BAB I PENDAHULUAN. sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Meskipun dikatakan sebagai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Meskipun dikatakan sebagai"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak lahir ke dunia, manusia sebagai makhluk individu tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Meskipun dikatakan sebagai makhluk individu dan mandiri, namun pada dasarnya sebutan sebagai makhluk sosial lebih tepat diberikan kepada tiap manusia. Hal ini dikarenakan selama hidupnya, manusia selalu berada di dalam lingkungan masyarakat yang secara tidak langsung menimbulkan interaksi satu sama lain. Interaksi tersebut didasarkan atas adanya suatu kepentingan, persamaan keinginan, maupun karena adanya perasaan yang muncul pada diri masing-masing individu tersebut. Tiap manusia diciptakan untuk hidup berpasangan dan untuk memulai suatu hubungan dengan pasangannya tersebut harus dilakukan dengan perkawinan. Melalui ikatan perkawinan terbentuklah sebuah keluarga yang akan melahirkan keturunan. Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diamanatkan oleh agama, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang diakui tidak hanya secara hukum melainkan pula diakui oleh agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pihak. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

2 2 yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dicermati bunyi Pasal 1 tersebut, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang terjalin antara seorang laki-laki dengan perempuan. Suci dalam arti ikatan yang terjalin didasarkan atas perasaan suka sama suka dan tidak ada paksaan serta didasari atas keyakinan dan kepercayaan yang dianut. Masyarakat beranggapan melalui ikatan lahir batin yang terjalin antara pasangan suami istri akan tercipta keluarga yang kekal dan bahagia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan payung hukum atau dasar hukum bagi masyarakat dalam hal pelaksanaan perkawinan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Hazairin sebagaimana ditulis dalam bukunya yang berjudul Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang dikutip dari buku K. Wantjik Saleh, menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai suatu unifikasi hukum di bidang perkawinan dibentuk sesuai dengan dasar filosofis bangsa Indonesia yang majemuk dengan adanya 5 (lima) agama dan beraneka ragam adat istiadat maupun kebiasaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, sehingga untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berpedoman pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak. Melihat pengertian perkawinan tersebut sudah jelas bahwa perkawinan menurut hukum Indonesia tidak hanya berkaitan dengan suatu proses administrasi 1 K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 4.

3 3 atau hubungan keperdataan antara suami dan istri, melainkan lebih menekankan pada adanya ikatan lahir batin yang didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus didasari oleh adanya ikatan diantara satu sama lain, bukan hanya karena dorongan alamiah untuk membuat keturunan sebagai penerus keluarga. Pengakuan adanya ikatan lahir batin antara suami istri juga menjadi tolak ukur agar perkawinan harus dilakukan dengan kerelaan masing-masing pihak dan bukan karena adanya paksaan dari pihak lain. Kata berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menyiratkan bahwa dalam undang-undang ini juga menjadikan agama sebagai dasar dari adanya suatu perkawinan. Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. 2 Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu perjanjian namun berbeda dari perjanjian lain pada umumnya. Perjanjian pada umumnya bebas dibuat oleh para pihak sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan perundangundangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan perkawinan dikatakan sebagai salah satu bentuk perjanjian karena perkawinan terjadi sebelumnya didahului oleh adanya persetujuan kedua belah pihak, baik calon mempelai maupun keluarga dari calon mempelai. Perkawinan menimbulkan hak dan 2 Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang Dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 6.

4 4 kewajiban dari suami-istri yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Suami-istri harus mentaati dan menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing secara seimbang. Perkawinan tidak hanya bertujuan untuk membentuk keluarga melainkan pula mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau keyakinan, sehingga suatu perjanjian dalam bentuk perkawinan ini tidak hanya mempunyai unsur jasmani namun juga mempunya unsur rohani. Suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan. 3 Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan pada umumnya sangat jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan mengenai harta masing-masing pihak atau percampuran harta yang akan terjadi setelah perkawinan. Landasan yang diterapkan adalah asas saling percaya dan memahami satu sama lain. Namun semakin berkembangnya situasi dan kondisi dalam masyarakat, terutama dengan semakin banyaknya pengaruh budaya asing masuk ke Indonesia, sedikit demi sedikit merubah pola hidup dan pandangan masyarakat. Harta masing-masing pihak maupun percampuran harta dalam perkawinan menjadi suatu permasalahan yang disoroti oleh pasangan suami-istri yang hendak melangsungkan perkawinan. Hal ini dikarenakan saat ini baik pihak laik-laki maupun perempuan mampu menghasilkan harta kekayaan masing-masing sehingga dipandang perlu untuk mengatur mengenai pemisahan harta bersama 3 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata dan Perkembangannya, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 22.

5 5 dalam suatu perkawinan. Upaya yang ditempuh untuk pemisahan harta tersebut dilakukan dengan membuat suatu Perjanjian Perkawinan. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur aibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan. 4 Perjanjian Perkawinan adalah suatu kesepakatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera rumah tangga. Perjanjian Perkawinan sebenarnya bukanlah perjanjian yang dibuat dalam rangka perceraian. Meskipun banyak yang beranggapan apabila ada pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan kemudian memutuskan untuk membuat suatu Perjanjian Perkawinan, maka mereka mempersiapkan untuk perceraiannya. Terlepas dari anggapan negatif masyarakat tentang Perjanjian Perkawinan, ada nilai-nilai positif dibalik maksud dibuatnya Perjanjian Perkawinan tersebut. Perjanjian Perkawinan memberikan perlindungan bagi suami istri yang akan terikat dalam suatu perkawinan. Perjanjian Perkawinan yang dibuat dapat mengatasi penilaian negatif bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan apabila salah satu pihak berasal dari keluarga sederhana, sementara pihak lainnya berasal dari keluarga terpandang. Anggapan perkawinan tersebut hanya dilakukan untuk mencari kekayaan pihak lainnya pun dapat ditepis dengan dibuatnya Perjanjian 4 R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya, hal. 73.

6 6 Perkawinan. Contoh lainnya, Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh pasangan yang berasal dari dunia bisnis, di mana salah satu pihak memiliki bidang usaha yang beresiko tinggi yang ada kalanya dapat mengalami kemunduran karena sangat tergantung pada situasi perekonomian. Apabila salah satu pihak ingin mengajukan kredit pada bank dengan jaminan harta yang dimilikinya, maka hutang yang akan timbul setelahnya hanya akan mengikat pihak yang terkait saja, sedangkan pasangannya akan terbebas dari kewajiban dan dari resiko pembayaran hutang. Kemudian, apabila debitur dinyatakan bangkrut maka hanya harta kekayaannya saja yang akan disita oleh kreditur, sementara harta pasangannya tidak. Dengan demikian keluarganya masih bisa menjalankan kehidupan seharihari terutama menjamin kesejahteraan kedua belah pihak dan anak-anak dengan menggunakan harta yang dimiliki pasangannya sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan dalam hal ini. Pemahaman yang sesungguhnya mengenai Perjanjian Perkawinan akan merubah pandangan masyarakat mengenai pasangan yang membuat Perjanjian Perkawinan sebelum melangsungkan perkawinan. Perlindungan yang diberikan melalui Perjanjian Perkawinan memberi kepastian bagi tiap pasangan dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Isi Perjanjian Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat mengenai segala hal, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur dengan jelas mengenai isi dari Perjanjian Perkawinan itu sendiri selain pengaturan yang telah disebutkan di atas. Namun pada umumnya, isi Perjanjian Perkawinan itu dapat meliputi:

7 7 a. Penyatuan harta kekayaan suami istri; b. Penguasaan, pengawasan dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami; c. Istri atau suami melanjutkan kuliah dengan biaya bersama; d. Dalam perkawinan mereka sepakat untuk melakukan keluarga berencana. 5 Perjanjian Perkawinan sendiri telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut sistem KUHPerdata, maka harta kekayaan harta bersama yang menyeluruh (algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian kawin. 6 Perjanjian Perkawinan diatur mulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Dalam Pasal 139 KUHPerdata disebutkan: Dengan mengadakan Perjanjian Perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini. Kata segala ketentuan di bawah ini yang termaktub dalam pasal tersebut di atas mengacu pada segala ketentuan yang diatur mulai dari Pasal 140 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 5 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Titik Triwulan Tutik I), hal. 129.

8 Perjanjian Perkawinan yang dibuat para pihak erat kaitannya dengan pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan baru akan mengikat pihak ketiga apabila perjanjian tersebut telah dicatatkan di Pengadilan Negeri tempat dilangsungkannya perkawinan. Perihal pencatatan Perjanjian Perkawinan tersebut secara lebih terperinci diatur dalam Pasal 152 KUH Perdata sebagai berikut: Ketentuan tercantum dalam Perjanjian Perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang-undang seluruhnya atau sebagian, tak akan berlaku terhadap pihak ke tiga, sebelum hari ketentuanketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri, dikepaniteraan di mana akta perkawinan dibukukannya. Pendaftaran Perjanjian Perkawinan penting dilakukan dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Pendaftaran Perjanjian Perkawinan dilakukan agar pihak ketiga mengetahui bahwa perkawinan yang terjadi tidak didasarkan atas pembulatan harta kekayaan dan telah terjadi pemisahan harta kekayaan antara suami istri tersebut. Apabila Perjanjian Perkawinan tersebut tidak didaftarkan maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa pasangan tersebut melangsungkan perkawinan dengan kesatuan harta kekayaan. Hal ini memiliki resiko seandainya salah satu pihak mempunyai kewajiban pada pihak ketiga namun tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pasangannya akan ikut menanggung kewajibannya yang telah dilakukan pasangannya tersebut. Perjanjian kawin dilakukan secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum yang berarti para pihak telah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar perjanjian 8

9 9 tersebut. 7 Layaknya perjanjian pada umumnya, para pihak yang membuat perjanjian harus mentaati aturan hukum yang melandasi terbentuknya perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi atau tidak dapat melaksanakan kewajiban yang telah dicantumkan dalam perjanjian, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan cerai atau ganti rugi atas kerugian yang telah dideritanya. Unifikasi hukum perkawinan di Indonesia telah mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan tersebut tercantum pada Pasal 29 ayat (1) sampai dengan ayat (4), sebagai berikut: (1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ke tiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut. (2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ke tiga. Apabila melihat pengaturan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perjanjian bersama yang diadakan oleh para pihak sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, maka akan muncul pertanyaan mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan itu sendiri apabila tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. 7 Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian (Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini), Visimedia, Jakarta Selatan, hal. 296.

10 10 Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dalam pembuatannya harus mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila Perjanjian Perkawinan telah dibuat sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan seperti tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah. Namun sahnya suatu Perjanjian Perkawinan seperti yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah setelah disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Apabila membaca kata disahkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut, akan timbul berbagai penafsiran tersendiri mengenai kejelasan maksud yang tersirat dari bunyi Pasal 29 ayat (1) secara keseluruhan, terlebih lagi dalam bagian Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan penjelasan mengenai maksud kata disahkan dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut. Masyarakat akan dapat menginterpretasikan bahwa Perjanjian Perkawinan yang mereka buat dalam bentuk akta notarial merupakan perjanjian yang masih belum sah, sehingga untuk menjadi sah Perjanjian Perkawinan tersebut harus disahkan terlebih dahulu oleh Pegawai pencatat perkawinan. Keabsahan mengandung arti sifat yang sah sehingga agar suatu Perjanjian Perkawinan dapat dikatakan sah maka Perjanjian Perkawinan tersebut harus dibuat berdasarkan hukum. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan dari Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Meskipun Perjanjian

11 11 Perkawinan tersebut telah dibuat berdasarkan hukum apakah karena tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil Perjanjian Perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Keabsahan suatu perjanjian sangatlah penting karena akan berdampak pada keberlakuan dari isi perjanjian itu sendiri bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga yang terkait dalam perjanjian tersebut. Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak tentunya akan berkaitan dengan segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak selama perkawinan itu berlangsung. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa transaksi jual beli, utang piutang, sampai pada terjadinya fenomena Perkawinan Campuran. Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraannya. 8 Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sama halnya dengan perkawinan pada umumnya, Perkawinan Campuran juga akan mengakibatkan percampuran harta pasangan suami-istri. Percampuran harta ini dapat dicegah dengan membuat Perjanjian Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Sejak perkawinan dimulai, secara otomatis terjadi percampuran harta kekayaan antara suami-istri, kecuali apabila sebelumnya pasangan suami-istri 8 Amir Martosedono, 1997, Apa dan Bagaimana Undang-Undang Perkawinan No. 1, 1974, Cetakan Kelima, Dahara Prize, Semarang, hal. 40.

12 12 tersebut telah membuat Perjanjian Perkawinan mengenai pemisahan harta kekayaan masing-masing pihak. Percampuran harta yang terjadi antara pasangan suami-istri hasil perkawinan sesama Warga Negara Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah dan tidak akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak dalam hal pemilikan hak milik atas tanah di Indonesia. Namun tidak demikian dengan percampuran harta yang terjadi antara pasangan dalam Perkawinan Campuran. Pasangan dalam Perkawinan Campuran yang salah satunya merupakan Warga Negara Indonesia akan kehilangan seluruh haknya untuk memiliki hak milik atas tanah maupun properti lainnya di Indonesia apabila sebelum perkawinan berlangsung tidak pernah membuat Perjanjian Perkawinan. Pada saat penggunaan harta bersama, suami maupun istri hanya akan dapat bertindak apabila sudah mendapatkan persetujuan dari keduabelah pihak, yakni suami dan istri, sehingga terbentuknya harta bersama dalam Perkawinan Campuran oleh Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing akan menimbulkan hak kepemilikan yang sama. Laki-laki maupun perempuan yang merupakan Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka masing-masing. Baik laki-laki maupun perempuan Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran dapat tetap menjadi Warga Negara Indonesia apabila mereka mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya untuk tetap memiliki kewarganegaraannya, seperti diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Apabila lakilaki atau perempuan yang tetap menjadi Warga Negara Indonesia setelah melakukan Perkawinan Campuran, dengan demikian hak-hak yang dimilikinya

13 13 sebagai seorang Warga Negara Indonesia masih melekat padanya. Pasal 36 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa salah satu hak yang dimiliki tiap-tiap pribadi adalah hak untuk mempunyai milik atau hak milik atas suatu benda. Sementara itu dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diatur dengan tegas bahwa pemilikan hak milik atas tanah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Perkawinan Campuran yang tanpa Perjanjian Perkawinan mengakibatkan ketidakjelasan mengenai hak Warga Negara Indonesia yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Keabsahan dari Perjanjian Perkawinan akan sangat berpengaruh pada hak Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran apabila dikaitkan dengan pemilikan hak atas tanah di Indonesia, karena setiap perjanjian baik secara langsung maupun tidak langsung pasti menimbulkan dampak terhadap pihak ketiga. Ketidakjelasan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan membuat adanya permasalahan bagi salah satu pihak dalam perkawinan apabila hendak melakukan peralihan hak milik atas tanah kepada pihak ketiga. Apabila Perjanjian Perkawinan tidak disahkan, maka belum ada kejelasan mengenai kekuatan hukum yang timbul pada perjanjian tersebut, apakah perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang sifatnya mengikat atau tidak. Pengesahan Perjanjian Perkawinan pada dasarnya merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh setiap pasangan yang membuat Perjanjian Perkawinan. Namun

14 14 pada kenyataannya yang terjadi beberapa kasus di mana Perjanjian Perkawinan tersebut setelah dibuat dalam bentuk akta notarial di hadapan Notaris tidak disahkan sama sekali pada Pegawai pencatat perkawinan. Hal ini tentu berimbas pada keabsahan dan keberlakuan dari Perjanjian Perkawinan tersebut, baik terhadap para pihak maupun terhadap pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan merupakan salah satu permasalahan hukum yang menarik untuk diteliti terlebih lagi dengan adanya kekaburan norma yang terdapat di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berdampak pada keabsahan Perjanjian Perkawinan dan akibat hukumnya bagi Warga Negara Indonesia terhadap kepemilikan hak milik atas tanah dalam Perkawinan Campuran, sehingga penulis mengangkat dan melakukan penelitian untuk mendapat jawaban dari permasalahan tersebut. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil dalam Perkawinan Campuran yang diteliti dalam penelitian ini adalah Perjanjian Perkawinan yang dibuat sesuai dengan hukum dari pihak yang berkewarganegaraan Indonesia sehingga Perjanjian Perkawinan tersebut tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai pembanding dari penelitian yang penulis lakukan, dapat diajukan 3 (tiga) tesis yang berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan yang diperoleh dengan cara pencarian melalui media internet. Adapun judul-judul tesis yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tesis pertama berjudul Efektivitas Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga (Analisis Kasus Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 Yang Dibuat Dihadapan Notaris XXX).

15 15 Penelitian ini dilakukan oleh Mashella Laksana untuk meraih gelar Magister Kenotariatan di Universitas Indonesia, Depok, Jakarta. b. Tesis kedua berjudul Analisis Kekuatan Hukum Akta Notaris tentang Perjanjian Perkawinan terhadap Penetapan Perkara Perdata No. 264/Pdt.P/2010 di Pengadilan Negeri Malang. Karya ilmiah ini ditulis oleh Zainiah Anis. c. Tesis ketiga berjudul Pembuatan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN Jkt. Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN Jkt. Tmr. Hasil penelitian ini dibuat oleh Ramadhan Wira Kusuma, mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Untuk lebih jelas dapat secara ringkas diuraikan permasalahan dari tesis yang dikemukakan di atas, sebagai berikut: a. Tesis pertama yang berjudul Efektivitas Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak Ketiga (Analisis Kasus Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 Yang Dibuat Dihadapan Notaris XXX), menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan meneliti sebuah Akta Perjanjian Perkawinan yang detail akta tersebut tidak disebutkan dalam penelitian ini. Permasalahan yang diajukan berkaitan dengan: pertama, bagaimana keberlakuan Perjanjian Perkawinan yang hanya berdasarkan pada Surat Keterangan Dinas Kependudukan, Catatan Sipil

16 16 dan Tenaga Kerja? Kedua, bagaimana keabsahan akta kesepakatan jual beli tanpa persetujuan pihak istri yang didasarkan dari Perjanjian Perkawinan yang belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil terhadap pihak ketiga? b. Tesis kedua yang berjudul Analisis Kekuatan Hukum Akta Notaris tentang Perjanjian Perkawinan terhadap Penetapan Perkara Perdata No. 264/Pdt.P/2010 di Pengadilan Negeri Malang dalam penelitiannya menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa mengenai kekuatan hukum dari akta notaries tentang Perjanjian Perkawinan yang tidak didaftarkan dan disahkan oleh Kantor Catatan Sipil sebelum mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri. Adapun rumusan masalah yang diangkat antara lain: pertama, bagaimana kekuatan hukum akta Notaris tentang Perjanjian Perkawinan dalam hal pengesahan di Pegawai Pencatat Nikah? Kedua, bagaimana peraturan pendaftaran dan pengesahan Perjanjian Perkawinan setelah adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974? Ketiga, bagaimana analisis perkara perdata No. 264/Pdt.P/PN Malang tentang Perjanjian Perkawinan? c. Tesis ketiga yang berjudul Pembuatan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN Jkt. Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN Jkt. Tmr menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yakni studi kepustakaan dan menganalisa 2 (dua) Penetapan

17 17 Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Adapun rumusan masalah yang diangkat antara lain: pertama, apakah yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur megabulkan permohonan penetapan terhadap pembuatan perjanjian kawin yang dilakukan setelah perkawinan? Kedua, bagaimana akibat hukumnya pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan yang didasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur? Penelitian tersebut bertujuan untuk meneliti fenomena hukum yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan berlangsung dengan meminta Penetapan Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketiga tesis yang diajukan tersebut di atas, ternyata terdapat perbedaan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yakni pada penelitian yang dilakukan sekarang terfokus pada keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil dan akibat hukumnya bagi Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran terhadap kepemilikan Hak Milik atas tanah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan sekarang terdapat kebaharuan yang dapat melengkapai penelitian yang telah dilakukan terdahulu, sehingga penulis akan melakukan penelitian yang berjudul Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran.

18 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil? 2. Apa akibat hukum dari tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil terhadap pemilikan hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum. Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk lebih memahami dan mendalami mengenai bidang keilmuan kenotariatan dan perjanjian khususnya terkait masalah pentingnya Perjanjian Perkawinan dan akibat hukumnya bagi para pihak Tujuan Khusus. Selain tujuan umum yang telah disebutkan di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengkaji dan menganalisa mengenai keabsahan dari Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. 2. Mengetahui dan menganalisa akibat hukum dari tidak disahkannya suatu Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan Perkawinan Campuran dalam kaitannya dengan pemilikan hak milik atas tanah.

19 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum di bidang kenotariatan yang berkaitan dengan pendaftaran Perjanjian Perkawinan Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keabsahan dari suatu Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan dan informasi mengenai akibat hukum dari tidak disahkannya suatu Perjanjian Perkawinan, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perancang peraturan perundangundangan, legal drafter (perancang kontrak/perjanjian), agar mampu menciptakan produk hukum yang baik dan dapat berlaku secara efektif di masyarakat Landasan Teoritis Penelitian ini menggunakan teori-teori dan asas-asas untuk membahas atau menganalisa 2 (dua) permasalahan yang ada secara berturut-turut seperti disebutkan di bawah ini: 1. Teori dan asas yang digunakan untuk membahas rumusan masalah pertama, yaitu: 1) Teori Momentum Terjadinya Kontrak Kontrak sering kali disamakan dengan perjanjian karena kontrak merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis. Perbedaan diantara kontrak dan perjanjian tertulis lainnya adalah istilah kontrak lazim digunakan dalam dunia bisnis sedangkan perjanjian tertulis lainnya digunakan sesuai dengan

20 20 jenis perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak. Meskipun terdapat perbedaan istilah, namun terjadinya kontrak maupun perjanjian harus melalui tahapan yang sama. Beberapa ahli hukum seperti Vollmar, Sri Soedewi Masjhoen Sofwan dan Sudikno Mertokusumo menyebutkan terdapat beberapa teori terkait dengan momentum terjadinya kontrak, yaitu: 9 a. Teori Pernyataan Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima maupun memberikan penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. Penawaran ini merupakan hasil dari negosiasi dari para pihak yang membuat perjanjian. b. Teori Kehendak Menurut teori ini, perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Kehendak seseorang akan sangat sulit diketahui oleh orang lain karena sangat bersifat batiniah, maka tidak jarang apa yang dikehendaki berbeda dengan pernyataan yang dinyatakan oleh orang tersebut. Apabila terjadi perbedaan dalam kehendak dan pernyataan tersebut, maka perjanjian akan terjadi sesuai dengan pernyataan pihak yang memberikan pernyataan tersebut. 9 Salim, H.S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal

21 21 c. Teori Kepercayaan Menurut teori ini, tidak semua pernyataan dapat melahirkan perjanjian, tetapi hanya pernyataan yang didasarkan atas kepercayaan yang dapat melahirkan perjanjian. Oleh karena itu, kepercayaan antara para pihak yang membuat perjanjian sangatlah penting dalam terjadinya suatu perjanjian. Meskipun perjanjian dikatakan lahir setelah adanya persesuaian kehendak dengan pernyataan dan kepercayaan, namun mengenai hal pokok yang berkaitan dengan isi dari perjanjian tersebut harus memperhatikan hal-hal yang menjadi dasar dari sah atau tidaknya suatu perjanjian. Dasar dari keabsahan suatu perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata adalah instrumen penting atau pokok untuk menguji keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang mencakup: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Dua syarat a dan b disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat c dan d disebut syarat obyektif.

22 22 Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, akan mempunyai akibatakibat sebagai berikut: 10 a. Non eksistensi, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul suatu perjanjian; b. Dapat dibatalkan, apabila perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak atau karena ketidakcakapan; c. Batal demi hukum, apabila terdapat perjanjian yang tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan. Momentum terjadinya Perjanjian Perkawinan harus didasarkan atas adanya kesesuaian kehendak dengan pernyataan dan rasa saling percaya antara calon suami-istri yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan. Apabila tidak didasari atas persamaan kehendak dan kepercayaan, maka Perjanjian Perkawinan tersebut tidak akan terwujud. Selain itu, para pihak juga harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dalam proses pembuatan Perjanjian Perkawinan, karena sah atau tidaknya Perjanjian Perkawinan tersebut tergantung dari pemenuhan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut. Teori ini dipilih untuk menjawab permasalahan mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan. Melalui teori ini diharapkan penulis dapat menemukan jawaban atas rumusan masalah pertama yang berkaitan dengan 10 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 16.

23 23 keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. 2) Asas Publisitas Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya yang berjudul Mencari Sistem Hukum Benda Nasional menjelaskan bahwa terdapat 10 (sepuluh) asas umum yang relative konkret berkenaan dengan suatu bidang tertentu 11, dan salah satu asas tersebut adalah asas publisitas. Asas publisitas erat kaitannya dengan status kepemilikan. Asas ini terimplementasikan melalui pengumuman yang dilakukan kepada masyarakat umum mengenai status kepemilikan seseorang atas suatu benda. Asas publisitas juga diterapkan dalam ranah Hukum Kewarganegaraan, di mana dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia asas publisitas merupakan salah satu asas yang digunakan dalam penyusunan undang-undang tersebut. Pada penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disebutkan bahwa asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Melihat penerapan asas publisitas dalam ranah hukum tersebut, dapat dilihat bahwa hakikat dari asas publisitas itu sendiri adalah adanya pemberitahuan atau pengumuman kepada pihak lain atau pihak ketiga berkenaan dengan peristiwa hukum yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan permasalahan pertama 11 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal

24 24 pada penelitian ini, pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan bukanlah bersifat mengesahkan Perjanjian Perkawinan tersebut melainkan lebih bersifat publikasi kepada pihak ketiga berkaitan dengan keberadaan Perjanjian Perkawinan tersebut. Oleh karena itu, dengan menggunakan asas publisitas sebagai penunjang teori sahnya perjanjian penulis berharap dapat menemukan jawaban mengenai sah atau tidaknya Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. 2. Teori dan asas yang digunakan untuk membahas rumusan masalah kedua antara lain: 1) Teori Keadilan Keadilan merupakan salah satu hal yang menjadi tujuan hukum. Para ahli hukum mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai tujuan hukum tersebut. Salah satu ahli hukum yang berpendapat bahwa hukum itu bertujuan untuk menciptakan keadilan adalah Aristoteles. Aristoteles sebagai pencetus Teori Etis berpendapat bahwa hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Selanjutnya Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Eticha Nicomachea dan Rhetorika menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya. Hal ini dijabarkan oleh Utrecht dalam bukunya yang berjudul Pengantar dalam Hukum Indonesia. 12 2) Teori Hak Teori hak yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan atau 12 H. Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 20.

25 25 disebut dengan Wilsmacht Theorie oleh Bernhard Winscheid. 13 Berdasarkan teori ini hak merupakan suatu kehendak yang diperlengkapi oleh kekuatan yang diberikan oleh tata hukum kepada yang bersangkutan. Pihak yang bersangkutan disini adalah subyek hukum, sehingga subyek hukum dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Oleh karena itu, hak yang dimiliki oleh setiap subyek hukum tidak dapat dirampas kecuali tata hukum sebagai pemberi hak itu sendiri yang menghendaki hilangnya hak yang dimiliki oleh subyek hukum tersebut. Melihat uraian mengenai keadilan dan hak di atas, keadilan baru akan terpenuhi pada saat seseorang menerima sesuatu yang memang merupakan haknya. Keadilan akan terjadi apabila keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut telah tercapai. Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang di bagian awal penelitian ini, tiap-tiap pribadi baik itu laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka masing-masing. Lakilaki atau perempuan yang merupakan Warga Negara Indonesia masih dapat memiliki atau mempertahankan kewarganegaannya meskipun telah melangsungkan Perkawinan Campuran dan dengan demikian sebagai seorang Warga Negara Indonesia, hak-hak sebagai Warga Negara Indonesia masih tetap melekat pada dirinya, salah satunya adalah memiliki hak milik atas suatu benda. Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat sebelum Perkawinan Campuran berlangsung namun tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil dapat berakibat pada 13 R. Soeroso, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan R. Soeroso I), hal. 275.

26 26 hilangnya hak Warga Negara Indonesia untuk memiliki properti di Indonesia. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi para Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran yang dikarenakan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan menyebabkan mereka tidak dapat memiliki properti di Indonesia. Teori Keadilan dan Teori Hak tersebut di atas akan digunakan untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini, karena permasalahan ini berkaitan dengan akibat hukum Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan terhadap kepemilikan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. 3) Asas Kekuatan Mengikat Asas kekuatan mengikat ini dikenal pula dengan istilah Pacta Sunt Servanda, bahwa perjanjian akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas ini terimplementasi dalam Pasal 1338 KUHPerdata, di mana disebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Masing-masing pihak yang terikat dan mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan serta tidak diperkenankan untuk melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dengan isi dari perjanjian yang telah dibuatnya Harlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Hukum Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung, (Selanjutnya disebut Harlien Budiono I), hal. 174.

27 27 Para pihak yang terikat dalam perjanjian tidak hanya terbatas pada isi dari perjanjian yang telah dibuat melainkan pula terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. 15 Perjanjian Perkawinan sama halnya dengan perjanjian lainnya, akan berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut, dalam hal ini pasangan suami-istri. Asas ini digunakan untuk menjawab permasalahan kedua karena terkait dengan akibat hukum tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Pegawai pencatat perkawinan, baik bagi para pihak itu sendiri maupun bagi pihak ketiga yang berhubungan dengan para pihak dalam perjanjian dan dengan menggunakan asas kekuatan mengikat dalam menganalisa permasalahan ini, diharapkan dapat menemukan jawaban apakah dengan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan di Pegawai pencatat perkawinan akan membawa dampak pada para pihak dalam perjanjian maupun bagi pihak ketiga. 4) Asas Kepastian Hukum Hukum dibuat atau dibentuk bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan, kepastian dan ketertiban. Penganut aliran Positivisme secara dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada aspek kepastian hukum bagi para subjek hukum, yakni para pendukung hak dan kewajiban. Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini guna memberikan perlindungan bagi para subjek hukum 15 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal. 87.

28 28 dalam perjanjian. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sendiri yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 16 Asas kepastian hukum terkait erat dengan asas kekuatan mengikat. Seperti uraian di atas, kepastian hukum dalam suatu perjanjian tercermin dalam kekuatan mengikat perjanjian bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga. Asas ini digunakan pula untuk menjawab permasalahan kedua karena akibat hukum tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan oleh Pegawai pencatat perkawinan akan berakibat pada kepastian hukum atas keberlakuan Perjanjian Perkawinan tersebut bagi para pihak maupun bagi pihak ketiga, terlebih lagi bagi pemilikan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran Kerangka Berpikir Perjanjian Perkawinan sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, dalam pembuatannya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari syarat sahnya perjanjian maka akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum. Apabila syarat subyektif yakni adanya kata sepakat dan kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Sedangkan apabila syarat obyektif yakni adanya suatu hal tertentu dan 16 Ibid, hal. 88.

29 29 suatu sebab yang halal tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 17 Perjanjian Perkawinan sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, dalam pembuatannya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari syarat sahnya perjanjian maka akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum. Apabila syarat subyektif yakni adanya kata sepakat dan kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Sedangkan apabila syarat obyektif yakni adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 18 Pengaturan mengenai Perjanjian Perkawinan dapat dilihat dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni pada Pasal 29. Selain itu dalam KUHPerdata sendiri juga mengatur tentang Perjanjian Perkawinan yakni mulai dari Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Kedua aturan hukum tentang Perjanjian Perkawinan tersebut mensyaratkan agar Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung disahkan di Pegawai pencatat perkawinan dan di Pengadilan Negeri. Pengesahan ini bermaksud untuk mengikat pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan maka tidak akan mengikat pihak ketiga dan hanya akan mengikat para pihak yang 17 R. Soeroso, 2011, Perjanjian Di Bawah Tangan: Pedoman Praktis Pembuatan Dan Aplikasi Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan R. Soeroso II), hal. 24.

30 30 mengadakan perjanjian. Sahnya suatu Perjanjian Perkawinan dapat dilihat melalui pemenuhan akan kriteria syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dengan adanya pengaturan tentang pengesahan Perjanjian Perkawinan, dapat menimbulkan paradigma baru tentang keabsahan suatu Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan hanya akan mengikat para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan tersebut, namun dengan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan tersebut apakah Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dikatakan telah sah dan sejauhmana keberlakuan dari Perjanjian Perkawinan tersebut bagi para pihak yang membuatnya? Maka untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini akan digunakan Teori Momentum Terjadinya Kontrak yang dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata dan Asas Publisitas. Pengesahan Perjanjian Perkawinan tentunya akan sangat berpengaruh pada keberlakuan dan akibat hukum dari Perjanjian Perkawinan tersebut bagi pihak ketiga maupun bagi para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan umumnya dibuat agar para pihak mendapat perlindungan dan rasa aman selama berlangsungnya perkawinan. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga yang menimbulkan suatu hutang atau kewajiban yang harus dibayarkan, maka pihak yang membuat perjanjian itulah yang harus memenuhi kewajibannya sehingga pihak lain dalam Perjanjian Perkawinan tidak akan diikutsertakan dalam pemenuhan kewajiban tersebut. Hal ini tentunya akan melindungi para pihak apabila salah satu pihak mengalami pailit dan seluruh asetnya harus disita oleh Juru Sita Pengadilan

31 31 Negeri. Demikian pula halnya dengan status pemilikan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran. Warga Negara Indonesia yang terlibat dalam Perkawinan Campuran akan kehilangan haknya untuk mempunyai hak milik atas tanah dikarenakan dengan tidak disahkannya Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat maka dalam Perkawinan Campuran tersebut telah terjadi percampuran harta. Hal ini dianggap tidak adil oleh Warga Negara Indonesia, karena dengan tetap mempertahankan status kewarganegaraannya maka seharusnya Warga Negara Indonesia tersebut masih tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti halnya Warga Negara Indonesia lainnya. Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan kedua mengenai akibat hukum dari tidak didaftarkannya Perjanjian Perkawinan adalah dengan menggunakan Teori Keadilan, Teori Hak, Asas Kekuatan Mengikat dan Asas Kepastian Hukum.

32 32 Kerangka berpikir tersebut di atas diilustrasikan dengan bagan seperti di bawah ini. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Di Kantor Catatan Sipil Bagi Warga Negara Indonesia Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran Latar Belakang Rumusan Masalah Landasan Teoritis 1. Kekaburan norma dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai keabsahan perjanjian perkawinan. 2. Adanya Perjanjian perkawinan yang tidak disahkan. Keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan. Akibat hukum dari tidak disahkannya perjanjian perkawinan terhadap pemilikan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia dalam perkawinan campuran 1. Teori Momentum Terjadinya Kontrak. 2. Asas Publisitas 1. Teori Keadilan 2. Teori Hak 3. Asas Kekuatan Mengikat. 4. Asas Kepastian Hukum HASIL PENELITIAN

33 Metode Penelitian Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dianalisa berkenaan dengan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan dan akibat hukumnya terhadap Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran terkait kepemilikan hak milik atas tanah. Permasalahan ini muncul karena adanya norma kabur yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kekaburan norma tersebut mengenai penggunaan kata disahkan pada pasal tersebut sehingga menimbulkan multitafsir mengenai keabsahan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif karena penelitian hukum ini terfokus pada peraturan yang tertulis (law in book). 19 Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian sistematika hukum yang dapat dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan tertentu yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum. 20 Dalam kaitan itu A.T.H. Smith menyatakan bahwa the criteria for legal research are: The ability to analyse a problem involving a question of law, and through research to provide a solution to it. This involves the ability: I. to identify and find relevant legal sources and materials; II. to extract the essential points from those legal sources and materials; 19 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal H. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 25.

34 III. to apply the law to the facts of the problem so as to produce satisfactory answers to the question posed; and IV. to communicate the reason for those answers, making use of legal sources and material. 21 kriteria dari penelitian hukum adalah: kemampuan untuk menganalisa suatu permasalahan yang berkaitan dengan pertanyaan tentang hukum, dan melalui penelitian agar memperoleh solusi untuk permasalahan tersebut. Penelitian ini berkaitan dengan kemampuan: I. Untuk mengidentifikasi dan menemukan sumber dan bahan hukum yang relevan; II. Untuk menggali unsur utama dari sumber dan bahan hukum tersebut; III. Untuk menerapkan hukum dengan fakta dari permasalahan tersebut sehingga mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan tersebut; IV. Untuk mengkomunikasikan alasan dari jawaban tersebut, dengan menggunakan sumber dan bahan hukum Jenis Pendekatan antara lain: Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum ini, a. Pendekatan undang-undang (statute approach) Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa peraturan perundang-undangan terkait dengan Perjanjian Perkawinan dan peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum lainnya seperti agraria, kewarganegaraan serta bidang hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini A.T.H. Smith (Editor), 2010, Glanville Williams: Learning The Law, Fourteenth Edition, Sweet & Maxwell: Thomson Reuters, hal. 208.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan dan manusia disekitarnya

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhan Batu e_mail : sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ditegaskan mengenai pengertian perkawinan yaitu Perkawinan ialah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan a. Pengertian perkawinan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen tetap STIH Labuhanbatu e_mail: sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan KEDUDUKAN TIDAK SEIMBANG PADA PERJANJIAN WARALABA BERKAITAN DENGAN PEMENUHAN KONDISI WANPRESTASI Etty Septiana R 1, Etty Susilowati 2. ABSTRAK Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara para

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu perjanjian tertulis merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Era globalisasi menjadikan batas-batas antar negara semakin dekat. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara warga negara semakin

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang undang No.

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang undang No. 1 BAB I PENDAHULUAN Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Komang Padma Patmala Adi Suatra Putrawan Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki naluri self preservasi yaitu naluri untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu berhadapan dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN (FASAKH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN ISTRI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat dapat menghasilkan suatu peristiwa-peristiwa tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat dapat menghasilkan suatu peristiwa-peristiwa tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidak bisa terlepas dari hubungan manusia lainnya hal ini membuktikan bahwa manusia merupakan mahkluk sosial. Interaksi atau hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ternyata tidak lepas untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hal

Lebih terperinci

BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM. sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak

BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM. sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak 1 BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum yang sah menimbulkan akibat berupa hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami dan istri)

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang. dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang. dalam mendukung pembangunan nasional. Berhasilnya perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, baik material maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dunia jelas dapat dibaca dari maraknya transaksi bisnis yang mewarnainya. Pertumbuhan ini menimbulkan banyak variasi bisnis yang menuntut para pelaku

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

TESIS KEKUATAN MENGIKAT KONTRAK BAKU DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TENAGA LISTRIK ANTARA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) DENGAN PELANGGAN

TESIS KEKUATAN MENGIKAT KONTRAK BAKU DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TENAGA LISTRIK ANTARA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) DENGAN PELANGGAN TESIS KEKUATAN MENGIKAT KONTRAK BAKU DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TENAGA LISTRIK ANTARA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) DENGAN PELANGGAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, lebih khusus lagi agar mereka bisa

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) 0 TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak tercantum dalam akta perkawinan. Tindakan hukum yang

Lebih terperinci

PENJUALAN HARTA BERSAMA BERUPA HAK ATAS TANAH DALAM PERKAWINAN CAMPURAN TANPA PERJANJIAN KAWIN

PENJUALAN HARTA BERSAMA BERUPA HAK ATAS TANAH DALAM PERKAWINAN CAMPURAN TANPA PERJANJIAN KAWIN KARYA TULIS ILMIAH PENJUALAN HARTA BERSAMA BERUPA HAK ATAS TANAH DALAM PERKAWINAN CAMPURAN TANPA PERJANJIAN KAWIN Oleh : HENNY CHRESTIANTI NIM : 12213040 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017 KEDUDUKAN DAN KEKUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DITINJAU DARI SEGI HUKUM KONTRAK DALAM KUHPERDATA (PENERAPAN PASAL 1320 JO PASAL 1338 KUHPERDATA) 1 Oleh: Adeline C. R. Dille 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum, dimana Negara hukum memiliki prinsip menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kepada kebenaran dan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Perkawinan secara otomatis akan mengubah status keduannya dalam masyarakat.

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia yang hakiki adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan untuk mempertahankan hidup ini diuraikan lebih lanjut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kedua orang tuanya. Setiap anak tidak hanya tumbuh dan berkembang dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat beraneka ragam kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerahnya. Sistem pewarisan yang dipakai di Indonesia juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci