BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Proses Persidangan Anak Undang-undang sistem peradilan pidana anak menjelaskan bahwa upaya hakim dalam menangani perkara anak nakal di luar pengadilan ditekankan pada satu cara yang menganut pendekatan keadilan restoratif yaitu upaya diversi. Keadilan Restoratif sendiri menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Pengertian diversi sendiri menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pada dasarnya, diversi ini dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan dan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (recidive). Selain itu, hakikat pokok dilakukan diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Upaya ini mengharuskan Hakim bertindak sebagai mediator untuk menengahi permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum, dan diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan yang adil dan tidak berat sebelah. Pada dasarnya ketentuan beracara Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara

2 14 peradilan pidana anak, namun terdapat perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan oleh pengadilan terhadap terdakwa yang masih tergolong anak yang telah disusun dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlakuan khusus tersebut diantaranya adalah: a. Dalam Proses Penyidikan Proses penyidikan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29. Penyidik terhadap perkara anak ditetapkan berdasarkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyidik harus berpengalaman, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Apabila belum terdapat Penyidik yang memenuhi syarat-syarat tersebut, penyidikan dilaksanakan oleh Penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan dalam melakukan penyidikan. Apabila perlu, meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya. Diversi harus diupayakan oleh Penyidik paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan proses Diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. Apabila Diversi telah mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Namun apabila Diversi gagal mencapai kesepakatan, Penyidik melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

3 15 b. Dalam Proses Penangkapan dan Penahanan Proses penangkapan dan penahanan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 40. Penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak untuk melindungi kepentingan dan hak asasi manusia, namun jika belum ada di wilayah yang bersangkutan dapat dititipkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial). Penangkapan harus dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. Biaya bagi setiap anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang sosial. Dalam hal melaksanakan penyidikan, Penyidik berkoordinasi dengan Penuntut Umum. Koordinasi tersebut dilakukan dalam waktu paling lama 1 x 24 jam sejak dimulainya penyidikan. Penahanan tidak boleh dilakukan apabila orang tua/wali dan/atau lembaga telah menjamin anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Syarat-syarat penahanan terhadap anak adalah bahwa anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Syarat-syarat tersebut dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Selama penahanan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap terpenuhi. Penahanan yang dilakukan guna kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari dan atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari. Apabila jangka waktu telah berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari dan atas permintaan Penuntut Umum

4 16 dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. Apabila jangka waktu telah berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Penahanan yang dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari dan atas permintaan Hakim dapat diperpanjang oleh Ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari. Apabila jangka waktu berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Demi kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari dan atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh Ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari. Apabila jangka waktu berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Demi kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari dan atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari. Apabila jangka waktu berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. Jika tidak dilakukan oleh pejabat penangkapan atau penahanan maka akan batal demi hukum. Tabel Masa Penahanan No. Penahanan Oleh Masa Penahanan 1 Penyidik 7 hari 2 Perpanjangan oleh Penuntut Umum 8 hari 3 Penuntut Umum 5 hari 4 Perpanjangan oleh Hakim Pengadilan Negeri 5 hari 5 Pemeriksaan di sidang pengadilan 10 hari

5 17 6 Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri 15 hari 7 Pemeriksaan tingkat banding 10 hari 8 Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi 15 hari 9 Pemeriksaan tingkat kasasi 15 hari 10 Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung 20 hari Jumlah 100 hari Tabel 1. Masa Penahanan c. Dalam Proses Penuntutan Proses penuntutan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 42. Penuntut Umum ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut Umum harus berpengalaman, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Apabila belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi syarat-syarat tersebut, penuntutan dilaksanakan oleh Penuntut Umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Penuntut Umum harus mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik dan proses Diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila diversi telah mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Namun apabila diversi gagal mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. d. Hakim Pengadilan Anak Hakim Pengadilan Anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 51. 1) Hakim Tingkat Pertama

6 18 Hakim ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui Ketua pengadilan tinggi. Hakim harus berpengalaman dalam lingkungan peradilan umum, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Apabila belum terdapat Hakim yang memenuhi syarat-syarat tersebut, tugas pemeriksaan di sidang anak dilaksanakan oleh Hakim yang melakukan tugas pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal. Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dengan Hakim Majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. Dalam menjalankan tugas, Hakim dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti. 2) Hakim Banding Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan. Hakim Banding harus berpengalaman dalam lingkungan peradilan umum, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat banding dengan Hakim tunggal. Ketua pengadilan tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dengan Hakim Majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. Dalam menjalankan tugas, Hakim Banding dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti. 3) Hakim Kasasi

7 19 Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Hakim Kasasi harus berpengalaman dalam lingkungan peradilan umum, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak. Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi dengan hakim tunggal. Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dengan Hakim Majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. Dalam menjalankan tugas, Hakim Kasasi dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti. 4) Peninjauan Kembali Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara anak yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak, orang tua/wali, dan/atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 62. Hakim atau Majelis Hakim ditetapkan oleh Ketua pengadilan paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Setelah ditetapkan, hakim harus mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari dan diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri. Apabila diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Namun jika tidak dicapai kesepakatan, perkara dilanjutkan ke tahap pengadilan.

8 20 Persidangan anak diadakan dalam ruang sidang khusus anak. Ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. Waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Dan persidangan anak tertutup untuk umum kecuali dalam acara pembacaan putusan. Walaupun dalam hal tertentu dianggap perlu, Hakim dapat menetapkan pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka tanpa mengurangi hak anak. Hal-hal yang dianggap perlu tersebut antara lain karena sifat dan keadaan perkara harus dilakukan secara terbuka. Suatu sifat perkara akan diperiksa secara terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas, dan dilihat dari keadaan perkara, misalnya pemeriksaan di tempat kejadian perkara. Anak harus didampingi oleh orang tua/wali atau pendamping, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan dalam persidangan. Meskipun pada prinsipnya tindak pidana merupakan tanggung jawab anak sendiri, tetapi karena dalam hal ini terdakwanya adalah anak, anak tidak dapat dipisahkan dari kehadiran orang tua/wali. Jika anak tidak ada yang mendampingi, persidangan batal demi hukum. Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, anak dipanggil masuk beserta yang mendampingi. Penuntut Umum membacakan surat dakwaan. Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali Hakim berpendapat lain. Terdakwa anak diperintahkan untuk dibawa keluar ruang sidang pada saat anak korban dan/atau anak saksi diperiksa oleh Hakim atau dengan kata lain terdakwa anak tidak boleh mengetahui anak korban dan/atau anak saksi memberikan keterangan, namun yang mendampingi terdakwa anak harus tetap berada di dalam ruang persidangan. Anak diberitahukan mengenai

9 21 keterangan yang telah diberikan oleh anak korban dan/atau anak saksi pada saat berada di luar ruang sidang pengadilan. Sebelum menjatuhkan putusan, orang tua/wali dan/atau pendamping diberikan kesempatan oleh Hakim untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak. Anak korban juga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Hakim berkewajiban untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara, jika tidak dipertimbangkan maka putusan batal demi hukum. Putusan pengadilan dibacakan dalam sidang terbuka dan anak dapat tidak menghadiri pembacaan putusan tersebut. Dalam putusan, identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa. Pengadilan wajib memberikan petikan putusan dalam acara pembacaan putusan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. Paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan, pengadilan wajib memberikan salinan putusan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum. 2. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim Terdapat 2 (dua) kategori pertimbangan Hakim dalam memutus suatu perkara yang khususnya putusan yang mengandung pemidanaan, yaitu pertimbangan Hakim yang bersifat yuridis dan pertimbangan Hakim yang bersifat non yuridis a. Pertimbangan Yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu

10 22 (repository.usu.ac.id/bitstream/ /4748/1/09e01948.pdf, diakses tanggal 5 Mei 2015 pukul 18.50) : 1) Dakwaan Penuntut Umum Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materiilnya. Dakwaan berisi identitas Terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat Pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP) 2) Tuntutan Pidana Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada Terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Penuntut Umum sebelum sampai pada tuntutannya di dalam requisitoir itu biasanya Penuntut Umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak pidana yang ia dakwakan kepada Terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut. 3) Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

11 23 pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan alami sendiri, yang harus disampaikan dalam sidang pegadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan isitlah testimonium de auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan 4) Keterangan Terdakwa Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP memuat bahwa keterangan Terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan Terdakwa adalah apa yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. Keterangan Terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. 5) Barang-barang Bukti Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan Terdakwa untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan Hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa dan sudah barang tentu Hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh Terdakwa maupun para saksi.

12 24 b. Pertimbangan Non Yuridis Hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis, disamping pertimbangan yang bersifat yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis dan kriminologis Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis pelaku saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang melakukan tidak pidana, dengan demikian Hakim diharapkan dapat memerikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan pelaku. Pertimbangan non yuridis meliputi pertimbangan pada hal-hal yang memberatkan ataupun yang meringankan hukuman bagi Terdakwa. Seorang Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan apakah Terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Hakim juga harus mempertimbangakan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa. Hakim dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan dalam hal penjatuhan pidana, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang, jangan sampai penentuan pidana oleh Hakim itu akan berdampak buruk dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan hukum itu sendiri pada khususnya. Seperti yang telah dikemukakan di atas, dalam hal Hakim diberi kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya Hakim juga terikat oleh alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan secara tegas bahwa Hakim tidak boleh

13 25 manjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tidak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh Hakim, yaitu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. 1) Pertimbangan yang Memberatkan a) Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP) dimana pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidanyanya dapat ditambah sepertiganya Yang kedua yaitu recidive atau pengulangan dimana dalam KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, dan yang terakhir yaitu gabungan atau semenloop (adalah orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana) b) Hal-hal yang Memberatkan pada Putusan Pengadilan Meresahkan masyarakat adalah hal yang dijadikan dasar alasan memberatkan pidana tersebut.

14 26 2) Hal-hal yang Meringankan KUHP memuat alasan-alasan yang dapat meringankan pidana, yaitu sebagai berikut: a) Percobaan (Pasal 53 ayat(2) dan (3)); b) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1) dan (2)); c) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47). Hal-hal yang dapat meringankan dalam persidangan adalah sebagai berikut: a) Sikap correct dan hormat Terdakwa terhadap pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; b) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik; c) Dalam persidangan, Terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya. 3. Tinjauan tentang Anak a. Pengertian Anak Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa, anak merupakan suatu titipan kepada orang yang telah menikah dan berkeluarga, sehingga anak harus dijaga dan dilindungi oleh orang tuanya hingga anak dapat melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang ada dan juga dapat berpikir secara sehat untuk menentukan pilihan hidupnya kelak. Menurut Shanty Dellyana yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa) (Shanty Dellyana, 1990:50). Berdasarkan pendapat Lilik Mulyadi apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarige/person ender

15 27 age). Orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjangheid/inferiority) atau kerap juga disebut anak di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoodij), maka dengan berititk tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan batasan umur bagi seorang anak (Lilik Mulyadi, 2005:4). Setiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai definisi anak. Dalam perspektif masyarakat Indonesia, anak sering disebut sebagai seorang yang belum dewasa atau sebagai orang yang berada di bawah perwalian. Beberapa pengertian anak dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya adalah: 1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam undang-undang ini definisi anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut sebagai anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 butir 1 Undang-Undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut Undang-Undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam undang-undang ini tidak memberikan definisi anak, namun dalam Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 yat (1) mempunyai pengertian pembatasan usia anak dibawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 (delapan belas) tahun. Hal ini

16 28 dapat diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun. Pada masa ini pula anak mulai mencari teman sebaya dan mulai berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya, lalu mulai terbentuk pemikiran mengenai dirinya sendiri. Selanjutnya pada masa ini pula perkembangan anak dapat berkembang dengan cepat dalam segala bidang baik itu perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian (Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, 2001:2-3) 4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir 5, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. 5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Anak didefiniskan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 6) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi dalam Pasal 45 dan 72 memakai batasan umur 16 tahun dan Pasal 283 yang memberi batasan 17 tahun. b. Hak-Hak Anak Hak-hak anak ini diatur dalam berbagai peraturan yang membahas mengenai anak. Peraturan tersebut antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tetntang Kesejahteraan Anak, menyebutkan hak-hak anak antara lain adalah: a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

17 29 b) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga yang baik dan berguna. c) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. d) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. e) Dalam keadaan yang membahayakan anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan. (Gatot Supramono, 2000: 7). 2) Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan hak-hak anak antara lain sebagai berikut: a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. c) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan. d) Setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.

18 30 e) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. f) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. g) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak: mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. h) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. i) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. 4. Tinjauan tentang Sanksi Pidana terhadap Anak Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur bahwa anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak atau keadaan waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk dapat menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Jenis-jenis pidana dan tindakan terdapat pada Pasal 69 sampai dengan Pasal 83, antara lain (Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, 2015: 88-92) : a. Pidana Pokok 1) Pidana Peringatan Pidana peringatan adalah pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Dalam hal ini apabila anak

19 31 melakukan tindak pidana ringan hanya akan diberi peringatan kepadanya atau kepada orang tua/wali, namun tidak sampai ke meja pengadilan. 2) Pidana Bersyarat Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam hal ini ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umumnya adalah bahwa anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Dan syarat khususnya adalah untuk ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap mempehatikan kebebasan anak. Dalam pidana bersyarat, masa pidana dengan syarat khusus lebih lama dari masa pidana dengan syarat umum. Jangka waktu masa pidana dengan syarat paling lama 3 (tiga) tahun. Selama anak menjalani pidana bersyarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan. Anak juga harus mengikuti wajib belajar 9 (Sembilan) tahun agar pendidilan terpenuhi. a) Pembinaan di Luar Lembaga Dalam hal Hakim memutuskan bahwa anak dibina di luar lembaga, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya. Pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan untuk: (1) Mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat Pembina; (2) Mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau (3) Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alcohol, nakotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

20 32 Apabila selama pembinaan anak melanggar syarat-syarat tersebut, pejabat Pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. b) Pelayanan Masyarakat Pidana pelayanan masyarakat adalah pidana yang dimaksudkan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. Pidana ini dijatuhkan untuk anak paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. c) Pengawasan Yang dimaksud dengan pidana pengawasan adalah pidana yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap perlaku anak dalam kehidupan sehari-hari dan pemberian bimbingan yang dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan. Pidana ini dapat dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. 3) Pelatihan Kerja Pelatihan kerja anak dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatiha kerja yang sesuai dengan usia anak. Lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja antara lain balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan atau sosial. Pidana ini dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. 4) Pembinaan di dalam lembaga Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaha pembinaan yang diselenggarakan, baik

21 33 oleh pemerintah maupun swasta. Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan anak dan perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat. Pidana ini dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Apabila anak telah menjalani ½ (satu per dua) dari lamanya pidana pembinaan di dalam lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik, anak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. 5) Penjara Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tinak pidana berat atau tindak pidana yang disertai kekerasan. Dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Tidak ada minimum khusus pidana penjara yang diberlakukan terhadap anak. Dalam ketentuan KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang tidak tidak bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pidana penjara di LPKA akan dijatuhkan kepada anak apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Pidana penjara dilakukan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun. Jika anak telah menjalani setengah dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pidana penjara hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Jika anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paing lama 10 (sepuluh) tahun. b. Pidana Tambahan 1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

22 34 Hal ini diartikan bahwa pidana tambahan yang dijatuhkan oleh Hakim adalah berupa mencabut dari orang yang memegang keuntungan dari tindak pidana yang diperoleh demi kepentingan negara 2) Pemenuhan kewajiban adat. Yang dimaksud dengan kewajiban adat adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan fisik dan mental anak. c. Tindakan Selain menjatuhkan pidana pokok atau pidana tambahan, anak dapat dikenakan tindakan oleh hakim. Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak berupa: 1) Pengembalian kepada orang tua/wali; 2) Penyerahan kepada seseorang; 3) Perawatan di rumah sakit jiwa; 4) Perawatan di LPKS; 5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 6) Pencabutan surat izin mengemudi; 7) Perbaikan akibat tindak pidana 5. Tinjauan tentang Pencurian dengan Pemberatan a. Pengertian terhadap Pemberatan Pencurian dengan pemberatan dapat diartikan sebagai pencurian khusus, yaitu sebagai suatu pencurian dengan cara-cara tertentu sehingga bersifat lebih berat, maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimalnya lebih tinggi misalnya lima tahun atau lebih dari yang diancamkan dalam Pasal 362 KUHP. Hal ini diatus dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP.

23 35 1) Pasal 363 KUHP (1) Dihukum dengan hukuman panjara selama-lamanya tujuh tahun: 1. Pencurian ternak; 2. Pencurian pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberantakan atau bahaya perang; 3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; 4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakai jabatan palsu. (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. 2) Pasal 365 KUHP (1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun dihukum pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang lain, dengan maksud untuk mempersiapkan atau memudahkan pencurian itu, atau si pencuri jika tertangkap basah, supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicuri tetap tinggal di tangannya. (2) Hukuman penjara selama-selamanya dua belas tahun dijatuhkan:

24 36 1. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau pekarangan tertutup dimana ada rumah kediaman, atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; 2. Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersamasama; 3. Jika yang bersalah telah masuk ke dalam tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu; 4. Jika perbuatan itu berakibat luka berat. (3) Dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun jika perbuatan itu berakibat matinya orang; (4) Hukuman mati atau hukuma penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang luka berat atau mati, dan lagi perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih, dan lagi pula disertai salah satu dari hal-hal yang disebutkan dalam nomor 1 dan nomor 2. b. Unsur-unsur dalam Pemberatan Selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP. 1) Unsur-unsur dalam Pasal 363 KUHP No. Aturan Unsur-unsur yang Memberatkan 1. Ayat (1) angka 1 a. Unsur ternak berdasarkan Pasal 101 KUHP diartikan sebagai binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. Hewan berkuku satu misalnya

25 37 kuda, keledai dan sebagainya. Sedangkan hewan memamah biak misalnya kerbau, sapi, kambing dan sebagainya. b. Unsur ternak menjadi unsur pemberat dalam suatu tindak pidana pencurian karena pada masyarakat hewan ternak merupakan harta kekayan yang penting. 2. Ayat (1) angka 2 a. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, kapal karam, kapal terdmpar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang. b. Unsur ini dapat memberatkan jika pencurian dengan terjadinya bencana saling berhubungan. Artinya pencuri menggunakan kesempatan ketika terjadi bencana untuk melakukan pencurian. 3. Ayat (1) angka 3 a. Unsur-unsur yang memberatkan adalah karena tindak pencurian dilakukan pada waktu malam hari, yakni; di dalam suatu tempat kediaman, di atas sebuah pekarangan tertutup di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, atau dilakukan oleh seseorang yang berada di sana tanpa sepengetahuan atau bertentangan dengan keinginan orang yang berhak. b. Dalam Pasal 98 KUHP, malam hari adalah waktu antara matahari terbenam dengan

26 38 matahari terbit. 4. Ayat (1) angka 4 a. Unsur yang memberatkan adalah karena tindak pidana pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. b. Hal ini diartikan pada dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam melakukan tindak pidana pencurian, misalnya mereka bersama-sama mengambil barang-barang dengan kehendak bersama. 5. Ayat (1) angka 5 a. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakai jabatan palsu b. Menurut Pasal 99 KUHP yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali, begitu juga menyeberani selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup. c. Menurut Pasal 100 KUHP yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci.

27 39 Tabel 2. Unsur-Unsur Pasal 363 KUHP 2) Unsur-unsur dalam Pasal 365 KUHP a) Ayat (1) (1) Pencurian; (2) Didahului atau disertai atau diikuti; (3) Kekerasan atau ancaman kekerasan; (4) Terhadap orang; (5) Dilakukan dengan maksud: (a) Mempersiapkan atau; (b) Memudahkan atau; (c) Dalam hal tertangkap tangan; (d) Untuk memungkinkan melarikan diri bagi dirinya atau peserta lain; (e) Untuk menjamin tetap dikuasainya barang yang dicuri. b) Ayat (2) ke-1 (1) Waktu malam; (2) Dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya; (3) Di jalan umum; (4) Dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan. c) Ayat (2) ke-2 (1) Dua orang atau lebih; (2) Bersama-sama. d) Ayat (2) ke-3 (1) Didahului, disertai, atau diikuti; (2) Kekerasan atau ancaman kekerasan; (3) Dengan maksud mempersiapkan; (4) Dengan cara membongkar, merusak, memanjat, atau; (5) Menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu, seragam palsu.

28 40 e) Ayat (2) ke-4 (1) Mengakibatkan luka berat Unsur ini dijelaskan pengertiannya dalam Pasal 90 KUHP, yaitu: (a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi akan sembuh sama sekali, atau menimbulkan bahaya maut. (b) Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas, jabatan atau pekerjaan pencahariannya. (c) Kehilangan salah satu panca indera. (d) Mendapat cacat berat. (e) Menderita sakit lumpuh. (f) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. (g) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. f) Ayat (3) (1) Didahului, disertai atau diikuti; (2) Kekerasan atau ancaman kekerasan; (3) Mengakibatkan kematian. g) Ayat (4) (1) Mengakibatkan luka berat atau; (2) Kematian; (3) Dilakukan oleh dua orang atau lebih; (4) Dengan bersekutu; (5) Disertai salah satu hal dari unsur ayat (2) ke-1 dan ke-3

29 41 B. Kerangka Pemikiran Pasal 363 KUHP tentang Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan ANAK Proses Persidangan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pertimbangan Hakim Yuridis Non Yuridis Pidana Pembinaan di dalam Lembaga Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 01/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Pwt Gambar 1. Kerangka Pemikiran

30 42 Keterangan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, mengambarkan, menelah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu mengenai adanya Pasal 363 KUHP yang menjelaskan tentang tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Dalam hal ini pencurian dengan pemberatan dilakukan oleh anak yang berusia 16 tahun. Mengingat Terdakwa belum dewasa, maka proses persidangan tidak dilakukan menurut KUHAP melainkan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan undang-undang pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Berdasarkan pertimbangan hakim dari segi yuridis dan non yuridis, Hakim menjatuhkan sanksi berupa pidana pembinaan kepada Terdakwa sehingga dijatuhkan putusan nomor: 01/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Pwt

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB A. Tindak Pencurian Kendaraan Bermotor yang Dilakukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Anak dan Batasan Umur Anak Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai undang-undang. Pengertian tersebut tidak memberikan suatu konsepsi tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA www.legalitas.org UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 17 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum tentang Anak secara Umum 1. Pengertian Anak Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksanaan

Lebih terperinci

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Surastini Fitriasih Dalam Buku II KUHP: Bab XXII : Pencurian Bab XXIII: Pemerasan & Pengancaman Bab XXIV: Penggelapan Barang Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXVI: Merugikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

Rosa Intani Citrawati. Abstrak

Rosa Intani Citrawati. Abstrak ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PIDANA PEMBINAAN TERHADAP ANAK PELAKU PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 01/Pid.Sus.Anak/2014/ PN.Pwt) Rosa Intani Citrawati Abstrak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul)

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) WAWANCARA Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) Terwawancara : AKP Sri Pamujiningsih (Kanit dan Penyidik Unit PPA Polres Metro Jakarta Utara. A. Wawancara dengan unit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2017 HUKUM. Anak. Anak Korban. Perkara. Register. Pedoman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6033) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan. Pemberatan. A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II. Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan. Pemberatan. A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan A. Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pencurian dengan pemberatan, maksudnya adalah pencurian biasa yang diatur dalam

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah Kitab Undangundang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN 1 TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN Suriani, Sh, Mh. Fakultas Hukum Universitas Asahan, Jl. Jend Ahmad Yani Kisaran Sumatera Utara surianisiagian02@gmail.com ABSTRAK Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK 1 Oleh : Merril Constantia Lomban 2

ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK 1 Oleh : Merril Constantia Lomban 2 ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK 1 Oleh : Merril Constantia Lomban 2 ABSTRAK Pemidanaan terhadap orang yang belum dewasa atau yang belum cukup umur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN REHABILITASI SOSIAL ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM OLEH LEMBAGA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi. penyidik bukan berdasarkan atas kekuasaan, melainkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi. penyidik bukan berdasarkan atas kekuasaan, melainkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah KUHAP Pasal 1 menjelaskan bahwa penyidik adalah: pejabat polisi negara republik indonesia atau pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci