BAB III DATA DAN ANALISA TANAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III DATA DAN ANALISA TANAH"

Transkripsi

1 BAB III DATA DAN ANALISA TANAH 3.1. Tinjauan Umum Perencanaan suatu pekerjaan diperlukan tahapantahapan atau metodologi yang jelas untuk menentukan hasil yang ingin dicapai sesuai dengan tujuan yang ada. Berdasarkan datadata yang diperoleh dan diolah sehingga diketahui sifat dan karakteristik yang ada, kemudian dilakukan analisa untuk pemecahan masalah dari data tersebut 3.2. Metode Pembuatan Tugas Akhir Hasil penyelidikan yang didapat untuk mengetahui kondisi tanah asli di ruas jalan Menganti Wangon adalah sebagai berikut : 1. Dari hasil analisa data pada laboratorium akan didapat sifat, jenis dan karakteristik tanah asli serta susunan tanah asli pada ruas jalan tersebut. 2. Dari hasil analisa dengan program PLAXIS V akan diketahui permasalahan yang terjadi sehingga dapat dilakukan penanganan di lapangan. 3. Dari hasil perhitungan manual sebagai pembanding dengan hasil perhitungan dengan program PLAXIS V III 1

2 III 2 Bagan Alir Metodologi Pembuatan Tugas Akhir ini : Start Permasalahan Analisa Data Tanah Perhitungan dan Perencanaan Konstruksi Rencana dan Gambar Alternatif Terpilih Tidak Ya Spesifikasi dan RAB Stop Gambar 3.1 Bagan alir pembuatan tugas akhir

3 III Metode Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data merupakan sarana pokok untuk menentukan penyelesaian suatu masalah secara ilmiah. Datadata yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Adapun halhal yang diperhatikan dalam pengumpulan data adalah : 1. Jenis data 2. Tempat diperolehnya data 3. Jumlah data yang diperlukan Berkaitan dengan studi kasus kelongsoran pada ruas jalan Menganti Wangon maka diperlukan data primer, data sekunder, juga didukung dengan datadata penunjang lainnya. Tujuan yang hendak dicapai melalui pengumpulan data yang memadai adalah mengevaluasi metode yang diperlukan dalam mengatasi kelongsoran tanah tersebut. Datadata yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder Data Primer Data tanah yang diperoleh secara langsung dari Laboratonium Mekanika Tanah Universitas Diponegoro di Semarang, di mana data tersebut diambil berdasarkan hasil penyelidikan di lapangan maupun di laboratorium. Data primer tersebut meliputi : a. Data Tanah Diperoleh dari pengambilan sampel di lokasi kemudian dilakukan pengujian di Laboraturium Mekanika Tanah untuk mendapatkan sifat fisik tanah. Data tanah yang diperlukan pada penyelidikan tanah untuk analisa longsor pada ruas jalan Menganti Wangon meliputi : Data Bor Mesin, meliputi : muka air tanah (MAT), Standart Penetration Test (SPT) Soil Properties, meliputi : kohesi (c), sudut geser (ø), berat lsi (γ) tanah, water content (w), void ratio (e) Engineering properties, meliputi : hasil dari Triaxial Test, Unconfined Test, maupun Consolidation Test.

4 III 4 Penyelidikan tanah dengan metode Tes Geolistrik. Penyelidikan ini didasarkan atas konduktifitas listrik lapisanlapisan yang berbeda dan penyelidikan dengan metode ini akan memberikan hasil yang handal, bila lapisan tanah yang memiliki perbedaan struktur tanah yang nyata, khususnya secara kimia dan biologi. b. Data Batuan Diperoleh dari pengambilan sampel di lokasi kemudian dilakukan pengujian di Laboratorium Mekanika Tanah untuk mendapatkan sifat fisik dan mekanika batuan Data Sekunder Data yang diperoleh melalui studi literatur sebagai data pendukung dan pelengkap yaitu mengumpulkan referensi dari bahan kuliah maupun bukubuku umum, serta datadata yang diperlukan dari instansiinstansi yang terkait Evaluasi dan Pengolahan Data Evaluasi dan pengolahan data dilaksanakan dari datadata yang diperlukan sesuai identifikasi permasalahan. Analisa data serta langkahlangkah dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah : 1. Menentukan lokasi terjadinya kelongsoran dan gejala kelongsoran pada ruas jalan Menganti Wangon. 2. Dari peta kontur dibuat penampang melintang untuk memperoleh geometri lokasi yang rawan terkena longsor. 3. Pengambilan data, baik data primer seperti elevasi lokasi, peta kontur, pengujian tanah dan batuan untuk mendapatkan sifat fisik dan sifat mekanik. 4. Pembuatan Stratifikasi tanah pada ruas jalan Menganti Wangon.

5 5. Kriteria desain sebagai bahan acuan sebagai analisa stabilitas lereng dan longsor. III 5 6. Perhitungan FK (faktor keamanan) longsor pada ruas jalan Menganti Wangon. 7. Analisa stabilitas lereng dan longsor dengan menggunakan aplikasi program PLAXIS V Analisa stabilitas lereng dan longsor dengan menggunakan metode Bishop s Evaluasi Geoteknik Geologi Regional a. Fisiografi Karakteristik fisiografi suatu wilayah mencakup beberapa aspek seperti kenampakan geomorfologi, kondisi struktur geologi, jenis batuan penyusun dan kondisi lapisan atmosfir (curah hujan, angin, sedimentasi, erosi, longsoran dan proses pelapukan). Berdasarkan pembagian zona fisiografi jawa dan Madura yang telah dikemukakan oleh Van Bernmelen (1949) maka daerah penelitian terletak pada Zona North Seraju Montain. Zona ini pada umumnya mempunyai karakteristik berupa morfologi, perbukitan sampai pegunungan yang tersusun oleh material hasil erupsi gunungapi di bagian barat yang berbatasan dengan Gunung Slamet dan batuan hasil gunungapi muda dari rangkaian pegunungan Rogojembangan, Kompleks Dieng dan Ungaran yang, berumur kuarter.

6 III 6 Gambar 3.2. Peta fisiografi daerah jawa dan Madura (sumber : Van Bernmelen, 1949) b. Stratigrafi Berdasarkan pada peta geologi yang sudah. terbit (Peta Geologi Lembar Banyumas (1308 3), skala 1 : yang disusun oleh S. Asikin, dkk, 1992 dan Lembar Majenang ( ), skala 1 : yang disusun oleh Kastowo dan N. Suwarna, 1996) Stratigrafi regional dapat dibagi menjadi 6 (enam) satuan stratigrafi tidak resmi. Satuansatuan ini berurutan dari umur tua sampai muda, terdiri dari : Satuan Basal (Tmb) berupa retas atau retas lempeng berumur Pliosen Atas. Satuan Batupasir gampingan (Tmp) termasuk dalam Formasi Rambatan yang terdiri dari batupasir gampingan, bersisipan Napal, Batulempung dari Breksi, umumnya berstruktur turbidit, berumur Miosen tengah bagian bawah. Satuan Batupasir (Tmhs) yang merupakan anggota dan Formasi Halang yang merupakan endapan turbidit, terdiri dari perselingan Batupasir, Konglomerat dengan Batulempung. Napal dan Serpih dengan sisipan Diamiktit, berumur Miosen Tengah, Bagian Atas, Satuan Batupasir Formasi Halang (Tmph) yang merupakan perselingan Batupasir, Batulempung, Napal dan Tuf dengan sisipan Breksi, dipengaruhi oleh arus turbid dan pelengseran bawah air laut, berumur Pliosen Akhir hingga Miosen Akhir.

7 III 7 Satuan Batupasir Formasi Tapak (Tpt) terdiri dari Batupasir dengan cangkang Moluska, bersisipan Napal dan Breksi, berumur Pliosen, dan Satuan Aluvium (Qa) yang terdiri dari lempung, pasir, lanau, kerikil dan kerakal. c. Struktur Geologi Sesar didefinisikan sebagai suatu struktur rekahan yang telah mengalami pergeseran. Sifat pergeserannya dapat bemacammacam, mendatar, miring (oblique), naik dan turun/normal (Gambar 3.3). Di dalam mempelajari struktur sesar, di samping geometrinya yaitu; bentuk, ukuran, arah dan polanya, yang penting juga untuk diketahui adalah mekanisme pergerakannya. Gambar 3.3. Hubungan antara pola tegasan dan jenisjenis sesar yang terbentuk (sumber : Laporan Geoteknik Wangon)

8 III 8 Pola struktur pulau jawa banyak dipengaruhi oleh perkembangan tektonik kawasan Paparan/Kraton Sunda, pergerakan subbenua India dari Selatan ke Utara, serta gerak lempeng Samudera India. Kecepatan penunjaman lempeng Samudera India ke bawah pulau jawa dan Sumatera pada saat ini diperkirakan sekitar 6 cm pertahun (Le Pichon, 1968 op.cit di Hamilton, 1979). Secara umum terdapat tiga pola kelurusan struktur utama di Pulau jawa, dari tua ke muda yaitu pola Meratus yang berarah TimurlautBaratdaya, pola Sunda yang berarah UtaraSelatan, dari pola Jawa yang berarah BaratTimur (Pulunggono dan Martodjojo, 1994), lihat Gambar 3.4. berikut ini: Gambar 3.4. Pola struktur umum Pulau Jawa (sumber : Pulunggono dan Martodjojo, 1994) Berdasarkan umur dan data penyebaran batuan plutonik dan volkanik di Pulau Jawa dapat disimpulkan bahwa terdapat dua episode kegiatan magmatik Pratersier sampal Tersier Awal di Jawa (Suparka, dkk., 1991). Periode pertama terjadi pada ,1 juta tahun yang lalu (Kapur Awal Kapur Akhir) dan menghasilkan busur magmatik yang berarah Timurlaut Baratdaya. Periode kedua terjadi pada 65,1 47 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir Miosen Awal) dengan pola penyebaran produk batuannya berarah Barat Timur. Struktur geologi yang berkembang di daerah Banyumas, Majenang dan sekitarnya dikontrol dan tidak terlepas dari pengaruh struktur besar dan tektonik regional yang berkembang di Jawa Tengah dan sekitarnya.

9 III 9 Menurut Kastowo dan N. Suwarna, 1996, struktur geologi yang dijumpai di daerah kajian, berupa sesar, lipatan, kelurusan dan kekar, melibatkan batuan berumur oligo miosen sampai holosen. Sesar yang dijumpai umumnya berarah Baratlaut Tenggara sampai Timurlaut Baratdaya. Jenis sesar berupa sesar naik, sesar normal, dan sesar geser menganan dan mengiri, yang melibatkan batuan berumur oligo miosen sampai plistosen. Sesar naik, secara umum membentuk busur yang memperlihatkan variasi kemiringan bidang sesar ke arah Selatan sampai Barat, sedangkan sesar normal terdapat secara setempat. Pola lipatan yang terdapat di daerah ini berarah Baratlaut Tenggara, dengan sumbu yang menyelinap. Kelurusan yang sebagian diduga sesar mempunyai pola penyebaran seperti pola sesar, dan umumnya berarah Barat Baratlaut Timur Tenggara, dengan beberapa Timurlaut Baratdaya, yang di beberapa tempat saling memotong. Kekar umumnya dijumpai dan berkembang baik pada batuan berumur tersier dan plistosen. Kegiatan tektonik yang tenjadi di daerah Banyumas, Majenang dan sekitarnya berlangsung paling tidak ada dua periode, yang menghasilkan struktur berbeda. Yang pertama, terjadi pada kala miosen tengah dan menghasilkan pengangkatan yang diikuti oleh penerobosan andesit dan basal. Formasi Jampang, Pemali, Rambatan, Lawak dan Batugamping Kalipucang terlipat dan tersesarkan, terutama membentuk sesar normal yang berarah Baratlaut Tenggara dan Timurlaut Baratdaya. Periode kedua, yang berlangsung pada kala plioplistosen menghasilkan sesar geserjurus dan sesar naik berarah dari baratlaut tenggara sampai timurlaut baratdaya. Simandjuntak ( 1979 ) menjelaskan bahwa pada periode tektonik plioplistosen sesar yang terbentuk umumnya berupa sesar bongkah. Data geofisika memperlihatkan bahwa kegiatan tektonik yang terakhir ini menggiatkan kembali sebagian sesar normal (Wiriosudarmo, 1979). d. Geohidrologi Berdasarkan pada pengamatan lapangan dan Peta Fisiografi/Geomorfologi daerah sepanjang ruas jalan Menganti Wangon, maka diketahui terdapat beberapa sungai yang mengalir pada daerah kajian dengan pola aliran sungai bercabangcabang (dendritik dan subrektangular), arah aliran sungai relatif berarah Barat Timur.

10 III 10 Pada beberapa lokasi, aliran sungai ini memotong trase jalan. Aliran air dan sungai tersebut dialirkan melalui jembatan dan goronggorong. Di sepanjang jalan eksisting sudah ada drainase pada bagian kiri/kanan jalan, namun tidak cukup efektif. Seperti sudah dijelaskan pada sub babgeologi lokal bahwa daerah kajian disusun oleh setidaknya 2 (dua) satuan batuan yaitu Tuf (HalusPasiran) dan Serpih yang keduanya merupakan anggota dari Formasi Halang (Tmph). Tuf dan Serpih yang tersingkap di lapangan sebagian telah mengalami proses pelapukan (DP IV/ lapuk kuat (batuan asal masih dapat terdeteksi) VI / lapuk sempurna (batuan yang melapuk telah berubah menjadi tanah)) utamanya yang tersingkap di permukaan sedangkan bagian tubuh batuan yang tidak tersingkap relatif segar. Adapun permeabilitas dari kedua jenis batuan ini (jika segar) adalah rendah/kedap, sehingga dapat berfungsi sebagat batas akuifer. Lapisan akuifer di lapangan tidak terdeteksi, sehingga diperlukan pemboran untuk mengetahui berapa kedalalaman lapisan akuifer tersebut. Sedangkan jika lapuk permeabilitas jadi tinggi sehingga tingkat meloloskan airnya menjadi tinggi pula. Sementara itu kondisi tanah dan rembesannya tidak dijumpai di lapangan, karena pada saat pelaksanaan rekonesan di daerah kajian sudah lebih dari 1 (satu) minggu tidak turun hujan. e. Iklim dan Curah Hujan Iklim di daerah ini seperti daerah lainnya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh bertiupnya angin muson dan digolongkan sebagai iklim tropis basah. Menurut data curah hujan tahun 1990 sampai 2002 yang diterbitkan oleh BMG (Badan Meterorologi dan Geofisika) daerah di sekitar Menganti Wangon mempunyai curah hujan ratarata tahunan berkisar 151 mm. Intensitas curah hujan tertinggi, berkisar 250 mm sedangkan yang terendah berkisar 86 mm. Curah hujan ratarata tahunan yang terjadi di daerah kajian dapat dikatakan relatif tinggi, hal ini secara langsung mempengaruhi tinggi, muka air tanah dan tekanan air pori. Sehingga tingkat pelapukan yang terjadl pada batuan penyusun daerah ini cukup tinggi. f. Resiko Gempa

11 III 11 Berdasarkan Peta Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi Indonesia (E.K.Kertapati et al, 2001) wilayah Menganti Wangon dan sekitarnya termasuk ke dalam intensitas skala Modified Mercalli Intensity (MMI) dengan nilai antara V VI, artinya jika terkena gempa getarannya hanya terasa jika di dalam rumah. Informasi dari Peta Bahaya Goncangan Gempa Bumi Indonesia (E.K.Kertapati et al., 1999) yang. ditunjukkan oleh Gambar 2.6, nilai percepatan tanah pada batuan dasar, untuk selang waktu 500 tahun, berkisar antara 0.15g 0.20g (g adalah gravitasi bumi). Dari keteranganketerangan di atas bisa disimpulkan bahwa faktor gempa bukan merupakan suatu yang menentukan di dalam desain. g. Letak Geografis Ruas jalan Menganti Wangon terletak diantara Bujur Timur dan 7 o 20 7 o 35 Lintang Selatan. h. Tata Guna Lahan Ruas jalan Wangon Batas Jawa Barat yang merupakan lokasi terjadinya longsoran melewati daerah dengan relief yang bervariasi (perbukitan dengan punggungan tak beraturan hingga perbukitan dengan punggungan sejajar). Penggunaan lahan di daerah ini sebagian besar untuk perkebunan palawija dan pesawahan Geologi Lokal a. Fisiografi Analisis geomorfologi daerah ruas jalan Menganti Wangon dan sekitarnya didasarkan pada peta fisiografi/geomorfologi daerah Banyumas dan Majenang Jawa Tengah dan Jawa Barat), pengamatan bentang alam dan proses pembentukan morfologi, seperti tahapan sungai dan jentera erosi, pengamatan litologi serta struktur yang berkembang di lapangan.geomorfologi daerah ruas jalan Menganti Wangon berdasarkan pada ciri morfologi dan proses geologi yang mempengaruhinya dapat diklasifikasikan sebagai satu satuan geomorfologi perbukitan vulkanik. Satuan geomorfologi, tersebut berada pada ketinggian berkisar 740 sampai dengan 840 m di atas permukaan laut. Sudut

12 III 12 lereng pada ketinggian tersebut berkisar antara 40 o sampai dengan 85 o baik pada lereng alam, maupun lereng buatan, namun demikian pada beberapa tempat dapat pula dijumpai adanya lereng yang sangat terjal akibat adanya erosi/kikisan tebing oleh sungai. Sebagian besar dari satuan geomorfologi tersebut disusun oleh batuan Tuf halus pasiran dan serpih yang umumnya telah mengalami pelapukan meliputi dari derajat pelapukan I (fresh rock) sampai dengan derajat pelapukan VI (residual soil). Aktifitas erosi berjalan cukup intensif, diindikasikan oleh tingginya tingkat pelumpuran pada sungai sungai di daerah kajian. Pola aliran sungai adalah bercabangcabang dan mendaun (dendritik dan subrektangular), bentuk lembah berbentuk huruf "U", bermeander dan terdapat dataran banjir (floodplain) di sekitar aliran sungai. Gambar 3.5. Morfologi perbukitan bergelombang landai, yang menempati bagian selatan daerah kajian (sumber : Laporan Geoteknik Wangon)

13 III 13 Gambar 3.6. Morfologi sungai di daerah kajian (sumber : Laporan Geoteknik Wangon) b. Stratigrafi Berdasarkan hasil penyelidikan dan pengamatan di lapangan serta datadata penelitian terdahulu, maka stratigrafi daerah ruas jalan Menganti Wangon dibagi menjadi 4 (empat) satuan batuan utama, yaitu : Satuan Tuf Halus Pasiran (Formasi Halang Tmph) Satuan Serpih (Formasi Halang Tmph) Satuan Aluvium (Qa) Material Debris dan Timbunan Di mana satuan Tuf HalusPasiran dan satuan Serpih merupakan satuan yang dominan secara regional di daerah kajian. c. Satuan Tuf (Tmph) Satuan tuf terdiri dari yang berbutir halus hingga kasar/pasiran, merupakan anggota dari Formasi Halang. Satuan ini pada umumnya benwarna putih kekuningan, mengandung mineral mafik, felspar, gelas, oksida besi dan kuarsa. Pada lapisan bagian atas/pemukaan (Horison A), Tuf di jumpai dengan ketebalan sekitar 1 2 meter, dalam kondisi lapuk kuat (DPIV).

14 III 14 Sebagian lapisan ini telah terubah menjadi tanah, bersifat lunak agak keras, struktur sedimen laminasi, ukuran butir lempung pasiran, sortasi baik, tingkat kebundaran baik, komposisi mineral fragmen dan matriks berupa material volkanik dengan semen silika. Kedudukan lapisan batuan (strikel / dip) adalah N 120 o E / 35 o, dengan kemiringan lereng berkisar antara 45 o 55 o, disamping itu dijumpai pula. Tuf dengan tingkat pelapukan rendah (DP I II). Lapisan Tuf ini kontak dengan Serpih pada bagian bawahnya. d. Satuan Serpih (Tmph) Satuan serpih, merupakan anggota dari Formasi Halang. Pada umumnya berwama abuabu kehitaman kekuningan, mengandung mineral lempung, felspar, oksida besi dan kuarsa. Pada lapisan bagian atas/permukaan (Horison A) Serpih di jumpai dengan ketebalan sekitar meter, kondisi lapuk kuat (DP IV) sebagian telah terubah menjadi tanah, sifat lunakagak keras, struktur sedimen yang dijumpai berupa mud crack, ukuran butir lempunglanauan, sortasi baik, tingkat kebundaran baik, komposisi mineral fragmen dan matriks berupa mineral lempung dengan semen silika namun terdapat juga sebagian kecil semennya berupa karbonat. Kedudukan lapisan batuan (strike/dip) adalah N 260 o E / 27 o, dengan kemiringan lereng berkisar antara 45 o 85 o. Disamping itu dijumpai pula Serpih dengan tingkat pelapukan rendah (DP III). Lapisan Serpih ini, kontak dengan Tuf pada bagian atasnya Struktur Geologi Menurut Price and Cosgrove, 1990, geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk (arsitektur) batuan sebagai hasil dari proses deformasi. Proses deformasi adalah perubahan bentuk dan ukuran pada batuan akibat dari gaya (force) yang terjadi di dalam bumi. Gaya dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang merubah atau cenderung untuk merubah sesuatu tubuh batuan, sedangkan tegasan berhubungan dengan tempat di mana gaya tersebut bekerja. Beberapa penulis menganggap bahwa geologi struktur lebih ditekankan pada studi mengenai unsurunsur struktur geologi, misainya; perlipatan (fold), rekahan (fracture), sesar (fault) dan sebagainya, sebagai bagian

15 III 15 dari satuan tektonik (tertonic unit). Sesar juga dapat didefinisikan sebagai suatu struktur rekahan yang telah mengalami pergeseran. Sifat pergeserannya dapat bermacammacam, mendatar, miring (oblique), naik dan turun / normal. Dalam mempelajari strutur sesar, disamping geometrinya yaitu: bentuk, ukuran, arah dan polanya, yang penting juga untuk diketahui adalah mekanisme pergerakanya. Struktur geologi yang berkembang pada daerah kajian, ditentukan berdasarkan pada gejalagejala yang dijumpai di lapangan dan Peta Geologi Lembar Banyumas dan Majenang yang ditebitkan oleh P3P, tahun 1992 dan 1996, dengan skala 1:

16 III 16 Gambar 3.7. Kesebandingan Stratigrafi Regional dengan Stratigrafi daerah Kajian (sumber : Laporan Geoteknik Wangon) Dari hasil analisis dan interprestasi yang didasarkan pada beberapa tahapan, maka dapat diketahui bahwa struktur geologi yang terdapat di daerah ini, adalah: 1. Struktur Perlipatan 2. Struktur Kekar 3. Struktur Sesar Berikut ini rincian struktur geologi yang berkembang pada daerah kajian. Struktur Perlipatan Berdasarkan hasil analisis Peta Geologi Lembar Banyumas dan Majenang diterbitkan oleh P3G, tahun 1992 dan 1996, dengan skala 1 : dan pengamatan langsung di lapangan, struktur lipatan yang berkembang di daerah kajian berupa antiklin yang terdapat di bagian tengah daerah kajian dengan arah sumbu utama relatif Barat Timur. Satuan batuan yang terlipat adalah satuan batuan dari Formasi Halang (Tmph). Struktur Kekar Struktur kekar yang diamati di lapangan berupa kekarkekar sistematik, jenisnya adalah kekar gerus. Kekarkekar ini diakibatkan oleh proses tektonik dan dijumpai pada seluruh satuan batuan yang ada di daerah penelitian kecuali pada satuan aluvial. Struktur kekar int sebagian terisi oleh kuarsa dan setempatsetempat dijumpai juga kalsit. Lebar dan bukaan kekar ini sekitar 0,5 3 cm, dengan arah umum relatif Barat Timur. Struktur Sesar Struktur sesar yang berkembang, ditentukan berdasarkan pada hasil interprestasi peta topografi berupa bukit, pembelokan sungai, gawir terjal, dan pengamatan langsung dilapangan dengan mengacu pada peta Geologi Regional. Hasil dari perpaduan ketiga hal tersebut, dliketahui bahwa struktur sesar yang, berkembang adalah struktur sesar mendatar, normal, dan naik, skala dari sesar tersebut sifatnya regional. Berdasarkan hasil, rekonesan tidak dijumpai adanya gejalagejala struktur sesar di sepanjang ruas Jalan Menganti Wangon, namun untuk memastikan kebenaranya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga analisis sesar dapat dilakukan dengan sebaikbaiknya.

17 III 17 Pengkajian mengenai sesar ini perlu dilakukan karena sesar ini dapat juga mempengaruhi kestabilan dari batuan batuan penyusun daerah kajian yang pada akhirnya berpengaruh pada bangunan teknik yanga dibangun diatasnya 3.6. Parameter Desain Dalam pemilihan tipe penanggulangan yang cocok, akan terdapat satu atau beberapa alternatif yang penentuannya tergantung dari tipe longsoran dan kemudian pelaksanaannya di lapangan. Di samping itu juga tergantung pada dana yang tersedia. Setelah tipe penanggulangan dipilih, selanjutnya adalah membuat desainnya. Desain penanggulangannya meliputi perencanaan, analisis kemantapan dan dimensi bangunan Stratifikasi Tanah Stratifikasi tanah adalah penggambaran jenis lapisan tanah berdasarkan hasil pengujian tanah dari tes Bore Log dan Sondir. Hasil stratifikasi tanah pada kasus longsoran ini adalah sebagai berikut : Penyelidikan Sondir Sondir diambil dalam dua lokasi, yaitu pada STA dan Pada STA diambil dua titik sondir, yaitu sondir 2 dan sondir 3. Pada STA diambil dua titik sondir, yaitu sondir 4 dan sondir 1. STA dan STA merupakan alinyemen horizontal, sehingga antara sondir 2 dengan STA berada pada jarak yang berdekatan sedemikian rupa. Berikut adalah hasil analisa lapisan tanah berdasarkan sondir menurut konsistensinya.

18 III 18 STA Tabel 3.1. Hasil Sondir 2 (bawah) kanan Kedalaman (m) Jenis Tanah qc (kg/cm 2 ) Tanah konsistensi sangat lunak sampai 1 7 lunak Pasir sangat lepas sampai setengah padat Tanah konsistensi lunak sampai kaku 7 38 Tabel 3.2. Hasil Sondir 3 (atas) kiri Kedalaman (m) Jenis Tanah qc (kg/cm 2 ) Tanah konsistensi sangat lunak sampai 1 7 lunak Tanah konsistensi teguh sampai kaku Dengan menggunakan grafik Schmertman, 1969, yang mengkorelasikan antara nilai qc dan FR dengan jenis tanah, maka dapat ditentukan jenis tanah yang menyusun daerah permodelan untuk tiap kedalaman. Dari sondir di STA di titik S3 dan S2 dapat kita buat stratifikasi tanah untuk STA berikut :

19 III 19 Gambar 3.8. Stratifikasi tanah STA dengan S2 dan S3 STA Tabel 3.3. Hasil Sondir 4 (depan rumah) kiri Kedalaman (m) Jenis Tanah qc (kg/cm 2 ) Tanah konsistensi sangat lunak sampai 2 12 lunak Tanah konsistensi teguh sampai kaku Tabel 3.4. Hasil Sondir 1 (atas) kanan Kedalaman Jenis Tanah qc (m) (kg/cm 2 ) Tanah timbunan lepas sampai setengah 5 50

20 III 20 padat Tanah konsistensi sangat lunak sampai lunak Tanah konsistensi lunak sampai teguh Tanah konsistensi kaku Dari sondir di STA di titik S4 dan S1 dapat kita buat stratifikasi tanah untuk STA berikut : Gambar 3.9. Stratifikasi tanah STA dengan S4 dan S1

21 III 21 Gambar Stratifikasi tanah STA dengan S4, S1 dan S2 Penyelidikan Boring Jumlah titik / lokasi boring untuk lokasi Menganti Wangon ada 4 titik bor. Di mana,, dan terletak pada KM Dari data bore log ini kita bisa mendapatkan data jenis tanah dan sifatsifat fisiknya. Tabel 3.5. Hasil bore log pada km Kedalaman Jenis Tanah N SPT (m) kepasiran mengandung boulder, coklat Lanau kepasiran plastisitas tinggi, mengandung krikil, 6 lunak, coklat lunak, mengandung sampah, abuabu 3 5 sampai abuabu kecoklatan kepasiran, teguh sampai kaku, mengandung sedikit pasir halus, abuabu 6

22 III 22 Kedalaman Jenis Tanah N SPT (m) 0 2 Lanau lunak, coklat kekuningan 2 10 lunak, abuabu kecoklatan Pasir kelempungan, lepas sampai agak padat, butiran 6 halus sampai sedang, abuabu kehitaman kepasiran, teguh sampai kaku, mengandung sedikit pasir halus, abuabu 8 12 BH 3 Kedalaman (m) Jenis Tanah N SPT 0 2 Lanau, lunak sampai teguh, coklat kekuningan 2 5.5, lunak, mengandung sedikit pasir halus, 3 abuabu kecoklatan , lunak, butiran halus, abuabu Pasir kelempungan, lepas sampai agak padat, butiran 6 halus sampai sedang, abuabu kehitaman kepasiran, teguh sampai kaku, mengandung sedikit pasir halus, abuabu kehitaman 7 14 Kedalaman (m) Jenis Tanah N SPT 0 3 Lanau, kaku, butiran halus, coklat kekuningan 3 10 kepasiran, butiran halus, abuabu 4 6 kecoklatan Pasir kelempungan, lepas, butiran halus, abuabu 3 6 kehitaman Pasir, lepas, butiran halus sampai sedang, abuabu 8 9

23 III 23 kecoklatan Kemudian dari datadata boring di atas kita bisa membuat stratifikasi tanah sebagai berikut. Gambar Stratifikasi tanah KM dengan B4, B1 dan B Perilaku Karakteristik Tanah Dari data profil tanah yang berasal dari Laboraturium Mekanika Tanah Universitas Diponegoro pada Ruas Jalan Menganti Wangon, data sondir dan boring di atas, diperoleh kesimpulan bahwa jenis tanah pada badan jalan adalah tanah lanau (lempung organik). Material tanah yang berupa lempung mempunyai ukuran butiran yang sangat kecil serta menunjukkan sifat kohesi dan sifat plastisitas. Kohesi menunjukkan sifat saling melekat antar butirannya, sedangkan sifat plastis menunjukkan kemungkinan berubah bentuk tanpa terjadi perubahan isi atau tanpa kembali kebentuk semula. Berdasarkan survey lapangan yang telah dilakukan diketahui bahwa longsoran terutama terjadi pada musim penghujan. Dugaan longsoran yang terjadi pada musim hujan untuk banyak kasus adalah karena tanah mempunyai sifat ekspansif yang akan mengembang pada waktu terkena air.

24 III 24 Tanah lempung ekspansif adalah tanah yang tersusun dari mineral lempung yang mengandung mineral montnorrilonite yang mempunyai sifat kembang susut yang tinggi jika perubahan kadar air, sehingga banyak terjadi kerusakan jalan pada jalan yang melewati tanah ekspansif akibat dari proses kembang susut yang berulang setiap perubahan musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya. a. Mengidentifikasi potensi mengembang tanah lempung Chen (1975) menggunakan indeks plastisitas untuk mengetahui potensi mengembang tanah, sebagaimana telah dibahas pada bab II tabel 2.6. Hubungan potensi mengembang dengan indeks plastisitas. Tabel 3.6. Hasil liquid dan plastic limit test Bore Hole Kedalama n BH LL PL PI Potensi Mengembang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang Tinggi Berdasarkan data diatas, nilai indeks plastisitas yang dimiliki pada ruas Jalan Menganti Wangon adalah antara 15.8 sampai 34.48, sehingga tanah lempung pada ruas

25 III 25 jalan tersebut mempunyai potensi mengembang yang sedang sampai pada kedalaman 5 m dan tinggi untuk kedalaman di bawahnya.. b. Mengidentifikasi tingkat ekspansi tanah lempung Pada table 2.7. pada bab 2, Altmeyer (1955), menghubungkan nilai batas susut (SL) dan susut linier (LS) dengan tingkat ekspansi. Tabel 3.7. Hasil shrinkage limit test Bore Kedalama Shrinkage Limits Susut Tingkat Hole n Linear Ekspansi Kritis Kritis Kritis Kritis Kritis Kritis Kritis 14 pasir kelempungan (tidak dapat dicetak) Kritis BH Kritis Kritis 14 psir kelempungan (tidak dapat dicetak) Kritis Kritis Kritis 14 pasir kelempungan (tidak dapat dicetak) 17 pasir kelempungan (tidak dapat

26 III dicetak) pasir kelempungan (tidak dapat dicetak) Berdasarkan data yang telah ada, nilai batas susut yang dimiliki tanah pada ruas Jalan Menganti Wangon adalah sekitar 6.76 sampai dan nilai susut linier adalah sekitar sampai 18.79, sehingga tanah lempung termasuk dalam kategori mempunyai tingkat ekspansi yang kritis. Dari identifikasi menurut Chen (1975) dan Altmeyer (1955) dapat diketahui bahwa tanah lempung pada ruas jalan MengantiWangon mempunyai pengembangan yang tinggi dan tingkat ekspansi yang kritis Parameter Tanah Parameter tanah digunakan untuk mendeskripsikan sifatsifat tanah dan perilaku karakteristik tanah. Setelah mendapatkan stratifikasi dari penampang melintang bidang longsoran yang mewakili daerah kajian, maka kita harus mendapatkan datadata yang menjelaskan properties dari tiaptiap strata dalam steratifikasi tersebut, baik itu soil properties (kohesi (c), sudut geser (ø), berat lsi (γ) tanah, water content (w), void ratio (e)), maupun engineering properties (triaxial test, unconfined test, dan consolidation test)

27 III 27 Tabel 3.8. Summary Of Soil Test No. No. Lokasi Depth Berat Isi Berat Kadar Porosity Void Plasticity Test Shrinkage Bore Hole Tanah Jenis Air (n) Ratio LL PL PI Limits γ Tanah (w) Test (m) (gr/cm3) (Gs) % % (e) % % % % 1,00 4,00 1,72 2,69 48,26 56,85 1,32 45,80 30,00 15,80 12,97 8,00 1,62 2,61 49,36 58,34 1,40 60,50 28,57 31,93 11,21 14,00 1,60 2,61 62,04 62,12 1,64 69,00 35,38 33,62 18,94 17,00 1,66 2,66 64,36 61,39 1,63 66,80 36,03 30,77 18,37 24,50 1,65 2,66 59,72 61,11 1,67 56,00 29,25 26,75 17,08 2,00 4,00 1,60 2,61 64,03 62,64 1,68 67,80 34,65 33,15 6,76 8,00 1,62 2,62 65,28 62,68 1,68 67,70 35,14 32,56 9,22 14,00 1,63 2,62 58,74 60,83 1,55 TIDAK DAPAT DICETAK 17,00 1,65 2,65 28,89 51,85 1,08 66,15 34,82 31,33 12,58 3,00 BH 3 4,00 1,68 2,69 48,83 57,39 1,35 50,80 30,12 20,68 13,06 8,00 1,69 2,68 61,49 60,58 1,54 48,30 26,15 22,15 11,66 14,00 1,67 2,66 25,05 49,68 0,99 TIDAK DAPAT DICETAK 17,00 1,66 2,62 286,89 51,00 1,04 69,90 35,42 34,48 10,40 4,00 4,00 1,64 2,62 37,37 54,34 1,19 60,40 30,95 29,45 9,44 8,00 1,65 2,63 46,93 57,33 1,34 65,70 31,97 33,73 8,03 14,00 1,65 2,62 30,57 51,65 1,07 TIDAK DAPAT DICETAK 17,00 1,67 2,65 35,58 53,64 1,16 TIDAK DAPAT DICETAK 24,50 1,68 2,69 25,12 50,22 1,01 TIDAK DAPAT DICETAK

28 III 28 Tabel 3.9. Summary of Engineering Properties No. No. Lokasi Depth Dirrect Shear Test Triaxial Test U U Bore Hole c Ø Total Effective c Ø c Ø (m) kg/cm2 ( ) kpa ( ) kpa ( ) 1 4,00 0,20 14,00 20,40 14,10 30,10 18,40 8,00 0,12 9,00 60,00 6,40 60,00 8,30 14,00 0,15 9,00 19,00 8,10 18,80 12,20 17,00 0,20 15,00 22,40 6,20 22,50 9,90 24,50 0,13 16,00 21,60 3,40 21,50 5,30 2 4,00 0,12 5,00 34,70 6,00 35,50 8,90 8,00 0,13 6,00 65,30 7,10 65,30 9,60 14,00 0,09 20,00 17,00 0,10 19,00 3 BH 3 4,00 0,16 13,00 48,20 4,30 44,80 7,80 8,00 0,17 15,00 23,40 13,00 20,00 19,70 14,00 0,12 20,00 17,00 0,18 20,00 4 4,00 0,12 6,00 8,00 0,14 12,00 15,70 3,00 15,30 4,90 14,00 0,09 21,00 17,00 0,10 20,00 24,50 0,08 22,00 Untuk analisa longsoran dengan menggunakan Plaxis V pada ruas jalan raya Menganti Wangon pada STA s/d diperlukan parameter tanah yang didapat dari datadata tanah hasil penyelidikan yang diperoleh secara langsung dari laboratorium mekanika tanah Universitas Diponegoro Semarang. Data tanah yang diperlukan sebagai parameter tanah dalam program Plaxis V dengan model material MohrColoumb adalah sebagai berikut : Kohesi ( c ) Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan sudut geser tanah, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah. Deformasi dapat terjadi akibat

29 III 29 adanya kombinasi keadaan kritis dari tegangan normal dan tegangan geser. Nilai dari kohesi didapat dari engineering properties, yaitu dengan Triaxial Test dan Direct Shear Test. Tabel Nilai Kohesi dari Direct Shear Test dan Triaxial Test U U Nilai c Jenis Tanah Bore Hole Kedalaman (m) Direct Shear Test Triaxial Test U U (kn/m 2 ) (kn/m 2 ) Organik Organik Kepasiran > 16.6 > 16.8 > Pasir Kelempungan Nilai kohesi yang diambil : a. Organik 1 : 11.7 kn/m 2 b. Organik 2 : kn/m 2 c. Kepasiran : 8.83 kn/m 2 d. Pasir Kelempungan : 8.83 kn/m 2

30 III 30 Sudut Geser Dalam ( φ ) Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sudut geser dalam bersama dengan kohesi merupakan factor dari kuat geser tanah. Nilai dari sudut geser dalam juga didapat dari engineering properties tanah, yaitu dengan Triaxial Test dan Direct Shear Test. Tabel Nilai Sudut Geser Dalam dari Triaxial Test dan Direct Shear Test Jenis Tanah Bore Hole Kedalaman (m) Nilai Ø Direct Shear Triaxial Test Test (º) U U (º) Organik Organik Kepasiran > 16.6 > 16.8 > Pasir Kelempungan Nilai sudut geser dalam yang diambil : a. Organik 1 : 14.1 b. Organik 2 : 3 c. Kepasiran : 4.8 d. Pasir Kelempungan : 19 Modulus Young ( E ref )

31 III 31 PLAXIS menggunakan Modulus Young sebagai modulus kekakuan dasar dalam model MohrColoumb. Nilai parameter kekakuan yang diambil dalam perhitungan membutuhkan perhatian yang khusus di mana material tanah memperlihatkan sifat nonlinear sejak dari awal pembebanan. Ada beberapa data yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai modulus young, antara lain : o Diagram tegangan regangan dari Triaxial Test o Data NSPT o Data sondir Tabel Nilai Modulus Young dari Triaxial Test dan Bore Log Modulus Young Jenis Tanah Bore Hole Kedalaman (m) (σ1σ3)50 (kn/m 2 ) εratarata (in/min) NSPT (E) (kn/m 2 ) Triaxial Bore Test Log Organik Organik Kepasiran > 16.6 > 16.8 >

32 III 32 Pasir Kelempungan Tabel Nilai Modulus Young dari Sondir Jenis Tanah Sondir Kedalaman (m) qc Modulus Young (E) (kn/m 2 ) Organik 1 S 4 S 1 S Organik 2 S 4 S 1 S S 4 > Kepasiran S 1 > S 2 > Pasir Kelempungan S 4 S 1 S Nilai modulus young yang diambil : a. Organik 1 : kn/m 2 b. Organik 2 : kn/m 2 c. Kepasiran : kn/m 2 d. Pasir Kelempungan : kn/m 2 Poisson s Ratio ( ν )

33 III 33 Pemilihan Poisson s Ratio pada model MohrColoumb relatif sederhana apabila digunakan pada Gravity Loading (peningkatan nilai ΣMWeight dari 0 sampai 1 pada perhitungan plastis). Nilai Poisson s Ratio adalah antara 0,30,4. Pada model plastis nilai Poisson s Ratio diambil nilai yang rendah, sebaliknya menggunakan model MohrColoumb nilai Poisson s Ratio diambil nilai yang besar. Karena pengaruh sifat undrained nilai Poisson s Ratio nilai terbesar yang dapat diambil Untuk lempung organik atas dan lempung organik bawah digunakan 0.35, sedangkan untuk lempung kepasiran dan pasir kelempungan digunakan 0.3. Sudut Dilatansi ( ψ ) Pada tanah lempung nilai ψ = 0 o, sudut dilatansi untuk tanah pasir tergantung pada kerapatan dan sudut gesernya, pada umumnya 30 o. Pada sebagian besar kasus nilai ψ = 0 o, untuk nilai sudut geser kurang dari 30 o. Berat Isi Tanah Kering ( γ dry ) Nilai dari berat isi tanah kering juga didapat dari hasil pengujian tanah dengan Triaxial Test dan juga Soil Test. Tabel Berat Isi Tanah Kering dari Triaxial Test dan Soil Test Jenis Tanah Bore Hole Kedalaman (m) γ dry (kn/m 3 ) Triaxial Soil Test Test Organik Organik

34 III 34 > Kepasiran > > Pasir Kelempungan Nilai berat isi tanah kering yang diambil : a. Organik 1 : 11.1 kn/m 3 b. Organik 2 : 8.6 kn/m 3 c. Kepasiran : kn/m 3 d. Pasir Kelempungan : kn/m 3 Berat Isi Tanah Jenuh Air ( γ sat ) Nilai dari berat isi tanah jenuh air didapat dengan menggunakan rumus: Gs + e γ sat = γ 1+ e w Di mana : Gs : Specific Gravity e : Angka Pori γ w : Berat Isi Air (10 kn/m 3 ) Nilainilai dari Gs, e dan γ w didapat dari hasil pengujian tanah dengan Triaxial Test dan juga Soil Test.

35 III 35 Tabel Berat Isi Tanah Jenuh dari Triaxial Test dan Soil Test Jenis Tanah Bore Hole Depth (m) Gs Triaxial Test e γ sat (kn/m 3 ) Gs Soil Test e γ sat (kn/m 3 ) Organik Organik Kepasiran > 16.6 > 16.8 > Pasir Kelempungan Nilai berat isi tanah jenuh yang diambil : a. Organik 1 : kn/m 3 b. Organik 2 : kn/m 3 c. Kepasiran : kn/m 3 d. Pasir Kelempungan : kn/m 3 Permeabilitas Arah Vertikal ( k y ) dan Permeabilitas Arah Horizontal ( k x ) Nilai dari e untuk mencari permeabilitas didapat dari hasil Triaxial Test dan juga Soil Test.

36 Tabel Nilai Permeabilitas Arah Vertikal dan Arah Horizontal III 36 Jenis Bore Kedalaman Triaxial test Soil Test Tanah Hole (m) e K H K v e K H K v (kn/m 3 ) (kn/m 3 ) (kn/m 3 ) (kn/m 3 ) Organik Organik Kepasiran > 16.6 > 16.8 > Pasir Kelempun gan

37 III 37 Nilai permeabilitas arah horisontal yang diambil : a. Organik 1 : kn/m 3 b. Organik 2 : kn/m 3 c. Kepasiran : kn/m 3 d. Pasir Kelempungan : kn/m 3 Tabel Material Properties Tanah

38 III 38 PROPERTIES NAMA 1 2 Pasir Pasir UNIT Kedalaman < m Material model Type of material behaviour Mohr Mohr Mohr Mohr Model Coloumb Coloumb Coloumb Coloumb Type Undrained Undrained Undrained Undrained Soil unit weight above phreatic level Soil unit below phreatic level Permeability in horizontal direction γ dry kn/m 3 γ sat kn/m 3 K x m/day Permeability in vertical direction K y m/day Young s modulus (constant) E ref kn/m 2 Poisson s ratio ν Cohession (constant) c ref kn/m 2 Friction angle φ Dilatancy angle ψ o o 3.7. Bidang Longsoran

39 III 39 Pergerakan tanah tetlah terjadi selama bertahuntahun dan permukaan jalan terlihat secara nyata mengalami deformasi. Longsoran terjadi pada debris lereng yang tidak seragam yang terletak di atas formasi serpih yang lemah. Di atas lereng batu tuf muncul ke permukaan (outcrop) dari formasi haling membentuk lipatan patah di atas jalan. Bidang gelincir biasanya terletak diantara batu tuf lapuk dan serpih lapuk yang menumpang di atas serpih segar dalam kedudukan miring yang keseimbangannya terganggu akibat air yang keluar dari mata air atau naiknya permukaan air tanah. Kondisi ini menyebabkan kenaikan tekanan air pori yang kemudian mengakibatkan turunnya momen tahanan dari tanah. Pada lokasi kajian selain karena lapisan tanah yang lunak berupa lempung ekspansif kritis, terganggunya keseimbangan lereng juga disebabkan oleh perubahan tekanan air pori akibat dari resapan air hujan, sistem drainase yang buruk yang akan menurunkan nilai c dan Ø yangmenurunkan momen tahanan tanah dam menurunkan angka keamanan. Bentuk dan kedalaman bidang longsoran sangat penting dalam analisis kemantapan lereng untuk menentukan dimensi dan stabilitas penanggulangan yang dipilih. Bidang longsoran juga penting dalam menentukan letak dan kedalaman struktur penanggulangan. Bentuk bidang longsor dipengaruhi oleh letak kedalaman tanah keras. Apakah nantinya bidang longsor akan berada pada muka lereng, pada kaki lereng atau pada dasar lereng. Letak kedalaman tanah keras itu digunakan untuk menentukan factor kedalaman (D f ). Berdasarkan datadata dari sondir dan bore log, diketahui bahwa sampai pada kedalaman 25 m di lokasi kajian tidak terdapat tanah keras. Jadi nilai faktor kedalamannya adalah : D + H D f = H Karena nilai D (kedalaman tanah keras) di atas 25 m, maka bentuk bidang longsor yang dipakai adalah melalui dasar lereng :

40 III 40 Gambar Tipe bidang busur longsor di lokasi kajian Dengan mempertimbangkan nilainilai qc dan NSPT, maka dapat dibuat bidang busur longsor sebagai berikut : Gambar Bidang busur longsor di lokasi kajian Dari bidang busur longsor di atas kemudian dicari titik perkiraan pusat busur lingkaran longsor. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan sudutsudut pendekatan Fellenius dalam

41 III 41 bab 2. Setelah ditentukan titik pendekatannya kemudian dengan metode trial and error dicari faktor keamanan untuk titik di sekitar titik tersebut. Proses tersebut terus diulang sampai ditemukan titik dengan angka keamanan yang terkecil. Titik tersebut adalah titik perkiraan letak pusat busur lingkaran longsor, yang kemudian diselesaikan dengan menggunakan metode Bishop.

LAMPIRAN 1 DIAGRAM PENGARUH R. E. FADUM (1948) UNTUK NAVFAC KASUS 1. Universitas Kristen Maranatha

LAMPIRAN 1 DIAGRAM PENGARUH R. E. FADUM (1948) UNTUK NAVFAC KASUS 1. Universitas Kristen Maranatha LAMPIRAN 1 DIAGRAM PENGARUH R. E. FADUM (1948) UNTUK NAVFAC KASUS 1 93 LAMPIRAN 2 DIAGRAM PENGARUH R. E. FADUM (1948) UNTUK EC7 DA1 C1 (UNDRAINED) 94 LAMPIRAN 3 DIAGRAM PENGARUH R. E. FADUM (1948) UNTUK

Lebih terperinci

BAB III DATA TANAH DAN EVALUASI

BAB III DATA TANAH DAN EVALUASI III-1 BAB III DATA TANAH DAN EVALUASI 3.1. METODE PENGUMPULAN DATA Tahap pengumpulan data merupakan sarana pokok untuk menentukan penyelesaian suatu masalah secara ilmiah. Data-data yang dikumpulkan meliputi

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN ANALISA TANAH 3.2 METODE PEMBUATAN TUGAS AKHIR

BAB III DATA DAN ANALISA TANAH 3.2 METODE PEMBUATAN TUGAS AKHIR BAB III DATA DAN ANALISA TANAH 3.1 TINJAUAN UMUM Perencanaan suatu pekerjaan diperlukan tahapan tahapan atau metedologi yang jelas untuk menentukan hasil yang ingin dicapai sesuai dengan tujuan yang ada.

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR Penanganan dan Analisa Stabilitas Longsor pada Ruas Jalan Wangon-Batas Jawa Barat Prevention and analysis of slope stability in Wangon-boundarie Jawa Barat roads Diajukan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI 2.1. Tinjauan Umum Untuk dapat merencanakan penanganan kelongsoran tebing pada suatu lokasi, terlebih dahulu harus diketahui kondisi existing dari lokasi tersebut. Beberapa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III KOMPILASI DATA

BAB III KOMPILASI DATA BAB III KOMPILASI DATA 3.1 TINJAUAN UMUM Tanah memiliki sifat fisik (Soil Properties) dan sifat mekanik (Index Properties). Sifat - sifat fisik tanah meliputi ukuran butiran tanah, warnanya, bentuk butiran,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SARI... i. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN... xiv

DAFTAR ISI. SARI... i. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR ISI Halaman SARI... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Analisis Pondasi Jembatan dengan Permodelan Metoda Elemen Hingga dan Beda Hingga BAB III METODOLOGI

Laporan Tugas Akhir Analisis Pondasi Jembatan dengan Permodelan Metoda Elemen Hingga dan Beda Hingga BAB III METODOLOGI a BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Pada pelaksanaan Tugas Akhir ini, kami menggunakan software PLAXIS 3D Tunnel 1.2 dan Group 5.0 sebagai alat bantu perhitungan. Kedua hasil perhitungan software ini akan dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografi Regional Secara geografis, Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Material Uji Model Pengujian karakteristik fisik dan mekanis tanah dilakukan untuk mengklasifikasi jenis tanah yang digunakan pada penelitian. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III ANALISA DATA DAN PENYELIDIKAN AWAL

BAB III ANALISA DATA DAN PENYELIDIKAN AWAL BAB III ANALISA DATA DAN PENYELIDIKAN AWAL 3.1. Umum Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisa data yang didapat meliputi klasifikasi tiap lapisan tanah berdasar pada sifat sifat fisik tanah, sifat sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG Gunungpati merupakan daerah berbukit di sisi utara Gunung Ungaran dengan kemiringan dan panjang yang bervariasi. Sungai utama yang melintas dan mengalir melalui

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR...ix DAFTAR TABEL...xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. LOKASI STUDI KASUS Objek studi kasus untuk penulisan tugas akhir ini adalah ruas jalur lingkar utara Kota Semarang, Jawa Tengah. 3.2. TAHAP PERSIAPAN Tahap persiapan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Lempung Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air (Grim,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

INVESTIGASI GEOLOGI POTENSI LONGSOR BERDASARKAN ANALISIS SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

INVESTIGASI GEOLOGI POTENSI LONGSOR BERDASARKAN ANALISIS SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR M1O-03 INVESTIGASI GEOLOGI POTENSI LONGSOR BERDASARKAN ANALISIS SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR Rizky Teddy Audinno 1*, Muhammad Ilham Nur Setiawan 1, Adi Gunawan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa media, yaitu peta kontur, citra satelit, dan citra Digital Elevation Model

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Keadaan Geografi Daerah Penelitian 2.1.1 Lokasi Penambangan Daerah penyelidikan berdasarkan Keputusan Bupati Tebo Nomor : 210/ESDM/2010, tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Persiapan Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan di lokasi studi yaitu Jalan Raya Sekaran di depan Perumahan Taman Sentosa Gunungpati,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI 2.. Tinjauan Umum Untuk dapat merencanakan penanganan kelongsoran tebing pada suatu lokasi terlebih dahulu harus diketahui kondisi sebenarnya dari lokasi tersebut. Beberapa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci