CHAPTER I DEFINISI. Air Traffic Management (Manajemen Lalu Lintas Penerbangan) merupakan kumpulan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "CHAPTER I DEFINISI. Air Traffic Management (Manajemen Lalu Lintas Penerbangan) merupakan kumpulan"

Transkripsi

1 CHAPTER I DEFINISI Air Traffic Management (Manajemen Lalu Lintas Penerbangan) merupakan kumpulan fungsi airborne dan fungsi groung-based (air traffic services, airspace management dan air traffic flow management) dibutuhkan untuk menentukan keselamatan dan efisiensi pergerakan pesawat selama fase beroperasi. 1.1 GENERAL Negara harus memastikan komunikasi, navigasi, pengawasan, dan level ATS sesuai dengan prosedur ATS yang diterapkan pada suatu airspace atau aerodrome yang sesuai dan bisa memelihara tingkat keamanan sesuai ketentuan ATS Syarat-syarat dalam hal pelayanan, sistem, dan prosedur yang diterapkan pada suatu airspace atau aerodrome harus didasarkan basis perjanjian navigasi udara untuk memfasilitasi hubungan antar ATS pada airspace yang berdekatan Untuk memastikan bahwa ketetapan ATS selalu terjaga, otoritas ATS terkait harus mengikuti Safety Management System untuk Air Traffic Service di 1

2 wilayahnya, dimana kesesuaian ATS SMS harus didasarkan pada basis dari perjanjian navigasi udara regional. 1.2 TUJUAN Tujuan dari ATS Safety Management adalah untuk memastikan bahwa: Ketetapan tingkat keamanan dapat diaplikasikan pada ATS dalam pertemuan ruang udara atau aerodrome Penambahan hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan di implementasikan jika dibutuhkan. 1.3 ATS SAFETY MANAGEMENT ACTIVITIES Sebuah ATS SMS meliputi, inter alia, hal-hal berikut sesuai dengan ketentuan air traffic services: Mengawasi secara keseluruhan tingkat keamanan dan mendeteksi adanya hal-hal yang merugikan Meninjau keamanan Unit ATS Memperkirakan keamanan dalam reorientasi airspace yang terorientasi secara terencana, pengenalan fasilitas atau sistem peralatan baru dan perubahan prosedur ATS Sebuah mekanisme untuk mengidentifikasi kebutuhan untuk memperbesar tingkat keamanan 2

3 1.3.2 Semua kegiatan ATS SMS harus didokumentasikan dan semua dokumentasi harus ditahan dalam periode waktu tertentu sesuai ketentuan dari otoritas terkait. 1.4 MONITORING OF SAFETY LEVELS Identifikasi bahaya akan menjadi upaya yang sia-sia apabila hanya dibatasi pada akhir dari suatu kejadian yang langka dimana ada yang menderita luka serius, atau kerusakan yang signifikan. 3

4 1.5 SAFETY REVIEWS Jangkauan keamanan ATS Unit mencakup: Panduan operasional ATS, instruksi ATS Unit, dan prosedur koordinasi ATS secara utuh dan up-to-date. Struktur ATS route: a) Jarak rute yang cukup; b) Crossing point untuk lokasi ATS route untuk mengurangi campur tangan Controller untuk antar unit koordinasi. Pemisahan minimum di ruang udara Observasi pada manoeuvering area dan prosedur untuk meminimalisir runway incursion. Prosedur pada jarak pandang rendah. Volume traffic dan beban kerja controller. Kecelakaan atau degradasi sistem ATS termasuk komunikasi, navigasi, dan sistem penjagaan. Pelaporan kejadian Operational dan technical issues untuk memastikan bahwa: Kondisi lingkungan kerja memenuhi standart untuk suhu udara, kelembaban, ventilasi, kebisingan dan cahaya sekitar, dan tidak mengganggu performa controller. 4

5 Sistem pengadaan otomatis dan penampilan flight plan, kendali dan koordinasi data setiap waktu, akurat dan mudah dikenali dan sesuai dengan prinsip Human Factor Peralatan, termasuk input/output untuk sistem otomatis, yang didesain dan diletakkan pada posisi kerja sesuai dengan prinsip ergonomis Komunikasi, navigasi, pengawasan dan sistem keamanan signifikan yang lain serta peralatan: a. Diuji untuk operasi normal dan rutin; b. Memenuhi tingkat reliability dan availability yang ditentukan oleh otoritas terkait; c. Menyediakan secara berkala dan deteksi terkait dan peringatan dari kegagalan dan degradasi sistem; d. Termasuk dokumentasi dampak dari sistem, subsistem dan kegagalan dan degradasi peralatan; e. Termasuk pengukuran untuk mengendalikan kemungkinan dari kegagalan dan degradasi; dan f. Termasuk fasilitas cadangan yang cukup dan/atau prosedur ketika terjadi kegagalan atau degradasi sistem; dan Rekaman detail dari ketersediaan sistem dan peralatan disimpan dan ditinjau secara berkala. 5

6 Catatan.- pada konteks diatas, istilah reliability dan availability memiliki arti sebagai berikut: 1) Reliability. Kemungkinan bahwa alat atau sistem akan berfungsi tanpa kegagalan pada periode atau jumlah penggunaan tertentu; dan 2) Availability. Rasio dari prosentase waktu saat sistem beroprasi dengan benar terhadap waktu total dalam periode tersebut. Licensing and training issues untuk memastikan bahwa: a) Controller cukup terlatih dan memiliki rating lisensi yang valid; b) Kompetensi controller dijaga dengan pelatihan yang cukup dan tepat termasuk pengendalian pesawat emergensi dan beroprasi dibawah kondisi kegagalan dan degradasi fasilitas dan sistem; c) Controller, dimana unit ATC/control sector dikerjakan oleh sebuah tim, diberikan pelatihan yang berhubungan dan cukup bertujuan untuk memastikan efisiensi kerja tim; d) Implementaasi dari prosedur baru atau tambahan, dan komunikasi baru atau terbaru, pengawasan dan sistem signifikan lain dan peralatan didahului oleh pelatihan dan instruksi terkait; e) Kompetensi controller dalam bahasa inggris memuaskan, sehubungan dengan menyediakan ATS kepada lalu lintas udara internasional; dan 6

7 f) Penggunaan standard phraseology. 1.6 SAFETY ASSESSMENT Bertujuan untuk: a) Mengurangi separasi minimum untuk diaplikasikan kepada ruang udara atau aerodrome. b) Operasi penerbangan baru, termasuk prosedur departure dan arrival. c) Mengorganisasi sruktur ATS route. d) Pembagian sector dari darat maupun laut pada bandara. e) Perubahan fisikal pada layout runway atau taxiway sama dengan prosedurnya. f) Implementasi dari komunikasi baru, pengawasan atau sistem pengamanan dan perlengkapan termasuk layanan fungsi baru. 1.7 SAFETY - ENHANCING MEASURE Ukuran keamanan tambahan Setiap potensi bahaya yang berhubungan dengan ketentuan ATS dalam suatu ruang udara atau pada suatu aerodrome, harus ditentukan dan disusun oleh otoritas ATS untuk resiko yang dapat diterima Kecuali apabila resiko dapat diterima, dalam hal prioritas dan sejauh yang bisa dipraktekkan, ATS yang berwenang harus, melakukan pengukuran yang 7

8 tepat untuk menghilangkan atau mengurangi resiko pada tingkat yang dapat diterima Jika menjadi jelas bahwa tingkat keamanan yang diterapkan pada suatu ruang udara atau sebuah aerodrome tidak dapat dicapai, dalam hal prioritas dan sejauh yang bisa dipraktekkan, ATS yang berwenang harus, melakukan pengukuran ulang Pelaksanaan segala pengukuran ulang harus diikuti oleh evaluasi dari keefektifitasan dari pengukuran dalam menghilangkan atau mengabaikan resiko. 8

9 CHAPTER II ATS SYSTEM CAPACITY AND AIR TRAFFIC FLOW MANAGEMENT 2.1 KAPASITAS MANAGEMEN Kapasitas dari sebuah ATS system tergantung pada beberapa factor, termasuk struktur ATS route, akurasi navigasi dari pesawat terbang menggunakan airspace, factor yang berhubungan dengan cuaca dan beabn kerja controller Jumlah pesawat yang dilayani oleh ATC service seharusnya tidak melebihi jumlah yang bisa ditangani oleh ATC. Pesawat yang dapat dilayani dalam periode waktu tertentu dalam airspace atau aerodrome terkait Penilaian Kapasitas Faktor-faktor yang perlu diperhitungkan meliputi : a) Tingkatan dan jenis ATS yang tersedia b) Struktur kompleks dari area control. Sector control. Atau aerodrome concerned c) Beban kerja controller, termasuk controller termasuk control dan tugas koordinasi d) Jenis komunikasi, navigasi dan penggunaan system surveillance meningkatkan ketersediaan dan kemampuan teknis 9

10 e) Ketersediaan ATC system yang menyediakan pendukung controller dan system waspada f) Unsur atau faktor lain yang relevan dengan beban kerja controller Peraturan kapasitas ATC dan traffic Dimana permintaan traffic bervariasi tiap hari, prosedur dan fasilitas harus diterapkan Dalam hal peristiwa tertentu mempunyai suatu hal yang berdampak negative pada kapasitas yang menyangkut airspace Memastika bahwa keselamatan janganlah disepakati kapan saja traffic menuntut di suatu airspace atau pada suatu aerodrome atau ramalam cuaca yang diterapkan untuk mengatur traffic Peningkatan kapasitas ATC: Otoritas ATS harus : a) Pada waktu tertentu meninjau ulang pada kapasitas traffic b) Menyediakan penggunaan airspace fleksibel dalam rangka meningkatkan efisiensi operasi dan peningkatan kapasitas Saat ada kejadian dimana permintaan traffic melebihi kapasitas ATC yang mengakibatkan delay pada traffic secara berkelanjuan, ATS berwenang harus: a) Menerapkan langkah-langkah yang dialihkan untuk memaksimalkan penggunaan kapasitas system. b) Penambahan rencana untuk meningkatkan kapasitas untuk memenuhi permintaan yang telah diperkirakan. 10

11 2.1.5 Penggunaan airspace yang fleksibel Kekuasaan yang layak harus lewat pernyataan dari persetujuan dan prosedur, membuat penetapan undang undang untuk kegunaan yang fleksibel dari semua airspace Persetujuan dan prosedur yang disediakan untuk kegunaan yang fleksibel dari airspace harus spesifik : a) Batasan horizontal dan vertical dari airspace b) Klasifikasi dari beberapa airspace disediakan untuk digunakan lalu lintas udara sipil. c) Unit atau kekuasaan yang bertanggung jawab untuk transfer dari airspace d) Kondisi untuk transfer dari airspace untuk ATC unit diperhatikan e) Kondisi untuk transfer dari airspace dari ATC unit diperhatikan f) Periode ketersediaan dari airspace g) Beberapa batasan yang digunakan airspace h) Beberapa prosedur yang relevan atau informasi yang lain. 2.2 AIR TRAFFIC FLOW MANAGEMENT(ATFM) Umum Suatu layanan manajemen lalu lintas udara harus diterapkan untuk ruang udara jika tuntutan traffic melebihi kapasitas ATC yang digambarkan ATFM ditetapkan atas dasar suatu persetujuan penerbangan regional atau ketika sesuai sebagai persetujuan multilatelar. 11

12 Layanan ATFM di dalam suatu daerah atau area lain yang digambarkan, dikembangkan dan diterapkan seperti dipusatkan pada organisasi ATFM yang didukung oleh posisi manajemen pada pusat kendali ACC Penerbangan tertentu mungkin mengecualikan ukuran ATFM atau diberi prioritas diatas penerbangan lain Prosedur terperinci yang mengatur ketetapan ukuran ATFM, dan layanan di suatu daerah harus ditentukan suatu pedoman ATFM manual atau handbook Flow management procedures ATFM disarankan pembawa keluar dari 3 fase : a) Strategic planning b) Pre-tactical planning c) Operations Strategic planning Strategi perencanaan disarankan membawa hubungan ATC dan pelaksanaan pesawat, dimana memiliki dan mengapa permintaan melampaui persediaan bagian-bagian untuk memutuskan keseimbangan oleh: a) Mengatur kekuasaan ATC untuk menyediakan kapasitas yang membutuhkan tempat dan waktu b) Beberapa rute kembali harus traffic c) Jadwal pulang-pergi harus layak terbang d) Mengenai kebutuhan traffic oleh AFTM 12

13 Dimana perencanaan Traffic oriental (TOS) akan diperkenalkan rute-rute yang seharusnya sama jauh dan sama praktisnya untuk meminimalisir waktu dan jarak sanksi untuk penerbangan Dimana TOS sudah disetujui seharusnya detail-detail dipublikasikan oleh semua Negara mengenai keadaan dengan format yang biasa Pre-tactical Planning Pre-tactical planning, harus meliputi : a) Arus lalu lintas terkait harus di rutekan ulang b) Rute-rute off load sebaiknya dikoordinasikan c) Pengukuran secara taktis akan ditentukan d) Rencana AFTM secara detail untuk hari tersebut harus diplubikasikan dan disediakan kepada seluruh pihak Tactical operations Pergerakan taktis ATFM terdiri dari : a) Persetujuan taktis diperhitungkan dengan tujuan untuk menyediakan pengaturan traffic b) Pengamatan situasi lalu lintas udara untuk memperhitungkan ATFM memiliki dampak pengulangan tindakan ketika dilaporkan ada delay panjang Ketika permintaan taffic berlebihan yang terjadi suatu aerodrome unit ATS yang ebrtanggung jawab harus member saran kepada unit ATFM yang bersangkutan. 13

14 2.2.6 Liaison Pada seluruh fase unit ATFM yang bertanggung jawab harus berhubungan dekat dengan ATC dan operator pesawat untuk keefektifan dan pelayanan yang adil. 14

15 CHAPTER III GENERAL PROVISION FOR AIR TRAFFIC SERVICES 3.1 TANGGUNG JAWAB UNTUK KETETAPAN PELAYANAN ATS Area Control Service Area Control Service harus disediakan : a) Oleh area control centre (ACC), atau b) Oleh unit yang menyediakan approach control service disebuah zona control atau di area control yang kawasannya dirancang untuk menyediakan pelayanan approach control, ketika tidak terdapat ACC Approach Control Service Approach control service harus disediakan : a) Oleh sebuah aerodrome control tower atau sebuah ACC, ketika dibutuhkan atau diinginkan untuk menggabungkan tanggung jawab dari satu fungsi unit dari approach control service dan aerodrme control service atau area control service, atau b) Oleh unit approach control, ketika dibutuhkan atau diinginkan untuk membangun unit yang terpisah. Catatan.- Approach control service boleh disediakan oleh unit yang penempatannya menjadi satu dengan ACC oleh sektor control dari dalam ACC. 15

16 3.1.3 Aerodrome Control Service Aerodrome control service harus diberikan oleh sebuah aerodrome control tower. 3.2 TANGGUNG JAWAB UNTUK KETETAPAN DALAM PELAYANAN INFORMASI PENERBANGAN DAN PELAYANAN PADA TINGKAT WASPADA a) Dalam sebuah Flight Information Region (FIR), oleh Flight Information Centre, kecuali jika tanggung jawab untuk peneyediaan pelayanan tersebut diberikan kepada ATC unit yang mempunyai fasilitas untuk hal tersebut. b) Didalam controlled airspace dan di controlled aerodrome; oleh unit ATC yang relevan. 3.3 PEMBAGIAN TANGGUNG JAWAB PENGENDALIAN Umum ANTARA UNIT ATC Wilayah tanggung jawab ATS untuk ATC dan terdapat beberapa posisi kerja dalam satu sektor dan harus ditentukan tugas dan tanggungjawabnya dari setiap posisi Antara unit yang memberikan ADC dan APP 16

17 Hanya untuk penerbangan yang dberikan ADC Service. Setiap keberangkatan dan kedatangan harus mendapatkan ADC Service dari APP service Arrival Seluruh pesawat yang datang adalah tanggung jawab control tower: a) Di daerah sekitar bandara - Ada keyakinan bahwa Approach dan landing dapat dilakukan secara visual - Pesawat telah mencapai kondisi cuaca yang tidak terganggu oleh awan b) Sampai pada point/level c) Telah landing atau mendarat Seperti yang telah dijelaskan dalam surat perjanjian atau instruksi unit ATS Departure. Kendali dari pesawat departure harus ditransfer dari unit yang memberikan layanan aerodrome control pada unit yang memberikan layanan approach control; a) Ketika dalam visual meteorological condition(vmc) meninggalkan vicinity of aerodrome: 17

18 1) Berdasarkan waktu dimana pesawat meninggalkan vicinity of aerodrome 2) Ketika pesawat memasuki instrument meteorological condition(imc) 3) Ketika pesawat pada suatu point atau level seperti yang dijelaskan dalam surat perjanjian atau instruksi ATS unit. b) Ketika dalam instrument meteorological condition(imc) meninggalkan aerodrome: 1) Secepat mungkin setelah pesawat airborne. 2) Ketika pesawat berada pada titik atau level tertentu seperti yang dijelaskan pada surat perjanjian atau instruksi local Antara unit yang memberikan layanan approach control dan unit yang memberikan layanan control area Ketika layanan area control dan approach control tidak diberikan oleh unit ATC yang sama, tanggung jawab untuk kendali penerbangan harus diberikan dengan unit yang memberikan layanan area control kecuali sebuah unit yang memberikan layanan approach control harus menjadi tanggung jawab dan kendali dari: a) pesawat arrival yang diberikan oleh ACC b) pesawat departure hingga pesawat tersebut diberikan pada ACC 18

19 Sebuah unit yang memberikan layanan approach control harus menjalankan kendali dari pesawat arrival, diberikan kepada pesawat yang telah dilepaskan padanya, pesawat arrival pada suatu titik, level, atau waktu yang disetujui untuk transfer kendali, dan harus menjaga kendali selama pendekatan menuju aerodrome Antara dua unit yang memberikan layanan area control Tanggung jawab untuk kendali sebuah pesawat harus di transfer dari unit yang memberikan layanan area control dalam sebual control area untuk unit yang memberikan layanan area control dalam sebuah control area yang berdekatan pada waktu melewati suatu boundary control area sesuai perkiraan oleh ACC yang memiliki kendali dari pesawat atau pada suatu titik, tingkat atau waktu yang telah disetujui antara kedua unit Antara control sector/posisi dalam unit ATC yang sama Tanggung jawab untuk kendali pesawat harus di transfer dari suatu control sector/posisi pada control sector/posisi yang lain dalam unit ATC yang sama pada sebuah titik, level atau waktu seperti yang disebutkan dalam instruksi lokal. 19

20 3.4 FLIGHT PLAN Bentuk flight plan Sebuah flight plan berdasarkan bentuk pada appendix 2 seharusnya diberikan dan harus digunakan oleh operator dan ATS unit untuk tujuan melengkapi flight plan. Catatan. Bentuk yang berbeda dapat diberikan untuk melengkapi daftar repetitive fliht plan Format flight plan harus dicetak dan seharusnya mencantumkan teks bahasa inggris sebagai tambahan dari bahasa dari suatu Negara yang bersangkutan. Catatan.- Model format flight plan dalam appendix 2 ditulis dalam bahasa inggris dan satu bahasa lain dari organisasi untuk tujuan penggambaran Operator dan unit ATS hendaknya memahi instruksi untuk pengisian format flight plan dan daftar repetitive flight plan sesuai dengan appendix 2. Cacatan. Instruksi untuk melengkapi format flight plan yang diberikan dalam appendix 2 dapat dicetak dalam cover dari format flight plan atau ditunjukkan dalam briefing rooms Operator harus, sehubungan dengan keberangkatan : a) Memastikan dimana penerbangan yang direncanakan pada rute atau dalam area dimana tipe RNP digambarkan, pesawat memiliki persetujuan RNP 20

21 yang tepat dan semua kondisi yang diterapkan pada persetujuan tersebut akan sesuai. b) Memastikan bahwa pesawat yang direncanakan beroperasi pada reduced vertical separation minima (RVSM) airspace, pesawat yang memerlukan persetujuan RVSM. c) Memastikan dimana penerbangan yang direncanakan beroperasi dimana tipe RCT dijelaskan pesawat memiliki persetujuan RCT yang tepat dan seluruh kondisi yang ditetapkan untuk persetujuan tersebut akan sesuai Penyerahan Flight plan Sebelum Departure Kecuali ketika rencana telah dibuat untuk pengumpulan dari repetitive flight plan, sebuah flight plan yang diserahkan sehubungan dengan departure seharusnya diserahkan kepada ATS reporting office pada aerodrome of departure. Jika tidak terdapat unit tersebut di aerodrome of departure, flight plan harus diserahkan pada unit yang melayani atau diarahkan ke pelayanan pada aerodrome of departure Pada saat terjadi delay selama 2 menit dari estimate off-block time untuk controlled flight atau delay selama 1 jam untuk uncontrolled flight untuk flight plan telah diserahkan, flight plan tersebut harus diamandemen atau flight plan baru harus diserahkan dan flight plan lama dibatalkan, yang manapun dapat digunakan Selama Penerbangan 21

22 Sebuah flight plan yang akan diserahkan selama penerbangan normalnya dikirimkan kepada ATS unit yang bertanggung jawab atas Flight Information Region (FIR), control area, advisory area atau advisory route dalam atau pada pesawat yang sedang terbang, di atau melalui pesawat yang akan terbang atau menuju aeronautical telecommunication station yang melayani unit ATS terkait. Ketika tidak dapat dilakukan, seharusnya dikirim pada ATS unit lainnya atau aeronautical telecomunication station untuk pengiriman ulang jika diperlukan untuk ATS unit yang sesuai Berhubungan dengan ATC unit yang melayani high atau medium-density airspace, otoritas ATS yang terkait harus memberikan dan / atau batasan sehubungan dengan penyerahan flight plan selama penerbangan pada ATC unit. Catatan.- Jika flight plan telah diserahkan untuk tujuan mendapatkan layanan ATC pesawat perlu untuk menunggu untuk sebuah ATC Clearance untuk melanjutkan dengan Air Traffic Control Procedure. Jika flight plan diserahkan sehubungan untuk memperoleh air traffic advisory service, pesawat butuh menunggu untuk persetujuan dari unit yang memberikan layanan Penerimaan Flight plan Unit ATS yang pertama kali menerima flight plan, atau perubahannya, harus : 22

23 a) Memeriksa apakah pengisian flight plan sesuai format dan ketentuan data. b) Memeriksa apakah isinya sudah lengkap atau tepat. c) Mengambil tindakan jika perlu, untuk membuatnya diterima oleh ATS. d) Menandatangani Flight plan sebagai tanda terima bagi perusahaan. 3.5 AIR TRAFFIC CONTROL CLEARANCES Jangkauan dan tujuan Clearances untuk mempercepat dan memisahkan lalu lintas udara berdasar kondisi yang mempengaruhi keselamatan penerbangan, kondisi tersebut tidak hanya pada pesawat di udara dan pesawat yang berada di maneuvering area, tetapi juga kendaraan atau halangan yang tidak permanen yang berada di manouvering area Jika PIC merasa bahwa ATC clearances yang diberikan tidak sesuai, maka flight crew dapat meminta clearance yang lainnya Pemberian ATC clearance dari ATC unit membentuk kebijakan sejauh pada pesawat yang dikhawatirkan ATC clearance tidak membentuk kebijakan untuk melanggar regulasi yang digunakan untuk pengoperasian keselamatan penerbangan atau untuk tujuan lainnya ATC unit harus memberikan ATC clearance yang diperlukan untuk mencegah tabrakan dan untuk mempercepat dan menjaga kelancaran lalu lintas udara. 23

24 ATC clearance harus diberikan secepatnya untuk menjamin bahwa ATC clearance telah diberikan pada pesawat dalam waktu yang cukup Pesawat dalam kendali ATC pada bagian penerbangan Ketika flight plan menyebutkan ada penerbangan yang tidak terkontrol, pesawat tersebut harus mendapatkan ATC clearance dari ATC unit pada area yang dikontrol Ketika flight plan menyebutkan bagian awal penerbangan menjadi subjek pada ATC dan bagian selanjutnya merupakan penerbangan yang tidak terkonrol, pesawat tersebut secara normal dapat menuju point pada penerbangan terkontrol yang terakhir Penerbangan melalui Intermediate Stops Ketika sebuah pesawat mendata di aerodrome keberangkatan, flight plan untuk tingkatan yang berada pada penerbangan, batas clearance awal menjadi tujuan pertama dan clearance yang baru harus diberikan pada bagian-bagian selanjutnya Flight plan untuk tingkat kedua, dan tingkat selanjutnya, pada penerbangan melalui pemberhentian, akan menjadi aktif untuk tujuan ATS & SAR saat ATS unit telah menerima pemberitahuan bahwa pesawat telah berangkat dari aerodrome keberangkatan yang relevan Sebelum disusun antara ATC unit dan operator, pesawat yang beroperasi sesuai jadwal diperbolehkan, jika rute penerbangan lebih dari satu control 24

25 area, diijinkan sampai pemberhentian dalam control area lainnya tetapi setelah ada koordinasi antara ACC yang berhubungan Isi clearances Clearance harus berisi data yang singkat Departing Aircraft ACC harus, kecuali dimana prosedur yang diberikan untuk penggunaan standard departure clearance, lalu meneruskan clearance pada APP unit atau tower dengan sedikitnya kemungkinan delay setelah penerimaan yang dibuat ACC unit En-Route Aircraft Umum ATC unit harus meminta ATC unit yang berdekatan untuk menuju point yang ditentukan pada waktu yang ditentukan Setelah clearance diberikan untuk pesawat pada point of departure, hal ini merupakan tanggung jawab pada ATC yang terkait untuk memberitahu perubahan clearance yang ada Jika diminta oleh flight crew, pesawat dapat terbang menanjak naik jika kondisi lalu lintas udara dan prosedur mengizinkan Clearances sehubungan dengan penerbangan supersonic 25

26 Pesawat yang berada dalam penerbangan supersonic diizinkan untuk melakukan penambahan kecepatan pada kecepatan transonic sebelum keberangkatan Selama Fase supersonic & transonic, perubahan clearance harus diminimalisis Deskripsi ATC clearances Clearance limit Sebuah clearance limit harus dijelaskan oleh nama significant point yang sesuai, atau bandara, atau controlled airspace boundary Jika ada koordinasi yang mempengaruhi unit-unit yang mengontrol pesawat, atau jika ada alasan yang dapat mempengaruhi waktu control, clearance limit harus merupakan bandara tujuan dan diberitahukan secepat mungkin Jika pesawat telah diizinkan menuju point terdekat pada controlled airspace, ATC unit bertanggung jawab untuk memberitahukan secepat mungkin Saat bandara tujuan berada diluar controlled airspace, ATC unit bertanggung jawab pada controlled airspace terakhir dimana pesawat akan terbang melewatinya Rute penerbangan Rute terbang yang tercantum dalam clearance harus mendetail. 26

27 Cleared via flight planned route tidak boleh digunakan saat memberikan re-clearance Beban kerja ATC dan kepadatan lalu lintas udara, dan koordinasi yang diberikan mempengaruhi penerbangan Levels Clearance untuk perubahan yang diminta di flight plan Saat memberikan clearance pada perubahan rute atau level yang diminta, perubahan tersebut harus tercantum dalam clearance Saat kondisi traffic tidak memungkinkan adanya perubahan clearance, harus menggunakan kata UNABLE Saat rute alternative diberikan dan disetujui oleh flight crew dibawah prosedur dalam , clearance tersebut harus menjelaskan rute menuju point yang tergabung dengan rute sebelumnya atau jika pesawat tidak bergabung dengan rutenya sebelumnya Readback of Clearances Flight crew harus membaca ulang ATC clearance dan instruksi yang diberikan, hal- hal yang harus di read-back adalah : a) ATC route clearances b) Clearance dan instruksi untuk enter land on, take off from, hold short of, cross, taxi dan backtrack on any runway c) RIU, altimeter setting, SSR codes, level instructions, heading dan speed instructions, transition levels. 27

28 Clearance dan instruksi lainnya, harus di readback Controller harus mendengarkan readback yang ada dan membenarkan bila ada readback yang salah Setelah yang dijelaskan oleh unit ATS yang bertanggung jawab, suara readback dari CPDLC tidak diperlukan. 3.6 HORIZONTAL SPEED CONTROL INSTRUCTIONS Umum Untuk keselamatan dan kelancaran lalu lintas udara, pesawat harus berada pada kecepatan tetap Kecepatan pada pesawat tidak boleh diterapkan dalam kondisi holding Penyesuaian kecepatan harus dibatasi untuk keperluan menjaga separasi Flight Crew harus memberitahu ATC unit apabila pesawat tidak dapat terbang berdasar kecepatan yang diinstruksikan Pada level atau diatas 7600m (FL 250), penyesuaian kecepatan harus diterpkan pada kelipatan dari 0.01 Mach; pada level dibawah 7600m (FL 250), penyesuaian kecepatan harus diterapkan pada kelipatan dari 20km/h (10kt) berdasarkan IAS Pesawat harus disarankan saat pembatasan kecepatan tidak diperlukan Metode penerapan Untuk menciptakan jarak antar dua atau lebih pesawat yang berturut-turut, controller harus mengurangi kecepatan pesawat terakhir, atau menambah kecepatan pesawat yang berada paling depan. 28

29 Untuk menjaga jarak menggunakan teknik control kecepatan, kecepatan yang ditentukan dibutuhkan untuk semua pesawat Pesawat Descending dan Arriving Pesawat diberi tanggung jawab untuk menghemat waktu dengan terbang pada ketinggian yang diinginkan dengan kecepatan yang telah dikurangi pada bagian akhir dari penerbangan Pesawat arrival diinstruksikan untuk menjaga maximum speed, minimum clean speed, minimum speed, atau kecepatan yang telah ditentukan Pengurangan kecepatan hingga kurang dari 460 km/h (250kt) IAS untuk pesawat turbo jet selama pesawat descent dari cruising leveln-nya harus disesuaikan dengan persetujuan flight crew Instruksi untuk pesawat yang secara bersamaan menjaga kecepatan saat descent dan mengurangi kecepatannya harus dihindari seperti haknya maneuver yang tidak normal Pesawat arrival seharusnya diizinkan untuk beroperasi jika memungkinkan, dibawah 550m (FL 150), pengurangan kecepatan untuk pesawat turbojet tidak kurang dari 410km/h (220 kt) IAS Hanya penurunan kecepatan kecil yang tidak melebihi lebih/kurang 40km/h (20 kt) IAS harus digunakan untuk pesawat pada intermediate dan final approach Pengontrolan kecepatan seharusnya tidak digunakan pesawat setelah melewati point 7 km (4 Nm) dari threshold pada final approach. 29

30 3.7 INSTRUKSI-INSTRUKSI PENGENDALIAN KECEPATAN VERTIKAL Umum Untuk memfasilitasi keselamatan arus lalu lintas, pesawat boleh diinstruksikan untuk menyesuaikan rate of climb atau rate of descent. Pengaturan kecepatan vertical dapat diaplikasikan anatara dua pesawat yang sedang climbing atau dua pesawat yang sedang descent untuk menjaga separasi vertical minimum Penyesuaian kecepatan vertical seharusnya dibatasi sebesar yang dibutuhkan untuk menyesuaikan dan/atau menjaga separasi minimum, perubahan climb/descent dengan frekuensi yang terlalu sering seharusnya dihindari Crew pesawat harus menginformasikan unit ATC bila tidak dapat melaksanakan perintah, untuk melakukan pada rate climb/rate descent tertentu. Pada kasus tersebut, controller harus memberi cara lain untuk member separasi minimum antar pesawat tanpa delay Pesawat harus diberi nasehat jika rate of climb atau descent-nya dilarang atau tidak lagi dibutuhkan Pesawat yang sedang climbing boleh dinstruksikan untuk menjada rate of climb tertentu, sebuah rate of climb sebanding / lebih besar daripada nilai tertentu / rate of climb berjumlah/ kurang dari nilai yang ditentukan Pesawat yang sedang descent boleh diinstruksikan untuk menjaga rate of descent tertentu, sebuah rate of descent sebanding/lebih besar daripada nilai 30

31 yang ditentukan atau rate of descent berjumlah/kurang dari nilai yang ditentukan Dalam penerapan pengendalian kecepatan vertical, controller harus memastikan di level mana pesawat yang sedang climbing dapat menyesuaikan rate of climb tertentu dalam kasus pesawat yang sedang descent yang telah ditentukan dapat disesuaikan dan harus memastikan bahwa cara-cara dalam menjaga separasi dapat diaplikasikan dengan tata cara waktu jika dibutuhkan Catatan Controller harus berhati-hati pada karakteristik performa pesawat dan batasan-batasan yang berhubungan dengan sebuah aplikasi dengan batasan-batasan kecepatan horizontal dan vertical secara simultan. 3.8 PERUBAHAN PENERBANGAN IFR KE VFR Perubahan dari penerbangan IFR ke penerbangan VFR hanya diperbolehkan jika disampaikan oleh PIC melalui CANCELLING MY IFR FLIGHT bersamaan dengan perubahan lain, jika ada dibuat flight plan yang ditunjukkan pada unit air traffic service. Tidak ada permintaan perubahan dari IFR ke VFR secara langsung Tidak ada balasan selain acknowledgement IFR flight cancelled at (time), harus secara normal diungkap oleh unit ATS. 31

32 3.8.3 Ketika unit ATS diberi informasi seputar kondisi meteorologi secara instrument yang terjadi pada rute penerbangan seorang pilot harus merubah IFR ke VFR, jika dibutuhkan atau sangat disarankan Seorang unit ATC harusnya menerima pemberitahuan tentang peringatan pesawat dari IFR ke VFR secepat mungkin, kemudian memberitahu seluruh unit ATS kepada siapapun sebagai tujuan FPL IFR, kecuali unit-unit daerah atau areanya telah dibuat penerbangan tersebut. 3.9 KATEGORI WAKE TURBULANCE Istilah Wake Turbulance digunakan dalam konteks ini untuk menjelaskan efek dari perputaran masa udara yang dibangkitkan dibawah wing tip dari pesawat dengan jet besar, dalam pilihan Wake Vortex yang menjelaskan masa udara alami. Karakteristik detail dari Wake Vortices dan efeknya pada pesawat terdapat di Air Traffic Services planning manual (Doc 9426) Part ii section Wake Turbulence Categories of Aircraft Wake turbulence separation minima dibagi menjadi 3 kategori yaitu: a) Heavy (H) semua pesawat bertipe kg atau lebih. b) Medium (M) tipe pesawat kurang dari kg tetapi lebih dari 7000 kg. c) Light (L) tipe pesawat kurang dari/sama dengan 7000 kg Helikopter harus dijaga agar tetap bebas dari light aircraft ketika hovering atau air-taxiing. 32

33 3.9.2 Indikasi kategori heavy wake turbulence Untuk pesawat dengan kategori heavy harus menggunakan kata heavy setelah call sign pesawat ketika melakukan first contact radiotelephony antara pesawat dan ATS unit PROSEDUR PENGATURAN ALTIMETER Tanda posisi pesawat secara vertical Untuk penerbangan di vicinity of aerodrome dan dengan terminal control area, posisi vertikal pesawat harus ditandai dalam istilah altitudes pada atau dibawah transition altitudes dan dalam istilah flight level pada atau dibawah transition level. Ketika melewati transition layer, posisi vertical harus ditandai dengan istilah flight level ketika climbing dan istilah altitudes ketika descend Ketika pesawat telah diberikan clearance untuk mendarat dan melengkapi pendekatan menggunakan tekanan atmosfir pada elevasi aerodrome(qfe) pesawat harus ditandai dengan istilah ketinggian diatas elevasi aerodrome selama pesawat terbang menggunakan QFE. Kecuali yang harus ditandai dengan istilah ketinggian diatas elevasi threshold runway: a) Untuk instrument runway, jika threshold 2m (7 feet) atau lebih dibawah elevasi aerodrome. b) Untuk runway precision approach 33

34 Untuk penerbangan en-route, posisi vertical pesawat ditandai dengan istilah: a) Flight level pada atau diatas flight level terendah yang digunakan. b) Altitude dibawah flight level terendah yang digunakan. Kecuali dimana pada basis perjanjian navigasi wilayah udara, transisi altitude telah didirikan untuk area yang telah ditentukan Penentuan transition level Unit ATS terkait harus mendirikan ketinggian transisi yang digunakan dalam vicinity of aerodrome terkait yang relevan dengan TMA, serta periode waktu yang sesuai dengan basis QNH Ketinggian transisi harus menjadi flight level terendah yang tersedia untuk penggunaan diatas transisi altitude yang telah didirikan oleh aerodrome terkait. Ketika altitude transisi secara umum didirikan untuk dua atau lebih aerodrome yang berdekatan jika membutuhkan prosedur koordinasi. Unit ATS terkait harus mendirikan level transisi umum yang sesuai dengan TMA Minimum Cruising Level Altitude Kecuali ketika secara spesifik diberikan kuasa oleh pihak terkait, cruising level dibawah ketinggian minimum didirikan oleh Negara yang tidak terkait Unit ATS harus, ketika keadaan memaksa, menetapkan flight level atau altitude terendah yang digunakan untuk semua maupun sebagian control 34

35 area yang menjadi tanggung jawabnya. Penggunaan untuk melewati flight level tersebut sesuai permintaan pilot Kelengkapan Informasi Pengaturan Altimeter Unit ATS terkait harus tersedia sepanjang waktu untuk menyampaikan kepada pesawat dalam penerbangan, sesuai permintaan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan flight level terendah yang menjamin clearance/rute untuk informasi yang dibutuhkan Pusat informasi penerbangan dan ACC harus menyediakan waktu untuk transmisi ke pesawat, sesuai permintaan laporan angka QNH yang sesuai dengan tekanan untuk FIR dan control area yang menjadi tanggung jawabnya Flight crew harus diberikan transisi ketinggian dalam waktu yang sesuai selama descent sebelum mencapai ketinggian dicapai dengan komunikasi suara, siaran ATIS atau data link Transision level harus termasuk ijin approach ketika diminta oleh pilot atau pejabat terkait Pengaturan altimeter QNH harus termasuk ijin descent ketika pertama mendapat ijin untuk ketinggian dibawah level transisi, di approach clearance/clearance untuk memasuki traffic circuit, kecuali terlah diketahui bahwa informasi telah diterima pesawat. 35

36 Pengaturan altimeter QFE harus diberikan kepada pesawat sesuai permintaan kecuali untuk : a) Non-precision approach runway, jika threshold 2 meter(7 feet) atau dibawah elevasi aerodrome b) Precision approach runway Altimeter setting diberikan kepada pesawat yang harus memutar turun ke hectopascal terendah yang paling terdekat POSITION REPORTING(POSISI PELAPORAN) Posisi Penyampaian Laporan Pada rute yang telah ditentukan pesawat harus membuat laporan sesegera mungkin setelah melewati tiap kompulsory reporting point Laporan tambahan melewati point lain dapat diminta oleh ATS unit terkait Pada rute yang tidak ditentukan signifikan point-nya, pesawat harus membuat laporan setelah setengah jam (30 menit) setelah terbang dan interval satu jam berikutnya, kecuali interval waktu yang lebih pendek jika diminta ATS unit terkait Dibawah kondisi yang ditentukan oleh ATS unit terkait, pesawat tidak harus membuat laporan pada tiap posisi atau point pelaporan Pelaporan posisi dibutuhkan oleh ATS unit yang melayani dalam ruang udara dimana pesawat dioperasikan. Jadi, sebelum pesawat masuk suatu FIR, ATS unit yang diterbanginya harus mendapat laporan posisi. 36

37 Jika laporan posisi tidak diterima pada waktu yang diharapkan, tindakan yang cepat harus dilakukan agar cepat mendapatkan laporan Isi Laporan Posisi Udara Elemen Laporan : a) Identifikasi pesawat b) Posisi c) Waktu d) Flight Level atau Altitude termasuk ketinggian yang dilewati dan ketinggian yang jelas jika ketinggiannya berubah-ubah. e) Posisi selanjutnya dan waktu f) Significant point Elemen d, flight level dan altitude harus ada pada channel komunikasi saat awal terbang Ketika kecepatannya tetap, pesawat harus melaporkan kecepatannya. Catatan- penghapusan elemen d dapat mungkin terjadi jika diperoleh informasi tekanan-ketinggian oleh controller sehingga dapat mengindikasikan ketinggian pesawat dan penggunaan informasi altitude untuk menjamin keselamatan dan efisiensi penerbangan. 37

38 Prosedur radiotelephony untuk perubahan channel komunikasi suara. Elemen radio telephony untuk perubahan channel komunikasi suara airground: a) Penentuan stasiun yang dipanggil b) Call sign dan kata heavy untuk pesawat yang mempunyai wake turbulence kategori heavy. c) Ketinggian, termasuk level yang dilewati dan perubahan ketinggian jika ketinggian tidak tetap. d) Kecepatan, jika diminta ATC. e) Elemen tambahan, yang dibutuhkan oleh ATS unit terkait Penyampaian Laporan ADS-C Laporan posisi harus dibuat secara otomatis untuk ATS unit yang melayani ruang udara dimana pesawat beroperasi Isi Laporan ADS-C Isi laporan ADS-C : a) Identifiaksi pesawat b) Dasar ADS-C : Lintang (Latitude) Bujur (Longitude) Ketinggian 38

39 Waktu Figure of Merit c) Penetapan arah di darat (ground vector) : Jalur (track) Ground Speed Rate of climb or descent d) Penetapan arah di udara (air vector) : Arah (heading) Kecepatan pesawat(mach / IAS) Kecepatan menanjak atau menukik e) Projected profile : Posisi lapor berikutnya (posisi lapor ADS disebut waypoint Perkiraan ketinggian di posisi lapor berikutnya Posisi berikutnya + 1 (posisi kedua setelah saat itu) Perkiraan ketinggian pada posisi berikutnya +1 Perkiraan waktu pada posisi berikutnya +1 f) Informasi cuaca : Kecepatan angin Arah angin Bendera kualitas angin Suhu udara Turbulence (jika ada) 39

40 Kelembaban (jika ada) g) Short term intent : Lintang pada titik intent yang direncanakan Bujur pada titik intent yang direncanakan Ketinggian pada titik intent yang direncanakan Waktu perencanaan Jika terjadi perubahan ketinggia, track, atau kecepatan antara posisi pesawat sekarang sampai point tujuan informasi tambahan akan diberikan meliputi jarak, dari point sekarang ke point tujuan. h) Profile project yang diperpanjang : Waypoint berikutnya Perkiraan ketinggian di waypoint berikutnya Perkiraan waktu di waypoint berikutnya Perkiraan waktu pada waypoint selanjutnya (selanjutnya+1)( diulang sampai waypoint selanjutnya +128 waypoint). Dasar ADS-C data block harus diambil dari seluruh peralatan ADS-C pesawat. ADS-C yang tersisa harus 40

41 mencakup hal-hal penting. Jika terjadi keadaan darurat, laporan harus mencakup keadaaan darurat tersebut Format Pesan Data ADS-B Dapat ditemukan di ANNEX 10 Aeronautical telecommunication, volume III communication system, part one- digital data communication system, and volume IV surveillance radar and collision avoidance system PELAPORAN INFORMASI OPERATIONAL DAN CUACA Pelaporan informasi operasional dan cuaca harus dilakukan sesegera mungkin dan rutin. Ketika ADS-C diaplikasikan laporan udara rutin harus dibuat berdasarkan isi laporan Isi laporan udara rutin : Bagian 1 Informasi posisi : 1) Identifikasi pesawat 2) Posisi 3) Waktu 4) Flight Level atau altitude 5) Posisi selanjutnya dan waktu 6) Significant Point 41

42 Bagian 2 Informasi operasional : 1) Perkiraan waktu kedatangan 2) Endurance Bagian 3- Informasi meteorologi : 1) Suhu Udara 2) Arah Angin 3) Kecepatan Angin 4) Turbulence 5) Aircraft Icing 6) Kelembaban jika ada Isi Laporan Udara khusus : a) severe turbulence b) severe icing c) severe mountain wave d) badai, tanpa badai salju e) badai, dengan badai salju f) heavy dust storm atau heavy sandstorm g) butir awan gunung berapi h) aktivitas gunung berapi sebelum erupsi dan erupsi gunung berapi Dalam tambahan, dalam keadaan penerbangan transonic dan ultrasonic: 42

43 a) turbulence sedang b) badai salju c) awan cumulonimbus Ketika air ground data link digunakan: - Tipe pesan - Identifikasi pesawat Data block I : - Garis lintang - Garis bujur - Tekanan-ketinggian - Waktu Data Block II : - Arah angin - Kecepatan angin - Suhu - Turbulence (jika ada) - Kelembaban (jika ada) 43

44 Data Block III: - Kondisi yang menyarankan pemberian laporan udara khusus Ketika komunikasi udara digunakan : Tipe pesan : Bagian-bagian informasi posisi : 1) Identifikasi pesawat 2) Posisi 3) Waktu 4) Flight level / ketinggian Bagian-bagian informasi meteorogical 1) Kondisi yang menyarankan pemberian laporan udara khusus Kompilasi dan pengiriman laporan udara melalui komunikasi udara Bentuk laporan yang disampaikan oleh flight crew harus sesuai dengan AIREP /AIREP khusus dan phraseology. 44

45 Rekaman laporan udara khusus aktivitas gunung berapi Rekaman laporan udara khusus aktivitas gunung berapi harus disampaikan kepada flight crew yang mengoperasikan pada rute yang terkena butiran awan gunung berapi Penerusan informasi meteorogical Ketika menerima laporan ADS-C, ATS unit harus menyiarkan kembali dasar informasi ADS-C sampai world area forecast centres (WAFCs). Ketika menerima laporan udara khsusus melalui komunkasi datalink ATS unit harus meneruskan tanpa penundaan untuk kantor pemantau meteorogi dan WAFCs. Ketika menerima laporan udara khusus melalui komunikasi suara, unit ATS harus meneruskan tanpa penundaan ke kantor pemantau meteorogical PRESENTATION AND UNDATING OF FLIGHT PLAN AND Umum CONTROL DATA Sebuah kewenangan terkait harus menjaga penyediaan dan prosedur untuk ditunjukkan ke controllers, dan secara teratur diupdate dari FP dan control data untuk semua pesawat akan disediakan sebuah pelayanan oleh sebuah ATC unit. 45

46 Pencegahan harus juga dibuat untuk ditunjukkan di beberapa informasi lain terkait atau yang diinginkan untuk penyediaan dari ATS Informasi dan Data untuk dipresentasikan Sufficient information dan data harus di diserahkan dengan beberapa cara untuk memperbolehkan seorang controller untuk mempunyai gambaran penuh dari situasi lalu lintas udara saat ini dengan area tanggung jawab dari controller dan ketika relevan dan pergerakan di maneuvering area aerodrome. Presentasi harus di update sesuai dengan progress dari pesawat, dengan tujuan untuk memfasilitasi secara rutin mendeteksi dan resolusi atas konflik sebaik mungkin untuk memfasilitasi dan menyediakan rekaman dari koordinasi dengan unit ATS dan control sector yang berdekatan Sebuah gambaran terkait dari konfigurasi airspace, termasuk informasi yang relevan dari FP dan laporan posisi berupa izin dan koordinasi data. Informasi ditampilkan boleh diturunkan dan di update secara otomatis atau datanya dapat dimasukkan dan di update oleh personel yang berwenang Mengenai informasi lain yang terkait ditunjukkan atau tersedia untuk ditunjukkan harus ditentukan oleh kewenangan terkait Presentasi dari informasi dan data FPS dan control data terkait dapat ditunjukkan melalui penggunaan dari kertas FPS atau FPS elektronik, oleh bentuk gambaran elektronik lain atau sebuah kombinasi dari metode gambaran. 46

47 Metode dari menunjukkan informasi data harus sesuai dengan human factors principles. Semua data, kecuali data yang terkait dengan pesawat individu, harus ditunjukkan dengan cara memperkecil potensi dari kesalahan interpretasi atau kesalah pahaman Maksud dan tujuan dari memasukkan secara manual data di system ATC otomatis harus membahas Human Factors principles Ketika FPS digunakan harus tersedia setidaknya satu FPS untuk tiap pesawat. Nomor dari FPS untuk tiap pesawat harus sufficient untuk bertemu mengenai syarat dari ATS unit.. Prosedur untuk memberitahu data dan pemberian tipe dari data tertentu untuk dimasukkan ke FPS, termasuk penggunaan symbol. Harus ditentukan oleh kewenangan ATS terkait Data yang diturunkan dengan otomatis harus ditunjukkan ke controller dengan cara teratur. Gambaran dari informasi dan data untuk individual flight harus dilanjutkan sampai batas waktu ketika data tidak terlalu terkait dengan tujuan dari penyediaan control, termasuk mendeteksi konflik da koordinasi pesawat atau sampai diakhiri oleh controller Kertas FPS harus ditahan untuk satu periode tidak kurang dari 30 hari. Electronic flight progress dan data koordinasi harus di rekam dan ditahan untuk waktu yang tidak kurang dari periode waktu yang sama Unit ATC harus secepatnya melaporkan sesuai dengan instruksi local jika ada kerusakan atau ketidak aturan dari komunikasi, navigassi dan system pengamatan atau ada keamanan yang lain berupa system tertentu yang dapat 47

48 menyebabkan kerugian di keamanan atau efisiensi dari operasi penerbangan dan atau penyediaan dari pelayanan air traffic control Prosedur Inisiation Data Link Communication Umum sebelum memasuki airspace yang memerlukan penggunaan Data Link Communication oleh unit ATS, Data Link Communication harus terjalin antar pesawat bagian ATS unit tersebut, agar pesawat tersebut terdaftar dan bisa memulai aplikasi Data Link, dilakukan oleh Pilot atau ATS unit terkait Alamat IDLC yang terhubung dengan ATS unti harus diinformasikan dalam AIP Aircraft Initiation Pesan sambungan harus dikirimkan kapanpun pilot ingin memulai prosedur Data Link tersebut, pesan tidak boleh ditolak ATS unit Kegagalan Saat terjadi kegagalan sambungan, yang memulai proses sambungan Data Link harus diinformasikan. 48

49 CHAPTER IV SEPARATION 4.1 GENERAL Dalam kontrol lalu lintas udara, separation adalah nama untuk konsep menjaga pesawat dengan jarak minimum dari pesawat lain untuk mengurangi risiko tersebut pesawat bertabrakan, serta mencegah kecelakaan akibat wake turbulensi. Air traffic controller menerapkan aturan, yang dikenal sebagai separation minima untuk melakukan hal ini. Pasangan pesawat yang aturan-aturan ini telah berhasil 49

50 ditentukan dikatakan separated oleh karena itu risiko pesawat bertabrakan sangat kecil. Jika pemisahan hilang antara dua pesawat, mereka dikatakan dalam suatu konflik Ketika sebuah pesawat lewat di belakang atau mengikuti pesawat lain, wake turbulence minima ditentukan karena efek dari vortisitas ujung sayap dari pesawat sebelumnya pada pesawat berikutnya Minima ini bervariasi tergantung pada ukuran relatif dari dua pesawat. Hal ini terutama pada pendekatan akhir dengan pesawat yang lebih kecil setelah pesawat yang lebih besar. 4.2 PEMISAHAN PESAWAT Ini adalah kesalahpahaman umum bahwa pengendali lalu lintas udara memberikan separasi kepada semua pesawat. Apakah pesawat benar-benar membutuhkan pemisah tergantung pada kelas wilayah udara di mana pesawat terbang, dan aturan-aturan penerbangan di mana pilot yang mengoperasikan pesawat udara Sebagaimana dinyatakan oleh FAA AS, pilot memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan pemisahan dan posisi pesawat di area terminal yang tepat untuk menghindari turbulensi diciptakan oleh pesawat sebelumnya Ada tiga set aturan penerbangan di mana pesawat dapat diterbangi: Visual Flight Rules (VFR) Special Visual Flight Rules (SVFR) 50

51 Instrument Flight Rules (IFR) Penerbangan angkutan umum hampir secara eksklusif dioperasikan di bawah IFR, sebagai aturan memungkinkan penerbangan di daerah visibilitas rendah (misalnya cloud). Di sisi lain sejumlah besar terbang swasta di light aircraft dilakukan di bawah VFR karena ini memerlukan tingkat terbang yang lebih rendah, keterampilan pada bagian dari pilot, dan kondisi meteorologi di mana pilot dapat melihat dan menghindari pesawat lain.seperti namanya, SVFR adalah aturan khusus yang jarang. Untuk keperluan pemisahan, pengendali menganggap SVFR menjadi sama dengan IFR. 4.3 AIRSPACE Airspace dibagi menjadi 7 kelas. A sampai G, dalam urutan menurun regulasi kontrol lalu lintas udara.kelas A sampai E yang dikendalikan wilayah udara dan kelas G adalah wilayah udara yang tidak terkendali. Di salah satu ujung skala di kelas A dan B wilayah udara, semua pesawat harus dipisahkan dari satu sama lain. Di ujung lain dari skala di kelas G wilayah udara tidak ada persyaratan untuk setiap pesawat yang akan dipisahkan satu sama lain. Di kelas menengah beberapa pesawat yang terpisah satu sama lain tergantung pada aturan penerbangan di mana pesawat beroperasi. Misalnya di wilayah udara kelas D, pesawat IFR terpisah dari pesawat lain IFR, tetapi tidak dari pesawat VFR, tidak pula pesawat VFR terpisah satu sama lain. 51

52 4.4 SEPARASI UNTUK ADC Secara umum a) pemisahan yang memadai dapat disediakan oleh controller aerodrome ketika setiap pesawat dapat terlihat oleh controller. b) setiap pesawat saling melihat antara satu dengan lainnya dan mereka dapat mempertahankan pemisahan mereka sendiri, atau c) awak pesawat berhasil melaporkan bahwa pesawat lain sudah terlihat di depan mata dan pemisahan dapat dipertahankan. Namun dalam kaitannya dalam mengoptimalkan aspek keselamatan, maka disusunlah beberapa prosedur khusus dalam penanganan pergerakan pesawat udara diantaranya mempertimbangkan hal sebagai berikut : Wake turbulence categories : HEAVY (H) semua tipe pesawat MTOW kg atau lebih; MEDIUM (M) semua tipe pesawat dengan MTOW dibawah kg tapi lebih dari 7000 kg LIGHT (L) semua tipe pesawat dengan MTOW 7000 kg atau kurang Separasi antara keberangkatan pesawat berdasarkan pada kategori wake turbulence 52

53 Separasi minimum 2 menit wajb diterapkan antara pesawat LIGHT / MEDIUM yang take-off di belakang pesawat HEAVY ataupun pesawat LIGHT yang take-off di belakang pesawat MEDIUM (lihat gambar 1 di bawah) Gambar 1 Selain dari pertimbangan wake turbulence category juga ada beberapa pertimbangan lain diantaranya RUNWAY, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Separasi minimum wajib diberikan antara LIGHT atau medium take off dibelakang HEAVY atau LIGHT take off dibelakang MEDIUM pada saat pesawat menggunakan : 1) Runway yang sama 2) Pararel runway yang berjarak kurang dari 760 m ( 2500 ft ) 53

54 Crossing Runway jika jalur proyeksi penerbangan pesawat kedua akan melintasi jalur proyeksi penerbangan pesawat pertama pada ketinggian yang sama atau kurang dari 300 m (1 000 kaki) dibawahnya Runway paralel yang dipisahkan 760 m ( 2500 ft ) atau lebih, jika jalur penerbangan proyeksi pesawat kedua akan melintasi jalur penerbangan proyeksi pesawat pertama pada ketinggian yang sama atau kurang dari 300 m (1000 ft ) di bawahnya. 54

55 Separasi minimum 3 menit wajib diberikan antara LIGHT or MEDIUM take off dibelakang HEAVY atau LIGHT take off dibelakang MEDIUM dari : a) Pertengahan bagian dari Runway yang sama. b) Pertengahan bagian dari Pararel Runway yang dipisahkan kurang dari 760 m ( 2500 ft ) Separasi minimal 2 menit harus diberikan antara LIGHT atau MEDIUM dan HEAVY dan antara LIGHT dan MEDIUM saat beroperasi pada Runway dengan Displaced Threshold : Pesawat keberangkatan LIGHT atau MEDIUM mengikuti Pesawat kedatangan HEAVY dan pesawat keberangkatan LIGHT mengikuti pesawat kedatangan MEDIUM. 55

56 Pesawat kedatangan LIGHT atau MEDIUM mengikuti pesawat keberangkatan HEAVY dan pesawat kedatangan LIGHT mengikuti Pesawat keberangkatan MEDIUM jika diperkirakan proyeksi flight path-nya akan bepotongan Separasi minimum 2 menit harus diberikan antara pesawat LIGHT atau MEDIUM dan HEAVY dan antara pesawat LIGHT atau MEDIUM saat pesawat yang lebih besar terbang rendah atau melakukan MISSED APPROACH, dan pesawat yang lebih kecil : 56

57 Menggunakan Runway yang berlawanan arah untuk take off Landing pada runway yang sama dengan berlawanan arah, atau pada pararel runway dengan berlawanan arah yang dipisahkan kurang dari 760 m ( 2500 ft) Dibutukan minimum 2 menit jarak take off antara pesawat Apabila pesawat yang didepan berkecepatan 74 km/h ( 40 knot ) lebih cepat dari pesawat yang berada dibelakanganya. Dan kedua pesawat akan menuju track yang sama. 57

58 Dibutuhkan separasi 5 menit saat separasi vertikal tidak digunakan, jika pesawat departure akan terbang menembus level pesawat yang terbang sebelumnya dan kedua pesawat akan menuju track yang sama. Tindakan yang tepat harus diambil untuk memastikan bahwa separasi 5 menit ini akan dipertahankan atau ditingkatkan saat separasi vertikal tidak digunakan. 4.5 Satu menit pemisahan antar TAKE OFF Satu menit pemisahan antara Pesawat departure ini digunakan mengikuti track yang dipisahkan setidaknya 45 derajat. 58

59 KRITERIA PEMISAHAN TRACK Untuk separasi one minute immediately after take off Track Aplikasi Keterangan Salah satu Track belok kiri dan yang lain belok kanan Salah satu track lurus kedepan dan yang lain belok ke kiri / ke kanan Kedua track adalah belok ke kiri/ ke kanan YA YA TIDAK Tidak akan terjadi konflik setelah take off Konflik akan terjadi setelah take off ( Lihat gambar dibawah ) 59

60 Ketentuan : Ketika pesawat yang didepan lebih cepat, separasi ini oleh digunakan. Pesawat yang didepan boleh mengambil track lurus ke depan ataupun berbelok kekiri/ kekanan Ketika pesawat yang dibelakang lebih cepat, separasi ini boleh dipergunakan dengan catatan. Pesawat yang didepan berbelok kekiri atau kekanan dan pesawat yang dibelakang mengambil track lurus kedepan atau berbelok ke arah yang berlawanan dari pesawat di depan. Jika pesawat didepan mengambil track lurus kedepan dan pesawat yang dibelakang berbelok kekiri / kekanan maka separasi ini sebaiknya tidak digunakan Dalam penerapan prosedur diatas, harus diperhatikan waktu realese diberikan kepada pesawat yang dibelakang 1menit setelah pesawat yang didepan melaporkan bahwa posisinya sudah berada pada tracknya. 60

61 4.6 SEPARASI PESAWAT ARRIVAL Syarat minimum berikut harus diberikan kepada pesawat yang akan landing dibelakang HEAVY atau MEDIUM Pesawat MEDIUM dibelakang pesawat HEAVY - 2 menit Pesawat LIGHT dibelakang HEAVY / MEDIUM - 3 menit 61

62 4.7 SEPARASI UNTUK PESAWAT DEPARTURE DARI PESAWAT ARRIVAL Terkecuali apabila ada ketentuan lain yang diberikan oleh ats unit, separasi berikut harus diaplikasikan saat pemberian take off clearance berdasarkan pada posisi pesawat arrival Jika pesawat arrival membuat instrument Approach secara lengkap, pesawat departure boleh take off dengan ketentuan : 1) Pada setiap arah hingga pesawat arrival memulai prosedur turn or base turn 62

63 2) Pada setiap arah yang memiliki perbedaan tidak kurang dari 45 dari arah yang berlawanan dengan arah approach setelah Pesawat arrival telah memulai prosedur turn / base turn mengarah ke pendekatan akhir, asalkan take-off dilakukan minimal 3 menit sebelum pesawat arrival diperkirakan posisinya berada pada Point yang ditentukan untuk memulai pendekatan instrument. 3) Jika pesawat arrival membuat Straight in Approach, pesawat departure boleh take off boleh take off dengan ketentuan : 1) Pada setiap arah hingga 5 menit sebelum pesawat arrival diperkirakan berada pada point yang ditentukan untuk approach dengan instrument runway 2) Dalam arah yang berbeda oleh setidaknya 45 derajat dari arah yang berlawanan dengan arah pendekatan pesawat arrival : i. Hingga 3 menit sebelum pesawat arrival diperkirakan berada pada permulaan instrument runway. ii. sebelum pesawat arrival melintasi poin yang ditentukan pada track approach, lokasi fix tersebut ditentukan oleh otoritas ATS setelah berkonsultasi dengan operator. 63

64 Contoh lain penerapan separasi ini sebagai berikut : 64

65 4.8 KETENTUAN UNTUK SEPARASI Separasi vertikal atau separasi horisontal harus diberikan: a) antara semua penerbangan di Kelas airspaces A dan B; b) antara penerbangan IFR di Kelas airspaces C, D dan E; c) antara IFR penerbangan dan penerbangan VFR di Kelas airspaces C; d) antara IFR penerbangan dan penerbangan SVFR, dan e) antara penerbangan SVFR, begitu ditetapkan oleh otoritas ATS yang sesuai; kecuali, untuk kasus-kasus di wilayah udara di Kelas D dan E, pada jam-jam operasional ketika penerbangan telah diijinkan untuk climb atau descend tergantung pada mempertahankan separasi dan dalam kondisi visual 65

66 4.8.2 SEPARASI VERTIKAL Vertical separation minima (VSM) adalah: a) 300 m (1000 ft) di bawah FL 290 dan 600m(2000 ft) di atas FL 290, kecuali diatur dalam point b b) dalam wilayah udara tertentu, sesuai dengan kesepakatan wilayah navigasi udara, 300 m (1000 ft) di bawah FL 410 atau level yang lebih tinggi dimana untuk penggunaan di bawah kondisi tertentu, dan 600 m (2000 ft) atau di atas flight level tersebut Separasi vertikal selama climbing atau descending Sebuah pesawat dapat diijinkan ke level yang sebelumnya ditempati oleh pesawat lain setelah pesawat terakhir melaoprkan telah meninggalkan level tersebut, kecuali: a) terdapat turbulensi b) pesawat yang lebih tinggi mempengaruhi cruise climb c) perbedaan performa pesawat yang memengarui penerapan separasi minima SEPARASI HORIZONTAL Separasi horizontal terdiri dari separasi lateral dan separasi longitudinal Separasi lateral Separasi lateral diterapkan sehingga jarak antara pesawat yang memiliki rute yang berbeda terpisah secara lateral. Separasi lateral suatu pesawat diperoleh menggunakan pengoperasian dengan rute yang berbeda atau 66

67 lokasi geografis yang telah ditentukan melalui pengamatan secara visual, menggunakan nav-aids, atau dengan menggunakan peralatan RNAV. Ketika telah menerima informasi bahwa alt navigasi rusak, ATC hendaknya melakukan metode separasi yang lain KRITERIA PEMISAHAN LATERAL Sarana dimana separasi lateral dapat ditentukankan sebagai berikut: Dengan mengacu pada lokasi geografis yang sama atau berbeda, dengan laporan posisi yang positif menunjukkan pesawat dengan lokasi geografis yang berbeda seperti yang ditentukan secara visual atau dengan mengacu pada alat bantu navigasi. Dengan laporan posisi pesawat untuk terbang di trek tertentu yang dipisahkan oleh jumlah minimum sesuai dengan alat bantu navigasi atau metode yang digunakan. 67

68 Pemisahan Lateral antara dua Pesawat ada ketika a. VOR: kedua pesawat dipisahkan setidaknya 15 derajat dan setidaknya satu pesawat berada pada jarak 28 km (15 NM) atau lebih dari itu). Separasi menggunakan VOR yang sama b. NDB: kedua pesawat dipisahkan setidaknya 30 derajat dan setidaknya satu pesawat pada jarak 28 km (15 NM) atau lebih dari itu. Separasi menggunakan NDB yang sama 68

69 c. dead reckoning (DR): kedua pesawat dipisahkan 45 derajat dan setidaknya satu pesawat berada pada jarak 28 km (15 NM) atau lebih dari titik perpotongan dari trek, titik ini ditentukan baik secara visual atau dengan mengacu pada alat bantu navigasi dan kedua pesawat ditetapkan keluar dari persimpangan. Separasi menggunakan dead reckoning 69

70 Titik separasi lateral dan area konflik Titik separasi lateral pada jalur persimpangan ditentukan oleh analisis risiko tabrakan dan akan tergantung pada faktor-faktor yang kompleks seperti akurasi navigasi pesawat, dan kepadatan lalu lintas Separasi Longitudinal Separasi secara longitudinal diterapkan untuk memberikan jarak pada perkiraan posisi pesawat sehingga pesawat terpisah sesuai persyaratan minimal. Separasi secara longitudinal antara pesawat pada same track atau diverging track dapat dijaga dengan menerapkan pengendalian kecepatan. Sehubungan dengan penerapan separasi longitudinal, kata same track, reciprocal track, dan crossing track memiliki arti sebagai berikut: 70

71 a. Same track Pesawat pada track yang sama arah track yang sama dan track berpotongan atau bagian-bagiannya, perbedaan sudut yang kurang dari 45 derajat atau lebih dari 315 derajat. 71

72 b. Reciprocal track Pesawat pada reciprocal track(berlawanan) trek berlawanan dan memotong trek atau bagian-bagiannya, perbedaan sudut yang lebih dari 135 derajat tapi kurang dari 225 derajat 72

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1509, 2016 KEMENHUB. Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan. Bagian 174. Peraturan Keselamatan Penerbangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.695, 2016 KEMENHUB. Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 55 TAHUN 2016 TENTANG TATANAN NAVIGASI PENERBANGAN

Lebih terperinci

Seseorang dapat mengajukan Perancangan Prosedur Penerbangan

Seseorang dapat mengajukan Perancangan Prosedur Penerbangan PROSES PENGESAHAN PERANCANGAN PROSEDUR PENERBANGAN INSTRUMEN 1. Referensi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamtan Penerbangan Sipil Bagian 173 (Civil Aviation

Lebih terperinci

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM 1 MATERI PEMBELAJARAN Perkembangan

Lebih terperinci

MANAJEMEN STRUKTUR RUANG UDARA

MANAJEMEN STRUKTUR RUANG UDARA MANAJEMEN STRUKTUR RUANG UDARA Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM RUANG UDARA Ruang udara terdiri dari : 1. Controlled Airspace Controlled Area (CTA) Controlled Zone (CTR) 2. Uncontrolled

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 077 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR PART

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 077 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR PART KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 077 TAHUN 2018 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR PART 170-04)

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : INST 001 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN KEWASPADAAN DALAM MENGHADAPI MUSIM HUJAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOM OR : KP 038 TAHUN 2017 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOM OR : KP 038 TAHUN 2017 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDAR,A PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOM OR : KP 038 TAHUN 2017 TENTANG APRON MANAGEMENT SERVICE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menambah peluang menurunnya jaminan kualitas keselamatan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. menambah peluang menurunnya jaminan kualitas keselamatan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketidakseimbangan antara kapasitas suatu infrastruktur transportasi dan volume permintaan akan jasa transportasi telah menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG MENTERl PERHUBUNGAN «REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 173 (CIVIL AVIATION SAFETYREGULATION

Lebih terperinci

MAS 370 (Kuala Lumpur to Beijing) PILOT-ATC RADIOTELEPHONY TRANSCRIPT Departure from KLIA: 8 March 2014

MAS 370 (Kuala Lumpur to Beijing) PILOT-ATC RADIOTELEPHONY TRANSCRIPT Departure from KLIA: 8 March 2014 MAS 370 (Kuala Lumpur to Beijing) PILOT-ATC RADIOTELEPHONY TRANSCRIPT Departure from KLIA: 8 March 2014 ATC DELIVERY 12:25:53 MAS 370: Delivery MAS 370 Good Morning 12:26:02 ATC : MAS 370 Standby and Malaysia

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S.) BAGIAN 170 PERATURAN LALU LINTAS UDARA LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 14 TAHUN 2009 TANGGAL

Lebih terperinci

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti -3-1.26. 1.27. 1.28. 1.29. 1.30. 1.31. 1.32. 1.33. 1.34. 1.35. 1.36. 1.37. 1.38. Perusahaan angkutan udara asing dan badan usaha angkutan udara yang melaksanakan kerjasama penerbangan pada rute luar negeri

Lebih terperinci

Indonesia IVAO Division. Level 1: Introduction to ATC 2011

Indonesia IVAO Division. Level 1: Introduction to ATC 2011 Indonesia IVAO Division Level 1: Introduction to ATC 2011 Welcome to Indonesia ATC Selamat datang dan bergabung dengan ATC divisi Indonesia Melalui tutorial ini anda akan belajar semua materi yang dibutuhkan

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTER! PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 55 TAHUN 2016 TENT ANG TATANAN NAVIGASI PENERBANGAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER! PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia

Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia Tujuan PM 90 Tahun 2015 Peningkatan keselamatan penerbangan terkait pengoperasian pesawat udara tanpa awak di ruang udara yang di

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent No.689, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Sistem Tanpa Awak. Pesawat Udara. Pengendalian. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DTREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 TENTANG PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN KAWASAN PELATIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara

Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara f. jika memungkinkan, kompeten dalam menggunakan alat komunikasi radio dan mengerti instruksi-instruksi yang disampaikan melalui radio. 10.11. Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara 10.11.1. Pendahuluan 10.11.1.1.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN 175-04 (MANUAL OF STANDARD PART

Lebih terperinci

Pemeliharaan di sekitar Alat Bantu Navigasi

Pemeliharaan di sekitar Alat Bantu Navigasi 10.18.9. Sistem pemeliharaan preventif digunakan untuk runway precision approach kategori II atau III bertujuan untuk mengetahui approach and runway lights berfungsi dan dalam kondisi tertentu setidaknya

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

Gambar : Typical apron markings

Gambar : Typical apron markings Gambar 8.7-28 : Typical apron markings 8.7.24 Self Manoeuvring Parking 8.7.24.1 Self-manoeuvring. Istilah ini digunakan untuk prosedur dimana pesawat udara masuk dan meninggalkan aircraft stand dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5%

BAB I PENDAHULUAN. secara global akan meningkatkan perjalanan udara sebesar 1 2.5% 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi udara merupakan industri yang memiliki kaitan erat dengan ekonomi global. Peningkatan 1% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) secara global akan meningkatkan

Lebih terperinci

(AERONAUTICAL TELECOMMUNICATION SERVICE PROVIDERS)

(AERONAUTICAL TELECOMMUNICATION SERVICE PROVIDERS) MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 48 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 57 TAHUN 2011 TENTANG

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tam - 2-2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058);

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia penerbangan, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan bertambahnya pesawat-pesawat yang digunakan oleh industri-industri penerbangan. Pertambahan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.573, 2015 BMKG. Flight Documentation. Informasi. Meteorologi Penerbangan. Pembuatan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 180 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN

Lebih terperinci

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM FAKTOR PENGARUH KAPASITAS RUNWAY Beberapa faktor pengaruh antara lain: 1. Jumlah runway 2. Pemisahan pesawat yang landing

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 151 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR )

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 151 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR ) nr*i KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTQRAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 151 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TEKNIS DAN OPERASI (MANUAL OF STANDARD CASR 172-01)

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1 PERENCANAAN BANDAR UDARA Page 1 SISTEM PENERBANGAN Page 2 Sistem bandar udara terbagi menjadi dua yaitu land side dan air side. Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERHUBUNGAN UDARA NOMOR KP 112 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERHUBUNGAN UDARA NOMOR KP 112 TAHUN 2017 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 112 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

Lebih terperinci

Kriteria penempatan fasilitas komunikasi darat - udara berfrekuensi amat tinggi (VHF Air-Ground/ VHF A/G)

Kriteria penempatan fasilitas komunikasi darat - udara berfrekuensi amat tinggi (VHF Air-Ground/ VHF A/G) Standar Nasional Indonesia Kriteria penempatan fasilitas komunikasi darat - udara berfrekuensi amat tinggi (VHF Air-Ground/ VHF A/G) ICS 93.120 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... Prakata...

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 182 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 182 TAHUN 2017 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA MOR : KP 182 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENGAWASAN OLEH INSPEKTUR NAVIGASI

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI 1.1 "Wajib" digunakan dalam Lampiran untuk menunjukkan suatu ketentuan, penerapan yang seragam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Diagram Alir Analisis Kapasitas Runway 3 Mulai Identifikasi Masalah Tinjauan Pustaka Pengumpulan Data 1. Data penumpang pesawat tahun 2005-2015 2. Data Pergerakan Pesawat

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN 1. Tujuan Perencanaan Sistem Bandara (Airport System), adalah : a. Untuk memenuhi kebutuhan penerbangan masa kini dan mendatang dalam mengembangkan pola pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya blind spot pada lokasi. pesawat dengan pengawas lalu lintas udara di darat.

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya blind spot pada lokasi. pesawat dengan pengawas lalu lintas udara di darat. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin banyaknya pesawat udara yang melintas di wilayah udara Indonesia, membuat beberapa rute perjalanan pesawat udara bisa saling berdekatan atau berada di atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan dengan pesawat terdiri dari 3 (tiga) fasa, yaitu lepas landas (take-off), menempuh perjalanan ke tujuan (cruise to destination), dan melakukan pendaratan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga aspek yaitu keselamatan penerbangan (safety), keselamatan gedung (security), dan total quality management

Lebih terperinci

IVAO ID Special Ops Dasar Terbang Formasi

IVAO ID Special Ops Dasar Terbang Formasi DASAR TERBANG FORMASI Terbang Formasi membutuhkan keterampilan dan ketelatenan untuk menjaga agar tetap sinergi dengan pesawat kawan dalam satu formasi. Selain itu dalam terbang formasi juga dibutuhkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 43 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 143 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

9.23. Lampu Taxiway Centre Line

9.23. Lampu Taxiway Centre Line 9.22.4.5. Jarak spasi terakhir antara lampu pada bagian lurus harus sama dengan jarak spasi pada bagian melengkung. 9.22.4.6. Jika jarak spasi terakhir pada bagian lurus kurang dari 25 m, jarak spasi kedua

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP. 568 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP. 568 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP. 568 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAWASAN KESELAMATAN PENERBANGAN UNTUK INSPEKTUR NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandar Udara Rahadi Osman yang terletak di Kota Ketapang, Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. Bandar Udara Rahadi Osman yang terletak di Kota Ketapang, Provinsi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bandar Udara Rahadi Osman yang terletak di Kota Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, merupakan salah satu bandar udara di Indonesia yang digunakan untuk melayani kepentingan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP/83/VI/2005 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP/83/VI/2005 TENTANG DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP/83/VI/2005 TENTANG PROSEDUR PENGUJIAN DI DARAT ( GROUND INSPECTION) PERALATAN FASILITAS

Lebih terperinci

Gambar : Bentuk dan proporsi huruf, angka dan simbol yang digunakan pada Movement Area Guidance Sign

Gambar : Bentuk dan proporsi huruf, angka dan simbol yang digunakan pada Movement Area Guidance Sign Gambar 8.14-7: Bentuk dan proporsi huruf, angka dan simbol yang digunakan pada Movement Area Guidance Sign Gambar 8.14-8: Bentuk dan ukuran huruf, angka dan simbol yang digunakan pada Movement Area Guidance

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone)

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone) 7.2.2.7. Zona Bebas Obstacle Permukaan inner approach, inner tranisitional dan balked landing, ketiganya mendefinsikan volume ruang udara di sekitar precision approach runway, yang dikenal sebagai zona

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang... Bandar udara Menurut PP RI NO 70 Tahun 00 Tentang Kebandarudaraan Pasal Ayat, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan

Lebih terperinci

ETIKA PROFESI AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC) BEKERJA DI BANDARA DI SUSUN OLEH :

ETIKA PROFESI AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC) BEKERJA DI BANDARA DI SUSUN OLEH : ETIKA PROFESI AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC) BEKERJA DI BANDARA DI SUSUN OLEH : 1. Wira Satya Pratama Biantong ( D42115015 ) 2. Muh. Muhtasan ( D42115515) TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN

Lebih terperinci

MISSION BRIEFING. 1. Introduction. 2. General Procedure

MISSION BRIEFING. 1. Introduction. 2. General Procedure MISSION BRIEFING 1. Introduction Dalam rangka HUT TNI-AU IVAO Indonesia Special Operation Department mengadakan Group Flight Mission dari bandara Internasional Juanda Surabaya ke Bandara Internasional

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1773, 2015 KEMENHUB. Pengoperasian Sistem. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Dilayani Indonesia. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara Niaga. Keterlambatan Penerbangan. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans.

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. (1) Domestik. (2) International. E. Pemisahan minimum/separation Minimums. F. Prioritas Penanganan/Priority Handling.

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Penerbangan domestik 2. Penerbangan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

Memmbang. a. perhubungan NomQr KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 173

Memmbang. a. perhubungan NomQr KM 21 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 173 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN nirf.ktorat.tenderal PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR :KP 90 TAHUN 2014 TENTANG PFTUNJUK TEKNIS PEMBERIAN PERSETUJUAN PERANCANGAN PROSEDUR PENERBANGAN

Lebih terperinci

NOTAM Kalimat lengkap untuk semua NOTAM yang direncanakan, terkait dengan pekerjaan aerodrome harus dicantumkan dalam MOWP.

NOTAM Kalimat lengkap untuk semua NOTAM yang direncanakan, terkait dengan pekerjaan aerodrome harus dicantumkan dalam MOWP. 10.13.4. NOTAMs Pembatasan Operasi Pesawat Udara dan Penerbitan NOTAM 10.13.4.1. Pada bagian MOWP ini harus berupa format yang memungkinkan adanya penerbitan terpisah untuk operator pesawat udara dan memudahkan

Lebih terperinci

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KPP430 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN INSPEKTUR NAVIGASI

Lebih terperinci

PART 69-01) PENGUJIAN LISENSI DAN RATING PERSONEL PEMANDU

PART 69-01) PENGUJIAN LISENSI DAN RATING PERSONEL PEMANDU KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 180 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN UMUM Keamanan dan keselamatan penerbangan memiliki peranan yang penting dan strategis

Lebih terperinci

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud.

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud. bandar udara Hubud. tanpa persetujuan khusus Ditjen 7.1.3.2. Peralatan dan instalasi yang dibutuhkan untuk tujuan navigasi penerbangan harus mempunyai massa dan ketinggian minimum yang dapat dipraktekkan,

Lebih terperinci

TURBULENSI HEBAT di INDONESIA Tahun 2016 M. Heru Jatmika, Heri Ismanto, Zulkarnaen, M. Arif Munandar, Restiana Dewi, Kurniaji

TURBULENSI HEBAT di INDONESIA Tahun 2016 M. Heru Jatmika, Heri Ismanto, Zulkarnaen, M. Arif Munandar, Restiana Dewi, Kurniaji TURBULENSI HEBAT di INDONESIA Tahun 2016 M. Heru Jatmika, Heri Ismanto, Zulkarnaen, M. Arif Munandar, Restiana Dewi, Kurniaji Pesawat Etihad Airways EY-474 jurusan Abu Dhabi Jakarta mengalami goncangan

Lebih terperinci

6.4. Runway End Safety Area (RESA)

6.4. Runway End Safety Area (RESA) b. Dalam jarak 60 m dari garis tengah precision approach runway kategori I, dengan nomor kode 3 atau 4; atau c. Dalam jarak 45 m dari garis tengah dari sebuah precision approach runway kategori I, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dicirikan dengan adanya akses transportasi yang cukup baik. Perbaikan akses transportasi ke suatu tempat akan menjadikan lahan tersebut semakin menarik. Berkembangnya

Lebih terperinci

2017, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tah

2017, No Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tah BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.776, 2017 BMKG. Aerodrome. Peralatan Pengamatan Meteorologi. Penempatan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR 8 TAHUN 2017

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 42 / III / 2010 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 139 03 MANAJEMEN BAHAYA HEWAN LIAR DI BANDAR UDARA

Lebih terperinci

SKEP /40/ III / 2010

SKEP /40/ III / 2010 SKEP /40/ III / 2010 PETUNJUK DAN TATA CARA PELAPORAN KEJADIAN, KEJADIAN SERIUS DAN KECELAKAAN DI BANDAR UDARA BAGIAN 139-04 (ADVISORY CIRCULAR PART 139 04, INCIDENT, SERIOUS INCIDENT, AND ACCIDENT REPORT)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 65 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 170

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 65 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 170 - MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 65 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 170 {CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION

Lebih terperinci

Variabel-variabel Pesawat

Variabel-variabel Pesawat Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Impact of Aircraft Characteristics on Airport Design Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Variabel-variabel Pesawat Berat (weight) diperlukan

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

Kawasan keselamatan operasi penerbangan

Kawasan keselamatan operasi penerbangan Standar Nasional Indonesia Kawasan keselamatan operasi penerbangan ICS 93.120 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus 46 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ATC merupakan pengatur lalu lintas udara sejak pesawat itu akan terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus membuat flat planning

Lebih terperinci

BAB I MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

BAB I MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP 2. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengamatan dan Pengelolaan Data Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 139, Tambahan

Lebih terperinci

2 Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi,

2 Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.424, 2015 BMKG. Informasi Cuaca. Penerbangan. Pengawasan. Pelaksanaan PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi tidak aman (unsafe condition). Keselamatan merupakan hal yang harus diutamakan dalam dunia penerbangan.

Lebih terperinci

9.4. Aerodrome Beacon

9.4. Aerodrome Beacon divariasi intensitasnya, misal untuk menghindari kilauan. Jika lampu ini akan dibedakan dari lampu kuning, lampu tersebut harus didisain dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga: a. koordinat x warna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

STUDI AIR TRAFFIC MANAGEMENT : STUDI KASUS ANALISIS RUANG UDARA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA

STUDI AIR TRAFFIC MANAGEMENT : STUDI KASUS ANALISIS RUANG UDARA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA TUGAS AKHIR RC-14-1501 STUDI AIR TRAFFIC MANAGEMENT : STUDI KASUS ANALISIS RUANG UDARA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA FACHRI RAMADHAN NRP 3112100112 Dosen Pembimbing Istiar, ST.,MT. JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

2.4. Pertentangan dengan Standar Lainnya 2.5. Penggunaan Kode Referensi Bandar Udara ICAO untuk Menetapkan Standar

2.4. Pertentangan dengan Standar Lainnya 2.5. Penggunaan Kode Referensi Bandar Udara ICAO untuk Menetapkan Standar kesesuaian dengan standar yang berlaku saat ini dapat dicapai. 2.3.3. Standar yang mengandung frasa seperti jika dapat diterapkan, jika secara fisik dapat diterapkan, dll., tetap membutuhkan pengecualian

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S)

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 20 TAHUN 2009 TANGGAL : 17 FEBRUARI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti pesawat udara dan helikopter

Lebih terperinci

Lokasi, jarak, dan karakteristik lampu apron edge mengacu pada lampu taxiway edge dalam paragraf , dan

Lokasi, jarak, dan karakteristik lampu apron edge mengacu pada lampu taxiway edge dalam paragraf , dan 9.31. Lampu Tepi Apron (Apron Edge Light) 9.31.1. Umum 9.31.1.1. Jika indikasi tambahan alat bantu visual dibutuhkan untuk menggambarkan tepi apron di malam hari, maka lampu taxiway edge dapat digunakan.

Lebih terperinci

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 57 BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 5.1. TINJAUAN UMUM Pada bab sebelumnya telah dibahas evaluasi dan analisis kondisi eksisting Bandara Babullah sesuai dengan tipe pesawat yang

Lebih terperinci

9.36. Pemberian Lampu pada Daerah yang Ditutup dan Unserviceable

9.36. Pemberian Lampu pada Daerah yang Ditutup dan Unserviceable 9.35.5. Floodlighting untuk Obstacle 9.35.5.1. Ketika instalasi lampu obstacle normal dianggap tidak praktis atau tidak diinginkan karena alasan keindahan atau alasan lain, floodlighting obstacle mungkin

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP.289 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL

Lebih terperinci

1. Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat SUBSTANSI MATERI

1. Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat SUBSTANSI MATERI 1. Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat Modul Diklat Basic PKP-PK 1.1 1.2 Pengertian tentang gawat darurat bandar udara 1.1.1 Kondisi bandar udara dibawah batas normal Gawat darurat adalah kondisi dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC)

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC) BAB I PENDAHULUAN I.1. Sistem Air Traffic Control (ATC) Sistem Air Traffic Control (ATC) merupakan sistem kompleks yang melibatkan sumber daya manusia, lembaga otoritas, manajemen, prosedur operasi dan

Lebih terperinci

Physical Characteristics of Aerodromes

Physical Characteristics of Aerodromes Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Physical Characteristics of Aerodromes Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 2 Aerodrome Reference Code Digunakan oleh ICAO untuk membaca hubungan

Lebih terperinci

MARKING LANDASAN DAN PERLAMPUAN

MARKING LANDASAN DAN PERLAMPUAN MARKING LANDASAN DAN PERLAMPUAN Sejak awal mula penerbangan, pilot selalu memakai tanda-tanda di darat sebagai alat bantu navigasi ketika mengadakan approach ke sebuah lapangan terbang. Fasilitas bantu

Lebih terperinci

PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL

PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 24 TAHUN 2009 TANGGAL : 26 FEBRUARI 2009 PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) BAGIAN 139 BANDAR UDARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN

Lebih terperinci