BAB II KONSEP EFIKASI DIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA. oleh presiden APA (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KONSEP EFIKASI DIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA. oleh presiden APA (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura"

Transkripsi

1 19 BAB II KONSEP EFIKASI DIRI DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA A. Efikasi Diri 1. Sejarah dan Pengertian Efikasi diri Dasar teori efikasi diri (self efficacy) dikembangkan dari teori kognitif sosial oleh presiden APA (1974) dan profesor dari Universitas Stanford, Albert Bandura (1977). Teori kognitif sosial berasumsi, setiap orang mampu menjadi agensi manusia, atau pekerjaan yang disengaja dari berbagai tindakan, dan beberapa agensi beroperasi dalam satu proses yang disebut hubungan segitiga timbal balik. Penyebab timbalbalik adalah model multi arah yang memberi kesan hasil agensi di masa mendatang sebagai fungsi tiga gaya yang saling berhubungan : pengaruh kondisi lingkungan, tingkah laku manusia dan faktor pribadi seperti kognitif, afektif, dan proses biologi. Bandura (1997) mengatakan, efikasi diri secara eksplisit berhubungan dengan diri dalam arah hubungan kemampuan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas khusus, sebagai prediktor kuat tentang perilaku. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia kata efikasi (efficacy) diartikan sebagai kemujaraban atau kemanjuran. Maka secara harfiah, Efikasi diri dapat diartikan sebagai kemujaraban diri. Secara kontekstual, Bandura dan Wood (1989: 806) menyatakan efikasi diri (self-efficacy) sebagai : beliefs in one s capabilities to mobilize the motivation, cognitive resources, and courses of action needed to meet given situational demands. Efikasi diri adalah keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk 19

2 20 menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif, dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari situasi yang dihadapi. Dalam kehidupan manusia memiliki keyakinan diri itu merupakan hal yang sangat penting. Keyakinan diri mendorong seseorang untuk memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang ada yang mengalami kegagalan dan atau yang berhasil. Dari pengalaman itu, ia akan mampu untuk mengungkapkan keyakinan diri, yang menurut Kurniawan (Maryati, 2008: 47) keyakinan diri merupakan panduan untuk tindakan yang telah dikonstruksikan dalam perjalanan pengalaman interaksi sepanjang hidup individu. Efikasi diri yang berasal dari pengalaman tersebut yang akan digunakan untuk memprediksi perilaku orang lain dan memandu perilakunya sendiri. Lebih lanjut lagi Crick & Dodge (Maryati, 2008: 48) menjelaskan efikasi diri merupakan representasi mental individu atas realitas, terbentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori jangka panjang. Dimana skema-skema spesifik, keyakinan-keyakinan, ekspektasi-ekspektasi yang terintregrasi dalam sistem keyakinan akan mempengaruhi intrepertasi individu terhadap situasi spesifik. Proses intrepretasi individu terhadap situasi spesifik ini pada gilirannya diprediksi akan mempengaruhi perilaku seseorang. Definisi efikasi diri pun terus berkembang, Bandura (1997: 3) mengartikan efikasi diri sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan.

3 21 Secara Kontekstual, Bandura memberikan definisi bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan tingkatan performa yang terrencana, dimana kemampuan tersebut dilatih, digerakkan oleh kejadian-kejadian yang berpengaruh dalam hidup seseorang. Bagaimana individu itu bersikap, bertingkah laku, dan memotivasi diri dapat menjadi salah satu sumber kekuatan individu dalam memunculkan efikasi diri, sehingga dijelaskan pula oleh Wicaksono (2008) efikasi diri adalah sebuah unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa; dari pikiran yang terbatas, menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor spiritual; dan merupakan dasar dari semua "mukjizat", serta misteri yang tidak bisa dianalisis dengan cara-cara ilmu pengetahuan. Keyakinan itu merupakan sebuah media tunggal dan satu-satunya, yang memungkinkan untuk membangkitkan suatu kekuatan dari sumber energi tanpa batas di dalam diri dan mengendalikannya untuk dimanfaatkan demi kebaikan manusia itu sendiri, serta merupakan suatu keadaan pikiran, yang bisa dirangsang atau diciptakan oleh perintah peneguhan secara terus menerus lewat pikiran dan perkataan positif, sampai akhirnya meresap ke dalam pikiran bawah sadar. Berangkat dari asumsi-asumsi di atas bahwa efikasi diri seseorang dapat mengarahkan tindakan-tindakan seseorang bukan hanya dengan orang lain tetapi juga dengan lingkungan yang lebih luas. Efikasi diri memiliki fungsi adaptif yang memungkinkan individu memenuhi persyaratan-persyaratan sosiokultural dan tuntutan kognitif. Efikasi diri juga memungkinkan Individu untuk dapat mengorganisasikan dunianya dalam cara-cara yang konsisten secara psikologis,

4 22 melakukan prediksi, menemukan kesamaan, dan menghubungkan pengalamanpengalaman baru dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, bahkan memunculkan kekuatan pikiran yang dapat dibawa hingga kedalam alam bawah sadarnya. Dari halhal tersebut McGillicuddy-DeLisi (Maryati, 2008: 49) mendefinisikan efikasi diri sebagai alat dalam menetapkan prioritas, mengevaluasi kesuksesan, maupun alat untuk memelihara efikasi diri. Tidak jauh berbeda Nuron, dkk (Maryati, 2008: 49) menyatakan bahwa efikasi diri mencakup kontrol diri, dimana efikasi diri merupakan keyakinan diri bahwa mereka memilki keterampilan-keterampilan yang dituntut dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik. Efikasi diri sendiri menurut Robbin (Hambawany, 2007) adalah keyakinan atau kemampuan yang dimiliki seseorang untuk meraih sukses dalam tugas. Efikasi diri yang telah dijelaskan adalah merupakan keyakinan diri seperti dijelaskan dan diperkuat pula oleh Spears dan Jordon (Maryati, 2008: 50) yang mengistilahkan keyakinan sebagai efikasi diri yaitu kenyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa inti dari efikasi diri adalah keyakinan atas kemampuan diri. Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang

5 23 untuk mengkoordinir kemampuan dirinya sendiri yang dimanifestasikan dengan serangkaian tindakan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan dalam hidupnya. 2. Proses Terjadinya Efikasi diri Menurut Bandura (1997) efikasi diri berakibat pada suatu tindakan manusia melalui beberapa jenis proses, antara lain yaitu: a. Proses Motivasional Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan meningkatkan usahanya untuk mengatasi tantangan dengan menunjukkan usaha dan keberadaan diri yang positif. Hal tersebut memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense of personal-efficacy). b. Proses Kognitif Efikasi diri yang dimiliki individu akan berpengaruh terhadap pola pikir yang bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-bentuk pengaruhnya, yaitu: 1) Jika efikasi diri semakin tinggi maka semakin tinggi pula penetapan suatu tujuan dan akan semakin kuat pula komitmen terhadap tujuan yang ingin dicapai. 2) Ketika menghadapi situasi-situasi yang kompleks, individu mempunyai keyakinan diri yang kuat dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu mempertahankan efisiensi berpikir analitis. Sebaliknya, jika individu bersifat raguragu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya maka biasanya tidak efisien dalam berpikir analitis. 3) Efikasi diri berpengaruh terhadap antisipasi tipe-tipe gambaran konstruktif dan gambaran yang diulang kembali. Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan

6 24 memiliki gambaran keberhasilan yang diwujudkan dalam penampilan dan perilaku yang positif dan efektif. Sebaliknya individu yang merasa tidak mampu cenderung merasa mempunyai gambaran kegagalan. 4) Efikasi diri berpengaruh terhadap fungsi kognitif melalui pengaruh yang sama dengan proses motivasional dan pengolahan informasi. Semakin kuat keyakinan individu akan kapasitas memori, maka semakin kuat pula usaha yang dikerahkan untuk memproses memori secara kognitif dan meningkatkan kemampuan memori individu tersebut. c. Proses Afektif Efikasi diri berpengaruh terhadap seberapa banyak tekanan yang dialami oleh individu dalam situasi-situasi yang mengancam. Individu yang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya, tidak akan merasa cemas dan terganggu dengan ancaman tersebut. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi diri Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri. Menurut Greenberg dan Baron (Hambawany, 2007) mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi efikasi diri, yaitu: a. Pengalaman langsung, sebagai hasil dari pengalaman mengerjakan suatu tugas dimasa lalu (sudah pernah melakukan tugas yang sama dimasa lalu). b. Pengalaman tidak langsung, sebagai hasil observasi pengalaman orang lain dalam melakukan tugas yang sama (pada waktu individu mengerjakan sesuatu dan

7 25 bagaimana individu tersebut menerjemahkan pengalamannya tersebut dalam mengerjakan suatu tugas). Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Bandura (2007) bahwa efikasi diri seseorang dipengaruhi pula oleh: a. Pencapaian prestasi. Faktor ini didasarkan oleh pengalaman-pengalaman yang dialami individu secara langsung. Apabila seseorang pernah mengalami keberhasilan dimasa lalu maka dapat meningkatkan efikasi diri nya. b. Pengalaman orang lain. Individu yang melihat orang lain berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan yang sebanding dapat meningkatkan efikasi diri nya. Individu yang pada awalnya memiliki efikasi diri yang rendah akan sedikit berusaha untuk dapat mencapai keberhasilan seperti yang diperoleh orang lain. c. Bujukan lisan. Individu diarahkan dengan saran, nasehat, bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan. d. Kondisi emosional. Seseorang akan lebih mungkin mencapai keberhasilan jika tidak terlalu sering mengalami keadaan yang menekan karena dapat menurunkan prestasinya dan menurunkan keyakinan akan kemampuan dirinya. Keempat faktor diatas didukung oleh pendapat Ivancevich dan Matteson (Maryati, 2008) yang menyatakan bahwa pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, bujukan lisan, kondisi emosional memegang peranan penting didalam mengembangkan efikasi diri, faktor tersebut dianggap penting sebab ketika seseorang

8 26 melihat orang lain berhasil maka akan berusaha mengikuti jejak keberhasilan orang tersebut. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan diri yang diungkap dalam efikasi diri yaitu Pengalaman langsung, pengalaman tidak langsung, pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, bujukan lisan, kondisi emosional. 4. Aspek-aspek Efikasi Diri Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri, adapula aspekaspek yang terdapat dalam efikasi diri. Menurut Bandura (2007) ada tiga aspek efikasi diri : a. Magnitude. Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas yang dibebankan pada individu disusun menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan efikasi diri secara individual mungkin terbatas pada tugas-tugas yang sederhana, menengah atau tinggi. Individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang diperkirakan diluar batas kemampuan yang dimilikinya. b. Generality. Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman yang lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas.

9 27 c. Strength. Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan orang yang memilki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek dalam efikasi diri yaitu magnitude, generality, strength, keyakinan terhadap kemampuan mengahadapi situasi yang tidak menentu yang mengandung unsur kekaburan, tidak dapat diprediksikan, dan penuh tekanan, keyakinan terhadap kemampuan menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil, keyakinan mencapai target yang telah ditetapkan. Individu menetapkan target untuk keberhasilannya dalam melakukan setiap tugas, keyakinan terhadap kemampuan mengatasi masalah yang muncul, kognitif, motivasi, afeksi, seleksi. 5. Pengaruh Efikasi Diri pada Tingkah Laku Menurut Bandura, efikasi diri akan mempengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Efikasi diri atau kapabilitas yang dimiliki individu akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam beberapa hal, seperti: a. Tindakan Individu, efikasi diri menentukan kesiapan individu dalam merencanakan apa yang harus dilakukannya. Individu dengan keyakinan diri

10 28 tinggi tidak mengalami keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus dilakukannya. b. Usaha, efikasi diri mencerminkan seberapa besar upaya yang dikeluarkan individu untuk mencapai tujuannya. Individu dengan keyakinan terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha maksimal untuk mengetahui cara-cara belajar serta kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan minatnya. Individu dengan keyakinannya terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. c. Daya tahan individu dalam menghadapi hambatan atau rintangan dan kegagalan, individu dengan efikasi diri tinggi mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan, serta dengan mudah mengembalikan rasa percaya diri setelah mengalami kegagalan. Individu juga beranggapan bahwa kegagalan dalam mencapai tujuan adalah akibat dari kurangnya pengetahuan, bukan karena kurangnya keahlian yang dimilikinya. Hal ini membuat individu berkomitmen terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Individu akan menganggap kegagalan sebagai bagian dari proses, dan tidak menghentikan usahanya. d. Ketahanan individu terhadap keadaan tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman, individu dengan efikasi diri diri tinggi menganggap sebagai suatu tantangan, bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Ketika individu mengalami keadaan tidak nyaman dalam usaha untuk mencapai tujuan yang diminati, ia akan tetap berusaha bertahan dengan mengabaikan ketidaknyamanan tersebut dan berkonsentrasi penuh.

11 29 e. Pola pikir, situasi tertentu akan mempengaruhi pola pikir individu. Individu dengan efikasi diri tinggi, pola pikirnya tidak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan dan tetap memiliki cara pandang yang luas dari beberapa sisi. Cara pandang individu yang luas memungkinkan individu memiliki alternatif pilihan kegiatan belajar yang banyak dari bidang yang diminati. f. Stress dan depresi, bagi individu yang memiliki efikasi diri rendah, kecemasan yang terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan membuatnya mudah merasa tertekan. Jika perasaan tertekan tersebut berkelanjutan, maka dapat mengakibatkan depresi. Dalam upaya memilih karir yang sesuai dengan minatnya, jika individu menganggap realitas sulitnya jalur yang harus ditempuh, prospek dunia kerja di masa depan dan sebagainya sebagai sumber kecemasan, dan individu meragukan kemampuannya, maka individu akan menjadi lebih mudah tertekan. g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasikan, Individu dengan efikasi diri tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta mampu menentukan bidang pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya tersebut.

12 30 B. Kemandirian Belajar 1. Konsep Belajar Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia pada umumnya dan pendidikan pada khususnya baik sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini sesuai dengan kodrati manusia ingin selalu maju ke arah optimalisasi menurut tuntutan perkembangan zaman. Untuk mencapai semua itu, maka belajar sangat mutlak diperlukan. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan (Hamalik, 2001: 28). Menurut W.S. Winkel (1997) bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap. Belajar adalah suatu tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 2003:68). Cronbach (Djamarah, 2002:12) berpendapat bahwa learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar diartikan sebagi suatu aktivitas yang ditunjukan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Whiterington (Sukmadinata, 2003:155) mengungkapkan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru yang berbentuk keterampilan sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan.

13 31 Piaget (Dimyati&Mudjiono, 2002:13) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Perkembangan intelektual menurut Piaget melalui empat tahapan sebagai berikut ; sensori motor (0;0-2;0), pra-operasional (2;0-7;0), operasinal konkret (7;0-11;0), operasional formal (11;0- ke atas). Carl Rogers (Dimyati&Mudjiono, 2002:116) bahwa proses pendidikan (belajar) bukan terfokus pada pengajaran saja, akan tetapi pada siswa yang belajar. Rogers berpendapat bahwa manusia tidak harus mempelajari hal-hal yang tak ada artinya, akan tetapi mempelajari apa yang bermakna pada dirinya Dari pendapat-pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan belajar merupakan sebuah proses panjang yang dilakukan oleh individu yang di dalamnya terdapat perubahan tingkah laku, sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Proses perubahan ini terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan di sekitarnya serta dari pengalaman yang didapatkan melalui proses tersebut. Selain itu individu juga mendapatkan sebuah kebermaknaan dalam proses belajar, kebermaknaan itulah yang mendorong perubahan dalam diri individu. 2. Ciri-ciri Belajar Dari definisi belajar di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan ciri belajar, yaitu proses, perubahan perilaku dan pengalaman.

14 32 a. Proses Belajar adalah proses mental dan emosional atau proses berpikir dan merasakan. Seseorang dikatakan belajar bila pikiran dan perasaannya aktif. Aktivitas pikiran dan perasaan itu sendiri tidak dapat diamati orang lain, akan tetapi terasa oleh yang bersangkutan. b. Perubahan Perilaku Hasil belajar berupa perubahan perilaku atau tingkah laku. Seseorang yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, keterampilan motorik atau penguasaan nilai-nilai (sikap). Terkait dengan perubahan perilaku dalam belajar, Syamsudin (2003: 158) menjelaskan bahwa ciri perubahan yang merupakan perilaku belajar diantaranya: 1) Intensional, yaitu pengalaman atau praktik tersebut dengan sengaja dan disadari dilakukan dan bukan secara kebetulan. Dengan demikian perubahan yang disebabkan oleh kemantapan dan kematangan atau keletihan atau karena penyakit tidak dipandang sebagai hasil belajar. 2) Positif, yaitu sesuai seperti yang diharapkan (normatif) atau kriteria keberhasilan (criteria of success) baik dipandang dari segi siswa (tingkat kemampuan, bakat khusus, tugas perkembangan dan sebagainya) maupun dari segi guru (tuntutan masyarakat orang dewasa sesuai dengan tingkat standar kulturalnya). 3) Efektif, yaitu membawa pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar itu (sampai batas waktu tertetu perubahan tersebut relatif menetap dan setiap saat diperlukan dapat direproduksi dan dipergunakan seperti dalam pemecahan masalah (problem

15 33 solving), baik dalam ujian, ulangan dan sebagainya maupun dalam penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. c. Pengalaman Belajar adalah mengalami, bahwa dalam belajar terjadi interaksi antar individu dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar Meskipun para guru telah berusaha melancarkan segala kompetensinya, namun tat kala sampai pada suatu saat harus melakukan evaluasi berdasarkan data dan informasi hasil pengukuran proses dan hasil belajar, maka para guru dihadapkan kepada beberapa kenyataan adanya perbedaan pencapaian hasil belajar siswanya. Djamarah (2002: 141) memandang bahwa belajar bukanlah aktivitas yang berdiri sendiri. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yaitu: 1. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Faktor internal terdiri dari 1) Faktor fisiologis, berupa penglihatan, pendengaran, penciuman, struktur tubuh, cacat tubuh, dan lain-lain; 2) Faktor psikologis, terdiri dari faktor intelektual (inteligensi, bakat khusus, dan lain-lain) dan faktor non-intelektual (konsep diri, sikap, motivasi, penyesuaian diri, kemandirian, dan lain-lain). b) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor eksternal terdiri dari 1) Faktor lingkungan sosial, terdiri dari: keluarga, sekolah,

16 34 masyarakat dan kelompok; 2) Faktor lingkungan budaya, terdiri dari: adat istiadat, IPTEK dan kesenian; 3) Faktor lingkungan fisik, terdiri dari: fasilitas rumah, fasilitas belajar, dan lain-lain; 4) Faktor lingkungan spiritual yaitu faktor keagamaan. 4. Teori-teori Belajar a. Teori Belajar Sosial (Albert Bandura) Teori belajar sosial Bandura dikembangkan dari tiga asumsi yaitu : 1) individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya terutama tingkah laku- tingkah laku orang lain; 2) terdapat hubungan yang kuat antara pelajar dengan lingkungannya; 3) hasil pembelajaran adalah berupa kode tingkah laku visual dan verbal yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Bandura (Ratna Wilis Dahar, 1996: 27) mengemukakan bahwa dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekutan dari dalam, dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan. Tetapi, fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan-determinan pribadi dan determinan-determinan lingkungan. Terdapat empat konsep dasar dalam teori belajar sosial, yaitu seperti dipaparkan oleh Ratna Wilis Dahar (1996: 28-30) berikut ini. 1) Pemodelan (modelling) : Bandura memperhatikan bahwa penganut-penganut Skinner memberi penekanan pada efek-efek dari konsekuensi-konsekuensi pada perilaku dan tidak mengindahkan fenomena pemodelan, yaitu meniru perilaku

17 35 orang lain dan pengalamaan vicarious, yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Bandura berpendapat bahwa sebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan manusia itu belajar dari suatu model. 2) Fase belajar, menurut Bandura terdapat empat fase belajar dari model yaitu (a) fase perhatian (attentional phase) yaitu memberikan perhatian pada model. Untuk dapat menarik perhatian siswa model belajar harus menarik, menimbulkan minat dan populer; fase retensi (retention phase) yaitu fase penyajian simbolik dari penampilan model dalam memori jangka panjang. Dalam hal ini peranan katakata, nama-nama, atau bayangan kuat yang dikaikan dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan dalam mempelajari dan mengingat perilaku menjadi sangat penting; fase reproduksi (reproduction phase) dalam fase ini bayangan (imagery) atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh; fase motivasi (motivational phase) yaitu fase terakhir dalam belajar observasional, dimana siswa akan meniru suatu model, karena siswa berasumsi dengan meniru suatu model akan meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan penguatan (reinforcement). 3) Belajar vicarious, yaitu proses belajar dengan memperlihatkan penguatan (baik positif atau negatif) terhadap perilaku tertentu, dengan tujuan memberikan proses pembelajaran bagi siswa yang tidak mau melihat model secara langsung. 4) Pengaturan sendiri, pengaturan sendiri ( self regulation) menurut Bandura didasarkan pada hipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,

18 36 mempertimbangkan perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan kemudian memberi penguatan pada dirinya sendiri. b. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt Gestalt adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagianbagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan. Misalnya seorang pengamat yang mengamati aeaeorang dari kejauhan. Orang yang jauh itu pada mulanya hanyalah satu titik hitam yang terlihat semakin dekat dengan si pengamat. Semakin dekat orang itu dengan si pengamat maka semakin jelas terlihat bagian-bagian atau unsur-unsur anggota tubuh orang tersebut. Si pengamat dapat berkata bahwa orang itu mempunyai kepala, tangan, kaki, dahi, mata, hidung, mulut, telinga, baju, celana, kaca mata, jam tangan, ikat pinggang, dan sebagainya. Dalam belajar menurut teori gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respon atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Prinsip-prinsip belajar menurut teori gestalt : 1) belajar berdasarkan keseluruhan; 2) belajar adalah suatu proses perkembangan; 3) anak didik sebagai organisme keseluruhan; 4) terjadi transfer;

19 37 5) belajar adalah reorganisasi pengalaman; 6) belajar harus dengan insight; 7) belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan; dan 8) belajar berlangsung terus menerus. c. Teori Systematic Behavior ( Clark C Hull) Prinsip-prinsip yang digunakan oleh Hull pada dasarnya sama dengan yang digunakan oleh para Behaviorist yaitu dasar stimulu-respon dan adanya reinforcement. Hull (Purwanto, 2000:97) mengemukakan bahwa suatu kebutuhan atau keadaan terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi dan ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu. Menurut teori ini efisiensi belajar akan tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar berupa respon-respon yang dibuat oleh individu yang belajar. Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya incentive motivation ( motivasi insentif) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong) (Purwanto, 2000:98)

20 38 d. Teori Belajar Gagne Menurut Gagne (Willis, 1996: 134) belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan dan tingkah laku serta pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi Menurut Gagne segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori yang disebut the domainds of learning, yaitu sebagai berikut: 1) keterampilan motoris (motor skill) 2) informasi verbal 3) kemampuan intelektual 4) strategi kognitif 5) sikap 5. Definisi Kemandirian Belajar Para ahli psikologi menggunakan dua istilah yang berkaitan dengan kemandirian yaitu independence dan autonomy (Steinberg, 1993: 286). Seiring dengan pertambahan usia seseorang maka terjadilah perubahan pada tugas perkembangannya. Begitu pula perubahan dalam penggunaan istilah-istilah yang menunjukan kemandirian. Dalam kamus psikologi kata autonomy (otonomy) diartikan sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri (Chaplin, 2001).

21 39 Istilah independence dan autonomy sering dipertukarkan secara bergantian (interchangeable). Secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yaitu kemandirian tetapi secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda dengan perbedaan yang sangat tipis. Lebih lanjut Steinberg menegaskan bahwa independence menunjukan pada kapasitas seseorang memperlakukan dirinya sendiri, sehingga anak yang sudah memiliki independence akan mampu melakukan sendiri aktivitas dalam kehidupan tanpa adanya pengaruh pengawasan orang lain. Kemandirian yang mengarah pada konsep independence merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa remaja, namun autonomy mencakup aspek yang lebih luas lagi, yaitu aspek emosional, behavioral dan nilai. Steinberg (1993: 265) membagi kemandirian menjadi 3 bagian yaitu kemandirian emosional yang berhubungan dengan interaksi remaja dengan orang tua, kemandirian perilaku yaitu kemandirian dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya, dan kemandirian nilai yaitu kemandirian yang berhubungan dengan seperangkat prinsip dan nilai tentang benar dan salah, penting dan tidak penting. Chaplin (2004) kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti keadaan pengaturan diri. Sejalan dengan pengertian diatas Ryan & Lynch (Ara, 1998: 17) mengemukakan bahwa Kemandirian adalah kemampuan untuk mengatur tingkah laku menseleksi dan membimbing keputusan serta tindakan seseorang tanpa pengawasan dari orang tua.

22 40 Conell (Ara 1998: 17) menyatakan bahwa Autonomy is experience of choice in the intuition maintenance and regulation of behavior and the experience of connectedness between one s action and personal goals and values. Kemandirian adalah pengalaman melalui pengaturan dan pemeliharaan intuisi serta perilaku yang menghubungkan antara tujuan, tindakan seseorang dan nilai-nilai. Artinya bahwa dengan adanya kesempatan untuk mengawali, menseleksi, menjaga dan mengatur tingkah laku, menunjukan adanya suatu kebebasan pada setiap individu yang mandiri untuk menentukan sendiri perilaku yang hendak ia tampilkan, menentukan langkah hidupnya, tujuan hidupnya dan nilai-nilai yang akan dianut serta diyakininya. Wrightsman dan Deaux (Ara, 1998: 18) memberikan pengertian kemandirian sebagai suatu tingkah laku yang tidak conformity maupun anti conformity yang menunjukan bahwa orang yang mandiri mampu mempertahankan hak dan kepentingannya sebagai individu tanpa menginjak hak dan kepentingan orang lain. Berkaitan dengan definisi kemandirian, Kartadinata (1988: 78) menyatakan kemandirian sebagai kekuatan motivasional dalam diri individu untuk mengambil keputusan dan menerima tanggung jawab atas konsekuensi keputusan itu. Lebih lanjut Barnadib (Sukoco, 2009) mengemukakan bahwa kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemandirian sebagai kerpribadian atau sikap mental harus dimiliki oleh setiap orang yang didalamnya terkandung unsur-unsur dengan watak-watak yang ada dan

23 41 perlu dikembangkan agar tumbuh menyatu dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang menuju karah kewiraswastaan artinya kemampuan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pemahaman dan konsep hidup yang mengarah pada kemampuan, kemauan, keuletan, ketekunan dalam bidangnya. Penjelasan di atas menjelaskan mengenai kemandirian lalu bagaimana kaitannya kemandirian dalam hal belajar? Belajar sebenarnya merupakan kegiatan individual dan berlanjutan, yang mana dalam prosesnya memerlukan totalitas dari kepribadian individu yang menjalaninya. Kemandirian adalah aspek esensial dari perkembangan kepribadian individu. Kecakapan mengambil keputusan dan keberanian menerima tanggung jawab adalah esensi kemandirian, sehingga agar proses belajar ini membuahkan kesuksesan dalam memperoleh hasil belajar yang baik maka kemandirian dalam belajar ini perlu dimiliki. Berkaitan dengan definisi dari kemandirian belajar, lebih lanjut Burtiham (1999: 12) mengemukakan bahwa kemandirian belajar adalah perilaku siswa yang bebas (otonom) dan bertanggung jawab dalam menentukan tujuan belajar, merencanakan dan melaksanakan, memelihara serta menilai hasil aktivitas belajarnya tanpa ada ketergantungan pada orang lain. Menurut Setiawan (2004) kemandirian belajar adalah aktivitas yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari belajar. Karnita (2007) berpendapat bahwa kemandirian belajar merupakan suatu keadaan atau kondisi aktivitas belajar dengan kemampuan sendiri, tanpa bergantung

24 42 kepada orang lain. Ia selalu konsisten dan bersemangat belajar dimanapun dan kapanpun. Dalam dirinya sudah melembaga kesadaran dan kebutuhan belajar melampaui tugas, kewajiban dan target jangka pendek; nilai dan prestasi. Dengan kata lain merupakan kondisi sadar pada belajar sepanjang hayat (long life education). Kemandirian belajar merupakan salah satu ciri kepribadian yang penting yang dapat membantu individu untuk mencapai tujuan belajar, serta untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya. Jika disimpulkan dari keseluruhan pengertian diatas maka kemandirian belajar dapat dipahami sebagai rangkaian aktivitas dalam belajar yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, atas dasar tanggung jawab, kesadaran serta kemampuan sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain. 6. Aspek-aspek Kemandirian Belajar Konsep kemandirian belajar pada penelitian ini mengambil konsep kemandirian steinberg. Steinberg (1993: 265) menyatakan bahwa kemandirian terdiri dari tiga aspek yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai yang dipaparkan sebagai berikut: a) Kemandirian emosional, yaitu aspek kemandirian yang terkait dengan perubahan dalam hubungan dekat dari seorang individu, terutama dengan orang tua. Kemandirian dalam hal emosional ini ditandai dengan: (1) De-idealize yaitu tidak menganggap orang tuanya sebagai sosok yang ideal dan sempurna dalam artian bahwa orang tuanya tidak selamanya benar dalam menentukan sikap dan

25 43 kebijakan, (2) Parent as people yaitu mampu melihat orang tuanya seperti orang lain pada umumnya, (3) Non-dependency yaitu kemampuan untuk tidak bergantung pada orang tua maupun orang dewasa pada umumnya dalam mengambil keputusan, menentukan sikap dan bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil dan (4) Individuation yaitu kemampuan untuk menjadi pribadi yang utuh terlepas dari pengaruh orang lain. (Steinberg, 1993: 290). a) Kemandirian perilaku diartikan sebagai kemampuan dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya. Kemandirian perilaku ini ditandai dengan (1) kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yaitu dengan mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah untuk jangka panjang, mampu menemukan akar masalah, sadar akan resiko yang akan diterima, merubah tindakan yang akan diambil berdasarkan informasi baru, mengenal dan memperhatikan kepentingan orangorang yang memberikan nasihat dan mampu mengevaluasi kemungkinan dalam mengatasi masalah; (2) tidak rentan terhadap pengaruh orang lain yaitu memiliki inisiatif dalam mengambil keputusan serta memiliki ketegasan diri terhadap keputusan yang diambil; dan (3) memiliki kepercayaan diri yang ditandai dengan memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dan yakin terhadap potensi dimiliki. (Steinberg, 1993: 295). b) Kemandirian nilai, yaitu kemandirian yang memiliki seperangkat prinsip tentang benar-salah, penting dan tidak penting. Kemandirian nilai ini ditandai dengan: (1) abstrack belief yaitu memiliki keyakinan moral, isologi dan keyakinan agama

26 44 yang abstrak yang hanya didasarkan pada kognitif saja, benar dan salah, baik dan buruk; (2) principal belief yaitu memiliki keyakinan yang prinsipil bahwa nilai yang dimiliki diyakini secara ilmiah dan kontekstual yang memiliki kejelasan dasar hukum sehingga jika nilai yang dianut dipertanyakan oleh orang lain, maka ia akan memiliki argumentasi yang jelas sesuai dengan dasar hukum yang ada; (3) independent belief yaitu yakin dan percaya pada nilai yang dianut sehingga menjadi jati dirinya sendiri dan tidak ada seorang pun yang mampu merubah keyakinan yang ia miliki. (Steinberg, 1993: 303) 7. Karakteristik Individu Yang Memiliki Kemandirian Belajar Untuk memberikan gambaran mengenai individu yang memiliki kemandirian belajar, maka kita perlu memahami karakteristik atau ciri dari individu yang memiliki kemandirian berdasarkan aspek-aspek kemandirian yang telah diuraikan diatas. Adapun karakteristik individu yang mandiri menurut Ara (1998: 28), yaitu: a. Memiliki kebebasan untuk bertingkah laku, membuat keputusan dan tidak merasa cemas, takut atau malu bila keputusan yang diambil tidak sesuai dengan pilihan atau keyakinan orang lain. b. Mempunyai kemampuan untuk menemukan akar masalah, mencari alternatif pemecahan masalah, mengatasi masalah dan berbagai tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bimbingan dari orang tua atau orang dewasa lainnya dan juga dapat membuat keputusan dan mampu melaksanakan yang diambil.

27 45 c. Mampu mengontrol dirinya atau perasaannya sehingga tidak memiliki rasa takut, ragu, cemas, tergantung dan marah yang berlebihan dalam berhubungan dengan orang lain. d. Mengandalkan diri sendiri untuk menjadi penilai mengenai apa yang terbaik bagi dirinya serta berani mengambil resiko atas perbedaan kebutuhan dan nilai-nilai yang diyakininya serta perselisihan dengan orang lain. e. Menunjukan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, yang diperlihatkan dalam kemampuannya membedakan kehidupan dirinya dengan kehidupan orang lain, namun tetap menunjukan loyalitas. f. Memperlihatkan inisitif yang tinggi melalui ide-idenya dan sekaligus mewujudkan idenya tersebut. Juga ditunjukan dengan kemauannya untuk mencoba hal yang baru. g. Memiliki kepercayaan diri yang kuat dengan menunjukan keyakinan atas segala tingkah yang ia lakukan dan menunjukan sikap yang tidak takut menghadapi suatu kegagalan. Sedangkan karakteristik orang yang mandiri menurut Surya (2008), yaitu: a. Mengenal diri sendiri dan lingkungannya sebagaimana adanya. Individu yang mandiri memiliki kemampuan pengenalan terhadap keadaan, potensi, kecenderungan, kekuatan dan kelemahan diri sendiri seperti apa adanya, mengenal kondisi objektif yang ada diluar diri sendiri. b. Menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamik.

28 46 c. Mampu menetapkan satu pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada berdasarkan pertimbangan yang matang terutama dalam mengambil keputusan. d. Mengarahkan diri sendiri, menuntut kemampuan individu untuk mencari dan menempuh berbagai jalan raya agar apa yang menjadi kepentingan dirinya dapat terselenggara secara positif dan dinamik. e. Mewujudkan diri sendiri, mampu merencanakan dan menyelenggarakan kehidupan diri sendiri baik sehari-hari maupun dalam jangka panjang sehingga segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dapat berkembang secara optimal. Burtiham (1999: 42) anak yang telah memiliki kemandirian belajar menunjukan sikap dan kebiasaan dalam belajarnya baik itu menyangkut aspek emosi, perilaku maupun nilai. Kemandirian belajar dalam aspek emosi ditandai dengan dimilikinya motivasi intrinsik dalam belajar. Kemandirian belajar pada aspek perilaku ditandai dengan munculnya penampilan belajar yang mampu mendisiplinkan dirinya tentang belajar yang baik. Sedangkan dalam aspek nilai ditandai dengan adanya orientasi belajar yang jelas. 8. Perkembangan Kemandirian Belajar Siswa SMP Ditilik dari segi usia, siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP) termasuk kedalam fase remaja awal (13-14 tahun). Konopka dalam Pikunas (1976) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa dan merupakan masa transisi (dari masa anak ke

29 47 masa dewasa) yang diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. (Yusuf, 2006: 7). Sementara Salzman (Yusuf, 2006: 184) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Secara psikologis, menurut Piaget (Hurlock, 1996: 206) masa remaja adalah masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkatan-tingkatan orang dewasa yang lebih tua melainkan dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Salah satu isu yang menarik untuk dikaji pada masa remaja adalah mengenai masalah kemandirian (autonomy). Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa bagi remaja, pencapaian kemandirian merupakan dasar untuk menjadi orang dewasa yang sempurna. Kedewasaan yang ingin dicapai oleh remaja dapat mendasari dalam menentukan sikap, mengambil keputusan secara tepat, serta keajegan dalam menentukan dan melakukan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan (Budiman, 2008). Perkembangan kemandirian remaja diawali dengan perkembangan kemandirian emosional. Hal tersebut ditandai dengan pemutusan ikatan infantile anak kepada orangtua. Kesulitan remaja dalam meutuskan keterikatan emosional dengan orangtua seringkali ditunjukkan dengan sikap menentang keinginan atau aturan orangtua yang pada akhirnya disebut sebagai pemberontakkan terhadap orangtua.

30 48 Sementara itu, budaya keterikatan antara anak dan orangtua masih banyak dibiasakan pada keluarga-keluarga di Indonesia, tidak seperti budaya barat yang telah memberikan kebebasan (dari segi tempat tinggal) kepada anak remajanya. Lepasnya ikatan-ikatan emosional remaja akan menentukan pengambilan keputusan bagi remaja tanpa harus mendapat dukungan dari orangtua merupakan kemandirian yang bersifat independence. Setelah siswa mandiri secara emosional, maka siswa akan mandiri secara perilaku. Sebagai konsekuensi dari lepasnya ikatan emosional dari orang lain. Begitu pula dalam hal belajar, perkembangan kemandirian belajar siswa diawali dengan lepasnya keterikatan emosional antara siswa dengan orang lain, terutama dengan orangtua. Siswa dapat melakukan kegiatan belajarnya tanpa harus tergantung kepada orang lain, siswa dapat memilih aktivitas ekstrakurikuler sesuai dengan minatnya, serta dapat menentukkan strategi belajarnya sendiri. Perkembangan kemandirian belajar siswa yang terakhir adalah kemandirian yang berkaitan dengan nilai atau prinsip yang diyakininya. Kemandirian perilaku ditandai dengan kemampuan siswa untuk memaknai seperangkat prinsip atau aturan tentang benar dan salah, penting dan tidak penting, misalnya siswa akan memiliki keyakinan untuk tidak mencontek pada saat ulangan, memilih hadir ke sekolah tepat waktu daripada membolos dengan teman-teman yang lain. Tindakan tersebut didasari oleh prinsip atau nilai yang tertanam dalam keyakinan diri siswa. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan. Dalam hal ini, remaja akan terus belajar untuk bersikap

31 49 mandiri dalam menghadapi berbagai tuntutan peran di lingkungan belajarnya sehingga akhirnya mampu berpikir dan bertindak sendiri. Bernadib (Mu tadin, 2002) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar remaja yaitu: Faktor dalam diri siswa, diantaranya: 1) memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikannya sendiri; 2) mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi; 3) memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya; dan 4) bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Faktor dari luar diri siswa, diantaranya: 1) lingkungan keluarga yang meliputi pola pengasuhan, serta hubungan harmonis dalam keluarga; 2) lingkungan sekolah meliputi kebijakan sekolah dalam sistem pembelajaran yang mendukung keberhasilan siswa mencapai prestasi belajar, ketersediaan sarana dan prasarana sebagai media dan sumber belajar, serta hubungan harmonis antar anggota sekolah; dan 3) lingkungan teman sebaya yang biasanya ditandai dengan adanya sikap konformitas terhadap teman sebaya. C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam meningkatkan Efikasi Diri dan Mengembangkan Kemandirian Belajar Siswa Pendidikan di sekolah dilaksanakan sebagai upaya untuk memberikan perubahan-perubahan positif terhadap tingkah laku dan sikap diri siwa yang sedang berkembang menuju kedewasaannya dimana proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pembawaan, kematangan, dan lingkungan. Sekolah sebagai salah satu

32 50 faktor lingkungan yang mempengaruhinya ikut memberikan pengaruh dalam membimbing siswa agar pribadinya berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun dalam proses perkembangannya itu siswa tidak dapat lepas dari berbagai tuntutan lingkungan, salah satunya adalah tugas-tugas belajar yang harus dicapainya. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bantuan yang diberikan kepada individu sebagai upaya untuk membantu individu dalam mengatasi permasalahan yang timbul di dalam hidupnya agar pertumbuhan serta perkembangan fisik dan psikis individu dapat berjalan secara maksimal dan optimal. Bimbingan itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Abin Syamsudin (1996: 188) adalah proses pemberian bantuan yang diberikan kepada agar yang bersangkutan dapat mencapai taraf perkembangan dan kebahagiaan secara optimal, dengan melalui proses pengenalan, pemahaman, penerimaan, pengarahan, perwujudan, serta penyesuaian diri, baik dirinya sendiri maupun terhadap lingkungannya.. Adapun selain dari istilah bimbingan yang telah dipaparkan sebelumnya, ada satu istilah lagi yang sangat erat kaitannya dengan bimbingan yakni konseling. Keduanya baik bimbingan maupun konseling merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena konseling merupakan bagian integral dari bimbingan bahkan menjadi inti dari keseluruhan layanan bimbingan. Winkel (1997: 64) menyatakan bahwa konseling adalah suatu proses yang berorientasikan belajar, yang dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial antara seorang konselor yang memiliki kemampuan professional dalam keterampilan psikologis berusaha membantu seorang konseli

33 51 dengan metode yang tepat untuk kebutuhan konseli tersebut dalam hubungannya dengan keseluruhan program ketenagakerjaan supaya dapat mempelajari lebih baik tentang dirinya sendiri, belajar bagaimana memanfaatkan pemahaman tentang dirinya untuk realistis sehingga konseli dapat menjadi individu yang lebih produktif. Setiap individu, mulai dari kanak-kanak, remaja sampai dewasa termasuk siswa sekolah menengah atas tidak akan terlepas dari suatu masalah, baik itu masalah yang berhubungan dengan pribadi, sosial, pendidikan, karier dan nilai. Dalam hubungannya belajar, siswa yang memiliki efikasi diri yang rendah akan menampilkan aktivitas belajar yang tidak maksimal. Diantaranya, tidak memiliki keyakinan dalam menjawab soal-soal sehingga lebih memilih untuk mencontek, mudah putus asa saat menemui tugas yang sulit serta selalu bergantung pada kemampuan orang lain karena tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya sendiri. Perilaku-perilaku tersebut akan menjadi penghambat proses perkembangan siswa, sementara itu proses perkembangan yang paling sering menjadi isu adalah perkembangan kemandirian. Jika perilaku siswa tersebut tidak tertangani maka akan mempengaruhi siswa dalam mengembangkan dirinya menjadi individu yang mandiri. Pada akhirnya, hambatan tersebut nantinya akan berpengaruh pada keberhasilan siswa di sekolah. Secara khusus, layanan bimbingan dan konseling di sekolah bertujuan untuk membantu siswa agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan yang meliputi aspek pribadi sosial, belajar dan karir. Berdasarkan uraian di atas, maka

34 52 remaja memerlukan bimbingan yang lebih fokus pada pribadi dan hubungannya dengan belajar. Oleh karena itu disinilah bimbingan dan konseling berperan. Bimbingan belajar di sekolah ditujukan supaya siswa dapat mencapai prestasi belajar dan menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Melalui layanan bimbingan dan konseling, diharapkan siswa dapat memahami potensi yang dimilikinya, mampu meyakini akan kemampuan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif, serta mampu melakukan serangkaian aktivitas yang sesuai dengan tujuan pribadinya sendiri tanpa pengaruh dari orang lain. Dengan demikian, siswa mampu menampilkan perannya baik di lingkungan sosial maupun di lingkungan belajarnya. Bantuan yang diberikan oleh pihak bimbingan dan konseling jika dihubungkan dengan efikasi diri dan kemandirian belajar siswa, menitikberatkan pada penjelasan dan pemahaman tentang bagaimana menanamkan keyakinan diri siswa agar siswa mampu melihat potensi yang dimilikinya dapat mendukung proses belajarnya di sekolah yang pada akhirnya, siswa mampu melakukan aktivitas belajar sendiri atas keyakinan sendiri sehingga mengembangkan kemandirian siswa dalam belajar. Permasalahan yang telah diuraikan di atas, dapat difasilitasi oleh konselor sesuai dengan fungsi bimbingan dan konseling itu sendiri. Bimbingan dan konseling tidak hanya berfungsi sebagai pemahaman dan pencegahan maka fungsi lainnya pun harus dilakukan. Fungsi dari bimbingan dan konseling itu sendiri harus bersifat

35 53 melengkapi satu sama lain agar tujuan dari bimbingan akan tercapai dengan baik. Adapun fungsi bimbingan konseling secara keseluruhan adalah: 1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan memberikan pemahaman pada siswa tentang diri dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa. 2) Fungsi pencegahan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu siswa terhindar dari berbagai permasalahan yang dapat mengganggu, menghambat maupun menimbulkan kesulitan bagi proses penyesuaian diri siswa. 3) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan mengatasi berbagai permasalahan yang dialami siswa. 4) Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bertujuan memelihara dan mengembangkan berbagai potensi dan kondisi positif siswa dalam rangka pengembangan diri secara mantap dan berkelanjutan. Masalah keyakinan diri siswa akan kemampuannya merupakan hambatan besar bagi siswa untuk mengembangkan diri. Keterikatan dengan sebaya dapat menjadi media untuk mengembangkan efikasi diri siswa. Salah satu upaya bimbingan dan konseling dalam meningkatkan efikasi diri ialah dengan konseling teman sebaya. Penelitian Fathiyah dan Farida Harahap (2008) menunjukkan efektivitas konseling sebaya untuk meningkatkan efikasi diri remaja terhadap perilaku berisiko. Secara kuantitatif hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan efikasi diri siswa yang diberi konseling sebaya. Secara kualitatif hasil penelitian menunjukkan peningkatan efikasi diri subjek penelitian ditinjau dari

Kemandirian Belajar. 1. Deinisi Kemandirian Belajar

Kemandirian Belajar. 1. Deinisi Kemandirian Belajar Kemandirian Belajar 1. Deinisi Kemandirian Belajar Para ahli psikologi menggunakan dua isilah yang berkaitan dengan kemandirian yaitu independence dan autonomy (Steinberg, 1993: 286). Kemandirian yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Bekerja 1. Pengertian Motivasi Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar adalah motif ( motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi yang semakin berkembang, perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang semakin kompeten dan berkualitas yang mampu menghadapi tantangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EFIKASI DIRI PARENTING 1. Pengertian Efikasi Diri Bandura merupakan tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (selfefficacy). Bandura (2001) mendefinisikan bahwa efikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kemandirian merupakan masalah penting sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang dialami Indonesia pada saat ini menyebabkan keterpurukan dunia usaha di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era kompetitif ini, Indonesia adalah salah satu negara yang sedang mengalami perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Self Directed Learning 1. Pengertian Self Directed Learning Knowles (1975) menjelaskan bahwa Self Directed Learning adalah sebuah proses dimana individu mengambil inisiatif, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah jenjang pendidikan yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk mempersiapkan peserta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang semakin meningkat. Individu dituntut untuk semakin maju agar dapat mengikuti persaingan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sekolah menengah umumnya berusia antara 12 sampai 18/19 tahun, yang dilihat dari periode perkembangannya sedang mengalami masa remaja. Salzman (dalam

Lebih terperinci

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning Teory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan yang terjadi semakin ketat, individu dituntut untuk memiliki tingkat pendidikan yang memadai

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, bab II pasal 3, menyatakan pendidikan memiliki fungsi dan tujuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1 Pengertian Motivasi Motivasi (motivation) melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Kemandirian 2.1.1. Pengertian Kemandirian Menurut Sumahamijaya, 2003 Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantungpada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan suatu tuntutan yang mendasar, baik untuk mendapatkan pengetahuan ataupun dalam rangka mengembangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menjadi bangsa yang kian berkembang adalah harapan seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia mengharapkan adanya pembaharuan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju serta terbukanya pasar global akan menstimulus kita untuk selalu meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Saat ini pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa tidak hanya didukung oleh pemerintah yang baik dan adil, melainkan harus ditunjang pula oleh para generasi penerus yang dapat diandalkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya (www.ui.ac.id). Oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya (www.ui.ac.id). Oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Universitas merupakan salah satu institusi yang mempersiapkan sumber daya manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya (www.ui.ac.id). Oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. kematangan mental, emosional dan sosial. remaja, diantaranya mengenai ciri-ciri masa remaja.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. kematangan mental, emosional dan sosial. remaja, diantaranya mengenai ciri-ciri masa remaja. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Masa Remaja Istilah remaja (adolescence) berasal dari kata adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Saat ini istilah remaja mempunyai arti yang lebih luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita individu. Pendidikan secara filosofis merupakan proses yang melibatkan berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik itu secara biologis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS 5 2.1 Pengertian Perilaku BAB II KAJIAN TEORITIS Perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dari luar oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya interaksi antara individu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy berasal dari teori Bandura (1997) yaitu teori kognisi belajar sosial. Teori kognisi belajar sosial mengacu pada kemampuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Locus Of Control 2.1.1. Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah pengangguran lulusan pendidikan tinggi di Indonesia semakin hari semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai 626.600 orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai harapan serta cita-cita sendiri yang ingin dicapai. Mencapai suatu cita-cita idealnya memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Self-efficacy Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep Self efficacy pertama kali

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang 6 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1 Disiplin Belajar Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karier adalah bagian hidup yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya ketepatan memilih serta menentukan keputusan karier

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang individu dapat dikatakan menginjak masa dewasa awal ketika mencapai usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja, berkesinambungan dan berencana dengan tujuan untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belajar merupakan key term, istilah kunci yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan (Muhibbin,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Belajar a. Pengertian Belajar Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru. Perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan mempunyai tujuan untuk menyiapkan peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu remaja diharapkan dapat mengembangkan potensi diri secara optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S Winkel 1987 dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pengajaran salah satu kemampuan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ahli psikologi. Karena permasalahan remaja merupakan masalah yang harus di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat sekarang ini permasalahan remaja adalah masalah yang banyak di bicarakan oleh para ahli, seperti para ahli sosiologi, kriminologi, dan khususnya

Lebih terperinci

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran Pendidikan bertanggungjawab mengembangkan kepribadian siswa sebagai upaya menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Siswa Siswa atau anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan kegiatan pendidikan.siswa adalah unsur

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Akademik 1. Pengertian Efikasi Diri Akademik Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada masa bayi ketika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mereka dan kejadian di lingkungannya (Bandura, dalam Feist & Feist, 2006).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mereka dan kejadian di lingkungannya (Bandura, dalam Feist & Feist, 2006). BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri Efikasi diri dapat diartikan sebagai keyakinan manusia akan kemampuan dirinya untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG DAN MASALAH 1. Latar Belakang Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sangat tergantung pada bantuan orang-orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hadi Wiguna Kurniawan, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hadi Wiguna Kurniawan, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja seringkali disebut sebagai masa peralihan, yaitu salah satu periode dalam rentang kehidupan individu, yang berada diantara fase anak-anak dan fase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah [Type text] Pendidikan adalah faktor utama dalam menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa, baik atau buruknya masa depan bangsa ditentukan oleh pendidikan saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin ketat. Dunia perekonomian berjalan dengan sangat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan

BAB II KAJIAN TEORITIS. diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Motif Berprestasi Ditinjau dari asal katanya, motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI SELF-EFICACY

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI SELF-EFICACY BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI SELF-EFICACY A. Pengertian Self-Efficacy Terminologi self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh seorang tokoh behavioris bernama Albert Bandura pada tahun 1981 (Bandura,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Guru dihadapkan pada karakterisktik siswa yang beraneka ragam dalam kegiatan pembelajaran. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajar secara lancar dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial 2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial (Uchino, 2004 dalam Sarafino, 2011: 81). Berdasarkan definisi di atas, dijelaskan bahwa dukungan sosial adalah penerimaan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang berarti pertumbuhan menuju kedewasaan. Dalam kehidupan seseorang, masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu bidang kehidupan yang penting bagi setiap negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengutamakan pentingnya pendidikan, sehingga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang menjelaskan mengenai asal sekolah, kemampuan Bahasa Inggris, serta pengertian belajar dan hasil belajar. A. Asal Sekolah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kemandirian menurut Vamer dan Beamer (Ranto,2007:22) adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kemandirian menurut Vamer dan Beamer (Ranto,2007:22) adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Pribadi Kemandirian menurut Vamer dan Beamer (Ranto,2007:22) adalah kepemilikan sebuah nilai dalam diri seseorang yang mengarah kepada kedewasaan, sehingga dia mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu 1 BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG MASALAH Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu selalu belajar untuk memperoleh berbagai keterampilan dan kemampuan agar dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendukung perkembangan dan pembangunan negara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..).

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah

Lebih terperinci

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa 125120307111012 Pendahuluan Kemandirian merupakan salah satu aspek terpenting yang harus dimiliki setiap individu dan anak. Karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dengan tugas yang dihadapi pada setiap masa

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dengan tugas yang dihadapi pada setiap masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak seorang manusia dilahirkan, mulailah suatu masa perjuangan untuk mempertahankan hidup dengan tugas yang dihadapi pada setiap masa perkembangannya. Periodesasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk mempersiapkan peserta

Lebih terperinci