TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN Pajak Daerah dan Reformasi Pajak Daerah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN Pajak Daerah dan Reformasi Pajak Daerah"

Transkripsi

1 II. TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN 2.1 Telaah Pustaka Pajak Daerah dan Reformasi Pajak Daerah Menurut Darwin (2010), dalam bukunya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa pengertian pajak secara umum yaitu merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah tanpa balas jasa langsung yang dapat ditunjuk, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dia juga menyatakan bahwa pajak daerah secara umum adalah pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib pajak kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatakan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimaksudkan bahwa pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan 9

2 10 kepada masyarakat dengan diikuti pemberian kewenangan yang besar dalam pengaturan kewenangan perpajakan dapat mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya batasan bagi daerah dalam penetapan tarif pajak sehingga daerah dapat mengatur pendapatan dari sektor pajak untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Tujuan dari perubahan ini dapat dilihat dari konsideran yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah yaitu: 1. Bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif; 2. Bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah; 3. Bahwa Undang-Undang 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya juga harus mempertimbangkan ketetapan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.

3 11 Untuk itu Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator. 1. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. 2. Fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat untuk mengatur dalam mencapai tujuan yang diharapkan pemerintah, misalnya: Pajak rokok dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi barang tersebut, Pajak kendaraan bermotor dengan perlakuan perhitungan pajak progresif dimaksudkan untuk membatasi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor lebih dari satu dari subjek pajak yang sama dan untuk dapat tertib administrasi dalam kepemilikan kendaraan bermotor dengan membayar bea balik nama apabila kendaraan tersebut telah berubah status kepemilikannya Jenis-Jenis Pajak Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Sementara itu, Pemerintah Provinsi diberi kewenangan untuk memungut 5 (lima) jenis pajak, yaitu: a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

4 12 b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Air Permukaan, dan e. Pajak Rokok. Pajak Kendaraan Bermotor Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. Hal yang dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: a. Kereta api; b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara; c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan d. Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

5 13 Pajak Kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor sehingga secara otomatis yang menjadi objek dari Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Adapun yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor tersebut, sedangkan wajib pajaknya adalahorang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor. Dalam hal wajib pajak badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut. Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dihitung sebagai perkalian dari dua unsur pokok yaitu nilai jual kendaraan bermotor dan bobot. Unsur nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. Harga pasaran umum adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data seperti Agen Tunggal Pemegang Merek, asosiasi penjual kendaraan bermotor. Dalam hal harga pasaran umum tidak diketahui harganya maka Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor: a. Harga kendaraan bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang saam. b. Penggunaan kendaraan bermotor untuk umum atau pribadi. c. Harga kendaraan bermotor dengan merek kendaraan bermotor yang sama. d. Harga kendaraan bermotor dengan tahun pembuatan kendaraan bermotor yang sama. e. Harga kendaraan bermotor dengan pembuat kendaraan bermotor yang sama.

6 14 f. Harga kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor sejenis. g. Harga kendaraan bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang. Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. Khusus untuk kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan pajaknya adalah nilai jual kendaraan bermotor. Unsur bobot adalah suatu unsur yang mencerminkan secara realtif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Bobot dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu). Koefisien bobot sama dengan 1, artinya kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih besar dari 1, berarti penggunaan kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi. Bobot dihitung berdasarkan faktor-faktor: a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas jumlah sumbu/as, roda, dan berat kendaraan bermotor. b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor, yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya. c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.

7 15 Sesuai Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dinyatakan dalam pasal 6 bahwa: - Ayat 1 menyatakan bahwa Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok yaitu: a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB); dan b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan Bermotor. - Ayat 4 menyatakan bahwa Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisisen yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan ketentuan sebagai berikut: a. Koefisiean sama dengan 1 (satu), berarti kerusakan jalan dan atau pencemaran lingkungan sebagai akibat penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan b. Koefisien lebih besar dari 1 (satu), berarti penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati abtas toleransi. - Ayat 5 menyatakan bahwa Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (4) dihitung berdasarkan faktor-faktor: a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor; b. Jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesi8n Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder. Untuk memudahkan perhitungan, dasar pengenaan Pajak kendaraan Bermotor dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Permendagri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan dan ditinjau kembali setiap tahun. Besarnya tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2 % (dua persen). b. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

8 16 Adapun tarif PKB yang berlaku di Jawa Barat sesuai Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2011 sesuai pasal 7 ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama sebesar 1,75% (satu koma tujuh lima persen). b. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor roda 4(empat) kedua dan seterusnya didasarkan atas nama dan almat yang sama sesuai tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut: 1. PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25% 2. PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75% 3. PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25% 4. PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75% c. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) atau roda (tiga) kedua dan seterusnya, didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut: 1. PKB kepemilikan kedua, sebesar 2,25% 2. PKB kepemilikan ketiga, sebesar 2,75% 3. PKB kepemilikan keempat, sebesar 3,25% 4. PKB kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75% Tarif pajak kendaraan bermotor angkutan umum ditetapkan sebesar 1 % (satu persen) sedangkan ambulans, pemadam kebakaran, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah dan kendaraan lain yang ditetapkan 0,5% (nol koma lima persen). Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,2% (nol koma dua persen).

9 17 Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas maka besarnya pajak kendaraan bermotor dapat dihitung dengan formula: PKB = Tarif x Dasar Pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tenatng Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dimaksud Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukkan ke dalam badan usaha. Objek pajak dari pajak ini adalah penyerahan kepemilikan kendaraan bermotor dan penguasaan kendaraan bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dapat dianggap sebagai penyerahan. Sedangkan penguasaan kendaraan bermotor karena perjanjian sewa beli tidak termasuk penguasaan kendaraan bermotor. Termasuk juga sebagai penyerahan kendaraan bermotor adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali: a. Untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan. b. Untuk diperdagangkan. c. Untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia, kecuali selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wialyah pabean Indonesia. d. Digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.

10 18 Subjek Pajak dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi/badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor tersebut sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau abdan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. Dasar pengenaan dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. Harga pasaran umum adalah rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data seperti Agen Tunggal Pemegang Merek dan asosiasi penjual kendaraan bermotor. Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. Untuk memudahkan perhitungan, dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dinyatakan dalam suatu tabel yang sama dengan Pajak Kendaraan Bermotor dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan serta ditinjau kembali setiap tahun. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Provinsi Jawa Barat ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2011 sesuai pasal 24 sebagai berikut: (1) Tarif BBNKB atas penyerahan pertama ditetapkan sebesar : a. 10% (sepuluh persen) untuk Kendaraan Bermotor orang pribadi, Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan POLRI; b. 10% (sepuluh persen) untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum; dan c. 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.

11 19 (2) Tarif BBNKB atas penyerahan kedua dan selanjutnya ditetapkan sebesar : a. 1% (satu persen) untuk Kendaraan Bermotor orang pribadi atau Badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri; b. 1% (satu persen) untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum; dan c. 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen) untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. (3) Tarif BBNKB atas penyerahan karena warisan ditetapkan sebesar: a. 0,1% (nol koma satu persen) untuk Kendaraan Bermotor orang pribadi; b. 0,1% (nol koma satu persen) untuk Kendaraan Bermotor angkutan umum; dan c. 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen) untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. (4) Tarif BBNKB Ex Dump Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri ditetapkan sebagai berikut: a. Umur kendaraan 1 sampai dengan 5 tahun, sebesar 10 % (sepuluh persen) dari NJKB; b. Umur kendaraan diatas 5 tahun sampai dengan 10 tahun, sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil perkalian 40% (empat puluh persen) dari NJKB; dan c. Umur kendaraan di atas 10 tahun, sebesar 10% dari hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dari NJKB. (5) Tarif BBNKB hibah ditetapkan sebagai berikut: a. Kendaraan yang belum dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari NJKB; b. Kendaraan yang telah dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari NJKB; c. Hibah kepada yayasan yang semata-mata bergerak di bidang sosial dan keagamaan yang belum dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari hasil perkalian 10% dari NJKB; dan d. Hibah kepada yayasan yang semata-mata bergerak di bidang sosial dan keagamaan yang sudah dikenakan BBNKB, ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari hasil perkalian 1% dari NJKB. Besarnya Bea Balik Nama suatu kendaraan bermotor dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: BBN Kendaraan Bermotor = Tarif x Dasar Pengenaan

12 20 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak bahan Bakar Kednaraan Bermotor adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air. Objek dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air yaitu: bensin, solar, dan gas. Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan Wajib Pajak dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi/badan yang menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor, baik bahan bakar itu digunakan untuk kendaraan bermotor maupun digunakan utnuk kepentingan lainnya. Dasar Pengenaan dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan tarifnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling tinggi sebesar 10%. Untuk menghitung besarnya pajak bahan bakar kendaraan bermotor dapat dihitunh sebagai berikut: Pajak Bahan Bakar KB = Tarif x Dasar Pengenaan

13 21 Pajak Air Permukaan Pajak Air Permukaan merupakan pajak yang objek pajaknya adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Dikecualikan dari pengenaan pajak ini adalah penagmbilan dan/atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian, dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan. Selain itu juga pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan, sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Dasar Pengenaan darijenis pajak ini adalah Nilai Perolehan Air Permukaan yang dinyatakan dalam rupiah dan dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut: a. Jenis dan Lokasi sumber air b. Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air c. Volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan d. Kualitas air e. Luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air f. Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.

14 22 Besarnya nilai perolehan air permukaan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan ketentuan paling tinggi sebesar 10%. Adapun Paja teruntang dapat dihitung dengan formula : Pajak = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak Rokok Pajak rokok adalah pajak yang baru dalam pajak daerah provinsi. Karena pajak ini belum pernah ada di dalam undang-undang sebelumnya. Objek dari pajak rokok adalah konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. Dikecualikan dari Pajak Rokok adalah jenis rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok, sedangkan wajib pajaknya adalah pengusaha rokok/produsen dan importer rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Pajak ini dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai yaitu Direktorat Bea dan Cukai, bersamaan dengan pemungutan cukai rokok dan hasil pungutan disetorkan ke rekening kas umum daerah propinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Dasar pengenaan dari Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok dan tarif pajaknya sebesar 10% dari cukai rokok. Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai pajak rokok yang mulai diberlakukan pada tahun 2014, pengenaan pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok diperhitungkan dalam penerapan cukai nasional. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat

15 23 keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah. Adapun ilustrasinya seperti yang dicontohkan dalam penjelasan Undangundang Nomor 28 tahun 2009 adalah sebagai berikut: misalkan pada tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, kemudian meningkat menjadi 121 di tahun Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya. Ilustarsi dalam tabel dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tahun Cukai (Pusat) Pajak rokok Total Cukai (Pusat & Daerah) Δ% 0 10% 10% 10% 10% Rp Besar pajak terutang dapat dilihat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Pajak Rokok = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

16 24 Penerimaan dari pajak rokok ini akan dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakkan hukum oleh aparat yang berwenang. Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Penegakkan hukum sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakkan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan Retribusi Daerah Salah satu sumber penerimaan Negara adalah retribusi. Berbeda dengan pajak, retribusi pada umumnya berhubungan dengan kontra prestasi langsung, dalam arti bahwa pembayar retribusi akan menerima imbalan secara langsung dari retribusi yang dibayarnya (Brotodihardjo, 1993:7). Menurut Darwin (2010), dalam bukunya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa pengertian retribusi adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

17 25 Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Dari pengertian di atas maka dapat diuraikan bahwa retribusi pada umumnya berhubungan dengan prestasi kembaliannya secara langsung. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajiib Retribusi bertujuan untuk mendapatkan imbalan dari pemerintah, seperti pembayaran uang sekolah/kuliah, pembayaran abonemen air minum, pembayaran listrik, pembayaran gas, rumah sakit dan sebagainya. Objek Retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Adapun jasa tertentu tersebut dikelompokkan ke dalam 3 objek retribusi yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha dan Perizinan Tertentu Retribusi Jasa Umum Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 109 berbunyi: Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Jenis retribusi jasa umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara Cuma-Cuma. Berikut ini yang termasuk dalam jenis retribusi jasa umum

18 26 adalah: 1. Retribusi Pelayanan Kesehatan 2. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan; 3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP Retribusi Penggantian Biaya Cetak Akta Catatan Sipil; 4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; 5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; 6. Retribusi Pelayanan Pasar; 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; 10. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; 11. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; 12. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Adapun kreterianya penggolongan retribusi jasa umum sebagai berikut: a) Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu; b) Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;

19 27 c) Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum; d) Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi; e) Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraanya; f) Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial. g) Pungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/ atau kualitas pelayanan yang lebih baik Retribusi Jasa Usaha Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 126 berbunyi: Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: a. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau. b. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

20 28 Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah sebagai berikut: 1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; 3. Retribusi tempat Pelelangan; 4. Retribusi Terminal; 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir; 6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan /Villa; 7. Retribusi Rumah Potong Hewan; 8. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal; 9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga; 10. Retribusi Penyebrangan di Atas Air; 11. Retribusi Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. Adapun kreterianya sebagai berikut: a) Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; b) Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta harta yang dimiliki/dikuasai Derah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah

21 Retribusi Perizinan Tertentu Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 140 berbunyi: Objek Retribusi Perizinan tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah Daerah tidak harus dipungut retribusi. Akan tetapi untuk melaksanakan fungsi tersebut Pemerintah Daerah mungkin masih mengalami kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah, sehingga terhadap perizinan tertentu masih perlu dipungut retribusi Pendapatan Asli Daerah Menurut Abdul Halim (2002), dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah: Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,

22 30 dan lain-lain PAD yang sah, bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang dapat digali dari potensi daerah dan digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan di daerahnya. Dalam hubungannya dengan pembiayaan pemerintah di daerah, perlu diketahui sumber pendapatannya yang pasti agar terdapat kepastian mengenai pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintahan di daerah. Secara umum sumber-sumber pendapatan daerah (Davey, 1988:25) dapat dibagi atas: - Alokasi dari pemerintah Pusat yang tediri dari: anggaran pusat (votes), bantuan pusat (grants), bagi hasil pajak, pinjaman, dan penyertaan modal. - Perpajakan - Retribusi - Perusahaan (Badan Usaha) Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pasal 6, Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: 1) Pajak Daerah, 2) Retribusi Daerah, 3). Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4). Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.

23 Perumusan Model Penelitian Tinjauan Penelitian Terdahulu Mohd.Rangga Diza (2009) melakukan penelitian untuk menguji kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Propinsi Sumatera Utara. Penelitian menggunakan metode penelitian asosiatif mengenai hubungan sebab akibat (kausal) antara variable independen dengan variable dependen untuk melihat berapa besar kontribusi yang diberikan pajak dan retribusi daerah sebagai variable independen terhadap pendapatan asli daerah sebagai variable dependen serta mengukur besarnya pengaruh retribusi dan pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah sampel 17 kabupaten/kota. Hasil analisis menunjukkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah memiliki kontribusi signifikan positif terhadap PAD Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis dan tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Analisis Komparatif Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah berlakunya UU No.28 Tahun 2009 Pajak Daerah Sebelum (X1) Pajak Daerah Sesudah (X1) Retribusi Daerah Sebelum (X2) Retribusi Daerah Sesudah (X2)

24 32 Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian Analisis Assosiatif Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 Pajak Daerah Sebelum (X1) Retribusi Daerah Sebelum (X2) Pendapatan Asli Daerah Sebelum (Y) Pendapatan Asli Daerah Sesudah (Y) Pajak Daerah Sesudah (X1) Retribusi Daerah Sesudah (X2) Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2012:93), Penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada Penelitian Kualitatif tidak merumuskan hipotesis tetapi justru menemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut akan diuji oleh peneliti dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penulis dalam melakukan penelitian yang berjudul Analisis Komparasi Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Asli Daerah menggunakan 2 (dua) metode hipotesis penelitian yaitu Hipotesis Komparatif dan Hipotesis Asosiatif. Hipotesis komparatif pada penelitian ini adalah: Hipotesa komparatif I Ho : Tidak terdapat perbedaan perolehan Pajak Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009.

25 33 Ha : Terdapat perbedaan perolehan Pajak Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun Hipotesa Komparatif II Ho : Tidak terdapat perbedaan perolehan Retribusi Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun Ha : Terdapat perbedaan perolehan Retribusi Daerah antara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun Sedangkan Hipotesis Asosiatif dalam penelitian ini adalah: H1 : Penerimaan Pajak Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). H2 : Penerimaan Retribusi Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). H3 : Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 secara simultan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). H4 : Penerimaan Pajak Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). H5 : Penerimaan Retribusi Daerah sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). H6 : Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesudah berlakunya Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 secara simultan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 2 RANC ANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 13 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa pajak Daerah merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 Menimbang : TENTANG PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan bagi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan di Daerah

Lebih terperinci

PAJAK DAERAH PROVINSI

PAJAK DAERAH PROVINSI PAJAK DAERAH PROVINSI Terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) Pajak Air Permukaan (AP) Pajak Rokok Dasar Pungutan

Lebih terperinci

Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon (022) Faks (022) BANDUNG 40115

Jalan Diponegoro Nomor 22 Telepon (022) Faks (022) BANDUNG 40115 1 2 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB) TAHUN 2011

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2008:96) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD dipisahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pendapatan Asli Daerah a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Mardiasmo (2002:132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dan sektor

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG RANC ANGAN PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 68 TAHUN 2011 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa pajak daerah

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 01 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang: a. bahwa Pajak Daerah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan

Subbag Hukum BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan PENGATURAN MENGENAI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH SEBAGAIMANA DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH www.kaltimpost.co.id I. PENDAHULUAN Dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 056 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 056 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 056 TAHUN 2012 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DI WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan efektif, maka pemerintah perlu mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

G U B E R N U R SUMATERA BARAT No. Urut: 27, 2015 G U B E R N U R SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAN RETRIBUSI PARKIR OLEH PEMERINTAH DAERAH

PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAN RETRIBUSI PARKIR OLEH PEMERINTAH DAERAH PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAN RETRIBUSI PARKIR OLEH PEMERINTAH DAERAH www.clipartbest.com I. PENDAHULUAN Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan

BAB II LANDASAN TEORI. keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pendapatan Asli Daerah II.1.1. Definisi Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 63 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2010 GUBERNUR ACEH, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G Kembali P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 T E N T A N G PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari 19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari Pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin. jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin. jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan pajak dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut secara logis dinilai wajar karena jumlah peningkatan pajak berbanding lurus

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG, Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah. daerah memberikan konsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk

I. PENDAHULUAN. Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah. daerah memberikan konsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah sebagai wujud nyata dari pelaksanaan otonomi daerah memberikan konsekuensi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH - 1 - PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : 1. 2. 3. 4. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3),

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DAN TAHUN 2015 GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pendapatan Asli Daerah 2.1.1. Definisi Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2010 DI PROVINSI PAPUA Lampiran : 2

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2016 Menimbang : Mengingat DENGAN RAHMAT ALLAH YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DENGAN RAKHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA S A L I N A N GUBERNUR KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN UTARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH Menimbang : a. DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3), Pasal 22, dan Pasal 33

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PEMBUATAN SEBELUM TAHUN 2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pada hari ini tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belanja Daerah Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran

Lebih terperinci

NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH RETRIBUSI DAERAH HAPOSAN SIMANJUNTAK,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2006:1) definisi pajak dalam buku perpajakan edisi revisi, pajak adalah : Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB)

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 75 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBNKB) TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

: a. bahwa untuk melaksanakan pemungutan Pajak Daerah

: a. bahwa untuk melaksanakan pemungutan Pajak Daerah 0 GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR M TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2011

Lebih terperinci

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 18 TAHUN No. 18, 2016 TENTANG

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 18 TAHUN No. 18, 2016 TENTANG - 1 - S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 18 TAHUN 2016 NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR UNTUK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 90 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2017 DAN TAHUN 2018 DENGAN

Lebih terperinci

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com DASAR HUKUM Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Dirubah dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR NOMOR 19 TAHUN 2010 T E N T A N G

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR NOMOR 19 TAHUN 2010 T E N T A N G GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR NOMOR 19 TAHUN 2010 T E N T A N G JAMBI PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2016 T E N T A N G

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2016 T E N T A N G GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2016 T E N T A N G PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG 1 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG 1 GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.341, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Penghitungan Dasar. Pengenaan Pajak. Bea Balik Nama. Kendaraan Bermotor. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK 65 RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA Oleh Zainab Ompu Zainah ABSTRAK Keywoods : Terminal, retribusi. PENDAHULUAN Membicarakan Retribusi Terminal sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 95 ayat

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Banyak definisi atau pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merusmuskan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR PROVINSI BANTEN TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dalam menghadapi era-globalisasi dan peningkatan usaha pembangunan, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dalam menghadapi era-globalisasi dan peningkatan usaha pembangunan, maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Dalam menghadapi era-globalisasi dan peningkatan usaha pembangunan, maka Pemerintah harus tetap meningkatkan penerimaan Negara. Selain

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 030 TAHUN 2014

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 030 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 030 TAHUN 2014 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DI WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB III RETRIBUSI DAERAH. Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 34

BAB III RETRIBUSI DAERAH. Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 34 29 BAB III RETRIBUSI DAERAH A. Konsep Pemungutan Retribusi Daerah Pemungutan retribusi daerah yang saat ini didasarkan pada Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 096 TAHUN 2017

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 096 TAHUN 2017 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 096 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2017 DI WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2017 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TANGGAL 13 SEPTEMBER 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TANGGAL 13 SEPTEMBER 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2001 TANGGAL 13 SEPTEMBER 2001 TENTANG RETRIBUSI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemerintah Daerah Di masa orde baru pengaturan pemerintahan daerah ditetapkan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, tapi belum memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, Menimbang : a. bahwa Pajak Daerah merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa Pajak

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Belanja Modal Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa Pajak Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dan tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya.

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dan tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai Daerah Otonom Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat 1 Desentralisasi Politik dan Administrasi Publik harus diikuti dengan desentralisasi Keuangan. Hal ini sering disebut dengan follow money function. Hubungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGHITUNGAN DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TANGGAL : 20 DESEMBER 2012 NOMOR : 18 TAHUN 2012 TENTANG : PENYELENGGARAAN RETRIBUSI DAERAH Sekretariat Daerah Kota Sukabumi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Pembangunan di suatu daerah dimaksudkan untuk membangun masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Pembangunan di suatu daerah dimaksudkan untuk membangun masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Pembangunan di suatu daerah dimaksudkan untuk membangun masyarakat seutuhnya. Untuk itu diharapkan pembangunan tersebut tidak hanya mengejar

Lebih terperinci

yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, walau dalam

yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, walau dalam Kebijakan otonomi daerah lahir dengan tujuan untuk menyelamatkan pemerintahan dan keutuhan negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas

Lebih terperinci