebijakan penambahan lama cuti bersalin di Kanada membuahkan hasil yang signifikan terhadap bertambahnya waktu ibu berada di rumah. Ibu yang mengambil cuti bersalin lebih panjang dapat memberikan kinerja yang lebih baik saat kembali bekerja. 356

357 3.1.3.Kebijakan cuti bersalin di berbagai Negara Seluruh penelitian juga menganalisa cuti bersalin dari sisi kebijakan di berbagai negara. Lama cuti bersalin bervariasi, mulai dari Amerika yang hanya memberikan 12 minggu hingga 162 minggu di Perancis dan Jerman. Spanyol (156 minggu) yang berarti memberikan cuti bersalin sampai 3 tahun. Austria (112 minggu) memberikan lebih dari 2 (dua) tahun. Norwegia (90 minggu), Swedia (85 minggu), Inggris (65 minggu), Jepang (58 minggu), Irlandia (56 minggu), Australia (52 minggu), New Zealand (52 minggu), Kanada (52 minggu) dan bisa diperpanjang, Denmark (50 minggu), Itali (48 minggu), Yunani (47 minggu), Finlandia (44 minggu). Pada negara maju kecuali Amerika, para ayah pun diberikan kesempatan untuk mengambil cuti saat istrinya bersalin dan lama setelahnya, mulai dari mingguan hingga tahunan, dengan skema bersama-sama dengan istri maupun bergantian sebagai manifestasi persamaan gender serta memberikan ayah kesempatan untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Di Portugal pada tahun 2000 saat cuti ayah tidak mendapat upah, hanya 150 orang yang mengambil cuti. Tiga tahun kemudian hukum berubah, para ayah mendapatkan 2 (dua) minggu cuti dengan tetap mendapat upah. Hasilnya, sebanyak orang mengambil cuti ayah. Tabel 1. Data hasil penelitian Peneliti (Tahun) Desain Penelitian Chatterji, Markowitz (2004) Baker,Milligan (2007) Baker,Milligan (2008) Ray, Gornick, Schmitt (2008) Baird, Whelan, Page (2009) Rossin (2011) Dagher,McGovern, Dowd (2014) Pembahasan Kesehatan ibu Kesehatan anak Topik penelitian Kebijakan cuti ibu Kebijakan cuti orangtua Sumber pembiayaan cuti Cross Sectional v - v - - Cohort - V v v v Cohort - V v - - Deskriptif Dskriptif Cross Sectional Cohort - - v v v v v v v v - v v - v v - v v v Negara maju sangat memperhatikan kualitas sumber daya manusianya, sehingga kebijakan yang diambil dalam hal pemberian cuti melahirkan pun mendukung terciptanya generasi penerus yang berkualitas. Cuti orangtua diberikan untuk ayah maupun ibu untuk berpartisipasi dalam merawat anak-anak mereka di tahuntahun awal kehidupan, Cuti untuk ayah dan ibu ini diistilahkan dengan Parental Leave, dengan adanya keberlangsungan pemberian upah dan jaminan dapat kembali bekerja di tempat yang lama. Sumber pembiayaan upah/ gaji dalam cuti bersalin bervariasi, ada yang ditanggung perusahaan, asuransi sosial dan ada yang sebagian disubsidi oleh Pemerintah dan sisanya ditanggung oleh perusahaan Kebijakan cuti bersalin di Indonesia saat ini sudah lebih baik dari Amerika namun perlu adanya penyesuaian peraturan agar lama cuti tidak berbeda-beda antara satu peraturan dengan peraturan lainnya dan dapat mendukung kebijakan pemberian ASI eksklusif selama minimal 6 (enam) bulan. KESIMPULAN Perlu dipahami bahwa cuti bersalin dengan waktu yang memadai diperlukan untuk: Melindungi ibu dari depresi pascapersalinan dan meningkatkan motivasi saat kembali bekerja, Melindungi anak-anak dan memperbaiki pola pengasuhan, memaksimalkan pemberian ASI juga menghindari efek jangka panjang yang buruk pada perilaku anak, 357

358 Memfasilitasi wanita maupun pria untuk mengambil peran baik sebagai pekerja maupun orangtua yang berperan aktif dan bertanggungjawab dalam pengasuhan anak, Mempertahankan populasi dan menjaga kualitas generasi penerus bangsa dengan mencetak anak-anak yang sehat secara fisik dan mental. Untuk membangun itu semua, perlu peran serta masyarakat, komitmen perusahaan pemberi kerja serta Pemerintah yang dituangkan dalam bentuk kebijakan mengenai cuti bersalin maupun cuti pengasuhan anak bagi orangtua pekerja sebagaimana telah diterapkan di berbagai negara. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Peraturan Pemerintah no 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil Permenkes No 7 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap di lingkungan Kementerian Kesehatan Indonesia Albin, R. S Emosi : Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Yogyakarta : Kanisius. Anshari, H Kamus Psychologi. Jakarta : Arcan. Ayuningtyas, Dumilah (2014). Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik, Rajawali Pres. Baird. Marian, Jenni Whelan, Alison Page. Paid maternity, paternity and parental leave for Australia: An evaluation of the context, evidence and policy options. Women Work Research Group Faculty of Economics and Business The University of Sydney, Februari 2009 Baker. Michael, Kevin Milligan. Evidence From Maternity Leave Expansions Of The Impact Of Maternal Care On Early Child Development. NBER Working Paper No , JEL No. J13,J22, February 2008 Baker. Michael, Kevin Milligan. Maternal employment, breastfeeding, and health: Evidence from maternity leave mandates. NBER Working Paper No , JEL No. I18,J13, June 2007 Budi Winarno (2014). Kebijakan Publik Teori Proses dan Studi Kasus, CAPS. Chaplin, C.P Kamus Lengkap Psikologi. Yogyakarta. Liberty. Chatterji. Pinka, Sara Markowitz. Does the Length of Maternity Leave Affect Maternal Health?. NBER Working Paper No , JEL No. I1, January 2004 Dagher. Rada K, Patricia M. McGovern, Bryan E. Dowd. Maternity Leave Duration and Postpartum Mental and Physical Health:Implications for Leave Policies. Journal of Health Politics, Policy and Law, Vol. 39, No. 2, April 2014 Hadi, P Depresi dan Solusinya. Yogyakarta : Tugu Ibrahim, Z Psikologi Wanita. Bandung : Pustaka Hidayah. Ling, F. W, dan Duff, P Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw Hill Companies. Ray. Rebecca, Janet C. Gornick, John Schmitt. Parental Leave Policies in 21 Countries: Assessing Generosity and Gender Equality. Center for Economic and Policy Research, September 2008 Rossin. Maya, The Effects of Maternity Leave on Children s Birth and Infant Health Outcomes in the United States. Journal of Health Economics, 30(2), March 2011 Wilkinson, G Buku Pintar Kesehatan : Depresi. Jakarta : Arcan. 358

359 Pengaruh Pelaksanaan Manajemen K3RS Terhadap Kepuasan Karyawan Rumah Sakit X di Kabupaten Indramayu Depi Yulyanti Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, STIKes Indramayu depi.yulyanti@gmail.com Abstrak : Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) mengatur mengenai manajemen tanggap darurat, program kesehatan berkala, program pendidikan dan pelatihan K3 bagi karyawan, serta mengatur tentang manajemen linen, laundry, sanitary, dan unit penunjang lainnya. K3 juga harus memastikan bahwa dalam melakukan pekerjaannya staf harus aman dan nyaman baik dengan lingkungan sekitarnya maupun dengan peralatan yang digunakan sehingga keselamatan dan kesehatan karyawan terlindungi. K3RS di RSUD Indramayu tidak ada dalam SOTK sehinga penerapan belum sesuai standar K3RS dan belum masuk dalam struktural sehingga keberhasilan program K3RS tidak bisa dirasakan oleh karyawan. Penelitian ini merupakan penelitian crossectional dengan populasi sebanyak 523 karyawan dengan sampel penelitian sebanyak 84 orang. Analisis data bivariat menggunakan chi-square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil dari penelitian perencanaan K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi persamaan perlakuan terhadap karyawan artinya ada pengaruh perencanaan K3RS terhadap persamaan perlakuan kepada karyawan. Perencanaan K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi pencapaian nilai kerja terhadap karyawan artinya ada pengaruh perencanaan K3RS terhadap pencapaian nilai kerja karyawan. Pengorganisasian K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi pemenuhan kebutuhan kerja terhadap karyawan artinya ada pengaruh pengorganisasian K3RS terhadap kebutuhan kerja karyawan. Penggerakkan K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi pencapaian nilai kerja terhadap karyawan artinya ada pengaruh penggerakan K3RS terhadap pencapaian nilai kerja karyawan. Diharapkan Direktur RSUD Indramayu dapat melakukan advokasi kepada pemerintah kabupaten Indramayu untuk perubahan aturan bupati terkait SOTK di RSUD Indramayu, dengan demikian K3RS dapat masuk dalam struktural sehingga penerapan K3RS di RSUD Indramayu dapat dilaksanakan dengan optimal. Kata Kunci : Kepuasan, Karyawan, K3RS LATAR BELAKANG Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit. Penerapan K3RS wajib dilaksanakan, karena rumah sakit merupakan tempat kerja yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya PAK dan KAK. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada tahun 2004 sebesar 65.4 % petugas kebersihan suatu rumah sakit di Jakarta menderita Dermatitis Iritan Khronik Tangan, 41% perawat Rumah Sakit mengalami occupational low back pain, dan prevalensi gangguan mental emosional 17.7% pada perawat berhubungan bermakna dengan stresor kerja. Penerapan K3RS akan sangat menguntungkan kepada rumah sakit karena dengan penerapan K3RS secara tidak langsung akan memberikan kenyamanan kepada pasien ataupun karyawan. (Kepmenkes RI 432 : 2007) Penerapan manajemen K3RS secara menyeluruh merupakan aspek penilaian mutu pelayanan rumah sakit. Baik atau buruknya mutu pelayanan rumah sakit dapat dilihat dari kepuasan pasien dan kepuasan karyawan. Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen fasilitas dan keselamatan. Di rumah sakit manajemen fasilitas dan keselamatan tersebut dimaksudkan untuk mengutamakan kesehatan dan keselamatan karyawannya. K3 juga harus memastikan bahwa dalam melakukan pekerjaannya staf harus aman dan nyaman baik dengan lingkungan sekitarnya maupun dengan peralatan yang digunakan, misalnya : di laboratorium dan di unit di mana ada penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus ada SPO yang mengatur dan harus ada MSDS yang harus mudah dijangkau oleh karyawan untuk mencegah cedera yang fatal untuk setiap karyawan. Keterbatasan tersedianya sumber daya menyebabkan pelaksanaan K3RS tidak sesuai dengan standar K3RS. Berdasarkan beberapa permasalahan pelaksanaan penerapan K3RS dari aspek manajemennya ada beberapa kendala di dalam penyelenggaraan manajemen K3RS yang dapat menyebabkan pelaksanaan program K3RS masih bermasalah, diantaranya adalah pemegang program K3RS belum terlatih tentang K3RS. Pelatihan yang dilaksanakan RSUD Indramayu hanya pelatihan pemadaman kebakaran saja. Anggaran untuk pelaksanaan program belum menjadi prioritas, baik untuk pelaksanaan pelatihan tenaga kesehatan maupun sosialisasi K3RS. Belum tersedianya APD dan perlengkapan pelaksanaan K3RS termasuk media KIE, pedoman K3RS, dan instrumen pencatatan dan pelaporan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK), serta instrumen pencatatan dan pelaporan Penyakit 359

360 Akibat Kerja (PAK).Peranan pihak manajemen RSUD dalam upaya penerapan K3RS sangatlah penting, karena keselamatan dan kesehatan tenaga kerja tidak bisa ditawar. Disamping itu RSUD Indramayu merupakan RSU pemerintah yang diharapkan oleh masyarakat, karena dibanding dengan RS swasta tentu RS pemerintah lebih murah dan terjangkau masyarakat sehingga sudah semestinya RSUD Indramayu meningkatkan mutu pelayanan dengan mengoptimalkan penerapan K3RS. Memperhatikan perkembangan tuntutan pihak berkepentingan maka penerapan manajemen K3RS di RSUD Indramayu mesti menjadi prioritas, perlu dilakukan pengkajian lebih dalam tentang bagaimana pelaksanaan program K3RS di RSUD Indramayu salah satu caranya dengan melakukan penelitian pada karyawan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan K3RS terhadap kepuasan karywan RSUD Indramayu. METODE PENELITIAN Analisis data bivariat menggunakan chi-square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan RSUD Indramayu sejumlah 523 karyawan. Sampel dalam peneilitian ini 84 Rumus sampel yang digunakan untuk populasi yang kecil kurang dari menggunakan rumus berikut : (Notoatmodjo, 1993) Keterangan : n = Besar sampel N = Besar populasi d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan, dalam penelitian ini d = 10% Kriteria Inklusi : Bersedia menjadi responden Pegawai tetap RSUD Indramayu Masa jabatan minimal satu tahun Kriteria Ekslusi : Pegawai yang masuk ke dalam struktural K3RS Pegawai yang memiliki jabatan struktural RSUD Indramayu HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Analisis Regresi Multivariat Proses Pelaksanaan K3RS Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Karyawan di RSUD Indramayu 2015 No Variabel B SE Wald Sig Exp. (B) 95.0% C.I.For Exp (B) Lower Upper 1 Pengorganisasian Constant Nagelkerke R Square = Analisis yang digunakan dalam analisis multvariat ini menggunakan metode backward stepwise sehingga variabel yang tidak signifikan secara otomatis tidak masuk kedalam analisis selanjutnya. Variabel yang berpengaruh terhadap kebutuhan karyawan pada tabel 1 hanya pengorganisasian karena memiliki p < Pada pengorganisasian nilai koefisien B sebesar , hal ini menunjukan bahwa kebutuhan karyawan akan terpenuhi sebesar kali apabila pengorganisasian K3RS baik. Berdasarkan nilai Exp.B pengorganisasian = maka dapat diartikan bahwa pengorganisasian berpengaruh sebesar terhadap pemenuhan kebutuhan karyawan. Berdasarkan hasil analisis model akhir diketahui nilai 360

361 Negelkerke R Square sebesar 44,8%, artinya variabel pengorganisasian yang ada di model tersebut dapat menjelaskan pemenuhan kebutuhan karyawan sebesar 44,8% dan selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Persamaan yang terbentuk adalah :Pemenuhan Kebutuhan = (-2.896) Pengorganisasian Artinya Konstanta sebesar menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap konstan, maka pemenuhan kebutuhan karyawan berpengaruh sebesar kali. Tabel 2 Analisis Regresi Multivariat Proses Pelaksanaan K3RS Terhadap Pencapaian Nilai Karyawan RSUD Indramayu 2015 No Variabel B SE Wald Sig Exp. (B) 95.0% C.I.For Exp (B) Lower Upper 1 Perencanaan Penggerakan Constant Nagelkerke R Square =.618 Analisis yang digunakan dalam analisis multvariat ini menggunakan metode backward stepwise sehingga variabel yang tidak signifikan secara otomatis tidak masuk analisis selanjutnya. Variabel yang berpengaruh terhadap pencapaian nilai karyawan pada tabel 2 yaitu perencanaan dan penggerakan. Variabel yang berpengaruh terhadap kebutuhan karyawan pada tabel 2 hanya perencanaan dan penggerakkan karena memiliki p < Pada perencanaan nilai koefisien B sebesar , hal ini menunjukan bahwa pencapaian nilai karyawan akan terpenuhi sebesar kali apabila perencanaan K3RS berjalan baik. Sedangkan penggerakkan memiliki nilai koefisien B sebesar , hal ini menunjukan bahwa pencapaian nilai karyawan akan terpenuhi sebesar kali apabila penggerakkan K3RS berjalan baik. Berdasarkan nilai Exp.B perencanaan = maka dapat diartikan bahwa perencanaan berpengaruh sebesar terhadap pencapaian nilai karyawan. Sedangkan penggerakkan memiliki nilai Exp.B penggerakkan = maka dapat diartikan bahwa penggerakkan berpengaruh sebesar terhadap pencapaian nilai karyawan Berdasarkan hasil analisis model akhir diketahui nilai Negelkerke R Square sebesar 61,8%, artinya kedua variabel yang ada di model tersebut dapat menjelaskan pencapaian nilai karyawan sebesar 61,8% dan selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Persamaan yang terbentuk adalah : Pencapaian Nilai = (-3.865) Perencanaan + (-3.379) Penggerakkan. Artinya Konstanta sebesar menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap konstan, maka pencapaian nilai karyawan berpengaruh sebesar kali. Tabel 3 Analisis Regresi Multivariat Proses Pelaksanaan K3RS Terhadap Persamaan Perlakuan Kepada Karyawan di RSUD Indramayu 2015 No Variabel B SE Wald Sig Exp. (B) 95.0% C.I.For Exp (B) Lower Upper 1 Perencanaan Constant Nagelkerke R Square = Analisis yang digunakan dalam analisis multvariat ini menggunakan metode backward stepwise sehingga variabel yang tidak signifikan secara otomatis tidak masuk analisis selanjutnya. Variabel yang berpengaruh terhadap persamaan perlakuan kepada karyawan pada tabel 3 yaitu perencanaan karena memiliki p < Pada perencanaan nilai koefisien B sebesar , hal ini menunjukan bahwa persamaan perlakuan kepada karyawan akan terpenuhi sebesar kali apabila perencanaan K3RS berjalan baik. Berdasarkan nilai Exp.B perencanaan = maka dapat diartikan bahwa perencanaan berpengaruh sebesar

362 terhadap persamaan perlakuan kepada karyawan. Berdasarkan hasil analisis model akhir diketahui nilai Negelkerke R Square sebesar 43,9%, artinya variabel perencanaan yang ada di model tersebut dapat menjelaskan persamaan perlakuan kepada karyawan sebesar 43,9% dan selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Persamaan yang terbentuk adalah : Persamaan Perlakuan = (-2.715) Perencanaan. Artinya Konstanta sebesar menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap konstan, maka persamaan perlakuan kepada karyawan berpengaruh sebesar kali. Pelaksanaan K3RS di RSUD Indramayu baru sebatas perencanaan sumber daya manusia dan perencanaan pembentukan struktur organisasi K3RS, meskipun baru sebatas perencanaan namun secara tidak langsung dampak sudah bisa dirasakan oleh karyawan. Berdasarkan hasil analisis multivariat diketahui bahwa penerapan K3RS khususnya perencanaan K3RS berpengaruh dengan persamaan perlakuan kepada karyawan, perencanaan dan penggerakkan K3RS berpengaruh dengan Pencapaian nilai karyawan, dan pengorganisasian K3RS berpengaruh dengan pemenuhan kebutuhan karyawan.hanya tiga variabel bebas dari pelaksanaan K3RS yaitu perencanaan, pengorganisasian dan penggerakan yang mempengaruhi karena keadaan di lapangan secara nyata memang proses pelaksanaan K3RS baru sampai kepada perencanaan sumber daya manusia dan perencanaan pembentukan organisasi K3RS. Selain itu ada sedikit banyak program yang berkaitan dengan K3RS telah dilaksanakan oleh bidang atau bagian yang lain sehingga yang tingkat kepuasan yang dirasakan oleh karyawan baru sebatas pada tahap perencanaan, pengorganisasian dan penggerakan. Penerapan K3RS sebagai salah satu cara untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit bukan hanya sekedar teori, hal tersebut terbukti dengan adanya penelitian ini. Penelitian ini bisa membantu peneliti mengetahui keadaan dilapangan dalam penerapan K3RS di RSUD Indramayu baru sebatas perencanaan sumber daya manusia dan perencanaan pengorganisasian struktur K3RS setelah dianalisis ternyata perencanaan selalu berpengaruh terhadap variabel komposit dari kepuasan karyawan. Apabila karyawan sudah merasa puas maka produktifitas kerja karyawan akan meningkat sehingga akan memberikan manfaat bagi organisasi dalam hal ini adalah rumah sakit. (Almigo,2004) Perencanaan sebaiknya harus memperhatikan asas pokok perencanaan yaitu mempertimbangkan situasi masa depan berdasar sumber daya yang ada, memberikan petunjuk tentang penggerakan dan pelaksanaan dalam pencapaian tujuan, adanya perencanaan memudahkan pengawasan dan pengendalian karena indikatornya sudah dengan jelas ditetapkan sejak dini dalam proses perencanaan, dan mendorong peningkatan upaya penelitian dan pengembangan. Apabila asas perencanaan sudah dipenuhi maka pemenuhan kebutuhan, pencapaian nilai, dan perlakuan yang sama pada karyawan akan mudah, sehingga dapat mempengaruhi terhadap kepuasan kerja karyawan. (Wijono : 1997) Penggerakan merupakan titik pangkal dari kemampuan memimpin seorang pemimpin, menggerakan adalah membuat semua anggota kelompok agar mau bekerjasama dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian.kebutuhan karyawan, pencapaian nilai, dan perlakuan yang sama akan terpenuhi apabila karyawan merasakan keberadaan dari pemimpin tersebut, pemimpin memiliki komunikasi yang baik, dan mampu memberikan motivasi maka pemenuhan kebutuhan karyawan, pencapaian nilai, dan perlakuan yang sama akan terpenuhi sehingga karyawan merasakan puas dalam pekerjaannya. (Azrul : 2010) Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan K3RS yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan penilaian akan memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan apabila pelaksanaan K3RS benar-benar dilaksanakan sehingga dengan demikian akan berdampak kepada mutu pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien karena berdasarkan hasil penelitian Ida dan Agus (2008) Diketahui bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap motivasi. Apabila motivasi kerja bagus maka kinerja karyawan akan bagus. Selain itufungsi manajemen harus benar-benar dilaksanakan oleh seorang manajer demi pencapaian tujuan yang secara berdaya guna dan berhasil guna, artinya seorang manajer hendaknya dapat menjalankan fungsi perencanaan (planning), mampu mengorganisasikan (organizing), mampu menyususn dan mengatur staf (staffing), seharusnya memberikan pengarahan (directing) ke mana arah tujuan organisasinya atau pekerjaannya, pintar melakukan hubungan koordinasi (coordinating) dengan semua pihak yang berkaitan dengan pekerjaan dan tujuannya, dan melaksanakan pengamatan dan penilaian (evaluating), pengendalian dan pengawasan (controling) supaya pelaksanaan pekerjaan tetap sesuai rencana dan menghindari penyimpangan-penyimpangan. Seorang manajer diharapkan mampu 362

363 menggerakk an orang lain melaksanakan tugas (actuating) untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, serta dapat menyususn rencana anggaran pendapatan dan belanja (RAPB/budgeting) organisasinya. (Azrul : 2010) Pelaksanaan evaluasi K3RS di RSUD Indramayu harus dilaksanakan meskipun dilapangan pelaksanaannya baru sebatas perencanaan karena evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi sejauh mana capaian suatu kegiatan, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan standar tertentu dan apakah ada selisish diantara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah diraih dibandingkan dengan harapan yang ingin diperoleh(umar : 2002).Penilaian evaluasi memerlukan deskripsi tentang kinerja program atau karakteristik yang dipermasalahkan dan penilaian terhadap standar secara relevan dan akurat (Wayne : 2005). KESIMPULAN Kepuasan kerja karyawan berdasarkan variabel pemenuhan kebutuhan, pencapaian nilai, dan persamaan perlakuan diketahui : Perencanaan K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi persamaan perlakuan terhadap karyawan. Perencanaan K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi pencapaian nilai kerja terhadap karyawan. Penggerakkan K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi pencapaian nilai kerja terhadap karyawan. Pengorganisasian K3RS secara signifikan dengan p = < 0.05 mempengaruhi pemenuhan kebutuhan kerja terhadap karyawan. DAFTAR PUSTAKA Almigo, N. (2004). Hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja karyawan. Jurnal Psyche, 1(1). Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan. Tangerang: Binapura Aksara Publisher; Brahmasari, I. A., & Suprayetno, A. (2009). Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan (Journal of Management and Entrepreneurship), 10(2), pp-124. Menteri Kesehatan.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Rumah Sakit. Jakarta: Menteri RI; Parsons, Wayne. Public Policy Pengantar Teori Dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Dward Elgar Publishing; Umar, H. Evaluasi Kinerja Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2002 Wijono, D. Manajeman Kepemimpinan Dan Organisasi Kesehatan. Surabaya : Airlangga university Press;

364 PEMANFAATAN PELAYANAN ANTENATAL DI PUSKESMAS KAHURIPAN OLEH IBU HAMIL DI KELURAHAN CIKALANG KECAMATAN TAWANG KOTA TASIKMALAYA DIAH NURLITA 1, ANNEKE SUPARWATI 2, WIDURI RAHMAYANTI 3 1 Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Siliwangi diahnsutardjo@gmail.com 2 Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro 3 Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Siliwangi Masalah kesehatan ibu dewasa ini merupakan tantangan yang cukup besar di Indonesia. Angka Kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) cukup mengkhawatirkan. Faktor resiko pada Ibu Hamil seperti umur terlalu muda atau tua, banyak anak, beberapa faktor biologis lainnya adalah keadaan yang secara langsung maupun tidak langsung menambah resiko kesakitan dan kematian ibu hamil. Beberapa faktor risiko yang sekaligus terdapat pada seorang ibu dapat menjadikan kehamilannya berisiko tinggi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan oleh ibu hamil di Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan emik yaitu peneliti mengidentifikasi masalah informan dan menguraikan dari apa yang telah didengar secara nyata tanpa mempengaruhi opini informan. Hasil penelitian di lapangan didapat beberapa informasi tentang karakteristik informan adalah sebagai berikut : Kunjungan kesatu (K1) di Trimester 1 dan keempat (K4) di Trimester III yang dilakukan ibu hamil Kelurahan Cikalang ke Puskesmas Kahuripan sebagai pelaksanaan dalam memanfaatkan pelayanan Antenatal belum lengkap, karena haanya memeriksakan sekali ke Puskesmas kahuripan dan seterusnya ke Bidan Swasta yang dekat rumah. Oleh karena itu, perlu diadakan sosialisasi dan koordinasi yang lebih intens antara Bidan Puskesmas Kahuripan dengan Bidan Swasta agar ada kesamaan Standar Pelayanan Minimal Antenatal yang diberikan kepada Ibu Hamil di Kelurahan Cikalang. Kata kunci :Pelayanan Antenatal ; Puskesmas Kahuripan ; Cikalang LATAR BELAKANG Keberhasilan pemerataan pelayanan kesehatan tidak hanya diukur dari jumlah sarana kesehatan yang didirikan tetapi juga harus mengukur indikator lainnya seperti pemanfaatan, desentralisasai, dampak keberhasilan terhadap derajat kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah faktor kebutuhan, demografi, keadaan sosial, sikap, kepercayaan, pendapatan keluarga, ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan baik dari biaya perjalanan, jarak dan waktu pelayanan.hingga kini dan beberapa dekade yang akan datang di negara berkembang seperti Indonesia, masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) masih akan menjadi prioritas utama, dewasa ini sebutan Child Survivor dan Save Motherhood menjadi patokan utama keberhasilan program kesehatan masyarakat di negara berkembang. Berdasarkan SDKI tahun 2012, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi sebesar 359/ kelahiran hidup. Sedangkan target global MDGs ke-5 adalah menurunkan AKI menjadi 102/ kelahiran hidup pada tahun 2015 (Pusdatin;2014). Menurut data Laporan Progam Kesehatan Anak Provinsi Jawa Barat tahun , jumlah kematian neonatus yang dilaporkan di Jawa Barat mencapai angka dan bayi mencapai Hal ini terjadi karena jumlah penduduk Jawa Barat besar, sehingga penyelesaian masalah kesehatan di Jawa Barat akan sangat berdampak di tingkat nasional (Hendriyana;2013). Upaya yang tergolong pelayanan kesehatan dasar untuk kelompok ibu dalam program KIA di Puskesmas salah satunya adalah pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care). Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa kesehatan ibu dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan (risiko kehamilan) yang ditemukan. Pemanfaatan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan mengalami penurunan, baik di pemeriksaan kehamilan kesatu (K1) di trimester I maupun keempat (K4) di trimester III. Kelurahan Cikalang merupakan salah satu wilayah kerja Puskesmas Kahuripan, dimana cakupan pemeriksaan kehamilan K1 dan K4 nya terendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan oleh ibu hamil di Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya, untuk mengetahui karakteristik individu ibu hamil yng meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah keluarga dan kepercayaan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan, untuk mengetahui pelaksanaan dan permasalahan dalam memanfaatkan pelayanan Antenatal di Puskesmas Kahuripan yang dirasakan ibu hamil di Kelurahan Cikalang dan untuk mengetahui penatalaksanaan pelayanan Antenatal yang dilaksanakan oleh Koordinator Bidan Puskesmas Kahuripan. 364

365 METODE PENELITIAN Area Kajian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Subyek penelitian selaku informan Focus Group Discussion(FGD) adalah ibu hamil di Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya, dengan populasi sebanyak 158 orang ibu hamil yang bertempat tinggal di 14 RW.Berikut adalah gambar lokasi penelitian (Gambar 1). Gambar 1.Lokasi penelitian FGD biasanya terdiri dari 6 sampai dengan 8 orang yang tidak saling mengenal dan yang telah dipilih karena memiliki beberapa kesamaan yang relevan dengan topik penelitian yang akan didiskusikan (Hudelson;1994). Dalam penelitian ini dipilih 24 orang informan dari 5 RW dan dikelompokkan menjadi 6 orang informan sesuai dengan kriteria sebagai berikut : Ibu hamil yang sudah melaksanakan kunjungan K1 : Ibu hamil risiko tinggi Ibu hamil non risiko tinggi Ibu hamil yang sudah melaksanakan kunjungan K4 : Ibu hamil risiko tinggi Ibu hamil non risiko tinggi Subyek penelitian selaku informan Wawancara Mendalam adalah koordinator Bidan Puskesmas Kahuripan dan sebagai informan Triangulasi adalah Kepala Puskesmas Kahuripan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara berpedoman. Kegiatan ini menggunakan panduan wawancara yng berisi butir-butir pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Panduan tersebut hanya untuk memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan informasi (Patilima;2005). Analisis data Analisis data pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan mengikuti pola berpikir induktif. Tahapan analisis data adalah diawali dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. Analisis situasi untuk penelitian ini dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis SWOT (Strengths, Weakness, Oportunity, Threats). Uji validitas pada penelitian kualitatif ini dengan Triangulasi Sumber. Triangulasi data dialkukan dengan uji silang data pada Kepala Puskesmas, Koordinator Bidan Puskesmas serta ibu Hamil di Kelurahan Cikalang Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Reabilitas data penelitian ini dicapai dengan melakukan auditing data, yaitu dapat dilakukan dengan cara data hasil observasi, wawancara dan diskusi kelompok terfokus (FGD) ditulis dan didokumentasikan secara rinci dan dikelompokkan sesuai dengan karakteristik atau topik penelitian. 365

366 HASIL DAN PEMBAHASAN Kelompok Bumil K1 Risti Beberapa informasi tentang kerakteristik informan Bumil K1 risti sebanyak 6 orang sebagai berikut (Tabel 3.1) Tabel 1.Data Karakteristik Informan Kelompok Bumil K1 Risti No Initial Umur Pendidikan Pekerjaan (thn) 1 U 34 SLTP IRT 4 2 N 26 SLTP IRT 1 3 E 25 SD IRT 1 4 L 27 SMA IRT - 5 D 38 SD Buruh 2 6 W 37 SD Buruh - Anak Hasil perolehan data sebagai berikut : Alasan memeriksakan kehamilan Lima informan memeriksakan kehamilan karena keinginan sendiri untuk kesehatan mereka dan janin. Informan N memeriksakan kehamilan karena sedang menderita penyakit asma. Pendapat informan tentang pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Sebagian besar informan tidak dapat memberikan tanggapan, karena tidak memeriksakan kehamilan ke Puskesmas Kahuripan. Pemberitahuan oleh Bidan kepada informan tentang status Risti dn Non Risti Kepada seluruh informan diberitahukan bahwa kndungan mereka sehat, hanya diberi vitamin dan tabalet Fe. Keberadaan permasalahan yang Ibu hadapi dalam memanfaatkan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Informan U merasa malas dan khawatir karena harus meninggalkan anaknya yang lain saat harus memeriksakan kehamilan, 4 informan lain tidak ada masalah hanya merasa sudah cukup periksa ke Bidansaja. Kelompok Bumil K1 Non Risti Tabel 2. Data Karakteristik Informan Kelompok Bumil K1 Non Risti No Initial Umur (thn) Pendidikan Pekerjaan Anak 1 I 32 SMA IRT 4 2 R 24 PGTK Guru TK 1 3 M 28 SD IRT - 4 S 33 D3 Guru 2 5 W 20 SD Buruh - 6 D 25 SD Buruh 1 Hasil perolehan data sebagai berikut : Alasan memeriksakan kehamilan Sebagian besar beralasan karena keinginan sendiri, ada yang periksa hanya untuk memastikan positif hamil. Pendapat informan tentang pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Sebagian besar informan belum pernah ke Puskesmas Kahuripan, 1 informan yang pernah menyatakan kurang puas dengan pelayanan yang kurang teliti dan Obat Generik. Pemberitahuan oleh Bidan kepda informan tentang status Risti dn Non Risti Seluruh informan tidak diberitahu. Keberadaan permasalahan yang Ibu hadapi dalam memanfaatkan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Dua informan mengalami kesulitan dalam pengaturan keuangan keluarga, 3 informan merasa jarak dan waktu sebagai penghambat, S merasa kurang puas dengan pelayanan di puskesmas. 366

367 Kelompok Bumil K4 Risti Tabel 3. Data Karakteristik Informan Kelompok Bumil K4 Risti No Initial Umur (thn) Pendidikan Pekerjaan Anak 1 T 38 SLTA IRT 4 2 K 36 SLTA IRT 2 3 A 34 SLTA IRT 4 4 N 37 SD IRT 3 5 L 36 SLTA IRT 1 6 L 37 SLTA IRT 3 Hasil perolehan data sebagai berikut : Alasan memeriksakan kehamilan Seluruh informan memeriksakan karena alasan kesehatan. Pendapat informan tentang pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Tanggapan sebagian besar informan menyatakan pelayanan di Puskesmas murah, bagus, waktu terbatas, harus antri. Pemberitahuan oleh Bidan kepda informan tentang status Risti dn Non Risti Hanya informan T yang diberitahu tentang keadaannya yang Risti. Keberadaan permasalahan yang Ibu hadapi dalam memanfaatkan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Tiga informan tidak mempunyai masalah, T periksa kehamilan ke Dokter Kandungan karena kelainan, 2 informan bermasalah dengan terbatasnya waktu dan keuangan keluarga. Kelompok Bumil K4 Non Risti Tabel 3.Data Karakteristik Informan Kelompok Bumil K4 Non Risti No Initial Umur (thn) Pendidikan Pekerjaan Anak 1 E 23 SLTP Buruh 1 2 T 39 SD IRT 5 3 N 30 SLTA IRT 3 4 M 33 SLTA IRT 3 5 Y 36 SLTA IRT 2 6 A 21 SLTP IRT 1 Hasil perolehan data sebagai berikut : Alasan memeriksakan kehamilan Informan N memeriksakan karena adanya batuk bawaan hamil, Y memeriksakan kehamilan karena pendarahan. Pendapat informan tentang pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Dua informan beranggapan sama anara pelayanan di Puskesmas dengan di Bidan dan Posyandu, yang lainnya tidak memeriksakan ke Puskesmas. Pemberitahuan oleh Bidan kepada informan tentang status Risti dan Non Risti Hanya informan Y yang disarankan untuk tidak hamil lagi karena faktor usia. Keberadaan permasalahan yang Ibu hadapi dalam memanfaatkan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan. Seluruh informan merasa terkadang waktu dan keuangan yang menjadi masalah. Hasil Wawancara dengan Koordinator Bidan Beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan Antenatal oleh Ibu Hamil di Kelurahan Cikalang adalah : Jangkauan yang lebih mudah ke Puskesmas Tawang Tanggapan Bumil tergantung karakteristik individu ibu 367

368 Kepercayaan pada Paraji yang cukup tinggi. Sosialisasi pelayanan Antenatal dari Puskesmas dilaksanakan berupa Penyuluhan, Himbauan untuk datang ke Posyandu dan Kunjungan rumah oleh petugas.salah satu faktor ketidaklengkapan pemeriksaan kehamilan oleh Bumil adalah kepercayaan terhadap paraji dan Bidan Swasta, hal ini tidak bermasalah jika ada laporan ke Puskesmas. Pada saat pemeriksaan antenatal dilakukan tahapan tindakan pemeriksaan yang sudah meliputi penerapan praktis pelayanan antenatal berupa 5T, ditambah pemeriksaan Perkusi Hammer untuk refleksi, palpasi, Bunyi Jantung Anak, dan pemeriksaan Hb. Koordinator Bidan menginformasikan status Risti dan non Risti kepada Bumil untuk mempersiapkan persalinan lebih dini lagi. Hasil Perolehan Data dari Wawancara Triangulasi Pelayanan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan pada trimester I diwajibkan satu kali periksa kehamilan, K1 artinya pertama kali ibu diperiksa oleh Puskesmas, dimana akan didapatkan informasi tentang tes positif kehamilannya. K1 itu ada dua macam K1 murni dan K1 akses. Pemeriksaan pada trimester II minimal satu kali pemeriksaan, pada trimester III minimal dua kali pemeriksaan. Jika diperiksa oleh Bidan swasta tidak termasuk pasien yang terdata oleh Puskesmas. Dalam mensosialisasikan pelayanan antenatal, Puskesmas Kahuripan menggunakan strategi dengan menggunakan Buku Kohort untuk mengikuti perjalanan seorang ibu hamil hingga waktu persalinan tiba. Jika ada ketidaklengkapan pemeriksaan maka bumil dikunjungi sampai ada informasitentang persalinan bumil tersebut. Menggali lingkungan eksternal dan internal puskesmas guna mengidentifikasi, kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman ynag dihadapi, bila dihadapi dengan tugas dan misi, langkah ini akan menghasilkan strategi untuk langkah selanjutnya (Bryson;1999). Berikut alternatif strategis untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan oleh Bumil di Kelurahan Cikalang : Strategi SO (Strength & Opportunity) Sosialisasi kepda kader untuk bisa mempublikasikan dan mempromosikan kelebihan pelayanan antenatal di Puskesmas Kahuripan Strategi ST (Strength & Threats) Lokakarya kader dengan Bidan Puskesmas oleh Bidan untuk evaluasi Pengetahuan, Sikap dan Praktek (PSP) Bumil, pengingkatan kualitas kader dalam upaya persuasif, dan problem solving) Strategi WO (Weakness & Opportunity) Lokakarya puskesmas dengang Bidan untuk membahas persamaan informasi yng harus disampaikan kepada Bumil termasuk informasi status Risti / Non Risti Strategi WT (Weakness & Threats) Meningkatkan penyuluhan kelompok, agar ada pemerataan informasi yang didapat Bumil dalam kegiatn Posyandu. KESIMPULAN Umur informan antara 23 sampai dengan 39 tahun, dominan pekerjaan informan adalah lulusan SD, pekerjaan informan mayoritas adalah Ibu Rumah Tangga, jumlah anak yang dimiliki adalah dari 0 orang (kehamilan I) sampai dengan 5 orang anak (kehamilan VI). Kepercayaan yang muncul terhadap pelayanan kesehatan menggambarkan bahwa mayoritas informan lebih memilih pelayanan Bidan Swasta dengan alasan jarak. Oleh karena itu terjadi ketidaklengkapan pemeriksaan K1 sampai dengan K4, karena lebih banyak memeriksakan diri ke Bidan dekat rumah, tanpa ada komunikasi antara Bidan Swasta dengan Bidan Koordinator di Puskesmas Kahuripan. Permasalahan dalam memanfaatkan pelayanan di puskesmas terjadi karena masalah waktu, biaya, jarak, kepercayaan, opini, dan kelainan kondisi kehamilan. Penatalaksanaan pelayanan antenatal sudah berdasarkan Standar pelayanan minimal 368

369 UCAPAN TERIMA KASIH PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang telah memberikan bantuan dana penelitian. DAFTAR PUSTAKA Azwar,A.(1996).Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi III.Jakarta:Bina Rupa Aksara Bryson, J.M.(1999). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial.Yogyakarta:Remdec & Pustaka Pelajar Budioro, (2001).Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat.Semarang:FKM UNDIP Hudelson,P.M..(1994).Qualitative Research for Health Programmes.Geneva Switzerland:Division of Mental Health WHO Moleong,J.L.(2004).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Notoatmodjo,S.(2003).Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.Jakarta:Rineka Cipta Patilima,H.(2005).Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:CV. Alfabeta Darissalam, O.(2005).Strategi Pengembangan Usaha Pembenihan Ikan Gurame (Osphronemus gouramy).skripsi.sosek Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi.Tasikmalaya 369

370 KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN PASIEN PENGGUNA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) PADA PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD KOTA X JAWA BARATTAHUN 2014 Dieta Nurrika 1, Susi Shorayasari 1, Kamaluddin Latief 2, Ratnawati1, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten 1 dieta_n@yahoo.com sshorayasari@yahoo.co.id na_ratnawati@yahoo.com Pusat Kajian Keluarga Sejahtera, Universitas Indonesia 2 kamaluddinlatief@gmail.com Abstrak - Pendahuluan. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diimplementasikan mulai 1 Januari Tujuan JKN adalah agar seluruh masyrakat Indonesia dapat menerima pelayanan kesehatan yang sama secara menyeluruh, agar mendapatkan pelayanan tersebut, masyarakat berkontribusi melalui pembayaran premi pada setiap bulannya. Oleh sebab itu tuntutan masyarakat akan kualitas kesehatan semakin meningkat. Kualitas layanan itu sendiri dapat diketahui dari kepuasaan pasien akan layanan yang diberikan dalam hal ini layanan rumah sakit. Terdapat 5 (lima) dimensi yang berhubungan dengan dimensi kualitas, yaitu: Reliability (kehandalan), Responsiveness (daya tanggap), Assurance (Jaminan), Emphaty (empati), Tangibles (bukti langsung Metode Penelitian. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, jumlah sampel sebanyak 162 pasien rawat inap di RSUD X. Hasil Penelitian. Kualitas pelayanan kesehatan pada bagian rawat inap diperoleh bahwa dilihat dari aspek dimensi Reliability, Responsiveness, Assurance, Emphaty dan Tangible dinyatakan bahwa harapan para pengguna jasa rawat inap pasien JKN lebih besar dari pada persepsi terhadap pelayanan yang diberikan oleh bagian rawat inap di RSUD Kota X, sehingga kualitas pelayanan kesehatan pasien pengguna JKN pada pelayanan rawat inap RSUD Kota X dikategorikan tidak puas/belum baik. Pembahasan. Perbedaan antara harapan dan kenyataan terhadap kualitas pelayanan di rumah sakit X dapat terjadi karena adanya perubahan sistem pelayanan saat implementasi JKN. Kesimpulan. Pasien Rawat Inap RSUD X merasa tidak puas dengan pelayanan rawat inap di RSUD X. Kata Kunci: Kualitas Layanan, Rumah Sakit, SERVQUAL, Rawat Inap, JKN LATAR BELAKANG Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, maka semakin meningkat tuntutan masyarakat akan kualitas kesehatan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien untuk rawat inap adalah kualitas pelayanan rumah sakit. Dalam pekembangannya Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988), ada 5 (lima) dimensi yang berhubungan dengan dimensi kualitas. Kelima dimensi tersebut terdiri: Reliability (kehandalan) merupakan kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, Responsiveness (daya tanggap) yaitu kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik, Assurance (Jaminan) yaitu pengetahuan, Emphaty (empati) yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, Tangibles (bukti langsung) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan dan sarana komunikasi (Munijaya, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zaniarti (2011) tentang hubungan kualitas pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien rawat inap Jamkesmas diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang positif antara kualitas pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Andriani dan Sunarto (2008) dengan judul hubungan kualitas pelayanan dengan kepuasan pasien rawat inap, didapatkan hasil bahwa kualitas pelayanan mempunyai hubungan positif dengan tingkat kepuasan pasien. Semakin baik kualitas pelayanan maka akan semakin baik pula tingkat kepuasan pasien. RSUD Kota X merupakan salah satu rumah sakit pemerintah pusat rujukan se-wilayah kota D dan sekitarnya. Hal yang menarik diteliti adalah sebagai rumah sakit pemerintah, bagaimana kualitas pelayanan untuk pasien JKN yang diberikan oleh tenaga medis dan non medis pada pelayanan rawat inap di RSUD Kota D, tidak dipungkiri bahwa masyarakat memiliki keputusan penilaian terhadap kualitas dan kinerja jasa yang diberikan. 370

371 Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui kualitas pelayanan kesehatan pengguna Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota D tahun METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah karakteristik pasien, analisis SERVQUAL, Diagram Kartesius dan perbedaan Gap perruang rawat inap. HASIL DAN PEMBAHASAN No Item Tabel 1. Analisis Gap Antara Persepsi dan Ekspektasi Pasien Pengguna JKN Berdasarkan Dimensi Reliability, Responsiveness, Assurance, Emphaty dan Tangible pada Pelayanan Rawat Inap di RSUD Kota D Tahun 2014 Rata-Ata Per Item Persepsi - Rata-Rata Per Dimensi Dimensi Persepsi Eskpektasi Ekspektasi persepsi Ekspektasi Reliability (Item 1-4) Responsiveness (Item 5-8) Assurance (Item 9-12) Emphaty (Item 13-17) Tangible (Item 18-22) Skor SERVQUAL Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknis analisis SERVQUAL dengan menggunakan teori Zeithaml, Berry dan Parasuraman. Dalam teorinya terdapat 5 (lima Dimensi yang kemudian diuraikan dalam kuesioner terdiri dari 5 (lima) item yang memiliki option berbeda, tetapi pointnya sama antara pernyataan 1 (satu) sampai dengan 22 (dua puluh dua), yaitu 1, 2, 3, 4 dan 5. Maka semakin tinggi nilai yang diperoleh dari kuesioner semakin baik pula pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota D. Analisis penelitian dipilih berdasarkan dimensi/indikator kualitas pelayanan yang meliputi Reliability, Responsiveness, Assurance, Emphaty dan Tangible. Pembahasan setiap dimensi tersebut akan mengungkapkan data- 371

372 data yang ditemukan berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada 162 pasien pengguna JKN pada pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota D. Diharapkan dengan metode tersebut, maka peneliti dapat menghadirkan hasil penelitian yang benar-benar jernih dan berimbang. Sehingga data dan informasi serta rekomendasi yang disampaikan dapat berkontribusi bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota D. Dari tabel 1, dapat dilihat bahwa dimensi pelayanan dengan nilai gap/skor SERVQUAL antara persepsi dan ekspektasi responden yang paling besar terdapat pada dimensi Tangible dengan skor SERVQUAL -2,1, diikuti dengan imensi Reliability (-1,6), dimensi Responsiveness (-1,4), dimensi Assurance (-0,7) dan Emphaty (-0,7). Secara total, terdapat gap antara persepsi dan ekspektasi responden sebesar -1,3. Diagram kartesius digunakan untuk menghitung tingkat kepuasan jasa pelayanan dibanding dengan kinerja jasa pelayanan yaitu dengan membandingkan penilaian jasa pelayanan rumah sakit (X), dengan penilaian kepentingan pelayanan (Y). Gambar 1 Diagram Karetesius Persepsi dan Ekspektasi pada Pelayanan Rawat Inap RSUD Kota D Pembahasan Dimensi Reliability Dimensi reliability dideskripsikan sebagai kemampuan petugas rawat inap dalam memberikan pelayanan. Responden tentunya berharap petugas menunjukkan kemampuannya yang baik dalam memberikan pelayanan kepada pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota D. Dalam dimensi ini ada empat pernyataan yang diajukan kepada responden menyangkut persyaratan administrasi rawat inap pasien JKN yang jelas dan mudah, prosedur pelayanan rawat inap yang sederhana/tidak berbelit-belit, perawat membantu dokter dengan baik dan kepastian jadwal dokter visite. Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa skor SERVQUAL untuk dimensi Reliability adalah -1,6. Kondisi ini memperlihatkan bahwa aspek-aspek Reliability pelayanan rawat inap di RSUD Kota D perlu untuk mendapat penanganan dan pembenahan yang serius karena responden selaku para pengguna jasa pelayanan rawat inap ternyata tidak puas dengan pelayanan yang disajikan. 372

373 Skor kesenjangan terbesar dalam dimensi Reliability yaitu terdapat pada pernyataan nomor dua mengenai prosedur pelayanan rawat inap sederhana/tidak berbelit-belit dengan selisih negatif antara komponen persepsi dan ekspektasi sebesar -2,2, dimana pada pelayanan prosedur rawat inap di RSUD Kota D pasien merasakan prosedur pelayanan rawat inap masih berbelit-belit. Hal ini terjadi karena pasien ada yang masuk ke ruang rawat inap yaitu dari UGD dan dari poli rawat jalan, mereka yang masuk dari poli rawat jalan merasa prosedurnya berbelit-belit dan merasa tidak puas dengan alur yang ada. Dibutuhkan upaya yang lebih efektif untuk memberikan pelayanan yang akurat dan handal. Karena sebagai penerima layanan, pasien berharap pelayanan rawat inap di RSUD Kota D sebagai agen pemerintah memiliki kredibilitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama dari segi akurasi pelayanan untuk meminimalisis kesalahan dalam pemberian pelayanan. Menurut Tjiptono (2011), membantu pelanggan dalam memahami sebuah layanan merupakan upaya positif untuk mewujudkan proses penyampaian dan pengkonsumsian layanan secara efektif dan efisien. Dimensi Responsiveness Dimensi Responsiveness dideskripsikan sebagai daya tanggap petugas dalam memberikan pelayanan yang cepat dan ada pada saat dibutuhkan pasien rawat inap di RSUD Kota D. Pada dasarnya pelayanan yang ideal tentunya memberikan pelayanan yang lebih cepat, hal ini tidak bisa dipungkiri menjadi kebutuhan pasien pada saat ini. Dalam dimensi ini terdapat empat pernyataan yang diajukan kepada responden, yaitu: dokter bersedia mendengarkan keluhan dari pasien, perawat memberitahu bila ada keterlambatan untuk pemeriksaan pasien, petugas administrasi memberikan informasi yang dibutuhkan dengan baik dan perawat sigap dalam memberikan kebutuhan pasien selama dirawat. Hasil perhitungan untuk masing-masing item pernyataan pada dimensi Responsiveness dapat dilihat pada tabel 5.5. Berdasarkan tabel, diketahui bahwa skor rata-rata SERVQUAL untuk dimensi responsiveness adalah -1,4. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pembenahan pada aspek Responsiveness pelayanan rawat inap di RSUD Kota D perlu mendapat perhatian karena responden selaku para pengguna jasa ternyata tidak puas dengan pelayanan yang disajikan oleh bagian rawat inap RSUD Kota D.Skor gap terbesar dalam dimensi Responsiveness yaitu terdapat pada pernyataan nomor 6 yang menyatakan bahwa perawat memberitahu jika ada keterlambatan untuk pemeriksaan pasien.. Pada kenyataannya pasien merasa tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu mengenai keterlambatan pemeriksaan, khususnya untuk dokter spesialis yang merawat pasien tersebut. Ada beberapa pasien yang menyayangkan tidak ada jadwal pasti atau pemberitahuan mengenai visite dokter spesialis. Menurut servey tentang pelayanan kesehatan yang pernah dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesi (YLKI) pada tahun 2009, pelayanan yang kurang bagus dari para petugas kesehatan bukan karena kualitas secara keilmuan, melainkan kemampuan komunikasi dari para petugas kesehatan yang harus ditingkatkan. Hampir 80% pasien atau responden merasa petugas kesehatan tidak memberi penjelasan yang lebih jelas, sehingga informasi yang didapatkan oleh pasien tidak maksimal. Jika ilmu yang dimiliki baik, tetapi tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik, maka pelayanan tidak akan berjalan efektif. Dimensi Assurance Dimensi Assurance dideskripsikan sebagai rasa aman yang diberikan petugas dalam memberikan pelayanan. Rasa aman yang diberikan petugas kepada pasien pada pelayanan rawat inap adalah sebuah nilai plus, sehingga dampaknya langsung dirasakan oleh responden pengguna jasa kesehatan rawat inap di Rumah Sakit Umum Kota D. Evaluasi dimensi Assurance diajukan empat pernyataan kepada responden. Hasil perhitungan skor SERVQUAL untuk masing-masing item pernyataan dimensi Assurance dapat dilihat dalam tabel 5.5. Berdasarkan tabel, diketahui bahwa skor SERVQUAL untuk dimensi Assurance adalah -0,7. Skor kesenjangan terbesar dalam dimensi Assurance yaitu terdapat pada pernyataan mengenai makanan/minuman disajikan bervariasi setiap hari pada bagian rawat inap di RSUD Kota D dengan nilai selisih persepsi dan ekspektasi sebesar -1,0. Kualitas pelayanan yang paling rendah dari aspek Assurance adalah pada pernyataan item nomor 12 mengenai makanan/minuman disajikan bervariasi setiap hari yang memberikan kesan negatif sehingga seolah-olah makanan/minuman yang disajikan tidak bervariasi setiap harinya. Akan tetapi dari hasil data yang didapat langsung dari pasien, pasien merasa cukup puas bahkan sampai dengan sangat puas terhadap pernyataan pada item terakhir dimensi Assurance. 373

374 Dimensi Emphaty Dimensi Emphaty dideskripsikan sebagai rasa empati petugas yang diberikan kepada pasien. Memberikan kepedulian dan perhatian khusus kepada pengguna jasa pelayanan rawat inap di RSUD Kota D merupakan bagian dari komitmen pelayanan pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi sangat krusial sebab kedepannya akan membantu meningkatkan citra positif pelayanan publik dimata masyarakat yang selama ini dianggap berbelit-belit dan belum memenuhi harapan pelanggan/pasien. Berdasarkan tabel, diketahui bahwa skor SERVQUAL untuk dimensi Emphaty adalah -0,7. Skor kesenjangan yang menunjukkan angka besar terdapat pada item 15 dan item 16 yang menyatakan keadilan mendapatkan pelayanan dan kesediaan petugas rawat inap untuk meminta maaf bila terjadi kesalahan. Pernyataan nomor item 15 dan 16 memiliki skor yang rendah yaitu -0,8. Maka dapat disimpulkan jika hasil skor SERVQUAL negatif, dapat dikatakan bahwa pasien merasa tidak puas. Emphaty akan membantu dalam mempererat hubungan antara petugas dan pasien, sehingga menjadikan pasien merasa diperhatikan dan pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi tingginya nilai skor SERVQUAL pada nomor item 15 dan 16 adalah melalui komunikasi interpersonal dalam mengelola hubungan dengan pasien. Menurut Basuki (2009), di Amerika Serikat petugas kesehatan mengukuti berbagai seminar dan workshop untuk belajar mengelola hubungan dengan pasien. Dimensi Tangible Dimensi Tangible dideskripsikan sebagai fasilitas yang ada di lingkungan rawat inap ataupun lingkungan RSUD Kota D. Aspek ini berkaitan dengan hal-hal yang terlihat dalam pelayanan seperti fasilitas ruang rawat inap, penampilan petugas dan perlengkapan di ruang rawat inap. Tentunya semakin baik bekerjanya alat-alat tersebut dan dapat diandalkan menurut persepsi pengguna layanan maka akan mempengaruhi penilaian terhadap kualitas pelayanan. Sebuah pelayanan yang baik tentu saja tidak terlepas dari berbagai dukungan baik dari segi Sumber Daya Manusia maupun segi sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana ini sangat penting dalam menunjang kegiatan yang ada pada bagian rawat inap di RSUD Kota D. Berdasarkan diketahui bahwa skor SERVQUAL untuk dimensi Tangible adalah -2,1. Hal ini memperlihatkan aspek Tangible pelayanan rawat inap di RSUD Kota D perlu dilakukan upaya pembenahan dan perhatian serius. Dari tabel diatas bahwa pernyataan item nomor 21 memiliki kesenjangan terbesar antara komponen persepsi dan ekspektasi sebesar -2,8, sehingga memiliki skor kualitas terendah, dimana pada item nomor 21 berkaitan dengan kenyamanan kamar saat digunakan untuk istirahat. Rendahnya skor kualitas pelayanan pada item no 21 disebabkan karena fasilitas, sarana dan prasarana setiap ruangan masih kurang memadai, yang mengakibatkan pasien merasa tidak nyaman dan mengakibatkan pasien menjadi tidak puas dengan pelayanan yang disajikan bagian rawat inap di RSUD Kota D. Hasil pengolahan dari diagram kartesius diketahui di kuadran A (prioritas utama) adalah wilayah yang memuat faktor yang dianggap penting oleh pasien tetapi pada kenyataannya faktor yang ini belum sesuai seperti yang diharapkan (tingkat kepuasan masih sangat rendah). Dimensi yang masuk dalam kuadran ini yaitu dimensi Tangible dan Reliability. Sehingga peningkatan pelaksanaan dianggap penting oleh pasien. Bukti langsung dianggap penting, terlihat nilai harapan 4,97, namun dimata pasien bukti langsung masih kurang dan nilai kenyataannya 2,90, karena dilihat dari fasilitas, sarana dan prasarana yang ada pada bagian rawat inap RSUD Kota D masih kurang memadai, oleh karena RSUD Kota D harus mengupayakan agar pasien merasa nyaman selama di rawat di RSUD Kota D. Menurut responden, bukti langsung yang ada di Ruang Rawat Inap RSUD Kota D masih kurang maksimal, sehingga perlu dilakukan pembenahan. Dimensi kemampuan dianggap penting juga karena terlihat dari nilai harapan 4,90, akan tetapi pada kenyataannya responden merasa kemampuan petugas masih kurang dan nilai kenyataannya adalah 3,30, karena dilihat dalam dimensi kemampuan masih kurang dalam melakukan pelayanan dan membuat pelayanan yang dilakukan kurang maksimal. Kuadran B (pertahankan prestasi) kualitas pelayanan yang mempengaruhi kepuasan pasien JKN pada pelayanan rawat inap di RSUD Kota D yang berada pada kuadran B ini perlu dipertahankan karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan pasien, sehingga telah memuaskan, didapatkan dalam kuadran B yaitu dimensi Assurance dan Emphaty petugas bagian rawat inap RSUD Kota D dianggap penting dengan harapan Assurance 4,90 dan kenyataan 4,20. Sedangkan dimensi Emphaty mendapatkan hasil harapan 4,90 dan kenyataan 4,20. Pasien mendapatkan harapan tinggi dan kenyataan tinggi, dikarenakan pelayanan yang dilakukan oleh petugas sudah dianggap puas, untuk dimensi Assurance dan Emphaty yang ada pada pelayanan rawat inap RSUD Kota D. Dimensi Assurance tersebut masuk dalam kuadran B karena sikap petugas 374

375 yang sabar, memberikan rasa aman dan sopan termasuk dalam memberikan jaminan kepastian sudah dianggap puas oleh pasien. Empati adalah pelayanan petugas dengan sikap yang ramah, baik dan sopan termasuk dalam pelayanan yang terjamin dan terpercaya dianggap telah memuaskan pasien maka pihak manajemen dan petugas rawat inap harus mempertahankannya dengan terus berkomitmen dan bekerja sama lebih baik lagi agar kualitas pelayanan tersebut tetap terjaga. Kuadran C (prioritas rendah) hasil dari pengolahan data diketahui dimensi Responsiveness didapatkan nilai harapan 4,90 dan kenyataan 3,50 bisa dilihat dari diagram kartesius bahwa variabel tersebut tidak terlalu penting oleh pasien dan kenyataannya tidak berpengaruh oleh kepuasan pasien dalam pelayanan yang ada di bagian rawat inap RSUD Kota D. Harapan pasien terhadap kuadran dimensi Responsiveness tidak begitu tinggi sedangkan dalam pelaksanaannya sudah cukup memuaskan, maka pihak manajemen dan bagian rawat inap perlu meningkatkan perhatian kepada pasien. Menurut pasien informasi dan kesabaran petugas sudah cukup baik. KESIMPULAN Kualitas pelayanan kesehatan rawat inap di RSUD Kota D ditinjau dari aspek Reliability memiliki skor SERVQUAL sebesar -2,1, sehingga tidak memuaskan bagi responden. Kualitas pelayanan rawat inap di RSUD Kota D ditinjau dari aspek Responsiveness dengan skor SERVQUAL sebesar -1,4. Sehingga tidak memuaskan bagi responden. Kualitas pelayanan rawat inap pasien JKN di RSUD Kota D ditinjau dari aspek Assurance dengan skor SERVQUAL sebesar -0,7. Sehingga tidak memuaskan bagi responden. Aspek yang paling bermasalah dari aspek Assurance adalah mengenai pernyataan makan/minum disajikan bervariasi setiap hari. Kualitas pelayanan rawat inap pasien JKN di RSUD Kota D ditinjau dari aspek Emphaty, dengan skor SERVQUAL sebesar -0,7. Sehingga tidak memuaskan bagi responden. Item pernyataan yang paling bermasalah dari aspek Emphaty adalah berkaitan dengan item pertanyaan keadilan mendapat pelayanan dan kesediaan petugas rawat inap untuk meminta maaf bila terjadi kesalahan. Kualitas pelayanan rawat inap pasien JKN di RSUD Kota D ditinjau dari aspek Tangible, dengan skor SERVQUAL sebesar -2,1. DAFTAR PUSTAKA Allo, Limbong Indri, Darmawansyah dan Hamzah Studi Kualitas Pelayanan Kesehatan Bagi Pasien Rawat Inap Peserta AsuransiKesehatan Di Rumah Sakit Elim Rantepao. Rantepao: Jurnal. Andriani, Susi dan Sunarto Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Di Badan Pelayanan Kesehatan RSUD Magelang. Magelang: Jurnal. Bata, Yuristi Winda, Arifin, Muh Ali dan Darmawansyah Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Pengguna Askes Sosial Pada Pelayanan Rawat Inap di RSUD Lakipadada. Toraja: Jurnal. Ginting, Tamaseri Analisis Kualitas Pelayanan Rawat Jalan Puskesmas Bertastagi. Karo: Tesis. Hidayat, Aziz Alimul Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Imbalo, S Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Jakarta: EGC. Kariman, Aulia Analisis Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Pelanggan Rawat Inap RSU Tangerang. Semarang: Universitas Dipenogoro. Mukti, AG dan Moertjahjo Sistem Jaminan Kesehatan: Konsep Desentralisasi Terintegrasi.Yogyakarta: PT.KHM. Notoatmodjo, S MetodelogiPenelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta Hasnita. Nurholiq, Syahdat PerbandinganTingkat Kepuasan Pasien Umum Dengan Pengguna Kartu Askes Di Pelayanan Dokter Keluarga. Semarang. Universitas Dipenogoro. 375

376 Parasuraman, A, V.A. Zeithaml and L.L.Berry SERVQUAL: a Multiple Item Scale For Measuring Consumer Perseptions of Service Quality. Journal of Retailing, Vol 64, Spring pp Permatasari, Resky Kualitas Pelayanan Kesehatan Dalam Tinjauan Pengguna Jamkesmas. Palembang: Universitas Sriwijaya. Sabarguna, Boy S Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit. Yogyakarta: Konsorsium. Sabarguna, Boy Subirosa Manajemen Pelayanan Rumah Sakit Berbasis Sistem Informasi. Yogyakarta: Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng-DIY. Setiadi Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Sugiono Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta. Supranto, J Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: Rineke Cipta. Susanto, P H Analisis Data Kesehatan. Jakarta: FakultasKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Tjiptono, Fandi ServiceManagement Mewujudkan Layanan Prima. Yogyakarta: Andi. Triwibowo, Cecep Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit Sebuah Kajian Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha. Zaniarti, Dwi Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Jamkesda Di RSUD Salatiga. Salatiga: Universitas Negeri Semarang 376

377 STRATEGI RUMAH TANGGA MISKIN YANG MEMILIKI BALITA GIZI KURANG DALAM MENGATASI KETIDAKTAHANAN PANGAN (FOOD INSECURITY) DI WILAYAH PERKOTAAN (STUDI DI KOTA TASIKMALAYA) Lilik Hidayanti, SKM, MSi 1) Sri Maywati, SKM, MKes 2) 1,2 Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Indonesia lilikhidayanti@unsil.ac.id srimaywati@unsil.ac.id Abstrak - Ketidaktahanan pangan (Food insecurity) merupakan salah satu akar masalah penyebab gizi kurang terutama pada balita yang berasal dari keluarga miskin (Matheson, et al, 2002). Pengunaan strategi yang tepat dalam mengatasi ketidaktahanan pangan dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi khususnya pada balita. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran strategi yang terkait dengan konsumsi makan, ekonomi serta gabungan antara ekonomi dan konsumsi pangan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan rumah tangga miskin yang memiliki balita gizi kurang di wilayah perkotaan. Sampel adalah total populasi yaitu seluruh balita gizi kurang dari keluarga miskin di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya yang berjumlah 45 balita. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Strategi yang cukup sering dilakukan oleh keluarga apabila terjadi ketidaktahanan pangan terkait dengan konsumsi adalah membatasi porsi makanan yang dikonsumsi (35,6%) dan mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi (35,6%). Strategi yang sering sekali dilakukan oleh keluarga apabila terjadi ketidaktahanan pangan terkait dengan ekonomi adalah menjual barang yang dimiliki untuk mendapatkan tambahan uang untuk membeli pangan. Di samping itu, strategi yang cukup sering dilakukan oleh keluarga apabila terjadi ketidaktahanan pangan yang menggabungkan strategi ekonomi dan konsumsi pangan adalah membeli makanan dengan berhutang (48,9%). Penelitian ini memberikan rekomendasi untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga sehingga dapat mempertahankan status gizi balita dengan upaya memberdayakan masyarakat sehingga memiliki kemandirian di bidang ekonomi. Kata kunci: Kota, Ketahanan Pangan, Miskin 1. LATAR BELAKANG Gizi kurang pada balita berhubungan secara signifikan dengan ketidaktahanan pangan keluarga (Isanaka, et al, 2007; Stormer & Harrison, 2003). Matheson, et al, (2002) menyatakan bahwa ketidaktahanan pangan merupakan salah satu akar masalah yang menyebabkan kekurangan gizi pada balita terutama yang berasal dari masyarakat dengan pendapatan rendah. Pada saat terjadi ketidaktahanan pangan dalam rumah tangga maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang harus dilakukan pada saat keluarga tidak memiliki cukup pangan dan uang untuk membeli pangan (Maxwell, et al, 2003). Strategi yang tepat dan sesuai sangat dibutuhkan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan agar kesejahteraan keluarga tidak berubah menjadi semakin buruk (Snel & Staring, 2001). Strategi tersebut antara lain berupa upaya untuk membatasi biaya pengeluaran rumah tangga atau memperoleh penghasilan tambahan yang memungkinkan mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan (Mohadese Ziaei, et al, 2013). Rumusan strategi yang tepat akan menjadi cara untuk mengatasi ketidaktahanan pangan sehingga dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi pada balita. Strategi yang tepat dan sesuai sangat dibutuhkan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan agar kesejahteraan keluarga tidak berubah menjadi semakin buruk (Snel &Staring, 2001). Setiap rumah tangga atau keluarga membutuhkan strategi yang berbeda-beda untuk mengatasi ketidaktahanan pangan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing keluarga (Fred Nimoh, et al, 2011). Perubahan pola konsumsi merupakan salah satu strategi yang diterapkan oleh rumah tangga untuk mengatasi ketidaktahanan pangan (Mfusi mjonono, et al,2009 ; Wynand C.J. Grobler, 2014). Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan gambaran strategi yang dipilih untuk mengatasi ketidaktahanan pangan rumah tangga miskin yang memiliki balita gizi kurang di wilayah perkotaan. Upaya ini diharapkan dapat mengatasi masalah ketidaktahanan pangan serta meningkatkan status gizi balita sebagai generasi penerus sehingga dapat meningkatkan daya saing bangsa (nation competitiveness) pada masa yang akan datang. 2. METODE PENELITIAN Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah strategi rumah tungga untuk mengatasi ketidaktahanan pangan adalah metode yang digunakan oleh rumah tangga untuk bertahan pada saat mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan pangan dengan jumlah yang cukup dan aman (Ellis, 2000). Strategi yang digunakan 377

378 dibedakan menjadi tiga yaitu 1. strategi yang terkait dengan konsumsi pangan, 2. strategi yang terkait dengan ekonomi dan 3. Strategi yang mengabungkan antara ekonomi dan konsumsi pangan. Populasi adalah seluruh balita gizi kurang dari keluarga miskin yang mengalami ketidaktahanan pangan dan tinggal di wilayah kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya yang berjumlah 45 balita. Sampel adalah total populasi. Responden dalam penelitian ini adalah ibu dari keluarga miskin yang memiliki balita gizi kurang yang tinggal di wilayah perkotaan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggambarkan mengenai startegi yang menjadi pilihan keluarga miskin yang memiliki balita gizi kurang di wilayah perkotaan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Usia Responden Usia responden berkisar antara 20 tahun sampai 43 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun. Status pekerjaan Sebagian besar (93,3 %) responden tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, sebagian kecil (6,7 %) responden bekerja. Jenis pekerjaan responden (ibu) antara lain sebagai asisten rumah tangga dan wiraswasta. Jenis pekerjaan kepala rumah tangga (bapak) yang paling banyak adalah buruh (53,3%), diikuti oleh jenis pekerjaan wiraswasta sebanyak 20 %. Sebanyak 3 orang (6,7 %) tidak bekerja sehingga tugas bekerja dibebankan pada ibu (responden). Status Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden yang paling banyak adalah SD sebesar 44,4 % dan tingkat pendidikan palng sedikit adalah SMA sebanyak 17,8 %. Pendapatan Keluarga Rata-rata jumlah pendapatan keluarga dalam sehari adalah Rp ,- dengan rentang antara Rp ,- sampai Rp ,- per hari. Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga responden yang paling banyak adalah 3 yaitu 40,0% sedangkan jumlah anggota keluarga paling sedikit adalah 7 orang dalam keluarga sebanyak 4,4%. Jumlah pengeluaran untuk pangan Rata-rata responden menghabiskan pendapatannya untuk keperluan pangan adalah Rp per hari dengan jumlah minimal untuk pengeluaran pangan adalah Rp dan jumlah maksimal adalah Rp per hari. Strategi keluarga miskin yang memiliki balita gizi kurang di perkotaan dalam mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga Strategi yang terkait dengan konsumsi pangan Tabel 1 Strategi keluarga miskin dalam mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga terkait dengan konsumsi pangan Strategi Setiap kali terjadi (setiap hari) Cukup sering (3-6 x / mgg) Sekali-kali (1-2 x/mgg) Hampir tidak pernah (< 1 kali/mgg) Tidak pernah (0x / mgg) n % n % n % n % n % Membatasi ukuran porsi 1 2, , ,4 9 20,0 8 11,8 pada waktu makan Membatasi konsumsi 1 2, , ,6 2 4, ,9 makan orang dewasa Mengutamakan konsumsi 23 51,1 2 4, ,7 8 17,8 0 0 makan anggota keluarga yang bekerja dibandingkan anggota keluarga yang tidak bekerja Mengurangi jumlah makanan dimakan dalam satu hari ,6 8 17, ,1 7 15,6 378

379 Tabel 1 menunjukkan bahwa setiap kali terjadi ketidaktahanan pangan, maka strategi yang diterapkan oleh keluarga miskin yang berkaitan dengan konsumsi pangan sebagian besar responden adalah mengutamakan konsumsi makan untuk anggota keluarga yang bekerja (51,1%), strategi yang cukup sering dilakukan oleh keluarga apabila terjadi ketidaktahanan pangan adalah membatasi porsi makanan yang dikonsumsi (35,6% ) dan mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi (35,6%). Sebagian besar responden (91,1%) tidak pernah memilih strategi dengan melewatkan seluruh hari tanpa makan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga. Setiap rumah tangga atau keluarga membutuhkan strategi yang berbeda-beda untuk mengatasi ketidaktahanan pangan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing keluarga (Fred Nimoh, et al, 2011). Perubahan pola konsumsi merupakan salah satu strategi yang diterapkan oleh rumah tangga untuk mengatasi ketidaktahanan pangan (Mfusi mjonono, et al,2009 ; Wynand C.J. Grobler, 2014). Secara umum biasanya seseorang mengetahui seberapa banyak pangan yang dibutuhkan dan mengetahui pilihan terbaik untuk memastikan agar mereka cukup mendapatkan pangan. Keluarga biasanya akan mengubah kebiasaan pangan untuk mengantisipasi masalah ini dan mereka tidak akan menunggu sampai pangan benar-benar habis (Corbet,1988). Ada dua tipe dasar strategi keluarga untuk memenuhi kekurangan pangan dalam keluarga yaitu untuk jangka pendek dan jangka menengah dengan merubah pola konsumsi makan (Maxwell, et al, 1999). Strategi yang terkait dengan ekonomi Tabel 2 Strategi keluarga miskin dalam mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga terkait dengan ekonomi Strategi Sering sekali Cukup sering Sekali-kali Hampir tidak pernah Tidak pernah n % n % n % n % n % Mencari tambahan 3 6, , penghasilan dengan tambahan pekerjaan lain atau lembur Menjual barang yang dimiliki 39 86,7 1 2,2 2 4,4 3 6,7 0 0 Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (93,3%) cukup sering mencari tambahan penghasilan dengan melakukan pekerjaan lainnya atau menambah jam kerja (lembur). Sebagian besar responden (86,7%) sering sekali menjual barang yang dimiliki untuk mendapatkan tambahan uang untuk membeli pangan sebagai upaya untuk mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga. Strategi yang tepat dan sesuai sangat dibutuhkan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan agar kesejahteraan keluarga tidak berubah menjadi semakin buruk (Snel & Staring, 2001). Strategi tersebut antara lain berupa upaya untuk membatasi biaya pengeluaran rumah tangga atau memperoleh penghasilan tambahan yang memungkinkan mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan (Mohadese Ziaei, et al, 2013). Startegi jangka panjang dalam mengatasi ketidaktahanan pangan adalah dengan merubah pendapatan keluarga atau memproduksi pangan, serta respon lainnya seperti menjual barang-barang yang dimiliki oleh keluarga tersebut (Maxwell, et al, 1999). 379

380 Strategi yang mengabungkan antara ekonomi dan konsumsi pangan. Tabel 3 Strategi keluarga miskin dalam mengatasi ketidaktahanan pangan keluarga yang mengabungkan ekonomi dan konsumsi pangan Strategi Setiap kali terjadi (setiap hari) Cukup sering (3-6 x / mgg) Sekali-kali (1-2 x/mgg) Hampir tidak pernah (<1 x/mgg) Tidak pernah (0x / mgg) Mengkonsumsi makanan yang tidak disukai dan berharga murah Meminjam makanan, atau mengandalkan bantuan dari teman atau saudara Membeli makanan dengan cara berhutang Menghabiskan jatah uang untuk membeli makan n % n % n % n % n % 1 2, , ,0 1 2,2 1 2,2 2 4, , ,2 7 15,6 7 15, ,9 17 3, , , , ,2 3 6,7 6 13,3 Tabel 3 menunjukkan bahwa pada saat terjadi ketidaktahanan pangan sebagian besar responden (53,3) cukup sering mengkonsumsi makanan yang tidak disukai namun berharga murah, cukup sering meminjam makanan atau mengandalkan bantuan dari teman atau saudara (42,2%), cukup sering membeli makanan dengan berhutang (48,9) dan cukup sering Menghabiskan jatah uang untuk membeli makan. Pada saat terjadi ketidaktahanan pangan dalam rumah tangga maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang harus dilakukan pada saat keluarga tidak memiliki cukup pangan dan uang untuk membeli pangan (Maxwell, et al, 2003). Rumusan strategi yang tepat akan menjadi cara untuk mengatasi ketidaktahanan pangan sehingga dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi pada balita. Strategi yang tepat dan sesuai sangat dibutuhkan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan agar kesejahteraan keluarga tidak berubah menjadi semakin buruk (Snel &Staring, 2001). 4. KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi yang cukup sering diterapkan oleh masyarakat perkotaan untuk mengatasi ketidaktahanan pangan yang terkait dengan konsumsi adalah membatasi porsi makanan yang dikonsumsi (35,6% ) dan mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi (35,6%), strategi yang sering sekali terkait dengan ekonomi adalah menjual barang yang dimiliki untuk mendapatkan tambahan uang untuk membeli pangan dan strategi yang cukup sering dilakukan terkait dengan menggabungkan strategi ekonomi dan konsumsi pangan adalah membeli makanan dengan berhutang (48,9) 5. DAFTAR PUSTAKA Ahmed AU, Hill RV, Smith LC, Wiesmann DM, Frankenberger T (2007). The World s Most Deprived: Characteristics and causes of extreme poverty and Hunger, 2020 vision for food, agriculture, and the environment. Discussion paper no. 43 Washington DC: International Food Policy Reseach Institute. Baliwati, Khomsan A, Dwiriani (2004). Pengantar Pangan dan Gizi, Penebar Swadaya. Bappenas (2011). Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi , BAPPENAS. Bappenas (2012). Laporan Pencapaian Millenium Development goals Indonesia Jakarta : BAPENAS Blumberg SJ, Bialostosky K,William L, Hamilton, Briefel R R (1999). The effectiveness of short form of household food security scale. Am J Public Health.;89: Casey PH, Szeto K, Lensing S, Bogle M, Weber J (2001). Children in foodinsufficient, low-income families: prevalence, health, and nutrition status. Arch Pediatr Adolesc Med;155: Committee on National Statistics (2006). Food insecurity and hunger in theunited States: an assessment of the measure. Washington, DC: National Academy Press Corbet Jane (1988). Famine and Household Coping Strategies. World Development ;16(9):

381 Creswell WJ (2010). Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (terjemahan). Pustaka Pelajar FAO (2008). The State of Food Insecurity in the World. Rome; FAO Frongillo, Nusrat Chowdhury, Eva-Charlotte Ekstrom, Ruchira T.Naved (2003). Understanding the Experience of Household Food Insecurity in Rural Bangladesh Leads to a Measure Different From That Used in Other Countries. J.Nutr;133: Gibson R (2005). Principles of Nutritional Assasment. Oxford University Press. Gonzales W, Alicia Jimenez, Graciela Madrigal, Leda M. Munos, Frongillo (2008). Development and Validation of Measure of Household Food Insecurity in Urban Costa rica Confirm Proposed Generic Questionare. J.Nutr;138: Habicht JP, Pelto G, Frongillo EA, Rose D (2004). Conceptualization and instrumentation of food insecurity. Proceedings of the Workshop on the Measurement of Food Insecurity and Hunger; 2004 July 15; Washington, DC. Washington, DC: National Academy Press; p Isanaka,S., Plazaz, MM., Arana, SL., Baylin, A., Villamor, E (2007). Food Insecurity Is Highly Prevalent and Predicts Underweight but not Overweight in Adults and School Children from Bogota, Columbia. J.Nutr;137: Jyoti, D F., Frongillo,EA., Jones, SJ (2005). Food Insecurity Affects School Children s Academic Perfomance, Weight gain, and Social Skill. J. Nutr ;135: Kirkpatrick, SI, Tarasuk V (2008). Food insecurity is associated with nutrient inadequacies amang Canadian adults and adolescents. J Nutr; 138: Matheson. DM., Varaday,J., Varaday, A.,Killen.JD (2002). Household Food Security and Nutritional Status of Hispanic Children in Fifth Grade. Am J Clin Nutr;76:210-7 Maxwell Dan, Ben Watkins, Robins Wheeler, Greg Collins (2003). The Coping Strategies Index. WFP. Maxwell Dan, et al (1999). Alternative Food Security Indicator: Revisting the Frequency and severity of coping strategies. Food Policy ;Vol 24(4): Oberholser CA, Tuttle (2004). Assesment of Household food security among food stamp resipient families in Maryland. Am J Public Health; 94: Oh SY, Hong MJ (2003). Food insecurity is associated with dietary intake and body size of Korean children from low-incomes families in urban areas. Eur J Clin Nutr;57: Quandt SA, Arcury TA, Early J, Tapia J, Davis JD (2004). Household Food Security Among Migrant and Seasonal Latino Farmworker in North Carolina. Public Health Report Rukuni Mandivamba (2002). Africa:Addresing Growing Threats to Food Security. J.Nutr.;132:3443s-34448s Scaglioni S, Arriza C, Vecchi F, Tedeshi S (2011). Determinants of children s eating behavior. Am J Clin Nutr.;94(suppl):2006s-11s Supariasa, Bakri, Fajar (2002). Penilaian Status Gizi. Penerbit buku kedokteran EGC. US Household food security survey module (2012):Three-stage design, with screeners. Economic research service, USDA. September Widome R, Neumark-Sztainer D, Hannan PJ, Haines J, Story M (2009). Eating when there is not enough to eat : eating behaviors and perceptions of food among food-insecure youths. Am J Public health;99: Wilde PE, Differential response pattern affect food security prevalence estimates for households with and without children. J Nutr. 2004;134: Wolfe WS &Frongillo (2001). Building Household Food Security Measurement Tools From The Ground Up. Food Nutr. Bull; 22:

382 GAMBARAN PENDERITA HIV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAHURIPAN KECAMATAN TAWANG KOTA TASIKMALAYA Nur Lina 1, Kusno Prayitno 2 Pengajar Prodi Kesehatan masyarakat FIK Unsil Programmer HIV Puskesmas Kahuripan ABSTRAK Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh akibat virus HIV. Kasus HIV baru yang terjadi di Kota Tasikmalaya tahun 2013 sebanyak 28 orang dan 14 (50%) orang terdapat di Kecamatan Tawang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik penderita HIV/AIDS di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, status perkawinan dan cara penularan. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita HIV positif dari hasil layanan konseling dan testing sukarela di Puskesmas DTP Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya tahun Rancangan Penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan Umur rata rata penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan adalah 31 tahun. Sebagian besaar penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan berjenis kelamin laki laki (78,6%), berpendidikan SMA ( 71.4%), bekerja sebagai wiraswasta (21,4%), pengguna NAPZA suntik (Penasun) (64,3%). Saran dalam penelitian ini perlu meningkatkan cakupan penemuan penderita HIV terutama pada kelompok usia 30 an, laki-laki berpendidikan SMA dan bekerja sebagai wiraswasta dan merupakan pengguna Napza suntik. Kata kunci: Karakteristik, HIV, Tawang PENDAHULUAN Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. HIV ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontarninasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut (Sudikno, 2011). Penyakit HIV-AIDS menjadi salah satu penyakit yang menjadi konsentrasi oleh 189 negara dalam MDG s untuk segera ditanggulangi tidak terkecuali Indonesia. Menurut UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS), data global HIV-AIDS pada tahun 2009 mencapai 33,3 juta jiwa yang hidup dengan HIV namun berdasarkan laporan UNAIDS pada tahun 2009 terdapat 22,6 juta jiwa yang terinfeksi HIV (UNAIDS, 2011). Menurut Laporan Surveilans Kemenkes RI, dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2011 terdapat kasus HIV/AIDS baru dengan total pengidap orang(kemenkes, 2011). Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi yang memiliki jumlah kasus HIV/AIDS paling tinggi setelah Papua. Jumlah kasus HIV/AIDS di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2011 sebesar (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat). Kota Tasikmalaya sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu kota penyumbang kasus HIV dengan jumlah kasus HIV sebanyak 78 orang dan kasus AIDS sebanyak 131 orang. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya pada tahun 2012 mencatat 30 kasus AIDS dan 23 kasus HIV positif, 30 % diantaranya adalah perempuan, dari tahun 2003 tercatat 6 kasus kehamilan dengan HIV positif. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, ada sebanyak 925 orang dengan HIV AIDS (ODHA) di Kota Tasikmalaya. Ada sebanyak orang risiko tinggi terjangkit HIV/ AIDS. Salah satu Kecamatan yang mempunyai jumlah kasus HIV/AIDS cukup tinggi adalah Kecamatan Tawang (Dinas kesehatan Kota Tasikmalaya, 2011). Studi pendahuluan yang dilakukan menunjukkan adanya kasus HIV baru yang terjadi di Kota Tasikmalaya tahun 2013 yaitu sebanyak 28 orang dan 14 orang (50%) terdapat di Kecamatan Tawang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik penderita HIV/AIDS di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, status perkawinan dan cara penularan. METODE PENELITIAN Populasi penelitian ini adalah orang dengan HIV positif dari hasil layanan konseling dan testing sukarela di Puskesmas DTP Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya tahun Rancangan Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan cross sectional (Creswell, 2010). Dalam rancangan penelitian 382

383 ini semua variabel penelitian dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Variabel-variabel dalam penelitian ini yakni : Umur, Jenis Kelamin, Tingkat pendidikan, Jenis pekerjaan, cara penularan dan status perkawinan. Pengumpulan data primer karakteristik responden dan sampel menggunakan teknik wawancara langsung face to face kepada responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan bantuan tim Pemberantasan penyakit HIV/AIDS dan IMS UPTD PKM DTP Kahuripan. Setelah semua data terkumpul maka dilakukan pengolahan data yang meliputi tahapan editing (pemeriksaan data), entry data (memasukan data), dan tabulating (tabulasi data) dengan menggunakan computer program SPSS versi 16. Setelah data diolah maka dilakukan analisis deskriptif. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan variabel-variabel hasil penelitian. Data yang berbentuk numerik dianalisis dengan penghitungan nilai-nilai statistik seperti mean, standar deviasi, dan nilai minimal maksimal, sedangkan data yang berbentuk kategorik dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Data geografis Luas wilayah kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya 40,12 Km2 yang terdiri dari 2 Kelurahan yaitu Kelurahan Kahuripan dan Kelurahan Cikalang, dengan batas-batas wilayah: Sebelah Selatan: Wilayah kerja Puskesmas Cibeureum Sebelah Timur: Wilayah Kerja Puskesmas Cibeureum Sebelah Barat: wilayah kerja Puskesmas Cihideung Sebelah Utara: wilayah kerja Puskesmas Tawang Data demografi Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Kahuripan dan Kelurahan Cikalang. Data jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin masing masing kelurahan adalah sebagai berikut: Tabel 1 Jumlah Penduduk Kelurahan Kahuripan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013 No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk % 1. Laki-Laki Perempuan Jumlah Sumber: Profil Puskesmas Kahuripan Tabel 2 Jumlah Penduduk Kelurahan Cikalang Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013 No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk % 1. Laki-Laki Perempuan Jumlah Sumber: Profil Puskesmas Kahuripan 383

384 Analisis Univariat Penderita HIV positif berdasarkan Umur Tabel 3 Jumlah Penderita HIV Positif Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Minimum Maximum Mean Std. Deviation Umur Umur rata penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan adalah 31 tahun dengan rentang rata-rata umur 21 sampai 40 tahun. Penderita HIV positif paling muda berumur 3 tahun dan paling tua 39 tahun. Penderita HIV positif berdasarkan jenis kelamin Tabel 4 Jumlah Penderita HIV Positif Berdasarkan Jenis kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Jenis Kelamin Frekuensi Persentase Laki- laki Perempuan Total Setengah lebih penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan berjenis kelamin laki laki (78,6%), sedangkan perempuan berjumlah 21,4%. Penderita HIV positif berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 5 Jumlah Penderita HIV Positif Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase BELUM SEKOLAH SMA D S Total Sebagian besar penderita HIV berpendidikan SMA ( 71.4%) ada juga yang berpendidikan D3, S1 dan belum sekolah. 384

385 Penderita HIV positif berdasarkan jenis pekerjaan Tabel 6 Jumlah Penderita HIV Positif Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase Mahasiswa Swasta Buruh Wiraswasta Perawat Ibu RT Belum Bekerja Total Sebagian besar penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan bekerja sebagai wiraswasta (21,4%) dan ibu Rumah tangga (21,4%), selain itu ada juga yang bekerja sebagai swasta, buruh, perawat dan mahasiswa. Penderita HIV positif yang melakukan layanan konseling dan testing sukarela berdasarkan cara penularan Tabel 7 Jumlah Penderita HIV Positif Berdasarkan Cara Penularan di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Cara Penularan Frekuensi Persentase Penasun Anak odha Suami penasun Transfusi Total Penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan adalah Pengguna NAPZA suntik (Penasun) (64,3%), selain penasun juga karena istri dengan suami penasun (14,3%), anak dari ODHA dan melalui transfusi darah. Penderita HIV positif yang melakukan layanan konseling dan testing sukarela berdasarkan Status pernikahan Tabel 8 Jumlah Penderita HIV Positif Berdasarkan Risiko Penular di Wilayah Kerja Puskesmas Kahuripan Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya Tahun 2014 Faktor Risiko Frekuensi Persentase Menikah Belum Menikah Total Sebagian besar penderita HIV berstatus menikah sebanyak 11 orang (78.6%) sedangkan yang tidak menikah sebanyak 21,4%. 385

386 PEMBAHASAN Umur penderita HIV Umur rata rata penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan adalah 31 tahun. Hal ini sedikit berbeda dengan Studi Penatalaksanaan Terapi Pada Penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Kota Manado Berdasarkan umur. Dalam studi tersebut diperoleh hasil umur yang terbanyak terdapat pada kelompok umur tahun sebanyak 28 penderita (39,43%) ( Kalalo, 2011). Dalam Strategi Nasional melaporkan bahwa HIV secara proporsional mempengaruhi kaum muda dan mereka yang berusia produktif. Sebanyak (94%) dari kasus HIV yang terjadi menimpa kelompok umur produktif antara tahun). Epidemi HIV/AIDS akan berpengaruh besar terhadap ketersediaan dan produktifitas tenaga kerja. Selain itu juga berimbas pada problem kemiskinan yang bertambah parah dan disparitas ekonomi. Imbas dari Epidemiologi HIV dan AIDS juga terjadi terhadap individu dan juga ekonomi (KPAN, 2008). Jenis kelamin penderita HIV Setengah lebih penderita HIV diwilayah kerja Puskesmas Kahuripan berjenis kelamin Laki laki (78,6%), sedangkan perempuan berjumlah 21,4%. Hal hampir sama dengan penelitian yang dilakukan di Klinik VCT Rumah Sakit Kota Manado. Terdapat 71 penderita yang berobat periode Januari-Desember 2011, 46 penderita (64,78%) berjenis kelamin laki-laki sedangkan 25 orang (35,22%) berjenis kelamin perempuan (Kalalo, 2011) Laki laki dengan tingkat pendidikan lebih tinggi berstatus kawin dan tinggal di perkotaan cenderung lebih banyak mendengar AIDS dibandingkan kelompok laki-laki lainnya. Meskipun sudah mempunyai pengetahuan dasar tentang AIDS, namun tingkat pengetahuan tentang cara mengurangi risiko terinfeksi pada umumnya rendah. Mobilitas dan gaya hidup seksual berimplikasi terhadap penyebaran HIV/AIDS(Dewi, 2014). Penderita HIV berdasarkan tingkat pendidikan Sebagian besar penderita HIV berpendidikan SMA ( 71.4%) ada juga yang berpendidikan D3, S1 dan belum sekolah. Penelitian yang dilakukan di Klinik VCT Rumah Sakit Kota Manado menunjukkan bahwa hampir setengah dari 271 responden yang memiliki pendidikan tinggi melakukan tindakan berisiko tertular HIV-AIDS (45,2%). Sementara responden yang berpendidikan rendah dan melakukan tindakan berisiko hanya 24 orang (23,3%) (Kalalo, 2011). Laporan hasil riset kesehatan Dasar (Riskesdas 2007) menunjukkan bahwa prevalensi nasional yang pernah mendengar istilah HIV dan AIDS sebesar 44,4% dan 13,9% diantaranya mengetahui dengan benar penularan HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS berdasarkan jenis pekerjaan Sebagian besar penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan bekerja sebagai wiraswasta (21,4%) dan ibu Rumah tangga (21,4%), selain itu ada juga yang bekerja sebagi swasta, buruh, perawat dan mahasiswa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Klinik VCT Rumah Sakit Kota Manado, ditinjau dari jenis pekerjaan bidang swasta sebanyak 52 penderita(73,23%) terbanyak kedua bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 14 penderita (19,71%) dan yang paling sedikit sebagai pelajar sebanyak 5 penderita (7,04%) karena pada sektor swasta banyak terjadi hal yang memicu penderita terinfeksi antara lain karena berhubungan seksual secara berganti-ganti (Kalalo, 2011). Penderita HIV/AIDS berdasarkan cara penularan Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden cara penularan Penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan adalah melalui pengguna NAPZA suntik (Penasun) (64,3%), selain penasun juga karena istri dengan suami penasun (14,3%), anak dari ODHA dan melalui transfusi darah. Penelitian yang dilakukan di Tangerang tahun 2007 menunjukkan responden dengan perilaku berisiko sebesar 55,3%. Responden yang berisiko merupakan responden pengguna narkoba suntik (injecting drug user/idu) yang pernah berbagi jarum (menggunakan jarum bekas). Distribusi responden penasun menurut pengetahuan HIV/AIDS, responden dengan pengetahuan kurang 95 (46,1%), pria 145 (70,4%). Distribusi menurut umur < 23 tahun 124 (60,2%), tingkat pendidikan tinggi 176 (85,4%), status ekonomi mapan 39 (18,9%), ekonomi menengah 89 (43,2%), ekonomi kurang 78 (37,9%) (Syarif, 2008). Survei Terpadu HIV dan Perilaku (Depkes RI ) menemukan prevalensi HIV tinggi pada penduduk paling berisiko, mereka adalah pengguna Napza suntik (52%), penjaja seks (9%), dan laki-laki yang 386

387 seks dengan laki-laki (5%). Peningkatan penularan HIV yang sangat tajam ini dipicu oleh peningkatan penggunaan narkoba suntik di awal tahun 2000 dan hubungan seksual berisiko. Jika tidak dilakukan intervensi yang intensif, diperkirakan pada tahun 2020 total kumulatif infeksi baru HIV dapat mencapai 1,7 juta orang (Sudikno, 2011). Hasil penelitian lain diperoleh bahwa dari 15 anak jalanan yang memakai NAPZA suntik, terdapat 73,3% memakai jarum bekas tanpa sterilisasi dan 60,0% yang memakai jarum bersama-sama. Penggunaan NAPZA suntik pada anak jalanan membuat mereka berisiko tertular HIV-AIDS sebagaimana penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada anak jalanan, ditemukan bahwa dari pengguna NAPZA suntik (penasun) terdapat 12,7% telah terinfeksi HIV. Hal ini terjadi karena tindakan penasun yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril, dipakai bersama-sama/bergantian tanpa sterilisasi (Kemenkes, 2011). Indonesia merupakan salah satu dari negara harus mulai mengadakan pengawasan perilaku secara sistemik terhadap laki-laki maupun perempuan yang berisiko tertular HIV melalui HIV surveilans sentinel berarti survei tentang pelaksanaan sero survei pada interval reguler di kalangan kelompok terpilih dalam dalam populasi atau dikenal dengan populasi penjagaan dengan demikian trend penyakit HIV dapat terpantau sepanjang waktu sesuai dengan kelompok dan sesuai dengan lokasi. Penelitian juga harus dilakukan secara teratur untuk membentuk trend dan penyebaran infeksi pada kelompok kelompok berisiko. Populasi penjagaan HIV meliputi:pekerja seks komersial, pasien penderita Infeksi menular seksual, penderita Tuberkulosis, narapidana, kelompok berisiko seperti supir truk, nelayan, pelaut, waria dan pengguna Napza suntik (Hugo, 2001). Penderita HIV AIDS berdasarkan pernikahan Sebagian besar penderita HIV berstatus menikah sebanyak 11 orang (78.6%). Hal ini sejalan dengan data kemenkes tahun Berdasarkan laporan Ditjen PP dan PL, cara penularan kasus AIDS kumulatif hingga akhir Maret 2011 yang dilaporkan yaitu tertinggi melalui heteroseksual (53,1%), kemudian diikuti melalui IDUs (37,9%) menempati urutan kedua, sisanya; lelaki seks dengan lelaki (3,0%), perinatal (2,6%), transfusi darah (0,2%) dan tidak diketahui (3,2%) (Kemenkes RI, 2011). PENUTUP Umur rata rata penderita HIV di wilayah kerja Puskesmas Kahuripan adalah 31 tahun. Sebagian besaar penderita HIV diwilayah kerja Puskesmas Kahuripan berjenis kelamin Laki laki (78,6%), berpendidikan SMA ( 71.4%) bekerja sebagai wiraswasta (21,4%), pengguna NAPZA suntik (Penasun) (64,3%). Perlu meningkatkan cakupan penemuan penderita HIV terutama pada kelompok usia 30 an, laki-laki berpendidikan SMA dan bekerja sebagai wiraswasta dan merupakan pengguna Napza suntik. Penderita HIV perlu mendapat pendampingan dan pengawasan supaya mudah dalam mengakses pelayanan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Dewi R, Implikasi Mobilitas Penduduk Dan Gaya Hidup Seksual Terhadap Penularan HIV/AIDS, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Kemas 9 (2) (2014) Hugo, 2001, Mobilitas Penduduk Dan Hiv Aids di Indonesia, Unaids Indonesia Joint United Nations Programme On Hiv-Aids (Unaids) Aids At 30 Nations At The Crossroads. Online: Diakses Tanggal 21 Oktober Kalalo, 2011, Studi Penatalaksanaan Terapi Pada Penderita Hiv/Aids Di Klinik Vct Rumah Sakit Kota Manado, E Jurnal Universitas Sam Ratulangi Kemenkes Ri Laporan Situasi Perkembangan Hiv Dan Aids Di Indonesia Sampai Dengan 31 Maret Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen Pp & Pl). Online: Diakses Tanggal 25 November Kemenkes Ri Situasi Aids Terkini. Go.Id/_Asset/_Download/Situasi_Aids_Terkini.Pdf. Kpa Nasional, Strategi Komunikasi Penanggulangan Hiv Dan Aids Di Indonesia. Jakarta :Kpan. Sudikno, 2011, Pengetahuan Hiv Dan Aids Pada Remaja Di Indonesia Analisis Data Riskesdas 2010) Jumal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agusrus 2011 Syarif, Fauzi Dan Zarfiel Tafal Karakteristik Remaja Pengguna Narkoba Suntik Dan Perilaku Berisiko Hiv/Aids Di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 3, No

388 Survey kejadian kanker di Rumah Sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo dalam pelaksanaan program palliative care Nuridah*, Ariyanti Shaleh** dan Cahyono Kaelan** *Mahasiswa PSMIK Unhas ** Dosen PSMIK Unhas *** Latar belakang: Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan serta identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan sympton management, fisik, psikososial dan spiritual. Kanker merupakan Penyakit terminal, progresif yang dapat membawa pasien menuju ke arah kematian. Hal tersebut membutuhkan pendekatan dengan perawatan Palliative sehingga dapat menambah kualitas hidup seseorang.. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien, jumlah dokter yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas. Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif (Kementrian Kesehatan RI, 2015) Tujuan Penelitian: Untuk mengidentifikasi prevalensi kejadian kanker dan pelaksanaan program palliative care dalam pelayanan di RS. Wahidin Sudirohusodo. Metode: Survey analitik, deskriptif dan observasional. Hasil penelitian: Didapatkan 10 penderita kanker terbanyak yang ada di Rumah Sakit wahidin Sudirohusodo. Secara kumulatif kasus penderita kanker di RS. DR. Wahidin Sudirohusodo terus meningkat hal ini dilaporkan berdasarkan data rekam medis 2016 jumlah penderita kanker yang tercatat sejak tahun 2014; untuk penderita yang rawat inap sebanyak jiwa, rawat jalan sebanyak; jiwa, dan didapatkan pada tahun 2015 penderita kanker meningkat secara pesat dimana penderita kanker yang rawat inap menjadi jiwa, dan yang menjalani rawat jalan sebanyak jiwa. Hasil observasi juga dilakukan juga secara langsung dimana perawatan palliative di Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo belum dapat melaksanakan penerapan program palliative care secara utuh. Kesimpulan: Dengan banyaknya kasus penderita kanker yang terjadi Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo para perawat pada umumnya masih menerapkan sistem pelayanan sesuai kebutuhan yang dialami oleh pasien, sehingga belum dapat menerapkan program palliative care secara utuh pada penyakit terminal seperti pada kasus kanker. Salah satu keterbatasan yang dimiliki adalah karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih kurang dan kebutuhan akan sarana prasarana serta fasilitas yang masih terbatas. Untuk itu pentingnya pelatihan terfokus pada perawatan palliative care untuk dapat menangani penderita penyakit terminal seperti kanker dalam usaha peningkatan kualitas hidup mereka. Kata Kunci : Survey, kanker, kualitas hidup, palliative care. LATAR BELAKANG Kanker merupakan fenomena yang serius dan sangat menakutkan bagi kesehatan masyarakat dunia. Dari data Global Burden Cancer (GLOBOCAN) tahun 2008 tercatat sekitar 12,6 juta kasus baru dan 7,5 juta kematian akibat kanker di seluruh dunia (Jemal, Bray, Center, Ferlay, forman, & Ward, 2011). Tahun 2012 jumlah kasus baru kanker meningkat sebanyak 14 juta dan kematian akibat kanker diseluruh dunia meningkat sebanyak 8,2 juta. Kanker yang paling umum terjadi pada tahun 2015 diperkirakan adalah kanker payudara, kanker paru dan bronkus, kanker prostat, kanker usus besar dan rektum, kanker kandung kemih, kanker kulit, kanker tiroid, kanker endometrium, dan kanker pankreas (National Care Institute, 2015a). Secara nasional prevalensi penyakit kanker pada penduduk di semua umur di Indonesia tahun 2013 sebanyak 1,4 atau diperkirakan sekitar orang. Rumah Sakit kanker Darmais mencatat bahwa selama 4 tahun berturut-turut salah satu penyakit kanker yang terbanyak dan menyebabkan kematian adalah kanker usus besar dan rektum. Penyakit kanker dapat menyerang semua jenis umur, tercatat jumlah tertinggi dengan kelompok umur 65 tahun keatas yaitu sebesar 5,0 dan prevalensi terendah yaitu pada anak kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun yakni sebesar 0,1, namun terlihat peningkatan prevalensi yang cukup tinggi pada kelompok umur tahun, tahun dan tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Selain itu Alt-Epping & Naauck (2015) juga melaporkan bahwa, diperkirakan sekitar 35% pasien kanker akan mengalami kematian dan 65% pasien penyakit kanker tersebut yang mampu bertahan dengan kualitas hidup yang bervariasi Kementrian Kesehatan RI nomor: 812,2007 mendefinisikan Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Kementrian Kesehatan RI, 2015). 388

389 Menurut Cella, (1992 dalam Panthee & Kritpracha, 2011) menjelaskan bahwa kualitas hidup bersifat multidimensi dan sangat subyektif, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan subyektif adalah kualitas hidup hanya dapat dipandang dari individu itu sendiri sedangkan arti dari multidimensi memiliki makna bahwa kualitas hidup di pandang secara holistik dalam seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik atau biologis, psikologis, sosialkultural dan spritual. Keterkaitan antar aspek dapat saling berhubungan satu sama lain pada kualitas hidup seseorang, hal tersebut dapat dijelaskan dimana dukungan spritual dalam bentuk keyakinan yang kuat dapat melahirkan energi positif yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi lebih rileks atau tenang sehingga dapat mewujudkan peningkatan kesehatan fisik atau dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh penyakit. Berdasarkan model kualitas hidup Ferrel di identifikasi ada empat domain utama yang mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker yaitu domain fisik, psikologis, sosial, dan spiritual (Lavdaniti & Tsitsis, 2015; Carlson & Bultz, 2010). Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kejadian kanker pada pelaksanaan program palliative care di Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusoso. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi jumlah penderita kanker 2014/2015 pada 10 penderita kanker terbesar di RSWS, jumlah penderita kanker menurut jenis kelamin, jumlah penderita kanker berdasarkan umur dan untuk mengetahui bagaimana aplikasi perawatan paliatif yang ada di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. METODE PENELITIAN Secara survey analitik dengan pendekatan deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik merupakan metode yang bertujuan mendeskridikan atau memberi ganbaran terhadap suatu obyek penelitian yang diteliti melalu sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku umum (Sugiyono, 2014). Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit DR. Wahidin Sudiro Husoda yang merupakan Rumah Sakit rujukan untuk seluruh Indonesia bagian Timur, dan dilaksanakan pada bulan Februari Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kanker yang tercatat pada dua tahun terakhir ( ) di Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kanker yang masuk dalam 10 jenis kanker terbesar di Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo. Gambar 1. Lokasi Penelitian Analisa Data Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk analisis univariat (analisis deskriptif). Analisa univariat dilakukan terhadap karakteristik responden, variabel bebas, dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik responden berupa umur, jenis kelamin, kematian,kasus baru. sedangkan variabel dependen adalah 10 jenis kanker terbesar yang ada di RSWS. Variabel bebas Tujuan analisis ini adalah untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007). Hasil analisis data berupa distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur dan jenis kelamin 389

390 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil-1 No Kunjungan Jumlah Penderita Rawat inap 6,462 7,179 2 Rawat Jalan ,390 Hasil-2 Prevalensi angka kejadian kanker dengan rawat inap, tahun 2014 sebanyak 6,462 jiwa (64,62%) dan padatahun 2015 meningkat menjadi 7,179 jiwa (71,790%). Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat jalan pada tahun 2014 sebanyak jiwa ( 167,8 %) dan tahun 2015 meningkay menjadi 17,390 (173,9%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat inap berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2014 didapatkan wanita sebanyak 4,392(43,92%) dimana penderita dengan kanker mammae mendominasi angka kejadiannya sebesar1,706 (17,06%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat inap pada tahun 2015 berdasarkan jenis kelamin didapatkan wanita mendominasi angka kejadian kanker sebesar 4,812(48,12%) dengan jenis kanker mammae sebesar 2,132 (21,32%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat inap pada tahun 2014 berdasarkan umur didapatkan penderita kanker angka kejadian terbesar berada pada rentang umur tahun denga prevalensi sebesar 1,051 (10,51%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat inap pada tahun 2015 berdasarkan umur didapatkan penderita kanker angka kejadian terbesar berada pada rentang umur tahun denga prevalensi sebesar 1,305 (13,05%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat jalan pada tahun 2014 berdasarkan jenis kelamin ditemukan pada wanita dengan prevalensi sebesar 1,705 (17,05%) dimana kejadian kaker mammae masih mendominasi dengan angka 773 penderita (7,73%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat jalan pada tahun 2015 berdasarkan jenis kelamin ditemukan pada wanita dengan prevalensi sebesar 1,334 (13,34%) dimana kejadian kaker mammae masih mendominasi Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat jalan pada tahun 2014 berdasarkan umur didapatkan rentang umur tahun adalah prevalensi terbesar sebanyak 1,247 (12,47%) Profil angka kejadian kanker dengan kunjungan rawat jalan pada tahun 2015 berdasarkan umur didapatkan rentang umur tahun adalah prevalensi terbesar sebanyak 928 (9,28%) Profil angka kematian kanker dengan kunjungan rawat inap pada tahun 2014sebesar 242(2,42%) dimana penyebeb yang paling banyak adalah ca. mammae 47 jiwa. Prevalensi angka kematian tahun 2015 sebanyak185, dengan kasus terbanyak adalah ca. mammae Pembahasan Dari hasil data yang diperoleh jumlah penderita kanker dari tahun 2014 sampai pada 2015 mengalami peningkatan baik data kunjungan rawat inap maupun kunjungan rawat jalan. Dari hasil pengamatan karakteristik responden dimana wanita masih mendominasi angka kejadian kanker ditahun 2014 dan 2015 dimana penderita ca mammae menduduki urutan terbesar dari penderita jenis kanker yang lain sampai mencapai 7,088 jiwa pada tahun 2015.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Siegel (2015) yang menjelaskan bahwa kejadian kanker lebih tinggi pada wanita (5,4%) dibandingkan laki-laki (3,4%). Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa angka prevalensi kanker pada perempuan sebesar 5,7 per 1000 penduduk, sedangkan prevalensi kanker pada laki-laki adalah 2,9 per 1000 penduduk, hal tersebut dikarenakan bahwa wanita lebih rentan terserang kanker,karena cenderung melakukan hal-hal yang merugikan kesehatan seperti gaya hidup tidak sehat, merokok, dan konsumsi makanan berlemak (Riskesdes, 2007). Selain itu hormon estrogen atau progesteron yang berlebihan dalam tubuh dapat memicu kanker (. Pada karakteristik usia di dapatkan dari data diatas lebih tinggi prevalensinya pada usia rentang tahun yang mencapai angka 3,452 ditahun Hasil ini pun 390

391 sesuai dengan hasil penelitian Siegel (2015) yang menyebutkan bahwa kejadian kanker telah ditemukan pada umur yang lebih muda (<50tahun), hal serupa sesuai dengan hasil penelitian Rikesdas (2007) yang menjelaskan bahwa angka kejadian kanker meningkat tajam mencapai 7 orang per 1000 penduduk setelah seseorang berusia 35 tahun ke atas. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa seiring bertambahnya usia maka terjadi akumulasi faktor resiko secara keseluruhan, kecenderungan perbaikan sel menjadi kurang efektif setelah penuaan dan penurunan sistem imun (Kartawiguna, 2002; WHO, 2011).. KESIMPULAN. Kanker yang merupakan penyakit kronik dan mematikan serta memiliki proggress yang selalu buruk jika tidak ditangani dengan baik. Berbagai jenis pengobatan dan terapi telah banyak dilakukan namun, hal tersebut menambah efek kualitas hidup mereka menjadi lebih buruk jika ditinjau dari segi aspek fisik (sympton managemen), Hal tersebut membuat pemerintah dibidang kesehatan dan para peneliti meninjau kembali perawatan yang sesuai untuk memberikan intervensi dalam mempertahankan lama hidup dan kualitas hidup sampai pada akhir kematian.hasi data diatas menunjukkan kejadian kanker yang semakin tinggi membuat angka kematian semakin banyak pula jika tidak dilakukan perawatan atau pengelolaan secara utuh kepada pasien. banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita kanker sehingga perawatan paliatif sebagai perawatan yang optimal dan berfokus pada mempertahankan lama hidup dan kualitas hidup yang lebih Perawatan paliatif merupakan jenis pelayanan yang berfokus untuk meringankan gejala yang dialami klien, bukan memberikan kesembuhan. National Hospice Palliative Care Organization (NHPCO) menyatakan bahwa tujuan dari perawatan paliatif adalah peningkatan kualitas hidup pada mereka yang mengalami penyakit yang serius serta membantu keluarga selama dan setelah perawatan ereka terima. Konsep dari perawatan paliatif adalah dimana klien memiliki pilihan sehingga perawatan paliatif harus melalui pendekatan tim interdisiplin dengan fokus memberikan dukungan dan perawatan kepada individu yang memiliki penyakit kronik. (Black, 2014) Margaret (2013) juga menjelaskan bahwa perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus untuk meningkatkan kualitas hidup klien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam nyawa, dengan memberikan penghilang rasa sakit, dan gejala ian, dukungan spritual dan psikososial, sejak tegaknya diagnosis hingga akhir. Peran seorang perawat paliatif akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan klien dan keluarga klien. Perawat harus berfokus bagaimana memberikan kenyakanan kepada klien dalam masa-masa perawatan dan pengobatan, perawat paliatif juga harus dapat memberikan konseling pada akhir masa kehidupan, ketika keputusan kritis harus dibuat serta perawatan yang menyeluruh dan berkualitas harus diberikan. Sehingga, posisi perawat paliatif tidak hanya memberikan perawatan tetapi mengidentifikasi dan memberikan kebutuhan kenyamanan kepada klien (Black, 2014) UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak yang telah mendukung dan berpartisipasi atas terlaksananya penelitian ini, terimakasih kepada pemerintah Sulawesi Selatan, kepala Dinas kota Makassar, prodi Keperawatan Universitas Hasanuddin, kepala RS. DR. Wahidin Sudirohusodo, kepala ruangan dan para teman sejawat di RS. Wahidin sudirohusodo, dan tentunya keluarga tercinta ku. DAFRTAR PUSTAKA Alt-Epping, B., & Nauck, F. (Eds.). (2015). Palliative Care in Oncology. Springer Berlin Heidelberg. pp Al Qadire, M., & Al Khalaileh, M. (2014). Prevalence of Symptoms and Quality of Life Among Jordanian Cancer Patients. Clinical nursing research, Bredle, J. M., Salsman, J. M., Debb, S. M., Arnold, B. J., & Cella, D. (2011). Spiritual well-being as a component of health-related quality of life: the functional assessment of chronic illness therapy spiritual well-being scale (FACIT-Sp). Religions, 2(1), Burns, N., & Grove, S.K (2011). Understanding Nursing Research 5th Edition. Saunders: Elsevier Caprara, G. V., Castellani, V., Alessandri, G., Mazzuca, F., La Torre, M., Barbaranelli, C.,... & Marchetti, P. (2015). Being positive despite illness: The contribution of positivity to the quality of life of cancer patients. Psychology & Health,

392 Carlson, L. B., & Bultz, B. D. (2010). Communication about coping as a survivor. In Kissane, D., Bultz, B., Butow, P., & Finlay, I. (Eds.). (2010). Handbook of communication in oncology and palliative care. OUP Oxford Daniels, R., & Nicoll, L. (2011). Contemporary medical-surgical nursing, second edition. Cengage Learning. Farzianpour, F., Shojaee, J., Abedi, G., & Rostami, F. (2014). Assessment of quality of life in cancer patients. American Journal of Agricultural and Biological Sciences, 9(2), 147. Farzianpour, F., Hosseini, S., Rostami, M., Pordanjani, S. B., & Hosseini, S. M. (2012). Quality of life of the elderly residents. American Journal of Applied Sciences, 9(1), 71. DOI: /ajassp Fayers, P., & Machin, D. (2013). Quality of life: the assessment, analysis and interpretation of patient-reported outcomes, Second edition. John Wiley & Sons. Gilbert, D., & Falk, S. (2016). Colorectal Cancer. Clinical Oncology (Royal College of Radiologists (Great Britain)), 28(2), Granger, C. L., McDonald, C. F., Berney, S., Chao, C., & Denehy, L. (2011). Exercise intervention to improve exercise capacity and health related quality of life for patients with non-small cell lung cancer: a systematic review. Lung Cancer, 72(2), Heydarnejad, M. S., Hassanpour, D. A., & Solati, D. K. (2012). Factors affecting quality of life in cancer patients undergoing chemotherapy. African Health Sciences, 11(2), Husson, O., Mols, F., van de Poll-Franse, L. V., & Thong, M. S. (2015). The course of fatigue and its correlates in colorectal cancer survivors: a prospective cohort study of the PROFILES registry. Supportive Care in Cancer,23(11), Jefford, M., Gough, K., Drosdowsky, A., Russell, L., Aranda, S., Butow, P. N.,... & King, D. (2016). A randomized controlled trial (RCT) of a supportive care package (SurvivorCare, SC) for survivors of colorectal cancer (CRC). In ASCO Annual Meeting Proceedings (Vol. 34, No. 3_suppl, p. 79). Jemal, A., Bray, F., Center, M., Ferlay, J., Ward, E., & Forman, E. (2011). CA Cancer J Clin. Global Cancer Statistic, 61 (2), 134. Karakoyun-Celik, O., Gorken, I., Sahin, S., Orcin, E., Alanyali, H., & Kinay, M. (2010). Depression and anxiety levels in woman under follow-up for breast cancer: relationship to coping with cancer and quality of life. Medical Oncology, 27(1), Kementrian Kesehatan RI. (2015). Stop Kanker. Pusat Data dan Informasi Kanker. diakses 16 februari go.id/donlowd.php?file=donlowd/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Kebijakan Perawatan Paliatif, (online), Kirshbaum, M. (2010). Cancer-related fatigue: a review of nursing interventions.british Journal of Community Nursing, 15(5), Knobf, M. T., Musanti, R., & Dorward, J. (2007). Exercise and quality of life outcomes in patients with cancer. In Seminars in Oncology Nursing, 23(4), WB Saunders. Kozier, Erb, Berman, & Snyder. (2010) Buku ajar Fundamental keperawatan; konsep, prose, & praktik. Jakarta: EGC Lavdaniti, M., & Tsitsis, N. (2015). Definitions and Conceptual Models of Quality of Life in Cancer Patients. Health Science Journal, 9(2). Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-surgical nursing: assessment and management of clinical problems, ninth edition. Elsevier Health Sciences. Magaji, B. A., Moy, F. M., Roslani, A. C., Sagap, I., Zakaria, J., Blazeby, J. M., & Law, C. W. (2012). Healthrelated quality of life among colorectal cancer patients in Malaysia: a study protocol. BMC Cancer, 12(1), 384. Margaret. (2013). Nurse to Nurse perawatan paliatif. Jakarta: Salemba Medika 392

393 McCabe, R. M., Grutsch, J. F., Nutakki, S. B., Braun, D. P., & Markman, M. (2014). Can quality of life assessments differentiate heterogeneous cancer patients?. PloS one, 9(6), e Notoatmodjo. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Peng, J., Shi, D., Goodman, K. A., Goldstein, D., Xiao, C., Guan, Z., & Cai, S. (2011). Early results of quality of life for curatively treated rectal cancers in Chinese patients with EORTC QLQ-CR29. Radiation oncology, 6(1), 1. Puchalski, C., Ferrell, B., Virani, R., Otis-Green, S., Baird, P., Bull, J.,... & Pugliese, K. (2009). Improving the quality of spiritual care as a dimension of palliative care: the report of the Consensus Conference. Journal of Palliative Medicine, 12(10), Riskesdas Riset Kesehatan Dasar : Laporan Nasional 2007, (online), ( Traa, M. J., Braeken, J., De Vries, J., Roukema, J. A., Orsini, R. G., & Den Oudsten, B. L. (2015). Evaluating quality of life and response shift from a couple-based perspective: a study among patients with colorectal cancer and their partners. Quality of Life Research, 24(6), WHO Cancer, (online), ( fs297/en/index.html 393

394 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MOTIVASI KERJA PEGAWAI RUMAH SAKIT DI RUMAH SAKIT AWAL BROS TANGERANG TAHUN 2014 Susi Shorayasari, SKM 1, Hj.Dieta Nurrika, SKM, MKM 2, Kamaluddin Latief, SKM, M.Epid 3, Dinna Annisa, SKM 4 Susi Shorayasari, SKM : sshorayasari@yahoo.co.id Hj. Dieta Nurrika, SKM, MKM : dieta_n@yahoo.com Kamaludddin Latief, SKM, M.Epid : kamaluddinlatief@gmail.com Dinna Annisa : dinnaannisa17@yahoo.co.id Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten ABSTRAK - Pendahuluan. Motivasi kerja merupakan proses mempengaruhi atau mendorong seseorang berbuat untuk menyelesaikan tujuan yang diinginkan. Motivasi berpengaruh pada produktivitas yang berkaitan dengan kinerja pegawai. Untuk itu, pada penelitian ini penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Metode Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Teknik pengambilan sampel dengan simple random sampling, jumlah sampel 190 responden. Analisa data statistik menggunakan uji chi square. Hasil Penelitian. Distribusi frekuensi motivasi kerja tinggi 161 responden (84,7%), motivasi kerja rendah 29 responden (15,3%), lingkungan kerja baik 170 responden (89,5%), lingkungan kerja buruk 20 responden (10,5%), kompensasi cukup 143 responden (75,3%), supervisi baik 154 responden (81,1%), jaminan cukup 148 responden (77,9%), peraturan baik 159 responden (83,7%). Simpulan dan Saran. Variabel yang diteliti ada 6 variabel, yaitu lingkungan kerja, kompensasi, supervisi, jaminan, status/tanggung jawab, dan peraturan. Kata kunci: motivasi kerja, pegawai, RS Awal Bros Tangerang LATAR BELAKANG Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran strategis ini didapat karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar. Peran tersebut pada dewasa ini makin menonjol mengingat timbulnya perubahan-perubahan epidemiologi penyakit, perubahan struktur demografis, perkembangan IPTEK, perubahan struktur sosio-ekonomi masyarakat dan pelayanan yang lebih bermutu, ramah dan sanggup memenuhi kebutuhan mereka yang menuntut pola pelayanan kesehatan di Indonesia (Aditama, 2003). Rachel Massie dalam buku Essential of Management (1987) yang dikutip oleh Aditama (2003) mengemukakan bahwa bahan baku dari industri jasa kesehatan adalah manusia. Dalam industri rumah sakit, seyogyanya tujuan utamanya adalah melayani kebutuhan manusia, bukan semata-mata menghasilkan produk dengan proses dan biaya seefisien mungkin. Unsur manusia perlu mendapat perhatian dan tanggung jawab utama pengelola rumah sakit. Perbedaan ini mempunyai dampak penting dalam manajemen khususnya menyangkut pelayanan kesehatan. Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan, orang merupakan unsur yang sangat penting bagi organisasi. Untuk mencapai tujuan organisasi maka salah satu hal yang perlu dilakukan manajer adalah memberikan daya pendorong yang mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku para pegawai agar bersedia bekerja sesuai dengan yang diinginkan organisasi. Daya pendorong tersebut disebut sebagai motivasi (Suwatno dan Priansa, 2011). Produktivitas pegawai menjadi pusat perhatian dalam upayanya untuk meningkatkan kinerja yang mempengaruhi efisiensi dan efektivitas organisasi. Analisis yang lebih mengkonsentrasikan pada kinerja akan lebih memberi penekanan pada dua faktor yaitu motivasi dari pegawai dan kemampuan dari pegawai untuk bekerja (Rosidah, 2009). Motivasi menjadi sangat penting karena dengan motivasi diharapkan setiap karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi (Hasibuan, 1996: 92). Ini juga didukung berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Taufan pada studi kasus PT.Kimia Farma dengan judul pengaruh motivasi, disiplin kerja, dan prestasi kerja terhadap produktivitas kerja, mengatakan ada pengaruh yang diberikan motivasi yakni sebesar 78,3 % terhadap produktivitas kerja. 394

395 Motivasi kerja berhubungan dengan kinerja pegawai, ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Rizal (2013), mengenai pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kinerja karyawan sebesar 79.3 % ditentukan oleh motivasi kerja. Menurut Sedarmayanti (2009), dalam jurnal Analisis Motivasi Kerja Pegawai Di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap 2012, kurangnya motivasi kerja dapat mempengaruhi kualitas kerja seseorang dan kualitas kerja juga berkurang, maka kepuasan orang yang menerima jasa juga akan berkurang. Maka dari itu, untuk meningkatkan kualitas kerja dari pegawai rumah sakit, sebaiknya pemberian motivasi kerja juga diperhatikan. Pegawai yang bekerja di rumah sakit setiap harinya selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik pada konsumen dengan mempertahankan kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan di rumah sakit. Pegawai rumah sakit mempunyai pribadi dan karakteristik masing-masing individu yang berbeda satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan masing-masing individu dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari berbeda, nantinya akan berdampak pada keberhasilan rumah sakit dalam memberikan pelayanan, dapat dikategorikan berhasil atau tidak. Motivasi mempunyai peranan penting terhadap pegawai rumah sakit. Motivasi dapat membangun produktivitas pegawai yang lebih baik. Demikian juga yang terjadi pada Rumah Sakit Awal Bros Tangerang yang bergerak dalam melayani masyarakat, maka motivasi menjadi sangat penting, ini terlihat bahwa motivasi akan mempengaruhi kinerja seseorang dalam bekerja dan menjadi masalah pokok dalam mencapai tujuan. Melihat kondisi tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang tahun METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang. Waktu pengumpulan data mulai dari tanggal 2 Oktober hingga 7 Oktober tahun Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai yang bekerja di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang. Cara pengambilan sampel yang digunakan dengan cara sampel probabilitas (probability samples) yakni pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling). Data primer diperoleh dengan cara memberikan kuesioner kepada pegawai rumah sakit yang menjadi sampel penelitian kemudian diisi. Data sekunder diperoleh dari instansi setempat dalam hal ini Rumah Sakit Awal Bros Tangerang yang meliputi profil Rumah Sakit Awal Bros Tangerang, komposisi pegawai, dan beberapa penelusuran dokumen lainnya. Pengolahan data hasil jawaban responden dari kuesioner dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer SPSS versi Analisis data yang dilakukan terdiri atas analisis univariat dan analisis bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Penelitian ini menunjukkan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak berada pada responden yang berjenis kelamin perempuan yakni 152 orang (80%). Berdasarkan usis paling banyak berada pada responden usia 28 tahun. Berdasarkan pendidikan paling banyak pada responden yang memiliki pendidikan terakhir perguruan tinggi yakni 137 orang (72,1%). Berdasarkan lama kerja pegawai paling banyak berada pada responden yang sudah bekerja selama 3 tahun. Analisis Univariat Penelitian ini menunjukkan distribusi responden berdasarkan motivasi kerja yakni yang menyatakan motivasi kerja tinggi sebanyak 161 orang (84,7%). Berdasarkan lingkungan kerja yakni yang menyatakan lingkungan kerja baik sebanyak 170 orang (89,5%). Berdasarkan kompensasi yakni yang menyatakan kompensasi cukup sebanyak 143 orang (75,3%). Berdasarkan supervisi yakni yang menyatakan supervisi baik sebanyak 154 orang (81,1%). Berdasarkan jaminan yakni yang menyatakan jaminan cukup sebanyak 148 orang (77,9%). Berdasarkan status/tanggung jawab yakni yang menyatakan status/tanggung jawab baik sebanyak 159 orang (83,7%). Berdasarkan peraturan yakni yang menyatakan peraturan baik sebanyak 176 orang (92,6%). 395

396 Analisis Bivariat Lingkungan Kerja dengan Motivasi Kerja Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 148 orang (87,1%) yang menyatakan lingkungan kerja baik dan motivasi kerja tinggi, sedangkan sebanyak 22 orang (12,9%) yang menyatakan lingkungan kerja baik dan motivasi kerja rendah. Kemudian responden yang menyatakan lingkungan kerja buruk namun motivasi kerja tinggi sebanyak 13 orang (65,0%), sedangkan yang menyatakan lingkungan kerja buruk motivasi rendah sebanyak 7 orang (35,0%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,018 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara lingkungan kerja dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Kompensasi dengan Motivasi Kerja Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 127 orang (88,8%) yang menyatakan kompensasi cukup dan motivasi kerja tinggi, sedangkan sebanyak 16 orang (11,2%) yang menyatakan kompensasi cukup dan motivasi kerja rendah. Kemudian responden yang menyatakan kompensasi kurang namun motivasi kerja tinggi sebanyak 34 orang (72,3%), sedangkan yang menyatakan kompensasi kurang motivasi rendah sebanyak 13 orang (27,7%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,013 (p < 0,05) yang artinya ada hubunfan antara kompensasi dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Supervisi dengan Motivasi Kerja Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 135 orang (87,7%) yang menyatakan supervisi baik dan motivasi kerja tinggi, sedangkan sebanyak 19 orang (12,3%) yang menyatakan supervisi baik dan motivasi kerja rendah. Kemudian responden yang menyatakan supervisi buruk dan motivasi kerja tinggi sebanyak 26 orang (72,2%), sedangkan yang menyatakan supervisi buruk motivasi kerja rendah sebanyak 10 orang (27,8%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,039 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara supervise dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Jaminan dengan Motivasi Kerja Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 130 orang (87,8%) yang menyatakan jaminan cukup dan motivasi kerja tinggi, sedangkan sebanyak 18 orang (12,2%) yang menyatakan jaminan cukup namun motivasi kerja rendah. Kemudian responden yang menyatakan jaminan kurang dan motivasi kerja tinggi sebanyak 31 orang (73,8%), sedangkan yang menyatakan jaminan kurang motivasi kerja rendah sebanyak 11 orang (26,2%). Dari hasil ui statistik diperoleh nilai p = 0,047 (p< 0,05) yang artinya ada hubungan antara jaminan dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Status/Tanggung Jawab dengan Motivasi Kerja Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 139 orang (87,4%) yang menyatakan status/tanggung jawab baik dan motivasi kerja tinggi, sedangkan sebanyak 20 orang (12,6%) yang menyatakan status/tanggung jawab baik dan motivasi kerja rendah. Kemudian responden yang menyatakan status/tanggung jawab buruk dan motivasi tinggi sebanyak 22 orang (71,0%) sedangkan sebanyak 9 orang (29,0%) yang menyatakan status/tanggung jawab buruk dan motivasi kerja rendah. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,028 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara status/tanggung jawab dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Peraturan dengan Motivasi Kerja Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 152 orang (86,4%) yang menyatakan peraturan baik dan motivasi kerja tinggi, sedangkan sebanyak 24 orang (13,6%) yang menyatakan peraturan baik dan motivasi kerja rendah. Kemudian responden yang menyatakan peraturan buruk dan motivasi kerja tinggi sebanyak 9 orang (64,3%), sedangkan yang menyatakan peraturan buruk dan motivasi kerja rendah sebanyak 5 orang (35,7%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,043 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara peraturan dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. PEMBAHASAN Hubungan Antara Lingkungan Kerja dengan Motivasi Kerja Menurut hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,018 < nilai α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara lingkungan kerja dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 3,622 (95% CI: 1,303 10,067), artinya responden yang bekerja pada lingkungan buruk mempunyai 396

397 peluang 3,62 kali untuk memiliki motivasi kerja rendah dibandingkan responden yang bekerja pada lingkungan baik. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata lingkungan kerja responden adalah diantara 1,303 sampai dengan 10,067. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2011) yang menyatakan bahwa lingkungan kerja yang meliputi tempat kerja, fasilitas, dan alat bantu pekerjaan, kebersihan, pencahayaan, ketenagaan, termasuk juga hubungan antara orang- orang yang ada di tempat tersebut dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan. Sehingga apabila dalam bekerja seseorang merasa kondisi lingkungan kerjanya buruk maka dapat tercipta keengganan untuk bekerja dengan lebih baik dan menjadi kurang termotivasi. Lingkungan kerja yang baik dan bersih, mendapat cahaya yang cukup, bebas dari kebisingan dan gangguan, jelas akan memotivasi tersendiri bagi para karyawan dalam melakukan pekerjaan dengan baik (Sutrisno, 2009). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mariska (2011) dalam skripsinya yang berjudul Studi Tentang Motivasi Kerja Pegawai Non Medis di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Tahun 2011 dimana dinyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan motivasi kerja yakni semakin baik persepsi responden terhadap kondisi lingkungan kerja semakin tinggi motivasinya untuk bekerja. Anggraini (2010) dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Faktor Ekstrinsik Dengan Motivasi Kerja Pegawai Non Medis RSUD Kota Bekasi Tahun 2010 juga sama menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi kerja dan hubungan antar individu dengan motivasi kerja. Hubungan Antara Kompensasi dengan Motivasi Kerja Menurut hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,013 < nilai α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara kompensasi dengan motivasi kerja responden. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=3,035 (95% CI: 1,331 6,918), artinya responden yang memiliki kompensasi kurang mempunyai peluang 3,03 kali untuk memiliki motivasi kerja rendah dibandingkan dengan responden yang memiliki kompensasi cukup. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata jaminan responden adalah diantara 1,331 sampai dengan 6,918. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2011) bahwa kompensasi yang memadai merupakan alat motivasi yang paling ampuh bagi perusahaan untuk mendorong para karyawan bekerja dengan baik. Adapun kompensasi yang kurang memadai akan membuat mereka bekerja tidak tenang, sehingga kecilnya kompensasi sangat mempengaruhi motivasi kerja pegawai. Dalam hal ini kompensasi diartikan sebagai gaji dan penghasilan lainnya seperti berupa tunjangan- tunjangan. Kompensasi yang mampu mempengaruhi motivasi kerja seseorang tidak terlepas dari harapan yang dimilikinya. Siagian (2004) menerangkan bahwa harapan yang bersangkutan biasanya dikaitkan dengan kebutuhan ekonomisnya seperti kebutuhan akan sandang, pangan, perumahan, biaya pendidikan anak, jumlah tanggung jawab, status sosialnya di masyarakat dan lain sebagainya sehingga harapan itu biasanya didasarkan pada keinginan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhannya secara wajar dari penghasilan yang diterima dari tempatnya bekerja. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldilla (2009) dalam skripsinya Hubungan Faktor Ekstrinsik Dengan Motivasi Karyawan Divisi Umum dan Keuangan RS MH Thamrin Tahun 2009 bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara gaji dengan motivasi kerja. Hasil yang serupa didapatkan dari hasil penelitian Gamayanti (2013) dengan judul Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Kerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Banggae II Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2013 dinyatakan bahwa ada hubungan antara kompensasi dengan motivasi kerja tenaga kesehatan Puskesmas Banggae II Kabupaten Majene. Hubungan Antara Supervisi dengan Motivasi Kerja Menurut hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,039 < nilai α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara supervisi dengan motivasi kerja pegawai. Dari hasil analisis didapatkan pula nilai OR= 2,733 (95% CI: 1,141 6,544), artinya responden yang memiliki supervisi buruk mempunyai peluang 2,73 kali untuk memiliki motivasi kerja rendah dibandingkan responden yang memiliki supervisi baik. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata supervisi responden adalah diantara 1,141 sampai dengan 6,544. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2011) bahwa kegiatan supervisi sangat mempengaruhi motivasi kerja karyawan. Fungsi supervisi dalam suatu pekerjaan adalah memberikan pengarahan, membimbing kerja para karyawan, agar dapat melaksanakan kerja dengan baik tanpa membuat kesalahan. Dengan demikian, posisi supervisi sangat dekat dengan para karyawan dan selalu menghadapi para karyawan dalam 397

398 melaksanakan tugas sehari-hari. Bila supervisi yang dekat para karyawan ini menguasai lika-liku pekerjaan dan penuh dengan sifat-sifat kepemimpinan, maka suasana kerja akan bergairah dan bersemangat. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mariska (2011) dalam skripsinya yang berjudul Studi Tentang Motivasi Kerja Pegawai Non Medis Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Tahun 2011 bahwa terdapat hubungan antara supervisi dengan motivasi kerja. Hasil yang sama juga didapatkan Aswat (2010) dalam tesisnya yang berjudul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Kerja Perawat Di Unit Rawat Inap RSUD Puri Husada Tembilahan Kabupaten Inderagiri Hilir Riau Tahun 2010 bahwa ada hubungan signifikan terhadap supervisi yang diterima dengan motivasi. Hasil penelitian mengenai supervisi menggambarkan bahwa atasan cukup menguasai lika-liku pekerjaan bawahannya. Atasan juga mampu memberikan pengarahan serta bimbingan atas segala pekerjaan responden dengan baik dan efektif serta penuh dengan sifat- sifat kepemimpinan. Di samping itu, kegiatan pengarahan oleh atasan mampu menimbulkan umpan balik yang cukup baik dari bawahan dan dapat memotivasi responden dalam bekerja karena tidak ada tekanan antara atasan dengan bawahan. Hubungan Antara Jaminan dengan Motivasi Kerja Menurut hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,047 < nilai α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara jaminan dengan motivasi kerja pegawai. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 2,563 (95% CI: 1,099 5,973), artinya responden yang memiliki jaminan kurang mempunyai peluang 2,56 kali untuk memiliki motivasi kerja rendah dibandingkan responden yang memiliki jaminan cukup. Dari hasil estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata jaminan responden diantara 1,099 sampai dengan 5,973. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrisno (2011) yakni apabila perusahaan dapat memberikan jaminan karier untuk masa depan, baik jaminan akan adanya promosi jabatan, pangkat maupun jaminan pemberian kesempatan untuk mengembangkan potensi diri, maka seseorang akan rela mengorbankan apa yang ada pada dirinya untuk perusahaan jikalau yang bersangkutan merasa ada jaminan karier yang jelas dalam melakukan pekerjaan. Adapun menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, jaminan pekerjaan termasuk didalamnya jaminan sosial tenaga kerja yakni suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja atau sakit. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mariska (2011) dalam skripsinya yang berjudul Studi Tentang Motivasi Kerja Pegawai Non Medis Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Tahun 2011 bahwa ada hubungan antara jaminan pekerjaan dengan motivasi kerja. Hasil yang sama juga didapatkan Octaviani (2011) dalam skripsi yang berjudul Analisis Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Kerja Pegawai Non Medis Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2011 dimana dinyatakan ada hubungan yang signifikan antara variabel pengembangan dengan motivasi kerja. Hubungan AntaraStatus/Tanggung Jawab dengan motivasi Kerja Menurut hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,028 < nilai α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara status/tanggung jawab dengan motivasi kerja pegawai. Dari hasil analisis didapatkan pula nilai OR= 2,843 (95% CI: 1,149 7,036), artinya responden yang memiliki status/tanggung jawab buruk mempunyai peluang 2,84 kali untuk memiliki motivasi kerja rendah dibandingkan responden yang memiliki status/tanggung jawab baik. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata status/tanggung jawab responden adalah diantara 1,149 sampai dengan 7,036. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan sutrisno (2009) bahwa status/ tanggung jawab merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan sense of achievement dalam tugas sehari-hari. Status dan kedudukan dalam jabatan tertentu merupakan dambaan setiap karyawan dalam bekerja. Dengan menduduki jabatan dalam suatu perusahaan, seseorang akan merasa dirinya akan dipercaya, diberi tanggung jawab dan wewenang yang besar untuk setiap kegiatan. Menurut Murray dalam Hafizurrachman (2009) menyatakan bahwa bila motivasi dihubungkan dengan suatu pekerjaan maka terdapat tiga jenis kebutuhan yang berhubungan dengan kerja, salah satunya adalah kebutuhan berprestasi yang meliputi tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan berani mengambil risiko. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aswat (2010) dalam tesisnya yang berjudul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Kerja Perawat Di Unit Rawat 398

399 Inap RSUD Puri Husada Tembilahan Kabupaten Inderagiri Hilir Riau Tahun 2010 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap tanggung jawab dengan motivasi kerja perawat. Hubungan Antara Peraturan dengan Motivasi Kerja Menurut hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,043 < nilai α = 0,05 yang artinya ada hubungan antara peraturan rumah sakit dengan motivasi kerja pegawai. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 3,519 (95% CI: 1,087 11,393), artinya responden yang merasa peraturan rumah sakit buruk mempunyai peluang 3,51 kali untuk memiliki motivasi kerja rendah dibandingkan responden yang merasa peraturan rumah sakit baik. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata peraturan adalah diantara 1,087 sampai dengan 11,393. Hal ini sesuai dengan teori Herzberg (1950) dalam Notoatmodjo (2009) yang menyatakan bahwa kebijakan dan administrasi perusahaan mampu mempengaruhi motivasi kerja. Hubungan ini juga sesuai dengan yang dijelaskan oleh Sutrisno (2011) bahwa peraturan biasanya bersifat melindungi dan dapat memberikan motivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mariska (2011) dalam skripsinya yang berjudul Studi Tentang Motivasi Kerja Pegawai Non Medis Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Tahun 2011 bahwa ada hubungan antara peraturan/kebijakan rumah sakit dengan motivasi kerja. Hasil penelitian juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldilla (2009) dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Faktor Ekstrinsik Dengan Motivasi Karyawan Divisi Umum dan Keuangan RS MH Thamrin Tahun 2009, Aldilla mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebijakan dengan motivasi kerja. KESIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lingkungan kerja, kompensasi, supervisi, jaminan, status/tanggung jawab, dan peraturan dengan motivasi kerja pegawai rumah sakit. Hasil penelitian ini menyarankan lingkungan kerja dan kegiatan supervisi seperti pemberian pengarahan dapat lebih ditingkatkan sebagai upaya yang berkesinambungan demi mencapai motivasi kerja pegawai yang lebih optimal. Pemberian informasi dan sosialisasi terhadap peraturan/kebijakan yang berlaku sebaiknya diberikan secara intensif dan lebih tegas dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pegawai terhadap keseluruhan peraturan yang berlaku di rumah sakit. DAFTAR PUSTAKA Aditama, Chandra Yoga. (2003). Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Aldilla, Giani. (2009). Hubungan Faktor Ekstrinsik Dengan Motivasi Kerja Karyawan Divisi Umum dan Keuangan RS MH Thamrin Internasional Salemba Tahun Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Anggraini, Erina Dwi. (2010). Hubungan Faktor Ekstrinsik Dengan Motivasi Kerja Pegawai Non Medis RSUD Kota Bekasi Tahun Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Aswat, Bustanul. (2010). Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Motivasi Kerja Perawat Di Unit Ranap RSUD Puri Husada Tembilahan Kabupaten Inderagiri Hilir Riau Tahun Tesis Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Hafizurrachman, M. (2009). Manajemen Pendidikan dan Kesehatan. Jakarta: CV. Agung Seto Mariska, Sherly. (2011). Studi Tentang Motivasi Kerja Pegawai Non Medis Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Tahun Skripsi Sarjana Kesehatan Masayarakat Universitas Indonesia, Depok Notoatmodjo, Soekidjo. (2009). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta Octaviani, Yani Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Kerja Pegawai Non Medis Rumah Sakit PMI Bogor Tahun Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Sutrisno, Edy. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group Suwatno dan Priansa, Donni Juni. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia, Dalam Organisasi Publik dan Bisnis. Bandung: Alfabeta Sondang, P. Siagian. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara 399

400 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDHI DHARMA BEKASI TIMUR TAHUN 2013 YULI Y 1, EMMA K 2,, RENA S 2,LENNY I 1 DAN TETY R 1 DAN MARNI K 1 Program Studi DIII Kebidanan STIKes Medistra Indonesia Bekasi marni_karo@yahoo.com jes_irma@yahoo.com tetty_art@yahoo.com Program studi DIII Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Jawa Barat kamelia.emma@gmail.com ABSTRAK Latar Belakang : lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas (Partini Suardiman, 2011). Lansia di Indonesia saat ini 16 juta dan akan menjadi 25,5 juta (11,37%) pada tahun 2020,merupakan peringkat ke 4 dunia, dibawah Cina, India, dan Amerika Serikat (Ramadia,2009). Berdampak terhadap berbagai masalah kesehatan, dimasa lansia mengalami kemunduran fisik danfungsi intelektual termasuk fungsi kognitif berupa mudah lupa (forgetfulness). Bentuk gangguan kognitif yang paling ringan dikeluhkan oleh 39% lansia yang berusia tahun, meningkat 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Gangguan Kognitif dari Ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat (Wreksoatmodjo, 2012). Tujuan: Untuk mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur tahun Metode Penelitian: menggunakan rancangan cross sectional. Tempat penelitian di PSTW Budhi Dharma Bekasi dari februari 2014 sampai maret Populasi yaitu lansia diatas 60 tahun sebanyak 98 orang dengan sampel 79 orang, instrument MMSE (mini mental state examination), kuesioner, observasi, analisa univariat dan bivariat. Hasil :penurunan fungsi kognitif sedang 40 (50,6%), ringan 39 (49,4%). Depresi ringan 41 (51,9%), sedang 36 (45,6%). Hipertensi sedang 45 (57,0%).Hubungan depresi dengan penurunan fungsi kognitifbahwa penurunan fungsi kognitif terbanyak adalah penurunan fungsi kognitif sedang 40 (50,6%) dan depresi terbanyak depresi ringan41 (51,9%). Hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif bahwa penurunan fungsi kognitif terbanyak adalah penurunan fungsi kognitif sedang 40 (50,6%), hipertensi terbanyak hipertensi sedang 45 (57,0%). Hubungan tingkat pendidikan dengan penurunan fungsi kognitif bahwa penurunan fungsi kognitif terbanyak adalah penurunan fungsi kognitif sedang 40 (50,6%) dan tingkat pendidikan terbanyak SD 58 (73,4%). Kesimpulan: bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif adalah, depresi, hipertensi, dan tingkat pendidikan terakhir memiliki hubungan yang signifikan. Kata Kunci:fungsi kognitif, lansia, depresi, hipertensi, tingkat pendidikan PENDAHULUAN Lanjut usia atau lebih dikenal dengan nama Lansia merupakan salah satu anugrahdi Indonesia istilah untuk kelompok usia ini belum baku, orang memiliki sebutan yang berbeda-beda atau jompo dengan padanan kata dalam bahasa Inggris biasa disebut the aged, the elders, older adult, serta senior citizen (Tamher Noorkasiani,2009).Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia (Lansia) dalam pasal 1 ayat 2, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas (Partini Suardiman, 2011).Jumlah lansia di Indonesia saat ini 16 juta dan akan menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37% penduduk dan angka ini merupakan peringkat ke 4 dunia, dibawah Cina, India, dan Amerika Serikat (Ramadia,2009). Menurut dinas kependudukan Amerika Serikat (1999), jumlah populasi lansia berusia 60 tahun atau lebih diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 miliar pada tahun 2050 melebihi jumlah populasi anak (0-14 tahun). Biro pusat statistik menggambarkan bahwa antara tahun jumlah lansia akan sama dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk (Maryam dkk, 2008) Peningkatan jumlah lansia akan mengubah peta masalah sosial dan kesehatan karena penurunan produktivitas dan munculnya berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan proses penuaan seperti kemunduran fisik dan fungsi intelektual termasuk fungsi kognitif.jika penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia berjumlah 7% dari seluruh penduduk, maka keluhan mudah lupa tersebut diderita oleh setidaknya 3% populasi di Indonesia. Mudah lupa ini dapat berlanjut menjadi Gangguan Kognitif Ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat (Wreksoatmodjo,2012).Proses menua menyebabkan terjadinya ganggua kognitif, yang jelas telihat pada daya ingat dan kecerdasan. (Santoso dan Ismail, 400

401 2009).Fungsi kognitif berkaitan dengan area otak, dimana otak memberikan kita berfikir dan merasakan, adapun daerah asosiasi penting pada otak berada pada korteks prefrontal yang berada dibagian depan masing-masing lobus frontal. Ini merupakan bagian otak yang berurusan dengan kemampuan belajar, kecerdasan, dan kepribadian(grolier dkk, 2008). Proses kognitif atau proses mental luhur adalah proses berfikir bersama-sama dengan mekanisme persepsi, belajar dan mengingat memberikan informasi untuk membuat keputusan, membentuk fungsi psikologis dan secara kolektif. Fungsi kognitif merupakan hasil interaksi dengan lingkungan yang didapat secara formal dan non formal. Gangguan satu atau lebih dari fungsi tersebut akan menyebabkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas harian seseorang (Nugroho, 2004 dalam Shely, 2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi daya ingat yaitu Pendidikan, kecerdasan (intelegensi), konsep diri, kesehatan, usaha, motivasi, dan pemakaian strategi untuk mengingat sesuatu (Santoso dan Ismail, 2009). Faktor yang menyebabkan penurunan daya ingat ini seringkali di sebabkan oleh kondisi yang umum diantaranya seperti : tingkat pendidikan, tekanan darah tinggi (hipertensi), depresi, diabetes, kolestrol dan lain-lain (Nelson dkk, 2006). Semakin lanjut usia akan menimbulkan berbagai macam masalah baik secara fisik, biologis, mental, maupun sosial ekonomi. Para usia lanjut, bahkan juga masyarakat menganggap seakan-akan tugasnya sudah selesai dengan masa tuanya, sehingga mereka berhenti bekerja, dan semakin mengundurkan diri dari pergaulan masyarakat dan perubahan peran sosial yang dapat diamati seperti lebih banyak mengurung diri, kurang mampu untuk berfikir/berbicara, tidak mau bergaul dengan tetangga, mudah tersinggung, merasa tidak berdaya, kurang mampu mengambil tindakan, merasa hilang perannya selaku kepala rumah tangga, dan lain-lain. Dari hasil sejumlah penelitian dinegara maju diyakinkan bahwa selain kekurangan penghasilan, lansia umumnya juga mengalami kehilangan peranan dan identitas, kedudukan, volume dan jenis kegiatan sehari-hari, status, wibawa dan otoritas, serta kehilangan hubungan dengan kelompok, bahkan harga diri. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatan lansia itu sendiri (Tamher dan Noorkasiani, 2009) METODE PENELITIAN Menggunakan rancangan cross sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau pengamatan data variabel independen dan dependen secara simultan hanya satu kali pada satu saat (Hidayat, 2007). Tempat penelitian di PSTW Budhi Dharma Bekasi dari februari 2014 sampai dengan bulan maret Populasi yaitu lansia yang berusia diatas 60 tahun di PSTW Budhi Dharma Bekasi tahun 2014 dengan jumlah populasi 98 orang dengan sampel 79 orang, instrument yang digunakan pengukuran MMSE (mini mental state examination),kuesioner dan Observasi,, menggunakan variabel tunggal dan analisa univariat serta bivariat. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisa Univariat Analisa uvivariat yang diteliti antara lain sebagai berikut : 1. Penurunan fungsi kognitif Tabel 4-1 Distribusi Frekuensi Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Penurunan Fungsi Frekuensi (f) Persentase (%) Kognitif Ringan 39 49,4 Sedang 40 50,6 Total Berdasarkan tabel IV-1 di atas diketahui bahwa dari 79 responden yang mengalamipenurunan fungsi kognitif tertinggi adalah penurunan fungsi kognitif sedang yaitu 40 (50,6%) responden dan ringan sebanyak 39 (49,4%). 401

402 2. Depresi Tabel 4-2 Distribusi Frekuensi Depresi Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Depresi Frekuensi (f) Persentase (%) Ringan 41 51,9 Sedang 36 45,6 Berat 2 2,5 Total Berdasarkan tabel IV-2 di atas diketahui bahwa dari 79 responden yang mengalami depresi tertinggi adalah depresi ringan yaitu 41 (51,9%), dan sedang sebanyak 36 (45,6%) responden. 3. Hipertensi Tabel 4-3 Distribusi Frekuensi Hipertensi Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Hipertensi Frekuensi (f) Persentase (%) Ringan 15 19,0 Sedang 45 57,0 Berat 19 24,1 Total Berdasarkan tabel IV-3 di atas diketahui bahwa dari 79 responden yang mengalami hipertensi terbanyak adalah hipertensi sedang yaitu 45 (57,0%) responden. 4. Tingkat pendidikan Terakhir Tabel IV-4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Terakhir Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Tingkat Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%) SD 58 73,4 SMP 14 17,7 SMA 5 6,3 PT (sederajat) 2 2,5 Total Berdasarkan tabel IV-4 di atas diketahui bahwa dari 79 responden yang memiliki tingkat pendidikan terakhir adalah SD sebanyak 58 (73,4%) responden. B. Analisa Bivariat Analisa bivariat yang diteliti antara lain : 1. Hubungan Depresi Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia Tabel 4-5 Hubungan Depresi Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Penurunan Fungsi Kognitif Depresi Ringan Sedang Total P value N % n % n % Ringan 28 35, , ,9 Sedang 10 12, , ,5 0,002 Berat 1 1,3 1 1,3 2,6 2,6 Total Berdasarkan tabel IV-5di atas dari 39 (49,4%) responden mengalami penurunan fungsi kognitif ringan, 28 (35,5%) responden diantaranya memiliki depresi ringan, sedangkan dari 40 (50,6%) responden mengalami penurunan fungsi kognitif sedang, 26 (32,9%) responden diantaranya memiliki depresi sedang. 402

403 Hasil uji statistik diperoleh p Value = 0,002 < α 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 gagal ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara depresi terhadap penurunan fungsi kognitif. 2. Hubungan Hipertensi Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia Tabel IV-6 Hubungan Hipertensi Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Penurunan Fungsi Kognitif Hipertensi Ringan Sedang Total P value n % n % n % Ringan 4 5, , Sedang 20 25, , ,9 0,006 Berat 15 19,0 4 5, Total 39 49, Berdasarkan tabel IV-6 di atas dari 39 (49,4%) responden mengalami penurunan fungsi kognitif ringan, 20 (25,3%) responden diantaranya memiliki hipertensi sedang, sedangkan dari 40 (50,6%) responden mengalami penurunan fungsi kognitif sedang, 25 (31,6%) responden diantaranya memiliki hipertensi sedang. Hasil uji statistik diperoleh p Value 0,006 < α 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 gagal ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara hipertensi terhadap penurunan fungsi kognitif. 3. Hubungan Tingkat Pendidikan Terakhir Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia. Tabel IV-7 Hubungan Tingkat PendidikanTerakhir Dengan Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi Timur Tahun 2013 Penurunan Fungsi Kognitif Tingkat Ringan Sedang Total P value Pendidikan N % N % n % SD 31 39, , ,4 SMP 2 2, , ,4 0,006 SMA 5 6, ,4 PT (sederajat) 1 1,3 1 1,3 2 2,6 Total Berdasarkan tabel IV-7di atas dari 39 (49,4%) responden mengalami penurunan fungsi kognitif ringan, 31 (39,2%) responden diantaranya memiliki tingkat pendidikan terakhir SD, sedangkan dari 40 (34,1%) responden mengalami penurunan fungsi kognitif sedang, 27 (15,2%) responden diantaranya memiliki tingkat pendidikan SD. Hasil uji statistik diperoleh p Value = 0,006 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 gagal ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara hipertensi terhadap penurunan fungsi kognitif. Dari 79 responden yang mengalami penurunan fungsi kognitif tertinggi adalah penurunan fungsi kognitif sedang yaitu 40 (50,6%) responden dan ringan sebanyak 39 (49,4%). yang mengalami depresi tertinggi adalah depresi ringan yaitu 41 (51,9%), dan sedang sebanyak 36 (45,6%) responden. yang mengalami hipertensi terbanyak adalah hipertensi sedang yaitu 45 (57,0%) responden. yang memiliki tingkat pendidikan terakhir adalah SD sebanyak 58 (73,4%) responden. Hubungan depresi dengan penurunan fungsi kognitif, berdasarkan hasil analisa univariat penelitian menunjukan bahwa penurunan fungsi kognitif terbanyak adalah penurunan fungsi kognitif sedang sebesar 40 (50,6%) responden dan depresi terbanyak yang dialami responden yaitu depresi ringan sebesar 41 (51,9%) responden. Hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif berdasarkan hasil analisa univariat penelitian menunjukan bahwa penurunan fungsi kognitif terbanyak adalah penurunan fungsi kognitif sedang sebesar 40 (50,6%) responden dan hipertensi terbanyak yang dialami responden yaitu hipertensi sedang sebesar 45 (57,0%). Hubungan tingkat pendidikan dengan penurunan fungsi kognitif berdasarkan hasil analisa univariat penelitian menunjukan bahwa penurunan fungsi kognitif terbanyak adalah penurunan fungsi 403

404 kognitif sedang sebesar 40 (50,6%) dan tingkat pendidikan terbanyak yang ditemui adalah tingkat pendidikan SD sebesar 58 (73,4%). KESIMPULAN 1. Responden dengan penurunan fungsi kognitif terbanyak yaitu sedang 2. Responden dengan depresi terbanyak diketahui yaitu depresi ringan dan berat. 3. Responden dengan hipertensi terbanyak diketahui yaitu hipertensi sedang 4. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat ada hubungan depresi dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia 5. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat ada hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia 6. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat ada hubungan tingkat pendidikan terakhir dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif adalah, depresi, hipertensi, dan tingakat pendidikan terakhir yang memiliki hubungan yang signifikan. DAFTAR PUSTAKA Grolier dkk, (2008). Otak Vol l2, PT Widyadara Hagwood Scott, (2008). Rahasia Melejitkan Daya Ingat Otak. Think: Jogjakarta Harry Apriadji Wied, (2007). Good Mood Food/ Makanan Sehat Alami. Anggota Ikapi: Jakarta. Hidayat Alimul A., (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah Edisi dua. Jakarta: Salemba medika Kapadia dkk, (2006). Mendongkrak Daya Ingat. Jabal: Bandung Mariam Siti R., (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika Ma rifatul Azizah Lilik, (2011). Keperawatan Lanjut Usia Edisi pertama. Yokyakarta: Graha Ilmu Nelson P. dkk, (2006). Mencegah Kepikunan. Jakarta : Gramedia Noorkasiani dan Tamher S., (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Nugroho H., (2009) Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Patini Suardiman, (2011). Psikologi Usia Lanjut. UGM: Yogyakarta Rudianto F., (2013). Menaklukan Hipertensi dan Diabetes cetakan satu. Yogyakarta: Sakkhasuka Santoso dan Ismail (2009). Memahami Krisis Lanjut Usia cetakan satu. Jakarta: Gunung Mulia di unduh tanggal 15 Oktober 2012, Jam Wib di unduh tanggal 15 Oktober 2012, Jam12.43 Wib FUNGSI%20KOGNITIF-LANSIA-DIKARANG-WERDHA-PENELEH-SURABAYA.pdf, di unduh tanggal 16 Oktober 2012, Jam11.52 Wib ent%20dengan%20fungsi%20kognitif.pdf. Di unduh tanggal 22 Oktober 2012, jam19.40 Wib MAULANA SRI RESKI, di unduh tanggal 4, Jam 12:18 Wib di unduh tanggal 4, Jam 12:19 Wib 404

405 PERBANDINGAN PENGGUNAAN KAYU SIWAK DENGAN SIKATGIGI TERHADAP KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT PADA MURID KELAS VII-B MADRASAH TSANAWIYAH DAARUL ULUM PUI RANJIWETAN KEC. KASOKANDEL KAB. MAJALENGKA TAHUN2015 Hadiyat Miko 1, Emma Kamelia 2, Samjaji 3 1,2,3 Dosen Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya ABSTRAK Bersiwak merupakan tradisi yang lekat dengan nilai-nilai budaya dan agama, khususnya agama Islam. Tradisi ini sejatinya merupakan warisan peradaban manusia. Tradisi membersihkan gigi dengan kayu siwak sudah ada sejak 7000 tahun yang lalu, jauh sebelum Islam berkembang di tanah Arab. Tradisi ini mengalami pergeseran nilai dalam ajaran Islam, praktik membersihkan gigi dengan kayu siwak mendapat penegasan dan legalitas melalui doktrin agama berupa hadis Nabi. Praktik bersiwak pada akhirnya menjadi ciri dan identitas yang mentradisi pada masyarakat muslim, khususnya di kalangan pesantren. Siwak berfungsi mengikis dan membersihkan bagian dalam mulut.siwakjuga memiliki kandungan alami antimicrobial dan antidecay system (sistem anti pembusuk).batang siwak yang berdiameter kecil, memiliki kemampuan fleksibilitas yang tinggi untuk menekuk ke daerah mulut secara tepat dan dapat mengikis plak pada gigi. Siwak juga aman dan sehat bagi perkembangan gusi. Penelitian ini membandingkan penggunaan kayu siwak dengan sikat gigi terhadap kebersihan gigi dan mulut pada murid kelas V-II Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan Kecamatan Kasokandel Kabupaten Majalengka. Hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kebersihan gigi dan mulut setelah menggunakan kayu siwak. Kata Kunci : Siwak, Kebersihan Gigi dan mulut, Murid, Madrasah ABSTRACT Using Siwak is a tradition that is attached to the values of culture and religion, especially Islam. This tradition is a true heritage of human civilization. The tradition of cleaning teeth with Siwak wood has existed since 7000 years ago, long before Islam developed in the Arab lands. This tradition is experiencing a shift in values in the teachings of Islam, the practice of cleaning the teeth with a wooden siwak got confirmation and legality through religious doctrines in the form of hadith of the Prophet. Practice bersiwak ultimately characterize and identity become a tradition in the Muslim community, particularly among schools. Siwak functioning scrape and clean the inside of the mouth. Siwak also contains a natural antimicrobial and antidecay system (system anti spoilage).batang siwak small diameter, capable of high flexibility to bend to the mouth area appropriately and can scrape plaque on the teeth. Siwak also for the development of safe and healthy gums. This study compared the use of wood siwak with a toothbrush on oral hygiene at grade V-II MTs Daarul Ulum Pui Ranjiwetan Kasokandel District of Majalengka. The above results it can be seen that an increase in oral hygiene after using wood siwak. Keywords: Siwak, Oral Hygiene, Student, Madrasah PENDAHULUAN Kebersihan gigi dan mulut merupakan suatu kondisi atau keadaan terbebasnya gigi dari plak dan kalkulus, yang mana keduanya selalu terbentuk pada gigi dan meluas ke seluruh permukaan gigi. Mengukur kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk menentukan keadaan kebersihan gigi dan mulut seseorang. Penyakit gigi dan rongga mulut merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak di derita oleh sebagian besar masyarakat dunia, terutama pada orang-orang yang memiliki kebersihan rongga mulut yang buruk. Salah satu pencegahan yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan alat-alat kebersihan gigi dan mulut. Beraneka ragam peralatan sederhana dipergunakan untuk membersihkan gigi dan mulut mulai dari tusuk gigi, batang kayu, ranting pohon, kain, bulu burung, tulang hewan hingga duri landak. Sikat gigi merupakan alat yang sering digunakan oleh masyarakat untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut dari plak yang menempel di permukaan gigi, selain dengan cara menyikat gigi, plak juga dapat di bersihkan dengan cara bersiwak (memakai kayu siwak). (Segaintil, 2005 cit Rahmanita, 2012). Siwak berfungsi mengikis dan membersihkan bagian dalam mulut. Kata siwak sendiri berasal dari bahasa arab yudlik yang artinya adalah memijat di dalam bagian mulut. Jadi siwak lebih dari sekedar sikat gigi biasa. Selain itu, batang siwak memiliki serat batang yang elastis dan tidak merusak gigi walau dibawah tekanan keras, siwak juga memiliki kandungan alami antimicrobial dan antidecay system (sistem anti pembusuk). Batang siwak yang berdiameter kecil, memiliki kemampuan fleksibilitas yang tinggi untuk menekuk ke daerah 405

406 mulut secara tepat dan dapat mengikis plak pada gigi. Siwak juga aman dan sehat bagi perkembangan gusi ( Ghofur, 2012). Mengukur kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya untuk menentukan keadaan kebersihan gigi dan mulut seseorang. Pada umumnya untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut digunakan suatu index.indexadalah suatu angka yang menunjukkan keadaan klinis yang didapat pada waktu dilakukan pemeriksaan, dengan cara mengukur luas dari permukaan gigi yang ditutupi oleh plak maupun kalkulus dengan demikian angka yang diperoleh berdasarkan penilaian yang objektif. Patient Hygiene Performance (PHP)indexadalah index yang pertama kali dikembangkan dengan maksud untuk menilai individu atau perorangan dalam pembersihan debris setelah diberi intruksi menyikat gigi. Pengukuran ini di gunakan untuk gigi dewasa. (Putri HM, Dkk., 2010). PHP merupakan suatu alat ukur yang mempunyai kelebihan dibanding dengan alat ukur lain. IndexPHP lebih akurat dalam pemeriksaan kesehatan gigi seseorang, terutama terhadap plak, cara pemeriksaan index PHP gigi diperiksa dibagi menjadi 5 bidang, berbeda dengan alat ukur lain seperti DI (Debris Index), HI(Hygiene Index). Penelitian dilaksanakan pada Minggu kedua bulan April 2015 selama 3 hari, bertempat di ruang kelas VII-BMadrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan Kec. Kasokandel Kab. Majalengka, dengan membagi 2 responden, responden yang pertama menggunakan kayu siwak dan responden kedua menggunakan sikat gigi, lalu diberi penyuluhan kemudian responden diminta untuk mengaplikasikan sebanyak 2 kali sehari. Kemudian dilakukan tahap pengukuran index PHP adalah tahap penilaian kebersihan gigi dan mulut. Selanjutnya tahap pengumpulan data adalah tahap pengumpulan data yang menghasilkan dari proses penelitian. Dan tahap pengolahan data adalah menggabungkan atau mengolah dan memasukkan data yang telah dihasilkan dari penelitian. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (Quasi Eksperiment Research), dengan rancangan non equivalent control group pre test and post test two group design (Notoatmodjo, 2002). Yaitu melakukan pemeriksaan ke tingkat kebersihan gigi dan mulut dengan menggunakan indikator Patient Hygiene Performance (PHP) Index. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi frekuensi Sampel Penelitian berdasarkan umur No Umur n Persentase 1 12 Tahun 6 20,0 % 2 13 Tahun 19 63,3 % 3 14 Tahun 5 16,7 % Total % Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat sampel yang berumur 12 tahun sebanyak 6 orang (20,0%), yang berumur 13 tahun sebanyak 19 orang (63,3) dan yang berumur 14 tahun sebanyak 5 orang (16,7%). a. Distribusi sampel berdasarkan alat kebersihan yang digunakan ketika diberikan perlakuan. Tabel 2. Distribusi frekuensi berdasarkan alat kebersihan yang digunakan ketika diberikan perlakuan Alat No Membersihkan n Persentase Gigi 1 Kayu Siwak 15 50% 2 Sikat gigi % Total % Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat sampel ketika diberikan perlakuan yang menggunakan kayu siwak sebanyak 15 orang (50,0%) dan menggunakan sikat gigi sebanyak 15 orang (50,0%). 406

407 b. Distribusi frekuensi berdasarkan index PHP sebelum diberikan perlakuan menggunakan kayu siwak dan sikat gigi. Tabel 3. Distribusi frekuensi berdasarkan index PHP sebelum diberikan perlakuan menggunakan kayu siwak Tabel 4. Distribusi frekuensi berdasarkan index PHP sebelum diberikan perlakuan menggunakan sikat gigi Alat Bantu Skor Kriteria n Persentase Skor Kriteria n Persentase 0 Sangat Baik 0 0 % Alat Bantu Kayu Siwak 0 Sangat Baik Baik 4 26,7 % Sedang 10 66,7 % Buruk 1 6,6 % Total % Sikat gigi Baik 2 13,3 % Sedang 13 86,7 % Buruk 0 0 % Total % Berdasarkan tabel 3 di atas dapat di lihat indeks PHP sebelum diberikan perlakuan kayu siwak dengan kriteria sangat baik sebanyak 0 orang (0%), kriteria baik 4 orang (26,6%), kriteria sedang sebanyak 10 orang (66,6%), kriteria buruk sebanyak 1 orang (6,6%). Tabel 4 sebelum diberikan perlakuan sikat gigi dengan kriteria sangat baik sebanyak 0 orang (0%), kriteria baik sebanyak 2 orang (13,3%), kriteria sedang sebanyak 13 orang (86,6%), dan kriteria buruk sebanyak 0 orang (0%). c. Distribusi frekuensi berdasarkan index PHP sesudah diberikan perlakuan menggunakan kayu siwak dan sikat gigi. Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan indeks PHP sesudah diberikan perlakuan menggunakan kayu siwak. Alat Bantu Index PHP Kayu Siwak Skor Kriteria n Persentase 0 Sangat Baik 2 13,3 % Baik 12 80,0 % Sedang 1 6,7 % Buruk 0 0 % Total % Tabel 6. Distribusi frekuensi berdasarkan indeks PHP sesudah diberikan perlakuan menggunakan sikat gigi. Alat Bantu Index PHP Sikat Gigi Skor Kriteria n Persentase 0 Sangat Baik 10 66,7 % Baik 5 33,3 % Sedang 0 0 % Buruk 0 0 % Total % Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dilihat index PHP sesudah diberikan perlakuan kayu siwak dengan kriteria sangat baik sebanyak 2 orang (13,3%), kriteria baik sebanyak 12 orang (80,0%), kriteria sedang sebanyak 1 orang (6,6%), kriteria buruk sebanyak 0 orang (0%), tabel 6 dapat dilihat Index PHP sesudah diberikan perlakuan sikat gigi dengan kriteria sangat baik sebanyak 10 orang (66,6%), kriteria baik sebanyak 5 orang (33,3%), kriteria sedang sebanyak 0 orang (0%), kriteria buruk sebanyak 0 orang (0%) PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada murid kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan yang berjumlah 35 orang, sampel penelitian 30 orang di bagi menjadi dua kelompok, tiap kelompok terdiri dari 15 orang. Subyek penelitian yang menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama 407

408 menyikat gigi dengan menggunakann kayu siwak dan kelompok kedua menyikat gigi dengan menggunakan sikat gigi. Tabel 1 menunjukan sampel berumur 12 tahun sebanyak 6 orang (20,0%), yang berumur 13 tahun sebanyak 19 orang (63,3%) dan yang berumur 14 tahun sebanyak 5 orang (16,7%), yang mendominasi sampel penelitian adalah sampel yang berumur 13 tahun sebanyak 19 orang (63,3%). Penelitian dilaksanakan dalam satu waktu yang bersamaan dengan perlakuan 3 hari berturut-turut yaitu untuk mengetahui perbandingan menggunakan kayu siwak dan siakat gigi terhadap Index PHP pada murid Kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan tahun Sebelumnya diberikan pelayanan teknik dan cara penggunaan kayu siwak dan sikat gigi, serta waktu menyikat gigi disamakan (pagi setelah makan dan malam sebelum tidur). Hasil penelitian pengukuran kebersihan gigi dan mulut dengan menggunakan index PHPpada murid Kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan yang berjumlah 30 orang, dibagi menjadi dua kelompok. Pada tabel 1 menunjukan kelompok pertama berjumlah 15 orang menggunakan kayu siwak dan kelompok kedua berjumlah 15 orang menggunakan sikat gigi. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan adanya perubahan tingkat kebersihan gigi dan mulut pada kelompok murid kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan. Sampel kelompok pertama sebanyak 15 orang di pilih untuk menggunakan kayu siwak, tabel 6 menunjukan hasil sebelum diberi perlakuan kayu siwak, yaitu kriteria sangat baik 0 orang (0%), kriteria baik sebanyak 4 orang (26,6%), kriteria sedang sebanyak 10 orang (66,6%), kriteria buruk sebanyak 1 orang (6,6%). Sedangkan tabel 8 menunjukan hasil pemeriksaan setelah diberi perlakuan dengan menggunakan kayu siwak, yaitu kriteria sangat baik sebanyak 2 orang (13,3%), kriteria baik sebanyak 12 orang (80,0%), kriteria sedang sebanyak 1 orang (6,6%), kriteria buruk sebanyak 0 orang (0%). Hasil ini menunjukan bahwa ada peningkatan kebersihan gigi dan mulut setelah dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan kayu siwak. Sampel kedua sebanyak 15 orang di pilih untuk menggunakan sikat gigi, tabel 3 menunjukan hasil sebelum diberikan perlakuan sikat gigi, yaitu kriteria sangat baik sebanyak 0 orang (0%), kriteria baik sebanyak 2 orang (13,3%), kriteria sedang 13 orang (86,6%), kriteria buruk sebanyak 0 orang (0%). Sedangkan tabel 8 menunjukan hasil sesudah diberi perlakuan yang menggunakan sikat gigi, yaitu kriteria sanagat baik sebanyak 10 orang (66,6%), kriteria baik sebanyak 5 orang (33,3%), kriteria sedang sebanyak 0 orang (%), kriteria buruk sebanyak 0 orang (0%). Hasil ini menunjukan bahwa ada peningkatan kebersihan gigi dan mulut setelah dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan Sikat gigi. Hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kebersihan gigi dan mulut setelah menggunakan kayu siwak maupun sikat gigi, namun setelah diamati dari cara penggunaan kayu siwak dan sikat gigi hasil yang di tunjukan oleh keduanya, penggunaan sikat gigi menunjukan hasil yang lebih baik dari pada menggunakan kayu siwak. Faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat kebersihan gigi dan mulut pada Murid kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan Kecamatan Kasokandel Kabupaten Majalengka adalah karena pengetahuan yang kurang dengan menggunakan kayu siwak, serta kurang mengetahui teknik dan cara menggunakan kayu siwak yang baik dan benar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Samjaji (2014), yang melakukan penelitian terhadap tradisi bersiwak, yaitu penggunaan sikat gigi menunjukan hasil yang lebih efektif daripada menggunakan kayu siwak, hal ini disebabkan karena pengetahuan dan tata cara menggunakan kayu siwak yang masih kurang. Para murid lebih mengenal dan lebih terbiasa menggunakan sikat gigi setiap hari di bandingkan dengan kayu siwak. Berdasarkan uraian di atas dan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada murid kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan Kecamatan Kasokandel Kabupaten Majalengka, menunjukan adanya perbandingan dan pengaruh kayu siwak dan sikat gigi terhadap kebersihan gigi dan mulut. Dapat disimpulkan dari kedua alat kebersihan gigi dan mulut tersebut yang lebih efektif yaitu sikat gigi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Perbandingan Penggunaan Kayu Siwak dengan Sikat Gigi Terhadap Kebersihan Gigi dan Mulut Pada Murid Kelas VII-B Madrasah Tsanawiyah Daarul Ulum PUI Ranjiwetan Kecamatan Kasokandel Kabupaten Majalengka Tahun Sebagai berikut: 1. Gambaran Index PHP dengan menggunakan kayu siwak yaitu dengan kriteria sangat baik (13,3%), kriteria baik (80,0%), kriteria (6,6%) dan kriteria buruk tidak ada. 2. Gambaran Index PHP dengan menggunakan sikat gigi yaitu dengan kriteria sangat baik (66,6%), kriteria baik (33,3%), kriteria sedang (0%) dan kriteria buruk tidak ada. PHP penggunaan kayu siwak sebelum menggunakan kayu siwak dengan kriteria sangat baik sebanyak 0 orang (0%), kriteria baik 4 orang (26,6%), kriteria sedang sebanyak 10 orang (66,6%)kriteria buruk sebanyak 1 orang (6,6%),sesudah menggunakan kayu siwak kriteria sangat baik sebanyak 2 orang (13,3%), kriteria baik sebanyak 12 orang (80,0%), kriteria sedang sebanyak 1 orang (6,6%), kriteria buruk sebanyak 0 orang 408

409 (0%).PHP penggunaan sikat gigi sebelum menggunakan sikat gigi dengan kriteriasangat baik sebanyak 0 orang (0%), kriteria baik sebanyak 2 orang (13,3%), REFERENSI Adriyati, Paramitha Pengaruh Pemberian Ekstrak Siwak (Salvadora Persica) Terhadap Pembentukan Plak Gigi. Jurnal Kesehatan. Badriah, Laelatul D., 2004, Metodologi Penelitian, Cirebon Budiarto, E., 2003, Metodologi Penelitian Kedokteran, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Endarti, Fauzka..Erly Zuliana Manfaat Berkumur Dengan Larutan Ekstyrak Siwak. Jurnal Kesehatan Ghofur, Abdul Kesehatan Gigi dan Mulut. Edisi 1, Mitra Buku.Yogyakarta. Putri, Hiranya M., Herijulianti, Eliza, Nurjanah, Neneng., Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi, EGC.Jakarta. Kusumasari, Nila Pengaruh Larutan Kumur Ekstrak Siwak (Salvadora Persica) Terhadap ph Saliva. Jurnal Kesehatan. Pratiwi, Erlita., Mumpuni, Yeti., 2013, Masalah dan Solusi Penyakit Gigi dan Mulut, Rapha Publishing, Yogyakarta. Rahmanita, G.F., 2012, Perbedaan Efektifitas Penggunaan Kayu Siwak dan Sikat Gigi Berpasta Terhadap Patient Hygiene Performance Index (PHP) Pada Mahasiswa Tingkat II Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya Tahun 2012, KTI Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya, Notoatmodjo, S., 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Suprihatin, 2009, Evektivitas Berkumur dengan Air Garam Hangat Dalam Mengurangi Rasa Sakit Pada Gingivitis Usia Pubertas Di MTs Ma arif NU Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap Tahun 2009, KTI Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Tasikmalaya. Samjaji, 2014, Menimbang Ulang Tradisi Bersiwak, Pustaka Aura Semesta, Bandung. 409

410 QUALITATIVE STUDY ABOUT INPATIENT MEDICAL RECORDS DOCUMENT MANAGEMENT IN ASSEMBLING PART OF MEDICAL RECORD UNIT DR. SOEKARDJO HOSPITAL TASIKMALAYA Ema Amelia 1, Ida Sugiarti 2 1 Prodi D III Perekam dan Informasi Kesehatan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya emaamelia78@gmail.com 2 Prodi D III Perekam dan Informasi Kesehatan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya sugiarti.ida@gmail.com LATAR BELAKANG Pelayanan kesehatan adalah tersedianya pelayanan yang berhasil guna dan berdaya guna yang tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Jenis pelayanan di Indonesia meliputi pelayanan primer dan pelayanan sekunder. Pelayanan primer merupakan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi kegiatan promotif dan preventif. Pelayanan sekunder merupakan pelayanan kesehatan lanjutan, yang meliputi kegiatan kuratif dan rehabilitatif. Rumah Sakit merupakan jenis pelayanan sekunder yang menjadi rujukan dari pelayanan primer. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 Pasal 1 tentang Rumah Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Upaya untuk meningkatkan pelayanan yang dilakukan oleh Rumah Sakit adalah dengan menyelenggarakan berbagai unit sebagai pelaksana program-program untuk tercapainya pelayanan yang berkualitas. Salah satu indikator pelayanan yang berkualitas adalah dengan tercapainya tertib administrasi yang dapat dilihat dari sistem pengelolaan rekam medis yang baik (Depkes, 2006). Pengelolaan rekam medis di Rumah Sakit adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya mencapai tujuan Rumah Sakit, yaitu peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Dalam pengelolaan rekam medis untuk menunjang mutu pelayanan bagi Rumah Sakit, pengelolaan rekam medis harus efektif dan efisien (Giyana, 2012). Pengelolaan dokumen rekam medis merupakan kegiatan pengelolaan yang dimulai dari assembling untuk dilakukan perakitan dan dicekkelengkapan, kemudian apabila sudah lengkap dokumen rekam medis tersebut lalu di coding, setelah itu indexing setelah dilakukan indexing lalu dibuat stastistik dan pelaporan Rumah Sakit (Depkes, 2006). Proses pengelolaan rekam medis dimulai dari penataan dokumen rekam medis (assembling) yang merupakan salah satu bagian di unit rekam medis yang memiliki salah satu tugas pokok yaitu merakit kembali dokumen rekam medis rawat jalan, gawat darurat dan rawat inap menjadi urut atau sesuai dengan kronologi penyakit pasien yang bersangkutan (Shofari, 2002). Beberapa parameter yang dapat dilihat untuk mengetahui mutu pelayanan rekam medis di Rumah Sakit khususnya yang melibatkan kegiatan assembling diantaranya: ketepatan waktu pengembalian, kelengkapan formulir pada dokumen rekam medis dan kelengkapan pengisian pada dokumen rekam medis (Budi, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD dr.soekardjo Kota Tasikmalaya, ditemukan penumpukan dokumen rekam medis di unit rekam medis. Penumpukan dokumen rekam medis yang paling dominan yaitu dibagian assembling, karena assembling merupakan pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap paling pertama. Kondisi tersebut didapatkan bahwa pengelolaan dokumen rekam medis di bagian assembling RSUD dr. Soekardjo belum berjalan optimal (Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 pasal 15), yaitu pengelolaan belum sesuai dengan tata kerja dan organisasi sarana pelayanan kesehatan. Terbukti dari dokumen rekam medis tidak tepat waktu dan tidak lengkap. Sekitar 33 dokumen RM tidak tepat waktu dan 21 dokumen RM tidak lengkap dari 85 dokumen per hari yang masuk ke bagian assembling tidak lengkap, penulisan dokter tidak spesifik dalam diagnosa sehingga menyulitkan petugas. Keadaan ini akan mengakibatkan dampak bagi intern rumah sakit dan ekstern rumah sakit, karena hasil pengolahan data menjadi dasar pembuatan laporan intern rumah sakit dan laporan ekstern rumah sakit karena laporan ini berkaitan dengan penyusunan berbagai perencanaan rumah sakit, pengambilan keputusan oleh pimpinan khususnya evaluasi pelayanan yang telah diberikan yang diharapkan hasil evaluasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling unit rekam medis RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode pendekatan fenomenologi deskriptif agar dapat mengetahui, memahami, dan menjelaskan secara alamiah mengenai pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling unit rekam medisrsud dr.soekardjo Kota Tasikmalaya. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode wawancara mendalam (indepht interview) dan observasi. Pada penelitian 410

411 ini informan yang menjadi subyek penelitian sebanyak 3 orang, yaitu 1 orang petugas assembling, 1 orang petugas penanggung jawab pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap dan 1 orang Kepala Rekam Medis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini memberikan gambaran atau fenomena tentang pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling dengan enam tema utama yang telah didapatkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan. Tema-tema tersebut adalah : 1) Pengecekkan Kelengkapan DRM saat masuk URM dari ruangan, 2) Proses Perakitan Dokumen Rekam Medis, 3) Pengalaman Petugas Mengetahui Perakitan Dokumen Rekam Medis, 4) Tenaga Rekam Medis Yang Kurang, 5) Beban Kerja Petugas, 6) Ruangan Tempat Penyimpanan. Alur Prosedur Pengelolaan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Di Bagian Assembling Pengecekkan Kelengkapan DRM Saat Masuk URM Dari Ruangan Semua informan yang terlibat dalam penelitian ini berpendapat bahwa alur prosedur pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling yang pertama yaitu dokumen masuk dari ruangan kemudian adanya pengecekkan kelengkapan sebelum dilakukan assembling yaitu pengecekkan kelengkapan identitas, diagnosa dan autentifikasi. Berikut yang disampaikan oleh informan tersebut : Pertama datang ke ruangan nya datang ke ruangan teh langsung di cek kan,,,. (Informan 1) Alurnya, emmhh emmhh bagian assembling itu teh menerima berkas dari ruang perawatan ya pasien yang telah di yang telah pulang dari perawatan, kemudian disitu ada pengecekan dulu ya cek kelengkapan isinya,,,. (Informan 2) Informan 1) Alurnya, emmhh emmhh bagian assembling itu teh menerima berkas dari ruang perawatan ya pasien yang telah di yang telah pulang dari perawatan, kemudian disitu ada pengecekan dulu ya cek kelengkapan isinya,,,. (Informan 2) Proses Perakitan Dokumen Rekam Medis Informan pertama mengatakan setelah dilakukannya pengecekkan dokumen rekam medis dilakukan perakitan dengan cara di urutkan bedasarkan no CM.Berikut yang disampaikan oleh informan tersebut :...tah di bukaan si dokumen anu lembaran-lembaran anu di depan, dimasukeun kana di susunkeun percm beh, kan di dokumen teh aya CM 1, CM 2, CM 3 tah anu di laluar nateh di lebet-lebetkeun. (Informan 1) Pendapat yang dilontarkan oleh informan tiga bahwa proses perakitan dokumen rekam medis dilakukan setelah dokumen dari ruangan itu lengkap, selanjutnya dilakukan proses assembling yang disusun sesuai urutan formulirnya dilihat dari no CM dan nama-nama formulirnya. Berikut yang dilontarkan oleh informan :...yang sudah lengkap baru kita dilakukan assembling. Untuk eeeuu prosesnya assembling itu kita menyusun sesuai urutan formulirnya, mulai dari CM 1 sampe ke CM 17 eeuu disana ada udah ada no nya sama namanama formulirnya nah untuk yang lain-lainnya penunjang bisa disimpan di eeuu ada lembaran khususnya disana tempat penyimpanan penunjang atau yang lain-lainnya pokoknya di urutkan sesuai urutan no nya CM 1 sampai CM sekian gitu. (Informan 3) Hal serupa juga disampaikan oleh informan kedua, proses perakitan dokumen dilakukan jika dokumen dari ruangan sudah lengkap yaitu ada tanda tangan dokter dan diagnosa maka selanjutnya proses perakitan dengan mengurutkan lembaran-lembaran rekam medis sesuai ketentuan yaitu no lembaran dokumennya. Berikut yang disampaikan :...sudah diisi belum ttd, diagnosa. Nah yang sudah lengkap baru di assembling yah. Jadi assembling, assembling itu penyusunan euuu berkas lembaran-lembaran form, lembaran-lembaran rekam medis sesuai mmmhh ketentuan yaitu urutan no nya, urutan no lembaran dokumen, jadi di susun dan di rapihkan sehingga bentuk dokumen itu rapih kelihatannya seperti buku gituh. Jadi assembling itu perakitan yah jadi pertama menerima dokumen, kemudian di pisahkan antara lengkap dan tidak lengkap yang lengkap baru di assembling yaitu penyusunan lembaran demi lembaran yang sesuai dengan urutan form itu setelah di susun rapih di kasihkan ke bagian koding udah gitu prosedurnya. (Informan 2) Pengalaman Petugas Rekam Medis Berdasarkan Masa kerja Terhadap Pengelolaan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Di Bagian Assembling Pengalaman Petugas Mengetahui Perakitan Dokumen Rekam Medis Pengalaman setiap informan berdasarkan masa kerja mengetahui perakitan dokumen rekam medis berbedabeda, masa kerja informan 1 yaitu sejak tahun (3 tahun), informan 2 sejak tahun (20 tahun) dan informan 3 sejak tahun (6 tahun). Selain itu dikarenakan pendidikan yang informan tempuh juga berbeda. Berikut yang disampaikan oleh 3 orang informan tersebut: mengetahui? eeeeuu itu kan dari BPPRM nya, jadi dari pedoman penyelenggaraan rekam medis yah baik dari eeemmh Menkes nya maupun dari BPPRM RS tersebut yah. (Informan 2) 411

412 hmm seiring berjalan nya waktu weh hehehee, ngan pertama mah nya di kasih tau ku anu tos lami didieu, kadieu-kadieu na mah nya kadieu-kadieu kan eee ku lami na di damel oge janten ngartos kitu terang nyalira, pertama na mah di kasih tau ku orang sini. (Informan 1) tau tentang perakitan eeuu untuk perakitannya sendiri kan udah ada prosedurnya, nah kita mengikuti prosedur yang sudah ada. Eeeuu Prosedur itu kan dibuat sesuai dengan aturan yang dari Departemen Kesehatannya atau dari Kemenkes nya nah terus di sesuaikan dengan yang ada di lapangan disini, nah itu udah di buat prosedur nya kita ikutin pelaksanaan nya ikutin prosedur yang sudah ada. (Informan 3) Kendala Yang Dihadapi Pada Saat Melakukan Pengelolaan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Di Bagian Assembling Unit Rekam Medis RSUD Dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya Tenaga Rekam Medis Yang Kurang Faktor yang menjadi kendala pada saat proses pengelolaan assembling salah satunya tenaga kerja yang kurang. Informan pertama menyatakan bahwa dari sumber daya manusia nya yang kurang. Berikut uraian informan : kurang kurang, pekerja na kurang. Nya jadi kalau kana kendala mah nya kekurangan pegawai, jaba ge nyalira....(informan 1) Untuk kendala nya 1 dari SDM nya yah sumber daya manusia nya....(informan 3) Paling ya karena tenaganya kurang yaitu lambatnya pengelolaan karena si dokumen nya itu datang dari ruangan banyak yg harus di rapihkan....(informan 2) Beban Kerja Petugas Beban kerja petugas juga menjadi kendala pada saat proses pengelolaan assembling, karena petugas tidak hanya melakukan proses assembling tetapi pekerjaan yang lain. Berikut yang di lontarkan oleh 3 informan :...terus tenaga nya juga kadang-kadang di tugas kan untuk mengerjakan tugas yang lain gitu yah, jadi itu di tinggal gituh volumenya juga banyak. (Informan 2) Kadua na kan se..makin kadieu na teh makin seuseur pasien teh malahan mah sebulan teh nyampe ayeuna mah nyampe kana an / bulan, dulu mah kan paling-paling banyak pasien 2000 teh paling banyak paling banyak maksimal na pisan 2000 teh dulu mah ngan semenjak aya BPJS membludak pasien teh seueur kadang sabulan nyampe kana jeung deui abi henteu ngan assembling hungkul aya ngaregister aya ngecek kelengkapan. (Informan 1) yang keduanya eeuu karena memang jumlah pasien nya banyak berkas yang datang juga banyak otomatis eeeuu memerlukan waktu yg lebih banyak terutama untuk dokumen - dokumen yang pasiennya yang di rawatnya lama otomatis kan berkasnya juga eeuu tebel jadi untuk menyusun nya pun memerlukan waktu yang lebih lama gitu.... (Informan 3) Ruangan Tempat Penyimpanan Kendala yang ketiga pada proses pengelolaan assembling yaitu ruang tempat penyimpanan, seperti yang disampaikan oleh informan bahwa sempitnya tempat penyimpanan menyebabkan penumpukan dokumen rekam medis. Berikut yang dilontarkan oleh informan :... tapi nya nu matak kumaha na teh banyak banyak assemblingeun, ruangan tidak mendukung, teu laluasa gerak na teh bade di pisah-pisah keun per ruang itu da tempat na saalit jeung sempit. (Informan 1) Informan kedua pun mengatakan hal serupa yaitu tempat penyimpanan yang kurang memadai. faktor yang menyebabkan DRM menjadi numpuk yaah selain tenaga SDM yaah eeeuu tempat nya sempit, masih kurang. (Informan 2) Hal serupa di sampaikan oleh informan ketiga. terus kedua ketersediaan tempatnya tapi bukan tempat untuk assembling yaitu tempat untuk penyimpanan nya kadang - kadang udh di assembling udah beres tapi karena tidak ada tempat untuk menyimpannya ya tertumpuk seperti ini. (Informan 3) Pembahasan Alur Prosedur Pengelolaan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Di Bagian Assembling Assembling berarti merakit, tetapi untuk kegiatan assembling berkas rekam medis di fasilitas pelayanan kesehatan tidaklah hanya sekedar merakit atau mengurut satu halaman ke halaman yang lain sesuai dengan aturan yang berlaku. Kegiatan assembling termasuk juga mengecek kelengkapan pengisian berkas rekam medis dan formulir yang harus ada pada berkas rekam medis. Alur proses kegiatan assembling yaitu berkas rekam medis dari unit pelayanan masuk ke bagian assembling, petugas mencatat pada register pengembalian berkas dan memeriksa kelengkapan pengisian rekam medis. Bila dokumen rekam medis sudah lengkap langsung ke bagian coding untuk diberikan kode diagnosis dan tindakan. Jika dokumen rekam medis tidak lengkap maka diberikan ke unit pelayanan untuk memintakan kelengkapan pengisian ke tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan pada pasien. 412

413 Kegiatan pengecekkan lembar yang harus ada pada kasus tertentu pasien berobat di fasilitas pelayanan kesehatan juga harus dilakukan pada kegiatan assembling. Misalnya pada pasien rawat inap setelah selesai rawat inap dan berkas kembali ke unit rekam medis maka seharusnya ditemukan antara lain surat pengantar dirawat, persetujuan dirawat, lembar rekam medis masuk dan keluar, lembar resume, dan resume keperawatan. Khusus pasien yang mendapatkan tindakan medis harus terdapat lembar informed concent dan hasil tindakan medis yang dilakukan (Budi, 2011). Menurut Shofari (2002) assembling mempunyai tugas pokok yaitu merakit kembali dokumen rekam medis dari rawat jalan, gawat darurat dan rawat inap menjadi urut atau runtut sesuai dengan kronologi penyakit pasien yang bersangkutan, meneliti kelengkapan data yang tercatat di dalam formulir rekam medis sesuai dengan kasus penyakitnya, meneliti kebenaran pencatatan data rekam medis sesuai dengan kasusnya, mengendalikan dokumen rekam medis yang tidak lengkap, mengendalikan penggunaan nomor rekam medis, mendistribusikan formulir dan mengendalikan penggunaan formulir. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi alur prosedur pengelolaan dokumen rekam medis di bagian assembling RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya sesuai dengan SOP. Awalnya yaitu berkas rekam medis pasien pulang yang dikirim petugas ruangan diperiksa kelengkapannya. Kemudian lembar yang kosong (tidak terpakai) dikeluarkan, setelah itu lembar rekam medis disusun sesuai urutan nomor catatan medis pasien. Lembar yang tertinggal digabungkan. Selanjutnya berkas diserahkan kepada petugas untuk dicatat pada buku register pasien pulang. SOP perakitan dokumen rekam medis (assembling) harus di sosialisasikan dengan petugas rekam medis yang lain sehingga mengetahui alur prosedur pengelolaan dokumen rekam medis di bagian assembling yang sesuai SOP tersebut. Dokumen rekam medis sebelum dilakukan perakitan yaitu diperiksa kelengkapan terlebih dahulu, namun pengecekkan kelengkapan yang dilakukan di RSUD dr. Soekardjo sebelum dilakukan perakitan yaitu cek kelengkapan identitas pasien, tanda tangan dokter dan diagnosa. Seperti halnya yang disampaikan oleh partisipan nyaa.. identitas si pasien eta terus tanda tangan dokter, diagnosa. (Informan 1) Kegiatan meneliti kelengkapan data yang tercatat di dalam formulir rekam medis sesuai dengan kasus penyakitnya, meneliti kebenaran pencatatan data rekam medis sesuai dengan kasusnya, mengendalikan dokumen rekam medis yang tidak lengkap, mengendalikan penggunaan nomor rekam medis, mendistribusikan formulir dan mengendalikan penggunaan formulir tidak dilakukan oleh petugas assembling tetapi oleh petugas analisis. Padahal sebenarnya di tupoksi nya sendiri dicantumkan untuk pengecekkan kelengkapan analisis kuantitatif dilakukan oleh petugas assembling. Petugas melakukan perakitan dokumen RM yaitu rata-rata 6,87 menit. Sedangkan di rumah sakit tersebut belum adanya standar waktu untuk assembling. Hasil observasi dari aspek tempat, pelaku dan aktivitas petugas assembling, terdapat aspek tempatnya juga kurang memadai, pelaku dan aktivitas petugas terlihat tidak rutin mengerjakan perakitan dokumen rekam medis. Petugas tidak memiliki target merakit dokumen rekam medis untuk setiap harinya, padahal berdasarkan perhitungan seharusnya petugas mengerjakan minimal 30 dokumen RM/hari. Pengalaman Petugas Rekam Medis Berdasarkan Masa kerja Terhadap Pengelolaan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Di Bagian Assembling Elaine B Johnson (2007) menyatakan bahwa pengertian pengalaman kerja adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan serta keterampilan yang dimilikinya. Menurut M. A. Tulus dalam Riski (2013) mengemukakan masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada pekerja bila dengan semakin lamanya masa kerja tenaga kerja semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa kerja maka akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait dengan pekerjaan yang bersifat monoton dan berulang-ulang. Pengalaman petugas rekam medis terhadap pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya berbeda-beda, dikarenakan pendidikan dan masa kerja dari setiap informan juga berbeda. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketiga informan, informan memiliki pengalaman sendiri tentang mengetahui perakitan dokumen rekam medis tersebut. Seperti informan pertama mengetahui perakitan itu seiring berjalannya waktu, informan kedua yaitu dari BPPRM dan dari pedoman penyelenggaraan dan informan ketiga mengetahui dari Departemen Kesehatan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada di rumah sakit ini. Masa kerja setiap informan berbeda, informan 1 (3 tahun), informan 2 (20 tahun) dan informan 3 (6 tahun). Masa kerja dapat memberikan hal positif juga hal negatif, hal itu terkait bagaimana prilaku dan sikap petugas tersebut. Berdasarkan hasil observasi walaupun setiap informan mengetahui perakitan dokumen rekam medis berbeda-beda dengan masa kerja yang berbeda pula, tetapi tidak mempengaruhi proses perakitan dokumen rekam medis rawat inap. Karena setiap informan lancar dan bisa melakukan perakitan dokumen rekam medis. 413

414 Hanya saja setiap informan memiliki prilaku yang berbeda, ada yang rajin mengerjakan ada yang tidak. Untuk keterampilan tidak saya observasi dan teliti. Kendala Yang Dihadapi Pada Saat Melakukan Pengelolaan Dokumen Rekam Medis Rawat Inap Di Bagian Assembling Unit Rekam Medis RSUD Dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya Pengelolaan rekam medis di Rumah Sakit adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya mencapai tujuan Rumah Sakit, yaitu peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Dalam pengelolaan rekam medis untuk menunjang mutu pelayanan bagi Rumah Sakit, pengelolaan rekam medis harus efektif dan efisien (Giyana, 2012). Menurut Kepmenkes No.81/ MENKES/ SK/ 1/ 2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan di tingkat Provinsi, Kab/Kota serta Rumah Sakit. Sumber daya manusia kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Beban kerja merupakan konsekuensi dari kegiatan yang diberikan kepada pekerja (Simanjuntak, 2010). Proses pengelolaan assembling seringkali terdapat berbagai masalah yang muncul, sehingga dapat menghambat proses pengelolaan assembling. Kendala yang dihadapi pada saat melakukan pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling unit rekam medis RSUD dr.soekardjo Kota Tasikmalaya diantaranya yaitu sumber daya manusia, karena petugas yang ada selain melakukan perakitan dokumen juga mengerjakan pekerjaan yang lain (double job). Pekerjaan yang begitu banyak menjadi alasan petugas assembling dalam melaksanakan perakitan dokumen rekam medis rawat inap. Berikut yang informan sampaikan : Selain itu paling ya karena tenaganya kurang yaitu lambatnya pengelolaan karena si dokumen nya itu datang dari ruangan banyak yg harus di rapihkan, terus tenaga nya juga kadang-kadang di tugas kan untuk mengerjakan tugas yang lain gitu yah, jadi itu di tinggal gituh volumenya juga banyak. (Informan 2) Adapun kendala lain yaitu ruang tempat penyimpanan. Faktor terjadinya penumpukan di unit rekam medis terutama di bagian assembling yaitu dikarenakan tempat penyimpanan yang tidak memadai, jadi setelah dokumen selesai di assembling, petugas kebingungan menyimpan dokumen tersebut. Berikut yang di sampaikan informan :...kedua ketersediaan tempatnya tapi bukan tempat untuk assembling yaitu tempat untuk penyimpanan nya kadang-kadang udah di assembling udah beres tapi karena tidak ada tempat untuk menyimpannya ya tertumpuk seperti ini. Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap dibagian assembling unit rekam medis RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya sudah sesuai dengan SOP. Tetapi yang menjadi faktor penumpukan dokumen tersebut yaitu petugasnya tidak membuat target untuk melaksanakan perakitan dokumen setiap harinya, dan dikarenakan petugas nya hanya satu dengan beban kerja banyak jadi petugas kerepotan sehingga tidak bisa menyelesaikan dengan cepat perakitan dokumen rekam medis tersebut. Standar berdasarkan perhitungan melakukan perakitan dokumen RM yaitu minimal 30 dokumen RM/hari. Tetapi di Rumah Sakit belum ada standar tetap melakukan perakitan setiap harinya. KESIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan penulis mengemukakan simpulan yaitu: a. Alur prosedur pengelolaan dokumen rekam medis di bagian assembling RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya sesuai dengan SOP. Awalnya ada pengecekkan kelengkapan terlebih dahulu, kemudian dilakukan proses perakitan dokumen rekam medis. Tetapi kelengkapan yang diperiksa sebelum dilakukannya perakitan yaitu kelengkapan identitas, tanda tangan dokter dan diagnosa. Analisis kelengkapan kuantitatif dilaksanakan oleh petugas analisis. Tupoksinya dicantumkan untuk pengecekkan kelengkapan analisis kuantitatif dilakukan oleh petugas assembling. Petugas melakukan perakitan dokumen RM yaitu rata-rata 6,87 menit. Rumah Sakit ini belum memiliki standar waktu untuk assembling. b. Pengalaman petugas rekam medis terhadap pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya tidak sama, dikarenakan pendidikan dan masa kerja dari setiap informan juga berbeda. Hal tersebut tidak mempengaruhi pada perakitan dokumen rekam medis. c. Kendala yang dihadapi pada saat melakukan pengelolaan dokumen rekam medis rawat inap di bagian assembling diantaranya yaitu kurangnya sumber daya manusia, beban kerja petugas yang menjadikan petugas tidak fokus dan kerepotan mengerjakan pekerjaannya dan ruangan tempat penyimpanan yang tidak memadai. Petugas tidak mempunyai target melakukan perakitan setiap harinya. Standar berdasarkan perhitungan melakukan perakitan dokumen RM yaitu minimum 30 dokumen RM/hari. Rumah Sakit belum ada standar tetap melakukan perakitan setiap harinya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Pimpinan Rumah Sakit Dr. Soekardjo dan staf terutama di Unit Rekam Medis bagian Asembling. 414

415 DAFTAR PUSTAKA Ayu, IP. (2013). Studi kualitatif tentang pemusnahan dokumen rekam medis di Rumah Sakit Jasa Kartini Kota Tasikmalaya Tahun Tasikmalaya: Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya. Budi, S C. (2011). Manajemen Unit Kerja Rekam Medis. Yogyakarta : Quantum Sinergis Media. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia Revisi II. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. Emzir. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Giyana, F. (2012). Analisis Sistem Pengelolaan Rekam Medis Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1.(2) Hatta, Gemala R. (2008). Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Johnson, Elaine B. (2007). Pengertian Pengalaman Kerja. [Online]. Tersedia: [7 Juni 2015]. Kepmenkes No.81/MENKES/SK/1/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan di tingkat Provinsi, Kab/Kota serta Rumah Sakit. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: PT Rineka Cipta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MenKes/Per/III/ 2008 tentang Rekam Medis Riski, R. (2013). Hubungan Antara Masa Kerja Dan Pemakaian Masker Sekali Pakai Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Bagian Composting Di PT. Zeta Agro Corporation Brebes. Skripsi FIK UNNES. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Rustiyanto, E. (2009). Etika Profesi Perekam Medis dan InformasiKesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Shofari, B. (2002). Modul Pembelajaran Sistem dan Prosedur Pelayanan Rekam Medis. Semarang: PORMIKI Simanjuntak, RA. (2010). Analisis Pengaruh Shift Kerja Terhadap Beban Kerja Mental Dengan Metode Subjective Workload Assessment Technique (Swat). Jurnal Teknologi. Vol 3(1) Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Undang - Undang Kesehatan. (2010). Undang-Undang Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit 415

416 Efek Aquatic Activity terhadap Perkembangan KemampuanBasic Motor Control, Gross Motor, dan Occupational Performance Skills pada Anak Cerebral Palsy (CP) Hendri Kurniawan 1, Erayanti Saloko 2 1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta, Jurusan Okupasi Terapi, kurnia_hyckle@yahoo.co.id 2 Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta, Jurusan Okupasi Terapi, erayantisaloko@gmail.com Abstrak Latar Belakang. Cerebral palsy (CP) mengalami gangguan fungsi sensorimotor yang spesifik berupa gangguan kontrol gerak (gross motor maupun fine motor) dan postur secara adekuat. Aquatic activity didesain untuk memberikan stimulasi sensorimotor melalui serangkaian aktivitas yang dilakukan di kolam renang. Indikator perbaikan fungsi sensorimotor pada anak CP dapat dievaluasi melalui perubahan kemampuan kontrol gerak, basic motor control dalam pengaturan postur tubuh yang fungsional serta kemampuan dalam melakukan aktivitas fungsional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efek aquatic activity terhadap perkembangan kemampuanmotoris, basic motor control, dan occupational performance skills padaanak Cerebral Palsy (CP). Metode Penelitian. Desain penelitian dilakukan menurut rancangan quasi experiment dengan control group pretest-post test design. Populasi penelitian adalah pasien CP yang memperoleh penanganan rehabilitasi di unit okupasi terapi YPAC Cabang Surakarta. Pengambilan sampel menggunakan teknik quota sampling dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang. Analisis data menggunakan uji paired sample t-test, Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan memakai program SPSS versi Hasil Penelitian. Nilai rata-rata perubahan skor Bobath Chart dan GMFM pasca intervensi aquatic activity sebesar 4,07 dan 7,33, sedangkan pasca intervensi land based activity sebesar 0,80 dan 1,53. Hasil uji paired sample t-test terhadap skor Bobath Chart dan skor GMFM sebelum dan sesudah intervensi menunjukkan nilai p-value < 0,05. Hasil analisis komparatif menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p-value<0,05) antara perubahan skor Bobath Chart dan skor GMFM antara kelompok yang diintervensi aquatic activity dengan land based activity. Skor performance dan satisfaction meningkat sebesar 0,13& 0,47 (aquatic activity) dan 0,07 & 0,27 (land based activity). Kesimpulan.Aquatic activity memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan basic motor control, gross motor, dan occupational performance skills padaanak cerebral palsy. Kata kunci : aquatic activity, land based activity, motor control Abstract Background. Cerebral palsy (CP) is characterized by sensorimotor disorders of motor control control (gross motors and fine motor) as well as posture. Aquatic aerobic activity is designed to give sensorimotor stimulation through a series of activities undertaken in the pool. Indicators of sensorimotor function improvement in CP can be evaluated through changes in the motion control capabilities, basic motor control in the setting of functional posture, and the ability to perform functional activities. The purpose of this study was to examine the effect of aquatic activity towards the development of motor abilities, basic motor control, and occupational performance skills in children with CP. Method. The study design was performed according to quasi experimental design with control group pretest-posttest design. The study population was patients with CP that received rehabilitation treatment in occupational therapy unit YPAC Surakarta. Sampling using quota sampling with a sample size of 30 people. Analysis of data using paired samples t-test, Wilcoxon and Mann-Whitney using SPSS version Result. The average value of the change scores Bobath Chart and GMFM post-intervention aquatic activity amounted to 4.07 and 7.33, while the post-intervention land based activity amounted to 0.80 and The test results paired sample t-test for Bobath Chart scores and GMFM scores before and after intervention showed p-value <0.05. The results of the comparative analysis showed a significant difference (p-value <0.05) between the changes Bobath Chart scores and GMFM scores between the intervention group aquatic activity with land based activity. Performance and satisfaction scores increased by 0.13 and 0.47 (aquatic activity) and 0.07 & 0.27 (land based activity). Conclusion. Aquatic activity results significant effect towards basic motor control, gross motor and occupational performance skills in children with CP. Keywords : aquatic aerobic activity, land based activity, motor control 1. LATAR BELAKANG Cerebral palsy (CP) merupakan penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian gerak dengan manifestasi klinis yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan, berupa gangguan kemampuan otak untuk mengontrol gerak dan postur secara adekuat (Saharso, 2006). Gangguan kontrol motorik (gerak) pada pasien CP, baik motorik kasar maupun motorik halus, berdampak pada masalah keseimbangan, berjalan dan kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. 416

417 Penanganan rehabilitasi pada pasien CP bertujuan untuk memperbaiki kecacatan secara sensoris dan motoris, mencegah kontraktur dan meningkatkan kemampuan fungsional pasien melalui latihan. Okupasi terapi merupakan salah satu profesi yang memberikan intervensi terhadap anak berkebutuhan khusus, termasuk cerebral palsy, dengan tujuan utama mencapai kemandirian fungsional dan memaksimalkan kinerja okupasional. Tujuan intervensi okupasi terapi terhadap anak CP dapat dicapai melalui beberapa metode. Meskipun demikian, secara umum penanganan okupasi terapi pada kondisi CP merupakan land based activity. Land based activity yaitu aktivitas terapetik yang dilakukan di atas matras, tempat tidur atau media terapi tertentu seperti : bola, kursi atau meja yang dimodifikasi. Salah satu metode terapi yang saat ini sedang berkembang adalah terapi akuatik (aquatic therapy/aquatic activity). Terapi akuatik merupakan salah satu bentuk terapi yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi/kemampuan tubuh melalui serangkaian aktivitas terapetik yang dilakukan di air (kolam renang) (Salzman, 2009 ; Becker, 2009). Program akuatik yang bersifat terapeutik sedang berkembang di Indonesia. Namun studi tentang terapi akuatik pada bidang okupasi terapi di Indonesia belum dilakukan. Meskipun demikian berdasarkan hasil survey di beberapa instansi telah mencoba mengaplikasikan program ini sebagai aktivitas alternatif dan komplementer dalam penanganan anak berkebutuhan khusus. Intervensi okupasi terapi berupa aquatic activity mengkombinasikan antara bermain air, berenang (aktivitas yang diinginkan dan rekreasi yang termotivasi) dengan keterlibatan berbagai aktivitas terapetik yang dilakukan secara simultan. Program intervensi berbasis air digambarkan sebagai sarana untuk memperluas pengalaman, secara fisik, perkembangan, kognitif dan psikologis (Salzman, 2009). Menurut Broach & Dattilo (1996) aquatic activity memiliki manfaat fisiologis seperti kekuatan, koordinasi, lingkup gerak, kesadaran perseptual, ketahanan otot dan kardiovaskular dan relaksasi. Oleh karena perkembangan kemampuan fungsional pada anak CP dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan kontrol motorik, maka penting untuk mengkaji efek aquatic activity terhadap perkembangan kemampuan basic motor control,gross motor, dan occupational performance skills. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan rancangan quasi experiment dengan control group pretest-post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien CP yang memperoleh penanganan okupasi terapi di YPAC Surakarta. Pengambilan sampel (subjek penelitian) menggunakan teknik quota sampling. Data penelitian berupa kemampuan basic motor control, gross motor dan kemampuan fungsional pasien CPmerupakan data primer yang diukur secara langsung menggunakan alat atau instrumen melalui proses observasi dan interview. Basic motor control, gross motor dan occupational performance skills diukur menggunakan cerebral palsy assessment chart basic motor control (Bobath chart), the gross motor function measure (GMFM) dan Canadian Occupational Performence Measure (COPM). Data penelitian dianalisis menggunakanuji paired sample t-test, Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan memakai program SPSS versi HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi nilai rata-rata skor Bobath Chart dan GMFM sebelum dan sesudah intervensi Intervensi / Instrumen Rata-rata Skor Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi Aquatic Activity Bobath Chart 69,73 73,80 GMFM 154,80 162,13 Land Based Activity Bobath Chart 58,47 59,27 GMFM 159,13 160,67 Nilai rata-rata skor Bobath Chart dan GMFM sebelum dan sesudah intervensi, baik pada aquatic activity maupun land based activity, terjadi perubahan positif yang mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan. Namun rata-rata perubahan yang paling besar terjadi pada kelompok sampel yang memperoleh intervensi aquatic activity (Tabel 1). 417

418 Tabel 2. Hasil analisis komparatif perubahan skor Bobath Chart antara kelompok intervensi Komparatif n Asymp.Sig Aquatic Activity Land Based Activity 15 0,002 Hasil analisis (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan kemampuan basicmotor control antara kelompok yang diintervensi dengan aquatic activity dibandingkan yang diintervensi dengan land based activity (p-value = 0,002). Tabel 3. Hasil analisis komparatif perubahan skor GMFM antara kelompok intervensi Komparatif n Asymp.Sig Aquatic Activity Land Based Activity 15 0,001 Hasil analisis (Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p-value < 0,05) antara perubahan perkembangan gross motor antara kelompok yang memperoleh intervensi aquatic activity dibandingkan yang diintervensi dengan land based activity. Tabel 4. Distribusi frekuensi nilai rata-rata skor performance dan satisfaction sebelum dan sesudah intervensi Intervensi Performance Satisfaction Aquatic Activity Sebelum Intervensi 5,07 4,53 Sesudah Intervensi 5,20 5,00 Perubahan 0,13 0,47 Land Based Activity Sebelum Intervensi 4,13 3,67 Sesudah Intervensi 4,20 3,93 Perubahan 0,07 0,27 Informasi pada tabel 4 memperlihatkan bahwa penilaian orang tua terhadap performance dan satisfaction kemampuan fungsional pasien CP lebih banyak mengalami peningkatan pasca memperoleh intervensi aquatic activity (rata-rata perubahan 0,13 dan 0,47) dibandingkan land based activity (rata-rata perubahan 0,07 dan 0,27) PEMBAHASAN Cerebral palsy (CP) merupakan suatu penyakit dengan gangguan perkembangan atau kerusakan pada area motorik otak yang berdampak pada kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat (Saharso, 2006). Kondisi ini menyebabkan pasien CP tidak dapat bermain secara aktif, kurang dapat berpartisipasi dalam permainan di luar ruangan (playground activities), lebih banyak duduk, dan jika mampu berjalan hanya mampu berjalan dengan jarak yang pendek karena mudah lelah. Penurunan aktivitas secara fisik pada pasien CP menyebabkan keterbatasan pada sistem respirasi, kardiovaskular maupun sistem muskuloskeletal, sehingga memicu terjadinya penurunan daya tahan (endurance) dan penurunan kemampuan fisik (dekondisi) (Fowler et al., 2007). Guna menyikapi keadaan tersebut, maka diperlukan upaya rehabilitasi yang mampu menstimulasi perbaikan kontrol gerak dan sekaligus mampu meningkatkan kemampuan fisik atau ketahanan kardiorespirasi (cardiorespiratory endurance). Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa terapi akuatik dapat meningkatkan kapasitas kardiovaskular (aerobic capacity) dan respirasi, meningkatkan kekuatan otot (Retarekar et al., 2009), meningkatkan kemampuan gross motor (Thorpe et al., 2005) dan keseimbangan (Kelly & Darrah, 2005). Peningkatan kapasitas kardiovaskular dan respirasi akan mempengaruhi kecukupan oksigen ke seluruh jaringan pada tubuh sehingga dapat memicu peningkatan metabolisme di tingkat sel, tidak terkecuali di sel saraf. Peningkatan metabolisme di sel saraf dapat mempengaruhi peningkatan produksi (sekresi) growth hormone. Salah satu growth hormone yang terstimulasi oleh aktivitas adalah brain derived neurotrophic factors (BDNF) yang berperan dalam kelangsungan hidup, pertumbuhan, diferensiasi dan plastisitas sel saraf (Reichardt, 2006). Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran motorik berhubungan dengan plastisitas sel saraf di otak dan sirkuitnya dalam sistem motorik (Emerick et al., 2003). Buoyancy, tahanan (drag force) dan tekanan hidrostatik pada air dapat menjadi media terapi yang mampu memberikan efek terapetik pada saat aquatic activity. Latihan aquatic activity memberikan tekanan yang minimal di persendiaan dibandingkan land based activity (Kelly & Darrah, 2005) karena buoyancy membantu menurunkan dan menyokong massa tubuh. Efek buoyancy tersebut dapat menyediakan stimulasi gerak pada semua plane of movement (sagital, frontal, tranversal) baik dalam aksis vertikal maupun horizontal. Land based activity tidak mampu menyediakan semua gerakan dengan bebas, karena gaya gravitasi dan keterbatasan ruang. Oleh karena itu aquatic activity menstimulasi anak CP untuk bergerak lebih aktif dan leluasa. 418

419 Aquatic activity juga dapat memberikan stimulasi sensori secara bersamaan dan terus-menerus dengan stimulasi motorik. Stimulasi sensori dapat disediakan oleh buoyancy, tekanan hidrostatis, gerakan air dan temperatur air. Tekanan hidrostasis merupakan sumber tekanan yang konsisten dan merata pada seluruh tubuh. Gerakan air dan temperatur air dapat memberikan stimulasi pada taktil, sedangkan buoyancy dapat memberikan stimulasi pada keseimbangan. Kondisi ini mampu meningkatkan input sensorimotor yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran motorik. Interaksi secara berkelanjutan dan berkesinambungan antara input sensorimotor dengan pusat pengendali gerak sadar di otak akan mempengaruhi otak dalam mengontrol respon berupa gerak yang terkendali. Adanya pengaruh aquatic activity terhadap kemampuan otak anak CP dalam mengontrol respon gerak tampak pada hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perubahan kemampuan basicmotor control antara kelompok yang diintervensi dengan aquatic activity dibandingkan yang diintervensi dengan land based activity (tabel 2). Aquatic activity mampu meningkatkan kemampuan motor control dan perkembangan gross motor yang lebih banyak dibandingkan land based activity (tabel 1). Kelebihan lain aquatic activity dibandingkan land based activitydiantaranya : lebih menyenangkan, memotivasi dan aman (Kelly & Darrah, 2005). Hal ini mengkondisikan pasien menjadi lebih tenang atau rileks. Kondisi yang tenang akan meningkatkan aktivasi saraf parasimpatis yang berperan dalam proses penyembuhan dan regenerasi jaringan (Wilson, 2008). Aktivasi saraf parasimpatis turut berperan dalam mekanisme neuroprotektif dan plastisitas sel saraf melalui pelepasan norepinephrine (NE) dan aktivasi cyclic nucleotide response element binding (CREB) (Cheyuo et al., 2011). Mekanisme ini turut menjelaskan hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perubahan kemampuan motor control antara kelompok yang diintervensi dengan aquatic activity dibandingkan yang diintervensi dengan land based activity (tabel 2 dan tabel 3). Perubahan kemampuan motor control dan perkembangan gross motor yang lebih banyak pada kelompok pasien CP yang diintervensi aquatic activity dibandingkan yang diintervensi land based activity (tabel 4.6), selaras dengan penilaian orang tua pasien. Hasil pemeriksaan dengan COPM menunjukkan adanya perubahan nilai rata-rata yang lebih tinggi pada komponen performance dan satisfaction dari kelompok pasien yang diintervensi aquatic activity (tabel 4). 4. KESIMPULAN Aquatik activity memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan basic motor control, gross motor dan occupational performance skills pada pasien cerebral palsy. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ketua Umum YPAC Cabang Surakarta atas pemberian ijin dan berbagai dukungan demi terlaksananya penelitian dan Okupasi Terapis di YPAC Cabang Surakarta atasbantuan selama proses penelitian. 6. DAFTAR PUSTAKA Broach, E. & Dattilo, J. (1996). Aquatic therapy: A viable therapeutic recreation intervention. Therapeutic Recreation Journal, 30(3), Becker, B. E. (2009). Aquatic therapy: Scientific foundations and clinical rehabilitation applications. American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation, 1, doi: /j.pmrj Cheyuo, C., Jacob, A., Wu, R., Mian Zhou, M., Coppa, G.F., Wang, P. (2011). Review Article The parasympathetic nervous system in the quest for stroke therapeutics. J.Cereb.Blood.Flow.Metabol. 31: Emerick, A.J., Neafsey, E.J., Schwab, M.E., & Kartje, G.L. (2003). Functional reorganisastion of motor cortex in adult rats after cortical lesion and treatment with monoclonal antibody IN-1. J.Neurosci. 23(12): Fowler, E., Kolobe, T.H., & Damiano, D. (2007). Promotion of physical fitness and prevention of secondary condition for children with cerebral palsy: section on pediatrics research summit proceedings. Phys Ther. 87: Kelly, M. & Darrah, J. (2005). Aquatic exercise for children with cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 47: Reichardt, L.F. (2006). Neurotrophin-regulated signaling pathways. Philos.Trans.R.Soc.Lond.B.Biol.Sci. 361:

420 Retarekar, R., Fragala-Pinkham, M.A., & Townsend, E.L. (2009). Effects of aquatic aerobic exercise for a child with cerebral palsy: single-subject design. Pediatrics of the American Physical Therapy Association. Saharso, D. (2006). Cerebral palsy : diagnosis dan tatalaksana. Surabaya : FK. Unair RSU. Dr. Soetomo Surabaya. Salzman, A.P. (2009). Aquatic therapy: Procedure or profession? Aquaticnet.com. Retrieved from Thorpe, D., Reilly, M., & Case, L. (2005). The effects of an aquatic resistive exercise program on ambulatory children with cerebral palsy. J. Aquat Psys Ther. 13: Wilson, L. (2008). Autonomic nervous system health. Arizona Networking News 420

421 HUBUNGAN ANTARA LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DENGAN KEMAMPUAN GENERIK MEDIS MAHASISWA KEBIDANAN STIKES Yudhi Saparudin 1, Prof. Dr. Hj. Nuryani Rustaman, M.Pd 2 &Dr. Hj. Any Fitriani, M.Si 3 1 Prodi Kebidanan STKINDO Wirautama Bandung yudhisaparudin@yahoo.co.id 2 Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI Bandung 3 Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UPI Bandung Abstrak. Mata kuliah Mikrobiologi diberikan kepada mahasiswa supaya mereka mempunyai kemampuan atau kompetensi yang akan menunjang peningkatan kompetensi lulusan, dan keahlian profesional di lapangan pekerjaannya, serta dapat merespon kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berperan serta menyelesaikan masalah-masalah klinis,menggunakan keterampilan berpikir, salah satunya kemampuan generik medis. Kemampuan generik medis adalah kemampuan yang berguna dan menjadi penyokong pendidikan kesehatan dan menjadi dasar untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat (life long learning), sertaberfungsi sebagai dasar untuk adaptasi dan perkembangan ketika ditransfer ke bidang (area) lain, salah satunya bidang pekerjaannya,namun tujuan tersebut akan sulit terealisasi, apabila hasil belajar Mikrobiologi dan kemampuan generik medis mahasiswa relatif belum memuaskan, kemudianpenelitian untuk melihat hubungan antara latar belakang pendidikan dengan kemampuan generik medis relatif belum banyak dilakukan. Berdasarkan latar belakang di atas, mendorong telah dilaksanakan penelitian untuk menganalisis lebih lanjut hubungan, antara latar belakang pendidikan, dengan kemampuan generik medis mahasiswa kebidanan,salah satu STIKes di Jawa Barat semester 2 tahun ajaran 2015/2016. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif korelasional, populasi target dalam penelitian ini adalah mahasiswa kebidanan salah satu STIKes di Jawa Barat, semester 2 tahun ajaran 2015/2016, penentuan sampel menggunakan teknik total sampling, sedangkan rancangan penelitian menggunakan penelitian analitik cross sectional. Variabel bebas adalah latar belakang pendidikan, meliputi latar belakang sekolah dan latar belakang program pada waktu di SMA/SMK, sedangkan variabel terikat adalah kemampuan generik medis. Rata-rata kemampuan generik medis diukur setelah mahasiswa melaksanakan praktikum berbasis problem solving pada materi pengaruh suhu, ph dan oksigen terhadap pertumbuhan mikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentasi kemampuan generik mahasiswa berlatar belakang sekolah SMA, yang termasuk kelompok kategori baik, presentasinya lebih tinggi dibanding kategori kurang. Sebaliknya mahasiswa berlatar belakang sekolah SMK berkategori kurang, presentasinya lebih tinggi dibanding yang berkategori baik. Mahasiswa yang berlatar belakang sekolah SMA kemampuan generik medis lebih baik, dibanding yang berlatar belakang SMK, dan signifikan pada taraf uji 5%. Penjelasan tersebut diperkuat dengan data kemampuan generik medis, mahasiswa berlatar belakang program IPA semasa SMA/SMK, lebih baik dan siginifkan pada taraf uji 5 %, dibanding mahasiswa berlatar belakang program IPS, atau program lainnya, seperti Kimia Farmasi dan Kimia Analis pada sekolah SMK Kata Kunci: Kemampuan, generik medis, deskriptif korelasional Abstract. Subject Microbiology given to students so that they have the ability or competencies that will support the improvement of the competence of graduates, and professional expertise in the field work, and can respond to the advancement of science and technology to participate resolve clinical issues, using the skills of thinking, one's ability medical generic. The ability of generic medical are useful capabilities and become advocates for health education and provide the basis to support lifelong learning, as well as serve as a basis for the adaptation and development when it is transferred to the field (area) another, one field of work, but the goal it will be difficult to be realized if the learning outcomes of Microbiology and generic skills of medical students is relatively unsatisfactory, then study to see the relationship between educational background with medical generic capabilities are relatively not much done. Based on the above background, encourages research has been conducted to further analyze the correlation between educational background with medical generic skills of midwifery students one STIKes in West Java 2nd semester 2015/2016 academic year. The method used is descriptive correlational method, the target population in this study is one of the midwifery students in West Java STIKes second semester of the 2015/2016 academic year, sampling using total sampling technique, whereas research design using cross sectional analytic study. The independent variable is the educational background, covering school background and the background of the program at the time in SMA / SMK, while the dependent variable is a medical generic capabilities. The average medical generic capability measured after the students carry out practical problem solving based on the material effects of temperature, ph and oxygen to the growth of microbes. The results showed that the ability of a generic presentation background high school student, which includes a group of both categories, the presentation was higher than the poor category. Conversely student vocational school background categorized less, his presentation was higher than either category. Students who are high school background medical generic skills are better than vocational background and significant at the 5% test level. The explanation is reinforced by the data capability of medical students generic backgrounds IPA program in high school / vocational school, better and siginifkan at test level 5% compared to student backgrounds IPS program or other programs, such as the Pharmaceutical and Chemical Analyst at vocational school Keywords: Ability, medical generic, descriptive correlational 421

422 I. LATAR BELAKANG Pendidikan tinggi bidang kesehatan harusmenghasilkan lulusan tenaga kesehatan, yang kompeten berstandar Nasional bahkan Internasional. Untuk itu, tenaga kesehatan seyogianya memiliki tiga kompetensi yaitu pengetahuan (knowledge), kemampuan praktek (hands on) dan sikap (attitude), ini sudah merupakan standar yang harus dimiliki oleh setiap lulusan pendidikan tinggi. Kompetensikompetensi tersebut harus dikuasi lulusan, supaya tidak terjadi kesenjangan dengan institusi tempat bekerja. Kesenjangan ini, dapat diantisipasi jika para lulusan profesi kesehatan,dapat menerapkan materi perkuliahan ketika berada di insitusi kesehatan tempat bekerja. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat inovatif reorientasi, reformasi dalam pengembangan pendidikan kesehatan. Semua perubahan tersebut harus menuju tercapainya kepuasan stakeholders. Kepuasan ini, tercapai apabila penyelenggaraan pendidikan dapat menghasilkan lulusan, sesuai standar nasional,dengan mengacu padaupaya mencapai Indonesia sehat 2015 (Depkes, 2009). Selain mengacu pada standar nasional, penyelenggaran pendidikan tersebut harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan dengan kualifikasi standar internasional. Health Science Technology EducationStandar (2001), menginformasikan bahwaperkuliahan Mikrobiologimedis, harus diarahkan supaya peserta didik memahami:(1) proses pengendalian infeksi, (2)hubungan antara mikroorganisme dan kesehatan, (3) peran mikroorganisme dalam penyakit menular dan (4) respon imun terhadap infeksi. Tujuan diberikannya perkuliahan Mikrobiologi pada mahasiswa, supaya mahasiswa mempunyai kemampuan atau kompetensi, yang berkaitan dengan bidang Mikrobiologi, yang akan menunjang peningkatan kompetensi lulusan, dan keahlian profesional di lapangan pekerjaannya, serta dapat merespon kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berperan serta menyelesaikan masalahmasalah klinis (Riconet al., 2010; Schmidt et al., 2011; Wood 2003) menggunakan keterampilan berpikir (Ault et al., 2011; Azer et al., 2013; serta Gasper &Gardner 2013). Salah satu keterampilan berpikir, yang harus dikembangkan pada diri mahasiswa, adalah kemampuan generik medis (Basic Medical Education WFMW Global Standar 2003; Wood 2003). Kemampuan generik medis adalah kemampuan yang bermanfaat, dan penting untuk semua lulusan pendidikan tinggi kesehatan. Kemampuan generik medis relevan, berguna dan menjadi penyokong pendidikan kesehatan,dan menjadi dasar untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat (life long learning).kemampuan generik medis yang dikembangkan,meliputi enam kemampuan yaitu: 1) kemampuan merencanakan dan mengorganisasi, 2) evaluasi kritis literatur3) kerjasama tim,4) kemampuan berkomunikasi, 5) keterampilan manajemen waktu,dan 6) pembelajaran Self directedserta penggunaan sumber daya(wood 2003; Razzaq & Ahsin 2011; Murdoch et al. 2012).Namun tujuan tersebut, akan sulit terealisasi apabila hasil belajar Mikrobiologi relatif belum memuaskan (Saparudin, 2013 dan 2014), seperti ditunjukkan Tabel 1 Tabel 1. Rata-rata Nilai Teori dan Praktek Mikrobiologi Mahasiswa berdasarkan Kelompok Asal Sekolah dan Program No Mahasiswa Prodi Nilai Teori Nilai Praktek 1 Keperawatan a. SMA IPA b. SMA IPS 2 Kebidanan a. SMA IPA b. SMA IPS 3 Kesmas a. SMA IPA b. SMA IPS T 1 T2 Rerata P 1 P2 Rerata (± 4.17) (± 2.67) (± 5.31) (± 1.89) (± 4.38) (± 2.24) (± 4.73) (± 2.67) (± 4.99) (± 2.89) (± 4.55) (± 2.24) (± 4.28) (± 1.44) (± 4.86) (± 1.73) (± 4.28) (± 1.37) (± 6.61) (± 4.08) (± 4.61) (± 6.36) (± 4.89) (± 2.24) (± 5.15) (± 2.89) (± 4.78) (± 3.78) (± 6.42) (± 2.24) (± 5.32) (± 2.50) (± 3.99) (± 4.43) (± 5.33) (± 1.77) Data hasil field studypada Tabel 1 yang telah dilakukan penulis mengenai nilai mata kuliah Mikrobiologi,baik teori maupun praktek pada seluruh mahasiswa Prodi Kebidanan, Keperawatan, dan 422

423 Kesehatan Masyarakat semester dua, disalah satu STIKes di Jawa Barat, menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Rata-rata nilai teori dan praktik Mikrobiologi, mahasiswa berlatar belakang program IPA, lebih baik dibanding mahasiswa berlatar belakang program IPS. Demikian halnya, dengan kemampuan generik medis relatif belum memuaskan Tabel 2 (Saparudin, 2013 dan 2014) Tabel 2 Rata-rata Kemampuan Generik Generik Mahasiswa Prodi Keperawatan, Kebidanan, dan Kesmas Prodi Rata-rata Kemampuan Generik S 1 Keperawatan (± 7.81) D3 Kebidanan (± 6.81) S 1 Kesmas (± 8.31) Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan generik mahasiswa baik prodi keperawatan, kebidanan dan kesmas belum memuaskan. Penelitian untuk melihat hubungan antara latar belakang pendidikan dengan kemampuan generik medis relatif belum banyak dilakukan. Berdasarkan latar belakang di atas, mendorong telah dilaksanakan penelitian untuk menganalisis lebih lanjut hubungan antara latar belakang pendidikan dengan kemampuan generik medis mahasiswa kebidanan STIKes semester 2 tahun pelajaran 2015/ METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif korelasional, metode penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara latar belakang pendidikan dengan kemampuan generik medis mahasiswa kebidanan STIKes. a. Populasi dan Sampel 1) Populasi Populasi target dalam penelitian ini adalahmahasiswa kebidanan salah satu STIKes di Jawa Barat semester 2 tahun ajaran 2015/2016 2) Sampel Penentuan sampel menggunakan teknik total sampling, yaitu seluruh populasi mahasiswa dijadikan sampel, sebanyak 30 mahasiswa b. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik cross sectional, yaitu peneliti melakukan penilaian latar belakang pendidikan dan kemampuan generik medis secara simultan atau pada saat bersamaan. Variabel Independen Latar Belakang Pendidikan Variabel Dependen Bagan 1 Kerangka Konsep Penelitian Kemampuan Generik Medis c. Variabel Penelitian 1) Variabel Bebas: Latar Belakang Pendidikan: a) Latar belakang sekolah b) Latar belakang program pada waktu di SMA/SMK 2) Variabel Terikat Kemampuan Generik Medis, rata-rata kemampuan generik medis diukur setelah mahasiswa melaksanakan praktikum berbasis problem solving pada materi pengaruh suhu, ph dan oksigen terhadap pertumbuhan mikroba 423

424 d. Definisi Operasional Tabel 3 Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Alat Ukur Skala 1. Variabel bebas a. Latar belakang sekolah Ordinal b. Latar belakang program 2. Variabel terikat Kemampuan Generik Medis Tingkat pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh responden sebelum melanjutkan studi ke perguruan tinggi Kompetensi keahlian yang dipilih responden, pada saat menempuh pendidikan formal di SMA/sederajat, yang memuat mata pelajaran Biologi dan atau mikrobiologi Kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa dalam menunjang peningkatan kompetensi lulusan, dan keahlian profesional,meliputi enam kemampuan yaitu: 1) kemampuan merencanakan dan mengorganisasi, 2) evaluasi kritis literatur3) kerjasama tim, 4) kemampuan berkomunikasi, 5) keterampilan manajemen waktu, dan 6) pembelajaran Self directed dan penggunaan sumber daya 1) SMA/ MA 2) SMK/ MK 1) IPA 2) IPS 3) Kimia Analis 4) Kimia farmasi 1) Baik, jika lebih dari nilai mean/median 2) Kurang, jika kurang dari nilai Jika data berdistribusi normal menggunakan mean, jika tidak menggunakan median Lembar karakteristik responden Kuesioner e. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data 1) Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, meliputi latar belakang sekolah, latar belakang program, dan kemampuan generik medis 2) Instrumen Pengumpulan Data Alat pengumpulan data untuk variabel kemampuan generik medis mahasiswa kebidanan dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda, sebanyak 35 soal. 3) Pengujian Alat Ukur Sebelum digunakan, daftar pertanyaan atau pernyataan terlebih dahulu harus dilakukan uji validitas, uji reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda. Pengujian alat ukur, dilakukan pada mahasiswa kebidanan semester 4 f. Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer program SPSS dan uji statistik dengan menggunakan uji univariabel, dan bivariabel 1) Analisis Univariabel Analisis univariabel digunakan untuk melihat persentase asal sekolah, latar belakang program dan kemampuan generik medis berdasarkan variabel-variabel yang diteliti. 2) Analisis Bivariabel Analisis bivariabel yang digunakan adalah Uji Chi Square. g. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada mahasiswa semester 2 kebidanan STKINDO Wirautama di wilayah Kabupaten Bandung, pada bulan 4 Januari 27 Pebruari HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil penelitian Pada bab IV ini akan dibahas mengenai hubungan latar belakang pendidikan dengan kemampuan generik medis mahasiswa kebidanan STIKes. Ordinal 424

425 1) Analisis Univariat a) Latar Belakang Pendidikan Tabel 4 Distribusi Frekuensi Latar Belakang Pendidikan Variabel Latar Belakang Sekolah: 1. SMA 2. SMK Latar Belakang Program: 1. IPA 2. IPS 3. Kimia Farmasi 4. Kimia Analis Jumlah N % b) Kemampuan Generik Medis Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kemampuan Generik Medis Variabel Pengukuran N % 1. Baik 2. Kurang ) Analisis Bivariat Hubungan Latar Belakang Pendidikan dengan Kemampuan Generik Medis Mahasiswa Kebidanan STIKes Tabel 6 Hubungan Latar Belakang Pendidikan dengan Kemampuan Generik Medis Mahasiswa Kebidanan STIKes No Variabel 1. Latar Belakang Sekolah 1. SMA 2. SMK 2. Latar Belakang Program 1. IPA 2. IPS 3. Kimia Farmasi 4. Kimia Analis Kemampuan Generik Medis Baik Kurang Jumlah n % n % N % P value 95% CI b. Pembahasan Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa mahasiswa yang berlatar belakang sekolah SMA, kemampuan generik medis, lebih baik dibanding yang berlatar belakang SMK, dan signifikan pada taraf uji 5%, presentasi kemampuan generik mahasiswa berlatar belakang sekolah SMA, yang termasuk kelompok kategori baik, presentasinya lebih tinggi dibanding kategori kurang. Sebaliknya, mahasiswa berlatar belakang sekolah SMK berkategori kurang, presentasinya lebih tinggi, dibanding yang berkategori baik. Data tersebut, menunjukkan bahwa mahasiwa berlatar belakang sekolah SMA, dengan latar belakang program IPA, pada saat ia belajar di SMA lebih banyak jumlah jam mata pelajaran sains seperti Biologi, Kimia, Fisika dan Matematika dibanding siswa SMK, seperti ditunjukkan pada Tabel 7 di bawah ini 425

426 Tabel 7 Mata Pelajaran Peminatan dalam Kurikulum 2013 Tingkat SMA/MA tahun (Sumber: Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor , tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/MA) Jumlah jam dan kedalaman pelajaran sains (Matematika, Biologi, Fisika dan Kimia) siswa SMK tergantung Bidang Keahlian yang diambilnya. Sebagai contoh, siswa SMK Bidang Keahlian Farmasi, memperoleh mata pelajaran Biologi hanya di kelas X dan XI dengan jumlah 2 jam pelajaran. Sehingga pemahaman tentang sains, dan kemampuan-kemampuan sains siswa SMA program IPA, akan lebih baik dibanding siswa SMA Program Ilmu-ilmu Sosial, Ilmu Bahasa dan Budaya,serta siswa SMK. Siswa SMA program IPA telah dibekalidengan kegiatan pembelajaran,yang dapat mendorong pengembangan kemampuan generik medis. Penjelasan tersebut diperkuat dengan data kemampuan generik medis, mahasiswa berlatar belakang program IPA semasa SMA/SMK, lebih baik dan siginifkan pada taraf uji 5 %, dibanding mahasiswa berlatar belakang program IPS, atau program lainnya, seperti Kimia Farmasi dan Kimia Analis, pada sekolah SMK. Proses pembelajaran yang dilakukan di SMA program IPA, umumnya berpusat pada siswa (tuntutan kurikulum 2013), mendorong siswa untuk memperoleh kesempatan, dan fasilitas untuk membangun sendiri pengetahuannya, sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya, meningkatkan kualitas belajar siswa. Pembelajaran yang digunakan relatif inovatif dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning), dan berpegang pada paradigma pembelajaran konstruktivisme,siswa berperan aktif dalammengkonstruksikonsep-konsep yang dipelajarinya 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat dijelaskan : a. Mahasiswa yang berlatar belakang sekolah SMA kemampuan generik medis lebih baik dibanding yang berlatar belakang SMK dan signifikan pada taraf uji 5% b. Mahasiswa berlatar belakang program IPA semasa SMA/SMK, lebih baik dan siginifkan pada taraf uji 5 % dibanding mahasiswa berlatar belakang program IPS atau program lainnya, seperti Kimia Farmasi dan Kimia Analis pada sekolah SMK 426

427 5. DAFTAR PUSTAKA American College of Nurse-Midwives. (2012). Core Competencies for Basic Midwifery Practise. Accessed December2012 Ault et al. (2011).Using a molecular-genetic approach to investigate bacterial physiology in a continuous, research-based, semester-long laboratory for undergraduates. J Microbiol Biol Educ, (2), p Azer et al. (2013). Introducing integrated laboratory classes in a PBPM curriculum: Impact on student s learning and satisfaction. BMC Medical Education,(13),p.71 Basic Medical Education (2003). WFMW Global Standar Depkes, R.I. (2009). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2015, p Jakarta Education and Manpower Bureau(EMB). (2004). What is to be learnt in the school curricullum:generic skills. (online). Tersedia: (21 Oktober 2011) Gasper &Gardner. (2013). Engaging students in authentic microbiology research in an introductory biology laboratory course is correlated with gains in student understanding of the nature of authentic research and critical thinking. J of Microbiol & Biol Educ (14) no 1 p Health Science Technology Education Standards. (2001). HealthSciTechEd (8-12) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah. Jakarta Murdoch et al. (2012). Generic skills in medical education: Developing the tools for successful lifelong learning. Medical Education,(46), p Razzaq & Ahsin. (2011). PBPM wrap up sessions: An approach to enhance genericskills in medical students. J Ayub Med Coll Abbottabad, 23, (2), p Ricon et al. (2010). Using problem based learning in training health professionals: should it suit the individual s learning style?.j Scientific Research, (1), p Saparudin, Y. (2013). Profilkemampuan generik medis mahasiswa stikes. Makalah. Hasil Studi Kasus. Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung: tidak diterbitkan. Saparudin, Y. (2014). Profil perkuliahan mikrobiologi mahasiswa stikes. Makalah. Hasil Field Study. Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung: tidak diterbitkan. Schmidt et al. (2011). The process of Problem solving: What works and why. Medical Education, (45), p Wood, D. (2003). Problem based learning: Abc of learning and teaching inmedicine. [Online]. Tersedia pada http// [12 Maret 2008]. Wood, D. (2005). Problem solving, especiallyin the context oflargeclasses. [Online]. Tersedia: [12 Maret 2008]. 427

428 PERBEDAAN PENGARUH PENGGUNAAN KAKI TIRUAN BAWAH LUTUT DAN STATUS SOSIAL TERHADAP KEPERCAYAAN DIRI PADA PASIEN POST AMPUTASI KAKI Nur Rachmat 1) 1) Program Studi DIV Ortotik Prostetik, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta nurrachmat@gmail.com Abstrak : Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas, atau dengan kata lain suatu tindakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh (Brunner, 2009).Akibat proses amputasi pasien mengalami perasaan kehilangan yang berakibat pada kehilangan kepercayaan diri, sehingga banyak yang kurang semangat dalam menjalani kehilangan anggota gerak badan. Kehilangan kepercayaan diri akan semakin dirasakan apabila bagi pasien sebelumnya telah mempunyai status sosial yang tinggi. Penggunaan kaki tiruan bawah lutut dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien post amputasi. Desain yang digunakan adalah penelitian quasy experiment dengan menggunakan pendekatan crosssectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien post amputasi kaki yang datang ke Klinik Kuspito pada tahun 2012 berjumlah 45 orang., dengan menggunakan teknik purposive sampling diperoleh sampel 31 responden. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah penggunaan kaki tiruan dan status sosial, dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri pasien post amputasi kaki.hasil uji hipotesis pertama menunjukkan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,000<α = 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki. Uji hipotesis kedua menunjukkan probabilitas (p-value) sebesar 0,010<α = 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada pengaruh status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki. Serta uji hipotesis ketiga untuk variabel status sosial didapatkan nilai probabilitas (p-value) = 0,542 >α = 0,05, sedangkan untuk variabel penggunaan kaki tiruan bawah lututdidapatkan nilai probabilitas (p-value) = 0,000 <α = 0,05. Ada pengaruh dalam level asosiasi status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito. Ada pengaruh dan dalam level sebab akibat (kausal) penggunaan kaki tiruan bawah lututdan status sosial terhadap peningkatan kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito.Tindak Lanjut dari penelitian ini adalah berupa saran kepada tenaga kesehatan hendaknya dapat memberikan informasi pentingnya penggunaan kaki tiruan bawah lutut sebagai pengganti kakinya yang hilang. Kata Kunci : kaki tiruan bawah lutut, amputasi, status sosial, kepercayaan diri 1. LATAR BELAKANG Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas, atau dengan kata lain suatu tindakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh (Brunner, 2009). Tindakan amputasi merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir apabila masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau jika kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh pasien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi(rapani, 2008). Walaupun amputasi bertujuan untuk menyelamatkan tubuh pasiennamun masih banyak yang memberikan dampak negatif bagi pasien yaitu perubahan psikologis. Akibat proses amputasi pasien mengalami perasaan kehilangan yang berakibat pada kehilangan kepercayaan diri, sehingga banyak yang kurang semangat dalam menjalani hidup karena tidak bisa beraktifitas seperti semula. Kehilangan percaya diri akan semakin dirasakan apabila bagi pasien sebelumnya telah mempunyai status sosial yang tinggi (Smeltzer, 2004). Meskipun proses amputasi berdampak pada perubahan psikologis pasien yaitu kehilangan kepercayaan diri, namun masih banyak jumlah pasien yang diamputasi,mencapai 85%-90% dari seluruh amputasi dan amputasi bawah lutut (transtibial amputation) merupakan jenis operasi amputasi yang paling sering dilakukan. Salah satu upaya untuk membantu meningkatkan status sosial dan rasa percaya diri pasienoleh karena kehilangan kaki akibat amputasi, maka digunakanlah kaki tiruan bawah lutut yang berfungsi sebagai pengganti anggota gerak yang hilang.. Pemasangan prosthesis akan dapat mengembalikan kepercayaan diri pasien, karena dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa adanya kesulitan dan rasa malu lebih-lebih pada pasien dengan status sosial tinggi. Untuk itu perlu penelitian untuk membuktikan bahwa penggunaan kaki tiruan bawah lutut sebagai variabel independen dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien post operasi amputasi sebagai variabel dependen. Guna 428

429 mengetahui faktor yang dapat mendukung pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap peningkatan kepercayaan diri pada pasien post amputasi, maka dalam penelitian ini dipilihlah variabel moderator status sosial pasien mengingat status sosial merupakan salah satu faktor yang menentukan mau tidaknya pasien menggunakan kaki tiruan bawah lutut untuk mengembalikan rasa percaya dirinya di masyarakat. 2. METODE PENELITIAN Penelitian direncanakan di Klinik Kuspito Ortotik Prostetik Jaten Karanganyar Surakarta Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2012-Februari Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan menggunakan desain penelitian crosss sectional, dimana dalam penelitian ini tidak ada perlakuan/ intervensi yaitu responden tidak disuruh sebelumnya untuk menggunakan prosthesis kaki tiruan bawah lutut gerak bawah (kaki tiruan bawah lutut). Dan pengukuran tingkat kepercayaan dirinya dilakukan pada saat sebelum dan sesudah menggunaan kaki tiruan bawah lutut. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien post amputasi yang datang ke Klinik Kuspito Ortotik Prostetik Jaten Karanganyar Solo Jawa Tengah, yang berjumlah 45 pasien pada tahun Dengan tehnik purposive sampling diperoleh sampel sebanyak 31 pasien post amputasi. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan kaki tiruan bawah lutut dan status sosial. Sedangkan variabel terikatnya dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri pasien post amputasi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kepercayaan diri yang merupakan modifikasi dari skala yang disusun oleh Surfini (1995) berdasarkan skala kepercayaan diri yang sudah ada, yaitu The Test of self Confidence. Sistem penilaian skala tersebut menggunakan pengukuran dengan skala Likert yaitu merupaka penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2005) skala ini memiliki empat alternatif jawaban. Penilaian jawaban mempunyai skor interval dan berjarak sama yaitu satu sampai dengan empat, kemudian dikonversi menjadi skala data ordinal Untuk mengetahui pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri, menggunakan uji beda berupa uji Wicoxon Setelah diketahui ada beda tingkat kepercayaan diri pasien antara sebelum dan sesudah menggunakan prosthesis, kemudian dilanjutkan dengan uji statistik untuk mencari pengaruh dengan menggunakan uji Regresi logistik ordinal. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh status sosial dengan kepercayaan diri juga menggunakan uji Regresi logistik ordinal. Untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari kedua variabel independen secara bersamaan menggunakan uji regresi logistik ordinal berganda. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden memuat data tentang latar belakang responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan penggunaan kaki tiruan bawah lutut yang sedang dilakukan oleh responden. Deskripsi karakteristik responden adalah sebagai berikut a. Karakteristik Usia Responden Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Klinik Kuspito No. Usia (tahun) Frekuensi Prosentase ,3% ,5% ,1% 4 > ,1% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2013 Hasil pengumpulan data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur antara <40 tahun yaitu sebanyak 21 orang (67,8%). b. Karakteristik jenis kelamin Responden Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Klinik Kuspito No. Jenis kelamin Frekuensi Prosentase 1 Laki-laki 11 35,5% 2 Perempuan 20 64,5% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun

430 Hasil pengumpulan data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 20 orang (64,5%). c. Karakteristik pendidikan Responden Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikandi Klinik Kuspito No. Pendidikan Frekuensi Prosentase 1 SD 0 0% 2 SMP 0 0% 3 SMA 12 38,7% 4 Diploma/ PT 19 61,3% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2013 Hasil pengumpulan data pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan responden adalah Diploma/ PT yaitu sebanyak 19 orang (61,3%). d. Karakteristik pekerjaan Responden Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di Klinik Kuspito No. Pekerjaan Frekuensi Prosentase 1 Tidak bekerja 2 6,5% 2 Swasta 12 38,7% 3 PNS 17 54,8% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2013 Hasil pengumpulan data pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan responden adalah PNS yaitu sebanyak 17 orang (54,8%). 2. Karakteristik Variabel Hasil pengkuran variabel penelitian yang terdiri dari penggunaan kaki tiruan bawah lutut (X 1 ), status sosial (X 2 ) dan kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki (Y) diperoleh hasil sebagai berikut : a. Kepercayaan diri pasien sebelum menggunakan prosthesis Tabel 4.1 Distribusi frekuensi kepercayaan diri pasien sebelum menggunakan prosthesis di Klinik Kuspito No. Kepercayaan diri Frekuensi Prosentase 1 Rendah 15 48,4% 2 Sedang 10 32,3% 3 Tinggi 5 16,1% 4 Penuh percaya diri 1 3,2% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2013 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kepercayaan diri rendah sebelum menggunakan prosthesis yaitu sebanyak 15 (48,4%) b. Kepercayaan diri pasien sesudah menggunakan prosthesis Tabel 4.1 Distribusi frekuensi kepercayaan diri pasien sesudah menggunakan prosthesis di Klinik Kuspito No. Kepercayaan diri Frekuensi Prosentase 1 Rendah 3 9,7% 2 Sedang 11 35,5% 3 Tinggi 13 41,9% 4 Penuh percaya diri 4 12,9% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2013 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kepercayaan diri yang tinggi sesudah menggunakan prosthesis yaitu sebanyak 13 (41,9%) c. Status sosial pasien yang menggunakan prosthesis Tabel 4.1 Distribusi frekuensi status sosial pasien yang menggunakan prosthesis di Klinik Kuspito No. Status sosial Frekuensi Prosentase 1 Rendah 5 16,1% 430

431 2 Sedang 19 61,3% 3 Tinggi 7 22,6% Jumlah % Sumber : Data Primer Penelitian Tahun 2013 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang menggunakan prosthesis mempunyai status sosial yang sedang yaitu sebanyak 19 (61,3%) B. Uji Hipotesis 1. Pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Berdasarkan hasil analisis uji WilcoxonSigned RanksTest diketahui bahwa nilai probabilitas (pvalue) sebesar 0,000< α = 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito 2. Pengaruh status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Hasil analisis menggunakan regresi logistik ordinal sederhana menunjukkan probabilitas (p-value) sebesar 0,010< α = 0,05 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada pengaruh status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito 3. Pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut dan status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Prosthetic Orthotic. Hasil analisis pengujian dengan regresi logistik ordinal berganda menunjukkan untuk variabel status sosial didapatkan nilai probabilitas (p-value) = 0,542 >α = 0,05 sehingga H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak ada pengaruh status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi Anggota Gerak Bawah. Sedangkan untuk variabel penggunaan prosthesis didapatkan nilai probabilitas (p-value) = 0,000 < α = 0,05 sehingga H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti ada pengaruh penggunaan prosthesis terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki Pembahasan Pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Penelitian yang dilakukan oleh Lobes Herdiman dkk, (2010) menunjukkan bahwa penggunaan prosthesis tidak mempengaruhi keseimbangan pola jalan, dan pasien mampu mengayunkan langkah kaki dengan tidak memerlukan energi yang besar sehingga bisa beraktifitas seperti semula dan pasien merasa percaya diri. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hansen (2010), bila seorang pasien paska amputasi sudah diputuskan dapat mempergunakan prosthesis maka dilakukan penetapan tujuan dari prosthetic fitting, apakah fungsional, kosmetik atau keduanya. Prostetik ditujukan untuk menggantikan fungsi bagian tubuh yang telah diamputasi, sehingga pasien tidak lagi merasa kehilangan bagian tubuhnya yang pada akhirnya pasien merasa lebih percaya diri dibandingkan dengan tanpa menggunakan kaki tiruan bawah lutut. Pasien yang memiliki kepercayaan diri merasa yakin akan kemampuan dirinya sehingga bisa menyelesaikan masalahnya, karena tahu apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya serta mempunyai sikap positif yang didasari keyakinan akan kemampuannya (Kumara, 2006). Menurut Angelis (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu kemampuan yang dimiliki individu dalam mengerjakan sesuatu yang mampu dilakukannya, keberhasilan individu untuk mendapatkan sesuatu yang mampu dilakukan dan dicitacitakan, keinginan dan tekat yang kuat untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan hingga terwujud. Penggunaan prosthesis sangat berpengaruh pada kepercayaan diri pasien post amputasi anggota gerak bawah. Hal ini terlihat pada hasil pengukuran kepercayaan diri pasien antara sebelum dan sesudah menggunakan prosthesis dimana kepercayaan diri pasien sebelum menggunakan prosthesis lebih banyak yang mempunyai kepercayaan diri yang rendah yaitu sebanyak 15 (48,4%) dari 31 pasien. Sedangkan setelah pasien menggunakan prosthesis dan mendapatkan pelatihan penggunaannya lalu diukur kepercayaan dirinya ternyata lebih banyak yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi yaitu sebanyak13 (41,9%). Timbulnya kepercayaan diri bisa disebabkan oleh karena pasien mempunyai keinginan dan tekat yang kuat agar dapat beraktifitas lagi seperti semula walaupun dengan menggunakan kaki tiruan bawah lutut. Selain itu kemampuan pasien dalam 431

432 menggunakan kaki tiruan bawah lutut setelah dilatih dan keberhasilannya dalam melakukan aktifitas merupakan faktor yang sangat berpengaruh juga terhadap peningkatan rasa percaya diri pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Lobes Herdiman dkk, (2010) dengan judul Kajian biomekanika untuk jalan cepat terhadap penggunaan prosthesis di Lab perencanaan dan perancangan produk Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan prosthesis tidak mempengaruhi keseimbangan pola jalan, dimana kaki yang menggunakan prosthesis mampu mengayunkan langkah kaki dengan tidak memerlukan energi yang besar. Dengan demikian pasien yang menggunakan kaki tiruan bawah lutut akan dapat bergerak atau beraktifitas tanpa adanya gangguan dan tetap terjaga keseimbangan pola jalannya. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang menurut Angelis (2003) yaitu lingkungan keluarga di mana lingkungan keluarga akan memberikan pembentukan awal terhadap pola kepribadian seseorang. Pasien yang sudah berkeluarga akan mempunyai semangat yang tinggi agar dapat melakukan aktifitas kembali demi memenuhi kebutuhan keluarganya baik jasmani maupun rohani. Jika dilihat dari hasil penelitian tentang usia pasien dimana sebagian besar yaitu sebanyak 21 orang (67,8%) berusia <40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia pasien tergolong produktif sehingga sangat mengharapkan dengan menggunakan kaki tiruan bawah lutut bisa bekerja kembali dan melakukan aktifitas seperti semula tanpa adanya rasa malu oleh karena post amputasi anggota gerak bawah. Faktor eksternal kedua yang dapat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang adalah lingkungan formal atau sekolah, dimana sekolah adalah tempat kedua untuk senantiasa mempraktikkan rasa percaya diri individu yang telah didapat dari lingkungan keluarga kepada teman-temannya dan kelompok bermainnya. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien lulusan Diploma/ PT yaitu sebanyak 19 orang (61,3%). Pasien yang berpendidikan tinggi akan berfikir bagaimana tetap bisa berkarya walaupun dengan kehilangan anggota gerak bawahnya oleh karena post amputasi. Ia akan mencari solusi untuk tetap bisa beraktifitas yaitu dengan mencoba menggunakan prosthesis (kaki tiruan bawah lutut). Pola pikir orang yang berpendidikan akan mendapatkan ide-ide untuk mengatasi rasa percaya dirinya yang menurun. Oleh karena itu dengan menggunakan kaki tiruan bawah lutut banyak pasien yang merasa percaya dirinya semakin meningkat. Faktor eksternal ketiga yang dapat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang adalah lingkungan pendidikan non formal tempat individu menimba ilmu secara tidak langsung belajar ketrampilan-keterampilan sehingga tercapailah keterampilan sebagai salah satu faktor pendukung guna mencapai rasa percaya diri pada individu yang bersangkutan. Menurut Hakim (2002) salah satu modal utama untuk bisa menjadi seseorang dengan kepribadian yang penuh rasa percaya diri adalah memiliki kelebihan tertentu yang berarti bagi diri sendiri dan orang lain. Rasa percaya diri akan menjadi lebih mantap jika seseorang memiliki suatu kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum. Kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertentu bisa didapatkan melalui pendidikan non formal misalnya : mengikuti kursus bahasa asing, jurnalistik, bermain alat musik, seni vokal, keterampilan memasuki dunia kerja (BLK), pendidikan keagamaan dan lain sebagainya. Sebagai penunjang timbulnya rasa percaya diri pada diri individu yang bersangkutan. Pasien yang mempunyai ketrampilan, pengalaman kerja apalagi mempunyai pekerjaan tetap misalnya PNS, akan sangat berpengaruh bagi pasien untuk menggunakan kaki tiruan bawah lutut sebagai alternatif menggantikan kakinya yang diamputasi. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar pasien bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 17 orang (54,8%). Pengaruh status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruhstatus sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito. Penelitian yang dilakukan oleh Doddy Sumbodo (2006) bahwa status sosial seseorang berpengaruh terhadap harga dirinya atau kepercayaan dirinya, jika status sosialnya tinggi maka dia akan merasa lebih dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi jika ada sesuatu yang dialami misalnya amputasi maka dia merasa harga dirinya rendah sehingga kurang percaya diri dihadapan masyarakat. Status sosial merupakan kedudukan seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial (status sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban. Kedudukan sosial akan mempengaruhi kedudukan orang tersebut dalam kelompok sosial berbeda. Setiap masyarakat mempunyai ukuran tertentu untuk menghargai hal-hal tertentu yang ada dalam masyarakat tersebut. Masyarakat akan menghargai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah bergantung bagaimana masyaarakat menilai sesuatu (Soekamto, 2004) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data tentang status sosial pasien yang menggunakan prothesis lebih banyak yang berstatus sosial sedang yaitu sebanyak 61,3% dan yang berstatus sosial tinggi sebanyak 16,1%. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial mempengaruhi kepercayaan diri pasien dimana berdasarkan hasil penelitian bahwa pasien lebih banyak yang mempunyai kepercayaan diri yang rendah yaitu 48,4%. Menurut Roucek dan Warren (2006) bahwa semakin tinggi status sosial seseorang maka akan semakin rendah kepercayaan diri orang tersebut. Pasien yang berstatus sosial sedang dan tinggi akan berusaha bagaimana 432

433 caranya agar tidak malu dihadapan masyarakat mengingat telah mengalami post amputasi anggota gerak bawah, sehingga upaya dalam menggunakan prosthesis (kaki tiruan bawah lutut) merupakan alternatif pilihan yang dinginkan. Dengan menggunakan kaki tiruan bawah lutut pasien mengharapkan agar dapat beraktifitas kembali seperti semula ditengah-tengah masyarakat, lebih-lebih pada pasien yang mempunyai status sosial tinggi. Oleh karena itu untuk meningkatkan kepercayaan diri pada pasien yang mempunyai status sosial yang sedang dan tinggi pilihan yang tepat adalah menggunakan prosthesis. Menurut Soerjono soekamto (2004), faktor-faktor atau simbol-simbol yang dapat dilihat untuk mengukur status sosial adalah pendidikan, pekerjaan dan kekayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien lebih banyak yang berpendidikan Diploma/ Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 61,3%. Pasien yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi biasanya lebih dihormati oleh masyarakat dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah atau bahkan tidak pernah sekolah. Semakin tinggi pendidikan pasien semakin tinggi pula status sosialnya dimasyarakat. Oleh karena itu wajar kalau pasien yang menggunakan prosthesis sebelumnya mempunyai kepercayaan diri yang rendah. Hal ini didukung dengan pendapat dari Nasution (2004) yang menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan akademis yang tinggi lebih dihormati oleh masyarakat dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Dengan demikian pasien yang berpendidikan tinggi akan berupaya meningkatkan kepercayaan dirinya dengan menggunakan kaki tiruan bawah lutut sebagai alternatif pilihannya yang terbaik, sehingga dimata masyarakat tidak pandang rendah lagi oleh karena masih bisa beraktifitas seperti semula dibandingkan dengan keadaan tubuh yang tanpa kaki oleh karena dilakukan amputasi. Status sosial pasien lebih banyak pada level sedang dan tinggi dapat dikaitkan dengan jenis pekerjaannya, dimana mereka lebih banyak yang bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 54,8%. Menurut Soekamto (2004) bahwa dalam masyarakat tumbuh kecenderungan bahwa orang yang bekerja lebih terhormat dimata masyarakat dibandingkan dengan yang pengangguran, artinya lebih dihargai secara sosial. Jadi untuk menentukan status sosial bisa dilihat dari pekerjaan dalam hal ini termasuk jenis pekerjaan. Pasien yang bekerja baik di pemerintahan negeri maupun swasta akan merasa kehilangan dan sedih bila melihat anggota gerak bawahnya diamputasi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Oleh karena itu penggunaan kaki tiruan bawah lutut akan sangat membantu mereka agar dapat meningkatkan rasa percaya dirinya oleh karena tidak lagi merasa dipandang rendah oleh masyarakat akibat dari amputasi tersebut. Faktor lain yang juga berpengaruh pada status sosial pasien adalah kepemilikan/ kekayaan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 51,61% pasien tergolong mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, mampu membeli barang yang berharga dan rekreasi. Menurut Soekamto (2004) bahwa semakin banyak seseorang memiliki sesuatu yang berharga seperti rumah dan tanah, maka dapat dikatakan bahwa orang itu mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi dan mereka semakin dihormati oleh orang-orang disekitarnya. Sebaliknya apabila seseorang tidak mempunyai rumah, tanah, kendaraan atau barang berharga lainnya maka orang tersebut dianggap biasa saja dan kurang dihormati. Jadi status sosial seseorang bisa tinggi ataupun rendah bisa dilihat dari kekayaan yang dimilikinya. Dengan mempunyai kekayaan, pasien yang diamputasi akan merasa tidak berharga lagi dihadapan masyarakat oleh karena walaupun kaya tetapi dengan kehilangan anggota gerak bawah akan merasa kurang berarti dihadapan masyarakat. Berapapun kekayaan seseorang kalau bagian tubuhnya tidak lengkap akan dapat menurunkan rasa percaya diri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa pasien yang berstatus sosial tinggi lebih banyak yang mempunyai keprcayaan diri yang rendah. Pengaruh penggunaan kaki tiruan bawah lutut dan status sosial terhadap peningkatan kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito Hasil penelitian menunjukkan bahwa status sosial berpengaruh pada rendahnya kepercayaan diri pasien, dimana pasien yang kepercayaan dirinya rendah lebih banyak pada pasien yang mempunyai status sosial yang tinggi. Akan Tetapi untuk variabel penggunaan kaki tiruan bawah lutut lebih mempengaruhi pada peningkatan kepercayaan diri pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito. Walaupun sama-sama mempengaruhi namun penggunaan prosthesisi (kaki tiruan bawah lutut) lebih positif pengaruhnya terhadap kepercayaan diri pasien. Hal ini juga dapat dilihat pada hasil pengukuran kepercayaan diri pasien antara sebelum dan sesudah menggunakan prosthesis, dimana kepercayaan diri pasien sebelum menggunakan prosthesis lebih banyak yang mempunyai kepercayaan diri yang rendah yaitu sebanyak 15 (48,4%) dari 31 pasien. Sedangkan setelah pasien menggunakan prosthesis dan mendapatkan pelatihan penggunaannya lalu diukur kepercayaan dirinya ternyata lebih banyak yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi yaitu sebanyak13 (41,9%). Pasien yang memiliki kepercayaan diri akan merasa yakin akan kemampuan dirinya sehingga bisa menyelesaikan masalahnya, karena tahu apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya serta mempunyai sikap positif yang didasari keyakinan akan kemampuannya. Pasien yang mempunyai penilaian positif terhadap diri sendiri mengenai kemampuan yang ada dalam dirinya, akan dapat menghadapi berbagai situasi dan tantangan serta kemampuan mental untuk mengurangi pengaruh negatif dari keragu-raguan yang mendorong individu untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan tanpa tergantung kepada pihak lain dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah ditetapkannya 433

434 yaitu dalam penggunaan prosthesis. Menurut Bambang Hartoyo (1997) Ciri-Ciri Orang yang Memiliki Rasa Percaya Diri adalah: selalu bersikap tenang dalam mengerjakan sesuatu, mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, mampu menetralisasi ketegangan yang muncul dalam berbagai situasi, mampu menyesuaikan diri dan komunikasi dalam berbagai situasi, Memiliki kondisi fisik dan mental yang cukup menunjang penampilannya, Memiliki tingkat pendidikan formal dan kecerdasan yang cukup, memiliki kemampuan bersosialisasi dan latar belakang keluarga yang baik, memiliki keahlian atau ketrampilan yang menunjang kehidupannya dan selalu bereaksi positif di dalam menghadapi berbagai masalah. 4. KESIMPULAN 1. Ada pengaruh yang signifikan, positif sinergistik dan dalam level asosiasi penggunaan kaki tiruan bawah lutut terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito. 2. Ada pengaruh yang signifikan, positif sinergistik dan dalam level asosiasi status sosial terhadap kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito 3. Ada pengaruh yang signifikan, positif sinergistik dan dalam level sebab akibat (kausal) penggunaan kaki tiruan bawah lutut dan status sosial terhadap peningkatan kepercayaan diri pada pasien post amputasi kaki di Klinik Kuspito. 5. DAFTAR PUSTAKA Angelis Interviewing Strategy For Helpers Fundamental Skill And Cognitive Interviutions, Second Edition Books. Cole montary : california. Azwar. S Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Brunner, Sudarth, 2009; Textbook of Canadian Medical-Surgical Nursing; Second Edition, Lippincot Williams and Wilkins, Canada Hakim, Thursan Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta : Puspa Swara. Hansen, Andrew H., 2010, Foot and Ankle Prosthetics. Buffalo: Center for International Rehabilitation Research Information and Exchange University at Buffalo, The State University of New York. Hartoyo, Bambang Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Kesaint Blanc. Herdiman, Lobes Kajian Biomekanika Untuk Jalan Cepat Terhadap Penggunaan Prothesis Di Laboratorium Perencanaan Dan Perancangan Produk Surakarta. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Rapani, Katherine., Marisol A Hanley, Ivan Molton, Nancy J. Kadel, Kellye Campbell, Emily Phelps, Dawn Ehde, Douglas G Smith, 2008, Prosthesis Use in Persons With Lower and Upper Limb Amputation, J Rehabil Res Dev, Roucek dan Warren. 2006, Biomechanic and Motor Control of Human Movement 2nd Editions, A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York. Soekamto, Soerjono Tangan Buatan Berteknologi Robot untuk Penyandang Cacat, dalam Prosiding Seminar Nasional Ergonomi dan K3. Semarang. Smeltzer, Arndt P. 2004, Severe Fracture of the Tibial Pilion: Results with a Multidirectional Self-locking Osteosynthesis Plate Utilizing a Two-stage Procedure, European Journal of Trauma and Emergency Surgery. Surfini Konsep Diri, Teori, Pengukuran, Perkembangan, Dan Perilaku. Jakarta: Arcan. 434

435 Formulasi, Stabilitas dan Aktivitas Tabir Surya Emulsi Lulur Tradisional Nutrisia Aquariushinta Sayuti*, Indarto AS, Suhendriyo Jurusan Jamu, Poltekkes Kemenkes Surakarta, Jl. Kesatriyan 2, Klaten, 57425, Indonesia. Abstrak Lulur adalah sediaan kosmetika tradisional yang dibuat dengan mengkombinasikan simplisia kunyit (Curcuma domestica L), Temugiring (Curcuma heyneana), kulit kayu manis jangan (Cinnamomum burmani (nees) BI), daun kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) and kayu cendana (Santalum album). Penelitian ini bertujuan memformulasikan lulur menjadi sediaan emulsi dan menguji stabilitas fisik dan aktivitas tabir surya emulsi yang dihasilkan melalui penentuan nilai SPF. Emulsi dengan ekstrak lulur tradisional konsentrasi 0,5% b/b, 1,0%b/b dan 1,5% b/b diuji stabilitasnya dalam stress condition. Nilai SPF ditentukan dengan metode spektrofotometri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah stabilitas fisik emulsi lulur tradisional baik, nilai SPF dari emulsi lulur tradisional masing-masing konsentrasi ekstrak adalah 0,44, 0,77 dan 0,80 dan menunjukkan bahwa emulsi belum memenuhi standar sebagai sediaan tabir surya. Kata Kunci: Emulsi Lulur; Stabilitas; Nilai SPF. LATAR BELAKANG Beberapa tanaman obat telah digunakan secara turun-temurun untuk mengatasi masalah kulit dan menjaga kesehatan kulit mulai digali dan diteliti kembali untuk mencari bentuk sediaan kosmetika yang tahan lama, praktis, mudah dan cepat diaplikasikan. Salah satu bentuk kosmetika tradisional yang sering digunakan adalah lulur. Bahan tanaman atau simplisia penyusun lulur biasanya dibuat dengan cara ditumbuk atau digiling kemudian dicampur air sampai terbentuk pasta sebelum dioleskan diatas kulit (Felicia N, 2011). Simplisia yang paling sering dikombinasikan dalam pembuatan lulur tradisional adalah kunyit (Curcuma domestica L), temu giring (Curcuma hyenena), kulit kayu manis jangan (Cinnamomum burmanii (nees) BI), daun kemuning (Murraya paniculata (L) Jack)dan kayu cendana (Santalum album) (Kartodimadjo, S, 2013). Kunyit, temu giring, daun kemuning dan kulit kayu manis berfungsi sebagai antioksidan (Rahman, dkk, 2008). Kayu cendana mengandung minyak atsiri yang melembabkan kulit, menghilangkan gatal-gatal dan peradangan serta menyeimbangkan kulit berminyak (Vanukuppal, 2012). Seiring berkembangnya sediaan kosmetika, lulur mulai dikembangkan menjadi berbagai bentuk sediaan seperti serbuk, krim, lotio, mau pun emulsi. Emulsi banyak dipilih dalam inovasi sediaan lulur karena penampakannya yang menarik serta mempunyai konsistensi menyenangkan yang memudahkan pemakaian. Komponen penyusun emulsi antara lain minyak, air, emulgator serta zat aktif yang diinginkan. Emulsi topikal sebagai salah satu bentuk kosmetika secara fisik diharapkan menimbulkan kesan halus, lembut dan lembab pada kulit ketika dioleskan sedangkan khasiat yang diharapkan sebagai tabir surya. Suatu tabir surya mengandung senyawa yang dapat melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar ultraviolet (UV) dimana mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi dua yaitu secara fisik yaitu memantulkan dan membiaskan sinar UV yang mengenai kulit dan secara kimia dengan cara menyerap sinar UV yang dipancarkan matahari. Senyawa dalam tabir surya mampu melindungi kulit karena adanya ikatan yang dapat saling berkonjugasi sehingga ikatan tersebut akan beresonansi saat terpapar sinar UV sehingga akan menurunkan energi dan bersifat melindungi kulit (Maier, et-al, 2005). Emulsi lulur tradisional dapat pula bertindak sebagai sumber potensial tabir surya, tetapi hal ini perlu diteliti lebih lanjut melalui penentuan nilai Sun Protector Factor (SPF) secara in vitro. Oleh karena itu penelitian ini tidak hanya untuk memformulasikan dan mengetahui stabilitas fisik dari emulsi lulur tradisional tetapi juga menguji aktivitas tabir suryanya. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia kunyit, temugiring, kayu cendana, daun kemuning dan kulit kayu manis yang didapat dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, dan bahan kimia : Alkohol 95%, minyak zaitun, minyak mineral, propilenglikol, asam stearat, malam putih, setil alkohol, tween 80, propil paraben, sorbitol, kalium hidroksida, natrium sitrat, polivinilpirolidon, minyak kenangan, ethanol 70% dan aquadest dengan derajat farmasi yang diperoleh dari PT. Bratachem, serta hand and body lotion dengan nilai SPF 15.Alat yang digunakan adalah blender besi, ayakan mesh 60, botol gelap ukuran 1000 ml tertutup, vakum evaporator ((Ika), waterbath, timbangan analitik (Ohaus), Beaker glass (Pyrex), ph-meter (Hanna), viscometer (Rion VT-03F), 435

436 climatic chamber (Memert), ultrasonifikasi (Branson), Spektrofotometer Uv-Vis (Optizen), Pipet volume 5 ml (Pyrex), 4 set labu ukur ukuran 25 ml, 50 ml dan 100 ml (Pyrex), tabung reaksi, aluminium foil, obyek glass, mikroskop (Novel). Persiapan Ekstrak Lulur Tradisional Secara Maserasi Simplisia kunyit, temugiring, kayu cendana, daun kemuning dan kulit kayu manis dibuat serbuk kemudian diayak dengan ayakan mesh 60. Penetapan kadar air serbuk simplisia dilakukan dengan metode oven kering. Kelima serbuk simplisia tersebut ditimbang sebanyak 500 gram. Serbuk dibagi 10 bagian, masingmasing bagian sebanyak 50 gram dilarutkan dengan ethanol 95% sebanyak 350 ml dalam botol coklat 1000 ml kemudian ditutup, dibiarkan selama 5 hari dan dilakukan pengadukan 3 kali setiap harinya. Selanjutnya disaring, ampas diremaserasi selama satu hari supaya penarikan ekstraksi lebih sempurna. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan pada vacuum evaporator dan diuapkan di waterbath sehingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen ekstrak dihitung dengan rumus : Rendemen = Berat ekstrak kental Berat serbuk simplisia x 100% Pada hasil ektrak dilakukan tes bebas aliohol dengan reaksi esterifikasi yaitu memanaskan 0,1 gram ekstrak dengan asam acetat dan asam sulfat pekat. Kelima ekstrak tersebut dicampur dengan konsentrasi sama banyak yang selanjutnya dalam penelitian ini dinamakan ekstrak lulur tradisional. Pembuatan Sediaan Emulsi Lulur Tradisional Penentuan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam basis dilakukan dengan menambahkan basis dengan 0,5% b/b ekstrak, dilihat intensitas warna yang dihasilkan, kemudian konsentrasi dinaikkan setiap 0,5% b/b sampai didapat warna kuning yang masih bisa ditolelir sebagai sediaan kosmetika dan didapatkan bahwa konsentrasi 1,5% b/b merupakan konsnetrasi maksimal yang dapat ditambahkan. Emulsi dibuat dengan bahan aktif ekstrak lulur tradisional konsentrasi 0,5% b/b, 1,0 % b/b dan 1,5% b/b beserta bahan tambahan yang dapat mendukung stabilitas fisiknya dengan susunan yang dapat dilihat pada tabel 1. Bahan Tabel 1. Formulasi Emulsi Ekstrak Lulur Tradisional Konsentrasi (%) Manfaat I II III Ekstrak lulur tadisional 0,5 1,0 1,5 Zat aktif Minyak mineral Fase minyak Minyak zaitun Fase minyak Malam putih 1,5 1,5 1,5 Fase lemak Asam stearate Emulgator Setil alkohol 1,5 1,5 1,5 Emulgator Tween 80 4,5 4,5 4,5 Surfaktan Propilenglikol Humektan Sorbitol Humektan Propil paraben 0,1 0,1 0,1 Pengawet Minyak kenanga 0,2 0,2 0,2 Corigen odoris Kalium hidroksida 0,2 0,2 0,2 Basa pembentuk sabun Natrium sitrat 0,1 0,1 0,1 Pengatur ph Polivinilpirolidon 0,5 0,5 0,5 Pengental Aquadest sampai Fase air Proses pembuatannya adalah sebagai berikut : fase lemak yang terdiri dari minyak mineral, minyak zaitun, asam stearat, tween 80, setil alkohol, malam putih, propil paraben dan ekstrak dilebur di atas penangas air bersuhu 70 0 C. Fase air yang terdiri dari propilenglikol, sorbitol, natrium sitrat, polivinilpirolidon dan aquadest dipanaskan pada penangas air diaduk sampai semua bahan tercampur. Fase air dimasukkan mortir hangat ditambahkan kalium hidroksida diaduk sampai larut. leburan fase lemak dimasukkan dalam mortir sambil diaduk sampai terbentuk masa emulsi yang kental homogen dan dingin. Pengujian Stabilitas Fisik Emulsi Lulur Tradisional Emulsi dilakukan pengujian stabilitas dengan cara pengamatan organoleptik, homogenitas, ph dan viskositas, tipe emulsi dan derajat pemisahan fase sebelum dan sesudah penyimpanan dalam kondisi dipaksakan (stressed condition) untuk mempercepat peruraian dan mengurangi waktu yang diperlukan untuk pengujian 436

437 yaitu dilakukan pada suhu 5 0 C dan 35 0 C masing-masing 12 jam selama 10 siklus. Sediaan emulsi dinyatakan stabil bila tidak terdapat perubahan yang signifikan pada hasil parameter yang diamati. Penentuan Nilai SPF Penentuan nilai SPF sediaan emulsi dilakukan dengan metode spektrofotometri (Sayre et al., 1979). Penentuan nilai SPF ini menggunakan basis emulsi sebagai kontrol negatif dan H&B branded yang berada di pasaran dengan nilai SPF 15 sebagai kontrol positif. 1,0 gram sampel dilarutkan dengan etanol dalam labu takar 100 ml. Larutan diultrasonifikasi selama 5 menit lalu disaring dengan kertas saring. 10 ml filtrat pertama dibuang. 5,0 ml aliquot diencerkan dengan ethanol sampai 50 ml kemudian dari larutan ini dipipet 5,0 ml dan diencerkan dengan ethanol sampai 25 ml. Larutan tersebut dibuat kurva serapan uji kuvet 1 cm dengan panjang gelombang dari nm dengan menggunakan ethanol sebagai blangko. Nilai serapan dicatat setiap interval 5 nm dari panjang gelombang 290 sampai 320 nm. Untuk menghitung nilai SPF digunakan rumus: SPF = CF x EE λ xi(λ) x absorbansi (λ) Ket: CF= Faktor Korelasi (10), EE= Efisiensi Eriterma, I = Spektrum Simulasi Sinar Surya. HASIL DAN PEMBAHASAN Lulur tradisional merupakan sediaan kosmetika tradisional yang mulai dikembangkan menjadi kosmetika yang lebih praktis dalam aplikasinya. Dalam penelitian ini, lulur tradisional diubah sediaannya menjadi sediaan emulsi dengan cara mengekstrak simplisia penyusunnya yaitu kunyit, temu giring, kulit kayu manis jangan, daun kemuning dan kayu cendana kemudian ditambahkan pada basis emulsi. 1. Persiapan Ekstrak Lulur Tradisonal Secara Maserasi Kadar air dari serbuk simplisia kunyit, temu giring, kayu cendana, daun kemuning dan kulit kayu manis masing-masing 5,51% b/b, 6,65% b/b, 1,67% b/b, 8,06% b/b dan 6,19% b/b. Dalam penelitian didapatkan kadar air untuk semua simplisia yang digunakan kurang dari 10%. Persyaratan kadar air yang baik untuk simplisia adalah tidak lebih dari 10% sehingga dapat dikatakan bahwa serbuk memenuhi persyaratan kadar air (Estiasih T, et-al, 2012). Apabila kadar air lebih besar dari 10,00 % akan menyebabkan terjadinya proses enzimatik dan kerusakan oleh mikroba. Enzim akan merubah kandungan kimia yang telah terbentuk menjadi produk lain yang mungkin tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa asalnya jika simplisia disimpan dalam waktu yang lama. Hal ini tidak akan terjadi jika bahan yang telah dikeringkan mempunyai kadar air yang rendah (Manoi, 2006). Setelah dilakukan evaporasi dari maserat masing-masing serbuk simplisia, hasil dari rendemen ekstraksi kunyit adalah 16,10%, rendemen ekstrak Temu giring adalah 14,32%, rendemen ekstrak kayu cendana 14,32%, ekstrak daun kemuning 21,32% dan ekstrak kulit kayu manis sebesar 16,87%. %. Hasil tes ekstrak sudah bebas dari pelarutnya yaitu ethanol 95% yang ditunjukkkan dengan tidak terbentuknya bau ester yang khas dari alkohol pada uji esterifikasi. Tujuan tes bebas alkohol adalah untuk mengidentifikasi ethanol yang terdapat pada ekstrak. Keberadaan ethanol dapat dideteksi dengan reaksi esterifikasi yaitu dengan cara mereaksikan ekstrak dengan asam organik dan asam sulfat pekat kemudian dipanaskan. Asam organik yang digunakan adalah dalam penelitian ini adalah Asam Acetat sedangkan Asam Sulfat Pekat digunakan sebagai pemberi suasana asam karena reaksi esterifikasi terjadi sempurna dalam suasana asam. Hasil dari tes bebas alkohol adalah tidak tercium bau ester yaitu bau harum dari ekstrak yang menunjukkan bahwa ekstrak telah terbebas dari cairan penyarinya (Astuti, 2009).Kelima ekstrak tersebut dicampur dengan konsentrasi sama banyak yang selanjutnya dalam penelitian ini dinamakan ekstrak lulur tradisional. Ekstrak lulur tradisional tersebut ditambhkan pada basis emulsi dengan konsentrasi 0,5% b/b, 1,0% b/b dan 1,5% b/b. 437

438 2. Stabilitas Fisik Emulsi Lulur Tradisional Hasil uji stabilitas fisik dari tiap formula dapat dilihat pada tabel 2. Pengujian Parameter Tabel 2. Hasil Uji Stabilitas Emulsi Lulur Tradisional Formula I II III a b a b a B Organoleptis Warna Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning langsat langsat langsat langsat langsat langsat Bau Kenangacurcumin Kenangacurcumin Kenangacurcumin Kenangacurcumin Kenangacurcumin Kenangacurcumin Konsistensi Kental halus Kental halus Kental halus Kental halus Kental halus Kental halus Viscositas Mean ± SD 277,60±0,1 277,63±0,0 278,45±2,25 277,77±2,2 280,24±0,82 279,56±0,88 (mp.as) 6 83 ph Mean ± SD 6,45±0,03 6,44±0,02 6,83±0,14 6,57±0,13 5,90±0,33 5,90±0,19 Homogenitas Homogen Homogen Homogen homogen Homogen homogen Homogen atau tidak Derajat Presentase air pemisahan yang terpisah Tipe Emulsi Tipe emulsi m/a m/a m/a m/a m/a m/a Keterangan : I : Formula emulsi dengan konsentrasi ekstrak 0,5% b/b II : Formula emulsi dengan konsentrasi ekstrak 1,0% b/b III : Formula emulsi dengan konsentrasi ekstrak 1,5% b/b a : Kondisi sebelum penyimpanan stress condition b : Kondisi sesudah penyimpanan stress condition Uji normalitas dilakukan dengan Shapiro-Wilk pada data viscositas tiap formula menunjukkan bahwa data berdistribusi tidak normal (p value< 0,05). Pengujian statistik yang dilakukan terhadap viscositas sebelum dan sesudah penyimpanan dalam stress condition dengan menggunakan Mann-Whitney Test untuk menguji Ho = tidak ada perbedaan viscositas sebelum dan sesudah pengujian stabilitas secara stressed condition. P-value dari Mann-Whitney Test untuk formula I adalah 0,637, formula II adalah 0,827 sedangkan formula III adalah 0,275 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan viscositas sebelum dan sesudah penyimpanan pada stress condition yang ditunjukkan dari harga p value> 0,05. Uji normalitas dilakukan dengan Shapiro-Wilk pada data ph tiap formula menunjukkan bahwa data berdistribusi normal (p value> 0,05). Akan dilakukan analisis terhadap kesamaan variansinya dengan menggunakan uji Levenne. Dari output diketahui bahwa p value yang lebih besar dari 0,05 (α), dengan demikian asumsi kesamaan variansi dapat diterima. Pengujian statistik yang dilakukan terhadap ph sebelum dan sesudah penyimpanan dalam stress condition dengan menggunakan t-test untuk menguji Ho = tidak ada perbedaan ph sebelum dan sesudah uji stabilitas. P-value dari t- Test data ph untuk formula I adalah 0,759, formula II adalah 0,077 sedangkan formula III adalah 0,989 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan ph sebelum dan sesudah penyimpanan pada stress condition yang ditunjukkan dari harga p value> 0,05. Hasil organoleptis kondisi sebelum dan sesudah penyimpanan dipercepat menunjukkan tidak ada pemisahan warna dan fase minyak pada setiap formula. Hal ini disebabkan konsentrasi ketiga emulgator yang mencukupi untuk mengemulsikan fase minyak ke dalam fase air. Asam sterat akan meningkatkan konsistensi emulsi sehingga membuat emulsi tampak kaku. Kombinasi asam stearat dengan kalsium hidroksida diharapkan dapat menghasilkan reaksi persabunan yang diperkuat kerjanya oleh setil alkohol sehingga emulsi lebih stabil. Tween 80 merupakan emulgator nonionik yang memiliki keseimbangan lipofilik dan hidrofilik bersifat tidak toksik, tidak iritatif, memiliki potensi yang rendah untuk menyebabkan reaksi hipersensitivitas, serta stabil terhadap asam lemah dan basa lemah (Rowe et al., 2005). Adanya keseimbangan gugus lipofilik dan hidrofilik tersebut menyebabkan Tween 80 membentuk jaringan pemisah antara fase air dan butiran fase lemak dimana gugus lipofil mengikat butiran fase minyak dan gugus hidrofil mengikat fase air. Tween 80 akan dapat menarik fase minyak dan fase air sekaligus dan menempatkan diri berada di antara kedua fase tersebut. Keberadaan tween 80 juga menurunkan tegangan permukaan fase minyak dan fase air (Friberg, Quencer, and Hilton, 1996). Emulsifying agent nonionik bekerja dengan membentuk lapisan antarmuka dari droplet-droplet, namun tidak memiliki muatan untuk menstabilkan emulsi. Cara menstabilkan 438

439 emulsi adalah dengan adanya gugus polar dari emulsifying agent yang terhidrasi dan bulky, yang menyebabkan halangan sterik antar droplet dan mencegah koalesen (Kim, 2005). Viskositas adalah suatu tahanan untuk mengalir (Martin et al., 1993). Viskositas yang tinggi akan memberikan stabilitas sistem emulsi karena akan meminimalkan pergerakan droplet fase dispers sehingga perubahan ukuran droplet ke ukuran yang lebih besar dapat dihindari dan kemungkinan terjadinya koalesens dapat dicegah. Meningkatnya viskositas sediaan akan meningkatkan kestabilan sistem emulsi karena meminimalkan mobilitas dari droplet fase dispers di dalam medium dispersnya sehingga kemungkinan bergabungnya droplet-droplet fase dispers dapat diminimalkan (Laverius, 2011). Nilai ph turut mempengaruhi kestabilan emulsi. ph emulsi sangat dipengaruhi oleh homogenitas emulsi. Dalam formula factor Potassium Hidroksida sebagai basa kuat sangat mempengaruhi ph emulsi sehingga perlu ditambahkan zat pendapar, dalam hal ini adalah Natrium Citrat sehingga ph emulsi memenuhi syarat keamanan ph produk kulit yaitu 4,5 s.d 6,5 (Tranggono dan Latifa, 2007). Menurut Rahmanto, 2011, kulit yang memiliki ph 5,0 6,5 dapat beradaptasi dengan baik saat berinteraksi dengan bahan yang memiliki ph 4,5 8,0 (SNI, 1996). ph sediaan harus disesuaikan dengan ph kulit karena jika tidak sesuai dengan ph kulit maka sediaan tersebut beresiko mengiritasi kulit saat diaplikasikan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tidak semua formula memenuhi syarat keamanan ph kulit tetapi semua formula memenuhi syarat ph menurut SNI. Pengujian homogenitas dilakukan dengan cara sediaan diletakkan di antara dua kaca objek lalu diperhatikan adanya partikel-partikel kasar atau ketidakhomogenan di bawah cahaya. Setiap formula mempunyai kehomogenan yang baik, tidak terdapat pemisahan fase dan tidak terdapat perubahan tipe emulsi. Kestabilan ini disebabkan oleh rigiditas film antar muka yang dibentuk oleh emulgator yang digunakan dan viskositas fase luar (Saxena et al., 1997). Dari hasil pengujian tipe emulsi menggunakan metode pewarnaan dengan metilen biru diketahui bahwa fase minyak terdispersi dalam fase air. Hal ini menunjukkan semua formula memiliki tipe emulsi m/a. Methylene blue merupakan pewarna yang larut air, hal inilah yang menyebabkan medium dispers dari sistem emulsi yang mengandung air akhirnya berwarna biru, sedangkan droplet fase dispers tidak. 3. Penentuan Nilai SPF Emulsi Lulur Tradisional Penetapan nilai SPF sediaan emulsi lulur tradisional dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Data Penetapan Nilai SPF Emulsi Lulur Tradisional Formula Nilai SPF (mean ± SD) Basis 0,036±0,09 I 0,44±0,08 II 0.77±0.31 III 0.80±0.11 Brand H&B SPF ±1.80 Kruskal wallis Test p-value 0,017 Keterangan : I : Formula emulsi dengan konsentrasi ekstrak 0,5% b/b II : Formula emulsi dengan konsentrasi ekstrak 1,0% b/b III : Formula emulsi dengan konsentrasi ekstrak 1,5% b/b Hasil Kruskall wallis test menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata nilai SPF tiap perlakuan. Post hock test yang dilakukan dengan Mann Whitney Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai SPF basis emulsi dengan ketiga formula, terdapat pebedaan nilai SPF antara formula I dengan Formula II dan III, tidak terdapat perbedaan nilai SPF pada formula II dengan formula III. Terdapat perbedaan nilai SPF ketiga formula dengan Brand H&B SPF 15 sebagai kontrol positif. Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan secara in vitro. Metode pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum terbagi dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan cara mengukur serapan atau transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat kuarsa atau biomembran. Tipe yang kedua adalah yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan menentukan karakteristik serapan tabir surya menggunakan analisis secara spektrofotometeri larutan hasil pengenceran dari tabir surya menggunakan analisis secara spektrofotometri larutan hasil pengenceran dari tabir surya yang diuji (Pssavini M et al; 2003). Untuk kategori tabir surya itu sendiri yang memberikan perlindungan paling tinggi dari sunburn dan tidak menyebabkan taning memiliki nilai SPF 15 atau lebih (Purwanti et al, 2005). SPF atau faktor proteksi cahaya memiliki rentang nilai antara Para ahli dermatologi merekomendasikan penggunaan tabir surya dengan 439

440 nilai SPF minimal 15 atau 30. Penilaian SPF menurut Food and Drug Administration (FDA) adalah : mempunyai daya proteksi minimal jika nilai SPF 1 4, proteksi sedang jika nilai SPF 4 6, proteksi ekstra jika nilai SPF 6 8, proteksi maksimal jika nilai SPF 8 15 dan proteksi ultra jika nilai SPF lebih dari 15 (Charisma, S. L. 2012).Nilai SPF setiap formula belum bisa dipakai sebagai tabir surya. Hal ini kemungkinan jumlah polifenol yang digunakan rendah dan mempengaruhi nilai SPF sehingga konsentrasi ekstrak lulur tradisional dalam emulsi perlu ditambah atau dikombinasikan dengan zat tabir surya lain seperti Titanium dioksida. Senyawa fenolik memiliki ikatan yang saling berkonjugasi dalam inti benzena dimana saat terkena sinar UV akan terjadi resonansi dengan cara transfer elektron. Adanya kesamaan sistem konjugasi pada senyawa fenolik dan senyawa kimia yang biasanya terkandung didalam tabir surya menyebabkan senyawa ini berpotensi sebagai photoprotective. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenolik. Flavonoid juga memiliki potensi sebagai tabir surya karena adanya gugus kromofor yang umumnya memberi warna kuning pada tanaman. Gugus kromofor tersebut merupakan sistem aromatik terkonjugasi yang menyebabkan kemampuan untuk menyerap kuat sinar pada kisaran panjang gelombang sinar UV baik pada UVA maupun UVB (Waji, R. Agestia dan S. Andis. 2009). KESIMPULAN Emulsi lulur tradisional dengan konsentrasi ekstrak 0,5 % b/b, 1,0% b/b dan 1,5% b/b memiliki stabilitas yang baik pada uji stabilitas stressed condition dengan nilai SPF dari emulsi lulur tradisional masing-masing konsentrasi ekstrak adalah 0,44, 0,77 dan 0,80 yang menunjukkan bahwa emulsi belum memenuhi standar sebagai sediaan tabir surya. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada staf laboratorium Jurusan Jamu Poltekkes Kemenkes Surakarta atas segala fasilitas yang digunakan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Astuti (2009). Efek Ekstrak Ethanol 70% Daun Pepaya (Carica papaya, Linn) Terhadap Aktivitas AST & ALT Pada Tikus Galur Wistar Setelah Pemberian Obat Tuberculosis/ Isoniazid dan Rifampisin, Jurnal, Jakarta: Universitas Indonesia Charisma, S. L (2012). Daya Tabir Surya dan Antioksidan Formula Krim Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) dan Rimpang Temu Kunci (Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlets). Purwokerto: Universitas Muhammadyah. Estiasih T and Ahmadi(2012).Teknologi Pengolahan Pangan, Edisi 1 Cetakan 2. Jakarta: Bumi Aksara Felicia.N, 2011, RahasiaCantik Para Puteri :Mangir, Tapel dan Bedak Dingin, bedak.dingin.com,diakses 15 September Friberg, S.E., L.G. Quencer, and M.L. Hilton(1996). Theory of Emulsions, in Lieberman H.A., Rieger, M.M., and Banker, G.S., (Eds.). Pharmaceutical Dosage Forms: Disperse Systems, Volume 1, Second Edition, Revised and Expanded, 57. New York :Marcel Dekker Inc. Kartodimadjo, S(2013). Cantikdengan Herbal, Rahasia Puteri Keraton, Yogyakarta: Citra Media Pustaka.8-9, 19. Kim, Cheng-ju(2005).Advanced Pharmaceutics : Physicochemical Principles. CRC Press LLC. Florida; Laxerius (2011). Optimasi Tween 80 danspaan 80 sebagai Emulsifying Agent Serta CarbopolSebagai Gelling Agent Dalam Sediaan Emulgel Photoprotector Ekstrak Teh Hijau (Cameliasinensis L.): AplikasiDesainFaktorial, Skripsi. Yogyakarta :Universitas Sanata Dharma Maier T, Kortig HC (2005). Sunscreens- Which and What for? Skin Pharmacol Physiol; 18 : Manoi (2006). Pengaruh Penambahan Carboxy Methyl Celulosa (CMC) terhadap Mutu Sirup Jambu Mete. Buletin Penelitian Tanaman Obat dan Rempah. Volume XVII No. 02. Martin, A., S. James, dan C. Arthur (2011). Physical Pharmacy. UI press. Jakarta 2008; 942, 1130, , Pissavini M, Ferrero L, Alaro V, Heinrich U, Tronnier H(2003). Determination of Invitro SPF. Cosmet Teoiletries. Oak Park. V. 118: Purwanti T, Erawati T, Kurniawati E(2005). Penentuan Komposisi Optimal Bahan Tabir Surya Kombinasi Oxybenzon- Oktildimetil PABA dalam Formula Vanishing Cream. Surabaya: Majalah Farmasi Airlangga Vol 5 No.2. Rahmanto (2011). Pemanfaatan Minyak Jarak Pagar (Jatrophacurcas, Linn.) sebagai Komponen Sediaan Dalam Formulasi Produk Hand & Body Cream. Skripsi, Bogor :Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 440

441 Rowe et al (2005). Hand Book of Pharmaceutical Excipients, USA: Pharmaceuticals Press and The American Pharmacist Association. Saxena, V.K. and Avinish Kumar, et al (1997). Efficient Dehydration of Produced Emulsions from Bechraji field an Interfacial Chemistry Approach. Proceedings International Conf. on Petroleum Technology (PetroTech'97) held at N. Delhi (India), Jan. 9 12,3, pp Sayre et al (1979). Comparison of In Vivo and In Vitro Testing of Sunscreening Formulas. Photochem. Photobiol. Oxford ; 29 : SNI (1996). Sediaan Tabir Surya. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Tranggono, IR, Latifah (2007).Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetika, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama Vanukupal (2012). Pelbagai kegunaan Kayu Cendana, searching tanggal 15 Sepetember Waji, R. Agestia dan S. Andis (2009). Flavonoid (Quersetin) : Makalah Kimia Organik Bahan Alam. Makasar: Universitas Hasanudin. 441

442 PENGARUH PEREGANGAN OTOT TUBUH TERHADAP KELUHAN RASA SAKIT SETELAH BEKERJA DI KLINIKPADA MAHASISWA TINGKAT III JURUSAN KEPERAWATAN GIGI POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA TAHUN 2015 Tita Kartika dewi 1, Ida Dahliasari 2 ABSTRAK Latar Belakang: Pekerjaan perawat gigi merupakan pekerjaan khusus melayani pasien yang berobat gigi, pekerjaan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama dalam posisi berdiri maupun duduk. Permasalahan yang dihadapi mahasiswa bekerja yang tidak ergonomis sehingga dapat menimbulkan dampak negatif bagi mahasiswa tersebut terjadi baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek seperti rasa sakit atau pegal pada kaki bila bekerja tidak ergonomi, tangan, punggung dan leher setelah habis bekerja karena posisi kerja duduk, sedangkan jangka panjang yaitu rasa sakit pada tulang punggung belakang. Fleksibilitas sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk mempermudah gerakan, mengurangi kekakuan, meningkatkan keterampilan, mengurangi cedera dan mengurangi nyeri. Latihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fleksibilitas diantaranya adalah latihan peregangan. Tujuan: Untuk mengetahuipengaruh peregangan otot Tubuh Terhadap keluhan rasa sakit pada Mahasiswa tingkat III setelah bekerja di klinik gigi Jurusan Keperawatan gigi tahun Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan rancangan pretest-postest with control group. Pemilihan sampel secara total sampling yang berjumlah 68 orang yang dibagi menjadi 35 orang kelompok perlakuan dan 33 orang kelompok control. Pengumpulan data diambil dengan melakukan pengukuran intensitas nyeri menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan uji paired t-test. Hasil:menunjukan bahwa keluhan terbanyak yang sering dirasakan oleh adanya rasa sakit pada daerah pergelangan tangan kanan, daerah punggung dan sakit/kaku pada bagian leher bawah. Hasil analisis menunjukan ada pengaruh intensitas rasa sakit pada kelompok perlakuan melalui pre-test dan post-test dengan nilai P=0.00, ada perbedaan intensitas rasa sakit pada kelompok kontrol melalui pre-test dan post-test dengan nilap p=0.033 dan ada perbedaan intensitas rasa sakit pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol melalui post-test dengan nilai p=0.00. Kesimpulan:keluhan rasa sakit setelah bekerja di klinik gigi dapat dikurangi dengan melakukan tindakan yang benar pada saat bekerja di klinik dan melakukan pelatihan stretching 2 kali/minggu selama 4 minggu. Kata Kunci : Rasa sakit, peregangan, mahasiswa 1. LATAR BELAKANG Pekerja harus terjamin kesehatan dan produktivitas kerjanya secara optimal, maka perlu adanya keseimbangan yang positif antara unsur bebanfisik, mental dan sosial. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan dalam kapasitasbeban kerjanya, namun terdapat kesamaan yaitu memiliki keterbatasan kemampuan untuk memikul beban sampai tingkat tertentu. Kelelahan kerjaadalah berkurang atau hilangnya kesiagaan atau kecepatan bereaksi dan kemampuan untuk menampilkan K3 yang tinggi saat bekerja yang pada umumnya disebabkan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas tidur disamping karena bekerja pada waktu yang tidak normal yang seharusnya pergi tidur tetapi bekerja atau karena aktivitas fisik dan mental yang tidak sesuai ditempat kerja. Dampak buruk kelelahan kerja pada kelelahan antara lain : prestasi kerja (produktivitas) yang menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak/nyaman semangat kerja menurun. Pekerjaan mempunyai beban yang sangat melelahkan bila tidak bekerja secara ergonomic, ergonomi berperan penting karena dalam bekerja harus ada penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Upayanya berupa penyesuaian tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan adalah pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban.dental Ergonomi juga bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada dokter gigi saat bekerja. Dokter gigi mungkin menderita musculoskeletal disorder yang berhubungan dengan kerja atau work-related musculoskeletal disorder(wmsds). Salah satu tipe WMSDs adalah Sindrom Karpal Tunnel. Sindrom ini terjadi akibat kompresi pada nervous median yang bermula pada pleksus brachial yang menginervasi jari tangan. Etiologi dari sindrom ini adalah pergerakan yang berulang atau aspek lain dari postur badan yang neutral ketika operator duduk pada praktek. 442

443 Mahasiswa tingkat III Jurusan Keperawatan Gigi dalam kegiatan pembelajarannya, melakukan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di klinik yang dilakukan pada semester V dan semester VI. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada mahasiswa tigkat III, dari 20 orang yang diwawancara 15 orang mengeluhkan agak sakit pada daerah leher bawah, 10 orang mengeluhkan agak sakit pada lengan. 2. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian quasi experiment dengan rancangan pretestposttest with control pada mahasiswa tingkat III pada bulan Mei-Juni Lokasi penelitian adalah di Kampus Jurusan Keperawatan Gigi. Sampel penelitian ini berjumlah 68 mahasiswa, menggunakan teknik Total Sampling. Penelitian ini memberikan perlakuan intervensi pelatihan peregangan dilakukan dua kali dalam seminggu selama 4 minggu mulai tanggal 11 mei 2015 sampai 6 juni 2015, dengan cara melakukan pelatihan peregangan yang dipandu oleh peneliti. Pelatihan dilakukan dengan bantuan rekan sejawat Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Tasikmalaya sebanyak 2 orang, namun sebelumnya dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi tentang tehnik peregangan. Analisis data dilakukan untuk mengolah data agar menjadi bentuk yang mudah dibaca dan mudah di interprestasikan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSSVersi 16 dan uji statistik paired t- test. 3. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin No. Jenis Kelamin Perlakuan Persentase (%) Kontrol Persentase (%) 1. Laki-laki Perempuan Jumlah Berdasarkan tabel 1 menunjukkan terlihat bahwa mayoritas mahasiswa tingkat III Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes kemenkes Tasikmalaya adalah perempuan, yaitu 82% pada kelompok perlakuan dan 79% pada kelompok kontrol. Tabel 2. Sampel Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Keluhan Muskuloskeletal pada Mahasiswa Tingkat III Program D III JKG Poltekkes kemenkes Tasikmalaya No Jenis Keluhan Perlakuan Kontrol Tidak Agak sakit Tidak Agak Sakit sakit sakit sakit sakit 1 Sakit/kaku pada bagian leher atas Sakit/kaku pada bagian leher bawah Sakit pada bahu kiri Sakit pada bahu kanan Sakit pada lengan atas kiri Sakit pada punggung Sakit pada lengan atas kanan Sakit pada bokong Sakit pada pantat Sakit pada siku kiri Sakit pada siku kanan Sakit pada lengan bawah kiri Sakit pada lengan bawah kanan Sakit pada pergelangan tangan kiri Sakit pada pergelangan tangan kanan Sakit pada tangan kiri Sakit pada tangan kanan Sakit pada paha kiri Sakit pada paha kanan

444 20 Sakit pada lutut kiri Sakit pada lutut kanan Sakit pada betis kiri Sakit pada betis kanan Sakit pada pergelangan kaki kiri Sakit pada pergelangan kaki kanan Sakit pada kaki kiri Sakit pada kaki kanan Dari tabel 2 diatas menunjukan bahwa keluhan yang paling banyak dikeluhkan oleh mahasiswa adalah adanya rasa agak sakit pada pergelangan tangan kanan, punggung dan sakit/kaku pada bagian leher bawah. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Intensitas Rasa Sakit Pada Kelompok Perlakuan No Variable Standar 95% CI P Intensitas rasa sakit Mean Deviasi Lower Upper 1 Pre-Test Post Test Ẋ ,00 Berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa intensitas rasa sakit pada kelompok perlakuan pada saat pretest dan post test dengan nilai rata-rata dan standar deviasi dengan nilai P value Tabel 4. Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian Berdasarkan Intensitas Rasa Sakit Pada Kelompok Kontrol No Variable Standar 95% CI P Intensitas rasa sakit Mean Deviasi Lower Upper 1 Pre-Test Post Test Ẋ ,033 Berdasarkan tabel 4 menunjukan bahwa intensitas rasa sakit pada kelompok kontrol dengan nilai P value Tabel 5. Hasil Uji Analisis Paired T test Berdasarkan Intensitas Rasa Sakit Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol No. Variable Intensitas Mean Standar Deviasi Rasa sakit 1. Post-Test Perlakuan Post-Test Kontrol 64 3 Ẋ uji statistik analisis perbedaan intensitas rasa sakit melalui post test pada kelompok perlakuan dan kontrol dengan menggunakan Paired T test menunjukan nilap P value PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa tingkat III diperoleh data bahwa keluhan yang sering dirasakan adalah keluhan rasa agak sakit pada pergelangan tangan kanan, punggung dan sakit/kaku pada bagian leher bawah, hal tersebut dikarenakan mahasiswa pada umumnya bekerja dengan posisi yang salah selama melakukan perawatan kesehatan gigi dan mulut, biasanya posisi mahasiswa terlalu menunduk sehingga % CI P Lower Upper

445 daerah leher bagian bawah sering pegal, hal tersebut tidak sesuai dengan posisi yang benar selama melakukan perawatan kesehatan gigi, dimana posisi yang benar adalah kepala mahasiswa harus dalam keadaan tegak ke depan (Sudianto,1996). Telapak tangan sering sakit dirasakan oleh mahasiswa dikarenakan tangan yang melakukan perawatan memegang alat tidak sesuai, seperti alat harus dipegang secara pen grasp, tetapi alat dipegang secara inverted pen grasp (Sudianto, 1996). Menurut Suma mur (1992), menyatakan bahwa penggunaan peralatan yang tidak sesuai dengan kondisi pekerja sedikit banyak akan berpengaruh bagi kinerja pekerja. Adanya rasa sakit pada daerah punggung setelah bekerja di klinik dikarenakan posisi punggung dalam posisi yang salah, seperti duduk terlalu membungkuk dan duduk dalam posisi yang lama, hal tersebut disebabkan makin lama seseorang duduk maka ketegangan otot dan keregangan ligamentum khususnya ligamentum longitudinalis posterior makin bertambah khususnya dengan duduk membungkuk. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Samara, dkk (2005) yang menemukan bahwa pekerja yang duduk statis antara menit mempunyai resiko terhadap timbulnya nyeri punggung bawah. Menurut Tarwaka, dkk, (2004), menyatakan sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah misalnya pergerakan tangan terlalu tinggi, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya, akan mengakibatkan semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Penurunan intensitas rasa sakit pada kelompok perlakuan melaui pre-test dan post-test menghasilkan nilai P value 0,000, peningkatan intensitas rasa sakit pada kelompok kontrol melalui pre-test dan post-test menghasilkan nilai P value dan intensitas rasa sakit pada kelompok perlakuan dan kontrol melalui posttest menghasilkan nilai P value yang semuanya berarti bahwa ada pengaruh latihan peregangan pada otot tubuh terhadap keluhan rasa sakit setelah bekerja di klinik pada mahasiswa tingkat III Jurusan Keperawatan Gigi Poltekes Kemenkes Tasikmalaya tahun Pelatihan peregangan yang dilakukan sebanyak 2 kali/seminggu selama 4 minggu mempunyai pengaruh penurunan keluhan rasa sakit pada otot. Hal tersebut didukung oleh pendapat yang menyatakan bahwa peregangan merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko keseleo sendi dan cedera pada otot (kram), mengurangi risiko cedera punggung, mengurangi ketegangan dan rasa nyeri pada otot (Alter, 2008). Menurut Harsono (1988), menyatakan bahwa latihan yang dilakukan secara sistematis dengan mengacu kepada prinsip-prinsip latihan menunjukkan peningkatan hasil latihan. Penelitian mengacu pada pendapat Soedarno (1991) bahwa latihan peregangan dapat dilakukan dua kali dalam seminggu dengan waktu lebih kurang 30 menit, latihan selama lima minggu dapat diketahui tingkatkemajuan kelentukan seseorang. Rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia dapat dikurangi dengan melakukan latihan peregangan, menerapkan sikap atau posisi tubuh yang ergonomis saat bekerja, sehingga diperoleh rasa nyaman dalam bekerja yang akan berdampak pada terciptanya kualitas kerja dan produktivitas yang tinggi (Tarwaka, 2011). Pemberian latihan peregangan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri otot yang dirasakan oleh mahasiswa. Pemberian latihan peregangan pada mahasiswa terbukti dapat menurunkan rasa nyeri yang dirasakan. Hal ini sejalan dengan penelitian Yusnani, dkk (2012), yang menyatakan bahwa ada perbedaan keluhan muskuloskeletal yang dialami oleh petugas kesehatan gigi setelah dilakukan latihan peregangan. Keluhan muskuloskeletal menjadi berkurang yaitu dari keluhan sakit menjadi agak sakit dan keluhan agak sakit menjadi tidak sakit. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu Pertama, Keluhan rasa sakit yang sering dirasakan oleh mahasiswa adalah adanya keluhan agak sakit pada daerah pergelangan tangan kanan, punggung dan sakit/kaku pada bagian leher bawah.kedua,adanya penurunan intensistas rasa sakit pada kelompok perlakuan dengan nilai P value 0.00 setelah dilakukan latihan peregangan selama 2 kali/minggu selama 4 minggu. Ketiga, Keluhan rasa sakit meningkat pada kelompok kontrol setelah dilakukan post test dengan nilai P value Keempat, Ada pengaruh yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah dilakukan post test dengan nilai P value SARAN Mahasiswa Tingkat I Program D III Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya melakukan latihan peregangan secara rutin untuk mengurangi cedera pada otot yang lebih lanjut. Bagi peneliti lain perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang latihan peregangan otot pada petugas kesehatan gigi. 445

446 DAFTAR PUSTAKA Alter, M.J., 2008, 300 Tehnik Peregangan Olahraga, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Harsono, 1988, Coaching dan Asfek-Asfek Psikologis dalam Coaching, CV. Tambak Kesuma. Samara, D., B. Basuki., J. Janis., 2005, Duduk Statis sebagai Faktor Risiko Terjadinya Nyeri Punggung Bawah pada Pekerja Perempuan, Universa Medicina vol.24 No.2. Soedarno, S.P., 1991, Pendidikan Kesegaran Jasmani. Depdikbud Ditjen Dikti, Jakarta Sudianto, K., 1996, Penggunaan dan Pemeliharaan Alat-Alat Kesehatan Gigi (PPAKG), Akademi Kesehatan Gigi, Departemen Kesehatan R.I., Surabaya. Suma mur, P.K., 2009, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Sagung Seto. Jakarta. Tarwaka, Bakri. S., Sudiajeng. L., 2004, Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitasnya, UNIBA PRESS, Surakarta. Yusnani, S., Sinaga, M. M., Kalsum, 2012, Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal Sebelum dan sesudah pemberian Perlakuan Latihan Peregangan pada Petugas Kesehatan Gigi di Puskesmas Kecamatan Medan area Tahun 2012, USU, Medan. 446

447 PENGARUH PENGGUNAAN SILICONE FOOT ORTHOSIS TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA KONDISI PLANTAR FASCIITIS DI KLINIK KUSPITO Nur Rachmat 1) 1) Program Studi DIV Ortotik Prostetik, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta nurrachmat@gmail.com Abstrak : Secara biomekanis, pergelangan kaki merupakan bagian tubuh yang menerima beban dari seluruh tubuh baik pada saat berdiri maupun berjalan. Pada saat berjalan atau berlari maka beban tubuh diterima oleh kaki atau pergelangan kaki pada kedua sisi secara bergantian. Oleh karena kaki dan pergelangan kaki menjadi pusat tumpuan badan pada saat berdiri, berjalan dan berlari, maka bagian tubuh tersebut cenderung mengalami gangguan akibat trauma mekanik yang terjadi terus-menerus yang menyebabkan nyeri pada pembebanan yang berlebihan salah satunya adalah plantar fasciitis. Intervensi ortotik prostetik yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akibat plantar fasciitis berupa penggunaan silicone foot orthosis. Ortosis ini merupakan salah satu foot ortosis berbahan lunak membantu menghilangkan shock, meningkatkan keseimbangan dan pada akhirnya menghilangkan rasa nyeri pada kaki akibat plantar fasciitis. Desain yang digunakan adalah penelitian quasy experiment dengan menggunakan one groups pre test and post test design.. Variabel bebas adalah penggunaan silicone foot orthosis. Variabel terikat adalah penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis.pada penelitian ini subyek sebanyak 12 orang, subyek di ukur derajat nyeri sebelum perlakuan menggunakan Visual Analouge Scale (VAS) dan setelah perlakuan selama penggunaan 2 minggu lalu di ukur kembali derajat nyeri. Berdasarkan hasil uji analisa statistik di mana nilai P< 0.05, maka dapat menjawab penelitian pengaruh penggunaan silicone foot orthosis terhadap penurunan derajat nyeri pada plantar fasciitis. Adanya pengaruh bermakna pada penurunan derajat nyeri pada penderita plantar fasciitis diartikan sebagai adanya fungsi penggunaan silicone foot orthosis terhadap pengurangan derajat nyeri pada penderita plantar fasciitis setelah Berdasarkan hasil data yang didapat selama 3 minggu yaitu periode 25 Mei sampai 12 Juni 2015 di Klinik Kuspito tentang pengaruh penggunaan silicone foot orthosis terhadap penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis. Penggunaan silicone foot orthosis diberikan selama 2 minggu dengan jumlah subyek sebanyak 12. Berdasarkan data yang didapat nilai rata rata nyeri sebelum perlakuan 45,00 dan setelah perlakuan 28,33. Selanjutnya dilakukan uji normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk didapatkan uji setelah perlakuan 0,242 hal ini menunjukkan data normal karena lebih dari 0,05 tahap berikutnya uji analisa statistik menggunakan uji t berpasangan (paired sample t test) didapatkan hasil nilai nilai rata rata 16,667, nilai standar deviasi 4,924, dan nilai signifikan p= (p<0.05). Dari hasil uji statistik ini menujukan bahwa penggunaan silicone foot orthosis berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis. Kata Kunci : silicone foot orthosis, nyeri, plantar fasciitis 1. LATAR BELAKANG Secara biomekanis, pergelangan kaki merupakan bagian tubuh yang menerima beban dari seluruh tubuh baik pada saat berdiri maupun berjalan. Pada saat berjalan atau berlari maka beban tubuh diterima oleh kaki atau pergelangan kaki pada kedua sisi secara bergantian. Oleh karena kaki dan pergelangan kaki menjadi pusat tumpuan badan pada saat berdiri, berjalan dan berlari, maka bagian tubuh tersebut cenderung mengalami gangguan akibat trauma mekanik yang terjadi terus-menerus yang menyebabkan nyeri pada pembebanan yang berlebihan salah satunya adalah plantar fasciitis. Plantar fasciitis adalah peradangan pada fascia plantaris yang disebabkan oleh penguluran yang berlebihan pada fascia plantaris yang dapat mengakibatkan robekan kemudian timbul suatu iritasi pada fascia plantaris, khususnya mengenai bagian antero-medial tuberositas calcaneus terkadang dapat juga terjadi pada bagian posterior calcaneus (Mcpoil, 2008). Plantar fasciitis diawali karena adanya penguluran yang berlebih pada sisi perlengketan fascia sehingga menimbulkan cidera, inflamasi dan nyeri serta robekan pada fascia plantaris. Cidera fascia pada perlengketan kalkaneus akan cenderung kronis mengingat pada usia lanjut. Plantar fasciitis adalah jenis yang paling umum dari cidera fascia plantaris (Jaswani et al, 2009) dan merupakan alasan paling umum untuk nyeri tumit, bertanggung jawab atas 80% kasus. Kondisi ini cenderung terjadi lebih sering pada wanita, militer, atlet yang lebih tua, obesitas, dan atlet laki-laki muda (Tahririan MA dan Orchard J, 2012). Plantar fasciitis diperkirakan dialami 1 dari 10 orang di dan paling sering dialami orang usia antara tahun (Lareau CR dan Rosenbaum AJ, 2014). Di Amerika Serikat saja, lebih dari dua juta orang menerima pengobatan untuk plantar fasciitis (Rosenbaum AJ, 2014). Plantar fasciitis juga merupakan penyebab paling umum nyeri tumit 11 sampai 15 persen gejala kaki yang membutuhkan perawatan medis (Buchbinder R, 2004). Nyeri terjadi pada awal gerakan baik saat berdiri maupun berjalan. Nyeri terasa tertusuk-tusuk pada daerah tumit bawah, nyeri pada tumit ini bisa disebabkan karena beban yang berlebihan pada telapak kaki yang mulai atau telah degenertif, biasanya dialami oleh orang dengan berat badan yang besar atau obesitas serta kebiasaan menggunakan alas kaki yang permukaannya keras dan tipis, dan juga pada seorang yang mempunyai 447

448 arkus yang tinggi dan flat foot. Pada beberapa kasus, nyeri muncul ketika mengangkat beban berat karena adanya penekanan pada fascia plantaris. Karena adanya nyeri tersebut maka terjadi immobilisasi yang efeknya akan memunculkan masalah baru salah satunya adalah terjadinya disuse atrophy dan akibat selanjutnya akan mengganggu produktifitas yang pada akhirnya berdampak pada penurunan kualitas hidup. Tahririan MA. et al (2012) dalam sebuah jurnal berjudul plantar fasciitis, mengungkapkan dasar pemikiran menggunakan foot ortosis adalah menurunkan kaki pronasi (flat feet) yang abnormal yang dianggap menyebabkan peningkatan tekanan pada fascia plantaris. Beberapa intervensi ortotik prostetik yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri akibat plantar fasciitis berupa penggunaan silicone foot orthosis. Ortosis ini merupakan salah satu foot ortosis berbahan silicone lunak membantu mengurangi shock, meningkatkan keseimbangan dan pada akhirnya mengurangi rasa nyeri pada kaki akibat plantar fasciitis. Silicone foot orthosis dapat mengurangi beban mekanik di bagian kaki, serta imobilisasi kaki yang bertujuan dapat mengurangi nyeri pada kasus plantar fasciitis dan mencegah terjadinya deformitas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa pengaruh Silicone Foot Orthosis dalam mengurangi nyeri pada kasus plantar fasciitis. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Klinik Kuspito Ortotik Prostetik Jaten Karanganyar Surakarta Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Mei Juni Desain yang digunakan adalah penelitian quasy experiment dengan menggunakan one groups pre test and post test design. Variabel bebas adalah penggunaan silicone foot orthosis. Variabel terikat adalah penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis. Pada penelitian ini subyek sebanyak 12 orang, subyek di ukur derajat nyeri sebelum perlakuan menggunakan Visual Analouge Scale (VAS) dan setelah perlakuan selama penggunaan 2 minggu lalu di ukur kembali derajat nyeri.dilakukan pre test (O1) pengukuran nyeri dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) pada setiap subyek penelitian. Pengambilan data akhir (O2) post test dilakukan setelah pemakaian 2 minggu menggunakan Silicone Foot Orthosis dan dilakukan pengukuran nyeri dengan Visual Analogue Scale (VAS). Bertujuan untuk mengetahui penurunan derajat nyeri plantar fasciitis setelah pemberian silicone foot orthosis. Variabel bebas adalah penggunaan silicone foot orthosis. Variabel terikat adalah penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis. Definisi operasional silicone foot orthosis adalah salah satu jenis foot ortosis di peruntukan untuk support kaki, imobilisasi, dan pain relief plantar fasciitis yaitu untuk mengontrol over-pronasi dan bantalan empuk di bagian heel. Dibuat dengan mengambil profil kaki (casting) menggunakan plaster of paris bandage (POP Bandage) dan kemudian hasil cetakan dicor setelah itu direktifikasi untuk mengontrol faktor biomekanik seperti pes planus, valgus dan perbedaan panjang kaki. Silicone foot orthosis ini menggunakan bahan Silicone. Derajat nyeri adalah pengalaman yang tidak nyaman di rasakan oleh penderita plantar fasciitis pada daerah telapak kaki yang diukur dengan menggunakan skala VAS.Plantar fasciitis adalah suatu kondisi adanya peradangan pada jaringan lunak di tempat perlekatan aponeurosis plantaris pada bagian bawah dari tuberositas kalkaneus akibat beberapa faktor salah satunya berat badan yang berlebih, aktifitas yang tinggi, serta memiliki kelainan kaki seperti pes cavus dan pes planus yang berujung nyeri pada fascia plantaris. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini Visual Analogue Scale (VAS) yang memiliki validitas dan reliabilitas yang baik serta sensitivitas yang konsisten terhadap pemberian terapi (Jensen, 2003). Bijur et al (2001) melaporkan bahwa VAS merupakan alat ukur yang cukup reliable untuk digunakan pada pengukuran nyeri akut. Instrumen pengukuran yang dinilai berupa karakteristik subyektifnyeri, di mana subyek menunjukkan tingkat nyeri pada garis nyeri pada garis kontinyu antara dua titik (Grant, 1999). Untuk mengetahui pengaruh penggunaan silicone foot orthosis terhadap penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis perlu di uji normalitas data, pada penelitian ini analisis data menggunakan program SPSS 22 menggunakan Shapiro-Wilk. kemudian dilanjutkan dengan uji beda pre dan post test dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengurangan nyeri sebelum dan setelah diberi perlakuan. Pada uji beda ini dilakukan analisis dengan uji t berpasangan (paired sample t test) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik subyek penelitian Pada tabel 4.1, di bawah ini menujukan bahwa total subyek penelitian adalah 12 orang yang terdiri dari 3 orang laki laki dan 9 orang perempuan. Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Klinik Kuspito FrekuensiPersenValid Persen Laki-laki Perempuan Total

449 Pada tabel 4.2, di bawah ini menunjukkan total subyek 12 orang yang di kategorikan menjadi: umur tahun, tahun, dan tahun. Hasil data tersebut menunjukkan bahwa subyek penelitian yang memiliki plantar fasciitis paling banyak rentang usia tahun dengan jumlah 5. Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Klinik Kuspito FrekuensiPersenValid Persen ,333,3. Total Pada tabel 4.3, menujukan indeks masa tubuh total subyek 12 yang tergolong menjadi (1) normal, (2) gemuk, (3) obesitas 1, (4) >30 obesitas 2 (Centre for Obesity Research and Education, 2007). Dari hasil yang didapat jumlah terbanyak kondisi plantar fasciitis mengalami obesitas 1 sebanyak 6 orang. Hal ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Tahririan MA et al, (2012) pasien yang mengalami plantar fasciitis 70% adalah obesitas. Tabel 4.3 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Indeks Masa Tubuh FrekuensiPersenValid Persen > Total Pada tabel 4.4, hasil umur minimum umur maksimal adalah 56 tahun dengan rata - rata umur adalah 41,83 dan standar deviasinya adalah 11,36. Untuk tinggi badan minimum subjek penelitian adalah 150cm sedangkan tinggi maksimum adalah 170cm dengan rata-rata tinggi 161,33 dan standar deviasinya adalah 6,93. Untuk berat badan minimum subjek penelitian adalah 48kg sedangkan berat badan maksimum adalah 100kg dengan rata-rata 69,75 dan standar deviasinya adalah 12,69. Tabel 4.4 Karakteristik Berdasarkan Umur, Tinggi, Dan Berat Badan KarakteristikMinimumMaksimum Rata-RataStandar deviasi Umur ,83 11,368 Tinggi Badan ,33 6,933 Berat Badan ,75 12, Keadaan Awal Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini diukur nilai nyerinya menggunakan Visual Analogue Scale (VAS)sebelum mendapatkan perlakuan. Data sebelum diberikan perlakuan dapat dilihat pada tabel 4.5 Tabel 4.5 Sebaran Data Menurut Nilai Vas Pre Test MinimumMaksimumRata-rataStandar Deviasi Pre ,0014,460 Berdasarkan hasil pengukuran pada subjek (n=12) tersebut didapatkan nilai maksimum sebelum perlakuan 70, nilai minimum sebelum perlakuan 30, rata rata sebelum perlakuan 45,00 dan standar deviasi sebelum perlakuan 14,460. Pada hasil intervensi atau perlakuan nilai nyeri setelah penggunaan silicone foot orthosis selama 2 minggu pada subjek (n=12) di ukur kembali dengan tidak menggunakan silicone foot orthosis menggunakan VAS, diperoleh nilai nyeri dengan rata - rata 28,33, standar deviasi 13,371, nilai maksimum 50 dan nilai minimum 10. Hasil dapat dilihat pada tabel 4.6 di bawah ini: Tabel 4.6 Sebaran Data Menurut Nilai Vas Post Test MinimumMaksimumRata-rataStandar Deviasi Post105028,3313,

450 Hasil pengukuran setelah menggunakan silicone foot orthosis (post test) menunjukkan bahwa keadaan subjek penelitian setelah mendapatkan perlakuan mengalami penurunan derajat nilai nyeri. Hasil penurunan tingkat nyeri dapat dilihat pada tabel 4.7 dan tabel 4.8 di bawah ini: Tabel 4.7 Nilai Vas Sebelum Dan Setelah Perlakuan PrePostPerbedaan tingkat nyeri sebelum dan setelah perlakuan N Minimum Maksimum Rata - rata 45,0028,3316,67 Standar14,46013,3711,089 deviasi Tabel 4.8 Nilai Vas Sebelum Dan Setelah Perlakuan Masing Masing Subyek Nilai VAS Nilai VAS Perbedaan Nilai QVAS Pre Test Post Tes Pretest dan Post Test Nina K Wahyu Arsyani Fina Afrianti Megawati Elysa Suharyati Sr. Neneng Junaeni Agustina. S Wahyudi Sakim Nuri Wahyuni Nelly Widanti Hasil pengukuran derajat nyeri menggunakan skala VAS dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, indeks masa tubuh dapat di lihat pada tabel : Tabel 4.9 Nilai Vas Sebelum Dan Setelah Perlakuan Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis KelaminNMinimumMaksimumMeanStd. Deviasi Laki - Laki Pre ,3315,275 Post ,6715,275 Perempuan Pre ,2213,944 Post ,5612,36 Tabel 4.10 Nilai Vas Sebelum Dan Setelah Perlakuan Berdasarkan Kategori Usia UsiaNMinimumMaksimum MeanStd. Deviasi Pre ,0014,832 Post ,0012, Pre ,3315,275 Post ,0010, Pre ,0010,000 Post ,509,574 Tabel 4.11 Nilai Vas Sebelum Dan Setelah Perlakuan Berdasarkan Kategori Indeks Masa Tubuh IMBNMinimumMaksimumMeanStd. Deviasi 18,5-22,9 Pre ,000 Post ,509,574 23, 24,9 Pre ,0028,284 Post ,0028, Pre ,679,832 Post ,337,

451 Dilakukan uji pra syarat analisis. Data penelitian yang diperoleh untuk mengetahui pengaruh penggunaan silicone foot orthosis terhadap penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis perlu di uji normalitas data, pada penelitian ini analisis data menggunakan program SPSS 22 menggunakan Shapiro-Wilk, dikarenakan subyek kurang dari 30. Hasil dari uji normalitas data didapatkan sebelum perlakuan nilai p= 0,242 (p>0,05) sehingga uji normalitas data diterima atau distribusi data normal. Dilakukan uji beda pre dan post test. Uji beda pre dan post test dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengurangan nyeri sebelum dan setelah diberi perlakuan. Pada uji beda ini dilakukan analisis dengan uji t berpasangan (paired sample t test), didapatkan hasil nilai p= (p<0.05). hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian silicone foot orthosis terhadap penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis. Pembahasan Pada penelitian ini subyek sebanyak 12 orang, subyek di ukur derajat nyeri sebelum perlakuan menggunakan Visual Analouge Scale (VAS) dan setelah perlakuan selama penggunaan 2 minggu lalu di ukur kembali derajat nyeri. Berdasarkan hasil uji analisa statistik di mana nilai P< 0.05, maka dapat menjawab penelitian pengaruh penggunaan silicone foot orthosis terhadap penurunan derajat nyeri pada plantar fasciitis. Adanya pengaruh bermakna pada penurunan derajat nyeri pada penderita plantar fasciitis diartikan sebagai adanya fungsi silicone foot orthosis terhadap pengurangan derajat nyeri pada penderita plantar fasciitis setelah perlakuan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Tahririan MA, et al (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Plantar Fasciitis mengemukakan dalam jurnalnya mengungkapkan dasar pemikiran menggunakan foot ortosis adalah menurunkan kaki pronasi (flat feet) yang abnormal yang dianggap menyebabkan peningkatan tekanan pada fascia plantaris. Silicone foot orthosis juga membatu mendistribusikan berat ke struktur kaki lainnya secara merata (Weber S, 2004). Hal ini pula di tegaskan oleh Mcpoil MG, et al (2008) bahwa foot ortosis dapat mengurangi regangan di plantar fasia selama pembebanan statis, mengurangi runtuhnya lengkungan longitudinal medial. Penelitian selanjutnya dikemukakan oleh Kuwada Gerald T (2011) dalam penelitiannya berjudul A Prospective Randomized Trial Using Four Treatment Modalities for the Treatment of Plantar Fasciitis, menggunakan 100 pasien plantar fasciitis dipilih secara acak yang akhirnya terdiri dari 62 perempuan dan 38 laki laki dengan dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu ultrasound, foot ortosis, over the counter arch supports, dan injeksi kartikostiloid. Sebelumnya pasien dinilai pre treatment tingkat nyeri subjektif mereka berdasarkan skala Nol yaitu tidak ada rasa sakit dan 10 adalah rasa sakit yang paling parah. Untuk data pasien berupa jenis kelamin, tinggi pasien, berat badan, dan usia serta indeks masa tubuh dicatat untuk masing - masing kelompok. Hasil studi yang didapat yaitu jumlah tertinggi pasien tidak merasakan nyeri perlakuan foot ortosis 8 dari 25 pasien, untuk utrasound 5 dari 25 pasien, injeksi 2 dari 25 pasien, dan arch supports 1 dari 25 pasien. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh penggunaan Silicone Foot Orthosis dengan jumlah subyek sebanyak 12 didapat nilai rata rata nyeri sebelum perlakuan 45,00 dan setelah perlakuan 28,33. Selanjutnya dilakukan uji normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk didapatkan uji setelah perlakuan 0,242 hal ini menunjukkan data normal karena lebih dari 0,05 tahap berikutnya uji analisa statistik menggunakan uji t berpasangan (paired sample t test) didapatkan hasil nilai nilai rata rata 16,667, nilai standar deviasi 4,924, dan nilai signifikan p= (p<0.05). Dari hasil uji statistik ini menujukan bahwa Silicone Foot Orthosis berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada kondisi plantar fasciitis. 5. DAFTAR PUSTAKA Bijur, P.E., Silver, W., Gallagher, J, 2001; Reliability of the Visual Analog Scale for Measurement of Acute Pain; Academic Emergency Medicine, vol.8, hal Buchbinder, R, 2004; Plantar Fasciitis; New England Journal of Medicine, vol.350, hal Centre for Obesity Research and Education, 2007: Body Mass Index: BMI Calculator; Retrieved Desember, 21, 2014 from Goff, J.D., Crawford, R, 2011; Diagnosis and treatment of plantar fasciitis; Am Fam Physician, vol.84, hal Jensen, M.P., Chen, C., Brugger, A.M, 2003; Interpretation of Visual Analog Scale Ratings and Change Scores: A Reanalysis of Two Clinical Trials of Postoperative Pain; The Journal of Pain, vol.4, hal Jeswani, T., Morlese, J., McNally, E.G, 2009; Getting to the heel of the problem: plantar fascia lesions; Clin Radiol, vol.64, hal Kuwada, G.T, 2011; A Prospective Randomized Trial Using Four Treatment Modalities for the Treatment of Plantar Fasciitis; The Foot and Ankle Online Journal, vol.4 hal

452 Lareau, C.R., Sawyer, G.A., Wang, J.H., DiGiovanni C.W, 2014; Plantar and Medial Heel Pain: Diagnosis and Management; The Journal of the American Academy of Orthopaedic Surgeons, vol.22, hal Mcpoil, G., et al, 2008; Heel Pain-Plantar Fasciitis; Journal Of Orthopaedic&Sport Physical Therapy, vol.38. Rosenbaum, A.J., DiPreta, J.A., Misener, D, 2014; Plantar Heel Pain; Med Clin North Am, vol.98, hal Tahririan, M.A., Motififard, M., Tahmasebi, M.N., Siavashi, B, 2012; Plantar fasciitis; J Res Med Sci, vol.17, hal.799 Weber, S., 2004; FO/AFO CSPO Manual; dalam McMonagle, C., Williams, A. (ed); Manual Foot Orthotic; Nippon Foundation, hal

453 KANDUNGAN ZAT GIZI DAN KADAR ANTOSIANIN MINUMAN NANAS KERANG DENGAN PENAMBAHAN JERUK NIPIS SUMARTO 1 DAN DERIS APRIANTY 1 1 Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Tasikmalaya. kang_sumarto@yahoo.com Abstrak - Nanas Kerang merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak ditanam di Indonesia. Penelitian di luar negeri telah membuktikan bahwa Nanas Kerang bermanfaat dalam mencegah kanker. Untuk itu, perlu dilakukan pemanfaatan Nanas Kerang menjadi produk pangan fungsional agar dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang lebih luas dengan teknologi sederhana. Sumarto dan Aprianty (2015) telah melakukan penelitian terhadap Nanas Kerang yang diolah menjadi produk minuman dengan penambahan Jeruk Nipis melalui proses pasteurisasi. Produk tersebut telah dilakukan uji penerimaan terhadap konsumen melalui uji organoleptik dan pengukuran nilai ph produk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis dapat diterima oleh konsumen dan berpotensi untuk dikembangkan dengan aplikasi teknologi sederhana pasteurisasi. Akan tetapi, beberapa data untuk mendukung hasil penelitian tersebut belum ada. Data tersebut terutama adalah data terkait kandungan zat gizi dan komponen bioaktif yang terdapat di dalamnya, yaitu antosianin. Sehingga, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan zat gizi dan kadar antosianin produk minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis yang terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik dan pengukuran nilai ph produk. Minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis yang diterima secara organoleptik dan pengukuran ph memiliki kandungan air, abu (total mineral), protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, dan energi berturut-turut 88,95%, 0,07%, 0,06%, 0,10%, 0,62%, 10,20%, dan 40,42 kal per 100 gram. Kandungan antosianin pada minuman tersebut adalah 46,84 ppm. Kata kunci: Nanas Kerang, Jeruk Nipis, Zat Gizi, Antosianin 1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan biodiversitas dengan berbagai macam tanaman obat yang dihasilkan dari tanah air ini. Ratusan bahkan ribuan tanaman obat ini telah ditemukan memiliki manfaat secara empirik bagi kesehatan tubuh. Akan tetapi, belum semua jenis tanaman obat tersebut telah diuji secara ilmiah untuk melihat kandungan komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan (Sumarto dan Aprianty 2015). Salah satu tanaman obat yang belum termanfaatkan dengan baik adalah Nanas Kerang (Rhoeo discolor). Secara empirik, nanas kerang memiliki manfaat untuk menyembuhkan penyakit bronkhitis, batuk, TBC kelenjar, mimisan, disentri, dan berak darah (Anonim 2014). Penelitian secara ilmiah di luar negeri yang dilakukan oleh Rosales-Reyes, et al. (2007) menunjukkan bahwa ekstrak utuh dengan pelarut air dari Nanas Kerang (Rhoeo discolor) dapat mencegah terjadinya kanker. Sedangkan penelitian Boffill-Càrdenas et al. (2006) menunjukkan bahwa Nanas Kerang mempunyai efek diuretik. Ekstrak larut air dari Nanas Kerang dapat memblok aktivitas antiadregenerik dari bretylium (Garc ıa et al 1971) dan kontraseptif pada tikus (Weniger et al 1982). Pada ekstrak larut alkohol, Nanas Keras secara in vitro menunjukkan aktivitas antimutagenik, antigenotoksik, dan antioksidatif (Gonza lez-a vila et al 2003). Berdasarkan data di atas, perlu dilakukan pengembangan Nanas Kerang menjadi produk pangan yang diharapkan dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Salah satu produk yang dapat dikembangkan adalah produk minuman. Produk minuman Nanas Kerang dibuat melalui proses pengolahan pasteurisasi untuk meminimalisir kerusakan komponen aktif yang terkandung di dalamnya. Untuk memperpanjang umur simpan dan meningkatkan efektifitas proses pasteurisasi produk perlu dibuat dalam kondisi asam (ph rendah). Untuk itu, penambahan Jeruk Nipis diharapkan dapat meningkatkan efektifitasi proses pasteurisasi. Sumarto dan Aprianty (2015) telah melakukan penelitian terhadap Nanas Kerang yang diolah menjadi produk minuman dengan penambahan Jeruk Nipis melalui proses pasteurisasi. Produk tersebut telah dilakukan uji penerimaan terhadap konsumen melalui uji organoleptik dan pengukuran nilai ph produk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis dapat diterima oleh konsumen dan berpotensi untuk dikembangkan dengan aplikasi teknologi sederhana pasteurisasi. Akan tetapi, beberapa data untuk mendukung hasil penelitian minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis belum ada. Data tersebut terutama adalah data terkait kandungan zat gizi dan komponen bioaktif yang terdapat di dalamnya. Komponen bioaktif yang terdapat di dalam Nanas Kerang adalah antosianin. Sehingga, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan zat gizi dan kadar antosianin produk minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis yang terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik dan pengukuran nilai ph produk. 453

454 2. METODE PENELITIAN Area kajian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan pembuatan produk minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis dan bahan untuk analisis produk. Bahan pembuatan produk terdiri atas Nanas Kerang, air perasan Jeruk Nipis, sukrosa, dan air. Sedangkan bahan untuk analisis produk terutama analisis zat gizi dan antosianin meliputi bahan kimia dan reagen yang dibutuhkan untuk analisis tersebut. Zat gizi yang dianalisis meliputi air, abu (total mineral), protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, dan energi. Analisis kadar air menggunakan oven, kadar abu menggunakan tanur, kadar protein menggunakan kjeldahl, analisis lemak menggunakan soxhlet, kadar serat dengan destruktif, kadar karbohidrat dengan by difference (menghitung selisih 100% dikurangi kadar air, abu, lemak, dan protein), dan energi dihitung dengan menjumlahkan total kalori yang disumbangkan dari karbohidrat, protein, dan lemak per gram masing-masing zat tersebut. Analisis antosianin menggunakan spektrofotometer. Produk yang dianalisis zat gizi dan kadar antosianin adalah produk minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis yang terpilih secara uji organoleptik dan pengukuran ph. Hasil analisis uji organoleptik dan pengukuran ph telah dipublikasikan (Sumarto dan Aprianty 2015). Cara kerja Cara pembuatan minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis dilakukan menurut Sumarto dan Aprianty (2015). Pada tahap sebelumnya telah dilakukan pembuatan minuman Nanas Keras dengan variasi penambahan perasan Jeruk Nipis sebanyak 1,5%, 2,0%, 2,5%, dan 3,0%. Setiap perlakuan dilakukan pengukuran nilai ph menggunakan indikator ph universal dan uji organoleptik yang telah dilakukan dan dipublikasikan (Sumarto dan Aprianty 2015). Prosedur pengukuran kadar air, kadar abu, protein, lemak, dan antosianin mengikuti metode AOAC (2005). Analisis data Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer Microsoft Excel. Data uji organoleptik, nilai ph, kandungan zat gizi, dan kadar antosianin dianalisis secara deskriptif-analitik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Produk Terbaik Berdasarkan Uji Organoleptik dan Pengukuran ph Produk Gambar 1.Tanaman Nanas Kerang dan Produk Minuman Hasil Penelitian (Sumarto dan Aprianty 2015) Gambar 2. Penilaian Organoleptik terhadap Keseluruhan Parameter Minuman Nanas Kerang (Sumarto dan Aprianty 2015) 454

455 Tabel 1. Nilai ph Minuman Nanas Kerang Jeruk Nipis Perlakuan Nilai ph A (1,5%) 3,5 B (2,0%) 3 C (2,5%) 3 D (3,0%) 3 Sumber: Sumarto dan Aprianty (2015) Berdasarkan hasil di atas, terpilih produk terbaik adalah perlakuan D (penambahan air perasan jerus nipis 3%). Sehingga, analisis kandungan zat gizi dan kadar antosianin dilakukan terhadap produk perlakuan D tersebut. Hasil Kandungan Zat Gizi Tabel 2. Hasil analisis kandungan gizi pada minuman nanas kerang dengan penambahan jeruk nipis Komponen Satuan Kadar Kadar Ulangan 1 Ulangan 2 (Rata-Rata + Standar Deviasi) Air % 88, , ,95 + 0,04 Abu (Total Mineral) % 0,0664 0,0681 0,07 + 0,00 Protein % 0,0512 0,0637 0,06 + 0,01 Lemak % 0,1006 0,1005 0,10 + 0,00 Serat Kasar % 0,6187 0,6301 0,62 + 0,01 Karbohidrat % 10, , ,20 + 0,05 Energi kal/100g 40, , ,42 + 0,17 Hasil Kadar Antosianin Tabel 3. Hasil analisis kadar antosianin pada minuman nanas kerang dengan penambahan jeruk nipis Komponen Satuan Kadar Kadar Ulangan 1 Ulangan 2 (Rata-Rata + Standar Deviasi) Antosianin Ppm 47, , ,84 + 0,29 Pembahasan Pada tahap sebelumnya dilakukan uji coba pembuatan minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis sesuai dengan perlakuan pada Gambar 1. Kemudian, dilakukan pemilihan produk terbaik berdasarkan hasil penilaian uji organoleptik (Gambar 2) dan pengukuran nilai ph (Tabel 1) produk minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis. Pemilihan perlakuan terbaik diperoleh berdasarkan hasil penilaian secara organoleptik dari keseluruhan paramater yang diuji (warna, aroma, kekentalan, dan rasa) yang paling disukai dan dapat diterima. Selain itu, pemilihan produk dilakukan dengan mempertimbangan proses pengolahan utama dalam pembuatan minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis yaitu proses pasteurisasi. Proses pasteurisasi mensyaratkan ph produk maksimal 4,5. Selain itu, semakin rendah ph minuman yang dihasilkan akan memperlama masa simpan produk tersebut dan meningkatkan efektifitas proses pasteurisasi. Proses pasteurisasi dengan nilai ph di bawah 4,5 dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang menghasilkan spora tahan panas yaitu Clostridium botulinum (Hariyadi 2011). Berdasarkan Gambar 2 dan Tabel 1 dapat dilihat bahwa minuman Nanas Kerang dengan perlakuan D (penambahan air jeruk nipis 3%) paling banyak disukai. Hampir di semua parameter (warna, aroma, kekentalan, dan rasa) perlakuan D yang paling disukai. Untuk itu, penelitian selanjutnya dilakukan uji kandungan zat gizi dan kadar antosianin pada produk perlakuan D tersebut. Berdasarkan hasil analisis kandungan zat gizi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis memiliki kandungan gizi yang beragam. Kandungan dominan pada produk tersebut adalah air (88,95%). Kandungan karbohidrat minuman tersebut cukup tinggi, karena produk tersebut ditambahkan sukrosa sebanyak 10% (Sumarto dan Aprianty 2015). Hal ini sesuai dengan hasil yang ditunjukkan 455

456 pada Tabel 2, yaitu kandungan karbohidrat total (termasuk dan didominasi oleh sukrosa) sebesar 10,20%. Kandungan abu (total mineral), protein, dan lemak menunjukkan angka yang tidak terlalu berarti yaitu berturutturut 0,07%, 0,06%, dan 0,10%. Kandungan gizi yang menarik dari minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis adalah kandungan serat (kasar) yang cukup tinggi, yaitu 0,65%. Rata-rata kebutuhan serat total per hari adalah 25 gram, sedangkan menurut Federation of American Society of Experimental Biologi dibutuhkan 70-75% serat tidak larut. Jika diasumsikan serat kasar sebagai serat tidak larut dan konsumen tidak mendapatkan serat dari sumber pangan lain, maka untuk memenuhi kebutuhan serat tidak larut sehari dari minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis tersebut konsumen perlu mengkonsumsi sekitar 2,8 liter minuman tersebut per hari. Kandungan energi minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis sebesar 40,42 kalori. Artinya, sebanyak 100 gram minuman tersebut dapat menyumbangkan sekitar 2% kebutuhan energi per hari remaja usia tahun (Permenkes 2013). Salah satu komponen bioaktif yang terdapat di dalam Nanas Kerang adalah Antosianin, suatu pigmen yang memberikan warna ungu pada daun Nanas Kerang pada sisi belakangnya. Menurut Winarno (2008) pigmen antosianin memberikan warna merah, biru, violet, dan biasanya dijumpai pada bunga, buah-buahan, dan sayursayuran. Menurut Yashinaga (1995) Antosianin dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner. Antosianin merupakan salah satu jenis flavonoid yang dapat berperan sebagai antioksidan. Meskipun absorbsinya jauh dibawah 1%, antosianin setelah ditransport ke tempat yang memiliki aktivitas metabolik tinggi memperlihatkan aktivitas sistemik seperti antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, dan efek anti-inflammatory, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler dan penghambatan agregasi platelet serta immunitas, semua aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan (Clifford et al., 2000; Middleton et al., 2000). Antosianin bersifat lebih stabil pada ph asam (Markakis, 1982). Selain itu kemampuan mendonorkan hidrogen (hydrogen-donating activity) dari antosianin meningkat pada kondisi yang semakin asam (Pokorny et al., 2001). Kemampuan mendonor hidrogen ini dikaitkan dengan fungsinya sebagai antioksidan. Berdasarkan hasil pada Tabel 3, minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis menunjukkan kandungan antosianin sebesar 46,84 ppm. Hasil ini menunjukkan angka yang hampir sama dengan buah plum yaitu 2-25 mg/100 g (Andarwulan dan Faradilla 2012a), lebih besar dibandingkan bunga turi (0,22 mg/100 g), daun kucai (0,46 mg/100 g), buah takokak (4,44 mg/100 g), daun kelor (3,25 mg/100 g), mengkudu (1,11 mg/100 g), kacang panjang (1,23 mg/100 g), turubuk (2,38 mg/100 g), mangkokan putih (1,63 mg/100 g), labu siam (0,78 mg/100g), bunga pepaya (1,33 mg/100g), pucuk mete (0,37 mg/100g), pakis (0,07 mg/100 g), antanan beurit (0,77 mg/100 g), kenikir (0,78 mg/100g), beluntas (0,27 mg/100g), mangkokan (1,42 mg/100g), bunga kecombrang (4,42 mg/100g), kemangi (0,10 mg/100g), katuk (1,52 mg/100g), kedondong cina (0,41 mg/100g), antanan (1,08 mg/100g), pohpohan (0,75 mg/100g), daun ginseng (0,22 mg/100 g), krokot (0,24 mg/100 g) (Andarwulan dan Faradilla 2012b). 4. KESIMPULAN Kandungan zat gizi minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis yang diterima secara organoleptik dan pengukuran ph air, abu (total mineral), protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, dan energi berturut-turut 88,95%, 0,07%, 0,06%, 0,10%, 0,62%, 10,20%, dan 40,42 kal per 100 gram. Kandungan antosianin pada minuman tersebut adalah 46,84 ppm. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan Terima Kasih kami sampaikan kepada Direktur dan seluruh civitas akademika poltekkes kemenkes Tasikmalaya terutama jurusan Gizi yang telah membantu dan mendukung pelaksanaan penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Lab. Chem-Mix Pratama, Bantul, Yogyakarta atas uji proksimat dan kadar antosianin minuman Nanas Kerang dengan penambahan Jeruk Nipis. 6. DAFTAR PUSTAKA Andarwulan, N dan RHF. Faradilla. 2012a. Pewarna Alami untuk Pangan. Bogor: SEAFAST Center IPB. Andarwulan, N dan RHF. Faradilla. 2012b. Senyawa Fenolik pada Beberapa Sayuran Indigenous dari Indonesia. Bogor: SEAFAST Center IPB. Anonim (2014). Nanas Kerang (Rhoeo discolor). diakses 24 April AOAC (2005). Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists. Benjamin Franklin Station, Washington. BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan] RI (2005). Peraturan Kepala BPOM Nomor HK tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. 456

457 Boffill-Cárdenas, Maria, Geidy Lorenzo Monteagudo, Emilio Monteagudo Jiménez, Mario Suerio Oyarzum, Yamilet Martinez Chavian, Jesus Matos J, Sulay Loy (2006). Diuretic Activity Of Five Medicinal Plants Used Popularly In Cuba. Pharmacologyonline 3: Garc ıa, M., Miyares, C., Men endez, E., Sainz, F., (1971). Blockade of the antiadrenergic action of bretylium by an aqueous extract of the leaves of Rhoeo spathacea. Canadian Journal of Physiology and Pharmacology 49, Gonza lez-a vila, M., Arriaga-Alba, M., De la Garza, M., Herna ndez-pretel ın, M.C., Dom ınguez-ort ız, M.A., Fattel- Fazenda, S., Villa-Trevi no, S., (2003). Antigenotoxic, antimutagenic and ROS scavenging activities of a Rhoeo discolor ethanolic crude extract. Toxicology in Vitro 17, Hariyadi, Purwiyatno (2011). Modul Pelatihan Proses Termal. Bogor: SEAFAST Center IPB. Permenkes [Peraturan Menteri Kesehatan RI] (2013). Permenkes Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Rosales-Reyes, T abata, Mireya de la Garza, Carlos Arias-Castro, Martha Rodr ıguez-mendiola, Samia Fattel-Fazenda, Evelia Arce-Popoca, Sergio Hern andez-garc ıa, Sa ul Villa-Trevi no Aqueous crude extract of Rhoeo discolor, a Mexican medicinal plant, decreases the formation of liver preneoplastic foci in rats. Journal of Ethnopharmacology 115 (2008) Sumarto dan D. Aprianty (2015). Potensi pemanfaatan tanaman Nanas Kerang-buah Jeruk Nipis sebagai produk minuman fungsional dengan aplikasi teknologi pasteurisasi. Buletin Media Informasi Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya, Edisi 1 Tahun 2015, 8-9. Winarno, F.G. (2008). Kimia Pangan dan Gizi. Mbrio Press, Bogor. Yashinaga, M. (1995). New Cultivar Ayamurasaki for Colorant Production. Sweetpotato Res. Front, Vol 1: 2. Weniger, B., Haag-Berrurier, M., Anton, R., Plants of Haiti used as antifertility agents. Journal of Ethnopharmacology 6,

458 FORMULASI DAN EVALUASI MIKROEMULGEL DARI MINYAK BEKATUL SEBAGAI ANTIOKSIDAN Garnadi Jafar, Gladis Kamilah, Rohaniah Sekolah Tinggi Farmasi Bandung ABSTRAK : Salah satu permasalahan yang serius terjadi pada kulit adalah penuaan dini. Penuaan dini pada kulit dapat disebabkan oleh radikal bebas yang terdapat di dalam tubuh. Hasil penelitian Chen, dkk (2005) menyebutkan bahwa bekatul memiliki khasiat sebagai antioksidan karena mengandung tokoferol, tokotrienol dan oryzanol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memformulasikan dan mengevaluasi sediaan mikroemulgel dari minyak bekatul sebagai antioksidan yang memiliki stabilitias dan penetrasi yang baik. Formulasi mikroemulgel dipilih berdasarkan beberapa keunggulan yaitu ukuran partikel yang relatif kecil sehingga dapat meningkatkan penetrasi zat aktif ke dalam kulit, memiliki rheologi yang baik, stabil secara termodinamika sehingga tidak akan memisah/pecah, dan jernih. Mikroemulgel minyak bekatul dibuat dengan memformulasikan mikroemulsi dengan konsentrasi Plantacare 10% dan konsentrasi viscolam 7%; 8%; 9%. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa aktivitas antioksidan minyak bekatul menunjukkan nilai IC 50 pada konsentrasi 18,57 ppm. Mikroemulgel yang terbentuk memiliki karakteristik jernih dengan ukuran globul mikroemulsi 85,91nm. Hasil evaluasi mikroemulgel minyak bekatul menunjukkan viskositas relatif stabil pada suhu ruang selama 21 hari dengan rentang cp dan pada suhu ekstrim selama tiga siklus dengan rentang cp sedangkan ph pada suhu ruang dengan rentang 5,85-6,66 dan pada suhu ekstrim dengan rentang 5,78-6,65 relatif tidak stabil. Kata kunci: Mikroemulgel, Minyak Bekatul, Antioksidan. ABSTRACT : One of the serious problems that occur on the skin is premature aging. Premature aging of the skin can be caused by free radicals in the body. The results of the research of Chen, et al (2005) mentions that bran has efficacy as an antioxidant because it contains tocopherol, tokotrienol and oryzanol. The purpose of this research is to formulate and evaluate the material of microemulgel from the rice bran oil as antioxidant that has stability and a good penetration. Microemulgel selected formulations based on several advantages, namely particle size is relatively small so that it can increase the penetration of active substances into the skin, has a good rheologi, thermodynamically stable so it won't split/broken, and clear. Microemulgel rice bran oil is made by microemulsi formulate with a 10% concentration of Plantacare and concentration of viscolam are 7%; 8%; 9%. From the results of this research is that rice bran oil antioxidant activity show the value on the concentration IC ppm. Microemulgel has clear characteristics that are formed with a size of microemulsion globul 85.91nm. Microemulgel rice bran oil evaluation results indicate relatively stable viscosity at room temperature for 21 days with a range of cp and at extreme temperatures for three cycles with range cp while the ph at room temperature with a range and at extreme temperatures with a range is relatively unstable. Keywords: Microemulgel, Rice bran oil, Antioxidant. 1. PENDAHULUAN Kosmetika saat ini sudah umum digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kulit. Kulit merupakan organ terluar dari tubuh yang menutupi seluruh organ dalam manusia, sehingga perlu perawatan khusus agar kulit tetap terawat, terjaga dan terpelihara kesehatannya. Kulit merupakan organ tubuh terbesar yang bersifat unik karena kulit sebagai organ proteksi organ-organ yang ada dalam tubuh dari gangguan luar (Basoeki, S. 1998). Masalah kulit salah satunya ialah penuaan dini (Aging), dimana kulit seseorang mengalami penuaan lebih cepat daripada usianya. Ini ditandai dengan berkurangnya elastisitas kulit, faktor-faktor pemicu nya yaitu radikal bebas yang berasal dari sinar matahari, polusi, asap rokok, makanan yang tidak sehat dan lainnya. Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. (Soetmaji, 1998). Karena senyawa tersebut tidak berpasangan maka akan aktif mencari pasangan elektron yang ada disekitarnya dengan cara menyerang sel, sehingga sel akan terganggu fungsinya. Untuk itu diperlukan suatu penangkal yang biasa dikenal dengan antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat. (Winarsi, 2007). Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa untuk mendapatkan kosmetika yang berkhasiat sebagai antioksidan memerlukan biaya yang mahal, padahal antioksidan alami dewasa ini 458

459 telah banyak ditemukan dari berbagai tanaman, sayuran dan buah-buahan. Salah satunya adalah bekatul (rice bran) merupakan hasil samping dari pengolahan padi yang pemanfaatannya oleh masyarakat di Indonesia masih digunakan sebagai pakan ternak dan selebihnya tidak termanfaatkan. Menurut hasil penelitian bekatul ternyata memiliki khasiat sebagai antioksidan karena mengandung komponen bioaktif atau senyawa fitokimia yang tinggi seperti tokoferol (vitamin E) tokotrienol, oryzanol (Chen, dkk, 2005), β-karoten (Chanphrom, 2007). Ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa aktivitas antioksidan EC 50 ekstrak heksana minyak bekatul sebesar 39,33% (Cahyanine, dkk. 2008), bekatul awet memiliki nilai EC 50 sebesar 28,74% lebih tinggi dibandingkan jus tomat yang hanya memiliki nilai EC 50 sebesar 1,87% (Damayanthi, E. dkk, 2010), EC 50 ekstrak metanol bekatul sebesar 93,11% (Alemzahed, 2011). Dari beberapa penelitian tersebut ada suatu peluang untuk memanfaatkan bekatul menjadi sebuah produk yang berkhasiat. Untuk meningkatkan efektifitas dari bekatul maka perlu dirancang suatu sediaan farmasi yang cocok, dipilihlah sediaan mikroemulgel. Mikroemulgel ialah suatu mikroemulsi yang diinkorporasikan ke dalam fasa gel, dimana mikroemulsi adalah suatu sistem dispersi minyak dengan air yang distabilkan oleh lapisan antar permukaan dari molekul surfaktan dan kosurfaktan. Gel adalah suatu sistem setengah padat yang yang memiliki ciri khas jernih, tersusun atas gelling agent. Pemilihan mikroemulsi didasarkan pada keunggulannya dibandingkan emulsi yaitu ukuran partikel yang relatif kecil sehingga dapat meningkatkan penetrasi zat aktif ke dalam kulit, memiliki rheologi yang baik, stabil secara termodinamika sehingga tidak akan memisah/pecah seperti pada emulsi, jernih, transparan. Berdasarkan dari berbagai keuntungan tersebut maka diharapkan sediaan mikroemulgel berbahan aktif minyak bekatul dapat memenuhi stabilitas dan penetrasinya. Tujuan penelitian ini adalah dapat memformulasikan dan mengevaluasi sediaan mikroemulgel dari minyak bekatul sebagai antioksidan yang memiliki stabilitas dan penetrasi yang baik. 2. METODE Penyiapan Sampel Preparasi sampel yang dilakukan meliputi pengumpulan bekatul, determinasi bekatul, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak minyak bekatul, dan uji aktivitas antioksidan ekstrak. Bekatul didapatkan dari tempat penggilingan padi, dipilih satu varietas padi. Kemudian bekatul dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kering. Selanjutnya bekatul dideterminasi. Determinasi bekatul bertujuan untuk menetapkan kebenaran sampel yang digunakan dalam penelitian. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa dari bekatul, pemeriksaannya meliputi golongan alkaloid; flavonoid; Saponin; Kuinon; Tanin; Steroid/Triterfenoid. Selanjutnya dilakukan ekstraksi minyak bekatul. Ekstraksi Minyak Bekatul Ekstraksi minyak bekatul menggunakan metode maserasi dengan pelarut n-heksan, selama 3x24 jam. Ekstrak yang didapat kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator untuk menghilangkan pelarut yang tersisa pada ekstrak, hasil yang didapat yaitu ekstrak kental minyak bekatul. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak minyak yang didapat dilakukan uji peredaman reduksi radikal bebas 1,1-dipenil-2- pikrilhidrazil (DPPH) dengan menggunakan Spektrofotometri UV-Vis hingga didapat nilai IC 50, pengujian ini untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari ekstrak. Optimasi Formulasi Mikroemulsi Tahap selanjutnya yaitu percobaan pendahuluan mikroemulsi dan gel, bertujuan untuk menentukan kondisi percobaan terbaik dan komposisi bahan yang sesuai untuk menghasilkan sediaan mikroemulgel yang jernih dan stabil. Optimasi mikroemulsi meliputi penentuan konsentrasi kosurfaktan, dibuat 5 formula dengan variasi konsentrasi kosurfaktan 5%; 10%; 15%; 20%; 25%. Kecepatan pengadukan pada rpm, lama pengadukan menit, dan suhu 30 o -50 o C. Setelah dilakukan optimasi mikroemulsi selanjutnya dipilih tiga formula untuk dibuat mikroemulsi. Formula Utama Mikroemulsi Tiga formula terpilih dibuat mikroemulsi dengan penambahan ekstrak minyak bekatul. Setelah terbentuk mikroemulsi dilakukan karakterisasi sediaan yang meliputi pengukuran ph dan pengamatan 459

460 organoleptik, hingga akhirnya dipilih satu formula terbaik hasil karakterisasi. Uji Morfologi dan Ukuran Globul Mikroemulsi Formula terbaik mikroemulsi yang telah dikarakterisasi dilakukan uji morfologi dan ukuran tetesan menggunakan alat Transmission Electron Microscope (TEM). Setelah dilakukan pengujian TEM maka tahap selanjutnya adalah pembuatan mikroemulgel. Pembuatan Mikroemulgel Pembuatan mikroemulgel minyak bekatul dibuat dengan menginkorporasikan formula terbaik mikroemulsi ke dalam gel dengan variasi konsentrasi 7%; 8%; 9. Evaluasi Mikroemulgel Evaluasi sediaan mikroemulgel ekstrak minyak bekatul meliputi, pengamatan organoleptik, pengukuran ph, pengukuran viskositas, uji stabilitas dipercepat (freeze thaw), dan uji panelis. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyiapan Sampel Bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Batu Tumpang, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta. Bekatul yang dipilih merupakan varietas padi sinta. Hasil dari determinasi yang dilakukan di Fakultas Biologi Universitas Padjajaran membenarkan bahwa tanaman yang diteliti adalah bekatul dari padi (Oryza sativa L.). Penapisan Fitokimia Hasil penapisan fitokimia serbuk bekatul memberikan hasil positif untuk alkaloid, flavonoid, saponin, tanin (galat), steroid/triterfenoid. Ekstraksi Minyak Bekatul Ekstraksi bekatul sebanyak 1 Kg dengan metode maserasi menghasilkan ekstrak minyak bekatul sebanyak 105 gram dengan rendemen sebanyak 10,5%. Uji Aktivitas Antioksidan Nilai IC 50 minyak bekatul ialah 18,57 ppm sedangkan nilai IC 50 vitamin c sebagai pembanding ialah 5,57 ppm, hasil ini menunjukkan aktivitas antioksidan keduanya tergolong ke dalam antioksidan sangat kuat yaitu <50 ppm. dalam antioksidan sangat kuat yaitu <50 ppm. Nilai IC 50 ialah menunjukan nilai konsentrasi hambat 50%, dihitung dengan persamaan garis y=bx±a, seperti pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1. Grafik % Inhibisi Minyak Bekatul Gambar 2. Grafik % Inhibisi Vitamin C 460

461 Optimasi Formulasi Mikroemulsi Tabel 1. Optimasi Formula Mikroemulsi Bahan Formula (% b/v) F1 F2 F3 F4 F5 Plantacare Tween Minyak Zaitun DMDM Hydantoin 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 Aqua deion hingga Dari hasil percobaan pendahuluan didapatkan kecepatan optimum dalam pembuatan mikroemulsi dengan stirrer yaitu 700 rpm, lama pengadukan 30 menit, suhu 50 o C. Pada konsentrasi kosurfaktan 5% mikroemulsi belum terbentuk, namun pada konsentrasi kosurfaktan 10-25% mikroemulsi mulai terbentuk. Dari hasil optimasi tersebut dipilih tiga formula yaitu formula II; formula III dan formula IV dengan variasi konsentrasi kosurfaktan sebesar 10%; 15% dan 20%, dengan hasil secara fisik atau organoleptik transparan. Formula Utama Mikroemulsi Tabel 2. Formula Terpilih Mikroemulsi Formula (% b/v) Bahan FT II FT FT IV III Ekstrak M. Bekatul 1,66 1,66 1,66 Tween Plantacare Minyak Zaitun DMDM Hydantoin 0,3 0,3 0,3 Aqua deion hingga Penambahan minyak bekatul ke dalam tiga formula terpilih dengan variasi konsentrasi Plantacare 10%; 15% dan 20%. yaitu 700 rpm selama 30 menit dengan suhu 50 o C. Mikroemulsi yang terbentuk dikarakterisasi selama tujuh hari pada hari ke-1; 3; 5; dan 7, dengan mengamati secara fisik (organoleptik) dan pengukuran ph. Karakterisasi Mikroemulsi Pengamatan Organoleptik Mikroemulsi yang dihasilkan berwarna hampir kuning sampai kuning, jernih, tidak berbau dan translucent karena dapat ditembus sinar laser. (Gambar 3) 461

462 Gambar 3. Mikroemulsi terpilih yang disinari laser, (a) Formula II (10%) (b) Formula III (15%) (c) Formula IV (20%) Pengukuran ph ph yang diperoleh berkisar 7,21-9,11 semakin tinggi konsentrasi Plantacare semakin tinggi ph karena Plantacare bersifat basa. Hasil pengukuran ph FII pada Hari ke-1;3;5;7 berturut-turut ialah 7,58 ± 0,09; 7,70 ± 0,01; 7,74 ±0,09; 7,40 ± 0,10. FIII menghasilkan nilai ph berturut-turut yaitu 7,96 ± 0,02; 8,03 ± 0,03; 8,15 ± 0,01; 7,88 ± 0,07. FIV menghasilkan nilai ph berturut-turut yaitu 9,10 ± 0,01; 8,61 ± 0,11; 8,74 ± 0,15; 8,51 ± 0,11. Hasil pengukuran ph mikroemulsi pada Gambar 4. Gambar 4. Grafik Perubahan ph Mikroemulsi Dari ketiga formula terpilih yang telah dilakukan karakterisasi dihasilkan satu formula terbaik yaitu Formula II dengan konsentrasi kosurfaktan 10%. Terpilih Formula II karena dari segi organoleptik memenuhi karakteristik mikroemulsi yaitu jernih. Formula II juga memiliki nilai ph terrendah dari ketiga formula lainnya. Uji Morfologi dan Ukuran Globul Mikroemulsi Mikroemulsi yang diuji ialah mikroemulsi dengan konsentrasi kosurfaktan (Plantacare ) 10% karena karakteristik dari formula tersebut ialah translucent. Ukuran globul yang dihasilkan ialah 85,91nm, ukuran globul tersebut memasuki rentang ukuran globul mikroemulsi yaitu 20nm-200nm. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar

463 Gambar 5. Globul mikroemulsi pada pembesaran x Formulasi Mikroemulgel Tabel 3. Formulasi Mikroemulgel Fasa Mikroemulsi Gel Formula (% b/v) Bahan F I F II F III M. Bekatul 1,66 1,66 1,66 Tween Plantacare Minyak Zaitun DMDM Hydantoin 0,3 0,3 0,3 Aqua deion hingga Viscolam Propilenglikol Gliserin DMDM Hydantoin 0,3 0,3 0,3 TEA Aqua deion hingga Mikroemulsi terbaik yaitu formula II dengan konsentrasi Plantacare 10% diinkorporasikan ke dalam tiga formula gel. Mikroemulgel yang telah terbentuk dilakukan evaluasi yang meliputi pengamatan organoleptik, pengukuran ph, pengukuran viskositas, uji stabilitas dipercepat (freeze thaw) dan uji panelis. Evaluasi Mikroemulgel Pengamatan Organoleptik Mikroemulgel yang terbentuk berwarna bening sampai hampir putih, tidak berbau, homogen, jernih. Tidak berubah warna dan bau selama penyimpanan 21 hari pada suhu ruang. Gambar 6 Mikroemulgel yang disinari laser Pengukuran ph ph mikroemulgel diukur pada hari ke-1; 3; 5; 7; 14; dan 21 yang disimpan pada suhu ruang ±28 o C. Rentang ph yang dihasilkan ialah sebesar 5,85-7,02. Hasil pengukuran ph FI hari ke-1; 3; 5; 7; 14; dan 21 berturut-turut yaitu 6,65±0,01; 6,66±0,01; 6,63±0,01; 6,19±0,09; 6,29±0,02; 6,08±0,00. FII secara berturut-turut sebesar 6,53±0,01; 6,54±0,02; 6,51±0,01; 6,21±0,05; 6,18±0,01; 5,96±0,00. FII secara berturut-turut sebesar 6,43±0,01; 6,43±0,02; 6,41±0,02; 6,05±0,01; 6,07±0,02; 5,85±0,00. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar

464 Gambar 7. Grafik ph Mikroemulgel pada Suhu Ruang Pengukuran Viskositas Viskositas mikroemulgel diukur pada hari ke-1; 3; 5; 7; 14; dan 21 yang disimpan pada suhu ruang ±28 o C. Hasil pengukuran viskositas pada F1 hari ke-1; 3; 5; 7 14; dan 21 secara beruturut-turut sebesar 1088 ± 0,00; 1088 ± 0,00; 976 ± 0,00; 1152 ± 0,00; 1096 ± 0,00; 1144 ± 0,00. FII secara beruturut-turut sebesar 1480 ± 0,00; 1272 ± 0,00; 1384 ± 0,00; 1424 ± 0,00; 1600 ± 0,00; 1008 ± 0,00. FIII secara beruturut-turut sebesar 1120 ± 0,00; 1160 ± 0,00; 1136 ± 0,00; 896 ± 0,00; 1128 ± 0,00; 1152 ± 0,00. Hasil pengukuran viskositas mikroemulgel pada suhu ruang pada Gambar 8. Gambar 8. Grafik Viskositas Mikroemulgel Pada Suhu Ruang Uji Stabilitas Dipercepat (Freeze Thaw) Pengamatan Organoleptik Mikroemulgel yang disimpan pada suhu ekstrim ± 4 o C kemudian pada suhu ± 40 o C selama tiga siklus mengalami perubahan dari segi organoleptik yaitu berubah dari bening; dan jernih menjadi berwarna hampir putih; keruh. Perubahan ini dikarena adanya perubahan suhu yang ekstrim, ketika mikroemulgel disimpan pada suhu ± 4 o C kemudian dipindahkan pada suhu ± 40 o C, karena ukuran partikelnya yang relatif kecil dan antar partikelnya semakin rapat sehingga timbul gesekan antar partikel yang menyebabkan adanya pertumbuhan globul sehingga sediaan menjadi keruh. Hasil dapat dilihat pada Gambar 9. (a) (b) Gambar 9. (a) Ketiga formula organoleptik setelah dimasukan pada suhu ± 4 0 C. (b) Ketiga formula organoleptik setelah dimasukan pada suhu ± 40 o C. 464

465 Pengukuran ph ph mikroemulgel juga diukur selama tiga siklus yang disimpan pada suhu ekstrem ± 4 o C dan ± 40 o C. Rentang ph yang diperoleh sebesar 5,76-6,66. Hasil pengukuran ph F1 pada siklus 1; 2; 3 secara berturut-turut yaitu 6,65±0,01; 5,93±0,02; 6,26±0,02. FII pada secara berturut-turut yaitu 6,52±0,03; 5,85±0,01; 6,17±0,02. FIII secara berturutturut yaitu 6,49±0,01; 5,78±0,02; 6,11±0,01. Hasil pengukuran ph yang disimpan selama tiga siklus pada suhu ekstrem pada Gambar 10. Gambar 10. Grafik ph Mikroemulgel Pada Freeze Thaw Pengukuran Viskositas Viskositas mikroemulgel juga diukur selama tiga siklus yang disimpan pada suhu ekstrim ± 4 o C dan ± 40 o C. Hasil pengukuran viskositas F1 siklus ke-1; 2; 3 secara berturut-turut sebesar 968 ± 0,00; 1272 ± 0,00; 1800 ± 0,00. FII secara berturut-turut sebesar 992 ± 0,00; 1320 ± 0,00; 1544 ± 0,00. FIII secara berturut-turut sebesar 896 ± 0,00; 1352 ± 0,00; 1112 ± 0,00. Hasil pengukuran viskositas yang disimpan selama tiga siklus pada suhu ekstrim pada Gambar 11. Gambar 11 Grafik Viskositas Mikroemulgel Pada Freeze Thaw Uji Panelis Uji Panelis terdiri dari dua yaitu uji kesukaan dan uji iritasi & keamanan. Uji Kesukaan meliputi penilaian aspek warna, aroma, dan kenyamanan dari mikroemulgel minyak bekatul. Uji iritasi dan keamanan meliputi penliaian aspek iritasi, sensai gatal, sensasi dingin dan kelengketan dari mikroemulgel minyak bekatul. Uji panelis aspek warna menunjukkan nilai kesukaan warna pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (sangat suka) ialah formula 3 sebesar 10%. (Gambar 12). 465

466 Gambar 12. Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Warna Uji panelis aspek aroma menunjukkan nilai kesukaan aroma pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (sangat suka) ialah formula 3 sebesar 10%. (Gambar 13) Gambar 13. Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Aroma Uji panelis aspek kenyamanan menunjukkan nilai kesukaan kenyamanan pemakaian pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (sangat suka) ialah formula 3 sebesar 15%. (Gambar 14) Gambar 14. Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Kenyamanan Uji panelis aspek iritasi menunjukkan nilai iritasi pemakaian pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (tidak timbul) ialah formula 2 sebesar 100%. (Grafik 15) 466

467 Gambar 15. Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Iritasi Uji panelis aspek sensasi gatal menunjukkan hasil sensasi gatal yang didapat pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (tidak timbul) ialah formula 2 dan 3 masing-masing sebesar 80%. (Gambar 16) Gambar 16. Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Sensasi Gatal Uji panelis aspek sensasi dingin menunjukkan hasil sensasi dingin yang didapat pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (sangat timbul) ialah formula 2 dan 3 masing-masing sebesar 15%. (Gambar 17) Gambar 17 Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Sensasi Dingin Uji panelis aspek kelengketan menunjukkan hasil kelengketan yang didapat pada mikroemulgel minyak bekatul. Analisis frekuensi menunjukkan bahwa formula yang memperoleh nilai tertinggi (tidak timbul) ialah formula 1 sebesar 30%. (Gambar 18) 467

468 Gambar 18 Grafik Presentase Uji Panelis Aspek Kelengketan Analisis Data Hasil analisis data menggunakan Anova One Way dan Post Hoc pada dua kelompok uji, yaitu formula yang diuji stabilitas pada suhu ruang dan formula yang diuji stabilitas dipercepat freeze thaw dengan parameter viskositas dan ph. Pada Tabel Anova, hasil analisis uji stabilitas suhu ruang dari ketiga formula selama 21 hari dengan parameter viskositas relatif stabil sedangkan pada parameter ph ketiga formula relatif tidak stabil. Pada Tabel Anova, hasil analisis uji stabilitas dipercepat (freeze thaw) dari ketiga formula selama tiga siklus dengan parameter viskositas relatif stabil sedangkan pada parameter ph ketiga formula relatif tidak stabil. Didapat kesimpulan bahwa variasi konsentrasi viscolam memberikan pengaruh nilai ph pada ketiga formula selama penyimpanan 21 hari di suhu ruang dan tiga siklus di suhu ekstrim. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Mikroemulsi terbentuk pada konsentrasi Plantacare 10% dengan bentuk globul speris dan ukurannya 85,91 nm. Mikroemulsi yang terbentuk diinkorporasikan ke dalam gel dengan variasi konsentrasi viscolam 7%; 8%; 9%. Mikroemulgel yang terbentuk memberikan pengaruh nilai ph pada ketiga formula selama penyimpanan 21 hari di suhu ruang dan tiga siklus di suhu ekstrim. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu dapat melakukan pengujian aktivitas antioksidan pada sediaan mikroemulgel dan melakukan uji stabilitas dipercepat bukan hanya untuk sediaan mikroemulgel namun juga pada mikroemulsi. 5. DAFTAR PUSTAKA Agoes, G.(2006). Pengembangan sediaan farmasi. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press. Anief, M.(1997).Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press. Ansel, C.H.(1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke-4. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Ashara, K.C., Paun, J.S., Soniwala, M.M., Chavada, J.R., & Mori, N.M.(2014). Micro-emulsion based emulgel: a novel topical drug delivery system. Asian Pacific Journal of Tropical Disease. 4(Suppl 1): S27-S32 Arab, F., Alemzahed, I., Maghsoudi, V.(2011). Determination of Antioxidant Component and Activity of Rice Bran Extract. Scientia Iraniza, 18(6) : Basoeki, S. (1998). Anatomi fisiologi manusia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi. Cahyanine, M., Estiasih, T., Nisa, F.C.(2008). Fraksi Kaya Tokoferol dari Bekatul Beras (Oryza sativa) dengan Teknik Kristalisasi Pelarut Suhu Rendah. Jurnal Teknologi Pertanian, vol. 9(3) : 468

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan rancang bangun penelitian eksperimental laboratorik. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut methanol

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab Bandung Barat. Sampel yang diambil berupa tanaman KPD. Penelitian berlangsung sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Samarinda, 5 6 Juni 2015 Potensi Produk Farmasi dari Bahan Alam Hayati untuk Pelayanan Kesehatan di Indonesia serta Strategi Penemuannya AKTIVITAS ANTIBAKTERI

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengumpulan Tanaman Pada penelitian ini digunakan Persea americana Mill yang diperoleh dari perkebunan Manoko, Lembang, sebanyak 800 gram daun alpukat dan 800 gram biji alpukat.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang- Cihideung. Sampel yang diambil adalah CAF. Penelitian

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS

UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L. Less) TERHADAP ZONA HAMBAT BAKTERI Escherichia coli patogen SECARA IN VITRO Oleh: Ilma Bayu Septiana 1), Euis Erlin 2), Taupik Sopyan 3) 1) Alumni Prodi.Pend.Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan metode rancangan eksperimental sederhana (posttest only control group design)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2013. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan November 2011 sampai Mei 2012 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik Instrumen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi.

BAB III METODE PENELITIAN. Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. BAB III METODE PENELITIAN A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pandan wangi. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah aktivitas antioksidan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. Yogyakarta dan bahan uji berupa ekstrak daun pare (Momordica charantia)

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. Yogyakarta dan bahan uji berupa ekstrak daun pare (Momordica charantia) BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. B. Bahan Uji dan Bakteri Uji Bakteri uji

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat 47 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat Biji Alpukat - Dicuci dibersihkan dari kotoran - Di potong menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITAN Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan dengan 3

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. B. BAHAN DAN ALAT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Laboratorium BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratoris In Vitro. B. Populasi dan Sampel Penelitian Subyek pada penelitian ini yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel PBAG di lingkungan sekitar kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan daerah Cipaku.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan

BAB III METODE PENELITIAN. laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan menggunakan metode eksperimental laboratorium, mengenai uji potensi antibakteri ekstrak etilasetat dan n-heksan daun J. curcas terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014.

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2. MATERI DAN METODE 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2.2. Materi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu, dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cibarunai, Kelurahan Sarijadi, Bandung. Sampel yang diambil berupa tanaman

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material, dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 ulangan meliputi pemberian minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode difusi Kirby bauer. Penelitian di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

Rumusan masalah Apakah ada efek antibakteri Aloe vera terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar?

Rumusan masalah Apakah ada efek antibakteri Aloe vera terhadap Enterococcus faecalis sebagai bahan medikamen saluran akar? Alur Pikir LAMPIRAN 1 Bahan medikamen saluran akar Tujuan : Memperoleh aktivitas antimikroba di saluran akar. Menetralkan sisa-sisa debris di saluran akar. Mengontrol dan mencegah nyeri. Ca(OH) 2 Bahan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni sampai bulan Agustus 2013 di pulau Jefman Kabupaten Raja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan tempat penelitian sebagai berikut :

BAB III METODE PENELITIAN. dengan tempat penelitian sebagai berikut : 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2012 dengan tempat penelitian sebagai berikut : 1. Laboratorium Mutu Giling Balai Besar

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan dengan metode uji toleransi glukosa.

BAB IV METODE PENELITIAN. glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan dengan metode uji toleransi glukosa. 33 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriftif dan eksperimental, dilakukan pengujian langsung efek hipoglikemik ekstrak kulit batang bungur terhadap glukosa darah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. B. Tempat dan Waktu Penelitian Proses ekstraksi biji C. moschata dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A PETUNJUK PRAKTIKUM PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A Cemaran Logam Berat dalam Makanan Cemaran Kimia non logam dalam Makanan Dosen CHOIRUL AMRI JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA 2016

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental laboratorium. Metode yang digunakan untuk mengekstraksi kandungan kimia dalam daun ciplukan (Physalis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Latar dan Waktu Penelitian Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dari tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode eksperimental karena adanya manipulasi terhadap objek penelitian dan adanya kontrol

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012,

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai September 2012, bertempat di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS)

EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS) Defriana, Aditya Fridayanti, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan FARMAKA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Juli 2012. Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel yang dilakukan di persawahan daerah Cilegon,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2014 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test only control group design. Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test only control group design. Penelitian 22 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan rancangan post test only control group design. Penelitian dilakukan dengan beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design.

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test Randomized Control

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adalah dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 95%. Ekstrak yang

BAB III METODE PENELITIAN. adalah dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 95%. Ekstrak yang digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Kategori Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dekskriptif. Metode yang digunakan untuk mengekstraksi kandungan kimia dalam daun awar-awar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2010 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboraturium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboraturium BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboraturium organik Jurusan Kimia dan Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Sains

Lebih terperinci

POTENSI ANTIBAKTERI LIMBAH TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus

POTENSI ANTIBAKTERI LIMBAH TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus POTENSI ANTIBAKTERI LIMBAH TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus R. Suhartati, S.Pd, Desi Nuryanti Prodi D III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Erlenmeyer 250 ml. Cawan Petri - Jarum Ose - Kertas Saring Whatmann No.14 - Pipet Tetes - Spektrofotometer UV-Vis

BAB 3 METODE PENELITIAN. Erlenmeyer 250 ml. Cawan Petri - Jarum Ose - Kertas Saring Whatmann No.14 - Pipet Tetes - Spektrofotometer UV-Vis BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat-alat Erlenmeyer 250 ml Neraca Analitik Inkubator Inkubator Goyang Lemari Es Rotary Evaporator Pyrex Tettler Toledo Memmert E-Scientific Labs Panasonic Steward Cawan Petri

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian 16 Bab III Metodologi Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode titrasi redoks dengan menggunakan beberapa oksidator (K 2 Cr 2 O 7, KMnO 4 dan KBrO 3 ) dengan konsentrasi masing-masing

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah :

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah : BAB III METODOLOGI III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah : III.1.1 Pembuatan Ekstrak Alat 1. Loyang ukuran (40 x 60) cm 7. Kompor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu perlakuan konsentrasi dan perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental laboratorium untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih merah (Piper

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental yang bersifat analitik

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental yang bersifat analitik BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental yang bersifat analitik laboratorik (Notoadmojo, 2012). Penelitian dilakukan untuk mengetahui efek

Lebih terperinci

Meti Kusmiati, Danil Muharom Program Studi DIII Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

Meti Kusmiati, Danil Muharom Program Studi DIII Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya GAMBARAN KADAR SGOT HATI PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) YANG SEDANG MENJALANI PENGOBATAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DI PUSKESMAS KAWALU TASIKMALAYA Meti Kusmiati, Danil Muharom Program Studi

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tanaman Kilemo di daerah Jawa banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian 230 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanaman ini terutama banyak ditemui

Lebih terperinci

Penetapan Kadar Sari

Penetapan Kadar Sari I. Tujuan Percobaan 1. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut air dari simplisia. 2. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut etanol dari simplisia. II. Prinsip Percobaan Penentuan kadar sari berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi minuman ini. Secara nasional, prevalensi penduduk laki-laki yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minuman beralkohol telah banyak dikenal oleh masyarakat di dunia, salah satunya Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup tinggi angka konsumsi minuman

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian obat kumur ekstrak etanol tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus acidophilus secara in vitro merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar landep (Barleria prionitis) yang berasal dari Kebun Percobaan Manoko, Lembang. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Pacet-

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Pacet- BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Pacet- Cibeureum. Sampel yang diambil berupa tanaman CAF. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang bertempat di jalan Dr. Setiabudhi No.229

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar Superoksida Dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA)

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Metode Pengambilan Data 2.1.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN 1. Standar DHA murni (Sigma-Aldrich) 2. Standar DHA oil (Tama Biochemical Co., Ltd.) 3. Bahan baku dengan mutu pro analisis yang berasal dari Merck (kloroform, metanol,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni laboratorium in vitro. B. Subjek Penelitian 1. Bakteri Uji: bakteri yang diuji pada penelitian ini

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci