BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam bentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Subak.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. tersendiri dalam bentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Subak."

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali secara historis sudah memiliki tradisi, budaya dan komitmen religius tersendiri dalam bentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Subak. Subak merupakan kelompok masyarakat petani yang bernafaskan adat dan budaya Bali, dengan berlandaskan pada filosofi Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana. Dalam fungsinya, Subak merupakan organisasi sosial masyarakat dalam bidang pengaturan air untuk persawahan dari suatu sumber air didalam suatu daerah. Subak merupakan suatu sub sistem dari sistem irigasi, dengan fungsi utamanya adalah mengatur pemanfaatan air irigasi, sehingga para petani mendapatkan air untuk mengairi sawahnya secara cukup, adil dan merata. Dalam eksistensinya, Subak memberikan peran yang sangat efektif dan strategis didalam pengelolaan sumber daya air khususnya dalam bidang irigasi, sehingga ketersediaan dan pemanfaatan air dapat dijamin pelaksanaannya di daerah Bali. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, pembangunan di bidang irigasi dilakukan lebih intensif oleh pemerintah. Pembinaan lembaga subak di Bali dilakukan oleh Sedahan Agung dibantu oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian (Windia, 2008). Pada saat itu, perundang-undangan dalam bidang irigasi hanya terdapat di daerah Jawa dan Madura (algemene water reglemen, 1936). Pada awal Repelita I tahun 1969/1970, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Pengairan yang mengatur tentang pengaturan air dan pemeliharaan

2 2 jaringan irigasi. Untuk Daerah Bali, Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur No.11/Perbang/61/II/C/1972 tentang panitian pengairan/irigasi. Semenjak saat itu, pembinaan subak ditangani oleh panitia irigasi dalam hal pengalokasian dan pengaturan air untuk irigasi, sedangkan yang berperan aktif dalam kordinasi langsung dilapangan adalah Sedahan Agung, Dinas Pekerjaan Umum (seksi pengairan), dan Dinas Pertanian. Keberadaan subak di Bali lebih dikukuhkan lagi eksistensinya dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali. Perda Irigasi Bali ini dibuat sebagai landasan hukum terhadap pembinaan subak yang dilakukan oleh pemerintah di daerah Provinsi Bali. Dalam Perda ini, kedudukan Sedahan Agung sangat menonjol mewakili Bupati/Walikota didalam memecahkan permasalahan yang terkait dengan pembinaan subak. Seiring dengan perubahan kondisi sumber daya air dan tuntutan akan penyediaan air yang terus meningkat, maka peraturan perundangan tentang pengelolaan sumberdaya air dan irigasi terus berkembang, seperti diterbitkannya UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan (telah diperbaharui dengan UU. No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air), Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi, kemudian diperbaharui dengan PP. No. 77 tahun 2001 tentang Irigasi, dan terakhir diperbaharui kembali dengan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Adanya peraturan-peraturan tersebut lebih memperjelas pengelolaan sumber daya air/irigasi serta pembinaan lembaga petani lebih intensif dilakukan oleh pemerintah.

3 3 Peraturan Daerah No. 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi di Daerah Provinsi Bali yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Bali, secara substansi mengatur tentang mekanisme koordinasi kelembagaan pengelola irigasi di Bali. Kelembagaan tersebut meliputi Subak, Sedahan, Sedahan Agung dan Pemerintah Daerah khususnya dalam hal pengaturan air sebagai fungsi sosial. Dari awal ditetapkannya hingga sampai saat ini, Perda Bali tentang Irigasi belum pernah sekalipun mengalami revisi. Sebaliknya, peraturan dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya air dan irigasi yang diberlakukan secara nasional terus mengalami penyesuaian dengan memperhatikan perubahan kondisi SDA dan tuntutan akan penyediaan air yang terus meningkat. Didalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, menyebutkan bahwa pemerintah memberikan ruang formal bagi perseorangan maupun badan usaha dalam hal hak guna usaha air. Bila hal tersebut diterapkan di Bali khususnya, maka dapat menjadi ancaman bagi keberadaan subak dalam melakukan pengaturan dan pemanfaatan air di sepanjang daerah aliran sungai. Peraturan Daerah No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi yang selama ini mengatur kelembagaan pengelola irigasi di Bali, kurang mampu bersinergi dengan kebijakan nasional yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi. Didalam Perda Bali tentang irigasi, sama sekali tidak mengatur tentang adanya hak guna usaha air, sehingga hal ini tentu saja akan memberikan peluang kepada perorangan maupun badan usaha untuk memanfaatkan air seluas-luasnya untuk usaha. Kedepannya subak sebagai lembaga pengelola irigasi di Bali, kian dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan tantangan khususnya dalam pemanfaatan air

4 4 irigasi. Dengan semakin berkurangnya potensi air dan semakin bertambahnya kebutuhan pemanfaatan air di sungai, maka akan mengakibatkan semakin meluasnya konflik yang terjadi. Didalam Peraturan Pemerintah No.20 tahun 2006 tentang Irigasi, mendiskripsikan bahwa yang dimaksud dengan sistem irigasi tidak hanya terbatas pada aspek kelembagaannya namun menyangkut berbagai aspek yang terkait dengan keirigasian yang meliputi aspek prasarana irigasi, air irigasi, manejemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia. Terbukanya peluang pengusahaan air irigasi oleh perseorangan atau badan usaha yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut, perlu disikapi secara arif dalam Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 agar kepentingan irigasi rakyat tidak termarginalkan demi menjaga kelestarian budaya pertanian yang berbasis pada sistem subak. Dimasa sekarang dan yang akan datang, peluang konflik sangat berpotensi untuk terjadi terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya air di Bali. Penggunaan sumber air untuk kebutuhan air minum dan pemanfaatan air permukaan untuk usaha wisata seperti misalnya rafting, akan berdampak pada menurunnya pasokan air untuk irigasi. Ketika ketersediaan air untuk irigasi sangat terbatas, maka konflik internal subak akan mengawali terjadinya konflik antar pengguna air. Potensi konflik antar wilayah kabupaten juga berpeluang terjadi apabila potensi sumber daya air ini tidak dikelola dengan manajemen koordinasi yang baik antar wilayah administratif. Untuk itu, sangat diperlukan wadah

5 5 koordinasi pengelolaan sumber daya air di tingkat kabupaten untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar pengguna air dan konflik antar wilayah. Didalam Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi, wadah koordinasi pengelola irigasi yang sekaligus pembina lembaga subak disebut Sedahan Agung. Sedahan Agung adalah petugas Pemerintah Kabupaten yang mengatur/mengawasi tertib pengairan didalam kabupaten, menyelesaikan perselisihan irigasi, dan merupakan penasehat serta pelaksana dari Pemerintah Daerah Kabupaten didalam bidang irigasi. Didalam fungsinya, Sedahan Agung merupakan mediator antara subak dengan pemerintah sehingga segala keluhan ataupun permasalahan yang dihadapi subak dapat segera diketahui oleh pemerintah dan sesegera mungkin dicarikan solusinya. Namun, semenjak terjadinya penggabungan antara lembaga Sedahan Agung dengan Dispenda menjadi satu lembaga sejak tahun 1976 (Sutawan, 2008), fungsi dan peran Sedahan Agung terkait dengan masalah irigasi dan pembinaan subak semakin lama semakin berkurang, sedangkan peran yang lebih ditonjolkan adalah sebagai pemungut pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan fungsi lembaga Sedahan Agung sebagaimana yang diamanatkan dalam Perda Irigasi Bali sudah tidak efektif dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan kebijakan Pemerintah Daerah dengan diterbitkannya UU. No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, keberadaan Sedahan Agung semakin tidak jelas bahkan dihapuskan sama sekali dalam struktur organisasinya. Hilangnya eksistensi lembaga Sedahan Agung di kabupaten menimbulkan berbagai permasalahan yang sangat pelik bagi subak

6 6 terutama untuk berkoordinasi dengan pemerintah. Kesulitan berkoordinasi dengan pemerintah berdampak pada melemahnya peran dan fungsi subak, serta berindikasi semakin tidak berdayanya subak karena tercerai-berai dari induk organisasi yang mengayomi. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Pengkajian Pengelolaan Sumber Daya Air Bappeda Bali pada tahun 2007 melalui Focus Group Discussion (FGD), memberikan gambaran bahwa peran dan fungsi subak saat ini semakin melemah bahkan sudah tidak berdaya lagi untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Melemahnya peran dan fungsi dari subak terutama karena tekanan dari eksternal berupa pembatasan hak petani dalam penggunaan air irigasi. Seperti yang terjadi di Kabupaten Gianyar konflik antara subak Kumpul-Bone dengan pengusaha tambak yang dikarenakan pembangunan tambak tanpa melalui kordinasi dan penggunaan air dilakukan secara terus menerus, sementara pengairan untuk irigasi terpaksa dilakukan secara rotasi dalam tiga periode rotasi. Tekanan seperti ini sangat melemahkan dan bahkan akan menghilangkan sama sekali keberadaan organisasi subak, sehingga keberadaannya dimasa yang akan datang dikhawatirkan akan punah sama sekali. Sehubungan dengan kepentingan koordinasi kedalam dan keluar antar lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pengelolaan irigasi khususnya di Bali, maka sudah seharusnya Peraturan Daerah mengakomodasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi, sehingga ada kejelasan koordinasi kedalam dan keluar dari lembaga subak dan pemerintah. Kemudian pengembangan dan pengelolaan

7 7 secara berkelanjutan terhadap sistem irigasi yang meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumberdaya manusia harus dituangkan secara komprehensif dalam peraturan daerah yang mengacu kepada PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, agar dapat dijadikan dasar kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi kedepan yang relevan dengan kondisi dan situasi yang terus berkembang di daerah Bali. Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi memegang peranan sangan penting didalam mengatur tertibnya pelaksanaan pengelolaan sumber daya air di Bali khususnya dalam bidang irigasi. Namun secara substansi, Perda Bali tentang Irigasi hanya mengatur kelembagaan pengelola irigasi dan memposisikan sumber daya air hanya sebagai fungsi sosial. Berbeda halnya dengan kebijakan pemerintah yang memposisikan irigasi tersebut secara komprehensif. Berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, belum sepenuhnya bisa terakomodasi dengan baik didalam Perda. Sehingga hal ini kedepannya bisa menjadi ancaman bagi pengelolaan sumber daya air di Bali yang berbasis pada sistem Subak. Perda Irigasi Bali saat ini keberadaannya sudah tidak jelas lagi, hal ini didasarkan secara substansi Perda sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang berkembang saat ini. Disisi lain, sejauh pemerintah belum mencabut Perda tersebut maka keberadaannya masih diberlakukan hingga saat ini walaupun sudah tidak sejalan dengan situasi yang berkembang di Bali. Sejalan dengan kebijakan nasional yang terus berkembang, maka Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan dan/atau Peraturan Daerah, seyogyanya harus sejalan dengan peraturan

8 8 perundangan yang berlaku. Peraturan dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya air dan irigasi terus mengalami penyesuaian dengan memperhatikan perubahan-perubahan kondisi sumberdaya air dan tuntutan akan penyediaan air yang terus meningkat. Peraturan Daerah No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali sudah seharusnya dikaji kembali agar sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi serta bersinergi dengan nilai-nilai budaya yang berjalan dan berkembang di daerah provinsi Bali. Pengkajian terhadap isi Perda diharapkan mampu memposisikan wacana yang diusung pemerintah sedemikian rupa sehingga terakomodasi dengan baik dalam Peraturan Daerah. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian tersebut diatas, maka dirumuskan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Efektivitas Implementasi Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi di Kabupaten Gianyar saat ini? 2. Bagaimanakah pengelolaan irigasi yang berbasis pada sistem subak di Kabupaten Gianyar bila disinergikan dengan kebijakan nasional tentang irigasi saat ini? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan melihat detail rumusan permasalahan penelitian seperti dituangkan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

9 9 1. Untuk mengetahui Efektifitas Implementasi Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi di Kabupaten Gianyar. 2. Untuk mengetahui pengelolaan irigasi yang berbasis pada sistem subak di Kabupaten Gianyar bila disinergikan dengan kebijakan nasional tentang irigasi saat ini. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi berbagai pihak antara lain : 1. Revitalisasi subak untuk bisa berperan secara maksimal dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi pada tingkat subak, daerah irigasi, daerah aliran sungai, daerah Kabupaten/ Kota, dan di tingkat Propinsi. 2. Terwujudnya pola pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang terpadu dan berkelanjutan dalam menunjang kebijakan pembangunan daerah dan pembangunan nasional dalam bidang pertanian. 3. Mempercepat implementasi Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi yang bersinergi dengan nilai dan Budaya Bali.

10 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Irigasi Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 2006 tentang Irigasi, yang dimaksud dengan irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Sedangkan sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia. Jaringan irigasi adalah satu kesatuan saluran dan bangunan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaannya. Mengingat komponen system irigasi seperti dituangkan dalam peraturan pemerintah juga dijumpai dalam komponen irigasi pada subak di Bali, maka system subak di Bali tidak bertentangan dengan system irigasi seperti yang dimaksud dalam peraturan pemerintah tersebut. Selanjutnya, dalam PP No.20 Tahun 2006 juga disebutkan bahwa perkumpulan petani pemakai air adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk lembaga local pengelola irigasi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa subak merupakan bentuk kelembagaan pengelola irigasi di Bali yang secara resmi diakui keberadaannya oleh pemerintah.

11 Jaringan Irigasi Jaringan Irigasi Menurut Standar Perencanaan Irigasi Ketentuan yang mengatur tentang jaringan irigasi di Indonesia dituangkan dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP.01) Depertemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Pengairan tahun Pada buku Standar Irigasi tersebut diuraikan bahwa suatu jaringan irigasi umumnya memiliki empat (4) unsur fungsional pokok yaitu : 1. Bangunan-bangunan utama (headwork) dimana air diambil dari sumbernya yang umumnya dari sungai atau waduk. 2. Jaringan pembawa berupa saluran dengan bangunan-bangunan yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak tersier 3. Petak-petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan kolektif dimana air irigasi dibagi dan dialirkan ke petak-petak sawah dan kelebihannya ditampung dalam suatu sistem pembuangan didalam petak tersier 4. Sistem pembuangan yang ada di luar daerah irigasi untuk membuang kelebihan air irigasi ke sungai atau saluran-saluran alamiah lainnya Selanjutnya, bila ditinjau dari tingkat keandalan jaringannya, suatu jaringan irigasi dapat dikelompokkan kedalam 3 (tiga) klasifikasi yaitu jaringan irigasi teknis, jaringan irigasi semi teknis dan jaringan irigasi sederhana. Tabel 2.1. menunjukkan kriteria yang dijadikan dasar dalam menetapkan suatu jaringan irigasi kedalam klasifikasi tertentu.

12 12 Tabel 2.1. Klasifikasi Jaringan Irigasi NO ITEM KLASIFIKASI TEKNIS SEMI TEKNIS SEDERHANA 1 Bangunan Utama Permanen Permanen atau Sementara Semi Permanen 2 Keandalan bangunan ukur dan pengatur debit baik Sedang Jelek 3 Jaringan Saluran Saluran irigasi dan pembuang terpisah 4 Petak Tersier Dikembangkan sepenuhnya Saluran irigasi dan pembuang tidak sepenuhnya terpisah Belum dikembangkan atau densitas bangunan tersier jarang Saluran irigasi dan pembuang jadi satu Belum ada jaringan terpisah yang dikembangkan 5 Efisiensi secara % % < 40 % keseluruhan 6 Luasan sawah Tidak terbatas 2000 ha 500 ha Sumber : Departemen PU (1986) Jaringan irigasi sederhana biasanya diusahakan secara mandiri oleh suatu kelompok petani pemakai air, sehingga kelengkapan maupun kemampuan dalam mengukur dan mengatur masih sangat terbatas. Ketersediaan air biasanya melimpah dan mempunyai kemiringan yang sedang sampai curam, sehingga mudah untuk mengalirkan dan membagi air. Jaringan irigasi sederhana mudah diorganisasikan karena menyangkut pemakai air dari latar belakang sosial yang sama. Namun jaringan ini masih memiliki beberapa kelemahan antara lain, terjadi pemborosan air karena banyak air yang terbuang, air yang terbuang tidak selalu mencapai lahan di sebelah bawah yang lebih subur, dan bangunan penyadap bersifat sementara, sehingga tidak mampu bertahan lama.

13 13 Jaringan irigasi semi teknis memiliki bangunan sadap yang permanen ataupun semi permanen. Bangunan sadap pada umumnya sudah dilengkapi dengan bangunan pengambil dan pengukur. Jaringan saluran sudah terdapat beberapa bangunan permanen, namun sistem pembagiannya belum sepenuhnya mampu mengatur dan mengukur. Karena belum mampu mengatur dan mengukur dengan baik, sistem pengorganisasian biasanya lebih rumit. Sedangkan pada jaringan irigasi teknis mempunyai bangunan sadap yang permanen. Bangunan sadap serta bangunan bagi mampu mengatur dan mengukur. Disamping itu, terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan pembuang. Pengaturan dan pengukuran dilakukan dari bangunan penyadap sampai ke petak tersier. Untuk memudahkan sistem pelayanan irigasi kepada lahan pertanian, disusun suatu organisasi petak yang terdiri dari petak primer, petak sekunder, petak tersier, petak kuarter dan petak sawah sebagai satuan terkecil Jaringan Irigasi Subak Subak sebagai organisasi yang fungsi utamanya adalah mengatur air irigasi telah membangun sistem jaringan irigasi dengan keunggulan teknologi tradisionalnya, dimana konstruksi jaringan sangat disesuaikan oleh kondisi fisik alam dimana jaringan itu dikonstruksi. Kondisi alam Bali yang bergelombang dan dilalui oleh banyak sungai menjadikan luasan lahan sawah yang sempit. Oleh karena itu, dengan kearifan yang sangat tinggi, subak telah berupaya menekan pemanfaatan lahan agar sekecil mungkin dibebaskan untuk pembangunan jaringan irigasi. Atas dasar pertimbangan tersebut ketika subak membangunan jaringan irigasinya banyak memanfaatkan alur alam berupa lembah atau pangkung sebagai

14 14 saluran pembawa. Sedangkan untuk menghubungkan saluran alam dengan alur sungai, subak telah memiliki keterampilan yang sangat memadai untuk membangun aungan (trowongan) melalui tenaga terampil undagi pengarung (ahli trowongan). Jaringan irigasi subak sudah dikonstruksi sedemikian lengkap mulai dari bangunan pengambilan pada sumber air, bangunan pembagi dan pengambilan di saluran sampai saluran distribusi di petak-petak sawah, seperti ditunjukkan dalam gambar jaringan irigasi subak pada Gambar 2.1. dengan jenis dan fungsi bangunan seperti diuraikan berikut ini:

15 15 Pura Ulun Empelan Empelan (Bendung Subak) Aungan (Trowongan) Telabah (Saluran Pembawa) Tukad (Sungai) Pura Bedugul Tembuku Aya (B.Bagi Utama) Tembuku Pemaron (B.Bagi) Telabah Pemaron (Saluran Kedua) Tembuku Daanan (B. Sadap) Telabah Daanan (Saluran Ketiga) Telabah Pengutangan (Saluran Pembuang) Gambar 2.1. Jaringan Irigasi Subak Sumber : Jelantik Susila,2006)

16 16 1. Bangunan pengambilan utama (head work) di sumber airnya berupa empelan (bendung) atau buka (free intake), dilengkapi dengan pembatas aliran banjir yang disebut dengan langki atau tanjerig 2. Telabah (saluran terbuka) untuk mengalirakan air dari bangunan utama empelan/buka yang dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti abangan (talang), telepus (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (peluap samping). 3. Aungan (terowongan) yang dilengkapi dengan lubang udara dan lubang kontrol, dimana bila lubang tersebut ditempatkan mendatar disebut dengan calung dan bila tegak disebut dengan bindu 4. Bangunan pembagi air dari pembagi utama sampai saluran pembawa di petak sawah, yaitu tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku pemaron (bangunan bagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku pengalapan (bangunan pembagi di petak sawah). 5. Saluran irigasi dari tembuku pemaron disebut dengan telabah pemaron (saluran skunder), sedangkan saluran irigasi yang membawa air dari tembuku daanan ke petak sawah disebut dengan telabah daanan (saluran tersier) 6. Telabah pengutangan (saluran pembuangan) yaitu saluran yang berfungsi untuk membuang kelebihan air dari petak sawah yang dialirkan kembali ke sungai atau pangkung (lembah alam)

17 17 Dari sistem saluran seperti diperlihatkan dalam gambar jaringan irigasi subak di atas, maka saluran irigasi dapat melintasi beberapa wilayah administratif. Oleh karena itu, keanggotaan subak tidak terbatas dalam satu wilayah administratif. Satu lembaga subak keanggotaanya dapat berasal lebih dari satu desa adat, kecamatan bahkan kabupaten yang berbeda, sesuai dengan wilayah hidrologis dan topografinya. Maka dari itu, subak dapat dikatakan sebagai lembaga yang otonom terlepas dari lembaga desa adat. Namun demikian, hubungan antara desa adat dengan subak telah berjalan secara harmonis karena masing-masing lembaga dipayungi oleh filosofi ajaran Agama Hindu yang sangat mendalam yaitu Tri Hita Karana. Hubungan wilayah subak dengan wilayah desa adat dapat dilihat seperti contoh ilustrasi pada gambar 2.2 berikut: Tukad (Sungai) Empelan (Bendung) Aungan (Trowongan) Telabah (Saluran) Tembuku (B. Bagi) Desa Adat - B Desa Adat - A Subak - X Desa Adat - C Gambar 2.2. Ilustrasi Wilayah Subak dalam Wilayah Desa Adat

18 Pengelolaan dan Kelembagaan Irigasi Pengelolaan dan Kelembagaan Irigasi Nasional Peran masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi sangat diharapkan oleh pemerintah baik yang dilakukan secara perseorangan maupun melalui perkumpulan petani pemakai air. Partisipasi masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diwujudkan mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan rehabilitasi. Dengan partisipasi aktif masyarakat, petani diharapkan dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab guna keberlanjutan sistem irigasi. Kemudian, hal-hal yang terkait dengan upaya pemberdayaan perkumpulan petanu pemakai air, sudah diatur dalam pasal 28 dan pasar 29 Peraturan Pemerintah RI No.20 tahun 2006 tentang irigasi. Beberapa hal penting yang dapat dipetik dari kedua pasal tersebut diantaranya : 1. Pemerintah kabupaten/kota melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air. 2. Pemerintah kabupaten/kota menetapkan strategi dan program perberdayaan perkumpulan petani pemakai air berdasarkan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan dan pengelolaan system irigasi. 3. Pemerintah provinsi memberikan bantuan teknis kepada pemerintah kabupaten/kota dalam pemberdayaan dinas atau instansi terkait di bidang irigasi dan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, serta

19 19 dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi berdasarkan kebutuhan pemerintah kabupaten/kota. 4. Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan bantuan kepada perkumpulan petani pemakai air dalam melaksanakan pemberdayaan. 5. Pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yaitu melakukan penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat petani, mendorong masyarakat petani untuk menerapkan teknologi tepat guna sesuai dengan kebutuhan, sumber daya, dan kearifan local, mamfasilitasi dan meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang irigasi serta memfasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan teknologi dalam bidang isigasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional, maka alih fungsi lahan pertanian harus dikendalikan. Hal-hal yang terkait dengan upaya pengendalian alih fungsi lahan juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 pada pasal 82 dan 83. Adapun hal-hal penting yang diatur pada kedua pasal tersebut diantaranya adalah: 1. Menteri, Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan mengupayakan ketersediaan lahan beririgasi dan atau mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi di daerahnya.

20 20 2. Instansi yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang irigasi berperan mengendalikan alih fungsi lahan beririgasi untuk keperluan non-irigasi. 3. Pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya mengupayakan penggantian lahan beririgasi beserta jaringannya akibat oleh perubahan rencana tata ruang wilayah. 4. Pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan penataan ulang system irigasi dalah hal sebagai jaringan irigasi beralih fungsi atau sebagai lahan beririgasi beralih fungsi. 5. Badan usaha, badan nasional, atau instansi yang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan alih fungsi lahan beririgasi yang melanggar rencana tata ruang wilayah wajib mengganti lahan beririgasi beserta jaringannya Pengelolaan dan Kelembagaan Irigasi Menurut PP No.20 Tahun 2006 Untuk menjamin terwujudnya tertib pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun pemerintah, maka dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi yang meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air dan komisi irigasi. Komisi irigasi merupakan wadah koordinasi dan komunikasi baik yang dibentuk di tingkat kabupaten/kota, maupun di tingka provinsi. Komisi irigasi kabupaten/koya adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah kabupaten/kota, wakil perkumpulan petani pemakai air di tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada

21 21 kabupaten/kota. Sedangkan, komisi irigasi provinsi merupakan lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah provinsi, wakil perkumpulan petani pemakai air di tingkat daerah irigasi, wakil pengguna jaringan irigasi pada provinsi dan wakil komisi irigasi kabupaten/kota yang terkait. Komisi irigasi kabupaten/kota dibentuk oleh bupati/wali kota yang keanggotaannya terdiri dari wakil pemerintah kabupaten/kota dan wakil nonpemerintah yang meliputi wakil perkumpulan petani pemakai air dan atau wakil kelompok pengguna jaringan irigasi dengan prinsip keanggotaan proposional keterwakilan. Komisi irigasi kabupaten/kota membantu bupati/walikota dengan tugas sebagai berikut: 1. Merumuskan kebijakan untuk memperthankan dan meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi. 2. Merumuskan pola dan rencana tata tanam pada daerah irigasi dalam kabupaten/kota. 3. Merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi. 4. Merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan lainnya. 5. Merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi. 6. Memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan. Sedangkan, komisi irigasi provinsi dibentuk oleh gubernur yang keanggotaannya terdiri dari wakil komisi irigasi kabupaten/kota yang terkait, wakil perkumpulan petani pemakai air, wakil pemerintah dan wakil kelompok

22 22 pengguna jaringan irigasi dengan prinsip keanggotaannya proposional dan keterwakilan. Komisi irigasi provinsi membantu gubernur dalam hal: 1. Merumuskan kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kindisi dan fungsi irigasi. 2. Merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi. 3. Merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air irigasi bagi pertanian dan keperluan lainnya. 4. Merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi. Selanjutnya, untuk membangun koordinasi dan komunikasi di tingkat petani pemakai air, maka PP No.20 tahun 2006 juga mensyaratkan terbentuknya wadah koordinasi ditingkat petani pemakai air sebagai berikut: 1. Petani pemakai air wajib membentuk perkumpulan petani pemakai air secara demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa. 2. Perkumpulan petani pemakai air dapat membentuk gabungan petani pemakai air pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi. 3. Gabungan perkumpulan petani pemakai air dapat membentuk induk perkumpulan petani pemakai air pada daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer atau satu daerah irigasi Pengelolaan dan Kelembagaan Irigasi Provinsi Bali Peraturan Dearah No.02/PD/DPRD/1972 merupakan Peraturan Daerah yang mengatur tentang Irigasi di Daerah Provinsi Bali, yang hingga saat ini masih

23 23 berlaku karena belum pernah dilakukan peninjauan ataupun perubahan. Dalam pasal-pasalnya antara lain menyebutkan : 1. Subak merupakan kelompok masyarakat hukum adat yang bersifat religius dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air untuk persawahan dari suatu sumber air didalam suatu daerah 2. Anggota subak disebut krama subak dipimpin oleh Kelian Subak atau Pekaseh 3. Sedahan/Sedahan Yeh/Pengelurah adalah petugas pemerintah Kabupaten yang mengatur dan mengawasi air irigasi untuk subak-subak dalam wilayahnya 4. Sedahan Agung adalah Petugas Pemerintah Kabupaten yang mengatur dan mengawasi tertib pengairan didalam wilayah kabupaten dan merupakan penasehat serta pelaksana dari Pemerintah kabupaten didalam bidang irigasi. Adapun kewajiban dari unsur-unsur organisasi subak seperti disebutkan di atas adalah sebagai berikut : 1. Kewajiban Subak. a. Mengatur rumah tangga sendiri dalam mengusahakan dan mengatur air untuk persawahan dengan tertib dan efektif dalam wilayahnya. b. Memelihara dan menjaga prasarana irigasi sebaik-baiknya. c. Dalam melaksanakan urusan rumah tangga diatur dalam awig-awig (aturan tertulis) dan sima (kebiasaan) yang berlaku.

24 24 d. Menyelesaikan segala perselisihan yang timbul dalam rumah tangganya. e. Pelanggaran dan tindak pidana diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Kewajiban Sedahan. a. Mengatur pembagian air untuk masing-masing subak diwilayahnya menurut waktu, volume dan tata tanam subak. b. Mengawasi pemakaian dan penyaluran air irigasi dan pemeliharaan prasarana irigasi di wilayahnya. c. Menyelesaikan perselisihan dan pelanggaran sesuai dengan aturan yang berlaku. d. Sedahan meminta ijin Pemerintah Kabupaten melalui atasannya untuk perluasan sawah dan pendirian subak baru. e. Didalam melakukan tugasnya para sedahan dibantu oleh PU, Pertanian, Badan-Badan dan Petugas yang ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten. 3. Kewajiban Sedahan Agung b. Mengawasi pemakaian/penyaluran/pengaturan air irigasi dan pemeliharaan prasarana irigasi dalam daerah persubakan dan pasedahan di wilayahnya. c. Mengatur pembagian air irigasi untuk masing-masing pasedahan sesuai dengan waktu, volume dan tata tanam subak yang telah ditentukan.

25 25 d. Menyelesaikan perselisihan diwilayahnya dan diluar wilayahnya melalui Pemerintah kabupaten e. Meminta persetujuan Pemerintah Kabupaten dalam hal pembukaan dan pendirian subak baru, perluasan areal sawah/subak yang telah ada, perubahan jaringan irigasi yang telah ada, dan pembuatan prasarana irigasi baru. f. Didalam melakukan tugasnya para sedahan dibantu oleh PU, Pertanian, Badan-Badan dan Petugas yang ditentukan Oleh Pemerintah Kabupaten. Kemudian mengenai keterkaitan antara subak dengan pemerintah dimuat dalam pasal 17, 18, dan pasal 19, yang antara lain menegaskan : 1. Pemerintah berkewajiban mengusahakan adanya air dan mengatur untuk dimanfaatkan oleh subak untuk pengairan persawahan 2. Pemerintah Kabupaten menyelesaikan masalah-masalah pengairan yang diajukan oleh Sedahan Agung dan lain-lain petugas dan mengajukan masalah yang menyangkut kabupaten lain ke Pemerintah Provinsi 3. Dalam melaksanakan tugasnya Sedahan Agung dibantu oleh Dinas PU, Pertanian, Badan-Badan atau petugas yang ditentukan oleh Pemerintah 4. Pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi mengawasi pengaturan dan penggunaan air irigasi diseluruh Kabupaten di Bali. 5. Pasal 19 ayat 2 menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi menyelesaikan masalah-masalah irigasi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten dan/atau Dinas-Dinas di Provinsi Bali.

26 26 6. Dalam melaksanakan tugasnya Pemerintah Provinsi dibantu oleh Dinas PU, lain Dinas Daerah Provinsi yang dipandang perlu, Badan-Badan atau petugas yang ditentukan oleh Pemerintah Dalam perjalanannya kemudian terjadi pemilahan tugas dilapangan khususnya yang terkait dengan pemunggutan pajak dimana Sedahan berkembang menjadi Sedahan Yeh dan Sedahan Abian dengan tugasnya masing-masing. Sedahan Yeh bertugas melakukan koordinasi dengan Pekaseh/Kelian Subak dalam wilayahnya, dan menyelenggarakan pemunggutan pajak tanah lahan sawah. Sedangkan Sedahan Abian menyelenggarakan pemungutan pajak tanah lahan kering. Berdasarkan tugas pokok dan kewajiban dari masing-masing unsur organisasi subak yang dikaitkan dengan fungsi pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota, Susila (2006) menggambarkan struktur organisasi subak seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.

27 27 Bupati Kdh.Tingkat II Dinas Daerah Tk.II Sedahan Agung/Kadispenda Sedahan Yeh Sedahan Abian Camat Pekaseh/ Kelian Subak Kepala Desa/ Lurah Kelian Tempek/ Kelian Munduk Kelihan Banjar/ Kepala Dusun Kerama (anggota) Subak Kerama (anggota) Banjar/Dusun Gambar 2.3. Struktur Organisasi Subak Dalam Kaitannya Dengan Pemerintah Daerah (Sumber : Susila, 2006) 2.4 Operasional dan Pemeliharaan Irigasi Sesuai dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 20 tahun 2006 tentang irigasi, operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi dilaksanakan sesuai dengan normal, standar, pedoman dan manual yang ditetapkan oleh menteri dan menurut Permen No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Pengertian operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi pada jaringan irigasi yang meliputi penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, pembuangan dan konservasi air irigasi termasuk kegiatan membuka

28 28 dan menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, kalibrasi, pengumpulan data, pemantauan dan evaluasi. Pengertian pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Subak dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab subak. Dalam hal subak tidak mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang menjadi hak dan tanggung jawabnya, pemerintah, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan bantuan dan atau dukungan fasilitas berdasarkan permintaan subak dengan memperhatikan prinsip keadilan. Pasal 31 menjelaskan tentang kewenangan pengelolaan irigasi utama (primer dan sekunder) menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan daerah irigasi dengan luas diatas 3000 ha menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat, daerah irigasi antara 1000 ha 3000 ha kewenangan pemerintah provinsi, dan daerah irigasi yang lebih kecil dari 1000 ha sepenuhnya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten, sedangkan jika berada pada lintas kabupaten maka menjadi

29 29 wewenang pemerintah provinsi. Jaringan tersier sepenuhnya merupakan tanggung jawab organisasi petani pemakai air dalam hal ini adalah subak. 2.5 Pengertian Efektivitas Menurut Ravianto (1989:113), pengertian efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif. Suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindak-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut. Untuk mengukur efektivitas implementasi Perda No.02/PD/DPRD/1972 Tentang Irigasi di Daerah Provinsi Bali, sesuai dengan teori yang digunakan adalah Modifikasi Dantes (2001) yang menyatakan bahwa efektifitas adalah hubungan antara output dan tujuan atau dapat juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh

30 30 besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakan yang merupakan sasaran yang telah ditentukan. Pengukuran efektifitas merupakan salah satu indikator kinerja bagi pelaksanaan suatu kegiatan yang telah ditetapkan untuk menyajikan informasi tentang seberapa besar pencapaian sasaran atau target. Dalam perhitungan efektifitas digunakan skor (skala likert), apabila skor semakin besar dapat dikatakan bahwa pengelolaan semakin efektif, demikian pula sebaliknya semakin kecil skor hasilnya menunjukan pengelolaan semakin tidak efektif (Suranto,2003).

31 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan untuk memperoleh efektifitas implementasi dari Peraturan Daerah No.02/PD/DPRD/1972 Tentang Irigasi di Kabupaten Gianyar dan pengelolaan irigasi berbasis pada sistem subak di Kabupaten Gianyar apabila disinergikan dengan kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematik. Agar penelitian yang dilakukan dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka hendaknya melalui suatu alur pemikiran yang logis dan sistematis. Kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Lokasi Penelitian Lokasi penelitian Kajian Ffektivitas Implementasi Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 Tentang Irigasi dilakukan pada unsur subak dan unsur pemerintah yang berada di wilayah administratif Kabupaten Gianyar. Berdasarkan data Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar (2009), jumlah subak dan subak gde di Kabupaten Gianyar adalah 512 subak yang tersebar di tujuh kecamatan dengan jumlah terbesar terdapat di Kecamatan Sukawati.

32 Populasi dan Sampel Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006). Menurut Handari (1995), populasi adalah totalitas dari seluruh nilai yang mungkin, baik dari menghitung ataupun pengukuran kuantitatif dari karakteristik tertentu pada sekumpulan objek yang lengkap. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan diatas, maka populasi sasaran dalam penelitian ini terdiri atas unsur organisasi subak dan subak gde. Dari data hasil rekapitulasi Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar tahun 2009 mencatat bahwa jumlah subak di Kabupaten Gianyar saat ini adalah 488 subak yang tersebar di tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Sukawati 108 subak, Kecamatan Gianyar 96 subak, Kecamatan Ubud 85 subak, Kecamatan Tegalalang 60 subak, Kecamatan Blahbatuh 54 subak, Kecamatan Tampaksiring 47 subak, serta Kecamatan Payangan sebanyak 38 subak. Sedangkan dari unsur Subak Gde Kecamatan Sukawati 4 subak gde, Kecamatan Gianyar 2 subak gde, Kecamatan Ubud 3 subak gde, Kecamatan Tegalalang 4 subak gde, Kecamatan Blahbatuh 4 subak gde, Kecamatan Tampaksiring 4 subak gde, serta Kecamatan Payangan sebanyak 3 subak gde. Masing-masing subak dan subak gde dipimpin oleh seorang kepala subak atau pekaseh, sehingga jumlah pekaseh subak dan subak gde di Kabupaten Gianyar adalah sama dengan jumlah subak dan subak gde di Kabupaten Gianyar.

33 33 Tabel 3.1 Populasi Sasaran Penelitian No Unsur Jumlah Orang 1 Pekaseh Subak Kecamatan Sukawati Pekaseh Subak Kecamatan Gianyar 96 3 Pekaseh Subak Kecamatan Ubud 85 4 Pekaseh Subak Kecamatan Tegalalang 60 5 Pekaseh Subak Kecamatan Blahbatuh 54 6 Pekaseh Subak Kecamatan Tampaksiring 47 7 Pekaseh Subak Kecamatan Payangan 38 8 Pekaseh Subak Gde Kec. Sukawati 4 9 Pekaseh Subak Gde Kec. Gianyar 2 10 Pekaseh Subak Gde Kec. Ubud 3 11 Pekaseh Subak Gde Kec. Tegalalang 4 12 Pekaseh Subak Gde Kec. Blahbatuh 4 13 Pekaseh Subak Gde Kec. Tampaksiringi 4 14 Pekaseh Subak Gde Kec. Payangan 3 Jumlah Total Populasi Sampel dan Teknik Sampling Terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji efektivitas implementasi Peraturan Daerah No.02/PD/DPRD/1972 Tentang Irigasi di Kabupaten Gianyar, maka sampel diambil dari unsur organisasi subak dan unsur pemerintah. Selain itu, untuk mengoptimalkan hasil kajian maka sampel akan diperluas yaitu dengan melibatkan unsur akademisi/pakar/praktisi subak. Selain data primer tersebut, data-data pendukung berupa data sekunder seperti data unsur

34 34 organisasi subak di Kabupaten Gianyar akan dikumpulkan dari instansi teknis terkait dan kepustakaan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menentukan ukuran besar sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah yang dikehendaki atau pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbanganpertimbangan tertentu. Penetapan jumlah sampel pada teknik kuota ini adalah dengan menetapkan besar sampel yang diperlukan, kemudian menetapkan jumlah (jatah yang diperlukan), maka jatah itulah yang dijadikan dasar untuk mengambil unit sampel yang diperlukan. Besar jumlah sampel dihitung menurut rumus : n N /( N. d 2 1) (Rakhmat, 1998). dimana : n = N = jumlah sampel jumlah populasi (512 orang) d = presisi yang ditetapkan (5 %) Sehingga berdasarkan persamaan diatas, didapat jumlah sampel dalam penelitian ini adalah n = 512/(512.0, ) = 225 sampel. Kemudian untuk menentukan jumlah sampel untuk masing-masing unsur organisasi subak dihitung secara bertingkat (berstrata) dengan rumusan alokasi proporsional dari Sugiyono (2002) sebagai berikut : n i = (N i /N).n Dimana : n i = jumlah sampel menurut stratum n = jumlah sampel seluruhnya N i = jumlah populasi menurut stratum N = jumlah populasi seluruhnya

35 35 Sehingga didapat besarnya sampel untuk masing-masing unsur didalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.2 Besar Sampel Penelitian No Unsur Subak Jumlah Sampel 1 Pekaseh Subak Kecamatan Sukawati (108/512) x 225 = 48 orang 2 Pekaseh Subak Kecamatan Gianyar (96/512) x 225 = 42 orang 3 Pekaseh Subak Kecamatan Ubud (85/512) x 225 = 37 orang 4 Pekaseh Subak Kecamatan Tegalalang (60/512) x 225 = 26 orang 5 Pekaseh Subak Kecamatan Blahbatuh (54/512) x 225 = 24 orang 6 Pekaseh Subak Kecamatan Tampaksiring (47/512) x 225 = 20 orang 7 Pekaseh Subak Kecamatan Payangan (38/512) x 225 = 17 orang 8 Pekaseh Subak Gde Kec. Sukawati (4/512) x 225 = 2 orang 9 Pekaseh Subak Gde Kec. Gianyar (2/512) x 225 = 1 orang 10 Pekaseh Subak Gde Kec. Ubud (3/512) x 225 = 1 orang 11 Pekaseh Subak Gde Kec. Tegalalang (4/512) x 225 = 2 orang 12 Pekaseh Subak Gde Kec. Blahbatuh (4/512) x 225 = 2 orang 13 Pekaseh Subak Gde Kec. Tampaksiringi (4/512) x 225 = 2 orang 14 Pekaseh Subak Gde Kec. Payangan (3/512) x 225 = 1 orang Jumlah 225 Sampel dari unsur pemerintah dan unsur akademisi, pakar, serta praktisi dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik Purposive Sampling, yaitu teknik sampling yang digunakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti didalam pengambilan sampelnya. Jumlah sampel purposive sampling dari unsur pemerintah adalah 15 orang, sedangkan untuk unsur akademisi, pakar, dan praktisi adalah 10 orang. Jumlah keseluruhan sampel dalam penelitian Efektivitas

36 36 Implementasi Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi di Kabupaten Gianyar adalah 250 orang. 3.4 Jenis dan Sumber data Jenis Data Dalam penelitian kajian Efektivitas Implementasi Peraturan Daerah Bali tentang Irigasi di Kabupaten Gianyar, jenis data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Data kuantitatif, yaitu data dalam bentuk angka seperti jumlah subak di Kabupaten Gianyar, nama subak serta nama pekaseh subak. 2. Data kualitatif, yaitu data yang berupa pernyataan jawaban dari responden dari pertanyaan yang diberikan dalam bentuk kuisioner Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan teknik wawancara, observasi dan diskusi dengan pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini seperti unsur subak, unsur pemerintah serta unsur praktisi dan akademisi. Selanjutnya diadakan penyebaran kuisioner dengan dipandu pada saat pengisiannya. 2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pihak lain atau dari laporan penelitian terdahulu yang telah ada yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, serta data-data dari instansi dinas terkait.

37 Teknik Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam pengumpulan data primer yaitu dengan menyebarkan angket berupa daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden. Tujuan dari penyebaran angket adalah untuk mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dan responden tanpa merasa khawatir bila memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Kemudian untuk memudahkan metode pengumpulan data dan agar lebih sistematis maka data akan dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu pengumpul data (instrumen) berupa daftar cek (checklist). Checklist atau daftar cek yaitu suatu daftar yang berisi subyek dan aspek-aspek yang akan diamati. Bermacam-macam aspek yang akan dijadikan sumber informasi dalam penelitian dicantumkan kedalam daftar cek sehingga responden tinggal memberikan cek centang ( ) pada tiap-tiap aspek tersebut sesuai dengan hasil pengamatannya. 3.6 Skala Pengukuran Skala pengukuran yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan menggunakan skala Likert, maka variabel kemudian dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya indikator-indikator yang terukur ini dapat dijadikan titik tolak untuk membuat item instrumen penelitian yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap dalam kategori skala pengukuran sebagai berikut:

38 38 a. Sangat Efektif = 5 b. Efektif = 4 c. Cukup Efektif = 3 d. Tidak Efektif = 2 e. Sangat Tidak Efektif = Identifikasi Variabel Berdasarkan uraian hipotesis dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dapat dilakukan identifikasi baik terhadap variabel terikat (dependen variable) maupun variabel bebas (independen variabel) yaitu: a. Variabel bebas (independen variabel) adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat. b. Variabel terikat (dependen variable) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Berdasarkan pada Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi, dituangkan tugas dan fungsi kelembagaan pengelola irigasi seperti Subak, Sedahan, Sedahan Agung, Pemerintah Daerah Kabupaten, serta Pemerintah Daerah Provinsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilakukan identifikasi baik terhadap dalam variabel terikat (dependen variable) yaitu efektivitas implementasi Perda Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi, maupun terhadap variabel bebas (independen variabel) yaitu 1) Organisasi, 2) Sarana dan Prasarana, 3) Sumber Daya Manusia, 4) Manajemen, 5) Pendanaan. Identifikasi terhadap variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

39 39 1. Organisasi a. Kelengkapan unsur keorganisasian subak. b. Kelengkapan unsur kelembagaan pemerintah. c. Efektifitas koordinasi antar unsur organisasi subak. d. Efektivitas koordinasi Sedahan dengan Sedahan Agung. e. Efektivitas koordinasi sedahan dengan dinas-dinas terkait lainnya. f. Efektivitas koordinasi Sedahan Agung dengan Pemerintah Daerah Kabupaten. g. Efektivitas koordinasi Sedahan Agung dengan dinas terkait lainnya. h. Efektivitas koordinasi Pemerintah Daerah Kabupaten dengan Pemerintah Daerah Provinsi. i. Efektivitas koordinasi Pemerintah Daerah Kabupaten dengan dinas terkait lainnya. j. Efektivitas koordinasi Pemerintah Daerah Provinsi dengan dinas terkait lainnya. 2. Sarana dan Prasarana a. Keandalan fungsi jaringan irigasi subak. b. Efektivitas Pemerintah Daerah dalam mengusahakan adanya air irigasi. c. Efektivitas Subak didalam menjaga dan memelihara prasarana irigasi. d. Efektivitas Pemerintah Daerah Kabupaten didalam pemeliharaan prasarana irigasi. e. Efektivitas Pemerintah Daerah Provinsi didalam pemeliharaan prasarana irigasi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI 1 / 70 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 DRAFT-4 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa pertanian mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem irigasi beserta keberhasilan pengelolaannya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 4 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

Lebih terperinci

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i No.640, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPU-PR. Irigasi. Komisi. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: BUPATI BOYOLALI, a. bahwa untuk mendukung produktivitas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian tentang kebijakan (Policy Research),

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian tentang kebijakan (Policy Research), 45 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian tentang kebijakan (Policy Research), menurut Majchrzak yang dikutip dari Riduwan (2007) penelitian kebijakan adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 24 TAHUN 2009 SERI E. 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIREBON, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen penting pendukung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang Mengingat : : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan irigasi merupakan salah satu faktor pendukung bagi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa irigasi sebagai salah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa peran sektor pertanian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa pengaturan tentang irigasi di Kabupaten Ciamis telah diatur dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kemanfaatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka menunjang ketahanan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 30 /PRT/M/2007

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 30 /PRT/M/2007 MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 30 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI PIDIE QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF

BUPATI PIDIE QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF 1 BUPATI PIDIE QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI PIDIE, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 5 TAHUN 2011 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang : Mengingat : a. bahwa dengan diundangkannya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa perubahan

Lebih terperinci

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR RANCANGAN (Disempurnakan) BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa fungsi irigasi memegang peranan

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH SALINAN BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLA IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 25 Tahun 1974 23 Februari 1974 No. 02/PD./DPRD/1972. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI BALI Menetapkan Peraturan Daerah yang

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, 1 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air memiliki

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu komponen yang mendukung

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT IRIGASI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang Mengingat : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI BUPATI LEBAK,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI BUPATI LEBAK, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI KABUPATEN BIREUEN

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI KABUPATEN BIREUEN PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI KABUPATEN BIREUEN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : a. b. BUPATI BIREUEN, bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Air merupakan karunia

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa air sebagai sumber kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 3 2008 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Air merupakan karunia

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN

BUPATI PESISIR SELATAN BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESISIR SELATAN, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, DHARMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa salah

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI BISMILLAHIRAHMANIRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI BISMILLAHIRAHMANIRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI BISMILLAHIRAHMANIRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK N OMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF KABUPATEN DEMAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK N OMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF KABUPATEN DEMAK PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN DEMAK N OMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF KABUPATEN DEMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU,

GUBERNUR BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, 1 GUBERNUR BENGKULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a.bahwa demi terselenggaranya penyediaan air yang dapat memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 33 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A/GP3A/IP3A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 33 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A/GP3A/IP3A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 33 /PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A/GP3A/IP3A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG 1 BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TUGAS POKOK KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI (KPI) DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF (PPSIP) KABUPATEN

Lebih terperinci

BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN

BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi di Bali.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi di Bali. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya adalah bercocok tanam. Potensi pertanian Indonesia yang tinggi salah satunya disebabkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, GUBERNUR NU S A TE N GGA RA B AR AT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan pembangunan sektor pertanian dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 3 TAHUN 2009 T E N T A N G IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGGAI, Menimbang: a. bahwa untuk pengembangan dan pengelolaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PRT/M/2015 TENTANG PENGELOLAAN ASET IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PRT/M/2015 TENTANG PENGELOLAAN ASET IRIGASI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PRT/M/2015 TENTANG PENGELOLAAN ASET IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH IRIGASI RIAM KANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang: Mengingat: a. bahwa irigasi merupakan modal utama

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ASET IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ASET IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ASET IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLA IRIGASI DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.32/PRT/M/2007,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.32/PRT/M/2007, 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Irigasi Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.32/PRT/M/2007, disebutkan bahwa jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkap yang merupakan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUNGO NOMOR 24 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN PERKUMPULAN PETANI PEMAKAI AIR (P3A) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BUNGO, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 3 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG I R I G A SI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat GUBERNUR JAWA TIMUR, : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 32 / PRT / M / 2007 TENTANG PEDOMAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.863, 2012 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM. Pengelolaan. Aset. Irigasi. Pedoman. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, 3 LEMBARAN DAERAH September KABUPATEN LAMONGAN 12/E 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

G U B E R N U R SUMATERA BARAT No. Urut: 09 G U B E R N U R SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Organisasi tradisional petani yang mengelola air irigasi dapat ditemui di berbagai belahan dunia, salah satunya adalah sistem irigasi subak di Bali. Subak merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci