ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH"

Transkripsi

1 ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN LISANATUL HIFDZIYAH. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing Oleh NINDYANTORO. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang merupakan satu-satunya TPAS Kota Bogor dan sekaligus TPAS Kabupaten Bogor telah mengalami peningkatan volume sampah dari tahun ke tahun, sehingga terdapat gunungan sampah yang menimbulkan dampak negatif di sekitar TPAS tersebut. Dampak negatif tersebut berupa penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada masyarakat di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah juga berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan lahan untuk pengelolaan TPAS tersebut serta peningkatan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal akibat peningkatan jumlah penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian responden mengenai kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga dengan menggunakan skala perbedaan semantik (semantic differential), menghitung besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement cost), dan mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang diduga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret- Mei Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar TPAS Galuga secara umum menilai keberadaan TPAS Galuga menurunkan kualitas lingkungan, hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential yang lebih rendah setelah adanya TPAS Galuga. Hasil perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost menunjukkan bahwa penurunan kualitas lingkungan untuk biaya kesehatan sebesar Rp ,00 per tahun, sedangkan biaya pengganti air minum sebesar Rp ,00 per tahun. Total nilai penurunan kualitas lingkungan adalah sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai ini merupakan biaya kerugian yang dirasakan masyarakat dalam waktu satu tahun terakhir. Faktor penurunan kualitas lingkungan tidak berpengaruh terhadap harga lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap harga lahan di sekitar TPAS Galuga adalah jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga. Variabel karakteristik lahan yang berpengaruh nyata adalah status lahan, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan, luas lahan, dan biaya konsumsi air bersih. Faktor penurunan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan pendekatan biaya kesehatan dan biaya konsumsi air bersih. Kata kunci : harga lahan, semantic differential, cost of illness, replacement cost, analisis regresi

3 ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH H Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

4 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Lisanatul Hifdziyah H

5 Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat : Lisanatul Hifdziyah : H Disetujui Dosen Pembimbing Ir. Nindyantoro, MSP NIP Diketahui Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP Tanggal Lulus:

6 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Suami penulis (Syaihul Umam), orangtua, dan seluruh keluarga besar atas segala do a dan dukungannya. 2. Ir. Nindyantoro, MSP atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama proses penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr. selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen untuk pertanyaan, saran, dan kritiknya. 4. Bapak Dani, Staf Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor atas bantuan data yang mendukung penelitian ini. 5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB. Terima kasih atas ilmu dan jasa yang telah diberikan selama ini. 6. Febri, Heni, Putri, Nisa, Fiandra, dan Norita atas kebersamaan dan dukungannya. 7. Teman-teman ESL 44 atas dukungannya selama ini. 8. Keluarga Cendana 53 (Ayu, Tati, Aini, Ayang, Lida, Icha, Fitrah, Mbak Alin, dan Mbak Ita) atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan penilaian responden, mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta mengetahui apakah penurunan kualitas lingkungan dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi terkait dengan skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Lisanatul Hifdziyah H

8 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sampah Timbulan Sampah Tempat Pembuangan Akhir Sampah Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Dampak yang Ditimbulkan Sampah Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah Aspek Sumberdaya Lahan Harga Lahan Permintaan dan Penawaran Lahan Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) Cost of Illness dan Replacement Cost Penelitian Terdahulu III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Operasional IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Penentuan Jumlah Sampel Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir xii xiii xiv

9 Sampah Galuga Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Uji Kesesuaian Model Kriteria Ekonomi Kriteria Statistika Kriteria Ekonometrika V. GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Gambaran Pengendalian Pemerintah terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Gambaran Kondisi Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Karakteristik Responden Usia Jumlah Tanggungan Pendidikan Formal Jenis Pekerjaan Sumber dan Tingkat Pendapatan Kategori Penduduk Lama Tinggal Waktu Tinggal Status Lahan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lingkungan Pemukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga Penilaian Responden terhadap Kondisi Air Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Tingkat Gangguan Responden Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan Analisis Biaya Kesehatan Analisis Biaya Pengganti Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Harga Lahan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Upaya Meminimalisir Dampak Negatif Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga x

10 VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP xi

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah Secara Terbuka Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga Tahun Dokumen UKL/UPL dan Pelaksanaannya Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Dampak Negatif Adanya Sampah yang Dialami Responden Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Air Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Udara Biaya Pengganti untuk Sumber Air Minum Akibat Pencemaran Air Total Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan Hasil Estimasi Harga Lahan di Desa Galuga xii

12 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan Kerangka Pemikiran Operasional Peta Orientasi TPAS Galuga Penilaian Responden terhadap Kebersihan Lingkungan di sekitar TPAS Galuga Penilaian Responden terhadap Kondisi Air Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Tingkat Gangguan Responden Akibat Keberadaan TPAS Galuga Distribusi Harga Lahan Responden xiii

13 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Data Analisis Regresi Berganda Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga Hasil Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor yang mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga Hasil Uji Normalitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga Data Biaya Pengobatan Data Biaya Pengganti Dokumentasi Penelitian xiv

14 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, tersier, maupun segala keinginan lainnya dari lingkungan. Aktivitas manusia berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, dimana penduduk dengan segala aktivitasnya merupakan salah satu komponen penting dalam timbulnya permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang terkait dengan aktivitas manusia adalah sampah. Aktivitas manusia baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sisa (buangan) yang dinamakan sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal dengan limbah pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut memiliki potensi yang sangat besar terhadap pencemaran lingkungan. Permasalahan sampah merupakan tantangan bagi para pengelola perkotaan. Febriani dan Sukarjaputra (2004) dalam Sutjahjo et al. (2007) mengungkapkan bahwa hingga tahun 2020, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Sampah yang dihasilkan setiap penduduk Indonesia rata-rata 0.8 kg per kapita per hari pada tahun 1995, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 2,1 kg per kapita per hari. Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang mengalami pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 950,334 jiwa

15 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 % (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti semakin bertambahnya tingkat produksi dan konsumsi serta aktivitas lainnya berakibat semakin bertambahnya pula buangan (sampah) yang dihasilkan. Sampah tersebut diangkut dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, timbulan sampah yang dihasilkan Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga tahun Volume sampah yang dihasilkan Kota Bogor pada tahun 2006 rata-rata sebesar m 3 per hari dan meningkat menjadi m 3 per hari pada tahun Setiap harinya sampah yang mampu diangkut berjumlah m 3, yaitu sebesar 70 persen dari besarnya timbulan sampah pada tahun Sampah tersebut diangkut dengan menggunakan 91 truk pengangkut sampah. Sampah yang tidak terangkut biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dijadikan kompos oleh masyarakat atau pihak swasta. Lebih lanjut, data timbulan sampah yang dihasilkan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun Tahun Timbulan Sampah Sampah Terangkut Sampah Terangkut (m 3 /hari) (m 3 /hari) (%) , , , , ,00 Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2011) Sampah yang diangkut ke TPAS Galuga tidak hanya berasal dari Kota Bogor, tetapi juga berasal dari Kabupaten Bogor. Sampah yang diangkut dari Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar m 3 dengan menggunakan 78 2

16 truk pengangkut sampah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Pengelolaan TPAS Galuga dilakukan secara bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor. Pengelolaan sampah di TPAS Galuga masih berpegang pada paradigma lama, yaitu mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah. Sampah yang telah diangkut ke TPAS Galuga hanya diratakan dan ditindih dengan alat berat lalu ditutup dengan tanah. Mobil pengangkut sampah yang melebihi kapasitasnya menyebabkan sampah tercecer serta kerusakan jalan yang dilalui kendaraan tersebut. Keberadaan TPAS Galuga dapat memberikan dampak positif diantaranya menghasilkan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan masyarakat, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran air tanah, pencemaran udara, pemandangan yang tidak indah, serta berjangkitnya berbagai penyakit. Menurut Hadiwiyoto (1981), sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan, kesehatan dan keamanan, serta pencemaran. Gangguan tersebut meliputi : (1) pencemaran udara dan bau yang tidak sedap, (2) sampah bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan kondisi physicochemis yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan ph, (3) kekurangan oksigen pada daerah pembuangan sampah, (4) gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi sampah dapat membahayakan kesehatan, bahkan kadang-kadang beracun dan dapat mematikan, (5) penularan penyakit yang ditimbulkan oleh sampah, dan (6) secara estetika, pemandangan yang tidak indah untuk dinikmati. 3

17 Peningkatan volume sampah yang dibuang akan menimbulkan dampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mengelola sampah seperti untuk Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, serta tanah penimbun sampah di TPA. Hal tersebut akan sulit dipenuhi karena kebutuhan lahan untuk keperluan lainnya seperti permukiman dan aktivitas ekonomi juga akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman. Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, mengestimasi nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai penurunan kualitas lingkungan dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Karakteristik permukiman yang berbeda-beda menyebabkan adanya pilihan seseorang dalam menentukan lokasi tempat tinggal. Sebuah tempat tinggal akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria tersebut disesuaikan dengan kondisi individu yang tinggal di tempat tersebut. Beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan untuk memilih tempat tinggal adalah harga, fasilitas yang disediakan, aksesibilitas, dan kesesuaian tata ruangnya. Harga menjadi persoalan 4

18 utama, namun ditentukan juga oleh faktor lainnya. Semakin lengkap fasilitas yang ditawarkan, maka seseorang cenderung untuk memilihnya, demikian halnya dengan aksesibilitas dan kesesuaian tata ruang. Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam harga lahan. Semakin baik kualitas lingkungan maka harga lahan semakin meningkat. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa kebersihan lingkungan. Kebersihan lingkungan dapat ditunjukkan dengan tempat tinggal yang bersih dari polusi udara maupun pencemaran air. Jika suatu tempat tinggal tidak bersih maka akan rentan terhadap berbagai penyakit, sehingga dapat mengganggu kenyamanan seseorang yang tinggal di tempat tersebut. King dan Marissa (2000) memberikan definisi harga lahan dilihat dari kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1) lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah kamar mandi, (3) karakteristik lingkungan sekitar : pajak properti, angka kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat kerja, pusat perbelanjaan, dan adanya transportasi umum. Desa Galuga merupakan desa di Kabupaten Bogor yang sebagian wilayahnya digunakan sebagai lokasi TPAS. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor. Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya TPAS Galuga adalah bau yang tidak sedap dan timbulnya penyakit akibat pencemaran lingkungan. Semakin banyak volume sampah yang diangkut ke TPAS Galuga mengakibatkan semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan. Akan tetapi, 5

19 tingginya tingkat pencemaran tersebut tidak menghalangi masyarakat untuk tetap bermukim di daerah tersebut. Pencemaran lingkungan di sekitar TPAS Galuga yang semakin meningkat dapat mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya permintaan lahan. Selain itu, pencemaran lingkungan yang terjadi juga dapat menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya, seperti biaya pengobatan dan biaya pembelian air minum. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga? 2. Berapa besar nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga? 3. Apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan persepsi masyarakat 2. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga 6

20 3. Mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan tersebut mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengkaji nilai penurunan kualitas lingkungan. 3. Bagi pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengelola TPAS Galuga dengan baik sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup dan batasan-batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian adalah daerah yang berada di sekitar TPAS Galuga. 2. Harga lahan yang dimaksud adalah harga pasar yang diperoleh dari harga transaksi jual beli atau harga penawaran. 3. Lahan yang dinilai adalah lahan yang berada di kawasan permukiman. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan yang dihitung adalah jarak lahan dengan TPAS Galuga, biaya kesehatan, luas lahan, biaya konsumsi air bersih, dan status lahan. 5. Estimasi nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode cost of illness dan replacement cost dan hanya dilakukan pada wilayah Desa Galuga dalam waktu satu tahun terakhir. 7

21 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun buangan pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah yang berasal dari daerah pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage), yaitu sisa sayuran, nasi basi, berbagai jenis kertas, daun, air larutan deterjen bekas cucian, tinja (faeces), dan urin. Sampah industri umumnya merupakan sampah organik yang lambat lapuk (rubish), misalnya limbah pabrik berupa kertas karton, ampas, limbah sisa gergajian dan serpihan kayu, serbuk besi dan logam lainnya, karton, plastik, kaca, mika, dan sebagainya. Secara kimiawi, sampah-sampah tersebut dibedakan sebagai sampah organik dan sampah anorganik (Kastaman dan Kramadibrata, 2007) Timbulan Sampah Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu. Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sampah perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan faktor dominan dan menentukan. Hal tersebut sangat logis mengingat semakin banyak jumlah penduduk maka volume sampah juga semakin meningkat akibat peningkatan produksi dan konsumsi. Sumber sampah utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri, serta jalan-jalan dan tempat umum/tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri dari bahan organik, kertas, logam, kaca, dan plastik. Komposisi sampah yang

22 berasal dari industri berbeda dengan komposisi sampah yang berasal dari perumahan. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik yang jauh lebih besar. Kastaman dan Kramadibrata (2007) menjelaskan bahwa sampah dapat berasal dari berbagai sumber. Jenis sampah berdasarkan penggolongan tersebut : a. Sampah rumah tangga, umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah anorganik yang ditimbulkan dari aktivitas rumah tangga, seperti buangan dari dapur, debu, buangan taman, alat-alat rumah tangga, tang sudah usang, dan lain-lain. b. Sampah dari daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan, restoran, pasar perkantoran, hotel, dan lain-lain. Biasanya terdiri atas bahanbahan pembungkus sisa-sisa makanan, kertas dari perkantoran, dan lain-lain. c. Sampah dari institusi, berasal dari sekolahan, rumah sakit, dan pusat pemerintahan. Khusus sampah yang berasal dari rumah sakit merupakan aspek penting untuk diperhatikan karena sampah tersebut mengandung kuman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih lanjut sebelum di buang ke TPA. d. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan, yaitu sampah yang berasal dari sisa-sisa pengembangan bangunan, perbaikan jalan, pembongkaran jalan, jembatan, dan lain-lain. e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai, tempat rekreasi, dan lain-lain. f. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan serta sisa-sisa pembakaran (insinerator). 9

23 g. Sampah industri, berasal dari proses produksi industri. Mulai dari pengolahan bahan baku, sampai dengan hasil produksi. h. Sampah pertanian, berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Menurut Apriadji (2002) sampah digolongkan ke dalam empat kelompok. Penggolongan tersebut antara lain meliputi : (1) human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri Tempat Pembuangan Akhir Sampah Sutjahjo et al. (2007) menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia merupakan issue nasional, terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) ketersediaan lahan yang terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume timbunan sampah, (2) pemerintah belum mempunyai sistem perencanaan pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut tercermin pada rencana umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum memasukkan secara rinci rencana lokasi TPA sampah, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah dan, (4) belum tersedia teknologi tepat guna untuk kondisi di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah. 10

24 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik Penyediaan barang dan jasa dalam setiap sistem perekonomian, tidak semuanya dapat disediakan oleh sistem pasar. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Beberapa jenis barang atau pelayanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi pasar tidak mampu menyediakannya sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa barang publik merupakan barang yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang atau jasa tetentu karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati juga oleh orang lain. Barang atau jasa tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Karakteriristik barang publik murni antara lain biaya pengecualian besar, dihasilkan oleh pemerintah, disalurkan oleh pemerintah, serta dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah. Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan salah satu barang publik yang disediakan oleh pemerintah. Barang publik ini termasuk dalam barang publik campuran (Quasi Public) atau yang biasa disebut common property resource. Mangkoesoebroto (2000) juga menjelaskan bahwa beberapa karakteristik dari barang publik ini yaitu barang yang manfaatnya dirasakan bersama dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kepadatan serta dapat dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah. Penyediaan TPAS membutuhkan biaya investasi yang sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru tercapai pada tingkat produksi yang 11

25 besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola TPAS. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barang/jasa terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen swasta tidak mau menyediakan barang tersebut. Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif. Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode 12

26 dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto (1988) dalam Yudianto (2007) menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah : 1. Open dumping Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus. 2. Control landfill Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan. 3. Sanitary landfill Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar. 13

27 Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah, terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu: a. Air lindi Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponenkomponen hasil penguraian sampah. b. Pembentukan gas Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas metana, H 2 S, dan NH 3. Gas metana perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas H 2 S, dan NH 3 merupakan sumber bau yang tidak enak. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. 14

28 Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan Baik Sedang Buruk 1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering 2 Kedalaman sampai hamparan batuan > <100 (cm) 3 Kedalaman sampai padas keras (cm) > <100 4 Permeabilitas (cm/jam) ( cm) - - >5 5 Muka air tanah Apparent Perched >150 > <100 <45 6 Lereng % < >15 7 Longsor - - Ada Sumber : USDA (1983) dalam Hardjowigeno et al. (2007) Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor 591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan metode controll landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010). Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar Dampak yang Ditimbulkan Sampah Sampah dapat memberikan dampak positif dan negatif baik bagi manusia (terutama kesehatan) maupun terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sampah dapat langsung dirasakan dan dapat juga dirasakan secara tidak langsung (Suprihatin et al. 1999) dalam Utari ) Dampak Terhadap Kesehatan Lokasi pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan 15

29 menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan nyamuk yang dapat menjangkit penyakit. Potensi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut : a. Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah yang dikelola dengan cara yang tidak tepat dapat bercampur dengan air minum. Penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai. b. Penyakit jamur, misalnya jamur kulit. c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Misalnya penyakit yang dijangkit oleh cacing pita. d. Penyakit yang diakibatkan oleh sampah beracun. Misalnya sampah yang sudah terkontaminasi air raksa. 2) Dampak Terhadap Lingkungan Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis perairan. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik seperti gas metana. Gas cair organik ini memiliki bau yang tidak sedap dan dapat meledak pada suhu yang tinggi. 3) Dampak Terhadap Sosial Ekonomi a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat antara lain dengan bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang menumpuk dan berserakan. 16

30 b. Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan. c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan efek rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan menimbulkan pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja). d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Pengolahan sampah yang baik dapat memberikan manfaat bagi manusia yaitu memiliki potensi ekonomi dan lingkungan dengan meminimalisir pencemaran yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendaur ulang sampah padat, pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, maupun pengolahan terhadap air lindi. Hadiwiyoto (1981) mengungkapkan bahwa sampah memiliki dampak positif dalam kehidupan manusia, terutama yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah. Dampak positif tersebut adalah sebagai berikut : a. Sampah dapat dipakai unuk menimbun tanah. b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat pertumbuhan tanaman. c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak. d. Gas-gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi menjadi tenaga listrik. e. Proses pengelolaan sampah dapat membuka lapangan kerja. 17

31 2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah Penentuan lokasi TPA sampah berdasarkan SNI tentang tata cara pemillihan lokasi TPA sampah dengan beberapa pertimbangan (Dardak, 2007), antara lain yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. Pertimbangan tersebut disusun berdasarkan tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang. Selain itu, pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut : 1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah perkotaan (Urbanized Area) 2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong pengembangannya (Urbanized Promotion Area) 3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju perkotaan/daerah padat. Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan air minum yang didalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya 18

32 dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu juga dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala. Menurut Soedradjat (2005) dalam Suhan (2009) kawasan sekitar TPA dibagi menjadi dua zona, yaitu : 1. Zona Penyangga Zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai pada jarak tertentu sesuai dengan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled landfill dan Sanitary Landfill, yakni 500 meter, dengan pemanfaatan sebagai berikut : a meter harus berupa sabuk hijau. b meter pertanian non pangan, hutan. 2. Zona Budidaya Terbatas Zona budidaya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona penyangga sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA yang berupa : a. Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-sehari. b. Bahaya ledakan gas metan. c. Bahaya penyebaran vektor penyakit melalui lalat. Zona budidaya terbatas ditentukan pada jarak meter dari batas terluar TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut : a. Rekreasi dan RTH, misalnya rekreasi pendidikan dan penghijauan di sekitar lokasi TPA. 19

33 b. Industri terkait sampah, misalnya industri daur ulang sampah anorganik dan pembuatan pupuk kompos. c. Pertanian non pangan, misalnya penggunaan lahan untuk budidaya pohon jati, sengon, dan lain-lain. d. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khususnya untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah. 2.2 Aspek Sumberdaya Lahan Lahan merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan tataguna lahan. Lahan termasuk sumberdaya alam yang multifungsi dalam aktivitas dan kegiatan manusia baik untuk kegiatan fasilitatif atau penggunaan tempat seperti untuk permukiman, perkantoran, lokasi industri dan jalan maupun untuk kegiatan ekstraktif seperti pertanian dan pertambangan. Lahan sebagai obyek dari aktivitas manusia, ketersediaannya relatif tetap dari waktu ke waktu. Lahan memiliki jumlah yang terbatas dan merupakan sumberdaya yang hampir tak terbarui (non renewable), sedangkan jumlah permintaan lahan terus bertambah. Kelangkaan dari sumberdaya lahan ini akan berpengaruh terhadap harga lahan itu sendiri. Peningkatan permintaan lahan tidak hanya terjadi pada penggunaan lahan untuk permukiman, tetapi juga penggunaan lain seperti penggunaan lahan untuk sektor perekonomian Harga Lahan Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi 20

34 lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market expression) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Alonso (1970) juga mendefinisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Definisi tersebut belum secara jelas membedakan antara harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengaitkan dengan dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari beberapa jenis rente Ricardian, rente lokasi atau rente sosial. Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum akan meningkat. Maka dengan adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang diikuti pula oleh meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti industri atau penggunaan lain yang menguntungkan Permintaan dan Penawaran Lahan Barlowe (1972) dalam Nuryanti (2006) menjelaskan permintaan terhadap lahan secara fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas tertentu, seperti perumahan, rekreasi, sekolah, dan merupakan ruang publik. 21

35 Secara ekonomi, permintaan lahan merupakan keinginan dan minat masyarakat untuk membeli suatu lahan. Penawaran secara fisik adalah keberadaan fisik sumberdaya tanah, seperti fisik hutan, deposit mineral, tambang atau area dengan permukaan tanah yang tertutup, unit kepemilikan, dan wilayah administrasi. Penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari penawaran fisik lahan yang digunakan oleh manusia dan secara aktual dimanfaatkan, dibutuhkan sehingga ada nilai (value) di atasnya serta menunjukkan keinginan atau minat untuk menanggung biaya pengembangannya. Daniel (2002) mengungkapkan bahwa ada dua faktor dalam menentukan harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran dan faktor pemintaan lahan tersebut. Berdasarkan faktor penawaran yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut. Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan dan kandungan mineral di dalam lahan tersebut. Berdasarkan perbedaan lokasi lahan, dapat dilihat aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya banjir. Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentuan permintaan lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan, dan ekspektasi konsumen terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut maka harga lahan juga akan semakin mahal (Harcrow,1992). Ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan permintaan, maka akan terjadi fenomena seperti kelangkaan (scarcity) atau kelimpahan. Penawaran 22

36 sangat dipengaruhi oleh harga, tingkat ketergantungan terhadap harga mengakibatkan elastisitas harga terhadap penawaran (supply). Bila harga lahan meningkat secara relatif terhadap biaya, maka orang akan berlomba-lomba untuk memanfaatkan lahan, dan sebaliknya jika harga lahan turun, maka lahan akan dibiarkan saja. Hal yang sama akan terjadi pada permintaan lahan (Rony, 1996) dalam Nuryanti (2006). Penetapan harga lahan juga dapat ditetapkan secara : (1) land rent berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari lahan tersebut, (2) ekonometrika berdasarkan karakeristik lingkungan yang mempengaruhi di sekitar lokasi lahan, (3) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kategori letak lahan (Hasanah, 2004) dalam Nuryanti (2006) Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan Nilai suatu lahan berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Hasil pertanian dan penyewaan perumahan merupakan manfaat yang sangat jelas, tetapi akses dari tempat kerja ke pusat perbelanjaan yang nyaman dan fasilitas-fasilitas lingkungan seperti taman dan kualitas lingkungan yang baik juga menumbuhkan manfaat penting bagi orang yang mempunyai hak untuk menggunakan lahan tersebut. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga yang bersangkutan. Lebih konkritnya bahwa semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat (Pearce dan Turner, 1990). Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 1. 23

37 Property Price Slope pp p p Environmental Quality Pollution level Sumber : Pearce dan Turner, (1990) Gambar 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan 2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) Menurut Nazir (1999) dalam skala perbedaan semantik responden diminta untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala bipolar. Skala bipolar adalah skala yang berlawanan seperti baik buruk, cepat lambat, dan sebagainya. Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek. Prinsip sifat positif diberi nilai paling besar dan sifat negatif diberi nilai paling kecil tetap dipertahankan dalam penetapan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik biasanya digunakan dalam menilai sikap konsumen terhadap suatu produk. Misalnya skor satu untuk menilai produk yang mempunyai kualitas yang sangat buruk sampai dengan skor lima untuk menilai produk yang sangat bagus. 2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost Metode yang digunakan untuk mengestimasi penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga adalah dengan menggunakan metode cost of illness (biaya kesehatan) dan replacement cost (biaya pengganti). Kedua metode tersebut dinilai dapat mengestimasi kerugian yang diderita masyarakat berupa 24

38 biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat baik untuk mengganti kebutuhan mereka dengan bahan alternatif maupun biaya untuk pengobatan. Menurut Champ P. A. (2003) metode biaya kesehatan tidak mengestimasi surplus konsumen atau harga marginal. Metode biaya kesehatan secara sederhana berusaha untuk mengukur biaya kesehatan secara penuh, termasuk biaya perawatan. Biaya perawatan didasarkan kepada keputusan individu atau masyarakat mengenai level dari kepedulian individu atau masyarakat tersebut akan kesehatan. Biaya kesehatan terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah biaya langsung dan kedua adalah biaya tidak langsung. Biaya langsung itu sendiri terbagi menjadi medical cost dan non-medical cost. Biaya yang termasuk medical cost adalah biaya perawatan medis pasien itu sendiri yang besarnya dapat berbeda setiap pasiennya, sedangkan yang termasuk non-medical cost antara lain biaya perjalanan pasien untuk menempuh perjalanan sampai kepada tempat pengobatan, biaya logistik, dan akomodasi pasien yang besarnyapun dapat bervariasi. Biaya tidak langsung terkait dengan hilangnya sumberdaya yang hilang akibat penyakit tersebut, antara lain opportunity cost akibat hilangnya produktivitas pasien (pendapatan) yang terkena penyakit tersebut. Biaya pengganti adalah nilai aset yang didasari oleh biaya untuk mengganti aset tersebut apabila dibutuhkan pada saat sekarang. Biaya pengganti dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini, atau diaplikasikan dengan menggunakan faktor inflasi. Metode biaya pengganti memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat mengatasi kesalahan perhitungan akutansi yang menggunakan nilai saat ini, 25

39 berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai sekarang karena jika tejadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan, dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai. 2.5 Penelitian Terdahulu Effendy (2005) melakukan penelitian tentang polutan gas dari berbagai lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Berdasarkan hasil analisis dan perbandingan dengan ambang batas yang ditetapkan pemerintah, didapatkan nilai gas polutan dari ke empat TPA (TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar Gebang) berada diwilayah ambang batas menurut (Kep-13/MENLH/3/1995) dan (Kep-50/MENLH/11/1996) kecuali untuk gas amonia (NH 3 ) di TPA Bantar Gebang pada titik 2 yaitu sebesar 0,52 mg/m 3 atau 0,02 mg/m 3 diatas ambang baku mutu emisi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar Gebang mengemisikan gas yang berada dibawah Ambang Batas Baku Mutu Emisi. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah standar untuk industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai Standar Baku Mutu khusus sampah. Sutjahjo et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pengelolaan TPAS dengan pendekatan Zero Waste (nir limbah) berbasis partisipasi masyarakat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari hasil rekonstruksi TPA Galuga terdapat dua sistem akuifer yaitu akuifer air tanah tertekan dan akuifer air tanah 26

40 tidak tertekan. Pola aliran air bawah tanah pada akuifer tersebut membentuk pola pengaliran dari selatan ke utara. Di sekitar wilayah TPA sampah membentuk pola cekungan, berfungsi sebagai tempat akumulasi air bawah permukaan termasuk lindi dari TPA. Kecepatan dan debit aliran kecil, sehingga polutan dapat tertahan lebih lama di dalam sistem cekungan tersebut. Sistem PAL TPA Galuga yang ada tidak berfungsi secara optimum. Status tingkat pencemaran dinyatakan dengan tingkat tercemar ringan pada skala 1. Kandungan bahan pencemar di sekitar TPA bukan disebabkan oleh kontaminasi langsung lindi TPA Galuga, melainkan oleh rembesan air lindi melalui sistem drainase/parit pembuangan lindi. Pecemaran wilayah sekitar TPA ditentukan oleh besarnya jarak (52%) dan oleh faktor lain yaitu sifat fisik dan kimia batuan, lingkungan binaan dan akivitas manusia serta kondisi masyarakat (48%). Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, ph, DO, BOD 5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks 41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65 yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak 27

41 dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian. Hasil penelitian Silalahi (2008) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model linear dan model double-log adalah luas lahan, kepadatan pnduduk, jarak lahan ke kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan NJOP. 28

42 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Operasional Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas produksi dan konsumsi yang berimplikasi terhadap semakin banyaknya volume sampah yang dihasilkan. Peningkatan volume sampah berasal dari sampah perumahan atau permukiman, fasilitas umum (sapuan jalan, terminal, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya), dan industri. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bogor merupakan salah satu kendala dalam penyediaan TPAS, sehingga melibatkan kota/kabupaten lain untuk dijadikan TPAS yaitu Kabupaten Bogor. Pengolahan sampah Kota Bogor dilaksanakan di TPAS Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Volume sampah yang semakin meningkat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap lahan untuk pengolahan sampah. Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman, sehingga terdapat lingkungan permukiman yang kurang memperhatikan persyaratan kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang memilih untuk tetap tinggal di sekitar TPAS Galuga walaupun timbul dampak negatif berupa pencemaran lingkungan di sekitar TPAS tersebut. Penelitian ini mendeskripsikan kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga bedasarkan penilaian responden dengan menggunakan analisis deskriptif, mengestimasi besarnya nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan

43 TPAS Galuga dengan metode cost of illness dan replacement cost. Selanjutnya, dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga menggunakan model regresi berganda dengan bantuan Microsoft Office Excel 2007 dan minitab 14. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah penurunan kualitas lingkungan juga dicerminkan oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi besarnya nilai ekonomi akibat keberadaan TPAS Galuga, sehingga dapat memberikan rekomendasi upaya yang dapat diambil oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor dalam meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan TPAS tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan kerangka pemikiran yang dilaksanakan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang tersaji pada Gambar 2. 30

44 Peningkatan populasi Timbulan sampah Pemerintah Kota Bogor Meningkatnya kebutuhan lahan sebagai permukiman Peningkatan volume sampah di TPAS Galuga Pencemaran lingkungan Penurunan kualitas lingkungan Deskripsi kondisi lingkungan permukiman sekitar TPAS Galuga Estimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga Estimasi faktorfaktor yang mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga Rekomendasi upaya meminimalisir dampak negatif TPAS Galuga Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional 31

45 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dikarenakan di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan/pencemaran di sekitar TPAS Galuga. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei Jenis dan Sumberdata Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara kepada responden. Adapun yang termasuk data primer dalam penelitian ini adalah data mengenai kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, besarnya nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta faktorfaktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga. Data sekunder yang digunakan adalah data-data yang terkait dengan daerah penelitian dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data skunder ini berupa data timbulan sampah TPAS Galuga, data Desa Galuga, serta literatur-literatur yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor serta kantor pemerintahan lain yang terkait dengan daerah penelitian. 4.3 Penentuan Jumlah Sampel Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling), yaitu sebanyak 60 responden (kepala keluarga) dengan jumlah populasi sebanyak kepala keluarga. Metode random sampling dilakukan karena sampel yang

46 dipilih sesuai dengan data lokasi permukiman yang dekat dengan lokasi TPAS. Menurut Agung (2005), ukuran sampel berdasarkan teorema limit sentral ditetapkan minimal sebanyak 30 responden. 4.4 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi literatur, observasi, dan wawancara terhadap responden. Syarat responden (frame sampling) yaitu, 1) Responden merupakan kepala keluarga atau yang bertanggung jawab dalam suatu rumah tangga yang tinggal di sekitar TPAS Galuga, 2) Masyarakat yang menjadi responden telah tinggal di tempat tersebut lebih dari tiga tahun, berkeluarga, dan dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar mendapat responden yang berpengalaman sehingga mendapat informasi yang mendalam mengenai dampak penurunan kualitas lingkungan terhadap harga lahan di sekitar TPAS serta, 3) Responden yang dipilih adalah responden yang berada di Kampung Cimangir (RT 04 dan RT 05), Kampung Sinarjaya (RT 09), dan Kampung Moyan (RT 10 dan RT 11) karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan TPAS Galuga. 4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualiatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan minitab 14. Pada Tabel 3 diuraikan matriks keterkaitan antara sumber data dan metode analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini. 33

47 Tabel 3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data No Tujuan Penlitian Sumber Data Metode Analisis Data 1 Deskripsi kondisi lingkungan Data Primer Analisis Deskriptif pemukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan penilaian responden (wawancara menggunakan kuisioner) 2 Estimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga 3 Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga Data Primer (wawancara menggunakan kuisioner) Data sekunder dan data primer (wawancara menggunakan kuisioner) Analisis Regresi linier berganda dengan Microsoft Office Excel dan minitab 14 Metode Cost of Illness dan Replacement Cost Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Analisis data yang digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, aktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999). Data dan informasi yang berasal dari kuisioner diolah dan disajikan dalam bentuk diagram pie sederhana dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang sama. Hasil yang diperoleh kemudian dipersentasekan berdasarkan jumlah responden. Persentase terbesar dari setiap hasil merupakan faktor dominan dari masing-masing variabel yang dianalisis. 34

48 Selain itu dihitung nilai rata-rata skala perbedaan semantik (semantic differential) untuk menyimpulkan hasil penilaian responden. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap kebersihan digunakan lima nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat kotor, nilai dua untuk kategori kotor, nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori bersih, dan nilai lima untuk kategori sangat bersih. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap kondisi air digunakan dua nilai skala, yaitu nilai nol untuk kategori tercemar dan nilai satu untuk kategori tidak tercemar. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap pengelolaan TPAS Galuga digunakan tiga nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori tidak baik, nilai dua untuk kategori cukup, dan nilai tiga untuk kategori baik. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap tingkat gangguan digunakan lima nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat tidak terganggu, nilai dua untuk kategori terganggu, nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori terganggu, dan nilai lima untuk kategori sangat mengganggu Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga diestimasi berdasarkan biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement cost), maka dilakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan. Biaya-biaya tersebut dilihat dari asumsi pertama yaitu, biaya kesehatan akan dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar TPAS Galuga akibat dari mengkonsumsi air sumur dan menghirup udara di sekitar TPAS Galuga. Kedua, biaya pengganti akan dikeluarkan oleh masyarakat sebagai akibat dari penggantian konsumsi air karena air sumur mereka sudah tercemar akibat keberadaan TPAS Galuga. 35

49 1) Cost of Illness Menurut Dwight et al. (2004) dalam Gita (2010) pendekatan cost of illness atau biaya penyakit dapat digunakan untuk mengukur nilai dari kerugian kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini didasarkan kepada keterkaitan fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat pencemaran dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik. Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit. Cost of illness dari opporunity cost, mencakup peluang orang sakit untuk bekerja tidak dapat direalisasikan, dan currative cost atau biaya pengobatan atau penyembuhan. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan penderita lain meliputi perawatan pada rumah sakit, perawatan selama penyembuhan, obat-obatan, serta biaya transportasi. Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit. Biaya tidak langsung di ukur melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Dengan kata lain, besarnya biaya penyakit dapat dihitung dengan model sebagai berikut : C = P + MC... (1) dimana : C P MC = biaya penyakit = hilangnya pendapatan = biaya pengobatan 36

50 a. Nilai Pendapatan yang Hilang Nilai pendapatan responden yang hilang karena sakit dihitung berdasarkan cost of time. Cost of time adalah kerugian yang ditanggung oleh seseorang karena hilangnya waktu untuk bekerja. Kerugian responden yang tidak masuk kerja pada saat terkena sakit sama dengan nilai hilangnya pendapatan per hari. Nilai ini diperoleh dari jumlah hari tidak bekerja responden dikali dengan tingkat pendapatan responden per hari. Selanjutnya nilai kerugian responden tidak masuk kerja dapat dihitung dengan rumus : dimana : n P = JHTK i. TPR i.. (2) i=1 P = nilai kerugian responden tidak masuk kerja (Rp) JHTK = jumlah hari tidak kerja responden ke-i (hari) TPR n i = tingkat pendapatan responden ke-i per hari (Rp) = jumlah responden = responden ke-i (1, 2, 3,...,n) b. Biaya Pengobatan Biaya pengobatan yang ditanggung oleh responden dihitung dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk berobat, terdiri dari biaya kunjungan ke dokter atau puskesmas dan atau biaya pembelian obat yang dikeluarkan. Biaya pengobatan responden merupakan biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati sakit pada saat responden atau anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden menderita sakit. Biaya pengobatan yang dikeluarkan responden dapat dilihat pada rumus berikut : 37

51 n MC = J. BKD i + BO i + BP i.. (3) i=1 dimana : MC J = biaya pengobatan per responden per penyakit (Rp) = jumlah kunjungan ke dokter BKD = biaya kunjungan ke dokter (Rp) BO BP n = biaya pembelian obat (Rp) = biaya perawatan rumah sakit (Rp) = jumlah responden i = responden ke-i (1, 2, 3,..., n) c. Nilai Kerugian Ekonomi dari Biaya Kesehatan Dari persamaan (2) dan (3) maka, persamaan (1) dapat dirubah menjadi sebagai berikut : C = P + MC n C = JHTK i. TPR i + J. BKD i + BO i + BP i (4) i=1 dimana : C = biaya penyakit JHTK = jumlah hari tidak kerja responden ke-i (hari) TPR J = tingkat pendapatan responden ke-i per hari (Rp) = jumlah kunjungan ke dokter BKD = biaya kunjungan ke dokter (Rp) BO BP = biaya pembelian obat (Rp) = biaya perawatan rumah sakit (Rp) 38

52 Setelah memperoleh biaya kesehatan yang dikeluarkan responden, selanjutnya total biaya pengobatan dikali dengan jumlah populasi yang berpeluang terkena penyakit. Hal ini dilakukan untuk memperoleh biaya kerugian yang dikeluarkan oleh masyarakat. Populasi yang berpeluang terkena penyakit diduga proporsinya dengan tingkat morbiditas pada skala kota maupun nasional. Tingkat morbiditas untuk penyakit diare adalah 1 3 jumlah penduduk. Pada penelitian ini diasumsikan tingkat morbiditas semua penyakit sama yaitu 1 3 jumlah penduduk, sehingga diperoleh tingkat morbiditas sebesar ) Replacement Cost Pencemaran yang terjadi menyebabkan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk menggantikan atau mengembalikan sumberdaya setelah adanya TPAS Galuga. Keberadaan TPAS Galuga menyebabkan air sumur masyarakat tercemar sehingga masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan air bersih. Menurut Garrod dan Willis (1999) pendekatan biaya pengganti (replacement cost) merupakan perhitungan nilai suatu sumberdaya yang telah mengalami kerusakan. Informasi yang dibutuhkan untuk menghitung kerugian yang terjadi adalah data mengenai kerusakan dan kehilangan sumberdaya. Formula untuk perhitungan kerugian yang dialami adalah : BP = P QD dimana : BP P QD = biaya pengganti (Rp/Unit) = harga barang (Rp) = kuantitas barang yang rusak (Unit) 39

53 4.5.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan dilakukan untuk mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan dilakukan dengan model regresi linier berganda. Analisis ini dibuat untuk membuat model pendugaan terhadap nilai parameterparameter yang menjelaskan hubungan antar variabel penjelas dan variabel respon. Metode analisis berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Adapun sifat-sifat OLS adalah (Gujarati, 1997) : (1) penaksir OLS tidak bias, (2) penaksir OLS mempunyai varian yang minimum, (3) konsisten, (4) efisien, (5) linier. Menurut Gujarati (2003) analisis regresi beganda digunakan unuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter (variabel penjelas yang diamati). Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi : 1. E (u i ) = 0, untuk setiap i, dimana i = 1, 2,..., n, artinya rata-rata galat adalah nol yaitu nilai yang diharapkan bersyarat dari u i tergantung pada variabel bebas tertentu adalah nol. 2. Cov (u i, u j ) = 0, i j, artinya covarian (u i, u j ) = 0, dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat yang satu dengan galat yang lain. 3. Var (u i ) = ζ 2, untuk setiap i, dimana i = 1, 2,..., n, artinya setiap galat memiliki varian yang sama (asumsi homoskedastisitas). 4. Cov (u i, X1 i ) = cov (u i, X2 i ) = 0, artinya kovarian setiap galat memiliki varian yang sama. Setiap variabel bebas tercakup dalam persamaan linier berganda. 40

54 5. Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang pasti antar variabel yang menjelaskan atau variabel penjelas saling bebas. Bentuk model regresi linier berganda yang digunakan adalah: Y = β 0 + β 1 X1 i + β 2 X2 i + β 3 X3 i + β 4 X4 i + β 5 X5 i + ε... (4.1) estimasi parameter adalah β > 0; β 1, β 3, β 5, β 6, > 0; β 2 < 0 dimana : Y = harga lahan (Rp/m 2 ) X 1 X 2 = jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga (meter) = biaya kesehatan per bulan (Rp/bulan) X 3 = luas lahan (m 2 ) X 4 D 5 = biaya konsumsi air bersih (Rp/bulan) = status lahan (bernilai 0 jika tidak bersertifikat dan bernilai 1 jika bersertifikat) β 0 = konstanta β 1 β 5 = koefisien i = responden ke i (i = 1,2,3,...,60) ε = galat Variabel jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan karena semakin jauh jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga, maka harga lahan akan semakin tinggi. Variabel biaya kesehatan diduga akan berpengaruh negatif (-) terhadap harga lahan, dimana semakin besar biaya kesehatan maka harga lahan akan semakin murah. Variabel luas lahan diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan, dimana semakin besar luas lahan maka harga lahan semakin mahal. Biaya konsumsi air 41

55 bersih diduga akan berpengaruh negatif (-) terhadap harga lahan, dimana semakin besar biaya konsumsi air bersih maka harga lahan akan semakin murah. Variabel status lahan diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan karena lahan yang bersertifikat mempunyai harga jual yang lebih mahal. Variabel karakteristik lahan terdiri dari biaya kesehatan, luas lahan, status lahan, dan biaya konsumsi air bersih, sedangkan variabel jarak lahan dengan TPAS Galuga merupakan variabel kualitas lingkungan. 4.6 Uji Kesesuaian Model Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Bappenas, model baik haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R 2 ) serta nyata secara statistik (statistically significant) sedangkan kriteria ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, efficiency. Umumya digunakan tiga kriteria kesesuaian model seperti berikut : Kriteria Ekonomi Model yang di uji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tanda dan besaran tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada setiap koefisien dugaan sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi. 42

56 4.6.2 Kriteria Statistika Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model regresi yang telah didapatkan secara statistika. Uji tersebut adalah sebagai berikut : 1) Uji Koefisien Determinasi (R 2 ) dan Adj-R 2 Uji koefisien determinasi menerangkan seberapa besar variabel dependent (Y) mampu dijelaskan variabel independent (X). Koefisien determinasi mengukur persentase atau proporsi total variasi dalam variabel dependent yang dijelaskan model regresi. Secara verbal, yang paling sering digunakan untuk mengukur goodness of fit garis regresi bisa menggunakan besaran R 2. Sifat dari R 2 adalah besarannya yang selalu bernilai positif namun lebih kecil dari satu. Jika R 2 bernilai satu berarti variabel bebas memiliki kecocokan sempurna dengan variabel endogen. Sedangkan jika R 2 bernilai nol berarti model tersebut tidak terdapat kesesuaian. Rumus untuk menghitung R 2 adalah : dimana : R 2 = JKR JKT R 2 JKR JKT = Koefisien Determinasi = Jumlah Kuadrat Regresi = Jumlah Kuadrat Total Uji adj-r 2 digunakan pula untuk melihat sejauh mana variabel-variabel yang terdapat di dalam model dapat menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel tak bebasnya. Semakin besar nilai adj-r 2 menunjukkan bahwa model yang didapat semakin baik. Penggunaan adj-r 2 lebih disarankan daripada R 2, karena R 2 cenderung untuk memberikan gambaran yang terlalu baik terhadap hasil regresi. 43

57 Hal ini terutama terjadi saat jumlah variabel bebas dalam model cukup besar atau mendekati jumlah pengamatan (Gujarati, 2003). 2) Uji F-Statistik Uji-F digunakan dalam membuktikan secara statistik bahwa seluruh koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel dependent. Parameter regresi yang keseluruhan nilai sebenarnya sama dengan nol, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linier antara variabel dependent dengan variabel independent. Uji statistik dapat dihitung dengan menggunakan rumus : F-Hitung = R 2 / k-1 (1-R 2 ) / n-k Hipotesis : F-Hitung > F α(k-1,n-k), maka tolak H 0 F-Hitung < F α(k-1,n-k), maka terima H 0 Jika H 0 ditolak dalam kriteria uji-f berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap total output, dan sebaliknya jika H 0 diterima berarti tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap output. 3) Uji p-value Nilai p (p-value) dapat digunakan untuk menguji signifikasi model baik secara parsial maupun keseluruhan. Jika p-value lebih kecil dari taraf nyata sebesar α, maka variabel bebas tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Sebaliknya, jika p-value lebih besar dari taraf nyata sebesar α, maka variabel bebas tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. 44

58 4.6.3 Kriteria Ekonometrika Pengujian dengan menggunakan kriteria ekonometrika didasarkan pada pelanggaran asumsi yang digunakan dalam metode OLS. Adanya penyimpangan terhadap asumsi BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), maka akan diperoleh estimasi yang tidak valid. Hal-hal yang dilihat dalam kriteria ekonometrika antara lain adalah multikolinearitas dan heteroskedastisitas. Evaluasi kriteria tersebut dapat dilakukan sebagai berikut : 1) Uji Multikolinearitas Multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antar peubah yang satu dengan yang lainnya. Pengujian adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji Marquardt dan dapat dilihat dari nilai VIF (Varian Inflation Factor) pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF kurang dari 10 menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak mengalami multikolinearitas (Gujarati, 1997). 2) Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Keadaan heteroskedastisitas tersebut terjadi karena beberapa sebab, antara lain : 1. Sifat variabel yang diikutsertakan ke dalam model. 2. Sifat data yang digunakan dalam analisis, data cross section lebih sering memunculkan heteroskedastisitas dibandingkan dengan data time series. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas pada suatu model maka harus dilakukan Uji, salah satu uji yang digunakan adalah White 45

59 Heteroskedasticity Test. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya. H 0 : δ = 0 H 1 : δ 0 Kriteria Uji : Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H 0 Probability Obs*R-squaerd > taraf nyata (α), maka tolak H 0 Jika hasil menunjukkan tolak H 0 maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala heteoskedastisitas. Begitu sebaliknya, jika terima H 0 maka persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas (Gujarati, 1997). 46

60 V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Galuga terletak di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa ini terdiri dari 6 Rukun Warga (RW) dan 13 Rukun Tetangga (RT). Secara administratif Desa Galuga berbatasan dengan Desa Dukuh di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Leuwiliang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cijujung, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cemplang. Secara geografis Desa Galuga memiliki ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl), sehingga beriklim sejuk. Desa Galuga memiliki curah hujan yang cukup banyak sekitar mm/tahun, dengan jumlah bulan hujan sebanyak 4 bulan. Suhu rata-rata harian Desa Galuga sekitar ºC (Potensi Desa Galuga, 2004). Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Galuga yaitu SD Dukuh 2 dan SD Dukuh 5 serta dua PAUD yang sekaligus digunakan sebagai Posyandu. Selain itu, terdapat sarana olahraga seperti lapangan sepakbola dan sarana peribadatan berupa masjid, musholla, dan majlis. Jumlah penduduk yang tercatat di Desa Galuga sampai pada bulan Februari 2011 berjumlah jiwa terdiri dari Kepala Keluarga (KK). Rasio beban tanggungan adalah 60, dimana 60 masyarakat usia tidak produktif ditanggung oleh 100 masyarakat usia produktif. Jumlah penduduk laki-laki terdiri dari jiwa dan jumlah penduduk perempuan terdiri dari jiwa, dengan rasio jenis kelamin adalah 97 perempuan per 100 laki-laki. Jumlah penduduk Desa Galuga yang merupakan usia produktif sebanyak jiwa, sedangkan jumlah penduduk usia tidak produktif sebanyak jiwa.

61 Tingkat pendidikan masyarakat Galuga pada tahun 2009 secara umum tergolong masih rendah. Persentase tingkat pendidikan terbesar adalah Tamat SD/sederajat yaitu sebesar 31 persen. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Galuga pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga Tahun 2009 Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) Tidak Tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Belum Sekolah Jumlah Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2009) Tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu penyebab rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang baik, sehingga masyarakat cenderung untuk mengabaikan adanya dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya TPAS tersebut Kondisi Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan pertimbangan geografis dan kondisi tempat dengan luas yang mendukung, pada tahun 1995 Pemerintah Daerah Kotamadya Bogor bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor mendirikan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) di Desa Galuga sebagai pengganti TPAS Rancamaya yang sudah tidak beroperasi lagi. Alasan utama penutupan lokasi TPAS tersebut karena berbatasan langsung dengan lokasi pemukiman dan tidak sesuai lagi dengan tata ruang kota. Tempat Pembuangan Akhir Sampah tersebut pada awalnya dikelola oleh pemerintah Kabupaten Bogor, dimana hanya sebagian kecil sampah dari Kabupaten Bogor yang dibuang ditempat tersebut dengan luas lahan sekitar 4 ha. 48

62 Pada tahun 1995 TPAS tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor. Namun pada tahun 2009, sebagian besar sampah dari Kabupaten Bogor juga dibuang di TPAS tersebut. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga memiliki luas sekitar 17,2 ha yang merupakan tanah milik Pemerintah Kota Bogor dan 4 ha yang merupakan milik Pemerintah Kabupaten Bogor. Lokasi TPAS tersebut terletak diantara Kampung Sinarjaya (RT 09), Kampung Moyan (RT 10 dan RT 11), dan Kampung Cimangir (RT 04 dan RT 05), dengan jarak dari pusat kota sekitar 25 km. Penggunaan lahan di TPAS Galuga dibagi menjadi beberapa bagian antara lain areal pembongkaran sampah ± 1,040 ha; sarana jalan dan saluran drainase ± 0,510 ha; saluran dan kolam pengolahan lindi ± 0,360 ha; kantor dan pos pengawas ± 0,600 ha; pos pelayanan kesehatan ± 0,020 ha; lahan penampungan sampah ± 7, 476 ha; pabrik kompos ± 1,000 ha; penggunaan lainnya ± 3,500 ha (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010). Peta orientasi TPAS Galuga dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2010) Gambar 3 Peta Orientasi TPAS Galuga 49

63 5.1.2 Gambaran Pengendalian Pemerintah terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Sistem pengelolaan sampah yang diterapkan pada TPAS Galuga adalah peralihan dari open dumping menjadi control landfill, sehingga memungkinkan beberapa faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh lindi, gas, bau, debu, dan penyakit. Sistem antisipasi atau pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pencemaran lingkungan dan masyarakat akibat adanya TPAS antara lain dengan melaksanakan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di lingkungan TPAS dan sekitarnya. Dokumen UKL/UPL dan pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Dokumen UKL/UPL dan Pelaksanaannya No Dokumen UKL/UPL Pelaksanaan 1 Upaya Pengelolaan Lingkungan Pembuatan kolam air lindi dan pengawasan secara intensif - Pemberantasan demam berdarah setiap tiga bulan sekali dan sesuai kebutuhan masyarakat saat darurat - Penyemprotan hama lalat areal TPAS dan perumahan warga setiap sebulan sekali - Menyediakan pelayanan dan pemeriksaan dan pengobatan gratis setiap bulan 2 Upaya Pemantauan Lingkungan - Pengambilan serta analisis laboratorium sampel air tanah dan air permukaan untuk mengetahui tingkat cemaran terhadap kualitas air tanah dan air permukaan di sekitar TPAS tersebut - Melakukan wawancara terhadap masyarakat dan pengambilan data sekunder dari puskesmas setempat untuk mengetahui frekuensi kejadian jumlah orang sakit yang disebabkan oleh aktivias TPAS Galuga - Pembuatan kolam air lindi terlaksana namun pengawasannya belum terlaksana dengan baik - Belum terlaksana dengan baik - Terlaksana - Terlaksana - Belum terlaksana dengan baik - Terlaksana Sumber : Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor (2010). 50

64 5.1.3 Gambaran Kondisi Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Desa Galuga memiliki luas wilayah 175 ha yang terdiri dari tanah persawahan sebesar 50 ha, 25 ha gunung, 78,8 ha pemukiman termasuk sarana dan prasarana, 4 ha tanah milik pemerintah Kabupaten Bogor, dan 17,2 ha tanah milik pemerintah Kota Bogor yaitu wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS). Penggunaan lahan terbesar merupakan lahan pemukiman, dengan ratarata kepadatan penduduk 31,0 jiwa/km 2. Penggunaan lahan terbesar kedua yaitu penggunaan lahan sawah. TPAS Galuga memiliki topografi relatif lebih rendah tidak datar dan kondisi tanah lempung berhumus. Di sekitar TPAS Galuga masih terdapat beberapa jenis tanaman budidaya dan tanaman non budidaya. Vegetasi/tanaman budidaya yaitu rambutan, pisang, bambu, kelapa, albasia, nangka, rumput, talas, padi sawah, genjer, kangkung, durian, jengkol, jambu biji, dan duku. Vegetasi/tanaman non budidaya adalah semak belukar/ilalang (wawancara dengan pegawai dinas kebersihan Kota Bogor). 5.2 Krakteristik Responden Karakteristik umum responden di Desa Galuga diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 60 warga masyarakat. Karakteristik umum responden ini dinilai dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan formal yang pernah ditempuh, jumlah tanggungan, kategori penduduk, lama tinggal di sekitar TPAS Galuga, waktu tinggal, dan status lahan. Responden yang dipilih semua berjenis kelamin laki-laki dan merupakan kepala keluarga (KK). Pemilihan responden yang merupakan kepala keluarga karena umumnya mereka lebih mengetahui informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. 51

65 5.2.1 Usia Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi, mulai dari usia 25 tahun hingga 60 tahun. Penyebaran usia responden sebagian besar berada pada kisaran tahun sebanyak 45,00 persen dan kisaran tahun sebanyak 21,67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden masih berada pada usia produktif disebabkan karena responden merupakan kepala keluarga. Responden yang berusia lebih dari 50 tahun sebesar 25,00 persen, sedangkan responden yang kurang dari 30 tahun sebesar 8,33 persen Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan responden mayoritas adalah 4 orang, yakni sebanyak 38,33 persen. Responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 orang sebanyak 23,33 persen. Sementara itu 18,33 persen responden memiliki jumlah tanggungan 5 orang, 10,00 persen responden memiliki jumlah tanggungan 6 orang, 8,33 persen respoden memiliki jumlah tanggungan 7 orang dan 1,67 persen responden memiliki jumlah tanggungan 8 orang. Jumlah tanggungan yang dimaksudkan disini mencakup keluarga inti (suami/istri dan anak) serta tambahan tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal di rumah responden Pendidikan Formal Tingkat pendidikan responden masih sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh responden yang sebagian besar berpendidikan SD sebanyak 75,00 persen dan yang tidak tamat SD sebanyak 10,00 persen. Sementara yang berpendidikan SLTP dan SLTA masing-masing hanya 5,00 persen dan 8,33 persen, sedangkan yang berpendidikan Sarjana (S1) hanya 1,67 persen. Rendahnya tingkat pendidikan 52

66 disebabkan keadaan perekonomian keluarga yang masih tergolong rendah. Persentase tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan Terakhir n Persentase (%) Tidak Sekolah 6 10,00 SD atau sederajat 45 75,00 SLTP atau sederajat 3 5,00 SLTA atau sederajat 5 8,33 Sarjana (S1) 1 1,67 Pasca Sarjana (S2 dan S3) 0 0,00 Total ,00 Sumber : Data Primer (diolah), Jenis Pekerjaan Terdapat beragam jenis pekerjaan yang dilakukan responden di tempat penelitian. Responden dalam penelitian ini seluruhnya bekerja disektor informal. Sebagian besar pekerjaan responden adalah buruh 41,67 persen yang meliputi tukang ojek, supir, pemulung, dan lainnya. Terdapat pula responden yang bekerja sebagai pedagang, petani, wiraswasta, pegawai swasta, dan lainnya. Perbandingan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Pekerjaan n Persentase (%) PNS 0 0,00 ABRI 0 0,00 Pegawai Swasta 5 8,33 Pedagang 17 28,33 Wiraswasta 8 13,33 Buruh 25 41,67 Petani 3 5,00 Lainnya 2 3,33 Total ,00 Sumber : Data Primer (diolah), Sumber dan Tingkat Pendapatan Responden Sebagian besar responden bekerja atau sumber pendapatannya berasal dari luar TPAS Galuga yaitu 80,00 persen, sedangkan 20,00 persen responden bekerja 53

67 atau sumber pendapatannya berasal dari TPAS Galuga. Jenis pekerjaan yang berbeda akan menunjukkan pendapatan yang berbeda pula. Persentase pendapatan terbesar adalah antara Rp ,00 - Rp ,00 per bulan sebesar 45,00 persen. Hal ini terkait dengan jenis pekerjaan responden yang mayoritas adalah buruh. Berdasarkan UMR (Upah Minimum Regional) Kabupaten Bogor sebesar Rp ,00, sehingga dapat diketahui bahwa sebagian besar pendapatan responden tergolong rendah karena berada di bawah UMR yang telah ditetapkan. Responden yang memiliki pendapatan dibawah Rp ,00 per bulan sebanyak 10,00 persen. Sedangkan responden yang memiliki pendapatan diatas Rp ,00 per bulan sebesar 10,00 persen. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Pendapatan n Persentase (%) Rp , ,00 Rp Rp , ,00 Rp ,00-Rp , ,00 Rp ,00-Rp , ,00 >Rp , ,00 Total ,00 Sumber : Data Primer (diolah), Kategori Penduduk Kategori penduduk dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu penduduk asli Desa Galuga dan penduduk pendatang atau migran. Mayoritas responden adalah penduduk asli Desa Galuga dengan persentase sebesar 80,00 persen, sedangkan persentase penduduk pendatang atau migran sebesar 20,00 persen Lama Tinggal Responden umumnya adalah warga yang telah turun-menurun tinggal di Desa Galuga. Hal ini dibuktikan dengan 46,67 persen responden telah menetap 54

68 selama tahun di Desa Galuga, 28,33 persen responden telah menetap lebih dari 45 tahun di Desa Galuga, dan 10,00 persen responden telah tinggal antara tahun di Desa Galuga. Sedangkan 15,00 persen responden telah menetap kurang dari 15 tahun di Desa Galuga yang merupakan pendatang atau migran Waktu Tinggal Waktu tinggal responden dikelompokkan menjadi dua yaitu responden yang menetap sebelum ada TPAS Galuga dan warga yang menetap setelah ada TPAS Galuga. Mayoritas responden menetap sebelum ada TPAS Galuga dengan persentase 81,67 persen, sedangkan persentase responden yang menetap setelah ada TPAS Galuga sebesar 18,33 persen. Responden yang menetap setelah adanya TPAS Galuga merupakan warga dari daerah lain yang menikah dengan masyarakat Desa Galuga Status Lahan Status lahan responden dikelompokkan menjadi dua yaitu lahan responden yang bersertifikat dan lahan responden yang tidak bersertifikat. Lahan responden yang bersertifikat yakni sebanyak 15,00 persen, sedangkan 85,00 persen responden lainnya tidak memiliki sertifikat. 55

69 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga Lingkungan merupakan salah satu bagian dari ekosistem tempat manusia hidup dan berinteraksi. Keberadaan lingkungan memiliki arti penting dalam menunjang kehidupan manusia. Kualitas lingkungan yang baik dapat membantu mewujudkan kualitas hidup manusia yang lebih baik. Penilaian utama yang umumnya dilakukan untuk mengidentifikasi apakah suatu lingkungan dapat dikatakan baik adalah dari segi kebersihan. Hasil penelitian terhadap 60 responden di Desa Galuga menunjukkan bahwa penilaian responden terhadap kebersihan lingkungan sekitar TPAS Galuga berbeda-beda. Pebandingan persentase penilaian responden terhadap kebersihan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 4. 0,00% 1,67% 50,00% 48,33% Sangat kotor Kotor Biasa saja Bersih Sangat Bersih Sumber : Data Primer (diolah), ,00% Gambar 4 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Lingkungan di Sekitar TPAS Galuga Responden yang menilai kebersihan lingkungannya bersih sebesar 50,00 persen. Hal ini dikarenakan responden sudah terbiasa dengan keadaan lingkungan yang ada karena sebagian besar responden sudah tinggal di lingkungan

70 pemukiman sekitar TPAS Galuga dalam waktu yang cukup lama. Persentase penilaian ini tidak berbeda jauh dengan responden yang menilai kebersihan lingkungan sekitarnya kotor yaitu sebesar 48,33 persen. Sedangkan responden yang menilai kebersihan lingkungannya sangat kotor sebesar 1,67 persen. Hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential didapatkan nilai sebesar 3,0 untuk nilai kebersihan setelah ada TPAS yang nilainya lebih kecil dari nilai rata-rata semantic differential sebelum ada TPAS sebesar 3,8. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian responden, terjadi penurunan kualitas kebersihan di permukiman sekitar TPAS Galuga Penilaian Responden terhadap Kondisi Air Ketersediaan air bersih di suatu tempat tinggal dapat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan penghuninya. Selain air sebagai konsumsi tubuh (air minum), air juga digunakan sebagai sarana kebersihan tubuh dan barang. Apabila kualitas air rendah maka tingkat kesehatan penghuninya dapat menurun. Walaupun tidak dikonsumsi, air dengan kualitas rendah dapat menimbulkan penyakit, misalnya penyakit kulit maupun penyakit yang diakibatkan barang-barang yang tidak bersih setelah dicuci dengan air yang berkualitas rendah. Penilaian kualitas air di lingkungan sekitar TPAS Galuga sebagian besar tidak bermasalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase untuk penilaian kondisi air tercemar sebesar 38,33 persen dan kondisi air tidak tercemar sebesar 61,67 persen. Selain itu ditunjukkan dengan nilai rata-rata semantic differential yang menunjukkan angka 0,6 angka ini mendekati nilai skala kedua, sehingga secara kualitatif sebagian besar responden menilai bahwa kondisi air di Desa Galuga tidak tercemar. Persentase kondisi air dapat dilihat pada Gambar 5. 57

71 61,67% 38,33% Bermasalah Tidak bermasalah Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Gambar 5 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air Kondisi air tercemar sebagian besar dirasakan oleh warga Kampung Sinarjaya, karena pada wilayah ini dilalui oleh saluran air lindi. Sedangkan kondisi air tidak tercemar sebagian besar dirasakan oleh warga Kampung Moyan yang wilayahnya berada di sebelah selatan TPAS Galuga dan warga Kampung Cimangir yang wilayahnya di sebelah utara TPAS tetapi terhalang oleh Gunung Galuga. Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, ph, DO, BOD 5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks 41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65 yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara 58

72 umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara Kondisi udara juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat yang tinggal disuatu tempat. Semakin baik kualitas udara, potensi terserang peyakit semakin rendah. Selain mengganggu kesehatan pencemaran udara juga mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di tempat tersebut. Penilaian kualitas udara di sekitar TPAS Galuga sebagian besar bermasalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase untuk penilaian pencemaran udara yang bermasalah sebesar 90,00 persen. Sedangkan penilaian pencemaran udara yang tidak bermasalah sebesar 10,00 persen. Selain itu nilai rata-rata semantic differential tentang kondisi pencemaran udara sebesar 0,1. Nilai ini mendekati skala ke satu yang berarti bahwa sebagian besar penilaian kondisi udara di sekitar TPAS Galuga telah tercemar. Persentase pencemaran udara dapat dilihat pada Gambar 6. 10,00% 90,00% Bermasalah Tidak bermasalah Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Gambar 6 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara 59

73 6.1.4 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Pengelolaan TPAS dengan baik akan dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian responden terhadap pengelolaan sampah di TPAS Galuga sebagian besar menilai cukup sebesar 41,67 persen. Sementara itu responden yang menilai pengelolaan TPAS Galuga tidak baik sebesar 30,00 persen, sedangkan responden yang menilai pengelolaan di TPAS Galuga baik sebesar 28,33 persen. Persentase penilaian responden terhadap pengelolaan TPAS Galuga dapat dilihat pada Gambar 7. 28,33% 30,00% 41,67% Tidak baik Cukup Baik Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Gambar 7 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata perhitungan semantic differential sebesar 2,0. Nilai ini berada pada skala kedua berarti responden menilai bahwa pengelolaan TPAS Galuga cukup. Namun terdapat 30 persen responden yang menilai bahwa pengelolaan TPAS Galuga tidak baik. Pengelolaan TPAS Galuga sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan di Desa Galuga. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat memberi dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya, bahkan dapat menyebabkan 60

74 degradasi kualitas lingkungan. Saat penelitian dilakukan, terdapat beberapa responden yang tidak mengetahui dampak negatif dari adanya sampah. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa responden yang pendapatannya berasal dari sampah sehingga mereka menganggap bahwa sampah sangat menguntungkan dan tidak mempedulikan adanya dampak negatif. Dampak negatif dari sampah yang diketahui responden dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Dampak Negatif Adanya Sampah yang Dialami Responden Dampak negatif yang dialami n Persentase (%) Mengganggu pemandangan dan keindahan 2 3,33 Menimbulkan pencemaran air dan udara 47 78,33 Berkembangnya bibit penyakit 3 5,00 Di TPAS kekurangan oksigen 0 0,00 Semua jawaban,lainnya 8 13,33 Total ,00 Sumber : Data Primer (diolah), Tingkat Gangguan Responden Keberadaan TPAS dapat mengganggu lingkungan sekitar baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa tidak terganggu dengan keberadaan TPAS Galuga sebesar 78,33 persen. Sedangkan responden yang merasa terganggu dengan keberadaan TPAS Galuga sebesar 18,33 persen. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata semantic differential sebesar 2,4. Nilai ini mendekati skala kedua yang berarti bahwa sebagian besar masyarakat merasa tidak terganggu dengan adanya TPAS Galuga. Persentase tingkat gangguan responden akibat keberadaan TPAS Galuga dapat dilihat pada Gambar 8. 61

75 1,67% 0,00% 1,67% 18,33% 78,33% sangat tidak mengganggu tidak mengganggu biasa saja mengganggu sangat mengganggu Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Gambar 8 Tingkat Gangguan Responden Akibat Keberadaan TPAS Galuga Pada awalnya masyarakat merasa terganggu dan menolak keberadaan TPAS tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak masyarakat merasa diuntungkan dengan adanya TPAS tersebut karena dapat memberikan lapangan pekerjaan, namun tidak sedikit pula masyarakat yang tetap menolak keberadaan TPAS tersebut. 6.2 Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan Lingkungan memiliki peranan penting dalam kesehatan masyarakat. Pencemaran lingkungan akan terasa dampaknya pada ketidaknyamanan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila terdapat limbah yang dibuang ke badan air atau udara ambien yang akan langsung dimanfaatkan oleh manusia untuk air minum dalam hal sumberdaya air ataupun untuk bernafas dalam sumberdaya udara. Hal ini akan mengganggu kenyamanan hidup dan mengurangi tingkat kesehatan, serta meningkatkan biaya kesehatan bagi masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga di estimasi dengan dua metode yaitu biaya kesehatan dan biaya pengganti. Biaya kesehatan 62

76 dikeluarkan oleh masyarakat akibat adanya pencemaran air dan pencemaran udara. Biaya pengganti dikeluarkan oleh masyarakat untuk pembelian sumber air karena sumber air yang biasa mereka gunakan tercemar akibat keberadaan TPAS Galuga, khususnya biaya pengganti untuk pembelian air minum Analisis Biaya Kesehatan Keberadaan TPAS Galuga tidak hanya menyebabkan masyarakat mengeluarkan biaya untuk mengganti sumber air yang biasa mereka gunakan tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar TPAS Galuga. Pencemaran air dan udara yang terjadi membuat masyarakat menderita penyakit akibat pencemaran tersebut antara lain penyakit pencernaan, kulit, dan pernafasan. Adapun sepuluh besar penyakit yang sering diderita oleh masyarakat di sekitar TPAS Galuga antara lain ISPA, batuk, demam, sakit kepala, hypotensi, dermatitis, influenza, sesak nafas, scabies, dan diare GE (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Biaya pengobatan per penyakit responden dihitung berdasarkan biaya pengobatan yang dikeluarkan satu keluarga, karena yang menderita sakit tidak hanya responden saja, tetapi juga yang menjadi tanggungan responden. Nilai pendapatan yang hilang responden dilihat dari jumlah hari tidak masuk kerja responden pada saat responden atau anggota keluarga responden yang menjadi tanggungjawab responden sakit, yang kemudian dijumlahkan untuk mengetahui besarnya pendapatan yang hilang akibat penyakit tersebut. Pada penelitian ini sebagian besar yang menderita penyakit adalah keluarga responden, sedangkan responden yang menderita sakit tetap bekerja, sehingga tidak terdapat pendapatan yang hilang akibat tidak masuk kerja karena sakit. 63

77 Biaya pengobatan yang dihitung adalah penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran air dan udara. Pencemaran air yang terjadi membuat masyarakat menderita penyakit pencernaan, kulit, dan lainnya. Biaya pengobatan masyarakat akibat pencemaran air dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Air Wilayah Jumlah Penderita (orang) Cost of Time Total Biaya Pengobatan/tahun (Rp/tahun) RT 04 dan RT RT RT 10 dan RT Total Morbiditas pencemaran air Total Biaya Pengobatan Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Pada Tabel 10 biaya pengobatan akibat pencemaran air adalah sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai tersebut didapat dari biaya pengobatan masyarakat akibat pencemaran air selama satu tahun terakhir. Penyakit yang diderita masyarakat akibat pencemaran air sebagian besar adalah penyakit kulit yaitu gatal-gatal dan penyakit pencernaan. Masyarakat yang menderita penyakit tersebut sebagian besar adalah masyarakat yang masih menggunakan air sumur dan sumber air yang ada sebagai keperluan minum dan keperluan sehari-hari seperti memasak dan MCK. Selain pencemaran air, pencemaran udara juga dirasakan oleh masyarakat dan berimplikasi pada kesehatan. Sebagian besar responden yang menderita penyakit akibat pencemaran udara adalah responden yang berada diwilayah RT 04 dan RT 05. Hal ini dikarenakan RT 04 dan RT 05 memiliki jarak yang dekat dengan TPAS Galuga. Penyakit pernafasan akibat pencemaran udara yang diderita 64

78 masyarakat adalah sesak nafas dan batuk. Biaya pengobatan masyarakat akibat pencemaran udara dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Udara Wilayah Jumlah Penderita (orang) Cost of Time Total Biaya Pengobatan/tahun (Rp) RT 04 dan RT RT RT 10 dan RT Total Morbiditas pencemaran udara Total Biaya Pengobatan Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai kerugian responden akibat pencemaran udara sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai tersebut didapat dari biaya pengobatan masyarakat akibat pencemaran udara selama satu tahun terakhir. Sebagian besar pencemaran udara dirasakan oleh responden yang berada di wilayah RT 04 dan RT 05. Hal ini dapat terjadi karena wilayah ini memiliki jarak paling dekat dengan TPAS Galuga daripada wilayah lain yang termasuk dalam penelitian. Total biaya pengobatan satu tahun yang dikeluarkan masyarakat didapat dari penjumlahan biaya pengobatan akibat pencemaran air dan pencemaran udara yaitu sebesar Rp ,00 per tahun. Kurangnya perhatian pengelola TPAS Galuga mengenai sanitasi menjadi salah satu penyebab tercemarnya air sumur warga dan sumber air lainnya yang diakibatkan oleh rembesan air lindi. Selain itu tumpukan sampah juga menyebabkan bau tidak sedap yang menimbulkan penyakit. 65

79 6.2.2 Analisis Biaya Pengganti Biaya pengganti didapat dari nilai pembelian masyarakat atas sumber air pengganti untuk sumber air minum. Sedangkan untuk memasak dan untuk keperluan sehari-hari lainnya sebagian besar masyarakat masih menggunakan air sumur dan mata air yang ada. Pengeluaran biaya pengganti akibat keberadaan TPAS Galuga untuk sumber air minum dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Biaya Pengganti untuk Sumber Air Minum Akibat Pencemaran Air Wilayah Jumlah Responden yang Membeli Air (orang) Biaya Pembelian Air Minum Per Tahun (Rp) RT 04 dan RT RT RT 10 dan RT Total Populasi RT Total Biaya Pengganti Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Hasil estimasi biaya pengganti diperoleh nilai sebesar Rp ,00 per tahun. Nilai tersebut didapat dari nilai pembelian masyarakat atas sumber air pengganti untuk sumber air minum Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan Nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga diestimasi dengan menjumlahkan semua biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat. Total nilai ekonomi akibat penurunan kualitas lingkungan dapat dilihat pada Tabel

80 Tabel 13 Total Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan Wilayah Biaya Pengganti (Replacement Cost) (Rp) Biaya Kesehatan (Cost of Illness) (Rp) Total RT 04 dan RT RT RT 10 dan RT Total Populasi RT Total Kerugian Masyarakat Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Hasil estimasi menunjukkan bahwa total nilai ekonomi yang dikeluarkan masyarakat sebesar Rp ,00 per tahun. Biaya tersebut berupa biaya kesehatan dan biaya pengganti yaitu biaya pengobatan akibat pencemaran air, biaya pengobatan akibat pencemaran udara, dan biaya pengganti yang dikeluarkan untuk sumber air minum. 6.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Harga Lahan Harga lahan menentukan pilihan seseorang untuk tinggal disuatu tempat. Lahan dengan harga tinggi mencerminkan semakin tinggi kualitas lahan tersebut baik lokasi, karakteristik properti, karakteristik lingkungan sekitar, maupun karakteristik aksesibilitasnya. Kenaikan harga lahan juga merupakan suatu konsekuensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan tersebut. Harga lahan responden bervariasi mulai dari Rp ,00/m 2 hingga Rp ,00/m 2. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 40,00 persen harga lahan responden kurang dari atau sama dengan Rp ,00/m 2, 46,67 persen harga lahan responden antara Rp /m 2 -Rp /m 2, 13,33 persen harga lahan responden lebih dari Rp ,00/m 2. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 67

81 rataan harga lahan Rp ,00/m 2. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 44 lahan responden yang harganya beada dibawah rata-rata dan 16 lahan responden yang harganya diatas rata-rata. Distribusi harga lahan responden dapat dilihat pada Gambar 9. 46,67% 13,33% 40,00% Rp 40000,00 Rp 40001,00-Rp 80000,00 >Rp 80000,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2011 Gambar 9 Distribusi Harga Lahan Responden Harga lahan di Desa Galuga di duga dipengaruhi oleh keberadaan TPAS Galuga. Harga lahan responden dapat dipengaruhi oleh jarak lahan dengan TPAS Galuga dan kebersihan lingkungan. Status lahan juga dapat berpengaruh terhadap harga lahan tersebut. Responden yang memiliki sertifikat hak milik atas lahan yang dimilikinya maka harga lahannya akan lebih tinggi. Perbedaan harga lahan responden diduga dapat menunjukkan adanya perbedaan kualitas lingkungan, oleh karena itu digunakan harga lahan sebagai indikator untuk melihat bahwa terjadi perbedaan kualitas lingkungan yang dipengaruhi oleh keberadaan TPAS Galuga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga Pendugaan fungsi faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan pemukiman di sekitar TPAS Galuga dilakukan dengan analisis regresi berganda. 68

ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH

ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT LISANATUL HIFDZIYAH DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage),

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun buangan pabrik

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden 6.1.1 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga Lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari keterkaitannya terhadap lingkungan. Lingkungan memberikan berbagai sumberdaya kepada manusia dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang diperlukan untuk mendukung

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

DAMPAK SAMPAH TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN DAN MANUSIA

DAMPAK SAMPAH TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN DAN MANUSIA DAMPAK SAMPAH TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN DAN MANUSIA Imran SL Tobing Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta ABSTRAK Sampah sampai saat ini selalu menjadi masalah; sampah dianggap sebagai sesuatu

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari instansi yang terkait dengan penelitian, melaksanakan observasi langsung di Tempat Pembuangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP),

BAB I PENDAHULUAN. Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lingkungan yang sehat dan sejahtera hanya dapat dicapai dengan lingkungan pemukiman yang sehat. Terwujudnya suatu kondisi lingkungan yang baik dan sehat salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pasal 1 (1.1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pemukiman yang sehat. Terwujudnya suatu kondisi lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pemukiman yang sehat. Terwujudnya suatu kondisi lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lingkungan yang sehat dan sejahtera hanya dapat dicapai dengan lingkungan pemukiman yang sehat. Terwujudnya suatu kondisi lingkungan yang baik dan sehat salah satunya

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH ABSTRAK KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kuantitas sampah kota. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI Sampah?? semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga

Lebih terperinci

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Lampiran E: Deskripsi Program / Kegiatan A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Nama Maksud Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sampah merupakan material sisa hasil proses suatu aktifitas, baik karena kegiatan industri, rumah tangga, maupun aktifitas manusia lainnya. Sampah selalu menjadi masalah lingkungan

Lebih terperinci

Sampah manusia: hasil-hasil dari pencernaan manusia, seperti feses dan urin.

Sampah manusia: hasil-hasil dari pencernaan manusia, seperti feses dan urin. 1. DEFINISI SAMPAH Sampah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Sementara di dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan yang kotor merupakan akibat perbuatan negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Manusia membutuhkan kondisi lingkungan yang

Lebih terperinci

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan

TPST Piyungan Bantul Pendahuluan TPST Piyungan Bantul I. Pendahuluan A. Latar belakang Perkembangan teknologi yang semakin maju dan kemegahan zaman mempengaruhi gaya hidup manusia ke dalam gaya hidup yang konsumtif dan serba instan. Sehingga

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah Sampah didefinisikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah tidak berguna atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian sampah Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI Penelitian dimulai pada bulan Oktober sampai Desember 2008, bertempat di beberapa TPS pasar di Kota Bogor, Jawa Barat yaitu pasar Merdeka, pasar Jl. Dewi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Dalam hal ini sarana pelayanan kesehatan harus pula memperhatikan keterkaitan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Dalam hal ini sarana pelayanan kesehatan harus pula memperhatikan keterkaitan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah lingkungan erat sekali hubungannya dengan dunia kesehatan. Untuk mencapai kondisi masyarakat yang sehat diperlukan lingkungan yang baik pula. Dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB III STUDI LITERATUR

BAB III STUDI LITERATUR BAB III STUDI LITERATUR 3.1 PENGERTIAN LIMBAH PADAT Limbah padat merupakan limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organic dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN 1 Sampah merupakan konsekuensi langsung dari kehidupan, sehingga dikatakan sampah timbul sejak adanya kehidupan manusia. Timbulnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

KAJIAN VOLUME SAMPAH DI KOTA KEDIRI ( Lokasi TPA Klotok )

KAJIAN VOLUME SAMPAH DI KOTA KEDIRI ( Lokasi TPA Klotok ) KAJIAN VOLUME SAMPAH DI KOTA KEDIRI ( Lokasi TPA Klotok ) LUCIA DESTI KRISNAWATI, ST *) Pertumbuhan penduduk di kota Kediri, akan memberikan dampak pada permasalahan jumlah timbulan sampah. Sampah merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT

ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT GARNA YUANA SUHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,

BAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya pastilah tidak terlepas dengan adanya sampah, karena sampah merupakan hasil efek samping dari adanya aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah menjadi persoalan serius terutama di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh

Lebih terperinci

Pengaruh Pencemaran Sampah Terhadap Kualitas Air Tanah Dangkal Di TPA Mojosongo Surakarta 1

Pengaruh Pencemaran Sampah Terhadap Kualitas Air Tanah Dangkal Di TPA Mojosongo Surakarta 1 Pengaruh Pencemaran Sampah Terhadap Kualitas Air Tanah Dangkal Di TPA ( Tempat Pembuangan Akhir ) Mojosongo Kota Surakarta Oleh : Bhian Rangga JR NIM K 5410012 P. Geografi FKIP UNS A. PENDAHULUAN Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I- 1

BAB I PENDAHULUAN I- 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan penduduk daerah perkotaan yang sangat pesat dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh dorongan berbagai kemajuan teknologi, transportasi, dan sebagainya.

Lebih terperinci

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup, sehingga keberadaan air dalam jumlah yang cukup mutlak diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang banyak dan terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang banyak dan terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk sebanyak 255.993.674 jiwa atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat yang terbagi

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat yang terbagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat yang terbagi menjadi 40 kecamatan dan 410 desa dan 16 kelurahan dengan jumlah penduduk menurut Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali dengan luas kurang lebih 5.636,66 km 2. penduduk yang mencapai jiwa sangat rentan terhadap berbagai dampak

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali dengan luas kurang lebih 5.636,66 km 2. penduduk yang mencapai jiwa sangat rentan terhadap berbagai dampak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Bali dengan luas kurang lebih 5.636,66 km 2 dengan jumlah penduduk yang mencapai 3.890.757 jiwa sangat rentan terhadap berbagai dampak negatif dari pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR

VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR 6.1. Pengelolaan Sampah Pasar Aktivitas ekonomi pasar secara umum merupakan bertemunya penjual dan pembeli yang terlibat dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian sampah Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola

Lebih terperinci

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) By. Gotri Ruswani, S.Pd.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) By. Gotri Ruswani, S.Pd. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) By. Gotri Ruswani, S.Pd. Adalah: sisa dari segala macam kegiatan manusia yang fungsinya sudah berubah dari keadaan awal. Karakteristik limbah: a) Fisik: bau tidak sedap, warnanya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam program pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah program lingkungan sehat, perilaku

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mengalami proses pembangunan perkotaan yang pesat antara tahun 1990 dan 1999, dengan pertumbuhan wilayah perkotaan mencapai 4,4 persen per tahun. Pulau Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam yang mutlak diperlukan untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya diantaranya adalah air. Selain itu, air merupakan komponen penyusun terbesar

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai

I. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada kedudukan 5 0 20 sampai dengan 5 0 30 lintang Selatan dan 105 0 28 sampai dengan 105 0 37 bujur Timur.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan

Lebih terperinci

Repository.Unimus.ac.id

Repository.Unimus.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya air merupakan kemampuan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan semua makhluk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk manusia dalam menunjang berbagai

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan sampah memerlukan suatu

Lebih terperinci

Gambar 2.1 organik dan anorganik

Gambar 2.1 organik dan anorganik BAB II SAMPAH DAN TEMPAT SAMPAH 2.1 Pembahasan 2.1.1 Pengertian Sampah Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan manusia,dalam

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang TUGAS AKHIR 108 Periode Agustus Desember 2009 Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Oleh : PINGKAN DIAS L L2B00519O Dosen Pembimbing : Ir. Abdul Malik, MSA Jurusan Arsitektur Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara jumlah sampah yang dihasilkan dengan sampah yang diolah tidak seimbang. Sampah merupakan

Lebih terperinci

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak

TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengelolaan sampah di TPA Piyungan

Lebih terperinci

Bertindak tepat untuk sehat dengan menjaga lingkungan dan kebersihan

Bertindak tepat untuk sehat dengan menjaga lingkungan dan kebersihan Bertindak tepat untuk sehat dengan menjaga lingkungan dan kebersihan Menanam dan merawat pohon Mengelola sampah dengan benar Mulai dari diri sendiri menjaga kebersihan untuk hidup sehat 1 Perubahan Iklim,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan primer, sekunder,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang dilaksanakan pada Mei 2010 penduduk

I. PENDAHULUAN. Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang dilaksanakan pada Mei 2010 penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia cukup tinggi, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk yang tinggi dengan pertumbuhan cepat di kota bila

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk yang tinggi dengan pertumbuhan cepat di kota bila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk yang tinggi dengan pertumbuhan cepat di kota bila tidak diimbangi dengan fasilitas lingkungan yang memadai, seperti penyediaan perumahan, air bersih

Lebih terperinci

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 1. Latar Belakang Sampah yang menjadi masalah memaksa kita untuk berpikir dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Landasan Teori 1. Pembangunan. Pembangunan merupakan suatu proses yang meliputi banyak dimensi yakni perubahan dalam struktur sosial, sikap hidup masyarakat, perubahan kelembagaan,

Lebih terperinci

Tabel 3.34 Daftar Program/Proyek Layanan Yang Berbasis Masyarakat Tabel 3.35 Kegiatan komunikasi yang ada di Kabupaten Merangin...

Tabel 3.34 Daftar Program/Proyek Layanan Yang Berbasis Masyarakat Tabel 3.35 Kegiatan komunikasi yang ada di Kabupaten Merangin... Daftar Isi Kata Pengantar Bupati Merangin... i Daftar Isi... ii Daftar Tabel... iv Daftar Peta... vi Daftar Gambar... vii Daftar Istilah... viii Bab 1: Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Landasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah dan Jenis Sampah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah dan Jenis Sampah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah dan Jenis Sampah Sejumlah literatur mendefinisikan sampah sebagai semua jenis limbah berbentuk padat yang berasal dari kegiatan manusia dan hewan, dan dibuang karena tidak

Lebih terperinci

KRITERIA, INDIKATOR DAN SKALA NILAI FISIK PROGRAM ADIPURA

KRITERIA, INDIKATOR DAN SKALA NILAI FISIK PROGRAM ADIPURA Lampiran IV : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 01 Tahun 2009 Tanggal : 02 Februari 2009 KRITERIA, INDIKATOR DAN SKALA NILAI FISIK PROGRAM ADIPURA NILAI Sangat I PERMUKIMAN 1. Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sekarang ini sudah menjadi penarik tersendiri bagi penduduk luar Kota Yogyakarta dengan adanya segala perkembangan di dalamnya. Keadaan tersebut memberikan

Lebih terperinci

ANALISIS KESEDIAAN MENERIMA DANA KOMPENSASI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ADHITA RAMADHAN

ANALISIS KESEDIAAN MENERIMA DANA KOMPENSASI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ADHITA RAMADHAN ANALISIS KESEDIAAN MENERIMA DANA KOMPENSASI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ADHITA RAMADHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

Bagaimana Solusinya? 22/03/2017 PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS PENGERTIAN SAMPAH

Bagaimana Solusinya? 22/03/2017 PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS PENGERTIAN SAMPAH SOSIALISASI DAN PELATIHAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS Nedi Sunaedi nedi_pdil@yahoo.com PENGERTIAN SAMPAH Suatu bahan yang terbuang dari sumber aktivitas manusia dan/atau alam yang tidak

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DAMPAK KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DI DESA SUKOSARI KECAMATAN JUMANTONO KABUPATEN KARANGANYAR

DAMPAK KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DI DESA SUKOSARI KECAMATAN JUMANTONO KABUPATEN KARANGANYAR DAMPAK KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DI DESA SUKOSARI KECAMATAN JUMANTONO KABUPATEN KARANGANYAR A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH I. UMUM Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar ±110 pulau di wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta dipadati oleh 8.962.000 jiwa (Jakarta

Lebih terperinci

BAB. Kesehatan Lingkungan

BAB. Kesehatan Lingkungan BAB 4 Kesehatan Lingkungan Pada Minggu pagi yang cerah, Siti beserta seluruh anggota keluarganya bekerja bakti membersihkan rumah dan lingkungan sekitar. Ibu bertugas menyapu rumah, ayah memotong rumput,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MANFAAT DAN KERUGIAN PERTAMBANGAN. 6.1 Indentifikasi Manfaat yang Dirasakan Masyarakat dari Kegiatan. Kabupaten. perusahaan.

IDENTIFIKASI MANFAAT DAN KERUGIAN PERTAMBANGAN. 6.1 Indentifikasi Manfaat yang Dirasakan Masyarakat dari Kegiatan. Kabupaten. perusahaan. VI. IDENTIFIKASI MANFAAT DAN KERUGIAN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN C 6.1 Indentifikasi Manfaat yang Dirasakan Masyarakat dari Kegiatan Pertambangann Banyaknya industri tambang di berbagai skala menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang

BAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan permasalahan cukup pelik yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Begitu pula dengan di Indonesia terutama di kota besar dan metropolitan, masalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG

POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG Spectra Nomor 22 Volume XI Juli 2013: 24-31 POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG Puji Ariyanti Sudiro Program Studi Teknik Lingkungan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN DAN PENGUKURAN CONTOH TIMBULAN DAN KOMPOSISI SAMPAH BERDASARKAN SNI (STUDI KASUS: KAMPUS UNMUS)

PENGAMBILAN DAN PENGUKURAN CONTOH TIMBULAN DAN KOMPOSISI SAMPAH BERDASARKAN SNI (STUDI KASUS: KAMPUS UNMUS) PENGAMBILAN DAN PENGUKURAN CONTOH TIMBULAN DAN KOMPOSISI SAMPAH BERDASARKAN SNI 19-3964-1994 (STUDI KASUS: KAMPUS UNMUS) Dina Pasa Lolo, Theresia Widi Asih Cahyanti e-mail : rdyn_qyuthabiez@yahoo.com ;

Lebih terperinci

Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat

Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat Direktorat Pengembangan PLP Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat APA YANG DISEBUT SANITASI?? Perpres 185/2014

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Pasir Sembung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pasir Sembung Cianjur merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki oleh Kabupaten Cianjur.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya laju konsumsi dan pertambahan penduduk Kota Palembang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume dan keragaman sampah. Peningkatan volume dan keragaman sampah pada

Lebih terperinci

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampah merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Sampah dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan jumlah

Lebih terperinci

SOAL PENCEMARAN AIR. Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat. Dengan memberi tanda silang (x) pada alternetif jawaban yang tersedia.

SOAL PENCEMARAN AIR. Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat. Dengan memberi tanda silang (x) pada alternetif jawaban yang tersedia. NAMA : KELAS : NO : SOAL PENCEMARAN AIR Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat. Dengan memberi tanda silang (x) pada alternetif jawaban yang tersedia. 1. Perhatika pernyataan di bawah ini : i. Perubahan

Lebih terperinci

Kuesioner Penelitian

Kuesioner Penelitian Lampiran 1. Kuesioner Penelitian PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN ANGGOTA KOMUNITAS PEMUDA PEDULI LINGKUNGAN TENTANG PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KELURAHAN SEI KERA HILIR I KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT

ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT GARNA YUANA SUHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci