Bab II Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra quickbird terkoreksi. Pendeteksian dilakukan secara manual/visual. Penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa identifikasi perubahan obyek bangunan dengan memanfaatkan citra quickbird hanya baik dilakukan untuk daerah perkotaan teratur dan jenis perubahan bangunan besar dan bangunan belum tergambar. Ida Rafni, Melakukan penelitian tentang Optimalisasi Pemanfaatan tanah bekas HGU perkebunan dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, pemanfaatan tanah dalam mewujudkan penertiban dan pendayagunaan tanah sebagai diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 belum dapat dilaksanakan karena kurang akuratnya data tentang tanah terlantar dan kurangnya biaya dalam proses penetapan tanah terlantar. Hariyanto, I, 2005, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa klasifikasi untuk penentuan peruntukkan areal bagi kepentingan PBB pada dasarnya merupakan klasifikasi tutupan lahan. Klasifikasi yang disusun perlu dilengkapi dengan monogram atau sampel obyek tertentu di permukaan bumi yang dapat dikenali diatas citra beserta dengan definisi dan deskripsinya. Beberapa sampel obyek dimungkinkan mempunyai definisi maupun deskripasi yang sama akan tetapi memberikan kenampakan yang berbeda. Sehingga perlu untuk memberikan sampel obyek yang lebih banyak. Soebagio, 2006, melakukan penelitian antara lain tentang pemanfaatan keunggulan citra Quickbird sebagai citra resolusi tinggi yang mampu menggambarkan wilayah yang sebenarnya dengan jelas sampai ketelitian 0,6 m (Digital Globe 2002). Citra

2 9 Quickbird dijadikan acuan dalam melakukan transformasi dan koreksi peta SIG PBB. Koreksi peta SIG PBB terhadap citra mendapatkan simpangan baku perbedaan luas bidang sebesar 88 m2. Jumlah bidang yang memenuhi toleransi selisih luas KEP-533 sebesar 98,22%. Jadi citra QuickBird dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah bidang pada data SIG PBB di wilayah penelitian yang memenuhi toleransi selisih luas (KEP-533) dari sebelumnya yang hanya 12,89% menjadi 98,22%. II.2. Pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah Pengembangan dan pembangunan biasanya didasarkan atas potensi suatu wilayah yang meliputi potensi fisik, ekonomi, kependudukan, kesesuaian, kemampuan, penggunaan lahan, serta perkembangan wilayah. Ditinjau dari aspek pertanahan, data yang diperlukan untuk analisa potensi wilayah adalah rencana tata ruang wilayah ( RUTRW), penggunaan tanah, penguasaan tanah (HGU, HGB induk, HPL) serta perijinan yang telah diterbitkan. Informasi tersebut menyebutkan luas tanah yang tersedia untuk pembangunan, luas tanah yang telah diberikan ijin yang telah dicadangkan, luas tanah yang sudah dibebaskan, serta luas tanah yang telah dikuasai dan telah dilekati hak. Informasi tersebut berguna dalam menyusun neraca penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah wilayah bersangkutan. Lebih jauh, hak atas tanah sekala besar yang telah diberikan (HGU, HPL, dan HGB induk) akan dianalisa untuk mengetahui penggunaan dan pemanfaatan bidang per bidang. Analisa meliputi keadaan, sifat, dan tujuan penggunaan dan pemanfaatan yang diwajibkan saat pemberian hak. Hasil analisa bidang per bidang akan menjadi dasar pemberian rekomendasi mikro penggunaan dan pemanfaatan bidang-bidang tanah dimasa datang apabila dinilai penggunaan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan hak dan kewajiban yang disyaratkan.

3 10 Skema alur pikir kegiatan pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah hak atas tanah dalam satuan wilayah administrasi(bpn, 2004) adalah sebagai berikut : Gambar II.1. Skema alur pikir kegiatan pengendalian penggunaan dan pemanfaatan tanah Bangunan adalah sesuatu yang didirikan ; sesuatu yang dibangun (rumah, gedung, menara).(hoetomo,2005). Hak Guna Bangunan ( HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. ( pasal 35 UU nomor 5 tahun 1960). II.3. Tanah terlantar Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. ( Republik Indonesia, 1998).

4 11 Identifikasi tanah terlantar adalah kegiatan pemantauan, pendataan dan evaluasi terhadap tanah-tanah yang dikuasai dengan hak atas tanah, tanah hak pengelolaan dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum memperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka penertiban dan pendayagunaannya. (BPN, 2002). Ruang lingkup tanah terlantar meliputi tanah terlantar yang dikuasai dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP), tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria tanah terlantar ( Republik Indonesia, 1998), adalah sebagai berikut : a. Tanah HM, HGU, HGB, dan HP, dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. b. Tanah HM, HGB, dan HP yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya, tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, tidak dipergunakan sesuai peruntukkannya menurut RTRW yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik diatas tanah tersebut. c. Tanah HGU dan atau sebagian tanah HGU yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, tanah tesebut tidak diusahakan sesuai dengan kriteria penguasaan tanah pertanian yang baik sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. d. Tanah HGB, HP dan atau sebagian Tanah HGB, HP yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam keadaannya atau sifat dan tujuan haknya, tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang.

5 12 e. Tanah HPL atau sebagian HPL, yang kewenangan hak menguasai dari negara tidak dilaksanakan oleh pemegang HPL sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut. f. Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Tata cara penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar ( Republik Indonesia, 1998), adalah sebagai berikut: a. Identifikasi tanah terlantar dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. a. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membentuk Satuan Tugas Identifikasi. b. Kewajiban pemegang hak atas tanah memberikan keterangan yang diminta oleh Satuan Tugas. c. Identifikasi meliputi : 1. nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah mempunyai dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan. 2. letak, luas, status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan. 3. keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar. d. Dalam melakukan identifikasi diperhatikan jangka waktu yang wajar, dan ditetapkan oleh menteri e. Menteri membentuk Panitia Penilai, Ketua Kepala Kantor Pertanahan dan anggota dari Instansi terkait. f. Tanah terlantar yang dikuasai oleh pemegang hak perorangan yang tidak mampu dari segi ekonomi, diusulkan dilakukan pembinaan, sedangkan bagi perorangan yang mampu dari segi ekonomi diberi peringatan. g. Kakanwil BPN Propinsi memberikan peringatan pertama jangka waktu 12 bulan, peringatan kedua 12 bulan, peringatan ketiga 12 bulan.

6 13 h. Apabila pemegang hak tidak mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam peringatan ketiga maka Kakanwil BPN Propinsi melaporkan kepada Menteri disertai usul untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar. i. Menteri memberi kesempatan pada pemegang hak untuk dalam waktu 3 bulan mengalihkan hak atas tanahnya melalui pelelangan umum. Tata Cara Identfikasi (BPN, 2002), adalah sebagai berikut : a. Identifikasi tanah terlantar dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. b. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membentuk Satuan Tugas Identifikasi. c. Kegiatan identifikasi meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengolahan dan pelaporan d. Kegiatan perencanaan Identifikasi meliputi : 1. pengumpulan data dan peta di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan Dinas Instansi terkait serta dari pemegang hak, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. 2. penentuan lokasi prioritas untuk diidentifikasi 3. penyusunan rencana kerja identifikasi 4. penyiapan bahan dan materi serta tenaga, termasuk administrasi untuk pelaksanaan identifikasi. 5. pemberitahuan kepada pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah untuk pelaksanaan identifikasi. e. Kegiatan pelaksanaan identifikasi meliputi kegiatan pengumpulan data dan pengecekan lapang mengenai : 1. nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah atau pihak yang telah mempunyai dasar penguasaan atas tanah yang bersangkutan. 2. letak, luas, status hak dan keadaan fisik tanah yang bersangkutan termasuk ada tidaknya garapan atau okupasi liar oleh masyarakat, ada tidaknya indikasi kerusakan tanah dan penelantaran tanah.

7 14 3. data atau keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat dinyatakan seagai tanah terlantar antara lain data penggunaan tanah, ketaatan melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan pemberian hak atau ketetapan yang menjadi dasar penguasaan tanah, pemasangan patok-patok tanda batas dan khusus terhadap Hak Pengelolaan tidak/belum dilaksanakannya kewenangan yang diberikannya. 4. jumlah bidang dan luas tanah-tanah yang sudah dimiliki, selain yang sedang diidentifikasi. 5. permasalahan serta upaya penyelesaiannya. f. Kegiatan pengolahan data identifikasi dilaksanakan dengan berpedoman pada kriteria dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ; 1. penggunaan tanah saat ini 2. kesesuaian dengan tata ruang wilayah 3. kesesuaian dengan site plan dalam proposal 4. peruntukan tanah dalam pemberian haknya, atau dasar penguasaan tanah. 5. persyaratan dalam surat keputusan pemberian hak, atau ketetapan yang menjadi dasar penguasaan tanah. 6. hal-hal lain sesuai dengan kondisi daerah. g. Kegiatan pelaporan 1. pelaporan hasil identifikasi berisikan fakta dan penjelasan mengenai kondisi pemanfaatan tanah yang dilaksanakan oleh pemegang hak baik berupa peta maupun narasi 2. pelaporan disampaikan kepada panitia penilai Kabupaten/Kota melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota h. Jangka waktu minimal untuk dilakukan identifikasi ditetapkan sebagai berikut 1. Hak Milik, 5 ( lima ) tahun. 2. Hak Guna Usaha, 5 ( lima ) tahun. 3. Hak Guna Bangunan, 3 ( tiga ) tahun. 4. Hak Pakai, 3 ( tiga ) tahun. 5. Hak Pengelolaan, 5 ( lima ) tahun.

8 15 6. Penguasaan tanah oleh perusahaan dalam rangka ijin lokasi / SIPPT, 1 (satu ) tahun sejak diterbitkannya Surat Keputusan Perpanjangan yang terakhir. 7. Pencadangan tanah / SP3L dan rekomendasi Bupati/Walikota, sejak berlakunya keputusan ini. 1 s/d 5 sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Langkah-langkah Identifikasi Tanah Terlantar sesuai pedoman teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan tanah terlantar sebagai berikut : 1. Perencanaan Identifikasi a. Tetapkan prioritas bidang-bidang tanah yang akan di Identifikasi, dengan kriteria : 1) Petunjuk Menteri / KBPN : HGU, HPL, HGB skala besar dan ijin lokasi / SIPPT. 2) Laporan masyarakat / LSM 3) Informasi dari Dinas / instansi terkait 4) Jangka waktu berdasarkan pasal 8 Keputusan KBPN nomor 24 Th b. Susun rencana kerja identifikasi tahunan c. Susun rencana pembiayaan d. Kumpulkan data dan peta bidang tanah yang telah tersedia anggarannya untuk pelaksanaan identifikasi. 1) SK Pemberian hak atas tanah atau dasar penguasaan tanah 2) Ijin lokasi / SIPPT, Pencadangan Tanah / SP3L, Rekomendasi Bupati / Walikota, jika belum memperoleh SK hak atas tanah. 3) Surat Ukur atau Gambar Situasi Bidang Tanah 4) Peta Penggunaan Tanah Kabupaten / Kota atau Kecamatan 5) Peta RTRW Kab / Kota atau Kecamatan

9 16 6) Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi baik dari BPN maupun dari instansi lain yang berkaitan dengan penggunaan, pemanfaatan dan penguasaan tanah. e. Ploting bidang tanah yang akan diidentifiksi kedalam peta kabupaten/kota yang skalanya sama dengan RTRW, sesuai tahun anggaran dan jenis hak atas tanahnya. f. Buat peta dasar bidang-bidang tanah yang akan diidentifikasi (gunakan peta kadastral). g. Susun rencana kerja untuk identifikasi 1) Buat rencana kerja identifikasi 2) siapkan bahan, materi, tenaga dan administrasi 3) buat daftar kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang hak, sebagaimana tercantum dalam SK hak atas tanah atau sesuai kondisi daerah. 4) Siapkan daftar isian yang digunakan dalam pelaksanaan identifikasi. 5) siapkan tenaga pelaksana 6) siapkan surat tugas 7) siapkan dan kirimkan surat pemberitahuan kepada pemegang hak. 2. Pelaksanaan Identifikasi a. Hubungi pemegang hak atas tanah yang akan diidentifikasi b. Cek surat pemberitahuan yang telah dikirimkan c. Buat jadwal waktu bersama pemegang hak untuk identifikasi dilapang d. Isi formulir isian identifikasi, melalui wawancara dengan pemegang hak e. Peninjauan lokasi untuk mendapatkan gambaran sepenuhnya mengenai 1) penggunaan tanah saat ini diatas bidang tanah yang diidentifikasi dan buatkan petanya 2) penguasaan tanah saat ini diatas bidang tanah tersebut. 3) pemenuhan kewajiban oleh pemegang hak atas tanah sebagaimana tercantum dalam SK hak atas tanah atau karakteristik daerah, antara lain

10 17 patok tanda batas,pembayaran pajak, pemeliharaan tanah, konservasi tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana penggunaan tanah f. Cek penggunaan tanah yang bersangkutan kesesuainnya dengan peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan g. Cek penggunaan tanah detil bidang tanah yang bersangkutan dengan peta rencana detil peruntukkan tanah/site plan. h. Ploting bagian bidang tanah yang telah dimanfaatkan dan yang belum dimanfaatkan, terasuk kesesuainnya dengan rencana detail peruntukkan tanah. 3. Pengolahan Hasil Identifikasi a. Gambarkan semua hasil identifikasi dalam peta dasar yang telah disiapkan b. Tumpang tindihkan peta penggunaan tanah dan penguasaan tanah dengan peta RTRW, site plan c. Batasi dan tandai areal yang sesuai dan tidak sesuai dan hitung luasnya d. Buat tabulasi hasil pengolahan yang pada intinya memberi gambaran tentang : 1) berapa luas tanah yang telah dikuasai sesuai dengan yang termuat dalam SK hak atas tanah 2) berapa luas tanah yang sudah digunakan dan berapa yang belum digunakan 3) dari luas tanah yang sudah digunakan berapa luas yang sesuai atau tidak sesuai dengan site plan dan RTRW. 4) sampai sejauh mana upaya-upaya pemegang hak atas tanah dalam pemeliharaan tanah dan konservasi tanah 5) bagaimana kemampuan pemegang hak dari segi ekonomi 4. Pelaporan Hasil Identifikasi a. Hasil pengolaan identifikasi dinarasikan dalam bentuk pelaporan hasil identifikasi dilengkapi dengan peta dan tabel-tabel olahan b. Sampaikan laporan hasil identifikasi kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.

11 18 II.4. Penggunaan tanah 1. Jenis Penggunaan Tanah Sesuai Norma Standar Pedoman dan Mekanisme (NSPM) Survey dan Pemetaan Tematik Pertanahan jo Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 tahun 1997 tentang pemetaan penggunaan tanah perdesaan, penggunaan tanah perkotaan, kemampuan tanah dan penggunaan simbol / warna untuk penyajian dalam peta., secara garis besar penggunaan tanah di bagi menjadi 2 (dua) yaitu penggunaan tanah perdesaan dan penggunaan tanah perkotaan. Penggunaan tanah perkotaan meliputi (BPN, 2008): a. Tanah permukiman adalah tanah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian. 1) Perumahan tidak teratur adalah areal tanah yang digunakan untuk kelompok bangunan tempat tinggal penduduk dengan pola tidak teratur. 2) Perumahan teratur adalah areal tanah yang digunakan untuk kelompok bangunan tempat tinggal penduduk dengan pola teratur. 3) Emplasemen adalah areal tanah yang digunakan untuk bangunan dan fasilitasnya, yang dimanfaatkan untuk mendukung fungsi komunitas tersebut. b. Tanah perusahaan, adalah tanah yang digunakan oleh suatu badan hukum dan atau badan usaha milik pemerintah maupun swasta untuk kegiatan ekonomi yang bersifat komersial bagi pelayanan perekonomian dan atau tempat transaksi barang dan jasa. c. Tanah Industri adalah tanah yang digunakan oleh suatu kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan baku menjadi barang setengah jadi dan atau setengah jadi menjadi barang jadi. d. Tanah Pergudangan adalah areal tanah yang digunakan bagi penyimpanan barang. e. Tanah jasa, adalah tanah yang digunakan untuk suatu kegiatan pelayanan sosial dan umum bagi masyarakat kota yang dilaksanakan oleh badan dan atau organisasi kemasyarakatan, pemerintah maupun swasta.

12 19 f. Tanah terbuka adalah tanah yang berada didalam wilayah perkotaan yang belum atau tidak digunakan untuk pembangunan perkotaan. g. Taman adalah tanah yang tidak dibangun dan berfungsi sebagai ruang terbuka dan atau ditumbuhi tamanan. h. Perairan, adalah areal tanah yang digenangi air secara permanen baik buatan maupun alami. Tanah terbuka/tidak ada bangunan diklasifikasikan menjadi : a. Tanah Kosong b. Pertanian Tanah Basah c. Pertanian Tanah Kering d. Peternakan e. Perikanan f. Hutan 2. Analisa data penggunaan tanah Pertanian tanah kering, usaha pertanian tanah kering terdapat didaerah-daerah yang penduduknya tidak padat. Tidak mendapat air pengairan. Pertanian tanah kering bisa berujud perkebunan, tegalan, kebun campuran dan ladang berpindah. Tegalan, jenis pertanian tanah kering ini lazimnya terdapat didaerah yang penduduknya padat. Tanaman yang diusahakan adalah tanaman musiman. Pada musim kemarau tanah ini biasanya bersih tanpa tanaman, hanya dipinggir tanah tegalan, sebagai batas pemilikan, dipadati bermacam-macam tanaman tahunan yang merupakan pagar. Tegalan lebih banyak terdapat di daerah yang iklimnya agak kering. Didaerah agak basah, seperti jawa barat, lebih banyak terdapat kebun campuran. Kebun Campuran, sebidang tanah yang terletak diluar pekarangan dan ditumbuhi oleh macam-macam tanaman secara tercampur. Sulit untuk menilai yang mana yang lebih penting. Dibandingkan dengan tegalan, pengolahan tanah kebun campuran kurang intensif.

13 20 II.5. Citra Satelit Quickbird dan Interpretasi citra a. Citra Satelit Quickbird Satelit Quickbird diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001, merupakan satelit komersial yang dapat menghasilkan citra dengan sapuan daerah yang luas, dan resolusi yang tinggi. Satelit quickbird mampu mengumpulkan data permukaan bumi dengan luas sapuan 16,5 km x 16,5 km, dengan resolusi spasial hingga 60 cm untuk mode pankromatik dan 2,4 m untuk mode multispektral. Adapun karakteristik citra satelit quickbird dapat dilihat pada tabel II.1. Tabel II.1. Karakteristik Satelit Quickbird Tempat Peluncuran Wahana Pembawa Orbit Vandenberg Air Force Base, California Boeing Delta II Ketinggian 450 km; waktu orbit 93.5 menit; Lewat garis khatulistiwa 10;30 AM ( descending ) degree, Sun-Synchronous 7.1 km/detik hari 16.5 km di nadir Single scene 16.5 X 16.5 km Sudut inklinasi Kecepatan Resolusi temporal Lebar nominal swath Luas Sapuan Resolusi pankromatik Basic: 0.61 m di nadir; 0.72 m di off nadir 25º Standard & Orthorectified Resampled ke 0.7 m ke GSD Resolusi multispektral Basic: 2.44 m di nadir; 2.88 m di off nadir 25º Standard & Orthorectified Resampled ke 2.8 m ke GSD Band Dynamic Range Sumber : DigitalGlobe. Pankromatik: nm Biru : nm Hijau : nm Merah : nm Near Infra Red : nm. 11 Bits per pixel. b. Interpretasi Citra Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1994). Aspek interpretasi penginderaan

14 21 jauh dapat meliputi analisis piktorial dan analisis data numerik. Interpretasi visual data citra piktorial menggunakan kemampuan pikir manusia yang paling baik untuk melakukan evaluasi kualitatif pada daerah kajian. Interpretasi citra identik dengan analisis citra yang meliputi kegiatan deteksi dan identifikasi, pengukuran dan pemecahan masalah. (Estes et al., 1983, dalam Sutanto, 1994). Analisis citra secara manual mendasarkan atas unsur-unsur interpretasi. Tiga cara analisis citra secara manual sebagai berikut : a. Pengujian hipotesis, analis menyusun hipotesis, menduga obyek yang tergambar pada citra. b. Garis penalaran, pengembangan penalaran yang mengarah ke suatu kesimpulan. Satu garis penalaran pada dasarnya terdiri dari serangkaian pernyataan yang menggunakan jika... maka.... c. Konvergensi Bukti, dalam menyimpulkan jenis obyek atau kondisi suatu daerah yang tergambar pada citra, digunakan lebih dari satu unsur yang masing-masing mengarah ke satu kesimpulan, tidak ada yang bertentangan. Karakteristik dasar sebagai pertimbangan dalam interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur dan situs. (Lillesand dan Kiefer, 1979). Estes et al., 1983, dalam Sutanto, 1994, membagi unsur interpretasi menjadi 9 butir yaitu : rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi dengan susunan hierarkhi seperti dapat dilihat pada gambar II.2. Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. Rona dapat diukur dengan dua cara yaitu dengan cara relatif dengan menggunakan mata biasa dan dengan cara kuantitatif dengan menggunakan alat. Dengan menggunakan mata biasa rona dibedakan atas lima tingkat yaitu putih, kelabu-putih, kelabu, kelabu-hitam dan hitam.

15 22 Gambar II.2. Susunan Hirarkhi unsur interpretasi Citra (Estes et al,1983) Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di derah gelap. Situs, letak suatu obyek terhadap obyek lain disekitarnya. Asosiasi, dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Proses interpretasi dapat dipermudah dengan menggunakan kunci interpretasi. Kunci interpretasi citra dimaksudkan sebagai pedoman dalam melaksanakan interpretasi citra. Kunci interpretasi citra umumnya berupa potongan citra yang telah diinterpretasi serta diyakinkan kebenarannya dan diberi keterangan antara lain jenis obyek, dan unsur interpretasinya. Penajaman citra bertujuan untuk meningkatkan hasil interpretasi citra secara visual dengan mempertajam kontras. Salah satu cara dengan memperjelas tepi obyek dalam citra. Karena penajaman citra lebih berpengaruh pada tepi (edge) obyek, maka sering disebut juga dengan penajaman tepi ( edge enhancement). (Munir, 2004).

16 23 Penajaman digunakan sebelum interpretasi visual, selain untuk kepentingan analisis citra, juga untuk analisis kualitatif. Penajaman secara sederhana dapat diartikan mentransformasikan data kebentuk yang lebih ekspresif. Proses penajaman dapat dilakukan dengan modifikasi histogram, penajaman kontras linear (linear contrast enhancement), penajaman kontras linier siturasi, penajaman kontras otomik, penajaman logaritma dan eksponensial. (Purwadhi,2001).

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian 24 Bab III Pelaksanaan Penelitian III.1. Kerangka pikir Penelitian melakukan perancangan usulan metode dengan menggantikan peta penggunaan tanah kabupaten / kota dengan citra quickbird untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL KEPUTUSAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

13. Purwadhi Sri Hardiyanti ( 1994 ), Penelitian lingkungan geografis dalam inventarisasi penggunaan lahan dengan teknik penginderaan jauh di

13. Purwadhi Sri Hardiyanti ( 1994 ), Penelitian lingkungan geografis dalam inventarisasi penggunaan lahan dengan teknik penginderaan jauh di 49 DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pertanahan Nasional, (1997), Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 tahun 1997 tentang pemetaan penggunaan tanah perdesaan, penggunaan tanah

Lebih terperinci

Interpretasi Citra dan Foto Udara

Interpretasi Citra dan Foto Udara Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Menimbang NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR KEPALA BADAN

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR - 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERTIBAN TANAH TERLANTAR KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

Lebih terperinci

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan I. Dasar Hukum a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 40 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1. Analisis perbandingan proses identifikasi a. Proses metode yang ada Pelaksanaan identifikasi menggunakan metode yang ada diawali dengan menggambarkan bidang yang akan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 1997 TENTANG PEMETAAN PENGGUNAAN TANAH PERDESAAN, PENGGUNAAN TANAH

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan merupakan obyek kajian yang dinilai penting untuk diteliti karena dapat berkaitan dengan masalah global maupun lokal. Masalah dari perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Wilayah perkotaan merupakan wilayah yang menjadi pusat dari segala aktivitas masyarakat yang ada disekitarnya. Wilayah perkotaan sendiri memiliki suatu daya tarik yang

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undangundang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No.

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra 67 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra satelit ke dalam peta tematik antara lain sebagai berikut : 1. Bahan a. Data

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 11 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu mengenai penerapan teknologi penginderaan jauh citra resolusi tinggi sebagai media untuk memetakan suatu daerah antara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kawasan tujuan wisata nomor dua setelah Bali. Disamping itu, Kota Yogyakarta sebagai ibukota Propinsi DIY terkenal dengan

Lebih terperinci

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG 1 RUANG LINGKUP HGU SUBYEK HGU JANGKA WAKTU HGU PENGGUNAAN

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

Bab IV Analisis dan Pembahasan

Bab IV Analisis dan Pembahasan 42 Bab IV Analisis dan Pembahasan IV.1 Hasil Pra Pengolahan Citra Ikonos Kegiatan yang dilakukan adalah pengecekan koreksi radiometrik, pemotongan citra (cropping) dan penajaman citra. Hasil pengecekan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan dan aktivitas penduduk sekarang ini meningkat terutama terjadi di daerah perkotaan, sehingga daerah perkotaan pada umumnya mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA Sudaryanto 1), Melania Swetika Rini 2) Abstrak: Penelitian

Lebih terperinci

- 1 - KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Tabel I.1 Contoh penerimaan PPh final penilaian kembali aktiva tetap disatu kanwil DJP tahun Nilai Aktiva Tetap.

Bab I Pendahuluan. Tabel I.1 Contoh penerimaan PPh final penilaian kembali aktiva tetap disatu kanwil DJP tahun Nilai Aktiva Tetap. 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Salah satu penerimaan pajak yang belum dimaksimalkan adalah Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 10% atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Latar Belakang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai salah satu pedoman perencanaan daerah yang bersifat

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENDAYAGUNAAN TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR DENGAN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009

ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009 ANALISA PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN WILAYAH SURABAYA BARAT MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD TAHUN 2003 DAN 2009 Oleh: Prenita S. Rianelly 3507 100 024 Dosen Pembimbing: Dr.Ing. Ir. Teguh Hariyanto, MSc.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO

METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO Risma Fadhilla Arsy Dosen Pendidikan Geografi FKIP Universitas Tadulako

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan dinamika pembangunan,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh wilayah baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No. 3 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Juli September 2010 Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m BAMBANG RUDIANTO Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN Wiweka Peneliti Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Dosen Teknik Informatika, FTMIPA, Universitas Indraprasta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra digital yang tidak pernah dibayangkan oleh praktisi pada 1980-an, yaitu citra multispektral dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi dari gabungan proses-proses alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunungapi, gempa bumi, tanah longsor,

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa ketimpangan persebaran

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota dipengaruhi oleh adanya

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 53 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH DI KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 53 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH DI KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 53 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PERUNTUKAN PENGGUNAAN TANAH DI KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa Peraturan Walikota Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci