BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TELEKOMUNIKASI DAN LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TELEKOMUNIKASI DAN LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG TELEKOMUNIKASI DAN LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT A. Pengaturan Telekomunikasi Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Telekomunikasi memungkinkan terjadinya perhubungan antara suatu pihak dengan pihak lain, dan dengan terjadinya hubungan ini akan terjadi pula persentuhan-persentuhan di berbagai bidang kehidupan. Persentuhan terjadi antar individu, antar kelompok (institusi, badan, lembaga, perusahaan dan lainnya) dan juga antar negara, maka hukum sangat diperlukan dalam mengatur dan menata persentuhan tersebut Ruang Lingkup Telekomunikasi Pengertian telekomunikasi berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa : Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. 15 Asril Sitompul, Hukum Telekomunikasi Indonesia, Books Terrace & Library, Bandung, 2005, hlm

2 25 Telekomunikasi memiliki karakteristik yang sangat penting sekaligus unik berupa peran ganda, yaitu : Sebagai means of transport,dan 2. Sebagai means of business Sebagai means of transport, telekomunikasi merupakan jaringan perangkat yang menyalurkan informasi dan berbagai content lainnya sebagai substitusi pergerakan fisik yang sangat dibutuhkan dalam aspek kehidupan dan bisnis sehari-hari. Sedangkan sebagai means of business, telekomunikasi merupakan salah satu industri yang termasuk kategori tingkat tinggi. 2. Asas dan Tujuan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tujuan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi tersebut terdapat pada Pasal 3, menyatakan bahwa : Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Di dalam tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan tercermin tujuan ideal yang hendak dicapai yang pendekatannya bukan perhitungan ekonomis. Tujuan ini tampak bahwa fungsi sosial pelayanan telekomunikasi cukup tinggi dan hal tersebut merupakan tujuan yang harus dicapai oleh pemerintah melalui penyelenggaraan telekomunikasi nasional Mulia P. Tambunan, Perspektif Bisnis Sektor Telekomunikasi Pasca UU No. 36 Tahun

3 26 Demikian pula mengenai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, fungsi pelayanan telekomunikasi disini bukan semata-mata mengejar kepentingan ekonomis, tetapi sarat dengan fungsi-fungsi sosial. Sedangkan di dalam tujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan kegiatan pemerintah, terkandung tujuan ekonomis dan politis, demikian pula di dalam fungsi meningkatkan hubungan antara bangsa. 3. Pelayanan Telekomunikasi Dalam pelayanan jasa dan jaringan telekomunikasi terdapat beberapa masalah, yaitu Bundling Services dan Unbundling Services. Dengan semakin optimalnya penggunaan kemajuan teknologi komunikasi yang mengalami konvergensi dengan teknologi komputer semakin memudahkan penyelenggaraan telekomunikasi untuk melakukan penggabungan bermacam-macam jasa menjadi satu paket jasa telekomunikasi. Penggabungan jasa tersebut lazim dinamakan bundling services. 17 Apabila ditinjau sekilas, bundling services ini kelihatannya semata-mata murni suatu tindakan atau strategi penjualan dan pemasaran. Dalam praktek, bundling services ini dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi sehingga dapat melanggar prinsip pelayanan jasa telekomunikasi yang fair. Sebagai lawan dari bundling sevices adalah unbundling services, dimana tiap-tiap jasa telekomunikasi yang ditawarkan 17 Asril Sitompul, Op.cit, hlm. 35.

4 27 bersifat tunggal dan tidak terkait dengan jasa lainnya. Dari perspektif kompetisi, unbundling services merupakan suatu upaya pendekatan yang optimal dalam kompetisi di bidang pelayanan dan karena itu membawa manfaat kepada upaya mendorong kompetisi antar penyelenggara, serta akan dapat menciptakan layanan jasa yang lebih baik dan lebih murah kepada mayoritas pengguna jasa telekomunikasi. Unbundling services juga dapat membawa manfaat kepada incumbent operator dalam meningkatkan penggunaan jaringan yang dioperasikannya. 18 Jika suatu penyelenggara memakai pendekatan unbundling services, maka masalah-masalah yang akan timbul adalah berhubungan dengan penetapan harga, termasuk dalam menentukan basis perhitungan interkoneksi. 4. Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, penyelenggaraan telekomunikasi pada hakekatnya terdiri dari 3 (tiga), yaitu: a. Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Penyelenggara jasa tekomunikasi adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Badan penyelenggara untuk jasa telekomunikasi dalam negeri (domestik) adalah PT. Telkom Tbk dan Badan Penyelenggara untuk jasa telekomunikasi luar negeri (internasional) adalah PT. Indosat. Badan 18 Asril Sitompul, ibid, hlm 36

5 28 usaha milik negara tersebut diberi wewenang untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi, seperti telepon, telex, faksimili dan sebagainya, maupun jasa telekomunikasi berupa jasa-jasa nilai tambah VAS (Value Added Service). Badan lain di luar badan penyelenggara, baik dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Koperasi juga berhak untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi nondasar. Sedangkan untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar, badan lain dapat bekerjasama dengan PT. Telkom dan atau PT. Indosat. Bentuk kerjasama antara badan penyelnggara dan badan lain ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1993, yaiut dapat berbentuk Kerjasama Operasi (KSO), usaha patungan dan kontrak manajemen. b. Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Khusus Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu, perorangan atau Badan Hukum untuk keperluan khusus atau untuk keperluan sendiri. Telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu atau badan hukum (perseroan terbatas atau koperasi) yang ditentukan berdasarkan hukum. Telekomunikasi khusus diselenggarakan berdasarkan izin yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus hanya diberikan Badan Hukum apabila wilayah tersebut belum tersedia atau belum

6 29 terjangkau fasilitas telekomunikasi yang dapat disediakan oleh Badan Penyelenggara atau badan lain. Telekomunikasi untuk keperluan khusus hanyadapat diselenggarakan dengan mempertimbangkan kerahasiaan dan jangkauan atau pengoperasiannya perlu bentuk sendiri. Penyelenggara telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah: 1) Instansi pemerintah tertentu untuk pelaksanaan tugas khusus; 2) Perseorangan; 3) Badan hukum. Ciri-ciri dari telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah : 1) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan Pertahanan Keamanan Negara diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Negara dan /atau ABRI; 2) Penyelenggaraan diperuntukkan bagi Pertahanan Keamanan Negara; 3) Bukan penyelenggaraan jasa telekomunikasi. c. Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Pertahanan dan Keamanan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi untuk Keperluan Pertahanan dan Keamanan Negara diatur bahwa : 1) Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan Pertahanan dan Keamanan Negara diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Negara dan /atau ABRI;

7 30 2) Penyelenggaraan diperuntukkan bagi Pertahanan Keamanan Negara; 3) Bukan merupakan penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Adanya perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional adalah merupakan kebutuhan nyata, mengingat kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan hal di atas, perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan yang memiliki nilai komersil tinggi, telah pula mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral. Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antar negara atas dasar kepentingan nasioanl, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti dan sejak penandatanganan

8 31 General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global. 19 Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasinya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka peran pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang melliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat. Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak berarti mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV Pasal 33 ayat (3) dinyatakan bahwa : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunkaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas dasar itu, hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas tetap dikuasai oleh negara. Sementara itu, sifat telekomunikasi adalah inheren dengan jangkauan jarak jauh sehingga mempunyai implikasi global. Sebaliknya wujud dan bentuk lingkungan telekomunikasi 19 Hadi Setia Tunggal, Penjelasan Undnag-Undang No. 36 Tahun 1999, Telekomunikasi Secara Umum, Harvarindo, 2000, hlm

9 32 dalam kebijaksanaan nasional tidak terlepas dari perubahan-perubahan yang berdimensi global, diantaranya dengan munculnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika sehingga mengakibatkan adanya reformasi dalam kebijaksanaan bidang telekomunikasi. Dengan tetap berpijak pada kebijaksanaan pembangunan nasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi, pemerintah merasa perlu mengeluarkan ketentuan baru untuk mengatur pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi. Atas dasar hal itulah, pamerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Undang Undang No. 36 Tahun 1999 harus mewakili profil telekomunikasi Indonesia masa depan yang mengandung unsur kompetisi ang sehat, efisien dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, serta harus pula mempunyai karakteristik yang anti monopoli dan melindungi konsumen. Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata. Kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri (Pasal 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999). Asas manfaat berarti pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil baik secara infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Asas adil

10 33 dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak. Asas kepastian hukum mengandung arti bahwa telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada investor, penyelenggara dan pengguna telekomunikasi. Selain itu, penyelenggaraan tekomunikasi harus mengembangkan ilim yang harmonis, timbal balik dan sinergi dalam penyelenggaraaan telekomunikasi. 20 Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secaa maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi sehingga dapat meingkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global. Asas kemitraan mengandung makna, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik dan sinergi dalam penyelenggaaraan telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan dan pengoperasiannya. Terakhir adalah asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme. 21 Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan 20 Penjelasan Undang-Undang No. 36 Tahun Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 178.

11 34 kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintah serta meningkatkan hubungan antar bangsa (Pasal 3 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999). Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi ini dapat dicapai antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka mengahdapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan. 22 Reformasi telekomunikasi dimaksudkan sebagai semua perubahan dan pembaharuan untuk perbaikan yang meliputi segala aspek, baik hukum, kebijakan, pengaturan, partisipasi, meupun penyelenggaraan. 23 Sesuai dengan asas-asas di atas, dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara penyelenggara telekomunikasi. Larangan tersebut sesuai dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Melindungi kepentingan dan keamanan negara; b. Mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global; 22 Ibid. 23 Departemen Perhubungan, Cetak Biru Kebijakan Pemerintah Tentang Telekomunikasi, Tahun 1999

12 35 c. Dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan; d. Peran serta masyarakat. Selain dari pasal di atas, di dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimanaan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); c. Badan usaha swasta; d. Koperasi. Dari kedua pasal tersebut, dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 membuka lebar-lebar penyelenggaraan telekomunikasi, tidak lagi terbatas hanya kepada Badan Penyelenggaara versi Undang- Undang No. 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi, melainkan semua kalangan baik pemerintah, swasta maupun perorangan. Menurut undangundang itu penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah dan instansi pertahanan keamanan negara. Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana

13 36 dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasinya, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. dengan demikian penyelenggara jaringan telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelengara jaringan telekomunikasi, izin tersebut diperoleh dari menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi. Agar terjadi kompetisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya, maka dalam Undang- Undang No. 36 Tahun 1999 Pasal 10 dicantumkan tentang larangan praktek monopoli yang menentukan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi. Hal ini tentu saja membuka peluang bagi semua pihak untuk terjun dalam bisnis telekomunikasi. Berkaitan dengan masalah perizinan, masalah perizinan setiap penyelenggara jasa telekomunikasi diwajibkan untuk memperoleh izin terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan dalam prosedur izi yang berlaku, terutama untuk jasa telekomunikasi yang dikomersialkan. Hal ini

14 37 tercantum dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : (1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari menteri; (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan : a. Tata cara yang sederhana; b. Proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; (3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 11 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pembinaan guna mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang sehat. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara berkala atas daerah atau wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaingan dan atau jasa telekomunikasi. Sebagai konsekuensi dari izin yang diberikan, setiap penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan bahwa kewajiban pelayanan universal atau USO (Universal Service Obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan /atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi. Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan prinsip

15 38 ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan mutu yang baik dan tarif yang layak. Kewajiban pelayanan universal terutama diperuntukkan untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomis belum berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil dan /atau daerah yang secara ekonomis kurang menguntungkan. Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan atau jasa sambungan jenis jasa di atas tetap diwajibkan memberikan kontribusi. Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan /atau penyelenggara jasa telekomunikasi harus mengikuti aturan yang ditentukan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dinyatakan : 1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari persentasi pendapatan; 2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

16 39 Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan dan merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang disetor ke kas negara. Seluruh ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. B. Penyelenggaraan Telekomunikasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 Di dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dikemukakan beberapa pengertian dari penyelenggara telekomunikasi yaitu : a. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. b. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkakn terselenggaranya telekomunikasi.

17 40 c. Penyelenggara jaringan teleomunikasi adalah penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkanterselenggaranya telekomunikasi. d. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. e. Penyelenggara telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntuk dan pengoprasiannya khusus. Lebih lanjut dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi meliputi : a. Penyelenggara jaringan komunikasi ; b. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi ; c. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan telekomunikasi ini tidak hanya pemerintah yang dapat menyelenggarakan telekomunikasi, tetapi usaha swasta pun dapat menjadi penyelengaraan telekomunikasi (termasuk BUMN yang telah diswastakan) dan koperasi dengan catatan kepemilikan swasta dan koperasi nasional lebih besar dari kepemilikan swasta asing. Dalam hal penyelenggaraan telekomunikasi terdapat perbedaan antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Perbedaan tersebut terletak pada pemberian izin penyelenggaraannya yang didasarkan hanya pada kelayakan usaha calon penyelenggara untuk menyelenggarakan jenis telekomunikasi yang

18 41 bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 Pasal 8 dinyatakan bahwa: 1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannnya; 2) Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggara jaringan yang sudah ada; 3) Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari menteri. Sesuai dengan hal tersebut, maka penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang disediakan tetapi penyelenggara jasa telekomunikasi dalam kegiatan usahanya harus terpisah dari penyelenggara jaringan yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa kategori penyelenggaraan jasa telekomunikasi di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tidak lagi membedakan antara jasa telekomunikasi dasar dan nondasar, seperti yang sekarang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Mengenai penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, penyelenggaraan jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Kemudian

19 42 dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, dinyatakan tetang siapa yang menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi antara lain: a. Penyelenggara jasa telepon dasar adalah penyelenggara jasa telepon, telegraf, teleks dan faksimili; b. Penyelenggara jasa nilai tambah telepon adalah penyelenggara jasa yang menawarkan layanan nilai tambah untuk telepon dasar antara lain jasa telepon melalui jaringan pintar, kartu panggil (calling card), jasa-jasa dengan teknologi interaktif voice response dan radio panggil untuk umum. c. Penyelenggara jasa multimedia adalah penyelenggara jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi termasuk di dalamnya antara lain penyelenggara jasa internet telepon, jasa akses internet dan jasa aplikasi multimedia pita besar. Pada Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik dan wajib memberikan pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis yang mana diatur dalam Keputusan Menteri. Penyelenggara jasa telekomunikasi dikenakan biaya interkoneksi seperti yang tertera dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa:

20 43 1. Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui dua penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi; 2. Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil; 3. Biaya interkoneksi dikenakan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal; 4. Apabila terjadi perbedaan besarnya biaya penggunaan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), para penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat melakukan penyelesaian upaya hukum melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang kontribusi dalam pelayanan universal, maka kontribusi pelayanan universal tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 menyatakan bahwa kontribusi kewajiban pelayanan universal berupa : a. Penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi; b. Kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi atau c. Kontribusi lainnya.

21 44 Kemudian dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 disebutkan antara lain bahwa untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal menteri menetapkan : a. Wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal; b. Jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal; c. Jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal; d. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan universal. Dalam hal penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi di masa depan, telekomunikasi Indonesai mempunyai karakteristik multi operator, berdasarkan persaingan dan pro-konsumen. Penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi ini, selain dipegang oleh PT. Telkom Tbk dan PT. Indosat Tbk sebagai penyelenggara, juga terdapat operator lain yaitu usaha swasta dan koperasi yang mempunyai kelayakan usaha dan mendapat izin penyelenggara. 24 Di dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dikemukakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak ada keharusan lagi untuk bekerja sama antar penyelenggara untuk dapat menyelenggarakan telekomunikasi. Pada saat ini, badan lain atau usaha swasta tanpa harus bekerja sama dengan badan penyelenggara dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi 24 diunduh tanggal 31 September 2010.

22 45 mendasar, yang meliputi antara lain jasa akses internet, premium call, telepon umum dan wartel karena modal yang diperlukan relatif tidak besar, usaha kecil dan menegah kebanyakan aktif dalam penyelenggara jasa ini yang diselenggarakan secara kompetitif. Di masa depan meskipun tidak lagi dinamakan jasa telekomunikasi nondasar, jenis jasa-jasa tersebut terus meningkat, sehingga peluang bagi usaha kecil dan menengah untuk berusaha akan jauh lebih besar. Dalam hal tarif jasa telekomunikasi, pada saat ini diatur oleh pemerintah sedangkan untuk masa yang akan datang jasa telekomunikasi yang penguasaan pasar penyelenggaraannya dominan sekali tarif ditentukan olah regulator dengan berorientasi pada biaya. Untuk jasa telekomunikasi yang para penyelenggaraannya kurang lebih mempunyai penguasaan pasar yang setara, tarif ditentukan oleh mekanisme pasar. Di dalam ketentuan pertelekomunikasian Indonesia yang baru yaitu Udang-Undang No. 36 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 dinyatakan bahwa semua penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggaran jasa telekomunikasi harus mempuntyai izin dengan status dan wewenang yang sama untuk jenis penyelenggaraan telekomunikasi yang sama. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi tidak lagi diwajibkan mengadakan kerjasama untuk menyelenggarakan telekomunikasi, seperti dalam Undnag-Undang No. 3 Tahun 1989 yang mengharuskan badan lain (usaha swasta) bekerjasama dengan badan penyelenggara untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi dasar.

23 46 C. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Telekomunikasi Dalam penyelenggaraan dari pelayanan telekomunikasi, dikenal beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh para peyelenggara, baik yang mempunyai posisi dominan, operator incumbent, maupun pendatang baru. Prinsip-prinsip ini diperlukan untuk menjaga agar penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan secara efisien dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia termasuk wilayah terpencil. Tanpa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tersebut akan terjadi hambatan diantaranya adalah terjadinya kecenderungan peyelenggara untuk mendominasi pasar yang akan berakibat terjadinya monopoli, kemudian dengan terjadinya monopoli maka akan sulit dicapai penyediaan layanan jasa dengan harga yang kompetitif. Beberapa prinsip yang penting dalam penyelenggaraan telekomunikasi, yaitu : a) Non entry-barrier Pengertian dari prinsip ini adalah bahwa operator tidak boleh saling menghambat untuk masuk ke pasar. Secara umum, Undang-Undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi melarang semua tindakan yang bersifat menghambat operator telekomunikasi memasuki pasar. Hal ini tercermin dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

24 47 terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi. b) Non-diskriminasi Penyelenggara telekomunikasi diwajibkan memberikan pelayanan yang sama kepada para pelanggan dan pengguna telekomunikasi tanpa diskriminasi. Hal ini tercermin dari Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggara Telekomunikasi yang menyatakan bahwa : Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia. Hal itu sejalan dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip non-diskriminasi ini bukan hanya diberlakukan terhadap pelanggan ataupun pengguna akhir jasa telekomunikasi, namun juga diberlakukan terhadap pengguna jasa atau jaringan telekomunikasi yang berupa operator lain yang menggunakan jaringan atau jasa dengan skim interkoneksi. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 21 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa Penyelenggara jaringan telekomunikasi dilarang melakukan diskriminasi

25 48 dalam penyediaan interkoneksi. Demikian pula pada Pasal 24 yang menyatakan bahwa Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif. c) Larangan subsidi silang Subsidi silang dilakukan diantara : 1) Bisnis versus Residensial Dalam hal ini, pelanggan bisnis dikenakan tarif lebih tinggi daripada pelanggan residensial untuk jasa yang sama. Apabila hal ini terjadi untuk suatu wilayah pelayanan, seorang pelanggan yang membuka usaha di sebuah toko dan yang lainnya adalah pelanggan rumah tangga biasa, biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan jasa untuk kedua pelanggan tersebut adalah sama besarnya, maka terjadi subsidi silang yaitu pelanggan bisnis memberi subsidi kepada pelanggan residensial. 2) Urban versus Rural Biaya untuk penyelengaraan telepon per pelanggan di daerah perkotaan lebih rendah dari biaya penyelenggaraan di daerah pedesaan, karena lebih banyak pelanggan yang dapat dilayani oleh satu sentral telepon di perkotaan daripada satu sentral telepon di pedesaan dengan kapasitas yang sama. Apabila tarif yang dikenakan sama, maka terjadi

26 49 subsidi silang dalam bentuk pengenaan tarif yang sama untuk pelayanan yang memerlukan biaya yang berbeda. 3) SLJJ versus Lokal Dalam upaya menambah pelanggan lokal, penyelenggara menurunkan biaya pemasangan telepon baru dan tarif yang dikenakan untuk pembicaraan lokal, namun di balik itu penyelenggara menaikkan tarif yang dikenakan untuk pembicaraan interlokal. Dalam hal ini terjadi subsidi silang dari pengguna SLJJ ke pengguna lokal. 4) Rute Padat versus Rute Tidak Padat Biaya untuk panggilan SLJJ cenderung lebih tinggi apabila semakin jauh rute lintasan panggilan dan semakin lama pembicaraan dilakukan dan tarif dikenakan berdasarkan kedua unsur tersebut, akan tetapi apabila ada waktu dan jarak relatif sama, maka frekuensi percakapan mempengaruhi biaya, semakin banyak percakapan dilakukan, maka akan semakin rendah biaya. Hal itu akan menyebabkan terjadinya subsidi silang antara percakapan di rute yang padat ke percakapan di rute yang sepi. Di pasar telekomunikasi selalu terdapat kekuatiran terhadap kemungkinan operator telekomunikasi incumbent yang dominan akan melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dimilikinya dengan melakukan tindakan subsidi silang yang ditujukan untuk menghambat pesaingnya yang sama.

27 50 Salah satu cara menghapuskan subsidi silang adalah dengan menerapkan rebalancing tariff, yaitu dengan melakukan penyesuaian tarif-tarif pada jasa-jasa yang berbeda sehingga lebih mendekati biayabiaya (costs) yang menjadi beban penyelenggara. Rebalancing ini hampir sama pengertiannya dengan efficient pricing yang dilakukan di pasar yang kompetitif. D. Pengaturan Persaingan Usaha Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pada hakikatnya orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong banyak orang menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan usaha yang sejenis maupun kegiatan usaha yang berbeda. Keadaan yang demikian itulah sesungguhnya yang menimbulkan atau melahirkan persaingan usaha di antara para pelaku usaha. Oleh karena itulah, persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha itu merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. 25 Persaingan usaha merupakan prasyarat ekonomi pasar bebas yang memberikan empat keuntungan dalam pembangunan ekonomi Indonesia, yaitu terciptanya harga yang kompetitif, peningkatan kualitas hidup oleh karena 25 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 9.

28 51 inovasi yang terus-menerus, mendorong dan meningkatkan mobilitas masyarakat, serta adanya efisiensi baik efisiensi produktif maupun alokatif. Namun demikian, keuntungan tersebut dapat kita nikmati hanya jika terdapat faktor-faktor penentu, yaitu: stabilitas dan prediktabilitas hukum, keadilan, pendidikan, dan kemampuan aparat penegak hukum. 26 Persaingan dalam dunia usaha antara pelaku usaha akan mendorong pelaku usaha berkonsentrasi pada rangkaian proses atau kegiatan penciptaan produk dan jasa terkait dengan kompetensi usahanya. Dengan adanya konsentrasi pada kompetensi usahanya, pelaku usaha sebagai produsen akan dapat menghasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran dalam negeri maupun luar negeri Persaingan Usaha Secara Umum Berkaitan dengan hal persaingan usaha, maka keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentigan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Kelahiran undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktek diunduh tanggal 31 Agustus Hermansyah, Op.cit, hlm. 10.

29 praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. 28 Di dalam UU Antimonopoli tidak ditetapkan definisi persaingan usaha, karena persaingan usaha itu mempunyai fenomena yang beragam dan mencakup berbagai macam pengertian dalam perekonomian modern sehingga tidak terdapat kesamaan pendapat mengenai definisi dari persaingan usaha. Oleh karena itu untuk menetapkan suatu persaingan usaha yang sehat, ditetapkanlah ketentuan-ketentuan normatif di dalam UU Antimonopoli tersebut, baik itu mengenai perjanjian yang dilarang (pasal 4 sampai pasal 16), kegiatan yang dilarang (pasal 17 sampai pasal 24), maupun mengenai posisi dominan, jabatan rangkap dan mengenai merger dan akuisisi (pasal 25 sampai pasal 29). Jika ketentuan-ketentuan tersebut tidak dilanggar oleh pelaku usaha, maka dapat dikatakan, bahwa pada suatu pasar tertentu tercipta suatu persaingan usaha yang sehat. 29 Dapat disimpulkan bahwa suatu persaingan usaha tidak sehat terjadi pada suatu pasar tertentu, apabila ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli tersebut dilanggar oleh pelaku usaha. Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa : Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau 28 Rachmadi Usman,Op.cit, hlm diunduh tanggal 1 September

30 53 pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 2. Ruang Lingkup Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Jika kita telusuri ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka tindakan tindakan yang berhubungan dengan pasar yang perlu diatur oleh hukum anti monopoli yang sekaligus merupakan ruang lingkup dari hukum anti monopoli tersebut adalah sebagai berikut: a) Perjanjian yang dilarang; b) Kegiatan yang dilarang; c) Penyalahgunaan posisi dominan; d) Komisi Pengawas Persaingan Usaha; e) Tata cara penanganan perkara; f) Sanksi-sanksi; g) Perkecualian-perkecualian. 3. Asas dan Tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terdapat asas dan tujuan dalam menjalankan kegiatan usaha bagi para pelaku usaha. Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

31 54 Berkaitan dengan tujuan, hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa : Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah : a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dengan menyimak tujuan di atas, kita dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-Undang Antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas dan memberikan sanksi terhadap para pelanggarnya. Dengan kata lain, eksistensi Undang-Undang Antimonopoli adalah untuk memastikan bahwa sistem ekonomi yang berdasarkan persaingan usaha, dapat memotivasi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan harga yang terjangkau oleh konsumen dengan memanfaatkan sumber produksi yang seminimal mungkin. 4. Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha Dalam hukum persaingan usaha dikenal beberapa pendekatan dalam penerapannya, yaitu : Hermansyah,Op.cit, hlm. 74.

32 55 a. Pendekatan Perse Illegal Menurut Dr. Sutrisno Iwantono, MA dalam tulisannya yang berjudul Perse Illegal dan Rule of Reason dalam Hukum Persaingan Usaha yang dimaksud dengan perse illegal adalah suatu perbuatan yang secara inheren bersifat dilarang atau ilegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan atau praktek yang bersifat dilarang atau ilegal tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan tersebut. 31 Mengenai apa yang dimaksud dengan perse illegal itu dapat juga diartikan sebagai suatu terminologi yang menyatakan bahwa suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha. b. Pendekatan Rule of Reason Pendekatan Rule of Reason yaitu penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha. Dengan perkataan lain, melalui pendekatan rule of reason, apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan tu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya. Pertimbangan atau argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain pesaingan+usaha&aq=o&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=, di unduh tanggal 18 desember 2010.

33 56 adalah aspek ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi tertentu dan fairness. c. Pendekatan lain Terdapat dua pendekatan lain, yaitu pendekatan de minimis rule yang merupakan pengecualian melakukan kartel bagi pelaku usaha sepanjang tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition). Pendekatan lain adalah pendekatan teori teleologisch, yaitu teori yang menerapkan ketentuan Undang-Undang Antimonopoli sesuai dengan tujuan undang-undang yang bersangkutan.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI I.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI I. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI I. U M U M 1. Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun tentang

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Regulasi Indonesia untuk Penyelenggaraan IMS

Analisis Kebijakan Regulasi Indonesia untuk Penyelenggaraan IMS Analisis Kebijakan Regulasi Indonesia untuk Penyelenggaraan IMS Pendahuluan Banyak pendapat yang menghendaki penyempurnaan Regulasi Telekomunikasi di Indonesia. Dengan makin berkembangnya teknologi telekomunikasi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 05 /PER/M.KOMINFO/I/2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 05 /PER/M.KOMINFO/I/2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 05 /PER/M.KOMINFO/I/2006 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelengaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 33 TAHUN 2004 TENTANG PENGAWASAN KOMPETISI YANG SEHAT DALAM PENYELENGGARAAN JARINGAN TETAP DAN PENYELENGGARAAN JASA TELEPONI DASAR MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI UMUM Penyelenggaraan telekomunikasi yang mempunyai peranan penting dan startegis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : TAHUN 2005 TENTANG PENYEDIAAN SARANA TRANSMISI TELEKOMUNIKASI INTERNASIONAL PADA SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT (SKKL) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN WEBSITE PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN WEBSITE PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENDAYAGUNAAN WEBSITE PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM, Menimbang : a. bahwa pembangunan dan penyelenggaraan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2001 T E N T A N G PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2001 T E N T A N G PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2001 T E N T A N G PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa untuk meningkatkan peranan telekomunikasi dalam menunjang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.46 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.46 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA ====================== KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM.46 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan

Lebih terperinci

Source situs kominfo/dowdloaded by mandor/170707/distributed to all daerahs & ham concern by 1

Source situs kominfo/dowdloaded by mandor/170707/distributed to all daerahs & ham concern by  1 Perubahan Esensi Pengaturan Interkoneksi, USO, Tarif, Perizinan, Sertifikasi Perangkat, Penyadapan Informasi, Pencabutan Izin dan Kewajiban Denda serta Penyiaran Di Dalam Rancangan Perubahan Atas Peraturan

Lebih terperinci

Pemahaman Terhadap UU.36 / 1999 Tentang Telekomunikasi

Pemahaman Terhadap UU.36 / 1999 Tentang Telekomunikasi Pemahaman Terhadap UU.36 / 1999 Tentang Telekomunikasi Oleh : Agus Priyanto, M.Kom SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI TELEMATIKA TELKOM Smart, Trustworthy, And Teamwork Timeline Perundang-undangan Telekomunikasi

Lebih terperinci

2017, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika te

2017, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika te No.233, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KOMINFO. Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2017

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 11/PER/ M.KOMINFO/04/ 2007 TENTANG PENYEDIAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA INTERNET TELEPONI UNTUK KEPERLUAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 36 TAHUN 1999 (36/1999) TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 36 TAHUN 1999 (36/1999) TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 36 TAHUN 1999 (36/1999) TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan pembangunan nasional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright 2000 BPHN PP 8/1993, PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI *33025 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1993 (8/1993) Tanggal: 16 PEBRUARI 1993 (JAKARTA)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 12, 1993 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3514) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 TENTANG PENYELENGGARAAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM TAHUN 2002 T E N T A N G KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL MENTERI PERHUBUNGAN

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM TAHUN 2002 T E N T A N G KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL MENTERI PERHUBUNGAN RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM TAHUN 2002 T E N T A N G KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL MENTERI PERHUBUNGAN Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN MENARA BERSAMA

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01 /PER/M. KOMINFO/01/2009 TENTANG

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01 /PER/M. KOMINFO/01/2009 TENTANG MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01 /PER/M. KOMINFO/01/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA PESAN PREMIUM DAN PENGIRIMAN JASA PESAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 11 / PER / M.KOMINFO / 04 / 2007 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 11 / PER / M.KOMINFO / 04 / 2007 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 11 / PER / M.KOMINFO / 04 / 2007 TENTANG PENYEDIAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN MENARA BERSAMA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 34 TAHUN 2004 T E N T A N G KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 34 TAHUN 2004 T E N T A N G KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 34 TAHUN 2004 T E N T A N G KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka tindaklanjut Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN LAYANAN TELEVISI PROTOKOL INTERNET (INTERNET PROTOCOL TELEVISION) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN PERATURAN DAERAH KOTA TIDORE KEPULAUAN NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA POS DAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1991 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1991 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1991 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa untuk lebih meningkatkan peranan telekomunikasi dalam

Lebih terperinci

NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR.. TAHUN 2005 TENTANG REGISTRASI TERHADAP PENGGUNA JASA TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR.. TAHUN 2005 TENTANG REGISTRASI TERHADAP PENGGUNA JASA TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR.. TAHUN 2005 TENTANG REGISTRASI TERHADAP PENGGUNA JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO . PETIKAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH (BUMD) KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a.

Lebih terperinci

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 16 /PER/M.KOMINFO/9/2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 16 /PER/M.KOMINFO/9/2005 TENTANG PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 16 /PER/M.KOMINFO/9/2005 TENTANG PENYEDIAAN SARANA TRANSMISI TELEKOMUNIKASI INTERNASIONAL MELALUI SISTEM KOMUNIKASI KABEL LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat

BAB V PENUTUP. kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dan telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk.

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk. PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk. ABSTRACT Oleh Ni Ayu Putu Mery Astuti I Wayan Wiryawan Hukum Perdata Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG REGISTRASI PELANGGAN JASA TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG REGISTRASI PELANGGAN JASA TELEKOMUNIKASI PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG REGISTRASI PELANGGAN JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2010 TENTANG KONVERGENSI TELEMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2010 TENTANG KONVERGENSI TELEMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2010 TENTANG KONVERGENSI TELEMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI DRAFT UJI PUBLIK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 52 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENYIARAN DIGITAL DAFTAR ISI. 1. Undang Undang RI Nomor : 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi...

HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENYIARAN DIGITAL DAFTAR ISI. 1. Undang Undang RI Nomor : 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi... HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENYIARAN DIGITAL DAFTAR ISI 1. Undang Undang RI Nomor : 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi... 1 2. Undang Undang RI Nomor : 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran...

Lebih terperinci

2016, No Service Obligation sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, sehingga perlu diganti dengan Peraturan Menteri yang baru; c. bahwa d

2016, No Service Obligation sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, sehingga perlu diganti dengan Peraturan Menteri yang baru; c. bahwa d BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1444, 2016 KEMENKOMINFO. PNBP. Pelayanan Universal. Tarif. Juklak. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA

BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA Ritel Waralaba berdampingan dengan Warung Tradisional (Jl.Bung Km.11 Tamalanrea-Makassar) Drs. HARRY KATUUK, SH, M.Si dan AGNES SUTARNIO, SH, MH

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH R.I NO. 52 TAHUN 2000 T E N TA N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH R.I NO. 52 TAHUN 2000 T E N TA N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH R.I NO. 52 TAHUN 2000 T E N TA N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI UMUM Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam kehidupan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.217, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKOMINFO. Sanksi Administratif. Denda. Penyelenggara Telekomunikasi. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYEDIAAN JASA PERLUASAN JANGKAUAN LAYANAN TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PADA PROGRAM KEWAJIBAN PELAYANAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO dan GUBERNUR GORONTALO MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO dan GUBERNUR GORONTALO MEMUTUSKAN: GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN BERLANGGANAN TELEVISI MELALUI KABEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang

BAB V PENUTUP. Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang 111 BAB V PENUTUP A.KESIMPULAN Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu: 1. Untuk mengetahui mekanisme masukknya BBM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 103 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 103 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 103 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KOMUNIKASI dan INFORMATIKA. Penagihan. Pemungutan. PNBP.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KOMUNIKASI dan INFORMATIKA. Penagihan. Pemungutan. PNBP. No.731, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KOMUNIKASI dan INFORMATIKA. Penagihan. Pemungutan. PNBP. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PER/M.KOMINFO/12/2010

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor: 166, Tambahan Le

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor: 166, Tambahan Le No.606, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKOMINFO. Telekomunikasi Khusus. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG UTARA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI - 1 - KONSULTASI PUBLIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 84 TAHUN 2002 TENTANG KLIRING TRAFIK TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 84 TAHUN 2002 TENTANG KLIRING TRAFIK TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 84 TAHUN 2002 TENTANG KLIRING TRAFIK TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang a. Bahwa untuk mendukung kebutuhan regulator dalam pelaksanaan fungsi perencanaan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH ATAU BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN MENARA TELEKOMUNIKASI BERSAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 21 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ 2010. TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Paradigma baru di bisnis telekomunikasi ini sudah barang tentu juga akan berimbas pada kebijakan dan strategi perusahaan itu sendiri.

Paradigma baru di bisnis telekomunikasi ini sudah barang tentu juga akan berimbas pada kebijakan dan strategi perusahaan itu sendiri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan perubahan lingkungan ekonomi global, liberalisasi dan laju kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika yang berlangsung sangat dinamis, telah mendorong

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR Menimbang Mengingat SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN

Lebih terperinci

15 Februari apa isi rpm konten

15 Februari apa isi rpm konten 15 Februari 2010 http://www.detikinet.com/read/2010/02/15/125757/1299704/399/seperti apa isi rpm konten MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN MENARA TELEKOMUNIKASI BERSAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PENYEDIAAN KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL Tahun : 2014 Nomor : 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEGAL, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN MELALUI SATELIT, KABEL, DAN TERESTRIAL DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tenaga listrik

Lebih terperinci