BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran saat ini telah berkembang sangat pesat. Namun perkembangan tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dalam masyarakat. Karena itu, tidak sedikit masyarakat berupaya mencari pengobatan alternatif atau pelengkap dari pengobatan medis. 1 Kenyataan ini terjadi di pelbagai negara, termasuk di negara maju sekalipun, seperti Jepang, Amerika Serikat, Eropa. Metode kedokteran komplementer dan alternatif (Complementary and Alternative Medicine CAM) berkembang pesat di negara tersebut. Bahkan di Amerika Serikat terdapat National Center of CAM berada di bawah Departemen Kesehatan negara tersebut. 1 Trend penggunaan pengobatan alternatif di dunia memang meningkat. Di negara maju seperti Amerika Serikat, data National Center for Health Statistics tahun 1997 menunjukkan uang yang dikeluarkan warga Paman Sam untuk pengobatan alternatif sebesar US$ 27 miliar atau sekitar Rp.266 triliun. Sedangkan data National Center for Health Statistics tahun 2007 menunjukkan peningkatan yakni sebesar US$ 33,9 miliar atau sekitar Rp.334,7 triliun. 2 Salah satu survei yang dirilis bulan Agustus 2009, yang dilakukan oleh lembaga penelitian kesehatan terintegrasi di Inggris (The Diagnostic Clinic, London), membuktikan bahwa minat orang menggunakan pengobatan alternatif sama besarnya dengan yang medis konvensional. Satu dari empat orang yang disurvei berpendapat bahwa pengobatan ala Barat hanya salah satu cara mengatasi gangguan kesehatan. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan terapi komplementer-alternatif makin populer di kalangan orang muda. 2 Karena terapi alternatif ini makin menjadi trend di kalangan orang modern, Pemerintah Inggris mengucurkan dana 900 ribu pound sterling atau sekitar Rp.15,4 miliar untuk kepentingan memformulasikan regulasi sejumlah praktek pengobatan alternatif. Urgensi membakukan pengobatan tradisional dalam berbagai ukuran yang dipertanggungjawabkan memang makin tinggi. 2 Di Indonesia, Pengobatan Komplementer dan Alternatif (PKA) juga berkembang dan diminati oleh masyarakat. Dari hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS), tampak bahwa jumlah masyarakat yang menggunakan metode pengobatan komplementer dan Kelompok I Halaman 1

2 alternatif semakin meningkat. Dari sekitar 15,23% pada tahun 1998; 16,24% tahun 2000; naik menjadi 30,76% pada tahun 2003; dan 35,52% tahun Secara nyata minat masyarakat ini juga didukung Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1109 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer dan Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, terutama di sarana pelayanan kesehatan formal (rumah sakit). 1 Menurut aturan itu, pelayanan komplementer-alternatif dapat dilaksanakan secara sinergi, terintegrasi, dan mandiri di fasilitas pelayanan kesehatan; serta pelayanan/pengobatan itu harus aman, bermanfaat, bermutu, dan dikaji institusi berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3 B. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Memenuhi kewajiban atau tugas mata kuliah Konsep Herbal Indonesia Program Magister Herbal Universitas Indonesia dengan topik Aspek Legal Keprofesian sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Altenatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2. Membahas dan mengkritisi pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Altenatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, terutama yang berkaitan dengan aspek legal keprofesian. 3. Memberikan saran-saran terhadap isi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer- Altenatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, guna tercapainya regulasi penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif yang baku, legal, sesuai standar dan etika keprofesian, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok I Halaman 2

3 BAB II PEMBAHASAN A. Pengobatan Komplementer-Alternatif Salah satu jenis pengobatan non-konvensional yang sangat besar penggunaannya dalam masyarakat adalah pengobatan tradisional komplementer-alternatif. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), penggunaan pengobatan tradisional termasuk di dalamnya pengobatan komplementer-alternatif meningkat dari tahun ke tahun (digunakan oleh 40 % penduduk Indonesia). 4 Di Amerika Serikat terapi komplementer dan kedokteran alternatif adalah lingkup yang luas dari sumber penyembuhan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, dan praktek yang didasari oleh teori dan kepercayaan mereka. Atau secara sederhana, pengobatan komplementer bisa diartikan metode penyembuhan yang caranya berbeda dari pengobatan konvensional di dunia kedokteran. 3 Berdasarkan survei pada tahun 2002, ternyata 74,6% penduduk Amerika Serikat yang berusia dewasa (umur di atas 18 tahun) pernah menggunakan pengobatan komplementer-alternatif, dan dalam 1 tahun terakhir sebanyak 62,1% penduduk dewasa menggunakan pengobatan komplementer-alternatif, sebagaimana bisa dilihat pada diagram batang di bawah ini: Gambar 1. Diagram batang survei di AmerikaSerikat tahun 2002 ( Kelompok I Halaman 3

4 Secara sederhana, pengobatan komplementer-alternatif bisa diartikan sebagai metode penyembuhan yang caranya berbeda dengan pengobatan konvensional di dunia kedokteran yang mengandalkan obat kimia dan operasi. Ada metode yang memakai pendekatan holistik, yang mengaitkan kesehatan dengan hubungan pikiran, tubuh, dan jiwa. Metode lainnya adalah pendekatan biologi, yang memanfaatkan bahan alami dan ramuan tumbuhan. Ada juga yang mengandalkan manipulasi pada bagian tubuh tertentu. Dalam prakteknya, metodemetode ini terkadang diterapkan secara bersamaan. 5 Pada dasarnya, terapi komplementer bertujuan untuk memperbaiki fungsi dari sistemsistem tubuh, terutama sistem kekebalan dan pertahanan tubuh, agar tubuh dapat menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit, karena tubuh kita sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, asalkan kita mau mendengarkannya dan memberikan respon dengan asupan nutrisi yang baik dan lengkap serta perawatan yang tepat. Ada banyak jenis metode dalam terapi komplementer ini, seperti akupunktur, chiropractic, pijat refleksi, yoga, tanaman obat/herbal, homeopati, naturopati, terapi polaritas atau reiki, teknik-teknik relaksasi, termasuk hipnoterapi, meditasi, visualisasi, dan sebagainya. Obatobat yang digunakan bersifat alami atau mengambil bahan dari alam, seperti jamu-jamuan, rempah yang sudah dikenal (jahe, kunyit, temulawak dan sebagainya). Pendekatan lain seperti menggunakan energi tertentu yang mampu mempercepat proses penyembuhan, hingga menggunakan doa tertentu yang diyakini secara spiritual memiliki kekuatan penyembuhan. 6 Di Amerika Serikat National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM, 2005) secara sistematis mengklasifikasikan pengobatan komplementer-alternatif menjadi 5 kategori, yakni: 7,8,9 1. alternative medical systems (misalnya homeopati, naturopati, ayurveda, dan Traditional Chinese Medicine). 2. mind-body interventions, (misalnya melaui biofeedback, meditasi, spiritually relaxation, yoga). 3. biologically based therapies (misalnya dengan makanan, vitamin, herbal). 4. manipulative and body-based methods (misalnya chiropractic, pijat, osteopati). 5. energy therapies (misalnya terapi sentuhan, magnet, Reiki, Qigong). Berikut ini ditampilkan gambar yang menjelaskan sistematika 5 kategori/domain pengobatan komplementer-alternatif di Amerika Serikat: Kelompok I Halaman 4

5 Gambar 1. Lima domain CAM di Amerika Serikat ( Sedangkan Parlemen Inggris (House of Lords, 2000) membagi pengobatan komplementer-alternatif menjadi 3 kelompok besar atau 3 grup, yaitu: 10,11 1. Group 1: Professionally Organised Alternative Therapies (contohnya akupunktur, chiropractic, herbal medicine, homeopati, osteopati). 2. Group 2: Complementary Therapies (contohnya aromaterapi, meditasi, refleksologi, hipnoterapi, pijat, shiatsu, yoga, meditasi, Alexander Technique, nutritional medicine). 3. Group 3: Alternative Disciplines, dibagi menjadi 3 subgrup: 3a: Long-established and traditional systems of healthcare (misalnya Anthroposophical medicine, Ayurvedic medicine, Chinese herbal medicine, eastern medicine, naturopati). 3b: Other alternative disciplines (misalnya iridologi, kinesiologi, crystal therapy). Para ahli berpendapat bahwa terapi komplementer relatif aman karena menggunakan cara-cara alami yang jauh dari bahan-bahan kimia yang banyak memberikan efek samping. Walaupun dianggap alami, tetap harus dikaji dan diteliti tingkat keefektifan dan keamanannya. Memang penelitian tentang terapi komplementer masih jarang, dikarenakan belum memiliki standar yang baku. Penelitian ilmiah juga sangat mahal biayanya. Namun, bukan berarti tidak ada terapi komplementer yang sukses diteliti, beberapa terapi telah teruji dan terbukti kemanjurannya. 6 Kelompok I Halaman 5

6 Pengobatan komplementer-alternatif itu selayaknya diberlakukan sebagai komplemen, bukan menggantikan yang modern (Farid Husain, 2009). Sehingga penelitian yang sesuai dengan metode ilmiah wajib dilakukan. Tujuannya adalah melindungi dan memajukan tingkat pelayanan kepada pasien agar pengobatan itu benar-benar terjamin, aman, dan aksesnya terbuka, serta terjangkau oleh masyarakat. 2 Dasar hukum penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di Indonesia adalah sebagai berikut: 4 1. Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan a. Pasal 1 butir 16 Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat b. Pasal 48 Pelayanan Kesehatan Tradisional c. Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisonal 2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1076/Menkes/SK/2003 tentang Pengobatan Tradisional. 3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 4. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.120/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Hiperbarik. 5. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No. HK.03.05/I/199/2010 tentang Pedoman Kriteria Penetepan Metode Pengobatan Komplementer -Alternatif yang dapat Diintegrasikan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Boleh dibilang, payung hukum di bidang pengobatan komplementer-alternatif itu agak terlambat. Selain di Cina dan India, di negara-negara Eropa dan Amerika, pengobatan ini telah berkembang pesat dan sudah resmi dipraktekkan selama puluhan tahun. Di sana, pelbagai metode dalam pengobatan komplementer telah diterapkan, dari herbalisme hingga neural therapy. Meski agak terlambat, peraturan pemerintah itu telah memacu berkembangnya pengobatan komplementer-alternatif di Tanah Air. Kini, selain dokter perorangan dan klinik swasta, rumah sakit milik pemerintah juga membuka poliklinik pengobatan komplementer-alternatif. 2 Kelompok I Halaman 6

7 Terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1076/Menkes/SK/2003 tentang Pengobatan Tradisional dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1109/Menkes/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan pengobatan komplementeralternatif; yang antara lain mengatur fasilitas pelayanan kesehatan, jenis pengobatan, dan tenaga pelaksana, termasuk tenaga asing. 4 Berdasarkan Permenkes Nomor 1109 Tahun 2007, pengobatan komplementeralternatif adalah pengobatan non-konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik dan belum diterima dalam kedokteran konvensional. Dalam penyelenggaraannya harus sinergi dan terintegrasi dengan pelayanan pengobatan konvensional; dengan tenaga pelaksananya dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan dalam bidang pengobatan komplementeralternatif. Jenis pengobatan komplementer-alternatif yang dapat diselenggarakan secara sinergi dan terintegrasi harus ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah melalui pengkajian. 4 Jenis-jenis pelayanan pengobatan komplementer-alternatif berdasarkan Permenkes RI Nomor 1109/Menkes/Per/2007 adalah: 4 1. Intervensi tubuh dan pikiran: Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga 2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif: akupunktur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda 3. Cara penyembuhan manual: chiropractic, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut 4. Pengobatan farmakologi dan biologi: jamu, herbal, gurah 5. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan: diet makronutrien, mikro nutrien 6. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan: terapi ozon, hiperbarik, EECP Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, ditetapkan 12 (dua belas) Rumah Sakit Pendidikan yang melaksanakan pelayanan pengobatan komplementer tradisional alternatif, yaitu RS Kanker Dharmais Jakarta, RSUP Persahabatan Jakarta, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, RSUP Prof. Dr. Kandau Menado, RSUP Sanglah Denpasar, RSUP Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar, RS TNI AL Mintoharjo Jakarta, RSUD Dr. Pringadi Medan, RSUD Saiful Anwar Malang, RS Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Solo, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dan RSUP Dr. Suraji Tirtonegoro Klaten. 4 Kelompok I Halaman 7

8 Di Indonesia, pengobatan komplementer-alternatif sudah banyak dilakukan selama lebih dari satu dekade dan dijadikan bahan analisis kajian dan penentuan kebijakan lebih lanjut tentang keamanan dan efektivitas pengobatan komplementer-alternatif. Selama ini masalah dan hambatannya adalah: 4 1. Penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif belum menjadi program prioritas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. 2. Belum memadainya regulasi yang mendukung pelayanan kesehatan komplementeralternatif. 3. Masih lemahnya pembinaan dan pengawasan. 4. Terbatasnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan bimbingan. 5. Masih terbatasnya pengembangan program Pelayanan Kesehatan Komplementer Tradisional Alternatif di Pusat dan Daerah. 6. Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk Pelayanan Kesehatan Komplementer Tradisional Alternatif. 7. Fungsi SP3T dalam penapisan Pelayanan Kesehatan Komplementer Tradisional Alternatif belum berjalan sesuai harapan. Untuk itu, Kementerian Kesehatan menyusun rencana tindak lanjut berupa: 4 1. Penyusunan sistem pelayanan pengobatan non-konvensional untuk menata seluruh stakeholders yang terkait dalam penyelenggaraan pengobatan komplementer tradisional alternatif. 2. Penyusunan formularium vademicum pengobatan herbal yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi dokter/dokter gigi yang menuliskan resep (Physicians Desk Reference), sebagai penyempurnaan daftar obat herbal asli Indonesia-jamu/tanaman obat yang telah dikeluarkan oleh Badan POM dan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Farmasi. 3. Penyusunan Pedoman/Panduan dan Standar Pelayanan Komplementer Tradisional Alternatif antara lain: hipnoterapi, naturopati. 4. Mengembangkan RS dalam pelayanan pengobatan dan penelitian pelayanan komplementer tradisional alternatif jamu dan herbal/tanaman asli Indonesia bekerja sama dengan Lintas Program Terkait, yakni Badan Litbangkes, Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi, Badan PPSDM; serta Lintas Sektor Terkait, yaitu Badan POM, LIPI, Kemenristek, dan Universitas-universitas. 5. Menetapkan Kelompok Kerja Komplementer Tradisional Alternatif dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Kelompok I Halaman 8

9 B. Pembahasan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 Pembahasan Isi Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan akan kami bagi secara sistematis berdasarkan bab-babnya, yaitu sebagai berikut: 1. Bab I Ketentuan Umum 2. Bab II Tujuan 3. Bab III Pengobatan Komplementer-Alternatif 4. Bab IV Fasilitas Pelayanan Kesehatan 5. Bab V Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif 6. Bab VI Registrasi 7. Bab VII Surat Tugas / Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif 8. Bab VIII Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif Asing 9. Bab IX Pencatatan dan Pelaporan 10. Bab X Pembinaan dan Pengawasan 11. Bab XI Ketentuan Peralihan 12. Bab XII Ketentuan Penutup BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 ayat 1: Komentar: Jika melihat dari definisi di atas, maka cara-cara mendiagnosis pasien dengan metode alternatif (misalnya ayurveda yang metode diagnosisnya berdasarkan 5 elemen yang terdapat Kelompok I Halaman 9

10 dalam tubuh manusia, yaitu tanah, air, api, udara, dan ether/angin, yang tidak sesuai dengan landasan ilmu biomedik), tidak termasuk dalam peraturan Menteri Kesehatan di atas. Padahal sistem pelayanan pengobatan alternatif seperti ayurveda telah diakui dalam bab III pasal 4 Permenkes No.1109/Menkes/Per/IX/2007. Sedangkan definisi Complementary-Alternative Medicine (CAM) di Inggris adalah: "diagnosis, treatment and/or prevention which complements mainstream medicine by contributing to a common whole, by satisfying a demand not met by orthodoxy or by diversifying the conceptual frameworks of medicine". 12 Definisi CAM di Inggris tersebut berbeda dengan definisi yang ada pada Permenkes RI, karena definisi CAM di Inggris meliputi penerimaan terhadap keseluruhan sistem pengobatan alternatif, yaitu cara-cara mendiagnosis, mengobati, dan/atau mencegah penyakit, baik yang sesuai dengan laandasan/prinsip ilmu biomedik maupun yang tidak sesuai.. Saran: Kami menyarankan agar pada Permenkes RI perlu dipertegas kembali mengenai pelayanan pengobatan alternatif yang diakui di Indonesia, apakah meliputi keseluruhan sistem pengobatan alternatif (termasuk cara-cara diagnosis dan terapi), atau hanya metode terapi alternatif yang sesuai atau sejalan dengan ilmu biomedik. Jika definisi pengobatan komplementer-alternatif tersebut lebih diarahkan menuju integrasi ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal yang pada dasarnya berpijak pada pola pikir kedokteran konvensional, maka tidak semua jenis pelayanan komplementer-alternatif dapat masuk ke dalam kerangka ini. Berdasarkan pola pikir skrining integrasi, maka metode pengobatan komplementer-alternatif yang dapat diintegrasikan ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal hanyalah metode terapi/pengobatan dengan ramuan dan keterampilan. 13 Sedangkan jika pelayanan komplementer-alternatif lebih diarahkan untuk bersinergi dengan pelayanan konvensional untuk mencapai manfaat yang lebih baik, di mana masingmasing sistem pengobatan tersebut mempunyai kedudukan yang sejajar; maka semua jenis pelayanan komplementer-alternatif dan konvensional dapat berjalan dan berkembang pada jalurnya masing-masing secara harmonis. 14 Pasal 1 ayat 2 : Kelompok I Halaman 10

11 Komentar: - Saran: - Pasal 1 ayat 3 sampai ayat 6: Komentar: 1. Bagaimana halnya dengan dokter-dokter yang juga berkecimpung dalam pengobatan komplementer-alternatif yang telah memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) yang berlaku 5 tahun? Apakah STR diubah menjadi SBR ataukah dokter yang sudah memiliki STR juga harus memiliki SBR? 2. Bagaimana dengan dokter yang telah memiliki SIP (Surat Izin Praktek) yang juga berpraktek sebagai TPKA? Apakah tetap harus mengurus ST-TPKA dan SIK-TPKA? Saran : 1. Perlunya diperjelas kembali secara detil mengenai SBR, ST-TPKA, dan SIK-TPKA. Jika mengacu pada Permenkes yang lebih baru, yakni Permenkes Nomor 003 Tahun Kelompok I Halaman 11

12 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, maka dokter yang juga memberikan pelayanan pengobatan komplementer-alternatif (termasuk berpraktek jamu), harus mempunyai SBR-TPKA, ST/SIK-TPKA, selain STR dan SIP. Jadi dokter tersebut akan mempunyai 2 (dua) papan nama di tempat prakteknya, yaitu sebagai dokter konvensional dan sebagai tenaga pengobatan komplementeralternatif. 14,15 2. Perlunya sosialisasi serta penyederhanaan birokrasi dan administrasi, terutama mengenai pengurusan SBR, ST-TPKA, dan SIK-TPKA; agar tercapai efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Pasal 1 ayat 9 sampai ayat 15: Kelompok I Halaman 12

13 Komentar: 1. Kualifikasi, kompetensi, dan kewenangan masing-masing tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasal di atas kurang disebutkan secara spesifik. Apakah dokter gigi akan memiliki tugas, kompetensi, dan kewenangan yang serupa dengan dokter umum? Dokter umum mendapatkan pendidikan tentang sistem tubuh manusia secara menyeluruh; berbeda halnya dengan dokter gigi yang tidak mendapatkan pendidikan tentang sistem tubuh manusia secara menyeluruh. 2. Siapa yang dimaksud dengan tenaga kesehatan lainnya? Apakah perawat, mantri, bidan, apoteker, asisten apoteker, fisioterapis, penata rontgen atau yang lainnya? Dan apakah tenaga kesehatan selain dokter diperbolehkan memberikan pengobatan komplementeralternatif? Saran: 1. Kami menyarankan agar kualifikasi, kompetensi, dan kewenangan tenaga kesehatan yang dimaksud disebutkan secara spesifik, misalnya dengan mencantumkan kualifikasi pendidikan (sebagai contoh, harus melalui pendidikan S1 atau D3 bidang kesehatan pada institusi pendidikan yang terakreditasi). 2. Jika menilik pada Permenkes Nomor 512 Tahun 2007 tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran, dapat diambil kesimpulan bahwa dokter gigi maupun dokter tidak diperbolehkan memberikan pengobatan di luar kompetensinya. Sebagai contoh, seorang dokter gigi tidak diperbolehkan memberikan pengobatan terhadap penderita hipertensi, diabetes, demam typhoid, dan lain-lain. Jadi jika seorang dokter gigi juga berpraktek memberikan pelayanan pengobatan komplementer-alternatif, maka ia hanya diperbolehkan memberikan pengobatan komplementer-alternatif sesuai kompetensinya. 16,17 Oleh karena itu perlu diberikan batasan-batasan yang jelas antara kompetensi dokter dengan dokter gigi, khususnya kompetensi dalam memberikan pelayanan pengobatan komplementer-alternatif. 3. Perlu pula dijelaskan siapa saja yang berhak mendapatkan sertifikat kompetensi, dan organisasi profesi apa saja yang mempunyai wewenang memberikan sertifikat kompetensi. Misalnya secara spesifik disebutkan bahwa IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter yang memiliki kewenangan memberikan sertifikat kompetensi. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Umum Pengurus Besar IDI Kelompok I Halaman 13

14 No.01/Ketum PB.IDI/12/2009 tentang Susunan dan Personalia Pengurus Besar IDI, dibentuk Bidang Kajian Pengobatan Komplementer/Tradisional yang mempunyai tugas: 18 Melakukan kajian terhadap pengobatan komplementer/tradisional Mengembangkan pengobatan jamu/herbal Menyelenggarakan/mengakreditasi pelatihan/kursus pengobatan komplementer/ tradisional bagi dokter Bersama Kementerian Kesehatan menyusun sertifikasi pengobatan komplementer/ tradisional BAB II TUJUAN Pasal 2: Komentar: 1. Pada pasal 2(c), tidak disebutkan secara spesifik mengenai siapa saja yang dimaksud dengan tenaga pengobatan komplementer-alternatif yang diberikan kepastian hukum melalui peraturan ini. Pada pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa tenaga pengobatan komplementer-alternatif adalah dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan terstruktur dalam bidang pengobatan komplementer-alternatif. Saran: 1. Sebaiknya pada pasal 2(c) ini perlu disebutkan secara spesifik mengenai siapa saja tenaga pengobatan komplementer-alternatif yang mendapat kepastian hukum. BAB III PENGOBATAN KOMPLEMENTER-ALTERNATIF Kelompok I Halaman 14

15 Pasal 3: Komentar: 1. Pada pasal ini tidak ditampilkan tujuan mengenai upaya/perawatan untuk mengurangi penderitaan akibat penyakit atau untuk mengurangi intensitas gejala penyakit (paliatif). Padahal pada kenyataannya, pengobatan komplementer-alternatif sering berguna sebagai terapi paliatif pada pasien kanker. Saran: 1. Kami menyarankan agar upaya paliatif dimasukkan ke dalam tujuan pengobatan komplementer-alternatif pada pasal 3. Pasal 4: Kelompok I Halaman 15

16 Komentar: 1. Pada pasal 4 ayat 1 tidak dijabarkan lebih lanjut mengenai contoh-contoh atau jenis-jenis pelayanan yang termasuk dalam masing-masing 6 (enam) ruang lingkup yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik. Menurut Yanmedik Depkes RI, contoh-contoh atau jenis-jenis pelayanan pengobatan komplementer-alternatif yang termasuk dalam masing-masing 6 (enam) ruang lingkup berdasarkan Permenkes RI Nomor 1109/Menkes/Per/2007 adalah: 4 Intervensi tubuh dan pikiran: Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga Sistem pelayanan pengobatan alternatif: akupunktur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda Cara penyembuhan manual: chiropractic, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut Pengobatan farmakologi dan biologi: jamu, herbal, gurah Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan: diet makronutrien, mikronutrien Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan: terapi ozon, hiperbarik, EECP Apakah semua jenis pelayanan di atas sesuai dengan definisi pengobatan komplementeralternatif yang terdapat pada pasal 1? Apakah semua jenis pelayanan di atas sesuai dengan landasan ilmu biomedik? Saran: 2. Perlu dikaji ulang apakah semua jenis pelayanan di atas sesuai dengan definisi pengobatan komplementer-alternatif pada pasal 1 (apakah sesuai dengan landasan ilmu biomedik). Misalnya sistem pengobatan ayurveda yang metode diagnosisnya berdasarkan 5 (lima) elemen yang terdapat dalam tubuh manusia, yaitu tanah, air, api, udara, dan Kelompok I Halaman 16

17 ether/angin. Namun prinsip metode terapinya, misalnya terapi herbal, dapat dikatakan sesuai dengan landasan ilmu biomedik. Pasal 5: Komentar: 1. Belum dijelaskan atau dijabarkan mengenai standar pelayanan kesehatan komplementeralternatif. Apakah ada persamaan atau perbedaan standar pelayanan kesehatan komplementer-alternatif yang dilakukan oleh seorang dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan lainnya dalam melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosa, terapi, dan proses rujukan? 2. Siapa institusi yang berwenang melakukan pengkajian? Saran: 1. Perlu dijelaskan atau dijabarkan mengenai standar pelayanan kesehatan komplementeralternatif. Perlu ada batasan yang membedakan standar pelayanan kesehatan komplementer-alternatif yang dilakukan oleh dokter dengan yang dilakukan oleh nondokter dalam melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosa, terapi, dan proses rujukan. 2. Perlu disebutkan secara spesifik institusi yang berwenang melakukan pengkajian. Kelompok I Halaman 17

18 Pasal 6 dan pasal 7: Komentar: 1. Pasal 6 tidak menyebutkan secara jelas dan spesifik mengenai batasan peralatan kesehatan yang aman digunakan dalam pengobatan komplementer-alternatif. Saran: 1. Perlunya dibuat batasan peralatan kesehatan yang aman digunakan dalam pengobatan komplementer-alternatif. 2. Kami menyarankan agar setiap tenaga pengobatan komplementer-alternatif wajib melaporkan daftar obat-obatan dan peralatan yang digunakan. 3. Adanya standarisasi mengenai peralatan yang digunakan sesuai dengan jenis pelayanan pengobatan komplementer-alternatif. Pasal 8: Kelompok I Halaman 18

19 Komentar: 1. Pada pasal ini tidak disebutkan institusi apa yang berwenang membuat standar, dan institusi apa yang berwenang memberikan/mengeluarkan akreditasi dan sertifikasi. 2. Saat ini, pengawasan pada penyelenggaraan praktik terapi komplementer di masyarakat baru berupa pendaftaran saja oleh pemerintah daerah. Bahkan, dari hasil penelusuran terbaru oleh dinas kesehatan di berbagai daerah, banyak sarana/ tenaga terapi komplementer tidak terdaftar di dinas kesehatan setempat, sehingga hal ini sangat dikhawatirkan banyak merebak pengobatan palsu yang berkedok terapi kompelementer/ alternatif yang dijalankan oleh tenaga yang tidak kompeten, yang pada akhirnya dapat membahayakan masyarakat. Saran: 1. Pada pasal ini perlu disebutkan secara spesifik mengenai institusi apa yang berwenang membuat standar, dan institusi apa yang berwenang memberikan/mengeluarkan akreditasi dan sertifikasi. 2. Pemerintah diharapkan untuk mengeluarkan standarisasi, pengaturan, dan pengawasan yang lebih gamblang dan baku yang memuat perlindungan hukum bagi masyarakat, Kelompok I Halaman 19

20 termasuk tentang standarisasi tenaga pelaksana dan pendidikan yang harus ditempuh sebagai syarat dalam menyelenggarakan terapi komplementer-alternatif. 3. Perlu diperbanyak penelitian, seminar, dan pelatihan yang berkaitan dengan berbagai jenis pelayanan pengobatan komplementer-alternatif, terutama pelatihan-pelatihan untuk dokter-dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Pasal 9: Komentar: Kelompok I Halaman 20

21 1. Pada pasal ini tidak dijelaskan secara spesifik organisasi profesi apa yang mempunyai kewenangan mengeluarkan sertifikat kompetensi untuk tenaga pengobatan komplementer-alternatif di rumah sakit. 2. Pada pasal ini tidak dijelaskan mengenai sistem pelayanan pengobatan komplementeralternatif di rumah sakit yang bersifat baku, atau dengan kata lain belum adanya standar pelayanan pengobatan komplementer-alternatif di rumah sakit. Saran: 1. Pada pasal ini perlu dijelaskan secara spesifik organisasi profesi apa yang mempunyai kewenangan mengeluarkan sertifikat kompetensi untuk tenaga pengobatan komplementer-alternatif di rumah sakit. 2. Perlunya disusun standar pelayanan pengobatan komplementer-alternatif di rumah sakit. 3. Perlunya diadakan atau ditetapkan suatu pilot project atau rumah sakit percontohan yang mempunyai unit pelayanan pengobatan komplementer-alternatif. 4. Dalam rangka integrasi pengobatan komplementer-alternatif ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal, maka sebaiknya rumah sakit di Indonesia yang telah memenuhi syarat (memiliki fasilitas dan tenaga ahli) dapat segera menjalankan pelayanan pengobatan komplementer-alternatif dengan berlandaskan pada Permenkes Nomor 1109 Tahun 2007 ini. 19 BAB IV. FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Pasal 10: Kelompok I Halaman 21

22 Komentar: 1. Apakah dokter gigi akan memiliki kompetensi yang serupa dengan dokter dalam menjalankan praktek pengobatan komplementer-alternatif? 2. Apakah dokter gigi dapat menjadi penanggung jawab medis dalam pengobatan komplementer alternatif? Tentu tidak, karena kembali lagi kita lihat bahwa dokter gigi selama masa pendidikannya tidak diberikan landasan ilmu biomedik yang mendalam yang meliputi keseluruhan sistem tubuh manusia. Saran: 1. Perlu ditinjau kembali pasal 10, terutama ayat 4 dan 5, mengingat kompetensi dokter gigi tidak bisa disamakan dengan kompetensi dokter. Dokter gigi selama masa pendidikannya tidak diberikan landasan ilmu biomedik yang mendalam yang meliputi keseluruhan sistem tubuh manusia sebagaimana pendidikan dokter. Kalaupun dokter gigi diperbolehkan melakukan praktek perorangan, tentunya harus ada batasan yang jelas terkait dengan kompetensi dokter gigi. Kelompok I Halaman 22

23 2. Sebaiknya dokter gigi tidak menjadi penanggung jawab medis dalam pengobatan komplementer-alternatif pada fasilitas pelayanan kesehatan, kecuali jika fasilitas pelayanan tersebut bersifat spesifik terhadap pelayanan kesehatan gigi. Pasal 11: Komentar: 1. Sampai saat ini kurang ada sosialisasi tentang kewajiban tenaga pengobatan komplementer-alternatif untuk mengurus pembuatan SBR-TPKA, ST-TPKA, dan SIK- TPKA. Pada kenyataannya, tenaga pengobatan komplementer-alternatif yang berpraktek sekarang ini belum memiliki kelengkapan SBR-TPKA, ST-TPKA, dan SIK-TPKA. Saran: 1. Perlu ada sosialisasi tentang kewajiban tenaga pengobatan komplementer-alternatif untuk mengurus pembuatan SBR-TPKA, ST-TPKA, dan SIK-TPKA. 2. Pada pasal ini sebaiknya disebutkan bahwa pada fasilitas kesehatan, yang bertindak sebagai penanggung jawab pengobatan komplementer-alternatif adalah dokter yang memiliki kompetensi di bidang pengobatan komplementer-alternatif yang memiliki SBR- TPKA dan ST/SIK-TPKA. BAB V. TENAGA PENGOBATAN KOMPLEMENTER-ALTERNATIF Pasal 12 dan pasal 13: Kelompok I Halaman 23

24 Komentar: 1. Pada pasal ini belum dijelaskan secara rinci mengenai pendidikan terstruktur dan kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga pengobatan komplementer-alternatif. Apakah melalui pelatihan khusus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi atau melalui pendidikan di fakultas kedokteran? 2. Bagaimana halnya dengan pengobat tradisional? Apakah sudah ditetapkan regulasi yang adil dan berimbang mengenai izin praktek, kualifikasi, dan kompetensi atau sertifikasi untuk para pengobat tradisional? Saran: 1. Berkaitan dengan pendidikan terstruktur dan kompetensi yang disebutkan dalam pasal ini, saat ini terobosan yang dilakukan oleh Badan Litbang Depkes RI berupa pelatihan saintifikasi jamu 50 jam untuk para dokter patut diapresiasi sebagai langkah awal yang baik. Tindak lanjut dari hal ini adalah rencana IDI untuk menyelenggarakan pelatihan 70 jam untuk para dokter. 14,16 Ke depannya, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan pengobatan komplementer-alternatif ke dalam kurikulum fakultas kedokteran. 2. Sebaiknya ditetapkan regulasi yang adil dan berimbang mengenai izin praktek, kualifikasi, dan kompetensi atau sertifikasi untuk para pengobat tradisional. Pembenahan Kelompok I Halaman 24

25 regulasi untuk para dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang sedang dilakukan, juga harus diikuti dengan pembenahan regulasi untuk para pengobat tradisional. Pasal 14: Komentar: 1. Apakah dokter gigi dapat menjadi pelaksana utama pengobatan komplementer-alternatif dalam fasilitas pelayanan kesehatan? Saran: 1. Mengingat latar belakang pendidikan dan kompetensi dokter gigi, sebaiknya dokter gigi tidak menjadi pelaksana utama pengobatan komplementer-alternatif dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Kecuali jika fasilitas pelayanan tersebut dikhususkan untuk pelayanan kesehatan gigi. Pasal 15: Kelompok I Halaman 25

26 Komentar: 1. Belum adanya pengawasan terhadap pencatatan yang baik. Saran: 1. Pengadaan pelatihan dan pengawasan terhadap cara pencatatan yang baik. Hal ini terutama berguna dalam rangka observasi klinis dan penelitian terhadap manfaat pengobatan komplementer-alternatif pada fasilitas pelayanan kesehatan. BAB VI. REGISTRASI Pasal 16: Kelompok I Halaman 26

27 Komentar: 1. Hingga saat ini belum ada sertifikasi atau uji kompetensi untuk tenaga kesehatan yang hendak berpraktek pengobatan komplementer-alternatif. Contohnya, belum ada sertifikasi atau uji kompetensi untuk tenaga kesehatan yang hendak berpraktek pengobatan herbal. Saran: 4. Organisasi profesi perlu segera menyelenggarakan sertifikasi atau uji kompetensi. Langkah awal telah dilakukan IDI pada tahun 2009 dengan membentuk Bidang Kajian Pengobatan Komplementer/Tradisional yang mempunyai tugas: 18 Kelompok I Halaman 27

28 Melakukan kajian terhadap pengobatan komplementer/tradisional Mengembangkan pengobatan jamu/herbal Menyelenggarakan/mengakreditasi pelatihan/kursus pengobatan komplementer/ tradisional bagi dokter Bersama Kementerian Kesehatan menyusun sertifikasi pengobatan komplementer/ tradisional Pasal 17 dan pasal 18: Komentar: - Saran: - Pasal 19: Kelompok I Halaman 28

29 Komentar: 1. Pada pasal ini belum dijelaskan secara detil mengenai sarana pendidikan terakreditasi yang ditunjuk pemerintah yang bisa digunakan sebagai tempat adaptasi bagi tenaga pengobatan komplementer-alternatif lulusan luar negeri. Saran: 1. Pada pasal ini perlu dijelaskan secara detil mengenai sarana pendidikan terakreditasi yang ditunjuk pemerintah yang bisa digunakan sebagai tempat adaptasi bagi tenaga pengobatan komplementer-alternatif lulusan luar negeri. Untuk itu, perlu terlebih dahulu menetapkan regulasi/ketetapan mengenai akreditasi, sertifikasi, dan uji kompetensi bagi tenaga komplementer-alternatif yang sudah atau akan berpraktek di Indonesia, terutama untuk Kelompok I Halaman 29

30 tenaga komplementer-alternatif lulusan dalam negeri. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kerjasama dan koordinasi yang baik antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional. Pasal 20: Komentar: - Saran: - BAB VII. SURAT TUGAS/SURAT IZIN KERJA TENAGA PENGOBATAN KOMPLEMENTER-ALTRNATIF Pasal 21 sampai pasal 24: Kelompok I Halaman 30

31 Kelompok I Halaman 31

32 Komentar: - Saran: - Pasal 25: Komentar: 1. Beberapa tenaga kesehatan sering mempertanyakan mengapa ST-TPKA/SIK-TPKA hanya berlaku selama 1 (satu) tahun? Jika ST-TPKA/SIK-TPKA dianalogikan dengan SIP, mengapa masa berlaku ST-TPKA/SIK-TPKA berbeda dengan masa berlaku SIP yang 5 (lima) tahun? Kelompok I Halaman 32

33 Saran: 1. Mengingat pengobatan komplementer-alternatif merupakan bidang pengobatan yang belum diakui oleh kedokteran konvensional dan mengingat perlu pengkajian secara intensif mengenai praktek pengobatan komplementer-alternatif, maka saat ini, masa berlaku ST-TPKA/SIK-TPKA adalah 1 tahun. Setelah 1 tahun, perlu dikaji dan dievaluasi kembali secara berkala. 14 Ke depannya, jika pengobatan komplementer-alternatif telah maju beriringan dengan pengobatan konvensional, tidak tertutup kemungkinan akan masa berlaku ST-TPKA/SIK-TPKA bias menjadi 5 tahun sebagaimana SIP. Pasal 26: Komentar: - Saran: - Pasal 27: Kelompok I Halaman 33

34 Komentar: 1. Pada pasal 27 ayat 2 dinyatakan bahwa ST-TPKA/SIK-TPKA dapat diperbaharui sepanjang memenuhi persyaratan. Pada pasal ini belum dijelaskan mengenai persyaratan untuk memperbaharui/memperpanjang ST-TPKA/SIK-TPKA. Saran: 1. Sebaiknya pada pasal ini dijelaskan mengenai persyaratan untuk memperbaharui atau memperpanjang ST-TPKA/SIK-TPKA. Pasal 28 dan pasal 29: Komentar: - Saran: - Kelompok I Halaman 34

35 BAB VIII. TENAGA PENGOBATAN KOMPLEMENTER-ASING Pasal 30 sampai pasal 32: Kelompok I Halaman 35

36 Komentar: - Saran: - Pasal 33 dan pasal 34: Kelompok I Halaman 36

37 Kelompok I Halaman 37

38 Komentar: - Saran: - BAB IX. PENCATATAN DAN PELAPORAN Pasal 35: Komentar: - Saran: - BAB X. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 36 sampai pasal 38: Kelompok I Halaman 38

39 Komentar: - Kelompok I Halaman 39

40 Saran: - BAB XI. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 dan pasal 40: Komentar: - Saran: - BAB XII. KETENTUAN PENUTUP Pasal 41: Kelompok I Halaman 40

41 Komentar: - Saran: - Kelompok I Halaman 41

42 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menyusun makalah ini dan setelah menganalisis isi Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan dengan merujuk pada berbagai referensi (studi literatur), kami dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 merupakan pemenuhan aspek medikolegal dalam memberikan payung hukum terhadap penyelenggaraan pengobatan komplementeralternatif di fasilitas pelayanan kesehatan, guna menjamin pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang bermutu, bermanfaat, dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi pemberi maupun penerima pelayanan pengobatan komplementeralternatif. 3. Hingga saat ini, sosialisasi Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 dirasakan masih kurang, baik pada kalangan praktisi pengobatan komplementer-alternatif, institusiinstitusi kesehatan, maupun masyarakat luas. 4. Ada beberapa pasal dalam Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 yang batasan dan maknanya masih kurang jelas, kurang rinci, dan kurang spesifik sebagaimana yang telah kami bahas/kritisi pada Bab II. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, maka kami bermaksud memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Guna menjamin pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang bermutu, bermanfaat, dan dapat dipertanggungjawabkan, maka amanat-amanat yang tertuang dalam Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 perlu segera direalisasikan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi pemberi maupun penerima pelayanan pengobatan komplementer-alternatif. Kelompok I Halaman 42

43 2. Perlu ditingkatkannya sosialisasi Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 pada kalangan praktisi pengobatan komplementer-alternatif, institusi-institusi kesehatan, maupun masyarakat luas. 3. Guna menghindari kesalahan interpretasi dan menghindari makna ganda, beberapa pasal dalam Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007 yang batasan dan maknanya masih kurang jelas, kurang rinci, dan kurang spesifik, sebagaimana yang telah kami bahas/kritisi pada Bab II; perlu diperjelas secara rinci dan spesifik dalam peraturan penjelas atau peraturan di bawahnya. 4. Guna mengoptimalkan pelaksanaan Permenkes RI Nomor 1109 Tahun 2007, perlu diterbitkan berbagai peraturan pendukung. Beberapa peraturan pendukung yang telah diterbitkan antara lain Kepmenkes Nomor 121 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Medik Herbal dan Permenkes Nomor 003 Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. 5. Guna mencapai integrasi dan sinergi antara pengobatan komplementer-alternatif dengan pengobatan konvensional, dibutuhkan kerjasama dan koordinasi diantara instansi pemerintah (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas Kesehatan), organisasi profesi, institusi pendidikan dan penelitian, praktisi pengobatan komplementer-alternatif, serta dukungan dari masyarakat luas. Kelompok I Halaman 43

44 DAFTAR PUSTAKA 1. Anonymous. About Us: pro-sehatalami.com Portal Pengobatan Alternatif dan Komplementer di Indonesia. Available from URL: Accessed November 6, Februana N, Yophiandi, Taufiq R. Barat dan Timur Bertemu di Rumah Sakit. Majalah Tempo. Jakarta: August 10; Available from URL: html. Accessed November 6, Neo-Pademen. Terapi Komplementer dan Keperawatan. Available from URL: Accessed November 6, Anonymous. Pengobatan Komplementer Tradisional Alternatif. Available from URL: :pengobatan-komplementer-tradisional-alternatif&catid=1:latest-news. Accessed November 6, Wiguna O. Rupa-rupa Metode Pengobatan Komplementer. Majalah Tempo. Jakarta: August 10; Available from URL: html. Accessed November 6, Ariyanto. Kontroversi Terapi Komplementer. Available from URL: Accessed November 6, Boon SH, et.al. Complementary and Alternative Medicine: A Rising Healthcare Issue. Journal of Healthcare Policy, 1(3) : p Available from URL: Accessed November 15, Hasan Izharul. Why Do People Use Complementary and Alternative Medicine? Posted July 28, Available from URL: Accessed November 15, Anonymous. Complementary and Alternative Medicine (CAM). Available from URL: Accessed November 15, Kelompok I Halaman 44

45 10. The House of Lords Science and Technology Committee. House of Lords Report: Sixth Report on Complementary Medicine. London: Available from URL: omplementary.html#a15. Accessed November 15, Mills SY. Regulation in Complementary and Alternative Medicine. British Medical Journal 2001; 322 : 158 doi: /bmj Published January 20, Available from URL: Accessed November 15, Ernst E. The Role of Complementary and Alternative Medicine. British Medical Journal. BMJ 2000:321: Sukasediati Nani, et.al. Pokok Pemikiran Menuju Integrasi Obat Asli/Obat Bahan Alam Indonesia ke dalam Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Badan POM Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen; Purwadianto Agus. Saintifikasi Jamu. Seminar dan Pengumpulan Data dalam Penelitian Studi Inventaris dan Pencatatan Empiris Penggunaan Jamu oleh Dokter dalam Upaya Saintifikasi Jamu. Jakarta: Desember 4; Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. 16. Pancaputra AN. Seminar dan Diskusi Pengumpulan Data dalam Penelitian Studi Inventaris dan Pencatatan Empiris Penggunaan Jamu oleh Dokter dalam Upaya Saintifikasi Jamu. Jakarta: Desember 4; Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran. 18. Pancaputra AN. Kebijakan Kementerian Kesehatan dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dalam Pemanfaatan Jamu/Herbal dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Jakarta: POI Jaya No.04-Tahun IV; Agustus-Oktober Anonymous. Unit Pengobatan Kedokteran Komplementer, Available from URL: Accessed November 15, Kelompok I Halaman 45

BAB I PENDAHULUAN. saat ini diantara banyaknya fenomena-fenomena pengobatan non. akupunktur, dan bekam. Definisi CAM (Complementary and Alternative

BAB I PENDAHULUAN. saat ini diantara banyaknya fenomena-fenomena pengobatan non. akupunktur, dan bekam. Definisi CAM (Complementary and Alternative BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengobatan komplementer merupakan suatu fenomena yang muncul saat ini diantara banyaknya fenomena-fenomena pengobatan non konvensional yang lain, seperti pengobatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pasal 28 huruf H ayat (1), Undang undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. melalui pasal 28 huruf H ayat (1), Undang undang Dasar Negara Republik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang telah dijamin oleh Konsitusi melalui pasal 28 huruf H ayat (1), Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Lebih terperinci

Aplikasi Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Arijanto Jonosewojo

Aplikasi Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Arijanto Jonosewojo Aplikasi Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Arijanto Jonosewojo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Nama : Dr. ARIJANTO JONOSEWOJO SpPD FINASIM Alamat : Kertajaya Indah Timur X / 20 Surabaya Lahir

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA DEPOK PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 33 TAHUN Tentang WALIKOTA DEPOK,

WALIKOTA DEPOK PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 33 TAHUN Tentang WALIKOTA DEPOK, WALIKOTA DEPOK PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 33 TAHUN 2013 Tentang PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DAN PELAYANAN ALTERNATIF KOMPLEMENTER Menimbang : WALIKOTA DEPOK, a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2 1. Pelayanan Kesehatan Tradional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. 2. Pelayanan K

2 1. Pelayanan Kesehatan Tradional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. 2. Pelayanan K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.369, 2014 KESRA. Kesehatan. Tradisional. Pelayanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5643) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang No.307, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Keperawatan. Pelayanan. Praktik. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers atau pembuat kebijakan bukanlah jaminan bahwa kebijakan itu dapat berhasil dalam implementasinya.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakit terutama dari sumber daya manusianya, pembiayaan dan informasi menuju

BAB 1 PENDAHULUAN. sakit terutama dari sumber daya manusianya, pembiayaan dan informasi menuju BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah Sakit ditekankan pada peningkatan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan rumah sakit melalui peningkatan dan pengembangan manajemen rumah sakit terutama dari

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lem

2011, No Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lem No.671, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Izin. Pelaksanaan. Praktik Kedokteran. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011 TENTANG IZIN PRAKTIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi untuk keberhasilan pembangunan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerima pengakuan ini adalah Imhotep dari Mesir yang jauh lebih tua

BAB I PENDAHULUAN. menerima pengakuan ini adalah Imhotep dari Mesir yang jauh lebih tua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedokteran modern mengakui Hipocrates merupakan orang pertama yang menggunakan tanaman berkhasiat. Akan tetapi lebih tepatnya yang menerima pengakuan ini adalah Imhotep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, budaya, lingkungan, ekonomi serta politik. Pada kalangan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. sosial, budaya, lingkungan, ekonomi serta politik. Pada kalangan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan suatu hal penting dari dalam diri manusia yang berkaitan dengan fisik, jasmani, serta rohani serta mempengaruhi derajat kehidupan seseorang. Permasalahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau

BAB I PENDAHULUAN. bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan beraneka ragam tumbuhan. Hal ini tentunya didukung oleh iklim tropis yang dimiliki Indonesia sehingga memungkinkan

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik BUPATI PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERIZINAN DI BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERIZINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERIZINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERIZINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan

Lebih terperinci

COMPLEMENTARY AND ALTERNATIVE MEDICINE (CAM): FAKTA ATAU JANJI?

COMPLEMENTARY AND ALTERNATIVE MEDICINE (CAM): FAKTA ATAU JANJI? ISSN: 2087-2879 COMPLEMENTARY AND ALTERNATIVE MEDICINE (CAM): FAKTA ATAU JANJI? Complementary and alternative medicine: A fact or promise? Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 299/MENKES/SK/VIII/2013 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 299/MENKES/SK/VIII/2013 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 299/MENKES/SK/VIII/2013 TENTANG KELOMPOK KERJA NASIONAL KESEHATAN TRADISIONAL, ALTERNATIF DAN KOMPLEMENTER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan cara duduk atau berdiri, ditambah dengan daya tarik gravitasi telah

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan cara duduk atau berdiri, ditambah dengan daya tarik gravitasi telah BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di zaman modern ini, banyak kegiatan dan aktivitas kerja yang dilakukan dengan cara duduk atau berdiri, ditambah dengan daya tarik gravitasi telah menyebabkan racun

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PRAKTIK DOKTER MANDIRI Diundangkan dalam Berita Daerah Kota Bogor Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOG KLINIS

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOG KLINIS PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOG KLINIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA REGISTRASI TENAGA KESEHATAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA REGISTRASI TENAGA KESEHATAN REGISTRASI TENAGA KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 161/MENKES/PER/I/2010 PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 161/MENKES/PER/I/2010 TENTANG REGISTRASI TENAGA KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2015 DAFTAR ISI DAFTAR ISI i PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

(Study on Policy Implementation of Alternative Complementary Medicine and the Impact of Licensing of Health Workers Practice Acupuncture)

(Study on Policy Implementation of Alternative Complementary Medicine and the Impact of Licensing of Health Workers Practice Acupuncture) Kajian Implementasi Kebijakan Pengobatan Komplementer Alternatif dan Dampaknya terhadap Perijinan Tenaga Kesehatan Praktek Pengobatan Komplementer Alternatif Akupuntur (Study on Policy Implementation of

Lebih terperinci

UUD 1945 Ps: 28 H ayat 1

UUD 1945 Ps: 28 H ayat 1 PUSAT PEMBERDAYAAN PROFESI & TENAGA KESEHATAN LUAR NEGERI BADAN PPSDM KESEHATAN KEMENKES RI Bandung, 15 Nov 2010 UUD 1945 Ps: 28 H ayat 1 SETIAP ORANG BERHAK HIDUP SEJAHTERA LAHIR DAN BATIN, BERTEMPAT

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt.

RUMAH SAKIT. Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. RUMAH SAKIT Oleh: Diana Holidah, M.Farm., Apt. DASAR HUKUM RUMAH SAKIT UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. PerMenKes RI Nomor 1045/menkes/per/XI/2006 Tentang Pedoman organisasi rumah sakit di lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Defenisi Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MARDI WALUYO KOTA BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Penggunaan Obat Herbal Berbasis Bukti (Evidence-Based Herbal Medicine)

Penggunaan Obat Herbal Berbasis Bukti (Evidence-Based Herbal Medicine) Penggunaan Obat Herbal Berbasis Bukti (Evidence-Based Herbal Medicine) Prof Bhisma Murti Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Herbal Medicine Herbal medicine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan tradisional merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang sudah berkembang sejak dulu, bahkan sebelum keberadaan pengobatan medis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan.

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh rumah sakit. Diantara tantangan yang ada adalah bagaimana mengubah paradigma

Lebih terperinci

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan I. Latar Belakang Beberapa pertimbangan dikeluarkannya Permenkes ini diantaranya, bahwa penyelenggaraan Pusat Kesehatan Masyarakat perlu ditata ulang untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dan menduduki urutan kedua setelah Brazil.

Lebih terperinci

GAMBARAN KEPATUHAN DOKTER PRAKTEK SWASTA (DPS) TERHADAP SPO (STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL) DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2013

GAMBARAN KEPATUHAN DOKTER PRAKTEK SWASTA (DPS) TERHADAP SPO (STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL) DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2013 GAMBARAN KEPATUHAN DOKTER PRAKTEK SWASTA (DPS) TERHADAP SPO (STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL) DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2013 J. Nugrahaningtyas W. Utami Intisari Latar Belakang : Menurut Kementrian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes melitus adalah suatu kondisi di mana kadar gula di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes melitus adalah suatu kondisi di mana kadar gula di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus adalah suatu kondisi di mana kadar gula di dalam darah lebih tinggi dari biasa/normal (normal: 60 mg/dl sampai dengan 145 mg/dl), karena tubuh tidak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 512/MENKES/PER/IV/2007 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 512/MENKES/PER/IV/2007 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 512/MENKES/PER/IV/2007 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitas dengan baik dibutuhkan badan yang sehat. Pola hidup sehat,

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitas dengan baik dibutuhkan badan yang sehat. Pola hidup sehat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Bisnis Bisnis kesehatan adalah bisnis yang sangat penting karena kesehatan merupakan salah satu syarat manusia bisa merasakan kebahagiaan.untuk bisa melakukan

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN SAM MEDIKO LEGAL

STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN SAM MEDIKO LEGAL STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN SAM MEDIKO LEGAL Disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pelaksanaan Operasional Program (RAKORPOP) 30 November 2015 PERATURAN PER UU DASAR PERTIMBANGAN ROADMAP

Lebih terperinci

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern dr. Danang Ardiyanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Badan Litbangkes Kementeriann

Lebih terperinci

2 obat tradisional asli Indonesia. Berdasarkan riset tersebut 95,60% (sembilan puluh lima koma enam puluh persen) merasakan manfaat jamu. Dari berbaga

2 obat tradisional asli Indonesia. Berdasarkan riset tersebut 95,60% (sembilan puluh lima koma enam puluh persen) merasakan manfaat jamu. Dari berbaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KESRA. Kesehatan. Tradisional. Pelayanan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 369) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan. Menurut WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi kesehatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universal Health Coverage (UHC) sebagai bagian dari reformasi sistem kesehatan pada saat ini telah dilaksanakan oleh hampir setengah negara di dunia dengan berbagai

Lebih terperinci

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 25 TAHUN 2014

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 25 TAHUN 2014 BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN SURAT TERDAFTAR PENGOBAT TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH DATAR,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1128, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Perekam Medis. Pekerjaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

Perbedaan puskesmas dan klinik PUSKESMAS

Perbedaan puskesmas dan klinik PUSKESMAS Perbedaan puskesmas dan klinik PUSKESMAS 1. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih

Lebih terperinci

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN panduan praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN 07 02 panduan praktis Program Rujuk Balik Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Hal ini membuat Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH RANC AN GAN PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH PERATURAN DAERAH SUNGAI PENUH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PERIZINAN BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SUNGAI PENUH, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS KLINIK SAINTIFIKASI JAMU PMI KABUPATEN SRAGEN TAHUN

RENCANA STRATEGIS KLINIK SAINTIFIKASI JAMU PMI KABUPATEN SRAGEN TAHUN RENCANA STRATEGIS KLINIK SAINTIFIKASI JAMU PMI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2015 2019 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Dasar hokum 2 C. Visi Misi 3 D. Maksud dan Tujuan

Lebih terperinci

BUPATI LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DAIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak azasi manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk didalamnya hak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Profesi perawat adalah salah satu tenaga kesehatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Perawat adalah tenaga profesional yang memiliki body of

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1400, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Jaminan Kesehatan Nasional. Pelayanan. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kanker. Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) memprediksi, akan terjadi

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kanker. Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2012) memprediksi, akan terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tantangan yang dihadapi di bidang jasa kesehatan selalu berkembang, seperti meningkatnya jumlah penderita penyakit degeneratif termasuk didalamnya penyakit kanker.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG PERIZINAN DI BIDANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang- BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ( No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. baik digunakan pada hewan maupun manusia (Mutschler, 1991), menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat adalah sediaan farmasi yang merupakan hasil pencampuran satu atau lebih zat aktif dalam jumlah yang tepat dan berada di dalam satu bentuk sediaan baik

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM BADAN LEGISLASI DENGAN IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI), IKATAN APOTEKER INDONESIA, DAN ASSOSIASI PENGOBAT TRADISIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang salah satunya adalah kesehatan. Pengertian dari kesehatan tidak hanya sebatas sehat secara jasmani dan rohani, namun sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat menyebabkan meningkatnya Umur Harapan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat menyebabkan meningkatnya Umur Harapan Hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan di bidang sosial ekonomi, pelayanan kesehatan, dan peningkatan pengetahuan masyarakat menyebabkan meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH) seseorang. Hasil penelitian

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR RS. PANTI WALUYO YAKKUM SURAKARTA Nomor : 2347a/PW/Sekr/VIII/2014 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR RS. PANTI WALUYO YAKKUM SURAKARTA Nomor : 2347a/PW/Sekr/VIII/2014 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR RS. PANTI WALUYO YAKKUM SURAKARTA Nomor : 2347a/PW/Sekr/VIII/2014 TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN KEDOKTERAN DI RS. PANTI WALUYO YAKKUM SURAKARTA DIREKTUR RS. PANTI WALUYO YAKKUM SURAKARTA

Lebih terperinci

A. KOMITE MEDIK Susunan Komite Medik terdiri diri dari : a. Ketua, b. Wakil Ketua, c. Sekretaris d. Anggota

A. KOMITE MEDIK Susunan Komite Medik terdiri diri dari : a. Ketua, b. Wakil Ketua, c. Sekretaris d. Anggota I.PENDAHULUAN Keberadaan profesi medis di rumah sakit sangat penting dan strategis dalam menentukan arah pengembangan dan kemajuan suatu rumah sakit. Maka pengorganisasian dan pemberdayaan profesi medik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 8 2014 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 08 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENDIRIAN DAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1658, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Pengobatan Tradisional. Pengembangan. Penerapan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2013 TENTANG SENTRA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2009 PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2003 IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA

KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA 1 st INDONESIAN PUBLIC HEALTH STUDENT SUMMIT (IPHSS) FKM UI DEPOK 15 JULI 2011 1 UUD 1945 SETIAP ORANG BERHAK MEMPERTAHANKAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.383, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHAN. Peralatan Kesehatan. Rumah Sakit. Tingkat III. Standardisasi. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG KERANGKA KERJA MUTU PELAYANAN KESEHATAN WALIKOTA YOGYAKARTA,

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG KERANGKA KERJA MUTU PELAYANAN KESEHATAN WALIKOTA YOGYAKARTA, WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG KERANGKA KERJA MUTU PELAYANAN KESEHATAN WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk menjamin mutu, keamanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Sakit merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang memfasilitasi pelayanan kesehatan untuk diperlukan sebagai pendukung upaya untuk penyelenggaraan kesehatan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 IZIN PENYELENGGARAAN SARANA KESEHATAN DAN IZIN TENAGA KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci