FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA DENGAN COPYRIGHT LAW AMERIKA SERIKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA DENGAN COPYRIGHT LAW AMERIKA SERIKAT"

Transkripsi

1 FAIR USE DALAM SISTEM PERLINDUNGAN HAK CIPTA: SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA DENGAN COPYRIGHT LAW AMERIKA SERIKAT Kristian Takasdo & Agus Sardjono 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, namun ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya mutlak karena adanya konsep atau doktrin fair use yang memperkenankan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang lain tanpa meminta persetujuan dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Namun, ternyata pengaturan serta praktik doktrin fair use berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia sendiri belum ada praktik pengadilan mengenai doktrin fair use ini, hanya ada pengaturannya saja di Pasal 15 UU Hak Cipta sehingga perlu penafsiran perbandingan untk menafsirkan penerapannya. Dalam Pasal 15 UU Hak Cipta diatur tujuh butir penggunaan yang diperbolehkan terhadap suatu Ciptaan, namun belum jelas apakah doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta berlaku untuk semua ciptaan atau tidak. Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan doktrin fair use yang ada di Indonesia dengan pengaturan fair use di Amerika Serikat dan menasfirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta melalui perkara-perkara yang ada di Amerika Serikat untuk melihat kemungkinan penerapan Pasal 15 menggunakan pendekatan case law. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa doktrin fair use hanya berlaku kepada ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta dan penerapan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dimungkinkan menggunakan pendekatan case law seperti di Amerika Serikat sehingga memerlukan penafsiran hakim untuk menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar. Kata kunci : Fair Use, Hak Cipta, Penggunaan yang Wajar, Copyright, Pencipta, Pemegang Hak Cipta ABSTRACT Indonesian Copyright Law provides an Exclusive Rights to Authors or Copyright Owners to announce and reproduce the works, however the exclusive rights are not absolute because there is a concept or a doctrine of Fair Use which allow certain uses made by others without consent from the Authors or Copyright Owners. In fact, regulation and practices of the fair use are vary in every nation. In Indonesia, there are no judicial practices involving fair use doctrine, but there is regulation that provide fair use doctrine in Article 15 Copyright Law. Thus, to interpret Article 15 Copyright Law, a comparative study is required. In Article 15 Copyright Law, it is not clear whether fair use doctrine apply to all works or only to certain works. This thesis discusses the comparison between use. 1 Kristian Takasdo mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan sidang dewan penguji. Agus Sardjono adalah Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Kristian dalam menulis skripsinya yang berjudul "Fair Use dalam Sistem Perlindungan Hak Cipta: Suatu Studi Perbandingan Antara Undang-Undang Hak Cipta dengan Copyright Law Amerika Serikat". Tulisan ini merupakan ringkasan dari Skripsi yang dimaksud. 1

2 fair use regulation in Indonesian Copyright Law and fair use regulation in USA Copyright Law and interpretation of Article 15 Indonesian Copyright Law implementation by using case law in USA. At the end of this thesis, the author concludes that fair use doctrine only apply to copyrighted works and it is possible to use case law approach and, thus, judges interpretation is required to decide a fair use. Key words: Fair Use Doctrine, Copyright, Author, Copyright Owner, Copyright Law A. PENDAHULUAN UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak eksklusif tersebut timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.2 Namun, ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya mutlak karena adanya konsep atau doktrin Fair dealing atau fair use yang memperbolehkan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang oleh hukum hak cipta diperkenankan untuk dilakukan oleh siapapun juga tanpa perlu adanya persetujuan pencipta atau pemegang hak cipta sehingga tidak melanggar hukum hak cipta.3 Namun, ternyata pengaturan dan praktikpraktik dari konsep fair use/fair dealing ini berbeda-beda di setiap negara, khususnya dalam menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penggunaan yang wajar atau fair use/fair dealing.4 Batasan-batasan perbuatan tersebut terlihat dari berbagai putusan yang ada di setiap negara tersebut. Dalam hal ini, contoh negara yang diambil oleh peneliti adalah Indonesia dan Amerika Serikat. Putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat mencoba mengategorikan perbuatanperbuatan apa saja yang dapat disebut sebagai penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing) dalam hukum hak cipta. Selain melalui putusan pengadilan, Amerika Serikat sendiri juga memiliki perundang-undangan yang mengatur mengenai Hak Cipta, yaitu Copyright Law yang diatur oleh Copyright Act Doktrin fair use di Amerika Serikat sendiri diatur dalam Section 107 Copyright Act Dalam praktik peradilan Indonesia, belum pernah ada perkara mengenai doktrin fair use/fair dealing, hanya ada dasar-dasar pengaturannya saja 2 Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220, Pasal 2 ayat (1) 3 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Edisi Kedua, Cetakan ke-3, (Alumni, Bandung: 2005), hal Ibid., hal Martine Courant Rife, The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing teachers, Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, hal 164 diakses tanggal 6 Februari

3 pada UU Hak Cipta.6 Dalam UU Hak Cipta, penggunaan suatu ciptaan tanpa persetujuan dari pencipta tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak cipta dengan syarat sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan.7 Namun, UU Hak Cipta sendiri tidak memberikan pembatasan atau perincian mengenai ciptaan apa saja yang dapat dilingkupi oleh doktrin fair use. Merujuk kepada Pasal 15 UU Hak Cipta, beberapa perbuatan yang diatur terhadap bentuk ciptaan adalah penggunaan ciptaan pihak lain. Apabila melihat pada Pasal 15 ini, ciptaan yang dimaksud mengacu kepada definisi ciptaan pada Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, yaitu hasil setiap karya Pencipta yang mrnunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. 8 Hal yang menarik adalah apakah doktrin fair use, yang berasal dari tradisi common law dan diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia yang merupakan civil law, berlaku untuk seluruh ciptaan (works) sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 12 UU Hak Cipta? Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat praktik pengadilan yang ada, namun, sayangnya, sampai saat sekarang belum ada perkara yang menggunakan doktrin fair use ini. a. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ada dua rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apakah doktrin fair use di Indonesia berlaku untuk semua ciptaan ataukah hanya untuk ciptaan tertentu saja? 2. Mungkinkah menerapkan doktrin fair use di Indonesia dengan menggunakan pendekatan case law di Amerika Serikat? b. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan pokok permasalahan, penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu: 1. Untuk mengemukakan hasil penelitian tentang apakah doktrin fair use di Indonesia diberlakukan untuk semua ciptaan atau hanya untuk ciptaan tertentu saja. 2. Untuk mengemukakan hasil penelitian mengenai kemungkinan menerapkan doktrin fair use di Indonesia dengan menggunakan pendekatan case law di Amerika Serikat. 6 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, hal Indonesia, Pasal 15 8 Ibid., Pasal 1 angka 3 3

4 B. Tinjauan Teoritis a. Pengertian Ciptaan di Indonesia dan di Amerika Serikat Ciptaan di Indonesia memiliki definisi pada Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, namun untuk dapat melihat unsur-unsur dari suatu ciptaan haruslah merujuk pada Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta adalah ciptaan yang hasil intelektual, memiliki bentuk yang spesifik, orisinal dan memiliki sifat pribadi, dan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.9 Di Amerika Serikat, tidak diatur mengenai definisi ciptaan dalam Copyright Act 1976, namun secrion 102 Copyright Act memberi penjelasan mengenai perlindungan secara umum. dari section 102 Copyright Act tersebut dapat diambil unsur-unsur ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta, yaitu: 1. Ciptaan haruslah orisinal, dalam pengertian bahwa ciptaan tersebut bukanlah salinan dari sumber atau ciptaan lain 2. harus merupakan suatu ekspresi, bukan hanya sebuah "ide" 3. harus difiksasi ke dalam media ekspresi yang nyata.10 b. Pengertian Doktrin Fair Use Doktrin fair use tidak memiliki definisi yang seragam. Menurut Prof. Eddy Damian, dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar (fair use/fair dealing), hukum hak cipta memperkenankan seseorang (pihak ketiga) menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa perlu izin dari Pencipta, asalkan masih dalam batas-batas yang diperkenankan.11 Menurut Paul Goldstein, fair use secara umum sering didefinisikan sebagai: "a privilege in others than the owner of a copyright to use the copyrighted material in a reasonable manner without his consent, notwithstanding the monopoly granted to the owner by the copyright."12 c. Doktrin Fair Use di Amerika Serikat dan di Indonesia Di Amerika Serikat, diatur oleh Section 107 Copyright Act 1976: 9 Carl-Bernd Kaehlig, Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration Requirements, (Tatanusa, Jakarta: 2011), hal 7 10 Paul Goldstein, Copyright, Volume I, (Little, Brown, & Company, Canada: 1989), hal Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Paul Goldstein, Copyright, Volume II, (Little, Brown, & Company, Canada: 1989), hal 187 4

5 "Tanpa mengesampingkan ketentuan dalam bagian 106 dan 106A, penggunaan yang wajar dari suatu ciptaan, termasuk penggunaan dengan reproduksi dalam salinan atau media rekaman suara atau alat lain yang dispesifikasi oleh bagian tersebut, untuk tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, pengajaran (termasuk beberapa salinan untuk penggunaan dalam kelas), keilmuan, atau penelitian, bukanlah suatu pelanggaran dari hak cipta 1. Tujuan dan karakter dari suatu penggunaan, termasuk apakah penggunaan tersebut bersifat komersial atau untuk tujuan pendidikan yang nirlaba 2. Sifat dari suatu ciptaan 3. Jumlah dan kekukuhan dari bagian yang digunakan dalam kaitannya dengan ciptaan secara keseluruhan 4. Efek dari penggunaan terhadap pasar potensial bagi suatu ciptaan atau nilai dari suatu ciptaan" 13 Dalam menentukan suatu penggunaan yang wajar, hakim pengadilan Amerika Serikat akan mengelaborasi fakta dengan empat faktor di atas. Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan secara keseluruhan dalam suatu perkara. Berdasarkan praktik pengadilan Amerika Serikat, faktor keempat adalah faktor terpenting.14 Di Indonesia, doktrin fair use diatur dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, yaitu: "Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta: a. penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar 13 Diterjemahkan secara bebas oleh peneliti dengan teks asli "Notwithstanding the provisions of sections 106 and 106A, the fair use of a copyrighted work, including such use by reproduction in copies or phonorecords or by any other means specified by that section, for purposes such as criticism, comment, news reporting, teaching (including multiple copies for classroom use), scholarship, or research, is not an infringement of copyright: 1) the purpose and character of the use, including whether such use is of a commercial nature or is for nonprofit educational purposes; (2) the nature of the copyrighted work; (3) the amount and substantiality of the portion used in relation to the copyrighted work as a whole; and (4) the effect of the use upon the potential market for or value of the copyrighted work." (USA, Copyright Act of 1976, Section 107) 14 Roger E. Schechter and John R. Thomas, Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents, and Trademarks, (West Group, St. Paul: 2003), hal 227 5

6 dari Pencipta; b. pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan; c. pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan: i. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau ii. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. d. Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial; e. Perbanyakan suatu ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya; f. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan; g. Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri." Berdasarkan pengaturan di atas, UU Hak Cipta menyatakan bahwa tujuh (7) kegiatan tersebut tidaklah melanggar hak cipta seseorang apabila dilakukan sesuai pengaturan tersebut. Menurut Peneliti, tujuh (7) kegiatan di atas adalah bentuk-bentuk dari suatu penggunaan yang wajar (fair use) yang dianut oleh UU Hak Cipta. C. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian 6

7 normatif atau yang sering disebut dengan metode penelitian hukum doktrinal. 15 Berdasarkan bentuk penelitian, penelitian ini tergolong dalam penelitian preskriptif. Penelitian preskriptif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. 16 Dengan metode penelitian preskriptif ini, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan saran-saran untuk mengatasi masalah apakah doktrin fair use di Indonesia dapat diberlakukan untuk semua bentuk ciptaan dan memaparkan mengenai kemungkinan menerapkan doktrin fair use di Indonesia melalui pendekatan case law di Amerika Serikat. Pengambilan fakta-fakta yang terdapat dalam kasus di Amerika Serikat dilakukan karena belum ada praktik pengadilan Indonesia yang memutus mengenai doktrin fair use. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan mendapatkan data dari studi dokumen. Data dari bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Works tahun 1886 (terakhir kali diamandemen tahun 1979), TRIPs, USA Copyright Act 1976 serta putusan-putusan pengadilan yang ada di Amerika Serikat. 17 Selain menggunakan bahan hukum primer tersebut, peneliti juga menggunakan data dari hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, jurnal, artikel, yang sesuai dengan penelitian ini yang kesemuanya itu merupakan bahan hukum sekunder. 18 Selain itu, untuk mendukung penelitian ini, peneliti juga menggunakan data dari kamus hukum dan ensiklopedia yang relevan yang merupakan bahan hukum tersier. 19 Pendekatan masalah yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan komparatif atau pendekatan perbandingan dengan mengkaji Undang-Undang No. 19 tahun 2002 dan Copyright Law Amerika Serikat, khususnya mengenai doktrin fair use yang dianut oleh kedua negara tersebut untuk melihat bagaimana keberlakuan doktrin fair use dalam Pasal 15 terhadap bentuk-bentuk ciptaan, serta pelbagai kasus yang terjadi dalam praktik pengadilan Amerika Serikat untuk menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta. 15 Amirudin Asikin dan H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2000), hal Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia, Jakarta: 1984), hal Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007), hal 113. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari jaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. 18 Ibid., hal 114. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya. 19 Ibid. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder 7

8 D. PEMBAHASAN a. Keberlakuan Doktrin Fair Use Terhadap Ciptaan dalam Copyright Law Amerika Serikat Apabila kita melihat pada pengertian doktrin fair use, yaitu doktrin yang memperbolehkan penggunaan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta maka terlihat bahwa doktrin fair use berlaku hanya ketika suatu ciptaan yang digunakan secara wajar tersebut dilindungi oleh hak cipta. Artinya, menurut peneliti, doktrin fair use di Amerika Serikat, tidak berlaku bagi ciptaan atau karya yang tidak mendapat perlindungan hak cipta berdasarkan Copyright Act Sejalan dengan pendapat peneliti, Martine Courant Rife menyatakan bahwa doktrin fair use menjadi irrelevant ketika hak cipta tidak melindungi suatu ciptaan. Selanjutnya, menurut Martine Courant Rife, ada beberapa hal yang dapat membuat doktrin fair use menjadi tidak berlaku pada suatu ciptaan, yaitu: 1. ciptaan tersebut sudah berada dalam domain publik, artinya masa perlindungan hak cipta sudah habis. 2. ciptaan yang diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat, seperti, antara lain, putusan pengadilan, statuta, dan peraturan-peraturan 3. ciptaan yang tidak orisinal 4. penggunaan ciptaan yang de minimis, artinya penggunaan ciptaan tersebut tidak cukup melibatkan kuantitas dari ciptaan yang disalin untuk membuat adanya kesamaan substansial. 5. penggunaan ciptaan dengan seizin dari Penciptanya. 20 Selain lima ciptaan di atas, terdapat juga ciptaan yang tidak mendapat perlindungan hak cipta, yaitu ciptaan yang melanggar hukum. Menurut Paul Goldstein, terhadap ciptaan yang melanggar hukum ini, Copyright Act tidak mengatur, hanya saja dapat dilihat dalam praktik peradilan Amerika Serikat, seperti Stone & McCarrikck, Inc. v. Dugan Piano Co., (1915) mengenai iklan yang menipu, Bullard v. Esper (1947) mengenai kandungan bersifat cabul, Broder v. Zeno Mauvais Music Co. (1898) mengenai frasa dalam lagu Hottest Thing You Ever Seen yang memiliki makna tidak bermoral, dan lain-lain. Terhadap ciptaan-ciptaan yang mengandung muatan melanggar hukum ini, Paul Goldstein menyatakan bahwa pertimbangan 20 Martine Courant Rife, The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing teachers, Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, hal 161 8

9 untuk menentukan suatu muatan yang melanggar hukum ini, pada intinya, terdapat pada hukum negara bagian dan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. 21 b. Keberlakuan Doktrin Fair Use Terhadap Ciptaan dalam UU Hak Cipta Indonesia Sama seperti di Amerika Serikat, menurut peneliti, doktrin fair use di Indonesia juga hanya berlaku pada ciptaan-ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta karena doktrin fair use adalah doktrin yang memperbolehkan penggunaan suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Artinya, pemberlakuan doktrin fair use haruslah terhadap ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta saja. Dengan demikian, ada beberapa ciptaan dalam dalam hukum hak cipta Indonesia yang tidak dapat memberlakukan doktrin fair use, yaitu: 1. Ciptaan berdasarkan Pasal 13 UU Hak Cipta, yaitu: hasil rapat terbuka lembagalembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, keputusan bada arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya 2. Ciptaan yang telah habis masa perlindungannya. Ketika suatu ciptaan telah habis masa perlindungan hak ciptanya maka segala hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta, ahli waris pencipta dan pemegang hak cipta tidak memiliki perlindungan lagi, hak moral berkenaan dengan larangan untuk mengubah suatu ciptaan juga tidak berlaku. 22 Hanya hak moral pencipta untuk tetap dicantumkan namanya dalam ciptaannya saja yang tidak mengenal batas waktu berdasarkan Pasal 33 butir a UU Hak Cipta. 3. Ciptaan yang tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta. Ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta adalah ciptaan yang memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta. Apabila suatu ciptaan tidak memenuhi unsur tersebut maka ciptaan tersebut tidaklah mendapat perlindungan hak cipta. Apabila dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam hukum hak cipta Amerika Serikat, UU Hak Cipta tidak mengatur mengenai tidak adanya perlindungan hak cipta terhadap ciptaan yang mengandung muatan yang melanggar hukum. Sebagaimana dijelaskan 21 Paul Goldstein, Copyright, Volume I, hal Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, (Alumni, Bandung: 2005), hal 123 9

10 peneliti pada sub-bab 2.4., Amerika Serikat memiliki pengaturan terhadap ciptaan yang mengandung muatan melanggar hukum melalui praktik pengadilan dan berdasarkan praktik pengadilan itu dapat terlihat bahwa ciptaan yang mengandung muatan melanggar hukum contohnya adalah ciptaan sebagai iklan yang menipu, ciptaan yang mengandung muatan cabul, dan lirik lagu yang memiliki frasa yang tidak bermoral. Terhadap semua ciptaan tersebut, tidak terdapat perlindungan hak cipta. Sama dengan US Copyright Act 1976, UU Hak Cipta tidak mengatur mengenai bentuk ciptaan ini. c. Analisis Perbandingan Pengaturan Doktrin Fair Use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dengan Copyright Law Amerika Serikat Pengaturan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta mengutamakan pencantuman sumber dalam setiap penggunaan. Hal ini berhubungan dengan hak moral dari pencipta, yaitu hak agar namanya dicantumkan dalam setiap pengambilan ciptaan. Hal ini sejalan dengan fokus utama perlindungan hak cipta di Indonesia, yaitu perlindungan kepada Pencipta. Sedangkan di Amerika Serikat, pencantuman sumber tidak menjadi syarat utama karena fokus perlindungan hak cipta Amerika Serikat adalah kepada pemegang hak cipta. Apabila dibandingkan, pengaturan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta tidak memiliki faktor-faktor yang secara tegas diberikan oleh pembuat undang-undang untuk menentukan apakah terdapat suatu penggunaan yang wajar atau tidak. Pembuat UU Hak Cipta mengatur bentuk-bentuk tindakan penggunaan yang dapat dianggap sebagai penggunaan yang wajar, seperti pengutipan, pengambilan bagian ciptaan, pengubahan bentuk, perbanyakan ciptaan, dan pembuatan salinan untuk program komputer. Pengaturan bentuk-bentuk penggunaan tersebut disertai dengan tujuan atau kepentingan masing-masing. Kriteria atau ukuran yang dipakai oleh Pasal 15 UU Hak Cipta dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 15 butir a UU hak Cipta. Sehubungan dengan perbedaan pengaturan tersebut, menurut peneliti, akan lebih mudah bagi hakim untuk menentukan suatu penggunaan yang wajar apabila diberikan faktor-faktor pertimbangan seperti Copyright Act. Dengan memberikan faktor-faktor pertimbangan, hakim dapat mengelaborasikan faktor-faktor tesebut dengan fakta yang terjadi untuk menentukan suatu penggunaan yang wajar (fair use). Namun, menurut peneliti, konsekuensi dari pemberian faktor-faktor pertimbangan adalah tidak akan atau mungkin jarang sekali terjadi persamaan pandangan terhadap adanya suatu penggunaan yang wajar karena semua bergantung pada penafsiran hakim. Dengan demikian, pendekatan kasus per kasus sangat diperlukan dalam menentukan suatu penggunaan yang wajar. 10

11 d. Tafsiran Penerapan Doktrin Fair Use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta Melalui Putusan Pengadilan Amerika Serikat Sebagaimana telah dijelaskan oleh peneliti, bahwa belum ada kasus mengenai penggunaan yang wajar (fair use) di Indonesia. Ketiadaan kasus tersebut yang membuat peneliti harus menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta dengan menggunakan putusan yang ada di Amerika Serikat. Fakta-fakta yang ada di dalam putusan pengadilan Amerika Serikat tersebut akan peneliti gunakan untuk menafsirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta. d.1 Penafsiran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Harper & Row Publishers, Inc. v. Nation Enterprises Posisi Kasus: "Pada bulan Februari 1977, mantan presiden Amerika Serikat Gerald R. Ford membuat kontrak dengan Harper & Row dan Reader's Digest untuk menerbitkan memoar (riwayat hidup) dirinya yang belum ditulis. Memoar tersebut berisi mengenai materi-materi mengenai krisis Watergate, pernyataan pemberian maaf dari Ford kepada mantan presiden Nixon, dan refleksi pandangan Ford terhadap periode krisis tersebut dalam sejarah, termasuk moralitas dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam krisis itu. Memoar itu berjudul "A Time to Heal: The Autobiography of Gerald R. Ford". Sebagai tambahan dari hak untuk menerbitkan memoar Ford ke dalam bentuk buku, kontrak tersebut memberikan Harper & Row dan Reader's Digest hak eksklusif untuk melisensikan kutipan pra-publikasi (sebelum penerbitan dalam bentuk buku). Dua tahun kemudian, selagi memoar tersebut hampir selesai, Harper & Row dan Reader's Digest menegosiasikan perjanjian lisensi pra-publikasi dengan Time. majalah berita mingguan. Time setuju untuk membayar $25.000, yaitu $ di awal dan sisanya setelah penerbitan, dengan syarat Time mendapat hak untuk mengutip kata dari pernyataan pemberian maaf Ford kepada Nixon. Terbitan yang berisi kutipan Ford tersebut diatur untuk terbit sekitar satu minggu sebelum pengiriman versi lengkapnya dalam buku ke toko-toko buku. Sebelum artikel Time dijawalkan untuk terbit, seseorang yang tak dikenal secara diamdiam membawa salinan manuskrip Ford kepada Victor Navasky, editor The Nation, sebuah majalah seputar politik. Navasky kemudian tergesa-gesa mengumpulkan apa yang ia percayai sebagai "berita yang sangat panas" yang terdiri dari kutipan, parafrase, dan fakta-fakta yang diambil secara eksklusif dari manuskrip tersebut. Navasky kemudian menerbitkan artikel sebanyak kata tanggal 3 April 1979 bernama "The Ford Memoirs-Behind The Nixon Pardon". Sebagai akibat dari penerbitan tersebut, Time membatalkan penerbitan artikelnya dan menolak membayar sisa $ kepada Harper & Row Inc." Analisis menggunakan Pasal 15 UU Hak Cipta: Apabila perkara ini dihadapkan pada norma pengaturan Pasal 15 UU Hak Cipta maka, menurut peneliti, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh hakim pengadilan Indonesia dalam menilai apakah suatu penggunaan adalah penggunaan yang wajar atau tidak, yaitu: 11

12 1. Apakah Ciptaan yang menjadi objek perkara adalah ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta? 2. Apakah penggunaan yang dilakukan oleh The Nation telah menyebutkan sumber? 3. Apakah tujuan penggunaan yang dilakukan oleh The Nation adalah tujuan yang komersial atau tidak? 4. Apakah bagian yang digunakan oleh The Nation adalah bagian yang substansial atau tidak? 5. Apakah penggunaan yang dilakukan oleh The Nation telah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta? Agar mendapat perlindungan hak cipta, ciptaan Ford haruslah memenuhi syarat-syarat ciptaan terlebih dahulu. Memoar tersebut merupakan sebuah karya tulis yang memiliki bentuk spesifik, yaitu sebagai buku. Buku memoar tersebut juga merupakan ciptaan yang orisinal karena memoar tersebut berasal dari Ford sendiri, bahkan memoar itu juga memuat biografi dirinya dan memoar itu belum ada yang pernah menulis sehingga Ford tidak menjplak atau meniru karya orang lain. Buku memoar Ford juga membicarakan mengenai sejarah krisis Watergate di Amerika Serikat sehingga merupakan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah. Lebih lanjut, sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, bahwa ciptaan buku mendapatkan perlindungan hak cipta yang diatur dalam Pasal 12 butir a UU Hak Cipta dan memoar tersebut adalah karya tulis berbentuk buku. Dengan demikian, memoar Ford telah memenuhi syarat perlindungan hak cipta dan mendapatkan perlindungan hak cipta. Perlu diketahui, bahwa buku memoar Ford tersebut belum selesai ditulis sehingga merupakan ciptaan yang belum diumumkan karena pengumuman pertama dari memoar Ford ini memang dijadwalkan agar diumumkan pertama kali oleh Time sesuai perjanjian antara Time dengan Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Manuskrip tersebut dilindungi oleh UU Hak Cipta karena menurut Penjelasan Pasal 12 ayat (3), manuskrip termasuk ke dalam ciptaan yang belum diumumkan yang sudah merupakan suatu kesatuan yang lengkap. Dengan demikian, doktrin fair use dapat diberlakukan dalam perkara ini. Dalam perkara ini, tidak terdapat fakta bahwa The Nation menyebutkan sumber dari mana The Nation mendapatkan manuskrip tersebut. The Nation hanya menyatakan, melalui kesaksian Navasky, bahwa The Nation mengutip manuskrip Ford tersebut secara verbatim kata demi kata sama persis agar pembaca mengetahui atau sadar bahwa kata-kata yang ditulis berasal dari mantan presiden Ford sendiri. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai pencantuman 12

13 sumber karena The Nation tidak menyatakan sumber secara lengkap. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 15 butir a UU Hak Cipta bahwa yang dimaksud dengan pencantuman sumber secara lengkap adalah mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Dalam hal ini, penerbit dari manuskrip memoar Ford adalah Time karena Time yang akan menerbitkan manuskrip tersebut sesuai perjanjian dengan Harper & Row. Dengan demikian, The Nation tidak menyebutkan sumber pengutipan ciptaan. Apakah penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation bertujuan komersial? Untuk menjawab ini, harus dilihat apakah The Nation mencari keuntungan atau mendapat keuntungan dengan menggunakan atau mengeksploitasi mansukrip tersebut. Dengan kedua hak tersebut, seorang pencipta berhak untuk mengeksploitasi karyanya untuk emndapatkna keuntungan bagi dirinya sendiri. Dalam perkara ini, The Nation sebagai perusahaan majalah seputar politik menggunakan salinan manuskrip Ford tersebut untuk ditulis dalam majalahnya karena menurut Navasky, manuskrip Ford itu adalah berita yang panas. Menurut peneliti, sebagai majalah seputar politik, The Nation pastilah mendapat untung dari adanya manuskrip tersebut, apalagi mansukrip tersebut memiliki muatan politik juga mengenai krisis Watergate dan pernyataan pemberian maaf antar mantan presiden. Selain itu, The Nation tidak punya alas hak untuk menggunakan manuskrip itu karena tidak ada perjanjian apa pun antara The Nation dengan Ford. Dengan demikian, The Nation telah melakukan penggunaan yang bertujuan komersial dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 15 butir a UU Hak Cipta. Apakah bagian yang digunakan oleh The Nation adalah bagian yang substansial atau tidak? Dari keseluruhan manuskrip "A Time to Heal", Navasky, selaku editor dari Time telah menyeleksi bagian-bagian mana yang akan diambil dan kemudian dituangkan ke dalam artikel "The Ford Memoirs-Behind The Nixon Pardon." yang berisikan pernyataan pemberian maaf mantan presiden Ford kepada mantan presiden Nixon. Menurut peneliti, apa yang diambil oleh The Nation adalah bagian yang substansial dari keseluruhan manuskrip "A Time to Heal." Seorang editor dari Time, telah mengakui sendiri bahwa bagian yang diambil oleh The Nation adalah bagian substansial dengan mendekripsikan bahwa bab-bab dalam pernyataan pemberian maaf sebagai "bagian yang paling menarik dan menggugah dari keseluruhan manuskrip." Dengan demikian, The Nation telah mengambil bagian yang substansial dari keseluruhan manuskrip "A Time to Heal." Apakah penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation telah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta? Dalam perkara ini, penggunaan ciptaan 13

14 Ford yang dilakukan oleh The Nation mengakibatkan Time, pihak yang telah mengadakan perjanjian lisensi dengan Harper & Row, membatalkan keinginannya untuk membuat suatu serial dari karya tulis Ford tersebut dan menolak membayar uang sebesar $ Tindakan wanprestasi dari Time tersebut merupakan reaksi dari terbitnya artikel "The Ford Memoirs- Behind The Nixon Pardon" yang diterbitkan oleh The Nation. Time telah mensyaratkan bahwa tidak boleh ada pihak yang menerbitkan manuskrip Ford itu selain Time, kalau tidak, Time akan merenegosiasikan seluruh perjanjiannya dengan Harper & Row. Akibatny, Harper & Row terkena dampak kerugian secara langsung, yaitu kehilangan uang sebesar $ yang sewajarnya diterima Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Dengan demikian, penggunaan manuskrip Ford oleh The Nation telah merugikan kepentingan yang wajar dari Harper & Row selaku pemegang hak cipta. Untuk menafsirkan lebih jauh mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta, hakim Indonesia dapat meminjam pertimbangan hakim Amerika Serikat bahwa kepentingan ekonomi dari pencipta dan pemegang hak cipta dapat dirugikan juga apabila pasar suatu ciptaan menjadi terancam oleh suatu penggunaan ciptaan. Bahkan, bukan hanya terhadap pasar yang ada sekarang, namun juga terhadap pasar potensial dari ciptaan tersebut. Melihat pada pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan ciptaan manuskrip "A Time to Heal" oleh The Nation bukanlah suatu penggunaan yang wajar berdasarkan Pasal 15 UU Hak Cipta karena penggunaan ciptaan yang dilakukan The Nation tidak menyebutkan sumber secara lengkap, bertujuan komersial, menggunakan bagian yang substansial, dan telah merugikan kepentingan yang wajar dari Harper & Row selaku pemegan Hak Cipta. d.2. Penafisran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Sony Corp. v. Universal City Studios, Inc. Posisi Kasus: "Pada tahun 1970, Sony (Tergugat) mengembangkan format perekaman kaset video (Video Tape Recording) yang bernama Betamax. Universal (Penggugat) adalah pemilik hak cipta beberapa program acara yang disiarkan televisi. Universal menggugat Sony atas dasar pelanggaran hak cipta yang dilakukan Sony dengan menjual perekam kaset video kepada para pemirsa di rumah. Sony membawa teori bahwa penjualan perekam kaset video yang dilakukan oleh Sony dengan mengetahui bahwa pemirsa di rumah. menggunakan mesinmesin tersebut untuk membuat salinan dari ciptaan film yang melanggar hak cipta dari Universal. Untuk dapat menyatakan Sony bersalah berdasarkan teori yang dibawa Universal, 14

15 harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa kegiatan penonton di rumah yang melakukan perekaman di rumah adalah perbuatan yang melanggar hak cipta. Sony berargumen bahwa perekaman yang dilakukan di rumah (home taping) tidaklah melanggar hak cipta karena dilindungi oleh doktrin fair use. Perkara ini dimenangkan oleh Sony di Pengadilan Distrik, kemudian Pengadilan Banding mengeyampingkan putusan Pengadilan Distrik dan memenangkan Universal. Mahkamah Agung kemudian menganulir putusan Pengadilan Banding dan menyatakn bahwa kegiatan perekaman di rumah adalah fair use dan memenangkan Sony." Analisis Kasus menggunakan Pasal 15 UU Hak Cipta: Menurut peneliti, dalam perkara Sony melawan Universal ini, ada beberapa masalah hukum yang relevan untuk dielaborasi oleh hakim untuk menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar, yaitu: 1. Pencantuman sumber 2. tujuan dari kegiatan time-shifting 3. sifat dari ciptaan yang dilindungi, dalam hal ini film sebagai karya dalam sinematografi 4. akibat dari time-shifting, apakah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta? Dari tiga permasalahan hukum di atas, menurut peneliti, Pasal 15 UU hak Cipta tidak dapat mengakomodasi permasalahan hukum yang pertama. Alasannya adalah, Pasal 15 tidak mengatur tujuan penggunaan seperti yang terjadi dalam perkara. Dalam perkara ini, kegiatan yang dilakukan adalah time-shifting, yaitu perekaman suatu program acara televisi melalui kaset video agar dapat ditonton di jam yang berbeda dari jam tayangnya di rumah sendiri. Namun, apabila menyimak perkara ini, tujuan dari penggunaan seperti yang terjadi dalam perkara adalah bertujuan nonkomersial. Artinya, penonton yang melakukan perekaman tidaklah bermaksud untuk menjual kembali siaran atau film yang telah direkam, melainkan untuk konsumsi pribadi. Dalam Pasal 15 UU hak Cipta. tidak terdapat jenis kegiatan (perekaman) yang memiliki tujuan untuk konnsumsi pribadi. Sebagaimana telah disebutkan oleh peneliti dalam Bab II bahwa kepentingan atau tujuan yang diatur per butir dalam Pasal 15 UU Hak Cipta bersifat terbatas karena kalimat undang-undang yang ada tidak membuka kesempatan untuk tujuan lain selain yang tertera di Pasal 15 UU Hak Cipta. 15

16 Satu-satunya jenis kegiatan penggunaan ciptaan yang bertujuan untuk kegunaan sendiri adalah Pasal 15 butir g. Namun, norma pengaturan butir g tidaklah sesuai dengan bentuk penggunaan yang dilakukan dalam perkara ini. Butir g mengatur mengenai pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemiliki program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri, sedangkan perkara ini mengenai perekaman ciptaan dengan kaset video. Dari penjabaran di atas, peneliti simpulkan bahwa Pasal 15 UU Hak Cipta tidak dapat mengakomodasi atau tidak dapat menjadi dasar hukum untuk menyelesaikan suatu perkara seperti perkara Sony Corp. v. Universal City Studios, Inc. karena Pasal 15 UU Hak Cipta tidak mengatur sama sekali mengenai perekaman siaran televisi yang dilakukan di rumah guna keperluan pribadi. Dengan demikian, kegiatan time-shifting yang terjadi dalam perkara ini bukanlah fair use atau suatu penggunaan yang wajar menurut UU Hak Cipta Indonesia. d.3 Penafisran Penerapan Pasal 15 UU Hak CIpta Melalui Perkara Campbell v. Acuff- Rose Music Inc. Posisi Kasus: "Pada tahun 1964, Roy Orbison dan William Dees menulis sebuah rock ballad berjudul "Oh, Pretty Woman" dan menetapkan hak mereka atas lagu tersebut kepada Acuff-Rose Music Inc. (untuk selanjutnya Acuff-Rose). Luther R. Campbell, Christopher Wongwon, Mark Ross, dan David Hobbs adalah group rap yang dikenal dengan nama 2 Live Crew. Pada tahun 1989, Campbell menulis sebuah lagu yang berjudul "Pretty Woman" yang nantinya di persidangan dideskripsikan olehnya sebagai "sindiran kepada karya asli melalui lirik-lirik yang lucu." Padal tanggal 5 Juli 1989, manajer dari 2 Live Crew menginformasikan Acuff-Rose bahwa 2 Live Crew telah menulis sebuah parodi dari "Oh, Pretty Woman" dan Acuff-Rose, Dees, dan Orbson akan mendapat segala penghargaan yang berhubungan dengan kepemilikan dan hak cipta pada lagu orisinal. 2 Live Crew juga rela membayar biaya untuk memakai lagu tersebut. Namun, agen dari Acuff-Rose menolak permitaan izin tersebut dengan menyatakan bahwa "Saya mengetahui kesuksesan dari 'The 2 Live Crews' tetapi saya harus memberitahu Anda bahwa kami tidak dapat mengizinkan penggunaan parodi dari 'Oh, Pretty Woman'." Walau demikian, pada bulan Juni atau Juli 1989, 2 Live Crew mengeluarkan rekaman, kaset, dan Compact Disc (CD) dari "Pretty Woman" dalam sebuah koleksi lagu-lagu yang berjudul "As Clean As They Wanna Be." Baik album serta CD tersebut mengidentifikasi pencipta dari "Pretty Woman" sebagai Orbison dan Dees dan Pemegang Hak Cipta Acuff-Rose." Analisis Kasus dengan Pasal 15 UU Hak Cipta: 16

17 Untuk menyelesaikan perkara seperti perkara Campbell v. Acuff-Rose Music Inc., para hakim Indonesia dapat menggunakan norma pengaturan yang terdapat dalam Pasal 15 butir a UU Hak Cipta dan harus dapat menjawab permasalahan hukum sebagai berikut: 1. Apakah doktrin fair use dapat diberlakukan terhadap ciptaan "Oh, Pretty Woman"? 2. Apakah 2 Live Crew telah menyebutkan atau mencantumkan sumber dengan lengkap? 3. Apakah tujuan dari penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew? 4. Apakah perbuatan 2 Live Crew yang membuat lagu "Pretty Woman" merugikan kepeningan yang wajar dari Acuff-Rose, Dees, dan Orbison untuk menikmati manfaat ekonomi dari lagu "Oh, Pretty Woman"? Menurut peneliti, lagu "Oh, Pretty Woman" adalah ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Apabila melihat pada pengaturan Pasal 12 butir d UU Hak Cipta, maka lagu "Oh, Pretty Woman" masuk dalam kategori lagu atau musik. Selain itu, lagu "Oh, Pretty Woman" juga sudah merupakan suatu kesatuan yang utuh sebagaimana dinyatakan Penjelasan Pasal 12 butir d UU Hak Cipta. Satu kesatuan yang utuh itu terlihat dari adanya melodi dan syair atau lirik dalam lagu "Oh, Pretty Woman." Menyimak pada fakta yang terjadi dalam perkara Campbell v. Acuff-Rose Music Inc., 2 Live Crew mencantumkan nama Orbison dan Dees sebagai pencipta "Pretty Woman" dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta rekaman dalam album dan CD album mereka, yaitu "As Clean As They Wanna Be." Perbuatan pencantuman sumber yang dilakukan oleh 2 Live Crew menurut peneliti sudah cukup memadai sesuai dengan Pasal 15 UU Hak Cipta. Alasannya, berdasarkan posisi kasus, 2 Live Crew sudah memberi tahu kepada pihak Acuff- Rose sebelumnya bahwa dia akan mencantumkan sumber tersebut agar orang-orang mengetahui bahwa lagu "Pretty Woman" memang dibuat berdasarkan lagu "Oh, Pretty Woman" yang diciptakan oleh Orbison dan Dees dan hak ciptanya dipegang oleh Acuff-Rose sebagai perusahaan rekaman. Berdasarkan posisi kasus, diketahui bahwa Campbell, penulis lagu "Pretty Woman," menjelaskan bahwa dia bermaksud untuk menyindir lagu "Oh, Pretty Woman" dengan lirik yang lucu. Pendapat hakim pada Mahkamah Agung Amerika Serikat mengatakan bahwa sebenarnya maksud dari lagu "Pretty Woman" ciptaan Campbell bukanlah bertujuan menyindir, melainkan mengomentari lagu "Oh, Pretty Woman" betapa lagu "Oh, Pretty Woman" adalah lagu yang hambar dan dangkal. Menurut peneliti, pendapat Mahkamah Agung adalah benar karena sebagaimana dapat dilihat pada lirik lagu "Oh, Pretty Woman" 17

18 bahwa Orbison dan Dees memakai kata pretty woman hampir di setiap awal kalimat. Namun, lagu "Pretty Woman" mengganti kata pretty woman tersebut di beberapa awal kalimat dengan kata-kata lain yang jenaka seperti big hairy woman (wanita yang berambut lebat), bald headed woman (wanita yang berkepala botak), two timin' woman (wanita yang tidak setia) yang menunjukkan bahwa Campbell merasa bahwa lagu "Oh, Pretty Woman" membosankan karena repetitif, yaitu mengulang-ulang kata yang sama. Menurut peneliti, kegiatan menyindir dan mengomentari yang dilakukan oleh 2 Live Crew cakupannya termasuk ke dalam penulisan kritik sebagaimana disebutkan oleh Pasal 15 huruf a UU Hak Cipta. Berdasarkan kesaksian Campbell, ia menulis lagu "Pretty Woman" untuk menyindir lagu "Oh, Pretty Woman. Peneliti juga setuju bahwa Campbell menyindir lagu "Oh, Pretty Woman" adalah lagu yang membosankan. Sindiran yang diberikan oleh Campbell tersebut dapat dianggap sebagai kritik karena menyindir memiliki makna sebagai mengkritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. 23 Dengan demikian, penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew adalah bertujuan untuk menulis kritik terhadap lagu "Oh, Pretty Woman" dengan menyindir lagu tersebut melalui parodi lagu yang berjudul "Pretty Woman" Selanjutnya, mengenai kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Apakah perbuatan 2 Live Crew yang membuat lagu "Pretty Woman" merugikan kepentingan yang wajar dari Orbison dan Dees sebagai pencipta dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta? Menurut peneliti, penggunaan yang dilakukan oleh 2 Live Crew dengan menciptakan lagu "Pretty Woman" sebagai sindiran terhadap "Oh, Pretty Woman" tidaklah merugikan kepentingan yang wajar dari Orbison, Dees, dan Acuff-Rose. Akibat dari Campbell yang menciptakan ciptaan yang berbeda dari ciptaan Orbison dan Dees adalah pasar yang dimiliki oleh kedua ciptaan tersebut menjadi berbeda. baik pasar potensial dan pasar yang saat itu ada berbeda satu sama lain. Dengan berbedanya pasar kedua ciptaan, maka kepentingan yang wajar dari Orbison dan Dees serta Acuff-Rose tidaklah terganggu atau dirugikan. Dengan demikian, menurut peneliti, penggunaan yang telah dilakukan oleh 2 Live Crew adalah suatu penggunaan yang wajar karena menyebutkan sumber secara lengkap, bertujuan untuk mengkritik lagu "Oh, Pretty Woman," dan tidak merugikan kpentingan yang wajar dari Orbison, Dees sebagai pencipta dan Acuff-Rose sebagai pemegang hak cipta. 23 Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, diakses pada tanggal 15 Juni 2013 pukul WIB 18

19 E. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Doktrin fair use atau dokrin penggunaan yang wajar adalah doktrin yang memperbolehkan penggunaan ciptaan pihak lain tanpa harus meminta persetujuan dari pencipta aau pemegang hak cipta. Doktrin fair use di Indonesia diatur dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dengan mengatur kegiatan-kegiatan penggunaan ciptaan yang diperbolehkan tanpa meminta persetujuan dari Pencipta. Doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta hanya berlaku atau relevan terhadap ciptaan yang memiliki perlindungan hak cipta, yaitu ciptaan yang telah memenuhi syarat-syarat ciptaan dan masih dalam jangka waktu perlindungan hak cipta. 2. Untuk menerapkan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, dimungkinkan pendekatan kasus per kasus dengan menggunakan kriteria atau tolok ukur yang terdapat dalam Pasal 15 UU Hak Cipta, yaitu melihat apakah sudah terdapat pencantuman sumber, apa tujuan penggunaan ciptaan, bagaimana sifat penggunaan ciptaan tersebut, dan apakah penggunaan ciptaan tersebut telah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Selain itu, hakim juga dapat menggunakan penafsiran doktrin fair use yang ada di Amerika Serikat sebagai pedoman untuk menafsirkan Pasal 15 UU Hak Cipta. Alasan perlunya pendekatan kasus per kasus adalah karena penafsiran atas penggunaan yang wajar dari suatu ciptaan dapat berbeda-beda sehingga diperlukan penafsiran hakim untuk memutus suatu perkara dan menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar. F. SARAN Saran yang dapat peneliti sampaikan berdasarkan penelitian ini adalah: 1. Kepada pihak pembuat undang-undang atau kepada pihak legislatif: a. Rumusan Pasal 15 UU Hak Cipta sebaiknya segera diperbaiki, khususnya terhadap butir f dan butir g agar tidak disatukan dengan rumusan Pasal 15 UU Hak Cipta karena terhadap butir f dan butir g, menurut peneliti, tidak relevan untuk diberikan syarat pencantuman sumber dalam melakukan kegiatan penggunaan yang wajar. b. Terhadap penentuan kegiatan-kegiatan apa saja yang dianggap sebagai penggunaan yang wajar dalam butir a hingga butir g, menurut peneliti, sebaiknya 19

20 tidak perlu dirinci jenis-jenis kegiatannya. Dalam hal ini, pembuat undang-undang dapat melihat pengaturan doktrin fair use dalam Copyright Act 1976 yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Pengaturan Copyright Act 1976 lebih memudahkan para hakim untuk menentukan ada atau tidaknya suatu penggunaan yang wajar dalam suatu perkara karena para hakim diberikan poin-poin atau faktor-faktor pertimbangan untuk memutus. Dengan demikian, para hakim di Indonesia, nantinya, akan lebih mudah mengelaborasi norma hukum dengan fakta yang ada. 2. Untuk mempermudah dalam menentukan ada atau tidaknya suatu penggunaan yang wajar, peneliti menyarankan kepada para hakim Indonesia agar melihat kepada kriteria atau syarat-syarat yang diberikan oleh Pasal 15 UU Hak Cipta kemudian mengelaborasi antara syarat tersebut dengan fakta yang ada. Rasio-rasio pertimbangan yang ada dalam putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat juga dapat dipakai untuk menemukan ada atau tidak suatu penggunaan yang wajar atau fair use. G. DAFTAR PUSTAKA Asikin, Amirudin dan H. Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Copyright Act of Public Law U.S. Statutes at Large 90: Damian, Eddy. Hukum Hak Cipta. Edisi Kedua. Cetakan ke-3. Bandung: Alumni, Goldstein, Paul. Copyright. Volume I. Canada: Little, Brown, & Company, Copyright. Volume II. Canada: Little, Brown, & Company, Indonesia. Undang-Undang Tentang Hak Cipta. UU No. 19 tahun Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 85. Tambahan Lembaran Negara Nomor Kaehlig, Carl-Bernd. Indonesian Copyright Law: Including Licensing and Registration Requirements. Jakarta: Tatanusa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Pernada Media Group, Purba, Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Edisi Pertama. Cetakan Ke-1. Bandung: Alumni, Rife, Martine Courant. "The fair use doctrine: History, application, and implications for (new media) writing teachers," Department of Communication, Lansing Community College, USA: 2007, (diakses pada tanggal 6 Februari 2012 pukul WIB). Shechter, Roger E. dan John R. Thomas. Intellectual Property: The Law of Copyrights, Patents, and Trademarks. St. Paul: West Group, Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

: /2 /0 04

: /2 /0 04 » Apakah yang dimaksud dengan Hak cipta?» Apa yang dapat di hak ciptakan?» Berapa Lama hak cipta berakhir?» Apa yang ada dalam Domain Publik?» Apakah Cukup Gunakan?» Alternatif untuk Hak Cipta» Hak cipta

Lebih terperinci

POTENSI PELANGGARAN HAK CIPTA MELALUI FILE SHARING

POTENSI PELANGGARAN HAK CIPTA MELALUI FILE SHARING POTENSI PELANGGARAN HAK CIPTA MELALUI FILE SHARING Oleh : Tarsisius Maxmilian Tambunan I Gusti Agung Ayu Ari Krisnawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper is titled

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK EKSKLUSIF PEMILIK MEREK DI INDONESIA TERHADAP PELANGGARAN MEREK DALAM BENTUK PERJANJIAN LISENSI

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK EKSKLUSIF PEMILIK MEREK DI INDONESIA TERHADAP PELANGGARAN MEREK DALAM BENTUK PERJANJIAN LISENSI PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK EKSKLUSIF PEMILIK MEREK DI INDONESIA TERHADAP PELANGGARAN MEREK DALAM BENTUK PERJANJIAN LISENSI Oleh : Ida Ayu Citra Dewi Kusuma I Ketut Sudantra Bagian Hukum Bisnis, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. erat hubungannya. Seiring dengan berkembangnya teknologi para

BAB I PENDAHULUAN. erat hubungannya. Seiring dengan berkembangnya teknologi para BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu karya lagu atau musik adalah ciptaan yang utuh terdiri dari unsur lagu atau melodi syair atau lirik dan aransemen, termasuk notasinya dan merupakan suatu karya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS BUKU A. Hak cipta sebagai Hak Eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta Dalam konsep perlindungan hak cipta disebutkan bahwa hak cipta tidak melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Intellectual Property Rights (IPR) dalam bahasa Indonesia memiliki 2 (dua) istilah yang pada awalnya adalah Hak Milik Intelektual dan kemudian berkembang menjadi

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia Undang-Undang Hak Cipta atas Kekayaan Intelektual (termasuk program-program komputer) UU No.

Tinjauan Umum Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia Undang-Undang Hak Cipta atas Kekayaan Intelektual (termasuk program-program komputer) UU No. Undang-undang Hak Cipta dan Perlindungan Terhadap Program Komputer PERTEMUAN 7 Tinjauan Umum Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia Undang-Undang Hak Cipta atas Kekayaan Intelektual (termasuk program-program

Lebih terperinci

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO Mahasiswa dapat mengerti dan memahami arti, fungsi, dan hak cipta Mahasiswa dapat mengerti dan memahami pembatasan dan perlindungan hak cipta Hak Cipta adalah

Lebih terperinci

Volume 10 Nomor 2 September 2013

Volume 10 Nomor 2 September 2013 Volume 10 Nomor 2 September 2013 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 10 2 Hal. 79-154 Tabanan September 2013 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari berbagai suku tersebar di seluruh daerah. Keberadaan suku-suku tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dari berbagai suku tersebar di seluruh daerah. Keberadaan suku-suku tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Kita mengetahui bahwa Negara Indonesia ini terdiri dari berbagai suku tersebar

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015 SUATU TINJAUAN TENTANG HAK PENCIPTA LAGU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1 Oleh: Ronna Sasuwuk 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu jenis hak atas kekayaan intelektual adalah karya cipta. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu jenis hak atas kekayaan intelektual adalah karya cipta. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu jenis hak atas kekayaan intelektual adalah karya cipta. Dalam kepustakaan hukum di Indonesia yang pertama dikenal adalah Hak Pengarang/ Hak Pencipta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. lazim digunakan untuk meneliti ketentuan-ketentuan hukum positif sebagaimana

III. METODE PENELITIAN. lazim digunakan untuk meneliti ketentuan-ketentuan hukum positif sebagaimana III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif lazim digunakan untuk meneliti ketentuan-ketentuan hukum positif sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the

BAB I PENDAHULUAN. Tahun Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Kekayaan Intelektual berarti suatu karya manusia yang lahir dengan curahan tenaga, karsa, cipta, waktu, dan biaya. Segala jerih payah itu menjadi kontribusi

Lebih terperinci

KEGIATAN USAHA FOTOKOPI DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA

KEGIATAN USAHA FOTOKOPI DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA KEGIATAN USAHA FOTOKOPI DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA Oleh : Finna Wulandari I Made Udiana Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper titled The Business

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas

BAB I PENDAHULUAN. karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi dewasa ini, teknologi sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kegiatan industri hadir dalam kehidupan manusia dalam bentuk hasil penemuan.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENCIPTA LAGU YANG KARYANYA DIMANFAATKAN OLEH PELAKU USAHA KARAOKE

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENCIPTA LAGU YANG KARYANYA DIMANFAATKAN OLEH PELAKU USAHA KARAOKE PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENCIPTA LAGU YANG KARYANYA DIMANFAATKAN OLEH PELAKU USAHA KARAOKE Oleh GD Sattwika Yudharma Sutha Suatra Putrawan Perdata Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 85, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN TUNTUTAN GANTI RUGI MENGENAI HAK CIPTA LOGO DARI PENCIPTA

PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN TUNTUTAN GANTI RUGI MENGENAI HAK CIPTA LOGO DARI PENCIPTA PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN TUNTUTAN GANTI RUGI MENGENAI HAK CIPTA LOGO DARI PENCIPTA Oleh A A Ngr Tian Marlionsa Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Proses pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang saat ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang saat ini dijalankan menjadikan kebutuhan akan lembaga pendidikan sebagai wadah pencerdasan dan pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua. bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran,

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua. bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran, sampai ke rumah tangga. Sekarang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian agar dapat dipercaya kebenarannya, harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat. Sebuah penelitian, untuk memperoleh data yang akurat dan valid diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebaran informasi secara cepat dan akurat. Berkat perkembangan teknologi komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. penyebaran informasi secara cepat dan akurat. Berkat perkembangan teknologi komunikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang komunikasi dan informasi adalah dengan ditemukannya rancangan khusus untuk penyebaran

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa hak cipta merupakan kekayaan intelektual

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak cipta merupakan kekayaan intelektual di bidang

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan hukum hak cipta terhadap produk digital. Hak cipta terhadap

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan hukum hak cipta terhadap produk digital. Hak cipta terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) adalah sistem hukum yang melekat pada tata kehidupan modern terutama pada perkembangan hukum hak cipta terhadap

Lebih terperinci

INTISARI HAK CIPTA. UU No 28 Tahun 2014

INTISARI HAK CIPTA. UU No 28 Tahun 2014 INTISARI HAK CIPTA UU No 28 Tahun 2014 Definisi Pasal 1 : Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.266, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Hak Cipta. Pengertian Hak Cipta hak ekslusif untuk 1. mengumumkan, 2. memperbanyak, 3. memberi izin

Hak Cipta. Pengertian Hak Cipta hak ekslusif untuk 1. mengumumkan, 2. memperbanyak, 3. memberi izin Hak Cipta Pengertian Hak Cipta hak ekslusif untuk 1. mengumumkan, 2. memperbanyak, 3. memberi izin Beberapa Pengertian Pengumuman adalah 1.pembacaan, 2.penyiaran, 3.pameran, 4.penjualan, 5.pengedaran,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 19-2002 mengubah: UU 6-1982 lihat: UU 12-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 42, 1987 HAK MILIK. KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Kebudayaan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku sebagaimana pepatah menyatakan adalah jendela dunia. Setiap isi

BAB I PENDAHULUAN. Buku sebagaimana pepatah menyatakan adalah jendela dunia. Setiap isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Buku sebagaimana pepatah menyatakan adalah jendela dunia. Setiap isi buku berisikan pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan lainnya yang akan menambah wawasan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak cipta merupakan kekayaan intelektual

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I Hak Cipta. I. Pendahuluan

BAB I Hak Cipta. I. Pendahuluan BAB I Hak Cipta I. Pendahuluan Hak kekayaan Intelektual dapat dairtikan suatu bagian dari ide, gagasan, imajinasi seseorang yang dituangkan lewat suatu karya seni maupun karya sastra. Hak Cipta adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB 8 PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM BIDANG TI

BAB 8 PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM BIDANG TI BAB 8 PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM BIDANG TI Teguh Wahyono Mata Kuliah Etika Profesi dan Pengembangan Diri Fakultas Teknologi Informasi - Universitas Kristen Satya Wacana AGENDA Tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

3/21/2012 copyright 3

3/21/2012  copyright 3 1 2 HAK CIPTA HAK CIPTA HAK TERKAIT 3 DAPAT DILINDUNGI.? TRIPS 9 (2):: PERLINDUNGAN HC HENDAKNYA DIPERLUAS PADA PERWUJUDAN KARYA, DAN BUKAN PADA IDE, PROSEDUR, METODE PELAKSANAAN, ATAU KONSEP- KONSEP MATEMATIS

Lebih terperinci

PELANGGARAN TERHADAP HAK MEREK TERKAIT PENGGUNAAN LOGO GRUP BAND PADA BARANG DAGANGAN

PELANGGARAN TERHADAP HAK MEREK TERKAIT PENGGUNAAN LOGO GRUP BAND PADA BARANG DAGANGAN PELANGGARAN TERHADAP HAK MEREK TERKAIT PENGGUNAAN LOGO GRUP BAND PADA BARANG DAGANGAN Oleh: I Putu Renatha Indra Putra Made Nurmawati Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This scientific

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Mengingat: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN MEREK YANG TELAH TERDAFTAR OLEH PEMEGANG MEREK MENURUT UNDANG UNDANG NO 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK ABSTRACT

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN MEREK YANG TELAH TERDAFTAR OLEH PEMEGANG MEREK MENURUT UNDANG UNDANG NO 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK ABSTRACT AKIBAT HUKUM PEMBATALAN MEREK YANG TELAH TERDAFTAR OLEH PEMEGANG MEREK MENURUT UNDANG UNDANG NO 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK Oleh : Kadek Bela Rusmawati Hanaya Gde Made Swardhana Bagian Hukum Bisnis, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan strategi pemberdayaan ekonomi di negaranya masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan strategi pemberdayaan ekonomi di negaranya masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjalanan peradaban suatu bangsa terus berkembang mengikuti arus perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai akibat dari berkembangnya pola pikir, intelektual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal yang penting saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena berdasarkan tahapan pembuktian inilah terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis BAB III METODE PENELITIAN berikut: Metode penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. MP3 dapat diartikan dalam dua hal, yakni sebagai program komputer

BAB III PENUTUP. MP3 dapat diartikan dalam dua hal, yakni sebagai program komputer BAB III PENUTUP A. Kesimpulan MP3 dapat diartikan dalam dua hal, yakni sebagai program komputer (software) dan medium penyimpanan dan menjalankan musik dan lagu. Dua arti tersebut jika dilihat dari sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait.

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak cipta pertama kali mendapat perlindungan di tingkat Internasional pada tanggal 9 September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

LEGALITAS COLLECTING SOCIETY DI DALAM PEMUNGUTAN ROYALTI DI INDONESIA. A s h i b l y. Abstract

LEGALITAS COLLECTING SOCIETY DI DALAM PEMUNGUTAN ROYALTI DI INDONESIA. A s h i b l y. Abstract 39 LEGALITAS COLLECTING SOCIETY DI DALAM PEMUNGUTAN ROYALTI DI INDONESIA A s h i b l y Abstract In practice, the use and collection of royalties creation would not all be done by the author. Thus was born

Lebih terperinci

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A. Presiden Republik Indonesia,

L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A. Presiden Republik Indonesia, L E M B A R A N - N E G A R A R E P U B L I K I N D O N E S I A No. 42, 1987 HAK MILIK. KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Kebudayaan. Mass Media. Warga Negara. Hak Cipta. Perdata. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGATURAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL: IMPLEMENTASI DAN RELEVANSINYA DENGAN KEGIATAN KEPARIWISATAAN Oleh: Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH,Mhum,LLM Fakultas Hukum Universitas Udayana Disampaikan Dalam Seminar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) bukanlah hal

I. PENDAHULUAN. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) bukanlah hal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) bukanlah hal yang baru dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Hak kekayaan intelektual adalah

Lebih terperinci

PR Ketiga Kelas X.4 Tgl 06 Agustus 2010 Mengenai UU Hak Cipta Posted by malikzeith - 16 Aug :28

PR Ketiga Kelas X.4 Tgl 06 Agustus 2010 Mengenai UU Hak Cipta Posted by malikzeith - 16 Aug :28 PR Ketiga Kelas X.4 Tgl 06 Agustus 2010 Mengenai UU Hak Cipta Posted by malikzeith - 16 Aug 2010 09:28 Carilah Undang-undang yang berkaitan dengan Hak Cipta, Jangan lupa Cantumkan Nama, Kelas dan NIS Syarat

Lebih terperinci

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMUNGUTAN ROYALTI HAK CIPTA LAGU UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMUNGUTAN ROYALTI HAK CIPTA LAGU UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL SKRIPSI PELAKSANAAN PEMUNGUTAN ROYALTI HAK CIPTA LAGU UNTUK KEPENTINGAN KOMERSIAL OLEH : SANG KOMPIANG JULI ARTA 0816051218 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i SKRIPSI PELAKSANAAN PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

III. METODE PENELITIAN. mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN Diselenggarakan di Roma Tanggal 26 Oktober 1961 HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DUNIA JENEWA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA I. I. UMUM Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

HAK CIPTA SOFTWARE. Pengertian Hak Cipta

HAK CIPTA SOFTWARE. Pengertian Hak Cipta HAK CIPTA SOFTWARE Pengertian Hak Cipta Hak cipta (lambang internasional: ) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu.

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM BERAKHIRNYA LISENSI WAJIB PADA PENGALIHAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DI INDONESIA

AKIBAT HUKUM BERAKHIRNYA LISENSI WAJIB PADA PENGALIHAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DI INDONESIA AKIBAT HUKUM BERAKHIRNYA LISENSI WAJIB PADA PENGALIHAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DI INDONESIA Oleh : Ni Nyoman Yuli Astuti I Gede Yusa Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1987 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1987 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1987 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA

CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA Oleh: I Wayan Wardiman Dinata I Nyoman Bagiastra Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih Perlindungan Hukum bagi Pemilik Nama Domain. yang Beritikad Baik dalam Kaitannya dengan Perlindungan Hak Merek

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih Perlindungan Hukum bagi Pemilik Nama Domain. yang Beritikad Baik dalam Kaitannya dengan Perlindungan Hak Merek BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Penulis memilih Perlindungan Hukum bagi Pemilik Nama Domain yang Beritikad Baik dalam Kaitannya dengan Perlindungan Hak Merek Orang Lain. Judul penelitian ini

Lebih terperinci

HUKUM PENERBITAN BAHAN PUSTAKA. Oleh. Dewi Wahyu Wardani

HUKUM PENERBITAN BAHAN PUSTAKA. Oleh. Dewi Wahyu Wardani HUKUM PENERBITAN BAHAN PUSTAKA Oleh Dewi Wahyu Wardani 125030700111021 PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA April 2015 1. Pengertian Penerbitan adalah kegiatan

Lebih terperinci

Pengertian Hak Cipta HAK CIPTA. Pencipta dan kepemilikan hak cipta. Konsepsi Kepemilikan Hak Cipta 2/19/2014

Pengertian Hak Cipta HAK CIPTA. Pencipta dan kepemilikan hak cipta. Konsepsi Kepemilikan Hak Cipta 2/19/2014 Pengertian Hak Cipta HAK CIPTA Tim Dosen HKI Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Secara Umum adalah Perlindungan hukum kepada; pengarang, pencipta lagu, pembuat program komputer, perancang situs dan penciptapencipta

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KARYA CIPTA MUSIK

UPAYA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KARYA CIPTA MUSIK UPAYA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KARYA CIPTA MUSIK Oleh: Ade Hendra Yasa A.A.Ketut Sukranatha Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This title of this paper is The solution

Lebih terperinci

Hak Cipta Program Komputer

Hak Cipta Program Komputer Hak Cipta UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 Etika Profesi/Hukum SISFO Suryo Widiantoro Senin, 12 Oktober 2009 Terminologi (1) Pencipta: Adalah seseorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama atas inspirasinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. invensi. Ciptaan atau invensi tersebut merupakan milik yang diatasnya melekat

I. PENDAHULUAN. invensi. Ciptaan atau invensi tersebut merupakan milik yang diatasnya melekat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Atas Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disebut HKI) merupakan hasil proses kemampuan berpikir yang dijelmakan ke dalam suatu bentuk ciptaan atau invensi. Ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undangundang tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri. Pelaksanaan jual beli atas tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri. Pelaksanaan jual beli atas tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jual beli sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak dan kepemilikan atas tanah yang pelaksanaannya memiliki aturan dan persyaratan serta prosedur tersendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 HAK CIPTA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 HAK CIPTA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khas dari daerah tersebut. Pada ruang lingkup nasional lagu-lagu yang

BAB I PENDAHULUAN. khas dari daerah tersebut. Pada ruang lingkup nasional lagu-lagu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Musik merupakan salah satu hiburan yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat pada umumnya. Musik tersebut meliputi berbagai macam jenis hiburan mulai dari yang

Lebih terperinci

JURNAL ARTIKEL ILMIAH. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum. Oleh: Retno Sari Widowati

JURNAL ARTIKEL ILMIAH. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum. Oleh: Retno Sari Widowati JURNAL PENERAPAN PRINSIP FAIR USE DALAM HAK CIPTA TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN PERBANYAKAN BUKU DI PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI (STUDI PERBANDINGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG- UNDANG HAK CIPTA DI INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang memiliki aneka ragam etnik atau suku bangsa, budaya, serta kekayaan dibidang seni dan sastra, kekayaan tersebut merupakan potensi yang

Lebih terperinci

Tentang: PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Tentang: PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1987 (7/1987) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1987 (JAKARTA) Sumber: LN 1987/42; TLN NO. 3362 Tentang: PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG HAK CIPTA Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1987 (7/1987) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1987 (JAKARTA) Sumber: LN 1987/42; TLN NO. 3362 Tentang: Indeks: PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia akan menghadapi era perdagangan bebas yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia akan menghadapi era perdagangan bebas yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia akan menghadapi era perdagangan bebas yang memberikan kebebasan negara-negara untuk melakukan perdagangan tanpa adanya restriksi atau pembatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana dan pemidanaan) karya Cesare Beccaria pada tahun 1764 yang menjadi argumen moderen pertama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fasilitas kredit umumnya diberikan oleh lembaga keuangan. Lembaga keuangan dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya.

Lebih terperinci