BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka teori 1. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung (MA) yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik. Perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan adalah performance dan eksistensi serta prestasi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif baru. Sejak adanya MK, semua undang-undang yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat dimintakan judicial review (pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Mahfud MD, 2009: ). Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 amandemen ke empat, menyatakan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 amandemen ke empat, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terkait: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 15

2 16 b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. f. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. 2. Tinjauan tentang Praperadilan a. Pengertian Praperadilan Istilah Praperadilan yang dipergunakan oleh KUHAP terdiri dari. Pra berarti sebelum atau mendahului, jadi Praperadilan diartikan dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Istilah Praperadilan secara harafiah berasal dari kata Pre Trial walaupun fungsi dan tujuan Pre Trial adalah meneliti apakah ada dasar hukum yang cukup untuk mengajukan penuntutan mengenai perkara tuduhan pidana yang bertujuan untuk melindungi hak asasi terhadap pelanggaran-pelanggaran syarat formil dan materiil yang dilakukan dalam tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 terutama pasal mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan mengenai bantuan hukum.

3 17 Terdapat Lembaga semacam ini di Eropa yang fungsinya melakukan pemeriksaan pendahuluan. Hakim Komisaris Rechter Commissaris di Belanda dan Judge d Instruction di Prancis yang dapat dikatakan sebagai praperadilan yang sebenarnya karena menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara (Andi Hamzah,2012:187). Menurut Oemar Seno Adji, lembaga Rechter Commissaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) mempunyai komposisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat (Oemar Seno Adji,1980:88). Ada beberapa definisi mengenai Praperadilan yang diatur dalam KUHAP dan yang dikemukakan oleh para ahli hukum. Di dalam KUHAP sendiri terdapat beberapa pasal yang memberikan definisi tentang Praperadilan, antara lain: Berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP menyebutkan bahwa: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang: 1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Definisi Praperadilan menurut para ahli adalah sebagai berikut: Pengertian Praperadilan menurut Yahya Harahap, Praperadilan merupakan wewenang dan fungsi tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan,

4 18 penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, yang dilakukan oleh penyidik (Yahya Harahap, 2012:1-2). Tujuan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan agar benarbenar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undangundang (Yahya Harahap, 2012:4). Menurut Hartono, Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokoknya disidangkan, proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokoknya. Yang bertujuan untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik Polri, termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Hartono, 2012:81-84). Menurut Andi Sofyan dan Abd. Asis (2014: ), Praperadilan mempunyai ciri dan eksistensi, yaitu : 1) Praperadilan berada dan merupakan satu kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, sebagai lembaga pengadilan, Praperadilan hanya dapat dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri; 2) Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan bagian atau divisi dari Pengadilan Negeri; 3) Urusan administratif yustisial, personel, peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan dan pengawasan serta pembinaan ketua Pengadilan Negeri;

5 19 4) Masalah tata laksana fungsi yustisial merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri. Bedasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Praperadilan merupakan sarana pengontrol tindakan aparat penegak hukum (Penyidik dan Penuntut Umum) sehingga dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan upaya paksa yang dilakukan dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dengan alasan inilah dibentuk Praperadilan guna melakukan koreksi, penilaian, dan pengawasan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. b. Wewenang Praperadilan Adapun yang landasan mengenai wewenang pengujian Praperadilan adalah Pasal 77 KUHAP yang berbunyi: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: 1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Berarti, seorang tersangka dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan terhadap apabila dalam prosesnya penangkapan dan/atau penahanan penyidik melanggar Pasal 21 KUHAP, atau penahanan terhadap tersangka melebihi batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP. Penyidik dan maupun penuntut umum berwenang menghentikan penyidikan atau penuntutan dengan alasan: hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan, apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan tindak pidana, nebis in idem (tindak pidana telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh

6 20 kekuatan hukum tetap), atau disebabkan perkara yang disangkakan terdapat unsur kadaluwarsa untuk menuntut. Dikarenakan adanya kemungkinan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan diluar alasan di atas maka penuntut umum ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan (Yahya Harahap, 2012: 5-6). 2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Bedasarkan Pasal 95 KUHAP, tersangka ataupun keluarga tersangka, atau penasihat hukum tersangka dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian, bedasarkan alasan: a) Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah, b) Penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang, c) Kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan, atau diperiksa. 3) Memeriksa Permintaan Rehabilitasi Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada Praperadilan biasanya juga diikuti dengan permintaan rehabilitasi. Permintaan rehabilitasi ini merupakan pemulihan hak, kedudukan dan martabat seseorang karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau penerapan hukumnya (Pasal 1 butir 23 KUHAP). Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP menyebutkan bahwa : Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputuskan bebas atau diputuskan lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang kemudian dicantumkan dalam putusan pengadilan tersebut.

7 21 Tujuan rehabilitasi untuk mengembalikan dan membersihkan nama baik, harkat dan martabat tersangka atau terdakwa, serta keluarga atas tindakan aparat penegak hukum. Sehingga hak-hak tersangka dan keluarga dapat terlindungi. c. Alasan dan Pihak yang Mengajukan Praperadilan Pengajukan permohonan praperadilan tentang sah tidaknya tindakan dari aparat penegak hukum kepada Praperadilan, tentunya harus memiliki alasan-alasan yang kuat dari pihak yang memohon. Untuk itu dalam KUHAP telah mengatur siapa-siapa saja yang berhak mengajukan permohonan kepada Praperadilan serta alasan-alasannya, yaitu: (1) Tersangka, Keluarga atau Kuasa Hukumnya Pasal 79 KUHAP disebutkan bahwa tersangka, keluarga, dan kuasa hukumnya berhak mengajukan pemeriksaan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Menurut pasal ini yang dapat diajukan kepada Praperadilan hanyalah masalah penangkapan dan penahanan, sedangkan upaya lain seperti penggeledahan dan penyitaan tidak disebutkan secara langsung. (2) Penuntut Umum atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Seperti dijelaskan sebelumnya, salah satu wewenang praperadilan adalah memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum. Apabila dalam suatu perkara pidana, seorang penyidik menghentikan penyidikan tanpa alasan yang dibenarkan oleh undang-undang, maka penuntut umum dan pihak ketika yang berkepentingan berhak melaporkan kepada Praperadilan. Hal ini telah sesuai dengan prinsip saling mengawasi antar instansi penegak hukum, tetapi timbul masalah seandainya penuntut umum tetap menerima alasan yang diberikan penyidik terhadap penghentian

8 22 penyidikan walaupun sebenarnya alasan-alasan yang diberikan tidak sesuai dengan Undang-Undang. Undang-Undang memberikan wewenang kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk ikut mengawasi jalannya proses hukum (Yahya Harahap,2012:9). (3) Tersangka, Ahli Warisnya, dan Kuasa Hukumnya Selain tersangka dan kuasa hukumnya, ahli waris dari tersangka pun dapat mengajukan permohonan Praperadilan, dalam hal ini mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 95 ayat (2) KUHAP: Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (4) Tersangka atau Pihak yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi Dijelaskan dalam Pasal 81 KUHAP yaitu permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya. Jika putusan pengadilan menganggap penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan sah, maka hal tersebut dapat menjadi alasan diajukannya tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan oleh tersangka atau pihak yang berkepentingan (Yahya Harahap,2012:10).

9 23 d. Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan Mengenai tata cara pemeriksaan sidang Praperadilan, diatur dalam Pasal 82 KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan yang dimaksud, pemeriksaan sidang Praperadilan dapat dirinci sebagai berikut: 1) Penetapan hari sidang 3 (tiga) hari sesudah diregister. Yaitu 3 (tiga) hari sesudah diterimanya permohonan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang dihitung dari tanggal penerimaan atau dari tanggal registrasi di kepaniteraan (Pasal 82 ayat (1) huruf a, KUHAP) 2) Pada hari penetapan sidang, hakim sekaligus menyampaikan panggilan. Pemeriksaan Praperadilan dilakukan dengan acara cepat dan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusan. 3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari putusan harus sudah dijatuhkan Sebagaimana yang diperintahkan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c, KUHAP tersebut. Tetapi ketentuan itu tidak menjelaskan secara jelas kapan masa tenggang waktu tersebut, sehingga bisa menimbulkan selisih pendapat dalam penerapannya. Ada yang berpendapat bahwa tenggang waktu tersebut dihitung dari tanggal penetapan hari sidang. 4) Berita acara dan putusan sidang Praperadilan Hendaknya dibuat seperti untuk pemeriksaan perkara singkat 5) Dalam suatu perkara sudah dimulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan Praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur (Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. 6) Putusan hakim Praperadilan dalam acara pemeriksaan Praperadilan harus memuat dengan jelas dasar dan alasan dari amar putusan tersebut. 7) Terhadap putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83, KUHAP).

10 24 e. Bentuk Putusan Praperadilan Pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan acara cepat. Mulai dari penunjukan hakim, penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak, dan pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan cepat, guna dapat menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari. Bertitik tolak dari prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan Praperadilan pun sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan sifat proses tadi. Oleh karena itu, bentuk putusan Praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi pertimbangan yang jelas berdasar hukum dan undangundang. Sifat kesederhanaan tidak berarti bentuk putusan menghilangkan penyusunan pertimbangan yang jelas dan memadai. 1) Sifat Kesederhanaan Bentuk putusan Praperadilan tidak boleh mengurangi dasar alasan pertimbangan yang utuh dan menyeluruh. Untuk menjelaskan bentuk putusan Praperadilan, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan, terutama yang berkenan dengan masalah bentuk putusan maupun isi putusan. 2) Surat Putusan disatukan dengan Berita Acara Bentuk putusan praperadilan tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang. Namun dapat ditarik kesimpulan akan pembuatan putusan peradilan yang dirangkaikan menjadi satu denga berita acara pemeriksaan dari dua sumber: a) Berdasarkan Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP Ketentuan ini menjelaskan proses pemeriksaan sidang Praperadilan dengan acara cepat. Ketentuan ini harus diterapkan secara konsisten dengan bentuk dan pembuatan putusan dalam acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat. Bentuk putusan yang sesuai dengan proses pemeriksaan cepat, putusan dirangkai menjadi satu dengan berita acara.

11 25 Sedangkan dalam acara pemeriksaan singkat yang kualitas acara dan jenis perkaranya lebih tinggi dari acara pemeriksaan cepat, bentuk dan pembuatan putusan dirangkai bersatu dengan berita acara. Apalagi dalam acara cepat, sudah cukup memenuhi kebutuhan apabila bentuk dan pembuatan putusannya dirangkaikan dengan berita acara. b) Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 83 ayat (3) huruf a dan Pasal 96 ayat (1) KUHAP Menurut ketentuan yang dimaksud bentuk putusan Praperadilan, berupa penetapan. Bentuk putusan penetapan pada lazimnya merupakan rangkaian berita acara dengan isi putusan itu sendiri. Putusan Praperadilan juga bersifat deklarator, yang berisi pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan. Tentu tanpa mengurangi sifat yang kondemnator dalam putusan ganti kerugian. Perintah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabila penahanan dinyatakan tidak sah. Atau perintah yang menyuruh penyidik untuk melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah. Maupun perintah melanjutkan penuntutan apabila penghentian penuntutan tidak sah. Atas alasan yang dikemukakan, cukup menjadi dasar, bentuk dan perbuatan putusan Praperadilan merupakan penetapan yang memuat rangkaian kesatuan antara berita acara dengan isi putusan. Jadi, putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara, sebagaimana bentuk dan pembuatan putusan dalam proses acara singkat yang diatur dalam Pasal 203 ayat (3) huruf d KUHAP.

12 26 f. Isi Putusan Praperadilan Tercantum dalam Pasal 82 ayat (3), KUHAP: Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut : 1) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka 2) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan. 3) Dalam putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya 4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita (Pasal 82 ayat (3), KUHAP). 5) Tuntutan ganti kerugian selalu dapat diminta, yaitu yang meliputi hal yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95 KUHAP 6) Ditinjau dari pasal 82 ayat (2) dan (3) maka putusan praperadilan berifat declanatoir yang merupakan suatu putusan yang memberikan penegasan akan hak seseorang. Hakim hanya memutus apa yang dimohonkan para pihak, meskipun Putusan tidak mengandung suatu perintah namun Pemohon berkepentingan atas putusan tersebut. Putusan Praperadilan pada setiap tingkatan pemeriksaan ditentukan dalam KUHAP bahwa tidak dapat dimintakan banding kecuali untuk putusan Praperadilan yang misinya menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Amar putusan Praperadilan dapat berisi :

13 27 1) Putusan yang berisi penolakan tuntutan Praperadilan 2) Putusan yang berisi bahwa tuntutan Praperadilan itu tidak dapat diterima 3) Putusan yang berisi pengadilan menerima (mengabulkan) tuntutan Praperadilan dari pemohon 4) Putusan yang berisi bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili tuntutan Praperadilan dari pemohon. g. Upaya Hukum Praperadilan Pengertian upaya hukum menurut Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 12 adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal menurut cara yang diatur menurut undang-undang. Prinsipnya perkara praperadilan tidak dapat diajukan banding hal ini dijelaskan dalam Pasal 83 ayat (1), dapat dilihat bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal ini sudah sesuai dengan asas acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat (Yahya Harahap, 2012:22-23), tetapi terdapat pengecualian yang diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yaitu: 1) Tentang tidak sahnya penghentian penyidikan; 2) Tentang tidak sahnya penghentian penuntutan; dapat dimintakan putusan akhir kepada Pengadilan Tinggi dan merupakan putusan akhir. Penyidik atau Penuntut Umum hanya dapat melakukan banding atas putusan Praperadilan yang menyatakan bahwa suatu penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan adalah tidak sah.

14 28 Mengenai dapat tidaknya putusan Praperadilan dimohonkan kasasi, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yaitu: Putusan Mahkamah Agung No.227K/Kr/1982, tanggal 31 Maret 1982 tentang Praperadilan, Bahwa wewenang Pengadilan Negeri merupakan wewenang pengawasan horisontal. Mahkamah Agung berpendapat, bahwa terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak dimungkinkan pemeriksaan kasasi, karena keharusan cepat dari perkara-perkara Praperadilan tidak akan terpenuhi, kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi. h. Pemeriksaan Praperadilan Gugur Pemeriksaan Praperadilan gugur artinya pemeriksaan Praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal inilah yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d, menyebutkan: Dalam suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Memperhatikan ketentuan ini gugurnya pemeriksaan Praperadilan terjadi dalam kondisi (Yahya Harahap, 2012 : 20): (1) Apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri; dan; (2) Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum selesai. Hal itulah yang menyebabkan gugurnya pemeriksaan permintaan Praperadilan. Apabila perkara (pokok) telah diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan Praperadilan belum menjatuhkan putusan, dengan sendirinya permintaan Praperadilan gugur. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang berbeda. Oleh karena itu, lebih cepat pemeriksaan Praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan

15 29 dan sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik ke dalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutusnya. 3. Tinjauan tentang Tersangka a. Pengertian Tersangka Pembahasan mengenai Tersangka dalam KUHAP Bab VI yang terdiri dari Pasal 50 sampai Pasal 68. Untuk menjelaskan mengenai definisi tersangka disebutkan pada Pasal 1 butir 14 KUHAP, Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, bedasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka dalam Black law dictionary, disebut sebagai suspect yaitu A person reputed or suspected to be involved in a crime. Dapat diartikan tersangka adalah seseorang yang disangka terlibat dalam suatu kejahatan. Menurut Andi Hamzah, pengertian tersangka dalam KUHAP mengandung unsur subyektif karena hanya menyatakan keadaan dan perbuatan dari seseorang tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai orang tersebut meskipun dilanjutkan bedasarkan bukti permulaan, karena belum tentu bukti yang ada menunjuk pada orang yang bersangkutan (Yesmil Anwar dan Adang, 2009: 254). Wetbeok van Strafvordering Belanda tidak membedakan antara tersangka dan terdakwa yakni menggunakan istilah verdachte, yang membedakan adalah pengertian verdachte sebelum penuntutan dan setelah penuntutan. Pengertian verdachte sebelum penuntutan sama halnya dengan tersangka dalam KUHAP (Yesmil Anwar dan Adang, 2009: 254). Menurut J.C.T Simorangkir yang dimaksud tersangka adalah seseorang yang telah disangka melakukan suatu tindak pidana dan ini masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk mempertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di persidangan (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:53).

16 30 b. Klasifikasi Tersangka Penetapan tersangka menjadi titik permulaan dalam proses pemeriksaan perkara oleh penyelidik dan penyidik. Dikemukakan oleh Inbau dan Reid dalam Criminal Introgation and Confession, mengklasifikasikan tersangka dalam (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:70): 1) Tersangka yang kesalahannya sudah definitif atau dapat dipastikan. Menangani tersangka jenis ini, pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh pengajuan tersangka serta menyesuaikan pembuktian-pembuktian serta menyesuaikan pembuktian-pembuktian yang segala sesuatunya ditujukan untuk kelengkapan bahan-bahan di depan sidang pengadilan. 2) Tersangka yang kesalahannya belum pasti. Pemeriksaan terhadap tersangka ada tiga (3) cara pendekatan : a) Sejak permulaan pemeriksaan menggunakan dasar anggapan bahwa orang yang diperiksa telah melakukan hal-hal yang menyebabkan ia diperiksa; b) Pemeriksaan dengan segera menentukan anggapan bahwa orang yang diperiksa tidak bersalah; c) Pemeriksa berada pada pihak netral, tidak memberikan komentar atau hemat penyataan kecuali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan kesimpulan kepada pemeriksa, apakah yang diperiksa itu bersalah atau tidak. Inbau dan Reid juga menggolongkan tersangka atas dua jenis (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014:71): 1) Emotional offenders. Mereka yang melakukan kejahatan terhadap jiwa orang misalnya pembunuhan penganiayaan yang dilakukan atas dorongan nafsu, marah, balas dendam, dan sebagainya.

17 31 2) Non emotional offenders. Mereka yang melakukan kejahatan untuk tujuan penghasilan keuangan (financial gain), misal pencurian, perampokan, atau melakukan pembunuham atau penganiayaan dengan tujuan memperoleh keuntungan. c. Hak-hak Tersangka KUHAP telah memberikan hak-hak kepada tersangka atau terdakwa yang antara lain meliputi: 1) Hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke penuntut umum,segera dimajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)); 2) Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan seta yang didakwakan (Pasal 51); 3) Hak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan (Pasal 52); 4) Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penterjemah bagi terdakwa atau saksi yang bisu atau tuli (Pasal 177 dan Pasal 178); 5) Hak dapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54); 6) Hak memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55); 7) Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu, yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih (Pasal 56); 8) Hak menghubungi penasihat hukumnya dan bagi yang berkebangsaan asing berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya (Pasal 57); 9) Hak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatannya (Pasal 58);

18 32 10) Hak diberitahu tentang penahanannya kepada keluarga atau orang lain yang serumah atau orang lain yang bantuannya dibutuhkan (Pasal 59); 11) Hak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargan atau lainnya (Pasal 60) ; 12) Hak menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluargannya yang tidak ada hubungannya perkara tersangka atau terdakwa untuk untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan (Pasal 61); 13) Hak mengirim surat atau berkirim surat dari/ke penasihat hukumnya atau sanak keluarganya dengan tidak diperiksa kecuali terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat tersebut disalahgunakan (Pasal 62); 14) Hak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan. (Pasal 63); 15) Hak diadili disidang peradilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64); 16) Hak untuk mengusakan dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya (Pasal 65); 17) Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66); 18) Hak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. (Pasal 67); 19) Hak menuntut ganti kerugian dan rehailitasi (Pasal 68); 20) Hak tersangka wajib diberitahukan hakim ketua, segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan (Pasal 196 ayat (3)). 4. Tinjauan tentang Penyelidikan a. Pengertian Penyelidikan Penyelidikan menurut KUHAP Pasal 1 angka 5 adalah sebagai berikut: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

19 33 menetukan dapat tidaknya dilakukan tindakan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Penyelidikan merupakan tindakan atas nama hukum untuk melanjutkan penelitian, apakah perkara dimaksud merupakan benar-benar tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana atau bukan merupakan pelanggaran hukum pidana, aparat hukum berupaya untuk mengidentifikasi apakah peristiwa itu memenuhi syarat dan masukan dalam kategori peristiwa pidan atau bukan merupakan peristiwa pidana yang sesuai dan memenuhi pasal-pasal dalam KUHP. Oleh karena itu aparat penegak hukum dalam perkara pidana tidak terlibat secara formal dalam perkara (Hartono, 2012: 19-20). b. Lembaga penyelidik Pasal 1 angka 4 KUHAP, berbunyi penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang olah undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Dengan demikian menurut KUHAP penyelidik adalah pejabat Kepolisian Republik Indonesia, catatan apabila kejahatan itu diatur oleh KUHP, sedangkan untuk ketentuan lain misalnya dalam kasus korupsi tentu akan berlaku aturan tersendiri (Hartono, 2012:31). 5. Tinjauan tentang Penyidikan a. Pengertian Penyidikan Penyidikan adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP yang menjelaskan tentang penyidikan, yang menentukan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

20 34 Menurut M. Yahya Harapan (M. Yahya Harapan, 2012: ) pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana. Berdasarkan beberapa pengertian disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan. Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung mertabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam Hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan. Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan

21 35 dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum. Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat dilanjutkan prosesnya ke persidangan. b. Lembaga Penyidik Proses penyidikan memerlukan suatu teknik dan taktik untuk memperoleh keterangan dari tersangka, dan seorang penyidik berwenang untuk mengadakan pemanggilan-pemanggilan secara resmi terhadap tersangka yang dianggap perlu untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan surat panggilan yang sah. Menurut Pasal 1 ayat (1) KUHAP penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP ditentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus yang ditentukan bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik.

22 36 Berdasarkan Pasal 2A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditetapkan kepangkatan pejabat polisi menjadi penyidik yaitu sekurang-kurangnya Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara, sedangkan bagi pegawai sipil yang dibebani wewenang penyidikan adalah masa kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil paling singkat 2 tahun dan berpangkat sekurang-kurangnya Penata Muda (Golongan III/a) atau disamakan dengan itu, dan mengikuti serta lulus pendidikan dan pelatihan di bidang Penyidikan oleh Kepolisian Negara Indonesia. Pengangkatan penyidik itu sendiri dilakukan oleh instansi pemerintah yang berbeda-beda, untuk penyidik Pejabat Polisi Negara diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Sedangkan penyidik pegawai sipil diangkat oleh Menteri oleh pimpinan Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang membawahi Pegawai Negeri Sipil tersebut. Bedasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2010, Penyidik Pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan syarat kepangkatan minimal berpangkat Brigadir Dua Polisi dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku seantero dunia. Kekuasaan dan wewenang (power and authority) polisi sebagai penyidik sangatlah penting dan sulit. Penyidik dapat menilai tindak pidana yang dilakukan atau dengan sengaja melakukan atau adanya suatu unsur paksaan dalam melakukan tindak pidana. Dengan inilah penyidik menyusun berita acara pemeriksaan beserta

23 37 dasar hukum yang dikenakan kepada tersangka yang hasilnya akan diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum guna melakukan penuntutan kepada tersangka. KUHAP sebenarnya telah memberikan cukup pedoman mengenai penyidikan. Misalnya, Pasal 1 menentukan penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, Pasal 5 ayat (1) menentukan penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4: Wewenang Penyidik menurut KUHAP, antara lain : 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2) Mencari keterangan dan barang bukti; 3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; Dikarenakan wewenang tersebut penyidik memilki hak dapat memerintahkan untuk melakukan tindakan berupa: Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; 1) Pemeriksaan dan penyitaan surat; 2) Mengambil sidik jari dan memotret seorang; 3) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik; Penghentian penyidikan merupakan suatu tindakan dari penyidik untuk tidak melanjutkan proses pemeriksaan atas suatu perkara tindak pidana yang sedang ditanganinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP juncto Buku Petunjuk Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak Pidana Kepolisian RI telah dijelaskan bahwa proses

24 38 penyidikan atas suatu perkara pidana dapat dihentikan dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: 1) Tidak terdapatnya bukti yang cukup; 2) Peristiwa yang dilakukan penyidikan tersebut bukan merupakan tindak pidana; Penyidikan dihentikan demi hukum dengan alasan sebagai berikut: 1) Tersangka meninggal dunia; 2) Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa; 3) Pengaduan dicabut bagi delik aduan; 4) Tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap dan pasti. Jika Penyidik telah menghentikan penyidikan maka berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP maka penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pasal tersebut memberikan jaminan kepastian hukum bagi tersangka. Bedasarkan Pasal 11 Undang-Undang 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, selain Kepolisian ada kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan adanya kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang tersangka dengan kriteria sebagai berikut: 1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

25 39 3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp ,00 (satu milyar rupiah). Informasi terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi bisa dilihat dalam kanal Penindakan koordinasi Kepolisian Kejaksaan dan KPK. 6. Tinjauan tentang Kejaksaan a. Definisi Jaksa dan Penuntut Umum Menurut Pasal 1 butir (6) a dan b, jo Pasal 13 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melakukan penetapan hakim b. Tugas, dan wewenang Kejaksaan Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, 1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a) Melakukan penuntutan; b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

26 40 2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a) peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b) pengamanan kebijakan penegakan hukum; c) pengawasan peredaran barang cetakan; d) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 7. Tinjauan tentang Obyek dalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 Berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP menyebutkan bahwa: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang -undang ini tentang: (1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Kemudian diajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Mahkamah Konstitusi, yang dicatatatkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 21/PUU-XII/2014, adapun amar putusan antara lain :

27 41 a. Menyatakan frasa dan guna menemukan tersangkanya dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dan bedasarkan hasil penyidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya b. Menyatakan fraksa bukti permulaan dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersayarat (conditionallly inconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti c. Menyatakan fraksa bukti permulaan yang cukup dalam Pasal 17 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersayarat (conditionallly inconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti d. Menyatakan frasa melakukan tindak pidana dan frasa dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara bersyarat (conditionaally inconstitutional) dan tidak memepunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat. Menyatakan frasa sebaiknya hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung merubah rumusan KUHAP, sehingga menimbulkan dampak kepada sistem tata acara pidana Indonesia, khususnya mengenai Praperadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 memperluas ruang lingkup Praperadilan, yang awalnya hanya mengadili penangkapan, penahanan, penyidikan, ganti rugi dan rehabilitasi, menjadi mampu mengadili mengenai penetapan status tersangka. Mengingat saat status tersangka telah dijatuhkan maka terjadi pembatasan

28 42 terhadap hak-haknya, sehingga perlu adanya kontrol dan pengawasan terhadap prosedur penetapan tersangka, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHAP. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 mengadili, MK mengabulkan sebagian permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan yang menjadi polemik terutama pasca putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) oleh KPK. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan

29 43 secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Praperadilan walaupun dibatasi secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang terbuka kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang oleh penyidik yang termasuk perampasan hak asasi seseorang. Memang Pasal 1 angka 2 KUHAP kalau diterapkan secara benar tidak diperlukan pranata Praperadilan. Perlunya memasukan Penetapan tersangka menjadi bagian dari proses penyidikan yang dapat dimintakan perlindungan melalui Praperadilan, Putusan MK Nomor 65 /PUU-IX/2011 menghapus keberadaan Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan putusan itu, disebutkan sistem Praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang oleh penyidik/ penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Secara implisit, Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah menyatakan pendapatnya bahwa penggeledahan dan penyitaan bagian mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenangwenang dari penyidik/penuntut umum. Oleh sebab itu, keduanya termasuk dalam ruang lingkup Praperadilan. 8. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie (Foklema Andreaea:1951 dalam Lilik Mulyadi, 2000:16) atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata corrumpore, suatu kata latin yang tua. Dari bahasa Latin inilah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris: Corruption, corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda Corruptie (korruptie) (Andi Hamzah, dalam Lilik Mulyadi, 2000:16), sedang dalam

30 44 Ensiklopedia Indonesia: Korupsi adalah gejala di mana para pejabat badanbadan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Pengertian Korupsi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undnagan yang mengatur tindak pidana korupsi. Secara formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun Korupsi sebagai delik yang diatur dalam undang-undang tersendiri di luar KUHP terus diperbarui. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mebagi tindak pidana korupsi menjadi dua bagian, yaitu Tindak pidana korupsi di Luar KUHP dan Tindak pidana korupsi di dalam KUHP. Tindak Pidana di luar KUHP adalah tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang belum diatur dalam KUHP. Sedangkan tindak pidana korupsi dalam KUHP adalah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang telah diatur dalam KUHP atau dengan kata lain beberapa pasal dalam KUHP yang digolongkan menjadi tindak pidana korupsi. b. Sifat Delik Korupsi Delik korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dikelompokkan atas : 1) Delik Korupsi dirumuskan normatif (Pasal 2 dan 3);

31 45 2) Delik dalam KUHP Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi Delik Korupsi (Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12); 3) Delik Penyuapan Aktif (Pasal 13); 4) Delik Korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberi kualifikasi sebagai delik korupsi (Pasal 14); 5) Delik korupsi percobaan, pembantuan, permufakatan (Pasal 15); 6) Delik korupsi dilakukan diluar teritori negara Republik Indonesia (Pasal 16); 7) Delik korupsi dilakukan subyek badan hukum (Pasal 20)

32 46 B. Kerangka Pemikiran Penetapan Tersangka Ongky Syahrul Ramadhona Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 Merubah Pasal 77 ayat huruf (a) KUHAP mengenai obyek Praperadilan dan frasa bukti permulaan yang cukup dalam dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP Pengajuan Perrmohonan Praperadilan terhadap penetapan tersangka Ongky Syahrul Ramadhona Putusan Nomor 2/Pid.Prap/2015/PN Kfm Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu atas Putusan Nomor 2/Pid.Prap/2015/PN Kfm Sesuai KUHAP (Gambar 1) Keterangan: Kerangka pemikiran digambarkan alur pemikiran penulis dalam menelaah, menggambarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum dalam penelitian ini yang berjudul Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor:21/PUU-XII/2014 terhadap Putusan Nomor:

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Praperadilan 2.1.1 Pengertian Praperadilan : Secara harfiah pengertian praperadilan dalam KUHAP memiliki arti yang berbeda, Pra memilik arti mendahului dan praperadilan sama

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14 1 of 14 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci